kajian tentang penyuapan sebagai salah … · in penal law as well as to find out the penal law...

84
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI Penulisan Hukum ( Skripsi ) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh GINANJAR WAHYUDI NIM. E1107155 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Upload: lythuan

Post on 08-Sep-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

Penulisan Hukum

( Skripsi )

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

GINANJAR WAHYUDI

NIM. E1107155

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

Disetujui untuk dipertahankan di

( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing I

Winarno Budyatmojo, S.H., M.S.

NIP. 19600525 1987021002

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

GINANJAR WAHYUDI

NIM. E1107155

isetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 08 April 2011

Dosen Pembimbing II

Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. Sabar Slamet, S.H., M.H.

600525 1987021002 NIP. 19560727 1986011001

KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing II

Sabar Slamet, S.H., M.H.

NIP. 19560727 1986011001

Page 3: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

Telah diterima dan dipertahankan di

ukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada

Hari

Tanggal

1. Ismunarno, S.H., M.Hum. Ketua 2. Sabar Slamet, S.H., M.H.

Sekretaris 3. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. Anggota

(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

GINANJAR WAHYUDI

NIM. E1107155

h diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan H

ukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

:

: Rabu

: 20 April 2011

DEWAN PENGUJI

Ismunarno, S.H., M.Hum. ( ................................. )

Sabar Slamet, S.H., M.H. ( .................................. )

Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. ( ................................. )

Mengetahui

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 196109301986011001

KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

hadapan Dewan Penguji Penulisan H

ukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

................................. )

( .................................. )

( ................................. )

Page 4: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : GINANJAR WAHYUDI

NIM : E1107155

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul :

”KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK

TINDAK PIDANA KORUPSI” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang

bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi ) ini diberi tanda citasi dan

ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan

saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa

pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari

penulisan hukum ( skripsi ) ini.

Surakarta, 02 Mei 2011

Yang membuat pernyataan

GINANJAR WAHYUDI

NIM. E1107155

Page 5: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK Ginanjar Wahyudi, 2011, KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum yang berjudul Kajian Tentang Penyuapan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana serta mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber bahan hukum sekunder baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara dokumentasi bahan hukum sekunder yang berbentuk peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, artikel maupun dokumen lain yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokannya yang tepat. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan hukum yang diperlukan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindak pidana penyuapan diatur pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b dan c, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengertian tentang penyuapan, jenis-jenis penyuapan, dan ketentuan mengenai unsur tindak pidana penyuapan merupakan ruang lingkup dari tindak pidana penyuapan. Kemudian sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi meliputi sistem pemidanaan dan sistem pembaharuan hukum pidana. Sistem pemidanaan terdiri dari segi fungsional dan segi substantif. Sistem pemidanaan segi fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dari segi substantif diartikan sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Sistem pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui substansi hukum, bagian kebijakan memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana.

Implikasi teoritis penelitian ini adalah perlu adanya pemahaman yang komprehensif mengenai tindak pidana penyuapan dalam berbagai aspek untuk efektifitas implementasi ketentuan tindak pidana penyuapan, sedangkan implementasi praktisnya adalah bahwa penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana yang dapat memberikan pengertian tentang tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

Kata-kata kunci : penyuapan, hukum pidana, tindak pidana korupsi

Page 6: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRACT Ginanjar Wahyudi, 2011, A STUDY ON BRIBERY AS ONE OF CORRUPTION CRIME. Law Faculty of UNS.

This research is entitled A Study on bribery as one of corruption crime aims to find out scope and regulation of bribery as one of corruption crime forms in Penal Law as well as to find out the penal law system in the law enforcement of corruption crime.

This study belongs to a normative law research using secondary law material sources including primary, secondary and tertiary law materials. Technique of collecting data employed in this research was documenting the secondary law material constituting the legislation, book, journal, article or other document that was then categorized into their own category properly. In this research, the writer employed library study technique to collect and to organize the law material needed.

Considering the result of research conducted by the writer, it can be found that bribery is one of corruption crime as governed in the legislation. The bribery crime is governed in the Articles 5 clause (1) letters a and b, 5 clause (2), 6 clause (1) letters a and b, 6 clause (2), 11, 12 letters a, b, and c, 13 of Act Number 20 of 2001 about the Amendment of Act Number 31 of 1999 about Corruption Crime Eradication. The definition of bribery, type of bribery, and provision concerning the bribery crime element are the scope of bribery crime. Then the penal law system in the law enforcement of bribery crime as one of corruption crime forms includes condemnation system and penal law reformation system. Condemnation system consists of functional and substantive aspects. Functional aspect of condemnation system is aimed at the functioning of condemnation system as a whole system (legislation) as criminal concretization and how the penal law is enforced or operated concretely so that someone is sentenced with criminal sanction (punishment). Meanwhile, the substantive aspect is defined as condemnation system as a whole system of material criminal law norm for the condemnation and punishment implementation. The reformation of penal law system is essentially included in penal policy constituting a part closely related to law enforcement policy, criminal policy, and social policy. This aspect can be meant that criminal law reformation is a part of reforming the law substance, how the policy of eradicating crime is in the attempt of protecting society as social defense and social welfare as well as penal law enforcement.

The theoretical implication of this research is there should be a comprehensive conception of bribery crime in various aspects for the effectiveness of bribery crime provision implementation, while the practical implication is that this research can be used as the discourse that can give definition about bribery crime as one of corruption crime forms.

Keywords: bribery, penal law, corruption crime.

Page 7: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

“Sesungguhnya ALLAH SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum

apabila mereka sendiri tidak merubahnya”

(QS. AR-Ro’ad :11)

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu

telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh

(urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”

(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)

“Tuntutlah ilmu tetapi tidak melupakan ibadah dan kerjakanlah ibadah tetapi

tidak boleh melupakan ilmu”

(David J. Schwartz)

“Kamu maju bukan dengan memperbaiki apa yang sudah terjadi melainkan

menggapai ke arah apa yang belum terjadi”

(Kahlil Gibran)

“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita

dan berusaha mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa”

(Hamka)

Page 8: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima

kasih kepada:

1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan nikmat

yang telah diberikan-Nya;

2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi

suri tauladan yang baik bagi umatnya;

3. Ayahanda Sukidi dan Ibunda Saniyem yang telah memberikan kasih

sayang, doa, motivasi, dan dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian

skripsi ini;

4. Adikku Bagus Wulandono yang telah memberikan semangat dan

dukungan kepada Penulis;

5. Kekasihku Febriana Sanjaya atas segala cinta, kasih sayang, doa,

dukungan, motivasi, dan pengorbanan yang senatiasa dibaerikan untukku;

6. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

7. Teman-teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2007;

8. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini;

9. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu

pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi kehidupan yang

sesungguhnya.

Page 9: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta

diiringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi) yang

berjudul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI” dapat penulis selesaikan dengan

lancar.

Penyusunan penulisan hukum skripsi ini mempunyai tujuan yang utama

untuk melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam

bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari

kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisanya,

namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat

baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang

tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non

materiil, sehingga penulisan hukum (Skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama

kepada :

1. Allah SWT., atas segala rahmat dan karunianya;

2. Nabi Muhammad SAW., semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga

akhir jaman;

3. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan

kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini;

4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah

membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;

5. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dalam

pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;

6. Bapak Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. dan Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H.,

selaku pembimbing skripsi dalam penulisan hukum ini yang telah bersedia

Page 10: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan

bagi penulis.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat

saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang

berharganya bagi hidup dan kehidupan pen

8. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas

Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan

telah diberikan;

9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) F

10. Semua keluargaku terutama

yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan

doa yang tiada henti, semangat, salah satu motivatorku untuk sege

11. Semua teman-temanku

skripsi ini memberikan pemikir

memberikan semangat untuk segera lulus

12. Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Univ

khususnya angkatan 2007

13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua

bantuan baik materiil maupun imateriil.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh

dari sempurna, mengingat keterbatas

dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang

bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.

Demikian, mudah-

manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta

masyarakat umum.

x

menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan

Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat

saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira

berharganya bagi hidup dan kehidupan penulis;

Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas

Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang

Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS;

Semua keluargaku terutama bapak dan ibuku, Bapak Sukidi dan Ibu

yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan

doa yang tiada henti, semangat, salah satu motivatorku untuk segera lulus

nku yang telah banyak berkontribusi dalam penyusunan

skripsi ini memberikan pemikiran dalam skripsi ini, membantu dan

memberikan semangat untuk segera lulus;

Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

2007 terima kasih semangat yang telah diberikan;

pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua

bantuan baik materiil maupun imateriil.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh

dari sempurna, mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu

dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang

bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.

-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan

manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta

Surakarta, 02 Mei 2011

Ginanjar Wahyudi

NIM. E1107155

menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan

Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat

tiada terkira

Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas

kesempatan yang

dan Ibu Saniyem

yang selalu memberikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan

ra lulus;

yang telah banyak berkontribusi dalam penyusunan

an dalam skripsi ini, membantu dan

ersitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah diberikan;

pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh

an dan kemampuan penulis. Oleh karena itu

dengan lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang

bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.

mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan

manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, akademis, praktisi serta

2011

Page 11: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

ABSTRACT ..................................................................................................... vii

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... ix

KATA PENGANTAR ..................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8

E. Metode Penelitian .................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ........................................................................ 13

1. Kajian Tentang Hukum Pidana .......................................... 13

a. Pengertian Hukum Pidana ............................................ 13

b. Pembagian Hukum Pidana ........................................... 14

c. Asas-Asas Hukum Pidana ............................................ 14

2. Kajian Tentang Tindak Pidana / Delik ............................... 15

a. Pengertian Tindak Pidana / Delik ................................ 15

b. Macam-Macam Tindak Pidana / Delik ........................ 18

c. Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana ........... 18

Page 12: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi ............................ 19

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................... 19

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ........................... 21

c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ........................ 23

4. Kajian Tentang Penyuapan ................................................ 24

a. Pengertian Penyuapan .................................................. 24

b. Jenis-Jenis Penyuapan .................................................. 25

5. Kajian tentang Gratifikasi ................................................ 26

a. Pengertian Gratifikasi ................................................. 26

b. Subyek Gratifikasi ....................................................... 30

c. Obyek Gratifikasi ........................................................ 31

B. Kerangka Pemikiran ................................................................. 33

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Penyuapan Sebagai Salah

Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi ....................................... 35

B. Sistem Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Tindak

Pidana Korupsi ........................................................................ 57

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................... 68

B. Saran ......................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 13: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Page 14: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang

telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin hari

perkembangan korupsi di Indonesia bukan lagi semakin berkurang, tetapi semakin

meluas. Gejala pertumbuhan tindak pidana korupsi yang semakin meluas inilah

yang menimbulkan kerisauan dan keprihatinan bangsa Indonesia, karena kondisi

seperti ini tentu semakin memperburuk citra bangsa di masyarakat internasional.

Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh

negara di dunia. Korupsi tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang,

tetapi juga negara-negara maju. Korupsi merupakan salah satu tantangan yang

harus dihadapi dunia, karena korupsi mengancam kehidupan manusia,

menghambat pembangunan kesejahteraan, menambah kemiskinan dan

menyengsarakan rakyat. Perbuatan korupsi juga dapat merusak sektor

pembangunan ekonomi bangsa serta citra pelaku bisnis Indonesia dalam skala

global yang semakin kompetitif dalam menghadapi perdagangan bebas. Jika

korupsi tidak berhasil ditanggulangi, diberantas atau diatasi dalam jangka pendek,

maka Indonesia akan sulit untuk keluar dari krisis karena para pelaku bisnis

tersebut tidak dapat melakukan good business atau bisnis yang baik

Berdasarkan survei Political Economic Risk Consultancy (PERC)

menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia. “Posisi

Indonesia lebih buruk dari India, Vietnam, Filipina dan Thailand. Sebelumnya

hasil survei Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin Jerman pada

Tahun 2009, Indonesia menduduki ranking 111 dari 180 negara” (Chandra

Sridjaja Pradjonggo, 2010: 7). Transparency International merupakan sebuah

lembaga yang bertujuan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor

pemerintahan dan salah satu aktivitasnya adalah mendorong pemberantasan

korupsi. Di samping itu, penelitian lain menunjukkan bahwa korupsi memiliki

1

Page 15: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

sejarah panjang dan telah membudaya di Indonesia. Seperti dikatakan Farid

Haryanto bahwa:

Corruption has a long history in Indonesia, China, India, South Korea, Thailand, and other countries in Asia. Given such prevalence and persistence, one may be tempted to think that corruption is indeed something deeply ingrained in the culture of those countries, and that corruption has blossomed plainly because it does not run against, if not accepted by, the dominant culture of those countries. It is said that Confucianism, Javanese culture, and maybe some other belief systems as well, gave justification to the existence of a centralized, benevolent monarchy as a legitimate form of moral goverment. But it is also said that “power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. These seem to propose that corruption is indeed already embedded in the mindset of Asians, and that corruption is a part of a way of life, and not simply a fact of life (Farid Haryanto, 2005:39). (Korupsi memiliki sejarah panjang di Indonesia, Cina, India, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara lain di Asia. Suatu prevalensi tersebut dan ketekunan, salah satu mungkin dilakukan untuk berpikir bahwa korupsi sesungguhnya sesuatu yang besar, yang tertanam dalam budaya banyak negara, dan korupsi yang telah berkembang dengan jelas karena tidak dijalankan, jika tidak diterima dari budaya yang dominan di banyak negara. Dikatakan bahwa Konfusianisme, budaya Jawa, dan mungkin beberapa sistem keyakinan lain juga, memberikan pembenaran terhadap keberadaannya dipusatkan, kekuasaan pusat seperti legitimasi dari moral pemerintah. Tetapi juga mengatakan bahwa "kekuatan korup, dan kekuasaan korup yang mutlak". Ini sepertinya menyatakan bahwa korupsi memang sudah tertanam dalam pola pikir orang Asia, dan korupsi yang merupakan bagian dari cara hidup, dan bukan hanya kenyataan hidup).

Secara umum, tindak pidana korupsi secara material diatur didalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang

tersebut tidak tercantum secara jelas rumusan mengenai pengertian korupsi itu

sendiri. Namun dapat disimpulkan dalam Pasal 2 bahwa tindak pidana korupsi

adalah perbuatan yang secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai

kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi

suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara.

Page 16: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat

perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan

demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum

serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera. Hal yang sama

juga disampaikan oleh Arsil dalam jurnal hukum yang berjudul Teknik Perangkap

untuk Para Koruptor mengemukakan bahwa “Tingginya angka korupsi di

Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di tingkatan elit, tetapi terdapat hampir

di seluruh lapisan institusi negara ini” (Arsil, 2005: 121). Tingkatan korupsi di

masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya

kecil-kecilan hingga korupsi besar-besaran yang mencapai angka trilyunan rupiah.

Suatu kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan

negara. Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya

unsur merugikan keuangan negara. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap tidak

ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan tersebut

dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi. Tidak semua suap-menyuap adalah

kejahatan korupsi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

suap-menyuap merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja,

misalnya suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif.

Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 dan suap dalam kaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan kepala

daerah (money politics), yang dalam praktik penegakan hukum tindak pidana suap

ini kurang terangkat ke permukaan. Hal ini dikarenakan jarang digunakan oleh

penegak hukum sekalipun perbuatan suap-menyuap semacam itu marak terjadi di

masyarakat.

Salah satu tindak pidana dalam tindak pidana korupsi yang diatur oleh

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Tindak pidana

Penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang

sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima yang

Page 17: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada unsur-unsur yang esensial

dari delik suap yaitu menerima hadiah atau janji, berkaitan dengan kekuasaan

yang melekat pada jabatan, bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal

mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun penyuapan

pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian semuanya ditarik

dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang

menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan

penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan

delik suap pasif dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001.

Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah diawali sejak Tahun 1957

dengan dikeluarkannya peraturan penguasa militer tentang Pemberantasan

Korupsi. Pada Tahun 1958 dijadikan peraturan penguasa perang pusat yang

dimaksudkan untuk memberantas tindak pidana korupsi dalam skala nasional.

Peraturan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang

Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dengan

didasari pemikiran bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara dan

menghambat pembangunan nasional, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 yang memperluas rumusan tindak pidana korupsi, mempermudah

pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan maupun

pemeriksaan pengadilan. Setelah era reformasi, dibuatlah Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 yang diharapkan dapat lebih efektif dalam mencegah dan

memberantas tindak pidana korupsi. Kemudian Undang-Undang ini diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk dijadikan sarana

pemberantasan korupsi. Dalam kenyataannya dengan berbagai perangkat

perundang-undangan tersebut tidak tampak hasil yang dicapai, meskipun sekarang

sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Page 18: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, IGM Nurdjana

mengemukakan bahwa “fenomena buruknya penyelenggaraan sistem hukum

pidana yang senantiasa muncul dalam masyarakat adalah setiap peluang terjadinya

korupsi selalu tidak lepas adanya indikasi kontroversi putusan peradilan dan hasil

penanganan korupsi yang dianggap mandul” (IGM Nurdjana, 2010: 11). Hampir

setiap informasi media cetak, elektronik, digital internet memuat tentang korupsi

yang memberikan gambaran lemahnya upaya pemberantasan korupsi yang jika

dikaji lebih mendalam. Maka terdapat kompleksitas dan problematik dalam sistem

hukum pidana yang dianut di Indonesia dan berdampak pada sistem peradilan

pidana.

Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, IGM

Nurdjana berpendapat bahwa:

Penegakan hukum senatiasa dihadapkan pada problematika sistem hukum pidana khususnya pengaturan berbagai peraturan perundang-undangan pidana yang memuat unsur-unsur korupsi yang berimplikasi pada kekuatan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga diperlukan judicial review atau uji materiil perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (IGM Nurdjana, 2010:7).

Penulis beranggapan berbeda dengan pendapat IGM Nurdjana, bahwa

dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan perundang-

undangan belum tentu berakibat penegakan hukum dalam mengatasi korupsi

dapat terwujud. Hal ini tidak benar, karena penyebab utama bukanlah pada

perangkat hukumnya melainkan pada para penegak hukumnya. Gagalnya

pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara

banyak ikut campur dalam urusan penegakan hukum yang mempengaruhi dan

mengatur proses jalannya peradilan. Tidak dapat dipungkiri lagi dan sudah

menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum dirusak oleh adanya budaya suap

yang memang sulit dibuktikan secara hukum.

Ukuran keberhasilan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana

korupsi, seharusnya tidak semata-mata diletakkan pada keberhasilan mengadili

atau memasukkan sebanyak mungkin koruptor ke penjara, melainkan seharusnya

dipandang dari sistem hukum secara komprehensif yaitu sejauh mana

Page 19: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

pembangunan sistem yang tidak korup. Karena tanpa perubahan sistemik maka

penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi hanya memproduksi koruptor-

koruptor baru. Hal senada juga disampaikan oleh IGM Nurdjana bahwa

“terbangunnya sistem yang transparan dan demokratis akan berdampak besar pada

upaya membatasi peluang para koruptor yang memegang kekuasaan untuk

melakukan penyalahgunaan kekuasaannya di kemudian hari” (IGM Nurdjana,

2010:117).

Dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi juga diperlukan

kesadaran hukum masyarakat, dimana kesadaran hukum tersebut merupakan

tujuan dari penegakan hukum tindak pidana korupsi. Terbentuknya kesadaran

hukum dapat menunjang keberhasilan dari upaya penegakan hukum yang juga

dipengaruhi oleh adanya pemahaman hukum masyarakat tentang hukum itu

sendiri. Menurut penulis bahwa para pejabat atau penyelenggara negara

merupakan bagian dari masyarakat, sehingga kesadaran hukum dari para pejabat

atau penyelenggara negara sangat diperlukan untuk mengurangi tingginya angka

korupsi di Indonesia.

Dengan berbagai ketentuan-ketentuan mengenai penyuapan yang

merupakan tindak pidana korupsi, terdapat masalah-masalah yang belum dikaji

secara khusus dan perlu adanya penelitian untuk mengetahui informasi dalam

memahami permasalahan yang muncul. Diantaranya masalah ruang lingkup dan

pengaturan penyuapan sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam

hukum pidana untuk memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya.

Masalah lain yang juga menarik untuk diteliti adalah masalah bagaimana

penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan tersebut, karena

hanya dengan penegakan hukum yang tepatlah yang akan menciptakan rasa

keadilan masyarakat. Dengan masalah-masalah yang telah disebutkan diatas maka

penulis menaruh minat yang besar untuk meneliti tentang penyuapan dengan

segala aspeknya yang dituangkan dalam suatu bentuk penulisan hukum dengan

judul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI”

Page 20: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka penulis dapat

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu

bentuk tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah sistem hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana

korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Dalam setiap penelitian pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan

penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud

penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan tentang penyuapan

sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum

terhadap tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk

tindak pidana korupsi.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam

menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan

dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan

pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan

praktek yang sangat berarti bagi penulis serta memberi manfaat bagi

masyarakat.

Page 21: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi peneliti

sendiri maupun bagi masyarakat umum. Adapun manfaat yang diharapkan dalam

penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada

umumnya dan hukum pidana khususnya.

c. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani

kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti yaitu ruang

lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak

pidana korupsi dan sistem hukum pidana dalam penegakan hukum

penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi

penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk kedalam

instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi hukum

yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat di

tegakkan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan

serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan

masalah yang diteliti, seperti anggota keluarga dan masyarakat serta

terutama bagi aparat penegak hukum agar lebih memperhatikan segala

bentuk kejahatan yang terjadi dalam lingkup yang sangat penting.

Page 22: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

E. Metode Penelitian

Berbicara mengenai metode penelitian, M. Iqbal Hasan mengemukakan

pendapat bahwa “metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh

sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, memiliki langkah-langkah

sistematis yang menyangkut masalah kerjanya yaitu cara kerja untuk dapat

memahami sasaran penlitian melalui prosedur dan teknik penelitian” (M. Iqbal

Hasan, 2002: 20).

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu

hukum yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki menambahkan bahwa “Penelitian

hukum tidak diperlukan adanya hipotesis, sehingga di dalam penelitian hukum

juga tidak dikenal istilah data” (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum

normatif, disebut juga penelitian doktrinal. “Pada penelitian hukum doktrinal,

sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah

atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap

pantas” (Amiruddin, 2008: 118).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini didasarkan pada ilmu hukum. Penulis

mengutip pendapat dari Peter Mahmud Marzuki bahwa “ilmu hukum

mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif yang

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,

konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki,

2005: 22). Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang

substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dipelajari oleh

disiplin lain yang obyeknya juga hukum.

Page 23: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini

adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Berbicara

mengenai hal ini, Johnny Ibrahim berpendapat bahwa “suatu penelitian

normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena

yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus

sekaligus tema sentral suatu penelitian” (Johnny Ibrahim, 2006: 302).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian

Jenis bahan hukum yang digunakan penulis adalah bahan hukum

sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian

hukum tidak diperlukan adanya hipotesis dan juga tidak dikenal istilah data.

Sehingga penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.

Bahan hukum primer terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan

dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

dikodifikasi seperti hukum adat, dan yurisprudensi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-

hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis adalah

studi kepustakaan atau dokumen. Pengumpulan bahan hukum dilakukan

dengan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan

klarifikasi dan analisis menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara

komprehensif. Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi

Page 24: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

kepustakaan, diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan

dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang

telah dirumuskan.

