k. h. ruhiat (1911-1977); ulama pejuang dari...

22
K. H. RUHIAT (1911-1977); ULAMA PEJUANG DARI CIPASUNG MAKALAH Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Pengusulan Alm.K.H. Rukhiat sebagai Pahlawan Nasional” Di Gedung Rektorat Institut Agama Islam Cipasung, Tasikmalaya Pada hari Senin, Tanggal 3 Mei 2010 Oleh: Miftahul Falah, S. S., M. Hum. DISELENGGARAKAN ATAS KERJASAMA YAYASAN MSI JAWA BARAT DENGAN TIM PENELITI DAN PENGKAJI GELAR DAERAH (TP2GD) PROPINSI JAWA BARAT

Upload: truongque

Post on 07-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

K. H. RUHIAT (1911-1977);

ULAMA PEJUANG DARI CIPASUNG

MAKALAH

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional

“Pengusulan Alm.K.H. Rukhiat sebagai Pahlawan Nasional”

Di Gedung Rektorat Institut Agama Islam Cipasung, Tasikmalaya

Pada hari Senin, Tanggal 3 Mei 2010

Oleh:

Miftahul Falah, S. S., M. Hum.

DISELENGGARAKAN ATAS KERJASAMA

YAYASAN MSI JAWA BARAT

DENGAN

TIM PENELITI DAN PENGKAJI GELAR DAERAH (TP2GD)

PROPINSI JAWA BARAT

1

K. H. RUHIAT (1911-1977);

ULAMA PEJUANG DARI CIPASUNG

Oleh:

Miftahul Falah, S. S., M. Hum. Asisten Ahli pada Program Studi Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran.

A. Pengantar

Rasa-rasanya, generasi muda saat ini lebih mengenai sosok K. H.

Muhammad Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PB NU (1994-1999) dan mantan

anggota DPA (1998-2004) daripada sosok K. H. Ruhiat. Padahal, K. H. Ruhiat-

lah yang telah berperan dalam membentuk karakter dan keulamaan K. H. Muh.

Ilyas Ruhiat. Pesantren Cipasung yang didirikan K. H. Ruhiat dan telah

“melambungkan” nama K. H. Muh. Ilyas Ruhiat, merupakan salah pesantren

terbesar dan berpengaruh di Jawa Barat.1

Namun sekali lagi, peranan K. H. Ruhiat dalam perjuangan bangsa sudah

banyak dilupakan orang. Kondisi tersebut wajar terjadi mengingat Abah Ajengan

(panggilan akrab K. H. Ruhiat) telah 33 tahun meninggalkan umatnya untuk

menghadap Sang Khalik. Meskipun demikian, jasa-jasanya terhadap perjuangan

bangsa terutama di bidang pendidikan tidak akan pernah dilupakan orang.

Makalah ini akan mencoba merekonstruksi peranan K. H. Ruhiat dalam

perjuangan bangsa sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan.

1 Anonim, 2006: 1.

2

B. Riwayat Keluarga dan Pendidikan

Pada dasawarsa pertama abad ke-20, Desa Cipakat yang terletak di

Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya dipimpin oleh seorang kepala

desa yang bernama H. Abdul Ghafur bin Umray. Ia menikahi Hj. Umayah bin

Indra dan dikaruniai enam orang anak. Salah seorang anaknya dilahirkan di

Kampung Cisaro, Desa Cipakat pada 11 November 1911. Oleh kedua orang

tuanya anak itu lantas diberi nama Ruhiat bin H. Abdul Ghafur. Sang anak

memiliki tiga orang kakak yang masing-masing bernama Hj. Sofiah, H. Ma’sum,

dan H. Syuja’i; serta dua orang adik yakni H. Muharam dan Hj. Jamilah. Selain

itu, Ruhiat pun memiliki lima orang saudara seayah karena H. Abdul Ghafur bin

Umray memiliki tiga orang istri.2

H. Abdul Ghafur orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anak-

anaknya. Ketika usianya sudah memasuki masa sekolah, H. Abdul Ghafur

memasukkan Ruhiat ke Vervolghschool di Sukasenang. Pendidikan formalnya itu

hanya ditempuh sampai kelas empat yakni dari tahun 1918-1921. Setelah keluar

dari Vervolgschool, Ruhiat belajar ilmu agama Islam ke berbagai pesantren. Dari

tahun 1922-1927, Ruhiat belajar ilmu agama Islam di Pesantren Cilenga

(Leuwisari) di bawah bimbingan K. H. Sobandi. Setelah lima tahun menuntut

ilmu kepada K. H. Sobandi, dalam kurun waktu 1927-1928, Ruhiat menuntut

melakukan tabarruk ke beberapa ulama yakni kepada K. H. Emed dari Pontren

Sukaraja (Garut), K. H. Abas Nawawi dari Pontren Kubang (Cigalontang), dan K.

