jurnal pengkajian masalah sosial keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan...

191
ISSN : 1410 - 4350 Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Volume 21 No 02 Desember 2014 Jurnal Volume 21 NO. 02 Hlm. 149-303 Semarang Desember 2014 ISSN 1410 - 4350 KEGAGALAN AKULTURASI BUDAYA DAN ISU AGAMA DALAM KONFLIK LAMPUNG M. Alie Humaedi INTERAKSI PENGANUT MAJELIS TAFSIR AL‐QURAN DI KAMPUNG TEGALSARI SEMARANG Moh. Hasim MUATAN NILAI‐NILAI MULTIKULTURAL DAN ANTI‐MULTIKULTURAL DARI MIMBAR MASJID DI KOTA SOLO Zakiyuddin Baidhawy AGAMA, KONFLIK, DAN INTEGRASI SOSIAL (Integrasi Sosial Pasca Konflik Situbondo) Retnowati KEARIFAN LOKAL PENDUKUNG KERUKUNAN BERAGAMA PADA KOMUNITAS TENGGER MALANG JAWA TIMUR Joko Tri Haryanto SYARIAT DALAM ISLAM JAWA (Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab‐kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo) Agus Iswanto ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP PUISI RABI'ATUL ADAWIYAH DAN KALIMAT SUCI MOTHER TERESA Betty Mauli Rosa Bustam IMPLEMENTASI TRADISI IKHTILAF DAN BUDAYA DAMAI PADA PESANTREN NURUL UMMAH DAN AR‐ROMLI YOGYAKARTA Moch. Lukluil Maknun EKSISTENSI PESANTREN SALAF DI TENGAH ARUS PENDIDIKAN MODERN (Studi Multi Situs pada Beberapa Pesantren Salaf di Jawa Tengah) Rustam Ibrahim ULIL AMRI DAN KEKUATAN PRODUK HUKUMNYA (Kajian Terhadap Perspektif Teungku Dayah Salafi Aceh Besar) Analiansyah MANAJEMEN MADRASAH SEBAGAI MEDIA STRATEGIS PENDIDIKAN KARAKTER (Studi Kasus pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga) Umi Muzayanah INTERNALISASI NILAI‐NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI MATA PELAJARAN PAI PADA SMA EKS RSBI DI PEKALONGAN A.M. Wibowo Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Upload: phungnhi

Post on 08-Mar-2019

290 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

ISSN : 1410 - 4350

Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Balai Penelitian dan Pengembangan AgamaSemarang

Volume 21 No 02 Desember 2014

Jurnal Volume 21

NO.02

Hlm.149-303

SemarangDesember 2014

ISSN1410 - 4350

KEGAGALAN AKULTURASI BUDAYA DAN ISU AGAMA DALAM KONFLIK LAMPUNGM. Alie Humaedi

INTERAKSI PENGANUT MAJELIS TAFSIR AL‐QURAN DI KAMPUNG TEGALSARI SEMARANGMoh. Hasim

MUATAN NILAI‐NILAI MULTIKULTURAL DAN ANTI‐MULTIKULTURAL DARI MIMBAR MASJID DI KOTA SOLOZakiyuddin Baidhawy

AGAMA, KONFLIK, DAN INTEGRASI SOSIAL (Integrasi Sosial Pasca Konflik Situbondo)Retnowati

KEARIFAN LOKAL PENDUKUNG KERUKUNAN BERAGAMA PADA KOMUNITAS TENGGER MALANG JAWA TIMUR Joko Tri Haryanto

SYARIAT DALAM ISLAM JAWA(Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab‐kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo)Agus Iswanto

ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP PUISI RABI'ATUL ADAWIYAH DAN KALIMAT SUCI MOTHER TERESABetty Mauli Rosa Bustam

IMPLEMENTASI TRADISI IKHTILAF DAN BUDAYA DAMAI PADA PESANTREN NURUL UMMAH DAN AR‐ROMLI YOGYAKARTAMoch. Lukluil Maknun

EKSISTENSI PESANTREN SALAF DI TENGAH ARUS PENDIDIKAN MODERN(Studi Multi Situs pada Beberapa Pesantren Salaf di Jawa Tengah)Rustam Ibrahim

ULIL AMRI DAN KEKUATAN PRODUK HUKUMNYA(Kajian Terhadap Perspektif Teungku Dayah Salafi Aceh Besar)Analiansyah

MANAJEMEN MADRASAH SEBAGAI MEDIA STRATEGIS PENDIDIKAN KARAKTER(Studi Kasus pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga)Umi Muzayanah

INTERNALISASI NILAI‐NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI MATA PELAJARAN PAI PADA SMA EKS RSBI DI PEKALONGANA.M. Wibowo

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Page 2: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaVolume 21 Nomor 02 Desember 2014

Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Jurnal ANALISA diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang dengan tujuan untuk mewadahi, menyebarluaskan dan pertukaran pemikiran tentang wacana ilmiah bidang keagamaan. Naskah yang dimuat dalam jurnal berasal dari hasil penelitian maupun kajian kritis para peneliti atau akademisi yang berkaitan dengan permasalahan Kehidupan Keagamaan, Pendidikan Agama dan Keagamaan, dan Lektur dan Khazanah Keagamaan. Jurnal ANALISA terbit pertama kali pada bulan Maret tahun 1996 dengan frekuensi dua kali dalam

setahun, kini terbit setiap bulan Juni dan Desember.

Penanggung JawabProf. (R) Dr. Koeswinarno, M.Hum.

Mitra bestariProf. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A. (Antropologi Agama/ UNDIP)

Prof. Dr. Dwi Purwoko, M.Si. APU. (Agama dan Tradisi Keagamaan/ LIPI)Prof. Dr. H. Muslich Shabir, M.A. (Lektur dan Khazanah Keagamaan/ IAIN Walisongo)

Prof. Dr. Phil. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A. (Filsafat Ilmu Sosial Budaya/ UGM) Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag. (Ilmu Pendidikan Islam/ UIN Sunan Kalijaga)

Dr. Iwan Junaidi, S.Si., M.Pd. (Pendidikan/ UNNES)Moh Yasir Alimi, S.Ag., M.A., Ph.D. (Antropologi Agama/ UNNES)

PeMiMPin redaksiDrs. H. Sulaiman, M.Ag. (Kehidupan Keagamaan)

redaktur PelaksanaMoh. Hasim, S.Sos.I, M.Pd. (Lektur dan Khazanah Keagamaan)

dewan redaksiJoko Tri Haryanto, S.Ag., M.S.I. (Kehidupan Keagamaan)

Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd. (Pendidikan Keagamaan)Samidi, S.Ag., M.S.I. (Lektur dan Khazanah Keagamaan)A.M. Wibowo, S.Sos.I., M.S.I. (Pendidikan Keagamaan

Siti Muawanah, S.Pd.I., M.A. (Lektur dan Khazanah Keagamaan)adMinistrasi

Mustolehudin, S.Ag., S.IPI., M.S.I. (Sekretaris Redaksi)Siti Sarifah, S.E. (Bendahara Redaksi)Moch. Lukluil Maknun, M.A. (Distribusi)

Ari Yani Mahmud, A.Md. (Distribusi)lay-outer

Muhammad Purbaya, S.Kom.Musafak, S.Pd.

alaMat redaksiBalai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang Telp. (024) 7601327. Fax (024) 7611386

email: [email protected]

Nomor Akreditasi: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Page 3: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xv

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

PENGANTAR REDAKSI

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada redaksi dalam menyelesaikan penerbitan Jurnal Analisa Volume 21 Nomor 2 Desember 2014. Ada kebanggaan tersendiri dalam hati seluruh dewan redaksi ketika Jurnal Analisa mampu mempertahankan predikat akreditasinya. Namun seluruh redaksi tidak lupa diri, keberhasilan itu menjadi pemantik untuk meningkatkan profesionalitasnya dalam menghadapi tantangan ke depan. Upaya LIPI dalam memacu profesionalitas pengelola jurnal agar bisa meraih predikat sebagai jurnal internasional disambut oleh Jurnal Analisa dengan semangat perubahan. Jurnal Analisa telah melakukan kajian internal terhadap kualitas jurnal, seperti menyusun buku pedoman pengelolaan jurnal yang di dalamnya berisi mekanisme kerja, kedudukan, dan tanggungjawab pengelola, serta menyempurnakan pedoman penulisan naskah.

Jurnal Analisa sebagai jurnal yang dikelola oleh lembaga pemerintah akan senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa. Artikel yang dimuat diharapkan dapat memberikan aspirasi, pemikiran, dan solusi bagi problem sosial kebangsaan. Oleh karena itu, di balik rasa syukur seluruh dewan redaksi, redaksi Jurnal Analisa juga ikut prihatin dengan kondisi bangsa yang masih saja diwarnai dengan konflik-konflik sosial keagamaan.

Semenjak reformasi, pintu demokrasi yang semula terkunci, menjadi terbuka oleh suara lantang kebebasan. Orang dapat dengan mudah menyuarakan isi hati dan pikirannya. Kebebasan yang telah lama terpasung lantas terbebas. Permasalahan sosial yang sebelumnya terkubur oleh kekuasan berani dibongkar. Simpul-simpul konflik yang sebelumnya diselimuti oleh sikap represif penguasa juga ikut terbuka. Konflik di Indonesia ibarat musim buah mangga yang sudah sangat tua, tinggal menunggu angin menggoyangkan dahan. Konflik sosial berjatuhan hampir di seluruh negeri, dari ujung Papua hingga Sumatera.

Sebuah konflik sosial adalah permasalahan rumit, karena melibatkan individu atau kelompok dengan berbagai macam kepentingan. Mengurai permasalahan konflik tidak sesederhana mengurai benang kusut. Apalagi jika konflik sosial itu disebabkan oleh permasalahan yang tidak rasional yaitu konflik yang melibatkan permasalahan yang berkaitan dengan suku etnik dan RAS. Dalam teori Lewis Coser (1913-2003), konflik ini sangat sulit diselesaikan. Padahal, konflik-konflik sosial yang terjadi di Indonesia banyak yang berlatar belakang suku, etnik, dan ras. Oleh karena itu, pada penerbitan kali ini redaksi memberikan penekanan pada permasalahan konflik yang terjadi dalam ranah sosial keagamaan masyarakat Indonesia. Dengan analisis, kecermatan dalam pengamatan sosial yang dilakukan oleh para penulis terhadap konflik yang ada, diharapkan dapat menjadi ispirasi untuk mencegah perjadinya konflik di masa yang akan datang, dan memberikan pertimbangan kajian akademis dalam menangani permasalahan pascakonflik.

Permasalahan sosial keagamaan yang pertama dikaji yaitu konflik Lampung. Konflik Lampung dipicu oleh sebab yang sangat sederhana yaitu tertabraknya perempuan berjilbab oleh pemuda Balinuraga yang beragama Hindu. Sempat tersiar kabar konflik Lampung ini dilatarbelakangi oleh isu agama, akan tetapi menurut Ali Humaedi, sebagai penulis, konflik Lampung terjadi bukan karena sentimen agama tetapi karena kegagalan proses akulturasi budaya. Masyarakat Balinugara yang mayoritas beragama Hindu tidak dapat menyikapi budayanya secara bijaksana, sehingga warga Lampung lain yang beragama Islam, terhambat ketika akan berinteraksi dengan masyarakat Balinuraga.

Konflik kedua merupakan konflik ideologis warga Tegalsari Semarang yang dipicu oleh perbedaan

Page 4: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xvi

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

pemahaman masalah fikih antara penganut Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) dengan penganut Faham Syafi’iyah. Konflik ini mengisyaratkan adanya pengakuan kebenaran atas keyakinan keagamaan tanpa diimbangi dengan dakwah yang bijak dan sikap terbuka dalam menghadapi perbedaan pemahaman beragama. Warga Tegasari yang Syafi’i merasa terhina ketika perilaku keagamaannya dituduh sebagai bid’ah yang menyesatkan oleh penganut MTA.

Demikian halnya yang terjadi di Solo, penelitian yang dilakukan oleh Zakiyuddin Baidhawy, menunjukkan bahwa penyebaran ajaran agama melalui khotbah yang tidak memperhitungkan sikap terbuka seperti sikap antimultikultural berpengaruh terhadap sikap atau tindakan yang menuju pada tindakan radikal dalam beragama. Hal ini ditandai dengan bentuk penolakan budaya lokal, karena dianggap sebagai sumber utama ketidakmurnian agama.

Padahal, menurut Retnowati, budaya lokal memiliki bentuk kearifan lokal yang mampu membendung disharmoni kehidupan keagamaan. Di Situbondo, Retnowati menemukan konflik sosial keagamaan dapat diredam oleh kekuatan tradisi lokal, yaitu tradisi takdim pada kiai mampu meredam meluasnya konflik Situbondo. Massa dapat dengan mudah diarahkan menuju perdamaian.

Kekuatan kearifan lokal dalam menyumbang kedamaian sosial keagamaan juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Joko Tri Haryanto. Masyarakat Tengger di Desa Ngadas, Kabupaten Malang, yang multiagama mampu hidup berdampingan akibat dari kesiapan mereka dalam memelihara kearifan lokal yang dimiliki. Kerukunan beragama ini tercermin dalam tradisi gentenan (saling bergantian) untuk membantu hajatan sesama warga, sayan (undangan hajatan), genten cecelukan atau gentenan nedha (bergantian mengundang makan), nglayat atau salawatan (membantu tetangga yang kena musibah).

Hubungan harmonis antara ajaran agama dengan tradisi lokal juga dikuatkan oleh karya-karya klasik keraton. Karya klasik keraton menunjukkan adanya hubungan kesamaan nilai-nilai yang membentuk sebuah alkulturasi budaya. Dalam Serat Suryaraja yang merupakan pusaka Keraton Yogyakarta, dan Al-Sunī al-maṭālib fī isṭilāḥal-‘awāqib karya Kiai Nur Iman dari Pesantren Mlangi Yogyakarta, menjadi titik temu ajaran agama dalam konsep tasawuf Jawa. Sehingga tradisi pemikiran Islam yang ada dalam Budaya Jawa dapat menjadi contoh idelogis dalam membangun masyarakat secara damai.

Tasawuf sebagai pendekatan sufistik dalam menangani konflik agama sangatlah memungkinkan. Kasus-kasus agama yang muncul, pada umumnya terjadi karena perbedaan secara fiqhiyah. Akan tetapi hakikat dari sikap ketuhanan apabila dikaji secara sufistik akan bertemu pada sebuah titik yang disebut mahabbah atau cinta. Cinta pada Tuhan adalah tingkatan tertinggi di dalam perjalanan spiritual seorang sufi dalam mengamalkan ajaran tasawuf. Meski berbeda keyakinan, hasil penelitian Betty Mauli Rosa Bustam terhadap puisi dua orang sufi dari latar belakang agama yang berbeda menunjukkan bahwa Rabi’ah Adawiyah dan Mother Teresa memilih Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup, meski dengan cara implementasi yang berbeda. Rabi’ah dengan personal spiritualnya, sedangkan Teresa dengan sikap sosialnya. Hal ini menjadi bukti bahwa melalui pendekatan tasawuf, perbedaan keyakinan bisa bersatu.

Oleh karena itu pendidikan budaya damai dalam mayarakat perlu senantiasa ditanamkan. Sebuah konflik sosial keagamaan merupakan konsekuensi dari adanya interaksi. Perbedaan kondisi sosial ekonomi, politik, dan agama secara hukum alam merupakan sesuatu yang harus ada. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yaitu membangun budaya damai melalui pendidikan keagamaan. Pemahaman keagamaan yang plural dan terbuka harus ditanamkan untuk mencegah sikap-sikap eksklusif dalam beragama.

Page 5: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xvii

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

Penelitian yang dilakukan oleh Moch. Lukluil Maknun dapat menjadi contoh upaya pembangunan budaya damai melalui pendidikan pesantren. Pesantren sebagai penghasil ulama adalah bagian dari agen perubahan sosial di masyarakat yang memungkinkan terjadinya perubahan mind set menuju pikiran yang inklusif dalam beragama. Melalui pendidikan budaya damai di pesantren masyarakat akan semakin terbuka dalam menyikapi perubahan sosial. Eksistensi pesantren sangat perlu dipertahankan dengan melihat fungsinya di tengah-tengah peradaban global, terutama berkaitan dalam peran kiai dalam menyebarkan paham kedamaian sesuai dengan hasil penelitian di Situbondo.

Penelitian yang dilakukan Rustam Ibrahim juga menunjukkan hal yang hampir sama. Dalam tulisan hasil penelitian tentang eksistensi pesantren salaf di tengah arus pendidikan modern menemukan bahwa sosok kiai dalam pesantren salaf memiliki peran yang begitu besar dalam nenyebarkan nilai-nilai moral melalui pengajaran kitab kuning dan pengabdian yang tulus dalam membangun masyarakat. Terkait dengan posisi kiai yang oleh masyarakat Aceh disebut teungku dayah, penelitian Analiansyah dengan judul “Ulil Amri dan Kekuatan Produk Hukumnya” menguatkan posisi penting kiai dalam membangun kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat.

Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan karakter bangsa yang di dalamnya terdapat nilai-nilai teloransi juga dapat menjadikan bagian penting untuk meningkatkan harmoni umat beragama. Umi Muzayanah dengan penelitian “Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan Karakter” mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter yang di dalamnya terdapat ajaran toleransi dan menghormati orang lain dapat menjadi sarana mengembangkan budaya damai apabila terintegrasi dalam manajemen sekolah secara baik.

Hal serupa juga dilakukan oleh A.M. Wibowo dalam penelitiannya “Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA eks RSBI di Pekalongan”. Pelajaran agama diharapakan tidak hanya bermuatan fikih semata yang hanya mencetak individu-individu yang saleh secara personal. Tetapi pendidikan agama juga perlu menanamkan nilai-niali karakter (akhlak) sosial. Internalisasi karakter bangsa dalam Pendidikan Agama Islam memberikan pemahaman pada peserta didik bahwa melalui pendidikan karakter bangsa, internalisasi nilai-nilai teloransi menjadi bagian dari sikap hidup beragama yang harus dimiliki oleh siswa.

Page 6: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xviii

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

Page 7: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xix

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

UCAPAN TERIMA KASIH

Segenap Dewan Redaksi Jurnal Analisa Balai Litbang Agama Semarang mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A.

2. Prof. Dr. Dwi Purwoko, M.Si. APU.

3. Prof. Dr. H. Muslich Shabir, M.A.

4. Prof. Dr. Phil. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A.

5. Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag.

6. Dr. Iwan Junaidi, S.Si., M.Pd.

7. Moh Yasir Alimi, S.Ag., M.A., Ph.D.

selaku Mitra Bestari Jurnal Analisa Volume 21 Nomor 02 Desember Tahun 2014. Kami menyampaikan penghargaan dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para mitra bestari yang telah melakukan review terhadap naskah untuk edisi ini. Semoga kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Semarang, Desember 2014

Dewan Redaksi

Page 8: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xx

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

Page 9: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxi

Daftar Isi/Contents

DAFTAR ISI

Volume 21 Nomor 02 Desember 2014Halaman 149-303

I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Pengantar Redaksi :: xvUcapan Terima Kasih :: xixDaftar Isi :: xxiLembar Abstrak :: xxiii

KEGAGALAN AKULTURASI BUDAYA DAN ISU AGAMA DALAM KONFLIK LAMPUNGThe Failure of Cultural Acculturation and Religious Issues in the Conflict of LampungM. Alie Humaedi :: 149-162

INTERAKSI PENGANUT MAJELIS TAFSIR AL-QURAN DI KAMPUNG TEGALSARI SEMARANGInteraction of Majelis Tafsir Al-Quran Members in the Tegalsari VillageMoh. Hasim :: 163-172

MUATAN NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DAN ANTI-MULTIKULTURAL DARI MIMBAR MASJID DI KOTA SOLOMulticulturalism and Antimulticulturalism From Pulpits of MosquesZakiyuddin Baidhawy :: 173-187

AGAMA, KONFLIK, DAN INTEGRASI SOSIAL (Integrasi Sosial Pasca Konflik Situbondo)Religion, Conflict, and Social Integration (Post Conflict Social Integration, Situbondo)Retnowati :: 189-200

KEARIFAN LOKAL PENDUKUNG KERUKUNAN BERAGAMA PADA KOMUNITAS TENGGER MALANG JAWA TIMURLocal Wisdom Supporting Religious Harmony in Tengger Community, Malang, East Java, IndonesiaJoko Tri Haryanto :: 201-213

Page 10: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxii

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

SYARIAT DALAM ISLAM JAWA (Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo)Sharia in Javanese Islam (Intertextuality of Kempalan Kitab-kitab Islam Manuscript of Museum Sonobudoyo Collection) Agus Iswanto :: 215-226

ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP PUISI RABI’ATUL ADAWIYAH DAN KALIMAT SUCI MOTHER TERESASemiotic Analysis of Rabi’atul Adawiyah’s Poetry and Mother Teresa’s Sacred PhraseBetty Mauli Rosa Bustam :: 227-238

IMPLEMENTASI TRADISI IKHTILAF DAN BUDAYA DAMAI PADA PESANTREN NURUL UMMAH DAN AR-ROMLI YOGYAKARTAThe Implementation of Ikhtilaf and Peace Culture in the Pesantren Nurul Ummah and Pesantren Ar-Romli YogyakartaMoch. Lukluil Maknun :: 239-251

EKSISTENSI PESANTREN SALAF DI TENGAH ARUS PENDIDIKAN MODERN (Studi Multi Situs pada Beberapa Pesantren Salaf di Jawa Tengah)The Existence of Salaf Islamic Boarding School amid the Flow of Modern Education (A Multi-site Study at Pesantren Salafy in Central Java)Rustam Ibrahim :: 253-263

ULIL AMRI DAN KEKUATAN PRODUK HUKUMNYA (Kajian Terhadap Perspektif Teungku Dayah Salafi Aceh Besar)Ulil Amri and the Power of Their Legal Products (A Study of Tengku Dayah Salafi Aceh Besar)Analiansyah :: 265-278

MANAJEMEN MADRASAH SEBAGAI MEDIA STRATEGIS PENDIDIKAN KARAKTER (Studi Kasus pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga)Madrasah Management as A Strategic Media for Character Education (Case Study at MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga)Umi Muzayanah :: 279-289

INTERNALISASI NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI MATA PELAJARAN PAI PADA SMA EKS RSBI DI PEKALONGANThe Internalization of National Character Values Through Islamic Religious Education at ex International High School in PekalonganA.M. Wibowo :: 291-303

Indeks :: 304-1Indeks Penulis :: 304-11

Page 11: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxiii

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

LEMBAR ABSTRAK

ISSN : 1410 - 4350Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

Terbit: Desember 2014Date of Issue: 2014 December

Kata-kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh disalin tanpa ijin dan biaya.

The keywords included are free terms. This abstract sheet may be copied without permission and charge.

DDC. 303.659 8Humaedi, M. Alie (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungJ. Analisa Desember 2014, Vol 21 No 02, hal. 149–162, 1 ill.

Social disaster, such as Lampung conflict, is dangerous. It can lead to many losses, either material or immaterial, and the humiliation of human and nation dignity. The contestation of various political economic interests with cultural dif-ferences implemented by by ethnic groups in Lampung had resulted in conflict. The main question of this writing is how the cultural acculturation of the natives of Lampung and Balinuraga led to the conflict. The answer to the question will help people to prevent similar conficts of other regions. This was ethnografic reseach whose data were collected through in-dept interview, observation, and document analysis. The findings showed that the failure of cultural acculturation between the natives and the Balinuraga was the main root of the conflict.

(Author)Keywords: Lampung Conflict, acculturation, social interaction, the roots of conflict, Balinuraga

Bencana sosial, seperti konflik Lampung, sangat berbahaya, karena membuahkan banyak kerugian jiwa, material, men-tal, dan rendahnya pemartabatan manusia dan bangsa. Kontestasi berbagai kepentingan ekonomi politik dengan per-bedaan kebudayaan dalam pola pikir, pandangan hidup dan praktik budaya yang dipresentasikan kelompok-kelompok etnik di Lampung telah menjadi penyebab pecahnya konflik. Persoalannya, bagaimana proses akulturasi kebudayaan antara suku asli Lampung dengan Balinuraga yang memecah menjadi serangkaian konflik itu dapat terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini memungkinkan para pihak dapat mencipta peringatan dini pencegahan konflik sosial di berba-gai daerah yang memiliki kemiripan dengan keadaan Lampung. Penelitian kualitatif etnografis melalui wawancara mendalam, obeservasi, dan penelusuran dokumen telah menemukan bahwa kegagalan akulturasi budaya antara suku Lampung adalah akar masalah dari konflik Lampung. Interaksi sempit karena ketiadaan ruang-ruang bersama dalam perjumpaan lintas budaya telah menyebabkan kegagalan akulturasi yang memungkinkan tidak pernah terciptanya pemahaman dan upaya kolaborasi berbagai budaya dapat dilakukan.

(Penulis)Kata kunci: Konflik Lampung, akulturasi budaya, interaksi sosial, akar konflik, Balinuraga

DDC. 302.459 8Hasim, Moh (Balai Litbang Agama Semarang Kementerian Agama RI)Interaksi Penganut Majelis Tafsir Al-Quran di Kampung Tegalsari SemarangJ. Analisa Desember 2014, Vol 21 No. 02, hal. 163-172.

The research was based on rejection the widespread existence of the Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) in several districts in Central Java. Using a case study approach, this research was done in Tegalsari, Semarang. The findings of the research showed that the socio-religious interaction of MTA members with Tegalsari villagers created religious social conflict. This conflict came from different understanding of the sources of Islamic law (fiqh). MTA uses textual aproach to resolve the law by ignoring the sociological-historical aspects. MTA rejects the use of local cultural jurisprudence in the codifica-tion of Islamic law, because they regard some activities such as tahlilan, death-related ceremonies, and slametan are bid’ah. The main root of the conflict is the MTA truth claim and its insentive and inappropriate method of preaching. MTA does not accept the truth of others.

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Page 12: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxiv

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

(Author)Keywords: Tegalsari, MTA, conflict, truth claim

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya aksi penolakan masyarakat terhadap Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) di beberapa wilayah di Jawa Tengah. Dengan menggunakan pendekatan studi kasus, penelitian ini mengambil lokus di Kampung Tegalsari Semarang. Penelitian ini menemukan bahwa terjadi konflik keagamaan antara penganut MTA dan warga masyarakat Tegalsari. Salah satu sumber konflik tersebut adalah perbedaan pemahaman hukum Islam (fiqh). Dalam menetapkan hukum, MTA menggunakan pendekatan tekstual tanpa mempertimbangkan aspek sosio-historisn-ya. Oleh karena itu, dengan alasan bid’ah, MTA menolak budaya lokal, seperti tahlilan, peringatan hari kematian, dan selamatan. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa sumber utama konflik adalah adanya truth claim yang tidak diimbangi dengan cara dakwah yang baik. Dalam menyebarkan ajarannya, MTA tidak menerima kebenaran dari pemahaman kelompok lain.

(Penulis)Kata kunci: Tegalsari, MTA, konflik, klaim kebenaran

DDC. 2 X 6.159 8 Baidhawy, Zakiyuddin (STAIN Salatiga)Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Anti-multikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloJ. Analisa Desember 2014, Vol 21 No 02, hal. 173-187.

This research aims to identify the scope of religious sermons and materials in different mosques in Solo, and identify multicultural and anti-multicultral aspects presented in sermons. Using qualitative method and content analysis, the research found the following conclusions: First, the diversity of communities - ethnic, cultural, or religious - has received little attention from the preacher at various mosques and majelis taklim. Second, in addition to multicultural values, ser-mons and religious lectures contains some values of anti-multicultural, such as prejudice and stereotypes against other groups, particularly in relation to the non-Muslim and western countries. Third, the sermons material and religious lectures implied the intensity of purification. Along with the movement, religious preaching implied resistance to local culture (Java), which is considered as the main source of religious impurity. Finally, the development trend of Islam in Solo implies religious radicalization as reflected in hostility towards the local culture, foreigners and non-Muslims.

(Author)Keywords: multiculturalism, antimulticulturalism, radicalism, mosque, religious speech

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lingkup materi khotbah agama dan khotbah di masjid-masjid dan ma-jelis taklim di Solo, dan mengidentifikasi aspek-aspek multikultural dan anti-multikultural yang disampaikan dalam khotbah dan ceramah. Riset ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan analisis isi. Studi ini menemukan kes-impulan sebagai berikut: Pertama, keragaman masyarakat—etnis, budaya, atau agama—mendapat sedikit perhatian dari pengkhotbah di berbagai masjid dan majelis taklim. Kedua, di samping nilai-nilai multikultural, khotbah dan cer-amah keagamaan berisi beberapa nilai-nilai anti-multikultural, seperti prasangka dan stereotip terhadap kelompok lain, khususnya dalam hubungan dengan non-Muslim dan negara-negara barat. Ketiga, materi khotbah dan ceramah keagamaan tersirat intensitas gerakan pemurnian. Seiring dengan gerakan, berkhotbah keagamaan tersirat perlawa-nan terhadap budaya lokal (Jawa), yang dianggap sebagai sumber utama ketidakmurnian agama. Akhirnya, perkem-bangan Islam di Solo menyiratkan kecenderungan radikalisasi agama sebagaimana tercermin dalam sikap permusu-han terhadap budaya lokal, orang asing, dan non-Muslim.

(Penulis)Kata kunci: multikulturalisme, anti-multikulturalisme, radikalisasi, masjid, ceramah keagamaan

DDC. 303.659 8Retnowati (Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik Situbondo)J. Analisa Desember 2014, Vol 21 No. 02 hal. 189–200.

The research discusses the integration efforts after the riot in Situbondo, East Java. Situbondo community has initiated several conflic resolutions and integrations supported by Muslims and Christian leaders. The data on the role of religious community, in this case Islam and Christian as well as the community in Situbondo in general, is gathered through observation, interview, and a survey. Secondary data is gathered through review of literure relevant to the research problems. Conflict, social integration, and reconciliation theories are used to explain and analyze research problems based on the data gathered. The finding shows

Page 13: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxv

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

that integration in Situbondo community and reconsiliation effort carried out by religious communities (Islam, Christian and the whole community of Situbondo) was drawn from local wisdom in Situbondo. The local wisdom serves as social capital in manifesting integration in the community and harmonious relation among religious communities.

(Author)Keywords: conflict, social integration, and religious community

Penelitian ini menyangkut upaya integrasi pasca kerusuhan di Situbondo Jawa Timur. Masyarakat Situbondo telah melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik dan integrasi yang didukung oleh umat dan pimpinan agama Islam dan Kristen. Untuk mendapatkan data tentang peran umat beragama dalam hal ini Islam dan Kristen serta masyarakat Situbondo dilakukan melalui metode wawancara, pengamatan yang didahului dengan obeservasi ringan sebelum dilakukan penelitian. Data sekunder dilakukan mengkaji pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah penelitian. Teori konflik, integrasi sosial dan rekonsiliasi digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa masalah penelitian berdasarkan data-data yang telah diperoleh di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi dalam masyarakat Situbondo dan upaya rekonsiliasi telah dilakukan oleh masyarakat dan umat beragama di Situbodo. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Situbondo menjadi modal sosial dalam mewujudkan integrasi dalam masyarakat sehingga pasca kerusuhan kehidupan masyarakat dan hubungan antarumat beragama di Situbondo yang mengalami keretakan dapat dipulihkan kembali.

(Penulis) Kata kunci: konflik, integrasi sosial dan umat beragama

DDC. 291.359 8 Haryanto, Joko Tri (Balai Litbang Agama Semarang Kementerian Agama RI)Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komunitas Tengger Malang Jawa Timur J. Analisa Desember 2014, Vol 21 No 02, hal. 201-213.

Religious harmony is an important prerequisite for Indonesian nation to implement national development. The model of religious harmony can be found in traditional wisdom which take the form of norms or practical traditions. This study aims to reveal the indigenous wisdom of Tengger community in the village Ngadas of Malang district in building religious harmony. The research used case study approach. The research reveals that the Tengger community in the vil-lage Ngadas was multi-religious people: Buddhist, Muslims, and Hindus. They all are able to maintain harmony and religious harmony through various traditions and customary norms of Tengger. Religious harmony is reflected in the tradition of gentenan (a tradition of helping each other) sayan (invitation to attend a certain celebration), Genten cece-lukan or gentenan nedha (inviting each other to have dinner), nglayat or nyelawat (helping neighbors who expressed difficulties) and so on. The tradition is constructed by local knowledge that people need each others. That is why they should help other people. The tradition implies harmony folk wisdom to help each other because they recognize the need for the support of others themselves.

(Author)Keywords: local wisdom, Tengger community, harmony

Kerukunan beragama menjadi prasyarat penting bagi Bangsa Indonesia untuk melakukan pembangunan. Model kerukunan beragama dapat ditemui pada kearifan lokal masyarakat dalam berbagai bentuk tradisi dan norma sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kearifan lokal Komunitas Tengger di Desa Ngadas Kabupaten Malang dalam membangun kerukunan beragama. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan studi kasus ini mengungka-pkan komunitas Tengger di Desa Ngadas yang multi-agama yaitu Buddha, Islam, dan Hindu mampu memelihara kerukunan dan keharmonisan beragama melalui berbagai tradisi dan norma adat Tengger. Kerukunan beragama ini tercermin dalam tradisi gentenan (saling bergantian) untuk membantu hajatan sesama warga, sayan (undangan haja-tan), genten cecelukan atau gentenan nedha (bergantian mengundang makan), nglayat atau salawatan (membantu tetangga yang kena musibah). Tradisi tersebut terbentuk dari pengetahuan lokal mereka bahwa setiap orang membu-tuhkan bantuan orang lain oleh karena itu mereka pun harus bersedia membantu orang lain.

(Penulis)Kata kunci: kearifan lokal, Tengger, kerukunan

DDC. 091.598 2Iswanto, Agus (Balai Litbang Agama Jakarta, Kementerian Agama RI).Syariat dalam Islam Jawa (Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo). J. Analisa Desember 2014, Vol 21 No. 02, hal. 215–226.

Intertextuality of a religious manuscript can be used to understand the meaning and position of religious thought in the

Page 14: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxvi

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

text. This research focuses on the relation between shari’ah/fiqh and tasawuf/hakikat in Yogyakarta Sultanete Milieu, through intertextual analysis of the manuscript Kempalan Kitab-Kitab Islam (code: MSB/H/15/SK92), a collection of So-nobudoyo Museum in Yogyakarta. This manuscript was studied by seeing its position between two texts in two traditions (keraton and pesantren), but in the same milieu (Sultanete Yogyakarta), i.e Serat Suryaraja (royal heritage of Yogya-karta Sultanete) and Al-Sunī al-maṭālib fī isṭilāḥal-‘awāqib by Kiai Nur Iman from Pesantren Mlangi of Yogyakarta. This research shows that Kempalan Kitab-Kitab Islam can be seen as a point which signifies the acceptance of sharia as part of a way of achieving “ilmu kesempurnaan” (the science of perfection) in the conception of Sufism in Java.

(Author)Keywords: Kempalan Kitab-kitab Islam Manuscript, intertextuality, Yogyakarta Sultanete, syariah, tasawuf

Hubungan intertekstualitas sebuah naskah keagamaan dapat membantu untuk memahami makna dan posisi sebuah pemikiran keagamaan yang tertuang dalam teks naskah tersebut. Penelitian ini melihat bagaimana aspek syariah atau fikih yang tertuang dalam naskah Jawa serta hubungannya dengan aspek tasawuf/hakikat yang berada di lingkun-gan Kesultanan Yogyakarta, melalui analisis intertekstual Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam (kode MSB/H/15/SK92) koleksi Museum Sonobudoyo di Yogyakarta. Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam dilihat posisi dan maknanya dengan menelaah dua teks di dua tradisi (keraton dan pesantren), yang sama-sama dalam satu lingkungan Kesultanan Yogya-karta, yakni Serat Suryaraja yang merupakan pusaka keraton Yogyakarta, dan Al-Sunī al-maṭālib fī isṭilāḥal-‘awāqib karya Kiai Nur Iman dari Pesantren Mlangi Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam dapat dipandang sebagai satu titik yang menandakan penerimaan syariat sebagai bagian dari jalan mencapai “ilmu kasampurnan” dalam konsepsi tasawuf di Jawa.

(Penulis)Kata kunci: Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam, intertekstualitas, Kesultanan Yogyakarta, syariah, tasawuf

DDC. 297.4 Bustam, Betty Mauli Rosa (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)Analisis Semiotik terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother TeresaJ. Analisa Desember 2014, Vol 21 No 02, hal. 227-238.

Love of God is a doctrine that’s very popular either in Sufism or the Catholic Church. Women who believe in this doctrine tend to hand over all their life and their love to God, ignoring their worldly life along with the happiness. Love of God is the highest stage in the spiritual way of Sufism, and also of the Catholic’s. Love of God is a loyalty vow that could not be fulfilled except by some one who sincerely leaves his/her personal life in order to become the attendant of God. In the Sufism circle, Rabi’ah al-Adawiyah was the first woman who introduced this doctrine and Mother Teresa was one of the Catholic women who succeeded in her life showing the holy love to God. By using the theories of semiotic, this writing revealed the deep meanings of Adawiyah’s poetries and Teresa’s utterences which were impossible for them to be be un-derstood normally. The interpretation could be carried out firstly by knowing the life of the two women through library research, and continued then by knowing the character both women. The results of this research reveals both women chose God as the only purpose of life, although they have different implementations. Rabi’ah expressed her love through her personal spirituality and otherwise Teresa through social attitudes.

(Author)Keywords: love of God, sufism, Chatolic, semiotic

Cinta terhadap Tuhan adalah sebuah doktrin yang sangat populer di kalangan kaum sufi dan gereja Katolik. Peremp-uan yang meyakini doktrin ini cenderung menyerahkan seluruh hidup dan cintanya pada Tuhan hingga mengabaikan kehidupan duniawi berikut kesenangan yang menyertainya. Cinta pada Tuhan adalah tingkatan tertinggi di dalam per-jalanan spiritual seorang sufi, begitu pula pada penganut Katolik Cinta pada Tuhan adalah sebuah kaul kesetiaan yang tidak dapat dipenuhi kecuali oleh seseorang yang dengan ikhlas meninggalkan kehidupan pribadinya demi menjadi pelayan Tuhan. Di kalangan sufi, perempuan pertama yang mengenalkan doktrin ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, se-dangkan Mother Teresa terkenal sebagai salah seorang perempuan Katolik yang di dalam hidupnya telah berhasil men-unjukkan cinta sucinya pada Tuhan. Dengan memanfaatkan teori analisis semiotika, terungkap makna-makna khusus yang terdapat di dalam puisi-puisi Rabi’ah dan kalimat-kalimat suci Teresa yang tidak akan termaknai dengan baik bila dibaca layaknya membaca tulisan biasa. Pemaknaan ini dapat dilakukan dengan lebih dulu mengenal kehidupan kedua perempuan tersebut melalui penelusuran beragam literatur, dilanjutkan dengan menyelami karakter keduanya. Hasil penelitian menunjukkan kedua perempuan tersebut memilih Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup, meski dengan cara implementasi yang berbeda. Rabi’ah dengan personal spiritualnya, sedangkan Teresa dengan sikap sosialnya.

(Penulis)Kata kunci: cinta Tuhan, sufisme, Katolik, semiotik

Page 15: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxvii

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

DDC. 2 X 7.432Maknun, Moch. Lukluil (Balai Litbang Agama Semarang Kementerian Agama RI).Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Ar-Romli YogyakartaJ. Analisa Desember 2014, Vol 21 No 02, hal. 239-251.

Since long time ago, pondok pesantren (islamic boarding school) has been considered as a moderate institution. It also gives priority to peaceful ways in dealing with conflict. Unfortunately, such known attitude is now being strongly ques-tioned due to some vested interests found in the pesantren community. The various motives in religions, politics, eco-nomics, social, etc among the people lead pesantren to be vulnerable to conflict. Using qualitative method, this article intended to explore the mindset, characters, and attitudes of the people in pesantren in dealing with various “ikhtilaf” (disputes) that later used as means to portray peace cultures in the pesantren. The findings of the research showed that both pesantrens (Nurul Ummah and Ar-Romli) had never been in serious external conflict. Nevertheles, they had applied the principles of peace cultures well.

(Author)Keywords: pesantren, ikhtilaf, peace culture, Pesantren Nurul Ummah, Pesantren Ar-Romli

Pondok pesantren awalnya dianggap sebagai lembaga Islam yang moderat dan kental dengan tradisi damai dalam menghadapi berbagai bentuk perbedaan. Saat ini sikap moderat pondok pesantren mulai dipertanyakan. Ditemukan fakta adanya pamrih politik, ekonomi, dan sosial dalam komunitas pondok pesantren yang menyebabkannya menjadi tidak imun konflik. Penelitian ini dengan pendekatan kualitatif bermaksud mengeksplorasi kembali pola pikir, pan-dangan, karakter, dan sikap pengasuh atau santri pesantren dalam menghadapi “ikhtilaf” baik dalam paham keaga-maan, politik, maupun budaya. Hasil eksplorasi digunakan untuk mengkonstruksi ada tidaknya nilai-nilai atau budaya “damai” yang tumbuh di pesantren baik dari sisi sistem, proses, maupun instrumen. Dari hasil penelitian dapat disim-pulkan bahwa kedua pondok pesantren (Nurul Ummah dan Ar-Romli Yogyakarta) belum pernah mengalami konflik ekstern yang membutuhkan penanganan mendalam. Meskipun demikian, kedua pondok pesantren ini sudah mengap-likasikan prinsip-prinsip budaya damai dan menghadapi ikhtilaf dengan bijak.

(Penulis)Kata kunci: pesantren, ikhtilaf, budaya damai, Pesantren Nurul Ummah, Pesantren Ar-Romli

DDC. 2 X 7.432 Ibrahim, Rustam (Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta)Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan Modern (Studi Multi Situs pada Beberapa Pesantren Salaf di Jawa Tengah)J. Analisa Desember 2014, Vol 21 No. 02, hal. 253–263, 5 tab, 5 ill.

This research seeks to reveal the existence of traditional Muslim education institutions, the pesantren salaf. Pesantren salaf becomes a reference to the public. Thousands of the people follow the activities held by the pesantren salaf which is still exist though modern ones providing modern and advances technologies are growing rapidly. The focus of this research is on how the role of Kiai, various values, curriculum, and the devotion of pesantren salaf towards education.. The method applied in this study is a qualitative research using a multi- site study design. The findings revealed that the three observed pesantrens are maintaining the existence of pesantren through four ways. They are (1) the role of Kiai; (2) the variety of values in boarding schools , such as religious values, the value of the Salaf, the values of obeying Kiai, the values of learning; and (3) curriculum / Kitab Kuning, like Alfiyah , imrithi , and Fath al-Muin; (4) community services, such as the role of alumni in the community, recitation activities, istighotsah, construction of mosques building mosque and the other public facilities.

(Author)Keywords: existence, salaf Islamic boarding school, modern education

Penelitian ini berupaya mengungkapkan keberadaan dunia pendidikan tradisional umat Islam, yaitu pesantren salaf. Pesantren salaf masih menjadi rujukan masyarakat, ribuan masyarakat banyak yang mengikuti kegiatan yang di-adakan pesantren salaf, seperti pengajian dan istighosah. Di abad modern ini, pondok pesantren salaf masih eksis. Padahal dunia pendidikan modern semakin berkembang yang dibarengi dengan berbagai macam teknologi modern dan canggih. Adapun fokus penelitian ini adalah bagaimana peran kiai, ragam nilai, kurikulum, dan pengabdian pesantren salaf di tengah-tengah arus pendidikan modern. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah me-tode penelitian kualitatif dengan menggunakan rancangan studi multi situs. Berdasarkan penelitian ditemukan bukti bahwa ketiga pesantren yang diteliti masih eksis. Eksistensi masing-masing pesantren memiliki andil yang cukup besar dalam mempertahankan eksistensi pesantren di tengah-tengah peradaban global. Ketahanan pesantren salaf meliputi:

Page 16: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxviii

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

(1). Peran kiai (2). Ragam nilai di pesantren, seperti nilai agama, nilai salaf, nilai patuh pada kiai, nilai belajar (3). Kuri-kulum/ kitab kuning, seperti kitab alfiyah, imrithi, dan fathul muin. (4). Pengabdian masyarakat, seperti peran alumni di masyarakat, kegiatan-kegiatan pengajian, istighotsah bersama masyarakat, bantuan pesantren untuk masyarakat dalam pembangunan masjid dan berbagai fasilitas umum.

(Penulis)Kata kunci: eksistensi, pesantren salaf, pendidikan modern

DDC. 2 X 4.598 Analiansyah (Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh).Ulil Amri dan Kekuatan Produk Hukumnya (Kajian Terhadap Perspektif Teungku Dayah Salafi Aceh Besar).J. Analisa Desember 2014, Vol 21 No. 02, hal. 265-278.

This writing aims to explain the perspective of teungku dayah salafi about the concept of ulil amri and the attitude of Mus-lim society to any laws endorsed by the ulil amri. Data for this study is gathered through an in-depth interview with the tengkus of dayah salafi located in Aceh Besar. The result shows that the tengkus have different opinions about the concept of ulil amri. First, the ulil amri is similar to the formal administrator along with other religious institutions. Second, ulil amri is the government institution that only performs religious duties. Third, ulil amri is the ulama who is appointed as the head of state. Furthermore, majority of the tengkus believe that the regulations endorsed by the ulil amri were not obligated to conform otherwise mentioned in the Qur’an. Meanwhile, some of them insist that the ulil amri must be obeyed as it is mentioned in the Qur’an along with all regulations.

(Author)Keywords: Ulil Amri, law, teungku dayah

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan perspektif teungku dayah salafi tentang konsep ulil amri dan sikap kaum muslimin terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang dihasilkannya. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam dengan beberapa teungku dayah salafi di Aceh Besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pendapat yang berbeda tentang konsep ulil amri. Pertama, ulil amri merupakan pemerintah yang sah bersama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang ada di bawahnya. Kedua: lembaga pemerintah yang me-nangani bidang keagamaan saja. Ketiga, ulama yang diangkat sebagai kepala Negara. Selanjutnya, mayoritas teungku dayah menilai bahwa regulasi yang dihasilkan ulil amri tidak wajib untuk dikuti, kecuali yang disebutkan di dalam Al-Quran. Sementara itu, sebagian mereka berpendapat bahwa ulil amri wajib dipatuhi bersama dengan regulasi yang dihasilkannya karena disebutkan di dalam Al-Quran.

(Penulis)Kata kunci: Ulil amri, produk hukum, teungku dayah

DDC. 370.159 82 Muzayanah, Umi (Balai Litbang Semarang Makassar Kementerian Agama RI) Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan Karakter (Studi Kasus pada MTs Muhammadiyah 01 Purba-lingga).J. Analisa Desember 2014, Vol 21 No. 02, hal. 279–289, 0 ill.

Character education in madrasah has a very strategic role in developing the character of students. This study aims to de-scribe the strategy of character education through madrasah management at MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga. The results showed that the character education in madrasah management has been integrated in the process of organizing, actuating, and controlling. Implementation of management in developing the character based on the six principles of character management, namely (1) clarity of purpose and accountability; (2) the division of tasks based on the principle of “the right man on the right place”; (3) regularly; (4) discipline; (5) fair; and (6) the spirit of togetherness

(Author)Keywords: character education, madrasah, madrasah management

Pendidikan karakter pada madrasah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pembentukan karakter pe-serta didik. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan integrasi pendidikan karakter melalui manajemen madrasah pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter dalam manajemen madrasah sudah terintegrasi pada proses pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Pelaksanaan manajemen dalam pembentukan karakter berdasar pada enam prinsip manajemen berkarakter, yaitu (1) kejelasan tujuan dan per-tanggungjawaban; (2) pembagian tugas berdasarkan asas “the right man on the right place”; (3) teratur; (4) disiplin; (5) adil; dan (6) semangat kebersamaan.

Page 17: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxix

Lembar Abstrak/ Abstract Sheet

(Penulis)Kata kunci: pendidikan karakter, madrasah, manajemen madrasah

DDC. 370.159 82Wibowo, A.M. (Balai Litbang Agama Semarang Kementerian Agama RI)Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA eks RSBI di PekalonganJ. Analisa Desember 2014, Vol 21 No. 02, hal. 291–303, 7 tab, 1 ill.

This study aims to explore the process of internalizing the values of national character through PAI subjects which in-clude context, input, process, and the product internalization of the values of nation character, through the lesson of PAI learners. By using a qualitative approach and CIPP (Context, Input, Process, Product) methods the study found four findings. (1) In the context, the strategy of planting the values of national character, through religious subjects at high school students conducted by school policy, school system, quality of facilities and infrastructure, as well as the culture at any educational institution. (2) in the input, the internalization of the values of the nation’s character do subjects PAI through a qualification and competencies of teachers, the input facilities and infrastructure, and qualified students. (3) the process of internalizing the values of character, through subjects PAI done through a curriculum syllabus and lesson plan, and extracurricular activities intracurricular. (4) products resulting from the internalization of the values of char-acter, through Islamic religious education are that learners have a competence in the field of academic and nationality character at the same time.

(Author)Keywords: internalization, national character education, islamic education, CIPP

Pendidikan karakter tidak dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran karena ia harus diinternalisasikan dalam bi-dang studi lain, misalnya Pendidikan Agama Islam (PAI). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan proses internal-isasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI yang meliputi konteks, input, proses, serta produk akhir internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI pada peserta didiknya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif serta analisis CIPP (Context, Input, Process, Product) penelitian ini menemukan 4 temuan. (1) Se-cara konteks, strategi penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran agama pada peserta didik SMA dilakukan melalui kebijakan sekolah, iklim, sistem sekolah, kualitas sarana dan prasarana, serta budaya pada setiap satuan pendidikan. (2) secara Input, internalisasi nilai-nilai karakter bangsa telah dilakukan melalui mata pelajaran PAI melalui kualifikasi dan kompetesi guru, input sarana dan prasarana, dan kualifikasi peserta didik. (3) proses inter-nalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI dilakukan melalui kurikulum PAI berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, kegiatan interakurikuler dan ekstrakurikuler. (4)produk yang dihasilkan dari in-ternalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui Pendidikan Agama Islam adalah peserta didik yang memiliki kompetensi pada bidang akademik dan berkarakter kebangsaan sekaligus.

(Penulis)Kata kunci: internalisasi, pendidikan karakter, Pendidikan Agama Islam, CIPP

Page 18: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

xxx

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

Page 19: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungM. Alie Humaedi

149

KEGAGALAN AKULTURASI BUDAYA DAN ISU AGAMA DALAM KONFLIK LAMPUNG

The Failure of Cultural Acculturation and Religious Issues in the Conflict of Lampung

Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI

Jl. Gatot Soebroto No. 10, Jakarta 12710

Hp.: 08157901576e-mail: [email protected]

dan [email protected] Naskah diterima: 7 Juli 2014

Naskah direvisi: 2–9 Oktober 2014Naskah disetujui: 11 Nopember

2014

AbstrAct Social disaster, such as Lampung conflict, is dangerous. It can lead to many losses, either material or immaterial, and the humiliation of human and nation dignity. The contestation of various political economic interests with cultural differences implemented by by ethnic groups in Lampung had resulted in conflict. The main question of this writing is how the cultural acculturation of the natives of Lampung and Balinuraga led to the conflict. The answer to the question will help people to prevent similar conficts of other regions. This was ethnografic reseach whose data were collected through in-dept interview, observation, and document analysis. The findings showed that the failure of cultural acculturation between the natives and the Balinuraga was the main root of the conflict.

Keywords: Lampung Conflict, acculturation, social interaction, the roots of conflict, Balinuraga

AbstrAk

Bencana sosial, seperti konflik Lampung, sangat berbahaya, karena membuahkan banyak kerugian jiwa, material, mental, dan rendahnya pemartabatan manusia dan bangsa. Kontestasi berbagai kepentingan ekonomi politik dengan perbedaan kebudayaan dalam pola pikir, pandangan hidup dan praktik budaya yang dipresentasikan kelompok-kelompok etnik di Lampung telah menjadi penyebab pecahnya konflik. Persoalannya, bagaimana proses akulturasi kebudayaan antara suku asli Lampung dengan Balinuraga yang memecah menjadi serangkaian konflik itu dapat terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini memungkinkan para pihak dapat mencipta peringatan dini pencegahan konflik sosial di berbagai daerah yang memiliki kemiripan dengan keadaan Lampung. Penelitian kualitatif etnografis melalui wawancara mendalam, obeservasi, dan penelusuran dokumen telah menemukan bahwa kegagalan akulturasi budaya antara suku Lampung adalah akar masalah dari konflik Lampung. Interaksi sempit karena ketiadaan ruang-ruang bersama dalam perjumpaan lintas budaya telah menyebabkan kegagalan akulturasi yang memungkinkan tidak pernah terciptanya pemahaman dan upaya kolaborasi berbagai budaya dapat dilakukan.

Kata kunci: Konflik Lampung, akulturasi budaya, interaksi sosial, akar konflik, Balinuraga

M. ALIE HUMAEDI

Page 20: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 149-162

150

Pendahuluan

Pasca lengsernya rezim Orde Baru, intensitas konflik komunal di berbagai daerah semakin tinggi. Hal ini terlihat khususnya pada dua dekade terakhir di wilayah yang memiliki peta rawan konflik tinggi, seiring terbukanya saluran politik identitas ke partai politik ataupun tata kelola pemerintahan. Setidaknya tercatat tiga konflik komunal yang menjadi catatan sejarah kelam bahwa bangsa Indonesia belum dapat mengelola perbedaan dan keragaman berbagai identitas itu. Konflik agama (Islam-Kristen) di Ambon dan Maluku, konflik agama (Islam-Kristen) di Poso, dan konflik suku Dayak dan Madura di Kalimantan, merupakan tiga peristiwa konflik yang berskala besar dan memakan korban ribuan jiwa (Hikam 2014: 92-93). Konflik lain yang menghiasi wajah Indonesia seperti Sampang Madura, Cikeusik Banten, peperangan antardesa dan ulayat di Papua dan Nusa Tenggara, dan disusul tragedi lain di berbagai daerah dengan pola dan sebab yang berbeda.

Kerusuhan yang bersifat SARA (Suku, Agama, dan Ras) itu bisa juga mengelaborasi motifnya pada persoalan kesalahpahaman, penguasaan sumber daya, dan persoalan Pemilukada di suatu daerah (Haris 2014: 24-28). Perkelahian atau amuk massa antarkampung di Nusa Tenggara dan Sulawesi seperti kejadian Palopo 2013, tidak semata dipahami sebagai perselisihan sekelompok pemuda tentang asmara, sebagaimana juga misalnya asumsi-asumsi yang diajukan pada kasus penyebab konflik Sampang Madura, atau pertentangan sekelompok massa tentang batas-batas tanah. Akar persoalannya juga dapat diartikan sebagai suatu runtutan akumulatif dari proses-proses yang disebabkan oleh persoalan kompleks, termasuk di dalamnya persoalan SARA dan kepentingan politik identitas yang mengatasnamakan itu.

Pasca perdamaian Malino sebagai ikhtiar penyelesaian konflik Poso, penulis pernah mengatakan dalam berbagai fórum ilmiah (UN OCHA 2011, UNDP 2012, dan HFI 2013), bahwa setelah Poso, konflik seperti itu akan

terjadi setidaknya di tiga wilayah lain. Wilayah tersebut adalah Lampung, Sumatera Utara, dan Papua. Perkiraan terhadap wilayah konflik baru didasarkan pada indikasi-indikasi dari tingkat kerawanan sosial di tiga daerah yang luar biasa tinggi, sebagai akibat dari kegagalan pendidikan harmoni, provokasi atas nama politik identitas (untuk kepentingan Pemilukada), kesenjangan ekonomi antara penduduk lokal dengan warga pendatang, pemusatan enclave-enclave komunitas kolonisasi, transmigrasi, dan wilayah tradisional yang didasarkan pada etnik dan agama, dan proses interaksi dan akulturasi dua atau lebih dari karakter kebudayaan masing-masing etnik yang tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam suatu irama kehidupan bersama.

Dugaan atau prediksi di atas pun terbukti benar, setidaknya untuk sementara pada satu wilayah utama. Kerusuhan atau konflik komunal antara suku Bali (walaupun direduksi menjadi Balinuraga saja) yang menetap secara terpisah dengan suku Lampung (yang digeneralkan oleh para etnik pelaku menjadi warga Lampung) yang tersebar di beberapa kecamatan pecah pada tanggal 27 – 29 Oktober 2012 di Desa Balinuraga dan Sidoreno, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan. Pemicunya amat sederhana dari sebuah kejadian kecil yang multitafsir dan kemudian dibesar-besarkan dengan isu yang berbau agama dan etnis, diiringi dengan kebencian antaretnik yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Peristiwa ini tidak hanya menyebabkan jatuhnya korban jiwa, hilangnya harta benda, dan trauma berkepanjangan, tetapi juga menyebabkan segregasi antaretnik Bali dan Lampung di berbagai wilayah Lampung semakin jelas, dan meningkatnya angka kriminilitas perampokan dan pemalakan di berbagai wilayah yang sebelumnya tidak tinggi.

Permasalahannya, bagaimana proses kegagalan akulturasi kebudayaan antara suku asli Lampung dengan Balinuraga yang memecah menjadi serangkaian konflik itu dapat terjadi? Penelusuran penyebab kegagalan akulturasi budaya dan keterlibatan isu agama antara

Page 21: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungM. Alie Humaedi

151

berbagai pihak yang berdiam diri pada wilayah yang sama menjadi sangat penting untuk memberikan rambu-rambu atau peringatan dini potensi konflik bagi wilayah lain yang memiliki karakter dan kondisi yang sama dengan Lampung.

Konflik dapat terjadi karena adanya berbagai faktor. Konflik termasuk bencana sosial yang kapan dan di mana pun bisa saja terjadi di wilayah yang memiliki kondisi keragaman etnik, agama, dan bahasa. Keragaman ini menjadi anugerah bagi khazanah peradaban, namun di sisi lain menjadi ancaman besar bagi kehidupan berbangsa, terlebih saat ada salah kelola dalam kebudayaan ataupun kebijakan pembangunan. Padahal komposisi penduduk Indonesia cukup beragam, yaitu dihuni ratusan etnik dan ribuan kelompok etniknya (termasuk marga dan fam), ratusan bahasa (625 bahasa daerah), beragam agama dan kepercayaan, termasuk jenjang ekonomi berbeda antara satu kelompok etnik dengan etnik lain, dan bentangan wilayah luas dan strategis dalam lalu lintas perdagangan dan politik global.

Secara alamiah, keragaman etnis, bahasa, suku, dan agama antara satu dengan lain tentu secara jelas dan tegas akan memiliki perbedaan substansial jika dilihat dari sisi sistem sosial, fungsional struktur sosial dan praktik kebudayaan. Sayangnya, keragaman itu belum dikelola secara baik. Sebaliknya, keragaman lebih tampak sebagai ‘sesuatu yang lain’ yang kerapkali dipertentangkan. Konsepsi antara diri (self, al-ana) dan yang lain (other, al-akhar) kemudian secara tegas dipraktikkan dalam wujud nyata kehidupan bersama. Tidak luput, politik identitas yang melekat pada batasannya pun dimainkan oleh antek kepentingan sebagai langkah taktis dari pemulus politik kekuasaan. Adalah keniscayaan, intensitas ancaman konflik di masyarakat pun semakin tinggi dan meluas cakupannya.

Rangkaian konflik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia seakan tidak pernah terputus, dan semuanya tetap berujung pada kekerasan. Kekerasan sepertinya menjadi sebuah pentas paling digemari untuk memaksakan kehendak

atas nama apapun. Dari sisi inilah, dua orang sejarawan; Colombijn & Linbald (2002) sampai pernah menyatakan bahwa “Indonesia is a violent state” (Indonesia adalah sebuah negara gagal). Fenomenanya tidak hanya berada pada kelompok elite yang berkepentingan secara politik kekuasaan saja, tetapi juga pada kelompok-kelompok masyarakat biasa yang terhimpit oleh masalah-masalah kebutuhan hidup dan sebagainya.

Dalam permasalahan ini, menurut Dahrendorf (1976) konflik dapat dimaknai dalam dua perspektif. Pertama, konflik adalah konsekuensi atau akibat dari tidak tuntasnya proses integrasi di dalam suatu masyarakat. Kegagalan integrasi ini disebabkan salah satunya oleh proses akulturasi yang gagal di antara dua komunitas atau lebih yang memiliki sistem kebudayaan, agama, dan etnisitas yang berbeda. Kedua, konflik dapat pula dipahami sebagai sebuah proses alamiah dalam rangka proyek rekonstruksi sosial. Dalam konteks ini konflik dilihat secara “fungsional” sebagai suatu strategi untuk menghilangkan unsur-unsur disintegratif di masyarakat yang tidak terintegrasi secara sempurna (Goncing, 2012).

Banyak teori tentang penyebab atau akar masalah yang menciptakan konflik di Indonesia. Selama ini, konflik umumnya dipahami sebagai bagian tidak terpisahkan dari persoalan kekuasaan dari kelompok-kelompok bertikai. Padahal ada beberapa penyebab lain yang perlu dicermati, yaitu pandangan mengenai perjuangan atas kebutuhan dasar (basic needs) seperti keamanan, pengakuan identitas, penerimaan eksistensi, akses terhadap lembaga politik dan partisipasi ekonomi. Adanya Politik kekuasaan yang ikut campur dalam konflik individu dan komunal. Dalam kacamata Marxian (Haryatmoko 2004), campur tangan seperti ini tentu menjadi pola terstruktur untuk menjaga stabilitas dan kekuasaan kolonial. Politik kekuasaan merupakan varian penting dalam konsep konflik sosial berkesinambugan (protracted social conflict-PSC), sebagaimana dikenalkan oleh Edward Azar (1990).

Page 22: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 149-162

152

Menurut Azar, sekurangnya ada empat variabel penting dalam PSC, yaitu: (i) communal content and discontent, yaitu sikap puas atau tidak puas kelompok identitas tertentu terhadap realitas sosial dan politik yang ada. Salah satu upaya untuk meredam konflik tersebut dapat dilakukan jika masyarakat saling mengakui identitas kelompok masing-masing, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Selain itu perlu dibuka akses terhadap dialog antarkelompok identitas dan proses sosialisasi identitas masing-masing kelompok hingga ke tingkat akar rumput atau lapisan paling bawah untuk meredam intensitas konflik yang disebabkan oleh communal discontent ini; (ii) deprivation atau degradasi sosial, yaitu pengingkaran terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial kelompok-kelompok identitas yang ada. Keluhan yang muncul akibat degradasi sosial seringkali diekspresikan secara kolektif, seperti pada kasus konflik-konflik di Indonesia. Sebut saja misalnya Balinuraga Lampung, kasus Syiah Sampang Madura, dan kasus kelompok Ahmadiyah di Cikeusik. Pemicu utama degradasi sosial tersebut, salah satunya adalah pembangunan ekonomi yang bermasalah atau pembagian kue kesejahteraan yang tidak seimbang. Hal ini dapat meningkatkan frustrasi sosial bagi kelompok lain untuk segera memulai konflik dengan pihak yang dianggapnya diuntungkan itu; (iii) the quality of governance atau kualitas administratif lembaga pemerintah. Kapabilitas negara dalam mengkombinasikan penggunaan kekerasan, perangkat hukum, kekuasaan, legitimasi, dan sistem birokrasi dalam mengatur masyarakat, melindungi warga negara, menyediakan kebutuhan material, sangat penting dalam upaya memberikan kepuasan bagi berbagai kelompok identitas yang ada; dan (iv) international linkage atau keterkaitan internasional, yaitu adanya hubungan konflik pada suatu wilayah tertentu dengan berbagai aktor dan peristiwa internasional. Hal ini terkait dengan isu-isu transnasional yang dibawa dalam konteks lokal, seperti isu tentang Sunni-Syiah, ISIS, dan isu trans nasional lainnya.

Oleh karena itulah, selain kepentingan kekuasaan, stimulus penyebab konflik pun sepertinya memiliki kaitan erat dengan persoalan lain, seperti pengakuan harga diri (eksistensi), kenyamanan bersama dalam ruang-ruang sosial yang ada, aksesibilitas terhadap pembangunan, dan lingkungan sosial kebudayaan sekitarnya. Terkait pada aksesibilitas pembangunan, penelitian Lambang Trijono (2007) tentang pembangunan sebagai perdamaian, konflik bertumpu pada dasar-dasar ketidakadilan pembagian kue pembangunan itu. Wajar kemudian jika upaya penyelesaian konfliknya pun dikaitkan pada kemampuan dan tata kelola pemerintah dalam pembangunan tersebut. Namun secara umum, dapat dinyatakan bahwa empat variabel PSC dengan porsinya masing-masing dan ditambah beberapa varian lainnya sangat terlihat pada kasus konflik Lampung.

Metode Penelitian

Penelitian etnografi konflik Lampung cukup berbeda dengan penelitian lainnya. Penelitian ini terdiri dari dua kali perjalanan dengan menggunakan skema berbeda. Penelitian pertama difasilitasi oleh Humanitarian Forum Indonesia (HFI) yang dimulai tiga hari pasca konflik terjadi sampai hari ke-15. Saat itu, peneliti ikut bersama Caritas Tanjung Karang, United Nation Organization Coordination Humanitariaan Affairs (UNOCHA), dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dalam proses evakuasi dan respon masyarakat berdampak. Tujuan awal rapid assesment mendukung pelayanan kemanusiaan. Pengumpulan data wawancara mendalam belum dilakukan ke masyarakat berdampak dan pelaku. Wawancara baru dapat dilakukan kepada masyarakat di sekitar wilayah berdampak. Ada sekitar 22 informan yang berasal dari kelompok Bali KOGA, korban pemiskinan orang Bali di berbagai desa, aparat, dan kepolisian. Sementara pengumpulan data melalui pengamatan cukup signifikan, karena dampak dan keadaan wilayah pasca konflik benar-benar terlihat langsung.

Page 23: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungM. Alie Humaedi

153

Setelah penelitian pertama selesai, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, memfasilitasi penelitian lanjutan tentang penyebab konflik Lampung. Wawancara mendalam pun telah dapat dilakukan kepada 30 orang informan, baik yang berasal dari pelaku penyerangan, masyarakat berdampak, jaringan lembaga kemanusiaan, tokoh masyarakat, dan lainnya. Pengamatan pun dilakukan pada proses pemulihan pasca konflik, dan beberapa aktivitas pendukung upaya perdamaian. Sementara penelusuran dokumen perjanjian, kesepakatan, pemberitaan media massa, keluar masuk bantuan, kebijakan pemerintah dan sebagainya menjadi bagian tidak terpisahkan dari teknik pengumpulan data kualitatif secara etnografis ini. Setelah seluruh data terkumpul, maka kategorisasi data beserta analisisnya dilakukan secara seksama. Interpretasi terhadap beberapa data dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan berbagai aspek, sehingga analisanya saling terkait satu dengan hal lainnya.

hasil dan PeMbahasan

Kronologi Konflik Komunal Balinuraga-Lampung

Sebuah wilayah teramat tenang yang berada di Kecamatan Way Panji Lampung Selatan yang hanya terdiri dari 4 desa, yaitu Sidoharjo, Sidoreno, Balinuraga, dan Sido Makmur, tiba-tiba terkenal berskala nasional dan internasional karena kerusuhan. Kerusuhan itu dikenal “Kerusuhan Lampung” atau “Kerusuhan Balinuraga”. Sebutan Balinuraga yang melekat dalam kata kerusuhan, tidak hanya menunjuk pada suatu tempat kejadian, tetapi juga bisa menunjuk sebagai korban dan termasuk di dalamnya sebagai pemicu utama dari kerusuhan yang menewaskan 14 orang, 166 (data lain menyebut 355) rumah hangus terbakar dan ribuan orang mengungsi. Sebagai tempat kejadian, pasti mudah mengidentifikasi, karena berhubungan dengan satu wilayah yang berada di Kecamatan Way Panji Lampung Selatan. Demikian juga sebagai “korban”, orang akan mengenalnya secara mudah, karena hal itu terkait

erat dengan orang dan wilayah yang terkena dampak langsung dari penyerangan banyak orang. Sementara berhubungan dengan pemicu utama kerusuhan, tentu memunculkan banyak tafsir khususnya bila dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya (Humaedi 2013: 9-12).

Kerusuhan Balinuraga berlangsung tiga hari, yaitu dari Sabtu 27 Oktober sampai Senin 29 Oktober 2012. Kerusuhan ini bermula dari kejadian jatuhnya dua orang gadis Lampung yang bernama Nurdiyana Dewi warga Desa Agom dan Emiliya Elisa warga Desa Negeripandan Kecamatan Kalianda dari motor pada pukul 17.00, hari Sabtu. Sebelumnya mereka hendak pulang ke rumahnya usai membeli peralatan kecantikan di sebuah minimarket di Pasar Patok-Sidoharjo, Kecamatan Way Panji. Saat perjalanan pulang itu, disebut-sebut ada sekelompok pemuda Bali yang sedang berkerumun di atas jembatan jalan Patok-Agom-Way Arong yang menggoda mereka dengan cara berusaha “memegang payudara”, sehingga akhirnya kedua gadis terjatuh. Cerita dengan banyak versi akhirnya berkembang luas dan telah memicu amarah warga Lampung lainnya.

Penyerangan pertama dilakukan pada pukul 22.00 sampai larut malam hari Sabtu, 27 Oktober. Sekitar 500 orang berbaju hitam dan mengendarai motor menyerang Balinuraga. Gerakan massa bermotor dari Desa Agom ini dilakukan untuk “memberi pelajaran” kepada pemuda Balinuraga. Namun, setelah ada perlawanan, kelompok ini mundur dan hanya mampu membakar rumah Ketua Parisadha Sidoreno. Karena penyerangan pertama gagal, persiapan penyerangan kedua pun dilakukan. Pada pagi harinya, Minggu, 28 Oktober, konsentrasi massa penyerang dalam jumlah ribuan orang (ada sekitar 3.000 orang) dengan berbagai jenis senjata (senjata rakitan, parang, golok, pisau, celurit, tombak, dan lainnya) mulai berkumpul kembali di seputaran pasar Patok-Sidoharjo. Mereka datang dari berbagai “wilayah tua” orang Lampung yang akan menuju Balinuraga. Aparat keamanan yang berjumlah ratusan orang tidak lagi bisa membendung massa

Page 24: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 149-162

154

dalam jumlah ribuan itu. Sekitar pukul 11.00 sampai 15.00 hari Minggu, serangan ke Balinuraga kembali dilakukan. Saat serangan kedua inilah, korban jiwa jatuh dari kelompok penyerang. Ada tiga orang yang tewas, yaitu: Marhadan bin Samsunir (warga Dusun Jembatbesi, Desa Gunungterang Kalianda), Yahya bin Abdullah (warga Desa Hatipermai, Kalianda), dan Alwin bin Solihin (warga Desa Sukaraja, Tajimalela, Kecamatan Palas). Beberapa orang lain terluka cukup parah.

Dua kekalahan itu tidak menyusutkan semangat untuk melakukan serangan kembali. Serangan ketiga pun dilakukan pada Senin, 29 Oktober 2012, dari pukul 14.00-16.00. Banyak cerita tentang serangan ketiga yang “harus dilakukan.” Menurut informan, ketika serangan kedua yang menewaskan tiga orang Lampung ini dilaporkan kepada seorang yang dianggap pengihang, sebut saja raden I (E dan D dari Keradenan), mereka menjadi murka dan memerintahkan untuk memberi ”pelajaran berarti” bagi orang Balinuraga. Apa yang disampaikan oleh pengihang itu pun akhirnya menjadi semacam petuah atau restu agar seluruh orang yang berasal dari suku Lampung dari berbagai daerah harus membantu saudaranya, Lampung Agom, dalam pertempuran melawan orang Balinuraga.

Akhirnya, senin siang, puluhan ribu (20.000 orang) massa suku Lampung dari berbagai daerah di Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Lampung Utara pun terkumpul di lapangan Caringin. Jumlah ini tidak mengada-ada, karena lapangan selebar 120 meter x 60 meter itu penuh manusia, dan massa pun meluap juga ke jalan yang ada di depannya, belum ditambah dengan orang yang telah menunggu terlebih dulu di sepanjang jalan Patok-Way Arong itu. Kalau kejadian ini dianggap spontan, maka tidak akan ada koordinasi massa sebesar itu, di samping juga tidak akan ada yang mengkoordinasikan melalui provokasi melalui mini micropon yang sudah disiapkan. Apalagi saat berlangsungnya proses penyerangan, pemecahan kelompok-

kelompok massa beserta para pemimpinnya pun telah dilakukan secara rinci.

Setelah masing-masing kelompok memiliki koordinator dan pendamping lapangan, mereka mulai bergerak menuju arah Balinuraga. Kelompok pertama yang terdiri dari 8.000 orang menjurus ke arah Balinuraga dari arah pasar Patok Sidoharjo yang berhadapan langsung dengan aparat keamanan yang sudah bersiap di pasar Patok dan Sidoreno. Pada awalnya, massa dari kelompok pertama ini untuk sementara berhasil dihadang aparat polisi dan tentara dengan kekuatan 1.500 sampai 2.000 personil. Namun, penghadangan itu tidak lebih dari setengah jam, karena massa terus merangsek membongkar barikade Dalmas, Brimob, dan mobil water cannon. Mereka pun segera menuju Desa Balinuraga yang berjarak 3 km dari pasar Patok. Dalam perjalanan itu, mereka menyisir dan membakar rumah orang Bali yang ada di Sidoreno, tetangga Desa Balinuraga. Ada sekitar 6 rumah yang dibakar, dan tidak ada korban jiwa di Desa Sidoreno, karena di desa ini memang tidak ada perlawanan dari orang Bali, dan sebagian besar telah mengungsi ke rumah-rumah orang Jawa dan masjid al-Hikmah.

Aparat dan orang Balinuraga saat itu hanya berkonsentrasi pada massa dari kelompok pertama. Padahal dua kelompok lain juga telah bergerak menyerang Balinuraga dari dua sisi berbeda. Kelompok kedua menjurus ke arah Balinuraga dari arah samping kanan dengan mengambil rute wilayah belakang Sidoharjo dan Sidoagung yang melalui permukiman orang Bali Korban Gunung Agung (Koga). Saat di wilayah Bali Koga, massa penyerang tidak satupun menyentuh atau merusak rumah orang Bali itu. Mereka terus melanjutkan perjalanan ke Balinuraga dari arah samping kanan. Sementara kelompok ketiga menjurus ke arah Balinuraga dari arah Sidoreno bagian samping kiri. Akhirnya, massa dari kelompok kedua dan ketiga sampai lebih dahulu dibandingkan kelompok pertama.

Keduanya dapat menohok kelompok orang Balinuraga dari arah samping dan belakang

Page 25: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungM. Alie Humaedi

155

permukiman dan berhasil menghancurkan dan membakar rumah dan asset yang ada di seluruh Blok Pertama Balinuraga. Disebut blok pertama, karena ada satu blok lain yang dibatasi oleh tugu setinggi empat meter itu, dan tidak pernah disentuh oleh massa penyerang tersebut. Semua kelompok massa penyerang pun akhirnya memasuki Balinuraga dan berhasil menghancurkan dan membakar rumah. Selain itu, sembilan orang Balinuraga dinyatakan tewas (mengenaskan) karena perlawanan mereka ataupun tewas akibat ketidaktahuan mereka, ataupun tewas karena terlambat mengungsi. Di bawah ini disajikan ilustrasi peta dan arah kelompok massa penyerang yang menuju ke Balinuraga.

Gambar 1.1 Peta Penyerangan Balinuraga

Sumber: Humaedi (2013: 24)

Anatomi Konflik: Melihat Proses Kega-galan Akulturasi

Saat penyerangan Balinuraga yang dilakukan massa suku Lampung, setidaknya ditemukan lima aspek penyusun anatomi konflik. Hal ini dilakukan setidaknya untuk menjelaskan secara detail variabel-variabel PSC yang diajukan Azar (1990; 45-46) di atas. Perhatian aspek ini penting dalam mengurai proses kegagalan akulturasi budaya di antara pihak-pihak yang berkonflik. Pertama, saat ketiga kelompok massa penyerang

itu bergerak menuju Balinuraga, sebenarnya semua kelompok itu melewati atau tahu tentang permukiman orang Bali yang berada di Bali Koga (Korban Gunung Agung) dan Sidomulya, namun rumah dan orang Bali di wilayah tersebut aman. Mereka tidak menjadikan orang dan rumah Bali Koga sebagai target sasaran serangan.

Kedua, sasaran satu-satunya tertuju pada orang Bali yang berada di wilayah Balinuraga yang berada di blok pertama. Pertanyaannya, apakah blok kedua Balinuraga memang sengaja tidak diserang atau karena batas waktu yang ditetapkan pimpinan lapangan telah habis. Blok dua telah menjadi polemik dari peristiwa ini. Sebagian orang mengatakan bahwa blok kedua sengaja tidak diserang, karena masyarakat Balinuraga di blok dua dianggap tidak reseh atau bermasalah dengan kelompok etnik lain. Sebagian lain menyatakan massa penyerang tidak memiliki waktu untuk merusak dan membakar permukiman di blok dua itu. Alasan pertama lebih masuk akal, karena semua deret awal blok dua sama sekali tidak tersentuh, padahal deret terakhir dari blok pertama semuanya hancur. Hal ini berkaitan erat dengan anggapan orang Bali yang bermasalah dan tidak bisa bergaul adalah mereka yang berada di Blok pertama. Orang-orang itu seperti I Komang, Wayan Celang, Pure, dan lainnya. Karena itulah, pada peristiwa kerusuhan Lampung dan Bali, maka suku Bali direduksi hanya menjadi Balinuraga (dan Blok pertama).

Ketiga, Balinuraga sendiri dikenal sebagai suatu kelompok orang Bali yang berasal dari Nusa Penida yang dianggap dari kasta Sudra, memiliki karakter keras, tidak sopan, arogan, kerja keras, dan banyak memiliki ilmu hitam. Keuletan dan kerja kerasnya disebabkan kondisi lingkungan yang keras dan berbatu. Istilahnya, untuk menanam jagung atau ubi, mereka harus membawa tanah terlebih dahulu, diletakkan di atas batu, dan setelah itu baru diberi bibit ubi atau jagung. Dalam sejarahnya mereka tidak pernah dikuasai oleh kerajaan Majapahit ataupun tunduk kepada kerajaan lokal di Bali. Nenek

Page 26: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 149-162

156

moyangnya dianggap sebagai pemberontak. Mereka pergi ke Lampung, tidak menggunakan sistem transmigrasi yang difasilitasi oleh pemerintah, tetapi berikhtiar dari pembiayaan sendiri. Sementara orang Bali yang menempati Sidomulyo adalah orang Bali yang menjadi korban dari letusan Gunung Agung dan diberangkatkan pemerintah melalui program kolonisasi. Reduksi dalam arti Orang Balinuraga diartikan sebagai target sasaran yang dianggap paling bersalah dari peristiwa kerusuhan yang seringkali terjadi.

Keempat, untuk menyelamatkan diri dari tuduhan sebagai pelaku kekerasan dan atau meminimalisir konflik ini adalah konflik komunal atas nama suku, maka suku Lampung yang berasal dari 40 desa dari Kecamatan Kalianda, Palas, Sidomulyo, Penengahan, dan beberapa desa yang berada di Pringsewu Lampung Barat lalu mewajah diri secara general sebagai warga Lampung. Konsep warga Lampung, seperti konsep warga negara, menjadi konsep heteregonitas, dimana pelibatan banyak orang dalam penyerangan dimaknai berasal dari berbagai kelompok etnik dalam enclave kewargaan umum yang mengarah atau ditentukan pada musuh bersama seluruh komunitas. Orang Bali (Nuraga) lalu dianggap musuh bersama dari semua kelompok warga Lampung, sehingga suku Lampung sebagai pelaku utama tertutup dalam wajah rupa kelompok etnik lain, seperti Jawa, Sunda, dan Banten. Artinya, warga suku Lampung secara spesifik dan homogen digeneralkan menjadi warga Lampung yang terdiri dari banyak suku.

Upaya generalisasi bagi kelompok penyerang menjadi “warga Lampung” bertujuan untuk menyatakan diri bahwa yang marah bukan hanya “orang suku Lampung” tetapi semua orang dari berbagai suku yang menjadi warga Lampung. Penggeneralan seperti ini dimaksudkan untuk menyebar argumen pembenaran bahwa apa yang dilakukan mereka didasarkan pada fakta kejengkelan terhadap suku Bali yang telah direduksi kembali hanya menjadi “Balinuraga”. Pemusatan hanya Balinuraga, semakin menegaskan bahwa kemarahan “warga Lampung”

itu berasal dari kebencian semua pihak yang berada pada cakupan warga Lampung. Kenyataan ini tentu terkait pada variabel sikap puas dan tidak puas (communal content and discontent) kelompok tertentu terhadap kelompok lain. Sikap seperti inilah yang menstimulus sejak awal sebuah proses kegagalan akulturasi antara suku Bali dan suku Lampung.

Bahkan dalam wawancara dengan Penggiat Jaringan Advokasi Masyarakat Lampung, informan K, bahwa pelaku penyerangan bukan semata orang yang berasal dari suku Lampung, tetapi semua warga berbagai suku yang tinggal di Lampung. Dengan merunut 38 kali peristiwa konflik yang melibatkan orang Bali, dan 8 di antaranya terjadi di Lampung Selatan, menunjukkan bahwa orang Bali telah menjadi musuh bersama semua warga Lampung. Oleh karena itu, orang Bali harus introspeksi diri, di samping juga meminimalisir apa-apa saja yang membuat komunitas lain tidak mau bergaul atau menganggap mereka musuh bersama.

Kelima, persoalan piil pesingiri yang dibangkitkan dan dikemas dengan isu pelecahan wanita berjilbab dari suku Lampung asli. Apalagi salah satunya berasal dari kampung Tua Kalianda. Definisi piil pesingiri sendiri sulit diterjemahkan. Ketika informan I dan N, ditanya tentang piil, mereka hanya memberikan contoh; (i) bila kamu tidak diundang dalam hajatan tetangga, ya secara piil jangan datang; (ii) bila tetangga kamu tidak pernah datang dalam kerja masyarakat, maka secara piil kamu tidak perlu datang dalam kegiatannya. Apakah piil berarti “harga diri”? Informan tidak membenarkan arti kata itu. Awalnya sulit mendefinisikan, tetapi informan lain menyebutkan masalah ini adalah sebagai pandangan hidup.

