karakteristik tanah dengan horison penimbunan liat yang ... · di indonesia tanah-tanah yang...
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON
PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH : AFRA D. N. MAKALEW
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
ii
ABSTRAK AFRA D.N. MAKALEW. Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik. Dibimbing oleh SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, dan SUBAGYO HARDJO-SUBROTO. Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison akumulasi atau penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas tanah menjadi terbatas. Di Indonesia tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat seperti Alfisol (5,2 juta ha), Ultisol (45,8 juta ha), dan Inceptisol (70,5 juta ha) merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian. Tanah-tanah tersebut dapat berkembang dari bahan induk sedimen (batuliat dan batukapur) maupun pada bahan induk bahan volkan (volkanik). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan sedimen (batuliat dan batukapur) dan batuan volkanik (andesitik dan dasitik); (2) membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik; (3) mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat, batukapur, maupun batuan volkanik (andesitik dan dasitik). Penelitian dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah Kabupaten Bogor dan Banten. Lokasi pedon-pedon pewakil tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol yang terletak di desa Cendali, Cijayanti-1, Cijayanti-2, Pasircabe-Jonggol, Ciampea dan Jasinga (Kabupaten Bogor), dan Cipocok-Serang (Kabupaten Banten). Parameter yang diamati meliputi sifat-sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi (irisan tipis) tanah, penentuan horison penimbunan liat merupakan argilik atau bukan argilik menggunakan kriteria dalam Taksonomi tanah (Soil Survey Staf, 2003). Hasil penelitian diperoleh bahwa : (1) Karakteristik tanah dengan horison penimbunan liat berbeda-beda pada setiap jenis bahan induk, baik yang berkembang dari batuan sedimen maupun batuan volkanik, jumlah peningkatan kandungan liat, ketebalan horison penimbunan liat, dan bukti adanya iluviasi liat sebagai kriteria argilik, hanya dijumpai pada pedon AM7 dan AM8 (perudik) yang berkembang dari bahan Volkanik-Andesitik, serta pedon AM10 (akuik) berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik. Horison penimbunan liat pedon-pedon AM1, AM2, dan AM3 (batuliat), AM4,AM5, dan AM6 (batukapur), dan AM9 (bahan volkanik-dasitik diidentifikasi sebagai horison kambik. (2) Horison argilik relatif lebih tebal terdapat pada pedon AM8 (125 cm) dengan letak 20 cm dari permukaan tanah, pada pedon AM10 (114 cm) terletak relatif lebih dalam, yakni pada 26 cm dari permukaan tanah, sedangkan pedon AM7 (86 cm) terletak pada
iii
kedalaman 19 cm. Sedangkan ketebalan horison kambik paling tebal terdapat pada pedon AM1 dan AM3 yang berkembang dari batuliat, yakni 120 cm. Paling tipis dijumpai pada pedon AM2 (perudik) yang berkembang dari batuliat, yakni 99 cm dari permukaan tanah. Rata-rata jumlah peningkatan liat total 48,9%, merupakan peningkatan tertinggi yang dijumpai pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik. Diikuti oleh pedon-pedon yang berkembang dari batuliat sebesar 37,9%, volkanik-andesitik sebesar 34,4%. Sementara peningkatan paling rendah, sebesar 19,9%, terdapat pada pedon-pedon dari batukapur. Peningkatan liat total tersebut cenderung lebih tinggi pada pedon yang memiliki regim kelembaban akuik dibanding perudik dan ustik. Hasil pengamatan irisan tipis pada horison argilik mendapatkan bahwa selaput liat (berdasarkan ada tidaknya laminasi) terlihat dengan urutan tingkat perkembangan : dari sangat berkembang sampai kurang berkembang. Urutan tingkat perkembangannya dari yang sangat berkembang adalah bahan volkanik-dasitik (AM10) kemudian volkanik-andesitik (AM8). Selaput liat yang paling tebal dijumpai pada pedon AM10 (volkanik-dasitik), kemudian AM8 (volkanik-andesitik). Berdasarkan pengamatan ketiga sifat horison penimbunan liat (terutama ketebalan dan jumlah peningkatan liat halus), dapat disimpulkan bahwa genesis horison argilik dan bukan argilik sangat dipengaruhi oleh faktor bahan induk, yang berinteraksi dengan faktor pembentuk tanah lainnya seperti iklim dan topografi. (3) Adanya horison argilik dapat menimbulkan aliran air bawah permukaan, sehingga sifat-sifat penting horison penimbunan liat yang berkaitan dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol adalah letak dan ketebalannya.
iv
ABSTRACT
AFRA D. N. MAKALEW. Characteristics of Soil with Clay Accumulation Horizons in Sedimentary and Volcanic Rocks. Under Supervision of SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, and SUBAGYO HARDJOSUBROTO. A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of Ultisols, Alfisols, Inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical, chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argillic horizon definition. Microscopic study resulted that, not all pedons sampled have visible clay skins as the evidence of clay transportation. Kinds of parent materials affect morphology and physical characteristics of soil with clay accumulation horizon, i.e. on the thickness, depth, position of maximum fine and total clay content. Thin sections of Bt horizons of AM8 and AM10 pedons showed illuvial features, confirming the presence of an argillic. Clay position is lying adjacent to voids, occur as a limpid clay coating, some superimposed with ferruginous coating. Kaolinite, smectite, and haloysite were dominant clay minerals of the clay accumulation horizons, which are also found at the upper horizons of the observed pedons. Similarity in characteristics of the surface and subsurface horizons, especially on the composition of soil sand fraction mineral and clay mineral, proved that the clay comes from the same soil material. It was also concluded that the formation of clay accumulation horizons as Bt in the studied pedons dominated by elluviation and illuviation processes, and the formation of clay accumulation horizons as Bw were dominated by the sedimentation processes . Some important results of this research showed that (1) Not all of the sampled pedons have argillic horizons. Only AM7, AM8 and AM10 pedons meet all requirements of argillic criterias ; The uppper boundary of argillic was found at 26 cm from the soil surface on AM10 pedon, on AM8 it was at 20 cm, and at 19 cm from the soil surface found on AM7 pedon; Pedons derived from volcanic rocks have the highest average total clay contents, i.e. 48.9%, followed respectively by pedons developed from claystone 37,9%, andesitic-volcanic rocks 34.4%, and limestone 19.9%; Development of clay skins was found strongest on soils derived from dasitic-volcanic rocks; (2) Types of parent material together with other soil forming factors (climate and topography) affect characteristics of clay accumulation horizons, especially on the thickness and content of fine clay; (3) Thickness and position of clay accumulation horizons from the soil surface are the main properties that most related to management of Alfisols, Ultisols, and Inceptisols. Key words : Clay accumulation horizon, Elluviation, Illuviation, Argillic, Cambic, Ultisols, Alfisols, Inceptisols, Sedimentary and Volcanic rocks.
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
vi
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakteristik
Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan
Sedimen dan Volkanik adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2006
Afra Donatha Nimia Makalew NRP 995032
vii
KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI
BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH : AFRA D. N. MAKALEW
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
viii
Judul : Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik
Nama : Afra Donatha Nimia Makalew N r p : 995032 Program Studi : Ilmu Tanah
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Sarwono Hardjowigeno,MSc Prof.Dr.Ir. Sudarsono,MSc Ketua Anggota
Dr.Ir. Budi Mulyanto,MSc Dr.Ir. Subagyo Hardjosubroto,MSc.APU Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Komaruddin Idris,MS Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS
Tanggal Ujian : 12 September 2006 Tanggal Lulus :
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 19 Januari 1965 sebagai anak ke-8 dari pasangan P.D.Makalew (Alm) dan Chatarina Wanget (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1992, penulis diterima di Agricultural and Food Engineering Program, Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok, Thailand dan menamatkannya pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana IPB Bogor diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Universitas Mercu Buana Jakarta dan BPPS Dikti (Tahun 2000 – 2003).
Penulis bekerja sebagai Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado sejak 1988 sampai 1994, dan sebagai Dosen KOPERTIS Wilayah III ditempatkan di Fakultas Pertanian (sekarang Fakultas Manajemen Agribisnis) Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta sejak tahun 1995 sampai sekarang.
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini berhubungan dengan sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat pada tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen dan volkanik.
Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. sebagai Ketua Komisi
Pembimbing 2. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing 3. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. Sebagai Anggota Komisi Pembimbing 4. Dr. Ir. Subagyo Hardjosubroto, MSc. APU. sebagai Anggota Komisi
Pembimbing 5. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB 6. Program Beasiswa BPPS-Dikti 7. Rektor Universitas Mercu Buana, Dekan, Ketua Jurusan Agronomi,
seluruh Staf Pengajar, dan Karyawan Fakultas Managemen Agrbisinis UMB Jakarta
8. Seluruh Staf Pengajar dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB 9. Ketua dan seluruh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian IPB 10. Staf Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan Fakultas Pertanian IPB 11. Staf Laboratorium Mineral, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor 12. Staf Laboratorium Tanah, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta 13. Mahasiswa HIMPIT, Mahasiswa Program Ilmu Tanah SPs-IPB Angkatan
’99, dan rekan-rekan kelompok G-8 14. Orangtua, suami, dan anak-anak Akhirnya penulis mengharapkan disertasi ini dapat menjadi tambahan informasi bagi ilmu yang terkait dan bagi para pembaca.
Bogor, Desember 2006 Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA.…………………………………………………………...........…....... x DAFTAR TABEL.…….…………………..……………………...........…............ xii DAFTAR GAMBAR ...……………………………………………….................. xiii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………............ xiv PENDAHULUAN Latar Belakang..…………………………………………………............. 1 Tujuan…………………………………………………………........…..... 4 Hipotesis.…………………………………………………………….......... 4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Horison Penimbunan Liat…………………………….………… 5 Genesis Horison Penimbunan Liat.…………………….……………….. 9 Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat………………………............ 14 Bahan Induk Tanah.……..……………………………………….…...…... 18
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat.…..…........................ 20 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ..………………………………………...…............. 25 Bahan Penelitian……………………………………………….......…....... 28 Metodologi Penelitian……………………………………………......…... 28 Analisis Data……………………………………………………......……... 31 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian.................................................................................... 33 Geologi.................................................................................................. 33 Topografi................................................................................................ 36 Iklim........................................................................................................ 37 Penggunaan Lahan............................................................................... 38 Vegetasi................................................................................................. 40 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Morfologi dan Fisika tanah.....………………………….................. 42 Sifat Kimia Tanah..................................……………………....…........ 56 Mineralogi Horison Permukan dan Penimbunan Liat........………...… 75 Horison Diagnostik................................................................................. 94 Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil............................................... 104 Karakteristik Horison Argilik dan Kambik.............................................. 106 Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat.......................................... 121 KESIMPULAN DAN SARAN ….………………………………………. .............. 124 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….……….............. 126 LAMPIRAN…………………………………………………………………...............130
xii
DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah
Pedon-Pedon Pewakil…………………………………………….........…. 25
2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian 30
3. Curah Hujan (mm) Bulanan ( Rata-rata 10 tahun) di daerah penelitian ................................................................................ 39
4. Data Suhu Udara Maksimum Minimum, dan Rata-rata Bulanan di daerah Kabupaten Bogor , diwakili stasiun Darmaga (259 dpl) (1989-1999)............................................................................................. 40
5. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Batuliat........................................................... 43 6. Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Batukapur......................................................… 47 7. Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik.............................……51 8. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik.................................……53 9. Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil (Batuliat)…….…………………………………...………......57 10. Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil (Batukapur)………………………………………..…….. ....63 11. Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Andesitik………………….………… ......67 12. Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Dasitik....…………………….………........70 13. Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi
dan Horison Iluviasi…...............................................................................76
xiii
14. Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviai Maksimum setiap Pedon Pewakil................................................................................79 15. Mineral Liat yang Dominan pada Horison Iluviasi dan
Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil…………..…… 94 16. Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, serta Jumlah Minimal Liat Total sebagai Horison Penimbunan liat
(Argilik)......................................................................................................98 17. Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Iluviasi pada Masing-masing Pedon Pewakil………………………………………….......99 18. Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada masing-masing
Horison Iluviasi Masing-masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10………101 19. Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria Jumlah Kandungan Liat, Ketebalan Horison, dan Selaput Liat pada
Pedon Pewakil............................................................... ........................103 20. Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya…………………………..……..104 21. Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil............................................109 22. Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat Beberapa Pedon Pewakil…..110
xiv
DAFTAR GAMBAR No. Halaman
1. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor....................................26 2. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang…………….................27 3. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor)...........………..…………34 4. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang)...........…………………35
5. Lokasi setiap Pedon Pewakil dalam Topografi........................................37 6. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari ..............................60 7. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari ..............................64 8. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan Volkanik- Andesitik..................................................................................................68
9. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...72
10a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat …......…..…..................................81
10b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)
Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat ..........…..…..................................81
11a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat................……………………….….82
11b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat.................……………………….…82
12a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat......................…………………..….83
xv
12b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat................…………………..….......83
13a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Peralihan (AB) Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur................…………………..…...85
13b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur.................…………………..…..85 14a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur.............…………………..…......86 14b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur..................…………………..….86 15a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM6 Berkembang dari Batukapur.....................………………..….87
15b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM6 Berkemban dari Batukapur.....................………………..…...87
16a. HasilAnalisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)
Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik……………...….89 16b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik……………...….89 17a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik..…………....….90
17b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik.…………....…..90
18a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)
Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik......…………....….91 18b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik………………....…92 19a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...………………..93 19b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt4)
Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik………….........…93
xvi
20. Selaput Liat (Coklat kekuningan) pada Irisan Tipis Horison Bt4 dari Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik–Andesitik...............101
21. Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt4 Pedon AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik – Dasitik ..........................................102 22. Distribusi Liat Halus dan Liat Total pada Tanah Inceptisol serta Batas Argilik (Argillic line) pada Pedon AM8 dan AM10.........................108 23. Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM2 dan AM3 yang Berkembang dari
Batuliat....................................................................................................111 24. Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 yang Berkembang dari Batukapur................................................................................................112
xvii
DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Deskripsi Profil Pedon AM1………………………………………......... 131 2. Deskripsi Profil Pedon AM2………………………………………......... 132 3. Deskripsi Profil Pedon AM3………………………………………........ 133 4. Deskripsi Profil Pedon AM4………………………………………........ 134 5. Deskripsi Profil Pedon AM5………………………………………........ 135 6. Deskripsi Profil Pedon AM6………………………………………........ 136 7. Deskripsi Profil Pedon AM7………………………………………........ 137 8. Deskripsi Profil Pedon AM8……………..........…………………......... 138 9. Deskripsi Profil Pedon AM9………………………………………......... 139 10. Deskripsi Profil Pedon AM10………………………………………....... 140 11. Regim Temperatur dan Kelembaban Tanah.........….....………......... 142 11.1 Stasiun Cimulang.................................................................... 142 11.2 Stasiun Pasirmaung.................................................................144 11.3 Stasiun Jonggol....................................................................... 146 11.4 Stasiun Dramaga..................................................................... 148 11.5 Stasiun Jasinga........................................................................150 11.6 Stasiun Serang........................................................................ 152
PENDAHULUAN
Latar belakang
Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat
filosilikat yang lebih tinggi daripada bahan tanah yang terletak di atasnya.
Horison ini dapat terbentuk akibat proses iluviasi liat horison di atasnya
atau dari hasil proses pelapukan in situ, atau tertimbunnya bahan tanah
dengan kandungan liat tinggi oleh bahan tanah dengan kandungan liat
yang lebih rendah. Ada tidaknya bukti iluviasi liat berupa selaput liat (clay
skin) pada horison penimbunan liat, merupakan salah satu dasar dalam
identifikasi horison argilik atau bukan argilik. Horison argilik merupakan
horison iluviasi liat yang digunakan sebagai horison bawah penciri untuk
mengklasifikasi dan interpretasi proses-proses yang dominan pada
pembentukan tanah Alfisol dan Ultisol. Selanjutnya horison penimbunan
liat tanpa bukti selaput liat, kecuali pada tanah dengan sifat vertik
termasuk dalam horison kambik yang digunakan sebagai salah satu
horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses
pembentukan tanah Inceptisol (Soil Survey Staff, 2003).
Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat
banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison penimbunan liat
yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan
tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan
mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga
produktivitas tanah menjadi terhambat (Afandi et al., 1997).
2
Di daerah tropika, tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol merupakan
tanah-tanah yang umum di jumpai. Penyebaran tanah-tanah ini di
Indonesia adalah Inceptisol 70,5 juta ha (37,5%), Ultisol sekitar 45,8 juta
ha (24,3%), dan Alfisol 5,2 juta ha (3%) dari luas daratan. Lahan-lahan
tersebut merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian
(Subagjo et al., 2003).
Horison penimbunan liat ditemukan pada tanah-tanah yang
berkembang dari bahan induk sedimen dan volkanik, pada beberapa
regim kelembaban tanah (akuik, perudik/udik, dan ustik). Proses
pembentukan horison penimbunan liat yang menghasilkan horison argilik
meliputi proses dispersi liat di lapisan atas, dilanjutkan dengan proses
pemindahan liat oleh air dari lapisan atas (eluviasi), dan pengendapannya
di lapisan bawah (iluviasi). Banyak faktor yang berpengaruh agar liat lebih
mudah terdispersi dalam air, sehingga lebih mudah dipindahkan. Demikian
pula, banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses pemindahan dan
pengendapan liat di lapisan bawah. Tiga tahap proses pembentukan
horison penimbunan liat, yang meliputi proses dispersi, pemindahan, dan
akumulasi liat, masing-masing memerlukan kondisi yang khusus (Buol et
al., 1980). Sedangkan proses pembentukan horison penimbunan liat yang
tidak menghasilkan argilik apabila (1) jumlah penimbunan liat tidak
memenuhi argilik, meskipun ada selaput liat, (2) jumlah penimbunan liat
memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau (3) jumlah penimbunan
liat tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat.
3
Tanah Alfisol dan Ultisol keduanya mempunyai horison
penimbunan liat (argilik), tetapi Ultisol bersifat lebih masam dan Alfisol
lebih alkalis. Kedua tanah ini dapat berkembang dari batuan sedimen
ataupun bahan volkanik, pada regim kelembaban tanah akuik, udik, ustik,
dan xerik. Horison penimbunan liat yang tidak memenuhi kriteria argilik,
dapat sebagai horison kambik yang dimiliki oleh tanah Inceptisol.
Permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana sifat-sifat
horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya dapat terjadi
pada lingkungan yang berbeda-beda tersebut.
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan adalah mengenai
horison penimbunan liat yang memiliki selaput liat (argilik). Namun
demikian, Allbrook (1973) masih mempertanyakan adanya horison argilik
pada tanah-tanah Ultisol di Malaysia. Penelitian tentang sifat-sifat dan
genesis horison argilik telah dilakukan pada tanah Aridisol berbahan induk
sedimen (Nettleton et al., 1975; Southard dan Southard , 1985), pada
tanah Alfisol berbahan induk sedimen oleh Smith dan Wilding (1972).
Demikian pula penelitian tentang mikromorfologi horison argilik pada tanah
Alfisol dengan regim kelembaban tanah akuik telah dilakukan antara lain
oleh : Smeck et al. (1981), Cremeens dan Mokma (1986), serta Stolt dan
Rubenhorst (1991). Selain itu terbentuknya horison argilik pada tanah
yang berdrainase baik sudah dilakukan Rostad et al. (1976). Tetapi
adanya horison argilik pada tanah-tanah berdrainase buruk atau pada
regim kelembaban tanah akuik masih diperdebatkan (Smeck et al., 1981).
4
Penelitian tentang proses pembentukan horison penimbunan liat
dengan atau tanpa selaput liat di daerah tropika basah khususnya di
Indonesia masih sangat sedikit. Hasil penelitian Cahyono (1992) pada
Ultisol Lampung dan Alfisol di Jawa Barat menunjukkan bahwa, liat iluviasi
pada Ultisol umumnya lebih banyak (2-5%) dibandingkan dengan liat
iluviasi pada Alfisol (1-2%). Kenampakan mikromorfologi yang berbeda
menurut Goenadi dan Tan (1998) dapat membantu menjelaskan proses-
proses pembentukan tanah pada masing-masing tanah. Demikian juga
penelitian tentang mikromorfolgi horison penimbunan liat di Indonesia
masih sangat kurang.
Dari uraian di atas tampak bahwa penelitian tentang karakteristik
horison penimbunan liat pada bahan induk dan regim kelembaban tanah
yang berbeda masih perlu dilakukan. Demikian juga, ditemukannya
horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat pada tanah
Insceptisol, Alfisol, dan Ultisol masih perlu diteliti. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam
pengembangan ilmu pengetahuan genesis tanah dan sistem klasifikasi
tanah, serta pengelolaan tanah di Indonesia.
Tujuan
(1) Mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat
dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan
sediment (batuliat, dan batukapur) dan batuan volkanik.
5
(2) Membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses-
proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol
yang berkembang dari bahan induk sedimen atau volkanik, baik
pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.
(3) Mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang berkaitan
dengan pengelolaan tanah, baik pada tanah Ultisol, Alfisol, maupun
Inceptisol.
Hipotesis
(1) Bahan induk yang berbeda akan mempengaruhi sifat-sifat dan
pembentukan horison penimbunan liat, baik letak dari permukaan,
ketebalan, adanya tidaknya selaput liat maupun tingkat
perkembangannya.
(2) Sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses pembentukannya
berbeda antara tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol, baik pada
regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.
(3) Terdapat sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya
dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang
berkembang dari batuliat, batukapur, maupun bahan volkanik.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Horison Penimbunan Liat
Macam-macam horison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan
horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison
argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti
iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah
penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah
memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik
dan tidak ada selaput liat .
Horison Argilik
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) disebutkan bahwa
horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai
dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat
dari horison di atasnya, dan (3) Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan
kandungan liat horison eluviasi.
Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu
horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut :
1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut :
(a) Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar
butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar,
berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka keteba lan
minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari
seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2)
Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berpasir atau
skeletal berpasir, maka ketebalan minimum 15 cm; atau (3) Jika
6
horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan
gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15
cm atau lebih; dan
(b) Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa
salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang
menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat
menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua
permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis,
memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi
berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien
pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada
wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka
rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2
kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan
2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi
(lithologic discontinuity ) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat
lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison
iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di
dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut :
(a) Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah
halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka
horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat
lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau
(b) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halus mengandung
liat total antara 15 sampai 40 persen, maka horison argilik harus
mengandung liat 1,2 kali lebih banyak dibandingkan horison
eluviasi; atau
7
(c) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya
mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik
harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak
(misalnya 42 persen vs 50 persen).
Horison Kambik
Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses
alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau
merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut.
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa
horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih.
Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari
lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus
memenuhi semua syarat berikut:
1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung,
atau yang lebih halus; dan
2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu
bentuk berikut :
a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah
didrainase, dan semua sifat berikut:
(1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan
pada lebih dari setengah volume tanah; dan
(2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara;
dan
(3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di
dalam matriks sebagai berikut:
(a) Value warna 3 atau kurang dan kroma 0; atau
8
(b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau
kurang; atau
(c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan
terdapat konsentrai redoks; atau
b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari
permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab,
sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta
memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada
lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih
sifat berikut:
(1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi,
warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi
dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau
horison yang berada di atasnya; atau
(2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat
atau gipsum; dan
3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon
antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau
fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik,
petrogipsik, placik, atau spodik; dan
4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap
(tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak
bersifat rapuh.
Genesis Horison Penimbunan Liat
Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) horison argilik
merupakan penciri utama untuk tanah Alfisol dan Ultisol. Namun demikian, kedua
9
ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang
relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu
lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian
basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol
mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu
35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam
125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa
(berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman
180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan
kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah.
Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen
maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah
Alfisol sebagai ”tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik),
dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari
permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar
atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah ”tanah-tanah dengan
horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada
kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas
horison argilik, lebih kecil dari 35%.
Horison penimbunan liat dihasilkan oleh satu atau lebih proses yang
terjadi secara bergantian ataupun berlangsung tahap demi tahap. Proses
tersebut dapat mempengaruhi horison permukaan, horison bawah permukaan,
ataupun keduanya. Selain itu, proses-proses tersebut berbeda-beda untuk setiap
tanah. Pada beberapa tanah iluviasi liat terjadi secara nyata, sementara pada
tanah yang lain, sulit dibedakan dengan liat yang dihasilkan dari proses
pelapukan in situ. Namun menurut Soil Survey Staff (1999) tidak semua proses
dapat dipahami, atau dijelaskan secara lengkap. Tanah-tanah yang menunjukkan
10
perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi,
serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin
akan berpengaruh pada pengelolaan tanah.
Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana
tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison
argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering
tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang
ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan
aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980).
Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison
argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1)
eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga
tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi butir-
butir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari
lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi (pengendapan) liat di
lapisan bawah (Buol et al., 1980)
Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat
menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran
iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi
disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya
terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2)
terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B.
Dispersi
Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam
suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu
halus, debu kasar dan lainnya, pada mulanya terikat satu sama lain dengan
11
bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga
liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik,
bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya
penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980).
Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat
seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari
permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan
bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol
perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama
dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas
menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai
flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat
dibebaskan.
Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat
lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di
lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah,
karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu
yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral
yang mudah lapuk.
Translokasi
Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis
pori (Mohr et al., 1972). Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan
tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler.
Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung
tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam
larutan rendah, maka liat dapat terdispersi. Rendahnya elektrolit dalam tanah
12
dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara
kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permukaan tanah,
akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen.
Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah.
Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan
lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding
dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu
juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah
berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu
rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik,
sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan
air dan proses pemindahan liat.
Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison
lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari
liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga
kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah
dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa
membentuk partikel yang berukuran liat.
Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam
tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana proses
pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka
perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi.
Menurut Buol et al., (1980), translokasi liat pada Alfisol terjadi pada
lingkungan yang agak masam atau dalam lingkungan “sodik-alkalin”, sedangkan
pada Ultisol terjadi dalam lingkungan yang lebih masam. Selama pemindahan
liat, pada Ultisol sering disertai pemindahan seskuioksida (Al2O3 dan Fe2O3) dan
bahan organik.
13
Pengendapan
Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi
tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2)
butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air
perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat;
(4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di
horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam,
kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat
dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak,
apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses
pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan
mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara
periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian
tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur
tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter,
agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan
menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal
dengan selaput liat (clay skin).
Khalifa dan Buol (1968) menyatakan bahwa terjadinya selaput liat
berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput
tipis liat (clay film). Selaput tipis liat tersusun dari kristal-kristal liat alumino-silikat
iluviasi yang terorientasi, yang oleh Buol dan Hole (1961) disebut dengan ”clay
skin” dan oleh Brewer (1976) disebut ”illuviation argillan” untuk mendeskripsi
adanya alumino-silikat liat yang mengalami translokasi.
14
Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat
Tanah Ultisol
Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ekspresi sifat-sifat
mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara
keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk
translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh
partikel iluviasi.
Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan
kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol
berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison
iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar
diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan
dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya
mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi,
dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori
diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan
dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di
antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids . Argillan
tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai
pengisi pada pori yang berukuran kecil.
Fedoroff dan Eswaran (1985) menyatakan bahwa, argilan pada horison
B, seringkali dalam bentuk microlaminated yang secara umum bentuk
laminasinya sempurna. Warnanya berkaitan dengan warna plasma, warna
interferensinya (interference colour) lemah sampai sedang, dari abu-abu sampai
kuning pucat. Bila liat kaolinit dominan, keteraturan susunan atau struktur bahan
halus atau plasmik fabriknya (plasmic fabric ) cenderung insepik atau undulik,
15
plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida,
maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna
plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri
dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah
lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit.
Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah
berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna
pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi,
maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari
argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna
interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat.
Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/
mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada,
berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang
pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah
yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna
kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali
dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan
merupakan bentuk eksternal yang fleksibel (dapat membengkok) dan
memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating)
akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori.
Tanah Alfisol
Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ada perbedaan kenampakan
mikromorfologi yang jelas pada horison argilik yang ditemukan di tanah Alfisol
berpasir, berlempung, dan berliat. Pada tanah Alfisol yang teksturnya berpasir,
butiran partikel pada horison argilik diselaputi dan dihubungkan oleh liat yang
16
teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat,
tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang
memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat
yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi.
Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran
partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan
bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan
mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini
adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang
sangat jelas dengan matriks tanah.
Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah
dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya
kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat
terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating)
hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968)
mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa,
komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada
horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada
permukaan ped dan sekitar lubang akar.
Kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang berdrainase sangat
buruk berbeda dengan tanah-tanah yang berdrainase agak buruk sampai agak
baik. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nettleton et al. (1968), bahwa
pada tanah yang berdrainase sangat buruk keberadaan argilan sangat sedikit,
sebaliknya meningkat pada tanah yang berdrainase buruk sampai agak baik.
Dikatakan pula bahwa papule umum dijumpai pada tanah yang berdrainase
sangat buruk, sebaliknya sangat sedikit pada tanah-tanah yang berdrainase baik.
17
Tanah Inceptisol
Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara
mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut,
maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun
sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan
kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk
keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai
berikut:
Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur
struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur.
Ditemukan pula struktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat
porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular.
Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya
adalah tubular.
Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada tanah-
tanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang
mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam
Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah
berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak
channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang
membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan
pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan.
Pada horison kambik yang memiliki sifat andik, dijumpai mikroagregat
yang membulat yang tersebar secara random dalam horison. Biasanya
mengandung fragmen besi yang berwarna merah, fragment bahan organik yang
18
berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen
lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric.
Bahan Induk Tanah
Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat
penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di
katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada
waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah,
selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling
dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk
dan potensinya untuk pertanian.
Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah
yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya
kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan
liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral
yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan
terakumulasi pada horison B sehingga teksturnya lebih halus, sebaliknya bila
bahan induk sukar dilapuk maka hanya sedikit liat yang terakumulasi pada
horison B. Karena horison argilik terbentuk dengan laju yang relatif lambat, maka
permukaan geomorfik haruslah relatif stabil dan dalam periode yang lama.
Hasil observasi mikromorfologi pada tanah Planosol berbahan induk
volkanik oleh Jongmans et al. (1991) menunjukkan bahwa, perubahan fragmen
batuan volkanik dan biotit menjadi sumber utama fraksi liat. Perbedaan tekstur
pada tanah tersebut akibat iluviasi liat, selain pelapukan dan pembentukan baru
(neoformation).
Dewayany (1984), mengklasifikasikan tanah Orthoxic Tropudult di daerah
Darmaga, yang terbentuk dari bahan induk volkan dengan batas atas horison Bt
19
pada kedalaman 36 cm dan batas bawah 113 cm dari permukaan. Dikatakan
horison argilik tersebut terjadi secara kontinu dan tidak diselingi batuan, mineral
liat yang dominan adalah haloisit. Tirtoso (1984) mengklasifikasikan tanah di
daerah Cikarawang yang berbahan induk volkanik sebagai Tropudult dengan
tebal horison argilik sekitar 40 cm dan mineral liat yang dominan adalah haloisit.
Alghan (1980) mengklasifikasi tanah pada suatu lereng yang berasal dari bahan
induk volkanik di daerah Cigudeg, berturut-turut dari puncak lereng sampai
lereng paling bawah, sebagai Orthoxic Tropohumult, Typic Tropohumult,
Epiaquic Tropohumult, dan Aquic Tropudalf.
Pada daerah yang berbahan induk sedimen kapur (Jonggol dan
sekitarnya) Witjaksono (1986) mengklasifikasikan tanah-tanah Typic Tropaqualf
dan Aquic Tropudalf (Bt 10-51 cm), dan Vertic Tropudalf (Bt 10 – 55 cm), mineral
yang dominan adalah montmorilonit. Namun demikian Penelitian pada tanah-
tanah berargilik dengan bahan induk sedimen dan volkanik di Indonesia masih
sangatlah terbatas.
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat
Tanah Alfisol
Buol et al. (1980) menjelaskan pembentukan tanah Alfisol diawali oleh
terjadinya pencucian yang intensif terhadap karbonat pada horison permukaan.
Kemudian terjadi eluviasi liat di horison A dan liat tersebut di endapkan di horison
B. Selain itu di horison B juga terjadi pembentukan liat melalui pelapukan
feldspar, mika, dan mineral ferromagnesium. Proses eluviasi berlanjut terus
sehingga menyebabkan horison A lebih terdeplesi (khususnya liat) dibanding
horison B. Proses terakhir adalah tersusunnya bahan kasar di atas bahan halus
membentuk tanah Alfisol.
20
Morfologi yang menonjol pada tanah Alfisol adalah adanya horison
eluviasi dan iluviasi. Thorp dan Smith (1959) menyimpulkan bahwa eluviasi liat di
horison A dan iluviasi liat di horison B merupakan faktor penyebab utama
terjadinya perbedaan tekstur antara kedua horison ini. Rust (1983) menyatakan
bahwa horison permukaan pada tanah Alfisol ditandai dengan warna tanah yang
terang. Pada tanah yang tidak diolah seperti hutan, jatuhan daun merupakan
sumber bahan organik tanah. Pada horison ini belum terjadi perkembangan
struktur yang jelas.
Horison argilik pada tanah Alfisol, sebagaimana yang ditemukan pada
tanah-tanah lain, membutuhkan periode waktu dimana solum atau bagian solum
mengalami proses kekeringan. Dengan demikian hasil pelapukan maupun koloid-
koloid yang terlarut di bagian atas solum kemudian dapat terendapkan pada
permukaan struktur, di dalam pori, maupun pada lubang akar. Bartelli dan Odell
(1960) mengatakan bahwa zona pengendapan akan bervariasi, umumnya
menjadi lebih dalam pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Penelitian tentang
horison argilik oleh Nettleton et al. (1975) diperoleh bahwa jika horison argilik
terbentuk akibat proses translokasi liat, maka pada horison tersebut tidak hanya
mengandung lebih banyak liat dari horison A tetapi harus lebih banyak
mengandung liat halus. Selanjutnya dikatakan pula bila pada horison tersebut
tidak terjadi proses pengembangan dan pengkerutan yang jelas maka harus
memiliki selaput liat.
Tanah Ultisol
Beberapa proses dan reaksi secara individu terlibat dalam proses
pembentukan Ultisol. McCaleb (1959) dalam Buol et al. (1980) membicarakan
tentang pembentukan tanah Podsolik Merah Kuning yang kemudian diketahui
sebagai Ultisol.
21
Banyak Ultisol terutama yang terletak pada lahan yang stabil tidak
memiliki selaput liat seperti yang dikemukakan oleh Gamble et al. (1970). Ultisol
di daerah tropik cenderung memiliki horison E yang bertekstur agak lebih halus,
mengandung lebih banyak bahan organik dan besi, dibanding Ultisol yang
berasal dari subtropik.
Pencucian yang ekstensif terjadi pada Ultisol telah mengakibatkan
berpindahnya basa-basa, konsentrasi basa berkurang dengan bertambahnya
kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa siklus biologi terjadi bersamaan dengan
proses pencucian. Permukaan tanah Ultisol yang berdrainase baik berwarna
terang (epipedon okrik). Biasanya dijumpai lapisan yang hitam (10 cm) yang
menunjukkan adanya proses melanisasi pada Ultisol. Proses ini disertai proses
mineralisasi yang sangat cepat pada tanah Ultisol yang berdrainase baik.
Kandungan bahan organik yang relatif tinggi dijumpai pada Ultisol yang
berdrainase buruk (Umbraaquults). Saat permukaan yang berwarna gelap
berkembang di bawah kondisi alamiah maka, kejenuhan basanya (NH4OAc)
biasanya kurang dari 50%, dan diklasifikasikan sebagai epipedon umbrik.
Kebanyakan epipedon umbrik yang telah dikapur dapat berubah menjadi
epipedon molik. Tanah yang mempunyai epipedon molik akibat pengapuran
dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Ultisol jika bahan yang berada di lapisan
bawahnya merupakan horison argilik dan memiliki kejenuhan basa (jumlah
kation) yang cukup rendah (< 35%).
Kedalaman diagnostik untuk menentukan kejenuhan basa pada Ultisol
adalah 125 cm (50 inci) di bawah permukaan argilik atau pada kedalaman 180
cm (72 inci) di bawah permukaan tanah, pilih mana yang lebih dangkal, bila
tanah tidak ada kontak litik atau paralitik yang lebih dangkal dari kedalaman
tersebut. Kriteria ini dibuat untuk menggambarkan pencucian yang ekstensif
pada Ultisol dan juga menempatkan kedalaman yang cukup untuk
22
mengantisipasi perubahan dalam klasifikasi tanah karena praktek pengelolaan
tanah.
Dua kenampakan yang umum tapi tidak harus ada pada Ultisol adalah
plintit dan fragipan. Plintit dapat muncul pada horison bawah permukaan di
Ultisol yang berkembang pada lansekap yang tua dan stabil. Gamble et al.
(1970). Sumber daripada plintit adalah bercak yang berwarna merah terang,
umumnya dengan pola retikulasi (reticulate) di dalam tanah. Saat terjadi
pembasahan dan pengeringan yang berulang, beberapa dari bercak merah
tersebut mengeras dan tidak dapat balik (irreversible). Namun tidak semua
bercak merah di dalam tanah akan mengeras menjadi plintit. Dari banyak
pengamatan plintit di Ultisol mengindikasikan bahwa plintit dijumpai pada
kedalaman dimana terdapat fluktuasi air tanah musiman. Walaupun plintit
dijumpai pada banyak Ultisol, hanya apabila menjadi pembatas drainase yang
dimasukkan pada sistem taksonomi, yakni berada sekitar 10 – 15% dari volume
horison tanah.
Fragipan dapat dijumpai pada Ultisol, khususnya pada Ultisol yang
berdrainase buruk. Fragipan sama halnya dengan lapisan plintit, dapat menjadi
sebagai pembatas pergerakan air di dalam tanah. Pada Ultisol fragipan menjadi
baur dengan lapisan plintit dimana bercak kelabu terjadi pada zona seperti
bercak plintit yang berwarna merah. Fragipan juga dapat ditemukan tanpa
adanya plintit, dimana terdapat dalam bentuk warna kelabu. Adanya fragipan
pada Ultisol telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1966); Nettleton et al. (1968);
Soil Survey Staff, (1960) namun genesis daripada fragipan masih belum jelas.
Morfologi tanah Ultisol sama dengan tanah Alfisol dalam hal adanya
horison eluviasi dan iluviasi liat. Typic Hapludult paling banyak ditemukan.
Epipedon okrik terdapat di atas horison argilik yang berwarna merah, coklat
kekuningan, dan coklat kemerahan. Secara ideal horison yang ada pada tanah
23
Ultisol adalah A, E, BE, Bt, BC, dan C. Peningkatan liat bertambah secara
berangsur dari bagian atas horison B menjadi maksimum pada bagian atas
horison argilik, kemudian berkurang dengan bertambahnya kedalaman ke
horison C. Ketebalan solum tanah sekitar 1,5 sampai 2 meter.
Proses pembentukan Ultisol menekankan adanya pelapukan yang
ekstensif dan pencucian basa -basa, pembentukan dan translokasi liat, akumulasi
seskuioksida, dan perkembangan warna tanah. Jenis, jumlah, dan distribusi
mineral sangat berpengaruh pada morfologi dan sifat-sifat lain dari Ultisol.
Faktor-faktor seperti komposisi mineral, proses pelapukan dan transformasi
mineral sangat berpengaruh pada perkembangan Ultisol.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah
Kabupaten Bogor dan Banten (Gambar 1 dan 2). Pedon-pedon pewakil tanah Ultisol
Alfisol, Inceptisol yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel 1 dan Gambar 1)) dan
berkembang dari Batuliat diambil di desa Cendali, Cijayanti-1, dan Cijayanti-2; yang
dari Batu kapur di desa Pasircabe (Jonggol) ; dan yang dari bahan Volkanik-Andesitik
diambil di desa Ciampea dan Jasinga. Sementara dua pedon pewakil yang
berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik, berada di Kabupaten Serang (Tabel 1,
Gambar 2) diambil di desa Cipocok. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium
Genesis, Klasifikasi, dan Mineralogi Tanah, dan Laboratorium Kesuburan Tanah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Analisis mineral liat dilakukan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Analisis irisan tipis dilakukan
di Labortorium Tanah, Fakultas Geografi, UGM Yogyakarta. Waktu penelitian mulai
pada bulan Juni 2003 – Juni 2004.
Tabel 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-pedon
Pewakil. No. Pedon Lokasi Bahan Induk Regim Kelembaban
Tanah AM1 AM2 AM3 AM4 AM5 AM6 AM7 AM8 AM9 AM10
Kabupaten Bogor : Cendali Cijayanti-1 Cijayanti-2 Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Jasinga Ciampea Kabupaten Serang : Cipocok Cipocok
Batuliat Batuliat Batuliat Batukapur Batukapur Batukapur Volkanik-Andesitik Volkanik-Andesitik Volkanik-Dasitik Volkanik-Dasitik
Akuik
Perudik Akuik
Perudik Perudik Akuik
Perudik Perudik
Ustik Akuik
25
Gambar 1. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor.
26
Gambar 2. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang.
27
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 pedon pewakil tanah
Alfisol dan Ultisol, terdiri dari 65 contoh tanah berasal dari masing-masing horison.
Regim kelembaban tanah Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol yang berkembang dari bahan
induk batuan sedimen (Batu liat dan Batukapur) dan bahan Volkanik-Andesitik, di
daerah Kabupaten Bogor adalah akuik dan perudik. Sedangkan Ultisol, Alfisol, atau
Inceptisol dari bahan Volkanik-Dasitik yang berada di daerah Kabupaten Serang
mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan akuik.
Metodologi Penelitian
Penelitian Lapangan
Penentuan lokasi pedon pewakil masing-masing tanah yang diteliti didasarkan
pada kegiatan pendahuluan, yakni pengamatan tanah dengan menggunakan Peta
Tanah Tindjau Mendalam Kabupaten Bogor dan sekitarnya, skala 1: 50.000
(Hardjono, dan Soepraptohardjo, 1966), Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor, skala 1
: 250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966), Peta Geologi Lembar Bogor , skala 1:
100.000 (Effendi et al., 1998) dan Peta Rupabumi Lembar Bogor, Cileungsi,
Leuwiliang, dan Serang, skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1998).
Kegiatan pengamatan lapang dilakukan untuk menentukan pedon pewakil.
Kegiatan pengamatan diawali dengan melakukan pemboran tanah dan pembuatan
mini pit, dan akhirnya menentukan titik pedon yang memenuhi syarat sebagai
pewakil. Pedon pewakil yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini, adalah yang
memiliki horison penimbunan liat (Bt) dan berkembang dari bahan induk batuan
sedimen dan/atau bahan volkanik, serta mempunyai regim kelembaban akuik,
perudik/udik, atau ustik. Selanjutnya dilakukan pembuatan profil tanah, yang
kemudian dideskripsikan dan diambil contoh tanah dari masing-masing horison
28
mengikuti prosedur yang diuraikan dalam Soil Survey Manual (Soil Survey Division
Staff, 1993).
Pedon-pedon pewakil yang diambil tersebut, telah disesuaikan dengan
keadaan penyebaran jenis tanah dan bahan induk di lokasi penelitian. Profil tanah
dibuat dengan ukuran sekitar 2 X 1,5 meter (panjang x lebar), dengan kedalaman
sampai 2 meter. Deskripsi morfologi lapang dibuat pada masing-masing profil meliputi
semua horison tanah berikut sifat-sifatnya, antara lain, tekstur, struktur, konsistensi,
warna, karatan, selaput liat, dan kedalaman perakaran, serta sifat-sifat fisik dan
lingkungan lain yang berkaitan dengan kondisi profil.
Dari setiap horison yang didesripsi diambil contoh tanah sekitar 2 kg , untuk
kebutuhan analisis fisika, kimia, dan mineralogi tanah. Contoh tanah utuh (tidak
terganggu) untuk keperluan analisis irisan tipis (thin section), diambil pada horison
argilik, mengikuti metode Kubiena (1938), dan interpretasinya berdasarkan metode
deskripsi irisan tipis oleh Bullock et al. (1985). Data morfologi tanah dan keadaan fisik
lingkungan di sekitar pedon (nama tempat, ketinggian, iklim, kedudukan pedon dalam
topografi, dan informasi penunjang lainnya) didokumentasikan pada lembar isian
yang sudah disiapkan sebelumnya
Berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang diperoleh dan hasil analisis sifat
tanah di laboratorium, maka tanah di klasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi
tanah Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Staff, 1998; 1999) sampai tingkat famili
tanah.
Penelitian Laboratorium :
(1) Analisis fisika dan kimia
Untuk keperluan analisis fisika dan kimia tanah digunakan contoh tanah
terganggu yang berasal dari masing-masing horison dari setiap pedon pewakil.
Contoh-contoh tanah tersebut setelah dikering-anginkan, dicampur agar merata,
29
kemudian diayak dengan ayakan ukuran 2 mm, untuk memperoleh tanah halus <
2mm, yang siap untuk bahan analisa laboratorium. Jenis analisis dan metode yang
dilakukan, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian.
No. Sifat tanah Metode Kegunaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tekstur C-Organik Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kemasaman terekstrak (Extractable Acidity ) Kation dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na-dd) Kemasaman dapat tukar (Exchangeable Acidity) Besi Bebas (Fe 2O3) Mineral liat Mineral pasir total Mikromorfologi tanah
Pipet Walkley and Black 1N NH4OAc, pH7 BaCl2-TEA, pH 8,2 1N NH4Oac, pH7 1 N KCl Ditionit-sitrat- bikarbonat X-ray Diffraction Line counting Irisan tipis (Bullock et al., 1985)
Distribusi ukuran partikel(liat halus/liat total); genesis dan klasifikasi tanah Genesis & Klasifikasi tanah Klasifikasi tanah Klasifikasi tanah Klasifikasi tanah Klasifikasi tanah Akumulasi besi, (Genesis tanah ) Jenis liat (Genesis dan klasifikasi tanah ) Jenis mineral pasir (Genesis tanah) Sifat mikromorfologi (Genesis dan klasifikasi tanah)
(2) Analisis mineralogi
Identifikasi mineral liat menggunakan analisa X-ray diffraction (XRD) dilakukan
pada masing-masing contoh tanah terpilih, yang mewakili horison eluviasi dan iluviasi
maksimum dari setiap pedon pewakil. Analisis terhadap contoh liat dilakukan
menggunakan 4 perlakuan standar yaitu penjenuhan dengan kation (1) Mg, (2) Mg,
ditambah gliserol, (3) K, dan (4) K dan pemanasan 550 oC.
30
(3) Analisis Mikromorfologi
Contoh tanah yang tidak terganggu diambil dari horison Bt pada masing-
masing pedon pewakil menggunakan metode kotak Kubiena (Kubiena, 1938; Bullock
et al., 1985) dengan beberapa modifikasi. Cara pengambilan contoh tanah untuk
kebutuhan analisis irisan tipis ini dilakukan dengan menentukan titik pengambilan
yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, mempelajari karakteristik horison
penimbunan liat. Dengan demikian, contoh diambil pada horison Bt pada masing-
masing pedon.
Ukuran contoh yang digunakan adalah ukuran Mammoth (20X10 cm) yang
dimodifikasi berdasarkan metode Jongerius dan Heintzberger (1975). Orientasi
contoh irisan tipis, sesuai dengan tujuan mempelajari tentang iluviasi liat, adalah
orientasi horizontal.
Pengamatan dan deskripsi selaput liat serta kenampakan mikromorfologi
lainnya pada horison penimbunan liat, didasarkan pada konsep bahan kasar dan
halus dari ”soil fabric ” dikaitkan dengan pola distribusinya dan bireference fabric (b-
fabric) dari bahan halus (Brewer, 1976; Bullock et al., 1985).
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif/kualitatif. Cara kualitatif dilakukan
terhadap data sifat-sifat horison penimbunan liat hasil pengamatan di lapang, data
sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi hasil analisis laboratorium horison
penimbunan liat yang diperoleh.
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
(pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan
AM10) disajikan pada Peta lokasi penelitian (Gambar 1 dan Gambar 2).
Geologi
Keadaan geologi lokasi penelitian diuraikan berdasarkan data dari peta
geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya yang bersumber pada Peta Geologi Jawa
dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1 : 500.000 (Direktorat Geologi, 1968), dan
Geologi Lembar Serang skala 1 : 100.000 (Rusmana et al., 1991) dan disajikan
pada Gambar 3 dan 4.
Lokasi pedon-pedon pewakil di Kabupaten Bogor (Gambar 3) : Daerah
Cendali (pedon AM1) terbentuk dari formasi Bojongmanik Tmb (Tertiary miosen
Bojongmanik), yakni endapan tersier zaman Miosen yang terdiri dari endapan
batugamping, tuff batuapung, dan batuliat. Daerah Cijayanti (pedon AM2 dan AM3)
merupakan endapan batu napal dan batu serpih berumur awal Miosen dari formasi
Jatiluhur Tmj (Tertiary Miosen Jatiluhur). Pedon AM1, AM2, dan AM3 pada Gambar
3 berada pada fasies Sedimen Pliosen (warna kuning). Daerah Pasircabe, Jonggol
(pedon AM4, AM5, dan AM6) berasal dari bahan endapan laut dan sungai
(kuarter), serta kapur pada tertier muda. Di daerah Jasinga (pedon AM7) terbentuk
dari bahan Volkanik-Andesitik. Daerah Ciampea (pedon AM8) terbentuk dari batuan
volkan (Qvst) (gunung Salak) merupakan endapan kuartier. Pada Gambar 3, pedon
AM8 dan AM7 berada pada batuan Andesit (warna merah bata).
34
Gambar 3. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor)
35
Gambar 4. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang)
36
Lokasi pedon pewakil di Kabupaten Serang, Banten: daerah Cipocok Serang
(Pedon AM9 dan AM10). Geologi di daerah Serang dipengaruhi oleh aktivitas
gunung berapi sejak akhir tersier (late Tertiary). Berdasarkan peta geologi Serang
dan sekitarnya, skala 1:100.000 oleh Rusmana et al. (1991) (Gambar 4), daerah
penelitian dimana pedon AM9 dan AM10 tersebut, umumnya terbentuk dari bahan
volkanik pada masa kuarter (Quaternary), yang membentuk kompleks bahan
volkanik, berupa bahan tufa Banten Qpvb (Quarternary pleistosin volkanik Banten)
atau dikenal dengan “ Tuf Banten” yang terbentuk dari bahan-bahan tuf, breksi batu-
apung dan batupasir tufan.
Topografi
Topografi wilayah penelitian di Kabupaten Bogor: Daerah Cendali (AM1)
terdiri dari topografi yang agak datar sampai bergelombang. Daerah Cijayanti, Bukit
Sentul bertopografi berbukit (AM2) dan agak datar (AM3). Daerah Pasircabe,
Jonggol (AM4, AM5, dan, AM6), memiliki topografi yang berombak yang merupakan
kompleks perbukitan kapur. Di daerah Jasinga (AM7)dan Ciampea (AM8)
merupakan daerah berbukit.
Topografi di daerah Serang (AM9 dan AM10) merupakan bagian dataran
rendah pantai Utara Jawa Barat, yang berketinggian kira-kira 25 meter dpl, dan
umumnya memiliki topografi datar sampai berombak. Lokasi pengambilan contoh
tanah merupakan daerah yang datar (AM10) dan berombak (AM9). Adapun posisi
topografi masing-masing pedon pewakil disajikan pada Gambar 5.
37
Gambar 5. Lokasi Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi
Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses
pembentukan tanah, melalui faktor suhu dan curah hujan. Dimana keduanya secara
langsung berpengaruh terhadap bahan induk sebagai sumber utama bahan
pembentuk tanah. Data iklim diambil dari stasiun yang terdekat dengan daerah
lokasi pengambilan pedon dalam penelitian dan disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Menurut perhitungan dengan pendekatan model yang dikemukakan oleh
Newhall (1972), dalam Wambeke (1985) maka, regim suhu tanah daerah penelitian
memiliki regim suhu tanah isohipertermik (Lampiran 12). Pendekatan tersebut
diperoleh dengan rumus Suhu tanah = 2,5 + suhu udara rata-rata tahunan (oC).
Isohipertemik adalah regim suhu tanah di mana, suhu tanah rata-rata tahunan
Cendali (AM1) Cijayanti-1 (AM2) Cijayanti-2
(AM3)
Pasircabe (AM4)
Jasinga (AM7)
Ciampea (AM8)
Cipocok (AM9)
(AM5) (AM6)
AM10
38
adalah 22 oC atau lebih tinggi, dan perbedaan antar suhu tanah musim panas rata-
rata dan musim dingin rata-rata, adalah kurang dari 6 oC.
Pada daerah penelitian di Kabupaten Bogor, regim kelembaban tanah yang
ada adalah akuik, dan perudik serta ustik di Kabupaten Serang. Akuik (bahasa Latin,
aqua, atau air) adalah suatu regim reduksi dalam tanah yang jenuh oleh air dan
bebas oksigen. Lamanya waktu tanah jenuh air sekurang-kurangnya beberapa hari
(Soil Survey Staff, 2003).
Perudik (bahasa Latin, per atau pada keseluruhan waktu dan udus, atau
lembab) apabila penggal penentu (control section) kelembaban tanah tidak pernah
kering (lebih basah dari udik) di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif
dalam setahun (Soil Survey Staff, 1999). Dalam klasifikasi tanah, regim kelembaban
perudik jarang digunakan, sehingga dalam penelitian ini digunakan udik sebagai
regim kelembaban tanah. Ustik adalah regim kelembaban tanah (bahasa Latin,
ustus, terbakar, menyatakan kekeringan) di mana penampang kontrol kelembaban
kering pada sebagian atau semua bagiannya selama 90 hari kumulatif atau lebih,
dalam setahun.
Penggunaan lahan
Di daerah penelitian Kabupaten Bogor, penggunaan lahan umumnya untuk
usahatani padi sawah, bila ketersediaan air cukup (air tanah dangkal). Sedangkan
pada lokasi yang memiliki air tanah dalam, usahatani umumnya palawija.
Di daerah penelitian Kabupaten Serang, khususnya di daerah dataran (plain)
yang sering dijenuhi air, musim basah dimanfaatkan untuk usahatani
Tabel 3. Data Curah Hujan (mm) Bulanan Daerah Sekitar Penelitian (Rata-rata 10 Tahun).
Keterangan: Sumber data Badan Geofisika dan Meteorologi Jakarta, Tahun 1977-1986 Regim KT = Regim Kelembaban Tanah, Regim ST = Regim Suhu Tanah (lihat Lampiran 12).
Stasiun RegimNo Ketinggian☺an Feb Mar Apr Mei ☺un ☺ul Ags Sep Okt Nov Des TahunKT
Pedon AM1 :1 Cimulang 150m dpl 513 380 507 398 330 235 217 245 337 320 369 313 4164 Akuik
Pedon AM2 dan AM3 :2 Pasir Maung 218m dpl 475 311419 359 402 190 273 293 380 490 405 467 4464 Perudik (AM2)
Akuik (AM3)Pedon AM4,AM5, dan AM6 :
3 ☺onggol 34m dpl 388 248 297 361210 284 213 151178 225 249 3113115 Perudik (AM4,5)Akuik
Pedon AM7 :4 ☺asinga 50m dpl 310 173 216 370 242 170 215 178 216 247 262 253 2852 Perudik
Pedon AM8 :5 Dramaga 220m dpl 382 303 409 415 338 264 275 191 285 339 360 341 3902 Perudik
Pedon AM9 dan AM10 : Ustik (AM9)6 Serang 25m dpl 289 225 191 130 115 68 75 69 67 99 120 185 1633 Akuik (AM10)
Curah Hujan (mm)
40
Tabel 4. Data Suhu Udara Maksimum, Minimum, dan Rata-rata Bulanan Daerah Kabupaten Bogor, Diwakili Stasiun Darmaga (250 dpl) (1989-1999).
Bulan Suhu udara (oC) maksimum minimum Rata-rata Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
29 30 31 31 32 31 32 32 32 32 30 32
31
23 22 22 23 23 22 21 21 22 22 23 22
22
26 26
26,5 27
27,5 26,5 26,5 26,5 27 27
26,5 27
26,5
padi sawah. Pada musim kering, penggunaan tanah beralih ke industri bata
atau genteng. Untuk lokasi yang bertopografi berombak di mana air tanah
dijumpai lebih dalam, penggunaan lahan umumnya adalah usahatani palawija
serta buah-buahan.
Vegetasi
Di semua lokasi penelitian, baik di Kabupaten Bogor maupun Serang
sudah tidak dijumpai vegetasi asli, kecuali di perbukitan kapur di dekat lokasi
pedon AM-4 dan AM-5 (Pasircabe, Jonggol) masih terdapat vegetasi rumput
alami, berupa tumbuhan babadotan (Ageratum conyzoides), harendong
(Melastoma malabatricum), kirinyuh (Eupathorium odoratum), dan alang-alang
(Imperata cylindrica). Selain lokasi tersebut, vegetasi yang dijumpai umumnya
berupa tanaman pertanian seperti padi, palawija, dan tanaman tahunan (buah-
buahan). Pada saat penelitian di daerah Pasircabe, Jonggol, yang merupakan
kebun percobaan Fakultas Peternakan IPB, tidak diusahakan untuk tanaman
41
pertanian, karena lokasi tersebut digunakan untuk peternakan dengan vegetasi
rumput. Selain itu tanaman di sekitar kebun percobaan yang dijumpai
umumnya padi sawah, singkong, dan kelapa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat-sifat Tanah
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah
Pedon Berbahan Induk Batuliat
Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil
berbahan induk batuliat disajikan pada Tabel 5. Adapun deskripsi profil tanah masing-
masing pedon disa jikan pada Lampiran 1, 2, dan 3.
Pedon AM1. Susunan horison pedon ini terdiri dari horison Ap yang sangat tipis
(10 cm), dan horison Bt pada kedalaman 10 cm sampai 130 cm, serta horison
peralihan BC pada kedalaman 130-200 cm. Hasil pengamatan terhadap warna tanah
menunjukkan bahwa horison permukaan (Ap) memiliki warna kelabu kecoklatan
(10YR 5/1), sama dengan warna horison Bt bagian atas. Sedangkan bagian bawah
Bt, berwarna kelabu sampai kelabu terang kecoklatan (10YR 6/1–6/2), warna yang
sama dijumpai sampai pada horison peralihan BC. Dapat dikatakan bahwa, warna
horison Bt dan BC pedon ini, dipengaruhi oleh kondisi reduksi dengan dijumpainya air
tanah yang dangkal pada kedalaman kurang dari 100 cm. Karatan berwarna coklat dan
merah kekuningan ditemukan pada horison permukaan sampai di bagian tengah
horison Bt. Hal tersebut menunjukkan adanya kondisi oksidasi dan reduksi pada
bagian pedon tersebut, didukung oleh penggunaan lahannya sebagai sawah tadah
hujan. Perbedaan warna yang tidak menonjol antara horison permukaan dan bagian
atas horison Bt membuat batas horison terlihat berangsur, sedangkan batas horison
jelas terlihat pada keseluruhan horison Bt.
Adapun tekstur pada horison permukaan adalah lempung berliat (CL) dan pada
horison Bt adalah liat (C), sedangkan tekstur pada horison peralihan adalah liat
berdebu (SiC). Perubahan tekstur tanah yang jelas terlihat antara horison permukaan
dan horison Bt.
41
Tabel 5. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batuliat.
Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Liat halus Kelas Tekstur(Cm) (lembab) liat Lindak (cc/g) Pasir Debu Liat Kasar Liat Halus Liat Total / liat total
AM1 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik)Ap 0-10 10YR5/1 CL 2.5YR4/6, m f bs 2 m sbk gs - 1.15 38.45 31,83 3,39 26.33 29.72 0.89 Lempung berliat
Bt1 10-30 10YR5/1 C 5YR 5/8, m f bs 2 m/c abk cs - 1.31 29,73 27,58 9,41 33.18 42.69 0.78 LiatBt2 30-55 10YR6/1 C 7.5YR5/8, m f bs 2 m abk cs ada 0.94 22,75 31,25 4,17 41.83 46.00 0.91 Liat
Bt3 55-95 10YR6/2 C 7.5YR5/6, m f bs 2m/c abk cs ada 1.31 25,38 23,65 4,09 46.88 50.97 0.92 LiatBtg 95-130 10YR6/2 C - 2m/c abk gs ada 1.04 11,22 35,90 11,91 40.97 52.88 0.77 Liat
BCg 130-200 10YR6/2 SiC - 2m/c abk - ada 0.88 2,47 42,70 14,46 40.37 54.83 0.74 Liat berdebu
AM2 - Fluventic Dystrudept (perudik)
Ap 0-18 10YR5/4 SiC - 2 f sbk gs - 1.32 10,09 44,12 14,66 31.13 45.79 0.68 Liat berdebu
BA 18-37 10YR5/8 C - 2 f/m sbk cs - 1.14 9,56 37,85 16,28 36.31 52.59 0.69 LiatBt1 37-65 7.5YR5/8 C - 2 m sbk cs ada 1.32 7,25 38,74 13,61 40.00 54.01 0.74 LiatBt2 65-103 10YR5/8 C 5YR5/6, m f bs 2 m/c sbk cs ada 1.51 10.83 30,34 13.38 45.45 58.82 0.77 Liat
Bt3 103-130 10YR5/6 C 10Y2/1, m m bs 1 f/m sbk cs ada 1.30 8,30 28,75 21,44 41.51 62.91 0.66 LiatBC 130-200 10YR5/6 C 2,5YR4/8, m m bs 2 f /m sbk cs ada 1.24 3,91 47,30 16,15 32.64 48.79 0.67 Liat berdebu
AM3 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik)
Ap 0-15 10YR4/6 C - 1 f sbk - 1.19 10.58 47,59 15,39 20.44 40.83 0.50 Liat berdebuBt1 15-30 10YR4/6 C - 1/2 f/m sbk - 0.92 3,53 44,12 16,39 35.65 52.04 0.69 Liat berdebu
Bt2 30-50 10YR5/2 C 5YR5/8 1 m sbk ada 1.16 8.75 40.35 15.73 35.17 50.90 0.69 Liat berdebuBt3 50-85 10YR5/2 C 5YR5/8 2 m sbk ada 1.20 6.16 38.33 16.09 39.42 55.51 0.71 Liat berdebu
Btg1 85-115 10YR5/1 C 2.5YR3/6 2 m sbk ada 1.14 11.24 38.11 18.23 32.42 50.65 0.64 Liat berdebuBtg2 115-135 10YR5/1 C 7.5YR5/8 2 m sbk ada 1.20 9.12 34.43 19.89 36.56 56.45 0.65 LiatBC 135-200 10YR4/1 C - 2 m sbk ada 0.88 3,53 47,44 18,43 27.93 46.36 0.60 Liat berdebu
Keterangan : C=liat, CL=lempung berliat, SiC=liat berdebu; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; abk=gumpal bersudut, sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata.
Tekstur (%)
43
Adapun struktur tanah horison Bt adalah gumpal bersudut dengan konsi stensi
teguh, sebaliknya struktur gembur dijumpai pada horison Ap yang berada di atasnya.
Nilai kerapatan lindak horison Ap adalah relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kerapatan lindak horison Bt (bagian tengah sampai bawah) dan menurun pada horison
BC. Peningkatan tersebut seiring dengan terjadinya peningkatan liat terutama
kandungan liat halus pada horison Bt tersebut.
Pedon AM2. Pedon dengan regim kelembaban tanah perudik ini tersusun oleh
horison permukaan (Ap) dengan ketebalan 18 cm, yang diikuti dengan horison
peralihan BA sampai kedalaman 37 cm. Horison Bt dijumpai dari 37 cm sampai pada
kedalaman 130 cm, serta horison peralihan BC dijumpai pada kedalaman 130-200 cm.
Peralihan horison terjadi secara berangsur dan rata pada horison Ap ke horison BA,
kemudian secara nyata dan rata pada horison Bt dan BC. Warna coklat kekuningan
(10YR 5/4) terlihat pada horison Ap, dan warna coklat (7,5YR 5/8) sampai coklat
kekuningan 10YR 5/6-5/8 dijumpai pada seluruh bagian horison Bt maupun horison
BC di bawahnya. Warna tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oksidatif pedon ini di
mana air tanah tidak dijumpai sampai kedalaman pengamatan (200 cm). Namun
demikian, karatan besi dan mangan, dijumpai pada bagian bawah pedon yang
berkembang dari batuliat ini. Hal ini diduga bahwa pada bagian bawah pedon, ada
saat, dimana air tertahan dan menjenuhi bagian-bagian tanahnya sehingga, terjadi
kondisi reduktif, dan pada saat adanya udara, dapat memungkinkan terjadi oksidasi
terhadap besi dan mangan.
Tekstur dijumpai berbeda pada setiap horison. Pada horison Ap liat berdebu
(SiC) dan pada Bt liat (C), sedangkan pada horison BC adalah liat berdebu (SiC).
Struktur gumpal membulat dengan ukuran halus sampai medium terjadi pada seluruh
horison, dengan tingkat perkembangannya sedang. Adapun konsistensi gembur
dijumpai pada horison Ap, dan agak teguh sampai teguh pada horison Bt dan BC. Nilai
kerapatan lindak horison Bt meningkat pada bagian tengah horison, dan relatif lebih
44
tinggi dari horison Ap. Sedangkan pada bagian atas dan bawah horison Bt cenderung
lebih rendah dibanding dengan kerapatan lindak horison Ap.
Pedon AM3. Susunan horison pedon ini adalah horison Ap yang berwarna
coklat kekuningan (10YR 4/6) dengan ketebalan 15 cm, dan di bawahnya diikuti
langsung oleh horison Bt sampai kedalaman 135 cm, yang bagian atasnya memiliki
warna masih sama dengan horison Ap. Warna coklat kelabu sampai kelabu (10YR
5/1–5/2) dijumpai pada bagian tengah Bt sampai pada horison BCg. Warna horison Bt
mendukung keadaan reduksi, dimana terdapat air tanah agak dangkal, yakni kurang
dari 150 cm. Kondisi akuik jelas terlihat dengan adanya warna tanah berkroma rendah,
≤ 2 dan value yang tinggi ≥ 4. Pedon ini memiliki tekstur liat berdebu mulai horison Ap
sampai pada bagian tengah Bt, dan liat pada bagian bawah horison Bt sampai dengan
horison BCg.
Struktur pada horison Ap adalah gumpal membulat berukuran halus, dengan
perkembangan yang sedang. Struktur yang sama terdapat pada horison Bt maupun
horison-horison BCg, namun ukuran lebih besar (medium) daripada struktur horison
permukaan. Konsistensi gembur pada horison Ap dan teguh sampai sangat teguh di
horison Bt dan BCg yang masif. Nilai kerapatan lindak pedon ini cenderung hampir
sama dengan pedon AM1 di mana pada bagian atas Bt cenderung lebih rendah dari
horison atas. Nilai kerapatan lindak terlihat meningkat pada bagian tengah horison Bt,
dan cenderung menurun tidak teratur pada bagian bawah horison Bt sampai BCg.
Dapat dikatakan bahwa pedon AM1 dan AM3 sama-sama memiliki regim
kelembaban akuik, karena pada kedua pedon tersebut terdapat sifat morfologi yang
sesuai dengan sifat akuik. Perbedaan terlihat pada penyebaran kroma yang rendah
berbeda, pada pedon AM1 berada di bagian atas, sedangkan pada AM3 terjadi pada
bagian bawah solum. Hal tersebut menunjukkan penyebaran zona reduksi terjadi pada
kedalaman yang berbeda. Dibandingkan dengan pedon AM2, maka pedon AM1 dan
45
AM3 jelas lebih tereduksi, karena ditunjukkan oleh adanya air tanah yang dangkal,
serta terlihat dari warna tanahnya.
Perbedaan tekstur antara horison permukaan (Ap) dan horison Bt pada semua
pedon pewakil berbahan induk batuliat ini, bukan merupakan perbedaan bahan
(lithologic discontinuity). Hal tersebut didukung oleh hasil analisis mineralogi, baik
mineral fraksi pasir (total) maupun mineral liat (dibahas kemudian) yang, membuktikan
bahwa terjadi kesamaan jenis mineral yang menyusun tanah, baik horison Bt maupun
Ap di atasnya.
Peningkatan kerapatan lindak pada bagian tengah horison Bt terlihat pada
ketiga pedon pewakil berbahan induk batuliat. Peningkatan tersebut seiring dengan
terjadinya peningkatan liat, terutama kandungan liat halus pada horison Bt. Pada tanah
yang memiliki regim kelembaban tanah akuik (AM1 dan AM3), nilai kerapatan lindak
relatif lebih rendah, dibandingkan dengan pada tanah yang memiliki regim kelembaban
perudik (AM2). Dengan demikian perbedaan regim kelembaban tanah pada pedon-
pedon yang berkembang dari bahan induk batuliat ini berpengaruh terhadap beberapa
sifat tanah. Perbedaan tersebut terutama pada warna tanah dan kerapatan lindak, baik
pada horison Bt maupun horison lainnya.
Pedon Berbahan Induk Batukapur
Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon berbahan induk batukapur disajikan
pada Tabel 6. Adapun deskripsi pedon-pedon pewakil diuraikan pada Lampiran 4, 5,
dan 6.
Pedon AM4. Pedon ini tersusun dari horison permukaan (A) dengan ketebalan
agak tipis yaitu 15 cm, yang diikuti oleh horison peralihan AB sampai kedalaman 31
cm,
46
Tabel 6. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batukapur.
Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Liat halus Kelas Kelas Ukuran
(Cm) (lembab) liat Lindak (cc/g) Pasir Debu Liat Kasar Liat Halus Liat Total / liat total Tekstur Butir
AM4 Dystric Fluventic Dystrudept (perudik)
A 0-15 10YR4/4 C - 1 f/m sbk gs - 0,97 13,6 22,3 11,94 52,1 64,1 0,81 Liat Sangat Halus
AB 15-31 10YR5/4 C 7.5YR5/8, f f bs 1 f/m sbk cs - 1,03 8,6 29,24 12,83 49,3 62,2 0,79 Liat Sangat Halus
Bt1 31-45 10YR4/6 C 5 YR 5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 1,06 8,0 18,0 7,8 65,2 73,0 0,89 Liat Sangat HalusBt2 45-66 10YR5/4 C 5 YR 5/8, m s bs 2 m/c sbk cs ada 1,23 4,3 16,3 9,3 70,0 79,3 0,88 Liat Sangat Halus
Bt3 66-130 10YR7/2 C 7.5YR 6/8, m s bs 2 m/c abk cs ada 1,25 5,4 19,7 11,0 64,0 75,0 0,85 Liat Sangat Halus
BC 130-200 10YR7/2 C 7,5YR5/8, f f/m bs 2 m/c abk - - 1,00 5,3 19,3 11.8 63,6 74,0 0,86 Liat Sangat Halus
AM5 Dystric Fluventic Dystrudept (perudik)
A 0-16 10YR3/2 C - 1 f/m sbk cs - 1,32 8,8 29,7 4,3 57,3 61,5 0,93 Liat Sangat Halus
Bt1 16-38 10YR4/6 C 7.5YR5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 1,25 5,91 21,1 8,8 64,3 73,0 0,88 Liat Sangat Halus
Bt2 38-86 10YR5/4 C 5 YR 5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 1,18 4,52 28,8 6,1 60,6 66,7 0,91 Liat Sangat HalusBt3 86-122 10YR5/2 C 5 YR 5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 0,91 0,52 21,7 4,2 73,6 77,8 0,95 Liat Sangat Halus
BC 122-200 2.5Y6/4 C 2 m/c sbk cs - 0,91 0,7 31,4 17,9 50,0 67,9 0,74 Liat Sangat Halus
AM6 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik)
Ap 0-18 10YR3/2 C - 1 f/m sbk - 1,00 4,6 39,9 8,1 47,5 55,5 0,85 Liat HalusBt1 18-50 2.5Y4/0 C 2.5YR 4/6, m f bs 1 m sbk - 1,50 7,1 26,1 5,5 61,4 66,8 0,92 Liat Sangat halus
Bt2 50-77 2.5Y6/0 C 5 YR 5/8, m f bs 2 f/m sbk ada 0,99 6,5 23,7 8,9 61,0 69,9 0,87 Liat Sangat halus
Bt3 77-107 2.5Y5/0 C 10R 4/8, m f bs 2 m sbk ada 1,01 8,9 26,2 8,2 56,8 64,9 0,87 Liat Sangat halus
Bt4 107-136 2.5Y5/0 C 10R 4/8, m f bs 2 m sbk ada 1,02 5,5 29,7 6,0 58,9 64,8 0,91 Liat Sangat halusBC 136-200 2.5Y5/0 C - - - 0,97 6,8 19,0 7,4 66,8 74,2 0,92 Liat Sangat halus
Keterangan : C=liat; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; abk=gumpal bersudut, sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata.
Tekstur (%)
47
dan horison Bt dari 31 cm sampai 130 cm, serta horison peralihan BC sampai
kedalaman 200 cm.
Warna horison permukaan adalah coklat gelap kekuningan (10YR 4/4),
sedangkan warna horison Bt adalah coklat kekuningan sampai coklat gelap
kekuningan 10YR 4-5/4-6. Warna kelabu terang (10YR 7/2) dijumpai pada bagian
bawah horison Bt sampai horison BC. Warna tersebut tidak diiringi oleh adanya kondisi
reduktif maupun air tanah dangkal, sehingga disimpulkan warna tersebut lebih
dipengaruhi oleh warna bahan induk batukapur. Adanya sejumlah karatan pada
keseluruhan horison Bt dan BC, menunjukkan bahwa ada saat dimana air pernah
tertahan pada bagian horison tersebut.
Tekstur tanah pada seluruh horison yang berkembang dari bahan induk
batukapur ini adalah liat (C). Struktur gumpal membulat terdapat dari horison A sampai
pada BC. Horison permukaan memiliki konsistensi gembur, sedangkan horison Bt dan
BC berkonsistensi teguh dan sangat teguh. Nilai kerapatan lindak cenderung
meningkat dengan bertambahnya kedalaman horison Bt, dan menurun pada horison
BC.
Pedon AM5. Pedon ini terdiri dari horison permukaan A yang agak tipis (16
cm), dan Bt yang berada langsung di bawahnya, sampai kedalaman 122 cm dan
horison peralihan BC sampai kedalaman 200 cm. Warna coklat kelabu (10YR 4-5/2-6)
dijumpai pada horison Bt, coklat sangat gelap keabuan (10YR 3/2) pada horison
permukaan, dan coklat terang kekuningan (2,5Y 6/4) pada horison BC. Hal tersebut
menunjukkan bahwa horison Bt dan horison di atasnya lebih bersifat oksidatif,
sedangkan bagian bawahnya bersifat reduktif. Dijumpai karatan terutama pada horison
Bt. Namun sama halnya dengan pedon AM4, pada pedon ini tidak dijumpai air tanah
yang dangkal, sehingga rendahnya kroma dan atau warna tanah pucat cenderung
lebih disebabkan oleh pengaruh dari warna bahan induk batukapur.
48
Tekstur masing-masing horison adalah liat (C). Struktur tanah horison
permukaan gumpal membulat dengan ukuran sedang sampai kasar dengan
konsistensi gembur. Struktur yang sama juga dijumpai pada horison Bt dan BC, tetapi
konsistensinya teguh.
Pada pedon ini nilai kerapatan lindak cenderung menurun dengan
meningkatnya kedalaman. Adanya rekahan-rekahan yang cukup besar sampai
kedalaman 100 cm, tapi secara morfologi tidak terlihat adanya struktur baji pada pedon
ini. Hal ini menandakan bahwa pedon ini belum memenuhi kriteria sifat vertik.
Pedon AM6. Susunan horisonnya terdiri dari Ap dengan ketebalan 18 cm,
horison Bt langsung di bawahnya sampai pada kedalaman 136 cm, dan BC sampai
kedalaman 200 cm. Warna horison Ap adalah coklat kelabu sangat gelap (10YR3/2),
sedangkan keseluruhan horison Bt berwarna kelabu (2,5YR 5/0) dengan kroma sangat
rendah dan value tinggi, yang menunjukkan ciri-ciri kondisi akuik. Hal ini didukung oleh
adanya air tanah dangkal (77 cm) sehingga dikategorikan memiliki regim kelembaban
tanah akuik. Karatan merah kekuningan dijumpai pula pada semua pedon yang
terbentuk dari bahan induk batukapur, terutama pada horison Bt. Hal ini menunjukkan
bahwa pada horison tersebut cenderung terjadi kondisi basah dan kering yang
bergantian, atau ada kondisi di mana air sempat tertahan. Demikian pula antara Bt dan
horison atasnya terdapat kecenderungan yang sama, yakni horison permukaan
memiliki konsistensi gembur, dan horison Bt ke bawah berkonsistensi teguh dan
sangat teguh.
Tekstur tanah pada keseluruhan horison adalah liat (C). Pada pedon yang
memiliki regim kelembaban akuik ini mempunyai nilai kerapatan lindak yang tinggi,
yang dijumpai di bagian atas horison Bt. Penggunaan tanah pedon ini adalah
disawahkan, sehingga dijumpai lapisan yang padat dan keras, yang mungkin sebagai
lapisan tapak bajak, selain merupakan horison penimbunan liat. Perbedaan yang
terlihat menonjol antara AM4 dan AM5, dan pedon AM6 adalah horison Bt pedon AM6
49
terdapat kroma rendah (yakni 0), sedangkan pada AM4 dan AM5 memiliki kroma 2-6.
Hal tersebut menunjukkan pengaruh regim kelembaban tanah terhadap warna tanah.
Kondisi akuik cenderung memiliki warna tanah yang pucat dibanding kondisi perudik.
Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Andesitik
Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon pewakil disajikan pada Tabel 7.
Sedangkan deskripsi profil diuraikan dalam Lampiran 7 dan 8.
Pedon AM7. Pedon ini tersusun oleh horison A yang agak tipis (19 cm), horison
Bt dari 19 cm sampai kedalaman 105 cm, dan horison BC sampai kedalaman 130 cm.
Horison C dijumpai sampai kedalaman 200 cm. Warna tanah horison A adalah coklat
kemerahan (5YR 3/2). Horison Bt bervariasi dari coklat kemerahan (2,5YR4/4) sampai
coklat gelap (7,5YR 4-6/2-4). Sedangkan horison BC dan C warnanya sama, adalah
Kelabu-merah muda (7,5YR 6/2). Karatan dijumpai pada bagian tengah horison Bt
sampai bagian bawah.
Adapun tekstur horison permukaan adalah liat berdebu (SiC), horison Bt adalah
liat (C), horison BC dan C adalah liat berdebu (SiC). Struktur gumpal membulat terjadi
pada horison Bt maupun horison lainnya. Konsitensi gembur pada horison permukaan
dan agak teguh sampai teguh pada horison Bt, serta teguh pada bagian bawah pedon
ini. Kerapatan lindak horison pada pedon ini terlihat relatif yang paling rendah di antara
pedon-pedon lain dalam penelitian ini.
Pedon AM8. Pedon ini tersusun oleh horison Ap dengan tebal 20 cm, yang
berwarna coklat gelap kemerahan (5YR 3/3), horison Bt sampai pada kedalaman 145
cm berwarna coklat kemerahan (5YR 3-4/2-4), dan horison BC sampai kedalaman 200
cm. Pada bagian tengah horison Bt dijumpai adanya mangan dalam bentuk konkresi,
menunjukkan adanya pengaruh air dimana pedon ini pernah disawahkan.
50
Tabel 7. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Andesitik.
Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Tekstur (%) Rasio liat Kelas Tekstur Kelas Ukuran
(Cm) (lembab) liat Lindak(g/cc) Pasir Debu Liat kasar Liat halus Liat total halus/total Butir
AM7 - Andic Dystrudept (perudik)
A 0-19 5YR3/2 C - 2 f sbk cs - 0,81 3,5, 43,0 39,64 13,8 53.5 0,26 Liat berdebu Halus
Bt1 19-47 5YR3/4 C - 2 m sbk gs ada 0,90 4,9 26,5 21,12 47,5 68.6 0,69 Liat Sangat Halus
Bt2 47-80 5YR4/4 C 7.5YR6/2, f f bs 2 m sbk gs ada 0,97 3,7 37,2 27,84 31,4 59.2 0,53 Liat Halus
Bt3 60-105 2.5YR4/4 C 7.5YR6/2, f f bs 2 m sbk gs ada 0,88 1,8 14,9 11,84 71,4 83.3 0,86 Liat Sangat HalusBt4 105-130 7.5YR6/2 SiC 2.5YR4/8, m c bs 1 f/m sbk gs ada 0,96 1,9 42,8 22,00 34,0 55.3 0,61 Liat berdebu Halus
C 130-200 7.5YR6/2 SiC 7.5YR 5/8 dan - - - 0,96 1,8 52,6 23,68 21,9 45.6 0,48 Liat berdebu Halus
10 YR 3/3 m c bs
AM8 - Typic Haplohumult (perudik)
Ap 0-20 5YR3/3 SiC - 1/2 f sbk cs - 1,00 6,2 48,1 15,9 29,8 45,7 0,65 Liat berdebu Halus
Bt1 20-40 5YR4/4 C mangan 1 f/m sbk cs ada 1,07 5,9 38,8 19,4 35,9 55,2 0,65 Liat Halus
Bt2 40-65 5YR3/2 C mangan 2 f/m sbk cs ada 1,1 5,4 32,2 6,5 55,9 64,4 0,87 Liat Sangat HalusBt3 65-90 5YR4/3 C mangan 2 m sbk cs ada 1,08 3,9 19,3 6,0 70,8 76,8 0,92 Liat Sangat Halus
Bt4 90-110 5YR4/4 SiCL - 2 m sbk gs ada 0,97 3,6 28,5 15,8 52,3 68,1 0,77 Liat Halus
Bt5 110-145 5YR4/4 C - 2 m sbk ds ada 0,91 4,7 15,1 16,5 63,7 80,2 0,79 Liat Sangat Halus
Bt6 145-200 5YR4/4 C - 2 m sbk - ada 1,07 3,2 36,6 12,3 48,2 60,2 0,80 Liat Sangat Halus
Keterangan : C=liat, SiC=liat berdebu, SiCL=Lempung liat berdebu; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata, ds=baur rata.
51
Pedon ini memiliki tekstur liat berdebu (SiC) pada horison permukaan, sedangkan
pada horison Bt adalah liat (C) dan lempung liat berdebu (SiCL). Struktur tanah adalah
gumpal membulat, baik pada horison Bt maupun horison di atas dan bawahnya.
Konsistensi gembur pada horison permukaan dan teguh pada horison Bt, sedangkan
pada horison di bawah Bt memiliki konsistensi yang agak teguh. Kerapatan lindak
cenderung meningkat sampai bagian tengah dan menurun di bagian bawah horison Bt.
Dengan demikian walaupun kedua pedon ini memiliki bahan induk dan regim
kelembaban tanah yang sama (perudik), cenderung memiliki sifat morfologi dan fisika
yang hampir sama. Perbedaan terlihat bahwa pedon AM7 memiliki kerapatan lindak
yang relatif rendah dibanding AM8. Demikian pula adanya konkresi mangan pada pada
horison Bt, dikarenakan bahwa tanah tersebut adalah lahan bekas sawah.
Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik
Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon pewakil berbahan induk Volkanik-
dasitik disajikan pada Tabel 8. Adapun deskripsi profil disajikan pada Lampiran 9 dan
10.
Pedon AM9. Susunan horison pedon ini adalah horison A dengan tebal 22 cm,
Bt dari 22 cm sampai kedalaman 140 cm, dan BC sampai kedalaman 200 cm. Horison
permukaan memiliki warna coklat gelap kemerahan (5YR 3/4), horison Bt coklat
kemerahan sampai merah (2,5YR 3/6-4/6) dan horison peralihan BC merah
(2,5YR4/6).
Tekstur liat (C) terlihat dominan pada seluruh horison dari pedon ini. Struktur
gumpal bersudut dijumpai hampir pada seluruh horisonnya. Konsistensi gembur pada
horison permukaan dan agak teguh sampai sangat teguh pada horison Bt. Horison BC
memiliki konsistensi yang sama, yakni sangat teguh, dengan bagian bawah horison Bt.
Kenyataan ini diiringi dengan kandungan liat yang relatif tinggi. Nilai kerapatan lindak
52
Tabel 8. Beberapa Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik.
Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Tekstur (%) Rasio liat Kelas Tekstur Kelas Ukuran
(Cm) (lembab) liat Lindak(g/cc) Pasir Debu Liat kasar Liat halus Liat total halus/total Butir
AM9 - Fluventic Dystrudept (ustik)
A 0-22 5YR4/3 C - 2 f sbk cs - 0,98 15,5 28,6 12,6 43,3 55,9 0,77 Liat Halus
AB 22-35 2.5YR3/6 C - 2 f/m sbk gs - 1,08 8,6 18,9 13,6 58,9 72,4 0,81 Liat Sangat Halus
Bt1 35-57 2.5YR3/6 C - 2 f/m sbk cs ada 1,22 6,5 17,2 9,2 67,0 76,3 0,88 Liat Sangat Halus
Bt2 57-80 2.5YR4/6 C - 2 m abk gs ada 1,19 4,0 11,9 9,9 74,2 84,1 0,88 Liat Sangat Halus
Bt3 80-110 2.5YR4/6 C mangan 2 f/m abk gs ada 1,16 2,8 8,2 8,4 80,6 89,0 0,91 Liat Sangat Halus
Bt4 110-140 2.5YR4/4 C mangan 2 m abk cs ada 1,06 6,0 11,0 7,1 75,9 83,0 0,91 Liat Sangat Halus
BC 140-200 2.5YR4/6 C 10YR4/6, m f/m bs 1/2 m sbk - - 1,06 10,9 13,7 12,8 62,5 75,4 0,83 Liat Sangat Halus
AM10 - Aeric Epiaqualf (akuik)
A 0-12 5Y7/1 L - 1 f abk as - 1,13 37,4 42,4 1,4 18,8 20,2 0,93 Lempung Berlempung Halus
Adir 20-Dec 10YR5/6 L - 2 f/m sbk cs - 1,44 42,6 38,7 1,0 17,7 18,7 0,95 Lempung Berlempung Halus
BMn 20-26 7.5YR2/0,5/0 L - 2 f/m sbk cs - 1,53 31,7 48,2 1,1 19,1 20,2 0,95 Lempung Berlempung Halus
Bt1 26-59 7.5YR2/0,5/0 CL 7.5YR5/6 2 m abk ds ada 1,53 24,7 41,5 6,5 27,3 33,8 0,81 Lempung berliat Berlempung Halus
Bt2 59-75 2.5YR6/0 CL - ds ada 1,44 21,5 43,6 8,6 26,3 34,8 0,75 Lempung berliat Berlempung Halus
Bt3 75-120 5YR5/1 CL 5YR5/8,m m/c bs cs ada 1,45 28,8 33,4 9,8 28,1 37,8 0,74 Lempung berliat Halus
Bt4 120-143 5YR5/1 C 5YR5/8,m f/m bs cs ada 1,44 33,1 25,6 3,8 37,5 41,3 0,91 Liat Halus
BCg1 143-168 5YR5/1 SCL 5YR5/8,m f/m bs cs - 1,41 58,0 8,8 3,0 30,3 33,2 0,91 Lem.liat berpasir Berlempung Halus
BCg2 168-200 5YR5/1 SCL 5YR5/8,m f/m bs - - 1,41 60,2 18,0 3,0 18,8 21,8 0,86 Lem.liat berpasir Berlempung Halus
Keterangan : C=liat, CL=lempung berliat, L=lempung;SCL=Lempung liat berpasir; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda;
sbk=gumpal membulat, abk=gumpal bersudut; as=sangat jelas dan rata, gs=berangsur rata, cs=jelas rata, ds=baur rata.
53
meningkat pada bagian tengah horison Bt dan kemudian menurun sampai ke bawah
solum.
Pedon AM10. Pedon ini memiliki susunan horison yang terdiri dari horison
permukaan A dan Adir, dengan ketebalan 20 cm. Warna 5Y 7/1 terlihat pada horison A
dan perubahan warna menonjol pada Adir yakni berwarna 10YR 5/6, di mana warna
tersebut merupakan pengaruh dari adanya karatan besi.
Di bawah horison A terdapat horison Bmn yang berwarna kelabu (7,5YR 5/0)
dan adanya massa terkonsentrasi berwarna hitam (7,5YR 2/0) yang diidentifikasi
sebagai akumulasi karatan mangan. Horison berikutnya adalah Bt dengan hue 2,5-
7,5YR dengan kroma yang rendah dan value tinggi, sedangkan horison BCg yang
masif dengan warna yang tidak berbeda dengan horison di atasnya. Pada pedon ini
dijumpai air tanah yang dangkal, pada kedalaman 130 cm. Karatan besi dijumpai pada
horison Bt terutama pada bagian bawahnya sampai pada kedalaman 200 cm. Pada
horison BC dijumpai adanya warna glei.
