jurnal reading appendik

22
JOURNAL READING APPENDISITIS AKUT PADA USIA LANJUT: FAKTOR RESIKO PERFORASI Dibimbing Oleh : dr. Shofia Agung Priyatno, SpB, MSi.Med Disusun Oleh : Asiah (1320221137) Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN “VETERAN” JAKARTA

Upload: dkn

Post on 05-Nov-2015

5 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Jurding, Jurnal Reading Appendik, Appendiks, Appendict, Bedah, Stase Bedah, surgery

TRANSCRIPT

JOURNAL READINGAPPENDISITIS AKUT PADA USIA LANJUT: FAKTOR RESIKO PERFORASI

Dibimbing Oleh :

dr. Shofia Agung Priyatno, SpB, MSi.Med

Disusun Oleh :

Asiah

(1320221137)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

PERIODE 20 Oktober 22 November 2014

LEMBAR PENGESAHAN Presentasi Kasus

Appendisitis akut pada usia lanjut: faktor resiko perforasiDisusun oleh :

Asiah

1320.221.137Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

Departemen Ilmu Bedah

RSUD Ambarawa, Semarang

Telah disetujui tanggal :......................................................

Pembimbing

dr. Shofia Agung Priyatno, Sp.B, Msi.Med

Mengesahkan :

Koordinator Kepaniteraan Ilmu Bedah

dr. Hery Unggul W, SpB

KATA PENGANTARPuji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan Journal reading yang berjudul Appendisitis akut pada usia lanjut: faktor resiko perforasi yang merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa Periode 13 Maret 23 Mei 2015.Dalam menyelesaikan Presentasi Kasus ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada dr. Shofia Agung P, SpB, MSi.Med sebagai dokter pembimbing. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Journal reading ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.

Semoga Journal reading ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pada khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya. Amin.

Ambarawa, Mei 2015Penulis

APPENDICITIS AKUT PADA USIA LANJUT: FAKTOR RESIKO PERFORASIAbdelkarim H Omari, Muhammad R Khammash, Ghazi R Qasaimeh, Ahmed K Shammari, Mohammad K Bani Yaseen dan Sahel K Hammori

Abstrak

Latar belakang: apendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi tersering dan dapat diperparah jika terjadi perforasi. Perforasi lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor resiko apendicitis akut perforasi pada pasien usia lanjut.Metedologi: pengumpulan data menggunakan metode retrospektif dari rekam medis pada 214 pasien berusia lebih dari 60 dengan diagnosis apendicitis akut selama 10 tahun (2003-2013). Pasien dibagi menjadi kelompok apendisitis akut perforasi dan apendisitis akut tanpa perforasi. Pembanding pada kelompok ialah demorafi, gejala klinis, dan lama penundaan operasi, diagnosis, lama dirawat, dan komplikasi postoperatif. Diagnosis klinis, Ultrasonography dan computerized tomography digunakan untuk menegakan diagnosis. Insidensi terjadinya perforasi juga dibandingkan dengan laporan sebelumnya pada wilayah tersebut pada 10 tahun terakhir.Hasil: selama penelitian total pasien sebanyak 214 pasien dengan usia diatas 60 tahun dengan apendisitis akut, terdiri dari 103 pria dan 111 wanita. Apendisitis perforasi ditemukan pada 87 pasien (41%), terdiri dari 46 pria (53%), dan 41 wanita (47%). Dari semua pasien 31 % dapat didiagnosis dari gejala klinis, 40% menggunakan USG dan 29% menggunakan CT scan. Dari seluruh faktor resiko yang diteliti, faktor resiko terbesar terjadinya perforasi adalah keterlambatan pasien masuk rumah sakit. Rata-rata terjadinya perforasi tidak berhubungan dengan presentasi komorbiditas penyakit maupun keterlambatan rumah sakit. Komplikasi post operatif pada 44 pasien (21%) dan komplikasi por operatif 3 kali lebih sering pada kelompok perforasi, 33 pasien (75%) pada kelompok perforasi dan 11 pasien (25%) kelompok non perforasi. Diantaranya terdapat 6 pasien (3%) meninggal, 4 pasien pada kelompok perforasi, 2 pasien kelompok nonperforasi.Kesimpulan: apendisitis akut pada pasien usia lanjut merupakan penyakit serius yang memputuhkan diagnosis dan penatalaksanaan segera. Apendisitis perforasi meningkatkan angka kesakitan dan kematian pasien. Semua pasien usia lanjut dengan keluhan nyeri abdomen harus diterima rumah sakit dan diselidiki. Penggunaan CT scan dapat mempersingkat waktu untuk penatalaksanan.Kata kunci: apendisitis akut, perforasi apendix, apendisitis akut pada usia lanjut, usia dan apendisitis, peritonitis.