Dari segi falsafah hidup pada hakekatnya masyarakat Lampung memiliki kesamaan pandangan hidup yang disebut piil pesengiri. Piil Pesengiri adalah tatanan moral sebagai pedoman bersikap dan berperilaku orang Lampung dalam segala aktivitas hidupnya. Falsafah hidup piil pesengiri ini ada sejak terbentuk dan tertatanya

Page 27: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungM. Alie Humaedi

157

masyarakat. Piil (piil=Arab) artinya perilaku, dan pesengiri maksudnya bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, tahu hak dan kewajiban (Syani 2013). Piil pesengiri merupakan potensi sosial budaya yang memiliki makna sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha memperjuangkan nilai positif, hidup terhormat dan dihargai di tengah kehidupan masyarakat. Sebagai konsekuensi untuk memperjuangkan dan mempertahankan kehormatan, maka masyarakat Lampung berkewajiban untuk mengendalikan perilaku dan menjaga nama baiknya agar terhindar dari sikap dan perbuatan yang tidak terpuji.

Piil pesengiri sebagai lambang kehormatan harus dipertahankan dan dijiwai sesuai kebesaran Juluk-adek yang disandang (hak anggota masyarakat berdasar hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin (pengihang), Minak, dan Kimas); semangat nemui nyimah (sikap kepedulian sosial dan setiakawan); nengah nyappur (sikap suka bergaul, bersahabat dan toleran antarsesama; musyawarah mufakat) dan sakai sambaiyan (tolong menolong dan gotong royong) dalam tatanan norma Titie Gemattei (jalan kebiasaan berupa keharusan, kebolehan dan larangan berbuat dalam penerapan elemen Piil Pesengiri). Piil-pesengiri pada hakekatnya merupakan nilai dasar yang intinya terletak pada keharusan untuk mempunyai hati nurani yang positif (bermoral tinggi atau berjiwa besar), sehingga senantiasa dapat hidup secara logis, etis dan estetis (Syani 2012).

Artinya, bila desa-desa di Kalianda dianggap kampung tua, maka kewajiban warga Lampung yang diposisikan sebagai adik untuk mendukung. Apalagi yang terganggu adalah kehormatan gadis dan keluarganya, maka isu itu menjadi semangat luar biasa bagi pengerahan massa. Alasan adanya piil pesingiri menjadi penting dalam anatomi konflik, karena ini berhubungan dengan politik identitas dan kesakralan emik kelompok etnik tertentu. Bahwa seorang gadis Lampung terjatuh dari motor, tidak semata dilihat persoalan kecil yang bisa diselesaikan

dengan mudah, tetapi menjadi persoalan yang sangat besar bila ia diletakkan dalam garis norma piil dan apalagi diperhadapkan dengan identitas lain yang dianggap sebagai anomi piilnya, yang anti pembauran, karena orang Bali dianggap tidak pernah bergaul dan menerima kebudayaan masyarakat pribuminya.

Posisi Balinuraga yang anti pembauran atau adanya kegagalan proses akulturasi pada sisi lain, di mana prosesnya sangat bertentangan dengan nengah-nyappur dalam piil pesingiri orang Lampung, terlihat jelas dalam suatu enclave khusus yang mempraktikkan tradisi dan kebiasaan Bali tanpa sentuhan kebudayaan si tuan rumah, yaitu identitas kebudayaan Lampung; baik berupa simbol terlihat seperti siger, bahasa, dan sebagainya; ataupun praktik kebudayaan pembauran sebagaimana diamanatkan dalam sakai sambaiyan akan serta merta menjadi musuh bersama dari setiap individu yang terlahir sebagai suku Lampung.

Kegagalan Akulturasi atau Isu Agama

Melihat penyebab konflik Lampung, tentu tidak bisa berdiri pada satu aspek saja, tetapi bersifat perpaduan dari banyak aspek. Jika ditilik secara mendalam, setidaknya ada tiga penyebab konflik Lampung, yaitu (i) akumulasi persoalan dari berbagai kejadian atau benturan orang Bali dengan orang Lampung; (ii) sistem ekonomi rente yang dipraktikkan orang Bali telah membuat banyak orang Lampung dan suku lain berada pada proses pemiskinan; (iii) perilaku keroyokan orang Bali dalam penyerangan atau selisih paham. Ketiganya adalah aspek-aspek yang terlihat nyata dalam kehidupan keseharian (Humaedi 2012).

Namun, ada juga aspek tidak kalah krusialnya yang membuat perselisihan antara orang Bali dengan non-Bali (Lampung) itu semakin tampak dan berusaha menemukan titik letupannya. Aspek itu adalah aspek interaksi dan relasi sosial yang amat terbatas dan kurang menemukan salurannya, sehingga ada kegagalan proses akulturasi budaya antara orang Bali dengan

Page 28: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 149-162

158

orang Lampung. Orang Bali (Nuraga) umumnya membuat enclave (permukiman) tersendiri yang didasarkan pada kesamaan agama, adat ritual dan pasraman (pemangku adatnya). Pada setiap enclave inilah pura besar (pura utama) didirikan, di samping juga kewajiban setiap rumah untuk membuat sanggar-sanggar sebagai media ritual dan menjadi simbol “keimanan dan kesalehan seseorang”.

Sebelum konflik Oktober 2012 itu, pada kasus Balinuraga, keimanan dan kesalehan untuk sementara diartikan sanggar, tidak dilebarkan dalam pengertian memahami, berbuat baik, dan meletakkan dasar dharma bagi kepentingan manusia yang lintas batas. Bisa diartikan bahwa penghayatan masyarakat yang seperti ini adalah bentuk kegagalan dari pemangku Parisadha yang tidak menjadi teladan atau panutan masyarakat dalam proses pembelajaran dan keberagamaan, kecuali semata dalam urusan ritual saja. Kegagalan pembelajaran kemanusiaan ini juga berbuah tidak adanya kesadaran orang Balinuraga terhadap penghormatan hak-hak orang lain, praktik kehidupan bersama dengan orang Non-Bali, dan aspek yang menghargai perbedaan karakter dan praktik budaya orang lain. Walaupun kegagalan tokoh agama Hindu (Parisadha) ini tidak dimanfaatkan para pelaku kerusuhan untuk merusak sanggar-sanggar (tempat ibadah) orang Bali tersebut.

Dalam kasus kerusuhan itu, memang ada beberapa sanggar yang dirusak, tetapi pengerusakan itu rata-rata dilakukan tidak disengaja, karena menjadi bagian dari rumah. Kalau konflik Lampung tersebut didasari oleh motif agama, maka pastilah semua sanggar, pura, dan sesaji yang ada di seluruh rumah orang Bali ataupun pura utama pastilah akan dirusak hebat. Kerusuhan Balinuraga akhirnya tidak didasari pada motif (penghinaan) agama, tetapi murni kejengkelan dan dendam yang membara atas perilaku orang Bali (Nuraga) yang arogan atau eksklusif secara kebudayaan dan sering menekan dalam urusan sosial ekonomi.

Kejengkelan itu disebabkan tidak adanya komunikasi, interaksi dan relasi sosial yang intens antara orang Balinuraga dengan non-Bali. Interaksi keduanya hanya diberlangsungkan pada urusan ekonomi, yang dirasakan menyakitkan bagi orang Non-Bali. Rente itulah yang menyakitkan, walaupun perekrutan tenaga kerja berbayar dari orang non-Bali juga sebagian keuntungan yang dirasakan. Namun, ibarat ”setitik tuba menghancurkan susu sebelanga”, maka keuntungan itu kalah menyakitkan dengan perilaku rente. Interaksi sosial yang dibangun hanyalah didasarkan pada keuntungan ekonomi, bukan suatu proses pembelajaran bersama memahami praktik dan karakter budaya masing-masing pihak.

Orang non-Bali merasa sangat tidak nyaman masuk atau bekerja di rumah orang Bali, sebagai akibat banyaknya anjing dan babi yang berkeliaran. Dua binatang itu dianggap najis (najis mughaladhah) oleh orang non-Bali yang rata-rata Islam. Orang Bali juga dikenal tidak mengindahkan tata cara menyiapkan makanan halal. Anehnya, dua perilaku yang dianggap kurang nyaman oleh orang Non-Bali masih selalu dipraktikkan orang Bali (Nuraga), padahal sebelumnya telah ada peraturan desa, bahwa dua binatang itu harus dikandangkan dan tidak boleh berkeliaran. Praktik beternak babi dan merawat anjing dalam jumlah yang banyak di lingkungan rumah inilah yang telah membuat orang non-Bali sangat malas untuk berkunjung ke rumah orang Bali, sekalipun telah dikenal akrab.

Artinya, telah terjadi kegagalan dalam proses akulturasi budaya antara orang Bali dengan orang Lampung, karena interaksi di antara mereka sangat sempit, dan seringkali terjadinya komunikasi yang buntu. Salah satu penyebab dari kegagalan akulturasi itu adalah karena tidak adanya ruang-ruang pertemuan bersama dalam arti imajiner dan fisik antara seluruh ”warga Lampung”, khususnya antara suku Bali dengan suku Lampung. Apa yang disebut ruang pertemuan imajiner adalah satu perasaan bahwa orang Balinuraga adalah bagian tidak terpisahkan

Page 29: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungM. Alie Humaedi

159

dari komunitas bersama Lampung. Perasaan inilah yang menghadirkan penghargaan terhadap nilai-nilai yang dianut bersama, dan mengatur posisi antara diri (al-ana) dan liyan (al-akhar). Tentu, perasaan dan penghargaan itu adalah hasil dari satu proses bersama dan intens yang dilakukan oleh setiap kelompok suku yang ada.

Sementara apa yang disebut ruang pertemuan fisik adalah perjumpaan langsung dalam aktivitas bersama, misalnya bermain bersama (pada usia anak-anak), ngobrol bersama walaupun sekadar canda, lomba, beraktivitas bersama dalam urusan sosial ekonomi, memecahkan persoalan bersama, jejaring organisasi, dan sebagainya. Melalui pertemuan fisik itulah, sifat dan nilai-nilai antara dua suku khususnya dapat diketahui, dan menghasilkan ikhtiar saling memahami dan mengerti. Sayangnya, dalam catatan masyarakat, ruang-ruang pertemuan antara suku Lampung dan Balinuraga itu sangat tidak intens, sehingga selalu memunculkan syak wasangka dan dendam yang terus terpendam.

Salah satu komunikasi buntu itu terlihat jelas pada pertemuan Sabtu malam 27 Oktober setelah dua gadis Lampung itu jatuh. Ketika kepala desa Agom, MS, dan keluarga N datang langsung ke Balinuraga untuk menemui pemuda dan orang tua Bali tanpa koordinasi ke pemangku wilayah setempat, baik kepala desa Balinuraga ataupun pemangku banjar. Demikian juga ketika utusan Balinuraga di rumah MT bersifat arogan dan tidak meminta maaf, dan mengkomunikasikan masalah ini dengan tenang, padahal di sekeliling mereka massa Lampung dari Desa Agom telah berkumpul dan meminta pertanggungjawabannya. Sikap dari kelompok Balinuraga dalam mensikapi masalah gadis Lampung yang jatuh telah menyebabkan kerusuhan dan penyerangan terhadap Balinuraga.

Soal interaksi yang sempit sehingga mempersulit proses pembauran berbagai komunitas juga dipengaruhi oleh model permukiman yang didasarkan pada etnik. Sebagaimana diketahui bahwa permukiman orang Balinuraga adalah hasil program transmigrasi

swakarsa, di mana permukiman seluas 500 hektar itu disediakan pemerintah, dan biaya hidup dan perjalanan ditanggung sepenuhnya oleh kelompok transmigrannya. Wilayah transmigran Balinuraga benar-benar didiami kelompok etnik Bali yang berasal dari Nusa Penida, tidak seperti wilayah transmigrasi lain yang dibaurkan dengan etnik lain atau kelompok Bali dari wilayah lain. Model permukiman ini telah menciptakan satu-kesatuan atas dasar ikatan primordial sebagai ”orang Balinuraga” yang berada di atas rata-rata orang Bali pada umumnya, dan apalagi terhadap orang dari kelompok etnik lainnya.

Demikian pula apa yang terjadi dengan wilayah Agom pun memiliki kesamaan. Agom pada awalnya adalah wilayahnya tanah tidak bertuan, masuk dalam kategori tanah negeri, bukan tanah marga, mulai dibuka oleh seorang Cina yang memiliki pekerjaan menjadi pemburu. Kepindahan orang Cina ini akhirnya diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Lampung. Salah satu motif perpindahan mereka adalah untuk mendapatkan tanah-tanah baru yang bisa difungsikan sebagai kebun-kebun mereka. Banyak informasi yang mengatakan bahwa orang yang datang itu sebenarnya adalah orang yang berasal dari ”kelompok adik” yang tidak atau sedikit mendapatkan tanah dari pembagian waris keluarga. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tradisi suku Lampung, warisan orang tua sepenuhnya dikuasai oleh kakak tertua, dan atas dasar kemauan atau kerelaaan kakak tertua itulah para adik bisa mendapatkan bagian kekayaan orang tuanya. Oleh karena itu, sebagaimana yang dialami transmigran Balinuraga yang datang ke wilayah baru untuk meningkatkan taraf hidup, orang suku Lampung yang datang ke Agom pun sebenarnya adalah pendatang yang sama berusaha mencari penghidupan. Walaupun saat ini, Agom relatif terbuka dengan adanya pendatang Jawa, Banten dan Sunda yang membeli rumah orang Agom, dibandingkan Balinuraga yang masih tertutup.

Orang Bali yang datang ke Agom hidup secara berkelompok dalam ikatan primordial. Menurut

Page 30: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 149-162

160

Brenda SA Yeoh (1997: 49-52), pola permukiman yang didasarkan oleh ikatan etnik atau primordial lain merupakan ciri permukiman yang dibangun oleh kolonial. Bentuknya selalu enclave dengan menggunakan satu sistem sosial yang homogen. Motif awalnya didasarkan pada prasangka bahwa kelompok etnik itu akan menjadi sumber masalah bila digabungkan dengan kelompok etnik lain. Rupanya, cara berpikir kolonial itu ditiru pemerintah Orde Baru, bahwa kelompok Balinuraga yang berasal dari Nusa Penida yang dikenal keras dan streotype lain itu dikumpulkan pada satu enclave tertentu. Walaupun alasan awal pengumpulan mereka pada satu tempat itu sebenarnya hanya alasan teknis, yaitu bisa beternak babi. Namun, alasan teknis itu sebenarnya wajahrupa dari mekanisasi kultural rezim yang didasarkan pada pertimbangan motif yang ada sebelumnya.

Sementara model permukiman orang suku Lampung didasarkan pada model kampung tradisional, di mana kekuatan keluarga batih dan ikatan primordial hadir memperkuat hubungan diantara para pendatang itu. Perbedaannya dengan suku Bali, wilayah Agom tercipta dengan sendirinya, dan Balinuraga ”diciptakan” oleh suatu rezim. Akibatnya, ada akar kecemburuan sejak awal berdirinya dua perkampungan itu. Hal inilah yang memperkuat sifat arogan orang Balinuraga, dan menebalkan sifat rendah diri orang Lampung yang masing-masing mencari salurannya. Selama bertahun-tahun, sifat itu pun dipupuk, sifat arogan Balinuraga melahirkan sistem tertutup komunitas sehingga tidak mau bergaul dengan komunitas lain. Sementara sifat rendah diri masyarakat suku Lampung memupuk semangat ”politik identitas” untuk menampakan jati diri di tanahnya sendiri. Semuanya berproses masing-masing, tanpa pembauran sebagai buah interaksi yang gagal, sehingga prasangka etnik semakin menebal dan mencari letupannya. Salah satu letupan itu adalah harus dengan konflik terbuka, karena boleh jadi mereka telah lama menahan konflik laten di antara mereka sendiri.

Seluruh kenyataan yang ada sejajar dengan pemikiran Azar (1990) mengenai konflik sosial berkesinambungan, dari variabel sikap puas dan tidak puas terhadap kelompok tertentu. Menurutnya, berbagai kelompok identitas yang ada di dalam masyarakat; kelompok etnis, religius, dan kekerabatan, pada saat tertentu dapat merasakan bahwa kondisi sosial dan politik yang ada sesuai dengan apa yang mereka harapkan, tetapi pada saat lain kelompok-kelompok tersebut dapat merasa kecewa atau bahkan frustasi terhadap situasi yang mereka anggap mengganggu eksistensi dan melecehkan identitas mereka. Ilustrasinya, hubungan sosial ekonomi antara orang Lampung dan Bali dalam jual beli janur, misalnya, akan dianggap memuaskan kedua belah pihak, tetapi praktik ekonomi rente, beternak babi, dan arogansi orang Bali dalam pergaulan sosial telah menghadirkan ketidakpuasan bagi orang Lampung.

Satu hal penting lainnya dalam melihat kegagalan akulturasi yang menyebabkan konflik Lampung adalah terkait dengan isu etnosentrisme. Hampir semua konflik bernuansa etnis seringkali dikaitkan dengan semangat etnosentrisme yang sempit, sebagaimana yang ditampakkan oleh suku Lampung dan Bali dalam sejarah pergaulan sosialnya. Etnosentrisme adalah sebuah cara berpikir yang menjadikan kelompok sendiri sebagai pusat dari segalanya dan menjadi tolak ukur dalam menilai dan mengukur kelompok lain. Tiap-tiap kelompok diasumsikan memupuk sendiri-sendiri kebanggaan dan harga diri, merasa superior, mengagungkan kesucian kelompok sendiri dan memandang rendah kelompok lain. Tiap kelompok berpikir bahwa tradisi cara pikir dan tindak kelompoknya adalah yang paling benar sementara tradisi kelompok lain selalu dilihat dengan penuh kehinaan (Bertrand 2004: 60-63 dalam Goncing 2012). Sikap ketidakpuasan dan kepuasan juga didasarkan pada etnosentrisme ke-Lampung-an dan Ke-bali-an. Perhatikan sikap fiil dan semangat banjar dari dua komunitas berbeda itu. Semuanya berujung pada pandangan etnosentrisme yang ketat, di

Page 31: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik LampungM. Alie Humaedi

161

mana proses akulturasi budaya akan mengalami hambatan yang cukup hebat.

Etnosentrisme mengandung perilaku positif terhadap kelompoknya sendiri (ingroup) dan perilaku atau penyikapan negatif terhadap kelompok lain (outgroups). Sikap etnosentrisme ditandai oleh kesetiaan pada kelompok, antipati terhadap kelompok lain, kompensasi yang nyata dan adanya manipulasi para pemimpin kelompok tersebut. “Leader manipulation” ditandai oleh adanya pemimpin yang seringkali melihat manfaat bagi diri sendiri atas etnosentrisme. Oleh karenanya ia berusaha meningkatkan spirit itu melalui eksploitasi rasa takut dan benci terhadap kelompok lain (Bertrand 2004: 82-82 dalam Goncing 2012). Semua aspek ini telah benar-benar menggagalkan akulturasi dua kebudayaan etnik itu, sehingga berujung pada pecahnya konflik Lampung.

PenutuP

Kegagalan akulturasi budaya antara suku Balinuraga dengan Lampung yang dimulai prosesnya dari ketiadaan ruang sosial bersama diyakini sebagai akar masalah konflik Lampung. Sayangnya, masalah ini seringkali tidak dilihat para pemangku kepentingan dan lembaga kemanusiaan dalam proses penyelesaian konflik Lampung. Penanganan yang ada hanya berhubungan dengan kegiatan di masa tanggap darurat, yaitu pemberian bantuan makanan, akomodasi, dan jaminan keamanan. Para penangan bencana kemudian pergi meninggalkan masyarakat tanpa ada program lanjutan yang bisa memupus akar persoalan konflik, antara Balinuraga dengan suku Lampung.

Program aksi yang berusaha memupus akar konflik, khususnya membuka ruang sosial bersama dari dua belah pihak secara jangka panjang tidak begitu terlihat. Jangankan untuk akulturasi budaya yang membawa harmoni, interaksi sosial di antara mereka masih bersifat sempit. Padahal hal ini penting dilakukan untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada

pemengertian hidup bersama pada wadah dan identitas kewarganegaraan Indonesia. Dengan jalan membuka interaksi sosial bersama pada ruang sosial bersama memungkinkan proses akulturasi budaya akan mungkin terjadi.

Demi kepentingan di atas, penelitian ini menyarankan dua hal. Pertama, salah satu sarana membuka ruang sosial yang berimbas pada proses akulturasi budaya dari kelompok-kelompok berbeda adalah pendidikan. Pendidikan itu tidak bersifat formal di sekolah, tetapi juga mencakup pendidikan keluarga, pendidikan di dalam komunitas, dan pendidikan non formal seperti pesantren dan pasaraman. Konsep pendidikan di wilayah seperti Lampung yang dipenuhi heterogenitas etnik, budaya dan agama, yang diajukan harus berbeda dengan konsep pendidikan di tempat lain yang masih bersifat homogen secara kebudayaan. Pendidikan harmoni yang mengedepankan iklusifisme dalam budaya perlu dikembangkan pemerintah, lembaga kemanusiaan dan pendidik di wilayah Balinuraga dan Lampung. Pola dan praktik pendidikan eksklusif yang homogen harus segera ditinggalkan masyarakat, karena hanya akan menebalkan karakter kebudayaan awal dan perasaan primordialisme.

Kedua, perlu dilakukan penelitian etnografis secara mendalam praktik kebudayaan dan sistem sosial masyarakat yang berdampak dan masyarakat yang berada di luar berdampak dari sisi pemicu konflik, faktor konflik, dan mekanisme internal yang bisa didorong untuk penyelesaian konflik. Selain merumuskan program aksi yang tepat, baik mikro ataupun makro, dengan sistem zonasi yang tepat dan strategis bagi kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan pihak lain, juga dapat menjadi bahan dasar pelaksanaan program lanjutan transformasi konflik jangka panjang yang bisa ditiru oleh masyarakat penangan bencana dan pemerintah dalam kasus penyelesaian bencana sosial yang ada di Indonesia.

Page 32: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 149-162

162

ucaPan teriMakasih

Peneliti menyampaikan terimakasih kepada Humanitarian Forum Indonesia (HFI), khususnya kepada Direktur HFI, Ibu Hj. Hening Parlan yang memberikan kesempatan melakukan rapid assesment konflik Lampung. Demikian juga disampaikan terimakasih kepada para Romo, Bruther, dan Suster yang tergabung pada Caritas Tanjung Karang Lampung, yang memungkinkan peneliti dapat terlibat langsung dalam proses evakuasi dan respon terhadap masyarakat berdampak. Terakhir, ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang memfasilitasi penelitian tindak lanjut dari penelitian sebelumnya bersama HFI.

daftar Pustaka

Azar, Edward, 1990. The Management of Protracted Social Conflict: Theory and Practice. Aldershot, USA: Darmouth.

Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia., Cambridge, England: Cambridge University Press.

Colombijn, Freek and J. Thomas Lindblad (eds.). 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS.

Dahrendorf, Ralf. 1976. The Modern Social Conflict: an Essay to the Politics of Liberty. London: Weidenfeld and Nicolson.

Goncing, Muhammad Abdi. 2012. Peristiwa Konflik Balinuraga Lampung Selatan dan Persatuan Indonesia, dalam http://ighoelmachete.wordpress.com/ 2012/12/16/peristiwa-konflik-balinuraga-lampung-selatan-dan-persatuan-indonesia/ (Diakses tanggal 4 Oktober 2014).

Haris, Syamsuddin. 2014. Masalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Obor.

Harris, Marvin. 1997. Culture, People, Nature: An Introduction of General Anthropology. USA: Longman Inc.

Haryatmoko. 2004. Etika Politik Kekuasaan. Jakarta: KPG.

Hefner, Robert W. 1990. Geger Tengger. Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LkiS.

Humaedi, M. Alie. 2013. Konflik Komunal Lampung-Bali: Anatomi dan Pemicu Konflik. Laporan Penelitian. Jakarta: LIPI

___. 2012. Assessment Brief Kerusuhan Lampung: Perumusan Mekanisme Penanganan Bencana Jejaring HFI. Jakarta: Laporan HFI & UN OCHA.

Huntington, Samuel P. 2003. Tertib Politik, di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syani, Abdul. Falsafah Hidup Masyarakat Lampung: Sebuah Wacana Terapan. Dalam http://staff.unila.ac.id/abdulsyani/2013/04/falsafah-hidup-masyarakat lampung -sebuah-wacana-terapan/. diunduh 28 Juni 2014.

___. Pluralitas Budaya di Lampung, Konflik dan Solusinya. Dalam. http://abdulsyani.blogspot.com/2013/11/pluralitas-budaya-di-lampung-konflik.html. diunduh 28 Juni 2014.

Trijono, Lambang. 2007. Pembangunan sebagai Perdamaian: Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Yeoh, Brenda SA. 2007. “Migration and Social Diversity in Singapore”, in Singapore Perspectives 2007, edited by T.H. Tan, pp. 47-56. Singapore: World Scientific Publishing.

Page 33: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Interaksi Penganut Majelis Tafsir Al-Quran di Kampung Tegalsari SemarangMoh. Hasim

163

INTERAKSI PENGANUT MAJELIS TAFSIR AL-QURAN DI KAMPUNG TEGALSARI SEMARANG

Interaction of Majelis Tafsir Al-Quran Members in the Tegalsari Village

MOH. HASIM

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jln. Untung Suropati Kav. 69-70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang

Telp. (024) 7601327 Faks. (024) 7611386

e-mail: [email protected] diterima : 30 Mei 2014

Naskah direvisi: 2–9 Oktober 2014Naskah disetujui: 13 Nopember

2014

AbstrAct

The research was based on rejection the widespread existence of the Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) in several districts in Central Java. Using a case study approach, this re-search was done in Tegalsari, Semarang. The findings of the research showed that the socio-religious interaction of MTA members with Tegalsari villagers created religious social conflict. This conflict came from different understanding of the sources of Islamic law (fiqh). MTA uses textual aproach to resolve the law by ignoring the sociological-historical aspects. MTA rejects the use of local cultural jurisprudence in the codification of Islamic law, because they regard some activities such as tahlilan, death-related cer-emonies, and slametan are bid’ah. The main root of the conflict is the MTA truth claim and its insentive and inappropriate method of preaching. MTA does not accept the truth

of others.

Keywords: Tegalsari, MTA, conflict, truth claim

AbstrAk

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya aksi penolakan masyarakat terhadap Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) di beberapa wilayah di Jawa Tengah. Dengan menggunakan pendekatan studi kasus, penelitian ini mengambil lokus di Kampung Tegalsari Semarang. Penelitian ini menemukan bahwa terjadi konflik keagamaan antara penganut MTA dan warga masyarakat Tegalsari. Salah satu sumber konflik tersebut adalah perbedaan pemahaman hukum Islam (fiqh). Dalam menetapkan hukum, MTA menggunakan pendekatan tekstual tanpa mempertimbangkan aspek sosio-historisnya. Oleh karena itu, dengan alasan bid’ah, MTA menolak budaya lokal, seperti tahlilan, peringatan hari kematian, dan selamatan. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa sumber utama konflik adalah adanya truth claim yang tidak diimbangi dengan cara dakwah yang baik. Dalam menyebarkan ajarannya, MTA tidak menerima kebenaran dari pemahaman kelompok lain.

Kata kunci: Tegalsari, MTA, konflik, klaim kebenaran

Page 34: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 163-172

164

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia memberikan perlindungan terhadap pemeluk agama dalam mengamalkan keyakinannya. Akan tetapi, pengakuan dan perlindungan tersebut tidak menjadikan Indone-sia sebagai negara agama. Undang-undang Dasar Negara Indonesia tidak mendasarkan ideologi negara pada salah satu agama. Posisi negara hanya memberikan pengakuan atas agama-agama yang ada melaui pemberian pelayanan, penjaminan, dan perlindungan hukum bagi pemeluknya.

Meski bukan negara agama, Indonesia juga bukan negara sekuler yang menolak campur tangan dalam kehidupan keagamaan di masyarakat. Melalui pemerintah, negara secara langsung ikut serta dalam pembangunan bidang keagamaan. Negara hanya berupaya membantu peningkatan pemahamaan keagamaan dan memberikan jaminan bahwa setiap pemeluk agama dapat menjalankan agamanya secara baik tanpa terganggu oleh pemeluk agama yang lain.

Langkah positif negara/pemerintah ini ternyata tidak selamanya diimbangi dengan tumbuhnya suasana rukun dalam kehidupan keagamaan di masyarakat. Berbagai kasus yang merenggangkan harmoni, baik intern maupun ekstern, masih sering terjadi, seperti tuduhan pe-nodaan agama, konflik keyakinan dalam internal agama, problem pendirian tempat ibadah, dan penolakan terhadap munculnya kelompok atau organisasi keagamaan baru.

Salah satu bentuk penolakan masyarakat terhadap kelompok/organisasi keagamaan adalah penolakan terhadap berkembangnya faham MTA di berbagai daerah di Jawa Tengah. Dengan model dakwah yang dikembangkannya, baik melalui siaran-siaran radio maupun sikap beragama pengikutnya, MTA dinilai terlalu banyak memberikan kritik terhadap pengikut ajaran agama yang sudah mapan. Kritik yang sering dilontarkan yaitu masalah bid’ah. Penganut MTA menilai masih banyak perilaku ibadah yang

menyalahi tuntutan ajaran agama karena tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, seperti pembacaan tahlil, kitab manakib, dan yasinan.

Kritik kelompok MTA ini mendapat reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Mereka yang setuju dengan model pemahamaan agama menurut MTA merasa mendapatkan kepuasan dalam mempelajari Islam. Di sisi lain, banyak umat Islam merasa tersinggung dengan materi dan cara dakwah organisasi ini. Tuduhan bid’ah terhadap ritual tertentu dipandang sebagai sesuatu yang mencederai keyakinan agama dan menyinggung perasaan pemeluk agama yang menyakini dan mengamalkan ritual tersebut.

Dalam menyikapi masalah bid’ah, para pemikir dan ulama Islam berbeda pendapat. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa ibadah sebagai praktik ritual telah ditentukan secara pasti dengan sumber hukum yang jelas. Ibadah yang tidak memiliki rujukan hukum atau tidak pernah dilakukan oleh nabi tidak boleh dilaksanakan, meskipun ibadah itu dipandang baik dan tidak menyalahi pokok-pokok hukum Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini diantaranya yaitu Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali, Ibnul Atsir, dan an-Nawawi (at-Tuwaijiri, 2010: 18-34).

Kelompok kedua berpendapat bahwa bid’ah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bid’ah ḥasanah dan bid’ah ḍolâlah. Bid’ah ḥasanah adalah praktik ibadah yang tidak ada tuntunannya tetapi memberikan kemaslahatan pada umat, atau tidak menyalahi prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, sedagkan bid’ah ḍolâlah adalah praktik ibadah yang menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam dan tidak memberikan nilai kebaikan bagi masyarakat. Pendapat kedua ini masih memberikan toleransi pada pelaksanaan ibadah yang mengandung unsur bid’ah selama itu bid’ah yang ḥasanah. Pendukung pendapat ini di antaranya adalah asy-Syathibi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan az-Zarkasyi (at-Tuwaijiri, 2010: 18-34)

Page 35: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Interaksi Penganut Majelis Tafsir Al-Quran di Kampung Tegalsari SemarangMoh. Hasim

165

Sikap pro dan kontra terhadap ritual keaga-maan yang dinilai bid’ah ini sebenarnya berasal dari bagaimana seseorang memandang kebenar-an dalam beragama, apakah ia bersifat absolut dan tunggal ataukah tidak. Hal tersebut juga bergantung pada bagaimana ia menyikapi praktik keagamaan orang lain yang memiliki pemaham-an keagamaan yang berbeda dengan dirinya.

Dalam ideologi keagamaan, sikap terhadap orang lain yang memiliki paham keagamaan yang berbeda ini dibedakan menjadi dua: inklusif dan eksklusif.

Dalam ideologi keagamaan yang bersifat inklusif, penganut agama mampu menerima keyakinan kebenaran dari agama lain. Kebenaran ajaran keagamaan tidak menjadi monopoli agama tertentu; setiap agama dinilai memiliki kebenaran sesuai dengan keyakinan penganutnya. Menurut penganut faham ini perbedaan adalah sebuah rahmat yang patut disyukuri dan tidak menjadi dasar perpecahan atau pertikaian. Orang yang memiliki ideologi inklusif dalam beragama akan tetap menghargai dan menghormati adanya bebenaran lain (Madjid, 2004: 1-30; Viktor, 1998: 5-25). Sementara itu, Mustolehudin (2014: 37) yang mengkritisi ideologi dan teologi antara MTA dan Muhammadiyah menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya dalam hal purifikasi. Purifikasi yang dilakukan Majelis Tafsir Al-Quran cenderung eksklusif, sedangkan Muhammadiyah cenderung inklusif.

Sebalikmya, ideologi agama yang bersifat eksklusif merasa keyakinan keagamaanya yang paling benar. Kebenaran agama bersifat tunggal. Kebenaran agama merupakan kebenaran absolut yang tidak bisa disandingkan dengan keyakinan agama lain. Penganut paham eksklusif ini menggangap ajaran agamanya lah yang paling benar yang akhirnya akan memunculkan potensi konflik di masyarakat. Hal ini terjadi karena terjadi benturan keyakinan ketika ideologi ideologi eksklusif bertemu dengan kelompok lain di masyarakat (Alwi Shihab, 2009: 20-22).

Kondisi seperti inilah yang terjadi antara warga MTA Kampung Tegalsari dengan warga

setempat lainnya. Dalam berinteraksi sosial, sering terjadi kesalahpahaman antarmereka yang disebabkan oleh kurangnya komunikasi. Oleh karena itu, perlu ada kajian tentang bentuk interaksi sosial antara kedua kelompok tersebut yang di kemudian hari dapat dijadikan salah satu rujukan ketika di wilayah lain menghadapi persoalan yang sama. Hal inilah yang menjadi fokus dan tujuan penulisan artikel ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus. Dalam pendekatan studi kasus ini yang menjadi subyek penelitian adalah perilaku keagamaan masyarakat Kampung Tegalsari yang secara administratif berada di wilayah RW III, Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Data penelitian diperolah melalui teknik wawancara, pengamatan lapangan dan telaah dokumen. Wawancara digunakan untuk mencari keterangan-keterangan secara lisan tentang struktur keyakinan. Pengamatan lapangan dilakukan untuk mengetahui suasana keagamaan, kegiatan ritual keagamaan dan interaksi sosial masyarakat, sedangkan telaah dokumen dilakukan untuk menelaah kitab-kitab ajaran kelompok agama atau sumber informasi lainnya.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif. Analisis tersebut terdiri atas tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data atau penarikan kesimpulan.

hasil dan PeMbahasan

Prinsip Dasar Paham Keagamaan MTA

Paham keagamaan yang dianut oleh MTA ada-lah paham keagamaan yang tidak berkiblat pada mazhab tertentu. Dalam pemahaman aqidah, MTA merujuk pada sumber pokok Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Konsep aqidah yang diusung oleh MTA tidak lepas dari keyakinan dalam hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Konsep aqidah ini disebut iman yang secara lisan harus diwujudkan dalam pernyataan tauhid, yaitu dua kalimat syahadat yang berbunyi

Page 36: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 163-172

166

asyhadu al lā Ilāha Illallāh, wa asyhadu anna Muhammadan rasulūlllah (Sulaiman, 2008: 29; wawancara dengan Sukardi, 27 November 2010).

Berangkat dari arti pentingnya makna keimanan sebagai dasar memasuki agama, Islam menetapkan enam unsur pokok yang menjadi rukun dalam keimanan. Enam unsur pokok keimanan ini juga dipegang kuat oleh anggota MTA. Keenam unsur tersebut adalah: 1) beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa; 2) beriman kepada para malaikat Allah; 3) beriman kepada kitab Allah; 4) beriman kepada rasul Allah; 5) beriman pada hari pembalasan; dan 6) beriman pada qadla dan qadar Allah). Enam unsur pokok keimanan merupakan rukun yang harus ada dan ditanamkan dalam hati setiap umat Islam, termasuk warga MTA. Semua unsur keimanan tersebut diyakini sebagai satu kesatuan yang utuh. Seorang muslim tidak bisa hanya mengimani satu unsur semata tanpa mengimani unsur yang lain.

Oleh karena itu, sesuai dengan visi yang dijalankan MTA sebagai tujuan utama dalam implementasi aqidah yang dianut, pentingnya umat Islam kembali kepada ajaran Al-Quran dan Hadits sangat ditekankan. Iman kepada Allah berarti mengimani, membenarkan, dan melaksanakan segala ajaran-Nya yang tertuang dalam al-Quran yang diturunkan kepada Muhammad. Iman kepada Muhammad berarti mengikuti segala yang dicontohkannya. Iman kepada Allah tidak bisa lepas dari iman kepada Muhammad, dan iman kepada Muhammad tidak bisa lepas dari iman pada Al-Quran.

Meskipun demikian, MTA tidak dimaksudkan sebagai majelis yang menafsiri sendiri Al-Quran. MTA adalah majelis yang bermaksud mempelajari kitab tafsir yang telah ada, kemudian dipahami dan diamalkan dalam kehidupan keseharian muslim. Atas dasar itu, MTA menghendaki adanya kehidupan masyarakat yang bersendikan pada ajaran Islam dengan jalan mengajak masyarakat kembali kepada al-Quran dan Sunnah dan meninggalkan segala praktik ibadah yang dipandang sebagai bid’ah.

Konsep yang diusung oleh MTA adalah Islam yang total sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupannya sehari-hari. Sejak ditinggalkan Nabi, Islam sudah sempurna sehingga tidak perlu ada praktik peribadatan lain, di luar apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad (wawancara dengan Sukardi, 29 November 2010).

Bagi penganut MTA, seorang muslim dalam menjalankan ibadah harus berpedoman pada tuntunan syariah, yaitu ketetapan-ketetapan hukum yang di dalamnya memuat tata cara, syarat, dan rukun ibadah. Dalam organisasi MTA, terdapat penekanan akan arti pentingnya kedudukan Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai rujukan utama dalam amal ibadah manusia. Tanpa berdasar pada dua sumber hukum itu, ibadah yang dilakukan seorang muslim akan ditolak, tidak memperoleh pahala apa-apa bahkan menuai dosa.

Ustadz Sukardi menjelaskan bahwa Al-Quran adalah tuntunan yang sempurna yang meliputi seluruh hal-ikhwal kehidupan manusia. Dalam Al-Qu’an disebutkan: “kitab Al-Quran ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS. 2: 2-3) sehingga sangatlah jelas bahwa seorang muslim yang bertakwa kepada Allah harus berpedoman kepada Al-Quran.

Fungsi As-Sunnah dalam pandangan MTA tidak jauh berbeda dengan ulama fikih lain. Dalam padangan MTA as-Sunnah berkedudukan sebagai penjelasan kandungan al-Quran, menjelaskan kesimpulan, membatasi kemutlakannya, dan menguraikan kemusykilan (kesulitan)nya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari doktrin yang diyakininya, pertama, MTA menolak semua praktik ibadah yang tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh nabi (Tim Penyusun, 2008: 373-408). Menurut Ustadz Sukardi, Islam sudah sempurna sebelum kematian nabi sehingga tidak perlu lagi tambahan dalam hal ibadah. Apa lagi jika ibadah itu tidak memiliki dasar yang kuat dari tuntunan agama, baik bersumber dari Al-Quran maupun Hadits (Wawancara dengan Ustadz Sukardi, Tanggal 27 November 2010; Tim Penyusun, 2007).

Page 37: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Interaksi Penganut Majelis Tafsir Al-Quran di Kampung Tegalsari SemarangMoh. Hasim

167

Kedua, MTA tidak bermazhab. Dalam pandangan MTA, fiqh sebagai panduan praktis dalam beribadah sudah jadi satu dengan tuntunan yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Di sinilah pimpinan MTA menjadi orang yang mengarahkan anggotanya untuk memahami agama. Bermazhab adalah bentuk taqlid yang dilarang dalam ajaran MTA.

Ketiga, MTA menolak praktik Islam yang bercampur dengan unsur budaya lokal, seperti yasinan, tahlilan, manaqiban, dan selamatan. Dalam sebuah ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Budi Harjani terdapat dialog yang menggambarkan penolakan terhadap percampuran Islam dengan budaya Jawa. (Ceramah Ustad Budi Harjani pada pengajian gelombang I, Senin 29 November 2010)

Interaksi Sosial Keagamaan MTA di Kampung Tegalsari

Keberadaan MTA di Semarang tidak bisa dipisahkan dari organisasi MTA yang didirikan oleh Abdullah Thufail Saputra pada tanggal 19 September 1972 di Solo Jawa Tengah. Setelah mendirikan MTA di Surakarta, Ustadz Abdullah Thufail Saputra membuka cabang di beberapa kecamatan di sekitar Surakarta dan kota-kota lain di Indonesia, seperti Semarang.

Pengajian MTA Perwakilan Semarang merupakan hasil rintisan Yulie Yahya sewaktu bekerja di PT Jantra Batik Keris Semarang pada tahun 1986. Akibat dari kebijakan pimpinan PT Jantra Batik Keris yang tidak mendukung kegiatan pengajian di dalam pabrik maka pengajian dipindahkan ke mushala terdekat di luar lingkungan pabrik yaitu di Mushala al-Mubarok, Panjangan RT 02 RW 01 Semarang Barat. Dua tahun kemudian, MTA Semarang tumbuh berkembang dan secara resmi berdiri tahun 1988 dengan Akta Notaris Nomor 151/XII/IX/1988. Dalam pekembangannya MTA Semarang berkantor di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 500b Semarang dan sekaligus sebagai tempat pengajian.

Intensitas dakwah yang dilakukan oleh MTA menyentuh banyak lapisan masyarakat. Dari kegiatan pengajian di mushalla Panjangan, MTA perwakilan Semarang berkembang ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya, seperti Gunungpati, Tembalang, Stonen, Bukit Kencana, Boja, dan Babadan. MTA perwakilan Semarang bahkan juga diberi kepercayaan untuk menjadi pembina wilayah pantura Jawa Tengah, yaitu Jepara, Kudus, dan Pemalang (Wawancara dengan Ustadz Sukardi, Senin 29 November 2010).

Saat penelitian ini dilakukan cabang MTA belum secara resmi berdiri di Kampung Tegalsari. Masuknya paham MTA di Kampung Tegalsari dimungkinkan dari informasi mulut ke mulut di antara masyarakat, dakwah personal yang dilakukan oleh anggota MTA, dan pancaran gelombang siaran dakwah melalui radio.

Warga Tegalsari yang pertama menunjukkan diri sebagai penganut paham MTA secara terbuka adalah Kiai Sutoyo (Samaran). Kiai Sutoyo mengenal MTA dari informasi yang diperoleh saat mengikuti kajian keagamaan di salah satu kantor pemerintahan Propinsi Jawa Tengah. Dalam pengajian yang diselenggarakan setiap hari Selasa sebagai upaya pembinaan mental pegawai, Kiai Sutoyo mendapatkan pengetahuan ajaran Islam yang berbeda dengan apa yang selama ini ia kerjakan. Menurut Kiai Sutoyo, informasi yang dia peroleh lebih rasional dan didukung dengan dalil-dalil agama yang lebih kuat.

Pengetahuan agama yang dia peroleh ini kemudian diperdalam lagi dengan mendengarkan ceramah-ceramah agama yang disiarkan oleh Radio FM MTA, dan jika ada waktu senggang Kiai Sutoyo mendatangi pengajian Minggu pagi yang diselenggarakan oleh MTA Pusat di Solo Jawa Tengah.

Sebelum mengenal MTA, Kiai Sutoyo merupakan tokoh agama yang menjadi panutan dan imam bagi masyarakat di Tegalsari. Sebagai tokoh masyarakat, ia juga aktif dalam kegiatan keagamaan di masjid dan mushalla serta kegiatan keagamaan di masyarakat. Pola peribadatan

Page 38: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 163-172

168

yang dia jalankan menggunakan pola aktivitas keagamaan mazhab Syafi’i, seperti melakukan tahlil, membaca do’a qunut dalam salat subuh, dan do’a bersama setelah selesai salat fardlu berjamaah. Akan tetapi, setelah mengenal MTA, aktivitas ritual keagamaannya menjadi berubah. Ketika memimpin salat berjamaah, do’a qunut dan do’a bersama setelah salat yang biasanya dilakukan perlahan mulai ditinggalkan. Dia juga menolak ketika diminta memimpin tahlil dalam acara kematian.

Pengetahuan yang diperoleh Kiai Sutoyo ini kemudian disampaikan kepada warga yang aktif melalukan salat berjamaah di mushalla, terutama di sela-sela kegiatan jama’ah salat Maghrib dan Isya’. Model penyampaiannya tidak melalui acara pengajian khusus, tetapi dilakukan di sela-sela perbincangan ringan sebagaimana wajarnya komunikasi antarwarga sehabis menjalankan atau menjelang waktu salat.

Pengetahuan agama yang paling menonjol dan sering dibicarakan dalam setiap kesempatan yaitu masalah praktik ibadah umat islam yang dinilai mengandung bid’ah. Bid’ah yaitu segala sesuatu yang diada-adakan dalam menjalankan ibadah. Pengertian diada-adakan itu berarti ajaran itu sebenarnya tidak ada, dan tidak perlu dilakukan oleh umat Islam. Apabila ibadah yang mengandung bid’ah itu dilakukan maka ia akan ditolak dan sia-sia. Praktik ibadah tersebut tidak memberian manfaat sedikitpun.

Kiai Sutoyo memberikan contoh bid’ah yang selama ini dilakukan oleh mayoritas umat Islam, yaitu: tahlilan, yasinan, manaqib, berzanji, dan acara-acara dalam penghormatan kematian, se-perti talqin mayat, telung dina, mitung dina, petangpuluh dina, mendak, nyatus dan nyewu.

Dari pengamatan warga yang tidak mau disebut namanya, hanya beberapa orang saja yang sudah terpengaruh oleh MTA, kurang dari enam orang. Dasar yang dijadikan warga untuk menilai bahwa mereka sebagai anggota MTA yaitu keberangkatan mereka untuk mengikuti pengajian MTA di Solo secara berombongan.

Meskipun jumlah anggota atau simpatisan MTA di Kampung Tegalsari relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah warga yang berhaluan ahlussunnah yang bermazhab Syafi’i, tetapi mereka cukup intensif dalam menjalankan kegiatan keagamaan dan praktik dakwah. Kuatnya pengaruh ajaran MTA dengan semangat dakwah yang dimiliki membuat kesenjangan pada kegiatan sosial keagamaan. Masyarakat Tegalsari melakukan ibadah dengan mazhab fikih Syafi’i sedangkan pengikut MTA menggunakan pemahaman lain. Akibat dari perbedaan pemahaman itu, terjadi pergesekan dalam menjalankan menjalankan kegiatan keagamaan.

Benih perbedaan mulai terjadi. Pada waktu selesai azan shalat Magrib di mushalla yang kebetulan dilakukan oleh salah seorang warga berhaluan Syafi’i, yang dalam kebiasaan dilakukan puji-pujian sambil menunggu iqamah. Puji-pujian yang dilakukan langsung mendapat teguran dari kelompok MTA. Takmir Mushalla menuturkan bahwa dengan serta-merta simpatisan MTA yang mengetahui langsung menegur bahwa aktivitas itu dinilai tidak benar karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi. Menurut kelompok MTA waktu dzikir yang lebih tepat yaitu setelah salat, bukan sebelum salat (Wawancara dengan Agus Wahyudi, tanggal 24 November 2010).

Benih perbedaan dalam memahami ajaran Islam semakin tajam terjadi ketika memasuki bulan suci Ramadlan. Pada bulan Ramadlan, selain aktivitas rutin salat berjamaah dan salat tarawih, pihak takmir mushalla juga mengadakan kegiatan kultum. Momen kultum ini oleh sebagian dari kelompok MTA dimanfaatkan untuk memberikan ceramah terkait dengan masalah khilafiah yang menyulut perbedaan. Selain itu, dilihat dari praktik ibadah juga berbeda. Penganut MTA lebih condong pada tarawih dengan empat raka’at satu salam, sedangkan kelompok penganut madzhab Syafi’i condong pada dua rakaat satu salam. (Wawancara dengan Ketua Takmir Musala Nurul Iman, tanggal 3 Desember 2010)

Page 39: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Interaksi Penganut Majelis Tafsir Al-Quran di Kampung Tegalsari SemarangMoh. Hasim

169

Setiap bulan Ramadlan, perbedaan paham di masyarakat Tegalsari terus mengemuka dan cenderung memanas. Sebagai contoh Ustadz Slamet (nama samaran), salah seorang yang dinilai sebagai kelompok/simpatisan MTA, kembali mengungkit masalah bid’ah saat memberikan ceramah dalam acara kultum di mushalla. Perasaan tersinggung warga muncul ketika Ustadz Slamet mencontohkan bahwa do’a yang dilakukan oleh imam sehabis salat berjamaah dengan suara keras adalah bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh nabi, apalagi sang makmum mengamini (mengucapkan amin) tanpa mengerti apa yang diminta dalam do’a sang imam. Ketersinggungan kelompok penganut Syafi’i semakin kuat ketika persoalan bid’ah kembali diulang-ulang (dibicarakan) dalam pergaulan keseharian.

Masih dalam suasana bulan Ramadhan, ceramah yang dilakukan oleh simpatisan MTA mendapatkan reaksi dari kiai yang lain dalam kesempatan berbeda. Dalam sebuah kultum, Kiai Nur Rochim yang berfaham Syafi’i memberikan reaksi keras terhadap isi ceramah yang dilakukan oleh Ustadz Slamet sebelumnya. Bagi Kiai Nur Rochim, tidak sepantasnya seorang muslim yang seiman memberikan materi ceramah pada masalah-masalah yang masih dalam perdebatan (khilafiah) sehingga menyalahkan praktik ibadah muslim lain. Umat Islam seharusnya bisa menerima perbedaan sebagai sebuah kewajaran, bukan malah mempertajam perbedaan tersebut (wawancara dengan Kiai Nur Rochim, tanggal 5 Desember 2009).

Akibat dari ketegangan yang disulut oleh perbedaan keyakinan dalam melaksanakan praktik ibadah, jamaah Mushalla Nurul Iman akhirnya terbelah menjadi dua kelompok. Meskipun tidak secara nyata, mereka menunjukkan eksistensinya sebagai warga yang mendukung MTA atau warga yang masih berpegang pada pola ibadah dengan madzhab Syafi’i. Apabila yang menjadi imam salat berjamaah di malam Ramadlan dari kelompok MTA maka masyarakat yang merasa tidak sepaham mengalihkan aktivitasnya pada

tempat ibadah lain, yaitu di masjid. Begitu juga sebaliknya. Apabila yang mendapat tugas imam shalat berasal dari kelompok yang berhaluan Syafi’i maka warga MTA akan meninggalkan mushalla setelah selesai shalat Isya’. Mereka tidak mau ikut shalat tarawih berjama’ah.

Dampak dari perbedaan pemahaman ajaran yang dikembangkan MTA dengan keyakinan mayoritas masyarakat Tegalsari adalah tersingkirnya warga mayoritas dari aktivitas keagamaan di Mushalla Nurul Iman. Padahal menurut ketua Takmir, pendanaan pembangunan mushalla melibatkan banyak donatur, termasuk kelompok yang berhaluan Syafi’i. Akibatnya, muncul friksi-friksi ketidakcocokan dalam kegiatan keagamaan di Mushalla Nurul Imam. Perasaan tersingkir warga dari aktivitas mushalla ini terungkap dalam pertemuan rutin warga dalam bentuk acara tahlilan malam jum’at kliwon. Dalam kesempatan tersebut seorang warga mengusulkan kalau memang kelompok MTA tidak bisa menjaga keharmonisan dalam aktivitas keagamaan dan selalu menganggap kelompok lain salah, maka sebaiknya kelompok MTA mendirikan mushalla sendiri.

Selain dianggap menghina keyakinan agama orang lain, kelompok MTA juga dinilai tidak menghargai tradisi sosial keagamaan warga. Ketika warga menggelar acara tahlilan dan yasinan, warga MTA tidak mau menghadiri acara tersebut karena dinilai tidak berasal dari ajaran Islam. Meskipun tidak secara lugas disampaikan, alasan ketidakhadiran warga MTA diketahui oleh warga yang memiliki acara melalui rumor di masyarakat (Wawancara dengan Suripto, tanggal 28 November 2010).

Menurut Agus Wahyudi, Ketua Takmir Masjid Nurul Iman, pemicu utama konflik antara warga MTA dengan masyarakat Tegalsari lainnya adalah praktik ibadah yang sudah populer di kalangan masyarakat, seperti pembacaan tahlil dan yasin. Masyarakat marah dan kecewa. Praktik ibadah yang selama ini sudah dilaksanakan turun-temurun tiba-tiba disalahkan dengan tuduhan bid’ah. Praktik ibadah masyarakat

Page 40: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 163-172

170

yang dinilai oleh kelompok MTA sebagai bid’ah selalu saja diungkit-ungkit dalam setiap kesempatan (wawancara dengan Takmir Masjid Nurul Iman Tanggal 3 Desember 2010).

Kesenjangan dalam pengamalan ajaran agama antara kelompok warga MTA dengan warga Kampung Tegalsari akhirnya berdampak luas, tidak hanya pada dimensi religius, tetapi juga dimensi sosial yang menyebabkan keretakan hubungan sosial antarwarga. Penolakan warga MTA terhadap aktivitas sosial atau tradisi dinilai terlalu berlebihan sehingga kesenjangan dalam hubungan sosial semakin terasa. Warga MTA dalam hubungan sosial semakin tersingkir dan terasing. Keberadaan warga MTA dalam aktivitas sehari-hari juga tidak banyak terlibat. Warga masyarakat yang masih berhaluan fiqh Syafi’i cenderung menghindari kontak sosial dengan kelompok MTA, begitu juga sebaliknya. Walaupun demikian, warga mengaku tidak bermaksud mengucilkan mereka. Hal itu terjadi karenakelompok MTA sendiri yang tidak bisa berbaur dengan kegiatan masyarakat, seperti pada acara-acara ritual keagamaan (yasin–tahlil).

Pengucilan warga Kampung Tegalsari terhadap warga yang berhaluan MTA diakui dan dirasakan oleh salah seorang anggota MTA. Rukmani, salah seorang anggota MTA (samaran) mengaku tidak cocok dengan praktik praktik ibadah seperti tahlil sehingga kalau ada acara warga yang menggunakan tahlil ia tetap akan meninggalkan lokasi. Menurut Rukmani, seorang warga MTA yang mengetahui kemungkaran harus memberantasnya dengan tangan dalam arti kekuasaan yang dimiliki, kalau tidak mampu dengan tangan dengan ucapan, dan kalau masih tidak mampu maka dengan hati.

Penolakan dengan hati adalah bentuk selemah-lemahnya keimanan orang muslim. Atas dasar itulah, kelompok MTA tetap menolak segala bentuk ajaran yang dinilai bertentangan dengan Islam. Meninggalkan lokasi kemungkaran atau tidak hadir dalam acara yang dinilai mungkar adalah bentuk penolakan terhadap ajaran itu, termasuk menolak hadir dalam acara tahlil, entah

itu dalam acara peringatan kematian atau dalam acara sosial lain (wawancara dengan pengikut MTA, 3 Desember 2010).

Namun demikian, sebagian kecil warga masyarakat Tegalsari sudah mulai menyadari bahwa perbedaan dalam memahami ajaran agama adalah hal yang wajar. Maryono, misalnya, berpandapat tidak masalah baginya apabila sebagain besar warga menolak kehadiaran paham MTA. Kalau perbedaan itu dibesar-besarkan, justru mushalla akan kehilangan jamaahnya. Menurut Maryono, masyarakat seharusnya semakin menggiatkan kegiatan keagamaan di mushalla, bukan malah meninggalkan mushalla karena tidak ingin kontak dengan penganut MTA. Jangan sampai karena perbedaan yang tidak prinsip, masyarakat Islam menjadi terpecah belah.

Dalam perkembangannya, konflik laten penganut MTA dengan warga masyarakat Tegalsari mereda dengan sendirinya. Kondisi ini terjadi karena kedua belah pihak sudah tidak lagi saling menghujat dan menyalahkan. Namun demikian, kedua belah pihak tetap bersikukuh dengan pendiriannya, kelompok MTA menolak segala bentuk praktik ibadah yang dinilai mengandung bid’ah, sedangkan warga lainnya tetap menjalankan praktik ibadahnya sebagaimana biasanya. Meskipun demikian, kondisi sosial tetap aman meskipun keduanya tidak bisa disatukan.

Sumber Konflik Sosial Organisasi MTA

Penjelasan tentang prinsip Aqidah dan Syariah yang menjadi pegangan MTA menunjukan bahwa implementasi keimanan kepada Allah seorang muslim yang benar adalah melalui praktik ibadah seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Sebaik apapun ibadah jika ia tidak pernah dicontohkan oleh Nabi maka ibadah tersebut termasuk dalam kategori bid’ah, dan semua bid’ah dalam pandangan MTA adalah sesat yang tidak akan berfaedah, bahkan diancam masuk neraka.

Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemicu utama konflik antarwarga MTA Kampung Tegalsari dengan warga setempat lainnya adalah pola dakwah MTA yang berupaya mengembalikan

Page 41: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Interaksi Penganut Majelis Tafsir Al-Quran di Kampung Tegalsari SemarangMoh. Hasim

171

praktik ibadah umat Islam ke masa-masa kenabian. Ritual ibadah yang diyakini oleh kelompok MTA adalah ibadah yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Mereka menolak segala bentuk sinkretisme dan rasionalisme dalam beragama. Pandangan MTA ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan Salafiyah yang berupaya melakukan purifikasi pengamalan ajaran Islam sesuai dengan semangat awal perjuangan Islam, sebuah pandangan yang sangat tekstual-dogmatis.

Pandangan MTA yang sangat tekstual-dogmatis ini tidak memungkinkan adanya ruang pemahaman dengan melihat aspek-aspek historis-sosiologis. Lokalitas agama tidak bisa diterima oleh teks al-Quran dan Sunnah karena dipandang sebagai sumber hukum yang sudah final. Al-Quran dan as-Sunnah tidak bisa dikontekstualkan dengan perkembangan peradaban dan kemajuan pola pikir dan kebudayaan manusia. Dalam kata lain, ajaran Islam tidak bisa dibumikan sebagaimana gagasan Nurcholis Madjid (lihat Madjid, 1992: 15-35). Abikatnya, pelaksanaan syariat Islam dalam ibadah menjadi sangat kaku dan tidak ada kompromi dengan bentuk-bentuk kebudayaan atau tradisi lokal masyarakat seperti tahlilan, yasinan, dan slametan.

Karena perbedaan cara memahami isi kandungan Al-Quran dan Sunnah Nabi, fikih yang dipahami MTA menjadi berbeda. Dalam konteks masyarakat Kampung Tegalsari yang mayoritas berfaham Syafi’i, praktik ibadah yang dilakukan oleh kelompok MTA menjadi asing dan berbeda dengan maisntream yang ada. Dalam interaksi sosial peribadatan, situasi semacam ini akan menjadi problem ketika mereka bertemu dalam satu bentuk ritual yang sama, seperti waktu salat berjamaah dan kegiatan ritual bersama.

Menurut MTA, ada berberapa ibadah yang berbaur dengan tradisi lokal yang dipandang bertentangan dengan Islam dan tidak ada dasarnya dalam Al Quran. Mereka antara lain praktik membaca tahlil dalam upacara kematian 7 hari, 40 hari dan 100 hari, kenduri, slametan, sedekah bumi, ruwatan, ziarah kubur dengan menabur bunga, mitoni, dzikir bersama, membaca manaqib,

dan membaca al Berzanji serta shalawatan. MTA melihat semua praktik tersebut sebagai bentuk sinkretisme ajaran Islam dengan budaya lokal Jawa. Semua hal di atas dalam adalah bentuk ibadah baru yang diada-adakan karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Oleh sebab itu, hal tersebut adalah bid’ah yang harus dijauhi oleh seorang muslim.

Dalam pandangan MTA, Nabi merupakan sosok yang sempurna, demikian juga semua ajarannya. Ketika seorang muslim mengadakan ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi, sama saja artinya ia mengatakan bahwa ajaran Nabi Muhammad tidak sempurna. Dalam berbagai kesempatan pengajian para ustadz MTA dengan tegas menjelaskan persoalan tersebut sebagai “laisa min Islam”, sesuatu yang tidak berasal dari Islam. Yasinan, tahlilan dan segala tradisi yang ada di masyarakat bukanlah ibadah yang benar sebab ibadah tersebut tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dengan demikian, ibadah tersebut bukan ajaran Islam (Ceramah Ustadz Budi Harjani pada pengajian gelombang I, Senin 29 November 2010), padahal semua ritual peribadatan yang oleh MTA dikatakan “laisa min Islam” masih terus diamalkan dan dilestarikan oleh warga Kampung Tegalsari. Warga pun meyakini apa yang mereka lakukan sesuai dengan ajaran agama Islam.

Oleh karena itu, ujung pangkal potensi konflik di kampung Tegalsari yaitu adanya klaim kebenaran antara warga MTA dan warga setempat. Kelompok MTA menyakini bentuk ritual ibadah yang dilakukannya adalah yang paling benar. Demikian pula sebaliknya. Kelompok yang berpaham Syafi’i juga menyakini apa yang dilakukan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Klaim kebenaran ini tidak didukung dengan cara dakwah yang baik, masing-masing merasa dirinya yang benar, memberikan cemooh, cibiran, dan olok-olok pada praktik ibadah kelompok lain, tanpa ada rasa saling menghargai perbedaaan sebagai berkah dari Tuhan.

Potensi konflik yang bersumber dari adanya dominasi kebenaran sebuah ajaran agama hanya bisa diredam jika masing-masing kelompok

Page 42: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 163-172

172

menyadari bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Perbedaan memahami agama adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan sebagaimana dipesankan oleh Allah dalam Kitab Suci Al-Quran bahwa tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam (Ma’arif, 1995: 25-50). Oleh karena itu masyarakat Tegalsari membutuhkan pemahamaan agama yang inklusif yang tidak melakukan justifikasi bahwa pemahaman ajaran agama di luar kelompok (agamanya) adalah salah.

Teologi inklusivisme ini dilandasi dengan semangat toleransi yang merupakan sikap menghormati dan memberikan kebebasan orang lain menjalankan faham keagamaannya. Perbedaan paham agama tidak boleh menjadi penghalang untuk saling menghargai dan bekerjasama. Umat Islam harus memberikan kesempatan dan kebebasan yang seluas-luasnya kepada orang lain untuk menjalankan keyakinannya.

PenutuP

Interaksi sosial penganut paham MTA dengan warga masyarakat Kampung Tegalsari akan terus mengalami benturan jika pemahaman keagamaan yang inklusif tidak dipraktikkan dalam kegiatan sosial keagamaan di masyarakat. Paham MTA memberikan klaim kebenaran ajaran yang tidak diimbangi dengan cara dakwah secara baik dan melakukan tuduhan bid’ah pada kelompok lain.

Perbedaan utama yang menjadi sumber konflik yaitu pemahmaan secara tekstual sumber hukum (fiqh) yang dilakukan oleh kelompok MTA tanpa melihat aspek sosiologis-historis dalam penentuan hukum. Akibatnya, fiqh MTA menolak budaya lokal masuk dalam kodifikasi hukum Islam, seperti ritual yang berkaitan dengan acara kematian dan kelahiran.

daftar Pustaka

at-Tuwaijiri, Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz. 2010. Menyoal Rutinitas Perayaan Bid’ah Sepanjang Tahun. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 1995. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Per-adaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

___.2004. Fikih Lintas Agama: Membangun Ma-syarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina.

Mustolehudin. 2014. Pandangan Ideologis-Teologis Muhammadiyah dan Majelis Tafsir Al Quran, Jurnal Analisa Balai Litbang Agama Semarang Volume 21 No. 01 Juni 2014.

Mutohharun, Jinan. Kepemimpinan Imamah Dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan:Studi Tentang Perluasan Majelis Tafsir Al-Quran di Surakarta. Desertasi: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion: Dari Animisme EB. Tylor, Materialisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta: Qalam

Scharf, Betty R. 1995. Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana

Shihab, Alwi. 2009. Islam Inklusif. Bandung: Mizan

Sulaiman. 2008. Studi Telaah Kasus MTA Pusat Surakarta. Balai Litbang Agama Semarang: Laporan Penelitian.

Tim Penyusun. 2007. Kumpulan Brosur Pengajian Ahad Pagi: Sunnah dan Bid’ah. Surakarta: Yayayan Majelis Tafsir Al-Quran.

Tim Penyusun. 2008. Kumpulan Brosur Pengajian Ahad Pagi Tahun 2007. Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir Al-Quran.

Viktor YT. Tanjang. 1998. Pluralisme Agama dan Pro-blem Sosial. Jakarta: Penerbit Pustaka Cidesindo.

Wach, Joachim. 1984. Wach, Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Rajawali

Daftar Informan:

1. Sukardi: Pimpinan MTA Semarang

2. Nur Rochim: Tokoh Agama Kampung Tegalsari Semarang

3. Agus Wahyudi: Takmir Musala Nurul Iman Kampung Tegalsari

4. Warga Kampung Tegalsari yang tidak mau disebut namanya.

Page 43: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

173

MUATAN NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DAN ANTI-MULTIKULTURAL DARI MIMBAR MASJID

DI KOTA SOLO

Multiculturalism and Antimulticulturalism From Pulpits of Mosques

AbstrAct This research aims to identify the scope of religious sermons and materials in different mosques in Solo, and identify multicultural and anti-multicultral aspects presented in sermons. Using qualitative method and content analysis, the research found the following conclusions: First, the diversity of communities—ethnic, cultural, or religious—has received little attention from the preacher at various mosques and majelis taklim. Second, in addition to multicultural values, sermons and religious lectures contains some values of anti-multicultural, such as prejudice and stereotypes against other groups, particularly in relation to the non-Muslim and western countries. Third, the sermons material and religious lectures implied the intensity of purification. Along with the movement, religious preaching implied resistance to local culture (Java), which is considered as the main source of religious impurity. Finally, the development trend of Islam in Solo implies religious radicalization as reflected in hostility towards the local culture, foreigners and non-Muslims.

Keywords: multiculturalism, antimulticulturalism, radicalism, mosque, religious speech

AbstrAk

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lingkup materi khotbah agama dan khotbah di masjid-masjid dan majelis taklim di Solo, dan mengidentifikasi aspek-aspek multikultural dan anti-multikultural yang disampaikan dalam khotbah dan ceramah. Riset ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan analisis isi. Studi ini menemukan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, keragaman masyarakat—etnis, budaya, atau agama—mendapat sedikit perhatian dari pengkhotbah di berbagai masjid dan majelis taklim. Kedua, di samping nilai-nilai multikultural, khotbah dan ceramah keagamaan berisi beberapa nilai-nilai anti-multikultural, seperti prasangka dan stereotip terhadap kelompok lain, khususnya dalam hubungan dengan non-Muslim dan negara-negara barat. Ketiga, materi khotbah dan ceramah keagamaan tersirat intensitas gerakan pemurnian. Seiring dengan gerakan, berkhotbah keagamaan tersirat perlawanan terhadap budaya lokal (Jawa), yang dianggap sebagai sumber utama ketidakmurnian agama. Akhirnya, perkembangan Islam di Solo menyiratkan kecenderungan radikalisasi agama sebagaimana tercermin dalam sikap permusuhan terhadap budaya lokal, orang asing, dan non-Muslim.

Kata kunci: multikulturalisme, anti-multikulturalisme, radikalisasi, masjid, ceramah keagamaan

ZAKIYUDDIN BAIDHAWY

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga

Jln. Tentara Pelajar No. 2 Salatiga 50721

Telp. (0298) 323706 Faks. (0298) 323433

e-mail : [email protected] diterima : 8 Juli 2014

Naskah direvisi : 2-18 Oktober 2014Naskah disetujui: 17 Nopember

2014

Page 44: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

174

Pendahuluan Solo adalah tipikal kota multikultural. Kota ini

dikenal dalam lintasan sejarah pergolakan bangsa sebagai tempat persemaian benih-benih gerakan nasionalisme, sosialisme dan keagamaan. Di daerah ini, tidak saja dijumpai pergulatan politik di bawah kekuasaan keraton dan kompeni, namun juga tempat munculnya tunas-tunas gerakan nasionalisme. Selama seperempat pertama abad ke-20, Solo dan wilayah-wilayah sekitarnya menyaksikan kemunculan dan kehancuran partai berikut perhimpunan politik, seperti Syarikat Islam, Insulinde, National-Indische Partij, PKI, dan Sarekat Ra’jat. Kota ini juga melahirkan banyak tokoh penting, seperti Presiden pertama RI Soekarno, aktivis dan jurnalis radikal Marco Kartodikromo, sosialis ternama Tjipto Mangunkusumo, dan komunis terkemuka Haji Mohammad Misbach(Shiraishi, 1990).

Radikalisme berbasis etnik juga meng-gambarkan dinamika sosial Solo sebagai akibat dari fragmentasi sosial dan kontak etnisitas, di satu sisi, dan status ekonomi, kekuasaan politik, keragamaan kultur dan agama, serta tingkat pendidikan di sisi lain (Nurhadiantomo, 2004; Mulyadi and Soedarmono, 1999; Remmelink, 1994). Ada beberapa peristiwa konflik etnik antara Jawa-Cina dan Jawa-Encik (keturunan Arab), sekaligus juga antara penduduk pribumi dan non-pribumi (yaitu antara Jawa dan non-Jawa).

Radikalisme berbasis keagamaan di Solo terus membentuk hubungan-hubungan sosial sebagaimana dicatat oleh media internasional sejak kejatuhan Soeharto pada medio 1998 (Fananie, 2002; Fananie and Sabardilla, 2000). Sebagian organisasi massa Islam terlibat aktif dalam aksi-aksi sosial, seperti protes menentang Pendeta Wilson, tuntutan agar diskotik dan klub-klub malam tutup selama bulan Ramadhan, penentangan terhadap invasi militer Amerika Serikat ke Irak, dan tuntutan penerapan syariah di Indonesia.

Radikalisasi Islam juga menjadi lebih nyata setelah peristiwa bom Bali pada 12 Oktober

2001. Solo dianggap sebagai tempat persemaian (breeding ground) Islam radikal yang memiliki jaringan dengan Jamaah Islamiyah dan teroris internasional, termasuk dengan KMMM (Kelompok Militer Muslim Malaysia). Para pelaku pengeboman di Bali dan di berbagai tempat lainnya disinyalir memiliki keterkaitan dengan Ustaz Abubakar Ba’asyir, yang merupakan pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki dan sekaligus imam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jamaah Ansorit Tauhid (JAT).

Radikalisasi telah menjadikan ruang-ruang dan aktivitas sosial-keagamaan sebagai wilayah kontestasi bagi kelompok-kelompok radikal.Masjid-masjid di berbagai tempat menjadi lahan perebutan pengaruh antara kelompok-kelompok radikal dan moderat. Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi sosial-keagamaan yang sering menjadi korban karena sebagian masjid milik mereka direbut oleh kelompok Salafi radikal. Dari masjid-masjid pula kelompok-kelompok Salafi radikal melakukan penyebaran pengaruh kepada masyarakat lebih luas melalui ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian (al-Makassary & Gaus, 2010).

Uraian di depan menunjukkan bahwa Solo merupakan suatu representasi dari realitas pluralisme dan multikulturalisme yang belum dikelola secara baik. Di satu sisi, terdapat kelompok-kelompok Islam yang moderat, atau bahkan cair, tetapi di sisi lain juga terdapat kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal, yang sebagian berakar dari masjid-masjid dan kelompok-kelompok laskar dan pengajian. Meski Solo belum mempunyai sejarah konflik sosial antarkelompok dalam Islam, kecuali perkelahian antarpendukung partai Islam, kenyataan keragaman corak keagamaan tersebut merupakan potensi konflik yang besar, terutama bila proses militansi dan radikalisasi disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politik kekuasaan. Perbedaan dan keragaman baik antaragama maupun intra agama belum mampu menciptakan ruang bersama untuk berdialog dan bekerjasama.

Page 45: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

175

Kajian ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa persoalan pokok terkait dengan: bagaimana mengidentifikasi lingkup materi khotbah/ceramah di mimbar masjid-masjid yang berbeda di Solo, terkait dengan aspek-aspek multikultural dan anti-multikultural. Serta apakah materi khotbah/ceramah di mimbar masjid kota Solo berkontribusi terhadap munculnya radikalisme keagamaan?

Asumsi yang dapat diajukan adalah bahwa ceramah keagamaan di berbagai masjid dan majelis taklim di Solo lebih bersifat normatif, menekankan pada kesalehan individual, dan kurang mengedepankan isu-isu yang terkait dengan hidup bersama dalam pluralisme dan multikulturalisme (living together in pluralism and multiculturalism), sehingga kurang memberikan ruang toleransi terhadap bermacam-macam perbedaan, baik etnik, agama maupun subkultur.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: hasil penelitian ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan, terutama informasi yang terkait dengan muatan ceramah keagamaan Islam di Solo; dan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi upaya-upaya untuk meningkatkan toleransi, baik antarkomunitas Muslim maupun antara komunitas Muslim dan komunitas agama lain.

Isu tentang radikalisme, fundamentalisme keagamaan dan multikulturalisme masih menjadi tema penting sejak dekade 90-an hingga kini. Kajian-kajian seputar isu ini juga terus berkembang pesat. Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini. Studi mengenai hubungan pendidikan agama dan multikulturalisme dikemukakan dalam karya Baidhawy (2005).Karya ini mengungkapkan betapa pentingnya mengenali ideologi yang berperan di balik pendidikan agama. Sejauh ini ideologi yang bermain di belakang pendidikan agama meren-tang dari eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme dan multikulturalise.Sayangnya kebanyakan pendidikan agama yang berjalan di Indonesia lebih banyak diwarnai eksklusivisme, sehingga

berpengaruh terhadap lahirnya pandangan, sikap dan perilaku radikal di kalangan siswa-siswi.Sesuai dengan kebutuhan kini, pendidikan agama dipandang perlu menerapkan paradigma multikulturalisme.

Karya Nur Syam (2009) menganalisis tentang berbagai tantangan multikulturalisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Menurutnya, tantangan multikulturalisme bisa datang dari dua arah yang saling berlawanan: globalisme dan fundamentalisme. Globalisme cenderung merengkuh bangsa-bangsa dalam keseragaman, sementara fundamentalisme condong menarik bangsa-bangsa ke dalam parokialisme dan primordialisme. Yang pertama mendorong umat manusia lebur dalam identitas mondial yang tunggal, dan yang terakhir menarik diri dalam kungkungan identitas partikular.

Pandangan para pemuka agama mengenai multikulturalisme dan cara mengatasi fundamentalisme agama menjadi fokus studi Aulia (2009). Kajian ini memperlihatkan fakta bahwa sebagian pemuka agama masih asing dengan gagasan multikulturalisme, dan sebagian lain bahkan anti-multikulturalisme karena mereka memandangnya sebagai -isme yang datangnya dari Barat dan identik dengan pluralisme. Padahal paham pluralisme—bersama dengan paham sekularisme dan liberalisme—telah diharamkan oleh fatwa MUI pada Juli 2005. Namun optimisme masih ada dan datang dari para pemuka agama berhaluan moderat yang mayoritas berasal dari kalangan Muhammadiyah dan NU. Mereka inilah yang dapat diharapkan sebagai garda depan dalam gerakan counter-radicalism.

Bagaimana radikalisme keagamaan mesti diatasi, kajian Baidi (2010) dapat menjadi salah satu alternatif jawabannya. Menurut penulisnya, masyarakat Indonesia yang multikultural dan multireligi memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi keragaman itu merupakan berkah, dan dapat pula menjadi laknat di sisi lain. Karenanya, bangsa Indonesia perlu menggali dan mendorong nilai-nilai

Page 46: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

176

agama sebagai sumber dan pendekatan dalam mengatasi konflik sosial. Agama, Islam utamanya kaya dengan khazanah dan nilai kerukunan, toleransi dan penghargaan atas perbedaan dan keragaman. Semua itu merupakan modal sosial penting untuk membangkitkan kesadaran multikultural dalam bingkai persatuan NKRI.

Dukungan terhadap multikulturalisme dan bagaimana peran kelekatan, kebanggaan, dan komitmen terhadap kelompok agama (i.e. identitas keagamaan) merupakan pokok telaah dari studi Burhan (dkk, 2013). Kajian atas kelompok-kelompok keagamaan di Sumatera Utara ini menemukan rendahnya dukungan atas multikulturalisme. Orientasi mereka berpotensi mengarah pada hubungan konfliktual dan problematikal, yakni orientasi akulturasi asimilasi, segregasi, dan eksklusi. Mereka juga menunjukkan persepsi ancaman antarkelompok agama yang tinggi. Individu-individu yang memiliki identitas keagamaan yang tinggi cenderung untuk mempersepsikan kelompok lain sebagai ancaman.

Berbeda dari dan melengkapi kajian-kajian di atas, studi ini mencoba melihat intensitas muatan multikulturalisme dan anti-multikulturalisme dalam ceramah-ceramah keagamaan dan bagaimana ceramah-ceramah itu menjadi wahana sosialisasi atas paham-paham dan gerakan radikal yang berkembang di kota Solo.

Keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latarbelakang agama, etnik, bahasa, dan ras bukanlah fenomena khas Barat. Robert W. Hefner (1998: 6) menegaskan bahwa fenomena masyarakat dengan keragaman agama, etnik, bahasa, dan ras dalam sebuah negara atau kerajaan pernah terjadi di Kerajaan Mughal India, Usmani di Asia, dan Majapahit di Jawa. Dapat dikatakan bahwa multikulturalisme bukanlah fakta yang unik pada abad modern ini.

Konsep multikulturalisme kali pertama diwacanakan di Amerika dan negara-negara Eropa Barat oleh para cendekiawan, tidak lain untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya (Suparlan, 2002: 2-3).Dalam

konsep multikulturalisme dikandung mosaik yang mencakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil (microculture) yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar (macroculture) (Gollnick, 1983: 23).

Dalam wacana kontemporer, multikul-turalisme pada awalnya dipahami sebagai “istilah yang mengandung pengertian ras, gender, etnik, kelas, dan alternatif gaya hidup” (Aldridge, 2002). Gollnick (1983: 22-3) mendefinisikan multikulturalisme sebagai “keadaan di mana seseorang telah menguasai pengetahuan dan mengembangkan keterampilan (skill) yang diperlukan untuk merasakan bahagia dan berkomunikasi secara efektif: (1) kepada orang lain yang memiliki kebudayaan berbeda, dan (2) dalam berbagai situasi yang melibatkan kelompok orang dengan latar belakang kebudayaan yang beragam.” Konsep Gollnick memberi ruang kemungkinan untuk hidup bersama (living together) antarindividu yang berbeda-beda latar belakang etnik, budaya, dan agamanya.

Berkaitan dengan peluang untuk hidup bersama, Mahayana (2001) menegaskan kehadiran multikulturalisme bertumpu pada dua keyakinan bahwa: semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan hidup berdampingan; dan rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan melalui pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain. Ricci (2002) melengkapinya dengan unsur-unsur keragaman (diversity), kesetaraan (equality), dan penghargaan (respect). Senada dengan Ricci, Blum (2002: 19) menyebutkan tiga nilai: menegaskan identitas kultural seseorang; menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang (dan dari) kebudayaan-kebudayaan lain; serta menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri.

Dalam perspektif Islam, Sachedina (2001: 11) memetakan dimensi-dimensi sosial-politik dalam doktrin Islam dan praktiknya ke dalam tiga kelompok: nilai kesatuan kemanusiaan (the unity of humankind), kompetisi dalam kebaikan (competition in good works), dan seruan untuk

Page 47: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

177

memberikan maaf kepada orang lain (forgiveness toward humankind).

Hussain (2003: 253-58) mengemukakan bahwa Islam pertama kali hadir dan berkembang pada masyarakat yang sangat pluralistik dan politeistik. Baik di Mekkah maupun di Madinah, Islam merupakan tradisi keagamaan minoritas di tengah-tengah tradisi Kristen, Yahudi, dan Zoroaster. Bedanya, ketika di Mekkah Islam menempati posisi minoritas yang tertindas dan dimarginalkan, sementara ketika di Madinah, meskipun menempati posisi minoritas, Islam dapat hidup berdampingan secara damai dengan komunitas non-Muslim.

Di pihak lain, Lawrence (1999: 1) mencatat bahwa peradaban Islam dibentuk oleh beragam kebudayaan Arab, Persia, Turki, Bengal, Punjab, Sindhi, Maghribi (Afrika Utara), Afrika Barat, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Peradaban Islam yang melibatkan beragam kebudayaan tersebut, memberi ruang dan perhatian yang sama kepada orang-orang Muslim dan non-Muslim, meskipun orang-orang Muslim dalam posisi yang dominan.

Simpulan dari konsep multikulturalisme yang dikemukakan oleh Aldridge, Gollnick, Mahayana, Ricci, dan Blum di satu pihak, dan fakta tentang multikulturalisme dalam Islam oleh Sachedina, Hussain, dan Lawrence pada pihak yang lain, maka multikulturalisme adalah nilai-nilai uni-versal kemanusiaan yang mencakup (1) kesatuan kemanusiaan [unity of humankind], (2) kompetisi dalam kebaikan [competition in good works], (3) memberi maaf kepada orang lain [forgiveness to-ward humankind], (4) dialog atau ko-eksistensi dan pro-eksistensi, (5) kehidupan bersama [liv-ing together], (6) kesederajatan [equality atau egalitarianism], (7) saling memahami [mutual understanding], (8) saling menghargai [mutual respect], (9) kejujuran [trust], (10) berpikir positif (positive thinking], (11) toleran [tolerance], (12) rekonsiliasi [reconsiliation], (13) resolusi konflik [conflick resolution], (14) kedamaian [peace], (15) menghindari kekerasan [non violence], dan (16) kesejahteraan sosial [social justice].

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan di Kota Solo selama tahun 2013. Data-data diambil dari lapangan, di mana populasi penelitiannya mencakup seluruh masjid-masjid yang di dalamnya dirayakan dengan peristiwa-peristiwa keagamaan dan penyampaian ceramah keagamaan. Penentuan representasi populasi dilakukan melalui teknik stratified purposive sampling dengan mempertimbangkan tiga aspek, yaitu: variasi organisasi sosial-keagamaan; variasi lokasi dan ketersebarannya; dan variasi cakupan geografis dari gerakan (lokal, nasional, regional, internasional). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi non-partisipan, wawancara, dan dokumentasi.

Masjid yang dipilih yaitu masjid yang memiliki jamaah dengan kegiatan pengajian berbentuk ceramah atau mimbar. Dari hasil pengamatan lapangan peneliti menemukan 10 masjid yaitu: Al-Riyadhah, Al-Mufassir, Al-Jami’, Al-Ishlah, Al-Muslim, Al-Kabir, Al-Maghrib, Al-Ashalah, Al-Sunnah, dan Al-Qaim. Jamaah-jamaah pengajian tersebut tersebar di berbagai lokasi di Kota Solo, dan mewakili variasi kelembagaan dan corak keislaman. Secara kategoris 10 jamaah di atas dapat dibagi ke dalam empat kelompok: Pertama, jamaah dengan anggota kecil (kurang dari 40 orang) yang terdiri dari orang-orang dewasa dan lanjut usia. Kedua, jamaah pengajian yang memiliki jumlah peserta lebih besar (mencapai ratusan) dan sebagian di antaranya adalah kaum muda. Ketiga, jamaah yang relatif homogen dan monokultural karena hampir semua anggota jamaah ini berasal dari etnik Jawa dan mengikuti ceramah dari narasumber yang memiliki corak keagamaan sama, yaitu ”Islam salafi”. Keempat, jamaah pengajian yang berasal dari latar belakang yang beraneka ragam, baik dalam arti etnik, tingkat sosial-ekonomi, organisasi sosial keagamaan, maupun partai politik, sehingga relatif lebih cair dan multikultural.

