kajian hukum pidana dan hukum islam tentang tindak …
TRANSCRIPT
KAJIAN HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM TENTANG TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Nama : Vina Adenia Nasution
NIM : 150200168
Program Studi/PK : Hukum Pidana
Email : [email protected]
Dosen Pembimbing : Prof.Dr. Madiasa Ablisar, S.H, M.H
Dr. M Eka Putra, S.H, M.Hum
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK
*Vina Adenia Nasution
** Madiasa Ablisar
*** M. Ekaputra
Dengan berkembangnya teknologi di bidang kedokteran,
sekarang pencangkokan organ tubuh bukanlah menjadi sesuatu yang hal
mustahil dilakukan. Orang-orang yang mengalami kerusakan kesehatan pada
organ tubuhnya dapat melakukan transplantasi daripada melakukan
terapi kesehatan, contohnya seperti kerusakan ginjal, daripada melakukan
cuci darah darah sekali dalam seminggu maka lebih baik melakukan operasi
transplantasi ginjal karena lebih efektif. Praktek perdagangan organ tubuh ini
menjadi suatu prospek yang menguntungkan dan menjanjikan mengingat
keuntungan yang bisa didapat dari suatu organ yang diperjualbelikan
Adapun Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan jurnal ini
adalah Bagimana Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Organ Tubuh Manusia, Bagaimana Pengaturan Hukum Islam
Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Organ Tubuh Manusia dan Bagaimana
Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Organ Tubuh
Manusia Menurut Hukum Pidana Dan Hukum Islam.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah
menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang
dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan
hukum primer seperti menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan judul jurnal ini. Dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, serta
berbagai majalah, literatur, artikel, dan internet yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini.
Ketentuan pidana mengenai perdagangan organ tubuh manusia untuk
tujuan transplantasi tertera dalam Pasal 7 Undang-Undang TPPO yang dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara
seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.00,- (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.00,- (lima milyar rupiah) serta Pasal 192
Undang-Undang Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Menurut syariat Islam kerelaan dan persetujuan korban untuk menjadi
obyek jarimah tidak dapat mengubah sifat jarimah itu dan juga tidak
mempengaruhi pertanggungjawaban pidana, kecuali apabila kerelaan itu dapat
menghapuskan salah satu unsur jarimah tersebut.
Kata Kunci : Perlindungan hukum, Anak, Tindak Pidana Perdagangan Orang
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**Dosen Pembimbing I/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***Dosen Pembimbing II / Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
*Vina Adenia Nasution
** Madiasa Ablisar
*** M. Ekaputra
With the development of technology in the field of medicine, now organ
transplants are not something that is impossible to do. People who have health
damage to their organs can do transplants rather than doing health therapy, for
example kidney damage, rather than blood dialysis once a week, it is better to do
kidney transplant surgery because it is more effective. The practice of trading
organs is a profitable and promising prospect given the benefits that can be
obtained from an organ being traded
The problems that will be discussed in the writing of this journal are How
the Criminal Law Arrangement Against the Crime of Trafficking in Human
Organs, How the Regulation of Islamic Law Against the Crime of Trafficking in
Human Organs and How to Arrange Criminal Sanctions Against the Crime of
Trafficking in Human Organ According to Criminal Law and Law Islam.
The research method used in writing this journal is to use normative legal
research methods (normative juridical) conducted by library research (library
research). This research was conducted using secondary data obtained from
primary legal materials such as analyzing legislation relating to the title of this
journal. And secondary legal materials such as books, as well as various
magazines, literature, articles, and internet related to the issues raised in this
journal.
The criminal provisions concerning the trafficking of human organs for the
purpose of transplantation are stated in Article 7 of the TPPO Act which is
punishable by imprisonment for a minimum of 5 (five) years and the maximum
length of life in prison and a fine of at least Rp. 200,000.00, - (two hundred
million rupiah) and at most Rp. 5,000,000.00 (five billion rupiah) and Article 192
of the Health Law shall be punished with a maximum imprisonment of 10 (ten)
years and a fine of a maximum of Rp1,000,000,000.00 (one billion rupiah).
According to Islamic law, the willingness and consent of the victim to be the
object of jarimah cannot change the nature of the finger and also does not affect
criminal liability, except if that willingness can eliminate one of the elements of
the jarimah.
Keywords: Legal protection, children, criminal trafficking in persons
Student of Faculty of Law University of North Sumatra.
