jurnal ilmu ekonomi dan pembangunan

84
JIEP Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan Jurnal Berkala Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta ISSN: 1412-2200 Pengaruh Interpretasi Pelaksana Kebijakan Terhadap Efektivitas Pelestarian Cendana (Santalum Album L) Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur Strategi Pengembangan Usahatani Kedelai Di Kabupaten Grobogan Dengan Pendekatan Analysis Hierarchy Process (AHP) Dampak Kawasan Industri Di Desa Butuh Terhadap Perekonomian Dan Keinginan Berwirausaha Di Kecamatan Mojosongo, Boyolali Suara Akar Rumput: Kebudayaan yang Mendasari Perilaku Ekonomi Blue Economy : Keseimbangan Perspektif Ekonomi dan Lingkungan Vol 14 No 1 November 2014 JIEP Vol 14 No 1 Surakarta Nov 2014 ISSN 1412-2200

Upload: vulien

Post on 19-Jan-2017

260 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

JIEP

Jurnal Ilmu Ekonomi dan

Pembangunan

Jurnal Berkala Jurusan Ekonomi Pembangunan

Universitas Sebelas Maret Surakarta

ISSN: 1412-2200

Pengaruh Interpretasi Pelaksana Kebijakan

Terhadap Efektivitas Pelestarian Cendana (Santalum

Album L) Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Strategi Pengembangan Usahatani Kedelai Di

Kabupaten Grobogan Dengan Pendekatan Analysis

Hierarchy Process (AHP)

Dampak Kawasan Industri Di Desa Butuh Terhadap

Perekonomian Dan Keinginan Berwirausaha Di

Kecamatan Mojosongo, Boyolali

Suara Akar Rumput: Kebudayaan yang Mendasari

Perilaku Ekonomi

Blue Economy : Keseimbangan Perspektif Ekonomi

dan Lingkungan

Vol 14 No 1

November

2014

JIEP Vol 14 No 1 Surakarta

Nov 2014

ISSN 1412-2200

Page 2: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan (JIEP)

Jurnal Berkala Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

ISSN 1412-2200

Diterbitkan oleh Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Pada bulan Maret dan November

Vol 14 No 1 November 2014

Tim pengelola dari jurnal ini adalah:

Pimpinan Redaksi :

Bhimo Rizky Samudro, M.Si, Ph.D.

Pembina :

Drs. Hari Murti, M.Si

Dewan Editor :

Dr. A.M. Soesilo, M.Sc (Universitas Sebelas Maret)

Dr. Asfi Manzilati (Universitas Brawijaya Malang)

Firmansyah, M.Si, Ph.D (Universitas Diponegoro)

Wahyu Widodo, M.Si, Ph.D (Universitas Diponegoro)

Losina Purnastuti M.Ec.Dev, Ph.D (Universitas Negeri Yogyakarta)

Dr. Muhammad Nasir (Universitas Syah Kuala)

Drs Hari Murti, M.Si (Universitas Sebelas Maret)

Drs Sutomo, MS (Universitas Sebelas Maret)

Editor Pelaksana:

Yogi Pasca Pratama, SE, ME.

Hery Sulistio Jati N S, SE, M.SE

Pengelola Promosi:

Nurul Istiqomah, SE, M.Si.

Izza Mafruhah, S.E., M.Si.

Alamat Sekretariat: Jurusan Ekonomi Pembangunan FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl Ir Sutami 36A, Kentingan

Surakarta 55361. Telepon: 0271 647381. Email: [email protected]

Page 3: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

Editorial

Salam kawan kolega semua,

Rangkaian Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan edisi November 2014 menghadirkan

beberapa artikel terpilih. Nursalam dari Universitas Nusa Cendana, Kupang Nusa Tenggara

Timur memaparkan penelitian sosioekonomi tentang evaluasi kebijakan pelestarian kayu

Cendana. Dilanjutkan dengan penelitian strategi pengembangan usaha tani dengan metode

Analysis Hierarchy Process (AHP) oleh Avi Budi Setiawan dan Fafurida dari Universitas Negeri

Semarang. Penelitian kuantitatif dilakukan juga oleh Nurul Istiqomah, Dwi Prasetyani dan

Amina Sukma Dewi dari FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di sisi lain, sebuah

penelitian kualitatif disajikan oleh Yogi Pasca Pratama dan Asfi Manzilati dari FEB Universitas

Sebelas Maret dan FEB Universitas Brawijaya Malang. Pada artikel terakhir, Ajeng Faiza

melakukan kajian tentang Blue Economy serta penerapannya di Indonesia.

Pihak redaksi mengucapkan selamat membaca dan mohon maaf apabila dalam penyajian

masih terdapat beberapa kekurangan. Akhirnya, redaksi juga mengundang partisipasi para

peneliti, penulis dan pengkaji sosioekonomi untuk mengirimkan artikel/karya tulis/hasil kajian

ke redaksi kami.

Surakarta

November 2014

Page 4: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan (JIEP)

Jurnal Berkala Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

ISSN 1412-2200

Vol 14 No 1 November 2014

Daftar Isi

Pengaruh Interpretasi Pelaksana Kebijakan Terhadap

Efektivitas Pelestarian Cendana (Santalum Album L) Di

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa

Tenggara Timur

Nursalam

1-22

Strategi Pengembangan Usahatani Kedelai Di Kabupaten

Grobogan Dengan Pendekatan Analysis Hierarchy

Process (AHP)

Avi Budi Setiawan dan Fafurida

23-38

Dampak Kawasan Industri Di Desa Butuh Terhadap

Perekonomian Dan Keinginan Berwirausaha Di

Kecamatan Mojosongo, Boyolali

Nurul Istiqomah, Dwi Prasetyani dan Amina Sukma

Dewi

39-55

Suara Akar Rumput: Kebudayaan yang Mendasari

Perilaku Ekonomi

Yogi Pasca Pratama

56-69

Blue Economy : Keseimbangan Perspektif Ekonomi dan

Lingkungan

Ajeng Faiza N I

70-79

Page 5: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

1

PENGARUH INTERPRETASI PELAKSANA KEBIJAKAN TERHADAP

EFEKTIVITAS PELESTARIAN CENDANA (SANTALUM ALBUM L)

DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN (TTS)

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Nursalam

Fisip Undana / Jl.Adisucipto Penfui Kupang-NTT

Email: [email protected]

Abstract

This article aims to provide an overview of factors influence the interpretation of the effectiveness

of conservation policy implementers Sandalwood (Santalum album L) in the district of South

Central Timor (TTS) East Nusa Tenggara (NTT). Explanatory research design using survey.

Sampling technique is stratified sampling, with a size of 145 respondents. Researchers also

determined several key persons from various community groups and also from the head of the

forest service, the head of the planning department at Sub forestry service, and chief of the office of

South Central Timor regency service plan (Bappeda). While the techniques of data collection

techniques include questionnaires, observations, interviews, and documentation. Influence the

interpretation of the effectiveness of the conservation of sandalwood tested using path analysis.

Research conclusion is, the interpretation of policy implementers sandalwood is not maximized in

enhancing the effectiveness of conservation Sandalwood. The results also show that there are other

factors that need attention if the effectiveness of conservation the of Sandalwood to be improved,

the factors of community participation and the factor values are valid, both executive officers and

the community.

Keywords: Interpretation, Implementation, Effectiveness, Conservation, Sandalwood (santalum

album L).

A. Pendahuluan

Cendana (santalum album L)

merupakan tanaman penting di Provinsi Nusa

Tenggara Timur yang merupakan tanaman

yang diprioritaskan dalam pembangunan

kehutanan karena nilai ekonomi dan

berdasarkan pertimbangan keanekaragaman

hayati. Tanaman Cendana juga merupakan

tanaman hutan yang dahulu menjadi

penyumbang pendapatan asli daerah (PAD),

sampai dengan tahun 1997/1998 masih

memberikan kontribusi terhadap PAD

Kabupaten TTS sebanyak Rp.797.000.000.-

atau 9,48 % dari total PAD (Dispenda

Kab.TTS, 2008).

Pemanfaatan yang terus menerus

menyebabkan populasi pohon cendana

menyusut dengan cepat, karena tidak ada

keseimbangan antara laju kecepatan

pengurangan areal hutan cendana dengan

jumlah pohon yang ditanam kembali

ditambah kecepatan reproduksi alamiah dari

tegakan.

Pengembangan pembudidayaan/

pelestarian pohon cendana bentuknya

bermacam-macam, yang kesemuanya

melibatkan tindakan yang dapat mempengaruhi

populasi cendana, salah satunya adalah

dengan artificial (campur tangan), melalui

silvikultur yang dilakukan oleh pihak

Page 6: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

2

pemerintah maupun oleh pihak swasta (Sinlae

dan Lango, 2002:5).

Menurut Rohadi et al (2002: 170)

menyatakan bahwa cendana mempunyai

banyak manfaat ekonomis antara lain:

1. Dalam bentuk gelondongan dapat

dimanfaatkan untuk membuat mobiler

(kursi, meja, lemari dan berbagai asesoris)

2. Karena baunya sangat wangi, maka

minyak cendana digunakan sebagai

minyak cendana dan bahan baku parfun.

3. Serbuk cendana dipakai sebagai dupa

(biasanya digunakan jika ada upacara

kematian. Dan banyak lagi kegunaan

lainnya, sehingga cendana memiliki nilai

ekonomis sangat tinggi. Saat ini harga

cendana bisa mencapai 50 ribu rupiah

perkilogram.

Mengingat nilai ekonomis yang cukup

tinggi tersebut, cendana kemudian

dieksploitasi secara besar-besaran baik oleh

pemerintah maupun oleh rakyat secara

keseluruhan.

Praktik eksploitasi Cendana di

Kabupaten Timor Tengah selatan (TTS)

sudah lama berlangsung, Seperti yang

disampaikan oleh Widiyatmika yang dikutip

dari Rohadi et al (2002:195) disebutkan

bahwa pada awalnya seluruh cendana yang

ada di pulau Timor dimiliki oleh Raja,

selanjutnya Raja menunjuk “Tuan Tanah”

(fetor atau uis pah) untuk mengawasi

produksi cendana yang ada di daerah. Tuan

tanah ini kemudian ditunjuk menjadi ketua

adat untuk memelihara dan mengamankan

pohon-pohon cendana yang ada dan

melakukan upacara ritual jika akan dilakukan

pengambilan cendana. Hasilnya kemudian

adalah akar cendana diberikan kepada Raja,

batang kepada Tuan Tanah, dan ranting

kepada pemilik pohon cendana (Ormeling

dalam Rohadi, 2002:196).

