kajian ilmu pendidikan islam tentang nilai-nilai edukatif q.s al-a’raaf : 179
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi
dapat dididik dan dapat mendidik. Para ahli didik memandang manusia
sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan, artinya
binatang yang dapat dididik. Manusia diciptakan sebagai makhluk mulia hal
ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman an-Nahlawi (1995:40) yang
menyatakan bahwa :Islam tidak memposisikan dalam kehinaan, kerendahan
atau tidak berharga seperti binatang, benda mati, atau makhluk lainnya.
Manusia juga sebagai makhluk yang istimewa yang memiliki
kesempurnaan jasmani maupun rohani dibanding dengan makhluk yang lain,
terletak pada hati atau akal budinya dalam memahami, mengetahui dan
berfikir. Manusia juga diberi sarana atau potensi-potensi panca indera yang
diberi oleh Allah yang diberikan berupa mata untuk melihat, telinga untuk
mendengar dan hati untuk memahami, jelas kesemunya itu harus dipelihara
dididik dan diarahkan secara baik supaya dapat difungsikan sebagaimana
mestinya. Hal yang demikian ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. Al-A’raaf
ayat 179 Yang berbunyi:
"Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai " (DEPAG RI, 1989 : 251).
Mengenai ayat diatas, menurut Ibnu Katsir (1993:510) dalam tafsirnya
mengatakan, bahwasannya Allah SWT yang telah menciptakan dan
menjadikan untuk neraka jahanam yaitu kebanyakan dari golongan jin dan
manusia. Apabila mereka tidak memanfaatkan dari anggota badan yang telah
Allah SWT berikan yang lazimnya menjadi alat untuk mendapat hidayah.
Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Ahqof ayat 26:
“Dan kami telah memberikan kepada mereka pendengaran,
penglihatan, dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka
tidak bergunaa sedikitpun bagi mereka, karena mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Allah. (DepagRI, 1989:826)
Dan Allah SWT berfirman juga dalam QS. AI-Baqarah ayat 18 :
"Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali kejalan yang benar"(Depag RI, 1989:11)
Dan tidaklah mereka tuli, bisu, dan buta kecuali terhadap petunjuk
Allah SWT serta firmannya dalam QS. Al-Hajj ayat 46 :
... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu buta, tetapi yang buta, ialah hati yang didalam dada.. (Depag RI, 1989:519)
Siapa saja yang diberi taufik oleh Allah, hingga ia mau menempuh
jalan yang benar, karena dia mau menggunakan akal dan inderanya dengan
semestinya, sesuai dengan fitrah dan bimbingan agama, maka dialah orang
yang benar-benar memperoleh petunjuk karena dia bersyukur atas nikmat-
nikmat yang di anugrahkan Allah kepadanya, dan menunaikan kewajiban
yang dibebankan Allah kepadanya. Maka dialah yang bakal memperoleh
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dan siapa saja yang dihinakan Allah dan tidak diberi taufik, lalu dia
mengikuti jejak setan dan hawa nafsunya, dan tidak menggunakan akal dan
inderanya untuk memahami secara mendalam ayat-ayat Allah dan
mensyukuri nikmat-Nya, maka dialah orang-orang yang benar-benar kafir dan
sesat, yang takan memperoleh kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan
akhirat. Karena dia tidak mau menggunakan dengan sebaik-baiknya anugrah-
anugrah illahi tersebut. Yang dengan itu semestinya dia bisa menjadi manusia
yang patut memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.
Allah SWT memberikan indera penglihatan supaya digunakan untuk
melihat benda-benda yang dilihat, dan hati (akal) sebagai perantaranya
mereka membedakan hal-hal yang bermanfaat atau mudhorot. Indera-indera
ini di berikan kepada manusia secara bertahap, semakin tumbuh
jasmaniahnya makin kuatlah penangkapan indera-indera itu hingga mencapai
puncaknya. Dan sesungguhnya Allah memberi kepada hamba-hambanya
sarana penglihatan, pendengaran, dan yang demikian itu hanyalah agar
memudahkan ia melakukan ibadah dan taat kepada Allah, yakni semua
anggota badan manusia seharusnya dipakai menjadi alat untuk mencapai
hidayah.
Menurut Hamka (1985:490) dalam tafsir al-Azhar menyebutkan
bahwa di dalam segala bahasa terdapat perkataan hati, dan perkataan hati ini,
baik dalam bahasa arab bahasa Al-Qur'an, atau dalam bahasa kita sendiri
mempunyai dua arti. Pertama, hati sebagai bagian badan manusia yang
terletak didalam kurungan dadanya. Itulah hati sebagai bagian benda atau
bagian tubuh. Kedua, hati yang berarti akalt perasaan yang halus, disebut juga
"rasa hati" atau "hati kecil" atau "hati sanubari" atau "hati nurani".
Sebenarnya menurut penyelidikan tubuh lahir bathin manusia, jiwa dan
badannya, orang berpendapat bahwa kegiatan berfikir ialah dan otak, bukan
dari hati. Tetapi bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat yang
dipakai untuk menyatakan fikiran nurani.
Ayat ini menyatakan bahwa dua mahluk Allah yang utama. pertama
jin dan kedua manusia, telah diberi hati oleh Allah. Maka boleh juga kita
artikan bahwa mereka telah diberi otak oleh Allah buat berfikir, tetapi mereka
telah disediakan buat menjadi isi neraka jahanam, kalau hati itu tidak mereka
pergunakan buat mengerti, buat berfikir, merenung atau memahamkan.
Di sini lapadz yafqohuuna, artinya berfikir atau berfaham. Menurut
ahli bahasa, orang yang berfikir atau berfaham ialah orang yang dapat
melihat yang tersirat di belakang yang tersurat. Pada ayat ini di dahulukan
menyebut hati dari ada mata dan telinga. Sebab mata dan telinga adalah dua
panca indera yang menjadi alat bagi hati untuk berhubungan keluar diri. Apa
yang dilihat oleh mata dan di dengar oleh telinga dibawa kedalam hati dan di
pertimbangkan.
Ayat ini menerangkan bahwa semua makhluk insan atau jin itu di beri
hati (fikiran), mata dan telinga oleh Allah. Hati tidak di bawa buat mengerti,
mata buat melihat dan telinga buat mendengar. Artinya. tidak mereka berfikir
untuk mencari hakikat yang sejati, yaitu kebenaran dan keesaan Allah
sehingga bergelimang diri dengan khurafat, kebodohan, jiwa kecil dan
kehinaan.
Selanjutnya, binatang ternak tidak ada perhatian, sebab yang ada
padanya hanya semata-mata hati sebagai bagian tubuh. Apa yang mereka lihat
tidak jadi perhatian dan apa yang mereka dengarpun tidak menjadi perhatian.
Yang ada padanya hanyalah naluri. Tetapi manusia yang tidak memakai
perhatian itu, lebih juga tersesat dari binatang. Bagaimana bodohnya
binatang, namun kejahatanya tidaklah sampai sejahat manusia. "mereka itu
ialah orang-orang yang lalai".
Orang itu menjadi lalai, dan kelalaian itu yang menyebabkan tidak
adanya perhatian. Lalai mereka memperhatikan keselamatan diri baik di
dunia dan di akherat. Mereka lalai, sebab itu tidak ingat arti dirinya sebagai
manusia. Mereka lalai, sehingga mereka ingat hanyalah soal perut berisi.
Mereka lalai, sehingga tidak ada hubungannya jiwa dengan alam sekeliling,
padahal alam sekeliling adalah saksi atas adanya yang maha kuasa. Mereka
lalai, sehingga berfikir hanya sekitar diri, tidak peduli masyarakat, tidak
peduli cita-cita bertanah air dan bangsa. Mereka hanya melihat kulit, sehingga
isi kehidupan menjadi kosong. Sebab itu datangnya kedunia tidak membawa
faedah bagi sesama manusia, dan kembali masuk kuburpun tidak membawa
kerugian bagi orang lain, dan tempatnya di hari nanti ialah di dalam neraka
jahanam.
Sebelum melangkah lebih jauh, penulis akan membahas sedikit
mengenai pandangan Al-Qur'an tentang kehidupan duniawi ini. Namun
karena beragamnya pandangan yang dikemukakan dalam hal ini, maka lebih
baik kita perhatikan pernyataan-pernyataan Al-Qur'an saja.
Al-Qur'an dengan tegas memaklumkan kefanaan kehidupan duniawi
ini dan ketidak berartian kehidupan duniawi ini dan ketidak beranian
kehidupan tersebut dibandingkan dengan kehidupan abadi diakhirat. Allah
SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 38 yang berbunyi:
...Kenikmatan hidup di dunia ini hampir tak berarti bila dibandingkan dengan Kehidupan di akhirat. (Depag RI, 1989:284)
Kehidupan dunia ini hanyalah jembatan untuk menuju akhirat atau
sarana untuk menguji mutu manusia. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-
Kahfi ayat 7 ;
"Sesungguhnya telah kami jadikan semua yang ada didunia ini sebagai perhiasan, agar kami menguji mereka; siapakah diantara mereka yang paling baik perbuatannya. (Depag RI, 1989:444)
Dalam hal ini Allah bersikeras menjelaskan bahwa kehidupan
akhiratlah yang abadi. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. AI-An'am
ayat 32 :
“Dan tiadalah kehidupan di dunia ini hanyalah permainan dan sendagurau belaka. Dan sungguh kediaman di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu berfikir. (DepagRl, 1989:191)
Maksud dari ayat ini adalah kesenangan-kesenangan duniawi itu
hanya sebentar dan tidak kekal. Janganlah orang terpedaya dengan
kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.
Al-Qur'an amat mengutuk orang-orang yang lebih menyukai
kehidupan di dunia fana ini dari pada kehidupan di akhirat yang kekal dan
luar biasa itu. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. Yunus ayat 7-8:
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia ini serta merasa tentram dengannya, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami, maka mereka itu tempatnya ialah neraka, di sebabkan apa yang selalu mereka kerjakan (Depag RI, 1989:306)
Dalam hal ini juga Al-Qur'an memuji orang-orang yang memadukan
karunia di dunia ini dengan karunia di akhirat, tetapi mereka lebih menyukai
akherat dari pada dunia.
Dengan demikian berarti sasarannya adalah menitik beratkan
bagaimana seharusnya sarana atau potensi panca indera yang diberikan oleh
Allah ini berupa hati, penglihatan, dan pendengaran dapat di fungsikan
dengan sebaik-baiknya. Lebih lanjut dan uraian diatas. mengandung
permasalahan yang memerlukan penelitian atau penelaahan secara jelas, tegas
dan mendalam yang di tuangkan dalam judul : "KAJIAN ILMU
PENDIDIKAN ISLAM TENTANG NILAI-NILAI EDUKATIF Q.S AL-
A’RAAF : 179"
B. Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka dapat di identifikasi bahwa
masalah utama yang akan dikaji pada penelitian ini adalah " Bagaimana
Kajian Ilmu Pendidikan Islam tentang nilai-nilai edukatif yang terkandung
dalam QS. Al-A’raaf : 179”.
C. Tujuan penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui Kajian Ilmu Pendidikan Islam Tentang Nilai-nilai Edukatif
Q.S Al-A’raaf : 179.
D. Kerangka Berfikir
Pendidikan pada dasarnya berhubungan erat dengan manusia, sebab
masalah manusia pada hakekatnya adalah juga masalah pendidikan. Manusia
merupakan mahluk ciptaan Allah SWT, yang diberi kesempurnaan jasmani
maupun rohani dibanding dengan mahluk yang lain, terletak pada hati atau
akal dalam memahami, mengetahui dan berfikir. Manusia juga diberi sarana
atau potensi panca indera berupa mata dan telinga, kesemuanya itu harus di
pelihara, di kembangkan dan lebih luasnya lagi dididik.
Dalam hal ini Al-Ghazali yang dikutif Yahya Jaya (1994:4)
berpendapat mengenai pendidikan dan pemeliharaan sarana dan potensi panca
indera yaitu berupa hati, mata dan telinga penting diperhatikan,
dikembangkan dan diwujudkan apalagi di zaman modern yang ditandai
dengan kemiskinan moral dan spiritual.
Pendidikan Islam secara terus menerus berusaha mendidik manusia
dalam upaya meningkatkan kualitas manusia seutuhnya, hal ini seiring
dengan Tujuan Pendidikan Nasional dalam USPN No.2 pasal 4 bab II
tahun 1989 yang menggambarkan secara jelas Tujuan Pendidikan yaitu :
Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan
yang Maha Esa yang berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
rasa bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Karena di dalam Pendidikan Islam terdapat berbagai interaksi edukatif
secara Islami, yang di dasarkan pada pemahaman terhadap petunjuk-petunjuk
Ilahiyah (wahyu) dan beberapa pemikiran tentang pendidikan Islam secara
konsisten. Dari sisi ini pula pendidikan Islam memberikan modal yang tidak
ternilai harganya baik keberadaan (eksistensi manusia selaku mahluk yang
dapat mengembangkan segala potensi untuk dikembangkan berdasarkan nilai-
nilai yang dikandungnya.
