jurnal penerapan konseling keluarga (referensi)

11
193 JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2014 Psychology Forum UMM, ISSN: 2303-2936 Volume 2 (2) 193-203 Penerapan Konseling Keluarga dalam Menangani Permasalahan Siswa Terlambat Mindrewati, Universitas Muhammadiyah Malang 1 Abstrak Banyak upaya penanganan telah dilakukan, namun belum cukup efektif untuk mengatasinya. Pelibatan orangtua melalui konseling keluarga diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk menangani masalah tersebut. Tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa menyesuaikan waktu dengan tata tertib sekolah setelah perlakuan konseling keluarga dan untuk mengetahui peningkatan ketepatan siswa datang ke sekolah setelah konseling keluarga. Subjek penelitian sebanyak 7 siswa yang dipilih secara purposive sampling dengan kriteria terlambat ≥ 6 kali. Konseling keluarga diberikan selama 2 minggu, perkembangan kehadiran siswa di sekolah dilakukan sebelum dan sesudah intervensi dilakukan se- lama 3 minggu. Variabel yang diamati adalah waktu kedatangan siswa ke sekolah serta penyebab keterlam- batan jam datang. Teknik pengumpulan data adalah dokumentasi, observasi, dan wawancara. Data dianalisis secara deskriptif dan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pengurangan keterlambatan dari 4 menjadi 3 kali selama pengamatan, dan kasus siswa terlambat berkurang dari 60 menjadi 6 kasus. Rata- rata jam datang siswa lebih cepat, dari semula jam 7:20 menjadi 6:37, frekuensi siswa terlambat berkurang, dari rata-rata 8,57 menjadi 0,86 kali, Jumlah siswa terlambat per hari juga berkurang, dari rata-rata 3,33 menjadi 0,33 orang. Kata Kunci: Konseling keluarga, keterlamabatan masuk sekolah, siswa, disiplin Latar Belakang Kedisiplinan siswa merupakan salah satu fak- tor yang menentukan keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah. Sekolah sebagai tem- pat pembentukan nilai-nilai dan perilaku, di- harapkan untuk terus-menerus menegakkan kedisiplinan, dengan berbagai upaya. Sumarno (2008) mengemukakan bahwa penegakan disi- plin di sekolah dimaksudkan untuk mewujud- kan lingkungan sekolah yang tertib dan kon- dusif guna menjamin keberhasilan kegiatan pembelajaran, yang akan bermuara kepada penumbuhan dan pengembangan siswa yang berkepribadian positif. Kehadiran siswa di sekolah adalah salah satu bagian dari komponen kedisiplinan siswa. Kehadirannya yang tepat waktu akan memu- dahkan guru untuk memulai kegiatan pemb- elajaran. Sebaliknya, jika datangnya terlambat, selain akan mengacaukan kegiatan pembelaja- ran, juga akan menimbulkan beban psikolo- gis bagi siswa yang bersangkutan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya agar kehadirannya ke sekolah yang tepat waktu terbentuk dari dalam dirinya, karena menurut Fitriana & Mu- hari (2008) sikap disiplin yang timbul dari ke- sadarannya sendiri akan dapat lebih memacu dan tahan lama, dibandingkan dengan sikap disiplin yang timbul karena adanya penga- wasan dari orang lain. Kasus kehadiran siswa di sekolah yang tidak tepat waktu (datang terlambat) dialami di banyak sekolah. Dampak keterlambatan siswa, selain merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain, misalnya mengganggu konsentrasi guru yang sedang menjelaskan materi pelaja- ran. Dampak langsung yang dirasakan siswa, mulai dari yang ringan, misalnya kehilangan konsentrasi, ketinggalan materi; sampai den- gan yang berat, misalnya tidak diizinkan mas- uk kelas. Bahkan jika terus berulang sampai frekuensi tertentu, bisa-bisa dikeluarkan dari sekolah. Pola penanganan siswa terlambat yang se- lama ini diterapkan di sekolah umumnya ada- 1 Korespondensi ditujukan kepada Mindrewati, no- mor mobile phone: 087859858441.

Upload: nur-arifaizal-basri

Post on 22-Jul-2015

258 views

Category:

Education


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

193

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI© 2014 Psychology Forum UMM, ISSN: 2303-2936Volume 2 (2) 193-203

Penerapan Konseling Keluarga dalam Menangani Permasalahan Siswa Terlambat

Mindrewati, Universitas Muhammadiyah Malang1

Abstrak Banyak upaya penanganan telah dilakukan, namun belum cukup efektif untuk mengatasinya. Pelibatan orangtua melalui konseling keluarga diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk menangani masalah tersebut. Tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa menyesuaikan waktu dengan tata tertib sekolah setelah perlakuan konseling keluarga dan untuk mengetahui peningkatan ketepatan siswa datang ke sekolah setelah konseling keluarga. Subjek penelitian sebanyak 7 siswa yang dipilih secara purposive sampling dengan kriteria terlambat ≥ 6 kali. Konseling keluarga diberikan selama 2 minggu, perkembangan kehadiran siswa di sekolah dilakukan sebelum dan sesudah intervensi dilakukan se-lama 3 minggu. Variabel yang diamati adalah waktu kedatangan siswa ke sekolah serta penyebab keterlam-batan jam datang. Teknik pengumpulan data adalah dokumentasi, observasi, dan wawancara. Data dianalisis secara deskriptif dan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pengurangan keterlambatan dari 4 menjadi 3 kali selama pengamatan, dan kasus siswa terlambat berkurang dari 60 menjadi 6 kasus. Rata-rata jam datang siswa lebih cepat, dari semula jam 7:20 menjadi 6:37, frekuensi siswa terlambat berkurang, dari rata-rata 8,57 menjadi 0,86 kali, Jumlah siswa terlambat per hari juga berkurang, dari rata-rata 3,33 menjadi 0,33 orang.

Kata Kunci: Konseling keluarga, keterlamabatan masuk sekolah, siswa, disiplin

Latar Belakang

Kedisiplinan siswa merupakan salah satu fak-tor yang menentukan keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah. Sekolah sebagai tem-pat pembentukan nilai-nilai dan perilaku, di-harapkan untuk terus-menerus menegakkan kedisiplinan, dengan berbagai upaya. Sumarno (2008) mengemukakan bahwa penegakan disi-plin di sekolah dimaksudkan untuk mewujud-kan lingkungan sekolah yang tertib dan kon-dusif guna menjamin keberhasilan kegiatan pembelajaran, yang akan bermuara kepada penumbuhan dan pengembangan siswa yang berkepribadian positif.

