jurnal psikobuana vol3no2-okt2011

Upload: juneman-abraham

Post on 10-Jul-2015

912 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Jurnal Psikologi Psikobuana Volume 3 No 2, menghadirkan 8 artikel dari berbagai sub-disiplin psikologi, di antaranya psikologi SDM, psikologi sosial (representasi sosial), psikologi kesehatan, dan psikologi filosofis. Editor/Penyunting: Juneman, S.Psi., M.Si. (Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana, Jakarta)

TRANSCRIPT

EditorialPsikobuana Vol. 3 No. 2 ini menghadirkan delapan buah artikel dari berbagai sub-disiplin psikologi. Artikel pertama berkaitan dengan Psikologi Industri dan Organisasi, dengan judul "Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi". Artikel ini merupakan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan. Sebagaimana kita ketahui, pentingnya sumber daya manusia telah mulai dikenal sejak Adam Smith (1963/1976) mengemukakan gagasan "the acquired and useful abilities" dari individu sebagai sumber pendapatan atau keuntungan. Atas dasar ini, para ilmuwan mengembangkan konstruk "human capital" dalam tradisi psikologi sampai dengan ekonomi. Pada tingkat mikro, ilmuwan mempelajari sumber daya manusia (human resources / HR), perilaku organisasi (organizational behavior / OB), dan psikologi industri/organisasi (PIO). Pada tingkat makro, ilmuwan mempelajari agregat atau himpunan dari pengalaman tingkat organisasi, pendidikan, dan keterampilan pekerja sebagai sumber daya yang dapat diungkit untuk mencapai keuntungan kompetitif yang bertahan. Artikel penelitian Purwanto, dkk., menyentuh semua tingkatan ini dalam setting perguruan tinggi dalam rangka membangun daya saing. Artikel kedua berkaitan dengan Psikologi Sosial ditulis oleh Ardiningtyas Pitaloka. Ia mengangkat judul "Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia", dengan menggunakan pendekatan studi psikologi sosial yang berkembang di Eropa, yakni representasi sosial, sebuah orientasi sosiologis dari psikologi sosial. Artikel ketiga bernuansa Psikologi Kesehatan ditulis oleh Puji Hermawanti dan Mochamad Widjanarko, dengan judul "Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah". Artikel keempat tentang penerapan Psikometri dengan judul "Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan" ditulis oleh Wahyu Widhiarso. Artikel kelima dalam bidang Psikologi Pendidikan berjudul "Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak" ditulis oleh Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie. Artikel keenam terkait dengan Psikologi Penerbangan mengupas tentang "Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis Fatigue", ditulis oleh Widura Imam Mustopo. Artikel ketujuh, "Support Group Therapy Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga Single Parent di Kota Malang", ditulis oleh M. Salis Yuniardi dan Djudiyah. Akhirnya, Bonar Hutapea menulis artikel dengan warna Psikologi Filosofis, tentang "Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas".

Penyunting

Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2

ISSN 2085-4242

Daftar IsiEditorial Penyunting Daftar Isi Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia: Studi Representasi Sosial Ardiningtyas Pitaloka Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah Puji Hermawanti dan Mochamad Widjanarko Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan Wahyu Widhiarso Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue" Widura Imam Mustopo "Support Group Therapy" Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga "Single Parent" di Kota Malang M. Salis Yuniardi dan Djudiyah Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana i

ii 7383

8493

94103

103117

118125

126134

135140

141148

149-150

LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN

3

ddd

3

Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 7383

ISSN 2085-4242

Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan TinggiPurwanto S. K.Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Alumnus Program Doktor Institut Pertanian Bogor

Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. DharmawanInstitut Pertanian Bogor

The competitiveness of Indonesian universities nationwide in 2010 is still relatively lower than some other countries such as Malaysia, Thailand and Singapore. The main pillars of the competition are in productivity and innovation which depend on the competence and commitment of human resources. The purposes of this study are to determine factors that influence the competitiveness and organizational performance and to find the effect of competence and commitment of human resources and other factors to improve competitiveness and organizational performance. This research is a case study in two universities, PTN X and PTS Y. The results showed that the competitiveness strongly influenced the performance of HR besides other factors such as competence and commitment of human resources. The implementation of HRM variables, especially training and development and compensation variables, significantly affect performance. The variables of leadership, especially the willingness to give an example and speed of act affect on performance. Good Governance variables, accountability and social responsibility, significantly affected performance. Several important variables to increase competitiveness are: product academic improvement, consumer and financial perceptions improvement, basic competencies improvement, and higher emotional closeness and willingness to work more for the organization. Keywords: competitiveness, competence, commitment, implementation of human resource management, leadership and good governance

Daya saing Perguruan Tinggi (PT) Indonesia secara nasional dan dibandingkan dengan beberapa negara lain di dunia sampai tahun 2010 masih relatif rendah (APTISI 2009; Jalal 2009a). Data peringkat PT versi THES73

QS (Times Higher Education Supplement) pada tahun 2010, Indonesia hanya memiliki dua PT yang masuk peringkat seratus PT terbaik di Asia, sedangkan Malaysia ada lima, Singapura dan Thailand ada dua. Daya saing yang rendah,

74

PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

apabila dilihat dari kriteria ARWU, THES QS, Webometric, dan BAN-PT tergantung pada unsur SDM. Hampir semua faktor yang menentukan dalam pemeringkatan PT tergantung pada produktivitas dosen, yaitu jumlah penelitian dan publikasi, angka efisiensi edukasi, dan karya yang mendapatkan pengakuan paten (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 2009). Daya saing PT, baik menurut THES-QS, Webometrics maupun Sanghai Jia Tong (ARWU), pada dasarnya menekankan pada unsur manusia yaitu kualitas penelitian, kualitas pengajaran, kompetensi lulusan dan prospek internasional (Suharyadi, 2008). PT di Indonesia pada umumnya mempunyai permasalahan yang hampir sama, yaitu dalam persoalan peningkatan produktivitas atau kinerja dosen. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu kompetensi atau kualifikasi SDM dan komitmen SDM (Suharyadi, 2008). Kompetensi SDM di PT terkait dengan pendidikan dan keterampilan dosen. Data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 51% jumlah dosen masih berpendidikan S1, sedangkan S2 mencapai 42%, dan S3 hanya 7%. Masalah komitmen SDM di PT yang diukur oleh BANPT ditunjukkan dengan kinerja akademik yang menyangkut tridarma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari data tahun 2008 terlihat bahwa hampir 80% jenjang kepangkatan akademik dosen di Indonesia adalah di bawah lector; bahkan 40% belum mempunyai kepangkatan akademik. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan dalam kompetensi dan komitmen dosen terkait dengan kinerja dan daya saing organisasi. Permasalahan dalam daya saing perguruan tinggi adalah (1) daya saing yang rendah, (2)

kinerja dosen terkait dengan kompetensi dan komitmen, dan (3) kesehatan organisasi terkait kebijakan dalam implementasi manajemen sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata kelola. Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui faktorfaktor yang menyebabkan daya saing perguruan tinggi, (2) Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kinerja dosen di perguruan tinggi rendah dan hubungannya dengan faktor kompetensi dan komitmen sumber daya manusia, dan (3) Mengetahui hubungan dan dampak dari faktor implementasi manajemen sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata kelola organisasi terhadap kinerja dosen di perguruan tinggi.

MetodePenelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan prosedur statistik dengan pengujian hipotesa, sedangkan kualitatif dilakukan dengan observasi dan wawancara serta focus group discussion. Penelitian ini merupakan studi kasus di PTN X dan PTS Y. Kedua institusi dipilih dengan mempertimbangkan perbedaan status, yaitu PTN dan PTS serta memiliki jumlah mahasiswa yang hampir sama, yaitu 18.000 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan proportionate stratified random sampling yaitu sampel distratifikasi berdasarkan kepangkatan akademik mulai asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar. Jumlah sampel tiap stratifikasi bersifat proporsional terhadap sampel total. Jumlah sampel sebanyak 285 orang terdiri 150 orang dosen di PTN X dan 135 dosen di

PERANAN SUMBER DAYA

75

Gambar 1. Model struktural daya saing perguruan tinggi di PTN X dan PTS Y (t > 1,96) PTS Y. Jumlah sampel 285 ditentukan berdasarkan standar normal, dan tingkat kesalahan 5%. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner dan wawancara. Pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan skala, baik ordinal maupun interval. Skala interval menggunakan skala Likert dari 1 (Sangat Tidak Setuju) sampai dengan 5 (Sangat Setuju). Daya saing menggunakan indikator dari Ferguson (2006). Kinerja menggunakan indikator dari Chen, Wang, dan Yang (2009). Kompetensi menggunakan indikator dari Pahlan (2007). Komitmen menggunakan indikator Meyer dan Herscovitch (2001). Implementasi MSDM menggunakan indikator dari Cathy (2007). Kepemimpinan menggunakan indikator dari Bass atau MLQ (1996) dan tata kelola menggunakan dari Silveira dan Saito (2009). Sebelum kuesioner dipakai dalam penelitian, dilakukan pre-test terhadap 10 orang dosen di PTN X dan PTS Y. Data selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas dan dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk menemukan hubungan kausalitas dengan data skala atau multivariat.

Hasil dan PembahasanDeskripsi tentang PTN X: PTN X mempunyai program studi S2 dan S3 sebanyak 105 (67%) dan S1 serta diploma 52 (31%). Jumlah mahasiswa S2 dan S3 13% dan 82% S1 dan diploma. Pendidikan dosen S2 dan S3 82% dan S3 saja 41%. Jumlah program studi yang terakreditasi A mencapai 69% dan peringkat Webometrics di Indonesia pada peringkat 13 dan di dunia 1.204. Melihat komposisi program studi dan pendidikan dosen, PTN X sudah pada tahap Universitas Riset. Deskripsi tentang PTS Y: PTS Y mempunyai program studi S2 sebanyak 23% dan S1 serta Diploma mencapai 77%. Jumlah

