jurnal reading uveitis
DESCRIPTION
jurnal reading uveitisTRANSCRIPT
TUGAS JURNAL READING
STASE MATA
Oleh
Fanny Pratami Kinasih
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU
2014
Randomized Comparison of Systemic Anti-inflamatory Therapy Versus
Fluocinolone Acetonide Implant for Intermediate, Posterior and Panuveitis
: The Multicenter Uveitis Steroid Treatment Trial
Kempen J, dkk. 2011. Randomized Comparison of Systemic Anti-inflamatory Therapy Versus
Fluocinolone Acetonide Implant for Intermediate, Posterior and Panuveitis : The
Multicenter Uveitis Steroid Treatment Trial. Journal American Academy of
Ophthalmology. Philadelphia. 118 (10) : 1916-1926.doi:10.1016/j.ophtha.2011.07.027.
A. Latar Belakang
Uveitis berperan penting dalam menyebabkan kerusakan pada penglihatan.
Intermediet, posterior dan panuveitis merupakan bentuk uveitis yang paling sering
menyebabkan penurunan penglihatan. Karena adanya onset terdahulu, uveitis
menghasilkan durasi kebutaan yang lebih lama. Kortikosteroid sistemik (Suplemen,
dengan indikasi, menggunakan obat kortikosteroid imunosupresif) sudah menjadi
andalan untuk pengobatan kronik uveitis dan kasus uveitis yang mengancam
penglihatan. Pada tahun 2005, The United States Food and Drug Administration
menyetujui tindakan bedah dengan menempatkan implan fluocinolone acetonide
intravitreal untuk mengobati uveitis jenis intermediet, posterior, dan panuveitis.
Implan intravitreal melepaskan kortikosteroid selama 3 tahun dengan absorpsi
sistemik minimal. Untuk efektivitas dan resiko dari pengobatan menggunakan implan
ini membutuhkan karakterisasi lebih lanjut.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas relatif dari kortikosteroid
sistemik + imunosupresan dengan indikasi (sistemik terapi) VS implan fluocinolone
acetonide (implan terapi) untuk uveitis non-infeksi intermediete, posterior atau
panuveitis. Penelitian ini membandingkan hasil penglihatan, kontrol inflamasi,
insidensi komplikasi dari okular lokal dan komplikasi sistemik dari penyakit atau
terapi, dan kualitas hidup yang terkait dengan penglihatan.
C. Metodologi
1. Desain penelitian ini menggunakan Randomized controlled parallel superiority
trial.
2. Pasien berusia 13 tahun atau lebih dan mempunyai non-infeksius intermediet,
posterior atau panuveitis pada salah satu atau kedua mata pada fase baru atau aktif
(<60 hari) yang memiliki indikasi terapi sistemik kortikosteroid. Pasien yang
mendapatkan terapi sistemik untuk indikasi non-okular dikeluarkan. Pasien yang
memenuhi syarat sebanyak 255 pasien uveitis (479 mata) pada 23 pusat uveitis di
3 kota yaitu United States, United Kingdom, dan Australia. Pesien diamati setiap
3 bulan dari bulan pertama hingga 24 bulan.
3. Random Terapi
Pasien secara random menerima terapi implan dan sistemik dengan rasio 1:1.
Pasien dengan bilateral uveitis ditetapkan untuk menggunakan implan pada kedua
mata jika memenuhi kriteria untuk penggunaan implan.
4. Terapi
Terapi Implan dimulai dengan menggunakan topikal, periokular atau
kortikosteroid sistemik untuk menurunkan inflamasi di bilik mata depan. Bedah
implan fluocinolone acetonide dipasang pada mata pertama secara acak selama 28
hari, dan mata kedua (jika ada indikasi) dengan penambahan 28 hari. Sesuai
dengan protokol dilakukan penurunan secara bertahap dalam menghentikan
kortikosteroid sistemik setelah dipasang implan. Pemberian implan ulang
diindikasikan untuk reaktivasi, dan pada terapi sistemik yang gagal mengontrol
inflamasi, terjadi toksisitas obat dan terjadinya penyakit sistemik.
Terapi Sistemik pada kasus inflamasi aktif menerima terapi prednisolone 1
mg/kgBB/hari dan ditingkatkan hingga 60 mg/hari sampai uveitis dapat terkontrol
atau setelah 4 minggu terapi. Setelah terkontrol, prednisone dikurangi (tapering)
seseuai dengan guideline. Indikasi penggunaan imunosupresan untuk :
a. Kegagalan mengontrol inflamasi awal menggunakan kortikosteroid
b. Kasus dengan reaktivasi tetap sebelum mencapai dosis prednisolone 10
mg/hari
c. Resiko tinggi mengalami sindrom uveitis
5. Outcome
Outcome primer adalah perubahan ketajaman penglihatan yang terkoreksi dengan
baik setelah 24 bulan terapi. Pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan
standar logaritma grafik ketajaman visual.
