kajian bulanan serial fikih nikah file1 bab i pra nikah a. pengertian menikah menurut bahasa adalah...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PRA NIKAH
A. Pengertian
Menikah menurut bahasa adalah (الضم و الوطأ) artinya mengumpulkan atau menghimpun.
Adapun menurut istilah syara’: suatu ‘aqad
yang menghalalkan seorang laki-laki dengan
perempuan yang bukan muhrom untuk bersatu
menjadi suami isteri dengan ucapan ijab dan qabul
yang diketahui wali dan saksikan oleh beberapa
orang saksi dengan syarat dan ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan oleh hukum syara’.
B. Dalil menikah
1. Al-Qur’an
يم منكمأ ٱلأ نكحوا
لحني منأ عب وأ ادكمأ وٱلص إو فقرا إن يكونوا مائكمأ لهۦ وٱلل من فضأ نهم ٱلل ء يغأ
٣٢وسع عليم
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nûr: 32)
2
Kandungan ayat:
a. Wanita tidak boleh menikahkan dirinya
sendiri
b. Perintah kepada para wali untuk
menikahkan anak-anaknya yang sudah
layak, karena ia merupakan tanggung
jawabnya termasuk para budaknya.
c. Janji mendapatkan kemampuan harta
dengan perantara menikah
d. Miskin bukan alasan menunda untuk
menikah atau menolak seseorang.
e. Menikah dapat membuka pintu rizki
نفسكمأ و نأ أ نأ خلق لكم م
كنوا منأ ءايتهۦ أ وجا ل تسأ زأ
أ
ة ور إلأه ود م ا وجعل بيأنكم م لك أليت ل قوأ إن ف ذ ة حأرون ٢١يتفك
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri (manusia), supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rûm: 21).
Kandungan ayat:
a. Pasangan merupakan ayat-ayat Allah yang
agung (langit, bumi dan semua makhluq)
3
b. Menikah harus dengan jenis manusia
bukan dari jenis lainnya, dengan syarat
beda jenis kelamin.
c. Perantara untuk mendapatkan sakinah
(ketentraman), mawaddah (kecintaan) dan
Rahmah (kasih sayang) adalah dengan
mneikah
d. Pasangan adalah amanah Allah yang harus
dijaga
e. Menikah adalah kebutuhan fitrah manusia
ز ت من ٱلن هو نني وٱلأقنط ي ن للن اس حب ٱلش ري ساء وٱلأأ ة و ٱل هب وٱلأفض نأعم مقنطرة من ٱذل
أمسو مة وٱلأ يأل ٱل ٱلألك متع رأث ذ ن ٱلأم وٱلأ ۥ حسأ عنده يا وٱلل نأ ة ٱدل يو اب ٱلأ
١٤
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga)”. (QS. Âli Imrân: 14).
Kandungan ayat:
a. Keinginan syahwat adalah fitrah manusia
4
b. Keinginan sekaligus ujian manusia sesuai
dengan tingkatan dalam ayat ini, yaitu:
1) Sebelum menikah => wanita
2) Setelah menikah => wanita dan anak
3) Setelah memiliki anak => wanita, anak
dan harta yang banyak (emas, perak,
uang dan kendaraan)
4) Setelah banyak anak dan tua => wanita,
anak, harta yang banyak dan investasi
(sawah/tanah).
c. Kebahagian yang sebenarnya adalah surga
d. Menjadikan semua ujian sebagai perantara
menuju surga
2. Sunnah
أغض فإنه ف لي ت زوج، الباءة منكم استطاع من الشباب، معشر ي وجاء له فإنه بلصوم، ف عليه يستطع، ل ومن رج،للف وأحصن للبصر،
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian
yang telah memiliki kemampuan untuk menikah,
hendaklah dia menikah; karena menikah lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum
mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena
berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.
(muttafaqun’alaih)
Kandungan hadits:
a. Persiapan sebelum menikah
5
b. Persiapan bagi pria yaitu mental dan
finansial
c. Persiapan wanita cukup mental
d. Jaga kehormatan dengan
1) Menikah
2) Berpuasa
e. Menikah dapat menjaga kehormatan
C. Hukum menikah
Pada dasarnya menikah hukumnya adalah
sunnah muakkadah yaitu sunnah yang sangat
dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Namun bisa
berubah sesuai dengan kondisi dan niat seseorang.
1. Wajib
yaitu bagi seorang yang sudah mampu secara
mental dan finansial dan ia beresiko jatuh kedalam
perzinaan, maka menikah baginya adalah wajib,
karena menjaga diri dari zina adalah wajib
sedangkan jalan keluarnya hanyalah dengan
menikah.
Imam al-Qurtubi berkata bahwa bila dia tidak
mampu, maka Allah Swt pasti akan membuatnya
cukup dalam masalah rezekinya sebagaimana
firman Allah dalam surat an-Nur: 32.
2. Sunnah
Yaitu mereka yang sudah mampu, namun
tidak merasa takut jatuh kepada zina, hal ini bisa
jadi karena usianya yang masih muda atau pun
lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Bila
6
dia menikah, tentu dia akan mendapatkan
keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia
diam tidak menikah.
3. Mubah
Yaitu bagi orang yang berada pada posisi
tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang
mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum
menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak
dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak
ada larangan atau anjuran untuk
mengakhirkannya.
4. Makhruh
Yaitu seseorang yang tidak memiliki
kemampuan bekerja (penghasilan) dan tidak
sempurna kemampuan untuk berhubungan
seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun
bila calon isterinya rela dan punya harta yang bisa
mencukupi hidup mereka, maka dibolehkan bagi
mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Pernikahan seperti itu makruh hukumnya
sebab berdampak dharar (bahaya) bagi pihak
wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh
kepada ketaatan dan ketundukan isteri kepada
suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh
lebih besar.
5. Haram
7
Yaitu bagi mereka dengan niat yang salah
seperti menikah dengan niatan untuk menyakiti
pasangan karena dendam atau menikah dengan niat
talak (jangka waktu tertentu/mut’ah).
Selain itu s ada sebab lain yaitu adanya cacat
pisik yang dapat menular dan beresiko bagi
pasangannya, kecuali pasangannya diberi tahu
sebelumnya dan menerima keadaannya.
Selain hal di atas, masih ada sebab-sebab
tertentu yang mengharamkan untuk menikah,
misalnya wanita muslimah menikah dengan laki-
laki kafir, menikahi wanita pezina dan pelacur,
termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi
(mahram), wanita yang punya suami, wanita yang
berada dalam masa ‘Iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain
seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan
rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi.
D. Tujuan menikah
Tujuan menikah haruslah benar agar sesuai
dengan aturan Allah dan mencapai tujuan yang
sebenarnya. Setidaknya ada 5 alasan orang
menikah:
1. Menunjukkan kepantasan dan status
2. Melampiaskan hasrat seksual
3. Mendapatkan keturunan
4. Mendapatkan kehormatan dimata manusia
8
5. Sarana ibadah kepada Allah dan mengikuti
sunnah Nabi.
Sekiranya ada yang
ingin menikah atau sudah
menikah dan masih dengan
niat salah satu dari ke-
empat pertama, maka
sebaiknya memperbaiki
niat terlebih dahulu,
kenapa? Karena kalau tujuannya hanya
menunjukkan kepantasan, memenuhi hasrat
seksual, mendapatkan keturunan dan dipandang
manusia, lha.. Kambing, kucing dan kawan-
kawannya juga sama bro.. lalu.. apa bedanya
manusia dengan mereka itu..??
Dan yang lebih bahaya lagi tidak akan
mendatangkan apa-apa kalau niatnya seperti itu,
termasuk tidak medapatkan kebahagiaan dan
keberkahan dari pernikahan itu sendiri.
Jadi harus dengan niat yang benar yaitu
niatkan sebagai sarana beribadah dan wasilah
untuk semakin taat kepada-Nya dan sekaligus
mengikuti sunnah Nabi kita, karena banyak ibadah
yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan menikah,
seperti: memberi nafkah, hamil, melahirkan,
berhubungan, cium tangan (isteri ke suami), dll….
Inget! tujuan/niat akan menentukan dan
mempengaruhi baik/buruknya hasil sebuah
perbuatan.
Niat dapat menentukan
baik buruknya amalan. Ia
penentu antara pahala
dan dosa
9
E. Mahram
Sebelum menikah harus dikenali dulu siapa
saja yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh,
diantara yang tidak boleh dinikahi adalah karena
sebab mahram (haram dinikahi). Awas! Bukan
muhrim tapi MAHRAM.
Macam-macam mahram:
1. Mu’abbad/selamanya
a. Nasab
1) Ibu (keatas)
2) Anak (kebawah)
3) Saudari (kandung, sebapak dan seibu)
4) Bibi dari ayah
5) Bibi dari Ibu
6) Anak saudara/saudari (keponakan)
b. Perkawinan/mushaharah
1) Ibu tiri
2) Mertua
3) Anak tiri (setelah berkumpul dengan
ibunya)
4) Menantu
c. Penyusuan
1) Ibu yang menyusui
2) Ibu dari wanita yang menyusui (nenek)
3) Ibu dari suaminya/ayah susuan (nenek)
4) Anak ibu susuan (saudari)
5) Saudari susuan ibu dan suaminya (bibi)
6) Cucu ibu susuan
7) Menantu ibu susuan
10
2. Mu’aqqad/terbatas waktu
a. Mengumpulkan 2 bersaudara/bibinya
b. Masih dalam masa ‘Iddah
c. Talak 3
d. Musyrik
e. Ihram
f. Beristeri 4
g. Isteri orang lain
Mahrah-mahram diatas harus diperhatkan,
karena jika dilanggar maka pernikahannya tidak
sah/batal. Jika terus dilanjutkan dalam rumah
tangga maka ia berdosa.
F. Persiapan menikah
Sebelum menikahi atau dinikahi haruslah
mempersiapkan diri dahulu, persiapan yang cukup
akan menghasilkan sesuatu yang baik, apalagi ini
soal pernikahan, persiapan-persiapan tersebut
setidaknya ada beberapa hal, diantaranya:
1. Persiapan ilmu
Segala sesuatu harus disertai dengan ilmu,
jika urusan duniawi saja harus dengan ilmu
apalagi urusan dunia akhirat. Terutama dalam hal
ini adalah ilmu tentang rumah tangga atau
menikah, suami yang memilki ilmu akan menjadi
kepala rumah tangga yang baik, dan wanita yang
berilmu akan menjadi isteri yang siap melayani
suami sebagai khidmah kepada Allah dan Rasul-
Nya.
11
Kurangnya ilmu sering kali mendatangkan
masalah, keinginan yang baik jika tidak disertai
dengan ilmu, maka akan berdampak buruk,
misalnya keinginan suami yang ingin
membahagiakan isterinya dengan membelikan
berbagai macam pakaian, kendaraan dan fasilitas
lain, namun ia lupa bahwa isteri bukan benda mati
yang cukup dengan materi, namun lebih dari itu
semua adalah perhatian dan kasih sayang.
Begitupun isteri, suami bukan mesin ATM, pekerja
atau benda mati yang didekati saat
membutuhkannya saja, namun perlu pelayanan
dan ketaatan kepadanya.
