jurnal teknologi minyak dan gas bumi vol. 2 no. 3 2011

57
JTMGB Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi ISSN 2088-7590 Vol. : 2 No. : 3 Desember 2011 Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Society of Indonesian Petroleum Engineers JTMGB Vol. 2 No. 3 Hal. 113 - 160 Jakarta Desember 2011 ISSN 2088-7590

Upload: rizky-dermawan-haq

Post on 13-Apr-2016

181 views

Category:

Documents


66 download

DESCRIPTION

Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi adalah majalah ilmiah yang diterbitkan sebagai kontribusi para professional ahli teknik perminyakan Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) dalam menyediakan media komunikasi kepada anggota IATMI pada khususnya dan mensosialisasikan dunia industri minyak dan gas bumi kepada masyarakat luas pada umumnya.Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (ISSN 0216-6410) diterbitkan oleh Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, JakartaDidukung oleh Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

JTMGBJurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi

ISSN 2088-7590

Vol. : 2 No. : 3 Desember 2011

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan IndonesiaSociety of Indonesian Petroleum Engineers

JTMGB Vol. 2 No. 3 Hal. 113 - 160 Jakarta Desember 2011 ISSN 2088-7590

Page 2: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

Keterangan gambar cover:

Hasil pemodelan 3 dimensi dari sebuah lapangan minyak di area Natuna, Indonesia, memperlihat-kan distribusi porositas.

Page 3: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

JTMGB Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi

ISSN 0216-6410 Vol. : 2 No. : 3 Desember 2011

Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi adalah majalah ilmiah yang diterbitkan sebagai kontribusi para professional ahli teknik perminyakan Indonesia

yang tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) dalam menyediakan media komunikasi kepada anggota IATMI pada khususnya

dan mensosialisasikan dunia industri minyak dan gas bumi kepada masyarakat luas pada umumnya.

Alamat Redaksi: Patra Office Tower Lt.1 R.1C Jln. Jendral Gatot Subroto Kav. 32-34

Jakarta 12950 – Indonesia. Tel/Fax: +62-21-5203057 website: http://www.iatmi.or.id email: [email protected]

Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (ISSN 0216-6410) diterbitkan oleh Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, Jakarta

Didukung oleh Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB

Penanggung Jawab : DR. Ir. Salis S. Aprilian

Peer Review : Prof. DR. Ir. Pudjo Sukarno (Integrated Production System)Prof. DR. Ing. Ir. HP Septoratno Siregar, DEA (EOR)Prof. Ir. Doddy Abdassah, PhD. (Teknik Reservoir)DR. Ir. Arsegianto (Ekonomi & Regulasi MIGAS)DR. Ir. Sudjati Rachmat, DEA (Well Stimulation and Hydraulic Fracturing)DR. Ir. Sudarmoyo,SE, MT (Penilaian Formasi)Ir. Aris Buntoro, MT (Teknik Pemboran)DR. Ir. Ratnayu Sitaresmi, MT (Teknik Reservoir)Ir. Syamsul Irham, MT (Ekonomi MIGAS)DR. Ir. Taufiq Fathaddin (EOR/Simulasi)DR. Ir. Andang Kustamsi (Teknik Pemboran)

Dewan Redaksi

Ketua : DR. Ir. Taufan Marhaendrajana (Engineering Mathematics and Well Testing/Performances)

Anggota : DR. Ir. Asep K. Permadi (Karakterisasi dan Pemodelan Reservoir)DR. Ir. Tutuka Ariadji (Production Optimization)DR. Ir. Bambang Widarsono (Penilaian Formasi)

Redaktur Pelaksana : Ir. IGK. Budiartha Ir. Elly M.Jusuf, MSc.Ir. Ana Masbukhin

Sekretariat : Ir. Bambang PudjiantoLayout Desain : Endy Hadianto, S.Kom

Alief SyahruSirkulasi : Abdul Manan

KEPUTUSAN KETUA UMUM IATMI PUSATNO: 03/SK/ IATMI/I/2011

Page 4: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

DAFTAR ISI

Pengaruh Saturasi Air Formasi Terhadap Efektivitas Resin Epoxy Pada Un-consolidated Core Model (Studi Laboratorium)Tulus Imaro, Taufan Marhaendrajana ................................................................ 113 - 126

A Method for Obtaining Inter-well True Resistivity (Rt) from Seismic Data Bambang Widarsono and Fakhriyadi Saptono .................................................. 127 - 132

Korelasi Baru Untuk Menentukan Ultimate Recovery Factor Pada Reservoir Di Bawah Kondisi WaterfloodingNikka Puspitarini, Dedy Irawan,Tutuka Ariadji ................................................ 133 - 146

Aplikasi Inside Gravel Packing Sebagai Sand Control Pada Sumur X Dengan Electrical Submersible Pump Sebagai Metode Sembur BuatanDwi Hermanto S dan Alvianti Dwi P ................................................................. 147 - 152

Permanent Coil Tubing Gas Lift (PCTGL): A Solution for Developing Oil in Monobore Well CompletionAri Taufiq Kramadibrata, Pahala Panjaitan, Sumaryanto .................................. 153 - 160

Page 5: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

KATA PENGANTAR

Para pembaca yang terhormat,

Kembali kami hadir di tengah anda dengan berbagai tulisan dan diskusi menarik sekitar upaya peningkatan produksi migas kita. Topik ini memang tidak akan ada habisnya karena sifat reservoir dan aliran fluida yang sangat spesifik dan dinamik. Penurunan produksi yang secara alamiah pasti akan terjadi dapat diakibatkan karena penurunan tekanan reservoir atau adanya gangguan aliran dari reservoir ke lubang sumur atau aliran di dalam lubang sumur sendiri. Tulisan yang menarik diantaranya adalah penemuan dan penerapan korelasi baru untuk me-nentukan ultimate recovery factor (URF) suatu lapangan dalam kondisi sedang/sudah dilakukan waterflooding. Dengan diketahui URF ini maka diharapkan kita dapat mengetahui sisa cadangan yang ada pada saat dilakukan waterflooding maupun sesudahnya, sehingga perhitungan keekonomian ataupun rencana EOR (enhanced oil recovery) lebih lanjut dapat disusun lebih dini. Tulisan lainnya, mengenai usaha untuk mengekstrak data yang lebih luas dari data seismik berkaitan dengan data petrofisika. Tulisan yang masih merupakan awal dari suatu pengembangan yang masih panjang terse-but diharapkan bisa membantu dalam usaha pembangunan model reservoir secara lebih baik. Dengan model reservoir yang lebih baik maka pengelolaan lapangan dan pengembangan aset di lapangan tersebut akan dapat dilaksanakan dengan lebih tepat. Dari dunia laboratorium juga menurunkan penelitian yang dapat digunakan pada perusa-haan minyak yang memiliki problem kepasiran di lapangannya. Tulisan ini membahas pengaruh air formasi terhadap efektifitas penggunaan resin pada unconsolidated sand, yaitu pada saat kita ingin mengatasi kepasiran dengan menggunakan resin sebagai perekat batupasir unconsolidated di sekitar lubang sumur. Ternyata bahwa meskipun ada pengaruh air formasi, tetapi pemakaian resin masih efektif dan tidak mempengaruhi permeabilitas formasi. Dalam tulisan lain, mengatasi masalah yakni penggunaan inside gravel packing. Cara ini kemudian dikombinasikan dengan metoda pengangkatan menggunakan ESP (electric sunmersible pump) untuk memaksimalkan produksi, sehingga hasilnya cukup signifikan. Masih dalam rangka peningkatan produksi di lapangan tua (mature), kajian dan penerapan metoda lifting dengan menggunakan permanent coiled tubing gas lift ternyata memberikan hasil yang maksimal, baik dilihat dari sisi efektifitas (keteknikan) maupun sisi efisiensi (keekonomian). Cara ini bahkan telah menjadi standar operasi di lapangan Sanga-sanga milik Vico pada sumur monobore. Sangat bermanfaat untuk dicoba di tempat lain. Semoga apa yang disajikan JTMGB dalam edisi kali ini benar-benar memberikan manfaat bagi pembaca, atau bahkan dapat mengembangkan ide dan gagasan yang lebih besar dalam rangka bersama-sama membangun masa depan dunia migas Indonesia lebih baik.

Salam,SSA

Page 6: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

113

Pengaruh Saturasi Air Formasi Terhadap Efektivitas Resin Epoxy

Pada Unconsolidated Core Model (Studi Laboratorium)

Oleh:

Sari

Penggunaan resin dilakukan pada formasi yang tidak terkonsolidasi dengan baik untuk menangani masalah produksi pasir. Pada saat ini masalah kepasiran kerap muncul pada sumur-sumur tua (brown fields) sehingga dibutuhkan penerapan teknologi agar sumur bisa tetap berproduksi dengan penanganan masalah kepasiran, yang mana penggunaan resin merupakan salah satu solusinya. Studi mengenai penggunaan resin sebelumnya belum memperhatikan adanya pengaruh saturasi air formasi pada kinerja resin. Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui efek adanya saturasi air terhadap proses konsolidasi pasir (sand consolidation) yang dilakukan oleh resin.

Dalam makalah ini diteliti seberapa besar pengaruh saturasi air formasi terhadap kinerja resin tersebut. Hasil dari studi ini menunjukkan pengaruh signifikan dari adanya air formasi. Nilai compressive stress dari core tersaturasi air dan resin menunjukkan peningkatan sebesar 700 - 1300 psi, sedangkan pada core tersaturasi resin (tanpa air formasi) memiliki peningkatan nilai 900 - 1500 psi untuk perendaman core selama 1-7 jam. Untuk durasi perendaman yang sama, core yang dijenuhi resin, nilai porositas berkurang 48% - 66% dan permeabilitas berkurang 58% - 99%. Sedangkan core yang dijenuhi oleh air formasi+resin, nilai porositas berkurang 6% - 22% dan permeabilitas berkurang 21% - 65%. Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun adanya air formasi akan menurunkan performa resin epoxy, proses penggunaan resin masih direkomendasikan untuk digunakan.Kata kunci: air formasi, resin epoxy, sand consolidation, core sintetik.

Abstract

Resin injection is conducted in unconsolidated formation to handle the sand problem. In recent days, sand problem occurs in old well (brown fields) which need technology application to maintain the well producing without sand problem, in which resin injection is one of the solutions. Previous research about resin did not consider the formation water saturation effect to the resin performance. The aim of this paper is to investigate the effect of saturation formation water to the sand consolidation process by resin.

This paper investigates the effect of saturation formation water to resin performance. The result of this research shows the significant effect of existed formation water saturation. Compressive strength value of water-resin saturated core only shows 700 - 1300 psi, while resin saturated core (without formation water) has increment value 900 - 1500 psi for soaking time 1 – 7 hours. For the same duration of soaking time, cores saturated by resin have porosity decreases 48% - 66% and permeability decreases 58% - 99%. Meanwhile, cores saturated by formation water + resin have porosity decreases 6% - 22% and permeability decreases 21% - 65%. This result concludes eventhough the formation water reduces the resin performance, but resin injection process still can be implemented.Keywords: formation water, resin epoxy, sand consolidation, synthetic core.

Tulus Imaro (1), Taufan Marhaendrajana(2)

(1)Sarjana S1, Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung(2)Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Gedung Basic Science Center B Lt. 4, Jl. Ganesa 10 Bandung 40132Telp. +62222506282, +62816615621 email: [email protected]

Page 7: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

114

I. Pendahuluan Permasalahan kepasiran dapat disebabkan karena stress yang dialami oleh formasi lebih besar dari pada kekuatan formasi batuan. Kekuatan formasi batuan merupakan kekuatan alami material sementasi batuan dalam menjaga kesa-tuan butir-butir pasir pada formasi. Stress yang dialami batuan sehingga pasir dapat terproduksi antara lain adalah tekanan dari perubahan stress akibat pemboran, tekanan over burden, fluida formasi yang diproduksi, maupun gaya tektonik. Formasi batu pasir yang bersifat unconsolidated (tidak terkompaksi dengan baik) biasanya tidak mampu bertahan untuk melawan berbagai stress sehingga pasir akan ikut terproduksi mulai dari awal sumur dikomplesi.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya produksi pasir antara lain derajat konsolidasi (degree of consolidation), penurunan tekanan pori di reservoir (reduction in pore pressure), laju produksi (production rate), dan viskositas cairan reservoir (reservoir fluid viscosity). Akibat dari terproduksinya pasir akan menyebabkan akumulasi pasir baik di dalam sumur maupun di peralatan permukaan, runtuhnya formasi, bahkan menyebabkan erosi peralatan baik di dalam sumur maupun di permukaan (Suman, G.O.Jr.,1992).

Usaha menangani produksi pasir pada awalnya menggunakan metoda mekanik seperti gravel pack. Metode ini mampu menahan pasir pada formasi consolidated, akan tetapi tidak memberikan fungsi yang efisien terhadap formasi unconsolidated. Hal tersebut dikarenakan oleh pertimbangan awal penggunaan gravel pack adalah adanya kualitas formasi pasir yang baik se-hingga diperkirakan mampu memberikan produksi minyak kumulatif yang lebih besar.

Metode kimia akhirnya bekembang untuk menangani permasalahan formasi unconsolidated tersebut, yaitu dengan menggunakan resin (zat sejenis plastik). Cara kerja resin adalah dengan meningkatkan ikatan (bonding) antara matrik di dalam batuan di sekitar 3-6 feet di sekitar lubang sumur. Metode ini efektif dalam pencegahan produksi pasir di reservoir namun dapat memperkecil permeabilitas di sekitar sumur sehingga masih harus dipertimbangkan dalam penggunaan metoda tersebut.

Penggunaan resin dapat meningkatkan

kuat tekan batuan sekaligus menurunkan per-meabilitas semula, namun bekerja baik pada fine sand (yang sulit dikontrol menggunakan gravel pack). Selain itu juga penggunaan resin termasuk murah dibandingkan dengan menggunakan gravel pack dan dapat dilakukan pada kondisi wellbore open hole. Di sisi lain, penggunaan resin yang berlebihan dapat mengakibatkan pengurangan porositas sehingga produksi minyak menjadi lebih kecil. Selain itu juga penggunaan resin memiliki derajat kesuksesan yang kecil dalam penempatan di sekitar lubang sumur. (A.Wasnik and S.Mete, 2007)

Bahan baku resin terdiri dari katalis dan pelarut. Untuk jenis resin yang dipakai dalam penelitian ini adalah resin epoxy. Katalis dari resin epoxy disebut hardener, berfungsi untuk mengontrol nilai viskositas. Sedangkan pelarut dari resin ini biasanya adalah aseton, berfungsi mengencerkan dan menyatukan komposisi senyawa kimia sehingga terbentuk resin.

Penggunaan resin dalam mengikat butiran pasir di formasi dipengaruhi juga oleh adanya air formasi. Hal ini dimungkinkan apabila sumur tersebut sudah mulai memproduksikan air atau adanya connate water yang mengisi pori-pori formasi reservoir.

Sand problem pada sumur produksi memiliki permasalahan yang serius apabila sumur tersebut memproduksi air. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa alasan berikut:

Ketika air formasi bersifat a. mobile, gaya seret (shear force) yang diberikan mampu melebihi kekuatan ikatan batuan formasi sehingga pasir ikut terproduksi. Terjadi pelarutan atau pelunakan material b. penyemenan batu pasir.Ada dua fasa fluida yang bergerak sekaligus c. dan memberikan gaya dorong fluida yang besar.Naiknya harga mobilitas fasa fluida pembasah d. (wetting fluid).

Pada saat menaikkan fluida produksi total untuk menjaga harga rate produksi minyak dan gas, gaya dorong sepanjang aliran fluida dalam formasi semakin besar. (Dwijono, 2004).

Air formasi memiliki kecenderungan untuk mengurangi kinerja resin dalam mengikat butiran pasir. Hal ini mengacu pada teori yang menyatakan bahwa karakter kimiawi dari air

Page 8: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

115

mengganggu kemampuan hardener di dalam resin tersebut. Air formasi akan mengakibatkan curing time atau proses penggumpalan menjadi lebih lama, karena saat air formasi bercampur dengan resin akan membuat air bersifat lebih mengencerkan. (Kuralwe, 2009).