Pengembangan potensi manusia atau lazim dikenal dengan sebutan
pembentukan kepribadian yang utuh merupakan salah satu tanggung jawab
pendidikan Islam. Tanggung jawab itu tidak akan berhasil jika hanya
mengandalkan satu pola pendidikan yang tidak utuh. Oleh karena itu
pendidikan Islam sebagai salah satu alternatif dalam mengembangkan potensi
manusia menuju kearah terbentuknya integritas kepribadian manusia yang
berkualitas. maka pendidikan Islam secara konsepsional telah terlebih dahulu
menjelaskannya. bahwa ajaran Al-Qur'an mengajarkan kepada kita bahwa
setiap individu itu mempunyai fitrah sejak lahirnya. Dari sisi ini Islam
menekankan pentingnya pendidikan dan pengajaran bagi setiap manusia.
Manusia yang di beri potensi dan sarana panca indera berupa hati,
mata dan telinga yang sangat sempurna, apabila potensi dan sarana panca
indera itu tertutup dari signal-signal kebenaran, maka sungguh malang
manusia tersebut. Khusus mengenai hati, menurut Al-Ghazali yang dikutip
Dedi Suardi (I99I;73) menyatakan bahwa kemuliaan dan keutamaan manusia
yang melebihi sejumlah mahluk yang lain adalah karena manusia memiliki
kemampuan ma'rifat kepada Allah SWT, yang dengan itu manusia
memperoleh kebaikan, kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia ini yang
merupakan bekal dan simpanan baginya di akherat kelak.
Sesungguhnya kesediaan manusia untuk ma'rifat itu adalah lewat
hatinya, dan bukan lewat satu anggota badan yang lain. Ini berarti hati yang
mengimani adanya Allah SWT, mendekat kepada-Nya, bekerja karena-Nya,
berjalan kepada-Nya, dan hati pula yang menyikap apa-apa yang di sisi-Nya.
Sebab secara hakiki, hati yang taat kepada Allah dalam arti ibadah yang di
kerjakan anggota badan itu adalah penjelmaan dari hati. Dengan bersinarnya
hati, maka muncul kebaikan-kebaikan lahiriyah, tetapi sebaliknya apabila
gelap hatinya, akan muncul kejahatan-kejahatan. Untuk itu, maka hati
manusia harus di bawa tunduk, niat yang tulus, dan hati yang dipenuhi
cahaya, sebab dengan begitu akan mempertemukan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dan dengan hati yang tunduk akan mengeluarkan manusia dari
lingkaran diri yang terbatas dan menjadikannya beramal ikhlas kepada Allah
SWT. Hati juga harus tetap cerdas dan bersih, sebab dengan demikian akan
peka terhadap sifat ketuhanan (Rabbaniyah).
Said Hawwa (1997:1 13) dalam bukunya menyatakan bahwa salah
satu hal yang dapat menjadikan hati itu cerdas, baik dan sehat adalah ilmu,
akal pikiran, pengetahuan, dzikir dan amal. Contohnya dengan ma'rifat, sebab
hakikat ma'rifat ialah pengosongan bathin dari setiap keinginan,
meninggalkan kebiasaan jelek, ketenangan hati kepada Allah SWT tanpa
kaitan dan tidak berpaling dari-Nya kepada selain-Nya. Dan ma’rifat itu
adalah kedekatan, yaitu menguasai hati dan memberikan pengaruh di
dalamnya dengan sesuatu yang berpengaruh terhadap anggota-anggota badan.
Toto Tasmara (2001:93) menyatakan bahwa hati juga mempunyai
banyak potensi. Seluruh potensi hati harus disinari cahaya Illahi, sehingga ia
akan tetap berada di dalam jalan kebenaran. Untuk memelihara
cahaya Iliahi dan membentengi nyala api setan, sangat penting apabila kita
mengetahui dimensi dan potensi hati serta fungsinya, adapun salah satu dari
pada potensi hati itu adalah : Fu'ad, dan fuad ini merupakan potensi qalbu
yang berkaitan erat dengan indrawi, mengolah informasi yang sering
dilambangkan berada dalam otak manusia.
Fu'ad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya. Potensi ini cenderung dan selalu merujuk pada objektivitas, kejujuran, dan jauh dari sikap kebohongan, sebagai mana firmannya dalam QS. An-Najm :11
“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (Depag RI, 1989:871)
Allah SWT berfirman lagi dalam QS. Al-lsra’ : 36 :
............
. . . Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. (Depag RI, 1989:429)
Potensi fu'ad adalah potensi yang mampu menerima informasi dan
menganalisisnya sedemikian rupa sehingga ia mampu mengambil pelajaran
dari informasi tersebut.;
Pengawal setia sang fu'ad ini adalah akal zikir, fikir, pendengaran,
penglihatan, yang secara nyata diuraikan secara sistematis di dalam Al-
Qur'an. Di dalam Al-Qur'an kata akal ditampilkan dalam bentuk kerja
membantu fu'ad untuk menangkap seluruh fenomena yang bersifat lahir.
wujud, dan nyata dengan mendayagunakan fungsi nazhar 'indra penglihatan'.
Sedangkan, yang bersifat perenungan, pemahaman mendalam terhadap
hakikat yang bersifat gaib, tidak nyata, tidak tampak dalam penglihatan
diserahkan kepada potensi pikir dengan mendayagunakan fungsi sam'a
pendengaran. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mu'minun ayat 78 yang
berbunyi:
Konsepsi Nilai-nilai Edukatif QS. Al-Araaf Ayat 179
Tafsir Ayat QS. Al-Araaf Ayat 179.
Lafadz dan Terjemah AyatPandangan Para Mufasir
Nilai-nilai Edukatif QS. Al-Araaf ayat 179
Kecerdasan hatiKejelian Mata
Kepekaan Telinga
"Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihalan,dan hati. Amat sedikit kamu bersyukur",(Depag RI, 1989:535)
Yang dimaksud dengan bersyukur pada ayat ini adalah menggunakan
alat-alat tersebut untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan ke-Esaan
Tuhan, yang dapat membawa mereka beriman kepada Allah SWT. Serta taat
dan patuh kepada-Nya
Pendengaran merupakan lambang dari potensi qolbu untuk
merenungkan dan kemudian menghayati seluruh ayat, tanda, informasi, dan
kejadian alam semesta ini agar manusia terhindar dari kehancuran. Manusia
diingatkan pula bahwa kehancuran masyarakat atau azab yang akan menimpa
mereka, di karenakan oleh qalbu yang hitam kelam kehilangan cahaya
kebenaran. Untuk mernberikan aksentuasinya, Allah selalu mengaitkan
pendengaran sebagai lambang kepedulian, pemahaman, dan perenungan bagi
manusia. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai edukatif yang terkandung pada ayat
ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan totalitas individu yang
paripurna (yang utuh), yang mengerti keberadaan dirinya dan mengetahui
kebesaran Tuhan-Nya.
Dari uraian di atas, dapat diambil intisari bahwa ada nilai-nilai
pendidikan yang dapat digali dari Al-Qur'an surat Al-A’raaf ayat 179,
sehingga ketika dilakukan penggalian, dapat dirumuskan kajian ilmu
pendidikan Islam tentang nilai-nilai edukatif dari QS. Al-A’raaf : 179.
Selanjutnya pendapat para mufasir terhadap Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat
179 dapat terungkap secara baik dan teratur tentang nilai-nilai pendidikan dari
QS. Al-A’raaf ayat 179. Untuk memperjelas kerangka pemikiran dalam
penelitian ini, penulis tuangkan dalam bentuk skema sebagai berikut :
E. Langkah-Langkah Penelitian
Untuk memahami tentang “kajian ilmu pendidikan islam tentang
nilai-nilai edukatif dari QS. AL-Alraaf ayat 179, maka diperlukan langkah-
langkah penelitian, secara spesifik pengkajian masalah di atas dapat diuraikan
sebagai langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menentukan studi pendahuluan
Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tema ini dapat diteliti
atau tidak. Untuk mengetahui hal tersebut, upaya yang dilakukan adalah
dengan jalan menelaah literatur-literatur beserta keterangan-keterangan yang
berkenaan dengan tema tersebut, sehingga diharapkan dapat memperoleh
kejelasan tentang kemungkinan kegiatan penelitian tersebut.
2. Merumuskan Masalah Penelitian
Setelah dilakukan studi pendahuluan baru ditentukan pokok
permasalahan penelitian yaitu Bagaimana kajian ilmu pendidikan Islam
tentang nilai-nilai edukatif dari QS. Al-A’raaf ayat 179 ?
3. Menentukan Metode Penelitian
Upaya selanjutnya adalah menentukan metode penelitian yang akan
digunakan dalam memahami tentang bagaimana kajian ilmu pendidikan
Islam tentang nilai-nilai edukatif dari QS. Al-A’raaf ayat 179 . Adapun
metode yang akan digunakan adalah metode kepustakaan.
4. Menentukan Sumber Data
Ada dua hal bagian sumber data, meliputi:
1. Sumber-sumber data dari Al-Qur'an yang berhubungan langsung
dengan pembahasan " Kajian Ilmu Pendidikan Islam tentang Nilai-
nilai Edukatif QS. Al-Araf ayat 179", buku-buku tafsir dan
pendidikan.
2. Sumber data yang menunjang pembahasan " kajian ilmu pendidikan
Islam nilai-nilai edukatif QS, Al-A’raaf ayat 179", serta buku-buku
yang berkenaan dengan penelitian tersebut, seperti : artikel-artikel,
buku-buku paket, tulisan ilmiah, majalah dan Iain-Iain.
5. Menentukan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan untuk penelitian ini
adalah pustakawan dengan jalan menelaah dan meneliti buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian ini.
6. Mengumpulkan dan Menganalisis Data
Setelah didapat data tentang nilai-nilai edukatif dari QS. Al-Araaf ayat
179 selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis sebagai berikut :
1. Metode Induksi : upaya memperoleh kaidah-kaidah yang bersifat
khusus melalui penalaran dan penganalisaan terhadap kaidah-kaidah
yang bersifat umum
2. Metode deduksi ; upaya memperoleh kaidah-kaidah yang bersifat
umum, melalui penalaran dan penganalisaan terhadap kaidah-kaidah
yang bersifat khusus.
3. Metode Komparasi: upaya membadingkan beberapa keterangan atau
data yang diperoleh untuk mendapatkan argumentasi yang lebih kuat
serta mampu memberikan kejelasan untuk dijadikan pegangan dalam
penelitian ini.
7. Menarik Kesimpulan
Langkah yang terakhir dalam penelitian ini adalah menarik
kesimpulan dari pembahasan dan penelitian tentang " Kajian Ilmu Pendidikan
Islam tentang Nilai-nilai edukatif dari QS, Al-A’raaf Ayat 179 ", sehingga
layak diperoleh hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan yang akan
dijadikan penelitian ini.
BAB II
DESKRIPSI TENTANG ILMU PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam
Mengenai pengertian pendidikan Islam, penulis akan menguraikan
maknanya secara etimologi dan terminology yang pembahasannya dilakukan
secara terpisah mulai dari pengertian Ilmu, Pendidikan, Islam, dan Pendidikan
Islam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, (1996:371) Ilmu
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.
Nur Uhbiyati. (1998:12) mengemukakan bahwa Ilmu adalah Suatu
kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan mempunyai
metode-metode tertentu yang bersifat ilmiah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ilmu adalah pengetahuan
tentang sesuatu yang tersusun secara logis dan sistematis melalui cara atau
metode tertentu.
Selanjutnya mengenai pengertian Pendidikan dapat dilihat dari dua
segi, pertama secara etimologi dan kedua secara terminotogi.
Secara etimologi Pendidikan terdiri dari dua kata, kata "didik" yang
mendapat awalan "pe" dan akhiran "an", yang mengandung arti memberi
latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut
W.J.S. Poerwadarminta (1989:250) mengartikan pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani sipendidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
Adapun pengertian pendidikan terdapat beberapa istilah dalam Bahasa
Arab:
a. Ta'Iim yang kata kerjanya artinya mengajarkan seperti dalam QS. Al-
Baqarah ayat 31 yang berbunyi:
“Dan mengajarkan kepada adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat lalu berfirman : sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu orang-orang yang benar”. (Depag. RI, 1989:14)
b. Tarbiyah yang kata kerjanya berarti mendidik seperti dalam QS. Al-Isra’
ayat 24 yang berbunyi :
“dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Depag. RI, 1989:428)
c. Ta’dib yang kata kerjanya seperti dalam hadits Rasululloh SAW yang berbunyi :
( رواهالبخاريمسلم ( تاديبى فاحسن �ى رّب اد�ّبنى“Tuhanku telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik (HR. Bukhori Muslim, Naquid Al-Attas, 1994:60)
Dari pengertian-pengertian di atas, terdapat pengertian yang sama,
tetapi Naquid Al-Attas (1994:60) berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk
pengertian ini ialah : kata ta’dib, sebab tidak terlalu sempit hanya pengajaran
saja dan tidak meliputi mahluk-mahluk lain selain manusia.