76

PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

mahasiswa S2 sebanyak 9% dan S1 serta Diploma 91%. Pendidikan dosen S2 dan S3 mencapai 100% dan yang berpendidikan S3 sebesar 15%. Akreditasi program studi 63% B dan 25% A. Peringkat Webometrics di Indonesia pada posisi 22 dan di dunia 2.063. Melihat komposisi program studi dan pendidikan dosen, PTS Y termasuk universitas dengan titik berat pendidikan. Deskripsi responden PTN X: Pendidikan dosen 61% S3 dengan lama kerja 48% diatas 20 tahun. Kepangkatan akademik dosen untuk lektor kepala dan guru besar mencapai 47% dan guru besar 11%. Berdasarkan suku, dosen yang berasal dari suku jawa dan sunda mencapai 89%, suku di luar jawa dan keturunan 12%. Berdasarkan tipe kepribadian (Pearson & Marr, 2002), 40% the sage, 48% the ruler, dan 12% the jester. Deskripsi responden PTS Y: Pendidikan dosen S2 85% dan S3 15% dengan lama kerja 89% kurang dari 20 tahun. Kepangkatan akademik lektor kepala dan guru besar sebesar 24% dan guru besar 3%. Berdasarkan suku, dosen yang bersuku Jawa dan sunda mencapai 62% dan non jawa serta keturunan mencapai 38%. Berdasarkan tipe kepribadian, the sage 31%, the ruler 54%, dan the jester 15%. Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi dosen PTN X menunjukkan bahwa: (a) daya saing organisasi mencapai 76% dari harapan dimana daya saing produk tertinggi diikuti pangsa pasar dan loyalitas konsumen; (b) kinerja dosen mencapai 76% dimana perspektif internal proses tertinggi dan diikuti perspektif konsumen, pembelajaran dan yang terendah adalah perspektif keuangan; (c) kompetensi dosen mencapai 82% dan termasuk sangat baik, dimana kompetensi dasar relatif lebih tinggi dibandingkan kompetensi fungsional; (d)

komitmen dosen mencapai 68% dari harapan dengan komitmen tertinggi adalah kemauan tinggal di organisasi dan kemudian kedekatan emosional dan keinginan berkinerja lebih; (e) implementasi MSDM mencapai 68% dari harapan. Implementasi yang dipandang baik adalah pelatihan dan pengembangan dan yang perlu perbaikan kompensasi serta promosi; (f) kepemimpinan mencapai 74% dari harapan. Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah optimisme, keyakinan dan kemauan memberi teladan dan indikator dua yang terakhir adalah kejelasan visi dan delegasi wewenang; (g) tata kelola mencapai 74% dari harapan dan yang terbaik adalah akuntabilitas dan keadilan, serta yang terendah adalah transparansi. Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi dosen PTS Y menunjukkan bahwa: (a) Daya saing organisasi mencapai 68% dari harapan dimana daya saing produk tertinggi diikuti loyalitas konsumen dan pangsa pasar; (b) Kinerja dosen mencapai 62% dimana perspektif konsumen tertinggi dan diikuti internal proses, pembelajaran dan yang terendah adalah perspektif keuangan; (c) Kompetensi dosen mencapai 70% dimana kompetensi fungsional dasar lebih tinggi dibandingkan kompetensi dasar; (d) Komitmen dosen mencapai 62% dari harapan dengan komitmen tertinggi adalah kedekatan emosional dan kemudian kemauan tinggal di organisasi dan terakhir keinginan berkinerja lebih; (e) Implementasi MSDM mencapai 66% dari harapan. Implementasi yang dipandang baik adalah seleksi dan rekrutmen, kemudian pelatihan dan pengembangan dan yang perlu perbaikan kompensasi serta promosi; (f) Kepemimpinan mencapai 68% dari harapan. Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah keyakinan, kejelasan visi dan optimisme serta indikator dua yang terakhir adalah pencapaian

PERANAN SUMBER DAYA

77

visi dan kecepatan tindakan. (g) Tata kelola mencapai 64% dari harapan dan yang terbaik adalah akuntabilitas dan keadilan, serta yang terendah adalah transparansi. Hasil analisis menggunakan SEM disajikan dalam Gambar 1. Daya saing ternyata sangat berhubungan dengan kinerja SDM sebesar 97% (t = 15,01). Hasil ini memperkuat pendapat teori diamond dari Porter (1985) bahwa SDM adalah kunci dalam meningkatkan daya saing organisasi sebagaimana yang dilakukan Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Singapura yang mengandalkan SDM dibandingkan sumber daya alam. Kinerja SDM mempunyai hubungan 41% dengan kompetensi (t = 4,71) dan 58% dengan komitmen (t = 9,47). Hasil penelitian ini memperkuat pendapat Goleman (2002) yang menyimpulkan pencapaian kinerja ditentukan oleh 20% IQ sedangkan 80% oleh kecerdasan emosi (EQ). Kompetensi pada dasarnya melekat pada pendidikan dan pelatihan sebagai hard skill; sedangkan komitmen menyangkut kecerdasan emosi di mana komitmen merupakan sesuatu yang mendasari orang untuk melakukan sesuatu yang memadukan antara motivasi individu dengan motivasi organisasi. Hasil ini mendorong perlunya organisasi membangun komitmen dengan meningkatkan keterlibatan atau partisipasi dari seluruh dosen serta menciptakan reward dan punishment dalam mendorong kinerja organisasi. Implementasi MSDM mempunyai hubungan 48% (t = 3,00) dengan kompetensi dan 45% dengan komitmen (t = 2,69). Implementasi MSDM yang mencakup seleksi dan rekrutmen, pelatihan dan pengembangan, kompensasi dan benefit serta promosi mempunyai dampak positif terhadap kompetensi dan komitmen. Pengaruh

implementasi MSDM ternyata lebih besar dan kuat terhadap kompetensi dibandingkan komitmen. Hal ini terjadi karena proses MSDM lebih banyak menekankan pada aspek kompetensi seperti pada proses seleksi dengan menekankan pada indeks prestasi kumulatif (IPK), kemampuan bahasa Inggris, serta tes potensi akademik (TPA) di samping jenjang pendidikan. Program pelatihan dan pengembangan tugas melekat pada aspek kompetensi yaitu pelatihan dan pengembangan yang menyangkut kompetensi dasar terkait dengan bidang ilmu. Faktor pendorong komitmen seperti kompensasi dan benefit serta promosi relatif kurang maksimal dikembangkan dengan adanya keterbatasan dalam ketersediaan dana, sistem penggajian yang belum berbasis kinerja, promosi yang belum berbasis pada desain organisasi. Kepemimpinan mempunyai hubungan 23% dengan kompetensi (t = 2,05) dan 45% dengan komitmen (t = 3,65). Pengaruh kepemimpinan jauh lebih kuat terhadap komitmen dibandingkan dengan kompetensi. Hasil ini sesuai dengan pendapat Yukl (2005) bahwa fungsi kepemimpinan memberikan pelatihan dan bimbingan dalam rangka meningkatkan kompetensi dan memberikan visi yang memberi inspirasi dalam rangka meningkatkan komitmen. Oleh sebab itu, implementasi MSDM dan kepemimpinan dapat saling melengkapi. Implementasi MSDM memperkuat sistem dan kepemimpinan memperkuat kinerja melalui komitmen. Fungsi kepemimpinan adalah menyinergikan antara motif individu dan organisasi dengan menyamakan visi dan misi, memberikan teladan, dan mengambil keputusan yang cepat serta keyakinan bahwa organisasi akan terus berkembang yang dapat memberikan rasa aman bagi anggota organisasi.

78

PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

Tata kelola mempunyai hubungan 15% dengan kompetensi (t = 2,04) dan 9% dengan komitmen (t = 2,39). Tata kelola organisasi mencakup akuntabilitas, keadilan, tanggungjawab sosial dan transparansi. Tata kelola organisasi dikembangkan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam anggaran dan kegiatan. Dampak dari akuntabilitas dan transparansi adalah efisiensi dan efektivitas yang akhirnya berdampak pada kompetensi yang dimiliki dosen. Hal ini dapat terjadi karena adanya ketersediaan dana akibat akuntabilitas dan motivasi yang tinggi dari dosen dalam pelatihan dan pengembangan akibat dituntut adanya akuntabilitas dari kegiatan yang diikuti. Komitmen juga dapat terbentuk dengan adanya keadilan dan tanggungjawab sosial. Prinsip keadilan akan mendorong setiap SDM akan meningkatkan keterlibatan dan partisipasi dalam organisasi. Di sisi lain, tanggungjawab sosial akan meningkatkan kedekatan emosional antara SDM dan organisasi sehingga pada akhirnya akan mendorong kemauan bekerja lebih bagi organisasi. Penelitian ini melakukan pembaharuan dengan memasukkan variabel tipe kepribadian sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi kinerja SDM disamping kompetensi dan komitmen yang pada awalnya disebut variabel X, suatu variabel yang belum ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kepribadian mempunyai hubungan 1% dengan kinerja (t = 2,01), mempunyai hubungan dengan kompetensi 61% (t = 2,32) dan mempunyai hubungan dengan komitmen 34% (t = 2,06). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tipe kepribadian banyak berpengaruh terhadap kompetensi, kemudian komitmen dan relatif kecil dengan kinerja secara langsung.

Kepribadian merupakan keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Terdapat dua hal penting yang mempengaruhi kepribadian yaitu keturunan dan lingkungan. Pengaruh keturunan dan lingkungan inilah yang mempengaruhi kompetensi dan komitmen. Orang yang bertipe the ruler akan optimal menjadi pengajar, dan orang yang bertipe the seeker akan sesuai sebagai peneliti. Tabel 1. Peringkat Indikator Daya Saing Indikator daya saing Produk Loyalitas konsumen Pangsa pasar Peringkat PTN X 1 3 2 PTS Y 1 2 3 Hasil SEM 1 2 3

Peningkatan daya saing secara berurutan diindikasikan oleh produk, loyalitas konsumen dan pangsa pasar (Tabel 1). Produk berupa kualitas akademik menempati peringkat ke-1 berdasarkan hasil SEM PTN X dan PTS Y. Dengan demikian, produk akademik baik kualitas dan jumlah ketersediaan menjadi penentu daya saing. Loyalitas konsumen di PTN X menempati peringkat ke-3, dan pangsa pasar ke-2, hal ini disebabkan PTN X sebagai PTN besar dan banyak calon mahasiswa sehingga tidak kesulitan mencari calon mahasiswa. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah meningkatkan pemahaman kepada dosen untuk memperhatikan mahasiswa dan pihak pemakai jasa PTN X sebagai konsumen sehingga perspektif konsumen berada pada peringkat kedua dan pangsa pasar pada peringkat ketiga. Bagi PTS Y, urutan daya saing sudah sesuai, dan permasalahan pada

PERANAN SUMBER DAYA

79

peningkatan kapasitas organisasi dengan menambah SDM sesuai dengan kebutuhan terutama yang berpendidikan S3, berkepangkatan akademik lektor kepala dan guru besar. Tabel 2. Peringkat Indikator Kinerja Indikator kinerja Perspektif konsumen Penerimaan/keuangan Pembelajaran Proses internal Peringkat PTN PTS Hasil X Y SEM 2 1 1 4 4 2 3 3 3 1 2 4

dari seharusnya perspektif konsumen. Hal ini terjadi karena ada perbedaan pandangan antara sisi dosen yang fokus pada akademik dan manajemen yang fokus pada aspek konsumen dan keuangan. Implikasi manajerial bagi PTN X dan PTS Y adalah bagaimana meningkatkan kesadaran dosen akan perspektif konsumen dan keuangan, dimana keberlanjutan organisasi juga ditentukan oleh kepuasan konsumen atau repeat order, dan aspek keuangan sebagai nadi organisasi. Tabel 3. Peringkat Indikator Kompetensi SDM Indikator kompetensi SDM Kompetensi dasar Kompetensi fungsional PTN X 1 2 Peringkat PTS Penelitian Y 2 1 1 2

Analisis terhadap kinerja dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif konsumen dan keuangan berada pada peringkat ke-1 dan ke-2, sedangkan pembelajaran dan proses internal pada peringkat ke-3 dan ke-4 (Tabel 2). Dosen PTN X dan PTS Y sama-sama menempatkan perspektif proses internal dan konsumen pada peringkat ke-1 dan ke-2, sedangkan pembelajaran dan keuangan pada peringkat ke-3 dan ke-4. Hal ini menunjukkan bahwa dosen masih fokus pada aspek akademik. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dosen di satu sisi dan manajemen di sisi lainnya; yaitu manajemen berpikir dari perspektif keuangan dan konsumen, sedangkan dosen pada perspektif proses internal dan pembelajaran. Bagi dosen PTN X, internal proses menjadi utama dan konsumen menjadi kedua, hal ini disebabkan kompetensi dosen yang tinggi dan bergerak secara individual sehingga fokus pada tridarma atau dari sisi supply side, dan konsumen belum menjadi fokus. Bagi PTS Y perspektif konsumen sudah menjadi utama, karena mahasiswa sumber utama pendapatan, namun perspektif internal menjadi nomor dua

