kalsium
DESCRIPTION
analisa air kalisumTRANSCRIPT
Laporan Titrasi Kompleksometri
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode titrimetri yang dikenal juga sebagai metode volumetri merupakan analisis kuantitatif
yang didasarkan pada prinsip stoikiometri kimia. Dalam setiap metode titrimetri selalu terjadi reaksi
kimia antara komponen analit dengan zat pendeteksi yang disebut titran. Pencapaian titik ekivalen
umumnya ditandai oleh perubahan zat tertentu yang sengaja dimasukkan ke dalam larutan analit yang
dikenal sebagai indikator. Perubahan indikator terjadi bila semua analit telah bereaksi dengan titran.[1]
1
Titrasi kompleksometri atau kelatometri adalah suatu jenis titrasi dimana reaksi antara bahan yang dianalisis dan titrat akan membentuk suatu kompleks senyawa. Kompleks senyawa ini dsebut kelat dan terjadi akibat titran dantitrat yang saling mengkompleks. Kelat yang terbentuk melalui titrasi terdiri dari dua komonen yang membentukligan dan tergantung pada titran serta titrat yang hendak diamati. Kelat yang terbentuk melalui titrasi terdiri dari dua komponen yang membentuk ligan dan tergantung pada titran serta titrat yang hendak diamati.[2]
Setiap ion logam dapat dititrasi dengan menggunakan EDTA pada pH tertentu untuk setiap
logam, kadar kalsium (Ca) dalam suatu sampel dapat ditentukan dengan menggunakan titrasi
kompleksometri menggunakan garam natrium (Na2H2Y) yang akan menunjukkan perubahan warna saat
titik ekivalen telah tercapaiakibat reaksi antara kompleks logam-indikator. Berdasarkan latar belakang di
atas, maka dilakukanlah percobaan ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari percobaan ini adalah berapa kadar kalsium (Ca) dalam sampel dengan
metode titrasi kompleksometri ?
C. Tujuan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan kadar kalsium (Ca) secara kompleksometri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Metode Analisis Volumetri atau Titrimetri
Analisis volumetri adalah bagian dari analisis kimia kuantitatif untuk menentukan banyaknya
suatu zat dalam volume tertentu dengan mengukur banyaknya larutan standar yang dapat bereaksi
secara kuantitatif dengan analit (zat yang akan ditentukan). Prinsip dasar analisis volumetri berdasarkan
reaksi :
aA + tT ↔ Hasil
dimana a molekul analit A (titrat) bereaksi dengan t molekul pereaksi T (titran). Dengan titrasi
dimaksudkan suatu proses pengerjaan di mana titran ditambahkan sedikit demi sedikit melalui buret ke
dalam larutan analit untuk mencapai titik ekivalen. Titik ekivalen dimaksudkan pada saat titrasi dimana
jumlah titran yang ditambahkan ekivalen dengan jumlah analit dalam larutan. Selain itu dikenal juga titik
akhir titrasi yaitu saat terjadi perubahan warna indikator. Selisih antara titik ekivalen dan titik akhir
titrasi dikenal sebagai kesalahan titrasi.[3]
Menurut Sitti Chadijah (2001), dalam analisa volumetri reaksi yang terjadi antara titran dan titrat
harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1.
3
Reaksi harus sederhana, mudah dituliskan dengan suatu persamaan reaksi. Analit harus dapat bereaksi secara kuantitatif dengan titran.
2. Reaksi harus dapat terjadi dengan cepat (bila perlu tambahkan katalisator atau suhu tinggi).
3. Saat titik ekivalen, harus terjadi perubahan baik sifat fisik maupun sifat kimia dalam larutan yang cukup
jelas.
4. Indikator harus dapat memberikan ketentuan (perubahan warna atau struktur yang jelas) pada saat
tercapainya titik ekivalen.
Menurut M. Sodiq Ibnu, et. al. (2005), jenis metode titrimetri didasarkan pada jenis reaksi kimia
yang terlibat dalam proses titrasi. Berdasarkan jenis reaksinya, maka metode titrimetri dapat dibagi
menjadi 4 golongan, yaitu: asidi-alkalimetri, oksidimetri, kompleksometri dan titrasi pengendapan.