Pelajari ilmu sebelum kesempatan itu
semakin sedikit, karena saat belum menikah
waktu untuk belajar relatif lebih banyak daripada
sesudah menikah, dan sebelum memilki anak
waktu akan lebih banyak daripada saat memiliki
anak, begitu seterusnya.
Diantara ilmu yang harus dipersiapkan
seputar pernikahan adalah:
a. Ilmu memperbaharui niat
b. Ilmu ta’aruf
c. Ilmu khithbah
d. Ilmu akad nikah
e. Ilmu resepsi/walimah
f. Ilmu berhubungan suami isteri
g. Ilmu hak dan kewajiban suami/isteri
h. Ilmu memahami karakter suami/isteri
12
i. Ilmu pengasuhan anak
j. Ilmu talak dan cabang-cabangnya
2. Persiapan mental
Adapun maksud mental adalah kesiapan
secara lahir dan batin untuk mengarungi bahtera
rumah tangga, terutama kesiapan batin/jiwa,
kenapa mental harus siap?? Karena yang menikah
tidak cukup fisik tetapi juga jiwa, itu artinya kita
menikah jiwa dan raga, kalaupun siap fisik baik
materi ataupun kesehatan jasmani namun belum
siap mental maka pasti tidak siap menikah bukan??
Siap fisik dan finansial itu kesiapan yang
belum menjamin para pemuda melangkah untuk
menikah, karena sekian banyak pemuda secara fisik
sehat, pekerjaan (finansial) cukup, bahkan karir
melejit, tapi gak kunjung menikah, itu artinya
mereka belum siap mentalnya. Diantara kesiapan
mental tersebut adalah:
a. Siap berjuang suka duka Bersama pasangan
b. Siap menerima tanggug jawab dari pasangan
c. Siap menerima segala bentuk kekurangan
d. Bersyukur atas segala kecukupan
e. Siap belajar dan bekerja lebih giat
f. Siap diingatkan saat melakukan kesalahan
g. Siap membimbing pasangan
h. Siap mengasuh dan mendidik anak
i. Siap dengan kehadiran keluarga pasangan
j. Siap berinteraksi dengan masyaraka baru, dll
13
3. Persiapan finansial
Salah satu alasan terbesar para pemuda
mengurungkan niatnya untuk menikah adalah
karena masalah finansial yang belum merasa cukup,
memang seorang laki-laki yang sudah berstatus
suami harus bertanggung jawab memeberi nafkan
keluarga, sehingga sudah seharusnya dipersiapkan
sebelum menikah.
Siap finansial merupakan persiapan yang
penting namun bukan segalanya, maksudnya
kesiapan finansial itu harus, namun jangan
berlebihan, artinya ia beranggapan masih merasa
belum mampu secara finansial hingga memiliki
tabungan sekian juta, punya rumah sendiri,
kendaraan sendiri, usaha sendiri. Lha.. kalau seperti
ini kapan nikahnyaaa???, padahal maksud finansial
yang wajib adalah mahar dan kebutuhan primer
bukan bermewah-mewahan.
Bahkan membayar maharpun tidak harus
mahal seperti rumah, kendaraan, emas, perak, uang
dan sejenisnya, bahkan bacaan ayat Al-Qur’an saja
bisa jadi mahar. Bisa jadi mahar akan mendapat
bantuan dari keluarga, kawan dan lainnya, jadi
finansial penting untuk dipersiapkan namun jangan
jadikan alasan untuk menunda pernikahan, apalagi
kaum akhowat tidak ada kewajiban persiapan
finansial, sehingga tidak berkewajiban adanya
persiapan finansial, cukup ilmu dan mental siap
14
menikah, maka tinggal menunggu pasangan untuk
melamarnya.
G. kriteria pasangan
Dalam menentukan kriteria calon pasangan,
syari’at islam memberikan dua sisi yang perlu
diperhatikan.
1. kriteria umum
Maksudnya adalah kriteria yang semua orang
mempertimbangkannya, yaitu agama, nasab, harta
dan kecantikan. Masalah ini sesuai dengan hadits
Rasulullah Saw, dalam haditsnya yang cukup
masyhur.
رأة ه وسلم قال: تنكح املعن أب هريرة عن النيب صلى هللا عليلربع لمالا ولسبهأ وجلمالا ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك.
)متفق عليه(.“Dari Abi Hurairah Ra bahwa Rasulullah Saw,
bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal:
karena hartanya, Hasabnya, kecantikannya dan
agamanya. Maka perhatikanlah agamanya maka
kamu akan selamat”. (HR. Bukhari, Muslim).
Masalah harta merupakan hal yang wajar
sebagai pertimbangan manusia, namun hal ini
bukan sau-satunya kriteria yang harus bahkan
bukan sunnah untuk menikahi orang-orang
kaya/berharta. Harta akan cepat hilang jika sang
pemilik tidak memiliki ilmu.
15
Dalam riwayat lain dikatakan لنسبها nasabnya,
perbedaan nasab dan nasab yaitu, nasab artinya
garis keturunan dari ayah dan ibu keatas. Adapun
hasab adalah kelebihan/kecenderungan dalam
keturunan tersebut. Ini kelemahan kebanyakan
orang Indonesia tidak mengenal nasab mereka, dan
sekaligus tidak mengetahui hasabnya, misalnya kita
jarang yang tahu siapa kakek ke-5 kita?
Adapun soal kecantikan, ini sangat relative,
kecantikan biasanya merupakan perkara yang
pertama kali penyebab seseorang tertarik, karena
dari kecantikan/ketampanan lalu ia akan mencari
tahu nasab/hasab dan kepribadian dan seterusnya.
Agama adalah satu-satunya kriteria yang
WAJIB sebagai pertimbangan, maksud agamanya
baik adalah ia beragama islam dan taat dalam
agamanya. Inilah yang menjadi salah satu penyebab
kebahagiaan dan keberahan dalam pernikahan.
Hanya agama yang menjadikan keluarga selamat
dunia akhirat.
Sehingga dari hadits ini dapat disimpulkan
tidak ada pernikahan lintas agama, karena agama
merupakan kriteria pertama dan utama dalam
memilih pasangan. Jadi tidak perlu dibahas hukum
nikah beda agama, sudah jelas keharamannya.
Tips melihat kriteria pasangan:
a) Lihat ibadah kepada Allah dan Rasul-Nya
b) Lihat hubugan kepada orng tuanya
c) Lihat hubungan dengan teman-temannya
16
2. kriteria khusus (pribadi)
Maksudnya adalah kriteria yang sifatnya
subjektif terhadap calon pasanan hidupnya.
Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yang wajib
diperhatikan, namun Islam memberikan hak kepada
seseorang untuk memilih pasangan hidup
berdasarkan subjektifitas selera setiap individu
maupun keluarga dan lingkungannya. Seperti suku
tertentu, status sosial, fikrah (pemikiran),
kepribadian, serta hal-hal yang terkait dengan
masalah fisik seperti tingg badan, kesehatan,
hidung, bibir, dll.
H. Ta’aruf (mengenal)
Sebelum terjadi akad nikah, kedua calon
pasangan, baik pria maupun wanita, statusnya
adalah orang lain, sehingga berlaku aturan pria dan
wanita yang bukan mahram. Mereka tidak
diperkenankan untuk berdua-an, saling
bercengkrama, apalagi menyentuhnya, baik secara
langsung atau melalui media lainnya, termasuk
melalui media social yang berlebihan karena hal itu
sama dengan berkhalwat.
Nabi Muhammad Saw, mengingatkan,
كم بمرأة فإن الشيطان ثلث هماال يلون أحد “Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan
seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena
setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad).
17
Maka dari itu sarana untuk saling mengenal
keduanya yaitu dengan cara ta’aruf yang dibenarkan
dalam syari’at. Adapun diantara teknis ta’aruf:
1. Luruskan niat
2. Menggali data pribadi calon pasangan, bisa
melalui biodata tertulis tidak harus
bertemu fisik, karena tulisan mewakili
lisan. Meskipun tidak semuanya harus
dibuka, ada bagian yang perlu terus terang,
terutama terkait data yang diperlukan
untuk kelangsungan keluarga, dan ada
yang tidak harus diketahui orang lain.
3. Melalui pikah ketiga. Untuk mengetahui
informasi tentang calon pasangan bisa
dengan orang-orang terdekat calon, seperti
kakak, saudara, teman atau orang tuanya,
terutama untuk mengetahui nformasi
tambahan yang tidak tertulis dalam
biodata diri pasangan.
I. Nazhar (melihat)
Setelah ta’aruf diterima, bisa jadi mereka
belum bertemu, karena hanya tukar biodata atau
informas melalui orang terdekat saja, oleh karena itu
maka bisa dilanjutkan dengan nadzar (melihat)
langsung kepada pasangan. Tentang anjuran
melihat calon pasangan sebagaimana disampaikan
oleh Nabi Saw, dari al-Mughirah bin Syu’bah, ia
menceritakan, “Suatu ketika aku berada di sisi Nabi,
tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia ingin menikahi
18
wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau
sudah melihatnya?” jawabnya, “Belum.” Lalu beliau
memerintahkan,
نكما ها فإنه أحرى أن ي ؤدم ب ي انظر إلي “ Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih
langgeng.” (HR. Tirmidzi).
Nadzar bisa dilakukan
dengan cara datang ke
rumah calon pasangan
wanita, sekaligus
menghadap langsung orang
tuanya/walinya atau
ditempat lain yang harus
ditemani dengan mahram
sang calon wanitanya, tidak diperkenankan berdua-
an dengan alasan nazhar.
Batasan melihat
Walaupun danjurkan untuk melihat calon
pasangan, namun tidak semua bisa dilihat, ada
batasan yang diperbolehkan, karena bagaimanapun
itu baru calon dan masih berstatus ajnabi (asing)
belum mahram. Jumhur ulama (al-Hanafiyah, al-
Malikiyah dan asy-Syafi'iyah) sepakat bahwa wajah
dan kedua telapak tangan termasuk bagian tubuh
wanita yang boleh dilihat oleh calon suaminya,
sebab kedua bagian tubuh itu memang bukan
termasuk aurat yang dilarang untuk dilihat.
Mata merupakan duta hati
dan kemungkinan besar
bertemunya mata dengan
mata itu menjadi sebab
dapat bertemunya hati
dan berlarutnya jiwa.
19
Adapun bagian tubuh selain keduanya tentu
merupakan aurat wanita, seorang calon suami
diharamkan untuk melihatnya. Namun sebagian
pendapat yang membolehkan lebih dari itu, yaitu
termasuk wajah, leher, tangan dan kaki.
Adapun menyentuhnya sudah jelas haram
hukumnya meskipun dalam rangka untuk
menikahinya. Apalagi pacarana, berduaan bahkan
sampai berpegangan tangan dan selainnya, ini
sudah masuk kedalam awal perzinahan.
Tujuan nazhar untuk memastikan dan
mengenal lebih jauh pasangannya bukan aji
mumpung, karena saat ta’aruf hanya melihat tulisan
maka harus dibuktikan dengan melihat agar
semakin tertarik dan yakin untuk menikahinya.
