kajian kesiapan masyarakat untuk pembangunan infrastruktur pu bidang sda, jalan & jembatan dan...

45
Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman i EXECUTIVE SUMMARY TAHUN ANGGARAN 2011 KAJIAN KESIAPAN MASYARAKAT UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PU BIDANG SDA, JALAN DAN JEMBATAN, DAN PERMUKIMAN

Upload: nashril-abdillah

Post on 02-Jan-2016

386 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

i

EXECUTIVE SUMMARY

TAHUN ANGGARAN 2011

KAJIAN KESIAPAN MASYARAKAT UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PU BIDANG SDA, JALAN DAN JEMBATAN,

DAN PERMUKIMAN

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

ii

KATA PENGANTAR

uji syukur selalu dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga penyusunan

Executive Summary “Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur

PU Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman” Tahun Anggaran 2011 ini telah

diselesaikan dengan baik.

Saat ini, berbagai aspek dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur, baik dari

aspek sosial, ekonomi, serta lingkungan (sosekling) semakin mendapat perhatian dari

seluruh pihak; tak terkecuali Indonesia. Sebagai salah satu negara berkembang,

penyediaan infrastruktur merupakan suatu hal yang mutlak guna mewujudkan

pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing di kancah persaingan global.

Pembangunan infrastruktur PU bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman yang

berperan sebagai faktor penentu ketahanan pangan, penghubung simpul-simpul

perekonomian antarwilayah, serta prasyarat terwujudnya kualitas hidup warga pun

demikian.

Di tengah-tengah derasnya tantangan regional dan global, kondisi, kualitas, kuantitas, dan

manfaat infrastruktur PU tersebut masih harus diupayakan lebih optimal lagi. Masyarakat

sebagai salah satu key success factor pembangunan infrastruktur juga harus

dipersiapkan agar permasalahan-permasalahan terkait aspek sosekling masyarakat yang

tengah menghadang dapat teratasi. Oleh karena itu, laporan ini disusun untuk

mengilustrasikan hasil temuan lapangan berupa tingkat kesiapan masyarakat, faktor

penyebab belum siapnya masyarakat, faktor pendorong dan penghambat pembangunan

infrastruktur, potensi sosekling masyarakat yang dapat dioptimalkan, serta strategi

menyiapkan masyarakat untuk mendukung pembangunan infrastruktur PU.

Dalam penyusunan Executive Summary ini, kami menyadari masih terdapat kekurangan

dan perlu penyempurnaan. Untuk itu diharapkan masukan positif yang konstruktif guna

perbaikan laporan selanjutnya.Terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian,

masukan serta dukungan semua pihak yang telah diberikan dalam penyusunan laporan

ini.

Jakarta, September 2011

Tim Penyusun

P

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

1

I. PENDAHULUAN

engalaman dunia internasional menunjukkan bahwa ketika suatu negara

terkena krisis ekonomi maka alokasi untuk infrastruktur merupakan hal pertama

yang dikorbankan, sebagaimana diajukan oleh World Bank (1994). Pembangunan

infrastruktur merupakan salah satu prasyarat utama yang harus dipenuhi sebuah

negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia. Berbagai studi

menunjukkan bahwa dengan dipacunya pembangunan infrastruktur, maka akan

berdampak positif pada geliat ekonomi (World Bank, 1994; Kim, 2006; Tambunan,

2006). Selain itu keberadaan infrastruktur juga akan mendorong terciptanya

peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila

mengabaikannya akan menurunkan produktivitasnya. Berbagai studi menunjukkan

bahwa ketersediaan infrastruktur memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan

produk domestik bruto (PDB). Elastisitas1 PDB terhadap infrastruktur di berbagai

negara bervariasi antara 0,007 sampai 0,44 (World Bank, 1994:10)

Sebagai salah satu infrastruktur yang memegang peranan penting dalam

mendukung urat nadi perekonomian nasional, ketahanan pangan, dan kualitas

hidup warganya, pembangunan bidang pekerjaan umum (PU) kerap dibarengi

munculnya masalah-masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan (sosekling) yang

berpotensi menghambat pencapaian sasaran pembangunan. Permasalahan yang

sering ditemui pada pembangunan ketiga sektor tersebut antara lain berlarutnya

proses pembebasan lahan dalam pembangunan jalan tol yang ditengarai karena

ulah para spekulan (www.tribunnews.com, 1 Agustus 2010), rendahnya efisiensi

jaringan irigasi yang hanya sekitar 40% (Yakup dan Nursyirwan, 1997 dalam

Sutawan, 2001), serta belum optimalnya penanganan kawasan kumuh perkotaan

karena berbagai faktor pendorong, termasuk kondisi sosekling masyarakat (Basri,

et.al, 2010).

Oleh karena itu guna menjamin keberlanjutan infrastruktur yang telah dan akan

dibangun, maka kesiapan kondisi sosekling masyarakat harus diwujudkan terlebih

dahulu pada setiap tahapan pembangunannya. Hal ini dimaksudkan agar

infrastruktur dapat memberikan manfaat (benefit) yang optimal bagi masyarakat

sebagai end user. Untuk itu pada tahun anggaran 2011 ini, Pusat Litbang Sosekling,

Badan Litbang Kementerian PU melakukan kajian kebijakan untuk menyiapkan

masyarakat agar pencapaian sasaran pembangunan infrastruktur PU tidak

terhambat oleh masalah-masalah sosial, ekonomi dan lingkungan.

Telah dirumuskan 4 (empat) pertanyaan penelitian guna memandu jalannya

penelitian agar sesuai dengan tujuan serta dapat memberikan manfaat, khususnya

bagi Direktorat Jenderal Bina Marga, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Direktorat

Jenderal SDA, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Perumahan Rakyat,

serta stakeholders lain yang terkait dalam pengembangan jaringan irigasi,

pembangunan jalan tol, dan penataan kawasan kumuh perkotaan melalui

pembangunan rumah susun:

1Yaitu perubahan presentase pertumbuhan PDB perkapita sebagai akibat naiknya satu persen ketersediaan

infrastruktur.

P

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

2

1) Apa persepsi masyarakat terhadap keberadaan infrastruktur PU?

2) Bagaimana kondisi sosekling masyarakat sebelum dan sesudah infrastruktur

PU dibangun?

3) Faktor-faktor sosekling apa yang menyebabkan belum siapnya masyarakat

untuk mendukung pembangunan infrastruktur PU?

4) Strategi apa yang harus ditempuh untuk mengkondisikan masyarakat agar

dapat mendukung pembangunan infrastruktur PU?

II. PERMASALAHAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PU

esuai dengan tugas dan fungsi Kementerian PU, infrastruktur dalam lingkup PU

meliputi infrastruktur jalan dan jembatan, sebagai prasarana distribusi lalu-lintas

barang dan manusia maupun sebagai prasarana pembentuk struktur ruang wilayah.

Infrastruktur SDA, sebagai prasarana untuk mendukung penyimpanan dan

pendistribusian air maupunprasarana untuk pengendalian daya rusak air,

Infrastruktur permukiman pada kawasan perkotaan dan perdesaan, sebagai

pendukung kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mencakup

pelayanan transportasi lokal, pelayanan air minum dan sanitasi lingkungan,

termasuk penanganan persampahan, penyediaan drainase untuk mengatasi

genangan dan pengendalian banjir, penanganan air limbah domestik, serta

penataan ruang dalam menata struktur dan pemanfaatan serta pengendalian tata

ruang wialayah nasional.

Pembangunan infrastruktur mempunyai peran vital dalam mewujudkan pemenuhan

hak dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, rasa aman, pendidikan,

kesehatan dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa infrastruktur

merupakan modal esensial masyarakat yang memegang peranan penting dalam

mendukung ekonomi, sosial-budaya, serta kesatuan dan persatuan yang mengikat

dan menghubungkan antar daerah yang ada di Indonesia.

Infrastruktur, yang sering disebut pula prasarana dan sarana fisik, di samping

memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan kesejahteraan sosial dan kualitas

lingkungan juga terhadap proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau region.

Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan indikasi bahwa wilayah yang memiliki

kelengkapan sistem infrastruktur yang berfungsi lebih baik dibandingkan dengan

wilayah lainnya mempunyai tingkat kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan

serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula. Sebaliknya, keberadaan

infrastruktur yang kurang berfungsi dengan baik mengakibatkan permasalahan

sosial dan lingkungan; mulai dari penolakan masyarakat, pemanfaatan infrastruktur

yang tidak optimal bahkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Hal ini

ditengarai karena aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan belum dipertimbangkan

dengan baik pada setiap tahapan pembangunan, yaitu padatahapperencanaan,

perancangan, konstruksi, operasi, danpemeliharaan.

Dalam konteks ekonomi, infrastruktur merupakan modal sosial masyarakat (social

overhead capital) yaitu barang-barang modal esensial sebagai tempat bergantung

bagi perkembangan ekonomi.dan merupakan prasyarat agar berbagai aktivitas

S

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

3

masyarakat dapat berlangsung. Dengan kata lain, infrastruktur merupakan

katalisator di antara proses produksi, pasar dan konsumsi akhir. Keberadaan

infrastruktur memberikan gambaran tentang kemampuan berproduksi masyarakat

dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi

yang tinggi tidak mungkin dicapai apabila tidak ada ketersediaan infrastruktur yang

memadai atau dengan kata lain infrastruktur adalah basic determinant atau kunci

bagi perkembangan ekonomi.

Secara tidak langsung, pembangunan infrastruktur PU dan permukiman akan

mendukung produktivitas sektor ekonomi lainnya sehingga mendorong

pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kondisi sosial-budaya kehidupan

masyarakat melalui efek berganda. Sedangkan secara langsung terkait sektor

konstruksi, infrastruktur PU juga akan menciptakan kesempatan kerja dan usaha.

Oleh karena itu, keberadaan infrastruktur yang baik akan dapat mendorong

terciptanya stabilitas berbagai aspek dalam masyarakat guna menunjang laju

pembangunan nasional.

Dalam rangka memperlancar penyediaan infrastruktur tersebut, sebagaimana

disebutkan di atas, maka munculnya pelbagai persoalan penolakan dan belum

siapnya masyarakat dalam menerima serta memanfaatkan infrastruktur harus

diantisipasi pemerintah dengan baik. Untuk itulah mengapa kajian ini diperlukan.

III. KESIAPAN DAN KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT DALAM

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

eskipun telah banyak peneliti yang mengulas teori “kesiapan masyarakat”

(Rogers, 1983; Chavis & Wandersman, 1990; Florin, Giamartino, Kenny, &

Wandersman, 1990 dalam Edwards, R.W. et.al, 2000), hanya Mary Ann Pentz,

seorang peneliti Midwest Prevention Project yang berhasil mendapat penghargaan

dari kalangan ilmuwan ketika mempresentasikan konsep "community readiness"

pada Kentucky Conference for Prevention Research tahun 1991. Dalam

makalahnya, ia menegaskan bahwa jika masyarakat belum siap, maka

program/proyek pembangunan akan terhambat. Dan jika program/proyek tersebut

diteruskan, cenderung akan berakibat pada kegagalan (failure) di kemudian hari.

Sebaliknya jika kesiapan masyarakat sebagai salah satu faktor penentu

keberhasilan program/proyek dapat terwujud, maka efektifitas dan manfaat

program/proyek juga dapat dicapai. Namun mengingat kesiapan masyarakat

bukanlah sesuatu hal yang instan, maka perlu ada pentahapan kesiapan.

Sebagaimana dirumuskan oleh Edwards, R.W. et.al (2000), model Kesiapan

Masyarakat (Community Readiness Model) dibuat untuk melihat respon masyarakat

atas intervensi kebijakan/program/proyek. Pada awalnya, model tersebut

memasukkan 5 (lima) dimensi kesiapan masyarakat, yakni: (a) Upaya antisipatif

melalui kebijakan; (b) Pengetahuan masyarakat terhadap kebijakan; (c)

Kepemimpinan; (d) Pemahaman akan masalah; dan (e) Pembiayaan untuk upaya

antisipatif (berupa uang, waktu, lahan, dll.) hingga kemudian berkembang menjadi 9

(sembilan) tahapan.

M

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

4

Namun, untuk mempermudah pengklasifikasian kesiapan masyarakat, konsep yang

diajukan oleh Mary Ann tersebut disimplifikasi menjadi 3 (tiga) tingkatan (lihat Tabel

2), yaitu: Belum Siap (tiadanya community awareness sekaligus belum memadainya

informasi proyek), Dukungan Kolektif (mulai disadarinya peran kolektivitas,

leadership, forum komunitas, serta kearifan lokal, namun channel-channel

komunikasi dan network masih belum dioptimalkan untuk mendukung

pembangunan), hingga Proaktif (dimana masyarakat bersama pengelola proyek

mengevaluasi dan memodifikasi kegiatan pembangunan demi efektivitas program

selanjutnya). Setiap tingkatan memiliki strategi/pendekatan penanganan yang

berbeda, mulai dari: pendekatan personal yang cukup intensif, memanfaatkan

media informasi lokal untuk advokasi sekaligus menyampaikan informasi

pembangunan, mengoptimalkan sumberdaya lokal (baik dari sisi kelembagaan,

tokoh, media, dsb) dalam rangka menjembatani pihak pemerintah sebagai owner

dan masyarakat sebagai user, dan lain-lain.

Penilaian tahap kesiapan dicapai dengan mewawancarai informan kunci, dengan

pertanyaan-pertanyaan di enam dimensi yang berbeda terkait dengan kesiapan

masyarakat dalam mengatasi isu tertentu. Berdasarkan pengalaman, diperlukan

pengembangan implementasi disetiap tahapan kesiapan masyarakat. Sekali

masyarakat bisa menerima, maka selanjutnya masyarakat dapat dilatih

menggunakan model kesiapan masyarakat.

Gambar 1. Tingkat Kesiapan Masyarakat dalam Pembangunan

Selain mengetahui tingkatan kesiapan masyarakat, sangat penting pula untuk

mengidentifikasi praktik-praktik atau bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan

masyarakat sebagai respon mereka atas pembangunan yang akan/sedang/telah

berjalan. Menurut Armittage & Plummer (2007), kapasitas adaptasi (adaptive

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

5

capacity)2 merupakan “the ability of a social-ecological system (or the components

of that system) to be robust to disturbance and capable of responding to change”.