Menurut Naquid al-Attas (1994:60) kata ta’lim berarti pengajaran
lebih sempit dari pendidikan, sedangkan kata Tarbiyah memiliki pengertian
yang terlalu luas, sebab Pendidikan hanya untuk manusia saja.
Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa kata ta’dib meliputi kata ta’lim
dan kata tarbiyah. Kata ta’dib erat hubungannya dengan kondisi Ilmu dalam
Islam yang termasuk dalam isi Pendidikan.
Pengertian Pendidikan secara terminology menurut para pakar
Pendidikan, diantaranya:
A.D. Marimba, (1989:19), menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah
bimbingan atau Pimpinan secara sadar, oleh Pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani anak didik untuk menuju terbentuknya kepribadian yang
utama”.
Kemudian menurut A. Tafsir, (1990:6) bahwa Pendidikan adalah :
“usaha untuk meningkatkan diri dalam segala aspek, baik jasmani atau
rohani, sehingga dapat merubah prilaku siterdidik, dari tidak bisa menjadi
bisa, dari tidak paham menjadi paham”.
Kihajar Dewantara, (1962:14-15) mengartikan pendidikan adalah :
“daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan bathin,
karakter), pikiran (Intellect)”.
Menurut UU RI No. 2 1989 (1993 : 13) dinyatakan bahwa Pendidikan
adalah ; “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang”. Dari beberapa definisi diatas. Dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan adalah sebagai ilmu pengetahuaa sebagai proses
bimbingan, tuntunan, arahan secara sadar, teratur dan sistematis olen pendidik
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak
didik yang dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas
kepribadian mereka, sehingga memiliki kualitas nilai intelektual yang tinggi.
Selanjutnya, mengenai pengertian Islam, Muhammad Ali,
(1980:2) menyatakan bahwa : kata Islam berasal dari bahasa Arab yaitu
“Aslama, Yuslimu, Islaman “yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk.
Dan kata Aslama tersebut pada mulanya berasal dari salima, yang berarti
selamat, sentosa, dan darnai. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 83 Allah
SWT berfirman :
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dan agama Allah, padahal ke-padanyalah berserah diri segala apa yang ada dilangit dan di bumi, baik dengan suka maupun (terpaksa dan hanva kepada Allah lah mereka kembali “ (Depag. RI, 1989:89)
Kemudian kata Al-Islam digunakan dalam Al-Qur’an sebagai agama
yang mempunyai sebuah pegangan, pedoman yakni Al-Qur’an dan As-Sunah
yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk
disampaikan kepada umatnya. Jadi Islam merupakan ajaran agama yang
sangat dimuliakan dan diridhoi Allah SWT, dibandingkan dengan agama
yang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Ali
Imron ayat 19 yang terbunyi:
“Sesungguhnva Agama yang diridhoi Allah hanyalah Agama “ Islam (DepagRI 1989:78),
Adapun pengertian pendidikan Islam, para ahli mendefinisikan
di antaranya:
Menurut Ahmad Tafsir, (1994:32) bahwa Pendidikan Islam adalah:
“Bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar mereka
berkembang secara normal (maksimal) sesuai dengan ajaran Islam”.
Menurut Ahmad D. Marimba, (1997:10) mengemukakan bahwa :
Pendidikan Islam adalah : “Bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-
hukum Islam untuk menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam”.
Menurut M. Arifin, (1994:10) berpendapat bahwa pendidikan Islam
adalah: “ Sistem Pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang
untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-
nilai telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya”.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian
Ilmu Pendidikan Islam ilmu yang membicarakan tentang persoalan-persoalan
pokok Pendidikan Islam dan kegiatan mendidik anak untuk ditujukan ke arah
terbentuknya kepribadian muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT.
B. Tujuan Ilmu Pendidikan Islam
Mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju kearah
tercapainya tujuan yang dikehendaki. Sehubungan dengan itu maka tujuan
mempunyai arti yang sangat penting bagi keberhasilan sasaran yang
diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh. Tahapan sasaran serta
sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Karena itu kegiatan yang tanpa
disertai tujuan sasarannya akan kabur akibatnya program dan kegiatannya
sendiri akan menjadi acak-acakan.
Tujuan yaitu sasaran yang akan di capai oleh seseorang atau
sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan, karena itu tujuan
pendidikan Islam, yaitu sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang yang akan melaksanakan pendidikan Islam.
Ahmad D Marimba (Nur Uhbiyati, 1998 : 80 ) menyatakan bahwa
fungsi tujuan itu ada 4 macam yaitu :
a. Mengakhiri usaha
b. Mengarahkan usaha
c. Tujuan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan
d. Memberi nilai atau sifat pada usaha-usaha itu
Karena itu tujuan dalam pendidikan Islam harus di rumuskan dan di
tetapkan agar dapat dibuat langkah-langkah usaha untuk mencapainya.
Para ahli pendidikan Islam telah berusaha untuk merumuskan tujuan
Ilmu Pendidikan Islam di antaranya :
Menurut Kartini Kartono, (1991: 69) bahwa tujuan Ilmu Pendidikan
Islam adalah membawa manusia kepada :
a. Nilai-nilai spiritual dan transedental
b. Supaya hidup bahagia di dunia dan akhirat.
c. Menuntut manusia agar bertingkah laku susila, berbudi luhur dan mau
menapak di jalan Tuhan.
Menurut M. Arifin, (2000: 41) bahwa tujuan Ilmu Pendidikan Islam
adalah “menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam
rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut
ajaran Islam.
Menurut Ahmad Tafsir, (1992: 51) Tujuan Ilmu Pendidikan Islam
yaitu: “menjadikan muslim yang sempurna, muslim yang taqwa dan manusia
yang beriman, manusia yang beribadah kepada Allah”.
Menurut Abdurrahman Annahlawi. (1996:162) bahwa tujuan Ilmu
Pendidikan Islam adalah: “Merealisasikan Ubudiyah kepada Allah didalam
kehidupan Manusia, baik individu maupun masyarakat”.
Kemudian M. Athiyah Al Abrasyi, (1986: 25-26) mengemukakan
bahwa tujuan pokok dan utama dari Ilmu Pendidikan Islam adalah :
“Mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa”.
Ahmad D Marimba (Nur Uhbiyati, 1998:29-30) mengemukakan
bahwa ada dua macam tujuan Ilmu Pendidikan Islam yaitu :
b. Tujuan sementarayaitu : Sasaran sementara yang harus dicapai urnat Islam yang inelaksanakan pendidikan Islam. Tujuan sementara disini yaitu tercapainya berbagai kemarnpuan seperti kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan ilmu-ilmu masyarakat, kesusikian, keagamaan, kedewasaan jasmani rohani.
b. Tujuan akhirYaitu terwujudnya kepribadian muslim, kepribadian muslim di sini maksudnya kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam. Kemudian aspek-aspek kepribadian itu dapat di golongkan kedalam tiga hal yaitu :1. Aspek-aspek kejasmaniahan2. Aspek-aspek kejiwaan,3. Aspek-aspek kerohaniahan yang luhur.
Dari beberapa rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu
Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang mempunyai kepribadian
muslim yang sejati dan dapat mempertahankan predikat tinggi dihadapan
Allah dan semua makhluk ciptaan Nya.
C. Fungsi Ilmu Pendidikan Islam
Adapun di antara fiingsi-fungsi Ilmu Pendidikan Islam menurut para
pakar adalah :
Menurut Abdurrahman Saleh, (1977:14) Ilmu Pendidikan Islam
mempunyai tiga fungsi yaitu :
1. Menumbuhkan kebiasaan dalam melakukan amal ibadah serta akhlak
mulia.
2. Mendorong tumbuhnya iman yang kuat
3. Mendorong tumbuhnya semangat untuk mengolah alam sekitar sebagai
anugrah dari Allah SWT kepada manusia.
Menurut Nur Uhbiyati, (1995: 21) bahwa fungsi ilmu pendidikan
Islam adalah:
1. Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang.
2. Memudahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda
3. Memudahkan nilai-nilai yang bertujuan rnemelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditegaskan bahwa ilmu pendidikan
Islam berfungsi mendorong tumbuhnya potensi-potensi anak didik agar
menjadi manusia yang cerdas, kreatif, produktif dan berperan dimasa yang
akan datang serta tetap komitmen terhadap nilai kemanusiaan dan nilai ke
Illahian dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi.
D. Sumber Ilmu Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan pendidikan individu dan sosial, yang
menimbulkan seseorang tunduk dan patuh kepada Islam, sehingga dapat
menyelesaikannya dalam kehidupan individu dan sosial.
Untuk merealisasikan ajaran Islam sebagai mana yang dikehendaki
Allah SWT, maka Ilmu Pendidikan Islam merupakan kebutuhan mutlak dan
memegang peranan penting. Ilmu Pendidikan Islam berusaha mempersiapkan
diri untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar menjadi muslim dan
mukmin secara bertahap.
Secara hakiki Ilmu Pendidikan Islam adalah upaya orang dewasa yang
bertanggung jawab mengarahkan dan membimbing pertumbuhan,
perkembangan rohani dan jasmani anak didik dengan berorentasikan ajaran
Islam kearah pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Diantara sumber
pendidikan Islam menurut pakar pendidikan diantaranya :
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, (1996:41) sumber Kajian Ilmu
Pendidikan Islam itu ada tiga yaitu :
a. Al-Qur’an
b. As-Sunah
c. Pribadi Rosullulah SAW merupakan contoh edukatif yang
sempurna bagi manusia.
Menurut Nur Uhbiyati, (1998:1 16) sumber kajian ilmu pendidikan
Islam itu adalah:
a. Al Quran
b. As-Sunah
c. Ijtihad
d. Ijma
e. Qoul ‘Ulama
Sa’id Ali Isma’il Hasan Langgulung, (1995:187) menyebutkan ada
enam sumber yaitu :
a. Al-Qur’an
b. As-Sunah
c. Kata Sahabat
d. Kemaslahatan Sosial
e. Nilai-niiai kebiasaan Sosial.
f. Pendapat para pernikir Islam.
Adapun uraian lebih lanjut tentang sumber kajian ilmu pendidikan
Islam adalah:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang telah di turunkan oleh Malaikat
Jibril kedalam hati Rosullulah Muhammad SAW dengan lafadz-lafadznya
yang berbahasa arab dan dengan artinya yang benar, agar jadi hujah bagi
Rosul bahwa dia itu Rosullulah, agar jadi undang-undang bagi manusia
dimana manusia dapat mengambil petunjuk dengan petunjuk-petunjuknya. .
Muslim Nurdin, (1995: 49) menyatakan bahwa : “Secara etimologi
Al-Qur’an berarti bacaan atau yang dibaca dan secara terminologi berarti
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa
arab melalui Malaikat Jibril, sebagai Mukjizat dan argumentasi dalam
menda’wahkan ke Rosulannya dan sebagai pedoman hidup untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat”.
Sebagai dasar kehidupan dan falsaah umat Islam, Al-Qur’an
mengandung perbendaharaan yang kompleks, yang meliputi segala aspek
kehidupan, sebagian para ahli tafsir berpandangan bahwa pokok-pokok Al-
Qur’an terdiri dari:
a. Prinsip-Prinsip Keimanan yakni doktrin kepercayaan untuk
meluruskan dan menyempurnakan keyakinan dan kepercayaaan.
Prinsip-prinsip syari’ah mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur
hubungan manusia dengan tuhannya, manusia dengan manusia.
Manusia dengan mahluk hidup dan alam.
b. Janji dan ancaman seperti tentang janji kepada orang-orang yang
berbuat jahat atau dosa.
c. Sejarah atau kisah-kisah masa lalu seperti kisah para nabi dan rosul
terdahulu, orang-orang saleh dan salah.
d. Ilmu Pengetahuan yakni informasi-informasi tentang ilmu ketuhanan
dan agarna tentang manusia, binatang, tumbuhan, langit, bumi,
matahari, planet-planet dan lain-lain.
Dari penjelasan di atas maka sangatlah tepat apabila Al-Qur’an
menjadi sumber kajian Pendidikan Islam yang pertama yang patut menjadi
tempat pengambilan pendidikan Islam atau sebagai referensi yang pertama
dan utama.
2. As-Sunnah
Dalam bahsa arab sunnah berarti jalan yang lurus dan prilaku yang
terbiasa. Sunnah diartikan sebagai perkataan. Perbuatan dan diamnya nabi
yang berarti izin atau persetujuan.
Menurut Abu Hanifah, (1989: 122) bahwa As-sunnah adalah :
“penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang disampaikan dan
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW untuk merinci hal-hal yang masih
mujmal (garis besar) yang terdapat dalam AI-Qur’an dan berbagai hukum”.