Kehadiran siswa di sekolah adalah salah satu bagian dari komponen kedisiplinan siswa. Kehadirannya yang tepat waktu akan memu-dahkan guru untuk memulai kegiatan pemb-elajaran. Sebaliknya, jika datangnya terlambat, selain akan mengacaukan kegiatan pembelaja-

ran, juga akan menimbulkan beban psikolo-gis bagi siswa yang bersangkutan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya agar kehadirannya ke sekolah yang tepat waktu terbentuk dari dalam dirinya, karena menurut Fitriana & Mu-hari (2008) sikap disiplin yang timbul dari ke-sadarannya sendiri akan dapat lebih memacu dan tahan lama, dibandingkan dengan sikap disiplin yang timbul karena adanya penga-wasan dari orang lain.

Kasus kehadiran siswa di sekolah yang tidak tepat waktu (datang terlambat) dialami di banyak sekolah. Dampak keterlambatan siswa, selain merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain, misalnya mengganggu konsentrasi guru yang sedang menjelaskan materi pelaja-ran. Dampak langsung yang dirasakan siswa, mulai dari yang ringan, misalnya kehilangan konsentrasi, ketinggalan materi; sampai den-gan yang berat, misalnya tidak diizinkan mas-uk kelas. Bahkan jika terus berulang sampai frekuensi tertentu, bisa-bisa dikeluarkan dari sekolah.

Pola penanganan siswa terlambat yang se-lama ini diterapkan di sekolah umumnya ada-

1 Korespondensi ditujukan kepada Mindrewati, no-mor mobile phone: 087859858441.

Page 2: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

194

lah mulai dari teguran lisan sampai dengan membuat perjanjian dengan wali kelasnya. Na-mun, metode tersebut tampaknya belum cukup efektif untuk menekan jumlah siswa terlambat. Terbukti, kasus tersebut terus saja terjadi se-tiap hari. Beberapa siswa bahkan tetap saja datang terlambat meskipun sudah beberapa kali diberikan peringatan.

Untuk itu, diperlukan strategi baru untuk menangani permasalahan tersebut, dalam hal ini, pihak sekolah harus melibatkan pihak ke-luarga. Hal ini sejalan dengan pendapat Terry (2002), Canfield et al., (2004), Rayburn (2004), Bryan (2005), dan Kean-Davis (2005), bahwa penanganan siswa bermasalah bukan tang-gung jawab sekolah semata, tetapi juga meru-pakan tanggung jawab bersama antara sekolah dan keluarga. Terkait dengan hal tersebut, maka salah satu metode layanan yang dapat diberikan kepada siswa terlambat adalah kon-seling keluarga. Menurut Deslandes (2001), Carter (2008), Carter & Perluss (2008), dan Glass et al., (2010), pelibatan keluarga dalam penanganan siswa bermasalah merupakan bentuk kolaborasi konselor sekolah dengan pihak keluarga sebagai sebuah sistem.

Pemilihan konseling keluarga sebagai strategi penanganan siswa terlambat didasari beberapa pertimbangan, diantaranya: 1) per-tama, relasi orang tua-anak merupakan salah satu subsistem yang terdapat dalam sistem keluarga (McLeod, 2010; Sri Lestari, 2012); 2) kedua, keterlambatan siswa datang ke sekolah tidak semata-mata disebabkan oleh kelalaian siswa tetapi orang tua juga ikut berperan ka-rena merekalah yang mengantar anaknya ke sekolah; 3) ketiga, keluarga memiliki kekuatan untuk mendorong/menghambat usaha yang telah dilakukan oleh konselor/guru BK (Lati-pun, 2011); 4) keempat, penanganan siswa ter-lambat secara kolaboratif antara konselor dan orang tua diyakini akan lebih efektif dibanding-kan jika dilakukan oleh konselor secara sepi-hak, karena orang tua merupakan guru per-tama siswa, sehingga pelibatannya diharapkan akan meningkatkan partisipasi siswa dalam program di sekolah (Hara & Burke, 1998; Kahraman & Derman, 2012); 5) kelima, hasil belajar siswa di sekolah lebih banyak dipen-garuhi oleh permasalahan di rumah daripada permasalahan yang dihadapinya di sekolah (Hinkle & Wells, 1995). Diharapkan, pelibatan orang tua di sekolah secara nyata dapat men-ingkatkan akselerasi dan keseimbangan hasil belajar siswa (Hara & Burke, 1998).

Beberapa ahli telah mempublikasikan hasil penelitian terdahulu, yang berkaitan den-

gan penerapan konseling keluarga dalam me-nangani siswa bermasalah di sekolah melalui pola School-Based Family Conseling. Namun, karena merupakan topik baru, sehingga pub-likasinya masih terbatas dan kajiannya hanya baru dilakukan di beberapa negara. Publikasi beberapa artikel dan hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pola tersebut telah di-lakukan di Afrika Selatan (Marchetti-Mercer, 2008), di Selandia Baru (Evert, 2008; Smith, 2011; Smith, 2012); di Australia (Reupert & Maybery, 2010); di Macao (van Schalkwyk, 2011), dan di Amerika Serikat (Morroti, 2010; Sung, 2012; Tisone & Godell, 2012).

Berdasarkan informasi yang peneliti per-oleh dari Guru BK di MTsN 1 Mataram, diketa-hui bahwa pola penanganan seperti ini meru-pakan sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, tu-juan penelitian ini adalah: untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa menyesuaikan waktu dengan tata tertib sekolah setelah per-lakuan konseling keluarga, dan mengetahui peningkatan ketepatan siswa datang ke se-kolah setelah konseling keluarga.

Tinjauan Pustaka Disiplin diartikan sebagai kesadaran untuk mel-akukan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan dari siapapun (Mas’udi, 2000; Sumarno, 2008). Apabila peraturan tersebut diberlakukan di se-kolah berarti kedisiplinan dimaksudkan seba-gai perilaku dalam mentaati aturan yang ber-laku di sekolah (Murdiono, 2010).

Berdasarkan batasan di atas, maka makna disiplin dalam penelitian ini difokuskan seba-gai kesadaran siswa MTs 1 Mataram dalam mentaati tata tertib sekolah, khususnya terkait dengan jam datang ke sekolah dengan penuh tanggung jawab. Kesadaran tersebut diharap-kan tumbuh sebagai dorongan dari dalam diri siswa tanpa paksaan, sehingga dalam pelak-sanaannya mereka tidak merasa terbebani.

Pembentukan sikap disiplin ditentukan oleh tujuh syarat, tiga diantaranya yaitu ke-sadaran diri, tersedianya tata tertib/peratu-ran, dan adanya sanksi/hukuman (Sumarno, 2008). Oleh karena itu, ciri-ciri siswa yang disiplin, antara lain dapat dikaji dari aspek ketaatan terhadap tata tertib dan bentuk tang-gung jawabnya dalam menjalankan sanksi jika melakukan pelanggaran. Ketaatan terhadap tata tertib sekolah, antara lain ditunjukkan dengan dijalankannya peraturan tersebut atas

Page 3: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

195

dasar kesadaran sendiri dan dirasakan seba-gai suatu kebutuhan. Jika diberikan sanksi, akan dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, tanpa paksaan dan tidak merasa terbe-bani, serta tidak dianggap sebagai hukuman semata, tetapi sebagai suatu bentuk pembela-jaran dari pihak sekolah.

