kajian ekonomi dan keuangan regional - bi.go.id · kata pengantar. ge kajian ekonomi dan keuangan...
TRANSCRIPT
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
TRIWULAN III
website : www.bi.go.id email : [email protected]
2015
KAJIAN EKONOMI DAN
KEUANGAN REGIONAL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
VISI BANK INDONESIA :
kredibel dan terbaik di regional
melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian
inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
MISI BANK INDONESIA :
1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi
kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas;
2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien
serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk
mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi
pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional;
3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang
berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan
stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan
akses dan kepentingan nasional;
4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta
melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :
-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai
untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity,
Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iii
BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan
terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan
perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan
ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan III 2015 dengan penekanan
kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi,
Perbankan dan Sistem Pembayaran, Ketenagakerjaan dan Prakiraan Perkembangan
Ekonomi Daerah pada triwulan IV 2015. Analisis dilakukan berdasarkan data
laporan bulanan bank umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat
Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya.
Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada
stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,
dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak
lain yang membutuhkan.
Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan
buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi
sangat diharapkan.
Pekanbaru, 18 November 2015
Plt. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
Ismet Inono Deputi Direktur
KATA PENGANTAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iv
duduk di rumah memegang amanah
duduk di tanah memegang petuah
duduk di kampung menjadi payung
duduk di banjar bertunjuk ajar
duduk di ladang tenggang menenggang
duduk di negeri tahukan diri
duduk di dusun ia penyantun
duduk beramai elok perangai
apa tanda Melayu bertuah,
tahu berguru pada yang sudah
tahu berbuat pada yang ada
tahu memandang jauh ke muka
apa tanda Melayu terbilang,
dada lapang pandangan panjang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
iv
HALAMAN
Kata Pengantar ..................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
Daftar Tabel ......................................................................................................... vii
Daftar Grafik ........................................................................................................ viii
Daftar Gambar...................................................................................................... xii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih............................................................................ xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................ 1
BAB 1. KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL .............................................. 8
1.
2.
Kondisi Umum...........................................................................
PDRB Sisi Penggunaan...............................................................
8
9
2.1. Konsumsi ..................................................................... 10
2.2 Investasi ....................................................................... 13
2.3 Ekspor dan Impor ......................................................... 13
2.3.1. Ekspor ................................................................
2.3.2. Impor .................................................................
13
16
3. PDRB Sektoral ........................................................................... 17
3.1. Sektor Pertanian Kehutanan dan Perikanan................... 18
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian .......................... 20
3.3. Sektor Industri Pengolahan ........................................... 21
3.4. Sektor Perdagangan, Besar dan Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor...............................................
22
3.5. Sektor Konstruksi.......................................................... 24
Boks 1 DAMPAK PELEMAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN DAERAH SERTA KETAHANAN DAN DAYA SAING
INDUSTRI
DAFTAR ISI
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
v
HALAMAN
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH ................................................... 25
1. Kondisi Umum........................................................................... 25
2. Perkembangan Inflasi
2.1. Inflasi Kota.........................................................................
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru..............................................
2.1.2. Inflasi Kota Dumai....................................................
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan............................................
2.2. Disagregasi Inflasi...............................................................
2.2.1.Inflasi Inti (Core)........................................................
2.2.2. Inflasi Volatile Foods.................................................
2.2.3. Inflasi Administered Price..........................................
26
30
30
31
32
33
33
34
35
Boks 2. DAMPAK EL NINO DAN KABUT ASAP
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH 37
1. Kondisi Umum Perbankan.......................................................... 37
2. Perkembangan Bank Umum........................................................ 38
2.1. Perkembangan .................................... 38
2.2. Perkembangan Dana Pihak 39
2.3. 42
3. ...... 44
4. 46
4.1. 46
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah....................... 48
4.3. .......... 50
5. 52
6. 53
7. Perkembangan Transaksi 54
7.1. 54
7.2. 54
7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow-
54
7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak 56
7 57
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vi
HALAMAN
7.3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non
...........
58
7 58
7.3.2. Real Time Gross Settlement 58
BAB 4 KONDISI KEUANGAN DAERAH ........................................................... 61
1. Kondisi Umum .......................................................................... 61
2. Realisasi APBD 2015.................................................................. 62
2.1. Realisasi Pendapatan..................................................... 62
2.2. Realisasi Belanja............................................................. 64
BAB 5 Perkembangan Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Daerah................ 66
1. ....... 66
2. Ketenagakerjaan... ....... 67
3. Kesejahteraan 70
3.1. Penduduk Miskin Riau.................................................... 70
3.2. Garis Kemiskinan Riau.................................................... 71
3.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan
Kemiskinan (P2) Riau........................................................
72
BAB 6 74
1. Prospek Makro ....... 74
2. Perkiraan Inflasi...... ................ 77
3. 78
Daftar Istilah xvii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
vii
HALAMAN
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau sisi penggunaan (yoy) ........................... 10
Tabel 1.2. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas
Riau (Ribu Ton) ............................................................................ 14
Tabel 1.3. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) ....... 18
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau .......................... 38
Tabel 3.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp Juta) ... 40
Tabel 3.3. Posisi Kredit Bank umum di Provinsi Riau (Rp Juta) ............................ 42
Tabel 3.4 Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp Juta) 47
Tabel 3.5 Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw II-2015 Menurut Sektor Ekonomi ..... 50
Tabel 3.6. Perkembangan Perbankan Syariah .................................................. 52
Tabel3.7 Perkembangan BPR/S ...................................................................... 54
Tabel 3.8 Perkembangan Nilai BI RTGS Provinsi Riau Tw II 2015 dan Tw III 2015
(dalam Rp Miliar)
Tabel 3.8. Perkembangan Volume warkat BI-RTGS di Riau triwulan II-2015 dan
triwulan III-2015 (dalam Rp juta) ..................................................... 60
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tahun 2014 dan 2015 ...................... 62
Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau
Triwulan III 2015 ......................................................................... 63
Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi belanja Daerah Provinsi Riau Triwulan III 2015 ..... 64
Tabel 5.1. Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatan Utama (Jiwa) ...................... 67
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan
Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan IV 2015 (dalam%) ........... 75
Tabel 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan
Inflasi Riau Triwulan IV 2015 .......................................................... 77
DAFTAR TABEL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
viii
HALAMAN
Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%) ...... 9
Grafik 1.2.Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Provinsi Riau .................... 10
Grafik 1.3.Pergerakan Indeks Penghasilan Konsumen Provinsi Riau ...................... 11
Grafik 1.4.Pergerakan Harga CPO Internasional dan TBS Lokal ............................. 11
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Perumahan ....................................................... 11
Grafik 1.6. Perkembangan Kredit Durable Goods .................................................. 11
Grafik 1.7. Perkembangan Kredit Multiguna ........................................................ 12
Grafik 1.8. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor ......................................... 12
Grafik 1.9. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Triwulan III 2010-2015 Riau ........ 12
Grafik1.10.Perkembangan Nilai Realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Riau ............ 13
Grafik1.11. Perkembangan Jumlah proyek PMA dan PMDN di Provinsi Riau ......... 13
Grafik 1.12.Perkembangan PMI dan Industrial Production Tiongkok ...................... 14
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau ...................... 15
Grafik1.14. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau ........................... 15
Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ................................... 15
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ............................ 15
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah
Tujuan .............................................................................................. 16
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau ............ 17
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi ............................................ 17
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ............................ 17
Grafik 1.21. Perkembangan Impor Non Migas Riau ............................................. 17
Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian ............................. 18
Grafik 1.23. Perkembangan Usaha Sektor Pertanian, Perkebunan dan Peternakan 19
Grafik 1.24. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau .............................. 20
Grafik 1.25. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian Provinsi Riau
Berdasarkan Subsektor ..................................................................... 20
DAFTAR GRAFIK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
ix
Grafik 1.26. Perkembangan Kapasitas Terpakai Sektor Industri Pengolahan ........ 21
Grafik 1.27. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan ........... 22
Grafik 1.28. Pertumbuhan Sektor Perdagangan Berdasarkan Subsektor .............. 22
Grafik 1.29. Realisasi Perkembangan Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan ......... 23
Grafik 1.30. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan
Minuman dan Tembakau di Riau ..................................................... 23
Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit ........... 23
Grafik 1.32. Konsumsi Semen Riau ....................................................................... 24
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) ................................ 27
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi di Ketiga Kota di Riau (yoy) .............................. 27
Grafik 2.3.Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy) ..................... 28
Gr afik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) ............. 28
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw III di Provinsi Riau (qtq) ................................ 29
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw III
2015 di Riau (qtq) ............................................................................... 30
Grafik 2.7. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw III
(2011-2014) ..................................................................................... 31
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru
Tw III 2015 .......................................................................................... 31
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis
Tw II (2011-2014) ............................................................................. 32
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai
Tw III 2015........................................................................................ 32
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan ............................................. 32
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota
Tembilahan Tw III 2015 ...................................................................... 32
Grafik 2.13.Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) ............................................... 33
Grafik 2.14.Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) ..................................... 34
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD ............................. 34
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia .................................................... 34
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable
Goods (yoy) ...................................................................................... 34
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) .............................. 35
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
x
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di
kota Pekanbaru ................................................................................ 35
Grafik 2.20. Perkembangan inflasi Administered Price ........36
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau (Rptriliun) ............ 39
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok (%)... 39
Grafik 3.3. Pertumbuhan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok Bank (%)... 39
Grafik 3.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Jenis Bank Tw III-2015 (%) ... 39
Grafik 3.5. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan (yoy) ....... 40
Grafik 3.6. Perkembangan Nilai DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ...... 40
Grafik 3.7. Perkembangan Jumlah Rekening Dana ............................................ 41
Grafik 3.8. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%) ......... 43
Grafik 3.9. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy) .... 43
Grafik 3.10. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq) .. 43
Grafik 3.11. Pertumbuhan Kredit Konsumsi dan Produktif (%) ........................... 44
Grafik 3.12. Sumber Perlambatan Kredit Modal Kerja ........................................ 44
Grafik 3.13. Perkembangan LDR di Provinsi Riau ................................................ 45
Grafik 3.14. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau ............. 45
Grafik 3.15. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Penyumbang NPL ... 45
Grafik 3.16. Perkembangan Harga TBS dan CPO Dunia ....................................... 46
Grafik 3.17. Perkembangan Harga Karet Dunia ................................................... 46
Grafik 3.18. Growth dan Pangsa Subsektor Pertanian ......................................... 47
Grafik 3.19. Growth dan Pangsa Subsektor Perdagangan .................................. 47
Grafik 3.20. Perkembangan Kredit Konsumsi ..................................................... 48
Grafik 3.21. Perkembangan Kredit Perumahan ................................................... 49
Grafik 3.22. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor .................................... 49
Grafik 3.23. Perkembangan Kredit Multiguna .................................................... 49
Grafik 3.24. Perkembangan Kredit Durable Goods ............................................. 49
Grafik 3.25. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM ............................ 50
Grafik 3.26. Penyaluran Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ......................... 50
Grafik 3.27. Pangsa Subsektor Perdagangan dan Pertanian Terbesar (%) ........... 51
Grafik 3.28. Perkembangan NPL Kredit UMKM .................................................. 51
Grafik 3.29. NPL Sektoral UMKM Triwulanan III-2015 (%) .................................. 51
Grafik 3.30. Pangsa Kredit Perbankan Syariah Berdasarkan Jenis Penggunaan ... 53
Grafik 3.31. Pangsa DPK Perbankan Syariah Berdasarkan Jenis Simpanan .......... 53
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xi
Grafik 3.32. Perkembangan Inflow dan Outflow ................................................ 55
Grafik 3.33. Series Inflow dan Outflow Triwulan III-2015 ................................... 55
Grafik 3.34. Perkembangan Outflow Bulanan Triwulan III-2015 ...................... 55
Grafik 3.35. Perkembangan Inflow Bulanan Triwulan III-2015 ......................... 55
Grafik 3.36. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang Dimusnahkan
Terhadap Inflow di Provinsi Riau .................................................... 56
Grafik 3.37. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau . 57
Grafik 3.38. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau ............................. 58
Grafik 5.1. TPT dan TPAK Sumatera dan Indonesia Agustus 2015 ..................... 67
Grafik 5.2. Sebaran Angkatan Kerja di Provinsi Riau ......................................... 68
Grafik 5.3. TPT dan TPAK Berdasarkan Wilayah ................................................ 68
Grafik 5.4. Lapangan Pekerjaan Utama Berdasarkan Daerah ............................. 69
Grafik 5.5. Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tenaga Kerja .......... 69
Grafik 5.6. TPT Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan ..... 69
Grafik 5.7. Perkembangan Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin ................. 70
Grafik 5.8. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin ....................................... 71
Grafik 5.9. Perkembangan Garis Kemiskinan (GK) Riau .................................... 72
Grafik 5.10. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau ............... 73
Grafik 5.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau ................ 73
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Perkiraan Pengeluaran Dibandingkan
3 Bulan yang Mendatang ................................................................. 76
Grafik 6.2. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen .................................... 76
Grafik 6.3. Perkembangan Harga Cabe dan Bawang di Kota Pekanbaru ............ 77
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xii
GE
GE
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
1
I. GAMBARAN UMUM
Perekonomian Riau pada triwulan III-2015 masih mengalami kontraksi, yaitu
sebesar 1,87% (yoy). Pertumbuhan ini tercatat lebih baik dibandingkan
pertumbuhan triwulan III-2015 lalu yang tercatat kontraksi sebesar 2,54% (yoy).
Kondisi ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat meningkat
dibandingkan triwulan II-2015 yaitu dari 4,67% (yoy) menjadi 4,73% (yoy).
RINGKASAN EKSEKUTIF
Perekonomian Riau periode laporan tercatat mengalami kontraksi dibandingkan periode
sebelumnya
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
2
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2015 dari sisi penggunaan utamanya
didorong oleh peningkatan kinerja investasi dan konsumsi pemerintah.
Sementara itu, penurunan kinerja ekspor masih berlanjut, meskipun
cenderung membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan laporan masih
mengalami kontraksi. Perbaikan permintaan komoditas ekspor unggulan,
seperti CPO masih terbatas sehingga menyebabkan kinerja ekspor masih
terkontraksi. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga, yang masih memiliki
pangsa terbesar PDRB dari sisi penggunaan, tercatat mengalami perlambatan
pada triwulan laporan.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga Riau pada triwulan III-2015 melambat
dibandingkan triwulan II-2015 yaitu dari 6,36% (yoy) menjadi 5,92% (yoy).
Perlambatan ini sejalan dengan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen
(IKK) dari 106,50 pada triwulan II-2015 menjadi 77,22 pada triwulan III-
2015. Penurunan ini diperkirakan akibat masih rendahnya harga komoditas
dan perbaikan ekonomi global yang masih sangat terbatas sehingga
mempengaruhi kondisi ekonomi domestik serta dampak kabut asap yang
terjadi selama triwulan III-2015.
Perkembangan investasi Riau pada triwulan III-2015 tercatat meningkat
dibandingkan triwulan II-2015 yaitu dari 1,24% (yoy) menjadi 4,19% (yoy).
Kondisi ini diindikasikan oleh meningkatnya pertumbuhan jumlah dan nilai
proyek PMA dan PMDN di Riau pada periode laporan.
Perkembangan ekspor luar negeri Riau pada triwulan III-2015 masih
mengalami penurunan, namun cenderung membaik yaitu dari kontraksi
sebesar 19,10% (yoy) pada triwulan II-2015 menjadi kontraksi sebesar
9,55% (yoy) pada triwulan III-2015. Hal ini disebabkan oleh perbaikan kinerja
ekspor migas seiring membaiknya kinerja sektor pertambangan dan
penggalian. Di sisi lain, impor pada triwulan III-2015 tercatat menurun
dibandingkan triwulan II-2015 yaitu dari kontraksi 8,25% (yoy) menjadi
kontraksi sebesar 17,42% (yoy). Penurunan impor luar negeri Riau pada
triwulan laporan berasal dari penurunan impor barang intermedier. Impor
Pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan III-2015 didorong oleh pertumbuhan investasi dan konsumsi pemerintah
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
3
barang intermedier menurun signifikan dari kontraksi 7,63% (yoy) di
triwulan II-2015 menjadi kontraksi 21,24% (yoy) di triwulan III-2015.
Dari sisi sektoral, kinerja perekonomian Riau pada triwulan III-2015 secara
umum menunjukkan penurunan, meskipun cenderung membaik
dibandingkan dengan triwulan II-2015. Hal ini tercermin dari pertumbuhan
dua sektor utama yang masih tercatat negatif. Penurunan terjadi pada sektor
pertambangan dan penggalian dan sektor pertanian, kehutanan dan
perikanan. Sementara, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil
dan sepeda motor mengalami perlambatan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Di sisi lain, peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan
sektor konstruksi diperkirakan menahan laju penurunan perekonomian Riau
pada triwulan III-2015.
III. ASSESMEN INFLASI
Inflasi Riau pada triwulan III-2015 tercatat sebesar 5,70% (yoy), lebih rendah
dibandingkan posisi triwulan II-2015 yang mencapai 7,39%. Dengan
demikian, inflasi Riau berada pada level yang lebih rendah dibandingkan
perkiraan sebelumnya. Inflasi di Riau sejalan dengan perkembangan inflasi
nasional yang juga menunjukkan penurunan dari 6,83% pada triwulan II-
2015 menjadi 5,53% pada triwulan III-2015. Penurunan tekanan inflasi
terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat penurunan harga
bawang merah, cabe merah, cabe rawit, daging ayam ras dan beberapa jenis
ikan segar serta penurunan kelompok core akibat penurunan permintaan
masyarakat karena penurunan daya beli masyarakat dan menurunnya
aktivitas ekonomi akibat kondisi asap.
Menurut kota perhitungan inflasi, inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai baik
secara triwulanan maupun tahunan masing-masing sebesar 6,21% (yoy) dan
1,10% (qtq). Sementara, inflasi Kota Pekanbaru sebesar 5,70% (yoy) dan
0,61% (qtq) dan inflasi Kab. Tembilahan sebesar 4,71% (yoy) dan 0,66%
(qtq). Namun demikian, inflasi triwulanan ketiga kota tersebut lebih rendah
dibandingkan sebelumnya.
Kota Dumai tercatat mengalami inflasi tertinggi sebesar 6,21% (yoy), diikuti oleh Kota Pekanbaru dan Kota Tembilahan masing-masing 5,70% (yoy) dan 4,71%
(yoy)
Penurunan tekanan inflasi terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat penurunan harga bawang dan cabe merah, cabe rawit, daging ayam ras dan beberapa jenis ikan segar serta penurunan kelompok core
Secara sektoral, kinerja perekonomian Riau menunjukkan penurunan, meskipun cenderung membaik dibandingkan
triwulan II-2015
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
4
IV. ASSESMEN KEUANGAN
Perbankan
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan laporan melambat
dibandingkan triwulan II-2015, hal ini tercermin dari melambatnya aset dan
DPK perbankan. Aset melambat dari 19,86% (yoy) di triwulan II-2015 menjadi
10,07% (yoy) di triwulan III-2015 dengan nilai sebesar Rp96,51 triliun,
sedangkan DPK melambat dari 15,82% (yoy) di triwulan II-2015 menjadi
9,57% (yoy) di triwulan III-2015 dengan nilai sebesar Rp70,29 triliun.
Sementara, penyaluran kredit meningkat dari 6,75%(yoy) di triwulan II-2015
menjadi 7,86% (yoy) di triwulan III-2015 dengan nilai sebesar Rp55,86 triliun.
Namun demikian, kualitas kredit yang disalurkan tercatat menurun yaitu dari
4,33% menjadi 4,50%, bahkan kualitas kredit BPR/S perlu mendapat
perhatian khusus mengingat tingginya NPL BPR/S mencapai 14,39%.
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2015 berada
pada kondisi yang stabil. Hal ini terlihat dari angka LDR1 sebesar sebesar
79,41%. Berbeda dengan BPR/S, LDR masih tercatat cukup tinggi yaitu
mencapai 104,01%. Tingginya LDR tersebut sejalan dengan semakin tingginya
risiko likuiditas BPR/S.
Penyaluran kredit bank umum kepada UMKM pada triwulan III-2015
mencapai Rp19,89 triliun, turun sebesar 1,57% (qtq) atau tumbuh lebih
rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 1,05% (yoy)
dari 2,32% (yoy). Kredit UMKM lebih banyak disalurkan pada usaha kecil
sebesar Rp7,77 triliun, diikuti oleh usaha menengah dan mikro masing-masing
Rp6,66 triliun dan Rp5,47 triliun. Sejalan dengan hal tersebut, NPL UMKM
masih tercatat cukup tinggi yaitu sebesar 7,41%.
Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan II-2015 belum
menunjukkan perbaikan. Aset dan pembiayaan masing-masing tercatat
sebesar Rp4,95 triliun dan Rp3,43 triliun, terkontraksi masing-masing sebesar
3,63% (yoy) dan 0,25% (yoy). Namun demikian, DPK meningkat sebesar
1 Loan to Deposit Ratio (LDR) dihitung menggunakan data penyaluran kredit berdasarkan
lokasi bank
Penyaluran kredit kepada UMKM tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan laporan melambat dibandingkan triwulan II-2015. Hal ini terlihat dari melambatnya aset dan DPK pada periode laporan
Fungsi intermediasi bank umum pada triwulan III-2015 tercatat stabil
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
5
11,45% (qtq) dan 7,16% (yoy). Di sisi lain, NPF perbankan syariah masih
tercatat cukup tinggi yaitu sebesar 6,19%.
