kamaruzzaman ba diplomasi budaya budaya sebagai kekuatan diplomasi rancang bangun strategi...

19
1 Rancang Bangun Strategi Kebudayaan dalam Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D. Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh e-mail: [email protected] Abstrak Makalah ini bertujuan untuk memaparkan orientasi arah strategi kebudayaan di Indonesia. Gagasan ini muncul ketika budaya menjadi salah satu dari aset peradaban masing-masing suku bangsa di Indonesia (Noerhadi, 2012). Sejauh ini, budaya telah menjadi semacam alat untuk melebarkan pengaruh baik di tingkat regional maupun internasional. Untuk itu, makalah ini akan lebih mengfokuskan pada bentuk strategi kebudayaan dalam persoalan pertahanan dan keamanan Indonesia. Adapun pertahanan dan keamanan dalam studi ini dimaknai upaya suatu bangsa untuk bertahan dari kepungan kebudayaan yang pada titik tertentu telah banyak mempengaruhi sistem berpikir masyarakat. Di samping itu, persoalan ini juga lebih dipahami sebagai upaya- upaya suatu negara di dalam menghadapi pengaruh sistem makna dan sistem simbol dari pihak luar di dalam merubah paradigma masyarakat yang dapat mengancang keamanan dan ketahanan negara. Di dalam kajian ini strategi kebudayaan dipandang sebagai satu benteng pertahanan bangsa yang bersifat kosmologis dan meta-fisika. Dengan kata lain, sistem berpikir, sistem simbol, sistem makna (Spiro, 1979) akan menjadi tumpuan utama di dalam studi ini, dengan melihat aspek-aspek kebudayaan asing sebagai salah satu ancaman yang dapat merusak fondasi berbangsa. Kajian ini ingin mempertautkan antara sosial-antropologis (Beattie, 1972) dengan pendekatan fenomenologis (Jackson, 1996) untuk melihat isu-isu yang muncul di dalam pengaruh suatu kebudayaan terhadap terhadapan bangsa lain. Di dalam hal ini, proses perubahan paradigma masyarakat mengenai kebudayaan melalui ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi titik keberangkatan utama. Adapun data kajian ini dari penelaahaan karya-karya terkini mengenai pemetaan kebijakan global di dalam menjadikan perubahan dunia ke arah planetary civilization (Kaku, 2012) (Acemoglu & Robinson, 2012) (Morris, 2011).

Upload: yuki-takeno

Post on 22-Jun-2015

33 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

1 Rancang Bangun Strategi Kebudayaan dalam Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad,Ph.D. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh e-mail: [email protected] Abstrak MakalahinibertujuanuntukmemaparkanorientasiarahstrategikebudayaandiIndonesia. Gagasan ini muncul ketika budaya menjadi salah satu dari aset peradaban masing-masing suku bangsadiIndonesia(Noerhadi,2012).Sejauhini,budayatelahmenjadisemacamalatuntuk melebarkan pengaruh baik di tingkat regional maupun internasional. Untuk itu, makalah ini akan lebih mengfokuskan pada bentuk strategi kebudayaan dalam persoalan pertahanan dan keamanan Indonesia.Adapunpertahanandankeamanandalamstudiinidimaknaiupayasuatubangsa untuk bertahan dari kepungan kebudayaan yang pada titik tertentu telah banyak mempengaruhi sistem berpikirmasyarakat. Di sampingitu, persoalaninijugalebih dipahami sebagai upaya-upaya suatu negara di dalam menghadapi pengaruh sistem makna dan sistem simbol dari pihak luar di dalam merubah paradigma masyarakat yang dapat mengancang keamanan dan ketahanan negara.Didalamkajianinistrategikebudayaandipandangsebagaisatubentengpertahanan bangsayangbersifatkosmologisdanmeta-fisika.Dengankatalain,sistemberpikir,sistem simbol, sistemmakna (Spiro, 1979) akanmenjadi tumpuan utama didalamstudiini, dengan melihat aspek-aspek kebudayaan asing sebagai salah satu ancaman yang dapat merusak fondasi berbangsa.Kajianiniinginmempertautkanantarasosial-antropologis(Beattie,1972)dengan pendekatanfenomenologis(Jackson,1996)untukmelihatisu-isuyangmunculdidalam pengaruh suatu kebudayaan terhadap terhadapan bangsa lain. Di dalam hal ini,proses perubahan paradigma masyarakat mengenai kebudayaan melalui ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi titik keberangkatan utama. Adapun data kajian ini dari penelaahaan karya-karya terkini mengenai pemetaan kebijakan global di dalam menjadikan perubahan dunia ke arah planetary civilization (Kaku, 2012) (Acemoglu & Robinson, 2012) (Morris, 2011). 2 1. Dewasa ini, setelah muncul era kolonial, paradigma keilmuan hendak mempertemukan seluruh manusia dengan konsep-konsep yang bersifat tidak terbatas yang dikenal dengan istilah borderlesssociety.Sehinggamasyarakatdapatmenerimasiapapunyanghadirdidalam kehidupanmereka,mulaidaripublikhinggaprivat.KehadiranICTyangbegitumarak,telah menyebabkan masyarakat harus memikirkan keamanan dan kenyamanan di dalam berkehidupan. Misalnya,suatuperistiwadibelahandunialain,telahdipaksakanuntukdipikirkanatau dilakukan oleh masyarakat di belahan dunia lainnya, sehingga mereka, baik sadar maupun tidak, selalu berupaya untuk ikut di dalam setiap perubahan secara global. Karena itu, beberapa negara mencoba mengontrol ICT supaya rakyatnya tidak terpengaruh oleh kebudayaan yang datang luar. Namun tidak sedikit pula negara-negara maju yang mencoba tetap mempertahankan kebudayaan mereka,walaupunnegaratersebuttelahterdepandidalamICT.1Upayauntukbernegosiasi tersebut juga dirasakan di dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan persoalan kebudayaan pada era kontemporer.2 Dalamsalahsatustudimengenaikeamanandanstrateginasional,FrancisFukuyama