jurnal proteksi kesehatan

92
JURNAL PROTEKSI KESEHATAN Volume 6 Nomor 1, April 2017, Hal. 1-90 DAFTAR ISI HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK BATITA DI KELURAHAN LIMBUNGAN BARU WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWAT INAP KARYA WANITA KOTA PEKANBARU TAHUN 2017 Augesti Erisna, Jasmi 1-8 IDENTIFIKASI BORAKS PADA KULIT LUMPIA DAN KERUPUK NASI YANG DI JUAL DI PASAR TRADISIONAL KOTA PEKANBARU Elvi, Evi Kaderani Barutu, Lily Restusari 9-21 GAMBARAN POLA MAKAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DAN KEBIASAAN MEROKOK PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK DI INSTANSI NON KESEHATAN Maghfirahmah Amsyah Putri, Ayu Lestari, Stephani, Muharni 22-41 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI KELURAHAN KAMPUNG TENGAH KOTA PEKANBARU TAHUN 2017 Melinda Susanti S, Juraida Roito Hrp 42-51 DAYA TERIMA KUE KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus) Melsa Nilmalasari, Esthy Rahman Asih 52-63 FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEPRESI ANTENATAL PADA IBU HAMIL DI BIDAN PRAKTIK MANDIRI (BPM) KOTA PEKANBARU TAHUN 2017 Rr. Kusuma Nurin Husna, Melly Wardanis, Junaida Rahmi 64-73 HUBUNGAN DIAMETER DAN BERAT PLASENTA DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI DI KLINIK SWASTA PEKANBARU TAHUN 2017 Yulia Fitri, Isrowiyatun Daiyah 74-81 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR ANAK USIA 18-24 BULAN DI KELURAHAN LIMBUNGAN BARU WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWAT INAP KARYA WANITA KOTA PEKANBARU Mita Puspitasari, Yeni Aryani 82-90

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Volume 6 Nomor 1, April 2017, Hal. 1-90

DAFTAR ISI

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK BATITA DI KELURAHAN LIMBUNGAN BARU WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWAT INAP KARYA WANITA KOTA PEKANBARU TAHUN 2017Augesti Erisna, Jasmi 1-8

IDENTIFIKASI BORAKS PADA KULIT LUMPIA DAN KERUPUK NASI YANG DI JUAL DI PASAR TRADISIONAL KOTA PEKANBARUElvi, Evi Kaderani Barutu, Lily Restusari 9-21 GAMBARAN POLA MAKAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DAN KEBIASAAN MEROKOK PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK DI INSTANSI NON KESEHATANMaghfirahmah Amsyah Putri, Ayu Lestari, Stephani, Muharni 22-41 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI KELURAHAN KAMPUNG TENGAH KOTA PEKANBARU TAHUN 2017Melinda Susanti S, Juraida Roito Hrp 42-51

DAYA TERIMA KUE KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus)Melsa Nilmalasari, Esthy Rahman Asih 52-63

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEPRESI ANTENATAL PADA IBU HAMIL DI BIDAN PRAKTIK MANDIRI (BPM) KOTA PEKANBARU TAHUN 2017Rr. Kusuma Nurin Husna, Melly Wardanis, Junaida Rahmi 64-73

HUBUNGAN DIAMETER DAN BERAT PLASENTA DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI DI KLINIK SWASTA PEKANBARU TAHUN 2017Yulia Fitri, Isrowiyatun Daiyah 74-81

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR ANAK USIA 18-24 BULAN DI KELURAHAN LIMBUNGAN BARU WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWAT INAP KARYA WANITA KOTA PEKANBARUMita Puspitasari, Yeni Aryani 82-90

Page 2: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN
Page 3: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK BATITA DI KELURAHAN LIMBUNGAN

BARU WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWAT INAP KARYA WANITA KOTA PEKANBARU TAHUN 2017

Augesti Erisna*, Jasmi*

*Prodi D-IV Kebidanan Poltekkes Kemenkes Riau

ABSTRAK

ASI eksklusif berdampak pada perkembangan motorik. ASI eksklusif membuat bayi berkembang dengan baik pada enam bulan pertama bahkan pada usia lebih dari enam bulan. Apabila bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif maka risikonya sangat berpengaruh pada kesehatan (kekebalan tubuh) dan tumbuh kembang bayi akan terganggu. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI Eksklusif, Perkembangan motorik dan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan Perkembangan Motorik Batita. Metode Penelitian ini yaitu Deskriptif Analitik dengan desain Cross Sectional.Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru pada bulan Maret - Agustus 2017. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Batita yang terdaftar di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita. Responden dalam penelitian ini berjumlah 41 Batita. Teknik pengambilan sampel secara cluster sampling. Analisa data menggunakan univariat dan bivariat dengan uji statistik chi-square pada derajat kepercayaan 95%. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar Batita tidak mendapatkan ASI Eksklusif dengan presentase 53,7%, sebagian besar Batita mengalami perkembangan motorik sesuai dengan presentase 58,5% dan Sebanyak 72,7% Batita tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki perkembangan motorik yang meragukan. Hasil analisa data menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan motorik batita (p=0,000). Diharapkan kepada Bidan di Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita dapat meningkatkan upaya promosi kesehatan tentang ASI eksklusif pada ibu menyusui dan dapat melakukan deteksi dini gangguan perkembangan.

Daftar pustaka : 28 (2006-2014)Kata kunci : ASI Eksklusif, Perkembangan Motorik Batita

PENDAHULUANSurvei yang dilakukan oleh

United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 200 juta anak di bawah usia 5 tahun di Negara-Negara berkembang, lebih dari sepertiganya tidak berpotensi untuk berkembang. Selama ini fokus pelayanan

kesehatan bagi anak belum terintegrasi sepenuhnya dengan perkembangan optimal anak, padahal berpengaruh pada kematangan intelektual dan emosional (Kemenkes, 2012). Data mengenai gangguan perkembangan anak seperti keterlambatan motorik, berbahasa, perilaku, autisme,

1

Page 4: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

2 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 1-8

hiperaktif, dalam beberapa tahun terakhir ini angka kejadiannya semakin meningkat, yaitu berkisar antara 13%-18% di Indonesia (Dhamayanti, 2006). Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia yang selanjutnya akan disingkat dengan IDAI tahun 2013 mengatakan bahwa diperkirakan 5-10% anak mengalami keterlambatan perkembangan, sekitar 1-3% balita mengalami keterlambatan perkembangan umum (global developmental delay).

Beberapa penyebab dari anak-anak tumbuh lambat serta gagal berkembang adalah kemiskinan, gizi buruk, defisiensi mikronutrien dan lingkungan belajar yang tidak menyediakan cukup stimulasi responsif. Gizi merupakan salah satu komponen yang penting dalammenunjang keberlangsungan proses pertumbuhan dan perkembangan. Air susu ibu (ASI) adalah Gizi terbaik yang dibutuhkan oleh bayi hingga ia berusia enam bulan. ASI eksklusif membuat bayi berkembang dengan baik pada enam bulan pertama bahkan pada usia lebih dari enam bulan. Apabila bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif maka risikonya sangat berpengaruh pada kesehatan (kekebalan tubuh) dan tumbuh kembang bayi baik fisik maupun psikis yang tidak optimal seperti perkembangan motorik (Haryono, dkk, 2014). Namun menurut Kemenkes 2014, pemberian ASI eksklusif relatif sangat rendah yang secara Nasional masih 52,3% dan cakupan ASI eksklusif di Provinsi Riau juga masih dibawah target yaitu 55,7% (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau tahun 2016pada triwulan 1, dari 20 Puskesmas di Kota Pekanbaru didapatkan 5

Puskesmas memiliki data penyimpangan motorik kasar dan motorik halus pada anak yaitu Puskesmas Rawat Inap (RI) Karya Wanita dengan persentase 0,58%, Puskesmas RI Simpang Tiga 0,18%, Puskesmas Garuda 0,09%, Puskesmas Payung Sekaki 0,47%, Puskesmas Sidomulyo 0,04%. Dari 5 Puskesmas tersebut dapat dilihat bahwa Puskesmas RI Karya Wanita memiliki persentase tertinggi bila dibandingkan dengan 4 Puskesmas lainnya. Cakupan ASI Eksklusif di Puskesmas RI Karya Wanita juga masih dibawah target yaitu 44,98%.

Berdasarkan hasil penelitian Ali, et al (2014) di India, anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama minimal 6 bulan atau lebih memiliki skor Ages and Stages Questionnaire (ASQ) lebih tinggi secara signifikan dengan nilai P untuk sektor motorik kasar (0,004)dan motorik halus (0,007) dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan nilai P untuk sektor motorik kasar (0,091) dan motorik halus (0,044). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ASI eksklusif memiliki peran dalam perkembangan motorik anak.

Berdasarkan data diatas, penulis melakukan penelitian mengenai Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Perkembangan Motorik Batita di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru Tahun 2017.

METODE PENELITIAN Metode Penelitian ini yaitu

Deskriptif Analitik dengan desain Cross Sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2016 - Juli 2017. Populasi dalam

Page 5: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Augesti Erisna, Hubungan Pemberian Asi Eksklusif 3

penelitian ini adalah seluruh Batita yang terdaftar di kelurahan Limbungan Baru wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 41 Batita. Dalam penelitian ini sampel diambil menggunakan teknik cluster sampling.

HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Batita berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita tahun 2017Tabel 2. Distribusi Perkembangan Motorik Batita di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita tahun 2017

No Perkembangan Motorik n %

1.2.

SesuaiMeragukan

2417

58,541,5

Jumlah 41 100

Tabel 3. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Perkembangan Motorik Batita di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas RI Karya Wanita tahun 2017

ASI eksklusif

P. Motorik Jumlah p value ORSesuai Meragukan n % n % n %

Ya 18 94,7 1 5,3 19 100 0,000 48,00Tidak 6 27,3 16 72,7 22 100

Total 24 58,5 17 41,5 41 100

PEMBAHASANDari hasil penelitian yang telah

dilakukan di 3 Posyandu Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita

Kota Pekanbaru, sebagian besar responden tidak memberikan ASI ekslusif yaitu sebesar 53,7%, selebihnya responden memberikan ASI eksklusif yaitu sebesar 46,3%. Pemberian ASI eksklusif di Posyandu Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru adalah sebesar 44,98% yang masih dibawah target Nasional yaitu sebesar 80% (Kemenkes RI, 2014). Hal ini sesuai dengan penelitian ini, pemberian ASI Eksklusif di 3 Posyandu Kelurahan Limbungan baru wilayah kerja Puskesmas RI Karya wanita kota

Pekanbaru hanya 46,3%. Pada saat penelitian, peneliti

membagikan kuesioner sekaligus bertanya secara detail kepada ibu mengapa ibu-ibu tersebut tidak memberikan ASI secara eksklusif pada anaknya, kebanyakan ibu menjawab karena mereka berpikir bahwa anak mereka belum kenyang bila hanya diberi ASI saja, sebagian lagi menjawab karena mereka bekerja pagi-sore sehingga tidak sempat memberikan ASI saja kepada anaknya dan ada juga yang menjawab karena faktor budaya, yang diharuskan memberikan madu saat bayi baru lahir. Hal ini sesuai dengan teori Partiwi tahun 2008 yang menyatakan bahwa rendahnya pemberian ASI eksklusif bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bisa dari faktor internal maupun eskternal.Faktor internal meliputi faktor pendidikan ibu, ketidaktahun mengenai ASI ekslusif,

No ASI Eksklusif n %

1.2.

YaTidak

1922

46,353,7

Jumlah 41 100

Page 6: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

4 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 1-8

sikap dan perilaku, piskologis ibu, dll. Faktor eksternal berupa peranan ayah dalam mendukung pencapaian ASI eksklusif, sosial budaya, pemberian informasi yang salah, termasuk peran petugas kesehatan yang masih kurang dalam memberikan promosi mengenai ASI eksklusif.Peran petugas kesehatan sangatlah penting dalam pencapaian program ASI eksklusif, yaitu memberikan penyuluhan, pengarahan, serta mendorong ibu memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya, sehingga diharapkan dapat membantu keberhasilan program ASI eksklusif.

ASI adalah makanan yang terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan bayi serta mampu melindungi bayi dari infeksi. Hingga saat ini, penelitian yang dilakukan oleh para ahli belum menunjukkan adanya kandungan yang lebih baik daripada yang terkandung di dalam ASI (Indiarti, 2007). Menurut Hubertin 2007, ASI eksklusif merupakan pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, tidak diberikan makanan atau minuman lainnya walaupun air putih sampai bayi berumur 6 bulan. Manfaat ASI sangat banyak dan berlimpah bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Apabila ditinjaudari aspek gizi, kolostrum berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak dari serangan infeksi virus dan bakteri. Selain itu, didalam kolostrum terdapat vitamin A, lemak dan karbohidrat yang sesuai untuk memenuhi nutrisi bayi pada awal kelahirannya. Kandungan-kandungan tersebut tidak akan pernah bisa tergantikan oleh susu formula jenis apapun. Kandungan taurin didalam ASI berfungsi sebagai neurotransmitter yang berperan

dalam maturasi sel otak. Kandungan AA dan DHA dalam ASI akan berguna untuk kecerdasan anak.

Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa perkembangan motorik Batita yang sesuai umur adalah 58,5%, sedangkan Batita dengan perkembangan motorik meragukan yaitu sebanyak 41,5%. Batita yang mengalami perkembangan motorik meragukan pada kelompok usia 24 bulan yaitu ada 9 Batita dengan sebagian besar mengalami gangguan motorik halus, dimana Batita tidak dapat menyusun kubus tanpa menjatuhkannya. Pada kelompok umur 21 bulan, hanya 1 orang yang mengalami perkembangan meragukan yaitu pada sektor gerak halus, dimana Batita tidak dapat menyusun kubus dengan benar. Pada kelompok umur 18 bulan, ada 4 Batita yang mengalami perkembangan motorik meragukan yaitu pada aspek motorik kasar, dimana anak berjalan masih terhuyung-huyung. Pada kelompok umur 21 bulan, ada 3 Batita yang memiliki perkembangan motorik meragukan, 2 Batita pada aspek motorik kasar yaitu belum bisa berdiri 30 detik atau lebih dengan berpegangan pada benda, sedangkan 1 Batita mengalami keterlambatan pada aspek motorik halus yaitu Batita belum bisa mempertemukan dua buah kubus.

Perkembangan anak selalu mengikuti pola yang teratur dan berurutan, tahap-tahap tersebut tidak bisa terjadi terbalik, misalnya anak lebih dahulu mampu berdiri sebelum berjalan, perkembangan berlangsung dari tahapan umum ke tahapan spesifik dan terjadi berkesinambungan. Jika setiap kelainan/penyimpangan sekecil apapun apabila tidak dideteksi

Page 7: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Augesti Erisna, Hubungan Pemberian Asi Eksklusif 5

apalagi tidak ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas sumber daya manusia dikemudian hari (Kemenkes, 2012).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Batita yang diberi ASI eksklusif dengan perkembangan motorik sesuai yaitu sebesar 94,7% dengan jumlah 18 orang. Hal ini sesuai dengan pendapat IDAI tahun 2010 yang mengatakan bahwa tumbuh kembang anak yang minum ASI lebih baik, karena komposisi ASI yang sangat menunjang perkembangan anak. Anak jarang sakit karena adanya antibodi baik seluler maupun humoral di dalam ASI. Selain itu ASI juga mengandung hormon dan enzim. Perkembangan anak lebih baik, karena komposisi ASI untuk pertumbuhan otak bayi, ibu juga dapat melakukan berbagai macam sensori : taktil, penglihatan maupun penciuman. Limpahan kasih sayang pada saat menyusui membuat bayi terasa nyaman dan aman dalam dekapan ibu, yang penting juga untuk tumbuh kembangnya.

Sebagian besar Batita yang tidak diberikan ASI secara eksklusif memiliki perkembangan motorik meragukan yaitu 72,7% dengan jumlah 16 orang Batita. Hal ini sesuai dengan data hasil penelitian bahwa kebanyakan Batita hanya menjawab 5 soal dengan benar dari 7 pertanyaan.Dua pertanyaan salah terdapat pada point motorik kasar dan motorik halus. Dalam point motorik kasar, Batita masih belum bisa berdiri selama 30 detik atau lebih. Ditinjau dari aspek motorik halus, Batita masih belum bisa menyusun dua buah kubus dengan benar. Hal ini sesuai dengan penelitian Lisa di Kelurahan Brontokusuman Kecamatan

Mergangsan Yogyakarta tahun 2012 yang menyebutkan bahwa ASI tidak eksklusif meningkatkan resiko terjadinya perkembangan motorik kasar balita yang tidak sesuai dengan umur sebesar 5,6 kali dibandingkan dengan balita yang diberi ASI eksklusif.

Dalam pengumpulan data tersebut, didapatkan 1 orang Batita dengan ASI eksklusif namun perkembangan motoriknya meragukan. Setelah peneliti bertanya kepada ibu yang bersangkutan, ibu mengaku bahwa jarang melakukan stimulasi pada anaknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan motorik juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan salah satunya cara stimulasi orang tua atau orang terdekat anak. Namun peran ASI eksklusif begitu besar untuk anak, ASI ibarat stimulasi awal untuk perkembangan otak yang seharusnya diasah orang tua agar perkembangan anak lebih optimal.

Hasil uji statistik menggunakan uji chi-square dengan derajat kepercayaan 95% didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan motorik Batita (p=0,000) dengan OR adalah 48,00, yang artinya Batita yang tidak diberi ASI eksklusif berpeluang untuk mengalami resiko gangguan perkembangan motorik 48 kali daripada Batita yang diberi ASI Eksklusif.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Febriana tahun 2015 di Puskesmas Gamping I Sleman Yogyakarta menyatakan bahwa ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan bayi usia 9-12 bulan dengan nilai p sebesar 0,001. Hasil penelitian lain yang berjudul

Page 8: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

6 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 1-8

hubungan pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan motorik kasar balita dari Lisa yang menunjukkan adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan motorik kasar balita dan perkembangan pemberian ASI tidak eksklusif beresiko 5,6 kali terjadi perkembangan motorik kasar balita tidak sesuai umur dibandingan dengan balita yang diberi ASI eksklusif.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Hubertin tahun 2007 bahwa anak yang diberi ASI sampai enam bulan akan jauh lebih sehat dari bayi yang menyusui ASI hanya sampai empat bulan dan frekuensi terkena diare jauh lebih kecil sehingga kesehatan bayi akan lebih baik. Perkembangan motorik diartikan sebagai perkembangan dan unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh, dan perkembangan tersebut erat kaitannya dengan perkembangan pusat motorik di otak. Pada anak, gerakan ini dapat secara lebih jelas dibedakan antara gerakan kasar dan gerakan halus. Disebut gerakan kasar, bila gerakan yang dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar. Dan hasil pengamatan terhadap anak yang mendapat ASI eksklusif menunjukkan rata-rata terlihat gerakan motorik yang lebih cepat.

Beberapa penelitian memperlihatkan bayi yang mendapat ASI jauh lebih matang, lebih asertif dan progresitifitas yang lebih baik pada skala perkembangan dibandingkan anak yang tidak menggunakan ASI. Suatu penelitian Honduras memperlihatkan bahwa bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dapat merangkak dan duduk lebih dahulu dibandingkan bayi yang sudah mendapat makanan

pendamping saat usia 4 bulan. (IDAI, 2008). Berdasarkan penelitian Husniati (2007), dari faktor yang berhubungan dengan perkembangan motorik anak yaitu lama pemberian ASI, status gizi anak, dan pendapatan perkapita keluarga didapatkan hasil bahwa lama pemberian ASI mempengaruhi perkembangan anak. Sehingga ini juga membuktikan bahwa ASI eksklusif juga dapat mempengaruhi perkembangan anak.

KESIMPULAN

1. Batita tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu sebesar 53,7%.

2. Perkembangan motorik Batita sesuai dengan umur yaitu 58,5%.

3. Ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan motorik Batita (p=0,000) di Kelurahan Limbungan baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru tahun 2017.

SARAN

1. Diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan bacaan untuk mahasiswa Poltekkes Kemenkes Riau.

2. Diharapkan kepada Bidan dan Tenaga kesehatan lainnya di Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita agar meningkatkan upaya promosi kesehatan tentang ASI eksklusif pada ibu menyusui dan dapat melakukan deteksi dini gangguan perkembangan terutama motorik kasar dan motorik halus pada masa berjalan, menggelindingkan bola dan menyusun kubus.

3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya melakukan penelitian

Page 9: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Augesti Erisna, Hubungan Pemberian Asi Eksklusif 7

dengan sampel yang lebih besar, metode yang berbeda, variabel berbeda dan memakai lembar skrining perkembangan lainnya seperti DDST, tes IQ, tes Psikologis, dll.

DAFTAR PUSTAKAAli, Syed Sadat, et al. 2014.“The

Impact of Nutrition on Child Development at 3 Years in a Rural Community of India”

Ariani. 2010. Ibu, Susui Aku!.Bandung: Khazanah Intelektual

Arini, H. 2012. Mengapa Seorang Ibu Harus Memyusui?. Jogjakarta: Flash Books

Aziz, A. Hidayat. 2007. Siapa Bilang Anak Sehat Pasti Cerdas.Jakarta: PT Gramedia

. 2011. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Dee, Deborah L., dkk. Associations Between Breastfeeding Practices and Young Children’s Language and Motor Skill Development.(online) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17272591, diunduh Februari 2007)

Depkes RI. 2005. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar.Jakarta: Depkes RI.

Dhamayanti M. 2006. Kuesioner Praskrining Perkembangan (KPSP) Anak. Sari Pediatri, Vol. 8, No. 1, pp. 9 - 15

Dwiharso. 2007. Pentingnya ASI Eksklusif (Online),. (http://www.jurnalkesehatan.com, diakses 15 maret 2013).

Elfian, dkk. 2009. My Baby. Jakarta: Penebar Plus

Haryono, Rudi dan Sulis Setianingsih. 2014. Manfaat ASI Eksklusif Untuk Buah HatiAnda. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

IDAI, 2013. Mengenal keterlambatan perkembangan umum pada anak. Melalui http://idai.or.id/public [11/2/2014]

, Cabang DKI Jakarta. 2010. Indonesia Menyusui. Jakarta: Balai Penerbit IDAI

Indiarti, MT. 2007. A To The Z The Golden Age. Yogyakarta: Penerbit Andi

Kemenkes. 2012. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.Jakarta: Depkes RI

.. 2014. Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014. Jakarta : Kemenkes RI

Lisa, Ulfa Farrah. 2012. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Perkembangan Motorik Kasar Balita Di Kelurahan Brontokusuman Kecamatan Mergangsan Yogyakarta. Jurnal Ilmiah STIKES U’Budiyah (online), (http://www.ejournal.uui.ac.id/jurnal-J00115.html, diunduh 10 September 2015).

Page 10: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

8 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 1-8

Mansur, Herawati. 2011. Psikologi Ibu dan Anak Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Marimbi, Hanum. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada Balita. Yogyakarta: Nuha Medika

Marmi dan Rahardjo, Kukuh. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Notoadmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta

Nurlila, Ratna Umi dan Jumarddin L.F. 2013. Perbedaan Perkembangan Motorik Kasar dan Halus pada Bayi 6 Bulan yang Mendapat Asi Eksklusif dan Non Asi Eksklusif di Desa Penanggotu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013. (online). (ejournal.iainkendari.ac.id, diunduh November 2015)

Nurlinda, Andi. 2013. Gizi dalam siklus kehidupan seri baduta.Yogyakarta: Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)

Pratisti, Wiwien Dinar. 2008. Psikologi Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks.

Soedjatmiko. 2009. Cara Praktis Membentuk Anak Sehat, Tumbuh Kembang Optimal,Kreatif dan Cerdas Multipel. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hal 18, 19, 23.

Sunardi dan Sunaryo. 2007. Intervensi Dini Anak

Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Depdiknas.

UNICEF. 2006. Programming Experiences in Early Child Development. New York: Early Child Development Unit Press.

Yuliarti, Nurheti. 2010. Keajaiban ASI makanan terbaik untuk kesehatan, kecerdasan, dan kelincahan si kecil.Yogyakarta: ANDI

Page 11: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

IDENTIFIKASI BORAKS PADA KULIT LUMPIA DAN KERUPUK NASI YANG DI JUAL DI PASAR TRADISIONAL KOTA PEKANBARU

Elvi*, Evi Kaderani Barutu*, Lily Restusari**Prodi D-III Gizi Politeknik Kesehatan Riau

ABSTRAK

Pendahuluan: Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam makanan terutama makanan olahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi.Sejak pertengahan abad ke-20, BTP khususnya bahan pengawet semakin sering digunakan dalam produksi pangan.Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis (Cahyadi, 2008). Menurut Sugiyono et al (2009), yang meneliti kandungan boraks pada gendar/kerupuk nasi yang diproduksi oleh industri rumah tangga di daerah Ambarawa menyimpulkan bahwa sampel yang berupa gendar/kerupuk nasi positif mengandung senyawa boraks. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan boraks pada kulit lumpia dan kerupuk nasi yang dijual di pasar tradisional Kota Pekanbaru. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan melalui penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan adalah survei secara langsung terhadap jumlah penjual kulit lumpia dan kerupuk nasi yang berada dipasar tradisional Kota Pekanbaru dengan produsen yang berbeda. Penelitian lanjutan adalah analisa boraks secara kualitatif terhadap sampel kulit lumpia dan kerupuk nasidengan metode uji nyala api. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. Total sampel yang diperoleh berjumlah 5 sampel kulit lumpia dan 9 kerupuk nasi. Penelitian ini telah lulus uji etik oleh komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Hasil: Dari hasil pengujian yang telah dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Kota Pekanbaru, semua sampel kulit lumpia dan kerupuk nasi negatif mengandung boraks.Sampel-sampel tersebut menunjukkan nyala yang berwarna kuning oranye, dikarenakan semua sampel tidak memiliki kandungan senyawa-senyawa molekul garam-garam natrium tetraborat atauboraks, jika sampel positif mengandung boraks maka akan menimbulkan nyala yang pinggirnya berwarna hijau.

Kata Kunci : BTP, Boraks, Kulit Lumpia,Kerupuk Nasi, Pasar Tradisional

PENDAHULUANPangan adalah segala sesuatu

yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya

yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan atau minuman (PP RI No. 18 Tahun 2012).

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam makanan terutama makanan olahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi.Sejak pertengahan abad ke-20, BTP khususnya bahan pengawet semakin sering digunakan dalam

9

Page 12: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

10 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 9-21

produksi pangan.Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis (Cahyadi, 2008). Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan yaitu bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Jumlah asupan maksimum bahan tambahan pangan yang diizinkan dalam milligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan efek yang merugikan.

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.033/Menkes/Per/IX/2012 bahan tambahan pangan dapat dibedakan menjadi bahan yang diizinkan dan yang tidak diizinkan. Bahan tambahan pangan yang diizinkan yaitu anti buih, anti oksidan, anti kempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih tepung, pengawet, pengeras, pewarna, pelapis, gas untuk kemasan, pengental, dan lain-lain.

BTP yang digunakan sebagai pengawet yaitu asam sorbat dan garamnya, natrium sorbat, kalium sorbat, kalsium sorbat, asam benzoat dan garamnya, natrium benzoat, kalium benzoat, kalsium benzoat, etil-para hidroksibenzoat, metil para-hidroksibenzoat, sulfit, belerang dioksida, natrium sulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, kalium metabisulfit, kalium sulfit, kalsium bisulfit, kalium bisulfit, nisin, nitrit, kalium nitrit, natrium nitrit, nitrat, kalium nitrat, kalsium nitrat, asam propionate dan garamnya, natrium propionat, kalium propionat, dan kalsium propionate. Sedangkan bahan tambahan yang tidak diizinkan yaitu asam boraks dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, formalin, kokain, dan lain-lain.

Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa bor yang dikenal juga dengan

nama borax. Di Jawa Barat dikenal juga dengan nama “bleng”. Bleng (natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat) adalah campuran garam mineral konsentrasi tinggi. Bentuknya panjang dan berwarna agak kuning. Zat ini adalah bentuk tidak murni dari asam borat, sementara bentuk murninya banyak dikenal dengan nama boraks. (Cahyadi, 2008).

Menurut Suhanda (2012), sudah sejak lama boraks disalahgunakan oleh produsen untuk pembuatan kerupuk, mie, lontong (sebagai pengeras), ketupat (sebagai pengeras), bakso (sebagai pengeyal dan pengawet), kecap (sebagai pengawet), bahkan pembuatan bubur ayam (sebagai pengental dan pengawet). Dalam jumlah banyak boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, merangsang system saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, bahkan kematian (Nasution, 2009).

Menurut Sugiyono et al (2009), yang meneliti kandungan boraks pada gendar/kerupuk nasi yang diproduksi oleh industri rumah tangga di daerah Ambarawa menyimpulkan bahwa sampel yang berupa gendar/kerupuk nasi positif mengandung senyawa boraks. Selain itu, tahun 2015 BadanPengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) mendeteksi masih banyaknya penyalahgunaan penggunaan boraks pada bahan pangan yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia. Penyalahgunaan pemakaian boraks diperoleh sebesar 3,67% dari 4.635 sampel yaitu sebanyak 170 sampel positif mengandung boraks. Dari 170 sampel yang positif mengandung boraks, salah satunya adalah kerupuk. Pada Januari 2016, dalam rangka HUT Badan POM RI ke-15, dilakukan pengawasan di Pasar Bandar Buek Padang dan dari hasil pengawasan

Page 13: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Elvi, Identifikasi Boraks Pada Kulit Lumpia Dan Kerupuk Nasi 11

tersebut ternyata ditemukan kerupuk nasi positif mengandung boraks yaitu dari hasil pengujian yang sudah dilakukan ternyata dari 32 sampel makanan yang diperiksa, ternyata ada 1 makanan yang positif mengandung boraks yaitu kerupuk nasi berbentuksegi empat berwarna kuning (BPOM, 2016).