Perkembangan BPR/S melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini
tercermin dari melambatnya aset dan DPK dibandingkan dengan triwulan II-
2015. Aset BPR/S tercatat sebesar Rp1,19 triliun, melambat dari 8,65% (yoy)
menjadi 7,26% (yoy), sedangkan DPK tercatat sebesar Rp881,19 miliar,
melambat dari 15,17% (yoy) menjadi 14,41% (yoy).jumlah aset yang
melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 8,65% (yoy)
menjadi 7,26% (yoy).
Keuangan Daerah
Realisasi anggaran pendapatan Riau pada triwulan III-2015 sebesar Rp5,15
triliun atau sebesar 59,06%, lebih rendah dibandingkan realisasi pada
periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai 79,11%. Tidak jauh
berbeda pada periode sebelumnya, komponen pendapatan dengan realisasi
terbesar adalah komponen Dana Perimbangan atau Pendapatan Transfer
yang terealisasi sebesar Rp2,32 triliun atau sebesar 55,28% dari total yang
dianggarkan. Sementara itu, pendapatan asli daerah terealisasi sebesar
Rp2,18 triliun atau sebesar 59,50% dari total yang dianggarkan. Realisasi
anggaran pendapatan transfer lainnya hingga triwulan III-2015 mencapai
Rp656,07 miliar atau sebesar 75,51% dari total yang dianggarkan.
Realisasi anggaran belanja Provinsi Riau pada triwulan III-2015 tercatat
sebesar Rp3,45 triliun atau sebesar 32,30% dari total anggaran yang
dialokasikan. Realisasi belanja tertinggi berasal dari realisasi belanja operasi
yaitu sebesar Rp2,22 triliun atau 39,77% dari total alokasi yang dianggarkan
tahun 2015. Realisasi belanja operasi utamanya bersumber dari belanja
pegawai dan belanja barang dan jasa yang tercatat masing-masing terealisasi
sebesar 61,76% dan 21,82%.
Realisasi anggaran pendapatan Riau pada triwulan III-2015 sebesar Rp5,15 triliun atau sebesar 59,06%
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
6
V. PROSPEK
Perekonomian Daerah
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan IV-2015 secara umum
diperkirakan tumbuh meningkat dan mencatatkan pertumbuhan yang
positif. Pertumbuhan ekonomi Riau secara tahunan diperkirakan berada
pada kisaran 1,0-2,0% (yoy) dengan tendensi ke arah batas bawah. Sumber
pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan berasal dari konsumsi dan
perbaikan kinerja ekspor, sementara perbaikan kinerja sektor utama,
terutama sektor pertanian, kehutanan dan perikanan diperkirakan akan
mendorong pertumbuhan perekonomian Riau pada triwulan IV-2015.
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan
ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga.
Kondisi ini sejalan dengan perkembangan indeks keyakinan konsumen bulan
November 2015 di Riau yang tercatat meningkat berdasarkan hasil survei
kegiatan dunia usaha (SKDU). Peningkatan optimisme konsumen tersebut
diperkirakan karena ekspektasi perbaikan ekonomi hingga akhir tahun,
meskipun masih sangat terbatas.
Sementara itu, kinerja sektor pertanian diperkirakan akan membaik
dibandingkan triwulan III-2015. Faktor pendorong pertumbuhan
diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan. Peningkatan permintaan
CPO diperkirakan akan mendorong laju produksi perkebunan kelapa sawit,
meskipun tidak begitu optimal karena faktor cuaca di awal triwulan IV-2015
yang masih terkena kabut asap. Meskipun demikian, terdapat risiko yang
berpotensi membawa pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah
proyeksi. Kondisi ini utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang
tidak produktif sehingga diperkirakan berpotensi mengakibatkan kontraksi
yang lebih dalam pada sektor pertambangan migas. Selain itu, potensi
pemulihan kinerja sektor pertanian masih cukup rendah.
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan IV-2015 diperkirakan meningkat yang berada pada kisaran 1,0-2,0%
(yoy)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
7
Inflasi
Inflasi Riau pada triwulan IV 2015 diperkirakan akan cenderung menurun,
yaitu berada pada kisaran 2,5-3,5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan,
inflasi diperkirakan berkisar 0,8-1,5% (qtq). Adapun capaian inflasi hingga
Oktober 2015 dibandingkan dengan akhir tahun 2014 telah mencapai
1,22% (ytd). Oleh sebab itu, sasaran inflasi nasional tahun 2015 sebesar
4±1% (yoy) diperkirakan akan tercapai.
Penurunan tekanan inflasi didorong oleh penurunan tekanan dari kelompok
administered prices akibat faktor baseline kenaikan harga BBM pada
November 2014 lalu. Meskipun demikian, terdapat risiko peningkatan
tekanan inflasi dari kelompok volatile food dan kelompok inti.
Beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati
batas atas kisaran proyeksi antara lain (i) rencana pemerintah menaikkan HET
LPG 3 kg, dan (ii) El Nino yang berpotensi mengganggu produksi daerah
sentra pertanian dan meningkatkan inflasi bahan makanan. Sementara itu,
terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah
yaitu (i) perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik
sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices,
(ii) tindakan pre-emptive TPID melalui koordinasi dengan berbagai instansi
dalam menjaga ekspektasi konsumen dan (ii) masih berlanjutnya koordinasi
kebijakan yang bersifat counter cyclical dalam menstabilkan tekanan
terhadap nilai rupiah.
Inflasi Riau pada triwulan IV 2015 diperkirakan akan cenderung menurun yaitu kisaran 2,5-
3,5% (yoy)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
8
1. KONDISI UMUM
Perekonomian Riau pada triwulan III 2015 masih mengalami kontraksi, yaitu
sebesar 1,87% (yoy). Pertumbuhan ini tercatat lebih baik dibandingkan
pertumbuhan triwulan II 2015 lalu yang tercatat kontraksi sebesar 2,54% (yoy)1.
Kondisi ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat meningkat
dibandingkan triwulan II 2015 yaitu dari 4,67% (yoy) menjadi 4,73% (yoy).
1 Revisi data oleh BPS.
Bab 1 KONDISI EKONOMI
MAKRO REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
9
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)
Sumber: BPS
Membaiknya perekonomian Provinsi Riau pada triwulan III 2015 utamanya
disebabkan oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan sektor
konstruksi. Sementara itu, sektor perdagangan besar dan eceran dan reparasi mobil
dan sepeda motor tercatat melambat. Di sisi lain, sektor pertanian, kehutanan, dan
perikanan tercatat mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan triwulan
sebelumnya. Selanjutnya, sektor pertambangan dan penggalian masih mengalami
kontraksi, namun tercatat lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya.
Meningkatnya kinerja sektor industri pengolahan didorong oleh peningkatan kinerja
subsektor industri makanan, minuman. Sementara itu, peningkatan kinerja
konstruksi didorong oleh peningkatan investasi Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) di sektor konstruksi dan realisasi belanja modal pemerintah menjelang akhir
tahun anggaran.
Dari sisi penggunaan, perbaikan kinerja ekonomi utamanya disebabkan oleh
peningkatan investasi dan perbaikan kinerja ekspor luar negeri. Perbaikan kinerja
ekspor migas Riau pada triwulan laporan didorong oleh membaiknya kinerja sektor
pertambangan dan penggalian. Sementara itu, peningkatan investasi tercermin dari
peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) selama triwulan laporan.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
10
2. PDRB SISI PENGGUNAAN
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2015 dari sisi penggunaan utamanya
didorong oleh peningkatan kinerja investasi dan konsumsi pemerintah. Sementara
itu, penurunan kinerja ekspor masih berlanjut, meskipun cenderung membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi
pada triwulan laporan masih mengalami kontraksi. Perbaikan permintaan komoditas
ekspor unggulan, khususnya CPO, akibat perbaikan ekonomi global yang masih
terbatas menyebabkan kinerja ekspor masih terkontraksi. Di sisi lain, konsumsi rumah
tangga, yang masih memiliki pangsa terbesar PDRB dari sisi penggunaan, tercatat
mengalami perlambatan pada triwulan laporan.
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)
Sumber: BPS Provinsi Riau
2.1. Konsumsi
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga
Provinsi Riau pada triwulan III 2015
tercatat melambat dibandingkan
triwulan II 2015, yakni dari 6,36%
(yoy) menjadi 5,92% (yoy).
Melambatnya pertumbuhan konsumsi
rumah tangga seiring dengan
penurunan Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) dari 106,50 pada
triwulan II 2015 menjadi 77,22 pada
triwulan III 2015 (Grafik 1.2).
I* II* III* IV* I(r)*** II*** III***
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 7.29 6.98 6.79 7.83 6.00 6.36 5.92 1.81
Pengeluaran Konsumsi LNPRT 19.81 20.10 12.88 9.87 (0.07) (1.61) 0.70 0.00
Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (1.81) (3.68) (4.80) (4.45) 1.93 5.18 8.80 0.32
Pembentukan Modal Tetap Bruto 2.54 2.31 1.03 0.47 1.33 1.24 4.19 1.17
Ekspor Barang dan Jasa 45.11 41.89 (5.65) (37.93) (32.62) (19.10) (9.55) (3.86)
Impor Barang dan Jasa 3.60 (10.22) 0.99 (37.94) (7.10) (8.25) (17.42) (0.80)
3.93 2.90 2.67 1.05 (0.03) (2.54) (1.87) (1.87)
Sumber
Pertumbuhan
(%)
Ket: *) Data sementara ***) Data sangat sementara r) revisi
2014 2015
Total
Sektor
Grafik 1.2. Perkembangan Indeks Keyakinan
Konsumen Provinsi Riau
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
11
Penurunan IKK didorong oleh penurunan kedua komponen IKK yaitu Indeks Kondisi
Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang diperkirakan
akibat masih rendahnya harga komoditas dan perbaikan ekonomi global yang masih
sangat terbatas sehingga mempengaruhi kondisi ekonomi domestik serta dampak
kabut asap yang terjadi selama triwulan III 2015.
Hingga triwulan III 2015 pergerakan harga CPO internasional masih terus menurun
sehingga menekan perkembangan harga TBS setempat. Pada triwulan III 2015, harga
CPO rata-rata hanya mencapai $506 USD/MT atau turun sebesar 28,86% (yoy), lebih
rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai $600 USD/MT. Kondisi ini
juga mendorong penurunan pada harga TBS lokal yang tercatat mencapai
Rp1.243/Kg atau turun sebesar 18,96% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mencapai Rp1.352/Kg (Grafik 1.4). Penurunan harga komoditas
berpengaruh terhadap penurunan penghasilan masyarakat setempat yang tercermin
dari penurunan indeks penghasilan berdasarkan hasil Survei Konsumen Bank
Indonesia, yaitu dari 123,7 pada Juni 2015 menjadi 99,7 pada September 2015
(Grafik 1.3).
Masih kuatnya konsumsi pada triwulan III 2015 tercermin dari penyaluran kredit
konsumsi pada triwulan laporan tercatat mengalami peningkatakan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Total kredit konsumsi yang disalurkan oleh bank umum di
Provinsi Riau mencapai Rp20,72 triliun atau tumbuh sebesar 9,46% (yoy), tumbuh
lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2015 yang mencapai 7,09% (yoy) atau sebesar
Rp20,09 triliun. Peningkatan penyaluran kredit konsumsi utamanya didorong oleh
peningkatan penyaluran kredit konsumsi untuk perumahan dan kredit durable
Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Penghasilan
Konsumen Provinsi Riau
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 1.4. Pergerakan Harga CPO
Internasional dan TBS Lokal
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
12
goods. Di sisi lain, kredit konsumsi untuk multiguna tercatat melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya. Sementara itu, kredit kendaraan bermotor masih terkontraksi,
namun telah mencatatkan perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya2.
Sementara itu, perkembangan
konsumsi pemerintah pada triwulan
laporan tercatat mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan
sebelumnya, yaitu dari 5,18% (yoy)
menjadi 8,80% (yoy). Kondisi ini
juga sejalan dengan penurunan DPK
pemerintah pada triwulan laporan.
Peningkatan konsumsi pemerintah
terjadi seiring dengan peningkatan
realisasi belanja pemerintah daerah
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)3, khususnya pemerintah
2 Penjelasan terkait kredit konsumsi dapat dilihat pada Bab 3 Buku KEKR ini 3 Penjelasan terkait APBD dapat dilihat pada BAB 4 Buku KEKR ini
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit
Perumahan
Grafik 1.6. Perkembangan Kredit Durable
Goods
Grafik 1.7. Perkembangan Kredit Multiguna
Grafik 1.8. Perkembangan Kredit Kendaraan
Bermotor
Grafik 1.9. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah
Triwulan III 2010-2015 Provinsi Riau
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
-
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2011 2012 2013 2014 2015
%
Rp
mil
iar
Perumahan (kiri) gyoy (kanan)
(100.00)
(50.00)
-
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
%
Rp
milia
r
Durable Goods gyoy (kanan)
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II III
2011 2012 2013 2014 2015
%
Rp
milia
r
Multiguna gyoy (kanan)
(40.00)
(20.00)
-
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
-
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2011 2012 2013 2014 2015
%
Rp
mil
iar
Kendaraan bermotor gyoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
13
Provinsi Riau yang telah terealisasi sebesar 32,30% dari total yang dianggarkan
hingga triwulan III 2015.
Jumlah realisasi ini lebih besar dibandingkan triwulan yang sama pada tahun
sebelumnya yang terealisasi sebesar 27,27%, namun masih lebih rendah
dibandingkan rata-rata realisasi belanja triwulan III selama lima tahun terakhir yang
tercatat sebesar 42,13%. Perkembangan konsumsi Lembaga Non Profit yang
melayani Rumah Tangga (LNPRT) juga tercatat mengalami peningkatan, yaitu dari
kontraksi 1,61% (yoy) menjadi tumbuh 0,70% (yoy).
2.2. Investasi (PMTB)
Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan III 2015 tercatat meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 1,24% (yoy) menjadi 4,19% (yoy).
Kondisi ini diindikasikan oleh meningkatnya pertumbuhan jumlah dan nilai proyek
PMA dan PMDN di Provinsi Riau pada triwulan III 2015. Pada triwulan III 2015 jumlah
proyek yang dilaksanakan di Riau mencapai 107 proyek. Sementara total nilai
investasi pada triwulan III 2015 di Riau mencapai Rp5,65 triliun atau meningkat
59,98% (yoy).
Peningkatan investasi di Provinsi Riau utamanya didorong oleh peningkatan nilai
investasi berupa PMDN, yaitu mencapai 72,62% (yoy). Peningkatan PMDN utamanya
didorong oleh investasi pada konstruksi dan properti, yang diperkirakan akibat
meningkatnya pembangunan jalan dan jembatan serta apartemen dan hotel-hotel di
Provinsi Riau selama triwulan III 2015. Sementara itu, peningkatan PMA didorong
oleh investasi di bidang industri kimia dasar, barang kimia dan farmasi.
Grafik 1.10. Perkembangan Nilai Realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Riau
Grafik 1.11. Perkembangan Jumlah proyek PMA dan PMDN di Provinsi Riau
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
14
2.3. Ekspor dan Impor
2.3.1. Ekspor
Perkembangan ekspor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan masih
mengalami penurunan namun cenderung membaik yaitu dari kontraksi sebesar
19,10% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi kontraksi sebesar 9,55% (yoy) pada
triwulan III 2015. Perbaikan kinerja ekspor pada triwulan laporan didorong oleh
perbaikan ekspor migas, seiring dengan membaiknya kinerja sektor pertambangan
dan penggalian. Meskipun demikian, masih kontraksinya kinerja pertambangan
migas mengakibatkan total ekspor luar negeri masih mengalami kontraksi. Di sisi lain,
kinerja ekspor non migas tercatat melambat. Melambatnya pertumbuhan ekpor non
migas didorong oleh melambatnya ekspor utama non migas Provinsi Riau yaitu
minyak dan lemak nabati.
Tabel 1.2. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)
Berdasarkan komoditasnya, melambatnya ekspor non migas Riau pada triwulan
laporan didorong oleh perlambatan ekspor CPO dan penurunan ekspor karet.
Melambatnya ekspor CPO disebabkan oleh menurunnya impor dari negara tujuan
ekspor utama seperti India dan Tiongkok akibat perlambatan ekonomi. Sementara
itu, menurunnya ekspor karet diperkirakan akibat penurunan permintaan karet dari
Tiongkok, yang tercermin dari penurunan PMI Manufacturing Tiongkok pada
triwulan III 2015. Penurunan tersebut juga berpengaruh terhadap permintaan energi
sehingga ekspor batubara masih terkontraksi hingga triwulan laporan, meskipun
cenderung membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Faktor harga yang masih
rendah juga mempengaruhi penurunan ekspor batubara pada triwulan laporan.
I II III I-15 II-15 III-15 I-15 II-15 III-15
Makanan dan Hewan Bernyawa 426.0 378.3 398.8 9.80 7.38 8.49 (6.01) 4.92 17.25
Tembakau dan Minuman 6.9 9.5 5.5 0.16 0.19 0.12 21.96 (2.57) (27.47)
Barang Mentah 741.6 711.8 737.7 17.05 13.89 15.70 16.06 9.16 (2.51)
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 28.2 53.3 15.4 0.65 1.04 0.33 (88.15) (81.47) (68.73)
Minyak dan Lemak Nabati 2,613.9 3,403.7 3,004.6 60.12 66.42 63.96 12.37 60.46 17.19
Bahan Kimia 119.0 171.2 114.9 2.74 3.34 2.45 (67.88) (38.74) (71.71)
Barang Manufaktur 412.5 396.9 420.9 9.49 7.75 8.96 0.59 (2.81) (0.94)
Mesin dan Peralatan - 0.0 0.0 - 0.00 0.00 (100.00) (99.99) (95.15)
Hasil Olahan Manufaktur 0.0 0.0 0.0062 0.00 0.00 0.00 (7.36) 705.96 205,300
Koin, bukan mata uang - - - - - - - 1.00 -
4,348.1 5,124.7 4,697.8 (2.13) 24.40 3.28
2015 (ribu ton) Pangsa (%) yoy (%)
100
Jenis
Total
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
15
Sementara itu, perkembangan ekspor pulp dan kertas pada triwulan III 2015 tercatat
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan informasi dari contact
liaison, melambatnya ekspor pulp dan kertas pada triwulan laporan didorong oleh
penurunan ekspor kertas akibat tindakan anti-dumping yang dilakukan oleh negara
kawasan Amerika terhadap produk kertas dari Indonesia terkait dengan isu
lingkungan. Sementara itu, pulp lebih banyak digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan domestik seiring dengan peningkatan kapasitas produksi dan pembuatan
pabrik tisu.
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau
Berdasarkan negara tujuan ekspornya, melambatnya volume ekspor non migas
utamanya berasal dari penurunan ekspor ke India dan MEE.. Pada triwulan III 2015,
volume ekspor ke India dan MEE masing-masing tercatat sebesar 644 ribu ton dan
587 ribu ton, atau masing-masing terkontraksi sebesar 1,06% (yoy) dan 0,28% (yoy).
Melambatnya ekspor ke kedua kawasan tersebut didominasi oleh ekspor CPO yang
disebabkan oleh perlambatan ekonomi dan penurunan permintaan pasca Idul Fitri
Grafik 1.12. Perkembangan PMI dan Industrial Production Tiongkok
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
16
1456H. Sementara itu, ekspor ke Tiongkok tercatat melambat, yaitu dari 14,20%
(yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 11,68% (yoy) pada triwulan III 2015.
Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
Di sisi lain, ekspor ke negara kawasan ASEAN tercatat mengalami peningkatan yang
siginifikan pada triwulan laporan. Pertumbuhan ekpor ke ASEAN pada triwulan III
2015 mencapai 10,70% (yoy) atau sebesar 606 ribu ton. Peningkatan ekspor ke
ASEAN utamanya ke Vietnam dan Myanmar, merupakan ekspor CPO yang
diperkirakan akibat semakin terdiversifikasinya pasar CPO Indonesia di ASEAN.
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
2.3.2. Impor
Perkembangan impor Riau pada triwulan III 2015 tercatat menurun yakni dari
kontraksi 8,25% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi kontraksi sebesar 17,42% (yoy).
Penurunan impor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan berasal dari
penurunan impor barang intermedier. Impor barang intermedier menurun signifikan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
17
dari kontraksi sebesar 7,63% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi kontraksi 21,24%
(yoy) pada triwulan III 2015. Penurunan impor barang intermedier diperkirakan akibat
masih berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah dan menyentuh nilai Rp14.730,00
untuk kurs jual. Selain itu, pelemahan permintaan ekspor dan perekonomian lokal
mengakibatkan tertahannya kegiatan investasi perusahaan setempat sehingga impor
bahan baku juga mengalami penurunan.
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi
Di sisi lain, impor barang modal, yang didominasi oleh mesin-mesin, tercatat
meningkat dari kontraksi sebesar 59,32% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi
tumbuh sebesar 43,77% (yoy) pada triwulan III 2015. Sementara itu, impor barang
konsumsi pada triwulan III 2015 juga mengalami peningkatan yakni dari tumbuh
6,24% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi tumbuh 91,91% (yoy) pada triwulan III
2015.