1. Asidi-alkalimetri didasarkan pada reaksi asam basa atau prinsip netralisasi. Larutan analit yang berupa
larutan asam dititrasi dengan titran yang berupa larutan basa atau sebaliknya. Metode ini cukup luas
penggunaannya untuk penetapan kuantitas analit asam atau basa. Jika HA mewakili asam dan BOH
mewakili basa, maka reaksi antara analit dengan titran dapat dirumuskan secara umum sebagai berikut :
HA + OH- A- + H2O (analit asam, titran basa)
BOH + H3O+ B+ + 2H2O (analis basa, titran asam)
Titran umumnya berupa larutan standar asam kuat atau basa kuat, misalnya larutan asam klorida (HCl)
dan larutan natrium hidroksida (NaOH).
2. Kompleksometri didasarkan pada pembentukan kompleks stabil hasil reaksi antara analit dengan titran.
Misalnya reaksi antara Ag+ dan CN- yang mengikuti persamaan reaksi :
Ag+ + 2CN-
Reaksi antara Ag+ dengan CN- dikenal sebagai metode Liebig untuk penetapan sianida. Reagen lain
adalah EDTA (etilen diamina tetraasetat) yang banyak digunakan sebagai pengompleks berbagai ion
logam melalui metode titrasi.
3. Oksidimetri didasarkan pada reaksi oksidasi – reduksi antara analit dan titran. Analit yang mengandung
spesi reduktor dititrasi dengan titran yang berupa larutan standar dari oksidator atau sebaliknya.
Berbagai reaksi redoks dapat digunakan sebagai dasar reaksi oksidimetri, misalnya penetapan ion besi(II)
(Fe2+) dalam analit dengan menggunakan titran larutan standar cesium(IV) (Ce4+) yang mengikuti
persamaan reaksi :
Fe2+ + Ce4+ Fe3+ + Ce3+
Oksidator lain yang banyak digunakan dalam oksidimetri adalah kalium permanganat (KMnO4), misalnya
pada penetapan kadar ion besi(II) dalam suasana asam.
4. Titrasi pengendapan didasarkan reaksi pengendapan analit oleh larutan standar titran yang mampu
secara spesifik mengendapkan analit. Metode ini banyak digunakan untuk menetapkan kadar ion
halogen dengan menggunakan pengendap Ag+, yang reaksi umumnya dapat dinyatakan dengan
persamaan :
Ag+ + X- AgX(s) (X- = Cl-, Br-, I-, SCN-)
B. Titrasi Kompleksometri
Titrasi kompleksometri meliputi reaksi pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan
molekul netral yang terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian
adalah tingkat kelarutan tinggi. Contoh dari kompleks tersebut adalah kompleks logam dengan EDTA.
Berbagai logam membentuk kompleks pada pH yang berbeda-beda. Peristiwa pengompleksan
tergantung pada aktivitas anion bebas, misalkan Y4- (jika asamnya H4Y dengan tetapan ionisasi pK1 = 2,0;
pK2 = 2,64; pK3 = 6,16 dan pK4 = 10,26). Ternyata variasi aktivitas Y4- bervariasi terhadap perubahan pH
dari 1,0 sampai 10 dan secara umum perubahan ini sebanding dengan (H+) pada pH 3,0 – 6,0.[4]
Menurut Achmad Mursyidi dan Abdul Rohman (2008), cara-cara titrasi dengan EDTA terbagi
menjadi 5, yaitu :
1. Titrasi langsung merupakan metode yang paling sederhana dan sering dipakai. Larutan ion yang akan
ditetapkan ditambah dengan dapar, misalnya dapat pH 10 lalu ditambahkan indikator logam yang sesuai
dan dititrasi langsung dengan larutan baku dinatrium edetat.
2. Titrasi kembali, cara ini penting untuk logam yang mengendap dengan hidroksida pada pH yang
dikehendaki untuk titrasi. Untuk senyawa yang tidak larut misalnya sulfat, kalsium oksalat, untuk
senyawa yang membentuk kompleks yang sangat lambat dan ion logam yang membentuk kompleks
lebih stabil dengan natrium edetat daripada dengan indikator. Pada keadaan demikian, dapat
ditambahkan larutan baku dinatrium edetat berlebihan kemudian larutan di dapa pada pH yang
diinginkan dan kelebihan dinatrium edetat dititrasi kembali dengan larutan baku ion logam.
3. Titrasi substitusi, cara ini dilakukan bila ion logam tersebut tidak memberikan titik akhir yang jelas
apabila dititrasi secara langsung atau dengan titrasi kembali, atau juga jika ion logam tersebut
membentuk kompleks dengan dinatrium edetat lebih stabil daripada logam lain seperti magnesium dan
kalsium.
