jurusan pendidikan agama islam fakultas ilmu tarbiyah dan...
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN FIQIH MAWARIS
DI JURUSAN PAI FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag.
Oleh
S O L E H U D I N
NIM: 109011000255
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
ABSTRAK
Solehudin 109011000255
Efektivitas Metode Diskusi dalam Pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Metode merupakan salah satu komponen pendidikan yang sangat penting
dan besar peranannya dalam menentukan keberhasilan suatu pendidikan. Oleh
karena itu seorang pendidik diharapkan dapat menentukan metode yang tepat
sehingga metode tersebut dapat berfungsi secara efektif dan efisien guna
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Salah satu tolok ukur untuk menilai keberhasilan mengajar adalah
menggunakan hasil yang dicapai peserta didik dalam belajar yang optimal.
Meskipun sampai saat ini alat yang dipergunakan untuk menilai atau mengukur
keberhasilan belajar belum diketahui tingkat keobjektifan, tingkat ketepatan, atau
pun tingkat keberhasilannya, namun keberhasilan belajar peserta didik yang
dicapai berdasarkan penilaian “sebagaimana adanya” memberikan petunjuk bagi
para pendidik untuk lebih meningkatkan hasil belajar siswanya.
Salah satu metode yang sering digunakan selain metode ceramah dan
tanya jawab adalah metode diskusi. Metode diskusi adalah metode mengajar
dengan cara menghadapkan siswa pada suatu permasalahan untuk dipecahkan
bersama-sama yang bertujuan untuk menambah pemahaman siswa terhadap
materi pembelajaran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan
metode diskusi pada pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan
bentuk metode deskriptif. Dan menggunakan instrument kuesioner sebagai
sumber data.
Dalam menganalisis data, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat
efektivitas metode diskusi pada pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ini hasilnya memuaskan. Ini dapat dilihat dari nilai rata-rata
responden pada mata kuliah ini yang mencapai 81,03.
ABSTRACT
Method is one of the most important educational component and a major
role in determining the success of an education. Teacher is expected to use the
appropriate method so that the learning process can effectively and efficiently in
order to achieve the educational goals.
One of the important roles in seeing the successful of teaching is by using
the results of learner achievement in learning. Although until now the tools which
used to assess or measure the success of the study is unknown the level of
objectivity, accuracy, or level of success, but the success of learners who achieved
based assessment "as is" give evidence for teachers to improve the learning
outcomes of their students ,
One of the method which often used by teacherbeside the method of talk
and question-answer is the method of discussion. Discussion method is a method
of teaching by means exposes students to a problem to be solved together which
aims to increase students understanding towards learning material.
The purpose of this study was to determine the effectiveness of Discussion
method on learning FiqhMawaris in the Department of Islamic Education (PAI)
Tarbiyah and Teaching Faculty of UIN SyarifHidayatullah Jakarta. This study
used quantitative research approach with descriptive methods form. And use
questionnaire instrument as a data source.
In analyzing the data, it can be concluded that the level of discussion on
the effectiveness of teaching methods FiqhMawaris in the Department of Islamic
Education (PAI) Tarbiyah and Teaching Faculty of UIN SyarifHidayatullah
Jakarta's results are satisfactory. This can be seen from the average value of the
respondents on this subject, which reached 81.03.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabil ‘Alamiin. Itulah kata pertama yang penulis ucapkan
kepada Engkau Ya Rabb yang Maha Rahman dan Maha Rahim, karena atas izin-
Mu lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, berserta keluarga, dan para
sahabatnya.
Di dalam penyusunan skripsi ini penulis sadari bahwa banyak sekali
bantuan, dukungan, maupun bimbingan yang penulis dapatkan dari berbagai
pihak. Tanpa bantuan, dukungan, serta bimbingan mereka maka penyusunan
skripsi ini tentu akan mengalami banyak sekali rintangan dan hambatan. Sehingga
sudah sepantasnya ucapan terima kasih keluar dari mulut penulis kepada mereka
semua, khususnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr H. Ahmad Thib Raya M.A., Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ketua Jurusan PAI Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3. Ibu Marhamah Shaleh, Lc. M.A, Sekretaris Jurusan PAI Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan.
4. Bapak Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag., Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya untuk memberikan
bimbingan, arahan, nasehat, dorongan dan motivasi kepada penulis.
5. Bapak Prof. Dr. Abudin Nata, M.A., Dosen Pembimbing Akademik
penulis, yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis selama
masa perkuliahan hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
proses pembelajaran dikampus tercinta.
6. Seluruh Dosen Pengajar yang telah mengajar dan memberikan ilmunya
kepada penulis selama proses perkuliahan berlangsung. Semoga Allah
SWT memberikan balasan dan pahala berlipat atas ilmu yang telah
diberikan dengan ikhlas.
ii
7. Kepala Perpustakaan Umum UIN Jakarta dan Perpustakaan FITK yang
telah menyediakan berbagai referensi yang penulis butuhkan selama
penyusunan skripsi ini;
8. Kedua orang tua tercinta, ayahanda H. Saepuloh (Alm.) dan Ibunda
Unung yang telah mendidik, mendoakan, dan membesarkan penulis
dengan tulus penuh keikhlasan.
9. Kakak serta adik tercinta, Awan Mulyawan, Nani Nuraeni, Aceng
Solihin, Ceng Sodikin, Asep Abdul Rohman, dan Neng Nina Marlina.
10. Kawan-kawan PAI angkatan 2009 wa bil khusus kelas G, Ahmad
Fauzi, Ahmad Qosay, Alimudin, Edi Sutrisna Putra, Dicky Hermawan,
Faisal Mubarok, Fauzi Ayatullah, Hafas Baihaqi, Muhammad Irfan
Zidni, Rian Ariandi, Sadam Husen, Saifulludin, Salamatul Firdaus,
Sarya, Sidiq Anshori, Sihabudin, Zainal Muttaqin serta kawan-kawan
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
11. Keluarga besar MAN 22 Jakarta, tempat dimana penulis bekerja.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu
persatu akan tetapi banyak membantu untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari
tehnik penulisan maupun materi. Atas dasar inilah segala bentuk kritik dan saran
dari para pembaca sekalian sangat penulis harapkan. Terakhir, penulis berharap
semoga skripsi ini bisa menjadi bacaan yang bermanfaat untuk kita semua. Amin!
Jakarta, 21 Mei 2015
Penulis,
Solehudin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………….. 6
C. Pembatasan Masalah ………………………………………………. 7
D. Perumusan Masalah ……………………………………………….. 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………….. 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Metode Diskusi ……………………..….………………………....... 8
1. Pengertian Metode Diskusi ……………………………………… 8
2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Diskusi …………………… 10
3. Jenis-jenis Diskusi ……………………………………………… 11
4. Langkah-langkah Pelaksaan Diskusi …………………………… 12
B. Proses Pembelajaran ………..……………………………................ 14
1. Pengertian Pembelajaran ……………………………………....... 14
2. Peran Pendidik dalam Diskusi …………………………………… 16
C. Mawaris …………………………………………………………........ 16
1. Pengertian Kewarisan Islam …………………………………...... 16
2. Dalil Kewarisan Islam………………………..………………….. 19
3. Faktor-faktror yang Menjadi Sebab Kewarisan ………………… 26
4. Faktor-faktor yang Menjadi Penghalang Kewarisan ………….... 28
5. Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan Sebelum
Dibagikan Kepada Ahli Waris…………………………………… 29
6. Ahli Waris dalam Kewarisan Islam ……………………………… 31
7. Cara Pembagian Warisan ………………………………………… 38
BAB III METODE PENELITIAN
A. Variable Penelitian ………………………………………………….... 41
B. Populasi dan Sampel ……….……………………………………….... 41
C. Metode Penelitian ………...…………………………………………. 42
D. Teknik Pengumpulan Data ………….. …………………………….... 42
E. Teknik Analisis Data …………………………………………………. 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Jurusan Agama Islam (Pai) Fakultas Ilmu
Tarbiyah Dan Keguruan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
………………………...........................................................................
1. Sejarah dan Perkembangan Prodi Studi …………………………
2. Visi, Misi, dan Tujuan ………………………………………......
3. Profil Lulusan dan Learning Outcomes …………………………
4. Dosen Jurusan Agama Islam …………………………………….
B. Deskripsi data ………………………………………………….........
C. Analisis Data …………………………………………………..........
D. Interpretasi Data …………………………………………….
46
46
52
54
55
56
66
71
BAB V PENUTUP
Kesimpulan …………………………………………………………….. 72
Saran ………………………………………………………………......... 73
DAFTAR TABEL
Table 4.1. ………………………………………………………………………………. 46
Table 4.2 ……………………………………………………………………………….. 47
Table 4.3 ……………………………………………………………………………….. 47
Table 4.4 ……………………………………………………………………………….. 48
Table 4.5 ……………………………………………………………………………….. 48
Table 4.6 ……………………………………………………………………………….. 49
Table 4.7 ……………………………………………………………………………….. 49
Table 4.8 ……………………………………………………………………………….. 50
Table 4.9 ……………………………………………………………………………….. 50
Table 4.10 ………………………………………………………………………………. 51
Table 4.11 ……………………………………………………………………………….. 51
Table 4.12 ……………………………………………………………………………….. 52
Table 4.13 ……………………………………………………………………………….. 52
Table 4.14 ……………………………………………………………………………….. 53
Table 4.15 ……………………………………………………………………………….. 53
Table 4.16 ……………………………………………………………………………….. 54
Table 4.17 ……………………………………………………………………………….. 54
Table 4.18 ……………………………………………………………………………….. 55
Table 4.19 ……………………………………………………………………………….. 55
Table 4.20 ……………………………………………………………………………….. 56
Table 4.21 ……………………………………………………………………………….. 57
Table 4.22 ……………………………………………………………………………….. 58
Table 4.23 ……………………………………………………………………………….. 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan
Nasional Bab IV Pasal 28 Ayat 3, pendidik sebagai agen pembelajaran harus
memiliki empat kompetensi inti, di antaranya adalah kompetensi paedagogik.
Selanjutnya dalam Permendiknas No. 16 Tahun 2007 Tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kualifikasi Guru dijelaskan bahwa pendidik yang
memiliki kompetensi paedagogik adalah pendidik yang mampu mengusai
karakteristik peserta didik baik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual, menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik (menerapakan berbagai macam pendekatan,
strategi, metode,dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif dalam
mata pelajaran yang di ampu), mengembangkan kurikulum yang terkait dengan
mata pelajaran yang ampu, menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik,
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran, memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan peserta didik, menyelenggarakan penilaian dan
evaluasi proses dan hasil belajar, memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi
untuk kepentingan pembelajaran, dan melakukan tindakan reflektif untuk
peningkatan kualitas pebelajaran.1
1LampiranPeraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2004, tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, h.16-17.
2
Agar seorang pendidik dapat mengajar secara efektif, seorang pendidik
harus meningkatkan mutu mengajarnya. Sedangkan dalam meningkatkan kualitas
mengajar hendaknya pendidik mampu menggunakan metode pembelajaran yang
sesuai dengan materi pelajaran serta mampu menerapkannya dalam bentuk
intereksi belajar mengajar.
Dalam pandangan filosofi pendidikan, metode merupakan alat untuk
mencapai tujuan. Banyak terdapat macam metode yang dalam penggunaannya
perlu disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, materi, kondisi lingkungan
dimana proses pembelajaran itu berlangsung, sarana dan prasarana, kemampuan
guru sendiri sebagai pengguna metode, dan kemampuan peserta didik yang
semuanya itu disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Dalam proses pembelajaran, pendidik harus mengusai metode dan teknik
pembelajaran, memahami materi dan bahan ajar yang cocok dengan kebutuhan
belajar dan berprilaku membelajarkan peserta didik. Pendidik berperan untuk
memotivasi, mengarahkan, memfasilitasi dan membimbing peserta didik
melakukan kegiatan belajar. Sedangkan peserta didik berperan untuk
mempelajari kembali, memecahkan masalah guna meningkatkan taraf hidup
dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mendidik di samping sebagai ilmu juga seni, seni mendidik dimaksud
adalah keahlian dalam meyampaikan pendidikan (metode pembelajaran). Tujuan
pokok dari pembelajaran adalah mengubah prilaku peserta didik berdasarkan
tujuan yang telah direncanakan dan disusun oleh pendidik sebelum proses
pembelajaran berlangsung.
Pendidik pada umumnya menggunakan metode yang monoton, sehingga
menyulitkan peserta didik menerima dan memahami pelajaran. Faktor itulah
salah satu penyebab ketidak berhasilan peserta didik mencapai tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan dalam proses
pembelajaran guna meningkatakan kualitas pendidikan.
3
Salah satu komponen yang menjadi sasaran peningkatan kualitas
pendidikan adalah proses pembelajaran.Upaya peningkatan pendidikan melalui
perbaikan pembelajaran, merupakan tantangan yang selalu dihadapi oleh setiap
orang yang berkecimpung dalam profesi pendidikan dan kependidikan. Banyak
upaya telah dilakukan, banyak pula keberhasilan telah dicapai, meskipun disadari
bahwa apa yang dicapai belum belum sepenuhnya memberi kepuasan sehingga
menuntut renungan, pemikiran, dan kerja keras untuk memecahkan masalah yang
dihadapi.
DalamUndang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 diterangkan bahwa
“Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.”2Sedangkan menurut Abdul Majid,
“Pembelajaran merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dan peserta didik
dalam suatu pengajaran untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan.”3 Dalam
pembelajaran diperlukan adanya rencana pembelajaran yang matang dan
terperinci, sehingga dapat memberikan peluang terjadinya keberhasilan pendidik
dari hasil belajar peserta didik yang semakin baik dan meningkat.
Menganalisis upaya meningkatkan proses pembelajaran, pada intinya
tertumpu pada suatu persoalan, yaitu bagaimana pendidik memberikan
pembelajaran yang memungkinkan bagi siswa terjadi proses belajar yang efektif
atau dapat mencapai hasil sesuai tujuan. Persoalan ini membawa implikasi
sebagai berikut:
1. Pendidik harus mempunyai pegangan asasi tentang mengajar dan dasar-dasar
teori belajar;
2. Pendidik harus dapat mengembangkan system pembelajaran;
3. Pendidik harus mampu melakukan proses pembelajaran yang efektif;
2Lampiran Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 3.
3Abdul Majid, PerencanaanPembelajaran, Mengembangkan Standar Kompetensi Guru,
Bandung: PT. Rosdakarya, 2012, cet. IX, h. 135.
4
4. Pendidik harus melakukan penilaian hasil belajar sebagai dasar umpan balik
bagi seluruh proses yang ditempuh.4
Salah satu tolok ukur untuk menilai keberhasilan mengajar adalah
menggunakan hasil yang dicapai peserta didik dalam belajar. Meskipun sampai
saat ini alat yang dipergunakan untuk menilai atau mengukur keberhasilan
belajar belum diketahui tingkat keobjektifan, tingkat ketepatan, atau pun tingkat
keterandalannya, namun keberhasilan belajar peserta didik yang dicapai
berdasarkan penilaian “sebagaimana adanya” memberikan petujuk bagi para
pendidik untuk lebih meningkatkan hasil belajar siswanya.
