eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3092/1/nia kania-buku referensi fathobiologi... · basal...
TRANSCRIPT
1
2
3
4
5
BAB I
Pengertian, definisi, tipe & fungsi epitel paru
Sebanyak 221-223 cabang saluran udara pada manusia dewasa ditutupi oleh
lapisan epitelium yang berkesinambungan (Mercer et al., 1994). Tipe sel yang
banyak terdapat pada epitelium saluran udara adalah sel epitel bersilia, kolumnar,
undifferentiated, sekretori, dan sel basal. Pada manusa dewasa normal, populasi sel
apitelium ini sangat beragam sebagaimana fungsi dari saluran udara.
Epitelium saluran udara mempunyai peran penting dalam memelihara saluran
untuk udara dari dan menuju alveolus (Knight & Holgate, 2003). Epitelium tersebut
merupakan pusat pertahanan paru-paru terhadap patogen dan partikel-partikel yang
terinhalasi dari lingkungan, yang mana dengan kombinasi fungsi dari sel sekretori
dan sel bersilia akan dapat memelihara efisiensi pembersihan mukosiliata serta
berbagai proses pertahanan tubuh host yang lain (Knight & Holgate, 2003; Puchelle
et al., 2006). Lapisan epitelial tidak berfungsi sebagai suatu kesatuan yang
independen, melainkan sebuah fungsi interdependen dengan sel epitel lain, sel
mesenkimal, sel endotelial, dan matriks ekstraseluler yang tersusun atas dinding
bronchial (Knight & Holgate, 2003; Holgate, 2000). Sel epitel saluran pernafasan
merupakan pusat patogenesis dari berbagai penyakit pada paru-paru meliputi
chronic obstructive pulmonary disease (COPD), asma, serta karsinoma
bronchogeni. Pada penyakit-penyakit tersebut, fungsi epitel saluran pernafasan
tersebut selanjutnya akan dimodifikasi oleh proses inflamasi lokal / sinyal
imunologis (Thompson et al., 1995).
Epitelium saluran pernafasan merupakan jaringan dinamis yang pada
normalnya mengalami proses pembaharuan yang lambat, akan tetapi proses
6
tersebut terjadi secara konstan. Proses pembaharuan epitelium saluran pernafasan
pada manusia terjadi setiap 30-50 hari (Bowden, 1983). Jika terjadi luka (kecuali
jika lukanya terlalu parah atau kronis), epitelium saluran pernafasan akan merespon
dengan cepat untuk membangun kembali lapisan epitel dengan struktur dan fungsi
yang normal (Heguy et al., 2007).
Anatomi dan histologi paru paru manusia ( permission by Thomas J. Herbert.2006)
Meskipun diduga terdapat kontribusi dari sel progenitor tersirkulasi,
sebagian besar bukti mendukung konsep bahwa sel progenitor / sel punca yang
terdistribusi sepanjang epitelium saluran pernafasan merupakan sumber dari sel
epitel baru, yang mana sel tersebut mempunyai kemampuan untuk berdiferensiasi
menjadi semua jenis sel epitelium normal (Kim et al., 2005; Rawlins & Hogan,
2006).
7
Gambar 1. Tipe sel utama pada epitel paru-paru. Pada saluran udara besar (20 – 25 cabang),
tipe sel utamanya adalah sel bersilia, sel kolumnar undifferentiated, sel
sekretori, dan sel basal. Pada saluran udara kecil (26 – 223 cabang) tipe selnya
hampir sama dengan yang terdapat pada saluran udara besar, akan tetapi
jumlah sel bersilia-nya lebih banyak dan sel sekretori diganti dengan sel Clara.
Setelah cabang ke-223, epitel saluran udara bergabung dengan epitelium
alveolar yang terdiri atas sel tipe I dan tipe II (Crystal et al., 2008).
Saluran pernafasan pada manusia mempunyai struktur yang kompleks dan
tersusun atas berlapis-lapis sel epitel. Terdapat setidaknya 8 perbedaan morfologi
tipe sel epitel yang terdapat pada epitelium sistem pernafasan manusia, meskipun
berdasarkan ultrastruktur, fungsi dan kriteria biokimia sel-sel tersebut hanya dibagi
ke dalam 3 kategori, yaitu: basal, siliata, dan sekretori (Spina, 1998).
a. Sel epitelial kolumnar bersilia
Sel epitelial bersilia merupakan tipe sel utama yang terdapat pada saluran
pernafasan, yang mana jumlahnya mencapai lebih dari 50% dari jumlah total sel
epitel (Spina, 1998). Sel epitelial bersilia berasal dari sel basal atau sekretori dan
diduga mengalami diferensiasi terminal (Ayers & Jeffery, 1988). Sel epitelial
bersilia mempunyai hingga 300 silia/sel, serta banyak mitokondria yang berada di
bawah permukaan apikal sel. Peran utama dari sel-sel ini adalah untuk transport
8
secara langsung mukus dari paru-paru menuju tenggorokan (Knight & Holgate,
2003).
b. Sel mukosa (sel goblet)
Sel mukosa dikarakterisasi dengan adanya granula electron-lucent acidic-
mucin yang terikat pada membran, yang mana akan disekresikan pada objek asing
yang tertangkap pada lumen saluran pernafasan (Jeffery, 1991). Produksi jumlah
mukus yang sesuai serta viskoelastisitas dari mukus penting untuk pembersihan
mukosiliata yang efisien. Diduga bahwa keasaman (dilihat dari jumlah asam sialik
dari glikoprotein) menentukan tingkat viskoelastisitas serta mempermudah
transport melewati silia (Knight & Holgate, 2003). Pelepasan mucin yang bersifat
asam oleh granula-granula dapat mengalami peningkatan ketika terjadi paparan
terhadap suatu stimulus, seperti ketika seseorang menginhalasi sulfur dioksida atau
asap rokok. Pada trakea normal manusia, jumlah sel yang mensekresikan mukus
diestimasi mencapai 6800 sel/mm2 pada permukaan epitelium. Pada penyakit
pernafasan kronis yang terkait dengan inflamasi seperti asma dan bronkitis
seringkali ditemukan adanya hiperplasia dan metaplasia sel mukosa, yang mana hal
tersebut diduga turut berkontribusi dalam menyebabkan batuk yang terus menerus
pada pasien (Lumsden et al., 1984). Sel-sel ini diduga mempunyai kemampuan
untuk memperbarui diri dan juga diduga dapat berdiferensiasi menjadi sel epitel
bersilia (Evans & Plopper, 1988).
c. Sel serosa
Morfologi sel serosa mirip dengan sel mukosa, meskipun secara ultrastruktur
sel serosa memiliki granula yang bersifat electron-dense (Rogers et al., 1993).
Komposisi kimia granula dari sel ini masih belum dikarakterisasi dengan baik,
9
meskipun pada tikus sel ini diketahui mengandung mucin yang bersifat netral dan
substansi non-mukoid yang belum teridentifikasi.
d. Sel basal
Sel basal terdapat disepanjang saluran epitelial, yang mana jumlahnya akan
mengalami penurunan ketika ukuran saluran udara mengecil (Evans et al., 1990).
Terdapat korelasi langsung antara ketebalan epitelium dengan jumlah sel basal dan
persentase sel kolumnar yang melekat pada membran basemen melalui sel basal.
Sel basal mempunyai sitoplasma bersifat electron-dense yang berisi sitokeratin
dengan berat molekuler yang rendah (Hicks et al., 1997). Di dalam epitelium, sel
basal merupakan satu-satunya sel yang melekat dengan kuat pada membran
basemen (Evans et al., 1990), serta mempunyai peran dalam pelekatan sel
superfisial yang lebih banyak pada membran basemen melalui kompleks
hemidesmosom (Evans et al., 1989).
Gambar . morfologi sel epitel saluran udara yang diberi pewarnaan Diff-Quick
(Harvey et al., 2007)
Seperti halnya dengan kulit, sel basal diduga merupakan stem sel primer yang
selanjutnya dapat berkembang menjadi sel epitel mukosa dan sel epitel bersilia. Sel
10
basal menyusun 51% kompartemen proliferasi dalam saluran udara besar (ID > 4
mm) dan sebanyak 81% dalam saluran udara kecil (ID < 2 mm), sehingga diduga
bahwa sel ini merupakan sel progenitor (Boers et al., 1998). Pada saluran udara
yang lebih kecil dimana tidak terdapat sel basal, sel Clara berperan sebagai sel
punca primer. Selain itu, diduga bahwa sel basal dapat mensekresikan berbagai
molekul bioaktif meliputi endopeptidase, produk 15-lipooksigenase dan sitokin
(Knight & Holgate, 2003).
e. Sel Clara
Pada manusia, sel Clara berada pada saluran pernafasan besar (bronchial) dan
kecil (bronchiolar). Sel ini mempunya granula yang bersifat electron-dense dan
dapat memproduksi surfaktan bronchiolar. Selain itu sel ini juga dikarakterisasi
dengan adanya retikulum endoplasma agranular pada sitoplasma bagian apikal serta
retikulum endoplasma granular pada bagian basal. Sel ini juga diketahui dapat
memetabolisme komponen xenobiotik oleh p450 monooksigenase dan juga diduga
dapat memproduksi antiprotease spesifik seperti inhibitor protease leukosit (De
Water et al., 1986). Berbagai studi telah menunjukkan bahwa sel ini mempunyai
peran penting sebagai sel punca, yang mana merupakan progenitor dari sel epitel
bersilia dan sel mukosa (Hong et al., 2001).
f. Sel Epitel Alveolar
Sel epitel alveolar merupakan pertahanan pertama paru-paru dalam
melawan lingkungan eksternal. Sel-sel ini juga dapat memproduksi surfaktan untuk
mengurangi tegangan permukaan, melepaskan sitokin untuk meregulasi inflamasi,
menghasilkan faktor pertumbuhan dan protein matriks untuk meningkatkan proses
perbaikan, serta dapat melepaskan proteinase dan proteinase inhibitor untuk
11
meregulasi pergantian protein matriks alveolar. Ketika terjadi luka, sel epitel
alveolar berperan dalam proses perbaikan dengan cara menginisiasi perekrutan,
proliferasi, dan diferensiasi sel epitel alveolar baru.
Epitelium alveolar disusun oleh 2 jenis sel yang berbeda, yaitu sel alveolar
tipe I dan sel alveolar tipe II (Schneeberger, 1997; Mason & Shannon, 1997). Sel
alveolar tipe I merupakan sel yang sudah tidak berdiferensiasi lagi, berukuran besar
dan pipih yang menyusun ± 90% dari permukaan alveolar dan merupakan 7% dari
sel paru-paru parenkim (Crapo et al., 1982). Sel tersebut merupakan sel yang cukup
sederhana dan mempunyai nukleus yang kecil, beberapa mitokondria berukuran
kecil, beberapa retikulum endoplasma dengan ribosom, mikrofilamen yang
berseling, dan sebuah badan golgi, yang mana semuanya berada dalam sitoplasma
perinuklear (Schneeberger, 1997). Sitoplasma sel tipe I yang jumlahnya sedikit
dapat memfasilitasi pertukaran gas dengan cara meminimalkan jarak difusi antara
gas alveolar dan darah.
Sel alveolar tipe II sebagian besar berada pada sudut alveoli. Sel tersebut
menutupi kurang lebih 10% dari permukaan alveolar dan merupakan 15% dari sel
paru-paru parenkim (Crapo et al., 1982). Sel alveolar tipe II berbentuk kuboid dan
berisi berbagai organel sel meliputi mitokondria, retikulum endoplasma,
mikrofilamen, dan badan golgi. Sel tersebut juga memiliki badan lamelar yang
merupakan organel unik berisi lapisan fosfolipid surfaktan; protein surfaktan A, B,
dan C; lisosom; dan enzim lisosomal (Mason & Shannon, 1997). Fungsi utama dari
sel alveolar tipe II adalah untuk sintesis dan sekresi surfaktan, yaitu senyawa yang
terlibat dalam penurunan tegangan permukaan dalam alveoli. Sel alveolar tipe II
juga mempunyai fungsi-fungsi antara lain: untuk metabolisme xenobiotic melalui
12
aktivitas enzim p450 (Devereux et al., 1981); regulasi transport ion trans-epitelial
(Matalon, 1991); produksi protein matriks ekstraseluler seperti fibronektin, kolagen
tipe IV, dan proteogikan; mengekspresikan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti
IL-6, IL-8, monocyte chemotactic protein-1, TNFα, TGFα, TGFβ, GM-CSF, dan
endotelin-1 (Mason & Shannon, 1997). Fungsi penting lain dari sel alveolar tipe II
adalah perannya dalam proses perbaikan epitel. Ketika terjadi luka pada epitel, sel
alveolar tipe II akan bermigrasi menuju area yang mengalami kerusakan, kemudian
berproliferasi menjadi sel-sel alveolar tipe II baru, dan selanjutnya berdiferensiasi
menjadi sel alveolar tipe I (Mason & Shannon, 1997; Uhal, 1997). Diduga bahwa
sel alveolar tipe II merupakan sel progenitor sel epitel alveolar.
Beberapa studi secara in vivo telah menunjukkan bahwa level seluler enzim
pensintesis glutation seperti γ- glutamyltranspeptidase dan glutation peroksidase
lebih banyak pada sel alveolar tipe II dibandingkan sel alveolar tipe I (Dinsdale et
al., 1992; Asayama et al., 1996). Level enzim antioksidan pada sel alveolar tipe II
yang lebih tinggi dibandingkan pada sel alveolar tipe I merupakan hal yang penting,
hal ini disebabkan karena sel alveolar tipe II metabolismenya lebih aktif
dibandingkan dengan sel alveolar tipe I, sehingga level basal oksidan seluler diduga
lebih tinggi pada sel alveolar tipe II dibandingkan sel alveolar tipe I (Oashiba &
Nagai, 2003)
Fungsi Epitelium Paru-paru
13
Setiap hari seseorang menginhalasi sekitar 10.000 lt udara. Hidung dan
saluran udara bagian atas berfungsi untuk menyaring partikel berukuran besar,
menghangatkan serta melembabkan udara. Akan tetapi saluran pernafasan juga
setiap hari akan terpapar oleh agen lingkungan dengan berbagai bentuk dan dalam
jumlah besar, meliputi: partikel, gas, uap, atau senyawa biologis. Epitel paru-paru
mempunyai beberapa fungsi yang dapat dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu: [1] fungsi
epitelium sebagai barrier fisiologis; [2] mengkoordinasi interaksi antara fungsi
sekresi dan silia, sehingga mengarahkan pada pembersihan mukosilia yang efektif;
[3] sekresi senyawa-senyawa yang berfungsi untuk menangkap partikel dari
lingkungan menuju permukaan epitel paru-paru. Integrasi dari semua fungsi
tersebut dibutuhkan untuk memelihara agar epitelium tetap sehat. Penyakit paru-
paru yang berhubungan dengan kerusakan salah satu aktivitas epitel paru-paru
dapat secara cepat mengarahkan pada perubahan dan kerusakan fungsi paru-paru.
a. Fungsi barrier
Epitelium paru-paru memberikan perlindungan baik secara morfologi
maupun fungsional terhadap lingkungan. Sebuah studi histologis menunjukkan
adanya kompleks junction di dalam apitel saluran udara dan paru-paru
(Schneeberger et al., 1978). Kompleks junction ini tersusun atas 3 bagian, yaitu
zonula adherens, desmosome, dan tight junction (Gumbiner, 1987). Masing-masing
bagian dipercaya mempunyai peran yang berbeda dalam memelihara interaksi sel-
sel epitel. Zonula adherens berisi molekul adhesi seluler (celluler adhesion
molecule; CAM) dan berkontribusi terhadap adhesi seluler dan pengenalan.
Desmosom berisi berbagai protein yang mempunyai peran dalam memelihara
14
integritas epitel, sedangkan tight junction berfungsi untuk memberikan fungsi
barrier fisik (Thompson et al., 1995).
Penyusunan epitelium menjadi suatu permukaan yang kontinu karena adanya
komplek penghubung mempunyai fungsi yang sangat penting. Membran sel lumen
membentuk suatu barrier impermeabel terhadap makromolekul dan agen infeksius.
Selain itu, difusi ion juga akan dibatasi oleh komplek penghubung. Sel epitel
saluran pernafasan mempunyai permukaan yang apikal dan permukaan basolateral,
sehingga transportasi ion dan air yang diperlukan untuk memelihara hidrasi cairan
silia dapat terjadi dengan terarah (Widdicombe, 1988). Produk sel epitel juga dapat
ditransportasikan menuju permukaan lumenal untuk dapat berinteraksi dengan agen
lingkungan sehingga dapat mempengaruhi sel di sekitarnya.
Pengeluaran partikel dan molekul yang terinhalasi dari permukaan basal
epitelium serta isolasi paparan dapat menjaga sel-sel di bawah epitelium yang
sensitif terhadap agen lingkungan. Submukosa saluran udara mengandung banyak
pembuluh darah neural, sehingga ketika terpapar oleh suatu iritan akan melepaskan
mediator yang berhubungan dengan hiporesponsivitas saluran nafas dan gangguan
saluran nafas (Barnes, 1986). Stimulasi agen-agen dari lingkungan juga dapat
menginduksi sel mast untuk melepaskan granula sekretori-nya, yang mana granula
sekretori sel mast berisi substansi bioaktif (histamin dan enzim proteolitik) dalam
jumlah besar yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi saluran nafas. Selain
itu fungsi barrier dari mukosa saluran udara juga dapat mengurangi paparan alergen
pada limfosit (Schwarz & Huff, 1991).
b. Pembersihan Mukosilia
15
Pembersihan yang efektif dari partikel, virus, dan bakteri yang terinhalasi
ketika bernafas bergantung pada penangkapan partikel pada mukus dan
pembersihan mukus ketika batuk dan oleh aktivitas siliata. Diketahui bahwa silia
tidak ditemukan pada saluran udara yang terletak dibagian distal, yang mana pada
saluran udara dibagian tersebut partikel akan dibersihkan dengan batuk dan oleh
makrofag. Senyawa surfaktan yang diproduksi oleh sel epitel tipe II dan sel Clara
membantu pembersihan partikel dengan menginduksi batuk, serta dengan merubah
muatan permukaan sehingga akan mengurangi ikatannya dengan partikel asing
sehingga partikel akan lebih mudah dibersihkan (Thompson et al., 1995).
Saluran udara dibagian proksimal lebih didominasi dengan sel-sel bersilia.
Fungsi dari sel-sel bersilia itu adalah untuk mentransportasikan sekresi saluran
udara menuju orofaring, yang mana sekresi saluran udara tersebut selanjutnya dapat
ditelan atau dikeluarkan. Bentuk gel dari mukus adalah mucin, yang mana
merupakan fase gel lengket yang dapat mengikat partikel dan merupakan karakter
viskoelastis dari mukus. Mucin merupakan kelompok molekul komplek
glikoprotein yang mempunyai berat molekul yang tinggi (> 103 kDa). Karakter
fisika-kimia mucin menyebabkan senyawa ini mempunyai sifat lengket, sehingga
sangat efektif untuk menangkap partikel (Silverberg, 1983). Beberapa spesies
bakteri seperti H. influenza, S. pneumoniae, dan S. aureus dapat diikat dengan baik
oleh mucin (Plotkowski et al., 1993). Viskoelastisitas dari mukus diberikan oleh
mucin, yang mana akan menentukan sulit atau mudahnya pembersihan sekresi
saluran udara yang dipengaruhi oleh infeksi dan inflamasi.
c. Interaksi antara Sel Epitel Bersilia dengan Sel-sel Inflamasi
16
Pembersihan mukosiliata tergantung pada dorongan mukus saluran nafas
oleh getaran-getaran silia. Regulasi pergerakan silia dan pembersihan mukosiliata
sangat komplek, yang mana diketahui bahwa sel efektor sistem imun dan produk-
produk yang dihasilkan mempunyai peran penting dalam meregulasi fungsi
mukosiliata. Sel polimorfonuklear (PMN) yang telah teraktivasi dapat melepaskan
oksidan meliputi hidrogen peroksida dan superoksida (Hunninghake & Crystal,
1983), yang mana diketahui dapat mengganggu fungsi silia (Burman & Martin,
1986) dan menurunkan pergerakan silia pada kondisi yang berhubungan dengan
neutrofilia saluran udara seperti bronkitis kronis (Dorinsky & Davis, 1986).
Neutrofil dapat melepaskan beberapa jenis protease seperti elastase yang mana
diketahui dapat membahayakan sel bersilia, serta diketahui dapat menahan aktivitas
mukosiliata (Tegner et al., 1979). PMN juga dapat memproduksi senyawa bioaktif
lipid seperti platelet-activating factor yang mana dapat mengganggu pergerakan
siliata dan menurunkan pembersihan mukosiliata (Seybold et al., 1990).
Makrofag dapat mensintesis berbagai jenis senyawa-senyawa inflamasi
yang diketahui dapat mempengaruhi pergerakan silia. Makrofag seperti PMN dapat
memproduksi oksidan dan protease yang dapat membahayakan silia. Selain
mempunyai kemampuan untuk melepaskan senyawa-senyawa yang dapat
mengganggu fungsi silia, makrofag juga mempunyai kemampuan untuk
mensintesis berbagai sitokin yang dapat meng-upregulasi fungsi mukosilia. Tumor
necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1β (IL-1β) yang dilepaskan oleh sel
makrofag alveolar diketahui dapat meningkatkan frekuensi getaran silia yang
berhubungan dengan pelepasan nitrit oksida (NO) yang membutuhkan induksi dari
NO synthase (NOS) dan dihambat oleh glukokortikoid (Jain et al., 1994). Mediator
17
saraf dan hormonal seperti β-agonist (Jain et al., 1993), bradikinin (Tamaoki et al.,
1989) dan substansi P (Lindberg et al., 1986) yang dapat meningkatkan frekuensi
getaran silia juga mampu mempengaruhi sintesis NO.
Protein basofilik yang dilepaskan oleh sel eosinofil yang mengalami luka
diketahui dapat mengganggu pergerakan silia (Hastie et al., 1987). Mediator
inflamasi seperti histamin dan leukotrien yang dilepaskan oleh basofil, sel mast,
dan platelet ketika anafilaksis dapat mempunyai efek yang beemacam-macam pada
pergerakan silia (Wanner et al., 1983). Sel limfosit yang teraktivasi juga dapat
mempengaruhi aktivitas silia. Limfosit yang teraktivasi merupakan sumber dari
berbagai sitokin, seperti interferon-γ yang dapat menginduksi NOS pada sel epitel
(Robbins et al., 1994). Diduga bahwa sitokin-sitokin yang diproduksi oleh sel
limfosit berpengaruh terhadap motilitas silia di saluran udara khususnya pada
kondisi yang berhubungan dengan inflamasi kronis seperti asma dan bronkiolitis.
Dapat disimpulkan bahwa sel dan mediator dari sistem imun dapat mengganggu
serta dapat pula meningkatkan fungsi mukosilia. Regulasi komplek serta pelepasan
mediator dari sel-sel tersebut dibutuhkan untuk memelihara fungsi normal dari
epitelium. Hilangnya keseimbangan sinyal efektor dapat mengakibatkan luka pada
fungsi pertahanan host vital.
18
BAB II
Immunologi pada Sel Epitel Paru
Integritas saluran pernafasan sangat bergantung pada regulasi pertahanan
diri host. Sistem imun innat memberikan perlindungan awal terhadap
mikroorganisme dan menstimulasi respon imun adaptif (Medzhitov & Janeway,
1997). Komponen seluler dari sistem imun innat meliputi sel-sel fagosit seperti
neutrofil dan makrofag, sel natural killer (NK), basofil, sel mast, eosinofil, dan lain
sebagainya. Pada saluran pernafasan, lapisan epitel dari saluran udara merupakan
komponen pertama yang mengalami konrak dengan substansi yang terhirup seperti
polutan lingkungan, asap rokok, alergen di udara, dan mikroorganisme (Diamond
et al., 2000). Beberapa tahun terakhir semakin jelas bahwa fungsi dari sel epitel
saluran udara tidak hanya memberikan fungsi perlindungan pasif, akan tetapi juga
aktif berkontribusi dalam sistem imun innat (Holgate et al., 2000).
Fungsi sistem imun inat pada sel epitel saluran udara sangat berpengaruh
terhadap patogenesis berbagai penyakit pada manusia. Mekanisme imunitas dasar
yang diberikan oleh sel epitel saluran udara mempunyai peran yang sangat penting.
Kegagalan host dalam mempertahankan dirinya dari mikroorganisme dapat
menyebabkan terbentuknya kolonisasi mikrobia dan selanjutnya menyebabkan
infeksi saluran udara dan parenkim paru-paru. Aktivitas sistem imun innat berkaitan
erat dengan proses inflamasi. Sebagian besar penyakit pada paru-paru melibatkan
mekanisme sistem imun innat dan adaptif. Asma dan COPD merupakan penyakit
inflamasi kronis, yang mana sitokin dan mediator inflamasi yang disekresikan oleh
19
epitelium saluran udara mempunyai peran yang sangat penting (Holgate et al.,
2000).
Ketika terjadi paparan bakteri, epitelium saluran udara akan merespon
dengan meningkatkan pertahanannya. Respon-respon yang diberikan meliputi:
peningkatan pelepasan peptida antimikrobia ke dalam lumen saluran udara, serta
pelepasan kemokin dan sitokin ke dalam submukosa sehingga menginisiasi reaksi
inflamasi. Reaksi inflamasi ini meliputi perekrutan fagositis yang dapat
memfagositosis mikroorganisme yang tidak dibersihkan oleh epitelium itu sendiri,
serta sel dendritik dan limfosit yang dapat memberikan respon imun adaptif.
Mekanisme pengenalan patogen oleh epitelium saluran udara mempunyai
peran yang penting dalam respon perlindungan sistem imun innat. Telah lama
diketahui bahwa sel dapat merespon senyawa-senyawa dari mikroba seperti
lipopolisakarida (LPS) dan asam lipoteikoid. Sel-sel sistem imun innat termasuk sel
fagosit, sel dendritik, dan sel epitel mempunyai molekul pengenalan (pattern
recognition moleculesi) untuk berikatan dengan pola molekuler terkonservasi yang
terdapat pada mikrooranisme. Molekul pengenalan tersebut bisa disekresi atau
sirkulasi dalam bentuk terlarut, seperti mannan-binding lectin (MBL), atau dapat
juga berupa molekul transmembran yang memerantarai respon seluler secara
langsung ketika terjadi paparan mikroba. Toll like receptor (TLR) merupakan salah
satu famili reseptor pengenalan molekul yang diekspresikan oleh hampir semua
jenis sel di dalam tubuh. Ekspresi TLR pada sel dendritik berperan dalam
menginduksi respon imun adaptif melalui aktivasi sel T. Sel epitel saluran udara
juga mengekspresikan berbagai jenis TLR yang membantu memberikan respon
yang mencukupi ketika terjadi paparan mikroba. Aktivasi TLR pada sel epitel
20
diketahui terlibat dalam regulasi ekspresi berbagai gen yang mengkode sitokin,
kemokin, dan peptida antimikroba.
Berbagai jenis bakteri, fungi, dan senyawa-senyawa virus telah
teridentifikasi sebagai ligan dari berbagai jenis TLR maupun reseptor pengenalan
yang lain yang diekspresikan oleh sel epitel saluran udara. Diantara semua famili
TLR, TLR-4 merupakan reseptor yang mempunyai peran sangat penting terhadap
proses pengenalan LPS (Qureshi et al., 1999). Berbagai studi pada manusia
menunjukkan adanya polimorfisme pada gen TLR4 dengan berbagai jenis penyakit,
salah satunya adalah infeksi bakteri gram negatif pada pasien dalam ICU (Agnese
et al., 2002). TLR merupakan komponen yang paling penting dalam menentukan
respon sel terhadap paparan LPS. Lipopolisakarida pada sel akan berikatan dengan
LPS-binding protein (LBP), sebuah protein fase akut yang tidak hanya diproduksi
oleh sel liver, akan tetapi diproduksi juga oleh sel epitel di paru-paru (Dentener et
al., 2000). Fungsi LBP adalah untuk mentransfer LPS pada sel CD14, molekul
bersama-sama dengan protein ekstraseluler MD-2 menjadi bagian dari kompleks
TLR4. Kompleks ini selanjutnya berfungsi untuk pengenalan LPS yang kemudian
diikuti dengan aktivasi kompleks persinyalan yang berhubungan dengan domain
intraseluler TLR4 dan molekul adaptor MyD88 (Underhill & Ozinsky, 2002).
Tabel 1. Pattern recognition receptor yang terlibat dalam pengenalan
mikrorganisme oleh sel epitel saluran udara
Reseptor Ligan
TLR1
TLR2
TLR3
TLR4
TLR5
TLR6
Tri-acyllipopeptide
Asam lipoteikoik, peptidoglikan, zymosan, lipopeptida dan
lipoprotein mikroba, HSP70 (host)
double-strand RNA
LPS, HSP60 dan 70 (host), hyaluronic acid fragmen (host)
Flagellin
Lipopetida diasil
21
TLR7
TLR8
TLR9
TLR10
CD14
CFTR
Senyawa sintetis
-
CpG DNA
-
LPS
LPS
TLR: Toll-like receptor; HSP: heat shock protein; CpG: DNA bakteri yang
mengandung unmethylated CpG dinulceotide; LPS; lipopolisakarida; CFTR: cystic
fibrosis transmembrane conductance regulator (Bals & Hiemstra, 2004).
Protein TLR2 dapat mengenali senyawa-senyawa mikroba, baik yang
berasal dari bakteri gram positif, bakteri gram negatif, maupun dari fungi. Seperti
halnya TLR4, TLR juga diekspresikan oleh sel epitel saluran udara. Fungsi TLR2
adalah untuk mengenali struktu varian LPS seperti LPS leptospiral (Werts et al.,
2001). TLR3 berfungsi untuk merespon double-strand RNA yang diproduksi ketika
terjadi infeksi virus (Alexopoulou et al., 2001). TLR3 berperan dalam respon sel
epitel terhadap infeksi dari berbagai jenis virus, termasuk rhinovirus. Respon yang
dimunculkan tidak hanya dengan peningkatan ekspresi kemokin, akan tetapi juga
dengan peningkatan human β-defensin (hBD)-2 dan -3 (Duits et al., 2003). Fungsi
dari TLR9 adalah untuk memerantarai respon terhadap DNA bakteri, yaitu dengan
melalui peningkatan ekspresi IL-8 (Akhtar et al., 2003).
Selain fungsi-fungsi yang disebutkan diatas, TLR juga dapat memerantarai
respon terhadap ligan endogen. Ligan tersebut antara lain heat shock protein (Hsp)
dan komponen matriks ekstraseluler, seperti: fragmen asam hyaluronik yang
terbentuk selama proses inflamasi. Selain itu, TLR juga dapat merespon molekul-
molekul efektor dari sistem imun innat, sebagai contoh yaitu collectin-surfactan
protein A(SP-A) yang menggunakan TLR4 untuk mengaktivasi sel makrofag
(Guillot et al., 2002). Peptida β-defensin-2 merupakan contoh lain dari molekul
22
efektor sistem imun innat yang dapat mengaktivasi sel melalui TLR. Peptida
antimikroba ini diketahui dapat mengaktivasi sel dendritik melalui TLR4, sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan molekul ko-stimulator dan maturasi sel
dendritik (Biragyn et al., 2002).
