karya sastra sebagai media revolusi mental (literature

11
495 PENDAHULUAN Masih lekat dalam ingatan ketika Wakil Presiden Yusuf Kalla dalam proses pencalonannya menjadi wakil presiden, menyatakan bahwa revolusi mental itu perlu dalam membangun karakter anak bangsa. Hal ini juga yang menurutnya dapat dijadikan landasan dalam pendidikan di sekolah, untuk memberikan moralitas bagi siswa-siswa didik sehingga tidak memiliki mental-mental korupsi. Artinya, revolusi mental sangat diperlukan dalam dunia pendidikan di negeri KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature Work as Mental Revolution Media) Sabriah Balai Bahasa Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Barat Jalan Sultan Alauddin Km 7/ Tala Salapang Makassar 90221 Telepon (0411)882401, Faksimile (0411)882403 Pos-el: [email protected] Diterima: 7 Juli 2014; Direvisi: 15 September 2014; Disetujui: 6 Oktober 2014 Abstract This writing is aimed to describe literature work which can be used as media of mental revolution. Method used is descriptive-qualitative supported by listening and recording technique. The result shows that the folklore may give clear description and take effect on the mental formation of the personal and school children. The stories of Dayya and Basse Pannawa-nawa show that women have the same right as men in some cases, women should have the patience, respecting husband for the sake of happiness together. In addition, basically women are intelligent, astute in politics, but do not take advantage of others who can make defamation and prejudices absurd. Key words: mental revolution, literature work, Dayya, Basse Panawa-nawa Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan karya sastra yang dapat dijadikan sebagai media revolusi mental. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik simak dan catat. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa cerita rakyat dapat memberikan deskripsi yang jelas dan berpengaruh pada proses pembentukan mental pada diri pribadi dan anak didik. Dari cerita Dayya dan Basse Pannawa-nawa menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dalam beberapa hal dengan kaum laki-laki, perempuan harus memiliki sifat sabar, hormat pada suami, dan menjaga rahasia suami untuk kebahagian bersama. Selain itu perempuan itu pada dasarnya cerdas, lihai dalam berpolitik, namun jangan memanfaatkan orang lain yang menimbulkan adanya fitnah dan prasangka yang bukan-bukan. Kata kunci: revolusi mental, karya sastra, Dayya, Basse Panawa-nawa ini. Apalagi saat ini banyak sekali perkelahian antarpelajar yang tidak hanya di tingkat SMA, bahkan perkelahian itu merambah sampai ke tingkat bawah, seperti anak-anak SD. Sungguh miris dunia pendidikan kita jika hal semacam ini dibiarkan terus tanpa ada upaya pemikiran untuk mengubahnya melalui suatu gerakan mental yang dianggap drastis. Salah satu ujud gerakan mental yang patut dilakukan menurut Yusuf Kalla misalnya mengganti cerita si Kancil yang licik dengan cerita lain yang lebih bermanfaat. Tujuannya agar anak-anak kita tidak memiliki sifat-sifat SAWERIGADING Volume 20 No. 3, Desember 2014 Halaman 495—505

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

494 495

PENDAHULUAN

Masih lekat dalam ingatan ketika Wakil Presiden Yusuf Kalla dalam proses pencalonannya menjadi wakil presiden, menyatakan bahwa revolusi mental itu perlu dalam membangun karakter anak bangsa. Hal ini juga yang menurutnya dapat dijadikan landasan dalam pendidikan di sekolah, untuk memberikan moralitas bagi siswa-siswa didik sehingga tidak memiliki mental-mental korupsi. Artinya, revolusi mental sangat diperlukan dalam dunia pendidikan di negeri

KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL(Literature Work as Mental Revolution Media)

SabriahBalai Bahasa Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Barat

Jalan Sultan Alauddin Km 7/ Tala Salapang Makassar 90221Telepon (0411)882401, Faksimile (0411)882403

Pos-el: [email protected]: 7 Juli 2014; Direvisi: 15 September 2014; Disetujui: 6 Oktober 2014

Abstract This writing is aimed to describe literature work which can be used as media of mental revolution. Method used is descriptive-qualitative supported by listening and recording technique. The result shows that the folklore may give clear description and take effect on the mental formation of the personal and school children. The stories of Dayya and Basse Pannawa-nawa show that women have the same right as men in some cases, women should have the patience, respecting husband for the sake of happiness together. In addition, basically women are intelligent, astute in politics, but do not take advantage of others who can make defamation and prejudices absurd.

Key words: mental revolution, literature work, Dayya, Basse Panawa-nawa

Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan karya sastra yang dapat dijadikan sebagai media revolusi mental. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik simak dan catat. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa cerita rakyat dapat memberikan deskripsi yang jelas dan berpengaruh pada proses pembentukan mental pada diri pribadi dan anak didik. Dari cerita Dayya dan Basse Pannawa-nawa menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dalam beberapa hal dengan kaum laki-laki, perempuan harus memiliki sifat sabar, hormat pada suami, dan menjaga rahasia suami untuk kebahagian bersama. Selain itu perempuan itu pada dasarnya cerdas, lihai dalam berpolitik, namun jangan memanfaatkan orang lain yang menimbulkan adanya fitnah dan prasangka yang bukan-bukan.

Kata kunci: revolusi mental, karya sastra, Dayya, Basse Panawa-nawa

ini. Apalagi saat ini banyak sekali perkelahian antarpelajar yang tidak hanya di tingkat SMA, bahkan perkelahian itu merambah sampai ke tingkat bawah, seperti anak-anak SD. Sungguh miris dunia pendidikan kita jika hal semacam ini dibiarkan terus tanpa ada upaya pemikiran untuk mengubahnya melalui suatu gerakan mental yang dianggap drastis.

