karya cipta dengan sertifikat - unmermadiun.ac.id
TRANSCRIPT
KARYA CIPTA DENGAN SERTIFIKAT
i
KATA PENGANTAR
Tanaman jangelan atau cincau hitam (Mesona palustris BL) dibudidayakan dan
merupakan tanaman konservasi serta memiliki nilai ekonomi tinggi penghasil devisa
negara. Buku Teknologi Tepat Guna ” Budidaya janggelan secara organik pada lahan
berlereng “ dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang cara budidaya janggelan
dengan teknik pengendalian erosi pada lahan berlereng, khususnya di lahan tidak produktif.
Buku ini hasil diseminasi teknologi bertanam janggelan yang berlandaskan pada percepatan
dan kemudahan adopsi teknologi di tingkat grass root. Selain itu mempunyai tujuan untuk
dijadikan acuan pengguna lahan, penyuluh, organisasi petani, pengambil kebijakan dalam
pelaksanaan budidaya janggelan di lahan berlereng.
Penulis mencoba membatasi materi pada tataran yang dapat menyediakan wawasan
yang dapat dipahami oleh umum. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan RISTE-DIKTI melalui
Program Pengabdian Kepada Masyarakat dengan skema Program Kemitraan
Wilayah (PKW) tahun 2018.
2. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Merdeka
Madiun sebagai pengusul dan LPPM Universitas PGRI Madiun serta PEMKAB
Magetan sebagai mitra untuk pelaksanaan Program Kemitraan Wilayah.
3. Dinas Pertanian Kabupaten Magetan (c.q Petugas Penyuluh Lapangan Kecamatan
Panekan) yang telah berkonstribusi untuk pelaksanaan Program Kemitraan
Wilayah.
4. Gapoktan Desa Tapak dan Desa Sukowidi Kabupaten Magetan yang telah
berkonstribusi untuk pelaksanaan Program Kemitraan Wilayah.
Penulis sungguh berharap buku ini dapat memberikan manfaat bagi banyak orang
sebagai bagian proses pendidikan dan pencerahan bangsa.
Madiun 25 Juni 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Permasalahan .................................................................................................. 3
BAB II. PERSIAPAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA JANGGELAN ......................... 4
A. Teras Gulud (Cotour Terrace) ......................................................................... 9
B. Teras bangku (Benc Terrace) .......................................................................... 11
a. Teras bangku datar ...................................................................................... 12
b. Teras bangku miring ke dalam (goler kampak) .......................................... 13
BAB III. PENGOLAHAN TANAH DAN PENANAMAN JANGGELAN ..................... 15
A. Pengolahan Tanah (Tillage) ............................................................................ 15
a. Budidaya janggelan tanpa pengolahan tanah (notillage) ............................ 15
b. Budidaya janggelan dengan pengolahan tanah minimum (minimum
tillage) ......................................................................................................... 16
B. Penanaman Janggelan (Mesona palustris BL) ................................................ 16
a. Bibit tanaman janggelan ............................................................................. 16
b. Penyiangan tanaman janggelan .................................................................. 18
BAB IV. PESTISIDA NABATI DAN AGEN HAYATI UNTUK
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN
JANGGELAN ..................................................................................................... 20
A. Hama dan Penyakit pada Tanaman Janggelan ................................................ 20
B. Pembuatan Pestisida Nabati dari Kulit Biji Jambu mete ................................ 20
a. Cairan pestisida nabati dari kulit biji jambu mete .................................... 21
b. Butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ..................................... 21
C. Isolasi dan Perbanyakan Agen Hayati ........................................................... 22
iii
a. Isolasi jamur Trichoderma dan Metharhizium anisopliae serta
Beauveria bassiana ........................................................................................ 22
B. Perbanyakan jamur Trichoderma dan Metharhizium anisopliae
serta Beauveria bassiana ............................................................................... 22
C. Aplikasi Pestisida Nabati dari Kulit Biji Jambu mete ................................... 26
a. Cairan pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ...................................... 26
b. Butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ..................................... 27
D. Aplikasi Trichoderma sebagai Agen Hayati di Pertanaman Janggelan 27
a. Cairan Trichoderma ..................................................................................... 27
b. Butiran Trichoderma ................................................................................... 27
E. Aplikasi Metharhizium anisopliae sebagai Agen Hayati di Pertanaman
Janggelan ........................................................................................................ 28
a. Menaburkan pada lubang perangkap di lahan pertanaman janggelan 28
b. Penyemprotan ............................................................................................. 28
F. Aplikasi Beauveria bassiana sebagai Agen hayati di Pertanaman
Janggelan ........................................................................................................ 29
BAB V. PEMANENAN TANAMAN JANGGELAN ..................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 31
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Cara membuat alat kerja (Frame A) untuk persiapan budidaya
janggelan di lahan miring ............................................................................... 6
Gambar 2. Cara mencari titik lintasan pada kemiringan tanah ......................................... 7
Gambar 3. Cara menentukan garis lintasan pada kemiringan tanah ................................. 7
Gambar 4. Cara membuat jarak antar garis lintasan pada kemiringan tanah ................... 8
Gambar 5. Penampang melintang teras gulud .................................................................. 10
Gambar 6. Penampang melintang teras bangku ............................................................... 12
Gambar 7. Penampang melintang teras bangku miring ke dalam .................................... 13
Gambar 8. Penampang melintang teras bangku miring ke dalam (goler kampak) ............ 13
Gambar 9. Penampang melintang pengolahan tanah minimum ....................................... 16
Gambar 10. Hama uret dan kutu kebul serta gejala penyakit pada tanaman
janggelan .......................................................................................................... 21
Gambar 11. Butiran kulit biji jambu mete sebagai pestisida nabati ................................... 22
Gambar 12. Illustrasi fermentator untuk perbanyakan agen hayati dari limbah botol
minuman kemasan ............................................................................................. 28
2
KATA PENGANTAR
Tanaman jangelan atau cincau hitam (Mesona palustris BL) dibudidayakan dan
merupakan tanaman konservasi serta memiliki nilai ekonomi tinggi penghasil devisa
negara. Buku Teknologi Tepat Guna ” Budidaya janggelan secara organik pada lahan
berlereng “ dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang cara budidaya janggelan
dengan teknik pengendalian erosi pada lahan berlereng, khususnya di lahan tidak produktif.
Buku ini hasil diseminasi teknologi bertanam janggelan yang berlandaskan pada percepatan
dan kemudahan adopsi teknologi di tingkat grass root. Selain itu mempunyai tujuan untuk
dijadikan acuan pengguna lahan, penyuluh, organisasi petani, pengambil kebijakan dalam
pelaksanaan budidaya janggelan di lahan berlereng.
Penulis mencoba membatasi materi pada tataran yang dapat menyediakan wawasan
yang dapat dipahami oleh umum. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan RISTE-DIKTI melalui
Program Pengabdian Kepada Masyarakat dengan skema Program Kemitraan
Wilayah (PKW) tahun 2018.
2. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Merdeka
Madiun sebagai pengusul dan LPPM Universitas PGRI Madiun serta PEMKAB
Magetan sebagai mitra untuk pelaksanaan Program Kemitraan Wilayah.
3. Dinas Pertanian Kabupaten Magetan (c.q Petugas Penyuluh Lapangan Kecamatan
Panekan) yang telah berkonstribusi untuk pelaksanaan Program Kemitraan
Wilayah.
4. Gapoktan Desa Tapak dan Desa Sukowidi Kabupaten Magetan yang telah
berkonstribusi untuk pelaksanaan Program Kemitraan Wilayah.
Penulis sungguh berharap buku ini dapat memberikan manfaat bagi banyak orang
sebagai bagian proses pendidikan dan pencerahan bangsa.
