kajian tentang penyuapan sebagai salah … · in penal law as well as to find out the penal law...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Disetujui untuk dipertahankan di
( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing I
Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.
NIP. 19600525 1987021002
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
isetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 08 April 2011
Dosen Pembimbing II
Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. Sabar Slamet, S.H., M.H.
600525 1987021002 NIP. 19560727 1986011001
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing II
Sabar Slamet, S.H., M.H.
NIP. 19560727 1986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Telah diterima dan dipertahankan di
ukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada
Hari
Tanggal
1. Ismunarno, S.H., M.Hum. Ketua 2. Sabar Slamet, S.H., M.H.
Sekretaris 3. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. Anggota
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
h diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan H
ukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
:
: Rabu
: 20 April 2011
DEWAN PENGUJI
Ismunarno, S.H., M.Hum. ( ................................. )
Sabar Slamet, S.H., M.H. ( .................................. )
Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. ( ................................. )
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 196109301986011001
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
hadapan Dewan Penguji Penulisan H
ukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
................................. )
( .................................. )
( ................................. )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : GINANJAR WAHYUDI
NIM : E1107155
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul :
”KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK
TINDAK PIDANA KORUPSI” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi ) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum ( skripsi ) ini.
Surakarta, 02 Mei 2011
Yang membuat pernyataan
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK Ginanjar Wahyudi, 2011, KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan hukum yang berjudul Kajian Tentang Penyuapan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana serta mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber bahan hukum sekunder baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara dokumentasi bahan hukum sekunder yang berbentuk peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, artikel maupun dokumen lain yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokannya yang tepat. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan hukum yang diperlukan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindak pidana penyuapan diatur pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b dan c, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengertian tentang penyuapan, jenis-jenis penyuapan, dan ketentuan mengenai unsur tindak pidana penyuapan merupakan ruang lingkup dari tindak pidana penyuapan. Kemudian sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi meliputi sistem pemidanaan dan sistem pembaharuan hukum pidana. Sistem pemidanaan terdiri dari segi fungsional dan segi substantif. Sistem pemidanaan segi fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dari segi substantif diartikan sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Sistem pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui substansi hukum, bagian kebijakan memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah perlu adanya pemahaman yang komprehensif mengenai tindak pidana penyuapan dalam berbagai aspek untuk efektifitas implementasi ketentuan tindak pidana penyuapan, sedangkan implementasi praktisnya adalah bahwa penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana yang dapat memberikan pengertian tentang tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
Kata-kata kunci : penyuapan, hukum pidana, tindak pidana korupsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT Ginanjar Wahyudi, 2011, A STUDY ON BRIBERY AS ONE OF CORRUPTION CRIME. Law Faculty of UNS.
This research is entitled A Study on bribery as one of corruption crime aims to find out scope and regulation of bribery as one of corruption crime forms in Penal Law as well as to find out the penal law system in the law enforcement of corruption crime.
This study belongs to a normative law research using secondary law material sources including primary, secondary and tertiary law materials. Technique of collecting data employed in this research was documenting the secondary law material constituting the legislation, book, journal, article or other document that was then categorized into their own category properly. In this research, the writer employed library study technique to collect and to organize the law material needed.
Considering the result of research conducted by the writer, it can be found that bribery is one of corruption crime as governed in the legislation. The bribery crime is governed in the Articles 5 clause (1) letters a and b, 5 clause (2), 6 clause (1) letters a and b, 6 clause (2), 11, 12 letters a, b, and c, 13 of Act Number 20 of 2001 about the Amendment of Act Number 31 of 1999 about Corruption Crime Eradication. The definition of bribery, type of bribery, and provision concerning the bribery crime element are the scope of bribery crime. Then the penal law system in the law enforcement of bribery crime as one of corruption crime forms includes condemnation system and penal law reformation system. Condemnation system consists of functional and substantive aspects. Functional aspect of condemnation system is aimed at the functioning of condemnation system as a whole system (legislation) as criminal concretization and how the penal law is enforced or operated concretely so that someone is sentenced with criminal sanction (punishment). Meanwhile, the substantive aspect is defined as condemnation system as a whole system of material criminal law norm for the condemnation and punishment implementation. The reformation of penal law system is essentially included in penal policy constituting a part closely related to law enforcement policy, criminal policy, and social policy. This aspect can be meant that criminal law reformation is a part of reforming the law substance, how the policy of eradicating crime is in the attempt of protecting society as social defense and social welfare as well as penal law enforcement.
The theoretical implication of this research is there should be a comprehensive conception of bribery crime in various aspects for the effectiveness of bribery crime provision implementation, while the practical implication is that this research can be used as the discourse that can give definition about bribery crime as one of corruption crime forms.
Keywords: bribery, penal law, corruption crime.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Sesungguhnya ALLAH SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum
apabila mereka sendiri tidak merubahnya”
(QS. AR-Ro’ad :11)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu
telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
“Tuntutlah ilmu tetapi tidak melupakan ibadah dan kerjakanlah ibadah tetapi
tidak boleh melupakan ilmu”
(David J. Schwartz)
“Kamu maju bukan dengan memperbaiki apa yang sudah terjadi melainkan
menggapai ke arah apa yang belum terjadi”
(Kahlil Gibran)
“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita
dan berusaha mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa”
(Hamka)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima
kasih kepada:
1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan nikmat
yang telah diberikan-Nya;
2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi
suri tauladan yang baik bagi umatnya;
3. Ayahanda Sukidi dan Ibunda Saniyem yang telah memberikan kasih
sayang, doa, motivasi, dan dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian
skripsi ini;
4. Adikku Bagus Wulandono yang telah memberikan semangat dan
dukungan kepada Penulis;
5. Kekasihku Febriana Sanjaya atas segala cinta, kasih sayang, doa,
dukungan, motivasi, dan pengorbanan yang senatiasa dibaerikan untukku;
6. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
7. Teman-teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2007;
8. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini;
9. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu
pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi kehidupan yang
sesungguhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta
diiringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi) yang
berjudul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI” dapat penulis selesaikan dengan
lancar.
Penyusunan penulisan hukum skripsi ini mempunyai tujuan yang utama
untuk melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari
kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisanya,
namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat
baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non
materiil, sehingga penulisan hukum (Skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama
kepada :
1. Allah SWT., atas segala rahmat dan karunianya;
2. Nabi Muhammad SAW., semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga
akhir jaman;
3. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini;
4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah
membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;
5. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dalam
pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;
6. Bapak Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. dan Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H.,
selaku pembimbing skripsi dalam penulisan hukum ini yang telah bersedia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan
bagi penulis.
7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang
berharganya bagi hidup dan kehidupan pen
8. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan
telah diberikan;
9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) F
10. Semua keluargaku terutama
yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan
doa yang tiada henti, semangat, salah satu motivatorku untuk sege
11. Semua teman-temanku
skripsi ini memberikan pemikir
memberikan semangat untuk segera lulus
12. Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Univ
khususnya angkatan 2007
13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua
bantuan baik materiil maupun imateriil.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh
dari sempurna, mengingat keterbatas
dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.
Demikian, mudah-
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta
masyarakat umum.
x
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan
Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira
berharganya bagi hidup dan kehidupan penulis;
Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang
Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS;
Semua keluargaku terutama bapak dan ibuku, Bapak Sukidi dan Ibu
yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan
doa yang tiada henti, semangat, salah satu motivatorku untuk segera lulus
nku yang telah banyak berkontribusi dalam penyusunan
skripsi ini memberikan pemikiran dalam skripsi ini, membantu dan
memberikan semangat untuk segera lulus;
Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
2007 terima kasih semangat yang telah diberikan;
pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua
bantuan baik materiil maupun imateriil.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh
dari sempurna, mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu
dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.
-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta
Surakarta, 02 Mei 2011
Ginanjar Wahyudi
NIM. E1107155
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan
Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat
tiada terkira
Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
kesempatan yang
dan Ibu Saniyem
yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan
ra lulus;
yang telah banyak berkontribusi dalam penyusunan
an dalam skripsi ini, membantu dan
ersitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah diberikan;
pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh
an dan kemampuan penulis. Oleh karena itu
dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.
mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... ix
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8
E. Metode Penelitian .................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ........................................................................ 13
1. Kajian Tentang Hukum Pidana .......................................... 13
a. Pengertian Hukum Pidana ............................................ 13
b. Pembagian Hukum Pidana ........................................... 14
c. Asas-Asas Hukum Pidana ............................................ 14
2. Kajian Tentang Tindak Pidana / Delik ............................... 15
a. Pengertian Tindak Pidana / Delik ................................ 15
b. Macam-Macam Tindak Pidana / Delik ........................ 18
c. Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana ........... 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi ............................ 19
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................... 19
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ........................... 21
c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ........................ 23
4. Kajian Tentang Penyuapan ................................................ 24
a. Pengertian Penyuapan .................................................. 24
b. Jenis-Jenis Penyuapan .................................................. 25
5. Kajian tentang Gratifikasi ................................................ 26
a. Pengertian Gratifikasi ................................................. 26
b. Subyek Gratifikasi ....................................................... 30
c. Obyek Gratifikasi ........................................................ 31
B. Kerangka Pemikiran ................................................................. 33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Penyuapan Sebagai Salah
Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi ....................................... 35
B. Sistem Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi ........................................................................ 57
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................... 68
B. Saran ......................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin hari
perkembangan korupsi di Indonesia bukan lagi semakin berkurang, tetapi semakin
meluas. Gejala pertumbuhan tindak pidana korupsi yang semakin meluas inilah
yang menimbulkan kerisauan dan keprihatinan bangsa Indonesia, karena kondisi
seperti ini tentu semakin memperburuk citra bangsa di masyarakat internasional.
Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh
negara di dunia. Korupsi tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang,
tetapi juga negara-negara maju. Korupsi merupakan salah satu tantangan yang
harus dihadapi dunia, karena korupsi mengancam kehidupan manusia,
menghambat pembangunan kesejahteraan, menambah kemiskinan dan
menyengsarakan rakyat. Perbuatan korupsi juga dapat merusak sektor
pembangunan ekonomi bangsa serta citra pelaku bisnis Indonesia dalam skala
global yang semakin kompetitif dalam menghadapi perdagangan bebas. Jika
korupsi tidak berhasil ditanggulangi, diberantas atau diatasi dalam jangka pendek,
maka Indonesia akan sulit untuk keluar dari krisis karena para pelaku bisnis
tersebut tidak dapat melakukan good business atau bisnis yang baik
Berdasarkan survei Political Economic Risk Consultancy (PERC)
menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia. “Posisi
Indonesia lebih buruk dari India, Vietnam, Filipina dan Thailand. Sebelumnya
hasil survei Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin Jerman pada
Tahun 2009, Indonesia menduduki ranking 111 dari 180 negara” (Chandra
Sridjaja Pradjonggo, 2010: 7). Transparency International merupakan sebuah
lembaga yang bertujuan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor
pemerintahan dan salah satu aktivitasnya adalah mendorong pemberantasan
korupsi. Di samping itu, penelitian lain menunjukkan bahwa korupsi memiliki
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
sejarah panjang dan telah membudaya di Indonesia. Seperti dikatakan Farid
Haryanto bahwa:
Corruption has a long history in Indonesia, China, India, South Korea, Thailand, and other countries in Asia. Given such prevalence and persistence, one may be tempted to think that corruption is indeed something deeply ingrained in the culture of those countries, and that corruption has blossomed plainly because it does not run against, if not accepted by, the dominant culture of those countries. It is said that Confucianism, Javanese culture, and maybe some other belief systems as well, gave justification to the existence of a centralized, benevolent monarchy as a legitimate form of moral goverment. But it is also said that “power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. These seem to propose that corruption is indeed already embedded in the mindset of Asians, and that corruption is a part of a way of life, and not simply a fact of life (Farid Haryanto, 2005:39). (Korupsi memiliki sejarah panjang di Indonesia, Cina, India, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara lain di Asia. Suatu prevalensi tersebut dan ketekunan, salah satu mungkin dilakukan untuk berpikir bahwa korupsi sesungguhnya sesuatu yang besar, yang tertanam dalam budaya banyak negara, dan korupsi yang telah berkembang dengan jelas karena tidak dijalankan, jika tidak diterima dari budaya yang dominan di banyak negara. Dikatakan bahwa Konfusianisme, budaya Jawa, dan mungkin beberapa sistem keyakinan lain juga, memberikan pembenaran terhadap keberadaannya dipusatkan, kekuasaan pusat seperti legitimasi dari moral pemerintah. Tetapi juga mengatakan bahwa "kekuatan korup, dan kekuasaan korup yang mutlak". Ini sepertinya menyatakan bahwa korupsi memang sudah tertanam dalam pola pikir orang Asia, dan korupsi yang merupakan bagian dari cara hidup, dan bukan hanya kenyataan hidup).
Secara umum, tindak pidana korupsi secara material diatur didalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang
tersebut tidak tercantum secara jelas rumusan mengenai pengertian korupsi itu
sendiri. Namun dapat disimpulkan dalam Pasal 2 bahwa tindak pidana korupsi
adalah perbuatan yang secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai
kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi
suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan
demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum
serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera. Hal yang sama
juga disampaikan oleh Arsil dalam jurnal hukum yang berjudul Teknik Perangkap
untuk Para Koruptor mengemukakan bahwa “Tingginya angka korupsi di
Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di tingkatan elit, tetapi terdapat hampir
di seluruh lapisan institusi negara ini” (Arsil, 2005: 121). Tingkatan korupsi di
masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya
kecil-kecilan hingga korupsi besar-besaran yang mencapai angka trilyunan rupiah.
Suatu kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan
negara. Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya
unsur merugikan keuangan negara. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap tidak
ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan tersebut
dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi. Tidak semua suap-menyuap adalah
kejahatan korupsi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
suap-menyuap merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja,
misalnya suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif.
Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 dan suap dalam kaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan kepala
daerah (money politics), yang dalam praktik penegakan hukum tindak pidana suap
ini kurang terangkat ke permukaan. Hal ini dikarenakan jarang digunakan oleh
penegak hukum sekalipun perbuatan suap-menyuap semacam itu marak terjadi di
masyarakat.
Salah satu tindak pidana dalam tindak pidana korupsi yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Tindak pidana
Penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang
sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada unsur-unsur yang esensial
dari delik suap yaitu menerima hadiah atau janji, berkaitan dengan kekuasaan
yang melekat pada jabatan, bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal
mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun penyuapan
pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian semuanya ditarik
dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang
menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan
penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan
delik suap pasif dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah diawali sejak Tahun 1957
dengan dikeluarkannya peraturan penguasa militer tentang Pemberantasan
Korupsi. Pada Tahun 1958 dijadikan peraturan penguasa perang pusat yang
dimaksudkan untuk memberantas tindak pidana korupsi dalam skala nasional.
Peraturan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dengan
didasari pemikiran bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 yang memperluas rumusan tindak pidana korupsi, mempermudah
pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan pengadilan. Setelah era reformasi, dibuatlah Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang diharapkan dapat lebih efektif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi. Kemudian Undang-Undang ini diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk dijadikan sarana
pemberantasan korupsi. Dalam kenyataannya dengan berbagai perangkat
perundang-undangan tersebut tidak tampak hasil yang dicapai, meskipun sekarang
sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, IGM Nurdjana
mengemukakan bahwa “fenomena buruknya penyelenggaraan sistem hukum
pidana yang senantiasa muncul dalam masyarakat adalah setiap peluang terjadinya
korupsi selalu tidak lepas adanya indikasi kontroversi putusan peradilan dan hasil
penanganan korupsi yang dianggap mandul” (IGM Nurdjana, 2010: 11). Hampir
setiap informasi media cetak, elektronik, digital internet memuat tentang korupsi
yang memberikan gambaran lemahnya upaya pemberantasan korupsi yang jika
dikaji lebih mendalam. Maka terdapat kompleksitas dan problematik dalam sistem
hukum pidana yang dianut di Indonesia dan berdampak pada sistem peradilan
pidana.
Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, IGM
Nurdjana berpendapat bahwa:
Penegakan hukum senatiasa dihadapkan pada problematika sistem hukum pidana khususnya pengaturan berbagai peraturan perundang-undangan pidana yang memuat unsur-unsur korupsi yang berimplikasi pada kekuatan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga diperlukan judicial review atau uji materiil perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (IGM Nurdjana, 2010:7).
Penulis beranggapan berbeda dengan pendapat IGM Nurdjana, bahwa
dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan perundang-
undangan belum tentu berakibat penegakan hukum dalam mengatasi korupsi
dapat terwujud. Hal ini tidak benar, karena penyebab utama bukanlah pada
perangkat hukumnya melainkan pada para penegak hukumnya. Gagalnya
pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara
banyak ikut campur dalam urusan penegakan hukum yang mempengaruhi dan
mengatur proses jalannya peradilan. Tidak dapat dipungkiri lagi dan sudah
menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum dirusak oleh adanya budaya suap
yang memang sulit dibuktikan secara hukum.
Ukuran keberhasilan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi, seharusnya tidak semata-mata diletakkan pada keberhasilan mengadili
atau memasukkan sebanyak mungkin koruptor ke penjara, melainkan seharusnya
dipandang dari sistem hukum secara komprehensif yaitu sejauh mana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
pembangunan sistem yang tidak korup. Karena tanpa perubahan sistemik maka
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi hanya memproduksi koruptor-
koruptor baru. Hal senada juga disampaikan oleh IGM Nurdjana bahwa
“terbangunnya sistem yang transparan dan demokratis akan berdampak besar pada
upaya membatasi peluang para koruptor yang memegang kekuasaan untuk
melakukan penyalahgunaan kekuasaannya di kemudian hari” (IGM Nurdjana,
2010:117).
Dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi juga diperlukan
kesadaran hukum masyarakat, dimana kesadaran hukum tersebut merupakan
tujuan dari penegakan hukum tindak pidana korupsi. Terbentuknya kesadaran
hukum dapat menunjang keberhasilan dari upaya penegakan hukum yang juga
dipengaruhi oleh adanya pemahaman hukum masyarakat tentang hukum itu
sendiri. Menurut penulis bahwa para pejabat atau penyelenggara negara
merupakan bagian dari masyarakat, sehingga kesadaran hukum dari para pejabat
atau penyelenggara negara sangat diperlukan untuk mengurangi tingginya angka
korupsi di Indonesia.
Dengan berbagai ketentuan-ketentuan mengenai penyuapan yang
merupakan tindak pidana korupsi, terdapat masalah-masalah yang belum dikaji
secara khusus dan perlu adanya penelitian untuk mengetahui informasi dalam
memahami permasalahan yang muncul. Diantaranya masalah ruang lingkup dan
pengaturan penyuapan sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam
hukum pidana untuk memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya.
Masalah lain yang juga menarik untuk diteliti adalah masalah bagaimana
penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan tersebut, karena
hanya dengan penegakan hukum yang tepatlah yang akan menciptakan rasa
keadilan masyarakat. Dengan masalah-masalah yang telah disebutkan diatas maka
penulis menaruh minat yang besar untuk meneliti tentang penyuapan dengan
segala aspeknya yang dituangkan dalam suatu bentuk penulisan hukum dengan
judul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu
bentuk tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah sistem hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana
korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud
penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan tentang penyuapan
sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk
tindak pidana korupsi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan
praktek yang sangat berarti bagi penulis serta memberi manfaat bagi
masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi peneliti
sendiri maupun bagi masyarakat umum. Adapun manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum pidana khususnya.
c. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani
kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti yaitu ruang
lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak
pidana korupsi dan sistem hukum pidana dalam penegakan hukum
penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi
penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk kedalam
instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi hukum
yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat di
tegakkan.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan
masalah yang diteliti, seperti anggota keluarga dan masyarakat serta
terutama bagi aparat penegak hukum agar lebih memperhatikan segala
bentuk kejahatan yang terjadi dalam lingkup yang sangat penting.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
E. Metode Penelitian
Berbicara mengenai metode penelitian, M. Iqbal Hasan mengemukakan
pendapat bahwa “metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh
sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, memiliki langkah-langkah
sistematis yang menyangkut masalah kerjanya yaitu cara kerja untuk dapat
memahami sasaran penlitian melalui prosedur dan teknik penelitian” (M. Iqbal
Hasan, 2002: 20).
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki menambahkan bahwa “Penelitian
hukum tidak diperlukan adanya hipotesis, sehingga di dalam penelitian hukum
juga tidak dikenal istilah data” (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif, disebut juga penelitian doktrinal. “Pada penelitian hukum doktrinal,
sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap
pantas” (Amiruddin, 2008: 118).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini didasarkan pada ilmu hukum. Penulis
mengutip pendapat dari Peter Mahmud Marzuki bahwa “ilmu hukum
mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif yang
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki,
2005: 22). Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang
substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dipelajari oleh
disiplin lain yang obyeknya juga hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Berbicara
mengenai hal ini, Johnny Ibrahim berpendapat bahwa “suatu penelitian
normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena
yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral suatu penelitian” (Johnny Ibrahim, 2006: 302).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian
Jenis bahan hukum yang digunakan penulis adalah bahan hukum
sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian
hukum tidak diperlukan adanya hipotesis dan juga tidak dikenal istilah data.
Sehingga penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum primer terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan
dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasi seperti hukum adat, dan yurisprudensi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-
hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis adalah
studi kepustakaan atau dokumen. Pengumpulan bahan hukum dilakukan
dengan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan
klarifikasi dan analisis menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara
komprehensif. Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
kepustakaan, diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan
dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum menurut Patton dalam bukunya Lexy J.
Moleong adalah “proses pengorganisasikan dan mengurutkan bahan hukum
ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar” (Lexy J. Moleong, 2009:
280). Pengolahan dan analisis data bahan hukum dasarnya tergantung pada
jenis datanya. Penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder
saja terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum
tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal
dalam ilmu hukum.
Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada
metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata
kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan
kepustakaan sebagai sumber bahan hukum penelitiannya. Adapun tahap-tahap
dari analisis yuridis normatif menurut pendapat Amiruddin adalah sebagai
berikut:
a. Merumuskan asas-asas hukum, baik dari bahan hukum sosial maupun dari bahan hukum positif tertulis;
b. Merumuskan pengertian-pengertian hukum; c. Pembentukan standar-standar hukum; dan d. Perumusan kaidah-kaidah hukum (Amiruddin, 2008: 166).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan,
serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan hukum ini sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis
menguraikan Kajian Tentang Hukum Pidana, Kajian Tentang
Tindak Pidana, Kajian Tentang Korupsi, Kajian Tentang
Penyuapan, dan Kajian Tentang Gratifikasi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis membahas dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan yaitu:
1. Ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu
bentuk tindak pidana korupsi.
2. Sistem hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan
yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang
simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan
permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan
atas hasil keseluruhan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori
1. Kajian Tentang Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Moeljatno dalam
bukunya asas-asas hukum pidana mengemukakan hukum pidana adalah
sebagai berikut:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002: 01).
Hukum pidana mempunyai obyek kajian yaitu aturan hukum
pidana yang berlaku di suatu negara, sebagai ilmu pengetahuan hukum
pidana. Tujuannya untuk menyelediki pengertian obyektif dari hukum
pidana positif. Pidana dapat diartikan sebagai penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Beratnya pidana atau sanksi di dalam hukum
pidana, maka ada yang menyebutkan bahwa hukum pidana seperti
“pedang bermata dua”. Artinya bahwa disamping hukum itu seharusnya
melindungi orang-orang dari perampasan hak asasinya, justru dalam
penjatuhan pidana, hukum pidana merampas hak asasi tersebut dari
mereka yang melakukan tindak pidana.
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
b. Pembagian Hukum Pidana
Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi menjadi
berbagai klasifikasi sebagai berikut:
1) Hukum pidana materiil, yaitu aturan-aturan yang menetapkan dan
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan yang
memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan
mengenai pidana.
2) Hukum pidana formil, yaitu mengatur bagaimana negara dengan
perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya
mengenakan pidana.
3) Hukum pidana obyektif (ius poenale), yaitu hukum pidana yang
memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman.
4) Hukum pidana subyektif (ius punindi), yaitu hak negara menghukum
seseorang berdasarkan hukum obyektif.
5) Hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang memuat aturan-
aturan yang berlaku bagi setiap orang.
6) Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang memuat aturan
yang berlaku bagi golongan orang-orang tertentu atau berkaitan
dengan jenis perbuatan tertentu.
7) Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana yang tersusun dalam
suatu buku undang-undang secara sistematis dan tuntas.
8) Hukum pidana yang tidak dikodifikasi, yaitu hukum pidana yang
berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai perundang-
undangan. Misalnya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Asas-Asas Hukum Pidana
Beberapa asas hukum pidana adalah sebagai berikut:
1) Asas Legalitas
Istilah bahasa latin disebut “Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenale”. Artinya tiada perbuatan pidana jika tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
ketentuan perundang-undangan yang telah mengatur sebelumnya.
Asas ini termuat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2) Asas Lex Temporis Delicti
Artinya bahwa peraturan perundang-undangan mengenai perbuatan
yang dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untuk menuntut
dan menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada
waktu perbuatan tersebut dilakukan.
3) Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen straft zonder schuld)
Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat
dipidana jika ada unsur kesalahan.
4) Asas Teritorial
Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di dalam wilayah
kedaulatan Indonesia.
5) Asas Nasional Aktif
Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap
warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu di luar
Indonesia.
6) Asas Nasional Pasif
Artinya perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara
Indonesia dan orang asing yang menyerang kepentingan hukum
Indonesia.
7) Asas Universal
Artinya perundang-undangan pidana Indonesia memberikan
perlindungan kepada kepentingan dunia internasional baik di
wilayah Indonesia sendiri maupun di wilayah bebas.
2. Kajian Tentang Tindak Pidana atau Delik
a. Pengertian Tindak Pidana atau Delik
Pada umumnya jika terjadi tindak pidana maka pemerintah yang
dalam hal ini diwakili oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
permintaan dari orang yang terkena tindak pidana segera bertindak
melakukan penyidikan, pengusutan, penuntutan dan memberikan
hukuman kepada orang yang bersalah atas perbuatan tindak pidana itu
(Winarno Budyatmojo, 2009:83).
Tindak pidana (strafbaarfeit) merupakan suatu pengertian dasar
dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain
halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau
Verbrechen atau Misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)
atau secara kriminologis. Para ahli hukum memberikan pengertian
mengenai tindak pidana (strafbaarfeit) dan unsur-unsurnya adalah
sebagai berikut:
1) D. Simons mengemukakan Strafbaarfeit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaarfeit adalah: a) Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau
tidak berbuat atau membiarkan). b) Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld). c) Melawan hukum (onrechtmatige). d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband
staand). e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaar persoon). Simons menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaar feit. Yang disebut sebagai unsur obyektif adalah: (a) Perbuatan orang. (b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. (c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur subyektif dari strafbaar feit adalah: (a) Orang yang mampu bertanggung jawab. (b) Adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
2) W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. Bahwa menurut teori, strafbaar feit adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechttelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang yang dapt dipidana tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum dan kesalahan.
3) Moeljatno mengemukakan dalam pidatonya memberi arti kepada perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: a) Perbuatan (manusia). b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini
merupakan syarat formil). c) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Syarat formil itu harus ada karena adanya asas legalitas yang termuat dalam pasal 1 KUHP. Sedangkan adanya syarat materiil karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan masyarakat. Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka. Disamping itu, orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab (Sudarto, 1990:41-43).
Delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana. Perlu diperhatikan adanya asas legalitas yang
menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, jika tidak ditentukan lebih dahulu dalam perundang-
undangan (Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
dapat dipidana, apabila mempunyai kesalahan. Untuk menjatuhkan
pidana kepada seseorang, selain orang tersebut melakukan perbuatan
yang dilarang, perlu diperhatikan adanya kesalahan, sesuai asas tidak ada
perbuatan pidana tanpa kesalahan (Geen straft zonder schuld). Seseorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
yang melakukan perbuatan pidana harus dapat dipertanggungjawabkan.
Perlu diperhatikan adanya golongan orang-orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, misalnya anak yang belum dewasa, orang gila.
Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat adanya perbuatan pidana
atau delik adalah:
1) Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang.
2) Perbuatan tersebut sudah dirumuskan di dalam undang-undang dan
bersifat melawan hukum.
3) Adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dan adanya
kemampuan untuk bertanggungjawab.
4) Harus ada ancaman hukumannya.
b. Macam–macam Tindak Pidana atau Delik
1) Delik formil, adalah perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan
melanggar ketentuan yang sudah dirumuskan didalam pasal undang-
undang yang bersangkutan.
2) Delik materiil, adalah perbuatan pidana yang dilarang yaitu akibat
yang timbul dari perbuatan tersebut.
3) Delik dolus, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sengaja.
4) Delik culpa, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan alpa.
5) Delik aduan, perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang
lain artinya suatu tindak pidana yang hanya dapatdituntut jika ada
laporan bersifat aduan kepada aparat penegak hukum dari pihak yang
dirugikan.
6) Delik politik, adalah perbuatan pidana yang ditujukan kepada
keamanan negara baik langsung maupun tidak langsung.
c. Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana
Untuk dapat menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat
kejadian dilakukannya suatu tindak pidana itu tidaklah mudah. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya pidana merupakan suatu tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya, sering kali
manusia telah menggunakan alat yang dapat menimbulkan suatu akibat
pada waktu dan tempat yang berbeda dimana manusia tersebut telah
menggunakan alat-alat yang bersangkutan. Dapat pula terjadi bahwa
perbuatan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada tempat dan
waktu yang berbeda dari pada waktu dan tempat dimana pelaku tersebut
telah melakukan perbuatannya. Jadi dalam hal ini yang dimaksud dengan
tempos delicti adalah waktu dimana terjadinya suatu tindak pidana dan
yang dimaksud dengan locus delicti adalah tempat dimana tindak pidana
tersebut dilakukan.
Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh lamintang
mengemukakan bahwa “yang harus dipandang sebagai tempat dan waktu
dilakukannya tindak pidana itu pada dasarnya adalah tempat dimana
seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materiil”
(Lamintang, 1997:229). Yang harus dianggap sebagai locus delicti itu
adalah :
1) Tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri
perbuatannya.
2) Tempat dimana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu
bekerja.
3) Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul.
4) Tempat dimana akibat konsitutif itu telah timbul.
3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi menurut Fockema Andreae sebagaimana dikutip
dalam bukunya Andi Hamzah yang berjudul Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional mengemukakan
bahwa kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal
corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan
Belanda yaitu corruptie. Arti harfiah kata tersebut ialah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
menfitnah. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Andi
Hamzah, 2007:5).
Definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional
adalah sebagai berikut:
Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya (Firman Wijaya, 2008:9)
Pengertian korupsi yang sangat sederhana tidak dapat dijadikan
tolok ukur atau standar perbuatan korupsi. Lubis dan Scott dalam
pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa:
Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahdapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela (IGM Nurdjana, 2010:16).
Secara sosiologis, menurut Syeh Husein Alatas, ada tiga tipe
fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan
(brybery), pemerasan dan nepotisme. Lebih lanjut syeh Husein Alatas
dalam monografnya yang berjudul “The Sociology of corruption: the
nature, function, couses, and prevention of corruption” menyatakan
bahwa menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” yaitu apabila seorang
pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian
istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan
menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga
tercakup dalam konsep tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh
Firman Wijaya bahwa “Pemerasan yaitu permintaan pemberian-
pemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas-tugas publik, juga
dipandang sebagai korupsi” (Firman Wijaya, 2008:8).
Dalam definisi korupsi, IGM Nurdjana mengemukakan terdapat
tiga unsur dari pengertian korupsi yaitu:
1) Menyalahgunakan kekuasaan; 2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik sektor publik
maupun sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya) (IGM Nurdjana, 2010: 15).
Korupsi merupakan sesuatau yang busuk, jahat dan merusak. Jika
membicarakan korupsi akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk,
jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan serta faktor ekonomi politik. Dengan demikian, korupsi
memiliki arti yang sangat luas menurut Evi Hartanti adalah sebagai
berikut:
1) Korupsi yaitu penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi dan orang lain;
2) Korupsi merupakan busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Evi Hartanti, 2007:09).