Salah satu ujud gerakan mental yang patut dilakukan menurut Yusuf Kalla misalnya mengganti cerita si Kancil yang licik dengan cerita lain yang lebih bermanfaat. Tujuannya agar anak-anak kita tidak memiliki sifat-sifat

SAWERIGADING

Volume 20 No. 3, Desember 2014 Halaman 495—505

Page 2: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

496 497

licik karena peniruan cerita si Kancil tadi. Tentu saja apa yang diungkapkan oleh Yusuf Kalla itu menjadi bahan renungan kita bersama. Kita tidak pernah menyangka sebuah cerita dapat memberikan efek mental bagi perkembangan karakter anak, dapat menjadi bagian dari jargon revolusi mental yang saat ini banyak didengungkan orang.

Jika direnungkan, apa yang diungkapkan itu mengandung suatu kebenaran yang perlu dipikirkan bersama, bahwa sebuah cerita (karya sastra) dapat memberikan kontribusi dalam revolusi mental bangsa. Hal ini tentunya membuat kita mengingat kembali sejarah bangsa ini sebelum berdiri sebagai negara kesatuan. Ketika masih dalam bentuk kerajaan, banyak sekali cerita-cerita rakyat yang tersebar, banyak sekali karya-karya sastra yang dihasilkan, dan budaya bercerita masyarakat kita begitu bermanfaat dalam memberikan karakter anak-anaknya.Tentu saja hal ini jarang kita jumpai bahkan mungkin tidak lagi dijumpai saat sekarang ini. Padahal cerita rakyat (karya sastra) dapat memberikan ikatan emosional yang baik bagi pertumbuhan mental dan karakter anak. Hal semacam inilah yang semestinya harus digali dan dimunculkan kembali dalam revolusi mental yang pernah diutarakan Jokowi-JK. Revolusi yang dimaksud tidak selalu berarti perang melawan penjajah.Tetapi revolusi tajam yang mengharuskan bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Kalau ada kesalahan dinilai kedisiplinan, maka harus ada serangan ke arah nilai-nilai itu. Salah satu jalan revolusi yang dimaksud menurut Jokowi adalah lewat pendidikan yang berkualitas yaitu mengubah cara berfikir (mindset). Revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa, yaitu berkarakter, santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong dan dapat membuat rakyat sejahtera.

Adanya arti dan gambaran dari revolusi mental di atas menjadi celah bagi karya sastra khususnya dalam dunia pendidikan untuk berkonstribusi dalam mengubah cara berfikir bangsa. Karya sastra (khususnya cerita rakyat)

menjadi salah satu media. Apalagi karya sastra saat ini boleh dibilang hanya menjadi bahan bacaan saja. Menjadi bahan kritik belaka yang buntut-buntutnya menjadi pertengkaran, saling menyerang, dan saling membuka kejelekan satu sama-lainya. Karya sastra hanya menjadi bahan politik untuk menjatuhkan seseorang atau kelompok saja. Karya sastra tidak dijadikan media membangun rasa kebangsaan, persatuan, atau media untuk pendidikan misalnya, cerita yang dapat dijadikan suri teladan bagi anak-anak.

Bertolak pada uraian di atas pada makalah ini kami mencoba menguraikan kembali beberapa karya sastra lisan atau tulisan dari daerah Sulawesi Selatan yang dapat dijadikan masukan dalam proses revolusi mental anak bangsa dalam dunia pendidikan kita. Hal ini dirasa perlu untuk diungkapkan untuk menghilangkan adanya stigma dalam masyarakat bahwa “apa tonji itu karya sastra” (bahasa Indonesia dialek Makassar), atau istilah orang Bugis agatos’si iya tu caritami bawang, yang artinya ‘itukan hanya cerita belaka’. Padahal jika mau berfikir, dari cerita dapat mendapatkan pemahaman, mendapatkan gambaran pola pikiran masyarakat dulu, perkembangan budaya masyarakat dan tradisinya, mengerti asal-usul, memahami perilaku masyarakat dan lain sebagainya. Apa yang penulis kemukakan ini pernah dikemukakan pada seminar sastra bahwa masalah yang dihadapi pemerintah dewasa ini adalah masalah pembinaan mental. Salah satu cara adalah dengan penghayatan, khususnya karya sastra lama, karena karya sastra mengungkapkan rahasia kehidupan yang dapat memperkaya batin kita. Melalui karya sastra itu seseorang dapat lebih mencintai dan membina kehidupan secara lebih baik dalam masyarakat. Atas dasar uraian pendahuluan tersebut di atas pada uraian berikut penulis akan menguraikan beberapa karya sastra (cerita rakyat) dalam upaya pembinaan mental bangsa (revolusi mental).

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 495—505

Page 3: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

496 497

Sabriah: Karya Sastra sebagai Media Revolusi Mental

KERANGKA TEORI

Menurut Mahmud dkk (1997:1) bahwa, setiap karya sastra memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat sekarang karena naskah-naskah itu mewakili dunia gagasan manusia pada masa lampau. Unsur-unsur nilai dalam karya sastra dapat dijadikan pedoman dalam pembinaan hidup sehari-hari. Ajaran di dalam karya sastra dapat memperkaya batin bangsa. Untuk mengetahui unsur nilai, ajaran, atau isi karya sastra dapat diketahui jika dianalisis melalui berbagai sudut teori antara lain; struktural, semiotik, sosiolinguistik, stilistika, antropolinguistik, antropologi sastra, teori foklor, dan teori lainnya yang terkait.

Bertolak pada pandangan tersebut di atas, pada kesempatan ini penulis mencoba menggali dan menguraikan nilai-nilai karya sastra (cerita rakyat) secara struktural karena di dalam karya sastra terdapat sebuah sistem yang terdiri atas seperangkat sistem (unsur intrinsik dan ekstrinsik) yang saling berhubungan. Pengkajian karya sastra dengan unsur intrinsik, menurut Teeuw (1983) sebagai langkah awal. Artinya, masih ada langkah selanjutnya yang harus dilakukan atau digunakan untuk memperjelas karya sastra dan kandungan nilai-nilainya yaitu mengaitkannya dengan unsur eksternal yang turut membangun karya sastra itu (cerita itu). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Ratna (2011: 121) bahwa, secara teoritis karya sastra dapat dipahami melalui dua pendekatan utama, yaitu pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik dilakukan melalui analisis terhadap unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam, sebagai unsur formal, sedangkan pendekatan eksternal (ekstrinsik) dilakukan dari luar sebagai unsur nonformal. Unsur formal intrinsik di antaranya ; tema, peristiwa, tokoh, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya. unsur nonformal, di antaranya; kesejarahan, kemasyarakatan, kejiwaan, kefilsafatan, sistem kepercayaan, dan sebagainya.