6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum menurut Patton dalam bukunya Lexy J.

Moleong adalah “proses pengorganisasikan dan mengurutkan bahan hukum

ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar” (Lexy J. Moleong, 2009:

280). Pengolahan dan analisis data bahan hukum dasarnya tergantung pada

jenis datanya. Penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder

saja terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum

tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal

dalam ilmu hukum.

Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada

metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata

kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan

kepustakaan sebagai sumber bahan hukum penelitiannya. Adapun tahap-tahap

dari analisis yuridis normatif menurut pendapat Amiruddin adalah sebagai

berikut:

a. Merumuskan asas-asas hukum, baik dari bahan hukum sosial maupun dari bahan hukum positif tertulis;

b. Merumuskan pengertian-pengertian hukum; c. Pembentukan standar-standar hukum; dan d. Perumusan kaidah-kaidah hukum (Amiruddin, 2008: 166).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan,

serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika

penulisan hukum ini sebagai berikut:

Page 25: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka

teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis

menguraikan Kajian Tentang Hukum Pidana, Kajian Tentang

Tindak Pidana, Kajian Tentang Korupsi, Kajian Tentang

Penyuapan, dan Kajian Tentang Gratifikasi.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis membahas dan menjawab permasalahan

yang telah ditentukan yaitu:

1. Ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu

bentuk tindak pidana korupsi.

2. Sistem hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan

yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang

simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan

permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan

atas hasil keseluruhan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 26: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Kerangka Teori

1. Kajian Tentang Hukum Pidana

a. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang

perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi

pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Moeljatno dalam

bukunya asas-asas hukum pidana mengemukakan hukum pidana adalah

sebagai berikut:

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002: 01).

Hukum pidana mempunyai obyek kajian yaitu aturan hukum

pidana yang berlaku di suatu negara, sebagai ilmu pengetahuan hukum

pidana. Tujuannya untuk menyelediki pengertian obyektif dari hukum

pidana positif. Pidana dapat diartikan sebagai penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu. Beratnya pidana atau sanksi di dalam hukum

pidana, maka ada yang menyebutkan bahwa hukum pidana seperti

“pedang bermata dua”. Artinya bahwa disamping hukum itu seharusnya

melindungi orang-orang dari perampasan hak asasinya, justru dalam

penjatuhan pidana, hukum pidana merampas hak asasi tersebut dari

mereka yang melakukan tindak pidana.

13

Page 27: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

b. Pembagian Hukum Pidana

Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi menjadi

berbagai klasifikasi sebagai berikut:

1) Hukum pidana materiil, yaitu aturan-aturan yang menetapkan dan

merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan yang

memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan

mengenai pidana.

2) Hukum pidana formil, yaitu mengatur bagaimana negara dengan

perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya

mengenakan pidana.

3) Hukum pidana obyektif (ius poenale), yaitu hukum pidana yang

memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman.

4) Hukum pidana subyektif (ius punindi), yaitu hak negara menghukum

seseorang berdasarkan hukum obyektif.

5) Hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang memuat aturan-

aturan yang berlaku bagi setiap orang.

6) Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang memuat aturan

yang berlaku bagi golongan orang-orang tertentu atau berkaitan

dengan jenis perbuatan tertentu.

7) Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana yang tersusun dalam

suatu buku undang-undang secara sistematis dan tuntas.

8) Hukum pidana yang tidak dikodifikasi, yaitu hukum pidana yang

berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai perundang-

undangan. Misalnya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c. Asas-Asas Hukum Pidana

Beberapa asas hukum pidana adalah sebagai berikut:

1) Asas Legalitas

Istilah bahasa latin disebut “Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenale”. Artinya tiada perbuatan pidana jika tidak ada

Page 28: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

ketentuan perundang-undangan yang telah mengatur sebelumnya.

Asas ini termuat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

2) Asas Lex Temporis Delicti

Artinya bahwa peraturan perundang-undangan mengenai perbuatan

yang dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untuk menuntut

dan menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada

waktu perbuatan tersebut dilakukan.

3) Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen straft zonder schuld)

Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat

dipidana jika ada unsur kesalahan.

4) Asas Teritorial

Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi

kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di dalam wilayah

kedaulatan Indonesia.

5) Asas Nasional Aktif

Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap

warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu di luar

Indonesia.

6) Asas Nasional Pasif

Artinya perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara

Indonesia dan orang asing yang menyerang kepentingan hukum

Indonesia.

7) Asas Universal

Artinya perundang-undangan pidana Indonesia memberikan

perlindungan kepada kepentingan dunia internasional baik di

wilayah Indonesia sendiri maupun di wilayah bebas.

2. Kajian Tentang Tindak Pidana atau Delik

a. Pengertian Tindak Pidana atau Delik

Pada umumnya jika terjadi tindak pidana maka pemerintah yang

dalam hal ini diwakili oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, tanpa

Page 29: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

permintaan dari orang yang terkena tindak pidana segera bertindak

melakukan penyidikan, pengusutan, penuntutan dan memberikan

hukuman kepada orang yang bersalah atas perbuatan tindak pidana itu

(Winarno Budyatmojo, 2009:83).

Tindak pidana (strafbaarfeit) merupakan suatu pengertian dasar

dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain

halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau

Verbrechen atau Misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)

atau secara kriminologis. Para ahli hukum memberikan pengertian

mengenai tindak pidana (strafbaarfeit) dan unsur-unsurnya adalah

sebagai berikut:

1) D. Simons mengemukakan Strafbaarfeit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaarfeit adalah: a) Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau

tidak berbuat atau membiarkan). b) Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld). c) Melawan hukum (onrechtmatige). d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband

staand). e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar persoon). Simons menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaar feit. Yang disebut sebagai unsur obyektif adalah: (a) Perbuatan orang. (b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. (c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan

itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.

Unsur subyektif dari strafbaar feit adalah: (a) Orang yang mampu bertanggung jawab. (b) Adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan

kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

2) W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. Bahwa menurut teori, strafbaar feit adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang

Page 30: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechttelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang yang dapt dipidana tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum dan kesalahan.

3) Moeljatno mengemukakan dalam pidatonya memberi arti kepada perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: a) Perbuatan (manusia). b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini

merupakan syarat formil). c) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Syarat formil itu harus ada karena adanya asas legalitas yang termuat dalam pasal 1 KUHP. Sedangkan adanya syarat materiil karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan masyarakat. Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka. Disamping itu, orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab (Sudarto, 1990:41-43).

Delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana. Perlu diperhatikan adanya asas legalitas yang

menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana, jika tidak ditentukan lebih dahulu dalam perundang-

undangan (Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang

dapat dipidana, apabila mempunyai kesalahan. Untuk menjatuhkan

pidana kepada seseorang, selain orang tersebut melakukan perbuatan

yang dilarang, perlu diperhatikan adanya kesalahan, sesuai asas tidak ada

perbuatan pidana tanpa kesalahan (Geen straft zonder schuld). Seseorang

Page 31: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

yang melakukan perbuatan pidana harus dapat dipertanggungjawabkan.

Perlu diperhatikan adanya golongan orang-orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan, misalnya anak yang belum dewasa, orang gila.

Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat adanya perbuatan pidana

atau delik adalah:

1) Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang.

2) Perbuatan tersebut sudah dirumuskan di dalam undang-undang dan

bersifat melawan hukum.

3) Adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dan adanya

kemampuan untuk bertanggungjawab.

4) Harus ada ancaman hukumannya.

b. Macam–macam Tindak Pidana atau Delik

1) Delik formil, adalah perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan

melanggar ketentuan yang sudah dirumuskan didalam pasal undang-

undang yang bersangkutan.

2) Delik materiil, adalah perbuatan pidana yang dilarang yaitu akibat

yang timbul dari perbuatan tersebut.

3) Delik dolus, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan

sengaja.

4) Delik culpa, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan alpa.

5) Delik aduan, perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang

lain artinya suatu tindak pidana yang hanya dapatdituntut jika ada

laporan bersifat aduan kepada aparat penegak hukum dari pihak yang

dirugikan.

6) Delik politik, adalah perbuatan pidana yang ditujukan kepada

keamanan negara baik langsung maupun tidak langsung.

c. Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana

Untuk dapat menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat

kejadian dilakukannya suatu tindak pidana itu tidaklah mudah. Hal ini

disebabkan karena pada dasarnya pidana merupakan suatu tindakan

Page 32: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya, sering kali

manusia telah menggunakan alat yang dapat menimbulkan suatu akibat

pada waktu dan tempat yang berbeda dimana manusia tersebut telah

menggunakan alat-alat yang bersangkutan. Dapat pula terjadi bahwa

perbuatan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada tempat dan

waktu yang berbeda dari pada waktu dan tempat dimana pelaku tersebut

telah melakukan perbuatannya. Jadi dalam hal ini yang dimaksud dengan

tempos delicti adalah waktu dimana terjadinya suatu tindak pidana dan

yang dimaksud dengan locus delicti adalah tempat dimana tindak pidana

tersebut dilakukan.

Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh lamintang

mengemukakan bahwa “yang harus dipandang sebagai tempat dan waktu

dilakukannya tindak pidana itu pada dasarnya adalah tempat dimana

seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materiil”

(Lamintang, 1997:229). Yang harus dianggap sebagai locus delicti itu

adalah :

1) Tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri

perbuatannya.

2) Tempat dimana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu

bekerja.

3) Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul.

4) Tempat dimana akibat konsitutif itu telah timbul.

3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi menurut Fockema Andreae sebagaimana dikutip

dalam bukunya Andi Hamzah yang berjudul Pemberantasan Korupsi

Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional mengemukakan

bahwa kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.

Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal

corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa

Page 33: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan

Belanda yaitu corruptie. Arti harfiah kata tersebut ialah kebusukan,

keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau

menfitnah. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata

bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus

Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk

seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Andi

Hamzah, 2007:5).

Definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional

adalah sebagai berikut:

Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya (Firman Wijaya, 2008:9)

Pengertian korupsi yang sangat sederhana tidak dapat dijadikan

tolok ukur atau standar perbuatan korupsi. Lubis dan Scott dalam

pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa:

Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahdapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela (IGM Nurdjana, 2010:16).

Secara sosiologis, menurut Syeh Husein Alatas, ada tiga tipe

fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan

(brybery), pemerasan dan nepotisme. Lebih lanjut syeh Husein Alatas

dalam monografnya yang berjudul “The Sociology of corruption: the

nature, function, couses, and prevention of corruption” menyatakan

bahwa menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” yaitu apabila seorang

pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang

Page 34: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian

istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan

menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga

tercakup dalam konsep tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh

Firman Wijaya bahwa “Pemerasan yaitu permintaan pemberian-

pemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas-tugas publik, juga

dipandang sebagai korupsi” (Firman Wijaya, 2008:8).

Dalam definisi korupsi, IGM Nurdjana mengemukakan terdapat

tiga unsur dari pengertian korupsi yaitu:

1) Menyalahgunakan kekuasaan; 2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik sektor publik

maupun sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;

3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya) (IGM Nurdjana, 2010: 15).

Korupsi merupakan sesuatau yang busuk, jahat dan merusak. Jika

membicarakan korupsi akan menemukan kenyataan semacam itu karena

korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk,

jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan

kekuasaan serta faktor ekonomi politik. Dengan demikian, korupsi

memiliki arti yang sangat luas menurut Evi Hartanti adalah sebagai

berikut:

1) Korupsi yaitu penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi dan orang lain;

2) Korupsi merupakan busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Evi Hartanti, 2007:09).