Abdurahman an-Nahlawi, (1996: 46) menyatakan bahwa kata As-
sunnah berarti : “perjalanan hidup, metode dan jalan secara ilmiah,
peninggalan, sifat, ikrar, larangan, apa yang disukai dan tidak disukai, bela
negara, ikhwal dan kehidupannya”.
Dan pengertian diatas telah jelas dan tegas bahwa salah satu fungsi
dari As-sunnah itu adalah merupakan “Bayan” atau penjelas atas nash-nash
yang ada didalam Al-Qur’an yang masih mujmal.
Dalam lapangan pendidikan, As-sunnah mempunyai kaidah yang
sangat besar sebagairnana yang dikemukakan An-Nahlawi, (1996: 46) yaitu:
a. Menjelaskan sistem Pendidikan Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan menerangkan hal-hal kecil yang tidak terdapat di dalamnya.
b. Menyimpulkan metoda pendidikan dari kehidupan rosululloh bersama para sahabatnya, perlakuannya terhadap anak-anak dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang dilakukannya.
Dengan demikian, Rosululloh merupakan sumber utama sunnah dan
menjadi model utama dalam pelaksanaan pendidikan dan akhlaq rosululloh
merupakan perwujudan Al-Qur’an sebagaimana pernyataan Aisyi’ah tentang
akhlaq rosululloh.
خلقكان (مسلمهاور ) القران
"Akhlaq beliau adalah al-Qur'an" (HR. Muslim)
3. Ijtihad
Muslim Nurdin, (1995:28) menyatakan bahwa kata ijtihad dan jihad
mempunyai akar kata yang sama, yaitu jahada yang berarti mengerahkan
kemampuan secara maksimal yang lebih cenderung kepada segi fisik,
sementara ijtihad lebih cenderung kepada sebelumnya. Secara terminologi
ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara maksimal dalam
mengungkapkan kejelasan hukum Islam atau maksudnya untuk menjawab
dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.
Penggunaan ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumberkan pada
Al-Qur'an sunnah yang diolah oleh akal sehat para ahli pendidikan Islam, dan
bisa dipastikan bahwa ijtihad akan terus diperlukan sepanjang jaman,
terlebih-lebih diabad modern.
4. Ijma
Menurut Abu Hanifah, (1989: 154) mengemukakan bahwa Ijma
menurut bahasa adalah azam (mempunyi maksud). Sedangkan menurut istilah
adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari ummat Muhammad SAW,
setelah wafatnya pada suatu waktu tertentu dan mengenai suatu masalah
tertentu pula.
5. Qoul Ulama
Qoul Ulama adalah perkataan ulama. Yang perlu disinggung disini
adalah bagaimana kedudukan qoul ulama ?
Menurut Abu Hanifah, (1989:155) menyatakan bahwa : "Kedudukan
qoul ulama asal cocok dan akur dengan ajaran Allah dan Rosulnya, wajib
dihormati".
E. Metode Analisis Ilmu Pendidikan Islam
Menurut Syahran Basah Jalaludien, (1995:31) menyatakan bahwa
metode analisis Ilmu Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Metode Deduksi, yaitu suatu metode berdasarkan penyelidikan atas
asas-asas yang bersifat umum yang dipergunakan untuk menentukan
peristiwa khusus atau menjhelaskan teoritis yang bersifat umum
terhadap fakta yang bersifat konkrit.
b. Metode Induksi, yaitu suatu metode yang merupakan kesimpulan-
kesimpualan yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah
mempelajari peristiwa-peristiwa konkrit.
c. Metode Perbandingan, yaitu suatu metode dengan mengadakan
perbandingan di antara dua objek penelitian atau lebih, untuk
menambah dan memperdalam pengetahuan tentang objek-objek yang
diselidiki.
Dengan demikian metode analisis ilmu pendidikan Islam
dalam prakteknya dilakukan dengan langkah-langkah berikut.
a. Metode Deduksi yaitu mengambil kaidah-kaidah umum dalam bidang
Ilmu Pendidikan Islam, kemudian ditarik kesimpulannya kearah yang
lebih khusus.
b. Metode Induksi yaitu mengambil kaidah-kaidah khusus
kemudian dikembangkan kearah yang lebih umum.
c. Metode Perbadingan yaitu menganalisa dua atau lebih pendapat
mengenai pendidikan Islam, kemudian dipadukan atau diambil
pendapat yang lebih kuat.
BAB III
KONSEPSI NILAI-NILAI EDUKATIF QUR'AN SURAT AL-A’RAAF AYAT 179
A. Tafsir Ayat QS. Al-A’raaf ayat l79
1. Lafadz dan Terjemaah Ayat
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunukannya untitk memahami ayat-aytit Allah dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mereka mempunyai (telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (Depag RI, 1989 : 251).
2. Pandangan para mufasir terhadap QS. Al-A’raaf ayat 179
a. Ahmad Musthafa AI-Maraghi
Al-Maraghi dalam tafsirnya (1991:206) mengatakan bahwa kata "al-
dzar'u": sama artinya dengan "al-khalqu" (menciptakan) bila orang berkata,
"zara 'allahut khalqa", itu artinya Allah mengadakan individu-individu
makhluk. Sedang arti al-khalqu itu sendiri, at-taqdir (mengukur) yakni
mengadakan sesuatu dengan ukuran dan aturan tertentu, bukan ngawur.
"al-Qalb" : kadang-kadang diartikan segumpal daging berbentuk daun
pinus, terletak disisi kiri tubuh manusia (jantung). Tapi kadang-kadang yang
dimaksud adalah naluri kejiwaan yang kadang-kadang disebut hati nurani.
Disanalah letak penilaian terhadap bermacam-macam. pengertian, dan
perasaan suka cita terhadap yang menyakitkan, Al-qalb menurut arti kedua ini
banyak terdapat dalam Al-Qur'an :
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat mendengar , karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta tetapi buta dalam hati yang ada dalam dada” (DEPAG RI: 1989;519)
"Al-Fiqh" : mengetahui dan memahami sesuatu oleh Al-Ragib di
tafsirkan, ialah mencapai pengetahuan abstrak dengan meggunakan
pengetahuan konkrit. Kata "al-Fiqh" ini banyak dipakai oleh Al-Qur'an
diberbagai tempat untuk arti kepahaman yang mendetail dan pengetahuan
yang dalam sehingga tenwujudlah dampaknya, yaitu mendapatkan manfaat
dengannya. Oleh karenannya, Al-Qur'an menganggap orang kafir maupun
munafik tidak mencapai "al-Fiqh" ini, karena mereka tidak mencapai hakekat
yang menjadi tujuan ilmu, akibat kehilangan kepahaman yang mendalam, jadi
mereka tidak memperoleh manfaat bertapapun ilmunya sangat mantap dalam
hatinya.
Kemudian Allah SWT, menerangkan lebih detail apa yang masih
mujmal pada QS. Al-A’raaf ayat 179 yaitu :
Kami bersumpah bahwa sesungguhnya kami telah menciptakan di
dunia banyak sekali calon-calon penghuni neraka jahannam yang bakal
tinggal di sana, baik dari bangsa jin atau manusia. Dan begitu pula kami
ciptakan penghuni-penghuni surga, sesuai dengan keadilan masing-rnasing
dari dua golongan itu, sebagaimana firmannya dalam QS. Hud ayat 105 :
"Maka diantara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia" (DEPAG RI, 1989:343)
Dan firman-Nya pula dalarn QS. Asy-Syuura ayat 7
.........
"... Segolongan masuk surga dan segofongan masuk neraka ....(DEPAG RI, 1989; 784)
Kemudian diterangkan pula oleh Allah apa sebab mereka mejadi calon
penghuni jahanam, dan apa sifat-sifat mereka sehingga patut dimasukan
kesana.
Sesungguhnya, calon-calon penghuni jahanam itu sekalipun punya
hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami cara-cara mensucikan jiwa,
seperti tauhid yang dapat menghindarkan jiwa dari khurofat dan dongeng-
dongeng yang tak masuk akal, dan menjauhkan dari kehinaan dan kenistaan,
karena, orang yang menyembah Allah semata-mata, maka dengan rnengenal
Allah itu, dia akan meningkat jiwanya.
Dan demikian pula mereka, tidak menggunakan hati untuk memahami
kehidupan rohani dan kelezatan-kelezatan maknawi, yang dapat
menghantarkan mereka kepada kebahagiaan abadi; seperti ditegaskan Allah
SWT dalam QS. Ar-Rum ayat 7 :
"Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia sedang mereka tentang kehidupan akhierat adalah lalai". (DEPAG RI, 1989;642)
Begitu pula mereka, tidak memahami bahwa dengan meninggalkan
kejahatan dan kemungkaran, dan bertekad untuk melakukan kebaikan-
kebaikan itulah pangkal kebahagiaan dunia dan akherat, dan untuk mencapai
itu, tak ada jalan lain kecuali dengan pendidikan jiwa raga yang benar.
Dan demikian pula mereka mempunyai mata dan telinga, namun
mereka tidak pergunakan untuk memperhatikan dan berfikir tentang tanda-
tanda kebesaran Allah yang ada pada makhluk-Nya yang mereka lihat, atau
tentang ayat-ayat-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Rasul-Nya dan mereka
dengar, dan mata supaya dipergunakan untuk mengambil manfaat dan setiap
yang dilihat. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan mengarahkan kemauan
hati untuk mempergunakan masing-masing telinga dan mata dengan
semestinya.
Tetapi sayang, ternyata kaum muslimin sendirilah yang kini menjadi
ummat paling masa bodoh (apatis) dengan penggunaan telinga, mata dan akal
fikiran untuk memperhatikan tanda-tanda kebesaran Illahi pada din atau alam
sekeliling mereka. Dan jadilah mereka ummat yang paling terbelakang
tentang ilmu-ilmu yang dengannya dapat diketahui, betapa hebat tanda-tanda
kekuasaan illahi yang terdapat pada panca indera manusia, perasaan hati
maupun kekuatan akalnya.
Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat seperti tersebut di atas,
bagaikan binatang ternak, unta, lembu atau kambing. Karena akal yang ada
pada mereka tak ada gunanya selain dipergunakan untuk hal-hal yang
berkaitan dengan penghidupan dunia belaka, atau bahkan lebih sesat lagi dari
binatang ternak.
Orang-orang yang dimisalkan sebagai binatang ternak atau lebih sesat
lagi itulah orang-orang yang lalai terhadap apa yang memberi kebahagian
kepada mereka di dunia maupun di akherat
b. AI-Thabary
Abu Ja'par Bin Jarir Al-Thabary (1954:250) dalam tafsir al-Thabary
menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah menyatakan peringatan-Nya: ayat
ini; dan tentang ayat ini dikatakan dzara'a Allahu khalqahu yadzra'u hum
dzar'an dan pernyataan-pernyataan ahli takwil seperti yang kami katakan. al-
Mutsni berkata padaku, bahwa abdullah berkata padaku bahwa mu'awiyah
berkata padaku, dari Ali dari Ibnu Abbas (wu laqad dzara na iljahannama )
telah kami ciptakan. Allah menyatakan wa laqad dzara'na lijahannama
karena lingkupan ilmu-nya tentang mereka menjadi penghuni jahanam karena
kekufuran terhadap Rabb mereka.
Adapun tentang firman-Nya lahum qulubun la yafqahuna biha,
maknanya adalah orang-orang yang diciptakan Allah untuk menjadi penghuni
jahanam dari kalangan mahluk-Nya memiliki qalbu yang tidak dipergunakan
untuk mentafakuri ayat-ayat Allah dan mentadaburinya sebagai bukti
kemahatunggalan-Nya. Merekapun tidak mempelajari argumentasi-
argumentasi Allah bagi para Rasul-Nya sampai meyakini tauhid Rabb
mereka. Tuhan kita yang Maha Mulia menyebutkan mereka dengan
karakteristik la yufqahuna biha karena penolakan mereka atas kebenaran dan
meninggalkan tadabbur terhadap sahnya petunjuk-Nya, serta kekufuran.
Demikian pula firman-Nya wa Iahum a 'yunun la yubsiruna biha bermakna
mereka memiliki mata yang tidak mereka gunakan untuk memperhatikan
ayat-ayat Allah dan dalil-dalil-Nya kemudian menggeluti dan mentafakurinya
sehingga dapat meyakini kesahihan apa yang diserukan para rasul kepada
mereka. Mereka menetapi kerusakan yang selama ini dilakukan yang berupa
syirik kepada Allah dan pendustaan atas rasul Allah. Allah menyebutkan
karakteristik tidak digunakannya mata mereka ini untuk kebenaran dengan la
yubsiruna biha. Demikian pula halnya dengan wa Iahum adzanun la yasma
'una biha yakni ayat-ayat kitab Allah, agar mereka mengambil pelajaran dan
mentafakurinya, namun mereka menolak bahkan mengatakan, "janganlah
kalian mendengarkan Al-Qur'an ini dan abaikanlah agar menang". Ini
menegaskan penyebutan Allah kepada mereka dengan shummun bukmun
umyun fahum la ya'qiluun. Bangsa arab mengatakan itu kepada orang yang
meninggalkan penggunaan sebagian anggota badannya yang sehat. Diantara
itu adalah perkataan al-Darimi dalam syair : dia menggambarkan dirinya
dengan buta dan tuli saat tidak menggunakan penglihatan dan
pendengarannya dalam syairnya yang lain. Dan ini banyak dipergunakan
bangsa Arab dalam bahasa dan syair-syair mereka. Demikian pula para ahli
takwil.