**) Supervisor I, Lecturer Faculty of Law University of North Sumatra.
***) Supervisor II, Lecturer Faculty of Law University of North Sumatra.
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
D Ilmu dan tehnologi kedokteran adalah produk budaya manusia yang
dikembangkan secara berkesinmbungan dari masa ke masa. Pada abad 20 ini,
perkembangan ilmu dan tehnologi kedokteran sedemikian pesat seolah terjadii
loncatan perkembangan, dan percepatan laju perkembangan ini diramalkan akan
berlanjut terus memasuki abad ke-21. Beberapa loncatan perkembangan yang
menonjol antara lain dibidang tehnologi diagnostic, perekayasaan genetik,
perekayasaan dan innovasi reproduksi, transplantasi dan bedah rekonstruksi,
komputerisasi medis disegala bidang.1
Kesehatan memiliki makna dan dimensi yang luas sebagaimana definisi
menurut WHO maupun Undang-Undang Kesehatan, yaitu keadaan sehat yang
meliputi aspek fisik, mental, spiritual, sosial dan dapat produktif secara sosial
maupun ekonomis. Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan seseorang tidak
hanya diukur dari aspek fisik dan mental semata, namun juga dinilai berdasarkan
produktivitas sosial atau ekonomi. Kesehatan mental (jiwa) mencakup komponen
pikiran emosional dan spiritual. Secara spiritual, sehat tercermin dari praktek
keagamaan, kepercayaan dan perbuatan yang baik sesuai norma dalam
masyarakat.2
Kesehatan merupakan hak asasi dari setiap individu. Di dalam Undang-
Undang Kesehatan RI Nomor 23 tahun 1992 pasal 1 ayat (1), kesehatan diartikan
sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. hal ini berarti bahwa kesehatan
itu tidak saja terkait dengan faktor fisik, mental, dan sosial semata, namun terkait
juga denga produktifitas yang mampu dilakukan dan dihasilkannya.Seiring
berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman, dunia kesehatan juga mulai
mengalami banyak kemajuan terutama untuk beberapa penyakit yang telah
ditemukan metode baru dalam pengobatannya. Misalnya dengan ditemukan
metode pengobatan baru dengan cara pengcangkokan organ tubuh (transplantasi)
untuk beberapa organ tubuh misalnya ginjal, hati, paru-paru, dan tulang. Akan
tetapi pengadaan donor untuk organ tubuh tersebut masih sangat jarang sehingga
pasien masih merasakan sulit untuk melakukan transplantasi di samping biaya
untukmelakukan transplantasi yang cukup mahal juga. Tingginya angka
keberhasilan dari transplantasi maka menyebabkan semakin banyak permintaan
akan organ tubuh untuk tujuan transplantasi maka keterbatasan donor yang
1 Ahmad Watik Pratiknya dan Abdul Salam M. Sofron, Islam Etika dan Kesehatan,
(Jakarta : Rajawali,1986), h. 47 2 Muhammad Sabir, Pandangan Kesehatan Dalam Islam, (Makassar : Allauddin
University Press, 2014), h. 10
tersedia menjadi salah satu permasalahan dan hal tersebut semakin membuka
kemungkinan untuk terjadinya perdagangan organ tubuh secara ilegal.3
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda mengenai
pentingnya kesehatan, yaitu:
Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya
Allah tidak meletakkan suatu penyakit,kecuali Dia juga meletakkan
obat penyembuhannya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua.
Hadits ini menunjukkan bahwa umat Islam wajib berobat
jika menderita sakit, apapun macam penyakitnya, sebab
setiap penyakit merupakan berkah kasih sayang Allah, pasti ada obat
penyembuhnya, meski penyakit itu membutuhkan penyembuhan
berupa pencangkokan organ tubuh, yang secara medis memberikan harapan
kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan hidup, kecuali sakit tua.
Praktek perdagangan organ tubuh ini menjadi suatu prospek yang
menguntungkan dan menjanjikan mengingat keuntungan yang bisa didapat dari
suatu organ yang diperjualbelikan. Ditengah himpitan ekonomi yang dirasakan
masyarakat, maka perdagangan organ tubuh ini menjadi lahan untuk mencari
penghasilan dan keuntungan. Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat
Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Organ dan atau Jaringan
Tubuh Manusia, tidak melarang digunakannya donor jenazah untuk melakukan
transplantasi organ. Sehingga seseorang yang memanfaatkan organ tubuhnya
melalui wasiat, yang pelaksanaan wasiatnya dilakukan setelah pewasiat
meninggal dunia agar dapat berguna bagi orang yang mengalami kegagalan fungsi
organ, maka hukum wasiatnya mubah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 188, yaitu:
Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.4
Perkembangan Transplantasi organ tubuh manusia saat ini semakin
berkembang, tidak hanya organ Jantung manusia, namun berkembang ke cangkok
Ginjal, Hati, dan beberapa organ lain termasuk jaringan tubuh manusia seperti
jaringan otot ligamen maupun syaraf. Untuk kepentingan Transplantasi organ dan
3 Ibid, h.11
4 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung : PT Sygma
Examedia Arkanleema, 2007), h. 30
jaringan tubuh manusia, umumnya diperoleh dari penerima dari keluarga dekat.