Berbagai upaya yang ditempuh melalui

kebijakan bertujuan untuk membudidayakan

cendana, namun kebijakan tersebut belum

dapat memberikan hasil yang

menggembirakan, diantara kebijakan tersebut

adalah:

(1) Peraraturan Daerah (Perda) Provinsi

Nusa Tenggara Timur nomor 6

tahun1996 tentang Perubahan Pertama

Peraturan Daerah Propinsi Nusa

Tenggara Timur nomor 16 tentang

cendana.

(2) Intruksi Gubernur Provinsi Nusa

Tenggara Timur Nomor 12 tahun 1997

Tentang Larangan Penebangan Pohon

Cendana.

(3) Peraturan Daerah Kabupaten Timor

Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001

tentang cendana.

Salah satu perubahan yang sangat

mendasar dari Perda Kabupaten Timor

Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001 tentang

cendana adalah menyangkut kepemilikan

pohon, dimana dalam perda 25/2001 ini telah

mengakui kepemilikan pohon cendana yang

dimiliki oleh para petani/masyarakat.

Disebutkan bahwa tanaman cendana yang

Page 7: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

3

tumbuh di lahan pemerintah dimiliki oleh

pemerintah, tanaman cendana yang tumbuh

pada lahan swasta dimiliki oleh swasta, dan

pohon cendana yang tumbuh pada lahan

masyarakat dimiliki oleh masyarakat. Hal ini

merupakan langkah maju dalam pengelolaan

cendana di masa depan, persoalannya

kemudian terletak pada kemampuan aparat

pelaksana kebijakan dalam menindaklanjuti

Perda No.25/2001 kedalam program upaya

pelestarian.

Menafsirkan kebijakan yang bersifat

strategis menjadi kebijakan yang bersifat

operasional dalam bentuk program/proyek

yang konkrit dan jelas serta dapat

dilaksanakan merupakan tugas yang sulit bagi

implementor (pelaksana) kebijakan.

Sebagaimana halnya dalam melakukan

interpretasi Peraturan Daerah (Perda) menjadi

program/proyek yang dibuat oleh satuan kerja

pemerintah daerah (SKPD). Tugas utama

seorang implementor kebijakan sesungguhnya

adalah melakukan menginterpretasi sesuai

dengan tujuan kebijakan agar program yang

dibuat oleh mereka menjadi lebih operasional

dan siap dilaksanakan. Pentingnya

interpretasi dalam implementasi, dinyatakan

oleh White et al (2008); Besley (2010), yang

menyatakan Keberhasilan implementsi

kebijakan kemungkinan jarang bisa terwujud

jika kebijakan belum jelas dipahami oleh

aparat pelaksana, oleh karena itu syarat utama

adalah memahami kejelasan kebijakan.

Kebutuhan utama bagi keberhasilan

pelaksanaan kebijakan adalah mereka yang

akan melaksanakan kebijakan harus tahu apa

yang seharusnya mereka lakukan. Jika

kebijakan ingin dilaksanakan secara tepat,

maka arahan dan petunjuk pelaksanaan tidak

hanya diterima tetapi juga harus dipahami

secara jelas oleh implementor (Jones and

McBeth, 2010). Jika syarat ini tidak dipenuhi,

maka mereka akan mengalami kebingungan,

bahkan bisa berbeda pendapat dengan

keputusan pada tingkat diatasnya. Menurut

Allin (2008); Matheson (2009); Kochtcheeva

(2009); Marsh and Mc Connell (2010),

masalah yang paling mendasar dalam

penerapan kebijakan adalah bagaimana

memindahkan suatu keputusan ke dalam

kegiatan yang dapat dioperasikan. Kejelasan

pesan dapat menjembatangi jurang pemisah

diantara keputusan dan kegiatan yang dapat

dikerjakan. Interpretasi merupakan tindakan

dalam kebijakan akan menghasilkan

kebijakan turunan (derivation) yang

operasional. Beranjak dari kebijakan turunan

ini, maka akan menjadi petunjuk bagi

pelaksana kebijakan untuk melakukan

tindakan-tindakan yang diperlukan bagi

terlaksananya program sesuai dengan tujuan

implementasi kebijakan. Pemahaman, arahan,

dan petunjuk secara lengkap, tepat dan jelas

terhadap kebijakan merupakan unsur-unsur

penting yang harus diperhatikan dalam

menginterpreasi suatu kebijakan.

Berdasarkan pandangan di atas jelas

menunjukkan salah satu dimensi penting

dalam implementasi kebijakan adalah

kegiatan menginterpretasi. Interpretation

Page 8: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

4

(menafsirkan) bertujuan agar program

menjadi rencana yang konkrit dan jelas serta

dapat dilaksanakan. Birokrasi pemerintah

yang berperan sebagai organisasi pelaksana

perlu menginterpretasikan kebijakan agar

lebih operasional dan siap dilaksanakan,

dalam hal ini kebijakan dirumuskan sebagai

program/proyek kemudian proyek dijabarkan

menjadi kegiatan, sehingga para pelaksana di

lapangan dapat bertindak sesuai dengan

tujuan kebijakan tersebut. Kenyataan yang

sering ditemui adalah terjadinya inkonsistensi

dalam menginterpretasi sehingga

menyebabkan masalah tidak bisa dipecahkan.

Kadangkala terdapat program yang

telah diimplementasikan, namun program

tersebut mengalami kegagalan, karena para

pelaksana tidak belajar dari pengalaman

kegagalan program sebelumnya, sehingga

otomatis implementasi kebijakan juga

mengalami kegagalan. Salah satu

penyebabnya adalah program tersebut lebih

mencerminkan suatu konsensus saja dan tidak

mengindahkan keyakinan yang sesungguhnya

akan keberhasilan program artinya proses

interpretasi dari tujuan kebijakan tidak terkait

langsung dengan tujuan yang sesungguhnya

dari kebijakan.

Interpretasi juga perlu melibatkan

lembaga antar pemerintah (intergovernmental)

dan partisipasi publik, sehingga memungkinkan

kebijakan yang diambil benar-benar dapat

diaplikasikan. Implementor kebijakan harus

merespon pertanyan tentang apa yang dapat

dilakukann saat ini, bagaimana melakukannya,

kapan waktunya. Pertanyaan-pertanyaan

tersebut membantu implementor untuk

melakukan interpretasi secara jelas, teliti,

konsisten sehingga memberikan dampak pada

penyusunan program.

B. Perumusan Masalah

Berkaitan dengan interpretasi pelaksana

kebijakan terhadap kebijakan pelestarian pohon

Cendana pada kenyataannya belum dilaksanakan

sebagaimana yang diharapkan. Implementasi

kebijakan pelestarian pohon Cendana belum

menggembirakan, terbukti dari program-

program pelestarian masih bersifat rutinitas

sehingga belum mampu menyelesaikan

permasalahan dalam meningkatkan populasi

Cendana. Masalah utama artikel ini adalah

sejauhmana pelaksana kebijakan (implementor)

melakukan interpretasi peraturan daerah (Perda)

kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25

Tahun 2001 Tentang Cendana.

C. Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh faktor interpretasi pelaksana

kebijakan terhadap efektivitas pelestarian

pohon Cendana di Kabupaten Timor Tengah

Selatan (TTS).

D. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan eksplanatory

survey, sesuai dengan tujuan penelitian yang

akan menjelaskan hubungan antar variabel,

yaitu Pengaruh faktor interpretasi pelaksana

kebijakan cendana terhadap efektivitas

Page 9: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

5

pelestarian pohon cendana. Peneliti

menggunakan desain tersebut karena tidak

hanya menggambarkan dan menjelaskan fakta

empirik yang ditemui dilapangan, tetapi juga

melakukan analisis pengaruh variabel bebas

(interpretasi) dengan variabel terikat

(efektivitas pelestarian).

Penelitian yang merujuk pada desain

eksplanasi tersebut, menggunakan satu

pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif.

Pendekatan kuantitatif secara sederhana lebih

merujuk kepada pengumpulan data dan

penganalisaan informasi secara statistikal

dengan menggunakan uji statistik. Melalui

pendekatan ini, data yang dikumpulkan

bersifat kuantitatif dapat menjelaskan

pengaruh faktor interpretasi pelaksana

kebijakan cendana terhadap efektivitas

pelestarian pohon cendana.

2. Populasi dan Sampel

Berdasarkan unit analisis dari penelitian

ini yaitu penyelenggara pelestarian pohon

Cendana, sehingga yang menjadi populasi

adalah semua pihak yang terlibat dalam

penyelenggaraan pelestarian pohon Cendana

yang meliputi : aparat dinas kehutanan

kabupaten TTS, aparat kantor kecamatan di

kabupaten TTS, aparat kantor kepala desa di

kabupaten TTS, kelompok lembaga

pemangku hutan. Jumlah populasi sebanyak

794.

Pemilihan Sampel dari masing-masing

strata dilakukan dengan menggunakan teknik

pengambilan sampel secara acak (simple

random sampling).

Pengaruh Interpretasi terhadap

efektivitas pelestarian pohon cendana di

Kabupaten TTS akan diuji dengan

menggunakan analisis jalur (Path Analysis.

Untuk mendapatkan ukuran sampel minimum

(n) dalam populasi, digunakan rumus Slovin

(Bungin, 2005), sebagai berikut:

n = 21 Ne

N

+

Dimana:

n = Ukuran sampel minimum yang akan

diambil

N = Ukuran Populasi

e = Persentase kelonggaran ketelitian yang

digunakan karena kesalahan

pengambilan sampel yang masih dapat

ditolerir (error). Tingkat error yang

dipakai adalah 7,5 %

Dari Rumus tersebut dapat diketahui

besaran sampel yaitu:

n = 145%)5,7(7941

7942

=+

Peneliti juga menentukan beberapa key

person dari berbagai kelompok masyarakat

dan juga dari kepala dinas kehutanan, kepala

Sub dinas perencanaan pada dinas kehutanan,

dan kepala bidang pada kantor Bappeda

kabupaten Timor Tengah Selatan yang akan

dijadikan sebagai pembanding informasi dari

responden.