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam Pasal 2 mendefinisikan korupsi sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
3) Dengan cara melawan hukum;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik
inti (Bestanddeel delict). Delik penyalahgunaan wewenang diatur dalam
Pasal 3 yang dinyatakan sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
4) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
5) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut Gerald E. Caiden (1998) sebagaimana dikutip oleh
Rudyct dengan judul Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan
Upaya Penangulangannya dalam http://rudyct.com/ memaparkan secara
rinci bahwa bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain adalah:
1) Berkhianat, transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan;
2) Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri;
3) Menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan
dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke
rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana;
4) Menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi,
memperdaya dan memeras;
5) Penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta
komisi;
6) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik
pemerintah/negara, dan surat izin pemerintah;
7) Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan
pinjaman uang;
8) Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan;
9) Menerima hadiah, uang pelicin dan hiburan dan perjalanan yang
tidak pada tempatnya, dan;
10) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan
dan hak istimewa jabatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
4. Kajian Tentang Penyuapan
a. Pengertian Penyuapan
Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-
undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan
atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur
yang esensial dari delik suap yaitu:
1) Menerima hadiah atau janji;
2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;
3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat pasal-pasal
mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun
penyuapan pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian
semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c UU Nomor 3 Tahun 1971
yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal
1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (sekarang Pasal
13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam
Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, pelaku yang memberi suap (delik suap aktif) dan yang
menerima suap (delik suap pasif) adalah subyek tindak pidana korupsi
dan penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat
eksepsionalitas yang absolut.
Dengan demikian makna suap telah diperluas, introduksi norma
regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping
(suap aktif) sebagai subyek tindak pidana korupsi, karena selama ini
delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur
Passief Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi
telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya
percobaan (pogging) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang
berarti adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap
itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib
membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa
akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan
jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan
terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima
gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) dapat
ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak
bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan
menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini.
Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak
bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif
pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a, b dan c
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi
melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan perbuatan (concursus
idealis).
b. Jenis Penyuapan
Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut:
1) Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan
sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat
dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang
bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara
negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari
pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum
mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau
pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan
kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak
pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah
memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan
aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid).
2) Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji
baik berupa uang maupun barang. Bila dikaitkan dengan Badan
Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan kepada
Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha
Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian
pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara)
sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau
janji dalam pasal ini, berarti pegawai negeri/penyelenggara negara
dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi
permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.
Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi
terkait dengan praktek korupsi adalah penggelapan dan pemerasan.
Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini adalah
perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi
tanggungjawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan orang lain.
5. Kajian Tentang Gratifikasi
a. Pengertian Gratifikasi
Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat
dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau piidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan
uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan
Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya
mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan lebih
terang dan hal ini berarti lebih menjamin kepastian hukum dari pada
tidak dijelaskan sama sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian
suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa
penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri
atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2) Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian
suap aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan
mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada
pemberi grastifikasi menurut Pasal 12 B ini.
3) Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang
diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12 B
ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini
menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif
pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, dan c.
Pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalah
pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau
kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau
kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan si pemberi.
Secara hukum dan etika moral seorang penyelenggara negara
seharusnya tidak menerima gratifikasi apapun dari rakyatnya.
Kesulitannya, untuk pembuktian sebuah kasus penyuapanterbentur
kenyataan bahwapemisah antara suap dan gratifikasi hanyalah tipis
sekali. Artinya harus ada ketentuan yang jelas mengenai perbedaan
antara suap, suap yang berkedok gratifiksi atau gratifiksi yang berujung
makruh untuk diterima.
Suap adalah apabila penerima disyaratkan melakukan tindakan
hukum yang tidak benar atau disyaratkan mencegah tindakan hukum
yang benar. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang bersifat
mutlak, tidak mengandung syarat apapun. Dari ketentuan-ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa penyuapan dan gratifikasi mempunyai
titik persamaan diberikan kepada pemegang kekuasaan. Sisi
perbedaannya, melihat kepada tujuan dari si pemberi. Bila tujuan
tersebut, masih umum sekedar menarik simpati atau terindikasi karena
faktor jabatan dan kedudukan berarti tergolong gratifikasi. Apabila tujuan
yang ingin dicapai tertentu dan dalam persoalan khusus, maka ini yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
disebut dengan penyuapan. Meskipun keduanya diharamkan, tentunya
tingkat keharaman dan hukuman yang diterima berbeda.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelengara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi
tidak dianggap suap jika penerima melaporkan ke KPK. Hal ini diatur
didalam Pasal 12 C yang berbunyi sebagai berikut:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: 1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib melakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi tersebut diterima.
2) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penetuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan Pasal 12 C ayat (2) UU No.31 tahun 1999 jo. UU
No.20 tahun 2001 dan Pasal 16 UU No. 30 tahun 2002, setiap Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai
berikut :
1) Penerima gratifikasi wajib melaporkan dokumen penerimaannya
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja kepada KPK,
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima;
2) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir
sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
3) Formulir sebagaimana dimaksud dalam angka (2), sekurang-
kurangnya memuat :
a) Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
b) Jabatan Pegawai Negeri atau penyelenggara negara;
c) Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
d) Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
e) Nilai gratifikasi yang diterima.
Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah
rumusan tindak Pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun
2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi
menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi
unsur-unsur:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas);
3) Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya;
4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam
jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
b. Subyek Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang
menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah:
1) Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No.
31 Tahun 1999, meliputi:
a) Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang
kepegawaian;
b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-
Undang Hukum Pidana;
c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau
daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau
e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau
masyarakat.
2) Penyelenggara Negara
Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara
Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal
2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi:
a) pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
c) Menteri;
d) Gubernur;
e) Hakim;
f) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan
perundang- undangan yang berlaku.
c. Obyek Gratifikasi
Dilihat dari penjelasan pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka
disebutkan objek gratifikasi adalah: pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik.
Selain itu terdapat juga kasus-kasus yang dapat digolongkan sebagai
gratifikasi yaitu:
a) Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat
mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif.
b) Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/ kelulusan,
Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan
tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari
petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan
daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi
KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa
dan penindakan tegas pada pelaku.
c) Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh
Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan
Daerah.
d) Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat.
e) Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan.
f) Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah
tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran
tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan
tambahan dana dapat menggunakan kotak amal.
g) Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran.
h) Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang tambahan.
i) Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan
yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan
jumlah tidak masuk akal.
j) Pengurusan ijin yang dipersulit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
b. Kerangka Pemikiran
Mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini dibuat dalam suatu bagan
seperti berikut:
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penjelasan:
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana. Tindak pidana berisikan tentang kejahatan (perbuatan
jahat) dan pelanggaran. Pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi diatur didalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu jenis tindak pidana dalam
tindak pidana korupsi dalah penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang
dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften)
yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif.
Peningkatan terjadinya korupsi disebabkan karena lemahnya penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan adanya penanganan korupsi
TINDAK PIDANA
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG
NOMOR 20 TAHUN 2001
KORUPSI
PENYUAPAN
PENEGAKAN HUKUM
TUJUAN HUKUM = KEADILAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
yang tebang pilih, khususnya tindak pidana penyuapan. Bilamana aparat penegak
hukum serius dalam menangani kasus-kasus secara profesional, maka tujuan
daripada hukum yaitu keadilan dapat terwujud di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan
Tindak pidana penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak pidana
korupsi sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, dalam penulisan hukum
ini, penulis mencoba melakukan kajian dan pembahasan mengenai tindak pidana
penyuapan berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis.
1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyuapan
Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan dalam
masyarakat Indonesia. Bahkan korupsi merupakan masalah yang dihadapi
seluruh bbangsa di dunia terutama bagi negara-negara berkembang. Namun
korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merusak tatanan ekonomi,
kehidupan masyarakat, dan kesejahteraan bangsa. Sehingga secara hubungan
internasional sering dibicarakan dalam forum-forum resmi karena korupsi
sudah menjadi semacam tindak pidana yang luar biasa.
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, corruption dalam bahasa
Inggris dan corruptie dalam bahasa Belanda. Pengertian korupsi menurut
Robert Klitgaard bahwa:
Korupsi bisa diartikan sebagai suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi, termasuk masalah etika dan moral menurut pandangan masyarakat umum (Robert Klitgaard, 2005:31).
Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa
“Korupsi disamping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang
busuk, juga disangkutpautkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang
keuangan” (Sudarto, 1996:115). Artinya korupsi selalu dipautkan dengan
adanya suatu tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara atau
35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
terganggunya perekonomian negara yang akibatnya adalah akan memperkaya
diri sendiri, orang lain atau kelompok.
Berbicara mengenai pengertian korupsi, Suyatno juga mengemukakan
pendapatnya bahwa “Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan” (Suyatno, 2005: 16).
Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum
yang secara definitif diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis beranggapan bahwa korupsi telah menjadi masalah dunia,
bukan hanya masalah di negara-negara berkembang saja.oleh karena itu,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang perlu untuk
mengadopsi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)
melalui Resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003. Selanjutnya pada tanggal 10
Januari 2005, konvensi tersebut ditandatangani oleh 116 negara dan 15 negara
telah meratifikasi. Salah satunya ialah Indonesia yang telah meratifikasi
konvensi tersebut, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nation Convention Against Corruption. Di dalam
konvensi tersebut, UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara
untuk memberantas korupsi melalui kodifikasi. Dalam Compendium of
International Legal Instruments on Corruption, ditegaskan bahwa UNCAC
menawarkan seperangkat pendekatan yang komprehensif untuk menghadapi
korupsi. Konvensi tersebut dapat dibagi kedalam beberapa bagian yaitu:
a. Prevention policies such as reforming the public service and introducing transparency and good governance;
b. The criminalization of corrupt conduct; c. International cooperation, and; d. Asset recovery (Surowidjojo, 2005:68).
a. Pencegahan kebijakan seperti reformasi pelayanan publik dan
memperkenalkan transparansi dan tata pemerintahan yang baik; b. Kriminalisasi perilaku korup; c. Kerjasama internasional, dan; d. Pemulihan aset.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Perbincangan tentang korupsi di Indonesia seperti tiada habisnya,
meskipun ada penguatan upaya pemberantasannya, tetapi belum mewujudkan
crime rate korupsi ke arah penurunan. Jeremy Pope mempunyai pandangan
bahwa:
Korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung jawab sistem integrasi publik (Jeremy Pope, 2003:2).
Hal yang sama juga diuraikan oleh Patrick Glynn, Stephen J. Korbin
dan Moises Nim sebagaimana dikutip Kimberly Ann Wlliot yang
mengemukakan bahwa “Meningkatnya aktivitas korupsi baik yang
sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena
terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau
menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum”
(Kimberly Ann Elliot, 1999:11).
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali
kemungkinan besar akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
keuangan negara, perekonomian nasional dan menghambat pembangunan
nasional. Oleh karena itu, sekarang tindak pidana korupsi tidak lagi
dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu
kejahatan yang luar biasa. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya tidak
lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara
yang luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar
mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektivitas hukum dan undang-
undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut.
Seseorang yang terlibat dalam perbuatan korupsi atau suap sebenarnya harus
malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan
bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si
penerima suap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Suap (bribery) bermula dari kata briberie (Perancis) yang artinya
adalah begging (mengemis) atau vagrancy (gelandangan). Dalam bahasa
Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong
roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe
bermakna alms (sedekah), blackmail atau extortion (pemerasan) dalam
kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly
(pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk
mempengaruhi secara jahat atau korup).
Suap-menyuap (bribery) bukanlah suatu tindak pidana biasa. Dalam
teori hukum pidana, perbuatan ini dikategorikan sama dengan tindak pidana
pembunuhan, pemerkosaan atau pencurian. Perbuatan suap merupakan mala
per se atau mala in se dan bukan mala prohibita. Konsep mala per se yang
dilandasi oleh pemikiran natural Wrongs menganggap bahwa kejahatan-
kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani
dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah
melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah.