masihmenekankanbahwaadalimaaspekpembangunanyaitu:pertumbuhanekonomi, mobilisasi sosial/perkembangan masyarakat sipil, statebuilding, penegakan hukum, demokrasi elektoral.3Kelimaaspektersebutsalingterkait,danmenjadistrategididalampembangunan nasional, tidak terkecuali di negara maju seperti Amerika Serikat. Dalam beberapa hal tertentu, terkait dengan demokrasi, Indonesia telah menempati posisi sebagai negara yang demokratis di AsiaTenggara.4Namun,padasaatyangsama,Indonesiajugamerupakansalahsatunegara paling korup di dunia. Demikian pula, pada persoalan pemerintahan, Indonesia belum mampu melakukanpemberdayaanlembagaatauinstitusiyangdapatmemperkokohkehidupan 1Contoh negara tersebut adalah Korea Selatan. Baca misalnya (Mente, 2012). Lihat juga bagaimana masyarakat China di dalam mempertahankan kebudayaan mereka,di tengah kepungan budaya lain dalam (DeBernadi, 2009)2 (Ibrahim, 1997)3 (Fukuyama, Reconceptualizing Democracies and Empowering Them to Deliver, 2009, p. 56)4Dalam laporan perkembangan rezim pada tahun 2009, Indonesia bersama dengan India, Timor Timur, Bangladesh, dan Sri Langka. Baca (Diamond, 2009, p. 53). Bandingkan dengan (Liddle & Muzani, 2000) 3 bernegara.5 Sejauh ini, persoalan yang paling krusial adalah mencari cara yang paling baik untuk menanamkanjiwanasionalismedidalamsetiaprelungnadirakyatIndonesia.6Sehingga persoalandisintegrasibangsamenjadipersoalanyangpalingkrusial.Namundemikian, kontribusiIndonesiadalampentasregional,palingtidak,telahmemperlihatkanbagaimana kekuatan diplomasi yang dijalankan selama beberapa dekade terakhir.7 Plusdan minusbangsa Indonesiainimenjadicatatanyangamatpenting,sebabsebagainegarayangmemilikisuku bangsa yang amat banyak, mampu bertahan di dalam setiap kepungan dan masalah, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negara.8 Kajianiniinginmeneruskandiskusimengenaistrategikebudayaanyangpernahdi perdebatkan oleh sarjana Indonesia, seperti terlihat antara AMW Pranarka dengan H.M. Rasjidi.9 Disini muncul diskusi mengenai persoalan memanusiakan manusia dan persoalan spirit di dalam membangun suatu kebudayaan nasional. Harus diakui bahwa ada kelompok yang berusaha untuk meneruskantradisiberpikirHegelian10diIndonesia,ketikamerekamelihatpersoalanspirit. Sementaraitu,adajugakelompokyangtidakmelihataspekpersoalanspiritsebagaimana dipahami oleh Hegel, tetapi ingin merujuk pada agama. Dalam konteks ini, para sarjana yang merujuk pada aliran pemikiran filsafat Barat cenderung mendapat tempat di dalam pembangunan bangsaIndonesia.11SementaramerekayanginginmengusungIslam,cenderungdianggap sebagaikelompokyanginginmenjadikanagamasebagaibagiandarimasalahdidalam kehidupanberbangsa.Sehingga,ketikamendiskusikankebudayaan,cenderungtidakmelihat Islamsebagaisalahsatuinstrumenpenting.Halinijugadipicuolehstandarisasikebudayaan cenderungmelihataspekmistikdidalamreproduksikebudayaanditengah-tengahkehidupan masyarakat.Disinilahkemudianilmu-ilmusosialdanhumanioraberusahauntukmemahami aspek kehidupan manusia yang telah berwujud sebagai hasil kebudayaan. Dalam hal ini, Irwan Abdullah menjelaskan bahwa ada dua hal tentang proses sosial budaya. Pertama, pada tataran 5Bandingkan dengan (Acemoglu & Robinson, 2012)6 (Ali, 2010)7 (Bustamam-Ahmad, Redefinisi "Perbatasan Dan Keamanan" Di Asia Tenggara (Sebuah Paradigma Untuk Ketahanan Nasional), 2011)8 (Kuntjoro-Jakti, 2012) 9 (Rasjidi, 1980)10Tentang Hegel, baca (Taylor, Hegel, 1975) (Taylor, 1979) (Acikel, 2006) (Knapp, 1986)11Lihat misalnya (Samuel, 2010) (Malo, 1989) (Tjondronegoro, 1997)4 sosialakanterlihatprosesdominasidansubordinasibudayaterjadisecaradinamisyang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individualakandapatdiamatiprosesresistensididalamreproduksiindentitascultural sekelompokorangdidalamkontekssosialbuayatertentu. 12Prosesadaptasiini,menurut Abdullah,berkaitandenganduaaspek:ekspresikebudayaandanpemberianmaknatindakan-tindakanindividual.13Disinilahletakpersoalanyangmenjaditumpuankajianiniyaitu bagaimanastrategikebudayaanyangdapatdijalankandidalamkehidupanberbangsadi Indonesiadengantidaklagisalingmengesampingkanaspekinternaleksternaldidalam reproduksikebudayaan.Hal ini tentu saja terkait dengan keamanan dalam arti setiap individu memiliki kesamaan sistem berpikir di dalam menjalankan aksi-aksi sosial budaya, baik secara diam maupun bergerak. 2. Dalamkontekskeindonesiaan,maknadanperanilmusosialtelahberjasadidalam menopang dan memberikan haluan bagi pengembangan kehidupan kebudayaan. Edi Sedyawati menulis sebagai berikut: Apaartikebudayaanbagisuatubangsa?Semuaorangpastitahunjawabannya: kebudayaanadalahjatidirisuatubangsa.Suatubangsadiperbedakandariyanglain melalui kekhasan kebudayaanya Untuk Indonesia, satuan-satuan kemasyarakatan yang ditandai oleh kekhususan budaya itu disebut dengan suku bangsa, dan istilah lain untuk ituadalahsatuanetnik,mengacupadapenggunaannyadidalamilmuAntropologi. DalamkasusIndonesia,bangsayangsamadengannationterdiridaribanyak bangsa (=suku bangsa)14 Istilah jatimenunjukkan arti keaslian. Sementara diri atau (self) merupakan bagian dari mikro-kosmos. Di Malaysia, istilah jati kerap dituliskan dilekatkan dengan indentitas yaitu Melayu Jati. Karena suku bangsa ini mendominasi dalam tradisi berbangsa di Malaysia. Karena itu, konsep MelayuJatitidak sama dengansuku bangsa Melayu di Indonesia.15 Di negara tersebut, orang