Tekstur horison A adalah lempung (L), horison Bt memiliki tekstur lempung
berliat (CL) seiring dengan peningkatan jumlah liatnya, dan pada bagian bawah
horison Bt teksturnya adalah liat (C). Horison peralihan BC memiliki tekstur lempung
liat berpasir (SCL). Perbedaan tekstur yang agak menonjol pada horison-horison
tersebut, berdasarkan hasil analisis mineral liat pada fraksi pasir total dan fraksi liat,
tidak terbukti oleh karena adanya perbedaan bahan sehingga dapat dikatakan tidak
ada indikasi perbedaan bahan induk (lithologic discontinuity).
Pedon ini memiliki struktur gumpal membulat hanya pada horison Adir dan Bmn
yang sangat tipis, sedangkan pada horison lainnya memiliki struktur gumpal bersudut.
Pada bagian bawah horison BC dijumpai struktur yang masif dan konsistensi sangat
teguh.
Keadaan struktur gumpal bersudut ini didukung oleh kerapatan lindak yang
relatif lebih tinggi (Tabel 8). Pedon AM10 yang bersifat akuik ini memiliki kerapatan
54
lindaknya relatif tertinggi, baik di antara pedon pewakil berbahan volkanik, maupun
terhadap pedon-pedon dari bahan induk lainnya. Hal tersebut sangat didukung oleh
hasil pengamatan di lapang, bahwa pedon ini memiliki konsistensi yang teguh sampai
sangat teguh, dengan struktur tanah gumpal bersudut hampir di seluruh bagian horison
Bt.
Perbedaan tekstur tanah terjadi sangat menonjol pada dua pedon yang
berkembang dari bahan induk volkanik dasitik (AM9 dan AM10). Pedon AM10 memiliki
tekstur lempung (L) pada bagian atas solum atau horison Ap, sedangkan pada horison
Bt adalah lempung berliat (CL), dan bagian bawah solum atau peralihan BC bertekstur
lempung liat berpasir (SCL). Perbedaan tekstur yang sangat nyata ini (abrupt) tidak
disertai bukti jenis mineral yang berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa
komposisi mineral memang relatif sama. Dengan demikian perbedaan tekstur tersebut,
bukan sebagai perbedaan bahan induk (lithology discontinuity). Bila dibandingkan
dengan AM10, lokasi pedon ini tidak terlalu jauh, tetapi secara topografi kedua pedon
ini terletak pada kondisi yang sangat berbeda. Pedon AM9 dijumpai di bagian atas
lereng dengan regim kelembaban tanah ustik, dan AM10 terletak pada bagian bawah
lereng dengan regim kelembaban tanah akuik. Sehingga perbedaan kandungan liat
yang sangat menonjol antara kedua pedon ini ditunjang oleh lingkungan pembentukan
yang berbeda pula. Diduga pedon AM9 lebih terlapuk daripada AM10.
Berdasarkan hasil pengamatan sifat-sifat fisik dan morfologi seluruh pedon
dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan warna horison Bt
ternyata berkaitan erat dengan kondisi regim kelembaban tanah. Regim kelembaban
akuik cenderung memberi warna kelabu pada horison Bt dari semua jenis bahan induk.
Jenis bahan induk terlihat menonjol, berpengaruh memberi warna berbeda pada
horison Bt dari tanah-tanah dengan regim kelembaban perudik. Warna horison Bt pada
pedon-pedon berbahan induk batuan sedimen (batuliat dan batukapur) adalah
kekuningan, sedangkan pada tanah berbahan induk volkanik (baik dasitik maupun
55
andesitik) adalah kemerahan. Hal tersebut terlihat pada hue yang lebih merah pada
tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik. Sedangkan pedon yang me miliki
regim kelembaban akuik, cenderung menunjukkan warna pucat dengan pengaruh
bahan induk tetap terlihat, yakni hue lebih merah pada tanah berbahan induk volkanik.
Dengan demikian, jenis bahan induk yang berbeda memperlihatkan perbedaan
yang menonjol. Antara lain, sifat-sifat morfologi tanah pada bahan induk batukapur
yang cenderung lebih seragam dibanding sifat-sifat morfologi tanah yang berkembang
dari batuliat. Konsistensi antara horison Bt dengan horison A di permukaan jelas
sangat berbeda, yakni lebih teguh pada horison Bt dan yang gembur pada horison A
atau Ap. Perbedaan tersebut cenderung sama pada semua pedon yang diteliti, dan
digunakan sebagai dasar penamaan horison Bt pada semua subhorison yang
diidentifikasi.
Sifat Kimia Tanah
Pedon Berbahan Induk Batuliat
Analisis beberapa sifat kimia tanah masing-masing pedon pewakil dalam
penelitian ini bertujuan antara lain, untuk mengetahui apakah sifat-sifat kimia tanah
yang ada berkaitan dengan proses-proses pedogenesis pedon yang diamati. Selain itu
untuk mengetahui sifat-sifat seperti distribusi C-organik dan Fe-bebas yang erat
hubungannya dengan proses iluviasi liat. Hasil analisis terhadap sifat-sifat kimia tanah
masing-masing horison disajikan pada Tabel 9. Pedon AM1 dengan regim
kelembaban tanah akuik, memiliki nilai pH yang tergolong masam (4,2 – 4,6) pada
keseluruhan horisonnya. Horison permukaan memiliki pH yang paling rendah (4,2) dan
sedikit meningkat (4,5-4,6) pada horison Bt. Peningkatan nilai pH tersebut terlihat
berkurang pada bagian bawah profil, yaitu pada horison Btg dan horison peralihan BC.
Sebaliknya, nilai pH yang relatif tinggi (4,6) dijumpai di horison permukaan pada pedon
56
Tabel 9. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batuliat.
Pedon Kedalaman pH-tanah C-organik Jumlah Kemasaman Kejenuhan KTK-tanah/ Fe2O3 -
Ca Mg K Na Basa-dd terekstrak Al H pH-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total pH-7 Jum.Kation bebas
(cm) Tabel 16.Beberapa sifat kimia tanah masing-masing horison pedon pewakil berbahan induk Batuliat.(%) ------------------------cmol(+)/kg tanah---------------------- %
AM1 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik)
Ap 0 - 10 4,2 1,14 4,0 2,1 0,2 0,5 6,8 41,0 4,0 0,3 21,3 49,0 11,1 68,1 37 0,72 31 14 2,19
Bt1 10-30 4,2 0,94 3,5 2,1 0,2 0,4 6,2 41,4 3,6 0,3 21,1 49,9 10,1 47,3 36 0,49 29 13 2,61
Bt2 30-55 4,5 1,02 3,9 1,3 0,2 0,3 5,7 41,8 4,9 0,5 23,8 48,8 11,0 49,5 46 0,52 24 12 3,31
Bt3 55-95 4,6 0,78 5,7 1,8 0,4 0,5 7,4 42,6 2,2 0,3 54,4 52,4 10,9 105,2 22 1,6 16 16 3,25
Btg 95-130 4,5 0,63 0,7 0,3 0,1 0,2 1,3 50,9 13,4 0,8 51,0 53,7 15,4 95,2 91 0,96 2 2 4,60
BCg 130-200 4,4 0,43 0,9 0,5 0,1 0,3 1,8 51,7 11,5 0,6 49,5 68,5 14,0 89,6 86 0,90 4 3 2,85
AM2 - Fluventic Dystrudept (perudik)
Ap 0-18 4,4 0,47 3,3 1,1 0,3 0,4 5,1 40,2 3,7 0,3 17,2 46,8 9,1 34,4 42 0,50 29 11 3,13
BA 18-37 4,6 1,41 1,2 0,4 0,1 0,2 1,9 41,4 3,6 0,3 17,0 44,8 5,8 29,6 65 0,32 11 4 3,13
Bt1 37-65 4,7 1,14 1,0 0,3 0,1 0,2 1,6 40,5 3,9 0,4 15,1 43,5 5,9 25,8 70 0,28 10 4 3,22
Bt2 65-103 4,8 1,06 1,0 0,3 0,2 0,2 1,9 40,6 3,6 0,3 29,4 43,7 5,5 32,9 65 1,01 8 4 3,40
Bt3 103-130 4,7 0,43 1,0 0,5 0,2 0,3 2,0 40,2 3,2 0,2 21,1 43,6 5,4 32,9 61 0,34 10 5 3,67
BC 130-200 4,7 0,55 1,5 0,5 0,2 0,3 2,5 40,6 2,4 0,3 17,5 44,3 5,1 34,7 48 0,36 14 6 3,39
AM3 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik)
Ap 0-15 4,6 1,22 5,2 2,9 0,2 0,4 6,7 36,6 3,0 0,2 22,8 46,7 11,9 46,2 30 0,56 38 19 2,97
Bt1 15-30 4,5 1,10 3,4 2,0 0,2 0,3 5,9 37,4 4,8 9,4 22,8 42,6 11,0 41,7 44 0,44 26 14 2,83
Bt2 30-50 4,4 0,90 3,2 1,1 0,2 0,3 4,8 34,6 7,0 0,5 22,6 40,6 12,3 42,6 59 0,44 21 12 3,03
Bt3 50-85 4,4 0,94 3,6 2,7 0,2 0,3 6,8 35,0 5,3 0,5 22,3 42,9 12,4 38,6 43 0,40 30 16 2,94
Btg1 85-115 4,5 1,25 3,6 2,4 0,2 0,4 6,6 35,4 4,0 0,3 21,6 43,1 10,8 40,2 37 0,43 30 15 3,41
Btg2 115-135 4,7 1,25 3,0 2,8 0,2 0,4 6,4 35,0 2,1 0,3 25,3 42,6 8,8 42,5 24 0,60 26 15 3,48
BCg 135-200 4,5 1,29 4,1 3,3 0,2 0,4 8,0 35,8 2,6 0,2 27,2 44,9 10,7 55,9 24 0,59 29 18 3,18
Kemasaman dapat tukarBasa-basa dapat tukar
------(%)------
Kejenuhan Basa (KB)Kapasitas Tukar Kation (KTK)
------------------------cmol(+)/kg tanah----------------------
57
AM3 yang sama-sama memiliki regim kelembaban tanah akuik. Nilai pH tergolong
masam dijumpai pada seluruh horison, yakni berkisar antara 4,4 – 4,7. Terjadi
penurunan pH pada horison Bt bagian atas, namun kemudian naik pada bagian
bawah, dan menurun kembali pada horison terbawah (BC). Walaupun nilai pH
cenderung sedikit lebih tinggi berkisar antara 4,4 – 4,8, pada pedon AM2 yang memiliki
regim kelembaban perudik, namun sama halnya dengan kedua pedon sebelumnya,
kemasaman tanahnya tergolong masam. Nilai pH horison Ap relatif paling rendah,
dibanding pH horison Bt dan BC. Nilai tertinggi terlihat pada bagian tengah horison Bt,
dan menurun kembali sampai pada horison terbawah (BC). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa, nilai pH horison Bt pada ketiga pedon berbahan induk batuliat ini
cenderung lebih tinggi dibanding, baik nilai pH horison A di atasnya maupun horison
BC di bawahnya. Perbedaannya adalah bahwa, tanah-tanah dari bahan induk batuliat
yang regim kelembabannya akuik (AM1 dan AM3) cenderung sedikit lebih masam
dibanding tanah dengan regim kelembaban perudik (AM2). Dari data yang ada dapat
dikatakan bahwa nilai pH tanah cenderung masam, karena asal bahan induk yang
masam, terlihat dari kandungan Al-dd dan ion H yang relatif tinggi (Tabel 9).
Kejenuhan basa (KB-jumlah kation) dari pedon pewakil yang berasal dari
batuliat ini secara keseluruhan lebih kecil dari 35%. Namun demikian, jelas terlihat
bahwa terdapat perbedaan nilai KB antara pedon yang memiliki regim akuik dengan
perudik. Pedon AM1 dan AM3 (akuik) memiliki nilai KB yang relatif lebih tinggi, masing-
masing 2 - 31% (rata-rata = 17,7%) dan 21 – 38% (rata-rata = 26,8%) dibanding pedon
AM2 (perudik) yaitu 4 – 11% (rata-rata = 13,6%). Terlihat pula (Tabel 9) bahwa jumlah
basa-basa pedon AM2 lebih rendah dibanding jumlah basa-basa pedon AM1 dan AM3.
Untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya penimbunan C-organik
bersamaan dengan penimbunan liat di horison Bt, maka dilakukan analisis di setiap
horison (Tabel 9). Penyebaran C-organik, Fe-bebas, dan total liat menurut kedalaman
di dalam pedon AM1, AM2, dan AM3 diilustrasikan pada Gambar 6. Secara
58
keseluruhan kandungan C-organik pada setiap horison di masing-masing pedon yang
berkembang dari batuliat, cenderung memiliki pola yang tidak teratur. Pada pedon AM1
kandungan C-organik tertinggi dijumpai pada horison A dan menurun pada horison
peralihan BA di bawahnya. Sedangkan pada horison Bt, kandungan C-organik terlihat
meningkat dan selanjutnya menurun secara teratur sampai bagian bawah solum.
Berbeda dengan pedon AM2, kandungan C-organik relatif rendah terdapat pada
horison Ap, dan meningkat mulai pada horison peralihan BA sampai bagian tengah
horison Bt. Selanjutnya secara tidak teratur dari bagian bawah Bt sampai pada horison
peralihan BC. Pola sebaran C-organik pada pedon AM3 agak berbeda dengan kedua
pedon sebelumnya, di mana kandungan C-organik relatif tinggi terdapat pada horison
permukaan kemudian menurun sampai pada bagian atas Bt, dan selanjutnya
meningkat terus dengan semakin meningkatnya kedalaman (Tabel 9).
Kandungan C-organik yang tidak beraturan dengan meningkatnya kedalaman
tersebut, merupakan ciri bahan sedimen, yang mana bahan-bahanya terbentuk akibat
sedimentasi atau pengendapan. Penimbunan C-organik pada AM1, terjadi pada
horison Bt1 pada kedalaman 30 - 55 cm, sedangkan pada AM2 pada horison BA pada
kedalaman 18 - 37 cm dan 130 - 200 cm. Penimbunan C-organik pada pedon AM3
terjadi pada bagian bawah profil, yakni pada kedalaman 50 – 85 cm, 85 – 135 cm, dan
135 – 200 cm (Gambar 6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi
penimbunan bahan organik, walaupun dalam jumlah relatif sedikit, seiring dengan
meningkatnya kandungan liat pada horison Bt. Penimbunan tersebut dijumpai pada
semua pedon, baik yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, maupun perudik.
Sama halnya dengan kandungan C-organik, maka dilakukan pula analisis
kandungan Fe-bebas dalam tanah (Tabel 9, Gambar 6), untuk melihat apakah terjadi
penimbunan besi seiring dengan penimbunan liat. Kandungan besi pada tanah-tanah
yang berkembang dari bahan induk batuliat, cenderung meningkat dan menumpuk
59
Gambar 6. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM1,
AM2, dan AM3 yang Berkembang dari Bahan Induk Batuliat.
60
pada bagian bawah horison Bt. Pedon AM1 dan AM2 terlihat memiliki kecenderungan
distribusi Fe-bebas yang sama, di mana kandungan besi bebas memiliki pola yang
meningkat dari horison A sampai bagian bawah horison Bt, kemudian menurun pada
horison peralihan BC. Berbeda dengan pedon AM3, peningkatan kandungan Fe-
bebas memiliki pola yang tidak teratur, yaitu peningkatan Fe-bebas terjadi pada bagian
atas dan bawah Bt, sedangkan penurunan terlihat pada bagian tengah Bt dan juga
pada horison BC. Dapat disimpulkan bahwa pada pedon-pedon dari batuliat
penimbunan Fe-bebas yang cenderung terjadi, dan penimbunan tertinggi terdapat
pada horison Bt. Penimbunan tersebut berturut-turut untuk pedon AM1, AM2, dan,
AM3 (Gambar 9) terdapat sebesar 4,60% pada horison Btg (95-130 cm); 3,67% pada
horison Bt3 (103-130 cm), dan 3,48% pada horison Btg2 (115-135 cm).
Nilai KTK liat pedon AM1 (Tabel 9) menunjukkan bahwa, KTK-liat horison A
lebih rendah dibanding KTK-liat pada horison Bt2 yang cenderung tinggi mencapai
105,2 cmol(+)/kg liat, dan sedikit menurun pada bagian bawah solum. Sangat berbeda
dengan AM1, secara keseluruhan horison-horison pada pedon AM2 memiliki nilai KTK
liat cenderung lebih rendah, yakni sebesar 25,8-32,9 cmol(+)/kg liat. Pada pedon ini
horison Bt bagian atas memiliki nilai KTK liat yang lebih rendah dibanding horison A di
atasnya, namun kemudian meningkat sampai horison peralihan BC. Pada pedon AM3
dijumpai kisaran nilai KTK liat antara 38,6-42,62 cmol(+)/kg liat, dan horison Bt memiliki
nilai relatif lebih rendah dibanding horison permukaan maupun horison peralihan BC.
Terlihat bahwa nilai KTK liat pada ketiga pedon tersebut sangat berkaitan dengan jenis
mineral liatnya (dibahas pada sifat mineralogi).
Pedon Berbahan Induk Batukapur
Data hasil analisis sifat-sifat kimia tanah masing-masing horison pada pedon
pewakil tanah-tanah berbahan induk batukapur disajikan pada Tabel 10.
61
Tabel 10. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-Masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batukapur.
Pedon Kedalaman pH-tanah C-organik Jumlah Kemasaman Kejenuhan KTK-tanah/ Fe2O3-
Ca Mg K Na basa-dd terekstrak Al H pH-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total pH-7 Jum.Kation bebas
(cm) (H2O) (%) (%)
AM4 - Dystric Fluventic Eutrudept (perudik)
A 0-15 5,0 0,94 24,7 5,6 0,4 0,6 31,3 39,8 0 0,2 42,2 72,2 31,5 64,5 0 0,66 74 43 3,29
AB 15-31 5,1 0,63 20,7 4,2 0,4 0,5 25,8 38,5 0 0,2 44,4 65,6 26,0 70,5 0 0,71 58 39 3,59
Bt1 31-45 4,8 0,63 31,3 3,6 0,6 0,9 36,4 35,4 0 0,1 48,3 72,7 36,4 65,3 0 0,74 75 50 3,38
Bt2 45-66 5,4 0,63 42,4 5,0 0,4 0,7 48,45 24,6 0 0,2 51,2 73,7 48,6 63,9 0 0,65 95 66 2,48
Bt3 66-130 5,0 0,78 48,4 6,3 0,5 0,7 55,9 23,6 0 0,1 50,7 80,3 56,0 66,7 0 0,68 100 70 3,47
BC 130-200 5,8 0,71 55,3 1,1 0,4 0,8 57,6 20,4 0 0,1 50,4 0 0,68 100 74 3,30
AM5 - Dystric Fluventic Eutrudept (perudik)
A 0-16 5,8 0,55 44,8 6,2 0,5 0,9 61,4 21,8 0 0,1 44,4 74,7 52,4 71,3 0 0,72 100 70 2,61
Bt1 16-38 6,5 0,71 52,7 6,5 0,6 1,0 61,0 21,4 0 0,1 56,6 82,9 60,9 76,5 0 0,73 100 73 3,27
Bt2 38-86 6,1 1,25 46,3 5,7 0,5 0,9 53,4 22,2 0 0,1 51,0 76,2 53,3 75,0 0 0,68 100 70 2,66
Bt3 86-122 5,9 1,18 70,4 8,2 0,6 1,1 80,3 23,0 0 0,1 49,8 104,0 80,3 63,0 0 0,64 100 77 1,76
BC 122-200 6,3 0,55 65,6 7,6 0,5 1,1 74,9 24,0 0 0,1 54,6 99,5 74,7 80,0 0 0,80 100 75 2,85
AM6 - Fluvaquentic Epiaquent (akuik)
Ap 0-18 5,8 1,49 71,4 5,4 0,6 1,0 78,4 21,2 0 0,1 55,4 100,2 78,5 97,0 0 1,0 100 78 2,37
Bt1 18-50 6,2 1,02 50,6 5,0 0,4 0,5 56,5 21,8 0 0,1 44,4 78,9 56,5 65,1 0 0,66 100 72 3,59
Bt2 50-77 5,9 0,78 52,4 5,7 0,4 0,9 59,4 21,0 0 0,1 46,6 81,0 59,4 65,6 0 0,67 100 73 2,67
Bt3 77-107 5,4 0,86 50,0 5,3 0,4 0,8 56,5 22,0 0 0,1 48,1 79,1 56,6 72,7 0 0,74 100 72 2,81
Bt4 107-136 5,2 1,65 58,4 6,0 0,5 0,9 65,8 23,0 0 0,1 53,9 89,3 65,9 80,7 0 0,83 100 74 2,38
BC 136-200 5,3 0,78 55,2 5,5 0,5 0,6 61,8 25,2 0 0,1 52,2 87,7 61,8 69,3 0 0,70 100 70 1,97
Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kejenuhan Basa (KB)
------(%)---------------------cmol(+)/kg tanah---------------------------------------cmol(+)/kg tanah ----------------------
Basa-basa dapat tukar Kemasaman dapat tukar
62
Nilai pH tanah pada pedon AM4, AM5, dan AM6 cenderung tergolong agak masam
sampai netral (pH 4,8 – 6,5). Nilai pH pada pedon AM4 adalah agak masam, dan
cenderung naik-turun secara tidak teratur di dalam pedon. Pada bagian tengah horison
Bt, pH tanah terlihat lebih tinggi dibanding pada bagian atas maupun bawahnya,
kemudian meningkat pada horison BC. Nilai pH pada pedon AM5 bervariasi antara 5,8
- 6,5. Nilai pH pada horison A lebih rendah dibanding horison Bt, yang kemudian
menurun pada bagian bawahnya, tetapi kemudian meningkat lagi pada horison
peralihan BC. Nilai pH tertinggi yaitu 6,5 dijumpai pada horison Bt1. Pedon AM6
dengan regim kelembaban akuik memiliki pH 5,2-6,2. Pada pedon ini terlihat
penurunan nilai pH secara teratur dengan kedalaman dimulai dari bagian atas horison
Bt sampai bagian bawahnya, namun terdapat sedikit peningkatan pada horison
peralihan BC. Nilai pH tertinggi, yakni 6,2, dijumpai pada horison Bt bagian atas (Bt1).
Gambar 7 menunjukkan distribusi kandungan C-organik, Fe-bebas, dan liat
total dalam tanah pada pedon AM4, AM5, dan AM6 yang berkembang dari batukapur.
Terlihat bahwa terjadi penimbunan C-organik pada setiap pedon, baik yang memiliki
regim kelembaban akuik maupun perudik. Kandungan C-organik horison A pada pedon
AM4, cenderung lebih tinggi daripada horison Bt, namun peningkatan yang relatif kecil
terlihat pada bagian bawah horison Bt, dan menurun kembali pada horison peralihan
(BC) paling bawah. Kandungan C-organik tertinggi sebesar 0,78%, terjadi pada horison
Bt3 (66 - 130 cm). Pada pedon AM5, kandungan C-organik pada horison permukaan
(A) lebih rendah dari horison Bt secara menyeluruh. Nilai tertinggi sebesar 1,25%
terjadi pada horison Bt2 (38 – 86 cm), sementara penurunan yang nyata terlihat pada
horison peralihan BC. Sama halnya dengan pedon sebelumnya, maka pada pedon
AM6 kandungan C-organik yang cukup tinggi ditemukan pada horison Ap dan Bt
bagian atas, yang kemudian menurun dan meningkat kembali pada bagian bawah
horison Bt. Penimbunan tertinggi dijumpai pada kedalaman 107 – 136 cm (horison Bt4)
sebesar 1,65%. Data di atas dapat disimpulkan bahwa penimbunan C-organik pada
63
Gambar 7. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari Bahan Induk Batukapur.
64
tanah berbahan induk kapur terjadi pada kedalaman yang berbeda-beda. Penimbunan
pada kedalaman terdalam ditemukan pada pedon AM6 (akuik). Pada keadaan regim
kelembaban tanah perudik penimbunan C-organik terjadi pada kedalaman yang lebih
dangkal.
Kandungan Fe-bebas pada pedon yang berkembang dari batukapur (AM4,
AM5, dan AM6) (Tabel 10 dan Gambar 7) memperlihatkan bahwa penimbunan Fe-
bebas terjadi pada kedalaman yang berbeda-beda dan umumnya terjadi pada horison
Bt. Kandungan Fe-bebas pada horison A atau Ap, cenderung rendah. Peningkatan
kandungan Fe-bebas terjadi pada horison Bt bagian atas, kemudian menurun pada
bagian tengahnya. Penimbunan Fe-bebas tertinggi pada pedon AM4, AM5, dan AM6
berturut-turut terjadi pada horison Bt3 (66 – 130 cm) sebesar 3,47%, Bt1(16 – 38 cm)
sebesar 3,27%, dan Bt3 (77-107 cm) sebesar 2,81%.
Nilai KTK-liat secara keseluruhan terlihat sangat berbeda, yakni relatif lebih
tinggi dibanding dengan pedon berbahan induk lainnya. Kenyataan ini sangat didukung
oleh diidentifikasi adanya jenis mineral liat 2:1 (smektit) yang mendominasi setiap
horison Bt. Nilai KTK-liat horison Bt bervariasi antara 63,9 -70,5 cmol(+)/kg liat pada
pedon AM4, antara 63,0 – 80,0 cmol(+)/kg liat pedon AM5 dan antara 65,1 – 97,0
cmol(+)/kg liat pedon AM6. Tingginya nilai KTK-liat pada pedon-pedon ini terlihat relatif
sama pada kondisi akuik maupun perudik, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengaruh jenis bahan induk terhadap nilai KTK-liat lebih menonjol dibandingkan
dengan pengaruh regim kelembaban tanah.
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik
Data sifat-sifat kimia masing-masing horison pada pedon AM7 dan AM8 yang
berkembang dari bahan Volkan-Andesitik disajikan pada Tabel 11.
Pedon AM7 (perudik) memiliki reaksi tanah seluruh horison yang tergolong
masam, yakni pH 4,7 – 5,1. Pada horison A dijumpai nilai pH yang paling rendah dan
65
Tabel 11. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Insuk Volkanik-Andesitik.
Pedon Kedalaman pH-tanah C-organik Jumlah Kemasaman Kejenuhan KTK-tanah/ Fe2O3-
Ca Mg K Na basa-dd terekstrak Al H pH-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total pH-7 Jum.Kation bebas(cm) (H2O) (%) -------cmol(+)/kg tanah------- (%)
AM7 - Andic Dystrudept (perudik)
A 0-19 4,5 1,25 3,6 2,4 0,2 0,4 6,6 33,0 15,4 0,6 41,0 40,7 22,5 97,0 70 0,77 16 70 2,93Bt1 19-47 4,8 1,10 3,8 1,4 0,2 0,3 5,7 33,0 20,1 0,8 40,8 39,8 26,6 65,0 78 0,59 14 52 3,47
Bt2 47-80 4,8 0,94 0,6 0,2 0,1 0,1 1,0 33,8 18,6 0,8 43,5 35,9 20,4 65,6 94 0,73 2 11 3,38Bt3 80-105 4,7 1,73 1,1 0,5 0,1 0,2 1,9 29,0 28,7 0,9 45,2 31,9 31,4 72,7 94 0,54 4 13 2,99BC 105-130 4,7 0,78 0,7 0,3 0,1 0,2 1,3 31,8 30,0 1,0 47,6 34,2 32,3 80,7 96 0,86 3 9 4,82
C 130-200 5,1 0,78 0,9 0,3 0,1 0,1 1,4 31,8 25,5 0,8 51,0 34,2 27,7 69,3 95 1,12 3 9 4,96
AM8 - Typic Haplohumult (perudik)
Ap 0-20 4,8 1,76 4,3 1,1 0,3 0,4 6,1 21,3 0.0 0.1 49.5 27,3 6,1 104,6 0 1,08 12 22 4,18
Bt1 20-40 5,5 1,65 6,0 1,1 0,2 0,3 7,6 21,0 0.0 0.2 15.3 28,5 7,7 24,7 0 0,28 49 26 3,69Bt2 40-65 5,6 1,10 6,7 1,3 0,3 0,4 8,7 21,9 0.0 0.1 17.7 30,6 8,8 25,8 0 0,27 49 29 3,59
Bt3 65-90 5,7 0,78 8,3 2,0 0,3 0,4 11,0 22,3 0.0 0.1 16.8 33,3 11,1 20,8 0 0,22 66 33 4,40Bt4 90-110 5,8 0,71 6,2 2,0 0,2 0,4 8,8 23,1 0.0 0.1 14.8 31,8 8,8 36,6 0 0,22 59 27 4,04Bt5 110-145 5,8 0,63 6,3 2,0 0,3 0,4 9,0 18,9 0.0 0.1 16.8 27,9 9,1 20,1 0 0,21 54 32 3,96
BC 145-200 5,8 0,55 5,5 2,1 0,3 0,5 8,4 18,0 0.0 0.1 14.3 26,4 8,5 22,9 0 0,24 59 32 3,69
--------------------------------cmol(+)/kg tanah---------------------- ------(%)------
Basa-basa dapat tukar Kemasaman dapat tukar Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kejenuhan Basa (KB)
66
meningkat dengan kedalaman. Hal yang sama juga dijumpai pada pedon AM8
(perudik), di mana nilai pH relatif rendah terdapat pada horison permukaan (Ap) dan
meningkat dengan kedalaman. Nilai pH tergolong agak masam, baik pada horison Ap,
Bt, maupun horison C, dengan kisaran 5,5 - 5,8.
Nilai kejenuhan basa (KB-jumlah kation) pada pedon AM7 cenderung tinggi
pada horison A, namun dengan meningkatnya kedalaman, nilainya menurun sangat
rendah, yakni 3%. Sedangkan pada pedon AM8, nilai KB-jumlah kation masing-masing
horison hampir tidak jauh berbeda, berkisar 22 – 32%.