Outcome sekunder adalah peningkatan kualitas hidup pasien, sensitifitas lapangan
pandang, aktivitas/ kontrol dari derajat klinis uveitis, komplikasi lokal dan
sistemik dari uveitis atau terapi.
6. Analisis Statistik
Analisis dilakukan secara random. Parameter estimasi longitudinal menggunakan
generalized estimating equations (GEE). Pada ketajaman penglihatan, analisisnya
dibedakan menurut tipe dari uveitis, yaitu menggunakan struktur kovarian
Toeplitz yang dihitung longitudinal dengan korelasi mata. Analisis menggunakan
Statistical Analiysis Committee.
D. Hasil
Dari desember 2005 sampai Desember 2008 diamati sebanyak 255 pasien
dengan 479 mata yang mengalami uveitis. Pasien yang mendapatkan implan lebih
mengalami osteopeni atau osteoporosis (45% dan 9% berturutan) dibandingkan
dengan pasien pada grup sistemik (34% dan 6% berturutan). Mata dengan implan
memiliki sensitivitas lapangan pandang yang lebih buruk dibandingkan dengan grup
sistemik, walaupun kedua grup tidak memiliki perbedaan nyata berdasarkan
ketajaman penglihatan. Derajat aktivitas uveitis secara garis besar sama diantara dua
grup.
Pada grup implan terdapat 122/129 (95%) dan 121/126 (96%) menerima terapi
sesuai yang diterapkan. 3 mata dari 2 pasien mendapatkan re-implan selama 24 bulan.
Pada grup terapi sistemik, 104 (86%) menerima kortikosteroid dengan
imunosupresan.
Selama pasien random, terdapat 232 (435 mata dengan uveitis; 91%) yang
pengukuran ketajaman penglihatan selesai dalam 24 bulan follow-up.
a. Fungsi Visual
Kedua grup mengalami peningkatan ketajaman penglihatan yang baik selama
follow-up. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua grup terapi dalam
meningkatan ketajaman penglihatan (p=0.16)
b. Aktivitas Uveitis dan Edema Makula
Paling banyak mata dengan uveitis aktif terkontrol selama 9 bulan pada kedua
grup. Grup implan lebih sering dapat mengontrol uveitis dibandingkan grup
sistemik (88% vs 71%) dengan nilai p=0,001.
Proporsi mata mengalami edema makula hampir sama pada 2 grup terapi. Proporsi
edema makula selama 24 bulan pada terapi implan 22% dan terapi sistemik 30%
(p=0,071).
c. Komplikasi Okular dan Sistemik
Grup implan memiliki resiko yang lebih tinggi daripada terapi sistemik dalam
meningkatkan tekanan intraokular, terjadi peningkatan tekanan intraokular 10
mmHg atau lebih. Pada terapi implan selama 24 bulan glaukoma berkembang
sebanyak 17% dan pada terapi sistemik 4% (p=0,001). Grup implan juga memiliki
resiko tinggi mengalami katarak (91% vs 45%) dan operasi katarak (80% vs
31%). Kejadian transient vitreous hemorrhage terjadi lebih sering pada grup
implan (16% vs 5%).
Peningkatan resiko infeksi sistemik lebih rendah pada grup implan
dibandingkan dengan grup sistemik (0.36 vs 0.60 kejadian/tahun, p=0,034).
Dalam 24 bulan resiko peningkatan tekanan darah (hipertensi) lebih rendah pada
implan (13% vs 27%, p=0,03). Tapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kedua grup dalam terjadinya insidensi penyakit sistemik lain seperti
hiperlipidemia, diabetes melitus, osteoporosis, fraktur, abnormalitas hitung jenis
darah.
d. Kualitas Hidup
Perubahan yang mendasar selama 24 bulan dalam peningkatan kualitas hidup dan
peningkatan nilai utility terdapat pada terapi menggunakan implan. Selama 6
bulan pertama, kualitas hidup yang berhubungan dengan penglihatan lebih
meningkat pada penggunaan terapi implan dibandingkan dengan terapi sistemik
(p<0,00001).
E. Kesimpulan
Pada kedua grup terapi, teradapat peningkatan ketajaman visual yang sama selama 24
bulan, dengan tidak ada pendekatan pengobatan yang lebih unggul pada derajat
pendeteksian dengan kekuatan penelitian ini. Oleh karena itu, keuntungan dan
kerugian spesifik yang terindentifikasi sebaiknya dipilih menurut diktat diantara
alternatif terapi yang ada dengan mempertimbangkan keadaan tertentu pasien. Terapi
sistemik menggunakan kortikosteroid-sparing imunosupresan memiliki toleransi yang
baik, disarankan menggunakan pendekatan ini karena aman untuk penyakit dengan
innflamasi lokal maupun sistemik.