Upaya untuk meningkatkan keberhasilan peserta didik di antaranya dapat
dilakukan melalui upaya perbaikan proses pembelajaran. Dalam proses perbaikan
pembelajaran ini peranan pendidik sangat penting, yaitu menetapkan metode
pembelajaran yang tepat. Oleh karena itu sasaran proses pembelajaran adalah
peserta didik, maka dalam metode pembelajaran, fokus perhatian pendidik adalah
upaya membelajarkan peserta didik. Sesungguhnya mengajar hendaknya
dilakukan dengan metode pembelajaran atau cara yang efektif agar diperoleh
hasil lebih baik. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan mengajar yang baik
pula dengan menguasai metode pembelajaran selain diperlukan juga sikap mental
untuk mau memperbaiki atau meningkatkan kemampuan belajar.
Pendidik seharusnya mampu menentukan metode pembelajaran yang
dipandang dapat membelajarkan siswa melalui proses pembelajaran yang
dilaksanakan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan hasil
belajarpun diharapkan dapat lebih ditingkatkan. Metode dapat ditentukan oleh
pendidik dengan memperhatikan tujuan dan materi pembelajaran. Pertimbangan
pokok dalam menentukan proses pembelajaran terletak pada keefektifan proses
pembelajaran. Tentu saja orientasi guru adalah peserta didik. Jadi, metode
4Sumati dan Asra, Metode Pembelajaran, (Bandung: CV Wahana Priama, 2008), cet. II, h.
xii.
5
pembelajaran yang digunakan pada dasarnya hanya berfungsi sebagai bimbingan
agar peserta didik belajar.
Dalam proses pembelajaran di kelas tidak terkecuali Fiqih Mawaris harus
terus diupayakan peningkatan-peningkatan ke arah berkembangnya kemampuan
peserta didik baik yang berupa kemampuan kognitif, afektif, maupun
psikomotorik. Pembelajaran yang tradisional yang tidak memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk aktif dan kreatif seharus kombinasikan dengan
pendekatan-pendekatan dan metode-metode pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Hal ini dilakukan utuk menjawab tantangan ilmu pengetahuan yang
berkembang semakin pesat.
Peran strategis Fiqih Mawaris adalah untuk menghindari hal-hal negatif
yang timbul dari harta peninggalan yang ditinggalkan si mayit. Harta
peninggalan seseorang yang meninggal dunia serigkali menimbulkan sengketa
dan pertengkaran dalam sebuah keluarga, yang dapat memutuskan tali
silaturahmi atau tali persaudaraan dalam keluarga. Putusnya tali persaudaraan
disebabkan masing-masing ahli waris ingin mendapatkan bagian yang lebih
banyak jika perlu mendapatkan seluruh harta waris sedangkan ahli waris lain
tidak perlu mendapatkan bagian. Bagaimana pengembangan pendidikan Fiqih
Mawaris menjadi pendidikan intelektual yang dirasakan manfaatnya oleh peserta
didik dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan produktifitas,
pendidik, peserta didik dan kurikulum. Karena ketiga komponen ini merupakan
komponen utama untuk berlangsungnya pendidikan disekolah.
Namun fakta di lapangan, pembelajaran Fiqih Mawaris sering kali
terkendala minat para peserta didik untuk mempelajari ilmu tersebut. Hal ini
muncul, karena anggapan bahwa Fiqih Mawaris merupakan ilmu yang sulit untuk
dipelajari. Di samping itu, biasanya pendidik terlalu terpaku pada satu metode,
yaitu metode ceramah sehingga mengakibatkan pesertadidik bosan ketika proses
pembelajaran berlangsung, yang otomatis membuat perhatian para peserta didik
6
kurang fokus. Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat agar proses
pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Salah satu metode yang kerap kali digunakan pendidik dalam proses
pembelajaran selain metode ceramah dan tanya jawab adalah metode diskusi.
Penggunaan metode diskusi secara tepat yang sesuai dengan prosedur
pelaksanaannya tentu akan memberi hasil yang baik kepada siswa.
Menurut Ghufran Ihsan, metode yang tepat untuk pembelajaran Fiqih
Mawaris di tingkat PerguruanTinggi adalah metode diskusi.5 Metode ini tepat
untuk menumbuhkan sikap kritis dan toleransi bagi siswa. Karena dengan metode
ini mahasiswa terbiasa mendegar pendapat orang lain, sekalipun pendapat itu
berbeda dengan pendapatnya. Dan juga untuk membiasakan mahasiswa berpikir
secara logis dan sistematis, serta melatih keberanian dan keterampilan mahasiswa
dalam berkomunikasi dan mengemukakan pendapat, sehingga dapat
meningkatkan aktivitas dan kecakapan mereka dalam belajar.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis bermaksud untuk meneliti lebih
jauh mengenai masalah ini, dengan judul “EFEKTIVITAS METODE
DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN FIQIH MAWARIS DI JURUSAN
PAI FITK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ”.
B. Identifikasi Masalah
Sebelum penulis membatasi masalah di atas, kiranya dapat di identifikasi
beberapa masalah yang berkenaan dengan judul di atas sebagai berikut:
a. Fiqih Mawaris dianggap ilmu yang sulit untuk dipelajari.
b. Siswa kurang tertarik dengan metode ceramah.
5Hasil Wawancara dengan Ghufran Ihsan, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta, Tentang
Metode Yang Tepat untuk Pembelajaran Fiqih Mawaris di Perguruan Tinggi, di Kediaman Ghufran
Ihsan, Hari Senin Tanggal 8 September 2014 .
7
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan dan terbatasnya kemampuan serta
waktu penulis, maka penulis membatasi masalah dalam penelitian ini pada:
Efektivitas penggunaan metode diskusi dalam pembelajaran Fiqih Mawaris.
D. Perumusan Masalah
Dari pembahasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini dapat dirumuskan: Bagaimana efektivitas metode diskusi
dalam pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, di antaranya adalah:
a. Untuk mendeskripsikan data, fakta, dan teori tentang efektivitas metode
diskusi dalam pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan Pendidikan Agama
Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Untuk menyumbang kajian ilmu pendidikan tentang pembelajaran Fiqih
Mawaris. Dengan demikian dapat memperkaya khazanah keperpustakaan
dalam penyelenggaraan pembelajaran Fiqih Mawaris.
2. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi, referensi, dan
bahan perbandingan bagi peneliti lain dalam penulisan ilmiah terkait.
b. Menjadi dasar bagi pendidik dan sekolah untuk pembuatan regulasi dan
program perbaikan yang terkait dengan pembelajaran Fiqih Mawaris.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Metode Diskusi
1. Pengertian Metode Diskusi
Secara etimologi metode berasal dari bahasa Greek (Yunani)
“metodos” yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui
atau melewati dan hodos yang berarti jalan atau cara. Jadi metode berarti
jalan yang dilalui.1 Sedangkan dalam pendidikan Islam metode dikenal
dengan disebutan manhaj, wasilah, kaifiyah, thariqah yang semuanya
merupakan sinonim yang mempunyai pengertian jalan atau cara yang
harus ditempuh.2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode
mempunyai arti “cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.3 Sedangkan secara terminologi metode
adalah rencana menyeluruh yang berhubungan dengan penyajian mata
pelajaran secara teratur dan tidak bertentangan serta didasarkan pada suatu
approach.4
Menurut Runes, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Noor
Syam, secara teknis menerangkan bahwa metode adalah:
1Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat pers,
2002), h. 41. 2Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan Standar Kompetensi
Pendidik), (Bandung: Pt. Remaja Rosda Karya, 2011), cet. XI, h. 136. 3Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2005), cet. III, h. 740. 4Muljanto Sumarno, Pengajaran Bahasa Asing, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), cet. I, h.
12.
9
1. Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2. Suatu prosedur teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari
ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.5
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, bila dikaitkan dengan proses
pendidikan, maka metode adalah suatu prosedur yang digunakan pendidik
dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan (dari segi pendidik). Sedangkan dari segi peserta
didik, metode adalah teknis yang digunakan peserta didik untuk menguasai
materi tertentu dalam proses mencari ilmu pengetahuan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa metode
adalah seperangkat teknis dan suatu cara yang harus dimiliki dan
digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan pelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan yang diinginkan.
Sedangkan diskusi berasal dari bahasa Inggris yaitu Discution yang
mempunyai arti perundingan atau pembicaraan.6 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran
mengenai suatu masalah.7 Menurut istilah diskusi adalah suatu proses
berpikir bersama untuk memahami suatu masalah, menemukan sebab-
sebabnya, serta mencari pemecahannya. Sedangkan metode diskusi
menurut Killen yang dikutip oleh Wina Sanjaya dalam bukunya Strategi
Pembelajaran, metode diskusi adalah metode pembelajaran yang
meghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Tujuan dari metode ini
adalah untuk memecacahkan suatu permasalahan, menjawab pertanyaan,
5Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendndikan Islam “Pendekatan Historis, Teoritis,
dan Praktis”, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 65. 6Jhon M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (PT Gramedia: Jakarta,
2005), cet. XXVI, h. 186. 7Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai
Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), cet. X, h. 238.
10
menambah dan memahami pengetahuan siswa, serta membuat suatu
keputusan.8
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode
diskusi adalah adalah suatu metode atau cara mempelajari materi pelajaran
dengan cara menghadapkan siswa pada suatu permasalahan untuk
dipecahkan bersama-sama yang bertujuan untuk menambah pemahanan
siswa terhadap materi pembelajaran.
Al-Qur’an telah mengisyaratkan pentingnya penggunaan metode
diskusi dalam proses pembelajaran terdapat pada surat an-Nahl ayat 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (QS. An-Nahl[16]: 125)
2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Diskusi
Ada beberapa kelebihan metode diskusi, manakala diterapkan dalam
kegiatan belajar mengajar.
a. Metode diskusi dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif
khususnya dalam memberikan gagasan atau ide-ide.
b. Dapat melatih siswa untuk membiasakan diri bertukar pikiran
dalam mengatasi setiap masalah.
c. Dapat melatih siswa untuk mengemukakan pendapat atau gagasan
secara verbal. Di samping itu, diskusi juga bisa melatih siswa untuk
menghargai pendapat orang lain.9
8Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan, (Bandung,
Kencana Prenada Media Group, 2012), cet. XII, h. 154. 9Ibid., h. 156.
11
Selain beberapa kelebihan, diskusi juga memiliki beberapa kelemahan,
di antaranya:
a. Sering terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh 2 orang
atau 3 orang siswa yang memiliki keterampilan berbicara.
b. Kadang-kadang pembahasan dalam diskusi meluas, sehingga
kesimpulan kabur.
c. Memerlukan waktu yang panjang, yang kadang-kadang tidak sesuai
dengan keinginan.
d. Dalam diskusi sering terjadi perbedaan pendapat yang bersifat
emosional yang tidak terkontrol. Akibatnya, kadang-kadang ada
pihak yang merasa tersinggung, sehingga dapat mengganggu iklim
pembelajaran.10
3. Jenis-jenis Diskusi
Terdapat bermacam-macam jenis diskusi yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran, di antaranya lain;
a. Diskusi Kelas
Diskusi kelas atau juga disebut diskusi kelompok adalah proses
pemecahan masalah yang dilakukan oleh seluruh anggota kelas sebagai
peserta diskusi.
b. Diskusi Kelompok Kecil
Diskusi kelompok kecil dilakukan dengan cara membagi siswa dalam
kelompok-kelompok. Jumlah anggota kelompok antara 3-5 orang.
Pelaksanaannya dimulai dengan pendidik menyajikan permaslahan
secara umum, kemudian masalah tersebut dibagi-bagi kedalam
submasalah yang harus dipecahkan oleh setiap kelompok kecil. Selesai
diskusi dalam kelompok kecil, ketua kelompok menyajikan hasil
diskusi.
c. Diskusi Simposium
Simposium adalah metode mengajar dengan membahas suatu
persoalan dipandang dari berbagi sudut pandang berdasarkan keahlian.
Simposium dilakukan untuk memberikan wawasan yang luas kepada
siswa. Setelah penyaji memberikan pandangannya tentang masalah
10
Ibid.
12
yang dibahas, maka simposium diakhiri dengan pembacaan
kesimpulan hasil kerja tim perumus yang telah ditentukan sebelunya.
d. Diskusi Panel
Diskusi panel adalah pembahasan suatu masalah yang dilakukan oleh
beberapa orang panelis yang biasanya terdiri dari 4-5 orang di depan
audiens.11
Diskusi panel berbeda dengan jenis diskusi lainya. Dalam
diskusi panel audiens tidak terlibat langsung, tetapi berperan hanya
sekedar peninjau para panelis yang sedang melaksanakan diskusi. Oleh
karena itu, agar diskusi panel efektif perlu digabungkan degan metode
lain, misalnya degan etode penugasan. Siswa ditugaskan merumuskan
hasil pembahasan dalam diskusi.
Jenis diskusi apapun yang digunakan, dalam proses pelaksanaannya,
pendidik harus mengatur kondisi agar: (1) setiap siswa dapat berbicara
mengeluarkan pendapatnya; (2) setiap siswa harus saling mendengar
pendapat orang lain; (3) setiap siswa harus memberikan respon; (4) setiap
siswa harus dapat mengumpulkan atau mencatat ide-ide yang dianggap
penting; dan (5) melalui diskusi siswa harus dapat mengembangkan
pengetahuannya serta memahami isu-isu yang dibicarakan dalam diskusi.
4. Langkah-langkah Pelaksanaan Diskusi
Menurut Wina Sanjaya, Agar penggunaan diskusi berhasil dengan
efektif, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Langkah Persiapan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam persiapan diskusi di antaranya:
1) Merumuskan tujuan yang akan dicapai, baik tujuan yang bersifat
umum maupun tujuan yang bersifat khusus. Tujuan yang ingin
dicapai mesti dipahami oleh setiap siswa sebagai peserta diskusi.
Tujuan yang jelas dapat dijadikan sebagai kontrol dalam
pelaksanaan.
11
Ibid., h. 157.
13
2) Menentukan jenis diskusi yang dapat dilaksanakan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, apabila tujuan yang ingin
dicapai adalah penambahan wawasan siswa tentang suatu persoalan,
maka dapat digunakan diskusi panel; sedangkan jika yang
diutamakan adalah pengembangan kemampuan siswa dalam
mengembangkan gagasan, maka simposium dianggap sebagai
diskusi yang tepat.
3) Menetapkan masalah yang akan dibahas. Masalah dapat ditentukan
dari isi materi pembelajaran atau masalah-masalah yang aktual yang
terjadi dilingkungan masyarakat yang berhubungan dengan materi
pelajaran sesuai dengan bidang studi yang di ajarkan.
4) Mempersiapkan segala sesuatu yang berhubugan dengan teknis
pelaksanaan diskusi, misalnya kelas dengan segala fasilitasnya,
petugas-petugas diskusi seperti moderator, notulis, dan tim perumus,
manakal diperlukan.
b. Pelaksanaan Diskusi
Beberapa hal yang perlu diperhatiakan dalam melaksanakan
diskusi adalah:
1) Memeriksa segala persiapanyang dianggap dapat mempengaruhi
kelancaran diskusi.
2) Memberikan pengarahan sebelum dilaksanakan diskusi, misalnya
menyajikan tujuan yang ingin dicapai serta aturan-aturan diskusi
sesuai dengan jenis diskusi yang dilaksanakan.
3) Melaksanakan diskusi sesuai dengan aturan main yang telah
ditetapkan. Dalam pelaksanaan diskusi hendaklah memperhatikan
suasana atau iklim belajar yang menyenangkan, ialnya tidak tegang,
tidak saling menyudutkan, dan lain sebagainya.
4) Memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta diskusi
untuk mengeluarkan gagasan dan ide-ide.