Kompetensi dosen PTN X sudah sangat bagus dan sudah sesuai dengan kebutuhan peningkatan daya saing (Tabel 3). Salah satu alasan dosen PTN X untuk komitmen tinggal di organisasi tinggi adalah kemudahan untuk pendidikan dan pelatihan terutama di luar negeri. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah meningkatkan kompetensi fungsional dosen, yaitu kemampuan dalam berinteraksi dengan dosen lain, serta berinteraksi dengan organisasi lain dalam rangka perbaikan bisnis proses kepakaran. Implikasi manajerial bagi PTS Y adalah meningkatkan kompetensi dasar pada peringkat ke-1 dan fungsional ke-2. Hal ini tentu berimplikasi pada pengembangan dosen yang bersifat formal terkait dengan hard skill dosen yang melekat pada pendidikan. Komitmen dosen untuk daya saing secara berurutan adalah kedekatan emosi, keinginan bekerja lebih dan kemauan tinggal di organisasi

80

PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

(Tabel 4). Kedekatan emosional di PTN X pada peringkat kedua, hal ini disebabkan kompetensi dosen yang tinggi dan bergerak sendiri-sendiri, kurangnya kesatuan gerak antara manajemen disatu sisi dan dosen di sisi lain. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah merubah suasana kerja PNS menjadi lebih dinamis. Kedekatan emosi dibangun dengan melibatkan partisipasi, kemauan bekerja lebih di dorong dengan sistem reward dan punishment dan loyalitas organisasi harus dijadikan lebih produktif dengan menyusun key performance indicators (KPI) sesuai visi dan misi organisasi. Implikasi manajerial bagi PTS Y adalah meningkatkan kinerja lebih ke peringkat ke-2 dan kemauan tinggal ke peringkat ke-3. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun partisipasi, sistem insentif serta reward dan punishment yang jelas dan terukur serta konsisten dilaksanakan. Tabel 4. Peringkat Indikator Komitmen SDM Indikator komitmen SDM Kedekatan emosi Keinginan berkinerja lebih Kemauan tinggal di organisasi PTN X 2 3 Peringkat PTS Y Penelitian 1 3 1 2

individual sangat tinggi. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah mengembangkan desain pelatihan dan pengembangan sesuai dengan kebutuhan organisasi, perbaikan sistem kompensasi dan benefit. Integrasi seluruh penerimaan dan adanya persepsi yang sama dalam bidang SDM dan keuangan dapat dilakukan untuk memperbaiki kompensasi dan benefit. Proses promosi baik jenjang fungsional dan struktural harus menjadi kewajiban dan bukan hak bagi karyawan karena akan berdampak pada kinerja organisasi. Implikasi manajerial bagi PTS Y adalah mengembangkan pelatihan dan pengembangan. Selama ini PTS Y mengandalkan sistem seleksi dengan mendapatkan SDM yang relatif sudah jadi. Hal ini menyebabkan suasana akademik dan kemauan tinggal di organisasi tidak terlalu tinggi. Implikasi bagi PTS Y adalah pendidikan S3 harus menjadi fokus bagi SDM. Selain itu perbaikan sistem gaji yang adil, dan promosi. Tabel 5. Peringkat Indikator Implementasi MSDM Indikator implementasi MSDM Pelatihan dan pengembangan Kompensasi dan benefit Promosi Seleksi dan rekrutmen Peringkat PTN X PTS Y Penelitian 1 3 4 2 2 3 4 1 1 2 3 4

1

2

3

Implementasi MSDM untuk meningkatkan daya saing adalah pelatihan dan pengembangan, kompensasi dan benefit, promosi serta seleksi dan rekrutmen (Tabel 5). Bagi PTN X, pelatihan dan pengembangan dosen menjadi peringkat ke-1, dan ini menyebabkan komitmen tinggal di organisasi tinggi dan kompetensi

Kepemimpinan yang dibutuhkan di organisasi adalah kemauan memberi teladan, kecepatan dalam tindakan dan keyakinan (Tabel 6). Ketiga hal tersebut membutuhkan pengalaman menjadi seorang pemimpin sehingga dapat memberi contoh, bertindak cepat dan yakin. Bagi PTN X dan PTS Y

PERANAN SUMBER DAYA

81

mempunyai kondisi yang hampir sama, dimana peranan dosen senior atau guru besar berdampak pada efektifitas organisasi. Sedangkan pemimpin struktural yang dipilih secara demokratis pada berbagai tingkatan menyebabkan tidak sinkronnya visi dan misi organisasi. Oleh sebab itu, bagi perguruan tinggi diperlukan adanya sistem yang memadukan profesionalitas, kinerja dan demokrasi yang menjamin sinerginya visi dan misi dari rektorat sampai dosen. Tabel 6. Peringkat Indikator Kepemimpinan Indikator kepemimpinan Kemauan memberi teladan Kecepatan tindakan Keyakinan Pencapaian visi Kejelasan visi Optimisme Delegasi wewenang PTN X 3 4 2 5 6 1 7 Peringkat PTS Penelitia Y n 4 1 7 1 6 2 3 5 2 3 4 5 6 7

keadilan dari posisi ketiga menjadi kedua. Hal demikian dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem kinerja, dimana orang yang bekerja lebih banyak mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. Manajemen berbasis kinerja serta reward dan punishment yang jelas akan mendorong keadilan organisasi. Tabel 7. Peringkat Indikator Tata Kelola Indikator tata kelola Akuntabilitas Tanggungjawab sosial Keadilan Transparansi Peringkat PTN X 1 3 2 4 PTS Y 1 3 2 4 Penelitian 1 2 3 4

Kesimpulan dan SaranKesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa daya saing organisasi sangat terkait dengan kinerja SDM terutama peningkatan kualitas produk akademik, dan loyalitas konsumen. Kinerja SDM berhubungan erat dengan kompetensi dan komitmen SDM. Kompetensi SDM dilakukan dengan pemenuhan kompetensi dasar berupa pendidikan dan komitmen dengan membangun kedekatan emosional dengan menyamakan visi individu dan organisasi, keinginan berkinerja lebih dengan menerapkan manajemen kinerja dan kemauan tinggal pada organisasi dengan jaminan rasa aman dalam organisasi. Implementasi MSDM berupa pendidikan dan pelatihan, dan sistem kompensasi serta benefit

Tata kelola organisasi dimaksudkan agar pengelolaan organisasi efektif dan efisien dengan memastikan adanya akuntabilitas dan transparansi (Tabel 7). PTN X dan PTS Y telah meningkatkan akuntabilitas dengan melakukan audit keuangan oleh akuntan publik dengan hasil wajar tanpa pengecualian. Transparansi dilakukan dengan menyampaikan program kerja, prosedur dan target kerja melalui berbagai media. Permasalahan yang terjadi adalah efektivitas komunikasi yaitu kemauan untuk mendorong dosen mau mencari dan membaca dari bebagai kegiatan yang disampaikan universitas. Hal penting dalam tata kelola adalah bagaimana meningkatkan rasa

82

PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN

sangat penting untuk mendorong kinerja SDM. Kepemimpinan di perguruan tinggi untuk meningkatkan daya saing adalah kemauan memberi teladan, kecepatan mengambil tindakan dan keyakinan atau ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Tata kelola organisasi berpengaruh kuat terhadap komitmen dan kompetensi dengan meningkatkan akuntabilitas dan tanggungjawab sosial. Tipe kepribadian berpengaruh positif terhadap kinerja, namun pengaruhnya lebih kuat melalui kompetensi dan kemudian komitmen. Penugasan yang tepat bagi dosen dalam tridarma yang sesuai dengan tipe kepribadian akan meningkatkan daya saing organisasi. Saran Untuk peningkatan kinerja dosen, maka harus diperhatikan perspektif konsumen dan keuangan agar dosen mempunyai perspektif terhadap mahasiswa sebagai konsumen serta aspek keuangan dari seluruh aktivitas yang dilakukan dosen. Untuk meningkatkan kinerja dosen, kebijakan implementasi MSDM harus menekankan pada aspek pelatihan dan pengembangan dosen, serta kebijakan gaji dan benefit berdasarkan pada manajemen kinerja. Sistem kepemimpinan dibuat secara berjenjang berdasarkan kinerja, dan merupakan bagian dari jenjang karir, serta proses demokrasi hanya memilih orang yang terbaik dari kinerja dan rekam jejaknya. Peningkatan akuntabilitas organisasi dengan menyampaikan pertanggungjawaban keuangan kepada semua pihak yang berkepentingan. Seleksi dosen agar memperhatikan tipe kepribadian. Bagi dosen dengan tipe the sage fokus pada penelitian, dan dosen tipe the ruler fokus pada pengajaran.

Saran untuk penelitian lanjutan adalah: (a) melakukan analisis mendalam dengan mengembangkan indikator dari implementasi MSDM seperti cara atau metode seleksi, kebutuhan training needs analysis, metode penggajian dan insentif, serta tanggungjawab individu dan organisasi terhadap promosi, (b) secara metodologi melakukan analisis secara terpisah dengan memperbanyak jumlah responden sehingga dapat dibedakan setiap organisasi dan gabungan, dan (c) mengkaji tipe kepribadian secara lebih luas sebagaimana dikemukakan dalam teori Jung.

BibliografiBrodjonegoro, S. S. (2008). Beberapa pemikiran dalam rangka peningkatan mutu dan daya saing perguruan tinggi. Makalah Universitas Brawijaya, Malang. Chen, T. Y., Hwang S., & Liu, Y. (2009). Employee trust, commitment and satisfaction as moderators of the effects of idealized and consideration leadership on voluntary performance. International Journal of Management, 26(1). Ferguson, K. L. (2006). Human resource management system and firm performance. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Louisville, Kentucky. Pahlan, R. (2007). Competency management: A practicioners guide (Terjemahan). Jakarta: PPM. Noe, R., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2008). Human resource management: Gaining a competitive advantage. Boston: McGraw Hill Irwin. Pearson, C. S. & Marr, H. K. (2002). Introduction to archetypes: The guide to interpreting results from the Pearson-Marr

PERANAN SUMBER DAYA

83

Archetype Indicator Instrument. Florida: Center for Applications of Psychological Type. Porter, M. (1985). Outside-in business strategy: Explanation of five competitive forces. Ditemukembali pada 11 Juli 2009, dari http://www.12manage.com Silveira, A. D., & Saito, R. (2009). Corporate governance in Brazil: Landmarks, codes of best practices, and main challenges. The IUP Journal of Corporate Governance, 3(2). Suharyadi. (2008). Manajemen pendidikan tinggi: Strategi memenangkan kompetisi. Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Tinggi di APTISI Wilayah III, Jakarta. Wijayanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8. Yogyakarta: Graha Ilmu. Yukl, G. (2005). Kepemimpinan dalam organisasi (terjemahan). Jakarta: Indeks.

Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 8493

ISSN 2085-4242

Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia: Studi Representasi SosialArdiningtyas PitalokaFakultas Psikologi, Universitas YARSIThe Islamic fundamentalism movement has raised and grown in Indonesia in the last 10 years. The most remarkable and traumatic Bali bombing 2001 and 2002 alarmed Indonesia and the world about the real movement in East Asia region. In 2008, the three Bali bombers, Amrozi, Muklas, and Ali Gufron had been executed by dead penalty. Pro and cons emerged around the execution, and mass media had prominent role to create discourse among society. At the mean time, media exposures concern to construct public opinion about supporting jihad movement by three bombers, even as mainstream of Moslem in Indonesia refused the movement. This study intends to look deeper how mass media construct meaning for society. Using semiotic method and social identity theory, this study analyzed newspaper articles about dead-penalty execution in 2008. Interesting impact of mass media exposure towards Moslem identity in Indonesia will be discussed further in this study. Keywords: social representation, social identity, fundamentalism

Pada 9 November 2008, Indonesia melaksanakan eksekusi hukuman mati atas terpidana Bom Bali I, yakni Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron, dan Imam Samudera. Meski telah banyak negara yang menentang hukuman mati, seperti seluruh anggota Uni Eropa, hukuman ini tidak bertentangan dengan konstitusi di Indonesia. Menurut Mahkamah Konstitusi, pidana mati tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia (Supandji, 2008). Peristiwa Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang menyebabkan 202 korban meninggal, dengan84

88 orang di antaranya warga negara Australia (Hutchison, 2008), merupakan peristiwa yang menyadarkan negara Indonesia akan keberadaan gerakan Islam fundamental. Peristiwa traumatik yang telah terjadi lebih dari lima tahun itu kembali menuai beragam pandangan di tahun 2008. Media massa dalam hal ini memiliki andil besar untuk menghadirkan sekaligus membentuk opini publik. Tidak hanya opini, namun studi telah menunjukkan pengaruh media terhadap kondisi psikologis seperti kecemasan dan sikap terhadap isu tertentu. Summers dan Winefield (2009) menemukan adanya pengaruh pemberitaan media terhadap kecemasan dalam

LIPUTAN MEDIA

85

isu perang dan terorisme. Studi pada usia remaja menunjukkan perlunya diskusi mendalam tentang informasi perang dan terorisme untuk menurunkan tingkat tekanan psikologis. Penelitian Shoshani dan Slone (2008) juga menunjukkan adanya tingkat keterlibatan emosi dan sikap yang tinggi terhadap pemberitaan terorisme dibandingkan non-terorisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pembentukan identitas sosial terpidana Bom Bali oleh media massa dalam rangkaian pemberitaannya. Henri Tajfel (1978) dalam teori identitas sosial menyatakan adanya kecenderungan bias ingroup dalam hal mana sekelompok orang cenderung menilai positif kelompoknya dibandingkan kelompok lain (Aronson, Wilson, & Akert, 2004). Anggota kelompok gerakan fundamentalis akan lebih memiliki identitas sosial yang religius dan sangat diutamakan dibandingkan anggota dari kelompok non-fundamentalis (Herriot, 2007). Peneliti menggunakan pendekatan representasi sosial, dalam hal mana wacana sosial berupa percakapan sehari-hari di masyarakat, termasuk media, memegang peran penting. Melalui komunikasi, masyarakat berbagi dan membentuk realitas yang bermakna (Wagner & Hayes, 2005). Fokus penelitian ini adalah representasi sosial pelaksanaan eksekusi terpidana mati Bom Bali melalui media massa. Pertanyaan utama penelitian ini adalah Bagaimanakah representasi sosial eksekusi para terpidana mati pelaku Bom Bali I 2008?

Gerakan Fundamentalisme IslamSejarah menunjukkan bahwa gerakan ini telah ada sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seperti DI-TII di tahun 1953. Yang

kembali marak dalam pemberitaan adalah gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Secara mendasar, gerakan tersebut memperjuangkan berdirinya negara Islam yang menggunakan syariat Islam sebagai konstitusi negara (Syu'aibi & Kibli, 2011). Syariat Islam sendiri diklasifikasikan dalam ibadah dan mu'amalah. Ibadah merujuk pada hubungan antara manusia dan Allah SWT, sementara mu'amalah pada hubungan antar manusia, manusia ke benda serta penguasa (Amal & Panggabean, 2004). Berbagai upaya teoretis dalam memahami politik Islam di Indonesia mendasarkan pada kisah kekalahan politik Islam secara formal (Effendy, 2008), atau bagaimana dunia Barat menyudutkan umat Islam (Ma'arif, 2009). Pada awal kemerdekaan Indonesia, Nieuwenhuijze dalam artikelnya di tahun 1950-1960-an menuliskan pandangannya tentang Islam di Indonesia, yakni bahwa penerimaan Pancasila, bukan Islam, sebagai landasan negara tidak serta merta berarti kekalahan politis umat Islam (Effendy, 1998). Pada kenyataannya, kisah kekalahan dan ketidakadilan terhadap umat Islam di Indonesia lah yang menjadi argumentasi kelompokkelompok fundamentalisme Islam hingga saat ini. Jika melihat sejarah Indonesia setelah Reformasi 1998, salah satu pemicu yang nampaknya memberikan celah bagi gerakan ini adalah kekosongan ideologi negara. Kekosongan di sini bukan berarti tidak adanya landasan, melainkan gelombang penolakan segala sesuatu yang terkait dengan kepemimpinan Soeharto. Indonesia seperti memasuki fase pembentukan ulang sehingga terbuka sekaligus rentan. Perubahan sistem negara dari sentralisasi menjadi desentralisasi ditunjukkan salah satunya dengan penerapan hukum Islam di Daerah Istimewa Aceh,

86

PITALOKA

kompromi politik atas konflik senjata yang panjang, merujuk pada UU No. 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengatur lebih jauh otonomi khusus bagi NAD, seperti mahkamah syariat, qanun, lambang daerah, kepolisian dengan ciri khas Aceh, kepemimpinan adat, dan lain-lain (Amal & Panggabean, 2004). Peristiwa ini disadari atau tidak memberikan peluang kembalinya isu penerapan syariah di Indonesia secara luas. Pemicu lain perkembangan radikalisme agama adalah ketidakadilan dan persepsi ketidakadilan. Ancok (2008) menyatakan bahwa ketidakadilan prosedural dan ketidakadilan distributif dipersepsikan dilakukan oleh negara Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi dan politik seperti lembaga IMF, Bank Dunia, dan WTO. Ketidakadilan tercermin antara lain dengan penerapan standar ganda dalam hubungan negara Barat dan Israel yang sangat berbeda dengan perlakuan mereka pada negaranegara yang berpenduduk mayoritas agama Islam. Milla (2008) dalam studinya juga menemukan adanya kepercayaan yang sangat kuat tentang peran penting jihad dalam Islam, faktor situasional berupa tekanan dari pemerintah yang menghalangi penerapan syariah Islam, serta ketidakadilan dalam kondisi terbatasnya akan pilihan sumber daya, pada pelaku aksi terorisme. Pada perkembangannya, aksi fundamentalisme mengerucut pada ideologi jihad yang menggerakkan terjadinya kekerasan suci, suatu tindak kekerasan yang diyakini layak dan sah untuk dilakukan sebagai pembelaan agama (Chusniyah, 2006). Tindakan kekerasan atas nama agama kemudian menjadi teror di masyarakat.

Terorisme merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian dalam psikologi. Ketika sistem sosial tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka bencana muncul. Seperti halnya bencana, terorisme menghadirkan perubahan yang mengguncang, tidak diharapkan, dan tidak diinginkan. Hal ini karena munculnya ancaman terhadap aspek fisik, simbol, dan aspek afektif di masyarakat (Lavanco, Romano & Milio, 2008). Ancaman tersebut juga mencakup identitas sosial, seperti nampak dalam penyerangan atau ancaman terhadap simbol yang mewakili kelompok sosial masyarakat. Menurut Houghton (2009), terorisme adalah suatu pertunjukan atau teater karena dampaknya yang sangat kuat menarik perhatian masyarakat luas, sebagaimana dalam kutipan berikut:What sets terrorism apart from other violence is this: terrorism consists of acts carried out in a dramatic way to attract publicity and create an atmosphere of alarm that goes far beyond the actual victims. Indeed, the identity of the victims is often secondary or irrelevant to the terrorists who aim their violence at the people watching. This distinction between actual victims and a target audience is the hallmark of terrorism and separates it from other modes of armed conflict. Terrorism is theater.

Identitas SosialIdentitas sosial berbeda dengan identitas personal yang lebih menekankan aspek kepribadian seseorang. Setiap orang memiliki dan dapat memilih identitas sosial, seperti agama, bangsa, pekerjaan, dan lainnya; meski beberapa identitas sosial juga bersifat melekat, seperti etnisistas. Setiap orang juga dapat

LIPUTAN MEDIA

87

melepaskan identitas sosialnya dan beralih ke identitas sosial lain yang dapat memberikan self-esteem positif dan keuntungan lainnya (Aronson, Wilson & Akert, 2004). Teori identitas sosial juga menggambarkan bagaimana dinamika konsep diri dan interaksi antar anggota dalam sebuah kelompok (Abrams & Hogg, 1999). Tajfel dan kawan-kawan di Bristol berhasil menunjukkan bahwa kategorisasi sosial yang paling sederhana pun cukup untuk menyebabkan diskriminasi antar kelompok. Fenomena ini yang selanjutnya dikenal sebagai minimal group paradigm (Abbrams & Hogg, 1999). Identitas sosial berhubungan dengan diskriminasi antar kelompok, identifikasi kuat terhadap kelompok, favoritisme kelompok dan meningkatnya self-esteem (Pez, MartnezTaboada, Arrspide, Insa & Ayestarn, 1998). Identitas sosial juga mempengaruhi konsep diri seseorang atau anggotanya. Oleh karena itu, menjadi anggota kelompok yang berstatus lebih tinggi sangatlah diinginkan, karena dapat memberikan identitas sosial positif dan konsep diri positif juga. Sebaliknya, keanggotaan dalam kelompok yang berstatus rendah tidak diinginkan, karena akan mempengaruhi konsep diri anggota kelompok menjadi negatif (Ellemers, Wilke, & van Knippenberg, 1993). Keanggotaan dalam hal ini tidak bermakna secara formal, melainkan bagaimana seseorang mengaitkan atau mengakui satu kelompok menjadi identitas sosialnya. Studi Tajfel menunjukkan bahwa bahkan kategorisasi paling sederhana pun cukup untuk menciptakan "kelompok saya" dan "kelompok kamu", atau in-group dan out-group (Abbrams & Hogg, 1999). Prinsip utama dalam teori identitas sosial adalah: (a) individu berusaha untuk memiliki

atau menjaga identitas sosial positif, (b) identitas sosial positif menjadi landasan untuk favoritisme kelompok atas kelompok lain (kelompok sendiri lebih positif), (c) jika identitas sosial yang ada tidak memuaskan, maka individu akan meninggalkan kelompoknya dan beralih ke kelompok lain yang lebih memberikan identitas sosial positif, atau memperjuangkan agar kelompoknya memiliki identitas sosial positif (Tajfel & Turner, 2001). Interaksi erat antara individu dengan kelompoknya juga dapat mendorong terjadinya depersonalisasi. Pada depersonalisasi, individu memandang dirinya sendiri sama, sejajar dan tidak tergantikan dengan sebagai anggota kelompok, daripada sebagai seorang individu yang memiliki keunikan. Kondisi ini akan membuat seseorang bertindak sesuai karakter atau standar kelompoknya, sehingga menampilkan pola yang sama (Lorenzi-Cioldi, 2006). Pembentukan identitas sosial cenderung digerakkan oleh proteksi-ego atau bias optimisme tentang diri yang berpotensi terjadinya favoritisme diri dan kelompok (Comstock & Scharrer, 2005).