Adapun konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa
perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah
melarangnya sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contuhnya ialah
berbagai peraturan tata tertib di berbagai bidang kehidupan yang diperlukan
dalam rangka untuk menegakkan tertibnya kehidupan modern.
Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu
mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing) agar yang
disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat
yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya. Para pelaku, baik aktor intelektual maupun aktor pelakunya,
telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum
maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan dan kesopanan).
Tindak pidana penyuapan atau dalam istilah Belanda oomkoping atau
dalam istilah Inggris bribery, di Indonesia sudah dikenal sejak lama, delik ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
awalnya termuat dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
hingga kini delik penyuapan termasuk delik khusus yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, yang bahkan lebih rinci dalam menguraikan unsur-unsur delik.
Hingga kini, delik ini tidak mampu diatasi secara maksimal dan bahkan
menjadi-jadi, terbukti karena delik suap justru melibatkan aparat penegak
hukum yang terkait langsung dengan upaya pemberantasan korupsi.
Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan
baru yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mulai diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 dan kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang
suap tersebut dioper dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam kaitan
dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten).
Pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dioper ke
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Pasal 209
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan aktif
(actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri dan Pasal
419 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan pasif
(passieve omkooping atau passive bribery) yang mengancam pidana terhadap
pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian Pasal 210 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan terhadap hakim
dan penasehat hukum di pengadilan serta Pasal 420 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang mengatur tentang hakim dan penasehat hukum yang
menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifikasi yang
diatur dalam Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kemudian juga
dioper menjadi tindak pidana korupsi dengan merumuskan gratifikasi sebagai
pemberian hadiah yang luas dan meliputi pemberian uang, barang,
rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik
(embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar
dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai
bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or
taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an
impairment of integrity, virtue, or moral principles).
Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap-
menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat. Hal ini diperkuat oleh Muladi
dengan artikelnya yang berjudul Hakikat Suap daan Korupsi dalam
http://www.unisosdem.org> yang mengemukakan bahwa Kejahatan korupsi
tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsi yang
sangat kriminogen yaitu dapat menjadi sumber kejahatan lain dan viktimogen
yaitu secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan.
Delik penyuapan sungguh mengerikan jika dikalkulasikan dampaknya
secara simultan. Dalam hal penyuapan yang terkait dengan penegakan
hukum, seorang tersangka berupaya menyuap aparat penegak hukum agar
pemeriksaan atas kasusnya dihentikan, ataupun agar mendapat putusan yang
menguntungkan jikapun suatu kasus dibawa ke pengadilan. Upaya semacam
ini membuat para pelaku kejahatan tidak jera dan sangat memungkinkan
untuk mengulangi perbuatannya, karena dengan suap mereka tidak akan
terjerat hukum. Hukum yang seharusnya menjadi panglima, hanya dianggap
rintangan kecil yang bisa diatasi dengan suap.
Tindak pidana suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya
pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja
adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya pogging (percobaan) suap saja
sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti adanya kondisi sebagai
permulaan pelaksanaan dugaan suapi itu sudah dianggap sebagai tindak
pidana korupsi. Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan
suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah
berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan
terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima
gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) dapat ditarik beberapa
kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk
mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana
pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini. Dengan demikian, luasnya
pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang
tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan
Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih
dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan (concursus idealis).
Delik dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tersebut berlaku Asas Pembalikan Beban Pembuktian yang diadopsi dari
Reversal Burden of Proof atau omkering van het Bewijslast pada sistem
Anglo Saxon khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification)
yang berkaitan dengan penyuapan (bribery) yang artinya asas ini tidak pernah
ada yang bersifat total absolut, hanya dapat diterapkan secara terbatas
terhadap delik yang berkenaan delik gratifikasi yang berkaitan dengan
penyuapan. Asas ini menurut Andi Hamzah, merupakan suatu penyimpangan
dari asas umum hukum pidana yaitu Presumption of Innocence, yang hanya
diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain cases), yaitu yang
berkaitan dengan delik korupsi khususnya terhadap delik pemberian yang
berkaitan dengan suap. Gratifikasi ini ditujukan kepada pegawai negeri dalam
arti luas dan penyelenggara negara yang telah melakukan pekerjaan
bertentangan dengan kewajibannya. Pemberian dianggap suap sampai
dibuktikan bukan suap oleh penerima suap.
Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas
suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki dua pengertian, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar
seseorang berlawanan dengan kewenangan/kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum.
b. Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si
penerima melawan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum.
Menurut Yusuf Qordhawi sebagaimana dikutip oleh Deden Setiawan
Hartomo dalam http://id-id.facebook.com yang mengatakan bahwa suap
adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan
atau jabatan apapun untuk mensukseskan perkaranya dengan mengalahkan
lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang
kepadanya atau menyingkirkan musuhnya. Dari pengertian di atas dapat
dipahami bahwa suap adalah memberi sesuatu, baik uang maupun barang
kepada seseorang agar melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang
bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu dilaksanakan ataupun
tidak dilaksanakan. Dari sini dapat dipahami bahwa suap adalah sebuah
tindakan yang mengakibatkan sakit atau kerugian di pihak lain.
Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun
berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati.
Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan dilaksanakan. Adapun pemberian
suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati
senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan dan pengurangan, atau
pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
b. Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat
atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si
pemberi menginginkan sesuatu.
c. Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang
ditentukan si pemberi uang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu
sebagai berikut:
a. Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu,
baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap
batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk
menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai
negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji
tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang
diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar
penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau
janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan
dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak
pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi
rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat
perbuatannya sudah selesai (voltoid).
b. Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik
berupa uang maupun barang. Sebagai contoh apabila hal ini dikaitkan
dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan
kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan
Usaha Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian
pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila
pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam pasal ini,
berarti pegawai negeri/penyelenggara negara dimaksud akan
menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang
memberi atau yang menjanjikan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
2. Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan
Bentuk-bentuk tindak pidana adalah rumusan tindak pidana korupsi
yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Rumusan tersebut mempunyai unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis
pidana dengan sistem pemidanaan tertentu pula. Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membedakan antara jenis tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi.tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
meskipun dirumuskan dalam Undang-Undang, namun tidak dapat disebut
sebagai perilaku yang koruptif. Jenis tindak pidana korupsi diatur didalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan
Pasal 24. Khusus mengenai tindak pidana korupsi jenis suap-menyuap
maupun penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang pada mulanya berasal dari
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apabila dikelompokkan, tindak pidana korupsi jenis suap tersebut
terdapat 5 (lima) jenis. Disamping lima macam suap yang berasal dari KUHP
yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi, dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 ditambahkan satu jenis suap yang berasal dari Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 ke dalam Pasal 13, yang disebut suap aktif.
Dibentuk satu suap lagi yaitu suap pasif yang disebut suap menerima
gratifikasi ke dalam Pasal 12 B.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi tidak
memberi nama jenis tindak pidana secara spesifik karena hanya menbedakan
antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi. Dalam kepustakaan muncul penggolongan dengan
penamaan yang berbeda-beda, setidaknya pembedaan pada klasifikasi secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
lebih spesifik. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak
memasukkan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 sebagai jenis
tersendiri. Maksudnya jenis tindak pidana korupsi hanya diatur dalam Pasal 2
sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Mengenai Pasal 14 akan diuraikan kemudian yang menjelaskan
bahwa ketentuan pasal tersebut juga jenis tindak pidana tersendiri. Mengenai
yang diatur dalam Pasal 15 memang bukan suatu tindak pidana tersendiri.
Hal tersebut disebabkan percobaan, pembantuan, atau pernufakatan dianggap
melakukan tindak pidana korupsi itu sendiri seperti diatur dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Dengan demikian orang yang
mencoba melakukan, membantu melakukan, atau melakukan permufakatan
tindak pidana korupsi, pada dasarnya merupakan pelaku tindak pidana
korupsi. Demikian halnya yang diatur dalam Pasal 16 yaitu orang yang diluar
wilayah negara Republik Indonesia memberikan bantuan, kesempatan.
Sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi, meskipun
Undang-Undang tidak menyebut secara eksplisit sebagai tindak pidana
korupsi, namun diancam dengan sanksi pidana yang sama dengan apabila
melakukan korupsi itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut semakin
menandai sifat kekhususan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi karena menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum
seperti diatur dalam Pasal 53 KUHP mengenai percobaan, Pasal 56 KUHP
mengenai membantu melakukan, Pasal 88 KUHP mengenai permufakatan
jahat. Penyimpangan yang dimaksud terutama menyangkut besarnya pidana
yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.
Komisi Pemberantasan Korupsi membedakan tindak pidana korupsi
ke dalam 30 jenis tindak pidana yang dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kerugian keuangan negara, meliputi Pasal 2 dan Pasal 3.
b. Suap-menyuap, meliputi Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 13,
Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1)
huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan huruf d.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
c. Penggelapan dalam jabatan, meliputi Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a,
huruf b, dan huruf c.
d. Pemerasan, meliputi Pasal 12 huruf e, g, dan f.
e. Perbuatan curang, meliputi Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 7
ayat (2), Pasal 12 huruf h.
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, meliputi Pasal 12 huruf i.
g. Gratifikasi, meliputi Pasal 12 B jo. Pasal 12 C.
Pembedaan pengelompokkan tersebut hanya sekedar pembedaan
penamaan saja, penggolongannya pun sama sekali tidak bersifat substantif.
Jenis tindak pidana korupsi mengenai suap-menyuap seperti diatas dapat
diuraikan masing-masing sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif atau Memberi Suap
Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Tindak pidana suap aktif ini terdiri atas 2 (dua) bentuk seperti
yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b yang berasal dari Pasal
209 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999,
dimana rumusannya sebagai berikut:
a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (tahun) dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b) Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negarakarena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Rumusan Pasal 5 tersebut tidak lagi sama atau berbeda dengan
Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana Pasal 209 unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan
untuk menggerakkan (bewegen) yakni mendorong atau mempengaruhi
batin orang lain in casu pegawai negeri tidak dimuat. Akan tetapi, dalam
Pasal 5 maksud (bukan lagi ditujukan untuk menggerakkan pegawai
negeri), tetapi ditujukan agar pegawai negeri berbuatatau tidak berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya.
Unsur-unsur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;
3) Kepada pegawai negeri;
4) Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
Sedangkan unsur Pasal 5 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Memberi sesuatu;
3) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
4) Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan pegawai
negeri atau penyelenggara negara.
Pengertian pegawai negeri hanya bersifat definitif yang diatur
dalam Pasal 1 angka 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
didefinisikan sebagai berikut:
1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Kepegawaian;
2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana;
3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
5) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.