Sebenarnya, analisis intrinsik memeroleh perhatian sejak ditemukannya peranan unsur

sebagai pembentuk totalitas yang kemudian dikenal atau disebut teori struktural.Teori ini diketahui pertama kali diperkenalkan oleh Ferdinan de Saussure dalam bidang bahasa, dengan konsep dikotominya antara penanda (signifiant) dan petanda (signifie), analisis bahasa secara diakronis dan sinkronis dan pemahaman secara paradigmatis dan sintagmatisnya. Teori ini berkembang pada awal abad ke-20 (1915) dengan tokoh-tokohnya yaitu Boris Eichenbaum, Viktor Sklovski, Roman Jakobson, ReneWellek, Emil Durkheim, Auguste Comte, dan C.Levi-Strauss (Ratna 2011:122).

Bagaimana teori struktural bekerja terhadap karya sastra erat kaitannya dengan pandangan Saussure tentang tanda bahasa yaitu seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Artinya, membicarakan karya sastra, berarti membicarakan unsur yang membangunnya. Membicarakan sebuah cerita berarti membicarakan tokoh dan penokohannya, latar, tema dan amanat, alur, dan lain sebagainya.Tentu saja hal ini dapat dipahami sebab seperti apa yang dikatakan Saussure (1988:145) bahwa kata-kata dalam bahasa, bagi kita adalah gambaran akustis dan memiliki makna (konsep). Sedangkan lambang bahasa adalah satuan psikis yang bermuka dua (gambaran akustis dan konsep) yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, unsur-unsur intrinsik yang kita jelaskan tentang cerita di atas tujuannya adalah untuk pengembangan mental (psikis) anak didik.

Hal yang sering dilupakan dalam pembelajaran karya sastra adalah dalam menjelaskan karya sastra seperti cerita hanya terhenti sampai penjelasan unsur intrinsiknya saja. Seharusnya, melanjutkanya pada unsur ekstrinsik karya sastra tersebut. Seperti apa yang dikatakan Ratna (2011:13) bahwa, unsur-unsur karya sastra dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu struktur dalam dan struktur luar. Struktur dalam disebut struktur intrinsik, struktur luar disebut struktur ekstrinsik.Pada gilirannya analisis pun tidak boleh lepas dari

Page 4: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

498 499

kedua aspek tersebut. Lebih lanjut dikatakan Ratna (2011:125), bahwa karya sastra baik lisan maupun tulisan bukan semata-mata seni bahasa, bukan semata-mata imajinasi. Karya sastra adalah refleksi, rekonstruksi, bahkan tiruan hasil kebudayaan pada masa tertentu. Karya sastra adalah cara lain untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik emosional maupun intelektual, cara-cara yang tidak bisa dilakukan oleh ilmu pengetahuan lain. Apa yang diungkapkan Ratna ini memberikan isyarat bahwa karya sastra itu terbentuk karena adanya kemiripan dengan dunia luar dari karya sastra. Semestinya kita pun memahami dunia luar dari karya sastra yaitu dunia nyata masyarakat kita.

Untuk memahami unsur luar karya sastra atau unsur ekstrinsik karya sastra dapat dilakukan dengan mengaitkannya pada disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, dan antropologi. Dapat juga mengkaitkannya secara langsung dengan semiologi Roland Barthes terutama tentang teori mitologinya. Menurut Barthes (dalam Widada, 2009:62-63) bahwa, mitos adalah sebuah bentuk tuturan yang menggunakan sistem tanda tingkat kedua. Dengan demikian, karya sastra pun, dalam pengertian Barthes termasuk dalam mitos. Mitos menurut Barthes telah membangun maknanya dengan cara mengeksploitasi, merekayasa, dan mempermainkan sistem tanda bahasa (sistem tanda primer). Dengan demikian, mitos tidak lagi sekadar memiliki makna ditingkat pertama atau ditingkat primer (makna kebahasaan secara harfiah atau denotatif), tetapi menyembunyikan makna lain (makna mistis) atau juga disebut makna kiasanya (makna tingkat kedua). Menafsirkan mitos tidak lain dari upaya untuk menemukan makna tersembunyi melalui sebuah analisis terhadap sistem tanda primer yang digunakanya. Hal ini memberi arti bahwa tafsir mitos tidak saja mengandalkan logika tetapi juga kekuatan dan kelincahan imajinasi dalam menelisik dan menemukan hubungan-hubungan asosiasi serta implikasi-implikasi logis yang secara potensial terkandung dalam tuturan mistis. Selain itu, perbendaharaan

pengetahuan simbolik sang penafsir juga akan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan sebuah tafsir mitos. Dari pandangan Barthes dapat diartikan bahwa, dalam proses penafsiran makna suatu cerita kita mesti mengandalkan interpretasi (logika, kekuatan dan kelincahan imajinasi dalam menelisik untuk menemukan asosiasi serta implikasi-implikasi logis yang secara potensial terkandung dalam cerita).

METODE

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode deskripsi kualitatif dengan teknik simak catat. Sumber data dalam tulisan ini berupa dua buah cerita yaitu “Dayya” dalam buku Struktur Sastra Lisan Mandar, dan cerita Basse Panawa-Nawa Ri Galesong dari buku dengan judul Perempuan Makassar Relasi Gender dalam Folklor karya Ery Iswary.

Untuk memahami karya sastra (cerita rakyat) agar dapat menjadi media revolusi mental dalam pendidikan anak didik dapat dilakukan dengan mengikuti beberapa langkah berikut.