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier
Grafik 1.21. Perkembangan Impor Non Migas Riau
3. PDRB SEKTORAL
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan III 2015 secara umum
masih menunjukkan penurunan, meskipun cenderung membaik dibandingkan
triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari pertumbuhan dua sektor utama yang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
18
masih tercatat negatif. Penurunan terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian
dan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Sementara sektor perdagangan
besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, peningkatan kinerja sektor industri
pengolahan dan sektor konstruksi menahan laju penurunan perekonomian Riau pada
triwulan III 2015.
Tabel 1.3. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)
3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Sektor pertanian, kehutanan, dan
perikanan Provinsi Riau pada
triwulan III 2015 masih tercatat
mengalami kontraksi dan lebih
rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya, yaitu kontraksi
sebesar 9,37% (yoy) dari kontraksi
5,56% (yoy) pada triwulan
sebelumnya. Penurunan kinerja
sektor pertanian, kehutanan dan
perikanan pada triwulan laporan
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 3.5 3.8 4.4 6.3 7.5 -5.6 -9.4 (2.46)
Pertambangan dan Penggalian 3.1 -1.4 -4.4 -5.5 -8.7 -7.6 -5.9 (1.48)
Industri Pengolahan 8.5 6.8 7.0 5.6 -0.4 0.3 4.1 1.12
Pengadaan Listrik dan Gas 6.5 5.3 3.1 6.0 7.3 5.0 6.0 0.00
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 1.2 0.9 0.6 1.1 -2.9 3.1 2.6 0.00
Konstruksi 10.5 3.7 2.6 8.5 4.6 5.1 8.1 0.56
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 7.5 11.0 5.6 3.2 1.4 0.6 0.4 0.03
Transportasi dan Pergudangan 7.1 11.2 6.8 8.0 4.3 4.6 4.6 0.04
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 9.4 10.4 5.9 7.0 1.1 -2.2 0.0 0.00
Informasi dan Komunikasi 8.7 15.7 10.9 5.6 8.9 7.7 5.3 0.04
Jasa Keuangan dan Asuransi 8.9 13.5 10.3 4.7 4.4 -4.4 -1.0 (0.01)
Real Estate 7.4 7.6 6.6 5.3 7.0 7.9 9.4 0.08
Jasa Perusahaan 8.3 11.5 8.9 12.8 7.0 7.1 8.3 0.00
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 8.5 6.2 3.1 1.5 1.4 6.1 5.9 0.10
Jasa Pendidikan 2.7 4.3 4.2 4.6 9.7 9.8 10.0 0.04
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.6 9.2 8.5 8.4 11.7 8.9 11.6 0.02
Jasa lainnya 9.4 9.5 9.3 11.1 8.4 9.6 11.8 0.05
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 5.57 3.76 2.49 2.62 (0.03) (2.54) (1.87) (1.87)
Ket: *) Data sementara ***) Data sangat sementara r) revisi
Andil (%)Total I(r)*** II(r)*** III***Total
2014 2015
Total
2011 2012 2013
TotalUraian
Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan
Subsektor Pertanian
Sumber: BPS Provinsi Riau
*) Data sementara,***) Data sangat sementara, r) revisi
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
19
didorong oleh penurunan kinerja subsektor pertanian, peternakan, perburuan, dan
jasa pertanian yang tercatat mengalami kontraksi yang semakin dalam yaitu sebesar
11,62% (yoy) dari kontraksi sebesar 7,83% (yoy). Penurunan subsektor pertanian,
peternakan, perburuan, dan jasa pertanian diperkirakan akibat penurunan kinerja
subsektor perkebunan. Berdasarkan informasi dari contact liaison, adanya kabut asap
yang melanda Provinsi Riau selama triwulan laporan membuat kegiatan panen kelapa
sawit terkendala sehingga produksi TBS tidak maksimal. Selain itu, ke depannya
diperkirakan produksi TBS masih akan menurun di kisaran 10-15% dari kondisi
normal4.
Penurunan kinerja subsektor
pertanian, peternakan, perburuan,
dan jasa pertanian diperkirakan
juga akibat dampak kekeringan
lahan yang disebabkan oleh El Nino
di kawasan selatan. Hal ini juga
dikonfirmasi berdasarkan hasil
Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU)5 Bank Indonesia terkait
perkembangan usaha sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mengalami penurunan dibandingkan
triwulan sebelumnya, yaitu dari kontraksi 1,11% (qtq) menjadi kontraksi 1,34%
(qtq). Sementara itu, kinerja subsektor perkebunan juga tidak optimal disebabkan
karena pengusaha masih menahan produksi akibat kondisi perekonomian global dan
nasional yang belum membaik.
Berdasarkan informasi dari contact liaison, penurunan kinerja subsektor kehutanan
dan penebangan kayu disebabkan oleh penurunan ukuran dan kualitas kayu yang
ditebang. Akan tetapi, pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas dapat
terpenuhi melalui impor dari daerah lain. Adanya kebakaran lahan selama triwulan
laporan diperkirakan juga menyumbang penurunan kinerja subsektor kehutanan dan
4 Penjelasan terkait dampak asap terhadap perekonomian Provinsi Riau dapat dilihat pada Boks 1 Buku KEKR ini 5 Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) merupakan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mengumpulkan data kegiatan dunia usaha yang merupakan salah satu pendekatan/proksi kegiatan usaha untuk mendapatkan informasi dini (leading economy indicator) mengenai indikasi perkembangan kegiatan ekonomi di sektor riil secara triwulanan, yaitu triwulan yang sedang berjalan dan perkiraan pada triwulan yang akan datang
Grafik 1.23. Perkembangan Usaha Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
20
penebangan kayu. Di sisi lain, perkembangan subsektor perikanan masih tercatat
tumbuh meskipun cenderung menurun dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu
dari 6,53% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 5,02% (yoy) pada triwulan III 2015.
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan III 2015 tercatat relatif membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari kontraksi sebesar 7,59% (yoy) menjadi
kontraksi 5,94% (yoy). Sementara itu,
kontraksi pada sektor pertambangan
utamanya didorong oleh kontraksi pada
subsektor pertambangan minyak bumi
dan gas bumi, namun tercatat lebih
baik dibandingkan triwulan
sebelumnya. Kondisi ini, tidak jauh
berbeda dengan triwulan sebelumnya
diperkirakan akibat optimalisasi
teknologi pertambangan minyak bumi
yang dilakukan oleh pengusaha yakni berupa injeksi kuman atau injeksi kimia.
Kondisi ini juga tercermin dari pencapaian lifting minyak bumi Provinsi Riau yang
hingga triwulan III 2015 yang cenderung membaik dibandingkan triwulan
sebelumnya. Hingga triwulan III 2015, pencapaian lifting minyak bumi di Provinsi Riau
mencapai 311,05 ribu barel per hari.
Pencapaian tersebut tercatat
menurun sebesar 5,11% (yoy), dan
relatif membaik dibandingkan
triwulan II 2015 yang mengalami
penurunan sebesar 7,66% (yoy).
Meskipun demikian, kinerja lifting
minyak bumi di Riau ke depannya
akan semakin menurun akibat
penurunan produktivitas sumur
minyak yang sudah tua (natural
declining) dan minimnya penemuan sumber cadangan minyak baru yang produktif
Grafik 1.24. Perkembangan Lifting
Minyak Bumi Provinsi Riau
Sumber: Kementerian ESDM
Grafik 1.25. Pertumbuhan Sektor Pertambangan
dan Penggalian Provinsi Riau berdasarkan
subsektor
Sumber: ESDM
(80.00)
(60.00)
(40.00)
(20.00)
-
20.00
40.00
I* II* III* IV* I(r)*** II(r)*** III***
2014 2015
yoy,
%
Pertambangan Minyak, Gas, dan Panas Bumi
Pertambangan Batubara dan Lignit (RHS)
Pertambangan Bijih Logam
Pertambangan dan Penggalian Lainnya
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
21
di Provinsi Riau. Beberapa perusahaan pertambangan minyak berusaha menahan laju
penurunan produksi melalui penggunaan alat-alat drilling berteknologi tinggi, seperti
injeksi uap dan menggunakan bahan-bahan kimia seperti injeksi kuman serta bahan
kimia lainnya agar dapat mengambil sisa-sisa minyak bumi. Selain keterbatasan
sumber cadangan minyak baru, perusahaan minyak juga dihadapkan pada
permasalahan perijinan antara lain meliputi ijin eksploitasi, ijin pengembangan sumur
dan fasilitas produksi, serta ijin lingkungan (AMDAL) termasuk terkait pembuangan
limbah, dimana terjadi tumpang tindih antara peraturan beberapa pihak berwenang.
Kondisi serupa juga terjadi pada perusahaan gas bumi yang ada di provinsi Riau.
Selanjutnya, kinerja pertambangan batu bara masih terkontraksi, yaitu mencapai
67,43% (yoy). Berdasarkan informasi dari contact liaison, kondisi ini didorong oleh
perkembangan harga batubara dunia yang masih terus menurun, sehingga
perusahaan tidak melakukan produksi akibat tingginya biaya produksi. Ekspor
batubara juga terlihat menurun, terutama pada dua bulan pertama di triwulan
laporan karena tidak adanya produksi batubara.
3.3. Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan dengan
migas pada triwulan III 2015 tercatat
tumbuh sebesar 4,15% (yoy), meningkat
dibandingkan triwulan II 2015 yang
tercatat tumbuh sebesar 0,33% (yoy).
Peningkatan kinerja sektor industri
pengolahan pada triwulan laporan
didorong oleh perbaikan kinerja industri
makanan dan minuman dan industri karet,
barang dari karet, dan plastik. Peningkatan kinerja kedua sektor ini diperkirakan
akibat meningkatnya permintaan negara tujuan ekspor utama, terutama negara
kawasan ASEAN. Peningkatan kinerja sektor industri pengolahan juga dikonfirmasi
oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa
kapasitas terpakai sektor industri pengolahan pada triwulan III 2015 cenderung
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Grafik 1.26. Perkembangan Kapasitas Terpakai Sektor Industri Pengolahan
Sumber : Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
82.00
84.00
86.00
88.00
90.00
92.00
94.00
96.00
98.00
Tw-I Tw-II Tw-III Tw-IV Tw-I Tw-II Tw-III
2014 2015
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
22
Meningkatnya subsektor industri pengolahan makanan dan minuman disebabkan
karena masih tumbuhnya ekspor CPO Provinsi Riau pada triwulan laporan, meskipun
cenderung melambat. Masuknya El Nino ke negara kawasan Selatan Samudera
Pasific dikhawatirkan dapat menganggu ketersediaan stok CPO pada tahun depan.
Oleh sebab itu, beberapa negara tujuan ekspor utama mulai melakukan
penumpukan stok untuk menghindari peningkatan harga pada tahun depan. Selain
itu, menipisnya stok minyak kedelai dan
minyak biji bunga matahari yang menjadi
substitusi CPO juga berpengaruh
terhadap permintaan CPO pada triwulan
laporan.
Di sisi lain, penurunan kinerja industri
kertas dan barang dari kertas, percetakan,
dan reproduksi media rekaman
mengakibatkan laju pertumbuhan sektor
industri pengolahan tertahan.
Berdasarkan informasi dari contact liaison,
adanya politik anti-dumping produk Indonesia oleh negara-negara di benua Amerika
mengakibatkan permintaan kertas menurun, sehingga perusahaan cenderung
menahan produksinya.
3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan
Sepeda Motor
Kinerja sektor perdagangan besar dan
eceran, dan reparasi mobil dan sepeda
motor pada triwulan III 2015 tercatat
mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya,
yaitu dari 0,58% (yoy) menjadi 0,38%
(yoy). Perlambatan pada sektor ini
didorong oleh penurunan kinerja
subsektor perdagangan besar dan
eceran, bukan mobil, dan sepeda
Grafik 1.27. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri
Pengolahan
Sumber : BPS Provinsi Riau
Grafik 1.28. Pertumbuhan Sektor Perdagangan
berdasarkan subsektor
Sumber: BPS Provinsi Riau
(15.00)
(10.00)
(5.00)
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
I* II* III* IV* I(r)*** II(r)*** III***
2014 2015
yoy,
%
Industri Makanan dan Minuman
Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan danReproduksi Media Rekaman
Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik
(6.00)
(4.00)
(2.00)
-
2.00
4.00
6.00
8.00
I* II* III* IV* I(r)*** II(r)*** III***
2014 2015
yoy,
%
Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya
Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan mobil dan Sepeda Motor
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
23
motor yang menurun dari 2,53% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 1,45% (yoy).
Kondisi ini diperkirakan akibat dampak kabut asap yang melanda Provinsi Riau
selama triwulan laporan sehingga kegiatan jual beli di pasar, terutama di pasar
tradisional dan makanan khas juga berkurang. Selain itu, penurunan daya beli akibat
masih rendahnya harga komoditas diperkirakan juga memberikan andil dalam
penurunan kinerja subsektor ini.
Sementara itu, subsektor
perdagangan mobil, sepeda motor,
dan reparasinya masih tercatat
mengalami kontraksi namun
cenderung membaik dibandingkan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan
subsektor perdagangan mobil,
sepeda motor, dan reparasinya pada
triwulan III 2015 tercatat mengalami
kontraksi 2,33% (yoy), lebih baik
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat mengalami kontraksi sebesar
4,10% (yoy). Hal ini diperkirakan akibat pelemahan nilai tukar rupiah yang masih
berlanjut hingga triwulan laporan, sehingga meningkatkan harga barang-barang
impor dan bahan bakunya. Selain itu, perkembangan ekonomi domestik yang
menurun juga mensinyalir penurunan daya beli masyarakat sehingga kegiatan jual-
beli tidak dapat tumbuh optimal.
Grafik 1.29. Realisasi Perkembangan
Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha BI
Grafik.1.30. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan,
Minuman dan Tembakau di Riau
Ket: MK= Modal Kerja, I=Investasi
Grafik.1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit
Ket: MK= Modal Kerja, I=Investasi
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
24
Dilihat dari kredit perbankan, perlambatan pertumbuhan sektor perdagangan juga
tercermin dari masih terkontraksinya kredit subsektor perdagangan besar dan eceran
makanan, minuman, dan tembakau serta melambatnya pertumbuhan penyaluran
kredit untuk subsektor perdagangan kelapa dan kelapa sawit berdasarkan lokasi
bank di Provinsi Riau. Pada triwulan III 2015, jumlah kredit yang disalurkan ke
subsektor perdagangan besar dan eceran makanan, minuman, dan tembakau
mencapai Rp2,27 triliun atau turun sebesar 8,27% (yoy). Sementara itu, penyaluran
kredit ke subsektor perdagangan kelapa dan kelapa sawit juga mencapai Rp624,2
miliar atau tumbuh 4,07% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
tumbuh 8,44% (yoy).
3.5. Sektor Konstruksi
Kinerja sektor konstruksi pada
triwulan III 2015 tercatat
meningkat dibandingkan triwulan
II 2015. Pertumbuhan sektor
konstruksi di Provinsi Riau pada
triwulan III 2015 mencapai 8,06%
(yoy), lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar
5.07% (yoy).
Peningkatan pertumbuhan konstruksi pada triwulan laporan diindikasikan dengan
peningkatan konsumsi semen yaitu dari 403 ribu ton pada triwulan II 2015 menjadi
468 ribu ton pada triwulan III 2015. Secara tahunan pertumbuhan konsumsi semen
di Riau tercatat tumbuh sebesar 19,54% (yoy) setelah kontraksi sebesar 6,57% (yoy)
pada triwulan sebelumnya. Peningkatan sektor konstruksi diperkirakan juga akibat
mulai terealisasinya proyek-proyek pemerintah setempat menjelang tutup tahun
anggaran6. Peningkatan investasi PMDN di bidang konstruksi juga mendorong
peningkatan kinerja sektor ini pada triwulan laporan.
6 Pembahasan terkait realisasi APBD dapat dilihat pada Bab IV Buku KEKR ini.
Grafik 1.32. Konsumsi Semen Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Kinerja
Perekonomian Daerah serta Ketahanan dan Daya Saing Industri
Menurut World Economic Forum (WEF), tolak ukur daya saing diukur dari 5 (lima) faktor,
3 (tiga) faktor berada pada tataran makro: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro;
(b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsi sebagai fasilitator
dan pusat pelayanan; (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam
memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas, serta 2 (dua) faktor lainnya pada
tataran mikro yaitu (d) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi
perusahaan; dan (e) lemahnya iklim persaingan usaha. Kurang kondusifnya kondisi
makro dan lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing
ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja utama
dan sebagai motor pendorong perekonomian nasional
Pada bulan Oktober 2015, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan
survei dampak pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap kinerja perekonomian daerah serta
ketahanan daya saing usaha/industri. Survei ini dilakukan kepada sejumlah entitas
perusahaan yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian di Provinsi Riau yaitu
subsektor industri pengolahan dan pertambangan & penggalian migas.
Perkembangan nilai tukar Rupiah pada triwulan III-2015 sebesar Rp.13.851,- atau
melemah 5,46% (qtq) jika dibandingkan triwulan II-2015, dan jika dilihat pada akhir
triwulan III-2015 (bulan September 2015) nilai tukar Rupiah mencapai Rp.14.396,-.
Seluruh contact menyatakan bahwa depresiasi Rupiah tidak berpengaruh signifikan
terhadap kinerja perusahaan. Adapun pengaruh yang paling dirasakan oleh perusahaan
di subsektor industri pengolahan baik karet maupun kelapa sawit serta perusahaan di
subsektor pertambangan & penggalian migas adalah menurunnya harga komoditas
internasional.
Penurunan harga jual saat ini telah dialami oleh 84,62% responden, sedangkan 15,38%
responden lainnya mengalami kenaikan harga. Contact menjelaskan bahwa depresiasi
Rupiah tidak mampu mengkompensasi penurunan harga secara signifikan. Disisi lain
sekitar 61,54% responden menyatakan bahwa menurunnya harga berdampak terhadap
peningkatan permintaan yang berkisar antara 5-30%. Sementara itu 38,46% responden
lainnya menginformasikan hal yang sebaliknya bahwa menurunnya harga diikuti oleh
menurunnya kinerja penjualan sekitar 6%. Meningkatnya volume permintaan karena
penurunan harga menyebabkan peningkatan biaya dan volume produksi 61,54%
responden sekitar 10-30%. Demikian juga dengan penurunan kinerja penjualan yang
Boks 1
terjadi pada 38,46% yang berdampak terhadap penurunan biaya dan volume produksi.
Sementara itu, depresiasi Rupiah dan menurunnya harga komoditas internasional secara
langsung juga berdampak terhadap pencapaian margin perusahaan. Sekitar 46,15%
responden menginformasikan bahwa margin usaha menurun seiring dengan penurunan
penjualan dan harga, sedangkan 15,38% lainnya menyatakan terdapat kenaikan margin
karena peningkatan permintaan dan sisanya 38,46% menjelaskan bahwa margin yang
diperoleh perusahaan relatif sama dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014
seperti yang tercermin pada grafik dibawah ini.
Grafik B.1.1. Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Kinerja Perusahaan
Sebagian besar responden menyatakan nilai tukar Rupiah yang ideal atau mendukung
kegiatan usaha bagi sebagian besar perusahaan dengan adanya penyesuaian pada
Naik15%
Turun85%
Harga
Naik62%
Turun38%
Penjualan
Naik62%
Turun38%
Volume Produksi
Naik61%
Turun31%
Tetap8%
Biaya Produksi
Naik15%
Turun46%
Tetap39%
Margin Usaha
fundamental perekonomian domestik (dimana konsumsi domestik terindikasi melemah
dan faktor ekonomi global yang kurang mendukung) adalah Rp.10.000-12.000/USD,
sedangkan nilai tukar Rupiah yang diperkirakan akan mengganggu kinerja kegiatan
usaha secara signifikan adalah diatas Rp.14.000/USD.
Secara umum, depresiasi dan penurunan harga komoditas internasional menekan
pertumbuhan perusahaan. Sampai dengan akhir tahun 2015, responden menyatakan
belum ada rencana penambahan investasi baik dalam bentuk barang modal maupun
bangunan. Namun demikian, perlambatan kinerja tidak berpengaruh terhadap
kenaikan/penurunan pembiayaan perusahaan baik di dalam maupun luar negeri. Hingga
saat ini seluruh responden berupaya untuk tidak mengurangi jumlah tenaga kerja
(disiasati dengan pengaturan shift kerja) dan memberikan upah minimum setara dengan
Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp.1.925.000,-.
Untuk meminimalkan dampak pelemahan nilai tukar dan perlambatan permintaan
global, perusahaan melakukan strategi berupa peningkatan produksi dan volume
penjualan untuk menjaga eksistensi perusahaan, menahan laju penjualan pada saat
harga turun signifikan, menekan penurunan produksi yang lebih dalam dengan
menggunakan alat berteknologi tinggi, melakukan hedging, mengoptimalkan
penggunaan bahan baku dari kebun sendiri, efisiensi biaya dengan mengurangi jam
operasional atau meningkatkan penggunaan cangkang kelapa sawit, mengoperasikan
pabrik dengan full capacity, menerapkan sistem pemupukan dan pengangkutan hasil
produksi yang termekanisasi sehingga mengurangi ketergantungan terhadap tenaga
manusia.