Aktivasi TLR juga terlibat dalam regulasi gen-gen yang terlibat dalam
proses pertahanan diri host, antara lain berbagai jenis gen yang mengkode sitokin
dan kemokin. Selain itu, diketahui bahwa TLR juga berfungsi untuk meregulasi
ekspresi peptida antimikrobia. Protein CD14 yang merupakan bagian dari kompleks
reseptor TLR4, diketahui mempunyai peran penting dalam induksi ekspresi hBD-2
pada sel epitel tracheobronchial ketika terjadi paparan LPS (Becker et al., 2000).
TLR2 juga diketahui dapat meregulasi ekspresi hBD-2 pada sel epitel paru-paru
sebagai respon terhadap paparan lipoprotein bakteri (Birchler et al., 2001), serta
regulasi ekspresi hBD-2 dan IL-8 pada sel keratinosit ketika terpapar dengan
peptidoglikan dan partikel dinding sel yeast (Kawai et al., 2002). Selain itu, aktivasi
TLR juga dapat menginduksi peningkatan peningkatan ekspresi reseptor TLR itu
sendiri. Sebagai contoh, infeksi Haemophilus influenza membutuhkan TLR2 untuk
untuk meningkatkan ekspresinya pada sel epitel bronchial (Imasato et al., 2002).
Selain itu, beberapa jenis sitokin seperti IFN-γ diketahui dapat meningkatkan
ekspresi TLR pada sel epitel (Wolfs et al., 2002).
Respon spesifik terhadap senyawa-senyawa yang berasal dari
mikroorganisme menentukan jalur persinyalan yang akan teraktivasi sehingga akan
memberikan respon spesifik host. Domain toll-interleukin-1 receptor (TIR) pada
TLR mempunyai peran yang sangat penting dalam mekanisme persinyalan yang
diperantarai oleh TLR. Reseptor TLR dan IL-1R akan berikatan dengan molekul
23
adaptor MyD88 melalui domain TIR juga terdapat pada MyD88. Selanjutnya
MyD88 akan merekrut dan memfosforilasi serine/threonine kinase IL-1R
associated kinase (IRAK), sehingga kemudian akan berikatan dengan TRAF6.
Protein TRAF6 kemudian akan memerantarai persinyalan kepada molekul
downstream seperti MAPK dan faktor transkripsi NF-κB. Selain MyD88, diketahui
terdapat empat molekul adaptor lain yang terlibat dalam mekanisme persinyalan
TLR, antara lain: MyD88 adaptor-like (Mal; juga diketahui juga sebagai Tir
domain-containing adaptor protein [TIRAP]); TIR domain containing adaptor
inducing IFN-β (TRIF; diketahui juga sebagai TIR-containing adaptor molecule-1
[TICAM-1]), Trif-related adaptor molecule (TRAM) dan sterile a- dan HEAT-
Armadillo motif (O’Neill et al., 2003). Seperti halnya MyD88, protein-protein
adaptor tersebut mempunyai domain TIR, akan tetapi mempunyai struktur yang
berbeda dengan MyD88. Hal tersebut membuat protein adaptor dapat merekrut
transduser yang berbeda sehingga akan menghasilkan persinyalan downstream
yang spesifik.
Terdapat beberapa studi yang mendukung bahwa sel dari sistem imun innat
seperti neutrofil dan makrofag (TNF-α, IL-6) serta dari sistem imun adaptif seperti
sel T (IL-1, IL-4, IL-6, dan IL-10) mempunyai kontribusi yang penting dalam
inflamasi paru-paru. Meskipun sumber utama dari sitokin adalah makrofag alveolar
dan sel epitel paru-paru, akan tetapi sel imun adaptif dan innat juga mempunyai
peran yang penting (Hollingsworth et al., 2007; Fujii et al., 2002). Aktivitas
myeloperoksidase diketahui meningkat setelah paparan PM dalam waktu yang
sama timbulnya inflamasi seluler pada paru-paru (Rhoden et al., 2008).
24
Peptida antimiroba dan protein yang diproduksi oleh sel epitel saluran udara
Sel epitel saluran udara dapat mensekresikan berbagai jenis molekul yang
terlibat dalam proses inflamasi dan sistem imun. Melalui sekresi berbagai mediator
tersebut, sel epitel saluran udara mampu untuk menarik dan mengaktivasi sel-sel
dari sistem imun innat dan sistem imun adaptif yang berfungsi untuk meng-
imobilisasi dan membunuh mikroorganisme, menginduksi penyembuhan luka dan
proses angiogenesis ketika terjadi luka, serta untuk mengawali respon imun adaptif.
Beberapa molekul yang disekresikan mempunyai aktivitas antimikroba serta
sebagai antibiotik endogen. Molekul-molekul tersebut meliputi β-defensin, LL-37,
lisozim, laktoferin, dan secretory leukocyte proteinase inhibitor (SLPI) (Schutte &
McCray, 2002), yang menunjukkan aktvitas antimikroba dengan cara menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang terinhalasi sampai akhirnya mereka dieliminasi
oleh mukosiliata, sel fagosit, atau melalui respon imun adaptif.
Peptida antimikroba merupakan molekul efektor dari sistem imun innat
pada paru-paru, yang mana mereka juga mempunyai fungsi lain selain sebagai
senyawa antimikroba. Istilah peptida antimikroba merujuk pada sintesis ribosomal,
peptida yang dikode oleh sebuah gen, yang artinya bahwa satu gen pada genome
mengkode satu peptida. Peptida antimikroba dibagi ke dalam beberapa kelompok
berdasarkan karakteristik strukturnya. Peptida defensin dan katelisidin merupakan
kelompok yang paling banyak diekspresikan pada saluran pernafasan. Peptida
antimikroba pada paru-paru manusia terutama diproduksi dan disekresikan oleh sel
epitel dan sel fagositik. Beberapa peptida antimikroba diproduksi secara terus
menerus seperti hBD-1 dan mouse β-defensin 1 (mBD-1), sedangkan ekspresi
peptida yang lain akan meningkat ketika sel mengalami kontak dengan produk dari
25
mikroba atau mediator proinflamasi. Telah diketahui bahwa ekspresi hBD-2, hBD-
3, hBD-4, LL-37 dan beberapa peptida antimikroba lain dapat diinduksi dengan
senyawa dari bakteri dan mediator inflamasi (Bals & Hiemstra, 2004). Studi pada
pasien pneumonia dan cystic fibrosis menunjukkan bahwa konsentrasi peptida
antimikroba β-defensin mengalami peningkatan selama terjadi infeksi dan
inflamasi di dalam tubuh (Bals et al., 2001).
Tabel 2. Peptida antimikroba yang diproduksi oleh sel epitel saluran udara dan sel
pertahanan diri host
Komponen Sumber Peningkatan ekspresi pada penyakit
paru-paru
Α-defensin
Β-defensin (BD)
hBD-1
hBD-2
hBD-3
hBD-4
Katelisidin
LL-37/hCAP-
18
Sel epitel
Sel-sel inflamasi
Sel epitel
Monosit /
makrofag
Sel dendritik
Sel epitel
Neutrofil
Pneumonia
Cystic fibrosis
Panbrochiolitis
Acute respiratory distress syndrome
(ARDS)
Bronkitis kronis
Idiopathic pulmonary
Fibrosis
Pneumonia
Cystic fibrosis
Panbrochiolitis
Pneumonia
Sarkoidosis
(Bals & Hiemstra, 2004).
Berdasarkan studi pada keratinosit diketahui bahwa respon sel epitel
terhadap LPS mengalami peningkatan secara signifikan melalui produksi IL-1 oleh
makrofag, begitu juga ekspresi hBD-2 pada sel epitel paru-paru (Liu et al., 2003).
Hal tersebut merupakan mekanisme yang penting untuk amplifikasi respon
terhadap paparan senyawa-senyawa mikroba. Pada sel epitel mekanisme yang
terlibat dalam regulasi ekspresi β-defensin oleh produk-produk mikroba meliputi
26
deteksi LPS oleh CD14 dan atau pengenalan lipoprotein melalui toll-like receptor-
2 (Birchler et al., 2001). Selain itu, faktor pertumbuhan yang terlibat dalam proses
penyembuhan luka diketahui dapat meningkatkan ekspresi hBD-3, human cationic
antimicrobial protein-18 (hCAP-18)/LL-37 dan SLPI pada sel keratinosit manusia
(Sorensen et al., 2003), yang mana regulasi ekspresi LL-37 pada sel epitel
dipengaruhi oleh status diferensiasi sel (Schauber et al., 2003).
Gambar. Peran epitelium saluran udara dalam mekanisme pertahanan diri host
melawan infeksi. Terdapat berbagai jenis molekul yang disekresikan oleh
sel epitel saluran udara, baik yang berperan dalam proses inflamasi dan
pertahanan diri host. Beberapa molekul disekresikan pada side
basolateral (kemokin), sedangkan yang lain disekresikan oleh side apikal
(peptida antimikroba) (Bals & Hiemstra, 2004).
Peptida antimikroba juga mempunyai aktivitas yang sinergis dengan
molekul pertahanan diri host yang lain, seperti lisozim dan laktoferin. Aktivitas
antimikroba berdasarkan pada interaksi antara peptida dengan permukaan membran
sel organisme target. Suatu studi menunjukkan bahwa pada hewan coba yang di-
knock out gen antimikroba mBD-1 mengalami penundaan proses pembersihan
Haemophilus influenza dari paru-paru (Moser et al., 2002). Selain itu, overekspresi
defensin pada hewan model transgenik dapat memberikan fungsi perlindungan
27
terhadap famili Salmonella sp (Salzman et al., 2003). Berdasarkan aktivitas
membrannya, peptida antimikroba mempunyai tingkat toksisitas yang tergantung
pada konsentrasinya. Pada pasien dengan cystic fibrosis dan bronkitis, terjadi
sekresi peptida α-defensin dalam konsentrasi yang tinggi, yang mana senyawa
tersebut berkontribusi terhadap keparahan proses inflamasi karena kemampuan α-
defensin untuk menyebabkan terjadinya lisis pada sel epitel paru-paru dan dalam
menginduksi ekspresi IL-8 (van Wetering et al., 1997). Peptida α-defensin dapat
menstimulasi berbagai jenis sel melalui mekanisme yang belum teridentifikasi
dengan pasti. Peptida tersebut dapat menarik CD4/CD45RA+ atau sel T CD8+, sel
dendritik yang belum dewasa, serta monosit. α-defensin juga dapat menginduksi
pelepasan IFN-γ, IL-6 dan IL-10 dari sel T. Peptida hBD-1 dan hBD-2 diketahui
dapat berikatan dengan reseptor kemokin yang diketahui sebagai CCR-6 (Yang et
al., 1999). Reseptor ini ditemukan pada sel dendritik yang belum dewasa dan sel T
memori (CD4+/CD45RO+) yang mana hal ini menggambarkan hubungan antara
sisitem imun innat dan adaptif yang diperantarai oleh defensin. Peptida hBD-3 dan
hBD-4 diketahui dapat menarik sel monosit. Katelisidin juga diketahui mempunyai
aktivitas yang hampir mirip dengan defensin, karena LL-37 berikatan dengan
formyl peptide receptor like-1 dan menarik sel neutrofil, monosit, sel T CD4, serta
mengaktivasi sel mast (Niyonsaba et al., 2001). Selain berperan dalam proses
inflamasi dan sistem imun, defensin dan LL-37 juga berperan dalam proses repair
ketika terjadi kerusakan jaringan. Αlpha-defensin pada sel neutrofil diketahui dapat
menyebabkan proliferasi pada sel epitel saluran udara dan memerantarai proses
repair ketika terjadi kerusakan epitelium (Aarbiou et al., 2004), sedangkan β-
defensin juga dapat meningkatkan diferensiasi sel keratinosit (Frye et al., 2001).
28
Peptida antimikroba berperan sebagai senyawa efektor dari sistem imun
innat tidak hanya karena aktivitasnya sebagai antibiotik endogen, tetapi juga
perannya sebagai mediator inflamasi. Analisis lebih lanjut mengenai fungsi biologi
lain dari peptida antimikrobia dapat menunjukkan bahwa molekul ini berperan
dalam patofisiologi berbagai jenis penyakit di paru-paru. Peptida antimikroba dapat
berkontribusi terhadap perkembangan penyakit tidak hanya sebagai molekul
pertahanan diri host, tetapi juga sebagai mediator pro- atau anti-inflamasi.
Pengembangan peptida antimikroba sebagai obat dapat dilakukan dengan
optimisasi identifikasi kandidat senyawa antimikroba, serta modifikasi profil
farmakodinamik dan farmakokinetik peptida antimikroba (Bals & Hiemstra, 2004).
29
BAB III
Healing, Remodelling dan Rearrangement Sel Epitel Paru
Pada kondisi normal, paru-paru merupakan organ dengan tingkat pergantian
sel yang rendah, khususnya sel-sel pada saluran udara. Tingkat proliferasi sel epitel
yang kurang dari 5% menunjukkan bahwa sel-sel tersebut hanya membutuhkan
sedikit pembaharuan diri (Boers et al., 1996). Akan tetapi ketika terjadi luka /
kerusakan pada sel epitel saluran udara, maka sel-sel epitel tersebut akan
mempunyai kapasitas yang tinggi untuk memperbaiki diri sehingga kembali
menjadi struktur kompleks seperti sebelumnya (Erjefalt et al., 1997). Karena
diversitas sel yang menyusunnya, lapisan sel epitel saluran udara mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi dengan baik sebagai pelindung lapisan mukosa
saluran udara dari sumber-sumber yang bisa mengakibatkan luka seperti asap
rokok, polutan, virus, dan bakteri. Sel-sel tersebut mempunyai banyak peran
penting dalam mekanisme respon imun innat. Pada permukaan epitelium saluran
udara (bronchi dan bronchiola), sel-sel yang menyusunnya antara lain: sel
kolumnar bersilia, sel mukosa (sel goblet), sel Clara, dan sel basal. Sel-sel saluran
udara tersebut dapat berubah struktur dan fungsinya dengan cepat untuk beradaptasi
dengan perubahan lingkungan atau untuk memperbaiki diri setelah epitelium
mengalami luka. Pada saluran udara atas dan bawah, struktur normal permukaan
epitelium saluran adalah pseudostratified. Hal tersebut menyebabkan semua sel
akan melekat pada membran basemen tapi tidak semuanya mencapai lumen saluran
udara. Pada bronchiola bagian proksimal, sel epitel lebih cenderung berbentuk
kuboid serta terdapat juga sel bersilia, sel sekretori, dan sel Clara. Pada bronchiola
bagian paling distal, diketahui hanya terdapat sel Clara saja (Jeffery, 1995).
30
Lapisan epitel saluran udara mempunyai fungsi barrier yang efisien
terhadap mikroorganisme dan partikel-partikel asing melalui fungsi interdependen
meliputi: pembersihan mukus secara mekanis; homeostasis transport air dan ion;
fungsi biokimia antibakteri, antioksidan, dan protease; serta sebagai pertahanan
seluler melalui junction epitel interseluler. Semua fungsi tersebut sangat penting
untuk perlindungan dan pemeliharaan integritas epitelium saluran udara, yang mana
akan mengalami gangguan dengan cepat setelah terpapar dengan mikroorganisme
dan partikel polutan atau pada penyakit yang disebabkan karena luka pada epitelium
yang terkait dengan proses inflamasi, seperti pada COPD. Pada epitelium saluran
udara normal, diketahui bahwa sel bersilia merupakan sel yang sudah berhenti
berdiferensiasi dan tidak mampu untuk membelah diri lagi, serta sangat sensitif
terhadap adanya luka. Akan tetapi, dilaporkan bahwa sel epitel bersilia dapat
menyebar dan mengalami transdiferensiasi menjadi sel skuamosa setelah terjadi
luka pada bronchiolar, yang mana proses tersebut berfungsi untuk memelihara
integritas epitelium sebelum rediferensiasi (Park et al., 2006).
Sel bersilia tidak hanya terlibat secara langsung dalam pengeliminasian
partikel asing melalui pembersihan mukosiliata, akan tetapi sel-sel tersebut juga
berfungsi dalam proses ion channel. Cystic fibrosis transmembrane conductance
regulator (CFTR) dan epithelial sodium channel (ENac) berfungsi untuk
meregulasi jumlah ion dan air pada permukaan saluran udara melalui transport
transepitelial, sehingga secara langsung terlibat dalam pembentukan periciliary
lining fluid (PCL) dengan viskositas rendah yang dibutuhkan untuk getaran silia
aktif (Boucher, 1994). PCL juga berfungsi sebagai pelumas untuk mencegah adhesi
gel mukosa yang mempunyai viskositas tinggi, dan mengandung mucin, protein,
31
serta peptida dalam granula sekretori mukosa yang dilepaskan setelah proses
eksositosis untuk membentuk gel perlindungan lapisan mukus. Pada saluran udara
perifer dan pada kelenjar submukosa seorang perokok yang mengalami COPD,
terjadi infiltrasi neutrofil dan induksi redistribusi ion channel dan terjadinya
eksositosis mukus yang tidak mencukupi sehingga menyebabkan proses
pembersihan mukus dari kelenjar yang berlangsung secara abnormal (Saetta et al.,
2000; Maestrelli et al., 2001).
Remodeling epitelium saluran udara seperti metaplasia pada skuamosa dan
hiperplasia pada mukosa yang terjadi selama perbaikan diri setelah luka atau
kerusakan diduga dapat mengganggu fungsi sistem imun innat dari epitelium
saluran udara. Diketahui bahwa ekspresi dan distribusi abnormal dari protein CFTR
tidak hanya terjadi karena adanya mutasi pada gen CF, tetapi juga terjadi pada
jaringan saluran udara non-CF yang mengalami inflamasi atau remodeling (Dupuit
et al., 1995). Pada kejadian polip, inflamasi dan remodeling pada epitelium
seringkali berhubungan dengan penyebaran distribusi CFTR di sitoplasma atau
tidak adanya ekspresi protein CFTR pada area skuamosa yang mengalami
metaplasia. Proses normal dan target apikal dari protein membran seperti halnya
lokalisasi yang tepat protein scaffolding seperti ezrin, aktin, dan protein tight
junctional yang menstabilkan protein-protein tersebut pada membran sel
membutuhkan polarisasi sel epitel. Pada kasus COPD, remodeling epitel saluran
udara diduga dapat menginduksi lokalisasi dan ekspresi yang abnormal dari protein
ion channel seperti CFTR sehingga dapat menyebabkan fungsi epitel menjadi
abnormal, seperti dehidrasi epitel perisiliata yang terjadi ketika cystic fibrosis (CF)
karena kerusakan protein CFTR. Diduga pada kelenjar submukosa, terjadinya
32
hiposekresi karena eksositosis mukus yang tidak sesuai juga bertanggung jawab
terhadap penurunan jumlah pelepasan glikoprotein, protein, dan peptida yang
disekresikan oleh sel mukosa dan sel serosa ke dalam lumen saluran udara, yang
mana fungsi dari senyawa-senyawa tersebut adalah sebagai perlindungan terhadap
mikroorganisme. Mucin dan protein seperti sIgA, laktoferin, dan
glikosaminoglikan terlibat secara aktif dalam proses pertahanan antibakteri saluran
udara. Molekul lain seperti peptida defensin juga terlibat dalam proses pertahanan
diri epitelium saluran udara. Beberapa studi menunjukkan bahwa peptida
antimikrobial seperti katelisidin mempunyai peran penting dalam sistem imun innat
dengan menghubungkan antara peratahanan diri dan inflamasi pada host dengan
angiogenesis dan arteriogenesis (Tjabringa et al., 2005; Hiemstra, 2006). Protein
surfaktan (SP-A, SP-B, SP-D) yang seringkali disebut sebagai kolektin juga
mempunyai peran penting dalam proses pertahanan diri epitelium (Bals et al.,
2003). Protein kolektin pada manusia disintesis oleh sel epitel alveolar, sel
bronchiolar non-siliata, dan beberapa lapisan sel epitel pada saluran udara besar dan
kelenjar saluran udara. Pada level bronchiolar, Clara cell secretory protein (CCSP)
atau CC10 dapat memodulasi inflamasi dan respon imun pada paru-paru (Hawgood
et al., 2004).
Pada level seluler epitelium saluran udara, protein yang terkait dengan tight
junction (TJ) seperti ZO1, occludin, dan claudin mempunyai peran penting dalam
perlindungan epitel melalui pemeliharaan barrier fisik antara lingkungan internal
dan eksternal. Terpisah dari fungsi barrier-nya, protein TJ interseluler dapat
berinteraksi dengan filamen aktin dan secara aktif terlibat dalam persinyalan pada
sel epitel. Protein TJ merupakan protein dengan struktur yang sangat tidak stabil
33
yang mana formasi dan strukturnya dapat berubah dengan cepat ketika terjadi luka.
Penelitian yang dilakukan oleh Coyne et al (2003) dengan menggunakan kultur
primer sel epitel saluran udara menunjukkan bahwa protein TJ diregulasi oleh
sitokin proinflamasi. Kombinasi paparan TNF dan IFN-γ dapat secara drastis
mempengaruhi ekspresi protein TJ dan fungsi barrier-nya, dengan perubahan yang
signifikan pada permeabilitas barrier epitelium. TJ tidak hanya terlibat dalam
permeabilitas epitelium, tetapi juga berpartisipasi dalam proses polarisasi dengan
membentuk perbedaan potensial antara sisi luminal dan serosal. Setelah terjadi
luka, junctional barrier akan mengalami kerusakan sehingga memfasilitasi akses
masuknya bakteri dan pelepasan faktor virulen terlarut pada reseptor basolateral
yang pada kondisi normal tidak pernah terpapar patogen. Berbagai toksin bakteria
yang dilepaskan seperti elastase, eksotoksin A, dan alfatoksin dapat mendegradasi
molekul adhesi junction dan dapat menginduksi perubahan integritas epitel. Hal ini
yang menyebabkan rapuhnya permukaan epitelium ketika terjadi infeksi akut dan
inflamasi. Setelah terjadi luka, fungsi barrier akan dibentuk kembali dalam
beberapa hari, tetapi kerusakan relatif menyebabkan terjadinya tingkat
perlindungan yang rendah terhadap bakteri atau molekul asing yang berhasil masuk.
Terlihat bahwa meskipun luka telah diperbaiki dengan sempurna, integritas
epitelium tidak akan kembali seperti sebelumnya. Selama beberapa hari, epitelium
akan tetap bocor sehingga akan tetap terjadi paparan terhadap lingkungan atau
faktor virulen bakteri (Herard et al., 1996). Setelah terjadi luka, sel epitel saluran
udara akan memodifikasi struktur dan fungsinya untuk beradaptasi dengan merubah
lingkungan area yang mengalami luka atau untuk memperbaiki epitelium.
Plastisitas epitelium saluran udara secara umum dideskripsikan sebagai remodeling
34
abnormal, meliputi hiperplasia pada sel basal dan sel mukosa, proliferasi sel
mukosa, dan metaplasia sel skuamosa. Perubahan-perubahan tersebut
menggambarkan langkah-langkah perbaikan dan regenerasi epitelium saluran
udara.
Peristiwa seluler selama repair dan regenerasi epitelium saluran udara
Sumber luka atau kerusakan akut pada epitelium saluran udara baik yang
disebabkan karena inhalasi senyawa toksin maupun mikroorganisme seperti bakteri
atau virus, akan menyebabkan terjadinya serangkaian proses perbaikan untuk
mengembalikan struktur dan fungsi epitelium seperti sebelumnya. Setelah
pelepasan mukus, akan terjadi pengguguran sel kolumnar besilia dengan cepat,
sedangkan masih banyak sel basal yang masih melekat pada basal lamina.
Salah satu perubahan dinamik pada fenotip sel epitel yang terjadi selama
proses repair dan regenerasi adalah plastisitas sel epitel saluran udara menjadi
semakin tinggi. Metaplasia pada skuamosa yang terjadi selama regenerasi sel epitel
saluran udara awalnya diduga merupakan tahapan normal dalam proses regenerasi.
Akan tetapi ketika terjadi metaplasia pada skuamosa akan menyebabkan tingginya
perlindungan respon seluler dalam proses dinamik timbulnya luka dan
perbaikannya. Langkah ini merupakan langkah sementara dari serangkaian proses
regenerasi. Sel epitel bisa dengan cepat merubah fenotipnya dan dapat ber-
rediferensiasi menjadi sel sekretori atau sel bersilia. Akan tetapi, beberapa
penundaan pada proses perbaikan diri atau gangguan pada tahapan dediferensiasi
atau rediferensiasi karena adanya respon abnormal sel-sel lain yang berinteraksi
35
dengan epitelium (contohnya sel fibroblast dan molekul efektor dari sel-sel
inflamasi) diduga dapat mempengaruhi dinamika proses perbaikan dan regenerasi.
Pola re-epitelisasi sel-sel saluran udara secara 2-dimensi (2D) dengan
menggunakan kultur sel telah banyak dipelajari dalam beberapa studi (Zahm et al.,
1997) yang menunjukkan bahwa salah satu tahap awal paling penting selama re-
epitelisasi epitelium saluran udara yang rusak adalah migrasi sel dan bukan
proliferasi. Penelitian yang dilakukan oleh Erjefalt et al (1996) pada pasien
penderita asma yang dilakukan pembuangan pada epitelium saluran udaranya akan
menyebabkan terbentuknya celah venular, infiltrasi neutrofil, serta migrasi dan
aktivasi eosinofil. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa proses pemulihan kerusakan
epitelium pada penyakit yang terkait inflamasi saluran udara menyebabkan
perubahan aktivitas mikrovaskuler dan leukosit. Migrasi sel melibatkan perekrutan
kolagen tipe IV melalui kontak fokal dan peran metalloproteinase dalam
mengontrol migrasi sel yang mengalami perbaikan melalui remodeling ECM
sementara.
Terdapat keuntungan penggunaan kultur sel untuk mempelajari tahapan
diferensiasi dan migrasi epitel, proliferasi, serta diferensiasi akhir sel mukosa dan
sel bersilia. Model dengan kultur sel dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh
IL-13 terhadap proses genesis metaplasia sel mukosa, yang mana diketahui bahwa
IL-13 dapat menginduksi proliferasi sel epitel saluran udara dan menyebabkan
kerusakan metaplasia pada mukosa yang terjadi pada penderita COPD (Booth et al.,
2001). Suatu studi menunjukkan bahwa metaplasia mukosa saluran udara dapat
dihalangi dengan cara menghambat EGFR dan sinyal transdiferensiasi IL-13 (Tyner
et al., 2006).
36
Gambar. Faktor seluler dan molekuler yang terlibat dalam proses perbaikan dan
regenerasi epitelium saluran udara. Tahap regenerasi epitel setelah terjadi
kerusakan dimodulasi oleh komponen matriks ekstraseluler (ECM)
seperti matriks metalloproteinase (MMP), sitokin, dan faktor
pertumbuhan yang dilepaskan oleh sel epitel dan sel-sel mesenkimal
(fibroblast, sel-sel inflamasi, kondrosit) (Puchelle et al., 2006).
Karbohidrat pada permukaan sel bagian apikal mengalami perubahan
selama diferensiasi seluler dan mempunyai struktur yang berbeda antara sel epitel
normal dengan sel epitel yang sudah pernah mengalami perbaikan. Selain itu,
interaksi host-patogen antara adhesin bakteri dan reseptor pada host juga
mengalami modifikasi secara menyeluruh. Diketahui bahwa banyak patogen akan
berinteraksi dengan sekuen karbohidrat GalNacβ1-4 Gal yang terdapat pada
asialylated ganglioside asialo-GM1 (reseptor glikolipid transmembran) yang
37
mengalami overekspresi pada permukaan sel epitelium yang mengalami
remodeling.
Berbagai hewan coba digunakan untuk menganalisis proses repair dan
regenerasi epitelium setelah terjadi luka. Proses-proses tersebut meliputi
penyebaran dan migrasi sel basal menuju area yang mengalami kerusakan,
proliferasi dan mitosis aktif, metaplasia pada skuamosa yang diikuti dengan
rediferensiasi progresif dengan munculnya sel pre-siliata (fenotip campuran antara
sel bersilia dengan sel mukosa), dan langkah terakhir adalah siliogenesis dan
regenerasi menyeluruh pada epitelium mukosiliaris pseudostratified (McDowell et
al., 1979).
a. Migrasi sel epitel untuk menutupi area yang mengalami kerusakan
Luka yang terjadi pada epitelium seringkali menyebabkan terlepasnya sel
dari epitelium, sehingga proses migrasi dari sel-sel disekitarnya merupakan suatu
komponen yang penting dari proses repair. Beberapa menit setelah terjadi luka, sel-
sel epitel disekitar luka akan bermigrasi menuju area yang mengalami kerusakan
untuk membentuk penutupan awal (Erjefalt & Persson, 1997). Sel epitel mulai
bermigrasi beberapa menit setelah terjadi luka, yang mana proses tersebut terjadi
jauh sebelum sel menginisiasi proses proliferasi. Proses tersebut dikenal sebagai
restitusi (Erjefalt et al., 1995). Famili peptida trefoil factor family (TFF) yaitu TFF1,
TFF2, dan TFF3 secara in vitro dapat berfungsi sebagai molekul motogen selama
proses penyembuhan luka sel sepitel saluran udara dengan cara mengaktivasi jalur
persinyalan protein kinase C (PKC) dan extracellular signal-regulated kinase
(ERK). Protein TFF diketahui mempunyai efek perlindungan dan penyembuhan
pada saluran gastrointestinal, dan karena aktivitas mitogennya pada studi yang
38
dilakukan secara in vitro, diduga bahwa molekul ini juga mempunyai efek
perlindungan dan penyembuhan pada epitelium saluran udara (Graness et al., 2002)
Reseptor transmembran subunit gp130 dapat mengaktivasi dua jalur
persinyalan, yaitu signal transducers and activators of transcription-3 (STAT3)
dan Src-homology tyrosine phosphatase-2 (SHP2)-Ras-ERK. Kedua jalur
persinyalan ini berfungsi untuk menjaga homeostasis seluler dengan menjaga
keseimbangan sinyal positif dan negatif (Terbutt et al., 2002). Aktivasi yang
seimbang dan berkelanjutan dari kedua jalur persinyalan ini sangat penting tidak
hanya untuk memerantarai migrasi sel, tetapi juga untuk menghentikan proliferasi
yang diperantarai oleh sitokin pada sel epitel.