Representasi Sosial dan MediaRepresentasi kolektif adalah fenomena spesifik yang terkait dengan pola pemahaman dan komunikasi, suatu pola yang membentuk baik realitas dan logika. Representasi sosial memberikan gambaran untuk memahami dunia yang beragam dan kompleks berupa gambaran yang memiliki makna, bobot, dan struktur terhadap fenomena di kehidupan sehari-hari, sekaligus menentukan karakter stimulus dan respon (Moscovici, 2001). Makna dan struktur ini selanjutnya memberikan kepastian dan efek positif, karena adanya keselarasan antara

88

PITALOKA

ekspektasi dan data atau fakta (bukti) dalam interaksi dengan dunia (Wagner & Hayes,2005). Komunikasi antar manusia bersifat aktif, bermakna, dan dinamis, berbeda dengan pola mekanis seperti telekomunikasi (Rogers, 2003). Media massa merupakan salah satu media dalam mana terjadi interaksi antar berbagai simbol. Berbeda dengan subjek penelitian dalam disiplin psikologi yang menggunakan informasi kognitif maupun afektif dari individu, media massa baik dalam bentuk teks maupun gambar telah menjadi obyek penelitian. Wagner, Kronberger, & Seifert (dalam Wagner & Hayes, 2005) menyatakan bahwa kuantitas dan intensitas pemberitaan media secara langsung terkait dengan terbentuknya pemahaman metafora dan objektivikasi representasi. Dalam alam demokrasi, keterbukaan pemberitaan media seperti pedang bermata dua. Seringkali pemberitaan membentuk personalisasi yang cenderung menghambat atau menghalangi identitas kolektif sehingga memancing mobilisasi masyarakat akar rumput terkait satu isu. Gamson (2009) mengemukakan beberapa kritik terhadap media, antara lain: (a) tidak rasional dan menghadirkan argumentasi tak berdasar, (b) distorsi informasi, (c) rendahnya penghargaan terhadap peradaban, (d) polarisasi isu dan menghambat keragaman pandangan, (e) menitikberatkan emosi daripada logika, (f) tidak mendalam; (g) perspektif tidak beragam, (h) memicu sikap pasif masyarakat. Di sisi lain, demokrasi menuntut adanya ruang publik untuk beragam pemikiran dan pandangan, seperti dinyatakan oleh Cohen (1989, dalam Gamson, 2009) berikut:

The notion of a deliberative democracy is rooted in the intuitive ideal of a democratic association in which justification of the terms and conditions of association proceeds through public argument and reasoning among equal citizens.

Pada masyarakat kontemporer, media massa mendominasi makna dari representasi opini dan pengalaman kolektif. Masyarakat menonton televisi, membaca media cetak, mendengarkan radio dan mencari informasi melalui internet untuk mendapatkan apa yang orang lain pikirkan, rasakan, dan alami dalam hidupnya (Comstock & Scharrer, 2005).

MetodeStudi ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis konten. Holsti (dalam Triandis & Berry, 1980) mendefinisikan analisis konten sebagai segala teknik untuk mengambil kesimpulan secara sistematis dan objektif dengan mengidentifikasi karakteristek spesifik pada suatu catatan atau pesan teks. Janis (dalam Triandis & Berry, 1980) mendefinisikan analisis konten secara lebih operasional, seperti dalam kutipan berikut:Content analysis may be defined as referring to any technique (a) for the classification of the sign-vehicles, (b) which relies solely upon the judgments (which theoretically, may range from perceptual discriminations to sheer guesses) of analyst or group of analysts as to which sign-vehicles fall into which categories, (c) on the basis of explicitly formulated rules, (d) provided that the analyst's judgments are regarded as the reports of a scientific observer.

LIPUTAN MEDIA

89

Objek analisis penelitian ini adalah media massa dengan karakteristik (a) media cetak nasional, dan (b) telah dikenal masyarakat secara luas. Asumsi karakteristik tersebut adalah besarnya potensi media untuk menciptakan wacana dan makna untuk para pembacanya. Berdasarkan karakter subyek penelitian, maka peneliti memilih media harian Kompas. Unit analisis penelitian berupa artikel pemberitaan eksekusi pelaku Bom Bali I di surat kabar nasional sejak Oktober hingga November 2008 yang diunduh dari situs resmi surat kabar tersebut (Kompas.com). Data penelitian berupa artikel pemberitaan eksekusi terpidana mati pelaku Bom Bali I sejumlah 40 artikel dengan rincian: (a) 14 artikel pada bulan Oktober 2008 (6-13 Oktober 2008), (b) 13 artikel pada bulan November sebelum pelaksanaan eksekusi (2-8 November 2008), dan (c) 13 artikel setelah pelaksanaan eksekusi (9-17 November 2008). Analisis data penelitian dilakukan terhadap pemberitaan yang berisi (a) kategorisasi terpidana pelaku Bom Bali I sebagai korban; (b) identifikasi pelaksanaan eksekusi terpidana pelaku Bom Bali 1 sebagai peristiwa besar atau penting, dan (c) pembandingan terpidana dengan tokoh penting atau ternama.

tokoh kelompok Islam fundamental, (c) Amrozi dan kawan-kawan sebagai korban suatu rezim. Contoh-contoh pemberitaan dimaksud adalah sebagai berikut:Mereka juga meminta, kalau mereka dieksekusi, maka eksekutornya juga harus dieksekusi," tambah Kholid. Selain itu, TPM juga diminta melaporkan perbuatan dzalim ini ke Mahkamah Internasional (MI). ("Jika Dieksekusi", 2008) Keluarga Amrozi menyayangkan kenapa pemerintah mempercepat eksekusi. Kakak Amrozi Ustad Jakfar yang juga pengasuh Ponpes Al Islam Desa Tenggulun menuturkan kenapa terpidana mati yang sudah belasan tahun belum dieksekusi, tetapi Amrozi cs dieksekusi. Dia juga menyayangkan tidak ada lagi kesempatan membesuk ke LP Nusakambangan Cilacap, Jawa Tengah. ("Warga Tanggapi", 2008) Hingga saat ini keluarga Amrozi dan Ali Ghufron, terpidana mati bom Bali I belum mendapatkan kepastian kapan eksekusi dilaksanakan. Kakak Amrozi, Ustad Khozin Jumat (31/10) menyatakan sampai Jumat sore belum ada pemberitahuan secara resmi kapan eksekusi dilaksanakan baik dari kejaksaan maupun dari Tim Pembela Muslim. ("Keluarga Amrozi ", 2008) "Jelang rencana pembunuhan Amrozi cs (eksekusi-Red), kami menyayangkan pengamanan begitu ketat seperti mau perang. Soal urusan perlawanan hukum kami percaya pada Tim Pembela Muslim. Kami hanya berdakwah dan melawan dengan lisan, dengan cara bersilaturahmi ke Tenggulun dan menyampaikan pendapat," kata Muzayyin. ("Anggota Ansharut", 2008) Hal yang sama diungkapan Pimpinan Pondok

Hasil

Kategorisasi terpidana sebagai korban Judul maupun isi berita menunjukkan adanya pengategorisasian terpidana sebagai korban. Perlakuan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam (a) perlakuan tidak adil oleh pemerintah kepada keluarga Amrozi, (b) dukungan dari pemimpin dan pengikut

90

PITALOKA

Pesantren Dzikrussyifa Brojomusti Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Kiai M Muzakkin. Muzakkin mengatakan setiap orang punya kepentingan yang sama menuju ke jalan Allah tetapi jalannya berbeda-beda. ("Anton Medan ", 2008)

Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Jasman Panjaitan di Kejagung, Jakarta. ("Besok, Kejagung", 2008) Dua helikopter milik Polri itu diperkirakan akan digunakan untuk angkutan pascaeksekusi. ("Dua Helikopter ", 2008) "Ya. Ini kami sedang melakukan persiapan untuk mengumumkannya kepada publik. Mudah-mudahan sebelum pukul 12.00 konferensi pers sudah bisa dilakukan," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Jasman Pandjahitan ketika dihubungi, Minggu. ("Kejaksaan Akan", 2008)

Identifikasi eksekusi sebagai peristiwa besar Judul ("Warga Tanggapi Dingin Eksekusi Amrozi", "Pangdam: Waspadai Dampak Eksekusi Amrozi", "Regu Tembak dan 2 Helikopter Siaga di Nusakambangan", "Jakarta Siaga Satu Jelang Eksekusi Amrozi dkk", "Jelang Eeksekusi Amrozi cs, Turis Berkurang", "Jalan Panjang Amrozi dkk Menuju Eksekusi", "Adi Masardi Sesalkan Perlakuan Khusus Untuk Amrozi", "Eksekusi Amrozi dkk Menggunakan Satu Peluru", "Detik-detik Eksekusi Amrozi dkk") dan isi berita menunjukkan identifikasi pelaksanaan eksekusi terpidana sebagai peristiwa besar, seperti peristiwa nasional di Indonesia. Secara garis besar, identifikasi tersebut meliputi (a) pengumuman tanggal eksekusi oleh tokoh atau institusi ternama di Indonesia, (b) pemberitaan tentang proses, perangkat dan infrastruktur eksekusi secara detil, (c) peningkatan tingkat pengamanan di kota-kota besar, dan (d) kilas balik gerakan Amrozi dan kawan-kawan (terpidana). Contoh-contoh pemberitaan dimaksud adalah sebagai berikut:"Silakan datang besok jam 10 pagi. Besok akan diumumkan soal eksekusi Amrozi Cs. Tapi saya belum tahu, siapa yang akan mengumumkan dan apa yang akan diumumkan," tegas Kepala Pusat Penerangan

Pembandingan terpidana dengan tokoh penting Judul dan isi berita menunjukkan bahwa media menghadirkan tokoh-tokoh tingkat nasional dan internasional dalam isi pemberitaan mengenai proses eksekusi dan terpidana. Hal ini mengindikasikan bahwa terpidana (Amrozi, dkk.) memiliki posisi yang sama signifikansinya dengan para tokoh pembanding. Selain itu, media cenderung menghadirkan pandangan tokoh atau pimpinan kelompok agama yang memiliki ideologi Islam fundamentalisme yang secara tegas membela terpidana dan tidak menyetujui eksekusi. Dalam pemberitaan selama dua bulan tersebut, media tidak menghadirkan tokoh agama Islam yang tidak berpihak pada satu golongan atau umat Muslim mainstream seperti Muhammadiyah atau Nahdhatul Ulama. Contoh-contoh pemberitaan dimaksud adalah sebagai berikut:Ustad Abu Bakar Ba'asyir, Senin (6/10), tidak diizinkan menjenguk tiga terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam

LIPUTAN MEDIA

91

Samudra, yang saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Cilacap. ("Abu Bakar", 2008) Menjelang eksekusi tiga terpidana mati pelaku bom Bali I, Duta Besar Australia Bill Farmer menemui Jaksa Agung Hendarman Supandji di kantor Kejaksaan Agung Kejagung, Senin (27/10). ("Dubes Australia ", 2008) Sumber Persda Netowrk di Polda Jawa Tengah menyebutkan, eksekusi akan dilakukan setelah Pangeran Charles meninggakan Indonesia. "Setelah Pangeran Charles meninggalkan Indonesia, eksekusi akan dilaksanakan," tegasnya, Selasa (4/11) ("Eksekusi Amrozi Cs. ", 2008)