Pada tanggal 10 Maret 2016 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan sidak makanan jajanan di beberapa Sekolah Dasar yang ada di Jakarta Timur. Dari 23 sampel makanan yang ada, ditemukan 2 sampel makanan yang positif mengandung boraks yaitu pada kulit pisang coklat dan martabak tahu. Pada tanggal 08 Juni 2016 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Riau melakukan sidak jajanan Ramadhan ditiga lokasi yaitu Jalan Ahmad Yani, Jalan Ahmad Dahlan, dan Jalan WR Soepratman. Dari 26 sampel makanan yang ada terdapat dua jenis makanan yang positif mengandung boraks yaitu pada kulit pisang coklat dan makanan berbahan dasar mie kuning. (Anonim, 2016).

Kulit lumpia tidak hanya digunakan untuk membuat hidangan lumpia saja, kulit lumpia dapat digunakan untuk membuat, pisang coklat, risoles, martabak mini, siomay dan sebagainya. MenurutBPOM Provinsi Riau banyak oknum pedagang yang menambahkan boraks pada kulit lumpiasebagai perenyah dan pengawet.Banyaknya kebutuhan penggunaan kulit lumpia mengakibatkan permintaan pasar kulit lumpia cukup tinggi. Salah satu pengusaha industri rumah tangga kulit lumpia di Jakarta Selatan mendapat permintaan kulit lumpia mencapai 5.000 lembar per hari (Rasyad, 2004).

Berdasarkan hasil wawancara yang telah saya lakukan secara langsung kepada Kepala Bidang

Pengujian Pangan, Bahan Berbahaya dan Mikrobiologi BPOM Kota Pekanbaru pada tanggal 05 September 2016mengenaidata hasil sidak Ramadhan dan karena masih seringnya penggunaan boraks pada kerupuk nasi tersebut, maka penulis tertarik ingin melakukan identifikasi boraks pada kerupuk nasi dan kulit lumpia yang di jual di pasar tradisional Kota Pekanbaru.

METODE PENELITIANJenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey dengan melalui penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan adalah survei secara langsung terhadap jumlah penjual kulit lumpia dan kerupuk nasi yang berada dipasar tradisional Kota Pekanbaru dengan produsen yang berbeda. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan sampel penelitian.Penelitian lanjutan adalah analisa boraks secara kualitatif terhadap sampel kulit lumpia dan kerupuk nasidengan metode uji nyala.

Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian pendahuluan di

lakukan pada bulan Januari - Maret 2017. Penelitian lanjutan akan dilakukan pada bulan April - Agustus2017 di Balai Riset dan Standarisasi Industri Kota Pekanbaru.

Alat dan BahanAlat

Timbangan analitik, cawan porselen, penangas air, pipet tetes, pipet volume, mortar dan alu.Bahan

Aquades, 1 mL Asam Sulfat pekat, dan 5 mL etanol.

Populasi dan Sampel PenelitianPopulasi

Populasi adalah seluruh kulit lumpia yang dijual di pasar tradisional

Page 14: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

12 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 9-21

Kota Pekanbaru yaitu Pasar Cik Puan, Pasar Agus Salim, Pasar Rumbai, Pasar Lima Puluh, Pasar Labuh Baru, Pasar Pagi Arengka, Pasar Sail, Pasar Kodim, Pasar Simpang Baru, Pasar Bawah, Pasar Dupa, dan Pasar Tangor. Dari hasil survei yang telah dilakukan diperoleh total populasi yaitu 5 kulit lumpia dan 9 kerupuk nasi.

SampelPengambilan sampel dilakukan

dengan caratotal sampling yaitu seluruh populasi yang diambil dijadikan sampel.Total sampel yang diperoleh berjumlah 5 sampel kulit lumpia dan 9 sampel kerupuk nasi.

ProsedurAdapun prosedur pengujian

boraks dengan uji kualitatif pada kulit lumpia dan kerupuk nasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Prosedur Pengujian Boraks

Sumber : (Rohman dan Sumantri, 2007)

Ket : - penelitian dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan

Analisa DataData yang diperoleh dari hasil

pemeriksaan laboratorium secara kualitatif akan ditampilkan dalambentuk tabel, selanjutnya data tersebut akan dijelaskan dalam bentuk narasi dan dibandingkan dengan teori yang ada.

Etika PenelitianPenelitian ini telah lulus uji etik

oleh komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Riau sehingga bisa dilaksanakan

HASIL DAN PEMBAHASANGambaran Umum Sampel Sampel yang digunakan pada

penelitian ini adalah kulit lumpia dan kerupuk nasi yang dijual dipasar tradisional Kota Pekanbaru. Semua sampel kulit lumpia yang dijual dipasar tradisional Kota Pekanbaru dikemas menggunakan plastik bermerk industri rumah tangga dan tidak bermerk industri rumah tangga. Sampel diperoleh dari 5 pasar yaitu 1 kulit lumpia di Pasar Cik Puan, 1 kulit lumpia di Pasar Agus Salim, 1 kulit lumpia di Pasar Lima Puluh, 1 kulit lumpia di Pasar Rumbai, dan 1 kulit lumpia di Pasar Simpang Baru.Sehingga di peroleh total 5 sampel kulit lumpia.Jumlah sampel yang diuji sebanyak 9 buah. Sampel kerupuk nasi yang di uji diambil pada seluruh pedagang kerupuk nasi di pasar tradisional Kota Pekanbaru dengan produksi yang berbeda-beda.

Pengamatan sifat fisik pada kulit lumpia yang menjadi sampel pada penelitian ini, diperoleh hasil meliputi warna, aroma, dan tekstur kulit lumpia yang dijual oleh pedagang yang ada di pasar Tradisional Kota Pekanbaru. Tabel 3 merupakan hasil pengamatan sifat fisik kulit lumpia yang

Dihaluskan

Di bakar hingga membentuk arang

Didinginkan

Ditambah 1 ml H2SO4 pekat dan 5 ml etanol

Dibakar

Nyala api berwarna hijau (+ boraks)

5 g sampel

Page 15: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Elvi, Identifikasi Boraks Pada Kulit Lumpia Dan Kerupuk Nasi 13

dijadikan sampel.

Tabel 1. Sifat Fisik Kulit Lumpia

No Kode Sampel Warna Aroma Tekstur

1. A Putih Kekuningan

Khas Kulit Lumpia

Elastis

2. B Putih Kekuningan

Khas Kulit Lumpia

Elastis

3. C Putih Kekuningan

Khas Kulit Lumpia

Elastis

4. D Putih Pucat Khas Kulit Lumpia

Elastis

5. E Putih Pucat Khas Kulit Lumpia

Elastis

Ket : A-E = Sampel kulit lumpia yang dijual di pasar Tradisional Kota Pekanbaru

Berdasarkan Tabel 1 diatas, dapat dilihat bahwa sampel A, B, dan C berwarna putih kekuningan sedangkan sampel D dan E berwarna putih pucat. Perbedaan warna pada kulit lumpia tersebut dipengaruhi oleh kandungan protein dalam terigu dan penambahan minyak sayur dalam adonan. Kulit lumpia dari terigumenggunakan bahan antara lain air, minyak sayur, dan garam. Protein yang terkandung pada terigu dapat mempengaruhi warna yang dihasilkan pada kulit lumpia dari terigu.Keberadaan protein tersebut mempengaruhi warna yang lebih pucat karena dapat menghambat gelatinisasi (Kusnandar, 2011).

Selain protein, penambahan minyaksayur sebagai lemak juga berpengaruh terhadap warna. Penambahan minyak sayur pada adonan kulit lumpia dapat menyebabkan warna kulit lumpia menjadi putih kekuningan. Kusnandar (2011) menjelaskan lemak dan protein dapat membentuk lapisan pada permukaan granula pati. Hal tersebut dapat menyebabkan penundaan proses gelatinisasi pati karena menghambat absorpsi air oleh granula pati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusnandar (2011) bahwa, sumber pati dan

keberadaan komponen terlarut (asam, gula, lemak, protein, dan enzim) dapat mempengaruhi gelatinisasi.

Dari segi aroma semua sampel memiliki aroma yang khas. Aroma khas tersebut dikarenakan bahan yang digunakan dalam pembuatan kulit lumpia hanya menggunakan terigu, air, minyak sayur, dan garam sehingga menimbulkan bau yang khas dan tidak menyengat. Menurut Soekarto (1990), aroma atau bau merupakan salah satu parameter yang menentukan rasa enak suatu makanan. Dalam banyak hal, bauatau aroma memiliki daya tarik tersendiri untuk menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri. Dalam industri pangan, uji terhadap aroma dianggap penting karena cepat dapat memberikan penilaian terhadap hasil produksinya, apakah produksinya disukai atau tidak disukai oleh konsumen.

Dari segi tekstur semua sampel memiliki tekstur elastis, hal ini berkaitan dengan kualitas tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan kulit lumpia. Seperti yang diungkapkan Damayanti, dkk (2014) kandungan protein berpengaruh terhadap jumlah gluten yang ada pada tepung, sedangkan gluten memiliki peranan yang penting dalam menghasilkan kekenyalan dan elastisitas bahan.

Kulit lumpia dari terigumemiliki tekstur yang lebih mudah dilipat menunjukkan bahwa kulit lumpia dari terigu bersifat elastis.Jaringan elastis terbentuk oleh gluten.Glutenberperan dalam pembentukan adonan. Faridah, dkk (2008) menjelaskan gluten merupakan campuran antara duakelompok protein gandum yaitu gliadindan glutenin.Gluten terbentuk bila gliadin bereaksi dengan air.Gliadin adalah fraksi protein yang memberikan sifat lembut dan elastis.Barak, dkk.(2013) menjelaskan bahwa gluten terdiri dari monomer gliadin yang berfungsi untuk viskositas adonan dan

Page 16: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

14 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 9-21

polimer glutenin yang berfungsi untuk kekuatan danelastisitas adonan.

Pengamatan sifat fisik pada kerupuk nasi setelah digoreng yang menjadi sampel pada penelitian ini, diperoleh hasil meliputi warna, tekstur, dan rasa kerupuk nasi yang dijual oleh pedagang kerupuk nasi yang ada di setiap pasar tradisional Kota Pekanbaru.

Tabel 2. Sifat Fisik Kerupuk Nasi Setelah digoreng yang

dijadikan Sampel

No Kode Sampel Warna Tekstur Rasa

Daya Kemban

g

1 A Kuning kecoklatan Renyah Asin Mengem

bang

2 B Putih kekuningan Renyah Sedikit

asinMengem

bang

3 C Kuning Renyah Asin Mengembang

4 D Kuning kecoklatan Renyah Sedikit

asinMengem

bang

5 E Putih kecoklatan Renyah Asin Mengem

bang

6 F Putih kekuningan Renyah Asin Mengem

bang

7 G Kuning kecoklatan Renyah Tawar Mengem

bang

8 H Kuning kecoklatan Renyah Tawar Mengem

bang

9 I Kuning kecoklatan Renyah Asin Mengem

bang

Berdasarkan Tabel 2 diatas diperoleh hasil dari 9 sampel yang diamati, ada 5 sampel yang memiliki warna yang sama yaitu kuning kecoklatan tetapi tekstur dan rasa yang berbeda, yaitu sampel A, D, G, H, dan I. Pengamatan fisik dari segi tekstur dan daya kembang, semua sampel memiliki tekstur yang renyah dan mengembang setelah digoreng. Tekstur dan daya kembang kerupuk ini sesuai dengan hasil penelitian Choiril dan Agustina (2014) tentang analisa kandungan boraks pada kerupuk nasi dengan hasil yaitu kerupuk positif mengandung boraks yaitu jika digoreng memiliki tekstur yang renyah dan mengembang. Dari segi rasa ada 5 sampel yang memiliki rasa asin yaitu

sampel A, C, E, F, dan H, terdapat 2 sampel yang memiliki rasa sedikit asin yaitu sampel B dan D, terdapat 2 sampel yang memiliki rasa tawar yaitu sampel G dan I.

Analisa Kualitatif Boraks pada Kulit Lumpia

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Kota Pekanbaru, semua sampel kulit lumpia negatif mengandung boraks. Berikut ini merupakan hasil pengujian laboratorium kandungan boraks dalam sampel kulit lumpia yang dijual di pasar tradisional Kota Pekanbaru.

Tabel 3. Hasil Uji Boraks pada Kulit Lumpia

No Kode Sampel

Warna Nyala Api

Hasil Pengujian I

Hasil Pengujian II

Positif Negatif Positif Negatif1. Baku

BoraksHijau

dibagian pinggir

√ √

2. Sampel A

Kuning Oranye

√ √

3. Sampel B

Kuning Oranye

√ √

4. Sampel C

Kuning Oranye

√ √

5. Sampel D

Kuning Oranye

√ √

6. Sampel E

Kuning Oranye

√ √

Ket : A-E = Sampel kulit lumpia yang dijual di pasar Tradisional Kota Pekanbaru

Tabel 4. Hasil Uji Boraks pada Kerupuk Nasi

No Kode Sampel

Warna Nyala Api

Hasil Pengujian I

Hasil Pengujian II

Positif Negatif Positif Negatif1. Baku

BoraksHijau

dibagian pinggir

√ √

2. Sampel AKemerahan √ √3. Sampel B Kemerahan √ √4. Sampel C Kemerahan √ √5. Sampel DKemerahan √ √6. Sampel E Kemerahan √ √7. Sampel F Kemerahan √ √8. Sampel GKemerahan √ √9. Sampel HKemerahan √ √10. Sampel I Kemerahan √ √

Page 17: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Elvi, Identifikasi Boraks Pada Kulit Lumpia Dan Kerupuk Nasi 15

Ket : A-I = Sampel kerupuk nasi yang dijual di pasar Tradisional Kota Pekanbaru

Pada penelitian ini semua sampel tidak mengandung boraks, sampel-sampel tersebut menunjukkan nyala yang berwarna kuning oranye, dikarenakan pada semua sampel tidak memiliki kandungan senyawa-senyawa molekul garam-garam natrium tetraborat atau boraks, jika sampel menghasilkan hasil yang positif akan mengalami reaksi, pada pengujian reaksi warna, jika sedikit boraks dicampurkan dengan 1 mL asam sulfat pekat dan 5 mL metanol atau etanol dalam sebuah cawan porselen kecil, dan alkohol ini dinyalakan alkohol akan terbakar dengan nyala yang pinggirannya hijau, disebabkan oleh pembentukan metil borat B(OCH3)3atau etil borat B(OC2H5)3 dengan reaksi berikut:

Dalam reaksi tersebut metil borat akan dibebaskan ditandai dengan saat pembakaran sampel warna api menjadi berwana hijau dikarenakan terdapat kandungan metil borat namun dalam beberapa detik warna hijau pada api tersebut menghilang disebabkan kandungan metil borat telah hilang atau terbebaskan terbawa oleh uap air hasil dari pembakaran (Svehla, 1985).

Berdasarkan Permenkes No. 033 tahun 2012, bahwa boraks dicantumkan sebagai salah satu bahan berbahaya yang dilarang apabila ditambahkan pada makanan dalam konsentrasi sekecil apapun. Pada penelitian ini semua sampel kulit lumpia bermerk industri rumah tangga dan tidak bermerk industri rumah tangga yang dijual di pasar tradisional Kota Pekanbaru tidak teridentifikasi mengandung boraks. Hasil pemeriksaan fisik pada semua sampel

kulit lumpia tersebut sesuai dengan ciri-ciri pangan yang tidak mengandung boraks. Pangan yang mengandung boraks biasanya lebih mengkilat dan tidak lengket.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darminto (2012) aroma bahan makanan yang mengandung boraks dan yang tidak mengandung boraks tidak berbeda. Penggunaan boraks sebagai bahan tambahan pangan selain bertujuan untuk mengawetkan makanan juga bertujuan agar makanan menjadi lebih kompak (kenyal) teksturnya dan memperbaiki penampakan. Dengan jumlah sedikit saja telah dapat memberikan pengaruh kekenyalan pada makanan sehingga menjadi lebih legit, tahan lama, dan terasa enak di mulut (Sulta, 2013).

Berdasarkan Tabel 8. diatas dapat dilihat bahwa pengujian boraksyang dilakukan terhadap 9 sampel kerupuk nasi dan menghasilkan warna nyala api kemerahan. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tidak teridentifikasi adanya boraks. Dari hasil penelitian yang dilakukan, pedagang terbukti tidak menjual kerupuk nasi yang mengandung boraks, hal ini dikarenakan Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pasar telah melakukan tindakan agar pedagang menghentikan penjualan barang-barang yang mengandung bahan berbahaya boraks serta melakukan sosialisasi kepada pedagang pada tanggal 08 Oktober 2015 di Pasar Rumbai agar teliti dalam memilih barang-barang yang akan dijual ke masyarakat (Anonim, 2015). Foto hasil uji nyala api dapat dilihat di Lampiran 5.

Pada bulan Juni 2016, setelah melakukan pengujian terhadap berbagai sampel makanan, kemudian hasil uji dapat langsung diketahui oleh masyarakat yang ada di pasar tradisional dan pasar ramadhan. Selanjutnya Balai Besar POM

H3BO3 + 3 CH3OH → B(OCH3)3 ↑ +

Page 18: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

16 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 9-21

Pekanbaru langsung melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang adanya bahan kimia berbahaya boraks yang sering ditambahkan kedalam pangan oleh produsen yang tidak bertanggungjawab (BPOM, 2016).

Selain itu, berdasarkan penelitian Setyowati (2010) tentang penambahan Natrium Tripolifosfat dan CMC (Carboxy Methyl Cellulose) pada pembuatan kerak dalam pembuatan kerupuk nasi/karak juga bisa menambahkan CMC dan STTP dan menghasilkan kerupuk yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan kerupuk yang ditambahkan boraks. Telah dilakukan penelitian penggunaan bahan tambahan pangan yang lain sebagai pengganti boraks pada pembuatan kerupuk nasi, yaitu CMC (Carboxy Methyl Cellulose) atau karboksi metil selulosa dan STTP (Sodium Tripolyphosphate) atau natrium tripolifosfat yang tidak mengganggu kesehatan. CMC dapat meningkatkan daya serap air dan memperbaiki tekstur adonan yang kadar glutennya rendah, sedangkan fungsi umum bentuk fosfat dalam makanan antara lain meningkatkan daya ikat air dan hidrasi, pencegahan pengerasan dan sebagai pengawet makanan.STPP dapat menyerap, mengikat dan menahan air, meningkatkan water holding capacitydan keempukan serta menghasilkan kerupuk yang mengembang. STPP (Sodium Tripolyphosphate) digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering danmengeras. Sodium tripolifosfat dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan boraks pada makanan. Perbandingan STPP dan bleng (boraks) adalah STPP lebih aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya diatur dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988. STPP dapat menghambat

pertumbuhan bakteri pada kerupuk sehingga mengurangi kerusakan bahan makanan akibat mikroba, hal ini disebabkan penurunan Aw (water activity) bahan dan terjadinya pengikatan kation logam yang bersifat esensial bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu, STPP juga berfungsi sebagai untuk meningkatkan kekenyalan, kerenyahan, memberikan rasa gurih dan kepadatan terutama pada jenis makanan yang mengandung pati. STPP merupakan bahan tambahan pada makanan yang aman sebagai pengganti boraks dan tidak merubah fungsi boraks pada kerupuk nasi (Astika, 2015).

Meskipun hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada sampel yang mengandung boraks, tetapi boraks masih bisa ditemukan pada makanan lain. Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang penelitian bahwa pada tanggal 08 Juni 2016 BPOM Kota Pekanbaru melakukan sidak jajanan ramadhan di tiga lokasi. Dari 26 sampel makanan yang ada terdapat dua jenis makanan yang positif mengandung boraks yaitu pisang cokelat yang dibungkus menggunakan kulit lumpia dan makanan berbahan dasar mie kuning. Sedangkan pada penelitian ini tidak ditemukan adanya kulit lumpia di pasar tradisional Kota Pekanbaru yang positif mengandung boraks.

Dalam peraturan Menteri Kesehatan dengan acuan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menekankan aspek keamanan dan UU No.7/1996 tentang pangan. Selain mengatur aspek keamanan mutu, dan gizi, juga mendorong terciptanya pedagang yang jujur dan bertanggung jawab serta terwujudnya tingkat kecukupan pangan yang terjangkau sesuai kebutuhan masyarakat (Cahyadi, 2009).

Page 19: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Elvi, Identifikasi Boraks Pada Kulit Lumpia Dan Kerupuk Nasi 17

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan1. Hasil analisa kualitatif boraks

menggunakan metode nyala api menunjukkan hasil negatif untuk semua sampel kulit lumpiayang dijual di pasar tradisional Kota Pekanbaru.

2. Hasil analisa kualitatif boraks menggunakan metode nyala api menunjukkan hasil negatif untuk semua sampelkerupuk nasi yang dijual di pasar tradisional Kota Pekanbaru.

Saran1. Bagi peneliti perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut terhadap bahan tambahan kimia lain yang dilarang khususnya pengawet seperti Diethylpyrocarbonate (DEPC) pada produk-produk minuman ringan (nonkarbonasi), minuman sari buah, dan minuman hasil fermentasi.

2. Bagi masyarakat sebaiknya lebih cermat dan selektif dalam memilih makanan yang aman agar tidak salah memilih makanan.

DAFTAR PUSTAKAAmertaningtyas, D., 2011. Pengolahan

Kerupuk Rambak Kulit di Indonesia. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 21(3), pp.18–29.

Aminah dan Himawan. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam Kehidupan. Bandung: Salamadani

Anonim, 2015. http://datariau.com/pekanbaru/waspada-bpom-temu kan-kerupuk-dan-mie-basah-di-pekanbaru-mengandung-boraks. Diakses pada tanggal 29 Juni 2017.

Anonim.2016.http://www.antarariau.com/berita/74021/sidak-pasar-

ramadan-bbpom-temukan-makanan-mengandung-boraks-di-ronggowarsito

Anonim.2016.http://www.pom.go.id/new/index.php/view/berita/10359/Sidak-Tim-Terpadu-Jejaring-Keamanan-Pangan.html

Astika, M., 2015. Formulasi Pembuatan Kerupuk Karak dengan Penambahan Sodium Tripolyphosphate (STTP).Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Barak, S., Mudgil, D., & Khatkar, B.S. 2013.Relationship of Gliadin and Glutenin Proteins with Dough Rheology, Flour Pasting and Bread Making Performance of Wheat Varieties.LWT-Food Science and Technolog, 51 :211-217.

BPOM, 2016. http://www.pom.go.id/new/index.php/view/berita/10105/Konferensi-Pe rs-Hasil-Pengawasan-Pasar-Aman---Kerupuk-Nasi-Mengandung-Boraks.html. Diakses pada tanggal 29 Desember 2016.

BPOM, 2016. http://www.pom.go.id/new/index.php/view/berita/11154/Balai-Besar-POM-di-Peka nbaru-Beraksi-di-12-Kabupaten-dan--Kota-di-Provinsi-Riau.html. Diakses pada tanggal 05 Juli 2017.

Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan Edisi 2 Cetakan I.Jakarta : Bumi Aksara

Choiril & Agustina S, A., 2014. Penetapan Kadar Boraks

Page 20: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

18 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 9-21

dalam Kerupuk Gendar secara Asidimetri. , pp.38-44.

Damayanti, D.A., Wahyuni, W., & Wena, M. 2014.Kajian Kadar Serat, Kalsium, Protein, dan Sifat Organo-leptik Chiffon Cake Berbahan Mocaf Sebagai sebagai Alternatif Pengganti Terigu. Jurnal Teknologi Kejuruan, 37 (1) :73-82.

Darminto, P. 2012. Boraks dalam Makanan Mempengaruhi Kesehatan. Jakarta :http://www.irwantoshut.net/kanker_makanan.html.[17Januari 2013 jam 20.05]

Depkes R.I. 2002. Pedoman Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Bagi Industri. Jakarta.

Dwiyanti, E.R., Widjanarko, S.B. & Purwantiningrum, I., 2015. Pengaruh Penambahan Gel Porang ( Amorphophallus muelleri Blume ) pada Pembuatan Kerupuk Puli.Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(4), pp.1521–1530.

Fardiaz, S. 2007. Bahan Tambahan Makanan. Institut PertanianBogor. Bandung.http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20PM/0110.pdf [18 Mei 2010].

Faridah, A., Pada, K.S., Yulastri, A., & Yusuf, L. 2008. Patiseri Jilid I. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar

dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Fuad, A., 2013. Peningkatan Daya Jual Produk Kerupuk Gendar melalui Re-Design Logo pada Perusahaan Pabrik Kerupuk Gunung Cupu. Jurnal Inosains, 8(2), pp.112–118.

Fuadi, R. et al., 2016. Pemeriksaan Kandungan Boraks pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Pidie Jaya. Jurnal Medika Veterinaria, 10(2), pp.123–124.

Hasanah, A. 2010. Analisa Kadar Boraks Dalam Bakso. Medan : Universitas Sumatera Utara

Koswara, S., 2009. Pengolahan AnekaKerupuk. Ebookpangan.com

Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat

Lamun.2008. Berbisnis Kue Lumpia Surabaya. PT. Erlangga. Jakarta

Maharani, B. & Sofianti, S.P.D., 2015. Ipteks bagi Masyarakat Perajin Kerupuk Puli di Lingkungan Gumuk Kerang Kelurahan Sumbersari Kabupaten Jember.

Menkes RI, 2012. Permenkes No.33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Mulyana, Susanto, W.H. & Purwantiningrum, I., 2014. Pengaruh Proporsi (Tepung Tempe Semangit: Tepung Tapioka) dan Penambahan Air terhadap Karakteristik Kerupuk Tempe Semangit.

Page 21: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Elvi, Identifikasi Boraks Pada Kulit Lumpia Dan Kerupuk Nasi 19

Jurnal Pangan dan Agroindustri, 2(4), pp.113–120.

Nasution, A. 2009.Analisa Kandungan Boraks pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.Skripsi FKM USU, Medan.

Ningsih, R., 2014. Penyuluhan Hygiene Sanitasi Makanan dan Minuman, serta Kualitas Makanan yang Dijajakan Pedagang Di Lingkungan SDN Kota Samarinda. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(1), pp.64–72. Available at: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/3071.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012.Tentang Bahan Tambahan Pangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004.Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan

Pongsavee, M., 2009. Effect of Borax on Immune Cell Proliferation and Sister Chromatid Exchange in Human Chromosomes. Journal of Occupational Medicine and Toxicology, 6, pp.1–6.

Rahayu, WP, Wulandari N, Nurfaidah D, Koswara S, Subarna, Kusumaningrum HD. 2011. Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama. Bogor: IPB Press. pada jurnal ”Rahmadani, 2013. Identifikasi Boraks pada Siomay di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.Program Studi D-III

Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Palangka Raya.”

Rasyad, H. 2004. Peluang Bisnis Tepung. Jakarta : Elek Media Komputindo

Riandini, N. 2008.Bahan Kimia dalam Makanan dan Minuman.Shakti Adiluhung. Bandung.

Rohman, A dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Saparinto, Cdan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan.Yogyakarta: Kanisius.

Setyowati, A., 2010. Penambahan Natrium Tripolifosfat dan CMC (Carboxy Methyl Cellulose) pada Pembuatan Karak. Jurnal AgriSains, 1(1), pp.40–49.

Soekarto, S.T. 1990. Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan.Dirjen Perguruan Tinggi Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 350 hal.

Sugito, Rusmarilin, H. & Lubis, L.M., 2013. Studi Pembuatan Kerupuk dari Ubi Kayu dengan Penambahan IkanPora-pora (The Study of Kerupuk Making from Casava with Pora-pora Fish Replenishment). Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian, 1(4), pp.20–28.

Sugiyatmi, S., 2006. Analisis Faktor-Faktor Risiko Pencemaran

Page 22: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

20 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 9-21

Bahan Toksik Boraks dan Pewarna pada Makanan Jajanan Tradisional yang Dijual di Pasar-Pasar Kota Semarang Tahun 2006.Universitas Diponegoro Semarang.

Sugiyono, Musinah, S. & Rukanah, 2009. Analisa Kandungan Boraks sebagai Boron pada Gendar yang Diproduksi oleh Industri Rumah Tangga di Daerah Ambarawa. Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik, 6(1), pp.33–38.

Suhanda, R. 2012. Higiene Sanitasi Pengolahan dan Analisa Boraks pada Bubur Ayam yang Dijual di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2012.Skripsi . Medan: Universitas Sumatera Utara.

Suklan, H. 2002. Apa dan Mengapa Boraks dalam Makanan.Penyehatan Air dan Sanitasi (PAS) ; Vol . IV Nomor 7.

Sulta, P. 2013. Analisis Kandungan Zat Pengawet Boraks pada Jajanan Bakso di SDN Kompleks Mangkura Kota Makassar [Skripsi].Makassar: Universitas Hasanuddin

Svehla, V. 1985.Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.Diterjemahkan oleh Setiono L., et all., edisi kelima. Jakarta : PT. Kalman Media Pustaka.

Syah, D. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Triatama, J., 2014. Identifikasi Kandungan Boraks pada Keripik Usus Ayam (Berizin) yang Dijual di Pasar Besar Kota Kuala Kapuas Kalimantan Tengah.Universitas Muhammadiyah Palangkaraya.

Tubagus, I., Citraningtyas, G. &Fatimawali, 2013. Identifikasi dan Penetapan Kadar Boraks dalam Bakso Jajanan di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi, 2(4), pp.142–148.

Ulfa, A.M., 2015. Identifikasi Boraks pada Pempek dan Bakso Ikan secara Reaksi Nyala dan Reaksi Warna. Jurnal Kesehatan Holistik, 9(3), pp.151–157.

Wardayati, T. 2012. Boraks. Tersedia di http://intisari-online.com/read/bahan kimia-berbahaya-pada-makanan [diakses tanggal 25 Mei 2013]

Widyaningsih, T. D. dan Murtini,ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Jakarta: Trubus Agrisarana.

Wijaya, CH dan Mulyono N. 2012. Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Bogor: IPB Press pada jurnal ”Rahmadani, 2013. Identifikasi Boraks Pada Siomay di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Program Studi D-IIIFarmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Palangka Raya.

Yuliarti dan Nurheti. 2009. Awas! Bahaya di Balik Lezatnya

Page 23: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Elvi, Identifikasi Boraks Pada Kulit Lumpia Dan Kerupuk Nasi 21

Makanan. Edisi I. Yogyakarta: Andi.