Demikian juga wanita yang mau dinikahi
maka dianjurkan melihatnya sebagaimana yang
berlaku pada laki-laki, hanya perempuan lebih
mudah untuk melihat calon suaminya karena laki-
laki terbiasa aktifitas diluar, makanya anjuran
nazhar sering dibahas untuk laki-laki kepada calon
istrinya karena seorang wanita seharusnya tidak
banyak aktifitas keluar rumah.
J. Khitbah
Setelah melalui proses nazhar dan tertarik
serta yakin untuk menikahinya maka bisa
dilanjutkan keproses selanjutnya yaitu khitbah
(melamar), dalam syari’at yang melamar adalah
pihak laki-laki sang calon suami datang keorang
20
tua/wali sang calon perempuan, jadi khitbah itu
ditujukan kepada wali bukan kepada yang
bersangkutan/calon, dan ini bisa diterima bisa
ditolak oleh sang wali.
Bisa jadi proses ini cepat dan bisa lambat
tergantung jawaban dari wali perempuan yang
tentunya sang wali tidak boleh memaksakan
putrinya untuk menikah dengan seseorang yang
tidak ia sukai. Sebaiknya dalam hal ini harus ada
batasan waktu untuk menjawab agar tidak
menggantungkan laki-laki, antara diterima dan
ditolak.
Dalam proses khitbah ini ada beberapa
kesalahan dilingkungan kita yaitu tukar cincin,
boleh berduaan, boleh bepergian kemana-mana
layaknya suami isteri dll, ini kesalahan karena
bagaimanapun ini masih berstatus orang lain dan
masih bisa batal nikah karena belum terjadi ijab dan
qabul, anjuran para wali agar memperhatikan hal ini
agar tidak terjadi kesalahan dan dosa.
Teknis khitbah:
1. Calon laki-laki datang ke wali perempuan
(tanpa syarat apapun)
2. Mengutarakan keinginan menikahi anak
perempuannya dengan jelas
3. Melihat calon dan menunggu keputusan
wali perempuan
4. Menentukan waktu dan tempat pernikahan
berlangsung
21
5. Jika diterima langsung mengurus berkas-
berkas pernikahan ke KUA dan seterusnya.
Pada proses khitbah ini biasanya akan banyak
pernak-pernik adat yang berbeda-beda setiap
daerah terutama di Indonesia, di jawa berbeda
dengan sunda, berbeda dengan batak dan lain
sebagainya, yang perlu diperhatikan adalah selama
adat tersebut tidak ada pelanggaran syari’at artinya
tidak menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal maka keberadaan adat
tersebut tidak apa-apa, namun jika terjadi
kemunkaran dan menyelisihi hukum syari’at apalagi
sampai mengurangi syarat dan rukun nikah maka
tidak boleh dilakukan dan nikahnya batal.
Adapun mencari hari tertentu dalam
melangsungkan akad nikah, terdapat dua macam;
pertama: mencari waktu yang tepat karena
kesibukan, hari libur, ketersediaan tempat, dll.
Maka dalam hal ini boleh-boleh saja. Kedua:
memilih hari tertentu karena menganggap hari-hari
lainnya adalah pembawa sial, hari buruk, dan
seterusnya, maka hal ini seharusnya tidak
dilakukan.
Untuk kasus yang kedua apakah nikahnya
sah atau batal? Selama terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, maka nikahnya sah, masalah
mengganggap adanya hari sial, hari tidak baik dan
seterusnya itu dosa lain yang tidak mempengaruhi
keabsahan menikah.
22
BAB II
MENIKAH
A. Syarat sah nikah
Dalam semua ritual ibadah selalu ada syarat
dan rukun, jika tidak terpenuhi keduanya maka
batal dan tidak sah, adapun berbedaan keduanya
yaitu, syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam
satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan
tersebut (dilaksanakan/ada sebelum melakukan
amalan), sedangkan rukun adalah sesuatu yang
harus ada dalam satu amalan dan merupakan
bagian dari amalan tersebut (dilaksanakan/ada saat
melakukan amalan).
Syarat-syarat nikah:
1. Kepastian calon suami (laki-laki) dan calon
isteri (perempuan) dengan menyebutkan
nama atau sifatya yang khusus.
2. Keridhaan dari keduanya, kecuali
mempelai wanita masih kecil.
نستأذىت ت ر حلبكال تنكح المي حىت تستأمر وال تنكح ا“Tidak boleh seorang janda dinikahkan
hingga ia diajak musyawarah/dimintai
pendapat, dan tidak boleh seorang gadis
dinikahkan sampai dimintai izinnya. (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
3. Adanya wali dari calon perempuan
23
B. Rukun nikah (S.I.S.W.A)
Rukun nikah adalah sesuatu yang harus ada
saat proses pernikahan berlangsung, jika tidak
terpenuhi maka nikahnya bisa batal atau tidak sah.
Setiap rukun ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi, karena pernikahan merupakan ibadah,
maka harus mengikuti aturan syari’at dengan benar.
Rukun-rukun nikah tersebut adalah:
1. Pengantin laki-laki (Suami)
Calon suami/pengantin pria, saat
berlangsungnya pernikahan harus ada dan tidak
bisa diwakilkan, karena nanti dia yang akan
menjawab ijab dari wali sang perempuan. Adapun
syarat-syaratnya:
a. Islam
b. Laki-laki tertentu
c. Bukan mahram dengan calon isteri
d. Diketahui (restu) wali perempuan
e. Tidak dalam ihram (haji atau umrah)
f. Kerelaan bukan paksaan
g. Tidak sedang memiliki 4 isteri yang sah
h. Sudah mengetahui calon isterinya
2. Pengantin Perempuan (Isteri)
Pengantin wanita juga merupakan keharusan
keberadaannya karena jika calon wanitanya tidak
ada maka tidak terjadi pernikahan, adapun
kehadiran saat ijab dan qabul bukan rukun apalagi
24
sudah perdampingan sebelum akad dilaksanakan
justru sebaiknya tidak demikian.
Adapun syarat-syaratnya:
a. Islam
b. Perempuan tertentu/jelas
c. Bukan mahram dengan calon suami
d. Bukan banci (khansa)
e. Tidak dalam ihram (umrah atau haji)
f. Tidak dalam masa ‘Iddah
g. Bukan isteri orang lain
3. Wali pengantin perempuan (Wali)
Wali adalah seseorang yang bertanggung
jawab untuk menikahkan
pengantin perempuan,
sebenarnya tanggung
jawab/kewajiban wali tidak
hanya saat menikah namun
dari pengasuhan,
memilihkan/mencarikan
jodoh, memberikan arahan
dan seterusnya, karena fitrah
seorang perempuan perlu
bimbingan dan arahan,
siapapun wali seorang gadis,
ia harus bertanggung jawab dalam pendidikan dan
pengarahannya sampai ia dewasa dan menikah,
setelah menikah maka sang wal tidak memiliki hak
lag terhadapnya, hak istri sudah sepenuhnya
ditangan suaminya.
Pernikahan tanpa izin
wali maka
pernikahannya
BATAL/tidak sah.
Wali memiliki hak
penuh untuk
menikahkan seorang
wanita yang menjadi
tanggungannya.
25
Adapun syarat-syarat wali:
a. Islam (tidak sah wali kafir)
b. Berakal (tidak gila atau stress)
c. Baligh (sudah dewasa)
d. Merdeka (bukan budak)
e. Laki-laki (seorang perempuan tidak boleh
menikahkan dirinya atau dinikahkan
sesama perempuan)
f. Adil (orang yang bebas dari dosa-dosa
besar seperti zina, syirik, durhaka kepada
orang tua, minum khamr dan sejenisnya).
Tingkatan wali dalam pernikahan:
Wali seorang perempuan adalah ayah
kandungnya, lalu siapa saja yang bisa menjadi wali
perempuan saat ayah kandungnya sudah tiada?,
tidak serta merta langsung kewali hakim, terdapat
urutan-urutan dalam perwalian, adapun urutan
wali nikah bagi perempuan sebagai berikut:
a. Ayah kandung
Ayah kandung adalah orang yang paling
berhak menjadi wali dalam pernikahan dan
tidak boleh digantikan selama ia ada dan
mampu, kecuali ia mewakilkan kepada
seseorang maka sah saja. Keberadaan ayah
harus ada saat pernikahan walaupun ia sudah
tidak serumah dengan ibunya (cerai), karena
yang berhak menikahkan putrinya adalah dia.
b. Kakek dari ayah
c. Saudara laki-laki kandung
26
d. Saudara seayah
e. Anak laki-laki dari saudara kandung
(keponakan)
f. Anak laki-laki dari saudara seayah
(keponakan)
g. Saudara laki-laki ayah (paman)
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
(sepupu).
Daftar urutan wali di atas tidak boleh
dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah
kandung masih hidup, maka tidak boleh hak
kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor
urut berikutnya, kecuali bila pihak yang
bersangkutan memberi izin kepada mereka.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali
berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada
orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para
wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah
masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama
setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah,
dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang
yang mewakilkan.
Dalam kondisi dimana seorang ayah kandung
tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia
bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada
orang lain yang dipercayainya, meski bukan
termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak
menjadi wali. Namun hak perwalian itu tidak boleh
dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari
27
wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan,
maka pernikahan itu tidak sah dan harus
dipisahkan saat itu juga.
4. Dua orang saksi (Saksi)
Rukun nikah yang keempat adalah saksi.
Sebuah pernikahan tidak sah bila tidak disaksikan
oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah
pernikahan siri yang tidak disaksikan jelas
diharamkan dalam Islam. Dalilnya secara
syarih/jelas disebutkan oleh Khalifah Umar ra.
Dari Abi Zubair al-Makki bahwa Umar bin Al-
Khattab ra ditanya tentang menikah yang tidak
disaksikan, maka beliau berkata: Ini adalah nikah
sirri, aku tidak membolehkannya, bila kamu
menggaulinya pasti aku rajam. (HR. Malik dalam Al-
Muwaththo')
Syarat-syarat saksi yaitu:
1. ‘Adalah (Adil) adalah orang yang bebas dari
dosa-dosa besar seperti zina, syirik, minum
khamr dan sejenisnya.
2. Minimal dua orang.
3. Beragama Islam
4. Berakal
5. Baligh
6. Laki-laki1
1 Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata,"Telah
menjadi sunnah Rasulullah SAW ahwa tidak diperkenankan
persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq.
28
Para saksi tersebut harus hadir saat ijab dan
qabul berlangsung, dan jika saksi tersebut tidak
memenuhi persyaratan maka pernikahannya batal.
5. Ijab dan Qabul (Akad nikah)
Ijab adalah lafazh yang diucapkan oleh wali
kepada sang calon laki-laki untuk menikahkan
putrinya kepadanya. Adapun qabul adalah jawaban
sang calon suami atas ijab dari wali.
