kapabilitas pemuda dalam sosialisasi politik guna preventisasi “apol dan gapol” masyarakat...

11
SEMANGAT KEPEMUDAAN INDONESIA KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi dari Apolitical Being Aristoteles) Oleh: Arie Hendrawan Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang 1

Upload: arie-hendrawan

Post on 25-Jun-2015

560 views

Category:

News & Politics


1 download

DESCRIPTION

Absorpsi nilai-nilai politik setiap individu, terjadi berkat berbagai perantara. Perantara yang dimaksud disebut “agen” sosialisasi politik. Kapabilitas pemuda sebagai agen sosialisasi politik patut diperhitungkan. Mereka masih idealistis, dan objektif. Bukankah ilmu layaknya sebuah gizi, ketika diajarkan secara natural (apaadanya)? Objek yang paling oportunitif untuk pemuda “berkhidmat” diri, yakni: institusi pendidikan, peer group , dan media massa. Lantas, kenapa berkhidmat? Karena mengabdikan diri (berkhidmat) sama dengan wujud atau realisasi nyata Intellectual Social Responsibility (ISR) generasi muda.

TRANSCRIPT

Page 1: KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi Apriori dari Apolitical Being Aristoteles)

SEMANGAT KEPEMUDAAN INDONESIA

KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK

GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL”

MASYARAKAT

(Eksistensi dari Apolitical Being Aristoteles)

Oleh:

Arie Hendrawan

Jurusan Politik dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang

LOMBA ESAI GREAT MOMENT 2013 DALAM RANGKA MEMPERINGATI HARI

KEBANGKITAN NASIONAL

LEMBAGA PERS MAHASISWA GEMA KEADILAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO – SEMARANG

1

Page 2: KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi Apriori dari Apolitical Being Aristoteles)

Betapa Politik itu Selalu Inheren dengan Kehidupan

Tidak ada definisi statis mengenai politik. Sebaliknya, jawaban seputar apa itu politik

selalu mobile secara dinamis. Multiperspektif terhadap variabel-variabel politik, tak ubahnya

sebuah analogi tentang seorang buta yang sedang meraba gajah. Sewaktu memegang buntut

(ekor), maka yang terlintas dibenak orang tersebut adalah kuda. Berbeda lagi saat menyentuh

tekstur kulit, mungkin saja dia berfikir induktif bahwa binatang di sampingnya adalah kerbau.

Jika seorang buta tadi mendapati belalai, spontan baru dia mengeneralisasi gajah yang tengah

berada di dekatnya. Begitulah realitas glosa politik, nisbi. Dependen dari kaca mata dan sudut

pandang masing-masing pribadi.

Namun demikian, Harold D. Laswell dalam buku Who Gets What, When, How pernah

melontarkan pandangan yang komprehensif dan dinilai representatif perihal politik. Laswell

mengatakan, “politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.”1 Kemudian

disusul oleh pandangan Bertrand de Jouvenel yang mengungkapkan, “politik adalah aktivitas

untuk menciptakan, memperkuat, dan mempertahankan bentuk-bentuk kerjasama manusia.”2

Melalui dua visualisasi takrif tersebut, kita dapat menetaskan simpulan holistik bahwa politik

sungguh tidak melulu bicara pemerintahan, partai politik, bahkan teori-teori klasik (termasuk

juga, neo klasik) sekalipun. Di luar konteks disiplin keilmuan tertentu, aktualitas nilai politik

justru bersifat universal. Artinya, selalu “inheren” dengan kehidupan.

Baik Plato maupun Aristoteles3, jauh-jauh hari telah menyatakan manusia hidup untuk

memenuhi kebutuhan dasar dan mencapai tujuan. Usaha yang dilakukan manusia dalam taraf

makro (masyarakat) demi kebutuhan dan tujuannya tersebut oleh Aristoteles dinamai politics.

Meski terkesan normatif, pandangan Aristoteles senantiasa duratif hingga abad ke-19. Berasal

dari konsep itu pula muncul istilah zoon politicon (social and political animal), lagi-lagi oleh

Aristoteles. Ia meyakini utopia masyarakat tidak akan mampu diwujudkan sendiri, dan harus

memerlukan kolaborasi intersosial. Karenanya, Aristoteles menyebut spesies manusia sebagai

zoon politicon. Jika diurai, setidaknya ada dua tesis. Pertama, man is a social being4. Kedua,

man is a political being5. Jadi secara “garis besar”, politik dan kehidupan manusia merupakan

dwi-tunggal yang satu dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Sadar atau tidak, setiap manusia

pasti merasakan dan menjalankan kegiatan politik.