1. Membaca dan menyimak karya sastra secara cermat.

2. Mencatat dan mengumpulkan semua kesan-kesan yang muncul dalam pembacaan.

3. Mengidentifikasi dan menggolongkan kesan-kesan itu menurut kecenderungan dan kesesuainnya dengan unsur narasi misalnya, tokoh, alur, tema, dan lainnya.

4. Mencari dan menemukan keseluruhan isyarat-isyarat pertentangan atau persama-an dengan kehidupan sosial masyarakat.

5. Menjelaskan dan menyoroti kasus-kasus yang ada dalam unsur narasi cerita berdasarkan logika tentang pertentangan dan keterkaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang ada.

PEMBAHASAN Ringkasan Cerita

Berikut sebuah ringkasan cerita rakyat

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 495—505

Page 5: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

498 499

Sabriah: Karya Sastra sebagai Media Revolusi Mental

yang diambil dari cerita rakyat Mandar berjudul Dayya.

Dayya

Cerita ini dimulai dengan kehidupan tujuh orang gadis putri raja yang datang menemui nenek Pattori Bunga untuk menanyakan (meramal) perihal calon suami mereka. Dengan bersyaratkan daun sirih si nenek Pattori Bunga meramal perjodohan satu demi satu ketujuh gadis raja itu. Menurut ramalan kesemuannya akan bersuami, dan calon suami mereka berasal dari status sosial yang berbeda pula. Kecuali si bungsu, yang bakal mendapatkan jodoh seorang raja dari langit.Mengetahui ramalan ini, keenam kakak si bungsu menjadi cemburu sehingga timbul niat jahat keenam kakaknya. Si bungsu menjadi bahan pukulan kakaknya, menjadi bahan fitnah perbuatan yang tidak pernah dilakukan si bungsu, memecahkan piring lalu membakar sarungnya. Semua itu diadukannya pada orang tuannya. Segala ulah perbuatan kakak si bungsu ini dilakukan dengan maksud supaya si bungsu dikucilkan dari keluarga.

Desakan keenam kakak si bungsu pun dipenuhi oleh orang tuannya. Akhirnya setelah segala persiapan lengkap maka berangkatlah ayah mereka mengantarkan si bungsu ke suatu daerah yang jauh dari tempat asalnya.Setelah perjalanan melintasi beberapa gunung dan sungai beristiratlah mereka.Si bungsu pun tertidur dalam buaian bapaknya. Di saat itulah bapaknya meninggalkannya seorang diri.Tinggallah si bungsu seorang diri meratapi nasibnya.

Di tengah pengasingan inilah, pada suatu saat ketika ia pulang mandi dari sungai, tiba-tiba muncul seorang laki-laki mendekatinya dan merayunya. Merekapun sepakat membangun kehidupan bersama di daerah itu.Mereka membuka kebun di pinggir sungai. Kelebihan suaminya adalah mampu mendatangkan sesuatu yang dia inginkan sehingga makmurlah kehidupan mereka.Sementara daerah-daerah keenam kakaknya menjadi gersang. Dengan serta merta keenam kakaknya datang ke tempat adiknya untuk meminta kebutuhan bahan pokok supaya dapat mempertahankan hidupnya.

Demikian kelakuan mereka terus-menerus.Bahkan, pakaianpun mereka memintanya.Pada kesempatan itu juga mereka mengambil kesempatan untuk mengajari si bungsu (Dayya) hal-hal yang tidak baik.Mereka mengajarkan adiknya perbuatan yang tidak benar agar dilakukan pada suaminya.Namun usaha itu tidak berhasil.

Pada suatu saat mereka menganjurkan pada si Dayya untuk menanyakan nama suaminya yang turun dari langit itu. Padahal nama itu ditabukan, dan pantangan bagi orang langit bila berada di bumi. Suami Dayya pun menolak menyebutkan namanya. Namun atas desakan sang istri,nama suamipun disebutkan dengan terlebih dahulu ia memperingatkan istrinya, “jangan menyesal” karena itu awal perpisahan mereka.

Penyesalan Dayya sudah muncul ketika ia menyaksikan suaminya terbang kembali ke langit bersama kudanya yang berkepala tujuh. Dayya berusaha mengejar tetapi sia-sia.Di tengah-tengah tangisnya meratapi kepergian suaminya, tiba-tiba seekor kera datang menghiburnya lalu mengantarnya ke atas batu besar. Di sanapun Dayya menangis sejadi-jadinya.Tiba-tiba seekor tikus datang menghiburnya dan mengantarnya ke kediaman nenek bernama Pattiro Bunga di langit. Di langit Dayya memeroleh kebar bahwa suaminya akan menikah dengan putri raja matahari. Kehadiran Dayya di langit diketahui oleh suaminya.Suaminya pun berusaha menemui Dayya di rumah nenek Pattiro Bunga. Akan tetapi, si nenek menyembunyikannya di balik tempayan. Sang suami tidak mau meninggalkan rumah nenek Pattiro Bunga,karena bau orang bumi tercium olehnya.

Akhirnya ia pun bertemu dengan istrinya,dan niatnya untuk kawin dibatalkan karena istrinya lebih cantik dari pada putri raja Matahari. Merekapun bersatu kembali, sementara pesta perkawinan yang dilaksanakan raja matahari tetap berlangsung meskipun yang duduk di pelaminan hanya sang putri matahari seorang diri. Orang-orang yang diutus oleh raja matahari untuk memanggil suami Dayya tak ada yang berhasil karena silau akan kecantikan Dayya. Akhirnya Dayya kembali

Page 6: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

500 501

terjatuh ke bumi karena ia terpengaruh oleh saran orang lain dan tidak patuh pada apa yang dikatakan suaminya.