Untuk menyebutkan itu diantaranya adalah :
Al-harits berkata kepadaku bahwa abdul Aziz berkata kepadaku
bahwa Abu Sa'ad berkata kepadaku bahwa dia mendengar mujahid
mengatakan kepadanya, "lahum qulubun layafqahuna biha" (dengan
kalbunya mereka tidak memahami sesuatu tentang perkara akhirat).
"wallahum a 'yunun la yubsiruna biaha" (Petunjuk) "wa lahim adzanun la
yasma'una biha" (kebenaran), kemudian Allah mcnjadikan mereka seolah
hewan bahkan lebih buruk dari hewan dengan "balhun adlall" baru
mengkabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang lalai.
Dengan kata lain, Allah berfirman "ula'ika kal al-an'am" bahwa
mereka yang diciptakan-Nya menjadi penghuni jahanam seperti hewan yakni
binatang yang tidak memahami apa yang dikatakan kepadanya serta tidak
memahami kebaikan apa yang dilihatnya dan tidak berfikir dengar kalbunya
tentang kebaikan dan keburukan sampai mampu membedakan keduanya Oleh
karena itulah Allah menyerupakan mereka dengan hewan saat mereka tidak
teringatkan oleh hujjah-hujjah dari apa yang mereka lihat. Merekapun tidak
memikirkan apa yang didengar dari ayat-ayat kitab Allah. Kemudian Allah
berfirman "bal hum adlall" : mereka, orang-orang kafir ini yang Allah
ciptakan untuk menjadi penduduk jahanam, sangat menjauhi kebenaran dan
menetapi jalan kebatilan lebih rusak dari binatang; karena binatang tidak
mempunyai pilihan sehingga tidak mampu memilih dan membedakan.
Binatang itu ditundukan namun mereka bisa menghindari bahaya dan mencari
makanan yang layak bagi dirinya. Sebaliknya dengan orang-orang yang
digambarkan Allah pada ayat ini, padahal mereka diberi kemampuan
memahami dan akal yang mampu membedakan antara maslahat dan madarat
Mereka tinggalkan kemaslahatan dunia dan akhirat, malah mencari
kemadaratannya, dengan begitu hewan masih lebih baik sedangkan mereka
lebih sesat, seperti yang disebutkan Allah. Firman-Nya "ula'ika hum al-
ghafilun" bermakna Allah menyebutkan orang-orang yang telah disebut
karakteristiknya ini sebagai kaum yang lalai. Yaitu lupa terhadap ayat-ayat
dan hujjah-hujjah-Nya. Mereka meninggalkan tadabur terhadapnya dan tidak
mengambil pelajaran darinya serta mengambil dalil dari sana dalam
mentauhidkan Tuhan, tidak seperti hewan yang dikenal-Nya telah ditundukan
untuk mereka.
c. Quraisyihab
Menurut Quraisyihab (2000:103) dalam tafsirnya Al-Misbah
menyebutkan bahwa ayat ini menjadi penjelasan mengapa seseorang, tidak
mendapat petunjuk dan mengapa pula yang lain disesatkan Allah. Ayat ini
juga berfungsi sebagai ancaman kepada mereka yang mengabaikan tuntunan
pengetahuannya. la menjelaskan bahwa mereka yang kami kisahkan
keadaannya itu, yang menguliti dirinya sehingga kami sesatkan adalah
sebagian dari yang kami jadikan untuk isi neraka dan demi keagungan dan
kemuliaan kami sungguh kami telah ciptakan untuk isi neraka jahannam
banyak sekali dari jenis jin dan jenis manusia karena kesesatan mereka;
mereka mempunyai hati, (tetapi) tidak mereka untuk gunakan memahami
ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan
untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar petunjuk-petunjuk Allah.
Mereka itu seperti binatang ternak yang tidak dapat memanfaatkan petunjuk,
bahkan mereka lebih sesat lagi dari pada binatang. Mereka itulah benar-benar
yang amat lalai.
Hati, mata, dan telinga orang-orang yang memilih kesesatan
dipersamakan dengan binatang karena binatang tidak dapat menganalogikan
apa yang dia dengar dan lihat dengan sesuatu yang lain. Binatang tidak
memiliki akal seperti manusia.
Bahkan manusia yang tidak menggunakan potensi yang dianugrahkan
Allah lebih buruk. Sebab binatang dengan instingnya akan selalu mencari
kebaikan dan menghindari bahaya, sementara manusia durhaka justru
menolak kebaikan dan kebenaran dan mengarah kepada bahaya yang tiada
taranya. Setelah kematian, mereka kekal dia api neraka, berbeda dengan
binatang yang punah dengan kematiannya. Di sisi lain, binatang tidak
dianugrahi potensi sebanyak potensi manusia. Sehingga binatang tidak wajar
dikecam bila tidak mencapai apa yang dapat dicapai manusia. Manusia pantas
dikecam bila sama dengan binatang dan dikecam lebih banyak lagi jika ia
lebih buruk dari pada binatang, karena potensi manusia dapat mengantarnya
meraih ketinggian jauh melebihi kedudukan binatang.
Kata al-Ghaafiluun terambil dari kata ghaflah yakni lalai tidak
mengetahui atau menyadari apa yang seharusnya diketahui dan disadarai.
Keimanan, dan petunjuk Allah sedemikian jelas, apalagi bagi yang
berpengetahuan, tetapi bila mereka tidak memanfaatkannya maka mereka
bagaikan orang yang tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa mereka
memiliki potensi atau alat untuk meraih kebahagiaan. Inilah kelailaian yang
tiada taranya.
d. Hamka
Menurut Hamka (1985:490) dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan
bahwa didalam segala bahasa terdapat perkartaan hati dan perkataan hati ini
baik dalam bahasa arab bahasa Al-Qur'an atau dalam bahasa kita sendiri
mempunyai dua arti.
Pertama, hati sebagai bagian dari badan manusia yang terletak
didalam kurungan dadanya. Itulah hati sebagai bagian benda atau bagian
tubuh. Kedua, hati yang berarati akal, perasaan yang harus, disebut juga "rasa
hati" atau "hati kecil atau "hati sanubari" atau "hati nurani". Sebenarnya
menurut penyelidikan tubuh lahir bathin manusia, jiwa dan badannya, orarg
berpendapat bahwa kegiatan berfikir ialah dari otak, bukan dari hati. Tetapi
bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat yang dipakai untuk
menyatakan pikiran nurani.
Ayat ini menyatakan bahwa dua mahluk Allah yang utama, pertama
jin, dan kedua manusia, telah diberi hati oleh Allah. Maka, boleh juga kita
artikan bahwa mereka telah diberi otak oleh Allah buat berfikir, tetapi mereka
telah disediakan untuk isi neraka, kalau hati itu tidak mereka pergunakan buat
mengerti, buat berfikir, merenung atau mamahamkan.
Disini lafadz yafqohuuna, artinya berfikir atau berfaham. Menurut ahli
bahasa, orang yang berfikir atau berfaham ialah orang yang dapat melihat
yang tersirat dari yang tersurat. Pada ayat ini di dahuiukan menyebut hati dari
pada mata dan telinga. Sebab mata dan telinga adalah dua panca indera yang
menjadi alat bagi hati untuk berhubungan keluar diri, Apa yang dilihat oleh
mata dan didengar oleh telinga di bawa kedalam hati dan dipertimbangkan.
Ayat ini menerangkan bahwa semua mahluk insan atau jin diberi hati
(fikiran), mata dan telinga oleh Allah. Hati tidak dibawa buat mengerti, mata
buat melihat dan telinga buat mendengar. Artinya tidak mereka berfikir untuk
mencari hakikat yang sejati, yaitu kebenaran dan ke-Esaan Allah, sehingga
bergelimang diri dengan khurofat, kebodohan jiwa kecil dan kehinaan.
Selanjutnya, binatang ternak tidak ada perhatian sebab yang ada
padanya hanya semata-mata hati sebagai bagian tubuh. Apa yang mereka lihat
tidak menjadi perhatian dan apa yang mereka dengarpun tidak menjadi
perhatian. Yang ada padanya hanyalah naluri. Tetapi manusia yang tidak
memakai perhatian itu, lebih juga tersesat dari binatang. Bagaimana
bodohnya binatang, namun kejahatannya tidaklah sampai sejahat manusia.
"mereka itu ialah orang-orang yang lalai"
Orang itu menjadi lalai, dan kelalaiannya itu menyebabkan tidak
adanya perhatian. Lalai mereka memperhatikan keselamatan diri baik didunia
dan akhirat. Mereka lalai, sebab itu mereka tidak ingat arti dirinya sebagai
manusia. Mereka lalai, sehingga mereka ingat hanyalah soal perut berisi.
Mereka lalai, sehingga tidak ada hubungannya jiwa dengan alam sekitar
padahal alam sekitar adalah saksi atas adanya yang maha kuasa. Mereka lalai,
sehingga berfikir hanya sekitar diri, tidak peduli masyarakat, tidak peduli
cita-cita bertanah air dan bangsa. Mereka hanya melihat kulit sehingga isi
kehidupan menjadi kosong. Sebab itu datangnya keduaninya tidak membawa
faedah bagi sesama manusia, dan kembali masuk kuburpun membawa
kerugian bagi orang lain, dan tempatnya dihari nanti ialah didalam neraka
jahanam.
e. Ibnu Katsir.
Menurut Ibnu Katsir (1995:510) dalam tafsirnya menjelaskan
bahwasannya Allah SWT yang telah menciptakan dan menjadikan untuk
neraka jahanam yaitu kebanyakan dari golongan jin dan manusia. Apabila
mereka tidak memanfaatkan dari seluruh anggota badannya yang telah Allah
berikan yang lazimnya menjadi alat untuk mendapat hidayah. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. AI-Ahqof ayat 26 sebagai berikut :
"Dan kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hali mereka tidak berguna sedikitpun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah".
Juga di dalam QS. Al-Baqarah ayat 18 :
"Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali kejalan yang benar"
Dan tidaklah mereka tuli, bisu, dan buta kecuali terhadap petunjuk
Allah SWT. dan allah berflrman dalam QS. Al-Hajj ayat 46 yang artinya :
"...karena sesungguhnya bukanlah mata itu ytng buta, tetapi yang buta
adalah hati yang didaiam dada.....".
Siapa saja yang diberi taufik oleh Allah, hingga ia mau menempuh
jalan yang benar, karena dia mau menggunakan akal dan inderanya dengan
semestinya, sesuai dengan fitrah dan bimbingan agama, maka dialah orang
yang bener-bener memperoleh petunjuk karena dia bersyukur atas nikmat-
nikmat yang dianugrahkan Allah kepadanya dan menunaikan kewajiban yang
dibebankan Allah kepadanya maka dialah yang bakal memperoleh
kebahagian didunia dan akhirat.
Dan siapa saja yang dihinakan Allah dan tidak diberi taufik lalu dia
mengikuti jejak syetan dan hawa nafsunya, dan tidak menggunakan akal dan
inderanya untuk memahami secara mendalam ayat-ayat Allah dan
mensyukuri nikmat-Nya, maka dialah orang-orang yang bener-bener kafir dan
sesat, yang takan memperoleh kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan
akhirat. Karena dia tidak mau menggunakan dengan sebaik-baiknya anugrah
Ilahi tersebut. Yang dengan semestinya dia bisa menjadi manusia yang patut
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Allah SWT memberikan indera penglihatan supaya digunakan untuk
melihat benda-benda yang dilihat, dan hati (akal) sebagai perantaranya
mereka. membedakan hal-hal yang bermanfaat atau mudhorot. Indera-indera
ini diberikan : kepada manusia secara bertahap, semakin tumbuh jasmaninya
makin kuatlah ; penangkapan indera-indera itu hingga mencapai puncaknya.
Dan sesungguhnya, Allah memberi kepada hamba-hambanya sarana
penglihatan, pendengaran, dan yang demikian itu hanyalah agar memudahkan
ia melakukan ibadah dan taat kepada Allah, yakni semua anggota badan
manusia seharusnya dipakai menjadi alat untuk mencapai hidayah.
B. Nilai-nilai Edukatif dari QS. Al-A’raaf ayat 179
Allah SWT dengan jelas menerangkan dalam firmannya Q.S. Al-
A’raaf ayat 179, yakni kebanyakan penghuni isi neraka jahanam adalah dari
jenis jin dan manusia, yang apabila dari kedua golongan tersebut, yaitu (jin
dan manusia) mereka tidak menggunakan atau memanfaatkan potensi-potensi
yang telah diberikan oleh Allah SWT berupa hati dengan pemahaman atau
pemikirannya, mata dengan penglihatannya, dan telinga dengan
pendengarannya.