Beberapa faktor eksogen juga diketahui dapat memodulasi penyembuhan
luka pada epitelium saluran udara. NO pada konsentrasi rendah diketahui dapat
meningkatkan migrasi sel dan repair luka, yang mana kondisi tersebut berhubungan
dengan peningkatan ekspresi dan aktivasi MMP-9 pada sel yang berada pada tepi
luka. NO berkontribusi terhadap proses repair saluran udara melalui mekanisme
dependen dan independen dari cGMP-dependent protein kinase. Stimulasi reseptor
purinergik oleh ATP ekstraseluler juga merupakan faktor penting dalam proses
migrasi dan repair setelah sel mengalami kerusakan, yang mana berhubungan
dengan aktivasi ERK1/2 dan MMP-9 (Wesley et al., 2007)
b. Proliferasi dan Diferensiasi sel Epitel
Migrasi sel epitel setelah terjadi luka akan diikuti dengan prose proliferasi
sel untuk mengganti sel yang mengalami kerusakan. Sel epitel saluran udara yang
sedang berproliferasi mengekspresikan protein heregulin-α (ligan dari reseptor
39
erB2) pada membran bagian apikal. Ketika integritas sel epitel mengalami
gangguan, heregulin-α dapat mengakses reseptornya pada tepian luka dan
menginduksi terjadinya proliferasi. Mekanisme ini menyebabkan sel epitel akan
tetap seimbang dan melakukan proses penyembuhan luka-nya sendiri (Mostov &
Zegers, 2003). Untuk mengembalikan fungsi epitelium, sel yang melakukan
proliferasi selanjutnya akan melakukan diferensiasi menjadi jenis sel tertetu. Proses
diferensiasi ini dipengaruhi oleh jenis kerusakan serta jenis sel yang dibutuhkan
untuk perlindungan selanjutnya. Sebagai contoh, paparan LPS pada epitelium dapat
menginduksi proses inflamasi dan proliferasi yang diikuti oleh metaplasia sel
mukosa masif (massive mucous cells metaplasia; MCM). Selain itu, paparan
terhadap asap rokok dalam konsentrasi tinggi dapat merubah lapisan epitelium
mukosiliata sehingga mempunyai fenotip yang sama dengan sel squamosa, yang
mana hal ini disebut sebagai metaplasia skuamosa (Tesfaigzi et al., 1996). Sangat
penting untuk mengidentifikasi molekul persinyalan lokal yang dilepaskan pada
jaringan epitelium sehingga dapat mengaktivasi proses diferensiasi. Diketahui
bahwa proses proliferasi akan berhenti sel dapat berdiferensiasi sehingga sel dapat
menjalankan fungsi yang semestinya.
Proses rediferensiasi untuk mengembalikan fungsi epitelium saluran udara
melibatkan interaksi antara sel epitel saluran udara dengan matriks ekstraseluler.
Beberapa studi menunjukkan bahwa selain berperan dalam penutupan luka dan
migrasi, MMP juga diketahui terlibat dalam proses diferensiasi. Produksi molekul
matriks dipengaruhi oleh mediator inflamasi yang disekresikan oleh sel-sel epitel,
seperti TGF-β dan TNF-α (Romberger et al., 1992; Ito et al., 1993). Produksi
matriks oleh sel epitel diduga dipengaruhi oleh mediator yang dilepaskan baik oleh
40
sel epitel itu sendiri maupun mediator yang dilepaskan oleh sel inflamasi saluran
udara (Thompson et al., 1995). MMP-7 dan MMP-9 mempengaruhi rekonstruksi
epitelium saluran udara melalui modulasi diferensiasi mukosilia. Sebuah studi
menunjukkan bahwa ekspresi MMP-7 dan -9 yang berada pada permukaan apikal
sel epitel mengalami peningkatan selama proses regenerasi. Selain itu, inkubasi sel
epitel dengan inhibitor MMP selama proses regenerasi menyebabkan terbentuknya
metaplasia skuamosa dan hiperplasia pada sel basal (Coraux et al., 2005).
Mekanisme yang menjelaskan tentang bagaimana sel epitel yang
berproliferasi dapat menentukan akan berdiferensiasi menjadi jenis sel tertentu
(mukosa, bersilia, atau jenis sel lain) masih belum diketahui. Kesalahan selama
proses regenerasi diduga berhubungan dengan kerusakan jaringan dan perubahan
metaplasia pada penyakit-penyakit kronis seperti asma dan bronkitis kronis.
Proliferasi sel epitel saluran udara akan dihentikan tergantung dengan keparahan
kerusakan (sementara atau kronis). Diduga bahwa proses ini ter-regulasi dengan
sangat baik, sehingga jarang mengalami kesalahan. Kurang lebih hanya < 15%
perokok yang mengalami kanker saluran udara meskipun epiteliumnya terpapar
oleh agen karsinogen sepanjang waktu. Diduga hal ini berhubungan dengan
penudaan siklus sel dan interaksi antar sel, serta mekanisme disregulasi selama
progresi kanker.
c. Kematian sel selama hiperplasia sel epitel saluran udara
Pada epitelium 2-3 hari setelah terjadi luka, jumlah sel epitel per-unit area
epitelium akan melebihi jumlah sel pada epitelium normal sebanyak 20-30%
(Tesfaigzi et al., 2003). Hal ini menyebabkan sel harus mempunyai suatu
mekanisme untuk menentukan sel mana yang akan dieliminasi kemudian. Induksi
41
metaplasia mukosa dapat terjadi karena paparan ozon pada epitelium hidung atau
ketika sel epitel saluran udara terpapar dengan LPS (Tesfaigzi et al., 2002). Sel
epitel saluran udara yang sedang berproliferasi dapat berdiferensiasi menjadi sel
mukosa ketika dipapar dengan asap rokok maupun alergen lain. Diketahui bahwa
dalam proses perbaikan dari tahapan hiperplastik epitelium saluran udara, protein
Bcl-2 diekspresikan oleh kurang lebih 20-30% sel mukosa yang mengalami
metaplasia karena induksi LPS, atau kurang lebih sebanyak 50% pada MCM
lapisan epitelium maxilloturbinate (Tesfaigzi et al., 1998). Ekspresi Bcl-2 pada
MCM bersifat heterogen; terdapat sel yang mengekspresikan Bcl-2 dalam jumlah
yang tinggi, sedangkan ada juga yang mengekspresikan dalam jumlah sedikit atau
bahkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa sel epitel mempunyai perbedaan
dalam mengekspresikan protein Bcl-2 meskipun kondisi histologinya serupa.
Persentase sel yang dieliminasi pada sel epitel saluran udara berjumlah sama
dengan sel mukosa yang mengekspresikan protein Bcl-2, sehingga diduga ekspresi
protein Bcl-2 berhubungan dengan proses perbaikan dan menandai sel yang akan
dieliminasi.
Protein Bcl-2 merupakan protein yang dapat menghambat progersi siklus
sel melalui berbagai cara. Keberadaan sel mukosa yang positif mengekspresikan
Bcl-2 dan bromodioksi uridin (BrdU)-negatif menunjukkan bahwa Bcl-2 tidak
mempunyai fungsi regulasi siklus sel dalam sistem ini. Pada suatu penelitian lain
menunjukkan bahwa jumlah sel mukosa mengalami penurunan yang signifikan
setelah 2 hari penurunan persentase sel yang positif mengekspresikan Bcl-2. Hal ini
mendukung dugaan bahwa Bcl-2 merupakan inhibitor apoptosis yang harus di-
downregulasi sebelum jumlah sel mukosa berkurang. Perpanjangan paparan
42
alergen menyebabkan sel helper T tipe 2 (Th2) akan menurunkan sekresi IL-13 dan
meningkatkan sekresi IFN-γ oleh sel Th1 pada cairan bronchoalveolar. Selama
tahap ini, persentase sel mukosa bax-imunopositif mengalami peningkatan
sebanyak 3-25%, sedangkan jumlah MCM mengalami penurunan (Tesfaigzi et al.,
2002) yang mana ekspresi protein Bcl-2 tidak ditemukan pada sel mukosa tersebut.
Ditemukannya fakta bahwa protein Bcl-2 hanya diekspresikan oleh MCM yang
diinduksi oleh LPS dan tidak diekspresikan pada MCM yang diinduksi oleh alergen
menimbulkan dugaan bahwa terdapat dua mekanisme berbeda yang terlibat dalam
proses tersebut.
Kurang lebih sebanyak 25-35% sel mukosa akan mengekspresikan Bax
setelah paparan yang berulang kali terhadap alergen selama 15 hari. Penelitian lain
menunjukkan bahwa 3 hari setelah dipapar dengan alergen, kurang lebih sebanyak
30% nukleus sel epitel mengalami BrdU-positif yang merupakan marker sel
mengalami sintesis DNA selama siklus sel. Berdasarkan hasil pengamatan yang
menunjukkan bahwa terdapat kurang lebih sebanyak 25-35% sel mukosa yang
mengekspresikan Bax, diduga bahwa sel mukosa yang positif mengekspresikan
Bax merupakan sel yang harus dieliminasi untuk mengembalikan jumlah sel normal
pada epitelium yang sedang diperbaiki.
d. Perubahan adaptif sel epitel saluran udara
Sebuah studi menunjukkan bahwa meskipun MCM diduga akan berubah
setelah periode perbaikan kerusakan, epitelium tidak selalu bisa kembali pada
kondisi yang sama persis seperti sebelumnya (Harkema et al., 1999). Tikus yang
dipapar dengan 0.5 ppm ozon menunjukkan terjadinya hiperplasia sel epitel yang
43
berhubungan dengan peningkatan jumlah sel mukosa sekretori yang
mengekspresikan AB/PAS-positif pada lapisan epitelium. Setelah 13 minggu
periode perbaikan jumlah MCM berkurang sebanyak 96%, akan tetapi jumlah sel
epitel masih tetap lebih banyak 25% dibandingkan dengan normal. Paparan akut
dengan ozon 0.5 ppm setelah periode perbaikan menyebabkan peningkatan
penyimpanan mukosubstansi oleh tikus yang sebelumnya telah dipapar dengan
ozon 0.5 ppm, yang mana kondisi tersebut tidak akan terjadi jika tikus sebelumnya
hanya dipapar dengan udara yang telah disaring. Hal tersebut diduga disebabkan
karena beberapa sel masih dalam tahap diferensiasi, yang mana hal tersebut
berkaitan dengan respon adaptasi atau memori terhadap paparan sebelumnya.
Respon ini penting untuk respon yang cepat terhadap paparan berikutnya serta
untuk mengurangi kerusakan melalui produksi mukus dengan cepat (Tesfaigzi,
2003).
Faktor-faktor seluler dan molekuler yang terlibat dalam proses repair,
regenerasi, dan rediferensiasi menyeluruh pada epitelium yang mengalami
kerusakan sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Migrasi sel
melibatkan penonjolan membran plasma (ekstensi lamellapodium) sehingga
menyebabkan terjadinya reorganisasi sitoskeleton. Pergerakan sel juga berimplikasi
pada pembentukan site baru adhesi pada sisi bagian depan sel, tetapi juga
menyebabkan pelepasan site adhesi pada sisi belakang sel. Hal ini berimplikasi
kepada rangkaian proses berikutnya seperti: kontraksi sitoskeleton aktin &
aktomiosin dan interaksi dengan protein ECM dan MMP, serta regulasi antara
MMP dan inhibitornya. Selain itu, produksi ECM oleh sel epitel saluran udara
44
selama proses migrasi juga membutuhkan jalur persinyalan melalui reseptor
spesifik pada permukaan sel saluran udara.
Peran protein sitoskeleton dalam proses repair epitelium
Pada saat penyebaran dan migrasi sel epitel saluran udara ketika proses
perbaikan epitelium akan terjadi polimerisasi G-aktin menjadi filamen F-aktin. Hal
tersebut akan menyebabkan akumulasi F-aktin dalam lamellapodia pada sel basal
yang mengalami dediferensiasi dan pemipihan, yang mana akan membentuk kontak
adhesif dengan ECM. Sitokalasin B yang diketahui dapat menghalangi polimerisasi
aktin diketahui juga dapat menghambat migrasi dan perbaikan sel (de Bentzmann
et al., 2008). Faktor virulen dari P. aeruginosa dan S. aureus dapat menginduksi
disorganisasi skeleton aktin dan overaktivasi MMP-2, yang mana hal tersebut akan
menyebabkan penundaan penutupan luka pada epitelium. Pada beberapa kasus,
penyembuhan luka pada epitelium terjadi secara tidak sempurna, yang mana hal
tersebut disebabkan karena penutupan luka dan integritas junction epitelium yang
terjadi secara tidak menyeluruh.
Peran MMP dalam perbaikan dan regenerasi epitelium
Protein MMP termasuk dalam famili zinc-dependent endopeptidase yang
mempunyai aktivitas proteolitik terhadap berbagai jenis protein ekstraseluler
(Parks, 1999). Ekspresi MMP secara umum digunakan untuk mengkarakterisasi
jaringan yang mengalami remodeling dan berhubungan dengan proses biologis baik
yang normal maupun yang abnormal, seperti perkembangan, inflamasi, invasi
tumor, dan repair jaringan. MMP terlibat dalam perbaikan luka pada epitelium,
45
khususnya dalam remodeling matriks menjadi tempat dimana sel akan bermigrasi
melalui degradasi komponen ECM. Selama proses re-epitelisasi epitelium saluran
udara yang mengalami kerusakan MMP-9 (gelatinase-B) akan mengalami
overekspresi pada sel-sel yang bermigrasi. MMP-9 diketahui mempunyai peran
penting dalam migrasi sel epitel bronchial untuk memperbaiki luka (Legrand et al.,
1999). MMP-9 mempunyai peran spesifik dalam proses degradasi kolagen tipe IV
yang terdapat pada kontak primordial (kontak pertama antara sel-ekstraseluler yang
terdapat pada lamellapodia) yang akan secara cepat mengalami remodeling
sehingga memungkinkan terjadinya migrasi untuk membentuk hubungan baru yang
mana sel selanjutnya dapat menggunakan daya tarik melalui ikatan filamen aktin
untuk bisa bergerak lebih jauh. Inaktivasi MMP-9 menyebabkan penurunan tingkat
perbaikan luka. Stromelisin-1 dan -3 (MMP-3 dan MMP-11) diketahui terdapat
pada sel-sel yang bermigrasi yang mempunyai fenotip epitel-mesenkim (Buisson et
al., 1996). Penyebaran sel epitel di sekitar area yang mengalami luka diketahui
mengekspresikan stromelisin, vimentin, dan sitokeratin yang merupakan marker
untuk sel mesenkimal dan sel basal. Stromelisin merupakan protein yang terlibat
dalam migrasi sel epitel dan remodeling ECM selama proses perbaikan kerusakan
pada epitelium, sehingga sel yang bermigrasi mengalami perubahan fenotip yang
awalnya mempunyai fenotip sel epitel berubah menjadi fenotip sel mesenkim.
Transisi sel epitel menjadi sel mesenkim merupakan tahapan yang dibutuhkan
untuk proses re-epitelisasi saluran udara. Kegagalan dalam proses transisi yang
disebabkan karena pelepasan faktor virulen bakteri yang mampu menghalangi
polimerisasi aktin pada sel yang sedang mengalami perbaikan akan menghambat
tahapan awal dari proses perbaikan epitel sehingga dapat mencegah regenerasi
46
epitel saluran udara untuk bisa kembali seperti struktur dan fungsi normalnya.
Tidak seperti kebanyakan MMP yang lain, matrilisin (MMP-7) merupakan protein
yang diproduksi oleh sel epitel saluran udara normal yang tidak sedang mengalami
kerusakan, yang mana fungsinya adalah sebagai protein pertahanan tubuh melalui
aktivasi bentuk laten peptida antimikrobia, salah satunya adalah defensin. Pada
saluran udara yang mengalami kerusakan, ekspresi MMP-7 mengalami
peningkatan pada sel epitel yang sedang bermigrasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Park et al (2001) menunjukkan bahwa MMP-7 mempunyai beberapa fungsi
komplemen yang berbeda, antara lain yaitu fungsinya sebagai protein matriks
selama proses perbaikan diri jika disekresikan oleh sel bagian basal, dan sebagai
senyawa bakterisidal (aktivasi defensin) jika disekresikan oleh sel bagian apikal.
Diduga bahwa remodeling epitelium saluran udara berhubungan dengan hilangnya
kemampuan polarisasi ysng ditandai hilangnya fungsi sitoprotektif dan pro-
regeneratif sari MMP-7.
Selama tahap migrasi dan proliferasi sel, diketahui juga bahwa epitel saluran
udara akan mengekpresikan IL-8 dalam jumlah tinggi, sedangkan proses
pseudostratifikasi epitelium saluran udara dan diferensiasi permukaan epitelium
saluran udara berhubungan dengan peningkatan ekspresi MMP dan penurunan
jumlah ekspresi IL-8 dengan sangat signifikan. Suatu penelitian menunjukkan
adanya ekspresi MMP pada bagian apikal epitelium saluran udara yang sedang
mengalami proses regenerasi. Pemberian inhibitor MMP sel epitel yang sedang
melakukan proses regenerasi tersebut dapat menyebabkan diferensiasi sel epitel
menjadi abnormal yang ditandai dengan metaplasia pada skuamosa dan hiperplasia
pada sel basal. Hal tersebut menunjukkan bahwa protein MMP-7 dan MMP-9
47
mempunyai peran yang sangat penting, tidak hanya pada tahap awal proses repair,
tetapi juga dibutuhkan untuk sepanjang proses re-epitelisasi dan diferensiasi.
Hubungan antara ekspresi MMP dan IL-8 menimbulkan dugaan bahwa ekspresi dan
aktivasi MMP dan diregulasi oleh peningkatan level sitokin proinflamasi IL-8.
Abnormalitas pada proses repair yang disebabkan karena infeksi bakteri / virus
yang terjadi secara berulang dapat menyebabkan terjadinya disregulasi dan aktivasi
MMP serta ketidakseimbangan antara MMP dan inhibitornya, sehingga akan
menimbulkan respon inflamasi pada epitelium yang berhubungan dengan
remodeling saluran udara (Coraux et al., 2005; Puchelle et al., 2006).
Peran sitokin dan faktor pertumbuhan dalam proses repair epitelium saluran
udara
Aktivasi kemokin, interleukin, faktor pertumbuhan, serta colony-
stimulating factor seringkali terjadi selama tahap awal inflamasi dan respon
kemotaksis epitelium saluran udara. Semua protein-protein tersebut tidak hanya
disekresikan oleh sel mesenkim, sel endotel, dan sel makrofag, tetapi juga
disekresikan oleh sel epitel ketika terjadi kerusakan dan saat proses perbaikannya.
Transforming growth factor (TGF)-β1 mengatur penyusunan matriks sementara
sebagai tempat sel epitel akan bermigrasi, yang mana diketahui bahwa dapat
meningkatkan proses perbaikan kerusakan melalui upregulasi MMP-2 (Lechapt-
Zalcman et al., 2006). Peningkatan ekspresi MMP-2 sebagai respon terhadap
(TGF)-β1 akan meningkatkan repair saluran udara dalam kondisi homeostasis,
sedangkan MMP-9 merupakan faktor penting dalam proses inflamasi yang ditandai
dengan perpanjangan proses remodeling.
48
Pada epitelium saluran udara normal, epidermal growth factor (EGF)
diekspresikan pada domain apikal, sedangkan reseptornya yaitu EGFR (Erb B)
terdapat pada domain basolateral (Vermeer et al., 2006). Meskipun diferensiasi sel
epitel pada manusia diketahui bergantung pada ErB2 (Casalino-Matsuda et al.,
2006), aktivasi EGFR dan reseptor IL-13 (IL-13R) diketahui dapat menyebabkan
terjadinya metaplasia pada mukosa dan sintesis mucin (Takeyama, 2001). IL-13
dapat secara langsung menginduksi ekspresi gen mucin dalam kondisi fisiologis
kultur sel epitel saluran udara, dan IL-14 seringkali mengalami overekspresi pada
kondisi metaplasia sel mukosa pada asma dan COPD. IL-9 dapat menginduksi
hiperplasia sel goblet selama proses repair pada epitelium saluran udara, yang mana
penghambatan ekspresi IL-9 dapat menurunkan proses repair. Metaplasia sel
mukosa saluran udara dapat dihalangi dengan cara menghambat sinyal
antiapoptosis EGFR dan transdiferensiasi IL-13. Selama proses perbaikan luka,
peptida seperti TFF2 menunjukkan efek sinergistik dengan EGF dan meningkatkan
migrasi sel epitel melalui aktivasi jalur persinyalan protein kinase-C dan
extracelluler signal-regulated kinase (ERK). Penghambatan jalur persinyalan
tirosin kinase EGFR dapat menghambat proses re-epitelisasi secara menyeluruh.
Migrasi sel epitel saluran udara juga diinduksi oleh faktor pertumbuhan dan peptida
motogen lain meliputi insulin, insulin-like growth factor, hepatocyte growth factor
(HGF), kalsitonin, dan peptida katelisidin LL-37. Stimulasi penutupan luka oleh
peptida antimikroba ini diperantarai oleh EGFR dan mitogen-activated protein
(MAP) / ERK.
Peran sel progenitor / sel punca
49
Stem punca somatik dewasa (adult somatic stem cell) merupakan sel yang
membantu dalam proses perkembangan jaringan yang sedang memperbarui diri. Sel
punca ini merupakan sel punca yang spesifik untuk jaringan tertentu, sel yang relatif
tidak berdiferensiasi, serta mempunyai kemampuan untuk menjaga sifat
multipoten-nya dalam konteks fisiologi di jaringan tempat mereka berada. Stripp &
Reynolds menggunakan istilah sel progenitor untuk sel apapun yang mempunyai
kapasitas untuk berproliferasi, yang mana istilah ini secara umum digunakan untuk
menunjukkan sel yang sedang berada dalam proses pembelahan sel atau
mempunyai kemampuan untuk memasuki siklus sel (Stripp & Reynolds, 2008).
Dalam sistem pernafasan, terdapat beberapa jenis sel punca epitelial dan sel
progenitor, yang mana sel-sel tersebut terlibat dalam proses repair dan regenerasi
jaringan. Pada jaringan bronchioles, sel Clara yang secara spesifik
mengekspresikan Clara cell-specific protein (CCSP) atau disebut juga
sekretoglobin 1A1, CC10, atau CCA menunjukkan karakter dari sel yang sedang
menggandakan diri (Stripp, 2008). Suatu studi melaporkan bahwa varian sel Clara
naphtalene-resistant yang berlokasi pada penghubung saluran bronchiolaveolar
(bronchiolaveolar duct junction; BADJ) dapat bertindak sebagai sel punca
(Giangreco et al., 2002). Selain itu, suatu studi lain menunjukkan bahwa sel epitel
yang mengekspresikan CCSP dan surfactant protein C hampir memenuhi semua
fenotip sel punca dan selanjutnya menamakan sel ini sebagai bronchioalveolar stem
cells (BASC) (Kim et al., 2005). BASC diketahui berkontribusi terhadap proses
repair pada bronchial terminal dan alveoli.
50
Gambar. Gambaran tempat sel punca pada saluran udara; [1] sel basal pada kelenjar
glandular, [2] sel basal pada permukaan epitelium saluran udara dalam
area interkartilago, [3] sel Clara pollutan-resistant dalam badan
neuroepitelial, [4] sel Clara pollutan-resistant pada penghubungan
saluran bronchioalveolar (Randell, 2006).
Pada alveolus, sel epitel alveolar tipe II dapat berdiferensiasi menjadi sel
epitel alveolar tipe I dan dipertimbangkan sebagai sel progenitor (Fehrenbach,
2001). Diantara sel alveolar tipe II, sebuah sub kelompok sel E-cadherin-negative
mempunyai aktivitas telomerase dan potensi proliferasi yang tinggi, serta resisten
terdadap stimulus kerusakan sel, sehingga selanjutnya sel ini juga dipertimbangkan
sebagai kandidat sel punca atau sel progenitor (Reddy et al., 2004). Di sisi lain, sel
yang positif mengekspresikan CCSP, SCA-1, SSEA-1 dan Oct-4 yang diambil dari
paru-paru mencit yang baru saja dilahirkan diketahui dapat berdiferensiasi menjadi
51
sel alveolar tipe I dan tipe II, sehingga dipertimbangkan juga sebagai kandidat sel
punca atau sel progenitor paru-paru (Ling et al., 2004). Tesei et al (2009)
menunjukkan bahwa pada bronchospheres yang diisolasi dari paru-paru manusia
terdapat sel-sel yang dapat berdiferensiasi menjadi sel epitel alveolar tipe II, sel
Clara, dan sel mesenkim. Penelitian lain menunjukkan keberhasilan dalam
mengisolasi populasi sel epitel alveolar tipe II dari paru-paru manusia dewasa
(Fujino et al., 2011). Hasil pengamatan tersebut mendukung dugaan adanya
keberadaan sel punca / progenitor pada jaringan paru-paru manusia.
Sel progenitor paru-paru dewasa mempunyai kemampuan untuk
memperbarui diri dan untuk proses regenerasi, serta bertindak sebagai sel punca /
progenitor ketika terjadi suatu luka dan kerusakan yang mempengaruhi proses
repair lokal (Otto, 2002; Stripp & Shapiro, 2006). Beberapa tipe sel pada paru-paru
mempunyai kemampuan untuk berfungsi sebagai sel progenitor ketika terjadi suatu
luka dan kerusakan. Sel-sel tersebut diduga berlokasi pada saluran submukosa
saluran udara bagian proksimal, daerah lingkaran intercartilaginous, badan
neuroepitelial, dan penghubung saluran bronchiol terminal / bronchoalveolar
(Giangreco et al., 2002; Kim et al., 2005). Jenis sel-sel yang teridentifikasi sebagai
sel progenitor pada paru-paru sangat beragam berdasarkan kompartemen paru-paru
tempat sel-sel tersebut berada (Neuringer & Randell, 2004; Otto, 2002). Hal
tersebut secara potensial termasuk mekanisme repair spesifik sebagai respon
terhadap kerusakan dan luka pada paru-paru yang akan mendatangkan beberapa
sumber sel progenitor berdasarkan tingkat kerusakan yang terjadi. Diduga bahwa
kerusakan ringan atau sedang akan menyebabkan aktivasi sel progenitor paru-paru
untuk mengembalikan homeostasis jaringan, sedangkan kerusakan parah yang
52
menyebabkan epitelial mengalami kerusakan berat akan menginduksi terjadinya
proses repair yang diperantarai oleh sel punca (Giangreco et al., 2009).
Salah satu karakteristik dari sel punca adalah sifatnya yang aktif untuk
berproliferasi. Pada kondisi normal, tingkat pergantian sel epitel paru-paru yang
relatif rendah akan dengan mudah diakomodasi oleh proses pembelahan, migrasi,
dan diferensiasi sel progenitor paru-paru. Berbeda dengan jaringan usus dan kulit
yang mana epiteliumnya seringkali mengalami pembaruan diri, epitelium paru-paru
hanya mengalami sedikit atau bahkan tidak mengalami pembaruan diri jika tidak
ada stimulus dari luar (Raiser et al., 2008).
Sel punca dari sum-sum tulang belakang maupun sel punca pada darah yang
tersirkulasi dapat berkembang menjadi sel epitel paru-paru (Krauses et al., 2001)
untuk memelihara dan melakukan repair pada jaringan paru-paru ketika terjadi
kondisi patologis. Selain sel punca dari sum-sum tulang belakang, diketahui juga
bahwa sel punca mesenkimal (mesenchymal stem cell; MSC), sel progenitor
endotel (EPC), dan sel fibrosit diketahui dapat berdiferensiasi menjadi sel epitel
paru-paru, sel mesenkimal, atau sel endotelial. Sel yang positif mengekspresikan
CCSP pada sum-sum tulang belakang diketahui mempunyai kemampuan untuk
berdiferensiasi menajdi sel epitel alveolar tipe I dan tipe II (Wong et al., 2009).
Meskipun paru-paru mengalami kerusakan parah yang disebabkan karena
pneumonia akut atau acute lung injury/ acute respiratory distress syndrome
(ALI/ARDS), fungsi paru-paru terkadang bisa kembali seperti pada kondisi normal.
Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya partisipasi aktif dari mekanisme
perbaikan dan regenerasi jaringan ketika terjadi kondisi patologis. Pada pasien
dengan ALI/ARDS terjadi peningkatan jumlah EPC tersirkulasi yang disebabkan
53
karena adanya induksi dari suatu molekul mediator. Selain itu, pasien ALI yang
mengalami peningkatan jumlah EPC pada sistem sirkulasi akan mengalami
prognosis yang lebih baik, sehingga pada kondisi ALI diduga adanya peran EPC
dalam proses repair jaringan paru-paru (Burnham et al., 2005).
Permeabilitas mikrovaskuler pada paru-paru diregulasi terutama oleh
plastisitas sel epitel alveolar, yang mana normalisasinya sangat penting untuk
proses penyembuhan ALI/ARDS. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., (2005)
menunjukkan adanya kontribusi BASC pada sel epitel alveolar dalam proses repair
dan regenerasi ketika terjadi kerusakan pada paru-paru. Sebuah pendapat lain
mengatakan bahwa jumlah total sel BASC adalah sedikit, sehingga diduga sel
tersebut tidak terlealu berperan dalam proses perbaikan alveolus maupun terminal
bronchioles (Rawlins et al., 2009, Nolen-Walston et al., 2008). Akan tetapi jika
ditemukan suatu cara untuk meningkatkan jumlah BASC, misalnya dengan
meregulasi jalur persinyalan Gata6-Wnt yang diketahui sangat diperlukan untuk
perbanyakan BASC, maka cara tersebut dapat menjadi sebuah target terapi untuk
proses repair epitelium paru-paru. Penelitian lain dengan menggunakan hewan coba
menunjukkan bahwa sel epitel alveolar tipe II yang berkembang dari sel punca
embrionik diketahui dapat menyembuhkan ALI, sehingga diduga bahwa sel punca
embrionik juga merupakan kandidat untuk terapi penyakit pada paru-paru yang
terkait dengan proses infalamasi (Fujishima, 2011).
Terkait dengan kasus fibrosis, kerusakan pada sel epitel diketahui dapat
menginduksi terjadinya fibrosis pada paru-paru, yang mana protein matriks
metalloproteinase (MMP) khususnya MMP-7 diketahui terlibat dalam proses ini
(Sisson et al., 2010; Fujishima et al., 2010). Peran sel epitel alveolar tipe II dalam
54
proses repair jaringan paru-paru terutama pada bagian intra-trakea diketahui dapat
meperbaiki kondisi fibrosis pada paru-paru. Selain sel epitel alveolar, sel endotel
vaskuler juga merupakan target utama dari stimulus baik ekstrinsik maupun
instrinsik ketika terjadi kerusakan. Delesi forkhead box M1 (FoxM1) yang
merupakan faktor kunci dalam proses transkripsi gen-gen yang terlibat dalam
proses proliferasi sel pada sel endotelial diketahui dapat memperburuk kerusakan
pada paru-paru yang disebabkan oleh LPS (Zhao et al., 2006). Berdasarkan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa restorasi sel endotel dan sel epitel alveolar
dapat digunakan sebagai salah satu strategi terapi penyakit pada paru-paru yang
terkait dengan proses inflamasi.
55
BAB IV
Mutasi pada sel epitel paru
Epitelium saluran pernafasan pada manusia ketika terpapar dengan senyawa
oksidan maupun polutan tertentu dapat mengalami resiko kerusakan DNA dan
membutuhkan respon adaptif untuk mencegah kerusakan sel karena induksi dari
lingkungan. Salah satu contoh adalah induksi kerusakan strand DNA yang dapat
mengancam viabilitas seluler, integritas genom sel, dan perubahan genomik terkait
dengan transformasi dan progresi neoplastik. Senyawa oksigen reaktif (reactive
oxygen species; ROS) seperti hidrogen peroksida diketahui dapat menginduksi
terjadinya kerusakan strand DNA baik pada sel line epitel bronchial (BEAS-2B)
maupun pada kultur sel primer epitel bronchial (McDonal et al., 1993; Lee et al.,
1994).
Paparan ozon diketahui dapat menginduksi single strand break (SSB) pada
makrofag alveolar. Diduga ozon dapat menginduksi SSB terutama diperantarai oleh
H2O2. Selama reaksi dengan DNA, oksigen radikal dapat memproduksi lebih dari
30 senyawa dan ratusan perubahan kimia yang berbeda pada DNA sehingga
meningkatkan resiko mutagenik (Feig et al., 1994) pada berbagai sistem di dalam
sel (Satoh & Lindahl, 1994). Senyawa oksidan dapat menyebabkan DNA strand
breaks (DSB) dan kerusakan DNA secara langsung. DSB selanjutnya akan
mengaktivasi enzim kromosomal poly(ADP-ribose)polimerase untuk
menggunakan NAD yang penting untuk produksi poly(ADP-ribose) yang
memfasilitasi proses repair DNA.
