kamis, 10 maret 2011 · web viewperda diantaraya kota padang, kota tangerang serta nanggroe aceh...
TRANSCRIPT
LATAR BELAKANG
Kehadiran Perda-Perda Syari’ah di 37 kabupaten dalam negara kesatuan republik
Indonesia memang patut dipertanyakan, hal ini dikarenakan Indonesia bukanlah negara agama,
sehingga aturan-aturan yang berlaku hendaklah mengatur seluruh masyarakatnya, bukan hanya
mengatur satu golongan agama tertentu. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa penduduk
Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, namun kehadiran aturan-aturan yang bernuansakan
Syari’ah ini menuai banyak kritik, kontra pendapat, tidak hanya dari kalangan non muslim,
namun juga dari kalangan muslim sendiri. Terkait dengan hal ini, Ketua DPR, Marzuki Alie
berpendaat bahwa “Perda Syari’ah itu keliru. Kita NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Bhinneka Tunggal Ika, yang tidak ada payung hukumnya harus dibatalkan," lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa “Pancasila adalah ideologi terbuka. Maka, Perda harus merujuk pada
Pancasila dan UUD 1945 serta tidak boleh ada Perda yang bertentangan dengan Pancasila1.
Sejak runtuhnya orde baru era Soeharto dan diberlakukannya Undang-undang tentang
otonomi daerah pada tahun 1999, daerah otonom diberi kewenangan untuk mengatur sendiri
daerahnya. Hal ini mendorong beberapa daerah untuk mengatur sendiri daerahnya dengan
aturan-aturan yang dinilai dapat diterima masyarakatnya. Syari’ah merupakan aturan yang
berasal dari kitab suci Al Qur’an yang dinilai pasti dapat diterima dan ditaati oleh masyarakat
yang mayoritas beragama Islam. Daerah-daerah yang telah memberlakukan Syari’ah sebagai
1 Kholil Rokhman/Koran SI/ugo, “Marzuki Alie: Perda Syari’ah Harus Dibatalkan”, http://news.okezone.com/read/2011/03/10/339/433667/marzuki-alie-Perda-Syari’ah-harus-dibatalkan
Kamis, 10 Maret 2011 19:22 wib, diunduh tanggal 30 juli 2011.
Perda diantaraya Kota Padang, Kota Tangerang serta Nanggroe Aceh Darussalam yang karena
kekhususannya juga memiliki Perda Syari’ah.
Penerapan Syari’ah sebagai aturan Undang-undang dapat dilihat pada Undang-undang
Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya disebut UU NAD) ditetapkan. UU NAD,
dalam pengaturannya memberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, mengolah dan memberdayakan sumber
daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan
demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasi tata
bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan
secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam
memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam dan
mengilplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat (Penjelasan umum atas UU
NAD paragraf 8). Sehingga dapat dikatakan bahwa lahirnya UU NAD, merupakan pemicu dari
lahirnya Perda-perda Syari’ah di NAD serta diikuti daerah-daerah lainnya.
Apabila ditelusuri, di Indonesia terdapat beberapa Undang-undang (UU) yang
berhubungan dengan hukum Islam seperti UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan UU
Wakaf, namun masih bersifat parsial, berkisar pada sebagian masalah kePerdataan yang ruang
lingkupnya pun sangat terbatas, namun dapat memicu lahirnya Perda-Perda Syari’ah di daerah.
Selain menimbulkan kontroversi yang dapat memicu ketegangan dan konflik sosial, Perda
Syari’ah juga dikhawatirkan dapat menjadi alat politisasi agama. Syariat Islam, dapat kehilangan
otoritas religiusnya dan hanya menjadi kebijakan publik biasa dari pemerintah daerah yang
bersangkutan.