1. Syarat Ijab Qabul:
a. Satu Majelis, yaitu harus dilakukan di dalam
sebuah majelis yang sama. Termasuk juga
didalamnya adalah kesinambungan antara
ijab dan kabul tanpa ada jeda dengan
perkataan lain yang bisa membuat keduanya
tidak terkait. Sedangkan syarat bahwa antara
ijab dan qabul itu harus bersambung tanpa
jeda waktu sedikitpun adalah pendapat imam
as-Syafi'i dalam mazhabnya namun tidak
harus satu nafas.
b. Suami dengan wali sama-sama saling dengar
dan mengerti apa yang diucapkan
c. Ijab dengan qabul tidak bertentangan.2
2 Misalnya bunyi lafaz ijab yang diucapkan oleh wali
adalah,"Aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar 1
juta", lalu lafaz qabulnya diucapkan oleh suami adalah,"Saya
terima nikahnya dengan mahar 1/2 juta".
29
d. Keduanya sama-sama sudah tamyiz, apabila
suami atau wali masih belum tamyiz, maka
akad itu tidak syah.
2. Lafaz Ijab Qabul
a. Tidak Harus Dalam Bahasa Arab.
Sebaiknya ijab menggunakan kata
nikah, kawin atau yang semakna
dengan keduanya. Sedangkan bila
menggunakan kata 'hibah, memiliki,
membeli dan sejenisnya tidak
dibenarkan oleh asy-Syafi'i, Ibnu
Musayyib Ahmad dan 'Atho'.
b. Dengan Fi'il Madhi (redaksi masa
lampau), Selain itu para fuqaha
mengatakan bahwa lafaz ijab dan qabul
haruslah dalam format fi’il madhi (past)
seperti “zawwajtuka atau ankahtuka”.
6. Mahar
Mahar/Mas kawin adalah harta yang
diberikan pihak calon suami kepada calon isterinya
untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka.
Dahulu di zaman jahiliah wanita tidak memiliki hak
untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat
bergantung kepada walinya. Walinya itulah yang
kemudian menentukan mahar, menerimanya dan
juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri.
Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak
30
sedikitpun atas mahar itu dan tidak bisa
membelanjakannya.
Ketika islam datang, maka Islam menjadikan
mahar itu menjadi kewajiban kepada wanita dan
bukan kepada ayahnya.
ٱلن ساء وءاتوا فإن طبأ تهن نألة لكمأ عن صدقنأ ء م ساشأ ري فكوه هني ه نفأ ٤ا ا م
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 4)
Adapun tentang nominal mahar, sebagian
ulama mengatakan tidak ada batas minimal mahar,
didalam hadits juga tidak ada keteragan batas
minimal dan seakan tidak mempedulikan jumlah
mahar, barangkali karena kenyataannya bahwa
manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya,
sebagian dari mereka kaya dan sebagian besar
miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi
kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang
tidak mampu memenuhinya. Maka berapakah harga
mahar yang harus dibayarkan seorang calon suami
31
kepada calon isterinya sangat ditentukan dari
kemampuannya atau kondisi ekonominya.
Dianatara nash haditsnya adalah: Dari Sahal
bin Sa'ad bahwa nabi Saw didatangi seorang wanita
yang berkata, "Ya Rasulullah kuserahkan diriku
untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah
seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah
kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin
menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu
sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak
kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila
kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan
punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata,"
aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah
berkata, "Carilah walau cincin dari besi". Dia
mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-
apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu
menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan
itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya.
Berkatalah Nabi, "Aku telah menikahkan kalian
berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR
Bukhari Muslim).
Demikian pula dalam batas maksimal tidak
ada batasannya sehingga seorang wanita juga
berhak untuk meminta mahar yang tinggi dan mahal
jika memang itu kehendaknya. Tak seorangpun yang
berhak menghalangi keinginan wanita itu bila dia
menginginkan mahar yang mahal.
32
Meskipun demikian tentu saja tetap lebih baik
tidak memaharkan harga mahar. Karena Rasulullah
bersabda dalam sebuah hadist dari ‘Aisyah bahwa
Rasulullah Saw bersabda," Nikah yang paling besar
barokahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR
Ahmad).
Waktu penyerahan mahar tidak harus saat
akad, dan boleh tidak kontan (angsur).
C. Walimatul ‘Ars
Makna asal walimah adalah
hidangan/santapan atau makan besar. Makna lain
yaitu makanan pernikahan atau semua makanan
yang untuk disantap para undangan. Hukum
mengadakan walimah jumhur ulama mengatakan
bahwa mengadakan acara walimah pernikahan
adalah sunah muakkadah. Dalilnya adalah hadits
Rasulullah Saw berikut ini:
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah Saw
bersabda, Baarakallahu laka, Lakukanlah walimah
meskipun hanya dengan seekor kambing (HR.
Muttafaqun alaih)
Waktu Penyelenggaraan Tidak ada batasan
tertentu untuk melaksanakan walimah, namun
lebih diutamakan untuk menyelenggarakan
walimah setelah dukhul, yaitu setelah pengantin
melakukan hubungan seksual pasca akad nikah.
Hukum menghadiri walimah, Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum menghadiri
undangan walimah. Sebagian mengatakan
33
wajib/fardhu `ain, sebagian lagi mengatakan fardhu
kifayah dan sebagian lagi mengatakan sunnah.
Esensi dan tujuan walimah, yaitu sebagai media
untuk mengumumkan terjadinya pernikahan serta
membedakannya dari perzinaan.
Saat acara walimah ini dusunnahkan
menghidangkan makanan untuk para tamu
undangan, adapun makanan yang paling buruk
adalah makanan walimah yang hanya
diperuntukkan orang kaya saja, sedangkan orang
miskin ditinggalkan. Sunnah mengundang kerabat,
tetanga, sahabat, teman dan terutama orang-orang
miskin.
Yang Harus Diperhatikan Dalam prakteknya,
sering kita dapati orang begitu semangat untuk
mengadaan walimah sehingga terkadang sampai
melewati batas kewajaran dan mulai memasuki
wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuai dengan
rambu-rambu syariah. Adapula yang mengadakan
pesta besar-besaran dan mewah hingga
menghabiskan dana milyaran rupiah, namun penuh
dengan kemaksiatan, menghindari tamu-tamu
miskin bahkan hilang tujuan dari walimah, karena
yang diundang hanya kawan-kawan selevelnya dan
meningalkan tetangga rumah.
Selain itu banyaknya ritual-ritual adat yang
terkadang berlebihan sehinga d apat mengotori
sunnah walimah ini, seperti tidak boleh makan ini
dan itu karena membawa sial, harus ada ini itu
34
karena dapat mendatangkan kebahagiaan dan
keberuntungan dan seterusnya.
D. Macam-macam nikah
1. Sah menurut agama dan negara
Yaitu pernikahan yang sudah terpenuhi syarat
dan rukun dan sesuai aturan negara
Indonesia (tercatat di KUA).
2. Sah menurut agama tidak sah menurut
negara
Yaitu pernikahan yang sudah terpenuhi syarat
dan rukun menurut syari’at, tetapi tidak sesuai
aturan negara (tidak tercatat di KUA), seperti
kasus pernikahan ke-2, ke-3 atau ke-4 yang
dilakukan tanpa memenuhi syarat undang-
undang negara.
Ini yang disebut dengan nikah sirri menurut
undang-undang negara, bukan sirri menurut
agama.
3. Tidak sah menurut agama, tetapi sah
menurut negara
Yaitu pernikahan yang tidak terpenuhinya syarat-
dan rukun dalam syari’at namun tercatat di KUA,
seperti pernikahan dengan wali palsu atau tanpa
wali (nikah lari), tanpa mahar, dll. Inilah nikah sirri
yang tidak sah menurut agama, namun seakan
sah menurut negara.
4. Tidak sah menurut agama dan negara
yaitu pernikahan yang tidak terpenuhinya
syarat dan rukun dalam syari’at serta tidak
35
tercatat di KUA. Pernikahan seperti ini batal
dan tidak sah.
E. Macam-Macam pernikahan yang tidak sah
(batal)
1. Nikah syighar
Yaitu pernikahan timbal balik, misalnya
seseorang menikahkan anak perempuannya, atau
saudarinya dengan syarat ia menikahkan saudari
atau anak perempuannya dengannya.
2. Nikah muhallil
Menikah dengan tujuan agar bisa kembali
menikahi mantan isteri yang sudah talak tiga,
misalnya seorang laki-laki sudah mentalak tiga
isterinya, namun ia masih ingin ruju’ (kembali) lagi
keisterinya, (dalam syari’at hal seperti ini tidak boleh
ruju’ kembali kecuali dengan syarat sang mantan
isteri menikah dengan orang lain dan diceraikan)
lalu menyuruh kawan atau laki-laki lain untuk
menikahi mantan isterinya dan diminta untuk
menceraikan setelah menikah, lalu ia akan menikahi
mantan isterinya kembali.
3. Nikah mut’ah Yaitu pernikahan dengan akad cerai (kawin
kontrak), maksudnya seorang laki-laki menikahi
wanita untuk jangka waktu tertentu dengan
memberi mahar kepada wanita tersebut saat akad.
36
4. Istifdha’
Yaitu perkawinan untuk mencari bibit unggul
dengan cara suami memerintahkan kepada isterinya
untuk tidur dengan orang yang diinginkan
keturunan darinya hingga isterinya hamil lalu
kembeli kepada suaminya.
5. Mukhadinah
Yaitu pernikahan tak ubahnya seperti
poliandri, yaitu seorang perempuan akan
mempersilahkan laki-laki siapapun untuk tidur
dengannya hingga hamil, ketika sudah hamil dan
melahirkan maka perempuan tadi mengumpulkan
laki-laki yang pernah mendatanginya lalu akan
dipilih menjadi suaminya.
37
BAB III
Pasca menikah
A. Kewajiban dan hak suami isteri
1. Kewajiban dan hak suami
Kewajiban suami atas isterinya adalah
memberinya nafkah lahir dan batin. Sedangkan
isteri kepada suami menurut pendapat para fuqaha
hanya sebatas memberikan pelayanan secara
seksual. Sedangkan memasak, mencuci pakaian,
menata, mengatur dan membersihkan rumah, pada
dasarnya adalah kewajiban suami, bukan kewajiban
seorang isteri, adapun jika isteri melakukannya
sebagai sedekah baginya.
Dalam syariah Islam yang berkewajiban
memasak dan mencuci baju memang bukan isteri,
tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah
yang wajib diberikan suami kepada isteri.
Sebagaimana firman Allah Swt:
مون لع جال ٱلر ل ٱلن ساء قو بما فض بعأض ٱلل ضهمأ لع بعأ لهمأ و مأ
نفقوا منأ أ
…وبما أ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
38
menafkahkan sebagian dari harta mereka… (QS. An-
Nisa': 34)
Seiring perubahan status maka berubah juga
tanggung jawabnya, suami tidak hanya status sosial
namun juga status dan tanggung jawab dihadapan
Allah, isteri, keluarga dan masyarakat. Suami
memiliki kewajiban yang harus ditunaikan untuk
isteri dan anaknya, diantara kewajibannya adalah:
a. Membayar mahar (QS. An-Nisa’: 4)
b. Memberi nafkah (sandang, pangan dan
papan)
c. Menggauli isteri dengan baik
d. Berlaku adil jika isterinya lebih dari satu
e. Memperhatikan dan membimbing isteri
untuk selalu taat kepada Allah, Rasul
(syari’at) dan suami
f. Tidak boleh membuka aib isteri
g. Menjaga kehormatan isteri dengan sebaik-
baiknya
h. Mengingatkan kesalahan dengan cara yang
lembut dan tidak kasar.