2 Selain memiliki saudara kandung seayah-seibu, K. H. Ruhiat pun memiliki lima orang saudara

seayah. Empat orang saudaranya lahir dari istri pertama ayahnya yang bernama Hj. Murtamah,

yaitu Hj. Siti Sobriah, Encoh, Uwen Juansah, dan Acih. Sementara itu, saudara seayah K. H.

Ruhiat yang lahir dari istri ketiga ayahnya (H. Zainab binti H. Idris) bernama H. Abdul Hamid

(Anonim. t.t.: 2).

3

H. Thoha dari Pontren Cintawana (Singaparna). Tahun 1929, Ruhiat kembali

menunut ilmu kepada K. H. Sobandi di Pesantren Cilenga sampai tahun 1931.3

K. H. Ruhiat mempunyai dua orang istri yakni Hj. Aisyah binti

Muhammad Sayuti dan Hj. Badriyah binti H. A. Kosasih Abdul Hamid. Dari

perkawinannya itu, K. H. Ruhiat dikaruniai 27 orang anak, masing-masing 14

orang anak dari istri pertamanya dan 13 orang anak dari istri keduanya. Dalam

membina rumah tangganya, K. H. Ruhiat sangat berlaku adil sehingga kerukunan

dan ketentraman senantiasa memayungi keluarga besarnya itu.

Foto 1: K. H. Ruhiat bin H. Abdul Ghafur

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

3 Anonim, t.t.: 3; Anonim. 2007: 1; MUI Jabar, 2005: 26.

4

Diagram 1: Silsilah K. H. Ruhiat

5

Foto 2: K. H. Ruhiat bersama Keluarga

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

C. Peranan K. H. Ruhiat dalam Perjuangan Bangsa

1. Di Bidang Pendidikan

Setelah selesai menuntut ilmu keagamaan di berbagai pesantren, K. H.

Ruhiat kembali ke kampung halamannya untuk mendirikan pesantren. Pada akhir

tahun 1931, K. H. Ruhiat mendirikan Pesantren Cipasung dengan santri berjumlah

40 orang. Keempat puluh santrinya itu sebagai pemberian dari K. H. Sobandi dari

Pesantren Cilenga.4 K. H. Ruhiat memilih Cipasung sebagai tempat untuk

mendirikan pesantren karena didorong oleh kondisi lingkungannya yang “kotor”.

Artinya, pada waktu itu kehidupan masyarakat di daerah tersebut masih dipenuhi

4 Wawancara dengan K. H. Agus Saiful Bahri, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

6

oleh kemaksiatan, seperti perjudian dan perzinahan.5 Dengan maksud

memberantas kemaksiatan itulah, K. H. Ruhiat mendirikan sebuah pesantren yang

kemudian berkembang menjadi lembaga pesantren tradisional tetapi modern.

K. H. Ruhiat merupakan seorang ulama tradisional, tetapi memiliki

pikiran progresif. Ia memiliki keyakinan bahwa jika santrinya hanya memiliki

pengetahuan keagamaan saja, keinginan untuk memberantas kebodohan akan sulit

diwujudkan. Oleh karena itu, K. H. Ruhiat memiliki pandangan perlunya para

santri diberi bekal ilmu pengetahuan umum yang tentunya harus diselaraskan

dengan pengetahuan agamanya. Hal tersebut terlihat dari misi perjuangannya di

bidang pendidikan yakni keimanan dan ketaqwaan, pengembangan ilmu yang

bermanfaat, serta pengabdian kepada negara, agama, dan masyarakat.6

Foto 3: Masjid Pesantren Cipasung Sekitar Tahun 1957

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

5 Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

6 MUI Jabar, 2005: 27.

7

Foto 4: Masjid Pesantren Cipasung Tahun 2010

Sumber: Dokumentasi Penulis, 18 Januari 2010.