Tujuan penerapan disiplin adalah menum-buhkan rasa tanggung jawab, melalui proses pembiasaan agar siswa dapat menyesuaikam diri dengan norma-norma yang berlaku di se-kolah, keluarga, maupun masyarakat (Soeharto et al, 2012). Kedisiplinan biasanya akan terkait dengan adanya peraturan sebagai pedoman perilaku, konsistensi dalam melaksanakan peraturan, cara yang digunakan untuk me-nanamkannya, dan penghargaan (reward) un-tuk perilaku yang sejalan dengan peraturan yang berlaku (Murdiono, 2007). Hilangnya salah satu bagian penting dalam penanaman kedisiplinan akan menyebabkan munculnya sikap yang kurang menguntungkan pada diri siswa dan akan terjadi ketidaksesuaian dengan standar dan harapan sosial.

Melalui penanaman nilai moral kedisipli-nan diharapkan mampu mendidik siswa un-tuk berperilaku sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh kelompok sosial mereka. Den-gan berbekal sikap disiplin yang ada pada diri seorang siswa akan berpengaruh terhadap aspek kepribadian siswa yang positif pada as-pek lainnya. Kepribadian yang positif tersebut, menurut Murdiono (2007) akan tercapai den-gan beberapa alasan, yaitu a) aturan yang dit-erapkan kepada siswa akan membatasi siswa untuk bisa menahan diri dan tidak bersifat im-pulsif; b) siswa akan belajar bahwa tidak semua keinginannya itu selalu bisa dipenuhi, mengin-gat apa yang menjadi keinginannya selalu ada batasnya; c) siswa juga akan memiliki komit-men atas apa yang dilakukannya, taat pada aturan dan tidak bersikap semaunya sendiri.

Berdasarkan pemahaman dan alasan tersebut, maka tujuan penerapan disiplin, tidak hanya diarahkan untuk kepentingan siswa, tetapi juga untuk kepentingan sekolah. Bagi siswa, tujuannya adalah agar dalam diri siswa terbentuk sikap disiplin. Selanjutnya, sikap disiplin tersebut dapat diterapkan, baik di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat. Bagi sekolah, tujuannya adalah agar kondisi sekolah menjadi kondusif seh-ingga semua program sekolah dapat berjalan lancar.

Faktor penyebab siswa datang terlambat ke sekolah yang banyak terindentifikasi, di-antaranya: tidak suka kepada gurunya (ka-

rena model pembelajarannya kurang kreatif dan inovatif), belum siap mengikuti kegiatan pembelajaran (belum mengerjakan PR) (Sumar-no, 2008); jarak rumah yang jauh, terkendala transportasi (Sudiyo, 2009); kurang suka terh-adap pelajaran tertentu, kondisi keluarga yang broken home (Syavanah & Naqiyah, 2010).

Dalam hal penegakan disiplin, sekolah tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi harus melibatkan keluarga. Alasannya, karena kelu-arga merupakan lembaga pertama dan utama dalam pembentukan disiplin seorang anak. Le-stari (2012) menyatakan bahwa pendisiplinan yang dilakukan oleh keluarga dimaksudkan agar anak dapat menguasai suatu kompeten-si, melakukan pengaturan diri, dapat menaati aturan, dan mengurangi perilaku-perilaku me-nyimpang atau berisiko.

Pihak sekolah membutuhkan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan disiplin siswa, agar secara sadar berupaya untuk me-nyesuaikan perilakunya sendiri. Diharapkan dengan teknik penyesuaian perilaku maka siswa dapat menggantinya dengan perilaku yang benar guna meningkatkan disiplin wak-tunya (Zahrifah & Darminto, 2010). Sumarno (2008) menyatakan bahwa ada tujuh hal yang membentuk sikap disiplin, yaitu: kesadaran diri, peraturan/tata tertib, alat pendidikan, keteladanan, hukuman, lingkungan yang disi-plin, latihan dan pembiasaan.

Aplikasi Konseling Keluarga untuk Meningkatkan Ke-displinan Siswa

Konseling keluarga adalah pemberian kon-seling yang bersifat khusus dan termasuk salah satu contoh terapi sistemik, bertujuan untuk memfasilitasi perubahan pada level sis-tem, yakni menjadikan keluarga sebagai unit terapi sehubungan dengan masalah yang diha-dapi oleh anggota keluarga tersebut (McCleod, 2010; Latipun, 2011).

Tujuan konseling keluarga oleh para ahli dirumuskan secara berbeda (Latipun, 2011). Tujuan konseling keluarga antara lain men-gubah struktur dalam keluarga, dengan jalan menyusun kembali kesatuan dan menyem-buhkan perpecahan di dalam dan di antara anggota keluarga. Sementara itu, Ellis-Chris-tensen (2012) menyebutkan bahwa konseling keluarga ditujukan untuk membantu keluarga yang anggotanya mengalami gangguan mental atau psikis sehingga memiliki kebiasan atau berperilaku negatif.

Tahapan pelaksanaan konseling keluarga di sekolah mengacu pada teori yang dikemu-

Page 4: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

196

kakan oleh Crane (1995), dan Latipun (2011), yakni terdiri atas empat tahapan. Keempat tahapan tersebut adalah: (a) orang tua perlu diberitahukan tentang perilaku-perilaku al-ternatif, dapat dilakukan melalui tugas mem-baca dan sesi pengajaran, (b) setelah orang tua memperoleh pemahaman, selanjutnya konse-lor menunjukkan kepada orang tua bagaimana cara menerapkan ide tersebut kepada anak, (c) selanjutnya orang tua mencoba mengimple-mentasikan prinsip-prinsip yang telah dipela-jarinya menggunakan situasi sesi terapi, (d) setelah mempelajarinya dalam situasi terapi, selanjutnya orang tua dapat mencoba mener-apkannya di rumah. Pada tahap ini, konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengama-ti kemajuan yang diperoleh.

Kondisi psikologis siswa di Sekolah Lanju-tan Tingkat Pertama merupakan masa transisi, baik dari lembaga pendidikan sekolah dasar menuju SLTA, maupun dari masa perkem-bangan anak-anak menuju remaja, maka keg-iatan konseling yang utama adalah bagaimana menyikapi dan membantu siswa menjalani ma-sa-masa transisi tersebut. Gibson & Mitchell (2011) mengemukakan beberapa kasus yang banyak terjadi pada siswa di SLTP, diantara-nya:

Konflik di antara teman sebaya, problem keluarga yang mengimbas pada rasa percaya diri, problem semangat dan harga diri, problem lingkungan yang harus diselesaikan melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait (mis-alnya polisi, dokter, dan lain-lain), masalah ke-sulitan belajar (menasehatkan metode belajar tertentu), ada suasana dan atmosfir pengajaran guru-guru yang perlu disikapi (misalnya me-nyikapi perasaan siswa jika guru tertentu tidak menyukainya), ada kelemahan dan batasan fisik yang perlu dikuatkan, dan sejumlah per-soalan yang terkait dengan persoalan ekonomi keluarga.