Adapun hak-hak yang diterima suami dari isterinya,
diantaranya:
a. Ketaatan isteri dalam kebaikan
b. Penjagaan isteri terhadap harta suami
c. Memenuhi permintaan saat dipanggil
d. Izin saat keluar rumah dan beribadah sunnah
e. Mengurusi rumah dan mendidik anak
39
2. Kewajiban dan hak isteri
Diantara kewajiban-kewajiban isteri atas
suaminya adalah:
a. Memposisikan suami sebagai pemimpinnya
b. Taat kepada suami selama dalam kebaikan
c. Menjaga harta, kehormatan dan amanah
suami dan anak terutama saat ditinggal pergi
d. Meringankan mahar
e. Memenuhi panggilan suami di kamar
f. Mengingatkan kesalahan suami dengan baik
dan sopan
g. Mendorong suami dalam berjuang di jalan
Allah (jihad)
h. Berdandan untuk suami
i. Mendahulukan kepentingan suami daripada
siapapun
j. Mengikuti/tinggal bersama suami, serta
mendampinginya setiap keadaan
k. Menggunakan harta suami dengan baik dan
tidak boros
l. Keluar rumah dan ibadah sunnah atas seizin
suami
m. Menyenangkan suami
Adapun hak-hak isteri atas suami, diantaranya:
a. Menerima mahar
b. Menerima nafkah lahir dan batin
c. Mendapatkan kasih sayang, perhatian dan
bimbingan suami
40
d. Kebutuhan (sandang, pangan dan papan)
secara layak
e. Bimbingan saat melakukan kesalahan dengan
lembut dan kasih sayang
f. Izin suami untuk melakukan kebaikan
B. Mengatasi masalah Rumah Tangga
Suami isteri adalah dua sosok manusia yang
berbeda jenis, karakter dan perasaan serta akal,
sehingga pasti akan terjadi masalah-masalah dalam
rumah tangga. Allah sudah memberikan panduan
cara menyelesaikan masalah-masalah tersebut
didalam al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya, jadi siapa
yang mengikutinya dijamin akan menemukan solusi
yang terbaik.
1. Masalah suami dan isteri
Permasalahan dalam keluarga tidak hanya
disebabkan oleh isteri saja atau suami saja, namun
keduanya bisa menjadi sebab pertengkaran
tersebut, dan masalah yang terjadi tidak harus
masalah besar, bisa jadi masalah tersebut
sebenarnya kecil dan remeh namun menjadi besar
karena salah paham (gagal paham).
Diantara sebab-sebab masalah dalam
keluarga adalah:
a. Kurang komunikasi
Komunikasi adalah kunci kebahagian
dan menyelesaikan masalah dalam keluarga,
masalah kecil/remeh namun kurang
41
komunikasi akan terjadi salah paham dan
berakibat besar/fatal, namun sebaliknya
masalah besar akan mudah menemukan jalan
keluar/selesei jika dikomunikasikan dengan
baik.
Contoh:
- Suami pulang terlambat karena pekerjaan,
isteri curiga suaminya jalan sama orang lain.
- Isteri kerumah orang tuanya tanpa pamit ke
suami, suami curiga isterinya mengadukan
masalah keluarga ke orang tua.
b. Kurang saling memahami karakter masing-
masing
Penting saling memahami karakter
pasangan, karena akan memudahkan
komunikasi dan mencari solusi jika ada
masalah, ada karakter fitrah sebagai suami
dan isteri, seperti:
- Suami
• Merasa pemimpin yang harus ditaati dan
tidak mau digurui
• Terdiam saat ada masalah dan mencari
solusi, tidak suka ada yang bertanya
sebelum ketemu solusi
• Tidak suka bertanya atau ditanya soal
yang remeh
• Hemat dalam belanja
- Isteri
42
• Ingin selalu diperhatikan, dipuji dan
disayang
• Dimengerti tanpa bicara
• Curhat saat ada masalah, dan ia suka
ada yang mendengarkan dan perhatian
tentang masalahnya.
• Suka bertanya berbagai hal bahkan yang
remeh
Ini diantara karakter
yang ada pada masing-
masing pasangan, selain ini
masih banyak karakter yang
dimiliki oleh masing-masing
pasangan yang harus
dikomunikasikan, agar tidak
gagal paham. Karena
kurangnya memahami karakter tersebut akan sulit
menemukan jalan keluar jika terjadi masalah.
c. Perbedaan keyakinan/aqidah
Perbedaan ini akan banyak melahirkan
banyak masalah, karena didasari pada
perbedaan keyakinan itulah sebabnya urusan
agama harus menjadi prioritas dalam memilih
pasangan, walaupun dalam syari’at
dibolehkan seorang laki-laki menikahi wanita
ahlu kitab, tetapi bukan berarti itu anjuran
dan tanpa resiko.
Maksud baik tidak cukup
tanpa cara yang benar.
الطريقة نصف الفهم“Cara adalah separuh
dari pemahaman”.
43
Siapapun yang menjadikan wanita
kafirah sebagai isterinya maka akan ada
masalah yang dimulai dari akad nikah,
keyakinan, cara beribadah, cara mendidik
anak, dan masalah terbesar bagi suami adalah
ia bertugas membimbing isteri kafirah
tersebut untuk masuk islam, dan juga anak-
anaknya.
Ibu kafirah tidak ada hak untuk
mendidik agama kepada anak-anaknya, dan
jika ada anak yang kafir mengikuti ibunya
maka suami bertanggung jawab dunia
akhirat. Jika mereka tetap kafir maka tidak
bisa saling mendo’akan setelah meninggalnya,
dan masih banyak masalah lainnya.
d. Kurang ilmu
Kurangnya ilmu akan
menyebabkan banyak
permasalahan, bahkan
sumber masalah terbesar
adalah karena kurang ilmu
terutama ilmu agama.
Banyak yang
beranggapan bahwa ilmu
hanya dipelajari saat masih muda atau
sebelum menikah, padahal semakin
bertambah tanggung jawab akan semakin
banyak masalah, dan masalah akan
terselesaikan dengan ilmu. Seharusnya
Pasangan yang
jauh dari tuntunan
syari’at tidak akan
menemukan
kebahagiaan yang
sebenarnya.
44
bertabah masalah bertambah pula ilmunya
agar bisa mengimbangi dan mendapat solusi
dengan benar, tepat dan cepat.
2. Solusi masalah keluarga
Tidak ada orang yang menginginkan adanya
masalah, apalagi dalam keluarga, namun tidak
menutup kemungkinan adanya gesekan atau
kesalah pahaman sehingga terjadi masalah yang
serius bahkan berujung perceraian. Islam tidak
hanya mengatur ritual pernikahan semata, namun
islam memberikan solusi dari setiap masalah yang
terjadi dalam keluarga, bahkan metode/cara,
langkah-langkah serta panduan lengkap dalam
mengatasi segala masalah yang muncul.
Masalah dalam keluarga ada 2 macam,
pertama; seorang isteri yang durhaka kepada suami,
kedua; keduanya (suami dan isteri). Selama masalah
keluarga bisa diselesaikan berdua, maka islam
menganjurkan diselesaikan dengan sebaik-baiknya,
terutama pihak suami yang memegang kendali
rumah tangga.
a. Solusi isteri nusyuz
Nusyuz adalah sikap durhaka yang
ditampakkan seorang isteri kepada suaminya, yaitu
tidak taat kepada suami sebagaimana yang Allah
perintahkan kepadanya. Hukum nusyuz adalah
haram.
45
Seorang isteri dianggap nusyuz apabila ia
keluar rumah dan bepergian (safar) tanpa seizin
suami dan menolak ajakan suami ke
ranjangnya/kamar.
Adapun cara menyelesaikan/menasehati isteri
yang nusyuz yaitu, sebagaimana firman Allah dalam
surat an-Nisa’ ayat 35:
مون لع ٱلر جال ل ٱلن ساء قو بما فض بعأض ٱلل ضهمأ لع بعأ منأ أ نفقوا
أ ف وبما لهمأ و لحت مأ نتت حفظت ٱلص ق
ل لأغيأب بما حفظ ت و ٱلل تافون نشوزهن فعظوهن ٱل أمضاجع وهن ف ر ج ٱهأ و و ٱل بوهن نكمأ ٱضأ طعأ
فل فإنأ أ
إن يأهن سبيل تبأغوا عل ا كبريا ك ٱلل ٣٤ن علي
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
46
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(34). (QS. An-Nisa’: 34).
1) Nasehat
Nasehat atau mengingatkan dengan
penuh kasih sayang adalah langkah pertama
yang harus dilakukan oleh suami jika
mendapati sang isteri melakukan
pembangkangan. Jika isteri adalah orang yang
baik maka ia akan segera sadar dan
memperbaiki sikapnya, namun jika sang isteri
tetap melakukan nusyuz maka sang suami
boleh melakukan langkah ke-2 yaitu “hajr”.
2) Hajr (pisah tempat tidur (ranjang))
Hajr diperbolehkan dalam rangka
memberikan pengajaran kepada sang isteri agar
segera sadar dan memperbaiki sikap
nusyuznya. Hajr artinya pisah ranjang bukan
pisah rumah/tempat tinggal. Isteri yang baik
adalah segera menghentikan nusyuz, namun
jika sang isteri tetap nusyuz maka boleh
melakukan langkah ke-3 yaitu memukul.
3) Memukul
Memukul isteri disini bertujuan
mendidik/mengingatkan bukan menyakiti,
47
sehingga dalam memukul ada syaratnya,
diantaranya:
- Tidak boleh menyakiti/menciderai
- Tidak boleh memukul wajah atau anggota
tubuh yang berbahaya
- Niat untuk mendidik/mengingatkan isteri
Cara ini hanya boleh dilakukan setelah
menempuh cara pertama dan kedua, tidak
boleh langsung degan cara memukul.
b. Solusi nusyuz keduanya (suami & isteri)
Masalah bisa datang dari keduanya artinya
yang nusyuz bisa dari keduanya, jika demikian
maka solusi dalam maslah ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’
ayat 35.
تمأ شقاق بيأنهما ف إونأ خفأ له ٱبأعثوا هأنأ أ ۦحكما م
ق لحا يوف لها إن يريدا إصأ هأنأ أ وحكما م بيأنهما إن ٱلل ٱلل
ا خبريا ٣٥كن عليم “Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
48
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. (QS. An-Nisa’: 35).
Ketika masalah keluarga tidak mampu
diselesaikan oleh kedua belah pihak dan
dikhawatirkan akan terjadi perceraian atau
dikawatirkan akan meluasnya persengketaan antara
suami-isteri, maka bisa melibatkan pihak ketiga,
yaitu dengan mengutus seorang hakim dari keluarga
laki-laki dan seorang hakim dari keluarga
perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan.
Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih
maslahat baginya menurut pandangan keduanya,
antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami
isteri. Akan tetapi, himbauan syariat menganjurkan
untuk tetap utuh sebagai suami isteri. Karena itulah
disebutkan di dalam firman-Nya:
ا يريدا إن ق إصلح يوف بينهما الل
“Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami isteri itu”. (An-Nisa: 35)
Ibnu ‘Abbas mengatakan: “kedua hakam
melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa
diantara keduanya yang berbuat buruk. Apabila
ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak
laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi
dari isterinya, dan mereka mengenakan sanksi
kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah.
Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan.
49
maka mereka para hakam mengenakan sanksi
terhadapnya untuk tetap di bawah naungan
suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk
mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat
memisahkan atau mengumpulkannya kembali
dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami
isteri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi
jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan
tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah
seorang dari suami isteri yang bersangkutan rela
dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya
meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat
mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak
rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.
dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan
Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam." Ma'mar
melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus
kedua-ya adalah Khalifah Utsman. Khalifah Utsman
berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua
berpendapat sebaiknya pasangan suami isteri itu
dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh
menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua
berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka
kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
C. Poligami
Poligami atau yang disebut juga dengan
ta’addud az-zawaj adalah seorang lelaki yang
memiliki beberapa isteri (lebih dari satu isteri).
50
1. Sekilas tentang poligami
Poligami seakan menjadi hal yang
berkonotasikan negative dan menyudutkan islam
(syari’at), sehingga banyak kalangan yang
mengatasnamakan feminisme yang melakukan
kampanye anti poligami, kampanye itu rupanya
berjalan sangat efektif dalam menyudutkan Islam,
karena mampu menggerakkan banyak kalangan
yang tidak sehat berpikir termasuk para aktifis
wanita untuk ikut-ikutan menyudutkan Islam. Dan
dengan bahasa wanita, mereka terus
mengkampanyekan semangat anti poligami
sekaligus semangat anti Islam di kalangan publik
terutama di kalangan wanita. Padahal poligami itu
bukan semata-mata produk syariat Islam. Jauh
sebelum Islam lahir di tahun 610 masehi, peradaban
manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi menuliskan bahwa di
masa lalu, peradaban manusia sudah mengenal
poligami dalam bentuk yang sangat mengerikan,
karena seorang laki-laki bisa saja memiliki bukan
hanya 4 isteri, tapi lebih dari itu. Ada yang sampai
10 bahkan ratusan isteri. Bahkan dalam kitab orang
yahudi perjanjian lama, Daud disebutkan memiliki
300 orang isteri, baik yang menjadi isteri resminya
maupun selirnya.
Dalam Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq
dengan mengutip kitab Hak-hak Wanita Dalam
Islam karya Ustaz Dr. Ali Abdul Wahid Wafi
51
menyebutkan bahwa poligami bila kita runut dalam
sejarah sebenarnya merupakan gaya hidup yang
diakui dan berjalan dengan lancar di pusat-pusat
peradaban manusia.
Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa
ada seorang masuk islam dan masih memiliki 10
orang isteri. Lalu Rasulullah Saw meminta untuk
memilih empat saja dan selebihnya diceraikan.
Beliau bersabda,"Pilihlah 4 orang dari mereka
dan ceraikan sisanya". (HR. At-tirmizi dan Ibnu
Majah)
Dan kini karena masyarakat barat banyak
menganut agama nasrani, ditambah lagi latar
belakang budaya mereka yang berangkat dari
romawi dan yunani kuno, maka mereka pun ikut-
ikutan mengharamkan poligami. Namun anehnya,
sistem hukum dan moral mereka malah
membolehkan perzinahan, homoseksual,
lesbianisme dan gonta ganti pasangan suami isteri.
Padahal semua pasti tahu bahwa poligami
jauh lebih beradab dari semua itu. Sayangnya,
ketika ada orang berpoligami dan mengumumkan
kepoligamiannya, semua ikut merasa `jijik`,
sementara ketika hampir semua lapisan masyarakat
menghidup-hidupkan perzinahan, pelacuran,
perselingkuhan, homosek dan lesbianisme, tak ada
satu pun yang berkomentar jelek. Semua seakan
kompak dan sepakat bahwa perilaku bejat itu
52
adalah `wajar` terjadi sebagai bagian dari dinamika
kehidupan modern.
2. Dalil poligami
Allah berfirman:
سطوا ف إونأ ل تقأتمأ أ تم خفأ ف ٱلأ ما طاب ٱنكحوا
ن دلوا ٱلن ساء لكم م ل تعأتمأ أ ع فإنأ خفأ ث ورب مثأن وثل
لك أ ذ يأمنكمأ
وأ ما ملكتأ أ
حدة أ ل تعولوا فو
ن أ ٣دأ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(QS. An-nisa’: 3)
Jadi syarat utama adalah adil terhadapat
isteri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai
salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Apalagi
kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu
adalah kezaliman.
Soal perasaan ini yang tidak bisa adil, lalu
bagaimana cara untuk mengatasi keadilah soal rasa
ini?
53
ولن تطيعوا تسأ بنيأ دلوا ن تعأت ولوأ ٱلن ساء أ حرصأ مأ
ك أميأل فل تميلوا أمعل قة فتذروها ك ٱل لحوا ٱل إون تصأ وتت قوا فإن ١٢٩كن غفورا ر حيما ٱلل
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS.an-Nisa’: 129)
Ayat ini menjelaskan tentang ketidak
mampuan seorang suami berbuat adil terhadap
isteri-isterinya, secara tekstual seakan berlawanan
dengan ayat 3 surat an-Nisa’. Para ulama
mengatakan bahwa kedua ayat ini tidak
betentangan tetapi dalam kasus yang berbeda, ayat
ke-3 menunjukkan adil dalam hal nafkah dan giliran
terhadap isteri-isteri, adapun ayat 129 adalah
tentang perasaan terhadap isteri-isteri tidak bisa
adil walaupun sudah diusahakan.
Adapun solusi dari hal ini menurut ayat ini
adalah tidak diperbolehkan menampakkan
kecenderungan perasaan kepada isteri yang lain,
artinya memperlakukan mereka dengan adil tanpa
54
membedakan dalam layanan dan perhatian, apalagi
sampai membuat isteri yang lain terkatung-katung
kurang perhatian dan nafkahnya, akan berakibat
dosa dan rugi dunia akhirat.
3. Hukum poligami
Poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj
pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib atau
anjuran. Karena bunyi redaksi
ayatnya memang mensyaratkan
harus adil, dan keadilan itu
yang tidak dimiliki semua
orang. Bahkan ayat 3 surat an-
Nisa’ merupakan lanjutan dari
tema pengasuhan anak yatim
yang terdapat pada ayat ke-2,
sehingga seakan solusi bagi
siapa yang tidak bisa adil jika
menikah dengan anak yatim
yang ia asuh, maka diizinkan menikahi wanita
Muslimah yang lain 2, 3 atau 4.
Dilihat dari sini maka hukum poligami sangat
ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan
hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut
kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa
saja isterinya dan keluarga.
Poligami memang syari’at Allah dan Rasul-
Nya, namun ada konsekwensi yang harus
diperhatikan, diantaranya mampu berbuat adil,
Jangan kotori syari’at
dengan nafsu.
Suami! Jangan jadikan
poligami sebagai alasan
pemuas nafsumu.
Isteri! Pahami syari’at
dengan lmu dan ketaatan
bukan dengan nafsu dan
perasaan.
55
mampu mendidik isteri dan anak-anak dengan baik,
mempu finansial dan meniatkan karena Allah.
Apakah suami yang mau poligami harus
(wajib) dapat izin dari isteri pertama? Secara hukum
tidak, namun ketika berbicara etika dan tujuan
menikah, sebaiknya dibicarakan dahulu, karena
tujuan pernikahan adalah sakinah, mawaddah dan
ar-Rahmah. Jika isteri yang lain tidak mengetahuiya
bagaimana mungkin bisa meraih kebahagiaan dan
ketentraman dalam rumah tangga.
D. Pengasuhan anak
Anak merupakan anugerah yang Allah berikan
kepada makhluq-Nya, dan sepenuhnya hak Allah
pemberian amanah berupa anak kepada hamba-
hamba-Nya yang dikehendaki, soal anak
sepenuhnya hak Allah dan diluar kemampuan
manusia, seberapa banyak orang yang
menginginkan anak namun Allah belum berkenan,
dan sebaliknya sekian banyak orang yang tidak
menginginkan anak namun Allah memberikannya
lalu dianiaya karena tidak diharapkan. Namun jika
Allah berkehendak pasti akan terjadi, kita memiliki
keinginan Allah-pun demikian dan kehendak Allah-
lah yang pasti terjadi.
Anak adalah amanah Allah yang harus dijaga,
diasuh serta dididik sesuai dengan keinginan sang
Pemilik yaitu Allah, ingat! tanggung jawab anak
sepenuhnya kepada kedua orang tua bukan
pembantu, pengasuh apalagi panti asuhan.
56
Diantara kewajiban orang tua kepada anak:
1. Memberi nama yang baik
2. Menyusui
3. Mengajarkan agama/syari’at dan ilmu lain
yang bermanfaat
4. Memberi nafkah finansial
5. Menikahkan anak dengan pasangan yang baik
“Jadilah ayah dan ibu yang dibanggakan oleh
anak-anaknya karena kebaikannya”
“Jadilah guru pertama dan utama didalam
Pendidikan anak”
“Jadilah idola bagi anak-anakmu”
“Jadikan anak-anakmu bangga karena
keshalihan kedua orang tuanya”
“Jadilah panutan bagi anak-anak, sehingga
berani mengatakan dihadapan anak-anaknya ‘nak!
Kamu boleh memiliki guru dan pengajar yang hebat
diluar sana, boleh memiliki panutan dan idola diluar
sana, TETAPI gurumu dan panutanmu yang utama
adalah ayah dan ibumu’”.
JANGAN hanya menjadi ayah dan ibu yang
bisa membesarkan fisik/badan anak tetapi tidak
bisa mendidik jiwanya dan menyerahkan ilmu,
pendidikan dan pemikiran kepada orang lain,
karena yang dimintai pertanggungan jawab
diakhirat bukan guru, pendidik atau idolanya tetapi
BAPAK dan Ibunya.
57
BAB IV
Perceraian/Talak
A. Pengertian
Menurut bahasa talak berarti pemutusan
ikatan, kata ini adalah berasal dari kata ق ,”ithlaq“ إطلا
yang berarti melepas atau meninggalkan.
Sedangkan menurut istilah, talak berati pemutusan
tali perkawinan dengan lafazh talak atau yang
semakna, atau menghilangkan ikatan perkawinan
dengan seketika atau rentang waktu jarak tertentu
dengan menggunakan lafazh tertentu.
B. Hukum Cerai/talak
Hukum talak tidak selalu haram atau boleh,
tetapi mengandung hukum yang berbeda,
tergantung dari keadaan serta situasi yang sedang
dialami oleh seseorang dengan pasangannya.
1. Wajib
Talak wajib adalah talak yang bertujuan untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi antara suami
dan isteri dan satu-satunya jalan untuk mengakhiri
perselisihan adalah cerai/pisah. Tentunya setelah
menempuh cara-cara yang sudah diterangkan.