Yulizar, Wientarsih, I. & Amin, A.A., 2014. Derajat Bahaya Penggunaan Air Abu, Boraks dan Formalin pada Kuliner Mie Aceh yang Beredar di Kota X Provinsi Aceh

terhadap Manusia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 4(2), pp.145–151.

Zulaikah, S., 2011. Analisa Kandungan Boraks pada Kerupuk di Pasar Tradisional Kabupaten Malang Tahun 2011. , 2(2).

Page 24: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

GAMBARAN POLA MAKAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DAN KEBIASAAN MEROKOK PADA

PENDERITA SINDROMA METABOLIK DI INSTANSI NON KESEHATAN

(Description of dietary habit, physical activities, history disease and smoking habit in patients with metabolic syndrome in non-health institutions)

Maghfirahmah Amsyah Putri*, Ayu Lestari*, dan Stephani*, Muharni**Program Studi D-III Gizi Politeknik Kesehatan Riau

ABSTRAK

Pendahuluan: Meningkatnya angka kejadian SM terjadi akibat peningkatan kasus obesitas. Laporan dari National Cholestrol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) menunjukkan peningkatan prevalensi SM remaja periode 1988- 1992 ke periode 1999-2000, yaitu dari 4,2% menjadi 6,4%. Prevalensi laki laki yang mengalami SM ternyata lebih besar dibanding perempuan, yaitu 9,1% dibanding 3,7%. Penelitian lain yang dilakukan di Depok (2001), menunjukkan prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteriaNational Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) dengan modifikasi Asia Pasifik, terdapat pada 25.7% pria dan 25% wanita. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pola makan, aktivitas fisik, riwayat penyakit keluarga dan kebiasaan merokok pada penderita sindroma metabolik di instansi non kesehatan. Metode: deskriptif observasional dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Maret –Agustus 2017. Teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling dengan kriteria inklusi yaitu memenuhi 3 dari 5 kriteria sindroma metabolik. Jumlah sampel penelitian adalah 32 responden. Hasil: jenis makanan yang sering dikonsumsi responden untuk jenis makanan pokok adalah nasi, lauk hewani adalah daging ayam, lauk nabati adalah tempe, sayuran adalah wortel, dan untuk buah-buahan adalah pepaya. Frekuensi makan repsonden sebagian besar lebih dari 3 kali sehari (71,87%). Asupan makan responden termasuk dalam kategori lebih yaitu karbohidrat (62,5%), lemak (71,87%), protein (81,25%), dan natrium (46,87%). Sebagian besar responden berada pada kategori aktivitas fisik sedang (59,38%). Responden yang melakukan aktivitas fisik sedang dengan frekuensi cukup sebesar 57,89%. Responden yang melakukan aktivitas fisik sedang dengan durasi cukup sebesar 68,43%. Responden dengan status perokok sebesar 34,4%. Jumlah rokok per hari tertinggi adalah 5-14 batang sebanyak 21,9%. Responden yang memiliki riwayat penyakit keluarga yaitu sebesar 43,8%.

Kata Kunci : Sindroma metabolik, pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, riwayat penyakit keluarga

22

Page 25: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 23

ABSTRACT

Introduction: Increasing the incidence of SM occurs due to increased cases of obesity. Reports from the National Cholestrol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) showed an increase in the prevalence of adolescent SM in the 1988- 1992 period from 1999-2000, from 4.2% to 6.4%. The prevalence of men with SM was greater than for women, with 9.1% versus 3.7%. Another study conducted in Depok (2001), showed the prevalence of metabolic syndrome using the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) criteria with Asia Pacific modification, in 25.7% of men and 25% of women. The purpose of this study was to know the description of diet, physical activity, family history and smoking habit in patients with metabolic syndrome in non-health institutions. Method: descriptive observational with cross sectional study design. The research was conducted in March - August 2017. The sampling technique is purposive sampling with inclusion criteria that meet 3 of 5 criteria of metabolic syndrome. The number of sample is 32 respondents. Result:the type of food that respondents often consume for staple food type is rice, animal side dish is chicken meat, vegetable side dish is tempe, vegetable is carrot, and for fruits is papaya. The frequency of eating repsonden most of the more than 3 times a day (71.87%). Feeding of respondents included in the category of more that is carbohydrate (62,5%), fat (71,87%), protein (81,25%), and sodium (46,87%). Most of the respondents are in the category of moderate physical activity (59.38%). Respondents who do moderate physical activity with enough frequency equal to 57,89%. Respondents who do moderate physical activity with a duration of 68.43%. Respondents with smoker status of 34.4%. The highest number of cigarettes per day is 5-14 sticks as much as 21.9%. Respondents who have a family history of 43.8%.

Keywords: Metabolic syndrome, diet, physical activity, smoking habit, family history of disease

PENDAHULUAN Pada tahun 1988, Reaven

menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien-pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular yang disebutnya sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom resistensi insulin dan akhirnya sindroma metabolik.

Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum timbulnya penyakit diabetes mellitus dan kardiovaskular

lainnya. Sedangkan sindrom resistensi insulin atau sindroma metabolik adalah kumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut (Soegondo & Purnamasari, 2004).

Sindroma Metabolik (SM) adalah suatu istilah untuk kelompok faktor resiko penyakit jantung dan diabetes mellitus tipe 2. Faktor resiko tersebut terdiri dari dislipidemia atherogenik, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya plasma glukosa, keadaan protrombiotik, dan keadaan pro-peradangan. Reaven (1998) menyatakan bahwa SM bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan sekumpulan kelainan

Page 26: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

24 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

metabolisme, yang ditandai dengan obesitas visceral, meningkatnya kadar trigliserida, glukosa, rendahnya kadar HDL dan hipertensi. Ada 2 penyebab utama SM yang saling berinteraksi, yaitu obesitas dan ketentuan metabolisme endogenus. SM diprediksi menyebabkan kenaikan 2 kali lipat resiko terjadinya penyakit jantung dan lima kali lipat pada penyakit diabetes mellitus tipe 2 (Sargowo & Andarini, 2011).

Meningkatnya angka kejadian SM terjadi akibat peningkatan kasus obesitas. Laporan dari National Cholestrol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) menunjukkan peningkatan prevalensi SM remaja periode 1988- 1992 ke periode 1999-2000, yaitu dari 4,2% menjadi 6,4%. Prevalensi laki laki yang mengalami SM ternyata lebih besar dibanding perempuan, yaitu 9,1% dibanding 3,7%. Prevalensi SM pada remaja Cina dan Indonesia yang obesitas di Jakarta utara dan Jakarta Selatan sebesar 19,14% untuk laki-laki dan 10,63% untuk perempuan. Penelitian SM pada orang dewasa pernah dilakukan di Surabaya dengan kriteria NCEP-ATP III didapatkan prevalensi sebesar 32% (Sargowo & Andarini, 2011).

Menurut Soegondo dan Purnamasari (2004), prevalensi sindroma metabolik di Indonesia adalah sebesar 13,13% dan menunjukkan bahwa kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2. Penelitian lain yang dilakukan di Depok (2001), menunjukkan prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) dengan modifikasi

Asia Pasifik, terdapat pada 25.7%pria dan 25% wanita.

Faktor gaya hidup, aktivitas fisik dan asupan terutama makanan, dianggap faktor utama yang berkontribusi terhadap kejadian sindrom metabolik. Asidosis metabolik ringan, disebabkan oleh pola makan yang buruk dan gangguan keseimbangan kalsium dan sitrat, dan kortisol yang disebabkan asidosis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk pengembangan obesitas, gangguan lipid, diabetes dan hipertensi (Masri, E & Utami, F, 2016).

Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi. Hal ini disebabkan karena kuantitas dan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi asupan gizi sehingga akan mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat (Permenkes No. 14,2014).

Makan dalam jumlah yang banyak tidak diimbangi dengan aktivitas fisik dapat menyebabkan obesitas yang selanjutnya membawa risiko masalah kesehatan terutama pada penyakit degeneratif dan sindroma metabolik. Di negara maju seperti Amerika, faktor gizi lebih memiliki risiko relatif 2,9 kali untuk menderita sindroma metabolik dibandingkan dengan kelompok yang memiliki asupan gizi normal (Yoo et al., 2004 dalam Harikedua & Tando, 2012).

Salah satu faktor seseorang panjang umur adalah riwayat penyakit keluarga. Riwayat penyakit keluarga memegang peranan 50 persen terhadap munculnya sindrom metabolik, begitu juga dengan tingkat konsumsi kalori yang berlebih, dapat digunakan hati

Page 27: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 25

sebagai bahan bakar untukmemproduksi lebih banyak trigliserida. Kenaikan berat badan akibat konsumsi kalori berlebih berdampak buruk bagi tekanan darah dan rentan terhadap masalah hipertensi, selanjutnya hipertensi dan kegemukan menjadi penyumbang faktor resiko munculnya penyakit jantung koroner dan mengakibatkan kematian (Magdalena dkk, 2014).

Berdasarkan teori, rokok merupakan produk utama dari tembakau yang mengandung unsur termasuk golongan senyawa polisiklik aromatichidrokarbon, mengandung nicotin CO, HCN, dan benzopyrene. Nikotin dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas dan meningkatkan terjadinya resistemsi insulin (Depkes, 2008). Selain itu, kebiasaan merokok dapat menurunkan kadar HDL kolesterol atau “kolesterol yang baik” dalam aliran darah, merokok juga dapat membuat darah mudah membeku, sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya penyumbatan arteri (Depkes, 2008).

Status gizi berhubungan dengan produktivitas pekerja kantoran, dimana pekerja kantoran berstatus gizi baik akan memiliki produktivitas kerja yang baik, begitu pula sebaliknya. Selain berpengaruh ter hadap produktivitas kerja, obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama timbulnya gangguan metabolik atau dikenal dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik merupakan sekelompok kondisi yang terjadi bersama-sama dan meningkatkan risiko terjadinya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung (cardiovascular disease), diabetes melitus tipe 2, stroke mau-pun kanker (Siti, dkk, 2014). Berdasarkan hal tersebut, peneliti

ingin mengetahui bagaimana gambaran pola makan, aktivitas fisik, riwayat penyakit keluarga dan kebiasaan merokok pada penderita Sindroma Metabolik.

METODE PENELITIANJenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif observasional dengan desain penelitian Cross Sectional yaitu suatu penelitian yang mencoba mengetahui mengapa masalah kesehatan tersebut bisa terjadi dimana variabel independen dan dependen diukur dalam waktu yang bersamaan.

Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian dilaksanakan di

Kantor Dinas Koperasi, Perdagangan dan UKM Provinsi Riau, Kantor Pos Pekanbaru dan di SMK N 07 Pekanbaru. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Agustus tahun 2017.

Populasi dan SampelPopulasi dalam penelitian ini

adalah pegawai kantor Dinas Koperasi, Perdagangan dan UKM Provinsi Riau, pegawai Kantor Pos Pekanbaru dan Guru beserta staf di SMK N 07 Pekanbaru yang berjumlah 108 orang.

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan menggunakan kriteria inklusi sebagai berikut :- Laki-laki dan perempuan- Bersedia menjadi responden- Memenuhi 3 dari 5 kriteria

Sindrom Metabolik (Obesitas, DM, Hipertensi, Dislipidemia, Hipertrigliseridemia) (Bimandama & Soleha, 2016).

Page 28: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

26 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

Jenis dan Cara Pengumpulan DataData yang diperoleh secara

langsung dari responden. Data tersebut dikumpulkan dengan caradan menggunakan instrumen sebagai berikut :1. Sindroma Metabolik,

dikumpulkan dengan metode pengukuran yang terdiri dari data lingkar perut, data tekanan darah, data kadar gula darah puasa, data kadar kolesterol HDL, dan data kadar trigliserida.a. Data lingkar perut, diperoleh

dengan mengukur lingkar perut responden menggunakan pita meter. Adapun prosedur pemeriksaan lingkar perut sebagai berikut :1) Ditetapkan titik batas tepi

tulang rusuk paling bawah.2) Ditetapkan titk ujung

lengkung tulang pangkal panggul. Ditetapkan titik tengah antara titik tulang rusuk terakhir, titik ujung lengkung tulang pangkal panggul dan ditandai titik tengah tersebut dengan alat tulis.

3) Responden berdiri tegak dan bernafas normal.

4) Ditarik pita meter mulai dari titik tengah, kemudian secara sejajar hizontal melingkari pinggang dan perut kembali menuju titik tengah diawal pengukuran mendekati 0,1 cm.

5) Bila responden mempunyai perut gendut ke bawah, pita meter dilingkarkan mulai dari bagian yang paling buncit berakhir sampai pada titik tengah tersebut (Depkes RI, 2007).

b. Data tekanan darah, diperoleh dengan mengukur tekanan

darah responden menggunakan alat tensimeter digital. Berikut prosedur pengukuran tekanan darah :1) Responden duduk

beristirahat setidaknya 5-15 menit sebelum pengukuran.Pegukuran dilakukan sebelum responden senam dan makan.

2) Manset dipasang pada lengan atas. Posisi lengan tidak tegang dengan telapak tangan terbuka ke atas. Ujung bawah mancet terletak kira- kira 1–2 cm di atas siku. Posisi pipa manset terletak sejajar dengan lengan atas responden.

3) Pengukuran dilakukan pada posisi duduk meletakkan lengan kanan responden di atas meja sehinga manset yang sudah terpasang sejajar dengan jantung responden.

4) Tekan tombol power untuk menyalakan tensimeter digital, maka secara perlahan-lahan manset akan mengembang dan setelah mencapai tekanan yang ditentukan perlahan-lahan manset akan mengempes antara 2 – 5 mmHg/detik.

5) Catat angka yang ditunjukkan pada layar tensimeter digital.

c. Data kadar glukosa darah, data kadar kolesterol HDL dan data kadar trigliserida diperoleh melalui kuesioner skrining.

2. Data aktivitas fisik, dikumpulkan dengan metode wawancara terkait aktivitas fisik yang dilakukan responden dalam seminggu terakhir. Wawancara menggunakan kuesioner IPAQ (2005).

Page 29: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 27

3. Data mengenai pola makan diperoleh melalui pengisian kuesioner Food Recall 3x24 jam dengan mengukur jenis,frekuensi dan asupan makan. Food Recall dilaksanakan pada hari yang yang berbeda dan tidak berturut-turut, dimana dilaksanakan pada 2 hari kerja dan 1 hari akhir pekan (Sabtu/Minggu).

4. Data mengenai riwayat penyakit keturunan dan kebiasaan merokok, yang dikumpulkan dengan metode wawancara kepada responden yang diperoleh melalui pengisian kuesioner.

Data sekunder digunakan untuk melengkapi dan mendukung data primer. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah : data mengenai gambaran umum lokasi penelitian, yang diperoleh dari institusi terkait.

Pengolahan DataData mengenai jenis, frekuensi

dan asupan makanan berasal dari penilaian kuisioner yang telah ditanyakan kepada responden. Kuisioner berisi tentang bahan makanan yang dikonsumsi selama 24 jam yang lalu. 1. Data hasil pengkajian Food Recall

24 jam digunakan untuk mengetahui jenis dan frekuensi makan yang dikonsumsi.

2. Data hasil pengkajian Nutrisurvey digunakan untuk mengetahui asupan makan yang dikonsumsi dan dikategorikan sebagai berikut :• Kategori baik : 80-110%• Kategori kurang : <80%• Kategori lebih: >110%

(WNPG,2004)Data aktivitas fisik diolah

dengan metode International Physical Activity Quationnaire

(IPAQ). Cara penilaian dari alat ukur ini adalah :1. Walking MET-menit/minggu =

3,3 * waktu berjalan kaki (dalam menit) * jumlah hari.

2. Moderate MET-menit/minggu = 4,0 * waktu melakukan aktivitas fisik sedang (dalam menit) * jumlah hari.

3. Vigorous MET-menit/minggu =8,0 * waktu melakukan aktivitas fisik berat (dalam menit) * jumlah hari.

4. Total aktivitas fisik MET-menit/minggu = total dari aktivitas berjalan kaki + aktivitas fisik sedang + aktivitas fisik berat (Asih, 2015).

Selanjutnya, hasil analisis tingkat aktivitas fisik menurut Guidelines for Data Processing and Analysis of the IPAQ dapat diklasifikasikan sebagai berikut :1. Tingkat aktivitas fisik tinggi, bila

memenuhi salah satu kriteria:a. Aktivitas intensitas berat 3 hari

atau lebih yang mencapai minimal 1500 METs-menit/minggu, atau

b. kombinasi berjalan, aktivitas intensitas berat, dan sedang yang mencapai minimal 3000 METs-menit/minggu.

2. Tingkat aktivitas fisik sedang, bila memenuhi salah satu kriteria:a. Aktivitas intensitas berat 3 hari

atau lebih selama 20 menit/hari,

b. Aktivitas intensitas sedang atau berjalan minimal 30 menit/hari selama 5 hari atau lebih, atau

c. Aktivitas intensitas berat, kombinasi berjalan yang mencapai 600 METs-menit/minggu selama 5 hari atau lebih.Tingkat aktivitas fisik rendah,

apabila tidak memenuhi semua

Page 30: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

28 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

kriteria di atas (Booth et al dalam Sudibjo, Arovah, & A, 2013).Langkah – langkah pengolahan data ini antara lain sebagai berikut:a. Editing, yaitu melengkapi isian

dalam kuesioner yang belum lengkap.

b. Coding, yaitu member kode pada masing - masing jawaban untuk memudahkan pengolahan data.

c. Pemasukan (entry) DataData yang telah diberikan

nama dan diperiksa kelengkapannya lalu dimasukkan keprogram statistik secara berurutan sesuai pertanyaan yang ada dikuisioner.

Analisis DataAnalisis univariat bertujuan

untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada penelitian ini, analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan variabel sindroma metabolik, pola makan, aktivitas fisik, riwayat penyakit keluarga dan kebiasaan merokok pada pegawai kantoran. Hasil yang diperoleh dari uji univariat, masing-masing variabel ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASANGambaran Umum Lokasi Penelitian

Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Provinsi Riau merupakan perangkat daerah yang memiliki posisi yang strategis untuk mensukseskan program –program pemerintah karena berkaitan langsung dengan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat. Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Riau merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mempunyai tugas sesuai dengan Peraturan

Daerah Provinsi Riau Nomor 2 Tahun 2014 tentang organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Riau. Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil Menengah Provinsi Riau, pada Bab 11 Pasal 2 Dinas mempunyai tugas pokok menyelenggarakan perumusan kebijakan, pelaksanaan, koordinasi, fasilitasi, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pada Sekretariat, Bidang Koperasi, Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Bidang Fasilitasi Pembiayaan dan Jasa Keuangan dan Bidang Penyuluhan dan Promosi serta menyelenggarakan kewenangan yang dilimpahkan Pemerintah kepada Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sumber Daya SKPD di Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Provinsi Riau terdiri dari para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tenaga honorer. Jumlah Sumber Daya Manusia Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah Provinsi Riau per 31 Desember 2015 berjumlah 93 orang.

PT. Pos Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan milik negara yang bergerak dibidang jasa pengiriman surat dan telegraf yang berdiri sejak masa pemerintahan belanda. Letak kantor pusat PT. Pos Indonesia di Pekanbaru adalah di jalan Jend. Sudirman. Adapun yang menjadi visi kantor pos pusat sudirman adalah menjadi perusahaan pos terpercaya. Yaitu menjadi perusahaan pos yang berkemampuan memberikan solusi terbaik dan menjadi pilihan utama stakeholder domestik maupun global dalam mewujudkan pengembangan bisnis dengan pola kemitraan, yang didukung oleh sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas. Misi PT Pos Indonesia adalah memberikan

Page 31: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 29

solusi terbaik bagi bisnis, pemerintah, dan individu melalui penyediaan sistem bisnis dan layanan komunikasi tulis, logistic, transaksi keuangan, dan filateli berbasis jejaring terintegrasi, terpercaya dan kompetitif di pasar domestik dan global.

SMKN 7 Pekanbaru merupakan Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi dan Informasi yang berlokasi di Jl. Yos sudarso Rumbai-Pekanbaru. Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Pekanbaru sebagai salah satu sekolah yang baru memulai kegiatan pembelajaran pada tahun pelajaran 2009/2010, sesuai dengan Surat Keputusan Bapak Wali Kota Pekanbaru No. 10496502.SK.114/2009 Tanggal 6 Mei 2009. SMKN 7 Pekanbarumemiliki empat jurusan yaitu TKJ(Teknik Komputer dan Jaringan),MM (Multimedia), RPL (RekayasaPerangkat Lunak), dan Animasi.

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 32 orang dari 108 pegawai yang bersedia diwawancara.

Karakteristik RespondenSampel penelitian dibagi

berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan, dan status gizi. Distribusi sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini :

Tabel 5.1Distribusi Sampel Berdasarkan

Karakteristik SampelKarakteristik Responden n %

Jenis kelamin Laki-laki 21 65,63

Perempuan 11 34,37Umur

23-29 tahun 4 12,5

30-49 tahun 16 50

50-57 tahun 12 37,5

Tingkat pendidikan

SLTA/SMA Sederajat 7 21,87

D3 1 3,13

S1 23 71,87

S2 1 3,13

Status gizi Normal (18,5-22,9) 1 3,13

Berat badan lebih (23-24,9) 3 9,37 Obesitas I (25-29,9) 19 59,37 Obesitas II (> 30) 9 28,13

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa jumlah sampel terbanyak berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki (65,63%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sargowo dan Andarini (2011) yang mengemukakan bahwa prevalensi laki-laki yang mengalami SM lebih besar dibanding dengan perempuan, yaitu 9,1% dibanding 3,7%. Sitepoe (1993) menjelaskan bahwa laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi dari pada perempuan untuk terjadinya Akut Miokard Infark (AMI), karena pada laki-laki tidak mempunyai efek protektif antiaterogenik yang dipengaruhi oleh hormon esterogen seperti perempuan. Hormon esterogen meningkatkan kadar HDL sehingga menekan kadar LDL dalam darah. Meningkatnya usia seseorang risiko kerentanan terhadap aterosklerosis koroner meningkat sehingga dapat terkena serangan Infark Miokard Akut (IMA), namun jarang timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun sedangkan usia 40 tahun hingga 60 tahun insiden infark miokard meningkat lima kali lipat.

Berdasarkan umur sampel terbanyak adalah berumur 30-49tahun (50%). Hal ini sesuai dengan penelitian Suheama dkk (2015) menunjukkan seseorang yang berusia 40 tahun keatas berisiko mengalami sindrom metabolik sebanyak 1,951 kali dibandingkan dengan usia

Page 32: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

30 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

dibawahnya. Faktor usia juga memengaruhi kejadian sindrom metabolik. Semakin bertambah usia, risiko sindrom metabolik semakin meningkat. Pertambahan usia ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah yang mengalami penurunan, sehingga risiko hipertensi dan terbentuknya endapan aterosklerosis juga bertambah.

Berdasarkan status gizi jumlah sampel yang paling banyak adalah sampel yang mengalami obesitas I (59,37%) menggunakan standar IMT Asia Pasifik. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Wati dkk (2016) bahwa bardasarkan hasil analisis statistik didapatkan bahwaada hubungan yang bermakna antara Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap sindrom metabolik dengan nilai p = 0,011 < α (0,05). Hal ini sama dengan teori menurut Wildman (2004) yang menyebutkan bahwa seiring dengan peningkatan masalah obesitas, dikenal sindrom metabolik yang terdiri dari obesitas sentral, resistensi insulin, hipertensi dan dislipidemia. Laki-laki dan perempuan yang mengalami obesitas berdampak pada tingginya tekanan darah sistolik dan diastolik, kolesterol total, kolesterol LDL, dan triasil gliserol, namun kadar kolesterol HDL rendah.

Berdasarkan tingkat pendidikan sampel yang terbanyak adalah S1 (71,87%). Hal ini sejalan dengan penelitian Wulandari dkk (2013) yang menyatakan bahwa penderita yang mengalami sindrom metabolik memiliki DM tipe 2 yangterdiagnosis menderita diabetes ≥ 5 tahun adalah tamatan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan seseorang sangat menentukan kemudahan dalam menerima setiap pembaharuan. Semakin tinggi

pendidikan seseorang, maka semakin tanggap beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin dapat menghasilkan keadaan sosioekonomi yang semakin baik dan kemandirian yang semakin mantap pula. Pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik yang saling berhubungan. Pendidikan dapat menentukan jenis pekerjaan seseorang. Pekerjaan akan mempengaruhi pendapatan yang diterima oleh seseorang. Pendapatan dapat mempengaruhi daya beli keluarga akan bahan makanan yang bergizi karena tingkat penghasilan menentukan jenis pangan yang akan dibeli. Dengan meningkatnya pendapatan dan adanya perubahan gaya hidup, maka dapat mengancam kehidupan penduduk golongan menengah ke atas serta kelompok usia lanjut. Ancaman tersebut akan berupa makin meningkatnya prevalensi penyakit non infeksi, terutama dalam bentuk kegemukan, penyakit jantung, diabetes melitus.

Kejadian Sindroma MetabolikSindroma Metabolik

merupakan sekumpulan faktor risiko yang saling berkaitan dan mengarah pada penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. Sekumpulan faktor risiko tersebut antara lain obesitas abdominal/sentral, kenaikan kadar gula darah, kenaikan tekanan darah, kenaikan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL (Alberti et al., 2009). Seseorang dikatakan menderita Sindroma Metabolik ketika didapatkan minimal 3 kriteria berisiko diantara 5 kriteria yang diukur.

Page 33: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 31

Tabel 5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Data Sindroma

MetabolikKasus Frekuensi

(n)Persentase

(%)Sindroma Metabolik

32 29,63

Non Sindroma Metabolik

76 70,37

Jumlah 108 100

Berdasarkan Tabel 5.2 diperoleh informasi bahwa sebanyak 29,63% pegawai menderita Sindroma Metabolik. Selanjutnya, masing-masing kriteria sindroma metabolik dijabarkan guna mengetahui kriteria mana yang paling dominan.

Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kriteria Sindroma

MetabolikKriteria Sindroma

MetabolikFrekuensi

(n)Persentase

(%)Obesitas sentral 32 100Hiperglikemi 30 93,75Hipertensi 28 87,5Hipertrigliserida 7 21,87Hiperkolesterolemia 7 21,87

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa kriteria Sindroma Metabolik yang dominan adalah obesitas sentral dengan persentase sebesar 100%. Kriteria kedua yang paling banyak adalah gula darah, dimana sebanyak 93,75% yang memiliki gula darah diatas normal. Kriteria ketiga yang paling banyak adalah tekanan darah, dimana sebanyak 87,5% yang memiliki tekanan darah diatas normal. Kriteria yang terakhir adalah trigliserida dan kolesterol HDL, dimana sebanyak 21,87% memiliki kadar trigliserida di atas normal dan kadar HDL di bawah normal.

Keberadaan obesitas abdominal / sentral, resistensi insulin dan hipertensi sebagai komponen yang dominan ditemukan pada penderita Sindroma Metabolik juga

didukung oleh beberapa penelitian di beberapa tempat. Penelitian-penelitian tersebut antara lain adalah National Health and Nutrition Survey (NHANES) di Amerika Serikat dengan kriteria NCEP ATP III menyebutkan Sindroma Metabolik meningkat seiring dengan meningkatnya resistensi insulin (Dwipayana et al., 2011). Kemudian penelitian di Makasar (Herman A, 2003 dalam Dwipayana et al., 2011), penelitian penduduk Amerika keturunan Arab (Jaber et al., 2004) dan penelitian di Bali (Dwipayana et al., 2011) yang menyebutkan Sindroma Metabolik meningkat seiring dengan meningkatnya obesitas abdominal. Dan pada penelitian di Jakarta dan Semarang menyebutkan bahwa hipertensi merupakan kriteria yang sering ditemukan pada penderita laki-laki, sedangkan obesitas abdominal sering ditemukan pada penderita perempuan.

Analisis UnivariatJenis Makanan

Jenis makanan yang diteliti terdiri dari kelompok makanan pokok, lauk hewani (ikan,daging dan telur), lauk nabati (kacang-kacangan dan hasil olahannya), sayuran dan buah-buahan.A. Makanan Pokok

Makanan pokok adalah makanan yang dianggap memegang peranan paling penting dalam susunan hidangan. Pada umumnya makanan pokok berfungsi sebagai sumber utama kalori atau energi dalam tubuh dan memberi rasa kenyang. Bahan makanan pokok di Indonesia dapat berupa beras (serealia), akar dan umbi, serta ekstrak tepung seperti sagu (Sediaoetama, 2006). Urutan bahan makanan pokok yang

Page 34: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

32 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

biasa dikonsumsi pekerja kantoran dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut ini:

Tabel 5.4 Jenis Makanan Pokok yang Biasa Dikonsumsi Responden

No Jenis Makanan1 Nasi2 Mie Kering3 Mie basah4 Bihun5 Tepung Terigu6 Tepung Beras7 Roti

Berdasarkan Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa jenis makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi adalah nasi, sedangkan untuk makanan pokok yang paling jarang dikonsumsi adalah roti. Nasi menjadi makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi karena nasi sudah menjadi makanan pokok utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia.

B. Lauk Pauk Pada umumnya lauk- pauk

merupakan sumber utama protein di dalam hidangan yang berfungsi sebagai zat pembangun. Berdasarkan sumbernya, lauk- pauk digolongkan menjadi dua yaitu lauk- pauk hewani seperti daging, ikan, telur, dan sebagainya dan lauk-pauk tumbuhan seperti kacang- kacangan dan hasil olahan kacang seperti tempe dan tahu (Sediaoetama, 2006).

1. Lauk Pauk HewaniLauk pauk hewani merupakan

bahan makanan yang berasal dari hewan, seperti daging, ikan dan telur. Urutan lauk pauk hewani yang biasa dikonsumsi pekerja kantoran dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut ini :

Tabel 5.5 Jenis Lauk Hewani yang biasa Dikonsumsi Responden

No Jenis Makanan1 Daging ayam2 Telur ayam3 Ikan4 Hati ayam5 Bakso6 Daging sapi

Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa lauk hewani yang paling banyak dikonsumsi adalah daging ayam. Selain daging ayam, lauk hewani yang paling jarang dikonsumsi adalah daging sapi. Menurut informasi yang diperoleh dari responden adalah daging ayam banyak dikonsumsi karena responden banyak menyukai daging ayam dan lebih murah dan mudah diperoleh dari pada daging sapi.