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dalam Pasal 2 mendefinisikan korupsi sebagai berikut:

Page 35: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2) Dalam hal tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;

3) Dengan cara melawan hukum;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik

inti (Bestanddeel delict). Delik penyalahgunaan wewenang diatur dalam

Pasal 3 yang dinyatakan sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi;

3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

Page 36: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

4) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

5) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Menurut Gerald E. Caiden (1998) sebagaimana dikutip oleh

Rudyct dengan judul Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan

Upaya Penangulangannya dalam http://rudyct.com/ memaparkan secara

rinci bahwa bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain adalah:

1) Berkhianat, transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan;

2) Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran

pemerintah, menipu dan mencuri;

3) Menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan

dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke

rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana;

4) Menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi,

memperdaya dan memeras;

5) Penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta

komisi;

6) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik

pemerintah/negara, dan surat izin pemerintah;

7) Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan

pinjaman uang;

8) Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan;

9) Menerima hadiah, uang pelicin dan hiburan dan perjalanan yang

tidak pada tempatnya, dan;

10) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan

dan hak istimewa jabatan.

Page 37: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

4. Kajian Tentang Penyuapan

a. Pengertian Penyuapan

Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-

undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan

atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur

yang esensial dari delik suap yaitu:

1) Menerima hadiah atau janji;

2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;

3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat pasal-pasal

mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun

penyuapan pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian

semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c UU Nomor 3 Tahun 1971

yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal

1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (sekarang Pasal

13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam

Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, pelaku yang memberi suap (delik suap aktif) dan yang

menerima suap (delik suap pasif) adalah subyek tindak pidana korupsi

dan penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat

eksepsionalitas yang absolut.

Dengan demikian makna suap telah diperluas, introduksi norma

regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping

(suap aktif) sebagai subyek tindak pidana korupsi, karena selama ini

delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur

Passief Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi

telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya

Page 38: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya

percobaan (pogging) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang

berarti adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap

itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib

membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa

akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan

jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan

terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima

gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) dapat

ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak

bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan

menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini.

Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak

bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif

pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a, b dan c

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi

melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan perbuatan (concursus

idealis).

b. Jenis Penyuapan

Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut:

1) Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan

sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat

dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang

bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara

negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau

tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari

pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum

mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang

Page 39: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau

pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak

berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan

kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak

pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah

memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan

aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid).

2) Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji

baik berupa uang maupun barang. Bila dikaitkan dengan Badan

Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan kepada

Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha

Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian

pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara)

sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau

janji dalam pasal ini, berarti pegawai negeri/penyelenggara negara

dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi

permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.

Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi

terkait dengan praktek korupsi adalah penggelapan dan pemerasan.

Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini adalah

perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi

tanggungjawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga

tersebut diambil atau digelapkan orang lain.

5. Kajian Tentang Gratifikasi

a. Pengertian Gratifikasi

Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat

dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:

Page 40: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau

lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau piidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan

uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan

Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No.

20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya

mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni

meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman

tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,

pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik

yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan

dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan lebih

terang dan hal ini berarti lebih menjamin kepastian hukum dari pada

tidak dijelaskan sama sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1) Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian

suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa

penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri

atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya.

Page 41: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

2) Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian

suap aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan

mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada

pemberi grastifikasi menurut Pasal 12 B ini.

3) Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang

diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12 B

ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini

menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif

pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, dan c.

Pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalah

pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau

kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau

kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan si pemberi.

Secara hukum dan etika moral seorang penyelenggara negara

seharusnya tidak menerima gratifikasi apapun dari rakyatnya.

Kesulitannya, untuk pembuktian sebuah kasus penyuapanterbentur

kenyataan bahwapemisah antara suap dan gratifikasi hanyalah tipis

sekali. Artinya harus ada ketentuan yang jelas mengenai perbedaan

antara suap, suap yang berkedok gratifiksi atau gratifiksi yang berujung

makruh untuk diterima.

Suap adalah apabila penerima disyaratkan melakukan tindakan

hukum yang tidak benar atau disyaratkan mencegah tindakan hukum

yang benar. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang bersifat

mutlak, tidak mengandung syarat apapun. Dari ketentuan-ketentuan

tersebut dapat disimpulkan bahwa penyuapan dan gratifikasi mempunyai

titik persamaan diberikan kepada pemegang kekuasaan. Sisi

perbedaannya, melihat kepada tujuan dari si pemberi. Bila tujuan

tersebut, masih umum sekedar menarik simpati atau terindikasi karena

faktor jabatan dan kedudukan berarti tergolong gratifikasi. Apabila tujuan

yang ingin dicapai tertentu dan dalam persoalan khusus, maka ini yang

Page 42: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

disebut dengan penyuapan. Meskipun keduanya diharamkan, tentunya

tingkat keharaman dan hukuman yang diterima berbeda.

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelengara

negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan

jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi

tidak dianggap suap jika penerima melaporkan ke KPK. Hal ini diatur

didalam Pasal 12 C yang berbunyi sebagai berikut:

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: 1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

wajib melakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi tersebut diterima.

2) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penetuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 12 C ayat (2) UU No.31 tahun 1999 jo. UU

No.20 tahun 2001 dan Pasal 16 UU No. 30 tahun 2002, setiap Pegawai

Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib

melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai

berikut :

1) Penerima gratifikasi wajib melaporkan dokumen penerimaannya

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja kepada KPK,

terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima;

2) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir

sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan

melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi;

Page 43: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

3) Formulir sebagaimana dimaksud dalam angka (2), sekurang-

kurangnya memuat :

a) Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;

b) Jabatan Pegawai Negeri atau penyelenggara negara;

c) Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;

d) Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan

e) Nilai gratifikasi yang diterima.

Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah

rumusan tindak Pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun

2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi

menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi

unsur-unsur:

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas);

3) Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan

kewajiban atau tugasnya;

4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam

jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.

b. Subyek Gratifikasi

Berdasarkan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang

menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah:

1) Pegawai Negeri

Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No.

31 Tahun 1999, meliputi:

a) Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang

kepegawaian;

b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-

Undang Hukum Pidana;

c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau

daerah;

Page 44: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau

e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau

masyarakat.

2) Penyelenggara Negara

Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara

Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,

legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas

pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal

2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi:

a) pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;

b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

c) Menteri;

d) Gubernur;

e) Hakim;

f) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan

g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya

dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan

perundang- undangan yang berlaku.

c. Obyek Gratifikasi

Dilihat dari penjelasan pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka

disebutkan objek gratifikasi adalah: pemberian uang, barang, rabat

(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas

lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar

Page 45: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau

tanpa sarana elektronik.

Selain itu terdapat juga kasus-kasus yang dapat digolongkan sebagai

gratifikasi yaitu:

a) Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat

mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif.

b) Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/ kelulusan,

Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan

tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari

petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan

daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi

KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa

dan penindakan tegas pada pelaku.

c) Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh

Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan

Daerah.

d) Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat.

e) Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan.

f) Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah

tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran

tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan

tambahan dana dapat menggunakan kotak amal.

g) Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran.

h) Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang tambahan.

i) Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan

yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan

jumlah tidak masuk akal.

j) Pengurusan ijin yang dipersulit.

Page 46: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

b. Kerangka Pemikiran

Mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini dibuat dalam suatu bagan

seperti berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Penjelasan:

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana. Tindak pidana berisikan tentang kejahatan (perbuatan

jahat) dan pelanggaran. Pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi diatur didalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu jenis tindak pidana dalam

tindak pidana korupsi dalah penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang

dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften)

yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif.

Peningkatan terjadinya korupsi disebabkan karena lemahnya penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan adanya penanganan korupsi

TINDAK PIDANA

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG

NOMOR 20 TAHUN 2001

KORUPSI

PENYUAPAN

PENEGAKAN HUKUM

TUJUAN HUKUM = KEADILAN

Page 47: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

yang tebang pilih, khususnya tindak pidana penyuapan. Bilamana aparat penegak

hukum serius dalam menangani kasus-kasus secara profesional, maka tujuan

daripada hukum yaitu keadilan dapat terwujud di dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

Page 48: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan

Tindak pidana penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak pidana

korupsi sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, dalam penulisan hukum

ini, penulis mencoba melakukan kajian dan pembahasan mengenai tindak pidana

penyuapan berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis.

1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyuapan

Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan dalam

masyarakat Indonesia. Bahkan korupsi merupakan masalah yang dihadapi

seluruh bbangsa di dunia terutama bagi negara-negara berkembang. Namun

korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merusak tatanan ekonomi,

kehidupan masyarakat, dan kesejahteraan bangsa. Sehingga secara hubungan

internasional sering dibicarakan dalam forum-forum resmi karena korupsi

sudah menjadi semacam tindak pidana yang luar biasa.

Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, corruption dalam bahasa

Inggris dan corruptie dalam bahasa Belanda. Pengertian korupsi menurut

Robert Klitgaard bahwa:

Korupsi bisa diartikan sebagai suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi, termasuk masalah etika dan moral menurut pandangan masyarakat umum (Robert Klitgaard, 2005:31).

Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa

“Korupsi disamping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang

busuk, juga disangkutpautkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang

keuangan” (Sudarto, 1996:115). Artinya korupsi selalu dipautkan dengan

adanya suatu tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara atau

35

Page 49: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

terganggunya perekonomian negara yang akibatnya adalah akan memperkaya

diri sendiri, orang lain atau kelompok.

Berbicara mengenai pengertian korupsi, Suyatno juga mengemukakan

pendapatnya bahwa “Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,

bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan” (Suyatno, 2005: 16).

Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum

yang secara definitif diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penulis beranggapan bahwa korupsi telah menjadi masalah dunia,

bukan hanya masalah di negara-negara berkembang saja.oleh karena itu,

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang perlu untuk

mengadopsi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)

melalui Resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003. Selanjutnya pada tanggal 10

Januari 2005, konvensi tersebut ditandatangani oleh 116 negara dan 15 negara

telah meratifikasi. Salah satunya ialah Indonesia yang telah meratifikasi

konvensi tersebut, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Pengesahan United Nation Convention Against Corruption. Di dalam

konvensi tersebut, UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara

untuk memberantas korupsi melalui kodifikasi. Dalam Compendium of

International Legal Instruments on Corruption, ditegaskan bahwa UNCAC

menawarkan seperangkat pendekatan yang komprehensif untuk menghadapi

korupsi. Konvensi tersebut dapat dibagi kedalam beberapa bagian yaitu:

a. Prevention policies such as reforming the public service and introducing transparency and good governance;

b. The criminalization of corrupt conduct; c. International cooperation, and; d. Asset recovery (Surowidjojo, 2005:68).

a. Pencegahan kebijakan seperti reformasi pelayanan publik dan

memperkenalkan transparansi dan tata pemerintahan yang baik; b. Kriminalisasi perilaku korup; c. Kerjasama internasional, dan; d. Pemulihan aset.

Page 50: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Perbincangan tentang korupsi di Indonesia seperti tiada habisnya,

meskipun ada penguatan upaya pemberantasannya, tetapi belum mewujudkan

crime rate korupsi ke arah penurunan. Jeremy Pope mempunyai pandangan

bahwa:

Korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung jawab sistem integrasi publik (Jeremy Pope, 2003:2).

Hal yang sama juga diuraikan oleh Patrick Glynn, Stephen J. Korbin

dan Moises Nim sebagaimana dikutip Kimberly Ann Wlliot yang

mengemukakan bahwa “Meningkatnya aktivitas korupsi baik yang

sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena

terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau

menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum”

(Kimberly Ann Elliot, 1999:11).

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali

kemungkinan besar akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan

keuangan negara, perekonomian nasional dan menghambat pembangunan

nasional. Oleh karena itu, sekarang tindak pidana korupsi tidak lagi

dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu

kejahatan yang luar biasa. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya tidak

lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara

yang luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar

mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektivitas hukum dan undang-

undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut.