Demikian pula talak yang dilakukan oleh suami
yang meng-ilâ’ isterinya setelah diberi tangguh. Yang
dimaksud dengan "meng-ila`" isteri adalab
bersumpah tidak akan mencampurinya
(menyetubuhinya). Dengan adanya sumpah ini
58
seorang isteri sudah tentu akan menderita, karena
ia tidak lagi disetubuhi dan tidak pula diceraikan.
2. Haram
Talak yang diharamkan adalah talak yang
dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang
dapat dibenarkan, seperti pengen ganti pasangan,
lebih cantik, dll. Karena, hal itu akan membawa
madharat bagi diri sang suami dan juga isterinya
serta tidak memberikan kebaikan bagi keduanya.
3. Sunnah
Sedangkan talak yang disunatkan adalah talak
yang dilakukan terhadap seorang isteri yang telah
berbuat zhalim kepada hak-hak Allah yang harus
diembannya, seperti shalat dan kewajiban-
kewajiban lainnya, dimana berbagai cara telah
ditempuh oleh sang suami untuk menyadarkannya,
akan tetapi ia tetap tidak menghendaki perubahan.
4. Mubah
Talak diperbolehkan (mubah) jika untuk
menghindari bahaya yang mengancam salah satu
pihak, baik itu suami maupun isteri.
C. Macam-macam perceraian
1. Berdasarkan bentuk perceraian
a. Talak
Talak merupakan bentuk perceraian yang hanya
berlaku jika dilakukan oleh suami kepada isterinya, dan
tidak berlaku bagi isteri kepada suami. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hak talak ditelakkan pada suami
(laki-laki) saja. Dalam talak ada hal-hal yang harus
59
diperhatikan, diantaranya yang akan djelaskan
selanjutnya.
1) Syarat-syarat talak
a) Suami dan isteri sendiri yang sah
Tidak sah seorang laki-laki mentalak wanita
yang bukan/belum menjadi isteriya, seperti
menikah dengan niat menceraikannya.
b) Baligh
Kedua belah pihak sudah sama-sama baligh,
jika belum baligh maka yang berhak adalah
walinya.
c) Berakal
Saat terjadi talak suami dalam keadaan
berakal tidak gila atau hilang ingatan karena
mabok atau yang lainnya.
Bagaimana talaknya orang marah?
- Jika marahnya sampai hilang ingatan/tidak
sadar apa yang dia lakukan (seperti gila)
maka talaknya tidak sah dan tidak jatuh
talak.
- Marah yang memuncak namun masih sadar
apa yang ia ucapkan/lakukan maka
talaknya sah dan jatuh talak kepada
isterinya.
- Marah ringan (gejala awal) dan masih sangat
sadar, maka talakya sah dan jatuh talak
kepada isterinya.
d) Kerelaan/tanpa paksaan
60
Suami mengucapkan talak kepada isterinya
dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan, jika
ia ucapkan talak karena dipaksa/diancam
maka menurut ulama talak tersebut tidak
jatuh.
2) Lafazh Talak
a) Sharih (tegas/langsung)
Yaitu lafazh talak yang diucapkan secara
langsung dan tidak ada
makna lain kecuali
cerai. Seperti seorag
suami yang berkata
kepada isterinya: kamu
saya talak, kamu saya
cerai dan lainnya yang
semisal.
Lafazh sharih ini tidak
harus disertai niat,
maksudnya walaupun
dilakukan main-main/bercanda kepada
isterinya maka tetap jatuh talak.
b) Kinayah (kiasan/tidak langsung)
Yaitu lafazh talak yang tidak langsung
ermakna talak, masih bermakna ambigu
(bermakna ganda), jika diucapkan harus
disertai dengan niat talak, jika tidak diniatkan
talak mkaa tidak jatuh talak kepada isterinya.
Misalnya seorang suami yang berkata: “pulang
saja ke rumah orang tuamu”, lafazh ini bisa
ث ثا " هازلهن جد، جدهن لا وا
ق، الن كااح،: جد الط لا وا
جعاة الر " وا
“Tiga perkara yang
serius dan bercandanya
sama-sama dianggap
serius: (1) nikah, (2)
talak, dan (3) rujuk”. (HR.
Abu Daud, Ibnu Majah dan
Tirmidzi).
61
jadi talak jika diniatkan talak, namun bisa
jamdi ia menyuruh isterinya ke rumah orang
tuanya karena ia akan pergi jauh dari pada
sendirian dirumah maka ke rumah orang tua
saja dulu.
3) Sifat Talak
a) Sunniy (sunnah)
Yaitu talak yang sah dan langsung jatuh talak
kepada isterinya, yang sesuai dengan aturan
syari’at islam, syarat-syarat talak sunniy yaitu:
- Isteri suci dari ‘Iddah
- Tidak bercampur sebelumnya (masa yang
sama)
Jika sang suami menjatuhkan talak kepada
isterinya salah satu keadaan diatas maka talak
tetap jatuh namun berdosa.
b) Bid’iy (bid’ah)
Yaitu talak yang dilakukan tidak sesuai syari’at
yang sudah dijelaskan, pelanggaran tersebut
yaitu:
- Dalam keadaan masih ‘Iddah atau nifas
- Ketika dalam keadaan suci, sedang ia telah
mencampurinya pada masa suci tersebut.
Talak yang dijatuh pada masa tersebut tetap
jatuh namun ia berdosa ada yang berpendapat tidak
sah. Dan mulai menghitung masa ‘Iddahnya
adalah setelah sang isteri suci dari ‘Iddah.
4) Pengaruh/dampak talak
62
a) Raj’i
Yaitu talak satu dan dua terhadap isteri
yang sudah dicampurinya dan masih
memungkinkan bagi suami untuk meruju’
kembali isterinya tanpa persayaratan (tanpa
ijab qabul dan mahar), artinya setelah talak
terucap dari sang suami maka jatuhlah talak
satu, dan jika diulangi lagi maka jatuh talak
kedua.
Isteri yang ditalak raj‘i mempunyai
hukum yang sama seperti hukum yang
berlaku pada seorang isteri dalam pemberian
nafkah, tempat tinggal atau yang lainnya
seperti ketika belum ditalak, sehingga
berakhir masa ‘Iddahnya.
Disyari’atkan dan dianjurkan untuk
ruju’ setiap pasangan yang cerai jika ada
kemunginan bisa memperbaiki keadaaan,
adapun syarat sahnya ruju’ suami isteri yang
sudah cerai:
1. Terjadi talak raj’i
2. Setelah mencampuri isterinya
3. Dalam masa ‘Iddah
4. Bukan sebab fasakh
5. Tanpa uang pengganti (iwadh)
Bagaimana cara ruju’?
- Dengan ucapan
- Dengan perbuatan
63
b) Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang terjadi
setelah talak satu atau dua kepada isteri yang
sudah dicampuri dan sudah habis masa
‘Iddahnya atau sesudah talak tiga.
- Shughra
Talak ba’in sughra ini terjadi pada
kasus talak satu atau dua dan masa ‘Iddah
sang isteri sudah habis. Dalam kasus ini
suami boleh kembali kepada isterinya
dengan syarat menikah dengan akad dan
mahar baru, sebelum sang isteri menikah
dengan pria lain.
- Kubra
Talak ba’in kubra terjadi pada kasus
talak tiga kepada isteri yang sudah
dicampuri. Dalam kasus ini suami boleh
menikah lagi dengan mantan isterinya
dengan syarat mantan isteri sudah menikah
dengan pria lain dan sudah ditalak dan
sudah habis masa ‘Iddahnya. Yang
termasuk talak ba’in kubra adalah mentalak
isteri langsung 3 tanpa melewati 1 dan 2.
5) Waktu Talak
a) Munajjas
Talak yang terjadi saat shighah talak
diucapkan tanpa syarat dan waktu tertentu.
64
b) Mu’allaq ‘ala syarat
Shighah talak yang disertai dengan
syarat tertentu. Seperti suami yang berkata
kepada isterinya: kamu saya talak jika keluar
rumah diatas jam 10 malam. Selama sang
isteri tidak keluar rumah pada jam tersebut
tidak jatuh talak.
Hal ini juga terjadi pada shighah ta’liq
dalam pernkahan di Indonesia, seperti jika
suami menyakiti fisik isteri maka jatuh talak
satu, dst.
c) Mudhaf ilal mustaqbal
Shighah talak yang disertai dengan
waktu tertentu. Seperti suami yang berkata
kepada isterinya: kamu saya talak pada
penghujung bulan depan. Talak seperti ini
tidak jatuh sampai pada waktu yang
disebutkan. Jika telah datang waktunya maka
terjadi talak satu.
b. Khulu’
1) Definisi
Secara Bahasa artinya melepaskan, adapun
secara syara’, khulu’ adalah perpisahan suami isteri
dengan menyerahkan barang sebagai pengganti
yang diperuntukkan bagi suami. Khulu’ disebut juga
dengan gugatan cerai dari pihak isteri kepada
suaminya yang sah.
65
Terdapat ikhtilaf dikalangan ulama apakah
khulu’ termasuk talak atau fasakh (pernikahannya
batal). Karena khulu’ terjadi saat isteri meminta
cerai kepada suaminya karena adanya sebab-sebab
yang dibolehkan seperti ilâ’, penganiayaan secara
terus menerus, dll. Jika masuk kepada makna talak
berarti suami boleh merujuknya sedangkan fasakh
tidak boleh ruju’ selamanya.
2) Hukum yang berkenaan dengan khulu’
a) Disunnatkan bagi suami untuk tidak
mengambil harta isteri melebihi jumlah
mahar yang telah diberikan kepadanya.
b) Jika khulu’ itu sebagai talak, maka menurut
jumhur ulama, isteri yang dikhulu’ harus
menjalani masa ‘Iddahnya selama tiga kali
quru’.
c) Suami yang melakukan khulu’ tidak
diperbolehkan merujuk isterinya pada saat ia
tengah menjalani masa ‘Iddahnya.
d) Diperbolehkan bagi wali seorang wanita yang
masih kecil untuk mewakilinya sebagai
peminta khulu’ dan suaminya, jika sang wali
melihat adanya bahaya yang mengancam
wanita tersebut.
Khulu’ itu diperbolehkan baik pada masa suci
maupun ketika ‘Iddah. Khulu’ tidak memiliki waktu
tertentu, sehingga boleh dilakukan kapan saja.
Sedangkan yang dilarang pada masa ‘Iddah adalah
talak.
66
c. Fasakh
Fasakh adalah penghapusan status
pernikahan, maksudnya pernikahan suami isteri
yang diangap batal atau tidak sah, sehingga
pernikahannya selama itu tidak diangap pernikahan
yang sah secara syari’at.
Diantara sebab-sebab fasakh nikah:
1) Tidak terpenuhinya syarat da rukun nikah
2) Murtad salah satu atau keduanya
3) Hilangnya suami dalam waktu yang sangat
lama
4) Penyakit yang berbahaya pada pria
(impoten) dan wanita (barash).
d. Istilah dalam perceraian
1) Li’an
Li’an berasal dari kata ”la’ana”, yang
artinya laknat, sebab suami isteri pada
ucapan kelima saling bermula’anah
(melaknat) dengan kalimat “sesungguhnya
padanya akan jatuh laknat Allah jika ia
tergolong orang yang telah berbuat dosa.