2. Lauk Pauk NabatiLauk pauk nabati merupakan

bahan makanan yang berasa dari tumbuh-tumbuhan, seperti kacang-kacangan dan hasil olahannya. Urutan lauk pauk nabati yang biasa dikonsumsi pekerja kantoran dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut ini :

Tabel 5.6 Jenis Lauk Nabati yang Biasa Dikonsumsi Responden

No Jenis Makanan1 Tempe2 Tahu3 Kacang Hijau

Berdasarkan Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa lauk nabti yang paling banyak dikonsumsi adalah tempe, dimana tempe paling sering dikonsumsi responden dengan cara digoreng. Selain tempe, lauk nabati yang paling jarang dikonsumsi adalah kacang hijau. Menurut informasi yang diperoleh dari responden adalah tempe banyak dikonsumsi karena

Page 35: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 33

responden lebih menyukai tempe ketimbang tahu dan kacang hijau, sedangkan kacang hijau biasanya di buat untuk bubur yang dikonsumsi dipagi hari ataupun saat sore hari.C. Sayuran

Sayuran ini termasuk bahan nabati dan umumnya meruapakan penghasil vitamin dan mineral, namun ada juga beberapa jenis sayur dan buah yang menghasilkan energi dalam jumlah yang cukup berarti. (Sediaoetama, 2006). Urutan sayuran yang biasa dikonsumsi pekerja kantoran dapat dilihat pada Tabel 5.7 berikut ini :

Tabel 5.7 Jenis Sayuran yang biasa Dikonsumsi RespondenNo Jenis Makanan1 Wortel2 Brokoli3 Buncis4 Jamur5 Sawi putih

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah wortel, sedangkan jenis sayuran yang paling jarang dikonsumsi oleh responden adalah sawi putih. Menurut informasi yang diperoleh dari responden adalah wortel banyak dikonsumsi karena responden lebih menyukai wortel ketimbang sayuran yang lain.D. Buah-buahan

Buah-buahan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memegang peranan penting bagi pembangunan pertanian di Indonesia. Fungsi buah-buahan sangat penting bagi proses metabolisme tubuh karena mengandung banyak vitamin dan mineral (Sediaoetama, 2006). Urutan buah-buahan yang biasa

dikonsumsi pekerja kantoran dapat dilihat pada Tabel 5.8berikut ini :

Tabel 5.8 Jenis Buah yang biasa Dikonsumsi Responden

No Jenis Makanan1 Pepaya2 Semangka3 Pisang4 Jeruk5 Melon6 Mangga7 Anggur8 Rambutan

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat dilihat bahwa sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah pepaya, sedangkan jenis sayuran yang paling jarang dikonsumsi oleh responden adalah rambutan. Menurut informasi yang diperoleh dari responden adalah pepaya mudah diperoleh dan bagus untuk proses pencernaan ketimbang buah yang lain.

Frekuensi MakanFrekuensi makan adalah

sejumlah pengulangan yang dilakukan dalam hal mengonsumsi makanan baik kualitatif maupun kuantitatif yang terjadi secara berkelanjutan. Frekuensi makan juga dapat diartikan sebagai seberapa seringnya seseorang melakukan kegiatan makan dalam sehari makan utama yang biasanya diberikan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang dan makan malam) (Oktaviani, 2011).

Frekuensi makan utama pada responden yang mengalami sindrom mestabolik dapat dilihat pada Tabel 5.9 :

Page 36: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

34 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

Tabel 5.9 Frekuensi Makan Utama Responden

Frekuensi Makan n % 3 kali sehari 3 9,37 < 3 kali sehari 6 18,75 > 3 kali sehari 23 71,87

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa banyak pekerja kantoran yang frekuensi makan utama lebih dari 3 kali sehari 71,87%, sedangkan paling sedikit frekuensi makan utama 3 kali sehari 9,37%. Hal ini disebabkan berdasarakan hasil recall banyak pekerja kantoran yang masih memiliki kebiasaan makan yang berlebih. Pada saat wawancara responden belum mengerti dan memahami pola makan yang baik dan seimbang. Hal ini sesuai dengan penelitian Mokolensang, dkk (2016),dimana penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek dalam penelitian ini mempunyai status gizi obesitas sentral berdasarkan hasil pengukuran lingkar pinggang, jika dilihat dari indeks masa tubuh subjek dalam penelitian ini 50% diantaranya tergolong obesitas dan overweight. Dalam penelitian ini dilakukan eksplorasi terkait frekuensi makan subjek bahwa subjek mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat cenderung lebih sering adalah nasi, mie, kentang goreng bahkan frekuensinya bisa mencapai 4-7 kali sehari.

Asupan MakananJumlah asupan makan pada

pekerja kantoran dapat dilihat pada Tabel 5.10 berikut ini :

Tabel 5.10 Asupan Makan Responden

Jenis asupanKategori Asupan TotalKurang Baik Lebih

n % n % n % Karbohidrat 3 9,37 9 28,12 20 62,5 32Lemak 4 12,5 5 15,62 23 71,87 32Protein 2 6,2 4 12,5 26 81,25 32Natrium 9 28,12 8 25 15 46,87 32

Berdasarkan Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa sebagian besar asupan makanan masuk dalam kategori lebih berdasarkan WNPG (2004) yaitu karbohidrat (62,5%), lemak (71,87%), protein (81,25%) dan natrium (46,87%). Berdasarkan hasil recall 3 X 24 jam sebanyak 3 kali ( makanan hari biasa 2 hari dan makanan yang dikonsumsi pada hari libur), bahwa pekerja kantoran banyak yang mengkonsumsi makanan yang diolah dengan cara digoreng dan makanan yang diolah menggunakan santan, dimana bahan makanan yang diolah dengan cara tersebut banyak mengandung minyak. Hal ini tidak jauh beda dengan penelitian Suhaema (2015) yang menunjukkan adanya akumulasi lemak tubuh yang banyak tersebut (obesitas) berdampak terhadap kejadian resistensi insulin, yang merupakan predisposisi dari kejadian sindrom metabolik.

Jenis Aktivitas FisikAktivitas fisik responden

dalam seminggu diukur dengan menggunakan rumus total MET-menit/minggu yaitu dengan menjumlahkan aktivitas berjalan dengan aktivitas sedang dan aktivitas berat. Kemudian hasil yang diperoleh diklasifikasikan menjadi 3 golongan yaitu ringan, sedang, dan berat berdasarkan kriteria IPAQ (2005).

Page 37: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 35

Tabel 5.11 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Aktivitas Fisik

Aktivitas Fisik Frekuensi (n)

Persentase (%)

Ringan 13 40,62Sedang 19 59,38Berat 0 0Jumlah 32 100

Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa tidak ada satupun responden yang memiliki aktivitas fisik berat. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden melakukan aktivitas fisik sedang (59,38%) dengan total MET-nya di antara 700–2100 MET-menit/minggu dan sisanya memiliki aktivitas fisik rendah dengan total MET-nya < 600 MET-menit/minggu.

Responden yang memiliki nilai terendah pada kategori aktivitas fisik sedang yaitu 706,5 MET-menit/minggu (terlampir), dengan cara rata-rata melakukan pekerjaan rumah tangga (seperti menyapu, mengepel) sebanyak 3 kali dalam seminggu selama 30 menit. Kemudian responden juga melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain sebanyak 7 kali dalam seminggu selama 15 menit. Hal tersebut sebagaimana disebutkan IPAQ (2005) termasuk jenis aktivitas fisik intensitas sedang.

Responden yang memiliki nilai terendah pada kategori aktivitas fisik rendah yaitu 273 MET-menit/minggu, dengan cara melakukan aktivitas fisik intensitas sedang 2 kali seminggu selama 30 menit serta berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain sebanyak 1 kali seminggu selama 10 menit.

Aktivitas fisik akan membakar energi dalam tubuh, dengan demikian jika asupan kalori dalam tubuh berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang seimbang

dan cukup maka akan menyebabkan tubuh mengalami kegemukan (Sudikno dkk, 2010). Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan obesitas karena ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran energi (Djausal, 2015). Aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko utama kegemukan dan obesitas (Widiantini & Tafal, 2014).

Soetardjo (2011) menyebutkan bahwa pada usia dewasa seseorang mulai berisiko menderita penyakit degeneratif dan pada usia lansia, aktivitas fisik dan kebutuhan gizi semakin banyak berkurang dan kerusakan sel-sel semakin banyak terjadi. Oleh karena itu penting menyeimbangkan pola makan dengan aktivitas fisk berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Frekuensi Aktivitas FisikAktivitas fisik adalah setiap

gerakan tubuh yang meningkatkanpengeluaran tenaga/energi dan pembakaran energi. Aktivitas fisikdikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik atau olahraga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalamseminggu (PGS, 2014). Berikut distribusi responden berdasarkan frekuensi aktivitas fisik yang dilakukan pegawai kantor Dinas Koperasi, Perdagangan dan UKM Provinsi Riau :

Tabel 5.12 Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Aktivitas

Fisik

Aktivitas Fisik

FrekuensiTotal≥ 3 x

/minggu< 3x

/minggun % n % n %

Ringan 1 7,69 12 92,31 13 100Sedang 11 57,89 8 42,11 19 100

Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang

Page 38: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

36 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

melakukan aktivitas ringan dengan frekuensi ≥ 3x /minggu sebanyak 7,69% dan responden yang melakukan aktivitas fisik ringan dengan frekuensi < 3x /minggu sebanyak 92,31%. Responden hanya melakukan aktivitas fisik ringan dengan cara berjalan kaki dengan frekuensi 1-2 kali dalam 1 minggu serta responden juga lebih sering duduk hingga lebih dari 5 jam pada saat bekerja di kantor.

Untuk responden yang melakukan aktivitas fisik sedang dengan frekuensi ≥ 3x /minggu sebanyak 57,89% dan frekuensi < 3x /minggu adalah sebesar 42,11%. Aktivitas fisik sedang yang banyak dilakukan responden adalah melakukan pekerjaan rumah tangga (seperti menyapu, mengepel), serta melakukan aktivitas seperti berjalan cepat.

Seseorang dengan aktivitas fisik ringan, memiliki kecenderungan sekitar 30%-50% terkena hipertensi dibandingkan seseorang dengan aktivitas sedang atau berat. Orang yang sering berjalan kaki dapat menurunkan tekanan darah sekitar 2 % (± 1 mmHg TDS dan TDD) (Kelley, 2001). Orang yang suka melakukan aktivitas aerobik akan mengalami penurunan tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHgTDD baik yang mengalami hipertensi maupun yang tidak mengalami hipertensi (Whelton dkk, 2002).

Durasi Aktivitas FisikAktivitas fisik dikategorikan

cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik atau olah raga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5hari dalam seminggu (PGS, 2014). Berikut distribusi durasi aktivitas

fisik yang dilakukan pegawai kantor Dinas Koperasi Provinsi Riau :

Tabel 5.13 Distribusi Sampel Berdasarkan Durasi Aktivitas

Fisik

Aktivitas Fisik

DurasiTotal≥ 90

menit/minggu< 90

menit/minggun % n % n %

Ringan 0 0 13 100 13 100Sedang 13 68,43 6 31,57 19 100

Berdasarkan tabel 5.13 dapat diketahui bahwa responden yang melakukan aktivitas fisik ringan dengan durasi < 90 menit/minggu sebanyak 100%. Hal ini dikarenakan responden lebih banyak duduk pada saat di kantor ataupun di rumah.

Untuk responden yang melakukan aktivitas fisik sedang dengan kategori durasi ≥90menit/minggu terdapat sebanyak 68,43%. Alokasi waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas fisik sedang seperti melakukan pekerjaan rumah bisa menghabiskan waktu rata-rata 30 menit perhari.

Menurut Plotnikoff (2006) dalam Canadian Journal of Diabetes, aktivitas fisik merupakan kunci dalam pengelolaan diabetes melitus terutama sebagai pengontrol gula darah dan memperbaiki faktor resiko kardiovaskuler seperti menurunkan hiperinsulinemia, meningkatkan sesnsitifitas insulin, menurunkan lemak tubuh, serta menurunkan tekanan darah. Aktivitas fisik sedang yang teratur berhubungan dengan penurunan angka mortalitas sekitar 45-70% pada populasi diabetes melitus tipe 2 serta menurunkan kadar HbA1c ke level yang bisa mencegah terjadinya komplikasi (Umpierre et al., 2011).

Aktivitas fisik teratur dapat meningkatkan HDL dan menurunkan

Page 39: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 37

kolesterol, LDL, trigliserida dan berat badan. Aktivitas teratur akan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase dan menurunkan aktivitas enzim hepatic lipase. Lipoprotein lipase akan menghidrolisis trigliserida dan VDVL sehingga meningkatkan konversi VLDL dan IDL. Sebagian IDL akan dikonversi menjadi LDL oleh hepatic lipase dan sisanya akan diambil oleh hati dan jaringan perifer dengan perantara reseptor LDL. Mekanisme inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kolesterol, LDL dan peningkatan HDL pada peningkatan aktivitas fisik (Giesberg dan Karmally, 2000).

Gambaran Kebiasaan MerokokMerokok adalah kegiatan

menghisap rokok yang dilakukan responden baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Kebiasaan merokok pada penelitian ini dilihat dari kebiasaan merokok, usia mulai merokok, kebiasaan merokok setiap hari, jumlah rokok yang dihisap perhari.

Tabel 5.14 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebiasaan MerokokKarakteristik Responden n %

Kebiasaan Merokok Perokok 11 34,4

Bukan Perokok 21 65,6Masih Merokok

Ya 11 34,4

Bukan Perokok 21 65,6

Usia Mulai Merokok > 10 tahun 10 31,3

< 10 tahun 1 3,1

Frekuensi Merokok

Setiap Hari 10 31,3

Tidak Setiap Hari 1 3,1

Jumlah Rokok per Hari 1-4 batang 1 3,1

5-14 batang 7 21,9 >15 batang 3 9,4

Berdasarkan tabel 5.14diketahui bahwa karakteristik responden tertinggi adalah yang tidak memiliki kebiasaan merokok. 100% dari responden yang memiliki kebiasaan merokok, masih merokok sampai sekarang. Dari 32 sampel responden, 31,3 % responden mulai merokok pada usia diatas 10 tahun, sedangkan 3,1 responden mulai merokok pada usia kurang dari 10 tahun. 31,3% responden memiliki kebiasaan merokok setiap harinya. Dari 34,4% responden yang merokok, 21,9% diantaranya merokok sebanyak 5 hingga 14 batang perhari.

Kebiasaan merokok responden yang sedikit yaitu 34,4% sesuai dengan hasil penelitian Fitria (2015), dimana tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian sindrom metabolik dengan kebiasaan merokok. Semakin banyak jumlah rokok yang dikonsumsi berkorelasi signifikan (p < 0,05) dengan tekanan darah diastol yang rendah dan ukuran lingkar perut yang besar.

Hasil penelitian yang melibatkan perawat Amerika Serikat dalam jumlah yang besar, di antara orang-orang yang menderita sindrom metabolik, sebesar 1,31% mantan perokok, 1,43% perokok sedang (1-14 batang per hari), 1,64% (15-34 batang per hari) dan 2,19% (lebih dari 35 batang per hari) (Marewa, 2015). Kandungan nikotin dalam rokok menyebabkan insulin tidak dapat bekerja dengan baik, yang disebut resistensi insulin,memperburuk metabolisme gula di dalam darah hingga menyebabkan kanker. Sindrom metabolik, menurunnya daya dan kemampuan insulin serta merokok, mempunyai hubungan yang kuat dan saling memengaruhi, sehingga ketiga

Page 40: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

38 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

kondisi tersebut saling bergandengan. Perokok mempunyai risiko dua kali lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok.

Gambaran Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga dapat membuat anggota keluarga lainnya juga menderita penyakit yang sama. Diawali dalam sebuah keluarga dengan pola makan tidak benar sehingga salah satu orang tua mengidap diabetes, bila anggota keluarga lain tidak mengubah pola hidup besar kemungkinan akan mengidap penyakit yang sama (Almatsier, Soetardjo, Soekatri, 2011).

Tabel 5.15 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Penyakit

KeluargaKarakteristik Responden n %

Obesitas Ada Riwayat 3 9,4

Tidak Ada Riwayat 29 90,6Hipertensi

Ada Riwayat 11 34,4Tidak Ada Riwayat 21 65,6

Diabetes Ada Riwayat 9 28,1

Tidak Ada Riwayat 23 71,9Jantung

Ada Riwayat 5 15,6Tidak Ada Riwayat 27 84,8

Riwayat Penyakit Keluarga Ada Riwayat 14 43,8

Tidak Ada Riwayat 18 56,3

Berdasarkan tabel 5.15 diketahui bahwa karakteristik responden tertinggi tidak memiliki riwayat penyakit obesitas (90,6%). Begitu juga dengan hipertensi. 65,6% responden tidak memiliki anggota keluarga yang menderita penyakit hipertensi. Untuk riwayat keluarga

dengan penyakit jantung, 84,8% responden tidak memiliki keluarga yang menderita penyakit jantung. Secara keseluruhan, dari 32 responden ada 43,8% responden yang memiliki riwayat penyakit keluarga dan 56,3% tidak memiliki riwayat penyakit keluarga.

Faktor keturunan mempengaruhi obesitas dan hal ini dihubungkan dengan fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene, penanda dan kromosom telah dihubungkan dengan fenotip obesitas. Penelitian tentang gen ini telah mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs)manusia dan 168 QTLs dari hewan percobaan untuk obesitas.

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gen obesitas menunjukkan bahwa terdapat beberapa gen yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas. Gen the beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah gen yang paling banyak di uji dan telah menunjukkan hubungan dengan terjadinya obesitas. Gen-gen lain yang juga telah diteliti dalam lima model penelitian berbeda yang dapat mempengaruhi obesitas adalah gen LEPR, gen ADBR2, gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen GNB3, gen LDLR, TNFRSFI B, POMC, APOB,APOD dsb (Bray, 2006).

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :1. Jenis makanan yang sering

dikonsumsi responden untuk jenis makanan pokok adalah nasi, lauk hewani adalah daging ayam, lauk nabati adalah tempe, sayuran

Page 41: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 39

adalah wortel dan untuk buah-buahan adalah papaya.

2. Frekuensi makan responden sebagian besar lebih dari 3 kali sehari (71,87%).

3. Sebagian besar asupan makan responden termasuk dalam kategori lebih berdasarkan WNPG (2004) yaitu karbohidrat (62,5%), lemak (71,87%), protein (81,25%) dan natrium (46,87%).

4. Tidak ada satupun responden yang berada pada kategori aktivitas fisik berat. Sebaliknya, sebagian besar responden berada pada kategori aktivitas fisik sedang (59,38%).

5. Persentase responden yang melakukan aktivitas fisik ringan dengan frekuensi < 3x /minggu sebanyak 92,31%. Persentase responden yang melakukan aktivitas fisik sedang dengan frekuensi ≥ 3x /minggu adalah sebesar 57,89%.

6. Persentase responden yang melakukan aktivitas fisik ringan dengan durasi < 90 menit/minggu sebanyak 100%. Persentase responden yang melakukan aktivitas fisik sedang dengan durasi ≥ 90 menit/minggu sebanyak 68,43%.

7. Responden dengan status perokok yaitu sebesar 34,4% dan semuanya masih merokok. Usia mulai merokok > 10 tahun yaitu 31,3%, frekuensi merokok setiap hari yaitu 31,3%. Jumlah rokok per hari tertinggi adalah 5-14batang (21,9%).

8. Berdasarkan riwayat penyakit keluarga, responden yang memiliki riwayat penyakit keluarga yaitu sebesar 43,8%.

Saran1. Bagi responden untuk dapat

memperbaiki pola makan yang berlebih yang terdiri dari jenis makan, frekuensi makan yang berlebih dan asupan makan yang berlebih dengan mengontrol pola makan yang konsisten dengan cara menerapkan pola makan yang seimbang sesuai dengan pedoman gizi seimbang.

2. Bagi responden perlu mempertahankan dan meningkatkan aktivitas fisik seperti menggunakan tangga untuk menaiki gedung perkantoran ataupun menjauhkan parkir kendaraan agar lebih banyak berjalan menuju kantor.

3. Bagi responden untuk dapat memperbaiki gaya hidup yang tidak sehat menjadi gaya hidup yang sehat. Hindari minuman beralkohol, hilangkan kebiasaan merokok, mulai pola makan yang benar dan olahraga secara teratur.

DAFTAR PUSTAKAAlmatsier, Sunita. (2002). Prinsip Dasar

Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Asih, R. A. F. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan pada Pasien Systemic Lupus Erithematosus (SLE).Universitas Negeri Semarang.

Bimandama, M. A., & Soleha, T. U. (2016). Hubungan Sindrom Metabolik dengan Penyakit Kardiovaskular. Majority, 5(2), 49–55.

Djausal, A.N. (2015). Effect of Central Obesity As Risk Factor of Metabolic Syndrome. Jurnal Majority, 4(3), 20-21.

Fahad, M. (2013). Hubungan Pola

Page 42: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

40 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 22-41

Makan dengan Metabolic Syndrome dan Gambaran Aktivitas Fisik Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Tahun 2013. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Gibney, J.,Margaretts ,M.,Kearney , J. & Arab, L.2008.Gizi Kesehatan Masyarakat.Jakarta:EGC Harahap, M., & Mochtar, Y. (2016). Gambaran Rasio Lingkar Pinggang Pinggul, Riwayat Penyakit dan Usia pada Staff Pegawai Polres Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(2), 140–144.

Giesberg, H.N., Karmally, W. (2000). Nutrition, Lipids and Cardiovascular Disease dalam Biochemical and Physiological Aspect of Human Nutrition. WB Saunders Company: Philadelphia 917-944.

Harikedua, V. T., & Tando, N. M. (2012). Aktifitas Fisik dan Pola Makan Dengan Obesitas Sentral Pada Tokoh Agama Di Kota Manado. Gizido, 4(1), 289–298.

Herwati, & Sartika, W. (2014). Terkontrolnya Tekanan Darah Penderita Hipertensi Berdasarkan Pola Diet dan Kebiasaan Olah Raga Di Padang Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat,8(1), 8–14.

Kelli, H. M., Kassas, I., & Lattouf, O. M.2015. Cardio Metabolic Syndrome : A Global Epidemic. Journal Diabetes & Metabolism,6(3).

Khomsan, Ali; Anwar, Faisal; Sukandar, Dadang; Riyadi, H. 2006. Studi Tentang Pengetahuan Gizi Ibu Dan Kebiasaan Makan Pada Rumah Tangga Di Daerah Dataran Tinggi Dan Pantai. Gizi Dan Pangan.

Kulsum, I. D., & Yunus, F. 2016. Sindrom Metabolik pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) Metabolic Syndrome in Chronic Obstructive Pulmonary Disease ( COPD ). J Respir Indonesia,36(1), 47–59.

M, R. G., Sahelangi, O., & Widodo, G. 2015. Pola Makan,Asupan Zat Gizi, Dan Status Gizi Anak Balita Bawah Garis Merah Di Pesisir Pantai Desa Tatangesan Dan Makalu Wilayah Kerja Puskesmas Pusomaen. GIZIDO, 7(1).

Olsson AG, Schwartz GG, Szarek M,et al. 2005. High density lipoprotein, bt not low density lipoprotein cholesterol levels in fluence short term prognosis after acute coronary syndrome: results from the MIRICAL trial. Eur Heart J: 26: 890-896.

PERKENI. 2011. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Semarang: PB PERKENI.

Permenkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Pedoman Giz iSeimbang.Jakarta:Depkes RI.

Plotnikoff, R. C., (2006). Physical Activity in the Management of Diabetes: Population-based Perspectives and Strategies. Canadian Journal of Diabetes. 30: 52-62.

Prasasti, H. E., & Utari, D. M. (2013). Jenis Kelamin dan Umur Sebagai Faktor Predominan Lingkar Pinggang Pada Guru Sekolah Dasar Di Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan Tahun 2013. FKM UI.

Page 43: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Maghfirahmah Amsyah Putri, Gambaran Pola Makan, Aktivitas Fisik 41

Rini, S. (2015). Sindrom Metabolik. Jurnal Majority, 4(4), 88–93.

Rochmah, W., Prabandari, Y. S., Setyawati, L. K., Ilmu, B., Komunitas, K. M., Universitas, F. K.,Gadjah, U. 2014. Prevalensi Sindrom Metabolik pada Pekerja Perusahaan The Prevalence of Metabolic Syndrome among Company Workers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,9(2), 113–120.

Rohman, M. S. 2007. Patogenesis dan Terapi Sindrom Metabolik, 28(2), 160–168.

Sargowo, D., & Andarini, S. 2011. The Relationship Between Food Intake and Adolescent Metabolic Syndrome Pengaruh Komposisi Asupan Makan terhadap Komponen Sindrom Metabolik pada Remaja. Jurnal Kadiologi Indonesia, 32(1), 14–23.

Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa.Jakarta: Dian Rakyat.

Soetardjo, S. (2011). Gizi Usia Dewasa : Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Almatsier et al (Ed). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Srikanthan,K.,Feyh,A.,Visweshwar,H.,Shapiro, J. I., & Sodhi, K. 2016. Systematic review of metabolic syndrome biomarkers: A panel for early detection, management, and risk stratification in the West Virginian population. International Journal of Medical Sciences,13(1), 25–38.

Sudikno., Herdayati, M., dan Besral. (2010). Hubungan Aktivitas Fisik dengan Obesitas pada Orang Dewasa di Indonesia. Jurnal Gizi Indon, 33(1), 37-49.

Sulistyoningrum, E. 2010. Tinjauan

molekular dan aspek klinis resistensi insulin. Mandal a of Health, 4(2), 131–138.

Suoth, M., Bidjuni, H., & Malara, R. T. 2014. Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara. Ejournal Keperawaan (E-Kp), 2(1), 1–10.

Sudibjo, P., Arovah, N. I., & A, R. L. (2013). Tingkat Pemahaman Dan Survei Level Aktivitas Fisik, Status Kecukupan Energi Dan Status Antropometrik Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK UNY. Medikora, 11(2), 183–203.

Suoth, M., Bidjuni, H., & Malara, R. T. (2014). Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara. Ejournal Keperawaan (E-Kp), 2(1), 1–10.

Umpierre et al., (2011). Physical Activity Adviced Only or Structured Excercise Training and Association with HbA1C Levels in Type 2 Diabetes. American Medical Association. 35:107.

Widiantini, W., dan Tafal, Z. (2014). Aktivitas Fisik, Stres, dan Obesitas pada Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8(7), 330-336.

WNPG. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI, Jakarta.

Page 44: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI KELURAHAN

KAMPUNG TENGAH KOTA PEKANBARU TAHUN 2017

Melinda Susanti S*, Juraida Roito Hrp*

*Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Riau

ABSTRAK

Stunting merupakan salah satu masalah gizi kronis yang ditandai dengan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur. Dampak kejadian stunting pada masa yang datang diantaranya adalah pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang terhambat, memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kronis yang tidak menular, serta persalinan dengan sectio caesarea karena dikaitkan dengan ukuran panggul yang tidak sesuai pada wanita dewasa yang memiliki tubuh pendek.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 6-12 Bulan. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain Cross Sectional yang dilaksanakan bulan September 2016-Juli 2017 di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki bayi berusia 6-12 bulan periode Maret-Mei 2017 berjumlah 74 orang. Sampel penelitian ini berjumlah 62 orang yang diambil menggunakan teknik Proportionate Stratified Random Sampling. Analisis data menggunakan uji statistik Chi-square pada derajat kepercayaan 95% . Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara tinggi badan ibu (p=0,000), berat badan lahir (p=0,021), panjang badan lahir (p=0,039), ASI eksklusif (p=0,021) dengan kejadian stunting pada bayi usia 6-12 bulan dan tidak ada hubungan antara usia ibu saat hamil (p=0,273) dan jarak kehamilan (p=1,000) dengan kejadian stunting pada bayi usia 6-12 bulan.Disarankan kepada bidan untuk meningkatkan upaya pencegahan kejadian stunting pada bayi dengan cara deteksi dini di posyandu.

Kata kunci : Stunting, tinggi badan ibu, jarak kehamilan, BBLR, panjang badan lahir, ASI eksklusif .

Daftar bacaan : 48 (2002-2016)

PENDAHULUANSalah satu tujuan dalam

agenda pembangunan berkelanjutan tahun 2030/ Sustainable Development Goals (SDGs) adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi yang memiliki 8 target. Menurut Kemenkes RI (2015) penurunan angka stunting pada balita merupakan salah satu target Internasional tahun 2025 karena

termasuk perhatian khusus sektor kesehatan. Istilah stunted (pendek) atau severely stunted (sangat pendek) merupakan suatu masalah gizi kronis yang ditandai oleh pertumbuhan tinggi badan atau panjang badan yang tidak sesuai dengan umur berdasarkan ambang batas Z-scoremenurut WHO antara -3 SD sampai dengan -2 SD (Kepmenkes RI, 2010).

42

Page 45: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melinda Susanti S, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 43

Pada tahun 2016 prevalensi stunting di provinsi Riau masih tinggi yaitu 29,7% meskipun persentase ini telah mengalami penurunan dari sebelumnya yaitu 34,1% pada tahun 2013. Persentase balita sangat pendek di kota Pekanbaru adalah 1,69% dan persentase balita pendek adalah 6,97%. Hasil survey yang dilakukan oleh dinas kesehatan kota Pekanbaru didapatkan bahwa angka kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmaslangsat kecamatan Sukajadi adalah 21 orang dengan persentase kejadian stunting 15% dari jumlah 140 balita yang ditimbang, dan 11 diantaranya berada pada kelurahan Kampung Tengah wilayah kerja Puskesmas Langsat (Dinas kesehatan kota pekanbaru, 2016).

Dampak kejadian stuntingdapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental anak yang terhambat akan cenderung menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitifnya sehingga keadaan ini berpengaruh pada kurangnya produktivitas dalam belajar maupun bekerja pada usia dewasa. Seseorang yang memiliki kemampuan dan produktivitas yang rendah sering berada dalam keadaan kemiskinan karena tidak dapat menghasilkan penghasilan tambahan yang memungkinkan untuk hidup lebih baik dan mendapatkan gizi yang baik (Astuti Lamid, 2015).