II. Metodologi PenelitianPenggunaan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan resin jenis epoxy, air formasi lapangan X, dan core sintetik yang disesuaikan dengan keadaan reservoir unconsolidated. Beberapa keunggulan dengan meng-gunakan resin jenis epoxy dibandingkan jenis resin lain (furan atau organosilane) adalah sebagai berikut:

Resistensi yang baik terhadap • acid dan alkaliMemiliki viskositas yang rendah• Penetrasi yang dalam• Lebih cepat dalam hal pengerasan (• curing time)

Namun di sisi lain, ada beberapa kelemahan jenis resin epoxy, yaitu merupakan bahan baku yang bereaksi dengan alam dan merupakan bahan import sehingga agak sulit untuk mendapatkan. (D. M. Slagle, 2008).

Komposisi resin yang digunakan adalah resin (epoxy-hardener):aseton = 1:1 karena merupakan komposisi paling optimum untuk mengkonsolidasi pasir untuk studi kasus formasi unconsolidated tanpa banyak mengurangi nilai porositas dan permeabilitas. (Gema Wahyudi, 2010).

Untuk mencari hubungan antara air formasi dengan kinerja resin maka digunakan air formasi asli dari lapangan X. Air formasi adalah air yang diproduksi baik bersama dengan minyak maupun sudah berada di reservoir tersebut sebagai irreducible water. Berdasarkan hasil percobaan di laboratorium mengenai air formasi yang digunakan pada penelitian ini, didapatkan hasil sebagai berikut:API air formasi: 8,60 APISpecific gravity air formasi: 1,009993Total dissolved solid: 0,94 gramKandungan ion-ion

CO3- : 89,1177 ppmHCO3- : 30,201 ppm

Cl- : 2284, 8797 ppmCa2+ : 59,4118 ppmMg2+ : 76,0471 ppmNa+ : 6949,4304 ppm

Sedangkan untuk core yang digunakan adalah core sintetik dengan karakteristik sebagai berikut: (i) ukuran butir matriks dalam rentang ukuran mesh 80-120 dan (ii) sementasi antar matriks lemah (perbandingan semen:pasir = 1:4). Core dibuat secara manual dengan menggunakan paralon, palu, dan batang pemadat. Setelah core menjadi kering, core dikeluarkan dari paralon dan dijenuhi air secara bersamaan agar terjadi penyamarataan sementasi (karena akan ada beberapa core yang akan dijenuhi oleh air formasi). Seluruh core yang sudah dijenuhi kemudian dikeringkan sekitar 3-4 hari, pengeringan bisa dilakukan secara mudah baik dengan meletakkan core di tempat terbuka maupun diletakkan di dalam oven agar pengeringan terjadi lebih cepat.

Jumlah Core yang dibuat cukup banyak karena diperlukan untuk pengerjaan pengukuran compressive stress, porositas, dan permeabilitas yang dilakukan secara paralel. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pengerjaan penelitian di laboratorium.

Penggunaan Alat Percobaan

Dalam pengukuran sifat core yang akan diberikan perlakuan, diperlukan beberapa alat untuk pengukuran tersebut. Untuk mengukur compressive stress, masing-masing core diuji dengan alat Single Stage Compressive Test (SST) dan perubahan porositas-permeabilitas diuji dengan menggunakan UltraporeTM 300 Helium Pycnometer System dan Hassler Permeameter.

Metode Kerja Penelitian

Dalam menganalisis efek saturasi air formasi, dilakukan tiga buah perlakuan terhadap core:

Core tanpa perlakuan apapun (selanjutnya • disebut Core NT)Core dengan saturasi resin (selanjutnya • disebut Core R)Core dengan saturasi air formasi dan resin • (selanjutnya disebut Core FR).

Tujuan dalam memperlakukan core ke dalam tiga buah perlakuan tersebut adalah untuk

Page 9: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

116

melihat pengaruh resin terhadap kekuatan batuan baik yang dipengaruhi oleh air formasi maupun tidak. Pada masing-masing perlakuan, dibutuhkan sejumlah core untuk melihat hasil dari perlakuan tersebut. Dalam melihat compressive stress core, dibutuhkan 3 (tiga) buah core yang akan diambil nilai rata-rata sedangkan untuk melihat sifat porositas dan permeabilitasnya hanya menggunakan 1 buah core. Nilai compressive stress yang akan digunakan merupakan nilai rata-rata dari ketiga kekuatan batuan yang dihasilkan oleh ketiga core tersebut.

Untuk melihat perbedaan hasil perlakuan pada pengukuran compressive stress, core direndam oleh resin dalam waktu (jam) yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan untuk melihat efek yang terjadi terhadap core oleh pengaruh resin dan air formasi. Core (baik yang sudah tersaturasi oleh air formasi maupun tidak disaturasi) direndam dalam larutan resin di dalam gelas plastik. Tinggi larutan resin harus mampu merendam keseluruhan core sehingga pengaruh resin tersebut bersifat merata. Volume resin yang digunakan sebanyak 100mL yang terdiri dari resin 50mL dan aseton sebanyak 50mL, (epoxy:hardener = 1:1)

Dalam pengukuran porositas dan permeabilitas, digunakan jumlah core yang berbeda. Ketika menggunakan alat porosimeter akan dilakukan 3 kali pengukuran pada 1 core yang mewakili setiap perlakuan, sehingga dapat memberikan nilai rata-rata. Sedangkan pada saat menggunakan alat Hassler permeameter dilakukan 1 kali pengukuran yang menghasilkan korelasi antara volume dan waktu yang kemudian diplot sehingga menghasilkan hubungan antara q (rate) terhadap gradien persamaan dan yang selanjutnya dapat dihitung nilai permeabilitas core tersebut.

Secara garis besar, langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pembuatan • artificial core Pembuatan resin epoxy• Pengukuran porositas dan permeabilitas • sebelum core mengalami perlakuanPengukuran • compressive stress setelah core mengalami perlakuanPengukuran porositas dan permeabilitas sete-• lah core mengalami perlakuan

Analisa hasil data percobaan laboratorium• Pengukuran selisih compressive stress,

porositas dan permeabilitas dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh air formasi terhadap penurunan atau kenaikan nilai sifat fisik batuan (petrofisik). Dari percobaan yang dilakukan di laboratorium, hasil akan dibahas pada bab selanjutnya.

III. Hasil dan PembahasanPengujian Kekuatan Batuan (Compressive Stress)

Pada dasarnya, resin akan meningkatkan kekuatan batuan. Untuk mengetahui seberapa besar kinerja resin yang digunakan maka dilakukan pengujian terhadap kekuatan ikatan dari resin tersebut dengan menggunakan alat Single

Stage Compressive Test (SST) dengan uniaxial stress. Alat SST ini memiliki kemampuan untuk menguji triaxial stress dari axial stress (gaya dari atas) maupun radial stress (gaya dari samping), namun pada percobaan ini hanya menggunakan uniaxial stress karena hanya ingin melihat efek dari saturasi air. Grafik di bawah ini menunjukkan hasil pengujian compressive stress baik sebelum maupun sesudah core diberikan perlakuan. Pada Gambar 1 di atas dapat terlihat bahwa core yang mengalami perlakuan saturasi resin saja memiliki nilai compressive stress yang semakin meningkat, namun pada titik tertentu mengalami penurunan karena sudah melampaui titik optimal efektivitas resin. Titik optimal penggunaan resin yaitu pada t=7 jam, jika lebih dari itu maka akan terjadi penurunan efektivitas penggunaan resin. Sedangkan pada core yang tersaturasi air formasi didapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan core yang hanya tersaturasi oleh resin. Berikut Tabel 1 yang menunjukkan perbedaan nilai compressive stress sebelum dan setelah perlakuan terhadap core. Pada t (waktu)

Gambar 1. Perbandingan compressive stress core yang disaturasi resin dan core yang disaturasi air formasi +resin

Page 10: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

117

yang sama nilai core yang disaturasi resin (Core R) dikurangi nilai core yang disaturasi oleh air formasi dan resin (Core FR).

Selisih nilai compressive stress sekitar 150 – 370 psi menunjukkan bahwa adanya air formasi memberikan pengaruh yang cukup besar pada nilai kekuatan batuan. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sifat kimiawi air mengganggu kinerja hardener dari resin sehingga performance resin mengalami penurunan. Namun, penurunan nilai ini perlu diperhatikan juga dalam perbandingannya dengan keadaan awal core yang tidak diberikan perlakuan (core tanpa saturasi), apakah masih memungkinkan

penggunaan resin dengan adanya air formasi atau tidak. Nilai kekuatan batuan dari core yang tidak disaturasi oleh apapun yaitu sebesar 0,7 ton (1582,59 psi). Dari Gambar 2 di atas dapat diketahui bahwa nilai core tanpa saturasi masih berada jauh di bawah nilai kekuatan batuan yang diberikan perlakuan (baik core yang disaturasi resin saja maupun core yang sudah tersaturasi oleh air formasi yang kemudian dijenuhi oleh resin). Selisih nilai kekuatan batuan antara core yang disaturasi dengan core yang tidak disaturasi dapat mencapai 700 -1500 psi.Dari data Tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan resin di bawah pengaruh air formasi masih dapat meningkatkan compressive stress, sehingga pada kondisi dimana batuan mengandung connate water, resin masih dapat digunakan. Hanya saja kekuatan batuan yang didapatkan berkurang 150 sampai 370 psi (Tabel 1).

Pengukuran porositas dengan menggunakan gas porosimeter).

Pengukuran porositas sangat penting untuk dilakukan karena menentukan volume fluida yang terkandung di dalamnya. Dalam penggunaan resin ini akan diketahui seberapa

Gambar 2. Perbandingan ccmpressive stress antara core yang disaturasi resin dan core tanpa perlakuan.

Tabel 2. Perbandingan nilai compressive strength antara core yang disaturasi resin (Core R) atau core yang disaturasi air formasi +resin (Core FR) dengan core yang tidak mendapat perlakuan apapun (Core NT)

Waktu Perendaman,

jam

Selisih Compressive

Stress (Core R - Core NT)

psi

Selisih Compressive

Stress (Core FR - Core NT),

psi1 904,34 753,543 1055,07 753,545 1130,43 829,067 1733,33 1356,519 1507,31 1356,51

Tabel 1. Selisih nilai compressive stress core yang yang disaturasi oleh resin (Core R) dan core yang disaturasi oleh air formasi dan resin (Core FR)

Waktu Perendaman, jam

Selisih Compressive Stress (Core R – Core FR),

psi1 150,803 301,525 301,377 376,829 150,80

Gambar 3. Perbandingan porositas sebelum perlakuan (porositas awal) dan setelah core disaturasi resin (porositas akhir, core R)

Gambar 4. Perbandingan porositas sebelum perlakuan (porositas awal) dan setelah core disaturasi air formasi+resin (porositas akhir, core FR)

Page 11: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

118

besar efek yang diberikan oleh resin terhadap sifat fisik batuan yaitu porositas. Saat dilakukan uji kekuatan batuan, nilai compressive stress yang dihasilkan oleh core yang tersaturasi oleh resin memiliki nilai yang sangat signifikan. Hal ini serupa juga dengan core yang disaturasi oleh air formasi terlebih dahulu yang kemudian disaturasi oleh resin. Pemikiran yang dapat diambil dari uji kekuatan batuan tersebut adalah terjadinya pengurangan porositas pada kedua macam core karena diisi oleh fluida resin yang mengeras. Porositas awal dari core akan mengecil setelah diberikan perlakuan (saturasi air-resin maupun saturasi resin saja). Sehingga untuk membuktikan pemikiran tersebut dilakukan pengukuran porositas core baik sebelum maupun sesudah diberikan perlakuan.Data yang didapat melalui percobaan meng- gunakan gas porosimeter dapat dilihat pada Tabel 3.

Pada Tabel 3, core yang hanya disaturasi oleh resin memiliki penurunan porositas yang signifikan, dengan rentang pengurangan porositas 43-66%. Porositas yang berkurang tersebut diisi oleh larutan kimia resin yang telah mengeras sehingga pori-pori kosong yang tadinya belum terisi menjadi berkurang.

Di sisi lain, Tabel 4 menunjukkan core yang dijenuhi oleh air terlebih dahulu kemudian resin memiliki selisih penurunan porositas yang kecil. Rentang perubahan porositas pada core

yang dijenuhi oleh air adalah sebesar pengurangan 6% - 22%. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal:

Sifat air yang mengganggu • hardener resin sehingga resin tidak bisa mengisi penuh pori-pori core saat mengerasSifat air yang membasahi permukaan • batuan, sifat wettability, sehingga resin tidak sepenuhnya menempel ke permukaan batuan tersebut (air berada diantara permukaan batuan dan resin)

Adanya resistensi dari air ketika resin mencoba masuk ke dalam pori-pori core. Hal ini disebabkan oleh sifat pendesakan resin dari segala arah, sedangkan air sudah berada di dalam pori-pori core tersebut.

Apabila nilai porositas dikaitkan dengan nilai compressive stress, akan terdapat suatu hubungan. Core yang hanya dijenuhi oleh resin memiliki penurunan nilai porositas yang sangat signifikan karena pori-pori core tersebut diisi oleh resin yang telah mengeras. Oleh karena resin mengikat/melapisi butir batuan dengan baik maka menghasilkan harga compressive stress yang besar.

Sedangkan pada core yang dijenuhi oleh air formasi terlebih dahulu memiliki penurunan porositas yang tidak signifikan, tetapi compressive stress yang didapatkan lebih kecil (daripada core yang disaturasi oleh resin saja) karena resin tidak melapisi permukaan batuan atau tidak mengikan butir-butir batuan dengan baik.

Hubungan porositas dan compressive stress pada core yang dijenuhi air dan resin memiliki nilai yang positif. Dengan penurunan porositas yang kecil (sekitar 6% - 19%) dapat memberikan compressive stress sebesar 700 - 1300 psi.

Pada pengukuran porositas digunakan gas porosimeter yang memiliki prinsip pengukuran porositas melalui ruang pori dengan mengalirkan gas inert. Dalam pengukuran permeabilitas absolut digunakan alat Hassler Permeameter yang menggunakan fluida cair.

Penentuan Permeabilitas Absolut dengan Hassler Permeameter

Permeabilitas merupakan salah satu faktor

Waktu Peren-daman

jam

Porositas sebelum

perlakuan%

Porositas setelah

perlakuan %

Selisih Porosi-tas

%

% Selisih

1 31,48 24,38 7,11 22,573 29,24 25,79 3,45 11,815 30,04 24,18 5,86 19,517 28,61 26,71 1,90 6,64

Tabel 4. Selisih nilai porositas core sebelum perlakuan dan setelah perlakuan untuk Core FR (disaturasi air formasi+resin).

Waktu Peren-daman

jam

Porositas sebelum

perlakuan%

Porositas setelah

perlakuan %

Selisih Porosi-tas

%

% Selisih

1 28,28 14,68 13,60 48,093 28,39 15,95 12,43 43,815 28,15 14,18 13,97 49,647 28,59 9,54 19,05 66,63

Tabel 3. Selisih nilai porositas core sebelum perlakuan dan setelah perlakuan untuk Core R (disaturasi resin).

Page 12: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

119

penting dalam industri perminyakan. Konsep permeabilitas lahir dari aliran fluida dalam pori-pori batuan sehingga dapat menentukan besarnya fluida yang dapat diproduksikan ke permukaan sesuai dengan rumus Darcy. Penggunaan resin pada dasarnya akan menurunkan nilai permeabilitas awal namun akan diteliti sampai pada saat kapan nilai permeabilitas yang turun masih dapat ditoleransi.

Penentuan permeabilitas pada percobaan ini menggunakan alat Hassler Permeameter, dengan metode penjenuhan core di dalam parafin terlebih dahulu. Alat ini akan memanfaatkan perbedaan tekanan pada core holder dengan tekanan ruangan sehingga fluida mengalir melalui core holder ke flask yang kemudian akan diukur volume kumulatif terhadap waktu sehingga dapat ditentukan laju alirnya. Penentuan permeabilitas dengan menggunakan Hassler memiliki nilai akurasi yang tidak besar.

Nilai permeabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu geometri dan susunan butiran, distribusi dan ukuran pori-pori, serta sementasi dan kandungan clay. Ada juga kecenderungan yang menunjukkan bahwa porositas memiliki hubungan sebanding dengan permeabilitas namun hal tersebut tidak selalu benar. Jika porositas besar namun permeabilitas kecil, bisa saja karena kecilnya pore throat di dalam batuan tersebut atau adanya pengaruh turtuosity. Jika dalam batuan, jalur yang dilalui oleh fluida terlalu berkelok-kelok maka akan didapatkan waktu yang lama untuk mengalir sehingga laju alir yang didapatkan menjadi kecil dan permeabilitas juga menjadi kecil.