Kesimpulan dan SaranHasil penelitian ini menyimpulkan bahwa media, dengan (a) mengidentifikasikan terpidana sebagai korban suatu pemerintahan/negara, (b) mengategorisasikan pelaksanaan eksekusi terpidana mati bom Bali sebagai peristiwa penting, (c) membandingkan terpidana dengan tokoh dan institusi penting tingkat nasional/internasional, (d) lebih menampilkan pandangan pemimpin agama yang membela terpidana, serta (e) tidak menampilkan pandangan tokoh agama dari organisasi Islam yang netral atau memiliki pandangan berbeda dengan terpidana, telah memicu pembentukan identitas sosial positif bagi gerakan kelompok fundamentalis. Hal tersebut karena (a) representasi sosial menjadi korban berarti pembom menjadi pihak yang "tidak bersalah" sehingga memicu kesan sebagai pahlawan, (b) kesan tersebut membentuk citra identitas positif sebagai

penegak agama Islam di mata pengikut atau siapapun yang bersimpati, dan menyulut dukungan umat muslim secara luas karena media hanya menampilkan pandangan tokoh yang bersimpati terhadap pembom. Representasi sosial bersifat dinamis. Pemikiran tidak hanya dimiliki sekelompok orang seperti kalangan akademis. Oleh karena itu, media massa diharapkan dapat menampilkan berita secara berimbang karena perannya yang signifikan dalam membentuk identitas sosial bagi pihak yang menjadi pemberitaan dan masyarakat lebih luas. Meskipun unit analisis penelitian ini adalah media nasional, namun sebaiknya menggunakan lebih dari satu media nasional. Media lain yang juga berpotensi mempengaruhi masyarakat adalah media elektronik atau televisi. Peneliti dapat membandingkan analisis konten dari satu media dan lainnya sehingga mendapatkan representasi sosial yang lebih komprehensif. Penelitian mendatang hendaknya menggunakan lebih dari satu sumber sebagai unit analisis. Selain itu, peneliti juga dapat melakukan elaborasi dengan metode focus group discussion dan wawancara terkait pemberitaan media. Analisis pendamping seperti statistik deskriptif juga dapat memperkuat representasi sosial yang terbentuk tentang satu isu atau permasalahan sosial.

BibliografiAbbrams, D., & Hogg, M. (1999). Social identity and social cognition. Massachusetts: Blackwell Publishers. Abu Bakar Ba'asyir tak diizinkan temui Amrozi dkk. (2008, 6 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus112009/kpkr

92

PITALOKA

ead/2008/10/06/14251028/Abu.Bakar.Ba.as yir.Tak.Diizinkan.Temui.Amrozi.dkk Amal, T. A., & Panggabean, R. S. (2004). Politik syariat Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet Ancok, D. (2008). Ketidakadilan sebagai sumber radikalisme dalam agama: Suatu analisis berbasis teori keadilan dalam pendekatan psikologi. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 1-8. Anggota Ansharut Tauhid beri dukungan Amrozi cs. (2008, 4 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus102008/readi b/xml/2008/11/04/14115599/Anggota.Ansh arut.Tauhid..Beri.Dukungan.Amrozi.Cs Anton Medan doakan Amrozi cs. (2008, 7 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/11/0 7/19465874/anton.medan.doakan.amrozi.cs Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2004). Social psychology (4th ed.). New Jersey: Prentice Hall. Besok, Kejagung umumkan eksekusi Amrozi Cs. (2008, 23 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/2 3/18262323/Besok.Kejagung.Umumkan.Ek sekusi.Amrozi.Cs Chusniyah, T. (2006). Ideologi, mortality salience dan kekerasan suci: Analisis model struktural. Insan, 8(2). Comstock, G., & Scharrer, E. (2005) The psychology of media and politics. London: Elsevier Academic Press. Dua helikopter dikirim ke Nusakambangan. (2008, 2 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://kesehatan.kompas.com/read/2008/11/ 02/1946244/Regu.Tembak.dan.2.Helikopter .Siaga.di.Nusakambangan.

Dubes Australia temui Jaksa Agung. (2008, 27 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/2 7/21300236/dubes.australia.temui.jaksa.agu ng Effendy, B. (1998). Islam dan negara. Jakarta; Paramadina. Eksekusi Amrozi cs. setelah Pangeran Charles balik ke Inggris. (2008, 5 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/ 05/06041083/eksekusi.amrozi.cs.setelah.pan geran.charles.balik.ke.inggris Ellemers, N., Wilke, H., & van Knippenberg, A. (1993). Effects of the legitimacy of low group or individual status on individual and collective status-enhancement strategies. Journal of Personality and Social Psychology, 64, 766-778. Gamson, W. A. (2009). Collective identity and the mass media. Dalam Borgida, E., Federico, E. M., & Sullivan, J. L. (2009), The political psychology of democratic citizenship. New York: Oxford University Press. Herriot, P. (2007). Religious fundamentalism and social identity. New York: Routledge. Houghton, D. P. (2009) Political psychology: situations, individuals, and cases. New York: Routledge. Hutchison, E. (2008). The politics of posttrauma emotions: Securing community after the Bali bombing. Working paper. Canberra: Department of International Relations, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. Jika dieksekusi Amrozi cs tuntut Jaksa Agung. (2008, 24 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/2 4/22001953/Jika.Dieksekusi..Amrozi.Cs.Tu

LIPUTAN MEDIA

93

ntut.Jaksa.Agung Kejaksaan akan umumkan detail eksekusi Amrozi, dkk. (2008, 9 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus052009/antas ariread/2008/11/09/11404962/Kejaksaan.Ak an.Umumkan.Detail.Eksekusi.Amrozi.dkk Keluarga Amrozi belum dapat pemberitahuan. (2008, 31 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/3 1/18071885/keluarga.amrozi.belum.dapat.p emberitahuan Lavanco, G., Romano, F., & Milio, A. (2008). Terrorism's fear: perceived personal and national threats. International Journal of Human and Social Sciences, 3-4. Lorenzi-Cioldi, F. (2006). Group status and individual differentiation. Dalam Postmes, T., & Jetten, J. (2006), Individuality and the group: advances in social identity. London: Sage Publication,Ltd. Ma'arif, A. S. (2009). Masa depan Islam di Indonesia. Dalam Wahid, A. (2009), Ilusi Negara Islam: Ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute. Milla, M. N. (2008). Bias heuristik dalam proses penilaian dan pengambilan strategi terorisme. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 912. Moscovici, S. (2001). Social representations: Explorations social psychology. New York: University Press. Pez, D., Martnez-Taboada, C., Arrspide, J. J., Insa, P., & Ayestarn, S. (1998). Constructing social identity: The role of status, collective values, collective selfesteem, perception and social behaviour. Dalam Worchel, M., Pez, D., & Deschamps, Social identity: International perspectives. London: Sage Publications.

Rogers, W. S. (2003). Social psychology: Experimental and critical approach. Bristol: Open Unity Press. Shoshani, A., & Slone, M. (2008). The drama of media coverage of terrorism: Emotional and attitudinal impact on the audience. Studies in Conflict & Terrorism, 31(7), 627640. Summers, J., & Winefield, H. (2009). Anxiety about war and terrorism in Australian highschool children. Journal of Children and Media, 3(2), 166-184. Supandji, H. (2008). Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Jurnal Kajian Wilayah Eropa, 4(2). Syu'aibi, A., & Kibil, G. (2011). Merunut akar kekerasan dalam Islam. Dalam Prasetyo, B., Merunut akar kekerasan dalam Islam. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ entertainmen/2011/05/14/3375/MerunutAkar-Kekerasan-dalam-Islam. Tajfel, H. & Turner, J. (2001). An integrative theory of intergroup conflict. Dalam Hogg, M. A., & Abrams, D., Intergroup relations: Key readings in social psychology. Philadelpia: Psychology Press. Triandis, H. C. & Berry, J. W. (1998) Handbook of cross-cultural psychology: Methodology (Vol. 2). Boston: Allyn and Bacon. Wagner, W., & Hayes, N. (2005). Everyday discourse and common sense: The theory of representations. Hampshire: Palgrave MacMillan. Warga tanggapi dingin eksekusi Amrozi. (2008, 30 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/3 0/17340922/warga.tanggapi.dingin.eksekusi .amrozi

Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 94103

ISSN 2085-4242

Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa TengahPuji HermawantiSahabat Pantura, Pati, Jawa Tengah

Mochamad WidjanarkoFakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus

This research is motivated by the complexity of HIV/AIDS problems among female sex workers. In Pati Regency, the number of female sex workers with HIV infection is the highest and whom most of the workers are still working without using condoms. Meanwhile, the classic problem of HIV/AIDS stigma and discrimination is still high and affecting their level of self-acceptance. The research is conducted to understand the selfacceptance aspects of female sex workers with HIV positive. To obtain the in depth data, the researcher uses phenomenological qualitative research method. The results of the research shows that the selfacceptance of female sex workers infected with HIV has a different level of maturity influenced by the support, experience, knowledge, independence, and self respect as well as work respect. Keywords: self-acceptance, female sex workers

Istilah HIV/AIDS sering terdengar, terutama pada 1 Desember yang diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Keberadaan tempat prostitusi merupakan faktor pendukung perkembangan kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah. Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki tempat prostitusi dengan sebaran lokasi cukup luas adalah Pati. Kabupaten Pati terletak sekitar 75 km sebelah timur Semarang dan berada di jalur pantai utara (pantura) Semarang-Surabaya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Laut Jawa di Utara, Kabupaten Rembang dan Laut Jawa di sebelah Timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di Selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara di sebelah Barat. Luas wilayah kabupaten Pati 1.503,68 km dengan jumlah94

penduduk 1.247.881 pada akhir tahun 2007 dan kepadatan penduduk 830 jiwa/km (Badan Pusat Statistik Pati, 2007). Luas wilayah kabupaten tersebut diikuti pula oleh luasnya persebaran tempat prostitusi. Berdasarkan data survei Lembaga Swadaya Masyarakat Sahabat Pantura (SAPA), pada Desember 2007 lalu terdapat 24 tempat prostitusi yang tersebar di 21 kecamatan, dengan jumlah pekerja seks mencapai 484 orang (Tabel 1). Dari sejumlah tempat prostitusi yang tercatat, terdapat 4 tempat prostitusi terlokalisasi dengan jumlah pekerja seks cukup tinggi, yaitu Lorong Indah, Pasar Hewan Margorejo, Kampung Baru, dan Gajah Asri, yang berada di Kecamatan Margorejo dan Batangan. Keempat lokasi tersebut terletak di

PENERIMAAN DIRI

95

jalur Pantura. Jumlah pekerja seks berdasarkan data Desember 2007 sebanyak 374 orang, dan data Desember 2008 sebanyak 321 orang. Dengan maraknya tempat prostitusi di Kabupaten Pati, maka risiko penularan penyakit seperti infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS sangat besar. Satu kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di kabupaten Pati pada 1996. Berdasarkan data Subdin PPM & PL DKK Pati, Desember 2008, sampai dengan September 2008 lalu telah terdapat 115 kasus (Tabel 2); 15 orang diantaranya sudah meninggal. Tabel 1. Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati Kecamatan Jumlah Lokasi Jumlah Perempuan Pekerja Seks (PPS) 6 11 7 269 6 15 30 105 3 1 16 7 8 484

prostitusi; tiga diantaranya telah meninggal pada tahun sama ditemukan kasus. Sementara itu 7 kasus yang masih hidup meninggalkan lokasi sehingga tidak terpantau oleh pendamping, sedangkan 17 kasus dalam pendampingan. Tabel 2. Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Kasus 1 0 2 0 2 4 3 3 2 10 12 22 54 Kumulatif 1 1 3 3 5 9 12 15 17 27 39 61 115

Tambakromo Gabus Winong Margorejo Pati Kota Trangkil Juwana Batangan Jakenan Pucakwangi Tayu Margoyoso Wedarijaksa Jumlah

1 4 2 2 2 1 2 2 1 1 2 2 2

Sebagian besar kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pati ditemukan pada kelompok risiko tinggi pekerja seks dengan melakukan VCT mobile (program pendampingan dan tes pemeriksaan darah untuk mendeteksi HIV/AIDS yang dilakukan secara mobile) rutin. LSM SAPA mencatat 27 pekerja seks terinfeksi HIV pada tahun 2007-2008 di 5 tempat

Dalam perkembangannya, kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pati mulai banyak dialami oleh kelompok masyarakat umum, namun kompleksitas permasalahan pada kelompok pekerja seks tetap tinggi. Mobilisasi pekerja seks yang tinggi, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain menyulitkan proses pendampingan serta pemantauan terutama bagi pekerja seks dengan status HIV positif. Proses perawatan tindak lanjut seperti melakukan pemeriksaan jumlah sel darah putih secara bertahap, pengobatan infeksi oportunistik pada HIV, dan perawatan lain, belum banyak dilakukan oleh pengidap HIV yang masih aktif bekerja di lokasi prostitusi. Pengusiran sudah banyak terjadi pada pekerja seks yang mengalami penurunan

96

HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

kondisi fisik seperti badan yang semakin kurus, tampak tidak sehat, mengalami infeksi menular seksual yang parah, serta beberapa kondisi yang diduga mengarah pada HIV/AIDS menurut informan dari lingkungan setempat. Beberapa pekerja seks yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV kemudian sengaja meninggalkan tempat kerja mereka karena diduga takut statusnya diketahui lingkungan lalu diusir.