Menyikapi keseluruhan cerita di atas, akan didapati apa yang kita maknai sebagai tokoh. Tokoh adalah pelaku dalam cerita yang dipahami dari jalan cerita.Tokoh dapat berupa manusia atau pun hewan. Tokoh-tokoh yang ada dalam cerita di atas yaitu “Dayya, keenam kakak Dayya, nenek Pattiro Bunga, seekor kera, seekor tikus, bapak Dayya, putra raja dari langit (suami Dayya). Penokohan merupakan pemaknaan dari kualitas individual sebuah peran yang dilakoni tokoh, sedang latar merupakan makna berupa gambaran tempat dan waktu atau segala situasi dan tempat terjadinya peristiwa.

Pada cerita di atas terdapat tokoh “Dayya”, yang secara makna atau konsep dari citra akustis alur cerita dapat dipahami sebagai tokoh utama. Hal ini didasarkan pada intensitas keterlibatnya dalam cerita dari awal dan akhir cerita. Selain itu, penentuan tokoh utama juga didasarkan pada pelaku yang menjadi pusat kisahan dalam cerita. Selain tokoh Dayya ada juga tokoh lainnya seperti yang disebutkan di atas. Tokoh-tokoh tersebut masuk dalam kategori tokoh pembantu.Artinya, membantu memperjelas keberadaan tokoh utama.

Latar dalam cerita di atas terdiri atas latar tempat yaitu rumah, langit, batu, bumi, sungai dan gunung. Kesemua tempat yang disebutkan itu secara konsep memiliki makna seperti apa yang kita pahami. Adapun tema yang diusung dalam cerita adalah kesabaran dan kedengkian. Sedangkan amanat yang dapat diambil dari cerita bahwa iri dan dengki mesti dihadapi dengan sabar.

Pandangan hidup yang tercermin dari cerita adalah sabar dan dengki selalu ada dalam kehidupan kita, dalam keluarga, dan pada lingkungan masyarakat. Selain itu, dapat dipahami bahwa sumber pembangkangan biasanya dipengaruhi oleh orang dekat, karena itu mesti memahaminya jangan sampai merusak diri sendiri yang dapat membuat penyesalan.

Apa yang kita pahami tentang unsur intrinsik cerita di atas mestinya harus dijelaskan pada anak didik kita secara lugas dan jelas. Hal ini dimaksudkan agar memungkinkan pada anak didik untuk memberikan pemahamannya sendiri secara bebas dan bertanggungjawab. Hal ini terutama sekali terkait dengan amanat dan pandangan hidup yang didapat dari cerita di atas. Dengan begitu diharapkan mampu memberikan dampak psikologis pada anak setelah membaca cerita dan mendapatkan penjelasan dari sang guru. Tentu saja hal ini dapat kita pahami sebab seperti apa yang dikatakan Saussure (1988:145) bahwa kata-kata dalam bahasa, bagi kita adalah gambaran akustis dan memiliki makna (konsep). Sedangkan lambang bahasa adalah satuan psikis yang bermuka dua (gambaran akustis dan konsep) yang tidak dapat dipisahkan.Artinya, unsur-unsur intrinsik yang kita jelaskan tentang cerita di atas tujuannya adalah untuk pengembangan mental (psikis) anak didik kita.

Hal yang sering kita lupakan dalam pembelajaran karya sastra adalah kita dalam menjelaskan karya sastra seperti cerita di atas hanya terhenti sampai penjelasan unsur intrinsiknya saja, tetapi melanjutkanya pada unsur ekstrinsik karya sastra tersebut. Seperti apa yang dikatakan Ratna (2011:13) bahwa, unsur-unsur karya sastra dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu struktur dalam dan struktur luar. Struktur dalam disebut struktur intrinsik, struktur luar disebut struktur ekstrinsik.Pada gilirannya analisis pun tidak boleh lepas dari kedua aspek tersebut. Lebih lanjut dikatakan Ratna (2011:125), bahwa karya sastra baik lisan maupun tulisan bukan semata-mata seni bahasa, bukan semata-mata imajinasi. Karya sastra adalah refleksi, rekonstruksi, bahkan tiruan hasil kebudayaan pada masa tertentu. Karya sastra adalah cara lain untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik emosional maupun intelektual, cara-cara yang tidak bisa dilakukan oleh ilmu pengetahuan lain. Apa yang diungkapkan Ratna ini memberikan isyarat bahwa karya sastra itu terbentuk karena adanya kemiripan dengan

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 495—505

Page 7: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

500 501

Sabriah: Karya Sastra sebagai Media Revolusi Mental

dunia luar dari karya sastra. Semestinya kita pun memahami dunia luar dari karya sastra yaitu dunia nyata masyarakat kita.

Bagaimana teori mitologi Roland Barthes bekerja dapat dipahami dengan memperhatikan ulang ringkasan cerita “Dayya” di atas. Ringkasan cerita di atas dapat dipahami sebagai paparan sintagmatis mitos. Paparan ini menyangkut masalah bagaimana jalan ceritanya, siapa tokoh-tokohnya, dimana settingnya, dan kapan kejadinya. Singkat kata, tinjauan paparan sintagmatik mencakup apa saja yang diceritakan sebuah narasi. Menurut Saussure (1988:16), yang dimaksud dengan hubungan-hubungan sintagmatis adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran (kisahan). Dengan demikian tokoh “Dayya” dalam ringkasan cerita berada dalam tataran sintagmatis mitos yang memiliki makna tingkat pertama sekaligus menjadi R1 (relasi). Tokoh Dayya ini tidak berhenti pada tingkat pertama saja, sebab menurut Barthes, pemaknaan tanda tidak pernah terjadi hanya pada tahap primer. Pengembangan itu dilanjutkan dengan pengembangan pada tanda sistem sekunder. Artinya, bahwa “Dayya” yang dipahami sebagai tokoh dalam cerita merupakan tanda lain dari manusia yang sabar namun mudah terpengaruh, tidak memiliki prinsip, dan suka membangkang apalagi pada suami. Model manusia seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat sekarang. Banyak masyarakat kita memiliki sifat seperti Dayya. Jadi, tokoh Dayya selain bermakna sebagai nama tokoh dalam cerita, juga sebagai simbol lain dari sifat masyarkat yang sabar tapi mudah terpengaruh, tidak memiliki prinsip dan suka membangkang.