Pendahuluan

Apendisitis akut masih merupakan kasus tersering bedah digestiv emergensi dengan insidensi masa hidup 7%. Apendisitis akut sering ditemukan pada pasien usia muda dan 5-10% terjadi pada usia lanjut. Walaupun insidensi kasus pada usia lanjut meningkat berdasarkan meningkatnya usia harapan hidup.Dibandingkan dengan kelompok usia muda, pasien usia lanjut memiliki lebih banyak penyakit utama dan penurunan respon fisiologi tubuh sehingga meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.

Selain itu sering terjadi gejala tidak khas dan keterlambatan penanganan medis berhubungan dengan terlambatnya diagnosis dan penatalaksanaan sehingga meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Prognosis pada apendisitis tanpa komplikasi pada usia muda maupun usia lanjut hampir seimbang. Bagaimanpun perburukan kondisi pada perforasi dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortilitas.Penelitian ini juga digunakan untuk meningkatkan kepahaman klinis pada faktor-faktor penyebab perforasi dan diharapkan dapat mengurangi insidensi, penulis mengulas rekam medis seluruh pasien berusia diatas 60 tahun dengan diagnosis pasti apensidistis akut selama 10 tahun. Penulis memastikan angka perforasi apendix dan faktor yang mempengaruhi perforasi termasuk data demografi, keterlambatan pemberian bantuan medis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan serta komorbiditas penyakit.selain itu penulis meneliti simptomatis yang muncul dan gejala klinis, penemuan laboratorium, penggunaan radiologi, komplikasi dan lama dirawat.Perbandingan antara kelompok perforasi dan nonperforasi dibuat berdasarkan variabel diatas. Untuk tambahan, penulis membandingkan hasil yang didapatkan dengan penelitian lain yang telah dilakukan pada wilayah yang sama 10 tahun sebelumnya.Metodologi

Rekam medis semua pasien (usia 60 tahun keatas) yang dilakukan appendectomy pada 3 rumah sakit pendidikan utama di Jordan barat mulai 1 januari 2003 hingga akhir desember 2012 dengan menggunakan metode retrospektif. Ketiga rumah sakit ini dengan total 1000 tempat tidur. Data dikumpulkan menggunakan sistem komputerisasi Rumah Sakit Universitas King Abdulla (KAUH) dan secara manual dari registrasi pasien di rumah sakit putri basma dan rumah sakit pangeran rashid.

Penulis mengidentifikasi seluruh pasien yang dilakukan appendectomy selama penelitian berlangsung. Berdasarkan dari kasus yang ada dan dengan menggunakan histopatologi dan laporan operasi, penulis memisahkan semua pasien yang memiliki normal atau apependectomy insidental dengan disertai rekam medis yang tidak lengkap.Pendataan dilakuan dengan mengumpulkan informasi tentang data demografi paisen, gejala klinis awal dan diagnosis, kemungkinan adanya penyakit komorbid (diabetes melitus, hipertensi, jantung, pernafasan, penyakit ginjal, dan lain sebagainya), pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi dengan menggunakan Ultrasonography (USG) dan Computerized Tomography (CT) scan dan penemuan adanya perforasi apendiks atau tidak. Apendiks dapat diketahui adanya perforasi dari hasil operasi dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.Di ketiga rumah sakit yang diteliti, pasien dengan nyeri abdomen pertamakali diperiksa di UGD oleh dokter jaga dan kemudian oleh dokter bedah jaga (jika dikonsulkan) yang dapat dirawat ataupun dipulangkan. Penegakan diagnosis berdasarkan dari keluhan dan riwayat penyakit sekarang pada pasien. Penemuannya dapat berupa demam > 38*C, peningkatan leukosit > 109/L dan nyeri abdomen kanan bawah. Penggunaan pemeriksaan penunjang menggunakan USG ataupun CT scan diputuskan oleh dokter bedah dengan hasil pemeriksaan diinterpretasikan oleh radiologis terlatih. Diagnosis pada apendisitis akut dibuat berdasarkan gambaran dinding apendiks, luasnya inflamasi dan edema dengan atau tanpa gambaran varian bebas intrabdomen. Pemeriksaan CT scan biasanya digunakan apabila pada gambaran klinis dan pemeriksaan USG tidak meyakinkan. Jika pasien telah didiagnosis dengan akut apendisitis, pasien harus diberikan antibiotik intravena spektrum luas yang mencakup bakteri aerob dan anaerob sebagai persiapan operasi. Operasi apendektomi dilakukan pada seluruh pasien baik menggunakan insisi MC Burney maupun insisi midline abdomen. Sejauh ini penggunaan tanpa apendiktomi laparoskopi maupun penatalaksanaan nonoperatif telah digunakan untuk pengobatan untuk apendisitis akut pada usia lanjut di rumah sakit yang diteliti.Interval waktu dari gejala awal hingga pendaftaran di IGD menggunakan satuan jam dan dijelaskan sebagai keterlambatan pasien. Interval waktu dari datangnya pasien ke IGD hingga ke ruang operasi didefinisikan sebagai keterlambatan rumah sakit dan didalamnya termasuk diagnosis dan waktu menunggu untuk operasi.