Seseorang yang terlibat dalam perbuatan korupsi atau suap sebenarnya harus

malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan

bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si

penerima suap.

Page 51: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Suap (bribery) bermula dari kata briberie (Perancis) yang artinya

adalah begging (mengemis) atau vagrancy (gelandangan). Dalam bahasa

Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong

roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe

bermakna alms (sedekah), blackmail atau extortion (pemerasan) dalam

kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly

(pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk

mempengaruhi secara jahat atau korup).

Suap-menyuap (bribery) bukanlah suatu tindak pidana biasa. Dalam

teori hukum pidana, perbuatan ini dikategorikan sama dengan tindak pidana

pembunuhan, pemerkosaan atau pencurian. Perbuatan suap merupakan mala

per se atau mala in se dan bukan mala prohibita. Konsep mala per se yang

dilandasi oleh pemikiran natural Wrongs menganggap bahwa kejahatan-

kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani

dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah

melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah.

Adapun konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa

perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah

melarangnya sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contuhnya ialah

berbagai peraturan tata tertib di berbagai bidang kehidupan yang diperlukan

dalam rangka untuk menegakkan tertibnya kehidupan modern.

Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu

mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing) agar yang

disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat

yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajibannya. Para pelaku, baik aktor intelektual maupun aktor pelakunya,

telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum

maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan dan kesopanan).

Tindak pidana penyuapan atau dalam istilah Belanda oomkoping atau

dalam istilah Inggris bribery, di Indonesia sudah dikenal sejak lama, delik ini

Page 52: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

awalnya termuat dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan

hingga kini delik penyuapan termasuk delik khusus yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, yang bahkan lebih rinci dalam menguraikan unsur-unsur delik.

Hingga kini, delik ini tidak mampu diatasi secara maksimal dan bahkan

menjadi-jadi, terbukti karena delik suap justru melibatkan aparat penegak

hukum yang terkait langsung dengan upaya pemberantasan korupsi.

Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan

baru yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mulai diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 dan kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang

suap tersebut dioper dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam kaitan

dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten).

Pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dioper ke

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Pasal 209

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan aktif

(actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri dan Pasal

419 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan pasif

(passieve omkooping atau passive bribery) yang mengancam pidana terhadap

pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian Pasal 210 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan terhadap hakim

dan penasehat hukum di pengadilan serta Pasal 420 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana yang mengatur tentang hakim dan penasehat hukum yang

menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifikasi yang

diatur dalam Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kemudian juga

dioper menjadi tindak pidana korupsi dengan merumuskan gratifikasi sebagai

pemberian hadiah yang luas dan meliputi pemberian uang, barang,

rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Page 53: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik

(embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar

dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai

bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or

taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an

impairment of integrity, virtue, or moral principles).

Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap-

menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat. Hal ini diperkuat oleh Muladi

dengan artikelnya yang berjudul Hakikat Suap daan Korupsi dalam

http://www.unisosdem.org> yang mengemukakan bahwa Kejahatan korupsi

tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai

kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsi yang

sangat kriminogen yaitu dapat menjadi sumber kejahatan lain dan viktimogen

yaitu secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan.

Delik penyuapan sungguh mengerikan jika dikalkulasikan dampaknya

secara simultan. Dalam hal penyuapan yang terkait dengan penegakan

hukum, seorang tersangka berupaya menyuap aparat penegak hukum agar

pemeriksaan atas kasusnya dihentikan, ataupun agar mendapat putusan yang

menguntungkan jikapun suatu kasus dibawa ke pengadilan. Upaya semacam

ini membuat para pelaku kejahatan tidak jera dan sangat memungkinkan

untuk mengulangi perbuatannya, karena dengan suap mereka tidak akan

terjerat hukum. Hukum yang seharusnya menjadi panglima, hanya dianggap

rintangan kecil yang bisa diatasi dengan suap.

Tindak pidana suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya

pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja

adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya pogging (percobaan) suap saja

sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti adanya kondisi sebagai

permulaan pelaksanaan dugaan suapi itu sudah dianggap sebagai tindak

pidana korupsi. Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan

suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah

berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau

Page 54: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan

terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima

gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) dapat ditarik beberapa

kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk

mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana

pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini. Dengan demikian, luasnya

pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang

tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan

Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih

dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan (concursus idealis).

Delik dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tersebut berlaku Asas Pembalikan Beban Pembuktian yang diadopsi dari

Reversal Burden of Proof atau omkering van het Bewijslast pada sistem

Anglo Saxon khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification)

yang berkaitan dengan penyuapan (bribery) yang artinya asas ini tidak pernah

ada yang bersifat total absolut, hanya dapat diterapkan secara terbatas

terhadap delik yang berkenaan delik gratifikasi yang berkaitan dengan

penyuapan. Asas ini menurut Andi Hamzah, merupakan suatu penyimpangan

dari asas umum hukum pidana yaitu Presumption of Innocence, yang hanya

diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain cases), yaitu yang

berkaitan dengan delik korupsi khususnya terhadap delik pemberian yang

berkaitan dengan suap. Gratifikasi ini ditujukan kepada pegawai negeri dalam

arti luas dan penyelenggara negara yang telah melakukan pekerjaan

bertentangan dengan kewajibannya. Pemberian dianggap suap sampai

dibuktikan bukan suap oleh penerima suap.

Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas

suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap

dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki dua pengertian, yaitu:

Page 55: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar

seseorang berlawanan dengan kewenangan/kewajibannya yang

menyangkut kepentingan umum.

b. Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si

penerima melawan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut

kepentingan umum.

Menurut Yusuf Qordhawi sebagaimana dikutip oleh Deden Setiawan

Hartomo dalam http://id-id.facebook.com yang mengatakan bahwa suap

adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan

atau jabatan apapun untuk mensukseskan perkaranya dengan mengalahkan

lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang

kepadanya atau menyingkirkan musuhnya. Dari pengertian di atas dapat

dipahami bahwa suap adalah memberi sesuatu, baik uang maupun barang

kepada seseorang agar melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang

bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu dilaksanakan ataupun

tidak dilaksanakan. Dari sini dapat dipahami bahwa suap adalah sebuah

tindakan yang mengakibatkan sakit atau kerugian di pihak lain.

Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun

berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati.

Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan dilaksanakan. Adapun pemberian

suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu:

a. Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati

senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan dan pengurangan, atau

pengutamaan seseorang atas yang lainnya.

b. Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat

atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si

pemberi menginginkan sesuatu.

c. Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang

ditentukan si pemberi uang.

Page 56: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu

sebagai berikut:

a. Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu,

baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap

batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk

menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai

negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji

tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang

diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar

penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau

janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan

dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak

pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi

rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat

perbuatannya sudah selesai (voltoid).

b. Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik

berupa uang maupun barang. Sebagai contoh apabila hal ini dikaitkan

dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan

kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan

Usaha Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian

pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara)

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila

pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam pasal ini,

berarti pegawai negeri/penyelenggara negara dimaksud akan

menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang

memberi atau yang menjanjikan tersebut.

Page 57: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

2. Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan

Bentuk-bentuk tindak pidana adalah rumusan tindak pidana korupsi

yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Rumusan tersebut mempunyai unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis

pidana dengan sistem pemidanaan tertentu pula. Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membedakan antara jenis tindak

pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi.tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi

meskipun dirumuskan dalam Undang-Undang, namun tidak dapat disebut

sebagai perilaku yang koruptif. Jenis tindak pidana korupsi diatur didalam

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,

Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan

dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan

Pasal 24. Khusus mengenai tindak pidana korupsi jenis suap-menyuap

maupun penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,

Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang pada mulanya berasal dari

ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Apabila dikelompokkan, tindak pidana korupsi jenis suap tersebut

terdapat 5 (lima) jenis. Disamping lima macam suap yang berasal dari KUHP

yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi, dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 ditambahkan satu jenis suap yang berasal dari Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 ke dalam Pasal 13, yang disebut suap aktif.

Dibentuk satu suap lagi yaitu suap pasif yang disebut suap menerima

gratifikasi ke dalam Pasal 12 B.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi tidak

memberi nama jenis tindak pidana secara spesifik karena hanya menbedakan

antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan

tindak pidana korupsi. Dalam kepustakaan muncul penggolongan dengan

penamaan yang berbeda-beda, setidaknya pembedaan pada klasifikasi secara

Page 58: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

lebih spesifik. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak

memasukkan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 sebagai jenis

tersendiri. Maksudnya jenis tindak pidana korupsi hanya diatur dalam Pasal 2

sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Mengenai Pasal 14 akan diuraikan kemudian yang menjelaskan

bahwa ketentuan pasal tersebut juga jenis tindak pidana tersendiri. Mengenai

yang diatur dalam Pasal 15 memang bukan suatu tindak pidana tersendiri.

Hal tersebut disebabkan percobaan, pembantuan, atau pernufakatan dianggap

melakukan tindak pidana korupsi itu sendiri seperti diatur dalam Pasal 2,

Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Dengan demikian orang yang

mencoba melakukan, membantu melakukan, atau melakukan permufakatan

tindak pidana korupsi, pada dasarnya merupakan pelaku tindak pidana

korupsi. Demikian halnya yang diatur dalam Pasal 16 yaitu orang yang diluar

wilayah negara Republik Indonesia memberikan bantuan, kesempatan.

Sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi, meskipun

Undang-Undang tidak menyebut secara eksplisit sebagai tindak pidana

korupsi, namun diancam dengan sanksi pidana yang sama dengan apabila

melakukan korupsi itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut semakin

menandai sifat kekhususan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi karena menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum

seperti diatur dalam Pasal 53 KUHP mengenai percobaan, Pasal 56 KUHP

mengenai membantu melakukan, Pasal 88 KUHP mengenai permufakatan

jahat. Penyimpangan yang dimaksud terutama menyangkut besarnya pidana

yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.

Komisi Pemberantasan Korupsi membedakan tindak pidana korupsi

ke dalam 30 jenis tindak pidana yang dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kerugian keuangan negara, meliputi Pasal 2 dan Pasal 3.

b. Suap-menyuap, meliputi Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 13,

Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1)

huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan huruf d.

Page 59: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

c. Penggelapan dalam jabatan, meliputi Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a,

huruf b, dan huruf c.

d. Pemerasan, meliputi Pasal 12 huruf e, g, dan f.

e. Perbuatan curang, meliputi Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 7

ayat (2), Pasal 12 huruf h.

f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, meliputi Pasal 12 huruf i.

g. Gratifikasi, meliputi Pasal 12 B jo. Pasal 12 C.

Pembedaan pengelompokkan tersebut hanya sekedar pembedaan

penamaan saja, penggolongannya pun sama sekali tidak bersifat substantif.

Jenis tindak pidana korupsi mengenai suap-menyuap seperti diatas dapat

diuraikan masing-masing sebagai berikut:

a. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif atau Memberi Suap

Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

Tindak pidana suap aktif ini terdiri atas 2 (dua) bentuk seperti

yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b yang berasal dari Pasal

209 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1)

huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999,

dimana rumusannya sebagai berikut:

a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (tahun) dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai

negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b) Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negarakarena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Rumusan Pasal 5 tersebut tidak lagi sama atau berbeda dengan

Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana Pasal 209 unsur

Page 60: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan

untuk menggerakkan (bewegen) yakni mendorong atau mempengaruhi

batin orang lain in casu pegawai negeri tidak dimuat. Akan tetapi, dalam

Pasal 5 maksud (bukan lagi ditujukan untuk menggerakkan pegawai

negeri), tetapi ditujukan agar pegawai negeri berbuatatau tidak berbuat

sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya.

Unsur-unsur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;

3) Kepada pegawai negeri;

4) Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara

berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya.

Sedangkan unsur Pasal 5 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Memberi sesuatu;

3) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

4) Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan pegawai

negeri atau penyelenggara negara.