Data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan content analysis. Analisis isi di

Page 48: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

178

sini digunakan untuk menelaah lingkup materi khotbah agama dan ceramah di masjid-masjid yang berbeda di Solo, dan mengidentifikasi aspek-aspek multikultural dan anti-multikultural yang disampaikan dalam khotbah dan ceramah.Analisis isi juga berupaya mengungkap hiddenmeaning dari suatu artikulasi bahasa dalam memproyeksikan atau merepresentasikan realitas yang dipahami dan ditampilkan secara subjektif oleh penceramah keagamaan.

Secara fokus penelitian ini hanya membahas corak masjid “Islam Salafi”. Pertimbangan pengambilan fokus yaitu masjid dengan corak Iislam Salafi” memiliki potensi besar dalam penyebaran multikulturaslisme atau anti-multikutural. Sehingga dengan memfokusan pada masjid “Islam Salafi” permasalahan penelitian akan dapat dengan mudah terjawab. Namun demikian corak masjid yang lain tetap kami singung sebatas sebagai data pendamping untuk melengkapi, atau pempertegas hasil dari penelitian ini.

hasil dan PeMbahasan

Kecenderungan Puritanisme di Mimbar Masjid Kota Solo

Di antara sepuluh jamaah masjid sebagaimana disebutkan dalam metode penelitian, ada empat jamaah masjid yang sangat menonjol karakteristik Salafinya yaitu: Al-Ishlah, Al-Jami, Al-Mufassir, Al-Ashalah. Kempat jamaah masjid memiliki kesamaan misi, yaitu mengajarkan Islam berdasarkan kemurnian tauhid dan puritanisme kaku. Jaringan di antara mereka dibentuk oleh jamaah-jamaah masjid tersebut, terutama jamaah lokal, yang tidak bersifat struktural tetapi koordinatif, terutama melalui tokoh-tokoh yang sekaligus narasumber di beberapa jamaah pengajian lainnya. Sekurang-kurangnya terdapat empat faktor yang mempertemukan keempat jamaah tersebut.

Pertama, keempat jamaah tersebut memiliki corak keagamaan yang dalam dokumen Al-Ishlah disebut dengan ”Islam Salafi”. Ustaz Mu’allim sebagai salah satu tokoh penting dalam jaringan

keempat jamaah tersebut selalu menghindari sebutan-sebutan yang menunjukkan kategorisasi. Ia menyebutnya dengan istilah ”Dien al-Islam” atau ”Al-Islam saja”. Menurut tokoh ini, Islam yang diberi kata sifat tertentu bukanlah Islam yang sebenarnya. Jamaah pengajian Salafi ini kebanyakan muncul pada era Orde Baru dan era Reformasi. Kecenderungan mereka tampak mengulangi gerakan puritan yang pernah dilakukan oleh Muhammadiyah pada paruh pertama abad ke-20. Namun sifat puritan mereka melampaui apa yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah memang melakukan ”purifikasi keimanan”, sebagaimana ditunjukkan oleh Peacock (1978), namun moderat dalam pendekatan terhadap sasaran dakwah. Apa yang ditunjukkan oleh empat jamaah ini bukan sekadar melakukan pelabelan dengan TBC (takhayul, bid’ah dan churafat), bahkan sebagian di antara mereka melakukannya dengan kekerasan.

Paham keagamaan ”puritan berlebih” semacam itu tentu saja menunjukkan nilai-nilai anti-multikultural. Karena mereka tidak dapat menunjukkan sikap penghormatan dan penghargaan atas kelompok-kelompok lain dan berbeda. Bahkan pada satu titik mereka telah melakukan ”kekerasan” baik yang bersifat verbal (berupa caci maki, pelabelan yang cenderung menyerang) maupun fisik (seperti pembubaran pengajian komunitas lain).

Kedua, keempat jamaah masjid tersebut memiliki orientasi politik ”Ukhuwwah Islam-iyyah” (persaudaraan Islam) yang bertujuan untuk mempersatukan umat Islam dalam arti politik dan kekuasaan. Secara ideologis, keempat jamaah pengajian tersebut mempunyai hubungan dengan jamaah Al-Muslim awal yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan pada masa sebelum kemerdekaan RI, yang diilhami oleh gerakan Pan-Islamisme di Arab Saudi pada awal abad ke-20. Orientasi semacam ini terkait dengan karakteristik yang pertama, puritanisme berlebih. Paham tauhid jamaah ini agak menyerupai tauhid hakimiah, seperti yang pernah ditunjukkan dalam

Page 49: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

179

ajaran NII Kartosuwiryo. Maka wajar bila ada kecenderungan di kalangan jamaahnya pada cita-cita menegakkan syariah Islam dalam konteks politik. Inilah yang membawa mereka juga pada harapan akan lahirnya ”pan-Islamisme” baru seperti yang pernah digaungkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Hizbut Tahrir.

Ketiga, tokoh-tokoh penting dalam keempat jamah masjid tersebut memiliki tradisi pembelajaran yang sama, yaitu tradisi tafsir. Sebagian besar rujukan yang digunakan oleh para penceramah di empat jamaah pengajian tersebut berupa kitab-kitab tafsir (semacam Tafsir al-Qurtuby, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Abbas, Tafsir al-Manar, Tafsir Al-Maraghi, dan Tafsir Sayyid Qutub FiDhilal al Quran) dan kitab-kitab hadis, terutama kutub al-sittah (Shahih Bukhary, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmizy, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah), di samping kitab-kitab hadis tentang fikih, semacam Bulughul Maram, Nailul Author, dan Ibanatul Ahkam.

Keempat, jamaah-jamaah pengajian tersebut memiliki misi yang sama, yaitu memurnikan ajaran Islam. Sasaran utama jamaah pengajian ini adalah masyarakat Muslim sendiri yang selama ini dianggap telah tercemari oleh unsur-unsur yang berasal dari luar Islam. Dalam konteks ini, mereka ingin agar umat Islam bersih dari anasir animisme, dinamisme, agama-agama dan kepercayaan lain yang berkembang dalam budaya lokal Jawa. Karena itu, mereka sering melontarkan kritikan tajam pada paham ”Islam Kejawen” dan sinkretisme. Budaya Jawa yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Solo menjadi sasaran utama ceramah-ceramah mereka. Dengan demikian, karakteristik hatred speech atas budaya lokal/budaya Jawa cukup me-warnai dalam syiar keagamaan jamaah mereka.

Ceramah keagamaan pada dasarnya merupakan suatu proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang memberikan kontribusi pada konstruksi corak keagamaan masyarakat. Oleh karena itu, identifikasi kecenderungan muatan ceramah keagamaan

ini dapat membantu menjelaskan sejumlah fenomena yang ditengarai sebagai radikalisasi masyarakat.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa kemurnian ajaran Islam, merupakan persoalan utama yang mendasari misi kelembagaan sebagian besar jamaah pengajian. Penekanan ini tak bisa dilepaskan dari konteks lebih luas dialektika Islam dan budaya Jawa. Komunitas Muslim berada di titik pusat tarik-menarik antara Islam dan budaya Jawa. Oleh karena itu, praktik-praktik yang mengandung simbol budaya Jawa, semacam ritus perjalanan hidup (sejak pra-kelahiran hingga pasca kematian [rites de passage]), yang masih menjadi bagian penting dari kehidupan sebagian masyarakat, merupakan sasaran penting dakwah bagi sebagian besar jamaah pengajian.

Fakta lain yang mendukung kecenderungan puritanisme itu adalah jaringan penceramah dan khatib. Para penceramah dan khatib dari masjid Al-Mufassir, Al-Ishlah, Al-Jami’, dan Al-Ashalah membuka diri untuk memberikan ceramah dan khutbah di masjid-masjid yang tersebar di kota Solo, termasuk di masjid Al-Maghrib, Al-Riyadhah, Al-Muslim, Al-Sunnah dan Al-Qaim. Para penceramah mereka bahkan berinisiatif untuk mengisi ceramah di masjid manapun. Mereka menawarkan diri kepada para takmir masjid lain untuk agar mereka dapat berceramah dan khutbah di masjid-masjid yang mereka kelola. Sementara itu, Al-Kabir kurang memberikan tempat kepada para penceramah tersebut karena alasan penentangan mereka terhadap tradisi-tradisi yang diuri-uri oleh masjid ini di bawah dukungan Keraton. Pada saat yang sama, masjid Al-Mufassir, Al-Ishlah, Al-Jami’, Al-Ashalah melakukan seleksi sangat ketat terhadap para penceramah dari luar kelompok mereka. Hanya penceramah yang segaris dengan ideologi mereka yang dapat menjadi penceramah dan khatib di tempat-tempat ini.

Tumbuh dan berkembangnya jamaah Al-Mufassir, Al-Ishlah, Al-Jami’, Al-Ashalah, dan sampai pada tingkat tertentu Al-Maghrib

Page 50: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

180

merupakan manifestasi ”perceraian” atau setidak-tidaknya penarikan jarak antara Islam dan budaya Jawa. Oleh karena itu, beberapa tradisi budaya Jawa, termasuk beberapa praktik yang diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan di masjid Al-Kabir, merupakan persoalan-persoalan yang menjadi topik di jamaah-jamaah masjid ini. Al-Kabir karena sangat erat hubungannya dengan keraton, masjid ini menjadi salah satu pusat pewarisan dan pelestarian praktik-praktik tradisi dan kebiasaan-kebiasaan Jawa, seperti gerebeg maulud, gerebeg besar, malam selikuran, dan sebagainya yang merepresentasikan kukuhnya pengaruh budaya Jawa dalam ritual keagamaan yang terkait dengan Islam.

Salah satu faktor yang memberikan kontribusi pada persepsi negatif dan sikap negatif Islam terhadap budaya Jawa ini adalah karena sebagian kesenian Jawa digunakan sebagai propaganda paham komunisme dan diadopsi oleh Gereja dan lembaga-lembaga pendidikan Kristen sebagai media penyebaran agama, sehingga berbagai jamaah masjid menempatkan budaya Jawa sebagai kekuatan yang dapat mengancam ajaran Islam, sebagaimana halnya komunisme dan Kristenisasi.

Hanya jamaah Al-Kabir yang menerima dialog antara Islam dan budaya Jawa. Hingga saat ini, Al-Kabir dikelola bersama oleh Departemen Agama, MUI, dan Pangageng Parentah Keraton Kasunanan. Pengurus dan narasumber di Al-Kabir lebih didominasi oleh orang-orang tradisionalis. Kaum puritan, apalagi kaum salafi, kurang berpengaruh di sini. Ceramah-ceramah agama dan khutbah di sini lebih banyak didominasi corak keagamaan pengurus dan narasumber didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pro tradisi karena Keraton Kasunanan sendiri, yang secara historis merupakan pemilik masjid Al-Kabir, juga menyadari keberadaan lembaga-lembaga Islam yang berseberangan dengan tradisinya. Ini mendorongKeraton Kasunanan dan masjid Al-Kabir selama ini sangat menunjukkan preferensi tradisionalis daripada organisasi-organisasi Islam lainnya.

Hal ini menyiratkan adanya ”potensi perebutan kekuasaan” dalam jamaah Al-Kabir, yang cepat atau lambat akan ”meletus” baik secara ramai ataupun diam-diam. Al-Kabir merupakan wilayah strategis dan menjadi titik pusat kontestasi antara Islam modernis, Islam tradisional, Keraton Kasunanan, dan pemerintah. Penguasaan atas Al-Kabir bisa menjadi simbol penting dominasi yang satu atas lainnya.

Kontestasi di muka dapat dimaknai dari dua sisi. Sejalan dengan tesis Sachedina (2001), perebutan pengaruh merupakan cermin kelaziman dari ”pluralisme demokratis”. Dalam arena ini, tampak bahwa paham-paham keagamaan yang ada memiliki ruang dan peluang yang sama untuk hidup dan berkembang. Konteks ini membuka kemungkinan pola negosiasi dan kompromi, sehingga secara ideal maupun praktik multikultural akan muncul ”ruang bersama” untuk berkomunikasi, sebagaimana analisis Gollnick (1983). Pada saat yang sama, kontestasi ini juga bisa mengarah pada terjadinya kompetisi dalam hal-hal kebaikan, sebagaimana ditegaskan oleh Sachedina. Kemungkinan untuk terjadinya hibridasi juga sangat terbuka di sini. Namun di sisi lain, boleh jadi kontestasi itu mendorong kelompok-kelompok keagamaan itu menarik diri dari relasi dan komunikasi multikultural dengan ”orang luar”. Tentu saja ini berpotensi mengukuhkan sikap dan perilaku anti-multikultural karena mereka menciptakan segregasi dari kelompok lainnya.

Kontestasi Radikal dalam Mimbar Masjid Kelompok “Salafi”

Tema-tema ceramah keagamaan dalam jamaah-jamaah masjid secara garis besar dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu: kesalehan individual, kesalehan sosial, nilai-nilai multikulturalisme internal (Muslim), nilai-nilai multikulturalisme eksternal, serta nilai-nilai anti-multikulturalisme dan stigma kepada orang lain, dan isu terorisme.

Tema-tema ceramah di berbagai jamaah pengajian lebih menekankan pada kesalehan

Page 51: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

181

individu, dan kesalehan sosial utamanya dalam konteks hubungan sesama Muslim (hubungan intraagama). Persoalan-persoalan mengenai interaksi dengan pihak lain, terutama non-Muslim (hubungan antaragama), kurang mendapatkan perhatian cukup, sehingga materi ceramah yang terkait dengan nilai-nilai multikulturalisme sangat sedikit dibandingkan dengan kesalehan, baik yang terkait dengan akhlak, fikih ibadah maupun tauhid.

Kecenderungan ini menunjukkan bahwa umumnya jamaah masjid/pengajian secara sosial baru berada pada tahapan “koeksistensi” minimal. Mereka memang hidup bersama dengan “orang lain agama”, tetapi sikap dan perilaku mereka masih “ignorance”, masa bodoh atas kehadiran orang lain agama tersebut. “Hidup bersama” semacam ini, meminjam analisis Aldridge, berarti masih memaknai multikulturalisme dalam definisi paling sederhana sebagai tatanan yang terdiri dari ragama etnik, budaya dan agama. Bahkan kondisi ini bisa disebut sebagai anti-multikultural karena mereka tidak menyapa dan bergaul dengan dan dalam keragaman masyarakat itu sendiri.

Nilai multikulturalisme yang banyak muncul adalah saling menghargai dan saling memahami. Variasi nilai multikulturalisme terbanyak ditemukan di jamaah pengajian Al-Riyadhah, yang mencakup nilai kesatuan umat manusia, berlomba dalam kebaikan, kehidupan bersama, saling memahami, saling menghargai, saling percaya, berpikir positif, toleransi, perdamaian nirkekerasan, dan keadilan sosial. Nilai kesederajatan, saling memahami, saling menghargai, toleransi, perdamaian, dan nir-kekerasan ditemukan dalam jamaah Al-Mufassir. Nilai memberi maaf pada orang lain, saling memahami, saling menghargai, toleransi, rekonsiliasi, perdamaian, dan nir-kekerasan ditemukan dalam jamaah Al-Kabir. Nilai kehidupan bersama, kesederajatan, saling memahami, saling menghargai, kejujuran, berfikir positif, dan toleransi ditemukan dalam jamaah Al-Maghrib. Nilai kesatuan

umat manusia, berlomba dalam kebaikan, dan kehidupan bersama ditemukan dalam jamaah Al-Sunnah. Nilai kehidupan bersama, saling menghargai, dan toleransi ditemukan dalam jamaah Al-Ashalah. Nilai saling memahami dan saling menghargai ditemukan dalam jamaah Al-Jami’. Nilai perdamaian dan nirkekerasan ditemukan dalam jamaah Al-Muslim.

Sebagian nilai-nilai yang disampaikan dalam berbagai jamaah pengajian, terutama Al-Riyadhah, Al-Maghrib, dan Al-Sunnah adalah nilai-nilai multikulturalisme yang melibatkan komunitas non-Muslim (lintas agama); yang disampaikan dalam jamaah pengajian Al-Mufassir dan Al-Jami’ merupakan nilai-nilai multikulturalisme internal masyarakat Muslim, sedangkan nilai-nilai multikulturalisme yang disampaikan di jamaah pengajian Al-Kabir mencakup kedua-duanya, baik hubungan komunitas Muslim dan non-Muslim, maupun di antara komunitas Muslim sendiri.

Pada skala tertentu, multikulturalisme eksternal dan internal tampak dalam jamaah Al-Riyadhah, Al-Maghrib, Al-Sunnah, dan al-Sunnah. Tiga jamaah pertama sesungguhnya memiliki latar belakang sebagai organisasi sosial-keagamaan yang gencar menghadapi tantangan Kristenisasi. Namun demikian, mereka juga jamaah yang rasional dalam pergaulan sosial. Mereka juga terbiasa menjadikan tantangan Kristenisasi sebagai peluang untuk mengembangkan kerja-kerja nyata di bidang pendidikan, kesehatan dan layanan sosial. Karena itu, mereka terbiasa untuk tetap dapat hidup berdampingan, dan saling menghargai satu sama lain, dan bahkan siap berkompetisi dalam dakwah dan syiar keagamaan. Jamaah yang terakhir, Al-Kabir, menunjukkan sikap yang sangat terbuka terhadap multikulturalisme internal maupun eksternal, mengingat jamaah ini berada di bawah lingkungan Keraton Kasunanan dan Pasar Klewer. Akses untuk kehadiran berbagai orang dengan segala kepentingan bisa dijumpai dalam jamaah yang sangat cair ini. Empat jamaah pengajian ini benar-benar representasi dari sikap dan perilaku multikultural

Page 52: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

182

sebagaimana ditegaskan oleh Sachedina (2001), Gollnick (1983) dan Mahayana (2001).

Di samping nilai-nilai multikulturalisme, ceramah di berbagai jamaah pengajian juga menyampaikan nilai-nilai anti-multikulturalisme, semacam klaim kebenaran (hanya Islam yang benar atau hanya mazhab/golongannya yang benar), prasangka dan stereotip (pandangan negatif tentang pihak lain, terutama Yahudi dan Nasrani, serta kelompok Muslim yang tidak sealiran), stigma dan penghakiman (pelabelan bahwa pihak lain itu negatif dan salah atau buruk), eksklusivisme (anjuran untuk tidak berhubungan dengan pihak lain), arogansi kelompok (bahwa kelompoknya lebih unggul daripada kelompok lain), pembelaan terhadap aksi kekerasan (ungkapan simpati terhadap tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang dianggap baik atau benar), dan pembelaan terhadap aksi melanggar hukum (ungkapan simpati pada tindakan pelanggaran hukum negara yang telah dilakukan oleh orang-orang yang dianggap baik atau benar).

Nilai-nilai anti-multikulturalisme yang ditemukan di jamaah Al-Jami’ meliputi klaim kebenaran, prasangka, stigma dan penghakiman, berpikir negatif, pembelaan atas tindak kekerasan, dan pembelaan atas pelanggaran hukum. Nilai-nilai yang ditemukan di jamaah Al-Kabir mencakup klaim kebenaran, prasangka, stigma, eksklusivisme, dan pembelaan atas tindak kekerasan. Nilai-nilai yang ditemukan di jamaah Al-Mufassir meliputi klaim kebenaran, prasangka, stigma dan penghakiman, serta arogansi kelompok). Nilai-nilai yang ditemukan di jamaah Al-Ishlah meliputi klaim kebenaran, prasangka dan stereotip, stigma, dan berpikiran negatif.

Adapun Al-Qaim dan Al-Ishlah sama sekali tidak memunculkan nilai-nilai multikulturalisme. Namun demikian, dalam kaitannya dengan relasi Muslim-non-Muslim, kedua jamaah pengajian ini sangat berbeda. Al-Qaim tidak menyampaikan nilai-nilai multikulturalisme karena memang tidak membahas hubungan antara komunitas

Muslim dan non-Muslim; sedangkan Al-Ishlah membahas relasi Muslim-non-Muslim tetapi yang dimunculkan adalah nilai-nilai anti-multikulturalisme.

Klaim kebenaran muncul di sebagian besar jamaah pengajian, yaitu: Al-Riyadhah, Al-Mufassir, Al-Jami’, Al-Ishlah, Al-Kabir, dan Al-Ashalah. Prasangka dan stereotip juga muncul di sebagian besar jamaah kecuali Al-Riyadhah, Al-Muslim, Al-Maghrib, dan Al-Qa’im. Adapun stigma dan penghakiman muncul di jamaah Al-Mufassir, Al-Jami’, Al-Kabir, dan Al-Ashalah; eksklusivisme muncul di jamaah Al-Ishlah dan Al-Kabir; berpikiran negatif muncul di jamaah Al-Jami’ dan Al-Ashalah; arogansi kelompok muncul di Al-Mufassir dan Al-Maghrib; pembelaan terhadap tindak kekerasan muncul di Al-Jami’ dan Al-Kabir; dan pembelaan terhadap tindakan melanggar hukum muncul di Al-Jami’.

Setelah keluarnya fatwa MUI tentang larangan paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme pada bulan Juli 2005, hampir semua ceramah keagamaan mengecam kelompok-kelompok yang mengusung paham tersebut dengan sebutan ‘sipilis’. Jaringan Islam Liberal (JIL) dihujat di mana-mana.

Hatred speeches atau ceramah mengandung pesan kebencian tampaknya cukup menonjol di beberapa jamaah pengajian. Ini menengarai bahwa kebebasan berbicara sebagai akibat dari reformasi pasca 1998, telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menegaskan identitas keagamaan mereka di atas permukaan dan bahkan berhadap-hadapan dengan kelompok lain dan kelompok lain agama. Multikulturalisme yang pada hakikinya merupakan mosaik yang mencerminkan keanekaragaman menurut Gollnick (1983), justru membuat mereka makin eksklusif dan anti-multikultural. Jamaah-jamaah yang eksklusif ini menjelma sebagai microculture yang terpisah dari kebudayaan makronya, karena mereka mempersepsi diri sebagai kelompok yang terkepung. Meminjam analisis Hussain, mereka ”merasa” menjadi minoritas yang tertindas dan termarjinalkan. Mentalitas tekepung inilah yang

Page 53: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

183

menjerumuskan mereka ke dalam ”mangkuk kalis” yang memisahkan microculture dari macrocultureseperti minyak dan air yang enggan berbaur. Bahkan dalam tingkatan tertentu, menurut bahasa Ricci (2002) dan Blum (2002), mereka tidak senang dengan perbedaan dan keragaman kebudayaan masyarakatnya.

Pemetaan kandungan isi ceramah keagamaan di atas menyiratkan terjadinya dinamika relasi sosial masyarakat, baik antarkomunitas Muslim maupun antara komunitas Muslim dan non-Muslim, yang menunjukkan kontinuitas dan perubahan. Pertama, di kalangan sebagian masyarakat Muslim terjadi suatu proses ”radikalisasi” keagamaan melalui bentuk-bentuk klaim kebenaran (self-righteousness) yang kurang memberikan apresiasi pada keanekaragaman dan praktik hidup berdampingan. Klaim ini muncul terutama pada waktu pembahasan tentang ajaran Islam dikaitkan dengan ajaran agama lain dan nilai-nilai tertentu yang dianggap berasal dari sumber-sumber non-Islam, terutama budaya Jawa. Klaim ini menyebabkan dialektika antara Islam dan budaya Jawa menjadi kurang selaras. Sikap positif terhadap budaya Jawa hanya ditemukan di jamaah pengajian Al-Kabir. Budaya Jawa tidak menjadi rujukan nilai bahkan menjadi sasaran kritik dan kambing hitam terhadap ketidakmurnian ajaran Islam. Proses ini dapat menjelaskan alasan kelangkaan bentuk-bentuk kerjasama antara lembaga-lembaga keagamaan Islam dan lembaga-lembaga kebudayaan Jawa.

Kedua, sebagian masyarakat Muslim mengalami proses radikalisasi menuju ”Islam Salafi” yang dianggap sebagai konsep ajaran Islam yang murni dan ideal. Radikalisasi ini dipelopori oleh jamaah pengajian yang secara historis relatif baru (lahir sesudah tahun 1970), semacam Al-Jami’, Al-Mufassir, dan Al-Ashalah. Radikalisasi ini menyiratkan perkembangan tahap lanjut dari gerakan purifikasi yang mulai berlangsung sejak awal abad keduapuluh, seiring dengan kelahiran Muhammadiyah yang kemudian diikuti oleh sejumlah organisasi lain. Kemunculan organisasi-organisasi baru ini bukan semata-mata suatu

kelatahan, melainkan merupakan respon terhadap Muhammadiyah yang dianggap lamban atau kurang tegas dalam sejumlah persoalan tertentu, seperti yang ditunjukkan oleh Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) dan Tarbiyah.

Ketiga, terdapat kecenderungan untuk mengidentifikasi Islam sebagai kekuatan politik yang dapat dimobilisasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Kekuatan politik ini tidak dipahami dalam pengertian partai politik atau kekuasaan dalam pemerintahan, tetapi sebagai kekuatan tawar-menawar (bargaining power) atau kelompok penekan (pressure group) terhadap kekuatan-kekuatan kelompok lain, sebagaimana tercermin melalui peran yang dimainkan oleh Front Pembela Islam Solo (FPIS) dalam kebijakan pemerintah Kota terhadap tempat-tempat hiburan selama bulan puasa, aksi sweeping warga Amerika di sejumlah hotel di Solo sebagai protes terhadap invasi Amerika terhadap Irak, dan aksi penutupan Radio PTPN sebagai protes terhadap Pendeta Wilson yang dianggap menghina Islam, dan sebagainya.

Dengan demikian, bagi sebagian komunitas Muslim Solo, orientasi menuju Islam Salafi merupakan suatu kebutuhan penegasan identitas. Penegasan identitas ini diperlukan bukan hanya dalam kaitannya dengan relasi Muslim dan non-Muslim, atau Islam dan budaya Jawa, melainkan juga dalam kaitannya dengan kekuatan-kekuatan global asing.

Menyempitnya Ruang Multikulturalisme Penyebab Munculnya Radikalisme

Orientasi keagamaan jamaah pengajian secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu orientasi umum dan orientasi khusus. Yang dimaksud dengan orientasi umum adalah karakteristik-karakteristik yang menjadi ke-cenderungan semua organisasi jamaah pe-ngajian: yakni beorientasi pada pengajaran dan pengamalan ajaran Islam dalam praktik kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun kelompok; sebagian besar materi ceramah bersifat umum (tanpa gradasi atau

Page 54: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

184

spesifikasi) dan; berorientasi pada dakwah amar ma’ruf nahi munkar kepada sesama Muslim, bukan non-Muslim; dan tidak memiliki khalayak sasaran dakwah secara khusus, semacam pengajian khusus untuk anak-anak, remaja, kaum muallaf, kelompok pendakwah, atau khalayak sasaran khusus lainnya.

Orientasi khusus jamaah pengajian dapat dikelompokkan menjadi empat kategori: Pertama, memfasilitasi pembelajaran agama, menyediakan kesempatan kepada masyarakat Muslim untuk be-lajar agama Islam dengan cara menyediakan sum-ber belajar seperti (kiai/ustaz, kitab, dan tempat (seperti jamaah Al-Riyadhah, Al-Qaim, Al-Sunnah, dan Al-Muslim). Kedua, membangun keselarasan antara ajaran Islam dan kebudayaan Jawa, yang hanya dijumpai dalam jamaah Al-Kabir. Ketiga, memurnikan ajaran Islam, membersihkan dari unsur-unsur non-Islam, baik yang berasal dari keyakinan dalam agama-agama sebelum Islam (Hindu, Buddha, animisme dan dinamisme), mau-pun praktik-praktik tradisi dalam budaya Jawa (seperti jamaah Al-Mufassir, Al-Jami’, Al-Ishlah, dan Al-Maghrib). Keempat, meluruskan pemaha-man Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dan budaya Jawa (jamaah Al-Ashalah), yaitu mengembalikan hal-hal yang tidak sesuai kepada ajaran Islam yang benar. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa ali-ran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, sampai pada tingkat tertentu sudah menyimpang dari ajaran Is-lam sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulull-ah dan para sahabat (Salaf al-Shalih). Salah satu faktor yang memberikan kontribusi pada penyim-pangan tersebut adalah budaya Jawa yang berakar pada agama-agama sebelum Islam (Hindu, Bud-dha, animisme dan dinamisme).

Uraian di atas menunjukkan bahwa kontestasi antara Islam dan budaya Jawa masih terus berlangsung dan mengarah pada pola ”konflik” yang lebih eksplisit. Pada awal abad keduapuluh, seiring lahirnya Muhammadiyah, dialektika Islam dan budaya Jawa mulai mengambil bentuk ”konflik”, terutama pada waktu Muhammadiyah menyatakan ”perang” melawan ”takhayul, bid’ah, dan khurafat”. Langkah ini kemudian

diikuti oleh beberapa organisasi lain yang lahir sesudahnya, semacam Al-Ishlah dan Al-Mufassir, serta metamorfosis Al-Jami’ setelah tahun 1970-an di bawah pimpinan ustaz Mu’allim.

Budaya Jawa yang secara historis memiliki kelenturan luar biasa dalam menaturalisasikan unsur-unsur dari luar, termasuk dari Islam, kini mulai tampak kelelahan pada waktu berhadapan dengan kekuatan Islam modernis yang berorientasi purifikasi. Di satu sisi, Islam modernis menjadi semakin kuat, terutama karena didukung oleh berbagai sekolah dan majelis taklim yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi Islam modernis (Peacock, 1978). Di sisi lain, Keraton tidak mempunyai cukup energi untuk mempertahankan keselarasan Islam dan budaya Jawa, sementara lembaga-lembaga pengembangan budaya Jawa lainnya mulai kehilangan peminat seiring dengan gelombang modernisasi yang menekankan pada nilai-nilai rasionalitas dan pragmatisme.

Pondok pesantren Al-Muslim, yang secara historis mempunyai hubungan erat dengan Keraton Kasunanan dan lembaga pendidikan Mambaul ’Ulum, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi pada budaya Jawa, sempat mengalami metamorfosis menjadi organisasi ideologis, dan kemudian pecah. Salah satu faksinya kini menjadi Al-Muslim perguruan yang berorientasi pada pendidikan.

Jamaah pengajian Al-Ashalah juga mengklaim bahwa Islam adalah ”Al-Islam”, sebagaimana yang diajarkan dalam jamaah pengajian ini. Bentuk-bentuk lainnya, yang diberi embel-embel (Islam liberal, Islam sekular, Islam progresif, Islam moderat, dan lain-lain) adalah Islam palsu.

Ceramah-ceramah terkait dengan Islam liberal, Islam sekular, Islam progresif, dan Islam moderat menunjukkan sarkasme para dai terhadap isu-isu tersebut. Gayung bersambut atas fatwa MUI tentang paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme, mereka memandang paham-paham itu adalah sesat dan menyesatkan. Mereka sering menyingkatnya dengan ”sipilis”.

Page 55: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

185

Menurut mereka, macam-macam Islam di atas merupakan refleksi ketidakberdayaan Islam atas imperialisme budaya Barat. Retorika mereka selalu mengkaitkan paham-paham Islam di muka dengan kepentingan ideologi Barat. Baratlah yang berada di balik semua pemikiran dan gerakan tersebut. Mereka sering melaknat Amerika, Australia dan Israel sebagai dalang dalam melemahkan akidah kaum Muslimin. Islam Liberal dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dituduh sebagai corong Liberalisme Barat. Pemahaman mereka ini sejalan dengan pandangan Leonard Binder (1988), bahwa kaum liberal di kalangan tokoh dan intelektual Muslim pada hakikatnya menjadi media bagi diseminasi ide-ide mengenai sekularisme dan liberalisme di dunia Islam.

Bersamaan dengan isu ”sipilis”, para penceramah juga mendiskreditkan Barat berhubungan dengan masalah ”Islam dan Terorisme”. Amerika Serikat dan Australia menjadi ”bulan-bulanan” retorika mereka. Skenario Amerika dan Australia, menurut mereka, hanyalah bualan dan pantulan dari Islamophobia atas Islam dan kaum Muslim. Perang Amerika dan Australia atas terorisme sesungguhnya, dalam pandangan jamaah, merupaka sikap paranoid yang tak beralasan. Perang atas terorisme juga, menurut mereka, lebih menyajikan ”Perang Salib” dalam kemasan baru.

Sementara itu, orientasi pemurnian ajaran Islam berkembang semakin meluas dan menjadi isu penting di berbagai jamaah pengajian, terutama yang mempunyai jumlah besar anggota, semacam Al-Mufassir, Al-Jami’, dan Al-Ashalah, atau jamaah pengajian yang menjadi bagian dari organisasi yang memiliki struktur hingga tingkat nasional, semacam Al-Ishlah dan Al-Maghrib. Orientasi purifikasi ini semakin mengkristal dan mulai menjelma dalam bentuknya yang lebih radikal berupa Islam Salafi melalui kredo ”Salaf al-Shalih”, sebagaimana tercermin dalam munculnya Al-Ashalah.

Popularitas jamaah pengajian yang ber-orientasi purifikasi menunjukkan kecende-rungan keseragaman corak keislaman di

kalangan masyarakat Muslim, yang di masa-masa mendatang memungkinkan terjadinya ideal bersama, sehingga perbedaan-perbedaan antarkomunitas Muslim, yang sering menjadi penghalang dalam upaya-upaya mempersatukan umat Islam, secara relatif menjadi semakin berkurang. Selain itu, masuknya agenda meluruskan budaya Jawa dalam misi purifikasi jamaah pengajian Al-Ashalah merupakan bentuk penegasan posisi berseberangan jamaah pengajian ini terhadap budaya Jawa dan sekaligus lembaga-lembaga yang mengembangkan budaya Jawa.

Fenomena-fenomena tersebut menyiratkan bahwa pada saat perbedaan antarkomunitas Muslim semakin kecil dan jarak antara corak keislaman masyarakat dan budaya Jawa semakin lebar, pada saat itu ruang multikulturalisme semakin menyempit. Bila tidak diciptakan mekanisme-mekanisme tertentu yang memung-kinkan terjadinya dialog antarkomunitas, sempitnya ruang multikulturalisme akan memperbesar potensi konflik antarkelompok, baik Muslim dan non-Muslim, maupun antara Muslim modernis dan Muslim tradisional.

PenutuP

Di samping kurangnya nilai-nilai multi-kulturalisme dalam ceramah keagamaan di berbagai jamaah pengajian, terdapat materi ceramah yang dapat dikategorikan sebagai anti-multikulturalisme, semacam klaim kebenaran (self-righteousness), prasangka dan stereotip tentang kelompok masyarakat lain, terutama dalam konteks hubungan dengan non-Muslim dan negara-negara Barat, terutama Amerika dan Australia. Non-Muslim sering disejajarkan Kafir, Musyrik, Yahudi, dan Nasrani. Selain itu, negara-negara Barat, khususnya Amerika, hampir selalu diidentikkan dengan label-label tersebut.

Materi ceramah keagamaan menyiratkan ada-nya peningkatan intensitas gerakan pemurnian ajaran Islam. Gerakan pemurnian akidah Islam mengalami intensitas yang lebih tinggi pada paruh akhir abad keduapuluh, yang kemudian mengalami kristalisasi dengan dipopulerkannya

Page 56: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

186

ideal “Salaf al-Shalih”. Di sini pula dijumpai semacam proses ”pengarusutamaan Salafi” melalui berbagai ceramah keagamaan – dengan basis empat jamaah pengajian – dan penyebaran para penceramah mereka ke banyak jamaah pengajian lainnya. Dengan cara ini, ideologi Salafi memperoleh perluasan ke berbagai jamaah pengajian lainnya. Seiring dengan meningkatnya intensitas tersebut, ceramah keagamaan juga menyiratkan resistensi terhadap budaya Jawa, yang dianggap memiliki peran besar dalam “mencemari” kemurnian ajaran Islam.

Akhirnya, perkembangan keagamaan Islam di Indonesia menunjukkan kecenderungan radikalisasi yang ditunjukkan melalui sikap bermusuhan dan hatred speeches pada pihak-pihak tertentu yang dianggap sebagai ancaman terhadap Islam, yaitu: budaya lokal (yang dianggap sebagai sumber Tahayyul, Bid’ah, dan Khurafat), bangsa asing (yang dianggap identik dengan Barat, terutama Amerika, Australia dan Israel, yang merupakan sumber sekuralisme, pluralisme, dan liberalisme), dan warga non-Muslim (yang dianggap identik dengan kaum Yahudi dan Nasrani).

Mengingat proses radikalisasi di atas pentingnya kiranya kelompok-kelompok Islam moderat yang selama ini seperti silent majority, untuk mulai mewaspadai penyebaran aliran radikal melalui berbagai aktivitas keagamaan di masjid-masjid. Para pengelola masjid sudah semestinya memiliki agenda yang jelas untuk mengcounter gerakan Islam radikal tersebut. Mereka perlu mengelola sedemikian rupa siapa yang berhak menjadi penceramah dan khatib masjid dan materi keagamaan apa yang seyogyanya disampaikan dalam forum-forum ceramah dan khutbah itu. Para pembicara perlu disaring, demikian substansi dari isi ceramah keagamaan dan pengajian. Pada saat yang sama, pengelola masjid juga perlu melakukan diversifikasi aktivitas keagamaan di masjid untuk menarik minat jamaah dan komunitas Muslim umumnya agar tidak tertarik mengikuti kajian-kajian Islam yang cenderung fundamentalis dan radikal.

daftar Pustaka

Al-Makassary, Ridwan dan Gaus AF, Ahmad (eds.).2010. Benih-benih IslamRadikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo. Jakarta: CSRC.

Aulia, Faizal Yan. 2009. ”Pandangan Pemuka Agama tentang Multikulturalisme dalam Mengatasi Fundamentalisme Agama dan Implikasinya terhadap Ketahanan Nasional Budaya: Studi di Kota Yogyakarta”, Tesis UGM.

Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga.

Baidi. 2010. ”Agama dan Multikulturalisme: Pengembangan Kerukunan Masyarakat melalui Pendekatan Agama”, Millah edisi khusus (2010): 1-29.

Binder, Leonard. 1988. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Chicago & London: The Chicago University Press.

Burhan, Omar Khalifa, Purba, Ridlo M., Irmawati. 2013. ”Peran Identitas Keagamaan dan Persepsi Ancaman AntarKelompok Agama terhadap Sikap Multikulturalisme Agama”, Sakkara USU.

Blum, Lawrence A. 2001. “ A n t i r a s i s m e , Multikulturalisme, dan Komunitas antarRas: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”, dalam Larry May, Etika Terapan I Sebuah Pendekatan Multikultural, edisi terj. Sinta Carolina, dkk.Jogjakarta: Tiara Wacana.

Fananie, Zainuddin dan Sabardilla, Atiqa. 2000.Sumber Konflik Masyarakar Muslim Muhammadiyah-NU Perspektif Keberterimaan Tahlil. Solo: Muhammadiyah University Press.

Fananie, Zainuddin et.al. 2002.Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial. Solo: Muhamamdiyah University Press dan The Asia Foundation.

Page 57: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Antimultikultural dari Mimbar Masjid di Kota SoloZakiyuddin Baidhawy

187

Gollnick, Donna M. 1983.“Culture and Pluralism”, dalam Donna M. Gollnick dan Philip C. Chinn.Multicultural Education in Pluralistic Society. London: The CV Mosby Company.

Hefner, Robert W. 1998.”Civil Society and Democracy”, dalam Electronic Journal, edisi May-June, vol. 2.no. 3, http: //civnet.org/journal/issue7/ ftrhefn.htm.

Hussain, Amir.2003.”Muslims, Pluralism, and Interfaith Dialog”, dalam Omid Safi, Progressive Muslims: on Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Bell & Bain Ltd., 252-269.

Mahayana, Maman. 2001.“Sastra Indonesia dalam Perspektif Multikulturalisme”, dalam Media Indonesia Edisi Akhir Tahun 2001: Satu Indonesia, http: //www.mediaindo.co.id/cetak/ berita.asp?

Mulyadi, M. Hari dan Soedarmono (dkk). 1999. Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998. Solo: LPTP.

Nurhadiantomo. 2004.Konflik-konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial. Solo: Muhammadiyah University Press.

Peacock, James L. 1978. Purifying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam.Menlo Park, California: The Benjamin/Cummings Publishing Company.

Remmelink, Willem. 2001. The Cihinese War and the Collapse of the Javanese State, 1725-1743. Leiden: KITLV, 1994. Edisi Indonesia terjemahan Anas Syahrul Alimi, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa. Yogyakarta: Jendela.

Ricci, Nino.2002. “What is Multiculturalism?”, dalam Journal of Canadian Heritage Multiculturalism, vol. March 21, http: // www.pch.gc.ca/multi/what-multi-e.shtml.

Sachedina, Abdulaziz. 1990. The Islamic Roots of Democratic Pluralism. New York: Oxford University Press.

Shiraishi, Takashi. 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. New York: Cornell University Press.

Suparlan, Parsudi. 2002.“Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Makalah Simposium Internasional ke-3, Jurnal Antropologi Indonsia, Denpasar Bali, 16-21 Juli.

Syam, Nur. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius.

Page 58: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 173-187

188

Page 59: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik, Situbondo)Retnowati

189

AGAMA, KONFLIK, DAN INTEGRASI SOSIAL(Integrasi Sosial Pasca Konflik Situbondo)

Religion, Conflict, and Social Integration(Post Conflict Social Integration, Situbondo)

RETNOWATI

AbstrActThe research discusses the integration efforts after the riot in Situbondo, East Java. Situbondo community has initiated several conflic resolutions and integrations supported by Muslims and Christian leaders. The data on the role of religious community, in this case Islam and Christian as well as the community in Situbondo in general, is gathered through observation, interview, and a survey. Secondary data is gathered through review of literure relevant to the research problems. Conflict, social integration, and reconciliation theories are used to explain and analyze research problems based on the data gathered. The finding shows that integration in Situbondo community and reconsiliation effort carried out by religious communities (Islam, Christian and the whole community of Situbondo) was drawn from local wisdom in Situbondo. The local wisdom serves as social capital in manifesting integration in the community and harmonious relation among religious communities.Keywords: conflict, social integration, religious community

AbstrAkPenelitian ini menyangkut upaya integrasi pasca kerusuhan di Situbondo Jawa Timur. Masyarakat Situbondo telah melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik dan integrasi yang didukung oleh umat dan pimpinan agama Islam dan Kristen. Untuk mendapatkan data tentang peran umat beragama dalam hal ini Islam dan Kristen serta masyarakat Situbondo dilakukan melalui metode wawancara, pengamatan yang didahului dengan obeservasi ringan sebelum dilakukan penelitian. Data sekunder dilakukan mengkaji pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah penelitian. Teori konflik, integrasi sosial dan rekonsiliasi digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa masalah penelitian berdasarkan data-data yang telah diperoleh di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi dalam masyarakat Situbondo dan upaya rekonsiliasi telah dilakukan oleh masyarakat dan umat beragama di Situbodo. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Situbondo menjadi modal sosial dalam mewujudkan integrasi dalam masyarakat sehingga pasca kerusuhan kehidupan masyarakat dan hubungan antarumat beragama di Situbondo yang mengalami keretakan dapat dipulihkan kembali. Kata kunci: konflik, integrasi sosial, umat beragama

Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana

Jl. Diponegoro No. 52 – 60 Salatiga

Telp. (0298) 321212, 3211433 Faks. (0298) 321433

e-mail: [email protected] diterima: 18 Mei 2014Naskah direvisi: 2–9 Oktober

2014Naskah disetujui:14 Nopember

2014

Page 60: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 189-200

190

Pendahuluan

Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan kerukunan (Hendropuspito, 1984:151). Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses assosiatif, sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif. Proses assosiatif adalah proses yang mempersatukan dan proses dissosiasif sifatnya menceraikan atau memecah. Konflik dan kerukunan atau perdamaian sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama, etnis, status sosial, ekonomi, dan sebagainya. Konflik menunjuk pada hubungan antara individu dan atau kelompok yang sedang bertikai, sedangkan perdamaian atau kerukunan menunjuk pada hubungan baik antara individu atau kelompok. Dalam kehidupan sosial friksi, konflik dan pertikaian antarwarga masyarakat tidak mustahil terjadi yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Namun demikian konflik dapat juga disebabkan oleh masalah-masalah yang lebih luas dari hal-hal tersebut.

Agama tidak jarang dijadikan “alat” dan dituding sebagai penyebab setiap kali terjadi kerusuhan atau konflik dalam masyarakat. Masalah perbedaan antarkelompok agama dalam hal ini Islam dan Kristen tidak jarang diangkat di permukaan oleh elit agama sehingga fenomena yang tampak setiap terjadi konflik berbau agama lebih berbentuk jihad agama “perang suci” untuk memperjuangkan dan membela agama. Penggunaan label agama telah dijadikan alat pertikaian, sehingga menimbulkan perseteruan dan memperburuk iklim kerukunan antarumat beragama. Ada kecenderungan agama dijadikan alat untuk “meningkatkan” dan “membenarkan” pertikaian.

Asal mula kerusuhan Situbondo yang terjadi pada 10 Oktober 1996, berawal dari persidangan kasus Soleh. Mohammad Soleh (beragama Islam) adalah seorang pemuda berusia 20 tahun dituduh menyebarkan ajaran sesat dan melakukan penghinaan terhadap ajaran Islam dan terhadap K.H.R. As’sad Syamsul Arifin

seorang tokoh yang sangat dihormati masyarakat Situbondo. Persidangan kasus Soleh di Pengadilan Negeri Situbodo mengudang perhatian massa yang berjumlah ratusan orang. Putusan pengadilan atas diri Soleh telah menetapkan hukuman penjara lima tahun dipotong tahanan menuai kritik dan keberatan massa. Putusan hakim dianggap terlalu ringan dan tidak bisa diterima oleh massa, mereka menghendaki Soleh dihukum mati, namun hakim tetap pada keputusannya. Ketidakpuasan massa atas putusan hakim tersebut akhirnya menimbulkan keributan-keributan di pengadilan yang akhirnya meluas ke seluruh masyarakat Situbondo dan sekitarnya. Berawal dari peristiwa pengadilan Soleh itulah amukan massa berkembang menjadi kerusuhan yang mengakibatkan konflik dalam masyarakat. Peristiwa ini cukup mengejutkan banyak pihak, sebab sejauh ini kehidupan sehari-hari masyarakat di Situbondo berjalan normal. Warga masyarakat dan umat beragama hidup berdampingan tanpa masalah. Oleh sebab itu pengalaman konflik atau kerusuhan di Situbondo perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, khususnya umat dan pimpinan agama agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi baik di Situbondo maupun di tempat-tempat lain. Terlebih belakangan ini di beberapa wilayah di Indonesia sering terjadi konflik yang disebabkan oleh berbagai persoalan sosial, dan hampir semua konflik sosial yang terjadi di tanah air selalu dikaitkan dengan agama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama rentan konflik dan mudah ditunggangi berbagai kepentingan. Disebutkan oleh Weber (1995) fenomena munculnya konflik tidak sekedar disebabkan oleh ketimpangan sumber daya ekonomi atau produksi saja, namun konflik terjadi dengan cara jauh lebih luas dari hal-hal tersebut. Walaupun demikian ia juga mengakui bahwa sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial. Dengan demikian faktor kesenjangan ekonomi bisa menjadi salah satu masalah yang dapat menimbulkan terjadinya pertikaian atau konflik dalam masyarakat. Konflik atau kerusuhan tidak pernah membawa keuntungan apa-apa,

Page 61: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik, Situbondo)Retnowati

191

sebaliknya hanya menuai kerugian baik material maupun non-material. Kerugian non-materi berupa trauma, permusuhan, kecurigaan dan stereotype negatif terhadap kelompok tertentu merupakan masalah terbesar yang perlu segera atasi, agar konflik atau kerusuhan yang terjadi tidak berkepanjangan.

Konflik Situbondo telah menyisakan kehancuran, korban jiwa dan retaknya hubungan antarumat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen. Setelah konflik berhasil diakhiri, telah dilakukan upaya-upaya kerjasama antarkedua umat beragama yang terlibat konflik. Umat beragama, dengan dipelopori oleh pimpinan agama Islam dan Kristen berupaya melakukan pemulihan dengan berbagai cara, di antaranya melalui pertemuan-pertemuan rutin, sarasehan, dialog, dan diskusi dalam rangka mencari solusi dan langkah-langkah bersama untuk membangun kerjasama dan persaudaraan pasca konflik. Selain itu upaya-upaya integrasi juga dilakukan oleh Islam dan Kristen, yakni membuat kesepakatan perdamaian, diteruskan dengan kerjasama sosial kemanusiaan. Kerjasama tersebut bersifat konstan, yaitu kerjasama sosial berupa pelatihan-pelatihan komputer, bahasa Inggris, pelayanan kesehatan, dan bazar murah di bulan Ramadhan. Kerjasama tersebut bertujuan untuk melayani warga masyarakat Situbondo. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Usman (1995) dalam tulisannya tentang integrasi sosial. Integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui sebuah proses, melalui interaksi dan komunikasi yang intensif. Dalam hal ini pihak yang terlibat konflik berintegrasi membangun sosial networks dalam suatu unit sosial yang relatif kohesif.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana institusi agama dan umat beragama Islam dan Kristen mengupayakan penyelesaian konflik dan membangun integrasi pasca konflik. Masalah ini penting untuk dikaji mengingat

belum banyak penelitian tentang integrasi sosial pasca konflik menyangkut kehidupan umat beragama, khusunya yang terjadi di Jawa Timur. Beberapa kajian terkait dengan topik konflik dan integrasi sosial telah dilakukan oleh beberapa orang, namun sejauh ini belum ada hasil-hasil penelitian yang menjelaskan tentang integrasi sosial pasca konflik. Penelitian Tahalele Paul dan Timas Santoso (editor) (1995), berjudul “Beginikah Kemerdekaan Kita” yang diterbitkan oleh FKKS-FKKI, berisi tentang peristiwa konflik di Situbondo. Tulisan ini menjelaskan tentang sebab-sebab atau latar belakang terjadinya konflik, namun tidak menjelaskan upaya integrasi yang dilakukan oleh warga masyarakat dan umat beragama Islam dan Kristen pasca konflik. Selanjutnya tulisan Haryanto (1998) berjudul “Melangkah dari Reruntuhan Tragedi Situbondo” mendeskripsikan masyarakat dan gambaran umum kota Situbondo sebagai kota santri yang memiliki sejumlah pesantren besar dan ternama di Indonesia. Dijelaskan pula peran kiai dalam masyarakat dan sebagainya. Penelitian yang ditulis dalam Majalah Gatra, (1997). Berjudul “Akar Rumputnya Harus Ditemukan”, berupa hasil wawancara dengan Baharrudin Daya, yang berisi tentang perlunya mencari akar rumput setiap terjadi konflik dalam masyarakat. Dalam kasus Situbondo Baharrudin menjelaskan perlunya menemukan penyebab konflik agar penyelesaian konflik dapat dilakukan secara tepat. Tim Pencari Fakta Forum Komunikasi Kristen Indonesia (1997) menyajikan hasil penelitian yang berisi tentang data-data infrastruktur yang telah rusak akibat konflik Situbondo. Data-data tersebut meliputi jumlah bangunan yang rusak yaitu, gereja, panti asuhan, sekolah, klenteng, toko, gedung bioskop, kendaraan, dan korban jiwa. Interfidai menulis Laporan Survei kerusuhan di Situbondo (1996) yang berisi survei ringan saat terjadinya kerusuhan/konflik di Situbondo. Tulisan ini mendeskripsikan kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Situbondo dan peran pemimpin agama, khususnya pimpinan agama Islam dalam hal ini ulama.

Page 62: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 189-200

192

Tulisan-tulisan di atas pada umumnya memberi informasi data-data terkait dengan kehidupan sosial, ekonomi dan agama masyarakat Situbondo dan kronologis terjadinya konflik, namun tidak menjelaskan upaya penyelesaian konflik dan integrasi pasca konflik. Untuk mengisi kekosongan tersebut maka penelitian tentang agama, konflik dan integrasi sosial pasca konflik, Situbondo dilakukan. Kajian ini diharapkan dapat memberi informasi, masukan dan menjelaskan hubungan antarumat beragama di Situbondo pasca konflik dan upaya-upaya penyelesaian konflik dalam rangka mewujudkan integrasi pasca konflik. Penelitian ini penting dilakukan bertujuan memberi informasi kepada umat dan pimpinan agama terkait dengan dinamika kehidupan beragama di tengah masyarakat, agar melalui kajian ini umat pimpinan agama mengupayakan hubungan antarumat beragama yang lebih baik dan mewaspadai kemungkinan-kemungkinan dijadikannya agama sebagai “alat” untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang dapat menimbulkan konflik yang merugikan kehidupan beragama. Selain itu kajian ini juga diharapkan dapat memberi informasi tentang upaya-upaya peneyelesaian konflik dan upaya membangun integrasi yang dilakukan oleh umat beragama di Stubondo dan dapat digunakan di tempat-tempat lain apabila mengalami kasus yang sama. Dengan demikian kajian ini diharapkan tidak saja penting untuk memahami konflik di Situbondo, namun juga penting bagi pemberian informasi baru yang dapat digunakan umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen dan institusi agama untuk terus mengupayakan kerjasama diberbagai bidang kehidupan. Kajian ini juga penting bagi institusi agama untuk mewujudkan fungsinya sebagai kontrol sosial sekaligus penjamin terjadinya integrasi sosial dan solidaritas di tengah masyarakat majemuk, sehingga kehadiran institusi agama, pemimpin dan elitnya dapat menjadi model, creator dan teladan dalam hal mengupayakan kerukunan dan integrasi sosial.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah penelitian yang hendak dijelaskan

dalam peelitian ini pertama, bagaimana umat beragama Islam dan Kristen membangun integrasi sosial pasca konflik. Kedua, bagaimana peran agama dalam upaya mewujudkan integrasi sosial.

Untuk menjelaskan penelitian ini, penulis menggunakan teori yang dikembangkan oleh Weber. Weber dan kaum Weberian (dalam Sanderson,1995) menyatakan fenomena munculnya konflik tidak sekedar disebabkan oleh ketimpangan sumber daya ekonomi atau produksi saja sebagaimana yang disinyalir oleh berbagai pihak selama ini. Dalam hal ini Weber (1995) menekankan bahwa konflik terjadi dengan cara jauh lebih luas dari hal-hal tersebut. Walaupun demikian ia juga mengakui bahwa sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial. Weber (1995) melihat banyak tipe-tipe konflik yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini ia membedakan dua tipe konflik. Pertama, konflik dalam arena politik. Konflik ini tidak hanya didorong oleh nafsu untuk memperoleh kekuasaan atau keuntungan ekonomi oleh sebagian individu atau kelompok. Dikatakan Weber (1995) konflik tipe ini tidak hanya terjadi pada organisasi politik formal, tetapi juga dalam setiap tipe kelompok, organisasi keagamaan dan pendidikan. Kedua, konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. Konflik tipe ini ditekankan pada individu atau kelompok yang tertantang untuk memperoleh dominasi dalam pandangan dunia mereka, baik yang menyangkut doktrin agama, doktrin nilai budaya, filsafat sosial, ataupun konsepsi gaya hidup kultural. Dengan demikian di samping kesenjangan ekonomi masih banyak faktor lain yang bisa menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Robertson (1998) menjelaskan, konflik dapat pula ditimbulkan oleh agama. Pendapat ini ditegaskan oleh Dhurkhem (dalam Johnson, 1986) yang mengatakan sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat pada dasarnya berkembang dari heterogenitas dan individualitas yang semakin besar. Heterogenitas yang tinggi ini dapat mengendorkan ikatan bersama yang mempersatukan warga masyarakat. Dalam hal ini individu mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas

Page 63: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik, Situbondo)Retnowati

193

dalam masyarakat, seperti kelompok pekerjaan, profesi, etnis, ras dan agama. Ketika setiap orang atau kelompok mengejar kepentingannya sendiri entah itu agama, etnis, ras dengan merugikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, maka kemungkinan terjadi konflik akan lebih besar (Johnson, 1986:169).

Dalam setiap konflik mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan sosial. Masyarakat terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok atau golongan-golongan yang mengancam kehidupan bersama. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya penyatuan bagi masyarakat yang terpecah akibat konflik. Mas’oed (1991:2) menjelaskan secara umum integrasi bisa diberi arti sebagai kondisi atau proses mempersatukan bagian-bagian yang sebelumnya saling terpisah. Proses ini berjalan melalui tahapan yang dilalui, merupakan landasan bagi terselenggarakannya tahapan berikutnya. Sementara itu Karl Deutch (1957) mengatakan integrasi harus berjalan secara damai dan berlangsung secara sukarela. Ia memandang integrasi sebagai unit-unit yang sebelumnya terpisah kemudian mampu menciptakan hubungan-hubungan independensi dan secara bersama menghasilkan unsur-unsur suatu sistem yang tidak bisa mereka hasilkan ketika mereka saling terpisah. Durkheim (Johnson, 1986:181-188) dalam studi tentang integrasi sosial menjelaskan bahwa integrasi sosial dapat terwujud jika terjadi saling ketergantungan antara bagian yang terspesialisasikan. Dalam hal ini solidaritas didasarkan atas kesamaan dalam kepercayaan dan nilai saling tergantung secara fungsional dalam masyarakat yang heterogen. Kesamaan dalam kepercayaan dan nilai ini akan memberi kesadaran kolektif untuk menciptakan kesatuan. Durkheim (dalam David, 1972:382) membedakan integrasi sosial atas dua kategori. Pertama, integrasi normatif dalam perspektif budaya. Integrasi ini menekankan solidaritas mekanik yang terbentuk melalui nilai dan kepercayaan membimbing masyarakat dalam mencapai sukses. Kedua, integrasi fungsional dengan menekankan pada solidaritas organik, yaitu solidaritas yang terbentuk melalui relasi

saling tergantung antara bagian atau unsur yang tergantung dalam masyarakat. Dalam hal ini Durkheim menekankan pembagian kerja dengan tidak saja mempertimbangkan faktor ekonomi melainkan juga faktor moral. Sementara itu Cooley (David 1972:381) membedakan integrasi atas dua kategori. Pertama, integrasi normatif, merupakan tradisi baku masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi mereka yang mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi komunikatif yaitu, komunikasi efektif hanya dapat dibangun bagi mereka yang memiliki sikap yang saling tergantung dan mau diajak kerjasama menuju tujuan yang dikehendaki. Ketiga, integrasi fungsional, hanya akan terwujud bila anggota sungguh menyadari fungsi dan perannya dalam kebersamaan itu. Lebih jauh Karsidi (1998:116) menggambarkan beberapa syarat bagi masyarakat heterogen untuk dapat mencapai integrasi. Dikatakan di sini bahwa integrasi hanya terjadi bila pertama, anggota masyarakat merasa tidak dirugikan bahkan keuntungan akan diperoleh lebih besar. Kedua, adanya penyesuaian paham tentang norma. Artinya tantangan dan bagaimana harus bertingkah laku untuk mencapai tujuan dalam masyarakat. Ketiga, norma yang berlaku harus konsisten, untuk membentuk suatu struktur yang jelas. Integrasi sosial terjadi harus melalui tiga (3) tahapan. Pertama, akomodasi, merupakan upaya para pihak yang berbeda pendapat atau bertentangan untuk mencari pemecahan masalah atau upaya mempertemukan perbedaan atau pertentangan atau upaya menyelesaikan perbedaan melalui koordinasi. Kedua, Koordinasi merupakan perwujudan suatu bentuk kerjasama. Ketiga, asimilasi atau akulturasi merupakan kontak kebudayaan yang berlainan atau pertemuan dua kebudayaan yang lebih baik. Dalam membangun nilai harmoni akan ditemukan tahapan ini atau dengan kata lain terdapat relasi saling tergantung sehingga masing-masing pihak menyadari perannya. Dalam proses ini tidak ada in group (kita) dan out group (mereka), keduanya memiliki peran yang sama dalam membangun kehidupan yang lebih baik.

Page 64: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 189-200

194

Sunyoto Usman (1995), menyebutkan integrasi adalah suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling memelihara dan menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan politik. Dalam konteks tersebut integrasi bukanlah untuk menghilangkan diferensiasi, karena yang terpenting adalah kesadaran untuk memelihara dan menjaga keseimbangan untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis. Menurut Usman, integrasi merupakan bentuk kontradiktif dari konflik, namun meskipun demikian integrasi dan konflik bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Karena integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensif. Kelompok-kelompok sosial yang berintegrasi membangun sosial networks dalam suatu unit sosial yang relatif kohesif. Prasyarat integrasi yang ditawarkan oleh Usman, pertama, kesepakatan sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yaitu bersifat fundamental. Kedua, saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Memang diakui bahwa akibat adanya perbedaan dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi dapat melibatkan terjadinya stratifikasi sosial berdasarkan kelas kaya, menengah, dan miskin. Akan tetapi dengan model pembangunan masyarakat yang menekankan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah kemungkinan tumbuhnya eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin, karena masing-masing kelompok berpendapatan terspesialisasi secara fungsional, sehingga ciri diferensiasi tidak terlalu sukar diseimbangkan.

Masyarakat sebagai konsep sosial menggambarkan berkumpulnya manusia atas dasar sukarela, yang tidak harus terjadi secara fisik tetapi juga berupa keterikatan dan keterkaitan batiniah (Kartasasmita, 1997:7).

Dalam konsep masyarakat yang demikian ini ada makna kesatuan antara kebinekaan atau keanekaan (diversity) dan kekhasan atau kekhususan (uniquenness). Menurut Ginandjar “apa yang menjadi kesamaan (what is Common to all) merupakan pertanyaan mendasar setiap kali terjadi hubungan yang saling bergantung atau kerjasama yang berintikan situasi simbiosis yang mutualistis. Situasi simbiosis yang mutualistis itu akan dapat tercipta bila elemen-elemen sosial bisa disatukan hingga membentuk suatu kekuatan yang bersifat sinergis. Kekuatan sinergis itu lahir dari proses interaksi sosial yang berlangsung secara intensif di dalam dan diantara unit-unit sosial yang ada dalam masyarakat, apakah itu keluarga, kelompok, asosiasi, golongan masyarakat (etnis dan agama) dan sebagainya. Dalam hal ini proses interaksi sosial baik yang vertikal maupun horizontal menjadi penting. Pada interaksi vertikal antara pemerintah dan masyarakat harus dikembangkan dari poros “kekuasaan” menjadi poros “pemberdayaan”. Interaksi ini harus dikembangkan menjadi interaksi dialogis. Sedangkan interaksi horizontal harus dikembangkan menjadi interaksi solidaritas dan kemitraan. Dengan terciptanya situasi demikian maka diharapkan tidak ada lagi dikotomi yang membedakan antara penduduk asli dan penduduk pendatang.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pemdekatan naturalistik dalam pengumpulan datanya. Pengumpulan data dilakukan di Kabupaten Daerah Tingkat II Situbondo, dengan menggunakan tehnik wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan terlibat (observation participant) dan studi dokumen. Dalam pelaksanaannya ketiga metode pengumpulan data tersebut tidak dipergunakan secara terpisah satu dengan yang lainnya melainkan dipergunakan secara simultan.

Analisis dilakukan melalui kegiatan klarifikasi data yang telah berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber berdasarkan unsur-unsur fenomenologi seperti data pola-pola interaksi

Page 65: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik, Situbondo)Retnowati

195

antarumat beragama, hubungan-hubungan sosial antarumat beragama dan data-data penting lainnya. Data yang sudah diklarifikasikan dibantu dengan teori-teori kemudian direkonstruksi dengan pendekatan kualitatif ke dalam sebuah diskripsi yang kemudian di analisis hingga memungkinkan untuk diambil kesimpulan.

hasil dan PeMbahasan

Upaya Menangani Konflik dan Peran Umat Beragama dalam Membangun Integrasi

Konflik sosial bernuansa agama di Situbondo dapat diakhiri oleh umat beragama yang didukung oleh pimpinan agama. Upaya menangani konflik dilakukan dengan cara menghentikan massa yang brutal melalui kiai pimpinan pondok pesantren yang dituakan dan dihormati di Situbondo. Kiai meminta massa untuk menghentikan pengrusakan dan tindakan brutalnya. Perintah itu didengar massa dan akhirnya kerusuhan dapat diakhiri. Secara demogafis Islam menduduki tempat mayoritas di Situbondo. Masyarakat Situbondo dikenal mempunyai sifat fanatisme religius yang kuat. Hal tersebut ditandai dengan ketaatan yang besar warga masyarakat pada ulama sebagai pemegang otoritas di masyarakat. Kehidupan masyarakat Situbondo ditandai dengan sentralnya pengaruh otoritas ulama. Secara struktural kokohnya pengaruh ulama tidak dapat dilepaskan dari perannya sebagai cultural broker yaitu, kemampuan untuk menghubungkan tatanan keagamaan dengan faktor lokal. Kiai atau ulama sering disebut sebagai agent of change dalam masyarakat. Berpusat dari peran Kiai sebagai guru dan ahli agama, maka para ulama seringkali memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan politik.

Pasca konflik Situbondo umat beragama telah berhasil membangun integrasi atas dukungan pimpinan atau tokoh agama baik Islam maupun Kristen. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Mas’oed (1991:2) menjelaskan secara umum integrasi bisa diberi arti sebagai kondisi atau proses mempesatukan bagian-bagian yang sebelumnya

saling terpisah. Proses ini berjalan melalui tahapan yang dilalui bersama, merupakan landasan bagi terselenggarakannya tahapan berikutnya. Beberapa gereja Kristen dan Katolik juga gereja-gereja lain beraliran Pentakosta, pondok pesantren dan pimpinan agama Islam dan Kristen mempunyai peran yang sangat besar dalam upaya pemulihan dan membagun integrasi dalam masyarakat pasca konflik. Seperti misalnya, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) mempunyai peran yang cukup besar dalam upaya penyelesaian konflik dan dalam menjalin hubungan kerjasama dengan beberapa Pondok Pesantren di Situbondo. Hubungan kerjasama ini tidak hanya terjadi secara temporer, tetapi bersifat konstan. Relasi antara GKJW dengan beberapa pondok pesantren bukan terbatas pada hubungan formalitas saja, namun lebih pada hubungan pribadi, hubungan persaudaraan dengan para santri, kiai dan ulama di Situbondo. Hubungan kerjasama ini merupakan upaya untuk mengakhiri konflik dan membangun integrasi. Menurut Usman, integrasi merupakan bentuk kontradiktif dari konflik, namun meskipun demikian integrasi dan konflik bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Karena integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensif. Kelompok-kelompok sosial yang berintegrasi membangun sosial networks dalam suatu unit sosial yang relatif kohesif. Komunikasi yang efektif tersebut telah dilakukan oleh warga gereja, dalam hal ini Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dengan komunitas Pesantren dan umat Islam di Situbondo.

Beberapa upaya lain yang ditempuh oleh Islam dan Kristen untuk membangun integrasi dalam masyarakat yaitu dengan dilakukannya pertemuan dan sarasehan-sarasehan secara rutin oleh Pendeta, Pastor dan Kiai, dalam rangka membicarakan masalah-masalah sekitar kehidupan beragama. Selanjutnya juga dilakukan langkah-langkah bersama untuk membuat

Page 66: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 189-200

196

kesepakatan perdamaian dan kerjasama kemanusiaan. Menarik, karena pemulihan hubungan ini tidak hanya berhenti pada tataran elit agama saja, namun juga melibatkan umat beragama secara keseluruhan. Warga gereja, khususnya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) melakukan berbagai kegiatan bersama dengan para santri seperti, live in baik di gereja maupun di pondok pesantren bertujuan saling belajar tentang Islam dan Kristen, membuat program kegiatan bersama dan sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Karl Deutch (1957) integrasi harus berjalan secara damai dan berlangsung secara sukarela, menciptakan hubungan-hubungan independensi dan secara bersama menghasilkan unsur-unsur suatu system yang tidak bisa dihasilkan bila hidup sendiri-sendiri.

Integrasi pasca konflik Situbondo dapat diwujudkan relatif cepat karena didukung oleh nilai-nilai yang sama dalam masyarakat. Bahasa sebagai simbol budaya menjadi salah satu faktor perekat sosial. Kesamaan penggunaan bahasa Madura sebagai bahasa lokal, bahasa ibu dalam pergaulan dan komunikasi warga masyarakat sehari-hari merupakan alat yang mempersatukan warga masyarakat yang berbeda agama. Bahasa mempunyai kekuatan integratif untuk melakukan interaksi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Kesamaan dalam pemakaian bahasa lokal dalam hal ini Madura telah menciptakan hubungan yang saling berdekatan antara warga masyarakat yang berbeda agama dan etnis. Berkomunikasi dengan bahasa lokal sangat mempengaruhi kedekatan emosi dalam pergaulan dalam masyarakat Situbondo. Di kota-kota lain yang berdekatan dengan Situbondo seperti Jember, Kraksaan dan Probolinggo dan sekitarnya, meskipun bahasa Madura digunakan tetapi bukan sebagai bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa dalam hal ini bahasa Madura telah membedakan dan sekaligus menjadi identitas kultural masyarakat Situbondo, sekaligus menjadi kekuatan integratif masyarakat. Durkheim (Johnson, 1986:181-188) dalam studi tentang integrasi sosial menjelaskan,

solidaritas didasarkan atas kesamaan dalam kepercayaan, nilai dan kultur. Penggunaan bahasa dalam hal ini bahasa Madura merupakan simbol budaya yang telah memberi kesadaran kolektif untuk menciptakan kesatuan.

Selanjutnya saling ketergantungan di bidang ekonomi dan pekerjaan antara etnis Cina (mayoritas beragama Kristen) dan etnis Madura (mayoritas beragama Islam) merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya integrasi dalam masyarakat. Yang menguasai distribusi ekonomi di Situbondo adalah etnis Cina sedangkan pribumi bergerak di sektor informal, bekerja sebagai buruh kasar, tukang becak, nelayan, pedagang kecil dan menjadi pegawai, pelayan toko milik etnis Cina. Sebagaimana yang dikatakan Usman (1995), kesadaran untuk saling membutuhkan dan hubungan saling tergantung merupakan kekuatan integratif dari kelompok atau masyarakat yang mengalami pertikaian. Dalam kasus Situbondo hubungan saling tergantung secara fungsional antara etnis Cina dengan Madura terjadi pada bidang pekerjaan. Hal ini terjadi pada pemilik toko atau swalayan beretnis Cina yang sangat membutuhkan karyawan-karyawan untuk bekerja di toko maupun usaha-usaha dagang lainnya. Lapangan pekerjaan sebagai karyawan, pelayan toko, pegawai yang ditawarkan oleh etnis Cina disambut positif oleh warga masyarakat pribumi, dalam hal ini etnis Madura. Saling ketergantungan dibidang ekonomi ini telah menjadi salah satu kekuatan integratif dalam masyarakat. Berkaitan dengan ketergantungan di bidang ekonomi ini sesungguhnya jauh sebelum terjadi konflik, hubungan saling tergantung ini sudah lama terjadi dalam masyarakat. Perekonomian masyarakat Situbondo banyak didukung oleh etnis Cina sebagai pemilik toko sembako, percetakan, toko bahan-bahan bangunan, rumah makan dsb, sementara itu warga pribumi, etnis Madura bekerja atau menjadi karyawan pada etnis Cina. Dalam kehidupan sehari-hari hubungan kerja antara etnis Madura dan etnis Cina berlangsung secara harmonis. Agama tidak menjadi penghalang dalam hubungan kerja, justru terjadi

Page 67: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik, Situbondo)Retnowati

197

toleransi terhadap agama lain, misalnya etnis Cina Kristen menyediakan tempat salat dan atau mushala bagi karyawan yang beragama Muslim sehingga mereka bisa melakukan salat pada waktu-waktu tertentu. Dukungan ekonomi juga diberikan oleh Etnis Cina, beragama Kristen atau Katolik terhadap warga masyarakat dengan menyediakan kupon potongan harga sebesar 20% bagi para konsumen. Dalam hal ini semua anggota NU, santri, kiai dan warga masyarakat Situbondo umumnya mempunyai kartu potongan untuk keperluan berbelanja di swalayan milik etnis Cina. Hubungan fungsional yang terjadi di Situbondo ini menjadi sarana perekat sosial dalam masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan Usman (1995). Integrasi tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensif. Kelompok-kelompok sosial yang berintegrasi membangun sosial networks dalam suatu unit sosial yang relatif kohesif. Saling ketergantungan diantara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat menciptakan integrasi sosial. Situasi simbiosi yang mutualistis itu akan dapat tercipta bila elemen-elemen sosial bisa disatukan hingga membentuk suatu kekuatan yang bersifat sinergis. Kekuatan sinergis itu lahir dari proses interaksi sosial yang berlangsung secara intensif di dalam dan diantara unit-unit sosial yang ada dalam masyarakat.

Prasyarat integrasi seperti yang ditawarkan oleh Usman (1995) di antaranya saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sudah dilakukan di Situbondo. Memang diakui bahwa akibat adanya perbedaan dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi dapat melibatkan terjadinya stratifikasi sosial berdasarkan (kaya, menengah, miskin). Akan tetapi dengan model pembangunan masyarakat yang menekankan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah kemungkinan tumbuhnya eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin, karena masing-masing kelompok berpendapatan terspesialisasi

secara fungsional, sehingga ciri diferensiasi tidak terlalu sukar diseimbangkan (Usman,1995: 23).

Selain saling ketergantungan di bidang ekonomi, dilakukan juga hubungan-hubungan sosial melalui berbagai kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan. Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga, kegiatan agama dan sosial kemasyarakatan menguatkan solidaritas dan integrasi dalam masyarakat. Masyarakat sebagai konsep sosial menggambarkan perkumpulan manusia atas dasar sukarela yang tidak harus terjadi secara fisik, tetapi juga keterikatan dan keterkaitan secara batiniah (Kartasasmita,1997). Dalam konsep masyarakat yang demikian ada makna kesatuan antara kebinekaan atau keanekaan (diversity), kekhasan atau kekhususan (uniquenness). Dalam konteks Situbondo hubungan yang saling bergantung atau kerjasama berintikan situasi simbiosis yang mutualistis terjadi pada warga masyarakat sebagai elemen-elemen sosial yang disatukan hingga membentuk satu kekuatan yang bersifat sinergis. Kekuatan sinergis tersebut lahir dari proses interaksi sosial yang berlangsung secara intensif di dalam dan di antara unit-unit sosial yang ada dalam masyarakat, seperti keluarga, kelompok asosiasi, golongan masyarakat, etnis, agama dan sebagainya. Pasca konflik telah dilakukan berbagai kegiatan bersama oleh umat beragama Islam dan Kristen, baik kegiatan sosial, kegiatan pemerintahan, maupun kegiatan keagamaan. Kegiatan sosial dilakukan dengan menyelenggarakan bazar murah setiap bulan Ramadhan. Warga masyarakat Situbondo dan sekitarnya dapat berbelanja kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan lain seperti baju, sandal, sepatu dan sebagainya dengan harga yang relatif murah dibanding dengan harga toko. Barang-barang dan kebutuhan pokok itu merupakan hasil dari sumbangan, donatur, dan partisipasi berbagai pihak, yang dihimpun oleh panitia yang terdiri dari umat beragama Islam dan Kristen. Sumbangan tersebut bisa datang dari umat beragama apapun, dari gereja, pondok pesantren, dan sumbangan perorangan.

Page 68: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 189-200

198

Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat mempunyai tradisi tolong-menolong ketika menghadapi kesulitan dan kerepotan-kerepotan dalam keluarga. Tradisi tolong menolong biasa dilakukan warga masyarakat yang sedang mempunyai hajatan. Untuk urusan tolong-menolong atau gotong-royong etnis Madura sebagai mayoritas penduduk Situbondo menjadi pelopornya. Etnis Madura yang didukung karakter suka bergaul, terbuka dan mudah akrab dengan orang lain tidak mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan ini. Selain itu etnis Madura juga dikenal sebagai etnis yang ringan tangan dan suka membantu apabila ada kenalan, kerabat atau siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Menolong tetangga atau kerabat yang sedang mengalami kesulitan atau sedang punya hajatan dilakukan tanpa diminta. Mereka akan datang dengan sendirinya untuk memberi bantuan meskipun kegiatan itu harus dilakukan selama dua sampai tiga hari. Bahkan mereka lebih memilih untuk tidak masuk bekerja demi membantu tetangga atau kerabat yang sedang mempunyai hajatan tanpa membedakan agama. Relasi dan hubungan sosial yang dijelaskan di atas merupakan bentuk toleransi sosial sebagai salah satu upaya integrasi pasca konflik. Toleransi sosial yang dimaksud di sini adalah bersedianya kedua belah pihak yang berbeda agama saling mengakui dan menghormati pendirian satu sama lain. Indikatornya meli-puti, menerima dan menghargai nilai-nilai, pandangan, dan pendapat yang berbeda. Berbagai kegiatan keagamaan seperti, syukuran setelah pulang dari ibadah haji, perayaan Natal, Idul Fitri dsb menjadi sarana terjadinya silaturami antarumat beragama. Umat beragama non-Islam di Situbondo sudah terbiasa berkunjung ke pondok-pondok pesantren untuk bersilaturahmi dengan kiai. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa peranan Kiai sangat besar dan dihormati oleh masyarakat Situbondo. Menjadi sebuah kewajiban yang melekat dalam warga masyarakat berkunjung ke rumah kediaman kiai setiap hari raya Idul Fitri. Ketika warga masyarakat memiliki suatu kepentingan baik yang bersifat ukhrawi

maupun duniawi selalu meminta doa restu dari Kiai. Mereka biasanya pada kiai untuk mohon restu (mohon berkah) dan nasehat apabila mengalami persoalan. Warga masyarakat yang datang kepada kiai bukan saja umat Muslim, namun umat Kristen. Tradisi silaturahi yang melekat dalam masyarakat ini menjadi kekuatan integratif dalam masyarakat yang sudah dilakukan sebelum terjadi konflik dan lebih ditingkatkan lagi pasca konflik.

Upaya Penanganan Konflik dan Peran Institusi Agama, Gereja dan Pesantren dalam Membangun Integrasi

Institusi atau lembaga agama, pimpinan atau tokoh agama, pondok pesantren, dalam kapasitasnya masing-masing turut menyumbang terwujudnya perdamaian dan integrasi pasca konflik. Kultur agama Islam sangat mewarnai kehidupan masyarakat Situbondo, hal tersebut disebabkan karena peran NU, ulama dan pesantren sangat besar dan ternama di Situbondo. Bahkan beberapa buah pesantren mempunyai pengaruh yang besar di masyarakat, seperti Pesantren Walisongo, Sletreng, Salafiah Safiah dan sebagainya. Pesantren-pesantren ini turut memberi power spiritual di Situbondo. Kiai sangat dihormati oleh orang Madura, kedudukan kiai sama dengan penguasa karena dianggap memiliki kekuatan spiritual. Dalam sejarah Situbondo menyebutkan kekuatan para kiai menjadi semakin terinstitusikan bersamaan dengan menebarnya tarekat dan pesantren-pesantren di masyarakat. Para kiai telah melestarikan dirinya bukan hanya sebagai pemimpin informal, tetapi juga sebagai institusi kritis terhadap kekuasaan yang ada.

Dalam masyarakat kiai sebagai informal leader kerap diberi kepercayaan oleh pemerintah sebagai salah satu pembawa pesan-pesan pembangunan untuk masyarakat. Program-program pemerintah dapat berhasil 100% dan mendapat dukungan penuh dari warga masyarakat apabila telah direstui dan didukung oleh kiai. Peran ulama di bidang keagamaan tidak dapat dipisahkan dengan peran mereka

Page 69: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik, Situbondo)Retnowati

199

di tengah masyarakat. Berpusat dari perannya sebagai guru dan ahli agama para ulama di Situbondo seringkali memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan politik. Nasehat dan petunjuknya sangat didengar dan diperhatikan oleh seluruh warga masyarakat sehingga ketika terjadi kerusuhan di Situbondo, peran kiai untuk turut menghentikan konflik sangat besar, sebab perintah-perintahnya mempunyai kewibawaan sekaligus karisma untuk dipatuhi oleh umat Islam khususnya dan masyarakat Situbondo umumnya. Penjelasan di atas hendak menunjukkan peran penting institusi agama, gereja, pondok pesantren dan pimpinan agama di Situbondo dalam upaya menghentikan konflik dan membangun integrasi pasca konflik.

PenutuP

Penelitian integrasi sosial pasca konflik sosial bernuansa agama di Situbondo, menjelaskan upaya-upaya menangani konflik dan membangun integrasi dalam masyarakat pasca konflik yang dilakukan oleh umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen. Hubungan yang harmonis, kohesi, integrasi sosial dalam masyarakat yang melibatkan umat beragama tidak datang begitu saja, tetapi membutuhkan usaha dan kemauan semua pihak untuk mewujudkannya. Penelitian ini menjelaskan bahwa upaya menghentikan konflik dan kerjasama yang dilakukan oleh umat beragama pasca konflik telah berhasil dilakukan atas dukungan semua pihak yang dipelopori oleh elit dan pimpinan agama, kiai dan tokoh-tokoh agama yang datang baik dari Situbondo maupun di luar Situbondo yang merasa ikut bertanggungjawab menyelesaikan masalah ini. Hubungan antarumat beragama yang telah dipulihkan dilanjutkan dengan kerjasama sosial yang melibatkan semua warga masyarakat Situbondo, termasuk di dalamnya umat beragama Islam dan Kristen. Kegiatan sosial kemanusiaan menjadi entry point dalam mewujudkan persaudaraan sejati pasca konflik. Kesepakatan sebagian besar umat beragama terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental mendorong terwujudnya kerjasama

di bidang sosial. Dalam hal ini umat Islam dan Kristen merupakan elemen-elemen sosial yang telah disatukan hingga membentuk satu kekuatan yang bersifat sinergis.

daftar Pustaka

Bilken, Sari Knopp.1991. Metodologi Penelitian Kualitatif Lebih Menjamin Masalah Sosial di Indonesia. Kompas 15 Juni 1998.

Bogdan, Robert C and Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative Research for Education. Boston Allyn and Bacon Inc.

Burhanudin dalam Gatra. 1997. Akar Rumputnya Harus Ditemukan. Tanpa Penerbit.