Di daerah Perda Syari’ah, misalnya di Bireun, kebiasaan anak-anak muda yang mabuk-
mabukan dan berjudi di gang-gang perkampungan menjadi hilang, masyarakat tampak lebih taat
beragama. Meningkatnya rasa aman dalam masyarakat perlu dikaji lebih lanjut karena diragukan
bahwa ketaatan itu refleksi ketulusan, kesadaran, dan kedewasaan. Sangat mungkin ketaatan itu
lahir karena rasa takut pada aparat Syari’ah yang bertugas mengatasnamakan agama. 2 Hal ini
merupakan pergeseran dari konsep dasar keagamaan, karena agama seharusnya dilaksanakan dan
ditaati secara ikhlas dan sukarela oleh penganutnya. Prinsip-prinsip Syari’ah akan kehilangan
otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara/daerah. Disisi lain, hal ini dapat
menggeser kewenangan institusi kepolisian ke kepolisian daerah yang menjalankan tugas
Syari’ah, sehingga memungkinkan untuk terjadinya konvlik kewenangan.
Kelompok yang mendukung Perda Syari’ah juga berpandangan bahwa persoalan
kemasyarakatan yang berkembang akhir-akhir ini hanya dapat diatasi dengan menerapkan ajaran
Islam secara baik. Pandangan semacam ini tidak lagi merupakan wacana akan tetapi sudah
berada di tingkat praksis, hal ini dapat dilihat dalam penerapan busana muslim bagi siswa dari
SD sampai SMA di Kabupaten Agam Sumatera Barat, Perda Anti Maksiat seperti penerapan jam
malam bagi perempuan di Depok dan Tangerang, Penerapan wajib pandai baca tulis Alqur'an
bagi calon mempelai di Bulukumba Sulawesi Selatan dan daerah-daerah lainnya.3 Oleh karena
2 http://www.csrc.or.id/research/index.php?detail=20080626083029, “Perda Syari’ah Islam di Era Otonomi Daerah: Implikasinya Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim”, diunduh pada tanggal 30 juli 2011.
3DR.Zainuddin,MA, “KONTROVERSI SEPUTAR PERDA SYARI’AH”,
http://www.mui-bukittinggi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:kontroversi-seputar-Perda-Syari’ah&catid=35:artikel&Itemid=54, Diunduh pada tanggal 30 juli 2011.
itu penerapan Perda Syari’ah dapat dikatakan melanggar HAM (hak asasi manusia) dalam
kebebasan seseorang untuk memeluk dan menjalani agamanya serta aliran kepercayaannya
masing-masing yang telah dijamin dalam UUD 1945.
Perda Syari’ah, bagaimanapun juga dapat menyebabkan disintegrasi bangsa yang dapat
mengganggu persatuan dan kesatuan seluruh rakyat Indonesia, Perda Syari’ah juga dapat
menyebabkan kecemburuan sosial di Indonesia khususnya didaerah lain yang mayoritas
masyarakatnya tidak memeluk agama Islam. Di Monokwari misalnya, di mana Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) setempat sedang diisukan merancang apa
yang disebutnya sebagai Perda Kota Injil.4 Apabila rencana ini diwujudkan, maka daerah-daerah
di Indonesia di masa depan akan dibeda-bedakan menurut mayoritas keyakinan dan agama
masing-masing daerah, kondisi ini jelas dapat mengancam eksistensi NKRI.
Aturan hukum yang berlaku, hendaknya bersifat universal, dalam artian dapat
diberlakukan untuk seluruh subjek hukum di suatu wilayah tertentu, tidak hanya diberlakukan
terhadap satu golongan tertentu, dan kehadiran Perda Syari’ah ini tentunya tidak dapat
diberlakukan terhadap masyarakat/ subjek hukum yang diluar Islam. Dalam kaitannya dengan
pembuatan Perda, maka tidak boleh bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya. Apabila dikaitkan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda), maka pemerintah
daerah tidak dapat membuat Perda yang bernuansakan agama karena kewenangan untuk itu tidak
diberikan oleh pemerintah pusat.
4 Loc. Cit “Perda Syari’ah Islam di Era Otonomi Daerah: Implikasinya Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim”, diunduh pada tanggal 30 juli 2011.
Untuk itu, Perda Syari’ah haruslah dibatalkan pemberlakuannya demi negara kesatuan
yang berasaskan pancasila. Selain itu, diperlukan pengawasan terhadap pembuatan Perda
kabupaten, agar setelah penetapannya tidak dibatalkan, mengingat biaya dan waktu dalam
pembuatan Perda tidaklah sedikit.