Sebagai seorang calon donor organ, kedekatan sifat dasar kondisi kesehatan fisik
dan kelayakan secara kesehatan menjadi pertimbangan mengapa donor organ
umumnya dilakukan antar keluarga yang memiliki pertalian kekerabatan dengan
harapan memiliki kesamaan golongan darah dan kesamaan dalam sifat dan
karakter antibodi/kekebalan tubuh serta terkait masalah etika dan kemanusiaan.5
Transplantasi organ boleh dilakukan hanya untuk tujuan penyembuhan dan
tidak diperbolehkan untuk tujuan komersialisasi. Komersialisasi yang dimaksud
dari pasal tersebut adalah mempergunakan kesempatan untuk mencari
keuntungan sebanyakbanyaknya yang dilakukan oleh dokter atas tindakan
medisnya yang mengakibatkan biaya yang dibutuhkan terlampau tinggi
sehingga tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Selain itu, dalam
pengadaan organ donor hanya diperbolehkan mendapatkan organ tersebut dari
pendonor organ yang rela organnya diambil secara sukarela. Dan tidak
diperbolehkan mendapatkan organ tersebut dengan caracara ilegal seperti
mencuri dari orang yang telah mati ataupun membeli dari orang yang
menginginkan organnya atau organ orang lain dijual demi mendapatkan
keuntungan.
UU No. 36 tahun 2009 memberikan sanksi pidana bagi siapa saja yang
melanggarnya. Ini telah diatur dalam pasal 192 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pemerintah mencamtumkan Pasal 64 dan 192 dalam UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dengan tujuan untuk melindungi resipien dari
praktekpraktek ilegal dan untuk memberikan jaminan kesehatan bagi penderita
atau resipien untuk mendapatkan organ yang dibutuhkannya demi kesembuhan
penyakitnya.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk menulis jurnal
dengan judul “Kajian Hukum Pidana Dan Hukum Islam Tentang Tindak Pidana
Perdagangan Organ Tubuh Manusia”.
5 M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta :
Buku Kedokteran EGC, 2016), h. 93
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan jurnal ini
adalah :
1. Bagimana Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Organ Tubuh Manusia ?
2. Bagaimana Pengaturan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Organ Tubuh Manusia ?
3. Bagaimana Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Organ Tubuh Manusia Menurut Hukum Pidana Dan Hukum
Islam ?
C. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan jurnal ini adalah
metode hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Penelitian hukum
normatif meneliti kaidah atau aturaan hukum sebagai suatu bangunansistem yang
terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud
untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentuapakah sesuatu
peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut
hukum.6
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah
Deskriptif. Sifat penelitian deskriptif adalah bahwa peneliti dalam menganalisis
berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek
6 Dr. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, MH, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009,) h.36
penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan. Disini peneliti tidak
melakukan justifikasi terhadap hasil penelitiannya tersebut.7
3. Bahan Hukum/Sumber data
Dalam penelitian hukum normatif data yang dipakai adalah data
sekunder, yang terdiri dari :8
a. Bahan hukum primer
Yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau
keputusan pengadilan dan perjanjian internasional (traktat). Bahan hukum
primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan
hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang
berwenang untuk itu. Bahan hukum primer dalam jurnal ini terdiri dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Hukum Islam dan Undang-Undang HAM yang
berkaitan dengan tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, yang dapat berupa perancangan perundang-undangan, hasil
penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran, pamflet,
lefleat, brosur dan berita internet.
c. Bahan hukum tersier
Yakni bahan hukum yang dapat menjelaskan baik hukum primer maupun
bahan hukum sekunder, seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-
Indonesia, ensiklopedia, dan Kamus Hukum.
7 Ibid, h.183
8 Ibid, h.157-158
4. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian hukum normatif atau kepustakaan dilakukan dengan
studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut
dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang
banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut denganmelalui media
internet.9
5. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan penulis dalam penulisan jurnal ini dengan cara
kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam pendapat atau
tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian
dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam
jurnal ini.
9 Ibid, h.160
II.PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Organ
Tubuh Manusia
Pengaturan mengenai larangan perdagangan organ tubuh untuk tujuan
transplantasi telah ada di dalam beberapa peraturan perundangundangan di
Indonesia. Guna mengantisipasi tindak pidana perdagangan manusia yang
memprihatinkan dan kerap kali terjadi, pemerintah Indonesia menyusun,
membuat, mensahkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal larangan perdagangan organ tubuh
adalah Undang-Undang TPPO. Ketentuan pelarangan tersebut ada dalam rumusan
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dalam undang-undang ini.
Pengaturan dalam hal pelarangan tertera pada pengaturan Pasal 2 Undang-
Undang TPPO yang berbunyi :
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk
tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Peraturan mengenai perdagangan organ tubuh manusia dalam undang-
undang ini terdapat pada defenisi eksploitasi, menurut Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 Pasal 1 angka 7 menjelaskan definisi eksploitasi, yaitu:
Eksploitasi adalah Tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau, praktik,
semacam, perbudakan, penindasan, pemerasan,pemanf atan fisik, seksual,
organ reproduksi atau secara hukum memindahkan atau mentransplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materiil maupun immateriil.