Kerusakan DNA pada level rendah akan menginduksi sintesis polimer yang
akan memfasilitasi proses repair DNA, akan tetapi ketika kerusakan DNA sangat
56
parah dan terjadi dalam periode yang panjang akan menyebabkan berkurangnya
substansi NAD secara drastis dan mempengaruhi metabolisme seluler. Hal tersebut
dapat menyebabkan sel akan mengalami pembengkakan dan degenerasi (Berger et
al., 1986). Kerusakan DNA yang sementara dapat mentransmisikan sinyal pada
komponen seluler lain seperti p53(Satoh et al., 1994). Senyawa yang secara cepat
menginduksi DSB alam secara cepat pula dalam menginduksi peningkatan ekspresi
protein p53. Fungsi utama protein p53 adalah untuk regulasi check-point fase G1-
S dalam siklus sel serta memerantarai proses apoptosis (Smith et al., 1994).
Keberadaan DSB pada sel pernafasan dapat digunakan sebagai biomarker adanya
paparan ozon dari lingkungan.
Faktor yang diduga bertanggung jawab terhadap SSB DNA adalah
perkembangan metaplasia skuamosa pada epitelium, yang mana merupakan
populasi sel baru yang mengalami resistensi kerusakan yang disebabkan oleh faktor
lingkungan. Epitelium yang mengalami metaplasi tersebut merupakan respon
adaptif seluler tipe B. Populasi sel baru yang resisten tersebut diduga mengalami
perubahan biokimia sel-nya, seperti berkurangnya efek toksik dari xenobiotik.
Perubahan ekspresi enzim antioksidan diduga juga merupakan faktor tebentuknya
resistensi sel. Studi yang dilakukan oleh Plopper et al (1994) menunjukkan adanya
perubahan ekspresi glutathion transferase, glutathion peroksidase, dan superoksida
dismutase pada paru-paru tikus sebagai respon terhadap paparan ozon jangka
panjang. Antioksidan berlokasi pada lapisan luar saluran pernafasan yang penting
dalam menentukan resistensi epitelium terhadap polutan yang terinhalasi (Slade et
al., 1993). Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa pada seseorang yang
57
merokok, terjadi upregulasi gen-gen yang terkait dengan antioksidan pada
epitelium saluran udara (Hacket et al., 2003).
p53 dan K-ras
Mutasi pada gen penting merupakan penyebab perkembangan kanker, yang
mana seringkali terkait dengan paparan asap rokok. Mutasi pada proto-onkogen dan
atau inaktivasi gen supresor tumor berhubungan dengan proses karsinogenesis.
Perubahan genetik yang paling banyak terjadi pada kanker paru-paru adalah mutasi
titik (point mutation) pada gen proto-onkogen K-ras dan pada gen supresor tumor
p53 (Anderson & Spandidos, 1993). Berbagai studi menunjukkan bahwa
karsinogen kimia dapat secara selektif menginduksi perubahan pasang basa
spesifik, seperti yang ditemukan pada kodon 12, 13, dan 61 dari gen K-ras serta
pada kodon 249 dan 273 dari gen p53 (Fong et al., 1993). Paparan dengan 4-
(methylnitrosoamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone, sebuah senyawa karsinogen yang
terdapat pada asap rokok diketahui dapat menginduksi terjadinya tumor paru-paru.
Pada penelitian tersebut ditemukan adanya mutasi gen K-ras pada kodon 12
sebanyak 50%, akan tetapi tidak ditemukan adanya mutasi pada gen p53 (Oreffo et
al., 1992). Suatu penelitian lain menunjukkan bahwa pada tumor ditemukan
sebanyak 77-94% mutasi pada gen K-ras, tetapi hanya ada satu tumor yang
mengalami mutasi pada gen p53. Pada studi genetika molekuler, mutasi pada gen
K-ras (sebagian besar perubahan basa GT pada kodon 12) terjadi pada 30-60%
kasus adenokarsinoma (AC) dan 10% pada karsinoma sel skuamosa (SC) dari
perokok (Li et al., 1994).
Mutasi pada gen p53 secara luas terdistribusi diseluruh ekson 4-9, yang
mana mutasi paling umum terjadi adalah perubahan basa nitrogen GT yang
58
ditemukan pada kanker paru-paru yang terkait asap rokok. Campuran dari senyawa
mutagenik polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang terdapat pada asap rokok
terutama akan menyerang basa guanin.
Akumulasi mutasi pada gen-gen yang meregulasi pertumbuhan seluler
seringkali berhubungan dengan proses karsinogenesis. Penyebab kerusakan DNA
dapat terjadi baik karena faktor endogen melalui peningkatan ketidak-stabilan
replikasi DNA maupun faktor endogen seperti paparan mutagen atau radiasi.
Berbagai komponen genotoksik telah diketahui dapat secara selektif menginduksi
perubahan pasangan basa spesifik pada gen-gen yang terkait dengan kanker.
Famili gen ras yang merupakan proto-onkogen diketahui menghubungkan
antara proses karsinogenesis dan aktivasi proto-onkogen, yang mana mutasi
seringkali terjadi pada ekson penting yang dibutuhkan untuk hidrolisis GTP
intrinsik. Paparan asap rokok diketahui dapat menyebabkan terjadinya mutasi pada
kodon 12, 13, atau 61 dari gen proto-onkogen K-ras (Rodenhuis et al., 1988).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gao et al., (1997) menunjukkan bahwa mutasi
pada gen K-ras terdistribusi antara kodon 9 dan 32 pada ekson 1, yang mana mutasi
paling sering terjadi adalah pada kodon 15 (GA). Diduga mutasi pada kodon
tersebut sangat berpengaruh terhadap aktivitas onkoprotein.
Asap rokok mengandung berbagai senyawa karsinogen dan promotor
tumor. Pada kanker paru-paru diketahui bahwa pasien perokok mempunyai
frekuensi mutasi gen K-ras yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang
tidak merokok. Senyawa karsinogen 4-aminobifenil (4-ABP) yang terdapat pada
asap rokok sebagian besar membentuk kompleks dengan guanine forming-N-
(deoxyguanosine-8-yl)-4-aminobiphenyl, yang mana senyawa tersebut mempunyai
59
kemampuan mutagenik yang lemah dan sebagian besar menginduksi perubahan
basa GT dan AT pada DNA (Lasko et al., 1988; Meuth, 1990).
Analisis mutasi pada ekson 7 dan 8 dari gen p53 menunjukkan bahwa
sebanyak 18 dari 27 tumor mengalami mutasi. Kanker paru-paru mempunyai
persentase mutasi GT paling banyak karena induksi senyawa benzo[a]pyrene
teraktivasi yang terdapat pada asap rokok (Mazur & Glickman (1988). Gen supresor
tumor p53 mengkode protein yang meregulasi ekspresi berbagai gen dan
mempengaruhi berbagai fungsi seluler, termasuk DNA repair, checkpoint siklus sel
dan apoptosis. Protein p53 dapat mengaktivasi transkripsi gen WAF1/CIP1 yang
mengkode protein dengan berat molekul 21 kDa terkait dengan kompleks dan
penghambatan aktivitas cyclin D1-cyclin-dependent kinase (cdk)4 (El-Deiry et al.,
1993). Hal tersebut akan mencegah sel memasuki fase S dari siklus sel. Mutasi pada
gen p53 dapat menyebabkan hilangnya fungsi supresor tumor serta dapat juga
menyebabkan fungsi yang abnormal dari protein mutan (Gualberto et al., 1998).
Mutasi missense menyebabkan akumulasi abnormal protein p53 yang dapat
divisualisasi secara imunohistokimia (Iggo et al., 1990). Akumulasi abnormal dari
protein dan gen p53 seringkali terjadi pada lesi pre-kanker (displasia) pada
epitelium paru-paru (Sozzi et al., 1992; Bennet et al., 1993).
IL-8
Sel epitel saluran udara merupakan target senyawa diesel exhaust particle
(DEP) yang berkontribusi terhadap induksi inflamasi saluran udara oleh PM
melalui sintesis sitokin dan kemokin. Berbagai studi baik secara in vitro maupun in
vivo menunjukkan bahwa DEP dapat menginduksi eskpresi sitokin proinflamasi
60
dan kemokin seperti IL-8, IL-1α, GM-CSF, dan Gro-α. Sitokin IL-8 merupakan
aktivator neutrofil yang disekresikan oleh sel epitel saluran udata dan sering
digunakan sebagai pendanda biologi adanya inflamasi pada jaringan paru-paru
(Strieter, 2002). Ekspresi IL-8 mengalami peningkatan pada epitelium saluran
udara yang terpapar dengan PM dan komponen metal PM seperti Zn2+ dan V4+
(Kim et al., 2006). Selain itu ekspresi IL-8 juga akan mengalami peningkatan ketika
terjadi paparan dengan DEP (Mudway et al., 2004), residual partikel oil fly ash
(ROFA) (Carter, 1997) dan polutan dalam bentuk gas seperti ozon dan yang
lainnya. Ekspresi mediator proinflamasi karena paparan DEP diregulasi pada level
transkripsi oleh berbagai jalur persinyalan yang dapat mengaktivasi faktor
transkripsi seperti AP-1 dan NFκB (Takizawa et al., 1999).
Region promotor gen IL-8 mengandung beberapa elemen regulator pada
ujung 5’, meliputi binding site untuk NFκB, AP-1, AP-2, AP-3, CCAAT/enhancer
binding protein β (C/EBPβ), interferon regulatory factor 1, dan glucocorticoid
response element (Mukaida et al., 1998; Strieter, 2002). Paparan dengan DEP yang
memiliki konten organik dalam jumlah tinggi (A-DEP) dapat menginduksi ekspresi
IL-8 NFκB-dependent pada sel kultur epitel saluran udara BEAS-2B. Selain itu,
DEP yang mengandung senyawa organik rendah (N-DEP) juga diketahui dapat
menstimulasi ekspresi IL-8, sehingga diduga DEP dapat menginduksi repson
inflamasi pada epitelium saluran udara melalui beberapa mekanisme.
Promotor gen IL-8 mengandung binding site untuk beberapa faktor
transkripsi termasuk NFκB dan AP-1, yang mana kedua faktor transkripsi tersebut
dapat teraktivasi karena adanya paparan PM (Pourazar et al., 2005). Terdapat
kemungkinan bahwa aktivasi transkripsi yang diperantarai oleh NFκB bertanggung
61
jawab terhadap ekspresi IL-8 yang diinduksi oleh N-DEP dan A-DEP. Mutasi
NFκB respon element pada promotor gen IL-8 (IL-8mNFκB) pada sel line sel epitel
manusia (BEAS-2B) menunjukkan respon sangat berbeda ketika terpapar dengan
N-DEP, sedangkan induksi A-DEP diketahui tidak mempengaruhi aktivitas
promotor ketika terjadi mutasi pada elemen respon NFκB. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ekspresi IL-8 membutuhkan NFκB ketika diinduksi dengan
N-DEP, sedangkan akan mengalami mekanisme NFκB-independent ketika
diinduksi dengan A-DEP. Sebuah studi menunjukkan bahwa mutasi pada elemen
respon AP-1 secara signifikan menurunkan aktivitas promotor IL-8 ketika terpapar
dengan A-DEP, sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas promotor IL-8 karena
induksi A-DEP adalah AP-1 dependent. Elemen respon NFκB pada promotor IL-8
terletak berdekatan dengan elemen pengenalan C/EBPβ dan diketahui saling
bekerja sama dalam meregulasi ekspresi IL-8. Diketahui bahwa mutasi elemen
respon C/EBPβ pada promotor IL-8 (IL-8mCEBPβ) dapat menghambat sebagian
aktivitas promotor yang dipapar dengan N-DEP (Tal et al., 2010)
62
BAB V
Radikal Bebas pada Sel Epitel Paru
Sel epitel saluran udara merupakan sel yang membentuk pertahanan pertama
terhadap polutan di udara. Pada tracheobroncial saluran udara, partikel-partikel
ditangkap oleh lapisan mukus, yang mana pergerakan silia berfungsi untuk
menghilangkan substansi yang tidak bisa dieliminasi oleh epitelium (Lehnert,
1993). Selain itu sel-sel fagosit juga mempunyai peran dalam proses pembuangan
partikel-partikel tersebut (Lehnert, 1990). Partikel pada saluran udara dapat
mengaktifkan sel-sel inflamasi untuk memproduksi senyawa oksigen reaktif dan
nitrogen reaktif (ROS / RNS) dengan konsentrasi tinggi, serta ikut berperan dalam
pembentukan senyawa reaktif lain secara langsung seperti senyawa superoksida
(O2•‾), hidroksil radikal (OH•), hidrogen peroksida (H2O2), nitrit oksida (NO•), dan
peroksinitrit (ONOO‾). Sebagai contoh, senyawa dengan reaktivitas tinggi seperti
hidroksil radikal yang dapat terbentuk melalui reaksi Fenton juga dapat diproduksi
karena inhalasi senyawa yang mengandung iron asbestos fiber yang juga dapat
menimbulkan terbentuknya ROS. Berikut ini adalah proses reaksi Fenton:
Fe(II) + H2O2 + H+ HO• + Fe(III) + H2O
Selain berperan sebagai pertahanan pertama terhadap partikel polutan dan
ROS/RNS, fungsi epitelium saluran udara adalah sebagai sebuah efektor dalam
respon terhadap stimulus gangguan. Respon fisiologis berhubungan dengan
epitelium antara lain yaitu peningkatan sekresi mukus, produksi mediator inflamasi,
perekrutan sel-sel inflamasi, dan pembentukan ROS/RNS (Cohn et al., 1997). Suatu
penelitian menunjukkan bahwa ROS/RNS bertindak sebagai molekul persinyalan
dalam respon epitelium saluran udara terhadap oksidan endogen atau sitokin
63
(Wright et al., 1996; Krunkosky et al., 1996). Sel-sel epitelium sendiri yang
merupakan sel yang pertama kali terpapar oleh partikel polutan dapat secara
langsung membentuk ROS/RNS. Sel-sel inflamasi seperti sel makrofag juga dapat
membentuk ROS/RNS dalam jumlah besar sebagai respon terhadap paparan
partikel (Becker et al., 1996). Selain itu makrofag juga dapat melepaskan sitokin
TNF-α sebagai respon terhadap paparan partikel atau fiber (Simeonova & Luster,
1995). TNF-α selanjutnya dapat menimbulkan berbagai respon yang berbeda di
dalam sel epitel tergantung pada pembentukan ROS/RNS intraseluler. Keberadaan
ROS/RNS di dalam sel menyebabkan terjadinya aktivasi sinyal transduksi yang
mengarahkan pada perubahan ekspresi seluler yang berhubungan dengan luka pada
sel epitel yang terjadi setelah terjadi paparan dengan polutan udara.
ROS/RNS dapat dibentuk dalam berbagai cara setelah inhalasi partikel
polutan, yaitu: (1) partikel polutan itu sendiri dapat merupakan partikel dengan
senyawa reaktif; (2) pembentukan ROS karena proses fagositosis partikel, yang
mana produksi ROS dapat dikatalisis oleh metal atau senyawa reaktif lain yang
menyusun partikel yang telah difagosit. Partikel polutan dan fiber juga dapat
menginduksi reaksi inflamasi kronis pada saluran udara yang dikarakterisasi oleh
adanya akumulasi sel makrofag alveolar (Lemaire & Ouellet, 1996; Arif et al.,
1993) dan sel neutrofil (Pritchard et al., 1996). Makrofag alveolar merupakan sel
pada paru-paru yang secara konstan terpapar partikel polusi udara. Ketika terjadi
kontak dengan partikel polutan lingkungan, makrofag alveolar akan menjadi aktif
dan memproduksi ROS dalam jumlah yang sangat besar (Huang et al., 2009).
Sebuah penelitian dengan menggunakan PM yang berasal dari hasil
pembakaran (diesel, gasolin, pembakaran kayu, asap rokok, dsb) menunjukkan
64
bahwa partikel mengandung radikal semiquinon yang stabil dengan konsentrasi
tinggi mempunyai kemampuan untuk membentuk ROS melalui siklus redoks
quinon. Siklus redoks senyawa semiquinon diduga merupakan mekanisme
toksikologi pada paru-paru karena DEP. Rokok tembakau mengandung senyawa
radikal semiquinon yang stabil (Pryor, 1992) diduga sebagai komponen paling
berbahaya (Squadrito et al., 2001). Radikal bebas pada PM dan metal transisi dapat
mengkatalisis pembentukan ROS yang selanjutnya menyebabkan peningkatan
kerusakan oksidatid san sitotoksisitas seluler (Balakrishna et al., 2009; Gehling et
al., 2013). PM diketahui dapat menstimulasi aktivasi NF-κB, upregulasi produksi
sitokin, serta menyebabkan sitotoksisitas pada sel epitel. Suatu penelitian
menunjukkan adanya peningkatan ekspresi protein dan mRNA IL-8 pada kultur sel
epitel bronchial manusia sebagai respon terhadap paparan PM dari Provo UT (~0.5-
1.3 μg/mm2) (Ghio et al., 1999; Kennedy et al., 1998).
Banyaknya jumlah H2O2 dapat terbentuk melalui aktivasi sel inflamasi
melalui mekanisme ledakan senyawa oksidatif. Meskipun hidrogen peroksida
adalah oksidan yang lemah, akan tetapi senyawa tersebut dapat dikonversi menjadi
hidroksil radikal yang sangat reaktif ketika terdapat metal transisi seperti ion besi
(Fe2+) dan kupro (Cu1+) (Konat, 2003). Mekanisme radikal non-hidroksil radikal
melibatkan reaksi antara iron dan oksigen sehingga membentuk feril atau perferil
radial (Schafer et al., 2000).
Berbagai unsur pokok organik dan anorganik dari partikel mempunyai
potensi untuk menginduksi pembentukan ROS, baik secara langsung melalui reaksi
kimia redoks atau melalui stimulasi sel untuk meningkatkan produksi ROS. Partikel
yang terinhalasi dan mengendap di dalam paru-paru bagian distal mempunyai
65
potensi untuk pembentukan ROS, tergantung pada area permukaan partikel dan
komposisi reaktif dari partikel. Beberapa transisi metal pada partikle dapat
berfungsi sebagai katalis untuk produksi ROS. ROS diproduksi oleh reaksi Fenton-
like atau dengan stimulasi ledakan oksidatif pada sel yang memfagosit partikel yang
mengandung metal. Sebagai contoh, residu partikel oil fly ash yang banyak terdapat
pada vanadium dapat menginduksi pembentukan oksidan pada sel makrofag
alveolar dan sel epitel (Kadiiska et al., 1997; Goldsmith et al., 1998; Hiura et al.,
1999). Diesel exhaust particle (DEP) dan LPS dari bakteri gram negatif juga
diketahui dapat menstimulasi pembentukan ROS pada sel makrofag alveolar.
Fagositosis DEP oleh sel makrofag alveolar menginduksi pembentukan senyawa
oksidan dengan cepat sehingga menyebabkan aktivasi jalur apoptosis (Hiura et al.,
1999). Selain itu, readikal semi-quinon yang berasal dari pembakaran DEP dapat
memerantarai siklus redoks yang mana akan mendukung produksi ROS (Squadrito
et al., 2001).
Gambar. Diagram representatif yang menunjukkan mekanisme pembentukan ROS
intraseluler karena paparan nanopartikel. Aktivitas katalitik dari
nanopartikel dapat berkontribusi secara langsung terhadap pembentukan
ROS (direct), atau melalui keseimbangan alami dalam pembentukan dan
degradasi ROS juga dapat mempengaruhi level ROS jika nanopartikel
berinteraksi dengan jalur persinyalan, metabolit, atau unsur sel yang lain.
66
ROS/RNS yang diproduksi baik oleh sel epitel saluran udara maupun sel
fagosit diduga berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam respon
biologis epitelium saluran udara terhadap paparan partikel udara. ROS dapat secara
langsung merusak jaringan melalui peroksidasi lipid seluler, kerusakan double-
strand DNA, serta oksidasi struktur dan fungsi protein (Hardy & Aust, 1995).
Berbagai proses tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
transport ion, kerusakan reseptor permukaan sel, kematian sel, atau transformasi sel
menjadi sel kanker (Wright et al., 1994).
Kerusakan biologis akan terus meningkat karena produksi ROS/RNS dapat
meningkatkan penyerapan lebih banyak partikel oleh epitelium. Sumber eksogen
ROS seperti asap rokok, ozon, dan hidrogen peroksida juga dapat meningkatkan
penyerapan partikel pada trakea. Proses penyerapan ini dapat dihalangi oleh
katalase (kecuali pada asap rokok yaitu oleh superoksida dismutase). Diduga ROS
dapat meningkatkan penyerapan partikel melalui efek langsung pada epitelium
tracheobroncial, seperti kerusakan sitoskeleton dan peroksidasi lipid membran
(Churg, 1996).
ROS/RNS juga dapat berfungsi sebagai efektor persinyalan intraseluler di
dalam epitelium saluran udara (Rochelle et al., 1996). ROS/RNS diduga dapat
secara langsung berfungsi sebagai molekul persinyalan. Sebagai contoh, nitrit
oksida dapat berfungsi sebagai molekul persinyalan melalui aktivasi guanilil siklase
terlarut (Schmidt et al., 1993) atau nitrosilasi langsung protein regulator transkripsi
(Simom et al., 1996). Selain itu ROS/RNS juga dapat bertindak secara tidak
langsung dalam suatu sinyal transduksi, contohnya yaitu beberapa oksidan
ekstraseluler dapat meningkatkan oksidan intraseluler yang mana ROS/RNS akan
67
bereaksi dengan senyawa radikal intraseluler dan menggeser keseimbangan
biokimia dan merubah status redoks sel. Perubahan keadaan redoks dapat
berpengaruh terhadap aktivasi faktor transkripsi yang sensitif terhadap keberadaan
oksidan di dalam sel (Meyer et al., 1994). Diketahui bahwa perubahan status redoks
pada sel paru-paru dapat menstimulasi aktivasi faktor transkripsi NFκB.
Kemungkinan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya luka
karena paparan polutan udara diduga terjadi karena aktivasi faktor transkripsi oleh
ROS/RNS baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan
perubahan ekspresi gen di dalam sel.
Pembentukan ROS karena paparan partikel merupakan sinyal untuk
mengaktifkan persinyalan intraseluler, termasuk reseptor tirosin kinase, mitogen-
activated protein (MAP) kinase serta faktor transkripsi. Persinyalan tersebut dapat
memerantarai aktivasi transkripsi dan ekspresi berbagai gen yang terlibat dalam
proses inflamasi. Peningkatan pembentukan senyawa oksigen reaktif seperti
superoksida anion (O2‾ ) dan hidrogen peroksida (H2O2) diketahui berhubungan
dengan inflamasi karena luka pada jaringan (Rosen et al., 1995). Selain ROS,
senyawa nitrogen reaktif (RNS) juga diproduksi oleh sel-sel paru ketika terpapar
oleh suatu partikel. Nitrit oksida (NO) yang dilepaskan oleh sel-sel inflamasi
bereaksi dengan O2‾ untuk membentuk peroksinitrit (ONOO‾ ) (Pryor et al., 1995).
ONOO‾ dapat menyebabkan nitrasi residu tirosin pada protein sehingga dapat
memodifikasi fungsi protein. Nitrasi protein diketahui terdapat pada jaringan paru-
paru ketika terjadi paparan dengan partikel dan fiber (Rosen et al., 1995; Zhu et al.,
1998). Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa pembentukan ONOO‾ yang diikuti
68
oleh nitrasi residu tirosin dan disfungsi protein turut berperan dalam progresi
penyakit pada paru-paru yang diinduksi oleh paparan partikel.
Senyawa H2O2 endogen dapat bereaksi dengan unsur pokok partikel sehingga
mempengaruhi respon sitotoksik sel. Partikel yang mempunyai unsur metal seperti
vanadium dapat bereaksi dengan H2O2 sel sehingga membentuk peroksovanadat
yang merupakan inhibitor protein tirosin fosfatase (PTP). Penghambatan PTP oleh
peroksovanadat bersifat irreversibel dan menyebabkan perpanjangan aktivasi MAP
kinase dan stres seluler (Ingram et al., 2003), sehingga diduga bahwa vanadium
dapat menyebabkan perpanjangan fosforilasi molekul persinyalan intraseluler dan
menyebabkan terjadinya stres seluler yang mempengaruhi ekspresi gen dan
apoptosis.
69
Gambar. Diagram representatif 3 tipe partikel, yaitu: diesel exhaust particle (DEP), urban
air particles (UAP), dan partikel residual oil fly ash (ROFA). Partikel LPS dan
metal (vanadium dan zinc) dari UAP dapat mengaktivasi reseptor TLR4 dan
EGFR (Bonner, 2007).
Partikel dapat menstimulasi sel paru-paru untuk melepaskan mediator
inflamasi dengan mengaktivasi jalur persinyalan intraseluler yang mengarahkan
pada peningkatan atau penurunan ekspresi gen. Reaktivitas partikel merupakan
salah satu faktor pembentukan ROS, yang mana akan mengaktifkan reseptor tirosin
kinase, MAP kinase dan faktor transkripsi seperti NF-κB dan STAT-1. Epidermal
growth factor receptor (EGFR) merupakan target utama induksi aktivasi seluler
oleh partikel (Bonner et al., 2002). ROS dapat menghambat protein tirosin fosfatase
(PTP) yang berhubungan dengan domain intraseluler EGFR. Inaktivasi PTP
menyebabkan fosforilasi EGFR dan selanjutnya akan mengaktivasi jalur
persinyalan MAPK. Vanadium mampu untuk membentuk H2O2 dan membentuk
peroksovanadat, yang mana strukturnya mirip dengan molekul fosfat dan bertindak
sebagai PTP inhibitor (Samet et al., 1997). Melalui penghambatan PTP, vanadium
dapat mengaktivasi EGFR melalui mekanisme ligand-independent. Selain itu,
metal juga dapat menyebabkan pelepasan ligan EGFR untuk berikatan dan
mengaktifkan EGFR melalui mekanisme ligand-dependent (ikatan ligan-reseptor)
(Bonner, 2007).
Aktivasi EGFR oleh partikel menyebabkan terjadinya aktivasi persinyalan
kaskade downstream, salah satunya adalah jalur persinyalan MAP kinase. MAPK
merupakan protein persinyalan intraseluler yang sangat penting dan berperan dalam
berbagai fungsi fisiologis sel, seperti pertumbuhan, perkembangan, dan diferensiasi
sel (Davis, 1995). Terdapat tiga kelas utama MAP kinase, yaitu: extracellular
70
signal-regulated kinase (ERK), c-Jun-N-terminal kinase (JNK), dan p38 MAP
kinase, yang mana semuanya dapat diaktifkan oleh stres seluler karena induksi
partikel. Ko-aktivasi MAP kinase diduga dibutuhkan untuk peningkatan produksi
faktor pertumbuhan yang diinduksi oleh paparan partikel pada sel-sel paru. Sebagai
contoh, ko-aktivasi ERK dan p38 MAP kinase diketahui dibutuhkan untuk stimulasi
HB-EGF yang diinduksi oleh vanadium pada sel epitel bronchial pada manusia dan
sel fibroblast paru-paru pada manusia (Zhang et al., 2001; Ingram et al., 2003).
Faktor transkripsi dapat diaktivasi oleh partikel melalui ROS, metal, atau
LPS. Vanadium merupakan aktivator kuat untuk NF-κB dan STAT-1 yang mana
merupakan mediator untuk produksi berbagai sitokin proinflamasi dan protein
untuk induksi apoptosis (Wang et al., 2003). Paparan DEP atau PM10 pada sel
epitel saluran udara diketahui dapat meningkatkan ikatan antara NF-κB dengan
DNA. Selain itu, vanadium diketahui dapat mengaktivasi NF-κB pada sel epitel
saluran udara melalui aktivasi EGFR dan p38 MAP kinase yang diinduksi oleh
peroksida (Jaspers et al., 2000; Wu et al., 2002). LPS yang terdapat pada beberapa
partikel seperti UAP juga diketahui dapat mengaktivasi TLR4 untuk mengaktifkan
faktor transkripsi NF-κB (Bowie & O’Neill, 2000; Soukup & Becker, 2001).
Komponen biologi di dalam PM juga dapat secara langsung menginduksi
terjadinya inflamasi melalui ikatannya dengan TLR2 atau TLR4 atau reseptor
sistem imun inat lainnya (Becker et al., 2005). Diduga bahwa komponen lain dari
PM yang kaya akan metal juga dapat mengaktivasi jalur inflamasi melalui aktivasi
TLR secara langsung atau melalui oksidasi komponen biologi endogen yang
selanjutnya bertindak sebagai ligan dari TLR (Cho et al., 2005). Terdapat beberapa
bukti bahwa PM dapat mengaktivasi persinyalan inflamasi MAPK melalui reseptor
71
angiotensin II dependent-pathway. Respon inflamasi tersebut juga dapat
memperburuk stres oksidatif melalui upregulasi NADPH oksidase seluler yang
selanjutnya menginisiasi siklus feedback positif (Li et al., 2005).
Gambar. Respon epitelium saluran udara ketika terjadi paparan dengan partikel
polutan (Martin et al., 1997).
Selama proses fagositosis partikel polutan, sel makrofag akan memproduksi
beberapa mediator yang terlibat dalam respon inflamasi dan fibrosis pada saluran
udara, salah satunya adalah TNF-α yang mempunyai peran penting dalam
memerantarai respon sel karna adanya paparan partikel polutan. Contohnya yaitu
ketika sel line makrofag dipapar dengan silika, sel-sel tersebut akan melepaskan
TNF-α dalam jumlah yang lebih banyak (Driscoll et al., 1990; Zhang et al., 1993).
Hubungan saling mempengaruhi antara ROS/RNS dengan TNF-α pada saluran
udara sangat kompleks. TNF-α dapat menyebabkan pelepasan senyawa oksigen
radikal oleh sel makrofag yang teraktivasi, sedangkan paparan stres radikal bebas
pada sel makrofag juga akan menyebabkan pelepasan TNF-α oleh sel makrofag
(Chaudri & Clark, 1989).
72
TNF-α diduga memerantarai respon terhadap adanya paparan partikel asing
pada saluran udara melalui mekanisme yang tergantung pada pembentukan
ROS/RNS intraseluler. Peningkatan level oksidan seluler dapat mengubah glutation
seluler menjadi bentuk teroksidasinya. Paparan TNF-α endogen pada sel epitel
alveolar tipe II (A549) menyebabkan penurunan level glutation seluler secara
signifikan, yang mana kondisi tersebut berhubungan dengan peningkatan level
glutation teroksidasi (Rahman et al., 1995). Hal tersebut menimbulkan dugaan
bahwa TNF-α dapat menyebabkan pembentukan ROS intraseluler. Mekanisme
pembentukan ROS baik secara langsung maupun tidak langsung oleh sel epitelium
dan sel fagositik selanjutnya akan menyebabkan timbulnya berbagai respon seluler
yang berbeda.