14
5) Mengendalikan pembicaraan pada pokok persoalan yang sedang
dibahas. Hal ini sangat penting, sebab tanpa pengendalian biasanya
arah pembahasan menjadi melebar dan tidak fokus.
c. Menutup Diskusi
Akhir dari proses pembelajaran dengan menggunakan metode
diskusi hendaklah dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Membuat pokok-pokok pembahasan sebagai kesimpulan sesuai
dengan hasil diskusi.
2) Me-review jalannya diskusi dengan meminta pendapat dari seluruh
peserta sebagai umpan balik untuk perbaikan selanjutnya.12
B. Proses Pembelajaran
1. Pegertian Pembelajaran
Sebelum kita bahas apa itu pembelajaran, sebaiknya dipahami
terlebih dahulu konsep belajar dan mengajar. Secara umum belajar dapat
diartikan sebagai proses perubahan prilaku, akibat interaksi individu
dengan lingkungan.13
Jadi perubahan prilaku adalah hasil belajar. Artinya,
seseorang dikatakan belajar, jika ia dapat melakukan sesuatu yang tidak
dapat dilakukan sebelumnya. Konsep belajar juga telah banyak
dikemukakan oleh para ahli. Menurut Gagne, Belajar adalah suatu proses
dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.
Driscroll menjelaskan, Belajar yaitu perubahan terus-menerus dalam
kinerja atau potensi kerja manusia. Oemar Malik berpendapat, Belajar
adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.
Sedangkan menurut Nana Syaodih, Belajar adalah segalaperubahan
tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotor dan
terjadi melalui pengalaman.14
12
Ibid., h. 158-159. 13
Sumiati dan Asra, Metode Pembelajaran, (Bandung:CV Wacana Prima, 2008), cet. II,
h. 38. 14
Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Direktorat Jendral Pendidikan
Islam Departemen Agama), cet. I, h. 3.
15
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Belajar
adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan sehingga membuat suatu
perubahan perilaku yang berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotor.
Kegiatan belajar erat kaitannya dengan kegiatan mengajar. Sebagai
pendidik kita perlu memahami secara cermat tentang konsep mengajar.
Pada dasarnya mengajar merupakan suatu usaha untuk menciptakan
kondisi atau sistem yang mendukung dan memungkinkan untuk
berlangsungnya proses belajar. Mengajar adalah proses membimbing
kegiatan belajar dan kegiatan mengajar akan bermakna bila terjadi
kegiatan belajar siswa. Menurut S. Nasution, Mengajar adalah
mengorganisir lingkungan dengan sebaik-baiknya dan menghubungkan
dengan siswa sehingga terjadi kegiatan belajar.15
Kegiatan belajar dan mengajar dikenal dengan istilah
pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun
meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan
prosedur yang saling mempengaruhi untuk mempercepat tujuan
pembelajaran.16
Menurut Oemar Malik, Pembelajaran adalah sesuatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material,
fasilitas, perlengkapan, prosedur yang saling mempengaruhi dalam
mencapai tujuan pembelajaran.
Muhammad Surya menjelaskan bahwa Pembelajaran adalah suatu
proses yang diakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu sendiri dalam interaksi dengan lingkugannya. Berdasarkan UU
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pembelajaran adalah suatu
proses interaksi peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Menurut Corey, pembelajaran adalah suatu proses dimana
15Ibid., h. 7.
16
Ibid.
16
lingkungan secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta
dalam tingkah laku tertentu.17
Dari beberapa konsep pembelajaran sebagaimana dikemukakan di
atas, dapat dimaknai bahwa di dalam pembelajaran terdapat interaksi
antara peserta didik, melibatkan unsur-unsur yang saling mempengaruhi
untuk mencapai tujuan atau kompetensi yang diharapkan. Pembelajaan
menggambarkan kegiatan pendidik mengajar dan siswa sebagai
pembelajar dan unsur-unsur lain yang saling mempengaruhi.
2. Peran Pendidik dalam Diskusi
Peranan seorang pendidik dalam diskusi pada umumnya adalah
sebagai berikut:
a. Pengatur jalannya diskusi, yaitu:
1) . Menentukan materi atau masalah yang ingin didiskusikan.
2) . Menjaga ketertiban pembicaraan
3) . Memberi rangsangan kepada siswa untuk berpendapat.
4) . Memperjelas suatu pendapat yang dikemukakan.
b. Sebagai dinding penangkis, yaitu menerima dan menyebarkan
pertanyaan/pendapat kepada seluruh peserta.
c. Sebagai petunjuk jalan, yaitu memberikan pengarahan tentang tata
cara diskusi.18
C. Mawaris
1. Pengertian Kewarisan Islam
Ungkapan yang dipergunakan oleh al-Qur’an untuk menunjukan
adanya kewarisan islam dapat dilihat pada tiga jenis kalimat, yakni al-irtsi,
al-faraidh, dan al-tirkah.
a. Al-Irts
Al-Irts adalah bentuk mashdar dari kata waritsa, yaritsu, irtsan.
Bentuk masdhar-nya bukan hanya kata irtsan, melainkan termasuk juga
kata waritsan, turatsan, dan wiratsatan. Kata-kata itu berasal dari kata
17
Ibid., h. 8 18
Sumiati dan Asra, Metode Pembelajaran… h. 144.
17
waritsa, yang berakar dari huruf-huruf waw, ra, dan tsa, yang bermakna
dasar pemindahan harta milik, atau perpindahan pusaka.19
Berangkat dari makna dasar ini, maka dari segi makna yang lebih
luas, kata al-irts mengandung arti perpindahan sesuatu dari seseorang
kepada seseorang, atau perpindahan dari satu kaum ke kaum yang
lainya, baik berupa harta ilmu, atau kemuliaan.
Tetapi dalam konsteks ilmu mawarits, al-irts mempunyai makna
harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris sesudah diambil
untuk kepentingan pengurusan jenazah, pelunasan utang, serta
pelaksanaan wasiat.
b. Al-Faraidh
Kata al-Faraidh adalah bentuk jamak dari faridhah yang bermakna
mafrudhah yaitu sesuatu yang diwajibkan. Artinya saham-saham yang
telah ditentukan kadarnya. Dengan demikian penyebutan faraidh
didasarkan pada bagian yang diterima ahli waris.
Berdasarkan saham-saham yang sudah menjadi hukum pasti
tersebut, ternyata konsteks kata yang merujuk pada kepastian terdiri
dari dua kata. Pertama, dalam surat an-Nisaa’ ayat 7:
Menurut al-Maraghiy kata ضا dalam ayat ini mengandung makna يفر
bahwa saham yang telah ditentukan kadarnya itu, para ahli waris harus
mengambil sedikit atau banyak menurut saham yang telah ditetapkan
Allah swt. Kedua, dalam surat an-Nisaa’ ayat 11:
19Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1995), h. 23.
18
.
Menurut al-Maraghiy, kata ضح -mengandung makna bahwa saham فر
saham yang disebutkan itu disertai siapa-siapa ahli waris yang akan
memperoleh saham tersebut. Dan ini merupakan ketetapan yang harus
diimplementasikan.
Dari dua konsteks kata yang berbeda itu, maka dapat dinyatakan
bahwa surat an-Nisaa’ ayat 7 bersifat umum, baik saham-saham
maupun jumlah ahli waris belum disebutkan satu persatu. Adapun surat
an-Nisaa’ ayat 11 bersifat khusus karena baik saham maupun jumlah
ahli waris telah disebutkan secara terperinci.
c. Al-Tirkah
Al-Tirkah dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari kata
tunggal taraka. Dan tercatat 28 kali dalam al-Quran dalam berbagai
konsteks yaitu taraka 24 kali, tatruku 1 kali, dan tariku 3 kali. Sehingga
mengandung dua makna dasar, yakni membiarkan dan peninggalan
sebagaimana tercantum pada surat an-Nisaa’ ayat 7, 11, 12 dan 176.20
Keseluruhan kata taraka yang terdapat dalam surat an-Nisaa’
adalah bentuk madhi, rahasianya karena yang meninggal adalah seorang
pewaris. Untuk itu Abu Zahra mengatakan bahwa huruf ma pada kata
mimma taraka atau ma taraka yang terdapat dalam ayat tersebut
mengandung makna semua yang ditinggalkan oleh pewaris berupa harta
yang menjadi milik ahli waris, baik sedikit ataupun banyak.21
20Ibid., h. 30.
21
Ibid., h. 31.
19
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tirkah adalah segala
sesuatu yang ditinggalkan ahli waris. Baik yang berupa harta maupun
hak. Dan tirkah itu bisa dibagikan kepada ahli warisnya setelah
dikurangi biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang, dan wasiat.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa konsep kewarisan
Islam terdiri dari konsep al-irts, al-faraidh, dan al-tirkah mempunyai
unsur yang berbeda. Istilah al-irts mengacu pada sebab terjadinya
kewarisan dengan unsur utama adalah perkawinan, hubungan nasab,
dan hubungan wala. Istilah faraidh mengacu pada format saham yang
akan diterima ahli waris, yakni 1/2, 2/3, 1/4, 1/8, 1/3, dan 1/6. Adapun
istilah al-tirkah mengacu pada kewajiban pewaris yang harus dipenuhi
oleh ahli warisnya sebelum harta pusakanya dibagi habis kepada ahli
warisnya, berupa biaya pengurusan jenazah, pelunasan hutang, dan
pemenuhan wasiat.22
2. Dalil Kewarisan Islam
Dasar dan sumber dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam)
adalah nash atau teks yag terdapat dalam al-Quran dan sunnah Nabi. Ayat-
ayat al-Quran dan Sunnah Nabi secara langsung mengatur kewarisan
tersebut antra lain sebagai berikut.
a. Ayat-ayat al-Quran
1) QS. an-Nisaa’ Ayat 7:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
(QS. an-Nisaa’[4]: 7).
22Ibid., h. 33.
20
Ketentuan dalam ayat ini, merupakan landasan utama yang
menunjukan bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan
sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan
pengakuan Islam bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa
jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda
yang dapat diwariskan.23
2) QS. an-Nisaa’ Ayat 11:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
23Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika), cet. II, h. 12.
21
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. an-Nisaa’[4]: 11)
Ayat ini merinci ketentuan tentang bagian masing-masing
ahli waris. Pertama: bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan. Kedua: jika yang meninggal hanya
memiliki anak perempuan, dan anak perempuan itu dua orang atau
lebih, maka mereka bersekutu dalam mendapatkan dua pertiga
(2/3). Ketiga: jika anak perempuan itu seorang diri saja tidak ada
anak lain baik anak laki-laki ataupun anak perempuan, maka ia
memperoleh setengah (1/2). Keempat: ibu dan bapak masing-
masing mendapatkan bagian seperenam (1/6) jika yang meninggal
mempunyai anak. Kelima: jika yang meninggal tidak mempunyai
anak, dan ia diwarisi ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat
sepertiga (1/3) dan sisanya untuk bapaknya. Keenam: jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara yakni dua orang
saudara atau lebih, baik saudara sekandung, sebapak, seibu,
ataupun campuran baik laki-laki ataupun perempuan, dan yang
meninggal itu tidak mempunyai anak, maka ibunya, mendapatkan
seperenam (1/6), sedangkan sisanya untuk bapaknya, dan saudara-
saudara itu tidak mendapatkan sedikitpun warisan.24
3) QS. an-Nisaa’ Ayat 12:
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran),
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet. I, h. 343.
22
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun”. (QS. an-Nisaa’[4]: 12).
Ayat ini masih merupakan lanjutan dari rincian ketentuan
tentang bagian masing-masing ahli waris. Pertama: suami
mendapatkan setengah bagian (1/2) dari harta yang ditinggalkan
isterinya, jika isterinya tidak mempunyai anak. Kedua: suami
mendapatkan bagian seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkan
isterinya, jika isterinya mempunyai anak. Ketiga: isteri atau
beberapa isteri bersekutu dalam mendapatkan bagian seperempat
bagian (1/4) dari harta yang ditinggalkan suaminya, jika suaminya
tidak mmpunyai anak. Keempat: isteri atau beberapa isteri
23
bersekutu dalam mendapatkan bagian seperdelapan bagian (1/8)
dari harta yang ditinggalkan suaminya, jika suaminya mmpunyai
anak. Kelima: jika seseorang meninggal tidak meninggalkan bapak
dan anak, tapi meninggalkan saudara laki-laki seibu atau saudari
perempuan seibu, masing-masing dari keduanya mendapatkan
seperenam bagian (1/6). Keenam: jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam mendapatkan
sepertiga bagian (1/3).25
4) QS. an-Nisaa’ Ayat 13:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari
Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan
yang besar”. (QS. an-Nisaa’[4}: 13).
5) QS. an-Nisaa’ Ayat 14:
“Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa
yang menghinakan”. (QS. an-Nisaa’[4]: 14)
Kedua ayat di atas memberi dorongan, peringatan serta janji
dan ancaman dengan menegaskan bahwa bagian-bagian yang
ditetapkan di atas, itu adalah batas-batas Allah yakni ketentuan-
ketentuan-Nya yang tidak boleh dilanggar. Siapa taat kepada Allah
25
Ibid., h. 348-349.
24
dan rasul-Nya dengan mengindahkan batas-batas itu, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa yang mendurhakai
Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka.26
6) QS. an-Nisaa’ Ayat 176:
.
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu”. (QS. an-Nisaa’[4]: 176)
Ayat ini merupakan petunjuk atau fatwa menyangkut
pertayaan tentang kalalah (seseorag yang meninggal dunia tidak
meninggalkan bapak dan tidak meninggalkan anak). Pertama: Jika
yang meninggal dunia mempunyai satu orang saudara perempuan
(sekandung atau sebapak), maka saudara perempuan itu
mendapatkan setengah bagian (1/2) dari harta yang
26
Ibid., h. 350.
25
ditinggalkannya. Kedua: Jika yang meninggal dunia mempunyai
saudara laki-laki (sekandug atau sebapak), maka ia mewarisi
seluruh harta yang ditiggalkannya. Ketiga: Jika saudara perempuan
itu dua orang atau lebih, maka mereka bersekutu dalam
mendapatkan 2/3. Keempat: Jika yang meninggal dunia
mempunyai saudara laki-lai dan juga saudara perempuan
(sekandung atau sebapak), maka bagian laki-laki sama dengan
bagian dua orang saudara perempuan.27
b. Al-Hadits
1) Hadit Nabi dari Abdullah ibnu Abbas ra.:
ات أتو، ع ش، ع طا حنا ات ة، حد ى حنا إتراىى، حد حنا يسهى ت حد
ص سهى: عثاش، قال: قال رسل للا و ا هى للا عه أنحقا انفرائض تأىهيا، ف
نى رجم ل في . )راه انثخاري(ذكر تق28
“Berikanlah Faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang
berhak dan selebihnya kepada laki-laki dari keturunan laki-laki
yang terdekat”. (HR. Bukhari)
2) Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid ra:
ات حنا أت عاصى، ع حد ، ع حس ت عه شياب، ع ات ج، ع جر
و صهى للا عه اننث ا: أ عني للا د رض ز أسايح ت ، ع ا عخ ر ت ع
سهى ال انكافر ان سهى انكافر سهى قال: ال رث ان (يسهى )راه .29
“Dari Usamah bin zaid ra. bahwa Nabi saw. Bersabda: seseoran
muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi
seorang muslim”. (HR. Muslim)
27
Ibid., h.655. 28
Al-Hafid ‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-Mundziri, Ringkasan Hadits
Shahih Bukhariy, Terj. dari Mukhtashar Shahih Bukhari oleh Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka
Amani), cet. II, h. 1035. 29
Al-Hafid ‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-Mundziri, Ringkasan Shahih
Muslim, Terj. Ringkasan Hadits Shahih Muslim oleh Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka Amani)
Cet. II, h. 545.