Sebagai lembaga pendidikan yang mem-bina anak didik dengan latar sosial budaya dan psikologis yang beraneka ragam, maka layanan konseling di sekolah diarahkan un-tuk membantu siswa mengatasi permasalahan yang terkait dengan masalah pribadi, sosial, ekonomi, agama, moral, belajar, dan vokasion-al (Willis, 2009; Latipun, 2011). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa untuk melakukan penyesuaian waktu anak dengan tata tertib sekolah, diperlukan peran serta dari keluarga. Oleh karena itu, pelibatan keluarga dalam menangani permasalahan siswa MTs Negeri 1 Mataram (khususnya yang terkait dengan siswa yang datang terlambat), adalah

pendekatan yang logis karena mereka merupa-kan bagian dari keluarga sebagai sebuah sis-tem.

Intervensi untuk Peningkatan Displin dan Penyesuaian Waktu Siswa

Masa transisi yang dialami siswa sekolah me-nengah pertama ditandai oleh terjadinya gese-kan antara sistem nilai yang coba dibangun sendiri oleh siswa dengan norma-norma atau peraturan yang dibuat oleh sekolah (Gibson & Mitchell, 2011), membuat sebagian siswa MTs menjadi terkekang dan merasa dibatasi (dia-tur). Respon mereka terhadap penerapan tata tertib sekolah tidak semua positif, bahkan di-anggapnya terlalu kaku. Untuk itu, mereka perlu diberikan layanan konseling agar dapat memahami tujuan diberlakukannya tata tertib sekolah.

Pemilihan konseling keluarga sebagai strategi untuk menangani masalah siswa ter-lambat didasari beberapa alasan utama, di-antaranya, yaitu: (1) Keterbatasan mobilitas anak. Usia siswa MTs yang masih di bawah 17 tahun, tidak memungkinkan mereka mem-bawa motor sendiri karena belum dibolehkan membuat SIM, akibatnya peran keluarga un-tuk antar jemput ke sekolah sangat dibutuh-kan. Oleh karena itu, terlambat tidaknya siswa tiba di sekolah, sangat tergantung pada ketepa-tan waktu selama proses pengantaran ke se-kolah oleh pihak keluarga (orang tua). Dalam hal ini, dibutuhkan pengertian orang tua un-tuk senantiasa mengantar anaknya lebih awal agar tidak terlambat tiba di sekolah. (2) Peran orang tua yang sangat sentral dalam pendisi-plinan anak, karena menurut Hansen & Cal-lender (2005 dalam Coyne & Beckman, 2012: 109) waktu anak untuk berinteraksi di sekolah relatif lebih singkat dibandingkan dengan waktu yang dihabiskannya bersama orang tua dalam keluarga. Hasil penelitian Erlendsdottir (2010) juga menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak berpengaruh positif terhadap prestasi belajarnya di sekolah. Oleh karena itu, maka wajar jika orang tua lebih banyak waktu untuk menanamkan dan mengawasi proses pendisiplinan, termasuk pe-nanaman nilai-nilai untuk mentaati tata tertib sekolah. (3) Salah satu penyebab terjadinya pelanggaran terhadap tata tertib di sekolah adalah kurangnya dukungan dan partisipasi orang tua dalam menangani disiplin sekolah (Brown, 2007; Rachmawati, 2011). Oleh karena itu, melalui pola penanganan yang kolaboratif (family-school-collaboration), yakni dengan ber-

Page 5: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

197

bagi tugas dan tanggung jawab bersama orang tua dalam menangani masalah siswa (Mul-wanda et al., 1995; Christenson, 2002; Roffey, 2004; Hudson et al., 2005; USDE, 2009; Minke, 2010), terutama dalam hal ketepatan datang siswa di sekolah, diharapkan dapat menekan frekuensi keterlambatan siswa MTs.

Metode Penelitian

Desain Penelitian

Penelitian ini didesain menggunakan metode eksperimen dengan desain perlakuan ulang. Perlakuan yang diberikan adalah konseling keluarga pada satu kelompok dan tanpa per-lakuan di kelompok yang kedua.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah siswa yang memiliki frekuensi terlambat ≥ 6 kali. Dari sejumlah siswa yang terlambat, selanjutnya terpilih 7 orang siswa yang memenuhi kriteria tersebut, dengan rincian 4 orang kelas IX dan 3 orang kelas VIII; 5 orang laki-laki dan 2 orang pe-rempuan.

Lama Penanganan

Lama penanganan untuk setiap siswa dibatasi antara 2-3 kali (sekali penanganan per ming-gu). Adapun pertimbangannya bahwa peneliti hanya membatasi untuk menangani 1-2 orang siswa beserta orang tuanya per hari.

Tahapan Pelaksanaan Konseling Keluarga

Tahapan pelaksanaan konseling keluarga di sekolah mengacu pada teori yang dikemuka-kan oleh Crane (1995), dan Latipun (2011), yakni terdiri atas empat tahapan. Berdasarkan teori tersebut, dan setelah menyesuaikan den-gan kondisi yang ada di sekolah, maka tahapan

konseling keluarga yang dilakukan untuk me-nangani kasus siswa terlambat dalam peneli-tian ini juga dibagi menjadi 4 tahapan. Keg-iatan yang dilakukan pada ke empat tahapan tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Kegiatan pada ke empat tahap konseling dilakukan selama 3 kali pertemuan, dengan alokasi waktu 90 menit untuk setiap perte-muan. Rincian alokasi waktu adalah sebagai berikut: 1 kali pertemuan untuk tahap 1, 1 kali pertemuan untuk tahap 2 dan tahap 3, dan 1 kali pertemuan untuk tahap 4.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian, yaitu menggunakan dokumentasi, observasi, dan wawancara. Teknik dokumentasi digunakan untuk menelusuri dan menentukan identitas siswa yang terlambat. Data identitas siswa diperoleh dari Guru Piket atau pun dari Wali Kelas.

Teknik observasi digunakan untuk menga-mati perubahan kehadiran dan perilaku siswa di sekolah sebelum dan sesudah perlakuan. Kegiatan observasi dilakukan selama 3 minggu (18 hari) untuk mengetahui jam datang siswa sebelum perlakuan. Setelah dilakukan per-lakuan selama 2 minggu (12 hari), dilakukan lagi observasi selama 3 minggu (18 hari) untuk mengetahui perubahan jam datang siswa sesu-dah perlakuan. Untuk menghindari kecurigaan siswa (siswa tidak merasa diamati), peneliti me-minta bantuan Satpam sekolah dan guru piket untuk mencatat jam datang siswa responden di sekolah selama kegiatan penelitian.