Berkenaan dengan ketahanan dan daya saing usaha/industri, contact menilai bahwa
aspek infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi, lokasi produksi, logistik, perizinan,
insentif fiskal dan akses kredit cukup mendukung daya saing perusahaan namun belum
maksimal. Adapun negara-negara yang dijadikan benchmark terkait peningkatan daya
saing usaha antara lain adalah Malaysia, Thailand dan Eropa. Sementara itu, deregulasi
dalam bentuk paket kebijakan ekonomi tahap I, II dan III khususnya yang terkait dengan
kegiatan investasi, ekspor dan biaya energi diperkirakan akan berpengaruh kepada
perusahaan karena dapat mendorong iklim investasi dan gairah dunia usaha sepanjang
paket kebijakan ekonomi dimaksud terealisasi sesuai dengan yang direncanakan. Ke
depannya, sebagian besar responden berharap agar pemerintah konsisten dalam
memberikan insentif investasi kepada pelaku usaha, memberikan kemudahan perizinan,
meningkatkan serapan pasar domestik, serta memberlakukan peraturan dan regulasi
yang dapat meningkatkan ketahanan dan daya saing industri.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
25
1. KONDISI UMUM
Perkembangan inflasi Provinsi Riau pada triwulan III 2015 berada pada level yang
lebih rendah dengan perkiraan sebelumnya. Tekanan inflasi Riau pada triwulan III
2015 (yoy)1 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Penurunan tekanan inflasi terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat
penurunan harga bawang merah, cabe merah, cabe rawit, daging ayam ras dan
beberapa jenis ikan segar, serta penurunan kelompok core akibat penurunan
permintaan masyarakat karena penurunan daya beli masyarakat dan menurunnya
aktivitas ekonomi akibat kondisi asap.
1 yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
PERKEMBANGAN
INFLASI DAERAH
Bab 2
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
26
2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU
Inflasi Riau pada triwulan III 2015 (yoy) tercatat sebesar 5,70%, lebih rendah jika
dibandingkan posisi triwulan II 2015 yang mencapai 7,39%. Kondisi ini sejalan
dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan penurunan dari
6,83% pada triwulan II 2015 menjadi 5,53% pada triwulan III 2015. Bila
dibandingkan dengan rata-rata historisnya 5 tahun terakhir 2010-2014, inflasi Riau
pada triwulan III 2015 tercatat lebih tinggi.
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw III 2015 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, penurunan inflasi Riau disebabkan oleh menurunnya tekanan dari
kelompok volatile food, akibat menurunnya harga beberapa bahan makanan
terutama terjadi pada September 2015. Penurunan harga bersumber dari kelompok
bumbu-bumbuan (bawang merah, cabe merah, dan cabe rawit) seiring dengan
meningkatnya pasokan dari beberapa sentra produksi di Sumatera Barat dan Jawa,
serta penurunan harga komoditas makanan lainnya seperti beras, daging ayam ras
dan beberapa jenis ikan (nila dan tongkol) yang juga diakibatkan terjaganya pasokan.
Inflasi core (inti) pada triwulan laporan juga relatif menurun ditengah menurunnya
permintaan karena menurunnya daya beli masyarakat dan menurunnya aktivitas
ekonomi masyarakat pada saat kondisi asap yang terjadi bulan September sehingga
mengurangi tekanan inflasi inti Riau pada triwulan III 2015. Begitu halnya inflasi
administered price juga mengalami penurunan akibat penurunan tarif listrik pada
bulan Agustus 2015.
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi masih terjadi di
Kota Dumai yaitu mencapai 6,21% (yoy), diikuti oleh Kota Pekanbaru dan Kota
Tembilahan masing-masing 5,70% dan 4,71% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga
7.39 5.70 5.65
Tw II Tw III Avg Tw III
2015 2015 2010 - 2014
Riau7.26 6.83
5.53
Tw II Tw III Avg Tw III
2015 2015 2010 - 2014
Nasional
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
27
kota tersebut menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Pencapaian inflasi tersebut juga menunjukkan disparitas inflasi antar
ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan
Nasional (yoy)
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota
di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei di Provinsi Riau,
sumber penurunan inflasi secara tahunan pada triwulan III 2015 terutama berasal
dari penurunan tekanan inflasi kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi,
dan kelompok perumahan, yaitu masing-masing menyumbang sebesar 1,13%,
1,69%, dan 1,37% terhadap inflasi Riau. Kontribusi tersebut lebih rendah
dibandingkan triwulan lalu, masing-masing sebesar 2,18%, 2,02%, dan 1,71%.
Kontribusi inflasi cukup rendah terjadi pada kelompok sandang, kesehatan dan
pendidikan rekreasi dan olahraga, masing-masing berkontribusi 0,17%, 0,12%, dan
0,17%, lebih rendah dari kontribusi triwulan sebelumnya. Sementara itu kelompok
transportasi komunikasi menjadi satu-satunya kelompok yang mengalami
peningkatan kontribusi dari 1,04% menjadi 1,14% pada triwulan laporan.
Apabila dilihat level inflasinya, tingkat Inflasi tertinggi pada triwulan III dialami oleh
kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau yaitu 8,27% (yoy), diikuti
kelompok transportasi dan komunikasi serta kelompok perumahan masing-masing
7,10% dan 6,21% (yoy). Sebaliknya, inflasi terendah dialami oleh kelompok
pendidikan, rekreasi dan olahraga dan kelompok sandang yaitu sebesar 2,55% (yoy)
dan 2,72% (yoy.
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
% (yoy) Nasional Riau Sumatera
5.70 6.21
4.71
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III
2014 2015
% (yoy)Pekanbaru Dumai
Tembilahan Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
28
Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy)
Perkembangan inflasi Riau secara triwulanan menunjukkan penurunan bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 1,77% menjadi 1,44% (qtq).
Angka inflasi Riau pada triwulanan laporan juga lebih rendah jika dibandingkan
dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yang tercatat
sebesar 2,11% (qtq).
Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Menurunnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan berasal dari menurunnya
harga-harga pada sub kelompok bumbu-bumbuan dan sub kelompok lemak dan
minyak pada kelompok bahan makanan, dan sub kelompok rekreasi pada kelompok
pendidikan, rekreasi, dan olahraga. Dilihat dari komoditasnya, maka penurunan
inflasi utamanya bersumber dari penurunan bawang merah, cabe merah, cabe rawit,
daging ayam ras, dan minyak goreng. Beberapa upaya telah diambil oleh TPID di Riau
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
0
2
4
6
8
10
12
Bahan
Makanan
Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,
Rekreasi
Transportasi
Komunikasi
% Kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw II 2015 % (yoy) Tw III 2015
Kont.Tw II 2015 Kont.Tw III 2015
-2
-1
0
1
2
3
4
5
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
% qtq Pekanbaru Dumai Tembilahan Nasional Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
29
untuk menahan peningkatan inflasi antara lain pengelolaan ekspektasi harga dan
pola konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan, melakukan pengawasan ketat
terhadap pendistribusian LPG 3Kg, serta sinergi antar lembaga/instansi untuk
menjaga distribusi dan kecukupan stok, serta memperbanyak program pasar murah
terutama pada bulan Ramadhan sampai dengan menjelang hari raya Idul Fitri.
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw III di Provinsi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kota yang disurvei di Provinsi Riau, maka inflasi triwulanan terbesar
terjadi di kota Dumai sebesar 1,10% (qtq), sementara inflasi kota Pekanbaru dan
Tembilahan mencapai tingkat inflasi triwulanan masing-masing sebesar 0,61% dan
0,66% (qtq). Inflasi triwulanan ketiga kota tersebut lebih rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya Dumai, Pekanbaru, dan Tembilahan mengalami inflasi 1,97%,
1,97% dan 1,93% (qtq), serta lebih rendah dari rata-rata inflasi triwulan III tahun
2010-2014 yang sebesar 2,29%, 2,08% dan 2,13% (qtq).
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, maka kelompok
bahan makanan merupakan kelompok yang mengalami deflasi triwulanan terjadi
pada kelompok bahan makanan, sementara inflasi tertinggi terjadi pada kelompok
makanan jadi, kelompok pendidikan rekreasi olahraga, dan kelompok transportasi
dan komunikasi masing-masing sebesar 1,18%, 1,55%, dan 1,44% (qtq). Kelompok
tersebut memberikan andil pada inflasi triwulan laporan yaitu mencapai 0,24%,
0,10% dan 0,23%. Sementara itu, kelompok perumahan dan kelompok kesehatan
mengalami tingkat inflasi terendah masing-masing sebesar 0,41% dan 0,55% (qtq),
keduanya memberikan andil inflasi sebesar 0,09%dan 0,02%.
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw III 2015 di Riau (qtq)
2.442.11 2.08
2.292.13
1.27
0.68 0.61
1.10
0.66
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan
% (qtq) Historis 2010-2014 Tw III-2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
30
Sumber : BPS, diolah
2.1. Inflasi Kota
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru
Pada triwulan III 2015, Kota Pekanbaru mengalami Inflasi sebesar 5,70% (yoy), lebih
rendah dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 7,53% (yoy). Penurunan
tekanan inflasi terjadi pada seluruh kelompok disagregasinya. Penurunan inflasi
utamanya berasal dari penurunan harga bahan makanan akibat melimpahnya
pasokan bumbu-bumbuan (bawang merah dan cabe merah) dan daging ayam ras
terutama pada akhir triwulan III 2015. Penurunan harga juga disebabkan oleh
menurunnya permintaan sehingga menurunkan tekanan pada inflasi inti terutama
untuk beberapa komoditas perumahan (besi beton dan bahan bakar rumah tangga)
serta komoditas sandang (emas perhiasan).
Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa, inflasi tertinggi dialami oleh kelompok
bahan makanan jadi (7,84%, yoy) dan kelompok transportasi dan komunikasi
(7,33%, yoy), selanjutnya diikuti oleh inflasi pada kelompok perumahan dan
kelompok bahan makanan yang mengalami inflasi 5,95% dan 5,46% (yoy).
Hampir seluruh kelompok komoditas mengalami inflasi yang lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya, dengan penurunan terbesar terjadi pada
kelompok bahan makanan dari 10,16% menjadi 5,56% (yoy). Kelompok transportasi
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
-1
-1
0
1
1
2
2
3
3
4
4
5
Bahan
Makanan
Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,
Rekreasi
Transportasi
Komunikasi
% Kontribusi% (qtq) % (qtq) Tw II 2015 % (qtq) Tw III 2015
Kont.Tw II 2015 Kont.Tw III 2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
31
dan komunikasi menjadi satu-satunya yang mengalami peningkatan inflasi akibat
meningkatnya tarif angkutan udara pada bulan Juli dan Agutus 2015.
Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw III (2011-
2014)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw III
2015
2.1.2. Inflasi Kota Dumai
Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga
mengalami penurunan dari 7,29% menjadi 6,21% (yoy). Penurunan inflasi kota
Dumai terutama bersumber dari penurunan inflasi kelompok bahan makanan yang
berasal dari penurunan harga bumbu-bumbuan bawang merah, cabai merah, beras,
rempela hati ayam dan daging ayam karena peningkatan pasokan. Selain itu
penurunan tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok perumahan karena penurunan
bahan bakar rumah tangga dan kelompok sandang karena penurunan harga emas
perhiasan, sehingga menurunkan inflasi dari 8,66% dan 6,94% (yoy) di triwulan lalu
menjadi 7,62% dan 5,31% (yoy) pada triwulan laporan.
Inflasi cukup rendah terjadi pada kelompok kesehatan (4,54%, yoy) serta kelompok
transportasi dan komunikasi (5,57%, yoy), namun memiliki pergerakan meningkat
dibandingkan triwulan lalu yang sebesar 2,45% dan 4,93% (yoy).
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
% (qtq)% (yoy)Inflasi Triwulanan
Inflasi Tahunan
Rata-rata Inflasi yoy Tw III (2010-2014)
5.46
7.84
5.95
2.262.82
1.51
7.33
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
0
4
8
12
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw III 2015 Kont.Tw III 2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
32
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw II (2011-2014)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw II 2015
Sumber : BPS, diolah
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan
Inflasi yang terjadi di Kota Tembilahan tercatat sebagai inflasi terendah di Provinsi
Riau yaitu mencapai 4,71% (yoy) pada triwulan III 2015. Searah dengan kedua kota
lainnya, tekanan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan laporan mengalami
penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan kelompoknya, maka
penurunan dialami oleh kelompok makanan jadi, kelompok perumahan, kelompok
sandang dan kelompok pendidikan rekreasi olahraga, masing-masing menurun dari
7,39%, 9,60%, 4,51%, dan 5,14% (yoy) di triwulan II 2015 menjadi 3,93%, 6,27%,
2,24% dan 4,43% (yoy) di triwulan III 2015.
Dilihat berdasarkan subkelompok, komoditas yang mendorong terjadinya deflasi
berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan (bawang merah dan cabai merah),
daging segar dan hasil hasilnya (daging ayam ras dan telur ayam ras), serta sebagian
ikan segar (mujair dan patin).
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw III 2015
Sumber : BPS, diolah
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
% (qtq)% (yoy)Inflasi Triwulanan
Inflasi Tahunan
Rata-rata Inflasi yoy Tw III (2010-2014)
0.74
12.95
7.62
5.314.54
7.47
5.57
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
2.4
2.8
0
4
8
12
16
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw III 2015 Kont.Tw III 2015
-2.0
-1.0
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III
2014 2015
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan
3.81 3.93
6.27
2.242.72
4.43
7.55
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
0
2
4
6
8
BahanMakanan
MakananJadi
Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan,Rekreasi
Transport &Kom
% kontribusi% (yoy) % (yoy) Tw III 2015 Kont.Tw III 2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
33
2.2. Disagregasi Inflasi2 (yoy)
Penurunan tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan, didorong oleh seluruh
kelompok disagregasi terutama penurunan tekanan dari kelompok volatile food,
yang berasal dari penurunan harga komoditas bumbu-bumbuan, daging segar &
hasil-hasilnya, serta ikan segar sehingga menurunkan inflasi di triwulan III 2015,
akibat meningkatnya jumlah pasokan. Penurunan juga terjadi pada tekanan inflasi
kelompok core (inti) dan kelompok administered price. Faktor yang menyebabkan
penurunan inflasi inti terutama berasal dari kelompok perumahan akibat
menurunnya harga beberapa bahan bangunan (besi beton) dan kelompok sandang
akibat menurunnya harga emas perhiasan.
Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
2.2.1. Inflasi Inti (Core)
Laju inflasi inti pada triwulan III 2015 sedikit mengalami penurunan dibandingkan
triwulan II 2015 karena penurunan kelompok perumahan terutama harga beberapa
bahan bangunan dan bahan bakar rumah tangga. Masih berlanjutnya penurunan
harga emas global yang ditransmisikan ke harga emas perhiasan domestik juga turut
mendorong penurunan laju inflasi inti pada triwulan laporan. Penurunan inflasi
2 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011 2012 2013 2014 2015
(% yoy) CPI Core Volatile Food Administered
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
34
kelompok non tradable goods3 yang cukup dalam menjadi faktor yang mendorong
penurunan inflasi inti Riau pada triwulan laporan.
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, maka inflasi inti tertinggi terjadi di Kota
Dumai (7,09, yoy). Inflasi inti yang terjadi di kota ini tercatat cukup tinggi
dibandingkan 2 (dua) kota lainnya. Selain itu inflasi inti di ketiga kota Dumai
mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya, berbeda dengan
pergerakan inflasi inti di kedua kota lainnya yang mengalami penurunan.
Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia
Sumber : Bloomberg, diolah
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.2.2. Inflasi Volatile Food
Perkembangan harga kelompok volatile food pada periode laporan mengalami
penurunan yang cukup signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Menurunnya tekanan inflasi volatile food tersebut didorong oleh inflasi yang terjadi
3 Non tradable goods merupakan barang atau jasa yang tidak dapat diperjualbelikan di lokasi yang berbeda atau berjarak dari lokasi dimana barang atau jasa tersebut dihasilkan
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
20 M
ay 2
013
8 Ju
ly 2
013
30 A
ugus
t 20
13
21 O
ctob
er 2
013
9 D
ecem
ber
2013
30 Ja
nuar
y 20
14
20 M
arch
201
4
13 M
ay 2
014
3 Ju
ly 2
014
28 A
ugus
t 20
14
15 O
ctob
er 2
014
2 D
ecem
ber
2014
22 Ja
nuar
y 20
15
12 M
arch
201
5
30 A
pril
2015
22 Ju
ne 2
015
13 A
gust
201
5
2 O
kt 2
015
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
0
400
800
1200
1600
2000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2012 2013 2014 2015
g (yoy)$/OZ Harga Emas (LHS) growth (RHS)
0
2
4
6
8
10
12
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9
2010 2011 2012 2013 2014 2015
% (yoy)Tradeable Non Tradeable
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
35
pada kelompok bahan makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-
bumbuan dan daging segar & hasil-hasilnya. Komoditas utama penyumbang inflasi
dari kedua kelompok tersebut ialah bawang merah, cabe merah, dan daging ayam
ras. Penurunan permintaan pasca Ramadhan dan hari raya Idul Fitri dan akibat
kondisi asap yang terjadi pada akhir triwulan III 2015, serta meningkatnya pasokan
dari daerah sentra produksi mendorong penurunan harga pada komoditas tersebut.
Sementara itu, masih berlanjutnya penurunan harga beras hingga triwulan III 2015
juga mendorong penurunan laju inflasi kelompok volatile food pada triwulan
laporan. Hal ini disebakan oleh etersediaan pasokan beras yang mencukupi pasca
musim panen raya beras dan penyaluran raskin yang optimal di triwulan III.
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy)
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Kota
Pekanbaru
Sumber : BPS, diolah
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
2.2.3. Inflasi Administered Prices
Inflasi kelompok administered prices Riau pada triwulan laporan mengalami
penurunan setelah mengalami peningkatan pada triwulan sebelumnya. Jika dilihat
dari kota yang disurvei, maka penurunan inflasi administered price terjadi pada
semua kota yang disurvei di Provinsi Riau. Inflasi administered price tertinggi dialami
oleh Kota Tembilahan, diikuti oleh Kota Dumai dan Kota Pekanbaru.
Penurunan tekanan inflasi pada kelompok administered price disebabkan oleh
penurunan tarif listrik pada Agustus 2015 sebesar Rp1 per kilo Watt hour (kWh) baik
golongan tegangan rendah, menengah maupun tegangan tinggi, akibat harga
minyak bumi yang mengalami penurunan.
-8
-4
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000Data Survei Pemantauan Harga
Beras Minyak Goreng Daging Ayam Ras
Telur Ayam Ras Cabe Merah Cabe Rawit
Bawang Merah Bawang Putih
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
36
Grafik 2.20. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)
Sumber : BPS, diolah
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2012 2013 2014 2015
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
Dampak El Nino dan Kabut Asap
Dampak El Nino dan Kabut Asap terhadap Pertumbuhan Ekonomi
El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi meningkatnya suhu permukaan laut yang
signifikan di samudera Pasifik sekitar ekuator khususnya di bagian tengah dan timur.
Fenomena El Nino di Sumatera terjadi di wilayah Selatan yang menyebabkan kekeringan
yang lebih panjang dengan curah hujan yang rendah. Kondisi kekeringan ini
menyebabkan munculnya titik api di Provinsi Riau mencapai 311 titik api (24 Juni-13
September 2015). Munculnya titik api tersebut menyebabkan kualitas udara di Riau
memburuk. Data PM10 BMKG menunjukkan bahwa rata-rata kualitas udara di Riau
mencapai 272,29 yang mengindikasikan kondisi Sangat Tidak Sehat.
Memburuknya kualitas udara tidak hanya berdampak terhadap kesehatan tetapi juga
berdampak terhadap penurunan produksi beberapa sektor ekonomi, antara lain:
pertanian dan perkebunan, gangguan penerbangan, menurunnya occupancy rate hotel
dan menurunnya omset pedagang retail. Di Provinsi Riau diperoleh informasi bahwa
dalam jangka menengah, produksi sawit diperkirakan turun hingga 15%. Sedangkan
dari sisi transportasi, kabut asap ini menyebabkan dibatalkannya 62% penerbangan pada
bulan September 2015. Sedangkan jumlah penumpang sejak Agustus 2015 di Provinsi
Riau menurun 11,18% secara mtm dan 8,67% secara yoy.
Berdasarkan informasi dari contact liaison di Provinsi Riau, omset penjualan maskapai
penerbangan selama September 2015 menurun hingga 50%. Selain itu, kabut asap juga
menurunkan occupancy rate hotel berbintang 4 dan 5 di Provinsi Riau hingga 20% secara
mtm sedangkan penurunan occupancy rate hotel berbintang 3 ke bawah mencapai 30-
40%. Selanjutnya, kabut asap juga menurunkan omset penjualan pedagang oleh-oleh
khas Provinsi Riau sekitar 28,67%. Secara umum, penurunan kinerja usaha terutama di
subsektor perkebunan kelapa sawit, perdagangan dan penerbangan, berpotensi
menurunkan perekonomian di Provinsi Riau sebesar 0,57% akibat multiplier effect kabut
asap tersebut.
Di bidang pendidikan kerugian dengan diliburkannya sekolah-sekolah selama bulan
September sehingga diperkirakan memberikan kerugian secara finansial di kota
Pekanbaru lebih dari Rp. 20 M, ditambah kerugian akibat berkurangnya kualitas siswa
karena tidak mendapatkan pengajaran (pengajaran melalui pemberian pekerjaan rumah
dan hanya beberapa sekolah yang melalui fasilitas online). Dinas kesehatan telah
membagi masker di beberapa lokasi dan posko kesehatan sebanyak 600 ribu masker
biasa (harga Rp500) total sekitar 300 juta, dan masker N95 untuk penyakit menular H5N1
(harga Rp7500) sebanyak 100 ribu sekitar 750 juta sehingga total biaya diperkirakan lebih
Boks 2
dari Rp. 1 M. Total penderita penyakit yang terdampak asap s.d. 5 Okt 2015 mencapai
57.536, dengan asumsi biaya pengobatan Rp. 50.000 per penderita, total biaya yang
dikeluarkan diperkirakan mencapai Rp. 2,8 M.