Pada definisi eksploitasi terdapat rumusan perbuatan yang dapat di pidana
berupa pemindahan atau mentransplantasikan organ/jaringan tubuh untuk
mendapat keuntungan baik materiil maupun immateriil. Ketentuan pelarangan
lainnya tertera pada rumusan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007,
yang berbunyi:
Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilyah negara Republik
Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta
rupiah).
Anak sangat rentan terhadap tindakan eksploitasi dalam rangka
pengambilan organ tubuh. Maka sebagai upaya menghindari hal tersebut telah
diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 47
berbunyi :
(1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak
dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
(2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak
dari perbuatan :
a. Pengambilan organ tubuh anak dan atau jaringan tubuh anak tanpa
memperhatikan kesehatan anak.
b. Jual beli organ dan atau jaringan tubuh anak; dan
b. Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek
penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan
kepentingan yang terbaik untuk anak.
Pada Pasal 47 UU No 23 Tahun 2002 ini menjelaskan bahwa kewajiban
negara, pemerintah, keluarga maupun orang tua dalam melindungi anak dari
perbuatan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa
memperhatikan kesehatan anak, jual beli organ tubuh atau jaringan tubuh anak
serta penelitian kesehatan dengan objek penelitiannya menggunakan anak.10
Sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 47 disebutkan dalam Pasal 85
yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, di pidana dengan pidana
10
Trini Handayani, Fungsionalisasi Hukum Pidana terhadap perbuatan perdagangan
Organ Tubuh Manusia, (Bandung : Mandar Maju, 2012), h. 16
penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah ).”
Dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan (pasal 4). Kesehatan
merupakan hal yang penting dalam hidup manusia. Kesejahteraan manusia juga
dapat dicapai apabila mempunyai tubuh yang sehat. Untuk mencapai kesehatan
tersebut banyak orang menggunakan berbagai cara untuk dapat mencapainya
bahkan sampai mengorbankan kesehatan orang lain.
Perdagangan organ tubuh diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 yang tertuang dalam Pasal 64 , dan Pasal 192. Sedangkan ketentuan sanksi
pidana diatur dalam ketentuan Pasal 192 pada undang-undang ini. Pasal 64
Undang-Undang ini berbunyi :
1. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan
melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau
alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel
punca.
2. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersilkan.
3. Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih
apapun.
Pada Pasal 64 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ini
mengatur tentang penyembuhan penyakit maupun pemulihan penyakit melalui
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implant obat dan/atau alat kesehatan
serta bedah plastik dan rekonstruksi maupun penggunaan sel punca (stem cell).
Selain itu juga ada tujuan kemanusiaan. Pada ayat (3) merupakan
penjelasan tentang perbuatan jual beli organ dan/atau jaringan tubuh yang dilarang
dan dijelaskan sanksi pidananya pada Pasal 192 Pasal 64 ayat (2) dan (3)
dijelaskan bahwa, organ tubuh yang digunakan guna keperluan medis tidak
diperbolehkan untuk tujuan komersialisasi.
B. Pengaturan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Organ
Tubuh Manusia
Transplantasi organ tubuh manusia merupakan salah satu bentuk terapi
kedokteran modern yang terpenting. Namun demikian, kriteria penggunaannya
dan sumber organ tubuh tersebut, merupakan masalah-masalah etis dan agama
yang perlu dipecahkan. Ditambah lagi saat ini terdapat jenis terapi transplantasi
stem cell, yang merupakan sel multipoten, sehingga menambah lagi agenda
pembahasan para ulama tentangnya. Islam, sebagai satu-satunya agama bersifat
universal dan sistemik, tentunya harus bisa memberikan panduan dalam persoalan
ini. Bahkan para ulama pada periode klasik telah berpikir futuristik tentang
kemungkinan adanya terapi berupa transpantasi sel, jaringan, maupun oragan
tubuh manusia.
Dalam pandangan islam, transplantasi organ diperbolehkan apabila dalam
keadaan darurat dan merupakan kebutuhan medis untuk menyelamatkan hidup
seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran sebagai berikut:
“barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”
Dalam islam, diperbolehkan donor organ dari orang yang telah meninggal
apabila sewaktu ia hidup telah menginginkan untuk mendonorkan organnya jika ia
meninggal dan pihak keluarga juga menyetujui. Berikut beberapa fatwa tentang
donor organ :
1. Islamic Fiqh Academy
Diperbolehkan untuk transplantasi organ dari orang yang telah meninggal
apabila kehidupan penerima bergantung pada transplantasi atau kelanjutan
fungsi dasar jasmaninya bergantung pada transplantasi organ. Tapi donor
organ tetap bergantung pada persetujuan orang yang telah meninggal
sebelum ia meninggal, persetujuan keluarga terdekat, atau keputusan
pemimpin komunitas islam jika orang yang meninggal itu tidak
teridentifikasi dan tidak memiliki keluarga terdekat.