Upaya untuk menurunkan angka kejadian stunting adalah dengan dengan suatu program kebijakan yang disebut dengan Scaling Up Nutrition (SUN) yang dikenal di Indonesia dengan sebutan gerakan 1000 hari kehidupan yang dimulai sejak bayi dalam kandungan selama 270 hari dan terus berlanjut

hingga 730 hari pertama setelah bayi lahir. Intervensi yang diberikan pada ibu adalah perbaikan gizi dan kesehatan ibu sejak hamil, pemberian makanan tambahan pada ibu yang mengalami KEK (kekurangan energi kronis), pemberian minimal 90 tablettambah darah selama kehamilan, melakukan IMD saat dilahirkan, pemberian ASI eksklusif yang berlanjut hingga usia 2 tahun, pemberian makanan pendamping ASI sejak usia 6 bulan, pemberian vitamin A, dan imunisasi dasar lengkap. (Kemenkes RI, 2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor (tinggi badan ibu, usia ibu saat hamil, jarak kehamilan, berat badan lahir, panjang badan lahir, ASI eksklusif) yang berhubungan dengan kejadianstunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru Tahun 2017.

METODE PENELITIANJenis penelitian adalah

penelitian analitik dengan desain cross sectional. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2016-Juli 2017 di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru. Populasi penelitian adalah ibu yang memiliki bayi usia 6-12 bulan berjumlah 74 bayi dan sampel diambil menggunakan teknik Proportionate Stratified Random Sampling sebanyak 62 orang. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan uji statistic chi-square.

Page 46: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

44 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 42-51

HASIL PENELITIAN1. Analisis UnivariatTabel 1. Distribusi Bayi Berusia 6-12 Bulan Berdasarkan Kejadian Stunting di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru Tahun 2017.

2. Analisis BivariatTabel 2. Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

Tinggi Badan

Ibu

Kejadian stunting Jumlah Pvalue ORTidak Ya

n % n % N %

0,000 4,33

Normal(≥ 145

cm)52 94,5 3 5,5 55 100

Pendek(< 145

cm)2 28,6 5 71,4 7 100

Jumlah 54 87,1 8 12,9 62 100

Tabel 3. Hubungan Usia Ibu saat Hamil dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

Usia Ibu saat

Hamil

Kejadian Stunting Jumlah Pvalue OR

Tidak Ya n % n % N %

0,273 2,66Resiko Rendah 48 88,9 6 11,1 54 100

Resiko Tinggi 6 75,0 2 25,0 8 100

Jumlah 54 87,1 8 12,9 62 100

Tabel 4. Hubungan Jarak Kehamilan (spacing) dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

Jarak Kehamilan(Spacing)

Kejadian StuntingJumlah

Pvalue

ORTidak Ya

n % n % N %

1,000 0,959Tidak beresiko

47 87,0 7 13,0 54 100

Beresiko 7 87,5 1 12,5 8 100

Jumlah 54 87,1 8 12,9 62 100

Tabel 5. Hubungan Berat Badan Lahir dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

Berat badan lahir

Kejadian Stunting Jumlah Pvalue OR

Tidak Yan % n % N %

0,002 2,78Normal 52 92,9 4 7,1 56 100

BBLR 2 33,3 4 66,7 6 100

Jumlah 54 87,1 8 12,9 62 100

Tabel 6. Hubungan Panjang Badan Lahir dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.Panjang badan lahir

Kejadian Stunting Jumlah Pvalue OR

Tidak Ya n % n % N %

0,039 5,75Normal 46 92,0 4 8,0 50 100Tidak normal 8 66,7 4 33,3 12 100

Jumlah 54 87,1 8 12,9 62 100

Tabel 7. Hubungan ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

ASI Eksklu-

sif

Kejadian StuntingJumlah P value OR

Tidak Yan % n % N %

0,021 1,25Ya 23 100 0 0,0 23 100

Tidak 31 79,5 8 20,5 39 100

Total 54 87,1 8 12,9 62 100

PEMBAHASAN1. Hubungan Tinggi Badan Ibu

dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

Hasil uji statistik ditemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting (p=0,000) dengan OR 4,33. Hal ini berarti bahwa bayi yang lahir dari ibu yang memiliki tinggi badan pendek memiliki resiko menjadi stunting sebesar 4,3 kali

No Kejadian stunting Frekuensi Persentase (%)

1. Ya 7 11,32. Tidak 55 88,7

Jumlah 62 100

Page 47: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melinda Susanti S, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 45

dibanding bayi yang lahir dari ibu yang memiliki tinggi badan ≥ 145 cm.

Berdasarkan teori diketahui bahwa pertumbuhan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor genetik, lingkungan, dan hormon. Genetik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan intensitas dan kecepatan dalam pembelahan sel telur, tingkat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya pertumbuhan tulang (Aziz, 2009).

Faktor genetik yang berpengaruh pada pertumbuhan tinggi badan bayi adalah ibu yang memiliki tinggi badan yang pendek. Hal ini terjadi karena gen pembawa kromosom memiliki kondisi patologis dimana gen tersebut mengalami defisiensi hormon pertumbuhan sehingga menurunkan secara genetik terhadap anaknya. Keadaan gagal tumbuh (stunted) ini akan terus berlanjut pada generasi berikutnya bila ibu yang memiliki genetik pendek tidak didukung oleh asupan nutrisi yang adekuat (Atmarita, 2015).

2. Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

Berdasarkan hasil uji chi-square ditemukan bahwa usia ibu hamil resiko rendah mayoritas tidak mengalami kejadian stunting 88,9% dan 11,1% lainnya mengalami kejadian stunting. sedangkan usia ibu resiko tinggi mayoritas tidak mengalami kejadian stunting 75% dan 25% lainnya mengalami kejadian stunting. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu saat hamil dengan kejadian stunting pada bayi usia 6-12 bulan (p=0,273).

Umur seorang ibu saat hamil akan berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Kehamilan pada usia kurang dari 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan kehamilan beresiko tinggi meskipun semua kehamilan dianggap beresiko. Kehamilan usia muda akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan janin tidak optimal karena secara biologis ibu belum optimal mengontrol emosi yang cenderung labil dan mental yang belum matang sehingga mudah mengalami depresi yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan gizi selama kehamilan. Seorang wanita yang hamil pada usia muda atau kurang dari 20 tahun akan mengalami kompetisi makanan dengan janinnya karena ibu masih mengalami masa pertumbuhan sesuai usia sedangkan bayi juga mengalami masa pertumbuhan dalam kandungan. Hal ini akan memperburuk pertumbuhan dan perkembangan janin bila suplai gizi ibu selama hamil kurang karena pada usia dibawah 20 tahun ibu hamil masih mengalami masa pertumbuhan (Sulistyoningsih, 2011).

3. Hubungan antara jarak kehamilan (spacing) dengan kejadian Stunting

Hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Kampung tengah mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting menunjukkan bahwa bayi dengan spacing tidak beresiko mayoritas tidak mengalami kejadian stunting (87%) dan 13% bayi lainnya mengalami kejadian stunting. Sedangkan bayi yang memiliki spacing beresiko mayoritas tidak mengalami kejadian stunting (87,5%)

Page 48: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

46 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 42-51

dan 12,5% lainnya mengalami kejadian stunting. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jarak kehamilan (spacing) dengan kejadian stunting (p=1,000).

Jarak kehamilan (spacing)yang ideal adalah lebih dari 2 tahun, selama 2 tahun tubuh bekerja untuk memperbaiki organ-organ reproduksi untuk mempersiapakan tubuh hamil kembali. Wanita dengan jarak kehamilan kurang dari 2 tahun akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan janin selama masa kehamilan karena sistem reproduksinya yang terganggu dan belum kembali sempurna sehingga Rahim kurang siap untuk terjadinya implantasi bagi embrio. Kondisi ibu yang lemah dapat berdampak pada kesehatan janin dan berat badan lahirnya (Yolan, 2007).

4. Hubungan berat badan lahir dengan kejadian Stunting pada bayi usia 6-12 bulan di Kelurahan Kampung Tengah Kota Pekanbaru tahun 2017.

Berat lahir merupakan salah satu indikator pengukuran untuk status gizi bayi dan balita dan umumnya sangat berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembanagan. Sehingga, dampak lanjutan dari bayi yang lahir dengan BBLR dapat berupa gagal tumbuh (Growth Faltering). Gagal tumbuh dapat terjadi sejak masa kehamilan, seorang bayi yang lahir dengan BBLR akan sulit dalam mengejar ketertinggalan pertumbuhan awal dari anak yang normal sehingga akan menyebabkan anak tersebut stunting(Unicef, 2010). Kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan terjadinya stunting pada umumnya terjadi dalam periode yang singkat

yaitu sebelum usia anak mencapai 2 tahun dan keadaan gagal tumbuh ini terus berlanjut pada kemudian hari.

Seorang anak perempuan yang mengalami kegagalan pertumbuhan akan menjadi seseorang yang pendek (stunted) dan ketika dewasa akan menjadi ibu hamil pendek yang cenderung melahirkan bayi BBLR dan anak yang dilahirkan lebih beresiko menjadi anak stuntingpula. Hal seperti ini merupakan intergenerasi terhadap pertumbuhan linear dimana anak stunting akan berkembang menjadi wanita dewasa pendek dan melahirkan anak yang pendek pula, keadaan seperti ini akan terus berulang jika selama hamil asupan nutrisi ibu kurang bergizi dan sebaiknya diimbangi dengan melakukan ANC yang berkualitas selama kehamilan (Astuti Lamid, 2015).

5. Hubungan antara panjang badan lahir dengan kejadian Stunting

Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara panjang badan lahir bayi dengan kejadian stunting (p=0,039) dan nilai OR = 5,750. Oleh karena itu, bayi dengan panjang badan lahir tidak normal memiliki resiko menjadi stunting sebesar 5,8 kali dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan panjang badan normal.

Hasil penelitian ini sejalan dengan literatur yang menjelaskan bahwa panjang badan lahir berhubungan dengan kejadian stunting. Panjang badan berdasarkan umur pada bayi 3-6 bulan merupakan cerminan dari gagalnya pertumbuhan yang berkelanjutan (stunting). WHO (1995) dalam Gibson 2005 menerangkan bahwa pengukuran

Page 49: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melinda Susanti S, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 47

panjang badan pada usia tiga bulan juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menskrining risiko stuntingselama tiga tahun kedepan. pada enam bulan pertama kehidupan panjang badan bayi dapat dinilai setiap satu bulan, sedangkan pada usia 6-12 bulan, panjang badan dapat dinilai setiap 2 bulan sekali. Defisit panjang badan merupakan hasil dalam waktu yang lama, jadi penilaian status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur dapat mencerminkan terjadinya malnutrisi pada bayi dalam beberapa keadaan (Gibson, 2005).

Bayi dengan panjang badan lahir pendek memiliki peluang untuk tumbuh pendek dibandingkan dengan anak yang lahir dengan panjang badan normal karena adanya gagal tumbuh yang telah terjadi sejak masa kehamilan. Akibat gagal tumbuh tersebut, dapat menyebabkan penurunan proporsi pada pertumbuhan skeletal (kerangka) tubuh. Keadaan gagal tumbuh yang terjadi sejak masa kehamilan dapat disebabkan oleh suplai gizi yang kurang dari plasenta untuk janin. Faktor asupan nutrisi dan penyakit memang mempengaruhi pertumbuhan anak, bila anak yang stunting diberikan asupan nutrisi yang memadai dan jarang terserang penyakit, maka anak akan mampu mencapai catch-up grow yang maksimal (Astuti Lamid, 2015).

6. Hubungan antara Riwayat ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting

Berdasarkan data yang ditemukan diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan yang diberikan ASI secara eksklusif 100% tidak mengalami kejadian stunting.Sedangkan bayi yang tidak diberikan

ASI secara eksklusif dan mengalami kejadian stunting sebesar 20,5%. Hasil uji chi-square pada derajat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI secara eksklusif dengan kejadian stunting (p= 0,021) dan nilai OR sebesar 1,258. Hal ini berarti bayi yang tidak diberikan ASI secara Eksklusif memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1,3 kali dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI secara Eksklusif sejak lahir.

Pada hasil penelitian bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif akan beresiko 1,25 kali mengalami stunting. Hal ini dapat terjadi karena ASI eksklusif merupakan suatu nutrisi yang dibutuhkan bayi dan memiliki fungsi sebagai antiinfeksi. Bayi yang diberikan susu formula cenderung lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan pernafasan. Pemberian ASI yang dicampur dengan susu formula dapat memenuhi kebutuhan zat gizi bayi, namun susu formula tidak memiliki zat antibodi sebaik kandungan antibodi pada ASI sehingga bayi lebih sering terkena penyakit. Hal ini dapat menyebabkan growth faltering atau mengalami defisiensi zat gizi karena bayi yang terkena infeksi biasanya akan mengalami kenaikan suhu tubuh sehingga kebutuhan zat gizi juga meningkat (Pudjiaji, 2005).

Setelah usia 6 bulan bayi diberikan ASI dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) karena dengan ASI saja (jumlah dan komposisi ASI mulai berkurang) tidak mampu mencukupi kebutuhan anak. Namun, ASI tidak harus digantikan oleh makanan utama. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini juga berhubungan dengan kejadian

Page 50: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

48 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 42-51

stunting pada anak karena pemberian MP-ASI yang terlalu dini sering menyebabkan diare pada bayi dan infeksi saluran cerna. Secara patofisiologi penyakit diare dan infeksi saluran cerna terjadi karena peningkatan kehilangan cairan atau zat gizi, mual dan muntah yang terus menerus dan kurangnya nafsu makan setelah sakit sehingga terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk kedalam tubuhnya dan dapat mengakibatkan kekurangan gizi (Arif N., 2009).

KESIMPULAN1. Kejadian stunting pada bayi usia

6-12 bulan ditemukan sebesar 12,9%.

2. Terdapat hubungan antara tinggi badan ibu (p=0,000), berat badan lahir (p=0,002), panjang badan lahir (p=0,039), dan ASI eksklusif (p=0,021) dengan kejadian stunting pada bayi usia 6-12 bulan.

3. Tidak terdapat hubungan antara usia ibu saat hamil (p=0,273) dan jarak kehamilan (spacing)(p=1,000) dengan kejadian stunting pada bayi usia 6-12bulan.

SARANDiharapkan kepada bidan

agar meningkatkan upaya pencegahan stunting pada bayi dengan cara promosi kesehatan nutrisi ibu selama hamil, promosi kesehatan nutrisi bayi setelah lahir dengan pemberian ASI eksklusif dan melakukan pengukuran tinggi badan di posyandu untuk mendeteksi kejadian stunting.

DAFTAR PUSTAKAAditianti. 2010. Faktor

Determinan Stunting padaAnak Usia 24-59 Bulan di Indonesia.Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Anugraheni HS & Kartasurya MI. 2012. Faktor Risiko KejadianStunting Pada Anak Usia 12-36 Bulan Di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Journal of Nutrition College, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012.

Arif N. 2009. ASI dan Tumbuh Kembang Bayi. Yogyakarta:MedPress

Astuti Lamid. 2015. Masalah Kependekan (Stunting) pada Anak Balita: Analisis Prospek Penanggulangannya di Indonesia. Bogor: Percetakan IPB.

Atmarita. 2015. Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Aulia. 2011. Hubungan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2011.

Aziz Alimul Hidayat. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan

Page 51: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melinda Susanti S, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 49

Anak 1. Jakarta: Salemba Medika

_________________. 2007. Metode Penelitian Kebidanan Dan Tehnik Analisis Data. Surabaya: Salemba.

Balitbangkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kemenkes RI.

Branca F, Ferrari M. 2002. Impact of Micronutrient Deficiencies on Growth: The StuntingSyndrome. Italy: National Institute for Food Nutrition Research.

Candra A. 2010. Hubungan Underlying Factors Dengan 11 Kejadia n Stunting Pada Anak Usia 1 – 2 Tahun.ejournal.undip.ac.id.

Dedi Zaenal Arifin. 2012. Analisis Sebaran dan Faktor Risiko Stunting pada Balita di Kabupaten Purwakarta.Bandung: Universitas Padjajaran

Dian Kusuma Astuti. 2016.Hubungan Karakteristik Ibu dan Pola Asuh dengan Kejadian Balita Stunted di Desa Hargorejo Kulon Progo DIY. Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta

Dinas kesehatan Kota Pekanbaru. 2016. Laporan Pemantauan di Kota Pekanbaru Tahun 2016.

Donna L. Wong, et al. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1. Jakarta: EGC.

Endang L. Achadi. 2014. Masalah Gizi di Indonesia dan Posisinya secara Global (Global Nutrition Report).Jakarta: FKM UI.

Faizatul Ummah. 2015. Kontribusi Faktor Risiko I Terhadap Komplikasi Kehamilan di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya.

Faradilla, dkk. 2015. Hubungan Usia, Jarak kehamilan dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

Friska Meilyasari. 2014. Faktor Risiko Kejadian Stunting pda Balita Usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.Semarang: Universitas Diponegoro.

Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment.Oxford. Second Edition.

Imtihanatun Najahah, dkk. 2013. Faktor Risiko Balita Stunting Usia 12-36 bulan di Puskesmas Dasan Agung, Mataram, provinsi Nusa Tenggara Barat.

Irwansyah. 2016. Hubungan Kehamilan Usia Remaja dengan Kejadian Stunting Anak Usia 6-23 Bulan di Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Page 52: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

50 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 42-51

Kemenkes RI. 2013. Faight Against Stunting. Yogyakarta: Gizinet Info Nasional Jawa.

____________. 2015. Kesehatan dalam Kerangka Sustainable Development Goals (SDGs).Jakarta: Dirjen BGKIA.

Kepmenkes RI. 2010. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Direktorat Bina Gizi dan KIA.

Khoirun Ni’mah, dkk. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita. Surabaya: FKM Universitas Airlangga

Kosim, M. sholeh, dkk.2012. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Leni Sri Rahayu. 2011. Pengaruh BBLR (berat badan lahir rendah) dan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Perubahan Status Stunting pada Balita di Kota danKabupaten Tangerang Provinsi Banten.

Manuaba. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Mochtar, Rustam. 2007. Sinopsis Obstetri, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Nasikhah, R. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada

Balita usia 24-36 Bulan di Kecamatan Semarang Timur.Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Nursalam, Rekawati Susilaningrum. 2008. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Nurul Fajrina. 2016. Hubungan Faktor Ibu dengan kejadian Stunting pada Balita di Puskesmas Piyungan Kabupaten Bantul.Yoyakarta: Universitas Aisyiyah

Onetusfifsi putra. 2015. Pengaruh BBLR terhadap Kejadian Stunting pada anak usia 12-60 bulan di wilayah kerja puskesmas Pauh pada tahun 2015. Padang: Universitas Andalas

Potter dan Perry. 2012. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC

Pudjiadi, dkk. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.Jakarta: IDAI.

Rahmayani Isma. 2015. Hubungan tinggi badan orang tua dan

Page 53: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melinda Susanti S, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 51

riwayat pemberian ASIEksklusif terhadap kejadian stunting pada balita usia 6-59 di kecamatan kuta baro, kabupaten aceh besar. Aceh: Universitas Syiah Kuala

Rulina Suradi. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suiraoka, Kusumajaya, Larasati N. 2011. Perbedaan Konsumsi Energi, Protein, Vitamin A dan Frekuensi Sakit Karena Infeksi pada Anak Balita Status Gizi Pendek (Stunted) dan Normal di Wilayah Kerja Puskesmas Karangasem.Jurnal Ilmu Gizi

Sujono Riyadi & Sukarmin. 2013. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu

Supariasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Susilaningrum, Rekawati dkk. 2013. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika.

Sylviati M. Damanik. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta:

Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Unicef. 2010. The State of the world’s children. New York, USA: United Nation Children’s Fund (UNICEF).

WHO. 2005. Child growth standard.

_____. 2013. Childhood stunting: context, causes and consequences. WHO conceptual framework.

Yolan. 2007. Perencanaan Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika

Yupi Supartini. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Zildan Oktarina, 2010. Hubungan Berat Lahir dan Faktor-faktor lain dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 bulan di Provinsi Aceh, Sumatera Utara Selatan, dan Lampung. Depok: FKM UI.

Page 54: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

DAYA TERIMA KUE KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus)

Melsa Nilmalasari*, Esthy Rahman Asih*

*Prodi D-III Gizi Poltekkes Kemenkes Riau

ABSTRAK

Program diversifikasi pangan guna memperbaiki asupan gizi masyarakat dari makanan dapat berkembang dengan baik apabila memanfaatkan potensi bahan pangan lokal yang ada. Tingginya kebutuhan terigu yang merupakan bahan pangan impor bertentangan dengan kebijakan tentang Percepatan Ketahanan Pangan Nasional. Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terigu dapat dikurangi dengan menggunakan pangan lokal seperti sagu. Sumber daya pangan lokal ini dapat dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kue salah satunya yaitu kue kering sagu. Tepung sagu kaya akan karbohidrat (pati) namun sangat miskin akan zat gizi lainnya. Oleh karena itu, tepung sagu perlu di tambahkan dengan bahan pangan yang bernilai gizi seperti ikan patin. Ikan patin adalah salah satu jenis ikan yang paling banyak diminati dan dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau. Pengembangan produk kue kering sagu dengan penambahan ikan patin diharapkan dapat meningkatkan nilai gizi produk serta dapat melakukan diversifikasi pangan. Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu : Penelitian Pendahuluan dan Penelitian Lanjutan.Pada penelitian pendahuluan dilakukan percobaan pembuatan kue kering sagu dengan dengan konsentrasi tepung sagu dan tepung ikan patin yaitu : 100% : 0%, 85% : 15%, 80% : 20%, dan 75% : 25%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh substitusi tepung ikan patin terhadap tingkat kesukaan rasa dan warna kue kering sagu (p < 0,01) dan tidak ada pengaruh substitusi tepung ikan patin terhadap tingkat kesukaan aroma dan tekstur kue kering sagu (p>0,01). Berdasarkan karakteristik organoleptik, kue kering sagu yang paling disukai panelis yaitu dengan perbandingan 80% tepung sagu : 20% tepung ikan patin.

Kata kunci : Sagu, Ikan Patin, Kue Kering, Uji Organoleptik

PENDAHULUANProgram diversifikasi pangan

guna memperbaiki asupan gizimasyarakat dari makanan dapat berkembang dengan baik apabila memanfaatkan potensi bahan pangan lokal yang ada. Tingginya kebutuhan terigu yang merupakan bahan pangan impor bertentangan dengan kebijakan pemerintah terkait dengan Peraturan Presiden (Peppres) No. 83

tahun 2006 tentang Percepatan Ketahanan Pangan Nasional. Sebagai upaya percepatan ketahanan pangan nasional salah satu aplikasinya adalah menurunkan penggunaan impor dan mengoptimalkan pemanfaatan pangan lokal agar tercapai swasembada pangan. Dengan melakukan penggalian potensi bahan pangan lokal melalui diversifikasi pangan, maka akan

52

Page 55: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melsa Nilmalasari, Daya Terima Kue Kering Sagu 53

mendukung ketahanan pangan nasional serta mengurangi ketergantungan masyarakat akan terigu (Prasetya dkk, 2014).

Bahan baku pembuatan kue pada umumnya adalah tepung terigu, untuk mengurangi ketergantungan terigu, penggunaan terigu dapat dikurangi dengan menggunakan sumber karbohidrat lainnya yang merupakan pangan lokal seperti sagu (Auliah, 2012). Sagu (Metroxylon sp.) memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar karena 60% luas tanaman sagu dunia berada di Indonesia. Luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2.187.000 hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebanyak 1.111.264 hektar diantaranya terdapat di Indonesia (Ebook Pangan, 2006). Menurut BPS (2015) luas area perkebunan sagu di Provinsi Riau seluas 83.691 ha dengan jumlah produksi sagu 366.031 ton.

Pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan tradisional sudah sejak lama dikenal oleh penduduk di daerah penghasil sagu, baik di Indonesia maupun di luar negeriseperti Papua Nugini dan Malaysia. Produk-produk makanan sagu tradisional dikenal dengan nama papeda, sagu lempeng, buburnee, sagu tutupala, sagu uha, sinoli, bagea, dan sebagainya. Sagu juga digunakan untuk bahan pangan yang lebih komersial seperti roti, biskuit, mie, sohun, kerupuk, hunkue, bihun, dan sebagainya.

Produk-produk makanan olahan dari sagu yang biasa dikenal masyarakat Riau yaitu mie sagu, lempeng sagu, kerupuk sagu dan sebagainya. Selain itu, seperti yang dikutip dari Riau Online (2016)pada bulan Agustus 2016, Pemerintah

Provinsi Riau berhasil mencetak rekor di Museum Rekor Indonesia (MURI) atas olahan menu makanan dan minuman yang berbahan baku sagu terbanyak di Indonesia dengan jumlah menu sebanyak 369 makanan. Pencapaian rekor Muri dengan banyaknya olahan dari sagu di Riau ini menjadi langkah nyata dalam melakukan diversifikasi pangan.

Sumber daya pangan lokal ini dapat dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kue salah satunya yaitu kue kering sagu. Kue kering adalah kue yang berbahan tepung, lemak, telur dan gula. Kue kering sagu tergolong kedalam jenis rich biscuit (biscuit berlemak) karena menggunakan lemak setengah dari berat tepung. Biasanya kue kering banyak terdapat pada hari-hari besar seperti perayaan hari lebaran, natal dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa kue kering merupakan makanan kecil yang banyak diminati masyarakat (Prasetya dkk, 2014).

Tepung sagu untuk pembuatan kue kering sagu ini kaya akan karbohidrat (pati) namun sangat miskin akan zat gizi lainnya. Terutama kandungan protein dalam tepung sagu yang lebih rendah dari tepung terigu yaitu hanya 0,2 gram dalam 100 gram tepung sagu. Sedangkan kandungan protein dalam 100 gram tepung terigu sebesar 9 gram (TKPI, 2002). Oleh karena itu, tepung sagu perlu di tambahkan dengan bahan pangan yang berprotein seperti ikan patin.

Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas dengan potensi perikanan yang tinggi. Hampir 75% dari seluruh wilayah Indonesia merupakan perairan pesisir dan lautan (Asmoro dkk, 2012). Ikan

Page 56: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

54 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 52-63

merupakan salah satu sumber protein hewani yang keberadaannya sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah ikan patin (Pangasius hypopthalmus) (Hayati dkk, 2012). Menurut BPS (2015) jumlah produksi ikan patin kolam di Provinsi Riau sebanyak 26.662,76 ton. Ikan patin adalah salah satu jenis ikan air tawar yang paling banyak diminati dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagailapisan. Hal ini disebabkan harganya terjangkau sehingga pemanfaatan ikan patin terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air (Dewita dkk, 2011).

Pengembangan produk kue kering sagu dengan penambahan ikan patin diharapkan dapat meningkatkan nilai gizi produk serta dapat melakukan diversifikasi pangan dengan menggunakan tepung sagu sebagai bahan dasar pembuatan kue kering. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengetahui daya terima kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin (Pangasius hypopthalmus).

METODOLOGIDesain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu : Penelitian Pendahuluan dan Penelitian Lanjutan.

Bahan dan AlatAlat yang digunakan adalah

timbangan analitik, mixer, plastik dekorasi, spuit, loyang pembakaran, dan oven. Bahan yang digunakan adalah tepung sagu, margarin, gula halus dan telur ayam.Rancangan Penelitian

Pada pembuatan kue kering sagu terdapat empat perlakuan yang dilakukan, seperti pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Rancangan PenelitianPerlakuan Tepung Sagu Tepung Ikan

PatinA 100% 0%B 85% 15%C 80% 20%D 75% 25%

Adapun jumlah bahan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :Tabel 2. Penggunaan Bahan Pada

Setiap PerlakuanBahan A B C D

Margarin 100 gr 100 gr 100 gr 100 grGula Halus 100 gr 100 gr 100 gr 100 gr

Kuning Telur

16 gr 16 gr 16 gr 16 gr

Tepung Sagu

200 gr 170 gr 160 gr 150 gr

Tepung Ikan Patin

- 30 gr 40 gr 50 gr

Pengolahan dan Analisa DataDalam pelaksanaan uji

organoleptik digunakan panelis tidak terlatih sebanyak 80 orang. Hasil pengujian sifat organoleptik dengan uji hedonik dihitung rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur kue kering sagu. Untuk menganalisa data yang diperoleh dilakukan dengan uji Anova dengan tingkat kemaknaan 0,01 dan bila sangat berbeda nyata maka dilanjutkan uji Duncan. Produk dengan persentase yang paling disukai akan diuji analisa proksimat.

HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan hasil pengujian

organoleptik dengan empat perlakuan yang berbeda terhadap kue kering sagu dapat diketahui hasil karakteristik sensorinya yang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :

Page 57: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melsa Nilmalasari, Daya Terima Kue Kering Sagu 55

Tabel 3. Hasil Analisis One Way Anova

n Sig. pParameter Warna 80 0.000 < 0.01

Rasa 80 0.000 < 0.01Aroma 80 0.387 > 0.01Tekstur 80 0.090 > 0.01

Untuk lebih jelasnya, perbedaan yang terdapat pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4berikut ini:

Tabel 4. Hasil Penilaian Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Kue

Kering SaguNo. Produk

Parameter yang DiujiRasa Aroma Tekstur Warna

1. A 4.73a 4.88a 5.51a 4.66a

2. B 5.24b 5.11a 5.40a 4.80a

3. C 5.54b 5.21a 5.68a 5.43b

4. D 5.23b 5.09a 5.21a 5.39b

Keterangan : Angka dalam notasi sama dalam satu kolom menunjukkan tidakada beda nyata pada (p< 0.01).

Tingkat Kesukaan Terhadap Rasa Rasa merupakan tanggapan

atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai di indera pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasaryaitu manis, asin, asam dan pahit (Meilgaard,2000). Hasil uji organoleptik terhadap rasa bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis pada setiap perlakuan. Berdasarkan hasil uji statistik Anova yang telah dilakukan, terdapat perbedaan yang nyata (p < 0.01) terhadap tingkat kesukaan rasa yang dihasilkan. Produk pada perlakuan A berbeda dengan produk B, C dan D. Rasa kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin pada perlakuan B, C dan D lebih gurih dan manis dibandingkan dengan produk A (kontrol).