26
3. Faktor-Faktor yang Menjadi Sebab Kewarisan
Sesorang tidak berhak mendapatkan warisan, kecuali karena salah
satu di antara sebab-sebab berikut:
a. Hubungan Pernikahan
Hubungan pernikahan adalah suami-istri saling mewarisi karena
mereka telah melakukan aqad pernikahan secara sah. Dengan demikian,
suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya. Demikian pula sebaliknya,
istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya.30
Dalam surat an-Nisaa’ ayat 12 disebutkan:
...
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu...”. (QS. an-Nisaa’[4]:12)
b. Hubungan Nasab
Sebab utama terjadinya kewarisan adalah pernikahan. Apabila
pernikahan telah berlangsug, maka resmilah ada suami-istri. Dari
pasangan ini, lahir pula keturunan yakni anak cucu.
Selanjutnya, dari pasangan suami-istri itu, masing-masing
mempunyai orang tua. Dan orang tua itu, masing-masing juga
mempunyai orang tua yang disebut kakek dan nenek. Demikian pula
suami-istri itu mempunyai saudara-saudara dan saudar-saudara tersebut,
masing-masing juga mempunyai keluarga sendiri. Lahirlah istilah
sepupu dan sebagainya. 31
Apabila dikelompokan hubungan nasab dapat dibagi kedalam tiga
kelompok, yaitu:
1) Keturunan (al-furu‟)
2) Leluhur (al-ushul)
30
Ali Parma, Kewarisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.1995), h. 62.
31
Ibid., h. 65.
27
3) Ahli waris menyamping (al-hawasyi).32
c. Hubungan Memerdekakan (Wala)
Yang dimaksud dengan hubungan wala adalah seseorang menjadi
ahli waris karena ia telah memerdekakan budaknya. Jadi apabila
seseorang telah dimerdekakan tuannya, maka ketika ia wafat, ahli
warisnya adalah bekas tuannya itu.
Unsur-unsur terjadinya wala dalam kewarisan adalah masih
hidupnya bekas tuan, telah wafatnya budak setelah dimerdekakan, dan
ada harta yang ditinggalkan oleh bekas budak itu. 33
Jadi bekas tuan adalah ahli waris dari bekas budaknya dan dapat
berkedudukan sebagai ashabah apabila ia tidak mempunyai keturunan
dan kerabat-kerabat lainya. Dasar hukum wala dapat menjadi sebab
terjadinya kewarisan adalah berdasarkan firman Allah dalam surat an-
Nisaa’ ayat 33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu”. (QS. An-Nisaa’[4]:33)
Kata mawali dalam ayat tersebut adalah jamak dari kata wala yang
mengandung makna kekuasaan, seperti kekuasaan tuan kepada
hambanya.
32Komite Fakultas Syariah Univesitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), h. 338.
33
Ali Parman, Op. cit., h. 68.
28
4. Faktor-faktor yang Menjadi Penghalang Kewarisan
Penghalang waris mewarisi yaitu suatu tindakan atau hal-hal yang
menghilangkan atau menggugurkan hak seseorang sebagai hak ahli
waris atau sebagai pewaris menurut hukum syara‟.
Adapun penghalang hak waris mewarisi, yaitu:
a. Berbeda Agama/Kafir/Murtad
Berbeda agama berarti berbeda I‟tiqad atau keyakinan
menurut hukum syara’, seorang muslim tidak boleh saling
mewarisi dengan orang kafir atau murtad.34
Rasulullah saw.
bersabda:
، ع حس ت عه شياب، ع ات ج، ع جر ات حنا أت عاصى، ع حد
و صهى للا عه اننث ا: أ عني للا د رض ز أسايح ت ، ع ا عخ ر ت ع
سهى ا سهى قال: ال رث ان ال سهى. )راه نكافر يسهى(انكافر ان35
“Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak
dapat mewarisi seorang muslim. (HR. Muslim)
b. Pembunuhan
Adapun pengertian pembunuhan adalah suatu perbuatan
dosa terbesar di bawah kufur, yakni menghilangkan nyawa
seseorang, baik sendiri maupun membunuh secara masal, dengan
alat yang dapat mematikan, baik yang berbentuk materi ataupun
berbentuk non materi.
Rasulullah saw. bersabda:
ت د ح , ع ي ر ى س ان ,ع للا د ث ع ت اق ح س إ , ع ج ه ان حدحنا ح ث ت ق ا ن ح د ح
)راه .ث ر ال م ات ق ان قال: ص و. ث ن ان ع ج ر ر ى ت أ , ع ح ر ان د ث ع
انتريسي(36
34
Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara‟id , (Bandung: Titian ilmu,
2009), h. 20. 35
Al-Hafid ‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-MunDziri, Ringkasan Shahih
Muslim, Terj. Ringkasan Hadits Shahih Bukhariy oleh Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka
Amani), cet. II, h. 545. 36
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, Terj. Seleksi Hadits
Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi oleh Fachrurrazi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. I, h. 635.
29
“seorang pembunuh tidak mewarisi (harta orang yang dibunuh)”.
(HR. Turmidzi)
c. Perbudakan
Perbudakan secara bahasa berarti penghambatan dan
sesuatu yag lemah. Sedangkan secara istilah, perbudakan memiliki
kelemahan yang bersifat hukum yang mengusai seseorang akibat
kekufuran.37
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris mewarisi
ditinjau dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi
harta dari ahli warisnya dan juga tidak dapat mewariskan harta
kepada ahli warisnya. Sebab, budak itu hubungan nasab dengan
keluarganya dianggap telah putus, dan budak dianggap tidak cakap
untuk meneriam warisan. Apabila dipaksakan budak dapat
mewarisi pusaka orang yang meninggal, maka hartanya itu akan
berpindah tangan kepada tuannya karena kepemilikan budak atas
harta dianggap tidak sempurna. Sedangkan tuannya bukan
termasuk kerabat dari orang yang mewariskan.
5. Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Sebelum Dibagikan Kepada Ahli Waris
Terdapat tiga hak yang berkaitan dengan harta peninggalan
sebelum dibagikan. Keempatnya ini tidak sama kedudukannya,
sebagainya ada yang lebih kuat dari yang lain sehingga hak itu
didahulukan atas hak yang lain untuk dikeluarkan dari harta peningglan
itu. 38
berikut hak-hak tersebut sesuai dengan urutanya:
1. Biaya Pengurusan Jenazah (Tajhiz)
Tajhiz, ialah biaya pengurusan jenazah yang diperlukan
oleh seorang yang meninggal sejak dari dia wafatnya sampai
kepada menguburnya, seperti belanja, memandikannya,
37
Komite Fakultas Syariah Univesitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris... h.51. 38
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid XIV, (Bandung: PT. Al-Ma’arif ), h. 239.
30
mengkafaninya, menguburkannya, dan segala yang diperlukan
sampai diletakkannya ke tempat yang terakhir. Hak ini harus
diambil dari jumlah tirkah sebelum diambil hak-hak yang lain.
2. Pelunasan Utang (Wafa‟ al-Duyun)
Utang merupakan tanggungan yang haru dilunasi dalam
waktu tertentu (yang disepakati sebagai akibat dari imbalan yang
telah diterima orang yang berhutang). Apabila utang pada orang
lain belum dibayar, maka sudah seharusnya utang tersebut dilunasi
dari harta peningggalan, sebelum harta itu dibagikan kepada ahli
waris.39
Dasar hukum tentang wajibnya didahulukan pelunasan
utang si mayit, dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-
Nisaa’ ayat 11:
... ...
... (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.... (An-
Nisaa’: 11).
3. Pelaksanaan Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak
kebendaan kepada orang lain, yang berlaku apabila yang
menyerakannya itu meninggal dunia. Apabila seseorang meninggal
dunia, semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaannya
kepada sesuatu atau orang lain, wajib hukumnya dilaksanakan
sebelum harta peninggalannya dibagikan kepada ahli warisnya.40
Hal ini didasari oleh firman Allah dalam al-Quran surat An-
Nisaa’ ayat 11 sebagaimana tercamtum di atas.
39
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h. 42 40
Ibid., h. 43
31
6. Ahli Waris dalam Kewarisan Islam
a. Dzawil Furudh
Dzawil furudh ialah kelompok orang yang menerima bagian
yang kadar bagiannya telah ditetapkan di dalam nash al-Qur’an
(Furudhul Muqoddaroh). Ulama faraidh telah menetapkan jumlah
furudhul muqoddaroh dalam nash al-Qur’an ada 6 macam yaitu; 1/2,
2/3, 1/4, 1/8, 1/3, dan1/6.
1) Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 1/2
a) Suami
Suami mendapatkan bagian 1/2 dengan satu syarat.
yaitu, tidak ada far‟u mayit (anak laki-laki, cucu laki-laki
dari anak laki-laki, anak perempuan, dan cucu perempuan
dari anak lakil-laki).41
Jika ada far‟u mayit, maka suami
mendapatkan bagian 1/4
b) Satu Anak Perempuan
Satu anak perempuan mendapatkan bagian 1/2,
dengan dua syarat;
(1) Tidak ada muashib (anak laki-laki). Jika ada menjadi
ashobah bil ghoir
(2) Tidak ada mumatsil (anak perempuan lainnya). Jika
anak perempuan itu berjumlah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapatkan bagian 2/3.42
c) Satu Cucu Perempuan dari Anak Laki-Laki
Satu cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan
1/2 dengan 4 syarat, yaitu:
(1) Tidak ada anak laki-laki. Jika maka mahjubah.
(2) Tidak ada anak perempuan. Jika anak perempuannya
satu orang, ia mendapatkan bagian 1/6, dan jika anak
41
Ibid., h. 33. 42
Ibid.
32
perempuanya dua atau lebih, maka ia mahjubah.
Kecuali ada cucu laki-laki yang membawanya
mendapatkan ashobah bil ghoir.
(3) Tidak ada muashib. Jika ada, ia terbawa mendapatkan
ashobah bil ghoir.
(4) Tidak ada mumatsil. Jika ada ia bersama-sama
mendapatkan bagian 2/3.43
d) Satu Saudari Perempuan Sekandung
Satu saudari perempuan sekandung mendapatkan
bagian 1/2 dengan 5 syarat, yaitu:
(1) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak. Jika
ada mahjubah.
(2) Tidak kakek dari bapak
(3) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki atau kedua-duanya. Jika ada ia mendapatkan
ashobah bil ghoir.
(4) Tidak ada muashib.
(5) Tidak ada mumatsil.44
e) Satu saudari perempuan sebapak
Satu saudari perempuan seayah mendapatkan 1/2
dengan 8 syarat, yaitu:
(1) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak. Jika
ada mahjubah.
(2) Tidak kakek dari bapak
(3) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki atau kedua-duanya. Jika ada ia mendapatkan
ashobah bil ghoir.
(4) Tidak ada saudara laki-laki sekandung. Jika ada
mahjubah.
43Ibid. 35.
44
Ibid.
33
(5) Tidak ada saudari perempuan sekandung. Jika saudari
perempuan sekandung itu satu orang ia mendapatkan
1/6, dan apabila saudari perempuan sekandung itu dua
orang atau lebih, maka ia mahjubah.
(7) Tidak ada saudara perempuan sekandung yang telah
mendapatkan ashobah ma‟al ghoir. Jika ada ia
mahjubah. Kecuali ada saudara laki-laki sebapak yang
membawanya mendapatkan ashobah bil ghoir.
(8) Tidak ada muashib.
(9) Tidak ada mumatsil.45
2) Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 2/3
Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 2/3 ada 4,
yaitu;
a) Dua anak perempuan atau lebih.
b) Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih.
c) Dua saudari perempuan sekandung atau lebih.
d) Dua saudari sebapak atau lebih.
Syarat-syaratnya hampir sama dengan syarat
mendapatkan 1/2, tapi dalam mendapatkan 2/3 ini baik anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dst harus
bersama dengan mumatsil-nya.
3) Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 1/4
a) Suami
Suami mendapatkan bagian 1/4 apabila si mayit
meninggalkan far‟u mayit.46
Jika tidak ada, far‟u mayit
maka suami mendapatkan bagian 1/2.
b) Istri
45Ibid., h. 36.
46
Ibid., h.39.
34
Istri mendapatkan bagian 1/4 dengan satu syarat, yaitu si
mayit tidak meninggalkan far‟u mayit. Jika ada, maka istri
mendapatkan bagian 1/8.
4) Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 1/8
Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 1/8 hanya ada
satu, yaitu istri. Istri mendapatkan bagian 1/8 apabila si mayit
meninggalkan far‟u mayit.
5) Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 1/3
a) Ibu
Ibu mendapatkan bagian 1/3 dengan dua syarat, yaitu:
(1) Tidak ada far‟u mayit. Jika ada, maka ibu hanya
mendapatkan bagian 1/6.
(2) Tidak ada „„„adad ikhwah. Jika ada, maka ibu hanya
mendapatkan bagian 1/6.
b) Dua Orang Saudara Seibu baik laki-laki, perempuan atau
campuran dari keduanya.
Dua orang saudara perempuan mendapatkan bagian 1/3
dengan 3 syarat, yaitu:
(1) Tidak ada far‟u mayit. Jika ada, maka mahjub.
(2) Tidak ada bapak. Jika ada, maka mahjub.
(3) Tidak ada kakek dari bapak. Jika ada, maka mahjub.47
6) Dzawil furudh yang mendapatkan bagian 1/6
a) Bapak
Syarat bapak mendapatkan bagian 1/6 yaitu jika si
mayit meninggalkan far‟u mayit. Apabila far‟u mayit-nya
laki-laki maka bapak hanya mendapatkan 1/6 saja,
sedangkan apabila far‟u mayit-nya perempuan, maka
bapak mendapatkan 1/6 sisa jika ada sisa harta. Apabila
tidak ada far‟u mayit, bapak mendapatkan bagian
ashobah.
47Ibid., h. 38.
35
b) Kakek
Syarat kakek mendapatkan bagian 1/6 ada 2 yaitu:
(1) Adanya far‟u mayit. Jika tidak ada, maka kakek
mendapatkan bagian ashobah.
(2) Tidak ada bapak. Jika ada, maka mahjub.
c) Ibu
Syarat ibu mendapatkan bagian 1/6 ada 2, yaitu:
(1) Ada far,u mayit. Jika tidak ada, ibu mendpatkan 1/3.
(2) Ada „adad ikhwah. Jika tidak ada. Ibu mendapatkan
bagian 1/3.
d) Nenek
Syaratnya si mayit tidak meninggalkan ibu. Jika
ada, nenek mahjubah.
e) Saudara perempuan sebapak satu atau lebih
Satu saudari perempuan sebapak mendapatkan 1/6
dengan 6 syarat, yaitu:
(1) Tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak.
Jika ada mahjubah.
(2) Tidak ada kakek dari bapak .
(3) Tidak ada anak perempuan atau cucu perempuan dari
anak laki-laki yang mendapatkan bagian 1/2. Jika
tidak ada, ia mendapatkan 1/2.
(4) Tidak ada saudara laki-laki sekandung. Jika ada
mahjubah.
(5) Harus bersama satu orang saudari perempuan
sekandung. Jika tidak ada, maka dia mendapatkan 1/2.
(6) Tidak ada saudara perempuan sekandung yang telah
mendapatkan ashobah ma‟al ghoir. Jika ada ia
mahjubah.48
48Ibid., h.45.