Selain itu, memasuki minggu pertama Oktober 2015, kineja kredit mikro-kecil beberapa
bank diperkirakan mulai terdampak oleh kondisi asap, sementara kredit yang
berhubungan dengan bisnis besar masih terdampak dengan anjloknya harga komoditas
(terutama sawit dan karet). Kelancaran debitur di pasar Sukaramai dan Ramayana sudah
mulai terdampak terutama akibat berkurangnya jumlah pembeli dari berbagai
Kabupaten/Kota di Riau.
Tabel B.2.1. Potensi Penurunan Perekonomian di Provinsi Riau Akibat Kabut Asap
Dampak El Nino dan Kabut Asap terhadap Inflasi
El Nino menyebabkan minimnya curah hujan di beberapa daerah yang berdampak
terhadap menurunnya produktivitas sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman
bahan makanan (TABAMA). Di Provinsi Riau diperoleh informasi bahwa sampai dengan
akhir tahun 2015, El Nino ini diperkirakan menyebabkan potensi gagal panen lahan
pertanian hingga 2.943,65 Ha. Peningkatan potensi lahan yang gagal panen tersebut
akan berdampak terhadap penurunan produksi padi. Namun demikian, sampai dengan
triwulan III-2015 penurunan produksi padi ini tidak berdampak signifikan terhadap
kenaikan harga beras. Provinsi Riau bukan merupakan daerah sentra produksi beras
sehingga sebagian besar kebutuhan beras di pasok dari luar daerah.
Disisi lain, kabut asap yang terjadi di Sumatera berdampak terhadap penundaan
penerbangan hingga penutupan aktivitas bandara sehingga dialihkan ke Bandara
Internasional Minangkabau. Hal ini berdampak terhadap pergerakan harga tiket
pesawat. Berdasarkan inflasi di bulan September 2015, tarif angkutan udara di Sumatera
tercatat mengalami deflasi sebesar -12,94% (mtm) akibat penurunan aggregate
demand. Kondisi ini diperkirakan akibat pelemahan daya beli masyarakat seiring dengan
penurunan harga komoditas utama dan berkurangnya aktivitas perekonomian terutama
di pasar tradisional akibat kabut asap.
Provinsi
Potensi Penurunan Perekonomian (%)
TotalSawit Padi Dampak Asap (2015)
2016 2015 Perdagangan Penerbangan Hotel
Riau -0.40 0.00 -0.09 -0.07 -0.01 (0.57)
Jambi -0.15 -0.01 -0.11 -0.33 -0.01 (0.61)
Sumsel -1.10 -0.01 -0.09 -0.01 0.00 (1.22)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
37
1. Kondisi Umum Perbankan
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan laporan tidak sebaik triwulan II-
2015, hal ini tercermin dari melambatnya aset dan DPK perbankan. Aset perbankan
tercatat sebesar Rp96,51 triliun atau tumbuh sebesar 10,07% (yoy), melambat
dibandingkan dengan triwulan II-2015 yang tumbuh sebesar 19,86% (yoy), DPK
tercatat sebesar Rp70,29 triliun atau tumbuh sebesar 9,57% (yoy), melambat
dibandingkan triwulan II-2015 yang tumbuh sebesar 15,82% (yoy).
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN
DAN SISTEM PEMBAYARAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
38
Berbeda dengan perkembangan aset dan deposito, penyaluran kredit pada triwulan
III-2015 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan II-2015 yaitu dari 6,75%
(yoy) menjadi 7,86% (yoy) dengan nilai sebesar Rp55,86 triliun. Namun, kualitas
kredit yang disalurkan oleh perbankan tercatat semakin menurun yaitu dari 4,33%
menjadi 4,50%. Angka tersebut sudah mendekati batas aman yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia yaitu sebesar 5%. Selanjutnya, risiko likuiditas pada triwulan III-2015
tercatat masih terjaga, tercermin dari angka LDR yang stabil sebesar 79,47%.
Sejalan dengan hal tersebut, kinerja perbankan nasional juga mengalami
perlambatan dibandingkan dengan triwulan II-2015. Aset tercatat melambat dari
14,57% (yoy) menjadi 10,98% (yoy), DPK melambat dari 14,35% (yoy) menjadi
10,85% (yoy) dan kredit melambat dari 14,77% (yoy) menjadi 11,14% (yoy).
Perlambatan tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan kinerja perbankan
nasional pada periode laporan.
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta)
Sumber : Bank Indonesia
2. Perkembangan Bank Umum
2.1. Perkembangan Aset
Kinerja bank umum pada triwulan III-2015 tidak sebaik triwulan II-2015, hal ini
terlihat dari melambatnya aset bank umum dari 20,01% (yoy) di triwulan II-2015
menjadi 10,11% (yoy) di triwulan III-2015. Selanjutnya, jika dibandingkan secara
triwulanan, aset bank umum tercatat menurun sebesar 3,18% (qtq) dengan nilai
mencapai Rp95,32 triliun.
I II III IV I II III Tw II 2015 Tw III 2015
Aset (Rp Juta) 74.304.076 83.128.188 87.678.753 86.812.375 91.724.376 99.637.187 96.510.233 19,86 10,07
- Bank Umum 73.201.701 82.036.875 86.572.336 85.652.213 90.534.888 98.451.429 95.323.470 20,01 10,11
- BPR/S 1.102.376 1.091.313 1.106.417 1.160.162 1.189.489 1.185.757 1.186.762 8,65 7,26
4.966.941 5.176.990 5.502.841 5.598.480 5.773.587 5.931.351 6.107.287 14,57 10,98
Kredit (Rp Juta) 49.250.380 51.450.813 51.793.994 53.119.547 53.266.023 54.923.581 55.863.081 6,75 7,86
- Bank Umum 48.487.679 50.668.252 50.978.867 52.283.437 52.401.716 54.012.485 54.946.577 6,60 7,78
- BPR/S 762.700 782.561 815.127 836.111 864.307 911.096 916.504 16,43 12,44
4.860.433 5.069.222 5.392.300 5.504.958 5.667.460 5.817.715 5.993.034 14,77 11,14
Kredit UMKM (Rp Juta) - 19.753.458 19.687.770 20.032.690 19.809.940 20.212.276 19.894.360 2,32 1,05
Dana Pihak Ketiga (Rp Juta) 55.215.062 61.539.547 64.154.050 64.952.945 67.372.858 71.278.108 70.292.164 15,82 9,57
- Bank Umum 54.466.287 60.795.211 63.383.834 64.143.197 66.525.297 70.420.859 69.410.976 15,83 9,51
- BPR/S 748.775 744.336 770.216 809.748 847.560 857.250 881.188 15,17 14,41
4.053.938 4.231.866 4.497.028 4.575.170 4.699.394 4.839.237 4.984.947 14,35 10,85
LDR 89,20% 83,61% 80,73% 81,78% 79,06% 77,06% 79,47%
NPL 3,51% 3,72% 3,76% 3,39% 3,82% 4,33% 4,50%
- Bank Umum 3,32% 3,54% 3,57% 3,23% 3,64% 4,16% 4,34%
- BPR/S 15,47% 15,78% 15,56% 13,75% 14,45% 13,84% 14,39%
Indikator2015
Aset Nasional (Rpmiliar) *)
Kredit Nasional (Rpmiliar) *)
DPK Nasional (Rpmiliar) *)
(yoy,%)2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
39
Jika diklasifikasikan berdasarkan kelompok kepemilikan, kontribusi terbesar terhadap
aset bank umum masih didominasi oleh kelompok pemerintah dengan nilai sebesar
Rp69,90 triliun dengan pangsa 73,33%. Aset tersebut tumbuh melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 27,24% (yoy) menjadi 13,58%
(yoy), bahkan menurun secara kuartal sebesar 4,46%. Di sisi lain, hal yang sama juga
terjadi pada kelompok swasta yang tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yaitu dari 3,07% (yoy) menjadi 1,58% (yoy).
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau (Rptriliun)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok (%)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.3. Pertumbuhan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok Bank (%)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Jenis Bank Tw III-2015 (%)
Sumber : Bank Indonesia
2.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK)
Kinerja bank umum di Provinsi Riau yang tercermin dari perkembangan DPK juga
tidak sebaik triwulan II-2015, hal ini terlihat dari melambatnya DPK bank umum dari
15,83%(yoy) di triwulan II-2015 menjadi 9,16% (yoy) di triwulan III-2015.
Selanjutnya, jika dibandingkan secara triwulanan, DPK bank umum tercatat menurun
sebesar 1,75% (qtq) dengan nilai mencapai Rp69,19 triliun.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
40
Grafik 3.5. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan (yoy)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.6. Perkembangan Nilai DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan (Rptriliun)
S Sumber : Bank Indonesia
Melambatnya pertumbuhan DPK bersumber dari menurunnya komponen giro
sebesar 0,29% (yoy). Sementara komponen deposito melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya yaitu dari 61,41% (yoy) menjadi 23,88% (yoy) dan komponen
tabungan pertumbuhannya relatif stabil. Menurunnya komponen giro
mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah semakin meningkatkan realisasi
belanjanya menjelang akhir tahun 2015. Sementara, melambatnya pertumbuhan
komponen deposito diperkirakan disebabkan oleh mulai terealisasinya investasi
menjelang akhir tahun 2015.
Jika dilihat berdasarkan pangsa, komponen tabungan mengalami peningkatan,
sementara giro dan deposito mengalami penurunan. Pangsa komponen tabungan
merupakan yang terbesar yaitu 41,09% dengan nilai mencapai Rp28,43 triliun,
kemudian diikuti oleh deposito dan giro masing-masing sebesar 37,54% dan
21,37%.
Tabel 3.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpJuta)
Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan kepemilikan, baik DPK yang bersumber dari pemerintah maupun swasta
tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III-
I II III IV I II III yoy qtq
Sektor Pemerintah 8.093.251 14.316.253 15.444.957 10.845.951 16.102.924 17.859.488 16.726.392 8,30 -6,34
1 Pemerintah Pusat 389.211 362.380 349.443 245.328 291.244 293.652 335.253 (4,06) 14,17
2 Pemerintah Daerah 6.655.970 12.084.807 13.093.248 8.986.882 13.832.473 15.818.305 14.340.881 9,53 -9,34
3 Badan/ Lembaga Pemerintah 109.858 96.784 112.106 55.851 106.136 102.240 114.390 2,04 11,88
4 Badan Usaha Milik Negara 780.654 1.723.426 1.837.297 1.485.439 1.820.197 1.602.210 1.767.735 (3,79) 10,33
5 Badan Usaha Milik Daerah 157.558 48.857 52.863 72.451 52.875 43.080 168.133 218,05 290,28
Sektor Swasta 7.398.097 7.361.210 7.170.852 9.316.202 8.092.747 9.256.363 8.165.103 13,87 -11,79
6 Perusahaan Asuransi 114.652 100.800 103.120 118.861 83.939 67.009 79.976 (22,44) 19,35
7 Perusahaan Swasta 6.428.695 6.483.030 6.251.271 8.241.175 7.001.500 8.188.966 7.051.475 12,80 -13,89
8 Yayasan dan Badan Sosial 671.376 606.358 650.475 767.233 793.043 782.690 819.617 26,00 4,72
9 Koperasi 169.698 166.776 162.624 185.980 214.265 217.698 214.036 31,61 -1,68
10 Lainnya 13.676 4.246 3.362 2.953 3.148 3.017 2.953 (12,17) -2,11
Perorangan 38.974.939 39.117.748 40.768.025 43.980.711 42.326.478 43.301.991 44.295.039 8,65 2,29
54.466.287 60.795.211 63.383.834 66.525.296 66.525.297 70.420.859 69.189.487 9,16 -1,75
Growth Tw.III-20152015
Jumlah
No Kepemilikan2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
41
Grafik 3.5. Perkembangan Jumlah Rekening Dana
2015, DPK yang bersumber dari pemerintah tercatat sebesar Rp16,73 triliun atau
tumbuh 8,30% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II-2015 yang
tumbuh sebesar 24,75% (yoy). Melambatnya penghimpunan DPK pemerintah secara
total utamanya bersumber dari DPK pemerintah daerah yang tumbuh jauh lebih
rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 30,89% (yoy) menjadi
9,53% (yoy), bahkan tercatat menurun secara kuartalan sebesar 9,34% (qtq).
Di sisi lain, DPK yang bersumber dari swasta pada triwulan III-2015 tercatat sebesar
Rp8,17 triliun, tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu
dari 25,75% (yoy) menjadi 13,87% (yoy). Melambatnya penghimpunan DPK swasta
utamanya bersumber dari perusahaan swasta yang tumbuh lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 26,31% (yoy) menjadi 12,80%
(yoy), bahkan tercatat menurun sangat dalam secara kuartalan yaitu sebesar 13,89%
(yoy). DPK yang bersumber dari perusahaan swasta memiliki pengaruh terbesar
terhadap pembentukan DPK swasta yaitu dengan pangsa sebesar 86,36%.
Berdasarkan jenis simpanannya, melambatnya pengimpunan DPK pemerintah
utamanya bersumber dari menurunnya komponen giro pemerintah sebesar 10,25%
(yoy) dan 13,07% (qtq), khususnya giro Pemerintah Daerah sebesar 6,72% (yoy) dan
15% (qtq). Menurunnya giro Pemerintah Daerah mengindikasikan bahwa
Pemerintah Daerah semakin meningkatkan realisasi belanjanya dan hingga triwulan
III-2015 realisasi belanja daerah mencapai 32,30%. Di sisi lain, melambatnya DPK
swasta disebabkan oleh penurunan komponen deposito sebesar 1,38% (yoy) atau
secara triwulanan turun cukup signifikan sebesar 49,29% (qtq), khususnya deposito
perusahaan swasta yang turun 53,43% (qtq).
Grafik 3.7. Perkembangan Jumlah Rekening Dana
Jumlah rekening dana bank umum di
Provinsi Riau pada triwulan III-2015
tercatat mencapai 3.768.345,
meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya maupun triwulan yang
sama tahun sebelumnya yaitu masing-
masing sebesar 2,22% (qtq) dan
4,30% (yoy), bahkan tumbuh lebih tinggi dibandingkan
triwulan II-2015 sebesar 1,84% (qtq) dan 3,25% (yoy). Rekening giro dan tabungan
Sumber : Bank Indonesia
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
42
tercatat meningkat masing-masing sebesar 5,45% (yoy) dan 4,12% (yoy), sementara
rekening deposito tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
yaitu dari 16,33% (yoy) menjadi 15,97% (yoy).
2.3. Perkembangan Penyaluran Kredit
Penyaluran kredit bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2015 tercatat
meningkat sebesar 7,78% (yoy) dengan nilai mencapai Rp54,95 triliun. Hal ini
didorong oleh pertumbuhan penyaluran kredit bank umum milik pemerintah yang
tumbuh dari 9,44% (yoy) di triwulan II-2015 menjadi 12,26% (yoy) di triwulan III-
2015 dengan nilai mencapai Rp36,81 triliun (pangsa 67,01%). Sementara
penurunan penyaluran kredit bank umum milik swasta menjadi penyebab
tertahannya pertumbuhan kredit. Kredit yang disalurkan oleh bank umum milik
swasta yaitu sebesar Rp18,13 triliun (pangsa 32,99%) atau turun sebesar 0,29%
(yoy) di triwulan III-2015 dari tumbuh sebesar 1,50% (yoy) di triwulan II-2015.
Tabel 3.3. Posisi Kredit Bank Umum di Provinsi Riau (dalam RpJuta)
Sumber : Bank Indonesia
Dari jenis valutanya, kredit yang disalurkan dalam mata uang rupiah pada triwulan
III-2015 mencapai Rp53,76 triliun, meningkat sebesar 7,50% (yoy) atau tumbuh lebih
tinggi dibandingkan dengan triwulan II-2015 sebesar 6,94% (yoy). Sementara, kredit
yang disalurkan dalam valas mencapai Rp1,19 triliun, tumbuh sebesar 22,55%(yoy)
atau meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan triwulan II-2015 yang
menurun sebesar 7,03% (yoy). Selanjutnya, jika dibandingkan secara triwulanan,
kredit dalam mata uang rupiah dan valas masing-masing tumbuh sebesar 1,71%
(qtq) dan 2,41% (qtq).
I II III IV I II III yoy (%) qtq (%)
A. Kelompok Bank
1. Bank Pemerintah 30.819.077 32.527.892 32.798.861 33.681.037 34.200.055 35.599.490 36.819.043 12,26 3,43
2. Bank Swasta 17.668.602 18.140.360 18.180.006 18.602.399 18.201.661 18.412.994 18.127.534 -0,29 -1,55
B. V a l u t a
1. Rupiah 47.233.118 49.421.211 50.009.977 51.138.174 51.254.470 52.853.079 53.759.243 7,50 1,71
2. Valas 1.254.562 1.247.042 968.890 1.145.263 1.147.246 1.159.406 1.187.334 22,55 2,41T o t a l 48.487.679 50.668.252 50.978.867 52.283.437 52.401.716 54.012.485 54.946.577 7,78 1,73
2014 2015 Pertumbuhan Tw II-2015Keterangan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
43
Grafik 3.8. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%)
Sumber : Bank Indonesia
Jika dilihat dari sisi penggunaan, pada triwulan laporan penyaluran kredit konsumsi
(pangsa 37,70%) tercatat tumbuh paling tinggi yaitu sebesar 9,46% (yoy) atau
mencapai Rp20,72 triliun, diikuti oleh kredit investasi (pangsa 31,72%) sebesar
8,38% (yoy) dengan nilai Rp17,43 triliun dan kredit modal kerja (pangsa 30,58%)
sebesar 5,20% (yoy) dengan nilai Rp16,80 triliun. Meskipun tercatat tumbuh, namun
kredit modal kerja melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar
7,56% (yoy).
Grafik 3.9. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.10. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq)
Sumber : Bank Indonesia
Berbeda dengan pertumbuhan kredit konsumsi, kredit produktif (investasi dan modal
kerja) tumbuh stabil yaitu dari 6,31% (yoy) di triwulan II-2015 menjadi 6,80% (yoy)
di triwulan III-2015. Pertumbuhan kredit produktif yang tidak signifikan disebabkan
oleh melambatnya pertumbuhan kredit modal kerja yang disebabkan oleh
perlambatan ekonomi sehingga mengakibatkan ketidakpastian kegiatan bisnis di
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
44
Provinsi Riau. Di sisi lain, masih melemahnya harga komoditas utama yaitu sawit dan
karet juga menjadi pemicu perlambatan kredit modal kerja.
Grafik 3.11. Pertumbuhan Kredit Konsumsi dan Produktif (%)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.12. Sumber Perlambatan Kredit Modal Kerja
S Sumber : Bank Indonesia
Secara sektoral, perlambatan pada sektor pertanian, perburuan dan kehutanan yang
cukup dalam yaitu dari 23,09% (yoy) di triwulan II-2015 menjadi 7,93% (yoy) di
triwulan III-2015 menjadi faktor utama melambatnya kredit modal kerja.
Perlambatan terjadi di sub sektor perkebunan kelapa sawit yaitu dari 24,55% (yoy)
pada triwulan II-2015 menjadi 14,43% (yoy) pada triwulan III-2015, sementara sub
sektor perkebunan karet dan getah turun sebesar 3,15% (yoy). Berdasarkan hasil
liaison1 Bank Indonesia, diperoleh informasi bahwa perusahaan karet mengurangi
peminjaman kredit modal kerja kepada perbankan dikarenakan rendahnya harga
komoditas tersebut.
Di sisi lain, sektor perdagangan besar dan eceran masih tercatat tumbuh rendah yaitu
sebesar 2,74% (yoy). Kondisi ini menunjukkan tendensi perlambatan kinerja pada
sektor pertanian dan perdagangan yang memberikan kontribusi paling besar
terhadap pertumbuhan kredit modal kerja.
3. Intermediasi dan Risiko Perbankan
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2015 berada pada
kondisi yang stabil. Hal ini terlihat dari angka Loan to Deposit Ratio (LDR) yang berada
di angka 79,41%, sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
sebesar 76,70%. Meningkatnya LDR pada periode laporan didorong oleh
melambatnya pertumbuhan DPK dan meningkatnya pertumbuhan kredit. Masih
1 Liaison merupakan wawancara pada perusahaan yang representative untuk mendapatkan informasi secara mendalam
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
45
cukup stabilnya LDR menunjukkan risiko likuiditas pada kondisi yang masih terjaga,
serta adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit.
Grafik 3.13. Perkembangan LDR di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Dari awal tahun 2015, kualitas kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi
Riau menunjukkan trend penurunan. NPL bank umum pada triwulan III-2015 tercatat
sebesar 4,34% meningkat dibandingkan dengan triwulan II-2015 sebesar 4,16%.
Hal ini perlu menjadi perhatian perbankan untuk semakin meningkatkan penerapan
prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.
Grafik 3.14. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.15. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Penyumbang NPL (%, yoy)
S Sumber : Bank Indonesia
Secara sektoral, dapat dilihat bahwa jasa dunia usaha mengalami NPL tertinggi
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 8,86%, diikuti oleh sektor
konstruksi dan sektor pengangkutan masing-masing sebesar 8,22% dan 8,11%.