Pelepasan TNF-α oleh sel makrofag alveolar teraktivasi setelah inhalasi
partikel asing mempunyai efek ganda pada saluran udara meliputi: perubahan
permeabilitas epitel, hipersekresi mucin, peningkatan eskpresi intercellular
adhesion molecule 1 (ICAM-1), serta peningkatan produksi IL-6, IL-8, dan GM-
CSF. ICAM-1 merupakan molekul adhesi seluler yang bertanggung jawab terhadap
proses adhesi, diapedesis, dan migrasi interstitial sel-sel inflamasi (Korthuis et al.,
1994). Hiperresponsivitas saluran udara seperti yang terjadi pada penderita asma
diketahui berhubungan dengan peningkatan ekspresi ICAM-1 (Gundel et al., 1993).
Studi baik secara in vivo maupun in vitro menunjukkan bahwa ekspresi ICAM-1
dapat mengalami peningkatan karena induksi dari TNF-α, IL-1, dan IFN-γ (Lasalle
et al., 1993).
Beberapa studi menunjukkan bahwa ROS yang dibentuk oleh NADPH
oksidase atau pattern-recognition receptor diduga memodulasi beberapa respon
73
yang terjadi (Dostert et al., 2008). Tikus knockout NADPH-oksidase setelah dipapar
dengan PM menunjukkan rendahnya ekspresi IL-6 dan macrophage inflammatory
protein-2 dibandingkan dengan tikus kontrol (Becher et al., 2007). Paparan
terhadap PM2.5 pada tikus model yang diinduksi obesitas selama 24 minggu
menunjukkan terjadinya peningkatan ekspresi TNFα dan IL-6. Selain itu juga
terjadi peningkatan adipokin (resistin dan plasminogen activator inhibitor-1) pada
sistem sirkulasi (Sun et al., 2009). Peningkatan sitokin melalui sumber adiposa
meningkatkan kemungkinan sumber non-pulmonari sistemik dari beberapa sitokin
yang terlibat dalam proses inflamasi (Brook et al., 2010).
Mekanisme molekuler yang bertanggung jawab dalam induksi stres
oksidatif paru-paru dan inflamasi, serta hubungannya dengan interaksi antara paru-
paru dan sel imun, PM yang terinhalasi, dan sekresi senyawa protektif (surfaktan,
protein, dan antiokasidan) sangatlah komplek (Simkhovich et al., 2008). Ukuran,
muatan, solubilitas, agregasi, serta struktur kimia berperan penting dalam
menentukan respon yang akan terjadi. Karena mempunyai ukuran yang sangat
kecil, UFP dapat secara langsung masuk ke dalam sel paru-paru melalui jalur non-
fagositik dan selanjutnya mempengaruhi organel sel, salah satunya adalah
mitokondria. Partikel dengan ukuran lebih besar yang tidak ter-opsonisasi sebagian
besar dicerna oleh fagosit melalui interaksinya dengan reseptor sistem imun inta
seperti MARCO (macrophage receptor with collagenous structure) dan reseptor
scavenger lainnya (Muhlfeld et al., 2008).
Beberapa komponen partikel tertentu dapat secara langsung membentuk ROS
secara in vivo karena komponen kimia permukaannya (Moller et al., 2010). Partikel
permukaan diduga dapat merusak homeostasis besi pada paru-paru sehingga juga
74
dapat membentuk ROS melalui reaksi Fenton (Ghio & Cohen, 2005). Komponen
PM yang lain juga menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ROS secara tidak
langsung melalui upregulasi sumber seluler endogen seperti nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate [NADPH] oksidase (Becher et al., 2007; Li et al., 2006)
atau dengan mengganggu fungsi organel sel melalui komponen PM (Nel et al.,
2006).
Adanya stres oksidatif dapat menyebabkan teraktivasinya antioksidan dan
pertahanan fase II (seperti iNOS, glutation) melalui faktor transkripsi Nrf2-
dependent pathway (Nel et al., 2006). Ketika tidak mencukupi, stres oksidatif
patologis dapat menginisiasi berbagai respon inflamasi pada paru-paru. Sebagai
contoh, ROS pada paru-paru diketahui dapat memperbanyak sinyal transduksi dari
membran lipid atau pattern recognition receptor, seperti toll-like receptor [TLR]
(Rundell et al., 2007; Dales et al., 2007; Brauner et al., 2008) dan atau dengan
menstimulasi pathway intraseluler sehingga mengarahkan pada aktivasi faktor
transkripsi NFκB yang selanjutnya menyebabkan terjadinya peningkatan ekspresi
berbagai sitokin dan kemokin proinflamasi (Nel et al., 2006).
Meskipun mekanisme pasti tentang bagaimana partikel dapat menyebabkan
kerusakan kronis dan akut pada paru-paru masih belum jelas diketahui, akan tetapi
diduga mekanisme awal yang terjadi adalah PM yang terinhalasi dapat
menyebabkan kerusakan oksidatif pada jaringan paru-paru melalui pembentukan
ROS (Dreher et al., 1996; Ghio et al., 1992). Sebuah penelitian dengan metal dan
kompleks metal yang terdapat pada permukaan PM diketahui dapat menyebabkan
luka akut pada paru-paru (terutama disebabkan karena kerusakan oksidatif dan
oksidasi enzim). Selain itu, besi (Fe) yang dilepaskan oleh PM mempunyai peran
75
katalitik dalam pembentukan senyawa oksigen reaktif, terutama senyawa hidroksil
radikal (HO•) yang dapat menyebabkan kerusakan molekul-molekul biologis pada
sel (Valavanidis et al., 2005; Ghio et al., 2012). Pembentukan ROS, RNS dan
oksidan yang lain seperti ozon dan nitrogen oksida (NOx) diduga mempunyai peran
penting dalam proses kerusakan paru-paru. Stres oksidatif diketahui dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi dan selanjutnya menginisiasi mekanisme
karsinogenesis (Sagai et al., 2000; Squadrito et al., 2001; Vlahogianni et al., 2013).
Inflamasi pada Sel Epitel Paru
Inhalasi partikel toksin dari lingkungan merupakan masalah kesehatan
publik diseluruh dunia. Terdapat banyak sumber dari particulate matter (PM)
terlarut meliputi emisi industri, bencana alam, kendaraan bermotor dan lain
sebagainya (Chapman et al., 2005; Hnizdo et al., 2004). Polusi udara di wilayah
kota berasal dari sumber yang berbeda-beda, yang mana produk pembakaran bahan
bakar minyak merupakan sumber yang paling utama. Polusi udara dapat
diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, komposisi kimia, ukuran, jenis (gas atau
partikel) dan tempatnya (indoor atau outdoor) (Bernstein et al., 2004).
Particulate matter (PM) berdasarkan sifat aerodinamiknya diklasifikasikan
menjadi PM10 (partikel kasar, median diameter aerodinamik 2.5 – 10 μm), PM2.5
(partikel halus, median diameter aerodinamik < 2.5 μm), dan ultrafine particle
(UFP) (median diameter aerodinamik < 0.1 μm). Partikel PM10 sebagian besar
berasal dari abrasi tanah, debu jalanan, reruntuhan bangunan, produk pembakaran
minyak dengan bioaerosol seperti fungi, bakteri, endotoksin, dan polen, sedangkan
PM2.5 dan UFP sebagian besar berasal dari emisi langsung proses pembakaran
76
kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil, pembakaran kayu, dan
pembakaran batubara (Bernstein et al., 2004). Beberapa studi menunjukkan bahwa
PM2.5 dan UFP mempunyai hubungan yang paling kuat dengan berbagai efek
kardiovaskuler (Stolzel et al., 2007; Franck et al., 2011), yang mana partikel ini
dapat menginduksi respon sistemik secara langsung (Nemmar et al., 2002).
Ketika makrofag alveolar terpapar dengan partikel polutan, sel tersebut akan
teraktivasi, memproduksi sitokin proinflamasi dan selanjutnya akan mengalami
apoptosis. Kemampuan dalam menginduksi apoptosis dan inflamasi berbeda-beda
tergantung ukuran dan konsentrasi partikel (Huang et al., 2004). Studi secara in
vitro menunjukkan bahwa makrofag dapat mengenali ukuran dan bentuk patogen
targetnya (Doshi & Mitragotri, 2010) sehingga respon sel makrofag dalam melawan
partikel dengan ukuran yang berbeda-beda juga akan beragam. Suatu studi secara
in vitro untuk membandingkan efek antara partikel kasar dan halus dari PM10
terhadap efek proinflamasi yang ditimbulkan menunjukkan bahwa paparan partikel
kasar PM10 menginduksi adanya efek proinflamasi yang lebih kuat dibandingkan
dengan paparan partikel PM halus (Huang et al., 2002; Monn & Becker, 1999).
Selain ukuran dan konsentrasi PM, komposisi partikel juga diketahui dapat
mempengaruhi toksisitas PM. Toksisitas PM diduga ditentukan oleh konten metal,
komponen organik, atau komponen biologi dari PM tersebut. Schin et al (2004)
menunjukkan bahwa PM kasar akan menginduksi respon inflamasi yang lebih kuat
dibandingkan dengan PM halus, sehingga diduga bahwa pada partikel yang lebih
besar toksisitasnya lebih ditentukan oleh komponen biologi-nya, seperti endotoksin
dan kandungan metal-nya (Schins et al., 2004). Pada suatu penelitian yang lain,
diketahui tidak ditemukan adanya hubungan antara kerusakan paru-paru dengan
77
konsentrasi dan komponen elemen partikel dari lingkungan seperti sulfat (S), zinc
(Zn), mangan (Mn), besi (Fe), dan tembaga (Cu) (Kodavanti et al., 2000). Diesel
exhaust particle (DEP) tanpa unsur pokok organiknya juga tidak akan mampu untuk
menginduksi apoptosis atau membentuk senyawa oksigen radikal pada sel
makrofag secara in vitro (Hiura et al., 1999). Diesel exhaust particle merupakan
komponen utama polutan PM10 di wilayah perkotaan, yang mana menyusun 40%
dari total level PM10 (Diaz-Sanchez, 1997).
Gambar. Mekanisme molekuler dan seluler selama terjadi respon inflamasi karena
paparan PM pada epitelium saluran udara (Baeza-Squiban et al., 1999)
Fraksi partikel polutan yang dapat terlarut oleh air dan metal terlarut seperti
vanadium (V), nikel (Ni), dan Fe tidak mampu menginduksi apoptosis pada sel
makrofag alveolar manusia (Huang et al., 2004), akan tetapi vanadium (V), bromina
(Br), timah (Pb) dan karbon organik mempunyai hubungan yang kuat dengan
inflamasi pada paru-paru (Soukup et al., 2000). Selain itu diketahui juga bahwa
partikel batu dengan komposisi yang beragam (mimylonite, gabbro, feldspar,
78
basalt, dan quartz) menginduksi respon sitokin yang berbeda pada sel makrofag
alveolar tikus (Refsnes et al., 2006).
Studi epidemologi menunjukkan bahwa paparan polusi udara berkorelasi
positif dengan kejadian pneumonia, asma, dan COPD (Atkinson et al., 2001). Dari
semua jenis polutan, partikel yang dapat terinhalasi (PM10) menunjukkan hubungan
paling kuat efek kesehatan pernafasan yang merugikan (Schwartz, 1995). Selain
itu, beberapa studi populasi mengindikasikan adanya hubungan antara paparan PM
dengan morbiditas dan mortalitas pada kejadian kardiovaskuler (Brook et al., 2010;
Eftim et al., 2008; Miller et al., 2007). Terdapat dugaan bahwa paparan polusi udara
dapat menginduksi respon inflamasi sistemik, yang mana dugaan ini didukung oleh
suatu studi yang menunjukkan adanya hubungan positif antara paparan PM jangka
panjang dengan marker inflamasi (Brook et al., 2008).
Inhalasi partikel polusi udara menginduksi respon inflamasi lokal pada
paru-paru yang diinisiasi oleh makrofag alveolar (AM) dan sel epitel saluran udara.
Makrofag beberapa kali lipat lebih potensial dalam memproduksi mediator
proinflamasi yang berkontribusi dalam respon inflamasi lokal pada paru-paru, serta
berkontribusi dalam respon inflamasi sistemik (Hogg & van Eeden, 2009). Respon
inflamasi sistemik dikaraktersisasi dengan adanya mobilisasi sel-sel inflamasi dari
sum-sum tulang ke dalam sistem sirkulasi, yang kemudian diikuti dengan
aktivasinya, serta produksi protein fase akut oleh liver, dan peningkatan mediator
inflamasi tersirkulasi (van Eeden et al., 2001). Peningkatan mediator proinflamasi
dalam sistem sirkulasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
jantung dan vaskuler. Berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan sitokin
inflamasi seperti IL-6, IL-1β, TNFα, IFN-ɣ, dan IL-8 pada cairan bronchial dan
79
pada darah setelah terjadi paparan dengan berbagai jenis polutan (Becher et al.,
2007; Shukla et al., 2000).
Makrofag merupakan populasi sel heterogen dengan plastisitas fenotip yang
signifikan (Gordon & Taylor, 2005). Polarisasi M1 pada makrofag disebut juga
sebagai program aktivasi klasik yang diinduksi oleh sinyal yang terbentuk ketika
terjadi respon imun yang diperantarai oleh sel Th1 seperti IFN-γ karena adanya
paparan komponen patogen. Respon polarisasi M1 dikarakterisasi dengan adanya
upregulasi gen-gen yang terkait dengan inflamasi dan imunitas yang diperantarai
oleh sel. Sebaliknya, polarisasi M2 pada makrofag diinduksi karena adanya paparan
terhadap sitokin sel Th2 seperti IL-4 dan IL-13 (disebut juga sebagai aktivasi
alternatif) atau sinyal imunoregulator seperti IL-10 (disebut juga sebagai
deaktivasi) yang ditandai dengan induksi ekspresi reseptor dengan fungsi
scavenging, sitokin anti-inflamasi dan molekul yang menyebabkan remodeling
jaringan (Gordon, 2003; Mantovani et al., 2004).
Gambar. Efek paparan PM terhadap fenotip makrofag alveolar (Hiraiwa & van eeden SF,
2013).
80
Makrofag alveolar dan sel epitel membentuk pertahanan pertama ketika
tubuh menginhalasi PM, serta merupakan sel yang penting untuk interaksi awal
antara partikel dan paru-paru. Keberhasilan proses pembersihan partikel asing yang
masuk ke dalam paru-paru membutuhkan makrofag untuk memfagosit partikel,
sehingga meminimalisasi partikel berinteraksi dengan epitelium. Pada kondisi ini,
sel makrofag akan melepaskan mediator inflamasi dalam jumlah sedikit yang
selanjutnya bermigrasi menuju mukosiliata dan meninggalkan paru-paru dengan
partikel yang sudah difagositnya. Gangguan pada proses ini dapat menyebabkan
terjadinya interstisialisasi, yaitu ketika ketika partikel interstisial tidak dapat
dibersihkan dengan cara normal sehingga partikel di interstisium dapat ditransfer
menuju lymph node atau menstimulasi sel imun lain (Donaldson et al., 1997).
Gambar . Pembersihan partikel melalui jalur normal (kiri) dan partikel yang
memasuki kompartemen interstisial paru-paru (Donaldson et al., 1998)
Ketika sel makrofag alveolar memfagositosis PM, pada proses tersebut sel
makrofag akan melepaskan sitokin respon awal (Murphy et al., 2008). Sitokin-
sitokin tersebut selanjutnya akan menstimulasi sel saluran udara lain dan sel epitel
81
alveolar untuk memproduksi berbagai sitokin yang dibutuhkan untuk merekrut sel-
sel lain, seperti leukosit polimorfonuklear yang berfungsi untuk memproses dan
membersihkan material asing. Sel epitel saluran udara dan sel epitel alveolar pada
manusia juga mampu untuk mengendositosis PM (Fujii et al., 2002), yang mana
pada prosesnya sel-sel tersebut akan memproduksi berbagai mediator meliputi:
GM-CSF, IL-1β, IL-8 dan leukimia inhibitory factor (LIF) (Fujii et al., 2001).
Suatu studi secara in vitro dengan metode ko-kultur antara sel epitel
bronchial dan sel makrofag alveolar menunjukkan adanya produksi yang sinergis
dari berbagai mediator seperti IL-1β, IL-6 dan GM-CSF (Fujii et al., 2002).
Peningkatan produksi IL-1β diperantarai oleh domain nucleotide-binding (Fujii et
al., 2001) dan inflammasom lucine-rich repeat protein 3 (NLRP3) (Hirota et al.,
2012) yang menyebarkan respon inflamasi lokal melalui interaksinya dengan sel
dendritik di dalam atau di dekat epitelium, yang selanjutnya akan menginisiasi dan
memelihara respon imun adaptif (von Garnier et al., 2005).
Sel makrofag alveolar juga merupakan salah satu antigen presenting cell
(APC). Setelah fagositosis dan internalisasi PM, komponen organik PM akan
dicerna oleh endosom menjadi fragmen-fragmen peptida yang selanjutnya
berkombinasi dengan komplek MHC kelas II untuk dipresentasikan pada sel T
CD4+, yang merupakan langkah awal dalm imunitas cell-mediated dan adaptif.
Pada subjek sehat, ekspresi MHC pada makrofag alveolar mengalami peningkatan
ketika terjadi paparan dengan PM. Pretreatmen dengan menggunakan PM yang
telah dipanaskan untuk mendegradasi komponen organik meniadakan overekspresi
MHC kelas II, sehingga diduga bahwa komponen organik PM bertanggung jawab
terhadap upregulasi MHC kelas II (Alexis et al., 2006).
82
Mediator seperti GM-CSF, IL-1β dan IL-6 yang diproduksi oleh makrofag
paru-paru ketika terpapar dengan PM dari lingkungan mempunyai kemampuan
untuk mendatangkan respon inflamasi sistemik yang dikarakterisasi dengan
peningkatan leukosit, platelet, protein proinflamasi dan prothrombin pada sistem
sirkulasi. Mediator tersebut juga dapat mengaktivasi leukosit tersirkulasi dan
endotelium vaskuler untuk meningkatkan adhesi dan migrasi leukosit-endotelial,
yang mana hal tersebut berkontribusi dalam aktivasi dan instabilitas plak
atherosklerosis (Hiraiwa & van Eeden, 2013).
Beberapa studi terakhir melaporkan adanya hubungan positif antara paparan
PM jangka pendek (yang dilakukan dengan peningkatan konsentrasi dari hari per
hari) dengan ekspresi marker inflamasi. Selain itu juga ditemukan adanya
peningkatan molekul adhesi yang terlarut dalam sistem sirkulasi seperti adhesion
moleculer-1 interseluler pada seseorang dengan diabetes (O’Neill et al., 2007) dan
penyakit jantung koroner (Ruckerl et al., 2006).
Peran utama makrofag alveolar adalah untuk menjaga agar udara yang
diinhalasi menjadi bersih dengan menghilangkan semua material asing melalui
proses fagositosis. Studi baik secara in vivo maupun in vitro menunjukkan bahwa
makrofag alveolar yang dipapar dengan PM mampu untuk memfagosit partikel-
partikel tersebut (van Eeden et al., 2001; Mukae et al., 2000). Toll-like receptor
(TLR) merupakan reseptor yang secara langsung mengenali molekul dari mikroba.
Reseptor tersebut penting untuk menginisiasi respon imun innat ketika berinteraksi
dengan PM, serta berperan dalam meneruskan dan meregulasi respon imun adaptif.
PM dari lingkungan mengandung material mikroba dalam jumlah kecil seperti
lipopolisakarida (LPS) / endotoksin (Soukup & Becker, 2001; Bovallius et al.,
83
1978), beta-glukan, bakteria, dan spora fungi (Bauer et al., 2002) yang mana TLR
diketahui dapat memproses material-material tersebut.
Berdasarkan semua jenis reseptor TLR yang telah diidentifikasi pada
manusia, TLR4 dan TLR2 diduga merupakan reseptor utama yang mengikat PM
(Becker et al., 2002). TLR4 menginisiasi persinyalan kaskade sebagai respon
terhadap LPS yang terdapat pada membran luar bakteri gram negatif, sedangkan
TLR2 menginisiasi sinyal kaskade sebagai respon terhadap zymosan (β-glukan)
dan peptidoglikan pada bakteri gram positif. Selain itu, mikroorganisme yang
melekat pada PM dapat diopsonisasi oleh opsonin spesifik seperti imunoglobulin
reseptor Fc dan reseptor komplemen-3 sehingga memungkinkan makrofag alveolar
untuk memfagosit partikel melalui opsonin-dependent pathway (Groves et al.,
2008).
Sebuah studi dengan menggunakan kultur sel makrofag manusia
menunjukkan bahwa secara in vitro sel makrofag alveolar yang dipapar dengan PM
akan menyebabkan sel makrofag memfagosit partikel tersebut (van Eeden et al.,
2001; Fujii et al., 2002), sedangkan secara ex vivo sel tersebut akan
mengekspresikan TNF-α ketika dipapar dengan PM (Mukae et al., 2000). Selain
itu, sel makrofag alveolar juga dapat memproduksi mediator proinflamasi meliputi
mediator respon akut termasuk IL-1β dan IL-6, serta mediator sekunder seperti IL-
8 dan GM-CSF (Hogg & van Eeden, 2009; van Eeden et al., 2001). Sebaliknya,
produksi mediator anti-inflamasi seperti IL-10 akan dihambat (Yin et al., 2004),
sehingga diduga bahwa respon inflamasi yang diinduksi oleh PM adalah cenderung
kepada kondisi proinflamasi.
84
Profil inflamasi sel epitel paru-paru berdasarkan mediator yang diproduksi
ketika terpapar dengan PM berbeda dengan sel makrofag alveolar. Sel makrofag
alveolar lebih potensial dalam memproduksi mediator respon akut seperti IL-1β,
IL-6, dan TNF-α dibandingkan dengan sel epitel paru ketika dipapar dengan PM
pada dosis yang sama, sehingga diduga bahwa sel makrofag alveolar merupakan
sumber utama respon proinflamasi pada paru-paru ketika terpapar dengan PM (van
Eeden & Hogg, 2002). Suatu penelitian lain dengan menggunakan sel makrofag
alveolar manusia yang diinkubasi secara ex vivo dengan PM ke dalam paru-paru
kelinci menunjukkan adanya respon sistemik yang hampir sama ketika PM
dimasukkan secara langsung ke dalam paru-paru (Terashima et al., 1997; Mukae et
al., 2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa sel makrofag alveolar berkontribusi
secara langsung terhadap respon inflamasi sistemik karena adanya paparan PM.
Peran penting dari peningkatan IL-6 dan TNF-α pada level sistemik dan paru-
paru telah diperiksa setelah paparan PM, yang mana hampir semuanya terkait
dengan adanya inflamasi pada paru-paru. (Tornqvist et al., 2007; Tamagawa et al.,
2008). Tingkat inflamasi pada paru-paru dan inflamasi sistemik berhubungan
dengan peningkatan sitokin sistemik dan disfungsi vaskuler sistemik (Tamagawa et
al., 2008).
85
Gambar. Diagram yang menggambarkan efek berbahaya partikel polusi udara (Li et al.,
1997).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Mutlu et al., (2007) menunjukkan
bahwa intra-trakea akut yang terjadi karena paparan PM10 disebabkan karena
adanya peningkatan IL-6, TNF-α dan IFN-ɣ pada cairan bronchial-nya. Akan tetapi
pada penelitian tersebut tikus IL-6-/- menunjukkan level TNFα yang sama dengan
tikus wild type, meskipun level IFN-ɣ lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.
Hasil tersebut menimbulkan dugaan bahwa makrofag pada paru-paru mempunyai
peran yang penting, karena hilangnya sel-sel tersebut meniadakan peningkatan
beberapa sitokin dan respon kardiovaskuler sistemik. Meskipun sumber IL-6 dan
TNF-α serta keterlibatannya dalam respon inflamasi sistemik setelah paparan PM
86
masih belum diketahui secara sempurna, penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa makrofag alveolar mempunyai peran yang sangat dominan
setelah terjadi paparan dengan PM10 (van eeden et al., 2001; Tamagawa et al.,
2008).
Induksi efek inflamasi pada jalur pernafasan tidak hanya bisa diinduksi oleh
PM, tetapi juga dapat disebabkan oleh polutan dalam bentuk gas seperti ozon
(DeLorme et al., 2002; Wagner et al., 2003). Paparan ozon dapat menginduksi
pelepasan sitokin dan fibronektin oleh sel makrofag alveolar (Devlin et al., 1994),
peningkatan perekrutan makrofag alveolar ke dalam saluran udara (Arjomandi et
al., 2005), serta dapat pula meningkatkan respon eosinofil pada saluran udara
(Vagaggini et al., 2002). Nitrogen dioksida (NO2) merupakan prekursor untuk
fotokimia asap, dan efek utamanya pada kesehatan adalah sebagai polutan outdoor
melalui pembentukan ozon. Beberapa studi epidemologi yang dilakukan di seluruh
dunia memberikan informasi tentang adanya hubungan antara paparan sulfur
dioksida (SO2), NO2, dan karbon monoksida (CO) dengan peningkatan angka
kematian kardiopulmonari (Koken et al., 2003; Tsai et al., 2003). NO2 dapat
menghambat makrofag alveolar untuk menjalankan peran imunosupresi-nya
(Koike et al., 2001). Fagositosis oleh makrofag alveolar mengalami penurunan
secara signifikan ketika sel dipapar dengan partikel karbon halus dan SO2 (Jakob et
al., 1996).
87
BAB VI
Aktivitas Antioksidan pada Sel Epitel Paru
Epitelium saluran udara secara terus menerus terpapar dengan senyawa-
senyawa dari lingkungan yang banyak mengandung oksidan. Paparan stres
oksidatif pada sel paru-paru akan diikuti dengan peningkatan level intraseluler
berbagai antioksidan meliputi manganese superoxide dismutase (MnSOD), copper-
zinc superoxide dismutase (CuSOD), katalase, dan gluthatione peroksidase (GP)
(Biadasz & Massaro, 1997). Di dalam sel, MnSOD terkonsentrasi di dalam
mitokondria, CuSOD dan GP sebagian besar berada di sitoplasma dan nukleus,
sedangkan katalase sebagian besar ditemukan di peroksisom. Peningkatan ekspresi
dari berbagai antioksidan ini dapat melindungi sel dari kerusakan oksidatif
(Oashiba & Nagai, 2003).
Asap rokok (Ebert & Terracio, 1975) dan senyawa lain yang terhirup seperti
ozon dan NO2 (Halliwell & Gutteridge, 1989), serta aktivasi sel-sel inflamasi dapat
meningkatkan jumlah oksidan pada sel epitel saluran udara. Senyawa oksigen
reaktif (reactive oxygen species – ROS) merupakan inisiator kerusakan sel, yang
mana kerusakan sel yang dimediasi oleh oksidan banyak terjadi pada berbagai
penyakit pada paru-paru (Heffner & Repine, 1989). Sel epitel saluran udara
mempunyai aktivitas antioksidan baik intraseluler maupun ekstraseluler.
Sel epitel saluran udara dan sel paru-paru yang lain mempunyai 3 sistem
antioksidan intraseluler utama, yaitu glutathione redox cycle, superoksida
dismutase, dan katalase (Heffner & Repine, 1989). Superoksida dismutase
mereduksi superoksida radikal menjadi H2O2 dan katalase mereduksi H2O2 menjadi
air. Glutathion redox system memelihara tingginya rasio glutation tereduksi (GSH)
88
/ glutation teroksidasi (GSSG). GSH tereduksi menurunkan hidroperoksida
intraseluler, peroksida lipid, dan produk dari reaksi lipoksigenase-katalase.
Tingginya konsentrasi GSH intraseluler serta distribusinya yang merata di dalam
sel menimbulkan dugaan bahwa siklus redoks GSH merupakan pusat reaksi yang
sangat penting. Paparan sel epitel terhadap stres oksidan mengarahkan terjadinya
upregulasi mekanisme antioksidan intraseluler (Heffner & Repine, 1989).
Gambar. Perlindungan antioksidan di dalam sel (Machlin & bendich, 1987).
Cairan ekstraseluler epitel kaya akan aktivitas antioksidan, yang mana
sebagian besar aktivitas antioksidan pada cairan epitel berasal dari serum. Akan
tetapi, sel epitel sendiri juga mampu untuk melepaskan senyawa dengan akivitas
antioksidan yang spesifik, salah satunya adalah laktoferin yang disintesis dan
disekresikan oleh sel serosa. Laktoferin bersama dengan transferin dan feritin yang
berasal dari serum dapat mengikat ion besi seperti Fe3+. Laktoferin dan transferin
mengikat besi sehingga besi menjadi sulit digunakan untuk katalisis reaksi Haber-
Weiss. Pada reaksi ini, iron seperti Fe2+ membatasi pembentukan hidroksil atau
89
hydroxyl-like radical, yang merupakan inisiator potensial untuk reaksi rantai
oksidan. Laktoferin dan transferin mempunyai resistensi terhadap pelepasan ikatan
besi karena induksi senyawa oksidan (Winterbourn & Molloy, 1988). Hal tersebut
berbeda dengan transferin yang melepaskan ikatan besi-nya pada pH kurang dari 5
(Mazurier et al., 1983).
Suatu studi menunjukkan adanya peran surfactan-associated protein A (SP-
A) sebagai antioksidan pada jalur pernafasan bagian bawah. SP-A diketahui dapat
menghambat produksi superoksida oleh sel makrofag alveolar yang distimulasi oleh
phorbol 12-myristate-13-acetate (PMA) atau zymosan-activated serum (Katsura et
al., 1993). Antioksidan intraseluler primer seperti katalase dan glutation diduga
dilepaskan oleh sel epitel saluran udara dan berkontribusi terhadap aktivitas
antioksidan dari cairan lapisan epitel (Cantin et al., 1989). Defisiensi aktivitas
antioksidan pada cairan lapisan epitelium saluran pernafasan diketahui
berhubungan dengan asap rokok (Thompson et al., 1991). Selain itu, asap rokok
juga diketahui berhubungan dengan terjadinya oksidasi senyawa pada cairan
lapisan epitelium (Maier et al., 1991).
a. Pertahanan antioksidan pada cairan lapisan paru-paru
Ketika polutan pertama kali masuk ke dalam paru-paru, komponen yang
pertama kali mengahdapi polutan tersebut adalah cairan lapisan paru-paru. Pada
kompartemen ini terdapat senyawa-senyawa yang disekresikan oleh sel-sel imun
pada paru-paru. Berdasarkan beberapa studi diketahui bahwa pada cairan lapisan
paru-paru juga terdapat antioksidan dengan berat molekul yang hampir sama
dengan antioksidan pada darah, termasuk glutathion, asam askorbat (vitamin C),
uric acid, dan α-tocopherol (vitamin E). terdapat perbedaan konsentrasi pertahanan
90
antioksidan antara saluran pernafasan atas dan bawah. Cairan lapisan paru-paru
yang diambil dari saluran pernafasan bagian bawah mengandung glutathion
tereduksi (GSH) dan asam askorbat dalam jumlah yang sangat banyak, akan tetapi
konsentrasi uric acid dan α-tocopherol terdapat dalam jumlah yang sedikit (Kelly
et al., 1999). Sebaliknya, pada cairan lapisan udara yang diambil dari saluran
pernafasan bagian atas (rongga hidung) mengandung uric acid dalam jumlah yang
sangat banyak serta jumlah GSH dan vitamin C yang sedikit. Selain itu, cairan
lapisan udara juga mengandung enzim antioksidan seperti superoksida dismutase
(SOD), katalase, caeruloplasmin dan transferin (Kelly, 2003).