Dalam artikel lain, Armittage (2005) juga menggarisbawahi bahwa yang dimaksud

kapasitas adaptasi mencakup kemampuan kolektif masyarakat untuk belajar,

bereksperimen, serta mengupayakan solusi yang inovatif dalam situasi

sosial/lingkungan yang cukup kompleks. Lebih jauh lagi, dijelaskan bahwa meskipun

respon masyarakat atau kelompok komunitas terhadap perubahan kondisi sosial,

ekonomi, dan lingkungan (sosekling) sangat beragam, baik berupa dukungan atau

penolakan, namun sesungguhnya kapasitas adaptif masyarakat sangat dipengaruhi

oleh seberapa besar pembangunan infrastruktur memberikan manfaat kepada

mereka.

Cita-cita ultimit dari kedua konsep tersebut sebenarnya tidak hanya pada

bagaimana melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan kesiapan masyarakat

dalam pembangunan semata, namun juga bagaimana agar tercipta

masyarakat/kelompok komunitas yang inovatif sehingga mampu merespon

pembangunan secara berkelanjutan3.

IV. LOKASI DAN METODE PENELITIAN

okasi penelitian untuk kasus bidang SDA adalah rencana modernisasi irigasi DI

Barugbug. DI ini melintasi 2 (dua) kabupaten, yaitu Subang dan Karawang. Di

Kab. Subangterdiri dari 2 (dua) kecamatan, yaitu Patokbeusi (Desa Tanjung Rasa

Kidul, Resakkalor, Ciberes, Jatiragas Hilir) dan Pabuaran (Desa Pabuaran).

Sedangkan Kab. Karawang mencakup Kecamatan Jatisari (Desa Situdam, Jatisari,

Cirejak, Cikalong Sari, Barugbug).Dari bidang Jalan dan Jembatan, yang menjadi

kasus adalah pembebasan lahan pembangunan jalan tol Trans Jawa ruas

Mojokerto – Kertosono yang berada di wilayah kabupaten Jombang. Beberapa

kecamatan yang menjadi objek adalah Tembelang, Jombang dan Megaluh (meliputi

desa Kayen, Pucangsimo, Banjarsari, Sumberjo, Banjardowo, Plosogeneng,

Mojokerapak, Pesantren, Tapingmojo, dan Sidomulyo). Sedangkan untuk kasus

bidang Permukiman, kawasan rusunawa yang dianalisis adalah rusunawayang

terletak di kota Surabaya; mencakup 2 (dua) kecamatan yaitu Kenjeran (kelurahan

Randu Sidotopo, Wonorejo) dan Rungkut (kelurahan Penjaringan Sari).

Untuk mengukur kesiapan masyarakat dalam pembangunan infrastruktur PU,

idealnya pendekatan yang digunakan adalah kombinasi antara kuantitatif dan

kualitatif, atau biasa dikenal dengan mix method. Kelebihan dari pendekatan ini

2 Mengingat begitu banyaknya scholars yang mendiskusikan konsep adaptive capacity, selain makalah yang

disampaikan oleh Armittage & Plummer (2007), dalam buku ini juga akan digunakan konsep adaptive capacity yang digagas oleh Smit & Wandel (2006) dimana faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas adaptif dipengaruhi oleh kemampuan manajerial, akses ke sumber pendanaan, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, kondisi infrastruktur, serta kelembagaan. 3 Dalam artikel mereka, Warburton & Yoshimura (2005) dalam Velasquez, et.al. (ed, 2005) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan inovasi yang mengharuskan institusi, organisasi pemerintah, dan individu untuk berubah serta menghentikan pola pembangunan yang masih menganut prinsip “business as usual”.

L

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

6

adalah selain mampu mendapatkan potret secara umum mengenai kondisi

sosekling penduduk, persepsi dan kesiapan masyarakat sekaligus peran,

wewenang, dan tanggungjawab stakeholder dalam pembangunan, mix method juga

dapat mengeksplorasi secara mendalam mengenai ide/gagasan, potensi

permasalahan, sekaligus kendala yang dialami berbagai pihak dalam menciptakan

keberlanjutan pembangunan infrastruktur. Pendekatan kuantitatif dilakukan dalam

rangka menganalisis data-data sekunder yang didapat dari Potensi Desa,

sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis data primer.

Mengingat dalam kajian ini Tim Peneliti tidak memiliki kontrol terhadap objek kajian

(yang juga tergolong fenomena kontemporer/terkini), maka strategi yang diambil

adalah studi kasus4 (case study research - CSR). Secara umum studi kasus lebih

cocok apabila pokok masalah dengan pertanyaan “what” (apa), “how”

(bagaimana),“why” (mengapa), atas fenomena kontemporer dalam konteks

kehidupan nyata. Beberapa scholars mendefinisikan CSR sebagai pendekatan

empiris yang mengeksplorasi fenomena kontemporer atau setting (Groat & Wang,

2002; Yin, 2003:13). Strategi ini juga hendak mengeksplorasi kasus (atau beberapa

kasus) secara mendalam (Creswell, 1988:61). Sebagai hasilnya, akan diperoleh

pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi

dasar bagi riset atau implementasi kebijakan (dalam kasus penelitian ini)

selanjutnya.

Data yang diperlukan diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu data sekunder dan primer.

Data sekunder yang dianalisis untuk kasus SDA mencakup: kondisi sosial ekonomi,

luas sawah berdasarkan sumber pengairannya, keberadaan kelompok tani/KUD,

keberadaan kredit yang mendukung aktivitas petani. Informasi tentang aspek-aspek

tersebut dianggap relevan untuk analisis tentang kesiapan masyarakat dalam

rencana modernisasi irigasi karena perubahan debit air yang terjadi akibat

perubahan kondisi lingkungan memerlukan adaptasi, baik dari pemegang kebijakan

maupun dari petani pemakai air. Dari sisi supply diperlukan adanya penerapan

teknologi yang memungkinkan penggunaan air secara optimal. Di sisi petani,

diperlukan pola pertanian yang sesuai dengan supply air yang disediakan.

Keberadaan kelompok tani memudahkan pengaturan pemerintah terhadap petani.

Ketersediaan saprodi memberi kesempatan rekayasa pertanian dengan teknologi

dan metode baru, dan ketersediaan kredit usaha memberi kesempatan modernisasi

pertanian. Sedangkan data primer dikumpulkan melalui wawancara dan FGD

dengan ketua P3A, kepala desa di DI Barugbug, serta para pakar/praktisi/akademisi

yang menggeluti bidang irigasi.

Untuk kasus jalan dan jembatan, adapun data yang dianalisis antara lain tingkat

aksesibilitas, kesejahteraan dan fasilitas sosial. Dalam kajian ini diasumsikan bahwa

jaringan jalan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap masyarakat

tergantung dari fungsi jalan yang dimiliki. Jalan arteri primer yang memiliki

karakteristik pergerakan jarak jauh dengan kecepatan tinggi, mungkin tidak

berdampak positif pada masyarakat yang dilewati karena tingginya gangguan yang

diberikan baik dari aspek keselamatan, kesehatan dan kemudahan aksesibilitas ke

sisi lain dari wilayah. Semakin tinggi manfaat yang diberikan, maka masyarakat

akan semakin mudah menerima pembangunan ruas jalan di wilayahnya. Akses

4Studi kasus merupakan salah satu dari 5 (lima) strategi utama penelitian dalam ilmu sosial, yaitu

eksperimen, survey, analisis arsip, historis, serta studi kasus.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

7

yang baik pada fasilitas-fasilitas sosial (pendidikan, kesehatan, keagamaan) di

suatu wilayah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kenyaman tempat

tinggal di wilayah tersebut. Sedangkan data primer dikumpulkan melalui wawancara

dengan Tim P2T, beberapa warga yang terkena proyek (WTP) dari desa Kayen,

Pucangsimo, Banjardowo, Tapingmojo, dan Sidomulyo, LSM pendamping

masyarakat WTP, serta para pakar/praktisi/akademisi yang menggeluti bidang

sosial ekonomi kemasyarakatan.

Untuk kasus permukiman, indikator-indikator yang digunakan adalah kondisi

lingkungan dan perumahan, kondisi fasilitas umum dan kesejahteraan masyarakat.

Kondisi lingkungan masyarakat yang kumuh dan tidak layak ditinggali membutuhkan

penanganan yang memadai, salah satunya adalah dengan membangun rumah

susun sederhana sewa (rusunawa). Untuk itu perlu dipetakan kondisi wilayah yang

terdapat rumah kumuh, perumahan di bantaran sungai, perumahan yang memiliki

fasilitas hidup yang tidak memadai serta permukiman padat penduduk sebagai

indikasi perlunya dibangun perumahan. Sedangkan data primer dikumpulkan

melalui wawancara dan FGD dengan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah

Pemkot Surabaya, Bappeko Surabaya, UPTD Pengelola dan penghuni Rusunawa

Penjaringansari, Randu Sidotopo, dan Wonorejo, serta para

pakar/praktisi/akademisi yang menggeluti bidang sosial ekonomi permukiman.

Tabel 1. Variabel dan Indikator Kesiapan Masyarakat

No Variabel Indikator Jenis dan

Sumber Data

1 Aspek Wilayah/ Lingkungan

Fisik

Karakteristik modernitas

wilayah

Data sekunder,

BPS

Potensi utama wilayah

Kondisi tata guna lahan dan

luas lahan sawah

Laju konversi lahan pertanian

ke non pertanian

Tingkat pencemaran air tanah

Kualitas lingkungan permukiman

2 Potret sosial ekonomi wilayah Jumlah keluarga petani

Jumlah buruh tani

Keberadaan kelompok tani,

organisasi pendukung

pertanian dan fasilitasi

pengembangan pertanian

Tingkat kesejahteraan masy.

3 Kesiapan individu Persepsi Data primer,

wawancara/FGD Knowledge

Motivasi

4 Kesiapan/dukungan kolektif

kelompok komunitas

Kearifan lokal

Sumberdaya

Community action plan

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

8

No Variabel Indikator Jenis dan

Sumber Data

Leadership

Forum komunitas

5 Kesiapan/dukungan

kelembagaan/delivery system

Network

Ketersediaan informasi

Channel komunikasi

Kesepakatan program dan

dukungan kebijakan

Manfaat

Tabel 2. Penentuan Tingkat Kesiapan Masyarakat

Variabel Indikator

Tingkat kesiapan masyarakat

Belum Siap

(No

Awareness)

Dukungan

Kolektif

(Collective

Suppport)

Proaktif

(Proactive)

(1) (2) (3) (4) (5)

Kesiapan individu Persepsi ---- ++++ ++++

Knowledge ---- ++++ ++++

Motivasi ---- ++++ ++++

Kesiapan/dukungan

kolektif kelompok

komunitas

Kearifan lokal ---- ++++ ++++

Sumberdaya ---- ++++ ++++

Community

action plan

---- ++++ ++++

Leadership ---- ++++ ++++

Forum

komunitas

---- ++++ ++++

Kesiapan/dukungan

kelembagaan/delivery

system

Network ---- ---- ++++

Ketersediaan

informasi

---- ---- ++++

Channel

komunikasi

--- ---- ++++

Kesepakatan

program dan

dukungan

kebijakan

---- ---- ++++

Manfaat ---- ---- ++++

Diadopsi dari Pentz (1991) dalam Edwards, R.W., et.al. (2000)

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

9

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Modernisasi Irigasi: Aspek Fisik, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

engambil contoh kasus penelitian yang dilakukan pada bidang SDA ini, maka

kesiapan petani dalam program tersebut sangatlah penting. Program ini

merupakan salah satu dari sekian banyak program strategis Ditjen SDA yang

bertujuan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Sebagaimana

disampaikan Menteri PU pada Rapat dengan Presiden dan para gubernur tanggal 5

Agustus 2010 bahwa dari sekian banyak isu dan permasalahan bidang irigasi

seperti: ancaman alih fungsi lahan, rendahnya efisiensi pemanfaatan air irigasi,

tingginya kehilangan air irigasi, serta degradasi fungsi sarana dan prasarana irigasi,

modernisasi melalui rekonstruksi dan perbaikan pengelolaan irigasi dapat

mengoptimalkan kembali fungsi daerah-daerah irigasi yang telah dibangun.

Untuk itu, satu prinsip yang harus dipahami terlebih dahulu adalah bagaimana

membedakan pengertian “modernisasi”, “rehabilitasi”, “peningkatan jaringan irigasi”,

berikut definisi serta lingkup operasionalnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi

kebingungan, baik dari sisi pelaksana/inisiator program, maupun petani sebagai

pemanfaat. Jika terjadi perbedaan persepsi dan pemahaman, dikhawatirkan akan

berdampak pada kurang-siapnya pelaksana dan pemanfaat program dalam

mengimplementasikan modernisasi.

Tabel 3. Perbedaan Istilah dan Lingkup Modernisasi, Rehabilitasi, serta

Peningkatan Jaringan Irigasi

Istilah Definisi dan Lingkup

Modernisasi

jaringan irigasi

Dari definisi yang dikeluarkan oleh FAO (1997), diperoleh bahwa

kata kunci dari “modernisasi” adalah peningkatan kapasitas teknis,

manajerial serta reformasi kelembagaan guna meningkatkan

efektivitas penggunaan sumberdaya (SDM, air, ekonomi, dan

lingkungan) serta alokasi air ke lahan/petak sawah.

Rehabilitasi

jaringan irigasi

Kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan fungsi

dan pelayanan irigasi seperti semula

Kewenangan rehabilitasi jaringan primer dan sekunder pada

pemprov dan pemkab. P3A dapat berperan serta sesuai

kemampuannya

Rehabilitasi jaringan tersier menjadi hak dan tanggungjawab P3A

Prioritasi kebutuhan rehabilitasi didasarkan pada tingkat

kerusakan, luas pelayanan yang terpengaruh, keterbatasan

pembiayaan, serta besarnya dampak yang timbul akibat

penundaan perbaikan. Data diperoleh dari penelusuran jaringan.

Peningkatan

jaringan irigasi

Meningkatkan fungsi dan kondisi jaringan irigasi yangsudah ada

atau kegiatan menambah luas areal pelayananpada jaringan irigasi

yang sudah ada denganmempertimbangkan perubahan kondisi

lingkungan daerahirigasi.

P3A bertanggungjawab melakukan peningkatan jaringan irigasi

M

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

10

Istilah Definisi dan Lingkup

tersier.

Tujuan: memperluas areal pelayanan, meningkatkan kapasitas

saluran atau meningkatkan sistem irigasi, antara lain dari sistem

irigasi sederhana ke semi-teknis, dari sistem irigasi semi-teknis ke

teknis, dan dari sistem irigasi sederhana ke teknis, misalnya

dengan cara penggantian pintu dan pembuatan linning saluran.