PEMBAHASAN
Pengertian dan Materi Muatan Perda Syari’ah
Perda Syari’ah adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai Agama Islam yang
bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah atas kesepatan antara
pemerintah daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menurut DR.Zainuddin,
MA, dalam tulisannya yang berjudul “Kontroversi Seputar Perda Syari’ah” mengemukakan
bahwa terdapat dua pengertian Syari’ah, yaitu Syari’ah dalam arti sempit dan Syari’ah dalam arti
luas. Syari’ah dalam arti sempit berarti teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut masalah
hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas (dalam pengertiannya yang murni) adalah teks-teks
wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan dlm hubungan individu dengan Tuhan),
Syari’ah (hukum) dan akhlak(budi pekerti, moral, etika), yang dalam hal ini Syari’ah berarti teks
ajaran hukum Islam secara keseluruhan. 5
Dalam konteks Perda Syari’ah nampaknya yang digunakan adalah Syari’ah dalam arti
sempit, karena merupakan pemahaman atau penafsiran dari teks teks-teks wahyu atau hadis,
sehingga bukan teks asli dari hadis maupun sunnah atau dapat dikatakan telah diintervensi oleh
penafsiran-penafsiran manusia yang memungkinkan juga diselipkan unsur-unsur kepentingan
politik tertentu.
5 Loc. Cit., DR.Zainuddin,MA.
Oleh karena ajaran Islam secara keseluruhan dapat dibagi kedalam tiga unsur, yaitu
aqidah, Syari’ah dan akhlak, maka materi muatan Perda syariah juga dapat dibagi kedalam tiga
kategori, yaitu Perda yang terkait dengan isu keagamaan, hukum universal, serta sosial. Perda
Syari’ah terkait dengan isu keagamaan terlihat pada materi muatan Perda Syari’ah yang berada
di Bulukumba misalnya, yang mana diatur tentang keterampilan beragama dalam Perda Syari’ah
seperti keharusan bisa baca tulis al-Qur’an yang kemudian dimasukan dalam syarat nikah, sarat
kenaikan pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga untuk memperoleh pelayanan publik,
serta keharusan belajar di Madrasah sebagai prasayarat bagi seseorang untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Perda Syari’ah yang berkaitan dengan hukum, seperti
misalnya Perda yang mengatur tentang zakat, infak dan shadaqah. Perda jenis ini ada di
Sukabumi, Lombok Timur Nusa Tenggara Barat, dan Cilegon. 6 Perda Syari’ah yang terkait isu
sosial, mengatur tentang moralitas masyarakat secara umum, serta etika dalam berpakaian. Perda
dalam kategori ini, antara lain Perda anti pelacuran dan perzinahan, Perda Syari’ah anti
kemaksiatan, serta Perda Syari’ah yang mengatur tata cara berpakaian, keharusan memakai
jilbab atau busana muslim-muslimah di tempat-tempat tertentu.
Materi muatan Perda Syari’ah yang demikian jauh menyentuh kehidupan pribadi dari
subjek hukum inilah yang melanggar HAM, serta kebebasan menjalankan agama dan
kepercayaannya masing-masing yang dijamin kemerdekaannya secara konstitusional dalam
UUD 1945 pasal 29 ayat (2).
6 Saepudin, “PERATURAN DAERAH SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA”, http://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/12/peraturan-daerah-syariah-dalam-sistem-hukum-indonesia/, Posted on Desember 12, 2010 by saepudin, diunduh pada tanggal 30 juli 2011.
Faktor Pendorong Munculnya Perda Syari’ah
Faktor utama pendorong munculnya aturan-aturan yang bernuansakan Islam adalah
adanya kelompok-kelompok yang ingin menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai negara Agama yang didalamnya terdapat kewajiban untuk menjalankan syariat Islam.
Hal ini telah terjadi dari jaman setelah kemerdekaan Indonesia, yang pada waktu itu terdapat
kelompok “pejuang Islam” yang ingin seluruh rakyat Indonesia menjalankan syariat Islam
dengan perumusan Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Namun pada waktu itu, terjadi perdebatan
sengit yang akhirnya diputuskan oleh Presiden Soekarno dalam Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali
ke UUD 1945.