Sedangan pengertian penyelenggara negara dikemukakan dalam
penjelasan Pasal 5 ayat (2) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
penyelnggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Penyelenggara negara meliputi:
1) Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;
2) Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;
3) Menteri;
4) Gubernur;
5) Hakim;
6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif atau Memberi Suap
Kepada Hakim atau Advokat
Tindak pidana korupsi ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
dan b yang berasal dari Pasal 210 ayat (1) angka 1 dan 2 yang dirujuk
dalam Pasal 1 ayat (1) angka 1 huruf c UU No. 3 Tahun 1971. Rumusan
pasalnya sebagai berikut:
a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidan denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
b) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Tindak pidana suap pada hakim dan advokat dirumuskan sama
dengan Pasal 5, namun Pasal 6 ini merupakan korupsi suap khusus.
Dengan adanya ketentuan khusus maka korupsi suap artinya sama
dengan dengan Pasal 5 walaupun hakim merupakan pegawai negeri,
tetapi Pasal 5 tidak berlaku bagi hakim. Sebab ada ketentuan khusus bagi
hakim yakni Pasal 6 dan pasal yang ketentuan khusus lah yang
berlaku.hal ini sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis
artinya hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum dan diatur
dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. Rumusan Pasal 6 terdapat 3 (tiga) bentuk
tindak pidana suap yakni 2 (dua) bentuk dirumuskan pada ayat (1) huruf
a (suap khusus pada hakim) dan huruf b (suap khusus pada advokat) dan
bentuk ketiga dirumuskan pada ayat (2) yakni hakim dan advokat yang
menerima suap.
Unsur-unsur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;
3) Kepada hakim;
4) Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
Sedangkan unsur dari Pasal 6 ayat (1) huruf b yaitu:
1) Setiap orang;
2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;
3) Kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
4) Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
Unsur Pasal 6 ayat (1) huruf a berbeda dengan unsur Pasal 6 ayat
(1) huruf b. Perbedaan tersebut terletak pada unsur adresat dan unsur
subyektifnya. Tjandra Sridjaja Pradjonggo berpendapat bahwa “Unsur
adresat yang dimaksud yaitu hakim di satu pihak, dan advokat dipihak
lain. Sedangkan unsur subyektifnya yaitu unsur maksud dilakukannya
perbuatan materiil” (Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010:122). Dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a yaitu dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Sedangkan
Pasal 6 ayat (1) huruf b yaitu dengan maksud mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
b. Tindak Pidana Korupsi Memberi Hadiah atau Janji Kepada
Pegawai Negeri
Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun
1999 yang berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf d UU No. 3 Tahun 1971
yang rumusan pasalnya sebagai berikut:
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Unsur-unsur pasal yang terdapat dalam Pasal 13 yaitu:
1) Setiap orang;
2) Memberi hadiah atau janji;
3) Kepada pegawai negeri;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
4) Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Adami Chazawi mengemukakan pendapat bahwa Ada perbedaan
dan persamaan antara Pasal 13 dengan Pasal 5 adalah sebagai berikut:
Persamaannya ialah: 1) Subyek hukumnya setiap orang (orang amaupun korporasi); 2) Penerima suap yakni pegawai negeri; 3) Obyeknya ialah janji atau hadiah; 4) Perbuatannya yaitu memberi dan menjanjikan. Sedangkan perbedaannya ialah: 1) Obyeknya yaitu dalam Pasal 5 disebutkan sesuatu selain janji,
namun Pasal 13 adalah hadiah atau janji; 2) Subyek hukum yang menerima hadiah pada Pasal 5 yaitu
pegawai negeri atau penyelenggara negara, sedangkan Pasal 13 hanya pegawai negeri;
3) Suap Pasal 5 terdapat unsur kesalahan berupa maksud pembuat dengan melakukan perbuatan memberi dan menjanjikan yang ditujukan supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibanjabatannya. Sedangkan Pasal 13 tidak mengandung unsur kesalahan, tetapi ada unsur pembuat yaitu menganggap bahwa pemberian hadiah itu melekat pada jabatan si pegawai negeri tersebut (Adami Chazawi, 2005:278).
c. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pasif atau Menerima Suap oleh
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2),
Pasal 12 huruf a dan b, dan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Rumusan Pasal 5 ayat (2) adalah sebagai berikut:
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimakasud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2)
meliputi:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2) Menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau huruf b.
Terjadinya tindak pidana korupsi suap jenis ini bergantung pada
terjadinya tindak pidana korupsi suap pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
Selesainya suap pada ayat (2) khusus perbuatan menerima pemberiab
suatu benda bergantung pada selesainya perbuatan menerima pemberian
atau menerima janji. Demikian juga perbuatan menerima janji dapat
dianggap telah selesai dengan sempurna manakala telah ada keadaan-
keadaan sebagai pertanda atau indikator bahwa mengenai apa isi yang
dijanjikan telah diterima oleh pegawai negeri tersebut.
Jenis tindak pidana penyuapan pasif atau pegawai negeri yang
menerima suap juga diatur dalam Pasal 12 huruf a dan b yang berasal
dari Pasal 419 angka 1 dan 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999.
Rumusan Pasal 12 huruf a dan b adalah sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahala diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 12 huruf a dan b adalah
sebagai berikut:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima hadiah atau janji;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
3) Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Perbedaan antara yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12
huruf a yaitu dalam hal Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a
dipergunakan istilah “menerima pemberian atau janji” dan “berbuat atau
tidak berbuat”. Sedangkan dalam hal Pasal 12 huruf a dipakai istilah
“menerima hadiah atau janji” dan “melakukan atau tidak melakukan”. Di
dalam Pasal 12 huruf a terdapat unsur kesengajaan atau kealpaan yaitu
“diketahui atau patut diduga”, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal
5 ayat (1) huruf a tidak terdapat unsur tersebut. Meskipun demikian
bukan berarti dalam Pasal 5 ayat (2) tidak terkait dengan kesengajaan
atau kealpaan, bahkan pada prinsipnya perbuatan materiilnya tidak
berbeda.
Sedangkan unsur yg terdapat dalam Pasal 12 huruf b sebagai berikut:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima hadiah;
3) Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
4) Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Apabila dianggap juga terdapat perbedaan antara yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf b yaitu terletak pada perbuatan
materiilnya. Yaitu dalam Pasal 12 huruf b disebutkan “menerima hadiah”
sedangkan Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b mengandung
“menerima pemberian atau janji”. Di samping itu, Pasal 12 huruf b
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
terdapat unsur kesengajaan atau kealpaan, sedangkan Pasal 5 ayat (2) jo.
Pasal 5 ayat (1) huruf b tidak terdapat unsur tersebut.
Disamping jenis tindak pidana korupsi penyuapan pasif seperti
diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a dan b, dalam hal
subyek tindak pidananya pegawai negeri atau penyelenggara negara
diatur pula jenis lain dalam Pasal 11 yang dirumuskan sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Apabila diuraikan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahuinya;
4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya
atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Menurut Adami Chazawi, perbedaan antara Pasal 12 huruf a
dengan Pasal 11 terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Sikap batin pembuat korupsi suap pasal 11 berupa sikap batin kesengajaan (apa yang diketahui) dan kealpaan (patut diduga diketahui) yang diarahkan pada unsur “pemberian hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya”. Sedangkan pasal 12 huruf a sikap batin pengetahuan dan patut diduga pegawai negeri – penerima suap diarahkan pada unsur “hadiah atau janji diberikan padanya untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Terjadinya korupsi menerima suap pasal 11 tidaka ada hubungannya dengan terjadinya korupsi memberi suap pasal 5 ayat (1) huruf a, tetapi terjadinya korupsi menerima suap pasal 12 huruf a, setelah terjadi korupsi pemberian suap pasal 5 ayat (1) huruf a (Adami Chazawi, 2006:242-243).
d. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pasif atau Suap yang Diterima
oleh Hakim atau Advokat
Korupsi suap hakim atau advokat menerima suap sebagaimana
dimaksud adalah korupsi yang ada hubungan langsung dengan masalah
penegakan hukum di lingkungan peradilan. Sesuai dengan subyek hukum
suap yaitu hakim dan advokat, meskipun berhubungan dengan proses
penegakan hukum namun diatur dalam rumusan yang berbeda. Karena
selain berbeda subyek hukumnya, juga berbeda unsur kesalahannya
sesuai bidang dan tugas masing-masing subyek.
Rumusan korupsi hakim dan advokat menerima suap terkandung
dalam Pasal 12 huruf c dan d, dimana pasal tersebut berasal dari Pasal
420 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999.
Bunyi Pasal 12 huruf c dan d adalah sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf c adalah sebagai berikut:
1) Hakim;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahui atau petut diduga bahwa bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.
Korupsi hakim menerima suap dalam Pasal 12 huruf c sebagai
suap pasif, hakim dapat melanggar larangan menerima suap apabila telah
terjadi tindak pidana korupsi menyuap hakim yang dirumuskan dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a. artinya bahwa korupsi hakim menerima suap
Pasal 12 huruf c ini berpasangan dengan korupsi menyuap hakim Pasal 6
ayat (1) huruf a. Pembentuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
membentuk tindak pidana suap tersendiri bagi orang yang berkualitas
sebagai hakim, karena begitu penting dan strategisnya kedudukan hakim
dalam rangka proses penegakan hukum sangat berpengaruh. Bukan
hanya terhadap kepastian hukum dan keadilan masyarakat, melainkan
terhadap ketertiban dan keamanan serta kedamaian bagi semua anggota
masyarakat secara tidak langsung. Oleh karena itu, dibentuklah pasal
tersendiri meskipun sesungguhnya sudah ada rumusan Pasal 11 mengenai
korupsi pegawai negeri menerima suap dan Pasal 5 ayat (1) mengenai
korupsi suap kepada pegawai negeri.
Sedangkan unsur dari Pasal 12 huruf d sebagai berikut:
1) Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.
Berdasarkan penjelasan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001, pengertian advokat adalah orang yang berprofesi
memberikan jasa hukum baik didalam maupu diluar pengadilan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Seperti yang diketahui bahwa advokat telah
diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat.
B. Sistem Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi
Setelah melakukan kajian dan pembahasan mengenai ruang lingkup dan
pengaturan tindak pidana penyuapan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan, maka penulis melakukan kajian dan pembahasan mengenai sistem
hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan yang merupakan salah satu
bentuk tindak pidana korupsi.
Kajian tentang sistem hukum pidana dalam rangka penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi dalam berbagai literatur yang ada masih sangat
sedikit, bahkan jarang ditemui, sehingga penulis merasa sangat tertarik untuk
mengkaji upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terutama dari
sudut pandang sistem hukum pidana. Meskipun dalam berbagai penelitian telah
banyak menganalisa mengenai sistem peradilan pidana, teori hukum dan
sebagainya, akan tetapi kajian tersebut hanya membahas bagian dari unsur dalam
sistem hukum pidana dan tidak melihat sistem hukum pidana itu secara
komprehensif dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Kajian dan pembahasan mengenai penyuapan sebagai salah satu tindak pidana
korupsi adalah sebagai berikut:
Berbicara mengenai korupsi di Indonesia, terlebih dahulu mengerti bahwa
negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) sebagaimana ketentuan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga. Secara konseptual maka teori
negara hukum menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum
(recht zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights).