Teknik wawancara digunakan untuk mem-peroleh informasi dari siswa tentang faktor penyebab datang terlambat ke sekolah. Selain itu, teknik ini juga digunakan dalam pemberian konseling keluarga selama kegiatan penelitian.

Teknik Analisis Data

Ada 2 variabel yang diamati dalam penelitian ini, yaitu data kemampuan penyesuaian wak-tu siswa, dan data peningkatan kedisiplinan siswa.

Data tentang kemampuan penyesuaian waktu siswa dianalisis secara deskriptif, pen-yajian data dalam bentuk tabel, ataupun grafik, dan tidak digunakan untuk menguji hipotesis.

Muchson (2006) menyatakan bahwa ana-lisis deskriptif hanya berupa akumulasi data dasar dalam bentuk deskripsi, dan tidak di-gunakan untuk mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji hipotesis, membuat

Tabel 1. Identitas subjek penelitian

Siswa Kelas Jenis kelamin Jumlah kali terlambat

1.2.3.4.5.6.7.

A.N.M.A.P.A.A.T.F.H.G.F.M.M.N.Z.

IX.3IX.3IX.4IX.4VIII.4VIII.7VIII.7

Laki-lakiLaki-lakiLaki-lakiLaki-lakiLaki-laki

PerempuanPerempuan

6765867

Page 6: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

198

ramalan, atau melakukan penarikan kesimpu-lan.

Untuk data tentang peningkatan kedisipli-nan siswa, terdiri atas frekuensi siswa terlam-bat, dan jumlah siswa terlambat. Kedua data ini dianalisis dengan uji tanda Wilcoxon, dan digunakan untuk menguji hipotesis.

Deskripsi Data

Faktor penyebab siswa terlambat

Faktor penyebab dan jumlah kasus berbeda sebelum dan sesudah perlakuan. Jumlah fak-tor penyebab dan kasus terlambat sebelum perlakuan relatif lebih banyak, yaitu 4 dan 60, berbanding 3 dan 6 setelah perlakuan. Terjadi penurunan sebesar 25% terhadap faktor pe-nyebab dan 90% terhadap jumlah kasus ter-lambat setelah perlakuan.

Rata-rata jam datang siswaRata-rata jam datang siswa berbeda sebelum dan setelah perlakuan. Terjadi peningkatan rata-rata jam datang siswa setelah perlakuan, baik pada masing-masing siswa responden maupun secara keseluruhan. Rata-rata jam datang siswa menjadi lebih awal, yakni dari 7:20 sebelum perlakuan menjadi 6:37 setelah perlakuan. Data tersebut dapat dilihat pada ta-bel 4.

Frekuensi siswa terlambat

Frekuensi siswa terlambat berbeda sebelum dan setelah perlakuan. Terjadi penurunan frekuensi siswa terlambat 10 kali, yaitu dari

total 60 kali menjadi 6 kali; atau dari rata-rata 8,57 sebelum perlakuan menjadi 0,857. setelah perlakuan (Gambar 1). Hasil uji tanda Wilcoxon terhadap frekuensi siswa terlambat sebelum dan sesudah perlakuan menunjukkan bahwa nilai J hitung adalah 0, sehingga H1 diterima.

Jumlah siswa terlambat per hari

Jumlah siswa terlambat per hari berbeda sebe-lum dan setelah perlakuan. Jumlah siswa ter-lambat per hari bervariasi, namun secara kes-eluruhan terjadi penurunan setelah diberikan perlakuan (Gambar 2). Hasil uji tanda Wilcoxon terhadap jumlah siswa terlambat per hari se-belum dan sesudah perlakuan menunjukkan bahwa nilai J hitung adalah 0 sehingga H1 di-terima.

Pengujian Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu “Konseling keluarga dapat meningkat-

Tabel 3. Faktor penyebab siswa terlambat sebelum dan sesudah perlakuan

Sebelum perlakuan

Jumlah

Sesudah perlakuan

Jumlah

Tela

t tid

ur

Tela

t ba

ngun

Tung

gu p

enga

ntar

Mac

et d

i jal

an

Tela

t tid

ur

Tela

t ba

ngun

Tung

gu p

enga

ntar

Mac

et d

i jal

an

1.2.3.4.5.6.7.

A.N.M.A.P.A.A.T.F.H.G.F.M.M.N.Z.

414111

4254434

13--133

222221

11897889

-------

1--11--

---- --1

1---1--

2001201

Jumlah 12 26 11 11 60 - 3 1 2 6

Tabel 4. Rata-rata jam datang siswa responden sebelum dan setelah perlakuan

Nama siswa Rata-rata jam datang

Sebelum perlakuan

Setelah perlakuan

1.2.3.4.5.6.7.

A.N.M.A.P.A.A.T.F.H.G.F.M.M.N.Z.

7:227:217:227:217:207:187:20

6:426:376:316:426:426:296:36

Rata-rata 7:20 6:37

Page 7: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

199

kan kedisiplinan siswa melalui peningkatan ketepatan siswa datang di MTsN. 1 Mataram tahun pelajaran 2013/2014”. Ada 2 indikator yang dianalisis terkait dengan hipotesis ini, yaitu frekuensi siswa terlambat, dan jumlah siswa terlambat per hari. a. Hasil analisis terhadap frekuensi siswa ter-

lambat, menunjukkan bahwa nilai J hitung (0) lebih kecil dari nilai J tabel (2); sehingga Ho ditolak, dan Ha diterima. Artinya frek-uensi siswa terlambat sebelum dan setelah perlakuan berbeda nyata.

b. Hasil analisis terhadap jumlah siswa terlambat per hari, menunjukkan bahwa nilai J hitung (0) lebih kecil dari nilai J tabel (40); sehingga Ho ditolak, dan Ha diterima. Artinya jumlah siswa terlambat per hari sebelum dan setelah perlakuan berbeda nyata.

Berdasarkan hasil analisis kedua indika-tor tersebut, maka hipotesis yang menyatakan bahwa konseling keluarga dapat meningkatkan kedisiplinan siswa melalui peningkatan ketepa-tan siswa datang di sekolah dapat diterima.

Pembahasan

Secara umum, hasil analisis data menunjuk-kan bahwa penanganan dengan konseling keluarga dapat meningkatkan kemampuan siswa menyesuaikan waktu dengan tata tert-ib sekolah. Peningkatan ini ditunjukkan oleh berkurangnya faktor penyebab siswa terlam-bat, dan berkurangnya kasus terlambat. Se-lain itu, konseling keluarga juga dapat men-ingkatkan ketepatan siswa datang ke sekolah. Hal ini ditunjukkan oleh berkurangnya frekue-nsi siswa terlambat, dan berkurangnya jumlah siswa terlambat per hari.