4. Titrasi tidak langsung, cara titrasi tidak langsung dapat digunakan untuk menentukan kadar ion-ion
seperti anion yang tidak bereaksi dengan pengkelat. Sebagai contoh barbiturat tidak bereaksi dengan
EDTA akan tetapi secara kuantitatif dapat diendapkan dengan ion merkuri dalam keadaan basa sebagai
ion kompleks 1:1. Setelah pengendapan dengan kelebihan Hg(II), kompleks dipindahkan dengan cara
penyaringan dan dilarutkan kembali dalam larutan baku EDTA berlebihan. Larutan baku Zn(II) dapat
digunakan untuk menitrasi kelebihan EDTA ini menggunakan indikator yang sesuai untuk mendeteksi
titik akhir.
5. Titrasi alkalimetri, pada metode ini proto dari dinatrium edetat (Na2H2Y) dibebaskan oleh logam berat
dan dititrasi dengan larutan baku alkali sesuai dengan persamaan reaksi berikut :
Mn+ + H2Y2- ↔ (MY)+n-4 + 2H+
Larutan logam yang ditetapkan dengan metode ini sebelum dititrasi harus dalam suasana netral
terhadap indikator yang dipergunakan.Penetapan titik akhir menggunakan indikator asam-basa atau
secara potensiometri.
Kelebihan titrasi kompleksometri adalah EDTA stabil, mudah larut dan menunjukkan komposisi
kimiawi yang tertentu. Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal magnesium
(Mg), krom (Cr), kalsium (Ca) dan barium (Ba) dapat dititrasi pada pH = 11; mangan (Mn2+), besi (Fe),
kobalt (Co), nikel (Ni), seng (Zn), kadmium (Cd), aluminium (Al), timbal (Pb), tembaga (Cu), titian (Ti) dan
vanadium (V) dapat dititrasi pada pH 4,0 – 7,0. Terakhir logam seperti raksa (Hg), bismut (Bi), kobalt
(Co), besi (Fe), krom (Cr), kalsium (Ca), indium (In), scandium (Sc), titian (Ti), vanadium (V) dan thorium
(Th) dapat dititrasi pada pH 1,0 - 4,0. Etilen diamin tetra asetat (EDTA) sebagai garam natrium (Na2H2Y)
sendiri merupakan standar primer sehingga tidak perlu standarisasi lebih lanjut. Kompleks yang mudah
larut dalam air ditemukan. Suatu titik ekivalen segera tercapau dalam titrasi demikian dan akhirnya
titrasi kompleksometri dapat digunakan untuk penentuan beberapa logam pada operasi skala
semimikro.[5]
Dalam praktek, kestabilan kompleks-kompleks logam EDTA dapat diubah dengan (a) mengubah-
ubah pH dan (b) adanya zat-zat pengkompleks lain. Maka tetapan kestabilan kompleks EDTA akan
berbeda dari nilai yang dicatat pada suatu pH tertentu, dalam larutan air EDTA akan memiliki nilai yang
berbeda dari nilai yang telah dicatat. Kondisi baru ini dinamakan tetapan
kestabilan nampak atau tetapan kestabilan menurut kondisi.[6]
C. Indikator
Sebagian besar titrasi kompleksometri mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai
pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda dengan
pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator metalokromat.[7] Indikator metalokromik
visual yang penting dapat masuk dalam tiga golongan utama, yaitu: (a) senyawaan hidroksiazo, (b)
senyawaan fenolat dari trifenilmetana yang tersubstitusi oleh hidroksi serta (c) senyawaan yang
mengandung suatu gugus aminometildikarboksimetil. Banyak dari indikator ini juga merupakan
senyawaan-senyawaan trifenil metana.[8]
Menurut Ikhsan Firdaus (2009), beberapa indikator metalokromik yang dapat digunakan, yaitu :
1. Mureksida
Mureksida adalah garam amonium dari asam purpurat dan anionnya, mempunyai struktur :
(Gambar 1. mureksida)
Mureksida dapat digunakan untuk titrasi langsung dengan EDTA terhadap kalsium pada pH = 11,
perubahan warna pada titik akhir adalah dari merah menjadi violet biru, tetapi jauh dari ideal.
Perubahan warna pada titrasi langsung dari nikel pada pH 10-11 adalah dari kuning menjadi violet biru.