Pengertian pegawai negeri hanya bersifat definitif yang diatur

dalam Pasal 1 angka 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang

didefinisikan sebagai berikut:

1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

tentang Kepegawaian;

2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana;

3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah;

4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

Page 61: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

5) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.

Sedangan pengertian penyelenggara negara dikemukakan dalam

penjelasan Pasal 5 ayat (2) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan

penyelnggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme. Penyelenggara negara meliputi:

1) Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;

2) Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;

3) Menteri;

4) Gubernur;

5) Hakim;

6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

b. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif atau Memberi Suap

Kepada Hakim atau Advokat

Tindak pidana korupsi ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a

dan b yang berasal dari Pasal 210 ayat (1) angka 1 dan 2 yang dirujuk

dalam Pasal 1 ayat (1) angka 1 huruf c UU No. 3 Tahun 1971. Rumusan

pasalnya sebagai berikut:

a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidan denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan

maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

Page 62: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

b) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Tindak pidana suap pada hakim dan advokat dirumuskan sama

dengan Pasal 5, namun Pasal 6 ini merupakan korupsi suap khusus.

Dengan adanya ketentuan khusus maka korupsi suap artinya sama

dengan dengan Pasal 5 walaupun hakim merupakan pegawai negeri,

tetapi Pasal 5 tidak berlaku bagi hakim. Sebab ada ketentuan khusus bagi

hakim yakni Pasal 6 dan pasal yang ketentuan khusus lah yang

berlaku.hal ini sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis

artinya hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum dan diatur

dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. Rumusan Pasal 6 terdapat 3 (tiga) bentuk

tindak pidana suap yakni 2 (dua) bentuk dirumuskan pada ayat (1) huruf

a (suap khusus pada hakim) dan huruf b (suap khusus pada advokat) dan

bentuk ketiga dirumuskan pada ayat (2) yakni hakim dan advokat yang

menerima suap.

Unsur-unsur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;

3) Kepada hakim;

4) Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang

diserahkan kepadanya untuk diadili.

Sedangkan unsur dari Pasal 6 ayat (1) huruf b yaitu:

1) Setiap orang;

2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;

3) Kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang

pengadilan;

Page 63: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

4) Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang

akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili.

Unsur Pasal 6 ayat (1) huruf a berbeda dengan unsur Pasal 6 ayat

(1) huruf b. Perbedaan tersebut terletak pada unsur adresat dan unsur

subyektifnya. Tjandra Sridjaja Pradjonggo berpendapat bahwa “Unsur

adresat yang dimaksud yaitu hakim di satu pihak, dan advokat dipihak

lain. Sedangkan unsur subyektifnya yaitu unsur maksud dilakukannya

perbuatan materiil” (Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010:122). Dalam

Pasal 6 ayat (1) huruf a yaitu dengan maksud untuk mempengaruhi

putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Sedangkan

Pasal 6 ayat (1) huruf b yaitu dengan maksud mempengaruhi nasihat atau

pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

b. Tindak Pidana Korupsi Memberi Hadiah atau Janji Kepada

Pegawai Negeri

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun

1999 yang berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf d UU No. 3 Tahun 1971

yang rumusan pasalnya sebagai berikut:

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Unsur-unsur pasal yang terdapat dalam Pasal 13 yaitu:

1) Setiap orang;

2) Memberi hadiah atau janji;

3) Kepada pegawai negeri;

Page 64: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

4) Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada

jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji

dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Adami Chazawi mengemukakan pendapat bahwa Ada perbedaan

dan persamaan antara Pasal 13 dengan Pasal 5 adalah sebagai berikut:

Persamaannya ialah: 1) Subyek hukumnya setiap orang (orang amaupun korporasi); 2) Penerima suap yakni pegawai negeri; 3) Obyeknya ialah janji atau hadiah; 4) Perbuatannya yaitu memberi dan menjanjikan. Sedangkan perbedaannya ialah: 1) Obyeknya yaitu dalam Pasal 5 disebutkan sesuatu selain janji,

namun Pasal 13 adalah hadiah atau janji; 2) Subyek hukum yang menerima hadiah pada Pasal 5 yaitu

pegawai negeri atau penyelenggara negara, sedangkan Pasal 13 hanya pegawai negeri;

3) Suap Pasal 5 terdapat unsur kesalahan berupa maksud pembuat dengan melakukan perbuatan memberi dan menjanjikan yang ditujukan supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibanjabatannya. Sedangkan Pasal 13 tidak mengandung unsur kesalahan, tetapi ada unsur pembuat yaitu menganggap bahwa pemberian hadiah itu melekat pada jabatan si pegawai negeri tersebut (Adami Chazawi, 2005:278).

c. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pasif atau Menerima Suap oleh

Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

Tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2),

Pasal 12 huruf a dan b, dan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Rumusan Pasal 5 ayat (2) adalah sebagai berikut:

Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimakasud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2)

meliputi:

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

Page 65: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

2) Menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) huruf a atau huruf b.

Terjadinya tindak pidana korupsi suap jenis ini bergantung pada

terjadinya tindak pidana korupsi suap pada ayat (1) huruf a dan huruf b.

Selesainya suap pada ayat (2) khusus perbuatan menerima pemberiab

suatu benda bergantung pada selesainya perbuatan menerima pemberian

atau menerima janji. Demikian juga perbuatan menerima janji dapat

dianggap telah selesai dengan sempurna manakala telah ada keadaan-

keadaan sebagai pertanda atau indikator bahwa mengenai apa isi yang

dijanjikan telah diterima oleh pegawai negeri tersebut.

Jenis tindak pidana penyuapan pasif atau pegawai negeri yang

menerima suap juga diatur dalam Pasal 12 huruf a dan b yang berasal

dari Pasal 419 angka 1 dan 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1)

huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999.

Rumusan Pasal 12 huruf a dan b adalah sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahala diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 12 huruf a dan b adalah

sebagai berikut:

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima hadiah atau janji;

Page 66: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

3) Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Perbedaan antara yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12

huruf a yaitu dalam hal Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a

dipergunakan istilah “menerima pemberian atau janji” dan “berbuat atau

tidak berbuat”. Sedangkan dalam hal Pasal 12 huruf a dipakai istilah

“menerima hadiah atau janji” dan “melakukan atau tidak melakukan”. Di

dalam Pasal 12 huruf a terdapat unsur kesengajaan atau kealpaan yaitu

“diketahui atau patut diduga”, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal

5 ayat (1) huruf a tidak terdapat unsur tersebut. Meskipun demikian

bukan berarti dalam Pasal 5 ayat (2) tidak terkait dengan kesengajaan

atau kealpaan, bahkan pada prinsipnya perbuatan materiilnya tidak

berbeda.

Sedangkan unsur yg terdapat dalam Pasal 12 huruf b sebagai berikut:

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima hadiah;

3) Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau

disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

4) Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau

disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Apabila dianggap juga terdapat perbedaan antara yang diatur

dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf b yaitu terletak pada perbuatan

materiilnya. Yaitu dalam Pasal 12 huruf b disebutkan “menerima hadiah”

sedangkan Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b mengandung

“menerima pemberian atau janji”. Di samping itu, Pasal 12 huruf b

Page 67: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

terdapat unsur kesengajaan atau kealpaan, sedangkan Pasal 5 ayat (2) jo.

Pasal 5 ayat (1) huruf b tidak terdapat unsur tersebut.

Disamping jenis tindak pidana korupsi penyuapan pasif seperti

diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a dan b, dalam hal

subyek tindak pidananya pegawai negeri atau penyelenggara negara

diatur pula jenis lain dalam Pasal 11 yang dirumuskan sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Apabila diuraikan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahuinya;

4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena

kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya

atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji

tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Menurut Adami Chazawi, perbedaan antara Pasal 12 huruf a

dengan Pasal 11 terletak pada hal-hal sebagai berikut:

Sikap batin pembuat korupsi suap pasal 11 berupa sikap batin kesengajaan (apa yang diketahui) dan kealpaan (patut diduga diketahui) yang diarahkan pada unsur “pemberian hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya”. Sedangkan pasal 12 huruf a sikap batin pengetahuan dan patut diduga pegawai negeri – penerima suap diarahkan pada unsur “hadiah atau janji diberikan padanya untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya”.

Page 68: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Terjadinya korupsi menerima suap pasal 11 tidaka ada hubungannya dengan terjadinya korupsi memberi suap pasal 5 ayat (1) huruf a, tetapi terjadinya korupsi menerima suap pasal 12 huruf a, setelah terjadi korupsi pemberian suap pasal 5 ayat (1) huruf a (Adami Chazawi, 2006:242-243).

d. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pasif atau Suap yang Diterima

oleh Hakim atau Advokat

Korupsi suap hakim atau advokat menerima suap sebagaimana

dimaksud adalah korupsi yang ada hubungan langsung dengan masalah

penegakan hukum di lingkungan peradilan. Sesuai dengan subyek hukum

suap yaitu hakim dan advokat, meskipun berhubungan dengan proses

penegakan hukum namun diatur dalam rumusan yang berbeda. Karena

selain berbeda subyek hukumnya, juga berbeda unsur kesalahannya

sesuai bidang dan tugas masing-masing subyek.

Rumusan korupsi hakim dan advokat menerima suap terkandung

dalam Pasal 12 huruf c dan d, dimana pasal tersebut berasal dari Pasal

420 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1)

huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999.

Bunyi Pasal 12 huruf c dan d adalah sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui

atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Page 69: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Unsur-unsur dari Pasal 12 huruf c adalah sebagai berikut:

1) Hakim;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahui atau petut diduga bahwa bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan

kepadanya untuk diadili.

Korupsi hakim menerima suap dalam Pasal 12 huruf c sebagai

suap pasif, hakim dapat melanggar larangan menerima suap apabila telah

terjadi tindak pidana korupsi menyuap hakim yang dirumuskan dalam

Pasal 6 ayat (1) huruf a. artinya bahwa korupsi hakim menerima suap

Pasal 12 huruf c ini berpasangan dengan korupsi menyuap hakim Pasal 6

ayat (1) huruf a. Pembentuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

membentuk tindak pidana suap tersendiri bagi orang yang berkualitas

sebagai hakim, karena begitu penting dan strategisnya kedudukan hakim

dalam rangka proses penegakan hukum sangat berpengaruh. Bukan

hanya terhadap kepastian hukum dan keadilan masyarakat, melainkan

terhadap ketertiban dan keamanan serta kedamaian bagi semua anggota

masyarakat secara tidak langsung. Oleh karena itu, dibentuklah pasal

tersendiri meskipun sesungguhnya sudah ada rumusan Pasal 11 mengenai

korupsi pegawai negeri menerima suap dan Pasal 5 ayat (1) mengenai

korupsi suap kepada pegawai negeri.

Sedangkan unsur dari Pasal 12 huruf d sebagai berikut:

1) Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,

berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk

diadili.

Berdasarkan penjelasan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001, pengertian advokat adalah orang yang berprofesi

memberikan jasa hukum baik didalam maupu diluar pengadilan yang

Page 70: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Seperti yang diketahui bahwa advokat telah

diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tentang Advokat.

B. Sistem Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum

Tindak Pidana Korupsi

Setelah melakukan kajian dan pembahasan mengenai ruang lingkup dan

pengaturan tindak pidana penyuapan yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan, maka penulis melakukan kajian dan pembahasan mengenai sistem

hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan yang merupakan salah satu

bentuk tindak pidana korupsi.