Madiun 25 Juni 2018
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Permasalahan .................................................................................................. 3
BAB II. PERSIAPAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA JANGGELAN ......................... 4
A. Teras Gulud (Cotour Terrace) ......................................................................... 9
B. Teras bangku (Benc Terrace) .......................................................................... 11
a. Teras bangku datar ...................................................................................... 12
b. Teras bangku miring ke dalam (goler kampak) .......................................... 13
BAB III. PENGOLAHAN TANAH DAN PENANAMAN JANGGELAN ..................... 15
A. Pengolahan Tanah (Tillage) ............................................................................ 15
a. Budidaya janggelan tanpa pengolahan tanah (notillage) ............................ 15
b. Budidaya janggelan dengan pengolahan tanah minimum (minimum
tillage) ......................................................................................................... 16
B. Penanaman Janggelan (Mesona palustris BL) ................................................ 16
a. Bibit tanaman janggelan ............................................................................. 16
b. Penyiangan tanaman janggelan .................................................................. 18
BAB IV. PESTISIDA NABATI DAN AGEN HAYATI UNTUK
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN
JANGGELAN ..................................................................................................... 20
A. Hama dan Penyakit pada Tanaman Janggelan ................................................ 20
B. Pembuatan Pestisida Nabati dari Kulit Biji Jambu mete ................................ 20
a. Cairan pestisida nabati dari kulit biji jambu mete .................................... 21
b. Butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ..................................... 21
C. Isolasi dan Perbanyakan Agen Hayati ........................................................... 22
ii
a. Isolasi jamur Trichoderma dan Metharhizium anisopliae serta
Beauveria bassiana ........................................................................................ 22
B. Perbanyakan jamur Trichoderma dan Metharhizium anisopliae
serta Beauveria bassiana ............................................................................... 22
C. Aplikasi Pestisida Nabati dari Kulit Biji Jambu mete ................................... 26
a. Cairan pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ...................................... 26
b. Butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ..................................... 27
D. Aplikasi Trichoderma sebagai Agen Hayati di Pertanaman Janggelan 27
a. Cairan Trichoderma ..................................................................................... 27
b. Butiran Trichoderma ................................................................................... 27
E. Aplikasi Metharhizium anisopliae sebagai Agen Hayati di Pertanaman
Janggelan ........................................................................................................ 28
a. Menaburkan pada lubang perangkap di lahan pertanaman janggelan 28
b. Penyemprotan ............................................................................................. 28
F. Aplikasi Beauveria bassiana sebagai Agen hayati di Pertanaman
Janggelan ........................................................................................................ 29
BAB V. PEMANENAN TANAMAN JANGGELAN ..................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 31
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Cara membuat alat kerja (Frame A) untuk persiapan budidaya
janggelan di lahan miring ............................................................................... 6
Gambar 2. Cara mencari titik lintasan pada kemiringan tanah ......................................... 7
Gambar 3. Cara menentukan garis lintasan pada kemiringan tanah ................................. 7
Gambar 4. Cara membuat jarak antar garis lintasan pada kemiringan tanah ................... 8
Gambar 5. Penampang melintang teras gulud .................................................................. 10
Gambar 6. Penampang melintang teras bangku ............................................................... 12
Gambar 7. Penampang melintang teras bangku miring ke dalam .................................... 13
Gambar 8. Penampang melintang teras bangku miring ke dalam (goler kampak) ............ 13
Gambar 9. Penampang melintang pengolahan tanah minimum ....................................... 16
Gambar 10. Hama uret dan kutu kebul serta gejala penyakit pada tanaman
janggelan .......................................................................................................... 21
Gambar 11. Butiran kulit biji jambu mete sebagai pestisida nabati ................................... 22
Gambar 12. Illustrasi fermentator untuk perbanyakan agen hayati dari limbah botol
minuman kemasan .............................................................................................
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman cincau berasal dari daerah Tiongkok dan berasal dari genus Mesona.
Terdapat beberapa jenis cincau antara lain Cincau perdu (Melasthoma polyanthum), Cincau
rambat(Cylea barbata Miers) dan Cincau Hitam (Melasthima palustris). Kandungan cincau
antara lain : Karbohidrat yang menyerap air, Zat lemak, kalium, fosfor, vitamin A dan
vitamin B, alkaloid siklein, Kardioplegikum, Tentradine, dimetil tetradine, Polifenol,
Saponoid dan flavonoida. Tanaman janggelan atau cincau hitam (Mesona palustris BL)
dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Sekilas tanaman janggelan ini
seperti rerumputan atau tanaman liar yang tidak dibudidayakan karena menyebar di seluruh
penjuru pegunungan. Tanaman ini telah lama menjadi bahan dagangan nasional dan ekspor
penghasil devisa negara. Bagian daun tanaman janggelan dapat menghasilkan ekstrak gel
cincau yang lebih banyak dibandingkan bagian batang. Selain menyegarkan cincau juga
memiliki beberapa manfaat seperti membantu menyembuhkan demam, dapat sebagai obat
radang lambung, oabat tipus, obat tekanan darah tinggi dan masih banyak yang lainnya.
Nama lain dari Cincau antara lain Camcauh, tarawalu,kepleng dan juju.
Tanaman janggelan dapat digunakan sebagai tanaman konservasi dan sering
dijumpai di hutan yang tumbuh secara liar. Hal ini karena memiliki kemampuan untuk
dapat hidup pada kondisi yang kering dan tidak subur tanahnya serta mempunyai perakaran
lebat yang sifatnya mengikat tanah, sehingga dapat ditanam di galengan teras atau tempat
yang berlereng. Oleh karena itu pengelolaan teknologi lahan berlereng yang tepat guna dan
tepat sasaran akan dapat menjamin perolehan keuntungan ekonomi dari tanaman janggelan
dan lingkungan serta kelestarian sumber daya lahan secara simultan.
Praktek budidaya janggelan di lahan berlereng mempunyai posisi strategis dalam
pengembangan pertanian dan seyogyanya menerapkan sistem usaha tani konservasi. Sistim
usaha tani (SUT) konservasi mengintegrasikan dan mensinergikan tanaman di bidang olah,
tanaman penguat bibir teras dan ternak ruminansia kecil atau besar yang dikandangkan di
pekarangan rumah. Integrasi dan sinergi tersebut harus menguntungkan petani. Ada tiga
komponen teknologi SUT konservasi dari sisi tanaman yaitu dengan pengaturan pola tanam
2
pada bidang olah, peningkatan kesuburan tanah dan ketersediaan air serta sistem wanatani.
Pengaturan pola tanam pada bidang olah ini mempunyai tujuan untuk memaksimalkan
penutupan lahan, untuk mengurangi daya pukul butiran hujan langsung ke permukaan
tanah. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pola tanam ini adalah iklim,
tingkat kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja dan permintaan pasar. Lahan pertanian
di lahan berlereng dapat mengalami kemunduran kesuburan tanah apabila tanaman
janggelan dibudidayakan tanpa memperhatikan kaedah konservasi, sehingga dalam jangka
panjang lahan yang terdegradasi semakin meluas dan kerusakan lingkungan semakin
meningkat. Teknik konservasi dapat menggunakan cara mekanis dan vegetatif berdasarkan
kondisi kemiringan lahan dan kedalaman tanah serta kepekaan tanah terhadap erosi. Oleh
karena itu konservasi mekanis untuk pengendalian erosi selalu diikuti oleh cara vegetatif,
yaitu:
1) Penggunaan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan, misalnya untuk mulsa dan pupuk
hijau karena mudah terurai dengan tanah dan menambah unsur hara ke tanah.
Penggunaan input berupa bahan organik sebagai sumber pupuk dan pestisida dapat
mengurangi penggunaan input kimia yang menjadi pemicu terjadinya degradasi
lahan.
2) Penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
Penggunaan seresah sebagai mulsa juga akan mengatasi cekaman kekeringan karena
air yang menguap dari dalam tanah tertahan oleh mulsa dan jatuh kembali ke tanah
serta mempunyai konduktivitas panas yang rendah dibandingkan dengan mulsa
plastik.
3) Teknik konservasi tanah dengan pembuatan teras. Teknik pembuatan teras relatif
mudah dilaksanakan oleh petani dan murah harganya serta dapat terjaga kesuburan
tanahnya secara berkesinambungan untuk produksi. Semua jenis teras harus disertai
dengan penanaman tanaman penguat teras, seperti rumput dan legume yang juga
merupakan sumber makanan ternak.
Budidaya janggelan di lahan berlereng sebagai tanaman konservasi dapat dilakukan
dengan sistim tanpa olah tanah (notillage) dan pengolahan tanah hanya pada spot-spot bibit
yang akan ditanam janggelan (minimum tillage). Budidaya janggelan dengan sistim
3
notillage akan menghasilkan rendemen yang lebih baik dibandingkan dengan minimum
tillage. Program Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna ini telah diukur
sampai sejauh mana dampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, antara
lain:
1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman janggelan,
khususnya dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan kehidupan
dalam tanah.
2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara,
khususnya melalui pengikatan nitrogen, pemompaan unsur hara, daur ulang, dan
pemanfaatan pupuk organik.
3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara, dan air dengan cara
pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi.
4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit pada tanaman janggelan dengan
pencegahan dan perlakuan yang aman untuk manusia dan lingkungan serta kekebalan
terhadap hama dan penyakit.
B. Permasalahan
Lahan berlereng mempunyai peluang untuk budidaya janggelan, meskipun lahan
berlereng rentan terhadap longsor dan erosi, karena tingkat kemiringannya, curah hujan
relatif tinggi dan tanah tidak stabil. Beberapa tahun terakhir, bencana alam longsor makin
meningkat, baik daya rusak maupun intensitasnya. Bencana tersebut telah menimbulkan
banyak korban manusia, harta, lahan pertanian, infrastruktur dan sebagainya. Degradasi
lahan juga makin meningkat dan meluas, terutama akibat tingginya tingkat erosi tanah,
khususnya di daerah berlereng. Bahaya longsor dan erosi akan meningkat bila lahan
berlereng yang semula tertutup hutan dibuka menjadi areal pertanian dan tidak menerapkan
praktek konservasi tanah serta air yang tidak ramah lingkungan. Longsor dan erosi di
kawasan berlereng ditentukan oleh karakteristik lahan dan kondisi iklim. Selain itu
dipengaruhi oleh sistim dan teknik budidaya pertanian di wilayah tersebut.