Pada percobaan ini akan dilihat peng-aruh adanya saturasi air dan resin terhadap permeabilitas core. Setelah melihat hasil dari pengukuran porositas sebelumnya, akan juga dibuktikan kecenderungan antara porositas dan permeabilitas pada core yang dijenuhi oleh resin saja maupun dengan air formasi.

Dari Tabel 5 dapat dilihat penurunan permeabilitas core yang diberikan perlakuan dan dijenuhi oleh resin maupun air formasi. Nilai core non-treatment (core tanpa perlakuan) adalah sebesar 150,758 mD dan nilai penurunan permeabilitas bervariasi. Pada core yang hanya dijenuhi resin, penurunan permeabilitas berada pada rentang 58% – 99% sedangkan pada core yang dijenuhi oleh air formasi memiliki rentang penurunan permeabilitas sebesar 21% - 65%. Nilai penurunan tersebut bervariasi terhadap sensitivitas waktu perendaman resin.

Apabila nilai permeabilitas dikaitkan dengan porositas, maka akan didapatkan sebuah kecenderungan. Penurunan porositas cenderung berbanding lurus dengan penurunan permeabilitas namun tidak untuk semua kasus.

Pada Gambar 5, core yang hanya dijenuhi Waktu

Perendaman, jam

Penurunan K (mD)

Penurunan K (%)

Core NT - - -

Core R

1 87,90 58,313 95,41 63,285 119,99 79,597 149,97 99,48

Core FR

1 32,86 21,793 96,58 64,075 65,92 43,737 99,13 65,76

Tabel 5. Perbandingan permeabilitas core non-treatment (Core NT) dengan core yang dijenuhi oleh resin (Core R) dan air formasi+resin (Core FR).

Gambar 6. Perbandingan permeabilitas dari core tanpa perlakuan (Core NT) dan core setelah disaturasi air formasi+resin (Core FR)

Gambar 5. Perbandingan permeabilitas dari core tanpa perlakuan (Core NT) dan core setelah disaturasi resin (Core R)

Page 13: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

120

oleh resin, semakin lama waktu perendaman resin maka akan semakin besar penurunan permeabilitas. Pada waktu perendaman resin 7 jam dapat dilihat bahwa core hampir tidak dapat mengalirkan fluida padahal porositas yang ada masih sebesar 26% (masih tergolong bagus). Hal ini bisa saja disebabkan oleh faktor pore-throat yang kecil sehingga aliran fluida tidak lancar.

Pada core yang dijenuhi oleh air formasi (Gambar 6), terdapat kecenderungan yang sama terhadap masing-masing nilai penurunan permeabilitas dan porositas. Penurunan porositas yang berkisar antara 6%-22% cenderung memberikan penurunan permeabilitas yang bervariasi berkisar 21%-65%. Pada core yang direndam oleh resin selama 7 jam menunjukkan

penurunan porositas yang rendah namun penurunan permeabilitas yang paling tinggi diantara core yang lain. Adanya air formasi menyebabkan porositas tetap tinggi namun tidak menutup kemungkinan resin dapat memperkecil pore throat maupun meningkatkan turtuosity di dalam batuan sehingga permeabilitas mengecil.

Secara umum, hasil yang didapatkan cukup memberikan gambaran tentang kondisi permeabilitas batuan yang dijenuhi oleh air formasi maupun tidak.

Hasil penentuan permeabilitas terhadap dua jenis core tersebut menunjukkan hasil positif dan masih termasuk dalam klasifikasi permeabilitas yang baik. Nilai permeabilitas masing-masing core dapat dilihat pada Tabel 6.

Core R memiliki rentang permeabilitas, k sebesar 0,79 – 62 mD sedangkan core FR memiliki rentang permeabilitas, k sebesar 51 – 117 mD, rentang nilai tersebut masih termasuk dalam kategori permeabilitas yang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya air formasi tidak menjadi masalah dalam penggunaan resin.

IV. Kesimpulan

Walaupun keberadaan air formasi sedikit mengurangi efektifitas kerja resin dalam memperbaiki compressive stress batuan, namun penurunan nilai porositas dan permeabilitas batuan dapat dikurangi (porositas berkurang 6-22% dibandingkan berkurang 48-66% un-tuk core yang disaturasi resin tanpa ada air formasi, dan permeabilitas berkurang 21-65% dibandingkan 58-99% untuk core yang disaturasi resin tanpa ada air formasi). Penggunaan resin dalam mengatasi kepasiran masih dapat digunakan pada lapangan yang memiliki saturasi air tinggi, yaitu dengan meningkatkan compressive stress sebesar 700 – 1300 psi. Keberadaan air formasi membuat soaking time dari resin ke dalam batuan lebih lama, tanpa menutup pori-pori keseluruhan, sehingga memberikan peluang penetrasi resin kedalam batuan. Ini disebabkan karena penggumpalan resin menjadi lebih lama.

Acuan

Dwijono, M., 2004. Petunjuk Praktis Menanggulangi Problem Sand Di Lapangan Pertamina dan Meningkatkan Produksi.

Kurawle Irfan et al. 2009. Silanol Resin consolidation system for deepwater completions and production optimization: 8th European Formation Damage Conference Scheveningen, The Netherlands 2009.

Mujib, M.E., 2010. Design Lab Apparatus: Single Stage Compressive Test (SST) pada Tekanan dan Temperatur Tinggi: Tugas Akhir S1 Perminyakan ITB 2010.

Purnama, G.W., 2010. Studi Laboratorium: Analisis Komposisi Resin Untuk Menangani Masalah Kepasiran Pada

Tabel 6. Nilai permeabilitas dari core tanpa perlakuan (Core NT), core yang disaturasi resin (Core R), dan core yang disaturasi air formasi+resin (Core FR).

Waktu Perendaman,

jam

K (mD)

Core NT - 150,76

Core R

1 62,863 55,355 30,777 0,79

Core FR

1 117,903 75,145 72,267 51,62

Page 14: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

121

Formasi Gas Yang Tidak Terkonsolidasi: Tesis Magister Perminyakan ITB 2010.

Rasyid, I.F., 2010. Studi Pengembangan Resin Epoxy Dalam Mengatasi Permasalahan Kepasiran: Tugas Akhir S1 Perminyakan ITB 2010.

Tabel A1. Core non-treatment (tanpa perlakuan perendaman resin maupun air formasi + resin)

Tabel A2. Core perendaman resin 1 jam (R1)

Tabel A3. Core perendaman resin 3 jam (R3)

Tabel A4. Core perendaman resin 5 jam (R5)

Tabel A5. Core perendaman resin 7 jam (R7)

LAMPIRAN A: NILAI COMPRESSIVE STRESS

Slagle, D.M. et al. 1969. Control of Sand Production in the Underground Storage of Natural Gas: Journal of Petroleum Technology, Volume 21, Number 5 1969.

Page 15: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

122

Tabel A7. Core perendaman air formasi + resin 1 jam (FR1)

Tabel A8. Core perendaman air formasi + resin 3 jam (FR3)

Tabel A9. Core perendaman air formasi +resin 5 jam (FR5)

Tabel A10. Core perendaman air formasi + resin 7 jam (FR7)

Tabel A11. Core perendaman air formasi + resin 9 jam (FR9)

Tabel A6. Core perendaman resin 9 jam (R9)

Page 16: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

123

LAMPIRAN B: PENGUKURAN POROSITAS DENGAN GAS POROSIMETER

Tabel B1. Pengukuran core R

Page 17: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

124

Tabel B2. Pengukuran -core FR

Page 18: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

125

Page 19: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

126

Page 20: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

127

A Method for Obtaining Inter-well True Resistivity (Rt) from Seismic Data

Bambang Widarsono1 and Fakhriyadi Saptono1

1)Researcher at PPPTMGB “LEMIGAS”, Jl. Ciledug Raya, Kav 109, Cipulir, Kebayoran Lama.

Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150(e-mail: [email protected])

Abstract

Water saturation data throughout an oil or gas field is always desired. This can be materialized if a means can be established to extract the data from seismic data. This is true since seismic data is the only widespread source that provides information for inter-well locations. This paper presents a field trial of a proposed approach that is basically based on the application of artificial intelligence (artificial neural network, ANN) on well-log and seismic data to extract formation true resistivity (Rt) data. The method itself, which has been successfully verified through a series of laboratory trials, includes training of the ANN using relevant well-log data, Rt prediction using the trained ANN, and blind tests as a means of result validation. An oil field located in East Java is chosen for the trial. It has been shown that there is a certain correlation between log-derived resistivity and log-derived acoustic impedance (AI). As the method is applied to map the resistivity and water-saturation, comparisons between conventional/ deterministic water-saturation map and the corresponding map resulted from the trial has shown the superiority of the method in presenting inter-well variations in water-saturation. It is also found that the new method has provided a high level of flexibility in interpreting and distributing the inter-well Sw values.Keywords: water saturation, seismic, formation true resistivity, artificial intelligence, water-saturation map

Sari

Informasi mengenai data saturasi air yang menyeluruh bagi sebuah lapangan minyak atau gas selalu menjadi hal yang dibutuhkan. Hal ini akan dapat terwujud jika dapat ditemukan suatu cara untuk mengekstraksikannya dari data seismik yang umumnya tersedia bagi seluruh lokasi di reservoir. Tulisan ini menyajikan suatu pengujian atas data log sumur dan seismik lapangan dengan bantuan sistem kecerdasan semu artificial neural network (ANN) dengan tujuan memperoleh data tahanan jenis formasi (Rt) di keseluruhan lapangan. Metode ini – telah berhasil diterapkan pada skala laboratorium – mencakup pelatihan atas sistem ANN dengan menggunakan data log sumur, estimasi Rt dengan menggunakan ANN yang sudah terlatih, dan melaksanakan blind test sebagai suatu cara untuk validasi model. Untuk pengujian data lapangan, data dari sebuah lapangan yang berlokasi di Jawa Timur digunakan. Dari pelatihan yang dilakukan atas ANN terlihat jelas adanya korelasi antara tahanan jenis dan impedansi akustik, yang keduanya diperoleh dari data log sumur. Penerapan kemudian dari metode ini untuk memetakan data tahanan jenis formasi dan saturasi air menunjukkan bahwa metode ini bekerja dengan baik. Disamping itu, telah diamati juga bahwa metode baru ini memberi keleluasaan dalam interpretasi dan pendistribusian harga saturasi air di lokasi-lokasi di luar sumur.Kata kunci: saturasi air, seismik, tahanan jenis formasi, kecerdasan semu, peta saturasi air.

Page 21: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

128

Introduction

As shown in Widarsono et al. (2003), it has been confirmed that there is an obvious theoretical and empirical correlations between rock resistivity (Rt) and acoustic wave velocity or acoustic impedance (AI). The carefully controlled laboratory measurements on some core samples reported from that work have shown that the two parameters show similar responses to changes in water saturation, and resistivity tends to vary greater than AI. In other words, resistivity tends to have a higher resolution than AI in its response to variation in water saturation. This evidence has supported the original idea that distribution of rock resistivity can somehow be derived from seismic data.In their previous work, Widarsono et al. (2001) proposed a procedure to derive water saturation distribution from seismic data through a combination of laboratory measurements, well-log evaluation, and application of back-propagation artificial neural network (ANN). See Bishop (1995) for details about the back-propagation ANN. Although the effort had shown a promising result, the limited variation in AI observed has led into a conclusion that an alternative approach is required. Based on the laboratory verification concluded in Widarsono et al. (2003), the approach in the work was applied to the data used in Widarsono et al. (2001).In the same manner performed during the laboratory verification, a study was to be performed to observe the degree of correlation between log-derived resistivity and log-derived AI data. After assessment on the correlation, prediction will yield distribution maps of rock resistivity and water-saturation. The overall results of the study has been presented in Widarsono and Saptono (2004). Field case: reservoir general description

The oil field (i.e. EJ field) used in the field trial is located in the East Java Basin. Carbonates, that dominates the productive zones, have their porosity system mainly comprises of two-porosity sytems with micro to medium scale vugular dissolution pores. Throughout the field, the porosity values are estimated as between 5 % and 30 %, with permeability up to 2000 mD. In some

places, however, porosity logs indicate porosity values as large as 40 %, often in coincidence with lost circulation zones. The porosity is mainly late stage burial dissolution porosity, even though there is also ample evidence from cores of earlier fabric controlled intergranular and mouldic porosity. Figure 1 presents the top structure map of the field, and the cropped area used for the trial.

In Widarsono et al. (2001), after a series of network training, validation, and prediction the work yielded a water-saturation map for the cropped area as shown in Figure 1. Figure 2 presents the yielded water-saturation map for the top seismic 10 mili-second of the structure. Data and activities are reported and can be seen in Widarsono et al. (2001).

Rt – AI correlationA theoretical discussion over relationships between Sw, Rt, and AI is presented briefly in

Figure 1. Top depth map of EJ structure and its cropped area used in the study.

Figure 2. Distribution map of AI-derived Sw (from Widarsono et al., 2001).

Page 22: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

129

Widarsono et al., 2003). It is shown there that in spite of differences in the order of influence imposed by variation in Sw onto Rt, and AI, there is essentially a theoretical correlation between Rt, and AI that needs to be further investigated.By observing theoretical relationships between water saturation and Rt and AI it can be shown that, after some mathematical manipulations over their basic equations, Rt relates to AI through

where Ψ represents Pd + f(Kf), withPd = dry rock P-wave modulusf(Kf ) = function of incompressibility of fluids

in pore space φ = porositym = rock cementation factora = tortuosityn = saturation exponent

See Appendix for derivation of Equation 1.

From Equation 1 it is clearly observed that there is direct correlation between Rt and AI. It is obvious that, all remain the same, the rise of AI due to increase in Sw causes decrease in Rt. This is conceptually correct. Therefore, it is hoped that Rt should be derivable from seismic-derived AI data. The correlation has been proved well through the laboratory works in Widarsono et al. (2003), and it is now the turn to investigate whether or not the relationship also applies for real field data.

Rt – AI correlation in the fieldFor the purpose of studying the correlation, a scheme similar to the one performed in the laboratory verification (Widarsono et al., 2003) is to be carried out. Training of the ANN was performed to observe the degree of correlation between Rt and AI of the 13 wells (of the total 14) in the EJ field. One well (EJ - 4) is assigned for a blind test. Prior to the training, some careful examination has been made to exclude several data points (a total of around 5 % of total data) that are considered too anomalous. This is aimed

at preventing the ANN to become too “confused” in learning the data pattern.By restricting the use of hidden layer to maximum of 5 (five), the training was considered successful indicated by the reasonably low training error of ± 0.3 Ω-m. Note that larger number of hidden layers used in training will usually improve further the training error meaning the ANN have learned the data pattern to a very detailed level. But this usually have a risk that the ANN may “ignore” the data pattern at a more general level. This usually leads to a condition characterized by very low training error but erroneous results when the trained ANN is used for prediction. To test the training level that has been achieved by the ANN, as well as to verify the Rt - AI correlation at well level, a blind test has been conducted on EJ - 4. AI data from the tested well is input into the trained ANN in order to let the ANN to predict Rt. The predicted Rt was then compared to the actual Rt data owned by the well (see Figure 3).

R aR

AIt

w

hc m w

w hc

n

m

=− − −( )

−( )

2 ΨΨ

φρ φρ ρφ ρ ρ

φ (1)

Figure 3. Comparison between predicted Rt and actual Rt data for EJ-4 well.

Page 23: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

130

The blind test has shown that the ANN has achieved a fairly good degree of training, and it is also shown that there is indeed a correlation (i.e. pattern) that characterizes the Rt – AI relationship. This result confirms the preceding laboratory works reported in Widarsono et al. (2003).

Prediction of Rt distribution map

As confirmation over the Rt – AI correlation at well level, it is now the time to extend the relationship beyond the wells.To create the desired Rt distribution map, the ANN had to be re-trained through the use of an additional set of data, which is locations represented by an array of coordinates (x,y). For the re-training the nature of Rt and AI data must also be modified to suit the field scale we were now working at. At this scale the well-based AI and Rt data have to be averaged for every individual well for the top 10 mili-second of the EJ structure. Note that the averaging of Rt was simply made in serial manner (see Saptono et al., 2003 for its laboratory verification).After the ANN was trained using the averaged individual well’s Rt – AI data, plus (x,y) data for the wells concerned, it was used to predict Rt distribution throughout the reservoir. In the prediction, AI data from seismic (see Widarsono et al., 2001) and its coordinates were input to the trained ANN. Figure 4 presents the result. A rough evaluation on the map indicates reasonable degree of variation in Rt values. However, a meaningful analysis can only be performed properly after the data is transformed to water saturation (Sw).