Dahrendorf, Ralf. Terjemahan Ali Mandan. 1986. Konflik-konflik dalam masyarakat Industri. Jakarta: Penerbit CV Rajawali.

Deutsch, Karl. 1957. Political Community and The North Atlantic Area. Dalam Mohtar Ma’oed 1992. Handouts. Dalam hubungan Internasional PS Ilmu Sosial dan Politik Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Haryanto (ed). 1998. Melangkah dari Reruntuhan “Tragedi Situbondo”. Jakarta: Gramedia.

Hass, Erns. 1971 The Study Regional Integration, dalam Mohtar Mas’oedd. Handouts “Dunia Ketiga dan Politik”. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Hendropuspito, OC. 1984. Sosiologi Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Diindonesiakan oleh Robert MZ Lawang. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Karsidi, Ravik. 1998. Masyarakat kompleks Perumahan Industri dan Penduduk asli desa sekitarnya. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial: Pustaka Grafiti.

Mas’oed, Mohtar. 1991. Politik dan Pemerintahan di Asia Tenggara. PS Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

Page 70: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 189-200

200

Miles. Matthew B and Huberman, A Michael. 1984. Qualitative Data Analysis. California: Sage Publication.

Nasikun. 1995. Sisitem Sosial di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persedia.

Nasution. 1988. Metode Penelitian Naturalistic Kualitatif. Badung: Tarsito.

Pranowo, M Bambang. 1988. Stereotype Etnik, Asimilasi dan Integrasi Sosial. Jakarta: Grafika Kita.

Robertson, Roland. 1988. Agama dalam Analisa dan Intrepetasi Sosiologis. Penerjemah Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: CV Rajawali.

Shills, David L. (ed) 1972. Internasional Encyclopedia of Social Sciences. Vol. 7,8. The MacMilllan Company and The Free Press. New York Coller – Mc Millan Publishers. London.

Sunyoto, Usman. 1995. Integrasi dan Ketahanan Nasional. Sumbangan sosial terhadap ketahanan nasional, penyunting: Ichlasul Amal dan Armaidy Armani. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tahalele, Paul L dan Santoso, Timas (ed). 1997. Beginikah Kemerdekaan kita? Forum Komunikasi Kristen.

Page 71: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komuntias Tengger Malang JatimJoko Tri Haryanto

201

KEARIFAN LOKAL PENDUKUNG KERUKUNAN BERAGAMA PADA KOMUNITAS TENGGER

MALANG JATIM

Local Wisdom Supporting Religious Harmony in Tengger Community, Malang, East Java, Indonesia

JOKO TRI HARYANTO

AbstrAct

Religious harmony is an important prerequisite for Indonesian nation to implement national development. The model of religious harmony can be found in traditional wisdom which take the form of norms or practical traditions. This study aims to reveal the indigenous wisdom of Tengger community in the village Ngadas of Malang district in building religious harmony. The research used case study approach. The research reveals that the Tengger community in the village Ngadas was multi-religious people: Buddhist, Muslims, and Hindus. They all are able to maintain harmony and religious harmony through various traditions and customary norms of Tengger. Religious harmony is reflected in the tradition of gentenan (a tradition of helping each other) sayan (invitation to attend a certain celebration), Genten cecelukan or gentenan nedha (inviting each other to have dinner), nglayat or nyelawat (helping neighbors who expressed difficulties) and so on. The tradition is constructed by local knowledge that people need each others. That is why they should help other people. The tradition implies harmony folk wisdom to help each other because they recognize the need for the support of others themselves.

Keywords: local wisdom, Tengger community, harmony

AbstrAk

Kerukunan beragama menjadi prasyarat penting bagi Bangsa Indonesia untuk melakukan pembangunan. Model kerukunan beragama dapat ditemui pada kearifan lokal masyarakat dalam berbagai bentuk tradisi dan norma sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kearifan lokal Komunitas Tengger di Desa Ngadas Kabupaten Malang dalam membangun kerukunan beragama. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan studi kasus ini mengungkapkan komunitas Tengger di Desa Ngadas yang multi-agama yaitu Buddha, Islam, dan Hindu mampu memelihara kerukunan dan keharmonisan beragama melalui berbagai tradisi dan norma adat Tengger. Kerukunan beragama ini tercermin dalam tradisi gentenan (saling bergantian) untuk membantu hajatan sesama warga, sayan (undangan hajatan), genten cecelukan atau gentenan nedha (bergantian mengundang makan), nglayat atau salawatan (membantu tetangga yang kena musibah). Tradisi tersebut terbentuk dari pengetahuan lokal mereka bahwa setiap orang membutuhkan bantuan orang lain oleh karena itu mereka pun harus bersedia membantu orang lain.

Kata kunci: kearifan lokal, Tengger, kerukunan

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jln. Untung Suropati Kav. 69-70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang

Telp. (024) 7601327 Faks. (024) 7611386

e-mail: [email protected] diterima: 18 Juni 2014

Naskah direvisi: 2–9 Oktober 2014Naskah disetujui: 13 Nopember 2014

Page 72: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 201-213

202

Pendahuluan

Agama dalam realitas sosial masyarakat Indonesia yang multikultural memiliki wajah paradoks. Pada satu waktu agama memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain agama juga menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik (Muhammad, 1997). Paradoks wajah agama ini, menurut A. N. Wilson (dalam Kahmad, 2000: 165), diakibatkan oleh dilema agama itu sendiri sebagai motivator tindakan sosial yang menuntut sikap fanatik umatnya terhadap kebenaran agamanya. Hal ini menjadikan kecenderungan untuk membenarkan agamanya sendiri untuk tidak toleran pada agama orang lain, bahkan merasa berhak menghakimi orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Klaim-klaim kebenaran (truth claims) inilah yang kemudian banyak menimbulkan konflik antarumat beragama.

Pemerintah telah berusaha untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik antarumat beragama. Pada saat era Orde Baru, pemerintah memperkenalkan konsep Trilogi Kerukunan Umat Beragama yang meliputi kerukunan intern umat seagama, kerukunan antarumat yang berbeda agama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah (Depag RI, 1989). Meski sempat dianggap “ampuh” untuk meredam konflik-konflik antarumat beragama, konsep yang diintrodusir oleh pemerintah Orde Baru itu pun kembali dipertanyakan, menyusul maraknya kekerasan berdimensi agama yang terjadi setelahnya. Ada dugaan bahwa keberhasilan penerapan konsep kerukunan umat beragama yang dijalankan pemerintah orde baru tersebut karena sejalan dengan kebijakan politik yang lebih banyak menekankan pendekatan keamanan (security approach) untuk menjaga stabilitas nasional (Kahmad, 2000: 175).

Pada era Reformasi dan demokratisasi dewasa ini, model hubungan kerukunan antarumat beragama sebagai solusi atas konflik-konflik laten ini harus dicari berdasarkan masukan-masukan

dari bawah yang bersifat buttom up, tidak lagi top down. Pilihan ini perlu dilakukan agar kerukunan antarumat beragama tidak lagi berjalan semu. Pencarian model perlu dilakukan dengan melihat komunitas-komunitas kecil lintas agama yang di dalamnya hubungan antarumat beragama yang berbeda di antara mereka bisa berjalan dengan baik dan efektif. Komunitas-komunitas tersebut mampu memelihara kerukunan dalam keragaman agama oleh karena kearifan lokal yang dianut oleh anggota komunitasnya.

Kearifan lokal dapat ditemui pada nyanyian-nyanyian, pepatah-pepatah, sesanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Biasanya, kearifan lokal tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama dan dalam perkembangannya berubah wujud menjadi tradisi-tradisi, meskipun prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang. Haba (2007) menegaskan kearifan lokal setidak-tidaknya memiliki fungsi, yakni sebagai pendorong atas terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak solidaritas komunal, yang dipercaya berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.

Model kerukunan yang berbasis pada budaya lokal ini di antaranya dapat ditemukan di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Masyarakat desa yang terletak di lereng pegunungan Tengger, di tengah-tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ini merupakan masyarakat multiagama, di mana masyarakatnya ada yang memeluk agama Islam, Buddha, dan Hindu. Namun demikian, masyarakat Desa Ngadas tetap mampu memelihara kerukunan dan keharmonisan beragama, baik intern maupun antarumat beragama. Hal ini karena masyarakat Desa Ngadas memiliki adat tradisi Tengger yang mampu menyatukan mereka dan menguatkan solidaritas di antara mereka sendiri melampaui ikatan-ikatan keagamaan.

Page 73: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komuntias Tengger Malang JatimJoko Tri Haryanto

203

Penelitian mengenai masyarakat Tengger telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Purwanto (2007) meneliti perubahan sosial masyarakat Tengger dalam perspektif teori identitas sosial. Masyarakat Tengger yang terpencil pada masa Orde Baru juga tidak luput dari arus pembangunan. Ridei (2011) men-coba melihat relasi antara Islam dan budaya lokal dalam perilaku keberagamaan masyarakat muslim Tengger. Ia mendapatkan masyarakat Muslim Tengger saling berinteraksi dan berhubungan karena didasari persamaan dalam mencapai tujuan yang sama-sama yakini kebenarannya dan terikat pada suatu kebudayaan yang mereka hasilkan sendiri, yakni budaya Tengger itu sendiri. Secara sosiologis, masyarakat adat Tengger dalam kehidupannya cenderung mengedepankan rasa kekeluargaan, toleran, mengutamakan kerjasama secara masif (kolektif) dalam berbagai hal. Hal ini juga ditegaskan oleh Vina Salviana DS dan Deden Faturohman dalam Nurudin (ed) (2010) dalam buku Agama Tradisional, Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Anggota masyarakat Tengger melakukan interaksi internal (dalam keluarga) maupun hubungan eksternal (antaranggota masyarakat) yang mengikuti institusi sosial yang ada dan benar-benar dibatasi oleh codes of conduct, norma, adat, dan konvensi.

Terkait persoalan kerukunan beragama, hasil penelitian Tuanaya (2007) yang dilakukan di Kecamatan Sumber dan Sukapura Kabupaten Probolinggo pada tahun 2000 cukup penting. Ia menemukan bahwa hubungan (interaksi) masyarakat Tengger yang memeluk agama Islam dan Hindu hasilnya menunjukkan bahwa potensi konflik horizontal berlatar belakang agama bisa lebih besar, namun bisa diselesaikan dengan media adat istiadat (kearifan lokal). Penelitian Sodli (2012) membahas kearifan lokal bagi kerukunan umat beragama di Probolinggo Jawa Timur yang secara khusus mengulas kearifan lokal Tengger di Kabupaten Probolinggo. Dalam penelitiannya ini, Sodli mengungkapkan bahwa tradisi Karo memiliki dimensi kerukunan bagi masyarakat karena kegiatan tersebut melibatkan

semua masyarakat dari berbagai agama, baik dalam persiapan maupun prosesinya.

Artikel ini menjawab permasalahan, bagaimana kondisi hubungan sosial pada komunitas Tengger, Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Jawa Timur; dan bagaimana kearifan lokal mampu mendukung terciptanya kerukunan beragama bagi komunitas Tengger tersebut. Tulisan ini diharapkan akan dapat memberi informasi dan pengetahuan mengenai kehidupan suatu komunitas budaya dalam konteks kerukunan umat beragama, khususnya dalam komunitas Tengger di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Jawa Timur. Secara praktis, penelitian dapat menjadi landasan bagi penyusunan model pembinaan kerukunan umat beragama berbasis komunitas budaya lokal oleh pemerintah maupun institusi lainnya terkait kerukunan beragama di masyarakat.

Untuk menjelaskan rumusan masalah di atas, teori yang digunakan dalam artikel ini adalah teori kerukunan beragama dan teori kearifan lokal. Pengertian kerukunan umat beragama adalah terciptanya suatu hubungan yang harmonis dan dinamis serta rukun dan damai di antara sesama umat beragama di Indonesia, yakni hubungan harmonis antarumat beragama, antara umat yang berlainan agama dan antara umat beragama dengan pemerintah dalam usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat sejahtera lahir dan batin (DEPAG RI, 1989:90). Prinsip kerukunan umat beragama ini dalam konteks keindonesiaan dipakai sebagai kerangka untuk menjaga stabilitas pembangunan nasional. Toleransi kerukunan hidup antarumat beragama ini disebut dengan “Trilogi Kerukunan Umat Beragama” yaitu kerukunan intern dan antarumat beragama serta kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan hidup beragama menunjukkan pola hubungan antarberbagai kelompok umat beragama yang rukun, saling menghormati, saling menghargai

Page 74: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 201-213

204

dan damai, tidak bertengkar dan semua persoalan dapat diselesaikan sebaik-baiknya dan tidak mengganggu kerukunan hubungan antarumat beragama pada suatu daerah tertentu (Ali [ed.], 2009: 6). Variabel kerukunan beragama meliputi sikap hormat menghormati, bekerjasama, pemenuhan kebutuhan, saling percaya, tolong menolong, toleransi dan penyelesaian konflik.

Kerukunan beragama menunjukkan kondisi positif dari interaksi antarpemeluk agama. Interaksi antarumat beragama mencerminkan bagaimana agama difungsionalkan dalam konteks sosial. Dalam proses sosial ini, maka kondisi damai dan konflik menjadi bagaikan dua sisi mata uang dalam kehidupan manusia. Manusia berhubungan dengan pihak lain dapat berelasi secara asosiatif, tetapi dapat juga dissosiatif. Interaksi yang assosiatif adalah hubungan sosial dalam masyarakat terwujud dari adanya kehendak rasional antarelemen masyarakat, dalam pengertian segala hal yang disepakati bersama dan tidak bertentangan dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Proses ini mengarah pada semakin kuatnya ikatan antara pihak-pihak yang berhubungan. Proses ini meliputi bentuk kerjasama dan akomodasi. Di sisi lain, interaksi dissosiatif merupakan bentuk hubungan sosial yang mengarah pada perpecahan atau merenggangnya hubungan sosial antarpihak yang saling berhubungan. Proses ini dapat berbentuk persaingan, kontravensi, maupun pertentangan (Soekanto, 2003: 71).

Pada situasi masyarakat yang plural atau multikultur, potensi dissosiatif menjadi lebih kuat. Namun, masyarakat juga memiliki kepentingan untuk menjaga ikatan sosial mereka dalam berbagai perbedaan tersebut. Pengalaman panjang masyarakat dalam mengelola perbedaan agar dapat tetap menjaga kebersamaan mewujud dalam bentuk berbagai tradisi-tradisi lokal yang menguatkan kohesi sosial di antara mereka. Pada masyarakat yang masih memelihara bebagai tradisi komunal dan tradisi yang melibatkan masyarakat lingkungannya, cenderung akan

lebih kuat kohesi sosialnya. Tradisi-tradisi yang dipelihara oleh masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat pemiliknya.

Kearifan lokal dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah, wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’ (Ridwan, 2007: 27-38).

Kearifan lokal, menurut E. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini (dalam Ridwan, 2007: 27-38), merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz (dalam Ridwan, 2007: 27-38) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

Kaitannya dengan kerukunan sosial, termasuk kerukunan beragama, berbagai tradisi sebagai bentuk kearifan lokal memiliki fungsi penting. Kearifan lokal menjadi pendorong atas terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak solidaritas komunal (Haba, 2007).

Page 75: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komuntias Tengger Malang JatimJoko Tri Haryanto

205

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Desa Ngadas merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan berbagai tradisi dan adat budaya Tengger di Kabupaten Malang. Secara utuh kondisi kerukunan beragama di Desa Ngadas ini terjaga baik, meskipun masyarakat di desa ini terbagi dalam tiga agama, yaitu agama Buddha, Islam, dan Hindu. Kegiatan penelitian ini dilakukan Januari-Juni 2013, dengan pengumpulan data lapangan dilakukan bulan Maret dan Mei 2012.

Penelitian ini menggunakan pendekatan case study yang mencoba memahami nilai-nilai hidup dari subjek penelitian. Oleh karenanya, dalam penelitian ini metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif, dengan pendekatan etnografi, dan inkuiri-naturalistik, yang ditujukan kepada pemahaman-pemahaman aktualitas-aktualitas, realitas-realitas sosial dan persepsi-persepsi manusia.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data-data hasil riset di lapangan, baik dalam bentuk hasil wawancara mendalam, catatan observasi, maupun data dokumentasi. Wawancara dipergunakan untuk mendalami persoalan-persoalan penelitian yang ditujukan pada subjek penelitian atau narasumber yang dipilih (representative informant). Subjek penelitian ini adalah masyarakat yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, aparatur pemerintahan dan warga, yang dipandang representatif untuk memberi informasi terkait tema penelitian ini. Observasi atau pengamatan dipergunakan untuk mendapatkan gambaran langsung dari sasaran yang diteliti, meliputi suasana baik fisik maupun psikis, prosesi, properti, dan perilaku pihak-pihak terlibat dalam tradisi yang diteliti. Adapun dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data-data dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen yang telah terdokumentasikan dan atau mendokumentasikan kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan penelitian.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis (descriptive analysis) dan analisis reflektif (reflective analysis) yakni mengungkap situasi yang dikaji, relasi-relasi sosial yang berperan, dan pengaruh-pengaruh yang bisa ditimbulkan dari hubungan tersebut. Proses analisis ini dilakukan secara terus menerus (constant), secara sadar, dan cermat, sehingga hasil penelitian ini bersifat deskriptif-eksplanatif, yang merupakan salah satu ciri khas dari penelitian kualitatif. Analisis ini juga digunakan untuk mengelaborasi pemikiran yang lebih jelas tentang kearifan lokal yang membangun kerukunan di masyarakat.

hasil dan PeMbahasan

Setting Lokasi Penelitian

Komunitas Tengger di wilayah Kabupaten Malang hanya terdapat di satu desa, yakni Desa Ngadas. Lokasi Desa Ngadas yang berada di ujung timur kabupaten yang terpisah dengan desa lain bahkan berada di tengah-tengah hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) membuat desa ini sangat orisinil dalam menjalankan adat dan budaya Tengger yang diwariskan nenek moyangnya. Posisi Desa Ngadas terletak di pinggiran pojok Kabupaten Malang, di mana jarak dari Kota Kabupaten sekitar 50 Km, dan jarak dari kota kecamatan Poncokusumo sekitar 26 Km ke arah Gunung Bromo dengan ketinggian 2100 meter di atas permukaan laut.

Luas wilayah Desa Ngadas 414 ha, yang terdiri dari 384 ha lahan pertanian (Tegalan) dan 30 ha Pemukiman Penduduk. Desa Ngadas, terdiri dari 12 RT (Rukun Tetangga), dan 2 RW (Rukun Warga) atau Dusun yakni Dukuh Ngadas dan Dusun Jarakijo. Desa Ngadas memiliki 485 KK dengan jumlah penduduk 1.834 jiwa yang terdiri dari 933 laki-laki dan 901 perempuan. Masyarakat Desa Ngadas mayoritas bermata pencaharian dalam bidang agraris (petani/pekebun) baik petani pemilik maupun buruh tani.

Sekarang ini berkembang beberapa agama yang dipeluk oleh warga Desa Ngadas. Agama Buddha dipeluk oleh mayoritas warga Ngadas

Page 76: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 201-213

206

dan dianggap sebagai agama yang asli dari nenek moyang mereka. Hal ini berbeda dengan daerah Tengger lainnya yang di sejak tahun 1973 lebih memilih agama Hindu sebagai agama formal yang mereka anut. Masyarakat Desa Ngadas lebih memilih agama Buddha karena keyakinan mereka bahwa agama yang mereka lakukan selama ini adalah agama Buddha (Sutarto, 2011).

Menurut kajian Parisada Hindu Dharma Provinsi Jawa Timur tahun 1973, agama yang dianut orang Tengger adalah Buddha Mahayana. Namun demikian, ditilik dari cara beribadah dan upacara keagamaannya, agama tersebut kurang menunjukkan adanya tanda ke-Buddhaan kecuali pada mantra yang dimulai dengan kata Hong, biasa memang dipakai oleh Umat Buddha. Agama Masyarakat Adat Tengger sebenarnya dianggap cenderung kepada agama Buddha Mahayana, meskipun bila ditinjau dari cara beribadah dan kepercayaannya lebih cenderung pada perpaduan antara Buddha, Hindu, dan kepercayaan tradisional (Aziz, 2011: 67)

Komposisi penduduk berdasarkan agama di Desa Ngadas sebagai berikut: pemeluk agama Buddha 906 orang atau 49,4 %. kemudian umat Islam 817 orang atau 44,5 %, umat Hindu 107 orang atau 5,8 %, dan umat Kristen 4 orang atau0,3%. (data Kaur Pemerintahan Desa Ngadas 2012). Adapun Katolik dan Konghucu tidak ada yang dianut oleh warga Desa Ngadas. Meskipun secara umum warga mayoritas beragama Buddha, khusus di Dusun Jarakijo, semua warga telah memeluk agama Islam (100%), sehingga komposisinya di dusun Ngadas sendiri umat Islam hanya sekitar 30% dan umat Buddha 60%.

Adapun tempat ibadah umat Islam di Desa Ngadas sebagai berikut: masjid tiga unit (satu unit di Dusun Ngadas dan dua unit di dusun Jarakijo), dan mushala satu unit di dusun Ngadas. Tempat ibadah untuk umat Buddha, wihara, dan umat Hindu, pura masing-masing satu unit di dusun Ngadas (Profil Desa Ngadas 2011). Selain tempat-tempat ibadah agama tersebut, di Desa Ngadas juga memiliki lokasi-lokasi yang disucikan dan dikeramatkan yang menjadi lokasi ritual adat

Tengger. Di Dusun Ngadas yang merupakan dusun utama, terdapat Sanggar, makam Mbah Sedek, dan Danyang, sedangkan di dusun Jarakijo lokasi keramat hanya ada satu lokasi Danyang.

Walau terpolarisasi dalam banyak agama, namun masyarakat Desa Ngadas tetap taat dan tunduk pada adat Tengger. Kuatnya pengaruh adat Tengger juga disebabkan oleh pandangan masyarakat Desa Ngadas yang cukup kuat terhadap kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di lingkungan mereka. Masyarakat Ngadas, meskipun melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama yang dipeluknya, tetapi mereka pun memiliki keyakinan yang kuat terhadap roh, arwah orang yang meninggal, dan makhluk halus. Mereka meyakini bahwa desa mereka dijaga dan dilindungi oleh roh-roh yang menjaga desa, ladang dan sumber mata air. Untuk itu mereka harus senantiasa berhubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut agar tercipta kedamaian dalam kehidupan di masyarakat melalui upacara-upacara tradisi yang dilakukan baik di sanggar, di makam keramat, di danyang, di sumber air, maupun di rumah-rumah.

Tokoh sentral dalam kegiatan tradisi Tengger adalah Dukun Adat. Dukun Adat di Desa Ngadas ini adalah Mbah Ngatrulin yang telah menjadi Dukun Adat sejak tahun 1960-an. Dalam melakukan tradisi-tradisi Tengger, maupun kegiatan lainnya, warga Desa Ngadas memiliki kepercayaan terhadap adanya hari baik dan hari buruk berdasarkan sistem penanggalan Tengger yang merupakan sistem penanggalan Jawa Kuno. Untuk itu, biasanya Dukun Adat dan kepala Desa menentukan waktu pelaksanaan tradisi sesuai aturan adat Tengger, yang disebut Mecak.

Kelembagaan formal berdasarkan perun-dangan-undangan secara formal adalah kepala desa, tetapi dalam konteks adat Tengger wilayah pemerintahan berarti kepala desa sekaligus sebagai petinggi yang memimpin keadatan Tengger. Posisi kepala desa sekaligus sebagai petinggi adat diperoleh secara inisiasi dan legitimasi spiritual melalui tradisi Mayu Desa, oleh karena itu juga sering dipanggil sebagai

Page 77: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komuntias Tengger Malang JatimJoko Tri Haryanto

207

pak Petinggi atau pak Inggi. Kepala desa ini dituntut oleh masyarakat sebagai penjaga tradisi bersama-sama dengan dukun adat yang menjadi pemimpin pelaksana tradisi Tengger.

Wilayah Tengger dapat dikatakan sebagai wilayah yang masyarakatnya masih tradisional. Sifat-sifat tradisional itu biasanya mengandung unsur-unsur berupa alam pikiran yang magis-animitis; ikatan kelompok yang kuat; dan berbagai kewajiban dan pantangan yang memiliki konsekuensi dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal tersebut melahirkan berbagai ekspresi kebudayaan termasuk didalamnya tradisi-tradisi yang menandai budaya dan identitas Tengger. Desa Ngadas mempunyai berbagai macam keunikan budaya dan adat istiadat berupa berbagai macam upacara ritual yang masih utuh yang terus diagungkan.

Upacara ritual yang dilaksanakan di desa tersebut adalah Tradisi Karo, Upacara Pujan, Upacara Kasada, Galungan, Unan-unan, Mayu Desa, dan Bari’an. Selain ritual yang umum tersebut, masyarakat juga menyelenggarakan tradisi dalam rangkaian siklus hidup yaitu kelahiran (selamatan sayut, sekul brokohan, cuplak puser, among-among, tugel gombak/kuncung); khitanan; pernikahan (saptawala, pancagara, walagara), kematian (nyelawat, entas-entas). Berbagai tradisi tersebut harus disesuaikan dengan perhitungan penanggalan Tengger dan dipimpin oleh Dukun Adat.

Bentuk lain yang menguatkan identitas penampilan mereka sebagai orang Tengger adalah penggunaan sarung dalam penampilan sehari-hari, termasuk saat ke ladang maupun acara lainnya. Sarung tidak sekedar sebagai penghangat tubuh saja, karena bagi warga Desa Ngadas, sarung memiliki makna ojo nyasar ojo ndlurung. Artinya tidak tersesat dan tidak bingung arah, orang diharapkan tidak nyasar dan tidak dlurung, nyasar itu ke mana-mana dan dlurung itu tidak tahu arah. Ciri identitas lainnya adalah penggunaan bahasa Tengger yang agak berbeda dengan bahasa Jawa umumnya. Hal ini karena beberapa kosakata yang umum dipergunakan

oleh orang Tengger merupakan kosakata kuno dalam bahasa Jawa. Misalnya untuk menyebut saya dengan kata Reang (untuk laki-laki) atau Isun (untuk perempuan), Rika atau Sira untuk menyebut kamu, picis untuk menyebut uang, paran (apa) dan sebagainya.

Kondisi Kerukunan Beragama di Desa Ngadas

Kerukunan beragama terwujud dalam praktik-praktik keseharian di masyarakat Desa Ngadas. Terlebih spasial atau pola hunian pemukiman di desa Ngadas tidak ada pembagian khusus berdasarkan agama. Semua umat beragama di Desa Ngadas hidup secara membaur antara umat agama satu dengan agama lainnya. Hal ini menandakan tidak ada persoalan dalam perbedaan agama, dan rasa kebersamaan sebagai warga Tengger sangat kuat mendukung terwujudnya kerukunan ini.

Praktik saling menghormati ditunjukkan dengan kesediaan untuk memenuhi undangan dari orang lain. Dalam tradisi Desa Ngadas, undangan ini disebut sayan, apabila seseorang mendapatkan undangan untuk menghadiri hajatan warga yang lain maka ia harus hadir. Tradisi membagi makanan juga biasa dilakukan, terutama pada saat hari raya. Pola pemukiman yang membaur menjadikan tetangga kanan-kiri tanpa membedakan agama akan mendapatkan ater-ater atau bingkisan makanan. Pada hari raya Karo, terdapat tradisi genten cecelukan, yaitu tradisi saling mengundang makan tetangga. Bagi yang diundang untuk makan harus datang, dan sebaliknya di kesempatan lain harus mengundang orang yang telah mengundang tersebut.

Praktik kerjasama dalam urusan kemasyara-katan maupun pribadi juga hal yang umum dilakukan oleh warga Desa Ngadas. Dalam kegiatan umum kegiatan seperti gotong-royong dan kerja bakti dilakukan bersama-sama oleh warga tanpa membeda-bedakan agama, seperti berbaikan jalan, dan juga pembangunan sarana umum jalan dan sekolahan. Bahkan dalam pembangunan rumah ibadah di Desa Ngadas, semua warga turut berpartisipasi, misalnya

Page 78: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 201-213

208

dalam pembangunan masjid di Dusun Ngadas yang turut bergotong royong tidak hanya umat Islam saja, tetapi umat Buddha dan Hindu pun turut membantu. Sebaliknya pula, pada saat pembangunan Wihara dan Pura, umat Islam pun turut membantu dalam proses pembangunannya.

Demikian juga dalam pelaksanaan kegiatan tradisi, seperti perayaan Karo dan perayaan lainnya, semua warga masyarakat terlibat dalam persiapannya maupun prosesinya. Tradisi perayaan Tengger yang ada di Desa Ngadas diikuti oleh semua umat beragama yang ada. Hal ini karena tradisi tersebut merupakan budaya Tengger yang bagi warga Desa Ngadas harus dipelihara, dan menjadi ikatan penguat sesama warga Tengger di Desa Ngadas. Berbagai tradisi yang dilaksanakan oleh warga Desa Ngadas merupakan sarana pertemuan antarwarga sehingga mampu menjadi daya rekat atau kohesi sosial dalam masyarakat.

Kegiatan warga yang merupakan kepentingan pribadi, seperti hajatan, membangun atau memperbaiki rumah juga saling bantu atau gentenan. Istilah gentenan, secara umum menunjukkan saling berbagi bantuan, yakni seseorang yang akan menyelenggaraan hajatan atau suatu pekerjaan akan mengundang orang lain untuk membantu. Bantuan tersebut dapat disebutkan bentuk bantuannya, apakah tenaga, uang atau barang. Pada saat orang yang membangtu tersebut memiliki hajatan atau pekerjaan, maka tetangga yang tadinya telah dibantu akan gentenan (kebalikannya) membantu dengan bentuk yang serupa dari apa yang telah diterimanya, dan ditambah lagi dengan bentuk lain, sehingga nantinya harus diganti lagi, demikian seterusnya.

Namun untuk kegiatan yang termasuk musibah, maka tolong menolong ini tidak bersifat gantian, karena siapapun yang terkena musibah maka sesama warga akan turut membantu tanpa harus ada penggantian. Misalnya keluaga yang mendapat musibah kematian, maka tetangga akan datang untuk nglayat atau nyelawat. Bapak-bapak akan datang untuk nyelawat biasanya

membawa uang untuk dikumpulkan di toples dekat jenazah, sedangkan ibu-ibu membawa beras. Untuk mempersiapkan keranda dan menggali makam dilakukan secara gotong royong oleh bapak-bapak, sementara ibu-ibu memasak di dapur untuk keluarga dan tamu yang datang. Dalam kesempatan ada musibah kematian semacam ini, maka semua warga tidak ada yang pergi ke tegalan atau ladang. Sejak pagi mereka, terutama bapak-bapak sudah bergerombol di rumah almarhum dan sekitar rumah menunggu pemberangkatan jenazah ke makam.

Kerjasama juga dilakukan dalam bidang usaha seperti pertanian maupun peternakan. Di desa Ngadas tidak semua orang memiliki lahan sendiri, sementara yang memiliki lahan juga tidak mampu menggarap semua lahannya yang luas. Dengan kondisi semacamini maka kerjasama usaha menjadi hal yang umum, yakni berupa kerjasama sistem bagi hasil. Di sini dikenal istilah paron (setengahan) atau pertigan (sepertiga) untuk kerjasama di bidang pertanian dan peternakan. Dalam kerjasama tersebut, baik sistem paron atau pertigan, ataupun menyewakan lahan di Desa Ngadas tidak mengenal perjanjian tertulis. Antarsesama warga Desa Ngadas saling percaya dan berupaya untuk jujur. Apabila ada salah satu pihak yang tidak bisa memenuhi perjanjian karena suatu hal, ia tinggal memberitahukan dan biasanya akan dimaklumi, dan nanti akan diperhitungkan di saat panen atau diakhirnya. Hal ini karena masing-masing warga saling menjaga agar ucapan dan perjanjiannya dapat dijadikan pegangan. Sikap ini didasari ungkapan nek sapi sing dicekel kancute, nek wong sing dicekel omonge, kalau sapi yang dipegang talinya, kalau manusia yang dipegang ucapannya atau janjinya. Hal ini mendorong sikap dapat dipercaya dan mempercayai sesama waga di Desa Ngadas.

Indikator kerukunan lainnya yang penting adalah sikap toleransi beragama. Hubungan sesama maupun antarumat beragama berjalan dengan baik karena adanya sikap toleransi dalam bermasyarakat. Walaupun ada tiga

Page 79: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komuntias Tengger Malang JatimJoko Tri Haryanto

209

agama, yakni Buddha, Islam, dan Hindu, serta beberapa Kristen, hubungan sosial berjalan dengan baik didasari nilai-nilai budaya Tengger yang dianut oleh warga Desa Ngadas. Masyarakat memilki kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, rumah ibadah di Desa Ngadas, berupa Wihara, Masjid, dan Pura dibangun secara bergotong-royong yang melibatkan semua masyarakat dari beberapa agama tersebut. Masjid di Dusun Ngadas dibangun dari tanah yang dibeli dari warga beragama Hindu dengan setengah harga dari yang seharusnya, sebagai bentuk rasa kebersamaan untuk mendukung sesama warga Desa Ngadas dalam menjalankan ibadah.

Kearifan Lokal Masyarakat Ngadas bagi KerukunanPengakuan atas Kebutuhan terhadap Orang Lain

Pandangan hidup masyarakat Desa Ngadas sangat dipengaruhi oleh budaya Tengger. Dalam budaya Tengger, hidup manusia tergantung kepada pihak di luar dirinya, mulai dari yang bersifat adikodrati. Pandangan hidup semacam ini dilandasi pemikiran masyarakat bahwa mereka manusia sesungguhnya lemah, dan dapat menjadi kuat karena dikuatkan dengan dukungan dari pihak-pihak lain tersebut. Pihak-pihak tersebut harus dihormati dan disampaikan rasa syukur, oleh karena pihak-pihak tersebut yang telah menjadikan mereka mampu bertahan hidup, mewujudkan keinginannya, memperoleh kesejahteraan, dan melindungi mereka dari mara bahaya.

Masyarakat Tengger yang masih memiliki kepercayaan terhadap adanya makhluk-makhluk ghaib yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan mereka, maka penghormatan juga ditujukan pada para makhluk-makhluk ghaib tersebut. Mereka yakin bahwa makhluk-makhluk ini hidup berdampingan dengan manusia. Oleh karena itu, sebagai sesama makhluk yang mendiami wailayah yang sama, maka harus ada sikap saling hormat. Bahkan, keberadaan makhluk tersebut telah lebih dahulu mendiami wilayah desa sehingga manusia sebagai pendatang baru

harus menghormati mereka dan meminta ijin pada mereka apabila akan melakukan sesuatu. Dengan sikap hormat semacam ini, maka makhluk-makhluk gaib tersebut akan menjaga keselamatan seluruh desa dan menghindarkan desa dari marabahaya.

Sikap hormat dan rasa terimakasih ini diwujudkan dalam berbagai tradisi di Desa Ngadas, seperti tradisi Pujan, Karo, Kasodo, Mayu Desa dan sebagainya. Tradisi-tradisi tersebut menyiratkan pengharapan dan rasa terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus pada makhluk-makhluk ghaib yang dipandang menjadi penunggu dan penjaga desa.

Pandangan hidup di atas mendasari bagaimana masyarakat Desa Ngadas dalam hubungannya dengan orang lain. Pandangan bahwa manusia tergantung pada pihak-pihak lain melahirkan sikap untuk saling mendukung satu sama lain. Sikap saling dukung diwujudkan dalam bentuk sikap saling hormat menghormati, bekerjasama, dan menghargai orang lain yang semuanya itu terwujud dalam norma perilaku kesopanan secara adat. Orang yang tidak sopan santun dipandang buruk dalam pergaulan sosial, karena itu muncul istilah yang negatif bagi perilaku yang dipandang kurang susila atau sopan santun dalam masyarakat. Di antara istilah yang ada adalah ora ruh kenuh, ini istilah bagi orang yang tidak tahu sopan santun dalam adat pergaulan. Tiap orang dituntut untuk mengikuti norma sosial yang berlaku dan tidak berbuat semaunya sendiri atau diistilahkan oleh orang Ngadas dengan Ngosokh.

Demikian pula terhadap bantuan dan dukungan pihak lain bagi kepentingan dirinya, maka harus dibalas melalui pemberian yang setimpal. Aturan kesopanan menuntut agar setiap pemberian harus diterima dengan baik, dan harus dibalas dengan baik pula. Pemberian dari Tuhan, dan alam atau bumi berupa hidup dan kehidupan, serta pemberian bantuan dari makhluk-makhluk gaib yang turut melindungi keselamatan desa juga harus dibalas dengan sikap penyembahan, pujan, dan sesaji. Demikian pula

Page 80: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 201-213

210

pemberian bantuan dan kebaikan dari sesama manusia pun harus dibalas dengan baik.

Tradisi Gentenan sebagai Penguat Solidaritas dan Kerukunan

Pengakuan bahwa manusia tidak mampu tanpa bantuan orang lain di lingkungannya, pengakuan terhadap pentingnya dukungan dan bantuan dari pihak lain ditradisikan dalam bentuk tradisi gentenan. Gentenan artinya bergantian, yakni seseorang melakukan sesuatu kepada orang lain baik berupa bantuan maupun undangan dalam suatu kesempatan dan sebaliknya, pada kesempatan yang lain ia akan mendapat bantuan atau undangan sebaliknya dari orang lain. Gentenan berarti juga membalas budi secara setimpal terhadap pihak yang membantunya atau memberikan kebaikan kepada dirinya.

Apabila ada seorang warga di Desa Ngadas akan menyelenggarakan suatu hajatan, maka ia akan mengundang tetangga-tetangganya untuk berpartisipasi dalam acaranya tersebut. Undangan untuk mengikuti acara semacam itu disebut sayan. Namun kalau undangan itu untuk membantu menyiapkan kebutuhan hajatan, maka hal itu baru disebut gentenan. Untuk kepentingan itu, maka keluarga yang akan menyelenggarakan hajatan harus mendatangi sendiri orang-orang yang hendak diajak untuk gentenan dan mengutarakan maksudnya.

Barang-barang yang diminta tersebut akan dipergunakan untuk perlengkapan, kebutuhan, maupun biaya kegiatan hajatan. Bisa juga kebutuhan untuk membangun rumah, misalnya gentenan dalam bentuk semen atau bata atau uang. Pada saat orang yang diajak gentenan tersebut ganti punya hajatan, maka harus diganti dengan barang yang di-genten-kan. Kalau dalam bentuk barang ya dikembalikan dalam bentuk barang, kalau dalam bentuk uang juga dikembalikan dalam bentuk uang. Gentenan itu akan dianggap sebagai hutang atau tanggungan yang harus dibayar di hari lain saat si penyumbang tersebut melaksanakan hajatan.

Namun demikian, ada pula gentenan yang tidak menyebutkan bentuk gentenan-nya. Yakni, apabila ada sayan atau undangan untuk ikut hajatan atau kegiatan salah satu warga, maka ia datang dan membawa sumbangan terserah si penyumbang, bisa berupa barang atau uang. Sumbangan tersebut tetap akan dicatat oleh pihak yang punya hajat, yang disebut mepekan, yakni mencatat pemberian. Pencatatan ini gunanya untuk gentenan saat si penyumbang mengundang untuk hajatan atau acara. Jenis barang yang nantinya di-genten-kan juga sama, sesuai dengan yang ada di catatan mepekan tersebut.

Pada saat tamu atau penyumbang melaksanakan hajatan, maka dia akan mendapatkan gentenan-nya dari apa yang pernah ia sumbangkan ke orang lain ditambah dengan sumbangan lainnya. Tambahan ini akan dicatat pula dalam mepekan sebagai gentenan lagi, yaitu istilahnya gentenan nyurung. Jadi orang yang pernah gentenan tidak hanya membayar “hutang” saja tetapi juga menyumbang lagi dalam bentuk barang/uang yang diperhitungkan sebagai gentenan. Hal ini menyebabkan setiap orang merasa selalu punya tanggungan kepada orang lain, dan akhirnya membuat ikatan sosial tetap terjalin di antara mereka.

“Dengan gentenan ini, persaudaraan tidak terputus ketika yang satu mempunyai hajat yang lain membantu, karena kalau yang tadi membantu punya hajat, gentian kita juga akan mengembalikan yang diberikan plus dengan barang lain sehingga ia juga punya tanggungan lagi untuk gentenan lagi.” (wawancara dengan Timbul Orip)

Selain gentenan dalam bentuk sumbangan untuk hajatan, maka ada pula istilah genten cecelukan atau gentenan neda. Tradisi genten cecelukan ini adalah tradisi saling bergantian mengundang makan. Dalam suatu waktu tertentu, biasanya pada hari raya seperti masa perayaan karo yang secara umum dilakukan oleh warga Desa Ngadas maupun saat hari raya idul fitri bagi umat Islam, warga saling mengundang

Page 81: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komuntias Tengger Malang JatimJoko Tri Haryanto

211

tetangga atau kenalannya untuk makan bersama di rumahnya. Undangan makan atau gentenan neda ini tidak terbatas pada sesama agama saja, tetapi berlaku untuk semuanya warga. Dalam kesempatan genten cecelukan ini, seseorang akan mengundang makan beberapa tetangga atau kenalannya, dan nantinya mereka akan gantian mengundang makan kembali di rumahnya masing-masing secara bergantian atau bergiliran.

Khusus apabila gentenan cecelukan ini dilaksanakan pada musim Perayaan Karo, maka gentenan cecelukan ini disebut ngrowan. Dalam perayaan Karo yang terdiri atas tiga tahapan ritual yaitu ping pitu, perpegan, dan sadranan yang bisa mencapai waktu sampai 4-8 minggu, genten cecelukan atau ngrowan ini dilakukan disela-sela tahapan prosesi adat Karo tersebut. Ngrowan ini dilakukan melalui kesepakatan beberapa orang untuk saling genten cecelukan atau gentenan neda secara bergiliran.

Dari praktik gentenan di atas, maka warga Ngadas tidak saja membangun kepercayaan di antara mereka sebagai modal sosial dalam upaya adaptasi memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga membangun kerukunan melalui berbagi kegembiraan. Pandangan diri sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain tercermin dalam tradisi gentenan.

Kearifan lokal masyarakat Tengger di Desa Ngadas terkait hubungan antarumat beragama dilandasi pengetahuan mengenai tatakrama berinteraksi sosial. Hubungan masyarakat di Desa Ngadas ini menunjukkan model interaksi tatap muka sebagaimana yang diidentifikasi oleh Manning (dalam Salim, 2008: 17), tentang empat prinsip interaksional. Pertama, interaksi harus menunjukkan kepantasan situasi atau pengetahuan praktis mengeni cara bersikap dalam situasi sosial. Kedua, orang harus menunjukkan tingkat keterlibatan yang pantas dalam situasi sosial tertentu. Ketiga, orang harus menunjukkan “civil-attention” di mana mereka menyediakan wilayah terbuka untuk saling mengenal dan berinteraksi. Keempat, interaksi

harus dapat diakses orang lain karena telah membuka wilayah terbuka yang apabila gagal dimasuki orang lain maka interaksi sosial akan gagal pula. Masyarakat Ngadas memiliki norma, tradisi, dan tata nilai pergaulan yang mendorong semua warganya terlibat dalam interaksi sosial tersebut.

Interaksi sosial masayarat Desa Ngadas juga memiliki kesesuaian dengan pandangan tentang pertukaran sosial. Praktik tradisi gentenan sangat jelas menunjukkan hal tersebut, di mana perilaku individu dengan memberikan sesuatu kepada orang lain memiliki motif memperoleh pertukaran yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini erat hubungannya dengan pilihan rasional, di mana keputusan bersikap dan berperilaku dalam konteks interaksi sosial ditentukan rasionalisasi atas pilihan sikap yang diambil (Ritzer, 2004: 354). Masyarakat Ngadas berinteraksi secara assosiatif dengan semua anggota warganya karena pilihan ini akan memberi keuntungan bagi dirinya, mendukung keberlangsungan drinya dalam kelompok, dan memberi keuntungan jangka panjang. Tradisi gentenan menjadi investasi masa depan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dalam penyelengaraan hajatan. Pertukaran dalam tradisi ini dalam bentuk tidak langsung mampu mendukung terjadinya integrasi dan kohesi sosial.

Interaksi antarumat beragama masyarakat Ngadas juga mencerminkan bagaimana agama difungsionalkan dalam konteks sosial. Manusia berhubungan dengan pihak lain dapat berelasi secara asosiatif, tetapi dapat juga dissosiatif. Interaksi yang assosiatif adalah hubungan sosial dalam masyarakat terwujud dari adanya kehendak rasional antarelemen masyarakat, dalam pengertian segala hal yang disepakati bersama dan tidak bertentangan dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Proses ini mengarah pada semakin kuatnya ikatan antara pihak-pihak yang berhubungan. Proses ini meliputi bentuk kerjasama, dan akomodasi. Di sisi lain, interaksi dissosiatif merupakan bentuk hubungan sosial yang mengarah pada perpecahan atau

Page 82: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 201-213

212

merenggangnya hubungan sosial antarpihak yang saing berhubungan. Proses ini dapat berbentuk persaingan, kontravensi, maupun pertentangan (Soekanto 2003. 71). Proses-proses interaksi sosial dalam masyarakat Tengger di Desa Ngadas menunjukkan model interaksi assosiatif tersebut.

PenutuP

Masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang merupakan salah satu desa yang masih memegang tradisi budaya Tengger. Di desa ini terdapat empat agama yang dipeluk oleh masyarakatnya, yaitu Buddha, Islam, Hindu, dan Kristen. Walaupun terdapat perbedaan agama, tetapi hubungan umat beragama, baik intern maupun antarumat beragama terjalin secara sangat baik. Hal ini disebabkan adanya tradisi-tadisi lokal yang mengokohkan kohesi sosial sehingga terwujud kerukunan beragama.

Kondisi kerukunan ini terwujud dalam praktik-praktik sosial masyarakat Desa Ngadas, seperti tradisi Sayan (undang), tradisi Gentenan dan Genten Cecelukan (saling bergantian membantu, dan bergantian mengundang makan), dan tradisi Nyelawat (Slawatan) atau nglayat apabila ada musibah kematian. Bidang kerjasama, masyarakat Desa Ngadas biasa melakukan kerjasama dalam bidang pertanian dan peternakan dengan sistem Paron atau Pertigan. Hubungan sesama maupun antarumat beragama berjalan dengan baik karena adanya sikap toleransi dalam bermasyarakat dengan baik didasari nilai-nilai budaya Tengger.

Kerukunan, termasuk juga kerukunan beragama, di desa Ngadas dalam wujud praktik sosial diatas dilandasi suatu kearifan dari budaya Tengger yang dipegang kuat oleh masyarakatnya. Dalam budaya Tengger, hidup manusia tergantung kepada pihak di luar dirinya, mulai dari yang bersifat adikodrati. Masyarakat Desa Ngadas meyakini bahwa terhadap bantuan dan dukungan pihak lain bagi kepentingan dirinya, maka harus dibalas melalui pemberian yang setimpal. Aturan kesopanan menuntut agar setiap pemberian

harus diterima dengan baik, dan harus dibalas dengan baik pula. Pada akhirnya kesadaran atas ketergantungan pada orang lain, dan sikap membalas kebaikan orang lain mendorong ikatan sosial yang kuat. Terlebih melalui tradisi balas-membalas kebaikan yang ditradisikan melalui tradisi gentenan menguatkan kohesi sosial antarwarga Desa Ngadas.

daftar Pustaka

Ali, Mursyid (ed.). 2009. Pemetaan kerukunan kehidupan beagama di berbagai daerah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama.

Aziz, Noor M. 2011. Laporan Akhir Tim Pemantauan dan Inventarisasi Perkembangan Hukum Adat Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta : Kementerian Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Agama RI. 1989. Pedoman Dasar Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Agama Republik Indonesia

Haba, John. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean Commision.

Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Rosdakarya

Muhammad, Afif. 1997. Kerukunan Beragama Pada Era Globalisasi, Makalah Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Jati Bandung ke-29, tanggal 8 April 1997

Nurudin (ed). 2010. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS

Pemerintah Desa Ngadas. 2011. Dokumen Profil Desa Ngadas 2011.

Purwanto, Edi. 2007. Representasi Wong Tengger atas Perubahan Sosial dalamPerspektif Social Identity Theory (Studi Etnografis di

Page 83: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komuntias Tengger Malang JatimJoko Tri Haryanto

213

Sodli, Ahmad. 2012. Kearifan Lokal Bagi Kerukunan Umat Beragama di Probolinggo Jawa Timur. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang

Soekanto, Suryono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Sutarto, Ayu. 2006. “Sekilas tentang Masyarakat Tengger”. Makalah disampaikan dalam Pembekalan Jelajah Budaya 2006 pada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7-10 Agustus 2006.

Tuanaya, A Malik MT. 2007. Pura dan Masjid: Konflik dan Integrasi Pada Suku Tengger. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

Desa Wonokerto dan Ngadas Probolinggo). Skripsi UIN Malang.

Ridei, Mohamad. 2011. Relasi Islam dan Budaya Lokal: Perilaku Keberagamaan Masyarakat Muslim Tengger (di Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur). Tesis Pascasarjana UIN Malang.

Ridwan, Nurma Ali. 2007. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. Jurnal Studi Islam dan Budaya Ibda’ Vol.5/No.1/Januari-Juni 2007. Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto, 27-38.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Salim, Agus. 2008. PengantarSosiologi Mikro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 84: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 201-213

214

Page 85: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo: Syariat dalam Islam JawaAgus Iswanto

215

SYARIAT DALAM ISLAM JAWA (Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam

Koleksi Museum Sonobudoyo)

Sharia in Javanese Islam (Intertextuality of Kempalan Kitab-kitab Islam Manuscript of Museum Sonobudoyo Collection)

AGUS ISWANTO

AbstrAct

Intertextuality of a religious manuscript can be used to understand the meaning and position of religious thought in the text. This research focuses on the relation between shari’ah/fiqh and tasawuf/hakikat in Yogyakarta Sultanete Milieu, through intertextual analysis of the manuscript Kempalan Kitab-Kitab Islam (code: MSB/H/15/SK92), a collection of Sonobudoyo Museum in Yogyakarta. This manuscript was studied by seeing its position between two texts in two traditions (keraton and pesantren), but in the same milieu (Sultanete Yogyakarta), i.e Serat Suryaraja (royal heritage of Yogyakarta Sultanete) and Al-Sunī al-maṭālib fī isṭilāḥal-‘awāqib by Kiai Nur Iman from Pesantren Mlangi of Yogyakarta. This research shows that Kempalan Kitab-Kitab Islam can be seen as a point which signifies the acceptance of sharia as part of a way of achieving “ilmu kesempurnaan” (the science of perfection) in the conception of Sufism in Java.

Keywords: Kempalan Kitab-kitab Islam Manuscript, intertextuality, Yogyakarta Sultanete, syariah, tasawuf

AbstrAk

Hubungan intertekstualitas sebuah naskah keagamaan dapat membantu untuk memahami makna dan posisi sebuah pemikiran keagamaan yang tertuang dalam teks naskah tersebut. Penelitian ini melihat bagaimana aspek syariah atau fikih yang tertuang dalam naskah Jawa serta hubungannya dengan aspek tasawuf/hakikat yang berada di lingkungan Kesultanan Yogyakarta, melalui analisis intertekstual Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam (kode MSB/H/15/SK92) koleksi Museum Sonobudoyo di Yogyakarta. Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam dilihat posisi dan maknanya dengan menelaah dua teks di dua tradisi (keraton dan pesantren), yang sama-sama dalam satu lingkungan Kesultanan Yogyakarta, yakni Serat Suryaraja yang merupakan pusaka keraton Yogyakarta, dan Al-Sunī al-maṭālib fī isṭilāḥal-‘awāqib karya Kiai Nur Iman dari Pesantren Mlangi Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam dapat dipandang sebagai satu titik yang menandakan penerimaan syariat sebagai bagian dari jalan mencapai “ilmu kasampurnan” dalam konsepsi tasawuf di Jawa.

Kata kunci: Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam, intertekstualitas, Kesultanan Yogyakarta, syariah, tasawuf

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama JakartaJln. Rawa Kuning No. 6 Cakung

Jakarta Timur (13950)Telp. (021) 4800725

Faks. (021) 4800712e-mail: [email protected]

Naskah diterima: 20 Mei 2014Naskah direvisi: 2–9 Oktober 2014

Naskah disetujui:14 Nopember 2014

Page 86: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 215-226

216

Pendahuluan

Penelitian naskah keislaman di Jawa sering lebih kepada naskah yang bernuansa sastra dan tasawuf/mistik (Steenbrink, 1988), seperti studi Zoetmulder (1991), Simuh (1988), dan Muslich (2006). Sebaliknya, naskah-naskah yang berisi ajaran fikih dapat dikatakan kurang tersentuh. Akibatnya, Islam Jawa, dalam beberapa literatur, kerap dipandang sebagai Islam sinkretik, Islam “nominal,” atau Islam “heteredoks” sebagai lawan dari Islam “ortodoks.” Hal ini karena Muslim Jawa, terutama di lingkungan keraton, dipandang lebih menerima aspek mistik Islam (tasawuf) (Geertz, 1976; Simuh, 2003).

Sejumlah penelitian telah menyangkal hal tersebut, meskipun kebanyakan bukan ber-dasarkan pada data naskah. Beberapa penelitian berpijak pada lingkup antropologis atau sosio-logis, seperti Woodward (1989), Muhaimin (2006), dan Pranowo (2009). Woodward (1989) melakukan penelitian di Yogyakarta menyimpulkan bahwa Islam di Jawa adalah bagian dari Islam dan tidak bisa dilihat sebagai penyimpangan dari konsep dasar keislaman. Muhaimin (2006: 269) menolak konsep sinkretisme Geertz. Berdasarkan kajiannya terhadap ibadah dan tradisi ibadah di Cirebon, ia menyimpulkan bahwa ibadah dan tradisi ritual dalam masyarakat Jawa, terutama dalam konteks masyarakat Cirebon mempunyai akar-akar yang kuat dalam Islam. Sedangkan Pranowo (2009: 266) melihat perbedaan manifestasi religiusitas seorang Muslim harus dianalisis berdasarkan perbedaan penekanan dan interpretasi atas ajaran-ajaran Islam.

Adapun studi yang berbasiskan pada teks atau naskah, misalnya yang baru-baru ini dilakukan oleh Ricci (2011) yang mengkaji Kitab Seribu Masa’il. Menurut Ricci, bahwa salah satu pintu masuk Islamisasi di Nusantara, termasuk Jawa dan Melayu adalah melalui “penerjemahan” teks-teks tradisi Islam yang berbahasa Arab ke dalam tradisi lokal. Kitab Seribu Masa’il menunjukkan konversi dan Islamisasi masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang tetap mengikatkan dirinya

pada konteks Arab. Naskah tersebut juga merepresentasikan beragam tafsiran terhadap ide-ide yang lahir dari konteks pemikiran dan budaya lain, termasuk Islam di wilayah Timur Tengah (Fathurahman, 2010).

Teks-teks tradisi Islam, dalam konteks Jawa, diperkenalkan oleh lembaga pesantren. Menurut Lombard (2005), hanya melalui lembaga pesantren, Islamisasi Jawa dapat dipahami. Hal ini juga disebutkan dalam Babad Tanah Jawa, yang menceritakan bagaimana Islam bersama para tokoh penyebar Islam (walisongo) berkembang dan diterima oleh masyarakat Jawa. Dakwah Walisongo diawali dengan membangun lembaga pendidikan Islam (pesantren), seperti yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Selanjutnya, para penyebar Islam ini mendirikan sebuah kerajaan Islam di Demak, dengan Raden Fatah sebagai rajanya.

Di Jawa, ajaran-ajaran fikih sering dianggap hanya terdapat pada tradisi pesantren, padahal ada juga teks-teks dalam tradisi keraton yang menunjukkan aturan-aturan fikih. Teks-teks tersebut menunjukan adanya transformasi tra-disi Islam dari teks pesantren ke dalam teks keraton. Lewat transformasi tersebut, tradisi Islam pesantren diterima di kalangan Keraton Jawa. Transformasi dipahami sebagai alih-ubah atau pengalihan sebuah teks dalam satu tradisi ke dalam tradisi yang lain. Salah satu fenomena transformasi teks tersebut adalah teks naskah Kempalan Kitab-kitab Islam (selanjutnya terkadang hanya disingkat KKKI). Naskah KKKI ini penting diteliti karena sebagaimana diungkapkan di atas. Penelitian terhadap naskah berisi ajaran fikih dalam aksara Jawa kurang dilakukan, terutama yang berhubungan dengan tradisi keraton.

Naskah KKKI adalah salah satu koleksi Museum Negeri Sonobudoyo (selanjutnya Muse-um Sonobudoyo saja). Museum ini didirikan pada tahun 1935 oleh Java Instituut, sebuah badan yang kegiatannya terfokus pada pengkajian serta pelestarian kebudayaan Jawa. Pada waktu itu Ja-va Institut dipimpin oleh Hoesein Djajadiningrat.

Page 87: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo: Syariat dalam Islam JawaAgus Iswanto

217

Adapun koleksi naskah terletak di lantai dua sebuah gedung bertingkat tiga. Koleksi naskah terbagi menjadi empat bagian atau sub-koleksi, yang masing-masing dengan sejarahnya sendiri, yakni sub-koleksi Panti Boedaja, sub-koleksi Sonobudoyo sendiri, sub-koleksi Studie Collectie, dan sub-koleksi naskah rontal (Behrend, 1990: VII-VIII).

Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana posisi dan atau hubungan teks naskah KKKI dengan dua teks dalam dua tradisi yang berada di lingkungan Kesultanan Yogyakarta, yakni teks Serat Suryaraja yang merupakan pusaka keraton Yogakarta untuk teks tradisi keraton, dan teks Al-Sunī al-maṭālib fī isṭilāḥal-‘awāqib karya Kiai Nur Iman dari Pesantren Mlangi Yogyakarta untuk teks tradisi pesantren? Dengan melihat hubungan ini, dapat ketahui posisi ajaran syariah/fikih dalam Islam Jawa, yang sering dipandang hanya mementingkan aspek tasawuf/hakikat.

Menurut Teeuw (2003), setiap teks senantiasa mendapat tanggapan pembaca (reception) secara terus-menerus. Dengan demikian, proses pemaknaan teks yang baru dapat dibaca dalam kaitannya atau pertentangannya dengan teks-teks yang lain. Penggubahan sebuah teks dalam bentuk yang berbeda bahasa, jenis tulisan, maupun fungsinya merupakan gejala terjadinya resepsi dan transformasi teks. Teeuw juga berpendapat bahwa penelitian resepsi dapat dikaitkan dengan prinsip intertekstualitas yang mengkaji penyalinan, penyaduran dan penerjemahan teks dalam naskah. Seringkali dalam teks tertentu terungkap semacam kreasi yang sekaligus merupakan resepsi. Terwujudnya teks yang baru dihasilkan berdasarkan pembacaan, pemahaman dan penafsiran pembaca atas teks sebelumnya (Wiryamartana, 1990).

Istilah ‘intertekstualitas’ sendiri diper-kenalkan oleh Julia Kristeva (dalam Allen, 2000: 15 dan 21) melalui karyanya ‘The Bounded Text’ dan ‘Word Dialogue, Novel’ pada tahun 1960-an. Ia, dalam dua esai tersebut, memperkenalkan karya M. Bakhtin tentang konsep dialogisme, yakni satu konsep, yang dapat dipahami secara

sederhana. Sebuah kata/kalimat/wacana adalah respon terhadap kata/kalimat/wacana sebelumnya, dan selalu ditujukan kepada para pembicara/pembaca/responden. Sebuah bahasa, dengan unsur-unsurnya tersebut, selalu terjadi dalam situasi sosial yang spesifik di antara agen-agen manusia yang spesifik pula (Allen, 2000: 21 dan 211). Dalam ‘The Bounded Text,’ Kristeva lebih jelas lagi mengonseptualisasikan intertekstualitas. Menurutnya, teks dikonstruksikan oleh wacana sebelumnya atau yang telah ada. Pengarang tidak menciptakan teks-teks mereka dari hasil pikiran mereka sendiri, tetapi lebih merupakan kompilasi dari teks-teks yang telah ada (Allen, 2000: 35). Setiap teks terwujud sebagai mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi dari teks-teks lain (Teeuw, 2003: 121). Bahkan dalam kaitannya kajian peran penerjemahan antarteks dalam transformasi budaya dapat didekati dengan cara pandang seperti ini (Vermeer, 2000; Hoed, 2001).

Metode Penelitian

Data penelitian ini diperoleh dari teks nas-kah Kempalan Kitab-kitab Islam dengan kode MSB/H/15/SK 92, yang merupakan koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Fokus penelitian bukan pada fisik naskah, tetapi pada teks, sehingga yang dipentingkan adalah isi teksnya.

Data dianalisis dengan prinsip intertekstual. Dengan analisis ini, yang dilakukan terhadap teks KKKI adalah memeriksa hubungannya dengan teks-teks lain yang berasal dari tradisi keraton dan tradisi pesantren, yakni teks Serat Suryaraja dan Al-Sunī al-maṭālib fī isṭilāḥal-‘awāqib karya Kiai Nur Iman. Pemeriksaan hubungan ini dilakukan untuk mengetahui posisi KKKI dalam tradisi Islam Jawa di lingkungan Kesultanan Yogyakarta.

hasil dan PeMbahasan

Tentang Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Naskah ini terdaftar pada koleksi

Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan nomor kode koleksi MSB/H.15/SK 92 yang

Page 88: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 215-226

218

masuk dalam kategori naskah-naskah hukum. Naskah ini telah dideskripsikan oleh Soetanto (dalam Behrend, 1990). Kode naskah SK adalah singkatan dari “studie collective,” artinya naskah SK 92 bersumber dari koleksi naskah-naskah “studie collective,” yang merupakan koleksi sumber-sumber penelitian yang dikumpulkan oleh Java Institute (didirikan pada tahun 1935 oleh Hossein Djajadiningrat). Tebal naskah ini 316 halaman. Penomoran asli menggunakan angka Jawa (1 – 287). Teks ditulis dalam aksara Jawa (carakan).

Soetanto membagi judul naskah ini menjadi tiga, yakni judul umum, judul dalam teks dan judul luar teks. Tidak ditemukan keterangan judul di dalam teks, tetapi menurut Soetanto dalam judul di luar teks terdapat kata “Kitap,” letaknya di lembar sampul dalam, sedangkan judul umumnya Soetanto memberikan judul “Kempalan Kitab-kitab Islam”(“Kumpulan Kitab-Kitab Islam”). Ini mungkin kesimpulan yang diambil dari penelaahan Soetanto, bahwa memang teks dalam naskah ini banyak mengutip atau merujuk pada kitab-kitab tauhid dan fikih yang sudah dikenal di kalangan pesantren.

Tidak ada informasi yang didapat dalam teks secara eksplisit mengenai waktu, tempat, dan identitas pengarang. Hal ini sangat berbeda dengan naskah-naskah lain di keraton yang umumnya sangat rinci memberikan informasi mengenai waktu penulisan, dan siapa pengarang atau yang memprakarsai ditulisnya sebuah teks. Soetanto memberikan kesimpulan bahwa tempat penulisan teks ini adalah Pasisiran (daerah Pesisir Utara pulau Jawa). Mungkin yang dimaksud adalah tempat dikarangnya teks. Adapun tempat disalinnya teks, Soetanto tidak menyebutkannya. Tidak ada juga keterangan siapa yang mengarang dan di mana dikarang serta kapan dikarang, namun Soetanto menyebut bahwa penyalin teks dalam naskah ini adalah Raden Tumenggung Cakraningrat (Danureja VI).

Memang di dalam teks pada kertas bergaris yang ditempelkan dalam kertas naskah di halaman 288 tertulis “Serat tetilaranipun suwargi

Kangjeng Pangèran Cakraningrat, Papatih Dalem ing Ngayogyakarta adiningrat”(“tulisan peninggalannya almarhum Kanjeng Pangeran Cakraningrat Patih di Yogyakarta”), juga di halaman i terdapat keterangan “Kang nurun sarta kaserat pyambak déning Raden Tumenggung Cakraningrat kala teksih dados jaksa” (“yang menyalin juga ditulis sendiri oleh Raden Tumenggung Cakraningrat ketika masih menjadi jaksa”). Soetanto juga memberikan keterangan bahwa R.T. Cakraningrat adalah Danureja VI. Dia, di dalam keterangan sejarah Keraton Yogyakarta, adalah Patih Keraton pada masa Sultan Hamengkubowono VIII, yang berkuasa pada tahun 1921 – 1939. Jadi bisa disimpulkan teks ini disalin sekitar sebelum tahun tersebut ketika Danureja VI masih menjadi jaksa sebelum akhirnya menjadi patih. Soetanto menyebutkan bahwa waktu penyalinan teks ini adalah sekitar akhir abad ke-19, yang menurut Soetanto kira-kira tahun 1892.

Apakah itu berarti Raden Tumenggung Cakraningrat adalah penyalinnya? Sebelum menjawab pertanyaan itu, dapat dikatakan bahwa ada benarnya teks KKKI dikarang di wilayah Pesisir Utara Jawa, di mana corak Islam yang dianggap “ortodoks” sangat berkembang melalui pesantren-pesantren sebagai tempat persemaian karya-karya tulis keagamaan dan kesastraan di wilayah tersebut (Damami, 2001), yang mengimbangi wilayah Jawa Pedalaman melalui keraton sebagai pusat (Pigeaud, 1976). Dalam teks-teks Islam Jawa Pesisiran, pengaruh budaya Islam sangatlah kuat. Islam mencapai Jawa melalui karya-karya tulis Islam Melayu. Akibatnya, teks-teks Islam Jawa Pesisiran isinya banyak meminjam dari teks-teks Islam berbahasa Melayu dan dari teks-teks berbahasa Arab (Damami, 2001). Pigeaud (1976: 6) memasukan masa Islam Pesisiran ini ke dalam era ketiga dari empat era tradisi literatur Jawa, namun hal itu tidak menutup kemungkinan teks KKKI ditulis di pesantren-pesantren yang ada di wilayah pedalaman Jawa, terutama yang ada di sekitar Keraton Yogyakarta. Untuk menyebut contohnya adalah Pesantren Mlangi dan Pesantren Krapyak.

Page 89: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo: Syariat dalam Islam JawaAgus Iswanto

219

Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa teks ini adalah teks yang memang dikarang di wilayah Pedalaman Jawa, terutama di wilayah Keraton Yogyakarta, yang dikemudian disalin oleh salah seorang bangsawannya yang bernama Tumenggung Cakraningrat (Danureja VI).

Teks naskah KKKI berisi ajaran-ajaran Islam, kebanyakan mengenai tauhid dan fikih, yang diambil dari berbagai kitab Islam yang sudah dikenal luas oleh kalangan Muslim Pesantren di Jawa yang bermazhab Shafī‘i. Porsi fikih lebih banyak dari tauhid yang hanya terdapat di awal teks. Teks juga berisi aspek akhlak Islam terutama mengenai akhlak dalam berbicara (ponca boyoning lesan).

Isi teks KKKI yang menunjukkan ajaran fikih, jika dihubungkan dengan konteks perkembangan Islam di Jawa pada abad ke-19, maka dapat dapat disimpulkan bahwa isi teks KKKI sesuai dengan perkembangan Islam di Jawa yang sedang mengalami Islamisasi yang kuat. Hal ini juga sesuai dengan perkembangan Islam di tingkat internasional pada waktu itu, yakni sedang terjadinya kebangkitan Islam.

Berbeda dengan kebanyakan teks-teks dalam tradisi keraton, teks KKKI disajikan dalam bentuk prosa. Teks KKKI ini terhubung dengan teks-teks tauhid dan fikih dalam Bahasa Arab yang banyak digunakan di dalam tradisi pesantren. Teks ini banyak mengambil, bahkan hampir seluruh teks yang ada diberi rujukan kitabnya yang berbahasa Arab. Kitab-kitab yang disebutkan beberapa di antaranya juga disebutkan dalam Serat Centhini, yang juga sudah diidentifikasi koleksi Arabnya oleh Soebardi (1971). Beberapa kitab juga sudah dipetakan dan dibahas oleh Bruinessen (1990). Penulis juga telah melakukan pemeriksaan dalam katalog van Ronkel (1913) tentang naskah-naskah Arab yang ada di Museum Batavia (sekarang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia). Hasilnya penulis mendapatkan beberapa koleksi berbahasa Arabnya dari kitab-kitab yang disebutkan. Namun, penulis belum berhasil mengidentifikasi seluruh koleksi Arab dari kitab-kitab yang disebutkan dalam

naskah, karena memang tidak disebutkan oleh Soebardi, Bruinessen, dan juga tidak terdapat dalam katalog van Ronkel. Selain itu pula, akibat adanya penulisan teks Arab ke dalam aksara Jawa atau dalam penyebutan Jawa, jadi terkadang tulisannya menjadi agak aneh dan sulit diidentifikasi judul dalam koleksi Arabnya.

Terdapat kira-kira 30 kitab yang menjadi rujukan di dalam KKKI. Berikut beberapa judul kitab/teks rujukan dalam bahasa Arab (Ar) yang tertulis dalam teks naskah KKKI yang berhasil diidentifikasi dari penulisan aksara Jawa (Jw). 1) Ahyangdangulumudin (Jw): Iḥyā’ ‘ulūm al-

dīn (Ar), karya Abū Hāmid Muḥammad bin Muḥammad al-Gazālī (w. 1111 M). Tentang tauhid, fikih, tasawuf.

2) Aknak (Jw): Iqnā‘ (Ar), karya Khatīb Syarbīni (w. 977/1569/70). Tentang fikih.

3) Makalli (Jw): Kanz al-ragibīn (Ar) karya Jalal al-Dīn al-Mahallī (w. 864). Tentang fikih.

4) Min Ajut Talab (Jw): Minhāj al- ṭullāb (Ar), karya Zakarīya al-Anṣārī (w. 926/1520). Tentang fikih.

5) Minhajulkawim (Jw): Minhāj al-qawīm (Ar), karya Ibn Hājar al-Haitamī (w 1565-6). Tentang fikih.

6) Mukarar (Jw): al-Muharrar (Ar), karya Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm bin Muḥammad al-Rafi’ī (w. 1226 M). Saduran pendeknya berjudul Minhāj al-ṭālibīn karya Abū Zakariyā Yahyā bin Syarāf al-Nawāwī (w. 1287 M) yang dikenal dengan Kitab Nawawi. Tentang fikih.

7) Mupit (Jw): Al-Mufīd (Ar), karya Abū ‘Abd Allāh Muḥammad bin Sulaimān al-Jazūlī (w. 1465). Van Ronkel menyebutnya dengan Syarḥ Ummu al-barāhīn. Tentang tauhid dan fikih.

8) Patkul Wahab (Jw): Fatḥ al-wahhāb (Ar), karya Zakarīya al-Anṣārī. Tentang fikih.

9) Sarah Durat (Jw): Kitab Tilmisani atau Syarḥ lil Tilmisānī (Ar), karya ‘Abd Allāh Muḥammad bin ‘Umar bin Ibrāhīm al-Tilmisānī, merupakan keterangan (syarḥ) atas Kitab Durra yang di Jawa dikenal

Page 90: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 215-226

220

dengan Kitab Sanusi. Kitab Durra terkenal dengan Umm al-barāhīn karya ‘Abd Allāh Muḥammad bin Yusūf al-Sanūsi. Tentang tauhid.

10) Sitin (Jw): Sittūna mas’ala fī al-fiqh (Ar) karya Abū al-‘Abbas Aḥmad bin Muḥammad al-Zaḥīd al-Miṣrī (w. 1416). Tentang dan fikih.

11) Sukbah (Jw): Al-Syubahāt fī al-mawā‘iẓ wa al-ādāb min ḥadīś rasūl Allāh (Ar), karya Abū ‘Abd Allāh Muḥammad bin Salāma al-Kudā’ī (w. 1062 M). Tentang fikih. Kitab ini belum penulis temukan naskahnya maupun edisi teks dalam cetakannya.

12) Takrib (Jw): Gāyat al-ikhtiṣār/Gāyat al-taqrīb (Ar), karya Abū Syujā‘ Aḥmad bin al-ḥusain bin Aḥmad al-Iṣfahānī (-+ 434 – 500 M). Tentang fikih.

13) Takrir (Jw): Taḥrīr tanqīh li al-lubāb fi al-fiqh al-Imām asy-Syāfī‘i (Ar), karya Zakarīyā al-Anṣārī. Tentang fikih.

Adapun kitab-kitab yang belum teridentifikasi adalah; Adābul Murīd, Anwār, Asyikatul mulūk, Dilmaklumat, Ilah, Jamingulngawam, Jumakir, Makripatil Ngibadah, Mubtada, Mustahal, Mukbah, Ngajibis Sarikin, Rolah, Sakaramunaral, Sarah Bayan, Sarah Wajaji. Sebagai informasi, kitab-kitab yang paling sering dikutip ada dua, yakni Mukarar (119 kali) dan Takrib (140 kali). Adapun kitab-kitab yang lain mulai 1 kali hingga 39 kali.

Serat Suryaraja dan Kempalan Kitab-kitab Islam

Serat Suryaraja (selanjutnya SSR) adalah pusaka keraton Yogyakarta. Isinya adalah cerita alegoris dari kerajaan Islam di tanah Jawa. Di keraton Yogyakarta ada tiga naskah yang berisi teks ini. Pertama adalah Kangjeng Kiai Serat Surya Raja yang menjadi pusaka dan disimpan di Prabayeksa Istana dan ditutup dengan kain kuning, kedua adalah naskah dengan kode W81a dan W81b (Lindsay, 1994: 114). Naskah pusaka ini sudah pernah/boleh dikaji yang dilakukan atas izin keraton oleh Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia dengan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Yogyakarta) (Damami,

2002). Beberapa ajaran Islam, yang dalam naskah pusaka dirahasiakan, seperti makrifat dan martabat tujuh terdapat di dalamnya.

Selain di perpustakaan keraton Yogyakarta, salinan naskah teks SSR juga terdapat di Museum Sonobudoyo dan Perpustakaan Pura Pakualaman. Di Perpustakaan Pura Pakualaman terdapat dua naskah, yakni dengan kode St. 91 (0126) dengan jumlah halaman 311 halaman, dan kode St.92 (0139) dengan tebal 268 halaman (Saktimulya, 2005: 226-227). Di Museum Sonobudoyo terdapat dua naskah, yakni dengan kode L328 (SK129) dengan 808 halaman dan kodel L329 (SB19) dengan 432 halaman (Behrend, 1990: 408-409). Selain terdapat di Yogyakarta, naskah ini juga terdapat di Perpustakaan Nasional RI dengan kode KBG 164 dengan 928 halaman (Behrend, 1998: 201).

Teks ini sudah beberapa kali dikaji, namun belum ada edisi teksnya yang dibuat secara ilmiah. Ricklefs (1974: 188-207) menjadikan teks ini sebagai salah satu sumber studinya ketika menulis sejarah pembentukan Kesultanan Yogyakarta, kemudian, pada tahun 1996, sebuah tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melakukan kajian atas SSR dengan berdasarkan pada naskah koleksi Museum Sonobudoyo yang berkode L329 (SB19) (Lantini dkk., 1996).

Pada tahun 2002 sebuah tim peneliti dari IAIN Sunan Kalijaga menerbitkan hasil kajian terhadap SSR dengan berdasarkan pada naskah pusaka Kanjeng Kiai Suryaraja (Damami, 2002). Penulis dalam hal ini belum mendapatkan naskah atau teks SSR secara utuh, jadi untuk pembahasan ini, penulis banyak mengacu pada ketiga hasil kajian di atas melalui pertimbangan-pertimbangan kritis. Akan tetapi, pembahasan aspek-aspek ajaran Islam akan lebih sistematis jika mengacu pada kajian yang dilakukan oleh tim peneliti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumber naskahnya bukanlah naskah yang dijadikan pusaka sebagaimana yang dilakukan oleh tim peneliti IAIN Sunan Kalijaga. Meskipun demikian kedua hasil kajian ini

Page 91: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo: Syariat dalam Islam JawaAgus Iswanto

221

menjadi penting bagi penulis. Selain itu juga hasil kajian Ricklefs yang menafsirkan sebagai suatu kisah mistis dan alegoris atau “pseudohistoris” yang rumit tentang peperangan dan petualangan raja-raja, dan menggambarkan situasi aktual Yogyakarta pada abad ke-18 (Ricklefs, 1974: 188).

Teks SSR dalam naskah yang menjadi pusaka digubah atas prakarsa HB II sebelum menggantikan HB I. Dikarang pada 1845 dan selesai pada 1863 M. Teks ditulis oleh seorang abdi dalem carik Sastraprawira dan Wiryawijaya (Harjawiyana dalam Lantini dkk., 1996: 8). Sebagaimana disebutkan oleh Ricklefs di atas, SSR merupakan satu di antara beberapa teks Jawa yang berisi cerita alegori yang menggambarkan keadaan keraton Yogyakarta pada abad ke-18, yakni pada tahun 1774, ketika HB II masih menjadi putra mahkota (Pangeran Adipati Anom Amangkunegara) atas perkenan ayahandanya Sultan HB I (1755 – 1792 M) (Marihandono dan Juwono, 2008).

Naskah pusaka ini terdiri dari dua jilid. Secara garis besar, teks ini menceritakan sebuah kerajaan Islam yang bernama Purwakandha, yang diperintah oleh seorang raja yang sakti dan berwibawa, yaitu Prabu Maharaja Surya Amisesa yang berpermaisuri bernama Dewi Suprabawati. Pembagian kerajaan dan suksesi kerajaan Purwakandha yang dilakukan oleh Prabu Surya Amisesa menjadi pemula kekisruhan di kerajaan tersebut hingga berlarut-larut (Damami dkk., 2002: 23). Teks ini juga berisikan macam-macam piwulang (ajaran) mengenai keagamaan, pranata pemerintahan, tradisi kraton, lambang-lambang, etika, siasat perang, yang disajikan dalam bentuk cerita.

Menurut Suyami, yang membandingkan antara naskah koleksi Museum Sonobudoyo (naskah A) dengan naskah pusaka (naskah B) ada perbedaan yang sangat esensial, di samping perbedaan dalam akhir cerita dan pupuh dan bait. Perbedaan yang esensial itu adalah adanya teks khusus dalam naskah B yang tidak dijumpai dalam naskah A. Teks khusus tersebut berupa ajaran “ilmu rahasia” yang memang

dalam naskah dinyatakan “aja diwaca marengi wong akeh” (“jangan dibaca bersamaan orang banyak”). Ilmu rahasia yang dimaksud di sini ada tiga, yakni mengenai (1) “ilmu kesempurnaan,” (2) tentang hakikat pendeta, resi, wiku, begawan, ajar, pertapa, cantrik, dan alam tempat manusia hidup, serta (3) tentang terciptanya manusia dan jin lebih dahulu mana? (Suyami dalam Damami dkk., 2002). Di sini penulis hanya mendiskusikan rahasia yang pertama. Mengenai soal yang pertama, yang dianggap rahasia ini, mulai dari pupuh XV Dhandanggula bait 13 hingga pupuh XVII Dhandanggula bait 36, sebagaimana yang dibuat transkripsinya oleh Suyami. Teks ini bertutur tentang ajaran pendeta Sukmajati di gunung Damarjati kepada Raden Pujakusuma mengenai ilmu kesempurnaan.

Maksud ilmu kesempurnaan adalah tidak lain mengenai hubungan ilmu syariat, ilmu makrifat dan hakikat serta pandangan martabat tujuh sebagaimana yang dikenal dalam pembahasan tasawuf di Indonesia. Hal ini menunjukkan sesungguhnya yang diinginkan bukanlah pemisahan antara hakikat dan syariat, tetapi lebih kepada pembedaan antara keduanya. Tampak juga tidak ada pengunggulan antara satu dan lainnya. Disebutkan bahwa hidup itu selalu berpasangan, yakni “Ana dhihin myang anyar, ana manjing metu, ana becik ana ala, sapadhene lir na ngisor lawan nginggil, dina dwi estri lanang” (Ind: Ada dahulu ada baru, ada masuk ada keluar, ada baik ada buruk, sama halnya dengan ada bawah ada atas, ada pasangan hari, ada perempuan ada laki-laki). Jadi idealnya antara syariat dan makrifat-hakikat dilakukan secara bersamaan. Bagi orang yang hanya menerima atau puas dengan ilmu syariat, maka orang tersebut belum mendapatkan ilmu kesempurnaan. Ada juga pembahasan soal waḥdat al-wujūd atau manunggaling kawula-gusti dalam teks tersebut, yang juga sudah menjadi tema yang populer dalam pembahasan tasawuf, terutama yang berhaluan filosofis. Memang jika terfokus pada bagian teks ini, akan sangat tampak pemihakan terhadap konsep waḥdat al-wujūd, atau pementingan hakikat daripada syariat. Sebetulnya penting diingat

Page 92: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 215-226

222

bahwa bagian dalam teks ini adalah teks yang tidak boleh dibaca sembarang, karenanya hanya ada dalam naskah pusaka, sedangkan dalam salinan-salinannya yang lain tidak ada bagian teks-teks yang disebut rahasia ini. Ini menunjukkan kehati-hatian dalam penyampaian ajaran-ajaran tersebut, terutama bagi orang yang belum kuat mengetahui pengetahuan dasarnya mengenai syariat (Azra, 2007: 337). Apalagi jika melihat bagian teks lain yang berbicara aspek ibadah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Endah Susi Lantini dan timnya.

Hal yang penting dicatat juga penyebutan kitab “Ungsul kalwan Suluk” (usul dan suluk). Baik Suyami maupun Endah Susi Lantini, belum membahas soal penyebutan kitab ini, padahal hal ini amat penting artinya untuk melihat hubungan ajaran dalam teks ini dengan teks-teks Islam yang lain. Mungkin yang dimaksud dengan usul dan suluk ini adalah Uṣūl dan Sulūk dalam penyebutan Jawanya, atau digabungkan menjadi Uṣūl sulūk. Penyebutan Uṣūl sulūk ditemukan dalam sebuah teks Islam abad ke-16, Pituture Seh Bari (Drewes, 1969: 13). Teks Pituture Seh Bari ini menurut Drewes berisi tentang “wirasaning Usul Suluk” (penjelasan usul suluk). Drewes berargumen bahwa kata “wirasa” adalah kata yang arkaik, yang sekarang ini banyak digunakan kata “surasa” yang artinya menurut beberapa kamus adalah berarti “isi dari sebuah buku”. Oleh karena itu kata “wirasa” dapat diartikan dengan isi kitab atau paling tidak merujuk pada sebuah karya, sehingga “wirasaning Usul Suluk” adalah sesuatu yang mengacu pada sebuah maqam di dalam prinsip-prinsip dasar tasawuf (Drewes, 1969: 14). Mungkinkah yang dimaksud Uṣūl Sulūk ada hubungannya dengan teks Pituture Seh Bari? Bisa dimungkinkan ada, oleh karena beberapa isi penjelasannya ada juga dalam teks Pituture Seh Bari, yang juga menjelaskan misalnya mengenai iman, tauhid, dan makrifat (dari tauhid menjadi

makrifat), bahkan di dalam awal teks Pituture Seh Bari yang maksudnya kurang lebih sama dengan teks yang dirahasiakan ini, terutama pada pupuh pucung bait 11. Di dalam teks Pituture Seh Bari dituliskan sebagaimana dalam Kepustakaan Djawa (Poerbatjaraka, 1952: 97-98), yang ejaanya disesuaikan dengan ejaan saat ini.