Stigma Pengidap HIV/AIDS Pada Perempuan Pekerja SeksMeskipun lebih dari 20 tahun lalu kasus HIV/AIDS ditemukan di Indonesia, namun stigma dan perlakuan diskriminatif masih terjadi sampai sekarang. Stigma dan diskriminasi disebabkan oleh kurang tepatnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang HIV/AIDS. Tidak jarang perlakuan buruk justru dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti yang pernah terjadi di sebuah rumah sakit di Kabupaten Pati tahun 2008 lalu (pengamatan penulis). Pada waktu mengetahui bahwa pasien yang dirawat adalah seorang pengidap HIV, perawat rumah sakit tersebut menyebarkan informasi kepada teman-temannya sehingga mempengaruhi perlakuan perawatan terhadap pasien. Perlakuan pihak rumah sakit tersebut terhadap pasien HIV positif sampai saat ini terkesan masih menyamakan dengan pasien yang mengidap penyakit menular. Bila pada umumnya tempat makan untuk pasien menggunakan piring, maka untuk pasien HIV positif diberikan kemasan yang sekali pakai meskipun pasien tidak memiliki indikasi infeksi oportunistik yang menular. Perempuan pekerja seks tak terpisahkan dengan permasalahan HIV/AIDS. Tubuh

pengidap HIV positif sangat rentan menerima penyakit lain. Pada perempuan pekerja seks yang mengidap HIV positif, risiko terinfeksi berbagai penyakit sangat tinggi karena perilaku berganti-ganti pasangan seks yang tidak aman. Oleh karena itu perempuan pekerja seks tersebut seringkali disarankan untuk berhenti sebagai alternatif terbaik. Bila tidak dapat, maka perempuan disarankan untuk (a) merayu pelanggan untuk menjaga penggunaan 100% kondom dan berani menolak bila pelanggan tidak bersedia menggunakannya, (b) rutin memeriksakan kondisi IMS dan keluhan lain yang muncul, (c) mencari informasi tentang keluhan-keluhan yang dialami, dengan bertanya kepada dokter maupun pendamping, berbagi dengan teman sebaya, dan membaca buku-buku seputar keluhan yang dirasakan, (d) mencari teman sebaya untuk mendapatkan dukungan dan berbagi pengalaman, (e) bagi pengidap HIV yang belum mempercayai hasil, hendaknya memahami ada atau tidaknya perilaku berisiko yang dilakukan, serta bila perlu berkonsultasi dengan konselor VCT. Dalam penanggulangan HIV/AIDS, pekerja seks dikategorikan sebagai kelompok risiko tinggi yang menjadi sasaran utama program penanggulangan HIV/AIDS. Kenyataan ini semakin memperkuat stigmatisasi pekerja seks sebagai kaum marjinal sekaligus berisiko tinggi tertular maupun menularkan HIV. Dengan kata lain, pekerja seks menyandang stigma ganda yang cenderung bermakna negatif. Siapapun pengidap HIV positif, termasuk pekerja seks, kemungkinan besar akan memberikan reaksi psikis terhadap penyakit yang diderita meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda. Reaksi tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisi fisik. Tingginya stigma dan perlakuan diskriminatif sangat berpengaruh terhadap

PENERIMAAN DIRI

97

kondisi mental klien dengan HIV positif, meskipun reaksi individu satu dengan yang lain tidak sama. Perasaan cemas, khawatir, maupun takut diketahui selalu membayangi. Mitos mengenai HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan dan hanya tinggal menunggu kematian seringkali mengganggu pikiran mereka. Beberapa gangguan psikis yang sering muncul adalah susah tidur, sindrom rasa sakit, keinginan bunuh diri, gangguan kepanikan, serta gangguan kecemasan. Kecenderungan masyarakat yang menganggap bahwa pengidap HIV adalah orang-orang dengan perilaku menyimpang justru lebih menyakitkan dan memperparah kondisi pengidap HIV daripada penyakit itu sendiri. Minimnya pengetahuan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap tingginya stigma HIV, yang mengakibatkan rendahnya dukungan dan perawatan yang diterima pengidap HIV. Pengidap HIV tidak hanya membutuhkan perawatan medis, tetapi juga dukungan psikis agar mereka tidak merasa dikucilkan. Dukungan dari orang-orang terdekat diharapkan dapat membantu membangun kembali semangat pengidap HIV serta membantu proses penerimaan dirinya.

Penerimaan DiriSehubungan dengan masih sensitifnya isu tentang HIV/AIDS pada kalangan kelompok berisiko tinggi seperti pekerja seks, maka penanganan kasus perlu berhati-hati dan memperhatikan kode etik kerahasiaan. Stigma buruk yang masih terjadi seringkali berdampak pada perlakuan diskriminatif, seperti pengucilan maupun pengusiran terhadap pekerja seks. Adanya stigma dan diskriminasi inilah yang seringkali menyebabkan seorang pengidap HIV

positif sulit menerima kondisi dirinya tersebut secara apa adanya. Penerimaan diri pada pengidap HIV positif dimaksudkan agar individu yang bersangkutan memiliki motivasi untuk tetap hidup sehat dan tidak terpuruk. Seseorang yang dapat menerima diri secara baik, menurut Calhoun dan Acocella (1990) tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri, sehingga lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Kesempatan itu membuat individu mampu melihat peluang-peluang berharga yang memungkinkan diri berkembang. Seorang pengidap HIV yang mampu menerima keadaan diri apa adanya diharapkan dapat melihat kembali masa depannya serta mampu mengembangkan potensi dirinya dengan baik. Hurlock (1990) mengemukakan ada beberapa kondisi yang mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistis, bebas dari hambatan sosial, perilaku sosial yang menyenangkan, konsep diri yang stabil, dan adanya kondisi emosi yang menyenangkan. Hurlock (Izzaty, 1996, dalam Novidda, 2007) juga mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara keseluruhan. Sheerer (Cronbach, 1963, dalam Novidda, 2007) menjelaskan lebih lanjut mengenai karakteristik individu yang dapat menerima dirinya, yaitu (a) individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan, (b) adanya anggapan bahwa dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain, (c) individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang

98

HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

PPS HIV Positif

Mengalami gangguan psikis

Perawatan dan dukungan

Penerimaan Diri

Stigma dan Diskriminasi

- Adanya keyakinan dan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan - Adanya anggapan berharga pada diri sendiri sebagai seorang manusia dan sederajat - Tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan ditolak - Tidak adanya rasa malu atau memperhatikan diri sendiri - Ada keberanian memikul tanggungjawab terhadap perilaku sendiri - Dapat menerima pujian, saran, kritikan atau celaan secara objektif - Tidak adanya penyalahan diri atas keterbatasan yang dimiliki ataupun pengingkaran berlebihan

Gambar 1. Alur pikir penelitian

lain, (d) individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri, (e) individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya dan individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Schlutz (Izzaty, 1996, dalam Novidda, 2007) mengatakan bahwa penerimaan diri memiliki hubungan yang erat dengan tingkat fisiologik. Tingkat fisiologik yang dimaksud adalah tingkat kesehatan individu yang dilihat dari kelancaran kerja organ tubuh dan aktivitas dasar, seperti makan, minum, istirahat dan kehidupan seksual, yang semuanya merupakan faktor penunjang utama kesehatan fisik. Penerimaan diri mengandaikan adanya kemampuan diri dalam psikologis seseorang, yang menunjukkan kualitas diri. Hal ini berarti bahwa tinjauan tersebut akan diarahkan pada seluruh kemampuan diri yang mendukung perwujudan diri secara utuh. Hal ini sesuai

dengan pendapat Schultz (Ratnawati, 1990, dalam Novidda, 2007) mengenai penerimaan diri, bahwa penerimaan diri merupakan hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri.

MetodePenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan alur pikir penelitian sebagaimana nampak dalam Gambar 1. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan pendekatan sedemikian sehingga penafsiran atau interpretasi itu mengandung arti sebagai upaya memberikan makna atas suatu data empirik yang diperoleh dalam penelitian, menjelaskan pola atau kategori dan mencari hubungan dari suatu konsep. Validitas penelitian ini peneliti

PENERIMAAN DIRI

99

menggunakan metode triangulasi data, kecermatan transkripsi, dan pemeriksaan teman sejawat. Teman sejawat yang dimaksudkan adalah pendamping subjek penelitian yang mengetahui status HIV dari subjek.