1 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 22.2 Baca Bertrand de Jouvenel dalam Kartono, Pendidikan Politik sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa, Mandar Maju, 2009, hlm. 17.3 Aristoteles adalah murid dari Plato. Bersama Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi satu di antara tiga Filsuf yang paling berpengaruh dalam pemikiran barat.4 Manusia itu selalu hidup dalam suatu pergaulan hidup (makhluk sosial).5 Manusia selalu berorganisasi (makhluk politik). Sintagma “a political being” juga biasa (lumrah) ditulis dengan “apolitical being”.

2

Page 3: KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi Apriori dari Apolitical Being Aristoteles)

Sosialisasi Politik = Wujud ISR Generasi Muda

Meskipun terbilang lebih spesifik ketimbang konsepsi politik, skets sosialisasi politik

sebenarnya juga tidak kalah beragam. Sebagai induk dari pendidikan politik dan indoktrinasi

politik6, proses sosialisasi politik sangat penting di dalam upaya membangkitkan hegemonitas

masyarakat terhadap dinamika politik. Sebelum beranjak semakin jauh, ada penegasan makna

sosialisasi politik. Penulis memakai gagasan R.E. Dawson dan K. Prewitt, “sosialisasi politik

merupakan proses pengembangan lewat mana seseorang warga negara menjadi matang secara

politik.”7 Acuan bagaimana metode yang dipakai, bukan merujuk indoktrinasi oleh penguasa

otoritarian. Melainkan, bertendensi terhadap “optik” pendidikan politik yang berciri interaktif

dan tidak hanya bersifat satu arah. Dengan label generasi terpelajar atau agent of intellectual

pemuda mempunyai modal besar dalam memberi sosialisasi politik kepada masyarakat.

Absorpsi nilai-nilai politik setiap individu, terjadi berkat berbagai perantara. Perantara

yang dimaksud disebut “agen” sosialisasi politik. Kapabilitas pemuda sebagai agen sosialisasi

politik patut diperhitungkan. Mereka masih idealistis, dan objektif. Bukankah ilmu layaknya

sebuah gizi, ketika diajarkan secara natural (apaadanya)? Objek yang paling oportunitif untuk

pemuda “berkhidmat” diri, yakni: institusi pendidikan, peer group8, dan media massa. Lantas,

kenapa berkhidmat? Karena mengabdikan diri (berkhidmat) sama dengan wujud atau realisasi

nyata Intellectual Social Responsibility (ISR)9 generasi muda.

Tidak bisa dipungkiri anak-anak muda secara terjadwal menghabiskan sebagian besar

waktunya di sekolah, selain di rumah tentunya. Sebagai ladang “akademisi”, sekolah menjadi

tempat memperoleh informasi dan berbagai pengetahuan tentang proses-proses politik. Untuk

itu, role yang bisa dikerjakan oleh pemuda di sini dalam rangka sosialisasi politik mencakup

pengorganisiran kegiatan yang pro terhadap sosialisasi politik. Umpamanya saja mengadakan

diskusi isu-isu politik yang aktual dan kontekstual dengan mengkorelasikannya bersama ilmu

yang telah diterima saat pembelajaran. Kedua melalui aksi-aksi penyuluhan politik, kita dapat

mengambil contoh, misalnya penyuluhan seputar “urgenitas” Pemilu bagi segmentasi pemilih

pemula. Terakhir, menjalin kerjasama dengan ekstrakulikuler maupun Organisasi Siswa Intra

Sekolah (OSIS) untuk menyelenggarakan “praktek” kegiatan secara demokratis dan harmonis

6 Baca Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, 1992, hlm. 117.7 Simak buku Richard E. Dawson dan Kenneth Prewitt, Political Socialization, Little Brown and Company, Inc., 1969.8 Peer group bermakna kelompok pergaulan (teman sebaya). Sikap seseorang terhadap “objek” politik tertentu sering dipengaruhi oleh teman-teman sebaya atau sejawatnya (Sunarto, 2004: 23). Bagai pedang bermata dua, pengaruh tersebut bisa berupa hal positif maupun negatif.9 Bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat dengan bermodalkan daya intelektual. Misalnya: pelatihan a, kursus b, dan sosialisasi c terhadap masyarakat.