Demikian juga dengan kemunculan Perda-Perda Syari’ah yang dilatarbelakangi oleh
adanya keinginan dari kelompok-kelompok yang menginginkan syariat Islam dijalankan oleh
seluruh masyarakat, kelompok-kelompok ini mencul setelah runtuhnya “era Soeharto” dan
ditetapkannya UU terkait otonomi daerah tahun 1999, hanya saja daerah cakupan
pemberlakuannya terbatas pada kabupaten. Faktor lain kemunculan Perda-Perda Syari’ah ini
dikemukakan oleh Robin Bush, yaitu:
1. Faktor sejarah dan budaya lokal, yang berbasis/ mayoritas memeluk satu agama tertentu
(Islam).
2. Daerah-daerah yang memiliki potensi korupsi tinggi, sehingga bisa diprediksikan bahwa
Perda atau kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya menutupi korupsi atau pengalihan
isu korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif.
3. Pengaruh lokal politik. Ini terjadi misalnya ketika seorang politisi ingin mencalonkan diri
sebagai kepala daerah atau seorang incumbent hendak mencalonkan diri lagi menjadi calon
kepala daerah periode berikutnya. Maka salah satu alat untuk menarik para pemilih adalah
dengan cara menawarkan diterapkan Perda-Perda bernuansa agama dalam fisi dan misinya
nanti apabila terpilih.
4. Kelemahan kalangan politisi tentang kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan dan
tiadanya kemampuan untuk menggali isu-isu strategis untuk menyejahterakan rakyat dan
lemahnya kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik
(good governance), lalu menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk
dijadikan aturan, hal ini dapat terjadi dengan adanya kesempatan politik yang luas dan
kekuasaan yang cukup untuk membuat berbagai peraturan.7
Hal inilah yang membuat nilai-nilai keagamaan Islam dapat kehilangan kehilangan otoritas
religiusnya, karena telah diintervensi oleh kepentingan tertentu sehingga hanya bersifat norma
tertulis yang dilaksanakan bukan atas dasar keikhlasan dan kesadaran hati nurani subjek hukum,
akan tetapi dilaksanakan karena aturan Perda yang memerintahkan demikian.
Kedudukan Perda Syari’ah dalam Sistem Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan sejak negara ini
didirikan (sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi dari penerapan prinsip negara
hukum ini adalah pengaturan seluruh aktivitas masyarakat dalam koridor hukum. Hukum adalah
alat yang bekerja dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita 7 Suroso, S.H., M.H., “PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH LANGSUNG, PERATURAN DAERAH SYARIAH DALAM DINAMIKA SOSIAL BANGSA INDONESIA”, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=13, Wednesday, 19 May 2010, diunduh pada tanggal 30 juli 2011.
masyarakat Indonesia yang tertuang dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan
kemerdekaan, Perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara ini didasarkan pada lima
falsafah sila Pancasila, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga
peraturan perundang-undangan yng diberlakukan di Republik Indonesia tidak boleh bertentangan
dengan hal-hal tersebut dalam pembukaan UUD 1945, termasuk pembentukan Perda Syari’ah.
Dalam negara hukum diperlukan pembagian kekuasaan untuk membagi beban kerja dan
tanggung jawab. Montesquieu dalam bukunya yang berjudul De L’esprit Des Lois mengajarkan
bahwa kekuasaan harus dibedakan menjadi tiga yakni:
a. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang oleh parlemen.
b. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah.
c. Kekuasaan yudisial atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. 8
Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial ini berada pada level pusat maupun level daerah.
Salah satu kekuasaan yang berada di level daerah adalah kekuasaan dalam membentuk Perda.
Kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan dalam pasal 18 ayat (2) UUD
1945 serta pasal 2 ayat (2) UU Pemda mengandung makna bahwa daerah, dengan inisiatif sendiri
dapat membentuk peraturan-peraturan yang berwujud Perda. Hal ini merupakan prinsip otonomi
daerah dimana negara dalam hal ini memberikan kewenangan ke daerah-daerah otonom untuk
8 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 170-171.
mengurus sendiri pemerintahannya. Namun disisi lain, berdasarkan prinsip Negara Kesatuan,
maka hanya terdapat satu kekuasaan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, sehingga pemerintah
pusat tetap berwenang untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas
penyelenggaraan kepentingan umum, hal ini dikenal dengan istilah Freies Ermessen. Berkenaan
dengan hal tersebut, E.Utrecht menyebutkan terdapat tiga kekuasaan pemerintah daerah, yaitu:
I. Membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang belum ada pengaturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat;
II. Membuat aturan atas dasar delegasi, karena pembuat undang-undang pusat tidak mampu memperhatikan tiap-tiap soal yang timbul dalam pergaulan sehari-hari, sehingga penyesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah.
