jurnal kesehatan

34
3.3.1 Peranan Kekuasaan dalam Implementasi Skema Vocer Dari beberapa wawancara tersebut, diskusi dan observasi kelompok fokus, kami mengidentifikasi kekuasaan (dan bagaimana hal tersebut dijalankan – atau pun tidak) sebagai sebuah faktor utama yang mempengaruhi implementasi skema vocer tersebut. Peranan kekuasaan bisa saja dalam hal menjelaskan perbedaan pada kinerja antara kedua fasilitas tersebut. Pada Fasilitas 1a, para pekerja bidang kesehatan meminta para wanita dan ibu hamil untuk membawa uang tunai saat berkunjung ke fasilitas. Tidak dapat diragukan lagi bahwa hal tersebut merupakan sebuah praktek yang tidak pantas dari pihak otoritas pekerja kesehatan karena tindakan mereka secara jelas melanggar prosedur yang ditetapkan untuk mengeluarkan vocer tersebut. Dan juga untuk memberikan kontribusi pada nilai-nilai penggunaan yang tinggi. Menurut seorang perawat, penetapan uang tunai ditujukan untuk mengenalkan penggunaan jaring setelah lambannya implementasi: Ketika kami mengawali skema ini, para wanita tidak membeli jarring dengan insektisida, bahkan setelah dilakukannya edukasi mengenai keuntungan memilikinya. Oleh karena itu, diputuskanlah bahwa mereka diminta untuk membayar di muka untuk melanjutkan layanan lain selanjutnya.

Upload: aisa-nirmala-setyani

Post on 22-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

fdfd

TRANSCRIPT

3.3.1 Peranan Kekuasaan dalam Implementasi Skema Vocer

Dari beberapa wawancara tersebut, diskusi dan observasi kelompok fokus, kami

mengidentifikasi kekuasaan (dan bagaimana hal tersebut dijalankan – atau pun

tidak) sebagai sebuah faktor utama yang mempengaruhi implementasi skema

vocer tersebut. Peranan kekuasaan bisa saja dalam hal menjelaskan perbedaan

pada kinerja antara kedua fasilitas tersebut.

Pada Fasilitas 1a, para pekerja bidang kesehatan meminta para wanita dan ibu

hamil untuk membawa uang tunai saat berkunjung ke fasilitas. Tidak dapat

diragukan lagi bahwa hal tersebut merupakan sebuah praktek yang tidak pantas

dari pihak otoritas pekerja kesehatan karena tindakan mereka secara jelas

melanggar prosedur yang ditetapkan untuk mengeluarkan vocer tersebut. Dan juga

untuk memberikan kontribusi pada nilai-nilai penggunaan yang tinggi. Menurut

seorang perawat, penetapan uang tunai ditujukan untuk mengenalkan penggunaan

jaring setelah lambannya implementasi:

Ketika kami mengawali skema ini, para wanita tidak membeli jarring dengan

insektisida, bahkan setelah dilakukannya edukasi mengenai keuntungan

memilikinya. Oleh karena itu, diputuskanlah bahwa mereka diminta untuk

membayar di muka untuk melanjutkan layanan lain selanjutnya.

Alasan yang keliru ini memunculkan pertanyaan tentang motif sebenarnya dari

pembayaran tunai. Kenyataannya bahwa salah satu anggota dari tim kesehatan

juga bertindak sebagai seorang penjual dan kepala fasilitas tersebut juga diketahui

mengumpulkan uang dari para penerima manfaat dengan janji akan mengirimkan

jaring, keuntungan pribadi tidak dapat terelakkan. Dalam hal diskusi kelompok

fokus, dilaporkan bahwa kepala fasilitas telah mengumpulkan uang dan bahwa

para pasien masih menunggu jaring mereka, meskipun sudah beberapa kali

kunjungan. Ketika ditanya mengenai aktifitas penjualnya, kepala fasilitas

mengungkapkan:

Saya biasanya melakukan beberapa pekerjaan melebihi target dan seringkali

berkunjung ke desa-desa yang jauh dari sini. Saya membawa banyak jaring

sehingga masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh untuk

mendapatkannya. Saya menganggap hal ini sebagai sebuah bagian dari

pelayanan publik.

Contoh lain dari (penyalahgunaan?) praktek kekuasaan adalah keputusan yang

diambil dari kepala Fasilitas 1a untuk menggantikan penjual aslinya, yang

mempunyai kontrak dengan agensi penerapan untuk menyediakan jaring.

Keputusan ini diluar dari mandatnya sehingga dia tidak berhak untuk mengganti

penjual. Di Fasilitas 1b, para pakerja bidang kesehatan nampak kurang

mempedulikan ketika vocer tersebut terlah diberikan. Petugas klinis yang bertugas

agaknya mempunyai pengetahuan yang terbatas mengenai skema tersebut, dengan

banyak tugas yang ditinggalkan pada perawat reproduktif dan kesehatan anak.

Dalam hal fakta bahwa para dokter sangat dihormati dan berpengaruh di banyak

komunitas pedesaan, kurangnya perhatian ini dapat secara sebagian menjelaskan

rendahnya level penerimaan apa yang diobservasi di fasilitas. Contoh-contoh

tersebut secara luas menggambarkan pengaruh para pekerja bidang kesehatan

mengenai proses implementasi dan kemampuan langsungnya untuk

mempengaruhi hasil. Peranan kekuasaan di kedua fasilitas tersebut terangkmun di

Tabel 4 dan 5.

Dari kedua tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat dua sumber kekuasaan

yang utama yang dilakukan oleh para pekerja bidang kesehatan terhadap para

wanita dan ibu hamil: kontrol vocer dan pengetahuan professional. Dengan

memandang vocer tersebut, para pekerja bidang kesehatan mempunyai informasi

relefan terhadap proses implementasinya, yang mana kebanyakan penerima

manfaat tersebut hanya mengetahui sedikit mengenai hal tersebut. Ketidaktahuan

penerima manfaat mengenai apakah mereka berhak untuk mengijinkan para

pekerja bidang kesehatan di Fasilitas 1a untuk keluar dari prosedur standar. Para

pekerja bidang kesehatan juga mempunyai kekuasaan untuk memutuskan

bagaimana dan kapan pelayanan kesehatan diberikan, yang memperbolehkan

mereka untuk menolak layanan bagi para wanita dan ibu hamil yang tidak

memenuhi ‘persyaratan’ mereka.

Tabel 4: Peranan kekuasaan di Fasilitas 1a

Hubungan kekuasaan antar pelaksana

Jenis kekuasaan Sumber kekuasaan

Konsekuensi menggunakan kekuasaan

Alasan menggunakan kekuasaan

Dampak pada kinerja skema vocer

Pekerja bidang kesehatan (yang melakukan praktek kekuasaan pasien wanita)

Kontrol: Permintaan pada para perempuan untuk membawa uang tunai

Kontrol vocer Level tinggi penebusan vocerPenolakan pelayanan klinik

Keuntungan finansial Positif

Kontrol: Penahanan kartu klinik

Peranan professional sebagai pekerja bidang kesehatan

Level tinggi penebusan vocerPenolakan pelayanan klinik

Untuk meningkatkan penerimaan skema setelah permulaan yang lamban

Positif

Penjual (yang melakukan praktek kekuasaan pasien wanita)

Kontrol: Biaya jaring Kondisi monopoliPengetahuan harga jaring sebenarnya

Harga jaring yang lebih tinggiDapat dijangkau

Keuntungan finansial Negatif

Tabel 5. Peranan kekuasaan di Fasilitas 1b

hubungan kekuasaan antar pelaksana

Jenis kekuasaan Sumber kekuasaan

Konsekuensi menggunakan kekuasaan

Alasan menggunakan kekuasaan

Dampak pada kinerja skema vocer

Pekerja bidang kesehatan (yang melakukan praktek kekuasaan pasien wanita)

Kontrol: informasi tentang vocer

Peranan professional sebagai pekerja bidang kesehatan

Beberapa wanita tidak mendapatkan vocer

Tidak jelas Negatif

Penjual (yang melakukan praktek kekuasaan pasien wanita)

Control: Harga jaring dan ketersediaan

Modal finansial dan kepemilikan properti

Harga jaring lebih mahalVocer yang tidak terjangkau

Keuntungan finansial

Negatif

Untuk Fasilitas 1a, sebuah hasil positif dicapai dalam bentuk tingkat penggunaan

vocer yang tinggi. Namun, hal ini perlu untuk dibedakan dengan penyusunan

persyaratan dan penolakan layanan pada penerima manfaat, yang mempunyai

konsekuensi negatif termasuk keterlambatan pelaporan, atau tidak sama sekali,

untuk layanan sebelum kelahiran.

Kontrol dari pihak penjual mengenai harga jaring memberikan mereka satu bentuk

kontrol terhadap wanita dan ibu hamil. Situasi tersebut secara sebagian dijelaskan

oleh kondisi monopoli yang telah berkembang karena hanya penjual terpilihlah

yang berpartisipasi dalam skema tersebut. Harga jaring yang tinggi menurunkan

tingkat penggunaan, khususnya dalam ketiadaan ukuran yang memaksa,

sebagaimana yang kita dapati di Fasilitas 1b.

Kegagalan yang dialami manajer wilayah untuk menjalankan kekuasaan dan

mempengaruhi para pekerja bidang kesehatan menjadi faktor lainnya. Hasilnya

adalah praktek manajerial yang lemah, digambarkan dalam peranan peranan

setengah-setengah pengawas yang dimainkan oleh tim manajemen kesehatan

dewan. Hal ini memberikan kontribusi pada sebuah keadaan dimana para pekerja

bidang kesehatan di fasilitas dapat bertindak sebagaimana mereka melayani tanpa

adanya ketakutan akan teguran atau celaan dari para manajer wilayah. Kebocoran

otoritas menjadi bukti dalam dua kasus tersebut. Selain itu, observasi yang

dilakukan pada dua fasilitas tersebut tidak menunjukkan bukti poster atau item

yang berkaitan dengan skema vocer. Alih-alih, poster infeksi yang ditransmisikan

secara seksual (STI/sexually transmitted infections) dan HIV dan AIDS secara

menyolok dipajang sebagai sebuah pengingat akan fakta bahwa skema vocer

bukanlah sebuah prioritas yang tinggi di sini.

4.1 Tantangan implementasi pada tingkat fasilitas di distrik Namtumbo

3.4.1 Faktor kontekstual

Fasilitas 2a (fasilitas yang mempunyai kinerja tinggi) dan Fasilitas 2b (fasilitas

yang mempunyai kinerja rendah) merupakan misi yang dimiliki dan dijalankan.

Keduanya relatif tua (hamper 50 tahun) dan Fasilitas 2a dalam kondisi yang

sangat bobrok, dengan beberapa gedung yang sangat tua dan hampir roboh.

Fasilitas tersebut terletak 10 km dari jalan utama, 15 km dari kantor distrik, dan

melayani sebanyak 10.000 orang. Fasilitas 2b, terletad sekira 30 km dari jalan

utama dan dari kantor distrik, relatif lebih besar dan seringkali bertindak sebagai

sebuah rumah sakit rujukan untuk beberapa fasilitas kecil di wilayah sekitarnya.

Kedua fasilitas tersebut dikelola oleh petugas klinik, namun keadaan

kepegawaiannya agak berbeda. Fasilitas 2a mempunyai dua anggota staf dan

Fasilitas 2b mempunyai 7 anggota. Karena pelayanan mereka yang diberikan

subsidi, kedua fasilitas tersebut semakin memainkan peranan yang penting di

masyarakat sekitarnya.

Kedua fasilitas tersebut umumnya melayani masyarakat pedesaan, dengan tempat

tinggal menyebar di wilayah yang luas dan pusat kegiatan desa yang kecil berada

di sekitar gereja. Di wilayah sekitar Fasilitas 2a hanya terdapat satu toko, yang

juga menjual obat-obatan antar toko, dan tidak terdapat apotek. Di wilayah sekitar

Fasilitas 2b terdapat beberapa toko, termasuk beberapa apotek kecil. Aktifitas

perekonomian utama di kedua masyarakat tersebut adalah bertani, yang umumnya

para petani penanam jagung dan kacang untuk makanan serta tembakau untuk

dijual. Kemiskinan agaknya menyebar secara luas.

3.2.2 Implementasi skema vocer

Pendekatan yang digunakan untuk skema vocere agak berbeda pada kedua

fasilitas tersebut. Para penerima manfaat di Fasilitas 2a nampaknya sudah

diinformasikan secara baik mengenai skema dan apa pun yang diperlukan. Wanita

dan ibu hamil yang berhak mendapatkan vocer bayi diharuskan untuk membawa

uang top-up saat datang ke fasilitas untuk pelayanan yang berkaitan dengan orang

tua (atau vaksinasi pada bayi). Vocer tersebut diberikan pada wanita atau ibu

hamil ketika uang top-up telah dibayarkan. Kemudian wanita atau ibu hami

tersebut diarahkan ke toko terdekat untuk menebus vocer dengan membayar

secara berbeda-beda antara nilai vocer sesungguhnya dan harga pasar yang

berlaku untuk jaring. Pada saat kunjungan studi, para wanita tersebut diharapkan

untuk membayar sebesar 2000 shilling untuk vocer wanita hamil dan 1800

shilling untuk vocer bayi. Setelah membeli jaring, para wanita kembali ke fasilitas

untuk instruksi selanjutnya dari para pekerja bidang kesehatan untuk cara

bagaimana menggunakannya. Hal ini menggambarkan permulaan dari praktek

yang telah ditentukan karena vocer tersebut diharuskan untuk diberikan pada

semua wanita dan ibu hamil, apakah mereka dapat membayar uang top-up atau

pun tidak.

Sebaliknya, pada Fasilitas 2b tidak terdapat permulaan yang signifikan dari

praktek yang telah ditetapkan. Ketika para wanita hamil telah melapor ke klinik

untuk pelayanan sebelum melahirkan, mereka diinformasikan tentang keberadaan

skema vocer, apa yang diperlukannya atau apa yang diwajibkan untuk dilakukan

oleh mereka agar supaya mendapatkan keuntungan dari skema tersebut. Mereka

diberikan vocer setelah detailnya telah dicatat dan diarahkan untuk mengunjungi

toko dimana vocer tersebut dapat ditebus. Pendekatan yang sama diikuti ketika

menangani vocer bayi. Vocer tersebut ditebus di toko, tidak jauh dari fasilitas.

3.2.3 Penilaian kinerja

Wawancara, diskusi dan observasi kelompok fokus semua poin pada kenyataan

bahwa pendekatan berbeda yang diadopsi oleh pekerja bidang kesehatan di dua

fasilitas tersebut bertanggung jawab untuk perbedaan dalam kinerjanya. Kedua

fasilitas tersebut mengalami permasalahan ketersediaan vocer pada waktu

kunjungan studi. Vocer bayi telah habis beberapa waktu lalu dan telah dilaporkan

bahwa hal ini merupakan sebuah permasalahan yang berulang dalam kedua jenis

vocer tersebut. Dalam kasus Fasilitas 2a, vocer dengan nilai rendah (2750

shilling) diberikan, meskipun pada dasarnya mempunyai persediaan vocer dengan

nilai tinggi (3250 shilling), karena agensi pelaksana menginstruksikan mereka

untuk menggunakan vocer dengan nilai rendah terlebih dahulu sebelum mereka

memulai menggunakan vocer lainnya.

Dalam diskusi dengan para pekerja bidang kesehatan di Facilitas 2a, mereka

mengatakan bahwa skema vocer mengalami kelambanan dalam pelaksanaannya,

dengan sedikitnya vocer yang ditebus, sehingga mereka memutuskan bahwa

beberapa ukuran dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat penggunaannya. Mereka

mengharuskan penerima manfaat untuk memberi uang sebagai sebuah prasyarat

untuk menerima pelayanan pra-kelahiran dan vaksinasi. Dengan persyaratan ini di

tempat, fasilitas melihat adanya kinerja yang meningkat sebagaimana

tergambarkan dalam tingkat penggunaan yang lebih tinggi. Pada Fasilitas 2b,

ketika menghadapi situasi yang sama, tidak ada tindakan yang diambil untuk

mengatasi masalah tersebut. Namun, sesi pendidikan kesehatan secara jelas

mencari untuk menginformasikan wanita dan ibu hamil mengenai bahayanya

malaria selama kehamilan dan pada bayi. Para penerima manfaat menunjukkan

pengetahuan yang mencukupi mengenai malaria, sebab-sebabnya dan mode

transmisi, kerentanan selama kehamilan, bahayanya pada bayi, dan yang lebih

penting, keuntungan-keuntungan menggunakan jaring. Dengan cara yang sama,

pengetahuan skema vocer, fungsi dan keuntungannya bagi para ibu dan bayi

sudah cukup jelas bagi para peserta. Ketika ditanya mengenai rendahnya tingkat

penebusan yang rendah, umumnya hal tersebut dikarenakan karena harganya yang

tinggi.

Kondisi yang ditimbulkan oleh para pekerja bidang kesehatan di Fasilitas 2a,

ketika melanggar petunjuk implementasi, nampaknya disukai oleh pare penerima

manfaat. Mereka memberikan kesan bahwa tidak ada yang salah dengan petunjuk

yang diberikan oleh para pekerja bidang kesehatan. Faktanya, beberapa peserta di

kelompok diskusi memuji keputusan karena telah membantu sensitasi masyarakat

mengenai bahaya malaria bagi wanita hamil dan bayi, sebagaimana dikatakan oleh

seorang wanita:

Kami sangat berterima kasih pada perawat atas usaha mereka untuk melakukan

sensitas pada orang-orang yang mengalami bahaya malaria dan keuntungan

skema vocer. Masyarakat meninkmati keuntungan skema vocer kerena usaha

tersebut.

Namun, investigasi berikutnya menunjukkan bahwa penjualnya juga kebetulan

adalah suami dari petugas klinik. Dalam situasi tertentu, seseorang tidak dapat

memutuskan kemungkinan motif pelayanan pribadi atas penyesuaian yang

diobservasi.

Persoalan tentang naiknya harga jaring terdapat di kedua fasilitias. Di dua kasus

tersebut, harga jaring telah naik semenjak launching skema tersebut. Di awal

program, para wanita diwajibkan untuk melakukan top-up sebanyak 800 dan 600

shilling masing-masing untuk para vocer wanita hamil dan bayi. Pada saat studi,

jumlah top-up telah meningkat menjadi 2000 shilling untuk vocer ibu hamil dan

1600 shilling untuk vocer bayi, peningkatan hampir 150% selama periode dua

tahun. Peningkatan dalam nilai vocer dari 2750 shilling hingga 3250 shilling

belum cukup menutupi peningkatan harga jaring di pasaran, khususnya dengan

mempertimbangkan fakta bahwa vocer dengan nilai rendah masih diberikan di

fasilitas tersebut. Secara terus menerus, jumlah top-up kurang dari harga satu

ayam atau beberapa kilo jagung atau kacang. Kebanyakan peserta diketahui

mempunyai barang-barang tersebut di rumah mereka.

Cerita di Kotak 3, diceritakan oleh pekerja bidang kesehatan di Fasilitas 2a,

menunjukkan beberapa kesulitan yang didapati saat mencoba mengikuti petunjuk

implementasi dan berpotensi melanggarnya.

Kotak 3: Cerita anak yatim kembarSeorang wanita muda telah hamil dan setelah dilakukan pemeriksaan diperkirakan akan menghadapi masalah kehamilan, ditemani oleh ibunya, pergi ke rumah sakit yang jauh untuk mendapatkan perlindungan yang lebih ahli. Selama dirawat di rumah sakit, vocer wanita hamil itu ditolak dengan alasan bahwa dia tidak berasal dari wilayah operasioanl yang mana rumah sakit tersebut bertanggung jawab. Dia melahirnya anak kembar, namun sayangnya dia meninggal karena komplikasi. Sekembalinya ke rumah, si ibu pergi ke fasilitas dan meminta untuk diberikan vocer untuk bayi kembar tersebut. Dia diberitahu bahwa hal itu tidaklah mungkin karena tidak ada kehamilan dan bayi kembar tersebut belum mencukupi usia untuk mendapatkan vocer bayi. Situasi tersebut ditunjukkan pada agen yang mengunjungi dari agensi penelusur vocer dan simpatik dengan permasalahan tersebut, dia setuju dengan keputusan yang diambil oleh kepala fasilitas untuk menolah vocer orang tua untuk bayi kembar tersebut. Dia menyumbang menggunakan uangnya sendiri untuk si nenek agar dapat membeli jaring bagi bayi kembarnya.

Yang juga muncul dari diskusi kelompok fokus di Fasilitas 2a adalah potensi

terjadinya jaring dengan insektisida digunakan secara tidak tepa atau tidak

digunakan sama sekali, walaupun tingkat penebusan tinggi, sehingga

menggagalkan tujuan skema tersebut secara keseluruhan. Sebagai contoh, semua

peserta meningkatkan isu mengenai dampak kimiawi yang digunakan untuk

memperlakukan jaring pada manusia, khususnya pada bayi. Hal ini dapat

diinterpretasikan sebagai ketakutan yang mungkin diantara para penerima manfaat

yang dapat selanjutnya mungkin saja jaring itu tidak digunakan sebagaimana

mestinya. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka harus memberikan pilihan

antara menggunakan jaring dan mengalami panas yang tak tertahankan atau

kedua-duanya dengan menggunakan jaring bersamaan. Lebih lanjut, mereka

setuju bahwa yang terakhir adalah opsi yang lebih disukai.

3.2.4 Peranan kekuasaan dalam mengimplementasikan skema vocer

Dalam upaya untuk menjelaskan kinerja dua fasilitas tersebut, praktek kekuasaan

sangatlah jelas, khususnya pada Fasilitas 2a. Tabel 6 dan 7 merampung situasi

yang terjadi pada fasilitas tersebut. Pertama dan yang paling utama, kondisi yang

mewajibkan penerima manfaat untuk membaya uang ketika datang ke fasilitas

untuk mendapatkan layanan membanyai banyak hal untuk dilakukan mengenai

tingkat penggunaan yang tinggi di Fasilitas 2a. Petunjuk implementasi tidak

mengatur prasyarat tertentu untuk memberikan vocer pada mereka yang berhak

mendapatkannya. Kondisi yang menentukan, selagi bermanfaat dalam

mempromosikan tindakan ITN di masyarakat, pada saat melanggar hak untuk

membuat keputusan individual. Hal ini tidak terjadi pada Fasilitas 2b dimana para

pekerja bidang kesehatannya menunjukkan kurangnya perhatian dalam proses

implementasinya.

Pada Fasilitas 2a, menarik untuk ditatat bahwa hubungan yang ada antara Tenaga

Klinik dan penjual yang merupakan suami-istri. Tidak dapat dipungkiri muncul

keraguan apakah situasi tersebut akan sama bila tiadanya hubungan seperti itu

atau kah tidak, atau pun keberadaan lingkungan yang lebih kompetitif di pasaran.

Namun hal ini jelas bahwa kondisi tersebut menggambarkan sebuah keberadaan

kekuasaan pada bagian pekerja kesehatan mengenai wanita dan ibu hamil. Dalam

hal ketiadaan alternatif untuk fasilitas yang telah ada, penerima manfaat

nampaknya tidak mempunyai pilihan lain. Dengan kata lain, kesan keadaan

kurangnya kekuasaan tidak dapat dihilangkan menjadi sebuah faktor penjelasan

yang penting.

Faktor lain yang patut dipertimbangkan adalah adanya monopoli di desa tersebut.

Dengan ketiadaan apoket di sana, desa itu menjadi jauh dari fasilitas kesehatan

terdekat serta tidak ada transportasi yang menjangkaunya, fasilitas dan took

tersebut hanyalah tempat dimana wanita dan ibu hamil bisa mendapatkan akses

layanan dan mencukupi kebutuhan dasarnya, termasuk obat dan jaring. Oleh

karena itu susah bagi para penerima manfaat untuk menolak ukuran yang

memaksa, langsung atau tak langsung, yang ditentukan oleh pekerja kesehatan

dan penjual. Hal tersebut digambarkan dalam kondisi yang dipaksakan serta harga

jaring yang lebih tinggi yang tidak memberikan banyak pilihan bagi penerima

manfaat.

Tabel 6: Relevansi kekuasaan di Fasilitas 2a

Praktek kekuasaan Kategori kekuasaan Sumber kekuasaan Konsekuensi praktek kekuasaan

Pengaruh ‘kinerja’

Alasan untuk menggunakan kekuasan

Pekerja kesehatan pada wanita

Kontrol: Wanita diminta untuk membawa uang tunai saat pertama kali datang ke klinik

Kontrol vocerPeranan professional

Tingkat penebusan tinggi

Positif Mengenalkan tindakan setelah permulaan yang lamban

Penjual ke wanita Kontrol harga jaring Kondisi monopoli Harga jaring yang tinggi

Negatif Keuntungan finansial

Table 7: Relevansi kekuasaan di Fasilitas 2b

Praktek kekuasaan Kategori kekuasaan Sumber kekuasaan Konsekuensi praktek kekuasaan

Pengaruh ‘kinerja’

Alasan untuk menggunakan kekuasan

Pekerja kesehatan pada wanita

Kontrol vocer Professional Tingkat penebusan rendah

Negatif Membatasi beban kerja

Penjual ke wanita Kontrol harga jaring Kondisi monopoli Tingkat penebusan rendah

Negatif Keuntungan finansialKewirausahaan

Di sisi lain, pada Fasilitas 2b kurang minatnya atau keterkaitan pada bagian di

pekerja bidang kesehatan merupakan sebuah faktor penjelasan yang penting.

Dengan kata lain, apa yang muncul dari studi kasus adalah fakta bahwa peranan

pekerja bidang kesehatan tidak melampaui dari minimum informasi mengenai

skema dan pemberian vocer. Selagi mengapresiasi dampak potensial skema pada

kasus malaria, mereka harus dating, mereka menolak untuk menjadi lebih proaktif

dalam hubungannya dengan skema vocer.

Mungkin saja terdapat penjelasan yang berbeda-beda mengenai perilaku tertentu

pada bagian pekerja bidang kesehatan. Pertama, dengan menjadi sebuah fasilitas

yang dimiliki oleh misi (gereja), terdapat sebuah perasaan bahwa skema tersebut

telah dipaksakan pada mereka. Meskipun skema tersebut sedang

diimplementasikan sebagai sebuah bagian dari layanan reproduktif dan kesehatan

anak, aktifitas utama dari fasilitas, hal tersebut merupakan opini bahwa logistik

yang melibatkan interfensi dengan tugas-tugas lain. Namun, menarik juga untuk

mencatat bahwa argument yang sama diberikan oleh dua pekerja kesehatan di

fasilitas lainnya.

Kedua, dan sangat terkait dengan yang pertama, adalah kepemilikannya dan

pengaruhnya pada sistem penghargaan dan hukuman. Para pekerja kesehatan di

fasilitas yang dimiliki oleh gereja dikelola dengan regulasi yang dikeluarkan oleh

para manajer di kantor koordinasi gereja. Dengan demikian, mereka merasa

kurang bertanggung jawab pada para manajer distrik, walaupun operasional

umum memberi subsidi pada fasilitas gereja yang diterima dari pemerintah

melalui badan distrik. Hal ini dapat dilihat dari sebuah diskusi dengan para

pekerja kesehatan yang mencatat bahwa kolega mereka di fasilitas yang dimiliki

oleh pemerintah mempunyai kondisi yang lebih baik dalam hal pembayaran dan

kesempatan pelatihan sedangkan mereka harus lembur dan dibayar murah.

3.3 Analisa kinerja lintas fasilitas

Keempat studi kasus di atas menunjukkan beberapa persamaan dan perbedaan

yang menghindari terjadinya generalisasi mengenai hasil implementasi peraturan.

Namun, analisanya meningkatkan jumlah persoalan baik yang penting untuk

memahami kesenjangan dalam implementasinya, khususnya pada sebuah situasi

yang mana peraturan yang sebagian besar diimplementasikan dengan cara top-

down (sebagaimana dengan persoalan di skema vocer nasional). Oleh karena itu,

bagian dari laporan ini berupaya untuk menjelaskan mengenai kinerja lintas

fasilitas dengan mengidentifikasi persamaan dan ketidaksesuaian dan juga

beberapa kesenjangan implementasi.

Tabel 8: Analisa kinerja lintas fasilitas

Faktor yang mempengaruhi kinerja

Distrik Mbinga Distrik NamtumboFasilitas 1a Fasilitas 1b Fasilitas 2a Fasilitas 2b

Kepemilikan Pemerintah Pemerintah Gereja GerejaAkses Baik Sulit Sulit BaikLevel hubungan: Pekerja kesehatan Tinggi Rendah Tinggi RendahManajer distrik Rendah Rendah Rendah Rendah Penggunaan kekuasaan oleh: Pekerja kesehatan Tinggi Rendah Tinggi RendahManajer distrik Rendah Rendah Rendah RendahTingkat penggunaan vocer secara total

58,6% 49,5%

3.3.1 Kepemilikan

Ada dua jenis kepemilikan fasilitas: oleh pemerintah dan misionaris/gereja. Dua

fasilitas yang berada di distrik dengan kinerja tinggi keduanya dimiliki oleh

pemerintah, sedangkan yang berada di distrik dengan kinerja rendah dimiliki oleh

gereja. Namun, di masing-masing distrik salah satu fasilitas merupakan fasilitas

yang memiliki kinerja relatif tinggi, dan satu fasilitas yang mempunyai kinerja

lebih rendah menunjukkan bahwa kepemilikan tidak jelas menjadi faktor

penjelasan yang penting. Dengan kata lain, penggunaan yang tinggi atau rendah

tidak dapat dihubungkan dengan apakah fasilitas tersebut adalah milik pemerintah

atau pun milik gereja. Namun, generalisasi yang lebih luas sulit diberikan

mengingat jumlahnya yang terbatas dalam studi ini dank arena data yang tersedia

lainnya tidak memisahkan fasilitas berdasarkan kepemilikannya.

3.3.2 Akses

Akses para wanita dan ibu hamil untuk mendapatkan vocer hanyalah mungkin

ketika vocer tersebut diberikan pada fasilitas kesehatan oleh mereka yang

bertanggung jawab: perwakilan dari Agensi Perkembangan Ekonomi Mennonite

dan manajer distrik. Orang akan berpikir bahwa lokasi fasilitas kesehatan atau

akses akan menjadi faktor kinerja yang penting. Dengan bukti bahwa dua distrik

berada di pedesaan, dengan fasilitas yang disebar di beberapa lokasi terpencil,

terdapat potensi adanya vocer, dengan pengaruhnya terhadap kinerja, untuk

menjadi lokasi yang spesifik. Namun, bukti dalam kajian ini menunjukkan bahwa

lokasi geografis bukanlah menjadi faktor penjelasan yang penting. Fasilitas yang

mempunyai kinerja tinggi di distrik dengan kinerja tinggi sudah dapat diakses,

namun hal ini berbeda pada fasilitas yang mempunyai kinerja tinggi namun berada

di distrik dengan kinerja yang rendah. Pada saat yang bersamaan, dua fasilitas

yang mempunyai kinerja rendah, salah satunya telah dapat diakses, sedangkan

yang lainnya tidak.

3.3.3 Level hubungan

Terdapat dua jenis hubungan: hubungan yang melibatkan pekerja kesehatan di

dalam fasilitas yang berpartisipasi dan hubungan yang melibatkan manajer distrik

dalam kapasitas supervisi mereka. Apa yang muncul dari studi ini adalah bahwa

level hubungan mempunyai banyak pengaruh terhadap cara fasilitas tersebut

berjalan. Di fasilitas dimana pekerja kesehatan lebih terlibat, maka fasilitas

tersebut menunjukkan level perhatian yang tinggi pada poin yang secara langsung

mempengaruhi proses, serta tingkat penggunaannya pun tinggi. Demikian juga, di

fasilitas dimana kurang adanya hubungan yang lebih jelas menghasilkan kinerja

yang buruk.

Namun hal yang menarik untuk dicatat adalah alasan atau motivasi pada level

hubungan tinggi di bagian pekerja kesehatan. Dalam dua contoh kinerja tinggi di

studi ini, terdapat satu atau dua penjelasan yang masuk akal, pimpinan yang mana

berhubungan dengan perilaku pekerja kesehatan. Dalam dua kasus tersebut,

penerima manfaat diwajibkan untuk membayar jaring di awal sebagai bagian

untuk menerima layanan pra-kelahiran atau pun vaksinasi, bahkan ketika

persediaan jaring tidak ada. Di salah satu fasilitas, seorang pekerja kesehatan juga

menawarkan layanan penjual dan kepala fasilitas dilaporkan mengambil uang

bahkan jika dia bukan pula salah satu dari penjualnya, sedangkan kepala fasilitas

lainny dan penjual mempunyai hubungan suami-istri. Oleh karena itu, hal ini

mungkin bahwa hubungan yang diobservasi dan konsekuensi kinerja yang tinggi

dapat disebabkan oleh beberapa keuntungan finansial pribadi.

Di sisi yang lain, di dua fasilitas yang mempunyai kinerja rendah, level

hubungannya nampak jelas. Kepala dari dua fasilitas tersebut kurang diperhatikan

mengenai bagaimana skema vocer tersebut diimplementasikan berkenaan dengan

siapa yang melakukan apa dan mengapa. Tercatat bahwa ketika tugas telah

diberikan pada perawat reproduktif dan kesehatan anak, mereka merasa kurang

diwajibkan untuk melakukan follow-up hal-hal seperti ketersediaan vocer,

bagaimana vocer tersebut dapat ditebus atau pun kenaikan harga dari jaring

insektisida.

Sebagaimana telah dicatat di atas bahwa distrik, melalui Badan Tim Manajemen

Kesehatan dan orang-orang yang fokus terhadap malaria, merupakan unit

pelaksana yang utama untuk skema vocer tersebut. Bersama dengan agensi

pelaksana privat, keduanya bertindak sebagai pelaksana utama dalam skema

tersebut. Dengan demikian, mereka diharapkan untuk secara dekat terlibat dalam

proses implementasi dengan meyakinkan bahwa prosedur yang telah ditetapkan

dapat dijalankan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, apa yang

muncul dalam studi ini adalah kurangnya hubungan di sisi manajer distrik

sebagaimana tergambarkan dalam koordinasi yang lemah serta kontak terbatas

dengan fasilitas kesehatan sebagaimana telah disebutkan di atas.

3.3.4 Penggunaan kekuasaan

Penggunaan kekuasaan merupakan sebuah aspek penting dari proses implementasi

peraturan manapun dan seringkali kesuksesan atau pun kegagalan peraturan

bergantung pada hal ini. Bukti pada studi ini menunjukkan bahwa adanya

beberapa ketidaksesuaian antar fasilitas dapat disebabkan karena penggunaan

kekuasaan atau kegagalan untuk melalukannya oleh para pelaksana. Untuk tujuan

kami dalam studi ini, permainan kekuasaan dianalisa dalam tiga level: antara

pekerja kesehatan dengan penerima manfaat, antara pekerja kesehatan dengan

penjual, dan antara manajer distrik dengan pekerja kesehatan.

Pertama dan yang paling utama, pekerja kesehatan sudah agak berperngaruh

dalam menentukan giliran kegiatan dalam implementasi skema vocer. Pengaruh

ini sebagian berasal dari keaslian profesi mereka yang dinilai dan dihargai secara

tinggi, khususnya dalam masyarakat pedesaan dimana mereka melayani.

Pengetahuan yang mereka miliki merupakan sebuah sumber penting akan

kekuasaan yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan pribadi, sebagaimana yang

ditemukan dalam studi ini. Agak jelas bahwa dua fasilitas yang mempunyai

kinerja tinggi di kedua distrik tersebut dimana para pekerja kesehatan mempunyai

pengaruh yang besar terhadap cara skema tersebut diimplementasikan.

Sebagai tambahan dari mewajibkan para wanita hamil untuk membayar vocer

sebagai ganti atas pelayanan, di salah satu fasilitas terdapat sebuah pengumuman

yang menyebutkan bahwa para wanita atau ibu hamil akan dikenai sanksi, tanpa

menyebutkan apa sanksinya, manakala mereka tidak melaporkan layanan pra-

kelahiran dalam waktu empat bulan pertama kehamilan atau jika mereka hamil

kembali dalam waktu dua tahun setelah melahirkan. Keadaan yang sebaliknya

ditemukan pada dua fasilitas dengan kinerja yang rendah dimana perilaku

memaksa oleh pekerja kesehatan tidak dapat diobservasi.

Di kedua distrik dengan kinerja tinggi dan rendah, sama halny dengan di banyak

fasilitas, manajer distrik nampak hanya memberikan pengaruh sedikit mengenai

cara skema vocer tersebut diimplementasikan. Mereka tidak banyak berbicara

mengenai perilaku pekerja kesehatan dan penjual di level yang lebih rendah.

Setidaknya ada dua penjelasan utama untuk kurangnya kekuasaan dari sisi

manajer distrik. Pertama, kerjasama pemerintah-swasta, kerangka dengan yang

mana skema tersebut diimplementasikan dan jumlah pekerjaan yang besar

dibagikan kepada partner swasta yang berarti bahwa manajer distrik mempunyai

sedikit pengaruh terhadap pergantian kegiatan sebagaiamana tergambarkan dalam

studi ini dimana tindakan-tindakan dari pelaksana lain, pekerja kesehatan, penjual

grosir jaring dan penjual biasa mempunyai kekurangan koordinasi yang tepat. Hal

ini sungguh-sungguh direfleksikan dalam ketiadaan database level distrik

mengenai kinerja fasilitas kesehatan dimana informasi hanya dapat diakses

melalui manajer regional Agensi Perkembangan Ekonomi Mennonite atau pun

markasnya di Dar es Salaam.

Kedua, dan mungkin yang lebih penting, adalah kurangnya kontrol level distrik

terhadap vocer dan sumber daya lainnya, khususunya finansial, yang dapat

digunakan sebagai sebuah alat untuk mempengaruhi perilaku pada pelaksana level

lebih rendah. Dengan pengecualian dari kunjungan berkala oleh seorang dari

agensi pelacak vocer, pekerja kesehatan dan penjual keduanya berdiri sendiri-

sendiri dan hanya melakukan apa pun yang mereka pikir pantas sesuai dengan

konteks mereka sendiri. Sekali lagi, hal ini direfleksikan dalam pendekatan-

pendekatan yang berbeda pada implementasi vocer dan hasil yang berbeda.

Sistem pelaporan adalah satu hal yang mana manajer distrik mempunyai sedikit

pengetahuan tentangnya mengenai apa yang sedang terjadi di fasilitas,

menyisakan banyak pekerjaan yang diberikan ke koordinator regional agensi

pelacakan vocer yang mempunyai alat (kendaraan dengan empat penggerak roda

dan laptop) untuk mengunjungi markas distrik untuk mengumpulkan potongan-

potongan untuk proses selanjutnya dan pelaporan ke markas agensi di Dar es

Salaam untuk diseminasi.

4. Kesimpulan dan rekomendasi

Dalam studi ini kami telah mampu menyoroti persoalan-persoalan yang berkaitan

dengan implementasi peraturan bidang kesehatan secara umum dan skema vocer

secara khusus. Kami telah mencatat, diantara banyak hal lainnya, dampak malaria

yang menghancurkan secara social dan ekonomi serta intervensi melalui vocer

bersubsidi. Namun, proses implementasi skema vocer telah memunculkan

beberapa tantangan khususnya yang berkaitan penggunaan kekuasaan oleh pekerja

kesehatan, sebagaimana diidentifikasi dan dianalisa dalam studi ini.

Meskipun terdapat beberapa kesenjangan implementasi, termasuk peranan

manajer regional dan distrik yang termarjinalkan, skema vocer menjadi populer

dan diterima dengan baik di pedesaan Tanzania dimana mayoritas kehidupan

masyarakat dan kemiskinan tersebar luas. Para pekerja kesehatan melaporkan

berkurangnya kasus malaria, dan mengaitkannya hal ini dengan skema vocer.

Kekuasaan dan penggunaan kekuasaan mempunyai pengaruh yang banyak

terhadap hasil dari implementasi skema vocer. Di sisi lain, fasilitas yang

mempunyai kinerja tinggi, pada saat yang bersamaan, ditandai oleh pekerja

kesehatan yang berhubungan dan berpengaruh yang telah menunjukkan kekuasaan

terhadap penerima manfaat. Keuntungan finansial untuk pribadi sebagai sebuah

motif dari hubungan ini tidak dapat terelakkan. Di sisi lain, di fasilitas yang

mempunyai kinerja rendah, para pekerja kesehatan kurang terlibat dan tidak ada

bukti mengenai penggunaan ukuran paksaan untuk mempengaruhi hasil.

Penggunaan kekuasaa juga dapat dikaitkan pada supervisi terbatas pada manajer

kesehatan distrik.