Perubahan warna untuk kalsium adalah dari hijau zaitun melalui abu-abu, menjadi biru mendadak.
2. Hitam Solokrom (Hitam Eriokrom T)
Zat ini adalah natrium 1-(1-hidroksi-2-naftilazo)-6-nitro-2-naftol-4-sulfonat(II) dan mempunyai
acuan indeks warna C.I.14645. Dalam larutan yang sangat asam, zat warna ini cenderung untuk
berpolimerisasi menjadi produk yang berwarna coklat-merah, akibatnya indikator ini jarang digunakan
dalam titrasi EDTA dengan menggunakan larutan yang lebih asam daripada pH = 6,5.
(Gambar 2. Hitam Solokrom (Hitam Eriokrom T))
Gugus asam sulfonat dalam indikator ini akan menyerahkan protonnya sebelum range pH 7-12,
yang merupakan perhatian paling utama bagi penggunaan indikator ion logam. Kedua nilai pK untuk
atom-atom hidrogen ini masing-masing adalah 6,3 dan 11,5. Di bawah pH = 5,5, larutan hitam solokrom
(Hitam Eriokrom T) adalah merah (disebabkan oleh H2D-), antara pH 7 dan 11 warnanya biru (disebabkan
oleh HD2-) dan di atas pH = 11,5 indikator ini berwarna jingga-kekuningan (disebabkan oleh D 3-). Dalam
range pH 7-11, penambahan garam logam menghasilkan perubahan warna yang cemerlang dari biru
menjadi merah.
3. Indikator Patton dan Reeder
Indikator Patton dan Reeder adalah asam 2-hidroksil-1-(2-hidroksi-4-sulfat-1-naftilazo)-3-
naftoat(III); nama ini boleh disingkat menjadi HHSNNA. Penggunaannya yang utama adalah dalam titrasi
langsung dari kalsium, terutama dengan adanya magnesium. Perubahan warna yang tajam dari merah
angur menjadi biru murni diperoleh bila ion-ion kalsium dititrasi dengan EDTA pada nilai pH antara 12
dan 14.
(Gambar 3. Indikator Patton dan Reeder)
4. Biru tua solokrom
Biru tua solokrom atau kalkon kadang-kadang disebut Hitam Eriokrom RC, zat ini sebenarnya
adalah natrium 1-(2-Hidroksi-1-naftilazo)-2-nafto-4-sulfonat. Zat warna ini mempunyai 2 atom hidrogen
fenolat yang dapat terionisasi, proton-proton ini terionisasi secara bertahap dengan pK masing-masing
7,4 dan 13,5. Suatu penerapan penting dari indikator ini adalah pada titrasi kalsium secara
kompleksometri dengan adanya magnesium, titrasi ini harus dilakukan pada pH kira-kira 12,3 (misalnya
yang diperoleh dengan suatu buffer dietilamina). Pada kondisi-kondisi ini, magnesium diendapkan
secara kuantitatif sebagai hidroksidanya. Perubahan warna adalah dari merah jambu menjadi biru
murni.
(Gambar 4. Biru tua Solokrom atau kalkon)
5. Kalmagit
Kalmagit merupakan asam 1-(1-hidroksil-4-metil-2-fenilazo)-2-naftol-4-sulfonat (V), mempunyai
perubahan warna yang sama seperti hitam solokrom (Hitam Eriokrom T), tetapi perubahan warnanya
agak lebih jelas dan tajam. Kelebihan indikator ini adalah tetap stabil hampir tanpa batas waktu. Zat ini
digunakan sebagai ganti Hitam Solokrom (Hitam Eriokrom T) tanpa mengubah eksperimen untuk titrasi
kalsium ditambah magnesium.
(Gambar 5. Kalmagit)
BAB III
METODE PERCOBAAN
A. Waktu dan Tempat
Waktu dan tempat dilaksanakannya percobaan ini, yaitu sebagai berikut :
Hari/Tanggal : Rabu/ 6 Juni 2012
Pukul : 13.30 – 16.00 WITA
Tempat : Laboratorium Kimia Analitik
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat - alat yang digunakan pada percobaan ini adalah pH meter, neraca analitik, buret asam 50
mL, erlenmeyer 250 mL, gelas kimia 300 mL, pipet volume 25 mL dan 5 mL, labu takar 100 mL, statif dan
klem, bulp, botol semprot dan corong.