C-organik pada pedon AM7 terlihat relatif tinggi pada bagian atas permukaan
yakni pada horison Ap dan sedikit menurun pada bagian atas horison Bt. Pada
Gambar 8, terlihat bahwa penumpukan C-organik sebesar 1,73% terjadi pada Bt3
dengan kedalaman 80 – 105 cm. Sedangkan pada AM8 tidak terlihat penimbunan
seiring dengan menurunnya kandungan C-organik dengan meningkatnya kedalaman,
yakni tertinggi dijumpai pada horison Ap dan sedikit menurun pada horison Bt sampai
pada horison C. Kandungan Fe-bebas terlihat pola yang berbeda antara pedon AM7
dan AM8. Kandungan Fe-bebas pada pedon AM7 terlihat relatif rendah pada horison
A, yang kemudian meningkat pada bagian atas horison Bt. Selanjutnya terjadi
penurunan kembali pada horison Bt bagian bawah, dan meningkat pada horison
peralihan BC sampai C. Berbeda dengan AM8 dimana pada bagian permukaan tanah
besi bebas relatif tinggi dibanding dengan horison Bt bagian atas dan bawah, namun
pada bagian tengah horison Bt terlihat meningkat. Dengan demikian terjadi
penumpukan Fe-bebas sejumlah 3,47% pada Bt1 (19 – 47 cm) dan sebesar 4,40%
pada Bt3 (65 – 90 cm) berturut-turut untuk pedon AM7 dan AM8. Jumlah penumpukan
besi tersebut dapat dikatakan tertinggi di antara semua pedon yang diteliti. Hal ini
67
Gambar 8. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan Induk Volkanik-Andesitik.
68
dapat dikatakan bahwa pedon-pedon ini mengalami pelapukan yang menghasilkan
besi relatif lebih banyak.
Pengaruh perbedaan jenis mineral liat yang mendominasi horison permukaan A
atau Ap dan horison Bt terhadap nilai KTK-liat dijumpai pula pada pedon-pedon yang
berkembang dari bahan induk bahan volkanik andesitik ini. Pada pedon AM7 dijumpai
nilai KTK-liat cenderung tinggi pada semua horisonnya. Tertinggi terjadi pada horison
A kemudian menurun pada bagian atas horison Bt. Terjadi kenaikan KTK-liat di bagian
bawah horison Bt dan pada horison BC dan menurun kembali pada horison C. Pada
horison Bt dijumpai KTK liat sebesar 65,0 - 72,7 cmol(+)/kg liat dan pedon AM8 dijumpai
lebih rendah yakni sebesar 20,1 - 36,6 cmol(+)/kg liat. Kedua pedon ini memiliki
dominasi mineral liat yang berbeda yakni pada AM7 mineral liat campuran dan pada
AM8 didominasi oleh kaolinit (1:1). Sehingga nilai KTK-liat pada kedua pedon ini
didukung oleh jenis mineralnya (dibahas kemudian pada mineral liat).
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik
Pada Tabel 12 disajikan data sifat-sifat kimia pedon AM9 dan AM10 yang
berke mbang dari bahan induk volkanik dasitik. Pedon AM9 (ustik) nilai pH relatif
tergolong agak masam dengan pH adalah 5,2-5,4. Nilai pH horison A relatif lebih tinggi
dibanding pada horison Bt maupun BC. Perbedaan kemasaman tanah terlihat jelas
pada pedon AM10 (akuik) yang memiliki nilai pH yang relatif tinggi dan tergolong netral
yakni 5,7 - 6,1, dimana pada horison Ap nilai pH cenderung rendah dibanding dengan
horison Bt dan horison BC. Jelas terlihat bahwa pH pada horison Bt relatif tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan regim kelembaban tanah mempengaruhi
kemasaman horison Bt pada tanah berbahan induk bahan volkanik-dasitik di mana
pengaruh yang sama kurang menonjol pada bahan induk batuan sedimen.
Hubungan antara kemasaman tanah (pH) dengan horison Bt dapat terjadi
dalam kaitannya dengan pencucian liat. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Buol et
69
Tabel 12. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik.
Pedon Kedalaman pH tanah C-organik Jumlah Kemasaman Kejenuhan KTK-tanah/ Fe2O3-Ca Mg K Na basa-dd terekstrak Al H pH-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total pH-7 Jum.Kation bebas
(cm) (H2O) (%) ------cmol(+)/kg tanah------ (%)
AM9 - Fluventic Dystrudept(ustik)A 0-22 5,5 1,02 4,0 1,7 0,3 0,4 6,4 18,8 0.0 0,1 16,0 25,2 6,5 26,8 0 0,29 40 25 3,41
Bt1 22-35 5,3 0,78 1,9 0,7 0,2 0,2 3,0 18,3 0,4 0,3 12,1 21,3 3,6 15,7 11 0,17 24 14 3,30
Bt2 35-57 5,4 0,71 1,4 0,6 0,1 0,2 2,3 15,9 1,0 0,4 13,1 18,1 3,6 16,3 30 0,17 17 12 3,64Bt3 57-80 5,2 0,47 2,9 0,5 0,1 0,2 3,7 17,2 0,6 0,3 14,1 20,8 4,5 16,2 13 0,17 26 18 3,59B4 80-110 5,4 0,39 2,4 0,9 0,2 0,3 3,8 16,3 9,9 0,9 15,5 19,9 14,4 17,0 72 0,18 23 18 3,57Bt5 110-140 5,3 1,41 1,9 0,5 0,2 0,2 2,8 18,1 26,2 1,0 14,6 20,8 29,8 15,9 90 0,18 18 13 3,60
BC 140-200 5,2 0,94 1,3 0,3 0,1 0,2 1,8 18,3 30,3 1,5 8,3 20,2 33,6 9,7 94 0,11 23 9 4,25
AM10 - Aeric Epiaqualf (akuik)Ap 0-12 4,6 2,16 1,0 0,4 0,2 0,3 1,9 8,4 3,4 0,5 6,3 6,8 10,2 31,4 35 0,31 29 18 0,32
Adir 12-20 5,5 1,68 2,9 0,8 0,3 0,4 4,4 6,1 1,8 0,3 7,1 7,3 10,4 37,8 29 0,38 62 55 0,26Bmn 20-26 6,1 2,03 5,2 2,0 0,4 0,5 8,1 7,4 0,5 0,2 9,2 9,3 11,8 45,4 6 0,46 48 37 0,34Bt1 26-59 6,2 1,92 5,5 2,3 0,3 0,4 8,5 7,5 0,0 0,2 8,6 8,8 15,5 25,5 0 0,25 93 37 0,32Bt2 59-75 6,0 1,60 5,4 2,4 0,3 0,4 8,5 8,8 0,0 0,1 9,4 9,5 17,3 27,0 0 0,27 91 52 0,49Bt3 75-120 6,0 1,43 8,5 3,2 0,4 0,5 12,6 12,9 0,0 0,2 15,6 15,8 21,8 41,3 0 0,41 54 50 0,36
Bt4 120-143 5,7 2,00 9,5 4,1 0,4 0,5 14,5 12,9 0,4 0,2 18,6 18,9 25,4 45,1 0 0,45 67 40 0,36BCg1 143-168 5,6 2,32 7,6 3,9 0,3 0,5 12,3 9,8 0,5 0,2 13,9 14,1 24,2 41,9 2 0,42 100 60 0,09BCg2 168-200 5,7 1,54 5,4 2,8 0,3 0,4 8,9 7,3 1,0 0,3 15,5 15,9 19,6 71,1 11 0,71 79 63 0,35
--------------------------------cmol(+)/kg tanah----------------------
Basa-basa dapat tukar Kemasaman dapat tukar
------(%)------
Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kejenuhan Basa (KB)
70
al. (1973) bahwa terjadinya proses dispersi liat berkaitan dengan pencucian basa-basa
yang mengikat partikel tanah. Pencucian basa-basa akan menurunkan nilai pH tanah
dan memungkinkan terbentuknya proses penimbunan liat ke horison B.
Kejenuhan Basa-jumlah kation pada pedon yang berkembang dari bahan induk
volkanik-dasitik ini sangat berbeda. Pada pedon AM9 dijumpai nilai KB-jumlah kation
yang sangat rendah terutama di bawah horison permukaan A. Sedikit peningkatan
terjadi pada bagian bawah horison Bt, kemudian menurun pada horison BC.
Sebaliknya pada pedon AM10 jelas terlihat bahwa, nilai KB-jumlah kation adalah
rendah pada horison Ap, kemudian meningkat sampai pada horison Bt3. Penurunan
terjadi pada bagian bawah horison Bt dan meningkat kembali pada horison BC. Hal ini
menunjukkan bahwa pedon ini memenuhi KB- jumlah kation sebesar lebih atau sama
dengan 35% pada kedalaman 180 cm sehingga dapat digolongkan pada tanah Alfisol.
Perbedaan bahan induk jelas berpengaruh pada kemasaman horison Bt, dimana tanah
yang berasal dari bahan induk masam (batuliat dan volkanik-dasitik) cenderung
menghasilkan tanah dengan pH yang masam. Kecuali pada AM10 (akuik) dengan nilai
pH 6,2 sampai 6,4. Sedangkan tanah yang berkembang dari bahan induk batukapur
tergolong pada agak-masam sampai netral.
Horison Bt pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik memiliki
KB relatif lebih tinggi dibanding dengan tanah yang memiliki regim kelembaban tanah
perudik. Sebaliknya pengaruh regim kelembaban tanah cenderung mempengaruhi nilai
KB horison Bt. Pada pedon dengan regim kelembaban tanah akuik nilai KB cenderung
lebih tinggi daripada perudik.
Kandungan C-organik pada pedon berbahan induk volkanik dasitik (Tabel 12
dan Gambar 9), terlihat bahwa pada horison A pedon AM9 (ustik) memiliki nilai yang
tinggi dibanding horison Bt bagian atas dan tengah. Penurunan kandungan C-organik
terjadi sampai pada bagian bawah horison Bt4. Sedangkan pada bagian bawah Bt
terjadi penumpukan C-organik sebesar 1,41% pada horison Bt5 (110-140 cm). Pada
71
pedon AM10 (akuik) kandungan C-organik relatif tinggi hampir di setiap horisonnya,
yakni sebesar 2%, dan tertinggi dibanding dengan pedon-pedon lainnya. Penimbunan
tersebut dijumpai pada horison Bt4 (120-143 cm). Dengan demikian terlihat bahwa
perbedaan regim kelembaban tanah berpengaruh pada kandungan C-organik terutama
pada tanah yang berbahan induk bahan volkanik dasitik ini. Hal tersebut menunjukkan
bahwa penimbunan C-organik berbeda antara pedon yang berbahan induk bahan
volkanik-dasitik maupun-andesitik (yang terjadi pada kedalaman yang lebih dangkal).
Pada beberapa pedon terlihat terjadi penimbunan C-organik yang tidak teratur,
yang pada ordo tanah Inceptisol dapat termasuk dalam kriteria ’fluventic’ yakni adanya
pengaruh perbedaan penimbunan bahan oleh air. Pada tanah Ultisol, kandungan C-
organik digunakan sebagai kriteria dalam mengklasifikasikan sub-ordonya.
Disimpulkan bahwa penimbunan C-organik yang relatif sangat sedikit, terjadi seiring
dengan terjadinya penimbunan liat. Hal tersebut terlihat pada pedon berbahan induk
batuliat yang hanya terjadi pada pedon AM1 dan AM3 keduanya akuik, kemudian pada
semua pedon berbahan batukapur (AM4, AM5, dan AM6), dan juga pada pedon yang
berbahan induk volkanik-andesitik (AM7), serta berbahan induk volkanik-dasitik yakni
AM9 dan AM10.
Hasil analisis terhadap kandungan Fe-bebas pada pedon AM9 (Tabel 12 dan
Gambar 9), menunjukkan bahwa kandungan besi bebas pada horison A cenderung
lebih rendah dibanding dengan Bt dan BC. Terlihat bahwa penumpukan besi bebas
terjadi pada horison Bt2 (35 -57 cm) sebesar 3,64% dan pada Bt5 (110 -140 cm)
maupun pada horison peralihan (BC) sebesar masing-masing 3,60% dan 4,25%. Hal
yang sangat berbeda terlihat pada pedon AM10 yang berkembang dari bahan induk
yang sama dengan AM9, tetapi memiliki regim kelembaban tanah akuik. Secara
keseluruhan pedon ini memiliki kandungan Fe- bebas yang sangat rendah dibanding
dengan semua pedon pewakil yang ada.
72
Gambar 9. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Induk Volkanik-Dasitik.
73
Namun demikian terlihat bahwa horison Ap memiliki kandungan besi bebas yang lebih
rendah dibanding dengan horison Bt, dan cenderung lebih tinggi dari horison peralihan
BC. Penimbunan terlihat pada horison Bt2 (59 – 75 cm) sebesar 0,49%. Kandungan
jumlah besi bebas yang relatif sangat sedikit pada AM10 diduga akibat jenis bahan
induk yang mengandung sedikit besi (tufa Banten) seperti yang diungkapkan dalam
Djunaedi (1976).
Fe-bebas merupakan salah satu indikator ciri perkembangan tanah. Senyawa
ini berkaitan erat dengan aktifitas air dalam tanah. Hasil analisis terhadap senyawa
Fe2O3 disimpulkan bahwa, terjadi akumulasi dengan jumlah yang berbeda-beda pada
setiap pedon pewakil. Akumulasi dapat merupakan akibat dari perbedaan
permeabilitas tanah yang dari cepat menjadi lambat pada daerah dimana kandungan
liat tinggi. Dengan adanya perbedaan tekstur tersebut mengakibatkan air sering
tertahan pada batas lapisan yang berbeda ini dan mengakibatkan tertumpuknya besi.
Jumlah Fe-bebas yang relatif tinggi terlihat pada pedon-pedon yang berasal dari bahan
induk volkanik kecuali pedon AM10, dan menunjukkan tanah tersebut lebih
berkembang dibanding lainnya. Pedon yang berasal dari bahan dasitik terlihat memiliki
nilai KTK-liat yang berbeda. Nilai KTK-liat pada pedon AM9 cenderung rendah, dan
ditemukan relatif tinggi pada horison permukaan Ap, dan menurun sampai
pertengahan Bt, juga pada BC. Sedangkan pada bagian bawah Bt terlihat adanya
penumpukan sebesar 17,0 cmol(+)/kg liat pada Bt4. Pada horison Ap sebesar 26,8
cmol(+)/kg liat. Pada pedon AM10 dijumpai cenderung lebih tinggi dan bervariasi antara
horisonnya, yakni sebesar 25,5-45,12 cmol(+)/kg liat.
Nilai KTK-liat yang relatif lebih tinggi pada pedon AM10 dipengaruhi oleh
mineral campuran antara liat 2:1 dan 1:1 dibanding dengan AM9 yang mineral liatnya
didominasi oleh tipe 1:1 (kaolinit). Hubungan antara nilai KTK-liat dengan horison
penimbunan liat lebih kepada jenis mineral liat yang mendominasi horison tersebut.
Sedangkan nilai KTK-tanah (pH-7) digunakan untuk mendapatkan kelas KTK pada
74
klasifikasi tanah pedon pewakil yang dijumpai dominasi mineral liat campuran pada
penelitian ini. Dari data -data tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan regim
kelembaban tanah terlihat tidak langsung mempengaruhi sifat tanah ini, melainkan
akibat pengaruh perbedaan jenis mineral liat yang dijumpai pada masing-masing
pedon.
Mineralogi Horison Eluviasi dan Iluviasi
Mineral Fraksi Pasir
Data hasil analisis mineral fraksi pasir total dengan menggunakan metode Line
Counting pada contoh tanah yang mewakili horison pencucian liat dan penimbunan liat
maksimum disajikan pada Tabel 13.
Analisis mineral fraksi pasir total bertujuan, antara lain, untuk mengetahui
komposisi dan cadangan mineral yang ada dalam tanah, juga untuk menduga jenis
bahan induk tanah (Hendro, 1990). Pada penelitian ini, analisis mineral fraksi pasir
total dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi dan cadangan
mineral yang ada pada horison permukaan (A atau Ap) dan horison Bt, dan untuk
menduga proses-proses pelapukannya.
Secara keseluruhan dijumpai bahwa susunan mineral fraksi pasir pada horison
Bt masing-masing pedon pewakil adalah sama dengan horison permukaan (A atau
Ap), yakni horison pencucian yang berada di atas horison penimbunan liat tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa cadangan mineral, yaitu mineral mudah lapuk
(weatherable mineral), yang dikandung masing-masing horison bervariasi satu sama
lain. Mineral-mineral mudah lapuk yang dijumpai pada pedon-pedon pewakil, antara
lain, adalah gelas volkan, oligoklas, andesine, labradorit, orthoklas, sanidin,
hornblende, augit, dan hiperstin.
75
Tabel 13. Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi dan Iluviasi.
Keterangan : OP=opak, Zi=sirkon, KK=kuarsa keruh, KB=kuarsa bening, KF= K-feldspar, LI=limonit, OS=organik silika, ZE=zeolit, WM= mineral lapuk, WR= batuan lapuk, VG=gelas volkan, OL=oligoklas, AN=anortit, LB=labradorit, OR=ortoklas, SA=sanidin, HO=hornblende, AU=augit, HY=hiperstin, dan TM=total mineral mudah lapuk.
Pedon Berbahan Induk Batuliat
Pada pedon yang berkembang dari batuliat (AM1, AM2, dan AM3), jumlah
mineral mudah lapuk di horison Bt lebih sedikit ataupun berkurang, dibanding dengan
horison eluviasi. Pada pedon AM1 penurunan tersebut sangat nyata dari 12% menjadi
2% dan pada pedon AM3 dari 30% menjadi 18%. Penurunan tersebut terlihat juga
Pedon/Hor. OP ZI KK
KB
KF
LI OS
ZE WM
WR
VG
OL
AN
LB OR
SA
HO
AU
HY
TM
Pedon AM1:
Ap (0-10 cm) 24 1 10 39 0 0 0 0 1 13 2 3 1 2 0 1 0 1 2 12
Bt2 (55-95 cm) 46 1 8 31 0 0 0 0 1 11 0 1 0 0 0 0 0 1 0 2
Pedon AM2:
Ap (0-18 cm) 35 0 27 13 0 1 0 0 4 11 1 0 0 1 0 0 0 1 6 9
Bt3 (103-130 cm) 28 0 29 8 16 1 1 1 5 7 1 0 1 0 0 0 0 1 1 4
Pedon AM3:
Ap (0-15 cm) 9 1 19 16 0 0 2 0 7 15 1 0 2 6 1 1 1 7 12 30
Bt2 (30-50 cm) 1 0 29 27 0 1 2 0 8 14 1 1 1 5 1 1 0 5 3 18
Pedon AM4:
AB (15-31 cm) 28 1 21 19 5 1 0 0 7 14 0 0 1 0 0 2 0 0 1 4
Bt2 (45-66 cm) 29 1 23 19 1 1 0 0 7 15 0 0 2 0 0 2 0 0 0 4
Pedon AM5:
A (0-16 cm) 17 0 11 34 0 0 0 0 3 11 0 7 11 3 0 2 0 0 1 24
Bt3 (86-122 cm) 16 0 15 34 0 0 0 0 7 16 0 3 6 1 0 2 0 0 0 8
Pedon AM6:
Ap (0-16 cm) 15 0 13 28 0 0 0 0 0 26 1 2 0 11 1 2 0 0 1 18
Bt2 (50-77 cm) 10 1 13 23 0 1 0 0 1 33 1 3 1 11 0 2 0 0 1 19
Pedon AM7:
A (0-19 cm) 46 0 9 13 0 0 0 0 12 17 2 2 0 0 0 1 0 0 0 5
Bt3 (80-105 cm) 49 0 7 9 1 0 0 0 16 16 2 1 1 0 0 0 0 0 0 4
Pedon AM8:
A (0-20 cm) 63 1 2 7 0 0 0 0 2 4 2 0 0 7 0 0 1 3 8 21
Bt3 (65-90 cm) 64 0 1 4 0 0 0 0 2 6 1 0 0 5 0 0 1 5 10 23
Pedon AM9:
A (0-10 cm) 35 0 5 46 0 0 0 0 2 3 1 2 0 4 0 0 0 0 1 8
Bt3 (57-80 cm) 30 1 16 42 0 0 0 0 2 3 1 3 0 1 0 1 0 0 0 6
Pedon AM10:
76
pada pedon AM2 dari 9% menjadi 4%. Pedon AM1 didominasi oleh kuarsa bening,
yang relatif lebih tinggi daripada AM2, yang lebih didominasi oleh kuasa keruh. Hal ini
menunjukkan bahwa tanah-tanah ini sudah mengalami pelapukan yang intensif, karena
kuarsa adalah mineral merupakan mineral yang tahan terhadap pelapukan. Jumlah
kuarsa (bening dan keruh) meningkat pada horison Bt dibanding dengan horison di
atasnya, terlihat sangat menonjol pada pedon AM3. Hal ini sejalan dengan pendapat
Nettleton et al. (1975) yang mengatakan bahwa pelapukan yang cukup memadai untuk
menghasilkan horison Bt adalah ditunjukkan oleh peningkatan kandungan kuarsa
dalam fraksi non liat yang diiringi dengan berkurangnya jumlah mineral lapuk.
Pedon Berbahan Induk Batukapur
Kuarsa merupakan mineral fraksi pasir yang mendominasi pedon AM4 dengan
jumlah kuarsa keruh hampir sama dengan horison pencucian di atasnya. Pedon AM5
terjadi penurunan jumlah mineral lapuk sangat nyata, yaitu dari 24% pada horison
pencucian dan menjadi 8% pada horison Bt. Sedangkan pada pedon AM6, kuarsa
bening terlihat relatif lebih tinggi sama halnya pada pedon AM5. Pada pedon-pedon
dari bahan induk batukapur ini, memiliki kandungan batuan lapuk yang relatif tinggi dari
pedon-pedon lainnya, baik pada horison Bt maupun horison di atasnya.
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik
Pada tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik-andesitik (pedon AM7
dan AM8), terlihat bahwa dominasi mineral opak sangat menonjol dibanding pedon-
pedon lainnya, yaitu melebihi 60%. Sebaliknya, kuarsa bening relatif lebih sedikit
dibanding pada pedon yang berasal dari batuliat dan batukapur. Dengan dijumpainya
mineral tahan lapuk dalam jumlah relatif lebih kecil, maka dapat disimpulkan bahwa,
tanah-tanah ini relatif belum mengalami pelapukan lanjut dibanding pedon yang
77
berkembang dari batuan sedimen. Hal ini seiring dengan sifat bahan induk intermedier
dengan kandungan Fe-bebas yang relatif tinggi dibanding pedon lainnya.
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik
Kandungan kuarsa bening dijumpai relatif sangat tinggi pada pedon AM9, baik
pada horison Bt maupun horison A. Dilihat dari regim kelembaban tanah yang
tergolong ustik, seharusnya tanah relatif belum mengalami pencucian lanjut.
Kandungan kuarsa yang tinggi diperkirakan lebih disebabkan oleh pengaruh bahan
induk yang mengandung kuarsa tinggi, yaitu tufa Banten. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa susunan mineral fraksi pasir tanah-tanah yang diteliti lebih
dipengaruhi bahan induknya, bukan pengaruh regim kelembaban tanah yang berbeda.
Kesamaan susunan mineral pada horison Bt dan horison permukaan (A atau Ap) pada
masing-masing pedon pewakil, mendukung pendapat bahwa bahan penyusun horison-
horison tersebut adalah sama. Hal ini berarti juga mendukung kesimpulan bahwa
sumber liat sebagai bahan iluviasi pada horison Bt berasal dari horison pencucian di
atasnya.
Dominasi kuarsa bening tertinggi terdapat pada pedon yang berasal dari bahan
volkanik-dasitik, kemudian batukapur, batuliat, dan paling rendah pada bahan volkanik-
andesitik. Dapat dikatakan bahwa tanah-tanah yang berasal dari bahan volkanik-dasitik
telah mencapai tingkat hancuran iklim yang lanjut, sehingga mempengaruhi tingkat
perkembangan horison Bt pada tanah tersebut. Namun demikian, banyak sedikitnya
jumlah kandungan kuarsa tidak lepas daripada pengaruh jenis bahan induk itu sendiri.
Adanya pengaruh bahan induk volkanik terlihat pada pedon-pedon yang berkembang
dari batuan sedimen dengan melihat susunan mineral fraksi pasirnya yang tidak
dijumpai lagi mineral-mineral penciri batuan sedimen. Mohr dan Van Baren (1972)
mengatakan bahwa, mineral resisten seperti kuarsa banyak dijumpai pada batuan
sedimen, selain zirkon, rutil, turmalin, dan magnetit yang tidak ditemukan pada
78
penelitian ini. Hal ini menyebabkan sulitnya menginterpretasi asal bahan induk yang
sebenarnya. Sebagai dasar penen tuan jenis bahan induk dalam penelitian ini adalah
menggunakan informasi dalam peta geologi daerah Bogor dan Serang, Banten.
Mineralogi Horison Eluviasi dan Iluviasi
Data hasil analisis mineral liat pada horison pencucian (A atau Ap) dan horison
penimbunan liat maksimum (Bt) setiap pedon pewakil disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviasi Setiap Pedon Pewakil.
Pedon Horison /Kedalaman (cm) Smektit Illit Kaolinit Haloisit Kuarsa Kristobalit Gibsit Goethit Feldspar
AM1 Ap (0-10 cm) +++ - + - (+) + - - -Bt3 (55-95 cm) +++ - ++ - - + - - -
AM2 Ap (0-18 cm) - - ++++ - + - (+) (+) -Bt3 (103-130 cm) - - ++++ - + - - - -
AM3 Ap (0-15 cm) - - ++++ - + - - (+) +Bt3 (30-50 cm) + (+) ++++ - (+) - - - (+)
AM4 AB (15-31 cm) ++++ - + - - (+) - - -Bt2 (45-66 cm) ++++ + + - - - - - -
AM5 A (0-16 cm) ++++ - + - - - - - -Bt3 (86-122 cm) ++++ + + - - - - - -
AM6 Ap (0-18 cm) ++++ (+) + - - - - - -Bt2 (50-77 cm) ++++ (+) + - - - - - -
Volkanik-andesitik :AM7 A (0-19 cm) ++++ - + - (+) - - - -
Bt3 (60-105 cm) ++++ - + - - - - - -
AM8 Ap (0-20 cm) - - - ++++ (+) - (+) (+) -Bt3 (65-90 cm) - - - ++++ (+) - (+) (+) -
Volkanik-dasitik :AM9 A (0-22 cm) - - - ++++ - ++ - - +
Bt3 (57-80 cm) - - - ++++ - + - - -
AM10 A (0-12 cm) - - +++ - + ++ - - +Bt4 (120-143 cm) - - +++ - + ++ - - +
Keterangan : ++++ = dominan; +++ = banyak; ++ = sedang; + = sedikit; (+) = sangat sedikit
Jenis Mineral Liat
Batuliat :
Batukapur :
79
Pedon Berbahan Induk Batuliat
Difraktogram Sinar-X (X-ray Difactogram, XRD) fraksi liat dari horison A
atau Ap dan horison argilik (Bt) masing-masing pedon disajikan pada Gambar 10
(AM1) sampai Gambar 19 (AM10). Perlakuan standar fraksi liat yang digunakan adalah
dengan penjenuhan Mg 2+, Mg2+ + gliserol, K+, dan K+ plus 500 0C. Adapun identifikasi
jenis mineral berdasarkan puncak difraksi sinar-X (X-ray Difraction peaks) seperti yang
dikemukakan dalam Dixon et al. (1989).
Horison Bt dan horison Ap pada tanah yang berkembang dari batuliat di daerah
Cendali (AM1), yang mempunyai regim kelembaban akuik didominasi mineral liat
smektit (2:1) dan sedikit kaolinit. Hal ini ditunjukkan oleh puncak 16 Å pada perlakuan
dengan penjenuhan kation Mg 2+, yang berubah menjadi 18 Å pada penjenuhan
kation Mg2+ ditambah pemberian gliserol. Selanjutnya puncak smektit mengecil
menjadi 12,5 Å pada perlakuan penjenuhan dengan kation K, dan menjadi 10 Å
setelah dipanaskan pada 550 oC (Gambar 10).
Kecuali itu, ditemukan juga sedikit kaolinit (1:1) di horison Ap, yang meningkat
jumlahnya di horison Bt2. Adanya mineral liat kaolinit ditunjukkan oleh puncak 7,2 Å
pada penjenuhan dengan Mg 2+, Mg2+ - gliserol, dan penjenuhan dengan K+. Namun
dengan perlakuan pemanasan 550 oC, puncak tersebut hilang.
Dua pedon lain, AM2 dan AM3 yang juga berkembang dari batuliat, baik
yang mempunyai regim kelembaban perudik maupun akuik, didominasi oleh mineral
liat kaolinit (Gambar 11 dan 12). Puncak 7,2 Å sangat nyata terlihat pada perlakuan
dengan Mg2+, Mg2+ - gliserol, maupun penjenuhan dengan K+. Adanya kaolinit
diperkuat oleh intensitas kuat dari puncak ordo kedua kaolinit yakni 3,59 Å. Selain itu,
mineral kuarsa (3,34 Å) terlihat sangat jelas. Juga pada pedon AM2 ditemukan gibsit
(4,5 Å) dan goethite (4,21 Å) dalam jumlah sedikit. Hal lain yang menarik adalah
ditemukannya sedikit mineral smektit di horison Bt pada pedon AM3 yang memiliki
regim kelembaban akuik (AM3) dan sedikit kristobalit pada AM1.
80
Gambar 10a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM1 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 10b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM1 Berbahan Induk
Batuliat.
81
Gambar 11a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM2 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 11b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM2 Berbahan Induk Batuliat.
82
Gambar 12a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison (Ap) Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 12b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat.
83
Pedon Berbahan Induk Batukapur
Tanah yang berkembang dari bahan induk kapur, AM4, AM5, dan AM6,
dijumpai di daerah Pasircabe, Jonggol, memiliki regim kelembaban tanah perudik dan
akuik. Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa mineral liat smektit dan sedikit kaolinit
mendominasi susunan fraksi liat, baik pada horison Bt maupun horison pencucian (A
atau Ap), Tabel 14.