36
f) Satu Orang Saudara Seibu
Syarat saudara seibu mendapatkan bagian 1/6 ada 4, yaitu:
(1) Tidak ada far‟u mayit. Jika ada, maka ia mahjub.
(2) Tidak ada bapak. Jika ada, maka ia mahjub.
(3) Tidak ada kakek dari bapak. Jika ada mahjub.
(4) Tidak ada saudara seibu lainnya. Jika ada mereka
mendapatkan bagian 1/3.
b. Dzawil Ashobah
Ashobah adalah laki-laki dari kerabat si mayait, dimana
dalam nisbatnya ke si mayit, tidak ada perempuan. Menurut al-
Jauhari dalam bukunya, ash-shobah, disebutkan bahwa ashobah-
nya laki-laki adalah bapaknya, anaknya, dan kerabatnya sebapak.
Dinamakan ashobah karena mereka mengelilinginya. Dalam istilah
ulama fiqih ashobah berarti ahli waris yang tidak mempunyai
bagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati
oleh para ulama (seperti ash-habul furudhh) atau yang belum
disepakati oleh mereka (seperti dzawi al-arham).
Di dalam kitab ar-Rahbiyyah, ashobah adalah setiap orang
yang mendapatkan semua harta waris, yang terdiri dari kerabat dan
orang yang memerdekakan budak, atau yang mendapatkan sisa
setelah pembagian bagian tetap.49
Para fuqoha telah menyebutkan tiga macam kedudukan
ashobah, yaitu:
1) Ashobah Binafsi
Ahobah binafsi ialah tiap-tiap kerabat yang lelaki yang
tidak diselangi seorang wanita.50
Jumlah mereka adalah: Anak
laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi
dibawahnya, bapak dan kakek serta generasi di atasnya,
saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara
49Alyasa Abu Bakar. Ahli Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: Inis, 1998), h. 252.
50
Hasbi Ash-Siddieqy. Fiqhul Mawarits, (Jakarta: Bulan Bintang. 1973). h. 142.
37
kandung, anak laki-laki saudara sebapak dan generasi
dibawahnya, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki
paman kandung, anak laki-laki paman sebapak.
2) Ashobah bil Ghairi
Ashobah bil ghairi ialah tiap wanita yang mempunyai
furudh tapi dalam mawarits menerima ushubah memerlukan
orang lain dan dia bersekutu dengannya untuk menerima
ushubah itu.51
Mereka adalah:
a) Satu anak perempuan atau lebih, yang ada bersama anak
laki-laki,
b) Satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, yang
ada bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c) Satu orang perempuan kandung atau lebih yang ada
bersama saudara kandung.
d) Satu orang saudara perempuan sebapak atau lebih yang
ada bersama saudara laki-laki sebapak.
3) Ashobah Ma‟al Ghair
Ahobah ma‟al ghair ialah tiap wanita yang memerlukan
orang lain dalam menerima ushubah. Sedangkan orang lain itu
tidak bersekutu menerima ushubah tersebut.52
Mereka adalah:
a) Seorang saudara perempuan kadung atau lebih, yang ada
bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak
laki-laki.
b) Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih, yang ada
bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak
laki-laki.
c. Dwawil Arham
Dzawil arham ialah keluarga yang tidak memiliki hak waris
menurut furudhh dan bukan termasuk ashobah.53
Dengan kata lain,
51Ibid., h. 147.
52
Ibid., h.153.
38
mereka yang tidak termasuk ashabul furudhh dan tidak termasuk
ashabul ashobah.
Dzawil arham baru diakui keberadaannya jika si mayit
tidak memiliki ahli waris. Jika dzawil arham itu satu orang, dia
mewarisi seluruh harta warisan, sebagaimana yang diterima oelah
seorang yang berhak menerima ashobah.
7. Cara Pembagian Warisan
Jika kita ingin membagi harta warisan kepada orang-orang yang
berhak setelah lunas semua utang dan melaksanakan semua wasiat si
mayit, kita harus mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan warisan.
Salah satu metode yang digunakan untuk mempermudah
perhitungan pembagian warisan adalah metode ushul masail/asal masalah.
Metode asal masalah ialah suatu cara menyelesaikan pembagian warisan
dengan mencari dan menetapkan asal masalah KPT yakni Kelipatan
Persekutuan bilangan Terkecil.54
Misal angka dua puluh empat (24)
menjadi asal masalah dari ahli waris dengan bagian 1/8, 1/2, dan 1/6,
sebab angka 6 dapat dibagi dengan angka 8 yang merupakan penyebut dari
1/8, dapat dibagi angka 2 yang merupakan penyebut dari 1/2, dan dapat
dibagi 6 yang merupakan penyebut dari 1/6.
Adapun langkah-langkah dalam metode asal masalah ini adalah
sebagai berikut:
a. Menyeleksi orang-orang yang menjadi dzawil furudh, dzawil ashobah,
dan dzawil arham;
b. Menentukan siapa saja ahli waris yang terhijab/terhalang sehingga
tidak mendapatkan bagian;
c. Menentukan bagian masing-masing dzawil furudh;
d. Menentukan asal masalah dan proses perhitungan.
53Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan
Syariat Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pusaka Mandiri. 2007), h. 541. 54
Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar... h.61.
39
Contoh soal:
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang
terdiri atas suami, 1 orang anak perempuan, ibu, 1 cucu perempuan dari
anak perempuan, 1 saudara laki-laki sekandung, 1 paman yang
sekandung dengan bapak. Harta yang ditinggalkan si mayit sebesar Rp.
24.000. 000,-.
Langkah pertama: Menentukan dzawil furudh, dzawil ashobah, dan
dzawil arham.
Dzawil furudh terdiri dari: suami, 1 orang anak perempuan, dan ibu.
Dzawil ashobah terdiri dari: saudara sekandung dan paman yang
sekandung dengan bapak. Dan dzawil arham terdiri dari: cucu
perempuan dari anak perempuan.
Langkah kedua: Menentukan ahli waris yang ter-hijab/terhalang.
Cucu perempuan dari anak perempuan terhijab oleh Dzawil furudh dan
dzawil ashobah, dan paman yang sekandung dengan bapak terhijab oleh
saudara sekandung.
Langkah ketiga: Menentukan bagian dzawil furudh.
Suami mendapatkan bagian 1/4 karena si mayit meninggalkan anak, 1
anak perempuan mendapatkan bagian 1/2 karena tidak ada muashib dan
juga mumatsil, ibu mendapatkan bagian 1/6 karena si mayit
meninggalkan anak.
Langkah keempat: Menentukan asal masalah dan proses perhitungan.
Suami mendapatkan bagian 1/4, 1 anak perempuan mendapatkan 1/2,
dan ibu mendapatkan 1/6, dengan demikian asal masalahnya adalah 12,
sebab angka 12 merupakan angka terkecil yang dapat dibagi dengan
penyebut 4, 2, dan 6. Adapun perhitungannya adalah:
Suami = 1/4 x 12 = 3 (3/12)
1 anak perempuan = 1/2 x 12 = 6 (6/12)
Ibu = 1/6 x 12 = 2 (2/12)
40
1 saudara sekandung selaku ashobah mendapatkan mendapatkan sisa 1
(1/12), sehingga jumlahnya menjadi genap yaitu 12 sesuai asal masalah,
yaitu 11 untuk Dzawil furudh dan 1 untuk dzawil ashobah.
Maka bagian masing masing adalah:
Suami = 3/12 x Rp. 24.000.000, = Rp. 6.000.000,-
1 anak perempuan = 6/12 x Rp. 24.000.000, = Rp. 12.000.000,-
Ibu = 2/12 x Rp. 24.000.000, = Rp. 4.000.000,-
1 saudara lk sekandung = 1/12 x Rp. 24.000.000, = Rp. 2.000.000,-
Jumlah = Rp. 24.000.000,-
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Adapun tempat yang dijadikan tempat penelitian dalam penelitian
ini adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Waktu Penelitian
Adapun waktu dalam penelitian ini terhitung dari bulan September
2014 sampai 14 April 2015.
B. Variabel Penelitian
Kata “Variabel” berasal dari bahasa Inggris “Variable” yang berarti
“Ubahan” faktor tak tetap atau gejala yang dapat berubah.1
Dalam penelitian ini ada 2 variabel:
1. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi yaitu pelaksanaan
metode diskusi.
2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi yaitu tingkat
keberhasilan metode diskusi pada pembelajaran mata kuliah Fiqih
Mawaris di Jurusan PAI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah kelompok besar individu yang mempunyai
karakteristik umum yang sama. Jadi, populasi adalah wilayah yang terdiri
1Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan,(Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,
2010), cet. XXI, h. 36.
42
subjek dan objek yag mempunyai karakteristik tertentu yang ditetapkan
peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya dan merupakan
keseluruhan objek penelitian.
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh mahasiswa
PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Sampel
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagian
mahasiswa PAI semester III angkatan 2013/2014 Kelas A dan B.
Mahasiswa PAI semester III angkatan 2013/2014 dipilih, karena pada
semester sebelumnya mahasiswa semester ini baru saja mendapatkan
mata kuliah Fiqih Mawaris.
D. Metode Penelitian
Adapun dalam penelitian ini penulis mengambil metode sebagai berikut:
1. Penelitaian Kepustakaan (Librari Research)
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara membaca, mempelajari, dan meneliti berbagai buku, majalah, surat
kabar serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
akan penulis bahas, baik buku-buku yang penulis miliki maupun buku-
buku perpustakaan.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengadakan penelitian langsung terhadap objek yang akan dituju untuk
memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
1. Angket
Angket merupakan teknik penelitian yang banyak memiliki
kesamaan dengan teknik wawancara, kecuali dalam pelaksanaannya.
43
Angket dilakukan secara tertulis, sedangkan wawancara dilakukan secara
lisan. Pada penelitian ini pegumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberikan daftar pertanyaan dalam bentuk tertutup atau terstruktur yang
berkaitan dengan pelaksanaan dan tingkat keberhasilan metode diskusi
yang sebelumnya telah disusun peneliti dan kemudian responden diminta
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
2. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi yang penulis pilih adalah nilai mata kuliah
Fiqih Mawaris mahasiswa PAIsemester II yang menggunakan metode
diskusi yang di dapat dari dokumentasi jurusan PAI FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
F. Teknik Analisis Data
Data yang penulis kumpulkan terdiri dari dua macam data, yaitu data
mengenai pelaksanaan metode diskusi yang diambil dari hasil angket yang
telah dijumlahkan skornya dan data mengenai keberhasilan yang diambil dari
nilai semester mata kuliah Fiqih Mawaris.
Untuk memberikan data tentang pelaksnaan metode diskusi yang diperoleh
melalui angket diberi skor sebagai berikut: Poin a skor 5, poin b skor 4, poin
c skor 3, dan d skor 1 (untuk pernyataan positif) dan sebaliknya untuk
pernyataan negatif. Bobot 5, 4, 3, 2 menunjukan urtutan tingkat karena
datanya berupa data ordinal. Pemberian skor berbobot 2, 3, 4 dan 5 tersebut
mempunyai arti tersendiri. Bobot 5 menyatakan angat efektif, bobot 4
menyatakan efektf, bobot 3 menyatakan kurang efektif, dan bobot 2
menyatakan tidak efektif.
Dalam menganalisis data mengenai pelaksanaan metode diskusi, penulis
mengecek dan memilih jawaban yang lengkap, kemudian memberi skor, dan
setelah itu dilanjutkan dengan mentabulasi data dalam daftar tabulasi
sehingga diketahuilah skor X dari tiap responden.
Analisa mengenai tingkat keberhasilan, penulis mencari nilai Fiqih
Mawaris mahasiswa PAI. Dari nilai-nalai tersebut diperoleh nilai Y dari tiap
44
responden berdasarkan nilai-nilai tersebut. Setelah nilai X dan Y diketahui
dimasukan kedalam tabulasi sesuai dengan rumusan yang digunakan dan
selanjutnya akan diketahui tingkat korelasi pada kedua variabel tersebut.
Untuk menganalisis hubungan kedua variabel digunakan teknik analisis
korelasi product moment dengan rumus:
Keterangan:
rxy = Angka Indeks Korelasi “r” Product Moment.
N = Number Of Cases.
∑X2= Jumlah dari seluruh skor variabel X, setelah terlebih dahulu
dikuadratkan.
∑Y2 = Jumlah dari seluruh skor Y, setelah terlebih dahulu dikuadratkan.
(X-Y) = Selisih antara variabel X dengan skor variabel Y.
(X-Y)2 = Kuadrat dari selisih antara variabel X dan variabel Y.
(∑X)2= Jumlah dari seluruh skor variabel X, setelah terlebih dahulu
dikuadratkan.
(∑Y)2= Jumlah dari seluruh skor variabel Y, setelah terlebih dahulu
dikuadratkan.
2 = Bilangan konstan (tidak boleh diubah-ubah).2
Setelah menganalisis hubungan 2 variabe diatas, penulis memberikan
interpretasi terhadap angka indeks korelasi “r” product moment serta menark
kesimpulan dengan 2 cara:
1. Memberi interpretasi secara kasar/sederhana yaitu dengan mencocokan
hasil penelitian dengan angka indeks korelasi “r” product moment yang
dengan uraian seperti dibawah ini:
± 0,00 Tidak berkorelasi
± 0,01 s/d ± 0,20 Korelasi sangat rendah
± 0,21 s/d ± 0,40 Korelasi rendah
± 0,41 s/d ± 0,60 Korelasi agak rendah
± 0,61 s/d ± 0,80 Korelasi cukup
2Ibid., h. 217.
45
± 0,81 s/d ± 0,99 Korelasi tinggi
± 1,00 Korelasi sangat tinggi
2. Memberi interpretasi dengan cara berkonsultasi pada tabel nilai “r”
product moment.
Untuk lebih memudahkan interpretasi terhadap angka indeks korelasi “r”
product momentdapat ditempuh dengan jalan berkonsultasi pada tabel “r”
poduct moent, prosedurnya sebagai berikut:
a. Merumuskan Hipotesis alternatif (Ha) dan. Hipotesis Nihil (Ho)
b. Menguji kebenaran hipotesis yang telah diajukan dengan jalan
membandingkan beberapa “r” yang diperoleh dalam proses perhitungan
atau “r” observasi (ro) dengan besarnya “r” yang tercantum dalam niali (rt)
baik pada taraf signifikansi 1% maupun pada taraf signifikansi 5% dengan
terlebih dahulu mencari derajat bebas (db) atau degrees of freedom-nya
(df) dengan rumus:
df = N – nr
df = Degrees of Freedom
N = Number of Cases
Nr = Banyaknya variabel yang dikorelasikan
Jika (ro) sama dengan atau lebih besar daripada (rt), maka hipotesis
alternatif (Ha) diterima atau terbukti kebenarannya, sebaliknya hipotesis
nihil (Ho) tidak dapat diterima. Ini berarti hipotesis nihil yang menyatakan
tidak ada korelasi antara variabel X dan Variabel Y itu salah.
Jika (ro) kurang dari (rt), maka hipotesis nihil (Ho) diterima. Ini
berarti bahwa hipotesis alternatif yang menyatakan adanya korelasi antara
variabel X dan variabel Y itu tidak terbukti kebenarannya.
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Jurusan Pendidikan Agama Islam (Pai)
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta
1. Sejarah dan Perkembangan program Studi
Menurut catatan sejarah, berdirinya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
itu di dasarkan padagagasan dan hasrat umat Islam yang merupakan mayoritas
bangsa Indonesia untuk mencetak kader pemimpin Islam yang diperlukan
bagi perjuangan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Gagasan tersebut sebenarnya sudah muncul sejak penjajahan Belanda,
yaitu ketika Dr. Satiman Wirjosandjojo berusaha mendirikan Pesantren Luhur
sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Agama.