3. Skala Penilaian hasil indikator

Berdasarkan jumlah sampel selanjutnya

dibuat pengkategorian hasil yang dicapai oleh

setiap indikator/dimensi dengan menggunakan

rumus:

Page 10: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

6

RS= m

mn )1( −

dimana,

n = Jumlah sampel (dalam penelitian ini

145)

m = Jumlah alternatif jawaban tiap item

(5 alternatif)

Berdasarkan analisis data kuesioner

dengan menggunakan rumus diatas diperoleh

rentang kategori indikator/dimensi penelitian

dalam tabel 1

Tabel 1. Kategori indikator/dimensi

No Tingkat

Pencapaian Kategori

1

2

3

4

5

613----729

496----612

379----495

262----378

145----261

Sangat Tinggi

Tinggi

Sedang

Rendah

Sangat Rendah

Sumber: Husain Umar (2003)

4. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah: 1) Observasi, 2) Wawancara,

3) Angket, 4) Dokumentasi.

E. Analisis dan Pembahasan

Analisis pengaruh faktor interpretasi

pelaksana kebijakan cendana terhadap

efektivitas pohon pelestarian cendana

dilakukan menggunakan analisis jalur.

1. Deskripsi Hasil Pengukuran Indikator

Interpretasi

Dimensi interpretasi diukur dengan 4

indikator yang meliputi komitmen mengenai

keberhasilan pelestarian, kejelasan program,

konsistensi pelaksanaan program dan

penetapan prioritas.

Berdasarkan perhitungan seluruh

indikator yang berkaitan dengan dimensi

interpretasi, maka dapat ditentukan skor dan

kategori seperti terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Skor Dimensi Interpretasi

No Indikator Skor Kategori

1 Komitmen mengenai

keberhasilan pelestarian

380 sedang

2 Kejelasan program 386 sedang

3 Konsistensi program 381 sedang

4 Penetapan prioritas 379 sedang

Rata-rata Dimensi

Interpretasi

381.5 sedang

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2008

Data pada tabel 2 di atas menunjukkan

bahwa dimensi interpretasi dari implemetasi

kebijakan pelestarian pohon cendana masih

berada pada kategori sedang, artinya

interpretasi aparat dalam menjabarkan

kebijakan tentang pelestarian pohon cendana

masih perlu ditingkatkan.

2. Pengujian Hipotesis

Penelitian ini akan menguji apakah

faktor interpretasi berpengaruh terhadap

efektivitas pelestarian pohon Cendana di

Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi

Nusa Tenggara Timur.

Setelah prosedur pengujian simultan H0

ditolak, dan disimpulkan terdapat pengaruh

faktor interpretasi pelaksana kebijakan

cendana terhadap efektivitas pelestarian

pohon Cendana di Kabupaten Timor Tengah

Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pengukuran kebermaknaan (signifikansi)

pengaruh variabel independen (faktor

Page 11: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

7

interpretasi) terhadap variabel dependen

(efektivitas pelestarian), maka dilakukan

pengujian dengan uji t.

Hipotesis yang diajukan adalah faktor

interpretasi berpengaruh terhadap efektivitas

pelestarian pohon Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa

Tenggara Timur”.

Statistik uji yang digunakan adalah uji t,

dimana thitung dapat dihitung melalui formula

berikut:

1

0,3195,478

(1- 0,7946) 2,332

145 -3-1

t = =×

2

0,4889,251

(1- 0,7946) 1,913

145 - 3-1

t = =×

3

0,1993,182

(1- 0,7946) 2,694

145-3-1

t = =×

Keterangan:

Angka 3 menunjukkan 3 dimensi penelitian,

namun dalam tulisan ini penulis hanya

menampilkan 1 dimensi/faktor yaitu faktor

interpretasi.

Selanjutnya nilai tersebut dibandingkan

dengan nilai t tabel untuk n = 145 dengan taraf

kesalahan 5% dan dk = n–k–1 = 145-3-1 =

141 adalah 1,977.

Hasil perbandingan antara t hitung dengan

t tabel dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Uji Hipotesis Pengaruh X terhadap Y

Hipotesis Koefisien

Jalur t hitung p-value t tabel

Kesimpulan

Statistik

Faktor

interpretasi

mempunyai

pengaruh

terhadap

efektivitas

pelestarian

pohon

Cendana

0,488 9,251 0,000 1,977 H0 ditolak,

terdapat

pengaruh

faktor

interpretasi

terhadap

efektivitas

pelestarian

pohon

Cendana

Sumber : Data Primer Hasil Penelitian 2008 (diolah)

Hasil pengujian hipotesis untuk melihat

pengaruh parsial dapat diuraikan sebagai

berikut

Pengaruh faktor interpretasi secara

parsial terhadap efektivitas pelestarian pohon

Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan

Provinsi Nusa Tenggara Timur ditunjukkan

oleh koefisien jalur pYX2 sebesar 0,488. Hasil

perhitungan diperoleh thitung sebesar 9,251 dan

nilai ttabel untuk α=0,05 dan derajat bebas

145-3-1= 141 sebesar 1,977.

Hipotesis :

H0 : ρYX2 = 0 Tidak terdapat pengaruh

faktor interpretasi terhadap

efektivitas pelestarian pohon

Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan

Provinsi Nusa Tenggara

Timur

H1 : ρYX2 ≠ 0 Terdapat pengaruh faktor

interpretasi terhadap

efektivitas pelestarian pohon

Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan

Provinsi Nusa Tenggara

Timur

Hasil uji empiris menyatakan penolakan

terhadap H0 atau dengan kata lain menerima

H1 karena diperoleh thitung = 9,251 > ttabel =

1,977 dan nilai signifikan (p-value) untuk X2

Page 12: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

8

lebih kecil dari α = 0,05. Diperoleh hasil

pengujian hipotesis terdapat pengaruh yang

bermakna pengaruh faktor interpretasi

terhadap efektivitas pelestarian pohon

Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan

Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan hasil perhitungan koefisien

menunjukkan bahwa faktor interpretasi pada

implementasi kebijakan tentang cendana

secara signifikan mempengaruhi efektivitas

pelestarian pohon cendana di kabupaten

Timor Tengah Selatan provinsi Nusa

Tenggara Timur.

3. Besar Pengaruh faktor interpretasi

Terhadap Efektivitas pelestarian pohon

Cendana di Kabupaten Timor Tengah

Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Dari hasil pengujian pada bagian di atas

diperoleh kesimpulan terdapat pengaruh yang

signifikan (nyata) secara bersama-sama dan

secara parsial variabel implementasi

kebijakan tentang Cendana yang terdiri atas

Dimensi organisasi, Dimensi interpretasi dan

Dimensi aplikasi terhadap efektivitas

pelestarian pohon Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa

Tenggara Timur

Besar pengaruh faktor interpretasi

terhadap efektivitas pelestarian cendana

adalah sebagai berikut :

Pengaruh X2 = Pyx2 . Pyx2

terhadap Y

langsung = 0,488 x 0,488 = 0,2386

Pengaruh X2

terhadap Y

melalui X1

= Pyx2 . rx1x2 . Pyx1

= 0,488 x 0,606 x 0,319 = 0,0945

Pengaruh X2

terhadap Y

melalui X3

= Pyx2 . rx2x3 . Pyx3

= 0,488 x 0,672 x 0,199 = 0,0655

Total Pengaruh = 0,3985

Besar Pengaruh Dimensi interpretasi

Terhadap Efektivitas pelestarian pohon

Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan

Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Hasil perhitungan memperlihatkan

bahwa kontribusi (pengaruh) langsung

Dimensi interpretasi terhadap efektivitas

pelestarian pohon Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa

Tenggara Timur adalah sebesar 23,86%.

Sementara itu adanya dua sub variabel

implementasi kebijakan tentang Cendana

lainnya yang saling berhubungan dengan

Dimensi interpretasi memperbesar pengaruh

Dimensi interpretasi terhadap efektivitas

pelestarian pohon Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa

Tenggara Timur yang ditunjukkan oleh

pengaruh tidak langsung melalui dimensi

organisasi sebesar 9,45% serta yang melalui

dimensi aplikasi sebesar 6,55%. Hasil yang

diperoleh menunjukan pengaruh Dimensi

interpretasi dari implementasi kebijakan

tentang Cendana terhadap efektivitas

pelestarian pohon Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa

Tenggara Timur semakin besar ditunjang oleh

Page 13: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

9

sub-variabel implementasi kebijakan tentang

Cendana yang lain.

Secara total pengaruh total pengaruh

Dimensi interpretasi terhadap efektivitas

pelestarian pohon Cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa

Tenggara Timur adalah 39,85% dengan arah

yang positif, yang berarti semakin baik

Dimensi interpretasi akan menjadikan

semakin tinggi efektivitas pelestarian pohon

Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan

Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dengan demikian menunjukkan

bahwa baik secara langsung maupun tidak

langsung, yaitu melalui dimensi lain dari

implemementsi kebijakan, dimensi

interpretasi berpengaruh terhadap efektivitas

pelestarian pohon cendana di kabupaten

Timor Tengah Selatan provinsi Nusa

Tenggara Timur.

4. Pembahasan:

Sehubungan dengan kegiatan

menafsirkan kebijakan pelestarian pohon

cendana di kabupaten Timor Tengah Selatan

ini, teori implementasi kebijakan publik dari

Jones (1984) belum diterapkan secara baik

oleh para implementor kebijakan Cendana

sehingga efektivitas pelestarian pohon

Cendana belum berjalan sebagaimana yang

diinginkan, kondisi tersebut berimplikasi pada

tingkat populasi pohon Cendana di

Kabupaten Timor Tengah Selatan yang

mengalami penurunan yang cukup berarti,

sebagaimana terlihat pada tabel 4.

Tabel 4. Populasi Pohon cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan

Tahun

Diamter

> 30 Cm

(pohon

yang tua)

Diameter

< 30 Cm

(pohon

yang muda)

Total

2001 71.652 260.550 332.202

2002 41.427 209.513 250.940

2003 21.052 91.658 112.710

2004 15.745 60.975 76.720

2005 14.253 56.367 70.620

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten TTS, 2010

Hasil Penelitian menunjukkan

interpretasi (X) dengan indikator: komitmen

mengenai keberhasilan program pelestarian,

kejelasan program, konsistensi program, dan

penetapan prioritas program pelestarian. Hasil

uji statistik diperoleh angka koefisien jalur

0,488 dengan pengaruh total X ke Y adalah

39,85 % arah positif. Dari hasil penelitian

dimensi interpretasi ini memperjelas bahwa

interpretasi suatu kebijakan berpengaruh

terhadap implementasi kebijakan publik.