Pembagian apendisitis menjadi apendisistis perforasi (tanpa atau dengan perforasi yang terkontaminasi, pembentukan abses) dan nonperforasi. Antara apendisistis perforasi dan nonperforasi dibandingkan berdasarkan data demografi, gambaran klinsi, pemeriksaan, keterlambatan pasien, keterlambatan operasi dan perawatan post operatif serta komplikasi. Penelitian ini juga dibandingkan dengan penelitian lainnya yang telah dilakukan 10 tahun sebelumnya pada wilayah yang sama.Program komputer menggunakan SPSS 16 yang digunakan untuk analisis statistik. Nilai P pada perbandingan variabel sebesar < 0.05 yang berarti adanya perbandingan signifikan.

Ethical approval dilakukan di IRB ilmu sains dan teknologi rumah sakit universitas King Abdullah.Hasil

Total pasien usia lebih dari 60 tahun dengan hasil pemeriksaan histopatologi apendisitis akut dari bulan januari 2003 hingga desember 2012 sebanyak 214 pasien dengna analisis retrospektif. Terdapat 103 pasien pria dan 111 wanita dengna usia rata-rata pasien pria 64.4 2.7 tahun (rentang 60 95 tahun). 177 pasien (83%) berada diantara usia 60-69 tahun, 28 pasien (13%) usia 70-79 tahun, 8 pasien (3%) usia 80-89 tahun dan satu pasien usia 95 tahun. 87 pasien (41%) menunjukan adanya apendisitis perforasi, 46 pasien laki-laki (53%) dan 41 pasien wanita (47%) (Tabel 1).Tabel 1. Demografi pasien, penyakit komorbid dan komplikasi post operatif

KarakteristikTotal PopulasiPerforasiNonperforasiKomplikasi post.op

Usia

Jenis Kelamin

Pria

Wanita

Komorbid

Diabetes

Hipertensi

Penyakit Jantung

Penyakit Paru

Penyakit Ginjal

Malignansi64.43 th

48

52

43

11

13

12

4

2

165.23 th

53

47

37

11

10

9

3

2

263.3 th

45

55

47

10

14

16

5

2

164.3 th

61

39

75

18

18

18

9

7

5

Dari seluruh pasien terdapat 92 pasien (43%) memiliki riwayat penyakit kronis; hipertensi 27 pasien (13%), penyakit jantung kronis 26 pasien (12%), diabetes mellitus 23 pasein (11%), penyakit obstruksi pernafasan kronis 9 pasien (4%), gagal ginjal stage IV 4 pasien (2%), dan penyakit keganasan 3 pasien (1%). Tidak terdapat perbedaan signifikan antara resiko perforasi dengan penyakit komorbid (Tabel 1).

Berdasarkan keterlambatan pengobatan pada tabel 2, pasien dengan perforasi memiliki waktu keterlambatan pre-hospital yang lebih lamadibanding dengan kelompok nonperforasi (waktu yang diambil 79.6 jam hingga 47.3 jam) dengan nilai P < 0.0001. pada tabel tersebut juga diketahui tidak terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelompok berdasarkan keterlambatan di rumah sakit (nilai P 0.7923) (Tabel 2).