Menurut Nurjannah dkk (2009), tingginya asam glutamat pada daging patin menyebabkan

dagingnya beraroma gurih dan berasa manis. Kandungan asam glutamat pada daging ikan patin adalah 2,16 gram/100 gram daging ikan patin. Pada penelitian ini, kadar protein kue kering sagu dengan empat perlakuan berkisar antara 28,02% - 55,21%. Oleh karena itu, semakin tinggi substitusi tepung ikan patin pada kue kering sagu, rasa kue sagu semakin gurih dan manis.

Tingkat Kesukaan Terhadap Aroma

Aroma adalah rasa dan bauyang sangat subyektif serta sulit diukur, karena setiap orang mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang berbeda (Meilgaard, 2000).Hasil uji organoleptik terhadap aroma bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis pada setiap perlakuan. Berdasarkan hasil uji statistik Anova yang telah dilakukan, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p > 0.01) antar setiap perlakuan penambahan tepung ikan patin pada pembuatan kue kering sagu terhadap tingkat kesukaan aroma yang dihasilkan. Produk kue kering sagu A, B, C dan D mempunyai aroma khas kue kering.

Pada penelitian yang dilakukan, semakin banyak penambahan tepung ikan patin pada pembuatan kue kering sagu tidak menimbulkan aroma amis pada kue kering sagu. Hal ini dikarenakan pada prosedur pembuatan tepung ikan patin, ikan patin direndam dengan jeruk nipis untuk menghilangkan aroma amis pada ikan patin. Menurut Poernomo dkk (2004), jeruk nipis memiliki kandungan asam askorbat yang dapat bereaksi dengan Trimethylamine(TMA) dan membentuk trimethylamonium. Perubahan inilah

Page 58: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

56 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 52-63

yang dapat mengurangi bau amis pada ikan karena Trimethylamine(TMA) merupakan sumber bau amis pada ikan sehingga setelah berubah menjadi trimethyl amonium bau amis pada ikan berkurang.

Tingkat Kesukaan Terhadap Tekstur

Tekstur merupakan faktor yang terpenting dari suatu produk makanan selain penampakan dan rasanya. Berdasarkan hasil uji statistik Anova yang telah dilakukan, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p> 0.01) antar setiap perlakuan penambahan tepung ikan patin pada pembuatan kue kering sagu terhadap tingkat kesukaan tekstur yang dihasilkan. Produk kue kering sagu A, B, C dan D memiliki tekstur yang renyah. Hal ini dikarenakan, tepung sagu yang digunakan memberikan tekstur renyah dan tidak keras terhadap kue kering sagu yang dihasilkan. Tidak seperti tepung terigu, tepung sagu tidak mempunyai gluten yang memberikantekstur yang elastis dan padat setelah dipanggang (Rachmawati dkk, 2016). Menurut Ningrum dkk (2011), tepung ikan patin juga tidak mempunyai gluten. Oleh karena itu tekstur kue kering sagu dari empat perlakuan yang dihasilkan mempunyai tekstur yang renyah.

Menurut Faridah (2008), pada saat produk berbahan pati (tepung-tepungan) mengalami proses pendinginan, perlahan-lahan amilosa yang meleleh sewaktu pembakaran berlangsung berubah denganmengalami proses kristalisasi. Jika proses kristalisasi berlangsungdengan cepat, maka kue akan menjadi kering dankeras. Dengan menggunakan lemak akanmenghambat proses kristalisasi

dan produk tidak cepat mengeras serta membuat tekstur yang empuk.Pada penelitian ini, lemak yang digunakan yaitu margarin.

Tingkat Kesukaan Terhadap Warna

Warna merupakan salah satu parameter fisik suatu bahan pangan yang penting. Warna suatu bahan pangan dipengaruhi oleh cahaya yang diserap dan dipantulkan dari bahan itu sendiri dan juga ditentukan oleh faktor dimensi yaitu warna produk, kecerahan, dan kejelasan warna produk (Rahayu, 2004). Hasil uji organoleptik terhadap warna bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis pada setiap perlakuan. Berdasarkan hasil uji statistik Anova yang telah dilakukan terdapat perbedaan yang nyata (p <0.01) terhadap tingkat kesukaan warna yang dihasilkan.

Warna produk kue kering A dan B berbeda dengan warna produk kue kering C dan D. Produk A dan B memiliki warna kuning kecoklatan, sedangkan produk C dan D memiliki warna kecoklatan. Warna kue kering yang semakin kecoklatan disebabkan oleh peningkatan kadar protein dan adanya reaksi Maillard, hal ini sesuai menurut Anugrahati dkk (2012), peningkatan kadar protein membuat warna biskuit yang dihasilkan semakin kecoklatan. Hal ini terkait dengan reaksi Maillard yang terjadi dalam pembuatan biskuit.

Menurut Kusnandar (2011), Reaksi Maillard terjadi bila dalam bahan pangan terdapat gula pereduksi dan senyawa yang mengandung gugus amin. Reaksi awal antara gula pereduksi dengan gugus amin membentuk senyawa intermediet N-substitued glycosylamin. Selanjutnya, senyawa

Page 59: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melsa Nilmalasari, Daya Terima Kue Kering Sagu 57

intermediet ini akan membentuk senyawa intermediet berikutnya yang alur (pathaway) reaksinya dipengaruhi oleh jenis gula, jenis senyawa yang mengandung gugus amin, kondisi pH, suhu dan aktifitas air. Akhir dari reaksi Maillard akan menghasilkan pigmen melanoidin yang bertanggungjawab padapembentukan warna coklat.Dalam penelitian ini, kadar protein pada kue kering sagu yaitu antara 28,02 % -55,21%. Oleh karena itu semakin meningkat penambahan tepung ikan patin pada kue kering, warna kue kering sagu menjadi semakin kecoklatan.

Analisa ProksimatAnalisis proksimat dilakukan untuk mengetahuikandungan gizi produk kue kering sagu yangdihasilkan, hal ini merupakan parameter penting bagi konsumen dalam memilih makanan yang dikonsumsinya (Dewita dkk, 2011). Kandungan gizi yang dianalisis adalah protein, lemak, karbohidrat, air dan abu.Analisa proksimat semua perbandingan kue kering sagu dapat dilihat pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5. Analisa ProksimatNo. Produk Analisa Proksimat

Air ProteinLemak Abu KH1. A 3,32

%28,02

%22,64

%0,34 %

82,68 %

2. B 3,69%

30,72%

23,09 %

0,55 %

78,31 %

3. C 3,94%

31,55%

34,32 %

0,79 %

75,66 %

4. D 4,07%

55,21%

38,32 %

0,95 %

72,50 %

Keterangan:A : Kontrol (100 % tepung sagu)B : Kue kering sagu dengan substitusi tepung

ikan patin 15%C : Kue kering sagu dengan substitusi tepung

ikan patin 20%D : Kue kering sagu dengan substitusi tepung

ikan patin 25%

Kadar AirPada penelitian pendahuluan

dilakukan uji kadar air tepung ikan patin dan kadar air tepung sagu. Kadar air tepung ikan patin yaitu 5,70% dan kadar air tepung sagu 11,05%. Hal ini sudah sesuai menurut SNI 0127511996 syarat mutu tepung ikan dengan kadar air maksimal 10% dan SNI 37292008 syarat mutu tepung sagu dengan kadar air maksimal 13%.

Kadar air kue kering sagu dengan empat perlakuan berkisar antara 3,32% - 3,94%. Berdasarkan persyaratan mutu cookies SNI 01-2973-1992 dimana kadar air maksimal yang ditetapkan adalah 5%, maka semua perlakuan kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin sudah sesuai dengan syarat mutu yang ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh kadar air pada masing-masingperlakuan mengalami penguapan akibatpemanasan pada saat pemanggangan. Dalamkeadaan menguap, molekul-molekul air sedikitbanyaknya menjadi bebas satu sama lainnya (Winarno, 1997).

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena dapatmempengaruhi tekstur penampakan dan cita rasa makanan. Kadar air juga sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, sangat penting dalam menentukan daya awet dari bahan makanan kerena mempengaruhi sifat fisik, kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis (Nurhidayati, 2011). Menurut Dewita dkk (2010), kadar air yang rendah akan lebih tahan terhadap kerusakan mikrobiologis.

Kadar ProteinKadar protein kue kering

sagu dengan empat perlakuan

Page 60: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

58 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 52-63

berkisar antara 28,02% - 55,21%. Berdasarkan persyaratan mutu cookies SNI 01-2973-1992 dimana kadar protein minimal yang ditetapkan adalah 9%, maka semua perlakuan kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin sudah sesuai dengan syarat mutu yang ditetapkan. Kadar protein kue kering sagu semakin meningkat dengan penambahan tepung ikan patin. Dengan demikian semakin banyak substitusi tepung ikan patin maka kadar protein pada kue kering semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Ningrum dkk (2011), meningkatnya kadar protein pada biskuit disebabkan karena meningkatnya penambahan tepung ikan patin.

Kadar LemakKadar lemak kue kering sagu

dengan empat perlakuan berkisar antara 22,64% - 38,32%. Berdasarkan persyaratan mutu cookies SNI 01-2973-1992 dimanakadar lemak minimal yang ditetapkan adalah 9,5%, maka semua perlakuan kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin sudah sesuai dengan syarat mutu yang ditetapkan. Kadar lemak kue kering sagu semakin meningkat dengan penambahan tepung ikan patin. Dengan demikian semakin banyak substitusi tepung ikan patin maka kadar lemak pada kue kering semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitianNurhidayati (2011), kadar lemak tepung ikan patin sebesar20,10%, dengan demikian semakin banyak variasi substitusi tepung ikan patin maka kadarlemak semakin tinggi.

Kadar AbuKadar abu kue kering sagu

dengan empat perlakuan berkisar antara 0,34% – 0,55%. Berdasarkan persyaratan mutu cookies SNI 01-2973-1992 dimana kadar abu maksimal yang ditetapkan adalah 1,5%, maka semua perlakuan kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin sudah sesuai dengan syarat mutu yang ditetapkan. Kadar abu kue kering sagu semakin meningkat seiring dengan penambahan tepung ikan patin. Dengan demikian semakin banyak substitusi tepung ikan patin maka kadar abu pada kue kering semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurhidayati (2011), kadar abu tepung ikan patin sebesar 5,37%, dengan demikian semakin banyak variasi substitusi tepung ikan patin maka kadar abu semakin tinggi.

Kadar KarbohidratKadar karbohidrat kue kering

sagu dengan empat perlakuan berkisar antara 72,50% - 82,68%. Berdasarkan persyaratan mutu cookies SNI 01-2973-1992 dimana kadar karbohidrat minimal yang ditetapkan adalah 70%, maka semua perlakuan kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin sudah sesuai dengan syarat mutu yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan sumber karbohidrat pada kue kering berasal dari tepung sagu dan gula halus. Menurut Huwae (2014), kandungan karbohidrat pada tepung sagu yaitu 77,4%.

Rendemen Rendemen merupakan suatu

parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektifitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen berdasarkan

Page 61: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melsa Nilmalasari, Daya Terima Kue Kering Sagu 59

persentase perbandingan berat akhir dan berat awal produk. Semakin besar rendemen maka semakin tinggi nilai ekonomis produk tersebut (Maulida, 2005). Berat awal daging ikan patin yaitu 1,3 kg. Setelah proses penepungan, tepung ikan patin yang diperoleh sebanyak 320 gram, sehingga rendemen tepung ikan patin yang didapat yaitu 24,6%.

Proses pengeringan yangdilakukan membuat daging ikan patin mengalami penurunan kadar air yang banyak sehingga berat daging ikan patin berkurang. Hal ini sesuai dengan Nabil (2005), bahwa rendahnya rendemen dipengaruhi oleh adanya proses pengeringan yang dilakukan dalam proses pengeringan yang dilakukan dalam proses pembuatan tepung ikan patin.

Biaya Produksi Kue Kering SaguBiaya produksi adalah semua

pengeluaran ekonomi yang harus dikeluarkan untuk memproduksisuatu barang. Berdasarkan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa,aroma, tekstur dan warna, kue kering sagu C mempunyai rata-rata tertinggi. Oleh karena itu dipilih produk kue kering sagu C sebagai produk untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan pangan lokal yaitu tepung sagu dan ikan patin.Penentuan biaya produksi mencakup biaya bahan bahan bakar, tenaga kerja dan bahan-bahan penunjang yang digunakan. Rincian lengkap dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini:

Tabel 6.Biaya Produksi Kue Kering Sagu

Jenis Biaya Harga Pemakaian Biaya1. Bahan Bakar

a. Gasb. Listrik

Rp. 2.166,67/jamRp. 365,00/ jam

½ jam24 jam

Rp.1.083,3Rp. 8.760

2. Tenaga Kerjaa. Pembelian bahan

b. Pembuatan produkRp. 4.000/jamRp. 4.000/jam

½ jam½ jam

Rp. 2.000Rp. 2.000

3. Transportasi Rp. 6.500 L ¼ L Rp. 1.6254. Bahan

a. Tepung sagub. Ikan Patinc. Gula Halusd. Margarin

e. Telur Ayam

Rp. 6.000/kgRp. 18.000/kgRp. 17.000/kgRp. 7.300/bksRp. 1.300/bh

40 gr10 gr25 gr25 gr8 gr

Rp. 240Rp. 180Rp. 425

Rp. 912,5Rp. 650

5. Toples ½ kg Rp. 2.500/pcs 1 pcs Rp. 2.500Total biaya Rp. 20.375,8

Keuntungan 50% Rp. 10.187,9Total Rp. 30.563,7

Jumlah produk yang dihasilkan 70 grHarga/100 gr kue kering sagu Rp. 21.394,5

Harga/kg kue kering sagu Rp. 213.945,9

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa biaya produksi kue kering saguadalah Rp. 213.945,9/kg. Jika dikemas dengan ukuran ½ kg, maka harga jual kue kering sagu adalah Rp. 106.972,9. Harga kue kering

sagu yang beredar di pasaran ukuran ½ kg yaitu Rp.55.000.Sehingga harga kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga kue kering sagu yang beredar

Page 62: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

60 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 52-63

di pasaran. Kue kering sagu dengan substitusi tepung ikan patin yang dihasilkan mempunyai nilai gizi yang unggul dalam kandungan protein yaitu 31,55%. Produk kue kering sagu yang dihasilkan pada penelitian ini dianjurkan sebagai makanan tambahan untuk penderita KEP.

KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian

yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi tepung ikan patin terhadap tingkat kesukaan rasa dan warna kue kering sagu (p< 0.01) dan tidak ada pengaruh substitusi tepung ikan patin terhadap tingkat kesukaan aroma dan tekstur kue kering sagu (p>0.01). Kue kering sagu dengan penilaian organoleptik yang paling tinggi yaitu kue kering C (80% : 20%).

DAFTAR PUSTAKAAlhana.2011. AnalisisAsam Amino

dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) Akibat Penggorengan. Skripsi. IPB

Ames, J.M. 1998. Applications of the Maillard Reaction in The Food Industry. Food Chem.62:431–9.

Anugrahati, N. A., Santoso, J., & dan Pratama, I. 2012. Pemanfaatan Konsentrat Protein Ikan (KPI) Patin dalam Pembuatan Biskuit. JPHPI, 15.

Arisanti, Yusie. 2014. Sagu Selatpanjang Meranti Dilepas Sebagai Varietas Benih Bina Tanaman

Perkebunan. (Online), (http:// ditjenbun.pertanian.go.id/ tanhun/ berita -252saguselatpanjangmeranti-dilepas-sebagai-varietas-benih-bina-tanaman-perkebunan.html) diakses 28 Oktober 2016.

Asmoro, L. C. Kumalaningsih, S. dan Mulyadi, A. F. 2012. Karakteristik Organoleptik Biskuit dengan Penambahan Tepung Ikan Teri Nasi (Stolephorus spp.). FTP UB.

Auliah, A. 2012. Formulasi Kombinasi Tepung Sagu dan Jagung pada Pembuatan Mie Combination Formulating of Sago Palm and Corn Flour to Noodle Manufacturing. Jurnal Chemica, 13(2), 33–38.

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2015. Riau Dalam Angka 2016.

Bogasari, 2015. Tips Kenali Jenis-Jenis Pastry. (Online), Diakses pada 2 Desember 2016(http://www.bogasari.com/tips/tips-kenali-jenis-jenis-pastry)

Chafid, A. dan Kusumawardani, G. 2010. Modifikasi Tepung Sagu Menjadi Maltodekstrin Menggunakan Enzim A-Amylase. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang.

Desrosier, N. W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan.Penerjemah : Muchji Mulidjoharjo. Jakarta : Penerbit Universitas

Page 63: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melsa Nilmalasari, Daya Terima Kue Kering Sagu 61

Indonesia (UI-Press), 1988.

Dewita, Dan, S., & Isnaini. 2011. Pemanfaatan Konsentrat Protein Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) Untuk Pembuatan Biskuit dan Snack. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, XIV, 30–34.

Ebookpangan. 2006. Sagu Sebagai Bahan Pangan.

Faridah, Anni. 2008. Patiseri jilid I Untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.

Febryanto, Zuhdi. 2016. Riau Pecahkan Rekor Muri Kuliner Sagu Terbanyak. (Online), (http://www.riauonline.co.id/2016/10/26/riau-pecahkan-rekor-muri-kuliner-sagu-terbanyak) diakses 20 Oktober 2016

Gunawan, Yongki. 2015. 55 Resep Kue Kering Favorit Koleksi Yongki Gunawan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Hayati, W. Bucchari, D. dan Loekman, S. 2012. Fortifikasi Konsentrat Protein Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) dalam Pembuatan Kek Brownies.Universitas Riau.

Huwae, B. 2014. Analisis Kadar Karbohidrat Tepung Beberapa Jenis Sagu yang Dikonsumsi Masyarakat Maluku. Biopendix 1 (1)

Khalishi, Zehra. 2011. Karakterisasi

dan Formulasi Rengginang Tepung Ikan Tembang ( Sardinella fimbriata). Skripsi. IPB.

Kordi, M. 2010. Budi Daya Ikan Patin di Kolam Terpal. Lily Publisher. Yogyakarta.

Kusnandar, Feri. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro.Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Maddihang (Thunnus albacores) sebagai Suplemen dalam Pembuatan Biskuit. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB

Meilgard, M., Civille, G. V., Car, B. T. 2000. Sensory Evaluation Techniques. Boca Raton, Florida : CRC Press

Nabil, M. 2005. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. Skripsi. IPB

Ningrum, A. D., Suhartatik, N., dan Kurniawati, L. 2011. Karakteristik Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Patin (Pangasius sp) dan PenambahanEkstrak Jahe Gajah (Zingiber officinale var. roscoe). STIP. Universitas Slamet Triyadi : Surakarta.

Noer, E. R., Rustanti, N., & Elvizahro, L. 2014. Karakteristik Makanan Pendamping ASI Balita yang Disubstitusi dengan Tepung Ikan Lele dan Labu Kuning.

Page 64: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

62 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 52-63

Jurnal Gizi Indonesia, 2, 83–89.

Nurhidayati. (2011). Kontribusi MP-ASI Biskuit Bayi dengan Substitusi Tepung Labu Kuning (Cucurbita Moschota) dan Tepung Ikan Patin (Pangasius spp) Terhadap Kecukupan Protein dan Vitamin A. Universitas Diponegoro.

Nurjanah, D., Ariyanti, Nurhayati, T., dan Abdullah, A. 2009. Karakteristik daging rajungan (Portunus pelagicus) industry rumah tangga, Desa Gegunung Wetan Rembang Jawa Tengah. Sekolah Tinggi Perikanan.

Prasetya, Meri dan Purwidiani, N. 2014. Pengaruh Proporsi Pati Garut (Maranta arundinacea L) dan Tepung Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L) Terhadap Sifat Organoleptik Kue Semprit. E-Journal Boga, 3(3), 151–161.

Poernomo, D., Suseno, S. H., dan Wijatmoko, A. 2004. Pemanfaatan Asam Cuka, Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) untuk Mengurangi Bau Amis Petis Ikan Layang (Decapterus spp.). Buletin Teknologi Hasil Pertanian. Vol VIII No. II.

Rachmawati, Novita, R. dan& Miko, A. 2016. Karakteristik Organoleptik Biskuit Berbasis Tepung Labu

Kuning (Cucurbita moschata), Tepung Kacang Koro (Mucuna Prurien), dan Tepung Sagu (Metroxilon sago). Indonesian Journal of HUman Nurition, 3(1), 91–97.

Rahayu,W. P. 2004. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor.

Rukmana, R. dan Yudirachman, H. 2016. Sukses Budidaya Ikan Patin Secara Intensif. Yogyakarta : Lily Publisher.

Sari, D. K., Marliyati, S. A., Kustiyah, L., Khomsan, A., & Gantohe, T. M. 2014. Uji Organoleptik Formulasi Biskuit Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus ). AGRITECH, 34(2), 120–125.

Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.Bharata Karya Aksara. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992. Syarat Mutu Kue Kering.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2715- 1996. Syarat Mutu Tepung Ikan.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 3926-2008. Telur Ayam Konsumsi.

Page 65: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Melsa Nilmalasari, Daya Terima Kue Kering Sagu 63

Standar Nasional Indonesia (SNI) 3729-2008. Syarat Mutu Tepung Sagu.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2346-2006. Petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori.

Syarbini, Husin. 2016. Referensi Komplet A-Z Bakery : Edisi Revisi. Jakarta : Tiga Serangkai.

Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). 2002. Jakarta : PT Gramedia.

Tirta Parama, Indriati Novita dan Ekafitri Riyanti. 2013. Potensi Tanaman Sagu

(Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia. Pangan, Vol 22 No 1 Maret : 61-76.

Wagiyono. 2003. Menguji Kesukaan Secara Organoleptik. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.

Wijayanti, A. 2005. Pembuatan Cookies dengan Penambahan Kecambah Kacang Hijau Untuk Meningkatkan Kadar Vitamin E. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Page 66: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEPRESI ANTENATAL PADA IBU HAMIL DI BIDAN PRAKTIK MANDIRI (BPM)

KOTA PEKANBARU TAHUN 2017

Rr. Kusuma Nurin Husna*, Melly Wardanis*, Junaida Rahmi**Prodi D-IV Kebidanan Poltekkes Kemenkes Riau

ABSTRAK

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih menjadi perhatian dunia saat ini. Salah satu penyebab terjadinya AKI dan AKB adalah depresi antenatal yang merupakan sebuah masalah yang jarang teridentifikasi sehingga tidak tertangani dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian depresi antenatal di Bidan Praktik Mandiri (BPM) Kota Pekanbaru Tahun 2017. Penelitian ini dilaksanakan di 70 Bidan Praktik Mandiri (BPM) Kota Pekanbaru pada bulan September 2016 s/d Juni tahun 2017. Sampel penelitian ini adalah 101 orang ibu hamil di Bidan Praktik Mandiri (BPM) yang diambil secara proportionate stratified random sampling. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan desain penelitian cross sectional. Analisa data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji chi square dan dengan bantuan komputerisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 101 orang ibu hamil terdapat 39 orang (38,6%) ibu yang mengalami depresi antenatal dan 62 orang (61,4%) ibu hamil yang tidak mengalami depresi antenatal. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara kepercayaan diri (p = 0,006), dukungan sosial (p = 0,000), pendapatan keluarga (p = 0,028) dan pendidikan (p = 0,008)dengan kejadian depresi antenatal serta menunjukkan tidak adanya hubungan antara umur ibu (p = 0,814) dan paritas (p = 0,195) dengan kejadian depresi antenatal. Saran kepada tenaga kesehatan adalah agar mengetahui tanda gejala depresi antenatal pada ibu hamil dan faktor yang berhubungan dengannya sehingga pencegahan depresi antenatal dapat dilakukan.

Kata kunci : Depresi Antenatal, Kehamilan, Faktor yang Berhubungan Daftar Pustaka : 25 Referensi (2004-2006)

PENDAHULUANAngka Kematian Ibu (AKI)

merupakan salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan dan sebagai suatu alat ukur derajat kesehatan ibu di suatu wilayah. Berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2015 adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup (KH) (Kemenkes RI, 2016). Angka

tersebut menggambarkan terjadinya penurunan dibandingkan AKI pada tahun 2012, yakni 359 per 100.000 KH (Kemenkes RI, 2013). Namun, hal ini menunjukkan belum tercapainya target nasional dalam Millenium Development Goals (MDGs), yaitu 102 per 100.000 KH hingga tahun 2015. Angka ini juga belum mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu 70

64

Page 67: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

RR. Kusuma Nurin Husna, Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 65

per 100.000 KH pada tahun 2030 (Rakorpop Kemenkes RI, 2015).

AKI di Provinsi Riau turut mengalami penurunan yang serupa. Berdasarkan Profil Kesehatan Riau tahun 2015, AKI di Provinsi Riau adalah 108,9 per 100.000 KH. Angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (2014), yaitu 124,5 per 100.000 KH. Penurunan tersebut tidak terlepas dari upaya yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan beserta seluruh pihak yang terkait. Namun, angka ini juga belum menunjukkan tercapainya target penurunan AKI dalam SDGs, sehingga diperlukan peningkatan upaya pelayanan kesehatan ibu yang lebih komprehensif.

Salah satu upaya pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan adalah pemenuhan semua komponen pelayanan kesehatan ibu yang harus diberikan saat kunjungan kehamilan (Kemenkes, 2016). Hal ini selaras dengan Kepmenkes Nomor 938/Menkes/SK/VIII/2007 tentang Standar Asuhan Kebidanan bahwa asuhan kebidanan pada ibu hamil merupakan ruang lingkup asuhan dalam bidang kebidanan yang harus dilaksanakan. Berbagai dampak yang tidak diinginkan akibat depresi antenatal dapat terjadi pada ibu hamil dan bayi yang dilahirkan. Bagi ibu, depresi antenatal akan meningkatkan risiko terjadinya depresi postpartum. Penelitian yang dilakukan oleh Burt dan Quezada (2009) menunjukkan bahwa dari ibu-ibu yang mengalami depresi postpartum, sebagiannya mengalami depresi sebelum atau selama kehamilan, yaitu sebesar 54,2%. Untuk bayi, dampak yang ditimbulkan adalah antara lain abortus, gangguan pertumbuhan, dan kelahiran kurang bulan (Andersson, 2003). Oleh sebab itu, penelitian

yang terkait dengan depresi antenatal perlu dilakukan untuk mengurangi dampak yang tidak diinginkan bagi ibu dan bayi.

Kejadian depresi antenatal memiliki kecenderungan untuk terjadi pula di Kota Pekanbaru. Hal ini dikarenakan Kota Pekanbaru memiliki beberapa persamaan karakteristik dengan Kota Jakarta, yaitu merupakan kota metropolitan dengan tingkat pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi yang tinggi (Darmawati, 2008) sehingga berpengaruh pada kesehatan jiwa (Pratiwi, 2016). Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai depresi antenatal penting untuk dilaksanaan di Kota Pekanbaru.

METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini bersifat

kuantitatif analitik dengan pendekatan cross sectional.Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2016 s/d Juli 2017 di 70 Bidan Praktik Mandiri (BPM) Kota Pekanbaru. Populasi adalah ibu hamil dengan sampel diambil secara proportionate stratified random sampling berjumlah 101 orang. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan analisa data bivariat menggunakan uji statistik chi square.

Page 68: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

66 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 64-73

HASIL PENELITIAN Analisis Univariat

Tabel 1 Hubungan Tingkat Kepercayaan Diri dengan Kejadian Depresi Antenatal

pada Ibu Hamil di BPM Kota Pekanbaru Tahun 2017

Depresi AntenatalNilai

P

OR(90% CI)

Ya Tidak Jumlah

f % f % f %Keper-cayaan Diri

Baik 11 23,4 36 76,6 54 100

0,006 3,524Kurang 28 51,9 26 48,1 47 100Jumlah 39 38,6 62 61,4 101 100

Tabel 2 Hubungan Tingkat Dukungan Sosial dengan Kejadian Depresi

Antenatal pada Ibu Hamil di BPM Kota Pekanbaru Tahun 2017

Depresi AntenatalNilai

P

OR(90% CI)

Ya Tidak Jumlah

f % f % f %Duku-ngan Sosial

Baik 13 22,8 44 77,2 57 100

0,000 4,889Kurang 26 59,1 18 40,9 44 100Jumlah 39 38,6 62 61,4 101100

Tabel 3 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Depresi

Antenatal pada Ibu Hamil di BPM Kota Pekanbaru Tahun 2017

Depresi Antenatal Nilai P

OR(90% CI)

Ya Tidak Jumlahf % f % f %

Penda-patan

Tinggi 15 27,8 39 72,2 54 1000,028 2,713Rendah 24 51,1 23 48,9 47 100

Jumlah 39 38,6 62 61,4 101 100

Tabel 4 Hubungan Umur Respondendengan Kejadian Depresi Antenatal

pada Ibu Hamil di BPM Kota Pekanbaru Tahun 2017

Depresi Antenatal Nilai P

OR(90% CI)

Ya Tidak Jumlahf % f % f %

Umur

Repro-duksi 26 37,1 44 62,9 70 100

0,814 1,222Nonrep-roduksi 13 41,9 18 58,1 31 100

Jumlah 39 38,6 62 61,4 101 100

Tabel 5 Hubungan Paritas dengan Kejadian Depresi Antenatal pada Ibu

Hamil di BPM Kota Pekanbaru Tahun 2017

Depresi AntenatalNilai

P

OR(90% CI)

Ya Tidak Jumlah

f % f % f %

Paritas

Primi-gravida 10 28,6 25 71,4 35 100

0,195 2,279Multi-gravida 29 43,9 37 56,1 66 100

Jumlah 39 38,6 62 61,4101 100

Tabel 6 Hubungan Pendidikan Responden dengan Kejadian Depresi Antenatal pada Ibu Hamil di BPM

Kota Pekanbaru Tahun 2017

Depresi Antenatal Nilai P

OR(90% CI)

Ya Tidak Jumlahf % f % f %

Pendi-dikan

Tinggi 21 39 50 70,4 71 1000,08 3,571Dasar 18 60 12 40 30 100

Jumlah 39 38,6 62 61,4 101 100

PEMBAHASAN Hubungan Kepercayaan Diri dengan Kejadian Depresi Antenatal

Hasil menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kepercayaan diri baik yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 23,4%, sedangkan ibu hamil dengan kepercayaan diri kurang yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 38,6%. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan bahwa p = 0,006 (p < 0,1), maka secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara kepercayaan diri dan kejadian depresi antenatal.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Leigh dan Milgrom mengenai faktor risiko pada depresi antenatal, depresi postnatal, dan stres dalam menjadi orang tua pada tahun 2008. Penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan diri memiliki hubungan

Page 69: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

RR. Kusuma Nurin Husna, Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 67

yang sangat signifikan dengan kejadian depresi antenatal (p = 0,00).Bahkan, kepercayaan diri menjadi 1 dari 3 faktor yang paling berhubungan dengan kejadian depresi antenatal berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Leigh dan Milgrom ini.

Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Belinda Edwards et al. Penelitiannya menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan faktor risiko terjadinya depresi antenatal yang paling tinggi (p = 0,006-0,596) disusul oleh kepercayaan diri (p = 0.010-0.221).Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri merupakan aspek yang sangat perlu untuk diperhatikan.

Hal ini didukung oleh pernyataan White (2005) bahwa kepuasan wanita terhadap diri dan kehidupannya turut memberikan dampak pada cara wanita menghadapi kehamilannya. Kehamilan yang diinginkan dan direncanakan akan menimbulkan rasa nyaman dan ketenangan. Apabila wanita merasa nyaman dengan dirinya dan kemampuannya menjadi seorang ibu, kehamilan menjadi lebih menyenangkan, sedangkan kehamilan yang tidak diinginkan atau direncanakan dapat menimbulkan ketakutan dan kebimbangan. Oleh karena itu, kepercayan diri adalah aspek penting yang harus dimiliki oleh ibu hamil selama menjalani kehamilannya.

Kepercayaan diri menimbulkan rasa yakin dan perasaan positif yang dirasakan ibu. Kepercayaan diri yang baik akan membuat ibu merasa bahwa apapun yang terjadi dalam kehamilannya, ia akan mampu melewatinya. Kepercayaan diri yang

baik membuat ibu menjalani kehamilannya dengan rasa optimis dan tidak merasa terbebani. Maka dari itu, kepercayaan diri dapat menghindarkan ibu hamil dari stres dan depresi selama menjalani kehamilannya.

Hubungan Dukungan Sosial dengan Kejadian Depresi Antenatal

Hasil menunjukkan bahwa ibu hamil dengan dukungan sosial baik yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 22,8%, sedangkan ibu hamil dengan kepercayaan diri kurang yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 59,1%. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan bahwa p = 0,000 (p < 0,1), maka secara statistik terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dan kejadian depresi antenatal.

Penelitian ini menjunjukkan hasil yang serupa dengan beberapa penelitian terdahulu. Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Leigh dan Milgrom pada tahun 2008 bahwa dukungan sosial menunjukkan hubungan yang signifikan (p = 0,000) dan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian depresi antenatal. Hasil penelitian serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Fall et al pada tahun 2013 bahwa dukungan sosial juga menunjukkan hubungan yang sangat signifikan (p < 0,001, OR 7,66). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang sangat kuat dengan depresi antenatal.

Hal ini didukung oleh pernyataan White (2005) dalam bukunya Foundations of Maternal & Pediatric Nursing, Second Edition.

Page 70: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

68 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 64-73

Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa dukungan sosial dari orang-orang di sekitar ibu hamil dapat berupa kesadaran akan adanya perubahan peran yang dihadapi oleh ibu hamil maupun orang-orang disekitarnya. Hal inilah yang akan membuat ibu hamil merasa bahwa ia tidak menjalani kehamilannya sendirian.

Selama menjalani kehamilan, ibu harus menghadapi berbagai adaptasi fisiologi maupun psikologi yang tidak mudah untuk dijalani. Berbagai macam ketidakmampuan dalam adaptasi perubahan fisiologi dan psikologi selama kehamilan seringkali menyebabkan berbagai permasalahan dan komplikasi dalam kehamilan. Akan tetapi, dengan adanya dukungan sosial dari keluarga terderkat dan orang-orang di sekitar ibu, salah satunya berupa adaptasi pasangan terhadap peran baru yang dialaminya (Janiwarti dan Pieter, 2013), masalah ini dapat tertangani dengan lebih baik. Hal ini dikarenakan oleh adanya orang-orang di sekitar ibu yang memberikan dukungan (supportive system) dapat memberikan bantuan secara langsung untuk meringankan permasalahan yang ibu alami, ataupun hanya memberikan perasaan pada ibu hamil bahwa ia tidak sendiri dalam menjalani kehamilannya sehingga ibu mampu memasukitahap honeymoon dan tahap stabil (Janiwarti dan Pieter, 2013). Dukungan positif ini mampu membuat ibu lebih rileks dan lebih siap dalam menghadapi apapun yang terjadi dalam kehamilannya.

Hubungan Pendapatan dengan Kejadian Depresi Antenatal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil dengan pendapatan

keluarga tinggi yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 27,8%, sedangkan ibu hamil dengan pendapatan keluarga rendah yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 51,1%. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan bahwa p = 0,028 (p < 0,1), maka secara statistik terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan ibu hamil dan kejadian depresi antenatal.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu. Fall et al dalam penelitiannya mengenai studi perbandingan gejala depresi mayor pada ibu hamil berdasarkan status pekerjaan menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kejadian depresi antenatal (p < 0,001). Hasil penelitian yang serupa juga ditunjukkan oleh Räisänen et al pada tahun 2014 bahwa status sosioekonomi memiliki hubungan yang sangat signifikan (p ≤ 0,001). Maka, pendapatan merupakan faktor yang yang tidak terlepas dari terjadinya depresi antenatal pada ibu hamil.

Pendapatan keluarga menunjuk-kan tingkat ekonomi suatu keluarga. Ekonomi keluarga merupakan faktor mendasar yang akan mempengaruhi segala aspek kehidupan. Tingkat ekonomi terkait langsung dengan daya beli keluarga, baik daya beli terhadap makanan maupun daya beli terhadap pelayanan kesehatan yang lebih baik. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akan menimbulkan beban bagi ibu hamil.

Hubungan Umur Ibu dengan Kejadian Depresi Antenatal

Tabel 5.13 menunjukkan bahwa ibu hamil yang termasuk dalam kategori usia reproduksi yang

Page 71: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

RR. Kusuma Nurin Husna, Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 69

mengalami depresi antenatal adalah sebesar 37,1%, sedangkan ibu hamil yang termasuk dalam kategori usia non reproduksi yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 41,9%. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan bahwa p = 0,814 (p > 0,1), maka secara statistik tidak terdapat hubungan antara umur ibu hamil dan kejadian depresi antenatal.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Berdasarkan Räisänen et al. (2014), selama kurun waktu 2002-2010 di Finlandia, faktor yang terkait dengan terjadinya depresi pada ibu hamil diantaranya adalah usia ibu yang terlalu muda atau terlalu tua ( p ≤ 0,001). Pearson et al. (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Maternal Depression During Pregnancy and the Postnatal Period Risks and Possible Mechanisms for Offspring Depression at Age 18 Years” juga menunjukkan bahwa wanita hamil dengan usia muda memiliki risiko mengalami depresi antenatal lebih besar 1,28 kali lipat dibandingkan usia nonrisiko (p value = 0,003).

Menurut Sloane dan Benedict (2009), hal ini dikarenakan pada umur 20 s/d 30 tahun, wanita memiliki risiko komplikasi medis paling rendah. Wilson et al dalam Robson dan Waugh (2013) juga menyatakan bahwa kehamilan remaja umum dikaitkan dengan kejadian depresi antenatal dan ansietas. Hal serupa turut dipaparkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Patel et al. (2010), usia remaja dan dewasa awal (sebelum usia 25 tahun) serta rentang umur 30-50tahun pada wanita berhubungan erat dengan kejadian depresi.

Akan tetapi, hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumala pada tahun 2015 bahwa hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara umur dan risiko depresi antenatal (OR=1,55; CI=95%; 0,29-8,10; p=0,599). Hal serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Leigh dan Milgrom pada tahun 2008 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara umur ibu dengan kejadian depresi antenatal (p = 0,72).

Kesenjangan yang terjadi mungkin dikarenakan oleh status kesehatan ataupun kematangan psikososial pada satu titik umur ibu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kepercayaan diri, kesiapan menjadi ibu, dan berbagai faktor lainnya. Seorang ibu hamil yang berada pada ketegori usia non reproduksi dan mengalami kehamilan yang sangat diharapkannya dan dengan didukung oleh keluarga serta orang-orang di sekitarnya mungkin tidak mengalami depresi antenatal. Sebaliknya, seorang ibu hamil yang termasuk ke dalam usia reproduksi bisa saja mengalami depresi antenatal akibat kurangnya dukungan keluarga, jarak anak yang terlalu rapat, ataupun penyebab lainnya yang menyebabkan ibu tidak siap dalam menghadapi kehamilannya. Hal inilah yang berujung pada terjadinya depresi antenatal.

Hubungan Paritas dengan Kejadian Depresi Antenatal

Hasil menunjukkan bahwa ibu hamil primigravida yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 28,6%, sedangkan ibu hamil multigravida yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar

Page 72: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

70 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 64-73

43,9%. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan bahwa p = 0,195 (p > 0,1), maka secara statistik tidak terdapat hubungan antara paritas ibu hamil dan kejadian depresi antenatal.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dibaba et al. (2010) yangmenyebutkan bahwa multiparitas meningkatkan risiko terjadinya depresi pada ibu. Akan tetapi hasil penelitian yang menunjukkan bahwa paritas tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian depresi antenatal diperkuat oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Kumala pada tahun 2015. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu multigravida memiliki risiko depresi antenatal sepertiga kali lebih rendah dibandingkan primigravida (OR=0,33; CI=95%; 0,09-1,19; p=0,092). Maka, dapat diketahui bahwa terdapat 2 hasil penelitian yang berbeda yang menunjukkan bahwa paritas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian depresi antenatal.

Hal ini, menurut penulis, dikarenakan oleh kesiapan seseorang dalam menghadapi kehamilan tidak selalu didasari atas jumlah anak yang ia miliki. Seorang multigravida bisa saja merasa depresi karena memiliki anak yang banyak dan dengan kehamilannya saat ini, akan menambah beban yang harus ia hadapi. Namun di sisi lain, seorang multigravida dapat menjalani kehamilannya dengan sangat baikmeski ia sudah memililiki anak yang banyak. Hal ini dikarenakan oleh keinginannya untuk memiliki anak lagi sehingga ia tetap merasa bahagia dalam menjalani kehamilannya dan mampu beradaptasi dengan baik dalam menjalani peran barunya.

Hal ini didukung oleh pernyataan Janiwarty dan Pieter tahun 2013 bahwa dalam menjalani kehamilannya, ibu akan mengalami beberapa tahapan psikologis, salah satunya tahap stabil (plautau stage).Pada tahapan ini, ibu sudah dapat memahami peran barunya sehingga ia melakukan segala seuatunya secara mandiri dan dapat menjalani kehamilannya dengan tenang. Namun, untuk mencapai tahapan ini dibutuhan waktu hingga beberapa minggu (Purwandari, 2008).

Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Depresi Antenatal

Hasil menunjukkan bahwa ibu hamil dengan pendidikan tinggi yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 39%, sedangkan ibu hamil dengan pendidikan dasar yang mengalami depresi antenatal adalah sebesar 60%. Berdasarkan hasil uji statistik chi square didapatkan bahwa p = 0,08 (p < 0,1), maka secara statistik terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan ibu hamil dan kejadian depresi antenatal.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fall et al pada tahun 2014 yang menunjukkan bahwa pendidikan yang tinggi memperkecil kemungkinan terjadinya depresi antenatal (p value < 0,001).

Faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu hamil, maka wawasan yang dimilikinya akan semakin luas sehingga pengetahuan pun juga akan meningkat dan mudah menerima berbagai informasi dan pendidikan kesehatan, sebaliknya rendahnya pendidikan ibu hamil akan mempersempit wawasannya sehingga akan menurunkan tingkat

Page 73: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

RR. Kusuma Nurin Husna, Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 71

pengetahuan terhadap masalah kesehatan. Responden yang berpendidikan tinggi akan cenderung mampu menerima informasi dari beberapa sumber dengan lebih mudah sehingga ia dapat mengetahui apa yang harus ia lakukan dan apa yang tidak boleh ia lakukan selama kehamilannya. Hal ini sebagaimana definisi pendidikan yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 salah satu tujuan pendidikan adalah agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan pengendalian diri.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Penelitian ini dilakukan di Bidan Praktik Mandiri (BPM) Kota Pekanbaru pada bulan September 2016 s/d Juni 2016 tentang Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Depresi Antenatal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kepercayaan diri (p=0,006, OR=3,524), tingkat dukungan sosial (p=0,000, OR=4,889), pendapatan keluarga (p=0,028, OR=2,713) dan pendidikan (p=0,008, OR=3,571)dengan kejadian depresi antenatal dan tidak terdapat hubungan antara umur ibu (p=0,814, OR=1,222) serta paritas (p=0,195, OR=2,279) dengan kejadian depresi antenatal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan faktor dengan nilai signifikansi paling besar.

Saran a. Bagi Ikatan Bidan Indonesia

(IBI) Kota pekanbaruHendaknya skrining kejadian

depresi antenatal dapat menjadi salah satu prosedur tetap dalam pelayanan

asuhan kebidanan pada ibu hamil yang ditetapkan oleh IBI dan diharapkan kuesioner skrining depresi antenatal dapat menjadi salah satu bagian dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). b. Bagi Tempat Penelitian

Diharapkan bidan-bidan yang berpraktik di Bidan Praktik Mandiri (BPM) dapat memahami tentang depresi antenatal dan dapat melakukan skrining depresi antenatal untuk mencegah dampak buruk bagi ibu dan bayi serta menciptakan permainan yang dapat mencegah depresi antenatal.c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian mendalam melalui penelitian deskriptif mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian depresi antenatal serta mengkaji pemberian dukungan sosial dan penanaman kepercayaan diri pada ibu hamil yang dapat mencegah depresi antenatal.

DAFTAR PUSTAKA Andersson L, et al. 2004, ‘Neonatal

Outcome Following Maternal Antenatal Depression and Anxiety: A Population Based Study’ Americal Journal of Epidemiology. Vol, 159, No. 9, pp.872-881

Arenson J dan Drake P. 2007, Maternal and Newborn Health. Malloy, United States of America

Bennett HA, et al. 2004, ‘Prevalence of Depression during Pregnancy: Systematic Review’ Obstet Gynecol, [Online], vol. 103, no. 4, pp. 698-709. Dari:

Page 74: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

72 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 64-73

http://www.ncbimlm.nih.hov/pubmed/15051562 [30Oktober 2017]

Bethsaida J dan Pieter HZ. 2013, Pendidikan Psikologi untuk Bidan – Suatu Teori dan Terapannya. Rapha, Yogyakarta

Burt, VK dan Quezada V. 2009, ‘Mood Disorders in Women: Focus on Reproductive Psychiatry in the 21st

cenctury’ Canadian Journal Clinic Pharmacol, vol. 16, no. 1, pp. e6-e14

Dibaba, Y. 2010, ‘Child Spacing and Fertility Planning Behavior among Women in Mana District, Jimma Zone, South West Ethiopia’ Ethiop Journal Health Science, vol, 20, pp. 83-90

Dinkes Riau. 2016, Profil Kesehatan Provinsi Riau 2015. Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Pekanbaru

Dinkes Kota Pekanbaru, 2015. Profil Kesehatan Kota Pekanbaru 2014. Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, Pekanbaru.

Edwards, B, et al. 2008, ‘Antenatal psychosocial risk factors and depression among women living in socioeconomically disadvantaged suburbs in Adelaide, South Australia’ Australian and New Zealand Journal of Psychiatry; vol 42:45 50

Fall, et al. 2013, ‘Comparative Study of Major Depressive

Symptoms among Pregnant Women by Employment Status’ Springerplus, vol. 2 pp: 2-11

Golbasi, et al. 2009, ‘Prevalence and Correlates of Depression in Pregnancy among Tukish Women’ Maternal and Child Health Journal, [Online], vol. 14, no. 4, pp. 485-491. Dari: http://link.springer.com/article/10.1007/s10995-009-0459-0 [3 Januari 2017]

Kemenkes RI. 2016, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

_________. 2015, Kesehatan dalam Kerangka Sustainable Development Goals (SDGs). Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

_________. 2013. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

_________. Situasi Kesehatan Ibu. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Kumala, TF. 2015, Hubungan Antara Kejadian Preeklamsia dengan Risiko Depresi Antenatal 2015, [Tesis]. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Leigh B dan Milgrom J, 2008. ‘Risk Factors for Antenatal Depression, Postnatal Depression and Parenting

Page 75: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

RR. Kusuma Nurin Husna, Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 73

Stress’ BSM Psychiatry, [Online], vol. 24, no. 8, pp. 1-11. Dari: http://biomedcentral.com/1471-244X/8/24 [12 Oktober 2016]

Milgrom, et al. 2007, ‘Antenatal Risk Factors for Postnatal Depression: a Large Prospective Study’ Journal of Affective Disorders, [Online], vol. 108, pp. 147-157.

Patel, et al. 2010, ‘E ffectiveness of an Intervention Led by Lay Health Counsellors for Depressive and Anxiety Disorders In Primary Care InGoa, India (MANAS): A Cluster Randomised Controlled Trial’, vol. 376, pp. 2086-2095.

Peer, et al. 2013, ‘Antenatal Depression in a Multi-Ethnic, Community Sample of Canadian Immigrants: Psychosocial Correlates and Hypothalamic–Pituitary–Adrenal Axis Function’ The Canadian Journal of Psychiatry, [Online], vol. 58, pp. 579-587.

Räisänen, et al. 2014, ‘Risk Factors for and Perinatal Outcomes of Major Depression during Pregnancy: A Population-Based Analysis during 2002–2010 in Finland’, BMJ Open.

Ricci, SC dan Kyle T. 2009, Maternity and Pediatric Nursing. Wolters Kluwer Health, India.

Robson SE dan Waugh J. 2013, Medical Disorders in Pregnancy: a Manual for Midwives Auditing Handbook. EGC, Jakarta.

Sloane & Benedict. 2009, Petunjuk lengkap kehamilan. Alih Bahasa, Anton Adiwiyoto. Pustaka Mina, Jakarta.

White, L. 2005, Foundations of Maternal & Pediatric Nusing, Second Edition. Thomson Delmar Learning, United States of America.

Page 76: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

HUBUNGAN DIAMETER DAN BERAT PLASENTA DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI

DI KLINIK SWASTA PEKANBARU TAHUN 2017

Yulia Fitri*, Isrowiyatun Daiyah**

* Prodi D-IV Kebidanan Poltekkes Kemenkes Riau

ABSTRAK

Berat badan lahir merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Secara statistik, kejadian bayi berat lahir rendah di negara berkembang adalah sebesar 96,5% dengan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi berat lahir lebih. Salah satu faktor yang berperan penting dalam menentukan berat bayi lahir adalah peran plasenta dalam memberikan suplai nutrisi pada janin. Ukuran plasenta seperti diameter plasenta terutama berat plasenta menunjukkan suplai nutrisi dan oksigen ke janin. Hasil pemeriksaan plasenta dapat digunakan dalam penilaian risiko terhadap hasil neurologis bayi dan sebagai dasar dalam perawatan awal bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan diameter dan berat plasenta dengan berat badan lahir bayi. Jenis penelitian ini adalah analitis dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret tahun 2017 sampai dengan Agustustahun 2017. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin dengan persalinan normal di Klinik Swasta. Sampel dalam penelitian ini adalah plasenta dan bayi dari ibu bersalin yang berjumlah 35, diambil dari seluruh populasi dengan menggunakan teknik total sampling. Plasenta diukur dengan metlin dan ditimbang dengan timbangan digital gantung, sedangkan bayi ditimbang dengan timbangan digital bayi. Kemudian, data dianalisis menggunakan uji chi-square dengan derajat kepercayaan 90%. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara diameter dan berat plasenta dengan berat badan lahir bayi (p=0,089;p=0,082). Saran kepada bidan dan pelayanan kesehatan lainnya agar melakukan pengukuran dan penimbangan plasenta setelah lahir untuk melengkapi data rekam yang berguna untuk perencanaan asuhan jangka pendek maupun jangka panjang.

Kata kunci : Berat plasenta, diameter plasenta, berat badan lahir bayiDaftar Pustaka : 19 (2005-2016)

PENDAHULUANSalah satu penunjuk

kesehatan bayi baru lahir adalahberat badan lahir bayi. Bayi dapatlahir dengan berat rendah, normal dan besar. Besar kecilnya beratbadan lahir tergantung bagaimanapertumbuhan janin dalam Rahimselama kehamilan. Menurut

Manuaba (2007) dikatakan bahwabayi berat lahir rendah (BBLR)termasuk dalam bayi risiko tinggidibandingkan bayi dengan beratnormal dan lebih. Hal inidikarenakan bahwa BBLR akanmenyebabkan kecacatan pada bayidan anak, gangguan perkembangansaraf dalam jangka panjang, dan

74

Page 77: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Yulia Fitri, Hubungan Diameter Dan Berat Plasenta 75

kelahiran BBLR yang berulangdikehamilan ibu selanjutnya. Selainitu dampak BBLR yang paling beratadalah peningkatan kesakitan dankematian pada bayi (Maryunani danNurhayati, 2009).

Berdasarkan data WHO(2013) diketahui bahwa kematianbayi yang disebabkan oleh BBLR adalah sebesar 60-80%. Di kotaPekanbaru tahun 2015, penyebab kedua kematian bayi setelah Intra Uterine Fetal Death (IUFD) adalah BBLR. Angka kematian bayi yang disebabkan oleh BBLR tersebut adalah sebesar 17,24% (Dinkes Pekanbaru, 2016). Prevalensi BBLR menurut WHO (2013) diperkirakan sebesar 15,5% dari seluruh kelahiran di dunia dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Prevalensi BBLR di Indonesia adalah sebesar 11,1%. Secara statistik, kejadian BBLR di negara berkembang adalah sebesar 96,5% dengan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi,apabila dibandingkan pada bayi dengan berat besar.Faktor yang mempengaruhi berat badan lahir bayi termasuk BBLR adalah antara lain umur ibu, jarak kehamilan, paritas, kehamilan ganda, kadar hemoglobin, status gizi ibu, penyakit saat kehamilan, plasenta, kondisi lingkungan, dan kesehatan lingkungan, serta ketinggian tempat tinggal (Kardjati, 2005; Kosim dkk, 2010). Menurut Guyton (2008) dikatakan bahwa berat badan lahir bayi ditentukan oleh peranplasenta dalam memberikan suplai nutrisi pada janin.Ukuran plasenta, seperti diameter plasenta terutama berat plasenta menunjukkan keadaan suplai nutrisi dan oksigen ke janin (Tegethoff et al, 2010).

Apabila suplai uteroplasenta terganggu maka suplai nutrisi yang dialirkan dari plasenta ke janin juga menjadi berkurang, sehingga bisa mengakibatkan kelahiran BBLR dan sebaliknyapabila suplaiuteroplasenta berjalan baik maka suplai nutrisi ke janin juga maksimal (Guyton, 2008).Berdasarkan hasil penelitian Afodun et al (2015) diketahui bahwa antropometri plasenta berhubungan dengan antropometri bayi. Salah satu antropometri tersebut adalah diameter dan berat plasenta berhubungan dengan berat badan lahir bayi.

Hasil pemeriksaan plasenta dapat digunakan dalam memprediksi masalah medis, penilaian risiko terhadap hasil neurologis bayi, sebagai dasar dalam perawatan awalbayi, dan dapat membantu bidan dalam mengambil keputusan, serta berguna bagi dokter dalam menegakkan diagnosa (Roberts dalam Afodun, 2015). Beberapa penelitian tentang hubungan plasenta dengan berat badan lahir bayi telah dilakukan.Namun, dalam tingkat yang lebih luas, khususnya di Provinsi Riau dan Kota Pekanbaru, belum ditemukan penelitian tentang hal ini.Dalam penelitian Yanti dan Sari (2012) maupun Mukhlisan, dkk (2013) diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat plasenta dengan berat badan lahir bayi.Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahayana, dkk (2015), plasenta termasuk ke dalam faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR.

Berdasarkan data Dinkes Pekanbaru (2016) diketahui bahwa jumlah bayi baru lahir terbanyak dari 20 puskesmas di kota Pekanbaru pada tahun 2015 berada di wilayah kerja Puskesmas Harapan Raya

Page 78: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

76 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 74-81

dengan persentase sebesar 10,6%, Puskesmas Payung Sekaki sebesar 9,7% dan Puskesmas RI Sidomulyo sebesar 8,2%. Meskipun, Puskesmas RI Sidomulyo berada pada posisi ketiga. Namun klinik dengan jumlah bayi baru lahir terbanyak berada di wilayah kerja Puskesmas RI Sidomulyo yaitu Klinik Ernita, apabila dibandingkan dengan Klinik Pratama Afiyah yang berada wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti hubungan diameter dan berat plasenta dengan berat badan lahir bayi di Klinik Swasta Pekanbaru tahun 2017.

METODE PENELITIANJenis penelitian ini adalah

penelitian analitis dengan desain observasional dan rancangan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin dengan persalinan normal di Klinik Swasta, Pekanbaru pada bulan Juni sampai dengan Juli 2017 dengan jumlah sampel 35 responden, diambil dari seluruh populasi dengan menggunakan teknik total sampling.Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasional. Setelah bayi dan plasenta lahir langsung dilakukan pengukuran diameter plasenta, penimbangan berat plasenta, dan berat badan badan lahir bayi. Analisis data menggunakan uji chi-square dengan derajat kepercayaan 90%.

HASIL PENELITIAN1. Analisis Univariat

Tabel 1. Distribusi Diameter Plasenta Bayi Baru Lahir di Klinik SwastaPekanbaru pada Bulan Juni-Juli 2017

Tabel 2. Distribusi Berat Plasenta Bayi Baru Lahir di Klinik Swasta Pekanbaru pada Bulan Juni-Juli 2017

Tabel 3. Distribusi Berat Badan Lahir Bayi di Klinik Swasta Pekanbaru pada Bulan Juni-Juli 2017

2. Analisis Bivariat

Tabel 4. Hubungan Diameter Plasenta dengan Berat Badan Lahir Bayi di Klinik Swasta Pekanbaru pada Bulan Juni-Juli 2017

No. Diameter Plasenta

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1. Normal 30 85.7%2. Tidak

Normal5 14.3%

Total 35 100%

No Berat Plasenta

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1. Normal 24 68.6%2. Tidak

Normal11 31.4%

Total 35 100%

NoBerat Badan

Lahir Bayi

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1. Normal 31 88.6%2. Tidak

Normal4 11.4%

Total 35 100%

Page 79: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Yulia Fitri, Hubungan Diameter Dan Berat Plasenta 77

Tabel 5. Hubungan Berat Plasenta dengan Berat Badan Lahir Bayi di Klinik Swasta Pekanbaru pada Bulan Juni-Juli 2017

PEMBAHASAN1. Hubungan Diameter Plasenta

dengan Berat Badan Lahir BayiPada penelitian ini ditemukan

bahwa sebagian besar diameter plasenta adalah normal. Diameter plasenta normal memiliki berat badan lahir bayi normal sebesar 93,3%, lebih besar dibandingkan dengan diameter plasenta tidak normal yaitu sebesar 60,0%. Hasil analisis menggunakan uji chi-square dengan derajat kepercayaan 90% menunjukkan bahwa ada hubungan antara diameter plasenta dengan berat badan lahir bayi (p=0,089).

Adanya hubungan diameter plasenta dengan berat badan lahir bayi karena plasenta berperan untuk pertukaran O2 dan transfer nutrisi dalam pertumbuhan janin. Struktur dan fungsi plasenta akan menentukan pertumbuhan janin, oleh karena janin mendapat nutrisi dari plasenta (Roberts, 2008).Dapat diperkirakan

bahwa ukuran plasenta akan meningkat setara dengan peningkatan ukuran janin (Tegethoff et al, 2010).

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Afodun et al (2015) yang berjudul “PlacentalAnthropometric Features: Maternal and Neonate Characteristic in North Central Nigeria” bahwa antropometri plasenta berhubungan dengan antropometri bayi. Salah satu antropometri tersebut adalah diameter plasenta berhubungan dengan berat badan lahir bayi.Hal ini juga sejalan dengan penelitian Ramdurg (2015) yang berjudul “Correlation of Placental Parameters in Preeclampsia as a Predictor of IUGR/Low Birth Weight in Infants a Prospective Study”. Pada penelitian tersebutdiameter plasenta diukur pada usia kehamilan 36 minggu dengan USG. Hasil analisis menunjukkan bahwa diameter dan ketebalan plasenta merupakan predictor untuk bayi dengan berat badan lahir rendah.Hal ini dapat disimpulkan bahwa diameter plasenta dapat digunakan dalam memprediksi masalah medis termasuk masalah berat badan lahir bayi karena keterkaitannya dalam mempengaruhi berat badan lahir bayi.

Keterkaitan dari peran plasenta dalam mempengaruhi berat badan lahir bayi juga didukung oleh Senapati et al (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Morphometric Study of Placenta of Full Term New Born and Its Relation to Fetal Weight: A Study in Tertiary Care Hospital of Odisha”. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa parameter plasenta dari bayi berat

No.Diame

terPlasenta

Berat Badan Lahir Bayi Jumlah

Pvalue

ORNormal Tidak

Normaln % n % n %

1. Normal 28 93.3 2 6.7 3

0100

0.089

9.333

2. TidakNormal 3 60.

0 2 40.0 5 10

0

Jumlah 31 88.6 4 11.

435

100

No.Berat Plasen

ta

Berat Badan Lahir Bayi Jumlah

Pvalue

ORNormal Tidak

Normaln % n % n %

1. Normal 23 95.8 1 4.2 2

4100

0.082

8.625

2. TidakNormal 8 72.

7 3 27.3

11

100

Jumlah 31 88.6 4 11.