Foto 5: Salah Satu Asrama Putra Pesantren Cipasung

Sumber: Dokumentasi Penulis, 18 Januari 2010.

8

Untuk mewujudkan misinya itu, K. H. Ruhiat tidak hanya

mengembangkan Pesantren Cipasung sebagai lembaga pendidikan keagamaan

saja. Sebagai ulama dengan pikiran yang progresif, K. H. Ruhiyat mendirikan

lembaga pendidikan yang pada waktu belum begitu populer di kalangan pesantren

salafiyah. Empat tahun setelah mendirikan Pesantren Cipasung, tepatnya pada

1935, K. H. Ruhiat mendirikan Madrasah Diniyah atau di kalangan masyarakat

dikenal dengan istilah sakola agama. Melalui madrasah ini, K. H. Ruhiat

menginginkan agar pembinaan keagamaan terhadap anak-anak usia muda dapat

dilakukan secara optimal. Sementara itu, untuk membina para santrinya agar

menjadi seorang mubaligh yang handal, K. H. Ruhiat pun terobasan baru dengan

mendirikan Kursus Kader Mubalighin wal Musyawwirin. Kursus yang dibuka

pada 1937 ini dijadikan sebagai arena latihan bagi para santri untuk mahir dalam

berpidato, berdebat, dan bermusyawarah.7

Untuk memberantas kebodohan, K. H. Ruhiat melangkah lebih jauh lagi

dengan mendirikan sekolah formal tetapi dengan landasan nilai-nilai keislaman.

Pada masa Perang Kemerdekaan, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Pendidikan

Islam. Sekolah yang didirikan tahun 1949 ini tidak hanya mengajarkan ilmu

kegamaan saja, melainkan juga ilmu pengetahuan umum. Tahun 1953, Sekolah

Pendidikan Islam diubah namanya menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam

(SMPI).8 Dengan perkataan lain, Sekolah Pendidikan Islam merupakan sekolah

formal pertama yang didirikan K. H. Ruhiat di kompleks Pondok Pesantren

Cipasung.

7 Anonim, t.t.: 5; Anonim, 2010: 2.

8 Anonim, t.t.: 5; Anonim, 2010: 2.

9

Foto 6: Sekolah Menengah Pertama Islam Cipasung, Tahun 1960-an

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Pada 1953, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Rendah Islam (SRI) yang

kemudian berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah ini

berbeda dengan madrasah diniyah yang didirikan tahun 1935, karena materinya

diperkaya dengan pengetahuan umum. Dengan demikian, K. H. Ruhiat menjadi

salah seorang ulama pelopor bagi pengembangan madrasah berbasiskan

pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Sehubungan dengan keadaan

prasarana pendidikan di Singaparna belum begitu berkembang dengan baik, K. H.

Ruhiat memutuskan untuk mejajaki bagi pembukaan sekolah menengah tingkat

atas. Hasilnya adalah tahun 1959, ia membuka Sekolah Menengah Atas Islam

10

(SMAI) Cipasung dengan harapan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan

umum dan agama dapat disinergiskan.9

Dengan demikian, sampai tahun 1959, lembaga pendidikan yang dikelola

oleh K. H. Ruhiat sudah relatif lengkap. Selain ada pesantren salaf sebagai tempat

menggodog calon-calon ulama, di kompleks Pesantren Cipasung pun telah berdiri

lembaga pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan

tingkat atas. Meskipun demikian, langkah K. H. Ruhiat untuk memajukan

pendidikan tidak lantas berhenti. Ia berkeinginan untuk mendirikan sebuah

perguruan tinggi Islam yang akan mencetak sarjana dengan tidak meninggalkan

nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam.