Tabel 1. Pertahanan antioksidan pada cairan lapisan paru-paru
Tipe Nama
Antioksidan dengan berat
molekul rendah
Enzimatik
Metal binding protein
Gluthation (GSH)
Tocopherol (vitamin E)
Asam askorbat
Uric acid
α-tocopherol
Gluthation peroksidase
Superoksida dismutase (SOD)
Katalase
Caeroplasmin
Transferin
(Kelly, 2003)
b. Interaksi polutan-antioksidan pada cairan lapisan paru-paru
Berbagai studi yang telah dilakukan untuk mempelajari interaksi antara
antioksidan dengan polutan menunjukkan bahwa antioksidan yang terdapat pada
cairan lapisan paru-paru dapat melindungi paru-paru dari kerusakan oksidatif yang
disebabkan oleh polusi udara. Ketika ozon bereaksi dengan substrat non-
antioksidan (protein atau lipid) pada cairan lapisan paru-paru, maka akan terbentuk
produk oksidasi sekunder yang selanjutnya akan menyampaikan sinyal toksik pada
91
epitelium saluran udara. Selain itu paparan terhadap nitrogen dioksida untuk
mengatasi pertahanan antioksidan endogen, maka akan menyebabkan pembentukan
senyawa oksidan sekunder. Senyawa yang teroksidasi seperti transisi metal dan
beberapa komponen organik yang berada pada permukaan partikel akan
berinteraksi dan menghabiskan antioksidan pada cairan lapisan paru. Hal tersebut
menyebabkan partikel akan sampai di permukaan paru-paru dalam bentuk yang
tidak terlalu aktif. Aspek yang mempengaruhi toksisitas suatu partikel bukan hanya
berdasarkan reaktivitas permukaannya saja, tetapi juga ditentukan oleh ukuran dari
partikel tersebut. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ultrafine particle (UFP)
tanpa kandungan transisi metal pada permukaannya dapat menginduksi inflamasi
pada paru-paru, yang mana hal tersebut membuktikan bahwa ukuran partikel sendiri
merupakan faktor penting dalam toksisitas suatu partikel (Brown et al., 2000).
Gambar. Partikel lingkungan yang mengandung transisi metal dan komponen
organik pada permukaannya. Antioksidan dapat melakukan reaksi redoks
yang terjadi pada cairan lapisan paru-paru. Meskipun hal tersebut akan
menyebabkan pemakaian pertahanan perlindungan antioksidan, tetapi
proses tersebut akan menyebabkan partikel menjadi tidak terlalu aktif
ketika sampai pada epitel paru-paru (Kelly, 2003).
92
Aktivitas Anti-Inflamasi Sel Epitel Paru
Masuknya polusi udara ke dalam sistem pernafasan dapat menginduksi
inflamasi dan stres oksidatif pada paru-paru. Paparan PM terkonsentrasi dan O3
pada paru-paru manusia dapat menyebabkan timbulnya respon inflamasi baik pada
penelitian secara in vivo dengan menggunakan hewan coba (Godleski et al., 2001)
maupun secara in vitro (Brain et al., 1998). Keberadaan metal dalam PM dapat
meningkatkan respon inflamasi (Ghio & Devlin, 2001) melalui peningkatan stres
oksidatif (Jiang et al., 2000), selain itu O3 juga dapat memerantarai terjadinya
respon inflamasi pada paru-paru melalui stres oksidatif (Kelly, 2003).
Beberapa studi menunjukkan bahwa penghirupan partikel (Nightingale et
al., 2000) dan O3 (Aris et al., 1993) dapat menimbulkan baik respon inflamasi paru-
paru maupun respon inflamasi sistemik pada manusia. Paparan terhadap gas diesel
dengan konsentrasi yang sangat tinggi selama satu jam diketahui dapat
menginduksi reaksi inflamasi paru-paru pada orang dewasa yang sehat. Respon ini
termasuk peningkatan jumlah PMS, limfosit T dan B, sel mast, serta mediator
inflamasi (Salvi et al., 1999). Suatu studi menunjukkan peningkatan molekul adhesi
yang dapat memfasilitasi lewatnya sel inflamasi dari sistem sirkulasi ke dalam
saluran udara. Pada darah terjadi peningkatan platelet dan PMN, yang mana diduga
bahwa paparan terhadap diesel exhaust particle (DEP) dapat menstimulasi sumsum
tulang untuk melepaskan sel-sel tersebut ke dalam sistem sirkulasi (Brook et al.,
2004). Paparan terhadap DEP diketahui dapat meningkatkan transkripsi mRNA dari
interleukin (IL)-8 dan meningkatkan produksi IL-8 dan growth-regulating
oncogene-α (GRO) dalam menginduksi inflamasi pada saluran pernafasan. Paparan
93
concentrated ambient particle (CAP) pada orang dewasa selama 2 jam dapat
meningkatkan inflamasi pada saluran pernafasan tanpa menyebabkan luka pada
paru-paru (Ghio et al., 2000). Selain itu, paparan CAP juga menyebabkan terjadinya
peningkatan fibrinogen plasma, sehingga diduga bahwa paparan CAP pada
seseorang yang sehat dapat menyebabkan respon inflamasi ringan pada paru-paru
serta dapat meningkatkan faktor-faktor darah yang berpengaruh terhadap sistem
inflamasi (Tan et al., 2000).
Sel epitel saluran udara berinteraksi dengan sel-sel inflamasi melalui
berbagai mekanisme. Sel epitel saluran udara mempunyai kemampuan untuk
merekrut sel-sel inflamasi menuju saluran udara melalui pelepasan kemoatraktan,
atau dengan migrasi sel inflamasi secara langsung melewati epitelium melalui
ekspresi molekul permukaan sel, serta dapat meregulasi aktivitas sel-sel inflamasi
melalui pelepasan sitokin (Thompson et al., 1995).
Gambar. Interaksi sitokin antara sel epitel saluran udara dengan sel-sel inflamasi. Stimulus
inflamasi seperti LPS atau infeksi virus menginisiasi pelepasan mediator meliputi
LTB4, IL-8, NO, dan GM-CSF dari sel epitel, serta IL-1 dan TNF dari makrofag
94
yang selanjutnya akan menstimulasi sel epitel. Makrofag dan sel epitel
memperbesar respon inflamasi dengan melepaskan mediator tambahan yang
dapat merekrut dan mengaktivasi leukosit. LPS: lipopolisakarida; LTB4:
leukotriene B4; IL-8: interleukin-8; NO: nitrit oksida; GM-CSF:
granulocytemacrophage colony-stimulating factor; IL-1: interleukin-1; TNF:
tumour necrosis factor (Thompson et al., 1995).
Salah satu aspek penting regulasi respon inflamasi paru-paru diduga
merupakan modulasi dari respon seluler oleh sel epitel paru-paru. Sitokin yang
merupakan senyawa kemoatraktan untuk sel-sel inflamasi juga cenderung menjadi
stimulator untuk sel-sel inflamasi tersebut. Selain itu, baik sel epitel saluran udara
maupun sel epitel alveolar mengekspresikan molekul adhesi antar sel yang diduga
berkontribusi untuk aktivasi sel-sel inflamasi (Christensen et al., 1993). Akan
tetapi, beberapa sitokin juga dapat mempunyai efek baik anti- maupun pro-
inflamasi, yang mana sel epitel diketahui melepaskan sitokin yang sebagian besar
mempunyai efek anti-inflamasi. Kemampuan sel epitel dalam menginduksi baik
aktivitas proinflamasi maupun anti-inflamasi yang mengontrol perkembangan
kondisi inflamasi memunculkan dugaan bahwa sel struktural ini mempunyai peran
penting dalam network sitokin yang mengontrol inflamasi saluran udara kronis
(Denburg et al., 1990).
Berbagai faktor kemotaksis yang dilepaskan oleh sel epitel saluran udara
diketahui dapat mengaktivasi sel neutrofil, monosit, makrofag, eosinofil dan
limfosit. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa keberadaan sel-sel inflamasi di
dalam jaringan tidak sepenuhnya diakibatkan oleh tarikan yang terus menerus sel-
sel tersebut dari vaskulatur, tetapi juga dengan penghambatan program kematian
sel (apoptosis) (Jordana et al., 1992) dan pematang sel-sel inflamasi yang diarahkan
oleh sel epitel. Suatu studi dengan menggunakan kultur sel epitel bronchial
menunjukkan adanya peningkatan pertahanan sel neutrofil, makrofag dan eosinofil
95
yang dihubungkan dengan kemampuan sel epitel untuk melepaskan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (CSF), granulocyte-CSF atau macrophage-
CSF (Cox et al., 1992). Pelepasan faktor pertumbuhan oleh sel epitel juga dapat
menginduksi diferensiasi monosit (Ohtoshi et al., 1991) dan sel mast (Ohtoshi et
al., 1991).
Sel epitel selain berperan terhadap perekrutan dan stimulasi sel-sel inflamasi
juga dapat berperan dalam down-regulasi sel-sel inflamasi. Transforming growth
factor-β (TGF-β) terdapat pada cairan lapisan epitel di paru-paru, serta terdapat
pada epielium paru-paru yang mengalami kerusakan (Khalil et al., 1991). TGF- β
mempunyai efek anti-inflamasi dengan menghambat proliferasi sel T karena
induksi IL-2 (Kehrl et al., 1986), selain itu TGF- β juga dapat menghambat produksi
sitokin oleh makrofag (Espevik et al., 1987). Beberapa tipe sel pada paru-paru
diketahui dapat memproduksi TGF- β termasuk sel epitel saluran udara (Sacco et
al., 1992; Steigerwalt et al., 1992) dan sel makrofag (Assoian et al., 1987).
Mediator anti-inflamasi lain yang diproduksi oleh sel epitel saluran udara
meliputi prostaglandin (PGE2) dan IL-2. PGE2 mempunyai banyak efek anti-
inflamasi, salah satunya yaitu penurunan produksi kemoatraktan neutrofil oleh sel
makrofag (Christman et al., 1991). IL-6 dapat mengurangi inflamasi pada berbagai
model kondisi inflamasi, salah satunya yaitu model in vivo dengan reaksi inflamasi
pada paru-paru (Ulich et al., 1991).
96
Daftar Pustaka
Aarbiou J, Verhoosel RM, van Wetering S, De Boer WI, Van Krieken JH, Litvinov
SV, Rabe KF, Hiemstra PS. 2004. Neutrophil defensins enhance lung
epithelial wound closure and mucin gene expression in vitro. Am J Resp Cell
Mol Biol; 30(2):193-201
Agnese DM, Calvano JE, Hahm SJ, Coyle SM, Corbett SA, Calvano SE, Lowry
SF. 2002. Human toll-like receptor 4 mutations but not CD14 polymorphisms
are associated with an increased risk of gram-negative infections. J Infect Dis;
186(10):1522–1525.
Akhtar M, Watson JL, Nazli A, McKay DM. 2003. Bacterial DNA evokes epithelial
IL-8 production by a MAPKdependent, NFkappaB-independent pathway.
FASEB J; 1319–1321.
Alexis N. E., Lay J. C., Zeman K. Bennett WE, Peden DB, Soukup JM, Devlin RB,
Becker S. 2006. Biological material on inhaled coarse fraction particulate
matter activates airway phagocytes in vivo in healthy volunteers. Journal of
Allergy and Clinical Immunology; 117(6): 1396–1403.
Alexopoulou L, Holt AC, Medzhitov R, Flavell RA. 2001. Recognition of double-
stranded RNA and activation of NF-kappaB by Toll- like receptor 3. Nature;
413: 732-738.
Aoshiba K & Nagai A. 2003. Oxidative stress, cell death, and other damage to
alveolar epithelial cells induced by cigarette smoke. Tobacco Induced
Disease; 1(3):219-226
Arif JM, Khan SG, Ashquin M, Rahman Q. 1993. Modulation of macrophage-
mediated cytotoxicity by kerosene soot: possible role of reactive oxygen
species. Environ Res; 61:232-238.
Aris RM, Christian D, Hearne PQ, Kerr K, Finkbeiner WE, Balmes JR. 1993.
Ozone-induced airway inflammation in human subjects as determined by
airway lavage and biopsy. Am Rev Respir Dis.; 148:1363–1372.
Arjomandi M, Witten A, Abbritti E, Reintjes K, Schmidlin I, Zhai W, Solomon C,
Balmes J. 2005. Repeated exposure to ozone increases alveolar macrophage
recruitment into asthmatic airways. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine; 172(4):427–432.
Asayama K, Yokota S, Dobashi K, Kawada Y, Nakane T, Kawaoi A, Nakazawa S.
1996. Immunolocalization of cellular glutathione peroxidase in adult rat lungs
and quanititative analysis after postembedding immunogold labeling.
Histochem Cell Biol; 105:383-389.
Assoian RK, Fleurdelys BE, Stevenson HC, Miller PJ, Madtes DK, Raines EW,
Ross R, Sporn MB. 1987. Expression and secretion of type-β transforming
growth factor by activated human macrophages. Proc Natl Acad Sci USA;
84: 6020–6024.
Atkinson RW, Anderson HR, Sunyer J, Ayres J, Baccini M, Vonk JM, Boumghar
A, Forastiere F, Forsberg B, Touloumi G, Schwartz J, Katsouyanni K. 2001.
97
Acute effects of particulate air pollution on respiratory admissions: results
from APHEA 2 project. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine; 164(10): 1860–1866.
Ayers MM, Jeffery PK. 1988. Proliferation and differentiation in mammalian
airway epithelium. Eur. Respir. J; 1: 58–80.
Bae YS., Kang SW., Seo MS., Baines IC, Tekle E, Chock PB, Rhee, SG. 1997.
Epidermal growth factor (EGF)-induced generation of hydrogen peroxide.
Role in EGF receptor-mediated tyrosine phosphorylation. J Biol Chem; 272:
217–21.
Baeza-Squiban A, Bonvallot V, Boland S & Marano F. 1999. Airborne particles
evoke an inflammatory response in human airway epithelium. Activation of
transcription factors. Cell Biologi and Toxicology; 15:375-380
Balakrishna S, Lomnicki S, McAvey KM, Cole RB, Dellinger B, Cormier SA.
2009. Environmentally persistent free radicals amplify ultrafine particle
mediated cellular oxidative stress and cytotoxicity. Part Fibre Toxicol 6: 11.
doi: 10.1186/1743-8977-6-11.
Bals R & Hiemstra PS. 2004. Innate immunity in the lung: how epithelial cells fight
against respiratory pathogens. Eur Respir J; 23: 327-333.
Bals R, Weiner DJ, Meegalla RL, Accurso F, Wilson JM. 2001. Salt-independent
abnormality of antimicrobial activity in cystic fibrosis airway surface fluid.
Am J Respir Cell Mol Biol; 25: 21-25.
Bals R, Wilson JM. 2003. Cathelicidins: a family of multifunctional antimicrobial
peptides. Cell Mol Life Sci; 60:711-720.
Barnes PJ. 1986. State of art: neural control of human airways in health and disease.
Am Rev Respir Dis; 134: 1289–1314.
Bauer H, Kasper-Giebl A, Zibuschka F, Hitzenberger R, Kraus GF, Puxbaum H.
2002. Determination of the carbon content of airborne fungal spores.
Analytical Chemistry; 74(1): 91–95.
Becher R, Bucht A, Øvrevik J, Hongslo JK, Dahlman HJ, Samuelsen JT, Schwarze
PE. 2007. Involvement of NADPH oxidase and iNOS in rodent pulmonary
cytokine responses to urban air and mineral particles. Inhal Toxicol.; 19:645–
655.
Becker MN, Diamond G, Verghese MW, Randell SH. 2000. CD14-dependent
lipopolysaccharide-induced beta-defensin-2 expression in human
tracheobronchial epithelium. J Biol Chem; 275: 29731–29736.
Becker S, Dailey L, Soukup JM, Silbajoris R, Devlin RB. 2005. TLR-2 is involved
in airway epithelial cell response to air pollution particles. Toxicol Appl
Pharmacol.; 203:45-52.
Becker S, Soukup JM, Gilmour MI, Devlin RB. 1996. Stimulation of human and
rat alveolar macrophages by urban air particulates: effects on oxidant radical
generation and cytokine production. Toxicol Appl Pharmacol; 141:637-648.
98
Becker S, Fenton MJ, & Soukup JM. 2002. Involvement of microbial components
and toll-like receptors 2 and 4 in cytokine responses to air pollution particles.
American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology; 27(5):611-618.
Bernstein JA, Alexis N, Barnes C. 2004. Health effects of air pollution. Journal of
Allergy and Clinical Immunology; 114(5):1116-1123.
Biadasz L, Massaro DJ. 1997. Lung oxidant enzyme gene expression and tolerance
to hyperoxia. Oxygen, Gene Expression, and Cellular Function. Lung
Biology in Health and Disease ed. by Clerch LB, Massaro DJ. Marcel Dekker.
New York. 399-424.
Biragyn A, Ruffini PA, Leifer CA, Klyushnenkova E, Shakhov A, Chertov O,
Shirakawa AK, Farber JM, Segal DM, Oppenheim JJ, Kwak LW. 2002. Toll-
like receptor 4-dependent activation of dendritic cells by beta- defensin 2.
Science; 298(5595): 1025–1029.
Birchler T, Seibl R, Buchner K, Loeliger S, Seger R, Hossle JP, Aguzzi A, Lauener
RP. 2001. Human Toll-like receptor 2 mediates induction of the antimicrobial
peptide human beta-defensin 2 in response to bacterial lipoprotein. Eur J
Immunol; 31(11): 3131–3137.
Boers JE, den Brok JL, Koudstaal J, Arends JW, Thunnissen FB. 1996. Number
and proliferation of neuroendocrine cells in normal human airway epithelium.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine; 154(3):758-
763.
Boers JE, Ambergen AW, Thunnissen FB. 1998. Number and proliferation of basal
and parabasal cells in normal human airway epithelium. Am. J. Respir. Crit.
Care Med; 157: 2000-6.
Bonner JC. 2007. Lung Fibrotic Responses to Particle Exposure. Toxicologic
Pathology; 35:148-153
Bonner JC. 2002. The epidermal growth factor receptor at the crossroads of airway
remodeling. Am J Physiol; 283:L528-30.
Booth BW, Adler KB, Bonner JC, Tournier F, Martin LD. 2001. Interleukin-13
induces proliferation of human airway epithelial cells in vitro via a
mechanism mediated by transforming growth factor-β. Am J Respir Cell Mol
Biol; 25:739-743.
Bosson J, Pourazar J, Forsberg B, Adelroth E, Sandstrom T, Blomberg A. 2007.
Ozone enhances the airway inflammation initiated by diesel exhaust.
Respiratory medicine; 101:1140-1146.
Boucher RC. 1994. Human airway ion transport. Am J Respir Crit Care Med;
150:271-281.
Bovallius A., Bucht B, Roffey R, & Anas P. 1978. Three year investigation of the
natural airborne bacterial flora at four localities in Sweden. Applied and
Environmental Microbiology; 35(5):847-852.
Bowden DH. 1983. Cell turnover in the lung. Am Rev Respir Dis; 128: S46–S48.
99
Bowie A & O’Neill LA. 2000. The interleukin-1 receptor/Toll-like superfamily:
signal generators for pro-inflammatory interleukins and microbial products. J
Leukoc Biol; 67:508-14.
Brain JD, Long NC, Wolfthal SF, Dumyahn T, Dockery DW. 1998. Pulmonary
toxicity in hamsters of smoke particles from Kuwaiti oil fires. Environ Health
Perspect.; 106:141–146.
Brauner EV, Forchhammer L, Møller P, Barregard L, Gunnarsen L, Afshari A,
Wåhlin P, Glasius M, Dragsted LO, Basu S, Raaschou-Nielsen O, Loft S.
2008. Indoor particles affect vascular function in the aged: an air filtration-
based intervention study. Am J Respir Crit Care Med.; 177:419–425.
Brook RD, Jerrett M, Brook JR, Bard RL & Finkelstein MM. 2008. The relationship
between diabetes mellitus and traffic-related air pollution. Journal of
Occupational and Environmental Medicine; 50(1):32–38.
Brook RD, Rajagopalan S, Pope CA. Brook JR, Bhatnagar A, Diez-Roux AV,
Holguin F, Hong Y, Luepker RV, Mittleman MA, Peters A, Siscovick D,
Smith SC Jr, Whitsel L, Kaufman JD; American Heart Association Council
on Epidemiology and Prevention, Council on the Kidney in Cardiovascular
Disease, and Council on Nutrition, Physical Activity and Metabolism. 2010.
Particulate matter air pollution and cardiovascular disease: an update to the
scientific statement from the american heart association. Circulation;
121(21): 2331–2378.
Brook RD, Franklin B, Cascio W, Hong Y, Howard G, Lipsett M, Luepker R,
Mittleman M, Samet J, Smith SC, Tager I. 2004. Air pollution and
cardiovascular disease: a statement for healthcare professionals from the
expert panel on population and prevention science of the american heart
association. Circulation; 109:2655-2671
Brown DM, Stone V, Findlay P, MacNee W, Donaldson K. 2000. Increased
inflammation and intracellular calcium caused by ultrafine carbon black is
independent of transition metals or other soluble components. Occup Environ
Med; 57:685–91.
Buisson AC, Gilles C, Polette M, Zahm JM, Birembaut P, Tournier JM. 1996.
Wound repair- induced expression of stromelysins is associated with the
acquisition of a mesenchymal phenotype in human respiratory epithelial cells.
Lab Invest; 74:658–669.
Burman WJ, Martin WJ. 1986. Oxidant-mediated ciliary dysfunction: possible role
in airway disease. Chest; 89: 410-413.
Burnham EL, Taylor WR, Quyyumi AA, Rojas M, Brigham KL, Moss M. 2005.
Increased circulating endothelial progenitor cells are associated with survival
in acute lung injury. Am J Respir Crit Care Med.; 172: 854-860.
Calderon-Garciduenas L, Villarreal-Calderon R, Valencia-Salazar G, Henríquez-
Rolda´n C, Gutie´rrez-Castrello´n P, Torres-Jardo´n R, Osnaya-Brizuela N,
Romero L, Torres-Jardo´n R, Solt A, Reed W. 2008. Systemic inflammation,
100
endothelial dysfunction, and activation in clinically healthy children exposed
to air pollutants. Inhal Toxicol.; 20:499–506.
Cantin AM, Hubbard RC, Crystal RG. Glutathione deficiency in the epithelial
lining fluid of the lower respiratory tract of patients with idiopathic
pulmonary fibrosis. Am Rev Respir Dis 1989; 139: 370–372.
Chapman R. S., He X., Blair A. E., Lan Q. 2005. Improvement in household stoves
and risk of chronic obstructive pulmonary disease in Xuanwei, China:
retrospective cohort study. British Medical Journal; 331(7524):1050-1052.
Chaudri G, Clark IA. 1989. Reactive oxygen species facilitate the in vitro and in
vivo lipopolysaccharide-induced release of tumor necrosis factor. J Immunol;
143(4):1290-4.
Cho HY, Jedlicka AE, Clarke R, Kleeberger SR. 2005. Role of Toll-like receptor-
4 in genetic susceptibility to lung injury induced by residual oil fly ash.
Physiol Genomics.; 22:108-117.
Christensen PJ, Kim S, Simon RH, Toews GB, Paine R III. 1993. Differentiation-
related expression of ICAM-1 by rat alveolar epithelial cells. Am J Respir
Cell Mol Biol; 8(1):9-15.
Christman JW, Christman BW, Shepherd VL, Rinaldo JE. 1991. Regulation of
alveolar macrophage production of chemoattractants by leukotrine B4 and
prostaglandin E2. Am J Respir Cell Mol Biol; 5: 297-304.
Chuang KJ, Chan CC, Su TC, Lee CT, Tang CS. 2007. The effect of urban air
pollution on inflammation, oxidative stress, coagulation, and autonomic
dysfunction in young adults. Am J Respir Crit Care Med.; 176: 370–376.
Churg A. 1996. The uptake of mineral particles by pulmonary epithelial cells. Am
J Respir Crit Care Med; 154:1124-1140.
Cohn LA, Fischer BM, Krunkosky TM, Wright DT, Adler KB. 1997. Airway
epithelial cells in asthma. In: Allergy and Allergic Diseases (Kay AB, ed).
Oxford, England:Blackwell Scientific Publication; 263-283.
Coraux C, Martinella-Catusse C, Nawrocki-Raby B, Hajj R, Burlet H, Escotte S,
Laplace V, Birembaut P, Puchelle E. 2005. Differential expression of matrix
metalloproteinases and interleukin-8 during regeneration of human airway
epithelium in vivo. J Pathol; 206:160-169.
Cox G, Gauldie J, Jordana M. 1992. Bronchial epithelial cellderived cytokines (G-
CSF and GM-CSF) promote the survival of peripheral blood neutrophils in
vitro. Am J Respir Cell Mol Biol; 7: 507–513.
Coyne CB, Gambling TM, Boucher RC, Carson JL, Johnson LG. 2003. Role of
claudin interactions in airway tight junctional permeability. Am J Physiol
Lung Cell Mol Physiol; 285:L1166-L1178.
Crapo JD, Barry BE, Gehr P, Bachofen M, Weibel ER. 1982. Cell numbers and cell
characteristics of the normal human lung. Am Rev Respir Dis; 126:332-337.
101
Crystal RG, Randell SH, Engelhardt JF, Voynow J, Sunday ME. 2008. Airway
epithelial cells: current concepts and challenges. Proc Am Thorac Soc; 5: 772-
777
Dales R, Liu L, Szyszkowicz M, Dalipaj M, Willey J, Kulka R, Ruddy TD. 2007.
Particulate air pollution and vascular reactivity: the bus stop study. Int Arch
Occup Environ Health.; 81:159 –164.
Davis RJ. 1995. Transcriptional regulation by MAP kinases. Mol Reprod Devel;
42:459–67.
de Bentzmann S, Polette M, Zahm JM, Hinnrasky J, Kileztky C, Bajolet O, Klossek
JM, Filloux A, Lazdunski A, Puchelle E. 2000. Pseudomonas aeruginosa
virulence factors delay airway epithelial wound repair by altering the actin
cytoskeleton and inducing overactivation of epithelial matrix
metalloproteinase-2. Lab Invest; 80:209–219.
De Water R, Willems LN, Van Muijen GN, Franken C, Fransen JA, Dijkman JH,
Kramps JA. 1986. Ultrastructural localization of bronchial antileukoprotease
in central and peripheral human airways by a goldlabeling technique using
monoclonal antibodies. Am. Rev. Respir. Dis; 133: 882–90.
DeLorme MP, Yang H, Elbon-Copp C, Gao X, Barraclough-Mitchell H, Bassett
DJ. 2002. Hyperresponsive airways correlate with lung tissue inflammatory
cell changes in ozoneexposed rats. Journal of Toxicology and Environmental
Health; 65(19):1453-1470.
Denburg JA, Dolovich J, Ohtoshi T, Cox G, Gauldie J, Jordana M. 1990. The
microenvironmental differentiation hypothesis of airway inflammation. Am J
Rhinol; 4: 29–34.
Dentener MA, Vreugdenhil ACE, Hoet PHM, Vernooy JH, Nieman FH, Heumann
D, Janssen YM, Buurman WA, Wouters EF. 2000. Production of the acute-
phase protein lipopolysaccharide binding protein by respiratory type II
epithelial cells. Implications for local defense to bacterial endotoxins. Am J
Respir Cell Mol Biol; 23(2): 146-53.
Devereux TR, Serabjit-Singh CJ, Slaughter SR, Wolf CR, Philpot RM, Fouts JR.
1981. Identification of cytochrome P-450 isozymes in nonciliated bronchiolar
epithelial (Clara) and alveolar type II cells isolated from rabbit lung. Exp
Lung Res; 2:221-230.
Devlin RB, McKinnon KP, Noah T, Becker S, Koren HS. 1994. Ozone-induced
release of cytokines and fibronectin by alveolar macrophages and airway
epithelial cells. American Journal of Physiology; 266(6):L612–L619.
Diamond G, Legarda D, Ryan LK. 2000. The innate immune response of the
respiratory epithelium. Immunol Rev; 173: 27–38.
Diaz-Sanchez D. 1997. The role of diesel exhaust particles and their associated
polyaromatic hydrocarbons in the induction of allergic airway disease.
Allergy; 52(38): 52-58.
102
Diaz-Sanchez D, Tsien A, Fleming J, & Saxon A. 1997. Combined diesel exhaust
particulate and ragweed allergen challenge markedly enhances human in vivo
nasal ragweed specific IgE and skews cytokine production to a Th2 type
phenotype. J Immunol; 158: 2406–13.
Dinsdale D, Green JA, Manson MM, Lee MJ. 1992. The ultrastructural
immunolocalization of gammaglutamyltranspeptidase in rat lung: correlation
with the histochemical demonstration of enzyme activity. Histochem J;
24:144-152.
Donaldson K, Li XY, MacNee W. 1998. Ultrafine (nanometer) particle mediated
lung injury. J. Aerosol Sci; 29(5-6):553-560
Dorinsky PM, Davis WB. 1986. Chronic bronchitis: oxidant damage by leukocytes.
Chest; 89: 321–322.
Doshi N. & Mitragotri S. 2010. Macrophages recognize size and shape of their
targets. PLoSONE; 5(4).
Dostert C, Pe´trilli V, Van Bruggen R, Steele C, Mossman BT, Tschopp J. 2008.
Innate immune activation through Nalp3 inflammasome sensing of asbestos
and silica. Science.; 320:674–677.
Dreher K, Jaskot R, Kodavanti U, Lehmann J, Winsett D, Costa D. 1996. Soluble
transition metals mediate the acute pulmonary injury and airway
hyperreactivity induced by residual oil fly ash particles. Chest; 109: 33S-34S.
Driscoll KE, Higins JM, Leytart MJ, Crosby LL. 1990. Differential effects of
mineral dusts on the in vitro activation of alveolar macrophage eicosanoid
and cytokine release. Toxicol In Vitro 4:284-288.
Duits LA, Nibbering PH, van Strijen E, Vos JB, Mannesse-Lazeroms SP, van
Sterkenburg MA, Hiemstra PS. 2003. Rhinovirus increases human [beta]-
defensin-2 and -3 mRNA expression in cultured bronchial epithelial cells.
FEMS Immunology and Medical Microbiology; 38: 59–64.
Dupuit F, Kalin N, Brezillon S, Hinnrasky J, Tummler B, Puchelle E. 1995. CFTR
and differentiation markers expression in non-CF and delta F 508
homozygous CF nasal epithelium. J Clin Invest; 96:1601-1611.
Ebert RV, Terracio MJ. 1975. The bronchiolar epithelium in cigarette smokers:
observations with the scanning electron microscope. Am Rev Respir Dis;
111: 4–11.
Eftim SE, Samet JM, Janes H, McDermott A, Dominici F. 2008. Fine particulate
matter andmortality: a comparison of the Six Cities and American Cancer
Society cohorts with a medicare cohort. Epidemiology; 19(2): 209–216.
Erjefalt JS. & Persson CG. 1997. Airway epithelial repair: breathtakingly quick and
multipotentially pathogenic. Thorax; 52:1010–1012.
Erjefalt JS, Erjefalt I, Sundler F & Persson CG. 1995. In vivo restitution of airway
epithelium. Cell Tissue Res; 281:305-316.
103
Erjefalt JS, Sundler F, Persson CG. 1996. Eosinophils, neutrophils, and venular
gaps in the airway mucosa at epithelial removal-restitution. Am J Respir Crit
Care Med; 153:1666–1674.