4
BAB II. PERSIAPAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA JANGGELAN
Masalah utama usahatani pada lahan kering berlereng tanpa tindakan konservasi
akan menyebabkan erosi. Setiap musim penghujan tiba, banyak informasi tentang
terjadinya tanah longsor terutama di daerah-daerah perbukitan dan kawasan pegunungan,
fenomena ini tidak jarang merenggut korban jiwa dan harta benda. Pada kenyataannya
memang lahan pegunungan dan perbukitan merupakan kawasan pertanian dan perkebunan
yang produktif, kerapkali dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam berbagai
macam tanaman terutama hortikultura, perkebunan dan tanaman pangan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari guna menopang ekonomi keluarga. Sebenarnya
aktivitas bercocok tanam tidak dilarang pada kawasan perbukitan dan pegunungan asalkan
memperhatikan prinsip konservasi tanah dan air, mengingat wilayah tersebut sangat rentan
terhadap longsor dan erosi. Oleh karena perlu menggerakkan dan memotivasi petani agar
dalam budidaya di daerah lahan berlereng tidak melupakan kaidah-kaidah konservasi tanah
dan air.
Tanaman cincau hitam (Mesona palustris) merupakan tanaman perdu yang
tingginya 30-60 cm dan tumbuh baik saat musim hujan dan musim kemarau pada
ketinggian 75-2300 meter di atas permukaan laut. Di lahan pegunungan, budidaya tanaman
janggelan dihadapkan kepada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam,
kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi, curah hujan yang relatif tinggi dan lain-lain.
Longsor dipicu oleh absennya pohon-pohon dengan perakaran dalam dan intensif. Namun
jika lantai kebun berbasis tanaman tahunan diolah secara intensif dan digunakan untuk
tanaman semusim, maka erosi akan meningkat. Selain itu, masalah utama usahatani pada
lahan kering berlereng tanpa tindakan konservasi akan menyebabkan erosi.
Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah
pegunungan dapat menimbulkan kerusakan berupa degradasi kesuburan tanah dan
ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan
pegunungan tetapi juga di dataran rendah. Bila budidaya pertanian di wilayah dataran tinggi
dikelola dengan baik, dapat memberikan keuntungan langsung kepada petani disamping
5
menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, antara lain
sebagai obyek wisata agro, penyedia lapangan kerja, penggalang ketahanan pangan.
Metode Sloping Agriculture Land Technology (SALT) merupakan salah satu teknik
untuk menata lahan miring yang diperuntukan bagi kegiatan pertanian. Pemanfaatan lahan
miring dalam bentuk kebun dan sawah memiliki resiko erosi dan tanah longsor yang tinggi.
Sehingga banyak petani enggan memanfaatkan lahan miring untuk tanaman pangan,
mereka hanya memanfaatkannya untuk tanaman keras. Oleh karena itu ekstensifikasi lahan
pertanian untuk tanaman janggelan menjadi salah satu pilihan yang tak bisa dihindari.
Pemanfaatan lahan miring untuk kegiatan pertanaman janggelan menjadi salah satu pilihan
yang realistis ditengah keterbatasan lahan yang ada.
Teknik SALT mampu meminimalkan erosi, membantu mengembalikan struktur
dan kesuburan tanah, meningkatkan produksi tanaman, mudah dipraktekkan karena
menggunakan alat sederhana, membutuhkan tenaga yang rendah sehingga cocok untuk
petani berlahan sempit, dan tidak membutuhkan modal besar. Beberapa langkah untuk
menerapkan teknik menata lahan miring dengan metode SALT yaitu:
1) Membuat alat kerja
Alat kerja atau frame A digunakan untuk menata lahan miring untuk persiapan lahan
untuk budidaya janggelan. Sebuah alat yang berbentuk menyerupai huruf A, terbuat dari
kayu ataupun bambu. Alat ini bisa dibuat sendiri dengan mudah. Caranya, pilih tongkat
kayu atau bambu yang kuat tetapi jangan terlalu besar. Tongkat tersebut dipotong dengan
panjang 1,5 meter sebanyak 2 buah, yang nantinya akan berfungsi sebagai kaki penopang.
Kemudian buat lagi potongan tongkat lain dengan panjang ½ meter, yang akan dipakai
untuk bagian palang. Satukan salah satu ujung dari kedua tongkat yang berfungsi sebagai
kaki penopang, bisa dengan cara diikat ataupun dipaku. Kemudian ujung lainnya letakkan
ditanah yang datar, beri jarak sejauh 1 meter antar ujung tersebut sehingga membentuk
segitiga. Pasang dan ikatkan, tongkat yang ketiga pada segitiga tersebut sehingga
membentuk huruf A. Paku atau ikat dengan kuat. Frame A ini akan digunakan untuk
membuat garis lintasan. Pembuatan Frame A disajikan pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Cara membuat alat kerja (Frame A) untuk persiapan budidaya janggelan di lahan
miring
2) Menemukan titik lintasan
Tahap selanjutnya dalam menata lahan miring adalah menentukan titik-titik
lintasan. Sebaiknya untuk menentukan titik-titik lintasan ini diikerjakan oleh 2 orang, satu
memegang alat Frame A, satu lagi menancapkan patok pada setiap titik yang ditandai.
Pertama-tama tongkat kayu atau bambu dipotong sepanjang 30 cm untuk patok atau tiang
pancang. Banyaknya patok disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan luas lahan yang
akan kita tata. Bersihkan lahan dari semua rintangan dan semak belukar untuk
memudahkan menentukan titik lintasan dan memberi tanda.
Pilih sembarang titik dimana garis lintasan akan dibentuk. Pekerjaan dimulai pada
areal yang paling tinggi. Cara mengerjakannya sebagai berikut, letakan salah satu kaki (kita
sebut saja kaki belakang) dari Frame A di atas tanah. Cari tempat untuk meletakkan kaki
yang lain (sebut saja kaki depan) di atas tanah yang tingginya sama dengan kaki belakang.
Untuk memastikan ketinggian tanah antara kaki belakang dan kaki depan telah sama,
gunakan benang yang diikatkan pada ujung segitiga Frame A bagian atas. Sedangkan ujung
benang lainnya diberi pendulum, boleh paku atau benda lainnya. Apabila garis benang
tersebut membagi bidang Frame A sama besar (lihat Gambar 1), bisa dikatakan kedua
permukaan tanah sama tinggi. Fungsi benang dan pendulum bisa juga digantikan dengan
meletakkan water pass pada palang Frame A, dimana gelembung air harus berada di
tengah. Ketika meletakkan kedua kaki Frame A pada ketinggian tanah yang sama, berarti
kita sudah berhasil menentukan titik lintasan. Berilah tanda dengan patok yang telah dibuat
7
pada kaki bagian belakang. Selanjutnya, putarlah kaki belakang Frame A dimana kaki
bagian depan berfungsi sebagai poros (jangan diangkat). Sekarang kaki belakang jadi kaki
depan dan kaki depan jadi kaki belakang. Carilah permukaan tanah yang mempunyai
ketinggian yang sama dengan kaki yang menjadi poros dan angkat bagian poros dan tandai
dengan patok, sehingga titik-titik lintasan akan dapat diketahui (Gambar 2)
Gambar 2. Cara mencari titik lintasan pada kemiringan tanah
3) Menentukan garis lintasan
Frame A digerakkan secara terus menerus ke arah depan dengan cara seperti di
atas. Patok diberi tanda pada setiap titik yang didapatkan . Langkah ini dilakukan terus,
hingga tiba pada titik terakhir dari areal lahan kita. Kemudian tarik garis yang
menyambungkan titik yang telah dibuat, sehingga kita menemukan garis lintasan tersebut
(Gambar 3).
Gambar 3. Cara menentukan garis lintasan pada kemiringan tanah
4. Membuat jarak antar garis lintasan
Garis lintasan dibuat dengan pembuatan lintasan-lintasan di bawahnya. Semakin
dekat batas garis antar lintasan maka peluang untuk erosi berkurang. Selain itu peluang
8
untuk memproduksi unsur hara dalam bentuk biomassa semakin besar dan memungkinkan
tanamanan tumbuh dengan baik. Kriteria untuk menentukan jarak antar lintasan dengan
garis vertikal dan garis horizontal. Secara vertikal, sebaiknya garis berikutnya tidak lebih
dari 1 meter dibawahnya untuk mencegah erosi berlebihan. Pada bagian dengan
kemiringannya ekstrim atau curam, jaraknya harus lebih pendek. Sementara itu, pada lahan
yang datar, sebaiknya jarak horizontal antar garis tidak lebih dari 5 meter untuk
memaksimalkan manajemen kesuburan tanah (Gambar 4).