Jawa,Padang,Bugis,Aceh,Madura,telahdiikatdalamsatuidentitasMelayu.Disamping mereka memiliki konsep Melayu tersendiri yang wujud di dalam konstitusi yaitu mereka yang 12 (Abdullah I. , 2006, pp. 41-42). Cetak miring dari penulis.13 (Abdullah I. , 2006, p. 42)14 (Sedyawati, 2012, p. 49)15Mengenai diskusi tentang Melayu, baca (Andaya, 2001) (Andaya, 2001b) (Milner, 2011) (Reid, 2001). Bandingkan kajian tersebut dengan (Samin, 2013) 5 berbahasa Melayu, beragama Islam, dan lahir di Malaysia sebelum 1957.16 Adapun di Indonesia, suku bangsa yang mendominasiadalah Jawa. Adapun J awa sendiri terbentang dari Selat Sunda hingga ke Bali. Namun, orang Jakarta dan Sunda kerap mengatakan bahwa diri mereka bukanlah Jawa. Sehingga wilayah Jawa itu dimulai dari arah mata angin, dari Barat hingga ke Timur.17 Sehingga muncul orang yang belum memahami Jawa dikatakan durungJawa(belum Jawa).18 Dengan kata lain, menjadi Indonesia pada prinsipnya adalah menjadi dan memahami Jawa yang asli.Maksudnya,kebudayaanJawa-lahyangpalingmendominasididalamsistemberpikir berbangsa.19 Karena itu, tidak mengejutkan kemudian, jika para peneliti yang melakukan pengkajian diIndonesia,paska-kemerdekaan,lebihmenitikberatkanpengkajianmerekamengenaisistem berpikir dan simbol-simbol yang ada di dalam masyarakat Jawa. Pada gilirannya, sistem berpikir ini menjadi sistem pertahanan bangsa Indonesia. Di dalam menciptakan Indonesia Baru para peneliti dari Amerika pada era 1950-an telah berjasa di dalam memaparkan sistem berpikir Jawa didalamparadigmailmu-ilmusosialmelaluipandanganTalcottParsonyangdiambildari pemikiran Weberian. Pola penjelasan kebudayaan seperti ini, pada tahap berikutnya menopang kekuasaanIndonesia.Adapunterhadapkebudayaan,LeonardBindermenjelaskansebagai berikut: Theliberalapproachtodevelopment,ormodernization,theoryiscomposedoftwo theoreticalelements,thefirstofwhichistheParsoniantheorylinkingthecultural pragmaticwithaconceptionofmodernculture.ThesecondelementistheBentleyan metaphysicofprocess.TheideaofculturalpragmaticisthecoreofParsonsaction system,inwhichintentionallymotivatedinterpersonalrelationsaredeemedtobe determined by an existing culture and, at the same time, determine how that culture will adaptandchangetoaccordswithnewsocialcircumstances.Theconceptofmodern culture, like theDeweyanidea of a democratic society,is one whichvalues change itself, hence, changes more readily that traditional cultures, in accordance with changing intentionalities of participantsindividuals. By combining the thesis of culture with the antithesisofexperience,Parsonproducedadialecticofdevelopmentwhichhasbeen made even more explicit by Habermas, which hold the view that modernization of belief system is rational and a natural process.20 16Lebih lanjut baca (Bustamam-Ahmad, 2012)17Kajian yang paling komprehensif mengenai hal ini, lihat (Lombard, 2008)18Baca (Magnis-Suseno, 2003)19 (Koentjaraningrat, 1986)20 (Binder, 1988, p. 34)6 J ika sebelum kemerdekaan, lebih banyak mengedepankan pemikiran model Durkheimian yang dijalankan oleh Christian Snouck Hurgronje, dengan menjadikan Islam sebagai titik fokus utama.21 Disebutkan bahwa mereka menjadi kelompok priyayi dan aristokrat sebagai kelompok Hindiayangtermodernisasidanterwesternisasi.22Sedangkanpaska-kemerdekaan,kelompok yangtermodernisasidanterwesternisasitidaklagidarikelompokpriyayi,tetapijugadari kelompok abangan dan santri.23 Namun, titik tekan yang menjadi objek adalah pada lapangan kebudayaandiJawa,bukandipulaulainsepertiSumatra,Kalimantan,Sulawesi,danPapua. Bagi rakyat di luar orbit Jawa diperkenalkan konsep stabilitasdan pembangunanyang menjadi inti penggerakan nadi bangsa era Orde Baru. Dominasi kebudayaan Jawa pada hakikatnya juga memperteguhhubunganyangtidakbegituharmonisantaraagamadankebudayaan.Halini disebabkan,faktorparadigmake-Jawa-anmenjadisalahsatusistemberpikiryangditerapkan untukseluruhpelosokIndonesia.Keadaaninimemicujugaperubahansistemberpikir masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan, budaya Jawa telah difungsikan sebagai suatu sistem kekuasaan yang menutup mata terhadap aspek kosmologis suku bangsa lainnya di Indonesia. Harusdiakuibahwapadaera1980-an,wajahkebudayaandiIndonesiadalambentuk kekuasaanmenjadiwajahtandinganbagisebagianmasyarakat.Saatitu,merekayang menerjemahkankebudayaanadalahkelompokmasyarakatyangberusahakeluardaritiran penguasa. Ketika itu pula, apa yang apa yang tidak duga sebelumnya telah terjadi yaitu budaya danIslambersatumelawanpenguasa.Merekayangmenjadicorongkebudayaantidaklagi berasal dari istana. Kemunculan era ini memperlihatkan bagaiamana kontestasi kebudayaan di Indonesia. Islam yang sebelumnya dijauhkan dari arena politik,24 telah dijadikan sebagai bagian dari kekuatan budaya baru di Indonesia. Jati diri bangsa Indonesia mulai dipersoalkan. Pancasila yangmenjadiruhbangsaIndonesiajugakemudiandijadikansebagaimusuhbersama.25 Pengikisan nilai-nilai kebangsaan ini pada ujungnya adalah untuk melawan penguasa yang telah memaksakan satu pemahaman bagi seluruh rakyat Indonesia. Persoalan disintegrasi bangsa pun mencuat.BeberapasukubangsapunmemintapisahdariRepublikIndonesia.Dentuman persoalan ini, agaknya terlupakan, manakala persoalan jatidiribangsayang dipaksakan dalam 21 (Benda, 1958) (Suminto, 1985)22 (Samuel, 2010, p. 25)23Untuk kajian ini baca (Abdullah T. , 2006)24 (Karim, 1999)25 (Abdillah, 1999) (Ismail, 1999)7 bentukmikro-kosmosdaripemikiranEropadanJawasempatmenjadipersoalanbaru,yang