2. Highest Council of Scholars, Riyadh
Diperbolehkan untuk transplantasi seluruh atau sebagian organ dari orang
yang telah meninggal apabila kebutuhan transplantasi organ sangat genting.
Donor organ hidup juga diperbolehkan jika penerima benar” membutuhkan.
3. Fatwa Commitee of Kuwait
Apabila transplantasi organ menggunakan organ dari orang yang telah
meninggal itu diperbolehkan dengan permintaan orang yang meninggal itu
sebelum ia meninggal. Namun donor organ dari orang yang masih hidup
tidak diperbolehkan jika itu akan merusak hidupnya, baik pendonor
mengijinkan atau tidak.
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, hukum transplantasi atau
cangkok organ tubuh diperbolehkan selama sesuai dengan ketentuan syariat.
Sebaliknya, jika tidak memenuhi ketentuan syariat, cangkok organ tak boleh
dilakukan.Ketentuan hukum mengenai cangkok organ tersebut tertuang
dalam fatwa yang dikeluarkan MUI pada 2010. Fatwa tersebut menegaskan,
pencangkokan yang diperbolehkan jika melalui hibah, wasiat dengan
meminta, tanpa imbalan, atau melalui bank organ tubuh. Donor organ tubuh
dari orang meninggal juga diperbolehkan dengan syarat kematiannya
disaksikan dua dokter ahli.11
Pada periode klasik, para ulama berbeda pendapat mengenai status hukum
tindakan transplantasi organ manusia, baik yang berasal dari diri sendiri,orang
lain, binatang, benda-benda artifisial, maupun yang berasal dari mayat. Dari sisi
tindakannya, maka transplantasi organ dapat diqiyaskan dengan sejumlah perilaku
pada masa jahiliyah, yaitu menyambung rambut, menyambung kuku, dsb.
Tindakan-tindakan tersebut disumsikan memiliki motivasi kosmetik, termasuk
pada era modern ini dengan metode yang lebih canggih, seperti transplantasi
rambut pada alopecia ataupun pemasangan kawat gigi.12
Apabila transplantasi tersebut semata bertujuan kosmetika atau estetika,
maka Al-Qur‟an mengingatkan umat Islam tentang ucapan setan kepada manusia:
“… dan aku benar-benar akan menyuruh mereka (memotong telinga
binatang ternak) , lalu mereka benar-benar memotongnya, dan aku akan
suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka pun benar-benar
mengubahnya. Siapa saja yang menjadikan setan menjadi pelindung
selain Allah, maka sungguh dia menderita kerugian yang nyata”(An-
Nisa’:119)
Ayat ini di samping menerangkan perbuatan manusia sebagaimana
tekstualnya, juga berarti tindakan pencangkokan, seperti transplantasi kornea,
transplantasi hidung dan sebagainya. Bahkan tindakan haram itu juga mencakup
apabila orang yang eksplantasikan organnya tersebut tidak menimbulkan
kesusahan (la yadhurr) baginya, seperti memotong rambut untuk kemudian
disambungkan di kepala orang lain. Sedangkan Imam Al-Qurthubi
menafsirkannya sebagai keharaman sterilisasi pada manusia. Ibnu Abdul Barr
berpendapat bahwa para Fuqaha wilayah Hijaz dan Fuqaha Kufah tidak berbeda
pendapat bahwa sterilisasi manusia tidak diperbolehkan, karena itu (perbuatan
yang harus) dikenai sanksi, dan merupakan perbuatan mengubah-ubah ciptaan
Allah.13
Rasulullah bersabda,”Allah melaknat (para wanita) pembuat tato dan
yang minta dibuatkan tato,dan yang minta dicabut alisnya, dan yang minta
diratakan agar Nampak indah, dan (siapa saja) yang mengubah-ubah ciptaan
Allah. (Kemudian Ibnu Mas‟ud berkata): “Maka bagaimana mungkin saya tidak
(turut) melaknat apa-apa yang dilaknat oleh Rasulullah yang (bahkan) itu
terdapat dalam kitab Allah”.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar yang
berkata :”Seorang wanita menemui Nabi lalu berkata,‟Wahai Rasulullah,
11
https://amandaseviana.wordpress.com/2013/05/28/transplantasi-organ-dan-donor-organ-ditinjau-dari-hukum-islam/ yang diakses pada tanggal 10 Januari 2009
12 Endy M Astiwara, Fikih Kedokteran Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2018), h. 394 13
Ibid, h.395
sesungguhnya putri saya akan menjadi mempelai, namun dia pernah menderita
campak sehingga rambutnya rontok, maka apakah saya boleh menyambung
rambutnya (dengan rambut orang lain)?‟ Beliau menjawab, „Allah melaknat
orang yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya‟.”
Dari dalil-dalil di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Sesungguhnya berobat dengan cara transplantasi organ tubuh adalah tidak
diperbolehkan, berdasarkan ancaman-ancaman dari Allah dan Nabi-Nya.