Gambar 4. Cara membuat jarak antar garis lintasan pada kemiringan tanah
Selanjutnya lahan yang bergelombang/ miring perlu dilakukan dengan pembuatan
teras-teras dan guludan untuk menghambat aliran permukaan air dan mengurangi erosi,
serta menampung dan menyalurkan aliran air dengan kekuatan yang tidak merusak. Oleh
karena itu perlu melakukan penanaman seccara kontur dan pemanfaatan pupuk organik
secara insitu. Konservasi tanah dan air secara mekanis dibuat untuk memperpendek panjang
lereng dan atau memperkecil kemiringan lereng dengan jalan penggalian dan pengurugan
tanah melintang lereng, sehingga kondisi lereng bertangga-tangga (terasiring). Terasiring
sering digunakan pada daerah atau kawasan berbukit dan rawan longsor dan dapat
menghambat terkikisnya tanah oleh aliran air hujan. Terassiring adalah suatu konsep yang
digunakan untuk meletakkan tanaman dengan sistem yang bertingkat-tingkat. Lahan yang
paling cocok dan pas digunakan untuk terassiring adalah lahan yang bentuknya miring.
Tujuan pembuatan teras adalah untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan (run
off) dan memperbesar peresapan air, sehingga kehilangan tanah berkurang. Cara mekanik
menahan erosi air dan angin dengan cara menyusun campuran dedaunan dan ranting pohon
9
yang berjatuhan di atas tanah untuk pembuatan guludan (counter bunds) sebagai
penghambat aliran permukaan dan menyimpan air di atasnya serta memotong panjang
lorong. Tinggi tumpukan tanah antara 25-30 cm dengan lebar dasar 25-30 cm. Pembuatan
terasiring disesuaikan dengan kondisi kemiringan lahannya. Hal ini merupakan tindakan
bijaksana dan penyelamatan lingkungan untuk mengatasi degradasi lahan.
Desa Sukowidi dan Desa Tapak di Kabupaten Magetan sebagian besar mempunyai
kemiringan lahan antara 30-40% dan merupakan lahan pertanian yang potensial relatif
subur dengan jenis penggunaan hortikultura serta janggelan. Oleh karena itu diperlukan
teknik konservasi tanah dengan pembuatan teras yang relatif mudah dilaksanakan oleh
petani dan murah harganya serta dapat terjaga kesuburan tanahnya secara
berkesinambungan untuk produksi.
Pembuatan teras diusahakan mengikuti kontur dan harus direncanakan dengan
matang sesuai dengan iklim, tebal solum tanah, topografi, jenis tanah dan luas areal. Garis
kontur (sabuk gunung) dapat dibuat dengan penggunaan Ondol-Ondol. Lebar teras
tergantung pada besarnya lereng, kedalaman tanah, tanaman dan pola tanamnya. Rasio
tampingan teras atas dengan lereng adalah 1:0,5 dan rasio tampingan bawah dengan lereng
adalah 1: 1 – 0,5. Perencanan terassiring diperlukan pertimbangan-pertimbangan khusus
yaitu: (a) keadaan tata guna tanah pada daerah yang bersangkutan, (b) pembuatan saluran
pembuangan (outlet), (c) penentuan tata letak teras, dan (d) rencana pertanian yang akan
diusahakan.
A. Teras Gulud (Cotour Terrace)
Teras gulud adalah barisan gulud atau tumpukan tanah yang dilengkapi dengan
rumput penguat gulud. Teras gulud ini sangat cocok dibuat pada kemiringan lahan antara
10-40 %. Tujuan pembuatan guludan adalah untuk meringankan biaya pembuatannya, akan
tetapi konservasi tanah dapat terlaksana, sehingga diharapkan lama kelamaan teras guludan
akan berangsur menjadi teras bangku. Jika penguat teras menggunakan rumput hendaknya
dapat dipilih jenis rumput yang dapat bermanfaat ganda antara lain dapat menjadi makanan
ternak.
10
Teras gulud ini dapat dibuat untuk tanah-tanah yang agak dangkal lapisan tanahnya
(> 20 cm). Selain itu tanah memiliki kecepatan infiltrasi atau kemampuan peresapan air
yang tinggi. Teras guludan dibuat tanpa mengubah kelerengan guludan dibuat untuk
memperbesar resapan air ke dalam tanah karena akan memperlambat aliran permukaan.
Saluran air digali dan tanah hasil galian ditimbun di bagian bawah lereng dijadikan
guludan. Saluran air dibuat pada bagian guludan di atasnya. Saluran air berfungsi
mengalirkan air aliran dari permukaan dari bidang olah ke saluran pembuangan air dan
mengalikan ke bagian bawah lereng. Saluran air digali dan tanah hasil galian ditimbun di
bagian bawah lereng dijadikan guludan. Saluran pembuangan air dibuat dengan lebar dan
kedalaman antara 0,5 − 1 m serta diperkuat dengan rumput Paspalum notatum atau batu
agar aman untuk dasar dan tebing saluran. Jika saluran agak panjang diperlukan
pemotongan saluran dengan membuat bangunan terjunan air. Pembuatan guludan dimulai
dari lereng atas dan berlanjut ke bagian bawahnya (Gambar 5).
Gambar 5. Penampang melintang teras gulud
Penggunaan teras gulud mempunyai keuntungan biaya pembuatannya lebih murah
dari teras bangku dan dapat dilakukan pada tanah-tanah bersolum ( lapisan tanah subur)
11
yang agak dangkal. Meskipun demikian penggunaan teras gulud juga mempunyai kerugian.
Apabila rumput penutup belum kuat menyebabkan guludan tidak stabil atau mudah hanyut
oleh aliran air permukaan saat hujan lebat. Selain itu makin tinggi volume curah hujan dan
makin lama durasi hujan, maka masa tanah mengalami erosi semakin besar. Oleh karena
itu perlakuan guludan pada lahan berlereng mengalami erosi lebih besar dibandingkan
dengan lahan berlereng yang mendapat perlakuan teras.
B. Teras Bangku (Bench Terrace)
Teras bangku atau teras tangga dibuat pada lahan dengan kelerengan 20 - 40 % dan
tidak dianjurkan untuk kemiringan di atas 40 %. Pembuatan teras bangku mencegah erosi
pada lereng yang ditanami janggelan. Teras bangku ini memotong lereng dan meratakan
tanah di bidang olah sehingga terjadi suatu deretan berbentuk tangga. Dengan kemiringan
beberapa derajad ke arah yang berlawanan dengan lereng asli. Efektifitas teras bangku
sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di
bibir dan tampingan teras.
Rumput setaria (Setaria sphacelata), rumput gajah (Pernisetum purpureum), rumput
raja (Penisetum purporoides) dapat digunakan sebagai penguat teras. Aliran air permukaan
dari setiap bidang olah akan mengalir dari bibir teras ke saluran teras (saluran pembuangan
air), sehingga tidak terjadi pengiriman air ke teras di bawahnya. Bangunan terjunan dibuat
sepanjang saluran pembuangan air yang tegak lurus dengan arah garis kontur. Bangunan
terjunan ini ditujukan untuk pengamanan saluran dan mengendalikan air dari saluran teras.
Bangunan terjunan dapat dibuat dari batu, jika aliran kecil hanya diperkuat dengan rumput
(Gambar 6).
12
Gambar 6. Penampang melintang teras bangku
Pembuatan teras bangku ini memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan
dengan pembuatan teras gulud karena lebih banyak penggalian bidang olah. Penggalian
bidang olah ini akan menyebabkan lapisan bawah tanah tersingkap di permukaan, sehingga
saluran teras ini tidak subur atau kurang subur. Meskipun demikian pembuatan teras
bangku ini efektif mengurangi erosi. Teras bangku datar dan teras bangku berlereng ke
dalam banyak dibuat di Indonesia.
Teras bangku ini perlu dilakukan untuk pemeliharaan dengan : 1) pengeruk tanah
yang menimbun di selokan atau rorak untuk dipindahkan ke bidang olah;2) pemelihara
guludan dan talud atau tampingan dengan perbaikan bagian yang longsor; 3) penyulam dan
pemangkas tanaman penguat teras (rumput gajah, rumput benggala, rumput setaria) dan
tanaman talud (rumput) serta pemangkas rumput yang tumbuh di saluran, tampingan dan
bibir teras untuk makanan ternak.
Penerapan teknik konservasi teras bangku belum dapat dirasakan manfaatnya
dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang (minimal 5 tahun) manfaat ekologis
dan ekonomi dapat dirasakan oleh para petani dan hal itu akan terus berkelanjutan.
a. Teras bangku datar
Teras bangku datar membentuk sudut nol derajad dengan bidang horizontal, sehingga
bidang olahnya datar yang dilengkapi dengan saluran air di bawah talud teras. Teras
bangku datar ini mempunyai tujuan agar lapisan tanah olah tetap lembab. Teras ini efektif
13
menahan erosi, apabila bibir teras dibuat lebih tinggi dari bidang olah dan ditanam rumput
sebagai penguat (Gambar 7).