Espevik T, Figari IS, Shalaby MR, Lackides GA, Lewis GD, Shepard HM,
Palladino MA Jr. 1987. Inhibition of cytokine production by cyclosporin A
and transforming growth factor- β. J Exp Med; 166:571–576.
Evans MJ, Cox RA, Shami SG, Plopper CG. 1990. Junctional adhesion mechanisms
in airway basal cells. Am. J. Respir. Cell. Mol. Biol.; 3: 341–7.
Evans MJ, Cox RA, Shami SG, Wilson B, Plopper CG. 1989. The role of basal cells
in attachment of columnar cells to the basal lamina of the trachea. Am. J.
Respir. Cell Mol. Biol; 1: 463–9.
Evans MJ, Plopper CG. 1988. The role of basal cells in adhesion of columnar
epithelium to airway basement membrane. Am. Rev. Respir. Dis; 138: 481–
3.
Fehrenbach H. 2001. Alveolar epithelial type II cell: defender of the alveolus
revisited. Respir Res.; 2(1): 33-46.
Franck U, Odeh S, Wiedensohler A, Wehner B, Herbarth O. 2011. The effect of
particle size on cardiovascular disorders the smaller the worse. Science of the
Total Environment; 409(20): 4217–4221.
Frye M, Bargon J, Gropp R. 2001. Expression of human betadefensin-1 promotes
differentiation of keratinocytes. J Mol Med; 79: 275–282.
Fujii T, Hayashi S, Hogg JC, Mukae H, Suwa T, Goto Y, Vincent R, van Eeden SF.
2002. Interaction of alveolar macrophages and airway epithelial cells
following exposure to particulate matter produces mediators that stimulate
the bone marrow. Am J Respir Cell Mol Biol.; 27:34–41.
Fujii T, Hayashi S, Hogg JC, Vincent R, Van Eeden SF. Particulate matter induces
cytokine expression in human bronchial epithelial cells. American Journal of
Respiratory Cell and Molecular Biology; 25(3): 265–271.
Fujimaki H, Kurokawa Y, Yamamoto S, Satoh M. 2006. Distinct requirements for
interleukin-6 in airway inflammation induced by diesel exhaust in mice.
Immunopharmacol Immunotoxicol.; 28:703–714.
Fujino N, Kubo H, Suzuki T, Ota C, Hegab AE, He M, Suzuki S, Yamada M, Kondo
T, Kato H, Yamaya M. 2011. Isolation of alveolar epithelial type II progenitor
cells from adult human lungs. Lab Invest.; 91: 363-378.
Fujishima S, Shiomi T, Yamashita S, Yogo Y, Nakano Y, Inoue T, Nakamura M,
Tasaka S, Hasegawa N, Aikawa N, Ishizaka A, Okada Y. 2010. Production
and activation of matrix metalloproteinase 7 (matrilysin-1) in the lungs of
patients with idiopathic pulmonary fibrosis. Arch Pathol Lab Med.;
134:1136-1142.
Fujishima S. 2011. Epithelial cell restoration and regeneration in inflammatory lung
disease. Inflammation and Regeneration; 31(3):290-295
104
Gehling WM, Khachatryan L, Dellinger B. 2013. Hydroxyl Radical Generation
from Environmentally Persistent Free Radicals (EPFRs) in PM2.5. Environ
Sci Technol (in press)
Ghio AJ, Carraway MS, Madden MC. 2012. Composition of air pollution particles
and oxidative stress in cells, tissues, and living systems. J Toxicol Environ
Health B Crit Rev; 15: 1-21.
Ghio AJ, Cohen MD. 2005. Disruption of iron homeostasis as a mechanism of
biologic effect by ambient air pollution particles. Inhal Toxicol.; 17:709 –
716.
Ghio AJ, Devlin RB. 2001. Inflammatory lung injury after bronchial instillation of
air pollution particles. Am J Respir Crit Care Med.; 164:704–708.
Ghio AJ, Kennedy TP, Whorton AR, Crumbliss AL, Hatch GE, Hoidal JR. 1992.
Role of surface complexed iron in oxidant generation and lung inflammation
induced by silicates. Am J Physiol 263: L511-L518.
Ghio AJ, Kim C, Devlin RB. 2000. Concentrated ambient air particles induce mild
pulmonary inflammation in healthy human volunteers. Am J Respir Crit Care
Med.; 162(pt 1):981–988.
Ghio, AJ, Stonehuerner J, Dailey LA, Carter JD. 1999. Metals associated with both
the water-soluble and insoluble fractions of an ambient air pollution particle
catalyze an oxidative stress. Inhal. Toxicol.; 11:37–49.
Giangreco A, Reynolds SD, Stripp BR: Terminal bronchioles harbor a unique
airway stem cell population that localizes to the bronchoalveolar duct
junction. Am J Pathol. 2002; 161(1): 173-182.
Giangreco A, Arwert EN, Rosewell IR, Snyder J, Watt FM & Stripp BR. 2009.
Stem cells are dispensable for lung homeostasis but restore airways after
injury. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States
of America; 106(23): 9286–9291.
Godleski JJ, Clarke RW, Coull BA, Saldiva PHN, Jiang NF, Lawrence J, Koutrakis
P. 2002. Composition of inhaled urban air particles determines acute
pulmonary responses. Ann Occup Hyg.; 46(suppl 1):419–424.
Goldsmith CA, Imrich A, Danaee H, Ning YY & Kobzik, L. 1998. Analysis of air
pollution particulate-mediated oxidant stress in alveolar macrophages. J
Toxicol Environ Health; 54:529–45.
Gordon S & Taylor PR. 2005. Monocyte and macrophage heterogeneity. Nature
Reviews Immunology; 5(12):953–964.
Gordon S. 2003. Alternative activation of macrophages. Nature Reviews
Immunology; 3(1): 23–35.
Graness A, Chwieralski CE, Reinhold D, Thim L & Hoffmann W. 2002. Protein
kinase C and ERK activation are required for TFF-peptide-stimulated
bronchial epithelial cell migration and tumor necrosis factor-α-induced
interleukin-6 (IL-6) and IL-8 secretion. J. Biol. Chem.; 277: 18440–18446.
105
Groves E, Dart AE, Covarelli V, & Caron E. 2008. Molecular mechanisms of
phagocytic uptake in mammalian cells. Cellular and Molecular Life Sciences,
vol. 65, no. 13, pp. 1957–1976, 2008.
Guillot L, Balloy V, McCormack FX, Golenbock DT, Chignard M, Si-Tahar M.
2002. Cutting edge: the immunostimulatory activity of the lung surfactant
protein-A involves Toll-like receptor 4. J Immunol; 168: 5989–5992.
Gumbiner B. Structure, biochemistry and assembly of epithelial tight junctions. Am
J Physiol 1987; 253:C749–C758.
Gundel RH, Wegner CD, Letts LG. 1993. Adhesion molecules in a primate model
ofallergic asthma: clinical implications for respiratory care. Springer Semin
Immunopathol; 15:75-88.
Halliwell B, Gutteridge JMC. 1989. In: Free Radicals in Biology and Medicine. 2nd
edn. Oxford, Claredon Press.
Hardy JA, Aust AE. 1995. Iron in asbestos chemistry and carcinogenicity. Chem
Rev; 95:97-118.
Harkema JR, Hotchkiss JA, Barr EB, Bennett CB, Gallup M, Lee JK & Basbaum
C. 1999. Long-lasting effects of chronic ozone exposure on rat nasal
epithelium. Am. J. Respir. Cell Mol. Biol.; 20: 517–529.
Harvey BG, Heguy A, Leopold LP, Carolan BJ. Ferris B, Crystal RG. 2007.
Modification of gene expression of the small airway epithelium in response
to cigarette smoking. J Mol Med; 85:39-53
Hastie AT, Loegering DA, Gleich GJ, Kueppers F. 1987. The effect of purified
human eosinophil major basic protein on mammalian ciliary activity. Am Rev
Respir Dis; 135: 848–853.
Hawgood S, Brown C, Edmondson J, Stumbaugh A, Allen L, Goerke J, Clark H,
Poulain F. 2004. Pulmonary collectins modulate strain-specific influenza a
virus infection and host responses. J Virol 2004;78:8565–8772.
Heffner JE, Repine JE. 1989. Pulmonary strategies of antioxidant defense. Am Rev
Respir Dis; 140: 531–554.
Heguy A, Harvey BG, Leopold PL, Dolgalev I, Raman T, Crystal RG. 2007.
Responses of the human airway epithelium transcriptome to in vivo injury.
Physiol Genomics; 29:139–148.
Hicks W Jr, Hall L 3rd, Sigurdson L. 1997. Isolation and characterization of basal
cells from human upper respiratory epithelium. Exp. Cell Res; 237: 357–63.
Hiemstra PS. 2006. Defensins and cathelicidins in inflammatory lung disease:
beyond antimicrobial activity. Biochem Soc Trans; 34:276–278.
Hiraiwa K & van Eeden SF. 2013. Contribution of lung macrophages to the
inflammatory responses induced by exposure to air pollutants. Mediators of
Inflammation; http://dx.doi.org/10.1155/2013/619523.
Hirota JA, Hirota SA, Warner SM, Stefanowicz D, Shaheen F, Beck PL, Macdonald
JA, Hackett TL, Sin DD, Van Eeden S, Knight DA. 2012. The airway
epithelium nucleotide-binding domain and leucine-rich repeat protein 3
106
inflammasome is activated by urban particulate matter. Journal of Allergy and
Clinical Immunology; 129(4): 1116–1125.
Hiura TS, Kaszubowski, MP, Li N & Nel AE. 1999. Chemicals in diesel exhaust
particles generate reactive oxygen radicals and induce apoptosis in
macrophages. J Immunol; 163, 5582–91.
Hnizdo E, Sullivan PA, Bang KM & Wagner G. 2004. Airflow obstruction
attributable to work in industry and occupation among U.S. race/ethnic
groups: a study of NHANES III data. American Journal of Industrial
Medicine; 46(2):126–135.
Hogg JC & Van Eeden S. 2009. Pulmonary and systemic response to atmospheric
pollution. Respirology; 14(3): 336-346.
Holgate ST, Lackie P, Wilson S, Roche W, Davies D. 2000. Bronchial epithelium
as a key regulator of airway allergen sensitization and remodeling in asthma.
Am J Respir Crit Care Med; 162: S113–S117.
Holgate ST. 2000. Epithelial damage and response. Clin Exp Allergy; 30: 37–41.
Hollingsworth JW, Maruoka S, Li Z, Potts EN, Brass DM, Garantziotis S, Fong A,
Foster WM, Schwartz DA. 2007. Ambient ozone primes pulmonary innate
immunity in mice. J Immunol.;179:4367– 4375.
Hong KU, Reynolds SD, Giangreco A, Hurley CM, Stripp BR. 2001. Clara cell
secretory protein-expressing cells of the airway neuroepithelial body
microenvironment include a label-retaining subset and are critical for
epithelial renewal after progenitor cell depletion. Am. J. Respir. Cell Mol.
Biol.; 24: 671–81.
Huang SL, Cheng WL, Lee CT, Huang HC & Chan CC. 2002. Contribution of
endotoxin in macrophage cytokine response to ambient particles in vitro.
Journal of Toxicology and Environmental Health A; 65(17):1261–1272.
Huang YT, Li Z, Harder SD & Soukup JM. 2004. Apoptotic and inflammatory
effects induced by different particles in human alveolarmacrophages.
Inhalation Toxicology; 16(14): 863–878.
Huang YC, Li Z, Carter JD, Soukup JM, Schwartz DA, Yang IV. 2009. Fine
ambient particles induce oxidative stress and metal binding genes in human
alveolar macrophages. Am J Respir Cell Mol Biol; 41:544-52.
Hunninghake G, Crystal R. 1983. Cigarette smoking and lung destruction:
accumulation of neutrophils in the lungs of cigarette smokers. Am Rev Respir
Dis; 128: 833–838.
Imasato A, Desbois-Mouthon C, Han J, Kai H, Cato AC, Akira S, Li JD. 2002.
Inhibition of p38 MAPK by glucocorticoids via induction of MAPK
phosphatase-1 enhances nontypeable Haemophilus influenzaeinduced
expression of toll-like receptor 2. J Biol Chem; 277: 47444–47450.
Ingram JL, Rice AB, Santos J, Van Houten B & Bonner JC. 2003. Vanadium-
induced HB-EGF expression in human lung fibroblasts is oxidant dependent
and requires MAP kinases. Am J Physiol; 284: L774–82.
107
Ito H, Romberger DJ, Rennard SI, Spurzem JR. 1993. TNF-alpha enhances
bronchial epithelial cell migration and attachment to fibronectin. Am Rev
Respir Dis; 147:A46.
Jain B, Robbins R, Rubinstein I, Sisson J. 1994. TNF-α and IL-1 modulate airway
epithelial ciliary activity by a nitric oxide-dependent mechanism. Clin Res;
42: 115A.
Jain B, Rubinstein I, Robbins RA, Leise KL, Sisson JH. 1993. Modulation of airway
epithelial cell ciliary beat frequency by nitric oxide. Biochem Biophys Res
Commun; 191: 83–88.
Jakab GJ, Clarke RW, Hemenway DR, Longphre MV, Kleeberger SR & Frank R.
1996. Inhalation of acid coated carbon black particles impairs alveolar
macrophage phagocytosis. Toxicology Letters; 88(1–3): 243–248.
Jaspers I, Samet JM, Erzurum S, & Reed W. 2000. Vanadium-induced kappaB-
dependent transcription depends upon peroxide-induced activation of the p38
mitogen-activated protein kinase. Am J Respir Cell Mol Biol; 23: 95–102.
Jeffery PK. 1991. Morphology of the airway wall in asthma and in chronic
obstructive pulmonary disease. Am. Rev. Respir. Dis; 143: 1152–8.
Jeffery PK. 1995. Microstructure of the lung. In: Gibson GJ, Geddes DM, Costabel
U, Sterk P, Corin B, editors. Respiratory medicine Philadelphia: WB
Saunders. pp. 34–50.
Jiang N, Dreher KL, Dye JA, Li Y, Richards JH, Martin LD, Adler KB. 2000.
Residual oil fly ash induces cytotoxicity and mucin secretion by guinea pig
tracheal epithelial cells via an oxidant-mediated mechanism. Toxicol Appl
Pharmacol.;163:221–230.
Jordana M, Clancy R, Dolovich J, Denburg J. 1992. Effector role of the epithelial
compartment in inflammation. Ann New York Acad Sci; 664: 180–189.
Kadiiska MB, Mason RP, Dreher KL, Costa DL, & Ghio AJ. 1997. In vivo evidence
of free radical formation in the rat lung after exposure to an emission source
air pollution particle. Chem Res Toxicol; 10:1104-8.
Katsura H, Kawada H, Konno K. 1993. Rat surfactant apoprotein A (SP-A) exhibits
antioxidant effects on alveolar macrophages. Am J Respir Cell Mol Biol; 9:
520–525.
Kawai K, Shimura H, Minagawa M, Ito A, Tomiyama K, Ito M. 2002. Expression
of functional Toll-like receptor 2 on human epidermal keratinocytes. J
Dermatol Sci; 30: 185–194.
Kehrl JH, Wakefield LM, Roberts AB, Jakowlew S, Alvarez-Mon M, Derynck R,
Sporn MB, Fauci AS. 1986. Production of transforming growth factor- β by
human T-lymphocytes and its potential role in the regulation of T cell growth.
J Exp Med; 163: 1037–1050.
Kelly FJ, Buhl R, Sandström T. 1999. Measurement of antioxidants, oxidants and
oxidant products in bronchoalveolar lavage fluid. Eur Respir Rev; 9:93–8.
108
Kelly FJ. 2003. Oxidative stress: its role in air pollution and adverse health effects.
Occup Environ Med.; 60:612–616.
Kennedy T, Ghio AJ, Reed W, Samet J, Zagorski J, Quay J, Carter J, Dailey L,
Hoidal JR, Devlin RB. 1998. Copperdependent inflammation and nuclear
factor-kappaB activation by particulate air pollution. Am. J. Respir. Cell Mol.
Biol.; 19:366-378.
Khalil N, O'Connor RN, Unruh HW, Warren PW, Flanders KC, Kemp A, Bereznay
OH, Greenberg AH. 1991. Increased production and immunohistochemical
localization of transforming growth factor- β in idiopathic pulmonary
fibrosis. Am J Respir Cell Mol Biol; 5: 155–162.
Kim CF, Jackson EL, Woolfenden AE, Lawrence S, Babar I, Vogel S, Crowley D,
Bronson RT, Jacks T. 2005. Identification of bronchioalveolar stem cells in
normal lung and lung cancer. Cell;121:823–835.
Knight DA & Holgate ST. 2003. The airway epithelium: Structural and functional
properties in health and disease. Respirology; 8:432-446
Kodavanti UP, Mebane R, Ledbetter A, Krantz T, McGee J, Jackson MC, Walsh L,
Hilliard H, Chen BY, Richards J, Costa DL. 2000. Variable pulmonary
responses from exposure to concentrated ambient air particles in a ratmodel
of bronchitis,” Toxicological Sciences; 54(2): \441–451.
Koike E, Kobayashi T, Utsunomiya R. 2001. Effect of exposure to nitrogen dioxide
on alveolar macrophage-mediated immunosuppressive activity in rats.
Toxicology Letters, 121(2):135–143.
Koken PJ, Piver WT, Ye F, Elixhauser A, Olsen LM, & Portier CJ. 2003.
Temperature, air pollution, and hospitalization for cardiovascular diseases
among elderly people in Denver. Environmental Health Perspectives;
111(10):1312–1317.
Korthuis RJ, Anderson DC, Granger DN. 1994. Role of neutrophilendothelial cell
adhesion in inflammatory disorders. J Crit Care; 9:47-71.
Krause DS, Theise ND, Collector MI, Henegariu O, Hwang S, Gardner R, Neutzel
S, Sharkis SJ. 2001. Multiorgan, multi-lineage engraftment by a single bone
marrow-derived stem cell. Cell.; 105: 369-377.
Krunkosky TM, Fischer BM, Akley NJ, Adler KB. 1996. Tumor necrosis factor
alpha (TNFa)-induced ICAM-1 surface expression in airway epithelial cells
in vitro: possible signal transduction mechanisms. Ann NYAcad Sci 796:30-
37.
Lassalle P, Gosset P, Delneste T, Tsicopoulos A, Capron A, Joseph M, Tonnel AB.
1993. Modulation of adhesion molecule expression on endothelial cells
during the late asthmatic reaction: role of macrophage-derived tumor necrosis
factor-alpha. Clin Exp Immunol; 49:105-110.
Lechapt-Zalcman E, Pruliere-Escabasse V, Advenier D, Galiacy S, Charriere-
Bertrand C, Coste A, Harf A, d’Ortho MP, Escudier E. 2006. Transforming
growth factor-beta1 increases airway wound repair via MMP-2 upregulation:
109
a new pathway for epithelial wound repair? Am J Physiol Lung Cell Mol
Physiol;290:L1277–L1282.
Legrand C, Gilles C, Zahm JM, Polette M, Buisson AC, Kaplan H, Birembaut P,
Tournier JM. 1999. Airway epithelial cell migration dynamics: MMP-9 role
in cell–extracellular matrix remodeling. J Cell Biol; 146:517–529.
Lehnert BE. 1993. Defense mechanisms against inhaled particles and associated
particle-cell interactions. Mineralogical Society of America; 28:427-470.
Lehnert BE. 1990. Lung defense mechanisms against deposited dusts. In: Problems
in Respiratory Care. Lippincott Series on Respiratory Public Health.
Philadelphia:Lippincott-Raven Publishers; (3) 130-162.
Lemaire I, Ouellet S. 1996. Distinctive profile of alveolar macrophage-derived
cytokine release induced by fibrogenic and nonfibrogenic mineral dusts. J
Toxicol Environ Health 47:465-478.
Li XY, Gilmour PS, Donaldson K, MacNee W. 1997. In vivo and in vitro
proinflammatory effects of particulate air pollution (PM10). Environmental
Health Perspective; 105(5):1279-1283.
Li Z, Carter JD, Dailey LA, Huang YC. 2005. Pollutant particles produce
vasoconstriction and enhance MAPK signaling via angiotensin type I
receptor. Environ Health Perspect.; 113:1009 –1014.
Li Z, Hyseni X, Carter JD, Soukup JM, Dailey LA, Huang YC. 2006. Pollutant
particles enhanced H2O2 production from NAD(P)H oxidase and
mitochondria in human pulmonary artery endothelial cells. Am J Physiol Cell
Physiol.; 291:C357–365.
Lindberg S, Mercke U, Uddman R. 1986. The morphological basis for the effect of
substance P on mucociliary activity in rabbit maxilliary sinus. Acta
Otolaryngol (Stockh); 101: 314–319.
Ling TY, Kuo MD, Li CL, Yu AL, Huang YH, Wu TJ, Lin YC, Chen SH, Yu J.
2006. Identification of pulmonary Oct-4+ stem/progenitor cells and
demonstration of their susceptibility to SARS coronavirus (SARS-CoV)
infection in vitro. Proc Natl Acad Sci U S A; 103: 9530-9535.
Liu L, Roberts AA, Ganz T. 2003. By IL-1 signaling, monocytederived cells
dramatically enhance the epidermal antimicrobial response to
lipopolysaccharide. J Immunol; 170: 575–580.
Lumsden AB, McLean A, Lamb D. 1984. Goblet and Clara cells of human distal
airways: evidence for smoking induced changes in their numbers. Thorax; 39:
844–9.
Machlin LJ & Bendich A. 1987. Free radical tissue damage: protective role of
antioxidant nutrients. Faseb J; 1:441-445
Maestrelli P, Saetta M, Mapp CE, Fabbri LM. 2001. Remodeling in response to
infection and injury: airway inflammation and hypersecretion of mucus in
smoking subjects with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir
Crit Care Med;164:576–580.
110
Maier K, Leuschel L, Costabel U. 1991. Increased levels of oxidized methionine
residues in bronchoalveolar lavage fluid proteins from patients with
idiopathic pulmonary fibrosis. Am Rev Respir Dis; 143: 271–274.
Mantovani A, Sica A, Sozzani S, Allavena P, Vecchi A, & Locati M. 2004. The
chemokine systemin diverse forms of macrophage activation and
polarization. Trends in Immunology; 25(12): 677–686.
Martin LD, Krunkosky TM, Dye JA, Fischer BM, Jiang NF, Rochelle LG, Akley
NJ, Dreher KL, Adler KB. 1997. The role of reactive oxygen and nitrogen
species in the response of airway epithelium to particulates. Environmental
Health Perspective; 105(5):1301-1307
Mason RJ, Shannon JM. Alveolar type II cells. 1997. The Lung:Scientific
Foundations Second Edition edited by Crystal RG, West JB, Weibel ER,
Barnes PJ. Lippincott-Raven, Philadelphia.:543-555.
Matalon S. 1991. Mechanisms and regulation of ion transport in adult mammalian
alveolar type II pneumocytes. Am J Physiol;261:C727-C738.
Mazurier J, Metz-Boutique M-H, Jolles J, Spik G, Montreuil J, Jolles P. 1983.
Human lactoferrin: molecular, functional and evolutionary comparisons with
human serum transferrin and hen ovotransferrin. Experientia; 39: 135–141.
McDowell EM, Becci PJ, Schurch W, Trump BF. 1979. The respiratory epithelium.
VII. Epidermoid metaplasia of hamster tracheal epithelium during
regeneration following mechanical injury. J Natl Cancer Inst; 62:995–1008.
Medzhitov R, Janeway CA Jr. 1997. Innate immunity: impact on the adaptive
immune response. Curr Opin Immunol; 9: 4–9.
Mercer RR, Russell ML, Roggli VL, Crapo JD. 1994. Cell number and distribution
in human and rat airways. Am J Respir Cell Mol Biol.;10:613–624.
Meyer M, Pahl HL, Baeuerle PA. 1994. Regulation of the transcription factors
NFKB and AP-1 by reTox changes. Chem Biol Interact 91:91-100.
Miller KA, Siscovick DS, Sheppard L, Shepherd K, Sullivan JH, Anderson GL,
Kaufman JD. 2007. Long-term exposure to air pollution and incidence of
cardiovascular events in women. New England Journal of Medicine; 356(5):
447–458.
Molinelli AR, Madden MC, McGee JK, Stonehuerner JG, & Ghio AJ. 2002. Effect
of metal removal on the toxicity of airborne particulate matter from the Utah
valley. Inhalation Toxicology; 14(10):1069–1086.
Møller P, Jackobsen NR, Folkmann JK, Danielsen PH, Mikkelsen L, Hemmingsen
JG, Vesterdal LK, Forchhammer L, Wallin K, Loft S. 2010. Role of oxidative
damage in toxicity of particulates. Free Radic Res.; 44:1– 46.
Monn C. & Becker S. 1999. Cytotoxicity and, of proinflammatory cytokines from
human monocytes exposed to fine (PM2.5) and coarse particles (PM10-2.5)
in outdoor and indoor air. Toxicology and Applied Pharmacology; 155(3):
245–252.
111
Moser C, Weiner DJ, Lysenko E, Bals R, Weiser JN, Wilson JM. 2002. beta-
Defensin 1 contributes to pulmonary innate immunity in mice. Infect Immun;
70: 3068–3072.
Mostov K & Zegers M. 2003. Cell biology: Just mix and patch. Nature; 422:267–
268.
Muhlfeld C, Rothen-Rutishauser B, Blank F, Vanhecke D, Ochs M, Gehr P. 2008.
Interactions of nanoparticles with pulmonary structures and cellular
responses. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol.; 294:L817–L829.
Mukae H, Hogg JC, English D, Vincent R & Van Eeden SF. 2000. Phagocytosis of
particulate air pollutants by human alveolar macrophages stimulates the bone
marrow. American Journal of Physiology; 279(5):L924–L931.
Mukae H, Vincent R, Quinlan K, English D, Hards J, Hogg JC, van Eeden SF. 2001.
The effect of repeated exposure to particulate air pollution (PM10) on the
bone marrow. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine;
163(1): 201–209.
Murphy J, Summer R, Wilson AA, Kotton DN, & Fine A. 2008. The prolonged
life-span of alveolar macrophages. American Journal of Respiratory Cell and
Molecular Biology; 38(4):380–385.
Mutlu GM, Green D, Bellmeyer A, Baker CM, Burgess Z, Rajamannan N,
Christman JW, Foiles N, Kamp DW, Ghio AJ, Chandel NS, Dean DA,
Sznajder JI, Budinger GR. 2007. Ambient particulate matter accelerates
coagulation via an IL-6-dependent pathway. J Clin Invest.; 117:2952–2961.
Nel A, Xia T, Ma¨dler L, Li N. 2006. Toxic potential of materials at the nanolevel.
Science.; 311:622– 627.
Nemmar A, Hoet PH, Vanquickenborne B, Dinsdale D, Thomeer M, Hoylaerts MF,
Vanbilloen H, Mortelmans L, Nemery B. 2002. Passage of inhaled particles
into the blood circulation in humans. Circulation; 105(4):411–414.
Neuringer IP & Randell SH. 2004. Stem cells and repair of lung injuries.
Respiratory Researc; 5(6).
Nightingale JA, Maggs R, Cullinan P, Donnelly LE, Rogers DF, Kinnersley R,
Chung KF, Barnes PJ, Ashmore M, Newman-Taylor A. 2000. Airway
inflammation after controlled exposure to diesel exhaust particulates. Am J
Respir Crit Care Med.;162:161–166.
Niyonsaba F, Someya A, Hirata M, Ogawa H, Nagaoka I. 2001. Evaluation of the
effects of peptide antibiotics human betadefensins- 1/-2 and LL-37 on
histamine release and prostaglandin D(2) production from mast cells. Eur J
Immunol; 31: 1066–1075.
Nolen-Walston RD, Kim CF, Mazan MR, Ingenito EP, Gruntman AM, Tsai L,
Boston R, Woolfenden AE, Jacks T, Hoffman AM. 2008. Cellular kinetics
and modeling of bronchioalveolar stem cell response during lung
regeneration. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol.; 294: L1158-1165
112
O’Neill LAJ, Fitzgerald KA, Bowie AG. 2003. The Toll-IL-1 receptor adaptor
family grows to five members. Trends in Immunology; 24: 287–290
O’Neill MS, Veves A, Sarnat JA, Zanobetti A, Gold DR, Economides PA, Horton
ES, Schwartz J. 2007. Air pollution and inflammation in type 2 diabetes: a
mechanism for susceptibility. Occup Environ Med.; 64: 373–379.
Ohtoshi T, Tsuda T, Vancheri C, Vancheri C, Abrams JS, Gauldie J, Dolovich J,
Denburg JA, Jordana M. 1991. Human upper airway epithelial cell-derived
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor induces histamine-
containing cell differentiation of human progenitor cells. Int Arch Allergy
Appl Immunol; 95(4): 376–384.
Ohtoshi T, Vancheri C, Cox G, Gauldie J, Dolovich J, Denburg JA, Jordana M.
1991. Monocyte-macrophage differentiation induced by human upper airway
epithelial cells. Am J Respir Cell Mol Biol; 4(3): 255–263.
Otto WR. 2002. Lung epithelial stem cells. Journal of Pathology; 197(4):527–535.
Park KS, Wells JM, Zorn AM, Wert SE, Lanbach VE, Fernandez LG, Whitsett JA.
2006. Transdifferentiation of ciliated cells during repair of the respiratory
epithelium. Am J Respir Cell Mol Biol; 34:151–157.
Parks WC, Lopez-Boado YS, Wilson CL. 2001. Matrilysin in epithelial repair and
defense. Chest; 120:36S–41S.
Parks WC. 1999. Matrix metalloproteinases in repair. Wound Repair Regen; 7:423–
432.
Plotkowski MC, Bajolet-Laudinet O, Puchelle E. 1993. Cellular and molecular
mechanisms of bacterial adhesion to respiratory mucosa. Eur Respir J; 6:
903–916.
Pope CA, Burnett RT, Thurston GD. 2004. Cardiovascular mortality and long-term
exposure to particulate air pollution: epidemiological evidence of general
pathophysiological pathways of disease. Circulation; 109:71–77.
Pritchard RJ, Ghio AJ, Lehmann JR, Winsett DW, Tepper JS, Park P, Gilmour MI,
Dreher KL, Costa DL. 1996. Oxidant generation and lung injury after
particulate air pollutant exposure increase with the concentrations of
associated metals. Inhalation Toxicol 8:457-477.
Pryor WA. 1992. Biological effects of cigarette smoke, wood smoke, and the smoke
from plastics: the use of electron spin resonance. Free Radic Biol Med; 13:
659-676.
Pryor, WA & Squadrito GL. 1995. The chemistry of peroxynitrite: a product from
the reaction of nitric oxide with superoxide. Am J Physiol; 268:L699–722.
Puchelle E, Zahm JM, Tournier JM, Coraux C. 2006. Airway epithelial repair,
regeneration, and remodeling after injury in chronic obstructive pulmonary
disease. Proc Am Thorac Soc; 3:726-733
Qureshi ST, Lariviere L, Leveque G, Clermont S, Moore KJ, Gros P, Malo D. 1999.
Endotoxintolerant mice have mutations in Toll-like receptor 4 (Tlr4). J Exp
Med; 189: 615–625.
113
Rahman I, Li XY, Donaldson K, Harrison DJ, MacNee W. 1995. Glutathione
homeostasis in alveolar epithelial cells in vitro and lung in vivo under
oxidative stress. Am J Physiol 269:L285-L292.