Model pembelajaran sastra seperti inilah yang mestinya dikembangkan dalam model pembelajaran karya sastra kita. Bukan model pembelajaran sastra yang hanya berhenti pada analisis strukturalnya saja, tetapi kita harus mampu mengkaitkanya dengan unsur lain di luar karya sastra itu. Hal itu harus dilakukan sekaligus agar mendapatkan gambaran nyata tentang dunia realita dalam sastra dengan dunia

realita di lingkungan masyarakat.Selain tokoh Dayya, terdapat juga monyet

dan tikus. Tokoh binatang tikus dan monyet secara mitos dapat menjadi makna tingkat kedua.Tokoh binatang ini memberikan makna denotasi (makna tingkat pertama). Monyet, dalam KBBI (2008:929) diartikan sebagai kera yang bulunya berwarna keabu-abuan dan berekor panjang, tetapi kulit muka, telapak tangan, dan telapak kakinya tidak berbulu. Tikus, diartikan sebagai binatang pengerat, termasuk suku Muridae, merupakan hama yang mendatangkan kerugian, baik di rumah maupun di sawah, berbulu, berekor panjang, pada rahangnya terdapat sepasang gigi seri berbentuk pahat, umumnya berwarna hitam atau kelabu, tetapi ada juga yang berwarna putih. Dalam teori mitologi Roland Bather, tokoh tikus dan monyet dapat merujuk pada sifat yang dimiliki Dayya atau masyarakat di luar karya sastra. Monyet, merujuk pada sifat serakah, sifat mudah dipengaruhi, dan sifat pembangkangannya pada suami. Tikus, merujuk pada sifat atau perilaku yang sering mendatangkan kerugian, tidak saja pada dirinya sendiri juga pada orang lain. Tikus, dalam cerita di atas, juga terkait dengan adanya perilaku masyarakat tani Mandar yang enggan menyebut kata “Balao” (tikus). Seperti apa yang dikatakan oleh Muthalib dkk (1994: 7) bahwa, mungkin itulah antara lain penyebabnya sehingga masyarakat tradisional Mandar, binatang pengerat itu ditakuti, sekaligus dihormati. Namanya pantang disebut. Ia disapa I Daeng atau To lumeneq. Orang-orang tua tidak mau menyebut I Balao (bahasa Mandar) yang artinya si Tikus.

Pengungkapan makna-makna dan nilai-nilai budaya pada cerita rakyat seperti ini memberikan dampak positif bagi masyarakat umumnya dan anak didik pada khususnya. Makna dan nilai-nilai budaya itu diharapkan mampu memberikan pencerahan tentang mengapa sesuatu hal dipantangkan, tentang sesuatu hal diceritakan kembali, sehingga bagi masyarakat pendukung cerita hal itu memengaruhi cara berpikir dan cara bertingkah

Page 8: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

502 503502 503

laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian proses revolusi mental dapat terjadi dengan sendirinya dari pandangan-pandangan yang dideskripsikan itu.

Terkait dengan cerita rakyat (karya sastra) yang diambil sebagai media revolusi mental dapat juga kita lihat pada karya Ery Iswari dalam bukunya yang berjudul “Perempuan Makassar Relasi Gender Dalam Foklor”. Hasil penelitiannya mampu mengungkap masalah relasi gender perempuan Makassar dan memberikan gambaran tentang refleksi kehidupan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat Makassar. Bukan saja peran publikasinya sebagai individu tetapi juga peran publikasinya sebagai makhluk sosial.

Pada kesempatan ini kami tidak akan membicarakan tentang buku tersebut, tetapi kami mengutip sebuah cerita yang ada di dalam buku tersebut untuk menjadi bahan analisis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi bahwa karya sastra dapat digunakan dalam proses revolusi mental. Deskripsi itu terkait tentang pandangan kita tentang perempuan dan laki-laki sebagai individu kaitannya dalam kehidupan sosial masyarakat sekarang. Berikut ini performansi teks ceritanya.

Basse Panawa-Nawa Ri Galesong

Base panawa-nawa di Galesong itu,begini sifat, jika ada nahkoda yang datang di depan rumahnya, sengaja dia naik di rumahnya berpakaian cantik, memakai pakaiannya yang kira-kira jika dilihat orang sangat dipuji. Jika sudah berpakaian turunlah di pinggir pasir berjalan sendirian.

Dilihatlah oleh nahkoda. Berkatalah, “siapa namamu, kamu cantik sekali?”. Menjawablah, “saya Basse Panawa-nawa, kenapa kamu memujiku cantik, kamu mau sama saya?”. Nahkoda menjawab,”jika engkau juga mau?”. “engkau empat kali saya sembilan kali maunya, betul?. Berkatalah perempuan,”iya!, tetapi kalau kamu serius mau, berikan saya uang seribu untuk persekot. Jika pukul tujuh sebentar datanglah, kita pergi kawin lari”.Diberilah uang seribu. Diambillah lalu pergi, pindah lagi ke selatan di perahu

yang di sebelah selatan.Dilihat oleh nahkoda, dia dipuji lagi,

“kau cantik sekali Basse Panawa-nawa?”. Berkatalah “karena saya cantik kamu mau sama saya?”. Berkata laki-laki “Jika engkau juga mau?. Berkatalah perempuan, “Ei kamu mau satu kali saya tiga kali maunya”. Dia berkata “betul”?, dia jawab,”iya”. Dia berkata, “Jika engkau serius mau, berilah saya uang seribu. Pukul delapan kamu datang di rumah, kita kawin lari”. Setelah ia menerima uang seribu, dia pindah lagi ke selatan ke perahu di sebelah selatan.

Dia dilihat lagi oleh nahkoda perahu lalu berkata, “Kamu cantik sekali Basse Panawa-nawa”. Dia berkata,”Jika saya cantik kamu lihat, dan kamu juga mau, berkeinginanlah. Beri saya uang seribu lalu datang pukul Sembilan ke rumahku, kita kawin lari”. Berkatalah nahkoda,”iya, engkau dua kali saya empat kali maunya”. Setelah itu, dia pulang ke rumahnya.