Gambar 7. Penampang melintang teras bangku datar
b. Teras bangku miring ke dalam (goler kampak)
Teras bangku miring ke dalam (gulir kampak) adalah teras bangku yang bidang
olahnya miring ke arah yang berlawanan dengan lereng asli. Teras bangku miring ke dalam
dibangun pada tanah yang permeabilitasnya rendah di lahan tegalan tadah hujan. Air aliran
permukaan dari setiap bidang olah mengalir dari bibir teras ke saluran teras dan terus ke
SPA sehingga hampir tidak pernah terjadi pengiriman air aliran permukaan dari satu teras
ke teras yang di bawahnya. Tujuannya agar air tidak segera terinfiltrasi menggenangi
bidang olah dan tidak mengalir melalui talud di bibir teras (Gambar 8).
Gambar 8. Penampang melintang teras bangku miring ke dalam
14
Teras bangku goler kampak memerlukan biaya yang mahal karena lebih banyak
penggalian bidang olah. Selain itu bagian bidang olah di sekitar saluran teras merupakan
bagian yang kurang/tidak subur karena merupakan bagian lapisan tanah bawah (subsoil)
yang tersingkap di permukaan tanah. Namun jika dibuat dengan benar, teras bangku gulir
kampak sangat efektif mengurangi erosi.
15
BAB III. PENGOLAHAN TANAH DAN PENANAMAN JANGGELAN
Lahan yang akan digunakan untuk menanam atau budidaya tanaman janggelan
dibersihkan terlebih dahulu dari tanaman pengganggu seperti gulma dan rumput liar hingga
ke akarnya. Setelah itu, membuat lubang tanam dengan jarak 50 cm × 50 cm, lalu lakukan
pemupukan dasar dengan pupuk kandang di setiap lubang tanam. Dibutuhkan sekitar 6 – 9
ton pupuk kandang untuk 1 hektar lahan. Pengolahan tanah untuk penanaman janggelan
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
A. Pengolahan Tanah (Tillage)
Olah tanah mempunyai tujuan untuk memberikan kondisi tempat tumbuh yang
optimal bagi bibit janggelan yang akan ditanam.Pengolahan tanah konservasi dapat
dilakukan dengan Tanpa Olah Tanah (TOT) dan Minimum Olah Tanah (MOT).
Pengolahan tanah dengan cara ini mempunyai tujuan untuk mengurangi erosi dan
penguapan air dari dalam tanah. Hal ini sangat menguntungkan untuk tanaman janggelan.
Oleh karena budidaya tanaman janggelan dapat dilakukan dengan tanpa pengolahan tanah
sama sekali (notillage) dan pengolahan tanah secara minimum (minimum tillage). Mulsa
atau seresah yang sudah lapuk dapat digunakan untuk mengendalikan gulma dan aktivitas
organisme tanah serta menahan jatuhnya air hujan langsung ke permukaan tanah. Cara
pemberiannya dengan menghempaskan seresah di atas permukaan tanah secara merata pada
ketebalan 3− 5 cm.
a. Budidaya tanaman janggelan tanpa pengolahan tanah (notillage)
Sebelum tanam, sisa tanaman atau gulma dikendalikan, sehingga tidak mengganggu
penempatan bibit janggelan. Budidaya Tanpa olah tanah (TOT) hanya membuka lubang
kecil dengan tugal untuk menanam bibit janggelan. Seresah tanaman yang mati
dihamparkan ke permukaan tanah. Seresah ini sebagai mulsa dan mempunyai peran untuk
menekan pertumbuhan gulma baru dan pada akhirnya dapat memperbaiki sifat dan tata air
tanah. Waktu persiapan tanah memerlukan waktu yang lebih sebentar dan biaya pengolahan
tanah menjadi lebih rendah dibandingkan budidaya pengolahan secara minimum dan
sempurna. Sistim tanpa olah tanah menyebabkan unsur hara dan kandungan organik
meningkat, meskipun tekstur tanah menjadi rendah dan penguapan tidak ada.
16
Keuntungan lain yang di dapat pada sistim tanpa olah tanah yaitu adanya kepadatan
perakaran yang lebih banyak, penguapan lebih sedikit, air tersedia bagi tanaman makin
banyak.
Tanah yang tidak diolah akar tanaman hanya mampu menembus kedalam 30-40 cm.
Hal ini cocok untuk tanaman janggelan. Budidaya notilage, bibit tanaman janggelan
ditancapkan dalam tanah dan dibiarkan tumbuh secara alami.
b. Budidaya tanaman janggelan dengan pengolahan tanah minimum (minimum tilage)
Pengolahan tanah dilakukan pada bagian perakaran tanaman saja (sesuai kebutuhan
tanaman), sehingga bagian tanah yang tidak diolah akan terjaga struktur tanahnya karena
agregat tanah tidak rusak dan mikroorganisme tanah berkembang dengan baik. Tanah yang
diolah hanya pada spot-spot tertentu dimana bibit janggelan yang akan dibudidayakan
tersebut ditanam. Bibit tanaman janggelan di tancapkan pada lubang tanaman selanjutnya
dibiarkan tumbuh secara alami (Gambar 9).
Gambar 9. Penampang melintang pengolahan tanah minimum
Pengolahan tanah minimum cukup efektif dalam mengendalikan erosi, dan biasa
dilakukan pada tanah-tanah yang berpasir dan rentan terhadap erosi. Sebagian petani
menganggap teknik budidaya tanpa pengolahan sama sekali (notillage) dapat menghasilkan
rendemen dari tanaman janggelan yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik budidaya
dengan pengolahan lahan minimum (minimum tillage).
B. Penanaman Tanaman Janggelan (Mesona palustris BL)
a. Bibit tanaman janggelan
Bibit janggelan dapat diambil dari anakan rumpun tanaman janggelan yang telah
tua dan akarnya sudah ada serta tingginya antara 15−20 cm. Bibit dari anakan dapat
17
langsung ditanam dan ditancapkan untuk dibiarkan tumbuh secara alami. Bibit juga dapat
diambil dari stek batang. Stek batang diperoleh dari cabang tanaman induk yang
mempunyai 3 ruas (panjang stek 10−15 cm). Stek direndam dalam air ± 1 minggu,
sehingga keluar rambut-rambut akar pada buku batang. Stek dipindahkan ke dalam polybag
yang berisi tanah yang dijaga kelembabannya selama beberapa hari, selanjutnya
dipindahkan ke lapangan setelah tumbuh daun-daun baru. Pembudidayaan janggelan
dengan cara vegetatif (stek batang, tunas akar, meruduk) tidak membutuhkan waktu yang
lama dan tingkat keberhasilannya tinggi serta mempunyai sifat yang sama dengan induknya
dibandingkan dengan cara generatif (biji). Hal ini karena bibit dari biji harus disemaikan
terlebih dahulu sebelum ditanam di lahan. Biji harus dipilih yang sudah tua dan berwarna
merah atau hitam serta dikeringkan terlebih dahulu atau dianginkan. Biji disemaikan
ditempat yang teduh selama 6 minggu. Setiap hektar tanah memerlukan bibit janggelan
sebanyak 2,5−3 ton.
Tanaman janggelan mudah tumbuh tanpa harus dilakukan pemeliharaan secara
intensif dan pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang dan tanpa pupuk
kimia tanaman ini dapat tumbuh dengan baik. Pupuk kandang diberikan di bagian bawah
lubang tanam hingga batas tinggi leher akar bibit yang akan ditanam. Padatkan tanah pada
semua bagian sisi samping lubang untuk menghindari efek longsor jika tersiram air atau
terkena hujan deras, agar bibit yang ditanam tidak berubah posisi setelah penanaman bibit
janggelan. Jenis tanah-tanah berat dan liat dengan kandung fraksi lempung yang tinggi
menggunakan komposisi 1 hingga 1,5 bagian pukan/kohe dicampur dengan 3 bagian tanah.
Jenis tanah sedang dengan kandungan fraksi lempung, debu, dan pasir seimbang, dapat
dicampurkan 2 bagian pukan/kohe dengan 3 bagian tanah. Tanah-tanah dengan kandungan
fraksi pasir yang tinggi menggunakan komposisi 2 hingga 3 bagian pukan/kohe
dicampurkan dengan 3 bagian tanah.
Pemberian bahan organik dalam bentuk pukan/kohe akan sangat membantu untuk
menambah jumlah bahan organik tanah, memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah
(crumb) sehingga menjadi tempat pertumbuhan akar yang sangat ideal, perkembangan akar
menjadi lebih cepat dan bisa menyebar dengan baik dalam waktu yang lebih singkat.
Pemberian pupuk kandang juga dapat menjamin ketersediaan pasokan hara-hara makro dan
18
mikro esensial dari hasil perombakan (dekomposisi) bahan organik di awal pertumbuhan
tanaman di lahan. Selain itu, pemberian bahan organik berarti menciptakan lingkungan
yang sangat baik bagi mikrobia (jasad renik), baik yang ada di dalam pukan/kohe itu sendiri
maupun yang ada di dalam tanah. Lingkungan yang baik tersebut akan sangat membantu
terjadinya proses perombakan/peruraian bahan organik yang menghasilkan begitu banyak
hara-hara makro dan mikro esensial. Pukan/kohe yang digunakan telah terdekomposisi
sempurna (rasio C/N kurang dari 15%) untuk menghindari efek terbakar (burning effect)
yang bisa menyebabkan kematian tanaman. Setiap hektar tanah memerlukan pupuk
kandang sebanyak 6−9 ton.