435

100

Page 80: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

78 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 74-81

lahir rendah relatif rendah dibandingkan dengan bayi normal.Penelitian ini juga menjelaskan bahwa peningkatan ukuran plasenta secara signifikan berhubungan dengan berat badan ibu dan hal itulah yang menjadi faktor berat badan lahir bayi.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi berat badan lahir bayi. Dari faktor internal yang dapat mempengaruhi berat badan lahir bayi adalah umur ibu hamil, jarak kehamilan, paritas, kehamilan ganda, kadar hemoglobin, status gizi ibu hamil, penyakit saat kehamilan, plasenta dan faktor eksternal seperti kondisi lingkungan, asupan zat gizi ibu hamil dan tingkat sosial ekonomi ibu hamil, kebersihan dan kesehatan lingkungan serta ketinggian tempat tinggal (Kardjati, 2005; Kosim dkk, 2010). Namun, menurut Guyton (2008) yang berperan penting dalam menentukan berat bayi lahir adalah peran plasenta dalam memberikan suplai nutrisi pada janin.

Menurut asumsi peneliti, berat badan lahir bayi dipengaruhi oleh plasenta, khususnya disini ukuran plasenta. Hal ini didukung dengan data umum responden yang menunjukkan suatu kondisi yang dianjurkan atau baik bagi ibu untuk hamil sehingga tidak mempengaruhi berat badan lahir bayi. Hal ini berarti bahwa hasil penelitian dapat terhindar dari bias terhadap fakto-faktor lain yang dapat mempengaruhi berat badan lahir bayi.

Meskipun hasil analisis menunjukkanada hubungan antara diameter plasenta dengan berat badan lahir bayi, tapi dari 30 plasenta dengan diameter normal, 2 diantaranya memiliki bayi dengan berat badan tidak normal. Selain itu dari 5 plasenta dengan diameter tidak

normal 3 diantaranya memiliki bayi dengan berat badan normal. Menurut peneliti, hal ini bisa saja disebabkan oleh faktor lain seperti kadar hemoglobin (Hb) dalam darah. Menurut Wheeler et al, dalam Surinati (2011) dijelaskan bahwa faktor penyebab yang memungkinkan ibu hamil dengan anemia melahirkan bayi dengan berat badan tidak normal adalah ibu hamil tersebut telah mengalami anemiasejak awal kehamilan, tapi pada penelitian ini tidak mengukur dan mengumpulkan variabel Hb dari awal kehamilan. Selain itu jumlah villus pada plasenta bisa saja juga ikut mempengaruhi karena berkaitan dengan proses suplai nutrisi oleh plasenta, tapi dalam penelitian ini juga tidak dilakukan perhitungan jumlah villus pada plasenta.

2. Hubungan Berat Plasenta dengan Berat Badan Lahir Bayi

Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar berat plasenta adalah normal. Berat plasenta normal memiliki berat badan lahir bayi normal sebesar 95,8%, lebih besar dibandingkan dengan berat plasenta tidak normal yaitu sebesar 72,7%. Hasil analisis menggunakan uji chi-square dengan derajat kepercayaan 90% menunjukkan bahwa ada hubungan antara berat plasenta dengan berat badan lahir bayi (p=0,082). Dari nilai OR juga menunjukkan bahwa plasenta dengan berat normal 8,625 kali lebih cenderung (OR=8,625) memiliki bayi dengan berat badan lahir normal dibandingkan dengan berat plasenta yang tidak normal.

Hal tersebut diatas sesuaidengan teori bahwa salah satu penentu utama berat badan lahir bayi adalah berat plasenta karena

Page 81: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Yulia Fitri, Hubungan Diameter Dan Berat Plasenta 79

makanan dan oksigen di distribusikan dari ibu ke janin melalui plasenta (Guyton, 2008). Plasenta akan bertambah luas dan berat seiring pertambahan masa kehamilan akibat bertambahnya jumlah villus, sedangkan jumlah villus ini merupakan bagian yang penting dalam pertukaran makanan dan oksigen serta zat-zat sisa janin. Jika villus makin luas, maka daerah pertukaran akan semakin luas untuk menunjang kehidupan janin (Cunningham, 2006).

Pertumbuhan plasenta terjadi dengan pesat pada triwulan pertama kehamilan dan kecepatam pertumbuhan mulai melambat di bulan ke lima kehamilan, bahkan berhenti tumbuh saat telah sempurna, tetapi adakalanya plasenta dapat terus tumbuh dan meningkat ukurannya jika berhadapan dengan lingkungan maternal yang kurang menguntungkan seperti terjadinya hipoksia intra uteri. Hal ini dikarenakan plasenta yang hipoksia mengalami penambahan sel dan peningkatan cabang arteri sebagai bentuk adaptasi terhadap suplai O2 yang berkurang oleh karena mekanisme tersebut janin dapat tetap terpenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisinya sehingga dapat tumbuh normal. Namun berat plasenta akan bertambah (Lestari, 2006).Jadi berat plasenta sangat menentukan berat badan lahir bayi, apabila berat plasenta normal maka berat badan lahir bayi juga akan normal. Hal ini dikarenakan plasenta merupakan salah satu sarana untuk pertukaran zat antara ibu dan janin maupun sebaliknya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Afodun et al (2015) yang berjudul “Placental Anthropometric

Features: Maternal and Neonate Characteristic in North Central Nigeria” bahwa berat plasenta sesuai dengan berat lahir dan terbukti signifikan secara statistik. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Yanti dan Sari (2012) tentang “Hubungan Berat Plasenta dengan Berat Badan Lahir di Rumah Bersalin Mutiara Bunda Padang Tahun 2012” dan Mukhlisan, dkk (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat plasenta dengan berat badan lahir bayi.Selain itu, didukung juga oleh penelitian Mahayana, dkk (2015) bahwa plasenta termasuk ke dalam faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR. Hal ini sejalan dengan dengan teori yang ada bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi berat badan lahir yaitu faktor plasenta, malnutrisi, infeksi dan genetik (Kosim dkk, 2010).

Menurut asumsi peneliti, adanya ketidaksesuaian antara berat plasenta dengan berat badan lahir bayi dikarenakan oleh faktor lain yang belum terdekteksi seperti kadar Hb dan jumlah villus plasenta. Namun, secara umum data responden dalam penelitian ini sesuai dengan kriteria inklusi, sehingga berat badan lahir bayi dihubungkan dengan faktor plasenta dari segi diameter dan berat plasenta.

KESIMPULAN1. Ada hubungan antara diameter

plasenta dengan berat badan lahir bayi di Klinik Swasta Pekanbaru Tahun 2017 (p=0,089).

2. Ada hubungan antara berat plasenta dengan berat badan lahir bayi di Klinik Swasta Pekanbaru Tahun 2017 (p=0,082).

Page 82: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

80 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 74-81

SARAN1. Ilmiah

Penelitian ini dapat menjadi acuan untuk mengembangkan penelitian selanjutnya menjadi lebih spesifik dengan menambahkan jumlah sampel, mengukur dan mengumpulkan kadar Hb di awal kehamilan, serta melakukan pemeriksaan diabetes mellitus pada responden.2. Praktis

Bidan dan institusi pelayanan kesehatan lainnya dapat menjadikan pengukuran diameter dan berat plasenta sebagai tindakan rutin setelah bersalin untuk melengkapi data rekam medis yang berguna untuk perencanaan asuhan jangka pendek maupun jangka panjang termasuk pencegahan bayi lahir dengan berat badan tidak normal dengan pemenuhan nutrisi dan pemantauan rutin selama kehamilan.

DAFTAR PUSTAKAAfodun, A.M, Ajao, M.S and Enaibe,

B.U.2015,'PlacentalAnthropometricFeatures:MaternalandNeonateCharacteristics in North Central Nigeria', Hindawi Publishing Corporation

Cunningham, F.G. et al.2006, Plasenta dan Membran Janin. EGC, Jakarta

Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru.2016, Penyebab Kematian Bayi di KotaPekanbaru Tahun 2015. Dinas KesehatanKota Pekanbaru, Pekanbaru

Dinas Kesehatan Provinsi Riau. 2015, Profil Kesehatan Provinsi Riau Tahun2014.Dinas

Kesehatan Provinsi Riau, Pekanbaru

Guyton, A.C and Hall, J.E. 2008, Kehamilan dan Laktas. EGC, Jakarta

Kardjati, S, Alisjahbana, A dan Kusim, J.A. 2005, Aspek Kesehatan dan GiziAnak Balita. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Kosim, M.S. dkk.2010, Buku Ajar Neonatologi, edisi 1. Balai Penerbit IDAI, Jakarta

Lestari, D.K. 2006, Proses Pembentukan Janin pada Daerah Ketinggian. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Mahayana, S.A, Chundrayetti, E dan Yulistini. 2015, ‘Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Berat Badan Lahir Rendah’ Artikel Penelitian, [Online].Dari :http://jurnal.fk. unand.ac.id. [Agustus 2016]

Manuaba, I.B.G. dkk.2007, Pengantar Kuliah Obstetri. EGC, Jakarta

Maryunani, A dan Nurhayati.2009, Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit padaNeonatus. Trans Info Media, Jakarta

Mukhlisan, H, Liputo, N.I dan Ermawati. 2013, ‘Hubungan Berat Plasenta dengan Berat Badan Lahir Bayi di Kota Pariaman’ Jurnal Kesehatan Andalas, [Online].Dari :http://jurnal.fk.unand.ac.id.[Agustus 2016]

Page 83: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Yulia Fitri, Hubungan Diameter Dan Berat Plasenta 81

Ramdurg, H. 2015, ‘Correlation of Placental Parameters in Preeclampsia as a Predictor of IUGR/Low Birth Weight in Infants a Prospective Study’, Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences.

Roberts, B.K. et al. 2008, ‘Maternal risk factor for abnormal placenta growth’ The National Collaboran Perinatal Projec,[Online]. Dari : http:// www.biomedcentral.com.[September 2016]

Senapati, S. et al. 2015, ‘Morphometric Study of Placenta of Full Term New Born and Its Relation to Fetal Weight: A Study in Tertiary Care Hospital of Odisha’, Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences

Surinati, I.D.A.K. 2011, ‘Perbedaan Berat Badan Lahir pada Ibu Hamil Aterm dengan Anemia dan TidakAnemia di RSUD Wangaya Kota Denpasar’ [Online].Dari :http://www.pps.unud.ac.id Diunduh pada bulan Januari 2017

Tegethoff.et al. 2010, ‘Maternal Psychosocial Stress During Pregnancy and Placenta Weight’, Evidence from a National Cohort Study, PLoS One

World Health Organization (WHO).2013, Infant mortality.Dari :http://www.who.int/gho/child.[Agustus 2016]

Yanti, E dan Sari, R. 2012, 'Hubungan Berat Plasenta dengan Berat Badan Lahir di Rumah Bersalin Mutiara Bunda Padang Tahun 2012’

Page 84: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR

ANAK USIA 18-24 BULAN DI KELURAHAN LIMBUNGAN BARU WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWAT INAP KARYA WANITA

KOTA PEKANBARU

Mita Puspitasari*, Yeni Aryani** Prodi D-IV Kebidanan Poltekkes Kemenkes Riau

ABSTRAK

Pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan dapat meningkatkan perkembangan secara optimal pada anak. Di Indonesia sekitar 16% anak usia dibawah 5 tahun mengalami gangguan perkembangan saraf dan otak mulai ringan sampai berat, setiap 2 dari 1000 anak mengalami gangguan perkembangan motorik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Agustus 2017. Populasi pada penelitian ini ialah seluruh ibu yang memiliki anak usia 18-24 bulan, dengan jumlah sampel sebanyak 45 ibu. Penelitian ini merupakan pre eksperimen dengan desain pre test dan post test. Teknik sampling yaitu cluster sampling,menggunakan uji Wilcoxon, pada tingkat kemaknaan 95%. Hasil penelitian yaitu sebelum diberikan pendidikan kesehatan nilai rata-rata 17,16, setelah diberikan pendidikan kesehatan nilai rata-rata 23,13, dan ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan Ibu tentang Stimulasi Perkembangan Motorik Kasar Anak Usia 18-24 Bulan dengan nilai p =0,000 (α <0,05). Disarankan perlunya pendidikan kesehatan untuk ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan agar dapat diterapkan dirumah.

Kata kunci : Pengetahuan Ibu, Stimulasi Perkembangan Motorik Kasar Anak Usia 18-24 Bulan

Daftar Pustaka : 36 (1995-2016)

82

Page 85: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Mita Puspitasari, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu 83

PENDAHULUANStimulasi merupakan cikal

bakal proses pembelajaran anak yang harus dimulai sejak awal kehidupan anak tersebut. Anak yang mendapatkan stimulasi secara optimal akan lebih cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang atau tidak mendapatkan stimulasi. Setiapkeluarga mengharapkan anak yang mampu tumbuh dan berkembang secara optimal, baik itu secara fisik, mental, kognitif, maupun sosial (Adriana, 2013).

Masa bayi dan balita merupakan periode paling penting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia, pada 5 tahun pertama proses tumbuh kembang berjalan dengan cepat. Para ahli mengatakan bahwa masa bayi dan balita disebut sebagai masa emas “golden age period” khususnya pada usia 0-2tahun karena perkembangan otak mencapai 80%.

Survei yang dilakukan United Nations Children’s Fund (UNICEF)menunjukkan bahwa dari 200 juta anak di bawah usia 5 tahun di negara-negara berkembang di dunia, lebih dari sepertiganya tidak terpenuhi potensinya untuk perkembangan (UNICEF, 2006). Di Indonesia sekitar 16% anak usia dibawah 5 tahun mengalami gangguan perkembangan saraf dan otak mulai ringan sampai berat, setiap 2 dari 1000 bayi mengalami gangguan perkembangan motorik (Maria & Andriani, 2009).

Perkembangan bayi dan balita dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu malnutrisi kronis berat, stimulasi dini yang tidak adekuat, defisiensi yodium, dan anemia defisiensi besi. Salah satu faktor resiko penting dan berhubungan dengan interaksi ibu dan anak adalah pemberian stimulasi dini (Sulistyawati, 2014). Salah satu

perkembangan pada masa balita adalah pada aspek motorik kasar. Motorik kasar adalah bagian dari aktivitas motor yang melibatkan otot-otot besar dan salah satunya dipengaruhi oleh interaksi orang tua terhadap anak utamanya dalam bentuk stimulasi (IDAI, 2012).

Pendidikan kesehatan adalah bentuk serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran agar terlaksananya perilaku sehat (Setiawati & Dermawan, 2008). Ketidaktahuan ibu tentang stimulasi perkembangan anak usia 18-24 bulan dapat mengakibatkan ibu sulit memahami pentingnya stimulasi perkembangan anak usia 18-24 bulan.

Pada masa balita yaitu usia 18-24 bulan terjadi kemajuan dalam perkembangan motorik kasar dan motorik halus, tetapi mengalami penurunan dalam kecepatan pertumbuhan (Kemenkes, 2012). Menurut Juniarti (2016), bahwasanyakemampuan motorik halus berkembang setelah kemampuan motorik kasar berkembang secara optimal.

Penelitian Yusuf, dkk tahun 2016 menyebutkan bahwa sebelum dilakukan pendidikan kesehatan mayoritas pengetahuan kurang yaitu sebesar 69,7% dan setelah diberikan pendidikan kesehatan mayoritas pengetahuan baik yaitu sebesar 81,8%. Hasil penelitian menyebutkan adanya pengaruh pendidikan kesehatan dengan pendekatan modelling terhadap pengetahuan ibu dalam menstimulasi tumbuh kembang bayi (Yusuf, 2016).

Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau tahun 2014 menyatakan bahwa

Page 86: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

84 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 82-90

cakupan pelayanan balita pada tahun 2014 di Provinsi Riau sebesar 72,6% yang mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013 sebesar 65,4%. Indikator ini belum memenuhi target Renstra pada tahun 2014 yang sebesar 90%.

Berdasarkan survey pendahuluan pada data Dinas Kesehatan Provinsi Riau tahun 2016 pada triwulan I didapatkan hasil bahwa dari 4 Puskesmas yang melakukan deteksi dini didapatkan data penyimpangan motorik kasar balita yaitu Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita dengan persentase 0,58%, Puskesmas Garuda 0,09%, Puskesmas Payung Sekaki 0,47%, dan Puskesmas Sidomulyo 0,04%. Dari 4 Puskesmas tersebut, dapat dilihat bahwa Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita memiliki persentase penyimpangan motorik kasar yang lebih tinggi dari pada 3 Puskesmas lainnya.

METODE PENELITIANJenis penelitian pre eksperimen

dengan desain pre-post test design. Penelitian dilakukan pada bulan September 2016 s/d Juli tahun 2017. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak usia 18-24 bulan di Posyandu Kelurahan Limbungan Baru wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru dan sampel sebanyak 45 orang diambil secara cluster sampling. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan analisa data bivariat menggunakan uji statistik Wilcoxon.

HASIL PENELITIANKarakteristik RespondenTabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Posyandu Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru Tahun 2017

No Karakteristik Jumlah (n)

Persentase (%)

1. Umura. 20-30 thb. >30 th

2124

46,753,3

Jumlah 45 1002. Pekerjaan

a. Tidak Bekerjab. Bekerja

3411

75,624,4

Jumlah 45 1003. Pendidikan

a. SDb. SMPc. SLTAd. PT

35 22 15

6,711,148,933,3

Jumlah 45 100

1. Analisis UnivariatTabel 2. Distribusi Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah diberikan Pendidikan Kesehatan di Posyandu Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru Tahun 2017

No Variabel n Mean SD Range Min Maks1. Pretest 45 17,16 3,411 14 9 232. Posttest 23,13 1,502 6 19 25

Page 87: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Mita Puspitasari, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu 85

2. Analisis Bivariat Tabel 3. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan Ibu tentang Stimulasi Perkembangan Motorik Kasar Anak Usia 18-24 Bulan di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru

No Variabel n P value1. Pretest

45 0,0002. Posttest

PEMBAHASAN(1) Pengetahuan Ibu Sebelum dan Setelah diberikan Pendidikan Kesehatan

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata pengetahuan ibu sebelum diberikan pendidikan kesehatan adalah 17,16 dengan standar deviasi (SD) 3,411. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum memahami dengan benar tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan atau prilaku seseorang. Setelah diberikan pendidikan kesehatan rata-rata pengetahuan ibu adalah 23,13 dengan standar deviasi (SD) 1,502. Terlihat perbedaan nilai mean sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah 5,97. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang telah diberikan pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan telah memahami dengan baik dan diharapkan dapat menerapkandirumah.

Dari hasil penelitian yang dapat dilihat pada tabel lampiran

didapatkan sebelum diberikan pendidikan kesehatan jawaban benar responden tertinggi ialah 18 dengan jumlah 11 orang, dan setelah diberikan pendidikan kesehatan jawaban benar responden tertinggi ialah 24 dengan jumlah 13 orang. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang telah diberikan pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan telah memahami apa yang telah disampaikan pada saat penyampaian materi dan demonstrasi yang telah dilakukan. Meskipun demikian, setelah diberikan pendidikan kesehatan masih ada responden yang jawabannya salah. Hal ini merupakan keterbatasan dari penelitian ini, bahwasanya pengetahuan seseorang tidak akan meningkat sepenuhnya dengan satu kali pemberian pendidikan kesehatan saja. Hal ini dapat dilihat khususnya pada pernyataan 15, terlihat pada master tabel yang dicantumkan dilampiran bahwasanya dari 45 responden terdapat 18 responden yang jawabannya masih salah.

Menurut Widayatun TR (1999:23) menyatakan bahwa setiap orang memiliki cara-cara tertentu dalam menyerap informasi dari luar kedalam memorinya. Sebagian orang mudah menyerap informasi dengan mendengarkan. Mereka belajar dengan menggunakan pendengaran. Selain itu ada juga yang lebih mudah memahami sesuatu dengan melakukan atau mempraktikkannya. Informasi bisa didapat dengan berbagai cara seperti pendidikan kesehatan, pelatihan, konseling, majalah. Maka dapat dilihat bahwa peningkatan jawaban benar responden sesuai dengan pernyataan Widayatun,bahwasanya pengetahuan akan meningkat dengan cara menyerap informasi dari luar.

Page 88: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

86 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 82-90

Pada pretest didapatkan hasil bahwasanya dari 25 pernyataan, terdapat 1 pernyataan yang sebagian besar responden tidak mengetahui hal tersebut, yaitu terletak pada pernyataan 16 yang berbunyi “ memantau perkembangan balita dilihat dari keaktifan yang berlebih pada balita”. Dapat dilihat dari pernyataan tersebut, bahwasanya keaktifan yang berlebih pada anak termasuk kedalam kategori yang tidak baik. Menurut Kemenkes (2012), gangguan pemusatan perhatian dan hyperaktif (GPHH) merupakan gangguan dimana anak mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian yang seringkali disertai dengan hiperaktivitas. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketidaktahuan ibu terhadap perkembangan anak yang optimal. Salah satu faktor yang mempengaruhi ialah kurangnya informasi yang didapat oleh ibu. Maka dari itu, pendidikan kesehatan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan perkembangan akibat ketidaktahuan ibu tentang perkembangan.

Menurut Saragih (2010), salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi pengetahuan ialah tingkat pendidikan. Pendidikan mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi yang baru, maka dapat dikatakan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah seseorang menerima informasi yang diberikan. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendidikan tinggi SLTA yaitu sebanyak 22 orang (48,9%) dengan tingkat pengetahuan yang baik terhadap pengetahuan tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan setelah diberikan pendidikan kesehatan.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu penelitian Munawarah A, dkk (2015) menyatakan bahwa tingkat pendidikan juga mempengaruhi pengetahuan ibu tentang stimulasi yang kemudian akan mempengaruhi prilaku ibu dalam pemberian stimulasi pada anak, cara mendidik dan cara mengasuh anak, serta bagaimana cara memecahkan masalah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang perkembangan bayi denganpemberian stimulasi perkembangan bayi usia 6-9 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Dharmarini Kabupaten Temanggung Tahun 2014 dengan menggunakan derajat kesalahan 5% diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05).

(2) Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan Ibu tentang Stimulasi Perkembangan Motorik Kasar Anak Usia 18-24 Bulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru. Rata-rata pengetahuan ibu sebelum diberikan pendidikan kesehatan adalah 17,16 dengan standar deviasi (SD) 3,411. Setelah diberikan pendidikan kesehatan rata-rata pengetahuan ibu adalah 23,13 dengan standar deviasi (SD) 1,502. Terlihat perbedaan nilai mean sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah 5,97. Berdasarkan hasil analisa menggunakan uji Wilcoxon pada

Page 89: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Mita Puspitasari, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu 87

tingkat kemaknaan 95% diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05). Dengan demikian ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru.

Menurut Widayatun TR (1999:23) menyatakan bahwa setiap orang memili}ki cara-cara tertentu dalam menyerap informasi dari luar kedalam memorinya. Sebagian orang mudah menyerap informasi dengan mendengarkan. Mereka belajar dengan menggunakan pendengaran. Selain itu ada juga yang lebih mudah memahami sesuatu dengan melakukan atau mempraktikkannya. Informasi bisa didapat dengan berbagai cara seperti pendidikan kesehatan, pelatihan, konseling, majalah.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukanoleh Yusuf, dkk (2016) bahwa pendidikan kesehatan pada ibu akan meningkatkan pengetahuan ibu terhadap perawatan anak dan akan mengurangi kesalahan ibu dalam merawat dan akan meningkatkan perkembangan yang positif. Dengan hasil penelitian yaitu sebelum dilakukan pendidikan kesehatan mayoritas pengetahuan kurang yaitu sebesar 69,7% dan setelah diberikan pendidikan kesehatan mayoritas pengetahuan baik yaitu sebesar 81,8% dengan uji statistik didapatkan nilai p=0,000.

Tahap berikut dari pendidikan kesehatan adalah tahap reproduksi, yaitu terjadinya pengaktifan kembali hal-hal yang telah dicamkan sebelumnya. Pada tahap ini terjadi proses mengingat kembali dan dapat menginterpretasikan materi yang telah disampaikan pada saat

pendidikan kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2010) sebagian besar pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh panca indera telinga dan mata. Pada waktu pengindraan dengan sendirinya menghasilkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek, begitu pula pada penelitian ini para ibu yang telah memahami dengan baik materi yang disampaikan, dari hasil penelitian terlihat memiliki pengetahuan yang meningkat dari sebelum diberikan pendidikan kesehatan.

Ibu yang mendapatkan pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan mengalami peningkatan pengetahuan tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Setiawati & Dermawan (2008) bahwa pendidikan kesehatanadalah bentuk serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran agar terlaksananya perilaku sehat.

Dengan demikian, hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru.

KESIMPULAN1. Mayoritas ibu berusia >30 tahun

yaitu sebanyak 24 orang (53,3%), mayoritas responden tidak bekerja yaitu sebanyak 34 orang (75,6%), dan mayoritas responden dengan

Page 90: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

88 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 82-90

pendidikan SLTA yaitu sebanyak 22 orang (48,9%).

2. Sebelum diberikan pendidikan kesehatan adalah nilai rata-rata responden 17,16 dengan standar deviasi (SD) 3,411.

3. Setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah nilai rata-rata responden 23,13 dengan standar deviasi (SD) 1,502.

4. Dilihat dari hasil uji Wilcoxondidapatkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan di Kelurahan Limbungan Baru Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru dengan nilai p value=0,000 (α <0,05).

SARAN1. Teoritis

Disarankan bagi peneliti selanjutnya agar dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan tambahan informasi untuk mengembangkan penelitian selanjutnya tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan motorik kasar anak usia 18-24 bulan.

2. AplikatifBagi ibu yang memiliki

anak usia 18-24 bulan diharapkan selalu memberikan stimulasi perkembangan motorik kasar kepada anaknya, agar anak dapat berkembang secara optimal. Bagipetugas kesehatan di Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru diharapkan dapat memberikan bantuan Alat Permainan Edukatif (APE) ke posyandu untuk membantu dalam proses stimulasi balita, sehingga orang tua dapat menangani sejak dini dan bagi pendidikan agar

dapat menggunakan laporan akhirini sebagai bahan bacaan serta referensi bagi para peneliti yang lain dan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKAAdriana. D. (2013). Tumbuh

Kembang dan Terapi Bermain pada Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Andriani, Merryana, Maria, F. N., 2009. Hubungan Pola Asuh, Asih, Asah dengan Tumbuh Kembang Balita Usia 1-3Tahun. The Indonesian Journal Of Public Health. Vol. 6. No. 1. Juli 2009:24-29.Dikutip tanggal 10 April 2016

Bararah, T dan Jauhar, M. 2010. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Dewi. (2014). Perkembangan Anak Balita. Surabaya

Dinkes Prov. Riau, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Riau.

Dinkes Prov. Riau, 2016.Edelman, C. L., & Mandle, C. L.

2006. Health Promotion Throughout The Life Span, sixt edition. Sr. Loius, Missoury: Mosby

Effendy. N. (2007). Dasar- dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi II. Jakarta: EGC.

Hartinger, S. M., et al (2016). Impact of a Child Stimulation Intervention On Early Child Development In Rural Peru. Published on September 9, 2016.

Hidayat, A. A. A. 2014. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Page 91: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

Mita Puspitasari, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Ibu 89

IDAI. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Sagung Seto, Jakarta.

, 2012. TumbuhKembang Anak dan Remaja.Sagung Seto, Jakarta.

Juniarti, F. (2016). Perkembangan Anak Usia Dini dan Cara Praktis Peningkatannya.

Kemenkes. (2012). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.

Machfoedz I., Suryani E. 2006. Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan. FTranaya: Yogyakarta.

Munawarah A, dkk. 2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Perkembangan Bayi Dengan Pemberian Stimulasi Perkembangan Bayi Usia 6-9Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Dharmarini Kabupaten Temanggung Tahun 2014. Vol 4. No. 8. April 2015: ISSN 2089-7669. Dikutip tanggal 10 April 2016

Notoadmojo. S, 2010. Ilmu Prilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.

, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi.Jakarta: PT. Rineka Cipta.

, 2012. Promosi Kesehatan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Papalia, D. E. & Olds, S. W (1995). Human Development (sixth

ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.

Rankin, S., & Stallings, K., (2001). Patient Education. Principles and Practice. 4 th edition.Philadelphia. : Lippincott Wilkams and Wilkins.

Rehman. A. U , Kazmi. S. F, Munir, F. 2016. Mothers’ Knowladge about Child Development. 40(3): 176-81. Dikutip tanggal 2 Januari 2017

Riyadi, S & Sukarmin, 2009. Asuhan Keperawatan pada Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Riyanto A, SKM. M. Kes. 2011. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan.Yogyakarta: Nuha Medika

Saragih, FS. 2010. Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Makanan Sehat dan Gizi Seimbang di Desa Merek Jaya Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun.Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan. Dikutip tanggal 10 April 2016

Setiawati, S., & Dermawan, A. C. (2008). Proses Pembelajaran dalam Pendidikan Kesehatan.Jakarta: Trans Info Media.

Soetjiningsih. 2002. Tumbuh Kembang Anak. FK Universitas Udayana. Bali: EGC. Bab Penelitian Pertumbuhan dan Perkembangan.

Sugiarto, 2003. Teknik Sampling.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sulistyawati, A. 2014. Deteksi Tumbuh Kembang Anak.Jakarta: Salemba Medika.

Susilaningrum. R, dkk. 2013. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak.Jakarta: Salemba Medika.

Page 92: JURNAL PROTEKSI KESEHATAN

90 Jurnal Proteksi Kesehatan, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm 82-90

UNICEF. 2006. Programming Experiences in Early Child Development. New York: EarlyChild Development Unit Press.

Wahyuni. (2014). Dampak Program Bina Keluarga (BKB) terhadap Tumbuh Kembang Anak Balita 6-24 Bulan.

Widayatun, T. R. Ilmu Perilaku Untuk Perawat. Bandung: Sagung Seto, 1999.

Yusuf, Y., Rompas, S., & Babakal, A. (2016). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Pendekatan Dengan Metode Modelling Terhadap Pengetahuan Ibu Dalam Menstimulasi Tumbuh Kembang Bayi 0-6 Bulan Di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Tomalou Kota Tidore Kepulauan. Ejournal Keperawatan, 4(1). Dikutip tanggal 10 April 2016