Artinya semakin baik interpretasi yang

dilakukan oleh aparatur maka akan semakin

efektif pula pelestarian pohon cendana di

Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Pentingnya interpretasi terhadap

kebijakan publik oleh aparatur sejalan dengan

pendapat Edward III (1980:17); Besley

(2010), yang menyatakan bahwa kebutuhan

utama bagi efektivitas pelaksanaan kebijakan

adalah bahwa implementor harus mengetahui

secara jelas apa yang seharusnya dilakukan.

Jika kebijakan ingin dilaksanakan dengan

tepat, arahan, dan petunjuk pelaksanaan tidak

hanya diterima tetapi juga harus jelas.

Ketidakjelasan mengenai apa yang

seharusnya dilakukan implementor

Page 14: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

10

menyebabkan kebingungan bagi mereka,

sehingga pada akhirnya mereka bertindak

berbeda dengan pandangan dari atasan

mereka. Sejalan dengan pandangan ini

ditegaskan pula bahwa:

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh

faktor interpretasi terhadap efektivitas

pelestarian pohon cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan menunjukkan bahwa

jawaban responden umumnya berada pada

kategori kurang sesuai. Untuk indikator

tentang komitmen untuk pelestarian 47,6 %

responden menyatakan kurang memiliki

komitmen. Indikator kejelasan program,

51,7 % responden menyatakan bahwa

program-program pelestarian adalah tidak

jelas. Indikator konsistensi program 38,6 %

responden menyatakan program yang ada

kurang konsisten. Indikator mengenai

penetapan prioritas, terdapat 38,6 %

responden menyatakan implementor

kebijakan kurang menyusun prioritas untuk

program pelestarian.

Fenomena ini kemudian dikaji lebih

jauh kepada responden dan informan kunci

yang memahami secara jelas kondisi

pelestarian pohon cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan, berdasarkan hasil

wawancara diketahui beberapa hambatan

menyangkut interpretasi dari kebijakan

pelestarian, yaitu:

1. Interpretasi sulit dilakukan oleh

implementor oleh karena implementor

sudah terbiasa melaksanakan tugas

berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada.

Para pelaksana kurang mampu mengambil

tindakan diluar dari petunjuk yang ada.

padahal seringkali mereka dihadapkan

pada ketiadaan petunjuk-petunjuk

tersebut, misalnya dalam kasus pelestarian

pohon cendana ini belum ada semacam

juklak dan juknis yang bersifat baku.

2. Umumnya para pengambil kebijakan dan

pelaksana kebijakan memiliki komitmen

yang relatif rendah terhadap upaya

pelestarian pohon cendana. Rendahnya

komitmen mereka diidikasikan dari (1)

program-program pelestarian pohon

cendana bukan program prioritas bidang

pelestarian, masih ada program yang lain

yang lebih utama misalnya penanaman

pohon jati dan pohon kemiri (2) alokasi

anggaran yang disediakan untuk proyek

pelestarian pohon cendana relatif sangat

sedikit (3) penerbitan Keputusan Bupati

Timor Tengah Selatan No.8 Tahun 2002

tentang penetapan harga dasar jual kayu

cendana, padahal sebenarnya tidak perlu

ada surat keputusan ini, karena akan

semakin menghabiskan populasi pohon

cendana di Kabupaten Timor Tengah

Selatan.

3. Motivasi dari para implementor untuk

melestarikan pohon cendana menjadi

menurun disebabkan oleh karena pohon

cendana ini adalah merupakan tanaman

yang membutuhkan perlakuan istimewa/

khusus yang berbeda dari tanaman lain,

sebagaimana diketahui bahwa keberhasilan

tumbuh cendana dari anakan menjadi pohon

Page 15: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

11

yang tegakannya berumur 2 tahun adalah

maksimal 20 %. Selain itu juga

dipengaruhi oleh minat masyarakat untuk

menanam pohon cendana sangat rendah

akibat dari perlakuan pemerintah kepada

masyarakat yang mengabaikan hak-hak

mereka.

4. Menonjolnya pengaruh interpretasi

terhadap efektivitas pelestarian pohon

cendana karena interpretasi dari para

pelaksana kebijakan memegang peranan

utama untuk menterjemahkan substansi

kebijakan tentang Cendana di kabupaten

Timor Tengah Selatan. Keberhasilan para

pelaksana tersebut untuk menginterpretasi

secara benar kebijakan tentang cendana

akan mempengaruhi komitmen mereka

dalam menyukseskan program-program

pelestarian yang dicanangkan, dan juga

memahami dengan jelas program

pelestarian sehingga mengarahkan

tindakan mereka untuk senantiasa

konsisten dalam menyusun program

berikutnya sebagai program yang

prioritas. Dimensi ini menonjol

pengaruhnya dalam kegiatan pelestarian

pohon cendana di kabupaten Timor

Tengah Selatan karena didukung oleh

beberapa tenaga teknis yang dimiliki oleh

Dinas Kehutanan kabupaten Timor

Tengah Selatan yang berkualifikasi

sarjana kehutanan dan berbagai kegiatan

pelatihan yang pernah mereka ikuti yang

berhubungan dengan manajemen

pelestarian dan teknik kultivasi sehingga

menjadi modal bagi mereka untuk

melakukan interpretasi dengan baik

terhadap kebijakan pelestarian pohon

cendana.

5. Faktor lain yang berpengaruh

1. Partisipasi Masyarakat

Menurut Holden (2010), dan Thomas

et al (2012) partisipasi masyarakat meliputi

berbagai bentuk :

a. Participation in decision making,

adalah partisipasi masyarakat dalam

pembuatan keputusan dan

kebijaksanaan organisasi.

b. Participation in implementation, adalah

partisipasi dalam kegiatan pelaksanaan

putusan yang ditetapkan.

c. Participation in benefit, adalah

partisipasi dalam pemanfaatan hasil-

hasil pembangunan yang telah dicapai.

d. Participation in evaluation, adalah

partisipasi dalam bentuk keikutsertaan

menilai serta mengawasi kegiatan

pembangunan dan hasil-hasilnya.

Sejalan dengan itu Mohan (2007)

membagi jenis partisipasi dalam pembangunan

sebagai berikut :

a. Participation in decesion making

(partisipasi dalam pengambilan

keputusan)

b. Participation in implementation of

development programmers and projects

(partisipasi dalam pelaksanaan program

dan pembangunan)

Page 16: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

12

c. Participation in sharing the benefits of

development (partisipasi dalam berbagai

manfaat pembangunan).

d. Participation in monitoring and

evaluation of development programmers

and projects (partisipasi dalam bentuk

pengawasan dan evaluasi program serta

proyek pembangunan).

Dengan demikian partisipasi atau

peran serta mengandung arti (1) turut

memikul “tanggung Jawab” tertentu secara

proporsional, kemampuan, peran masing-

masing, serta tantangan pembangunan yang

dihadapi sehingga (2) memberi manfaat

dalam pencapaian tujuan bersama secara

optimal.

Berkaitan dengan upaya melestarikan

tanaman cendana di Kabupaten Timor Tengah

Selatan (TTS), maka ada 3 aspek penting

menurut Gunawan (2002) yang perlu

mendapat perhatian yaitu law enforcement

(pelaksanaan hukum), conservation campaign

(penyuluhan tentang pentingnya pelestarian)

dan prosperity approach (pendekatan

kemakmuran), ketiga aspek tersebut saling

menunjang untuk mencapai keberhasilan

pelestarian cendana. Tanaman cendana yang

merupakan unggulan bagi masyarakat dan

pemerintah daerah yang memiliki nilai

historis dan banyak memberikan manfaat bagi

masyarakat dan daerah Kabupaten TTS akan

mengalami kepunahan manakala pelestarian

tidak berhasil, oleh karena upaya pelestarian

ini sangat menentukan masa depan pohon

cendana.

Pengelolaan kegiatan pelestarian

tanaman cendana perlu didasarkan pada prinsip

partisipatif, transparan, berkesinambungan,

akuntabilitas serta efisiendan efektif. Sistem

rehabilitasi merupakan sistem yang terbuka,

yang melibatkan para pihak yang

berkepentingan. Dengan demikian pada

prinsipnya rehabilitasi tanaman cendana

diselenggarakan atas inisiatif bersama para

pihak, Dengan kata lain rehabilitasi

dilaksanakan melalui partisipasi masyarakat.

Pengalaman menunjukkan bahwa

masyarakat kurang berpartisipasi dalam upaya

pelestarian tanaman cendana karena

kebijaksanaan yang ditempuh oleh

pemerintah cenderung mengabaikan nilai

keadilan sosial dan hak-hak masyarakat

untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan

cendana (Rohadi et al, 2002). Bagaimana

dapat dikatakan adil tindakan pemerintah jika

pohon Cendana yang tumbuh pada lahan

milik masyarakat/petani diregistrasi dan

diwajibkan untuk dipelihara sampai besar.

Selanjutnya masyakat tidak berhak atas

kepemilikannya, atau bila terjadi kematian

atas pohon tersebut masyarakat mendapatkan

sanksi berupa denda atau kerja bakti di kantor

desa.

Kebanyakan pendekatan yang

digunakan adalah sistem “top down” yang

cenderung memberikan suara dan wewenang

kepada kepentingan penguasa, sedangkan

kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal

Page 17: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

13

kurang diperhatikan. Hal ini mengakibatkan

berkurangnya akses penduduk lokal terhadap

sumber daya bagi kesejahteraannya, suara

mereka kurang terwakili dalam proses

pengambilan keputusan.

Diperlukan kebijakan yang lebih

mudah dan konsisten, sehingga lembaga-

lembaga yang berkepentingan dalam rangka

pelestarian cendana dapat memainkan

perannya dan menerapkan sistem yang

efektif. Menurut temuan Marks (2002) bahwa

pengelolaan Cendana oleh pemerintah daerah

tidak efisien dan tidak adil karena hasil dan

manfaat dari pengelolaan lebih banyak

dinikmati oleh pemerintah daerah, ini

merupakan suatu ujian kebijakan

desentralisasi politik ekonomi.