Bibit janggelan ditanam pada musim hujan karena awal pertumbuhan tanah perlu
air yang cukup. Jarak tanam menggunakan 50 x 50 cm dan setiap lubang ditanami 2 bibit
janggelan. Tanaman janggelan akan memperlihatkan warna hijau dan muncul daun-daun
baru setelah tanaman berumur 5−20 hari. Batang yang tua dan kering perlu dipangkas agar
tumbuh tunas-tunas baru.
b. Penyiangan tanaman janggelan
Pertumbuhan tanaman janggelan muda sangat dipengaruh oleh persaingannya
dengan gulma yang tumbuh dengan cepat di sekeliling tanaman tersebut. Persaingan
tanaman muda dengan gulma lebih ke arah perebutan hara dan air yang bersifat kritis bagi
tanaman tersebut. Penyiangan dilakukan agar areal tanaman bersih dari gulma atau rumput
pengganggu dan dicabut sampai ke akarnya secara manual. Hal ini perlu dilakukan untuk
mendapatkan pertumbuhan yang optimal dari tanaman janggelan. Selanjutnya seresah dari
jerami dihamparkan di permukaan areal tanam sebagai mulsa dengan ketebalan 5-10 cm.
Peletakannya sebaiknya jangan terlalu dekat dengan tanaman utama beri kerenggangan
sekitar 10-15 cm. Supaya lebih aman dari serangan hama yang di timbulkan dari jerami
sebaiknya di lakukan penyemprotan mulsa tersebut menggunakan cairan yang berasal dari
ekstrak kulit biji mete dan didiamkan selama 3-5 hari sebelum penanaman bibit janggelan.
Penyiangan tanaman janggelan dan pemberian seresah perlu ditambahkan kembali
saat tanaman berumur 30 hari untuk menekan pertumbuhan gulma baru serta memperbaiki
sifat dan tata air tanah, sehingga mengurangi cekaman kekeringan. Selain itu seresah
sebelum dihamparkan diberi Trichoderma untuk menekan perkembangan patogen. Seresah
19
mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah
akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa dengan konduktivitas
panas yang tinggi seperti plastik. Selain itu kandungan yang ada pada jerami sangat di
butuhkan oleh tanaman janggelan , beberapa unsur yang terkandung dalam jerami tersebut
di antarannya adalah jerami mengandung unsur hara Si 4 – 7 % K20 1,2 – 1,7 % P205 0,07
– 0,12% dan N 0, 5 – 0,8 % dan lain sebagainya. Penggunaan jerami sebagai mulsa harus di
pilih jenis bahan jerami yang baru di panen. Hal ini di maksudkan jerami supaya jerami
bisa tahan lama dan tidak cepat membusuk jika terlalu membusuk tentu akan berdampak
tidak baik untuk tanaman yang belum selesai panen.
20
BAB IV. PESTISIDA NABATI DAN AGEN HAYATI UNTUK PENGENDALIAN
HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN JANGGELAN
Kulit biji jambu mete (Anacardium occidentale Linn) merupakan limbah pada
pengolahan biji jambu mete yang terdapat disekitar 67% dari mete gelondong dan
mengandung 32-37% minyak laka atau CNSL (Cashew Nut Shell Liquid). Minyak laka
mengandung 90 % asam anakardat,10 % kardol, 2-metil kardol, kardanol. Pemanfaatan
hasil metabolit sekunder dari bagian tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai alternatif
untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman janggelan. Senyawa ini mempunyai
biodegrabilitas yang tinggi dan ramah lingkungan. Hal ini berbeda dengan senyawa fenol
sintetis dari insektisida sintetis. Senyawa asam anakardat atau fenolat alam ini merupakan
senyawa metabolit sekunder dari golongan flavonoid dapat digunakan sebagai repellent dan
antifeedant pada hama serta mampu menghambat pertumbuhan dari hifa dari jamur.
A. Hama dan Penyakit pada Tanaman Janggelan
Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman janggelan perlu dilakukan karena
penanaman janggelan yang ditanam di pegunungan berlereng menggunakan sistim tanpa
olah tanah ataupun olah tanah minimum, sehingga untuk mengatasi gulma perlu dilakukan
dengan penggunaan mulsa dari seresah atau jerami. Upaya preventif dengan pestisida
nabati dilakukan sejak penghamparan mulsa. Pembusukan jerami atau seresah akan
menimbulkan masalah terhadap munculnya hama dan patogen tanah yang baru. Oleh
karena itu setelah tanaman berumur 30 hari ditambahkan lagi mulsa seresah atau jerami
yang telah dicampur dengan jamur Trichoderma (Lihat Bab II).
Hama uret (Leucopholis rorida) dan penyakit busuk batang sering menyerang
tanaman janggelan. Hama uret menyerang bagian bawah batang yang dekat dengan tanah
dan akar tanaman, sehingga tanaman menjadi layu. Sedangkan serangan penyakit busuk
batang akan menyebabkan batang dipenuhi miselium berwarna putih dan jika batangnya
dibelah nampak perubahan warna menjadi coklat kehitaman. Gejala penyakit ini akan
menyebabkan tanaman menjadi layu. Tanaman janggelan sering diserang penyakit busuk
batang sejak tanaman berumur 15−30 hari (Gambar 10).
21
Gambar 10. Hama uret dan gejala serangan hama dan penyakit pada tanaman janggelan. A:
hama uret/lundi ; B: kutu kebul; C. gejala serangan hama; C: gejala penyakit
busuk batang
Upaya preventif terhadap serangan uret dilakukan dengan membuat perangkap uret
ukuran 0,5 x 0,5x 0,5 sebanyak tiga lubang tiap 1000 m2. Lubang diisi dengan limbah
kandang yang belum diolah dan dicampur bahan organik, misal seresah, jerami.
Selanjutnya ditaburkan jamur Metharhizium dan dicampur hingga merata. Pengendalian
secara mekanik juga dapat dilakukan dengan mengumpulkan dan membakar uret.
B. Pembuatan Pestisida Nabati dari Kulit Biji Jambu Mete
Pestisida nabati dari kulit biji jambu mete dapat dibuat dengan bentuk cairan atau
butiran (granule). Proses ini dapat dilakukan tanpa ketrampilan tinggi, sehingga semua
orang bisa melakukan. Cairan dan butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete dibuat
dengan cara sebagai berikut:
a. Cairan pestisida nabati dari kulit biji jambu mete
Cairan pestisida nabati dari kulit biji mete ini dapat dibuat dengan proses
penyangraian yang sangat sederhana. Proses penyangraian kulit biji mete memerlukan
penambahan minyak kelapa agar memacu keluarnya minyak dari kulit biji jambu mete.
Minyak kulit jambu mete tersebut mempunyai warna hitam. Selanjutnya minyak tersebut
disaring untuk dipisahkan dari kulit jambu mete dan didinginkan sebagai biang pestisida
nabati dari kulit biji jambu mete untuk diaplikasikan di lapangan.
b. Butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete
Kulit biji jambu mete (±1 kg) dikeringanginkan sampai kandungan air minimum
(berat kulit biji berkurang sampai 50%). Selanjutnya kulit biji jambu mete dilakukan
pengepresan dan dipotong kecil-kecil dengan ukuran (± 1 mm2) (Gambar 11).
A B C D
22
Gambar 11. Butiran kulit biji jambu mete sebagai pestisida nabati
C. Isolasi dan Perbanyakan Agen Hayati
Potensi agen hayati dari jamur Trichoderma dan Metharhizium anisopliae serta
Beauveria bassiana dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengendalian penyakit dan
hama pada tanaman janggelan. Jamur Trichoderma mudah ditemukan pada ekosistim
tanah dan memiliki kemampuan memparasit terhadap cendawan patogen. Jamur ini
menghasilkan enzim dan senyawa untuk menghambat dan membunuh jamur patogen dari
tanah. Jamur Metharhizium anisopliae merupakan jamur entomopatogen yang dapat
digunakan untuk mengendalikan uret pada tanaman janggelan. Hama uret ini pada stadium
ketiga sering merusak akar tanaman janggelan. Hama uret yang mati menunjukkan gejala
naik kepermukaan tanah dengan warna hitam dan kaku. Sedangkan jamur Beauveria
bassiana dapat digunakan untuk mengendalikan kutu kebul. Hal ini karena kutu kebul
hampir menyerang semua tanaman. Saat ini hama kutu kebul telah dapat beradatasi pada
daerah dataran tinggi.
a. Isolasi jamur Trichoderma dan Metharhizium anisopliae serta Beauveria bassiana
Isolat jamur Trichoderma diperoleh dari sampel tanah sehat dari tanaman janggelan.
Isolasi jamur ini dilakukan dengan metode pengenceran hingga pengenceran 10-3
.