Peningkatan jaringan irigasi dapat dilaksanakan secara parsial dan

bertahap sesuai dengan kebutuhan

Desain harus mencakup pedoman OP jaringan irigasi

Keberlanjutan

sistem irigasi

Keandalan (supply dan alokasi) air, melalui pembangunan waduk,

bendungan, dll

Keandalan prasarana, melalui peningkatan dan pengelolaan

jaringan irigasi (OP dan rehabilitasi)

Peningkatan pendapatan petani, melalui diversifikasi dan

modernisasi usaha tani

Sumber: FAO (1997), PP No. 20 tahun 2006

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa istilah “modernisasi” memegang hirarki

tertinggi. Karena upaya perbaikan tidak hanya sebatas pada prasarana/infrastruktur

fisik semata, tetapi juga upaya-upaya meningkatkan keandalan penyediaan air,

termasuk institusi pengelola dan SDM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesiapan petani dalam menerima

rencana program ini berada pada tingkat “Belum Siap” (No Awareness). Beberapa

argumen yang mendasarinya antara lain: secara sosial, masyarakat petani baik

secara individu maupun secara kolektif masih mempersepsikan modernisasi hanya

layaknya kegiatan fisik rehabilitasi atau peningkatan jaringan semata. Padahal

menurut FAO (1997), tujuan utama dilakukannya modernisasi irigasi adalah

mengoptimalkan penggunaan sumberdaya (yang terdiri dari SDM, air, ekonomi,

serta lingkungan) untuk meningkatkan manfaat sosial ekonomi, baik bagi pemakai

air maupun wilayah/daerah irigasi yang bersangkutan secara luas.

Disamping itu secara ekonomi, peran KUD sebagai salah satu penggerak ekonomi

lokal ternyata sudah lama ditinggalkan. Petani lebih mempercayakan tengkulak

sebagai tempat menjual hasil produksi mereka karena banyaknya fasilitas yang

dimiliki tengkulak, dan tidak dimiliki oleh KUD. Sedangkan dari perspektif

lingkungan, masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan

menyebabkan masih banyak warga membuang sampah di saluran irigasi

khususnya yang tinggal di bantaran saluran irigasi. Contohnya di Desa Tanjung

Resak Kidul dan Desa Cikalong Sari. Hal ini didukung dengan tidak adanya

peraturan desa tentang larangan membuang sampah, tidak adanya sanksi bagi

masyarakat yang membuang sampah sembarangan meskipun sudah terdapat

fasilitas pembuangan sampah.

Untuk itu, guna terwujudnya sasaran outcome modernisasi irigasi bagi petani lokal

khususnya, hingga produktivitas hasil pertanian secara regional/nasional, maka

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

11

perlu disiapkan sejumlah strategi untuk meningkatkan kesiapan petani (termasuk

kelembagaan pengelola program). Tidak hanya modernisasi infrastruktur fisik

semata yang menjadi isu sentral modernisasi DI Barugbug, tetapi juga bagaimana

memodernisasi infrastruktur sosial (persepsi, pemahaman, serta kapasitas petani

dan kelembagaannya), infrastruktur ekonomi (reaktivasi fungsi dan peran KUD

dalam pengembangan ekonomi lokal), serta infrastruktur lingkungan (upaya

mengatasi permasalahan sampah dan limbah).

Gambar 2. Modernisasi Infrastruktur Fisik, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Strategi yang dirumuskan harus mempertimbangkan kondisi internal (strength and

weakness) serta eksternal (opportunity and threat). Pengambil kebijakan dapat

menentukan prioritas pada aspek mana yang akan dibenahi, namun biasanya

mereka berfokus pada kondisi internal terlebih dahulu (Houben, et.al, 1999:126).

Berdasarkan tinjauan permasalahan dan hasil analisis, maka diperoleh poin penting

bahwa untuk merumuskan strategi peningkatan kesiapan dan kapasitas adaptasi

masyarakat dalam rencana modernisasi irigasi harus mempertimbangkan kondisi

internal dan eksternal tersebut (SWOT). Untuk visualisasi dalam matriks, deskripsi

akan diberikan menurut lingkup petani – kelompok tani – stakeholder sebagai

berikut:

Infrastruktur Lingkungan

Infrastruktur Fisik

Infrastruktur Ekonomi

Infrastruktur Sosial

Jaringan Irigasi

Perkuatan kapasitas P3A

MCK dan TPS

Reaktivasi KUD

MODERNISASI IRIGASI

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

12

Tabel 5. Matriks SWOT

Fakto

r In

tern

al

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)

Potensi wilayah masih didominasi

sektor pertanian. Mata

pencaharian mayoritas penduduk

juga bertani. Perlu ditunjang

dengan prasarana irigasi yang

memadai

Petani dan kelompok P3A

merasa siap menerima

modernisasi. Semangat ini harus

disikapi dengan langkah yang

sesuai oleh para stakeholder.

Petani dan kelompok P3A sudah

mengerti jalur komunikasi yang

harus dilalui jika terjadi kerusakan

jaringan

Petani masih mempersepsikan

modernisasi sebagai peningkatan

jaringan semata

Masih banyak warga yang belum

menghargai keberadaan air dengan

membuang sampah dan kotoran di

sungai/saluran irigasi

Jalur komunikasi untuk menyampaikan

keluhan perbaikan jaringan masih belum

optimal, khususnya dari mantri pengairan

ke pemda

Jumlah prosentase buruh tani masih

tergolong banyak pada ketiga kecamatan

(64,8% di Kec. Pabuaran, 43,0% di Kec.

Patokbeusi, dan 47,9% di Kec. Jatisari)

Belum nampak upaya nyata dari pemda

dalam rangka berkontribusi pada program

ini

Fakto

r E

kste

rnal

Peluang (Opportunities) Ancaman (Threats)

Semangat petani dapat

ditindaklanjuti dengan

peningkatan kapasitas OP

Petani masih berharap KUD

dapat dihidupkan kembali

Mengingat ini adalah program

strategis yang bersifat multiyears,

maka dapat dicari peluang

pembiayaan OP yang inovatif

Hanya ada 2 (dua) Kredit Usaha Kecil

dan Kredit Ketahanan Pangan di 2 (dua)

desa (Pabuaran dan Rancabango).

Selain itu keberadaan tengkulak masih

mendominasi struktur ekonomi

perdesaan (dikarenakan banyaknya nilai

tambah yang ditawarkan tengkulak)

Besarnya skala dan lingkup program

berisiko menemui kegagalan jika tidak

dipersiapkan dengan matang

Menjamurnya keberadaan pabrik/industri

di wilayah DI Barugbug berpotensi

mencemari sumber air irigasi

Dari matriks SWOT tersebut, maka dapat dirumuskan strategi berikut sebagai

bahan rumusan pembuatan alternatif kebijakan untuk meningkatkan kesiapan

masyarakat petani dan kelembagaannya dalam rencana modernisasi irigasi.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

13

Tabel 6. Alternatif Strategi

Weaknesses Strengths O

pp

ort

un

itie

s

Strategies that minimize

weaknesses by taking advantage of

opportunities

Sosialisasi yang lebih efektif guna

memberikan pemahaman kepada

petani dan P3A mengenai esensi dan

tanggungjawab yang harus dilakukan

dalam rangka modernisasi irigasi

Sosialisasi tidak hanya dilakukan dalam

aspek infrastruktur semata, tetapi juga

bagaimana menyadarkan masyarakat

untuk menjaga kualitas dan kuantitas

sumber air

Penguatan kapasitas pemda dalam

melakukan fasilitasi rencana

modernisasi (di berbagai lini; sosial,

ekonomi, dan lingkungan)

Pemetaan/identifikasi kondisi dan

potensi buruh tani

Pelibatan buruh tani dalam program-

program pengembangan ekonomi lokal

Pengembangan peluang dan inovasi

pembiayaan OP

Pemberdayaan/peningkatan partisipasi

pemda dan masyarakat dalam

pembiayaan OP

Strategies that use

strengths to maximize opportunities

Eksplorasi dan optimalisasi potensi

sosekling kabupaten dalam rangka

menunjang sektor pertanian dan

pengembangan ekonomi wilayah

Pemberdayaan petani dan

kelompok P3A dalam OP jaringan

pascamodernisasi

Pemberdayaan dan peningkatan

komitmen stakeholder daerah

melalui fasilitasi serta pemberian

kemudahan akses sumberdaya

khususnya terkait pertanian baik

dari pemprov maupun pusat

Peningkatan kapasitas

(manajemen keuangan/kredit)

kelompok P3A untuk turut serta

dalam reaktivasi KUD

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

14

Th

reats

Strategies that minimize weaknesses

and avoid threats

Sosialisasi penghematan air

Optimalisasi kinerja pemerintah

kabupaten sebagai pihak yang

langsung bersentuhan dengan

masyarakat

Peningkatan kapasitas dan kinerja

aparat desa dan mantri sebagai

fasilitator antara petani dengan pemda

Percepatan reformasi kebijakan dalam

bidang SDA pada berbagai level

pemerintahan, khususnya daerah

Pembuatan peraturan daerah (perda)

yang mengatur jumlah industri di

sepanjang sungai

Pemberlakukan sanksi yang tegas

(disinsentif) bagi industri/pabrik yang

mencemari lingkungan/perairan

Penggalakan sekaligus peningkatan

kinerja KUD di desa-desa lain

Pemberian insentif bagi petani/P3A

yang menjadi anggota KUD

Fasilitasi pendirian KUD melalui

berbagai bentuk kemudahan/insentif,

misal: kemudahan pencatatan akta

notaris, bantuan permodalan,

penyediaan lumbung dan peralatan,

dsb.

Strategies that use

strengths to minimize threats

Kerjasama dengan kabupaten lain

untuk mendirikan kawasan industri

terpadu (industrial cluster) namun

terlebih dahulu disiapkan

perangkat peraturannya seperti

MoU, peraturan bersama/pergub,

komitmen antara pemkab dengan

swasta/industri, dsb.

Pemberdayaan dan pemberian

akses (pengaduan) petani,

kelompok P3A, serta aparat desa

untuk mampu menolak keberadaan

pabrik yang mencemari

sungai/sumber air irigasi

Reformasi birokrasi dan

peningkatan investasi, baik untuk

mendukung pengembangan

jaringan irigasi maupun

produktivitas pertanian dan

pemasarannya.

Dari list strategi tersebut, langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas.

Prioritasi mutlak perlu dilakukan; selain untuk memastikan sumberdaya yang ada

dapat teralokasikan kedalam kebijakan yang diambil, juga agar program dapat

berjalan efektif dan efisien. Prioritasi strategi dibagi kedalam 2 (dua) jenis

berdasarkan lingkupnya, yaitu mikro – komunitas dan makro – kewilayahan. Yang

membedakan kedua jenis strategi ini adalah aktor yang menjadi

penanggungjawab/pelaksana/pengelola program beserta coverage-nya (skala desa,

kecamatan, kabupaten, hingga nasional).

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

15

Tabel 7. Prioritas Strategi

No Kebijakan Keterangan

A Mikro – komunitas

1. Sosialisasi yang lebih efektif guna memberikan

pemahaman kepada petani dan P3A mengenai

esensi dan tanggungjawab yang harus

dilakukan dalam rangka modernisasi irigasi

2. Sosialisasi tidak hanya dilakukan dalam aspek

infrastruktur semata, tetapi juga bagaimana

menyadarkan masyarakat untuk menjaga

kualitas dan kuantitas sumber air

3. Pemetaan kondisi dan potensi buruh tani

4. Pelibatan buruh tani dalam program-program

pengembangan ekonomi lokal

5. Pemberdayaan petani dan kelompok P3A

dalam OP jaringan pascamodernisasi

6. Pemberdayaan dan peningkatan komitmen

stakeholder daerah melalui fasilitasi serta

pemberian kemudahan akses sumberdaya

khususnya terkait pertanian baik dari pemprov

maupun pusat

7. Peningkatan kapasitas (manajemen

keuangan/kredit) kelompok P3A untuk turut

serta dalam reaktivasi KUD

8. Sosialisasi penghematan air

9. Peningkatan kapasitas dan kinerja aparat desa

dan mantri sebagai fasilitator antara petani

dengan pemda

10. Penggalakan sekaligus peningkatan kinerja

KUD di desa-desa lain

11. Pemberian insentif bagi petani/P3A yang

menjadi anggota KUD

12. Fasilitasi pendirian KUD melalui berbagai

bentuk kemudahan/insentif, misal: kemudahan

pencatatan akta notaris, bantuan permodalan,

penyediaan lumbung dan peralatan, dsb.

13. Pemberdayaan dan pemberian akses

(pengaduan) petani, kelompok P3A, serta

aparat desa untuk mampu menolak keberadaan

pabrik yang mencemari sungai/sumber air

irigasi

Target: petani, kelompok

P3A, aparat desa, mantri

pengairan

Coverage area: skala

desa, kecamatan

Pelaksana/

penanggungjawab:

pemerintah desa,

pemerintah kabupaten,

pemerintah provinsi, dan

pusat

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

16

No Kebijakan Keterangan

B Makro – kewilayahan

1. Penguatan kapasitas pemda dalam melakukan

fasilitasi rencana modernisasi (di berbagai lini;

sosial, ekonomi, dan lingkungan)

2. Pengembangan peluang dan inovasi

pembiayaan OP

3. Pemberdayaan/peningkatan partisipasi pemda

dan masyarakat dalam pembiayaan OP

4. Eksplorasi dan optimalisasi potensi sosekling

kabupaten dalam rangka menunjang sektor

pertanian dan pengembangan ekonomi wilayah

5. Optimalisasi kinerja pemerintah kabupaten

sebagai pihak yang langsung bersentuhan

dengan masyarakat

6. Percepatan reformasi kebijakan dalam bidang

SDA pada berbagai level pemerintahan,

khususnya daerah

7. Pembuatan peraturan daerah (perda) yang

mengatur jumlah industri di sepanjang sungai

8. Pemberlakukan sanksi yang tegas (disinsentif)

bagi industri/pabrik yang mencemari

lingkungan/perairan

9. Kerjasama dengan kabupaten lain untuk

mendirikan kawasan industri terpadu (industrial

cluster) namun terlebih dahulu disiapkan

perangkat peraturannya seperti MoU, peraturan

bersama/pergub, komitmen antara pemkab

dengan swasta/industri, dsb.