III. Kewenangan untuk menafsirkan sendiri aturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat. 9
Dengan adanya penyerahan urusan pemerintah ini, maka selain kewenangan yang diatur
dalam pasal 10 ayat (3) UU Pemda, menjadi urusan pemerintahan daerah. Urusan-urusan
tersebut diantaranya :
a. Politik luar negeri;b. Pertahanan;c. Keamanan;d. Yustisi;e. Moneter dan fiskal nasional; danf. Agama.
Poin huruf (f) inilah yang perlu dicermati oleh pembuat Perda Syari’ah agar Perda kabupaten
yang telah ditetapkan dengan biaya dan waktu yang relatif besar tidak serta-merta dibatalkan,
karena kewenangan untuk menangani urusan-urusan keagamaan tetap menjadi urusan
pemerintah pusat/ dikecualikan dari kewenangan pemerintah daerah.
9 Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h.16.
Secara normatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan harus memenuhi asas seperti tercantum dalam UU No. 10 Tahun 2004
yaitu:
a."asas pengayoman" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b. "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c."asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d. "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e."asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f. "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi MuatanPeraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h. "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j. "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
k. "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain: dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Keberadaan Perda Syari’ah dapat dikatakan bertentangan dengan “asas kebangsaan”,
“asas Bhineka Tunggal Ika”, serta “asas kenusantaraan” karena tidak mencerminkan suatu Perda
yang dapat diberlakukan terhadap masyarakat yang pluralistik (kebhinekaan), Perda Syari’ah
hanya dapat diberlakukan pada umat muslim. Demikian juga dengan “asas keadilan” yang tidak
mungkin dicapai oleh Perda Syari’ah, karena keadilan tersebut bersifat relatif, adil bagi umat
muslim, belum tentu adil bagi umat lain yang juga terkena pemberlakuan Perda Syari’ah. Perda
Syari’ah merupakan pelanggaran terhadap “asas kemanusiaan” karena dinilai membatasi hak
seseorang dalam menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing, yaitu bertentangan
dengan UUD 1945 pasal 29 ayat (2) yang mengatur tentang kemerdekaan seseorang untuk
menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Kemerdekaan disini berarti bahwa
seseorang dapat menjalankan agama dan kepercayaannya tersebut tanpa diintervensi/ tanpa
campur tangan dari pihak manapun, termasuk pemerintah. Ayat (2) pasal 29 ini haruslah didasari
oleh ayat (1) pasal 29 UUD 1945, sehingga kemerdekaan yang diberikan oleh konstitusi tetap
bukan kemerdekaan yang sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh ayat (1) yaitu Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Atheis (tidak berketuhanan) tidak
dapat diterima di Indonesia.
Menurut geildingsdteorie yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip
oleh Atmadja yakni berlakunya hukum harus memenuhi tiga nilai dasar yang meliputi :10
(1) Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, di mana kekuatan mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.
(2) Sociological doctrine, nilai sosiologis artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan).
10 Atmadja, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum“ dalam Kertha Patrika, Nomor 62-63 Tahun XIX Maret-Juni 1993, h. 68, dikutip dari buku Kurt Wilk, 1950, The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, h.112.
(3) Philosophical doctrine, nilai filosofis artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.
……analisis tiga hal diatas kaitkan dgn peda syariah…poin c) kaitkan dgn pancasila………
Bertentangan dgn UUD, UU….
Diterima masyarakat……
Tidak sesuai dengan Pancasila………….
Karena hanya memenuhi unsur sosiologis, tetapi disisi lain bertentangan dengan….. maka Perda Syariah tidak memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah, sehingga Perda Syari’ah sudah seharusnya dibatalkan.