Kalimat “ancaman” secara implisit menunjukkan bahwa perbuatan itu
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
b. Siapa saja yang menderita sakit, maka tidak boleh berobat dengan
menggantinya dari tubuh manusia lain, karena ini termasuk mengubah
ciptaan Allah.14
Sependapat dengan Ibni Hazm, Imam An-Nawawi berpendapat
berdasarkan dalil-dalil di atas :
“Sesungguhnya menyambung rambut dengan rambut orang lain adalah
diharamkan dan tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal itu, baik
dilakukan oleh pria maupun wanita, serta apakah berasal dari rambut
mahram,suami/istri, maupun dari yang bukan mahwam…Dan demikian
diharamkan memnfaatkan rambut seseorang maupun organ tubuh
lainnya. Hal itu karena kemuliaan derajat manusia. Bahkan rambut, kuku
dan anggota tubuh potongan nya harus dikuburkan”.15
Adapun dalam kaitan dengan transplantasi organ tubuh manusia,
Abdussalam Dawud Al-Abbadi menyebutkan tentang keharamannya. Ini
merupakan hukum asal bagi transplantasi berdasarkan kepada dalil-dalil yang ada.
Nabi telah menegaskan tentang haramnya menumpahkan darah manusia,
mengganggu harta mereka, ataupun menodai kehormatan mereka. Beliau
bersabda:
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah
harus dihormati, sebagai kehormatan hari kalian ini, di bulan kalian ini,
di negeri kalian ini.
“Seorang muslim bagi muslim yang lain harus saling menghormati dan
memuliakan, dalam perkara darah,harta, dan kehormatan.”
Menqiyaskan haramnya memotong anggota tubuh, lengan dan kaki secara
bersilangan dengan haramnya transplantasi dan mengganti organ tubuh, adalah
tidak tepat. Berdasarkan kaidah al-umur bi maqashidiha, maka tamtsil yang
diharamkan adalah tamtsil yang dilakukan karena iri dan dendam. Berbeda
dengan qishash terhadap jiwa atau bentuk yang lainnya, atau otopsi (bedah mayat)
untuk menemukan alat bukti kejahatan tertentu, atau transplantasi organ tubuh.
Ketiga bentuk ini bukan termasuk tamtsil, melainkan ihsan dan itsar. Contoh
kasus mengambil mata itu bisa memberikan akibat hukum yang berbeda-beda.
14
Ibid, h. 397 15
Ibid
Mencabut bola mata itu termasuk tamtsil yang diharamkan. Sedangkan
mengambil kornea untuk kemaslahatan orang hidup, bukanlah termasuk tamtsil
yang diharamkan, akan tetapi termasuk ihsan. Demikian pula mencabut mata
sebagai qishash itu adalah keadilan. 16
Keputusan majma’ berisi pengantar serta definisi-definisi tentang organ
tubuh manusia, orang hidup, orang mati, dan janin. Organ yang dimaksud dalam
keputusan ini ialah anggota tubuh, organ tubuh, jaringan tubuh, sel, darah,dan
lain-lain.
C. Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Organ
Tubuh Manusia Menurut Hukum Pidana Dan Hukum Islam
Pada dasarnya hukum nasional Indonesia memperbolehkan dilakukannya
transplantasi organ tubuh dalam hal upaya pengobatan, hal ini jelas diatur dalam
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Sanksi Pidana bagi pelaku
Tindak Pidana Perdagangan organ di dalam KUHP sendiri belum secara jelas
melarang adanya perbuatan perdagangan organ tubuh manusia akan tetapi ddalam
pasal 204 KUHPidana membahas tentang sanksi pidana bagi yang
memperjualbelikan barang yang diketahui membahayakan nyawa atau kesehatan
orang.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hal larangan perdagangan
organ tubuh adalah Undang-Undang TPPO. Ketentuan pelarangan tersebut ada
dalam rumusan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dalam
undang-undang ini yang dimana sanksinya dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pengaturan yang mengatur tentang ketentuan pidana mengenai
perdagangan organ tubuh manusia untuk tujuan transplantasi dimuat juga dalam
Pasal 7 Undang-Undang TPPO yang apabila mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.00,- (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.00,- (lima milyar rupiah).
Selain adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ada pula UndangUndang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang perdagangan
organ tubuh manusia untuk tujuan transplantasi.
16
Ibid, h.398
Undang-Undang Kesehatan ini mengatur ketentuan pidana mengenai
pelanggaran menyangkut perdagangan organ tubuh manusia ini. Pasal 192
Undang-Undang ini berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja
memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
Dalam Hukum Islam Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana
apabila unsur-unsurunya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada
yang khusus unsur umum berlaku pada semua jarimah, sedangkan unsur khusus
hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan jarimah ini berbeda antara yang
satu dengan jarimah yang lain.
Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum
pidana islam terbagi atas dua bagian, yaitu :
a. Ketentuan hukum yang pasti mengenai berat ringannya hukuman
termasuk qishash dan diyat yang tercantum didalam Al-Qur„an dan
hadist yang biasa disebut hudud;
b. Ketentuan hukuaman yang dibuat oleh hakim melalui putusan yang biasa
disebut hukuman ta‟zir.
Mendonorkan Organ tubuh dapat menjadi haram hukumya apabila
Transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan
hidup sehat, dengan alasan Firman Allah dalam Alqur‟an S. Al-Baqarah ayat 195,
bahwa ayat tersebut mengingatkan, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam
melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan
bisa berakibat fatal bagi diri donor, meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan
kemanusiaan yang baik dan luhur. Melakukan transplantasi dalam keadaan dalam
keadaan koma.Walaupun menurut dokter bahwa si donor itu akan segera
meninggal maka transplantasi tetap haram hukumnya karena hal itu
dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah.
Pada dasarnya menurut syariat Islam kerelaan dan persetujuan korban untuk
menjadi obyek jarimah tidak dapat mengubah sifat jarimah itu dan juga tidak
mempengaruhi pertanggungjawaban pidana, kecuali apabila kerelaan itu dapat
menghapuskan salah satu unsur jarimah tersebut. Ketentuan tentang tidak
berlakunya kerelaan tersebut berlaku untuk semua jarimah, dengan adanya dua
ketentuan tersebut yaitu tidak berpengaruhnya kerelaan dan adanya hak maaf dari
korban atau walinya maka dalam penerapannya timbul perbedaan pendapat dalam
dua jarimah tersebut.
Para fuqaha telah sepakat bahwa rela dibunuh tidak menyebabkan
dibolehkannya pembunuhan, karena jaminan atas keselamatan jiwa tidak bisa
dihapuskan kecuali dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh syara sedangkan
rela dibunuh tidak termasuk dalam batas-batas tersebut. Apabila proses
transplantasi organ tubuh mengakibatkan kematian bagi si korban maka si pelaku
tetap harus dihukum meskipun dengan persetujuan si korban. Dengan demikian,
pembunuhan yang dilakukan atas persetujuan korban tetap dianggap sebagai
jarimah pembunuhan sengaja.
Apabila korban rela dianiaya atau dipotong anggota badannya maka para
fuqaha terbagi kepada dua golongan. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-
muridnya, beberapa ulama Syafi‟iyah dan Imam Ahmad rela dianiaya dapat
menghapuskan hukuman. Alasannya adalah bahwa sesuatu yang bukan nyawa
disamakan dengan harta benda. Dengan demikian, apabila seseorang telah
merelakan anggota badannya untuk dipotong oleh orang lain untuk kepentingan
transplantasi organ tubuh maka itu adalah haknya sehingga pelaku bisa
dibebaskan dari hukuman. Akan tetapi, Imam Syafi’I memberikan tambahan
persyaratan untuk pembebasan ini yaitu selama pelaku tidak dijatuhi hukuman
ta‟zir oleh pengadilan. Menurut Imam Malik rela dianiaya tidak dapat
menghapuskan hukuman, kecuali apabila korban tetap dalam kerelaannya setelah
terjadinya transplantasi organ apabila setelah terjadi transplantasi korban
mencabut kerelaannya maka perlu tetap dikenakan hukuman qisash.
III.PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan Hukum Pidana Indonesia tentang perdagangan organ tubuh
manusia dapat kita lihat pengaturannya dalam :
a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Ketentuan pelarangan tersebut ada dalam
rumusan Pasal 2 smapai Pasal 7 dalam undang-undang ini.
b. Pada Pasal 47 UU No 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa kewajiban negara,
pemerintah, keluarga maupun orang tua dalam melindungi anak dari
perbuatan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa
memperhatikan kesehatan anak, jual beli organ tubuh atau jaringan tubuh
anak serta penelitian kesehatan dengan objek penelitiannya menggunakan
anak.
c. Pengaturan Perdagangan organ tubuh dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 yang tertuang dalam Pasal 64, dan Pasal 192. Sedangkan
ketentuan sanksi pidana diatur dalam ketentuan Pasal 192 pada undang-
undang ini.
2. Dalam pandangan islam, transplantasi organ diperbolehkan apabila dalam
keadaan darurat dan merupakan kebutuhan medis untuk menyelamatkan hidup
seseorang. Dalam islam, diperbolehkan donor organ dari orang yang telah
meninggal apabila sewaktu ia hidup telah menginginkan untuk mendonorkan
organnya jika ia meninggal dan pihak keluarga juga menyetujui. Para ulama
menyepakati tentang dibolehkannya transplantasi ialah pada kondisi-kondisi
yang telah nyata (keperluannya). Juga disyaratkan bahwa tidak boleh
mendapatkan organ tubuh dengan cara jual beli, karena jual beli organ tubuh
manusia adalah dilarang dalam kondisi bagaimanapun juga. Adapun jika pihak
resipien memberikan imbalan atas kesungguhan pendonor (atau keluarganya)
dengan harapan memperoleh organ tubuh ketika darurat atau imbalan tersebut
sebagai pengganti jerih payah dan penghormatan, maka ini menjadi
pertimbangan dan ijtihad para ulama.