Pada dasarnya, suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin
persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk
menggunakan hak asasinya. Substansi elementer dalam suatu negara hukum selain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
terdapat persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas
kekuasaan ini juga berubah, bergantung kepada keadaan. Namun, sarana yang
dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara
maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh
karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan
negara senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan
kewajiban yang dilindungi oleh hukum.
Berbicara mengenai sistem hukum pidana. IGM Nurdjana mengemukakan
pandangannya bahwa:
Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan yang lain yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Maka, sistem hukum merupakan kesatuan yang terdiri dari sub sistem hukum yang saling berkaitan atau mempengaruhi satu dengan yang lain guna mencapai tujuan. Oleh karena itu, sistem hukum pidana yaitu kesatuan yang terdiri dari sub sistem hukum pidana yang saling melengkapi dan mempengaruhi untuk mencapai tujuan hukum pidana (IGM Nurdjana, 2000:92).
Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana
merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma. Sebagai sebuah sistem,
hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes),
memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relations) dan
kemudian membentuk struktur (structure). Hal senada juga disampaikan oleh
Sudikno Mertokusumo yang berpendapat bahwa “Sistem hukum adalah sistem
terbuka yaitu memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya dan setiap
unsur yang tidak merupakan bagian dari sistem memiliki pengaruh terhadap
unsur-unsur didalam sebuah sistem” (Sudikno Mertokusumo, 1996:102).
Pandangan Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip oleh IGM
Nurdjana menyebutkan bahwa sebuah sistem hukum dalam arti luas dengan tiga
elemen yaitu sebagai berikut:
1. Struktur Hukum, yaitu institusi atau lembaga hukum , sistem manajemen, dan mekanisme serta sarana prasarana dari sistem penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana);
2. Substansi Hukum, yaitu aturan-aturan substantif dan aturan tentang bagaimana pranata hukum harus berperilaku yang meliputi: hukum pidana materiil (KUHP dan UU diluar KUHP), hukum pidana formil (KUHAP), dan hukum pelaksanaan pidana;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
3. Budaya Hukum, yaitu sebagai unsur dari sikap dan nilai sosial, bagian dari kultur hukum yang mencakup kebiasaan, pendapat, cara bertindak dan berpikir (IGM Nurdjana, 2000:94).
Perbuatan korupsi dalam praktik sistem hukum dalam negara hukum saat
ini dan konsistensi penegakan hukum merupakan fenomena sosial yang sangat
kompleks. Kompleksitas ini dapat melekat pada persepsi dan paradigma
kelompok-kelompok pelaku elite (kakap), menengah dan bawah, serta kelompok
super elite (big fish atau ikan paus) yang sulit terjaring, bahkan berakibat kerugian
negara luar biasa. korupsi sering kali hanya dihubungkan dengan lemahnya
penegakan hukum padahal jika lebih dikaji ternyata didalam sistem hukum pidana
khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terdapat
berbagai problem hukum. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu
yang disebut sebagai mafia peradilan untuk menerapkan sistem selektivitas
penegakan hukum yang akhirnya menimbulkan rasa ketidak adilan bagi
masyarakat kecil yang terjerat hukum.
Perkembangan korupsi seakan-akan sudah berurat akar, bahkan sudah
membudaya da telah menjadi bagian dari way of life hampir di segi kehidupan
sosial. Setiap langkah masyarakat selalu dibayang-bayangi dengan isu masalah
korupsi yang semakin merajalela. Tidak mengherankan jika berbagai putusan
hakim terhadap perkara-perkara korupsimenimbulkan kontroversi. Faktanya
terjadi hasil vonis peradilan oleh hakim yang sering memutus ringan dan juga
membebaskan para koruptor, bahkan malah diberikan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3). Bila dilihat kembali dari sepanjang sejarah peradilan terhadap
tindak pidana korupsi di Indonesia, belum pernah ada koruptor yang divonis
pidana mati oleh hakim, padahal Undang-Undang memberikan peluang atau
isyarat untuk itu. Hal ini mencerminkan lemahnya, kurang seriusnyaaparat
penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum khususnya terhadap tindak
pidana korupsi.
Proses penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menjadi fenomena di
Indonesia, dinilai oleh banyak kalangan bahwa inkonsistensi penegakan hukum
dalam taraf law in action sesuai dengan legal spirit yang menjadi latar belakang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
law in book ini berimplikasi pada akseptasi dan kultur hukum masyarakat. Hal
semacam ini juga diuraikan oleh IGM Nurdjana dengan mengemukakan
pandangannya bahwa “Penegakan hukum seperti ini tidak memberikan efek jera
bagi pelaku korupsi terutama birokrat yang kolusif dengan koruptor yang lebih
memperhitungkan profit dengan pertimbangan cost and benefit sehingga bukan
tidak mungkin budaya suap merupakan salah satu modus kejahatan korupsi dari
para koruptor” (IGM Nurdjana, 2000:273).
Kontroversi antar produk politik hukum dengan realita praktik
pemberantasan korupsi di Indonesia telah digambarkan pada implikasi dari
momentum pola penegakan hukum terhadap korupsi menimbulkan fenomena
kecenderungan dalam masyarakat di Indonesia bahwa karena korupsi sudah
membudaya dan kelihatannya sulit diberantas. Maka banyak orang yang psimis,
putus asa, tidak peduli lagi atau masa bodoh. Bahkan yang paling berbahaya
adalah menganggap bahwa korupsi adalah hal yang lumrah, yang harus diterima
sebagai realita atau suatu hal yang memang menjadi kebutuhan atau keharusan.
Kondisi penerapan hukum tentang korupsi di Indonesia, menjadi fenomena
buruknya penyelenggaraan sistem hukum yang senantiasa muncul dalam
masyarakat adalah setiap peluang terjadinya korupsi selalu tidak lepas adanya
indikasi kontroversi antara produk suatu sistem hukum pidana melalui peradilan
pidana dari tindakan hasil penanganan korupsi. Hampir setiap media informasi
cetak, elektro, maupun digital internet memuat tentang korupsi yang memberikan
gambaran kelemahan praktik penegakan hukum pidana dalam proses
pemberantasan korupsi.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan
dengan cara-cara biasa sebagaimana penanggulangan kejahatan lainnya. Korupsi
merupakan kejahatan yang luar bias, tentu membutuhkan penanganan yang luar
biasa pula. Hal senada juga diungkapkan oleh IGM Nurdjana yang
mengemukakan beberapa langkah strategis dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi antara lain sebagai berikut:
1. Memberdayakan integritas moral para penegak hukum dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yaitu dengan memberdayakan sistem kesejahteraan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
2. Sosialisasi pemahaman korupsi kepada para birokrat baik lembaga eksekutif maupun legislatif, penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat.
3. Penerapan sanksi hukum yang konsisten dan tegas, tetapi tetap menjunjung Hak Asasi Mnusia yaitu dengan reward and punish yang lebih keras lagi bagi pelaku korupsi yang melibatkan birokrat.
4. Membentuk jaringan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan kekuatan dari institusi yang berwenang menangani korupsi sampai tingkat bawah.
5. Para penegak hukum menerapkan tugas, pokok dan fungsi dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara proporsional dan profesional sesuai instrumen hukum yang berlaku.
6. Mempublikasikan setiap hasil penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi melalui media informasi publik baik media cetak maupun elektronik, sehingga kelemahan dan kendala, akuntabilitas serta efektivitas dalam penegakan hukum dapat dikontrol dan diawasi oleh publik.
7. Membangun kultur atau budaya hukum masyarakat sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan tanggung jawab moral dalam penegakan hukum (IGM Nurdjana. 2000:390).
Memberantas tindak pidana korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah dan
memerlukan proses berlanjut yang harus dilaksanakan secara konsisten. Korupsi
ibaratnya penyakit kanker tidak akan pernah dapat diberantas sampai habis.
Dalam hal ini pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri, melainkan harus
mengajak komponen masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. Dalam pemberantasan korupsi dilakukan upaya pencegahan (preventif)
yang merupakan strategi dasar yang bersifat pencegahan terhadap kondisi yang
menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi. R Dyatmiko Soemodiharjo
mengemukakan langkah-langkah preventif adalah sebagai berikut:
1. Bahwa tindakan-tindakan pengungkapan kasus-kasus korupsi dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan perlu diimbangi dengan tindakan dan upaya preventif agar dapat dicegah timbulnya korupsi.
2. Upaya pencegahan difokuskan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi yaitu keserakahan (greeds), kesempatan (opportunities), dan kebutuhan (needs).
3. Mengendalikan cara hidup agar tidak berlebihan dengan menerapkan pola hidup yang bersahaja sesuai kemampuan dan penghasilan serta menjauhkan diri dari keserakahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
4. Perlu dilaksanakan pemberian penghasilan yang cukup kepada pegawai negeri dan aparat penegak hukum guna meminimalisasi melakukan korupsi.
5. Mempersempit kesempatan untuk dapat melakukan korupsi dengan meningkatkan sistem pengawasan internal yang lebih baik maupun mengefektifkan pengawasan masyarakat (R. Dyatmiko Soemodihardjo, 2008:XI).
Berdasarkan kajian mengenai sistem hukum secara luas yang telah
diuraikan, maka penulis mencoba melakukan pembahasan tentang sistem hukum
pidana dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pengertian sistem
hukum pidana meliputi 2 (dua) aspek krusial yaitu mengenai sistem pemidanaan
dan pembaharuan hukum pidana. Secara singkat sistem pemidanaan dapat
diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Oleh karena itu,
sistem pemidanaan merupakan sistem penegakan hukum pidana yang merupakan
lingkup sistem hukum pidana. Sistem hukum pidana yang mempunyai dimensi
sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional dan sudut substansial.
Analisis dari sudut fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan
sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi
pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara
konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief yang
berpendapat bahwa:
sistem pemidanaan ini dibagi menjadi dua yaitu dari sudut fungsional terdiri dari substansi hukum pidana materiil, hukum pidana formal, dan sub sistem hukum pelaksanaan pidana dan sudut substantif. Oleh karena itu, maka ketiga sub sistem tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu sub sistem saja. Dari sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada didalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum atau general rules dan aturan khusus atau special rules (Arief Barda Nawawi. 2007:262).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Hal yang sama juga diuraikan oleh IGM Nurdjana mengemukakan bahwa
pengertian sistem hukum pidana dapat dilihat dari sistem penegakan hukum
pidana atau sistem pemidanaan sebagai berikut:
1. Dari sudut fungsional, sistem hukum pidana dapat diartikan sebagai: a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) fungsionalisasi dan
konkretisasi hukum pidana; b. Keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana
ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga pelaku mendapat sanksi pidana.
2. Dari sudut norma substantif, sistem hukum pidana atau pemidanaan dapat diartikan: a. Keseluruhan sistem aturan hukum pidana materiil untuk pemidanaan; b. Keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk pemberian
atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana (IGM Nurdjana, 2000:128).
Sistem hukum pidana selain mempunyai dimensi sistem pemidanaan
bersifat fungsional dan substansional, juga dengan pembaharuan hukum pidana.