10. Reformasi birokrasi dan peningkatan investasi,

baik untuk mendukung pengembangan jaringan

irigasi maupun produktivitas pertanian dan

pemasarannya

Target: aparat

pemerintah kabupaten,

pemerintah provinsi

Coverage area: skala

kabupaten, hingga

nasional

Pelaksana/

penanggungjawab:

pemerintah kabupaten,

pemerintah provinsi, dan

pusat

Dari hasil analisis, pembahasan, dan telaah best practice, dapat ditarik beberapa

kesimpulan seperti berikut ini:

Kesiapan masyarakat sangat penting untuk memastikan program besar seperti

modernisasi irigasi ini dapat berjalan dengan berkelanjutan. Perbedaan

pemahaman (persepsi) dan belum memadainya kapasitas masyarakat petani

(serta kelembagaannya) untuk mengembang amanat besar modernisasi, harus

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

17

diperhatikan oleh para stakeholder, baik di pusat maupun daerah, khususnya

dalam hal pemeliharaan jaringan irigasi.

Masih rendahnya kesadaran masyarakat akan higienitas lingkungan juga dapat

dijadikan tolak ukur bahwa kesiapan masyarakat masih rendah. Jika kebiasaan

masyarakat yang masih membuang sampah (dan limbah domestik) di saluran

irigasi tidak diakomodasi dalam rencana modernisasi, maka dapat diprediksi

bahwa kualitas dan kuantitas air irigasi akan menurun.

Selain menyiapkan masyarakat dan kelembagannya, dinas-dinas terkait di

tingkat pemkab Karawang dan Subang juga perlu di-upgrade kapasitasnya.

Mengingat mereka-lah yang menjadi ujung tombak kegiatan-kegiatan fasilitasi

produksi. Tidak hanya dari aspek teknis pelaksanaan OP jaringan irigasi, tetapi

juga bagaimana agar rencana besar modernisasi fisik dan soseklingnya dapat

berjalan. Sebagai contoh: fasilitasi Dinas Koperasi & UKM dan lembaga lainnya

dalam rangka mereaktivasi KUD, peran Dinas PU dan Dinas Pertanian dalam

OP jaringan (sekaligus pembinaan kepada petani), dan lain sebagainya.

Dari best practice diketahui bahwa modernisasi akan dapat mempengaruhi

sekurang-kurangnya 50% dari sistem yang ada sekarang setelah berjalan

selama 10 tahun. Mengingat cukup lamanya impact yang dihasilkan, maka

sangat penting untuk menjamin ksinambungan komitmen serta kesiapan

masyarakat dalam program ini.

5.2 Kesiapan dan Adaptasi Masyarakat dalam Pembebasan Lahan Jalan Tol Trans

Jawa Ruas Mojokerto – Kertosono: Kasus Kabupaten Jombang

Kondisi Infrastruktur Jalan dan Jembatan khususnya untuk jalan, panjang jalan

nasional sampai saat ini mencapai 34.628 km, jalan provinsi 48.681 km, dan jalan

kabupaten 288.185 km, 83,23 persen diantaranya dalam kondisi baik, 13,34 persen

rusak ringan, 3,43 persen rusak berat (2008). Sedangak pada tahun 2009 jalan

dalam kondisi baik mencapai 89 persen, rusak ringan 11 persen, dan rusak berat 0

persen.5

Untuk jalan tol, panjang jalan tol pada tahun 2009 tercatat mencapai 757.470 km,

dengan jumlah ruas terpanjang berada di pulau jawa sepanjang 697.120 km, dan

sisanya berada di pulau sumatra dan pulau sulawesi.6 Namun sampai akhir tahun

2009, jalan tol yang telah beroperasi baru mencapai 697,12 km.

Jalan tol menjadi salah satu infrastruktur utama dalam menarik investor dalam hal

ini pihak swasta untuk turut berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur, dan

telah dimulai pada tahun 1987 dan berperan dalam pembangunan pembangunan

jalan tol sepanjang 203,30 km.

Saat ini tercatat jalan tol yang sedang dalam tahap operasi sepanjang 697 km. 77%

diantaranya dioperasikan oleh PT Jasa Marga, sedangkan sisanya dikelola oleh

5 Renstra Kementerian PU 2010-2014

6 Kepmen PU No 631/KPTS/M/2009 Tgl 31 Desember 2009

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

18

beberapa operator swasta lainnya. Meskipun sebagian besar jalan tol dibangun di

Jawa, namun jalan tol juga beroperasi di luar Jawa seperti di Sumatera Utara dan

Sulawesi Selatan. Proyek-proyek jalan tol tergolong unik karena membutuhkan

investasi jangka panjang dengan risiko tertentu. Sebagian besar biaya proyek

(seperti biaya pengadaan lahan dan konstruksi) dikeluarkan pada tahap awal masa

konsesi, sementara pemasukan (revenue) hanya didapat setelah jalan tol memasuki

tahap operasi. Masa konsesi proyek jalan tol di Indonesia berkisar antara 30 hingga

40 tahun, dengan payback period antara 20 hingga 25 tahun.

5.2.1 Permasalahan Sosekling dalam Pembebasan Lahan Jalan Tol Trans Jawa

Sejumlah kendala masih menghambat dalam investasi jalan tol, diantaranya adalah

pembebasan lahan, sumber pembiayaan, serta belum intensnya dukungan

Pemerintah Daerah dalam pengembangan jaringan jalan tol.3 Diantara ketiga

permasalahan tersebut proses pengadaan lahan atau pembebasan lahan selalu

menjadi penghambat utama dalam pembangunan jalan tol.

Mengapa pembebasan lahan selalu menghambat pembangunan jalan tol? Saat ini,

pemerintah lebih menekankan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan dan

pengoperasian jalan tol. Kebijakan ini diambil karena dua alasan utama, yakni (1)

terbatasnya kapasitas keuangan pemerintah. Minimnya pendanaan infrastruktur

sebagaimana telah diulas di atas disiasati dengan dikeluarkannya berbagai produk

kebijakan yang bertujuan untuk menarik minat investor dalam pembangunan dan

pengoperasian jalan tol. Selain itu, kompetisi antarinvestor dan relatif tingginya

kapasitas sumberdaya yang dimiliki pihak swasta dinilai akan dapat memberikan

manfaat yang efektif dan efisien bagi pencapaian sasaran pembangunan. (2)

Penyerapan modal swasta akan berdampak positif pada peningkatan ekonomi riil.

Semakin banyaknya proyek pembangunan fisik, maka akan semakin tinggi pula

kebutuhan (demand) akan pekerja, baik skilled worker maupun non-skilled worker.

Namun tentu saja persoalan tidak berhenti di sini. Data menunjukkan 20 dari 24

proyek jalan tol yang telah mendapatkan persetujuan konsesi akhirnya dibatalkan

karena kendala pembebasan lahan (Iqbal & Suleeman, 2010:35). Meskipun

kewajiban pembebasan lahan merupakan tanggungjawab pemerintah khususnya

bagi proyek jalan tol yang menggunakan skema PPP (Public Private Partnership),

namun karena berlarutnya proses pembebasan lahan disertai minimnya alokasi

dana, dalam praktiknya kewajiban ini jarang dipenuhi oleh pemerintah. Jika proses

pada tahap awal saja telah memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, maka

dapat dipastikan penyelesaian konstruksi serta pengoperasian jalan tol akan

semakin mundur dari jadwal semula (lihat Box 1 untuk ilustrasi perubahan status

proyek jalan tol akibat berlarutnya pembebasan lahan). Dari sini dapat kita lihat

betapa pentingnya pembebasan lahan dalam pembangunan infrastruktur jalan tol.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

19

Permasalahan Sosial

Komunikasi dan transparansi menjadi faktor utama penyebab terjadinya gejolak di

masyarakat. Permasalahan yang terjadi dalam proses pembebasan lahan

pembangunan jalan tol ruas Mojokerto – Kertosono adalah contoh nyata rumitnya

pembebasan lahan karena banyaknya pihak yang terlibat. Permasalahan tersebut

diantaranya adalah sebagai berikut:

Proses sosialisasi, negosiasi, dan konsinyasi belum dilakukan secara optimal

sebagaimana regulasi yang berlaku. Misalnya pada proses sosialisasi penentuan

luasan tanah yang dilakukan oleh tim P2T berdasarkan data dari tim appraisal.

Proses validasi dan verifikasi data tidak dilakukan secara merata di semua daerah

yang terkena pembebasan tanah (pembuatan daftar nominative). Masalah yang

terjadi adalah ketidakjelasan ukuran luasan tanah yang diberikan oleh pihak

appraisal karena standar yang digunakan dalam pengukuran oleh appraisal sendiri

juga tidak jelas sehingga mengakibatkan inventarisasi data luasan tanah yang dinilai

tidak valid oleh warga. Tim appraisal sendiri tidak pernah berinteraksi atau

melakukan survei dengan warga sebelumnya. Selain itu, ketidakpastian harga yang

diberikan pemerintah ditandai dengan adanya informasi harga satuan yang

beragam di beberapa daerah sehingga menjadi kecurigaan warga mengapa harga

yang diberikan jauh berbeda dibandingkan dengan harga tanah di ruas tol yang lain,

misalnya ruas Semarang – Solo . Jika tetap dipaksakan akan menimbulkan

kerugian yang sangat besar bagi warga. Situasi yang tidak kondusif ini diperparah

dengan adanya makelar/calo tanah yang mulai terlibat dalam proses pembebasan

tanah dengan memberikan harga yang tinggi pada warga untuk ganti rugi tanah

mereka sehinga semakin memperkeruh situasi yang sedang terjadi. Sebagian

warga yang terdesak oleh kebutuhan hidup juga terpaksa menjual tanahnya

walaupun dengan harga yang tidak sesuai.

Warga juga diresahkan dengan adanya provokator atau pihak yang membujuk atau

menyebarkan isu kepada warga untuk segera menyerahkan/menjual tanahnya

karena jika tidak, akan dilakukan pembongkaran paksa. Ketakutan ini membuat

warga bertindak gegabah dalam menjual tanahnya sehingga banyak yang

mendapatkan ganti rugi yang tidak sesuai. Beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS)

pemilik tanah dan keluarganya juga mengalami intimidasi oleh oknum dari atasan

agar segera melepaskan tanah miliknya dengan ancaman akan dimutasi atau

ancaman lain yang berlawanan dengan etika dan hukum.

Terdapat indikasi manipulasi data yang dilakukan oleh oknum dari pemerintah.

Manipulasi ini dilakukan dengan memberikan form yang harus ditandatangani oleh

warga tanpa warga tahu apa maksud dari permintaan tanda tangan tersebut.

Kumpulan tanda tangan tersebut disalahgunakan dengan cara dilampirkan pada

surat pernyataan persetujuan warga terhadap nilai ganti rugi yang diberikan

pemerintah.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

20

Proses pembayaran ganti rugi yang belum seragam, karena ada sebagian yang

dititipkan kas desa, ada yang ditransfer melalui bank. Sebagian warga yang

menerima kuitansi resmi dari pembayaran tersebut, sebagian yang lain hanya

menerima catatan bertuliskan nominal yang diterima tanpa ada pernyataan dan

tanda tangan pejabat yang berwenang. Selain itu juga terdapat mekanisme adat

atau peraturan tidak tertulis tentang pemberian 2,5% dari total harga jual untuk

aparat desa. Hal ini yang menyebabkan besarnya nilai ganti rugi yang diterima tidak

sesuai dengan yang tercatat sebelumnya.

Permasalahan Ekonomi

Dalam kasus pengadaan tanah pada umumnya, masyarakat mengharapkan dengan

adanya ganti rugi berupa uang yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan

mereka di kemudian hari. Akan tetapi dalam kenyataannya, masyarakat mengalami

penurunan kesejahteraan hidup akibat kehilangan mata pencaharian atau harus

beralih profesi. Sebagai contoh, masyarakat terutama petani yang kehilangan

sebagian atau seluruh lahan pertaniannya harus beralih perofesi karena hasil

pertanian tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk proses pengerjaan

lahannya. Masalah lainnya adalah trace jalan tol yang memotong jalan utama antara

dua desa atau wilayah lain menyebabkan pedagang harus melewati jalan memutar

yang cukup jauh sehingga biaya transportasi membengkak sedangkan pendapatan

sama bahkan cenderung menurun.

Paradigma yang berkembang di masyarakat adalah pembangunan jaaln tol dapat

memberikan keuntungan secara langsung. Sedangkan secara konseptual jalan tol

merupakan private goods atau dapat dikatakan masyarakat tidak memperoleh

keuntungan dalam waktu singkat akibat pembangunan jalan tol tersebut. Hal ini

dikarenakan hanya pengguna jalan yang mampu membayar toll saja yang boleh

melewatinya (atau dalam teori ekonomi biasa dikenal dengan prinsip excludability).

Karena jalan tol tergolong private goods, maka investasi yang dilakukannnya harus

didasarkan pada prinsip keuntungan yang menjadi ruh dari ekonomi pasar.

Beberapa keuntungan yang akan diperoleh pengguna jalan sebagai user serta

pemerintah sebagai owner sekaligus regulator diantaranya adalah:

- Masyarakat mempunyai alternatif pilihan sebagai pengguna jalan

- Pemerintah terbebas dari beban finansial atas proses konstruksi dan

pengoperasian (tergantung skema konsesi yang diambil oleh pemerintah dan

operator)

- Badan usaha (dengan segala risikonya) dapat mengoperasikan jalan tol dengan

hak pengusahaan selama masa konsesi.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

21

Permasalahan Lingkungan

Konversi lahan menjadi masalah lingkungan utama dalam pembangunan jalan tol.

Konversi lahan yang terjadi adalah hilangnya lahan pertanian karena pembangunan

dan berubahnya lahan pertanian menjadi pemukiman akibat tidak adanya relokasi

penduduk terkena proyek yang memadai. Selama ini, prosedur pembebasan lahan

hanya terhenti pada pembayaran ganti rugi tanpa mempertimbangkan bagaimana

kondisi kehidupan masyarakat setelah pembayaran ganti rugi. Hal tersebut juga

terjadi pada kasus pembangunan jalan tol Mojokerto – Kertosono di Kabupaten

Jombang. Meskipun karakteristik wilayahnya sudah bercampur antara perdesaan

dan perkotaan, namun potensi wilayah yang paling dominan tetap sektor pertanian,

sehingga sebagian besar penduduk juga masih menggantungkan hidup pada sektor

tersebut.

5.2.2 Analisis SWOT

Analisis SWOT digunakan untuk memperoleh strategi atau rekomendasi sebagai

solusi pemecahan masalah berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan

(weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat). Terkait dengan masalah

pembebasan lahan di Jalan tol ruas Mojokerto-Kertosono khususnya yang berada di

wiayah Kabupaten Jombang, analasis SWOT disusun setelah mengidentifikasi

stakeholder- stakeholder yang berperan didalamnya.