Namun demikian, ketiga sektor tersebut tidak memiliki pangsa terbesar sehingga
belum memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap NPL secara umum.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
46
Selanjutnya, 2 (dua) sektor yang memiliki pangsa terbesar terhadap kredit yaitu
sektor pertanian dan perdagangan tercatat mengalami peningkatan NPL pada
periode laporan. NPL sektor pertanian (pangsa kredit 22,10%) tercatat sebesar
3,32% meningkat dari 2,89% di triwulan sebelumnya. Peningkatan NPL tersebut
utamanya bersumber dari peningkatan pertumbuhan NPL subsektor perkebunan
kelapa sawit (pangsa NPL 88,60%) yang cukup signifikan yaitu dari 18,17% (yoy) di
triwulan II-2015 menjadi 44,99% (yoy) di triwulan III-2015, serta subsektor
perkebunan karet dan penghasil getah lainnya (pangsa NPL 7,05%) yang tercatat
masih cukup tinggi yaitu sebesar 72,89% (yoy).
Sementara, NPL sektor perdagangan (pangsa kredit 20,90%) tercatat masih cukup
tinggi yaitu sebesar 7,15% meningkat dari 6,35% di triwulan sebelumnya.
Peningkatan NPL tersebut utamanya bersumber dari peningkatan pertumbuhan NPL
subsektor perdagangan eceran didominasi makanan, minuman dan tembakau
(pangsa NPL 32,92%) sebesar 9,28% (yoy) dan subsektor perdagangan kelapa dan
kelapa sawit (pangsa NPL 9,08%) sebesar 43,91% (yoy). Masih tertahannya
perbaikan NPL pada sektor pertanian dan perdagangan merupakan dampak masih
rendahnya harga komoditas utama khususnya sawit dan karet yang berimbas kepada
pelunasan hutang yang jatuh tempo.
Grafik 3.16. Perkembangan Harga TBS dan CPO Dunia
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.17. Perkembangan Harga Karet Dunia
S Sumber : Bank Indonesia
4. Stabilitas Sistem Keuangan
4.1. Ketahanan Sektor Korporasi Daerah
Jika dilihat per sektor, kredit yang disalurkan bank umum di Provinsi Riau masih
terkonsentrasi pada sektor pertanian dan perdagangan dengan nilai masing-masing
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
47
sebesar Rp12,14 triliun (pangsa 22,10%) dan Rp11,48 triliun (pangsa 20,90%). Pada
triwulan III-2015, penyaluran kredit sektor pertanian tumbuh sebesar 9,64% (yoy),
melambat dibandingkan dengan triwulan II-2015 yang tumbuh sebesar 9,70% (yoy).
Kondisi yang sama juga terjadi secara triwulanan dimana penyaluran kredit sektor
pertanian melambat dari 3,73% (qtq) di triwulan II-2015 menjadi 2,26% (qtq) di
triwulan III-2015.
Tabel 3.4. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpJuta)
Sumber : Bank Indonesia
Pertumbuhan kredit sektor pertanian didorong oleh peningkatan subsektor
perkebunan kelapa sawit (pangsa 91,70%) sebesar 12,39% (yoy), namun tertahan
oleh penurunan subsektor perkebunan karet dan penghasil getah lainnya (pangsa
3,46%) yang cukup dalam sebesar 5,51% (yoy). Penyerapan yang besar pada
subsektor kelapa sawit tidak terlepas dari karakteristik sektor utama Provinsi Riau.
Grafik 3.18. Growth dan Pangsa Subsektor Pertanian
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.19. Growth dan Pangsa Subsektor Perdagangan
S Sumber : Bank Indonesia
Di sisi lain, penyaluran kredit sektor perdagangan pada triwulan III-2015 mengalami
peningkatan dibandingkan dengan triwulan II-2015 yaitu dari 1,47% (yoy) menjadi
2,44% (yoy). Namun, secara triwulanan melambat dari 2,37% (qtq) menjadi 0,12%
(qtq). Melambatnya pertumbuhan kredit sektor perdagangan secara triwulanan
didorong oleh menurunnya subsektor yang memiliki pangsa terbesar yaitu
I II III IV I II III Pangsa yoy (%) qtq (%)
1 Pertanian 9.820.296 10.823.881 11.075.019 11.385.094 11.447.005 11.874.205 12.142.136 22,10 9,64 2,26 2 Pertambangan 270.954 256.616 276.562 383.474 392.375 499.383 420.358 0,77 51,99 (15,82) 3 Perindustrian 1.659.574 1.956.207 1.884.810 2.031.930 2.142.324 2.257.292 2.283.010 4,15 21,13 1,14 4 Listrik, Gas dan Air 100.188 103.645 92.112 119.840 112.945 104.550 106.344 0,19 15,45 1,72 5 Konstruksi 1.423.983 1.546.524 1.820.045 1.781.803 1.757.464 1.876.655 2.142.723 3,90 17,73 14,18 6 Perdag., Resto. & Hotel 10.865.881 11.303.853 11.210.445 11.214.203 11.204.048 11.469.922 11.483.665 20,90 2,44 0,12 7 Pengangkutan, Pergud. 1.486.913 1.595.725 1.572.840 1.589.686 1.616.884 1.574.220 1.545.769 2,81 (1,72) (1,81) 8 Jasa-jasa 4.720.005 4.191.082 4.040.417 4.297.705 4.078.975 4.242.728 4.084.488 7,43 1,09 (3,73) 9 Lain-lain 18.139.884 18.890.718 19.006.617 19.479.702 19.649.697 20.113.530 20.738.085 37,74 9,11 3,11
48.487.679 50.668.252 50.978.867 52.283.437 52.401.716 54.012.485 54.946.577 100,00 7,78 1,73 Jumlah
2014 2015 Tw III-2015
No. Sektor Ekonomi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
48
perdagangan eceran yang didominasi makanan, minuman dan tembakau (pangsa
19,73%) sebesar 2,42% (qtq), subsektor perdagangan kelapa dan kelapa sawit
(pangsa 5,44%) sebesar 2,92% (qtq), subsektor perdagangan eceran komoditi
lainnya (pangsa 5,37%) sebesar 2,87% (qtq) dan subsektor perdagangan eceran
bahan konstruksi (pangsa 4,56%) sebesar 2,30% (qtq).
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah
Tingkat konsumsi masyarakat di Provinsi Riau pada triwulan III-2015 menunjukkan
perbaikan. Hal ini terlihat dari kredit konsumsi yang menunjukkan peningkatan dari
7,09% (yoy) menjadi 9,46% (yoy) dengan nilai sebesar Rp20,72 triliun.
Meningkatnya kredit konsumsi juga mencerminkan mulai membaiknya daya beli
masyarakat pada periode laporan secara umum (3,14%, qtq).
Grafik 3.20. Perkembangan Kredit Konsumsi
Sumber : Bank Indonesia
Daya beli masyarakat pada triwulan III-2015 juga tercermin dari permintaan
masyarakat terhadap perumahan dan kendaraan. Kredit perumahan pada triwulan
III-2015 tercatat sebesar Rp7,49 triliun, meningkat sebesar 0,51% (qtq) dan 4,18%
(yoy). Peningkatan kredit perumahan utamanya didorong oleh peningkatan kredit
kepemilikan rumah tinggal tipe di atas 70. Sementara, kredit kendaraan bermotor
masih mengalami kontraksi sebesar 6,95% (yoy) dengan nilai mencapai Rp416 miliar.
Meskipun mengalami kontraksi, kondisi periode laporan sedikit membaik
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat kontraksi sebesar 9,50%
(yoy). Masih terkontraksinya kendaraan bermotor diindikasikan sebagai dampak
pelemahan nilai tukar rupiah serta masih rendahnya harga komoditas internasional
yang mengakibatkan masih rendahnya daya beli masyarakat yang mendorong
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
49
penurunan penjualan kendaraan bermotor. Namun demikian, telah dikeluarkannya
penyesuaian kebijakan Bank Indonesia mengenai Loan to Value (LTV) atau Financing
to Value (FTV)2 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit kendaraan
bermotor.
Grafik 3.21. Perkembangan Kredit Perumahan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.22. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
S Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.23. Perkembangan Kredit Multiguna
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.24. Perkembangan Kredit Durable Goods
S Sumber : Bank Indonesia
Sama seperti triwulan sebelumnya, pada triwulan III-2015 kredit multiguna masih
menunjukkan perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari
21,79% (yoy) menjadi 21,64% (yoy) dengan nilai sebesar Rp12,30 triliun. Di sisi lain,
kredit durable goods menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar
53,14% (yoy) dengan nilai sebesar Rp32,60 miliar. Peningkatan tersebut diperkirakan
masih disebabkan oleh faktor keagamaan dimana Hari Raya Idul Fitri jatuh pada
pertengahan bulan Juli 2015 dan konsumsi masyarakat semakin meningkat di bulan
tersebut khususnya untuk membeli peralatan rumah tangga.
2 Penyesuaian dalam bentuk peningkatan rasio Loan to Value (LTV) atau rasio Financing to Value (FTV) untuk kredit properti dan penurunan uang muka untuk kredit kendaraan bermotor
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
50
4.3. Ketahanan Sektor UMKM
Penyaluran kredit UMKM oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2015
mencapai Rp19,89 triliun (pangsa 36,21% terhadap total kredit), melambat
dibandingkan triwulan II-2015 yaitu dari 2,32% (yoy) menjadi 1,05% (yoy). Jika
diklasifikasikan berdasarkan jenis usahanya, penyerapan kredit UMKM lebih banyak
disalurkan pada usaha kecil sebesar Rp7,77 triliun, kemudian diikuti oleh usaha
menengah dan mikro masing-masing dengan nilai kredit mencapai Rp6,66 triliun
dan Rp5,47 triliun.
Grafik 3.25. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.26. Penyaluran Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
S Sumber : Bank Indonesia
Tidak seperti triwulan sebelumnya, pada triwulan III-2015 kredit usaha mikro tercatat
tumbuh paling tinggi yaitu sebesar 10,63% (yoy), diikuti oleh kredit usaha kecil
tumbuh sebesar 1,32% (yoy). Sementara, kredit usaha menengah mengalami
penurunan sebesar 5,93%(yoy). Jika dibandingkan dengan triwulan II-2015,
diketahui bahwa penyaluran kredit usaha kecil mengalami perlambatan (tumbuh
6,81%, yoy), sementara penyaluran kredit usaha menengah terkontraksi lebih dalam
(kontraksi 4,93%, yoy) . Melambatnya kredit usaha kecil dan terkontraksinya kredit
usaha menengah berakibat terhadap perlambatan kredit UMKM secara umum.
Tabel 3.5. Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw.III-2015 Menurut Sektor Ekonomi
Sumber : Bank Indonesia
I II III IV I II III yoy qtq
1 Pertanian 5.538.770 6.137.287 6.351.038 6.589.237 6.657.992 6.955.531 6.952.185 9,47 (0,05) 34,95
2 Pertambangan 102.663 95.482 103.340 127.905 157.750 185.528 150.059 45,21 (19,12) 0,75
3 Perindustrian 306.847 330.424 349.239 393.370 465.766 391.011 390.111 11,70 (0,23) 1,96
4 Listrik, Gas dan Air 99.833 103.551 85.721 112.589 107.196 98.823 105.160 22,68 6,41 0,53
5 Konstruksi 862.249 1.076.985 1.121.439 1.137.332 1.059.670 1.060.484 1.022.677 (8,81) (3,57) 5,14
6 Perdag., Resto. & Hotel8.381.922 8.740.109 8.614.234 8.638.755 8.456.302 8.634.064 8.562.767 (0,60) (0,83) 43,04
7 Pengangkutan, Pergud.862.778 954.817 789.588 748.616 718.668 707.574 662.050 (16,15) (6,43) 3,33
8 Jasa-jasa 1.934.210 2.189.297 2.208.914 2.198.666 2.165.580 2.167.732 2.040.667 (7,62) (5,86) 10,26
9 Lain-lain 5.649 125.506 64.256 86.221 21.016 11.529 8.686 (86,48) (24,66) 0,04
18.094.921 19.753.458 19.687.770 20.032.690 19.809.940 20.212.276 19.894.360 1,05 (1,57) 100,00
No. Sektor EkonomiGrowth Tw II 2015 (%) Pangsa Tw
II-2015
Jumlah
20152014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
51
Secara sektoral, penyerapan kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di
Provinsi Riau masih didominasi oleh sektor perdagangan dan pertanian. Kredit
disalurkan ke sektor perdagangan sebesar Rp8,56 triliun dengan pangsa 43,04%
dan sektor pertanian sebesar Rp6,95 triliun dengan pangsa 34,95%. Namun
demikian, kredit sektor perdagangan masih mengalami kontraksi sebesar 0,60%
(yoy) dan kredit pertanian tumbuh lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya
yaitu dari 13,33% (yoy) menjadi 9,47% (yoy).
Grafik 3.27. Pangsa Subsektor Perdagangan dan Pertanian Terbesar (%)
Sumber : Bank Indonesia
Pada sektor perdagangan, penyaluran kredit UMKM utamanya diserap oleh
subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau sebesar Rp2,18
triliun (pangsa 25,44%), sedangkan pada sektor pertanian, penyaluran kredit UMKM
utamanya diserap oleh subsektor perkebunan kelapa sawit sebesar Rp6,21 triliun
(pangsa 89,27%). Kondisi tersebut sejalan dengan karakteristik sektor utama di
Provinsi Riau.
Grafik 3.28. Perkembangan NPL Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.29. NPL Sektoral UMKM Triwulan III-2015 (%)
S Sumber : Bank Indonesia
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
52
Dari awal tahun 2015, kualitas kredit UMKM menunjukkan trend penurunan. NPL
UMKM pada triwulan III-2015 tercatat cukup tinggi mencapai 7,41%. Hal ini
didorong oleh cukup tingginya NPL sektor utama yaitu perdagangan sebesar 8,51%
dan pertanian sebesar 5,59%. Angka NPL tersebut telah melampaui batas aman
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar 5%. Oleh karena itu, perlu
menjadi perhatian perbankan untuk semakin meningkatkan prinsip kehati-hatian
dalam penyaluran kredit.
5. Perkembangan Perbankan Syariah
Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan III-2015 belum menunjukkan
perkembangan yang cukup menggembirakan. Namun demikian, masih lebih baik
dibandingkan dengan triwulan II-2015. Aset dan pembiayaan masing-masing
tercatat sebesar Rp4,95 triliun dan Rp3,43 triliun, terkontraksi masing-masing
sebesar 3,63% (yoy) dan 0,25% (yoy). Secara sektoral, masih menurunnya
pembiayaan perbankan syariah didorong oleh terkontraksinya sektor pertanian dan
konstruksi yang memiliki pangsa terbesar dalam pembentukan pembiayaan. Pada
triwulan III-2015, pembiayaan sektor pertanian tercatat sebesar Rp419 miliar (pangsa
12,22%), terkontraksi lebih dalam menjadi 8,87% (yoy) dari 6,49% (yoy) di triwulan
sebelumnya. Sementara, pembiayaan sektor konstruksi tercatat sebesar Rp275 miliar
(pangsa 8,01%), terkontraksi sebesar 13,50% (yoy), triwulan sebelumnya tumbuh
sebesar 29,13% (yoy). Namun, di sisi lain sektor perdagangan masih menunjukkan
kinerja yang positif dengan tumbuh sebesar 10,26% (yoy).
Tabel 3.6. Perkembangan Perbankan Syariah
Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan jenis penggunaan, pembiayaan lebih besar disalurkan pada jenis
pembiayaan konsumsi sebesar Rp1,71 triliun (pangsa 49,74%), diikuti investasi
sebesar Rp969,55 miliar (pangsa 28,28%) dan modal kerja sebesar Rp753,87 miliar
(pangsa 21,99%). Sementara itu, kualitas pembiayaan dari awal tahun menunjukkan
trend penurunan. NPF pada periode laporan tercatat sebesar 6,19%, bergerak
meningkat dari triwulan I-2015 yang tercatat sebesar 5,51% dan triwulan II-2015
I II III IV I II III yoy qtq
1 Jumlah Bank 13 13 13 13 13 13 13
2 Aset 5.118.736 5.150.121 5.133.283 4.891.004 4.621.408 4.823.512 4.946.858 -3,63 2,56
3 DPK 3.819.126 3.751.134 3.600.116 3.493.835 3.406.751 3.461.386 3.857.746 7,16 11,45
4 Pembiayaan 3.324.491 3.411.590 3.437.477 3.466.839 3.446.914 3.403.946 3.428.887 -0,25 0,73
5 NPF 4,76% 5,25% 5,04% 4,70% 5,51% 6,11% 6,19%
6 FDR 87,03% 90,95% 95,48% 99,23% 101,18% 98,34% 88,88%
No. Keterangan2014 2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
53
yang tercatat sebesar 6,11%. Hal ini perlu menjadi perhatian perbankan syariah
untuk semakin meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran pembiayaan.
Grafik 3.30. Pangsa Kredit Perbankan Syariah Berdasarkan Jenis Penggunaan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.31. Pangsa DPK Perbankan Syariah Berdasarkan Jenis Simpanan
S Sumber : Bank Indonesia
DPK perbankan syariah pada triwulan III-2015 tercatat sebesar Rp3,86 triliun,
tumbuh dibandingkan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama tahun
sebelumnya masing-masing sebesar 11,45% dan 7,16%. Sumber DPK utamanya
berasal dari tabungan (pangsa 52,14%), diikuti oleh deposito (pangsa 36,34%) dan
giro (pangsa 11,51%). Di sisi lain, intermediasi perbankan syariah tercatat mengalami
penurunan, hal ini tercermin dari penurunan rasio FDR yaitu dari 98,34% di triwulan
II-2015 menjadi 88,88% di triwulan III-2015. Namun demikian, angka FDR tersebut
masih tercatat stabil, hal ini mencerminkan bahwa risiko likuiditas masih terjaga.
6. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)
Kinerja BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan III-2015 belum cukup menggembirakan.
Aset BPR/S tercatat sebesar Rp1,19 triliun melambat dibandingkan triwulan II-2015
yaitu dari 8,65% (yoy) menjadi 7,26% (yoy), meskipun secara triwulan meningkat
sebesar 0,08% (qtq). Pertumbuhan DPK pada triwulan III-2015 juga mengalami
perlambatan dibandingkan dengan triwulan II-2015 yaitu dari 15,17% (yoy) menjadi
14,41% (yoy) dengan nilai mencapai Rp881,19 miliar. Perlambatan DPK bersumber
dari perlambatan deposito sebesar 26,13% (yoy) dan tabungan sebesar 0,49% (yoy).
Selanjutnya, perlambatan juga terjadi dari sisi kredit, pada triwulan III-2015
penyaluran kredit mencapai Rp916,50 miliar, melambat sebesar 12,44% (yoy)
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh sebesar 16,43%
(yoy). Melambatnya penyaluran kredit bersumber dari perlambatan sektor pertanian
dari 15,46 % (yoy) di triwulan II-2015 menjadi 8,66% (yoy) di triwulan III-2015 dan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
54
perlambatan sektor perdagangan dari 11,21% (yoy) di triwulan II-2015 menjadi
8,38% (yoy) di triwulan III-2015. Namun demikian, kualitas kredit BPR/S triwulan
laporan tidak sebaik triwulan sebelumnya. NPL BPR/S mengalami peningkatan dari
13,84% menjadi 14,39%.
Tabel 3.7. Perkembangan BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
Sementara itu, perlambatan kredit diikuti dengan perlambatan DPK berdampak
terhadap penurunan LDR yaitu dari 106,28% di triwulan II-2015 menjadi 104,01%
di triwulan III-2015. Kondisi ini perlu menjadi perhatian agar risiko likuiditas BPR/S
tetap terjaga.
7. Perkembangan Transaksi Pembayaran
7.1. Kondisi Umum
Transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan III-2015 tercatat
mengalami peningkatan baik dari sisi outflow maupun inflow. Meningkatnya
outflow merupakan faktor musiman mendekati Hari Raya Idul Fitri yang jatuh di
pertengahan bulan Juli 2015. Sementara, meningkatnya inflow disebabkan oleh
setoran perbankan yang meningkat akibat arus balik setelah melewati Hari Raya Idul
Fitri. Berdasarkan hal tersebut, Provinsi Riau masih tercatat net outflow. Di sisi lain,
transaksi non tunai melalui kliring secara triwulanan tercatat meningkat, sementara
transaksi BI-RTGS secara triwulanan tercatat menurun. Penurunan transaksi RTGS
mengindikasikan terjadinya perlambatan kegiatan bisnis di Provinsi Riau.
7.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai
7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)
Sesuai dengan pola musimnya, perkembangan transaksi pembayaran tunai
mengalami peningkatan pada triwulan laporan. Kondisi ini tercermin dari
I I I I I I IV I II I I I
1. Asset 1.102.376 1.091.313 1.106.417 1.160.162 1.189.489 1.185.757 1.186.762
2. DPK 748.775 744.336 770.216 809.748 847.560 857.250 881.188
- Tabungan 336.569 345.835 352.030 356.075 364.632 349.230 353.742
- Depos ito 412.206 398.502 418.186 453.673 482.929 508.020 527.447
3. Kredit 762.700 782.561 815.127 836.111 864.307 911.096 916.504
4. NPL (nominal) 117.983 123.460 126.863 114.927 124.872 126.067 131.849
5. LDR 101,86% 105,14% 105,83% 103,26% 101,98% 106,28% 104,01%
6. NPLs 15,47% 15,78% 15,56% 13,75% 14,45% 13,84% 14,39%
Keterangan2014 2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
55
peningkatan transaksi inflow dan outflow3. Pada triwulan III-2015, outflow tercatat
sebesar Rp4,22 triliun, secara triwulanan meningkat sebesar 5,89% (qtq), namun
secara tahunan menurun sebesar 14,67% (yoy). Di sisi lain, inflow tercatat sebesar
Rp2,41 triliun, meningkat cukup signifikan, secara triwulanan sebesar 71,75% (qtq)
atau secara tahunan meningkat 3,59% (yoy).