2. Bahan
Bahan – bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah aquabides, aquades, buffer natrium
hidroksida (NaOH) 2 M, indikator EBT, padatan kalsium karbonat (CaCO3) dan natrium etilen diamin tetra
asetat (Na2EDTA) 0,089 M.
13
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Pembuatan CaCO3 0,01 M
a. Menimbang 0,1 gram padatan kalsium karbonat (CaCO3) menggunakan neraca analitik.
b. Melarutkan padatan kalsium karbonat (CaCO3) dengan memberikan sedikit aquabides dalam gelas
kimia.
c. Memindahkan padatan yang telah larut ke dalam labu takar 100 mL.
d. Mengimpitkan sampai tanda batas menggunakan aquabides dan menghomogenkan larutan.
e. Menyaring larutan yang telah dibuat menggunakan kertas saring biasa.
2. Titrasi Kompleksometri
a. Memipet 25 mL larutan kalsium karbonat (CaCO3) 0,01 M dan memasukkan ke dalam erlenmeyer 250
mL.
b. Menambahkan 25 mL aquabides ke dalam erlenmeyer, mengocok erlenmeyer.
c. Menambahkan 1 mL buffer natrium hidroksida (NaOH) 2 M ke dalam erlenmeyer hingga pH = 12,
mengecek pH larutan menggunakan pH meter.
d. Menambahkan 3 tetes indikator EBT ke dalam erlenmeyer dan menghomogenkan larutan.
e. Menitrasi larutan dengan Na2EDTA 0,0089 M sampai larutan berubah warna menjadi biru.
f. Melakukan secara duplo dan menghitung kadar kalsium (Ca) dalam sampel.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengamatan dari percobaan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Tabel Pengamatan
No. Perlakuan Hasil Keterangan
1.25 mL kalsium karbonat
(CaCO3) 0,01 M + 25 mL
aquabides
Larutan berwarna
bening
2.+ 1 mL natrium hidroksida
(NaOH) 2 M
Larutan berwarna
bening
3. + 3 tetes indikator EBTLarutan berwarna
merah anggur
4. 15
+ titrasi dengan Na2EDTA 0,089 M
Larutan berwarna biru
2. Analisa Data
a. Pembuatan kalsium karbonat (CaCO3) 0,01 M
Diketahui : Mr CaCO3 = 100 gram/mol
Volume larutan = 25 mL
M CaCO3 = 0,01 M
Ditanyakan : bobot CaCO3 … ?
Penyelesaian :
Bobot CaCO3 = volume larutan x konsentrasi CaCO3 x Mr CaCO3
= 0,025 L x 0,01 mol/L x 100 gram/mol
= 0,025 gram
b. Titrasi kompleksometri
Diketahui : Volume titrant1 = 6 mL
Volume titrant2 = 4,1 mL
M Na2EDTA = 0,0089 M
Ar Ca = 40 gram/mol
Ditanyakan : % Ca ….?
Penyelesaian :
% kalsium (mg/L) = x 100 %
= x 100 %
= 0,0719 x 100 % = 7,19 %
% kalsium (ppm) =
=
= 71,91 mg/L = 71,91 ppm
B. Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan percobaan titrasi kompleksometri menggunakan pengompleks
garam etilen diamin tetra asetat (Na2EDTA). Sampel yang mengandung ion kalsium akan dititrasi dengan
larutan Na2EDTA. Penggunaan Na2EDTA dalam percobaan ini dilakukan karena EDTA sebagai garam
natrium (Na2H2Y) sendiri merupakan larutan standar primer sehingga tidak perlu distandarisasi lebih
lanjut. Kompleks logam dengan menggunakan titran ini mudah larut dalam air dimana titik ekivalennya
segera tercapai dalam titrasi. Sebelum melakukan titrasi, dilakukan penambahan buffer natrium
hidroksida (NaOH) ke dalam larutan sampel karena warna dari zat kompleks logam-indikator sangat
dipengaruhi oleh pH larutan, oleh karena itu penting untuk menggunakan larutan buffer untuk dapat
menjaga pH yang dikehendaki selama titrasi. Setelah itu, dilakukan penambahan indikator EBT ke dalam
larutan yang kemudian dilakukan titrasi. Indikator EBT digunakan dalam percobaan ini karena indikator
ini dapat menitrasi secara langsung ion kalsium (Ca2+) menggunakan indikator EBT ini.