Nyan punika caritanira Shaikh al-Bari, tatkalanira apitutur daténg mitranira kabeh; kang pinuturakén wirasaning Usul Suluk wedaling carita saking kitab Ihya’ Ulumudin lan saking Tamhid antukira Shaikh al-Bari amétet ing tingkahing sisimpénanging nabi wali mu’min kabeh.1

Mangka akecap Shaikh al-bari: e mitraningsun, sira kabeh den sami angimanakén wirasaning Usul Sulu king kang kapétét tingkahing anekseni pengeran; miwah kawruhana yen sira pengeran tunggal tan kalih; suksenana yen sira pangeran isafat sadya suksma suci tunggal ira, tan ana papadanira kang maha luhur.2

Inilah cerita Syaikh al-Bari, tatkala memberi petuah kepada sahabatnya sekalian; yang diajarkannya ialah arti daripada Usul Suluk, asal cerita dari kitab Iḥyā’ ‘Ulūmuddīn dan Tamhīd yan oleh Syaikh al-Bari diperolehnya dari memetik tingkah laku yang dirahasiakan oleh nabi dan para wali mukmin sekaliannya.

Maka berkatalah Syaikh al-Bari: hai sahabat-sahabatku, percayailah arti Usul Suluk yang dikutip dari tingkah laku yakin akan Tuhan dan ketahuilah bahwa Ia itu Tuhan yang Maha Esa, tiada duanya, bahwa ia itu Tuhan bagi segala suksma, maha suci lagi esa, maha luhur tak ada bandingannya.

Tampaklah bahwa antara teks-teks yang dirahasiakan dengan teks Pituture Seh Bari ada kesamaan, yakni sama-sama suatu ajaran yang menjadi rahasia para nabi dan aulia. Sebagaimana tampak dalam bait 11 pupuh pucung disebutkan: “Ku kang linarangan pra nabi sédarum lawan

1 Cetak tebal dari penulis.2 Cetak tebal dari penulis.

Page 93: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo: Syariat dalam Islam JawaAgus Iswanto

223

aoliya…” (Ilmu itulah yang menjadi ilmu larangan bagi para nabi maupun auliya). Di dalam teks SSR juga terdapat bagian yang menjelaskan aspek-aspek ibadah, yakni suatu amalan yang dilakukan atas dasar keyakinan (iman) kepada Allah. Teks SSR menyebutkan bahwa orang harus berusaha dekat dengan Tuhan. Dalam menjalani kehidupan, orang harus mengetahui asal dan tujuan hidup (sangkan paraning dumadi). Bagi orang yang menjalankan ibadah salat, harus betul-betul khusyuk agar memperoleh hasil yang sempurna, misalnya apabila salat janganlah menengok ke sana ke mari, tetapi harus memusatkan perhatian, karena apabila benar-benar khusyuk akan merasa bertemu Tuhan. Hal itu disebutkan dalam pupuh III Dhandhanggula bait 6 SSR (Lantini dkk, 1996: 267).

Lamun sira wus nyipta ing ati/sakéhira kaki kang wus kocap/paran munajat wastané/ tegesé ékhram iku/ jroning salat dipun kalingling/ aja angumbar tingal/ dén awas andulu/ upama kaki wus ékhram/ dén angrasa ketemu sihing Widi/ sembah itu nugraha//

Jika engkau sudah berniat dalam hati, semua yang sudah terucap, munajat itu namanya. Arti ihram ialah dalam salat perhatikanlah, jangan melihat ke sana kemari, perhatkan dengan baik. Jika engkau sudah ihram serasa menemukan kasih Tuhan. Sembah itu anugerah.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa teks SSR tidak hanya menyajikan aspek ajaran Islam yang lebih bernuansa tasawuf, tetapi juga menunjukkan penerimaannya terhadap aspek-aspek syariah, seperti salat dan aturan-aturan peribadatan lainnya. Melalui teks ini, dapat dilihat interaksi Islam dengan budaya keraton Jawa. Jadi, jika dihubungkan dengan keberadaan naskah teks KKKI, maka posisi teks SSR bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini menunjukkan bahwa keraton juga menerima aspek-aspek pelaksanaan syariat, meskipun dengan tetap dianjurkan untuk terus mencari ilmu kesempurnaan dengan memadukan pengetahuan syariat dan hakikat.

Al-Sunī al-Maṭālib fī Isṭilāḥ al-‘Awāqib dan Kempalan Kitab-kitab Islam

Karya Kiai Nur Iman tersebut sudah pernah dikaji oleh Irwan Masduqi (2011), namun sepengetahuan penulis belumlah ada edisi teksnya yang baik. Untuk kebutuhan penjelasan terhadap teks ini, penulis banyak mengacu pada hasil kajian Masduqi. Penting dicatat juga, bahwa kajian Masduqi ini belum melakukan tahap di dalam penelitian filologi, terutama mengenai verifikasi pengarang. Tidak ada jejak tekstual yang dijelaskan olehnya mengenai Kiai Nur Iman sebagai pengarang teks ini. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan teks ini dikarang oleh Kiai Nur Iman, hanya saja karya yang dikaji Irwan mungkin adalah salinan atau hasil tulisan dari muridnya, bukan langsung karya tulisan Kiai Nur Iman. Selain itu tujuan penulis pada akhirnya tetaplah menunjukkan hubungannya dengan teks KKKI, bukan tertuju pada teks al-Sunī ini.

Kiai Nur Iman diperkirakan lahir pada tahun 1719. Beliau adalah putra dari Amangkurat IV (Raden Mas Suryo Putro) putra Pangeran Puger (Amangkurat II). Kiai Nur Iman terlahir dengan nama Raden Mas Sandiyo, kemudian oleh Kiai Abdullah Muhsin (pengasuh pesantren Gedangan Surabaya) diganti namanya. Di pesantren tersebut, ayahnya yang bernama Raden Mas Suryo Putro pernah tinggal untuk belajar agama dan melarikan diri dari hiruk pikuk konspirasi politik di kraton Mataram akibat campur tangan pihak Belanda (Masduqi, 2011: 30-35). Kiai Nur Iman mempunyai dua adik yang berasal dari ayahnya, Raden Mas Suryo Putro atau Raden Mas Said yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyowo dan Raden Mas Sujono (Pangeran Mangkubumi). Kelak kedua adiknya ini berkonflik, hingga akhirnya terjadi perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua. Pangeran Mangkubumi akhirnya mendirikan Kesultanan Yogyakarta, sedangkan Pakubuwana III berkuasa di Keraton Surakarta. Adapun Raden Mas Said diberi kedudukan sebagai adipati di Mangkunegara sehingga diberi

Page 94: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 215-226

224

gelar Mangkunegara I (Ricklefs, 1974). Konflik-konflik tersebut akhirnya memaksa Kiai Nur Iman keluar dari lingkungan kraton Mataram Kartasura menuju arah Barat (Masduqi, 2011: 38), sekarang wilayah Barat Yogyakarta.

Secara garis besar ajaran Kiai Nur Iman terfokus pada pemahaman yang seimbang antara syariat dan hakikat, lahir dan batin, kulit dan isi agama. Kiai Nur Iman sangat menekankan keseimbangan antara syariat dan kebatinan (hakikat). Misalnya ketika ia menjelaskan iḍāfah, yang menurut ahli Nahwu (ilmu tentang gramatika bahasa Arab) adalah hubungan antara kata yang disandarkan (muḍāf) dengan kata yang disandari (muḍāf ilaih). Kiai Nur Iman memaknai iḍāfah secara sufistik. Menurutnya, iḍāfah adalah penyandaran diri seseorang dan seluruh ciptaan kepada Allah (iḍāfat al-kā’ināt ilaihi). Ini selanjutnya membawa pada pemahaman kosmologis mengenai makrokosmos (jagad gedhe, alam semesta) dan mikrokosmos (jagad cilik, manusia) sama-sama berasal pada Sang Pencipta (Masduqi, 2011: 85).

Kiai Nur Iman berpandangan bahwa ada dua ketundukan (iḍāfah), yakni (1) iḍāfah lafẓiyah, artinya penyandaran yang bersifat penampakan kata. Hal ini dimaknai oleh Kiai Nur Iman sebagai ketundukan pada aturan syariat dan ibadah fisik yang mengekang seorang hamba (ma yaḍbaṭuhu al-‘abd bi taklīf al-syarī‘at wa ‘ibādat al-badaniyyah); (2) iḍāfah ma‘nawiyyah, artinya penyandaran yang bersifat maknawiyah. Dalam pandangan Kiai Nur Iman dimaknai sebagai ruh cinta yang membatasi seorang hamba sehingga tidak ada lagi cinta di hatinya kecuali untuk Allah (ma yaḍbaṭuhu al-rūḥ wa al-sirru maḥabbatuhu bi ḥaiśu lā yuḍa‘u fī qalbihi maḥala gairihi) (Masduqi, 2011: 85). Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan, seseorang harus menggabungkan kedua iḍāfah tersebut.

Berdasarkan naskah tersebut tampak upaya menyeimbangkan antara doktrin syariat dengan doktrin hakikat. Hal ini menjadi isu yang banyak muncul dalam pemikiran keagamaan Islam di Yogyakarta pada masa-masa awal.

Jika memperhatikan uraian Kiai Nur Iman di atas, akan teringat dengan bagaimana upaya penyeimbangan syariat dan hakikat yang juga tercermin dalam teks SSR di atas. Jadi ada semacam kesejajaran upaya, baik dari tradisi keraton maupun pesantren untuk tidak memutlakan syariat atau hakikat sebagai jalan pendekatan diri pada Tuhan. Di sinilah letak relevansi menguatnya pemikiran al-Ghazālī yang juga melakukan upaya yang serupa. Bahkan pantas diduga upaya-upaya mencapai keseimbangan itu pada awalnya bersumber padanya, sebagaimana tampak dalam teks Pituture Seh Bari di atas, yang juga menjadi “rujukan” sebagian ajaran ilmu kesempurnaan hidup dalam teks SSR.

Pelaksanaan syariat dianggap penting, maka pengetahuan-pengetahuan mengenai aturan-aturan pelaksanaan ibadah dan hubungan antarsesama (fikih ibadah dan muamalah) menjadi penting diketahui juga. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai Nur Iman, menyarankan keraton mendirikan “Masjid Pathok Negoro” sebagai rumah ibadah dan pembelajaran ilmu agama. Dalam konteks inilah, penerimaan atau tanggapan masyarakat muslim Kesultanan Yogyakarta terhadap teks-teks hukum fikih. Pada akhirnya teks-teks tersebut digunakan sebagai rujukan hukum Islam dalam Pengadilan Surambi sebagaimana sudah dijelaskan.

Naskah KKKI, dengan demikian, dipandang sebagai sebuah produksi pengetahuan syariat. KKKI memberikan bekal pengetahuan mengenai hukum-hukum fikih kepada orang muslim Jawa sebagai salah satu tahap jalan mendekatkan diri pada Allah Swt, “mencapai kasampurnan”.

PenutuP

Melalui perspektif hubungan intertekstual, naskah KKKI yang dihubungkan dengan SSR dan al-Sunī al-maṭālib dipandang sebagai satu simbol penerimaan syariat sebagai bagian dari jalan mencapai “ilmu kesempurnaan”. Meskipun dengan dengan cara dan gaya bahasa yang berbeda, naskah KKKI dapat dipandang sebagai teks yang memberikan pemahaman

Page 95: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo: Syariat dalam Islam JawaAgus Iswanto

225

hukum-hukum fikih. Fikih sebagai bagian dari pengetahuan syariah dipandang sebagai sebuah “pos syariat” di mana perjalanan akan berlanjut menuju tujuan akhir, yakni ilmu kesempurnaan itu sendiri. Keduanya sama-sama menerima pengetahuan dan pelaksanaan dimensi syariat dan tasawuf (hakikat) dalam beragama.

ucaPan teriMakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Oman Fathurahman dan Prof. Dr. M. Hisyam yang membimbing dalam penyusunan tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pardiyono, petugas bagian naskah Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang menyiapkan print foto digital naskah ini.

daftar Pustaka

Allen, Graham. 2000. Intertextuality. London and New York: Routledge.

Behrend, Timothy dkk., (ed.). 1990. Katalog In-duk Naskah-Naskah Nusantara Museum So-nobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.

___ (ed.). 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan EFEO.

Damami, Mohammad. 2001. “Pesantren.” Dalam Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Edi Sedyawati (ed). Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka.

___, dkk. 2002. Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Drewes, G.W.J. 1969. The Admonition of Seh Bari, A 16th Century Javanese Muslim Text, Attributed to the Saint of Bonang, Redited and Translated with an Inroduction. Martinus Nijhoff: The Hague.

Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.

Lantini, Endah Susi, dkk. 1996. Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam Serat Suryaraja. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lindsay, J., dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan EFEO.

Masduqi, Irwan. 2011. Suluk Sufi Ulama Karaton Yogyakarta: Ajaran Kiai Nur Iman. Yogyakarta: Assalafiyah Press.

Muhaimin, Abdul Ghafur. 2006. The Islamic Tra-ditions of Cirebon: Ibadat and Adat among Javanese Muslims. Canbera: ANU E Press.

Muslich. 2006. Moral Islam dalam Serat Piwulang Pakubuwono IV. Yogykarta: Global Pustaka Utama.

Pranowo, Bambang. 2009. Memahami Islam Jawa. Jakarta: Alvabeth.

Ricci, Ronit. 2011. Islam Translated: Literature, Conversion, and the Arabic Cosmopolis of South and Southeast Asia. Chicago dan London: The University of Chicago Press.

Ricklefs, M.C. 1974. Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749 – 1792. A History of the Division of Java. London: Oxford University Press.

Saktimulya, Sri Ratna (ed). 2.005 Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – Toyota Foundation.

Simuh, 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.

Soebardi, S. 1971. “Santri-Religious Elements as Refelcted in the Book of Tjentini.” BKI. 127 (3): 331 – 349.

Page 96: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 215-226

226

Steenbrink, Karel. 1988. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat 1. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Vermeer, Hans J. 2000. “Skopos and Comsission in Translational Action,” dalam The Translation Studies Reader, ed. Lawrence Venuti. London & New York: Routledge.

Woodward, Mark R. 1989. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism. Tucson: The University of Arizona Press.

Zoetmulder, P.J. 1991. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: Gramedia dan KITLV.

Bruinessen, Martin van. 1990. “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milleu; Comments on New Collection in the KITLV Library.” BKI. 146 (2/3): 226 – 269.

Ronkel, Ph. S. van. 1913. Supplement to the Catalogue of the Arabic Manuscripts Preserved in the Museum of the Batavia Society of Arts and Sciences. Batavia: Albrecht, The Hague: Nijhoff.

Page 97: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Analisis Semiotika Terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother TeresaBetty Mauli Rosa Bustam

227

ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP PUISI RABI’ATUL ADAWIYAH DAN KALIMAT SUCI MOTHER TERESA

Semiotic Analysis of Rabi’atul Adawiyah’s Poetry and Mother Teresa’s Sacred Phrase

BETTY MAULI ROSA BUSTAM

AbstrActLove of God is a doctrine that’s very popular either in Sufism or the Catholic Church. Women who believe in this doctrine tend to hand over all their life and their love to God, ignoring their worldly life along with the happiness. Love of God is the highest stage in the spiritual way of Sufism, and also of the Catholic’s. Love of God is a loyalty vow that could not be fulfilled except by some one who sincerely leaves his/her personal life in order to become the attendant of God. In the Sufism circle, Rabi’ah al-Adawiyah was the first woman who introduced this doctrine and Mother Teresa was one of the Catholic women who succeeded in her life showing the holy love to God. By using the theories of semiotic, this writing revealed the deep meanings of Adawiyah’s poetries and Teresa’s utterences which were impossible for them to be be understood normally. The interpretation could be carried out firstly by knowing the life of the two women through library research, and continued then by knowing the character both women. The results of this research reveals both women chose God as the only purpose of life, although they have different implementations. Rabi’ah expressed her love through her personal spirituality and otherwise Teresa through social attitudes.Keywords: love of god, sufism, chatolic, semiotic

AbstrAkCinta terhadap Tuhan adalah sebuah doktrin yang sangat populer di kalangan kaum sufi dan gereja Katolik. Perempuan yang meyakini doktrin ini cenderung menyerahkan seluruh hidup dan cintanya pada Tuhan hingga mengabaikan kehidupan duniawi berikut kesenangan yang menyertainya. Cinta pada Tuhan adalah tingkatan tertinggi di dalam perjalanan spiritual seorang sufi, begitu pula pada penganut Katolik Cinta pada Tuhan adalah sebuah kaul kesetiaan yang tidak dapat dipenuhi kecuali oleh seseorang yang dengan ikhlas meninggalkan kehidupan pribadinya demi menjadi pelayan Tuhan. Di kalangan sufi, perempuan pertama yang mengenalkan doktrin ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, sedangkan Mother Teresa terkenal sebagai salah seorang perempuan Katolik yang di dalam hidupnya telah berhasil menunjukkan cinta sucinya pada Tuhan. Dengan memanfaatkan teori analisis semiotika, terungkap makna-makna khusus yang terdapat di dalam puisi-puisi Rabi’ah dan kalimat-kalimat suci Teresa yang tidak akan termaknai dengan baik bila dibaca layaknya membaca tulisan biasa. Pemaknaan ini dapat dilakukan dengan lebih dulu mengenal kehidupan kedua perempuan tersebut melalui penelusuran beragam literatur, dilanjutkan dengan menyelami karakter keduanya. Hasil penelitian menunjukkan kedua perempuan tersebut memilih Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup, meski dengan cara implementasi yang berbeda. Rabi’ah dengan personal spiritualnya, sedangkan Teresa dengan sikap sosialnya.Kata kunci: cinta tuhan, sufisme, katolik, semiotik

Sekolah Pascasarjana UGMJln. Teknika Utara, Pogung

YogyakartaTelp. (0274) 564239

Faks. (0274) 547681e-mail: betty_maulirosa@yahoo.

com Naskah diterima: 19 Juni 2014

Naskah direvisi: 2–9 Oktober 2014

Naskah disetujui: 14 Nopember 2014

Page 98: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 227-238

228

Pendahuluan

Rabi’atul-Adawiyah, selanjutnya disebut Rabi’ah, dan Mother Teresa, selanjutnya disebut Teresa, adalah dua orang perempuan yang memiliki rasa cinta yang besar terhadap Tuhan. Dengan pengamalan ritual yang berbeda, keduanya merasa terpanggil untuk meninggalkan dunia yang penuh materi dan ‘menyerahkan’ kehidupan mereka berdua pada ‘tangan’ Tuhan. Cinta terhadap-Nya telah membuat mereka berbeda dari perempuan bahkan manusia lain di masanya.

Rabi’ah di masa remaja adalah perempuan biasa, layaknya kaum perempuan di Basrah, tempat ia menetap. Kemiskinan keluarga mendorong ia memanfaatkan kecantikan fisik dan kemerduan suaranya untuk mencari penghidupan bagi keluarga, terlebih saat sang ayah meninggal dunia. Namun, kehidupan zuhud para Sufi telah mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunia. Ia yang di masa kecil telah menghapal ayat-ayat suci al-Quran dan melakukan ibadah dengan khusyuk, kesadarannya seakan terpanggil untuk mengulangi kembali kehidupan masa kecilnya yang selalu ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Bagi para zahid, sebutan bagi sufi yang zuhud, orang-orang kaya memiliki dunia mereka sendiri, begitu pula orang-orang miskin. Rabi’ah lalu bertaubat pada Tuhan, pertaubatannya telah membuat ia terbakar di dalam cinta kepadaNya (Gharib, 2000:29-33).

Lain halnya yang terjadi pada kehidupan Teresa. Ia terlahir di tengah keluarga yang taat beribadah di Gereja Katolik di Skopje, Albania. Keluarganya, terutama sang ayah, mendukung gerakan misionaris Katolik yang ingin membantu masyarakat miskin India, bahkan ia ingin putrinya dapat terlibat di dalam misi tersebut. Namun, Teresa tidak pernah terpikir untuk

menjadi seorang biarawati, bahkan ia bercita-cita untuk menjadi seorang musisi atau penyair yang terdorong dari hobinya bermain musik dan menulis puisi. Kedua orang tuanya menyarankan agar ia menyerahkan keputusan ke tangan Tuhan, dan apapun yang Ia putuskan tentulah yang terbaik bagi Teresa. Ia lalu berdoa memohon petunjuk Tuhan untuk jalan hidupnya di sebuah kapel kecil. Ia berusaha membatasi pengaruh kedua orang tuanya. Pada akhirnya ia merasa mantap menjadi seorang biarawati karena ketertarikannya yang besar pada kegiatan missionaris. Sang ibu, dengan mempertimbangkan tidak akan lagi bisa memiliki putrinya, kemudian merestui dan memberi nasihat bahwa pilihan tersebut berarti bahwa Teresa harus menyerahkan hidupnya pada Tuhan tanpa keraguan, tanpa ketakutan, dan tanpa kebimbangan (Greene, 2004: 9-10).

Sufisme dan Nasrani1 sama-sama memberi kesempatan pengikutnya untuk dapat berhubungan langsung dengan Tuhan. Tuhan dapat berbicara secara individu pada para sufi dan kaum Nasrani. Kaum Nasrani meyakini bahwa Tuhan berbicara dan membimbing mereka melalui Roh Kudus, sedangkan para sufi meyakini bahwa Tuhan berbicara kepada mereka dengan ‘ilmu khusus’ yang tidak diketahui oleh orang lain, bahkan dengan ilmu ini pula Tuhan menampakkan ‘wujud-Nya’ secara langsung. Hal ini berlandaskan keyakinan bahwa Tuhan bersemayam di dalam diri (jiwa) mereka dan manusia-manusia yang memiliki kualitas Ilahiyah. Hal ini sebagaimana yang dipaparkan Ware (2004:5) dengan mengutip hasil observasi Thomas Merton, bahwa hati menjadi konsep penting di dalam pengajaran spiritual, baik Sufisme maupun Kristen. Sufisme melihat manusia sebagai sebuah hati (kalbu). Hati adalah bagian yang dipergunakan manusia

1 Nasrani, sesuai sebutannya di dalam bahasa Arab, berarti Kristen (KBBI, 2008: 1068). Sebagai sebuah sistem keper-cayaan, Kristen dapat didefinisikan sebagai eksistensi pengakuan (dalam Perjanjian Baru) bahwa ‘Yesus adalahTuhan’, atau secara teologis yang dirumuskan oleh dewan Nicea, Constantinopel, dan Chalcedon (tahun 325, 381, and 451), bahwa Ketu-hanan adalah gabungan dari tiga wajah (Bapa, Anak, dan Roh Kudus), dan bahwa Yesus adalah ‘inkarnasiTuhan’ (baik sepe-nuhnya Tuhan maupun sepenuhnya manusia) (Swatos, 1998).

Page 99: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Analisis Semiotika Terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother TeresaBetty Mauli Rosa Bustam

229

untuk mengenal Tuhan. Tujuan utama di dalam Sufisme adalah ‘membentuk hati yang mengenal Tuhan’. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh dua sufi kenamaan, Rumi dan Hallaj. Rumi berkata, ‘aku melihat ke dalam hatiku sendiri; di sanalah aku dapat melihat Dia (Tuhan); Dia tidak berada di tempat lain’. Begitu pula Hallaj, ‘aku melihat Tuhan dengan mata hati’. Tradisi Hesychast (zikir) Gereja Ortodoks, sebagiannya mengucapkan ‘doa hati’ berulang-ulang, ‘menemukan tempat di dalam hati’, dan ‘penyatuan pikiran dengan hati’ yang termasuk di dalam ‘doa Yesus’ (Lings, 1975: 48-49).

Karen Armstrong (1993:219) di dalam bukunya A History of God, memaparkan bahwa baik Sufisme dan Nasrani memiliki akar yang sama dalam pandangan dan pengalaman mistis terhadap Tuhan dan agama. Keduanya merasakan pengalaman subjektif indivual dari perjalanan jiwa (ruh) menuju Tuhan. Hal terpenting ajaran ini adalah menemukan keberadaan Tuhan, meski melalui sarana ritual yang berbeda, seperti meditasi, lantunan puisi, tarian, musik, dan bentuk ritual lainnya.

Rabi’ah adalah seorang sufi perempuan yang terkenal dengan rasa cintanya yang mendalam terhadap Tuhan. Pengalaman mistis yang dirasakannya ia tuliskan ke dalam bait-bait puisi yang sangat indah dan fenomenal. Rabi’ah bahkan diakui sebagai sufi pertama yang membawa ajaran cinta ini (Badawi, 1962: 61). Karya puisinya telah dibaca dan diteliti oleh banyak ilmuwan sastra di seluruh dunia. Semua orang menganggap bahwa kary-karya Rabi’ah Al Adawiyah adalah puisi-puisi yang mengandung nilai sastra tinggi. Namun, Rabi’ah bukanlah satu-satunya perempuan yang mencintai Tuhan

secara mendalam dan melukiskan perasaannya ke dalam puisi. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa tidak hanya ajaran Sufisme yang mampu mendorong seorang perempuan untuk mencintai Tuhannya melalui cara khusus, tetapi Nasrani pun memiliki cara yang sama dengan praktek biarawatinya.

Teresa adalah seorang biarawati yang sama terkenalnya di dunia dengan Rabi’atul-Adawiyah. Hidupnya yang penuh cinta kasih dilimpahkannya pada sesama, khususnya kaum miskin, orang-orang terlantardan orang-orang sakit, bahkan kepeduliannya yang besar terhadap sesama mampu membuatnya dihargai dunia dengan beberapa penghargaan, salah satunya Noble Prize perdamaian. Meski berbakat menulis puisi, tetapi dalam menjalankan misinya Teresa tidak secara khusus menuliskannya ke dalam bentuk puisi, walaupun puisi dan kata-katanya menjadi kalimat suci yang telah dihapal oleh banyak umat Nasrani dan memotivasi mereka untuk menjadi pribadi yang penuh cinta dan mencintai sesama, bahkan ada pula yang dijadikan sebagai landasan spiritual kaum biarawati pengikutnya.

Rumusan masalah dalam artikel ini berpusat pada pembacaan kembali puisi Rabi’ah dan kalimat suci Teresa dengan repertoire2 berbeda, dengan memanfaatkan pisau analisa semiotika.Tujuannya adalah agar dapat memunculkan pemaknaan yang berbeda dari makna yang telah diungkap oleh para peneliti sebelumnya.

Rabi’ah dan Teresa memiliki pengalaman hidup yang berbeda, cara mencinta yang berbeda, dan efek dari rasa cinta yang berbeda pula, tetapi mereka memiliki kesamaan saat memilih untuk menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan akibat cinta mereka yang teramat dalam kepadaNya.

2 Repertoire terdiri atas semua wilayah familiar dalam teks, berupa acuan karya-karya terdahulu, seperangkat norma sos-ial, historis, dan budaya yang dipakai untuk membaca, baik yang diundang maupun yang terkandung di dalamnya (norma dan konvensi). Norma dan konvensi ini harus disusun kembali oleh pembaca agar potensial secara estetis; penyusunan kembali ini merupakan kerja teks yang mendefamiliarisasi dan membentuk kembali asumsi pembaca, seperti menyediakan sebuah framework yang akan membuat teks menjadi bermakna. Repertoire dapat mencakup unsur-unsur realitas dan unsur-unsur tradisi sastra dalam bentuk alusi (secara tidak langsung); seperti halnya implied reader, repertoire datang melalui interaksi antara pembaca dan teks. Repertoire melontarkan problem bagi pembaca dan mendorong pembaca untuk membuat realisasi selektif terhadap teks, yang berlangsung dalam satu cara intertekstual (Iser, 1987: 86).

Page 100: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 227-238

230

Teori yang dipergunakan di dalam artikel ini adalah teori semiotik. Di dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di luar lingkupannya sangat mungkin, sesuai dengan sistem tanda yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Rifattere, bahwa pandangan semiotik bukan hanya dapat menghubungkan sistem dalam karya itu sendiri, tetapi juga dengan sistem di luarnya (Riffattere, 1987: 1).

Semiotik memandang bahwa fenomena sosial (masyarakat) dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung atau ditentukan oleh konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger, 1974: 78).

Dalam keseluruhan situasi sastra, karya sastra dapat ditempatkan dalam model semiotik. Teks sastra sebagai tanda ditempatkan dalam kerangka proses komunikasi. Sastra merupakan salah satu tindak komunikasi biasa. Oleh karena itu, Teeuw (1984:43) berpendapat bahwa dalam pemahamannya, sastra harus memperhatikan aspek komunikatifnya, atau mengedepankan pendekatan sastra sebagai tanda, atau sebagai gejala semiotik.

Riffaterre (1978:12) dalam Semiotics of Poetry menyebutkan bahwa puisi (karya sastra pada umumnya) merupakan sebuah ekspresi yang tidak langsung, yakni menyampaikan suatu hal dengan hal lain. Hal tersebut terjadi karena tiga hal, yaitu: (1) Displacing of meaning, (2) Distorting of meaning, dan (3) Creating of meaning. Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa bahasa sehari-hari berada pada tataran mimetik yang membangun arti (meaning) yang beraneka ragam dan terpecah. Adapun bahasa puisi, ia berada pada tataran semiotik yang

membangun makna (significance) yang tunggal memusat.

Di dalam artikel ini, penerapan teori semiotika dalam membaca puisi Rabi’ah dan kalimat suci Teresa dilakukan dalam dua tahapan, pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan awal berdasarkan struktur bahasanya atau berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastra. Pada pembacaan inilah dapat ditemukan makna lain di luar makna yang tersurat di dalam puisi/kalimat suci tersebut, berkaitan erat dengan sistem di luar karya.

Setidaknya ada dua penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, salah satunya skripsi yang berjudul Studi Komparatif Antara Konsepsi Rabi’ah Al-Adawiyah Dan Ibu Teresa Mengenai Cinta, ditulis oleh Laili Indah Khoironi,Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tahun 2008. Penelitian ini berpusat pada konsep cinta Rabia’ah al-Adawiyah dan Ibu Teresa dalam pengamalan sufistik. Penelitian lainnya berjudul The Practical Love: A Study on Rabia Adawiya and Mother Teresa of Avila yang ditulis oleh Dr. Indriaty Ismail dan Dr. Ahmad Munawar Ismail, Department of Theology and Philosophy, Faculty of Islamic Studies, National University of Malaysia. Penelitian ini juga berpusat pada konsep pengalaman sufistik keduanya dalam pengamalan cinta terhadap Tuhan. Namun, di dalam penelitian kedua ini, Mother Teresa yang dimaksud bukanlah Teresa yang mengabdikan diri di Calcutta, India, melainkan Teresa yang berasal dari Avila, Spanyol, dan hidup di abad ke-16.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif kualitatif. Metode deskriptif dapat diuraikan seba gai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

Page 101: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Analisis Semiotika Terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother TeresaBetty Mauli Rosa Bustam

231

keadaan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini juga bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik objek penelitian secara faktual dan cermat. Dalam penelitian ini metode tersebut digunakan untuk mendeskripsikan dan memaparkan berbagai pemaknaan pesan cinta yang tersebar di dalam puisi-puisi Rabi’ah dan kalimat-kalimat suci Teresa. Sejalan dengan pendekatan semiotik, pemaknaan yang dideskripsikan pada penelitian ini yang dihasilkan melalui dua macam pembacaan, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, di mana pembacaan ini tidak semata-mata mengalihbahasakan, tetapi juga terikat pada konvensi yang membentengi dari kesalahan penafsiran, tentu dipengaruhi pula oleh repertoire penulis sebagai reader.

hasil dan PeMbahasan

Menggali Makna Puisi Rabi’ah dan Kalimat Suci Teresa

Rabi’ah mengucapkan banyak puisi cinta, keseluruhan puisi Rabi’ah akan menjadi populasi yang beberapa di antaranya akan menjadi sampel di dalam tulisan ini, begitu pula kalimat suci Teresa. Ruang tulis yang terbatas menjadi alasan pemilihan beberapa puisi dan kalimat suci tersebut, begitu pula dengan puisi dan kalimat suci yang jelas telah ditelusuri kebenarannya oleh beberapa peneliti terdahulu, sehingga terhindar dari kesalahan pengutipan.

Berikut ini adalah salah satu puisi cinta Rabi’ah yang sangat terkenal, saat dirinya mulai merasakan hakikat cinta.

(Badawi, 1962: 64)

Pembacaan heuristik, pembacaan awal dari teks secara keseluruhan, dari puisi Rabi’ah di atas akan menghasilkan makna sebagai berikut;

Aku mencintaiMu dengan dua cinta: cinta karena perasaan cintaDan cinta karena Engkaulah cinta (sebenarnya)Adapun cinta dengan perasaan cinta ituMaka aku sibuk mengingatMu dengan hal selain (dzat)-MuSedangkan cinta karena Engkaulah cintaMaka Kau singkap tabir-tabir hingga aku melihat-MuTiadalah pujian untuk cinta yang ini maupun itu untukkuTetapi, bagi-Mu-lah pujian (untuk) kedua cinta itu

Pembacaan retroaktif atau hermeneutik dari puisi di atas sebagai pemaknaan lebih jauh, dapat menjadi seperti berikut ini;

Rabi’ah sebagai manusia pada awalnya hanya mengenal cinta sebagaimana cinta yang dikenal oleh manusia pada umumnya. Cinta yang penuh emosi, cinta yang berlandaskan nafsu. Namun, sejalan dengan waktu ia menyadari bahwa cinta yang ia rasakan pada Tuhan, tidaklah dapat ia samakan dengan rasa cintanya pada hal selain Dia. Terlebih lagi karena Tuhan lah Sang Pemilik cinta sebenarnya, Ia yang Maha Pengasih (Rahman) dan juga Maha Penyayang (Rahim). Rahman dan Rahim Tuhan telah menyingkap selubung DiriNya di hadapan Rabi’ah hingga ia dapat melihat keagungan Tuhan sebagai dzatNya sendiri. Sebelumnya, Rabi’ah dapat merasakan cinta pada Tuhan karena mengingat hal-hal lain, misalnya benda-benda ciptaanNya, termasuk manusia dan makhluk hidup lainnya, tetapi bagi Rabi’ah cinta seperti ini belumlah sempurna. Rabi’ah telah disibukkan dengan hal-hal yang hanya berkaitan dengan Tuhan, ia lebih mendekatkan diri padaNya, berlari padaNya saat ia membutuhkan, dan pikirannya selalu disibukkan dengan hanya mengingatNya, tidak lagi ada ruang tersisa untuk mengingat selain Dia. Pada bait akhir, Rabi’ah tidak memilih pada cinta seperti apakah ia akan mencintai Tuhan, karena kedua cinta tersebut adalah pemberian Tuhan terhadap dirinya.

Cinta model kedua yang dinikmati Rabi’ah jelas sulit untuk dilakukan oleh manusia secara umum, yang masih terikat pada dunia materi.

Page 102: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 227-238

232

Rabi’ah sudah melepaskan diri dari kehidupan duniawi hingga ia bisa mengisi hari-harinya hanya dengan mengingat cintanya pada Tuhan. Cinta Rabi’ah bahkan tidak lagi dilandaskan keinginannya untuk mendapat ganjaran baik (pahala) dari Tuhan, atau karena rasa takutnya akan ganjaran buruk (dosa). Di dalam sebuah riwayat bahkan Rabi’ah menganggap rendah orang-orang yang mendekatkan diri pada Tuhan karena keinginannya untuk ditempatkan di Surga pada hari Akhirat. Hal ini berdasarkan apa yang ia ungkapkan di depan pengikutnya.

(Gharib, 2000: 49)

Tidaklah aku menghambakan diri pada Tuhan karena takut akan nerakaNya..Juga tidak tamak pada surgaNya yang menjadikanku bagaikan mendapat ganjaran buruk jika melakukan sesuatu secara diam-diam..Namun, aku menghambakan diri karena cinta dan merindukanNya..(Gharib, 2000:49)

Kedalaman cinta Rabi’ah pada Tuhan hingga mengenyampingkan hal-hal lain di luar dzatNya, bahkan surga dan neraka sekalipun. Rabi’ah tidak lagi mengharap surga, karena yang ia harapkan adalah si pemilik surga tersebut. Ia pun tidak menghambakan dirinya karena takut pada neraka Tuhan, sebagaimana ia takut pada orang yang mempekerjakan dirinya di saat remaja, tuan yang mengeksploitasi kecantikan fisik dan kemerduan suaranya untuk sejumlah uang. Rabi’ah tidak mau disibukkan untuk sekedar berpikir tentang surga dan neraka. Hal ini ia ucapkan berkali-kali, sebagaimana diceritakan oleh seorang sufi, al-‘Athar (dalam Badawi, 1962:91) di dalam bukunya Tadzkirah al-Auliya’;

Tuhanku, jika aku menghamba pada-Mu (karena) takut akan neraka, maka pangganglah aku di dalamnya..Atau (karena) aku sangat mengharapkan surga, maka haramkanlah surga bagi diriku..Namun, jika aku menghamba pada-Mu semata-mata karena Engkau,Maka jangan haramkan aku untuk melihat rupa-Mu (di Akhirat)..

Rabi’ah selalu berharap agar manusia dapat beribadah dan menghambakan diri pada Tuhan secara tulus dan ikhlas, bukan karena takut dengan siksa neraka-Nya bukan pula karena mengharap kenikmatan surgaNya. Karena pada dasarnya, kewajiban manusia adalah menyerahkan dirinya pada Tuhan tanpa ada perasaan harap ataupun takut. Begitulah sejatinya sifat pencinta, saat melakukan apapun untuk yang ia cintai, bukanlah karena mengharap balasan sesuatu dari sang kekasih, semata-mata karena berlandaskan cinta yang murni dan suci. Di depan para pengikutnya, Rabi’ah pernah bertanya, ‘jika surga dan neraka tidak ada (disediakan Tuhan), apakah kalian akan berhenti beribadah pada Tuhan?’ (Badawi, 1962: 92). Bagi Rabi’ah, kenikmatan menjalankan ibadah yang diperintahkan Tuhan sudah cukup menjadi alasan baginya untuk menghamba pada-Nya.

Di dalam puisi lainnya, Rabi’ah berusaha menggambarkan rasa cintanya yang besar pada Tuhan

(al-Hifni, 1991: 138)

Cawanku, anggurku, dan buih adalah tiga (unsur)(sedangkan) aku si perindu cinta: (unsur ke-) empatCawan yang dikelilingi kemudahan dan kesenanganSelalu menjadi pelepas dahagaJika aku memandang (ke arah manapun), aku tidak melihat selain Dia

Page 103: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Analisis Semiotika Terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother TeresaBetty Mauli Rosa Bustam

233

Dan jika aku hadir (di suatu tempat), maka aku tak terlihat kecuali bersamaNyaDuhai keabadian, sungguh aku mencintai keindahanNyaDemi Tuhan, telingaku belum mendengar tentang ketidaksempurnaanMuBerapa banyak sudah pelanggaran dan kesalahanku yang terjadiAir mata terus bercucuran di matakuTidaklah pelajaranku meningkat dan tidak pula pencapaianku padanyaTersisa, tidak pula bagian mataku terjaga

Bait-bait puisi Rabi’ah menceritakan tentang kehausannya akan mencintai Tuhan. Ia menikmati rasa cintanya pada Tuhan bagaikan meminum secawan anggur hingga bulir buih (busa anggur) terakhir, tuntas tak bersisa. Ia mencintai si Pemilik Dunia, hingga tidak ada lagi tempat untuk mencinta dunia dan isinya, bahkan dirinya sendiri. Ia tidak lagi merasakan apapun yang menimpa pada dirinya, seluruh pikiran dan perasaannya hanya tercurah pada Tuhan. Ia tidak lagi melihat pada sesuatu, baik atau buruk, karena pandangannya selalu tertuju pada keagungan Tuhan. Kecintaannya pada Tuhan bagaikan cawan yang terus terisi untuk melepaskan dahaganya setiap waktu, ia tidak pernah kehilangan sedikitpun waktu tanpa merasakan cinta padaNya. Rabi’ah selalu merasakan kedekatan dengan Tuhan, hingga tidak ada sesuatupun yang ia lihat selain Tuhan, selayaknya perempuan yang dimabuk cinta, meski pun Tuhan tidak terlihat secara kasat mata, tetapi Rabi’ah selalu merasa Ia ada di dekatnya, bahkan menyatu dengan dirinya. Namun, Rabi’ah juga menyesali atas semua kesalahan yang pernah ia lakukan di masa lalu. Semakin besar rasa cintanya pada Tuhan, semakin bercucuran air matanya mengenang kelalaiannya di saat remaja, masa terkelam di dalam hidupnya.

Setelah memberi pemaknaan pada beberapa puisi Rabi’ah, maka berikut ini adalah pemaknaan beberapa kalimat suci Teresa. Kalimat suci Teresa tidak ditulis berbentuk puisi layaknya puisi Rabi’ah, tetapi karena merupakan hasil dari sebuah kontemplasi maka susunan kalimatnya

pun mengandung makna yang dalam. Kalimat suci Teresa seringkali berisikan keinginannya untuk menyenangkan Tuhan dan melimpahkan kecintaan pada sesama. Berikut salah satu kalimat yang ia ucapkan;

“If I ever become a Saint–I will surely be one of “darkness.” I will continually be absent from Heaven–to lit the light of those in darkness on earth .” (Kolodiejchuck, 2008: vii).

Artinya: “Jika aku menjadi orang suci (malaikat)- pastilah aku akan menjadi (malaikat) ‘kegelapan’. Aku secara teratur akan menghilang dari Surga-untuk menghidupkan cahaya bagi mereka yang kegelapan di dunia.”

Keputusan Teresa untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan dengan berbagi kebahagiaan bersama orang-orang yang teramat miskin, kaum marjinal yang seringkali tidak diperhatikan oleh orang lain, membuat dirinya kerap dijuluki saint (orang suci/malaikat). Bahkan kalangan Barat menyebutnya ‘The Saint of the Gutter’ (orang suci dari tempat kumuh/selokan) (Slavicek, 2007:1), akibat seringnya Teresa berada di tempat-tempat kumuh untuk berkumpul bersama para penghuninya. Memberi mereka makan, memotivasi untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Namun, dianggap sebagai orang suci, yang diyakini oleh umat Katolik akan kembali ke surga kelak jika telah meninggalkan dunia fana, tidak membuatnya merasa tenang hidup serba mudah di dalam Surga. Ia meyakini, saat telah berada di surga pun, pikirannya akan selalu tercurah pada orang-orang yang berada di dalam ‘kegelapan’, kaum yang paling miskin di antara orang-orang miskin. Kegelapan yang ia maksudkan di sini, tidak hanya untuk menggambarkan kehidupan kaum marjinal, tetapi karena untuk mencapai mereka pun Teresa harus melewati lorong-lorong gelap dan pengap, karena sebagian mereka adalah orang-orang buangan dan para gelandangan. Ia ingin menjadi cahaya yang menerangi kegelapan mereka, sebagaimana Tuhan telah memberi cahaya-Nya untuk menerangi dirinya. Saat mengucapkan kaul menjadi seorang biarawati,

Page 104: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 227-238

234

Teresa sudah berikrar ‘Saya sudah bersumpah di hadapan Tuhan, yang akan menjadi dosa besar jika saya melanggarnya, untuk memberikan pada Tuhan apapun yang Ia kehendaki, untuk tidak menolak apapun yang Ia pinta’ (Kolodiejchuck, 2008:23). Pengorbanan Teresa mengenyampingkan kesenangan pribadinya adalah bentuk kecintaannya yang mendalam pada Tuhan. Teresa menjelaskan perasaannya ini di dalam sebuah kutipan;

Mengapa kita harus menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan? Sebab Tuhan telah memberikan Diri-Nya sendiri kepada kita, akankah kita hanya menanggapi dengan sebagian diri kita? Memberikan diri kita secara utuh kepada Tuhan adalah sebuah cara untuk menerima Tuhan sendiri. Saya untuk Tuhan dan Tuhan untuk saya. Saya hidup untuk Tuhan dan saya menyerahkan diri secara utuh, dan dengan cara ini saya menyediakan tempat bagi Tuhan untuk hidup dalam saya. Oleh sebab itu, untuk memiliki Tuhan, kita harus membolehkan Tuhan memiliki jiwa kita (Kolodiejchuck, 2008: 24).

Sejalan dengan pernyataannya tersebut, Teresa pun melontarkan kalimat suci yang ia harapkan dapat memotivasi semua orang untuk dapat berbuat sesuatu bagi Tuhan dan sesama.

“The fruit of silence is prayer,The fruit of prayer is faith,The fruit of faith is love,The fruit of love is service,The fruit of service is peace.” (Teresa, 2010: 3)

Artinya: Buah dari kesunyian adalah doa,Buahdari doaadalahiman,Buahdari imanadalah cinta,Buahdari cinta adalahpelayanan,Buahdari pelayananadalahdamai

Kalimat suci Teresa di atas seakan menggambarkan perjalanan hidupnya, dari sebuah doa di dalam keheningan, saat ia memohon petunjuk Tuhan untuk menetapkan pilihan hidupnya di saat remaja, antara ingin menjadi seorang musisi atau mengabdi pada Tuhan.

Berawal dari doa tersebut ia semakin merasakan kekuatan imannya yang terus bertambah kepada Tuhan. Keimanan yang memantapkan pilihan hidupnya untuk menjadi seorang biarawati. Saat keimanannya terus bertambah, rasa cinta kepada Tuhan pun tumbuh dengan subur di hatinya. Iman membuatnya semakin mengenal Tuhan yang pada akhirnya mendorong rasa cintanya menjadi semakin dalam. Di dalam kedalaman cintanya, ia mengabdi menjadi pelayan Tuhan bagi umat manusia. Ia merasakan cinta Tuhan yang berlimpah, hingga terdorong untuk membagi cinta Tuhan kepada sesama. Berbagi pada sesama dengan menjadi pelayan Tuhan adalah hal yang dapat membuatnya bahagia. Kebahagiaan itu akhirnya akan mendatangkan kedamaian di dalam hati.

Bagi Teresa, mencintai Tuhan haruslah dengan berbuat sesuatu atas namaNya bagi umat ciptaanNya, sebagaimana ajakan yang ia tulis di dalam bukunya berikut ini;

“What you are doing I cannot do, what I’m doing you cannot do, but together we are doing something beautiful for God, and this is the greatness of God’s love for us—To give us the opportunity to become holy through the works of love that we do because holiness is not the luxury of the few. It is a very simple duty for you, for me, you in your position, in your work and I and others, each one of us in the work, in the life that we have given our word of honor to God.…You must put your love for God in a living action.” (Teresa, 2010: 10)

Artinya :“Apa yang kamu lakukan tidak dapat saya lakukan, apa yang saya lakukan (pun) tidak dapat kamu lakukan, tetapi bersama-sama kita dapat melakukan sesuatu yang indah untuk Tuhan, dan inilah keagungan cinta Tuhan bagi kita – memberi kita kesempatan berharga untuk menjadi kudus melalui pekerjaan cinta yang kita lakukan, karena kekudusan bukanlah kemewahan bagi segelintir orang. Ini adalah pekerjaan sederhana bagi kamu, bagi saya, kamu dalam posisimu, dalam pekerjaanmu, dan saya dan yang lainnya, masing-masing kita dalam pekerjaan, di dalam hidup yang telah kita berikan kata penghormatan bagi Tuhan.. kamu harus letakkan cintamu pada Tuhan di dalam aksi nyata”

Page 105: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Analisis Semiotika Terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother TeresaBetty Mauli Rosa Bustam

235

Teresa mengamati bahwa kehidupan di dunia sangatlah sulit bagi sebagian orang, sedangkan sebagian lainnya dapat merasakan kehidupan yang sebaliknya. Mereka yang mengaku mencintai Tuhan, seharusnya memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan kecintaanya dengan berbuat sesuatu untuk Dia yang dicintai, yaitu dengan menyebarkan cinta melalui suatu aksi bagi kaum yang sulit. Jika dengan mengantarkan cinta Tuhan dapat membuat mereka, kaum yang kesulitan, berbahagia, alangkah baiknya untuk terus mengalirkan kebahagiaan itu. Pekerjaan yang dilandaskan dengan sebuah cinta suci, tidaklah menjadi beban bagi orang yang mengerjakannya. Karena cinta sejatinya memang membutuhkan pengorbanan, dan pengorbanan atas nama cinta tidak pernah membebani para pencinta sejati. Kebahagiaan (suka cita) Tuhan, yang dicintai, adalah tidak ternilai, sangat berharga melebihi apapun di dunia.

Cinta sebagai Esensi Tuhan

Kalangan sufi meyakini bahwa alasan penciptaan bumi adalah dari kehendak Tuhan agar diriNya dapat dikenal. Oleh karenanya, berkaitan dengan Tuhan, kaum sufi selalu berada di dalam dua perspektif; ma’rifah (mengenal) dan mahabbah (mencintai). Bagi kaum sufi, kedua pendekatan ini sangat berkaitan dan saling terhubung, bahkan di antara mereka ada yang menganggap bahwa kedua hal tersebut adalah identik, tidak dapat dipisahkan (Geoffroy, 2010:3). Bagaimana mungkin seseorang dapat mencintai Tuhan tanpa mengenal-Nya, dan bagaimana mengenal Dia jika tidak mencintai-Nya?. Kehidupan spiritual sejatinya bukanlah pilihan antara cahaya dan panas. Kedua pendekatan ini sangat berkaitan dengan hati manusia (al-Qushayri, 2007:327).

Hati adalah pusat mikrosom manusia, bersamaan dengan pusat fisik tubuh, berbagai energi vital, emosi, dan jiwa. Hati adalah pula tempat bersemayamnya ruh (spirit). Kemisteriusan hati, terlihat kecil jika dilihat dari sudut pandang manusia, tetapi mampu melingkupi seluruh alam semesta saat dipenuhi

keyakinan pada Tuhan. Rasulullah saw. bersabda bahwa hati adalah ‘‘arsy (singgasana) Tuhan yang Rahman (Maha Pengasih)’. Hal ini disebut pula di dalam Injil, seperti yang disampaikan oleh Yesus bahwa ‘Kerajaan Tuhan berada di dalam dirimu’ (Nasr, 2004:32). Oleh karenanya, hanya hati yang telah tersedia untuk tempat bersemayamnya Tuhan-lah yang dapat mengenal dan mencinta-Nya.

Di dalam puisi-puisinya Rabi’ah mem-perlihatkan kecintaannya yang teramat besar pada Tuhan, seolah-olah ia sudah sangat mengenal-Nya. Menurut Cornell (1999:78), Rabi’ah telah menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan, hingga tidak ada ruang tersisa di hatinya untuk mencintai ciptaan Tuhan atau benda-benda ciptaan lain. Kenyataan ini tentu sulit dipahami oleh manusia pada umumnya, karena manusia diberkahi Tuhan untuk dapat mencintai ciptaan-Nya, baik sesama manusia ataupun makhluk hidup lain. Namun, Rabi’ah telah mengalami perjalanan spiritual yang tidak biasa. Ia adalah seorang perempuan sufi yang berlaku zuhud, tidak lagi memikirkan kehidupan material dan hari-harinya hanya ia habiskan untuk menghamba pada Tuhan. Seluruh pikiran dan perasaannya hanya ia tujukan pada Tuhan, hingga tumbuh rasa cinta yang tidak biasa. Ia tidak lagi bisa mencintai semua ciptaan Tuhan, karena ia telah menyerahkan seluruh cintanya pada si Pencipta itu sendiri.

Rabi’ah telah menazarkan dirinya sendiri pada Tuhan, jika penyerahan diri ini diibaratkan dengan pernikahan berlandaskan cinta, maka kekasihnya hanyalah Tuhan semata (Badawi, 1962:59). Keputusannya untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan berdampak dengan penolakannya terhadap hal-hal di luar dzat Tuhan, apapun bentuknya, termasuk untuk menikah, memiliki keturunan, dan membangun sebuah keluarga, hal yang selalu menjadi impian seorang perempuan. Rabi’ah berpendapat, bahwa cinta materi adalah cinta yang dapat berubah, meski materi yang ia maksudkan adalah manusia, sedangkan cinta suci seperti yang ia

Page 106: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 227-238

236

berikan pada Tuhan adalah cinta tulus, tanpa pamrih, penuh kerelaan yang tidak akan berubah karena kesenangan sesaat. Namun, keputusan untuk membebaskan diri dari pernikahan bukanlah hanya dilakukan oleh Rabi’ah semata, hampir seluruh sufi perempuan melakukan hal yang sama. Jika Rabi’ah dengan tegas menolak pernikahan, maka sufi perempuan menganggap pernikahan akan membatasi kehidupan spiritual mereka (Dakake, 2000: 148).

Ketulusan dan kesucian cintanya pada Tuhan, ditunjukan Rabi’ah dengan mengabaikan keberadaan surga dan neraka. Ia meyakini bahwa cintanya adalah cinta yang bebas dari maksud tertentu dan cinta yang tanpa pamrih. Sebuah riwayat yang sangat terkenal menceritakan Rabi’ah yang berlari menyusuri jalan Basrah dengan membawa seember air di tangan yang satu dan obor yang menyala di tangan lainnya, sambil berkata bahwa ia ingin memadamkan api neraka (dengan air di dalam ember) dan membakar taman di surga, agar Tuhan dapat dicinta semata-mata karena Dia (Schimmel, 1999:35). Ketidakpeduliannya pada surga dan neraka juga ia tuangkan pada puisi dan kalimat-kalimat penegasan lain, yang di antaranya telah dipaparkan di atas. Baginya, kehadiran Tuhan melebihi hadiah apapun yang ada di dunia.

Sama halnya dengan Rabi’ah, Teresa pun memilih untuk menyerahkan diri dan jiwanya secara utuh kepada Tuhan sebagai seorang biarawati Katolik. Ia dengan segenap cintanya, berusaha mengikatkan diri pada yang dicintainya, Tuhan, tanpa pamrih. Dengan mengucapkan kaul, sumpah setia, Teresa telah mengesahkan penyerahan dirinya secara total, dan dengan demikian ia mengungkapkan secara nyata kerinduannya untuk bersatu secara utuh dengan Tuhan yang ia cintai. Cinta sejatinya mendorongnya untuk berusaha memenuhi permintaan yang dicintai, memenuhi semua harapannya bahkan sampai pada hal yang paling kecil. Bagi Teresa, kaul yang ia ucapkan telah memperkokoh ikatan dengan Tuhan yang ia cintai dan karena itu ia mengalami kebebasan

sejati, alih-alih merasa terbelenggu, yang hanya dapat dihasilkan oleh cinta (Kolodiejchuck, 2008: 24-25).

Karena kecintaannya pada Tuhan, Teresa menyerahkan hidup untuk memenuhi panggilanNya memberi pelayanan pada orang-orang yang sangat membutuhkan, meskipun apa yang ia lakukan tersebut bukanlah sesuatu yang ia senangi. Sebagai seorang Katolik, ia meyakini bahwa Tuhan (Yesus) telah mengambil resiko dengan memilih hukuman yang sama dengan hukuman bagi pelaku dosa berat, disalib (hukuman mati). Pengorbanan ini Ia lakukan semata-mata karena kecintaan pada umatNya. Penderitaan umat adalah juga penderitaan-Nya. Oleh karena itulah, tidak ada alasan bagi Teresa untuk menolak panggilan Tuhan, memberi pelayanan bagi kaum miskin meski di perkampungan kumuh sekalipun. Di dalam sebuah surat yang ia tujukan kepada Uskup Agung tahun 1947, untuk meminta dukungan bagi rencananya memberi pelayanan di luar gereja, ia menuliskan:

Saya terkadang merasa takut, karena saya tidak memiliki apapun, tidak cerdas, pendidikan tidak tinggi, tidak memiliki keterampilan khusus untuk aksi seperti ini, tetapi saya katakan padaNya bahwa hati saya bebas dari apapun, maka hati saya sepenuhnya milikNya dan hanya milikNya. Ia dapat menggunakan saya semauNya untuk menyenangkan hatiNya. Hanya menyenangkan Dia, kebahagiaan yang saya cari (Kolodiejchuck, 2008: 24-25).

Mary Poplin (dalam Greene, 2004:138) di dalam artikelnya No Humanitarian menjelaskan, banyak penulis meyakini bahwa Mother Teresa adalah seseorang yang saat melihat kaum miskin akan memberi apa yang mereka butuhkan secara simpatik. Sebenarnya tidaklah seperti itu. Teresa melayani kaum miskin bukan karena mereka membutuhkannya, tetapi karena Tuhan memanggilnya untuk melakukan hal itu. Dia mematuhi panggilan Tuhan, bukan karena kepekaan sosialnya. Teresa sering mengingat kembali bahwa jika Tuhan memberitahunya

Page 107: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Analisis Semiotika Terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother TeresaBetty Mauli Rosa Bustam

237

apa yang akan terjadi setelah ia pertamakali mengangkat tubuh seseorang yang sekarat di jalan Calcutta, ia tidak akan pernah melakukan hal tersebut, karena ia merasa sangat takut.

Teresa dan kelompoknya menyebut aksi mereka sebagai Missionaries of Charity (Misi Amal). Saat ditanyakan tentang misinya ini, Teresa menjelaskan, ‘kami yang pertama (melakukan aksi ini) di antara semua agama; kami bukanlah pekerja sosial, bukan guru, bukan perawat atau dokter, kami adalah para suster (saudari dalam iman). Kami melayani Yesus pada kaum miskin’ (Greene, 2004: 139). Agar dapat berbaur, mereka berusaha mengubah penampilan layaknya kaum miskin yang mereka datangi, berpakaian sederhana dan tidak menonjol. Hal ini agar tidak terjadi penolakan dan mudah diterima, merekapun mengorbankan diri untuk hidup bersama kaum tersebut. Teresa terus memberi motivasi kepada semua saudarinya bahwa kemiskinan yang mereka jalani saat ini adalah miskin karena sebuah pilihan. Mereka masih lebih beruntung dari kaum yang mereka bantu, karena kaum tersebut merasakan miskin sejak mereka lahir.

Apa yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan sebuah fenomena bahwa baik Rabi’ah maupun Teresa mengambil figur Siti Maryam (ibunda Isa a.s.) atau Mary Perawan Suci, yang menghabiskan hidupnya di dalam keterasingan demi menghambakan diri pada Tuhan. Siti Maryam (Mary) adalah sosok seorang perempuan saleh dan menjaga kesucian, yang diteladani baik oleh umat Islam maupun umat Nasrani. Rabi’ah meniru apa yang Maryam lakukan di dalam peribadatannya, sedangkan Teresa meniru kepatuhan Mary dalam menjalankan panggilan Tuhan. Keduanya menjalani kehidupan suci dengan memilih hidup sendiri tanpa pernikahan, sebagaimana yang dijalani oleh Maryam (Mary), meski dengan alasan yang berbeda sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.

PenutuP

Setelah melakukan pembacaan kembali atas beberapa puisi Rabi’ah dan kalimat suci Teresa, kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Rabi’ah beranggapan bahwa semua yang ada di dunia ini tidak ada nilainya dibandingkan ‘kehadiran’ Tuhan di dalam dirinya. Tuhan adalah satu-satunya tempat ia tumpahkan segala cinta. Semua ibadah yang ia lakukan tidaklah mengharap imbalan apapun dari dzat yang ia cintai, baginya kewajiban untuk beribadah adalah hal yang sangat menyenangkan dan tidak ada bandingannya di dunia. Beribadah adalah kesempatan untuk melepaskan rindu pada Kekasih, merasakan terus kehadiranNya, sebuah puncak kenikmatan hingga ia tidak lagi dapat merasakan kenikmatan lain.

Di lain pihak, cinta Teresa pada Tuhan ia tunjukkan dengan menjawab semua panggilan-Nya dan berkorban demi kebahagiaanNya. Cintanya pada Tuhan telah mengikat dirinya hingga ia akan melakukan apapun yang dipinta oleh Kekasihnya tanpa keterpaksaan sedikitpun. Ia yakin, panggilan yang ia peroleh dari Tuhan adalah sebuah jawaban Tuhan atas cintanya. Di wajah kaum miskin ia melihat Tuhan, karenanya ia berusaha sekuat tenaga untuk melayani mereka. Baginya, apa yang ia perbuat bukanlah manifestasi dari kekuatan fisik atau intelektual yang ia miliki, tetapi karena kekuatan Maha Dahsyat dari Tuhan dan cinta di dalam hatinya.

Kedalaman cinta kedua perempuan istimewa ini, tidaklah dapat dinilai jika tidak ada satupun kata-kata mereka yang sempat tertulis dan diabadikan di dalam sejarah. Kisah hidup mereka yang dituliskan oleh orang lain, tidak bermakna apapun tanpa kehadiran ucapan mereka. Karena apa yang diucap atau dituliskan adalah berasal dari dalam diri mereka sendiri. Pada akhirnya, cinta adalah sesuatu yang misterius, dan demi cinta seseorang dapat berbuat apa saja tanpa merasa terbebani serta tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Page 108: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 227-238

238

daftar Pustaka

Armstrong, Karen. 1993. A History of God. New York: Random House Inc.

Badawi, Abdur-Rahman. 1962. Syahidah al-‘Isyq al-Ilahy. Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Misriyya

Cornell, Rkia. 1999. Early Sufi Women, Dhikr an-Nisa al-Muta’abbidat as-Sufiyyat. Louisville: Fons Vitae

Dakake, Maria Massi. 2000. ‘Walking Upon the Path of God Like Men?’ dalam Michon dan Gaetani (ed.), Sufism Love and Wisdom. Indiana: World Wisdom Inc.

Gharib, Ma’mun. 2000. Rabi’ah al-Adawiyah fi Mihrab al-Hubbil-Ilahy. Kairo: Dar al-Gharib

Greene, Meg. 2004. Mother Teresa a Biography. London: Greenwood Press

Hifni, AbdulMun’im al-. 1991. Rabiah al-Adawiyah, Imamah al-‘Asyiqin wal-Mahzunin. Kairo: Dar ar-Rasyad

Kolodiejchuck, Brian. 2008. Mother Teresa, Come be My Light (terj. Alex Tri K). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Lings, Martin. 1975. What is Sufism?. London: George Allen and Unwin.

Nasr, Seyyed Hossein. 2004. ‘The Heart of Faithful is the Throne of the All-Merciful dalam James S. Cutsinger (ed.) Paths to the Heart. Indiana: World Wisdom Inc.

Preminger, Alex. 1974. Princetown Encyclopedia of Poetry and Poetics. New Jersey: Princetown University Press

Qushayri, Abu ‘l-Qasim al-. 2007. Epistle on Sufism: Al-Risāla al-qushayriyya fi ‘ilm al-tasawwuf. UK: Garnet Publishing

Riffaterre, Micheal. 1987. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press

Schimmel, Annemarie. 1999. My Soul is Woman. New York: Continuum

Slavicek, Louise Chipley. 2007. Mother Teresa, Caring the World’s Poor. New York: Chelsea House Publisher

Teeuw, A. 1984. SastradanIlmuSastra: PengantarTeoriSastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Teresa, Mother. 2010. Where There is Love There is God. New York: Random House Inc.

Ware, Kallistos. 2004. ‘How Do We Enter the Heart?’ dalam James S. Cutsinger (ed.) Paths to the Heart. Indiana: World Wisdom Inc.

Page 109: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Pesantren Ar-Romli Yogyakarta Moch. Lukluil Maknun

239

IMPLEMENTASI TRADISI IKHTILAF DAN BUDAYA DAMAI PADA PESANTREN NURUL UMMAH

DAN AR-ROMLI YOGYAKARTA

The Implementation of Ikhtilaf and Peace Culture in the Pesantren Nurul Ummah and Pesantren Ar-Romli Yogyakarta

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jln. Untung Suropati Kav. 69-70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang

Telp. (024) 7601327 Faks. (024) 7611386

e-mail: [email protected] diterima: 25 Juli 2014

Naskah direvisi: 2–9 Oktober 2014Naskah disetujui: 13 Nopember 2014

AbstrAct Since long time ago, pondok pesantren (islamic boarding school) has been considered as a moderate institution. It also gives priority to peaceful ways in dealing with conflict. Unfortunately, such known attitude is now being strongly questioned due to some vested interests found in the pesantren community. The various motives in religions, politics, economics, social, etc among the people lead pesantren to be vulnerable to conflict. Using qualitative method, this article intended to explore the mindset, characters, and attitudes of the people in pesantren in dealing with various “ikhtilaf” (disputes) that later used as means to portray peace cultures in the pesantren. The findings of the research showed that both pesantrens (Nurul Ummah and Ar-Romli) had never been in serious external conflict. Nevertheles, they had applied the principles of peace cultures well.

Keywords: pesantren, ikhtilaf, peace culture, Pesantren Nurul Ummah, Pesantren Ar-Romli

AbstrAk

Pondok pesantren awalnya dianggap sebagai lembaga Islam yang moderat dan kental dengan tradisi damai dalam menghadapi berbagai bentuk perbedaan. Saat ini sikap moderat pondok pesantren mulai dipertanyakan. Ditemukan fakta adanya pamrih politik, ekonomi, dan sosial dalam komunitas pondok pesantren yang menyebabkannya menjadi tidak imun konflik. Penelitian ini dengan pendekatan kualitatif bermaksud mengeksplorasi kembali pola pikir, pandangan, karakter, dan sikap pengasuh atau santri pesantren dalam menghadapi “ikhtilaf” baik dalam paham keagamaan, politik, maupun budaya. Hasil eksplorasi digunakan untuk mengkonstruksi ada tidaknya nilai-nilai atau budaya “damai” yang tumbuh di pesantren baik dari sisi sistem, proses, maupun instrumen. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedua pondok pesantren (Nurul Ummah dan Ar-Romli Yogyakarta) belum pernah mengalami konflik ekstern yang membutuhkan penanganan mendalam. Meskipun demikian, kedua pondok pesantren ini sudah mengaplikasikan prinsip-prinsip budaya damai dan menghadapi ikhtilaf dengan bijak.

Kata kunci: pesantren, ikhtilaf, budaya damai, Pesantren Nurul Ummah, Pesantren Ar-Romli

MOCH. LUKLUIL MAKNUN

Page 110: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 239-251

240

Pendahuluan

Pondok pesantren (atau disebut ‘pesantren’ tanpa awalan ‘pondok’, untuk selanjutnya disingkat ponpes) digambarkan sebagai mandala atau semacam padepokan yang merupakan tempat tenang, sejuk, dan damai, tempat para santri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar membentuk karakter sedangkan sang Kiai menyerahkan jiwa dan diri untuk memberikan pengajaran dan pelajaran hidup. Solidaritas, kebersamaan, persaudaraan, dan ketulusan antarwarganya sangat kuat dan tumbuh sebagai karakter integral di dalamnya (Haerus Salim dalam Farchan, 2005: xv).

Ponpes memiliki elemen-elemen dasar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu kiai, santri, pondok, masjid (musholla), dan pengajaran kitab salaf (klasik), yang disebut kitab kuning (Haedari, 2004: 25-40). Ponpes memiliki karakteristik budaya tresendiri, di antaranya; Pertama, sebagai lembaga pendidikan yang bercorak tradisional (salaf). Kedua, sebagai pertahanan budaya (culture resistance), yakni budaya Islami yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunah nabi serta teladan dan ajaran para salafu shalih (ulama terdahulu). Ketiga, sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Ponpes dikenal sebagai lembaga pendidikan yang berkarakter moderat dan juga sering disebut sebagai NU (nahdlatul ulama) utamanya dalam sikap yang moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh) (Zubaidi, 2007: 16-17, lihat juga Mas’ud 2010: 24-34).

Tradisi diartikan adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Ikhtilaf diambil dari bahasa Arab, bentuk mashdar dari kata ikhtalafa yang berarti perbedaan sikap atau pandangan. Ikhtilaf dan mukhalafah dapat dipahami sebagai saat masing-masing orang mengambil suatu jalan yang tidak ditempuh orang yang lainnya, baik dalam sikap maupun perkataan. Saat ikhtilaf antara manusia itu melahirkan pertikaian, kata ini kemudian digunakan sebagai metafor untuk makna pertikaian dan perselisihan (al-Asfahani, 1961:

121). Selanjutnya tradisi ikhtilaf dalam penelitian ini dimaknai sebagai kebiasaan berbeda sikap dan pandangan yang dijalankan secara turun temurun.

Budaya merupakan inti identitas jati diri masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok. Dalam wacana agama, budaya sering disetarakan dengan istilah al-adah atau al-urf. Al-adah secara etimologis berarti suatu yang dikenal dan terjadi secara berulang-ulang. Kata al-ma’ruf diartikan sebagai “sesuatu yang baik” karena sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang biasanya merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan masyarakat. Terdapat hubungan arti antara al-adah dan al-urf, yaitu sesuatu yang dikenal dan terjadi secara berulang-ulang, sehingga diyakini sebagai kebenaran dan kebaikan (Nakha’i, 2006).

Konsep damai (perdamaian) memiliki arti rukun (harmoni) dan adil, yang juga berarti tidak adanya kekerasan fisik. Beberapa istilah damai antara lain; Istilah Arab salam dan Ibrani shalom, yang bermakna tidak adanya perang, kehidupan yang baik, menyeluruh, rukun, cinta, kesehatan yang penuh, kesejahteraan, pemerataan kebutuhan, dan rekonsiliasi. Istilah Sansekerta shanti, bermakna kedamaian semesta. Istilah Cina ping berarti rukun atau mengupayakan kesatuan dalam keragaman, sejajar dengan istilah Kuno Cina mengenai integrasi dua hal yang tampaknya saling bertentangan sebagaimana ditunjukkan dalam konsep yin dan yang (Barash dalam Navaro-Castro, 2010). Dalam Penelitian ini budaya damai dipahami bukan sebagai suatu kondisi yang ada begitu saja sebagai suatu pemberian dan harus diterima umat manusia, melainkan hasil proses panjang yang melibatkan berbagai faktor dan aktor.

Ponpes merupakan subkultur yang merepresentasikan dinamika masyarakat. Sebagai prototipe masyarakat, ponpes tidak dapat menghindarkan diri dari perbedaan atau bahkan pertentangan antarindividu atau kelompok, baik yang menjadi bagian dari ponpes maupun dalam hubungannya dengan pihak luar

Page 111: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Pesantren Ar-Romli Yogyakarta Moch. Lukluil Maknun

241

(Soelaiman, 1998: 115). Ponpes juga tidak bisa menghindar dari segala bentuk perubahan yang terjadi di lingkungannya, baik perubahan yang sejalan dengan kultur ponpes maupun yang bertentangan. Ponpes dituntut untuk menghadapi situasi keragaman dan keberbedaan tersebut, serta beradaptasi terhadap setiap perkembangan yang berlangsung di lingkungannya (Hiroko, 1987: 242).

Perbedaan faham atau pertentangan (ikhtilaf) di kalangan ponpes dianggap sebagai keniscayaan. Kaum ponpes sudah lama akrab dengan banyak bentuk ikhtilaf dalam hal ajaran agama. Oleh karenanya, kaum ponpes lebih mengusahakan langkah moderat atau menyikapi perbedaan agar menjadi rahmat, sebagaimana sabda Nabi Saw: ikhtilafu ummati rahmatun.

Sikap moderat yang melekat pada komunitas ponpes saat ini mulai banyak dipertanyakan. Hal ini disebabkan banyaknya kekerasan di negeri ini dengan mengatasnamakan agama yang pada umumnya justru bermula dari komunitas ponpes, meskipun tidak dapat terlepas dari faktor kepentingan politik dan paham tertentu.

Faktor lain yang menambah keraguan masyarakat atas sikap moderat kaum ponpes (atau akrab dengan istilah tawâsuth, tasâmuh, dan tawâzun) adalah banyaknya ulama ponpes yang terjun di dunia politik yang secara langsung atau tidak dapat melunturkan sikap moderat yang lazim dimiliki para ulama ponpes. Di luar konteks tersebut, dijumpai banyaknya ponpes yang pendiriannya bermula dari perbedaan dan perpecahan antarkeluarga. Secara umum, adanya pamrih politik, ekonomi, dan sosial akan menyebabkan ponpes tidak lagi imun konflik (Haerus Salim dalam Farchan, 2005: xix). Jika demikian, dapat diasumsikan sikap moderat yang selama ini melekat dalam komunitas ponpes masih kabur.

Ponpes yang sejak awal perkembangannya merupakan institusi yang moderat perlu dipertegas kembali keberadaannya. Hal penting yang seharusnya dilakukan antara lain dengan memahami kembali bentuk tradisi ikhtilaf dan

melakukan eksplorasi nilai-nilai perdamaian di ponpes. Dalam lingkup kecil, hal ini dapat dilakukan dengan menghadirkan model (contoh) ponpes yang masih tetap pada koridor Sunni (Ahlussunnah) dengan kesan moderat yang kental.

Tidak mudah menemukan penelitian yang secara khusus mengelaborasi nilai-nilai damai di ponpes. Meskipun demikian, setidaknya ada dua penelitian yang berupaya menggali nilai-nilai toleransi dan keterbukaan di ponpes. Penelitian Nafis (2009) menghadirkan beberapa contoh ponpes yang mengembangkan nilai-nilai pluralisme dalam aktivitas pembelajaran, kemudian menyimpulkan umumnya ponpes masih tertutup dengan nilai pluralisme dan masih berkutat pada nilai-nilai lama. Penelitian Haroen (2009) menyatakan bahwa ponpes sudah mulai mengadaptasi teknologi informasi dan informasi dalam pengembangan keilmuan yang sebelumnya hanya berbasis teks.

Kedua penelitian tersebut lebih mengkaji ponpes pada segi literatur juga sikap penerimaan aspek baru dari luar (nilai pluralisme dan teknologi informasi). Penelitian ini berupaya menunjukkan aspek-aspek implementatif di ponpes dengan memotret tradisi ikhtilaf dan budaya damai di dalamnya, serta mengelaborasi nilai-nilai tersebut baik dari konsep atau sistem yang melandasi, proses yang dijalani, maupun alat implementasinya.

Menentukan ponpes untuk diangkat menjadi model yang dianggap moderat di Yogyakarta tidaklah mudah. Data Pekapontren Kanwil Kemenag Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 menunjukkan setidaknya ada 270 ponpes yang terdaftar. Dari jumlah tersebut, terdapat porsi yang berimbang antara ponpes yang dikategorikan dengan jenis ‘salaf’ dan ‘kombinasi’. ‘Salaf’ dimaksudkan dengan ponpes yang sistem pendidikannya lebih condong ke tradisional, sedangkan ‘kombinasi’ dimaksudkan dengan ponpes yang menggabungkan atau mengakomodasi sistem pendidikan modern (sekolah/klasikal) dengan sistem tradisional/salaf (w. M. Nurcahyo).

Page 112: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 239-251

242

Berdasarkan studi pendahuluan penelitian, peneliti menentukan dua ponpes sebagai lokasi yang dianggap sampel, yaitu Ponpes Nurul Ummah dan Ponpes Ar-Romli. Ada tiga alasan yang mendasari pengambilan sampel tersebut yaitu; 1) Ponpes Nurul Ummah mewakili ponpes ‘kombinasi’, dan Ar-Romli sebagai ponpes ‘salaf’; 2) Kedua ponpes tersebut didirikan oleh KH. Marzuqi Romli (1901-1991 M) yang merupakan salah satu tokoh agama berpengaruh pada masa awal penyebaran Islam tahun 90-an di Yogyakarta; 3) Baik pengasuh maupun sang pendiri kedua ponpes tersebut dikenal sebagai tokoh yang ‘dekat’ dengan organisasi dan kepemerintahan, tetapi tidak ‘masuk’/terlibat langsung di dalamnya (lihat Munir, 2009).

Berangkat dari uraian latar belakang, penelitian ini bermaksud menggambarkan implementasi tradisi ikhtilaf dan budaya damai di kedua ponpes tersebut. Dengan tereksplorasinya hal tersebut, diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai pola pikir, pandangan, karakter, dan sikap ponpes dalam menghadapi ikhtilaf, baik dalam hubungannya dengan paham keagamaan, politik, maupun budaya. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi berupa konsep pengembangan budaya damai yang bermanfaat untuk penguatan institusi ponpes dan pengembangan khazanah Islam.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode naturalistik yaitu penelitian yang dilakukan dalam situasi yang wajar atau natural, tanpa adanya pengaruh yang disengaja, serta tidak mengesampingkan objektivitas yang bebas sama sekali dari subjektivitas, tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan (Nasution, 2003; Muhadjir, 2002). Selain mengumpulkan data dari telaah pustaka terkait ponpes secara umum dan pustaka baik buku atau sumber web tentang kedua ponpes yang dijadikan lokasi (objek) penelitian, peneliti juga mengumpulkan data melalui pengamatan lapangan, pengamatan terlibat, dan wawancara. Dalam pengamatan lapangan, peneliti mengamati

dan mencatat tiap fenomena di kedua ponpes yang dapat mendukung penelitian dan dijadikan data. Pengalaman terlibat dilakukan peneliti dengan turut serta dalam beberapa kegiatan yang dilakukan para santri baik di dalam maupun di luar ponpes. Adapun wawancara dilakukan untuk mendapatkan data sesuai kerangka pemikiran yang telah disusun sebelumnya. Wawancara dilakukan kepada pengasuh ponpes (Kiai Ahmad Zabidi), beberapa ustadz dan pengurus, serta beberapa santri di kedua ponpes.

Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif, yaitu alur kegiatan yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pengumpulan data dilakukan pada rentang waktu Juli-Oktober 2012. Lokasi atau objek penelitian adalah dua ponpes di Yogyakarta (Nurul Ummah dan Ar-Romli) dengan alasan penentuan sebagaimana yang disebutkan di latar belakang.

hasil dan PeMbahasan

Deskripsi Lokasi/Objek Penelitian

Ponpes Nurul Ummah dan Ar-Romli tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Kiai Perintisnya secara nasab, yaitu Kiai Ahmad Marzuqi Romli (1901-1991 M). Beliau adalah putra dari Mbah Kiai Romli ibn Mbah Kiai Munawi. Dakwah di Giriloyo sudah mulai dirintis oleh Mbah Kiai Romli sejak abad ke-19. Dakwahnya dapat disebut kompleks karena tidak semata berbekal ilmu agama, tetapi juga menggunakan pendekatan ilmu umum seperti pertanian, perdagangan, dan lain-lainnya. Dalam melengkapi dakwahnya, Mbah Kiai Romli juga mengajarkan thariqah Syathoriyah, salah satu thariqah mu’tabarah yang dianggap paling ringan amalannya, thariqah inilah yang diturunkan juga sampai kepada Kiai Asyhari dan Kiai Ahmad Zabidi (Munir, 2009: 15-17).

Ponpes Nurul Ummah (yang diasuh oleh K.H. Asyhari Marzuqi, almarhum) berada di daerah Kotagede, yang dulunya merupakan kota tua yang berdiri sejak abad ke-16 dan pernah menjadi ibukota kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Ki Gede Pemanahan. Di wilayah ini

Page 113: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Pesantren Ar-Romli Yogyakarta Moch. Lukluil Maknun

243

berkembang dua organisasi besar keagamaan, NU dan Muhammadiyah yang dapat berdampingan dengan dinamis (Munir, 2009: 15-17).

Secara kepengurusan, Ponpes Nurul Ummah dapat dibagi menjadi tiga wilayah, pondok putri, pondok mahasiswa putra, dan pondok pelajar putra. Saat ini, dengan berbagai fasilitas yang dimiliki, paling tidak program Ponpes Nurul Ummah dapat dikelompokkan menjadi; 1) Program informal, yaitu Madrasah Diniyah yang menjadi sokoguru ponpes, dan TPQ; 2) Program formal, memiliki MANU (SMU), MTsNU (SMP), dan TKNU; 3) Program pendukung, yaitu kesantrian dan pengembangan bakat (www.nurulummah.com).

Ponpes ini dapat tetap berkembang dengan dinamis meskipun setelah wafatnya pengasuh. Perkembangan ponpes ini dipengaruhi oleh modal sosial yang kuat, di antaranya faktor kepercayaan, norma, dan kerjasama jaringan (Hamid, 2010). Menambahkan kesimpulan Hamid, peneliti mencermati bahwa sosok Kiai Asyhari Marzuqi sangat intens dalam melakukan kaderisasi, baik dalam kepengurusan maupun pengajaran.

Ponpes Nurul Ummah dapat berjalan dan berkembang dengan baik di antaranya karena ditopang oleh peran Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang memadai yaitu; 1) Pengasuh terdiri dari Kiai Ahmad Zabidi (adik Kiai Asyhari Marzuqi), Gus Muslim (adik ipar Kiai Asyhari), dan Nyai Hj. Barokah; 2) Majelis Syuro yang terdiri dari para ustadz senior; 3) Yayasan Bina Putra; 4) Pengurus terdiri dari santri putra putri yang sudah lulus diniyah (Hamid, 2010).

Ponpes Ar-Romli yang diasuh oleh K.H. Ahmad Zabidi (atau lebih sering disapa Kiai Ahmad) berlokasi di Giriloyo, tepatnya di jalan Sunan Cirebon, dusun Karang Kulon, desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kebanyakan orang mengenal daerah ini dengan sebutan Desa Wisata Wukirsari, karena desa ini menyimpan berbagai warisan budaya dari nenek moyang (Zulfan, 2012: 47).

Kamal (2005: 20-28) menyatakan bahwa kondisi masyarakat di kecamatan Wukirsari ini sudah cenderung homogen, dalam arti mayoritas beragama Islam yakni hampir 98 persen, sisanya pemeluk Katolik dan Kristen. Organisasi Islam yang dominan di daerah ini adalah NU, meskipun ada juga beberapa yang mengikuti Muhammadiyah.

Berbeda dengan Ponpes Nurul Ummah, Ponpes Ar-Romli lebih menekankan kepada pengkajian Al-Quran. Pengaturan kegiatan keseharian, ponpes ini diampu sendiri oleh Kiai Ahmad dan isteri, dan dibantu beberapa santri senior. Untuk santri dalam, mereka menyebut ponpes ini dengan ‘pondok hati’ dalam arti lebih menekankan pada pembinaan pribadi (santri) menjadi orang yang berakhlak, bahkan ada yang menyatakan bahwa ponpes mereka ini dapat diibaratkan seperti masa hijrah Nabi, yaitu bahwa pengkajian agama mengalir begitu saja. Para santri menyadari bahwa perhatian Kiai Ahmad tidak semata mengkhususkan pada santrinya yang menetap di ponpes, lebih dari itu, beliau mengurusi banyak jamaah, di banyak tempat, meneruskan perjuangan Mbah Kiai Marzuqi (w. Zulfan).