Usaha itu tidak berhasil karena adanya hambatan dari pihak Belanda.
Selanjutnya pada tahun 1940 Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) di Padang
mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STI). Namu STI ini hanya berjalan
hingga tahun 1942 karena pendudukan Jepang di Indonesia. Di zaman
pendudukan Jepang usaha mendirikan Perguruan Tinggi Islam terus
dilakukan, hingga akhirnya pemerintah Jepang menjanjikan kepada umat
Islam Indonesia untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Agama di
Jakarta yang diketuai oleh Muhammad Hatta dengan sekretarisnya
Muhammad Natsir.
47
Selanjutnya, pada tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab
1364 H., yayasan tersebut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang
berkedudukan di Jakarta dan dipimpin oleh Abdul Kahar Mudzakkir.
Di antara tokoh-tokoh yang berjasa dalam usaha mendirikan
Perguruan Tinggi tersebut adalah Dr. Muhammad Hatta, K.H. A Kahar
Mudzakir, K.H. Mas Mansur, K.H. Fathurrahman Kafrawi (1901-1969), dan
K.H. Farid Ma’ruf.
Akibat kepindahan Pusat Pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta
pada tahun 1946, STI pun ikut pindah dan berganti nama menjadi Universitas
Islam Indonesia (UII) dengan fakultas-fakultas baru, sehingga UII memiliki 4
Fakultas, yaitu 1) Fakultas Agama; 2) Fakultas Hukum; 3) Fakultas Ekonomi;
4) Fakultas Pendidikan.
a. Periode ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama)
Di atas telah disebutkan bahwa pada UII terdapat Fakultas Agama.
Fakultas Agama ini kemudian dinegerikan dan berdiri sendiri menjadi
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950 dengan tujuan memberikan pengajaran
studi Islam tingkat tinggi dan menjadi pusat pengembangan serta
pendalaman ilmu pengetahuan agama Islam.
Berdasarkan perkembangan tersebut di atas, maka hari jadi PTAIN
ditetapkan pada tanggal 26 September 1950. PTAIN dipimpin oleh K.H.
Muhammad Adnan sebagai ketua Fakultas yang pada tahun 1951 telah
memiliki mahasiswa sebanyak 67 orang. PTAIN ini mempunyai 3 jurusan,
yaitu Tarbiyah, Qadla dan Dakwah.
Mahasiswa yang lulus ujian bakaloreat dan dektoral masing-masing
mendapat gelar Bachelor of Art dan Doctorandus dalam Ilmu Agama
Islam, dan mereka berhak diangkat dalam jabatan negeri.
Setelah PTAIN berdiri di Yogyakarta, pada tanggal 1 Juni 1957
berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di jakarta, dengan
48
tujuan mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri guna mendapatkan
ijazah pendidikan akademi dan semi akademi sehingga ia dapat menjadi
ahli didik agama pada Sekolah Menengah Umum, Sekolah Kejuruan dan
Sekolah Agama.
Hari jadi ADIA pada tanggal 1 Juni 1957 tersebut selanjutnya
ditetapkan sebagai hari jadi atau Dies Natalis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada
hakikatnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah kelanjutan dari ADIA.
Lama belajar di ADIA berlangsung selama 5 tahun, yang terdiri dari
tingkat semi akademi 3 tahun, dan tingkat akademi 2 tahun.
Di ADIA terdapat 3 Jurusan, yaitu Jurusan Pendidikan Agama,
Jurusan Bahasa Arab dan Jurusan Khusus Imam Tentara. Pimpinan ADIA
dipercayakan kepada Prof. Dr. H. Mahmud Yunus sebagai Dekan, dan
Prof. H. Bustami A. Gani sebagai Wakil Dekan.
Sesuai dengan fungsinya sebagai akademi dinas, mahasiswa yang
mengikuti kuliah pada akademi ini terbatas hanya pada mahasiswa tugas
belajar yang terdiri atas pegawai/guru agama dalam lingkungan
Departemen Agama yang berasal dari wakil-wakil daerah di seluruh
Indonesia setelah diseleksi.
b. Periode IAIN
Dalam perkembangannya selama 10 tahun, PTAIN mengalami
kemajuan pesat, baik dari segi jumlah mahasiswa, maupun dari segi
keluasan Ilmu Agama Islam yang dipelajari. Ratusan mahasiswa
berdatangan dari berbagai penjuru tanah air, bahkan juga dari Malaysia.
Demikian juga perkembangan dalam bidang studi Agama Islam, sehingga
semakin di rasakan perlunya terhadap penambahan mata kuliah lain yang
mencakup berbagai aspek kehidupan umat manusia dan perkembangan
agama Islam.
49
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam rangka
peningkatan pendid-ikan tinggi Islam, timbulah ide untuk menggabungkan
PTAIN yang ada di Yogyakarta dengan ADIA yang ada di Jakarta dalam
bentuk universitas atau institut. Usaha tersebut akhirnya terlaksana dengan
keluarnya Peraturaan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1960,
pada tanggal 24 Agustus 1960 bertepatan dengan tanggal 2 Rabi’ul Aw-
wal 1380 Hijriah. Dengan demikian nama Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) dapat dires-mikan oleh Menteri Agama dalam suatu upacara yang
bertempat di Gedung Kepatihan Yogyakarta.
PTAIN yang ada di Yogyakaarta berubah statusnya menjadi
Fakultas Ushu-luddin dan Fakultas Syari’ah. Sedangkan ADIA yang ada
di Jakarta di ubah menjadi Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab. Jurusan
PAI merupakan salah satu jurusan yang ada pada Fakultas Tarbiyah saat
itu.
c. Periode IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seiring dengan perkembangan IAIN yang demikian cepat yang di
tandai dengan adanya fakultas-fakultaas yang tersebar di seluruh
Indonesia, maka dipandang perlu untuk mengembangkan IAIN yang
berpusat di Yogyakarta menjadi institut yang masing-masing berdiri
sendiri. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 49 Tahun
1963, maka di putuskan adanya dua IAIN, masing-masing IAIN Sunan
Kalijaga di Yogyakarta, dan IAIN Syarif Hidaytullah di Jakarta.
Sehubungan dengan pengembangan tersebut, maka dilakukan
pembagian wilayah koordinasi sebagai berikut:
1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengkoordinasikan fakultas-
fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya.
2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengkordinasikaan fakultas-fakultas
yang berada di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera.
50
Peresmiaan pembagian wilayah koordinasi tersebut dilaksanakan
pada tanggal 18 Maret 1963 dalam suatu upacara yang di hadiri oleh
Menteri Agama Republik Indonesia bertempat di Aula IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan di lakukan serah terima jabatan dari Rektor IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. R. H. A. Sunarjo, SH kepada Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Drs. H. Sunardjo.
Pada saat dilakukan serah terima jabatan tersebut, IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta telah memiliki empat fakultas, yaitu Fakultas
Tarbiyah, Fakultas Adab dan Fakultas Ushuluddin di Jakarta dan Fakultas
Syari’ah di Serang. Di samping itu, IAIN Jakarta juga mengkoordinasikan
Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari’ah di Banda Aceh dan Palembang.
Kemudian dalam masa dua tahun sampai tahun 1965, dibuka fakultas-
fakultas baru, yaitu Fakultas Tarbiyah di Serang, Cirebon Padang daan
Pekanbaru, serta Fakultas Syari’ah Jambi.
Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 11 tahun 1997 tentang Perubahan Status Fakultas Daerah menjadi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), maka Fakultas Tarbiyah
Pontianak berdiri sendiri sebagai STAIN Pontianak.
Pada masa Kepemimpinan Prof. Dr. Harun Nasution (1973-1984),
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di kenal luas sebagai “Kampus
Pembaharu”. Hal ini disebabkan karena Harun Nasution banyak
mengadakan pembaharuan-pembaharuan dalam pemikiran Islam dengan
menekankan Islam Rasional. Untuk itu, Prof. Dr. Harun Nasution
mengadakan perubahan kurikulum IAIN yang salah satunya dengan
memasukkan mata kuliah filsafat dan menyelenggarakan Program
Pascasarjana (PPs). PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan PPs
pertama di lingkungan IAIN di seluruh Indonesia. PPs ini mengawali
kuliah perdananya pada tanggal 1 September 1982. Sejak saat itu secara
51
bertahap dosen-dosen PAI melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan
S3.
d. Periode IAIN With Wider Mandate
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu IAIN tertua di
Indonesia yang bertempat di Ibukota Jakarta, menempati posisi yang unik
dan strategis. Ia tidak hanya menjadi “Jendela Islam di Indonesia”, tetapi
juga sebagai simbol bagi kemajuan pembangunan nasional, khususnya di
bidang pembangunan sosial-keagamaan.
Sebagai upaya untuk mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama,
lembaga ini mulai mengembangkan diri dengan konsep IAIN dengan
mandat yang lebih luas (IAIN with Wider Mandate) menuju terbentuknya
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Langkah konversi
ini mulai diintensifkan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi
Azra, M.A.
Langkah perubahan bentuk IAIN menjadi UIN mendapat
rekomendasi dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB)
antara Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 4/U/KB/2001 dan Menteri
Agama RI Nomor 500/2001 tanggal 21 Nopember 2001. Selanjutnya
melalui suratnya Nomor 088796/MPN/2001 tanggal 22 Nopember 2001.
Seiring dengan itu, rancangan Keputusan Presiden tentang
Perubahan Bentuk IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga
telah mendapat rekomendasi dan pertimbangan Menteri Pendayaan
Aparatur Negara RI dan Dirjen Anggaran Departemen Keuangan RI
Nomor 02/M-PAN/1/2002 tanggal 9 Januari 2002 dan Nomor S-490/MK-
2/2002 tanggal 14 Februari 2002. Rekomendasi ini merupakan dasar bagi
keluarnya Keputusan Presiden Nomor 031 tanggal 20 Mei Tahun 2002
tentang Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
52
e. Periode UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Mulai 20 Mei 2002)
Dengan keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
031 tanggal 20 Mei 2002 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peresmiannya dilakukan oleh
Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz pada tanggal 8 Juni
2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke 45 dan Lustrum ke 9
serta pemancangan tiang pertama pembangunan kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta melalu dana Islamic Development Bank (IDB).
Sepanjang sejarahnya, tokoh-tokoh yang pernah memimpin PAI
Fakultas Tarbiyah/FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah:
1) Prof. Dr. H. Muardi Chatib
2) Prof. Dr. H. Moh. Ardani
3) Drs. H. Muallimi, M.A.
4) Drs. H. Aziz Martunus, M.Sc.
5) Prof. Drs. H. Muzayyin Arifin, M.Ed.
6) Drs. H. Amir Abyan
7) Drs. H. Ali Hasan (1993 – 1997)
8) Dr. H. Abdurrahman Ghazali, M.A (1997 – 2001)
9) Dr. H. Abdul Fattah Wibisono, MA ( 2001 - 2010)
10) H. Bahrissalim, M.Ag. ( 2010 – 2014)
11) Dr.H. Abdul Majid Khon, M.Ag. (2014 -2018).1
2. Visi, Misi dan Tujuan
a. Visi
Menjadi center of excelence dalam bidang pendidikan, penelitian
dan pengembangan Pendidikan Agama Islam pada tahun 2021di tingkat
1http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/sejarah-fakultas.html, pada tanggal 19 Mater 2015
pukul 10.18
53
nasional dan Asean dengan mengintegrasikan nilai keilmuan dan
keindonesiaan
b. Misi
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengemban misi :
1) Menyelenggarakan pendidikan akademik yang professional, inovatif
dan efektif dalam bidang Pendidikan Agama Islam
2) Melaksanakan penelitian yang inovatif dalam bidang pendidikan dan
keislaman
3) Mengembangkan keilmuan bidang Pendidikan Agama Islam secara
integratif melalui kegiatan akademik
4) Menyebarluaskan hasil kajian keilmuan bidang Pendidikan Agama
Islam.
c. Tujuan
Dalam rangka mengemban misi tersebut, Jurusan atau Program
Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta bertujuan :
1) Menghasilkan tenaga pendidik Pendidikan Agama Islam yang
profesional
2) Menghasilkan pemikir Pendidikan Agama Islam yang produktif dan
kompetitif
3) Menghasilkan karya akademik yang berstandar nasional dan
internasional
4) Memberikan kontribusi pemikiran pada pengembangan Pendidikan
Agama Islam
5) Menghasilkan karya penelitian yang menjadi referensi dalam bidang
pendidikan
54
6) Menghasilkan kajian keilmuan yang memberikan pengaruh pada
wacana dan praktek Pendidikan Agama Islam.2
3. Profil Lulusan dan Learning Outcomes (LO)
Sesuai dengan tujuan di atas profil lulusan Program Studi Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan sesuai dengan hasil workshop diktis kemenag RI bersama
Program Studi PAI secara nasional Agustus 2014 sebagai berikut:
a. Utama
Menjadi Pendidik Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan
Madrasah tingkat dasar dan menengah, berkepribadian yang baik,
berpengetahuan luas dan mutakhir di bidang pendidikan agama serta
mampu menerapkan teori-teori pendidikan dan pembelajaran.
b. Tambahan
1) Peneliti Pendidikan Agama Islam
2) Konselor Pendidikan Agama Islam di sekolah dan Madrasah
3) Pustakawan di Sekolah dan madrasah
4) Pemimpin sosial-keagamaan di sekolah/madrasah dan masyarakat
5) Jurnalis Pendidikan Agama Islam
6) Programmer Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
7) Sosiolog Pendidikan Agama Islam
8) Intrepreneur Pendidikan Agama Islam
9) Trainer Pendidikan Agama Islam
10) Juru Dakwah Pendidikan Agama Islam 3
2http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/visi-a-misi.html, pada tanggal 19 Mater 2015
pukul 10.20 3http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/profil-fakultas.html, pada tanngal 19 Maret 2015
pukul 10.23
55
4. Dosen Jurusan Agama Islam
1. A. Basuni, Drs MA.
2. A. Syafi’i Noor, Prof. Dr.
3. Abdul Ghofur, MA.
4. Abdul Haris, Drs.M.Ag.
5. Abdul Majid Khon, Dr. MA.
6. Achmad Ghalib, Drs..MA.
7. Akhmad Sodiq, Dr. MA.
8. Aminudin Yakub, Drs. MA.
9. Bahrissalim, MA.
10. Dimyati, Dr.MA
11. Elo al-Bugis, Dra. MA.
12. Ghufron Ihsan, Drs. MA.
13. Heny Narendrani Hidayati, M.Pd.
14. Irfan Mufid, MA.
15. Khalimi,.Dr. MA
16. M. Soleh Hasan, Lc. MA.
17. Manerah, Dra.
18. Marhamah Saleh, Lc. MA
19. Masan AF., Drs. M.Pd.
20. Moh. Dahlan, Dr. M.Hum.
21. Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
22. Munzier Suparta, Dr. MA
23. Nuraini Ahmad, Dra. M.Hum
24. Nurdin Idris, Drs. MA.
25. Rusdi Jamil, Drs. MA.
26. Sapiudin Shidiq, Drs. MA.
27. Siti Khadijah, MA.
56
29. Sururin, Dr. M.Ag.
30. Tanenji, MA.
31. Wahdi Sayuti, S.Ag
32. Yudhi Munadi, MA.
33. Zaimuddin, Dr. MA.4
B. Deskripsi Data Setelah penulis mengajukan angket kepada mahasiswa, maka penulis
mendapatkan data sebagai berikut:
Table 4.1
Proses perkuliahan Fiqih Mawaris di kelas menggunakan metode diskusi
Option F %
Selalu
Sering
Kadang-Kadang
Tidak Pernah
27
0
1
0
96,42
0
3,57
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa proses perkuliahan
Fiqih Mawaris di kelas selalu menggunakan metode diskusi. Hal ini terlihat
96,42% atau 27 orang yang menyatakan proses perkuliahan Fiqih Mawaris di
kelas selalu menggunakan metode diskusi.