Strength

- Pengadaan Jalan Tol Trans Jawa secara langsung oleh pemerintah pusat

melalui Kementerian PU memberikan keuntungan dalam hal

pengawasannya baik pra konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi

secara langsung dan kepemilikan asset secara penuh oleh Negara.

- Pembangunan jaringan jalan to trans jawa dapat menarik investor untuk

menanamkan investasinya di Jawa. Pemerintah dapat bekerja sama dengan

investor baik dalam maupun luar negeri untuk mendukung pembangunan.

- Dalam proses pembangunannnya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat

secara langsung maupun tidak langsung.

Weakness

- Proses pembebasan yang berlarut-larut menghambat proses pembangunan

konstruksi yang berakibat terlambatnya proyek pembangunan secara

keseluruhan.

- Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (delivery system)

terkait kebijakan yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalah ganti

rugi kepada warga

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

22

- Kurangnya informasi dan koordinasi yang diberikan kepada warga tentang

prosedur ganti rugi yang benar

- Ketidakjelasan nilai standar harga tanah di masing-masing wilayah sehingga

menyebabkan kecemburuan social antara daerah satu dengan yang lain.

Opportunity

- Dengan dibangunnya jalan tol akan meningkatkan aksesibilitas dari dan

keluar kabupaten Jombang yang berefek pada kelancaran arus barang dan

jasa serta informasi.

- Kemudahan aksesibilitas menyebabkan pengembangan potensi wilayah

Kabupaten Jombang dan sekitarnya sangat mungkin dilakukan mengingat

besarnya potensi yang dimiliki, seperti potensi perkebunan dan budaya.

- Pengembangan wilayah tersebut berefek pada peningkatan kegiatan

perekonomian baik antar daerah maupun di dalam wilayah Kabupaten

Jombang sendiri.

Threat

- Munculnya spekulan tanah yang memanfaatkan situasi yag sedang

beergejolak untuk mencari keuntungan pribadi

- Keterlambatan proses pembebasan lahan akan menghambat pembangunan

jalan tol

- Adanya pihak-pihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi semua

pihak (pembuat kebijakan dan pelaksana lapangan) termasuk korban pemilik

tanah agar seluruh rencana yang telah ditetapkan terlaksana secara cepat

dan menguntungkan dengan cara yang bersifat memaksa.

- Pemanfaatan isu pembebasan lahan di Jombang sebagai alat politik oleh

pihak tertentu menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil untuk

menyelesaikan masalah ini tidak berimbang dan menguntungkan satu pihak

tanpa memperhatikan kondisi masyarakat.

- Warga yang kehilangan tanahnya dan tidak memiliki modal untuk membeli

tanah baru atau beralih profesi akan menjadi pengangguran yang tentu saja

memperbesar angka kemiskinan khususnya di kabupaten Jombang.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

23

Tabel 8. Matriks SWOT

Faktor Internal Faktor Eksternal

Strength

Pengadaan Jalan Tol Trans Jawa secara langsung oleh pemerintah pusat melalui Kementerian PU memberikan keuntungan dalam hal pengawasannya baik pra konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi secara langsung dan kepemilikan asset secara penuh oleh Negara.

Pembangunan jaringan jalan to trans jawa dapat menarik investor untuk menanamkan investasinya di Jawa. Pemerintah dapat bekerja sama dengan investor baik dalam maupun luar negeri untuk mendukung pembangunan.

Dalam proses pembangunannnya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

Weakness

Proses pembebasan yang berlarut-larut menghambat proses pembangunan konstruksi yang berakibat terlambatnya proyek pembangunan secara keseluruhan.

Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (delivery system) terkait kebijakan yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalah ganti rugi kepada warga

Kurangnya informasi dan koordinasiyang diberikan kepada warga tentang prosedur ganti rugi yang benar

Ketidakjelasan nilai standar harga tanah di masing-masing wilayah sehingga menyebabkan kecemburuan social antara daerah satu dengan yang lain.

Opportunity

Dengan dibangunnya jalan tol akan meningkatkan aksesibilitas dari dan keluar kabupaten Jombang yang berefek pada kelancaran arus barang dan jasa serta informasi.

Kemudahan aksesibilitas menyebabkan pengembangan potensi wilayah Kabupaten Jombang dan sekitarnya sangat mungkin dilakukan mengingat besarnya potensi yang dimiliki, seperti potensi perkebunan dan budaya.

7

Pemerintah dapat mengadaan kemitraan dengan masyarakat yang terkena dampak baik dalam proses konstruksi maupun dalam perawatan di masa depan.

Kerjasama tersebut dapat berupa penentuan titik rest area beserta pengelolaaanya sehingga masyarakat tetap mempunyai mata pencaharian untuk hidup (atau biasa disebut collaborative

Pelibatan unsur masyarakat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan musyawarah mengenai harga tanah

Mengajak masyarakat turut serta dalam usaha pengembangan wilayah.

Melakukan FGD lebih intensif

7http://www.jombangkab.go.id/e-gov/layanan/berita.asp?menu=detail_berita&no=381

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

24

Pengembangan wilayah tersebut berefek pada peningkatan kegiatan perekonomian baik antar daerah maupun di dalam wilayah Kabupaten Jombang sendiri.

planning8)

Pendekatan personal kepada tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk kemudian membantu memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat yang lain

Memanfaatkan wadah informasi lokal seperti papan informasi desa, dll

Threat

Munculnya spekulan tanah yang memanfaatkan situasi yag sedang bergejolak untuk mencari keuntungan pribadi

Keterlambatan proses pembebasan lahan akan menghambat pembangunan jalan tol

Adanya pihak-pihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi semua pihak (pembuat kebijakan dan pelaksana lapangan) termasuk korban pemilik tanah agar seluruh rencana yang telah ditetapkan terlaksana secara cepat dan menguntungkan dengan cara yang bersifat memaksa.

Pemanfaatan isu pembebasan lahan di Jombang sebagai alat politik oleh pihak tertentu menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah ini tidak berimbang dan menguntungkan satu pihak tanpa memperhatikan kondisi masyarakat.

Warga yang kehilangan tanahnya dan tidak memiliki modal untuk membeli tanah baru atau beralih profesi akan menjadi pengangguran

Pelaksanaan proses pra konstruksi dan konstruksi sesuai dengan dokumen AMDAL yang telah tersedia.

Penetapan regulasi yang jelas terkait masalah pembebasan lahan

Mengoptimalkan kinerja dari emerintah daerah sebagai pihak yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Bersama tim appraisal melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait besarnya nilai ganti rugi yang akan diberikan

8 Lihat artikel yang ditulis oleh Patsy Healey (1998) yang berjudul “Collaborative Planning in a Stakeholder

Society”.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

25

yang tentu saja memperbesar angka kemiskinan khususnya di kabupaten Jombang.

Kotak 1. Solusi Masalah Pembebasan Lahan di India

Pembebasan tanah adalah salah satu alasan utama penundaan banyak proyek di India. Namun, ada upaya perbaikan yang cukup baik guna menangani isu pembebasan tanah, yang mengakibatkan peningkatan proporsi proyek berjalan sesuai jadwal (dari 32% pada tahun 1994 menjadi 36% pada 2007) serta penurunan secara tajam proporsi proyek yang costoverruns (dari 58% pada 1994 menjadi 11,6% pada tahun 2007). Pencapaian ini disebabkan karena berbagai faktor, antara lain: pendanaan yang lebih baik, manajemen proyek, dan reformasi dalam kerangka peraturan yang berhubungan dengan pengadaan tanah. Secara khusus, salah satu kendala terbesar untuk pembangunan jalan di India adalah akuisisi tanah milik pribadi. Proses ini cukup memakan waktu dan sangat berbelit-belit. Pemerintah, bagaimanapun, telah merampingkan proses dengan membaginya menjadi satuan-satuanunit lahan. Akibatnya, waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh tanah telah berkurang secara bertahap dari 18 bulan sampai 8 bulan, terutama melalui peningkatan partisipasi sektor swasta dan desentralisasi dengan semakin meningkatnya kapasitas pembangunan di tingkat negara bagian. selain itu, Undang-Undang tahun 1894 tentang Akuisisi Tanah juga memberdayakan pemerintah negara bagian untuk memperoleh tanah guna kepentingan publik. Terdapat tiga metode untuk sampai pada nilai tanah, yang: (i) disetujui pemerintah tingkat; (ii) nilai kapitalisasi dari pendapatan tahunan rata-rata dari tanah, serta (iii) pasar tarif dasar atas data transaksi tanah. Dari UU tersebut, upaya pemerintah untuk mengadakan tanah, survei, sidang keberatan, dan deklarasi akuisisi juga harus diselesaikan dalam waktu satu tahun. UU ini mengurangi kerangka waktu secara signifikan. UU ini juga mencakup ketentuan kompensasi bagi pemegang hak atas tanah hanya berdasarkan nilai pasar, pembayaran tambahan pohon, tanaman, rumah, atau properti lainnya bergerak dan pembayaran untuk kerusakan akibat pemutusan tanah, tinggal, atau tempat usaha. Selanjutnya, dalam Kebijakan Nasional Pemukiman Kembali dan Rehabilitasi untuk Keluarga Terkena Proyek tahun 2003 diberikan kompensasi tambahan kepada keluarga yang terkena dampak proyek, atas dan di atas ketentuan UU Pembebasan Tanah. Peran penegak hukum juga cukup signifikan dalam konteks ini. Beberapa proyek bergerak lebih cepat karena intervensi peradilan, sementara yang lainnya tertunda karena proses pengambilan keputusan pengadilan yang lebih lambat. Pengadilan juga telah berperan dalam mendorong pemerintah untuk membuat/mengamandemen UU yang terkait dengan konflik akuisisi tanah. Selain itu, pemerintah juga menggunakan gambar satelit untuk mengidentifikasi jumlah orang yang terkena dampak oleh proyek serta pola penggunaan tanah yang tepat. Gambar yang digunakan pada tingkat perencanaan untuk mengidentifikasi koridor, yang mempengaruhi jumlah populasi paling sedikit. Teknologi juga membantu dalam masalah pembebasan lahan pada tahap awal dari proyek itu sendiri dan dengan biaya yang jauh lebih rendah. Proses identifikasi seperti ini sangat membantu dalam memutuskan proyek mana yang berpotensi memicu sedikit konflik. Sumber: Raghuram, G. Et.al. (2009)Mega Projects in India Environmental and Land Acquisition Issues in the Road Sector, Ahmedabad: Indian Institute of Management.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

26

5.3 Kesiapan dan Adaptasi Masyarakat dalam Penghunian dan

Pengelolaan RusunawaPenjaringan Sari, Wonorejo, dan Randu Sidotopo, Surabaya

Sebagaimana layaknya negara berkembang lainnya, salah satu ciri kota-kota di

Indonesia adalah tingginya konsentrasi penduduk9 (Riddel, 1997; Lyons & Snoxell,

2005). Perkembangan penduduk kota-kota di Indonesia baik sebagai akibat

pertumbuhan populasi penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan

indikasi adanya masalah perkotaan yang serius; diantaranya adalah timbulnya

permukiman kumuh.

Beban berat kota juga bertambah seiring dengan semakin tak terbendungnya

migrasi dari kawasan rural ke kawasan urban hingga menyebabkan

tingginyaharapan warga agar pemerintah kota10 dapat memenuhi kebutuhan

warganya akan tempat tinggal, sumber penghidupan, jaminan keamanan dan

kenyamanan, dan lain sebagainya.Seiring dengan pertumbuhan penduduk di

daerah perkotaan, kebutuhan akan perumahan, penyediaan prasarana dan sarana

permukiman akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun

pembangunan baru. Kekurang-siapan kota dengan sistem perencanaan dan

pengelolaan kota yang tepat, dalam mengantisipasi pertambahan penduduk

dengan berbagai motif dan keragaman nampaknya menjadi penyebab utama yang

memicu timbulnya permasalahan permukiman.

Pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman baik dari segi

perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni

belum sepenuhnya dapat disediakan oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah.

Sehingga, daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada

mulai menurun dan pada akhirnya akan memberikan kontribusi terjadinya

permukiman kumuh (Basri, dkk., 2010:3).

Pemerintah perlu memikirkan cara-cara baru dalam menangani masalah

perumahan, dan mengalihkan sebagian sumber daya untuk intensifikasi dan

peningkatan kualitas rumah sewa (rental housing) termasuk rumah kumuh yang

selama ini terabaikan. Kaum marginal diperkotaan umumnya tetap membutuhkan

perhatian kita bersama, terutama untuk meningkatkan kapasitas dan aksesibilitas

9Tahun 2007 menandai perubahan penting dalam demografi dunia. Untuk pertama kalinya pada tahun

tersebut diperkirakan populasi penduduk kota akan melebihi penduduk pedesaan. Para ilmuwan di North Carolina State University dan the University of Georgia bahkan menyebutkan pada tanggal 23 Mei 2007 sebagai tanggal di mana untuk pertama kalinya jumlah penduduk perkotaan di dunia melebihi penduduk pedesaan (Wimberley and Kulinowski 2007). Laporan “Limits of Growth”, seperti dikutip oleh Mike Davis (2004) menyatakan bahwa pada tahun 1950an, hanya ada 86 kota dengan penduduk lebih dari satu juta orang. Pada tahun 2015 diperkirakan bahwa 550 kota di dunia akan berpenduduk lebih dari satu juta orang. 10Sebuah kota hanya bisa berfungsi baik apabila kawasan-kawasannya berfungsi dengan baik. Artinya, setiap kawasan secara internal berfungsi dengan baik, dan hubungan antar kawasan berlangsung seimbang serta saling mengisi (compatible). Sebuah kota yang hanya dapat menyediakan tempat kerja tetapi tidak dapat menyediakan tempat tinggal bagi yang bekerja adalah sebuah kota yang cepat atau lambat akan menjadi tidak efisien (Santoso, 2006).

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

27

mereka terhadap perbaikan kualitas kehidupannya. Oleh karena itu pemerintah

mencanangkan program pembangunan 1.000 tower rusun (rumah susun) sebagai

sebuah upaya mengatasi kawasan kumuh perkotaan serta memenuhi kebutuhan

akan tempat tinggal yang semakin meningkat setiap tahun.

Program 1.000 tower tersebut terbagi dalam dua macam rusun, yakni rusun

sederhana milik (rusunami) dan rusun sederhana sewa (rusunawa).