Tabel 2. Keterlambatan penanganan operasi dan lama rawat post op

Variabel PerforasiNonperforasiP-value

Rata-rata keterlambatan operasi

Keterlambatan Pre-hospital

Keterlambatan rumah sakit

Lama rawat post op79.6 62.4 jam

19.2 10.3 jam

7.4 6.3 hari47.3 43.7 jam

18.7 15.5 jam

4.2 3.1 hari< 0.0001

0.7923

< 0.0001

Berdasarkan gejala klinis, semua pasien memiliki keluhan nyeri abdomen. Walaupun nyeri perut berpindah yang khas mulai dari umbilikus hingga perut kanan bawah ditemukan 101 pasien (47%), 75 pasien (59%) nonperforasi dan 26 pasien (30%) perforasi. Mual dan muntah terjadi pada 57% pasien dan lebih banyak ditemukan pada kelompok nonperforasi (Tabel 3).Dari seluruh pasien, 41% pasien memiliki gejala demam (>38*C). Demam lebih banyak ditemukan pada pasien dengan apendisitis prforasi (51%-34%). Nyeri tekan terlokalisasi di bagian kanan bawah abdomen sebanyak 84% dari seluruh pasien, 91% pada pasien non perforasi dan 75% pada pasien perforasi. Walaupun nyeri lepas ditemukan sebanyak 75% dari seluruh pasien, namun tidak terdapat perbedaan dari kedua kelompok (Tabel 3).

Peningkatan leukosit > 109/L ditemukan pada 143 pasien (63%). Pada pasien perforasi ditemukan sebanyak 71% dengan 94% shift to the left berbanding 72 pasien (57%) pasien nonperforasi dengan 61% shift to the left (Tabel 3).Gejalaklinis, ultrashonography (USG), dan Computer Tomography (CT scan) digunakan untuk menegakan diagnosis. Sebanyak 31% didiagnosis dari gejala klinis saja, 40% dibantu dengan pemeriksaan USG, dan 29% didagnosis berdasarkan CT scan (Tabel 4). Walaupun peneliti tidak dapat memperkirakan sensitivitas dan spesifsitas dari masing-masing pemeriksaan, peneliti menemukan tidak terdapat positif palsu pada pemeriksaan CT scan yang digunakan.

Insisi Mc Burney digunakan pada 168 pasien dan insisi midline bawah pada 46 pasien.

Komplikasi postoperatif ditemukan pada 44 pasien (21%). Komplikasi tiga kali lebih sering pada pasien perforasi dibanding dengan non perforasi yakni 33 pasien (75%) berbanding 11 pasien (25%). Empat orang pasien dengan dehisensi luka dan delapan lainnya dengan sepsis intra abdomen pada seluruh pasien perforasi tanpa terkecuali. Duapuluh dua pasien lainnya pada kedua kelompok dengan luka terinfeksi, beberapa merespon baik dengan pengobatan antibiotik, debridement dan pembersihan. Komplikasi lain berupa gagal ginjal, infeksi paru, dan kegagalan pernafasan, penyakit kardiovaskular ditemukan pada kedua kelompok.Tabel 3 perbandingan perforasi dan nonperforasiVariabel Total Perforasi Non perforasiP-value

Nyeri menjalar

Anoreksia

Mual dan muntah

Nyeri tekan perut kanan bawah

Nyeri lepas

Demam

Leukosit

Shift to the left101 (47)

150 (70)

122 (57)

180 (84)

160 (75)

87 (41)

143 (63)

159 (74)26 (30)

64 (74)

37 (43)

65 (75)

70 (80)

44 (51)

62 (71)

82 (94)75 (59)

89 (68)

85 (67)

115 (91)

90 (71)

43 (34)

72 (57)

77 (61),0.0001

0.3588

0.0004

0.0018

0.1125

0.0145

0.0304

38*C) ditemukan pada 41% pasien dan lebih besar dibanding pada pasien perforasi, hasil penelitian sesuai dengan apa yang ditemukan.

Selain itu pada penelitian ditemukan adanya peningkatan leukosit pada 63% pasien dengan shift to the left pada 74%. Sesuai dengan perkiraan, nilai leukosit lebih tinggi pada pasien perforasi sejumlah 71% dan 94% termasuk shift to the left (Tabel 3). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya.Diagnosis apendisitis akut dapat dibuat berdasarkan beberapa sistem skoring, seperti skor alvardo, skor Kharbanda dan skor Lintula. Pada umumnya sistem skoring ini lebih baik digunakan sebagai rasio dibanding dengan penilaian gejala dan tanda saja.