Adapun program yang sudah rutin berjalan antara lain; 1) Sorogan Al-Quran seusai shalat jamaah kepada Kiai Ahmad/Ibu Nyai; 2) Pengajian kitab seusai shalat subuh dan maghrib; 3) Pengajian rutinan warga, baik mingguan maupun lapanan (bulanan). Selain dari itu, santri diharapkan dapat belajar secara mandiri, di luar pendidikan formalnya di luar ponpes dengan sistem pembimbingan santri senior ke santri di bawahnya (w. Zulfan).

Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Masa Lalu hingga Kini

Saat diajukan tentang tema ikhtilaf, Kiai Ahmad Zabidi (w.) suatu kali menyatakan bahwa hal penting yang perlu dicermati dalam mengamati ikhtilaf di kalangan para ulama adalah; a) Tiap ulama memiliki dalil yang dianggap benar dan dipegang secara kuat; b) Hal itu sah dilakukan

Page 114: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 239-251

244

selama masih dalam taraf ijtihadi, dan umat tidak harus bersikukuh mengikuti satu ulama atau kiainya, hal ini tidak kaku; c) Fanatik kadangkala diperlukan, tetapi tidak mesti harus seluruhnya mengikuti jalan dan pemikiran satu ulama atau Kiai yang diikuti; d) Tiap masyarakat tentu berbeda dalam menghadapi permasalahan atau ikhtilaf, dan hal demikian tidak perlu ditanggapi dengan fanatisme, sebaliknya harus dihadapi dengan bijak. Dalam satu kasus misal para ulama berbeda pandangan terhadap partai politik maka umatnya bebas mengikuti keyakinan hatinya.”

Terkait ikhtilaf yang ada dan terjadi di ponpes, Ahmad Faiz (w.) memberikan deskripsi kasus sebagai berikut;

a. Fikih: Dalam fikih misalnya familiar dengan ikhtilaf madzhab. Dalam umumnya ponpes, juga di ponpes ini, hal itu sekedar dipelajari, diajarkan, dan tidak sampai dipropagandakan, dibesar-besarkan hingga menimbulkan konflik.

b. Tasawuf: Dalam bertasawuf dikenal ada macam-macam thariqah yang berbeda, dan memungkinkan pula terjadi konflik dan perpecahan. Meskipun demikian, ada prinsip dasar bahwa ‘meyakini keyakinan sendiri sebagai kebenaran, di satu waktu juga tidak diperbolehkan menganggap salah keyakinan orang lain’.

c. Tafsir: Dalam tafsir sangat mungkin muncul ikhtilaf, bisa jadi berseberangan, saling konflik, tetapi ada tradisi saling tarjih dan tahqiq. Contoh tafsir isyari dikritik oleh ulama tafsir riwayat (karena dianggap menafsirkan dengan khayalan).

d. Hadits: Dalam hadits juga berlaku sebagaimana dalam tafsir, mungkin terjadi ikhtilaf dan konflik.

e. Kebijakan: Dalam hal ini dapat dicontohkan dengan perbedaan dalam forum yang mengandung perbedaan pendapat dan pengambilan keputusan, tetapi tidak akan mempengaruhi suasana di luar forum.

Alim Khoiri (w.) memberikan contoh kasus lain di ponpes, khususnya menyoroti kitab yang diajarkan, bahwa; Tradisi ikhtilaf sudah ada dan dapat dilihat sejak masa Rasul, seperti dapat dilihat dalam Sirah Nabawiyah, Fiqh Sirah, atau Tarikh Fuqoha; Pada Ushul fiqh Abdul Wahab Khalaf sudah menyinggung adanya perbedaan ushul, bagaimana menurut ulama Syafiiyyah, bagaimana menurut Malikiyah, dan seterusnya; Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuny, dalam tafsirnya terdapat perincian ikhtilaf berikut argumen yang mendasari, tidak fanatis, tetapi memberikan tarjih secara objektif agar dapat menghargai perbedaan dan interpretasi tafsir; Hadits Nailul Maram, misalnya dapat dijumpai ihtilaf pada tataran ulama Syafiiyyah; Pak Kiai (Alm. Kiai Asyhari Marzuqi) mengenalkan juga Tafsir Fi Dzilali l Qur`an yang didalamnya disinggung permasalahan ekstrem (seperti konsep khilafah), yang disengaja untuk mengenalkan khasanah keilmuan Islam; Pak Kiai Ahmad Zabidi mengkajikan kitab Tafsir an-Nabhani; dan lain-lain.

Permasalahan yang sering menjadi objek ikhtilaf di kalangan ponpes bersumber dari tema-tema fikih, tafsir, tauhid, dan mungkin juga budaya dan faham.

a. Fikih: misal dalam hal peribadatan, pada tataran furuiyah yang sumbernya dzanny dan masih bisa ditafsirkan macam-macam, tidak sampai membahas yang dalilnya qath’iy. Dapat dicontohkan seperti solat tarweh yang berbeda jumlah rakaat dan caranya; Mengangkat tangan dalam shalat. Diriwayatkan Mbah Zainal, pengasuh Ponpes Krapyak tiap rakaat mengangkat tangan. Sedangkan hadits yang populer menyatakan “Tangan diangkat dalam shalat pada tujuh tempat” (w. Kiai Ahmad, A. Faiz).

b. Tauhid: misal dalam penafsiran suatu ayat yang mutasyabbih (w. A. Faiz), masing-masing ulama atau kelompok dapat berbeda interpretasinya sehingga akibat hukum yang ditimbulkan juga berbeda. Contoh kasus misalnya dalam menafsirkan ayat 44, 45, 47

Page 115: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Pesantren Ar-Romli Yogyakarta Moch. Lukluil Maknun

245

surat al-Maidah: “... wa man lam yahkum bimâ anzalallâhu fa ulaika hum l-kafirun (44), ... hum dz-dzalimun (45), ... hum l-fasiqun (47)”. (Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir. Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.) Semua ayat ini menurut asbabun nuzul berkaitan dengan Ahli Kitab. Akan tetapi, oleh sekelompok ulama diselewengkan, digeneralisir, menjadi sebuah ungkapan bahwa siapa saja yang tidak mengikuti agama Allah adalah kafir. Demikian halnya dalam mencap kelompok lain sebagai orang murtad atau berlaku bid’ah (w. Kiai Ahmad).

c. Politik: Sosok almarhum Kiai Asyhari Marzuqi semasa hidupnya dikenal aktif dalam kegiatan sosial dan organisasi, utamanya dalam wadah NU. Beliau juga ikut dalam pendirian salah satu partai, waktu itu PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kendati demikian, beliau tidak berkenan aktif masuk dalam partai apapun, termasuk PKB, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan juga menjaga diri agar terbebas dari politik. Beliau menyadari bahwa politik itu penting, tetapi beliau menghindari fanatisme yang mungkin terjadi. Salah satu sikap prefentif beliau yang diingat santri antara lain himbauan beliau untuk tidak memakai atribut partai seperti kaos di lingkungan ponpes (w. A. Khoiri).

d. Gender: Permasalahan gender dan hak asasi secara umum memang seringkali berbenturan dengan konsep dan prinsip dasar ponpes. Salah satu contoh, di Nurul Ummah, peraturan antara santri putra dan putri tetap dibedakan. Hal ini bersifat kodrati dan prinsipil. Bukan berarti ponpes menolak sama sekali wacana gender, tetapi lebih pada bahwa ponpes memiliki kebijakan dan kewengan

sendiri dalam mengatur rumah tangganya. Ada batasan-batasan tertentu saat peraturan ponpes lebih harus dimenangkan daripada alasan HAM dan Gender. Hal ini mungkin menimbulkan konflik meskipun hanya terpendam, dan dianggap sebagai konsekuensi logis peraturan ponpes yang harus ditempuh santri (w. A. Khoiri).

e. Budaya: sinoman/laden pada waktu hajatan, tahlilan, muqoddaman (w. A. Khoiri).

f. Ikhtilaf terjadi karena dipengaruhi banyak aspek dan tidak datang dengan sendirinya, misalnya ada perbedaan tingkat pendidikan, kematangan psikologis, situasi sosial politik, perbedaan pemahaman aliran teologi, ideologi, dan lain-lain (w. A. Faiz, A. Khoiri).

Kiai Ahmad Zabidi (w.) menyatakan bahwa saat menghadapi ikhtilaf, baik ulama pada masa lalu atau sekarang pada umumnya adalah mengembalikan atau merunut kepada sanad, madzhab, untuk menjaga lebih aman, bukan berarti membatasi akal. Ahmad Faiz (w.) mengatakan bahwa ulama ada yang menyikapi dengan diam, ada yang meng-counter balik dengan lembut, keras, dan seterusnya. Menurut Alim Khoiri (w.), tidak dapat dipungkiri bahwa ikhtilaf adalah hal yang niscaya, semacam sunnatullah, dari dulu pun hal seperti itu sudah biasa terjadi. Hal yang perlu dilakukan umat setelahnya adalah berkaca dari peristiwa masa lampau kemudian berusaha bersikap toleran, bijaksana, dan arif.

Ada beberapa langkah yang sering ditempuh dan dilakukan oleh para ulama dari masa ke masa (w. Kiai Ahmad, A. Khoiri), di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Silaturahmi. Hal ini dimaksudkan sebagai jalan paling efektif untuk menghalau ikhtilaf dan konflik. Meskipun dalam silaturahmi tidak selalu harus dilanjutkan dengan pembahasan permasalahan dan dialog, tetapi paling tidak merupakan pengakuan untuk melanggengkan rasa fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang saling menghormati.

Page 116: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 239-251

246

b. Rembug (dialog). Ini adalah kunci dalam mengawali memecah kebekuan pihak yang berselisih. Dalam kasus skala besar, dialog perlu diadakan dari tingkat pusat atau atas baru disalurkan ke bawah.

c. Tabayun, dapat diartikan sebagai klarifikasi. Dalam menghadapi suatu kasus, perlu kepala dingin dan mau berlapang hati mendengar pendapat antarkedua belah pihak dari dua sisi yang berbeda.

d. Islah, yaitu mengupayakan cara damai antara kedua belah pihak yang berselisih dengan prinsip keadilan dan saling menguntungkan, dan jika perlu menggunakan perantara hakam (juru damai, fasilitator, mediator).

Ada pula media lain yang sering pula digunakan dalam komunitas ponpes selain cara di atas (w. A. Faiz), seperti;

a. Debat, dalam rangka mengakomodir perbedaan pendapat dalam forum yang ilmiah dan berdasar.

b. Bahtsul masail, dilakukan dalam pembahasan kasus-kasus tertentu yang menjadi bahan polemik yang nyata dihadapi masyarakat. Seringkali hasil jawaban dari forum ini masih tetap tidak mengangkat satu suara mufakat, melainkan memenangkan pendapat yang lebih kuat atau lebih berhati-hati, dengan tetap menghargai pendapat yang berbeda, meskipun lemah.

c. Perlombaan, dimaksudkan lebih kepada ajang silaturahmi dan mempertemukan dua pihak atau lebih secara sportif.

d. Meminta fatwa. Kadangkala langkah ini didahulukan dan dapat menjadi prioritas utama yang dapat ditempuh oleh umat maupun para ulama dalam menghadapi masalah ataupun ikhtilaf, yaitu dengan mendatangi ulama yang dianggap lebih khoss, lebih alim, dituakan sehingga dapat dijadikan hujjah.

e. Istikharah. Ulama atau Kiai seringkali setelah menempuh beberapa cara untuk menghadapi ikhtilaf, kemudian melanjutkan dengan

melakukan shalat istikharah dan bermunajat kepada Allah agar berkenan memberikan petunjuk dan solusi yang paling tepat.

f. Bertaruh. Istilah ini hanya ungkapan kasar saja untuk menggambarkan sikap dua pihak atau ulama yang berbeda pendapat, kemudian tidak dapat memenangkan satu pendapat yang dianggap benar. Hal ini sangat mungkin terjadi karena ada prinsip ijtihadi berbunyi ‘barangsiapa yang ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala, sementara yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala’ sehingga perbedaan pendapat tidak menemukan satu suara.

Kiai Ahmad (w.) menambahkan bahwa tindak lanjut penyemaian damai yang dilakukan di kalangan ponpes tidak terhenti pada islah, melainkan salah satunya dengan kaderisasi, yaitu dengan membina santri yang dididik nantinya diharapkan dapat menjadi perpanjangan tangan dari Kiai atau ponpes untuk menjembatani permasalahan di lapangan, juga dapat mengasuh dan mengayomi masyarakat.

Dalam bingkai ponpes (NU) tokoh-tokoh yang berperan dalam penyemaian budaya damai antara lain; Kiai, sebagai sosok sentral; Ustadz dan Pengurus; Santri; Alumni ponpes yang sudah ada di masyarakat; para pengurus NU (PBNU); dan lain-lain.

Kiai Ahmad (w.) menceritakan bahwa pernah suatu kali K.H. Hasyim Muzadi mewakili PBNU menjadi juru bicara berkunjung ke Negara-negara Timur Tengah dan Barat untuk menjelaskan keadaan umat Islam di Indonesia lebih khusus lagi warga NU. Poin-poin yang dipaparkan K.H. Hasyim Muzadi dalam kunjungannya tersebut antara lain; Menerangkan dan menawarkan konsep NU; Menawarkan kedamaian ala NU; Menerangkan Islam menurut sudut pandang NU (Muslim Indonesia) bahwa sebenarnya bukan teroris, melainkan berkeyakinan bahwa umat Islam diperbolehkan menurut aturan agama Islam berlaku keras, jika diusir, diserang, atau hak yang dirampas; Menerangkan bahwa terorisme (irhab) bukanlah ajaran islam, karena

Page 117: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Pesantren Ar-Romli Yogyakarta Moch. Lukluil Maknun

247

Islam adalah rahmatan lil âlamîn.

Kendati para kaum ponpes identik dengan penyemai budaya damai, Ahmad Faiz (w.) memberikan catatan bahwa tidak serta merta semua Kiai, ustadz, atau santri dan alumni santri disebut sebagai penyebar budaya damai. Hal ini akan menjadi kondisional saat seseorang yang merupakan warga ponpes menyimpang dari ajaran budaya damai atau bahkan mempropagandakan perpecahan umat, saat demikian maka masyarakat perlu menilai dengan bijak bahwa sebenarnya ia berbicara atau bersikap atas nama pribadi bukan cerminan atau perwakilan kaum ponpes pada umumnya. Seperti contoh, jika ada Kiai yang mempropagandakan jihad yang mengarah terorisme atau bertindak dan berfatwa kafir, murtad, bid’ah kepada umat Islam lain, maka dia bukan penyemai budaya damai, bahkan identitas ‘kesantriannya’ dipertanyakan.

Sistem, Proses, dan Sarana Mengimple-mentasikan Budaya Damai

Berangkat dari sebuah sabda Nabi, selayaknya sudah dapat dijadikan sebagai patokan (mewakili) visi misi ponpes (w. Kiai Ahmad) yaitu: Laisa minnâ man lam yarham saghîranâ wa yuqîru kabîranâ (H.R. Imam Khamsah) yang artinya “Tidak termasuk perilakuku, sunnahku, agamaku, orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil dan menghormati yang lebih besar.” Pembaca hadits ini sudah selayaknya meyakini dalam hatinya seperti, “Kalau saya tidak mengikuti ini, maka semakin jauh dari sunnah Rasul.” Berangkat dari hadits ini pula, seseorang mengetahui ajaran bersikap kepada orang lain; baik ke bawah, yaitu kepada orang yang lebih kecil secara umur ataupun keilmuan; ke samping, yaitu kepada orang sepadan; dan ke atasnya, yaitu orang yang lebih tua atau lebih tinggi ilmu dan derajatnya. Jika tuntunan dalam bersikap dimulai dari tiap pribadi sudah baik, maka bersikap kepada orang luar, masyarakat, bahkan lingkup bangsa dan negara akan berjalan baik. Dengan demikian, berangkat dari hadits ini saja, apabila diterapkan dengan sepenuhnya, maka kedamaian akan

datang dengan sendirinya.

Pengajaran budaya damai di ponpes Nurul Ummah sudah menyatu dalam proses belajar mengajar, dalam arti tidak ada kurikulum tersendiri (w. A. Faiz). Pengajaran budaya damai tidak ditanamkan secara langsung, tetapi terkandung dalam kurikulum yang sudah ada, seperti dalam mata pelajaran akhlak, hadits, dan tafsir, yang hal itu berlangsung secara alamiah (w. A. Khoiri).

Ada satu kata kunci yang dijadikan pegangan dalam budaya damai ini, yang juga merupakan refleksi dari pemaknaan hadits di atas, yaitu ‘toleran’. Berangkat dari kesadaran terhadap hak dan kewajiban serta dapat menempatkan sesuai tempatnya, maka secara logis akan memunculkan sifat toleran. Dengan demikian, menempatkan sesuai posisi dapat pula digunakan untuk menyebut ‘damai’. Sementara itu, benturan yang ada dan sering terjadi di masyarakat umumnya disebabkan karena ‘over acting’ dalam arti ada kewajiban di dalamnya yang kurang diperhatikan atau hak yang kurang terpenuhi (w. Kiai Ahmad).

Menurut Kiai Ahmad, dapat dikatakan hampir semua kegiatan di ponpes mencerminkan budaya damai. Misalnya dalam proses kegiatan belajar mengajar, paling tidak di dalamnya terjadi transfer ilmu yang dapat mengarah kepada kedamaian serta ada interaksi antara santri dengan ustadz, atau sesama santri dengan pola atau prinsip yang damai.

Ahmad Faiz (w.) menyatakan hal serupa bahwa dapat dikatakan, semua kegiatan mengandung budaya damai. Jika kegiatan harian di ponpes diurutkan misalnya dari bangun pagi, mulai shalat subuh berjamaah, wiridan, mengaji, mandi, makan bersama, dan seterusnya hingga tidur kembali, kesemuanya terdapat pembiasaan untuk berlaku tertib, disiplin, dan lain-lain sehingga dengan sendirinya akan memunculkan kedamaian.

Alim Khoiri (w.) berdasarkan pengalaman dan pengamatannya selama di ponpes Nurul Ummah, menyatakan bahwasanya nilai toleransi

Page 118: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 239-251

248

di ponpes ini dapat dianggap sudah cukup. Dapat dicontohkan misalnya; Di masjid al-Faruq (Nurul Ummah) tidak melantunkan ‘pujian’ (bacaan shalawat atau puji-pujian sebagai jeda menunggu iqamah) sebagaimana lazimnya dilakukan di masjid atau mushala NU; Pengaturan microphone saat pengajian berlangsung, sifatnya adalah lokal ponpes sehingga tidak ada pengeras suara yang mengarah ke luar ponpes, kecuali pada pengajian akbar yang insidental; Pada saat ponpes mengadakan acara besar seperti haul, perayaan akhir sanah, syawalan, dan lain-lain, selalu merangkul dan melibatkan masyarakat sekitar dan jamaah umum; Warga ponpes ikut berbaur pada kegiatan masyarakat seperti ronda, takziyah, walimah, dan lain-lain.

Alim Khoiri (w.) menambahkan, selama ini interaksi warga ponpes dengan orang luar (yang mungkin kurang sepaham dengan ponpes) masih berjalan baik, belum terdengar suara-suara negatif. Selain itu, sosok Kiai (Alm. Kiai Asyhari Marzuqi) semasa hidup selalu dapat dijadikan panutan ajaran akhlak terutama bagi para santri baik secara lesan maupun perbuatan.

Dalam rangka menggambarkan penerapan budaya damai dalam lingkup ponpes atau warga NU pada umumnya, salah satu caranya dengan mengamati sarana yang dipergunakan dalam ponpes. Sarana yang langsung dapat diamati oleh peneliti adalah melalui kitab-kitab yang diajarkan di ponpes serta kegiatan keseharian yang ada di dalamnya, meskipun juga ada sarana lain yang bersifat insidental ataupun tidak langsung. Kitab-kitab yang diajarkan di ponpes pada umumnya dan juga ponpes Nurul Ummah dapat dikategorikan secara garis besar menjadi; tafsir, hadits, fikih, tauhid, tarikh, tasawuf dan akhlak, dan ilmu alat (nahwu sharaf). Secara umum, kitab-kitab tersebut masuk dalam kurikulum bahan ajar untuk santri. Di samping itu, mungkin ditemui kitab-kitab tabib dan pengobatan, doa, berbagai shalawat dan manaqib, dan sastra, yang secara langsung tidak dimasukkan dalam kurikulum. Dalam penelitian ini, dibatasi pada kitab-kitab yang masuk kurikulum yang dinilai

berkaitan dengan tema penelitian, budaya damai.

Terkait kurikulum di ponpes Nurul Ummah, Alm. Kiai Asyhari Marzuqi sudah melangkah lebih jauh dalam pengajaran kitab. Beliau tidak hanya menyajikan kitab-kitab klasik yang biasa diampu dan dijadikan referensi dalam ponpes, melainkan sudah mengakomodir kitab-kitab karya ulama kontemporer yang juga dapat dikaji dan diikuti perkembangannya. Selain bertujuan untuk mengenalkan berbagai pemikiran dan faham lain dalam berbagai tema kajian kitab, beliau juga menekankan dan mengajak para santri dan umat untuk lebih terbuka dalam menghadapi perbedaan pendapat dan faham, tidak gagap dan tidak berpola pikir sempit dalam beragama. Sebagai contoh dalam tema tafsir, Kiai Asyhari termasuk pembaharu dalam mengusung tafsir al-Maraghy yang dulu masih kontrofersial di hadapan para ulama, sebagai pembanding dan penyanding tafsir-tafsir lain yang sudah familiar seperti Jalalain, Munir, al-Alusy, dan lain sebagainya. Demikian juga dalam tema hadits, misalnya dikaji kitab Nailul Maram yang merupakan kitab hadits tentang hukum-hukum dari empat madzhab (w. Kiai Ahmad, A. Khoiri).

Ahmad Faiz (w.) menambahkan, terkait materi kitab yang diajarkan bahwa prinsip pokoknya, ponpes Nurul Ummah bersifat terbuka pada semua tafsir baik lama maupun kontemporer, dengan tetap diantarkan oleh Kiai, ustadz, terlepas isinya sesuai atau tidak dengan prinsip NU. Dalam kitab hadits yang dikajikan, di dalamnya dipaparkan pendapat dan dialog ulama empat madzhab secara tidak berpihak. Kitab fikih yang diajarkan mencakup kitab klasik hingga kontemporer dan mengajak berpandangan terbuka dan toleran. Kitab tauhid diajarkan secara bertingkat, dan semakin tinggi akan memberikan cara pikir yang lebih rumit dalam memahami ketuhanan. Kitab akhlak mengajarkan sikap santri dalam menuntut ilmu dan bergaul dengan sesama manusia pada umumnya. Kitab tasawuf diajarkan sebagai penyeimbang ilmu-ilmu lain dengan prinsip memperbaiki diri kemudian bersosialisasi sekaligus menyebarkan dan menularkan kebaikan.

Page 119: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Pesantren Ar-Romli Yogyakarta Moch. Lukluil Maknun

249

Berbagai kegiatan yang dapat diamati dalam keseharian ponpes jika disebutkan antara lain dapat dijumpai; shalat berjamaah, wirid dan dzikir berjamaah, berbagai macam shalawatan, khataman Al-Quran, pengajian, musyawarah, bahtsul masa’il, belajar bersama, makan bersama, pembinaan kesenian dan ketrampilan, ra’an, antre, bermain dan berolahraga, piket bersama, peraturan dan sangsi, proses mediasi atau pengadilan di kalangan santri, dan lain sebagainya.

Kiai Ahmad, Ahmad Faiz, Alim Khoiri, dan santri-santri lainnya (w.) sepakat menyatakan bahwa semua kegiatan keseharian yang ada di ponpes sudah cukup mewakili untuk menggambarkan budaya damai. Kegiatan yang dilakukan bersama-sama akan memperlihatkan kerukunan dan kebersamaan secara kasat-mata, dan kedamaian yang mungkin tak terlihat indera.

Di lingkup luar pagar ponpes, Kiai Ahmad dan Ahmad Faiz (w.) menyebutkan beberapa contoh kegiatan santri yang mengapresiasikan budaya damai misalnya; Mengadakan bakti sosial; Pengajian bulan Ramadhan, Maulid, dan tiap akhir tahun ajaran TPQ di daerah lahan dakwah LP2M (Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat, organisasi di ponpes Nurul Ummah) seperti di Gunung Kidul dan Bantul; Menghadiri undangan warga sekitar untuk mengadakan sholawatan pada acara-acara warga seperti hajatan nikahan, khitan, aqiqah, atau kematian; Menghadiri undangan untuk acara yasinan, tahlil, atau khataman Al-Quran; Pengajian baik di kalangan sendiri maupun yang diadakan oleh ponpes lain seperti saat mengadakan haul dan haflah akhirissanah; Demikian juga sebaliknya jika ponpes Nurul Ummah mengadakan acara serupa, maka akan melibatkan peran warga serta mengundang jamaah secara umum seperti di daerah Imogiri pada peringatan Majmu’an, panen raya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Acara ini diisi dengan shalawatan, tahlil bersama, dan pengajian, kemudian ditutup dengan makan bersama. Lebih jauh lagi, menurut pengakuan seorang santri Nurul Ummah, pesan trend

Ilmu Giri Bantul pernah meggelar mujahadah antaragama, yaitu doa bersama dari berbagai agama dengan memohon tercapainya tujuan yang sama, yang terjadi secara insidental. Ahmad Faiz menceritakan juga bahwa budaya kerja bakti dan gotong royong para santri tidak tersekat agama, selama tidak dalam hal kemungkaran, seperti santri Leteh Rembang pernah sambatan membangun Klenteng.

Pesan dan Nilai Damai yang Terkandung

Secara sistem dan kurikulum, ponpes memang sudah berusaha menekankan prinsip tafaqquh fi d-din. Hal ini tercermin dalam penekanan pendidikan agama dan keagamaan dalam porsi yang lebih besar dibandingkan dengan pendidikan umum. Jika sistem yang sudah ada dapat terlaksana dengan baik, tentunya harapan besar untuk mencetak kader bangsa yang berakhlak mulia, dapat lebih mudah tercapai. Adapun jika ditemukan alumni ponpes yang berpredikat tidak baik, tentunya tidak serta merta dapat disalahkan ponpes sebagai lembaga yang mencetaknya. Sebaik apapun sebuah lembaga pendidikan, jika faktor personil dan individunya tidak baik, tentu hasilnya juga kurang baik.

Dasar-dasar nilai perdamaian yang tercipta dan diaplikasikan oleh ponpes tidak lepas dari dasar-dasar umum dalam Islam yang sudah ada, baik dari dalil naqliyah (Al-Quran dan hadits) ataupun dalil aqliyah (ijma, qiyas, dan dapat ditambahkan fatwa). Dasar-dasar tersebut tidak hanya digunakan dalam rangka menghadapi suatu kasus saja, tetapi seiring dengan dipelajari berkesinambungan akan melahirkan pemahaman dan nilai-nilai dalam melaksanakan kehidupan di dunia ini. Demikian halnya berlaku pada budaya damai yang ada di ponpes, itu dilatarbelakangi pula oleh dasar-dasar tersebut.

Melalui penelitian ini, peneliti dapat menyatakan bahwa paling tidak kaum ponpes memiliki ciri, di antaranya, Pertama, memiliki sosok figur (Kiai, Pengasuh, Ustadz) yang dijadikan panutan baik sikap maupun pemikiran, meskipun tidak mendominasi secara keseluruhan.

Page 120: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 239-251

250

Kedua, tetap menjaga sikap toleran baik dengan sesama Muslim maupun non Muslim. Ketiga, mendukung NKRI seutuhnya, sehingga kegiatan dan gerakan yang merongrong NKRI tidak mencerminkan ponpes yang sebenarnya.

PenutuP

Secara umum, ponpes Nurul Ummah dan ponpes Ar-Romli belum pernah mengalami konflik eksternal yang dianggap laten dan ditanggapi dengan manajemen konflik yang mendalam. Meskipun demikian, secara teoritis, kedua ponpes ini sudah mengaplikasikan prinsip-prinsip budaya damai dan dapat menghadapi ikhtilaf dengan bijaksana. Adapun sebagai akhir tulisan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut;

a. Konfigurasi ikhtilaf dalam tubuh ponpes utamanya di lokasi penelitian, muncul dalam berbagai macam varian. Di antaranya adalah; Pertama, ikhtilaf yang mengarah pada persoalan fikih, pada tataran furuiyyah yang sumbernya dzanny, tidak sampai membahas yang dalilnya qath’iy. Kedua, ikhtilaf siyasy (politik). Ketiga, ikhtilaf jinsiyah (gender), hal ini sebagaimana tercermin dalam kondisi yang terjadi di ponpes Nurul Ummah, peraturan antara santri putra dan putri tetap dibedakan. Hal ini bersifat kodrati dan prinsipil.

b. Langkah bijak dalam menyikapi budaya ikhtilaf dapat ditempuh dalam beberapa cara, di antaranya adalah dengan; silaturahim, rembug (dialog), tabayun (klarifikasi), dan islah.

c. Di antara sarana yang dapat mengantarkan masyarakat ponpes menuju budaya damai adalah melalui kitab-kitab yang diajarkan di ponpes. Selain itu, sarana lainnya dapat berbentuk kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung diarahkan pada pembentukan karakter humanis dan toleran.

d. Proses-proses perdamaian yang dilakukan di pondok ponpes berjalan secara alamiah,

terutama lewat pengajaran kitab-kitab yang dipilih, juga kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.

e. Dasar-dasar dari budaya damai sudah menjadi patokan umum baik dasar naqliyah maupun aqliyah yang diaplikasikan dalam pelaksanaan di pondok ponpes.

daftar Pustaka

Al-Ashfahani, Muhammad bin Muhammad al-Raghib. 1961. Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran. Misr: Musthafa al-Halb.

Farchan, Hamdan dan Syarifuddin. 2005. Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik Pesantren. Yogyakarta: Pilar Religia.

Haedari, Amin, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press.

Hamid. 2010. Modal Sosial (Sosial Capital) di Pesantren Nurul Ummah, Studi tentang modal sosial pra dan pasca kepemimpinan KH. Asyhari Marzuqi. Yogyakarta: Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.

Haroen, Ahmad Musthofa. 2009. “Pesantren Menghadapi Era Globalisasi: Studi terhadap Keilmuan Pesantren dan Teknologi Informasi dan Komunikasi” dalam Sudar (Ed.). Khazanah Intelektual Pesantren. Jakarta: CV. Maloho Jaya Abadi.

Hiroko, Horikoshi. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M.

Kamal, Ahmad Fauzi. 2005. Tarekat Syattariyah. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta.

Mas’ud, Abd. Rahman. 2010. “Memahami Agama Damai Dunia Pesantren” dalam Nuhrison, M. Nuh (ed). 2010. Peranan Pesantren Dalam Mengembangkan Budaya Damai. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press.

Page 121: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Ummah dan Pesantren Ar-Romli Yogyakarta Moch. Lukluil Maknun

251

Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Munir, Ahmad dkk. 2009. Cahaya Keikhlasan (Biografi K.H. Ayhari Marzuqi). Yogyakarta: Nurma Media Idea.

Nafis, Muhammad Muntakhibun. 2009. “Pesantren dan Pluralisme Meretas Kerukunan Beragama Kaum Santri” dalam Sudar (Ed.). Khazanah Intelektual Pesantren. Jakarta: CV. Maloho Jaya Abadi.

Nakha’i, Imam. 2006. Relasi Teks Keilmuan Pesantren Dan Budaya Damai. Jurnal Edukasi, Vol. 4 No. 3 Juli-September 2006. Jakarta: Balitbang Kemenag.

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Navaro-Castro, Loretta dan Jasmine Nario-Galace, 2010. Peace Education: a Pathway to Culture of Peace, (second Edition), the Center for Peace Education, Mirriam College: Quezon City-Philippines.

Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zubaidi, Muhammad Addib. 2007. Sistem pendidikan dakwah Ponpes Nurul Haromain Pujon, Malang Dan Perkembangannya. Jurnal-online.um.ac.id.

Zulfan, Muhammad. 2012. Konsep Keluarga Sakinah Menurut Majelis Ta’lim Ponpes ar-Romli. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syariah UIN Yogyakarta.

www.nurulummah.com

Informan

M. Nurcahyo, 28 tahun, Staf Pekapontren Kanwil Kemenag Yogyakarta 20/07/12.

K.H. Ahmad Zabidi Marzuqi, 57 tahun, pengasuh Ponpes Ar-Romli Giriloyo Bantul 19, 20/09/12.

Mohammad Zulfan. 25 tahun, santri senior dan pengurus Ponpes Ar-Romli 18/09/12.

Ahmad Faiz F., 25 tahun, pengurus Ponpes Nurul Ummah 15, 16/09/12.

M Alim Khoiri, 25 tahun, Pengurus Ponpes Nurul Ummah 18, 19/09/12.

Beberapa santri Nurul Ummah Senior 15-19/09/12.

Page 122: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 239-251

252

Page 123: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan ModernRustam Ibrahim

253

EKSISTENSI PESANTREN SALAF DI TENGAH ARUS PENDIDIKAN MODERN

(Studi Multisitus pada Beberapa Pesantren Salaf di Jawa Tengah)

The Existence of Salaf Islamic Boarding School amid the Flow of Modern Education

(A Multi-site Study at Pesantren Salafy in Central Java)

RUSTAM IBRAHIM

AbstrActThis research seeks to reveal the existence of traditional Muslim education institutions, the pesantren salaf. Pesantren salaf becomes a reference to the public. Thousands of the people follow the activities held by the pesantren salaf which is still exist though modern ones providing modern and advances technologies are growing rapidly. The focus of this research is on how the role of Kiai, various values, curriculum, and the devotion of pesantren salaf towards education.. The method applied in this study is a qualitative research using a multi- site study design. The findings revealed that the three observed pesantrens are maintaining the existence of pesantren through four ways. They are (1) the role of Kiai; (2) the variety of values in boarding schools , such as religious values, the value of the Salaf, the values of obeying Kiai, the values of learning; and (3) curriculum / Kitab Kuning, like Alfiyah , imrithi , and Fath al-Muin; (4) community services, such as the role of alumni in the community, recitation activities, istighotsah, construction of mosques building mosque and the other public facilities.Keywords: existence , salaf islamic boarding school, modern education

AbstrAk

Penelitian ini berupaya mengungkapkan keberadaan dunia pendidikan tradisional umat Islam, yaitu pesantren salaf. Pesantren salaf masih menjadi rujukan masyarakat, ribuan masyarakat banyak yang mengikuti kegiatan yang diadakan pesantren salaf, seperti pengajian dan istighosah. Di abad modern ini, pondok pesantren salaf masih eksis. Padahal dunia pendidikan modern semakin berkembang yang dibarengi dengan berbagai macam teknologi modern dan canggih. Adapun fokus penelitian ini adalah bagaimana peran kiai, ragam nilai, kurikulum, dan pengabdian pesantren salaf di tengah-tengah arus pendidikan modern. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan rancangan studi multi situs. Berdasarkan penelitian ditemukan bukti bahwa ketiga pesantren yang diteliti masih eksis. Eksistensi masing-masing pesantren memiliki andil yang cukup besar dalam mempertahankan eksistensi pesantren di tengah-tengah peradaban global. Ketahanan pesantren salaf meliputi: (1). Peran kiai (2). Ragam nilai di pesantren, seperti nilai agama, nilai salaf, nilai patuh pada kiai, nilai belajar (3). Kurikulum/ kitab kuning, seperti kitab alfiyah, imrithi, dan fathul muin. (4). Pengabdian masyarakat, seperti peran alumni di masyarakat, kegiatan-kegiatan pengajian, istighotsah bersama masyarakat, bantuan pesantren untuk masyarakat dalam pembangunan masjid dan berbagai fasilitas umum.Kata kunci: eksistensi, pesantren salaf, pendidikan modern

Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta

Jln. Dr. Wahidin 5/VIKel.Penumping, Kec. Laweyan

Kota SurakartaTelp. (0271) 717954 Hp. 085645063434

e-mail: [email protected]

Naskah diterima: 20 Juni 2014Naskah direvisi: 2–9 Oktober

2014Naskah disetujui: 14 Nopember

2014

Page 124: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 253-263

254

Pendahuluan

Ada tiga lembaga pendidikan yang dikenal di Indonesia yaitu pesantren, madrasah, dan sekolah. Sebelum diadakan pembaruan sistem pendidikan, baik oleh kolonial Belanda maupun kaum modernis, dikenal ada beberapa lembaga pendidikan tradisional Islam di Nusantara. Di Jawa mengenal sistem pendidikan pesantren, Minangkabau ada Surau, dan Meunasah di Aceh. Di antara beberapa lembaga pendidikan tradisional itu, hanya pesantrenlah yang paling mampu bertahan sampai sekarang (Anwar, 2007:1).

Steenbrink (1986: 63) menyatakan, ketika diperkenalkan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan tradisional, surau misalnya, ternyata tidak begitu laku dan banyak ditinggalkan siswanya. Bahkan menurut Azra (2003: 149) Surau sekarang hampir punah, dan ketika didirikan lembaga pendidikan Islam di sana, kebanyakan tidak lagi menggunakan nama Surau tetapi menamakannya pesantren.

Fakta di lapangan menunjukkan bukti bahwa pesantren salaf1 masih eksis. Menurut data Statistik Dirjen Pendidikan Islam Tahun 2010-2011, jumlah pesantren salaf yang hanya menyelenggarakan pengajian diniyah justru mengalami peningkatan. Kementerian Agama melaporkan hasil pendataan pesantren tahun 2010-2011 di 33 propinsi sebanyak 27.218 pesantren dengan perincian 13,446 (49.4%) pesantren salafiyah, 3.064 (11.3%) pesantren khalafiyah, dan 10,708 (39.3%) sebagai pesantren kombinasi, dengan jumlah santri sebanyak 3.642.738 dengan perincian santri yang hanya mengaji sebanyak 1.747.158 (48%) dan santri yang mengaji dan sekolah sebanyak 1.895.580 (52,0%). (http://pendis.kemenag.go.id, diakses 3 agustus 2012).

Bertahannya institusi pesantren tradisional ketika berhadapan dengan lembaga pendidikan modern telah menarik beberapa pengamat untuk mengkaji. Azyumardi Azra (2002: 147) menilai ketahanan pendidikan pesantren salaf disebabkan oleh kultur Jawa yang involutif dan menekankan harmoni, sehingga mampu menyerap kebudayaan luar tanpa kehilangan identitasnya. Hasan Langgulung (1988: 75) menduga bahwa ketahanan pesantren disebabkan oleh figur kiai yang menonjol dengan ilmu dan visinya. Abdurrahman Wahid (1995: 43) menyebut ketahanan pesantren disebabkan pola kehidupannya yang unik sebagai sub kultur. Ali Anwar (2011) menilai ketahanan pesantren dikarenakan lembaga ini telah berhasil mengantarkan santrinya untuk menguasai kitab kuning sebagai ilmunya ulama salaf yang dipercayai kebenarannya. Martin Van Bruinessen (1994:17) menyebut budaya pesantren sebagai “great tradition” dalam pengajaran agama, yaitu mentransmisikan Islam tradisional dalam kitab kuning. Selain itu, nilai utama kekuatan pesantren adalah kepatuhan santri terhadap kiai. Nilai-nilai inilah yang menjadi salah satu faktor ketahanan pesantren hingga kini.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana peran kiai pondok pesantren salaf; (2) apa nilai-nilai yang ada dalam dunia pondok pesantren salaf; (3) apa kurikulum yang digunakan oleh pondok pesantren salaf, dan (4) bagaimana pengabdian pondok pesantren salaf dalam masyarakat. Keempat permasalahan tersebut akan difokuskan pada tiga lembaga pesantren salaf, yaitu Pondok Pesantren Dawar Manggis Boyolali, Pondok Pesantren al-Anwar Sarang Rembang, dan Pondok Pesantren al-Fadlu Kendal. Tiga pesantren salaf ini dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan kriteria: senioritasnya, antara lain dilihat dari umur

1 Ali Anwar (1997: 27) mendefinisikan pesantren salaf sebagai pesantren yang khusus pada tafaqquh fi ad-din, pengkajian kitab-kitab klasik, dengan metode bandongan, sorogan, maupun klasikal. Tidak ada pelajaran umum dalam pesantren salaf ini.

Page 125: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan ModernRustam Ibrahim

255

pendiriannya. Besarnya, dilihat dari jumlah santri yang diasuhnya. Luasnya pengaruh yang dapat dijangkau oleh pesantren yang bersangkutan, dan ketahanannya di tengah arus pendidikan modern. Pesantren Dawar pada tahun 2011 tetap eksis dengan memiliki siswa sebanyak 200 orang. Pesantren al-Anwar Sarang memiliki siswa sebanyak 1.790 orang. Sedangkan pesantren al-Fadlu Kaliwungu tetap eksis dengan memiliki 516 siswa.

Teori yang digunakan dalam artikel ini didasarkan pada teori Imre Lakatos dalam filsafat ilmu, yang membahas tentang eksistensi paradigma keilmuan. Sebuah paradigma yang telah terjadi anomali akan tetap eksis selama memiliki tiga hal, yaitu tetap progresif dalam program-programnya (progresive research programe), memberikan banyak hasil (fruit full), dan dilindungi oleh masyarakat (protective belt) (Wilardjo, 2010). Dari teori ketahanan paradigma tersebut, penulis berpendapat bahwa pendidikan yang dianggap tradisional, misalnya pesantren salaf, akan tetap bertahan selama lembaga tersebut memiliki program yang baik, mencetak alumni yang berkualitas, dan dilindungi oleh masyarakatnya. Walaupun pendidikan tersebut dianggap usang dan dianggap tidak relevan dengan zaman.

Penulis mengelaborasi teori di atas dalam konteks pesantren salaf, pesantren tetap eksis di tengah arus pendidikan modern disebabkan beberapa hal. Pertama, figur kiai yang menjadi pengasuh pesantren salaf. Posisi kiai dalam pesantren salaf adalah sebagai penentu dan penjaga eksistensi pesantren salaf, kiai merupakan sosok yang kharismatik, yang menjadi panutan santri, pengurus, dan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imre Lakatos yang menyatakan bahwa program keilmuan yang dianggap tradisional akan tetap eksis selama masih ada sosok yang melindungi. Dalam konteks pesantren salaf, pesantren salaf akan tetap bertahan karena keberadaan figur kiai.

Kedua, Ragam nilai dan kurikulum pesantren salaf. Ragam nilai seperti nilai

agama, nilai salaf, nilai patuh kiai, dan nilai ikhlas merupakan program utama pendidikan pesantren. Program tersebut diajarkan melalui kurikulum yang menjadi ciri khas pesantren salaf, yaitu kitab kuning. Kitab kuning memuat beberapa bidang keilmuan, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, dan ushul fiqh. Kurikulum tersebut menjadi inti penyangga program pendidikan pesantren. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imre Lakatos yang menyatakan bahwa program pendidikan tradisional akan tetap bertahan selama program pendidikannya masih maju. Dalam konteks pesantren salaf, pesantren akan tetap bertahan selama program pendidikannya masih maju, hingga kini pesantren salaf merupakan lembaga nomor satu dalam program pendidikan agama. Karena itu, pesantren akan tetap bertahan selama masih unggul dalam pendidikan agama, dalam hal ini adalah keunggulan kurikulum dan ragam nilai yang ditanamkan di pesantren.

Ketiga, Pengabdian pesantren salaf seperti membantu keagamaan masyarakat, membantu kebutuhan masyarakat, dan kiprah alumni di masyarakat. Pesantren merupakan sumber ilmu bagi paham masyarakat, yaitu paham ahlus sunnah wal jama’ah. Masyarakat masih membutuhkan kehadiran pesantren salaf dalam memenuhi kebutuhan keagamaan, salah satu contoh misalnya dalam meramaikan masjid, kebutuhan khotib, imam tahlil, yasinan, pernikahan, dan merawat jenazah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imre Lakatos yang menyatakan bahwa selama program pendidikan tradisional memberikan manfaat bagi masyarakat, ia akan tetap eksis. Dalam konteks pesantren salaf, sudah tidak terhitung lagi jasa yang diberikan pesantren salaf terhadap negara dan masyarakat. Banyak pemimpin tingkat nasional maupun lokal yang lahir pesantren, bahkan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari jasa pesantren. Sampai saat ini masyarakat

Page 126: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 253-263

256

masih membutuhkan keberadaan pesantren, terutama dalam masalah sosial keagamaan. Selama pesantren masih memberikan manfaat bagi masyarakat, ia akan tetap eksis.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan studi multi situs. Syamsudin dan Damaianti (2007: 181) menyatakan karakteristik studi multi situs adalah peneliti menelusuri satu kasus dalam beberapa tempat atau situs ganda sebagai sumber data. Sedangkan menurut Nadai dan Maeder (2005: 5), penelitian multi situs dilakukan untuk kepentingan menjawab pertanyaan yang relevan dengan tema penelitian. Penelitian ini menggunakan studi multi situs jenis induksi analisis, yaitu cara untuk mengembangkan teori dan mengujinya. Prosedur induksi analitis dipergunakan untuk mengurai masalah, pertanyaan, atau isu khusus yang menjadi fokus penelitian. Data dikumpulkan dan diolah untuk mengembangkan model deskripsi yang merangkum semua fenomena. Kasus yang diteliti adalah mengenai eksistensi pesantren salaf yang meliputi peran kiai, ragam nilai, kurikulum, dan pengabdian pesantren pada masyarakat dengan subjek berbeda. Yaitu Pondok Pesantren (PP) Dawar Boyolali, PP al-Fadlu Kaliwungu Kendal, dan PP al-Anwar Sarang Rembang.

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan pengumpulan dokumen yang terkait dengan fokus penelitian. Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber-sumber primer, yaitu kiai, pengurus, alumni,santri, orang tua santri, dan masyarakat sekitar PP Dawar Boyolali, al-Anwar Sarang Rembang, dan Al-Fadlu Kaliwungu Kendal sebagai sumber data primer. Teknik observasi digunakan dalam mengumpulkan data dari sumber data, yaitu berbagai kegiatan dan prilaku informan di PP Dawar Boyolali, al-Anwar Sarang Rembang, dan Al-Fadlu Kaliwungu Kendal. Teknik dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data mengenai eksistensi pesantren salaf di tengah arus pendidikan modern yang meliputi peran

kiai, ragam nilai, kurikulum, dan pengabdian pesantren pada masyarakat di PP Dawar Boyolali, al-Fadlu Kaliwungu Kendal, dan al-Anwar Sarang Rembang.

Analisis data penelitian ini bersifat komparatif-deskriptif, yaitu membandingkan 3 (tiga) objek yang diduga memiliki persamaan dan perbedaan (Ratna, 2010: 333), yakni menguraikan perbedaan dan persamaan ketahanan pendidikan pesantren salaf yang meliputi peran kiai, ragam nilai, kurikulum, dan pengabdian pesantren pada masyarakat di PP Dawar Boyolali, al-Fadlu Kaliwungu Kendal, dan al-Anwar Sarang Rembang, sehingga pendidikan pesantren ini tetap eksis di tengah arus pendidikan modern.

hasil dan PeMbahasan

Peran Kiai dalam Eksistensi Pesantren Salaf

Peran kiai di Pesantren Dawar, pondok pesantren Al-Fadlu dan pesantren Al-Anwar menunjukkan bahwa peran kiai adalah sebagai penentu dan penjaga kelestarian pesantren salaf di pesantren masing-masing. Kiai Pondok Pesantren Dawar mempertahankan salaf di pesantrennya karena menginginkan fokus pada agama, dan khawatir akan menurunnya kualitas pembelajaran agama yang diajarkan ketika didirikan sekolah umum. Sedangkan kiai PP Al-Fadlu mempertahankan nilai salaf di pesantren karena salaf adalah tuntunan yang menjiwai pribadi kiai, selain itu pesantren salaf merupakan benteng pendidikan moral terbaik di Indonesia. Kiai PP Al-Anwar tetap mempertahankan salaf di era modern ini karena banyak orang yang meninggalkan pengkajian kitab, karena itu kiai mendorong santri untuk tetap mengkaji kitab sebagai ilmunya ulama salaf. Peran kiai dari tiga kasus penelitian adalah sebagai penentu dan penjaga eksistensi salaf.

Kiai konsisten dalam mempertahankan eksitensi pesantren salaf, yaitu dengan konsisten dalam menjaga kontinuitas pembelajaran dan pendidikan santri di pesantren. Kiai PP Dawar konsisten mendidik santri dengan sholat berjamaah, memberikan pengajian, menegakkan

Page 127: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan ModernRustam Ibrahim

257

peraturan, dan mengawal kegiatan belajar mengajar, tidak jauh berbeda dengan peran kiai PP Al-Fadlu, yaitu konsisten dalam memberikan pengajian, menegakkan peraturan, memimpin istighosah, dan mengawal kegiatan belajar mengajar. Sedangkan kiai PP Al-Anwar konsisten dalam memberikan pengajian, menjadi imam jamaah shalat lima waktu, dan mengawal kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada kesamaan antara kiai PP Dawar, Al-Fadlu dan Al-Anwar dalam konsistensi kegiatan pendidikan di pesantren masing-masing. Para Kiai tetap konsisten dalam menjaga eksistensi kegiatan pendidikan pesantren salaf.

Peran kiai pesantren pada kasus pertama, kedua dan ketiga dalam eksistensi pesantren salaf adalah memiliki keikhlasan, yaitu menekankan niat lillahi ta’ala. Selain ikhlas, kiai juga berperan dalam kemandirian pesantren. Kiai PP Dawar menjalin kerjasama dengan masyarakat, sedangkan Kiai pada PP Al-Fadlu memiliki unit usaha untuk pengembangan pesantren dan Kiai pada PP Al-Anwar merintis pesantren melalui hasil jerih payah kiai, dan tidak menolak terhadap bantuan pemerintah. Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kiai memiliki peran sentral dalam kemandirian pesantren.

Kiai juga berperan dalam membimbing masyarakat sekitar. Bagi pesantren, pengamalan ilmu di masyarakat merupakan sebuah keharusan, seringkali dibuat tolok ukur keberhasilan santri yang telah berjuang di masyarakat. Kiai memiliki peran di masyarakatnya masing-masing, dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Kiai juga termasuk sosok yang berwibawa, Unsur kharismatik kiai memegang peranan penting dalam menjalankan kepemimpinannya. Ketiga kasus pesantren menunjukkan bahwa kiai merupakan sosok yang kharismatik. Pengurus, ustadz, maupun para santri mengikuti setiap keputusan kiai. Kiai sebagai tempat kembalinya segala permasalahan yang ada di pesantren. Ketaatan santri pada kiai merupakan bentuk kesopanan, mengharapkan berkah, dan mengamalkan ajaran Islam yang memerintahkan

hormat kepada guru dan orang tua. Hal ini merupakan salah satu unsur yang membuat pesantren salaf tetap eksis di tengah arus pendidikan modern.

Beberapa uraian mengenai peran kiai dalam mempertahankan eksistensi pesantren salaf, dapat dilihat dalam tabel sebagaimana berikut:

Tabel 9.1 Peran Kiai Pesantren Salaf

No Peran Kiai Pesantren Salaf

1 Penentu Kebijakan

2 Kharismatik

3 Konsisten

4 Mandiri

5 Ikhlas

6 Mengabdi Masyarakat

Gambaran mengenai peran kiai pesantren salaf dapat digambarkan bagaikan sebuah pagar yang menjadi pelindung bagi eksistensi pesantren salaf. Sebagaimana gambar berikut:

Gambar 9.1 Peran Kiai dalam Eksistensi Pesantren Salaf

Gambar di atas dapat dijelaskan bahwa peran kiai dianalogikan dengan pagar, dalam perannya

Page 128: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 253-263

258

sebagai pelindung dan penjaga. Dalam konteks pesantren salaf, kiai adalah pelindung dan penjaga eksistensi pesantren salaf, kiai merupakan sosok penentu salaf, konsisten, mandiri, dan ikhlas dalam menjaga eksistensi pesantren salaf.

Ragam Nilai Eksistensi Pesantren Salaf

Nilai adalah kepercayaan yang dijadikan pedoman manusia dalam tindakannya. Temuan penelitian tiga kasus pesantren memberikan kejelasan bahwa nilai merupakan salah satu faktor yang menentukan ketahanan pesantren tersebut. Seperti nilai agama, nilai kemandirian, nilai berkah, dan nilai keikhlasan. Berikut ragam nilai eksistensi pesantren salaf:

Nilai Agama

Nilai agama merupakan nilai utama dalam eksistensi pesantren salaf, masyarakat banyak menyekolahkan putra-putrinya ke pesantren untuk belajar agama. Pesantren salaf masih menjadi institusi terdepan dalam pendidikan agama. Mengharapkan institusi lain untuk mendidik agama secara mendalam hampir pasti tidak mungkin. Nilai agama menjadi dasar dan tujuan dalam pendidikan pesantren guna mencetak alumni yang kompeten dalam agama.

Nilai Keikhlasan

Beberapa uraian kasus pertama, kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nilai ikhlas menjadi ciri khas dari pesantren salaf. Semuanya menempatkan nilai keikhlasan menjadi pedoman dalam menjalankan pesantren. Prilakunya sama, nilainya sama, namun kaidahnya berbeda, Pondok pesantren Dawar memiliki kaidah “sebab tanpa pamrih, sebab dididik mandiri”, PP Al-Fadlu memiliki kaidah “orang yang ikhlas, walaupun ia di ujung gunung sekalipun, pasti akan didatangi umat”. Sedangkan PP Al-Anwar memiliki kaidah “ana ‘abdu man ‘allamani walau harfan wahidan (saya adalah hamba seseorang yang mengajariku walau satu huruf)”. Beberapa kaidah di atas menjadi penggerak nilai keikhlasan di masing-masing pesantren salaf. Karena itu, pesantren salaf tetap eksis karena selalu dijiwai oleh nilai ikhlas, pesantren tidak khawatir tidak

diakui pemerintah, tidak khawatir alumni tidak mendapatkan ijazah, karena yang diharapkan adalah semata-mata ikhlas dalam mencari ridho Allah SWT.

Nilai Salaf

Uraian pesantren PP Dawar, Al-Fadlu, dan Al-Anwar menunjukkan bahwa ketiga pesantren memiliki kesamaan dalam mempertahankan pesantren salaf. Perbedaannya PP Dawar beralasan khawatir akan tergerusnya pendidikan agama ketika didirikan sekolah formal. Sedangkan Al-Fadlu memiliki alasan bahwa salaf adalah tuntunan, jiwa, dan prilaku. Pesantren Al-Anwar menganggap pendidikan salaf merupakan pendidikan asli Nabi. Ketiga alasan tersebut mendasari masing-masing pesantren untuk tetap mempertahankan eksistensi pesantren salaf.

Nilai Kepatuhan pada Kiai

Uraian mengenai nilai patuh kepada kiai pada PP Dawar, Al-Fadlu, dan Al-Anwar merupakan nilai yang sama-sama prinsip di masing-masing pesantren. Selain alasan sama-sama menjadi syarat untuk mendapatkan ilmu yang berkah, santri merasa bahwa pertama kali datang di pesantren tidak tahu apa-apa, setelah dididik kiai, mereka bisa mendapatkan banyak ilmu agama. Santri juga merasa tidak pernah membayar kiai, mereka hanya bisa membalas jasa kiai dengan hormat dan mematuhi perintah kiai. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai patuh terhadap kiai merupakan nilai yang prinsip dalam pesantren salaf eksis.

Nilai Berkah

Uraian mengenai nilai berkah pada PP Dawar, Al-Fadlu dan Al-Anwar menunjukkan bahwa nilai berkah merupakan nilai prinsip dalam setiap prilaku santri di pesantren masing-masing. PP Dawar mensyaratkan empat hal untuk mendapatkan berkah, yaitu tidak rajin belajar, hormat kiai, sholat berjamaah, dan baik dengan teman. Sedangkan PP Al-Fadlu menekankan doa untuk mendapatkan berkah, selain itu juga mentaati peraturan dan hormat kiai. Pada pondok pesantren Al-Anwar selain menekankan

Page 129: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan ModernRustam Ibrahim

259

hormat kiai dan khidmah dalam menggapai berkah, juga mensyaratkan untuk rajin belajar (mempeng), rajin belajar menjadi syarat utama di PP Al-Anwar untuk menggapai berkah.

Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara PP Dawar, Al-Fadlu dengan Al-Anwar. Jika PP Dawar dan Al-Fadlu sama-sama mencontohkan dengan seorang santri yang tidak terlalu menonjol di pesantren, tetapi dapat berperan di masyarakat. Namun PP Al-Anwar mencontohkan santri yang rajin belajar dan hormat kiai di pesantren, memiliki peran yang besar di masyarakat. Hal tersebut menunjukkan perbedaan konsep dalam menggapai berkah, namun ketiganya sama-sama menganggap bahwa nilai berkah merupakan nilai utama yang diharapkan di ketiga pesantren.

Rangkaian Ragam Nilai dalam Eksistensi Pesantren Salaf

Analisis ragam nilai temuan penelitian tiga kasus pesantren memberikan kejelasan bahwa nilai yang menjadi faktor eksistensi pesantren salaf adalah: nilai agama, nilai salaf, nilai patuh kiai, nilai berkah, dan nilai ikhlas. Ragam nilai tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagaimana berikut:

Tabel 9.2 Ragam Nilai Eksistensi Pesantren Salaf

No Ragam Nilai Eksistensi Pesantren Salaf

1 Nilai Agama

2 Nilai Salaf

3 Nilai Patuh Kiai

4 Nilai Ikhlas

5 Nilai Berkah

Tabel di atas menunjukkan bahwa ragam nilai eksistensi pesantren salaf berdasarkan temuan tiga kasus pesantren adalah nilai agama, nilai salaf, nilai patuh kiai, nilai ikhlas, dan nilai berkah. Ragam nilai tersebut dapat digambarkan sebagaimana dedaunan yang memberikan keteduhan terhadap semua orang. Sebagaimana gambar berikut:

Gambar 9.2 Ragam Nilai Eksistensi Pesantren Salaf

Gambar di atas menunjukkan bahwa ragam nilai dianalogikan dengan dedaunan, yaitu memberikan keteduhan. Dalam konteks pesantren salaf, ragam nilai seperti nilai agama, nilai salaf, nilai patuh kiai, nilai berkah, dan nilai ikhlas memberikan keteduhan dan kenyamanan terhadap masyarakat pesantren.

Kurikulum dalam Eksistensi Pesantren Salaf

Uraian kurikulum pada Pondok Pesantren Dawar, Al-Fadlu dan Al-Anwar menunjukkan bahwa kurikulum dibuat berjenjang. PP Dawar memiliki 3 (tiga) jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah dengan masa penyelesaian selama 8 (delapan) tahun. Sedangkan mata pelajaran di PP Dawar adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, ushul fiqh, fasholatan, khitobah, ilmu tasawuf, qowaidul fiqh, dan perbandingan madzhab.

Pesantren Al-Fadlu memiliki 4 (empat) jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Persiapan (MP) dengan masa studi 2 (dua) tahun, Madrasah Tsanawiyah (MTs) dengan masa studi 3 (tiga) tahun, Madrasah Aliyah (MA) dengan masa studi

Page 130: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 253-263

260

3 (tiga) tahun, dan Madrasah Takhassus dengan masa studi 2 (tiga) tahun. Membutuhkan waktu 10 (sepuluh) tahun untuk menyelesaikan pendidikan di PP Al-Fadlu. Sedangkan mata pelajaran yang diberikan kepada santri adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, ushul fiqh, ilmu mantiq, ilmu mawaris, dan ilmu arudh.

Sistem pendidikan pada Pesantren Al-Anwar memiliki 4 (empat) jenjang dengan penyelesaian masa studi selama 7 (tujuh) tahun, yaitu 1 (satu) tahun I’dadiyyah, 3 (tiga) tahun tingkat Tsanawiyyah, 3 (tiga) tahun tingkat Aliyah, dan 2 (dua) tahun Ma’had ‘Aly. Mata pelajaran yang diberikan kepada santri adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, ushul fiqh, ilmu mantiq, ilmu mawaris, ilmu arudh, ilmu falak, ilmu tasawuf, qowaidul fiqh, perbandingan madzhab, Sastra Arab, ilmu i’rob, Imla’, dan insya’.

Kurikulum ketiga pesantren hampir sama, namun terdapat beberapa perbedaan dalam bidang mata pelajaran, PP Dawar memiliki mata pelajaran fasholatan, khitobah, ilmu tasawuf, qowaidul fiqh, dan perbandingan madzhab. Sedangkan PP Al-Fadlu memiliki mata pelajaran ilmu falak, ilmu mantiq, ilmu mawaris, dan ilmu arudh. Pada PP Al-Anwar memiliki tambahan mata pelajaran Sastra Arab, , ilmu i’rob, Imla’, dan insya’. Beberapa uraian tersebut menunjukkan bahwa kurikulum dalam eksistensi pesantren salaf adalah terdiri dari ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlaq, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, ushul fiqh, ilmu mantiq, ilmu mawaris, ilmu arudh, ilmu falak, ilmu tasawuf, qowaidul fiqh, perbandingan madzhab, sastra Arab, ilmu i’rob, Imla’, dan insya’.

Kurikulum eksistensi pesantren salaf dapat dilihat dalam tabel sebagaimana berikut:

Tabel 9.3 Kurikulum Eksistensi Pesantren Salaf

No Kurikulum Eksistensi Pesantren Salaf

1 ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh

2 Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu must-halahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid

3 ilmu tauhid, ilmu akhlaq, ilmu tarikh/sejarah.

4 ilmu fikih, ushul fiqh

Tabel di atas menunjukkan bahwa kurikulum dalam eksistensi pesantren salaf berdasarkan temuan tiga kasus pesantren adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlaq, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, ushul fiqh. Kurikulum tersebut bagaikan batang sebuah pohon yang menjadi inti penyangga keberlangsungan pesantren. Sebagaimana gambar berikut:

Gambar 9.3 Kurikulum dalam Eksistensi Pesantren Salaf

Gambar di atas menunjukkan bahwa kurikulum dianalogikan dengan batang pohon. Yaitu sebagai penyangga. Dalam konteks pesantren salaf, kurikulum sebagaimana ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, ushul fiqh

Page 131: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan ModernRustam Ibrahim

261

adalah unsur penyangga dalam keberlangsungan pesantren salaf.

Pengabdian dalam Eksistensi Pesantren Salaf

Beberapa uraian mengenai pengabdian pada Pondok Pesantren Dawar, Al-Fadlu dan Al-Anwar menunjukkan bahwa ketiga pesantren memiliki perhatian terhadap pengabdian di masyarakat. Ketiga pesantren mengabdi pada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar. PP Dawar memberikan siraman rohani dengan pengajian, sedangkan Al-Fadlu dengan istighotsah dan layanan KBIH, Al-Anwar menyelenggarakan pengajian tafsir tiap minggu.

Dalam hal perekonomian PP Dawar mendukung ekonomi masyarakat sekitar dengan bantuan tenaga santri, yaitu kerjasama antara pesantren dengan home industry sekitar. PP Al-Fadlu membantu ekonomi masyarakat sekitar dengan doa yang dilantunkan oleh kiai. PP Al-Anwar memberikan bantuan tenaga santri dan dana untuk memperbaiki bendungan, selokan, maupun fasilitas umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PP Dawar menyalurkan alumninya untuk mengabdi di masyarakat, baik sebagai guru mengaji, mengurus musholla, sampai memiliki pesantren di tempat perjuangannya. Sedangkan PP Al-Fadlu menyalurkan alumninya di masyarakat dengan mendirikan TPA, pesantren, maupun majelis ta’lim, dan Al-Anwar melayani permintaan alumni untuk tugas di masyarakat yang membutuhkan. Ketiga pesantren memiliki kesamaan konsep pengabdian, namun terdapat perbedaan dalam implementasi.

Perbedaan praktek pengabdian di masyarakat dipengaruhi oleh corak kebudayaan masing-masing pesantren. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengabdian pesantren salaf eksis adalah pengabdian yang tidak lepas dari kultur masyarakatnya. Hal inilah yang membuat pesantren salaf hingga kini tetap eksis.

Pengabdian pesantren salaf di atas dapat dilihat dalam tabel sebagaimana berikut:

Tabel 9.4 Pengabdian dalam Eksistensi Pesantren Salaf

No Pengabdian dalam Eksistensi Pesantren Salaf

1 Bantuan Keagamaan

2 Bantuan Sosial

3 Bantuan Ekonomi

4 Kiprah Alumni

Tabel di atas menunjukkan bahwa pengabdian pesantren salaf eksis dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu membantu keagamaan masyarakat, meningkatkan kebutuhan masyarakat, dan kiprah alumni di masyarakat. Pengabdian tersebut digambarkan seperti buah yang merupakan hasil kerja keras dari pendidikan pesantren salaf eksis. Gambar tersebut sebagaimana berikut:

Gambar 9.4 Pengabdian dalam Eksistensi Pesan-tren Salaf

Gambar di atas menunjukkan bahwa pengabdian pesantren salaf dianalogikan dengan buah, yaitu sebagai hasil. Dalam konteks pesantren, pengabdian sebagaimana membantu keagamaan masyarakat, meningkatkan kebutuhan masyarakat, dan kiprah alumni di masyarakat merupakan hasil kerja keras dari pendidikan pesantren salaf untuk tetap eksis, sehingga hasil tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat.

Page 132: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 253-263

262

Model Eksistensi Pesantren Salaf

Rangkuman hasil analisis dan pembahasan eksistensi pesantren salaf pada temuan penelitian meliputi empat hal, yaitu mengenai peran kiai pesantren salaf, ragam nilai pesantren salaf, kurikulum pesantren salaf, dan pengabdian pesantren salaf. Keempat hal tersebut dapat digambarkan sebagaimana berikut:

Gambar 9.5 Model Pesantren Salaf Eksis

Peran kiai pesantren salaf, dapat dijelaskan bahwa peran kiai dalam gambar dianalogikan sebagai pagar, artinya kiai adalah seorang penjaga dan pelindung. Posisi kiai dalam pesantren salaf eksis adalah sebagai penentu dan penjaga eksistensi pesantren salaf, kiai merupakan sosok yang kharismatik, konsisten, mandiri, dan ikhlas dalam menjaga eksistensi pesantren salaf.

Ragam nilai pesantren salaf eksis sebagaimana dalam analisis temuan penelitian adalah: nilai agama, nilai salaf, nilai patuh kiai, nilai berkah, dan nilai ikhlas. Ragam nilai dianalogikan sebagai dedaunan dalam hal memberikan kedamaian dan keteduhan. Ragam nilai memberikan keteduhan dan kenyamanan dalam eksistensi pesantren salaf.

Kurikulum pesantren salaf eksis yang menjadi penopang pesantren salaf adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh, Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu musthalahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid, ilmu tauhid, ilmu akhlaq, ilmu tarikh/sejarah, ilmu fikih, ushul fiqh. Kurikulum tersebut dianalogikan dengan

batang pohon yang menjadi inti penyangga keberlangsungan pesantren.

Pengabdian pesantren salaf eksis meliputi membantu keagamaan masyarakat, membantu kebutuhan masyarakat, dan kiprah alumni di masyarakat. Pengabdian tersebut dianalogikan dengan buah yang merupakan hasil kerja keras dari pendidikan pesantren salaf untuk tetap eksis. Secara keseluruhan, aspek yang menjadi prinsip dalam eksistensi pesantren salaf dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel 9.5 Model Eksistensi Pesantren Salaf

Peran Kiai dalam Eksistensi Pesantren Salaf

1. Penentu Kebijakan

2. Kharismatik

3. Konsisten

4. Mandiri

5. Ikhlas

6. Mengabdi Masyarakat

Ragam Nilai Eksistensi Pesantren Salaf

1. Nilai Agama

2. Nilai Salaf

3. Nilai Patuh Kiai

4. Nilai Ikhlas

5. Nilai Berkah

Kurikulum Eksistensi Pesantren Salaf

1. ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghoh

2. Al-Quran, ulumul Qur’an, tafsir, hadits, ilmu must-halahah hadits/ilmu hadits, ilmu tajwid

3. ilmu tauhid, ilmu akhlaq, ilmu tarikh/sejarah.

4. ilmu fikih, ushul fiqh

Pengabdian dalam Eksistensi Pesantren Salaf

1. Bantuan Keagamaan

2. Bantuan Sosial

3. Bantuan Ekonomi

4. Kiprah Alumni

PenutuP

Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan 4 kesimpulan: pertama,

Page 133: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan ModernRustam Ibrahim

263

pesantren salaf eksis karena peran kiai sebagai penentu kebijakan di pesantren. Kiai merupakan penjaga terhadap eksistensi pesantren salaf. Setiap ide, gagasan, usulan dan keputusan berdasarkan restu kiai. Kedua, keberadaan ragam nilai yang terdapat di dalam pesantren, seperti nilai ikhlas yang selalu menjiwai santri, berkah dalam kehidupan, nilai agama yang menjadi tujuan hidup pesantren, nilai salaf yang selalu dipertahankan, dan nilai hormat dan patuh terhadap kiai. Ragam nilai tersebut memberikan ketentraman, keteduhan, dan kedamaian di pesantren salaf. Ketiga, kurikulum pesantren salaf yang memungkinkan santri untuk mendalami ilmu agama, berdasarkan kitab kuning yang menjadi ilmunya ulama salaf. Kurikulum tersebut menjadi tujuan santri untuk mendalami ilmu agama di pesantren. Keempat, pengabdian pesantren. Pesantren salaf masih menjadi rujukan masyarakat, ribuan masyarakat banyak yang mengikuti kegiatan yang diadakan pesantren salaf, seperti pengajian dan istighosah. Selain itu, kemampuan pesantren salaf dalam melahirkan alumni yang berkualitas, banyak masyarakat yang menjatuhkan pilihan pesantren salaf sebagai sekolah putra-putrinya karena melihat kualitas alumni. Empat hal tersebut menjadi jawaban dari sebuah pertanyaan mengapa pesantren salaf tetap eksis di tengah arus pendidikan modern.

daftar Pustaka

Anwar, Ali. 2007, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azra, Azyumardi, 2002, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos.

Azra, Azyumardi, 2003, Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos.

Bruinessen, Martin Van, 1994, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan.

Dirjen Pendis, 2007, Statistik Pendidikan Agama

dan Keagamaan Tahun Pelajaran 2006-2007, Jakarta: Dirjen Pendis Depag RI.

Dirjen Pendis, 2010, Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2010-2011, http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=buku-saku, diakses 3 agustus 2012.

Langgulung, Hasan, 1988, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna.

Nadai, Eva And Maeder, Christoph, 2005, Fuzzy Fields. Multi-Sited Ethnography in Sociological Research, Jurnal Forum Qualitative Research, Volume 6, No. 3, Art. 28 September, (ISSN 1438-5627). FQS http://www.qualitative-research.net/fqs/.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial pada Umumnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Steenbrink, Karel. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, terjemahan dari Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht, Jakarta: LP3ES.

Suharto, Toto. 2011. “Kebijakan Pendidikan Madrasah di Masa Orde Baru”. Jurnal El-Hayah PPs IAIN Surakarta. Volume 1 No.2 Desember 2011.

Syamsudin, AR. dan Vismaia S.Damaianti, 2007, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Bandung: Rosdakarya.

Turmudi, Endang. 2012. “Puritanism Vis-à-vis Traditionalism: Islam in Modern Indonesia”. Jurnal Harmoni. Volume 11, Nomor 2, April-Juni 2012.

Wahid, Abdurrahman, 1995, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed), Pesantren dan Pembaruan, Jakarta: LP3ES.

Wilardjo, Like. 2010. Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Semarang : Program Doktor IAIN Walisongo.

Page 134: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 253-263

264

Page 135: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Ulil Amri dan Kekuatan Produk HukumnyaAnaliansyah

265

ULIL AMRI DAN KEKUATAN PRODUK HUKUMNYA(Kajian terhadap Perspektif Teungku Dayah Salafi Aceh Besar)

Ulil Amri and the Power of Their Legal Products(A Study of Tengku Dayah Salafi Aceh Besar)

ANALIANSYAH

AbstrActThis writing aims to explain the perspective of teungku dayah salafi about the concept of ulil amri and the attitude of Muslim society to any laws endorsed by the ulil amri. Data for this study is gathered through an in-depth interview with the tengkus of dayah salafi located in Aceh Besar. The result shows that the tengkus have different opinions about the concept of ulil amri. First, the ulil amri is similar to the formal administrator along with other religious institutions. Second, ulil amri is the government institution that only performs religious duties. Third, ulil amri is the ulama who is appointed as the head of state. Furthermore, majority of the tengkus believe that the regulations endorsed by the ulil amri were not obligated to conform otherwise mentioned in the Qur’an. Meanwhile, some of them insist that the ulil amri must be obeyed as it is mentioned in the Qur’an along with all regulations.Keywords: ulil amri, law, teungku dayah

AbstrAkTulisan ini bertujuan untuk menjelaskan perspektif teungku dayah salafi tentang konsep ulil amri dan sikap kaum muslimin terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang dihasilkannya. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam dengan beberapa teungku dayah salafi di Aceh Besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pendapat yang berbeda tentang konsep ulil amri. Pertama, ulil amri merupakan pemerintah yang sah bersama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang ada di bawahnya. Kedua: lembaga pemerintah yang menangani bidang keagamaan saja. Ketiga, ulama yang diangkat sebagai kepala Negara. Selanjutnya, mayoritas teungku dayah menilai bahwa regulasi yang dihasilkan ulil amri tidak wajib untuk dikuti, kecuali yang disebutkan di dalam Al-Quran. Sementara itu, sebagian mereka berpendapat bahwa ulil amri wajib dipatuhi bersama dengan regulasi yang dihasilkannya karena disebutkan di dalam Al-Quran.Kata kunci: ulil amri, produk hukum, dan teungku dayah

Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Darussalam,

Banda AcehJln. Ar-Raniry No. 1 Darussalam,

Banda AcehTelp. (0651) 7557442

Hp. 085296269854e-mail: [email protected]

Naskah diterima: 25 Juni 2014Naskah direvisi: 2-9 Oktober

2014Naskah disetujui:14 Nopember

2014

Page 136: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 265-278

266

Pendahuluan

Teungku adalah sebutan masyarakat Aceh terhadap alumni dayah (pesantren) salafi (tradisional). Mereka dipercaya memiliki pengetahuan agama yang luas, sehingga sering dijadikan pemimpin keagamaan. Selama ini di Aceh, dayah salafi hanya mempelajari masalah-masalah keagamaan saja (Nirzalin, 2012: 64).

Materi hukum Islam yang diajarkan teungku-teungku dayah di Aceh adalah bermazhab Syafi‘ī (Peunoh Daly, 2005: 3; Azyumardi Azra, 1996: 218). Mereka relatif jarang menggunakan buku-buku fikih kontemporer yang memuat masalah-masalah baru hukum Islam. Dengan demikian fikih-fikih yang berisi persoalan baru relatif kurang mendapat tempat yang memadai. Padahal kebudayaan manusia terus berkembang dan memerlukan ketentuan hukum.

Di Aceh, berbagai persoalan baru yang tidak ditetapkan hukumnya dalam fikih telah ditetapkan sebagai bagian dari hukum Islam dan telah pula dijadikan sebagai hukum positif yang harus diikuti oleh masyarakat. Dalam hal ini negara telah memainkan perannya untuk mengatur kehidupan beragama umat Islam Indonesia.

Masyarakat dalam menghadapi keadaan ini, tidak sepenuhnya mengakui regulasi Negara terkait dengan hal-hal yang tidak diatur dalam fikih Syafi’i sebagai bagian hukum Islam. Keadaan ini tentu saja memunculkan praktik-praktik yang bertabrakan dengan ketentuan Negara tersebut. Contohnya adalah banyak masyarakat muslim di Aceh menolak kewajiban zakat gaji/profesi dan pencatatan perkawinan sebagai bagian dari kewajiban agama (hasil wawancara dengan beberapa informan). Sehingga, banyak masyarakat yang mengabaikannya.

Secara konseptual, kewajiban untuk patuh kepada aturan yang dilahirkan pemerintah, di antaranya dapat didasarkan pada perintah taat kepada ulil amri (pemerintahan), sebagaimana diatur dalam Al-Quran surah al-Nisā’ ayat 59 (Ahmad, 2011: 274). Para ulama memberi

batasan bahwa, wajib mematuhi ulil amri selama ketentuan yang dilahirkannya berisi yang makruf dan mencegah yang munkar.

Secara praktis, di kalangan teungku dayah, terdapat konsep yang beragam mengenai ulil amri. Konsep-konsep tersebut akan menunjukkan bagaimana pandangan mereka terhadap hubungan antara agama dan Negara. Selanjutnya, konsep-konsep yang ada ini, tentu saja, akan mempengaruhi pola pikir dan penerimaan mereka terhadap regulasi Negara. Untuk mengetahui konsistensi pemikiran teungku dayah tersebut dilihat pada dua contoh kasus, yaitu kewajiban zakat gaji/profesi dan pencatatan pernikahan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan. Dua contoh ini, di Aceh dewasa ini sering menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, dengan ungkapan “sah menurut agama” yang berlaku pada pernikahan siri, atau “tidak diwajibkan oleh agama” pada kewajiban membayar zakat profesi.

Pemikiran dan peran teungku dayah, selama ini, telah banyak diteliti. Di antara penelitian tersebut berkisar pada peran teungku di bidang politik praktis, penyelesaian konflik bagi masyarakat Aceh, dan pengintegrasian Aceh menjadi bagian Indonesia. (Nur, 2000; Amin, 2002; Amiruddin, 2002; Nirzalin, 2012). Peran politik teungku di bidang politik praktis membahas bagaimana pengaruh teungku dayah dalam masyarakat dan peran mereka sebagai rujukan masyarakat untuk menentukan pilihan politik mereka. Selanjutnya penelitian tersebut diarahkan pada bagaimana perubahan peran yang dimainkan teungku dayah dewasa ini. Penelitian-penelitian tersebut belum mengungkapkan bagaimana konsep mereka tentang ulil amri. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menggambarkan pandangan teungku dayah salafi mengenai ulil amri dan kaitannya dengan hubungan antara agama dan Negara.

Berangkat dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1) bagaimanakah pandangan teungku dayah salafi di Aceh Besar terhadap pengertian ulil amri?,

Page 137: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Ulil Amri dan Kekuatan Produk HukumnyaAnaliansyah

267

1997: 38, 40 dan 1582). Di bawah ini dijelaskan pengertian ulil amri dalam pandangan ulama secara umum dan teungku dayah salafi Aceh Besar.

Menurut ulama, lafadh ulil amri memiliki beberapa makna, yaitu: 1) Umarā’ (penguasa; pemimpin) atau sultan (al-Suyūṭī, 1993: 573), 2) ahli ijtihad, ahli fiqh, ahli ilmu atau ulama (Syawkānī, 1999: 98; al-Suyūṭī, 1993: 575); dan 3) gabungan antara ulama dan umarā’ (al-Jazā’irī, 2003: 496-497).

Ulama, berdasarkan keterangan di atas, ternyata berselisih pendapat dalam memberikan makna ulil amri. Pendapat pertama, mereka memberikan makna ulil amri tertuju kepada orang yang menjadi sultan atau pemimpin saja. Sultan di sini adalah sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, ketaatan kepada sultan sama artinya dengan ketaatan kepada titah sultan atau regulasi yang dihasilkan sultan atau Negara.

Sedangkan pendapat kedua juga secara tegas menyebutkan makna ulil amri adalah ulama, ahli fiqh atau ahli ijtihad. Dalam hal ini gelar ulil amri diberikan kepada orang yang ahli dalam bidang fiqh atau ahli ijtihad dalam bidang keagamaan. Dengan kata lain, ulil amri adalah ulama. Para pakar pengetahuan yang ahli dalam bidang selain agama tidak disebut sebagai ulil amri. Dengan demikian perintah kepada ulil amri adalah perintah untuk taat kepada ulama. Artinya taat kepada fatwa atau keputusan hukum yang dibuatnya. Dalam konsep kedua ini, ulil amri diberikan kepada perseorangan, bukan kepada lembaga Negara seperti konsep di atas.

Ulama, dalam pendapat ketiga, memberikan istilah ulil amri kepada dua pihak sekaligus, yaitu ulama dan umarā’. Menurut penulis, di sini dapat dipahami dengan dua cara, yaitu kaum muslimin dapat mentaati umarā’ dengan lembaga kenegaraan atau ulama secara terpisah, artinya dalam keadaan yang berbeda, atau mematuhi ulama dan umarā’ setelah mereka secara bersama-sama memutuskan ketentuan suatu permasalahan.

2) bagaimanakah kekuatan produk hukum yang dihasilkannya? Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan pandangan teungku dayah salafi di Aceh Besar terhadap pengertian ulil amri, dan 2) mendeskripsikan tentang kekuatan produk hukum yang dihasilkannya.

Untuk menguraikan masalah ini, teori yang digunakan penulis adalah teori hubungan Negara dan Agama. Di sini digunakan tiga paradigma un-tuk menjelaskan hubungan agama dan Negara, yaitu: Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik. Paradigma Integralistik menerangkan bahwa Agama dan Negara menyatu (integrated). Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan, sekaligus politik atau negara ada dalam wilayah agama. Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama. Dengan demikian, rakyat yang menaati segala ketentuan dan peraturan Negara, dalam paradigma ini, dianggap taat kepada agama, begitu juga sebaliknya (Wahid & Rumaidi, 2001: 2; Bot, 2008: 1-2).

Paradigma Simbiotik menerangkan bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama, dalam hal ini, memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual (Wahid & Rumaidi, 2001: 24-26; Bot, 2008: 1-2). Adapun Paradigma Sekularistik adalah paham yang memisahkan agama atas Negara, dan memisahkan negara dari agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada bentuk negara tertentu (Wahid & Rumaidi, 2001: 28; Bot, 2008: 1-2).

Definisi ulil amri berasal dari bahasa Arab, yaitu yang berarti penguasa atau pemimpin. Ulil amri semakna dengan kata jamak dari , atau imām (Munawwir,

Page 138: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 265-278

268

Metode Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 10 (sepuluh) teungku dayah sebagai informan yang berada di seputar Kecamatan Darussalam, Baitussalam, dan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar. Untuk menganalisis pendapat mereka digunakan analisis deskriptif kualitatif.

Teungku-teungku dayah yang berada di Aceh Besar dianggap dapat menjadi gambaran pemikiran teungku dayah di Aceh Besar bahkan di Aceh secara umum, karena teungku dayah Aceh Besar berasal bukan hanya dari dayah-dayah atau pesanteren yang ada di Aceh Besar namun juga berasal dari dayah-dayah di luar Aceh Besar (Nirzalin, 2012: 64), bahkan dari luar Aceh sekalipun.

hasil dan PeMbahasan

Konsep Ulil Amri dalam Perspektif Ulama Dayah

Penjelasan ulil amri dalam tulisan ini dirujuk kepada ulil amri yang terdapat dalam Al-Quran yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kamu. Apabila kamu berselisih pendapat mengenai sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat…(QS. Al-Nisa’: 59).