Pembangunan rusunawa utamanya diperuntukkan bagi masyarakat korban

gusuran yang dulunya menghuni bantaran sungai. Rusun dianggap strategis

karena mayoritas dari masyarakat korban gusuran ini merupakan golongan

masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Menurut Undang-undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, rusunawa

dapat diartikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun pada suatu

lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara

fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal. Rusunawa juga merupakan

satuan-satuan yang masing-masing unitnya dapat disewa secara terpisah,

terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda

bersama, dan tanah bersama. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa

masyarakat yang tinggal di rusunawa harus membiasakan diri menggunakan

fasilitas komunal. Apa yang dilakukan masing-masing individu sangat berpengaruh

terhadap individu lain. Selain itu, sebagian besar masyarakat Indonesia telah

terbiasa dengan pola hunian horizontal (landed housing), sehingga sangatlah sulit

untuk membuat mereka mampu beradaptasi dengan pola dan kebiasaan vertical

living.Dari sini kemudian disadari perlunya penyiapan masyarakat penghuni rusun

agar terbiasa/mampu beradaptasi dengan kondisi rumah yang tadinya tidak

bersusun. Tidak hanya terhadap bangunan fisik rusun semata, proses adaptasi

juga harus diupayakan agar penghuni mampu beradaptasi dengan lingkungan

sosialnya, cara mengorganisir diri dengan sesama komunitas penghuni,

berkomunikasi dengan pihak pengelola, menggunakan fasilitas publik secara

bersama11, dan sebagainya.

Sampai saat ini tingkat pemenuhan kebutuhan rumah masih menjadi

permasalahan serius. Diperkirakan sampai dengan tahun 2020, rata-rata setiap

tahun terdapat 1,15 juta unit rumah yang perlu difasilitasi. Saat ini

pembangunan/pengembangan rumah baru mencapai 600.000 unit per tahun.

Sementara itu setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat

penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah. Terdapat

backlog pembangunan perumahan yang terus meningkat dari 4,3 juta unit rumah

pada tahun 2000 menjadi sebesar 7,4 juta unit rumah pada akhir tahun 2009.

11Pratiwi, dkk. (2000:13) juga membuktikan bahwa dari sekian banyak penelitian tentang pengembangan berbasis komunitas dan partisipatif, khususnya komunitas yang tinggal di kawasan permukiman perkotaan, terdapat 3 (tiga) topik bahasan yang kerap didiskusikan; model-model respon perilaku penghuni merupakan salah satu diantaranya.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

28

Pembangunan/pengembangan unit baru diharapkan akan meningkat sebesar

2,5% per tahun hingga tahun 2020. Untuk pembangunan unit Rumah Susun

Sederhana Sewa (Rusunawa) dalam rangka penataan kawasan kumuh

diperkotaan mencapai 18.000 unit (2009) dari 200 unit di tahun 2005. Sementara

itu berdasarkan data SUSENAS tahun 2007 masih terdapat 5,9 juta keluarga yang

belum memiliki rumah. Jumlah rumah saat ini hanya 51 juta unit. Dari jumlah

tersebut hanya 17 juta rumah tergolong layak huni dan 34 juta masih tergolong

tidak layak huni yang terbagi sebanyak 40% di perdesaan dan 60% di perkotaan.

Sementara itu pada akhir tahun 2014 diperkirakan lebih dari separuh penduduk

Indonesia akan tinggal di perkotaan sebagai akibat laju urbanisasi yang mencapai

4,4 % per tahun dan secara terus menerus telah melahirkan dynamic

phenomenon of urbanization. Proses ini berakibat pada semakin besarnya suatu

kawasan perkotaan, baik dalam hal jumlah penduduk maupun besaran wilayah

(Rencana Strategis Kementerian PU tahun 2010-2014). Tingginya laju urbanisasi

ternyata juga berdampak khususnya bagi kalangan masyarakat berpenghasilan

rendah (MBR). Rendahnya akses ke prasarana dan sarana lingkungan yang

memadai, kualitas perumahan dan permukiman yang jauh di bawah standar

kelayakan, serta mata pencaharian yang tak menentu telah memaksa meraka

untuk tinggal di kawasan kumuh perkotaan (Widayanti, 2000; Subkhan, 2008). Hal

ini mengakibatkan luas kawasan permukiman kumuh yang mencapai 54.000 ha

pada akhir tahun 2004 manjai 57.800 ha pada akhir tahun 2009.

5.3.1 Permasalahan Sosekling dalam Penghunian dan Pengelolaan Rusunawa

Permasalahan Sosial

Permasalahan yang mendasar dalam penghunian dan pengelolaan Rusunawa

Penjaringan Sari, Wonorejo, dan Randu Sidotopo adalah kurangnya komunikasi

antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta warga masyarakat. Belum

adanya kesepakatan tertulis mengenai tanggung jawab pembiayaan operasional

dan pemeliharaan rusunawa dalam tahap transisi mengakibatkan terjadinya saling

lempar tanggung jawab pembiayaan ketika terjadi kerusakan pada bangunan fisik

rusunawa yang mengakibatkan berlarutnya proses perbaikan.

Dari pendangan masyarakat, permasalahan yang terjadi adalah penentuan tarif

sewa yang memberatkan masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak

pernah dilibatkan dalam musyawarah untuk menetukan tarif sewa rusunawa oleh

pemerintah.

Permasalahan lain yang timbul adalah kurang ketatnya seleksi penghuni

rusunawa, sehingga terdapat beberapa penghuni yang menyewakan rumahnya ke

orang lain, padahal hal ini jelas-jelas melanggar hukum. Pengelola juga

mengeluhkan sulitnya mengatur warga gusuran yang seringkali mempengaruhi

penghuni rusunawa yang berasal dari kalangan masyarakat umum untuk tidak

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

29

membayar iuran sewa. Padahal sebenarnya penghuni yang berasal dari kalangan

umum ini mampu untuk membayar. Bercampurnya penghuni dari MBR serta dari

masyarakat umum ini mengakibatkan rentan terjadi konflik diantara masyrakat.

Permasalahan Ekonomi

Penghuni yang berasal dari warga gusuran dihadapkan pada permasalahan mata

pencaharian setelah menempati rusunawa. Kebanyakan dari mereka memiliki

usaha sendiri, seperti warung, bengkel, dan usaha jahit menjahit ketika mereka

tinggal di bantaran kali. Penghasilan mereka dari usaha tersebut masih bisa

mencukupi biaya hidup sehari-hari karena lokasinya yang cukup strategis

sehingga mudah diakses oleh konsumen. Namun setelah mereka pindah ke

rusunawa, penghasilan mereka berkurang karena tidak lagi memiliki usaha seperti

sebelumnya. Itulah yang menyebabkan mereka nekat melanggar peraturan yang

melarang warga untuk berjualan di dalam rusun. Padahal pihak UPTD juga telah

memasang papan larangan untuk berjualan di dalam rusunawa. Pihak Pemkot

beserta UPTD sesekali juga melakukan inspeksi, namun hal ini juga tak kunjung

membuat jera masyarakat.

Permasalahan Lingkungan

Secara keseluruhan, tidak ada permasalahan lingkungan yang berarti di

Rusunawa Penjaringan Sari, Wonorejo, dan Randu Sidotopo. Kondisi lingkungan

yang didapat berdasarkan hasil survey adalah sebagai berikut:

- Kebersihan lingkungan

Masyarakat penghuni rusunawa telah mampu menjaga lingkungan sekitar

rumahnya dengan baik. Tidak ada sampah yang dibiarkan berserakan di

lorong-lorong rusunawa maupun di halaman. Mereka telah mengorganisir

masalah pembuangan sampah melalui pembayaran iuran sampah setiap

bulannya untuk membayar petugas kebersihan.

- Keamanan

Masyarakat rusunawa secara bergiliran menjaga keamanan rusunawa melalui

kegiatan ronda bergilir. Disamping itu di setiap pintu gerbang rusunawa juga

ditempatkan petugas keamanan yang memantau lingkungan rusunawa setiap

harinya.

- Kesehatan

Rusunawa Penjaringan Sari telah menyediakan Puskesmas Pembantu yang

berfungsi untuk melayani masyarakat dalam hal kesehatan. Namun di

Rusunawa Wonorejo dan Randu Sidotopo fasilitas ini belum ada.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

30

Gambar 3. Kondisi Lingkungan Rusunawa

5.3.2 Analisis Stakeholder

Beberapa kajian mengenai stakeholder telah banyak dilakukan sebelumnya. Salah

satunya menyatakan bahwa dibutuhkan pengetahuan yang berbeda (misalnya

scientific dan lokal) serta diperlukan pendekatan yang berbeda, yang menyadari

bahwa pihak dari luar pemerintah dapat menjadi sumber pendapat maupun

penerima pendapat. Di lain pihak, partisipasi pemegang kepentingan (stakeholder)

dalam perencanaan tata ruang komperehensif perlu diwadahi. Teori stakeholder

lain menyimpulkan bahwa stakeholder bersifat managerial dan mengedepankan

tingkah laku, strrktur dan latihan-latihan yang membentuk filosofi manajemen

stakeholder. Teori tentang elemen-elemen penting stakeholder juga meyakini

bahawa selalu ada kolaborasi antara manajerial dengan stakeholder kunci.

Dalam penyelenggaraan rusunawa di Surabaya, yang bertindak sebagai primary

stakeholderadalah masyarakat penghuni rusunawa, serta pihak UPTD.

Sedangkan yang bertindak selaku secondary stakeholder adalah Direktorat

Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta Karya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur,

serta Pemerintah Kota Surabaya, dalam hal ini Dinas Pengelolaan Bangunan dan

tanah Kota Surabaya. Berdasarkan hasil wawancara, secara garis besar peranan

masing-masing stakeholder dalam penyelenggaraan rusunawa dapat dilihat dalam

tabel berikut.

Tabel 1. Peran Stakeholder dalam Penyelenggaraan Rusunawa

Stakeholder Peran Pengaruh Kepentingan Kewenangan

PUSAT

(Direktorat

Pengembangan

Permukiman)

Melakukan

pembinaan

dan

pengaturan

rumah susun

Penyediaan

Menyerahkan

kepada

Pemerintah

Daerah untuk

melaksanakan

sebagian

urusan

Pembangunan

rusunawa

sangat

tergantung

pada anggaran

dari

pemerintah

Kekuatan

pemerintah

pusat terbatas

pada pembuat

kebijakan dan

penyedia

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

31

Stakeholder Peran Pengaruh Kepentingan Kewenangan

anggaran

untuk

pembangunan

rusunawa.

pengaturan

dan pembinaan

rumah susun

pusat anggaran.

PEMDA

(Pemprov Jawa

Timur, Pemkot

Surabaya)

Menetukan

kriteria

penghuni

rusunawa

Menentukan

besaran tarif

sewa

rusunawa.

Berperan

dalam

menentukan

regulasi

mengenai

operasional

dan

pemeliharaan

rusunawa

Memenuhi

persyaratan

dalam

pengajuan

bantuan

pembangunan

rusunawa

Menggusur

dan

memindahkan

masyrakat dari

bantaran kali

ke rusunawa

Penentuan tarif

sewa

merupakan

kewenangan

Pemda, akan

tetapi bila tidak

disepakati oleh

masyarakat,

posisi Pemda

menjadi lemah

karena

masyarakat

menolak dan

Pemda tidak

bisa

melakukan

apapun ntuk

memaksa

Pengelola

Rusunawa

(UPTD)

Melaksanakan

operasi dan

pemeliharaan

terhadap

sarana dan

prasarana

rusunawa

Melakukan

pengawasan

dan menjamin

ketertiban dan

kemanan

penghuni serta

penggunaan

bagian

Menjembatani

hubungan

antara

Pemerintah

Daerah dengan

penghuni rusun

Menentukan

terjalinnya

hubungan baik

antara

pemerintah

daerah dengan

penghuni

rusunawa

Menentukan

tersalurkannya

aspirasi

penghuni rusun

Di mata

masyarakat,

pengelola

merupakan

gambaran dari

pemerintah

daerah.

Sehingga

apabila ada

kebijakan yang

tidak sesuai,

maka

pengelolalah

yang pertama

kali akan

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

32

Stakeholder Peran Pengaruh Kepentingan Kewenangan

bersama,

benda

bersama, dan

tanah bersama

Memberikan

laporan

berkala

terhadap

Pemerintah

Kota Surabaya

mengenai

permasalahan

dan kendala

yang dihadapi.

menghadapi

serangan

langsung dari

masyarakat.

Sehingga

posisi

pengelola di

sini sangat

lemah, karena

harus

mengakomodir

keinginan dari

pemerintah

daerah dan

masyarakat

yang sama-

sama kuat.

Masyarakat Menempati

rusunawa,

membayar

iuran,

memelihara

fasilitas

bersama.

Kesediaan

masyarakat

untuk

membayar

iuran sewa

berpengaruh

terhadap OP

rusunawa

Bersedia atau

tidaknya

masyarakat

korban gusuran

untuk

menempati

rusunawa dan

tidak kembali

ke bantaran

sungai

mempengaruhi

keberhasilan

program

penanganan

kawasan

kumuh

Menentukan

berjalan atau

tidaknya iuran

sewa untuk

biaya

operasional

rusun

Menuntut

adanya

musyawarah

dalam

penentuan

besaran iuran

sewa

rusunawa.

Masyarakat

berada pada

posisi yang

kuat, karena

ketika

masyarakat

menolak untuk

membayar

iuran sewa,

pemerintah

tidak bisa

memaksa

mereka.

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa pemerintah pusat sebagai

pemegang kuasa penuh atas anggaran pembangunan rusun dan penetapan

peraturan yang terkait rumah susun. Namun pemerintah perlu lebih detail lagi

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

33

dalam menjelaskan role sharing dengan Pemerintah Kota Surabaya, sehingga

tidak akan terjadi kesalahpahaman mengenai regulasi pengelolaan rusun,

sebagaimana yang terjadi saat ini dimana pemerintah belum optimal

menganggarkan pengelolaan rusun. Sedangkan Pemerintah Kota Surabaya juga

harus memahami sejauh mana tanggung jawab mereka terhadap pengelolaan,

operasional, serta pemeliharaan rusun. Sejauh ini pihak UPTD telah

melaksanakan tugasnya dengan sebagai penyambung antara Pemerintah Kota

Surabaya dengan warga penghuni rusun. Dalam hal ini pihak UPTD dituntut

memiliki kemampuan mediasi, mengatur warga, serta menyampaikan aspirasi

warga, serta permasalahan yang terjadi, baik menyangkut permasalahan sarana

dan prasarana, maupun permasalahan yang menyangkut warga.

Sesuai Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pemerintah

Pusat dapat menyerahkan sebagian urusan dan pembinaan rumah susun kepada

Pemerintah Daerah. Meskipun demikian, pendanaan untuk kegiatan yang bersifat

fisik masih tetap berada pada tangggung jawab pemeritah pusat.