3. Ketentuan pidana mengenai perdagangan organ tubuh manusia untuk tujuan
transplantasi dimuat juga dalam Pasal 7 Undang-Undang TPPO yang apabila
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.00,- (lima milyar rupiah). UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang mengatur tentang perdagangan organ tubuh manusia
untuk tujuan transplantasi. Pasal 192 Undang-Undang ini berbunyi “Setiap
orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Mendonorkan Organ tubuh dapat menjadi haram hukumya apabila
Transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan
hidup sehat. Pada dasarnya menurut syariat Islam kerelaan dan persetujuan
korban untuk menjadi obyek jarimah tidak dapat mengubah sifat jarimah itu
dan juga tidak mempengaruhi pertanggungjawaban pidana, kecuali apabila
kerelaan itu dapat menghapuskan salah satu unsur jarimah tersebut.
Apabila korban rela dianiaya atau dipotong anggota badannya maka para
fuqaha terbagi kepada dua golongan., Imam Syafi’I memberikan tambahan
persyaratan untuk pembebasan ini yaitu selama pelaku tidak dijatuhi hukuman
ta’zir oleh pengadilan. Menurut Imam Malik rela dianiaya tidak dapat
menghapuskan hukuman, kecuali apabila korban tetap dalam kerelaannya
setelah terjadinya transplantasi organ apabila setelah terjadi transplantasi
korban mencabut kerelaannya maka perlu tetap dikenakan hukuman qisash.
B. Saran
1. Sangat dibutuhkan peran aktif penegak hukum dalam pemberantasan tindak
pidana organ tubuh manusia, karena para penegak hukum harus menyadari
tugasnya sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum. Sehingga, aparat
penegak hukum harus mengerjakan bagiannya dengan baik dan tegas dalam hal
ini untuk melaksanakan tugasnya menegakkan hukum pidana mengatur
larangan untuk melakukan perdagangan organ tubuh manusia.
2. Perlu adanya Kesadaran dari masyarakat bahwa organ tubuh manusia itu sangat
berharga dan tidak boleh untuk diperjualbelikan untuk kepentingan komersil
karena organ tubuh manusia itu dapat mempengaruhi kehidupan kedepannya
dari manusia tersebut dan bertentangan dengan ajaran agama.
3. Penerapan sanksi dari Undang-undang yang berlaku di Indonesia terhadap
Tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia perlu lebih diterapkan lagi
dan perlu adanya koordinasi antara penegak hukum di Indonesia dengan Ulama
di Indonesia untuk lebih membahas lagi tentang penerapan sanksi pidana bagi
pelaku tindak pidana penjualan organ tubuh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abu Zakariya Al-Anshari, Syekh, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, juz I
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz 4, (Beirut : Darul Fikr)
Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bag.1, (Jakarta : Raja Grafindo)
Daud Ali, Muhammad,1996, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, Edisi 5, Cet. V)
Fajar ND, Mukti Dr. dan Achmad, Yulianto, MH, 2009, Dualisme Penelitian
Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
Hamzah, Andi, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta :
Ghalia Indonesia)
Hanafiah, M. Jusuf dan Amir, Amri, 2016, Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, (Jakarta : Buku Kedokteran EGC)
Handayani, Trini, 2012, Fungsionalisasi Hukum Pidana terhadap perbuatan
perdagangan Organ Tubuh Manusia, (Bandung : Mandar Maju)
Lamintang, P.A.F., 1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Citra Adityta Bakti)
M Astiwara, Endy, 2018, Fikih Kedokteran Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar)
Muladi dan Nawawi Arief, Barda, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung : Alumni)
Prasetyo, Teguh, 2010, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Press)
: Universitas Teknologi Malaysia)
Santoso Topo, 2016, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada)
Sudarto, 2000, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto)
Wardi Muslich, Ahmad, 2006, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jinayah, (Jakarta : Sinar Grafika)
Watik Pratiknya, Ahmad dan Salam M. Sofron, Abdul, 1986, Islam Etika dan
Kesehatan, (Jakarta : Rajawali)
Zaidan, M. Ali, 2015, Menuju Pembaruan HUKUM PIDANA, (Jakarta : Sinar
Grafika)
Peraturan Perundangan-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Internet
https://amandaseviana.wordpress.com/2013/05/28/transplantasi-organ-dan-donor-
organ-ditinjau-dari-hukum-islam/ yang diakses pada tanggal 10 Januari
2009http://kabarwashliyah.com/2013/03/02/jual-beli-organ-tubuh-menurut-
hukum-islam/ yang diakses pada tanggal 11 Januari 2019