Teungku-teungku dayah berbeda pendapat dalam memahami konsep ulil amri. Pendapat tersebut dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut: (1) Ulil amri adalah pemerintah yang sah bersama dengan institusi-institusi keagamaan yang berada di bawahnya. (2) Ulil amri adalah lembaga pemerintah yang membidangi keagamaan saja, yaitu agama Islam. (3) Ulil amri adalah ulama yang diangkat sebagai kepala pemerintahan.

Ulil Amri Adalah Pemerintahan yang Sah

Kelompok pertama menyebutkan bahwa ulil amri adalah pemerintahan yang sah atau dengan kata lain adalah pemimpin formal

bersama dengan institusi-institusi yang berada di bawahnya, seperti Kemenang (Kementerian Agama) dan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) – selain di Aceh bernama MUI (Majelis Ulama Indonesia. Pendapat ini diutarakan oleh mayoritas informan, yaitu 80% informan. Menurut teungku-teungku dayah tersebut yang dimaksud dengan pemerintah di sini adalah kepala pemerintahan atau pimpinan eksekutif; untuk tingkat negara Indonesia adalah presiden, tingkat provinsi adalah gubernur, sedangkan tingkat kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Termasuk ulil amri di sini adalah lembaga-lembaga atau institusi-institusi keagamaan yang berada di bawahnya, seperti Kemenag dan MPU yang menangani bidang keagamaan. Mayoritas teungku pesantren menambahkan penyebutan ulil amri disematkan kepada semua pemimpin Negara, baik Negara yang menerapkan syari’at Islam maupun tidak.

Konsep ini tampaknya tidak terlepas dari konsep Negara bangsa yang dewasa ini dianut oleh seluruh bangsa di dunia. Karena konsep ulil amri pada awal Islam dipahami sebagai pemimpin kaum muslimin secara umum, tidak terdapat pemilahan yang tegas kepada pemimpin formal (Al-Māwardī, t.t.: 9). Dalam kajian fikih klasik terdapat pendapat yang beragam yang dikemukakan sahabat tentang pengertian ulil amri. Menurut Imam al-Māwardī, ulama mazhab Syāfi‘ī, menerangkan bahwa tiga pendapat mengenai siapa yang dimaksud ulil amri, yaitu: 1) Umarā’ (pemimpin kaum muslimin), pendapat ini dikemukakan oleh Ibn ‘Abbās, 2) Ulama, pendapat ini disampaikan oleh Jābir, 3) Para sahabat Rasulullah saw. Pendapat ini disebutkan oleh Mujāhid (Al-Māwardī, t.t.: 9).

Teungku yang berpendapat bahwa ulil amri adalah pemimpin kaum muslimin memperluas cakupannya kepada kepala pemerintahan beserta lembaga-lembaga yang berada di bawahnya. Mereka juga tidak membatasi dengan syarat Negara yang memberlakukan syari’at Islam. Konsep ini berbeda dengan yang dikemukakan Imam Mawardi di atas yang menyebutkan, di

Page 139: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Ulil Amri dan Kekuatan Produk HukumnyaAnaliansyah

269

antara makna ulil amri adalah umarā’ atau sultan. Mereka tidak memasukkan lembaga atau institusi yang berada di bawahnya (al-Suyūṭī, 1993: 573). Dalam pengertian ini ulil amri adalah penguasa atau sultan itu sendiri. Dengan demikian kewenangannya juga tidak terbatas pada masalah keagamaan saja, namun meliputi masalah keagamaan dan politik secara keseluruhan.

Uraian di atas memperlihatkan perbedaan konsep antara teungku dayah dengan pendapat ulama. Ulama mendefinisikan ulil amri dengan pemimpin kaum muslim secara umum namun teungku dayah mengkhususkan kepada pemim-pin formal eksekutif dan lembaga keagamaan yang berada di bawahnya. Meneruskan pemikiran teungku di atas dapat disebutkan bahwa mereka tidak memisahkan antara agama dengan Negara. Artinya, kaum muslimin wajib mematuhi segala aturan yang dihasilkan Negara sebagai aturan agama. Di sini terlihat bahwa mayoritas teungku menggunakan paradigma integralistik.

Ulil Amri adalah Lembaga Pemerintah yang Membidangi Keagamaan Saja

Terdapat pendapat di kalangan teungku yang mengatakan bahwa ulil amri adalah lembaga pemerintah yang membidangi keagamaan saja, yaitu agama Islam, seperti Kemenag dan MPU. Kelompok kedua terdiri atas 10% informan. Mereka membatasi pengertian ulil amri kepada lembaga pemerintah yang membidangi keagamaan saja, yaitu agama Islam, seperti Kemenag dan MPU. Kelompok ini tidak memasukkan lembaga pemerintah yang lain, seperti lembaga yang menangani bidang pendidikan umum, kesehatan, kepolisian dan lain-lain sebagai bagian dari ulil amri. Pada konsep kedua ini tampak pemisahan antara bidang keagamaan dan bukan keagamaan. Dengan demikian penjelasan ulil amri dalam surat al-Nisā’ ayat 59 adalah ketaatan kepada lembaga pemerintah yang menangani bidang keagamaan saja. Informan kelompok ini berpendapat bahwa ketaatan kepada ulil amri terbatas pada aturan yang dibuat dalam konteks keagamaan saja.

Sedangkan ketentuan lain di luar keagamaan berada di luar pengertian yang dicakup ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat 59 surat al-Nisā’.

Keagamaan yang dimaksud di sini mencakup tiga aspek, yaitu aqidah, ibadah maupun akhlak. Aqidah adalah kajian keislaman yang membahas tentang keyakinan kepada Allah. Pembahasan aqidah ini disebut juga dengan Ilmu Aqidah atau Ilmu Kalam. Ibadah adalah kegiatan yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam konteks ini penyebutan ibadah sebagai perwakilan dari fikih, yaitu ilmu yang menjelaskan hukum amal perbuatan manusia (Syarifuddin, 2009: 2). Sedangkan akhlak sama dengan tasawuf, yaitu pengembangan konsep ihsan (apabila engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya. Namun apabila engkau tidak melihatNya, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu). Sementara aspek yang berkaitan dengan kesehatan, kebersihan secara umum, aturan berlalu lintas, dalam kajian keislaman klasik, tidak termasuk wilayah keagamaan. Dengan demikian lembaga-lembaga yang membidanginya tidak digolongkan ke dalam ulil amri, dan dengan demikian tidak wajib ditaati.

Konsep kedua ini mengakui peran Negara dalam mengatur aspek keagamaan. Kaum muslim hanya diminta mematuhi aturan Negara terkait aspek agama tersebut, bukan yang lainnya (non agama). Jadi menariknya, hubungan agama dan Negara tidak dipisahkan, namun kewajiban masyarakat terhadap Negara yang dianggap sebagai kewajiban agama hanyalah regulasi Negara terkait agama yang dihasilkan melalui lembaga pemerintah bidang keagamaan. Pemikiran ini lebih dekat kepada paradigma simbiotik, yaitu Negara berfungsi memperkuat aspek keagamaan, sehingga kehidupan agama menjadi lebih tertib dan teratur. Dengan anggapan bahwa agama tidak dapat dijalankan sepenuhnya tanpa campur tangan Negara. Contoh yang bisa diambil adalah pelaksanaan ibadah haji, penentuan awal dan akhir ramadhan, dan lain-lain.

Page 140: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 265-278

270

Ulil Amri adalah Ulama yang Diangkat sebagai Kepala Pemerintahan

Kelompok ke tiga juga terdiri atas 10% informan. Kelompok ini berpendapat bahwa ulil amri adalah ulama yang diangkat sebagai kepala pemerintahan. Informan menyebutkan tidak terdapat ulil amri di Aceh karena kepala pemerintahannya bukan dari kalangan ulama (wawancara dengan informan). Maksud pernyataan ini adalah seharusnya yang menjadi pemerintah atau pemimpin kaum muslimin adalah dari kalangan ulama. Informan mencontohkan, di Aceh pada masa lalu dipimpin oleh ulama, seperti Abu Daud Beureueh. Jadi yang dimaksudkan dengan ulil amri adalah sosok seperti Abu Daud Beureueh, yaitu ulama sekaligus sebagai pemimpin.

Pendapat ini tampaknya didasarkan kepada pendapat yang menyebutkan ulil amri adalah gabungan antara ulama dan umarā’ (al-Jazā’irī, 2003: 496-497). Menurut pendapat ini, ulil amri mengurus masalah politik dan agama. Jadi dengan demikian pada diri seorang pemimpin terakumulasi dua kemampuan sekaligus, yaitu ulama dan umara’. Contoh ideal untuk ini adalah khulafā’ al-rāsyidīn. Walaupun secara politik disebutkan dalam sejarah bahwa Abu Bakar Shiddiq, khulafā’ al-rāsyidīn yang pertama, menerangkan bahwa ia bukan menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin agama, namun sebagai pemimpin politik kaum muslimin. Namun dalam pelaksanaannya, khulafaurrasyidin mengurus semua masalah kenegaraan, termasuk masalah keagamaan.

Berdasarkan uraian di atas, informan memahami bahwa ulil amri adalah ulama yang menjadi pemimpin politik. Sehingga pada diri pemimpin terdapat kemampuan memahami agama dengan baik dan dapat melahirkan berbagai hukum yang sejalan dengan agama (Al-Māwardī,tt.: 9).

Pendapat ketiga ini, relatif tidak berbeda dengan pendapat ulama yang menyebutkan ulil amri adalah gabungan antara ulama dan umara. Informan memegang pendapat ini dengan

asumsi bahwa pemimpin yang ulama saja yang dapat menerapkan sistem pemerintahan secara baik dan benar dengan tidak melanggar berbagai ketentuan Allah swt.

Teungku dayah ini, pada dasarnya, tidak memisahkan antara agama dan Negara (integralistik). Ia hanya memberikan syarat tambahan pada kepala Negara yang diakui sebagai ulil amri, yaitu berasal dari kalangan ulama. Pemikiran ini menghendaki keterlibatan penuh ulama dalam politik. Pemikiran ini memiliki konsekuensi yang sangat besar. Apabila kepala Negara bukan berasal dari kalangan ulama, maka kepatuhan masyarakat terhadap produk hukumnya bukan dianggap bagian dari kewajiban agama. Padahal dalam Negara bangsa, seperti Indonesia, regulasi Negara diputuskan bersama antara eksekutif dan legislatif sebagai lembaga tinggi Negara, dan regulasi tersebut akan terus berlaku sampai aturan lain yang merubahnya. Pada sisi lain, jabatan kepala Negara memiliki batas waktu. Jadi akan terdapat kesulitan besar bagi masyarakat dalam mematuhi suatu suatu regulasi yang dihasilkan lembaga Negara, kalau harus melihat siapa kepala Negara ketika aturan dibuat. Selanjutnya, ketika diterapkan aturan bahwa hanya ulama yang dapat menjadi kepada Negara, bagaimana kalau tidak ditemukan ulama yang menguasai politik dengan baik. Bukankah sebaiknya mengakui pemimpin yang berasal dari non ulama, namun mengakomodir kepentingan beragama masyarakat?

Kita, berdasarkan uraian di atas, dapat mengetahui secara umum pemikiran teungku dayah salafi mengenai konsep ulil amri. Secara konseptual, mereka tidak memisahkan antara agama dengan Negara. Artinya, segala ketentuan yang dihasilkan Negara wajib diikuti sebagai bagian dari kewajiban agama.

Kekuatan Produk Hukum Ulil AmriSebelum menjelaskan kekuatan produk

hukum ulil amri, perlu diutarakan pengertian produk hukum ulil amri yang penulis maksudkan, agar tidak terdapat perbedaan persepsi antara

Page 141: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Ulil Amri dan Kekuatan Produk HukumnyaAnaliansyah

271

penulis dengan pembaca mengenai term ulil amri dalam tulisan ini. Produk hukum ulil amri di sini adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, baik pemerintah Indonesia, maupun pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian pertanyaan yang diajukan kepada informan dan jawaban yang mereka berikan juga mengacu kepada maksud yang sama.

Untuk mengetahui pendapat teungku dayah mengenai kekuatan produk hukum yang dihasil-kan ulil amri dilihat melalui pemikiran teung-ku-teungku dayah tersebut terhadap beberapa pertanyaan, yaitu apakah zakat gaji wajib dike-luarkan (dibayar) dan kewajiban pencatatan perkawinan di KUA Kec. (Kantor Urusan Agama Kecamatan) atau larangan nikah sirri karena adanya syarat administratif dari pemerintah bah-wa setiap pernikahan umat Islam harus tercatat di KUAKEC (Kantor Urusan Agama Kecamatan). Kewajiban zakat gaji/profesi bagi masyarakat Aceh ditetapkan dengan Qanun Aceh No. 10 ta-hun 2007 tentang Baitul Mal. Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa di antara kewenangan dan ke-wajiban Baitul Mal adalah mengumpulkan, me-ngelola, dan menyalurkan zakat pendapatan dan jasa/honorarium (Himpunan Peraturan Perun-dang-undangan Baitul Mal Aceh, 2012: 498).

Teungku-teungku dayah pada umumnya berpendapat bahwa wajib mentaati segala produk hukum ulil amri. Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam perinciannya, terutama terkait dengan bidang aturan yang dihasilkan. Para teungku umumnya membagi ketaatan terhadap aturan yang dibuat ulil amri kepada dua, yaitu pertama, ketaatan terhadap aturan atau keputusan yang terkait dengan masalah keagamaan, dan kedua masalah yang “tidak terkait” dengan masalah keagamaan. Berikut ini dirincikan berbagai pendapat teungku-teungku dayah salafi terkait dengan masalah keagamaan. Masalah keagamaan, sebagaimana diutarakan di atas, yang dilihat di sini terbatas pada dua aspek saja, yaitu kewajiban zakat gaji dan kewajiban pencatatan perkawinan/larangan nikah sirri.

Pendapat informan tentang kewajiban zakat gaji terbagi kepada dua pendapat, yaitu sebagian mengatakan wajib dan sebagian lagi mengatakan tidak wajib, begitu juga dengan larangan nikah sirri yang tidak tercatat di KUAKEC, yaitu sah dan tidak sah.

Zakat Gaji (Profesi)Kelompok yang Mewajibkan Zakat Gaji

Informan yang berpendapat hukum zakat gaji adalah wajib disampaikan oleh 40% informan. Dasar hukumnya adalah ketaatan kepada ulil amri (hasil wawancara dengan informan). Informan menambahkan zakat gaji itu wajib karena telah diputuskan oleh MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) yang merupakan bagian dari lembaga resmi pemerintah (hasil wawancara dengan informan). Menurut informan ini, dunia terus mengalami perkembangan termasuk pekerjaan atau penghasilan yang diperoleh manusia. Pada masa Rasul sampai pada imam mazhab, sistem penggajian belum dikenal seperti sekarang ini, termasuk penghasilan dokter yang sekarang jumlahnya sangat besar (hasil wawancara dengan informan).

Apabila dibuka kitab-kitab fikih Syāfi‘ī dan mazhab-mazhab lainnya, Ḥanafī, Mālikī dan Ḥanbalī, tidak ditemukan pembahasan mengenai zakat gaji atau profesi sebagai salah satu harta kena zakat. Dalam kitab fikih klasik, harta kena zakat terdiri dari uang – emas dan perak, barang tambang dan temuan, harta perdagangan, tanaman dan buah-buahan, dan hewan atau binatang ternak (hasil wawancara dengan informan).

Apabila umat Islam hari ini harus terus berpegang kepada isi kitab fikih lama, maka penghasilan yang diperoleh dari hasil profesi atau gaji tidak akan dipungut zakatnya. Informan kelompok pertama ini menilai bahwa zaman terus berkembang dan telah memunculkan banyak hal baru yang pada masa lalu tidak dikenal. Dengan demikian tradisi umat manusia juga terus meng-alami perkembangan termasuk jenis-jenis usaha manusia. Salah satu usaha manusia tersebut

Page 142: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 265-278

272

yang dewasa ini menjadi tradisi di era modern ini adalah menerima gaji dari hasil kerjanya sebagai pegawai, baik swasta maupun negeri atau profesi yang dilakoninya. Harta kekayaan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut sangatlah besar, malah terkadang jauh melebihi penghasilan petani atau peternak yang hasil usahanya dikenakan zakat.

Untuk merespon berbagai permasalahan hukum yang terus bermunculan dibutuhkan ijtihad yang berkelanjutan oleh pakar hukum Islam/ulama, dan hasil ijtihad tersebut harus diikuti, apalagi telah dikuatkan oleh pemerintah sebagai ulil amri. Kewajiban zakat gaji atau hasil profesi tidaklah menyalahi ketentuan agama Islam. Karena ketentuan yang dianggap melanggar aturan agama apabila membolehkan yang mungkar, sedangkan amar makruf dan munkar diboleh untuk taat kepada ulil amri. Terdapat hadis dari ‘Amrān bin Ḥuṣain riwayat Ahmad yang artinya: Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya ketaatan itu pada yang ma’ruf (kebaikan), tidak ada ketaatan kepada makhluk pada kemaksiatan kepada Khāliq (Allah) (al-Dimasyqī, 1999: 345; Syawkānī, 1999: 98).

Pada hadis lain dari Abū Hurairah riwayat Bukhārī dan Muslim disebutkan: Barang siapa yang mentaatiku sungguh mentaati Allah, barang siapa yang bermaksiat kepadaku sungguh bermaksiat kepada Allah. Barang siapa yang mentaati Ulil Amri sungguh telah mentaatiku, dan barang siapa yang bermaksiat kepada Ulil Amri sungguh bermaksiat kepadaku (al-Dimasyqī, 1999: 345; Bukhārī, 1422: 44)

Dewasa ini, ketentuan zakat gaji atau hasil profesi ditemukan pembahasannya dalam fikih-fikih kontemporer, seperti ditulis Wahbah al-Zuḥailī dan Yusuf Qrḍawī. Harta yang diperoleh melalui profesi dan wiraswasta disebut al-māl al-mustafād (al-Zuḥailī, 1985: 865). Wahbah lebih jauh menjelaskan bahwa istilah wiraswasta yang dia maksud dalam tulisannya adalah pekerjaan yang tidak terikat dengan Negara, seperti pekerjaan dokter, insinyur, sarjana hukum, penjahit, dan pekerjaan swasta lainnya. Adapun pekerjaan yang terkait dan terikat dengan

pemerintah atau yayasan dan badan usaha umum atau khusus adalah para pegawainya menerima upah bulanan. Penghasilan yang diperoleh wiraswatawan atau pegawai negeri itu dikenal dalam fikih dengan istilah al-māl al-mustafād. Dikatakan al-māl al-mustafād di sini karena ia wajid dikeluarkan zakatnya begitu diterima, meskipun kepemilikannya belum sampai setahun. Dengan demikian pemiliknya tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya pada akhir tahun (al-Zuḥailī, 1985: 865).

Selain itu Aceh telah memasukkan gaji atau penghasilan dari profesi turut menjadi bagi dari harta kena zakat, sebagaimana termaktub dalam qanun Aceh No. 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Sebagai contoh Pasal 18 qanun ini menyebutkan bahwa Badan Baitul Mal Provinsi berwenang menetapkan, mengumpulkan dan mendistribusikan zakat perusahaan tingkat nasional dan provinsi dalam daerah Provinsi NAD serta zakat gaji/honorarium pegawai/karyawan, negeri dan swasta serta sipil dan militer yang berdomisili di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa ketentuan tentang zakat gaji/profesi telah pula diadobsi oleh Pemerintah Aceh setelah melalui pembahasan yang mendalam oleh MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa ketentuan zakat gaji dan profesi telah menjadi ketetapan ulil amri Aceh, sehingga ia wajib diikuti oleh masyarakat muslim Aceh.

Kelompok yang Tidak Mewajibkan Zakat Gaji

Jumlah informan yang berpendapat bahwa zakat gaji tidak wajib mencapai 60%. Mereka beralasan tidak ditemukan landasan hukum agama yang mewajibkannya (Hasil Wawancara dengan informan). Sebagian mereka menambahkan zakat gaji tidak wajib karena tidak dapat diqiaskan kepada harta kena zakat yang telah disebutkan dalam kitab fikih mazhab Syāfi‘ī. Dengan demikian kewajiban zakat gaji merupakan kewajiban pemerintah semata, bukan kewajiban agama. Jadi umat

Page 143: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Ulil Amri dan Kekuatan Produk HukumnyaAnaliansyah

273

Islam dapat tidak menunaikannya. Barang siapa yang menunaikannya dianggap sebagai pemberian sedekah biasa yang nilainya hanya sunat (Hasil Wawancara dengan informan). Menurut salah seorang informan, pemabahasan zakat gaji dan profesi telah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, turut terlibat teungku-teungku dayah dan kalangan akademisi, namun menurut teungku-teungku dayah, zakat gaji tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Perlu dijelaskan di sini pokok-pokok pegangan dalam menetapkan hukum dalam mazhab Syāfi‘ī terdiri dari Al-Quran, Sunnah, Ijmak, dan Ijtihad atau qiyas. Berdasarkan metode yang ada ini, untuk mengembangkan hukum-hukum harus dilakukan dengan qiyas apabila tidak ditemukan nashnya. Inilah yang dijadikan alasan bagi teungku dayah yang menolak zakat gaji. Satu sisi tidak ditemukan nashnya dan sisi lainnya tidak dapat digunakan qiyas untuk menetapkan kewajibannya. Sekiranya pemerintah memungutnya maka orang yang diambil zakat gajinya tersebut akan mendapat pahala sunat, bukan pahala wajib, karena ia akan dinilai sebagai sedekah sunat.

Menariknya di sini adalah mayoritas informan yang menolak kewajiban zakat gaji yang telah ditetapkan pemerintah adalah mereka mengatakan wajib mengikuti keputusan ulil amri sekiranya perintah tersebut tidak bertentangan dengan syara’, menyeru kepada makruf dan mencegah yang mungkar. Kewajiban zakat gaji ini tidak menyalahi nash, namun menambah harta kena zakat yang tidak disebutkan nash, sama seperti zakat padi yang diakui kewajibannya oleh teungku dayah. Ia juga tidak menyalahi ketentuan pemerintah yang makruf dan mencegah yang munkar. Dengan demikian terdapat perbedaan antara konsep umum ketaatan kepada ulil amri dengan pelaksanaan pada bidang-bidang yang parsial. Pendapat seperti ini tampaknya lahir karena ketiadaan konsep ketaatan yang dianggap jelas terhadap ulil amri, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan multi penafsiran. Menurut penulis, bagian ini perlu mendapat

perhatian para ulama, sehingga masyarakat muslim tidak lagi bimbang dalam kehidupan beragamanya.

Informan lainnya memberikan argumen yang berbeda. Mereka mengaitkannya dengan dasar hukum yang dianut suatu bangsa. Apabila suatu bangsa menjadikan Al-Quran dan hadis sebagai dasar negaranya maka peraturan pemerintah yang mewajibkan zakat gaji, wajib diikuti. Jadi karena Indonesia menjadikan UUD 1945 sebagai dasar Negara, maka aturan pemerintah mengenai zakat gaji tidak wajib ditaati (Hasil Wawancara dengan informan).

Pendapat ini secara jelas mengaitkan hubungan antara dasar Negara dengan segala produk hukumnya. Apabila dasar Negara adalah Islam maka segala produk hukum pemerintahnya wajib diikuti, namun sebaliknya apabila dasar Negara bukan Islam maka segala produk hukum pemerintah tidak wajib diikuti, meski aturan tersebut berkaitan dengan masalah keagamaan.

Pendapat lainnya menyebutkan bahwa ulil amri adalah ulama yang menjadi kepala pemerintahan. Jadi kerena di Aceh yang menjadi gubernur atau bupati bukan ulama maka peraturan yang dibuat pemerintah tersebut tidak wajib diatuhi. Dengan demikian kita hanya wajib mengikuti peraturan pemerintah yang berasal dari kalangan ulama (Hasil Wawancara dengan informan). Informan ini melanjutkan zakat gaji tidak diwajibkan karena ia tidak ditemukan nas yang memerintahkannya. Agama sudah menentukan jenis harta kena zakat dan orang-orang yang berhak menerimanya (Hasil Wawancara dengan informan).

Kewajiban Pencatatan Perkawinan dan Larangan Nikah Sirri

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pembahasan ini untuk menjelaskan pendapat teungku dayah sebagai bagian dari pendapat mereka terhadap produk hukum ulil amri. Pembahasan ini menjelaskan dua hal, yaitu pertama, pendapat informan yang memboleh nikah sirri, artinya mereka tidak mengakui

Page 144: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 265-278

274

kewajiban pencatatan perkawinan di KUA Kec, dan kedua, pendapat yang melarang nikah sirri, dalam artian mereka mengakui kewajiban pencatatan perkawinan di KUA Kec.

Di Indonesia setiap pernikahan harus ter-catat di KUA Kec. Ketentuan ini tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Sete-lah kemerdekaan undang-undang Indonesia yang pertama mengatur pencatatan perkawinan adalah UU No. 22 tahun 1946. Undang-Undang ini menyebutkan: (i) perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah; (ii) bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran. Lebih jelas tentang pencatatan perkawinan dan tujuannya ditemukan pada penjelasannya, yaitu bahwa dicatatnya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban (Nasution, 2009: 334).

Kemudian dalam UU No. 1 tahun 1974, yang pelaksanaannya berlaku secara efektif mulai 1 Oktober 1975, tentang pencatatan perkawinan disebutkan: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pada pasal lain disebutkan: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam penjelasan terhadap UU No. 1 tahun 1974 tentang pencatatan dan sahnya perkawinan disebutkan: (i) tidak ada perkawinan di luar hukum agama; dan (ii) maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Nasution, 2009: 334).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di-sebutkan tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk ter-jaminnya ketertiban perkawinan namun dite-gaskan perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (Nasution, 2009: 337-8).

Kewajiban pencatatan perkawinan, selain di Indonesia, berlaku juga di Negara Mesir. Di Mesir,

dengan diberlakukannya UU No. 78 tahun 1931 tentang al-Mahakim al-Syar‘iyah, memunculkan istilah al-zawaj al-urf (Perkawinan di Bawah Tangan). Dalam Pasal 99-nya ditegaskan bahwa gugatan yang berhubungan dengan perkawinan, serta hak-hak yang berhubungan dengan itu, tidak bisa diterima di pengadilan (Mahkamah), kecuali bila didasarkan atas adanya bukti perkawinan resmi, yakni surat nikah (Anshary, 2010: 16).

Membolehkan Nikah Sirri

Mayoritas informan (80%) berpendapat bahwa nikah sirri adalah sah. Bagi mereka kewajiban pencatatan perkawinan di KUA hanyalah kewajiban kepada pemerintah, bukan sebagai bagian dari kewajiban agama. Para informan mengakui kemaslahatan yang diperoleh dari pencatatan perkawinan, namun mereka mengabaikannya, karena perintah tersebut berasal dari pemerintah, bukan perintah nash yang tegas. Mereka menilai pemerintah membuat kebijakan pencatatan perkawinan adalah untuk penertiban semata. Jadi ia tidak terkait dengan kewajiban agama. Walaupun umat harus mengikutinya namun kewajiban tersebut tidak mengikat. Agama (kitab-kitab fikih Syāfi‘ī) telah menerangkan suatu pernikahan dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukun nikah yang terdiri atas mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, dan sighat nikah (hasil wawancara dengan informan; bandingkan dengan Syarifuddin, 2009: 59). Di sini terlihat bahwa mereka memisahkan urusan agama dengan urusan Negara (paradigma sekuler). Dengan argumentasi bahwa yang wajib diikuti hanyalah aturan agama, bukan aturan Negara. Negara dinilai tidak dapat melakukan intervensi dalam menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini harus dikembalikan sepenuhnya kepada aturan agama, dalam hal ini fikih mazhab Syafi’i.

Menurut Khoiruddin Nasution, pembahasan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih konvensional tidak ditemukan. Dewasa ini pencatatan perkawinan dikaitkan dengan fungsi saksi dalam perkawinan. Khoiruddin

Page 145: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Ulil Amri dan Kekuatan Produk HukumnyaAnaliansyah

275

menambahkan, al-Sarakhsī (ulama mazhab Ḥanafī) mencatat bahwa menurut Ḥanafiah berdasarkan hadis, saksi harus ada dalam perkawinan. Saksi ini akan menjadi bukti bahwa sebuah pernikahan sudah dilangsungkan. Sedangkan menurut mazhab Mālikī di antara rukun nikah adalah mengumumkan perkawinan. Nikah yang tidak diumumkan disebut nikah sirri, yaitu nikah yang dilakukan secara diam-diam agar orang lain tidak mengetahuinya. Nikah seperti ini diharamkan. Jadi nikah dianggap sah walaupun diumumkan hanya kepada anak-anak dan orang gila (Nasution, 2009: 331-2).

Berdasarkan penjelasan Khoiruddin Nasution terdapat hubungan yang sangat erat antara keberadaan saksi dengan sahnya perkawinan. Untuk kebutuhan dewasa ini keberadaan saksi perlu ditambah dengan keberadaan dokumen (pencatatan perkawinan) untuk membuktikan bahwa suatu pernikahan telah dilangsungkan. Apalagi dewasa ini, keberadaan dokumen tidak hanya diperlukan untuk pernikahan itu sendiri, namun untuk berbagai kerperluan lainnya, seperti untuk keperluan pengurusan akta kelahiran anak, dan berbagai keperluan lainnya.

Pada bagian ini, pendapat informan berbeda dengan konsep kewajiban zakat gaji/profesi di atas. Sebagian informan yang mengakui zakat gaji/profesi merubah pendapatnya mengenai kewajiban pencatatan perkawinan atau larangan nikah sirri. Artinya para informan, paling kurang sebagiannya, tidak memiliki konsep yang jelas mengenai kekuatan produk ulil amri.

Terdapat informan yang mengaitkan kewajiban pencatatan perkawinan di KUAKEC dengan system Negara Indonesia yang tidak menganut asas Negara Islam. Jadi informan ini membolehkan qadi liar menikahkan sepasang laki-laki dan perempuan secara sirri karena Indonesia bukan Negara Islam hasil wawancara dengan informan). Pendapat ini sejalan dengan pemikirannya di atas, yaitu informan ini menjelaskan terdapat keterkaitan antara taat terhadap ulil amri hanya berlaku dalam Negara yang menganut Islam, tidak selainnya.

Pendapat terakhir ini secara nyata lebih mementingkan formalitas dasar Negara, bukan pada pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, seperti hukum keluarga yang diterapkan di Indonesia atau suatu daerah (provinsi) seperti Aceh yang telah menjalankan syari’at Islam. Keterkaitan dengan konsep ulil amri adalah konsep kepatuhan terhadap penguasa dalam Negara yang menganut asas Islam, selain itu umat Islam tidak perlu mematuhi ulil amri dalam konteks menjalankan perintah agama berdasarkan surat al-Nisā’ ayat 59 tersebut.

Melarang Nikah Sirri

Jumlah informan yang melarang nikah sirri hanya 20%. Alasan yang mereka ajukan adalah pernikahan sirri akan berdampak negatif. Pelaku nikah sirri, menurut mereka, mencampakkan diri mereka ke dalam kebinasaan. Hal itu hukumnya haram. Minoritas informan ini tidak memisahkan antara kewajiban agama dengan yang bukan agama. Umat Islam harus melihat dampak atau tujuan yang ingin dicapai atau apa yang dihasilkan dari peraturan ulil amri tersebut. Kalau tujuannya untuk kemaslahatan umat Islam maka hukum mematuhi aturan ulil amri sama dengan mematuhi hukum agama yang terdapat nasnya. Karena tujuan Allah menurunkan agama adalah untuk menjadikan masyarakat dapat hidup dengan tertib dan bermartabat, demikian juga aturan yang dibuat ulil amri.

Pemikiran informan kelompok kedua ini jelas berbeda dengan pendapat kelompok di atas yang membolehkan pernikahan sirri. Kelompok di atas membolehkan nikah sirri karena tidak terdapat dalil nash serta pembahasan dalam kitab fikih yang mengharuskan setiap pernikahan harus tercatat. Sementara kelompok kedua ini melihat asas manfaat dan tujuan yang ingin dicapai dari peraturan yang dibuat. Aturan pencatatan perkawinan ini, menurut mereka, jelas membawa kemaslahatan besar bagi umat Islam. Nikah sirri akan membawa pelakunya kepada kekaburan status hukumnya. Karena tidak akan terjamin hak-haknya setelah perkawinan, seperti tidak

Page 146: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 265-278

276

terdapat perlindungan terhadap perempuan ketika terjadi masalah keluarga, jaminan terhadap pengakuan Negara terhadap anak mereka, dan lain sebagainya. Sedangkan perkawinan yang tercatat akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pasangan suami isteri dan anak keturunannya.

Jumlah informan yang berpendapat seperti ini lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah informan yang membolehkan nikah sirri. Jadi kesadaran hukum teungku-teungku pesantren terhadap pencatatan pernikahan ini terbilang lemah. Keadaan serupa pernah terjadi di Mesir. Mesir, sebagaimana diterangkan di atas, mewa-jibkan pencatatan setiap perkawinan, namun sebagian besar masyarakatnya mengabaikan. Banyak masyarakat yang melakukan perkawinan hanya semata-mata memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah seperti yang ditulis dalam buku-buku fikih, dan mereka tidak mendaftarkan perkawinan mereka secara resmi kepada petugas pencatat nikah (Anshary, 2010: 17).

Syekh al-Azhar ketika menjawab pertanyaan dari seorang perempuan pimpinan majalah Al-Wathan al-‘Arabiyah pada tahun 1985 menjelaskan bahwa aqad nikah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun nikah seperti diatur dalam syari’at Islam adalah sah dan mempunyai pengaruh hukum, seperti halnya bergaul sebagai suami isteri, hak saling mewarisi, dan keabsahan keturunannya. Kesemua itu tidak tergantung kepada pencatatan dan akta nikah secara resmi. Namun demikian adanya alat bukti resmi suatu perkawinan menjadi sesuatu yang wajib ada apabila dihadapkan kepada hal-hal yang memerlukan proses peradilan terutama ketika terjadi perselisihan rumah tangga, status dan kedudukan anak. Hal itu karena teks undang-undang Mesir menegaskan bahwa nasab seorang anak baru diakui oleh pemerintah apabila ada bukti tertulis/akta kelahiran sebagai anak sah dari suami isteri yang sah menurut undang-undang. Oleh karena karena itu tegas Syekh tersebut sebuah perkawinan hendaklah mengikuti prosedur resmi demi kemaslahatan

dua pihak yang beraqad serta menjadi jaminan bagi segenap hak yang ditimbulkan oleh akad itu (Anshary, 2010: 17).

Pemikiran Syekh al-Azhar tersebut selayaknya menjadi pemikiran teungu-teungku dayah agar dapat mengarahkan jamaahnya tidak melakukan nikah sirri. Peningkatan pengetahuan atau memperluas wawasan ulama dayah tersebut dapat membawa pencerahan bagi umat Islam, mengingat kebutuhan alat bukti dewasa ini relatif berkembang dibandingkan dengan pada masa kitab fikih empat mazhab ditulis.

Terdapat hal menarik yang perlu dicermati berdasarkan uraian di atas, yaitu ketika teungku dayah menjelaskan pengertian ulil amri, mereka tidak mengaitkannya dengan dasar Negara yang dianut. Namun ketika menjelaskan kewajiban zakat gaji/profesi dan kewajiban pencatatan perkawinan, mereka mengaitkannya. Aturan Negara yang wajib diikuti hanya aturan yang dikeluarkan oleh Negara yang berasaskan kepada Islam. Sementara yang lain menyebutkan bahwa di sini terdapat dua kewajiban, yaitu kewajiban terhadap aturan Negara dan kewajiban terhadap aturan agama, meski topik yang diatur adalah masalah agama. Jadi terdapat dualisme sikap, yang menurut penulis sangat rancu. Satu sisi mengakui adanya integrasi antara agama dan Negara, namun dalam pelaksanaannya dipisahkan dengan istilah “kewajiban agama” dan “kewajiban Negara”. Masyarakat hanya diminta mematuhi aturan Negara yang tertuang dalam fikih mazhab tertentu, sedangkan di luar itu masyarakat tidak diminta untuk mematuhinya.

Konsep di atas, menurut penulis, akan memunculkan problematika implementasi syari’at Islam di Aceh dan di Indonesia secara lebih luas. Ia akan berimbas pada tingkat kepatuhan masyarakat terhadap regulasi Negara yang berasaskan pada nilai-nilai keagamaan. Artinya, kepatuhan terhadap regulasi Negara hanya disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena takut kepada aparat penegak hukum, bukan didasarkan kepada faktor internal, bahwa

Page 147: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Ulil Amri dan Kekuatan Produk HukumnyaAnaliansyah

277

kepatuhan kepada ketentuan Negara sama halnya kepatuhan pada ketentuan Tuhan.

Mayoritas teungku dayah (80% dari mereka) mengakui hubungan antara agama dengan Negara dengan paradigma integrasi, yaitu agama dan politik adalah menyatu. Dengan demikian, seyogyanya mayoritas mereka juga mengakui kewajiban zakat gaji/profesi dan kewajiban pencatatan perkawinan sebagai kewajiban agama walaupun ditetapkan oleh Negara. Namun diperoleh jawaban yang tidak seragam. Artinya masih terdapat kekaburan konsep ulil amri di kalangan mereka. Hal ini juga bermakna kekaburan konsep mengenai hubungan antara agama dan Negara. Karena ketika menjelaskan kasus perkasus, tersirat adanya kepercayaan akan pemisahan antara urusan agama dengan urusan Negara (menganut paradigma sekuler).

PenutuP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

Makna yang diberikan oleh teungku dayah salafi Aceh terhadap ulil amri terbagi kepada tiga kelompok pendapat, yaitu: a) Mayoritas teungku dayah salafi Aceh Besar berpendapat bahwa ulil amri merupakan pemerintah yang sah bersama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang ada di bawahnya, seperti Kementerian Agama dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Pemikiran ini menghendaki adanya integrasi antara agama dengan Negara, b) Pendapat kedua berpendapat bahwa ulil amri adalah lembaga pemerintah yang menangani bidang keagamaan saja, seperti Kementerian Agama dan MPU. Pemikiran ini menggambarkan hubungan antara agama dengan Negara dengan paradigma simbiosis. Negara diinginkan mampu memperkuat aspek agama, sehingga dapat berjalan dengan baik, c) Pendapat ketiga berpendapat bahwa ulil amri merupakan ulama yang diangkat sebagai kepala Negara. Integrasi antara agama dan Negara harus termanifestasi dengan pemilihan ulama sebagai kepala Negara.

Sebagian besar teungku dayah salafi Aceh Besar menyatakan bahwa zakat gaji (profesi) hukumnya tidak wajib. Hukum zakat gaji dapat menjadi wajib apabila ulil amri yang menjadi penguasa adalah ulama, namun apabila yang menjadi penguasa adalah pemerintah berdasarkan UUD 1945 hukumnya tidak wajib. Mengenai pandangan hukum nikah siri sebagian besar menyatakan bahwa hukumnya adalah sah. Menurut mereka kewajiban pencatatan perkawinan di KUA hanyalah kewajiban kepada pemerintah bukan sebagai bagian dari kewajiban agama.

daftar Pustaka

Ahmad, La Ode Ismail. 2011. ‘Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam: Studi atas Konteks Ke-Indonesia-an”. Millah. No. X. No. 2, Februari, 2011.

al-Dimasyqī, Ibn Katsīr. 1999. Tafsīr al-Qur’ān al-Adhīm. Dār al-Ṭayyib.

al-Jazā’irī, Ibn Jābir Abū Bakr. 2003. Aysar al-Tafāsir li Kalām al-‘Ulya al-Kabīr. Madīnah al-Munawarah: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Ḥukm.

Al-Māwardī. T.t.. al-Ḥāwī al-Kabīr. Beirūt: Dār al-Fikr.

al-Suyūṭī, Jalāluddīn. 1993. al-Dur al-Mantsūr. Beirūt: Dār al-Fikr.

al-Syarbainī, Syams al-Dīn Muḥammad bin Khaṭīb. 1997. Mughnī al-Muḥtāj. Beirūt: Dār al-Ma‘rifah.

al-Zuḥailī, Wahbah. 1985 al-Fikih al-Islāmī wa Adillatuh. Beirūt: Dār al-Fikr.

Amin, Muhammad . 2002. “Ulama dan Politik: Studi Perspektif Masa Depan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Laporan Penelitian. Banda Aceh: Pusat Penelitian IAIN Ar-Raniry.

Amiruddin, Hasbi. 2002. “Peran Ulama di Tengah Konflik Aceh”. Laporan Penelitian. Banda Aceh: Pusat Penelitian IAIN Ar-Raniry.

Page 148: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 265-278

278

AW. Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif.

Azra, Azyumardi. 1996. Islam in the Indonesian World. Bandung: Mizan.

Bot, Edward. 2008. “Relasi Islam dan Negara Muhammad Said al-Asymawi”. http://www.academia.edu/4242962/relasi_islam_dan_negara_menurut_muhammad_said_al-asymawi. Diakses tanggal 05 Oktober 2014.

Bukhārī. 1422 H. Ṣaḥīḥ Bukhārī. Dār Ṭūq al-Najāh.

Daly, Peunoh. 2005. Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Baitul Mal Aceh. 2012. Banda Aceh: Sekretariat Baitul Mal Aceh.

Himpunan Undang-Undang. 2004. Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, dan Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

M Nur, Chairan. 2000. “Integrasi Aceh Kepada Indonesia: Tinjauan terhadap Peran Ulama”. Laporan Penelitian. Banda Aceh: Pusat Penelitian IAIN Ar-Raniry.

M. Anshary MK. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia; Masalah-masalah Krusial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasution, Khoiruddin. 2009. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: Academia + Tazzafa.

Nirzalin. 2012. “Reposisi Teungku Dayah sebagai Civil Society di Aceh”. Media Syari’ah. Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2012.

Syarifuddi, Amir. 2009. Ushul Fikih. Jakarta: Kencana.

Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinnan Islam di Indonesia; antara Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Syawkānī, Muhammad. 1999. Irsyād al-Fuḥūl ila Taḥqīq al-Ḥaqq min ‘Ilm al-Uṣūl. Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Wahid, Marzuki & Rumaidi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

Zainuddin, Muslim. 2003. “Peran Ulama dan Kaum Intelektual dalam Sistem Politik Syiah: Perspektif Khomeini dan Ali Syariati”. Laporan Penelitian. Banda Aceh: Pusat Penelitian IAIN Ar-Raniry.

Page 149: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan KarakterUmi Muzayanah

279

MANAJEMEN MADRASAH SEBAGAI MEDIA STRATEGIS PENDIDIKAN KARAKTER

(Studi Kasus pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga)

Madrasah Management as A Strategic Media for Character Education(Case Study at MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga)

UMI MUZAYANAH

AbstrActCharacter education in madrasah has a very strategic role in developing the character of students. This study aims to describe the strategy of character education through madrasah management at MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga. The results showed that the character education in madrasah management has been integrated in the process of organizing, actuating, and controlling. Implementation of management in developing the character based on the six principles of character management, namely (1) clarity of purpose and accountability; (2) the division of tasks based on the principle of “the right man on the right place”; (3) regularly; (4) discipline; (5) fair; and (6) the spirit of togetherness.Keywords: character education, madrasah, madrasah management

AbstrAkPendidikan karakter pada madrasah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pembentukan karakter peserta didik. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan integrasi pendidikan karakter melalui manajemen madrasah pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter dalam manajemen madrasah sudah terintegrasi pada proses pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Pelaksanaan manajemen dalam pembentukan karakter berdasar pada enam prinsip manajemen berkarakter, yaitu (1) kejelasan tujuan dan pertanggungjawaban; (2) pembagian tugas berdasarkan asas “the right man on the right place”; (3) teratur; (4) disiplin; (5) adil; dan (6) semangat kebersamaan.Kata kunci: pendidikan karakter, madrasah, manajemen madrasah

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama

SemarangJln. Untung Suropati Kav. 69-70 Bambankerep, Ngaliyan,

SemarangTelp. (024) 7601327 Faks. (024) 7611386

e-mail: [email protected] Naskah diterima: 24 Juli 2014Naskah direvisi: 2–9 Oktober

2014Naskah disetujui: 13 Nopember

2014

Page 150: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 279-289

280

Pendahuluan

Pendidikan Nasional berfungsi mengem-bangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian fungsi dan tujuan pendidikan nasional menekankan pada pembentukan karakter bangsa dalam rangka mencetak generasi bangsa yang cerdas dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karakter menurut Alwisol (2006:8) diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit. Sedangkan Lickona (1991:51) menjelaskan bahwa karakter terdiri dari tiga hal yang saling terkait yaitu pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), komitmen/niat terhadap kebaikan (moral feeling), dan melakukan kebaikan (moral behavior). Dari kedua definisi di atas, karakter dapat diartikan sebagai tingkah laku manusia yang didasarkan pada pengetahuan, niat, dan perbuatan yang mengandung nilai kebaikan.

Karakter yang tidak berkembang dengan baik akan berakibat maraknya kenakalan yang terjadi di kalangan pelajar. Angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak usia sekolah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat data kriminalitas pelajar pada tahun 2010 terjadi sebanyak 2.413 kasus, tahun 2011 sebanyak 2.508 kasus, dan pada kwartal pertama tahun 2012 terjadi 2.008 kasus. Kasus kriminalitas itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA (Afrianti melalui http://metro.news.viva.co.id diakses tanggal 22 April 2013). Meningkatnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh pelajar menunjukkan adanya dekadensi moral pada kalangan pelajar. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah,

guru, dan orang tua untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan pendidikan karakter bagi peserta didik, baik pendidikan karakter yang dikembangkan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat.

Pendidikan karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Kemendiknas, 2011:1). Pala (2011:25) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai gerakan untuk menciptakan sekolah yang mendorong etika, bertanggung jawab dan peduli, dengan mengajarkan karakter yang baik melalui penekanan pada nilai-nilai universal. Dari kedua definisi tersebut pendidikan karakter dapat diartikan sebagai pendidikan moral yang dapat diterapkan di lingkungan sekolah untuk membantu perkembangan karakter peserta didik. Menurut Sulistyowati (2012:27) fungsi utama dari pendidikan karakter adalah (1) pengembangan potensi siswa, (2) perbaikan, (3) sebagai penyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Dengan demikian pendidikan karakter memiliki urgensi yang tinggi bagi perkembangan karakter pelajar yang masih tergolong pada usia remaja.

Pembentukan nilai-nilai karakter pada usia remaja sangat penting dalam upaya menangkal pengaruh negatif yang dapat merusak karakter remaja sebagai generasi bangsa. Hal ini diperkuat oleh Malik (2013) yang melakukan penelitian pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas IIB Kecamatan Sungai Raya. Malik menemukan bahwa pendidikan karakter yang diterapkan di lembaga ini berdampak pada kepatuhan remaja terhadap peraturan yang berlaku, yang ditunjukkan dengan menurunnya jumlah remaja yang melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Penelitian serupa dilakukan oleh Mustaqim (2013) menemukan bahwa penerapan pendidikan karakter di sekolah

Page 151: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan KarakterUmi Muzayanah

281

memiliki pengaruh terhadap perkembangan perilaku akademik siswa. Pengaruh yang terjadi merupakan pengaruh positif sehingga perilaku akademik siswa menjadi lebih berkarakter.

Pelajar di Indonesia sebagian besar adalah usia remaja. Remaja untuk masyarakat Indonesia adalah individu yang berusia antara 11 tahun sampai dengan 24 tahun dan belum menikah (Valentini, 2006:6). Sementara Jafar (2005:1) mendefiniskan remaja adalah mereka yang berusia 10-20 tahun, yang ditandai dengan perubahan dalam bentuk dan ukuran tubuh, fungsi tubuh, psikologi, dan aspek fungsional. Jika dilihat dari usia, remaja di Indonesia dapat diidentikkan dengan usia pelajar tingkat SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Oleh karena itu optimalisasi pendidikan karakter di sekolah mutlak diperlukan mengingat sekolah adalah lembaga pendidikan formal pencetak generasi bangsa.

Pendidikan karakter di sekolah/mad-rasah adalah upaya yang terencana untuk memfasilitasi peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai karakter secara terintegrasi melalui proses pembelajaran, kegiatan pembinaan peserta didik, dan kegiatan manajemen sekolah/madrasah (Kemendiknas, 2011:1-2). Dengan demikian, manajemen sekolah/madrasah merupakan salah satu media strategis yang dapat dimanfaatkan oleh sekolah/madrasah dalam membentuk karakter peserta didik.

Manajemen berasal dari kata kerja to manage (bahasa Inggris) yang artinya mengurus, mengatur, melaksanakan, dan mengelola (Gomes, 2003:1). Menurut Fathurrohman (2013:149-150) manajemen diartikan sebagai proses yang membeda-bedakan atas perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling), dengan memanfaatkan ilmu dan seni agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Manajemen pendidikan didefinisikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif, efisien, mandiri, dan akuntabel

(Usman, 2009:5). Dalam praktiknya, manajemen sekolah/madrasah dilaksanakan secara mandiri oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang disebut sebagai manajemen berbasis sekolah/madrasah (MBS/M). Menurut Nurkolis (2003: 1) manajemen pendidikan model MBS/M berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah/madrasah itu sendiri.

Pelaksanaan MBS/M memberikan peluang lebih luas kepada sekolah/madrasah untuk merancang sebuah proses manajemen yang berkualitas. Dalam konteks implementasi pendidikan karakter, sekolah/madrasah dapat menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada setiap fungsi manajemen. Integrasi pendidikan karakter dalam seluruh fungsi manajemen sekolah/madrasah akan melahirkan sebuah proses manajemen sekolah/madrasah yang berkarakter. Culberston (1982) sebagaimana dikutip oleh Hidayat (2012:12) menyebutkan beberapa karakteristik manajemen sekolah yang berkarakter. Karakter manajemen tersebut diantaranya adalah (1) mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada keseluruhan kegiatan manajemen sekolah/madrasah, (2) mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada keseluruhan kegiatan kinerja sekolah, (3) mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada keseluruhan kegiatan kinerja personil, (4) mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada keseluruhan kegiatan layanan pendidikan, dan (5) mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada keseluruhan kegiatan pembelajaran. Implementasi manajemen berkarakter pada setiap jenjang satuan pendidikan sangat mungkin dilakukan dengan adanya kebijakan penerapan MBS/M.

Pelaksanaan manajemen sekolah/madrasah yang mengandung nilai-nilai karakter perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip terkait dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan. Prinsip-prinsip tersebut mencakup (1) kejelasan tugas dan pertanggungjawaban, (2) pembagian kerja berdasarkan the right man on the right place, (3) kesatuan arah kebijakan,

Page 152: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 279-289

282

(4) teratur, (5) disiplin, (6) adil (seimbang), (7) inisiatif, (8) semangat kebersamaan, (9) sinergis, dan (10) ikhlas (Kemendiknas, 2010:67-71). Dengan berpijak pada prinsip manajemen berkarakter maka sekolah/madrasah dapat meng-implementasikan pendidikan karakter melalui pelaksanaan manajemen sekolah/madrasah.

Dari uraian di atas jelas bahwa manajemen sekolah merupakan media strategis pelaksanaan pendidikan karakter di tingkat satuan pendidikan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang berjudul “Manajemen Sekolah Berbasis Karakter” yang dilakukan oleh Hidayat (2012: 8-22). Dalam penelitiannya Hidayat menjelaskan bahwa implementasi manajemen sekolah berbasis karakter merupakan pendekatan yang sangat baik dalam upaya memberikan dukungan nyata terhadap keberhasilan proses pendidikan dan pembentukan karakter peserta didik. Selain itu penelitian tersebut juga menghasilkan model Manajemen Sekolah Berbasis Karakter (MSBK). Keberhasilan penerapan model MSBK ditentukan oleh empat hal, yaitu (1) efisiensi input, (2) efektivitas proses, (3) produktivitas proses dan hasil, dan (4) adanya relevansi antara hasil dan dampak dengan tujuan nasional.

Integrasi nilai-nilai karakter dalam proses manajemen dapat diterapkan di semua jenjang pendidikan formal, baik pada sekolah umum maupun madrasah. Madrasah menghadapi tantangan yang sama dengan sekolah umum lainnya dalam pembentukan karakter peserta didik. Sebagai lembaga pendidikan formal yang sarat dengan muatan keislaman, madrasah memiliki peluang lebih besar dalam mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada seluruh aktivitas pendidikan di madrasah, khususnya pada fungsi manajemen. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan karakter melalui manajemen madrasah perlu dilakukan penelitian yang relevan untuk memberikan kecukupan informasi dan referensi tentang integrasi pendidikan karakter melalui manajemen madrasah. Fokus penelitian ini adalah pelaksanaan pendidikan karakter melalui manajemen madrasah pada MTs Muhammadiyah

01 Purbalingga, dengan pertimbangan berdasarkan pra survey diperoleh hasil bahwa sebagai lembaga pendidikan formal bercirikan Islam, MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga memberikan tekanan lebih terhadap pendidikan karakter peserta didik melalui berbagai aktivitas di lingkungan madrasah.

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan, maka permasalahan penelitian yang dirumuskan adalah (1) bagaimana implementasi manajemen madrasah pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga, dan (2) bagaimana integrasi pendidikan karakter dalam manajemen madrasah pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsi-kan manajemen madrasah dan integrasi pendidikan karakter melalui manajemen madrasah pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga. Secara teoretik, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan kecukupan referensi tentang kajian pendidikan karakter pada satuan pendidikan, khususnya pada MTs. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi madrasah dalam mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik melalui manajemen madrasah. Hasil penelitian juga diharapkan bermanfaat bagi kepala madrasah sebagai referensi ilmiah tentang strategi pendidikan karakter di madrasah, yang selanjutnya dapat dijadikan rujukan dalam mengambil kebijakan terkait dengan implementasi pendidikan karakter di madrasah.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus. Sasaran penelitian ini adalah MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga, yang terletak di pusat kota Purbalingga. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara, dan observasi. Studi dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data tentang program kerja madrasah, peraturan/tata tertib bagi peserta didik, daftar poin pelanggaran terhadap tata

Page 153: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan KarakterUmi Muzayanah

283

tertib madrasah, jenis kegiatan pembiasaan diri, dan dokumen lain yang terkait dengan fokus penelitian. Wawancara dilakukan untuk menggali data tentang implementasi pendidikan karakter yang telah diterapkan melalui manajemen madrasah, dengan sasaran interviewee adalah kepala madrasah, guru, tenaga kependidikan, dan beberapa peserta didik. Observasi dilakukan untuk memperoleh data secara langsung terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter pada madrasah melalui manajemen madrasah.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membuat catatan lapangan (field note) selama proses pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari catatan hasil wawancara dan catatan observasi. Selanjutnya membaca kembali seluruh teks yang ada pada catatan lapangan dan membuat ringkasan serta menghilangkan duplikasi-duplikasi. Ringkasan yang telah dibuat kemudian dilakukan klasifikasi data (coding) yang akan menghasilkan pola-pola umum dan dikelompokkan berdasarkan fokus/kajian. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil klasifikasi yang dikaitkan dengan teori-teori yang relevan. Hasil analisis yang diperoleh selanjutnya dijadikan dasar pengambilan kesimpulan penelitian. Secara umum, analisis data dalam penelitian ini mengacu pada model Miles dan Hubberman (Rachman, 2011:174) yang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/verification).

hasil dan PeMbahasan

Implementasi Manajemen Madrasah pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga

Manajemen madrasah yang diterapkan pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga sudah mengacu pada rangkaian proses manajemen secara umum, yaitu meliputi fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling). Keempat fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan

dalam pelaksanaan proses manajamen madrasah.

Perencanaan pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga disusun dalam bentuk Rencana Kerja Madrasah (RKM) tahunan dan RKM jangka menengah (empat tahunan). Secara umum RKM yang disusun oleh madrasah baik tahunan maupun jangka menengah belum mencantumkan secara eksplisit nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan. RKM yang dibuat masih sangat umum memuat rencana-rencana perbaikan sarana prasarana, meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan kualitas angka kelulusan, menambah jumlah rombel, meningkatkan kualitas lulusan, meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan, dan sebagainya. Penyusunan RKM didasarkan pada analisis terhadap potensi, kelebihan, dan kekurangan yang dimiliki oleh madrasah.

Pengorganisasian dilakukan dengan menyusun job description bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki. Pembagian tugas sesuai dengan kualifikasi bertujuan agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara maksimal. Madrasah juga menerapkan prinsip tanggung jawab dan amanah sebagai landasan melakukan pekerjaan. Dalam menjalankan fungsi pengorganisasian, madrasah juga mengorganisir seluruh kegiatan akademik maupun non akademik sampai terjadwal dengan baik sehingga tidak ada kegiatan yang saling bertabrakan.

Pelaksanaan dalam proses manajemen madrasah diterapkan melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh madrasah, baik kebijakan yang mengikat peserta didik maupun kebijakan yang mengikat guru dan karyawan. Kebijakan yang mengikat peserta didik mencakup tata tertib tertulis yang disertai sanksi berupa poin pelanggaran dan kegiatan pembiasaan diri. Kebijakan yang mengikat guru dan tenaga kependidikan belum secara tertulis disampaikan, namun dalam pelaksanaannya sudah diterapkan dan dipatuhi oleh guru dan tenaga kependidikan. Penetapan kebijakan-kebijakan tersebut

Page 154: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 279-289

284

bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai karakter positif, baik bagi peserta didik, guru, maupun karyawan.

Pengendalian dalam konteks pendidikan karakter dilakukan dalam rangka pengembangan karakter peserta didik di lingkungan madrasah. Dalam menjalankan fungsi pengendalian, kepala madrasah dibantu oleh guru Bimbingan Konseling (BK), guru wali kelas, dan seluruh guru yang bertugas memberikan pengawasan terhadap perilaku peserta didik selama berada di lingkungan madrasah. Lingkup pengendalian dan pengawasan meliputi seluruh kegiatan di lingkungan madrasah, baik kegiatan selama pembelajaran maupun kegiatan-kegiatan di luar pembelajaran kelas.

Prinsip-prinsip dalam proses manajemen madrasah yang berkarakter secara umum sudah diterapkan, diantaranya adalah sebagai berikut.

Kejelasan Tugas dan Pertanggungjawaban

Pembagian tugas bagi tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan yang dilakukan di MTs Muhammdiyah 01 Purbalingga diuraikan dengan jelas dan dipahami oleh masing-masing pemangku tugas. Pembagian tugas disesuaikan dengan kualifikasi yang dimiliki dengan harapan agar tugas yang diemban dapat terlaksana secara optimal.

Pembagian Tugas Berdasarkan Asas The Right Man on the Right Place

Tenaga pendidik pada MTs Muhammadiyah 01 berjumlah 24 orang, yang berlatar belakang pendidikan S-1 berjumlah 23 orang (95,8%) dan yang berlatar belakang pendidikan D-2 berjumlah satu orang (4,2%). Pembagian tugas bagi tenaga pendidik yang dilakukan di madrasah ini telah sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. Kesesuaian antara tugas dengan kualifikasi yang dimiliki oleh pengemban tugas diharapkan mampu menumbuhkan komitmen yang tinggi bagi para pengemban tugas, sehingga tercapainya tujuan pendidikan di masa depan akan lebih maksimal.

Teratur

Teratur yang merupakan salah satu prinsip manajemen madrasah berkarakter ini diterapkan dengan diberlakukannya peraturan yang mengikat semua warga madrasah. Peraturan bagi guru dan tenaga kependidikan meskipun tidak dibuat secara tertulis, namun secara praktis telah dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh guru dan tenaga kependidikan. Sedangkan peraturan yang mengikat peserta didik dibuat secara tertulis untuk dipatuhi dan dijalani oleh peserta didik. Selain melalui peraturan dan tata tertib, prinsip teratur juga diterapkan melalui kegiatan pembiasaan diri, diantaranya adalah kegiatan salat dzuhur/ashar berjamaah, salat jumat, dan infak.

Disiplin

Prinsip disiplin diterapkan bagi seluruh guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik dalam mentaati peraturan yang telah dibuat, khususnya dalam hal menghargai waktu. Selain itu, disiplin juga diwujudkan dengan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan terhadap tata tertib madrasah. Sanksi yang diberikan didasarkan pada perhitungan poin pelanggaran sesuai dengan bobot yang telah ditentukan.

Adil (Seimbang)

Prinsip keadilan mengarah pada terwujudnya keseimbangan antara hak dengan kewajiban, penghargaan dengan hasil karya, punishment dengan tingkat kesalahan, baik yang dilakukan oleh guru, tenaga kependidikan, maupun para peserta didik. Implementasi prinsip adil sudah diterapkan oleh MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga dengan adanya pemberian penghargaan/reward bagi peserta didik yang meraih prestasi hasil belajar di kelas maupun prestasi yang diperoleh melalui ajang kompetisi antarsekolah/madrasah. Sedangkan punishment diberikan bagi peserta didik yang tidak patuh terhadap tata tertib yang berlaku di madrasah ini. Pemberian reward dan punishment masih terbatas pada peserta didik saja, sedangkan untuk guru dan tenaga kependidikan belum ada

Page 155: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan KarakterUmi Muzayanah

285

aturan yang dibuat terkait pemberian reward dan punishment.

Semangat Kebersamaan

Semangat kebersamaan merupakan modal sosial yang hendaknya dikembangkan di sekolah/madrasah. Prinsip semangat kebersamaan pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan diri, diantaranya adalah dengan membezuk teman/guru/orang tua yang sakit, kegiatan takziyah, dimana dana yang digunakan bersumber dari infak dan iuran sukarela. Selain itu, semangat kebersamaan juga ditandai dengan sikap saling menghormati, baik antarguru, antarteman, maupun peserta didik dengan guru. Salah satu wujud sikap saling menghormati ditunjukkan dengan saling mengucapkan salam dan cium tangan pada saat peserta didik bertemu dengan guru.

Pelaksanaan manajemen pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga menitikberatkan pada pengembangan karakter SDM yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nurkolis (2003:1) bahwa pelaksanaan MBS/M berpusat pada sumber daya yang dimiliki, salah satunya adalah SDM. Selain itu, pembentukan karakter SDM juga selaras dengan visi yang diusung madrasah yaitu “pendidikan kader umat yang bener dan pinter”. Bener yang dalam bahasa Indonesia berarti benar, menunjukkan bahwa madrasah berupaya untuk menyelenggarakan pendidikan demi terwujudnya karakter bangsa yang benar dan berakhlak mulia. Sedangkan pinter yang berarti pintar/cerdas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di madrasah bertujuan untuk mencetak generasi bangsa yang pintar dan cerdas. Dua karakter bener dan pinter jika dapat dikembangkan secara sinergi akan melahirkan generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Dengan berlandaskan pada visi tersebut, madrasah berusaha mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan karakter, salah satunya melalui penerapan prinsip-prinsip manajemen berkarakter.

Integrasi Nilai-nilai Karakter melalui Manajemen Madrasah

Pengembangan nilai-nilai karakter melalui manajemen madrasah pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga secara umum sudah terintegrasi dalam fungsi pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Fungsi pengorganisasian yang diterapkan di madrasah ini mengedepankan karakter tanggung jawab dan amanah dalam mengemban tugas sesuai dengan job description yang ada. Meski tata tertib yang mengikat guru dan karyawan tidak disosialisasikan secara tertulis, namun karena rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diamanatkan, guru dan karyawan melakukan tugas masing-masing dengan tepat waktu dan sesuai jadwal yang ada.

Pengembangan karakter melalui fungsi pengendalian dilakukan melalui adanya kontrol oleh guru BK. Pengendalian yang dilakukan guru BK terkait dengan pembentukan karakter jujur diantaranya adalah dengan menanyakan kepada peserta didik tentang kewajiban melaksanakan salat shubuh di rumah. Selain itu, bagi peserta didik putri dibuatkan sebuah kartu haid/keputrian yang bertujuan agar peserta didik memiliki sifat jujur dan tidak menjadikan haid sebagai alasan untuk tidak mengerjakan salat meski pada kenyataannya tidak sedang haid. Bagi peserta didik laki-laki dibuat daftar presensi salat jumat yang wajib ditandatangani setelah melaksanakan salat jumat. Hal ini diterapkan agar peserta didik jujur dan disiplin dalam menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim.

Upaya pengembangan nilai karakter melalui fungsi pelaksanaan manajemen tercermin dalam tata tertib yang disertai dengan sanksi pelanggaran dan kegiatan pembiasaan diri. Berikut nilai-nilai karakter yang dikembangkan melalui pelaksanaan manajemen madrasah.

Pengembangan Nilai-nilai Karakter Mela-lui Tata TertibReligius

Nilai karakter religius dikembangkan dengan adanya tata tertib yang mengatur pembacaan doa

Page 156: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 279-289

286

bersama pada saat mengawali pelajaran pertama dan mengakhiri pelajaran terakhir. Peserta didik juga diwajibkan mengucapkan salam saat bertemu dengan teman ataupun dengan guru dan juga pada saat masuk ke ruang guru. Pengembangan nilai karakter religius melalui tata tertib sudah diimplementasikan dalam kegiatan di madrasah, namun belum diimbangi dengan adanya poin pelanggaran bagi peserta didik yang tidak melaksanakan tata tertib terkait dengan pengembangan nilai religius.

Disiplin

Pengembangan nilai karakter disiplin diterapkan melalui hampir seluruh poin tata tertib yang dibuat oleh madrasah. Diantara poin tata tertib terkait dengan pengembangan nilai karakter disiplin adalah:

Peserta didik wajib hadir sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Jika peserta didik datang terlambat maka dilarang masuk kelas sebelum mendapat ijin dari guru piket. Pelanggaran terhadap tata tertib ini peserta didik dikenakan poin pelanggaran sebesar tiga poin.

Setiap peserta didik wajib mengikuti seluruh kegiatan proses belajar mengajar dan dilarang meninggalkan kelas tanpa ijin guru. Apabila peserta didik meninggalkan kelas tanpa ijin guru maka dikenakan poin pelanggaran sebesar sepuluh poin.

Peserta didik wajib berpakaian rapi dan menggunakan seragam madrasah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seragam yang digunakan harus dilengkapi atribut madrasah. Poin pelanggaran dikenakan kepada peserta didik yang melanggar dengan ketentuan jika tidak memakai seragam sepuluh poin, berpakaian tidak rapi tiga poin, dan tidak memakai atribut lima poin.

Peserta didik wajib memberikan surat keterangan jika tidak masuk sekolah. Apabila peserta didik tidak masuk sekolah tanpa surat keterangan maka akan dikenakan poin pelanggaran sebesar lima poin.

Peduli Lingkungan

Peduli lingkungan merupakan nilai karakter yang berhubungan dengan lingkungan. Pembentukan nilai karakter peduli lingkungan yang dilakukan melalui tata tertib adalah adanya peraturan setiap peserta didik wajib menjaga ketertiban dan kebersihan lingkungan kelas. Peserta didik juga dilarang untuk makan dan minum di dalam kelas.

Tanggung Jawab

Tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang seharusnya dilakukan. Pembentukan nilai karakter tanggung jawab bagi peserta didik dilakukan melalui adanya tata tertib dan poin pelanggaran sebagai berikut:

Peserta didik diwajibkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru, baik tugas untuk dikerjakan di kelas maupun tugas yang menjadi pekerjaan rumah (PR). Poin pelanggaran sebesar lima poin dikenakan kepada peserta didik yang melalaikan tugas sekolah.

Pembentukan karakter tanggung jawab juga dilakukan melalui pemberlakuan poin pelanggaran kepada peserta didik yang merusak atau menghilangkan barang-barang milik madrasah sebesar sepuluh poin.

Jujur

Nilai karakter jujur diimplementasikan melalui pemberlakuan tata tertib madrasah beserta poin pelanggarannya. Tata tertib dan poin pelanggaran yang dibuat madrasah dalam rangka membentuk karakter jujur diantaranya adalah peserta didik dilarang mencuri atau meminta dengan paksa segala sesuatu yang bukan miliknya dan bukan menjadi haknya. Poin pelanggaran bagi peserta didik yang tidak mematuhi peraturan tersebut adalah sebesar sepuluh poin untuk perbuatan meminta uang secara paksa (memalak) dan lima puluh poin bagi peserta didik yang melakukan pencurian di lingkungan madrasah maupun di luar madrasah.

Page 157: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan KarakterUmi Muzayanah

287

Sedangkan bagi peserta didik yang mengambil barang yang bukan haknya akan dikenai poin pelanggaran sebesar 25 poin.

Bersahabat

Nilai karakter bersahabat ditumbuhkan melalui adanya peraturan setiap peserta didik wajib saling menghormati dan melindungi. Peserta didik dilarang berkelahi dan menyaksikan/mendukung adanya perkelahian. Poin pelanggaran bagi peserta didik yang berkelahi adalah lima puluh poin dan bagi peserta didik yang menyaksikan atau mendukung perkelahian adalah 25 poin.

Secara umum tata tertib dan poin pelanggaran dibuat dan diberlakukan oleh madrasah dengan tujuan untuk membentuk karakter disiplin pada peserta didik. Kedisiplinan peserta didik dapat dilihat dan diketahui melalui ketaatan mereka dalam mematuhi peraturan yang berlaku dan seberapa banyak poin pelanggaran yang diperoleh. Pengawasan terhadap segala bentuk pelanggaran dilakukan oleh guru BK, wali kelas, dan dibantu dengan guru lain.

Pengembangan Nilai-nilai Karakter Mela-lui Kegiatan Pembiasaan Diri

Upaya madrasah dalam rangka meng-internalisasikan nilai karakter dalam pelaksanaan manajemen madrasah juga dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan diri. Kegiatan pembiasaan diri merupakan kegiatan yang harus diikuti oleh peserta didik di luar kegiatan pembelajaran di kelas. Nilai-nilai karakter yang dibentuk melalui kegiatan pembiasaan diri pada MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga di antaranya adalah:

Religius

Nilai karakter religius ditanamkan kepada peserta didik melalui kegiatan salat dzuhur berjamaah (bagi rombel pagi) dan salat ashar berjamaah (bagi rombel siang). Selain salat wajib, madrasah juga memberlakukan peraturan salat dhuha secara bergiliran yang dikoordinir oleh guru yang bertepatan mengajar pada saat

giliran salat dhuha. Pembentukan nilai karakter religius juga dilakukan dengan mewajibkan peserta didik untuk mengikuti kegiatan malam bimbingan iman dan takwa (mabit). Kegiatan ini diikuti oleh peserta didik kelas IX. Dalam kegiatan mabit peserta didik dibimbing oleh guru untuk melaksanakan salat tahajud dan salat hajat bersama memohon kepada Allah untuk kelancaran dan kemudahan dalam menghadapi ujian nasional.

Peduli Sosial

Pembentukan nilai karakter peduli sosial yang dilakukan oleh madrasah adalah melalui kegiatan membezuk dan memberikan santuan kepada peserta didik yang terkena musibah. Kegiatan ini dikoordinir oleh wali kelas. Dana yang digunakan untuk santunan berasal dari iuran kelas dan tambahan uang kas dari infak. Melalui kegiatan pembiasaan ini diharapkan peserta didik dapat mengembangkan sikap peduli kepada teman dan orang tua yang menderita sakit maupun tertimpa musibah. Selain itu, penanaman nilai karakter peduli sosial juga dilakukan melalui penggalangan zakat fitrah dan kurban yang dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu.

Peduli Lingkungan

Pembentukan nilai karakter peduli lingkungan dilakukan melalui pembagian piket yang diterapkan pada masing-masing kelas. Kelompok piket terdiri dari dua orang untuk setiap harinya. Kewajiban kelompok piket adalah menjaga kebersihan kelas dan membeli kantong plastik untuk mengumpulkan sampah dan menaruhnya di tempat sampah yang tersedia di luar kelas. Pembelian kantong plastik dilakukan dengan uang sakunya sendiri. Hal ini diterapkan dengan harapan peserta didik memiliki rasa peduli lingkungan yang kuat dengan senantiasa menjaga kebersihan kelas dan lingkungan kelas.

Selain melalui kegiatan pembiasaan diri, penanaman nilai karakter khususnya karakter peduli sosial dikembangkan melalui kegiatan santunan yang ditujukan kepada warga desa

Page 158: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 279-289

288

Pengalusan Kecamatan Mrebet. Desa ini merupakan desa binaan MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga. Santunan yang diberikan kepada warga desa ini berupa bingkisan yang berisi bahan makanan dan sembako. Peserta didik bekerjasama dengan guru dan wali murid menggalang dana yang bersumber dari peserta didik, guru, wali murid maupun donatur untuk disumbangkan kepada warga desa binaan yang membutuhkan. Kegiatan santunan ini sudah berjalan selama tiga tahun, dengan harapan dapat membentuk dan mengembangkan nilai karakter peduli sosial peserta didik kepada sesama yang membutuhkan.

Pendidikan karakter juga ditunjukkan dengan adanya kebiasaan yang sering terjadi dan dilakukan oleh peserta didik maupun guru, khususnya bagi peserta didik yang masuk pada rombel siang. Waktu pembelajaran yang dimulai siang dan diakhiri sore menjelang maghrib mengakibatkan peserta didik yang memakai kendaraan umum sebagai alat transportasi menuju pulang ke rumah tidak menjumpai angkutan yang kebanyakan beroperasi hanya sampai jam lima sore. Namun demikian, peserta didik tetap bersemangat dan memiliki nilai karakter kerja keras demi menempuh studi di MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga.

Nilai karakter peduli sosial juga ditunjukkan dengan adanya sikap guru yang rela mengantar peserta didik yang tercecer karena kehabisan angkutan untuk pulang menuju rumah. Selain itu, sering pula dijumpai peserta didik yang bersekolah menggunakan alas kaki dikarenakan sepatu masih basah kehujanan sepulang sekolah giliran sore. Di sisi lain, dengan adanya rombel pagi dan sore menyebabkan guru membutuhkan semangat bekerja, tenaga dan waktu yang besar karena beban kerja masing-masing melebihi beban kerja semestinya. Meskipun kendala di atas tidak mengurangi semangat para peserta didik maupun guru untuk melaksanakan kewajibannya. Hal ini dibuktikan dengan persentase kehadiran peserta didik mencapai lebih dari 95% dan persentase kehadiran guru mencapai 100%.

Pengembangan nilai-nilai karakter baik melalui tata tertib, kegiatan pembiasaan diri,

maupun santunan kepada warga desa binaan menunjukkan adanya integrasi pendidikan karakter yang sangat kuat pada fungsi pelaksanaan manajemen madrasah. Pendidikan karakter yang ditonjolkan lebih bersifat praktis meski tidak secara eksplisit direncanakan dalam RKM tahunan maupun empat tahunan. Dengan demikian integrasi pendidikan karakter pada proses manajemen madrasah sudah sangat kuat pada fungsi pelaksanaan, namun masih lemah dalam fungsi perencanaan.

Secara umum internalisasi nilai karakter pada proses manajemen madrasah sudah diterapkan meski belum optimal. Pelaksanaan pendidikan karakter masih berjalan secara mengalir tanpa adanya petunjuk pelaksanaan yang dapat dijadikan acuan pelaksanaan pendidikan karakter. Namun demikian, komitmen yang dimiliki oleh guru, karyawan, dan peserta didik cukup bagus dalam mematuhi dan menjalankan tata tertib yang berlaku. Aktivitas di lingkungan madrasah, baik dalam proses pembelajaran maupun di luar pembelajaran dilakukan dengan mengedepankan pengembangan nilai karakter dan akhlak mulia. Selain itu, peran kepala madrasah sebagai top manager dapat berfungsi dengan baik, dengan senantiasa melakukan pengendalian dan pembinaan guru, karyawan, dan peserta didik. Selain melalui tata tertib, kepala madrasah menjadikan keteladanan sebagai sarana strategis dalam pembentukan karakter bagi peserta didik.

PenutuP

Pelaksanaan manajemen sebagai upaya pembentukan karakter yang dilakukan madrasah ini berpijak pada enam prinsip manajemen berkarakter, yaitu (1) kejelasan tujuan dan pertanggungjawaban; (2) pembagian tugas berdasarkan asas the right man on the right place; (3) teratur; (4) disiplin; (5) adil; dan (6) semangat kebersamaan. Penerapan keenam prinsip manajemen berkarakter merupakan landasan yang kuat bagi madrasah untuk mengimplementasikan pendidikan karakter melalui proses manajemen madrasah.

Page 159: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan KarakterUmi Muzayanah

289

Integrasi pendidikan karakter melalui manajemen madrasah sudah ditunjukkan pada tiga fungsi manajemen, yaitu pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Sedangkan pada fungsi perencanaan belum secara eksplisit tercantum nilai-nilai karakter yang akan dicapai. Internalisasi nilai karakter pada fungsi pelaksanaan manajemen sangat kuat meski belum didukung dengan panduan pelaksanaan pendidikan karakter dalam manajemen madrasah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tata tertib, pemberlakuan poin pelanggaran, dan kegiatan pembiasaan diri yang sarat dengan nilai-nilai karakter. Diantara nilai-nilai karakter tersebut adalah religius, disiplin, jujur, peduli sosial dan lingkungan, tanggung jawab, dan bersahabat.

Secara umum internalisasi nilai karakter pada proses manajemen madrasah sudah diterapkan meski belum optimal. Oleh karena itu, kepala madrasah sebagai top manager perlu membuat perencanaan manajemen berkarakter agar pelaksanaan pendidikan karakter dapat lebih terarah. Kepala madrasah beserta para pelaku manajemen madrasah dapat menggunakan pedoman pelaksanaan pendidikan karakter yang sudah ada dengan melakukan inovasi dan kreasi sesuai dengan potensi dan kebutuhan madrasah.

daftar Pustaka

Afrianti, Desy dan Siti Ruqoyah. 2012. 2.008 Kasus Kriminal Dilakukan Anak-anak. Diperoleh melalui http://metro.news.viva.co.id/news/read/312779-2-008-kasus-kriminal-dilakukan-anak-anak diakses tanggl 22 April 2013.

Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM.

Fathurrohman, P., AA Suryana, dan Fenny Fatriany. 2013. Pengembangan Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama.

Gomes, F. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.

Hidayat, Asep S. 2012. Manajemen Sekolah Berbasis Karakter. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan. Volume 1 No. 1. Hal. 8-22.

Jafar, Nurhaedar. 2005. Pertumbuhan Remaja. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Pertama”. Jakarta.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta.

Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books.

Malik, Wanto R, dan Rustiarso S. 2013. Fungsi Pendidikan Karakter Mengatasi Kenakalan Remaja Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas IIB Kecamatan Sungai Raya. Pontianak: Universitas Tanjungpura Pontianak.

Mustaqim, Wahyu. 2013. Pengaruh Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Terhadap Perilaku Akademik Siswa Kelas XI Teknik Komputer Jaringan Di SMK Piri 1 Yogyakarta. Skrispsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Pala, A.. 2011. “The Need For Character Education”. International Journal of Social Sciences and Humanity Studies. Volume 3 No.2. Hal. 23-32.

Rachman, M. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Moral. Semarang: Unnes Press.

Sulistyowati, E. 2012. Implementasi Kurikulum Pendidikan Karakter. Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama.

Usman, H. 2009. Manajemen. Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Valentini, V dan M. Nisfiannur. 2006. “Identity Achievement dengan Intimacy pada Remaja SMA”. Jurnal Provitae. Volume 2 No. 1. Hal. 1-12.

Page 160: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 279-289

290

Page 161: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA Eks RSBI di PekalonganA.M. Wibowo

291

INTERNALISASI NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI MATA PELAJARAN PAI PADA SMA EKS RSBI

DI PEKALONGAN

The Internalization of National Character Values Through Islamic Religious Education at ex International High School in Pekalongan

A.M. WIBOWO

AbstrActThis study aims to explore the process of internalizing the values of national character through PAI subjects which include context, input, process, and the product internalization of the values of nation character, through the lesson of PAI learners. By using a qualitative approach and CIPP (Context, Input, Process, Product) methods the study found four findings. (1) In the context, the strategy of planting the values of national character, through religious subjects at high school students conducted by school policy, school system, quality of facilities and infrastructure, as well as the culture at any educational institution. (2) in the input, the internalization of the values of the nation’s character do subjects PAI through a qualification and competencies of teachers, the input facilities and infrastructure, and qualified students. (3) the process of internalizing the values of character, through subjects PAI done through a curriculum syllabus and lesson plan, and extracurricular activities intracurricular. (4) products resulting from the internalization of the values of character, through Islamic religious education are that learners have a competence in the field of academic and nationality character at the same time.Keywords: internalization, national character education, islamic education, CIPP

AbstrAkPendidikan karakter tidak dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran karena ia harus diinternalisasikan dalam bidang studi lain, misalnya Pendidikan agama Islam (PAI). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan proses internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI yang meliputi konteks, input, proses, serta produk akhir internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI pada peserta didiknya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif serta analisis CIPP (Context, Input, Process, Product) penelitian ini menemukan 4 temuan. (1) Secara konteks, strategi penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran agama pada peserta didik SMA dilakukan melalui kebijakan sekolah, iklim, sistem sekolah, kualitas sarana dan prasarana, serta budaya pada setiap satuan pendidikan. (2) secara Input, internalisasi nilai-nilai karakter bangsa telah dilakukan melalui mata pelajaran PAI melalui kualifikasi dan kompetesi guru, input sarana dan prasarana, dan kualifikasi peserta didik. (3) proses internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI dilakukan melalui kurikulum PAI berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, kegiatan interakurikuler dan ekstrakurikuler. (4)produk yang dihasilkan dari internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui Pendidikan Agama Islam adalah peserta didik yang memiliki kompetensi pada bidang akademik dan berkarakter kebangsaan sekaligusKata kunci: internalisasi, pendidikan karakter, pendidikan agama islam, CIPP

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama

SemarangJln. Untung Suropati Kav. 69-70 Bambankerep, Ngaliyan,

SemarangTelp. (024) 7601327 Faks. (024) 7611386

e-mail: [email protected]

Naskah diterima: 20 Juni 2014Naskah direvisi: 2–9 Oktober

2014Naskah disetujui: 12 Nopember

2014

Page 162: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 291-303

292

Pendahuluan

Salah satu dampak negatif globalisasi bagi bangsa Indonesia adalah imitasi terhadap bentuk-bentuk kenakalan remaja dari luar budaya Indonesia oleh remaja-remaja Indonesia. Fenomena kenakalan remaja seperti tawuran antarpelajar, geng motor, penjarahan toko, pergaulan bebas, menjadi pekerja seksual merupakan salah satu pengaruh negatif globalisasi. Satu kasus terbaru yang membuat leher kita bergidig adalah berita tentang siswi SMA yang menjadi mucikari dan memperdagangkan teman-temannya sendiri. (Kompas, 2014). Kejahatan-kejahatan yang dilakukan remaja usia SMA tersebut diduga merupakan bentuk dari imitasi budaya asing yang masuk dalam budaya Indonesia melalui media massa.