Prediction of Sw distribution map

In transforming the Rt data into Sw Archie equation (Archie, 1942) of

was used based on the assumption that the structure is essentially made of reefal carbonates, which are usually clay-free hence fitting well with assumptions required by the equation.

Representative data of 2.20 for saturation exponent (n), 0.98 for tortuosity (a), 2.25 for cementation factor (m), and 0.25 Ω-m @ ambient temperature for formation water resistivity (Rw) was used in the calculation. Porosity (φ) was provided by a porosity map that was also derived from the AI map (see Widarsono et al., 2001). After some minor adjustments in the Rt map and

S af

RRw

nm

w

t

= (2)

Figure 4. Distribution map of predicted Rt.

Figure 5. Comparison between predicted Sw and actual (calculated) Sw data for all wells.

Figure 6. Distribution map of predicted Sw.

Page 24: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

131

comparison between predicted Sw and actual average Sw at well locations (Figure 5), it has been concluded that the predicted Sw distribution map (Figure 6) is valid.

Discussions of results

By comparing the Sw distribution map presented in Figure 6 to the top-structure map in the Figure 1, it is obvious that a satisfactory degree of consistence has been achieved. This is indicated by the gradually increasing Sw values at positions near the oil-water contact (lower right of Figure 6). The case is also true for low Sw values, despite the variation, at middle parts of the structure. High Sw values at some spots in the middle are probably high irreducible water saturation trapped in low permeability parts.When compared to the old Sw map presented in Figure 2, the new Sw map presented in Figure 6 has shown more consistency. At locations close to the northern oil-water contact, the Sw values are lower than values in the middle part of the structure. This is logical for any locations in a reservoir close to oil-water contact. The reverse is true for the old Sw map. Another significant difference between the two Sw maps is that most values in the new Sw map (within a range of 34% to 76%) are significantly higher than the values in the old Sw map (within a range of 11% to 44%). Apparently, the Sw values in the new map are more consistent whenever the chosen Sw cut-off value of 70% for the reservoir is applied. In this light, for locations close to oil-water contact, Sw values in the new map are close to the cut-off value.The difference in the Sw values between the two maps is possible to materialize since Sw re-analysis was made on the Rt map (including for the wells) prior to the new Sw distribution mapping. More representative a, m, n, and Rw data was used (as well as other Sw models, if needed), which in the end results in more reasonable Sw values. Implicitly, it can be concluded that the new method has provided very high level of flexibility for interpreting and distributing inter-well Sw values. It may be said that the kind of flexibility typically characterizes the traditional well-log analysis does now also characterize the evaluation of seismic-derived water saturation.

Conclusions

From the study, some main conclusions have been drawn:

Despite high level of rock heterogeneity, an •obvious correlation between rock resistivity and acoustic impedance is observed.The field trial has proved that the degree of •variation in resistivity is higher than in the case of acoustic impedance hence allowing sharper interpretation of water saturation.The field trial has proved successful. However, •more trials on other fields are required for more firm confirmation and possible further development.The new method has provided a high degree •of flexibility in the interpretation of water saturation. This allows adjustments towards reasonable values of water saturation that are acceptable from the point of view of geologists and engineers.

References

Archie, G.E. (1942). The Electrical resistivity logs as an aid in determining some reservoir characteristics, Transaction of AIME, 146, hal 54-62.

Bishop, C.M. (1995). Neural Network for Pattern recognition, Oxford University Press, London.

Gassmann, F. (1951). Elastic waves through a packing of spheres. Geophysics, 16, 673-685.

Saptono, F., Widarsono, B., Hardiman, H. & Kosasih (2003). “Pembuktian hubungan serial pada berbagai batuan formasi”. (Investigation on serial relationship for various formation rocks). (in Bahasa Indonesia). Accepted for publication in Lembaran Publikasi Lemigas.

Widarsono, B., Munadi, S., & Saptono, F. (2001). “Application of Soft Computing in Determining Petrophysical Properties from Seismic Survey” in “Soft Computing for Reservoir Characterization and Modelling” (edited by P.M. Wong et. al.), Springer – Verlag Publ., 586 pp. 217 figs., 3-7908-1421-0.

Page 25: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

132

Widarsono, B. And Saptono, F. (2004). “Resistivity data from a seismic survey? An alternative approach to assist inter-well water saturation mapping”, SPE Paper 87065, SPE Asia Pacific Conference on Integrated Modeling for Asset Management, Kuala Lumpur, Malaysia, March 29-30.

Widarsono, B., Saptono, & Atmoko, H. (2003). “An intelligent approach for obtaining true resistivity (Rt) from rock acoustic data – a laboratory verification””, Lemigas Scientific Contributions, no. 1/2003, p: 2 - 7.

Appendix

Gassmann model (Gassmann, 1951) for seismic primary wave velocity (Vp)in saturated porous medium can be expressed by:

where Pd is the P-wave modulus for the rock frame (or dry rock), and f(Kf ) is the function of the incompressibility of the fluid in the pore spaces. The P-wave modulus for the dry rock can be expressed, in turn, by:

and the function f(Kf ), by:

in which K is incompressibility (or bulk modulus), G is shear modulus, and the subscript d, f, and m refer to the rock frame (or the dry rock,), fluid, and rock matrix, respectively.For rock containing both water and hydrocarbon, the bulk density is expressed as:

where:

and the fluid incompressibility, Kf, which is the inverse of compressibility, cf, is given by:

where S denotes saturation, and the subscript hc refers to hydrocarbon.Rock frame incompressibility, Kd, in Equation A-2, which is the inverse of compressibility of dry rock, cd, is related to PV compressibility, cp, by:

If acoustic impedance (AI) is defined as AI = Vp . ρb, then Equation A-1 can be written in the form of

In Equation A-8 it is obvious that water saturation (Sw) plays a more important influence on AI through ρb (see Equations A-4 and A-5) than through Kf (see Equations A-3 and A-6). Therefore, to simplify matters Sw in Equation A-6 is taken as 100% hence reducing Equation A-8 into

with Ψ is a constant (for homogeneous reservoir rocks) representing [Pd +f(Kf)].By substituting Equations A-4 and A-5 into Equation A-9, it can be written in term of water saturation as

with Sw(AI) is taken to distinguish from Archie-based water saturation. By reversing the Archie equation presented in the text, Equation 2 can be re-written in term of the true resistivity (Rt) as

and by taking Sw(Archie) = Sw(AI) hence substituting Equation A-10 into Equation A-11, the Equation A-11 can take the form of

which is referred to as Equation 1 in the text.

(A-1)b

fdp

KfPV

r

)(2 +=

(A-2)ddd GKP34

+=

2

2

)()1(

)1()(

m

fdm

m

f

m

d

ff

KK

KKKK

KK

KKf−+−

−=

f(A-3)

mfb rfrfr )1( −+⋅= (A-4)

hcwwwf SS rrr )1( −+= (A-5)

hcwwwff cScSc

K)1(

11−+

==(A-6)

mpdd ccc

K+⋅

==f

11(A-7)

AI P f Kd f b2 = + ( ) ρ (A-8)

AI b2 = Ψρ (A-9)

S SAI

w w AIhc w w

w hc

= =− − +( )

−( )( )

2 ψ φρ φρ ρψ φρ φρ (A-10)

R aR

St

w

w Archie

nm

=( )( ) φ (A-11)

R aR

AIt

w

hc m w

w hc

n

m

=− − +( )

−( )

2 ψ φρ φρ ρψφ ρ ρ

φ

Page 26: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

133

Korelasi Baru Untuk Menentukan Ultimate Recovery Factor Pada Reservoir Di Bawah Kondisi Waterflooding

Sari

Estimasi Ultimate Recovery factor (URF) untuk memperkirakan cadangan terambil ataupun cadangan tersisa adalah sangat penting sebagai langkah awal pengembangan suatu lapangan. Studi ini menggunakan data lapangan untuk membuat model reservoir dan selanjutnya mengembangkan analisa sensitivitas pada parameter geologi dan reservoir dalam rangka menghasilkan korelasi recovery factor baru. Lapangan X merupakan lapangan yang terletak di daerah cekungan Sumatera Selatan (South Sumatera Basin), yang terdiri dari 31 titik serap dengan 3 sumur produksi yang masih aktif, dengan reservoir berupa Formasi Talang Akar dan Baturaja. Dengan menggunakan metode simulasi reservoir, dilakukan prediksi kinerja reservoir jika dilakukan waterflooding untuk meningkatkan recovery factor. Korelasi baru yang dikembangkan didasarkan pada metode Guthrie and Greenberger yang mempertimbangkan beberapa parameter seperti permeabilitas, porositas, saturasi air awal, ketebalan, dan viskositas minyak. Studi ini bertujuan untuk memperbaiki hasil antara recovery factor yang ditentukan berdasarkan metode Guthrie and Greenberger dibandingkan dengan recovery factor yang diperoleh dari korelasi usulan pada kasus waterflooding. Korelasi baru yang dihasilkan dapat memperbaiki 15,29 %.terhadap korelasi yang ada sebelumnya.Kata Kunci: Recovery factor, Waterflooding, Metode Guthrie and Greenberger

Abstract

Estimate Ultimate Recovery factor (EUR) to predict recoverable reserves or remaining reserves is very important as the first step of field development. This study uses field data to make a reservoir model and to develop sensitivity analysis in geology and reservoir parameter to determine new recovery factor correlation. Field C is located in South Sumatera Basin that consists of 31 wells include 3 active production wells which produce oil from Talang Akar and Baturaja Formation. Using reservoir simulation method, we predict performance of reservoir with waterflooding to increase recovery factor. New correlation which develops is based on Guthrie and Greenberger method that consider some of parameters such as permeability, porosity, initial water saturation, pay zone, and oil viscosity. The purpose of this study is to correct the result of recovery factor that determined by Guthrie and Greenberger method compare with recovery factor from propose correlation in waterflooding case. The new correlation can correct 15.29 % of the old correlation.Keywords: Recovery factor, Waterflooding, Guthrie and Greenberger Method

Oleh:Nikka Puspitarini(1), Dedy Irawan(2), Tutuka Ariadji(2)

(1)PT. Pertamina EP Region Sumatera, Lifting & Completion - Production EngineeringJl. Jend. Sudirman No. 3 Prabumulih, Sumatera Selatan 31122

Telp. : +62713382929, +6281226262614 email : [email protected], [email protected]

(2)Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Page 27: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

134

I. Pendahuluan1.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia akan minyak terus me-ningkat seiring dengan berkembangnya industri. Hal ini menjadi faktor pendorong dalam meng-optimalkan minyak yang dapat diangkat dari reservoir. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan meningkatkan recovery factor. Tidak semua minyak yang berada di dalam reservoir dapat diperoleh di permukaan dan akan terdapat saturasi minyak tersisa yang sudah tidak dapat diproduksikan lagi atau tertinggal. Nilai ekonomis hidrokarbon yang tersisa dari tahapan produksi primer (primary recovery) dapat diusahakan untuk diproduksikan lagi deng- an penerapan metode teknik produksi sekunder (secondary recovery) yaitu metode injeksi air atau waterflooding. Dengan metode ini diharapkan akan dapat memperkecil nilai saturasi minyak tertinggal sehingga dapat mengambil minyak yang masih tertinggal di reservoir lebih banyak, dengan demikian akan meningkatkan recovery factor. Salah satu cara untuk menentukan reco- very factor adalah dengan menggunakan metode Guthrie and Greenberger. Dalam perhitungan menggunakan metode ini dipertimbangkan beberapa parameter yaitu, permeabilitas, porositas, saturasi air awal, ketebalan, dan viskositas minyak. Metode lain yang dilakukan adalah dengan melakukan simulasi untuk menghitung total produksi kumulatif minyak dan pada akhirnya ditentukan nilai recovery factor.

1.2 Tujuan Percobaan Studi ini bertujuan untuk mengembangkan korelasi baru yang lebih akurat untuk perhitungan ultimate recovery factor di bawah kondisi reservoir waterflooding dengan memakai simulasi reservoir dengan bentuk umum persamaan Guthrie and Greenberger.

1.3 Metodologi Studi ini dilakukan dengan menggunakan metode simulasi reservoir. Simulasi reservoir adalah salah satu cara untuk membangun model reservoir berdasarkan data geologi, geofisika, pemboran, reservoir dan produksi. Tujuan

yang akan dicapai adalah untuk menirukan keadaan reservoir sebenarnya, sehingga skenario pengembangan lapangan (reservoir) tersebut dapat diramalkan dengan bantuan software simulasi reservoir. Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan dalam simulasi reservoir:

Pengumpulan Data1.

Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang akan digunakan dalam membuat model pada simulasi reservoir. Data-data tersebut meliputi peta-peta geologi, hasil analisa core di laboratorium, hasil analisa fluida (PVT), serta sejarah produksi (historical production) dan tekanan.Pembuatan Model2.

Pembuatan model merupakan tahapan dalam simulasi reservoir yang dilakukan untuk menggambarkan bentuk dan karakteristik reservoir, seperti batas reservoir, distribusi sifat fluida dan sifat fisik reservoir ke dalam sebuah model numerik, serta penentuan grid.Inisialisasi3.

Inisialisasi merupakan proses yang dilakukan untuk memvalidasi OOIP/OGIP dari hasil simulasi berdasarkan model yang dibuat dengan OOIP/OGIP dari data geologi (OOIP/OGIP matching).History Matching4.

History matching merupakan proses validasi model geologi ke dalam model dinamik de-ngan penyelarasan kinerja reservoir dari hasil simulasi dengan kondisi aktual, meliputi penyelarasan sejarah produksi dan tekanan.Forecasting5.

Forecasting merupakan proses peramalan kinerja reservoir dengan mengembangkan berbagai skenario.

Simulator yang digunakan dalam studi ini adalah simulator komersial.

II. Teori Dasar2.1 Korelasi Recovery factor Kemampuan produksi dari suatu reservoir sampai akhir masa produksinya dinyatakan dalam besaran yang disebut Ultimate Recovery Factor (URF) Besaran ini merupakan perban-

Page 28: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

135

dingan antara produksi hidrokarbon maksimum (Estimate Ultimate Recovery) terhadap cadangan hidrokarbon mula-mula di tempat. Penentuan ultimate recovery factor biasanya didasarkan pada bukti keberhasilan perolehan di reservoir lain yang dipandang mempunyai batuan dan cekungan sedimen yang sama sehingga diharapkan mengandung minyak dan batuan dengan sifat fisik yang mirip dan mempunyai mekanisme pendorongan yang sama. Berdasarkan hal tersebut dikembangkan korelasi yang menghubungkan recovery factor dengan sifat fisik batuan dan fluida untuk jenis batuan tertentu pada tekanan abandonment tertentu. Berikut ini adalah korelasi yang digunakan untuk menghitung nilai recovery factor.

2.1.1 Persamaan Empirik Arps2,3

Perasamaan empirik Arps untuk batuan sandstone atau karbonat dengan mekanisme pendorongan solution gas drive adalah sebagai berikut:

Adapun untuk batuan sandstone dengan mekanisme pendorongan water drive:

dimana ф dan Sw dinyatakan dalam fraksi, k dalam md, dan µ dalam cp. Sedangkan symbol pb adalah tekanan bubble point, pi adalah tekanan awal reservoir, dan pa adalah tekanan abandonment. Kedua korelasi di atas diturunkan dengan menggunakan data dari sekitar 300 reservoir.

2.1.2 Persamaan Empirik Guthrie and Greenberger

Persamaan empirik Guthrie and Greenberger merupakan suatu metode empirik yang digunakan untuk menentukan nilai recovery factor untuk reservoir dengan waterdrive, yang berdasarkan pada4:

Korelasi antara property batuan dan fluida1.