Berdasarkan apa yang telah disepakati dalam Memorandum of Agreement (MoA),

ruang lingkup kegiatan Pemerintah Pusat adalah membantu program penanganan

kawasan kumuh yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan

membangun rusunawa beserta kelengkapannya sesuai Spesifikasi Teknik

Bangunan Rusunawa Direktorat Jenderal Cipta Karya. Pembangunan ini

dilaksanakan berdasarkan surat permohonan dari pemerintah daerah. Tugas

tersebut telah dilaksanakan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat ketika Pemerintah

Kota Surabaya mengajukan permintaan bantuan pembangunan rusunawa.

Ruang lingkup kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Timur adalah memfasilitasi

proses peremajaan dan perbaikan permukiman kumuh. Kegiatan fasilitasi tersebut

dilakukan melalui evaluasi pelaksanaan program peremajaan kawasan kumuh

perkotaan yang sedang dilaksanakan serta melakukan pengendalian dan

pengawasan atas kepatuhan terhadap norma, standar, pedoman dan kriteria

yang terkait dengan program peremajaan kawasan kumuh perkotaan dan

pembangunan Rusunawa. Di samping itu Pemerintah Provinsi juga berkewajiban

melakukan koordinasi dan konsultansi dalam penyelenggaraan Rusunawa yang

akan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kota Surabaya, serta

melakukan sinkronisasi kegiatan yang menjadi kewajiban Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Kota Surabaya. Tugas ini juga telah dilaksanakan sepenuhnya oleh

Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

Kota Surabaya.

Di dalam MoA juga disebutkan ruang lingkup kegiatan Pemerintah Kota Surabaya,

yaitu memberikan dukungan lengkap dengan pembiayaannya dalam

penyelanggaraan rusunawa serta menyosialisasikan pembangunan dan

penghunian rusunawa yang lebih tertata, bersih, aman, nyaman, sesuai ketentuan

yang berlaku. Pembiayaan yang disebutkan dalam MoA ini hanya mencakup

pembiayaan dalam penyediaan fasilitas umum saja. Pemerintah Kota Surabaya

telah menyediakan anggaran untuk pengelolaan dan penyediaan fasilitas umum

rusunawa sebesar Rp. 7 milyar/tahun. Namun pada pelaksanaannya, anggaran ini

tidak mencukupi, sehingga seringkali ada kerusakan rusunawa yang lambat

ditangani karena harus melalui prosedur yang cukup panjang ketika mengajukan

permintaan dana untuk perbaikan pada pemerintah pusat. Pemeirintah Kota

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

34

Surabaya juga telah menetapkan iuran sewa yang diatur dalam Peraturan

Walikota Surabaya Nomor 59 Tahun 2010. Namun kegiatan ini tidak berjalan

optimal karena sebagian besar warga penghuni rusunawa yang berasal dari

golongan masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu membayar. Oleh

karena itu dalam perjanjian antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Kota

Surabaya perlu dijelaskan secara lebih rinci mengenai pembagian tugas

pendanaan selama rusunawa tersebut berada dalam masa transisi.

5.3.3 Kesimpulan

Hasil dari kajian menunjukkan bahwa secara normatif, kewajiban yang tercantum

dalam undang-undang maupun yang tertuang dalam perjanjian (MoA) antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah dilaksanakan oleh masing-masing

stakeholder, namun dalam implementasinya Pemerintah Kota Surabaya masih

kurang memahami pembagian kewajiban yang tersirat dalam pasal-pasal

perjanjian (MoA). Oleh karena itu, untuk menghindari perbedaan penafsiran,

dalam MoA perlu diperjelas mengenai aspek batas waktu dalam pendanaan

pengelolaan, sehingga pada saat rusunawa berada dalam tahap transisi, baik

pemerintah pusat maupun daerah tidak akan saling melepas tangan dalam

menanggung biaya operasional dan pemeliharaan.

Selain itu, tingkat kesiapan penghuni dan pengelola rusunawa berada pada

kategori Dukungan Kolektif. Meskipun karakteristik sosial ekonomi para

penghuni cukup homogen (ditandai dengan kesamaan latar belakang geografis,

bahasa, mata pencaharian, dan nilai-nilai lokal lainnya), namun karena belum

banyak yang menyadari bahwa kesamaan tersebut dapat didayagunakan menjadi

basis kelembagaan, maka kelembagaan penghuni rusun belum dioptimalkan agar

dapat berperan menjadi mediator ke pemerintah (terutama jika para penghuni

menemui kendala dalam penghunian dan pengelolaan rusun). Dari perspektif

sosial dan lingkungan, diketahui bahwa kemampuan adaptif penghuni dalam

menghuni dan mengelola fasilitas komunal sudah cukup baik. Hal ini diindikasikan

dengan adanya paguyuban penghuni, berjalannya sistem keamanan lingkungan

(siskamling), pengurus musholla, dan sebagainya.

Masih minimnya dukungan dari pemkot Surabaya, belum tercapainya kesepakatan

antara penghuni –khususnya para korban gusuran– dengan pemkot mengenai

iuran bulanan yang affordable, lambatnya proses serah terima rusunawa sebagai

sebuah aset dari pemerintah pusat ke pemda hingga menyebabkan minimnya

(atau bahkan tiadanya) APBD untuk perawatan bangunan rusun, belum

optimalnya proses seleksi penghuni12, masih menjadi kendala terwujudnya

kesiapan masyarakat penghuni secara seutuhnya. Sebagian besar warga korban

gusuran yang tinggal di Rusunawa Wonorejo, Randu, dan Penjaringansari kota

Surabaya; mereka enggan membayar sewa karena merasa tarif yang dibebankan

terlalu tinggi. Mereka menginginkan adanya dialog antara pemda dengan

12Di beberapa lokasi rusunawa, khususnya di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar, masih kerap dijumpai penghuni yang “tidak pantas” menempati Rusunawa. Hal ini dikarenakan cukup memadainya tingkat sosial ekonomi penghuni yang bersangkutan. Menurut wawancara yang dilakukan oleh Tim Peneliti Puslitbang Sosekling, tiadanya proses seleksi merupakan salah satu faktor penyebab mengapa penduduk golongan ekonomi menengah ke atas bisa menyewa rusunawa.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

35

penghuni sebelum tarif ditetapkan, sehingga tarif yang berlaku merupakan hasil

kesepakatan antara kedua belah pihak. Di samping kendala tersebut, minimnya

pembinaan selama proses penghunian, hingga belum siapnya peran fasilitasi yang

terintegrasi untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi penghuni mau tidak mau

berpotensi menghambat target nasional dalam pengentasan kawasan kumuh di

perkotaan.

Gambar 4. Pos Siskamling di Rusunawa Wonorejo sebagai Wujud Adaptasi Penghuni dalam Mengelola Lingkungan

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

conomic progress without social development is not sustainable; while social

development without economic progress is not feasible”. Kutipan di atas

merupakan salah satu topik wacana yang merebak dalam perhelatan internasional

World Economic Forum yang dihadiri para pelaku bisnis, kepala pemerintahan,

serta pakar dari berbagai negara pada tanggal 12 – 13 Juni lalu di Jakarta. Memang

kurang tepat rasanya jika kebijakan pembangunan hanya bertumpu pada salah satu

aspek saja tanpa memperhatikan aspek lainnya. Pembangunan yang terlalu

mengejar target pertumbuhan ekonomi semata tanpa mengindahkan sisi manusia

dan kelestarian lingkungan, atau sebaliknya, investasi besar-besaran pada aspek

SDM tanpa berfokus pada pencapaian kesejahteraan ekonomi juga tidak akan

menghasilkan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dari hasil analisis data dan pembahasan, dapat kita garisbawahi kembali betapa

peliknya kondisi dan tantangan infrastruktur nasional ke depan. Di samping arus

globalisasi, deal-deal di tingkat regional juga menuntut pembenahan kondisi

infrastruktur kita untuk lebih mempercepat ketertinggalan bangsa. Guna

mencapainya, tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain

dibutuhkan keterpaduan aturan dan kebijakan (comprehensiveness) di tingkat

pemerintah, masyarakat juga harus disiapkan untuk turut berpartisipasi

(inclusiveness). Berbagai kondisi lokalitas masyarakat hendaknya jangan dijadikan

“E

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

36

hambatan bagi tercapainya sasaran pembangunan. Sebaliknya, melalui aktivitas

litbang yang memadukan aspek sosekling, hendaknya kita dapat mengenali

karakteristik masyarakat sehingga dapat dirumuskan strategi penyiapan yang

selaras dengan berjalannya pembangunan itu sendiri.

Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Infrastruktur PU

– Masyarakat mempersepsikan keberadaan infrastruktur PU dalam berbagai

perspektif. Ada yang menolak secara terang-terangan dengan mengorganisir diri

secara kolektif (membentuk Jamaah Korban Pembangunan Jalan Tol atau

JKPT), ada yang mendukung (sebagian warga terkena dampak sudah sadar

akan arti pentingnya infrastruktur publik, kelompok P3A dan anggotanya juga

berkeinginan untuk mendukung program modernisasi irigasi meskipun secara

knowledge, kapasitas, dan pemahaman, masih belum sepenuhnya memahami

esensi modernisasi), ada pula yang komplain dan apatis (seperti para penghuni

rusunawa yang tidak puas dengan penetapan tarif rusun secara sepihak oleh

pemkot Surabaya).

Kondisi Sosekling Masyarakat Sebelum dan Sesudah Infrastruktur PU

Dibangun

– Kondisi sosekling masyarakat mempengaruhi kesiapan dan pola adaptasi

mereka. Hal ini dibuktikan dengan beragamnya respon masyarakat terhadap

jenis infrastruktur yang ada/hendak dibangun.

– Sebelum ada rencana modernisasi irigasi, masyarakat sudah beradaptasi dan

menggunakan kemampuan kolektifnya untuk memecahkan persoalan terkait OP

irigasi. Misal: dengan menyampaikan keluhan mereka kepada mantri hingga

lurah. Namun, karena minimnya channel ke tingkat pemda, maka solusi temporal

biasanya hanya diberikan oleh mantri pengairan, bukan solusi masif oleh pemda.

– Sebelum ada rencana pembangunan jalan tol, kondisi sosek masyarakat

cenderung “adem ayem”. Tetapi ketika sudah mulai diinformasikan (meskipun

belum dilakukan sosialisasi secara transparan dan terstruktur) rencana

pembangunan jalan tol di ruas Mojokerto-Kertosono Kab. Jombang, masyarakat

yang belum menerima informasi secara utuh menyatakan protes dengan cara

menghimpun diri membentuk JKPT.

– Sebelum dipindah ke rusunawa, mayoritas penghuni tinggal di kawasan kumuh

bantaran kali. Jadi dapat disimpulkan ada perubahan kondisi sosial. Dan

lingkungan Meskipun secara sosekling, sudah ada adaptasi dan peningkatan

kapasitas kolektif, namun secara struktural hubungan vertikal antara penghuni

dengan pemkot Surabaya masih belum memberikan pengaruh signifikan dalam

mendukung proses penghunian dan pengelolaan.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

37

Faktor Penyebab Belum Siapnya Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan

Infrastruktur PU

Dari hasil analisis, diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) faktor penyebab belum siapnya

masyarakat untuk mendukung pembangunan PU, yaitu:

– Belum siapnya individu

– Minimnya kohesivitas (kolektivitas)

– Kurangnya dukungan kelembagaan stakeholder/mekanisme delivery

Strategi untuk Mengkondisikan Masyarakat dan Kelembagaan Stakeholder

Guna Mendukung Pembangunan Infrastruktur PU

Untuk itu, guna mengatasi hal ini, serangkaian strategi perlu diambil oleh

pemerintah, yaitu:

– Modernisasi Irigasi yang dilakukan sebaiknya tidak hanya menekankan pada

aspek fisik semata tetapi juga modernisasi sosekling masyarakat dan

kelembagaannya. Untuk mencapainya, beberapa strategi dan alternatif kebijakan

telah dirumuskan sebagai berikut:

Sosialisasi yang lebih efektif guna memberikan pemahaman kepada petani

dan P3A mengenai esensi dan tanggungjawab yang harus dilakukan dalam

rangka modernisasi irigasi

Sosialisasi tidak hanya dilakukan dalam aspek infrastruktur semata, tetapi

juga bagaimana menyadarkan masyarakat untuk menjaga kualitas dan

kuantitas sumber air

Penguatan kapasitas pemda dalam melakukan fasilitasi rencana modernisasi

(di berbagai lini; sosial, ekonomi, dan lingkungan)

Pemetaan/identifikasi kondisi dan potensi buruh tani

Pelibatan buruh tani dalam program-program pengembangan ekonomi lokal

Pengembangan peluang dan inovasi pembiayaan OP

Pemberdayaan/peningkatan partisipasi pemda dan masyarakat dalam

pembiayaan OP

Eksplorasi dan optimalisasi potensi sosekling kabupaten dalam rangka

menunjang sektor pertanian dan pengembangan ekonomi wilayah

Pemberdayaan petani dan kelompok P3A dalam OP jaringan

pascamodernisasi

Pemberdayaan dan peningkatan komitmen stakeholder daerah melalui

fasilitasi serta pemberian kemudahan akses sumberdaya khususnya terkait

pertanian baik dari pemprov maupun pusat

Peningkatan kapasitas (manajemen keuangan/kredit) kelompok P3A untuk

turut serta dalam reaktivasi KUD

Optimalisasi kinerja pemerintah kabupaten sebagai pihak yang langsung

bersentuhan dengan masyarakat

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

38

Peningkatan kapasitas dan kinerja aparat desa dan mantri sebagai fasilitator

antara petani dengan pemda

Pembuatan peraturan daerah (perda) yang mengatur jumlah industri di

sepanjang sungai

Pemberlakukan sanksi yang tegas (disinsentif) bagi industri/pabrik yang

mencemari lingkungan/perairan

Penggalakan sekaligus peningkatan kinerja KUD di desa-desa lain

Pemberian insentif bagi petani/P3A yang menjadi anggota KUD

Fasilitasi pendirian KUD melalui berbagai bentuk kemudahan/insentif, misal:

kemudahan pencatatan akta notaris, bantuan permodalan, penyediaan

lumbung dan peralatan, dsb

Kerjasama dengan kabupaten lain untuk mendirikan kawasan industri terpadu

(industrial cluster) namun terlebih dahulu disiapkan perangkat peraturannya

seperti MoU, peraturan bersama/pergub, komitmen antara pemkab dengan

swasta/industri, dsb.