Gambar 13 (AM4), 14 (AM5), dan 15 (AM6) menunjukkan bahwa pada
perlakuan penjenuhan dengan kation Mg 2+, puncak difraksi sinar X yang didentifikasi
adalah sebesar 15,3 – 16 Å, yang dengan penambahan gliserol meningkat menjadi 18
Å. Puncak tersebut bergeser menjadi 12 Å setelah diperlakukan dengan penjenuhan
kation K+, dan kemudian menjadi 10 Å setelah pemanasan pada 550 oC. Puncak
difraksi berikutnya yang teridentifikasi adalah kaolinit (7,26 Å) yang relatif stabil terlihat
pada tiga perlakuan, terkecuali pada perlakuan penambahan kation K+ plus
pemanasan dengan 550 oC, puncak ini menghilang.
Adanya orde kedua dari kaolinit yang ditunjukkan oleh puncak 3,58 Å
memperkuat adanya mineral tersebut pada horison Bt dan horison A/Ap. Selain kedua
mineral utama tersebut ditemukan pula dalam jumlah sedikit mineral illit (10 Å), kuarsa
(3,34 Å) dan kristobalit (4,05 Å). kaolinit yakni 3,59 Å. Selain itu, mineral kuarsa (3,34
Å) terlihat sangat jelas.
84
Gambar 13a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (AB) Pedon AM4 Berbahan Induk Batukapur.
Gambar 13b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM4 Berbahan Induk Batukapur.
85
Gambar 14a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur. Gambar 14b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur.
86
Gambar 15a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM6 Berbahan Induk Batukapur. Gambar 15b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM6 Berbahan Induk Batukapur.
87
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik
Hasil analisis mineral liat dengan XRD pada pedon yang berkembang dari
bahan induk volkanik-andesitik, AM7 dan AM8, yang berasal dari daerah Jasinga dan
Ciampea disajikan pada Tabel 14. Puncak-puncak difraksi sinar X-nya disajikan pada
Gambar 16 (AM7) dan 17 (AM8). Pada pedon AM7 (Gambar 16) dengan perlakuan
penjenuhan dengan kation Mg2+, mineral liat yang diidentifikasi adalah smektit dengan
puncak difraksi 15,8 Å, yang meningkat menjadi 18 Å dengan penambahan gliserol.
Puncak tersebut bergeser menjadi 10 Å setelah penjenuhan dengan kation K+
ditambah pemanasan pada 550 oC. Puncak berikutnya yang teridentifikasi adalah 7,26
Å yang relatif stabil pada tiga perlakuan, kecuali pada perlakuan penambahan kation
K+ plus pemanasan 550 oC puncak tersebut hilang. Mineral liat tersebut adalah
kaolinit (1:1) . Keberadaan mineral ini diperkuat dengan adanya puncak difraksi ordo
kedua 3,6 Å, yang jelas terlihat pada horison Bt dan horison A. Analisis XRD pada
pedon AM7 dengan demikian menunjukkan bahwa fraksi liat horison Bt dan A
didominasi oleh smektit dan sedikit kaolinit.
Pedon AM8 (Ciampea) menunjukkan XRD yang agak berbeda. Gambar 17
menunjukkan bahwa mineral liat yang diidentifikasi adalah haloisit (7,3 Å) sebagai
mineral liat dominan. Di samping itu dalam jumlah yang sangat sedikit, dijumpai
mineral kuarsa (3,34 Å), gibsit (4,5Å), dan goethit (4,12 Å), baik pada horison Bt
maupun horison Ap. Fraksi liat horison Bt dan Ap dengan demikian (Tabel 21),
didominasi oleh mineral haloisit dengan sedikit kuarsa, gibsit, dan goethit.
88
Gambar 16a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM7 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik. Gambar 16b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM7 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik.
89
Gambar 17a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM8 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik. Gambar 17b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM8 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik.
90
Pedon Berbahan induk Volkanik-Dasitik
Hasil analisis XRD pada mineral liat pedon AM9 dan AM10 dari Cipocok,
Serang yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik, disajikan pada Gambar 18
(AM9) dan 19 (AM10). Pada kedua Gambar tersebut terlihat bahwa, puncak-puncak
difraksi XRD cenderung sama antara horison Bt dan horison A/Ap di atasnya. Pada
Gambar 18 (AM9) terlihat bahwa, pada perlakuan penjenuhan dengan kation Mg2+,
puncak difraksi yang teridentifikasi adalah haloisit (7,3 Å) yang relatif stabil pada tiga
perlakuan, terkecuali pada perlakuan penambahan kation K+ plus pemanasan 550 oC
puncak tersebut menghilang. Adanya difraksi ordo kedua dari mineral tersebut pada
3,6 Å memperkuat keberadaan mineral haloisit pada horison Bt dan horison A. Mineral
lainnya dalam jumlah lebih sedikit yang teridentifikasi adalah adalah kristobalit (4,05 Å)
dan kuarsa (3,34 Å).
Gambar 18a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM9 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik.
91
Gambar 18b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM9 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik.
Pada pedon AM10 (Gambar 19) menunjukkan XRD yang agak berbeda.
Gambar 19 menunjukkan bahwa mineral kaolinit (7,2 Å) terdapat dalam jumlah yang
dominan, baik pada horison Bt maupun horison Ap di atasnya. Dalam jumlah yang
agak banyak terdapat kristobalit (4,05 Å ), dan kuarsa (3,34 Å) dalam jumlah yang
sedikit.
92
Gambar 19a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM10 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik. Gambar 19b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt4 Pedon AM10 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik.
93
Berdasarkan hasil analisis mineral liat dengan XRD seperti telah diuraikan di
atas, maka dapat disimpulkan jenis-jenis mineral liat yang dominan pada horison Bt
dan horison A/Ap pada semua pedon yang diteliti, seperti tertera pada Tabel 15.
Tabel 15. Mineral Liat yang Dominan pada Horison Penimbunan Liat dan Horison
di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil. Pedon Jenis Mineral liat yang dominan
Horison eluviasi Horison iluviasi Batuliat : AM1(akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik) Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik) Bahan Volkanik-Andesitik : AM7 (perudik) AM8 (perudik) Bahan Volkanik-Dasitik: AM9 (ustik) AM10 (akuik)
Smektit dan kaolinit Smektit dan kaolinit Kaolinit Kaolinit Kaolinit Kao linit dan smektit
Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Haloisit Haloisit Haloisit Haloisit Kaolinit Kaolinit
Horison Diagnostik
Horison Permukaan
Dalam Soil Survey Staff (1999) dinyatakan bahwa, horison permukaan tanah
dapat diklasifikasikan sebagai epipedon okrik, apabila horison tersebut tidak memenuhi
syarat untuk tujuh epipedon lainnya. Sifat morfologi utama yang mempengaruhi
adalah karena horison permukaan bersifat terlalu tipis, terlalu kering, warnanya
memiliki value dan kroma terlalu tinggi, dan atau kandungan C-organiknya terlalu
rendah. Dari kriteria ketebalan, warna tanah, dan lain-lain maka disimpulkan horison
permukaan seluruh pedon pewakil adalah okrik.
94
Horison Bawah Permukaan
Identifikasi horison Bt pada seluruh pedon dalam penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan apakah horison tersebut adalah horison argilik. Kriteria yang digunakan
sebagai dasar identifikasi ini adalah sifat-sifat argilik seperti yang disampaikan dalam
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Sifat-sifat tersebut adalah sifat morfologi
dan fisika (kandungan liat dan ketebalan masing-masing horison), serta sifat
mikromorfologi (selaput liat).
Kandungan Liat
Data tekstur tanah berupa kandungan liat halus dan liat total, serta rasio liat
halus terhadap liat total masing-masing horison disajikan pada Tabel 5, 6, 7, dan 8.
Banyaknya liat halus yang dipindahkan oleh proses iluviasi terlihat pada data rasio liat
halus terhadap liat total dan merupakan indikasi intensitas proses iluviasi liat. Rasio liat
ini merupakan salah satu hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam identifikasi
horison argilik (Cremeens et al., 1986). Menurut Smith dan Wilding (1972) rasio liat
halus terhadap liat total merupakan salah satu kriteria pembanding yang dapat
membedakan antara horison argilik dengan horison di atasnya.
Bahan Induk Batuliat. Tabel 5 (halaman 38) menyajikan peningkatan
kandungan liat halus dari horison Ap ke horison Bt1 pada pedon yang berbahan induk
batuliat mencapai berturut-turut 6,9% dan 15,3% untuk pedon AM1 dan AM3 yang
memiliki regim kelembaban tanah akuik, dan 9,3% pada pedon AM2 yang memiliki
regim kelembaban tanah perudik. Dapat dikatakan bahwa proses iluviasi pada ketiga
pedon tersebut hampir sama tingkat intesitasnya, yang didukung oleh rasio liat halus
terhadap liat total yang tinggi. Peningkatan kandungan liat halus yang relatif paling
rendah di antara ketiga pedon pewakil dari bahan induk batuliat dijumpai pada AM1,
dan tertinggi pada pedon AM3. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan regim
kelembaban tanah yang ada saat ini, tidak terlihat mempengaruhi perbedaan jumlah
95
liat yang teriluviasi, dimana pada kondisi regim kelembaban tanah yang sama
memberikan peningkatan liat yang jumlahnya berbeda.
Bahan induk Batukapur. Pada Tabel 6 (halaman 42) disajikan bahwa, pedon-
pedon berbahan induk batukapur memiliki peningkatan kandungan liat halus dari
horison cenderung hampir sama antara pedon yang memiliki regim kelembaban tanah
perudik dan akuik. Pedon AM4 (perudik) memiliki peningkatan kandungan liat halus
dari horison A ke horison Bt1 yang lebih tinggi, yakni 15,9% dibanding pedon AM6 (dari
horison Ap ke horison Bt1) yakni 13,9%. Pedon AM5 yang memiliki regim kelembaban
perudik, peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 adalah 7,0%,
paling rendah di antara ketiga pedon tersebut. Sehingga sama halnya pada pedon-
pedon berbahan induk batuliat, regim kelembaban tanah yang berbeda tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah perpindahan liat.
Bahan induk Volkanik-Andesitik . Tabel 7 (halaman 46) menunjukkan bahwa,
peningkatan kandungan liat halus pada pedon yang berasal dari bahan Volkanik-
andesitik sangat menonjol pada pedon AM7. Hal ini sangat didukung oleh data tekstur
bahwa peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 sekitar 33,3%
terjadi pada pedon AM7. Tingginya kandungan liat halus pada pedon AM7 ini
menunjukkan telah terjadinya pelapukan yang intensif dan ekstensif yang
menghasilkan penimbunan liat yang relatif tinggi. Pada pedon AM8 yang berbahan
induk bahan volkanik andesitik, peningkatan kandungan liat halus dari horison Ap ke
horison Bt1 sebesar 6,1% dan tidak terlalu menonjol seperti pada pedon pewakil
lainnya.
Bahan induk Volkanik-Dasitik. Tabel 8 (halaman 48) menyajikan, pedon
berbahan induk volkanik dasitik AM9 dan AM10 yang memiliki regim kelembaban
tanah ustik dan akuik, menunjukkan bahwa penimbunan liat pada horison Bt1 relatif
lebih tinggi pada AM9 yaitu 15,6% dan pada AM10 relatif sedikit yakni 8,2%.
Disimpulkan bahwa bahan induk volkanik yang berbeda memberi pengaruh yang
96
berbeda terhadap jumlah peningkatan liat. Bahan volkanik-dasitik cenderung memiliki
peningkatan liat yang lebih banyak dibanding andesitik. Secara keseluruhan bahan
volkanik memiliki peningkatan liat yang relatif tinggi dibanding bahan induk batukapur,
dan batuliat. Rata-rata jumlah peningkatan liat paling rendah dimiliki oleh pedon-pedon
berbahan induk Batuliat.
Jumlah liat total pada horison iluviasi harus lebih banyak dibanding horison
eluviasi di atasnya di dalam jarak kurang dari 30 cm (Soil Survey Staff, 2003). Dengan
demikian, penentuan jumlah liat total yang harus dipenuhi sebagai horison argilik pada
masing-masing pedon dapat ditentukan berdasarkan jumlah liat total pada horison
A/Ap atau AB. Berdasarkan jarak kurang dari 30 cm dari horison eluviasi setiap pedon
pewakil, maka horison Bt1 digunakan sebagai dasar pembandingan.
Berdasarkan data tekstur tanah masing-masing pedon, maka diperoleh data
kandungan liat total pada horison eluviasi yang berada di antara 15% - 40%, adalah
pedon AM1 dan AM10. Untuk kedua pedon ini kandungan liat total sebagai
horison argilik harus minimal 1,2 kali kandungan liat total pada horison eluviasinya.
Pedon yang memiliki kandungan liat di atas 40%, adalah pedon AM2, AM3, AM4, AM5,
AM6, AM7, AM8, dan AM9. Pada masing-masing pedon tersebut, kandungan liat total
sebagai horison argilik harus minimal 8% (absolut) lebih banyak, dari kandungan liat
total pada horison eluviasinya.
Data jumlah liat total pada Tabel 16 menunjukkan bahwa, kandungan liat total
pada horison Bt seluruh pedon yang diteliti, melebihi batas minimal kandungan liat total
sebagai horison argilik.
97
Tabel 16. Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, Serta Jumlah Minimal Liat Total Sebagai Horison Argilik.
Pedon Liat Total (%) Hor. Eluviasi Hor.Iluviasi (A atau Ap) (Bt1)
Minimal Liat Total sebagai horison
Argilik (%) Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik) Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik) Bahan Volkanik-andesitik : AM7(perudik) AM8(perudik) Bahan Volkanik-dasitik : AM9(ustik) AM10 (akuik)
29,7 45,8 40,8
64,1 61,5 55,5
53,5 45,7
55,9 20,2
42,7 54,0 52,0
73,0 73,0 66,8
68,6 55,2
72,4 33,8
35,6 53,8 48,8
72,1 69,5 63,5
61,5 53,9
63,9 24,2
Ketebalan Horison Iluviasi
Data pada Tabel 17 terlihat bahwa, pada tanah-tanah yang berkembang dari
bahan induk batuliat dengan regim kelembaban tanah akuik (AM1 dan AM3)
menunjukkan kedalaman horizon iluviasi yang relatif sama, yakni pada kedalaman 10
cm dan 15 cm dari permukaan tanah. Dijumpai pula bahwa, batas bawah horison
iluviasi terletak pada kedalaman lebih dari 100 cm, yakni 135 cm (AM1) dan 135 cm
(AM3). Masih pada bahan induk yang sama, tetapi regim kelembaban tanah perudik,
pedon AM2 memiliki letak horison iluviasi terletak lebih dalam yakni 37 cm, dari
permukaan. Sedangkan batas bawahnya dijumpai pada kedalaman 130 cm atau sama
dengan AM1 dan relatif lebih dangkal dibandingkan pedon AM3.
Dengan demikian terlihat bahwa ketebalan horison iluviasi pada tanah
berbahan induk batuliat berbeda. Pada pedon dengan regim kelembaban tanah akuik
memiliki ketebalan sama, yaitu 10-130 cm = 120 cm dan 15-135 cm = 120 cm,
98
Tabel 17. Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Penimbunan Liat pada Masing - masing Pedon Pewakil.
Pedon Pewakil Batas atas dari
permukaan tanah (cm)
Batas bawah dari permukaan
tanah (cm)
Ketebalan horison
penimbunan liat
(cm) Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik) Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik) Bahan Volkanik: AM7 (andesitik-perudik) AM8 (andesitik-perudik) AM9 (dasitik-ustik) AM10 (dasitik-akuik)
10 37 15
31 16 18
19 20 22 26
130 130 135
130 122 136
105 145 140 143
120 93
120
99 106 118
86 125 118 114
sedangkan dengan pedon yang memiliki regim kelembaban tanah perudik relatif lebih
dangkal yaitu 37 - 130 cm = 93 cm.
Pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk batukapur, batas atas
horison iluviasi ditemukan pada kedalaman lebih bervariasi. Pada pedon yang memiliki
regim kelembaban tanah perudik, batas atas horison iluviasi dijumpai pada kedalaman
31 cm (AM4) dan 16 cm (AM5) dengan batas bawah pada kedalaman 130 cm (AM4)
dan 122 cm (AM5). Sedangkan pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik
(AM6), batas atas horison iluviasi berada pada kedalaman 18 cm, dengan batas bawah
pada kedalaman 136 cm dari permukaan tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa
horison iluviasi pada ketiga pedon yang berkembang dari bahan induk batukapur ini
memiliki ketebalan yang berbeda satu sama lain. Pedon AM4 (perudik) memiliki tebal
31 - 130 cm = 113 c m, pedon AM5 (perudik) adalah 16 - 122 cm = 106 cm, sedangkan
pedon AM6 (akuik) 18 -126 cm = 118 cm.
99
Batas atas horison iluviasi pada pedon-pedon yang berbahan induk bahan
volkanik dijumpai berbeda satu sama lain. Pada pedon AM7 dan AM8 yang bersifat
andesitik dengan regim kelembaban tanah perudik, batas atas horison iluviasi terdapat
pada kedalaman 19 cm (AM7) dan 20 cm (AM8) dari permukaan tanah. Sedangkan
batas bawahnya masing-masing pada kedalaman 105 cm dan 145cm.
Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik, menunjukkan letak
batas atas dan batas bawah horison iluviasi pada kedalaman 22 cm dan 140 cm untuk
AM9. Ketebalan horison iluviasi pada pedon ini yakni relatif agak tipis, yakni 118 cm.
Dibandingkan dengan pedon AM10 yang memiliki regim kelembaban tanah akuik,
batas atas horison iluviasinya dijumpai pada kedalaman 26 cm dari permukaan tanah,
atau lebih dalam dari AM9. Sedangkan batas bawah horison iluviasinya terletak pada
kedalaman 143 cm dari permukaan tanah, se hingga ketebalan horison iluviasi adalah
114 cm.
Selaput Liat (Clay Skin)
Hasil analisis irisan tipis pada beberapa horison iluviasi yang teridentifikasi
memiliki selaput liat (pedon AM8 dan AM10) disajikan pada Tabel 18.
Menurut salah satu kriteria horison argilik (Soil Survey Staff, 2003), bahwa pada
irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi, berjumlah
lebih dari 1%. Identifikasi irisan tipis pada penelitian ini dilakukan pada pedon AM8
(bahan Volkanik–Andesitik), dan AM10 (bahan Volkanik-Dasitik).
Karakterisasi horison iluviasi pada tanah berbahan induk batuan Volkanik-
Andesitik dengan regim kelembaban perudik (AM-8), menunjukkan adanya selaput liat
dengan jumlah sedikit sampai sedang, orientasi tidak kontinyu (Gambar 22). Dalam
Brewer (1974) dikatakan bahwa, orientasi selaput liat yang tidak kontinyu tersebut
mengindikasikan perkembangan yang lemah. Selanjutnya dikatakan bahwa, liat iluviasi
(argilan) yang orientasinya tidak kontinu menunjukkan laminasi yang kurang jelas.
100
Tabel 18. Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada Horison Penimbunan Liat Masing- masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10. Pedon Tebal
selaput (mikron)
Jumlah selaput
Perkembangan (laminasi)
AM8 Bt2 Bt3 Bt4 Bt5
AM10
Bt2 Bt3 Bt4
60-80 60
40-100 60
80-200 80-200 80-200
sedang -banyak sedikit banyak sedikit
sedikit-sedang sedang banyak
Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas
Ada/jelas Ada/sangat jelas Ada/sangat jelas
Keterangan: Kt=kuning terang, Kp=kuning , Ca=Coklat keabu-abuan. Sedikit = <5%, sedang= 5-10%, banyak= >10%. PPL=Plane Polarized Light, XPL=Cross Polarized Light. Sama halnya dengan pola perkembangan argilan yang diperoleh Cremeens
dan Mokma (1986) yang menunjukkan adanya penurunan tingkat orientasi dari kuat
pada tanah yang berdrainase baik (perudik), sampai lemah pada tanah yang
berdrainase buruk (akuik). Hal demikian tidak tercermin pada pedon AM10, sehingga
dapat disimpulkan bahwa regim kelembaban tanah yang ada sekarang tidak
mempengaruhi perkembangan selaput liat pada tanah tersebut. Dengan kata lain,
terbentuknya horison iluviasi liat pada pedon AM10 tidak terjadi pada lingkungan regim
kelembaban tanah yang ada saat ini.
101
Gambar 20. Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 21. Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur.
102
Gambar 22. Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM8 Berbahan Induk Volkanik-Andesitik (PPL = atas, XPL = bawah).
103
Gambar 23. Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM10 Berbahan Induk Volkanik-Dasitik (PPL = atas, XPL = bawah).
104
Pada Tabel 19 disajikan ringkasan hasil identifikasi horison argilik pada semua
pedon pewakil. Berdasarkan hasil identifikasi horison argilik yang menggunakan
kriteria jumlah kandungan liat total, ketebalan horison iluviasi, dan adanya selaput liat
sebagai bukti iluviasi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, tidak semua
horison iluviasi (Bt) pada pedon-pedon pewakil adalah horison argilik. Namun demikian
kriteria adanya selaput liat yang dijumpai atau terlihat di lapang, tidak dapat dibuktikan
secara mikromorfologi kecuali pedon AM8 dan AM10.
Tabel 19. Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria Jumlah Kandungan Liat Total, Ketebalan Horison Iluviasi, dan Selaput Liat pada Pedon Pewakil.
Bahan Induk/ Pedon
Liat Total %
Tebal Horison (cm)
Selaput Liat
Batuliat : AM1 AM2 AM3 Batukapur: AM4 AM5 AM6 Volkanik-Andesitik: AM7 AM8 Volkanik-Dasitik: AM9 AM10
42,7 (35,6)* 54,0 (53,8) 52,0 (48,8)
73,0 (72,1) 73,0 (69,5) 66,8 (63,5)
68,6 (61,5) 55,2 (53,9)
72,4 (63,9) 33,8 (24,2)
120 93
120
99 106 118
86 125
118 114
- - - - - - -
ada -
ada * Angka dalam kurung adalah minimal argilik.
Hasil identifikasi horison Bt yang ada pada masing-masing pedon pewakil
menunjukkan bahwa hanya pedon AM8 (Volkanik-Andesitik) dan AM10 (Volkanik–
Dasitik) yang memenuhi seluruh kriteria sebagai horison argilik. Dengan demikian
maka, pedon pewakil lainnya hanya memenuhi syarat kenaikan liat dan ketebalan
horison saja, sehingga horison penimbunan liat tersebut tanpa adanya argilik atau
105
yang disimbolkan dengan Bt cenderung merupakan horison kambik. Menurut Soil
Survey Staff (1999 dan 2003), horison kambik merupakan hasil proses perubahan
(alterasi) secara fisika, proses transformasi kimia, perpindahan, ataupun kombinasi dari
proses-proses tersebut. Dapat disimpulkan bahwa horison kambik yang ada pada
pedon pewakil dalam penelitian ini cenderung terbentuk dari akumulasi liat.
Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil
Berdasarkan hasil pengamatan sifat-sifat tanah yang ada, maka dapat
disimpulkan bahwa masing-masing pedon pewakil memiliki horison diagnostik berupa
epipedon okrik, horison bawah kambik (AM1, AM2, AM3, AM4, AM5, AM6, AM7) dan
horison argilik (AM8 dan AM10). Menurut klasifikasi tanah USDA Soil Taxonomy (Soil
Survey Staff, 2003) semua pedon termasuk dalam beberapa famili tanah ordo
Inceptisol, Ultisol, dan Alfisol, dengan regim kelembaban tanah akuik, perudik, dan
ustik, seperti disajikan pada Tabel 20.
Hasil identifikasi horison Bt (dibahas sebelumnya) menunjukkan bahwa pedon
pewakil yang memiliki horison kambik dapat diklasifikasikan sebagai Inceptisol.
Sedangkan Ultisol atau Alfisol bagi pedon yang memiliki horison argilik. Pedon AM1,
AM2, AM3, AM4, AM5, AM6, dan AM7 termasuk dalam ordo Inceptisol, sedangkan
AM8 sebagai ordo Ultisol, dan AM10 sebagai ordo Alfisol. Sub-ordo tanah Inceptisol
digolongkan berdasarkan regim kelembaban tanah (Aquept, Udept, dan Ustept).
Pedon AM8 digolongkan sebagai ordo Ultisol karena, memiliki KB-jumlah kation pada
kedalaman 125 cm dari batas atas argilik, atau pada kedalaman 145 cm dari
permukaan tanah adalah 32% atau kurang dari 35%. Sedangkan pedon AM10
termasuk Alfisol, karena KB-jumlah kation pada kedalaman 125 cm dari permukaan
argilik atau 151 cm dari permukaan tanah adalah 60% atau lebih dari 35%.
106
Tabel 20. Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya.
Pedon Bahan induk tanah
Klasifikasi tanah / Famili tanah
Regim kelembaban tanah
AM1 AM2 AM3 AM4 AM5 AM6 AM7 AM8 AM9 AM10
Batuliat Batuliat Batuliat Batukapur Batukapur Batukapur Volkanik-Andesitik Volkanik-Andesitik Volkanik-Dasitik Volkanik-Dasitik
Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran, aktif, isohipertermik. Fluventic Dystrudept, halus, campuran, semi-aktif, isohipertermik. Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran aktif, isohipertermik. Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik Fluvaquentic Epiaquept, sangat halus, smektitik, isohipertermik Andic Dystrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik Typic Haplohumult, sangat halus, haloisitik, isohipertermik Fluventic Dystrudept, sangat halus, haloisitik, isohipertermik Aeric Epiaqualf, berlempung halus, campuran, semi-aktif, isohipertermik
Akuik
Perudik
Akuik
Perudik
Perudik
Akuik
Perudik
Perudik
Ustik
Akuik
Penentuan sub-ordo berdasarkan pada regim kelembaban tanah mendapatkan
bahwa pedon AM1, AM3, AM6, dan AM10 tergolong memiliki regim kelembaban akuik;
pedon AM2, AM4, AM5, dan AM8 termasuk dalam regim kelembaban perudik;
sedangkan pedon AM9 termasuk regim kelembaban ustik.
Selanjutnya penentuan tingkat great group pada tanah yang tergolong pada
aquept adalah berdasarkan jenis saturasi (episaturasi). Sedangkan pada udept dan
Ustept didasarkan pada kejenuhan basa (NH4OAc) yang kurang dari 60% (Dystric)
dan yang sama atau lebih dari 60% (Eutro). Tanah yang memilik argilik didasarkan
pada ada tidaknya penurunan jumlah liat sebesar 20% dari kandungan maksimum
horison argilik pada kedalaman 150 cm. Bila tidak terjadi penurunan lebih dari 20%,
107
maka termasuk pada great group ”Pale”, dan bila terjadi penurunan termasuk great
group ”Haplo”. Pengklasifikasian selanjutnya pada tingkat sub group, didasarkan sifat
penciri lain yang memenuhi syarat. Antara lain, sub group Aeric, bila warna kroma
adalah 3 atau lebih pada satu horison di antara A/Ap atau kedalaman 25 cm, mana
saja yang lebih dalam, dan kedalaman 75 cm. Dikelompokkan pada Humic , bila warna
value 3 atau kurang (lembab) dan 5 atau kurang (kering) pada horison Ap setebal 18
cm atau lebih, atau bagian atas lapisan permukaan setebal 18 cm setelah dicampur.
Termasuk sub group Typic, bila tidak ada penciri lain yang menonjol.
Klasifikasi sampai tingkat famili tanah dilakukan berdasarkan pembeda famili
yaitu kelas ukuran butir, kelas mineralogi, kelas regim suhu tanah, dan kelas reaksi
tanah pada penampang kontrol dari masing-masing pedon.
Karakteristik Horison Argilik dan Kambik
Tebal Horison
Berdasarkan data batas dan ketebalan horison argilik pada Tabel 17 (halaman
94), disimpulkan bahwa perbedaan jenis bahan induk memberikan pengaruh yang
berbeda pada letak atau posisi horison argilik dari permukaan tanah. Letak horison
kambik dari permukaan tanah cenderung lebih seragam, yakni pada kedalaman 19–29
cm, dibanding dengan tanah yang berkembang dari batukapur 20–37 cm, maupun
batuliat 13–48 cm. Pada tanah-tanah yang berasal dari batuliat, batas bawah horison
kambik rata -rata terletak lebih dalam, 146–162 cm, dibanding dengan tanah-tanah
berkembang dari batukapur yakni 49–150 cm, dan tanah-tanah berbahan induk
volkanik 105–179 cm.
Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik cenderung memiliki
ketebalan horison bawah permukaan (kambik atau argilik) yang bervariasi, dari agak
tipis sampai tebal, yakni dari 86 cm sampai 125 cm. Ketebalan horison argilik yang
108
agak tebal dijumpai pada pedon yang berbahan induk bahan volkanik-dasitik (AM10),
yakni mencapai 114 cm, sedangkan lebih tebal ditemukan pada pedon yang berbahan
induk bahan Volkanik-Andesitik (AM8) yakni 125 cm. Hal tersebut diduga disebabkan
karena bahan volkanik didominasi oleh gelas volkan yang cenderung lebih mudah
melapuk serta menghasilkan solum yang relatif tebal dan homogen. Laju pelapukan
yang tinggi mempengaruhi ketebalan tanah sehingga cenderung memiliki profil yang
dalam. Keadaan tersebut menyebabkan iluviasi liat dapat terjadi dan terakumulasi
sampai ke bagian pedon yang lebih dalam.
Pengaruh regim kelembaban tanah terlihat berbeda pada masing-masing jenis
bahan induk tanah. Perbedaan antara regim kelembaban perudik dan akuik pada
pedon yang berasal dari batuliat berpengaruh pada ketebalan horison kambik yang
relatif lebih tebal pada regim kelembaban tanah akuik daripada perudik. Sebaliknya
pada pedon yang berasal dari batukapur, regim kelembaban tanah perudik
menghasilkan horison bawah relatif lebih tebal. Sedangkan pada pedon dari bahan
volkanik, horison argilik dijumpai lebih tebal, pada pedon yang memiliki regim
kelembaban tanah akuik, dibanding ustik, dan perudik.