Upaya pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk
bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law
enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Aspek ini dapat diartikan
bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui
substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan memberantas kejahatan
dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare
serta penegakan hukum pidana. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana
harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan atau policy
oriented approach dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada atau value
oriented approach.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan salah satu
unsur dari sistem hukum pidana. Oleh karena itu, tipologi dari sistem hukum
pidana suatu negara merupakan corak yang menggambarkan sistem hukum pidana
yang dianut bagi negara tersebut. Sehingga sistem hukum pidana tersebut
memberikan pengaruh pada sistem peradilan pidana yang dijalankan di negara
tersebut. Pengaruh yang paling kuat dari sistem hukum terhadap hukum yang
berlaku atau hukum positif, khususnya sistem hukum pidana terdapat peraturan
perundang-undangan peninggalan Hindia-Belanda yaitu teori hukum civil law
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
system. Sistem hukum pidana ini bersifat terbuka sehingga menjadi kendala utama
dalam proses penegakan hukum pidana, termasuk upaya penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu, problematika aktualisasi sistem hukum
juga dipengaruhi oleh lemahnya harmonisasi dan sinkronisasi dalam politik
hukum pusat dan daerah, sehingga terdapat kekosongan instrumen hukum yang
tidak menyentuh tindak pidana korupsi.
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ternyata
mengalami berbagai kelemahan dan kendala dipandang dari sistem hukum pidana
secara komprehensif. Hal-hal semacam itu juga dikemukakan oleh IGM Nurdjana
mengenai kendala-kendala dalam penanggulangan korupsi di Indonesia yang
meliputi:
1. Lemahnya penerapan hukum sebagai implikasi dari rendahnya moralitas penegak hukum yang tidak kkonsisten dengan kaidah Undang-Undang Dasar 1945. Yang menjadi kelemahannya adalah suplemen isi Pasal 33 UUD 1945 menjadi kendala utama lemahnya penerapan hukum dengan adanya diskresi pemberian monopoli oleh pemerintah atau penguasa yang menimbulkan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga dalam penerapan hukumnya dan peegakan hukum tindak pidana korupsi sulit menyentuh masalah korupsi.
2. Kontroversi putusan peradilan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Hasil dari praktek penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, justru melawan rasa keadilan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya gerakan mafia hukum dalam bentuk makelar kasus (markus) atau jual beli perkara yang dapat menjadi kenyataan hukum dan mempengaruhi moral penegak hukum dalam memberantas korupsi yang menimbulkan kontroversi.
3. Tingginya kebocoran uang negara dari kekayaan negara. Arah dari proses penegaka hukum terhadap tindak pidana korupsi adalah menyelematkan kekayaan negara. Kebocoran kauangan negara tetap tinggi karena perkembangan korupsi sudah bertambah meluas, hingga sektor perpajakan dan hasil sumber daya alam.
4. Kompleksitas permasalahan korupsi. Hal ini menjadi kendala karena proses penegakan hukum tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perilaku korupsi itu cenderung ditutup-tutupi oleh komunitas yang ada di lingkungan tempat kejadian/instansi tertentu.
5. Kurangnya intensitas pengawasan fungsional. Lemahnya pengawasan fungsional dapat diketahui dari data hasil pengawasan lembaga inspektorat atau itjen yang ada di departemen dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
badan pengawasan daerah belum ada melaporkan korupsi di lingkungan instansinya (IGM Nurdjana, 2000:118-121).
Proses penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
terdapat satu kondisi bahwa semua sistem bekerja didalam ruang yang berbeda,
namun dalam satu pekerjaan utama. Hal ini dipengaruhi oleh aspek struktur,
substansi hukum dan budaya hukum. Oleh karena itu, kelemahan sistem hukum
pidana memberikan implikasi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi
yang bergerak secara sistemik, yaitu:
1. Substansi Hukum
Hal ini menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat
peraturan dan ketentuan normatif, pola, serta kehendak perilaku masyarakat
yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam substansi hukum diperlukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi meliputi hukum formil dan hukum materiil yang
mengakomodir semua bentuk tindak pidana yang potensial delik korupsi
dalam suatu sistem hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Hal ini
dilakukan guna penerapan hukum yang efektif dalam penegakan hukum
tindak pidana korupsi.
Diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap sistem hukum
pidana yang masih dominan warisan kolonial atau reformasi terhadap sistem
hukum pidana khususnya dalam kerangka penegakan hukum tindak pidana
korupsi. Yaitu dengan sistem hukum Indonesia sesuai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 (Ground Norm) melalui kebijakan politik hukum pada
Rancangan KUHP dan KUHAP baru yang lebih aspiratif dan anti korupsi.
2. Struktur Hukum
Hal ini dilakukan dengan reformasi birokrasi yang meliputi perbaikan
segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan
sehingga dapat meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi. Birokrasi
struktur peradilan menimbulkan mafia hukum atau mafia peradilan yang telah
menjadi polemik dalam agenda pemberantasan korupsi. Maka dari itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
perbaikan birokrasi lembaga hukum sangat mempengaruhi terhadap proses
penegakan hukum tindak pidan korupsi.
Dalam praktik sistem hukum pemberantasan korupsi di Indonesia
memiliki berbagai faktor kesulitan yang tinggi untuk diselesaikan secara
tuntas. Berbagai tekad baru ditandai niat baik para pejabat di lingkungan
lembaga pemerintahan negara yang dalam pernyataannya akan berusaha
semaksimal mungkin untuk menindak korupsi secara tegas. Semua
kemampuan bangsa mencanangkan good governance and clean government
sebagai jalan keluar dari krisis yang bebas dari korupsi.
3. Budaya Hukum
Hal ini merupakan aspek atau faktor yang melihat bagaimana
masyarakat akan selalu taat, sadar dan berpartisipasi atas pentingnya hukum
sebagai suatu pengaturan umum. Persoalan hukum adalah budaya hukum
yang berkaitan erat dengan etoka dan moral masyarakat serta para penegak
hukum dalam menyikapi tindak pidana korupsi. Rendahnya budaya hukum
inilah yang menjadi masalah dalam pembangunan hukum di Indonesia,
sehingga dapat mengganggu substansi dan struktur hukum secara
keseluruhan.
Tegaknya budaya hukum dari suatu sistem peradilan pidana,
seharusnya merupakan sistem yang saling berhubungan dan saling
mendukung dengan visi dan misi yang sama dan fokus terhadap penegakan
hukum tindak pidana korupsi sampai tuntas. Sebagai perubahan siklus budaya
hukum untuk melawan korupsi yaitu sebagai berikut:
a. Preventif.
Penegakan hukum dengan budaya preventif tidak hanya
bersangkut paut dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada atau belum
ada persangkaan telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi juga
mencegah segala kemungkinan terjadinya pencegahan dan tidak
memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
b. Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh
penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana korupsi, termasuk
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan
tuntutan pidana. Di samping pembinaan jalinan korelasi, masih dituntut
adanya koordinasi dan deferensiasi fungsional yaitu melakukan
pengawasan yang efektif. Hal ini merupakan budaya hukum dalam
menegakkan produk politik hukum yang harus dipandang sebagai suatu
rangkaian kegiatan proses sistem hukum pidana melalui sistem peradilan
pidana dalam menanggulangi kejahatan.
c. Tindakan Kuratif
Siklus budaya dalam penegakan hukum dijelaskan bahwa
tindakan represif juga bersifat preventif yang merupakan kegiatan
penegakan hukum yang berhubungan dari sistem peradilan pidana,
sedangkan masih terdapat tindakan preventif yang seluas-luasnya yaitu
pengurusan tersangka tertentu atau terpidana lanjutan yang disebut
tindakan kuratif dalam upaya penanggulangan kejahatan secara utuh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dilakukan, selanjutnya Penulis mengambil simpulan
sebagai berikut:
1. Ruang lingkup dan Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan
a. Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyuapan
Tindak pidana penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak
pidana korupsi sebagaimana telah diatur didalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Istilah suap berasal dari bahasa Belanda yaitu
oomkoping atau dalam istilah bahasa Inggris yaitu bribery yang
mempunyai arti sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang
diberikan atau diterima. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu:
1) Menerima hadiah atau janji;
2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;
3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu
sebagai berikut:
1) Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan
sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat
dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang
bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara
atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
2) Penyuap pasif, yaitu pihak yang menerima pemberian atau janji baik
berupa uang maupun barang.
b. Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan
Tindak pidana penyuapan diatur dalam Pasal-Pasal Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang
68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Nomor 20 Tahun 2001. Tindak pidana korupsi termasuk juga tindak
pidana suap diatur didalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13.
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Khusus
mengenai tindak pidana korupsi jenis suap-menyuap maupun
penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang pada mulanya berasal dari
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Sistem Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana
Penyuapan yang Merupakan Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Pengertian sistem hukum pidana yaitu sistem pemidanaan dan sistem
pembaharuan hukum pidana. Secara singkat maka sistem pemidanaan dapat
diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Oleh karena itu,
sistem pemidanaan merupakan sistem penegakan hukum pidana yang
merupakan lingkup sistem hukum pidana. Sistem hukum pidana yang
mempunyai dimensi sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional
dan sudut substansial. Dari sudut fungsional terdiri dari sub sistem hukum
pidana materiil, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Oleh
karena itu, ketiga sub sistem tersebut saling berkaitan dan merupakan satu
kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana
dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu sub sistem saja. Analisis
dari sudut fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai
keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana
dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara
konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dari
sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory
rules) yang ada didalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar
KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang
terdiri dari aturan umum atau general rules dan aturan khusus atau special
rules.
Sistem pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya
termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan
law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Aspek ini dapat
diartikan bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari
memperbaharui substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan
memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social
defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana. Dengan demikian,
pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan atau policy oriented approach dan sekaligus
pendekatan yang berorientasi pada atau value oriented approach.
B. SARAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan yang telah Penulis uraikan,
maka Penulis memiliki beberapa saran yang mungkin dapat menjadi masukan dan
pertimbangan yang bermanfaat. Saran yang hendak Penulis sampaikan yaitu:
1. Bahwa Dalam hal penyuapan yang terkait dengan penegakan hukum, seorang
tersangka berupaya menyuap aparat penegak hukum agar pemeriksaan atas
kasusnya dihentikan, ataupun agar mendapat putusan yang menguntungkan
jika pun suatu kasus dibawa ke pengadilan. Upaya semacam ini membuat
para pelaku kejahatan tidak jera dan sangat memungkinkan untuk mengulangi
perbuatannya, karena dengan suap mereka tidak akan terjerat hukum. Hukum
yang seharusnya menjadi panglima, hanya dianggap rintangan kecil yang bisa
diatasi dengan suap. Maka seyogyanya kepada petinggi lembaga/institusi
hukum untuk meningkatkan pengawasan internal secara intensif terhadap
kinerja aparat penegak hukum serta pembinaan moral hukum dalam rangka
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
2. Bahwa pembentuk undang-undang perlu melakukan reformulasi terhadap
peraturan perundang-undangan untuk menghindari benturan interpretasi
dalam pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
3. Bahwa diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap sistem hukum
pidana yang masih dominan warisan dari kolonial Belanda atau reformasi
menjadi sistem hukum yang ideal berlandaskan sistem hukum di Indonesia
sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.