Keinginannya itu berhasil diwujudkan pada tanggal 25 September 1965

seiring dengan pembukaan Perguruan Tinggi Islam Cipasung. Pada awal

berdirinya, perguruan tinggi ini hanya membuka satu fakultas yakni Fakultas

Tarbiyah. Eksistensi lembaga pendidikan tinggi ini mendapat pengakuan dari

pemerintah seiring dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Agama No. 7

Tahun 1969. Untuk mengembangkan kegiatan akademiknya, K. H. Ruhiat

melakukan kerja sama dengan IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Selain

membina Fakultas Tarbiyah, melalui kerja sama itu pernah pula pada 1970 dibuka

Fakultas Ushuludin di Cipasung, namun hanya berjalan selama dua tahun.10

Sekarang perguruan tnggi tersebut menjadi IAI Cipasung sehingga melengkapi

9 Anonim, t.t.: 5.

10 Anonim, t.t.: 5.

11

lembaga pendidikan yang sebelumnya sudah berdiri mulain dari pesantren, TK,

sampai pendidikan menengah.11

Foto 7: Aktivitas Dakwah K. H. Ruhiat, Tahun 1960-an

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Dari pemaparan singkat mengenai peranan K. H. Ruhiat dalam

perjuangan bangsa dengan jelas terlihat bahwa ia memiliki kepeduliaan terhadap

pendidikan. Kebodohan yang menjadi salah satu faktor pendorong lamanya

penjajahan yang dialami bangsa Indonesia harus dihilangkan dengan memajukan

pendidikan. Selain itu, mendikotomikan pendidikan agama dan pengetahuan

umum secara kaku tidak akan memberikan hasil optimal bagi pemberantasan

kebodohan. K. H. Ruhiat memberikan contoh bahwa dengan memadukan

pendidikan agama dan pendidikan formal, akan menghasilkan sesuatu yang jauh

11

Wawancara dengan Hj. Euis Hasanah, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung

12

lebih optimal daripada mengembangkan salah satu bentuk pendidikan saja.

Hasilnya perjuangannya berupa satu kompleks pendidikan dengan jenjang

pendidikan yang lengkap baik pendidikan pesantren maupun pendidikan formal.

Selain itu, K. H. Ruhiat pun telah melahirkan ulama-ulama berpengaruh

khususnya di Tasikmalaya, antara lain K. H. Khoer Affandi (Pesantren Miftahul

Huda Manonjaya), K. H. Bustomi (Pesantren Bahrul Ulum, Awipari), K. H.

Ahmad (Pesantren Cintapada), K. H. Hilmi (Pesantren Cilendek), K. H. Bahrum

(Pesantren Cilendek), K. H. Yusuf (Pesantren Cintapada), dan K. H. Syarif

Hidayat (Pesantren Cipanengah).12

2. Di Bidang Politik

Pengabdian K. H. Ruyhat dalam perjuangan bangsa tidak hanya

dilakukan di bidang pendidikan saja dengan landasan memperkuat keimanan dan

ketaqwaan kepada Allah SWT serta pembangunan ilmu yang bermanfaat. Satu

landasan yang mendorong dirinya memiliki jasa yang besar kepada bangsa adalah

mengabdi kepada negara, agama, dan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, K.

H. Ruhiat memiliki jiwa nasionalisme yang cukup tinggi sehingga ia memiliki

kepeduliaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dakwah dan kiprahnya di bidang pendidikan telah membuat Pesantren

Cipasung berkembang dengan pesat. Hal tersebut melahirkan kekhawatiran dari

Pemerintah Hindia Belanda sehingga memandang K. H. Ruhiat sebagai ancaman.

Terlebih setelah K. H. Ruhiat bergabung dengan Nahdlatul Ulama Cabang

12

Wawancara dengan K. H. Agus Saiful Bahri, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

13

Tasikmalaya yang pada tahun 1930-an memiliki pandangan berbeda dengan

pemerintah. Pada saat NU Tasikmalaya yang dipimpin oleh Soetisna Sendjaja

menerbitkan Al-Mawaidz pada Agustus 1933, K. H. Ruhiat ikut aktif mengasuh

rubrik agama bersama dengan beberapa orang ajengan lainnya.13

Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1930-an, PGN14

dan NU Cabang

Tasikmalaya terlibat dalam suatu perdebatan mengenai status Pemerintah Hindia

Belanda dikaitkan dengan masalah ulil amri dalam ajaran Islam. Pada dasarnya,

PGN dan NU sependapat bahwa pemerintah kolonial bisa dipandang sebagai ulil

amri. Akan tetapi, kedua organisasi itu berbeda pendapat berkaitan dengan

substansi atau hakikat dari ulil amri. K. H. Fachroeddin menegaskan bahwa PGN

memandang predikat ulil amri bagi Pemerintah Hindia dapat dipandang dari sisi

syar’i. Oleh karena itu, umat Islam wajib mematuhi segala kebijakannya

sekalipun mereka itu merupakan pemerintahan kafir yang dalam perbuatannya

bersifat fasiq, jahil serta berbuat maksiat dan munkar.15

NU Cabang Tasikmalaya tidak sependapat dengan pandangan PGN.