Penanganan dengan konseling keluarga dapat mengurangi jumlah faktor penyebab terlambat dan jumlah kasus terlambat. Jum-lah faktor penyebab dan jumlah kasus terlam-bat sebelum perlakuan dari semula 4 dan 60, masing-masing berkurang menjadi 3 dan 6 setelah perlakuan. Melalui konseling keluarga, diperoleh informasi, baik dari siswa responden maupun orang tua, bahwa penyebab terlambat sebelum perlakuan didominasi oleh faktor in-ternal keluarga (berasal dari dalam diri siswa dan keluarganya). Dari empat faktor penyebab keterlambatan, 3 diantaranya merupakan fak-tor internal, yaitu telat tidur 12 kasus (20,00%), telat bangun 26 kasus (43,33%), dan tunggu pengantar 11 kasus (18,33%), sedangkan ma-cet di jalan yang merupakan faktor eksternal sebanyak 11 kasus (18,33%).

Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor penyebab, maka siswa dan orang tua menya-dari bahwa penyebab utama kasus keterlam-batan adalah telat tidur, telat bangun, dan menunggu pengantar. Oleh karena itu, solus-inya adalah dilakukan penanganan intensif terhadap ketiga faktor penyebab tersebut. Hal ini didasari asumsi bahwa terjadinya kasus macet di jalan merupakan dampak langsung dari ketiganya.

Telat tidur dan telat bangun merupakan dua faktor penyebab yang dominan. Kedu-anya, merupakan penyumbang terbesar, ka-

Gambar 1. Frekuensi siswa terlambat sebelum dan sesudah konseling keluarga

Tabel 4. Rata-rata jam datang siswa responden sebelum dan setelah perlakuan

No. Nama siswa Rata-rata jam datang

Sebelum perlakuan

Setelah perlakuan

1.2.3.4.5.6.7.

A.N.M.A.P.A.A.T.F.H.G.F.M.M.N.Z.

7:227:217:227:217:207:187:20

6:426:376:316:426:426:296:36

Rata-rata 7:20 6:37

Page 8: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

200

rena perannya lebih dari setengah (38 kasus) atau 63,33% sebagai penyebab keterlam-batan siswa. Menurut informasi dari siswa responden, bahwa mereka telat tidur bukan karena kegiatan belajar, tetapi karena kegia-tan non akademik, misalnya main PS, inter-netan, dan menonton sepakbola. Terjadinya kasus telat tidur, dengan kegiatan yang tidak produktif, menunjukkan lemahnya penga-wasan orang tua, padahal tidur larut malam bagi anak, berarti akan memotong sebagian waktu yang seharusnya digunakan otak untuk istirahat. Menurut Amelia (2013) waktu tidur terbaik untuk usia remaja antara pukul 9-12 malam, dengan asumsi tidur 7 jam, maka akan terbangun pukul 4-5 pagi. Jika kurang, akan berdampak terhadap berkurangnya konsentra-si, kewaspadaan, penalaran, dan kemampuan menganalisis masalah.

Solusi penanganan yang dilakukan orang tua adalah mengatur pola tidur anak, melalui pembiasaan waktu tidur yang teratur. Peng-aturan ini, dilakukan dengan mempercepat waktu tidur dan mencukupi kebutuhan istira-hat harian sehingga siswa tidak merasa terlalu berat saat akan bangun dan tidak mengantuk di sekolah. Caranya, dengan mengurangi ak-tivitas non akademik, dan menjadwalkan tidur di siang hari.

Penanganan terhadap kasus telat tidur dan telat bangun saja, tidak cukup tanpa dii-kuti oleh penanganan terhadap kasus men-unggu pengantar. Alasannya, anak yang sudah siap sejak pagi, tidak serta merta dapat lang-sung berangkat, karena harus menunggu lagi kesiapan pihak pengantar (orang tua/anggota keluarga yang lain) yang akan mengantarnya ke sekolah. Di sini juga masih sering terken-dala, karena orang tua yang akan mengantar masih menyesuaikan waktu dengan jadwal keberangkatannya ke kantor. Jika kakaknya yang mengantar, mereka menyesuaikan waktu dengan jadwalnya di sekolah/kampus. Lebih berisiko lagi untuk terlambat, jika yang akan diantar lebih dari satu orang dengan lokasi se-kolah yang berbeda.

Waktu keberangkatan siswa dari rumah yang lebih awal, menghindarkan siswa dari risiko macet, karena suasana jalan masih sepi dan lancar, sehingga siswa lebih cepat sampai di sekolah. Macet biasanya akan terjadi pada jam-jam sibuk, yaitu saat karyawan masuk ke kantor dan siswa berangkat ke sekolah. Oleh karena itu, pilihan orang tua untuk berangkat lebih awal merupakan salah satu solusi men-gatasi permasalahan keterlambatan siswa. Ini membuktikan bahwa peran aktif orang tua

dapat membantu siswa dalam mengatasi per-masalahan yang berkaitan dengan jam datang mereka di sekolah. Hal ini sesuai dengan pern-yataan Brown (2007), dan Rachmawati (2011) bahwa salah satu penyebab terjadinya pelang-garan terhadap tata tertib di sekolah adalah kurangnya dukungan dan partisipasi orang tua dalam menangani disiplin sekolah. Kusdiyati et al., (2011) juga mengemukakan bahwa ke-mampuan siswa menerima tata tertib sekolah, salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan di rumah, terutama pola asuh orang tua.

Menurunnya frekuensi siswa terlambat merupakan indikasi terbinanya kerjasama yang baik antara siswa, orang tua dan pihak sekolah. Sebelumnya, orang tua kurang men-gawasi aktivitas anak, sehingga berdampak kurang baik terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah, maka dengan perlakuan konseling keluarga, mereka mulai menyadari sekaligus melakukan bimbingan dan pengawasan terkait dengan aktivitas belajar, bermain, dan jadwal tidur anak. Hal tersebut, direspon positif oleh anak, karena terpenuhinya kebutuhan psikis mereka, dalam hal perhatian, kasih sayang, arahan, dorongan, dan penumbuhan rasa percaya diri. Dampaknya, anak mulai dapat menyesuaikan aktivitasnya dengan tuntu-tan pemenuhan terhadap kebutuhan pribadi, harapan orang tua, dan tuntutan tata tertib se-kolah. Di sinilah pentingnya keterlibatan orang tua, karena selain mencukupi kebutuhan fisik (fasilitas pembelajaran), mereka juga berke-wajiban memberikan dukungan moral. Baik dukungan fisik maupun moral, keduanya san-gat menentukan kelancaran aktivitas pemb-elajaran anak di sekolah. Hal ini menguatkan pernyataan Kahraman & Derman (2012) bahwa orang tua merupakan guru pertama siswa, se-hingga menurut Carter & Perluss (2008), dan Glass et al., (2010), apabila dilibatkan secara kolaboratif dalam menangani permasalahan siswa di sekolah, maka akan dapat meningkat-kan akselerasi dan keseimbangan hasil belajar siswa.