Tabel 4.2
Sikap mahasiswa terhadap proses perkuliahan Fiqih Mawaris menggunakan
metode diskusi
Option F %
4 http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/staf-dosen.html, pada tanggal 19 Mater 2015 pukul 13.07
57
Sangat Menyenangkan
Menyenangkan
Kurang Menyenangkan
Tidak Menyenangkan
6
17
5
0
21,42
60,71
17,85
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa proses perkuliahan
Fiqih Mawaris dengan menggunakan metode diskusi menyenangkan. Hal ini
dapat dilihat 60,71% atau 17 orang menyatakan proses perkuliahan Fiqih
Mawaris dengan menggunakan metode diskusi menyenangkan.
Tabel 4.3
Kesiapan mahasiswa dalam menggunakan metode diskusi dalam proses
perkuliahan Fiqih Mawaris
Option F %
Sangat Siap
Siap
Kurang Siap
Tidak Siap
3
21
4
0
10,71
75
14,28
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa mahasiswa siap dalam
menggunakan metode diskusi dalam proses perkuliahan Fiqih Mawaris. Hal ini
dapat dilihat 75% atau 21 orang menyatakan siap dalam menggunakan metode
diskusi.
Tabel 4.4
58
Proses perkuliahan Fiqih Mawaris yang menggunakan metode diskusi sudah
sesuai dengan tujuan perkuliahan, yaitu pemecahan masalah
Option F %
Sangat Sesuai
Sesuai
Kurang Sesuai
Tidak Sesuai
4
18
6
0
14,28
64,28
21,42
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa proses perkuliahan
Fiqih Mawaris yang menggunakan metode diskusi sesuai dengan tujuan, yaitu
pemecahan masalah. Hal ini terlihat 64,28% atau 18 orang menyatakan sesuai.
Tabel 4.5
Pelaksanaan diskusi pada perkuliahan Fiqih Mawaris berlangsung demokratis
Option F %
Sangat Demokratis
Demokratis
Kurang Demokratis
Tidak Demokratis
3
18
7
0
10,71
64,28
25
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pelaksanaan diskusi
para proses perkuliahan Fiqih Mawaris berlangsung demokratis. Hal ini dapat
dilihat 64,28% atau 18 orang menyatakan pelaksanaannya berlangsung
demokratis.
Tabel 4.6
59
Kesiapan dosen dalam menyajikan perkuliahan Fiqih Mawaris yang
menggunakan metode diskusi
Option F %
Sangat Siap
Siap
Kurang Siap
Tidak Siap
9
17
2
0
32,14
60,71
7,14
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dosen siap dalam
menyajikan perkuliahan Fiqih Mawaris menggunakan metode diskusi. Hal ini
dapat dilhat 60,71% atau 17 orang menyatakan dosen siap dalam
menyajikannya.
Tabel 4.7
Perhatian dosen saat berlangsungnya diskusi
Option F %
Sangat Memperhatikan
Memperhatikan
Kurang Memperhatikan
Tidak Memperhatikan
6
17
5
0
21,42
60,71
17,85
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dosen memperhatikan
berjalannya diskusi. Hal ini dapat dilihat 60,71% atau 17 orang yang
menyatakan dosen memperhatikan saat berlangsungnya diskusi.
Tabel 4.8
60
Pelaksanaan diskusi pada perkuliahan Fiqih Mawaris di kelas berlangsung
hidup
Option F %
Sangat Hidup
Hidup
Kurang Hidup
Tidak Hidup
4
14
9
1
14,28
50
32,14
3,57
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pelaksanaan diskusi
pada perkuliahan Fiqih Mawaris di kelas berlangsung hidup. Hal ini dapat
dilihat 50% atau 14 orang menyatakan bahwa pelaksanaan diskusi di kelas
berlangsung hidup.
Tabel 4.9
Sebelum diskusi dilaksanakan responden telah membaca buku tentang
masalah yang akan didiskusiskan
Option F %
Selalu
Sering
Kadang-Kadang
Tidak Pernah
1
5
21
1
3,57
17,85
75
3,57
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebelum pelaksanaan
diskusi mahasiswa kadang-kadang membaca buku tentang masalah yang akan
didiskusiskan. Hal ini terlihat 75% atau 21 orang menyatakan kadang-kadang
membaca buku sebelum dilaksanakannya diskusi.
Tabel 4.10
61
Setelah dilaksanakan diskusi mahasiswa dapat berpikir kritis
Option F %
Sangat Kritis
Kritis
Kurang Kritis
Tidak Kritis
2
15
11
0
7,14
53,57
39,28
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah pelaksanaan
diskusi di kelas mahasiswa mempunyai pikiran yang kritis. Hal ini dapat dilihat
dari 53,37% atau 15 orang menyatakan dapat berpikir kritis setelah
diadakannya diskusi.
Tabel 4.11
Keaktifan mahasiswa dalam diskusi
Option F %
Sangat Aktif
Aktif
Kurang Aktif
Tidak Aktif
1
7
19
1
3,57
25
67,85
3,57
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa mahasiswa di kelas
kurang aktif berdiskusi. Hal ini dapat lihat 67,85% atau 19 orang yang
menyatakan kurang aktif berdiskusi.
Tabel 4.12
62
Mahasiswa mencatat hal-hal yang dianggap penting dari hasil diskusi
Option F %
Selalu
Sering
Kadang-Kadang
Tidak Pernah
8
6
13
1
28,57
21,42
46,42
3,57
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa mahasiswa kadang-
kadang mencatat hal-hal yang dianggap penting dari hasil diskusi. Hal ini dapat
dilihat 46,42% atau 13 orang menyatakan kadang-kadang mencatat hal-hal yang
dianggap penting dari hasil diskusi.
Tabel 4.13
Pengetahuan mahasiswa setelah pelaksanaan diskusi
Option F %
Sangat Mendalam
Mendalam
Kurang Mendalam
Tidak mendalam
0
17
9
1
0
60,71
32,14
3,57
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pengetahuan
mahasiswa setelah pelaksanaan diskusi menjadi mendalam. Hal ini dapat dilihat
60,71% atau 17 orang menyatakan pengetahuannya menjadi mendalam setelah
pelaksanaan diskusi.
Tabel 4.14
63
Dalam pelaksanaan diskusi mahasiswa mengemukakan pendapat
Option F %
Selalu
Sering
Kadang-Kadang
Tidak Pernah
1
2
19
6
3,57
7,14
67,85
21,42
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan
diskusi mahasiswa kadang-kadang mengemukakan pendapat. Hal ini dapat
dilihat 67,85% atau 19 orang menyatakan kadang-kadang mengemukakan
pendapat saat berjalannya diskusi.
Tabel 4.15
Metode diskusi membuat wawasan mahasiswa luas
Option F %
Sangat Luas
Luas
Kurang Luas
Tidak Luas
4
20
4
0
14,28
71,42
14,28
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa metode diskusi dapat
menjadikan wawasan mahasiswa menjadi luas. Hal ini dapat dilihat 71,42%
atau 20 orang yang menyatakan bahwa metode diskusi dapat menjadikan
wawasan menjadi luas.
Tabel 4.16
64
Penilaian mahasiswa terhadap pelayanan dosen Fiqih Mawaris dalam diskusi
Option F %
Sangat Puas
Puas
Kurang Puas
Tidak Puas
3
20
4
1
10,71
71,42
14,28
3,57
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa mahasiswa puas
terhadap pelayanan dosen Fiqih Mawaris dalam diskusi. Hal ini dapat dilihat
71,42% atau 20 orang yang menyatakan puas terhadap pelayanan dosen Fiqih
Mawaris dalam diskusi.
Tabel 4.17
Penilaian mahasiswa terhadap kesiapan para penyaji dalam diskusi
Option F %
Sangat Puas
Puas
Kurang Puas
Tidak Puas
0
16
10
2
0
57,14
35,71
7,14
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa mahasiswa puas
dengan kesiapan para penyaji dalam menggunakan metode diskusi. Hal ini
dapat terlihat 57,14% atau 15 orang menyatakan puas dengan kesiapan para
penyaji dalam diskusi.
Tabel 4.18
65
Pelaksanaan metode diskusi dengan jumlah mahasiswa yang banyak
Option F %
Sangat Sesuai
Sesuai
Kurang Sesuai
Tidak Sesuai
2
8
18
0
7,14
28,57
64,28
0
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pelaksanaan metode
diskusi dengan jumlah mahasiswa yang banyak kurang sesuai. Hal ini dapat
dilihat 64,28% atau 18 orang yang menyatakan kurang sesuai jika metode
diskusi dilaksanakan dengan jumlah mahasiswa yang banyak.
Tabel 4.19
Penilaian mahasiswa terhadap hasil perkuliahan Fiqih mawaris yang
menggunakan metode diskusi
Option F %
Sangat Memuaskan
Memuaskan
Kurang Memuaskan
Tidak Memuaskan
3
19
5
1
10,71
57,14
17,85
3,57
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa perkuliahan dengan
menggunakan metode diskusi hasilnya memuaskan. Hal ini dapat dilihat
57,14% atau 19 orang yang menyatakan perkuliahan Fiqih Mawaris dengan
menggunakan metode diskusi hasilnya memuaskan.
Tabel 4.20
66
Sikap mahasiswa jika metode diskusi dalam perkuliahan Fiqih Mawaris
ditiadakan
Option F %
Sangat Setuju
Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
0
4
10
14
0
14,28
35,71
50
Jumlah 28 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa mahasiswa tidak setuju
jika metode diskusi dalam perkuliahan Fiqih Mawaris ditiadakan. Hal ini dapat
dilihat dari 50% atau 14 orang menyatakan tidak setuju jika metode diskusi
dalam perkuliahan Fiqih Mawaris ditiadakan.
C. Analisis Data
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel metode
pelaksanaan metode diskusi atau sebagai variabel bebas (varabel X) dan tingkat
keberhasilan metode diskusi atau variabel terikat (variabel Y). Variabel
pelaksanaan metode diskusi penulis peroleh dari angket yang diajukan kepada
28 orang mahasiswa semester III dengan jumlah butir soal sebanyak 20 soal
dan setiap item diberi skor, yang nantinya skor ini dijumlahkan totalnya pada
masing-masing mahasiswa. Untuk memperoleh skor ini akan tampilkan dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel 4.21
Nilai hasil angket pelaksanaan metode diskusi dalam perkuliahan Fiqih
Mawaris (variabel X)
Subjek Nilai
67
1 76
2 71
3 84
4 66
5 76
6 71
7 80
8 83
9 71
10 79
11 75
12 80
13 77
14 98
15 76
16 84
17 81
18 79
19 76
20 72
21 65
22 72
23 56
24 79
25 70
26 69
27 84
68
28 77
Jumlah 2127
Rata-rata 75,96
Sedangkan variabel tingkat keberhasilan metode diskusi penulis ambil
dari nilai mata kuliah Fiqih Mawaris. Untuk perolehan nilai mata kuliah Fiqih
Mawaris penulis tampilkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.22
Nilai mata kuliah Fiqih Mawaris (variabel Y)
Subjek Nilai
1 75
2 81
3 80
4 80
5 93
6 90
7 87
8 79
9 72
10 75
11 71
12 78
13 75
14 80
15 88
16 75
17 78
69
18 87
19 90
20 81
21 84
22 89
23 90
24 74
25 77
26 85
27 81
28 74
Jumlah 2269
Rata-rata 81,03
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui nilai tertinggi, nilai terendah,
dan nilai rata-rata mata kuliah Fiqih Mawaris. Nilai tertinggi yaitu 93, nilai
terendah yaitu 71, dan nilai rata-rata yaitu 81,03. Penulis akan membuat tabel
katagori untuk pelaksanaan metode diskusi sebagai berikut:
Tabel 4.23
Penjumlahan dengan menggunakan korelasi product moment
Subject X Y X2 Y2 (X-Y) (X-Y)2
1 76 75 5776 5625 1 1
2 71 81 5041 6561 -10 100
3 84 80 7056 6400 4 16
4 66 80 4356 6400 -14 196
5 76 93 5776 8649 -17 289
6 71 90 5041 8100 -19 361
7 80 87 6400 7569 -7 49
70
8 83 79 6889 6241 4 16
9 71 72 5041 5184 -1 1
10 79 75 6241 5625 4 16
11 75 71 5625 5041 4 16
12 80 78 6400 6084 2 4
13 77 75 5929 5625 2 4
14 98 80 9604 6400 18 324
15 76 88 5776 7744 -12 144
16 84 75 7056 5625 9 81
17 81 78 6561 6084 3 9
18 79 87 6241 7569 -8 64
19 76 90 5776 8100 -14 196
20 72 81 5184 6561 -9 81
21 65 84 4225 7056 -19 361
22 72 89 5184 7921 -17 289
23 56 90 3136 8100 -34 1156
24 79 74 6241 5476 5 25
25 70 77 4900 5929 -7 49
26 69 85 4761 7225 -16 256
27 84 81 7056 6561 3 9
28 77 74 5929 5476 3 9
28 2127 2269 163201 184931 -142 4122
=N ∑X ∑Y ∑X2 ∑Y2
∑(X-
Y)2
71
D. Interpretasi Data
Pengolahan data mengenai korelasi antara metode diskusi dengan tingkat
keberhasilan mahasiswa diperoleh “r” hitung sebesar – 0,272 . Jadi secara kasar
atau sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa angka – 0,272 menunjukan
bahwa tidak ada korelasi, setelah penulis mencocokan dengan standar angka
product moment pada bab III dengan kriteri 0 tidak ada korelasi.
Sedangkan setelah mendapat “r” hitung sebesar – 0,272, maka nilai “r”
hitung tersebut dikonsultasikan dengan “r” tabel product moment. Kemudian
interpretasi dengan menggunakan tabel nilai “r” : df = N-nr, yaitu 28-2 = 26.
Dengan memeriksa tabel nilai “r” product moment ternyata dengan df sebesar
26 pada taraf signifikansi 5% diperoleh “r” tabel = 0,374 dan pada taraf
signifikansi 1% “r” tabel sebesar 0,478. Karena “r” tabel lebih besar dari r hitung,
baik itu pada taraf signifikansi 5% (-0, 272<0,-374) maupun pada taraf
signifikansi 1% (-0,272<0,478), maka Hipotesis nihil diterima dan Hipotesis
72
alternatif ditolak. Ini berarti tidak ada korelasi yang signifikan antara efektivitas
metode diskusi dengan hasil belajar mahasiswa Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
72
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menjelaskan bab demi bab sebelumnya, tentang efektivitas
metode diskusi dalam proses pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, maka penulis menyimpulkan bahwa efektifitas metode dalam proses
pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan Pendidikan Agama Islam termasuk
dalam kategori efektif. Hal ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek proses
dan juga hasil.