kemudian diselesaikan melalui era Reformasi. Apa yang hendak disampaikan adalah adanya pemaksaan sistem berpikir dari suatu suku bangsa di dalam wujud kebudayaan Indonesia, disadari atau tidak, telah memicu arah perpecahan bangsaIndonesiasendiri.Sistemberpikirdarisatusukubangsayangtelahmenjadifalsafah bernegara,ternyata tidak mampu menghadapi kepungan sistem berpikir dari luar atau pun sistem berpikirsuku bangsa yang menjadi oposan. Era 1980-an adalah era dinama budaya dan Islam mendapatkan pengaruh yang amat luar biasa. Secara metafisik, pengaruh ilmu-ilmu sosial dari Amerika sangat kuat, khususnya dampak dari mazhab Chicago yang ada di Amerika Utara. Saat itu, pembesaran Islam sebagai peradabanyang bertujuan untuk menghalau ideologi komunis di Timur Tengah telahmerambat ke Indonesia.Mazhab Chicagoyangberusahamenerjemahkan ideologi menggerakkan di Timur Tengah, tanpa disadari telah mempengaruhi kekuatan dorongan Islam sebagai ideologi terselubung.26 Model pengkajian melalui pola studi mentalitas dan islam sebagaiperadaban telahmampumemperbesar pandangan penyatuanbahwa Islammerupakan suatu khazanah yang dapat disesuaikan dalam jati diri bangsa Indonesia. Sebenarnya agenda itu adalah pekerjaanrumahsebelum 1945, dimana keinginan beberapa pemikir untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan ideologi bangsa. Kesempatan ini baru mendapatkan momentumnya pada era 1980-an.27 Adapun motor penggerakan islam sebagai peradabandan islam dan rasionalitasadalah Nurcholish Madjid dan Harun Nasution.28 Sementara kekuatan mempertautkan budaya dan Islam dapatdilihatdarigagasanAbdurrahmanWahidmengenaipribumisasiIslam.29Ketiganama sarjanatersebutmemangtelahberjasadidalammenanamkankebudayaanbarudiIndonesia, khususnya di luar istana. Nurcholish Madjid menghasilkan karya-karya yang memandang Islam sebagai sebuah peradaban.30 Model pengkajian ini, pada hakikatnya adalah meneruskan model 26Baca misalnya (Binder, 1988)27Baca juga (Latif, 2005)28Karya Harun Nasution lebih sering menggunakan istilah rasional. Lihat misalnya (Nasution, 1998) (Nasution, 1986) (Halim, 2005) (Uchrowi & Thaha, 1989)29Baca kajian tentang pemikiran Abdurrahman Wahid dalam (Barton, 1999) (Barton, 2002) (Barton, 1997)30Baca beberapa karya Nurcholish Madjid yang kerap menggunakan istilah peradaban: (Madjid N. , 2000) (Madjid N. , 2005) (Madjid N. , 1997) (Madjid N. , 1994)8 pengkajianMarshallG.S.HodgsondalamkaryanyaVentureofIslam.31Harusdiakuibahwa beberapa sarjana sudah memperkenalkan studi Marshall ini di Indonesia.32 Pada saat yang sama, model studi Marshall merupakan salah satu dari kelanjutan tiga model studi budaya dan Islam yang ada di Amerika Utara yaitu Clifford Geertz dalam beberapa karya yang menggunakan ilmu antropologi terhadap Islam dan Patricia Crone dan Michael Cook yang mempergunakan model Hagarisme pada Islam juga.ModelGeertz,sebagaimanadijelaskandiatasmerupakanpenerapanteori-teori Fungsional dan Struktural di dalammenjelaskan agama. Menurut Binder, Geertz menjelaskan kebudayaan Indonesia as form of exemplarism which never fully integrated with the elements of medievalIslamandthefolkreligionofthecountryside.33Kebudayaankemudianhanya dipergunakan sebagai balance of power (keseimbangan kekuasaan). Dengan begitu, kebudayaan Indonesia wassomethinglessthanthecompleteintegrationofaself-sustainingandcircular culturalsystem.34AdapunmodelCronedanCookmelaluikonsepHagarisme.Konsepini dijelaskan sebagai berikut: TheauthorofHagarismconceiveoftheworldascomposedallcommunities, differentiated from one another by ethnicity and culture, each striving to maintain and enhance their identity in a Hobbesian arena of cultural and military conflict. The struggle for identity and independence is carried out within a framework of strategic logic, which requires that sociallyintegrative and culturally distinguishingmorebenicelybalanced against the benefits of universal civilization and a universal political order. The highest value in this system is integrated, self consistent, self ruling community; the world is divided between communities that have identity and integrity and those that do not The most complete example of such community is that of ancient Israel, united in ethnicity, religion, polity, priesthood, and culture.35 Adapunmodel HodgsonyangmencobamencariIslamyangideal. Menurut konsepini, Islam dijadikansebagaisuatuperadaban.MenurutBinder,Hodgson...preferringinsteadofthe concept of Islamic civilization, which he conceives of as a core of religious doctrine surrounded by a series of ever widening concentric circles of cultural practice of ever diminishing religious 31 (Hodgson, 1974)32 (Kertanegara, 1999)33 (Binder, 1988, p. 99)34 (Binder, 1988, p. 99)35 (Binder, 1988, p. 104). Pola mencari keyakinan kuno di dalam penjelasan tentang agama, dimana Israel masuk di dalam studi tersebut, dapat dibaca dalam (Bellah, 2011)9 relevanceandlegitimacy.36Ketigaparadigmainipadaumumnyatelahberkembangdi Indonesia,terkaitdenganpemahamankebudayaandanperanreligi.Namun,hampirsemua paradigma ini mencoba menjelaskan pertautan kultur dan sistem agama.Di Indonesia, turunanmodel Crone dan Cook dapat dilihat dari term istilah yang tidak begitudisukaiyaituIslamisasipadaprinsipnyaadalahArabisasi.Intinya,Islamyang berkembang di Indonesia tidak begitu diinginkan adalah yang sangat kental pengaruh Arab-nya. Walaupun