Berkurangnya jumlah siswa terlambat per hari menunjukkan betapa pentingnya keter-libatan orang tua dalam proses pembiasaan disiplin anak. Jika sebelumnya, perhatian orang tua tidak terlalu fokus terhadap jadwal keberangkatan anak ke sekolah, maka dengan konseling keluarga, orang tua menjadi semak-in peduli. Komunikasi di antara mereka juga menjadi lebih intens. Artinya, terjadi pening-katan harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak. Dengan adanya perhatian dan ter-penuhinya kebutuhan belajar dari orang tua,

Page 9: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

201

maka motivasi siswa dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di sekolah akan me-ningkat. Fakta ini membuktikan bahwa peran orang tua sangat sentral dalam pendisiplinan anak. Hal ini wajar, karena menurut Hansen & Callender (2005 dalam Coyne & Beckman, 2012: 109) bahwa waktu anak untuk berinter-aksi di sekolah relatif lebih singkat dibanding-kan dengan waktu bersama orang tua dalam keluarga.

Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa layanan konseling keluarga melalui pengaturan pola tidur yang diikuti dengan jad-wal pengantaran yang lebih awal merupakan langkah solutif dalam mengatasi permasalah-an keterlambatan siswa di MTsN 1 Mataram. Solusi tersebut, berdampak secara langsung terhadap berkurangnya faktor penyebab keter-lambatan siswa, dan meningkatnya rata-rata jam datang siswa, serta berkurangnya secara nyata frekuensi, dan jumlah siswa terlambat per hari.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pemba-hasan, disimpulkan: Konseling keluarga dapat meningkatkan kemampuan siswa menyesuai-kan waktu dengan tata tertib sekolah. Hal ini ditunjukkan oleh berkurangnya faktor pe-nyebab terlambat dan kasus terlambat, serta lebih cepatnya rata-rata jam datang siswa, dan Konseling keluarga dapat meningkatkan ketepatan siswa datang ke sekolah. Hal ini di-tunjukkan oleh berkurangnya frekuensi siswa terlambat dan jumlah siswa terlambat per hari.

Daftar Pustaka

Amelia, M., (2013). Waktu Tidur yang Sehat Bagi Remaja dan Dewasa. Diakses 15 Desember 2013 dari http://id.omg.yahoo.com/news/pacaran-beda-agama-franda-dan-bisma-saling-menghormati-181400592.html.

Brown, T. M., (2007). Lost and turned out: academic, social, and emotional experiences of students excluded from school. Urban Education, 42 (5), 432-455.

Bryan, J., (2005). Fostering educational resilience and achievement in urban schools through school-family-community partnerships. Profes-sional School Counseling, 8 (3), 219-227.

Canfield, B. S., Ballard, M. B., Osmon, B. C. & Mc-Cune, C., (2004). School and family counselors work together to reduce fighting at school. Pro-fessional School Counseling, 8 (1), 40-46.

Carter, M. J. & Evans, W. P., (2008). Implementing school-based family counseling: strategies, ac-tivities, and process considerations. Internation-al Journal for School-Based Family Counseling, 1 (1), 1-21.

Carter, M. J. & Perluss, E., (2008). Development in training school-based family counselors: The school-based family counseling (SBFC) Gradu-ate Program at California State University, Los Angeles. International Journal for School-Based Family Counseling, 1 (1), 49-56.

Carter, M. J., (2011). The School-Based Family Counseling Symposium: A happy union and the 7-year itch. International Journal for School-Based Family Counseling, 3, 1-6.

Carter, M. J., Evans, W. P., Zapata, J. & Taifa, A., (2011). School-Based Family Counseling Evalu-ation: warm feelings, perilous paradigms & em-pirical hopes. International Journal for School-Based Family Counseling, 3, 1-11.

Christenson, S. L., (2002). Collaborative family-school relationship for children’s learning: belief and practices. Virginia Department of Educa-tion.

Coyne, R. & Beckman, T. O., (2012). Loss of parent by death: determining student impact. Interna-tional Journal of Psychology: A Biopsychosocial Approach, 10, 109-123.

Crane, D. R., (1995). Introduction to behavioral fam-ily therapy for family with young children. Jour-nal of Family Therapy, 17, 229-242.

Depdikbud, (1991). Kamus Besar Bahasa Indone-sia. Jakarta: Balai Pustaka.

Deslandes, R., (2001). A vision of home-school partnership: three complementary conceptual frameworks. Paper was presented at the ER-NAPE Conference 2001 and published in the proceedings: “A Bridge to the Future - Collabo-ration between Parents, Schools and Communi-ties” (2001) ed. F. Smit, K. van der Wolf & P. Sleegers. ITS Stichting Katholieke Universiteit to Nijmegen NL. Its accessible online at http://www.its.kun.nl/web/publikaties/pdf-files/rap-porten/aBridgetothefuture.pdf

Erlendsdottir, G., (2010). Effect of parental involve-ment in education: a case study in Namibia. M.Ed. thesis, Faculty of Education Studies, Uni-versity of Iceland.

Everts, H., (2008). Integrating supportive care in schools with the enhancement of family resil-ience-a New Zealand project for immigrant fami-lies. International Journal for School-Based Fam-ily Counseling, 1 (1), 1-13.

Gerrad, B., (2008). School-based family counseling: overview, trends, and recommendations for fu-ture research. International Journal for School-Based Family Counseling, 1 (1), 6-24.

Page 10: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

202

Gibson, R. L. & Mitchell, M. H., (2011). Bimbingan dan konseling (terjemahan oleh Santoso, Y.). Yo-gyakarta: Pustaka Pelajar.

Glass, J. S. & Dotson-Blake, K. P., (2010). Adven-ture based counseling and school-based family counseling: incorporating experiential educa-tion into the school. International Journal for School-Based Family Counseling, 2, 1-16.

Hamidi, (2010). Metode penelitian kualitatif. Ceta-kan 2. Malang: UMM Press.

Hara, S. R. & Burke, D. J., (1998). Parent involve-ment: the key to improved student achievement. School Community Journal, 8 (2), 219-228.

Hudson, P. E., Windham, R. C. & Hooper, L. M., (2005). Characteristics of school violence and the value of family-school therapeutic alliances. Journal of School Violence, 4 (2), 133-146.

Hinkle, J. S. & Wells, M. E., (1995). Family coun-seling in the school: effective strategies and inter-ventions for counselors, physchologists and ther-apists. School of Education, University of North Carolina, Greensboro. North Carolina: ERIC/CASS Publications.

Kahraman, P. B. & Derman, M. T., (2012). The view of primary and preschool education teachers about home visiting: a study in Turkey. The On-line Journal of Counseling and Education, 1 (3), 107-117.