Rules of thumb2. dalam mendapatkan rate produksi oil puncak (peak oil production rate), waktu ketika pertama kali produksi, dan penurunan produksi (decline) dari rate produksi puncak

Adapun persamaan Guthrie and Greenberger adalah:1

2.2 Waterflooding Waterflooding merupakan salah satu teknik produksi sekunder (secondary recovery) yang dilakukan dengan menginjeksikan air untuk mendorong minyak menuju sumur produksi.Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode ini antara lain:

Pendesakan melibatkan dua fluida yang 1. tidak tercampur satu sama lain (immiscible), yaitu air dan minyak. Implikasi dari asumsi ini adalah terdapat bidang kontak yang jelas diantara kedua fluida.Proses pendesakan adalah imbibisi yaitu 2. air mendesak minyak dalam reservoir yang bersifat water-wet. Implikasi dari asumsi ini adalah permeabilitas relative dan tekanan kapiler harus diukur dalam keadaan imbibisi.Pendesakan bersifat 3. incompressible karena hanya melibatkan air sebagai fluida pendesak dan minyak sebagai fluida yang didesak. Implikasi dari asumsi ini adalah:qt = qw + qoPendesakan terbatas pada geometri linier 4. dengan sumur injeksi dan produksi diperforasi sepanjang ketebalan formasi yang didesak tanpa memperhitungkan efek dari keberadaan stream line (potensial konstan) di sekitar sumur dan saturasi dianggap seragam di setiap titik di reservoir.

III. Model Reservoir

3.1 Karakteristik dan Deskripsi Reservoir

Lapangan X merupakan sebuah lapang-an yang terletak di cekungan Sumatera Selatan (South Sumatera Basin), yang mulai berproduksi dari tahun 1964 dan terdiri dari struktur penghasil minyak yang mempunyai 31 titik serap dengan 3

( ) ( )0.1611 0.0979 0.1741

0.3722,

1(%) 41.815 w b

R o wob ob a

S pkE SB p

f

m

− =

(1)

( ) ( )0.0422 0.0770 0.2159

0.1903,

1(%) 54.898 w b

R o wob ob a

S pkE SB p

f

m

−− − =

(2)

00.114 0.272log 0.256 0.136log1.538 0.00035

wRF k Sh

m

f

= + + −− −

(3)

Page 29: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

136

sumur produksi yang masih aktif sampai akhir Mei 2007. Berdasarkan korelasi sekuen secara stratigrafik, lapangan ini dibagi ke dalam 4 batas sikuen pada Formasi Baturaja dan Talang Akar yang dibagi ke dalam 13 zona reservoir (Top-BRF sampai SB-0). Formasi Talang Akar umumnya memiliki ketebalan 610 m dan merupakan endapan late syn-rift sampai post-rift. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Lahat dan setempat mengalami onlap dengan Formasi Lahat dan basement. Formasi ini pada umumnya didominasi oleh endapan klastik dan diendapkan pada ling kungan delta plain yang berubah ke arah basin-ward, pada umumnya ke arah barat atau selatan, menjadi batu pasir dan batu lempung marginal. Formasi Baturaja terdiri dari karbonat paparan yang tersebar luas dengan ketebalan 20-75 m. Disertai karbonat build-up dan reef, dengan ketebalan berkisar antara 60-120 m. Pembagian zona reservoir ini dapat dilihat pada Gambar 1.

3.1.1 Properti Batuan Pada lapangan X tidak tersedia hasil

analisa routine core dan special core analysis. Data yang diperoleh hanya dari hasil log. Perhitungan permeabilitas relatif menggunakan hasil log dengan korelasi Standing. Dapat dilihat pada Gambar 2 untuk korelasi kurva permeabilitas air-minyak dengan saturasi air pada lapisan Top BRF. Hasil analisa terhadap sampel core dan log menunjukkan harga porositas yang cukup besar tetapi permeabilitas cukup kecil. Kisaran harga porositas yaitu 0,1784, sedangkan harga permeabilitas yaitu 13,3 md. Data ini diperoleh dari nilai tengah atau median dari distribusi porositas dan permeabilitas. Distribusi porositas dan permeabilitas dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

3.1.2 Properti Fluida Reservoir Pada lapangan X juga tidak tersedia analisa data PVT. Hasil analisa PVT sampel fluida reservoir diperoleh dari perata-rataan hasil analisa fluida pada beberapa sumur yang tercantum pada data dan diperoleh hasil 0API = 33,50 dan Rs = 336,7 scf/stb. Dari data tersebut diketahui bahwa jenis fluida tersebut adalah black oil.

3.1.3 Original Oil In Place (OOIP) Dengan menggunakan nilai net to gross rata-rata, oil formation volume factor (Bo), porositas (ф), dan saturasi air (Sw), nilai Proven Original Oil In Place (OOIP) sebesar 51,24 MMSTB dan OOIP tiap zona dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1. Pembagian zona reservoir

Gambar 2. Kurva permeabilitas relatif sistem air-minyak pada lapisan top BRF

Page 30: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

137

3.2 Model Reservoir Pembuatan simulasi ini dibuat berdasarkan peta yang telah tersedia yaitu: peta struktur, peta porositas, peta permeabilitas, dan peta iso saturasi yang menjadi acuan dalam pembuatan model reservoir dengan menggunakan software Petrel yang menjadi input pada software Eclipse untuk melakukan simulasi reservoir. Jumlah grid yang digunakan utnuk memodelkan reservoir ini sebesar 244224 grid cell dan berukuran 48 x 48 x 106 dengan skala 1 grid = 7,18 m (23,55 ft). Model reservoir dapat dilihat pada Gambar 5.

3.2.1 Inisialisasi Model

P e r h i t u n g a n inisialisasi model meng-hasilkan Original Oil In Place (OOIP) yang mempunyai perbedaan sebesar 0,7 % dari perhitungan OOIP model geologi. Hasil ini sudah cukup re-presentative dalam validasi model reservoir.

3.2.2 History Matching

History Matching dilakukan dari tahun 1964 - 2007 dengan mengubah beberapa parame-ter seperti permeabilitas, tekanan kapiler, transmisibility, dll. Parameter yang diubah adalah yang mempunyai tingkat error yang cukup besar. Dalam history matching ini menggunakan model aquifer berupa Carter Tracy. Hasil history matching dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8.

3.2.3 Prediksi

Lapangan X sudah mulai berproduksi dari tahun 1964 dengan rate produksi sekitar 200 stb/d. Untuk mengoptimalkan produksi, pada tahun 2009 dilakukan waterflooding dan dilakukan prediksi sampai tahun 2037. Waterflooding dilakukan dengan menambah empat sumur injeksi dan membuka kembali empat belas sumur produksi

Tabel 1-Nilai OOIP Tipa Zona

Gambar 3. Distribusi porositas

Gambar 4. Distribusi permeabilitas

Gambar 5. Model reservoir

Page 31: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

138

dengan Remaining Recoverable Reserves (RR) yang masih cukup besar. Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11 memperlihatkan nilai cumulative oil production (Np) dan Remaining Recoverable Reserves (RR) dari tiap-tiap sumur produksi. Zona reservoir yang mungkin dilakukan waterflooding adalah zona dengan jumlah minyak tersisa yang masih cukup banyak, yaitu pada zona 1 (grid k=1 sampai k=30) dengan nilai Sor = 0,78. Daftar schedule untuk prediksi dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan letak sumur produksi dan injeksi dapat dilihat pada Gambar 12. Dalam melakukan prediksi ini dibuat empat skenario yaitu:

Skenario 11. Waterflooding dilakukan dengan cara menya- pu minyak sejajar dengan pay zone, yaitu injeksi pada grid k=1 sampai k=30. Constraint

yang digunakan adalah control rate pada sumur injeksi.Skenario 22. Waterflooding dilakukan dengan menginjeksi

Gambar 6. History matching untuk field liquid production rate (FLPR)

Gambar 7. History matching untuk field oil production rate (FOPR)

Gambar 8. History matching untuk field water production rate (FWPR)

Gambar 9. Bubble map cummulative oil production (Np)

Gambar 10. Bubble map recoverable remaining (RR)

Gambar 11-Bubble map Np vs RR

Tabel 2. Daftar Schedule Untuk Prediksi

Page 32: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

139

air dari bawah pay zone yang masih mempunyai nilai Sor cukup banyak, yaitu pada grid k=32 sampai k=37. Constraint yang digunakan adalah control rate pada sumur injeksi.Skenario 33. Waterflooding dilakukan dengan cara menya- pu minyak sejajar dengan pay zone, yaitu injeksi pada grid k=1 sampai k=30. Constraint yang digunakan adalah control BHP pada sumur injeksi.Skenario 44. Waterflooding dilakukan dengan menginjeksi air dari bawah pay zone yang masih mempunyai nilai Sor cukup banyak, yaitu pada grid k=32 sampai grid 37. Constraint

yang digunakan adalah control BHP pada sumur injeksi.

Skenario dilakukan pada rate injeksi dan BHP yang berbeda-beda untuk kemudian dicari titik optimumnya. Rate injeksi dilakukan dari 50 stb/d sampai 400 stb/d. Sedangkan untuk BHP dilakukan dari tekanan sebesar 1200 psia sampai 400 psia.

Gambar 12. Letak sumur produksi dan injeksi

Gambar 13. Field oil production rate untuk skenario 1 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)

Gambar 14. Field oil production total untuk skenario 1 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)

Gambar 15. Field reservoir pressure untuk skenario 1 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)

Gambar 16. Field oil production rate untuk skenario 2 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)

Gambar 17. Filed oil production total untuk skenario 2 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)

Gambar 18. Field reservoir pressure untuk skenario 2 optimum (Q injeksi = 50 bbl/d)

Page 33: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

140

Grafik yang menunjukkan produksi kumulatif, rate produksi, serta profil tekanan dari masing-masing skenario optimum dapat dilihat pada Gambar 13 sampai dengan Gambar 24. Sedangkan plot grafik keempat skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar 25, Gambar 26, Gambar 27, dan Gambar 28.

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa skenario paling optimum adalah skenario 3 ka-rena memberikan nilai recovery factor yang paling besar. Pada skenario 3 ini dapat dilihat bahwa ketika BHP diturunkan, maka nilai reco-very factor semakin meningkat sampai pada titik optimumnya. Untuk nilai optimum terletak pada control BHP = 800 psia karena pada nilai tersebut nilai recovery factor memberikan nilai yang paling maksimal yaitu 9,55 % dengan total kumulatif produksi minyak sebesar 4.893.410

Gambar 19. Field oil production rate untuk skenario 3 optimum (BHP = 800 psia)

Gambar 20. Field oil production total untuk skenario 3 optimum (BHP = 800 psia)

Gambar 21. Field reservoir pressure untuk skenario 3 optimum (BHP = 800 psia)

Gambar 22. Field oil production rate untuk skenario 4 optimum (BHP = 800 psia)

Gambar 23. Field oil production total untuk skenario 4 optimum (BHP = 800 psia)

Gambar 24. Field reservoir pressure untuk skenario 4 optimum (BHP = 800 psia)

Gambar 25. Grafik hasil prediksi skenario 1

Gambar 26. Grafik hasil prediksi skenario 2

Page 34: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

141

STB, dan setelah BHP diturunkan terus nilai recovery factor sudah tidak akan meningkat lagi. Tekanan yang diperlukan untuk menginjeksi air sebesar 1400 psia, lebih tinggi sedikit daripada initial pressure. Hasil yang diperoleh dari skenario 4 tidak terlalu berbeda jauh dari skenario 3, yaitu nilai recovery factor sebesar 9.45 % dan perbedaannya hanya 0.1 % saja. Hal ini menunjukan bahwa ketika dilakukan waterflooding pada zona sejajar dengan pay zone dibandingkan dengan waterflooding pada zona di bawah pay zone, nilai recovery factor nya tidak berbeda secara signifikan. Akan tetapi hasil paling optimum tetap dihasilkan pada waterflooding yang dilakukan sejajar dengan pay zone (sweep injection). Skenario 1 dan skenario 2 memberikan hasil dengan trend yang sama, yaitu semakin besar rate injeksi, maka nilai recovery factor akan semakin menurun. Hal ini kemungkinan diakibatkan karena mobilitas air yang diinjeksikan lebih besar daripada mobilitas minyak karena rate injeksinya terlalu besar. Oleh karena itu meskipun

total kumulatif produksi liquid (FOPT) naik, maka sebenarnya yang terproduksi lebih banyak adalah air dan bukan minyak. Hal inilah yang menyebabkan produksi minyak menurun sehingga nilai recovery factor-nya pun menurun. Selain itu pada dua skenario ini, tekanan yang diperlukan untuk menginjeksikan air di permukaan sangat besar dan melebihi dari initial pressure. Hal ini menyebabkan untuk skenario ini diperlukan fasi-litas permukaan yang cukup mahal, karena untuk menginjeksikan air diperlukan tekanan yang cukup besar untuk dapat menginjeksikan air ke dalam sumur. Akibatnya tekanan kompresor yang diperlukan juga cukup besar. Hasil nilai recovery factor yang diperoleh pada skenario 1 dan skenario 2 tidak terlalu berbeda jauh yaitu hanya berbeda 0,04 % saja. Trend ini sama seperti pada scenario 3 dan scenario 4, yaitu bahwa hasil waterflooding tidak akan berbeda jauh jika injeksi diletakkan sejajar dengan pay zone ataupun jika diletakkan di bawah pay zone. Nilai optimum setiap skenario yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3.

IV. Sensitivity4.1. Sensitivity Analysis

Karena pada studi ini ditujukan untuk menentukan korelasi baru dalam menentukan recovery factor dan selanjutnya hasil yang didapat akan dibandingkan dengan metode Guthrie and Greenberger, maka sensitivity dilakukan pada parameter-parameter yang mem-bentuk persamaan tersebut, diantaranya ada-lah permeabilitas, porositas, saturasi air awal, ketebalan, dan viskositas minyak. Sensitivity tersebut dilakukan dengan menggunakan simulasi reservoir dengan kasus optimum yang telah didapat pada prediksi dengan beberapa skenario, yaitu waterflooding dengan skenario 3. Parameter-parameter yang berpengaruh terhadap metode Guthrie

and Greenberger tersebut diubah tiap-tiap nilainya pada input simu- lasi reservoir untuk kemudian dilihat perbedaan nilai recovery factor yang dihasilkan. Sensitivity permeabilitas dilakukan de-ngan mengubah faktor pengali pada input

Gambar 27. Grafik hasil prediksi skenario 3

Gambar 28. Grafik hasil prediksi skenario 4

Tabel 3. Hasil nilai RF optimum setiap skenario

Page 35: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

142

k yang terdapat dalam grid. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai k maka nilai produksi kumulatif minyak (Np) akan semakin naik. Dapat dilihat pada Gambar 29 bahwa perubahan permeabilitas dari 1,3 md sampai 1,6 md (kenaikan sebesar 0,3 md) menyebabkan kenaikan recovery factor sebesar 0,32 %. Sedangkan pada permeabilitas sebesar 2,6 md, recovery factor naik sebesar 3,8 % Akan tetapi pada nilai tertentu, yaitu pada nilai di atas 2,6 md, Np akan mengalami penurunan meskipun permeabilitasnya semakin besar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas air telah melebihi mobilitas minyak sehingga meskipun permeabilitas semakin besar dan produksi kumulatif liquid semakin besar, tapi yang mengalir sebagian besar adalah air karena terjadi bypass oleh air injeksi. Untuk sensitivity k ini tidak akan mempengaruhi nilai IOIP sehingga tidak perlu lagi dilakukan inisialisasi data ketika merubah faktor pengali k. Hal yang sama juga dilakukan pada sensitivity viskositas minyak dengan mengubah nilai-nya pada input data PVT. Dari hasil yang didapat dapat dilihat bahwa semakin kecil nilai viskositas, maka Np akan semakin besar. Dapat dilihat pada Gambar 30 bahwa kenaikan nilai viskositas dari 7,04 cp menjadi 17,6 cp, RF menurun seba-nyak 3 %. Sedangkan untuk

kenaikan viskositas selanjutnya per 10 cp mengakibatkan penurunan RF sebesar kurang lebih 1 %. Hal ini diakibatkan karena dengan menurunnya viskositas, maka minyak akan semakin encer dan semakin mudah terambil dari reservoir daripada minyak dengan viskositas yang tinggi, sehingga akan menambah recovery factor. Pada sensitivity viskositas minyak ini juga tidak dilakukan inisisalisasi terhadap IOIP karena perubahan viskositas tidak akan mempengaruhi nilai IOIP. Sensitivity porositas dilakukan dengan mengubah faktor pengali pada input porositas yang terdapat pada grid. Setelah dilakukan perubahan pada faktor pengali porositas tersebut, dilakukan inisialisasi terhadap IOIP karena perubahan porositas akan mempengaruhi nilai IOIP. Inisialisasi dapat dilakukan dengan me-ngalikan pore volume agar IOIP kembali menjadi nilai awal. Dari hasil sensitivity dapat dilihat bahwa semakin besar porositas maka Np akan semakin meningkat karena semakin besar pori-pori batuan maka akan meningkatkan jumlah perolehan mi-nyak. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 31 pada kenaikan nilai porositas dari 10,7 % ke 12,4 %, kenaikan RF sebesar 4,7 %. Akan tetapi pada nilai sebelum dan sesudah porositas tersebut nilai

Gambar 30. Garfik sensitivity RF vs viskositas minyak.