Kajian tentang sistem hukum pidana dalam rangka penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi dalam berbagai literatur yang ada masih sangat

sedikit, bahkan jarang ditemui, sehingga penulis merasa sangat tertarik untuk

mengkaji upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terutama dari

sudut pandang sistem hukum pidana. Meskipun dalam berbagai penelitian telah

banyak menganalisa mengenai sistem peradilan pidana, teori hukum dan

sebagainya, akan tetapi kajian tersebut hanya membahas bagian dari unsur dalam

sistem hukum pidana dan tidak melihat sistem hukum pidana itu secara

komprehensif dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Kajian dan pembahasan mengenai penyuapan sebagai salah satu tindak pidana

korupsi adalah sebagai berikut:

Berbicara mengenai korupsi di Indonesia, terlebih dahulu mengerti bahwa

negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) sebagaimana ketentuan

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga. Secara konseptual maka teori

negara hukum menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum

(recht zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights).

Pada dasarnya, suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin

persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk

menggunakan hak asasinya. Substansi elementer dalam suatu negara hukum selain

Page 71: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

terdapat persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas

kekuasaan ini juga berubah, bergantung kepada keadaan. Namun, sarana yang

dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara

maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh

karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan

negara senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan

kewajiban yang dilindungi oleh hukum.

Berbicara mengenai sistem hukum pidana. IGM Nurdjana mengemukakan

pandangannya bahwa:

Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan yang lain yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Maka, sistem hukum merupakan kesatuan yang terdiri dari sub sistem hukum yang saling berkaitan atau mempengaruhi satu dengan yang lain guna mencapai tujuan. Oleh karena itu, sistem hukum pidana yaitu kesatuan yang terdiri dari sub sistem hukum pidana yang saling melengkapi dan mempengaruhi untuk mencapai tujuan hukum pidana (IGM Nurdjana, 2000:92).

Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana

merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma. Sebagai sebuah sistem,

hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes),

memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relations) dan

kemudian membentuk struktur (structure). Hal senada juga disampaikan oleh

Sudikno Mertokusumo yang berpendapat bahwa “Sistem hukum adalah sistem

terbuka yaitu memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya dan setiap

unsur yang tidak merupakan bagian dari sistem memiliki pengaruh terhadap

unsur-unsur didalam sebuah sistem” (Sudikno Mertokusumo, 1996:102).

Pandangan Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip oleh IGM

Nurdjana menyebutkan bahwa sebuah sistem hukum dalam arti luas dengan tiga

elemen yaitu sebagai berikut:

1. Struktur Hukum, yaitu institusi atau lembaga hukum , sistem manajemen, dan mekanisme serta sarana prasarana dari sistem penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana);

2. Substansi Hukum, yaitu aturan-aturan substantif dan aturan tentang bagaimana pranata hukum harus berperilaku yang meliputi: hukum pidana materiil (KUHP dan UU diluar KUHP), hukum pidana formil (KUHAP), dan hukum pelaksanaan pidana;

Page 72: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

3. Budaya Hukum, yaitu sebagai unsur dari sikap dan nilai sosial, bagian dari kultur hukum yang mencakup kebiasaan, pendapat, cara bertindak dan berpikir (IGM Nurdjana, 2000:94).

Perbuatan korupsi dalam praktik sistem hukum dalam negara hukum saat

ini dan konsistensi penegakan hukum merupakan fenomena sosial yang sangat

kompleks. Kompleksitas ini dapat melekat pada persepsi dan paradigma

kelompok-kelompok pelaku elite (kakap), menengah dan bawah, serta kelompok

super elite (big fish atau ikan paus) yang sulit terjaring, bahkan berakibat kerugian

negara luar biasa. korupsi sering kali hanya dihubungkan dengan lemahnya

penegakan hukum padahal jika lebih dikaji ternyata didalam sistem hukum pidana

khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terdapat

berbagai problem hukum. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu

yang disebut sebagai mafia peradilan untuk menerapkan sistem selektivitas

penegakan hukum yang akhirnya menimbulkan rasa ketidak adilan bagi

masyarakat kecil yang terjerat hukum.

Perkembangan korupsi seakan-akan sudah berurat akar, bahkan sudah

membudaya da telah menjadi bagian dari way of life hampir di segi kehidupan

sosial. Setiap langkah masyarakat selalu dibayang-bayangi dengan isu masalah

korupsi yang semakin merajalela. Tidak mengherankan jika berbagai putusan

hakim terhadap perkara-perkara korupsimenimbulkan kontroversi. Faktanya

terjadi hasil vonis peradilan oleh hakim yang sering memutus ringan dan juga

membebaskan para koruptor, bahkan malah diberikan Surat Perintah Penghentian

Penyidikan (SP3). Bila dilihat kembali dari sepanjang sejarah peradilan terhadap

tindak pidana korupsi di Indonesia, belum pernah ada koruptor yang divonis

pidana mati oleh hakim, padahal Undang-Undang memberikan peluang atau

isyarat untuk itu. Hal ini mencerminkan lemahnya, kurang seriusnyaaparat

penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum khususnya terhadap tindak

pidana korupsi.

Proses penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menjadi fenomena di

Indonesia, dinilai oleh banyak kalangan bahwa inkonsistensi penegakan hukum

dalam taraf law in action sesuai dengan legal spirit yang menjadi latar belakang

Page 73: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

law in book ini berimplikasi pada akseptasi dan kultur hukum masyarakat. Hal

semacam ini juga diuraikan oleh IGM Nurdjana dengan mengemukakan

pandangannya bahwa “Penegakan hukum seperti ini tidak memberikan efek jera

bagi pelaku korupsi terutama birokrat yang kolusif dengan koruptor yang lebih

memperhitungkan profit dengan pertimbangan cost and benefit sehingga bukan

tidak mungkin budaya suap merupakan salah satu modus kejahatan korupsi dari

para koruptor” (IGM Nurdjana, 2000:273).

Kontroversi antar produk politik hukum dengan realita praktik

pemberantasan korupsi di Indonesia telah digambarkan pada implikasi dari

momentum pola penegakan hukum terhadap korupsi menimbulkan fenomena

kecenderungan dalam masyarakat di Indonesia bahwa karena korupsi sudah

membudaya dan kelihatannya sulit diberantas. Maka banyak orang yang psimis,

putus asa, tidak peduli lagi atau masa bodoh. Bahkan yang paling berbahaya

adalah menganggap bahwa korupsi adalah hal yang lumrah, yang harus diterima

sebagai realita atau suatu hal yang memang menjadi kebutuhan atau keharusan.

Kondisi penerapan hukum tentang korupsi di Indonesia, menjadi fenomena

buruknya penyelenggaraan sistem hukum yang senantiasa muncul dalam

masyarakat adalah setiap peluang terjadinya korupsi selalu tidak lepas adanya

indikasi kontroversi antara produk suatu sistem hukum pidana melalui peradilan

pidana dari tindakan hasil penanganan korupsi. Hampir setiap media informasi

cetak, elektro, maupun digital internet memuat tentang korupsi yang memberikan

gambaran kelemahan praktik penegakan hukum pidana dalam proses

pemberantasan korupsi.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan

dengan cara-cara biasa sebagaimana penanggulangan kejahatan lainnya. Korupsi

merupakan kejahatan yang luar bias, tentu membutuhkan penanganan yang luar

biasa pula. Hal senada juga diungkapkan oleh IGM Nurdjana yang

mengemukakan beberapa langkah strategis dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana korupsi antara lain sebagai berikut:

1. Memberdayakan integritas moral para penegak hukum dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yaitu dengan memberdayakan sistem kesejahteraan.

Page 74: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

2. Sosialisasi pemahaman korupsi kepada para birokrat baik lembaga eksekutif maupun legislatif, penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat.

3. Penerapan sanksi hukum yang konsisten dan tegas, tetapi tetap menjunjung Hak Asasi Mnusia yaitu dengan reward and punish yang lebih keras lagi bagi pelaku korupsi yang melibatkan birokrat.

4. Membentuk jaringan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan kekuatan dari institusi yang berwenang menangani korupsi sampai tingkat bawah.

5. Para penegak hukum menerapkan tugas, pokok dan fungsi dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara proporsional dan profesional sesuai instrumen hukum yang berlaku.

6. Mempublikasikan setiap hasil penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi melalui media informasi publik baik media cetak maupun elektronik, sehingga kelemahan dan kendala, akuntabilitas serta efektivitas dalam penegakan hukum dapat dikontrol dan diawasi oleh publik.

7. Membangun kultur atau budaya hukum masyarakat sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan tanggung jawab moral dalam penegakan hukum (IGM Nurdjana. 2000:390).

Memberantas tindak pidana korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah dan

memerlukan proses berlanjut yang harus dilaksanakan secara konsisten. Korupsi

ibaratnya penyakit kanker tidak akan pernah dapat diberantas sampai habis.

Dalam hal ini pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri, melainkan harus

mengajak komponen masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi. Dalam pemberantasan korupsi dilakukan upaya pencegahan (preventif)

yang merupakan strategi dasar yang bersifat pencegahan terhadap kondisi yang

menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi. R Dyatmiko Soemodiharjo

mengemukakan langkah-langkah preventif adalah sebagai berikut:

1. Bahwa tindakan-tindakan pengungkapan kasus-kasus korupsi dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan perlu diimbangi dengan tindakan dan upaya preventif agar dapat dicegah timbulnya korupsi.

2. Upaya pencegahan difokuskan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi yaitu keserakahan (greeds), kesempatan (opportunities), dan kebutuhan (needs).

3. Mengendalikan cara hidup agar tidak berlebihan dengan menerapkan pola hidup yang bersahaja sesuai kemampuan dan penghasilan serta menjauhkan diri dari keserakahan.

Page 75: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

4. Perlu dilaksanakan pemberian penghasilan yang cukup kepada pegawai negeri dan aparat penegak hukum guna meminimalisasi melakukan korupsi.

5. Mempersempit kesempatan untuk dapat melakukan korupsi dengan meningkatkan sistem pengawasan internal yang lebih baik maupun mengefektifkan pengawasan masyarakat (R. Dyatmiko Soemodihardjo, 2008:XI).

Berdasarkan kajian mengenai sistem hukum secara luas yang telah

diuraikan, maka penulis mencoba melakukan pembahasan tentang sistem hukum

pidana dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pengertian sistem

hukum pidana meliputi 2 (dua) aspek krusial yaitu mengenai sistem pemidanaan

dan pembaharuan hukum pidana. Secara singkat sistem pemidanaan dapat

diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Oleh karena itu,

sistem pemidanaan merupakan sistem penegakan hukum pidana yang merupakan

lingkup sistem hukum pidana. Sistem hukum pidana yang mempunyai dimensi

sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional dan sudut substansial.

Analisis dari sudut fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan

sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi

pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara

konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.

Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief yang

berpendapat bahwa:

sistem pemidanaan ini dibagi menjadi dua yaitu dari sudut fungsional terdiri dari substansi hukum pidana materiil, hukum pidana formal, dan sub sistem hukum pelaksanaan pidana dan sudut substantif. Oleh karena itu, maka ketiga sub sistem tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu sub sistem saja. Dari sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada didalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum atau general rules dan aturan khusus atau special rules (Arief Barda Nawawi. 2007:262).

Page 76: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Hal yang sama juga diuraikan oleh IGM Nurdjana mengemukakan bahwa

pengertian sistem hukum pidana dapat dilihat dari sistem penegakan hukum

pidana atau sistem pemidanaan sebagai berikut:

1. Dari sudut fungsional, sistem hukum pidana dapat diartikan sebagai: a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) fungsionalisasi dan

konkretisasi hukum pidana; b. Keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana

ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga pelaku mendapat sanksi pidana.

2. Dari sudut norma substantif, sistem hukum pidana atau pemidanaan dapat diartikan: a. Keseluruhan sistem aturan hukum pidana materiil untuk pemidanaan; b. Keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk pemberian

atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana (IGM Nurdjana, 2000:128).

Sistem hukum pidana selain mempunyai dimensi sistem pemidanaan

bersifat fungsional dan substansional, juga dengan pembaharuan hukum pidana.