Kean-Davis, P. E., (2005). The influence of parent education and family income on child achieve-ment: the indirect role of parental expectations and the home environment. Journal of Family Psychology, 19 (2), 294-304.

Kusdiyati, S., Halimah, L. & Faisaluddin, 2011. Pe-nyesuaian Diri di Lingkungan Sekolah pada Siswa Kelas XI SMA Pasundan 2 Bandung. Hu-manitas, 8 (2), 172-194.

Latipun, (2010). Psikologi eksperimen, Edisi II. Ma-lang: UMM Press.

Latipun, (2011). Psikologi konseling. Edisi III. Ma-lang: UMM Press

Mas’udi, A., (2000). Pendidikan pancasila dan ke-warganegaraan. Yogyakarta: PT Tiga Serangkai.

Marchetti-Mercer, M. C., (2008). The value of us-ing a school-based family counseling approach following an incident of school violence: A case study. International Journal for School-Based Family Counseling, 1 (1), 1-15

McLeod, J., (2003). Pengantar konseling: teori dan studi kasus (terjemahan oleh Anwar, A.K ). Jakarta: Kencana.

Minke, K., (2010). Helping teachers develop pro-ductive working relationship with families: the CORE model of family-school collaboration. International Journal for School-Based Family Counseling, 2, 1-13.

Morotti, A., (2010). The Copper River Project: laying

the foundation for School-Based Family Coun-seling with Alaska’s indegenous populations. International Journal for School-Based Family Counseling, 2, 1-14.

Muhson, A., 2006. Teknik analisis kuantitatif. Di-akses 10 Desember 2013 dari http://staff.uny.ac.id/

Mulwanda, V, D., Thornburg, K. R., Filbert, L. & Klein, T., (1995). Collaboration of services for children and families: a synthesis of recent re-search and recommendations. Family Relations, 44 (2), 219-223.

Murdiono, M., (2007). Penanaman nilai moral ke-disiplinan pada siswa SMP melalui mata pelaja-ran pendidikan kewarganegaraan. Jurusan PKn dan Hukum, FISE UNY. Diakses 25 Februari 2013 dari http://staff.uny.ac.id

Rachmawati, R. F., (2011). Sistem pengambilan keputusan terhadap ketidakdisiplinan siswa SMP di SMP YZA 1 Kota Bogor. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Informasi, 2, 1-10.

Rayburn, C., (2004). Assessing students for moral-ity education: a new role for school counselors. Professional School Counseling, 7 (5), 356-362.

Reupert, A. & Maybery, D., (2010). Families af-fected by parental mental illness: Australian programs, strategies and issues. The (missing) role of schools. International Journal for School-Based Family Counseling, 2, 1-16.

Roffey, S., (2004). The home-school interface for behavior: a conceptual framework for co-con-structing reality. Educational and Child Psy-chology, 21 (4), 95-108.

Soeharto, Mardiyati, S., Jannah, W., Chodijah, H.A., & Muslim, M., (2012). Tingkat pencapaian tu-gas-tugas perkembangan siswa ditinjau dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya, pada siswa-siswa SMP Negeri di Kota Surakarta tahun 2012. Universitas Sebelas Maret, Sura-karta. Diakses 20 Februari 2013 dari http://soeharto.staff.fkip.uns.ac.id/2012/02/04/hello-world/

Smith, A., (2011). The experience and reflections of parents whose teenagers are excluded from school, with particular attention to the place of counseling. International Journal for School-Based Family Counseling, 3, 1-14.

Smith, A., (2012). Critical reflections on a New Zea-land school from a school-based family coun-seling perspective. International Journal for School-Based Family Counseling, 4, 1-13.

Sri Lestari, (2012). Psikologi keluarga: penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

Sudarso, (2007). Prosedur penelitian. Suyanto, B. dan Sutinah (Ed.), Metode penelitian sosial: ber-bagai alternatif pendekatan. (2007). Cetakan 3.

Page 11: JURNAL PENERAPAN KONSELING KELUARGA (REFERENSI)

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203

203

Jakarta: Kencana.Sudiyo, (2009). Upaya peningkatan kedisiplinan

masuk sekolah pada jam pertama melalui hukuman berjenjang siswa kelas VIIC SMP2 Randublatung semester gasal tahun pelajaran 2008/2009. 2 (6), 18-24. Diakses 20 Desember 2012 dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/ jur-nal/26091824.pdf

Sugiyono, (2011). Metode Penelitian Pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sumarno, J., (2008). Minimalisasi pelanggaran disi-plin di sekolah melalui efektivitas kinerja tim kedisiplinan. Widyagama, 5 (2), 23-30.

Sung, H. Y., (2012). Nurturing emotional intelligence through a home-school partnership: using teacher training as basis for school-based fam-ily counseling. International Journal for School-Based Family Counseling, 4, 1-10.

Sutrisno, H., (2009). Kasus perilaku pelanggaran disiplin siswa di sekolah, ditinjau dari kerang-ka teori sosiologi fungsionalisme. Diakses 20 Nopember 2012 dari http://jurnaljpi.files.word-press.com/ 2009/09/vol-4-no-2-heru-sutrisno.pdf,

Suyitno, I., (2011). Karya tulis ilmiah: panduan, teori, pelatihan dan contoh. Bandung: Refika Aditama.

Syavanah, E. N. & N. Naqiyah, (2010). Penerapan konseling kelompok realita untuk meningkat-kan disipin belajar siswa. Diakses 20 Nopember 2012 dari ppb.jurnal.unesa.ac.id/

Terry, L. L., (2002). Family counseling in the school: a graduate course. The Family Journal: Coun-seling and Theraphy for Couples and Families, 10 (4), 419-428.

Tisone, D. & Goodell, J., (2012). The interaction be-tween human development and social media: implications for school-based family counselors. International Journal for School-Based Family Counseling, 4, 1-13.

USDE, (2009). Strategies for effective collaboration with parents, school and community members. Unsafe School Choice Option Training and Technical Assistance Project of New Jersey De-partment of Educaton, United States Depart-ment of Education.

van Sclhalkwyk, G. J., (2011). Saving faces: Hierar-chical positioning in family school relationships in Macao. International Journal for School-Based Family Counseling, 3, 1-12.

Willis, S. S., (2009). Konseling individual: teori dan praktik. Bandung: Alfabeta.

Wulandari, F. D. & Muhari, (2008). Penerapan kon-seling kelompok dengan strategi self modelling untuk meningkatkan disiplin belajar siswa. Diakses 20 Nopember 2012 dari ppb.jurnal.un-esa.ac.id/..../ Penerapan Konseling Kelompok Realita untuk.....

Zahrifah, F. L. & E. Darminto, (2010). Penggunaan strategi pengelolaan diri untuk meningkatkan disiplin belajar siswa. Diakses 20 Nopember 2012 dari ppb.jurnal.unesa.ac.id/..../ Penggu-naan Strategi Pengelolaan Diri untuk...