karya ilmiah
TRANSCRIPT
ISLAM DALAM BINGKAI BUDAYA LOKAL MENGARIFI ETIKA
BERBISNIS
KARYA ILMIAH
Oleh:
Winda Nawangsari
1420310180
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PROGAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
TAHUN 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk Allah, yang diciptakan di dunia sebagai khalifah (Baca
QS. Al-An’am:165 dan QS. Fathir:39) manusia lahir, hidup dan berkembang di dunia,
sehingga disebut juga makhluk duniawi. Sebagai makhluk duniawi sudah pasti bergulat
dengan dunia, terhadap segala segi1, salah satunya dunia ekonomi. Maka sebagai
khalifah manusia mempunyai tugas utama yaitu untuk memakmurkannya. Dan
implementasinya adalah melakukan kegiatan ekonomi yang merupakan salah satu pilar
penting dalam kehidupan.
Masyarakat muslim dalam lapangan ekonomi atau berbisnis memiliki aturan,
batasan, dan etika dalam menjalankan bisnisnya. Secara sederhana yang dimaksud
dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup
seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga
masyarakat.2
Islam sebagai agama dengan sistem komprehensif juga mengatur aspek-aspek
diatas dengan basis moralitas. Islam mengombinasikan nilai-nilai spiritual dan material
(budaya) dalam kesatuan yang seimbang dengan tujuan menjadikan manusia hidup
bahagia di dunia dan akhirat. Di sinilah Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Mengarifi
Etika Berbisnis agar tujuan tersebut dapat dicapai.
1 Muhaimin dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Cet Ke-2, (Jakarta:Kencana, 2007), hlm. 333
2 Saad Saefullah, Inilah 5 Ketentuan Etika Bisnis Dalam Islam, diakses dari
https://www.islampos.com/inilah-5-ketentuan-etika-bisnis-dalam-islam-109003 , Pada 24 Maret 2015 pukul 7:16
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan pembahasan dalam karya tulis
ini dapat diirumuskan :
1. Bagaimanakah sistem ekonomi berlandaskan etika islam dalam bingkai
budaya lokal?
2. Bagaimana desain etika bisnis islam dalam bingkai budaya lokal ?
Rumusan-rumusan masalah diatas akan di bahas pada subbagian pembahasan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistem Ekonomi Berlandaskan Etika Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal
Ekonomi islam yang membedakan dengan konvensional ialah bahwa islam tidak
pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkn
ekonomi dengan akhlak.3 Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan
sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi, maupun
spiritual, yang didampingi oleh ekonomi, social, dan politik. Ekonomi dalam pandangan
Islam bukanlah tujuan akhir dari kehidupan ini tetapi suatu pelengkap kehidupan, sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, penuujang dan pelayanan bagi akidah.4
Masyarakat muslim, individu maupun kelompok dalam lapangan ekonomi atau
bisnis di satu sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Namun
disisi lain, ia terikat dengan iman dan etika dengan hukum-hukum islam dalam budaya
lokal masing-masing masyarakat muslim. Sehingga ia tidak bebas mutlak dalam
menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya.5
Berikut adalah contoh-contoh aturan ekonomi Islam dalam bingkai budaya lokal:
1. Sebagaimana budaya masyarakat jahiliyah mewajibkan budak wanita yang
melakukan praktek prostitusi untuk membayar pajak. Ketika Islam datang, para
budak wanita ini tidak lagi melakukan perbuatan kotor itu untuk mencari nafkah
karena mereka telah beriman. Dengan di tandai turunnya ayat Al-Quran yang
melarang hal itu. “Dan jangan kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi” (QS. An-Nur: 33) 6
3 Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, Cet ke-2, (Jakarta:GEMA INSANI PRESS, 1997), hlm.51
4 Yusuf Qardhawi, Ibid., hlm 335 Yusuf Qardhawi, Ibid., hlm 516 Yusuf Qardhawi, Ibid., hlm 52
4
2. Budaya atau kebiasan berternak, disini islam juga memberi aturan bahwa
seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan usaha ternak jika yang di
ternakkan adalah hewan yang diharamkan oleh agama, seperti babi, anjing dll.
Alasannya, segala yang diharamkan untuk dimakan, haram juga untuk
diternakan dan dijual. Karena islam lebih memperhatikan kerusakan daripada
daripada keuntungan.7
3. Menjual khamar dilarang dalam islam, karena banyak sekali kerugian dan
kerusakan yang didapat peminum. Kerugian dan kerusakan dari segi agama,
otak, moral, kesehatan, dan produktivitas. Oleh karena itu, Islam Islam tidak
memperhitungkan keuntungan yang segera jika akan menimbulkan kerugian
yang besar.