Menurut Soetisna Sendjaja, Ketua NU Cabang Tasikmalaya, gelar ulil amri bagi

pemerintah kolonial harus dipandang sebagai suatu siyasi (politik). Dengan

demikian, NU memandang Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan

yang sah, tetapi statusnya tetaplah penguasa asing yang hanya berkuasa secara

13

Pada waktu, K. H. Ruhiat belum memiliki “gelar” kyai haji, tetapi baru “bergelar” kyai seperti

tertulis dalam Al-Mawaiz edisi 5 Desember 1933 No. 17. Dalam majalah tersebut, tercatat nama

Roehiat kjai di Tjipasung yang diberi tugas mengelola rubrik agama Islam (Bunyamin, 1995:

18). 14

PGN merupakan singkatan dari Perkoempoelan Goeroe Ngaji yang didirikan oleh Bupati

Wiratanoeningrat tanggal 15 Juni 1926 yang peresmiannya dilaksanakan di Masjid Agung

Tasikmalaya dan dihadiri oleh seluruh wedana dan camat yang ada di Kabupaten Tasikmalaya

(Al-Imtisal, 26 Juni 1926. No. 7). 15

Mudzakir, 2007: 9.

14

politik. Oleh karena itu, pemerintah hanya memiliki wewenang mengatur

masyarakat sepanjang berkaitan dengan urusan politik. Di luar itu, terutama di

bidang keagamaan, pemerintah sama sekali tidak memiliki wewenang mengatur

masyarakat. Seluruh urusan yang berkaitan dengan masalah keagamaan, sejatinya

diserahkan sepenuhnya kepada para ulama yang menjadi panutan rakyat.16

Pandangan NU tersebut bukanlah pandangan pribadi K. H. Ruhiat, tetapi

sebagai pengurus bisa dipastikan pandangannya mengenai kedudukan Pemerintah

Hindia Belanda sejalan dengan pandangan NU. Oleh karena itu, Pemerintah

Hindia Belanda mengawasi gerak-gerik K. H. Ruhiat khususnya ketika ia sedang

berdakwah. Sehubungan dengan materi dakwahnya dipandang bisa menumbuhkan

patriotisme di kalangan santri dan bisa menumbuhkan nasionalisme di kalangan

masyarakat, tanggal 17 November 1941 Pemerintah Hindia Belanda menangkap

K. H. Ruhiat bersama-sama dengan K. H. Zaenal Mustofa, Haji Syirodz, dan

Hambali Syafe’i dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak kepada

pemerintah. K. H. Ruhiat ditahan satu hari di Penjara Tasikmalaya untuk

kemudian dimasukkan ke Penjara Sukamiskin. Penjara ini merupakan tempat

penahanan para pemimpin pergerak nasional. Setelah ditahan selama 53 hari di

Penjara Sukamiskin, pemerintah membebaskan K. H. Ruhiat. Meskipun demikian,

aktivitas materi dakwahnya tidak berubah sehingga pada akhir Februari 1942

untuk yang kedua kalinya, K. H. Ruhiat ditangkap dan ditahan di Penjara Ciamis.

16

Falah, 2009: 90; Mudzakir, 2007: 10.

15

Pemerintah Hindia Belanda kembali menuduh dirinya telah menghasut rakyat

untuk memberontak kepada pemerintah.17

Foto 8: Penjara Kota Tasikmalaya, Tahun 2008

Keterangan: Di Penjara Kota Tasikmalaya, K. H. Ruhiat pernah ditahan selama satu hari sebelum

dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Bandung

Sumber: Dokumentasi Penulis, Mei 2008.

Penahanan K. H. Ruhiat yang kedua kalinya tidak berlangsung lama

karena Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada

Balatentara Jepang. Penguasa perang Jepang segera membebaskan seluruh

tahanan politik sehingga K. H. Ruhiat kembali dapat melakukan aktivitas

dakwahnya. Dalam pandangan K. H. Ruhiat, pendudukan Jepang tidaklah berbeda

dengan Belanda yang sama-sama ingin menguasai bangsa Indonesia. Bersama-

17

Lubis, 2006: 121-122.