Jin dan manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, di tuntut
untuk memfungsikan ketiga alat indera tersebut sebagai saran atau alat untuk
kehidupan mereka. Yang pertama yaitu indera hati (akal dan perasaan) di
pergunakan untuk memahami ke-Esaan dan kebesaran Allah SWT. dengan itu
membersihkan dan meningkatkan jiwa. memahami kehidupan ruhani, bahkan
dapai mencapai kebahagiaan abadi. Kedua adalah indera mata (penglihatan)
dipergunakan untuk melihat bukti kebenaran, mengambil pelajaran dari ayat-
ayat Allah SWT dan dijadikan petunjuk untuk kehidupan mercka (jin dan
tnanusia). Dan yang ketiga adalah indera telinga (pendengaran), dengannya
dapat mengambil pelajaran, manfaat dari setiap yang didengar.
Oleh sebab itu mereka yang tidak dapat memanfaatkan hati, mata, dan
telinga, sehingga mereka tidak memperoleh hidayah Allah SWT yang
membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada
dasarnya berhubungan erat dengan manusia, sebab masalah manusia pada
hakekatnya adalah juga masalah pendidikan. Manusia merupakan makhluk
ciptaan Allah SWT, yang diberi kesempurnaan jasmani dan rohani di banding
dengan makhluk yang lain, terletak pada hati atau akal dalam memahami,
mengetahui, dan berfikir. Manusia juga diberi sarana atau potensi panca
indera berupa mata, dan telinga, kesemuanya itu harus dipelihara,
dikembangkan, dan lebih luasnya lagi di didik.
Selanjutnya dalam QS. Al-A’raaf ayat 179 ini memiliki hubungan
yang begitu erst dengan pendidikan Islam Pertama meliputi: kecerdasan hati,
kejelian mata serta kepekaan telingga. Oleh karena itu penulis akan
menguraikan sebagai berikut:
1. Kecerdasan Hati
Menurut Al-Maraghi (1994:210) kata "lahum qulubun la yafqahuna
biha" disini di artikan bahwa sesungguhnya calon-calon penghuni jahanam
itu sekalipun punya hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami cara-cara
mensucikan jiwa, seperti tauhid yang dapat menghindarkan jiwa dari
khuropat sekalipun punya hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami cara-
cara mensucikan jiwa, seperti tauhid yang dapat menghindarkan jiwa dari
khuropat dan dongeng-dongeng yang tak masuk akal, dan menjauhkannya
dari kehinaan dan kenistaan. Karena orang yang menyembah kepada Allah
semata-mata, maka dengan mengenal Allah itu, dia akan meningkat jiwanya.
Demikian pula, mereka tidak menggunakan hati untuk memahami kehidupan
rohani dan kelezatan-kelezatan maknawi yang dapat mengantarkan mereka
kepada kebahagiaan abadi. Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Ruum ayat 7
yang artinya:
"Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dan kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai " (Depag RI, 1989:642)
Begitu pula mereka tidak memahami bahwa dengan meninggalkan
kejahatan dan kemungkaran dan bertekad untuk melakukan kebaikan-
kebaikan itulah pangkal kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan untuk mencapai
itu, tak ada jalan lain kecuali dengan pendidikan jiwa raga yang benar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hati yang cerdas itu
adalah hati yang senantiasa digunakan untuk berma'rifat kepada Allah, hati
yang senantiasa digunakan untuk memahami kehidupan rohani dan kelezatan-
kelezatan maknawi, dan hati yang senantiasa digunakan untuk mentafakuri
ciptaan-Nya yang dengan itu manusia memperoleh kebaikan, kesempurnaan,
dan kebahagiaan di dunia yang merupakan bekal dan simpanan baginya di
akherat kelak.
2. Kejelian Mata
Wahbah Al-Juhaeli (1991:166) dalam tafsir al-Munir menjelaskan
bahwa makna "lahum a'yumm la yubsiruna hiha" adalah mereka yang
mempunyai mata, tapi mata mereka tidak dipakai untuk melihat dalil-dalil
kekuasaan Allah, dan Allah senantiasa melihat. Artinya adalah bahwa banyak
manusia yang diberi panca indera yaitu berupa penglihatan (mata) tetapi
penglihatannya itu tidak dipakai untuk melihat ayat-ayat Allah yang bersifat
alam (tidak di pakai untuk melihat ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat berupa
Al-Qur'an (tidak dipakai untuk melihat ayat-ayat qauliyah) yang ditujukan
kepada mereka terhadap apa yang ada di dalam ayat Allah tersebut. Untuk
kebahagiaan mereka.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan mata yang jeh disini adalah mereka
yang senantiasa menggunakan matanya untuk melihat bukti-bukti kekuasaan
dan kebenaran Allah SWT yang bersifat alam dan memikirkan atau
merenungkan apa yang dilihatnya serta dipakai melihat ayat-ayat berupa Al-
Qur'an untuk kebahagiaan mereka.
3. Kepekaan Telinga
Menurut Wahbah Al-Juhaeli (1991:169) dalam tafsir Al-Munir bahwa
makna "lahum adzanun la yasmauna biha" ialah bahwa manusia yang diberi
panca indera yaitu berupa pendengaran (telinga) tidak dipakai untuk
mendengar ayat-ayat Allah yang di turunkan kepada para Nabi Allah dan
nasehat yang didengar supaya dihayati dan ditadaburi. Dan mereka juga tidak
mendengar berita tentang sejarah dan umat-umat yang lalu. Kita perhatikan
firman Allah Ta'ala (Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa
banyak umat-umat sebelum mereka yang telah kami binasakan sedangkan
mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) maka apakah mereka tidak mendengarkan?
Jadi dengan demikian telinga atau pendengaran yang peka itu adalah
pendengaran yang senantisa dipakai untuk mendengar ayat-ayat Allah SWT
yang diturunkan kepada para Nabi dan telinga yang dipakai mendengarkan
berita tentang sejarah umat-umat yang terdahulu sehingga mereka mendapat
petunjuk dari apa yang didengarnya.
BAB IVKAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM TENTANGNILAI-NILAI EDUKATIF QS. AL-ARAAF : 179
A. Kecerdasan Hati
1. Penyajian Data
"Dan sesungguhnya kamijadikan untuk (isi nesaka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusui, mereka mempunyai hati, letapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sehagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (DEPAG RI, 1989 : 251).
Menurut Al-Maraghi (1994:210) kata "lahum qulubun la
yafqahuuna biha" disini di artikan bahwa sesungguhnya sekalipun mereka
punya hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami cara-cara mensucikan
jiwa ketauhidannya yang dapat menghindarkan dirinya dari khurofat dan
cerita-cerita yang tak irasional (takhayul) dan bahkan kesucian jiwa yang
dapat menjauhkan dirinya dari kehinaan dan kenistaan. Karena orang yang
menyembah kepada Allah semata-mata, maka dengan mengenal Allah itu, dia
akan meningkat jiwanya.
Demikian pula, mereka tidak menggunakan hati untuk
memahami kehidupan ruhani dan kelezatan-kelezatan maknawi yang dapat
mengantarkan mereka kepada kebahagiaan abadi. Begitu pula mereka tidak
memahami bahwa dengan meninggalkan kejahatan dan kemungkaran dan
bertekad untuk melakukan kebaikan-kebaikan itulah pangkal
kebahagiaan dunia dan akhira. Dan untuk mencapai itu, tak ada jalan lain
kecuali dengan pendidikan jiwa raga yang, benar.
2. Analisis Data
Pendidikan pada dasarnya berhubungan erat dengan manusia, sebab
masalah manusia pada hakEkatnya adalah masalah pendidikan. Sehingga
dipahami bahwa pendidikan merupakan obat bagi penyakit yang terdapat
pada manusia.
Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah SWT yang diberi
kesempurnaan potensi panca indera yang salah satunya adalah hati yang
membedakannya dari mahluk yang lain. Manusia sebagai mahluk yang diberi
kesempurnaan lebih oleh Allah yaitu berupa hati harus bisa memelihara,
mengembangkan, serta mendidiknya dengan baik.
Dalam hal ini Al-Ghazali (Yahya Jaya 1994:4) berpendapat mengenai
pendidikan dan pemeliharaan potensi panca indera manusia penting
diperhatikan apalagi di zaman modern yang ditandai dengan kemiskinan
moral dan spiritual.
Membahas mengenai pendidikan ruhani dalam pengembangan dan
pembinaanya, jelas tidak terlepas dari manusia itu sendiri (sebagai objek)
yang memiliki unsur-unsur ruhani manusia berupa Al-qa'b (hati), Al-Ruh
(Roh), Al-Nafs (nafsu), dan Al-Aql (akal).
Pertama mengenai Al-Qalb (hati). apabila manusia tertutup hatinya
dari signal-signal kebenaran, maka sungguh malang manusia tersebut. Khusus
mengenai hati, Al-Ghazali (Dedi Suardi 1991:73) menyatakan bahwa
kemuliaan dan keutamaan manusia yang melebihi keutamaan mahluk yang
lain adalah karena manusia memiliki kemampuan untuk berma'rifat kepada
Allah SWT, yang dengan itu manusia memperoleh kebaikan, kesempurnaan,
dan kebahagiaan didunia yang merupakan bekal dan simpanan baginya
diakherat kelak.
Sesungguhnya kesediaan manusia untuk berma'rifat itu adalah lewat
hatinya dan bukan lewat satu anggota badan yang lain. Ini berarti hati yang
mengimani adanya Allah SWT, mendekat kepada-Nya, bekerja karena-Nya,
berjalan kepada-Nya, dan hati pula yang menyikapi apa-apa yang ada disisi-
Nya. Sebab secara hakiki, hati yang taat kepada Allah dalam arti ibadah-
ibadah yang dikerjakan oleh anggota badan itu adalah penjelmaan dari hati,
maka muncul kebaikan-kebaikan lahiriyah, tetapi sebaliknya apabila gelap
hatinya, akan muncul kejahatan-kejahatan (akhlaq tercela).
Manusia yang ditutup hatinya oleh Allah SWT, terhalang dari
(mu'ahadah, muroqobah) dan terhalang dari sifat-sifat Allah, sebagaimana
Allah berfirman dalam QS. Al-Hasr ayat 19:
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lain Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik " (DepagRI, 1989:919)
Untuk itu, maka hati manusia harus senantiasa dibawa tunduk, niat
yang tulus sebab dengan begitu akan mempertemukan kebahagiaan dunia dan
akherat. Dan dengan hati yang tunduk akan mengeluarkan manusia dari
lingkaran jin yang terbatas dan menjadikannya beramal ikhlas kepada Allah
SWT, adapun hati yang tunduk dan sifat-sifat luhur lainnya, begitu juga
perbuatan amal baik, yang sumuanya merupakan kekayaan Akherat.
Begitupun hati itu harus tetap halus dan bersih, sebab dengan
demikian akan peka terhadap sifat ketuhanan (rabbani) dan kerohaniaan
(ruhani).
Said Hawwa (1997:113) menyatakan bahwa salah satu hal yang dapat
menjadikan hati itu baik dan sehat adalah, ilmu, akal flkiran. pengetahuan,
dzikir dan amal. Contohnya dengan ma'rifat, sebab hakikat ma'riful adalah
pengosongan bathin dari setiap keinginan, meninggalkan kebiasaan jelek,
ketenangan hati kepada Allah SWT tanpa kaitan dan tidak berpaling dari-Nya
kepada selain-Nya. Dan ma'rifat itu adalah kedekatan (Qurb) yaitu menguasai
hati dan memberikan pengaruh di dalamnya dengan sesuatu yang
berpengaruh terhadap anggota-anggota badan.
Unsur Ruhani Manusia yang kedua adalah al-Ruh (roh), Al-Ghazali
(Ahmad Frenk, 2002:85), istilah ini memiliki dua makna; pertama, sebuah
jenis (benda) yang sangat halus yang bersemayam dalam rongga hati jasmani
Kemudian ruh itu bertebaran ke seluruh tubuh melalui urat-urat yang
bercabang-cabang. Mengalirnya ruh di seluruh tubuh itu, menimbulkan
cahaya kehidupan, menumbuhkan perasaan, melahirkan pendengaran,
penglihatan dan penciuman.