4. Budaya atau kebiasaan judi juga dilarang dalam islam, walau dalam judi tersebut
adalah hoby untuk mengisi waktu luang. Hal ini karena Allah lebih
memperhatikan bahayanya daripada keutungannya yang segera itu. Judi
mengakibatkan manusia tidak mau bekerja keras, senang memakan harta secara
batil, hidup dalam khayalan dan merendahkan segala segala nilai dan norma.
Disamping, menimbulkan sifat permusuhan dan persaingan tidak sehat antar
pemain, judi juga mencegah manusia untuk berdzikir dan sholat.8
Dari beberapa aturan Islam pada etika ekonomi diatas, Para nonmuslim mengakui
keunggulan sistem ekonomi islam. Menurut mereka, Islam telah sukses menggabungkan
etika islam dalam bingkai budaya dan ekonomi. Disamping mampu memberi nilai
tambah pada sistem, etika tersebut juga bisa mengisi kekosongan pemikiran yang
ditakutkan suatu saat timbul akibat perkembagan teknologi dan budaya.9
7 Yusuf Qardhawi, Ibid., hlm 54 8 Yusuf Qardhawi, Ibid., hlm 53 9 Yusuf Qardhawi, Ibid., hlm 55
5
2. Desain Etika Bisnis Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal
Desain metodologi sangat diperlukan agar muslim paling tidak memiliki acuan
standar moral tersendiri dalam berperilaku etika, khususnya pada bisnis. Untuk upaya
tersebut, berikut adalah tahapan bagaimana mengasumsikan sistem etika bisnis islam.
2.1 Tahapan 1: Pemetaan Nilai-Nilai Etika Barat dan Timur
Konsep moral benuansa pemikiran sangat kental di Barat. Secara konseptual
Barat, prinsip-prinsipp etis dalam dunia bisnis mengacu pada empat hal, Pertama,
mengandung unsur utilitas (manfaat); kedua, mengandung keadilan dan kejujuran;
ketiga, terdapat unsur hak dan kewajiban; keempat, mengandung rasa melindungi (ethic
of care). Keempat hal tersebut menjadi standarisasi etika dalam berbisnis bagi Barat,
khusunya bagi yang berkenaan pengambilan keputusan (ethical dilemmas). Kajian
mereka sudah sangat unggul pada sisi pengembangan metodologi, apalagi mengingat
bahwa Barat saat ini bisa dikatakan sebagai pemilik bisnis terbesar dan termutakhir
yang terus inventing budaya berbisnis.10
Lain halnya dengan Timur, untuk budaya bisnis (etos kerja, manajemen,
organisasi) budaya mereka jauh dari kemungkinan untuk dikedepankan dalam sebuah
arena kompetisi, padahal sisitem etika teologis, skripturalistik, dan religious yang
berkembang di timur sangat kaya dengan nilai.11 Pemetaan nilai harus ditarik antara
bagian dan hukum (fiqh) islam yang membahas hukum dagang (fiqh al-muamalat) dan
efesiensi serta efektivitas ekonomi. Bagian pertama menetapkan kerangka di bidang
hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut
belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yang berkaitan
dengan produksi, distribusi, dan konsumsi dalam masyarakat muslim. Ekonomi dibatasi
oleh Hukum dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian
ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak
10 Faisal Badroen dkk, Etika bisnis dalam islam, Cet ke-1, (Jakarta:Kencana, 2006), hlm 71-72 11 Faisal Badroen dkk, Ibid,. hlm 74
6
pengaruh, atau bahkan banyak lebih terhadap cakupan ekonomi dibidandingkan dengan
sistem hukumnya. 12
2.2 Tahapan 2: Proses Memasukkan Nilai-Nilai (Inserting Values) Islam pada
MoraL Etika
Pada tahapan ini, proses inserting values dupayakan untuk bagaimana nilai-nila
wahyu dapat mempengaruhi bisnis. Oleh karena itu, nilai Islam harus diarahkan untuk
bisa mewarnai standar moral yang menjadi acuan orang untuk berperilaku etika. Proses
inserting nilai Islam pada filsafat moral diharapkan dapat membawa perubahan pada
kesadaran moral seseorang. Kemudian perubahan kesadaran ini, diharapkan membawa
kepada perubahan keputusan yang diambil seseorang untuk berpereilaku etis.13
Sebagai contoh kepentingan inputasi nilai islam pada kasus bisnis misalnya,
seorang investor yang sudah mapan dengan konsep kapitalis, pada awalnya akan sangat
sulit memahami nilai etika yang menyatakan bahwa pada setiap materi yang
dimilikinya ada hak fakir miskin (2,5%), namun kesadaran nilai moral yang sampai
pada nilai-nilai islam maka orang tersebut akan menggeser keputusan moralnya dari
filsafat kapitalis kepada wahyu Timur (Al-Quran dan Hadits). Setelah nilai-nilai etika
barat dan timur dikombinasikan dan diinput ke dalam faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku etika, maka tools (alat untuk mengukur) selanjutnya sangat diperlukan
khususnya pada saat orang berkeinginan untuk bertindak yang sesuai etika.