HasilAda tiga orang yang menjadi subjek penelitian ini, yaitu E, M, dan S. Meskipun mereka sekarang sudah terbuka dengan pendamping, namun proses awal keterbukaan mereka tidak sama. Ada yang langsung terbuka, ada yang memerlukan pendekatan intensif, serta ada pula yang menunggu tes kedua karena belum percaya hasil tes pertama. Selain perilaku menghindar pernah terjadi pada awal keterbukaan, perasaan cemas dan susah tidur juga sering mereka alami pada awal menerima hasil tes, terutama sebelum membuka diri. Penerimaan diri pada penderita HIV/AIDS, khususnya pada penelitian ini mengalami tingkatan yang berbeda-beda. Dilihat dari keyakinan akan kemampuan individu dalam menghadapi persoalan, pada dasarnya, semua subjek penelitian memiliki keyakinan dan kemampuan menghadapi persoalan, namun hal tersebut sangat lemah pada M dan S. Mereka tidak mengatakan yakin mampu, namun harus mau menerima. Sedangkan pada E, aspek tersebut muncul kuat dilihat dari pengakuan serta usaha rutinnya memeriksakan diri, mencari tahu, konsultasi, mengikuti pertemuan support group. Keyakinan dan kemampuan E ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya dukungan yang ia terima dari berbagai pihak seperti pendamping, dokter klinik, serta teman-temannya sesama pengidap HIV yang menyebabkan ia mudah menemukan tempat untuk berbagi masalahnya yang

menambah semangat informan untuk terus memperbaiki diri. Sedangkan pada subjek yang lain, dukungan tersebut tidak mereka dapatkan karena mereka cenderung pasif dan masih menutup diri untuk mencari dukungan. Bahkan M seakan-akan tidak membutuhkan orang lain untuk mendukung perawatan dirinya. Dari aspek keyakinan individu (untuk dapat berarti atau berguna bagi orang lain) dan tidak memiliki rasa rendah diri (karena merasa sama dengan orang lain yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan), semua subjek terlihat memilikinya terutama pada E dan S. Faktor pemahaman terhadap gejalagejala HIV serta apresiasi kondisi sebagai pekerja seks sangat berpengaruh dalam meningkatkan keyakinan bahwa mereka masih berarti. Semakin rendah faktor pemahaman dan penghargaan ini, maka keyakinan untuk berharga juga semakin rendah. Hal ini tampak pada M yang tidak memahami dan tidak mau menerima pendapat orang lain mengenai gejalagejala HIV, sehingga tidak bersedia melanjutkan terapi. M juga memandang rendah pekerjaan sebagai pekerja seks yang ia jalani, sehingga ia juga memandang rendah terhadap dirinya sendiri. Dari aspek tidak adanya anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan ditolak oleh orang lain, seluruh subjek penelitian memilikinya. E dan S cenderung menjaga jarak dengan lingkungan, namun alasan mereka sangat berbeda. E sengaja menjaga jarak agar tidak terjadi penularan virus kepada orang lain, sehingga ia tidak sembarangan menggunakan peralatan makan bersama serta berhati-hati berinteraksi langsung untuk menghindari ketidaksengajaan penularan. Di samping itu, E menjaga diri untuk tidak membicarakan orang lain dan lebih banyak

100

HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

Bergantian resiko pekerja seks Faktor pasangan seks Tertular dan menularkan virus

Tidak percaya, menyangkal Gangguan psikis Merasa hidup tidak adil Takut mati Kuat Perawatan dan dukungan

Penerimaan Diri

Sedang

Aspek-aspek penerimaan diri Lemah

Faktor penerimaan diri subjek : 1.Dukungan 2.Pengalaman 3.Pengetahuan 4.Penghargaan diri 5.Mandiri

Gambar 2. Penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi status HIV positif

merenung melihat kedalam dirinya, namun bukan berarti ia menjauh dari teman-temannya; hubungan dengan teman-temannya masih baik seperti biasanya. E mengalami perubahan sikap karena sebenarnya takut terhadap kematian yang selama ini dianggap dekat dengan pengidap HIV. Sementara itu, S menjaga jarak dengan teman-temannya karena memang terjadi perselisihan. Selain itu sebelumnya S memang tidak banyak memiliki teman karena sifatnya yang pendiam. Di lingkungan sekitar rumah, S tidak merasakan perubahan tingkah laku dari tetangga terhadapnya yang menandakan bahwa ia tidak mengalami gangguan interaksi dengan orang lain. E tidak merasakan adanya perbedaan

antara dirinya dengan orang lain, apalagi ia memang merasa baik-baik saja tanpa HIV dalam tubuhnya. Teman-temannya juga bersikap seperti biasa tidak menampakkan kecurigaan. Hal ini semakin menguatkan pendapat E bahwa dirinya tidak sakit. E menjadi tidak merasa khawatir. Sayangnya, hal ini menyebabkab ia meremehkan statusnya tersebut. Dalam hal ini, sikap orang lain mempengaruhi pengidap HIV untuk tidak membedakan dirinya. Dari aspek individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri, hal ini terlihat kuat pada E, namun lemah pada M dan S. Kuatnya aspek ini pada E terlihat pada

PENERIMAAN DIRI

101

pengalaman E di lingkungan pengidap HIV. E sering mengikuti pertemuan bagi pengidap HIV dan memungkinkan untuk bertemu dengan teman-teman baru sesama pengidap HIV, yang bermanfaat untuk saling memberikan motivasi maupun berbagi pengalaman. Pengalaman inilah yang menyebabkan E menjadi lebih terbuka namun tetap selektif menentukan kepada siapa ia mengutarakan keluhan seputar HIV-nya. M dan S cenderung tertutup dan tidak mau keluar mencari pengalaman atau pun sekedar mencari tahu mengenai perkembangan virus dalam tubuhnya. Mereka juga belum memperlihatkan rasa senasib kepada sesama pengidap HIV. Dari aspek keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri, E memahami bahwa dirinya memang berisiko tertular HIV karena lingkungan kerja yang sangat mendukung. Untuk itu, ia berani melakukan VCT dan menerima hasilnya dengan lapang dada. Sementara itu, M tidak mau tahu bahwa dirinya terinfeksi HIV, karena ia masih tidak percaya dinyatakan positif. Hal ini memperlihatkan bahwa ia belum berani menerima kenyataan sebenarnya, sehingga aspek keberanian memikul tanggung jawab tidak terlihat pada M. S sempat tidak percaya dinyatakan HIV positif. Ia mengaku tidak kuat menghadapi cobaan hidup dan keadaan ini dipandang tidak adil olehnya. Kadang ia bertanya-tanya pelanggan mana yang telah menularkan virus, namun S mencoba menerima kondisinya meskipun terpaksa. Dalam hal ini, penerimaan diri dipengaruhi oleh pemahaman terhadap perilaku berisiko yang dilakukan oleh subjek. Dari aspek objektivitas dalam penerimaan pujian dan celaan, E menerima kritik, saran, pujian, serta mampu menanggapi kecurigaan orang lain mengenai statusnya dengan tenang,

tidak emosional. Hal ini tampak pada waktu E menanggapi kecurigaan temannya dengan gurauan, menanggapi kritik dan saran peneliti dengan jawab yang tidak menentang, melainkan mengemukakan apa adanya yang dirasakannya. Objektivitas penerimaan pujian dan celaan ini pada E dipengaruhi oleh kebiasaannya untuk terbuka mengenai masalah yang ia alami. Usaha mencari dukungan ia lakukan tanpa malu-malu. Sementara itu, M agak terkejut ketika peneliti menuduhnya sengaja menularkan virus, kemudian ia menjawab memberitahukan usahanya menawarkan kondom namun ditolak pelanggan. Pada waktu peneliti menjelaskan risiko bila tetap bekerja, M mengatakan masa bodoh karena semuanya sudah diatur Tuhan dan ia hanya menjalani. M belum bisa menolak pelanggan yang tidak bersedia memakai kondom. Sewaktu peneliti memuji ketegarannya, ia hanya tersenyum tersipu. Ketika ditanya tentang risiko yang semakin tinggi karena masih bekerja, S tersenyum dan mengakui bahwa ketika melayani tamu yang menolak memakai kondom, hatinya "ngganjel", berpikir akan menambah penyakit. Sebenarnya S ingin berhenti, namun belum tahu kapan waktunya. Kalau ia berhenti, tidak ada yang mencarikan nafkah. Aspek penyalahan atas keterbatasan yang ada ataupun mengingkari kelebihan nampak pada semua subjek penelitian, meskipun pada informan S tidak sekuat E dan M. Hal ini dipengaruhi sikap kemandirian menjalani hidup. E dan M cenderung mandiri dan menerima kejadian yang mereka alami, sedangkan S cenderung mengeluh dan menyalahkan orang lain. E dan M tidak berusaha mencari siapa yang disalahkan. Mereka melakukan pekerjaan sebagai pekerja seks karena keterbatasan yang harus diakui.

102

HERMAWANTI DAN WIDJANARKO

Hal yang ditemukan mempengaruhi ketiga subjek penelitian dalam menerima status HIV antara lain karena adanya dukungan orang lain yang diterima, sehingga menimbulkan keyakinan dalam diri untuk menghadapi masalah. Namun dukungan tersebut tidak datang sendiri. Mereka berusaha mencari dukungan dan memberikan kepercayaan kepada orang lain tersebut. Faktor lain adalah pemahaman subjek penelitian terhadap HIV yang menyerangnya. Dengan mengetahui informasi ini, lebih mudah bagi mereka untuk memantau perkembangan kesehatannya. Selain memahami faktor penyakit, subjek juga memahami bahwa ia melakukan perilaku berisiko sebagai pekerja seks. Melalui pekerjaan tersebut, subjek berganti-ganti pasangan seks dan berisiko tertular dan menularkan penyakit. Meskipun demikian, subjek tidak terlalu memandang rendah pekerjaannya, karena justru ia akan menjadi semakin merasa bersalah terlebih statusnya sebagai pengidap HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV membutuhkan perawatan dan dukungan agar kesehatan fisik dan psikisnya pulih. Dalam hal ini, kemandirian subjek sangat membantu dalam mencari pengobatan serta menghadapi risiko yang ia terima. Sikap orang lain di sekelilingnya yang tidak mencurigai dan tidak mengucilkan juga sangat membantu subjek untuk menerima keadaannya.

Diskusi, Kesimpulan, dan SaranPada pekerja seks, risiko tertular IMS cukup tinggi dan bisa memperparah HIV dalam tubuhnya. Pekerja seks pengidap HIV yang dapat menerima keadaannya akan rutin melakukan pemeriksaan IMS, seperti halnya yang dilakukan oleh subjek E. Dari tiga subjek

penelitian ini, E memiliki tingkat penerimaan diri paling matang dibandingkan dengan M dan S. Selain rutin mengontrol kondisi IMS, menjaga pola hidup agar teratur juga merupakan bagian dari penerimaan diri seorang pengidap HIV. Pola hidup teratur yang dimaksudkan adalah menjaga makanan dan minuman yang dikonsumsi, misal tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Kebiasaan buruk mengkonsumsi alkohol masih dilakukan oleh M dan S. E sudah mulai menerapkan pola hidup sehat dengan melakukan hampir semua aktivitas tersebut tanpa mengalami hambatan yang berarti. Artinya, E sudah bisa menerima keadaan dirinya seperti yang dikemukakan oleh Schlutz (Izzaty, 1996). Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerimaan diri terhadap status HIV positif pada perempuan pekerja seks berbeda tingkatannya yang dipengaruhi oleh dukungan, pengalaman, pengetahuan, penghargaan terhadap diri sendiri dan pekerjaan serta kemandirian (Gambar 2). Semakin tinggi faktor-faktor tersebut dimiliki oleh subjek, maka semakin kuat penerimaan diri subjek menghadapi status HIV positif. Penerimaan diri memiliki tingkatan yang berbeda beda antar orang, dan sewaktu-waktu dapat berubah karena pengaruh kondisi psikologis seseorang. Pada perempuan pekerja seks, proses penerimaan diri bisa lebih sulit terjadi karena kompleksnya permasalahan baik dalam lingkup internal pekerja seks sendiri maupun di lingkungan prostitusi tempat mereka bekerja. Kompleksitas masalah penerimaan diri pada perempuan pekerja seks sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Bibliografi

PENERIMAAN DIRI

103

Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and human relationship. New York: McGrawHill. Cronbach, L. J. (1963). Educational psychology. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Hurlock, E. B. (1990). Developmental psychology: A life span approach (5th ed.). Boston: McGraw-Hill. Izzaty, R. E. (1996). Penerimaan diri dan toleransi terhadap stres pada wanita berperan ganda. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Novidda, K. (2007). Penerimaan diri dan stres pada penderita diabetes mellitus. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Diakses dari http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/2 0080505120738SKRIPSI.doc Ratnawati, D. (1990). Hubungan keasertifan dengan penerimaan diri atas kecacatan yang disandang oleh para penyandang cacat tubuh di PRPCT. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada.

Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 104117

ISSN 2085-4242

Aplikasi Teo