16

sama dengan K. H. Zaenal Mustofa, ia berupaya menumbuhkan nasionalisme

meskipun gaya dan caranya menunjukkan perbedaan dengan sahabatnya itu. Bagi

K. H. Ruhiat, keteguhan hati dalam memegang akidah jauh lebih penting daripada

bertindak secara fisik. Pikiran tersebut terungkap ketika K. H. Ruhiat bersama

dengan ulama lainnya “melakukan” seikerei di bawah todongan senjata tentara

Jepang.18

Foto 9: Pondok Pesantren Sukamanah

Keterangan: K. H. Zaenal Mustofa yang mendirikan Pesantren Sukamanah merupakan sosok

ulama yang memiliki pemikiran sejalan dengan K. H. Ruhiat meskipun berbeda

stratetgi dalam perjuangannya. Di pesantren ini, pada Februari 1944, K. H. Zaenal

Mustofa melakukan perlawanan kepada Balatentara Jepang.

Sumber: Dokumentasi Penulis, Mei 2008.

Sementara itu, tekad K. H. Zaenal Mustofa untuk memberontak kepada

Jepang semakin kuat. Beberapa hari sebelum Peristiwa Sukamanah meletus, K. H.

Zaenal Mustofa berkunjung ke rumah K. H. Ruhiat untuk mengajaknya bergabung

18

Lubis, 2006: 123; Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung

17

mengangkat senjata melawan Jepang. K. H. Ruhiat lebih memilih untuk berjuang

di bidang pendidikan sambil berkata”Kang abdi mah mung tiasa ngadu’akeun

bae, mudah-mudahan cita-cita Akang tiasa kawujudkeun. Abdi sawios bade

ngadidik masyarakat bae margi abdi mah masih nya’ah kanu bodo” Lantas K. H.

Zaenal Mustofa pun mendo’akan yang sama dan kemudian sama-sama bertekad

untuk berjuang di bidang masing-masing.19

Meskipun K. H. Ruhiat tidak terlibat

dalam pertempuran di Sukamanah, namun ia tetap ditahan oleh Pemerintah Militer

Jepang dengan tuduhan memiliki keterkaitan dengan K. H. Zaenal Mustafa

meskipun tidak secara aktif terlibat dalam peristiwa tersebut. Selama dua bulan K.

H. Ruhiat mendekam di Penjara Tasikmalaya.

Jepang hanya berkuasa di Indonesia sampai 15 Agustus 1945 dan harus

menyerahkan kembali kepada Sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia II.

Sebelum itu dilakukan, bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan

pada 17 Agustus 1945. Ketika berita kemerdekaan itu sampai ke Cipasung, K. H.

Ruhiat segera berangkat ke Kota Tasikmalaya untuk menyatakan dukungannya

kepada Republik Indonesia. Dengan padang yang terhunus, ia berpidato di

babancong, podium terbuka di alun-alun Tasikmalaya ia menyatakan dengan

tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diumumkan sejalan dengan perjuangan

Islam. Sehubungan dengan itu, kemerdekaan tersebut harus dipertahankan dan

jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka

19

Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

18

seraya menghunuskan pedangnya itu yang dibalasa dengan pekikan merdeka dari

umatnya yang berkumpulan di alun-alun Tasikmalaya.20

K. H. Ruhiat membuktikan ucapannya itu dengan ikut mempertahankan

kemerdekaan meskipun ia tidak ikut mengangkat senjata. Yang ia lakukan adalah

menanamkan kesadaran bahwa di kalangan masyarakat bahwa kemerdekaan itu

harus dipertahankan. Penjajahan jangan kembali dialami oleh bangsa Indonesia. Ia

pun selalu menginformasikan pergerakan tentara Belanda sehingga para pejuang

bisa mengatur strategi perjuangannya.21

Tindakannya itu telah mendorong

Belanda menjadikan K. H. Ruhiat sebagai ajengan yang harus dibunuh.

Sehubungan dengan itu, tentara NICA datang ke pesantren ketika ia sedang solat

ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun, tentara NICA

tersebut memuntahkan peluru ke arah K. H. Ruhiat, tetapi tidak mencapai sasaran.