2.3 Tahapan 3: Inventing The Tools
Adanya alat penentu kebijkan etika akan sangat memudahkan seorang muslim
dalam menentukan sikap. Satu contoh pada tataran action seorang muslim kerap terlibat
pada kebingungan dalam menentukan, misalnya mazhab mana yang dipakai pada
persoalan industry keuangan islam. Jika seorang muslim telah memiliki tools tadi maka
sorang muslim akan mempunyai tingkat konsistensi sikap etika. Selain itu tools juga
12 Faisal Badroen dkk, Ibid,. hlm 7913 Faisal Badroen dkk, Ibid,. hlm79-81
7
sangat urgent ketika kita mencoba untuk men-develop codes of conduct and ethics
dalam nuansa etis individu maupun pengorganisasian bisnis.14
2.4 Tahapan 4: Hukuman dan Penyesalan
Etika bisnis Islam harus mempunyai rumusan yang jelas agar bisa diaplkasikan
dengan baik, karena sebagai kita ketahui mmpelajari etika bisnis berartibelajar akan
kejujuran, kesopanan, kerajinan, dan sebagainya dikampanyekan dalam kajian
pengemabangan etika bisnis Islam adalah adanya tugas manusia untuk menjadi seorang
khalifah di muka bumi, yang dalam terjemahan bahasa etika bisnis dirumuskan sebagai:
Agent of Development . 15
Dengan begitu, aspek etika sudah di insert dan diinternalisasikan dalam
pembangunan sistem etika bisnis. Sehingga dengan tahap ini mereka dapat secara baik
melaksanakan, mengontrol, serta mengawasi aturan-aturan pada etika berbisnis.
BAB III
14Faisal Badroen dkk, Ibid,. hlm 87 15 Faisal Badroen dkk, Ibid,. hlm 87-88
8
KESIMPULAN
Masalah moral atau etika menjadi bagian tak terpisahkan dalam dunia bisnis. Bukan
hanya sebagai alat untuk melihat pantas atau tidak pantas, benar atau tidak benar, buruk
atau baik, etika bisnis juga menjadi perekat dalam menjamin keterlaksananya transaksi
yang adil dan saling menguntungka pihak-pihak yang terlibat. Agar semua itu dapat
terlaksana, disinilah diperlukan aplikasi ekonomi berlandaska etika Islam dalam bingkai
budaya lokal.
Untuk menduukung tujuan diatas, desain metodologi sangat diperlukan agar muslim
paling tidak memiliki acuan standar moral tersendiri dalam berperilaku etika, khususnya
pada bisnis. Dengan nilai Islam yang harus diarahkan untuk bisa meawarnai standar
moral yang menjadi acuan orang untuk berperilaku etika. Proses inserting nilai Islam
pada filsafat moral diharapkan dapat membawa perubahan pada kesadaran moral
seseorang. Kemudian perubahan kesadaran ini, diharapkan membawa kepada perubahan
keputusan yang diambil seseorang untuk berpereilaku etis dalam berbisnis ata berniaga.
DAFTAR PUSTAKA
9
Muhaimin dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Cet Ke-2, Kencana, Jakarta, 2007.
Saefullah Saad, Inilah 5 Ketentuan Etika Bisnis Dalam Islam, diakses dari https://www.islampos.com/inilah-5-ketentuan-etika-bisnis-dalam-islam-109003
Qardhawi Yusuf, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, Cet ke-2, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
Badroen Faisal, dkk, Etika bisnis dalam islam, Cet ke-1,Kencana, Jakarta, 2006.
10