Tiba pukul tujuh, datanglah nahkoda yang pertama kali diambil uangnya. Dia berkata, “sudah siap Basse?”. Dia berkata,”jangan dulu,naiklah ke sini menenangkan hatimu. Sebaiknya kita minum-minum the dulu, ataukah kita makan,biar perasaan kita enak untuk pergi”. Naiklah, diberikan bantal lalu berbaring-baring. Basse Panawa-nawa di dalam dapur, nahkoda di luar bicara terus.

Tiba pukul delapan, datanglah juga nahkoda yang kedua. Dia mendengar bunyi sepatunya. Keluarlah Basse Panawa-nawa lalu berkata, “ Hai, bangunlah dulu karena saudara tertua saya datang. Masuklah dulu di lemari ini bersembunyi. Jangan berkata-kata”. Dia ikuti perintah, dia masuk di lemari.

Sementara yang seorang naik, dia berbisik, “ Hai bagaimana Basse?”. Dia menjawab, “Engkau empat maumu saya sembilan”. Dia berkata,”Berpakaianlah”. Dijawab ,”Janganlah dulu. Kita minum dulu teh. Ini saya masak, saya memasak untuk kamu. Lalu kenapa kamu ragu, saya tidak akan memasung kamu. Hai, kami itu perempuan tiga kali berkeinginan bersuami, buktinya seandainya kamu laki-laki yang beristri, kau yang bersuami, sudah jera. Tetapi kami perempuan meskipun Sembilan kali mahal. Asal sembuh mau lagi bersuami.“Lihatlah”.

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 495—505

Page 9: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

502 503502 503

Sabriah: Karya Sastra sebagai Media Revolusi Mental

Dia berkata “I ya,ya”.Sementara bercerita-cerita datanglah

nahkoda yang ketiga karena sudah pukulsembilan. Setelah yang ketiga sampai di atas, dia berkata “Kenapa kamu ada di sini ?”.Akhirnya berkelahi. Pada saat berkelahi, dikeluarkanlah juga yang bersembunyi di dalam lemari, lalu berkelahi bertiga. Perkelahian berhenti pada saat ketiganya meninggal.

Sewaktu ketiga nahkoda sudah mati semuanya, berpikirlah Basse Panawa-nawa,”Bagaimana akal saya untuk mengebumikan orang mati ini. Ada tiga sekaligus dan saya cuma seorang perempuan, dan saya juga tidak mau diketehui oleh pemerintah. Dia sempat memikirkan bahwa lebih baik saya memanggil Dojaya”. Dia memanggil Dojaya, dia berbisik dan berkata, ”Wahai Dojaya”.Dojaya berkata”Apa?”, “Kamu mau dapat uang?”. Dojaya berkata,”Uang apa, berapa uang perak?”. Basse berkata “ Tiga ratus”. Dojaya berkata, “Kenapa uangmu banyak sekali?”. Dia berkata, “Biarlah saya gadaikan barangku,asal pencuri yang mati di rumah saya itu bisa tidak ada. Karena ada pencuri mati di rumahku, dan saya takut diketahui pemerintah. Lebih baik jika engkau yang kugaji.Mudah-mudahan sudah kau kebumikan baru datang pagi”. Dijawablah,”Gampanglah asalkan ada uangnya”. Basse berkata,”ini, tapijangan dulu pegang. Nanti setelah dikebumikan baru diambil”. Ah, Dojaya ini bersemangat, uang tiga ratus gumam hatinya.

Lalu pergilah Dojaya menggali lubang. Setelah lubangnya dalam didekat kuburan, pergilah ia membopongnya lalu menghempaskan turun dan ditimbuni. Setelah ditimbuni sudah pukul tiga. Dojaya pulanglah. “Wahai Basse, hai gajiku Basse”. Basse berkata, “Gaji untuk apa”. Dia berkata,”Gajiku mengkebumikan orang mati”. Basse berkata, “ Hah, di mana kamu simpan,kenapa masih ada terbaring?”. Ternyata mayat yang satunya diletakkan di tempat mayat yang sudah dikebumikan. Dia berkata, “ Ce, naiklah ke sini melihatnya. Itu dia terbaring”. Dojaya berkata,”Ampun saya. Kenapa ada orang mati seperti ini?”.

Dia membopong lalu pergi. Sampai di sana dia menggali lubang lalu menghempaskan turun dan ditimbuni. Setelah ditimbuni sudah pukul empat.

Dia ke Basse lalu berkata, “Basse, mana gaji saya?”. Basse berkata,”Gaji apa”. Dia berkata,” gaji saya menguburkan orang mati sialan”. Basse berkata, “ Di mana kamu kebumikan, kenapa ini masih ada?”. Dojaya berkata, “ Di mana?”. Basse berkata,”Ini dia, saya dirampok. Kalau tidak ada, sembelih saya kalau tidak”.

Sampai Dojaya di atas, dia berkata, “ Kenapa kejadiannya seperti ini, sudah dua kali saya kebumikan selalu dia pulang. Basse lalu berkata, “Lebih baik begitu Doja, jika engkau ingin dia tidak pulang, di sebelah barat mesjid kamu kebumikan, biar dia jera tidak dapat bangun karena mesjid tempat bersujud”. Dojaya berkata, “Apa seperti itu?”. Basse berkata, “ Iya seperti itu. Jika tidak demikian, saya menggajimu tiga ribu”.