kebudayaan Arab datang ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan Islam.37 Adapun istilah yang paling disukai adalah model paradigma Geertz yaitu pribumisasiIslam. Sementara peran Islam lebih disukai sebagai kekuatan peradaban, sebagaimana dipaparkan oleh Hodgson. DiIndonesia,pengaruhdariUniversitasChicagojugaterlihatpadapolapemahamanIslam sebagaiperadabanyangmenjadiintidarialumninyayaituNurcholishMadjiddanA.Syafii Maarif. Model ini merupakan jalan tengah yang banyak diterima oleh para elit di Indonesia. Model Hodgson ini dipandang sebagai neutral position dan lebih memberikan fokus pada the role of specialed elites in ideological matters.38 Padaera1990-an,ketigamodelparadigmainiberkembangpesat.ModelArabisasi memunculkangejalagerakanfundamentalisme.Sedangkangejalapribumisasimemunculkan istilah islamliberal. Adapun gejala ketiga memunculkan istilah Islamneo-modernisme. Ketiga kekuatanIslamdanbudayatersebutdiresponsecarabermacam-macam.Namun,negara memberikanlapanganbagisetiappelakuatauaktor.Merekaterkadangdiperhadapkansatu sama lain dalam wajah konfrontatif. Namun, pelaku dan pemikirnya bukanlah sejenis pemikir yang lahir dari kelompok bangsawan atau ningrat. Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa: Pada tahun 1970-an, dampak yang cukup berarti dari proses pendidikan ini mulai tampak. Iniditandaidengansemakinbanyaknyagenerasibaruyangtelahmerampungkan pendidikantinggi.Dekadeberikutnya(1980-an)ditandaidengansemakinbanyaknya mereka yang berhasil menyelesaikan program pascasarjana baik dari dalam maupun dari luar negeri. Di kalangan pengamat, periode-periode ini sering disebut sebagai ledakan kaum cerdik pandai (intellectual boom).39

36 (Binder, 1988, p. 107) 37Baca misalnya (Othman, 2006) (Freitag, 1999)38 (Binder, 1988, p. 109)39 (Effendy, 2006, pp. 631-632)10 Adapun di luar negeri, ada upaya kuat untuk memperhadapkan Islam sebagai peradaban denganperadabanBarat.Tahun1993,muncultesisbenturanperadaban(TheClashof Civilizations), yang digagas oleh Samuel P. Huntington. Tesis ini kemudian menjadi paradigma barudalamilmusosialuntukmenyaringperadabanyangdapatdiajakbekerjasamadengan Islam. Tahun 1996, karya Samuel P. Huntington pun terbit, dimana melalui karya itu, paradigma kebijakanBaratmendapatlegitimasikalanganintelektual.40Tentusaja,selainSamuelP. Huntington, terdapat muridnya yaitu Francis Fukuyama yang terdahulu menerbitkan buku The EndofHistoryandtheLastMan.PemikiranHuntingtondanFukuyamamemanglebih melanjutkan tradisi berpikir Hegelian.41 Disini, filsafat dan sejarah dipertemukan dengan kajian ilmu politik dan ekonomi. Paling tidak, ada tiga pandangan Hegel yang mempengaruhi Francis Fukuyama. Pertama, sejarah adalah suatu proses yang rasional, dan sebab itu universal. Kedua, proses sejarah umatmanusia secara keseluruhanitumenuju tujuan tertentu atau sejarahyang terarah. Ketiga, proses kearah tujuan tertentu itu berlangsung secara dialektis.42

Proses determinasi sejarah dalam bidang ekonomi dan demokrasi inilah yang kemudian dijadikanlandasanberpikirFukuyamadanHuntington.Dengankatalain,manusiatelah ditentukannasibnyadariluardirinya.Dengankatalain,kekuatanmanusiasebagaimikro-kosmos hanya menjalani takdir yang sudah ditentukan, bukan diri (self) manusia tersebut yang melakukannya. Legitimasi Barat lebih unggul dari lainnya inilah kemudian yang menyebabkan pengaruh pada benturan peradaban. J ika gagasan Hegel diterapkan di Jerman pada abad ke-19, makagagasanFukuyamaditerapkanpadaabadke-21inimelaluipintukapitalismedan demokrasi.43BagiIndonesia,dampakyangcukupbesardirasakanadalahpadatahun1998, ketika terjadi proses Reformasi. Proses penerimaan kapitalisme dan demokrasi ini seiring dengan proseskebangkitanpolitikIslam,yangdimotoriolehparaelitpemikirIslam.Tahun1998, kekuatanIslampolitikmengalamimomentumnya.Namun,karenaspiritReformasiadalah penerimaan kapitalisme dan demokrasi, maka tahun 1999, kekuatan Islam sebagai partai politik tidakmampumelawankekuatanpolitikyangberhaluannasionalis-sekular.44KekuatanIslam 40 (Huntington, 1997). Baca analisa terhadap tesis tersebut dalam (Bustamam-Ahmad, 2003)41 (Acikel, 2006)42 (Leirissa, 2001, p. xil)43 (Leirissa, 2001, p. xiil)44Baca misalnya (Bustamam-Ahmad, 2004) (Bustamam-Ahmad, 2005)11 sebagai gerakan sosial keagamaan, bahkan dianggap sebagai bagian ancaman dalam kehidupan bernegara.Disini,salahsatupenerimaanyangcukuplebardalambatasantertentuadalah kekuatan Islam dalam wajah ekonomi. Pola pembentukan masyarakat saat itu memang telah digiring pada konsep masyarakat madani.Beberapapemikirmencobamenghubungkandengankonsepcivilsociety.Adayang mempersamakan,namuntidaksedikitpulayangmempertentangkan.45Semuaelemenlokal digiring pada konsep localwisdomyang dibahani dari local knowledge. Harus diakui bahwa, di Barat sendiri, mereka tidak pernah mengakui peran penting local knowledgeatau localwisdom. Perdebatan mengenai filsafat pengetahuan, sama sekali terkadang tidak menghargai kontribusi pengetahuan lokal.46 Whitt menuturkan sebagai berikut: When the spiritual knowledge, rituals, and objects of historically subordinated cultures aretransformedintocommodities,economicandpoliticalpowersmergetoproduce culturalimperialism.Aformofoppressionexertedbyadominantsocietyuponother cultures,andtypicallyasourceofeconomicprofit,culturalimperialismsecuresand deepens the subordinated status of those cultures. In the case of indigenous cultures, it