F. Rangkuman dan Hasil Pembelajaran
Uveitis merupakan peradangan pada traktus uvealis yang terdiri dari iris, corpus
ciliaris dan koroid. Klasifikasi uveitis menurut Standardization of Uveitis Nomenclature
(SUN) Working Group dibagi berdasarkan lokasi proses peradangan jaringan uvea, yaitu
uveitis anterior (peradangan pada bagian iris dan pars plicata corpus ciliaris), uveitis
intermediet (peradangan pada bagian pars plana corpus ciliare, vitreous, dan retina
perifer), uveitis posterior (peradangan pada bagian koroid yang sering berhubungan
dengan peradangan di retina), dan panuveitis (uveitis difus merata pada bagian
posterior).1,2
Terapi uveitis dapat dilakukan dengan cara lokal, sistemik dan terapi untuk
komplikasi. Terapi lokal dapat digunakan pada uveitis anterior seperti kompres hangat,
menggunakan pelindung mata atau kacamata gelap, dan menggunakan tetes mata atropin
dan kortikosteroid. Terapi sistemik yang digunakan adalah kortikosteroid,
imunosupresan, dan obat anti-inflamasi non steroid, dan antibiotik. Sedangkan terapi
yang diberikan untuk komplikasi yang diakibatkan oleh uveitis, yaitu terapi untuk
glaukoma sekunder (timolol maleate, azetazolamide tablet, atropin dan betaxolol eye
drops), sinekia dan iris bombe diterapi dengan menggunakan laser iridotomy, katarak
komplikata menggunakan bedah intraokular, dan ablasio retina diterapi dengan
vitrectomy.2
Kortikosteroid merupakan golongan obat yang paling sering digunakan dalam terapi
uveitis. Kortikosteroid untuk tatalaksana uveitis dapat diberikan secara topikal, sistemik,
periokular dan intravitreal yang masing-masing memiliki indikasi dan kegunaan masing-
masing. Kortikosteroid topikal merupakan pilihan utama pada perdangan mata segmen
anterior, termasuk terapi awal untuk uveitis anterior. Injeksi kortikosteroid periokuler
digunakan pada uveitis posterior yang umumnya tidak responsif terhadap pemberian
kortikosteroid topikal. Injeksi dapat dilakukan di septum periorbita, subtendon dan
subkonjungtiva. Kortikosteroid sistemik (oral atau intravena) diindikasikan untuk uveitis
yang refrakter terhadap pemberian kortikosteroid topikal maupun periokuler dan kasus
uveitis yang berkaitan dengan peradangan sistemik. Salah satu indikasi pemberian
kortikosteroid oral adalah uveitis intermediet yang tujuannya tidak hanya mengatasi
inflamasi tetapi juga mencegah kebutaan yang timbul akibat cystoid macular edema
(CME). Pemberian kortikosteroid IV dipertimbangkan pada perdangan derajat sedang-
berat yang mengancam penglihatan. Sedangkan untuk injeksi kortikosteroid intravitreal
dipertimbangkan pada peradangan uveitis derajat berat. Kortikosteroid pada vitreous
bermanfaat untuk mengatasi edema makula yang disebabkan oleh uveitis posterior.3
Injeksi intravitreal berhubungan dengan risiko efek samping sistemik yang rendah.
Akan tetapi, angka kejadian katarak dan peningkatan tekanan intraokuler lebih tinggi
pada injeksi intravitreal dibandingkan dengan pada pemberian oral atau IV. Risiko
endoftalmitis dan ablasio retina juga lebih tinggi pada injeksi intravitreal ketimbang
injeksi periokuler.3 Hal yang sama juga dijumpai dari hasil penelitian pada jurnal ini yang
menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid implan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya glaukoma dan katarak dibandingkan dengan terapi kortikosteroid sistemik.
Terapi kortikosteroid sistemik memiliki trias efek samping, yaitu hiperglikemia,
osteoporosis dan hipertensi. Kotikosteroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan
menghambat pertumbuhan osteoblas sehingga menyebabkan penurunan densitas tulang
dan terjadi osteoporosis.3 Namun pada penelitian ini adanya efek samping osteoporosis
dan osteopeni lebih sering terjadi pada penggunaan kortikosteroid implan daripada
penggunaan kortikosteroid sistemik. Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa
kortikosteroid sistemik lebih beresiko meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan
hipertensi dibandingkan dengan penggunaan kortikoteroid implan. Hal ini terjadi karena
kortikosteroid sistemik meningkatkan volume plasma yang mengakibatkan peningkatan
absorbsi natrium dan resistensi cairan dan meningkatkan volume plasma, sehingga
tekanan darah meningkat.3
Daftar Pustaka Rangkuman dan Hasil Pembelajaran
1. Hertanto, M. 2011. Perkembangan Tata Laksana Uveitis : dari Kortikosteroid hingga
Imunomodulator. Journal Indonesian Medicine Association, Vol: 61, No.6.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/671/668
2. Jogi, R. 2009. Basic Ophthalmology Fourth Edition. Jaypee : New Delhi. Page 165-
178
3. Sitompul, R. 2011. Kortikosteroid dalam Tata Laksana Uveitis, Mekanisme Kerja,
Aplikasi Klinis, dan Efek Samping. Journal Indonesian Medicine Association, Vol:
61, No.6.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/481/669