3

Page 4: KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi Apriori dari Apolitical Being Aristoteles)

mengacu prinsip fundamental political responsibility. Hal tersebut, merupakan implementasi

dari sosialisasi politik lewat pendidikan keteladanan.

Berikutnya, sosialisasi politik pemuda pada peer group, atau akrab dijuluki kelompok

pergaulan. Setiap orang tidak selalu menggunakan waktu yang dimilikinya, “hanya” di dalam

keluarga maupun di sekolah. Ada dunia lain bagi mereka, termasuk bagi para golongan muda

dan itulah apa yang mereka anggap sebagai dunia pergaulan. Anggota-anggota dalam sebuah

kelompok pergaulan mempunyai hubungan akrab yang kuat dan loyal. Lagipula, keterbukaan

di sini juga memang bertaraf lebih tinggi karena tidak wajib mengikuti “yurisdiksi” akademis

layaknya di sekolah. Kesempatan emas itu membuat kaum muda sanggup meletakkan dirinya

secara berani namun tetap bertanggung jawab, untuk melakukan sharing berbagai nilai politik

praktis. Meski bukan berarti hal tersebut dijadikan “instrumen”, guna mengarahkan seseorang

menuju kiblat kepentingan kelas tertentu. Tidak serta merta. Sebaliknya, pemuda dalam peer

group definitif menggairahkan mekanisme sosialisasi politik dari perkara kecil dengan model

pendekatan yang bersifat konstruktivistik.

Selanjutnya, objek pengunci di mana generasi muda dapat menyumbangkan diri demi

sosialisasi politik adalah media massa. “Pers, langsung maupun tidak langsung sesungguhnya

bisa mendegradasikan nilai-nilai politik kepada masyarakat luas,” begitu argumentasi faktual

yang dikemukakan oleh Firmanzah.10 Ya, media massa adalah lembaga (paling) efektif untuk

membangun public opinion. Hal itu, juga relevan dengan pendapat Hyman yang substansinya

mengatakan bahwa media massa menyebarkan informasi politik. Tak hanya konsisten, namun

standar pula secara “simultan” bagi sejumlah besar orang sehingga berhasil memainkan peran

strategis dalam transformasi yang cepat di masyarakat.11 Bagaimana step pemuda untuk ikut

andil bagian? Mudah, rubrik opini sangat berjubel hampir di setiap media massa. Di samping

job jurnalis lepas yang kini mulai awam digeluti mahasiswa, bahkan pelajar sekalipun. Ruang

tersebut rasa-rasanya tidak akan terlalu jauh dari jangkauan mereka, para generasi muda. Jadi

sahih sudah, bukti jika pemuda berkapabel menjadi agen sosialisasi politik.

Memintasi Apatisme Politik (Apol) dan Gagap Politik (Gapol)

Siapa yang tak kenal Golput? Istilah “beken” itu mulai mencuat ketika Pemilu 1971 di

zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Golput atau Golongan Putih, merupakan suatu reaksi

protes atas kekuasaan yang otoritarian dan manipulatif. Gerakan Golput disimbolkan dengan

gerakan segi lima kekosongan yang diusung Arief Budiman Cs.12 Sampai saat ini Indonesia

10 Coba lihat Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 287.11 Nukilan dari Herbert Hyman, Political Socialization, The Free Press, 1959, hlm. 197.12 Perhatikan Andrias Ali, Pilkada dan Peluang Golput, www.mega.subhanagung.net, 2011.

4

Page 5: KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi Apriori dari Apolitical Being Aristoteles)

masih dilanda krisis non-voter, dan prosentasenya rajin mengalami eskalasi. Puncaknya, pada

Pemilu 2009 jumlah Golput hampir 50 juta orang,13 mencengangkan bukan? Meskipun sangat

absurd jika menginginkan Pemilu yang 100% terbebas dari Golput, setidaknya angka Golput

masyarakat Indonesia yang sedemikian besar tersebut bisa ditekan.