Grafik 3.32. Perkembangan Inflow dan Outflow
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.33. Series Inflow dan Outflow Triwulan III
S Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.34. Perkembangan Outflow Bulanan Triwulan III-2015
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.35. Perkembangan Inflow Bulanan Triwulan III-2015
S Sumber : Bank Indonesia
Meningkatnya outflow pada triwulan laporan merupakan faktor musiman akibat
konsumsi masyarakat semakin meningkat mendekati Hari Raya Idul Fitri yang jatuh
di pertengahan bulan Juli 2015. Hal ini terlihat dari outflow bulan Juli yang tercatat
paling tinggi sebesar Rp3,28 triliun (pangsa 77,91%). Namun demikian, jika dilihat
trend triwulan III selama 5 (lima) tahun, outflow triwulan III-2015 tidak setinggi
outflow triwulan III-2013 dan triwulan III-2014. Sementara, meningkatnya inflow
pada periode laporan disebabkan oleh meningkatnya setoran perbankan akibat arus
balik setelah melewati bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Hal ini terlihat dari
3Inflow-Outflow adalah uang tunai yang diterima dan dikeluarkan oleh KPw. Bank Indonesia Provinsi Riau untuk perbankan di Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
56
cukup tingginya inflow pada bulan Juli dan Agustus masing-masing sebesar Rp1,13
triliun (pangsa 46,95%) dan Rp923,35 miliar (38,24%).
Berdasarkan kondisi tersebut, dimana outflow lebih besar dibandingkan inflow,
maka Provinsi Riau pada periode laporan tercatat mengalami net outflow sebesar
Rp1,80 triliun, menurun sebesar 30,06% (qtq) dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar Rp2,58 triliun.
7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Sebagai salah satu bentuk upaya Bank Indonesia dalam memenuhi uang kartal layak
edar (fit for circulation) kepada masyarakat, maka secara berkala Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak
Edar (UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari setoran bank maupun
penukaran uang dari masyarakat.
Grafik 3.36. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang Dimusnahkan
Terhadap Inflow di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Pada triwulan laporan, jumlah UTLE yang dimusnahkan tercatat sebesar Rp171,82
miliar, menurun sebesar 43,40% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
yang tercatat sebesar Rp303,59 miliar. Rasio UTLE terhadap inflow juga mengalami
penurunan karena tingginya inflow pada triwulan laporan dan menurunnya jumlah
UTLE. Jika dilihat jumlah UTLE sampai dengan triwulan III, secara kumulatif UTLE di
tahun 2015 lebih rendah dibandingkan UTLE di tahun 2014. Penurunan tersebut
menunjukkan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat dalam
memperlakukan uang.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
57
7.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau pada triwulan III-2015 tercatat menurun dibandingkan dengan triwulan
II-2015. Pada triwulan laporan, jumlah uang rupiah tidak asli sebanyak 126 lembar,
sementara pada triwulan sebelumnya sebanyak 202 lembar.
Grafik 3.37. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau terdiri dari 62 lembar menyerupai pecahan Rp100 ribu, 57 lembar
menyerupai pecahan Rp50 ribu, 2 lembar menyerupai pecahan Rp20 ribu dan 5
lembar menyerupai pecahan Rp10 ribu. Penemuan tersebut berdasarkan permintaan
klarifikasi perbankan dan masyarakat serta setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau.
Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
mengidentifikasi keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Riau secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada
masyarakat termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba,
Diterawang). Dengan adanya sosialisasi tersebut, diharapkan masyarakat dapat
terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak asli.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
58
7.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI
7.3.1. Transaksi Kliring
Jumlah nominal transaksi kliring pada triwulan III-2015 tercatat sebesar Rp8,68
triliun, tumbuh sebesar 7,62% (yoy) atau 46,42% (qtq), meningkat dibandingkan
dengan triwulan II-2015 yang turun sebesar 25,83% (yoy). Di sisi lain, pengggunaan
warkat tercatat sebanyak 237.984 lembar, turun sebesar 7,29% (yoy) namun
tumbuh sebesar 44,12% (qtq), tercatat lebih baik dibandingkan dengan triwulan II-
2015 yang turun sebesar 38,91% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, rata-rata
transaksi per warkat mengalami peningkatan sebesar 1,59% dengan nilai mencapai
Rp36,49 miliar.
Grafik 3.38. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
7.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS)
Nilai transaksi non tunai melalui BI-RTGS pada triwulan III-2015 tercatat sebesar
Rp88,48 triliun, tumbuh sebesar 0,47% (yoy) atau turun sebesar 19,27% (qtq),
melambat dibandingkan dengan triwulan II-2015 yang tumbuh sebesar 12,18%
(yoy). Di sisi lain, penggunaan warkat pada periode laporan sebanyak 30.853 lembar,
turun sebesar 35,20% (yoy) atau 5,46% (qtq), mengalami penurunan lebih dalam
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang turun sebesar 32,94% (yoy).
Menurunnya transaksi RTGS secara triwulanan mengindikasikan terjadinya
perlambatan kegiatan bisnis di Provinsi Riau. Berdasarkan hal tersebut, maka rata-
rata transaksi per warkat menjadi sebesar Rp2,87 miliar, turun sebesar 14,61% (qtq)
dari Rp3,36 miliar.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
59
Grafik 3.39. Series Transaksi BI-RTGS
Sumber : Bank Indonesia
Jika dilihat per Kabupaten/Kota, transaksi RTGS baik nilai maupun volume masih
didominasi oleh Kota Pekanbaru, kemudian diikuti oleh Kota Dumai. Kota Pekanbaru
memberikan kontribusi terbesar terhadap total transaksi BI-RTGS dengan pangsa
mencapai 96,26% dengan nilai sebesar Rp85,17 triliun. Transaksi tersebut menurun
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp106,55 triliun
(20,07%, qtq). Namun demikian, masih tingginya transaksi di Kota Pekanbaru
menunjukkan masih tingginya aktivitas ekonomi di kota tersebut yang merupakan
pusat bisnis di Provinsi Riau khususnya untuk sektor perdagangan dan jasa.
Tabel 3.8. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan II-2015 dan
Triwulan III-2015 (dalam Rp miliar)
Sumber : Bank Indonesia
FROM TO FROM - TO Kumulatif Nilai FROM TO FROM - TO Kumulatif Nilai
BENGKALIS 586 257 144 699 641 515 407 749
DUMAI 1.085 1.014 365 1.733 1.045 1.253 353 1.945
INDRAGIRI HILIR 15 - - 15 15 0 - 15
INDRAGIRI HULU 68 32 - 100 80 1 - 81
KAMPAR 6 43 0 49 5 36 - 41
KUANTAN SINGINGI - 1 - 1 - 1 - 1
PEKANBARU 81.637 58.613 33.697 106.553 62.241 47.420 24.492 85.169
PELALAWAN - 10 - 10 - 9 - 9
ROKAN HILIR - 2 - 2 - 3 - 3
ROKAN HULU 10 2 - 13 7 1 1 7
SIAK 309 150 32 427 338 172 53 457
RIAU 83.716 60.124 34.238 109.603 64.372 49.410 25.306 88.477
Kabupaten/KotaTriwulan II-2015 Triwulan III-2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
60
Tabel 3.9. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan II-2015 dan
Triwulan III-2015
Sumber : Bank Indonesia
Selanjutnya, transaksi di Kota Dumai pada triwulan III-2015 tercatat sebesar Rp1,95
triliun, meningkat dibandingkan dengan triwulan II-2015 sebesar Rp1,73 triliun
(12,21%, qtq). Masih meningkatnya transaksi RTGS di Kota Dumai sejalan dengan
kota tersebut sebagai daerah industri di Provinsi Riau.
Sama seperti triwulan sebelumnya bahwa Kab. Kuantan Singingi tercatat dengan
nilai transaksi RTGS terendah yaitu sebesar Rp539 miliar, kemudian diikuti oleh Kab.
Rokan Hilir dengan transaksi sebesar Rp3 miliar. Masih belum optimalnya aktivitas
ekonomi dan kurangnya jaringan perbankan diperkirakan menjadi faktor rendahnya
transaksi RTGS di daerah tersebut.
FROM TO FROM-TO Kumulatif Volume FROM TO FROM-TO Kumulatif Volume
BENGKALIS 519 352 110 761 329 336 114 551
DUMAI 1.998 1.551 717 2.832 1.916 1.473 608 2.781
INDRAGIRI HILIR 46 - - 46 45 1 - 46
INDRAGIRI HULU 173 10 - 183 169 3 - 172
KAMPAR 20 56 1 75 15 43 - 58
KUANTAN SINGINGI - 2 - 2 - 2 - 2
PEKANBARU 15.160 18.512 5.453 28.219 14.397 17.412 5.116 26.693
PELALAWAN - 22 - 22 - 22 - 22
ROKAN HILIR - 6 - 6 - 10 - 10
ROKAN HULU 39 5 - 44 22 3 2 23
SIAK 284 175 13 446 336 174 15 495
RIAU 18.239 20.691 6.294 32.636 17.229 19.479 5.855 30.853
Kabupaten/KotaTriwulan II-2015 Triwulan III-2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
61
1. Kondisi Umum
Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga
triwulan III 2015 secara umum mengalami peningkatan dibandingkan triwulan III
2014, terutama dari komponen realisasi belanja daerah. Di sisi lain, adanya koreksi
harga minyak dan CPO internasional mengakibatkan realisasi pendapatan daerah
lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Realisasi
anggaran pendapatan Provinsi Riau pada triwulan III-2015 mencapai 59,06% atau
mencapai Rp5,15 triliun. Sementara, realisasi anggaran belanjanya tercatat lebih
rendah, yaitu sebesar Rp3,45 triliun atau sekitar 32,30% dari total anggaran yang
dialokasikan.
KONDISI KEUANGAN
DAERAH
Bab 4
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
62
2. Realisasi APBD 2015
Realisasi anggaran pendapatan pemerintahan Provinsi Riau hingga triwulan III 2015
mencapai Rp5,15 triliun atau sebesar 59,06% dari total yang dianggarkan. Realisasi
tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pendapatan periode yang sama pada
tahun sebelumnya yang mencapai Rp5,64 triliun atau sebesar 79,11% dari total yang
dianggarkan. Di sisi lain, pada sisi pengeluaran, realisasi anggaran belanja mengalami
peningkatan dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Realisasi
anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau tercatat sebesar Rp3,45 triliun atau
sebesar 32,30% dari total yang dianggarkan.
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tahun 2014 dan 2015
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi anggaran pendapatan yang lebih besar daripada realisasi anggaran belanja
pemerintah daerah mengakibatkan pemerintah Provinsi Riau pada triwulan III 2015
mengalami surplus anggaran sebesar Rp1,70 triliun. Secara umum peningkatan
realisasi APBD hingga triwulan III 2015 dibandingkan periode yang sama pada tahun
sebelumnya didorong oleh program percepatan realisasi belanja daerah yang
dilakukan oleh pemerintah Provinsi Riau.
2.1. Realisasi Pendapatan
Realisasi anggaran pendapatan Riau pada triwulan III-2015 mencapai 59,06% atau
sebesar Rp5,15 triliun. Tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, komponen
pendapatan dengan realisasi terbesar ialah komponen Dana Perimbangan atau
Pendapatan Transfer yang terealisasi sebesar Rp2,32 triliun atau sebesar 55,28% dari
total yang dianggarkan. Sementara itu, pendapatan asli daerah terealisasi sebesar
Rp2,18 triliun atau sebesar 59,50% dari total yang dianggarkan. Realisasi anggaran
pendapatan transfer lainnya hingga triwulan III 2015 mencapai Rp656,07 miliar atau
sebesar 75,51% dari total yang dianggarkan.
Alokasi Anggaran
(Rp Milyar)
Nilai
Realisasi
Realisasi
Tw III (%)
Alokasi Anggaran
(Rp Milyar)
Nilai
Realisasi
Realisasi
Tw III (%)
Pendapatan 7,127 5,638 79.11 8,722 5,151 59.06
Belanja 8,277 2,257 27.27 10,684 3,451 32.30
Surplus / Defisit (1,150) 3,380.68 (1,962) 1,700.40
20152014
Uraian
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
63
Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Triwulan III 2015
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi anggaran dana perimbangan utamanya didorong oleh pendapatan dana
bagi hasil sumber daya alam yang mencapai Rp1,07 triliun atau sebesar 37,03% dari
total yang dianggarakan. Selanjutnya, realisasi dana bagi hasil pajak mencapai
Rp730,46 miliar atau sebesar 130,52% dari total yang dianggarkan. Selain itu,
realisasi dana perimbangan juga didorong oleh realisasi dana alokasi umum dan
khusus yang terealisasi masing-masing sebesar Rp490,67 miliar dan Rp23,76 miliar
atau sebesar 75,00% dan 30,00% dari total yang dianggarkan.
Realisasi pendapatan tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pendapatan pada
periode yang sama di tahun sebelumnya disebabkan karena menurunnya realisasi
dana perimbangan, terutama dana bagi hasil sumber daya alam yang diperkirakan
akibat penurunan harga minyak dunia dan harga CPO internasional. Kondisi ini
sejalan dengan perekonomian Provinsi Riau yang memang ditopang oleh kedua
komoditas tersebut dan pergerakan harga internasional yang cenderung terus
menurun mengakibatkan nilai penjualan yang diterima lebih rendah dibandingkan
tahun sebelumnya.
Penurunan juga terjadi pada penerimaan yang berasal dari komponen retribusi
daerah. Hingga triwulan III 2015 realisasi pendapatan yang berasal dari retribusi
daerah mencapai 58,84% dari total yang dianggarkan, lebih rendah dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya yang terealisasi sebesar 72,60% dari
total yang dianggarkan. Penurunan komponen pendapatan ini diperkirakan berasal
dari pajak perhotelan dan restoran akibat lesunya pengunjung selama triwulan
laporan yang disebabkan oleh kabut asap.
UraianJumlah A nggaran (R p
Juta)
R ealisasi s.d 30 September
2015 (R p Juta) % R ealisasi
PENDAPATAN
Pendapatan Asli Daerah 3,656,360.90 2,175,442.11 59.50
Pendapatan Pajak Daerah 2,924,923.05 1,490,227.82 50.95
Pendapatan Retribusi Daerah 24,369.29 14,339.37 58.84
Pendapatan hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang 208,544.82 177,327.96 85.03
Lain-lain PAD yang Sah 498,523.73 493,546.96 99.00
Pendapatan Transfer 4,196,336.98 2,319,815.79 55.28
Pendapatan Dana Bagi Hasil Pajak 559,669.58 730,459.06 130.52
Pendapatan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam 2,903,245.16 1,074,930.74 37.03
Pendapatan Dana Alokasi Umum 654,220.25 490,665.17 75.00
Pendapatan Dana Alokasi Khusus 79,202.00 23,760.82 30.00
Pendapatan Transfer Lainnya 868,876.40 656,070.30 75.51
Dana Otonomi Khusus 0.00 0.00 0.00
Dana Penyesuaian 868,876.40 656,070.30 75.51
Lain-lain Pendapatan yang Sah 0.00 0.00 0.00
Jumlah Pendapatan 8,721,574.28 5,151,328.19 59.06
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
64
Sementara itu, realisasi komponen pendapatan asli daerah utamanya berasal dari
realisasi pajak daerah yang terealisasi sebesar Rp1,49 triliun atau sebesar 50,95%
dari total yang dianggarkan. Realisasi pendapatan pajak daerah hingga triwulan III
2015 lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya
yang mencapai Rp1,6 triliun atau sebesar 69,12% dari total yang dianggarkan.
Kondisi ini diperkirakan akibat penjualan kendaraan bermotor yang cenderung
terbatas seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah dan penurunan pendapatan
sehingga pendapatan dari pajak kendaraan bermotor ikut menurun. Selanjutnya,
dana penyesuaian dan otonomi khusus yang telah terealisasi mencapai 75,51% dari
total yang dianggarkan.
2.2. Realisasi Belanja
Realisasi anggaran belanja Provinsi Riau pada triwulan III-2015 tercatat sebesar
Rp3,45 triliun atau sebesar 32,30% dari total anggaran yang dialokasikan. Realisasi
belanja tertinggi berasal dari realisasi belanja operasi yaitu sebesar Rp2,22 triliun atau
39,77% dari total alokasi yang dianggarkan tahun 2015. Realisasi belanja operasi
utamanya bersumber dari belanja pegawai dan belanja barang dan jasa yang tercatat
masing-masing terealisasi sebesar 61,76% dan 21,82% terhadap alokasinya.
Sementara itu, realisasi belanja hibah hingga triwulan laporan mencapai 63,45% dan
sebagian besar diperkirakan masih didominasi oleh Dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS).
Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Triwulan II 2015
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
UraianJumlah A nggaran (R p
Juta)
R ealisasi s.d 30 September
2015 (R p Juta) % R ealisasi
BELANJA
Belanja Operasi 5,581,232.59 2,219,381.50 39.77
Belanja Pegawai 1,395,557.72 861,946.13 61.76
Belanja Barang dan Jasa 3,107,845.72 678,062.54 21.82
Belanja Bunga 0.00 0.00 0.00
Belanja Subsidi 0.00 0.00 0.00
Belanja Hibah 1,070,651.84 679,372.82 63.45
Belanja Bantuan Sosial 7,177.30 0.00 0.00
Belanja Modal 2,901,124.90 564,881.19 19.47
Belanja Tanah 0.00 0.00 0.00
Belanja Peralatan dan Mesin 221,080.00 56,757.04 25.67
Belanja Gedung dan Bangunan 368,716.60 22,058.23 5.98
Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan 2,294,925.86 484,633.01 21.12
Belanja Aset Tetap Lainnya 5,821.85 991.32 17.03
Belanja Aset Lainnya 10,580.60 441.58 4.17
Belanja Tak Terduga 10,000.00 0.00 0.00
Belanja Tak Terduga 10,000.00 0.00 0.00
Belanja Transfer 2,191,616.80 666,667.05 30.42
Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/Kab/Kota 1,159,145.28 538,387.05 46.45
Belanja Bantuan Keuangan 1,032,471.52 128,280.00 12.42
Jumlah Belanja 10,683,974.28 3,450,929.73 32.30
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
65
Selanjutnya, realisasi belanja modal hingga triwulan III 2015 tercatat sebesar
Rp564,88 miliar atau mencapai 19,47%. Peningkatan realisasi belanja modal
utamanya didorong oleh realisasi komponen belanja jalan, irigasi, dan jaringan yang
mencapai Rp484,63 miliar atau terealisasi sebesar 21,12% dari total yang
dianggarkan. Realisasi ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya seiring
dengan program percepatan realisasi belanja oleh pemerintah Provinsi Riau dan focus
pembangunan jalan dan jembatan yang memang diprioritaskan oleh Dinas Bina
Marga Provinsi Riau pada tahun 2015. Selanjutnya, belanja peralatan dan mesin serta
belanja gedung dan bangunan hingga triwulan III 2015 masing-masing mencapai
25,67% dan 5,08% dari total yang dianggarkan.
Meskipun relatif lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi belanja
pemerintah Provinsi Riau hingga triwulan III 2015 masih lebih rendah dibandingkan
realisasi belanja pada periode yang sama selama tiga tahun terakhir yang mencapai
35,90% dari total yang dianggarkan. Adapun kendala dalam realisasi belanja hingga
triwulan III 2015 masih sama dengan triwulan sebelumnya, yaitu (i) penyusunan
rencana anggaran TA 2015 yang dilakukan pada tahun 2014 belum sesuai dengan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) yang baru, dan (ii) Diberlakukannya
Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dimana
pejabat SKPD baru dilantik per April 2015 sehingga realisasi anggaran menjadi
tertunda.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
66
1. Kondisi Umum
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada Agustus
2015 menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan bila dibandingkan
dengan Agustus 2014. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Riau yaitu dari 6,56% di tahun 2014 menjadi
7,83% di tahun 2015. Kondisi kesejahteraan masyarakat juga lebih rendah tercermin
dari peningkatan jumlah penduduk miskin di tahun 2015 yang mencapai 8,42% dari
total penduduk.
Bab 5
PERKEMBANGAN
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAANDAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
67
2. Ketenagakerjaan
Kondisi ketenagakerjaan
Provinsi Riau hingga akhir
tahun 2015 secara umum
masih tidak begitu baik
dibandingkan kondisi nasional.
Angka Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Riau pada
Agustus 2015 tercatat sebesar
7,83%, lebih tinggi
dibandingkan TPT pada
Februari 2015 yang tercatat
sebesar 6,72% dan TPT nasional yang tercatat sebesar 6,18%. Provinsi Riau
merupakan provinsi kedua dengan TPT tertinggi di Sumatera setelah Provinsi Aceh.
Sementara itu, angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Riau mencapai
63,22%, merupakan TPAK terendah di Sumatera dan juga lebih rendah
dibandingkan TPAK nasional yang mencapai 65,76%.