2. Nilai-nilai (Values)

Menurut Colebatch (2010), bahwa

keberhasilan suatu kebijakan sangat

ditentukan oleh Sejauhmana kebijakan

tersebut memperhatikan nilai-nilai yang

dianut, baik dari pelaksana kebijakan maupun

nilai yang berlaku di masyarakat dimana

kebijakan tersebut diterapkan.

Nilai dalam organisasi pada

hakekatnya sesuatu yang dianggap penting

untuk dijadikan pedoman dalam mencapai

suatu tujuan bersama. Schein (1985) nilai

dinyatakan sebagai:

“Asumsi dasar, yang ditemukan atau

dikembangkan oleh sekelompok orang

ketika mereka belajar mengatasi

masalah adaptasi eksternal dan

integrasi internal, yang telah berhasil

baik sehingga dianggap absah untuk

diajarkan kepada para anggota sebagai

pedoman berperilaku”.

Dari pandangan diatas, maka sistem

nilai dapat dinyatakan sebagai suatu susunan

prinsip dan aturan untuk membantu seseorang

memilih alternatif, mengatasi konflik, dan

membuat keputusan, nilai terwujud menjadi

budaya. Tachjan (2006), lebih jauh

mengemukakan bahwa:

“Norma-norma perilaku dan pola

sikap merupakan seperangkat nilai

dari adanya kebersamaan pengertian

(shared meaning) para anggota

organisasi dalam kepercayaan, asumsi,

persepsi, preferensi, pandangan dan

sikapnya dalam mengatasi masalah.

Shared meaning, shared

understanding, atau collective mind,

adalah kebersamaan pengertian para

anggota organisasi dalam memiliki

dan menggunakan nilai-nilai sebagai

ciri khas, berlaku lama, berbeda dari

organiasi lain, dan dapat diajarkan dari

generasi ke generasi berikutnya”.

Nilai-nilai ini yang menciptakan

artifak yang berupa teknologi, seni, pola

perilaku. Nilai-nilai ini timbul disebabkan

oleh adanya asumsi dasar yang berkaitan

dengan saling hubungan dengan

lingkungannya, sifat dari realitas waktu dan

tempat; sifat dari alam manusia; sifat dari

aktivitas manusia; dan sifat dari hubungan

manusia.

Nilai-nilai bersama akan menjadi pegangan

anggota organisasi dalam menjalankan

kewajiban dan merupakan landasan

berperilaku, serta menjadi pedoman untuk

menghadapi persoalan eksternal dan usaha

penyesuaian integrasi ke dalam organisasi

Page 18: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

14

sehingga mereka mengetahui bagaimana

mereka harus bertindak.

Dari sisi organisasi, secara strategis

keberhasilan organisasi mencapai tujuannya

menurut Thompson (1999), tergantung pada

kesesuaian beberapa dimensi yang ada pada

organisasi yaitu, dimensi lingkungan

(environment), dimensi Sumber daya

(resources), dan dimensi nilai (values),

Thompson (1999:280) mengemukakan:

“How effective strategic management

implies a congruence between an

organization’s environment, its

resources and its values and culture.

The environment is the source of

opportunities and threats-external key

success factors. Resources constitute

strengths and weaknesses. Strategic

compentencies and capabilities which

either match, or fail to match,

environmental needs…. the values of

E-V-R analysis is fact that it provide a

straightforward framework for

assessing the organisation’s existing

strategic and strategic needs”.

Nilai-nilai yang terdapat pada

organisasi mendukung keberhasilan tujuan

organisasi sangat bergantung kepada

kepemimpinan yang kuat dengan kejelasan

misi, tujuan, dan nilai-nilai itu sendiri.

Persoalan tentang pentingnya

dimensi nilai atau faktor lingkungan dalam

implementasi kebijakan publik telah

dimasukkan oleh beberapa penulis antara lain,

Smith (2004); Rhodes and Wanna (2007).

Sedangkan Preuss dan Dixon (2012),

mengemukakan faktor lingkungan sebagai

salah dimensi untuk melihat implemetasi

kebijakan publik. Faktor lingkungan adalah

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh penerapan kebijakan, dapat

berupa kondisi budaya, sosial, politik, dan

ekonomi. Pemahaman atas pengaruh faktor

lingkungan memang sangat penting karena

kebijakan publik tidak mungkin terlepas dari

pengaruh lingkungan dimana kebijakan itu

dibuat dan dilaksanakan, termasuk dalam

faktor lingkungan adalah kultur politik, opini

masyarakat, sistem sosial, dan sistem

perekonomian.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian

dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:

Faktor interpretasi pelaksana

kebijakan Cendana secara signifikan

berpengaruh terhadap efektivitas pelestarian

pohon Cendana di kabupaten Timor Tengah

Selatan provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal

ini menunjukkan bahwa peranan interpretasi

merupakan media pendekatan dalam

meningkatkan efektivitas pelestarian pohon

Cendana di kabupaten Timor Tengah Selatan

provinsi Nusa Tenggara Timur. Interpretasi

para pelaksanan kebijakan cendana

seharusnya diingkatkan lagi agar efektivitas

pelestarian pohon cendana tercapai.

Selain itu terdapat faktor lain yang

perlu mendapat perhatian jika efektivitas

pelestarian pohon cendana di Kabupaten

Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT) ingin ditingkatkan.

Faktor lain tersebut adalah faktor partisipasi

masyarakat dan faktor nilai-nilai yang

Page 19: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

15

berlaku, baik nilai pada aparat pelaksana

maupun pada masyarakat yang menjadi

target/sasaran pelestarian.

2. Saran-saran

a. Bagi aspek keilmuan

Saran-saran yang bersifat

pengembangan aspek keilmuan yang dapat

penulis kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Hasil temuan penelitian menunjukkan

adanya dukungan terhadap teori

implementasi kebijakan dari Jones (1984)

yang berdimensi organisasi, interpretasi,

dan aplikasi dengan efektivitas pelestarian

pohon cendana. Karena adanya

keterbatasan dalam penelitian ini, maka

diperlukan tindak lanjut melalui penelitian

berikutnya, agar teori dari Jones(1984)

yang didukung oleh hasil penelitian ini

menjadi lebih teruji lagi. Urgensi penelitian

lanjutan tersebut karena kenyataannya

penelitian ini hanya memfokuskan kepada

pengujian kebermaknaan dan pengukuran

terhadap efektivitas pelestarian pohon

Cendana di kabupaten Timor Tengah

Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara

Timur (NTT).

2. Penelitian ini menggunakan metode

eksplanatori survey dalam desain

kuantitatif. Untuk memperoleh pemahaman

mendalam tentang proses implementasi

kebijakan Cendana khususnya faktor

interpretasi, maka diperlukan model yang

lebih komprehensif dan baku sehingga

dapat menjelaskan dimensi interpretasi

secara utuh.

3. Dalam penelitian ini ditemukan faktor lain

yang berpengaruh dalam implementasi

kebijakan publik. Oleh karena itu

diharapkan dilakukan penelitian lanjutan

dalam rangka memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan bidang ilmu administrasi

publik, khususnya tentang implementasi

kebijakan.

b. Bagi aspek guna laksana (praktis)

Saran-saran yang bersifat guna laksana

(praktis) yang penulis dapat kemukakan

adalah sebagai berikut:

1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas

pelestarian pohon Cendana di kabupaten

Timor Tengah Selatan provinsi Nusa

Tenggara Timur, maka diharapkan pula

upaya peningkatan efektivitas interpretasi

oleh para pelaksana kebijakan pelestarian

Cendana.

2. Peningkatan efektivitas interpretasi dalam

implementasi kebijakan tentang Cendana

dapat dilakukan melalui cara merubah pola

pikir (mindset) penentu kebijakan dan

implementor dari sekedar menjalankan

rutinitas tugas menjadi tugas mulia bagi

kepentingan generasi kini dan generasi

mendatang; dari berpikir jangka pendek

menjadi berpikir jangka panjang sehingga

membentuk pola pikir yang berkomitmen

mewujudkan keberhasilan pelestarian

pohon Cendana di kabupaten Timor

Tengah Selatan provinsi Nusa Tenggara

Timur.

Page 20: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

16

3. Untuk membantu proses pengambilan

kebijakan berikutnya yang bersifat

operasional dalam meningkatkan

efektivitas pelestarian pohon Cendana,

maka diperlukan pendataan ulang (up date)

data-data dasar (date base) yang

menyangkut luas areal/lahan yang sudah

dan yang belum ditanami, jumlah yang

pasti dari populasi pohon Cendana, data

sertifikasi areal baik yang dimiliki oleh

masyarakat maupun oleh pihak swasta.

4. Peningkatan faktor lainnya yang turut

berpengaruh terhadap efektivitas

pelestarian pohon Cendana adalah

perhatian pada faktor nilai-nilai. Perhatian

pada faktor ini dapat dilakukan melalui

sosialisasi Peraturan Daerah nomor 25

tahun 2001 agar masyarakat memahami

mengenai adanya perubahan mengenai

hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat dari

kegiatan pembudidayaan pohon cendana;

melaksanakan hukum secara konsekwen

dari berbagai pelanggaran menyangkut

Cendana dan terakhir perlu dilakukan

peningkatan kesejahteraan masyarakat di

lingkungan lokasi pelestarian pohon

Cendana.

Daftar Pustaka

Allin, Craig W. 2008. The Politics of

Wilderness Preservation. University

of Alaska Press, Fairbanks.

Besley, J.C. 2010. “Public Engagement and

Impact of Fairness Perception on

Decision Favorability and

Acceptance”, Science

Communication, 32. 256-280.

Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian

Kuantitatif. Prenada Media, Jakarta.

Colebath, Hal. 2010. ”Valuing Public Value:

Recognizing and Applying

Knowledge about the Policy

Process”, Australian Journal of

Public Policy, 66. 66-78

Edward III, George.1980. Implementing

Public Policy. Congresional Quartely

Press, Washinton DC

Gunawan, Rimbo. 2002. Power, Meaning,

And Forest Conservation: The

Dynamics of State-Society

Relation.Tidak dipublikasi, Bandung.

Holden, Meg. 2010. “Public Participation and

Local Sustainability: Questioning a

common Agenda in Urban

Governance”, International Journal

of Urban and Regional Research, 35.

312-329.

Jones, C. O, 1984. An Introduction to the

Study of Public Policy. Third

Edition. Wadsworth, Inc, California.

Jones, Michael D., and Mark K. McBeth.

2010. "A Narrative Policy

Framework: Clear Enough to be

Wrong?" Policy Studies Journal 38.

329-353.

Kochtcheeva, Lada.V. 2009. “Administrative

Discretion and Environmental

Regulation: Agency Substantive

Rules and Court Decisions in U.S.

Air and Water Quality Policies”,

Review of Policy Research, 26. 241–

265.

Marks S.V. 2002. “NTT Sandalwood: Roots

of Disaster”, Bulletin of Indonesia

Economic Studies, 38. 223-240.

Marsh, D. And McConnel, A. 2010. ” Toward

A Framework for Establishing Policy

Success”, Public Administration, 88.

564-583.

Page 21: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

17

Matheson, Craig. 2009. ”Understanding the

Policy Process: The Work of Henry

Mintzberg”, The American Society

for Public Administration, 69. 1148-

1161.

Mohan, Gile. 2007. ”Participatory

Development: Fraom Epistemological

Reversals to Active Citizenship”.

Geography Compass, 1. 779-796.

Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan.

2001. Peraturan Daerah (Perda)

Kabupaten Timor Tengah Selatan

Nomor 25 Tahun 2001 Tentang

Cendana.

Preuss, Karissa., and Madeline Dixon. 2012.

“Looking after Coutry Two-Ways:

Insights into Indigenous Community-

Based Conservation from the

Southern Tannami”, Ecological

Management & Restoration, 13. 2-15

Rhodes, R.A.W., and John Wanna. 2007.

“The Limit to Public Value, or

Rescuing Responsible Government

from the Platonic Guardians”, The

Australian Journal of Public

Administration, 66. 406-421.

Rohadi, Dede. Retno Maryani.,Made

Widyana.,dan Irdez Azhar. 2002. A

Case Study of The Production-to-

Consumtion System of Sandalwood

(Santalum Album) in South Central

Timor, Indonesia.

http://www.cifor.cgior.org/scrip/new

scripts/publication. Diakses tanggal

23/5/2006.

Schein, Edgar H. 1985, Organization Culture

and Leadership: A Dynamic View.

Jossey Bass, San Fransisco.

Sinlae, Yonatan,.A.N.P.Lango. 2002. Kajian

Program Regenerasi Cendana

(santalum Album, L) di Daerah Nusa

Tenggara Timur. Kupang: Laporan

Hasil Penelitian. Faperta Undana

Smith, R.F.I. 2004. ”Focusing on Public

Value: Something New and

Something old”, Australian Journal

of Public Administration, 66. 406-

421.

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan

Publik. AIPI Bandung-Puslit KP2W

Lemlit Unpad, Bandung.

Thomas, Ruth., Katherine Whybrow., and

Cassandra Scharber. 2012. “A

Conceptual Exploration of

Participation Section III: Utilitarian

Perspective and Conclution”,

Educational Philosophy and Theory,

44. 801-817.

Thompson, J. L. 1999. “A Strategic

Perspective of Entrepreneurship”

International Journal of

Entrepreneurial Behavior &

Research, 5. 279-296.

Umar, Husain,. 2003. Metode Riset Perilaku

Konsumen Jasa, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

White, Dave D., Elizabeth A.Corley., and

Margareth S.White. 2008. “Water

Managers Perceptions of The

Science-Policy Interface in Phoenix,

Arizona: Implications for an

Emerging Boudary Organization”,

Society&Natural Resources, 21. 230-

243.

Page 22: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

18

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHATANI KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN

DENGAN PENDEKATAN ANALYSIS HIERARCHY PROCESS (AHP)

Avi Budi Setiawan; Fafurida

Universitas Negeri Semarang

Email: [email protected]

Abstract

Soybean is one of the agricultural commodity Grobogan. Soybean commodity is widely cultivated

by farmers because the topography is consistent with the characteristics of the soil in Grobogan. In

2010 soybean production Grobogan is most widely in Central Java. However, Indonesia is still

dependent on imported soybeans, especially in times of shortages of soybeans. This is partly also

due to soybean production in soybean-producing region is very volatile while soybean demand in

the market tends to increase. So, we need a strategy development of soybean farming in Grobogan.

The goals to be achieved from the preparation of this study was to analyze the condition of soybean

farming in Grobogan and obtain soybean farming development strategy in Grobogan based

approach Analysis of Hierarchy Process. Alternative measures a priority to develop soybean are:

Provision of continuous production factors and affordable, production factor subsidies, assistance to

farmers, extension and education on effective post-harvest handling, Counseling institutional

strengthening of farmer groups, and technical assistance (equipment, factors of production, training)

to farmers. sedagkan least priority are: Incentives for active farmer organizations, cooperatives

Revitalization and extension services and farmer partnerships with major employers

Keywords: Soybean, Analysis of Hierarchy Process

A. Pendahuluan

Pada era globalisasi dewasa ini dengan

salah satu isu utamanya adalah ketahanan

pangan maka sektor pertanian merupakan

salah satu sektor utama yang memegang

peranan penting dalam pembangunan

ekonomi di Indonesia. Pertanian merupakan

salah satu faktor penting mengingat

kebutuhan konsumen akan pangan sangatlah

besar, mata pencaharian sebagian besar

penduduk Indonesia juga berasal dari sektor

agraris. Pada abad modernisasi ini

pengembangan sektor pertanian harus

dilakukan mengingat komoditas pertanian

tidak hanya menjadi barang konsumsi namun

juga komoditas industri baik sebagai bahan

baku, maupun barang siap konsumsi.

Sektor pertanian di Indonesia merupakan

salah satu sektor utama penggerak

perekonomian hal ini dibuktikan dengan

kontribusi sektor pertanian terhadap PDB

Indonesia merupakan yang terbesar kedua

setelah sektor industri. Dalam

pengembangannya sektor pertanian masih

terkonsentrasi di pulau jawa terutama untuk

komoditas tanaman pangan sehingga pulau

jawa dapat dikatakan merupakan penopang

sektor pertanian di Indonesia. Dimana dalam

kontribusinya terhadap peta pertanian

nasional provinsi Jawa Tengah merupakan

salah satu wilayah agraris utama di pulau

jawa.

Jawa Tengah merupakan salah satu

sentra produksi utama komoditi tanaman

pangan dan hortikultura di Indonesia

Page 23: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

19

(Sucihatiningsih: 2010). Beberapa komoditi

palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau,

dan kacang tanah merupakan potensi yang

cukup besar sebagai pangan alternatif, sumber

zat gizi dan pengembangan agroindustri,

sedangkan beberapa komoditi hortikultura

(bawang merah, bawang putih, cabe, kubis,

kentang, mangga, durian, rambutan, salak,

kelengkeng) merupakan komoditi agribisnis

serta menjadi unggulan regional Provinsi ini.

Kabupaten Grobogan adalah Kabupaten

dengan luas wilayah terluas ke 3 di Jawa

Tengah terdiri dari 18 kecamatan. Dengan

potensi luas wilayah yang besar menjadikan

Kabupaten Grobogan sebagai salah satu

lumbung pangan di Jawa Tengah bahkan

Indonesia, mayoritas penduduk Kabupaten

Grobogan juga bekerja di sektor pertanian.

Sektor pertanian merupakan penyumbang

terbesar dalam PDRB Kabupaten Grobogan

dari tahun ke tahun. Dengan luas lahan

pertanian yang besar serta ketersedian

berbagai faktor produksi dan output sektor

pertanian yang besar serta terdapat berbagai

macam komoditas pertanian unggulan (padi,

jagung, kedelai) maka pengembangan sektor

pertanian di Kabupaten Grobogan perlu

dilakukan guna peningkatan daya saing sektor

pertanian dan peningkatan kesejahteraan

petani

Kedelai merupakan salah satu

komoditas andalan pertanian Kabupaten

Grobogan. Komoditas kedelai ini banyak

diusahakan oleh petani karena secara

topografi memang sesuai dengan karakteristik

tanah di Kabupaten Grobogan, oleh karena itu

kedelai dapat tumbuh subur dan

menguntungkan ketika dibudidayakan.

Hingga tahun 2011 produksi kedelai

Kabupaten Grobogan adalah salah satu paling

banyak di Jawa Tengah, bahkan telah

dipatenkan benih unggul kedelai yang

dikembangkan di Kabupaten Grobogan

dengan nama kedelai Varietas Grobogan.

Selain itu, Kabupaten Grobogan merupakan

salah satu sentra komoditas kedelai utama di

Indonesia. Produksi kedelai dari Grobogan

merupakan salah satu penopang utama

terhadap total produksi kedelai nasional.

Tabel 1

Produksi, Kedelai Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2011 (dirinci per Kabupaten)

Kabupaten Luas

Panen

(Ha)

Produksi

(Ton)

Produktivitas

(Ku/ Ha)

Cilacap 3.233 3.693 11,42

Banyumas 4.051 7.14 17,63

Purbalingga 204 306 15,00

Banjarnegara 491 522 10,63

Kebumen 8.403 11.562 13,76

Purworejo 3.062 1.526 4,98

Wonosobo 12 15 12,51

Magelang - - -

Boyolali 2.478 4.082 16,47

Klaten 4.228 6.266 14,82

Sukoharjo 2.722 4.325 15,89

Wonogiri 18718 22.359 11,95

Karanganyar 617 846 13,71

Sragen 3140 4.166 13,27

Grobogan 7350 14.582 19,84

Blora 3.548 4.004 11,29

Rembang 4.256 3.732 8,77

Pati 2.801 3.335 11,91

Kudus 169 144 8,52

Jepara 61 48 7,88

Demak 2.99 7.24 24,21

Semarang 326 411 12,61

Temanggung 8 16 20,31

Kendal 3.746 5.614 14,99

Batang 77 88 11,41

Pekalongan 59 60 10,15

Pemalang 29 37 12,69

Tegal 297 283 9,53

Brebes 4.912 5.871 11,95

Kota Magelang - - -

Kota Surakarta - - -

Kota Salatiga - - -

Kota Semarang - - -

Kota Pekalongan - - -

Kota Tegal - - -

Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah 2013

Page 24: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

20

Akan tetapi selama ini Indonesia

masih bergantung pada kedelai impor

terutama pada saat terjadi kekurangan stok

kedelai. Hal ini antara lain disebabkan juga

karena produksi kedelai di wilayah penghasil

kedelai sangat fluktuatif sedangkan

permintaan kedelai di pasar cenderung

mengalami peningkatan. Kegiatan penanaman

kedelai umumnya dilakukan pada musim

kemarau, hal ini dikarenakan karakteristik

kedelai bertipe tanaman kering.

Tingginya kontribusi Kabupaten

Grobogan terhadap total produksi komoditas

pertanian di Jawa Tengah khususnya kedelai

membuat Kabupaten Grobogan menjadi salah

satu sentra kedelai di Provinsi Jawa Tengah

terlebih dengan luas wilayah Kabupaten

Grobogan adalah yang terbesar ketiga di Jawa

Tengah tentu saja akan berdampak pada

semakin besarnya lahan usahatani potensial

yang digarap. Akan tetapi nilai PDRB

Kabupaten Grobogan justru rendah bila

dibandingkan dengan Kabupaten dan Kota

lain (Jawa Tengah Dalam Angka: 2012)

Pengembangan usahatani kedelai di

Kabupaten Grobogan tidak dapat dilakukan

secara parsial. Diperlukan kajian kebijakan

dan perumusan strategi yang komprehensif

mengingat kegiatan usahatani kedelai akan

melibatkan sub sistem-sub sistem yang ada

didalamnya. Kabupaten Grobogan merupakan

salah satu penyangga utama akan komoditas-

komoditas pertanian terutama tanaman

pangan di Jawa Tengah dan Indonesia

sehingga kajian akan strategi pengembangan

komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan

merupakan sesuatu yang memiliki dimensi

yang luas terutama terkait dengan aspek

ekonomi serta potensi sumber daya.

Kebijakan pengembangan usahatani

kedelai yang telah dilaksanakan baik oleh

Pemerintah maupun pihak-pihak lain

dianggap belum mampu meningkatkan

kemampuan usahatani kedelai di Kabupaten

Grobogan dalam menyangga perekonomian

terutama di komoditas kedelai, serangkaian

kebijakan yang telah diprogramkan dan

dilaksanakan juga dirasa belum menyentuh

hingga level petani di tingkat bawah. Oleh

karena itu berdasarkan rumusan permasalahan

diatas maka yang menjadi pertanyaan

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi usahatani kedelai di

Kabupaten Grobogan?

2. Bagaimana strategi pengembangan

usahatani kedelai di Kabupaten Grobogan?

B. Perumusan Strategi

Perumusan strategi merupakan proses

penyusunan langkah-langkah ke depan yang

dimaksudkan untuk membangun visi dan misi

organisasi, menetapkan tujuan strategis dan

keuangan perusahaan, serta merancang

strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam

rangka menyediakan customer value terbaik.

Beberapa langkah yang perlu dilakukan

perusahaan dalam merumuskan strategi, yaitu:

Mengidentifikasi lingkungan yang akan

dimasuki oleh perusahaan di masa depan dan

menentukan misi perusahaan untuk mencapai

Page 25: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

21

visi yang dicita-citakan dalam lingkungan

tersebut. Melakukan analisis lingkungan

internal dan eksternal untuk mengukur

kekuatan dan kelemahan serta peluang dan

ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan

dalam menjalankan misinya. Merumuskan

faktor-faktor ukuran keberhasilan (key

success factors) dari strategi-strategi yang

dirancang berdasarkan analisis sebelumnya.

Menentukan tujuan dan target terukur,

mengevaluasi berbagai alternatif strategi

dengan mempertimbangkan sumberdaya yang

dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi.

Memilih strategi yang paling sesuai untuk

mencapai tujuan jangka pendek dan jangka

panjang. (Hariadi, 2005).

C. Metode Penelitian

Dalam penyusunan penelitian jenis data

yang digunakan oleh peneliti adalah data

primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh dari hasil wawancara langsung

dengan para key person dalam usahatani

kedelai dengan menggunakan daftar

pertanyaan (kuesioner) dan pedoman

wawancara.

Sedangkan data sekunder adalah data

yang diperoleh dari catatan atau sumber lain

yang telah ada sebelumnya dan diolah

kemudian disajikan dalam bentuk teks, karya

tulis, laporan penelitian, buku dan lain

sebagainya. Data sekunder yang dibutuhkan

diperoleh dari catatan BPS Jawa Tengah,

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Holtikultura Kabupaten Grobogan serta dari

catatan-catatan laporan pertanian Kabupaten

Grobogan.

Dalam penyusunan penelitian ini

peneliti menggunakan analisis deskriptif

kuantitatif dan deskriptif kualitatif, analisis

deskriptif sendiri diartikan sebagai proses

pemecahan masalah yang diselidiki dengan

melukiskan keadaan subyek dan obyek

penelitian pada saat sekarang berdasarkan

fakta-fakta yang tampak atau bagaimana

adanya. Denzin (1978) dalam Sucihatiningsih

(2010) menggunakan istilah triangulasi untuk

mengkonsepkan penggunaan metode

gabungan dalam satu penelitian dimaksud.

Metode gabungan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kuantitatif sebagai metode utama

dan pendekatan kualitatif sebagai

pengkayaannya. Setelah mendapat gambaran

dari analisis deskriptif maka dilanjutkan

dengan analisis strategi pengembangan

usahatani kedelai melalui penggunaan

Model Analitycal Hierarchy Proses (AHP)

untuk menentukan strategi pengembangan

komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan.

Seperti telah dijelaskan diatas metode AHP

digunakan untuk memilih kriteria dan

alternatif guna mencapai tujuan/ goal yaitu

pengembangan usahatani kedelai di

Kabupaten Grobogan. Adapun yang menjadi

kriteria dan alternatif dari strategi

pengembangan usahatani kedelai di

Kabupaten Grobogan adalah sebagai

berikut.

Page 26: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

22

Tabel 2

Kriteria dan alternatif dalam metode AHP

Kriteria Alternatif

Aspek Faktor

Produksi

(penyediaan

Input)

• Subsidi faktor produksi

• Investasi pihak swasta dalam

penyediaan faktor produksi

• Penyediaan faktor produksi

secara kontinyu dan

terjangkau

Aspek

Budidaya • Pendampingan kepada petani

• Merangsang pupuk organik

dan pestisida organik

• Merangsang menggunakan

benih unggul dan berlabel.

Aspek

Kebijakan

Pemerintah

• Dukungan kebijakan

penetapan Harga Pokok

Penjualan (HPP)

• Kebijakan pembangunan

infrastruktur

• Bantuan teknis (peralatan,

faktor produksi, pelatihan)

kepada petani

Aspek

Kelembagaan • Penyuluhan penguatan

kelembagaan kelompok tani

• Insentif bagi lembaga tani

yang aktif

• Revitalisasi KUD serta

lembaga penyuluhan

Aspek Pasca

Panen • Kemitraan petani dengan

pengusaha besar

• Penyuluhan dan edukasi

tentang penanganan pasca

panen yang efektif.

Sumber: Data primer diolah

Pendekatan analisis deskriptif kualitatif

digunakan untuk melengkapi dan mendukung

kekayaan data pada analisis kuantitatif. Untuk

mendapatkan informasi dalam analisis

deskriptif kualitatif dilakukan melalui

wawancara dan pengamatan mendalam.

Wawancara dan pengamatan dilakukan

kepada petani Analisis ini digunakan untuk

mempertajam deskripsi tentang: (1) gambaran

umum kondisi pertanian, (2) metode

usahatani, (3) strategi kebijakan

pengembangan komoditas pertanian. Seperti

yang telah disebutkan diatas bahwa analisis

deskriptif sendiri diartikan sebagai proses

pemecahan masalah yang diselidiki dengan

melukiskan keadaan subyek dan obyek

penelitian pada saat sekarang berdasarkan

fakta-fakta yang tampak atau bagaimana

adanya.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Gambaran Umum Petani di Kabupaten

Grobogan

Sektor pertanian merupakan sektor yang

menjadi mata pencaharian utama bagi

kebanyakan masyarakat di Kabupaten

Grobogan. Umumnya petani-petani di

Kabupaten Grobogan mengusahakan padi

sebagai komoditas utama yang ditanam. Akan

tetapi, intensitas penanamanya bergantung

kepada kondisi lahan. Apabila lahan

sawahnya adalah sawah irigasi maka padi

dapat ditanam dua kali dalam satu tahun,

tetapi apabila sawah merupakan tadah hujan

maka padi hanya dapat ditanam selama satu

kali dalam setahun. Petani di Kabupaten

Grobogan merupakan masyarakat yang

kebanyakan tinggal di daerah perdesaan

mengingat sektor pertanian adalah sektor

yang tumbuh dan menjadi penopang utama di

wilayah perdesaan.

2. Gambaran Umum Komoditas Kedelai

di Kabupaten Grobogan

Untuk jenis komoditas kedelai petani

kedelai di Kabupaten Grobogan biasanya

menggunakan jenis benih kedelai varietas

grobogan. Varietas kedelai ini merupakan

pengembangan dari kedelai varietas Malabar

yang dikembangkan di Kabupaten Grobogan

sehingga sekarang petani lebih banyak

menanam kedelai ini. Petani kedelai lebih

memilih jenis kedelai varietas grobogan

Page 27: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

23

karena secara teknis lebih tahan penyakit,

waktu panen cepat dan kualitas biji yang

dihasilkan sangat bagus. Selain juga karena

merupakan varietas yang dibuat dan

dikembangkan di daerah sendiri.

Kedelai varietas grobogan sangat

mudah didapat, sehingga apabila petani ingin

menanam kedelai maka tinggal mencari di

toko pertanian. Kedelai ini dikembangkan

oleh pemerintah berkerja sama dengan pihak

swasta dan melibatkan petani.

3. Prioritas Kebijakan Alihfungsi Lahan

Dalam penyusunan strategi

pengembangan komoditas tanaman pangan

kedelai di Kabupaten Grobogan terdapat dari

5 kriteria dan 14 alternatif atau sama dengan

komoditas padi dan jagung. Untuk keempat

belas alternatif ini dapat diketahui secara

berurutan mulai dari alternatif yang paling

prioritas hingga yang paling tidak prioritas.