Gambar 31. Grafik hasil sensitivity RF vs porositas

Gambar 32. Grafik hasil sensitivity RF vs ketebalan

Gambar 29. Grafik sensitivity RF vs permeabilitas

Page 36: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

143

porositas berbanding terbalik dengan RF. Hal ini kemungkinan disebabkan karena mobilitas air telah melebihi mobilitas minyak sehingga terjadi bypass oleh air dan mengakibatkan minyak yang terproduksi lebih sedikit. Sensitivity ketebalan dilakukan dengan mengubah nilai Net to Gross (NTG) kemudian dilakukan inisialisasi sama seperti pada porositas. Net to Gross merupakan presentase reservoir setelah dikurangi dengan kandungan shale dan mempunyai satuan persen atau desimal. Dari Gambar 32 dapat dilihat bahwa semakin besar nilai NTG maka Np juga akan semakin besar. Kenaikan ketebalan sebesar 50 ft mengakibatkan kenaikan RF sebesar 0,1 %. Sensitivity Sw dilakukan dengan meng-

ubah nilai Pc pada input data SCAL. Dapat dilihat pada Gambar 33 bahwa semakin besar nilai Sw maka nilai Pc juga akan semakin besar sehingga mengakibatkan Np menurun. Kenaikan Sw sebesar 0,05 % mengakibatkan RF turun sebesar 1 %. Pc yang terlalu besar akan membuat minyak di reservoir sulit untuk bergerak. Dalam sensitivity Pc juga dilakukan inisialisasi terhadap IOIP. Hasil dari sensitivity pada berbagai parameter dapat dilihat pada Tabel 4.

4.2. Pengembangan Korelasi Baru Recovery Factor

Pengembangan korelasi baru untuk recovery factor reservoir dengan waterflooding dilakukan dengan menggunakan software statistik XLSTAT yang dapat menentukan suatu korelasi dari multi variabel. Input data berupa hasil sensitivitas dari lima parameter yang berpengaruh yaitu permeabilitas, porositas, saturasi air awal, ketebalan, dan viskositas minyak. Pengembangan persamaan ini adalah de-ngan menggunakan nonlinear regression. Input data untuk dependent variables (y) yaitu reco-very factor (RF) dan input data untuk explanatory variables (x) berupa k, ф, Swi, h, dan µo. Input data pada software XLSTAT dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil dari persamaan usulan dari software tersebut adalah:

Plot antara recovery factor hasil persamaan di atas dengan hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar

Gambar 33. Grafik hasil sensitivity RF vs Swi

Tabel 4. Hasil sensitivity analysis terhadap beberapa para-meter

3 2 4 2 2 3 2 2

7.94 0.0764 0.0788 568.01 0.57 95.55

9.94 10 2.168 10 1990.42 9.838 10 116.83o w

o w

RF k h Sk h S

m f

m f− − −

= − + − + − − +

× + × − + × +

(4)

Gambar 34. Grafik RF simulasi vs RF korelasi

Page 37: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

144

34 dan menunjukkan hasil yang cukup baik yaitu dengan R2=0,87. Untuk memvalidasi persamaan penentuan recovery factor di atas, dilakukan dengan memasukkan salah satu data hasil simulasi reservoir yang kira-kira data tersebut berada di tengah selang data persamaan. Untuk itu dibuat suatu model dengan nilai permeabilitas 10 md, viskositas minyak 10 cp, porositas 10 % ketebalan 30 ft, dan saturasi air 30 %. Dari perhitungan recovery factor dengan menggunakan persamaan di atas didapat hasil RF = 2,82 % sedangkan dari hasil simulasi didapat RF sebesar 3,02 %. Perbedaan yang didapat adalah 7 %. Sedangkan untuk perbandingan hasil nilai recovery factor

pada Lapangan X dapat dilihat pada Tabel 7.

4.3. Batasan Batasan yang harus dipenuhi untuk berlakunya persamaan ini adalah cakupan data yang digunakan untuk input penentuan persamaan tersebut, yaitu:

Permeabilitas kecil (<50 md)1. Viskositas minyak tidak lebih dari 45 cp2. Reservoir tidak terlalu tebal (<50 ft)3. Porositas tidak lebih dari 20 %4. Initial water saturation5. tidak lebih dari 50 %Berlaku pada reservoir dengan 6. waterflooding

4.4. Perbandingan Recovery Factor Hasil Korelasi dan Metode Guthrie and

Greenberger Dari korelasi baru yang diperoleh dilakukan perbandingan nilai recovery

Tabel 5. Perbandingan RF simulasi dengan RF korelasi Tabel 6. Perbandingan RF simulasi dengan RF Guthrie

Tabel 7. Perbandingan Hasil RF

Page 38: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

145

factor jika dilakukan dengan metode Guthrie and Greenberger dan dengan metode simulasi. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5, Tabel 6, dan Gambar 35. Dari gambar dan table tersebut dilihat bahwa nilai recovery factor untuk RF Guthrie menunjukkan hasil berbeda jika dibandingkan dengan RF Korelasi. Perhitungan RF dengan metode Guthrie and Greenberger dilakukan pada reservoir dengan water drive sedangkan RF korelasi dilakukan pada reservoir dengan waterflooding. Perbedaan hasil RF antara kedua metode tersebut diduga karena pada skenario yang dilakukan pada prediksi, waterflooding yang dilakukan pada reservoir ini tidak terlalu berpengaruh besar dalam usaha meningkatkan perolehan produksi kumulatif minyak sehingga memberikan nilai RF yang lebih kecil dari yang diharapkan. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada penentuan recovery factor pada lapangan ini, korelasi baru memberikan hasil yang lebih mendekati dengan hasil simulasi dibandingkan dengan metode Guthrie and Greenberger. RF yang dihitung dengan menggunakan persamaan Guthrie menghasilkan nilai sebesar 12,76 %, sedangkan jika dihitung dengan menggunakan korelasi baru sebesar 7,8 %. Hasil tersebut dibandingkan dengan RF yang diprediksi jika dilakukan pada model simulasi base case sebesar 9,55 %. Perbedaan nilai RF antara Guthrie dan simulasi sebesar 33,64 %, sedangkan perbedaan antara korelasi baru dengan simulasi sebesar 18,36 %. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa korelasi baru dapat memberikan perbaikan nilai RF sebesar 15,29 %.

Gambar 35. Perbandingan RF Guthrie vs RF Korelasi

V. Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

Didapatkan suatu korelasi bar1. u yang lebih akurat untuk penentuan RF pada reservoir waterflooding untuk cakupan data yang digunakan menjadi batasan bagi berlakunya korelasi tersebut.Pada umumnya perhitungan RF dengan 2. menggunakan korelasi baru mempunyai nilai yang lebih kecil daripada RF dengan metode Guthrie and Greenberger.Korelasi baru dapat memperbaiki korelasi 3. Guthrie and Greenbergur sebesar 15.29 %.Korelasi baru tersebut dapat digunakan untuk 4. menentukan nilai RF pada reservoir dengan batasan sebagai berikut:

Permeabilitas kecil (<50 md)a. Viskositas minyak tidak lebih dari 45 cpb. Reservoir tidak terlalu tebal (<50 ft)c. Porositas tidak lebih dari 20 %d. Initial water saturation tidak lebih dari 50 %e. Berlaku pada reservoir dengan f. waterflooding

Saran

Perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan data hasil simulasi yang lebih banyak agar korelasi yang dihasilkan dapat mencakup range data yang lebih luas.

Acknowledgement

Penulis mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah SWT, kedua orang tua, dan keluarga atas doa dan dukungannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Tutuka Ariadji selaku dosen pembimbing tugas akhir dan juga kepada Dedy Irawan, ST, MT selaku pembimbing kedua, atas segala bantuan dan bimbingannya selama ini. Terima kasih tak lupa diucapkan kepada Kosdar Gideon Haro, ST, atas segala bantuan dan dukungannya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan, Nurriffar Kritia Audhy, sahabat yang selalu mendukung dalam masa-masa sulit, Bapak dan Ibu Tata Usaha Teknik Perminyakan ITB yang selalu memberi semangat, dan juga kepada seluruh teman – teman teknik perminyakan ITB angkatan 2005, teman – teman HMTM PATRA ITB, dan semua orang yang tidak bisa disebutkan namanya satu

Page 39: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

146

per satu, terima kasih banyak atas bantuan dan doanya.

Daftar Simbol

Daftar PustakaGuthrie, R.K., and Greenberg-er, M.H., March,

1955: "Ihe Use of Multiple Correlation Analyses for Inter-preting Petroleum Engineering Data," API Paper 901-31-G, New Orleans, La.

Arps, J. J., and Roberts, T. G.:"The Effect of the Relative Per-meability Ratio, the Oil Gravity, and the Solution Gas-Oil Ratio on the Primary Recovery from a Depletion Type Reservoir," Trans.AlME (1955)204,120

Aprs, J.J., 1986: Estimation of Primary Oil Reserves," Petroleum Transactions, T.P. 4331 Vol. 207.

Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir I. Bandung.

Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir II. Bandung.

Carcoana, A. 1992. “Applied Enhanced Oil Recovery”, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Siregar, S. 2000. “Teknik Peningkatan Perolehan”, Departemen Teknik Perminyakan ITB.

Rs = Kadar gas terlarut, SCF/STBBo = Faktor volume formasi minyak,

res bbl STBμo = Viskositas minyak, cpRF = Recovery factor, %k = Permeabilitas, mdh = Pay zone, ftφ = porositas, %Swi = Saturasi air awal, %Np = Produksi kumulatif minyak,

STB/DIOIP = Initial Oil In Place, STB

Page 40: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

147

Aplikasi Inside Gravel Packing Sebagai Sand Control Pada Sumur X Dengan Electrical Submersible Pump

Sebagai Metode Sembur Buatan

Sari

Permasalahan produksi yang berhubungan dengan terproduksinya pasir serta partikel-partikel halus formasi lainnya merupakan hal yang sering terjadi pada sumur-sumur produksi di lapangan minyak manapun. Masalah ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi sumur dan kehilangan produksi sumur bila terjadi kerusakan pada peralatan produksi dan penyumbatan pada daerah perforasi. Usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah masalah tersebut adalah dengan menurunkan laju produksi dibawah laju alir kritis kepasiran pada formasi, namun hal tersebut akan menyebabkan produksi sumur yang tidak optimum dan tidak menjadi jaminan pasir formasi tidak akan ikut terproduksi dengan terjadinya peningkatan produksi air dan penurunan tekanan pada reservoir selama waktu produksi. Oleh karena itu upaya penanggulangan untuk mengatasi masalah kepasiran harus dilakukan sedini mungkin dengan memperhatikan karakteristik formasinya.

Inside gravel packing (IGP) adalah salah satu metode yang diterapkan sebagai sand control (pengendalian pasir). Hal ini dilakukan karena dapat memperbaiki kestabilan formasi, namun penerapan IGP akan menurunkan produktifitas sumur sehingga diterapkan electrical submersible pump (ESP) untuk memperbaiki produktifitas sumur. Hasil tes produksi menunjukkan IGP efektif untuk mencegah terproduksinya pasir dan menghindarkan sumur dari kerusakan yang akan mengganggu produksi sumur meskipun diterapkan ESP sebagai metode sembur buatan untuk meningkatkan produktifitas sumur akan berakibat pada meningkatnya biaya operasi.Kata Kunci: inside gravel packing, kepasiran, ESP, laju alir optimum

Abstract

Problems associated with sand and fine particles production often occur in oil field. This problem caused declining and even losing of production rate in the event of damage to production equipment and blockage of the perforation area. Effort to minimize sand production by reducing production rate below sand critical flow rate, will lead to un-optimum production and there is no guarantee that sand will not be reproduced again if water production increase and reservoir pressure decrease during production life. Therefore, preventive efforts to overcome sand problem should be done as early as possible with due regard to the characteristics of the formation. Inside gravel packing (IGP) is one method of sand control. It can improve stability of the formation, but the application of the IGP will reduce productivity so electrical submergible pump (ESP) is applied to improve the well productivity. Production test indicated that application IGP is effective to prevent sand production and prevent well from damage that would disrupt production although when ESP is applied as a method of the artificial lift it will increase operating cost.Keywords: inside gravel packing, sand problem, ESP, optimum production rate

Oleh:Dwi Hermanto S, Alvianti Dwi P

Jurusan Teknik Perminyakan, UPN “Veteran” Yogyakarta, Jl. SWK 104 Lingkar Utara Condong Catur Yogyakarta 55283

Telp: +6285715480251email: [email protected], [email protected]

Page 41: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

148

Pendahuluan Sumur X adalah salah satu sumur produksi pada lapangan Y. Dimana pada sumur ini memiliki formasi produktif Talang Akar dan Baturaja. Hasil uji kandung lapisan (DST) yang dilakukan pada akhir tahun 1975 pada sumur ini diperoleh 32 barrel minyak dari formasi Baturaja dan 7650 barrel dari formasi Talang Akar. Pada awal produksinya pertengahan tahun 1976 produksi dilakukan secara commingle dari kedua formasi tersebut dengan menerapkan ESP sebagai metode sembur buatan tanpa ada metode pencegahan kepasiran. Awal sumur ini diproduksi diperoleh laju produksi minyak 5100 BOPD. Seiring waktu produksi maka pada awal tahun 1977 sumur tersebut mulai mengalami masalah terutama kepasiran, hal ini sebenarnya telah teridentifikasikan saat penggantian ESP akibat kepasiran pada waktu awal diproduksikan namun kepasiran mulai mengganggu produktifitas sumur sejak awal tahun 1977 karena terjadi kerusakan ESP yang berulang hanya dalam waktu singkat sekitar 7 – 12 hari.

Penanggulangan awal yang dilakukan untuk mengatasi kepasiran tersebut adalah dengan melakukan pembersihan disekitar daerah perforasi. Pada bulan Mei 1977 sumur mengalami penurunan produktifitas karena kepasiran menjadi 1000 BOPD dengan water cut 20% sehingga dilakukan kerja ulang mengkonsolidasi pasir dengan metode kimia menggunakan sand consolidation pada bulan Agustus 1977. Namun metode sand consolidation tersebut rusak pada Juli 1978 sehingga pada akhir Agustus 1978 dilakukan kerja ulang. Pekerjaan ini menurunkan produktifitas sumur dari 2000 BFPD menjadi 500 BFPD. Untuk menanggulangi kehilangan produktifitas sumur maka dilakukan pekerjaan-pekerjaan pengasaman (acidizing) untuk memperbaiki plugging (penyumbat) disekitar zona perforasi. Oktober 1978 dilakukan penutupan pada zona perforasi Baturaja karena tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produksi berdasarkan data Drill Stem Test (DST) terakhir yang dilakukan pada sumur tersebut. Hingga pada April 1979 dilakukanlah pemasangan IGP untuk menanggulangi kepasiran dan secara bersamaan diterapkan ESP untuk meningkatkan produktifitas sumur.