Pemeriksaan lanjut dapat menggunakan fasilitas CT scan dan USG pada pasien dengan susp apendisitis. USG dapat mendianosa adanya inflamasi pada apendiks dan mendeteksi adanya cairan bebas pada pelvix namun membutuhkan pengalaman dari operator, bentuk badan, dan pasien yang kooperatif. Penggunaan CT scan secara luas pada pasien dengan kemungkinan apendisitis untuk diagnosis yang tepat dan mengurangi negatif laparotomi. Penelitian sebelumnya menerangkan sensitifitas pada usia ini 91-99%. Storm-Dickerson TL et al melaporkan kasus tanpa perforasi menggunakan pemeriksaan CT scan lebih awal pada 20 tahun terakhir sebanyak 72%-51%. Pada pasien dalam penelitian, CT scan hanya digunakan jika diagnosis tidak dapat ditegakan menggunakan gejala klinis dan USG. Peneliti tidak dapat menilai sensitifitas dan spesifitas dari gejala klinis, USG maupun CT scan pada pasien karena peneliti hanya meneliti kasus dengan hasil positif.Pada pasien usia lanjut yang dilakukan apendektomi memiliki resiko lebih angka mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.

Pada penelitian ini seluruh komplikasi post operatif sejumlah 21%. Komplikasi pada perforasi 3 kali lebih sering terjadi dibanding pasien nonperforasi. Penemuan ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pasien perforasi memiliki faktor prediksi morbiditas post operatif pada pasien usia lanjut dengan apendisitis akut.Angka mortalitas pada pasien usia tua yang disertai dengan apendisitis perforasi sejumlah 2.3%-10%. Kematian pasien beruhubungan dengan sepsis.

Pada penelitian ini terdapat 6 pasien (3%) meninggal pada kedua kelompok, 4 pasien pada pasien perforasi dan 2 padien pada pasien nonperforasi. Tiga pasien meninggal karena komplikasi sepsis sedangkan yang lain diakibatkan penyakit pernafasan dan kardiovaskular.

Dibanding dengan usia muda, rentang perawatan rumah sakit lebih besar pada pasien usia lanjut. Kasus ini biasanya tidak dijelaskan dengan meningkatnya angka komplikasi, pemberian antibiotik memanjang, pengobatan penyakit komorbid dan kesulitan komunikasi. Hasil yang didapatkan selama 7.4 dan 4.2 hari pada pasien perforasi dan non perforasi.

Ketika membandingkan hasil yang didapatkan dengan penelitan sebelumnya, peneliti menemukan bahwa insidensi perforasi apendiks tidak meningkat selama 10 tahun terakhir berhubungan dengan perubahan program medis dan fasilitas diagnosis.Faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap hasil akhir pasien yang tidak dijelaskan secara sepsifik pada analisis ini, namun relevan dengan penyebab apendisitis.

Kepustakaan menjelaskan keuntungan dari operasi laparoscopi dibanding dengan operasi laparotomi berdasarkan penurunan nyeri post operatif, waktu perbaikan, komplikasi luka dan perawatan post operatif, ketika ditemukan pasien usia tua dengan komplikasi apendisitis pada operasi laparoskopi akan meningkatkan waktu operasi, dan lama dirawat di rumah sakit. Pada beberapa penelitian sebelumnya pada tahun 2013, Wray CJ et al menyimpulkan bahwa dengan atau tanpa apendektomi melalui apendektomi terbuka maupun laparoskopi memiliki keuntungan, nama, insisi kecil, insiden komplikasi, lama di rumah sakit yang sama. Pada rumah sakit yang diteliti, laparoskopi digunakan untuk pengobatan pada apendisitis usia muda bukan pada usia tua.Faktanya apendektomi merupakan pengobatan standar pada apendisitis yang digunakan lebih dari 100 tahun, beberapa laporan pada penelitian sebelumnya menjelaskan pengobatan nonoperatif pada apendisitis akut tanpa komplikasi. Pengobatan konservatif ini dengan pemberian cairan intravenadan pemberian antibiotik spektrum luas dapat mengurangi rasa nyeri, tanpa mengurangi angka kekambuhan, resiko yang ada dibandingkan dengan komplikasi post apendektomi. Walaupun wray CJ et al. pengobatan berdasarkan standar yang digunakan tanpa operasi. Kesimpulan

Apendisitis akut seharusnya dibedakan dengan diagnosis diferensial nyeri abdomen pada pasien usia lanjut. Keterlambatan pasien dibawa ke rumah sakit berhubungan dengan peningkatan angka perforasi dan komplikasi post operatif. Seluruh pasien usia lanjut dengan nyeri abdomen harus diterima dan diperiksa. Penggunaan CT scan dini dapat mempercepat penatalaksanaan.Ethical approval

Institution Review Board (IRB) pada Ilmu pengetahuan dan teknologi universitas Jordan dan rumah sakit universitas king abdullah.