Dojaya pergi menggali lubang di sebelah barat mesjid. Setelah dalam lubangnya, dia membopongnya. Lalu dia hempaskan ke bawah dan ditimbuni. Kira-kira pukul lima selesailah ditimbun. Setelah dia menimbun, dia pergi mencuci tangan. Sementara itu persis ada tuan Kali datang dari timur memakai jubah putih. Begitu dilihatnya, dia berkata,” Sialan, ada lagi, mau datang lagi dia, merepotkan saya, sialan”. Lalu berkelahi hingga Tuan Kali meninggal. Setelah Tuan Kali meninggal, Dojaya dipukul oleh Pak Imam.Dia berkata,” Dojaya gila, dia membunuh Tuan Kali”. Jadi, dia juga dibunuh oleh Pak Imam. Akhirnya tinggallah Basse Panawa-nawa memonopoli uangnya. (Ery Iswari, 2010:229-236)

Jika kita membaca cerita rakyat di atas, terdapat kesimpulan bahwa matinya ke lima laki-laki yang ada dalam cerita semuanya bersumber dari perilaku dan akal bulus si Basse Panawa-nawa. Ada tiga simbol yang dapat ditafsirkan dalam cerita diatas yaitu, Basse Panawa-nawa sebagai simbol (perempuan), ketiga Nahkoda, Dojaya, dan Tuan Kali sebagai simbol (laki-laki), dan uang sebagai simbol (harta). Ketiga simbol itu memegang peranan

Page 10: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

504 505504 505

yang sangat kuat dalam kehidupan kita dan saling memberikan pengaruh satu sama lainya. Artinya, kita dapat mengatakan ada uang, ada perempuan, ada perempuan ada laki-laki.Uang menjembatani keduannya untuk bisa bertemu.

Basse Pannawa-nawa sebagai simbol perempuan yang cantik, bergaya (style), penuh pesona, terus terang, dan pandai merayu menjadikan laki-laki terpedaya olehnya. Begitulah kenyataan yang ada saat ini. Laki-laki lebih mudah terpengaruh oleh, kecantikan, dan pesona wanita. Apalagi yang memilki kedudukan, uang tidak menjadi masalah asalkan keinginannya terhadap perempuan tercapai. Bahkan matipun rela dilakoninya asalkan bersama dengan perempuan yang disukainya. Perempuan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan laki-laki. Bahkan menjadikan pikiran yang rasional hilang saat dekat dengan perempuan yang cantik.

Pandangan seperti ini bukan maksud untuk mendekriminasikan perempuan.Tapi begitulah gambaran kenyataan dalam cerita dan gambaran dunia masyarakat kita sekarang. Perempuan terkadang dijadikan alasan, padahal laki-laki yang tidak dapat menahan hawa napsunya saat melihat perempuan. Apalagi laki-laki yang merasa memilki kedudukan dan harta. Semuanya akan dinilai dengan uang. Laki-laki terkadang tidak menyadari bahwa harta dan keinginannya terhadap perempuan dapat membawanya pada sebuah petaka.Laki-laki selalu menganggap perempuan lemah, padahal dalam kelemahannya itu tersimpan banyak misteri kekuatan yang tidak disadari laki-laki.

Hal menarik yang dapat kita pahami dari cerita Basse Panawa-nawa, bahwa yang ada di dunia ini sebagai penggerak perbuatan adalah perempuan, harta, dan laki-laki. Akan tetapi, harta, tahta, dan wanita adalah hal yang dapat merusak atau mencelakai laki-laki. Mengenai hal ini nyata terlihat pada diri empat laki-laki dalam cerita, yaitu (tiga nahkoda, dan seorang Dojaya). Jika kita renungkan, nahkoda adalah jabatan tertinggi dalam sejarah pelayaran. Nahkoda, adalah juragan (pemimpin), perwira

laut yang memegang komando tertinggi di atas kapal niaga, kapten kapal (KBBI 2008:949). Doja, dalam struktur kepengurusan mesjid juga menjadi sebuah jabatan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang menyebabkan tiga nahkoda dan dojaya meninggal karena saling berkelahi adalah harta, jabatan, dan perempuan.

PENUTUP

Tulisan ini membicarakan tentang deskripsi yang jelas tentang karya sastra (cerita rakyat) dengan menggunakan teori strukturalis. Teori peninggalan De Saussure ini menguraikan unsur-unsur intrinsik yang ada di dalam cerita dan kaitannya dengan dunia luar dari cerita tersebut (ekstrinsik). Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai bentuk kontribusi nyata dalam upaya revolusi mental untuk membangun karakter bangsa yang tidak meninggalkan kearifan lokal yang ada padanya.

Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari deskripsi cerita bahwa, kaum perempuan memiliki hak yang sama dalam beberapa hal dengan kaum laki-laki misalnya hak untuk disayang dan menyayangi. Perempuan harus memiliki sifat sabar, hormat pada suami, dan menjaga rahasia suami untuk kebahagian bersama. Perempuan itu pada dasarnya cerdas, lihai dalam berpolitik, tetapi jangan memanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi karena dapat menimbulkan fitnah dan prasangka yang bukan-bukan. Demikianlah penutup dari tulisan ini, bahwa karya sastra (cerita rakyat) dapat digunakan dalam revolusi mental untuk membangun karakter bangsa yang tidak lupa pada budayanya.

DAFTAR PUSTAKA

Cristomy dan Untung Y. 2004. Semiotika Budaya. Depok: UI

Depdiknas.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Jakarta :Gramedia Pustaka Utama

H.Hoed.Benny. 2011. Semiotik dan Dinamika

Sawerigading, Vol. 20, No. 3, Desember 2014: 495—505

Page 11: KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL (Literature

504 505504 505

Sabriah: Karya Sastra sebagai Media Revolusi Mental

Sosial Budaya.Depok: Komunitas BambuIswary.Ery.2010. Perempuan Makassar Relasi

Gender Dalam Foklor. Yogyakarta: Ombak

Koentjaraningrat.1984.Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia

Muthalib Abdu dkk.1994. Struktur Sastra Lisan Mandar. Jakarta: Depdikbud

Mahmud Amir dkk.1997. Analisis Struktur dan Nilai Budaya.Jakarta: Depdikbud

Ratna. Kutha. 2011. Antropologi Sastra Peran Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Saussure. Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Teeuw.A. 1993. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia

Widada. 2009. Saussure Untuk SastraSebuah Metode Kritik Sastra Struktural. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra