jurnal pediatrica is

21
Efikasi Induksi Sputum dari Saluran Pernapasan Bawah pada Anak ABSTRAK Latar Belakang: Meskipun sputum merupakan spektrum yang baik untuk berbagai pemeriksaan, seperti sitologi dan kultur mikrobiologi, induksi sputum (IS) bukan merupakan prosedur rutin pada anak. Tujuan: Untuk mengidentifikasi efikasi IS untuk memperoleh spesimen dari saluran pernapasan bawah pada anak, mengidentifikasi efek samping IS, dan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Metode: Studi cross-sectional dilakukan pada anak (berusia 1 bulan – 18 tahun) yang menjalani IS. Induksi sputum dilakukan dengan inhalasi dengan larutan hipertonik, yang terdiri dari salbutamol selama 15 menit dilanjutkan dengan larutan NaCl 3% selama 15 menit lainnya. Spesimen sputum diperiksa untuk jumlah sel makrofag alveolus, konsentrasi protein surfaktan A (SP-A), juga apusan basil asam-cepat, dan kultur M. tuberculosis, atau kultur mikroba aerob. Hasil: Sebanyak 40 subyek dengan infeksi saluran pernapasan bawah berpartisipasi pada studi ini, dan IS berhasil dilakukan pada seluruh subyek. Subyek termuda

Upload: ev-utami

Post on 13-Jan-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal pediatrica IS

Efikasi Induksi Sputum dari Saluran Pernapasan Bawah pada Anak

ABSTRAK

Latar Belakang: Meskipun sputum merupakan spektrum yang baik untuk berbagai

pemeriksaan, seperti sitologi dan kultur mikrobiologi, induksi sputum (IS) bukan

merupakan prosedur rutin pada anak.

Tujuan: Untuk mengidentifikasi efikasi IS untuk memperoleh spesimen dari saluran

pernapasan bawah pada anak, mengidentifikasi efek samping IS, dan hasil

pemeriksaan mikrobiologi.

Metode: Studi cross-sectional dilakukan pada anak (berusia 1 bulan – 18 tahun) yang

menjalani IS. Induksi sputum dilakukan dengan inhalasi dengan larutan hipertonik,

yang terdiri dari salbutamol selama 15 menit dilanjutkan dengan larutan NaCl 3%

selama 15 menit lainnya. Spesimen sputum diperiksa untuk jumlah sel makrofag

alveolus, konsentrasi protein surfaktan A (SP-A), juga apusan basil asam-cepat, dan

kultur M. tuberculosis, atau kultur mikroba aerob.

Hasil: Sebanyak 40 subyek dengan infeksi saluran pernapasan bawah berpartisipasi

pada studi ini, dan IS berhasil dilakukan pada seluruh subyek. Subyek termuda

berusia 2 bulan, yang tertua berusia 16 tahun 7 bulan. Median durasi IS ialah 45

menit, dan sebagian besar volumenya 3 atau 4 mL. Efek samping berupa perdarahan

hidung (40%) dan muntah (2.5%). Makrofag alveolus lebih dari 5 sel dalam satu

spesimen ditemukan pada 97.5% subyek. Pemeriksaan protein surfaktan A (SP-A)

dilakukan pada 30 spesimen, dan SP-A dideteksi pada seluruh spesimen (median

konsentrasi 264,528 pg/mL). Kultur M. tuberculosis positif pada 1 dari 27 subyek,

sedangkan apusan basil asam-cepat negatif pada seluruh subyek yang diperiksa.

Kultur mikroba aerob negatif pada seluruh subyek yang diperiksa.

Kesimpulan: Induksi sputum memiliki efikasi yang baik dalam memperoleh

spesimen saluran pernapasan bawah dan aman dilakukan pada anak. Spesimen dari

induksi sputum menghasilkan hasil positif yang baik untuk kultur mikroba aerob.

Page 2: jurnal pediatrica IS

Spesimen dari saluran pernapasan penting untuk mengetahui kondisi patologis

pada saluran pernapasan di berbagai penyakit, baik untuk mendiagnoss penyakit

maupun untuk mengevaluasi penyakit dengan sitologi, histologi, dan imunohistologi.

Pengumpulan spesimen dari saluran pernapasan bawah memerlukan teknik yang

lebih rumit dan invasif dibandingkan saluran pernapasan atas.

Sputum mudah dikumpulkan pada orang dewasa dan memiliki angka

keberhasilan yang baik. Meskipun bermanfaat, pengumpulan sputum bukan

merupakan prosedur standar pada bayi dan anak-anak. Bayi dan anak-anak cenderung

menelan sputum sehingga spesimen sputum yang baik sulit untuk diperoleh. Karena

manfaatnya sebagai metode yang aman, mudah untuk dilakukan, dapat ditoleransi

dengan baik, dan semi-invasif, induksi sputum kadang-kadang lebih disukai dalam

memperoleh spesimen dari saluran pernapasan bawah dibandingkan metode invasif

lainnya, misal bronchoalveolar lavage. Namun, tidak banyak studi yang

menggambarkan angka keberhasilan induksi sputum untuk memperoleh spesimen

saluran pernapasan bawah pada anak. Sejumlah parameter dapat digunakan untuk

mengevaluasi apakah spesimen sputum yang dikumpulkan representatif untuk saluran

pernapasan bawah, di antaranya ialah sel makrofag alveolus dan surfaktan paru.

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi efikasi induksi sputum (IS) untuk

memperoleh spesimen dari saluran pernapasan bawah pada anak dengan infeksi

saluran pernapasan bawah. Selain itu, studi ini juga bertujuan untuk menyatakan

keamanan prosedur induksi sputum, dan hasil kultur mikrobiologi dari spesimen

sputum yang dikumpulkan.

METODE

Studi cross-sectional dilakukan di Klinik Respirasi Anak atau Ruangan

Emergensi di RS dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari Maret hingga Mei 2014,

untuk mengidentifikasi jumlah spesimen sputum yang diperoleh dengan induksi yang

representatif untuk saluran pernapasan bawah yang digambarkan mengandung

Page 3: jurnal pediatrica IS

minimum 5 sel makrofag alveolus, dan/atau protein sufaktan A (SP-A). Spesimen

sputum yang dikumpulkan juga dikultur untuk mikrobiologis aerob atau M.

tuberculosis, dan apusan basil asam-cepat.

Kriteria inklusi meliputi anak-anak berusia 1 bulan – 18 tahun, dengan infeksi

saluran pernapasan bawah dan belum ditangani dengan antibiotik atau obat-obatan

anti-tuberkulosis, juga diizinkan oleh orang tua untuk berpartisipasi dalam studi ini.

Kriteria eksklusi meliputi saturasi oksigen < 92%, dalam kondisi emergensi, memiliki

riwayat serangan asma sedang hingga berat, riwayat kejang berulang, riwayat

perdarahan hidung berulang, dan deformitas wajah.

Diagnosis infeksi saluran pernapasan bawah dibuat berdasarkan gejala klinis

(demam, batuk, dispneu/takipneu, wheezing, dan/atau ronkhi yang ditemukan pada

pemeriksaan thorax), didukung dengan rontgen thorax, sementara itu tuberkulosis

(TB) didiagnosis berdasarkan sistem scoring TB.

Subyek menjalani prosedur induksi sputum, terdiri dari inhalasi 2.5 mg

salbutamol (dilusi dalam 2 mL NaCl 0.9%) selama 15 menit, dilanjutkan dengan

larutan NaCl 3% selama 15 menit lainnya. Subyek yang berusia 5 tahun atau lebih

dipandu untuk meludahkan (ekspektorasi) sputum dengan batuk produktif. Jika

subyek berusia < 5 tahun, sputum dikumpulkan dengan suction melalui mulut dan

hidung, menggunakan ekstraktor mukosa yang berbeda. Spesimen sputum dari satu

subyek dibagi menjadi 2 preparat. Satu preparat diproses untuk membuat 2 slide

spesimen sputum untuk pemeriksaan sel makrofag alveolus, satu preparat

ditempatkan dalam container untuk pemeriksaan mikrobiologi (kultur bakteri aerob,

atau kultur M. tuberculosis, dan apusan basil asam-cepat), dan preparat lain

ditempatkan dalam container untuk pemeriksaan SP-A dengan metode ELISA.

Page 4: jurnal pediatrica IS

HASIL

Selama periode studi, 40 subyek direkrut, dengan yang termuda berusia 2

bulan dan yang tertua berusia 16 tahun 7 bulan. Sebagian besar subyek ialah laki-laki

(22 subyek), dari dari kelompok usia lebih dari 5 tahun (19 subyek). Diagnosis

infeksi saluran pernapasan yang paling sering ialah tuberkulosis (27 subyek), diikuti

oleh pneumonia (11 subyek), dan bronkhiolitis (2 subyek).

Induksi sputum berhasil dilakukan pada seluruh subyek (100%). Ekspektorasi

sputum dilakukan pada 14 dari 19 subyek yang berusia 5 tahun atau lebih. Tiga

subyek dengan tuberkulosis (berusia 5,8, dan 7 tahun) tidak mampu meludahkan

sputum karena mereka tidak kooperatif saat dipandu untuk melakukan batuk

produktif. Seorang laki-laki berusia 12 tahun yang didiagnosis dengan peritonitis

tuberkulosis menolak untuk melakukan batu produktif karena nyeri abdomen, dan

seorang perempuan berusia 8 tahun dengan pneumonia yang juga memiliki

ensefalopati sebagai komplikasi campak, oleh karena itu setelah induksi, sputum di-

suction. Sebanyak 21 subyek yang berusia < 5 tahun juga menjalani suction sputum.

Volume sputum yang terkumpul paling sedikit ialah 1 mL, sedangkan yang

terbanyak 10 mL. Volume terendah dikumpulkan dari seorang laki-laki berusia 6

tahun dengan pneumonia, sindrom hiper IgE, dan bulla paru multipel, yang menolak

untuk menggunakan ekstraktor mukosa. Sedangkan volume tertinggi di-suction dari

perempuan berusia 7 tahun dengan tuberkulosisis dan HIV stadium 4 karena ia tidak

kooperatif untuk melakukan batuk produktif dan meludahkan sputum. Sebagian besar

subyek (12 subyek) memiliki 3 mL sputum, dan 12 subyek lainnya memiliki 4 mL

sputum. Median durasi induksi sputum (dari inhalasi dengan salbutamol hingga

sputum dikumpulkan) ialah 45 menit (yang tercepat 37 menit dan yang terlama 60

menit).

Hipoksemia akibat bronkhospasme setelah inhalasi larutan hipertonik tidak

ditemukan pada seluruh subyek. 14 subyek yang meludahkan sputum tidak

mengalami nyeri tenggorokan setelah prosedur induksi sputum. Sebanyak 4 subyek

Page 5: jurnal pediatrica IS

dari kelompok usia 5 tahun atau lebih yang menjalani suction sputum dengan

ekstraktor mukosa juga melaporkan tidak mengalami nyeri tenggorokan setelah

prosedur induksi sputum dilakukan.

Pada studi ini, efek samping yang dilaporkan ialah perdarahan hidung dan

muntah. Perdarahan hidung dilaporkan pada 16 subyek (40%) yang sepenuhnya

menjalani suction sputum. Perdarahan hidung yang dimaksud ialah terdapatnya darah

di selang suction saat sedang melakukan suctioning, yang tidak berasal dari lubang

hidung dan berhenti setelah prosedur dihentikan. Muntah ditemukan pada seorang

perempuan berusia 3 tahun (2.5% subyek) setelah suction sputum.

Sputum dari saluran pernapasan bawah diwakili dengan setidaknya 5 sel

makrofag alveolus dan/atau mengandung SP-A. Lima atau lebih sel makrofag

alveolum ditemukan dalam spesimen sputum dari 39 subyek. Hanya seorang anak

perempuan berusia 11 tahun 5 bulan dengan tuberkulosis yang memiliki spesimen

sputum yang terdiri dari < 5 sel makrofag alveolus. Anak ini tidak kooperatif untuk

melakukan batuk produktif dan meludahkan sputum, juga menolak untuk di-suction,

oleh karena itu subyek ini hanya menghasilkan saliva dibandingkan sputum. Uji

ELISA untuk SP-A hanya dilakukan pada 30 spesimen sputum, sedangkan 10

spesimen memiliki volume rendah setelah sentrifugasi sehingga tidak dapat diuji.

Dari 30 spesimen, SP-A terdeteksi pada seluruh spesimen (median 264,528 pg/mL).

Konsentrasi SP-A terendah sebesar 63,903 pg/mL, dan tertinggi sebesar 1.286,723

pg/mL. Spesimen sputum dari seorang subyek berusia 11 tahun 5 bulan yang

memiliki < 5 sel makrofag alveolus, memiliki kadar SP-A 569,308 pg/mL.

Pada studi ini, spesimen sputum dari 27 subyek diperiksa untuk apusan basil

asam-cepat dan kultur untuk M. tuberculosis. Dari 27 spesimen, apusan basil asam-

cepat negatif pada seluruh subyek, dan hanya 1 spesimen memiliki kultur positif

untuk M. tuberculosis.

Kultur mikrobiologi aerob dilakukan pada 13 subyek (11 subyek dengan

pneumonia dan 2 subyek dengan bronkhiolitis), kultur positif ditemukan pada 5/13

Page 6: jurnal pediatrica IS

subyek (Tabel 1). Kleibsella pneumonia ditemukan pada spesimen dari 3 subyek

(sebagai koloni tunggal pada subyek dengan bronkhiolitis, dan ko-infeksi pada 2

subyek dengan pneumonia). Staphylococcus aureus positif pada 2 subyek sebagai ko-

infeksi. Bahkan, kultur lain positif untuk Streptococcus pneumonia, Pseudomonas

aeruginosa, dan Citrobacter youngae.

PEMBAHASAN

Induksi sputum merupakan prosedur rutin pada orang dewasa, bukan pada

anak. Pada orang dewasa, induksi sputum bertujuan untuk memperoleh spesimen dari

saluran pernapasan bawah pada pasien yang tidak mampu meludahkan sputumnya

secara spontan. Inhalasi dengan larutan hipertonik menginduksi produksi sekret dari

saluran pernapasan dengan meningkatkan osmolaritas. Osmolaritas paru dan saluran

pernapasan yang meningkat menghasilkan peningkatan produksi kelenjar submukosa

dan permeabilitas vaskuler bronkhial yang dimodulasi oleh capsaicin.

Di Indonesia, induksi sputum bukan merupakan prosedur pilihan pada anak-

anak untuk memperoleh sekresi dari saluran pernapasan bawah karena angka

keberhasilannya yang meragukan. Selain kebiasan mereka untuk menelan sputum,

anak-anak juga lebih sulit mengikuti panduan untuk melakukan batuk produktif dan

meludahkan sputum. Namun, studi ini menunjukkan bahwa induksi sputum dapat

dilakukan pada seluruh subyek yang berpartisipasi, dengan angka keberhasilan yang

tinggi dalam memperoleh spesimen sputum yang representatif untuk saluran

pernapasan bawah.

Page 7: jurnal pediatrica IS

Induksi sputum membutuhkan waktu 37 – 60 menit (median 45 menit).

Inhalasi membutuhkan sebagian besar waktu, terdiri dari inhalasi salbutamol dan

larutan NaCl 3% yang membutuhkan waktu 15 menit masing-masing. Durasi

pengumpulan spesimen tergantung pada kerjasama subyek saat mereka dipandu

melakukan batuk produktif dan meludahkan sputum, atau di-suction. Durasi prosedur

tercepat ialah 37 menit pada laki-laki berusia 7 tahun yang meludahkan 7 mL sputum.

Sebagian besar subyek kooperatif dan dapat melakukan batuk produktif yang baik,

karena itu, prosedur dapat berakhir dengan cepat. Durasi terpanjang ialah 60 menit

pada laki-laki berusia 12 tahun dengan peritonitis. Pada awalnya, pasien ini dipandu

untuk meludahkan sputumnya tetapi hanya sedikit yang terkumpul. Dia setuju untuk

di-suction, sehingga suctioning sputum dilakukan dan total sebanyak 3 mL sputum

terkumpul.

Durasi inhalasi dapat mempengaruhi komposisi spesimen yang terkumpul.

Banyak konsensus induksi sputum yang menyarankan 15 – 29 menit untuk inhalasi,

karena durasi itu menghasilkan kadar surfaktan dan sitologi yang optimal pada

sputum. Sebuah studi pada pasien asma dewasa menyimpulkan bahwa durasi optimal

untuk sel-sel inflamasi dan kadar SP-A. Studi ini menggunakan 15 menit sebagai

durasi untuk inhalasi karena tidak hanya waktu yang optimal berdasarkan studi

sebelumnya mengenai komposisi mikrobiologi sputum, tetapi juga anak-anak dapat

bertoleransi dengan waktu yang digunakan untuk inhalasi ini.

Dalam prosedur induksi sputum, batuk merupakan aksi efektif untuk

meludahkan sputum dari saluran pernapasan bawah. Dalam rangka memperoleh

kualitas sputum yang baik dengan volume yang cukup, kemampuan untuk batuk

diharuskan untuk pengumpulan sputum, baik dengan ekspektorasi maupun suction.

Dalam studi ini, suction dilakukan saat sputum telah terkumpul di orofaring setelah

subyek batuk dan membawa sputum dari saluran pernapasan bawah ke orofaring.

Suction harus dilakukan segera sebelum subyek meludahkan sputum. Batuk muncul

setelah subyek diinhalasai dengan larutan hipertonik. Pada subyek yang berusia 5

Page 8: jurnal pediatrica IS

tahun atau lebih, dan kooperatif, ekspektorasi sputum memerlukan kemampuan

subyek untuk mengikuti panduang dalam melakukan batuk produktif, meludahkan

sputum dengan tepat, dan tidak menelan sputum setelah terakumulasi di orofaring.

Batuk merupakan bagian penting dari prosedur induksi sputum. Batuk harus

dilakukan dengan tepat, mengikuti langkah-langkah berikut. Subyek diberi instruksi

untuk mengambil napas panjang, menghembuskan napas (ekshalasi) dengan cepat

dan kuat. Batuk dapat distimulasi baik dengan inhalasi larutan saline hipertonik

maupun secara mandiri. Dengan napas panjang diikuti dengan ekshalasi yang kuat,

sputum dibawa secara paksa dari saluran pernapasan bawah ke atas. Kemudian,

sputum terakumulasi di saluran pernapasan atas (orofaring) dan dapat diludahkan atau

di-suction. Tantangannya ialah memberi edukasi dan mengingatkan subyek untuk

tidak menelan sputum. Prosedur ini diulang berulang kali karena subyek terus

menelan sputum, bukannya meludahkannya.

Sebagian besar volume sputum yang diperoleh ialah 3 dan 4 mL. Oleh karena

itu, jika induksi sputum dipilih untuk memperoleh spesimen dari saluran pernapasan

bawah, volume harus menjadi pertimbangan sebagai pemeriksaan laboratorium yang

memerlukan jumlah volume yang minimum. Sebuah studi berhasil melakukan

induksi sputum pada seorang subyek berusia 1 bulan, sedangkan yang lainnya pada

subyek berusia 3 bulan. Studi kami memiliki hasil serupa, subyek termuda dengan

induksi sputum berhasil dilakukan pada subyek berusia 2 bulan. Hasil ini

menunjukkan bahwa induksi sputum aman dilakukan sejak usia dini jika diperlukan

untuk pengelolaan penyakit saluran napas.

Sebuah studi melaporkan bahwa induksi sputum yang disertai dengan

ekspektorasi dapat dilakukan sedini 6 tahun. Studi lain melaporkan bahwa induksi

sputum dan ekspektorasi dapat dilakukan pada anak semuda 5 tahun, sedangkan studi

lain melaporkan pada anak berusia 4 tahun. Studi ini pada awalnya menetapkan usia 5

tahun sebagai batas usia untuk melakukan ekspektorasi setelah induksi sputum.

Namun selama periode studi, studi ini menunjukkan bahwa subyek cukup kooperatif

Page 9: jurnal pediatrica IS

untuk mengikuti instruksi untuk melakukan batu produktif dan meludahkan sputum

sejak usia 6 tahun.

Dalam studi ini, hipoksemia, yang bermanifestasi pada penurunan saturasi

oksigen, dan nyeri tenggorokan tidak ditemukan pada setiap subyek. Perdarahan

hidung ditemukan pada 16 subyek yang telah menjalani suction sputum. Perdarahan

hidung mungkin disebabkan oleh aksi traumatik suctioning dan hanya bermanifestasi

sebagai darah pada selang suction. Darah tidak mengalir dari lubag hidung setelah

suctioning dihentikan. Muntah ditemukan pada subyek yang menjalani suctioning

medkipun subyek telah berpuasa selama 3 jam sebelum prosedur. Resiko muntah

pada induksi sputum dapat dikurangi dengan berpuasa beberapa jam sebelum

prosedur. Namun pada subyek ini, muntah diinduksi oleh suctioning ke orofaring,

juga karena subyek terus menangis. Studi ini juga menunjukkan bahwa dari 14

subyek yang meludahkan sputum, tidak ada subyek yang melaporkan efek samping.

Oleh karena itu, induksi sputum merupakan prosedur yang aman untuk dilakukan

pada anak, khususnya saat pengumpulan sputum dilakukan dengan ekspektorasi.

Terdapat beberapa rintangan yang dapat terjadi saat melakukan induksi

sputum, yaitu durasi prosedur yang panjang, kurangnya kemampuan petugas medis

untuk melakukan induksi sputum, ruang yang terbatas, dan masalah infeksi

nosokomial. Dalam studi ini, ruang yang terbatas dan masalah infeksi nosokomial

merupakan rintangan utama. Oleh karena itu, ruangan khusus dengan ventilasi yang

baik penting saat melakukan induksi sputum.

Dalam rangka mengidentifikasi apakah sputum yang dikumpulkan

representatif untuk saluran pernapasan bawah, terdapat beberapa petanda yang dapah

diterapkan. Misalnya sel makrofag alveolus. Lebih banyak sel makrofag alveolus

yang ditemukan dalam spesimen sputum menunjukkan bahwa spesimen lebih adekuat

dalam mewakili saluran pernapasan bawah. Sel makrofag alveolus menempel di

dinding alveolus, mencerna debris sel dan material asing, kemudian mentransfer

material yang dicerna ke bronchus atau sistem limfatik pada bronkhiolus terminalis.

Page 10: jurnal pediatrica IS

Studi ini menetapkan spesimen studi yang representatif untuk saluran pernapasan

bawah ialah spesimen yang mengandung setidaknya 5 sel makrofag alveolus. Dari 40

subyek, spesimen dari 39 subyek (97,5%) memiliki setidaknya 5 sel makrofag

alveolus, dan hanya 1 spesimen dari subyek berusia 11 tahun 5 bulan yang tidak

kooperatif untuk meludahkan sputum yang memiliki < 5 sel. Hal ini menunjukkan

induksi sputum ialah metode yang bagus untuk memperoleh spesimen dari saluran

pernapasan bawah, jika prosedur dilakukan dengan tepat.

Selain sel makrofag alveolus, surfaktan paru ialah kompleks lipoprotein yang

disintesis oleh pneumosit tipe II dan sel Clara di saluran pernapasan bawah. Protein

surfaktan terdiri dari SP-A, SP-B, SP-C, SP-D, dan SP-G serta SP-H yang baru saja

ditemukan. Di antara lainnya, SP-A merupakan surfaktan protein mayor, juga terdiri

dari 2 ekspresi yaitu SP-A1 dan SP-A2. Pada paru manusia, SP-A terbentuk dari 2

molekul SP-A1 dan 1 molekul SP-A2, membentuk trimer. Awalnya dikenal spesifik

untuk saluran pernapasan bawah, SP-A saat ini ditemukan pada berbagai organ,

seperti jejunum, kolon, prostat, thymus, splen, mesothelial, synovium, saliva, dan

epitel nasalis. Meskipun begitu, belum banyak studi yang mempelajari mengenai

kadar SP-A pada organ-organ selain paru, juga banyak studi mengenai kadar SP-A

pada organ-organ selain paru yang berdasarkan pemeriksaan imunokimiawi dan PCR.

Studi mengenai kadar SP-A menunjukkan berbagai hasil dalam konsentrasi

dan unit yang digunakan. Kemungkinan dihasilkan karena masih terdapat beberapa

metode dalam memeriksa SP-A dan berbagai spesimen untuk pemeriksaan. Beragam

kadar SP-A juga dapat disebabkan oleh antibodi yang berbeda yang digunakan dalam

pemeriksaan antigen-antibodi.

Dari 30 spesimen, SP-A terdeteksi pada seluruh spesimen dengan 63,903

pg/mL sebagai yang terendah dan 1.286,723 pg/mL sebagai kadar tertinggi (median

264,528 pg/mL). Dibandingkan dengan studi sebelumnya, studi ini menghasilkan

kadar SP-A yang lebih rendah. Berdasarkan diagnosis, median kadar SP-A pada

subyek dengan pneumonia dan tuberkulosis (200,565 pg/mL dan 288,538 pg/mL,

Page 11: jurnal pediatrica IS

masing-masing) lebih rendah dibandingkan subyek dengan bronkhiolitis (303,291

pg/mL). Namun, jumlah subyek yang berbeda dalam setiap diagnosis dan tidak

adanya kontrol sehat menyebabkan kesulitan dalam menginterpretasikan perbedaan

kadar SP-A antara infeksi pernapasan yang berbeda. Hingga saat ini, tidak terdapat

cut-off point untuk kadar SP-A sputum yang menunjukkan bahwa spesimen sputum

representatif untuk saluran pernapasan bawah. Kadar SP-A pada organ-organ

ekstrapulmonal belum diteliti, dan studi yang tersedia tidak melaporkan kadar SP-A

yang dihasilkan oleh studi imunokimiawi. Karena paru merupakan organ utama untuk

sintesis SP-A, jika SP-A ditemukan dalam spesimen sputum dan spesimen memiliki

setidaknya 5 sel makrofag alveolus, dapat disimpulkan bahwa spesimen sputum

representatif untuk saluran pernapasan bawah. Oleh karena itu, kadar SP-A

merupakan pemeriksaan tambahan untuk saluran pernapasan bawah meskipun tidak

spesifik. Sesuai dengan makrofag alveolus dan SP-A, studi ini menunjukkan bahwa

induksi sputum pada anak berhasil memperoleh spesimen dari saluran pernapasan

bawah.

Dalam studi ini, pemeriksaan mikrobiologi M. tuberculosis menghasilkan satu

kultur positif dan tidak ada basil asam-cepat positif yang ditemukan pada apusan dari

27 subyek yang didiagnosis tuberkulosis. Tuberkulosis pada anak sulit didiagnosis

karena kesulitan dalam diagnosis mikrobiologis. Pada orang dewasa, kultur M.

tuberculosis positif pada 10 – 19% kasus. Studi lain menunjukkan bahwa pada anak

dengan tuberkulosis yang menjalani induksi sputum memiliki kultur M. tuberculosis

dan apusan basil asam-cepat positif rendah. Hasil positif rendah pada studi kami

kemungkinan disebabkan oleh besar sampel yang kecil. Ko-infeksi dengan HIV juga

dapat mempersulit diagnosis tuberkulosis akibat peningkatan kondisi paucibacillary.

Dalam studi kami, terdapat 3 subyek dengan tuberkulosis yang ko-infeksi dengan

HIV dan hasil untuk kultur dan basil asam-cepat semuanya negatif.

Sekitar 27,6% mortalitas pada neonatus dan 22.8% mortalitas pada anak di

bawah 5 tahun disebabkan oleh infeksi saluran napas, terutama pneumonia. Etiologi

Page 12: jurnal pediatrica IS

pneumonia pada anak sulit diidentifikasi karena spesimen dari jaringan paru tidak

mudah diperoleh. Dalam studi ini, spesimen sputum dari 11 subyek dengan

pneumonia dan 2 subyek dengan bronkhiolitis diperiksa untuk kultur mikrobiologis

aerob. Hasil positif ditemukan pada 5 subyek untuk K. pneumonia, S. pneumonia,

Citrobacter youngae, P. aeruginosa, dan S. aureus. Etiologi mikrobiologis untuk

pneumonia pada studi ini serupa dengan hasil yang dilaporkan oleh studi lain yang

menyatakan bahwa S. pneumonia, H. influenza, Moraxella catarrhalis, S. aureus, K.

pneumonia, dan P. aeruginosa ialah etiologi tersering untuk pneumonia pada anak.

Prosedur suctioning sputum melalui kavitas nasal dan mulut mungkin

mengkontaminasi spesimen dengan bakteri saluran pernapasan atas. Flora normal di

kavitas nasal dan mulut ialah Corynebacterium sp, S. aureus, S. epidermis, S.

viridians, Neiseria sp, Bacteroides sp, Fusobacterium sp, dan Lactobacillus sp.

Sebuah studi yang membandingkan etiologi bakteri pneumonia dan bakteri yang

ditemukan pada aspirat nasofaring melaporkan bahwa profil bakteri antara dua tempat

tersebut berbeda, oleh karena itu hasil positif dari spesimen induksi sputum mungkin

datang dari saluran pernapasan bawah. Studi kami menunjukkan hasil yang baik pada

kultur mikrobiologi aerob dari spesimen induksi sputum (5 dari 13 subyek), selain itu

juga memiliki profil bakteri yang berbeda dengan flora normal dari saluran

pernapasan atas. Oleh karena itu, hasil bakteri dari studi ini kemungkinan sebagai

etiologi pneumonia atau bronkhiolitis. Namun, S. aureus yang ditemukan pada studi

ini dapat dipertimbangkan sebagai kontaminan karena ditemukan positif dengan

bakteri lain dalam satu spesimen. Studi ini menunjukkan bahwa induksi sputum

merupakan metode yang bagus untuk memperoleh spesimen untuk kultur

mikrobiologi aerob pada anak dengan infeksi saluran pernapasan bawah.

Terdapat 2 keterbatasan studi ini, yaitu: (1) Induksi sputum hanya dilakukan

pada anak-anak dengan infeksi saluran pernapasan bawah. Tidak terdapat

perbandingan atau kontrol spesimen dari anak yang sehat, atau spesimen dari saluran

pernapasan bawah yang diperoleh dengan metode lain; (2) Tidak adanya cut-off point

Page 13: jurnal pediatrica IS

SP-A yang mempersulit interpretasi hasil SP-A. Namun, studi ini menunjukkan

bahwa induksi sputum pada anak dapat memperoleh spesimen dari saluran

pernapasan bawah, juga prosedur ini aman dilakukan pada anak.

Kami meyimpulkan bahwa induksi sputum berhasil dilakukan dan

memperoleh spesimen pada seluruh spesimen. Dari sputum yang terkumpul,

minimum 5 sel makrofag alveolus ditemukan pada spesimen sputum dari 97,5%

subyek dan SP-A terdeteksi pada seluruh spesimen yang diperiksa dengan median

264,528 (kisaran 63,903 – 1.286,723 pg/mL). Induksi sputum ialah prosedur yang

aman dilakukan pada anak. Efek sampingnya kecil, yaitu perdarahan hidung (40%)

dan muntah (2,5%). Pemeriksaan mikrobiologis dari spesimen sputum menunjukkan

hasil apusan basil asam-cepat negatif dan satu kultur M. tuberculosis positif dari 27

subyek dengan tuberkulosis. Kultur mikrobiologi aerob positif pada 5 dari 13 subyek

dengan pneumonia atau bronkhiolitis. Isolat bakterinya ialah K. pneumonia, S.

pneumonia, P. aeruginosa, C. youngae, dan S. aureus.