Raiser DM, Zacharek SJ, Roach RR, Curtis SJ, Sinkevicius KW, Gludish DW, Kim
CF. 2008. Stem cell biology in the lung and lung cancers: using pulmonary
context and classic approaches. Cold SpringHarbor Symposia on Quantitative
Biology; 73:479–490.
Randell SH. 2006. Airway epithelial stemcells and thepathophysiologyof chronic
obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc; 3:718–725.
Rawlins EL, Hogan BL. 2006. Epithelial stem cells of the lung: privileged few or
opportunities for many?. Development; 133:2455–2465.
Rawlins EL, Okubo T, Xue Y, Brass DM, Auten RL, Hasegawa H, Wang F, Hogan
BL. 2009. The role of Scgb1a1+ Clara cells in the long-term maintenance and
repair of lung airway, but not alveolar, epithelium. Cell Stem Cell; 4: 525-
534.
Reddy R, Buckley S, Doerken M, Barsky L, Weinberg K, Anderson KD, Warburton
D, Driscoll B. 2004. Isolation of a putative progenitor subpopulation of
alveolar epithelial type 2 cells. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol.; 286:
L658-667.
Refsnes M., Hetland RB, Øvrevik J, Sundfør I, Schwarze PE, & Mag LG. 2006.
Different particle determinants induce apoptosis and cytokine release in
primary alveolar macrophage cultures. Particle and Fibre Toxicology; 3(10).
Rhoden CR, Ghelfi E, Gonza´lez-Flecha B. 2008. Pulmonary inflammation by
ambient air particles is mediated by superoxide anion. Inhal Toxicol.; 20:11–
15.
Robbins RA, Springall DR, Warren JB, Kwon OJ, Buttery LD, Wilson AJ, Adcock
IM, Riveros-Moreno V, Moncada S, Polak J. 1994. Inducible nitric oxide
synthase is increased in murine lung epithelial cells by cytokine stimulation.
Biochem Biophys Res Commun; 198: 835–843.
Rochelle LG, Fischer BM, Krunkosky TM, Wright DT, Adler KB. 1996.
Environmental toxins induce intracellular responses of airway epithelium
through reactive species of oxygen and nitrogen. Chest; 109:35S-39S.
Rogers AV, Dewar A, Corrin B, Jeffery PK. 1993. Identification of serous-like cells
in the surface epithelium of human bronchioles. Eur. Respir. J; 6: 498–504.
Romberger D, Beckmann J, Claassen L, Ertl R, Rennard S. 1992. Modulation of
fibronectin production of bovine bronchial epithelial cells by transforming
growth factor-beta. AmJ Respir Cell Mol Biol; 7:149–155.
Rosen GM, Pou S, Ramos CL, Cohen MS, & Britigan BE. 1995. Free radicals and
phagocytic cells. FASEB J; 9:200–9.
Ruckerl R, Ibald-Mulli A, Koenig W, Schneider A, Woelke G, Cyrys J, Heinrich J,
Marder V, Frampton M, Wichmann HE, Peters A. 2006. Air pollution and
114
markers of inflammation and coagulation in patients with coronary heart
disease. Am J Respir Crit Care Med.; 173:432– 441.
Rundell KW, Hoffman JR, Caviston R, Bulbulian R, Hollenbach AM. 2007.
Inhalation of ultrafine and fine particulate matter disrupts systemic vascular
function. Inhal Toxicol.; 19:133–140.
Sacco O, Romberger D, Rizzino A, Beckmann JD, Rennard SI, Spurzem JR. 1992.
Spontaneous production of transforming growth factor-β2 by primary
cultures of bronchial epithelial cells: effects on cell behavior in vitro. J Clin
Invest; 90: 1379–1385.
Saetta M, Turato G, Baraldo S, Zanin A, Braccioni F, Mapp CE, Maestrelli P,
Cavallesco G, Papi A, Fabbri LM. 2000. Goblet cell hyperplasia and
epithelial inflammation in peripheral airways of smokers with both symptoms
of chronic bronchitis and chronic airflow limitation. Am J Respir Crit Care
Med; 161:1016–1021.
Sagai M, Lim BH, Ichinose T. 2000. Lung carcinogenesis by diesel exhaust
particles and the carcinogenic mechanism via active oxygen. Inhal Toxicol;
12: 215-223.
Salvi S, Blomberg A, Rudell B, Kelly F, Sandstrom T, Holgate ST, Frew A. 1999.
Acute inflammatory responses in the airways and peripheral blood after short-
term exposure to diesel exhaust in healthy human volunteers. Am J Respir
Crit Care Med.; 159:702–709.
Salzman NH, Ghosh D, Huttner KM, Paterson Y, Bevins CL. 2003. Protection
against enteric salmonellosis in transgenic mice expressing a human intestinal
defensin. Nature; 422: 522–526.
Samet JM, Stonehuerner J, Reed W, Devlin RB, Dailey LA, Kennedy TP,
Bromberg PA, & Ghio AJ. 1997. Disruption of protein tyrosine phosphate
homeostasis in bronchial epithelial cells exposed to oil fly ash. Am J Physiol;
272: L426–32.
Schafer FQ, Qian SY, Buettner GR. 2000. Iron and free radical oxidations in cell
membranes. Cell Mol Biol; 46:657-62.
Schauber J, Svanholm C, Termen S, Iffland K, Menzel T, Scheppach W, Melcher
R, Agerberth B, Lührs H, Gudmundsson GH. 2003. Expression of the
cathelicidin LL-37 is modulated by short chain fatty acids in colonocytes:
relevance of signalling pathways. Gut; 52: 735–741.
Schins RPF, Lightbody JH, Borm PJA, Shi T, Donaldson K, & Stone V. 2004.
Inflammatory effects of coarse and fine particulate matter in relation to
chemical and biological constituents. Toxicology and Applied
Pharmacology; 195(1):1–11.
Schmidt HHHW, Lohmann SM, Walter U. 1993. The nitric oxide and cGMP signal
transduction system: regulation and mechanism of action. Biochim Biophys
Acta; 1178:153-175.
115
Schneeberger EE, Walters DV, Olver RE. 1978. Development of intercellular
junctions in the pulmonary epithelium of the foetal lamb. J Cell Sci; 32: 307–
324.
Schneeberger EE. 1997. Alveolar type I cells. The Lung:Scientific Foundations
Second Edition edited by Crystal RG, West JB, Weibel ER, Barnes PJ.
Lippincott-Raven, Philadelphia.: 535-542.
Schutte BC McCray PB Jr. 2002. [beta]-defensins in lung host defense. Annu Rev
Physiol 2002; 64: 709–748.
Schwartz J. 1995. Short term fluctuations in air pollution and hospital admissions
of the elderly for respiratory disease. Thorax; 50(5):531–538.
Schwarz LB, Huff TF. 1991. Mast cells. In: Crystal RB, West JB, Barnes PJ,
Cherniack NS, Weibel ER, eds. The Lung: Scientific Foundations. Raven
Press. New York.
Seybold Z, Mariassy A, Stroh D, Kim C, Gazeroglu H, Wanner A. 1990.
Mucociliary interaction in vitro: effects of physiological and inflammatory
stimuli. J Appl Physiol; 68: 1421–1426.
Shukla A, Timblin C, BeruBe K, Gordon T, McKinney W, Driscoll K, Vacek P,
Mossman BT. 2000. Inhaled particulate matter causes expression of nuclear
factor (NF)-kappaB–related genes and oxidantdependent NF-kappaB
activation in vitro. Am J Respir Cell Mol Biol.; 23:182–187.
Silverberg A. 1983. Biorheological matching: mucociliary interaction and epithelial
clearance. Biorheology; 20: 215–222.
Simeonova PP, Luster MI. 1995. Iron and reactive oxygen species in the asbestos-
induced tumor necrosis factor-a response from alveolar macrophages. Am J
Respir Cell Mol Biol; 12:676-683.
Simkhovich BZ, Kleinman MT, Kloner RA. 2008. Air pollution and cardiovascular
injury epidemiology, toxicology, and mechanisms. J Am Coll Cardiol.;
52:719 –726.
Simom DI, Mullins ME, Jia L, Gaston B, Singel DJ, Stamler JS. 1996.
Polynitrosylated proteins: characterization, bioactivity and functional
consequences. Proc Natl Acad Sci USA; 93:4736-4741.
Sisson J, Prescott S, McIntyre T, Zimmerman G. 1987. Production of platelet-
activating factor by stimulated human polymorphonuclear leukocytes:
correlation of synthesis with release, functional events, and leukotriene B4
metabolism. J Immunol; 138: 3918–3926.
Sisson TH, Mendez M, Choi K, Subbotina N, Courey A, Cunningham A, Dave A,
Engelhardt JF, Liu X, White ES, Thannickal VJ, Moore BB, Christensen PJ,
Simon RH. 2010. Targeted injury of type II alveolar epithelial cells induces
pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med.; 181: 254-263.
Sorensen OE, Cowland JB, Theilgaard-Monch K. 2003. Wound healing and
expression of antimicrobial peptides/polypeptides in human keratinocytes, a
consequence of common growth factors. J Immunol; 170: 5583–5589.
116
Soukup JM, Ghio AJ, & Becker S. 2000. Soluble components of Utah Valley
particulate pollution alter alveolar macrophage function in vivo and in vitro.
Inhalation Toxicology; 12(5):401–414.
Soukup JM & Becker S. 2001. Human alveolar macrophage responses to air
pollution particulates are associated with insoluble components of course
material, including particulate endotoxin. Toxicol Appl Pharmacol; 171: 20–
26.
Spina D. 1998. Epithelium smooth muscle regulation and interactions. Am. J.
Respir. Crit. Care Med.; 158: S141–5.
Squadrito GL, Cueto R, Dellinger B, Pryor WA. 2001. Quinoid redox cycling as a
mechanism for sustained free radical generation by inhaled airborne
particulate matter. Free Radic Biol Med; 31: 1132-1138.
Stolzel M, Breitner S, Cyrys J. 2007. Daily mortality and particulate matter in
different size classes in Erfurt, Germany. Journal of Exposure Science and
Environmental Epidemiology,; 17(5):458–467.
Steigerwalt RW, Rundhaug JE, Nettesheim P. 1992. Transformed rat tracheal
epithelial cells exhibit alterations in transforming growth factor-β secretion
and responsiveness. Mol Carcinogen; 5: 32–40.
Stripp BR & Reynolds SD. 2008. Maintenance and repair of the bronchiolar
epithelium. Proceedings of the American Thoracic Society; 5(3):328–333.
Stripp BR & Shapiro SD. 2006. Stem cells in lung disease, repair, and the potential
for therapeutic interventions: stateof-the-art and future challenges. American
Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology; 34(5):517–518.
Stripp BR. 2008. Hierarchical organization of lung progenitor cells: is there an adult
lung tissue stem cell? Proc Am Thorac Soc.; 5: 695-698.
Sun Q, Yue P, Deiuliis JA, Lumeng CN, Kampfrath T, Mikolaj MB, Cai Y,
Ostrowski MC, Lu B, Parthasarathy S, Brook RD, Moffatt-Bruce SD, Chen
LC, Rajagopalan S. 2009. Ambient air pollution exaggerates adipose
inflammation and insulin resistance in a mouse model of diet-induced obesity.
Circulation.; 119:538 –546.
Sundaresan M, Yu ZX, Ferrans VJ, Irani K, & Finkel T. 1995. Requirement for
generation of H2O2 for platelet-derived growth factor signal transduction.
Science; 270:296–99.
Takeyama K, Jung B, Shim JJ, Burgel PR, Dao-Pick T, Ueki IF, Protin U, Kroschel
P, Nadel JA. 2001. Activation of epidermal growth factor receptors is
responsible for mucin synthesis induced by cigarette smoke. Am J Physiol
Lung Cell Mol Physiol; 280:L165–L172.
Tamagawa E, Bai N, Morimoto K, Gray C, Mui T, Yatera K, Zhang X, Xing L, Li
Y, Laher I, Sin DD, Man SF, van Eeden SF. 2008. Particulate matter exposure
induces persistent lung inflammation and endothelial dysfunction. Am J
Physiol Lung Cell Mol Physiol.; 295:L79 –L85.
117
Tamaoki J, Kobayaski K, Sakai N, Chiyotani A, Kanemura T, Takizawa T. 1989.
Effect of bradykinin on airway ciliary motility and its modulation by neutral
endopeptidase. Am Rev Respir Dis; 140: 430–435.
Tan WC, Qiu D, Liam BL, Ng TP, Lee SH, van Eeden SF, D’Yachkova Y, Hogg
JC. 2000. The human bone marrow response to acute air pollution caused by
forest fires. Am J Respir Crit Care Med.; 161:1213–1217.
Tebbutt NC, Giraud AS, Inglese M, Jenkins B, Wary Ing P, Clay FJ, Malki S,
Alderman BM, Grail D, Hollande F, Heath JK and Ernst M. 2002. Reciprocal
regulation of gastrointestinal homeostasis by SHP2 and STAT-mediated
trefoil gene activation in gp130 mutant mice. Nat. Med.; 8:1089–1097.
Tegner H, Ohlsson K, Toremalm NG, von Mecklenburg C. 1979. Effect of human
leukocyte enzymes on tracheal mucosa and its mucociliary activity.
Rhinology; 17:199–206.
Terashima T, Wiggs B, English D, Hogg JC, & Van Eeden SF. 1997. Phagocytosis
of small carbon particles (PM10) by alveolar macrophages stimulates the
release of polymorphonuclear leukocytes frombonemarrow. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine; 155(4):1441–1447.
Tesei A, Zoli W, Arienti C, Storci G, Granato AM, Pasquinelli G, Valente S, Orrico
C, Rosetti M, Vannini I, Dubini A, Dell'Amore D, Amadori D, Bonafe M.
2009. Isolation of stem/progenitor cells from normal lung tissue of adult
humans. Cell Prolif.; 42: 298-308.
Tesfaigzi J, Hotchkiss JA & Harkema JR. 1998. Expression of Bcl-2 during mucous
cell metaplasia and remodeling in F344/N rats. Am. J. Resp. Cell Mol. Biol.;
18: 794–799.
Tesfaigzi J, Thing J, Wright PS, Hotchkiss JA & Harkema JR. 1996. A small
proline-rich protein, sPRP1, is up-regulated early during tobacco smoke-
induced squamous metaplasia in rat nasal epithelia. Am. J. Respir. Cell Mol.
Biol.; 14: 478–486.
Tesfaigzi Y. 2003. Process involved in the repair of injured airway apithelial.
Archivum immunologiae et therapiae experimentalis; 51:283-288
Tesfaigzi Y, Fischer MJ, Green FHY, De Sanctis GT & Wilder JA. 2002. Bax is
crucial for IFNγ-induced resolution of allergen-induced mucous cell
metaplasia. J. Immunol.; 169, 5919–5925.
Tesfaigzi Y, Fischer MJ, Martin AJ & Seagrave J. 2000. Bcl-2 in LPS- and allergen-
induced hyperplastic mucous cells in airway epithelia of Brown Norway rats.
Am. J. Physiol.; 279: L1210–L1217.
Tesfaigzi Y, Harris JF, Hotchkiss JA & Harkema JR. 2003. DNA synthesis and Bcl-
2 expression during the development of mucous cell metaplasia in airway
epithelium of rats exposed to LPS. Am. J. Physiol; 286(2):L268-74.
Thompson AB, Heires A, Bohling T, Von Essen S, Rennard SI. 1991. The
antioxidant activity of bronchoalveolar lavage fluid is diminished in
association with chronic bronchitis. Am Rev Respir Dis; 143: A742.
118
Thompson AB, Robbins RA, Romberger DJ, Sisson JH, Spurzem JR, Teschler H,
Rennard SI. 1995. Immunological function of the pulmonary epithelium. Eur
Respir J; 8:127-149.
Tjabringa GS, Rabe KF, Hiemstra PS. 2005. The human cathelicidin LL-37: a
multifunctional peptide involved in infection and inflammation in the lung.
Pulm Pharmacol Ther; 18:321–327.
Tornqvist H, Mills NL, Gonzalez M, Miller MR, Robinson SD, Megson IL, Macnee
W, Donaldson K, Soderberg S, Newby DE, Sandstrom T, Blomberg A. 2007.
Persistent endothelial dysfunction in humans after diesel exhaust inhalation.
Am J Respir Crit Care Med.; 176:395– 400.
Tsai S, Goggins WB, Chiu H, Yang C. Evidence for an association between air
pollution and daily stroke admissions in Kaohsiung, Taiwan. Stroke;
34(11):2612–2616.
Tyner JW, Kim EY, Ide K, Pelletier MR, Roswith WT, Moreton JD, Bataille ST,
Patel AC, Patterson GA, Castro M. 2006. Blocking airway mucous cell
metaplasia by inhibiting EGFR antiapoptosis and IL-13 transdifferentiation
signals. J Clin Invest; 116:309–321.
Uhal BD. 1997. Cell cycle kinetics in the alveolar epithelium. Am J
Physiol;272:L1031-1045.
Ulich TR, Yin S, Guo K, Yi ES, Remick D, del Castillo J. 1991. Intratracheal
injection of endotoxin and cytokines. II. Interleukin-6 and transforming
growth factor-β inhibit acute inflammation. Am J Pathol; 138: 1097– 1101.
Underhill DM, Ozinsky A. 2002. Toll-like receptors: key mediators of microbe
detection. Curr Opin Immunol; 14: 103–110.
Vagaggini B., M. Taccola, S. Cianchetti. 2002. Ozone exposure increases
eosinophilic airway response induced by previous allergen challenge.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine; 166(8):1073–
1077.
Valavanidis A, Fiotakis K, Bakeas E, Vlahogianni T. 2005. Electron paramagnetic
resonance study of the generation of reactive oxygen species catalysed by
transition metals and quinoid redox cycling by inhalable ambient particulate
matter. Redox Rep; 10: 37-51.
van Eeden SF & Hogg jc. 2002. Systemic inflammatory response induced by
particulatematter air pollution: the importance of bone-marrow stimulation.
Journal of Toxicology and Environmental Health A; 65(20): 1597–1613.
van Eeden SF, Tan WC, Suwa T, Mukae H, Terashima T, Fujii T, Qui D, Vincent
R, Hogg JC. 2001. Cytokines involved in the systemic inflammatory response
induced by exposure to particulate matter air pollutants (PM(10)). Am J
Respir Crit Care Med.; 164:826–830.
van Wetering S, Mannesse-Lazeroms SPG, Van Sterkenburg MAJA. 1997. Effect
of defensins on IL-8 synthesis in airway epithelial cells. Am J Physiol (Lung
Cell Mol Physiol ); 272: L888–L896
119
Vermeer PD, Panko L, Karp P, Lee JH, Zabner J. 2006. Differentiation of human
airway epithelia is dependent on ErbB2. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol;
291:L175–L180.
Vlahogianni T, Valavanidis A, Fiotakis K, Loridas S. 2013. Airborne Particulate
Matter and Increased Risk of Lung Cancer- Mechanisms of
von Garnier C, Filgueira L, Wikstrom M. 2005. Anatomical location determines the
distribution and function of dendritic cells and other APCs in the respiratory
tract. Journal of Immunology; 175(3): 1609–1618.
Wagner JG, Van Dyken SJ, Wierenga JR, Hotchkiss JA, & Harkema JR. 2003.
Ozone exposure enhances endotoxininduced mucous cell metaplasia in rat
pulmonary airways. Toxicological Sciences; 74(2):437–446.
Wang YZ, Ingram JL,Walters DM, Rice AB, Santos JH, Van Houten B, & Bonner
JC. 2003. Vanadium-induced STAT-1 activation in lung myofibroblasts
requires H2O2 and p38 MAP kinase. Free Rad Biol Med; 35: 845–55.
Wanner A, Maurer D, Abraham W, Szepfalusi Z, Sielczak M. 1983. Effects of
chemical mediators of anaphylaxis on ciliary function. J Allergy Clin
Immunol; 72: 663–667.
Werts C, Tapping RI, Mathison JC. 2001. Leptospiral lipopolysaccharide activates
cells through a TLR2-dependent mechanism. Nat Immunol; 2: 346–352.
Wesley UV, Bove PF, Hristova M, McCathy S, van der Vliet A. 2007. Airway
epithelial cell migration and wound repair by ATP-mediated activation of
Dual Oxidase 1. J Biol Chem; 282:3213–3220.
Widdicombe JH. 1988. Electrical methods for studying ion and fluid transport
across airway epithelia. In: Braga PC, Allergra L, eds. Methods in Mucology.
New York, Raven Press; pp. 335–345.
Winterbourn CC, Molloy AL. 1988. Susceptibilities of lactoferrin and transferrin
to myeloperoxidase-dependent loss of iron binding capacity. Biochem J; 250:
613–616.
Wolfs TG, Buurman WA, Van Schadewijk A. 2002. IFNgamma and TNF-alpha
Mediated Up-Regulation During Inflammation. J Immunol; 168: 1286–1293.
Wong AP, Keating A, Lu WY, Duchesneau P, Wang X, Sacher A, Hu J, Waddell
TK. 2009. Identification of a bone marrow-derived epithelial-like population
capable of repopulating injured mouse airway epithelium. J Clin Invest.; 119:
336-348.
Wright DT, Cohn LA, Li H, Fischer B, Li CM, Adler KB. 1994. Interactions of
oxygen radicals with airway epithelium. Environ Health Perspect; 102(Suppl
10):85-90.
Wright DT, Fischer BM, Li CM, Rochelle LG, Akley NJ, Adler KB. 1996. Oxidant
stress stimulates mucin secretion and PLC in airway epithelium via a nitric
oxide-dependent mechanism. Am J Physiol; 271:L854-L861.
120
Wu W, Jaspers I, Zhang W, Graves LM, & Samet JM. 2002. Role of Ras in metal-
induced EGF receptor signaling and NF-kappaB activation in human airway
epithelial cells. Am J Physiol; 282: L1040-8.
Yang D, Chertov O, Bykovskaia SN. 1999. Beta-defensins: linking innate and
adaptive immunity through dendritic and T cell CCR6. Science; 286: 525–
528.
Yin XJ, Ma JYC, Antonini JM, Castranova V & Ma HJK. 2004. Roles of reactive
oxygen species and heme oxygenase- 1 in modulation of alveolar
macrophage-mediated pulmonary immune responses to Listeria
monocytogenes by diesel exhaust particles. Toxicological Sciences;
82(1):143–153.
Zahm JM, Kaplan H, He´rard AL, Doriot F, Pierrot D, Somelette P, Puchelle E.
1997. Cell migration and proliferation during the in vitro wound repair of the
respiratory epithelium. Cell Motil Cytoskeleton; 37: 33–43.
Zeka A, Sullivan JR, Vokonas PS, Sparrow D, Schwartz J. 2006. Inflammatory
markers and particulate air pollution: characterizing the pathway to disease.
Int J Epidemiol.; 35:1347–1354.
Zhang Y, Lee TC, Guillemin B, Yu M-C, Rom WN. 1993. Enhanced IL-1 and TNF-
a release and messenger RNA expression in macrophages from idiopathic
pulmonary fibrosis or after asbestos exposure. J Immunol; 150: 4188-4196.
Zhang L, Rice AB, Adler K, Sannes P, Martin L, Gladwell W, Koo JS, Gray TE &
Bonner JC. 2001. Vanadium stimulates human bronchial epithelial cells to
produce heparin-binding epidermal growth factor-like growth factor: a
mitogen for lung fibroblasts. Am J Respir Cell Mol Biol; 24: 123–31.
Zhao YY, Gao XP, Zhao YD, Mirza MK, Frey RS, Kalinichenko VV, Wang IC,
Costa RH, Malik AB. 2006. Endothelial cell-restricted disruption of FoxM1
impairs endothelial repair following LPS-induced vascular injury. J Clin
Invest.; 116: 2333-2343.
Zhu S, Manuel M, Tanaka S, Choe N, Kagan E, & Matalon S. 1998. Contribution
of reactive oxygen and nitrogen species to particulateinduced lung injury.
Environ Health Perspect; 106: 1157–63.
Tal TL, Simmons SO, Silbajoris R, Dailey L, Cho SH, Ramabhadran R, Linal W,
Reed W, Bromberg PA, Samet JM. 2010. Differential transcriptional
regulation of IL-8 expression by human airway epithelial cells exposed to
diesel exhaust particles. Toxicology and Applied Pharmacology; 243:46-54
Pourazar J, Mudway IS, Samet JM, Helleday R, Blomberg A, Wilson SJ, Frew AJ,
Kelly FJ, Sandstrom T, 2005. Diesel exhaust activates redox-sensitive
transcription factors and kinases in human airways. Am. J. Physiol.; 289:
L724–L730.
Mukaida N, Harada A, Matsushima K. 1998. Interleukin-8 (IL-8) and monocyte
chemotactic and activating factor (MCAF/MCP-1), chemokines essentially
involved in inflammatory and immune reactions. Cytokine Growth Factor
Rev.; 9:9–23.
121
Strieter RM. 2002. Interleukin-8: a very important chemokine of the human airway
epithelium. Am. J. Physiol.; 283: L688–L689.
Kim YM, Reed W, Wu W, Bromberg PA, Graves LM, Samet JM. 2006. Zn2+-
induced IL-8 expression involves AP-1, JNK, and ERK activities in human
airway epithelial cells. Am. J. Physiol.; 290:L1028–L1035.
Mudway IS, Stenfors N, Duggan ST, Roxborough H, Zielinski H, Marklund SL,
Blomberg, A, Frew AJ, Sandstrom T, Kelly FJ. 2004. An in vitro and in vivo
investigation of the effects of diesel exhaust on human airway lining fluid
antioxidants. Arch. Biochem. Biophys.; 423:200–212.
Carter JD, Ghio AJ, Samet JM, Devlin RB. 1997. Cytokine production by human
airway epithelial cells after exposure to an air pollution particle is
metaldependent. Toxicol. Appl. Pharmacol.; 146:180–188.
Gao HG, Chen JK, Stewart J, Song B, Rayappa C, Whong WZ & Ong T. 1997.
Distribution of p53 and K-ras mutations in human lung cancer tissues.
Carcinogenesis; 18(3):473-478
Mazur M & Glickman B. 1988. Sequence specificity of mutations mutations
induced by benzo(a)pyrene-7,8-diol-9,10-epoxide at endogenous aprt gene in
CHO cells. Somat. Cell. Mol. Genet.; 14:393–400.
Lasko DD, Harvey SC, Malaikal SB, Kadlubar FF & Essigmann JM. 1988
Specificity of mutagenesis of 4-aminobiphenyl: a possible role for N-
deoxyadenosin-8-yl)-4-aminobiphenyl as a premutational lesion. J. Biol.
Chem.; 263: 15429–15435.
Meuth M. 1990 The structure of mutation in mammalian cells. Biochim. Biophys.
Acta; 1032: 1–17.
Rodenhuis S, Slebos RJC, Boot AJM, Evers SG, Mooi WJ, Wagenaar SS, Bodegom
PC & Bos JL. 1988. Incidence and possible clinical significance of K-ras
oncogene activation in adenocarcinoma of the human lung. Cancer Res.;
48:5738–5741
Li ZH, Zheng J, Weiss LM & Shibata D. 1994. c-K-ras and p53mutations occur
very early in adenocarcinoma of the lung. Am. J. Pathol.; 144:303–309
Oreffo VI, Lin HW, Gumerlock PH, Kraegel SA & Witschi H. 1992. Mutational
analysis of a dominant oncogene (c-Ki-ras-2) and a tumor suppressor gene
(p53) in hamster lung tumorigenesis. Mol. Carcinogen.; 6:199–202.
Fong AT, Dashwood RH, Cheng R, Mathews C, Ford B, Hendricks JD & Bailey
GS. 1993. Carcinogenicity, metabolism and Ki-ras proto-oncogene activation
by 7,12-dimethylbenz[a]anthracene in rainbow trout embryos.
Carcinogenesis; 14: 629–635.
Anderson ML & Spandidos DA. 1993. Oncogenes and onco- suppressor genes in
lung cancer. Resp. Med.; 87:413–420.
El-Deiry WS, Tokino T, Velculescu VE, Levy DB, Parsons R, Trent JM, Lin D,
Mercer WE, Kinzler KW & Vogelstein B. 1993. WAF1, a potential mediator
of p53 tumor suppression. Cell; 75: 817–825
Gualberto A, Aldape K, Kozakiewicz K & Tlsty TD. 1998. An oncogenic form of
p53 confers a dominant, gain-of-function phenotype that disrupts spindle
checkpoint control. Proc Natl Acad Sci USA; 95: 5166–5171
Iggo R, Gatter K, Bartek J, Lane D & Harris AL. 1990. Increased expression of
mutant forms of p53 oncogene in primary lung cancer. Lancet; 335: 675–679
122
Bennett WP, Colby TV, Travis WD, Borkowski A, Jones RT, Lane DP, Metcalf
RA, Samet JM, Takeshima Y, Gu JR, Vahakangas KH, Soini Y, Paakko P,
Welsh JA, Trump BF and Harris CC. 1993. p53 protein accumulates
frequently in early bronchial neoplasia. Cancer Res; 53: 4817–4822
Sozzi G, Miozzo M, Donghi R, Pilotti S, Cariani CT, Pastorino U, Della Porta G
and Pierotti MA. 1992. Deletions of 17p and p53 mutations in preneoplastic
lesions of the lung. Cancer Res; 52: 6079–6082
McDonald RJ, Pan LC, St George JA, Hyde DM, Ducore JM. 1993. Hydrogen
peroxide induces DNA single strand breaks in respiratory epithelial cells.
Inflammation; 17:715-722.
Lee JG, Madden MC, Reed W, Adler KB, Devlin RB. 1994. Use of the single cell
gel electrophoresis assay (SCGE) for detection of oxidant-induced DNA
single strand breaks (ssb) in human lung cells. Presented at the American
Thoracic Society Conference, 22-25 May 1994, Boston, MA.
Feig DI, Reid TM, Loeb LA. 1994. Reactive oxygen species in tumorigenesis.
Cancer Res; 54:1890-1894.
Satoh MS, Lindahl T. 1994. Enzymatic repair of oxidative DNA damage. Cancer
Res (Suppl); 54:1899-1901.
Berger SJ, Sudar DC, Berger NA. 1986. Metabolic induced alterations in glucose
metabolism by activation of poly(ADP-ribose) polymerase. Biochem
Biophys Res Commun; 134:227-232.
Smith ML, Chen IT, Zhan Q, Bae I, Chen CY Gilmer TM, Kastan MB, O'Connor
PM, Fornace AJ Jr. 1994. Interaction of the p53-regulated protein Gadd45
with proliferating cell nuclear antigen. Science; 266:1376-1380.
Plopper CG, Duan X, Buckpitt AR, Pinkerton KE. Dose-dependent tolerance to
ozone IV. 1994. Site-specific elevation in antioxidant enzymes in the lungs
of rats exposed for 90 days or 20 months. Toxicol Appl Pharmacol; 127:124-
131
Slade R, Crissman K, Norwood J, Hatch G. 1993. Comparison of antioxidant
substances in bronchioalveolar lavage cells and fluid from humans, guinea
pigs and rats. Exp Lung Res; 19:469-484.
Hacket NR, Heguy A, Harvey BG, O’Connor TP, Luettich K, Flieder DB, Kaplan
R, Crystal RG. 2003. Variability of Antioxidant-Related Gene Expression in
the Airway Epithelium of Cigarette Smokers. American Journal of
Respiratory Cell and Molecular Biology; 29:331-343
123