Data Badan Pusat Statistik tahun 2010 mengungkapkan selama lima tahun terakhir kasus juvenile delinquency (kenakalan remaja) terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 sendiri tercatat sekitar 3.100 remaja usia kurang dari 18 tahun menjadi pelaku tindak pidana. Pada tahun 2008 kasus remaja yang terlibat tindak pidana naik menjadi 3.300 kasus, dan tahun 2009 sebanyak 4.200 kasus ( BPS, 2011). Namun seperti fenomena gunung es, diduga angka kenakalan dan permasalahan sosial lain yang melibatkan remaja usia sekolah bisa berkali lipat dari yang sebenarnya.

Banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah perilaku juvenile delinquency pada remaja ini agar tidak terus mengalami peningkatan, mulai dari penyuluhan hingga pelayan konseling bagi remaja dan keluarga (BKKBN Buka Layanan Konsultasi Kenakalan Remaja, 2012). Namun, hingga saat ini hal tersebut sepertinya masih belum mampu mengatasi kasus-kasus kenakalan remaja di Indonesia

Menjadi sebuah pertanyaan besar di benak kita apakah karakter bangsa Indonesia mengalami pergeseran nilai, atau sudah semakin tergeruskah budaya bangsa Indonesia yang selama ini terkenal dengan budaya adiluhungnya. Lebih ekstrim lagi,

gagalkah pendidikan di Indonesia ini membentuk peserta didik yang cerdas sekaligus berkarakter kebangsaan.

Pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Pendidikan nasional bukan saja belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak, melainkan gagal dalam membentuk kepribadian dan karakter anak didik (Azra, 2002:xii). Salah satu stratregi untuk penyadaran, pemberdayaan, dan pembudayaan kepribadian bangsa adalah melalui memodifikasi kurikulum pendidikan pada lembaga pendidikan formal. Modifikasi tersebut adalah menyusun kurikulum pendidikan karakter dan memberlakukannya pada setiap jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar dan pendidikan menengah baik melalui mata pelajaran tersendiri maupun disisipkan pada kompetensi standar kompetensi, kompetensi inti, indikator pelajaran serta tujuan pembelajaran pada berbagai mata pelajaran.

Salah satu mata pelajaran yang dianggap memberikan kontribusi terhadap penanaman nilai-nilai karakter melalui standar kompetensi, kompetensi inti, indikator pelajaran serta tujuan pembelajaran adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Muntasir (1973) dalam buku Mencari Evidensi Islam berpendapat bahwa pendidikan agama adalah usaha yang dilakukan berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama serta menjadikannya sebagai way of life. Oleh karena itu pendidikan agama islam sangat erat kaitannya dengan pembentukan karakter pada peserta didik.

Fokus penelitian ini adalah internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI dengan obyek penelitian pada sekolah menengah atas unggulan Eks Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Karakter yang menjadi fokus kajian adalah karakter religius, jujur, disiplin, toleransi, demokratis, cinta damai, cinta tanah air, gemar membaca dan semangat kebangsaan.

Page 163: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA Eks RSBI di PekalonganA.M. Wibowo

293

Fokus permasalahan tersebut dijabarkan dalam empat pertanyaan penelitian yaitu (1) secara konteks, bagaimanakah penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata Pelajaran Agama Islam pada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, (2) bagaimanakah input penanaman nilai-nilai karakter bangsa dalam mata pelajaran agama islam telah diwujudkan dalam sikap dan perilaku peserta didik SMA, (3) Sejauh mana peran guru PAI dalam proses mengembangkan internalisasi nilai-nilai karakter bangsa dalam mata pelajaran agama pada peserta didik SMA, (4) Bagaimanakah karakter peserta didik sebagai dampak internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melaui mata pelajaran PAI?

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 bertujuan untuk mengetahui internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada peserta didik SMA dalam kehidupan di sekolah melalui Pendidikan Agama Islam yang meliputi; (1) Mendeskripsikan konteks penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran agama pada peserta didik SMA dalam kegiatan pembelajaran, (2) dengan Mendeskripsikan input penanaman nilai-nilai karakter bangsa dalam mata pelajaran agama telah diwujudkan dalam sikap dan perilaku peserta didik SMA, (3) Mendeskripsikan peran guru dalam proses mengembangkan internalisasi nilai-nilai karakter bangsa dalam mata pelajaran agama pada peserta didik SMA, (4) Mendeskripsikan karakter yang muncul pada peserta didik sebagai produk akhir internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap pengem-bangan dan penerapan teori tentang internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada peserta didik SMA dalam menjalani kehidupan sebagai warga sekolah maupun masyarakat. Dan secara praktis penelitian ini diharapkan memiliki nilai atau manfaat praktis sebagai masukan bagi lembaga maupun penyelenggara pendidikan SMA untuk menentukan kebijakan yang jelas agar tepat dalam memilih, mengembangkan, dan membina upaya internaslisasi nilai-nilai karakter bangsa

bagi peserta didik melalui Pendidikan Agama Islam.

Makna karakter secara terminologis sebagaimana dikemukakan oleh Lickona (2013) adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way” atau sebuah kekuatan batin dalam menanggapi sesuatu secara bermoral. Dengan dengan kata lain dapat dikatakan bahwa menanggapi sesuatu secara bermoral inilah yang disebut karakter.

Agama bagi kebanyakan orang merupakan acuan utama yang membawa mereka untuk membentuk kehidupan yang bermoral. Meskipun agama memiliki banyak perbedaan mengenai apa yang harus dilakukan umatnya dalam beribadah, mereka semua memiliki kesamaan prinsip bahwa setiap tindakan yang mereka lakukan dalam hidup ini termasuk pilihan akan perilaku moral yang akan memberikan dampak sebanding di masa yang akan datang (Lickona, 2013: 64).

Karakter pada dasarnya menunjuk pada tiga hal yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991:51). Lickona menambahkan bahwa karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviours) dan keterampilan (skills).

Pendidikan karakter dalam pendidikan agama dianggap lebih efektif dalam menanamkan karakter peserta didik di sekolah agar lebih bermoral dan religius. Titik tekan pendidikan agama yang berkarakter adalah kepribadian peserta didik yang disesuaikan dengan akar budaya bangsa Indonesia dan dilakukan melalui belajar mengajar juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan.

Pendidikan agama berkisar pada dua dimensi kehidupan manusia, yakni penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan

Page 164: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 291-303

294

rasa kemanusiaan kepada sesama. Rasa takwa kepada Allah SWT dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama. Jiwa takwa akan berkembang dengan menghayati keagungan dan kebesaran Tuhan melalui rasa perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan lingkungan sekitarnya (Madjid: 2000:96).

Nilai-nilai karakter sebagaimana dikatakan Thoha (2004) dapat diinternalisasikan ke dalam mata pelajaran pendidikan agama dengan cara diarahkan pada beberapa fungsi seperti conventional, neo conventional, hidden conventional, dan implicit. Pada fungsi konfensioal karakter dalam pendidikan Agama diarahkan untuk meningkatkan komitmen dan perilaku keberagamaan peserta didik atau dengan kata lain nilai karakter dimaksudkan untuk mengagamakan orang yang beragama sesuai dengan keyakinannya. Pada fungsi neo confentional nilai-nilai karakter dalam pendidikan agama diarahkan untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik sesuai dengan keyakinannya. Pada hidden confentional nilai-nilai karakter dalam pendidikan agama menawarkan sejumlah pilihan ajaran agama dengan harapan peserta didik nantinya akan memilih salah satunya yang dianggap paling benar atau sesuai dengan dirinya tanpa adanya arahan di antara salah satu di antaranya. Serta pada fungsi implisit nilai-nilai karakter diarahkan untuk mengenalkan kepada peserta didik ajaran agama secara terpadu dengan seluruh aspek kehidupan melalui berbagai subjek pelajaran (Thoha, 2004).

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat evaluatif dan dirancang menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, dan Product) (Stufflebeam 1971 :267-274). Model CIPP dirancang secara sistematis oleh para pemangku kebijakan terkait dengan fenomena internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI. Analisis evaluasi ini memeriksa persesuaian antara tujuan yang diinginkan dan kenyataan yang dicapai.

Analisis konteks digunakan untuk mengetahui informasi tentang strategi penanaman nilai budaya dan karakter bangsa, berkenaan dengan persepsi kepala sekolah, persepsi waka bidang sarana prasarana, dan persepsi guru terhadap keberadaan sarana prasarana sekolah, mengetahui informasi tentang kebijakan kepala sekolah dan budaya sekolah. Analisis input menekankan pada objek yang melaksanakan internalisasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa di sekolah seperti kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan sarana prasarana sekolah. Analisis proses menekankan pada bagaimana strategi pelaksanaan proses kegiatan pembelajaran dalam internalisasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa baik melalui kegiatan pembelajaran intrakurikuler, ko-kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler serta kegiatan lainnya. Analisis produk menekankan pada implikasi hasil yang dicapai peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam kehidupan di sekolah.

Untuk mendapatkan gambaran utuh pada aspek konteks, input, proses dan produk pada subyek penelitian ini maka digunakan instrument kuesioner yang terdiri dari 9 indikator pendidikan karakter. Hasil kuesioner tersebut merupakan persepsi guru, kepala sekolah, dan peserta didik terkait pendidikan karakter melalui pendidikan agama di sekolah.

Sebagai standar penilaian, kualitas konteks, input, dan proses penanaman nilai-nilai karakter terhadap pendukung mata pelajaran PAI ditentukan sebagaimana berikut.

Tabel 12.1 Standar Penilaian Kualitas Implementasi Pendidikan Karakter dalam Mapel PAI

Nilai rerata Kualitas0 -0,99 Sangat tidak mendukung1-1,99 Kurang mendukung2 - 2,99 Mendukung3 – 4 Sangat mendukung

Untuk mengukur kualitas produk dari implementasi terhadap internalisasi nilai-nilai

Page 165: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA Eks RSBI di PekalonganA.M. Wibowo

295

karakter pada mapel PAI dibagikan kuesioner kepada peserta didik. Kuesinoer tersebut terdiri dari 20 pertanyaan sikap peserta didik terkait dengan contoh-contoh kasus yang diberikan dan bagaimana peserta didik menyikapinya. Item-item pertanyaan terkait dengan 9 karakter fokus penelitian yaitu; religius, jujur, disiplin, cinta damai, toleransi, demokratis, cinta damai, peduli lingkungan, dan peduli sosial. Sebanyak 80 peserta didik dimintai pernyataan sikapnya tentang pernyataan yang ada.

Sebagai standar untuk menentukan kualitas peserta didik ditetapkan skor sebagai berikut.

Tabel 12.2 Standar Penilaian Kualitas Produk Peser-ta Didik

Skor nilai KualitasX <200 tidak baik200 > X<400 Kurang baik401>X< 600 Baik601> X < 800 Sangat baik

Sasaran penelitian ini adalah peserta didik pada Sekolah Menengah Atas eks rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Lokus penelitian ini adalah SMA I Kota Pekalongan dan SMA I Kajen.

Sumber data penelitian ini adalah persepsi guru dan peserta didik, observasi dan dokumen. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, kuesioner serta telaah dokumen. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data interaksi yang meliputi data collection, data reduction, data display dan conclusion (Soegiyono, 2007:337).

hasil dan PeMbahasan

Gambaran Umum Subyek Penelitian

SMA Negeri I Kota Pekalongan beralamat di Jl. Kartini No 39 Pekalongan. visi sekolah ini adalah terwujudnya wahana belajar yang kondusif untuk mendidik siswa agar berkembang menjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berperilaku santun, unggul dalam berprestasi dan kompetitif dalam dunia global.

Untuk mencapai visi tersebut SMA I Pekalongan menetapkan 5 misi sekolah yaitu (1) mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual, (2) membentuk watak dan kepribadian siswa yang bermartabat dan berjiwa kebangsaan, (3) menanamkan disiplin yang tinggi, mengembangkan pendidikan IPTEK, seni dan budaya serta olah raga, (4) meningkatkan profesionalisme pendidikan dan tenaga kependidikan untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, (5) melaksanakan pembelajaran, bimbingan dan pelatihan secara efektif, efisien dan berkesinambungan serta berkualitas agar siswa menjadi lulusan yang memiliki daya saing tinggi di era globalisasi, serta memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dan penuh integritas dalam masyarakat global.

Komponen pendidikan di SMA I Pekalongan terdiri dari 50 orang guru, dan 11 tenaga ketata usahaan. Guru agama di SMA satu orang berstatus PNS dan dua orang wiyata bakti dengan kualifikasi S-1, dua orang lulusan Tarbiyah jurusan pendidikan agama islam dan 1 orang lulusan Fakultas Syariah jurusan Peradilan Islam.

Peserta didik SMA I Kota Pekalongan pada tahun ajaran 2013/2014 berjumlah 829 orang yang terdiri dari 302 laki-laki dan 527 perempuan. Jumlah seluruh rombongan belajar di SMA ini adalah 27 rombongan belajar.

Sarana pendukung belajar di sekolah ini cukup lengkap kecuali untuk laboratorium pendidikan agama. Laboratorium agama menurut guru PAI sangat dibutuhkan untuk kebutuhan mempraktikan teori-teori ilmu agama Islam yang berhubungan dengan kehidupan sosial seperti memandikan, mengkafani, dan menguburkan jenazah, mawaris, zakat, rukyat dan sebagainya.

Subyek penelitian yang ke dua adalah SMA I Kajen yang terletak di Jl Mandurejo, Kajen, Kabupaten Pekalongan. visi SMA I kajen adalah Unggul dalam Prestasi, Luhur dalam Budi Pekerti, dan mewujudkan sekolah bertaraf internasional.

Page 166: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 291-303

296

Misi SMA I Kajen adalah menghasilkan tamatan yang unggul dalam bidang akademik yang beriman dan bertaqwa serta berbudi pekerti luhur, meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar secara efektif dan efisien, menanamkan sikap disiplin sekolah yang tinggi, menciptakan warga sekolah yang memiliki komitmen tinggi terhadap visi sekolah, memfasilitasi siswa dalam berkomunikasi dengan berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya secara efisien, memfasilitasi siswa untuk memiliki daya saing, melanjutkan pendidikan bertaraf internasional, mengikuti sertifikasi internasional, meraih medali tingkat internasional, dapat bekerja pada lembaga internasional, mengembangkan semangat kerjasama dan keteladanan guna meningkatkan layanan profesional menuju sekolah internasional.

Komponen pendidikan SMA I kajen terdiri dari 58 guru dan 21 karyawan. Guru agama Islam di SMA ini ada 3 orang dengan kualifikasi S-1 dan memiliki kompetensi untuk mengajar PAI karena merupakan lulusan Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam. Jumlah peserta didik di SMA I Kajen adalah 866 orang terdiri dari 265 laki-laki dan 601 perempuan terbagi kedalam 29 rombongan belajar kelas X, XI, XII.

Sama halnya dengan SMA I Kota Pekalongan, sarana pendukung belajar di sekolah ini cukup lengkap kecuali untuk laboratorium agama. Kebutuhan akan laboratorium PAI sangat dibutuhkan untuk mempraktikan teori-teori agama yang berhubungan dengan kehidupan sosial seperti memandikan, mengkafani, dan menguburkan jenazah, mawaris, zakat, rukyat dan sebagainya.

Aspek KonteksPenguatan Nilai-nilai Karakter pada Dua SMA

Dalam usaha menanamkan nilai-nilai karakter kebangsaan kepada peserta didik, SMA 1 Kota Pekalongan dan SMA I Kajen melakukan beberapa langkah–langkah strategis berupa pembiasaan kepada warga sekolah. Pembiasaan tersebut meliputi pemutaran lagu-lagu nasional sebelum jam pelajaran pertama, pembiasaan

melakukan senyum, sapa, salam, salaman pada seluruh warga sekolah, dan melalui slogan-slogan yang terpasang di sekolah.

Slogan-slogan bertuliskan nilai-nilai karakter dipasang di tempat-tempat strategis seperti ruang kelas, gerbang masuk, ruang tunggu, dan tempat tempat yang sering dilalui oleh siswa dan warga sekolah. sedangkan pemasangan gambar lambang-lambang kebangsaan seperti presiden, wakil presiden, lambang Negara Indonesia dan Bendera Merah Putih di setiap kelas.

Tata tertib yang mengikat warga sekolah turut menyumbang pembentukan karakter bagi setiap warga sekolah. Bagi guru dan karyawan peraturan tersebut terkait dengan cara berpakaian, tata tertib datang dan pulang sekolah, dan lain sebagainya. Sedangkan tata tertib bagi siswa terkait dengan hak dan kewajiban siswa. Hak siswa meliputi hak menuntut ilmu di sekolah dengan sebaik-baiknya dan kewajiban yang harus di taati siswa adalah aktifitas belajar seperti kehadiran siswa, kesehatan (termasuk NAPZA), serta toleransi antarsiswa seagama dan antara agama.

Strategi Penanaman Nilai-nilai Karakter di Sekolah

Internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran PAI di SMA tidak akan berhasil tanpa adanya iklim dan sistem yang mendukung oleh masing-masing sekolah. Dengan iklim dan sistem yang mendukung ini penyemaian nilai-nilai karakter diharapkan mampu membentuk karakter peserta didiknya.

Karakteristik proses belajar mengajar di SMA Eks RSBI sengaja di kembangkan agar menjadi teladan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa entrepeneur, jiwa patriot dan jiwa inovator. Secara sarana dan prasarana sekolah yang menyandang predikat RSBI tentunya juga memiliki fasilitas yang memadahi seperti laboratorium IPA, Komputer, perpustakaan yang lengkap, internet, ruang kelas yang sesuai dengan rombongan kelas.

Page 167: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA Eks RSBI di PekalonganA.M. Wibowo

297

Secara kultur kedua SMA RSBI berusaha menciptakan kultur sekolah yang sama yaitu bersih, bebas asap rokok, bebas kekerasan, NAPZA, serta rindang. Hal tersebut diperkuat dengan adanya tata tertib yang mengikat seluruh warga sekolah. Kondisi ini tentu saja turut mendukung proses internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran PAI. Kultur budaya sekolah pada dua sekolah tercermin dalam kehidupan keseharian di sekolah masing-masing obyek penelitian. Budaya yang dimaksud salah satunya adalah “Senyum, sapa, salam dan salaman.”

Proses pembentukan budaya senyum, sapa, dan salaman pada salah satu SMA subyek penelitian telah ditanamkan lebih dari 10 tahun. Dari beberapa kali observasi yang dilakukan dalam penelitian ini terlihat baik para alumni, maupun siswa aktif selalu memberikan salam takdzim (bersalaman dan mencium tangan) kepada guru yang ditemuinya maupun siswa lainnya.

Budaya-budaya tersebut tetap berakar pada para alumni dikarenakan para alumni masih menganggap bahwa para pendidik (guru) sebagai model yang baik atau suritauladan. Kewibawaan, tidak tanduk, serta tutur kata para pendidik merupakan contoh bagi peserta didik.1

Penanaman karakter pada peserta didik juga dilakukan dengan cara membuat tata tertib yang mengikat warga sekolah. Kepala sekolah telah memberikan kebijakan terkait dengan tata peraturan sekolah yang mengikat peserta didik dan pegawai. Dengan peraturan sekolah itu diharapkan mampu menumbuhkan karakter setiap orang-orang yang ada di sekitarnya.

Titik tekan pendidikan karakter diarahkan pada visi misi sekolah yaitu beriman, berilmu, berakhlak mulia, berperilaku santun, berprestasi dan kompetitif. Tujuan utamanya adalah mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual siswa, berusaha

membentuk watak dan kepribadian siswa yang bermartabat dan berjiwa kebangsaan.

Penilaian untuk aspek konteks pada dua sekolah meliputi sarana dan prasarana, budaya religius, budaya kejujuran, budaya toleransi, disiplin, demokratis, cinta damai, cinta tanah air, gemar membaca, dan semangat kebangsaan. Untuk menentukan kualitas implementasi pendidikan karakter digunakan patokan sebagaimana pada tabel 12.1 tentang standar penilaian kualitas pendidikan karakter melalui Mapel PAI. standar penilaian kualitas implementasi pendidikan karakter dalam mapel PAI. Hasilnya sebagaimana disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 12.3 Penilaian Aspek Konteks Internalisasi Penanaman Karakter Bangsa pada Mapel PAI pada Dua SMA

Konteks Rerata Skor PenilaianSMA 1

Pekalongan SMA 1 Kajen

Sarana dan Parasa-rana

3,57 3,28

Budaya Religius 3 2,66Budaya Kejujuran 2,5 2,5Budaya Toleransi 4 4Budaya Disiplin 3,33 3,33Budaya Demokratis 3 3Budaya Semangat Kebang saan

3 3

Budaya Cinta Tanah Air

3,12 2,87

Cinta Damai 3,66 3,66Rata-rata 3,24 3,14

Dari tabel rerata skor di atas terlihat bahwa penilaian pada aspek sarana dan prasaran pada SMA 1 Pekalongan memperoleh rata rata 3,75 dan SMA 1 Kajen 3,28. Artinya secara sarana dan prasarana kedua SMA ini sangat mendukung internalisasi penanaman nilai-nilai karakter pada Mapel PAI. Nilai rendah diperoleh dari tidak adanya sarana dan sarana laboratorium PAI pada dua sekolah.

1 Berdasarkan hasil wawancara pada beberapa alumni yang kebetulan berkunjung ke sekolah eks RSBI.

Page 168: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 291-303

298

Pada konteks budaya religius SMA 1 Pekalongan memperoleh nilai rerata 3 dan SMA 1 Kajen mendapat akumulasi nilai 2,66. Artinya, secara konteks budaya religius SMA 1 Pekalongan sangat mendukung dan SMA 1 Kajen termasuk mendukung internalisasi penanaman nilai-nilai karakter pada mapel PAI.

Pada konteks budaya kejujuran nilai rerata yang diperoleh SMA 1 Pekalongan dan SMA 1 Kajen adalah 2,5. Ini artinya adalah budaya kejujuran pada kedua SMA termasuk mendukung dalam internalisasi penenaman nilai-nilai karakter pada mapel PAI.

Pada konteks budaya toleransi dua SMA memperoleh nilai rerata 4. Ini artinya pada konteks toleransi ke dua SMA subyek penelitian sangat mendukung untuk menginternailisasikan nilai-nilai karakter bangsa untuk pembelajaran mapel PAI.

Pada konteks budaya disiplin kedua SMA (Pekalongan dan Kajen) memperoleh nilai rerata yang sama yaitu 3,33. Artinya konteks disiplin ke dua SMA sangat mendukung untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter bangsa untuk pembelajaran mapel PAI.

Pada konteks budaya demokratis dan semangat kebangsaan kedua SMA memperoleh nilai rerata 3. Artinya konteks budaya demokratis dan semangat kebangsaan ke dua SMA sangat mendukung untuk menginternailsasikan nilai-nilai karakter bangsa untuk pembelajaran mapel PAI.

Pada konteks budaya cinta tanah air SMA 1 Pekalongan memperoleh nilai rerata 3,26 dan SMA 1 Kajen 2,87. Ini artinya budaya cinta tanah air pada SMA 1 Pekalongan sangat mendukung dan SMA 1 Kajen mendukung untuk melakukan internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada pembelajaran mapel PAI.

Pada konteks budaya cinta damai di sekolah SMA 1 Pekalongan dan Kajen memperoleh nilai rerata 3,66 Ini artinya budaya cinta tanah air pada

SMA 1 Pekalongan dan Kajen sangat mendukung untuk melakukan internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada pembelajaran mapel PAI.

Secara rata-rata total aspek seluruh budaya pada dua SMA diperoleh 3,24 untuk SMA 1 Pekalongan, dan 3,14 untuk SMA 1 Kajen. jika dihubungkan dengan standar penilaian kualitas implementasi penanaman nilai-nilai karakter pada mapel PAI sebagaimana yang telah ditetapkan pada tabel 12.1 di atas maka kedua SMA termasuk sangat mendukung penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran PAI.

Aspek InputPenanaman Nilai-nilai Karakter di Sekolah

Aspek input penanaman nilai-nilai karakter bangsa pada mapel PAI meliputi kualitas input guru, dan input peserta didik. Input guru meliputi kualifikasi akademik dan kompetensi inti guru yang meliputi pedagogik, professional, kepribadian dan sosial.

Hasilnya adalah secara kualifikasi akademik guru-guru Pendidikan Agama Islam pada dua SMA telah memiliki kualifikasi sebagai guru PAI yaitu sarjana S-1 pada Fakultas Tarbiyah jurusan PAI. Secara kompetensi inti, berikut ini akan disajikan tabel hasil perhitungan input guru terkait kompetensi inti paedagogik, professional, kepribadian, dan sosial. Adapun yang menjadi subyek untuk input ini adalah 4 orang guru PAI pada dua obyek penelitian.

Tabel 12.4 Rerata Skor pada Aspek Input Guru dalam Penanaman Nilai-nilai Karakter

Kompetsi inti guru

Rerata skor

Guru A Guru B Guru C Guru DPedagogik 4 3,8 3,9 3Professional 3,75 3,75 4 2,5Kepribadian 4 4 4 3,25Sosial 3,75 3,25 4 3Rerata total 3,875 3,7 3,95 2,93

Page 169: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA Eks RSBI di PekalonganA.M. Wibowo

299

Dari tabel di atas terlihat bahwa Secara kompetensi inti guru rerata dari empat guru PAI yang dijadikan subyek penelitian memperoleh nilai rata rata 3,87 untuk guru PAI A, 3,7 untuk guru PAI B, 3,95 untuk guru PAI C, dan 2,93 untuk guru PAI D. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa input guru PAI termasuk dalam kategori sangat mendukung dan mendukung untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter bangsa pada mapel PAI.

Dilihat dari input peserta didiknya, peserta didik yang bersekolah di SMA eks RSBI adalah anak-anak pilihan yang diseleksi secara ketat. Hal ini dikarenakan untuk bisa masuk ke sekolah ini dilakukan seleksi akademis dan lainnya. Oleh karena itu secara input, peserta didik pada SMA eks RSBI merupakan siswa-siswa yang memiliki kualitas akademik yang bagus.

Aspek ProsesProses Penanaman Nilai-nilai Karakter pada Mapel PAI

Proses internalisasi nilai-nilai karakter bangsa dapat dilihat melalui kurikulum, intrakurikuler dan ekstra kurikuler. Dilihat dari kurikulum guru PAI pada dua SMA telah memasukan nilai-nilai karakter yang akan disemaikan pada peserta didik melalui kompetensi dasar pada masing-masing standar kompetensi pembelajaran PAI baik pada silabus maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)nya.

Dilihat dari nilai-nilai karakter yang ditanamkan pada mapel PAI secara umum seluruh materi PAI mengarah pada nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, santun, disiplin, tanggung jawab, cinta ilmu, gemar membaca, percaya diri, toleransi, patuh pada aturan, sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, dan adil, komunikatif, kreatif. Namun

demikian penanaman nilai karakter semangat kebangsaan, demokratis, dan cinta damai belum dituangkan dalam dokumen kurikulum PAI pada SMA obyek penelitian.

Tabel 12.5 Nilai-nilai Karakter yang Menjadi Fokus Penelitian melalui Silabus dan RPP

Nilai-nilai karakter pada mapel PAI

SMA 1 Pekalo-ngan

SMA 1 Kajen

Religius 4 4Jujur 4 4Disiplin 4 4Toleransi 4 4Demokratis 1 1Cinta damai 3 3Cinta tanah air 1 1Gemar membaca 3 3Semangat kebangsaan 1 1Rerata 2.77 2.77

Rerata Nilai-nilai karakter yang menjadi fokus penelitian melalui Silabus dan RPP pada dua SMA subyek penelitian adalah 2,77. Jika di ukur dengan standar penilaian implementasi pendidikan karakter pada mapel PAI maka perangkat pembelajaran berupa silabus dan RPP termasuk sangat mendukung pendidikan karakter bagi peserta didiknya.

Jika dilihat dari unsur-unsur pendidikan karaktrer yang direncanakan dalam silabus dan RPP, terlihat bahwa kedua buah SMA belum memasukan nilai-nilai karakter bangsa seperti karakter demokratis, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan baik dalam kompetensi dasar, indikator pelajaran serta tujuan pembelajarannya.

Dilihat dari kegiatan intrakurikuler sebagai salah satu proses penanaman nilai karakter bangsa, hasil observasi dan trianggulasi data pada dua buah subyek penelitian diperoleh hasil sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Page 170: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 291-303

300

Tabel 12.6 Kemampuan Dasar Guru dalam Kegiatan Interakurikuler

Kemampuan dasar guru dalam proses pembelajaran

Skor penilaianSMA 1

Pekalon-gan

SMA 1 Kajen

Menguasai bahan pelajaran yang disampaikan

4 3

Mengelola program belajar mengajar

3 3

Mengelola kelas 4 4Menggunakan media/sumber belajar

4 3

Menguasai landasan pendidi-kan

3 3

Mengelola interaksi belajar mengajar

3 3

Menilai prestasi siswa untuk kependidikan pengajaran

3 3

Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan

3 3

Mengenal dan menyelenggara-kan administrasi Pendidikan

3 3

Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil peneli-tian guna keperluan mengajar

3 3

Rata-rata 3.3 3.1

Dari sajian tabel 12.6 kemampuan dasar guru dalam kegiatan intrakurikuler di atas diperoleh nilai rerata untuk SMA 1 Pekalongan sebesar 3,3 dan SMA 1 Kajen sebesar 3,1. Nilai rerata tersebut jika dihubungkan dengan standar penilaian proses intrakurikuler pembelajaran (sebagaimana tabel 1) maka kedua SMA tersebut masuk dalam kategori baik. Artinya adalah secara intrakurikuler proses pendidikan PAI di dua subyek penelitian termasuk ikut mendukung penanaman nilai-nilai karakter melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.

Guru sebagai pendidik dan pengajar perlu menyadari bahwa yang dihadapi adalah anak bangsa yang memiliki karakter dan latar belakang yang berbeda-beda, serta perlu memperhatikan perkembangan siswa baik secara individual maupun secara klasikal. Dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas, guru perlu menciptakan hubungan yang harmonis sehingga guru dapat

mengelola proses belajar mengajar dan mengelola kelas secara efektif dan efisien.

Pentingnya peranan guru dalam menciptakan kondisi belajar-mengajar yang efektif, dikarenakan guru yang banyak menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar-mengajar (Usman, 1999: 16).

Aspek Produk

Hasil jawaban atas kuesioner yang dibagikan kepada peserta didik sebagai dasar untuk mengetahui sikap peserta didik atas contoh-contoh kasus yang diberikan dan harus disikapi oleh peserta didik dapat dilihat pada sajian tabel di bawah ini.

Tabel 12.7 Hasil Perhitungan Kualitas Produk Karak-ter Peserta Didik terhadap Sikap Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa

Produk Karakter Skor nilai KualitasReligius 618 Sangat baikKejujuran 711 Sangat baikToleransi 685,5 Sangat baikDisiplin 687,8 Sangat baikDemokratis 566 BaikGemar membaca 479 BaikCinta damai 662 Sangat baikPeduli lingkungan 689 Sangat baikPeduli sosial 561 Baik

Dari hasil rekapitulasi kuesioner terhadap karakter peserta didik sebagai produk dari internalisasi nilai-nilai karakter melalui mata pelajaran PAI jika dihubungkan dengan standar penilaian kualitas produk peserta didik (sebagaimana tabel 3) dapat terlihat bahwa karakter peserta didik pada dua SMA obyek penelitian termasuk dalam kategori berkarakter baik dan sangat baik. Hal tersebut dapat dilihat pada item-item kuesioner pernyataan sikap yang dijawab oleh peserta didik.

Page 171: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA Eks RSBI di PekalonganA.M. Wibowo

301

Dari tanggapan peserta didik atas 20 item kuesioner sebagaimana deskripsi di atas secara umum dapat dikatakan peserta didik sebagai produk implementasi tehadap internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran PAI termasuk dalam kategori baik atau memiliki karakter yang baik. Namun demikian, jika dilihat pada karakter yang terkait dengan demokratis seyogyanya patut dijadikan perhatian oleh guru. Dari data yang diperoleh yaitu sebanyak 35% peserta didik belum dapat bersikap demokratis.

Pembahasan

Stufflebeam (1971) menyatakan evaluasi konteks sebagai fokus institusi yang mengidentifikasi peluang dan menilai kebutuhan. Kebutuhan dalam hal ini dirumuskan sebagai suatu kesenjangan (discrepancy view) antara kondisi nyata (reality) dengan kondisi yang diharapkan (ideality).

Dari analisis terhadap komponen konteks, input, proses, dan produk (CIPP) dapat ditarik sebuah analisis secara holistic terkait internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI di SMA eks RSBI di Pekalongan Jawa Tengah. Analisis ini akan menunjukan bahwa keberhasilan menyemaikan nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI ke tiga komponen seperti konteks, input dan proses tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.

Sistem pendidikan suatu sekolah, sarana dan prasarana, budaya sekolah tidak akan berguna jika sumber daya manusia pendidik (guru PAI) tidak berkualifikasi dan memiliki kompetensi inti berupa pedagogik, professional, sosial dan kepribadian guru yang baik. Guru bukan hanya tahu cara mengajar tetapi juga mampu mentransfer ilmu sekaligus mentransfer nilai melalui pemanfaatan iklim, budaya, serta sarana dan prasarana sekolah.

Beberapa daya dukung penyemaian nilai karakter berupa slogan-slogan berisi penguatan nilai-nilai karakter pada peserta didik turut membantu memperlancar proses penyemaian nilai-nilai karakter pada proses pembelajaran

PAI. Namun sayangnya ketiadaan sarana dan prasarana berupa laboratorium PAI sedikit menghambat penyemaian nilai karakter pada peserta didik.

Guru PAI yang telah berkualifikasi dan menguasai kompetensi pedagogik, professional, kepribadian dan sosial tentunya mempunyai kemampuan dalam menyemaikan nilai-nilai karakter pada peserta didik. Penyemaian tersebut dilaksanakan pada kegiatan interakurikuler, dan ko-kurikuler pada mapel PAI. Guru PAI juga dapat berperan sebagai pembina pada kegiatan ekstrakurikuler sekolah.

Guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam telah melakukan perencanaan yang matang untuk internalisasi nilai karakter bangsa pada mata pelajaran yang diampunya. Perencanaan oleh guru PAI terlihat dari telah disusunnya kurikulum Pendidikan Agama Islam yang memuat nilai-nilai karakter melalui standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator serta tujuan pembelajaran. Dengan dimuatnya nilai-nilai karakter pada kurikulum yang memuat nilai karakter bangsa berarti perencanaan guru PAI telah matang untuk melakukan internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI.

Secara kultur, SMA eks RSBI cenderung memiliki budaya sekolah yang bersih, bebas asap rokok, bebas kekerasan, narkotika, dan rindang mempunyai andil keberhasilan menanamkan nilai-nilai karakter bangsa pada peserta didik. Adanya tata tertib yang mengikat seluruh warga sekolah turut mendukung internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada mata pelajaran PAI.

Dengan dukungan sistem, iklim budaya, sarana dan prasarana, sumber daya guru PAI berhasil meramunya ke dalam sebuah rencana dan tindakan nyata pada proses pembelajaran dan telah menghasilkan peserta didik yang berkualitas baik secara akademik maupun pembentukan sikap. Guru PAI dengan daya dukung yang ada telah berusaha melakukan internalisasi nilai karakter bangsa melalui fungsi conventional, implicit dan non convetional secara terencana sebagaimana dikatakan oleh Thoha (2004).

Page 172: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 291-303

302

Fungsi neo convetional dan hidden conventional tidak dilakukan oleh guru PAI karena mengingat neo dan hidden conventional adalah memperkenalkan agama atau keyakinan lain kepada peserta didik atau sebaliknya agar peserta didik memilih agama dan keyakinannya.

Secara fungsi konvensional internalisasi nilai-nilai karakter bangsa dalam pendidikan agama islam oleh guru PAI diarahkan pada upaya meningkatkan komitmen dan perilaku keberagamaan peserta didik. Tujuannya adalah agar peserta didik lebih memahami dan taat terhadap agamanya.

Secara fungsi implisit dilakukan guru dalam upaya mengarahkan pengenalan kepada peserta didik atas nilai-nilai karakter bangsa pada ajaran agama secara terpadu dengan seluruh aspek kehidupan melalui berbagai subjek pelajaran. Fungsi ini lebih menekankan pada nilai-nilai karakter bangsa seperti religiusitas, jujur, toleransi, disiplin, cinta damai, semangat kebangsaan cinta tanah air dan gemar membaca dari ajaran agama yang berguna bagi kehidupan manusia dalam berbagai aspek kehidupan

Secara nonkonvensional dilakukan oleh guru PAI di SMA eks RSBI sebagai alat untuk memahami keyakinan atau pandangan hidup yang dianut oleh peserta didik lain yang tidak seagama berupa nilai-nilai karakter toleransi, cinta damai, dan peduli sesama. Fungsi ini lebih menekankan bahwa pendidikan agama tidak memiliki peran agamis tetapi semata-mata untuk mengembangkan sikap toleransi dalam rangka mengembangkan kerukunan antarumat manusia.

Namun demikian dengan tidak disemaikan seluruh nilai-nilai karakter pada mata pelajaran PAI telah menyebabkan beberapa karakter peserta didik perlu diperbaiki. Sebagi contoh adalah tidak ditanamkannya nilai-nilai demokratis pada mapel PAI baik dalam kurikulum maupun proses pembelajaran oleh guru agama. Sebanyak 35 % peserta didik pada dua subyek penelitian tidak memahami pentingnya nilai berdemokrasi.

Oleh karena itu meskipun dalam panduan pendidikan karakter tidak mewajibkan seluruh nilai-nilai karakter di semaikan pada setiap mata pelajaran namun alangkah baiknya jika nilai-nilai karakter tersebut ditanamkan dalam proses pembelajaran PAI baik secara kurikulum, kompetensi dasar, tujuan dan indikator pembelajaran. Jika tidak maka peristiwa-peristiwa kegagalan dalam berdemokrasi seperti contoh di atas akan terjadi pada karakter lain yang tidak ditanamkan pada peserta didik.

Analisis secara holistic terhadap internalisasi nilai-nilai karakter bangsa jika digambarkan dalam sebuah bagan akan terlihat pola-polanya terhadap pembentukan karakter peserta didik. Bagan tersebut adalah sebagai berikut.

Bagan 12.1 Pola internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran pendidikan agama islam di SMA Eks RSBI.

Bagan 12.1 Hasil Analisis CIPP pada Internalisasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran PAI di

SMA eks-RSBI

Masyarakat berkarakter religius, jujur, disiplin, toleran, cinta damai, demokratis, gemar membaca, peduli sosial, semangat kebangsaan

Konteks Input Proses Produk

1. sistem sekolah

2. kebijakan kepala sekolah

3. budaya sekolah

4. sarana dan prasarana

5. tata tertib sekolah

6. kurikulum

1. kualifikasi guru PAI

2. kompetensi guru PAI

3. etos kerja guru PAI

4. tanggung jawab guru PAI

5. input peserta didik

1. silabus RPP

2. intrakuri-kuler

3. ko-kurikuler4. ekstrakuri-

kuler

PESERTA DIDIK

BERKA-RAKTER

religius, jujur, disiplin, toleran, cinta damai, demokratis, gemar membaca, peduli sosial, semangat kebangsaan

Daya Dukung Sekolah

Page 173: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA Eks RSBI di PekalonganA.M. Wibowo

303

PenutuP

Dari paparan temuan dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, secara konteks, strategi penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran agama pada peserta didik SMA telah dilakukan melalui kebijakan sekolah, iklim dan sistem sekolah, kualitas sarana dan prasarana serta budaya. Kedua, secara input internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI telah dilakukan oleh SMA dalam bentuk kualifikasi dan kompetesi guru, sarana dan prasarana, serta peserta didik. Ketiga, proses internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI telah dilakukan melalui kurikulum PAI berupa silabus dan RPP, kegiatan intrakurikuler dan ekstra kurikuler. Keempat, produk yang dihasilkan dari internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui Pendidikan Agama Islam adalah peserta didik yang memiliki kompetensi baik dan sangat baik pada bidang akademik dan berkarakter kebangsaan sekaligus.

ucaPan teriMakasih

Melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih pada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya tulisan ini terutama kepada guru PAI SMA 1 Kota pekalongan Nur Taufik, S.Pd.I. dan Dra. Fauziah, serta guru PAI SMA I Kajen Dra Khuzaemah, dan Drs. Sugeng serta pihak pihak lain yang turut membantu terselesaikannya tulisan ini.

daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millennium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Profil Kriminalitas Remaja 2010. Badan Pusat Statistik: Jakarta.

Kompas. 2014. Memprihatinkan!siswi kelas III SMA menjadi mucikari, http:// internasional.kompas.com /read/2011/12/06/03470156/ Memprihatinkan. Siswi. Kelas.III.SMA.Jadi.Mucikari. Diakses 13 Juni 2014.

Koran Jakarta.com. BKKBN Buka Layanan Konsultasi Kenakalan Remaja (2012. 27Oktober). Diakses pada tanggal 28 Desember 2012 d a r i h t t p : / / koran - jakarta.com /index.php/detail/view01/104125.

Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter Panduan lengkap mendidik siswa menjadi pintar dan baik, terj. Bandung: Nusamedia.

___. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam.

Madjid, Nurcholish. 2000. Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina.

Muntasir, M Saleh. 1973. Mencari Evidensi Islam: Analisa Awal Sistem Filsafat, Strategi dan Methodologi Pendidikan Islam. Jakarta: CV. Rajawali.

Ramly, Mansyur. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Badan Litbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Stufflebeam, D. et al. 1971. Educational Evaluation and Decision Making. Itasca, Ill:Peackock.

Thaha, H.M. Chatib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Usman, Uzer, Moh. 1999. Menjadi Guru Professional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 174: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014halaman 291-303

304

Page 175: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-1

Indeks/ Index

INDEKSI S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

AAbdullah Thufail Saputra 38, 42, 44, 45Abubakar Ba’asyir 174Aceh xxii, xxviii, 254, 265, 266, 267, 268, 270,

271, 272, 273, 275, 276, 277, 278adaptasi 39adat Tengger xxv, 184, 201, 202, 205, 206, 208,

209, 212agama i, ii, vii, viii, xii, 1, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 35, 38, 39, 42, 43, 47, 58, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 71, 73, 74, 79, 80, 90, 92, 113, 114, 115, 120, 122, 123, 126, 133, 139, 174

agent of change 195Agom 153, 154, 159, 160ahlussunnah wal-jama’ah 28Ahmad Sukina 39, 42, 43, 44, 45akhlak xvii, 181, 219, 247, 248, 255, 259, 260,

269, 288, 296akulturasi 20, 26, 39, 76, 114akulturasi budaya xv, xxiii, 149, 150, 155, 157,

158, 161al-Banjari 76, 79, 80, 88al-Fatihah ii, x, xi, 75, 76, 79, 81, 82, 83, 87Al-Ishlah 177, 178, 179, 182, 184, 185Al-Jami’ 177, 179, 181, 182, 183, 184, 185Al-Kabir 177, 179, 180, 181, 182, 183, 184Allah ii, iii, x, 27, 28, 50, 61, 62, 64, 65, 66, 67,

68, 70, 71, 72, 73, 74, 82, 83, 84, 85, 87, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 119, 121, 122, 123

Al-Maghrib 177, 179, 181, 182, 184, 185Al-Mufassir 177, 178, 179, 181, 182, 183, 184, 185Al-Muslim 177, 178, 179, 181, 182, 184al-Quran i, ii, x, xvi, xxi, xxiii, xxiv, xxviii, 20,

21, 30, 31, 41, 42, 43, 45, 61, 63, 64, 65, 69,

70, 73, 74, 83, 86, 90, 96, 104, 119, 120, 138, 144, 163, 165, 166, 171, 172, 183, 243, 249, 250, 255, 259, 260, 262, 265, 266, 268, 273

Al-Riyadhah 177, 179, 181, 182, 184altruisme 128al-zawaj al-urf 274al-Zuḥailī 272, 277Anshary 274, 276, 278anti-multikultural xxiv, 173, 175, 178, 180, 181,

182anti-multikulturalisme xxiv, 173, 175, 178, 180,

181, 182Arikunto 130, 134, 141, 147asbabun nuzul 64assosiatif xvi, xxiii, 39, 149, 150, 157, 158, 159,

160, 161, 165, 171, 181, 191, 194, 195, 196, 197, 203, 204, 211, 212, 223, 229, 247, 248, 295, 300

as-Sunnah 43assurance 51, 59Atassadhur Adammakna ii, vi, xi, 89, 91, 92,

93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100Azra 222, 254, 263, 266, 278, 292, 303

BBadan Nasional Penanggulangan Terorisme 26,

29, 35bahtsul masa’il 249bait 221, 222, 223, 229, 231, 233Bali i, v, vii, 1, 2, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 124Balinuraga xv, xvi, xxiii, 149, 150, 155, 159, 162banjar 7, 9, 10, 11bersahabat 281Bertrand 160, 161, 162biarawati 228bid’ah ix, 20, 23, 27, 43, 46, 103

Page 176: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-2

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

bid’ah ḍolalah 164bid’ah ḥasanah 164bom buku 26bom bunuh diri 26brainware 126budaya xvi, xvii, xxii, xxiii, xxiv, xxix, 163, 164,

165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183, 280, 281, 289, 291, 292, 293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

budaya damai xvii, xxvi, xxvii, xxviii, 161, 184, 191, 195, 196, 197, 198, 215, 216, 217, 218, 219, 223, 224, 239, 240, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 266

budaya lokal 17, 20Buddha xxv, 184, 201, 202, 205, 206, 208, 209,

212Buleleng 2, 6, 7, 8, 9, 10, 11

CCina 159, 174, 187, 196, 197, 240cinta xxvi, 14, 15, 21, 62, 66, 84, 108, 227, 230,

231cinta damai 292, 295, 297, 298, 299, 302cinta tanah air 292, 297, 298, 299, 302civic virtue 128, 129, 131conflict vii, ix, 1, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 37conscientiousness 128corak tameng 114core service 51, 59cultural broker 195cungkup 116, 117, 123curative i, viii, ix, 25, 30, 34

Ddakwah viii, x, 17, 18, 25, 26, 54, 58, 75, 88dalil aqliyah 249dalil naqliyah 249demokratis 180, 280, 292, 295, 297, 298, 299,

301, 302deradikalisasi i, viii, ix, 13, 14, 15, 20, 21, 22, 23,

25, 26, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35Desa Ngadas xvi, xxv, 201, 202, 203, 204, 205dikotomi 194, 197dinamika lokal 114disharmoni xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166,

167, 168, 169, 170, 171, 172, 183

disiplin xxviii, 247, 279, 281, 282, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 292, 295, 296, 297, 298, 299, 302

dissosiatif xvi, xxiii, 39, 149, 150, 157, 158, 159, 160, 161, 165, 171, 181, 191, 194, 195, 196, 197, 203, 204, 211, 212, 223, 229, 247, 248, 295, 300

diversity 193Dukun Adat 206, 207

Eedisi diplomatik 76edisi standar 77ekonomi xvi, xxiii, xxvii, 43, 149, 150, 151, 152,

157, 158, 159, 160, 174, 177, 190, 192, 193, 194, 196, 197, 239, 241, 261

eksistensi xvii, xxvii, xxviii, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263

eksklusif viii, ix, 13, 14, 15, 37, 39, 180etnosentrisme 160, 161

Ffacilitating service 51fikih xxiii, xxiv, xxvi, 163, 167, 170, 172, 215, 220,

244, 255, 259, 260, 262, 267filologi ii, x, xi, 75, 76, 79, 83, 84, 87fiqh xxiii, xxiv, xxvi, 163, 167, 170, 172, 215, 220,

244, 255, 259, 260, 262, 267FPI 14, 20, 26, 30, 34, 38, 39, 40, 41, 43fundamentalisme xxvii, xxviii, 167, 168, 171, 174,

177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 248, 249, 253, 254, 256, 257, 261, 263

furuiyah 244, 250

Ggada 117, 118, 119, 120, 123gaya kufi 120gaya naskhi 120gemar membaca 292, 297, 299, 302gender xxiii, xxiv, xxvi, 163, 167, 170, 172, 215,

220, 244, 255, 259, 260, 262, 267genten cecelukan xvi, xxv, 201, 207, 210, 211gentenan xvi, xxv, 201, 208, 210, 211, 212gerakan keagamaan i, viii, 13, 14, 15, 17, 23, 39,

40, 44gerakan pemurnian ix, 20, 37, 38, 41

Page 177: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-3

Indeks/ Index

gerakan tajdid 39gerebeg besar 180gereja xxvi, 191, 195, 196, 197, 199, 227, 236ghazal 114global i, viii, 2, 24, 25, 28, 35, 103globalisasi xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291,

292, 293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

golongan aji 116Goncing 151, 160, 161, 162guru PAI MTs ii, xiii, xiv, 137, 139, 140, 141, 143,

145, 146, 147

Hhadits 244, 247, 248, 249, 255, 259, 260, 262haji i, ix, x, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58,

59, 60, 66, 67, 69, 79, 80, 90hakikat xvi, xxvi, 215, 217, 221, 222, 223, 224,

225, 231Hamalik 140, 147hanif x, 61, 64, 65, 69, 70, 71, 72, 74Hans Kung 3, 4hardware 126, 127, 132, 138, 140, 141, 144, 145,

146harmoni xvii, 150, 161, 164, 193, 240, 254harmony ix, 2, 5, 7, 8, 9, 11, 37haul dan haflah 249hermeneutik/hermeneutika 3, 77, 78, 228heuristik 228HTI 14, 20, 26, 30, 34, 38, 39, 40, 41, 43hubungan antarumat beragama xxv, 189, 191,

192, 202, 204, 211

Iibadah 228Ibnu Taimiyah 38ikhtilaf xvii, xxvi, xxvii, xxviii, 161, 184, 191, 195,

196, 197, 198, 215, 216, 217, 218, 219, 223, 224, 239, 240, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 266

Ikhwanul Muslimin 38ilmu kesempurnaan xxvi, 215, 221, 223, 224,

225in group 193in role behavior 128inclusion vii, 1, 11

Indonesia i, iii, v, vii, viii, ix, x, xi, xiii, 13, 25, 26, 37, 47, 49, 54, 74, 75, 88, 89, 100, 103, 137, 1

influence xi, xiii, 6, 7, 101, 125Ing Martadipura 115inklusif i, vii, ix, xvi, xxiii, xxiv, 1, 21, 22, 23, 37,

43, 47, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183

input xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292, 293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

insan kamil 20, 21, 85, 86, 106, 111 inskripsi xii, 113, 114, 115, 118, 120, 123instrumen xiii, 92, 125integrasi xvi, xxiii, 39, 149, 150, 157, 158, 159,

160, 161, 165, 171, 181, 191, 194, 195, 196, 197, 203, 204, 211, 212, 223, 229, 247, 248, 281, 295, 300

integrasi fungsional 193integrasi normatif 193integrasi sosial xv, xvi, xxiii, 149, 151, 160, 174,

176, 190, 199integration 2, 3, 4, 8, 9interaksi i, xiii, xiv, xvi, xxiii, 40, 41, 42, 44, 46,

67, 128, 132, 137, 139, 140, 141, 143, 145, 147, 149, 150, 157, 158, 159, 160, 161, 165, 171, 181, 191, 194, 195, 196, 197, 203, 204, 211, 212, 223, 229, 247, 248, 295, 300

interaksi sosial xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183

Interfidai 191internalisasi xvii, xxii, xxv, xxvi, xxviii, 164, 165,

166, 179, 184, 202, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 222, 223, 240, 243, 244, 248, 250, 253, 254, 255, 256, 263, 271, 272, 274, 275, 276, 281

interpretasi 77, 78, 3intertekstual xxvi, 215, 217, 224, 229islah xxiii, xxiv, xxvi, 163, 167, 170, 172, 215,

220, 244, 255, 259, 260, 262, 267Islam i, ii, v, vi, viii, ix, x, xi, xii, xiii, 2, 7, 8, 10,

13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 53, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 79, 80, 81, 83, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 98, 99, 100, 104, 111,

Page 178: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-4

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

113, 114, 115, 116, 120, 122, 123, 124, 126, 140, 141, 142, 147

Islam Kejawen 179Islam Kejawen vi, xi, 17, 89, 90, 91, 92, 94, 98,

99, 100Islam radikal viii, 13, 18, 20, 21, 23, 25, 26, 27,

28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 38Islam salafi 177Islam sinkretik xxvi, 215, 217, 220, 223, 224istighosah xxvii, 253, 257, 263istikharah 246ittihad 90

Jjagad gedhe 224Jamaah Ansorit Tauhid 174Jamaluddin al-Afghani 38jamarot 54Jamil 14, 15, 23Jamuro i, v, vii, viii, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21,

22, 23Jawa viii, x, 17, 18, 25, 26, 54, 58, 75, 88Jawanisasi ii, xi, 89, 100JI 26, 28jihad 27, 28, 31, 32jirat makam 117, 118, 119job satisfaction xii, xiii, 125John Haba 4jujur 208, 281, 285, 286, 289, 292, 295, 299,

302Jumbuhing kawula-Gusti 90, 91, 92juvenile delinquency 292

KK.H. Ahmad Zabidi 243, 251K.H. Asyhari Marzuqi 242Kalimantan Selatan 77, 78, 3karakter xvii, xxvi, xxvii, xxviii, xxix, 150, 151,

155, 158, 161, 198, 227, 239, 240, 242, 250, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

karakteristik potensi 138Karom 56Karu 56Katolik xxvi, 227, 230, 231

kayu sirap 117kayu ulin 117, 118, 119, 120KBIH i, ix, x, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57,

58, 59, 60, 66, 67, 69, 79, 80, 90kearifan lokal xvi, xxv, 201, 202, 203, 204, 205keberagamaan otentik i, x, 61, 63, 64, 65kecantikan 228Kelambu Kuning 115, 116, 117, 120, 123kepala madrasah 281kepuasan jamaah i, ix, x, 49, 50, 51, 52, 53kepuasan kerja ii, xiii, 125, 127, 129, 130, 131,

132, 133, 134keraton xvi, xxvi, 174, 215, 216, 217, 218, 219,

220, 221, 223, 224kerjasama 183, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197,

199, 203, 204, 207, 208, 211, 212, 243, 257, 261, 296

Kesultanan Yogyakarta xxvi, 215, 217, 220, 223, 224

khilafah Islamiyyah 28khulafaurrasyidin 270khutbah 179, 180, 186kiai i, viii, 25, 26, 27, 31, 32, 33, 34, 42, 180Kiai Nur Iman xvi, xxvi, 215, 217, 223, 224, 225kijing makam 115kitab xvii, xxii, xxv, xxvi, xxviii, 164, 165, 166,

179, 184, 202, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 222, 223, 240, 243, 244, 248, 250, 253, 254, 255, 256, 263, 271, 272, 274, 275, 276

Kitab Primbon Atassadur Adammakna 91klaim kebenaran xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165,

166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183kohesi sosial xvi, xxiii, 149, 150, 157, 158, 159,

160, 161, 165, 171, 181, 191, 194, 195, 196, 197, 203, 204, 211, 212, 223, 229, 247, 248, 295, 300

kompetensi pedagogik 138, 139, 140, 145, 146, 147

kompetensi personal 138, 139, 140, 145, 146, 147kompetensi profesional 138, 139, 140, 145, 146,

147kompetensi sosial 138, 139, 140, 145, 146, 147komunikasi 155, 159, 160Komunitas Tengger xvi, xxv, 201, 202, 203, 204,

205konflik antarumat beragama 202

Page 179: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-5

Indeks/ Index

konflik eksternal xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183

konflik internal xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183

konflik Lampung xv, xxiii, 149, 152, 153, 157, 158, 160, 161, 162

konflik sosial xv, xvi, xxiii, 14, 16, 38, 44, 149, 151, 160, 174, 176, 190, 199

konteks xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292, 293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

konvensional 222, 254, 263, 266, 278, 292, 303kurikulum pesantren salaf 255, 262, 263Kutai Kartanegara ii, vi, xii, 113, 115, 116, 117,

121, 122, 124

Llaku spiritual 89, 90, 91, 92, 98, 100Laskar Jihad 14, 20, 26, 30, 34, 38, 39, 40, 41,

43Lickona xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292,

293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

local wisdom 2, 4Lubis 76, 77, 87

MMA Madani 127madrasah xvii, xxvi, xxvii, xxviii, xxix, 126, 127,

132, 138, 140, 141, 144, 145, 146, 150, 151, 155, 158, 161, 198, 227, 239, 240, 242, 250, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

Majelis Permusyawaratan Ulama 268, 271, 272, 277

Makassar xii, 7, 26, 113, 125, 130makhluk ghaib 209manajemen xvii, xxvi, xxvii, xxviii, xxix, 58, 59,

126, 150, 151, 155, 158, 161, 198, 227, 239, 240, 242, 250, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

manajemen berbasis sekolah/madrasah (MBS/M) 281

manajemen berkarakter 281manaqiban 39manasik safar 54manunggaling kawula Gusti 90manuskrip 77, 78, 3masa kerja mengajar 140masjid xxiv, 173, 175, 178, 180, 181, 182Mataram ii, vi, xiii, xiv, 137, 139, 141, 142, 143,

145, 146, 147materi ceramah 169, 181, 183, 185menyama braya vii, 1, 2, 11menyerahkan diri 64, 65, 66, 67, 68, 71menyerukan kedamaian 114Millah Ibrahim x, 61, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 71,

73misionaris 228misra 114mistisisasi surat al-Fatihah xi, 75, 81, 82, 87MMI 14, 20, 26, 30, 34, 38, 39, 40, 41, 43moderat viii, 16, 19, 21, 22, 25, 26, 27, 29, 30,

32, 33, 34, 46, 47MPU 268, 269, 271, 272, 277MTA i, ix, xvi, xxiii, xxiv, 17, 23, 37, 38, 39, 40,

41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183

MTA Semarang xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183

Muhammad Yahya bin al-Haj Muhammad Tha-hir al-Banjari 76

Muhammadiyah i, v, ix, xxii, xxviii, 16, 17, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 152, 165, 172, 174, 175, 178, 183, 184, 186, 187, 243, 279, 282, 283, 284, 285, 287, 288

muhsin x, 61, 64, 65, 67, 68, 69, 73, 74MUI xxvii, xxviii, 167, 168, 171, 174, 177, 178,

179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 248, 249, 253, 254, 256, 257, 261, 263

multi situs xxvii, 253, 256multiculturalism 2multikulturalisme xxiv, 173, 174, 175, 176, 177,

178, 180, 181, 182, 202Museum Sonobudoyo xxii, xxv, xxvi, 215, 217,

220, 221, 225Muslim viii, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 25, 26, 27, 28, 63,

64, 65, 66, 67, 68, 71

Page 180: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-6

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

NNabi Muhammad 20, 27, 28, 32, 63, 65, 66, 67,

69, 70, 84, 85, 95, 104, 106, 121Nahdlatul Ulama/ NU NU xxvii, 16, 17, 19, 39,

43, 58, 59, 240, 253nasional i, viii, 25, 28, 35, 39, 44, 50, 139naskah xxvi, 3, 77, 78, 215, 221, 223, 224, 225Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam xxii, xxv,

xxvi, 215, 216, 217Nasrani 228Nasution 200, 242, 251, 274, 275, 278negeri besar 115neo conventional 294neo-khawarij 27nglayat xvi, xxv, 201, 208, 212NII 26, 28nikah sirri 271, 273, 274, 275, 276nilai xvi, xvii, xxiv, xxvii, xxviii, xxix, 157, 159,

164, 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 192, 193, 194, 196, 198, 199, 204, 205, 209, 211, 212, 229, 239, 241, 247, 249, 253, 254, 255, 256, 258, 259, 262, 263, 276, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

nonkonvensional 302Noto Igomo ii, vi, xii, 113, 115, 116, 117, 119, 120,

121, 122, 123Nur Muhammad 77, 78, 3Nusa Penida 155, 159, 160nusantara 26, 115, 124

OOrde Baru i, iii, v, vii, viii, ix, x, xi, xiii, 13, 25,

26, 37, 47, 49, 54, 74, 75, 88, 89, 100, 103, 137, 1

organizational citizenship behavior xiii, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134

out group 193

PPAI xvii, xxii, xxix, 291, 292, 293, 294, 295, 296,

297, 298, 299, 300, 301, 302, 303Pangastulan 8, 11Pao-Pao 130Paradigma Integralistik 267

Paradigma Simbiotik 267partisipasi 126, 127, 132, 138, 140, 141, 144, 145,

146peduli lingkungan 281peduli sosial 281Pekalongan xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291,

292, 293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

pelaksanaan 281pelayanan i, ix, x, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56,

57, 58, 59, 60, 66, 67, 69, 79, 80, 90pembiasaan diri 281pemindangan 9pemurnian Islam i, ix, 37, 38, 41, 43penafsiran 77, 78, 3pencatatan pernikahan 266, 276pencegahan i, viii, 25, 29, 30, 34, 35Pendidikan Agama Islam xvii, xxix, 291, 292,

293, 296, 298, 300, 303pendidikan karakter xvii, xxii, xxv, xxvi, xxvii,

xxviii, xxix, 150, 151, 155, 158, 161, 164, 165, 166, 179, 184, 198, 202, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 222, 223, 227, 239, 240, 242, 243, 244, 248, 250, 253, 254, 255, 256, 263, 271, 272, 274, 275, 276, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

pendidikan modern xvii, xxvii, xxviii, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263

pengajian xvii, xxvii, xxviii, 167, 168, 171, 174, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 248, 249, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263

pengembang dan pelaksana kurikulum 138pengembangan keislaman 138pengendalian 281pengorganisasian 281penyembuhan i, ix, 25, 35peran kiai xvii, xxvii, xxviii, 253, 254, 255, 256,

257, 258, 259, 260, 261, 262, 263perbedaan hasil belajar i, xiii, xiv, 40, 41, 42, 44,

46, 67, 128, 132, 137, 139, 140, 141, 143, 145, 147

perencanaan 281pesantren xvii, xxvi, xxvii, xxviii, 17, 25, 26, 27,

Page 181: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-7

Indeks/ Index

32, 33, 34, 161, 184, 191, 195, 196, 197, 198, 215, 216, 217, 218, 219, 223, 224, 239, 240, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 266

pesantren salaf xvii, xxvii, xxviii, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263

piil pesingiri 156, 157pitutur xxvi, 215, 221, 223, 224, 225piwulang xxvi, 92, 215, 221, 223, 224, 225PLPG 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 147pluralisme xvii, xxvi, xxvii, xxviii, 161, 184, 191,

195, 196, 197, 198, 215, 216, 217, 218, 219, 223, 224, 239, 240, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 266

plurality 3politik i, vii, viii, xvi, xxiii, xxvii, 1, 16, 20, 25, 28,

35, 38, 41, 42, 43, 44, 62, 67, 93, 94, 149, 150, 151, 152, 157, 160, 174, 176, 177, 178, 179, 183, 190, 192, 194, 195, 199, 202, 223, 239, 241, 242, 244, 245, 250, 266, 267, 269, 270, 277

pondok xvii, xxii, xxv, xxvi, xxviii, 164, 165, 166, 179, 184, 202, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 222, 223, 240, 243, 244, 248, 250, 253, 254, 255, 256, 263, 271, 272, 274, 275, 276

portofolio 138, 140preventive i, viii, 25, 30, 34primbon xi, 89, 90, 91, 92, 93, 99produk xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292,

293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

produk hukum xxviii, 265, 267, 270, 271, 273profesional 126, 127, 132, 138, 140, 141, 144, 145,

146profil kompetensi guru PAI MTs 139proses xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292,

293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

Provinsi Nusa Tenggara Barat 141, 143pujan 207, 209purifikasi 20, 39, 40, 41, 43, 44, 45, 46puritan 177

Qqanit lillah 71, 72

Rradikal viii, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,

23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 38, 43

radikalisasi 180radikalisme i, viii, 14, 15, 21, 22, 25, 26, 27, 28,

29, 30, 31, 32, 33, 34, 35rahmatan lil ‘alamin 31reformasi 14, 20, 26, 30, 34, 38, 39, 40, 41, 43regresi linier xiii, 125, 131reliability 51, 59religius 160, 170, 195, 281, 285, 286, 287, 289,

292, 293, 295, 297, 298, 299, 302retroaktif 228rezim i, iii, v, vii, viii, ix, x, xi, xiii, 13, 25, 26, 37,

47, 49, 54, 74, 75, 88, 89, 100, 103, 137, 1ritual xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166, 167, 168,

169, 170, 171, 172, 183RSBI xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292,

293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

rumpun mata pelajaran PAI 138

Ssalafi 20Salib 185sampel xiii, 52, 125, 127, 139, 142, 144santri xxvii, 191, 195, 196, 197, 239, 240, 242,

243, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 263

SARA 2, 10Sasak 6sastra 228sekolah 222, 254, 263, 266, 278, 292, 303semangat kebangsaan 292, 297, 298, 299, 302Semarang i, iii, v, vii, viii, ix, x, xi, xiii, 13, 25, 26,

37, 47, 49, 54, 74, 75, 88, 89, 100, 103, 137, 1sembahyang ii, x, xi, 75, 76, 79, 83, 84, 87semiotik xxvi, 227, 230, 231Serat Suryaraja xxvi, 215, 217, 220, 223, 224sertifikasi 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 147sesaji 183, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 199,

203, 204, 207, 208, 211, 212, 243, 257, 261, 296

sinkretisme xxvi, 215, 217, 220, 223, 224Sirr al-Lathīf vi, x, xi, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 82,

Page 182: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-8

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

83, 84, 85, 86, 87sistem reward 128sistem sosial xvii, 150, 161, 164, 193, 240, 254skala xiii, 92, 125SMA xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292,

293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

social relations 5software 126, 127, 132, 138, 140, 141, 144, 145,

146solidaritas 209solidaritas organik xv, xvi, xxiii, 149, 151, 160,

174, 176, 190, 199sosial-politik 176sosio-historis xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166,

167, 168, 169, 170, 171, 172, 183split personality 14sportmanship 128, 129Standar nasional pendidikan 139statistik inferensial xiii, 125status guru xiii, 137, 139, 140, 141, 142, 143, 145,

146, 147stereotype 191strategi xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291, 292,

293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

sufisme i, viii, 13, 14, 15, 21, 80, 81, 82, 94, 102, 103, 104

sufisme xxvi, 227, 230, 231Sugiyono 141, 147suluk xxvi, 215, 221, 223, 224, 225supporting service 51, 59Surakarta/ Solo i, v, vii, viii, ix, xxiv, 13, 14, 15,

16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 93, 173, 175, 178, 180, 181, 182

syakir x, 61, 71, 72, 73, 74syariah xxvi, 166, 174, 179, 215, 217, 223, 224syariat 20, 21, 22, 78, 90, 110, 111, 122syariat Islam 171Syekh al-Azhar 276

Ttabayun xxiii, xxiv, xxvi, 163, 167, 170, 172, 215,

220, 244, 255, 259, 260, 262, 267

tafsir 3, 77, 78, 153, 166, 179, 244, 247, 248, 255, 259, 260, 261, 262

tahlilan xxiii, xxiv, 39, 163, 167, 168, 169, 171, 245

takhayul, bidah dan khurafat ix, 37, 39, 42, 62tamatu’ 54tanggung jawab 281tangibles 51, 59tasawuf ii, x, xi, xii, xvi, xxvi, 21, 31, 62, 70, 75,

76, 78, 79, 80, 81, 85, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 94, 99, 100, 101, 103, 106, 122, 166, 174, 179, 215, 216, 217, 219, 221, 222, 223, 224, 225, 248, 259, 260, 269

tasawuf di Kalimantan x, 75, 76, 81tata tertib madrasah 281tauhid xxiii, xxiv, xxvi, 163, 167, 170, 172, 215,

220, 244, 255, 259, 260, 262, 267Tegalsari xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165, 166, 167,

168, 169, 170, 171, 172, 183teknik semi filologis x, 75, 76teks xxvi, 3, 77, 78, 215, 221, 223, 224, 225tekstual-dogmatis xvi, xxiii, xxiv, 163, 164, 165,

166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183teologi 15, 40, 62, 65, 71teror 26, 29, 30, 31, 32, 34, 36terorisme i, iii, v, vii, viii, ix, x, xi, xiii, 13, 25, 26,

37, 47, 49, 54, 74, 75, 88, 89, 100, 103, 137, 1teungku dayah xxii, xxviii, 265, 266, 267, 268,

269, 270, 271, 273, 276, 277, 278thaghut 27tindak pidana xvii, xxii, xxix, 280, 281, 289, 291,

292, 293, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303

tirakat 89, 90, 91, 92, 98, 100Tjakraningrat xi, 89, 92, 93, 94toleran 14, 15, 21, 22, 23, 26, 129toleransi 164, 172, 175, 176, 181, 183, 191, 192,

193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 203, 204, 207, 208, 211, 212, 241, 243, 247, 257, 261, 292, 295, 296, 297, 298, 299, 302

toleransi sosial 198tradisi xvi, xxv, xxvi, xxvii, 157, 159, 160, 169,

170, 171, 177, 179, 180, 184, 193, 198, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 215, 216, 217, 218, 219, 221, 224, 229, 239, 240, 241, 242, 244, 271, 272

Page 183: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-9

Indeks/ Index

tradisional xvii, xxvii, xxviii, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263

Tragedi Situbondo 191, 199transliterasi 77, 78, 3truth claim 14, 22

UUji Asumsi 131Uji Linieritas 131Uji Normalitas 131Uka Tjandrasasmita 114, 124Ukhuwwah Islamiyyah 178ulil amri xxviii, 265, 266, 267, 268, 269, 270,

271, 272, 273, 275, 276, 277umara 270uniquenness 194, 197urban sufism 13, 14, 15, 21, 23

Vvisa tijari 55visa ummal 55

WWahabi 17Walisongo viii, x, 17, 18, 25, 26, 54, 58, 75, 88watak kosmopolitanisme 114Weberian 192wihdat al-wujud ii, xi, xii, 89, 90, 98, 100, 101,

103, 104, 105, 107, 108, 109, 110yasinan 164, 167, 168, 169, 171, 249, 255Yogyakarta xvi, xxii, xxvi, xxvii, 162, 172, 186,

187, 199, 200, 212, 213, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 224, 225, 226, 227, 230, 239, 241, 242, 243, 250, 251, 263, 278, 289

zahid xvi, xxi, xxiii, xxiv, xxviii, 163, 165, 166, 171, 172, 183, 243, 249, 250, 255, 259, 260, 262, 265, 266, 268, 273

ziarah kubur 39

Page 184: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-10

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

Page 185: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-11

Indeks Penulis/ Author Index

INDEKS PENULISI S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

A

Analiansyah. “Ulil Amri dan Kekuatan Produk Hukumnya (Kajian Terhadap Perspektif Teungku Dayah Salafi Aceh Besar)”. 21 (02): 265-278.

B

Baidhawy, Zakiyuddin. “Muatan Nilai-nilai Multikultural dan Anti-multikultural dari Mimbar Masjid di Kota Solo”. 21 (02): 173-187.

Bustam, Betty Mauli Rosa. “Analisis Semiotik terhadap Puisi Rabi’atul Adawiyah dan Kalimat Suci Mother Teresa”. 21 (02): 227-238.

F

Fuad, Khairul. “Wihdat al-Wujud Puisi Ahmad Aran”. 21 (01): 101-111.

H

Haryanto, Joko Tri. “Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komunitas Tengger Malang Jawa Timur”. 21 (02): 201-213.

Hasim, Moh. “Interaksi Penganut Majelis Tafsir Al-Quran di Kampung Tegalsari Semarang”. 21 (02): 163-172.

Humaedi, M. Alie. “Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik Lampung”. 21 (02): 149–162.

I

Ibrahim, Rustam. “Eksistensi Pesantren Salaf di Tengah Arus Pendidikan Modern (Studi Multi Situs pada Beberapa Pesantren Salaf di Jawa Tengah)”. 21 (02): 253–263.

Idham. “Makam Noto Igomo (Arkeologi Makam Tokoh Agama di Tenggarong Kutai Kartanegara, Kali-mantan Timur)”. 21 (01): 113-124.

Ilyas, Hamim. “Keberagamaan Otentik dalam Al-Quran”. 21 (01): 61-74.

Iswanto, Agus. “Syariat dalam Islam Jawa (Intertekstualitas Naskah Kempalan Kitab-kitab Islam Koleksi Museum Sonobudoyo)”. 21 (02): 215–226.

Page 186: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-12

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

K

Khalim, Samidi. “Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen (Kajian Ter-hadap Kitab Primbon Atassadhur Adammakna)”. 21 (01):89-100.

M

Maknun, Moch. Lukluil. “Implementasi Tradisi Ikhtilaf dan Budaya Damai pada Pesantren Nurul Um-mah dan Ar-Romli Yogyakarta”. 21 (02): 239-251.

Mustolehudin. “Pandangan Ideologis-Teologis Muhammadiyah dan Majelis Tafsir Al-Quran (Studi Gerakan Purifikasi Islam di Surakarta)”. 21 (01): 37-48.

Muzayanah, Umi. “Manajemen Madrasah sebagai Media Strategis Pendidikan Karakter (Studi Kasus pada MTs Muhammadiyah 01 Purba-lingga)”. 21 (02): 279–289.

R

Rahman, Ulfiani. “Kepuasan Kerja Dan Organizational Citizenship Behavior pada Guru Madrasah Ali-yah Madani Alauddin Paopao Gowa Sulawesi Selatan”. 21 (01): 125-136.

Retnowati. “Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik Situbondo)”. 21 (02): 189–200.

Rokhmad, Abu. “Pandangan Kiai tentang Deradikalisasi Paham Islam Radikal di Kota Semarang”. 21 (01): 25-36.

Rosidin. “Sufisme Perkotaan dan Nalar Beragama Inklusif”. 21 (01): 13-24.

S

Samiyono, David. “Inclusion Community Model: Learning from Bali”. 21 (01): 1-12.

Sulaiman. “Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf”. 21 (01): 75-88.

Sulaiman. “Kepuasan Jamaah Haji Terhadap Pelayanan KBH di Kabupaten Jepara”. 21 (01): 49-60.

W

Wibowo, A.M. “Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA eks RSBI di Pekalongan”. 21 (02): 291–303.

Y

Yustiani. “Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam pada Madrasah Tsanawiyah di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat”. 21 (01): 137-147.

Page 187: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-13

Pedoman Penulisan Naskah/ Writing Guide

PEDOMAN PENULISAN NASKAHI S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Terakreditasi LIPI Nomor: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013

ketentuan uMuM

Redaksi Jurnal Analisa menerima naskah tulisan dari para ahli dan peminat di bidang keagamaan. Naskah belum pernah dipublikasikan pada media atau jurnal lain. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sesuai kaidah bahasa masing-masing, dilengkapi abstrak dan kata kunci dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (dwibahasa).

Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksudnya. Isi naskah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang ditolak.

Pengiriman naskah harus disertai dengan SURAT RESMI dari penulis, khususnya menyangkut pertanggungjawaban penulis atas legalitasi naskah, keotentikan naskah dan belum pernah dipublikasikan. Naskah dikirimkan ke:

Redaksi JURNAL ANALISABalai Penelitian dan Pengembangan

Agama SemarangJl. Untung Suropati Kav. 70

Bambankerep, Ngaliyan, SemarangTelp. (024) 7601327, Fax. (024) 7611386

Penulis mengirim satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) dalam compact disk (CD) atau soft copy via e-mail ke: [email protected].

Seluruh bagian dari naskah tulisan, mulai judul hingga sumber bacaan diketik satu setengah spasi, minimum 17 halaman dan maksimum 20

halaman kertas ukuran A4. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan font Times New Roman 12 pt dan margin 4-3 (kiri-kanan) dan 3-3 (atas-bawah).

Penulis harus menyertakan riwayat hidup, meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat lengkap tempat tinggal dan alamat lengkap tempat bertugas, disertai nomor telepon, fax, e-mail dan nomor rekening bank, untuk kepentingan korespondensi.

struktur karya tulis ilMiah

Naskah karya tulis ilmiah (KTI) tersusun menurut urutan sebagai berikut:

1. Judul

2. Nama, alamat penulis, dan email

3. Abstrak

4. Kata kunci

5. Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalah penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan hipotesis jika ada, dalam bentuk paparan)

6. Metode Penelitian (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data)

7. Hasil dan Pembahasan

8. Penutup (berisi kesimpulan, saran [opsional])

9. Ucapan Terima Kasih (opsional)

10. Daftar Pustaka

11. Lampiran (opsional)

Page 188: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-14

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

ketentuan Penulisan

1. Judula. Judul merupakan rumusan mengenai

pokok isi bahasan yang singkat, padat dan jelas.

b. Dalam judul sudah tercantum variabel-variabel utama penelitian.

c. Judul diketik dengan huruf capital tebal (bold).

d. Apabila judul ditulis dalam Bahasa Indonesia, maka di bawahnya ditulis ulang dalam Bahasa Inggris; begitu juga sebaliknya.

2. Nama Penulisa. Nama Penulis diketik dibawah Judul,

ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar .

a. Alamat Penulis (Nama dan Alamat Instansi tempat bekerja) ditulis lengkap dengan jarak satu spasi di bawah nama penulis .

a. Alamat e-mail ditulis di bawah alamat penulis.

a. Jika alamat lebih dari satu, maka harus diberi tanda asterisk* dan diikuti alamat sekarang.

a. Jika Penulis terdiri lebih dari satu orang, maka harus ditambahkan kata penghubung ‘dan’ (bukan lambang ‘&’).

3. Cara Penulisan Abstrak dan Kata Kuncia. Abstrak merupakan intisari pokok bahasan

dari keseluruhan kerangka isi naskah.

b. Abstrak ditulis dalam satu paragraph dengan huruf cetak miring (italic) berjarak satu spasi dan ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris).

c. Abstrak dalam Bahasa Indonesia maksimal 200 kata, sedangkan abstract dalam Bahasa Inggris maksimal 150 kata.

d. Penempatan abstrak (abstract) disesuaikan dengan bahasa yang digunakan dalam KTI. Apabila KTI menggunakan bahasa Indonesia, maka abstrak (abstract) didahulukan dalam Bahasa Inggris dan sebaliknya .

e. Kata abstrak (abstract) ditulis dengan huruf capital tebal (bold) dan miring (italic).

f. Abstrak dalam Bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam Bahasa Indonesia, sedangkan abstrak dalam Bahasa Inggris diikuti keywords dalam Bahasa Inggris.

g. Kata kunci terdiri dari tiga sampai lima kata/frase, ditulis dengan huruf cetak miring (italic).

4. Cara Penyajian Tabel a. Judul Tabel ditampilkan di bagian atas

tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Times New Roman ukuran 12.

b. Tulisan ‘Tabel’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal.

c. Gunakan angka Arab (1,2,3, dst) untuk penomoran judul tabel .

d. Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center).

e. Jenis dan ukuran font untuk isi tabel dapat menggunakan Times New Roman atau Arial Narrow ukuran 8-11 dengan jarak spasi 1,0.

f. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan Font Times New Roman ukuran 10.

g. Bentuk tabel hanya ditunjukkan garis horisontalnya saja, adapun garis vertikal transparan.

h. Contoh:

Tabel 4 Jumlah Produksi Padi dan JagungHasil 2010 2011 2012 2013

Padi 1.500 Ton 1.800 Ton 1.950 Ton 2.100 TonJagung 950 Ton 1.100 Ton 1.250 Ton 1.750 Ton

Ubi 350 Ton 460 Ton 575 Ton 780 Ton

Sumber: Balai Pertanian Jateng, 2013.

5. Cara Penyajian Gambar, Grafik, Foto atau Diagram a. Gambar, grafik, foto, atau diagram

ditampilkan di tengah halaman (center).

Page 189: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-15

Pedoman Penulisan Naskah/ Writing Guide

b. Judul gambar, grafik, foto, atau diagram ditulis di atas ilustrasi, menggunakan Font Times New Roman ukuran 12, ditempatkan di tengah (center).

c. Tulisan “Gambar, Grafik, Foto, atau Diagram” dan “nomor” ditulis tebal (bold), sedangkan isi judul ditulis normal.

d. Gunakan angka arab (1,2,3, dst) untuk penomoran gambar, grafik, foto, atau diagram.

e. Pencantuman sumber atau keterangan gambar diletakkan di bawah ilustrasi, rata kiri, menggunakan Font Times New Roman ukuran 10.

f. Gambar, grafik, foto, atau diagram dalam format file .jpg warna hitam putih, kecuali jika warna menentukan arti.

6. Hasil dan PembahasanBagian ini merupakan inti dari hasil

penelitian, meliputi deskripsi data dan analisis hasil penelitian, serta interpretasi penulis terhadap bahasan hasil dan analisis penelitian. Pembahasan dilakukan secara mendalam dan fokus dengan menggunakan acuan teori. Penggunaan grafik dan tabel hendaknya dibatasi jika masih dapat disajikan dengan tulisan secara singkat.

7. RujukanAdapun keterangan rujukan/referensi ditulis

dalam bentuk in note (catatan dalam) dengan format “(nama belakang penulis, angka tahun: nomor halaman)”, contoh (Shihab, 1997: 459).

8. Daftar Pustaka

Literatur yang dirujuk minimal 15 pustaka. Sedangkan penulisan daftar pustaka mengacu format sebagai berikut:

a. BukuPengarang. Tahun. Judul Buku. Tempat terbit: Penerbit.

b. Bab dalam BukuPengarang. Tahun. “Judul Artikel/Tulisan”. Dalam Judul Buku Utama. Editor. Tempat terbit: Penerbit.

c. JurnalPengarang. Tahun. “Judul Artikel/ Tulisan”. Nama Jurnal. Jilid/tahun (nomor).

d. Surat KabarPenulis. Tahun. “Judul Artikel”. Nama Surat Kabar, tanggal.

e. InternetPengarang. Tahun. “Judul Karangan”. NamaWebsite. Tanggal diakses.

f. Skripsi/ Tesis/ DisertasiPengarang. Tahun. “Judul. Skripis/Tesis/Disertasi” pada lembaga perguruan tinggi.

g. Makalah SeminarPengarang. Tahun. “Judul Makalah”. Makalah disampaikan pada seminar. Penyelengara.Tempat, tanggal.

9. Transliterasi

Penulisan transliterasi mengikuti Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 158 Tahun 1987 dan 0543 b/u/1987.

Page 190: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

304-16

Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 02 Desember 2014

Page 191: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan · kedamaian yang lebih luas yaitu antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam pendidikan madrasah dan pendidikan umum, pembangunan pendidikan

Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

ISSN : 1410 - 4350