K. H. Ruhiat lolos dari upaya pembunuhan yang dilakukan tentara NICA, namun

dua santrinya tewas dan seorang lagi cedera di kepala. Gagal membunuh,

Pemerintah NICA menangkap dan menjeblos K. H. Ruhiat ke Penjara

Tasikmalaya selama sembilan bulan pada saat Agresi Militer II. Ketika

Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, K. H. Ruhiat pun

dibebaskan dari Penjara Tasikmalaya.22

Bukti lain yang menunjukkan bahwa K. H. Ruhiat mendukung

kemerdekaan RI adalah penolakannya terhadap eksistensi Darul Islam/Tentara

Islam Indonesia (DI/TII). Ia menolak tawaran untuk menjadi salah seorang imam

Darul Islam karena gerakan tersebut dipandangnya sebagai bughat yang berusaha

20

Anonim, 2006: 2. 21

Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung. 22

Anonim, 2006: 2-3.

19

mendirikan negara di dalam negara. K. H. Ruhiat mendukung bagi terjaganya

keutuhan NKRI sehingga ikut serta secara aktif dalam pertemuan kaum ulama

dengan pemerintah dan militer di Gedung Mitra Batik pada 1956. Dalam

pertemuan itu disepakati untuk mengembalikan dan menjaga keamanan daerah

Priangan Timur sebagai upaya mempersempit gerakan DI/TII. Akibat menolak

gerakan DI/TII, K. H. Ruhiat dijadikan sasaran tembak pemberontak. Namun

upaya DI/TII tersebut selalu gagal karena K. H. Ruhiat memiliki tempat

persembunyian di kompleks pesantrennya.23

Aktivitas di bidang sosial politik lainnya yang dilakukan oleh K. H.

Ruhiat adalah berusaha membesarkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Selain

pernah menjadi Rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya, ia pun aktif di NU Jawa

Barat. Di tingkat pusat, K. H. Ruhiat pernah menjadi A’wan (pembantu) Dewan

Syuriah PBNU dari tahun 1954-1959. Pada 28 November 1977, seluruh

aktivitasnya berhenti seiring kepergiannya menghadap Sang Khalik.

Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Ketua PB NU,

K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1960-an

23

Wawancara dengan H. Sahid, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

20

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Menko Kesra,

K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1964

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

21

DAFTAR SUMBER

Buku, Dokumen, dan Surat Kabar

Anonim. t.t. Riwayat Singkat K. H. Ruhiat (Almarhum) Pendiri Pondok Pesantren

Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tasikmalaya.

Bunyamin, H. A. E. 1995. Lintasan Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di

Tasikmalaya. Tasikmalaya.

Falah, Miftahul. 2009. Perubahan Sosial di Kota Tasikmalaya. Tesis. Bandung:

Program Pascasarjana Fasa Unpad.

Lubis, Nina H. 2006. 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Puslit

Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lemlit Unpad.

MUI Jabar. 2005. MUI dalam Dinamika Sejarah (BMAU ke MUI di Jawa Barat).

Bandung: MUI Propinsi Jawa Barat.

Al-Imtisal, 26 Juni 1926. No. 7.

Wawancara

Abdul Hadi, 84 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren

Cipasung.

H. Sahid, 76 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren

Cipasung.

Hj. Euis Hasanah, 58 Tahun, Putra Ke-10 K. H. Ruhiat dari istri pertamanya,

Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

K. H. Agus Saiful Bahri, 49 Tahun, Putra bungsu K. H. Ruhiat dari istri

pertamanya, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

Web Site

Anonim. 2006. K. H. Ruhiat Cipasung Seorang Ajengan Patriot. Diakses dari

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=83

35, tanggal 29 April 2010, pukul 19.45 WIB.

Anonim. 2007. Diakses dari http://mui-jabar.or.id/index.php?option=com_con-

tent&task=view&id=96&Itemid=50, tanggal 29 April 2010, pukul 19.50

WIB.

Mudzakir, Amin. 2007. Pengusaha dan Islam di Tasikmalaya 1930-1980an.

Diakses dari http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/pengu

saha_dan_islam_di_tasikmalaya.html, tanggal 13 Agustus 2009, Pukul

22.05 WIB.