Makna kedua adalah al-Latifah yang berpotensi untuk mengenal,
mengetahui dan mengerti tentang sesuatu. la juga sebagai pihak yang di ajak
bicara yang dikenakan sanksi, cercaan dan objek yang akan dimintai
pertanggung jawaban. Inilah yang dimaksudkan dalam firman QS. Al-Isra 85
Allah SWT :
"Katakanlah wahai Muhammad, bahwa ruh itu adalah urusan Tuhan-ku (DepagRI, 1989:437)
Ketiga Al-nafs (jiwa) merupakan tenaga potential, yaitu berupa
dorongan untuk berbuat dan bertindak kreatif dan dinamis yang dapat
dikembangkan kepada dua arah, kejahatan dan kebaikan. Allah SWT,
menegaskan dalam firman-Nya QS. Asy-Syams ayat 8 :
"Maka Allah mengilhamkan pada jiwa tin (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya '. (DepagRI, 1989:1064)
Ke-empat al-aql (akal) dengan akal ini manusia mampu berfikir guna
mcnyelesaikan masalah hidup, termasuk hubungan dengan manusia dan
berhubungan dengan keimanan terhadap Allah. Dan fungsi akan sebagai alat
penimbang dan sebagai potensi inteligensi yang secara nalar
menyelidiki apa itu yang baik dan buruk. Jadi kesimpulannya adalah, dengan
hati ini manusia mampu berfikir guna menyelesaikan masalah hidup,
termasuk hubungan dcngan manusia dan berhubungan dengan keimanan
terhadap Allah. Dan fungsi hati ini sebagai alat penimbang dan potensi
intelegensi serta filter yang secara nalar menyelidiki apa itu yang baik dan
buruk.
Murthada Mutahari (1996:123) menyebutkan bahwa Al-Qur'an
menyatakan jika sekiranya engkau bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan
menganugrahkan kepadamu kemampuan untuk membedakan antara yang hak
dan yang batil.
Begitupula hati itu meneliti, memahami dan menghayati untuk
memperoleh pengetahuan dalam rangka memenuhi hasrat dan kesejahteraan
hidup dan sekaligus memenuhi kebutuhan berupa keyakinan akan kekuasaan
Allah SWT.
Demikian kandungan unsur-unsur rohani manusia yang merupakan
potensi-potensi dan fitrah manusia yang sangat penting untuk
dikembangkan dan dibina dalam rangka membentuk manusia yang muthiah
(manusia yang taat kepada Allah SWT).
B. Kejelian Mata
1. Penyajian Data
"Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahanam ) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk rnelihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (DEPAGRI, 1989 : 251).
Wahbah Al-Juhaeli (1991:166) dalam tafsir Al-Munir menjelaskan
bahwa raakna "lahum a' yunun la yubsiruna biha" adalah "Mereka
mempunyai mata, tapi mata mereka tidak dipakai untuk melihat dalil-dalil
kekuasaan Allah, dan Allah senantiasa melihat. Artinya adalah bahwa banyak
manusia yang diberi panca indera yaitu berupa penglihalan (mata) tetapi
penglihatannya itu tidak dipakai untuk melihat ayat-ayat Allah yang bersifat
alam (tidak di pakai untuk melihat ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat berupa
Al-Qur'an (tidak dipakai untuk melihat ayat-ayat kauliyah) yang ditujukan
kepada mereka terhadap apa yang ada di dalam ayat Allah tersebut. Untuk
kebahagiaan mereka.
2. Analisis Data
Melihat dari keterangan diatas, jika menganalisis pendapat para
mufasir bahwa yang dimaksud dengan mata yang jeli adalah mereka yang
senantiasa menggunakan matanya (penglihatannya) untuk melihat bukti-bukti
kekuasaan dan kebenaran Allah SWT yang bersifat alam dan memikirkan
atau merenungkan apa yang dilihatnya.
Melihat dari keterangan Al-Qur'an Surat Al-A’raaf ayat 185 Allah
SWT berfirman:
"Apakah mereka tidak melihat pada kerajaan langit dan bumi dan apa yang diciptakan Allah dari segala sesuatu yang diciptakan Allah ..." (Depag RI, 1989:252)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT mengajak manusia
memperhatikan alam raya, dengan firman-Nya Apakah mereka buta dan tidak
melihat dengan pandangan I'tibar apa yang terbentang pada kerajaan langit
dan bumi dan apa pun yang diciptakan Allah Yang Maha Agung dari segala
sesuatu yang telah tercipta selain dari kerajaan langit dan bumi itu dan apakah
mereka tidak melihat serta memikirkan pula dengan rasa takut.
Kepemilikan Allah terhadap langit dan bumi mengandung juga makna
kekuasaan dan wewenang penuh dalam mengaturnya. Kewenangan dan
kekuasaan yang tidak dapat dialihkan atau dicabut oleh pihak lain.
Siapa yang dapat melihat dengan pandangan I'tibar malakut as-
Samawat maka ia akan menyadari bahwa seluruh wujud bcrsumber dari Allah
SWT dan dalam genggaman tangan-Nya., dan dia akan yakin tcntang
kekuasaan-Nya serta kebenaran seluruh informasinya.
Ayat diatas menggunakan kata ( ) fi/pada bukan ( ) ila/ke pada
firman-Nya awalam yandzuru fi malakut as samawat mi al ardh/Apakah
mereka tidak melihat pada kerajaan langit dan bumi. Hal itu dimaksudkan
untuk menyiratkan makna berfikir dengan sungguh-sungguh bukan sekedar
melihat, serta untuk mengarahkan yang diperintah agar memandang apa yang
terhampar disana termasuk sistem dan cara kerjanya serta fenomena yang
ditangkap darinya.
Firma-Nya wama khalaqa Allah min syai'in/ dan apa yang diciptakan Allah
dari segala sesuatu dipahami Thahir bin Asyur sebagai bagian kedua yang
hams dilihat, Melihat pada kerajaan langit dan bumi mengantar kepada
pengakuan keagungan Allah SWT sehingga menghasilkan keyakinan bahwa
hanya Dia tidak ada selain-Nya yang wajar dituhankan, sedang melihat apa
yang diciptakan Allah dari segala sesuatu mengantar kepada keyakinan
tentang Qudrat-Nya, sehingga ini mengantar kepada keyakinan bahwa hanya
dia saja-bukan selain-Nya - yang merupakan pencipta.
Thobathoba'i memahami perintah memperhatikan apa yang diciptakan
Allah dalam konteks keagungan ciptaan atau ketelitiannya tidak juga pada
kudrat-Nya tetapi dalam konteks wujudnya, yakni bahwa ciptaan itu tidak
dapat wujud tanpa diwujudkan oleh Allah SWT .
Disisi lain dapat ditambahkan, perintah ayat diatas selain
mengantarkan kepada kesimpulan tersebut, juga dengan memperhatikan dan
mempelajari alam raya dan mahluk-mahluk Allah SWT, akan terungkap
rahasia-rahasianya yang dapat dimanfaatkan manusia guna meraih
kenyamanan hidup didunia atau menghindari petaka. (M Qurais Syihab,
(2000:315)
C. Kepekaan Telinga
1. Penyajian Data
"Dan sesungguhnya kami jadikan untuk ( isi neraka jahanam ) kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mereka\ mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat A llah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orangyang lalai (DEPAGRI, 1989 : 251).
Menurut Wahbah Al-Juhaeli (1991:169) dalam tafsir Al-munir bahwa
makna "lahum adzanun la yasmanna biha" ialah bahwa manusia yang diberi
panca indera yaitu berupa pendengaran (telinga) tidak dipakai untuk
mendengar ayat-ayat Allah yang di turunkan kepada para Nabi Allah dan
nasehat yang didengar supaya dihayati dan ditadaburi. Dan mereka juga tidak
mendengar berita tentang sejarah dan ummat-ummat yang lalu, Kita
perhatikan firman Allah Ta'ala (Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi
mereka, berapa banyak ummat-ummat sebelum mereka yang telah kami
binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman
mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) maka apakah mereka tidak mendengarkan ?
2. Analisis Data
Melihat dari keterangan diatas. Jika menganalisis pendapat para
mufasir bahwa yang dimaksud dengan telinga atau pendengaran yang peka itu
adalah pendengaran yang senantiasa digunakan untuk mendengar ayat-ayat
Allah swt yang diturunkan kepada para Nabi dan rasul Allah, serta
pendengaran yang digunakan untuk mendengarkan berita sejarah dari umat-
umat yang terdahulu sehingga mereka mendapat petunjuk dari apa yang
didengarnya.
Melihat dari keterangan Ql-Qur'an surat As-Sajdah ayat 26 Allah berfirman
"Dan apakah tidak menjadi petunjuk buat mereka berapa banyak sebelum mereka dari generasi-generasi yang telah kami binasakan padahal mereka berjalan ditempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda, maka apakah mereka tidak mendengarkan ? " (Depag Rl, 1989:663)
Pada ayat ini Allah SWT memperingatkan kepada manusia yang
selalu menentang dan mengingkari seruan Nabi dan Rasul Allah. Adapun
peringatan itu sampaikan sebagai berikut. Apakah belum jelas bagi orang-
orang kafir jalan yang benar yang telah ditunjukan kepada mereka. Apakah
mereka lupa dan tidak ada akibat yang diterima umat-umat terdahulu yang
mendustakan para rasul yang diutus kepada mereka. Maka apakah mereka
tidak mendengarkan yakni dengan seksama apa yang mereka saksikan itu.
Kata yasma'um / mendengar berbentuk mudhari/mengisyaratkan,
bahwa terjadinya hal tersebut dari saat ke saat. Dalam arti mereka ;
sebenarnya mereka dapat menarik pelajaran dari peristiwa-peristiwa lalu itu.
Bukankah mereka mendengar beritanya dari saat ke saat ? boleh jadi
pemilihan kata. yasma 'un /mendengar yang ditekankan di sini berita tentang
generasi lebih banyak yang mereka dengarkan dan lebih banyak yang dari
pada yang melihatnya. (M. Quraish Syihab, 2000:434)
Berdasarkan analisis ayat dan penjelasan para mufasir atau keterangan
lainnya tentang kecerdasan hati, kejeliaan mata serta kepekaan telinga,
terdapat nilai-nilai edukatif dalam Qur'an surat Al-A’raaf ayat 179 yang
sangat signiflkan.
Dalam setiap penjelasannya, para mufasir membagi ayat tersebut
kedalam empat pernyataan yang diantaranya :
a. Jahanam. Dijelaskan bahwa jahanam adalah neraka yang digunakan
untuk siksa di hari akhir. Dan secara kontekstual dikatakan, bahwa
petaka, kehancuran, kebinasaan yang menimpa setiap manusia.
b. Qulubana laa yafqahuuna biha, dijelaskan bahwa hati dalam ayat
tersebut adalah hati yang sudah diracuni oleh pengaruh-pengaruh
buruk, baik yang datang dari dalam maupun luar, sehingga tidak ada
dorongan kepada dirinya untuk selalu bertafakur dengan pemikiran
yang jernih serta akal sehatnya.
c. A yuunun laa yubsiruuna biha, dijelaskan bahwa mata yang
seharusnya digunakan sebagai alat untuk selalu memperhatikan setiap
peristiwa yang terjadi disekitarnya, setiap pendcritaan yang dialami
oleh scsama manusia tetapi matanya sudah tidak lagi difungsikan
untuk itu, sehingga melahirkan manusia yang apatis
d. Aadzaanun laa yasma 'uuna biha, dijelaskan bahwa telinga yang
seharusnya digunakan untuk menerima setiap informasi yang datang
sebagai pengetahuan yang dapat mengubah kehidupan dirinya, tetapi
telinganya tidak pernah difungsikan untuk itu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dari data-data yang diperoleh mengenai Kajian
Ilmu Pendidikan Islam tentang Nilai-nilai Edukatif QS. Al-A’raaf ayat 179,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ilmu Pendidikan Islam
a. Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang membicarakan tentang
persoalan-persoalan pokok Pendidikan Islam dan kegiatan mendidik
anak untuk ditujukan kepada terbentuknya kepribadian muslim yang
bertaqwa kepada Allah SWT.
b. Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang
mempunyai kepribadian muslim sejati serta dapal mempertahankan
predikat tinggi dihadapan Allah SWT dan semua mahluk ciptaan-Nya.
c. Ilmu pendidikan Islam berfimgsi mendorong tumbuhnya potensi-
potensi anak didik agar nicnjadi manusia yang cerdas, kreatif,
produktif serta berperan dimasa yang akan datang serta tetap
komitmen terhadap nilai kemanusiaan dari nilai ke-IIahian dalam
rangka menjalankan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi.
1) Kata-kata sahabat
2) Kemaslahatan Sosial
3) Nilai-nilai kebiasaan sosial
d. Metode Kajian Ilmu Pendidikan Islam adalah:
1) Metode deduksi, yaitu suatu metode berdasarkan penyelidikan
atas azas-azas yang bersifat umum yang dipergunakan untuk
menerangkan peristiwa-peristiwa khusus atau menjelaskan
teoritis-teoritis yang bersifat umum terhadap fakta-fakta yang
bersifat konkrit.
2) Metode Induksi, yaitu suatu metode yang merupakan kesimpulan-
kesimpulan yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah
mempelajari peristiwa-peristiwa konkrit.
3) Metode perbandingan, yaitu suatu metode dengan
mengadakan perbandingan antara dua objek penelitian atau lebih,
untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang objek-
objek yang diselidiki.