1. Proses pebelajaran Fiqih Mawaris dengan menggunakan metode diskusi
berjalan efektif. Hal ini dapat dihat dari hasil anggket yang menunjukan
bahwa pembelajaran Fiqih Mawaris dengan menggunaan metode diskusi
berlangsung menyenangkan, kesiapan mahasiswa menggunakan metode
diskusi, kesesuaian dengan tujuan perkuliahan, yaitu pemecahan masalah,
diskusi berjalan demokratis, kesiapan dosen menyajikan perkuliahan dengan
metode diskusi, dosen memperhatikan jalannya diskusi agar diskusi berjalan
efektif, diskusi berlangsung hidup, setelah pelaksaan diskusi pemikiran
mahasiswa menjadi kritis, pemehaman mahasiswa tentang Fiqih Mawaris
setelah diskusi menjadi lebih mendalam, metode diskusi memperluas
pemahaman mahasiswa tentang Fiqih Mawaris, kepuasan mahasiswa terhadap
pelayanan dosen Fiqih mawaris yang menggunakan metode diskusi, kepuasan
mahsiswa terhadap kesiapan para penyaji diskusi, kepuasan mahasiswa
73
73
terhadap hasil perkuliahan Fiqih Mawaris dengan menggunakan metode
diskusi, mahasiswa sangat tidak setuju jika metode diskusi dalam perkuliahan
Fiqih Mawaris ditiadakan.
2. Keberhasilan metode diskusi dalam pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta hasilnya memuaskan. Ini dapat dilihat dari nilai rata-rata
responden pada mata kuliah ini yang mencapai 81,03.
B. Saran
Berdasarkan angket yang telah diajukan kepada responden tentang efektivitas
metode diskusi dalam pembelajaran Fiqih Mawaris, ada beberapa catatan penting
yang harus diperhatikan agar pelaksanaan diskusi berjalan lebih efektif lagi:
1. Dosen hendaknya mewajibkan mahasiswa untuk membuat resume pada setiap
materi/pembahasan pada setiap pertemuan, agar mahasiswa lebih
memperhatikan jalannya diskusi dan mencatat hal-hal penting dari hasil
diskusi.
2. Dosen hendak menyarankan mahasiswa untuk mengkaji pustaka yang
berkaitan dengan materi/pembahasan sebelum diskusi dilaksanakan.
3. Pihak Universitas hendaknya membagi ke dalam kelompok dengan jumlah
yang lebih ideal berhubung jenis diskusi yang digunakan adalah diskusi kelas.
Karena semakin banyak jumlah mahasiswa di dalam kelas, semakin kurang
efektif jalannya diskusi.
4. Mengingat Fiqih Mawaris merupakan ilmu yang memiliki karakter khusus
bila dibandingkan dengan ilmu fiqih lainnya, alangkah baiknya bila mata
kuliah Fiqih Mawaris dipelajari satu semester penuh tampa digabung menjadi
Fiqih Munakahat yang disatukan menjadi Fiqih II. Dengan begitu, ilmu yang
didapat oleh mahasiswa akan lebih mendalam.
74
74
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-Mundziri, Al-Hafid, Ringkasan
Hadits Shahih Bukhariy, Terj. dari Mukhtashar Shahih Bukhari
oleh Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka Amani), cet. II.
‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-MunDziri, Al-Hafid, Ringkasan
Shahih Muslim, Terj. Ringkasan Hadits Shahih Bukhariy oleh
Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka Amani), cet. II.
Abu Bakar, Alyasa, Ahli waris Sepertalian Darah, (Jakarta: Inis, 1998).
Ali Hidayat, Budi, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id , (Bandung: Titian
ilmu, 2009).
Ali Hidayat, Budi, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id , (Bandung: Titian
ilmu, 2009).
Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendndikan Islam “Pendekatan historis,
teoritis, dan Praktis”, (Ciputat: PT. Ciputat Press 2005).
Arief, Armai, Pengantar Ilmu Dan metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
pers, 2002).
Ash-Siddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawarits, (Jakarta: Bulan Bintang. 1973).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2005), cet. III.
http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/profil-fakultas.html.
http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/sejarah-fakultas.html.
http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/visi-a-misi.html.
http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/staf-dosen.html.
Komite Fakultas Syariah Univesitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, (Jakarta:
Senayan Abadi Publishing, 2004).
Lampiran Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003,Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
LampiranPeraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2004, tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
M. Echol, Jhon dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (PT. Gramedia:
Jakarta, 2005), Cet. XXVI.
Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan Standar Kompetensi
Guru), (Bandung: Pt. Remaja Rosda Karya, 2011), Cet. XI.
Majid, Abdul, PerencanaanPembelajaran, MengembangkanStandarKompetensi
Guru, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2012), cet. IX.
Masitoh, Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Direktorat Jendral Pendidikan
Islam Departemen Agama), cet. I.
Muhibbin, Moh., Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika), cet. II.
Parman, Ali, Kewaisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada1995).
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), cet.
X.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid XIV, (Bandung: PT. Al-Ma’arif ).
Sanjaya,Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan, (Bandung,
Kencana Prenada Media Group, 2012), cet. XII.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran),
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet. I.
Sudijono, Anas, PengantarStatistikPendidikan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), cet. XXI.
Sumarno, Muljanto, Pengajaran Bahasa Asing, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000),
cet. I.
Sumati dan Asra, Metode Pembelajaran, (Bandung: CV Wahana Priama, 2008),
cet. II.
Thaha Abul Ela Khalifah, Muhammad, Hukum Waris: Pembagian Warisan
Berdasarkan Syariat Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pusaka
Mandiri. 2007).
KISI-KISI INSTRUMEN
EFEKTIVITAS METODE DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN
FIQIH MAWARIS
No Indikator No. Item Jumlah
Butir
1.
2.
3.
Frekuensi peggunaan metode
diskusi
Efektivitas proses berjalannya
diskusi di kelas
Efektivitas hasil belajar dengan
menggunakan metode diskusi
1
2, 3, 5, 6, 7,
8, 9, 11,
12,14,16,
17,18
4, 10, 13,
15,19,20
1
13
6
Jumlah 20
ANGKET
EFEKTIVITAS METODE DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN FIQIH MAWARIS
DI JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FITK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
A. Petunjuk Pengisian Angket
1. Pilihlah salah satu jawaban yang dapat mewakili diri anda. Dengan cara memberikan
tanda silang (X) pada salah satu jawaban a, b, c, atau d.
2. Jawaban harus sesuai dengan diri anda dan jangan terpengaruh oleh jawaban orang
lain.
B. Identitas Responden
1. Nama : …………………………….
2. NIM : …………………………….
3. Semester : …………………………….
4. Kelas : …………………………….
1. Proses pembelajaran Fiqih Mawaris dikelas anda menggunakan metode diskusi.
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
2. Proses pembelajaran Fiqih Mawaris menggunakan metode diskusi.
a. Sangat menyenangkan
b. Menyenangkan
c. Kurang menyenangkan
d. Tidak menyenangkan
3. Saya siap menggunakan metode diskusi pada pembelajaran mata kuliah fiqih mawaris.
a. Sangat siap
b. Siap
c. Kurang siap
d. Tidak siap
4. Pembelajaran mata kuliah Fiqih Mawaris yang menggunakan metode diskusi sudah
sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu pemecahan masalah.
a. Sangat sesuai
b. Sesuai
c. Kurang sesuai
d. Tidak sesuai
5. Pelaksanaan diskusi pada pembelajaran mata kuliah Fiqih Mawaris berjalan demokratis.
a. Sangat demokratis
b. Demokratis
c. Kurang demokratis
d. Tidak demokratis
6. Kesiapan dosen dalam menyajikan pembelajaran mata kuliah Fiqih Mawaris dengan
menggunakan metode diskusi.
a. Sangat siap
b. Siap
c. Kurang siap
d. Tidak siap
7. Dosen memperhatikan proses berjalannya diskusi.
a. Sangat memperhatikan
b. Memperhatikan
c. Kurang memperhatikan
d. Tidak memperhatikan
8. Pelaksanaan diskusi pada mata kuliah Fiqih Mawaris di kelas anda.
a. Sangat hidup
b. Hidup
c. Kurang hidup
d. Tidak hidup
9. Sebelum metode diskusi dilaksanakan saya telah membaca buku tentang masalah yang
akan di diskusikan.
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
10. Setelah menggunakan metode diskusi saya dapat berpikir kritis.
a. Sangat kritis
b. Kritis
c. Kurang kritis
d. Tidak kritis
11. Dalam pelaksanaan diskusi pada mata kuliah Fiqih Mawaris saya aktif berdiskusi.
a. Sangat aktif
b. Aktif
c. Kurang aktif
d. Tidak aktif
12. Saya mencatat hal-hal yang dianggap penting dari hasil diskusi.
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
13. Setelah pelaksanaan diskusi, pengetahuan saya tentang Fiqih Mawaris semakin
mendalam.
a. Sangat mendalam
b. Mendalam
c. Kurang mendalam
d. Tidak mendalam
14. Dalam pelaksanaan diskusi pada mata kuliah Fiqih Mawaris, saya mengemukakan
pendapat.
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
15. Metode diskusi membuat wawasan saya menjadi luas.
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setju
d. Tidak setuju
16. Saya puas dengan pelayanan dosen mata kuliah fiqih mawaris dalam diskusi.
a. Sangat puas c. Kurang puas
b. Puas d. Tidak puas
17. Saya puas dengan kesiapan para penyaji dalam diskusi.
a. Sangat puas
b. Puas
c. Kurang puas
d. Tidak puas
18. Metode diskusi dilaksanakan dengan jumlah mahasiswa yang berjumlah banyak.
a. Sangat baik
b. Baik
c. Kurang baik
d. Tidak baik
19. Proses perkuliahan dengan menggunakan metode diskusi hasilnya memuaskan.
a. Sangat memuaskan
b. Memuaskan
c. Kurang memuaskan
d. Tidak memuaskan
20. Saya setuju jika metode diskusi pada mata kuliah fiqih mawaris ditiadakan.
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Kurang setuju
d. Tidak setuju
UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan judul “Efektivitas
Metode Diskusi dalam Pembelajaran Fiqih Mawaris di Jurusan PAI FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta” yang disusun oleh Solehudin NIM 109011000255 Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah
disetujui Kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada hari ini.
Referensi Bab I
No Referensi Paraf
1. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2004,
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, h.16-17.
2. Lampiran Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, h. 3
3. Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru, Bandung: PT. Rosdakarya, 2012. Cet. IX, h. 135.
4. Sumati dan Asra, Metode Pembelajaran, (Bandung: CV Wahana Priama,
2008), Cet. II, h. xii.
5. Ghufran Ihsan, Dosen Tarbiyah UIN Jakarta, Wawancara Pribadi,
tentang yang tepat untuk pembelajaran Fiqih Mawaris di Perguruan
Tinggi, September 2014.
Referensi Bab II
No Referensi Paraf
1. Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan metodologi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Ciputat pers, 2002), h. 41.
2. Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru), (Bandung: Pt. Remaja Rosda Karya, 2011), Cet.
XI, h. 136.
3. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2005), Cet. III, h. 740.
4. Muljanto Sumarno, Pengajaran Bahasa Asing, (Jakarta: Bulan Bintang,
2000), Cet. I, h. 12.
5. Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendndikan Islam “Pendekatan
historis, teoritis, dan Praktis”, (Ciputat: PT. Ciputat Press 2005), h.
65.
6. Jhon M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (PT.
Gramedia: Jakarta, 2005), Cet. XXVI, h. 186.
7. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan),
Cet. X, h. 238.
8. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan,
(Bandung, Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. XII, h. 154.
9. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan,
(Bandung, Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. XII, h. 156.
10. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan,
(Bandung, Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. XII, h. 156.
11. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan,
(Bandung, Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. XII, h. 157.
12. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan,
(Bandung, Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. XII, h. 158-
159.
13. Sumiati dan Asra, Metode Pembelajaran, (Bandung:CV Wacana
Prima, 2008), Cet. II, h. 38.
14. Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Departemen Agama), Cet. I, h. 3.
15. Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Departemen Agama), Cet. I, h. 7.
16. Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Departemen Agama), Cet. I, h. 7.
17. Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Departemen Agama), Cet. I, h. 8.
18. Sumiati dan Asra, Metode Pembelajaran, (Bandung:CV Wacana
Prima, 2008), Cet. II, h. 144.
19. Ali Parman, Kewaisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1995),
h. 23.
02. Ali Parman, Kewaisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1995),
h. 30.
21. Ali Parman, Kewaisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1995),
h. 31.
22. Ali Parman, Kewaisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1995),
h. 33.
23. Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika),
Cet. II, h. 12.
24. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Quran), (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 343.
25. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Quran), (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 348-349.
26. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Quran), (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 350.
27. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Quran), (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 655.
28. Al-Hafid ‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-MunDziri,
Ringkasan Hadits Shahih Bukhariy, Terj. dari Mukhtashar Shahih
Bukhari oleh Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka Amani) Cet. II, h.
1035.
29. Al-Hafid ‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-MunDziri,
Ringkasan Shahih Muslim, Terj. Ringkasan Hadits Shahih Muslim oleh
Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka Amani) Cet. II, h. 545.
30. Ali Parma, Kewarisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.1995),
h. 62.
31. Ali Parma, Kewarisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.1995),
h. 65.
32. Komite Fakultas Syariah Univesitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,
(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 338.
33. Ali Parma, Kewarisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.1995),
h. 68.
34. Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id , (Bandung:
Titian ilmu, 2009). h. 20.
35. Al-Hafid ‘Abdul Azhim bin ‘Abdul Qowi Zakiyyudin al-MunDziri,
Ringkasan Shahih Muslim, Terj. Ringkasan Hadits Shahih Bukhariy
oleh Imam al-Mundziri, (Jakarta: Pustaka Amani) Cet. II, h. 545.
36. Ali Parma, Kewarisan Dalam Al-Quran: Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.1995),
h.51.
37. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, Terj.
Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi oleh Fachrurrazi,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, h. 635.
38. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid XIV, (Bandung: PT. Al-Ma’arif ), h.
239.
39. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
42.
40. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
43.
41. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
33.
42. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
33.
43. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
35.
44. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
35.
45. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
36.
46. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
39.
47. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
38.
48. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.
45.
49. Alyasa Abu Bakar. Ahli waris Sepertalian Darah, (Jakarta: Inis, 1998),
h. 252.
50. Hasbi Ash-Siddieqy. Fiqhul Mawarits, (Jakarta: Bulan Bintang. 1973).
h. 142.
51. Hasbi Ash-Siddieqy. Fiqhul Mawarits, (Jakarta: Bulan Bintang. 1973).
h. 147.
52. Hasbi Ash-Siddieqy. Fiqhul Mawarits, (Jakarta: Bulan Bintang. 1973).
h. 153.
53. Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris: Pembagian
Warisan Berdasarkan Syariat Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pusaka
Mandiri. 2007), h. 541.
54. Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id , (Bandung:
Titian ilmu, 2009), h.61.
Referensi Bab III
No. Referensi Paraf
1. Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), Cet. XXI, h. 36.
2. Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), Cet. XXI, h. 217.
Referensi Bab IV
No. Referensi Paraf
1. http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/sejarah-fakultas.html,
pada tanggal 19 Mater 2015 pukul 10.18
2. http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/visi-a-misi.html, pada
tanggal 19 Mater 2015 pukul 10.20
3. http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/profil/profil-fakultas.html, pada
tanngal 19 Maret 2015 pukul 10.23
4. http://pai.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/staf-dosen.html, pada tanggal 19
Mater 2015 pukul 13.07
Jakarta, 4 April 2015
Dosen Pembimbing,
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag.
NIP. 196703382000031001