Pada saat penambahan indikator terjadi reaksi antara ion kalsium (Ca2+) dengan indikator EBT,
seperti reaksi di bawah ini :
CaCO3 + In3- CaI-
(ungu)
Kompleks logam-indikator yang terbentuk menghasilkan warna ungu dimana setelah penambahan
garam EDTA, ion logam akan bebas dan berikatan dengan Na2EDTA sehingga indikator akan berubah
warna dari warna indikator yang membentuk kompleks dengan ion logam ke warna indikator yang
bebas dari ion logam. Hal ini disebabkan karena kompleks logam-indikator lebih lemah daripada
kompleks logam-EDTA sehingga EDTA yang ditambahkan selama titrasi akan mengikat ion logam bebas.
Reaksi yang terjadi antara ion logam, Na2EDTA dan indikator dapat terlihat di bawah ini :
CaI- + Na2EDTA CaEDTA + I3- + 2Na+
(ungu) (biru)
Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil analisa data, kadar kalsium yang diperoleh adalah 1,79
% dan 71,91 ppm. Dari hasil analisa data dapat diketahui bahwa dalam 1 liter sampel yang digunakan
terdapat 71,91 mg ion kalsium (Ca2+).
Dalam percobaan ini, pH larutan yang digunakan adalah 12 sedangkan trayek pH untuk indikator
EBT adalah 8,0 – 10,3 sehingga perubahan warna yang dihasilkan pada saat terjadi titik ekivalen tidak
signifikan dan tidak memberikan perubahan warna yang tajam sehingga kesalahan titrasi yang lebih
besar dapat terjadi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan ini adalah kadar kalsium (Ca) dalam sampel kalsium karbonat
(CaCO3) 0,01 M yang digunakan adalah 1,79 %, sedangkan kadar kalsium (Ca) dalam ppm adalah 71,91
ppm.
B. Saran
Saran dari percobaan ini adalah sebaiknya pada percobaan berikutnya digunakan indikator lain
yang memiliki trayek pH 12 seperti indikator mureksid sehingga perubahan warna yang terbentuk saat
titrasi lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Chadijah, Sitti. Dasar-dasar Kimia Analitik (Kimia Analitik I). Kendari: Universitas Haluoleo, 2001
Firdaus, Ikhsan, “Contoh Indikator Ion Logam”. Chem-is-try.org-Situs Kimia Indonesia. 5 Maret 2009. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/kompleksometri/contoh-indikator-ion-logam/. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012
_______, “Kestabilan Kompleks-kompleks Logam EDTA”. Chem.-is-try.org-Situs Kimia Indonesia. 7 Maret 2009.http://www.chem-is-try.org_kimia/instrumen_analisis/kompleksometri/kestabilan-kompleks-kompleks-logam-edta. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012
Ibnu, M. Sodiq Ibnu, et al.. Kimia Analitik I . Malang: Universitas Negeri Malang, 2005
Khopkar, S. M.. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia, 2010
Mursyidi, Achmad dan Abdul Rohman. Volumetri dan Gravimetri. Yogyakarta: UGM-Press, 2008
“Titrasi Kompleksometri”. Wikipedia The Free Encylopedia. 31 Mei 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Titrasi_kompleksometri. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012
[1]M. Sodiq Ibnu, et. al., Kimia Analitik I (Malang: Universitas Negeri Malang, 2005), h. 89-90
[2]“Titrasi Kompleksometri”, Wikipedia The Free Encylopedia. 31 Mei 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Titrasi_kompleksometri (10 Juni 2012)
[3]Sitti Chadijah, Dasar-dasar Kimia Analitik (Kimia Analitik I) (Kendari: Universitas Haluoleo, 2001), h. 45
[4]S. M. Khopkar, Konsep Dasar Kimia Analitik (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010), h. 76-77
[5]S. M. Khopkar, op. cit., h. 88
[6]Ikhsan Firdaus, “Kestabilan Kompleks-kompleks Logam EDTA”, Chem.-is-try.org-Situs Kimia Indonesia. 7 Maret 2009.http://www.chem-is-try.org_kimia/instrumen_analisis/kompleksometri/kestabilan-kompleks-kompleks-logam-edta (10 Juni 2012)
[7]S. M. Khopkar, op. cit., h. 85
[8]Ikhsan Firdaus, “Contoh Indikator Ion Logam”, Chem-is-try.org-Situs Kimia Indonesia. 5 Maret 2009. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/kompleksometri/contoh-indikator-ion-logam/ (10 Mei 2012)