4.1 Rekomendasi

Kajian mengenai implementasi peraturan kesehatan ini memberikan beberapa

pelajaran yang tak terhingga nilainya, meskipun dengan cakupan terbatasnya. Hal

ini sejalan dengan bukti pada permasalahan atau kesulitan yang diasosiasikan

dengan intervensi peraturan. Intervensi peraturan, sebagai contoh, hasil yang tidak

diinginkan tidaklah luar biasa dan bisa menjadi sama pentingnya dengan hasil

yang diinginkan (sebagai contoh Kamuzora dan Gilson, 2007). Berikut ini adalah

beberapa pelajaran implementasi yang muncul dari studi ini.

Pertama dan yang paling utama adalah persepsi dari para responden bahwa skema

vocer menciptakan dampak yang diinginkan: mengarah pada persoalan malaria

diantara wanita hamil dan bayi. Diskusi dengan para pekerja kesehatan dan

penerima manfaat menunjukkan keyakinan bahwa kasus malaria diantara

kelompok-kelompok tersebut telah menurun selama periode implementasi.

Dikatakan bahwa hal ini terefleksikan dalam kunjungan ke fasilitan yang semakin

berkurang, kasus malaria parah yang makin berkurang, dan semakin kurangnya

komplikasi yang berkaitan dengan malaria yang ditemukan pada para wanita

hamil. Meskipun, apa yang tidak jelas adalah persoalan apakah situasi tersebut

dapat dipertahankan atau kah tidak ketika vocer tersebut dihilangkan. Dengan kata

lain, dalam pandangan tujuan-tujuan yang disadari apakah penerima manfaat akan

mau untuk membeli jaring dengan harga pasar atau kah tidak. Temuan dari studi

ini menunjukkan tidak semua vocer digunakan dan bahwa tidak setiap orang mau

membayar top-up sekarang yang di atas harga subsidi vocer. Hal ini menunjukkan

bahwa akan terdapat keengganan dan ketidakmampuan untuk membayar dengan

harga pasar diantara kelompok yang paling rentan terkena malaria.

Kedua, skema vocer pada dasarnya diterapkan menggunakan pendekatan

implementasi ‘top-down’ pada intervensi peraturan, dimana maksud dan

tujuannya ditentukan dari pusat (Pressman dan Wildavsky, 1973; Pulzl dan Treib,

2006). Namun, apa yang menarik dari kasus ini adalah fakta bahwa pusat tidak

mempunyai kontrol yang tetap untuk apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya

untuk memastikan tugas tersebut selesai. Kekuasaan pusat telah didelegasikan

pada otoritas distrik dan beberapa pelaksana swasta dalam kerangka kerjasama

pemerintah-swasta. Namun tindakan yang sebenarnya adalah di level fasilitas

dimana vocer itu diberikan dan ditebus. Dalam rencana ini, sejumlah pemberian

vocer telah dilakukan yang mempengaruhi kinerja, termasuk kekuasan yang

lakukan oleh pekerja kesehatan.

Sebagaimana yang tergambar pada dua fasilitas dengan kinerja yang tinggi, para

pekerja kesehatan menunjukkan sebuah pengaruh yang besar terhadap cara skema

tersebut diimplementasikan. Mereka menjalankan kontrol tidak hanya pada para

wanita dan ibu-ibu (sebagai contoh, dengan menolak memberikan layanan dimana

seharusnya mereka berhak mendapatkannya), namun juga mempengaruhi penjual

(sebagai contoh, secara sepihak menghentikan kontrak penjual). Perilaku ini,

selagi menguntungkan dalam hal peningkatan tingkat penggunaan, memunculkan

beberapa keprihatinan yang berkaitan dengan petunjuk implementasi. Lebih

lanjut, manakala biaya top-up benar-benar tidak terjangkau bagi beberapa wanita

dan keluarga, dipaksa untuk membayarnya menunjukkan sebuah penyalahgunaan

kekuasaan dan sebuah ancaman atas hak individu. Secara lebih luas, hal ini

nampak menggambarkan perilaku ‘birokrasi level jalanan’ (Lipsky, 1980), yang

mengeksploitasi pengetahuan dan informasi yang mereka miliki untuk

menjalankan kekuasaan penuh kebebasan terhadap pelaksana level local lainnya.

Dengan adanya kekuasaan semacam itu, jelas bahwa implementasi skema vocer

merupakan sebuah proses dinamis, kompleks, dan multi faktor yang mana

kesuksesan atau kegagalannya disebabkan oleh banyak faktor. Oleh karena itu,

tujuan dan regulasi yang ditetapkan secara terpusat dimanipulasi oleh mereka

yang tidak bertanggung jawan untuk menjadikan mereka masuk ke dalam praktek

tersebut. Mereka mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi hasil proses,

sebagaimana pengalaman yang terjadi di tempat lainnya (Smit, 2003; Brynard,

2005).

Terakhir, implementasi dari skema vocer menunjukkan beberapa kesulitan yang

melekat pada sistem perlindungan kesehatan yang terdesentralisasi. Susunan

tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian dengan konsekuensi jangka

panjang pada proses dan hasil implementasi peraturan. Desentralisasi dapat

membawa manajemen pemberian layanan lebih dekat kepada masyarakat, namun

tidak dapat memberikan hasil yang diharapkan. Dengan adanya sebuah sistem

yang sentral, hal tersebut mudah dimanipulasi dan dieksploitasi. Meskipun,

perbedaan antara fasilitas dalam hal implementasi skema vocer secara khusus

menunjukkan bahwa kinerja pekerja kesehatan mungkin dipengaruhi oleh

supervisi yang lebih baik (mungkin lemah di tempat yang mempunyai kinerja

rendah) dan, dalam konteks Tanzania, oleh insentif finansial (keuntungan finansial

pribadi dijamin dengan keharusan membeli vocer setidaknya menjelaskan bahwa

praktek pekerja kesehatan di tempat dengan kinerja yang lebih baik).