Masalah Kepasiran Di sumur “X”

Beberapa kecenderungan yang diamati pada sumur X yang menyebabkan ikut terproduksinya pasir kepermukaan adalah:

Karakteristik Formasi:1. Dari beberapa parameter yang dianalisa dari keadaan formasi pada sumur X diketahui bahwa formasinya sedikit tersementasi sehingga menyebabkan kekompakan formasi cukup lemah. Hal ini terjadi karena memiliki faktor sementasi sebesar 1,7 pada formasi batu pasir yang memiliki porositas lebih besar dari 20% (Tabel 1). Formasinya juga memiliki kandungan lempung yang cukup tinggi sebesar 18% dimana range 5% - 20% sangat beresiko terjadinya kepasiran namun formasi tersebut memiliki kekuatan formasi yang cukup baik sehingga formasi dapat menjaga kestabilannya selama proses produksi meskipun pasir ikut terproduksi.Laju Alir Produksi:2. Pada sumur X diterapkan ESP sebagai metode sembur buatannya dimana penerapan metode

Rock Description Cementation Factor, m

Unconsolidated Rocks(loose sand, oolitic, limestone) 1.3

Very Slightly Cemented(Gulf coast type sand, except

Wilcox)1.4-1.5

Slighly Cemented(most sands with 20% porosity

or more)1.6-1.7

Moderately Cemented(highly consolidated sands of

15% porosity or less)1.8-1.9

Highly Cemented(low-porosity sands, quartzite,

limestone, dolomite of intergranular porosity, chalk)

2.0-2.2

Tabel 1. Deskripsi sementasi batuan (Econo-mides, M.J, 1993)

Page 42: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

149

tersebut diterapkan untuk mendapatkan laju alir yang maksimum dimana terkadang laju alir produksi aktualnya melebihi nilai dari sand critical rate (laju alir kritis kepasiran) sumur itu sendiri, dimana besar laju alir kritis dari formasi Talang Akar pada sumur tersebut adalah 2303 BFPD. Nilai tersebut didapatkan berdasarkan metode berikut:

Dimana:

Bila laju alir aktual sumur tersebut melebihi besar laju alir kritisnya maka pasir formasi dan partikel kecil formasi akan ikut terproduksi bersamaan dengan fluida produksi karena besarnya gaya seret yang diterima oleh butir pasir formasi. Hal ini terjadi pada awal sumur diproduksi karena tidak menerapkan metode untuk mengontrol kepasiran dan laju alir aktualnya yang lebih besar dari laju alir kritisnya.Meningkatnya produksi air:3. Bertambahnya produksi air maka akan meningkatkan total fluida produksi untuk menjaga produksi minyak atau gas sehingga akan meningkatkan gaya seret yang melalui pasir sehingga akan mempengaruhi kestabilan butir pasir formasi dan peningkatan produksi pasir akan menyebabkan lempung sebagai penyemen pada pasir formasi akan mengembang dan melunak sehingga menyebabkan pasir terlepas.Pengaruh Tekanan Formasi:4. Selama masa produksi maka tekanan formasi akan semakin menurun sehingga tekanan

yang menjaga perlapisan dari formasi akan menghilang. Hal tersebut akan meningkatkan stress pada formasi tersebut dimana kondisi inisial formasi tersebut mengimbangi tekanan overburden dari lapisan diatasnya sehingga saat sumur diproduksikan maka terjadi pengurangan tekanan formasi untuk mengimbangi tekanan overburden tersebut sehingga stress terhadap formasi tersebut akan lebih besar daripada sebelumnya sehigga akan mempengaruhi kestabilan formasi. Pada saat bersamaan butiran pasir formasi akan pecah dan terlepas dari matrik atau mungkin hancur, sehingga menyebabkan fines (partikel kecil) akan ikut terproduksi bersama fluida produksi.Bila pasir formasi tidak terkontrol dan ikut berproduksi maka akan menyebabkan beberapa hal, antara lain:

Terakumulasinya pasir diperalatan per- a. mukaan;Terakumulasi pasir dilubang sumur; b. Erosi pada peralatan dipermukaan dan c. dibawah permukaan; Keruntuhan pada formasi.d.

Penerapan IGP dan ESP

Pada sumur X pada awalnya digunakan metode sand consolidation untuk menanggulangi terjadinya kepasiran pada sumur tersebut. Metode ini diterapkan pada interval formasi produktifnya. Metode ini diterapkan untuk meningkatkan kestabilan dan pengepakan dari formasi dengan memperbaiki konsolidasi butiran dan sementasi batuan. Namun metode ini tidak efektif diterapkan karena hanya tergantung pada kerekatan resin antara butir-butir pasir, sehingga saat sumur diupayakan mendapat

Gambar 1. Laju produksi sumur X saat penerapan sand consolidation tahun 1977-1978

Qz : Laju alir tanpa kepasiran, stb/dayKz : Permeabilitas formasi, mDNz : Jumlah Lubang PerforasiGz : Modulus geser, psiBz : FVF, bbl/stbµz : Viskositas minyak, cpAz : Luas kelengkungan butir pasir

saat pengamatan, ft2At : Luas kelengkungan butir pasir

saat test, ft2

................ (1)Q x K N G AB AZZ Z Z Z

Z Z t

= −0 025 10 6,µ

Page 43: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

150

produksi yang besar maka hal tersebut memberikan gaya seret yang besar terhadap kerekatan butir-butir pasir. Sehingga menyebabkan butiran pasir formasi terlepas sehingga menurunkan kestabilan formasi. Metode ini diterapkan pada Agustus 1977 dan gagal pada Juli 1978 karena tidak cukup kuat untuk menahan butiran pasir saat sumur diupayakan untuk mendapatkan laju alir yang besar, sehingga pasir terakumulasi pada interval perforasi dan merusak ESP (Gambar 1). Sehingga untuk menanggulangi masalah kepasiran pada sumur X maka diterapkan IGP, karena metode ini merupakan penanggulangan kepasiran secara mekanis sehingga selain meningkatkan kestabilan butir-butir formasi juga lebih stabil terhadap gaya seret yang terjadi antara fluida dan butir-butir pasir formasi saat diupayakan mendapatkan laju alir yang lebih besar (diatas laju alir kepasirannya), meningkatkan kestabilan formasi dan lebih tahan terhadap gaya seret dari fluida produksi. Untuk mendapatkan hasil yang optimum dari penerapan IGP maka dilakukan analisa terhadap butir pasir formasi dengan sieve analysis sehingga didapatkan distribusi pasir formasi (Tabel 2 dan Gambar 2).

Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa pemilahan ukuran butir pasir formasi adalah

seragam karena besar nilai d40/d90 kurang dari 5 (berdasarkan Schwartz), sehingga didapatkan ukuran gravel yang akan digunakan adalah 20/40 US Mesh dan ukuran screen yang digunakan yang sesuai dengan komplesi sumur (Gambar 3) adalah 0,012 in – 0,016 in dengan diameter luar maksimum adalah 5 1/2 in.

Penempatan gravel dilakukan dengan cara crossover. Tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan IGP adalah untuk mencegah runtuhnya formasi, mencegah kerusakan peralatan produksi,

Gambar 3. Komplesi sumur X (Data Internal, 1979)

Gambar 4. Skema inside gravel packing (Kermit E.Brown, 1984)

Tabel 2. Hasil analisa butir pasir formasi sumur X

Gambar 2. Distribusi kumulatif pasir formasi

Page 44: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

151

mencegah ikut terproduksinya pasir setelah terjadinya penurunan tekanan formasi dan peningkatan produksi air.

Pemasangan IGP sangat berpengaruh terhadap penurunan produktifitas formasi karena memperbesar penurunan tekanan yang melalui komplesi tersebut karena terjadi penghambatan dari formasi menuju lubang sumur (Gambar 4).

Sehingga diperlukan pemasangan ESP sebagai metode sembur buatan untuk memperbaiki masa-lah itu. Pada awal penerapan IGP diterapkan juga ESP G2700-83 stages, 120 HP pada kedalaman 4100 MD sehingga didapatkan laju alir optimum 1200 BFPD dengan penurunan tekanan didaerah komplesi sebesar 20 psi sehingga tekanan laju alirnya manjadi 430 psi pada saat water cut 50% (Gambar 5). Sejak awal penerapan IGP, sumur X tidak

pernah mengalami problem akibat kepasiran meskipun pada periode 1991-1994 produksi sumur X diatas laju alir kritis kepasirannya (Gambar 6).

Pekerjaan perawatan pada sumur X

Gambar 5. ΔP Komplesi sumur X

Gambar 6. Sejarah produksi sumur X

hanya seputar penggantian ukuran ESP untuk mendapatkan laju alir yang optimum tanpa harus khawatir ESP akan mengalami kerusakan akibat kepasiran.

Diskusi

Masalah kepasiran pada sumur X menyebabkan banyak sekali masalah operasi. Hal utama yang disebabkan adalah sulitnya mempertahankan laju alir yang tinggi. Secara mekanis kepasiran dapat diatasi oleh penerapan IGP sehingga kekhawatiran terhadap runtuhnya formasi dapat dihindarkan. IGP tidak mengalami kerusakan sejak awal diterapkannya 1979 hingga 2010 (akhir analisa), meskipun mengalami fluktuasi laju alir produksi saat diatas laju alir kepasirannya tahun 1991-1994. IGP akan memberikan produktifitas yang lebih baik bila pada komplesi diterapkan densitas perforasi yang besar dan penggunaan ESP yang optimum, karena hal ini akan menurunkan penurunan tekanan didaerah komplesi dan meningkatkan produktifitas sumur. Penerapan IGP menyebabkan masa pakai peralatan produksi menjadi lebih lama dari pada sebelum penerapan IGP dan memperbaiki kestabilan dari formasi.

Kesimpulan

Berdasarkan evaluasi dari karakteristik 1. formasinya sumur X berpotensi terjadinya masalah kepasiran.Hasil analisa butir pasir formasi diketahui 2. pasir formasi memiliki keseragaman yang baik, didapatkan ukuran gravel yang digunakan 20-40 US Mesh dan ukuran celah screen yang digunakan 0,012 in – 0,016 in/OD. 5 ½ in.IGP sangat efektif untuk menanggulangi 3. masalah kepasiran pada sumur X, sejak 1979-2010.Metode IGP lebih tahan terhadap gaya seret 4. fluida produksi dibandingkan dengan metode sand consolidation.Setelah penerapan IGP, kepasiran yang terjadi 5. saat laju alir aktual diatas laju alir produksi kritis tidak berdampak kurang baik terhadap proses produksi.Penerapan IGP menyebabkan terjadinya 6. penurunan tekanan 20 psi dengan laju alir optimum 1200 BFPD.

Page 45: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

152

Densitas perforasi pada sumur X 7. mempengaruhi besar penurunan tekanan, semakin besar densitas maka semakin kecil penurunan tekanannya.

Acuan

Data internal perusahaan.Economides, M.J., Hill, A.D. and Economides

C.E.,1993. Petroleum Production System. Prentice Hall PTR, New Jersey, h.119-132.

Kermit E.Brown. et al. 1984. Technology of Artificial Lift Methods, Vol.4. Tulsa, Oklahoma. PennWell Books.

Syahrani. dkk. 2001. Aplikasi Slotted Liner Completion sebagai Sand Control pada Sumur-sumur Horizontal Dilapangan Attaka Unocal Indonesia, Proceeding Simposium Nasional IATMI, Yogyakarta 3-5 Oktober.

Sparlin D.D.1993. Sand Control, Internationnal Training and Development, Houston.

William K. and Joe D.W. 2003. World Oil-Modern Sandface Completion Practices Handbook. 2nd Ed. Gulf Publishing, Houston, Texas.

Page 46: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

153

Permanent Coil Tubing Gas Lift (PCTGL): A Solution for Developing Oil in Monobore Well Completion

Abstract

VICO Indonesia is an oil and gas company that has operated the Sanga-Sanga PSC in East Kalimantan, Indonesia, since 1968. The continues focus on optimizing production and maximizing reserves recovery has resulted in opportunities today to further develop the proportionally smaller number of oil reservoirs. Based on reservoir studies, the oil recovery factor today is in the range of 10-15% indicating that significant opportunities still remain. To recover the oil zone gas lift system has been established, one particular challenge of which is how to apply gas lift into monobore wells which cannot house gas lift mandrel like any other conventional tubing installation. An improvised method to overcome this challenge has been applied. This method does not require wells to be re-completed with a rig leading to a significant cost benefit. Within VICO this application is known as “permanent coil tubing gas lift” or PCTGL. The results up to present date indicate that this method is very successful in delivering incremental oil production at a much lower cost compared to retrofitting the tubing with gas lift valves using a work-over rig. As an example, well N-254L was a well not capable of flowing naturally. However, after PCTGL installation, its production has been re-established at an initial rate of 345 BOPD. This paper discusses VICO’s PCTGL program and some of its example result to date including details of design, actions taken to overcome the implementation’s challenges, and the overall results.Keywords: permanent coil tubing gas lift, monobore well, absence of mandrel, cost efficiency

Sari

VICO Indonesia adalah perusahaan minyak yang telah beroperasi di Wilayah Kerja Sanga-Sanga Kalimantan Timur Indonesia sejak 1968. Fokus secara kontinu dalam mengoptimisasi dan meningkatkan perolehan telah menghasilkan beberapa potensi untuk mengembangkan beberapa reservoar minyak. Berdasarkan kajian reservoar, tingkat perolehan minyak saat ini masih berada di angka 10-15% yang mengindikasikan bahwa potensi minyak masih ada. Untuk memperoleh zona minyak tersebut suatu sistem pengangkatan buatan dengan gas telah dibuat. Salah satu kendala dalam mengapli-kasikan sistem pengangkatan gas (gas lift) konvensional pada sumur monobore adalah tidak bisa dipasangnya mandrel seperti di sumur konvensional. Untuk mengatasi hal tersebut suatu improvisasi pada metode pengangkatan gas konvensional telah diaplikasikan. Metode ini tidak mengharuskan dilakukannya kerja ulang (workover) dengan menggunakan menara bor sehingga dapat menghemat biaya. Di VICO metode ini disebut sebagai “permanent coil tubing gas lift” atau PCTGL. Sebagai hasilnya, metode ini mampu meningkatkan produksi minyak dengan biaya lebih rendah dibandingkan dengan pemasangan mandrel setelah kerja ulang sumur. Sebagai contoh, sumur N-254L yang pada awalnya tidak mampu mengalir secara alami, setelah dilakukan pemasangan PCTGL mampu untuk mengalirkan 345 BOPD. Tulisan ini menyajikan program PCTGL di VICO, desain secara detail, kiat-kiat yang diambil dalam mengatasi masalah, dan hasil yang didapat secara keseluruhan.Kata Kunci: permanent coil tubing gas lift, monobore, ketiadaan mandrel, efisiensi biaya

Ari Taufiq Kramadibrata(1), Pahala Panjaitan (1), Sumaryanto (1)

(1)Production Engineers in VICO Indonesia. Wisma Mulia, Lt.48-49. Jl. Jendral Gatot Subroto No.42, Jakarta-12710

Telp: +62215236000, email: [email protected]

Page 47: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

154

I. INTRODUCTION

VICO Indonesia is one of major oil and gas companies in Indonesia. It has been operating in Sanga-sanga Block East Kalimantan since 1968. Currently, there are 7 fields operated by VICO: Badak, Semberah, Nilam, Lampake, Mutiara, Pamaguan, and Beras. Current overall production is 430 MMSCFD and 15,000 BOPD including condensate (VICO Indonesia, 2010a, 2010b). Nilam is one of the fields that contribute oil. There are 16 strings which produce approximately 1,700 BOPD.Nilam Field covers up 85 km2 area (Figure 1). Due to its swampy terrain and overstretched area, Nilam has 5 Satellites. Each Satellite has separator test and some have compressor to transport gas to Central Plant.

Geologically, oil deposits are usually found in D and E Sands at depth approximately 8,000 – 11,000 feet. Much of oil properties are light oil with API degrees of 32 – 35.

II. COMPLETION TYPE AND ARTIFICIAL LIFT METHODAs the largest gas producer for VICO Indonesia, Nilam Operations owns 304 wells (active and non-active) within the Nilam area, and 9 wells within the Lampake area. These wells can be categorized into the following

Monobore WellsA monobore well is a well that uses a large production casing. Most applications use a production casing with a diameter of 3-1/2” and 4-1/2”.The philosophy used in the monobore well is to obtain an extreme under balanced condition du-ring the initial perforation. Other than that, the monobore well method may achieve a higher gas flow, due to the restriction factor caused by the small production tubing diameter. Unfortunately however, monobore wells have no mandrel to house the gas lift valve. Thus, it is impossible to inject gas lift gas.

Conventional WellsConventional wells typically utilize production tubing of diameter 2-7/8” or 3-1/2”. Within one casing, two production tubing systems may be installed, namely the upper (short string) and the lower (short string) system.The advantage of using this system is the flexibi-lity to obtain production from potential zones. In addition, if in fact the zone turns out to contain oil with insufficient natural pressure, a side pocket mandrel (SPM) can be placed through which gas lift is injected to assist the liquids lifting within the well.