Selanjutan larutan dikembangkan pada media Potato Dextrose Agar dan dilakukan
identifikasi berdasarkan ciri-ciri dari jamur Trichoderma. Isolat murni tersebut diperbanyak
dan digunakan sebagai F1 untuk bahan perbanyakan Metharhizium dengan alat fermentator
di lapangan.
Isolat jamur Metharhizium diperoleh dari hama uret yang terinfeksi oleh jamur
Metharhizium dan telah menjadi mummi di lapangan. Hama uret tersebut dimasukkan ke
dalam 100 ml air steril, kemudian disuspensikan. Suspensi isolat tersebut diencerkan
23
dengan konsentrasi 105. Hasil pengenceran dibiakkan pada media Potato Dextrose Agar
(PDA) dan diinkubasikan 2 x 24 jam. Koloni tunggal yang muncul dipindahkan ke PDA
lain pada cawan petri. Isolat murni tersebut diperbanyak dan digunakan sebagai F1 untuk
bahan perbanyakan Metharhizium dengan alat fermentator di lapangan.
Isolat B. bassiana diperoleh dari hama wereng coklat yang terinfeksi oleh jamur
tersebut dan telah menjadi mummi di lapangan. Hama wereng tersebut dimasukkan ke
dalam 100 ml air steril, kemudian disuspensikan. Suspensi isolat tersebut diencerkan
dengan konsentrasi 105. Hasil pengenceran dibiakkan pada media Potato Dextrose Agar
(PDA) dan diinkubasikan 2 x 24 jam. Koloni tunggal yang muncul dipindahkan ke PDA
lain pada cawan petri. Setelah murni dikarakterisasi dengan identifikasi berdasarkan Barnet
dan Hunter (l972). Isolat murni tersebut diperbanyak dan digunakan sebagai F1 untuk
bahan perbanyakan B. bassiana dengan alat fermentator di lapangan.
Isolat murni jamur Trichoderma dan Metharhizium serta Beauveria bassiana juga
dapat diperoleh dari Laboratorium Pengamat Hama dan Penyakit Tanaman Pangan dan
Hortikultura di Pilangkenceng, Kabupaten Madiun. Hal ini disebabkan peralatan
pendukung, seperti autoclave dan inkast belum tersedia di desa tersebut.
b. Perbanyakan jamur Trichoderma dan Metharhizium anisopliae serta Beauveria
bassiana
Alat fermentor dirancang dari bahan limbah minuman kemasan dan dibuat dengan
rangkaian pada posisi selang dalam setiap botol. Alat fermentator ini digunakan untuk
perbanyakan agen hayati dalam bentuk cair. Setiap botol mempunyai posisi selang yang
tercelup dan tidak tercelup. Sedang pada botol yang berisi air steril mempunyai posisi
selang yang tercelup. Botol yang berisi larutan kalium Permanganat (PK) dihubungkan
dengan airator dan posisi selang yang tidak tercelup pada botol dihubungkan dengan botol
yang berisi kapas. Posisi selang yang tidak tercelup pada botol yang berisi kapas
dihubungkan dengan botol perbanyakan yang berisi ekstrak kedelai yang telah dicampur
dengan isolat murni dari masing-masing jamur . Selanjutnya selang yang tidak tercelup
dari botol tersebut dihubungkan lagi dengan botol perbanyakan lain (botol perbanyakan ke
dua) yang telah dicampur dengan isolat murni masing-masing jamur. Akhirnya selang
yang tidak tercelup dari botol perbanyakan kedua dihubungkan dengan botol yang berisi air
24
steril. Media perbanyakan agens Trichoderma dan Metharhizium serta Beauveria bassiana
dengan alat fermentator ini tidak perlu dibuka dan diaduk setiap hari, sehingga
meminimalkan terjadinya kontaminasi (Gambar 12 ).
Gambar 12. Illustrasi fermentator untuk perbanyakan agen hayati dari dari limbah botol
minuman kemasan
a) Cara kerja untuk perbanyakan Trichoderma cair
1. Rebus air , setelah mendidih masukkan ke dalam jerigen bertujuan untuk
mensetrilkan,jerigen tutup rapat . tunggu kira-kira 1 jam
2. Kentang yang sehat di cuci bersih , dikupas kulitnya, dipotong – potong persegi
ukuran 2x2 cm.
3. Kentang yang sudah dipotong dicuci lagi sampai bersih .
4. Kentang direbus dalam panci sampai lunak.
5. Ambil kentangnya dan tinggalkan airnya saja lalu tambahkan gula putih sambil
diaduk ,hingga mendidih.
6. Masukkan media yang masih panas kedalam jerigen / galon air mineral sebanyak 2/3
bagian dan tutup rapat .
7. Tunggu media sampai dalam kondisi dingin (24 jam) untuk siap diinokulasi.
8. Saat inokulasi sebaiknya keadaan sekitar steril ( dengan disemprotkan alkohol 70%)
25
9. Lalu jerigen/ galon dirangkai pada fermentor hingga 14 hari. Jika suspensi hasil
perbanyakan tidak langsung digunakan (5 bulan) perlu disimpan di temperatur
kamar. Jika lebih dari 6 bulan maka perlu penyimpanan pada suhu rendah (kulkas).
b) Cara kerja untuk perbanyakan Trichoderma padat
1. Timbang Beras /Jagung giling, bersihkan dari kotoran kerikil dan kulit ari dengan cara
di tampi.
2. Cuci beras / jagung giling hingga bersih dan direbus air panas
3. Rendam beras / jagung giling yang telah dicuci selama 5-10 menit dengan air panas.
4. Tiriskan dan kukus beras / jagung giling menggunakan dandang biasa selama 45
menit .
5. Angkat media beras / jagung giling , tunggu hingga dingin.
6. Masukkan media beras / jagung giling ke dalam kantong plastik tahan panas
sebanyak 200 gram / kantong plastik.
7. Sterilkan media yang sudah dibungkus plastik ke dalam autoclave selama 20 menit
pada suhu 121˚ C tekan 1 atm atau menggunakan dandang biasa selama 1 jam.
8. Setelah mencapai waktu yang ditentukan ,lalu angkat dan dinginkan sampai benar –
benar dingin.
9. Setelah dingin media siap diinokulasi cendawan entomopatogen Trichoderma di
dalam inkas .
10. Setelah diinokulasi diinkubasi pada suhu ruangan ± 1-2 minggu .
d) Cara kerja untuk perbanyakan Metharhizium padat
1) Timbang Beras /Jagung giling, bersihkan dari kotoran kerikil dan kulit ari dengan
cara di tampi.
2) Cuci beras / jagung giling hingga bersih dan direbus
3) Rendam beras / jagung giling yang telah dicuci selama 10 menit dengan air panas.
dan ditiriskan
4) Masukkan media beras / jagung giling ke dalam kantong plastik tahan panas
sebanyak 200 gram / kantong plastik dalam keadaan panas.
26
5) Sterilkan media yang sudah dibungkus plastik ke dalam autoclave selama 20 menit
pada suhu 121˚ C tekan 1 atm atau menggunakan dandang biasa selama 1 jam.
6) Setelah mencapai waktu yang ditentukan ,lalu angkat dan dinginkan sampai dingin.
7) Setelah dingin media siap diinokulasi cendawan entomopatogen Metarhizium di
dalam inkas .
8) Tutup rapat plastik dengan dibentuk segitiga dan diinkubasi pada suhu ruangan ± 1-2
minggu.
e) Cara kerja untuk perbanyakan Beauveria bassiana cair
1) Menyiapkan isolat jamur B. bassiana dalam bentuk suspensi (100 µl) dan dituang
dalam media PDA yang belum memadat serta digoyang-goyang sampai memadat.
Selanjutnya diinkubasikan selama 7 hari pada temperatur 28 oC, hingga petridish
penuh dengan spora.
2) Spora diambil dengan cork borer ( 1 plong spora) untuk 500 ml. Ekstrak kedelai
yang diperlukan sebanyak 4 liter/ jerigen.
3) Suspensi di inkubasikan selama 7 hari dengan menggunakan airator. Jika suspensi
hasil perbanyakan tidak langsung digunakan (5 bulan) perlu disimpan di temperatur
kamar. Jika lebih dari 6 bulan maka perlu penyimpanan pada suhu rendah (kulkas).
D. Aplikasi Pestisida Nabati dari Kulit Biji Jambu Mete di Pertanaman Janggelan
Pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ini akan larut dalam air, sehingga mulsa
mengandung bahan bioaktif dari kulit biji jambu mete. Selain itu bagian tanaman yang
mengandung bahan aktif dari kulit biji jambu mete, jika masuk ke dalam sistim pencernaan
serangga akan membunuh hama. Bahan bioaktif ini dapat digunakan sebagai agen
penginduksi ketahanan terhadap patogen.
a. Cairan pestisida nabati dari kulit biji jambu mete
Pestisida nabati ini berupa minyak, sehingga sulit larut dalam air. Oleh karena itu
perlu ditambahkan detergen cair untuk dapat dilarutkan dalam air. Selain itu memiliki
kekentalan dan mudah terbakar. Penyemprotan pestisida nabati ini harus dilakukan setiap
minggu dengan dosis yang rendah karena mudah menguap. Selain itu aplikasinya perlu
27
ditambahkan 2 ml sabun cair sebagai pengemulsi untuk 5 ml pestisida nabati pada 1000 cc
air, sehingga efikasi dari biopestisida ini dapat optimal.