underminestheirintegrityanddistinctiveness,assimilatingthemintothedominant culturebyseizingandprocessingvitalculturalresources,thenremakingtheminthe image and marketplaces of the dominant culture.47 Jadi,ketikakontribusilocalknowledgepadaprinsipnyadiarahkanpadaimperialisme kebudayaan. Sehingga, mereka tidak diberikan peran penting di dalam skala yang lebih besar, kecualihanyaberkontribusi di dalampemahaman reproduksisistem pengetahuanmasyarakat. Sehingga, di Indonesia tidak ada upaya menjadikan localwisdomdari suku-suku bangsa yang ada di negeri ini sebagai bagian dari reproduksi sistem pengetahuan secara nasional. Dengan kata lain, jika sudah diketahui dan dipahami kebudayaan lokal, tidak diarahkan untuk menarik spirit kebudayaan masyarakat lokal pada level nasional sebagai bagian strategi kebudayaan nasional. Dari uraian di atas menyiratkan bahwa kebudayaan lokal, pada prinsipnya telah diarahkan padasuatukondisiimperalismekebudayaan.Dalamarti,budayalokaldianggapada,namun yangdiambilhanyauntukmenopangperkembanganilmupengetahuan,akantetapitidak diberikan peran dan fungsi secara aktif di dalam kehidupan masyarakat setempat. Maksudnya, 45 (Baso, 1999) (Karni, 1999) (Hikam, 1999)46 (Whitt, 2009)47 (Whitt, 2009, p. 7)12 budayahanyadiambilsaripatisaja,tidakdifungsikanuntukmemobilisasikehidupan masyarakat. Jasa ilmuwan ini pada gilirannya menciptkan suasana bahwa kita hanya mengakui budaya, tetapi tidak mampu memberikan fungsi penuh di dalam kehidupan masyarakat. Budaya hanya ditanamkan pada alam pikiran semata, bukan pada alam nyata kehidupan sehari-hari. Pola penyingkiran kekuatan budayainimemang telahmenjadi gejalabaru, khususnya ketika teori-teori ilmu sosial yang ingin menyeragamkan kehidupan dan pandangan manusia. Saatini,upayabaruyangdilakukanadalahuntukmemahamiagama-agamabesardi duniayangmendasari kekuatanbaru di dalam pentas global.Perhatian para sarjana ditujukan pada Cina, India, Eropa, dan Amerika Utara.48 Namun, semua kekuatan agama tersebut dijadikan fungsinya sebagai bagian dari pembinaan demokrasi.Karena itu, kekuatan agama yang tidak menyangga demokrasi akan dikesampingkan secara teoritik. Tidak hanya itu, kekuatan sains juga diarahkan pada paradigma planetary civilization. Wujud masa depan manusia adalah become like God(menyerupaikekuatanTuhan).Saatini,manusiasedangberadaataumenujupadaTipe Pertama planetarycivilization. Tipeini ditandaibeberapahalyaitu: internet, dimanamanusia dapatberkomunikasisatusamalaindiduniatidaklagiterbatas;penggunaanbahasaInggris sebagaibahasainternasional;kemunculanplanetaryeconomyolehnegara-negaraEropadan Amerika, peningkatan jumlah planetary middle class, dimana mereka bertujuan untuk is not wars,religion,orstrictmoralcodes,butpoliticalandsocialstabilityandconsumergoods.49 Munculnya planetary cultureyang memiliki pola yang agak seragam pada generasi muda. Kaku menulis: Infact,certainobscurefeaturesoflocalculturecanspreadaroundtheworldviathe Internet, gaining them a worldwide audience. On other hand, people will be fluent in the changing trends that affect global culture. When people communicate with those another country, they will do so via the global culture. This has already happened to many of the elites on the planet: they speak the local language and obey local customs but use English and follow international customs when dealing with people from other countries Local cultures will continue to thrive, coexisting side by side with the larger global culture.50 Dari kutipan di atas menyiratkan bahwa kebudayaan global telah berhasil bangkit dan singgah di dalamsetiapsendikehidupanmasyarakat.Tentusaja,walaupuntidakmenjadiancaman, kebudayaanglobalinisecaraperlahan-lahanakanmengikiskebudayaanlokal.Kebertahanan 48 (Fukuyama, 2012) (Bellah, 2011) 49 (Kaku, 2012, p. 385)50 (Kaku, 2012, p. 387)13 budaya lokal ini perlu dipikirkan strateginya. Sebab, bangsa Indonesia berdiri disandarkan pada kekuatanbudaya-budayadiNusantara.Walaupunhanyasatubudayasukutertentuyang mendominasidiIndonesia,namununtukmenghadapikepunganbudayaglobalyangtelah menjadiplanetarycivilizationini,perludipikirkansegera.Sebab,jikatidak,makatidak mengagetkan jika kemudian budaya global ini akan menjadi ideologi atau bahkan cara pandang generasi baru di Indonesia. Untuk itu, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: Pertama, melakukan redefinisi kebudayaan nasional dan mengupayaskan untuk memasukkan setiap kekuatan kosmologi etnik yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, upaya ini ingin menggalang kekuatan budaya sebagai salahsatubentengpertahananbangsaIndonesia.Kedua,bangsaIndonesiatidakterjerembab pada pola imperialismebudayayang menjadi trend baru di dalam menyebarkan budaya global. Halinidapatdilakukandenganmerubahcarapandangparapengelolakebudayaannasional dengan melihat imperialisme budayadan budayaglobalsebagai tantangan yang harus dijawab, baik secarailmumaupunideologi. Ketiga, perlu dilakukan dialog kebudayaan antaramasing-masing etnik di Indonesia. Dialog ini bukan lagi pada saling memahami atau tidak ada konflik, melainkan mencari aspek spirit yang melatarbelakangi setiap kekuatan budaya di Indonesia. Hal initentusajamemerlukancarapandangbahwasetiapsukubangsadiIndonesiadapat berkontribusiaktifdidalammenggalangkekuatanbarudalampersoalanpertahanandan keamananmelaluibudaya.Keempat,parailmuwanharusmampumelakukanrekayasasecara nasional untuk menghasilkan paradigma baru mengenai fungsi kebudayaan di Indonesia. Fungsi kebudayaantidaklagidibicarakanpadalevelidentitasataupunsimbol,tetapimerakitcara berpikirbaruuntukmenghasilkansebuahpolabarumengenaikebijakanyangbersifat menyeluruh terhadap peran budaya untuk menghadapin ancaman dari imperialisme budayadan budaya global. 