Pemberdayaan dan pemberian akses (pengaduan) petani, kelompok P3A,

serta aparat desa untuk mampu menolak keberadaan pabrik yang mencemari

sungai/sumber air irigasi

– Dalam pembebasan lahan jalan tol Trans Jawa perlu “merangkul” LSM dan

masyarakat dengan mengeksplorasi pola-pola kemitraan yang sesuai. Hal ini

penting karena LSM lah yang selama ini mendampingi WTP. Selain itu,

pelaksana proyek juga perlu mentaati dan menjalankan Peraturan Kepala BPN

seutuhnya. Aspek transparansi informasi dan berbagai solusi mengatasi dampak

sosekling sebetulnya sudah dicakup dalam AMDAL yang disusun, namun dalam

pelaksanaannya harus lebih dipantau agar sesuai dengan apa yang dirumuskan.

Beberapa alternatif kebijakan dan strategi untuk meningkatkan kesiapan

masyarakat yaitu

Pemerintah dapat mengadaan kemitraan dengan masyarakat yang terkena

dampak baik dalam proses konstruksi maupun dalam perawatan di masa

depan. Kerjasama tersebut dapat berupa penentuan titik rest area beserta

pengelolaaanya sehingga masyarakat tetap mempunyai mata pencaharian

untuk hidup

Pelibatan unsur masyarakat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan

musyawarah mengenai harga tanah

Bersama tim appraisal melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait

besarnya nilai ganti rugi yang akan diberikan

Melibatkan masyarakat dalam upaya pengembangan ekonomi lokal.

Penyusunan dokumen AMDAL yang lebih detail, mendalam, dan

mengeluarkan UKL/UPL yang lebih realistis

Pelaksanaan proses pra konstruksi dan konstruksi sesuai dengan dokumen

AMDAL yang telah tersedia.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

39

Penetapan regulasi yang jelas terkait masalah pembebasan lahan, khususnya

bagi pemerintah daerah

Mengopimalkan kinerja pemerintah daerah sebagai pihak yang langsung

bersentuhan dengan masyarakat.

– Dalam kasus penghunian dan pengelolaan rusunawa, beberapa stakeholder

di lingkup pemkot Surabaya yang terlibat dalam pengelolaan ketiga rusunawa ini

perlu duduk bersama paguyuban penghuni dalam penentuan tarif. Selain itu,

agar pengguna rusunawa lebih tepat sasaran, kedepan perlu dirumuskan metode

seleksi dan penyiapan penghuni yang sesuai. Disamping itu, beberapa alternatif

strategi lain yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan pengambilan kebijakan

antara lain:

Mempercepat proses serah terima aset rusunawa antara Pemerintah Pusat

dan Daerah.

Mengadakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan penghuni rusunawa

dalam pengelolaan, entrepreneurship, dll.

Penyediaan area di rusunawa yang dikhususkan sebagai lokasi

perdagangan/usaha bagi masyarakat penghuni rusunawa yang berwirausaha.

Tidak hanya diperuntukkan bagi penghuni, UPTD dapat “mempromosikan”

ruang tersebut untuk dikomersilkan kepada swasta (bank, toko, dll) dalam

rangka pencarian sumber biaya untuk pemeliharaan gedung.

Memperkuat peran UPTD dalam memfasilitasi musyawarah antara penghuni

dengan Pemerintah Kota Surabaya mengenai penentuan tarif sewa.

Peningkatan sarana dan prasarana rusunawa.

Memberikan tanggungjawab kepengurusan organisasi masyarakat

(paguyuban penghuni) tidak hanya dari kalangan umum tetapi juga dari warga

gusuran.

Meningkatkan kapasitas UPTD sebagai mediator antara warga dan

Pemerintah kota.

Kesepakatan mengenai pembiayaan OP rusunawa pada masa transisi dalam

Memorandum of Agreement (MoA)

Optimalisasi kinerja UPTD sebagai pihak yang langsung bersentuhan dengan

masyarakat

Percepatan reformasi kebijakan dalam bidang permukiman pada berbagai

level pemerintahan, khususnya daerah

Pemberlakukan sanksi yang tegas (disinsentif) bagi industri/pabrik yang

mencemari lingkungan/perairan

Fasilitasi pendirian Koperasi melalui berbagai bentuk kemudahan/insentif,

misal: kemudahan pencatatan akta notaris, bantuan permodalan, dsb.

Pemberdayaan masyarakat dalam OP rusunawa

Melakukan dialog secara rutin antara pemerintah dengan penghuni rusunawa.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

40

5.2 Saran

Di balik beberapa kelebihan yang dapat Tim tawarkan dari penelitian ini, seperti

misal: (1) dapat mengisi gap minimnya studi tentang kesiapan masyarakat dalam

pembangunan infrastruktur PU yang belum pernah dilakukan oleh peneliti/pakar

sebelumnya, (2) karena sifatnya studi kasus, maka penelitian ini mampu menggali

permasalahan di lapangan dengan sangat detail, komprehensifnya pendekatan

yang diambil (sosial, ekonomi, dan lingkungan) juga menjadi kekuatan studi ini,

serta (3) simplifikasi teori kesiapan masyarakat yang digagas oleh Pentz (1991)

dalam Edwards (2005) dapat dijadikan sebagai acuan bagi aplikasi-aplikasi

pembangunan infrastruktur PU di lain bidang dan subsektor.

Namun Tim tetap mengakui bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.

Seperti misal: karena sensitifnya isu pembebasan lahan, maka Tim tidak

menggunakan teknik survey untuk memperoleh data primer. Hal ini dirasa belum

maksimal, terutama jika ingin mengukur validitas informasi yang diperoleh

(pendekatan yang saat ini digunakan masih terlalu kualitatif). Untuk itu, guna

penyempurnaan kegiatan ini pada tahun depan, disarankan agar sebelum

melakukan penelitian lapangan, perlu disusun terlebih dahulu strategi yang sesuai

untuk menggunakan teknik survey dalam berbagai konteks kasus.

Selain itu, karena secara prinsip kedudukan dan karakteristik infrastruktur yang

menjadi studi kasus berbeda (antara irigasi yang merupakan common pool

resources, jalan tol yang merupakan private goods, hingga rusunawa yang

merupakan mix antara public dan private goods), maka dalam penelitian ini belum

dapat dilakukan generalisasi secara maksimal. Namun, rekomendasi yang

dikeluarkan dapat digunakan untuk infrastruktur sejenis di lokasi yang berbeda.

Contoh, modernisasi irigasi di DI lain, pembebasan lahan jalan tol di ruas yang lain,

serta penghunian dan pengelolaan rusunawa di Makassar, misalnya.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

41

DAFTAR PUSTAKA

Adams, W.M., et.al.(2003)Managing Tragedies: Understanding Conflict over Common

Pool Resources, SCIENCE Vol. 302, www.sciencemag.org.

Aditjondro, G.J. (2003) Korban-korban pembangunan: Tilikan terhadap Beberapa Kasus

Perusakan Lingkungan di Tanah Air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aligica, P.D. (2006)Institutional and Stakeholder Mapping: Frameworks for Policy Analysis

and Institutional Change, Public Organiz Rev. (2006) 6: 79–90.

Anwar, S. (2009)Pengelolaan Sumber Daya Air, Jakarta: PT Media Saptakarya.

Arif, S.S. (2003), Modernisasi Irigasi, Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI)

dan Kebutuhan Riset Tentang Irigasi di Masa Depan, Makalah disajikan dalam

pertemuan singkat di Balai Besar Keteknikan Pertanian, Departemen pertanian,

Jakarta, 12 Agustus 2003.

Asian Development Bank (2010)Indonesia: Critical Development Constraints, Country

Diagnostics Studies, Manila: ADB.

Canning, D. & Bennathan, E., TheSocial Rate of Return on Infrastructure Investment,

http://time.dufe.edu.cn/jingjiwencong/waiwenziliao/wps2390.pdf.

Creswell, J.W. (1994)Research Design, Qualitative and Qualitative Approaches,

California: SAGE Publication Inc.

Davis, M. (2004) "Planet of slums: urban involution and the informal proletariat",New Left

Review 26: 5-34.

de Loe, R. C., Armitage, D., Plummer, R., Davidson, S. and Moraru, L. 2009. From

Government to Governance: A State-of-The-Art Review of Environmental Governance.

Final Report. Prepared for Alberta Environment, Environmental Stewardship,

Environmental Relations. Guelph, ON: Rob De Loe Consulting Services.

Departemen PU (2006)Dekonsentrasi Pembangunan Infrastruktur Perlukan Sinergi Pusat

Dengan Daerah,

http://www.pu.go.id/index.asp?site_id=001&news=ppw310706rendi.htm&ndate=7/31/2

006%202:04:57%20PM, diakses tanggal 30 Oktober 2007.

Departemen PU(2005)Peran PU dalam Pembangunan Infrastruktur,

http://www.pu.go.id/2nd_index_produk.asp?site_id=01020100&noid=9, diakses tanggal

30 Oktober 2007.

Dikun. S. (ed.) (2003)Infrastruktur Indonesia: Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis,Jakarta:

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

Direktorat Jenderal Cipta Karya (2010)Memorandum of Agreement tentang

Penyelenggaraan Bantuan Pembangunan Rumah Sususn Sederhana Sewa Berikut

Prasarananya. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya.

Donaldson, T. and Preston, L. E. (1995)“The Stakeholder Theory of The Corporation:

Concepts, Evidence, and Implication”. Academy of Management Review, 20(01): 65-

91.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

42

Eckman, K. & Walker, R. (2008)Knowledge, Attitudes, and Practice (KAP) Survey

Summary Report for the Duluth Lakeside Stormwater Reduction Project (LSRP), Water

Resources Center University of Minnesota.

Edwards, R. W.et.al.(2000)“Community readiness: Research to practice”, Journal of

Community Psychology, 28(3), 291-307.

Jong, A. de (1996) „Inter-Organizational Collaboration in the Policy Preparation Process‟,

dalam Huxham, C. (eds) Creating Collaborative Advantage, London: SAGE

Publications Ltd.

Hamid, A. & Santosa, H. (2010)Kriteria Rusunawa Untuk Permukiman Kembali

(Resettlement) Masyarakat tepian Sungai Desa Batu Merah, Kota Ambon. Makalah

dalam Seminar Nasional Pascasarjana X tanggal 4 Agustus 2010, Surabaya: Institut

Teknologi Surabaya.

Hermans, L.M., dan Thissen, W.A.H. (2009) „Actor analysis methods and their use for

public policy analysts‟, European Journal of Operational Resarch, Vol. 196, pp. 808 –

818.

Hess, C. &Ostrom, E.(2005) "A Framework for Analyzing the Knowledge Commons: a

chapter from Understanding Knowledge as a Commons: from Theory to Practice",

Library Publications. Paper 21, http://surface.syr.edu/sul/21.

Iqbal, Z. & Suleman, A. (2010)Indonesia: Critical Constraints to Infrastructure

Development, Providing Resources Fighting Poverty Restoring Dignitiy, Jeddah:

Islamic Development Bank.

Kementerian PU (2008)Kontribusi Sektor ke-PU-an terhadap Pertumbuhan Ekonomi,

http://www.pu.go.id/2nd_index_produk.asp?site_id=01020100&noid=23, diakses

tanggal 1 Desember 2011.

Kodoatie, RJ. & Sjarief, R. (2008)Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Yogyakarta:

Penerbit Andi.

Laquian, A.(2005)Beyond Metropolis: The Planning and Governance of Asia's Mega

Urban Regions, Washington: Woodrow Wilson Center Press.

Miles, M. B. & Huberman, A. M. (1984)Qualitative Data Analysis, California: SAGE

Publication, Inc.

Morris, S. (2001)Issues in Infrastructure Development Today: The Interlinkages, India

Infrastructure Report, http://mpra.ub.uni-muenchen.de/24427/1/iir2.pdf.

Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam

Penyediaan Infrastruktur.

Phillips, R. (2003)Stakeholder Theory and Organizational Ethics, San Fransisco:Berrett-

Koehler Publishers, Inc.

Polski, M. M. & Ostrom, E. (1999) An Institutional Framework for Policy Analysis and

Design, Workshop in Political Theory and Policy Analysis, Indiana University.

Prud‟homme, R. (2004)Infrastructure and Development, Paper prepared for the ABCDE

(Annual Bank Conference on Development Economics), Washington, May3-5, 2004.

Puslitbang Sosekling (2011)Urgensi Pemetaan Sosekling dalam Pembangunan

Infrastruktur, http://sosekling.pu.go.id/berita/342-workshop.

Executive Summary Kajian Kesiapan Masyarakat untuk Pembangunan Infrastruktur PU

Bidang SDA, Jalan dan Jembatan, dan Permukiman

43

Santoso, J. (2006)[Menyiasati] Kota Tanpa Warga. Jakarta: Penerbit KPG dan

Centropolis.

Sibarani, A.U. (2010)In search of best infrastructure development, Opinion, The Jakarta

Post, Wednesday 11/03/2010.

Tanuwidjaja, G. &Widjaja, J. M. (2010)Integrasi Tata Ruang dan Tata Air Untuk

Mengurangi Banjir di Surabaya, Prosiding Seminar Arsitektur (di) Kota Tahun 2010:

Hidup dan Berkehidupan di Surabaya. Surabaya, 27 Mei 2010: Jurusan Arsitektur

Universitas Kristen Petra.

Tellis, W. (1997) “Application of a Case Study Methodology”, The Qualitative Report,

Volume 3, Number 3, September, 1997.

UNESCAP (2010)Regional Exposure Workshop on Pro-poor and Sustainable Solid Waste

Management in Secondary Cities and Small Towns, UnitedNations Economic and

Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), 22 – 24 Februari 2010, Dhaka.

UNESCAP (2006)Enhancing Regional Cooperation in Infrastructure Development

including that related to Disaster Management, Bangkok: United Nations.

UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.

UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

VanWynsberghe, R. & Khan, S. (2007) “Redefining Case Study”, International Journal of

Qualitative Methods 6 (2) June 2007.

Vilanova, L. (2007)“Neither Shareholder nor Stakeholder Management: What Happens

When Firms Are Run for Their Short-Term Salient Stakeholder?”,European

Management Journal, 25(02): 146-162.

Widyaningrum, N. Kota untuk siapa?,

http://akatiga.org/index.php/artikeldanopini/kemiskinan/110-kota-untuk-siapa, diakses

pada tanggal 3 Desember 2011.

Wirartha, IM., 2006, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Yin, R. (1993). Applications of case study research. Newbury Park, CA: Sage Publishing.

Zainal, Z. (2007) “Case study as a reseach method”, Jurnal Kemanusiaan bil.9, Jun 2007.