2. Nilai-nilai edukatif QS. Al-A'raaf ayat 179
Dari penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai edukatif
QS. Al-A'raaf ayat 179 tersebut adalah:
a. Kecerdasan Hati
Bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan hati adalah hati
yang senantiasa digunakan untuk berma'rifat kepada Allah,
memahami kehidupan rohani dan kelezatan maknawi yang dengan itu
manusia memperoleh kebaikan, kesempurnaan serta kebahagiaan
didunia yang merupakan bekal diakherat kelak.
b. Kejelian Mata
Yang dimaksud kejelian mata adalah mereka yang senantiasa
menggunakan matanya untuk melihat bukti kekuasaan Allah yang
bersifat alam dan merenungkan apa yang dilihatnya serta dipakai
melihat ayat-ayat Allah berupa Al-Qur'an untuk kebahagiaan mereka.
c. Kepekaan Telinga
Yang dimaksud telinga yang peka adalah pendengaran yang
senantiasa digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah serta telinga
yang dipakai untuk mendengarkan berita tentang sejarah umat-umat
yang terdahulu sehingga mereka mendapat petunjuk dari apa yang
didengarnya.
3. Kajian llmu Pendidikan Islam tentang Nilai-nilai edukatif QS.
Al-A’raaf ayat 179
a. Kecerdasan Hati
Yang dimaksud kecerdasan hati menurut analisis llmu
Pendidikan Islam adalah adalah hati yang senantiasa dipakai untuk
memahami serta berfikir guna menyelesaikan masalah hidup,
termasuk hubungan dengan manusia dan berhubungan dengan
keimanan terhadap Allah. Dan hati ini berfungsi sebagai alat
penimbang dan potensi intelegensi serta filter yang secara nalar
menyelidiki apa itu yang baik dan buruk.
b. KejelianMata
Yang dimaksud kejehan mata menurut analisis ilmu pendidikan
Islam adalah mata yang senantiasa dipakai untuk melihat bukti
kekuasaan Allah yang bersifat alam serta merenungkan apa yang
dilihatnya.
c. Kepekaan Telinga
Yang dimaksud kepekaan telinga menurut analisis ilmu
pendidikan islam adalah pendengaran yang senantiasa digunakan
untuk mendengar ayat-ayat Allah serta digunakan untuk
mendengarkan berita sejarah dari umat-umat yang terahulu sehingga
mereka mendapat pelajaran dari yang didengarnya.
B. Saran
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka di ajukan
saran-saran untuk para pembaca umumnya dan untuk penulis khususnya,
adapun saran tersebut sebagai berikut:
1. Manusia sebagai mahluk yang mcmpunyai unsur ruhani serta potensi
panca indera yaitu berupa hati, mala dan telinga, maka potcnsi-potensi
tersebut harus dibina dengan sebaik-baiknya agar derajat sebagai
manusia tetap terpelihara dan supaya memperolch kebahagiaan dunia
dan akhirat.
2. Unsur ruhani serta potensi panca indera yang telah Allah SWT
diciptakan buat manusia penting dipcrhatikan oleh setiap manusia
apalagi di jaman modern ini yang ditandai dengan kemiskinan
spiritual atau mental dan moral serta intelektual
3. Manfaatkan dengan sebaik-baiknya potensi-potensi panca indera
tersebut dengan menghayari dan mcngamalkan nilai-nilai ketaatan
dalan ajaran islam agar terhindar dari mala petaka yang akan menimpa
kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam dirumah, sekolah, dan masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Abdurrahman Saleh, landasan dan Tujuan Pendidikan Al-Qur’an, Bandung, CV. Diponogoro, 1977.
Ahmad Tafsir, Limit Pendidikan Islam Persefektif Islam, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1990.
A.D. Marimba, Pengantar Filsapat Pendidikan Islam, Bandung, PT. Ma’arif, 1989.
Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Althobari, TafsirxAt-Thobari Juz 9-11, Albabi Alhalabi, 1954.
Al-Ustadz Dr. Wall bah Al-Juhaeli, Tafsir Al-Munir Juz 9-10, Darul Filo-I Beiru, 1991 A.M. Al-Maraghi, Jilid IV Tafsir (Terjemah), Semarang, CV. Toha Putra, 1994.
Abu hanifah, Perlunya Manusia Bertaqwa, Garut, PP Darul Arqam, 1989.
Departemen Agama RI, Al-Qur 'an dan Tafsirnya, 1990 .
Dedi Suardi, Mahluk Berdasi Mencari Tuhan,. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991.
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1994.
Hamka, Tafsir Al-Azhar PT (Terjemah), Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Jakarta, Al-Husna, 1995.
Ibnu Katsir, Tafsir (Terjemah,) Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan, CV. Mundur Maju, 1991.
Kihajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta, 1962.
M. Athiyah Al-Abrnsy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bandung, Bulan Bintang, 1986.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Afis’bah Volume 5. Lentera Hati, 2002.
Murtada Mutahari, Perspektif Al-Qur’an tentang manusia dan agama, Bandung, Mizan,
Bandung, 1997.
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1998.
Sayyid Qutb, Tafsir Fii Dzilalil Qur’an (Terjemah), Jakarta, Gema Insani Press, 2003.
Syahminan Zaeni, Penyakit Rohani dan Pengobatannya, Surabaya, Al-Ikhlas, tth
Toto Tasmara. Kecerdasan Ruhaniyah, Jakarta, Gema Insani Press, 2001.
UU RI No. 2 Th. 1989, Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya, Sinar Grafika, 1993.
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 1994.
KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG NILAI-NILAI EDUKATIF Q.S AL-A’RAAF : 179
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam Pada Program Study Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI ) Yapata Al-Jawami Bandung
Oleh :
ACUMNIM: 0607110119
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
YAPATA AL-JAWAMI BANDUNG
1432 H/2010 M
IKHTISAR
Acum. Kajian Ilmu Pendidikan Islam tentang Nilai-nilai Edukatif Q.S. Al-A’raaf : 179.
Islam sebagai agama telah mengatur kehidupan dalam berbagai aspek, termasuk didalam masalah pendidika. Manusia dianugrahi alat-alat panca indra berupa hati, mata dan telinga yang kesemuanya itu harus dipelihara, dididik dan diarahkan secara baik supaya dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Pendidikan Islam secara terus menerus berusaha mendidik manusia dalam upaya meningkatkan kualitas manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan betakwa kepada Tuhan yang Maha Esa yang berbudi luhur, memiliki keterampilan dan dan pengetahuan, kesehatan jasmani dan rohani. Didalam pendidikan Islam terdapat interaksi edukatif secara Islami, yang didasarkan pada pemahaman petunjuk-petunjuk (wahyu). Oleh karena itu pendidikan Islam merupakan salah satu alternatif dalam mengembangkan potensi manusia menuju kerarah terbentuknya integritas pribadi manusia yang berkualitas. Bertolak dari pemikiran di atas, selanjutnya dalam skrisi ini dibahas mengenai Kajian Ilmu Pendidikan Islam tentang nilai-nilai edukatif dari surat Al-A'raaf Ayat 179 dengan tiga rumusan masalah yaitu mengenai apa makna Pendidikan Islam, apa nilai-nilai edukatif dari surat al-Araaf ayat 179 dan apa nilai-nilai yang terkandung dalam surat tersebut yang dikaji menurut Ilmu Pendidikan Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna Ilmu Pendidikan Islam, untuk mengetahui nilai-nilai edukatif dari surat Al-A’raaf Ayat 179
serta mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam surat Al-A’raaf Ayat 179 yang dikaji menurut Ilmu Pendidikan Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode-metode deskriptif. Data dikumpulkan melalui studi pustaka kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif.
Hasil analisis menunjukan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam surat Al-A’raaf Ayat 179 adalah mengenai kecerdasan hati, kejelian mata dan kepekaan telinga yang semata-mata hanya dipergunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.
PERSETUJUAN
KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG NILAI-NILAI EDUCATIF Q.S AL-A’RAAF : 179
Oleh :
ACUMNPM/NIMKO : 0607110119
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. BUNYAMIN, SH., MM. ARIF BADRUSYARIF, S.Ag
Mengetahui,
Pembantu Ketua IBidang Akademik
Ketua JurusanPendidikan Agama Islam
Drs. H. BUNYAMIN, SH., MM..................................................
Ketua STAI Yapata Al-Jawami
DR. H. DEDING ISHAK, SH, MM
PENGESAHAN
KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG NILAI-NILAI EDUCATIF Q.S AL-A’RAAF : 179
Oleh :
ACUMNPM/NIMKO : 0607110119
Telah dimunaqosahkan dalam Sidang Munaqosah Fakultas TARBIYAH Jurusan PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam Yapata Al-Jawami Bandung pada :
Hari : ...........................................................................
Tanggal : ...........................................................................
Bandung, Desember 2010
Majelis Sidang Munaqosah
KetuaMerangkap Anggota,
SekretarisMerangkap Anggota,
DR. H. DEDING ISHAK, SH, MM Drs. H. BUNYAMIN A, SH, MH
Tim Penguji :
Penguji I
...............................................
Penguji II
................................................
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kampung Lembur Kaler Desa Harumanasari
Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut, pada tanggal 18 Juli
1986. Anak kedelapan dari delapan bersaudara. Orang tua penulis,
ayah bernama Bpk. Engkon dan ibu bernama Ibu Rendah.
Penulis mulai masuk jenjang pendidikan di Sekolah Dasar SDN Lemahsirna Desa
Harumansari Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut lulus tahun 1999. Pada tahun 2003
lulus dari Sekolah Lanjutan Pertama, yaitu MTs Al-Ma’arif 2 Kadungora-Garut. Pada tahun
2006 lulus dari MA YPI Baiturrahman Leles-Garut.
Kemudian penulis melanjutkan perkuliahan ke Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Yapata Al-Jawami Bandung pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Agama Islam (PAI).
Dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu penulis menjadi pengajar di MTs. Al-
Ma’arif 2 Kadungora dan SMA Ma’arif Kadungora-Garut. Dalam kegiaatan berorganisasi
dilingkungan masyarakat penulis aktif, menjadi pengurus inti yaitu sekretaris Yayasan
Hidayaturrahman Pondok Pesantren Hidayatullah Leles-Garut yang bergerak dibidang
da’wah, pendidikan, sosial dan wirausaha.
Garut, Desember 2010Penulis
ACUM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Penulis panjatkan puji dan Syukur kehadirat Illahi Rabbi, Tuhan Yang
Maha Sempurna, Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang dilimpahkan
kepada penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini. Adapun judul
skripsi yang penulis angkat: KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG NILAI-NILAI EDUKATIF Q.S AL-A’RAAF : 179.
Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ketua Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawami Kab. Bandung, Bapak K.H.
R. Totoh Abdul Fatah (Alm),
2. Ketua STAI YAPATA AL-JAWAMI Kab. Bandung DR.H. Deding
Ishak, SH, MM,
3. Bapak Dosen Pembimbing I Drs. H. Bunyamin, SH., MM.dan Dosen
Pembimbing II Bapak. Arif Badrusyarif, S.Ag,
4. Bapak – bapak Dosen STAI YAPATA AL-JAWAMI BANDUNG,
5. Penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Guruku Drs KH. Aan
Hudri yang telang membimbing dan selalu memberi motivasi serta
dukungannya baik materi dan spiritualnya,
6. Kepada kedua orang tuaku Ayahanda Engkon (Alm) dan Ibunda Rendah
(Alm) semoga diterima amal ibadahnya, ditetapkan disisi Allah SWt,
7. Calon istriku tercinta Sri Anggraeni atas dorongan dan kasih sayangnya,
8. Calon mertuaku Bapak Wowon dan Ibu Cucu tercinta yang selalu
mendidik penulis hingga saat ini;
9. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan spirit.
Akhirnya, dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran kontruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga
skripsi yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Garut, Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
IKHTISAR............................................................................................... iHALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iiHALAMAN PERSETUJUAN .............................................................. iiiDAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................. ivMOTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................ vKATA PENGANTAR ............................................................................ viDAFTAR ISI .......................................................................................... viiDAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... viii
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1B. Perumusan Masalah .................................................................... 8C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 9D. Kerangka Pemikiran ................................................................... 9E. Langkah-langkah Penelitian ...................................................... 15
BAB II DESKRIPSI TENTANG ILMU PENDIDIKAN ISLAMA. Pengertian .................................................................................. 18B. Tujuan Ilmu Pendidikan .............................................................. 23C. Fungsi Ilmu Pendidikan .............................................................. 25D. Sumber Ilmu Pendidikan ............................................................ 26E. Metode Analisis Metode Pendidikan Islam ................................ 31
BAB III KONSEPSI KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM TENTANG NILAI-NILAI EDUKATIF QS. AL-A’RAAF : 179
A. Tafsir Ayat Q.S Al-A’raaf Ayat 179 .......................................... 33
B. Nilai-nilai Edukatif dari Q.S Al-Araaf Ayat 179 ........................ 46BAB IV NILAI-NILAI EDUKATIF QS. AL-A’RAAF : 179
A. Kecerdasan Hati .......................................................................... 51B. Kejelian Mata .............................................................................. 56C. Kepekaan Telinga ...................................................................... 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan ................................................................................. 63B. Saran ........................................................................................... 66