Kandungan Liat
Pada Gambar 24 disajikan distribusi liat total dalam tanah-tanah yang termasuk
Inceptisol dan batas argiliknya (argillic line) pada pedon berargilik (AM8 dan AM10).
Dengan jelas terlihat bahwa penurunan kandungan liat di dalam tanah terjadi pada
kedalaman yang berbeda-beda. Pada pedon AM1 dan AM3 yang yang memiliki regim
kelembaban tanah akuik, menunjukkan tidak terjadi penurunan penimbunan liat yang
melebihi 20% (dari nilai kandungan liat maksimum), pada kedalaman 150 cm dari
permukaan tanah. Berbeda
109
Gambar 24. Distribusi Liat Halus dan Liat Total dalam Tanah Inceptisol dan Batas
Argilik (argillic line) pada Pedon AM8 dan AM10.
110
dengan pedon AM2, penurunan kandungan liat terjadi pada kedalaman 146 cm dari
permukaan tanah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada pedon yang berkembang
dari bahan induk batuliat, memiliki letak penurunan jumlah liat berbeda-beda, yang
disebabkan oleh regim kelembaban tanah yang berbeda. Letak penurunan kandungan
liat tersebut terlihat lebih dalam pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah
akuik dibanding perudik. Letak kedalaman dimana liat dapat dipindahkan
dimungkinkan oleh adanya air yang dapat meresap ke dalam tanah melalui pori-pori
tanah. Pada tanah yang memiliki regim kelembaban perudik, letaknya relatif dangkal
tergantung sampai sejauh mana ketersediaan air yang masih memungkinkan. Pada
tanah yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, kemungkinan keberadaan air
dalam tanah selalu tersedia dan dalam jangka waktu yang lebih lama, baik saat
periode kering maupun basah.
Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa, letak kedalaman penimbunan liat
halus dan liat total maksimum berbeda-beda pada setiap pedon. Pada pedon AM1 dan
AM3 yang berbahan induk batuliat dan memiliki regim kelembaban tanah akuik,
penimbunan maksimum terjadi pada kedalaman yang relatif dangkal dibandingkan
dengan pedon AM2 yang memiliki regim perudik. Sebaliknya, pada pedon yang
berbahan induk batukapur terlihat bahwa penimbunan maksimum terjadi relatif lebih
dangkal pada pedon AM4 (perudik) dan AM6 (akuik) daripada AM5 (perudik). Pada
pedon yang berkembang dari bahan induk Volkanik-Andesitik, penimbunan liat
maksimum terjadi lebih dangkal pada AM8 dibanding AM7.
Pada pedon berbahan volkanik-dasitik penimbunan maksimum terdapat
pada pedon AM10 (akuik) pada posisi lebih dalam dibanding dengan pedon AM9 yang
memiliki regim ustik. Hal tersebut diduga berkaitan dengan tekstur horison argilik pada
AM10 lebih kasar daripada pedon AM9 sehingga proses translokasi liat berlangsung
lebih dalam.
111
Tabel 21. Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil.
Pedon Pewakil Kedalaman (cm)
Kandungan liat maks.(%) Rasio Liat halus /total Liat halus Liat total H.argilik H.eluviasi
Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik) Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik) Bahan Volkanik: AM7 (perudik) AM8 (perudik) AM9 (ustik) AM10 (akuik)
55 - 95 65 - 103 50 – 85
45 – 66 86 – 122 50 – 77
80 – 105 65 – 90 80 - 110 120 - 143
46,9 51,0 0,92 0,89 45,6 58,8 0,77 0,68 39,4 55,5 0,71 0,50
70,0 79,3 0,88 0,81 73,6 77,8 0,95 0,93 61,0 69,9 0,87 0,85
71,4 83,3 0,86 0,26 70, 8 76,8 0,92 0,65 80,6 89,0 0,91 0,77
37, 5 41,3 0,91 0,93
Mikromorfologi Horison Argilik dan Kambik
Hasil deskripsi terhadap contoh irisan tipis tanah pada beberapa pedon pewakil
berdasarkan metoda analisis Brewer (1976) dan Bullock et al. (1985), disajikan pada
Tabel 22. Contoh irisan tipis yang diteliti diwakili oleh pedon AM2 dan AM3 (batuliat),
AM5 (batukapur), AM8 (bahan Volkanik-Andesitik), serta AM9 dan AM10 (bahan
Volkanik-Dasitik) .
Pedon Berbahan Induk Batuliat
Hasil pengamatan terhadap contoh irisan tipis tanah pada horison kambik
pedon AM2 yang berbahan induk batuliat menunjukkan bahan kasar didominasi oleh
mineral opak, plagioklas, kuarsa dan fragmen lapukan batuan sebagai bahan
kasarnya. Bahan halus tersusun oleh liat dengan warna coklat kekuningan, dan b-
fabrik yang tidak memiliki warna interferensi (undifferentiated b-fabric). Adapun
mikrostruktur dari horison ini adalah gumpal membulat dengan jenis pori-pori
berbentuk planar, chamber dan vughy . Ciri-ciri khusus (pedofeatures ) yang
112
teridentifikasi adalah adanya selaput liat yang berwarna cerah (limpid clay coating)
pada dinding pori, serta adanya liat sebagai pengisi pori-pori (clay infilling of voids ).
Tabel 22. Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat Beberapa Pedon Pewakil.
Pedon pewakil Mikrostruktur Jenis pori b-fabrik Ciri khusus Batu liat: AM2 (perudik) Horison Bt2 AM3 (akuik) Horison Bt1, Bt2, dan Btg Batukapur: AM5 (perudik) Volkanik - Andesitik AM8 (perudik) Volk.- Dasitik AM10 (akuik)
Gumpal membulat; - channel - tdk ber- - Selaput liat Remah - plannar bintik - Liat pengisi - chamber pori - vughy Gumpal membulat - channel - berbintik - selaput liat - plannar kasar - selaput besi - chamber - vughy Gumpal membulat; - plannar - berbintik - selaput liat Vesicular - channel halus - - selaput besi - vughy kasar - nodul - chamber Gumpal membulat - channel kasar - selaput liat - chamber Butiran - single void - selaput besi - vesicular - selaput liat - vughy - nodul
Pengamatan pada pedon AM3 yang memiliki regim kelembaban akuik
menunjukkan bahwa, penyusun bahan kasar adalah mineral opak yang berukuran
halus, plagioklas, piroksin, kuarsa, dan fragmen lapukan batuan. Sebagai penyusun
bahan halus adalah liat berwarna coklat kekuningan (speckled) dan adanya orientasi
liat pada b-fabrik (stipple-speckled b-fabric).
Dijumpai banyak agregat-berupa nodul yang terimpregnasi berwarna coklat
gelap dan semakin banyak dengan kedalaman tanah. Dijumpai adanya selaput besi
yang sudah memasuki struktur tanah (ferruginous hypo dan quasi-coating) dan pada
dinding pori channels. Kenampakan ini sangat dipengaruhi oleh adanya air tanah yang
dangkal.
113
Pedon Berbahan Induk Batukapur
Penyusun bahan kasar pada pedon AM5 adalah opak, fragmen lapukan
batuan, plagioklas dan piroksen. Dijumpai adanya residu organik dijumpai pada
horison kambik. Sedangkan massa halus tersusun oleh liat coklat kekuningan, dan b-
fabrik yang berbintik-bintik sama dari bagian atas kambik ke bagian bawah.
Mikrostruktur yang dominan adalah gumpal membulat dengan perkembangan
sedang (moderate). Sedangkan pori yang dominan adalah planar (accommodated),
chamber, vughy dan channel. Sifat mikromorfologi lainnya adalah adanya ferran atau
selaput besi dan liat yang saling menumpuk (superimposed) pada dinding pori, nodul,
dan selaput besi yang sudah memasuki bidang struktur (hypocoating).
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik
Penyusun bahan kasar pedon AM8 adalah opak berukuran halus, fragmen
batuan volkanik (halus sampai sedang), fragmen lapukan batuan, plagioklas, piroksen,
dan kuarsa. Bahan organik pada horison argilik berupa residu jaringan organik.
Adapun massa halus tersusun oleh liat dengan warna antara coklat kekuningan di
bagian atas argilik sampai coklat gelap pada bagian bawahnya. Pada pedon ini
dijumpai b-fabrik yang berbintik lemah.
Adapun mikrostrukturnya adalah remah dan gumpal membulat, dengan
perkembangan yang lemah pada bagian atas horison argilik dan struktur remah serta
vughy dijumpai pada bagian tengah sampai ke bawah. Pori yang dominan pada
horison argilik bagian atas adalah planar, chamber, dan vughy di atas, serta pori
channel di bagian bawah daripada argilik.
Ciri khusus pedogenesis berupa selaput yang berwarna gelap (yang diduga
bahan organik) dan selaput liat yang saling menumpuk (superimposed) pada dinding
pori, juga terlihat adanya penyelaputan besi (ferran), dan juga terdapat nodul-nodul
terimpregnasi. Semakin ke bawah keberadaan selaput liat semakin berkurang.
114
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik
Pengamatan irisan tipis pada pedon AM10, menunjukkan bahwa bahan kasar
pada horison argilik tanah ini tersusun oleh mineral opak yang cenderung berukuran
kasar, kuarsa, plagioklas, piroksen, dan dijumpai batu apung (pumice). Sedangkan
penyusun bahan halus adalah massa halus berwarna kelabu terang pada b-fabrik yang
berbintik lemah. Adapun mikrostrukturnya berupa butiran yang kompak, vughy dan
vesicular.
Kenampakan pedofeatures yang ditemukan adalah selaput besi yang
memasuki bidang struktur , dan adanya selaput liat berwarna cerah yang sangat
kontras. Terdapat juga nodul yang terimpregnasi terutama di bagian bawah argilik.
Proses Genesis Horison Penimbunan Liat
Genesis Pedon berbahan induk batuliat
Hasil analisis terhadap sifat-sifat kimia horison kambik pada pedon yang
tergolong pada tanah Inceptisol yang berkembang dari batuliat antara lain, adalah nilai
pH tanah yang sangat masam sampai masam (pH 4,2-4,8), yang menunjukkan bahwa
pedon-pedon tersebut telah mengalami pencucian basa-basa yang sangat intensif.
Pencucian intensif terhadap basa-basa sebagai pengikat partikel tanah tentu akan
mempermudah terjadinya pergerakan (translokasi) liat. Buol et al . (1980) menyatakan
bahwa pencucian yang ekstensif terhadap basa-basa, merupakan prasyarat
pembentukan tanah Ultisol. Namun demikian kriteria adanya selaput liat pada hampir
seluruh pedon pewakil dalam penelitian ini tidak terpenuhi.
Pembentukan tanah pada pedon-pedon yang berkembang dari batuliat ini tidak
menunjukkan adanya horison pencucian (E) yang jelas, terlihat horison kambik berada
langsung di bawah horison Ap, kecuali pada pedon AM2 berada setelah horison
peralihan BA. Berdasarkan beberapa pengamatan terhadap pedon yang mewakili
bahan induk batuliat diuraikan genesis horison kambik sebagai berikut:
115
Pada pedon AM1 dan AM3 (Fluvaquentic Epiaquept), pembentukan horison
kambik pada kedua pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik ini,
dipengaruhi oleh kondisi drainase yang terhambat. Tidak dijumpainya selaput liat
walaupun terdapat bukti terjadinya iluviasi liat dari horison pencucian di atasnya.
Proses genesis terlihat dengan adanya ciri khusus (pedofeature) berupa selaput besi
(ferran) pada pori-pori yang jumlahnya meningkat semakin banyak ke lapisan bawah.
Hasil identifikasi mineral liat yang mendominasi pedon AM1 adalah campuran
mineral smektit (2:1) dan kaolinit (1:1), sementara pada pedon AM3 adalah kaolinit.
Menurut Borchardt (1989), bahwa smektit menjadi tidak stabil apabila terjadi pencucian
yang intensif. Dikatakan pula bahwa, kondisi drainase yang lebih baik dapat
menyebabkan pembentukan mineral liat kaolinit. Dengan kata lain drainase buruk
memungkinkan dijumpainya smektit dalam tanah. Hal tersebut mencerminkan bahwa
pedon AM3 lebih intensif terlapuk dibanding pedon AM1. Pada pedon terakhir ini
terdapat lingkungan drainase yang memungkinkan untuk dijumpai mineral smektit,
walaupun berada dalam kondisi yang relatif masam.
Analisis mikromorfologi tidak dilakukan pada semua pedon yang berkembang
dari batuliat, namun dari data distribusi liat total horison permukaan dan horison Bt
cukup mencerminkan terjadinya iluviasi liat.
Pedon AM2 (Fluventic Dystrudept) berbeda dengan kedua pedon
sebelumnya. Pembentukan horison kambik pada pedon yang memiliki regim
kelembaban tanah perudik ini, dipengaruhi oleh kondisi drainase yang relatif baik.
Ditemukan adanya kesamaan jenis mineral kaolinit pada horison Bt dengan mineral liat
dari horison Ap di atasnya, sehingga disimpulkan bahwa liat yang diduga sebagai
sumber pembentukan horison ini berasal dari hasil iluviasi liat dari horison permukaan
Ap.
Pengaruh adanya horison penimbunan liat terhadap sifat kimia dari horison-
horison yang diidentifikasi tidak begitu jelas perbedaannya. Seperti antara lain,
116
kemasaman tanah, Kejenuhan Basa, dan KTK-tanah yang tidak jauh berbeda antara
horison pencucian dan iluviasi (Tabel 9). Sehingga dapat dikatakan bahwa sifat-sifat
kimia masing-masing pedon, yang diamati, cenderung merupakan pengaruh dari
bahan induk. Hal ini jelas pada kandungan C-organik serta penurunan yang tidak
teratur sampai ke bagian bawah pedon.
Genesis Pedon Berbahan Induk Batukapur
Pembentukan horison kambik pada tanah berbahan induk batukapur (AM4,
AM5, dan AM6), tidak terlepas dari adanya pencucian karbonat yang cukup intensif,
agar plasma menjadi lebih mudah bergerak bersama air perkolasi. Buol et al. (1980)
menyatakan bahwa pencucian karbonat menjadikan tanah lebih masam. Data
kemasaman tanah ketiga pedon tersebut menunjukkan pH yang cenderung agak
masam (pH 5,0 – 6,5), walaupun bahan induk relatif alkalis. Dengan demikian diduga
bahwa telah terjadi pencucian karbonat, yang memungkinkan terjadinya proses
pergerakan liat ke horison Bt. Tidak dijumpai horison eluviasi (E) yang jelas. Letak
horison kambik langsung berada di bawah horison A atau Ap. Kecuali pada pedon
AM4, horison kambik terletak di bawah horison peralihan AB.
Pembentukan horison kambik pada pedon AM4 dan pedon AM5 yang
diklasifikasikan sebagai Dystric Fluventic Eutrudept, terjadi pada lingkungan yang
relatif alkalis, dan drainase tanah agak terhambat (AM5), serta drainase tanah baik
(AM4). Fluvaquentic Epiaquept (pedon AM6) memiliki regim kelembaban tanah akuik,
dimana horison kambiknya terbentuk pada lingkungan dengan drainase tanah yang
buruk. Mineral liat yang dominan adalah smektit (2:1), mencerminkan bahwa pengaruh
bahan induk batukapur sangat menonjol pada genesi s horison argilik ketiga pedon
tersebut. Ciri khusus mikromorfologi adalah adanya selaput besi (feran) menumpuk
(superimposed) di dinding pori, sehingga membuat lapisan yang kokoh (Gambar 7)
yang menyelaputi pori. Kenampakan tersebut mencerminkan adanya proses akumulasi
117
besi pada pori-pori tanah. Mekanismenya dapat merupakan hasil iluviasi dari horison di
atasnya, dapat juga berupa hasil lapukan in situ yang kemudian teroksidasi. Adanya
oksida besi yang menyelaputi dinding pori memungkinkan pori tersebut tahan terhadap
rombakan.
Khusus pada pedon AM5, dijumpai adanya rekahan-rekahan yang nyata di
permukaan tanah, sampai pada kedalaman 86 cm, yang belum memenuhi persyaratan
sifat vertic karena tidak didukung oleh adanya struktur baji (Soil Survey Staff, 2003).
Rekahan tersebut terbentuk oleh adanya kandungan mineral liat 2:1 yang
mendominasi fraksi liat. Pada tanah yang berkembang dari bahan volkanik, seperti
pada AM7, walaupun terdapat kandungan liat 2:1 yang tinggi, rekahan-rekahan ini
tidak muncul. Hal ini diduga karena dominasi kation yang bervalensi tinggi, seperti Al
dan Fe yang tinggi pada pedon ini. Dikatakan bahwa Al dan Fe mensubstitusi kation
Ca, Mg, dan Na dalam kompleks pertukaran, sehingga secara drastis menurunkan
batas plastisitas tanah dan dapat mempengaruhi sifat kembang-kerut tanah
(Karathanasis dan Hajek, 1985).
Sifat-sifat kimia tanah pada pedon-pedon yang berkembang dari batukapur
terlihat jelas sangat dipengaruhi oleh bahan induknya. Contoh yang nyata adalah
kandungan basa-basa tinggi teru tama kalsium dan magnesium dapat tukar. Demikian
pula kadar natrium yang relatif lebih tinggi dibanding dengan pedon-pedon lainnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, pembentukan horison kambik pada pedon-pedon ini
dipengaruhi oleh lingkungan pembentukan yang relatif agak masam (pH 5,0-6,5).
Sehingga diduga pula bahwa dispersi liat dapat terjadi dalam lingkungan alkalis
tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Buol et al . (1973) bahwa,
translokasi liat dapat terjadi, baik pada kondisi masam maupun alkalis. Dikatakan pula
bahwa, peranan garam (Na) sangat penting dalam proses dispersi dan mobilisasi liat.
Namun kondisi ideal yang memungkinkan terhadap pembentukan horison argilik pada
118
pedon-pedon yang berkembang dari batukapur ini tidak diiringi oleh adanya selaput
liat.
Genesis Pedon Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik
Pedon AM7 (Andic Dystrudept), tidak adanya selaput liat merupakan bukti
bahwa horison bawah permukaan adalah kambik. Pembentukan horison kambik
dipengaruhi oleh keadaan drainase baik dan lingkungan yang masam. Perbedaan
dominasi mineral liat terlihat bahwa pedon AM7 mengandung mineral smektit.
Kemungkinan proses pelapukan dan pencucian telah terjadi secara intensif pada
pedon ini, seperti ditunjukkan oleh data tekstur dengan kandungan liat halus dan liat
total yang relatif tinggi. Dengan demikian, proses pencucian dan penimbunan liat
sangat dominan pada pembentukan horison kambik.
Kandungan Fe yang sangat tinggi seperti terlihat dari hasil analisis terhadap
besi bebas yang relatif tinggi mempengaruhi warna tanah yang kemerahan pada
pedon ini. Proses desilikasi ini disertai dengan pembentukan konkresi yang juga
dijumpai di lokasi pengambilan pedon pewakil ini. Buol et al. (1961) menyatakan
bahwa akumulasi besi (feritisasi) terjadi, karena besi bersifat tidak mobil, kemudian
teroksidasi menjadi ferrioksida. Siifat andik dijumpai pada pedon ini terlihat dari
kerapatan lindak di bawah satu pada hampir semua horison. Hal ini sangat
memungkinkan karena pedon ini terbentuk dari bahan induk volkan (Andesitik).
Pedon AM8 (Typic Haplohumult), proses pembentukan horison argilik pada
pedon ini, sangat dipengaruhi oleh kondisi drainase yang agak baik (peralihan akuik
dan perudik), dengan bahan induk yang bersifat intermedier (andesitik). Hasil analisis
mineral fraksi pasir menunjukkan bahwa komposisi bahan dasar secara keseluruhan
pedon ini berkembang dari bahan volkanik andesitik dan mineral liat dominan adalah
haloisit. Bahan induk ini cenderung mudah melapuk dibandingkan dengan bahan induk
volkanik dasitik, dengan demikian menghasilkan profil tanah yang dalam. Selaput liat,
119
atau liat pengisi pori di horison argilik mencerminkan pembentukan horison akibat
adanya translokasi dan akumulasi liat. Hasil analisis mikromorfologi menunjukkan
selaput liat yang dijumpai relatif banyak, tetapi belum mengalami perkembangan yang
berarti (tidak ada laminasi). Namun demikian dengan diidentifikasinya selaput liat pada
horison Bt, menunjukkan bahwa, horison argilik telah terbentuk pada pedon ini.
Genesis Pedon Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik
Lingkungan pembentukan horison argilik pada tanah yang berkembang dari
bahan induk volkanik-dasitik ini terlihat berbeda satu sama lain. Letak horison argilik
langsung terdapat di bawah horison permukaan (A) pada AM9, dan pada AM10
horison argilik terletak di bawah Ap.
Pedon AM9 (Fluventic Dystrustept), secara topografi terletak di bagian atas
lereng, atau di atas lokasi pedon AM10. Dengan melihat jumlah liat halus dan total
yang sangat tinggi proses penimbunan liat terjadi secara intensif pada pedon ini.
Bahan induk tufa Banten merupakan bahan utama pembentuk tanah ini.
Jumlah liat dan rasio liat halus terhadap liat total yang tinggi membuktikan
bahwa telah terjadi proses iluviasi dan eluviasi. Proses akumulasi liat adalah faktor
yang mempengaruhi pembentukan horison kambik. Pembentukan tersebut terjadi
pada lingkungan masam serta pencucian yang intensif. Sehingga dapat dikatakan
bahwa, proses dispersi liat memungkinkan menjadi tahap awal dalam pembentukan
horison bawah permukaan pedon ini.
Pedon AM10 (Aeric Epiaqualf), proses pembentukan horison argilik pada
pedon yang bersifat akuik dan berasal dari bahan induk tufa masam ini, dipengaruhi
oleh kondisi drainase buruk. Hasil pengamatan mikromorfolgi menunjukkan bahwa
hasil proses pelapukan, berupa liat halus bersama besi, terjadi terutama di daerah pori
dan sebagian terangkut oleh air ke bagian lebih bawah horison. Hal tersebut didukung
oleh meningkatnya kandungan liat di bagian bawah horison Bt.
120
Dijumpainya selaput liat yang terbentuk baik dan sempurna dengan
perkembangan laminasi yang nyata, menunjukkan bahwa pembentukan horison argilik
telah terjadi di bawah kondisi topografi yang stabil (datar). Pada pedon ini terlihat
adanya proses gleisasi, yang terjadi karena posisi pedon dalam topografi yang datar,
sehingga menyebabkan muka air tanah yang dangkal.
Hasil identifikasi mineral fraksi pasir (Tabel 13) menunjukkan bahwa pada
horison Bt mengandung kuarsa yang relatif sangat tinggi dibanding dengan pedon-
pedon lainnya. Adanya kondisi drainase yang buruk diduga menyebabkan proses
pelapukan relatif lambat. Tingginya kandungan kuarsa diduga berasal dari silikasi
bahan induk, melalui aliran di bawah permukaan secara lateral (perched water table)
yang berasal dari lereng yang berada di atasnya. Sedangkan tingginya basa-basa di
bagian bawah pedon AM10, diduga berasal dari bahan induk dan retensi basa-basa
pada bidang pertukaran, yang meningkatkan nilai kejenuhan basa dan nilai pH.
Menurut Moniz et al. (1982), kondisi kelembaban tanah akuik berperan dalam
pembentukan horison argilik, dimana akibat proses resilikasi, tanah tersebut secara
mineralogi menjadi agak terhambat tingkat pelapukannya (dibanding tanah Oksisol).
Pada kondisi ini, pembentukan horison argilik bukan dipengaruhi oleh komposisi
mineraloginya, tetapi lebih karena adanya suplai air yang banyak, sehingga dalam
keadaan jenuh proses resilikasi terjadi secara dominan, yang akhirnya mempengaruhi
sifat horison argilik, seperti adanya lapisan yang padat (kerapatan lindak lebih tinggi
dari horison argilik pada pedon lainnya), dengan struktur gumpal. Mineral yang
dominan adalah kaolinit.
Pengaruh adanya horison argilik terhadap sifat-sifat kimia pada pedon ini,
seperti pada pedon lainnya tidak begitu jelas. Terutama sifat-sifat kimia dari horison
argilik dibanding horison di atasnya tidak begitu berbeda. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa sifat-sifat tanah, terutama sifat kimia lebih diakibatkan oleh sifat bahan induk
masing-masing pedon yang diamati.
121
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, masing-masing pedon
pewakil memiliki perbedaan dalam sifat-sifat horison penimbunan liatnya (argilik dan
kambik) yang terutama tercermin pada, (1) tebal dan letak horison di dalam profil, (2)
jumlah penimbunan liat, dan (3) ada tidaknya selaput liat. Perbedaan tersebut tidak
lepas akibat pengaruh dari bahan induk yang berbeda-beda serta faktor lain (iklim dan
topografi). Dalam penelitian ini terlihat bahwa, proses pembentukan horison
penimbunan liat pada semua pedon yang diamati dapat dikatakan melalui proses yang
relatif sama. Yang berbeda adalah faktor-faktor pembentukan lainnya, terutama bahan
induk, iklim (kelembaban tanah), dan topografi.
Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat
Erosi dan Longsor
Erosi dan longsor adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau
gaya gravitasi. Perbedaan yang menonjol antara erosi dan longsor adalah volume
bahan yang dipindahkan, waktu yang dibutuhkan, dan kerusakan yang ditimbulkan
(Anonim, 2006).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan longsor dikelompokkan ke
dalam dua faktor utama, yaitu faktor alam dan manusia. Faktor alam di antaranya
adalah curah hujan, sifat tanah, bahan induk, elevasi, dan lereng. Faktor manusia
adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan
longsor.
Salah satu bukti adanya pengaruh horison penimbunan liat ini terhadap
kepekaan tanah terhadap erosi seperti yang sudah diteliti oleh Dariah (2004), yang
menyatakan bahwa horison Bt ini merupakan salah satu faktor penentu kepekaan
tanah pada erosi, karena berpengaruh pada proses peresapan air ke dalam tanah.
122
Pencegahan yang dapat mengurangi resiko yang berkaitan dengan erosi dan
longsor dengan adanya horison penimbunan liat, antara lain dengan memperbaiki
kawasan tanah yang memiliki horison penimbunan liat. Perbaikan dapat melalui usaha
pengokohan permukaan lapisan permukaan di atas batas atas horison tersebut melalui
tindakan konservasi tanah yang tepat. Sehingga dapat mengurangi aliran permukaan
maupun aliran bawah permukaan, melalui sistem tata air yang baik.
Tindakan pencegahan lainya adalah, perlunya pendataan penyebaran tanah-
tanah yang memiliki horison ini. Langkah tersebut merupakan awal dari perencanaan
penggunaan lahan pada kawasan yang berisiko. Dengan demikian penataan ruang
untuk pembangunan lebih diarahkan pada kawasan yang memiliki resiko
ketidakstabilan longsor rendah atau sangat rendah.
Banjir dan Kekeringan
Banjir dan kekeringan sangat berkaitan dengan karakteristik iklim dan tanah.
Iklim melalui curah hujan, temperatur, kecepatan angin dan lain-lain, yang memiliki
fungsi yang terkait dengan ketersediaan dan kehilangan air di dalam tanah dan juga
dari tanaman. Tanah berfungsi sebagai media penyimpan dan penyalur bagi
kebutuhan tanaman.
Adanya horison penimbunan liat dapat menyebabkan masalah yang serius bagi
pertumbuhan akar tanaman. Hal ini terjadi apabila terdapat penimbunan liat yang
menimbulkan perubahan tekstur sangat nyata (abrupt textural change ). Perubahan
tersebut dapat menghasilkan aliran air secara lateral (perched water table) di atas
horison argilik. Smith (1986) mengatakan bahwa, dampak tersebut dapat dijumpai
pada tanah-tanah Alfisol baik yang memiliki regim kelembaban tanah udik (Udalf)
maupun akuik (Aqualf).
Dampak yang lebih serius dapat terjadi adalah terjadinya banjir akibat
terjebaknya air di permukaan tanah terutama pada pedon yang terletak pada topografi
123
datar. Infiltrasi sangat kecil, karena lapisan yang relatif padat oleh pengaruh
penimbunan liat yang menyebabkan perbedaan tekstur yang nyata dan akibat
berkurangnya volume pori tanah oleh adanya selaput liat. Sebaliknya pada pedon-
pedon yang terletak pada topografi berlereng akan menimbulkan cepat hilangnya air
dari lapisan permukaan. Kekeringan pada zona dimana air tidak bisa ditahan lebih
lama. Kebanyakan zona tersebut adalah merupakan zona perakaran tanaman atau
pada horison permukaan tanah.
Adapun usaha pencegahan kekeringan yang perlu dilakukan khusus pada
tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat adalah mengetahui jarak atau
ketebalan lapisan permukaan di atas horison iluviasi. Karena lapisan tersebut berkaitan
dengan potensi tanah menyimpan air dan melepaskan untuk tanaman. Terutama pada
kedalaman akar efektif yang berkisar antara 0-30 cm dan 30-60 cm.
Penelitian ini tidak bertujuan untuk mengetahui secara langsung dampak
adanya horison penimbunan liat (baik sebagai argilik ataupun bukan argilik) bagi
pengelolaan tanah di daerah tr opika basah, terutama di Indonesia. Namun dengan
diketahuinya sifat-sifat horison tersebut, yakni jumlah penimbunan liat (letak
penimbunan maksimum), ketebalan horison, serta letak horison dalam profil (batas
atas dan batas bawah), dan ada tidaknya selaput liat yang terorientasi pada dinding
pori, akan sangat bermanfaat sebagai informasi penting bagi pengelolaan tanah di
Indonesia dimana tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol yang berkembang dari bahan
induk batuan sedimen maupun bahan volkanik tersebar luas.