Fenomena Golput adalah salah satu bentuk apatisme politik. Dan hal yang paling erat

terkait dengan problematika tersebut, yaitu kesadaran politik serta budaya politik. Sebenarnya

kita juga tidak boleh gegabah menghakimi masyarakat sebagai biang keladi. Jika menganalis

secara komprehensif, ada beberapa faktor lain penyebab Golput. Taruhlah, minimnya kinerja

aparatur pemerintahan sehingga menimbulkan krisis kepercayaan, sosialisasi politik setengah

hati14 para suprastruktur maupun infrastruktur politik, maupun hantaman kesejahteraan rakyat

yang begitu rendah. Parahnya, apatisme politik masyarakat kini kian diperparah kembali oleh

pengetahuan masyarakat yang buruk tentang politik.15 Untuk yang kedua ini dampaknya akan

sangat jelas terasa jika kita dihadapkan pada sebuah pemerintahan tirani. Maka, upaya-upaya

preventif melalui sosialisasi politik pemuda menjadi semakin mendesak dilakukan.

Bersandar pemaparan di atas, tampak sekali betapa pentingnya sosialisasi politik bagi

masyarakat. Peran generasi muda dalam hal ini tidak perlu disanksikan. Pemikiran Aristoteles

tentang apolitical being manusia juga terbukti masih terus eksis hingga sekarang. Masyarakat

konstan terbelenggu kehidupan politik. Butuh instrumen untuk memastikan segala sesuatunya

berjalan baik-baik saja. Sosialisasi politik, ialah jawaban. Memintasi, jauh lebih baik daripada

mengobati. Tak ada kata terlambat untuk aksi mulia. Pemuda memegang “estafet” perjuangan

bangsa. Nasib Indonesia, ada di tangan mereka. Bangkitlah wahai pemuda!

DAFTAR PUSTAKA13 Lebih lanjut, baca Faisal Assegaf, Jumlah Golput Hampir 50 Juta Orang, www.pemiluindonesia.com, 2009.14 Dianggap setegah hati karena banyak sosialisasi politik yang justru hanya digunakan sebagai “kedok” interest belaka, baik berupa politik pencitraan ataupun kampanye terselubung lainnya.15 Buruk dalam arti pengetahuan masyarakat yang sempit mengenai politik, entah itu persepsi maupun aplikasi politik, hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam kancah perpolitikan, bahkan yang lebih parah lagi tidak mengetahui apa itu konsep politik? Penulis menyebutnya sebagai masyarakat “gagap politik”.

5

Page 6: KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi Apriori dari Apolitical Being Aristoteles)

Buku

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dawson, E. Richard dan Kenneth Prewitt. 1969. Political Socialization. Boston: Little Brown

and Company, Inc.

Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hyman, Herbert. 1959. Political Socialization. New York: The Free Press.

Kartono. 2009. Pendidikan Politik sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa.-----------

Bandung: Mandar Maju.

Subakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sunarto. 2009. Sistem Politik Indonesia. Semarang: Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan----

Universitas Negeri Semarang.

Internet

Ali, Andrias. 2011. Pilkada dan Peluang Golput. Diunduh dari www.mega.subhanagung.net

pada tanggal 8 Maret 2013.

Assegaf, Faisal. 2009. Jumlah Golput Hampir 50 Juta Orang. Diunduh dari---------------------

www.pemiluindonesia.com pada tanggal 8 Maret 2013.

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA

6

Page 7: KAPABILITAS PEMUDA DALAM SOSIALISASI POLITIK GUNA PREVENTISASI “APOL DAN GAPOL” MASYARAKAT (Eksistensi Apriori dari Apolitical Being Aristoteles)

1. Nama Penulis : Arie Hendrawan

2. Tempat & Tanggal Lahir : Kudus & 28 Agustus 1992

3. Nama Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Semarang

4. Nama Fakultas & Jurusan : Fakultas Ilmu Sosial & Politik dan Kewarganegaraan

5. Domisili : Ds. Jepang, RT05/RW10, Kec. Mejobo, Kab. Kudus

6. Alamat Email : [email protected]

7. FB : [email protected]

8. No. Ponsel : 085740228837

9. Scan KTP dan KTM :

10. Scan Bukti Pembayaran :

7