Instrumen Pembatalan Perda Syariah
Pembatalan aturan Perda kabupaten, yang dalam hal ini Perda Syari’ah, secara normatif
dapat dibatalkan oleh Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 145 ayat (3) UU Pemda dan Pasal 158 ayat (5) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 145 (2) dan
(3) UU Pemda menentukan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, keputusan
pembatalan Perda tadi ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya Perda itu oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 3 UU Pemda).
Pada prinsipnya, Perda hanya dapat dibatalkan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden
seperti yang telah diatur dengan tegas dan jelas pada pasal 145 ayat (3) UU Pemda. Pemerintah
yang dimaksud dalam pasal 145 UU Pemda ini adalah Presiden, walaupun Presiden memberikan
kewenangan tersebut pada Menterinya (Menteri Dalam Negeri), selama aturan dalam Pasal 145
UU Pemda belum direvisi maka tetaplah menjadi kewenangan Presiden, sehingga Menteri
Dalam Negeri dapat membatalkan Perda dengan “Atas nama Presiden”. Dengan demikian
pembatalan Perda merupakan kewenangan Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.
Kewenangan ini didapat Presiden secara atributif, yaitu diberikan kewenangan oleh Undang-
undang.
Prajudi Ato Sudirdjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yaitu:
(1).Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan;
(2).Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan;
(3).Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas;
(4).Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadaan darurat” maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian; bilamana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat dipengadilan;
(5).Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat; moral dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan;
(6).Efisien, wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya;
(7).Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk pengembangan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. 11
Dalam prakteknya, terdapat pembatalan Perda oleh Menteri Dalam Negeri (atas nama
Presiden), hal ini dimaksudkan demi terciptanya efisiensi waktu, biaya, dalam artian Perda
Syari’ah Kabupaten/Kota dinilai tidak memerlukan Peraturan Presiden dalam pembatalannya,
karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu yang panjang, serta proses yang tidak
sederhana. Disisi lain, kedudukan Menteri Dalam Negeri disini adalah sebagai pembantu tugas-
tugas kepresidenan yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta berwenang melakukan
tuga-tugas yang dimandatkan oleh Presiden. Dikatakan mandat karena wewenang
penyelenggaraan pemerintahan tetap berada pada Presiden yang akan dimintakan 11 Ibid, dikutip dari Prajudi Atmosudirdjo, 1983, hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.
79-80.
pertanggungjawabannya dalam laporan pertanggungjawaban tahunan serta laporan
pertanggungjawaban lima tahunan Presiden pada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), atau
dalam keadaan tertentu dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh MPR.
Terkait dengan pembatalan Perda, dalam doktrin hukum dikenal asas a contrario actus
yang berarti bahwa suatu peraturan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan sejenis atau yang lebih
tinggi. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
a. UUD 1945;b. UU/eraturan Pemerintah Pengganti UU;c. Peraturn Pemerintah;d. Peraturan Presiden;e. Peraturan Daerah.
Sehingga logika hukum pembatalan Perda, yang dalam hal ini adalah Perda Syari’ah oleh
presiden telah benar/ sesai dengan peraturan-perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
yaitu telah sesuai dengan UU Pemda serta asas hukum a contrario actus. Terkait dengan hal ini,
terdapat juga teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, yaitu Stufenbautheorie, teori
hukum yang menyatakan bahwa “peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma yang
berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.”12 Dengan
demikian UUD 1945, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden menjadi pedoman dari penyusunan Perda sehingga Perda tidak boleh
bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut.
12 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 62.
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hanya ada satu
kekuasaan pemerintahan yang terletak pada pemerintah pusat yang kemudian diberikan secara
desentralisasi dan dekonsentrasi pada daerah. Artinya, sewaktu-waktu kewenangan daerah dapat
ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan penyelenggaraan negara.
Hal ini dapat dilihat pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”
kemudian, terkait dengan pencabutan kewenangan daerah otonom oleh pusat dapat dilihat pada
pasal 6 UU Pemda.