Jumlah penduduk angkatan kerja di Provinsi Riau pada tahun 2015 tercatat sebanyak
2.771.349 jiwa atau meningkat 2,82% dari periode yang sama pada tahun 2014.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,17% bekerja atau mencapai 2.554.296 jiwa dan
jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 1,42% dibandingkan tahun 2014.
Jumlah pengangguran angkatan kerja juga mengalami peningkatan, yaitu dari
176.762 jiwa pada tahun 2014 menjadi 217.053 jiwa pada tahun 2015. Hal ini
menyebabkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Provinsi Riau mengalami
penurunan, yaitu dari 63,31% menjadi 63,22%
Tabel 5.1. Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatan Utama (Jiwa)
Sumber : BPS Provinsi Riau
Aug-12 Aug-13 Aug-14 Aug-15 ∆
3,985,257 4,135,186 4,257,120 4,383,550 121,934
Bekerja 2,399,002 2,479,493 2,518,485 2,554,296 38,992
Pengangguran 107,774 143,817 176,762 217,053 32,945
Total Angkatan Kerja 2,506,776.00 2,623,310 2,695,247 2,771,349 71,937
Bukan Angkatan Kerja 1,478,481 1,511,876 1,561,873 1,612,201 49,997
62.90 63.44 63.31 63.22 (0.13)
4.30 5.48 6.56 7.83 1.08 TPT (%)
Kegiatan Utama
Penduduk Usia 15 Tahun ke
Atas (Jiwa)
TPAK (%)
Grafik 5.1. TPT dan TPAK Sumatera dan Indonesia
Agustus-2015
Sumber: BPS
0
10
20
30
40
50
60
70
80
%
TPT (LHS) TPAK (RHS)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
68
Berdasarkan spasialnya, umumnya penduduk angkatan kerja berada di daerah
pedesaan, yaitu sebanyak 60,20%. Sementara angkatan kerja di daerah perkotaan
hanya mencapai 39,80% dari total angkatan kerja di Provinsi Riau pada tahun 2015.
Meskipun demikian, kondisi ketenagakerjaan di daerah pedesaan lebih baik
dibandingkan di daerah perkotaan. Hal ini tercermin dari angka Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) yang lebih rendah dan Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) yang lebih tinggi di pedesaan dibandingkan perkotaan. TPT daerah
pedesaan pada tahun 2015 tercatat sebesar 6,90% lebih rendah dibandingkan TPT
di daerah perkotaan yang mencapai 9,25%. Sementara itu, angka TPAK di pedesaan
tercatat sebesar 63,65%, lebih tinggi dibandingkan TPAK di perkotaan sebesar
62,58%.
Grafik 5.2. Sebaran Angkatan Kerja Di Provinsi Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Grafik 5.3. TPT dan TPAK Berdasarkan Wilayah
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Mayoritas tenaga kerja di daerah perkotaan berprofesi di sektor perdagangan, rumah
makan, dan jasa akomodasi, yaitu sebanyak 34,59%, diikuti oleh sektor jasa
kemasyarakatan, sosial, dan perorangan sebanyak 26,07%. Kondisi ini sejalan
dengan struktur ekonomi wilayah perkotaan yang memang didominasi oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa. Di sisi lain, tenaga kerja di daerah
pedesaan umumnya bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan,
perburuan, dan perikanan, yaitu sebesar 64,12% dari total tenaga kerja yang ada di
daerah tersebut. Banyaknya lahan perkebunan dan pertanian di pedesaan
menyebabkan tenaga kerja yang diserap sektor ini juga tinggi. Sektor lainnya yang
juga menyerap cukup banyak tenaga kerja di pedesaan ialah sektor jasa
kemasyarakan, sosial, dan perorangan dan sektor perdagangan, rumah makan, dan
akomodasi masing-masing sebanyak 11,39% dan 11,25%.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
69
Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh tenaga kerja di Riau mayoritas
merupakan tamatan SD ke bawah, yaitu mencapai 37,17% dari total angkatan kerja
yang bekerja. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang
mencapai 40,51% dari total angkatan kerja yang bekerja. Pekerja dengan tingkat
pendidikan diploma dan universitas hanya mencapai 8,95%, sementara pekerja yang
menamatkan tingkat pendidikan SMA dan SMK mencapai 23.06%. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwat ingkat pendidikan tenaga kerja di Riau masih
tergolong rendah.
Grafik 5.5. Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tenaga Kerja
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Grafik 5.6. TPT Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) terbesar berada pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan Sekolah
Menengah Atas, dan Diploma yaitu mencapai 22.68%. Sementara itu, TPT dengan
tingkat pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan mencapai 10,17%dan Universitas
mencapai 8.97%. Kondisi ini menunjukkan bahwa lapangan kerja yang tersedia di
Provinsi Riau belum optimal dalam menyerap tenaga kerja dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi.
0 5 10 15
SD ke bawah
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Atas
Sekolah Menengah Kejuruan
Diploma I/II/III
Universitas
%2015 2014
Grafik 5.4. Lapangan Pekerjaan Utama Berdasarkan Daerah
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
70
3. Kesejahteraan Daerah
3.1. Penduduk Miskin Riau
Persentase penduduk miskin di Riau pada tahun 2015 kembali menunjukkan
peningkatan. Kondisi ini diperkirakan sebagai dampak dari penurunan harga
komoditas utama internasional seperti CPO dan karet akibat penurunan harga
minyak dunia. Jumlah penduduk miskin di Riau pada tahun 2015 mencapai 531 ribu
jiwa atau sekitar 8,42% dari jumlah penduduk.
Grafik 5.7. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan mencapai 365 ribu
jiwa atau sekitar 9,46% dari total penduduk desa di Provinsi Riau. Jumlah ini jauh
lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan. Penduduk
miskin di daerah perkotaan mencapai 6,79% dari total penduduk di perkotaan atau
mencapai 166 ribu jiwa.
Berdasarkan perkembangannya, jumlah dan persentase penduduk miskin di wilayah
pedesaan cenderung meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sebaliknya,
persentase penduduk miskin di daerah perkotaan cenderung menurun, dan jumlah
penduduk miskin relatif stabil dibandingkan periode yang sama pada tahun
sebelumnya. Kondisi ini diperkirakan karena mayoritas penduduk di pedesaan
berprofesi sebagai petani di subsektor perkebunan sawit dan karet, sehingga
penurunan harga komoditas tersebut sangat berdampak terhadap kesejahteraan
penduduk setempat. Sementara itu, penduduk di daerah perkotaan memiliki profesi
yang lebih bervariasi sehingga lebih tahan terhadap tekanan luar.
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jumlah (kiri) 575 567 528 500 482 483 469 500 531
% (kanan) 11.2 10.63 9.48 8.65 8.47 8.22 7.72 8.12 8.42
0
2
4
6
8
10
12
-
100
200
300
400
500
600
700
%jiw
a
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
71
Grafik 5.8. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
3.2. Garis Kemiskinan Riau
Garis Kemiskinan (GK)1 Riau terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2015, GK Riau mengalami peningkatan sebesar 9,62%
dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya menjadi Rp399.211,-
perkapita/bulan. Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, GK di kota lebih tinggi dari GK
di desa. GK di Kota tahun 2015 mencapai Rp404.802,- perkapita/bulan meningkat
7,86% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Sementara, GK di desa tercatat sebesar Rp395.659,- perkapita/bulan, meningkat
10,83% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Meskipun
demikian, perkembangan GK di provinsi Riau pada tahun 2015 secara umum masih
melambat dibandingkan pertumbuhan GK pada tahun sebelumnya.
Perlambatan GK tersebut didorong oleh melambatnya pertumbuhan GK makanan
dan GK non-makanan pada periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan GK
makanan tercatat melambat dari 11,33% pada Maret 2014 lalu menjadi 9,44% pada
Maret 2015. Sementara GK bukan makanan juga mengalami perlambatan dari
12,83% pada Maret 2014 menjadi 10,40% Maret 2015. Melambatnya GK Riau
pada tahun 2015 dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang relatif lebih rendah
1 Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
72
dibandingkan tahun 2014 lalu akibat normalisasi harga pasca kenaikan harga BBM
di tahun 2014.
Grafik 5.9. Perkembangan Garis Kemiskinan (GK) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
3.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan
Kemiskinan (P2) Riau
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau, tingkat
keparahan dan kedalaman kemiskinan pada tahun 2015 juga berada pada tren yang
meningkat. Kondisi ini diperkirakan karena tren penurunan harga komoditas
internasional yang masih berlanjut sehingga mempengaruhi tingkat pendapatan
masyarakat setempat. Perbedaan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan
antara penduduk kota dan penduduk desa juga cenderung semakin melebar.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau pada tahun 2015 meningkat dibandingkan
dengan tahun 2014 yang lalu, yaitu dari 1.01 menjadi 1.38. Dilihat dari aspek spasial,
peningkatan Indeks P1 terjadi baik di daerah desa, maupun di kota. Indeks P1 di kota
meningkat sebesar 22,47% (yoy) menjadi 1.09 pada tahun 2015. Sementara, Indeks
P1 di desa mengalami peningkatan sebesar 44,04% (yoy) menjadi 1,38. Hal ini
mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin di daerah pedesaan
lebih menjauh dari garis kemiskinan dibandingkan dengan penduduk miskin di
daerah perkotaan yang pengeluaran penduduk miskinnya semakin mendekati garis
kemiskinan.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
73
Selanjutnya, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau pada tahun 2015 juga
menunjukkan peningkatan yaitu dari 0,21 menjadi 0,36. Berdasarkan aspek
kewilayahan, diketahui bahwa Indeks P2 di desa mengalami peningkatan dari 0,23
menjadi 0,41 pada tahun 2015. Sementara, Indeks P2 di kota juga menunjukkan
peningkatan yakni dari 0,18 menjadi 0,28. Kondisi ini menunjukkan bahwa
ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di desa lebih tinggi dibandingkan di
kota, meskipun ketimpangan pengeluaran di kedua wilayah tersebut cenderung
meningkat.
Grafik 5.10. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau
Grafik 5.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
74
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan IV-2015 secara umum diperkirakan
tumbuh meningkat dan mencatatkan pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan
ekonomi Riau secara tahunan diperkirakan berada pada kisaran 1,0-2,0% (yoy)
dengan tendensi ke arah batas bawah. Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan
diperkirakan berasal dari konsumsi dan perbaikan kinerja ekspor, sementara
perbaikan kinerja sektor utama, terutama sektor pertanian, kehutanan, dan
perikanan, diperkirakan akan mendorong pertumbuhan perekonomian Riau pada
triwulan IV 2015. Dengan demikian, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2015 diperkirakan jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014.
PROSPEK PEREKONOMIAN
DAERAH
Bab 6
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
75
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan
Ekonomi Triwulan IV-2015 serta 2015 (Dalam %)
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan pada triwulan IV 2015
diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga.
Kondisi ini sejalan dengan perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan
November 2015 di Provinsi Riau yang tercatat meningkat berdasarkan hasil Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Peningkatan optimisme konsumen tersebut
diperkirakan karena ekspektasi perbaikan ekonomi hingga akhir tahun, meskipun
masih sangat terbatas. Selain itu, indeks perkiraan pengeluaran dibandingkan 3
bulan yang akan datang sesuai hasil SKDU juga menunjukkan peningkatan.
Konsumsi pemerintah diperkirakan juga akan meningkat, terkait dengan percepatan
realisasi APBD menjelang akhir tahun anggaran.
Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada
triwulan IV 2015 diperkirakan mulai
membaik sejalan dengan membaiknya
kinerja sektor pertambangan dan
penggalian. Meskipun demikian, proyeksi
pertumbuhan ekonomi global yang
diperkirakan masih melambat hingga
akhir tahun 2015, ke depannya masih
akan menjadi faktor penahan laju
peningkatan kinerja ekspor luar negeri
Riau pada triwulan mendatang.
Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang diperkirakan akan
membaik dibandingkan triwulan III 2015. Faktor pendorong pertumbuhan
diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan sawit. Peningkatan permintaan CPO
diperkirakan akan mendorong laju produksi perkebunan kelapa sawit setempat,
meskipun tidak begitu optimal karena faktor cuaca di awal triwulan IV 2015 yang
I II III IV I(r)*** II(r)*** III*** IV (p)
Total 3,93 2,90 2,67 1,05 2,62 (0.03) (2.54) (1.87) 1.0-2.0 (0.2)-(1.2)
Sumber: BPS Riau
Ket: *) Data sementara, ***) Data sangat sementara, r) revisi BPS (p) Proyeksi Bank Indonesia
2015***2015 (p)2014*Komponen
2014*
Tabel 6.2. Outlook Perekonomian Global
Sumber: Recent Economic Development
Bank Indonesia, November 2015
Region 2014Proyeksi Mei
2015
Proyeksi
Agustus 2015
PDB Dunia 3.3 3.4 3.3
Amerika Serikat 2.4 3.0 2.5
Kawasan Eropa 0.9 1.4 1.5
Jepang 0.0 1.0 0.8
Tiongkok 7.4 6.8 6.8
India 5.6 7.5 7.5
Negara Emerging Market Lainnya 2.7 2.2 2.2
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
76
masih terkena kabut asap. Selanjutnya, perkembangan sektor industri pengolahan
diperkirakan akan relatif stabil sehubungan dengan peningkatan permintaan ekspor.
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Perkiraan
Pengeluaran Dibandingkan 3 Bulan yang Datang
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 6.2. Perkembangan Indeks
Keyakinan Konsumen
Sumber: Survei Konsumen BI
Dengan demikian, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada
tahun 2015 diperkirakan mengalami kontraksi pada kisaran (0,2)% yoy-(1,2)% yoy.
Kondisi ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014
yang tercatat mencapai 2,62% (yoy). Penurunan kinerja ekonomi didorong oleh
penurunan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dan sektor
pertambangan dan penggalian. Adanya kabut asap yang cukup lama melanda
Provinsi Riau dan pergeseran masa tanam tanaman bahan makanan menyebabkan
penurunan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sementara itu,
penurunan kinerja sektor pertambangan dan penggalian disebabkan oleh penurunan
kinerja lifting minyak bumi akibat natural declining. Dari sisi penggunaan, penurunan
ekonomi pada tahun 2015 utamanya disebabkan oleh perlambatan kinerja konsumsi
akibat penurunan daya beli seiring dengan penurunan harga komoditas utama.
Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan
ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini
utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif (natural
declining) sehingga diperkirakan berpotensi mengakibatkan kontraksi yang lebih
dalam pada sektor pertambangan migas. Selain itu, potensi pemulihan kinerja sektor
pertanian masih cukup rendah, khususnya terhadap subsektor perkebunan kelapa
sawit sehubungan dengan dampak kabut asap yang diperkirakan akan mulai
dirasakan hingga tahun depan. Di sisi lain, salah satu faktor yang berpotensi
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
77
membawa pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah potensi
peningkatan industri pengolahan sehubungan dengan proyeksi meningkatnya harga
komoditas internasional, yang diperkirakan akan memberikan sentimen positif
terhadap beberapa perusahaan eksportir di Riau.
2. PERKIRAAN INFLASI
Tabel 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan IV 2015
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung
menurun, yaitu berada pada kisaran 2,5-3,5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan,
inflasi diperkirakan berkisar 0,8-1,5% (qtq). Adapun capaian inflasi hingga Oktober
2015 dibandingkan dengan akhir tahun 2014 telah mencapai 1,22% (ytd). Oleh
sebab itu, sasaran inflasi nasional tahun 2015 sebesar 4±1% (yoy) diperkirakan akan
tercapai.
Inflasi Riau pada triwulan IV 2015 diperkirakan masih akan berasal dari inflasi volatile
food dan inflasi inti. Peningkatan inflasi volatile food diperkirakan bersumber dari
kenaikan harga bahan makanan akibat permasalahan pasokan seiring peningkatan
permintaan menjelang akhir tahun. Sementara itu, tekanan dari kelompok inti
didorong oleh masih berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah hingga akhir tahun.
Tekanan dari kelompok administered prices diperkirakan relatif menurun meskipun
terdapat potensi peningkatan tarif angkutan udara mendekati liburan natal dan
tahun baru. Beberapa komoditas seperti cabe merah dan bawang merah mulai
menunjukkan peningkatan sehingga berpotensi mendorong peningkatan inflasi
kelompok volatile food di triwulan mendatang.
I II III IV I II III(p) IV (p)
yoy,% 7,76 6,60 5,82 8,65 6,17 7,39 5,70 2,5-3,5
qtq,% 1,05 0,81 1,03 4,26 -1,26 1,97 0,68 0,8-1,5
Sumber: BPS Riau
Ket: (p) Proyeksi Bank Indonesia
Inflasi2014 2015
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
78
Grafik 6.6. Perkembangan Harga Cabe dan Bawang di Kota
Pekanbaru
Sumber: Survei Pemantauan Harga BI
Beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati batas atas
kisaran proyeksi (downside risk) antara lain, (i) rencana pemerintah menaikkan HET
LPG 3 kg, dan (ii) El Nino yang berpotensi menganggu produksi daerah sentra
pertanian dan meningkatkan inflasi bahan makanan. Sementara itu, terdapat
beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (upside risks)
proyeksi, yaitu perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik
sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices. Pada
tingkat regional, solusi dini (pre-emptive solution) TPID yang dihasilkan melalui
koordinasi dengan berbagai instansi terkait dalam menjaga ekspektasi diperkirakan
dapat mengurangi permasalahan informasi pasokan yang asimetris terutama di
tingkat konsumen. Kemudian, pada tingkat nasional, masih berlanjutnya koordinasi
kebijakan yang bersifat counter cyclical dalam menstabilkan tekanan terhadap nilai
Rupiah diperkirakan dapat membantu mengurangi tekanan inflasi barang impor.
3. REKOMENDASI
Sehubungan dengan upaya pengendalian inflasi, dan upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi, maka diusulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Jangka pendek
a. Peningkatan produksi pangan lokal melalui program intensifikasi dan
pengembangan urban farming sehubungan dengan program
kedaulatan pangan dan energi;
b. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Riau dan Kabupaten/Kota
perlu menyusun konsep kerjasama antar daerah dan mulai melakukan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
79
penjajakan dengan daerah tetangga dan daerah pemasok, fokus pada
komoditas beras, bumbu-bumbuan, dan daging segar. Kelompok Kerja
Nasional TPID sudah menyusun guidance yang berisi prinsip kerjasama,
aturan pelaksanaan, dan alternatif model kerjasama;
c. Melakukan dan mengawasi pelaksanaan realisasi APBD agar terealisasi
dengan baik dan tepat sasaran, terutama realisasi belanja modal
(monitoring terhadap realisasi pengembangan infrastruktur jalan,
jembatan, pelabuhan, dan kelistrikan di Provinsi Riau);
d. Mempercepat pengesahan RTRW Provinsi Riau secara keseluruhan dan
mengawasi pelaksanaannya sebagai salah satu prasyarat pembangunan
infrastruktur dan investasi;
e. Terkait kondisi asap,
Perlunya penanggulangan bencana asap berbasis Manajemen Risiko
baik untuk kegiatan pencegahan maupun penanggulangan bencana
asap. Selain itu perlu ditingkatkan kampanye dan sosialisasi
mengenai pembakaran lahan beserta dampaknya kepada
masyarakat (zero burning campaign).
Perlunya peninjauan kembali UU No. 32 th 2009 pasal 69 ayat 2
(tentang perlindungan lingkungan hidup) dimana pembakaran lahan
diperkenankan untuk lahan 2 Ha, hanya ijin kepada camat untuk
mengurangi pembakaran.
Diharapkan dorongan bersama solusi tercepat, percepatan
Instrument Landing System 0 m di bandara Sutan Syarif Kasim II (saat
ini bandara tersebut baru dapat didarati pada jarak pandang
minimum 1000 m)
2. Jangka panjang
a. Memfokuskan alokasi APBD (timing belanja awal tahun) pada alokasi
belanja modal (capital expenditure) khususnya dalam bentuk
infrastruktur yang akan menggerakkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat;
b. Fokus pengembangan kawasan industri dan terus melakukan
monitoring progress dan evaluasi secara intensif terutama untuk
mendukung program hilirisasi sawit (menciptakan nilai tambah produk
kelapa sawit);
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
80
c. Merumuskan rencana pengembangan sektor ekonomi yang berpotensi
untuk menggantikan laju penurunan sektor pertambangan dan
penggalian (natural declining), antara lain sektor perdagangan dan
pariwisata. Pengembangan sektor-sektor alternatif tersebut perlu
dimasukkan dalam program RPJMD dan RPJP Riau.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xvii
Aktiva Produktif
Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan
tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran
kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan
risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin
kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah
mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang
diberikan kepada perorangan.
Kualitas Kredit
Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan
kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5
kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,
tabungan atau deposito.
DAFTAR ISTILAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xviii
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap
dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum
konvensional.
Inflasi
Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).
Inflasi Administered Price
Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan
bakar).
Inflasi Inti
Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan
agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan
ekspektasi masyarakat.
Inflasi Volatile Food
Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk
dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya
beras).
Kliring
Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Kliring Debet
Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan
penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada
penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang
memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xix
dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit
kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan
secara nasional.
Kliring Kredit
Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung
oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa
menyampaikan fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang
diterima (giro, tabungan dan deposito).
Net Interest Income (NII)
Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.
Non Core Deposit (NCD)
Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan
10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan.
Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)
Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin
timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP
ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar
PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang
Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi
agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah
100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xx
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)
Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin
rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit
Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)
Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan
seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta
pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan
pembayaran.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)
Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring
kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Adalah persentase jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.