Fenomena adanya horison iluviasi (Bt) dapat menjadi hal yang penting untuk
diketahui bukan saja hanya dalam interpretasi genesis dan klasifikasi tanah tapi lebih
kepada efeknya bagi pengelolaan tanah dan kaitannya terhadap pertumbuhan
tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap sifat-sifat morfologi, fisika, kimia,
mineralogi, dan mikromorfologi tanah, serta identifikasi sifat-sifat spesifik horison
penimbunan liat (peningkatan jumlah liat, ketebalan, selaput liat dan
perkembangannya) dari masing-masing pedon pewakil dalam penelitian ini,
maka dapat disimpulkan bahwa :
(1) Jumlah peningkatan kandungan liat, ketebalan horison Bt, dan adanya
selaput liat sebagai bukti adanya iluviasi liat sebagai kriteria horison
argilik, hanya dijumpai pada pedon AM8 (perudik) berbahan induk
Volkanik-Andesitik dan AM10 (akuik) berbahan induk Volkanik-Dasitik.
Pedon lainnya tidak menunjukkan bukti selaput liat. Sehingga horison Bt
pada pedon-pedon tersebut bukan argilik.
(2) Horison argilik relatif lebih tebal terdapat pada pedon AM8 (125 cm)
dengan letak 20 cm dari permukaan tanah, pedon AM10 (114 cm) yang
terletak relatif lebih dalam, yakni pada 26 cm dari permukaan tanah.
Sedangkan ketebalan horison Bt tanpa argilik terdapat pada pedon AM1
dan AM3 yang berbahan induk Batuliat, yakni 120 cm. Paling dangkal
dijumpai pada pedon AM7 (perudik) berbahan induk Volkanik-Andesitik,
yakni 85 cm dari permukaan tanah.
(3) Jumlah peningkatan rata-rata liat total 48,9%, merupakan peningkatan
tertinggi yang dijumpai pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan
induk Volkanik-Dasitik. Diikuti oleh pedon-pedon yang berkembang dari
bahan induk batuliat sebesar 37,9%, dan Volkanik-Andesitik sebesar
34,4%. Sementara peningkatan paling rendah, sebesar 19,9%, terdapat
pada pedon-pedon dari bahan induk batukapur. Peningkatan liat total
124
tersebut cenderung lebih tinggi pada pedon yang memiliki regim
kelembaban akuik dibanding perudik dan ustik.
(4) Hasil pengamatan irisan tipis pada horison argilik mendapatkan bahwa
selaput liat (berdasarkan ada tidaknya laminasi ) terlihat dengan urutan
tingkat perkembangan yang sangat berkembang sampai kurang
berkembang. Urutan tingkat perkembangan selaput liat dari yang sangat
berkembang adalah pedon berbahan induk Volkanik-Dasitik (AM10),
kemudian AM8 Volkanik-Andesitik (AM8). Ketebalan selaput liat yang
paling tebal dijumpai pada pedon AM10 (Volkanik-Dasitik), kemudian
AM8 (Volkanik-Andesitik)
(5) Berdasarkan pengamatan ketiga sifat argilik (terutama ketebalan dan
jumlah peningkatan liat halus), maka dapat disimpulkan bahwa genesis
horison argilik dan non argilik sangat dipengaruhi secara dominan oleh
faktor bahan induk, yang bertinteraksi dengan faktor pembentuk tanah
lainnya seperti iklim dan topografi. Proses genesis yang dominan adalah
eluviasi dan iluviasi liat.
(6) Adanya horison penimbunan liat dapat menimbulkan aliran air di bawah
permukaan, sehingga sifat-sifat horison tersebut penting yang berkaitan
dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol adalah letak dan
ketebalannya.
SARAN
Untuk menghindari dampak adanya horison argilik maka, letak dan
ketebalan horison argilik merupakan sifat-sifat utama/penting yang perlu
dipertimbangkan untuk dijadikan kriteria dalam penilaian kesesuaian lahan
Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol terutama dalam bidang pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Afandi, R. Widiastuty, dan M. Utomo. 1997. Upaya rehabilitasi sifat fisik tanah
Ultisol melalui pencampuran tanah lapisan atas, lapisan bawah, dan bahan organik. Jurnal Tanah Tropika II (4): 83-88.
Allbrook, R.F. 1973. The argillic horizon – Does it exist in Malaysia? The Second
Asean Soil Conference. Proceedings Vol. 1:51-55. The Soil Research Institute. Bogor. Indonesia.
Alghan, S. 1980. Hubungan satuan lereng dengan satuan tanah sampai kategori
kelompok di wilayah Cigudeg, Jawa Barat. Tesis S1 Departemen Ilmu Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Bartelli, L.J., and R.T. Odell. 1960. Field studies of a clay-enriched horizon in the
lowest part of the solum of some Brunizem and Gray-Brown Podzolic soils in Illinois. Soil Sci. Soc. Am. Proc. Vol. 24:388-390.
Birkeland. P.W. 1974. Pedology, Weathering and Geomorphological Research.
Oxford University. New York. London. Toronto. Brewer, R. 1976. Fabric and mineral analysis of soil. Robert E. Krieger Publ.
Comp., Huntington, New York. 482 pp. Bullock, P., N. Federoff, A. Jongerius, G. Stoops, and T. Tursina. 1985.
Handbook for soil thin section description. Waine Research Publication, Wolherhampton, UK.
Bullock, P. , and M.L. Thompson. 1985. Micromorphology of Alfisols. p.17-47. In
L.A. Douglas and M.L. Thompson (ed.) Soil Micromorphology and soil classification. SSSA Special Publication No.15. Madison, WI.
Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Craken. 1973. Soil genesis and classification.
Iowa State Univ. Press. Ames. Iowa. Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Craken. 1980. Soil genesis and classification.
Iowa State Univ. Press. Ames. 404 pp. Buol, S.W., and F.D. Hole. 1961. Clay skin genesis in Wisconsin soils. Soil Sci.
Soc. Am. Proc. Vol 25:377-379. Buurman, P. 1980. Red soils in Indonesia. Soil Research Institute, Bogor. 169 pp. Buurman, P., and A.G. Jongmans. 1994. Amorphous clay coating in a lowland
Oxisol and other andesitic soils of West Java, Indonesia. p. 115-124. In A.G. Jongmans (ed.) Aspects of mineral transformation during weathering of volcanic materials. Den Haag.
Cahyono. B.E. 1992. Sifat-sifat mikromorfologi dan hubungannya dengan
pedogenesis beberapa tanah Ultisol Lampung Selatan dan Alfisol Jawa Barat. Tesis S2, Program Pascasarjana IPB. Bogor.
126
Cremeens, D.L. and D.L. Mokma. 1986. Argillic horizon expression and classification in the soils of two Michigan hydrosequences. Soil Sci. Soc. Am. J. 50:1002-1007.
Culver, J.R., and F. Gray. 1968. Morphology and genesis of some grayish
claypan soils in Oklohama. I. Morphology, chemical and physical measurements. Soil Sci. Soc. Am. Proc. Vol. 32:845-851.
Daniels, R.B., W.D.Nettleton, R.J. McCraken, and E.E.Gamble.1966. Morphology
of soils with fragipans in parts of Wilson County, North Carolina. Soil Sci. Soc. Am. Proc. Vol. 30:376-380.
Dewayany. 1984. Sifat sifat dan klasifikasi tanah Latosol pada beberapa
kemiringan lereng di Darmaga Kabupaten Bogor. Skripsi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Direktorat Geologi. 1968. Peta Geologi Jawa dan Madura, Lembar Jawa Barat,
skala 1:500.000. Jakarta. Dixon J.B. and S.B. Weed. 1989. Mineral in Soil Environments. Book 1 Second
Edition. Soil Sci. Soc. Of America. Madison, Wisconsin. USA. Djunaedi. 1976. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Planosol dari
dua tempat di Jawa Barat. Tesis S1, Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Effendi. 1998. Peta Geologi lembar Bogor, skala 1: 100.000. Bandung. Eswaran. H. and C. Sys. 1979. Argillic horizon in LAC soils formation and
significance to classification. Pedology Vol.29 : 175-190 Fedoroff. N. and H. Eswaran.1985. Micromorphology of Ultisols. p.145-164. In
L.A. Douglas and M.L. Thompson (ed.) Soil Micromorphology and soil classification. SSSA Special Publication No.15. Madison, WI.
Foth, H.D. and L.M. Turk. 1972. Fundamental of soil science. 5th edition. John
Wiley and Sons, Inc. New York. Gamble, E.E., R.B. Daniels, and W.D. Nettleton. 1970. Geomorphic surfaces
and soils in the Black Creek Valley, Jonsthon County, North Carolina. Soil Sci. Soc. Am. Proc., 34: 276-281.
Goenadi, D.H., and K.H. Tan. 1989. Mineralogy and micromorphology of soil from
volcanic tuff in the humid tropics. Soil Sci. Soc. Am. J. Vol. 53:1907-1911. Hardjowigeno. S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis. Edisi Pertama.
Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Hendro B. P. 1990. Penuntun analisa mineral tanah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor. Jenny, H. 1941. Factors of soil formation. Mc Graw Hill, New York.
127
Jongerius, A., and G. Heintberger. 1975. Methods in soil micromorphology. A technique for the preparation of large thin section. Soil Survey Institute, Wageningen, The Netherlands, 98 pp.
Jongmans, A.G., J. Mulder, K. Groenesteijn, and P. Buurman. 1996. Soil surface
coating at Costa Rican recently active volcanoes. Soil Sci. Soc. Am.J. 60:1871-1880.
Karathanasis,A.D., and B.F. Hajek. 1985. Shrink – swell potensial of
monmorillonitic soil in udic moisture regimes. Soil Sci.Soc.Am.J. Vol. 49:159-166.
Khalifa, E.M., and S.W. Buol. 1968. Studies of clay skins in a Cecil (Typic
Hapludults) soil : I. Composition and genesis. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 32 :857-861.
Kubiena, W.L. 1938. Micropedology. Collegiate Press, Inc. Ames, Iowa, 243 pp. Miller,B.J. 1983. Ultisols. p. 283-324. Pedogenesis and soil taxonomy . II. The soil
orders. Elsevier Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo. Mohr, E.C.J., F.A. van Baren, and J. van Schuylenborgh. 1972. Tropical soils. A
comprehensive study of their genesis. 3rd edition The Hague-Paris-Djakarta. Moniz. A.C,. S.W. Buol, and S.B. Weed. 1982. Formation of an Oxisol – Ultisol in
Sao Paulo, Brazil: II. Lateral dynamics of chemical weathering. Soil Sci. Soc. Am. J, 46:1234–1239.
Nettleton, W.D., R.J. McCraken, and R.B. Daniels. 1968. Two North Carolina
coastal plain catenas: Micromorphology, composition, and fragipan genesis. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 32 :582-587.
Nettleton, W.D., R.J. Witty, R.E. Nelson. and J.W. Hawley. 1975. Genesis of
argillic horizons in soils of desert areas of the Southwestern United States. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 39 :919-926.
Rostad, H.P.W., N.E. Smeck, and L.P. Wilding. 1976. Genesis of argilic horizons
in soils derived from coarse textured calcareous gravels. Soil Sci. Soc. Am. J. 40:739-744.
Rusmana E., K. Suwitodirdjo, dan Suharsono. 1991. Peta Geologi Lembar
Serang, skala 1:100.000. Jakarta. Rust, R.H. 1983. Alfisols. p. 253-282. In Wilding et al. (ed.) Pedogenesis and soil
taxonomy. II. The soil orders. Elsevier Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo. Smeck, N.E., A. Ritchie, L.P. Wilding, and L.R. Drees. 1981. Clay accumulation
in sola of poorly drained soils of Western Ohio. Soil Sci. Soc. Am. J. 45:95-102.
Smith, H., and L.P. Wilding. 1972. Genesis of argillic horizon in Ochraqualfs
derived from fine textured till deposits of Northwestern Ohio and Southeastern Michigan. Soil. Sci. Soc. Am. Proc. 36 :808-815.
128
Soil Survey Staff. 1960. Soil Classification.7 th Approximation. US Dept. Agric.
Washington DC. Soil Survey Staff. 1975. Soil taxonomy : A basic system of soil classification for
making and interpreting soil surveys. USDA-SCS Agric. Handb. 436, U.S. Gov. Print. Office, Washington, DC.
______________. 1993. Soil Survey Manual. Handbook No. 18. Soil Survey
Divison Staff. USDA. Washington DC. _______________. 1998. Keys to soil taxonomy. 8th ed. USDA-NRCS.
Washington, DC. ______________. 1999. Soil taxonomy : A basic system of soil classification for
making and interpreting soil surveys. Second Edition. USDA-NRCS Agric. Handb. 436, U.S. Gov. Print. Office, Washington, DC.
______________. 2003. Keys to soil taxonomy. 9th ed. USDA-NRCS.
Washington, DC. Southard, R.J., and A.R. Southard. 1985. Genesis of cambic and argilic horizons
in two northern Utah Aridisols. Soil Sci. Soc. Am. J. 49:167-171. Stolt, M.H., and M.C. Rabenhorst. 1991. Micromorphology of argillic horizons in
an upland/tidal marsh catena. Soil Sci. Soc. Am. J. 55:443-450. Thorp, J. and G.D. Smith. 1949. Higher categories of soil classification; order,
suborder, and great soil groups. Soil Science 67:117-126. Tirtoso, R. 1984. Klasifikasi tanah dan hubungan beberapa jenis vegetasi
terhadap sifat-sifat Latosol Coklat Kemerahan di Cikarawang Bogor. Skripsi S1, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Verbeek dan Fennema. 1886. Peta Geologi Jawa dan Madura, skala 1:100.000.
Jakarta. Wambeke V.A. 1985. Calculated soil moisture and temperature regimes of Asia.
A compilation of soil climatic regime by using a mathematical model developed by Newhall (1972). SMSS Technical Monograph No. 9. Ithaca. New York.
Witjaksono, F. 1986. Pemetaan tanah detil dan evaluasi kesesuaian lahan untuk
Peternakan pada lahan Sistem Peternakan Terpadu di daerah Jonggol Bogor. Skripsi, S1 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
LAMPIRAN
130
Lampiran 1. Deskripsi profil Pedon AM1 Pedon : AM1 Klasifikasi Tanah : Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran, aktif,
isohipertermik. Lokasi : Bangkungreang, Cendali, Kec.Cimulang Fisiografi : Kaki bukit (G.Paok) Relief : Agak berombak Lereng : 4% Bahan Induk : Batuliat (Tmb) Drainase : Buruk Permeabilitas : Agak lambat Air tanah : Dangkal (<100 Cm) Penggunaan tanah : Sawah tadah hujan (diteras) Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
Ap
Bt1
Bt2
Bt3
Btg
BCg
0 – 10
10 – 30
30 – 55
55 – 95
95 – 130
130 - 200
Kelabu (10 YR 5/1); lempung berliat; gumpal membulat, sedang, sedang; agak lekat, gembur; karatan merah (2,5 YR 4/6), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas berangsur, rata. Coklat (10 YR 5/1); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas nyata, rata. Kelabu (10 YR 6/1); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata. Kelabu terang kecoklatan (10 YR 6/2); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/6), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas nyata, rata. Kelabu terang kecoklatan (10YR 6/2); liat, gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; batas berangsur, rata. Kelabu terang kecoklatan (10 YR 6/2); liat berdebu; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar, lekat, teguh.
131
Lampiran 2. Deskripsi profil Pedon AM2 Pedon : AM2 Klasifikasi Tanah : Fluventic Dystrudept, halus, campuran, semi-aktif,
isohipertermik Lokasi : Bukit Sentul, Cijayanti 1, Kecamatan Sentul Fisiografi : Perbukitan Relief : Berombak Lereng : 9% Bahan Induk : Batuliat (Tmj) Drainase : Sedang Permeabilitas : Sedang Air tanah : Dalam Penggunaan tanah : Kebun (Ketela pohon) Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
Ap
BA
Bt1
Bt2
Bt3
BC
0 – 18
18 - 37
37 - 65
65 - 103
103 - 130
130 - 200
Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat berdebu; gumpal membulat, agak kuat, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, sedikit; batas berangsur, rata. Coklat kekuningan (10 YR 5/8); liat; gumpal membulat, sedang, halus sampai sedang; sangat lekat, gembur sampai teguh; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata. Coklat kuat (7,5YR 5/8); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; sangat lekat, teguh; batas nyata, rata. Coklat kekuningan (10 YR 5/8); liat; bahan kasar besi; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/6), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata. Coklat kekuningan (10YR 5/6); liat; bahan kasar mangan; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; gembur sampai teguh; bercak hitam (10 YR 2/1), banyak, sedang, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata. Coklat kekuningan (10 YR 5/6); liat; gumpal membulat, sedang, halus sampai sedang; sangat lekat, teguh; karatan merah (2,5 YR 4/8), banyak, sedang, jelas sampai nyata, bintik berganda.
132
Lampiran 3. Deskripsi profil Pedon AM3. Pedon : AM3 Klasifikasi Tanah : Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran, aktif,
isohipertermik Lokasi : Babakan, Desa Cijayanti 2, Kecamatan Sentul Fisiografi : Dataran (Sungai Cikeas) Relief : Datar Lereng : 1% Bahan Induk : Batuliat (Tmj) Drainase : Agak Buruk-Buruk Permeabilitas : Buruk - Sedang Air tanah : Agak dangkal (<150 cm) Penggunaan tanah : Kebun (Ketela pohon) Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
Ap
Bt1
Bt2
Bt3
Btg1
Btg2
BCg
0 – 15
15 - 30
30 - 50
50 - 85
85 - 115
115 - 135
135 - 200
Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); liat berdebu; gumpal membulat, lemah, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, sedikit; batas berangsur, rata. Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); liat berdebu; gumpal membulat, lemah sampai sedang, halus sampai sedang; agak lekat, teguh; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata. Coklat kelabu (10 YR 5/2) dan Coklat (10YR 5/3); liat berdebu; gumpal membulat, lemah, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), sedang, kecil, nyata, bintik berganda dan lidah; batas nyata, rata. Coklat kelabu (10 YR 5/2); liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil sampai besar, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata. Kelabu (10YR 5/1); liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah gelap (2,5 YR 3/6), sangat banyak, besar, nyata, bintik berganda; perakaran halus sedikit; batas nyata, rata. Kelabu (10 YR 5/1); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; sangat lekat, sangat teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedikit, kecil, jelas, bintik berganda; batas nyata, rata. Kelabu gelap (10 YR 4/1); liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; sangat lekat, sangat teguh.
133
Lampiran 4. Deskripsi profil Pedon AM4 Pedon : AM4 Klasifikasi Tanah : Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik,
isohipertermik Lokasi : Peternakan IPB Jonggol, Desa Pasircabe, Kec. Jonggol Fisiografi : Perbukitan kapur Relief : Berbukit, lereng 4% Bahan Induk : Batukapur dan napal Drainase : Baik Permeabilitas : Baik Air tanah : Dalam Penggunaan tanah : Lahan Peternakan Vegetasi : Harendong, melastoma, alang-alang. Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
A
AB
Bt1
Bt2
Bt3
BC
0 – 15
15 - 31
31 - 45
45 - 66
66 - 130
130 - 200
Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/4); liat; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas berangsur, rata. Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat; gumpal membulat, lemah, halus - sedang; agak lekat, gembur; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedikit, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas nyata, rata. Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), sedang, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; batas nyata, rata. Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), sangat banyak, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; batas nyata, rata. Kelabu terang (10YR 7/2); liat, gumpal bersudut, sedang,sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Kuning kemerahan (7,5 YR 6/8) sangat banyak, kecil, nyata, bintik berganda; bahan kasar kalsium; batas nyata, rata. Kelabu terang (10 YR 7/2); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedikit, kecil – sedang, nyata, bintik berganda, banyak bahan sedang lapuk, warna beralih terang sampai hitam(10 YR 2/0).
134
Lampiran 5. Deskripsi profil Pedon AM5. Pedon : AM5 Klasifikasi Tanah : Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik,
isohipertermik Lokasi : Peternakan IPB, Desa Pasir Cabe, Kec. Jonggol Fisiografi : Perbukitan kapur Relief : Berbukit Lereng : 5 % Bahan Induk : Batukapur dan napal Drainase : Baik Permeabilitas : Baik Air tanah : Dalam Penggunaan tanah : Lahan Peternakan Vegetasi : Harendong, melastoma, alang-alang. Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
A
Bt1
Bt2
Bt3
BC
0 – 16
16 - 38
38 - 86
86 - 122
122 - 200
Coklat gelap kelabu (10 YR 3/2); liat; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; rekahan vertikal (3 cm) batas berangsur, rata. Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedang, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; rekahan vertikal (6 cm); batas nyata, rata. Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8) dan Kelabu gelap (10 YR 4/1), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; rekahan vertikal (vertic) 4-6 cm lebar; batas nyata, rata. Coklat kelabu (10YR 5/2); liat, gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8) sedang, kecil, nyata, bintik berganda; bahan kasar kalsium; batas nyata, rata. Coklat terang kekuningan (2,5 Y 6/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh, bahan sedang lapuk, warna beralih terang sampai hitam (2,5Y 2/0).
135
Lampiran 6. Deskripsi profil Pedon AM6. Pedon : AM6 Klasifikasi Tanah : Fluvaquentic Epiaquept, sangat halus, smektitik,
isohipertermik. Lokasi : Peternakan IPB, Desa Pasir Cabe, Kec. Jonggol Fisiografi : Perbukitan kapur Relief : Berbukit Lereng : 2 % Bahan Induk : Batukapur dan napal Drainase : Buruk Permeabilitas : Lambat Air tanah : Dangkal Penggunaan tanah : Sawah diteras. Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
Ap
Bt1
Bt2
Bt3
Bt4
BC
0 – 18
18 - 50
50 - 77
77- 107
107 - 136
136 - 200
Coklat gelap kelabu (10 YR 3/2); liat; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; rekahan vertikal (3 cm) batas nyata, rata. Kelabu gelap (2,5 Y 4/0); liat; gumpal membulat, lemah, sedang; lekat, teguh; karatan Merah (2,5 YR 4/6), sedang, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata. Kelabu (2,5 Y 6/0); liat; gumpal membulat, sedang, halus sampai sedang; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata. Kelabu (2,5 Y 5/0); liat, gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (10 R 4/8) banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas berangsur, rata. Kelabu (2,5 Y 5/0); liat, gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (10 R 4/8) sedang, kecil, nyata, bintik berganda; batas berangsur, rata. Kelabu (2,5 Y 5/0); liat, massif, lemah.
136
Lampiran 7. Deskripsi profil Pedon AM7. Pedon : AM7 Klasifikasi Tanah : Andic Dystrudept, sangat halus, isohipertermik Lokasi : Kebun Perc.Konservasi Puslittanak, Kebon Panas Desa Jasinga, Kec.Jasinga. Fisiografi : Perbukitan Relief : Berombak Lereng : 9% Bahan Induk : Bahan Volkan-Andesitik Drainase : Sedang Permeabilitas : Sedang Air tanah : Dalam Penggunaan tanah : Melastoma Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
A
Bt1
Bt2
Bt3
BC
C
0 – 19
19 - 47
47 - 80
80 - 105
105 - 130
130 - 200
Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/2); liat berdebu; gumpal membulat, agak kuat, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas nyata, rata. Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/4); liat ; gumpal membulat dan bersudut, sedang, sedang; lekat, gembur sampai teguh; perakaran halus, banyak; selaput liat; batas berangsur, rata. Coklat kemerahan (5YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, gembur sampai teguh; karatan Kelabu merah mudah (7,5 YR 6/2), sedikit, bintik berganda, kecil; selaput liat; batas berangsur, rata. Coklat kemerahan (2,5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, gembur sampai teguh; karatan Kelabu merah muda (7,5 YR 6/2), sedikit, kecil, nyata, bintik berganda; selaput liat; batas berangsur, rata. Kelabu merah muda (7,5 YR 6/2); liat berdebu; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; gembur sampai teguh; karatan Coklat gelap (10 YR 3/3) dan 2,5 YR 4/8, banyak, besar, jelas, bintik berganda; batas berangsur, rata. Kelabu merah muda (7,5 YR 6/2); liat berdebu; masif, lekat, teguh; karatan Coklat gelap (10 YR 3/3) dan Coklat tua 7,5 YR 5/8, banyak, besar, jelas, rata, bintik berganda.
137
Lampiran 8. Deskripsi profil Pedon AM8. Pedon : AM8 Klasifikasi Tanah : Typic Haplohumult, sangat halus, haloisitik,
isohipertermik Lokasi : Kebun Bukit Firdaus Ciampea, Desa Ciampea, Kec. Ciampea Fisiografi : Perbukitan Relief : Agak datar Lereng : 3% Bahan Induk : Bahan Tuf Volkan (Andesitik) Drainase : Agak baik Permeabilitas : Sedang Air tanah : Dalam Penggunaan tanah : Ketela pohon Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
Ap
Bt1
Bt2
Bt3
Bt4
Bt5
BC
0 – 20
20 - 40
40 - 65
65 – 90
90 - 110
110 - 145
145 - 200
Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/3); liat berdebu; gumpal membulat, lemah sampai agak kuat, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata. Coklat kemerahan (5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; agak lekat, teguh; perakaran halus, sedikit; bahan kasar Mangan warna hitam(2,5 YR 2/0), sangat banyak; selaput liat; batas nyata, rata. Coklat gelap kemerahan (5YR 3/2); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2/0), sedang, bintik berganda, kecil; selaput liat; batas jelas, rata. Coklat kemerahan (5 YR 4/3); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2/0), sedikit, kecil, nyata, bintik berganda; selaput liat; batas jelas, rata. Coklat kemerahan (5 YR 4/4); lempung liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; sedang, halus sampai medium; agak lekat, agak teguh; selaput liat; batas berangsur, rata. Coklat kemerahan (5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; agak lekat, agak teguh; selaput liat; batas baur, Coklat kemerahan (5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; agak lekat, agak teguh.
138
Lampiran 9. Deskripsi profil Pedon AM9. Pedon : AM9 Klasifikasi Tanah : Fluventic Dystrustept, sangat halus, haloisitik,
isohipertermik Lokasi : Perumahan RSS Mancang, Desa Cipocok, Serang Fisiografi : Perbukitan Relief : Agak berombak Lereng : 3% Bahan Induk : Bahan Tuf Volkan (Dasitik) Drainase : Baik Permeabilitas : Sedang Air tanah : Dalam Penggunaan tanah : Alang-alang Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
A
Bt1
Bt2
Bt3
Bt4
Bt5
BC
0 – 22
22 - 35
35 - 57
57 - 80
80 - 110
110 - 140
140 - 200
Coklat kemerahan (5 YR 4/3); liat; gumpal membulat, sedang, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; lubang rayap, batas nyata, rata. Coklat gelap (2,5 YR 3/6); liat; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus dan kasar, sedang; batas berangsur, rata. Coklat gelap (2,5YR 3/6); liat; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; lekat, teguh; perakaran kasar, banyak; batas nyata, rata. Merah (2,5 YR 4/6); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang; halus sampai medium; lekat, teguh; batas berangsur, rata. Merah (2,5 YR 4/6); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang, halus sampai sedang; lekat, teguh ; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2,5/0); batas berangsur, rata. Coklat kemerahan (2,5 YR 4/4); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang; sangat lekat, sangat teguh; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2,5/0); batas jelas, rata. Merah (2,5 YR 4/6); liat; gumpal membulat, sedang, lemah sampai sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6), banyak, kecil sampai sedang; banyak bahan sedang melapuk.
139
Lampiran 10. Deskripsi profil Pedon AM10. Pedon : AM10 Klasifikasi Tanah : Aeric Epiaqualf, berlempung halus, campuran, semi-
aktif, isohipertermik Lokasi : Perusahaan genteng, Desa Cipocok, Serang Fisiografi : Dataran aluvium Relief : Datar Lereng : 0 % Bahan Induk : Tufa Banten (Dasit) Drainase : Baik Permeabilitas : Sedang Air tanah : Dangkal 130 cm Penggunaan tanah : Sawah tadah hujan Simbol Horison
Kedalaman (cm)
U r a i a n
A
Adir
BMn
Bt1
Bt2
Bt3
Bt4
0 – 12
12- 20
20 - 26
26 - 59
59 - 75
75 - 120
120 – 143
Kelabu terang (5 Y 7/1); lempung; gumpal bersudut, lemah, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas kontras, rata. Coklat kekuningan (10 YR 5/6); lempung berdebu; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas nyata, rata. Kelabu (7,5YR 5/0) dan Hitam (7,5 YR 2/0) ; liat berdebu; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; lekat, teguh; perakaran kasar, sedikit; batas nyata, rata. Kelabu (7,5YR 5/0); karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/6) dan Mn hitam (7,5 YR 2/0) liat berdebu; gumpal bersudut, sedang, sedang; halus sampai sedang; lekat, teguh ; selaput liat; batas berangsur, rata. Kelabu (2,5 YR 6/0); liat berdebu; gumpal bersudut, kasar, sedang, halus sampai sedang; lekat, teguh ; selaput liat; batas nyata, rata. Kelabu (5 YR 5/1); liat berdebu; gumpal bersudut, kasar, sedang; sangat lekat, sangat teguh; dan karatan merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, sedang; selaput liat; batas berangsur, rata. Kelabu (5 YR 5/1); liat berdebu; gumpal membulat, kasar, lemah sampai sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, sedang sampai kasar; batas jelas, rata.
140
Lanjutan Lampiran
10
BCg1
BCg2
143 – 148
148 - 200
Kelabu (5 YR 5/1); lempung berdebu; gumpal bersudut, kasar, lemah sampai sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, merah kekuningan (5 YR 5/8), sedikit, kasar; banyak bahan glei berwarna kelabu terang ( 5 YR 7/1), batas berangsur, rata Kelabu (5 YR 5/1); lempung berdebu ; masif sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, Merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil sampai sedang; banyak bahan glei berwarna kelabu terang ( 5 YR 7/1)