Oil Well Artificial LiftThe basic concept of gas lift is to decrease pressure gradient along wellbore. By decreasing pressure gradient, well flowing pressure (Pwf) will be lower. The intersection between inflow and outflow in the inflow performance relationship (IPR) result in higher flow rate (Begg, 1991).The equation of pressure gradient inside tubing

Figure 1. Nilam area – VICO Indonesia (VICO Indonesia, 2010a)

Page 48: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

155

mandrel in which we can introduce gas lift gas into the production tubing. Monobore has no annulus to transport gas downward and PCTGL is applied to deliver the lifting gas into the bottom hole.PCTGL is essentially steel tubing with one inch in diameter and has a nozzle at the end of its tail. A special well head is put through which we can inject gas lift into the swab valve and produce the string through wing valve.Figure 2 shows the bottom hole assembly (BHA) with PCTGL joint. It consists of nozzle, centralizer, check valves, nipple, and coil tubing (CT) connector. Flapper is housed inside check valve to prevent back flow from annulus into coil tubing. A nipple is placed above check valves where a special tool called ‘dart’ (Figure 3) can be inserted when the PCTGL is to be pulled out from the wellbore.

can be written (Begg, 1991):

Where is the pressure gradient due to ele-

vation change, is due to viscous shear and

friction loss and is due to kinetic energy

change. Assuming there is kinetic energy change, Equation 1 can be rewritten:

There are several factors affecting pressure gradient inside tubing;

Liquid Flow RateIncreasing flow rate means increasing fluid velocity. This resulted in increasing friction factor and Hold Up factor.

Gas/Liquid Ratio (GLR)GLR has the most effect on two-phase flowing pressure gradient because it decreases H L.

Water CutWater cut may affect liquid density thus increasing friction loss.

Liquid ViscosityLiquid viscosity can increase H L and shearing stress.

Tubing Diameter and SlippageIncreasing tubing size means to decrease pressure drop.

Gas lift aims to change GLR by injecting gas into the wellbore at certain depth. This method increases GLR and lowering Pwf.

III. PERMANENT COIL TUBING GAS LIFT (PCTGL) APPLICATION

One constraint in performing gas lift in monobore is that we do not have gas lift valve or side pocket Figure 2. 1.5” coil tubing BHA (VICO Indonesia, 2010a)

(Eq. 1)dpdL

dpdL

dpdL

dpdLel f acc

=

+

+

dpdL el

dpdL f

dpdL acc

dpdL

H HCf q q

dL L g Lm L g= + −( ) +

+( )ρ ρ

ρ1

2

2(Eq. 2)

Page 49: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

156

Well N-254L was chosen as an ideal PCTGL test case due to its distinctive rate history and completion (VICO Indonesia, 2010b). After perforating D-59 zone, the rate was 3,900 BOPD, 0 BWPD, and 4 MMSCFD associated gas. After 5 days of production, water cut increased up to 17% after which the well died. Static gradient shows column of oil from depth 0 to 12,000 feet (Figure 4). After assessing D-59 reserve and N-254L’s 3.5 inch monobore, it is concluded that performing gas lift is economical. Construction of 2” gas lift line and installation of PCTGL was therefore initialized.To calculate the injection depth, nodal analysis (Baker Hughes, 2010) was carried out supported by the use of PROSPER™ software package (PROSPER, 2010). Pressure vs. depth plot is shown in Figure 5.Well sketch configuration in N-254L is depicted in Figure 6 (presented at the end of the paper).Coil tubing is inserted into swab valve and connected into 2’’ gas lift line. The configuration of surface can be seen in Figure 7 (presented at the back of the paper)Pressure control valve (PCV) was also installed

in order to optimize and control the gas lift operation. Reactivation of N-254 was performed by these steps:

choke wing valve with 11/16 and open 1. well to burn pitInject PCTGL with gas lift pressure 1,750 2. psiggradually open the choke, and3. put wing valve back to production 4. system

Nodal analysis was also made to model the well’s IPR and gas lift performance curve (GLPC). After reactivation and put into test production of 345 BOPD, 1,610 BWPD (82.3% watercut), 0.3 MMSCFD of associated gas was obtained after injection of 0.9 MMSCFD gas lift gas.Optimization is at present still being carried on with result of 127 BOPD, 0.2 MMSCFD associated gas, and 87% water cut after 4 months of production using PCTGL. Following this success, VICO plans to add further 15 PCTGL installations, four of them are suited to 4.5’’ monobores.

Safety ConsiderationTo ensure safety operation at the surface production system, two ball valves with ANSI 1500 and one PCV ANSI 1500 were utilized.

Figure 3. Dart that will be inserted inside nipple for pulling out PCTGL (VICO Indonesia, 2010a)

Figure 4. Result of pressure gradient survey (VICO Indonesia, 2010b)

Page 50: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

157

Coiled Tubing Data Inflow Type Single BranchMaximum Gas Available 4 MMscfd Completion Type Cased HoleMaximum Gas During Unloading 4 MMscfd Sand Control NoneFlowing Top Node Pressure 150 psig Gas Coning NoUnloading Top Node Pressure 30 psig Reservoir Model DarcyOperating Injection Pressure 1750 psig M&G Skin Model Skin by HandKick Off Injection Pressure 1800 psig Compaction Permeability NoDesired dP Across Valve 250 psig Relative Permeability NoMaximum Depth of Injection 6000 feet Formation PI 10.43 STB/day/psiWater Cut 80 percent Absolute Open Flow (AOF) 11094 STB/dayStatic Gradient of Load Fluid 0.37 psi/ft Reservoir Pressure 2600 psigTotal GOR 1600 scf/STB Reservoir Temperature 220 deg FMaximum Liquid Rate 6000 STB/day Water Cut 88 percentCheck Rate Conformance with IPR yes Total GOR 1500 scf/STBUse IPR for Unloading yes Reservoir Permeability 294 mdOrifice Sizing Calculated dP@OrificeSurface Equipment Correlation Beggs and BrillVertical Lift Correlation Petroleum Experts 2

Coiled Tubing Design ResultsDesign Liquid Rate 1684 STB/dayDesign Oil Rate 337 STB/dayActual Injected Gas Rate 1.755 MMscfdActual Injection Pressure 1750 psigOrifice Size 14 64ths inchKick-Off Injection Depth 5663.2 feetMaximum Operating Depth 6000 feet

Figure 5. Pressure vs. depth plot during unloading and PCTGL operation (PROSPER, 2010)

Page 51: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

158

Figure 6. Well N-254L sketch configuration (Vico Indonesia, 2010a)

Page 52: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

159

Figure 7 (a) Surface configuration of PCTGL consisting of (A) block X-mast tree supports tee-spool; (B) CT hanger; (C) PCTGL gripped by donut; and (D) CT slip. (b) PCTGL surface picture of well N-254L. (VICO Indonesia, 2010a)

(a)

(b)

Page 53: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

160

ChallengesThe challenge of using PCTGL is that PCTGL depth must be optimized in terms of liquid level. Declining reservoir pressure may result in lower liquid level with a consequence that gas lift operation must be set lower. PCTGL can still be retrieved using coil tubing unit. However, possibility of scale plugging in the nozzles must be taken into consideration in case that there is no pressure communication between PCTGL and annulus. Special attention has to be taken to understand the nature of scales in the wellbore and the most appropriate manner to prevent their generation.

IV. SUMMARYPCTGL is proven method of gas lifting in 1. monobore wells. In Nilam case, 345 BOPD is gained from a dead monobore oil well and subsequently the well still produced 127 BOPD after four months of PCTGL installation.Flow restriction occurs when nozzle get 2. plugged by scale because of which the PCTGL unit has to be retrieved and serviced/cleaned.Continuous optimization of PCTGL depth has 3. to be carried out due to continuous decline of reservoir pressure.

ACKNOWLEDGEMENTSThe authors would like to thank Pak Bambang Ismanto and Mr. Bill Turnbull from VICO Indonesia for encouraging the writing of this paper.

NOMENCLATURELr = liquid density

gr = gas density

LH = Hold-up factor

C = Constantf = friction factor

mr = density of mixture

Lq = liquid rate

gq = gas rate

d = diameter of pipe

REFERENCESBaker Hughes (2010). Coil Tubing Solutions,

Baker Hughes Manual Handbook, Houston, Texas.

Beggs, D. (1991). Optimization using Nodal Analysis, OGCI and Petroskills Publi-cations, Tulsa, Oklahoma.

Prosper (software) (2010), Petroleum Experts, Edinburgh, United Kingdom.

Vico Indonesia (2010a). Nilam Field Database. Unpublished meterial.

Vico Indonesia (2010b). Production Rate Data-base 2010. Unpublished material.

Page 54: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

INDEKS

Aabsence of mandrel 153air formasi 113,114,115,116,117,118,119,120

,121,122artificial intelligence 127

Ccore sintetik 113,115cost efficiency 153

Eefisiensi biaya 153ESP 147,148,149,150,151

Fformation true resistivity 127formation water 113,130

GGuthrie and Greenberger Method 133

Iinside gravel packing 147,150

Kkecerdasan semu 127kepasiran 113,114,120,147,148,149,150,151ketiadaan mandrel 153

Llaju alir optimum 147,151

MMetode Guthrie and Greenberger 133,134,

141,144,145monobore well 153,154,160

Ooptimum production rate 147

Ppermanent coil tubing gas lift 153,155peta saturasi air 127

RRecovery factor 133,134,135,139,140,141,

142,143,144,145,153

resin epoxy 113,114,115,116,120

Ssand consolidation 113,148,149,151sand problem 113,114,147saturasi air 113,115,116,117,118,119,120,127

,133,134,136,141,143,145seismic 127,128,129,130,131,132seismik 127synthetic core 113

Ttahanan jenis formasi 127

WWaterflooding 133,134,135,137,138,140,

141,143,144,145water saturation 113,127,128,129,130,131,

132,133,144,145water-saturation map 127,128

Page 55: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMIPEDOMAN PENULISAN

ISI DAN KRITERIA UMUM

Naskah makalah ilmiah (selanjutnya disebut ”Naskah”) untuk publikasi di Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (JTMGB) dapat berupa artikel hasil penelitian atau artikel ulas balik/tinjauan (review) tentang minyak dan gas bumi, baik sains maupun terapan. Naskah belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dia-jukan pada majalah/jurnal lain. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang digunakan. Naskah harus selalu dilengkapi dengan Sari dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa Inggris. Naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan JTMGB akan ditolak oleh redaksi dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut.

FORMAT

Umum. Seluruh bagian dari naskah termasuk judul sari, judul tabel dan gambar, catatan kaki, dan daftar acuan diketik satu setengah spasi pada electronic-file dan print-out dalam kertas HVS ukuran A4. Pengetikan dilaku-kan dengan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 point.

Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman gambar dan tabel. Hasil penelitian atau ulas balik/tinjauan ditulis minimum 5 halaman dan maksimum sebanyak 15 halaman, di luar gambar dan tabel. Selanjutnya susunan naskah dibuat sebagai berikut:

Judul. Pada halaman judul tuliskan judul, nama setiap penulis, nama dan alamat institusi masing-masing penulis, dan catatan kaki, yang berisikan terhadap siapa korespondensi harus ditujukan termasuk nomor tele-pon dan faks serta alamat e-mail jika ada.

Sari. Sari/abstract ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sari berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah tanpa harus memberikan keterangan terlalu terperinci dari setiap bab. Sari paling banyak terdiri dari 250 kata. Kata kunci/keywords ditulis di bawah sari/abstract dan terdiri atas empat hingga enam kata.

Pendahuluan. Bab ini harus memberikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami dan dapat mengevaluasi hasil yang dicapai dari penelitian yang dilaksanakan tanpa harus membaca sendiri publikasi-publikasi sebelumnya, yang berhubungan dengan topik yang bersangkutan. Pendahuluan harus beri-si latar belakang, maksud dan tujuan, permasalahan, metodologi, serta materi yang diteliti.

Hasil dan Analisis. Hanya berisi hasil-hasil penelitian baik yang disajikan dengan tulisan, tabel, maupun gam-bar. Hindarkan penggunaan grafik secara berlebihan bila dapat disajikan dengan tulisan secara singkat. Batasi penggunaan foto, sajikan yang benar-benar mewakili hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel secara berurutan. Semua gambar dan tabel yang disajikan harus diacu dalam tulisan.

Pembahasan atau Diskusi. Berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan.

Kesimpulan dan Saran. Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam tulisan.

Ucapan Terima Kasih. Dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penelitian dan untuk memberikan penghargaan kepada beberapa institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian dan atau penulisan laporan.

Acuan. Acuan ditulis dan disusun menurut abjad. Beberapa contoh penulisan sumber acuan:Jurnal

Page 56: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011

JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMIPEDOMAN PENULISAN

Hurst, W., 1934. Unsteady Flow of Fluids in Oil Reservoirs. Physics (Jan. 1934) 5, 20.BukuAbramowitz, M and Stegun, I.A., 1972. Handbook of Mathematical Functions. Dover Publications,

Inc., New York.Bab dalam BukuCosta, J.E., 1984. Physical geomorphology of debris flow. Di dalam: Costa, J.E. & Fleischer, P.J.

(eds), Developments and Applications of Geomorphology, Springer-Verlag, Berlin, h.268-317.SariBarberi, F., Bigioggero, B., Boriani, A., Cavallini, A., Cioni, R., Eva, C., Gelmini, R., Giorgetti, F.,

Iaccarino, S., Innocenti, F., Marinelli, G., Scotti, A., Slejko, D., Sudradjat, A., dan Villa, A., 1983. Mag-matic evolution and structural meaning of the island of Sumbawa, Indonesia-Tambora volcano, island of Sumbawa, Indonesia. Abstract 18th IUGG I, Symposium 01, h.48-49.

PetaSimandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo, Suma-

tera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.ProsidingMarhaendrajana, T. and Blasingame, T.A., 1997. Rigorous and Semi-Rigorous Approaches for the

Evaluation of Average Reservoir Pressure from Pressure Transient Tests. paper SPE 38725 presented at the SPE Annual Technical Conference and Exhibition, San Antonio, Oct. 5–8.

Skripsi/Tesis/DisertasiMarhaendrajana, T., 2000. Modeling and Analysis of Flow Behavior in Single and Multiwell Bound

ed Reservoir. PhD dissertation, Texas A&M University, College Station, TX.Informasi dari InternetCantrell, C., 2006. Sri Lankan’s tsunami drive blossom: Local man’s effort keeps on giving. Http://

www.boston.com/news/local/articles/2006/01/26/sri_lankans_tsunami_drive_blossoms/[26 Jan 2006]SoftwareECLIPSE 100 (software), GeoQuest Reservoir Technologies, Abbingdon, UK, 1997.

Naskah sedapat mungkin dilengkapi dengan gambar/peta/grafik/foto. Pemuatan gambar/peta/grafik/foto selalu dinyatakan sebagai gambar dan file image yang bersangkutan agar dilampirkan secara terpisah dalam format image (*.jpg) minimal resolusi 300 dpi, Corel Draw (*,cdr), atau Autocad (*,dwg). Gambar dan tabel diletak-kan di bagian akhir naskah masing-masing pada halaman terpisah. Gambar dan tabel dari publikasi sebelum-nya dapat dicantumkan bila mendapat persetujuan dari penulisnya.

PENGIRIMAN

Penulis diminta mengirimkan satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) di dalam compact disk (CD) yang harus disiapkan dengan program Microsoft Word. Pada CD dituliskan nama penulis dan nama dokumen. Naskah akan ditolak tanpa proses jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Naskah agar dikirimkan ke-pada:

Redaksi Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumid.a. Patra Office Tower Lt. 1 Ruang 1C

Jln. Jend. Gatot Subroto Kav. 32-34Jakarta 12950 – Indonesia

Pengiriman naskah harus disertai dengan surat resmi dari penulis penanggung jawab/korespondensi (corre-sponding author) yang harus berisikan dengan jelas nama penulis korespondensi, alamat lengkap untuk surat-menyurat, nomor telepon dan faks, serta alamat e-mail dan telepon genggam jika memiliki. Penulis korespon-densi bertanggung jawab atas isi naskah dan legalitas pengiriman naskah yang bersangkutan. Naskah juga sudah harus diketahui dan disetujui oleh seluruh anggota penulis dengan pernyataan secara tertulis.

Page 57: Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 2 No. 3 2011