Penyemprotan pada daun dengan dosis tinggi dapat menutup stomata dan
menghilangkan lapisan lilin daun dan daun nampak terbakar, sehingga harus digunakan
secara bijaksana. Pestisida nabati ini dapat disemprotkan ke seresah sebelum dihamparkan
ke lahan untuk mulsa.
b. Butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete
Penggunaan butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete ini dapat ditaburkan
atau dicampurkan ke mulsa dan pupuk kandang sebelum dimasukkan ke lubang tanam.
Setiap hektar tanah memerlukan butiran pestisida nabati dari kulit biji jambu mete sebanyak
20 kg.
E. Aplikasi Trichoderma sebagai Agen Hayati di Pertanaman Janggelan
Aplikasi Trichoderma mempunyai manfaat sebagai pengganti pupuk kimia. Selain
itu dapat bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan serta penyebaran patogen tanah,
seperti Fusarium oxysporum, Ralstonia solanacearum, Sclerotium rolfsii dan lain-lain.
Aplikasi akan mempunyai keefektifan jika dilakukan sebelum tanaman terserang penyakit.
Tiga macam cara aplikasi menggunakan Trichoderma sebagai biofertilizer dan biopestisida
antara lain:
a. Cairan Trichoderma
Aplikasi Trichoderma berbentuk cair dapat dilakukan dengan pengocoran saat
tanaman janggelan berumur 7−10 HST (Hari Setelah Tanam) dan diulangi setiap 10 hari
sampai 4 perlakuan. Jika aplikasidilakukan saat umur 7 HST, maka aplikasi berikutnya saat
umur 14, 21 dan 28 HST. Dosis pengocoran kira-kira sebesar 1 sendok teh per 250 ml air
pada setiap tanaman. Selain itu aplikasi dapat dilakukan dengan penyemprotan pada mulsa
seresah sebelum dan setelah disebarkan mulsa dengan takaran 1 gelas Trichoderma per
tangki semprot.
a. Butiran Trichoderma
Aplikasi Trichoderma pada bedengan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian
pupuk dasar (pupuk kandang) dan ditaburkan secara merata di bedengan yang masih
28
setengah jadi atau tidak diberikan di atas bedengan yang telah jadi. Dosisnya kurang lebih
500 kg/Ha atau setiap tanam 20-25 gram. Cara ini diharapkan patogen tular tanah akan mati
sebelum penanaman bibit, sehingga perakaran akan aman dari penyakit layu.
Aplikasi Trichoderma juga dapat dilakukan pada lubang tanam pada saat pindah
tanam dengan cara menaburkan Trichoderma di setiap lubang tanam, sehingga saat bibit
ditanam maka posisi Trichoderma akan tepat langsung mengenai perakaran. Dosis
Trichoderma yang digunakan ukurannya setengah sendok teh.
F. Aplikasi Metharhizium anisopliae sebagai Agen Hayati di Pertanaman Janggelan
Aplikasi jamur Metharhzium di di pertanaman janggelan dapat menurunkan hama
uret dan meningkatkan hasil panen lebih dari 60%. Jamur dapat bertahan di pertanaman
lebih dari enam bulan sehingga berpotensi mengendalikan Hama uret dalam jangka
panjang. Aplikasi Metharhizium anisopliae dalam bentuk padat dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu:
a. Menaburkan pada lubang perangkap di lahan pertanaman janggelan
Aplikasi jamur Metharhizium anisopliae dalam bentuk padat dapat dilakukan
dengan membuat lubang perangkap yang diisi dengan campuran seresah dan kotoran sapi
yang masih segar. Setiap 100 m2 luas lahan tanaman janggelan dibuat lubang dengan
diameter 30 cm. Setiap lubang tanam diisi 50 gram jamur Metharhizium.
b. Penyemprotan
Dosis penggunaan Metarrhizium anisopliae berbentuk powder yaitu 3 – 4 kg/ha
dengan kebutuhan larutan semprot 400–500 liter. Dalam aplikasi di lapangan perlu
ditambah detergen untuk menghilangkan ketegangan permukaan spora sehingga terpisah
satu dengan yang lain. Di samping itu perlu ditambah gula pasir untuk nutrisi tambahan
bagi Metarrhizium anisopliae (untuk tiap tangki ukuran + 10 liter ditambahkan 1 (satu )
sendok teh detergen dan 2 (dua ) sendok teh gula pasir.Waktu aplikasi sebaiknya pada sore
hari untuk menghindari sinar ultra violet yang akan menurunkan efektifitas cendawan
Metarrhizium anisopliae. Selain itu aplikasi dapat dilakukan dengan penyemprotan pada
mulsa seresah sebelum dan setelah disebarkan mulsa dengan takaran 1 gelas Metharhizium
anisopliae per tangki semprot.
29
G. Aplikasi Beauveria bassiana di Pertanaman Janggelan
Aplikasi penyemprotan B. bassiana lebih efektif dilakukan saat pagi hari atau sore
hari dengan kelembaban tinggi dan suhu rendah sampai moderat untuk menghindar matinya
spora akibat sengatan matahari. Aplikasi harus dilakukan berulang-ulang karena residunya
akan cepat hilang (± 4 hari). Dosis menggunakan 200 ml cairan hasil perbanyakan
Beauveria bassiana untuk dicampur dengan 14 liter air (satu tangki).
30
BAB V. PEMANENAN TANAMAN JANGGELAN
Tanaman menjelang berbunga (umur sekitar 3−4 bulan dari saat tanam) sudah dapat
dipanen dengan cara dipotong dengan sabit dan disisakan sekitar 3 – 5 cm tanaman dari
permukaan tanah. Sisa tanaman tersebut akan tumbuh dengan membentuk baru dan
dipanen lagi dengan interval waktu sekitar 3 bulan. Batang dan daun hasil panen selajutnya
dikeringkan dengan cara penjemuran selama 1 hari (kondisi matahari terik). Selanjutnya
hasil pengeringan ditumpuk supaya terjadi kering angin selama 2 hari sampai kadar air ± 10
% , sehingga warnanya berubah dari hijau menjadi coklat tua. Tanaman dapat dipanen
selama 1 tahun antara 3 – 4 kali tanpa haru melakukan olah tanah yang baru.
Tanaman janggelan mempunyai ketahanan dalam penyimpanan selama setahun,jika
kondisinya kering. Kondisi tanaman janggelan yang lembab selama penyimpanan akan
menyebabkan tumbuhnya jamur pada tanaman kering tersebut. Tanaman janggelan akan
dapat dipanen sebanyak 7,5− 9 ton janggelan basah atau 1,5 ton janggelan kering per
hektar. Tanaman janggelan kering ini merupakan bahan baku pembuatan cincau hitam.
Simplisia kering janggelan yang telah dipotong-potong kemudian dimasukkan ke dalam
karung dan ditekan menjadi padat serta siap untuk dipasarkan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB-Press. Bogor.
Anom, l992. Sistim tanpa olah tanah. Peluang di Lahan Kering Warta Pertanian No. 110-
111. Th IX/1992. Hal 32-40.
Barnet, H.L dan Hunter, B.B. 1972. Illustrated genera of imperfect fungi. Burgess
Publishing Company, Minnessota. 241 p.
Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk teknis Teknologi Konservasi Tanah Dan Air:
Jakarta.
Idjudin , A. Abas. 2011. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No.2, Peranan Konservasi
Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan: Bogor.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 47/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang “Pedoman
Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan”.
32
BIODATA PENULIS
Nama : Dr. Ir. Wuye Ria Andayanie, MP
Pekerjaan : Staf pengajar Universitas Merdeka Madiun
Pengalaman Pengabdian Masyarakat:
1. Program Iptek bagi Wilayah (IbW)-CSR. Tahun 2012 s/d 2015
2. Program Kemitraan Wilayah-Pemda. Tahun 2018
Nama : Dra. Retno Iswati, MSi
Pekerjaan : Staf pengajar Universitas Merdeka Madiun
Pengalaman Pengabdian Masyarakat (Ristek-Dikti):
1. Program Iptek bagi Wilayah (IbW)-CSR. Tahun 2012 s/d
sampai 2015
2. Program Iptek bagi Wilayah. Tahun 2017
3. Program Kemitraan Wilayah-Pemda. Tahun 2018
Nama : Dr. Dra. Ninik Srijani, MPd
Pekerjaan : Staf pengajar Universitas PGRI Madiun
Pengalaman Pengabdian Masyarakat (Ristek-Dikti):
1. Program Iptek bagi Wilayah (IbW)-CSR. Tahun 2012 s/d
2015
2. Program Kemitraan Wilayah-Pemda. Tahun 2018