Perda, termasuk Perda Syari’ah merupakan pekerjaan yang memerlukan biaya dan waktu
serta beban pikiran yang besar, untuk itu diperlukan pengawasan agar Perda yang telah
ditetapkan tidak serta-merta dibatalkan oleh Pemerintah. Pengawasan pembentuan Perda dapat
berupa pengawasan preventif. Pengawasan preventif berarti pengawasan sebelum Perda tersebut
diberlakukan sehingga apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan pembentukan Perda,
misalnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dll dapat dicegah
pemberlakuannya. Preventif dapat dilakukan dengan merevisi, serta memeriksa/ evaluasi
rancangan Perda Syari’ah sebelum ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi Perda dapat
dilakukan oleh Gubernur, dan/atau Menteri Dalam Negeri sebelum Perda itu ditetapkan, hal ini
akan mengurangi kerugian yang ditimbulkan apabila setelah ditetapkan, baru diketahui
kejanggalannya.
Agar dampak dari keberlakuan Perda Syari’ah tidak lebih luas. Dapat dilakukan
Pengawasan Represif, dilakukan setelah Perda ditetapkan/ diberlakukan. Pengawasan ini dapat
dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, yaitu untuk mengetahui apakah Perda tersebut efektif
dan efisien untuk diberlakukan, apakah Perda tersebut tidak melanggar hak konstitusional subjek
hukum, apakah telah memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum, dan faktor-faktor lain untuk
menguji keberlakuan Perda tersebut, sehingga apabila Perda tersebut tidak layak untuk
diterapkan, dapat diajukan laporan untuk membatalkan Perda tersebut.
Sesuai dengan ketentuan pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan 20 ayat (2) huruf b Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah
Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Sehingga
apabila Perda Syari’ah dinilai melanggar hak konstitusional seseorang, seperti pembatasan dalam
menjalankan agama dan kepercayaannya, maka orang yang merasa dirugikan tersebut dapat
mengajukan laporan pada Mahkamah Agung. Hal inilah yang harus dicermati oleh masyarakat,
karena mereka memiliki hak untuk melaporkan Perda Syari’ah yang seharusnya dibatalkan. Hal
ini perlu disosialisasikan lebih luas pada seluruh rakyat Indonesia, karena fakta dimasyarakat,
sangat jarang subjek hukum yang mengetahui hal ini.
Kesimpulan
Dari pemaparan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Perda Syari’ah
bertentangan dengan…….
Keberadaan Perda Syariah dapat melanggar hak konstitusional masyarakat dalam
menjalankan peribadatan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, serta dapat
memecah kebhinekaan dalam persatuan Indonesia. Untuk itu Perda Syari’ah harus dibatalkan
pemberlakuannya oleh Pemerintah, yang sesuai dengan pasal…….. kewenangan ini dipegang
oleh Presiden, atau dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. Pembatalan
Perda Syari’ah juga dapat melalui uji materi Perda Syari’ah melalui Mahkamah Agung, untuk
kemudian diajukan hasil uji tersebut kepada Pemerintah untuk dibatalkan apabila terbukti tidak
sesuai untuk diterapkan di daerah di Indonesia.
Saran
Jalur pelaporan Perda bermasalah, termasuk Perda Syari’ah harus disosialisasikan secara
seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia melalui media massa, baik media massa
nasional maupun media massa swasta yang ada di daerah, agar masyarakat mengerti dan
mengetahui bagaimana hak-hak konstitusionalnya, yang apabila dilanggar oleh suatu aturan
Perda, dapat melaporkan pada yang berwenang. Perlindungan keamanan pelapor harus dijamin
oleh aparat penegak hukum, karena sering kali masyarakat enggan untuk melapor dengan alasan
keamanan.
Merubah/ merevisi sifat dari pengujian Perda dan pelaporan masyarakat yang masih
bersifat pelaporan atas pelanggaran hak konstitusional, pelaporan terhadap adanya Perda yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan
Pancasila. “pelaporan” disini berarti Mahkamah Agung Tidak akan menguji suatu Perda,
termasuk Perda Syariah, apabila tidak ada/ tanpa laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan
atau merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh aturan Perda tersebut. Padahal tanpa
laporanpun, dapat diketahui apakah suatu Perda tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip NKRI.
Pancasila, UUD 1945, ataukah tidak sesuai seperti Perda Syari’ah misalnya.