3. Dari paparan di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kajian ini telah menunjukkanbahwapemilihansatukebudayaantertentudidalamnegarabangsa,seperti Indonesia,tidakmampumembawapadapersatuannasionalyangutuh.Upayauntuk mensimbolisasi suatu kebudayaan yang begitu dominan, ternyata telah mengikir rasa persatuan nasional di kalangan rakyat Indonesia. Kedua, disadari atau tidak, peran ilmu-ilmu sosial dari 14 EropadanAmerikaUtara ternyata telahmerubahcarapandangdidalampolapembangunan. Disiniperanagamadanbudayaselalumenjadiobjekdaridampakilmusosialdidalam merekayasa pembangunan di Indonesia. Ketiga, Indonesia harus memiliki konsep yang tegas di dalammenghadapiimperialismbudayadanbudayaglobalyangtelahmerubahcarapandang masyarakatIndonesiadidalamkehidupansehari-hari.DikhawatirkangenerasibaruIndonesia lebihbanyakmemahamidanmengamalkanbudayaglobal,ketimbangmemahamidan mempraktikkanbudayalokalmerekasendiri.Keempat,didalampersoalankeamanandan pertahanan, ternyatabudayamemilikiyang cukup signifikan di dalammerubah cara pandang rakyat Indonesia. Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana arah strategi pertahanan dan keamanan yang berbasiskan pada penguatan budaya lokal di Indonesia. 15 Bibliography Abdillah, M. (1999). Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) . Yogyakarta: Tiara Wacana. Abdullah, I. (2006). Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, T. (Ed.). (2006). Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta: Rajawali Press. Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why Nations Fail: The Origins of Power, Propsperity and Proverty. London: Profile Books. Acikel, F. (2006). A Critique of Occidental Geist: Embedded Historical Culturalism in the Works of Hegel, Weber and Huntington. Journal of Historical Sociology , 19 (1), 60-83. Ali, A. S. (2010). Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (3 ed.). Jakarta: LP3ES. Andaya, L. Y. (2001). Aceh's Contribution to Standards of Malayness. Archipel , 61, 29-68. Andaya, L. Y. (2001b). The Search for 'Origins' of Melayu. Journal of Southeast Asian Studies , 32 (2), 315-330. Barton, G. (1999). Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina. Barton, G. (2002). Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, Indonesian President: A view from the inside. Sydney: University of New South Wales Press. Barton, G. (1997). Liberalisme: Dasar-Dasar Progresifitas Pemikiran Abdurrahman Wahid. In Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (pp. 162-193). Yogykarta: LKiS. Baso, A. (1999). Civil Society Versus Masyarakat Madani: Akeologi Pemikiran "Civil Society" dalam Islam Indonesia. Jakarta: Pustaka Hidayah. Beattie, J. (1972). Other Culture: Aims, Methods and Achievements in Social Anthropology. London: Routledge. Bellah, R. N. (2011). Religion in Human Evolution: From the Paleolithic to the Axial Age. Cambridge: Belknap Press. Benda, H. J. (1958). Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia. Journal of Modern History , 30 (4), 338-347. Binder, L. (1988). Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Chicago and London: The University of Chicago Press. 16 Bustamam-Ahmad, K. (2005). Dinamika Islam Politik Di Indonesia Pada Era Reformasi (1998-2001). Al-Jmi'ah: Journal of Islamic Studies , 41 (1), 69-106. Bustamam-Ahmad, K. (2012). Islam di Asia Tenggara: Suatu Kajian Sosial Sejarah dan Sosial Antropologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Bustamam-Ahmad, K. (2011). Redefinisi "Perbatasan Dan Keamanan" Di Asia Tenggara (Sebuah Paradigma Untuk Ketahanan Nasional). Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , 15 (2), 168-188. Bustamam-Ahmad, K. (2004). Respons Islam Politik Dalam Gerakan Reformasi Di Indonesia (1998-2001). Akademi Pengajian Islam. Kuala Lumpur: University of Malaya. Bustamam-Ahmad, K. (2003). Satu Dasawarsa the Clash of Civilizations: Membongkar Politik Amerika Di Pentas Dunia. Yogyakarta: Ar-Ruzz. DeBernadi, J. (2009). Penang: Rites of Belonging in a Malaysian Chinese Community. Singapore: NUS Press. Diamond, L. (2009). Supporting Democracy: Refashioning U.S. Global Strategy. In A. T. Lennon (Ed.), Democracy in U.S. Security Strategy (pp. 29-54). Washington D.C.: Centre for Strategic and International Studies. Effendy, B. (2006). Integrasi Umat Islam dan Negara: Sebuah Penjelasan Sosiologi Politik. In K. Hidayat, & A. Gaus AF (Eds.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (pp. 630-638). Bandung: Mizan. Freitag, U. (1999). Hadhramaut: A Religious Centre for the Indian Ocean in the Late 19th and Early 20th Centuries? Studia Islamica (89), 165-183. Fukuyama, F. (2009). Reconceptualizing Democracies and Empowering Them to Deliver. In A. T. Lennon (Ed.), Democracy in U.S. Security Strategy: From Promotion to Support (pp. 55-74). Washington D.C.: Center for Strategic and International Studies. Fukuyama, F. (2012). The Origins of Political Order: From Prehuman Times to French Revolution. New York: Farrar, Straus and Giroux. Halim, A. (Ed.). (2005). Teologi Islam Rasional: Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis. Jakarta: Ciputat Press. Hikam, M. A. (1999). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. Hodgson, M. G. (1974). The Venture of Islam. Chicago: The University of Chicago Press. Huntington, S. P. (1997). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. London: Touchstone Books. 17 Ibrahim, I. S. (Ed.). (1997). Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta dan Bandung: Mizan dan Jalasutra. Ismail, F. (1999). Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam Dan Pancasila . Yogyakarta: Tiara Wacana. Jackson, M. (Ed.). (1996). Things As They Are: New Directions in Phenomenological Anthropology. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. Kaku, M. (2012). Physics of the Future: How Science Will Shape Human Destiny and Our Daily Lives by the Year 2100. New York: Anchor Books. Karim, M. R. (1999). Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suaru Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia Era 1970-an dan 1980-an. Yogyakarta: Tiara Wacana. Karni, A. S. (1999). Civil Society & Ummah: Sintesa Diskursif "Rumah" Demokrasi. Jakarta: Logos. Kertanegara, M. (1999). Pengantar dari Penerjemah. In M. G. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia (pp. xv-xxv). Jakarta: Paramadina. Knapp, P. (1986). Hegel's Universal in Marx, Durkheim and Weber: The Role of Hegelian Ideas in the Origin of Sociology. Sociological Forum , 4 (1), 586-609. Koentjaraningrat. (1986). Javanese Terms for God and Supernatural Beings and the Idea of Power. In A. Ibrahim, S. Siddique, & Y. Hussain (Eds.), Readings on Islam in Southeast Asia (pp. 286-292). Singapore: ISEAS. Kojeve, A. (1969). Introduction to the Reading of Hegel. Ithaca and London: Cornell University Press. Kuntjoro-Jakti, D. (2012). Menerawang Indonesia Pada Dasawarsa Ketiga Abad Ke-21. Jakarta: Alvabet. Latif, Y. (2005). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan. Leirissa, R. (2001). Pengantar. In F. Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (pp. xi-xlv). Yogyakarta: Qalam. Liddle, R. W., & Muzani, S. (2000). Islam, Kultur Politik, dan Demokratisasi: Sebuah Telaah Komparatif Awal. Jurnal Demokrasi & HAM , 1 (1), 132-166. Lombard, D. (2008). Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Vol. 3). Jakarta: Gramedia. Madjid, N. (2000). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (II ed.). Jakarta: Paramadina. 18 Madjid, N. (2005). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (V ed.). Jakarta: Paramadina. Madjid, N. (1994). Melihat Kemungkinan Peranan Islam Secara Etis, Moral dan Spiritual Memasuki Indonesia Modern. In E. P. Taher (Ed.), Demokratisasi Politk, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru (pp. 29-50). Jakarta: Paramadina. Madjid, N. (1997). Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina. Magnis-Suseno, F. (2003). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Malo, M. (Ed.). (1989). Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia sampai Dekada '80-an. Jakarta: Rajawali. Mente, B. L. (2012). The Korean Mind: Understanding Contemporary Korean Culture. Singapore: Tuttle. Milner, A. (2011). The Malays. London: Blackwell Publishing. Morris, I. (2011). Why the West Rules - For Now: The Pattern of History, and What They Reveal About the Future. London: Profile Books. Nasution, H. (1986). Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press. Nasution, H. (1998). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizam. Noerhadi, T. H. (Ed.). (2012). Budaya Bagi Bangsa. Jakarta: AIPI. Othman, M. R. (2006). The Arabs Migration and Its Importance in the Historical Development of the Late Nineteenth and Early Twentieh Century Malaysia. 15th Annual History Association Conference. California: California State University. Rasjidi, H. M. (1980). Strategi Kebudayaan Dan Pembaharuan Pendidikan Nasional . Jakarta: Bulan Bintang. Reid, A. (2001). Understanding Melayu (Malay) as a Source of Modern Identities. Journal of Southeast Asian Studies , 32 (3), 295-313. Samin, S. B. (2013). Diaspora Melayu: Perantauan dari Riau Ke Tanah Semenanjung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Alaf Riau. Samuel, H. (2010). Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda Hingga Modernisme Amerika. (G. Riyanto, Trans.) Jakarta: Kepik Ungu. Sedyawati, E. (2012). Budaya Bagi Bangsa. In T. H. Noerhadi (Ed.), Budaya Bagi Bangsa (pp. 49-52). Jakarta: AIPI. 19 Spiro, M. E. (1979). Symbolism and Functionalisme in the Anthropological Study of Religion. In L. Honko (Ed.), Science of Religion: Studies in Methodology (pp. 322-338). New York: Mouton Publishers. Suminto, H. A. (1985). Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. Taylor, C. (1975). Hegel. Cambridge: Cambridge University Press. Taylor, C. (1979). Hegel and Modern Society. Cambridge: Cambridge University Press. Tjondronegoro, S. M. (1997). Agenda Ilmu Sosial Indonesia: Tinjauan Pribadi. In N. S. Nordholt, & L. Visser (Eds.), Ilmu Sosial di Asia Tenggara dari Partikularisme ke Universalisme (H. Setiawan, Trans., pp. 71-93). Jakarta: LP3ES. Uchrowi, Z., & Thaha, A. (1989). Menyeru Pemikiran Rasional Mu'tazilah. In Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta: LSAF. Whitt, L. (2009). Science, Colonialism, and Indigenous Peoples: The Cultural Politics of Law and Knowledge . Cambridge: Cambridge University Press.