Menurut istilah syara’, li’an berarti
sumpah seorang suami dimuka hakim bahwa
ia berkata benar tentang sesuatu yang
dituduhkan kepada isterinya perihal
perbuatan zina. jadi, suami menuduh
isterinya berbuat zina dengan tidak
menegemukakan saksi, kemudian keduanya
bersumpah atas tuduhan tersebut, namun
tuduhan itu ditangkis oleh isteri dengan jalan
67
bersumpah pula, bahwa apa yang dituduhkan
oleh suami atas dirinya adalah dusta belaka.
Dasar wajibnya li’an adalah al-qur’an dan
hadits.
Firman AllAh dalam QS. Annur:6-9
adalah:
ين وٱذل وجهمأ ولمأ يكن ل همأ شهداء إل زأمون أ يرأ
بع شهدت ب رأحدهمأ أ
نفسهمأ فشهدة أ
أ لمن ۥإن ه ٱلل
دقني نت وٱلأخمسة ٦ ٱلص ن لعأ أ عليأه إن كن من ٱلل
ذبني ٱلأ ر وي ٧ ك دأ بع ٱلأعذاب عنأها ؤا رأهد أ ن تشأ
أ
شهدت ب ذبني لمن ۥ إن ه ٱلل ن غضب وٱلأخمسة ٨ ٱلأكأ
دقني عليأها إن كن من ٱلل ٩ ٱلص
Dan orang-orang yang menuduh isterinya
(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar. (6). Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta. (7). Isterinya itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta. (8). dan
68
(sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang
yang benar. (9). (QS. An-Nur: 6-9).
2) Ilâ’
a) Definisi
Secara etimologis (bahasa) ilâ’ berarti
melarang diri dengan menggunakan sumpah.
Sedangkan menurut terminologis (istilah), ilâ’
berarti bersumpah untuk tidak lagi
mencampuri isteri. Adapun Batasan ilâ’ dalam
syari’at adalah 4bulan.
Hukum terkait dengan ilâ’ terdapat
dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 226
ين هر فإن فاءو يؤأ ل ل شأبعة أ رأ
لون من ن سائهمأ تربص أ
فإن ٢٢٦غفور ر حيم ٱلل “Kepada orang-orang yang meng-ila´
isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali
(kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ali bin Abi Thalib ra mengatakan bahwa
jika seorang suami meng-ilâ’ isterinya tepat
selama empat bulan, maka ia harus berhenti
dari ilâ’ nya dan selanjutnya ia harus memilih
untuk kembali kepada isterinya atau
menceraikannya. Dan untuk itu ia harus
dipaksa.”
69
Imam Syafi’i mengatakan: “Suami
tersebut boleh kembali kepada isterinya
selama masih dalam masa ‘Iddahnya. Jika ia
mencampurinya, maka yang demikian itu
telah menggugurkan ilâ’nya. Sedang apabila ia
tidak mencampurinya, maka ilaa' ‘nya harus
dihentikan dan selanjutnya ia boleh memilih
kembali kepadanya atau diceraikan oleh
hakim.
Kemudian ia boleh rujuk lagi
kepadanya, jika ia mencampurinya maka ilâ’-
nya tersebut gugur dan jika tidak
mencampurinya maka ilâ’-nya itu harus
dihentikan setelah empat bulan, dan
selanjutnya diceraikan oleh hakim. Setelah itu
diharamkan baginya (suami) kembali kepada
isterinya tersebut kecuali setelah isterinya
menikah dengan laki-laki lain.”
b) Kafarat Ilâ’
Menurut sebagian ulama ilâ’ termasuk
talak raj’i. jika sang suami ingin kebali atau
membatalkan sumpahnya maka ia harus
membayar kafarat yamin (pembatal sumpah),
yaitu:
- Memberikan makanan kepada 10 orang
miskin atau
- Memberikan pakaian kepada 10 orang
miskin
- Memerdekakan budak
- Berpuasa hari
70
3) Zhihar
a) Definisi
Zhihar adalah suatu ungkapan suami
yang menyatakan kepada isterinya “Bagiku
kamu seperti punggung ibuku”, ketika ia
hendak mengharamkan isterinya itu bagi
dirinya.
Talak seperti ini telah berlaku di
kalangan orang-orang jahiliyah terdahulu.
Lalu Allah memerintahkan kepada suami yang
menzhihar isterinya untuk membayar kafarat
(denda) sehingga zhiharnya tersebut tidak
sampai menjadi talak.
Kalimat zhihar ini pada awalnya
berbunyi “Bagiku kamu seperti perut ibuku”.
Mereka menggunakan kiasan punggung
sebagai ganti perut, karena punggung
merupakan tiang perut.
b) Kafarat zhihar
Di antara tujuan disyari’atkannya
kafarat adalah supaya pelaku zhihar tidak
membiasakan perbuatan tersebut. Tujuan
semacam ini tidak akan terwujud, kecuali
dengan mewajibkan sesuatu yang berat, baik
dalam bentuk pengeluaran materi (berupa
pembayaran denda) atau dalam bentuk rasa
lapar dan haus. Dalil yang melandasi hal itu
adalah firman Alah SWT:
71
لما قالوا يظهرون من ن سائهمأ ثم يعودون ين وٱذل ن قبأل أ رير رقبة م لكمأ توعظون فتحأ ذ ا ن يتماس
و ۦ به ملون خبري ٱلل ٣بما تعأ“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 3)
Kafarat ini harus berurutan bukan
pilihan:
- Memerdekakan budak yang beriman, jika
tidak mendapatinya,
- Berpuasa 2 bulan berturut-turut, jika tidak
mampu,
- Memberi makan kepada 60 orang-orang
miskin, satu orang miskin 1 mud.
Ijma’ ulama menyatakan, bahwa kafarat
itü diwajibkan setelah suami yang
mengucapkan zhihar menarik kembali
ucapannya
Perbedaan Pendapat Mengenai
Kekhususan Zhihar Jumhurul ulama
berpendapat, bahwa zhihar itu hanya khusus
72
dengan perkataan “ibu”, sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Dengan demikian, jika seorang suami
mengatakan kepada isterinya, “Bagiku kamu
seperti punggung ibuku, maka berarti ia telah
menzhihar. Akan Tetapi, jika ia mengatakan
kepadanya,"Bagiku kamu seperti punggung
saudara perempuanku”, maka hal itu bukan
sebagai zhihar. Sebagian dan ulama tersebut,
yang di antaranya penganut madzhab Hanafi,
Auza’i, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, dan Zaid bin Ali
berpendapat, bahwa kata “ibu” dalam zhihar
itu diqiyaskan kepada seluruh mahram.
Sekelompok ulama di antaranya Sufyan
Tsauri dan Asy-Syafi’i mengatakan: “Jika
seorang suami menzhihar isterinya dengan
menyebutkan kepala atau tangan ibunya,
maka hal itu juga termasuk zhihar.”.
D. Masa ‘Iddah
1. Definisi
'‘Iddah adalah masa tunggu seorang
wanita yang diceraikan suaminya. Pada masa
itu ia tidak diperbolehkan menikah atau
menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk
menikahinya. Para ulama telah sepakat
mewajibkan ‘Iddah ini yang didasarkan pada
firman Allah Ta‘ala:
73
أمطل قت نفسه وٱلن بأ ب صأ ثة قروء يت …ن ثل
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. (QS.
Al-Baqarah: 228).
Adapun makna lafazh quru` ada dua
pendapat. Pertama, masa suci dari ‘Iddah.
Kedua, masa ‘Iddah.
2. Macam-macam ‘Iddah
a. ‘Iddah bagi isteri yang ditalak dan sedang
menjalani masa haidh yang normal. masa
‘Iddah yang harus dijalani adalah tiga quru’
(3x haidh/suci). Hal ini didasarkan pada
firman Allah SWT di dalam surat Al-
Baqarah ayat 228.
Cara menghitung 3 quru’
3x suci
suci haid suci haid suci haid
1 2 3 habis
3x haidh
suci haid suci haid suci haid suci
1 2 3 habis
b. ‘Iddah bagi isteri yang ditalak dan sudah
tidak menjalani masa haidh lagi
(monopause) atau masih kecil yang belum
menjalani masa haidh maka ‘Iddahnya tiga
bu!an. Hal ini sesuai dengan apa yang
74
difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla. At-
Thalaq: 4
c. ‘Iddah bagi isteri yang sedang hamil, yaitu
sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan
pada firman Allah dalam surat At-Thalaq 4.
d. ‘Iddah isteri yang ditinggal mati suaminya,
yaitu empat bulan 10 hari, jika ia tidak
sedang hamil. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah: 234
e. ‘Iddah wanita yang sedang menjalani
istihadhah; apabila mempunyai hari-hari
dimana ia biasa menjalani masa haidh,
maka ia harus memperhatikan kebiasaan
masa haidh dan masa sucinya tersebut.
Jika ia telah menjalani tiga kali masa
haidh, maka selesailah sudah masa
‘Iddahnya.
f. ‘Iddah isteri yang sedang menjalani masa
haidh, lalu terhenti karena sebab yang
diketahui maupun tidak. Jika berhentinya
darah haidh itu diketahui oleh adanya
penyebab tertentu, seperti karena proses
penyusuan atau sakit, maka ia harus
menunggu kembalinya masa haidh
tersebut dan menjalani masa ‘Iddahnya
sesuai dengan haidhnya meskipun
memerlukan waktu yang lebih lama.
Sebaliknya jika disebabkan oleh sesuatu
yang tidak diketahui, maka ia harus
75
menjalani ‘Iddahnya selama satu tahun.
Yaitu, sembilan bulan untuk menjalani
masa hamil-nya dan tiga bulan untuk
menjalani masa ‘Iddahnya.
g. ‘Iddah wanita yang belum dicampuri. Allah
Azza wa Jalla befirman:
ها يأ ين ي تم ٱذل إذا نكحأ منت ءامنوا أمؤأ ثم ٱل
وهن فما لكمأ ن تمستموهن من قبأل أ طل قأ
ونها فمت عوهن وس حوهن عليأهن م تد ة تعأ نأ عد احا جيل ٤٩س
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-
sekali tidak wajib atas mereka ´’Iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
(AI-Ahzab: 49)
Dan ayat ini dapat diambil dalil, bahwa
seorang isteri muslimah yang belum digauli
suaminya tidak mempunyai kewajiban
menjalani masa ‘Iddah. Akan tetapi, jika
suaminya meninggal sebelum ia menggauli
isterinya, maka isteri yang diceraikannya itu
76
harus menjalani ‘Iddah sebagaimana jika
suaminya telah menggaulinya.
3. Larangan wanita dalam masa ‘Iddah
a. Tidak boleh menerima khitbah (lamaran)
dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk
sindiran.
b. Tidak boleh menikah
c. Tidak boleh keluar rumah kecuali
mendesak
d. Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
Seorang wanita yang sedang dalam masa
‘Iddah dilarang untuk berhias atau
bercantik-cantik.
Meninggal Hamil Melahirkan
‘Iddah Tidak
hamil 4 bulan 10
hari
Tidak
meinnggal Hamil Melahirkan
Tidak hamil
Haidh 3 x quru’
Tidak
Haidh 3
Bulan