Upaya pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk

bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan law

enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Aspek ini dapat diartikan

bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui

substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan memberantas kejahatan

dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social defence dan social welfare

serta penegakan hukum pidana. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana

harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan atau policy

oriented approach dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada atau value

oriented approach.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan salah satu

unsur dari sistem hukum pidana. Oleh karena itu, tipologi dari sistem hukum

pidana suatu negara merupakan corak yang menggambarkan sistem hukum pidana

yang dianut bagi negara tersebut. Sehingga sistem hukum pidana tersebut

memberikan pengaruh pada sistem peradilan pidana yang dijalankan di negara

tersebut. Pengaruh yang paling kuat dari sistem hukum terhadap hukum yang

berlaku atau hukum positif, khususnya sistem hukum pidana terdapat peraturan

perundang-undangan peninggalan Hindia-Belanda yaitu teori hukum civil law

Page 77: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

system. Sistem hukum pidana ini bersifat terbuka sehingga menjadi kendala utama

dalam proses penegakan hukum pidana, termasuk upaya penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu, problematika aktualisasi sistem hukum

juga dipengaruhi oleh lemahnya harmonisasi dan sinkronisasi dalam politik

hukum pusat dan daerah, sehingga terdapat kekosongan instrumen hukum yang

tidak menyentuh tindak pidana korupsi.

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ternyata

mengalami berbagai kelemahan dan kendala dipandang dari sistem hukum pidana

secara komprehensif. Hal-hal semacam itu juga dikemukakan oleh IGM Nurdjana

mengenai kendala-kendala dalam penanggulangan korupsi di Indonesia yang

meliputi:

1. Lemahnya penerapan hukum sebagai implikasi dari rendahnya moralitas penegak hukum yang tidak kkonsisten dengan kaidah Undang-Undang Dasar 1945. Yang menjadi kelemahannya adalah suplemen isi Pasal 33 UUD 1945 menjadi kendala utama lemahnya penerapan hukum dengan adanya diskresi pemberian monopoli oleh pemerintah atau penguasa yang menimbulkan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga dalam penerapan hukumnya dan peegakan hukum tindak pidana korupsi sulit menyentuh masalah korupsi.

2. Kontroversi putusan peradilan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Hasil dari praktek penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, justru melawan rasa keadilan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya gerakan mafia hukum dalam bentuk makelar kasus (markus) atau jual beli perkara yang dapat menjadi kenyataan hukum dan mempengaruhi moral penegak hukum dalam memberantas korupsi yang menimbulkan kontroversi.

3. Tingginya kebocoran uang negara dari kekayaan negara. Arah dari proses penegaka hukum terhadap tindak pidana korupsi adalah menyelematkan kekayaan negara. Kebocoran kauangan negara tetap tinggi karena perkembangan korupsi sudah bertambah meluas, hingga sektor perpajakan dan hasil sumber daya alam.

4. Kompleksitas permasalahan korupsi. Hal ini menjadi kendala karena proses penegakan hukum tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perilaku korupsi itu cenderung ditutup-tutupi oleh komunitas yang ada di lingkungan tempat kejadian/instansi tertentu.

5. Kurangnya intensitas pengawasan fungsional. Lemahnya pengawasan fungsional dapat diketahui dari data hasil pengawasan lembaga inspektorat atau itjen yang ada di departemen dan

Page 78: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

badan pengawasan daerah belum ada melaporkan korupsi di lingkungan instansinya (IGM Nurdjana, 2000:118-121).

Proses penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi

terdapat satu kondisi bahwa semua sistem bekerja didalam ruang yang berbeda,

namun dalam satu pekerjaan utama. Hal ini dipengaruhi oleh aspek struktur,

substansi hukum dan budaya hukum. Oleh karena itu, kelemahan sistem hukum

pidana memberikan implikasi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi

yang bergerak secara sistemik, yaitu:

1. Substansi Hukum

Hal ini menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat

peraturan dan ketentuan normatif, pola, serta kehendak perilaku masyarakat

yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam substansi hukum diperlukan

harmonisasi peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi meliputi hukum formil dan hukum materiil yang

mengakomodir semua bentuk tindak pidana yang potensial delik korupsi

dalam suatu sistem hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Hal ini

dilakukan guna penerapan hukum yang efektif dalam penegakan hukum

tindak pidana korupsi.

Diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap sistem hukum

pidana yang masih dominan warisan kolonial atau reformasi terhadap sistem

hukum pidana khususnya dalam kerangka penegakan hukum tindak pidana

korupsi. Yaitu dengan sistem hukum Indonesia sesuai Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 (Ground Norm) melalui kebijakan politik hukum pada

Rancangan KUHP dan KUHAP baru yang lebih aspiratif dan anti korupsi.

2. Struktur Hukum

Hal ini dilakukan dengan reformasi birokrasi yang meliputi perbaikan

segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan

sehingga dapat meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi. Birokrasi

struktur peradilan menimbulkan mafia hukum atau mafia peradilan yang telah

menjadi polemik dalam agenda pemberantasan korupsi. Maka dari itu,

Page 79: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

perbaikan birokrasi lembaga hukum sangat mempengaruhi terhadap proses

penegakan hukum tindak pidan korupsi.

Dalam praktik sistem hukum pemberantasan korupsi di Indonesia

memiliki berbagai faktor kesulitan yang tinggi untuk diselesaikan secara

tuntas. Berbagai tekad baru ditandai niat baik para pejabat di lingkungan

lembaga pemerintahan negara yang dalam pernyataannya akan berusaha

semaksimal mungkin untuk menindak korupsi secara tegas. Semua

kemampuan bangsa mencanangkan good governance and clean government

sebagai jalan keluar dari krisis yang bebas dari korupsi.

3. Budaya Hukum

Hal ini merupakan aspek atau faktor yang melihat bagaimana

masyarakat akan selalu taat, sadar dan berpartisipasi atas pentingnya hukum

sebagai suatu pengaturan umum. Persoalan hukum adalah budaya hukum

yang berkaitan erat dengan etoka dan moral masyarakat serta para penegak

hukum dalam menyikapi tindak pidana korupsi. Rendahnya budaya hukum

inilah yang menjadi masalah dalam pembangunan hukum di Indonesia,

sehingga dapat mengganggu substansi dan struktur hukum secara

keseluruhan.

Tegaknya budaya hukum dari suatu sistem peradilan pidana,

seharusnya merupakan sistem yang saling berhubungan dan saling

mendukung dengan visi dan misi yang sama dan fokus terhadap penegakan

hukum tindak pidana korupsi sampai tuntas. Sebagai perubahan siklus budaya

hukum untuk melawan korupsi yaitu sebagai berikut:

a. Preventif.

Penegakan hukum dengan budaya preventif tidak hanya

bersangkut paut dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada atau belum

ada persangkaan telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi juga

mencegah segala kemungkinan terjadinya pencegahan dan tidak

memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi.

Page 80: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

b. Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh

penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana korupsi, termasuk

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan

tuntutan pidana. Di samping pembinaan jalinan korelasi, masih dituntut

adanya koordinasi dan deferensiasi fungsional yaitu melakukan

pengawasan yang efektif. Hal ini merupakan budaya hukum dalam

menegakkan produk politik hukum yang harus dipandang sebagai suatu

rangkaian kegiatan proses sistem hukum pidana melalui sistem peradilan

pidana dalam menanggulangi kejahatan.

c. Tindakan Kuratif

Siklus budaya dalam penegakan hukum dijelaskan bahwa

tindakan represif juga bersifat preventif yang merupakan kegiatan

penegakan hukum yang berhubungan dari sistem peradilan pidana,

sedangkan masih terdapat tindakan preventif yang seluas-luasnya yaitu

pengurusan tersangka tertentu atau terpidana lanjutan yang disebut

tindakan kuratif dalam upaya penanggulangan kejahatan secara utuh.

Page 81: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dan

pembahasan yang telah dilakukan, selanjutnya Penulis mengambil simpulan

sebagai berikut:

1. Ruang lingkup dan Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan

a. Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyuapan

Tindak pidana penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak

pidana korupsi sebagaimana telah diatur didalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Istilah suap berasal dari bahasa Belanda yaitu

oomkoping atau dalam istilah bahasa Inggris yaitu bribery yang

mempunyai arti sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang

diberikan atau diterima. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu:

1) Menerima hadiah atau janji;

2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;

3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu

sebagai berikut:

1) Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan

sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat

dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang

bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara

atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak

berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

2) Penyuap pasif, yaitu pihak yang menerima pemberian atau janji baik

berupa uang maupun barang.

b. Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan

Tindak pidana penyuapan diatur dalam Pasal-Pasal Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang

68

Page 82: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Nomor 20 Tahun 2001. Tindak pidana korupsi termasuk juga tindak

pidana suap diatur didalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,

Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13.

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi

diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Khusus

mengenai tindak pidana korupsi jenis suap-menyuap maupun

penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal

8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang pada mulanya berasal dari

ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

yang ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

2. Sistem Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana

Penyuapan yang Merupakan Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Pengertian sistem hukum pidana yaitu sistem pemidanaan dan sistem

pembaharuan hukum pidana. Secara singkat maka sistem pemidanaan dapat

diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Oleh karena itu,

sistem pemidanaan merupakan sistem penegakan hukum pidana yang

merupakan lingkup sistem hukum pidana. Sistem hukum pidana yang

mempunyai dimensi sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional

dan sudut substansial. Dari sudut fungsional terdiri dari sub sistem hukum

pidana materiil, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Oleh

karena itu, ketiga sub sistem tersebut saling berkaitan dan merupakan satu

kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana

dioperasionalkan secara konkret hanya dengan satu sub sistem saja. Analisis

dari sudut fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai

keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana

dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara

konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dari

sudut substantif diartikan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai

keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan

Page 83: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory

rules) yang ada didalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar

KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang

terdiri dari aturan umum atau general rules dan aturan khusus atau special

rules.

Sistem pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya

termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dan terkait erat dengan

law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Aspek ini dapat

diartikan bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari

memperbaharui substansi hukum (legal substance), bagian kebijakan

memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat sebagai social

defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana. Dengan demikian,

pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan atau policy oriented approach dan sekaligus

pendekatan yang berorientasi pada atau value oriented approach.

B. SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan yang telah Penulis uraikan,

maka Penulis memiliki beberapa saran yang mungkin dapat menjadi masukan dan

pertimbangan yang bermanfaat. Saran yang hendak Penulis sampaikan yaitu:

1. Bahwa Dalam hal penyuapan yang terkait dengan penegakan hukum, seorang

tersangka berupaya menyuap aparat penegak hukum agar pemeriksaan atas

kasusnya dihentikan, ataupun agar mendapat putusan yang menguntungkan

jika pun suatu kasus dibawa ke pengadilan. Upaya semacam ini membuat

para pelaku kejahatan tidak jera dan sangat memungkinkan untuk mengulangi

perbuatannya, karena dengan suap mereka tidak akan terjerat hukum. Hukum

yang seharusnya menjadi panglima, hanya dianggap rintangan kecil yang bisa

diatasi dengan suap. Maka seyogyanya kepada petinggi lembaga/institusi

hukum untuk meningkatkan pengawasan internal secara intensif terhadap

kinerja aparat penegak hukum serta pembinaan moral hukum dalam rangka

penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Page 84: KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH … · in Penal Law as well as to find out the penal law system in ... “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada ... Seluruh Pimpinan dan Staf

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

2. Bahwa pembentuk undang-undang perlu melakukan reformulasi terhadap

peraturan perundang-undangan untuk menghindari benturan interpretasi

dalam pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

3. Bahwa diperlukan adanya identifikasi dan perubahan terhadap sistem hukum

pidana yang masih dominan warisan dari kolonial Belanda atau reformasi

menjadi sistem hukum yang ideal berlandaskan sistem hukum di Indonesia

sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.