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai

alternatif-alternatif yang paling prioritas

secara keseluruhan. Jadi akan disajikan urutan

14 alternatif dari yang paling prioritas hingga

yang paling tidak prioritas berdasarkan

analisis AHP. Berikut disajikan gambar

tentang alternatif strategi pengembangan

komoditas tanaman pangan kedelai di

Kabupaten Grobogan sebagai berikut:

Berdasarkan hasil olah data diatas maka

dapat diketahui bahwa dari keempatbelas

alternatif yang ada tenyata alternatif

penyediaan faktor produksi secara kontinyu

dan terjangkau merupakan alternatif yang

terpenting guna mengembangkan komoditas

tanaman pangan kedelai dengan persentasi

prioritas sebesar 25,1%. Selanjutnya alternatif

yang paling penting kedua adalah subsidi

faktor produksi dengan persentase 16,3%.

Alternatif yang menjadi prioritas ketiga

dengan persentase prioritas sebesar 12,5%

adalah pendampingan kepada petani.

Sedangkan alternatif yang paling tidak

proritas dalam pengembangan komoditas

tanaman pangan kedelai adalah kemitraan

petani dan pengusaha besar di peringkat 12

dengan persentase prioritas 2,1%. Prioritas

ketiga belas adalah revitalisasi KUD serta

lembaga penyuluhan dengan persentase

2,0%.dan alternatif yang menjadi prioritas

terakhir adalah insentif bagi lembaga tani

yang aktif dengan persentase 0,9%.

Tabel 3

Urutan Alternatif Strategi Pengembangan

Komoditas Kedelai dari yang Paling Prioritas

Prioritas Alternatif Persentase 1 Penyediaan faktor produksi

secara kontinyu dan terjangkau

25,1%

2 Subsidi faktor produksi 16,3% 3 Pendampingan kepada petani 12,5% 4 Penyuluhan dan edukasi

tentang penanganan pasca panen yang efektif

9,6%

5 Penyuluhan penguatan kelembagaan kelompok tani

6,8%

6 Bantuan teknis (peralatan, faktor produksi, pelatihan) kepada petani

6,6%

7 Kebijakan pembangunan infrastruktur

5,0%

8 Dukungan kebijakan penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP)

3,8%

9 Investasi pihak swasta dalam penyediaan faktor produksi

3,2%

10 Merangsang menggunakan benih unggul dan berlabel

3,0%

11 Merangsang pupuk organik dan pestisida organik

2,9%

12 Kemitraan petani dengan pengusaha besar

2,1%

13 Revitalisasi KUD serta lembaga penyuluhan

2,0%

14 Insentif bagi lembaga tani yang aktif

0,9%

Total 100%

Sumber: Data primer diolah

Page 28: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

24

4. Pembahasan

Analisis AHP digunakan untuk

merumuskan strategi prioritas dalam

mengembangkan komoditas kedelai di

Kabupaten Grobogan. Perumusan alternatif

dan prioritas ini dibuat sekomprehensif

mungkin untuk menyentuh semua

kemungkinan yang dimungkinkan berperan

dalam pengembangan komoditas kedelai.

Apabila diurutkan dan dijadikan satu kedalam

satu tabel yang komprehensif. Maka kriteria

dan alternatif yang menjadi prioritas untuk

masing-masing komoditas adalah sebagai

berikut.

Apabila dilihat lebih lanjut maka

terdapat beberapa aspek yang menjadi kriteria

utama. Aspek-aspek yang paling menjadi

prioritas antara lain aspek faktor produksi.

Pengembangan komoditas kedelai dianggap

memerlukan sebuah strategi pengembangan

yang terkait aspek faktor produksi. Petani di

Kabupaten Grobogan membutuhkan sesuatu

yang sifatnya teknis dan aplikatif. Aspek

faktor produksi sangat terkait dengan

penyediaan input yang seperti diketahui

bersama penggunaan input ini sangatlah

penting bagi petani karena apabila tanpa

faktor produksi yang tersedia secara kontinyu

maka usahatani tidak akan maksimal.

Aspek budidaya juga merupakan aspek

yang penting bagi pengembangan komoditas

kedelai. Petani di Kabupaten Grobogan

sebagaimana telah diketahui bersama

memiliki update pengetahuan yang rendah

mengenai usahatani yang digeluti. Sebagai

contoh, petani sering ketinggalan informasi

tentang jenis varietas bibit unggul yang

dikembangkan oleh lembaga riset. Memang

sekarang ini di era globalisasi, banyak

perusahaan benih yang telah bekerja sama

dengan petani untuk menanam benih yang

diproduksi dari pabrik-pabrik mereka. Hal ini

merupakan sebuah fakta dan fenomena

empiris yang sebenarnya menguntungkan jika

dilihat secara parsial. Namun, apabila dikaji

lagi secara mendalam hal ini lebih bersifat

destruktif bagi petani. Petani memang

diberikan produk hasil inovasi baru, akan

tetapi itu merupakan strategi dari perusahaan

untuk membangun kemitraan kepada petani

tetapi hanya menguntungkan satu pihak saja.

Setelah perusahaan menguasai pasar

pemasaran benih maka mereka akan

menaikan harga benih karena perusahaan

mengejar keuntungan yang besar. Benih hasil

pengembangan dari lembaga riset, universitas

yang concern pada pengembangan pertanian

tidak berkembang karena kurang mendapat

dukungan untuk dibudidayakan oleh para

petani lokal.

Perlu pendampingan kepada petani oleh

penyuluh pertanian untuk menjamin petani

diayomi oleh pemerintah. Peran penyuluh

secara psikologis oleh petani dianggap

mampu memberikan rasa tentram kepada

mereka karena petani merasakan telah

mendapat dukungan dari wakil pemerintah

yang dalam hal ini penyuluh pertanian. Petani

akan mendapatkan informasi baru tentang

usahatani, peralatan pertanian yang modern,

Page 29: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

25

faktor produksi yang efisien serta informasi

pasar dan juga treatment tentang

penanggulangan hama penyakit. Memang

benar apabila banyak petani masih berpikiran

sederhana dan sulit untuk menerima hal baru

bahkan hanya update informasi dan

pengetahuan saja sering tidak pernah

dilakukan oleh petani. Sedang disisi lain,

petani kadangkala membutuhkan bantuan

penyuluh pertanian apabila tanaman mereka

terserang hama penyakit. Perlu sebuah

pendekatan yang arif dalam menyikapi

kondisi ini. Penyuluh pertanian perlu

mengerti kondisi petani yang dibinanya,

memahami kearifan lokal serta

menyampaikan pengetahuan kepada petani

dengan model pembelajaran yang dibangun

berdasarkan basis komunikasi dan kesetaraan.

Petani pun juga harus mampu membuka diri

dengan pengetahuan baru, jangan sekedar

mentoleransi ketidaktahuan mereka dengan

ketidak pedulian. Harus ada upaya merubah

mindset petani dalam memandang usahatani

sebagai mata pencaharian.

Sedangkan aspek prioritas yang

selanjutnya dalam pengembangan komoditas

kedelai adalah aspek pasca panen. Aspek ini

dianggap cukup urgent dalam peta upaya

pengembangan komoditas tanaman kedelai.

Pasca panen sebenarnya merupakan sebuah

aspek yang penting. Sebagai contoh, ketika

pada saat panen raya kedelai tiba banyak

petani menjual panen mereka dengan sistem

ijon kepada tengkulak. Hal ini akan

mengakibatkan keuntungan potensial yang

diperoleh petani menurun karena harga jual

kedelai basah jauh di bawah harga beras.

Kondisi ini disebabkan karena penanganan

pasca panen untuk komoditas pertanian

terutama kedelai masih kurang optimal, bisa

disebabkan karena keterbatasan teknologi dan

pengetahuan namun juga bisa karena

dorongan untuk mrndapatkan uang cepat.

Bulog juga tidak menjalankan tugas lagi

untuk menyerap kedelai dari petani.

Kemudian aspek kebijakan pemerintah

walaupun menjadi prioritas terakhir namun

juga memerlukan kajian yang lebih cermat.

Petani dirasakan sangat membutuhkan

dukungan kebijakan perlindungan berupa

penetapan harga pokok penjualan atau harga

jual terendah untuk komoditas mereka. Jadi

petani dianggap lebih membutuhkan

dukungan berupa perlindungan harga jual

produk pertanian karena aspek harga jual ini

selalu dikaitkan dengan posisi tawar petani

yang rendah.

Aspek budidaya juga menjadi aspek

prioritas terlebih dalam teknis usahatani

kedelai. Petani perlu mendapatkan

pendampingan dan dukungan dalam

menjalankan kegiatan usahtani kedelai, hal itu

juga didorong dengan upaya menggunakan

benih kedelai varietas grobogan yang

dikembangkan di Kabupaten Grobogan.

Pengembangan benih kedelai unggulan dan

produk lokal ini perlu ditingkatkan. Selain itu,

untuk mengurangi ketergantungan akan

faktor-faktor produksi konvensional yang

tinggi perlu dimulai usaha untuk mulai

Page 30: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

26

menggunakan pupuk organik dari kotoran

binatang dan pestisida organik.

Aspek infrastruktur juga menjadi

elemen penting bagi pengembangan

komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan.

Selama ini, perhatian pemerintah dan pihak-

pihak terkait yang bertanggung jawab masih

terfokus pada komoditas padi dan jagung

yang lebih banyak ditanam petani. Padahal,

komoditas kedelai merupakan komoditas

yang sangat penting karena Kabupaten

Grobogan merupakan penyedia kedelai

terbesar di Jawa Tengah bahkan Indonesia

oleh karena itu infrastruktur kedelai harus

diperhatikan.

Infrastruktur yang dimaksud penting

dalam pengembangan komoditas kedelai

antara lain jaringan pengairan untuk lahan

tanam kedelai. Tanaman kedelai memang

tidak memerlukan banyak air akan tetapi

ketersediaan air melalui pembangunan

embung-embung di sawah , sumur-sumur di

tengah sawah harus ditambah untuk

memastikan ketersediaan air bagi tanaman

kedelai terjamin. Selain itu, perlu dibangun

pusat pasar kedelai di sentra-sentra kedelai

agar menjadikan kedelai bukan lagi

komoditas yang diperebutkan tengkulak dan

spekulan namun sebagai tempat untuk

mempertemukan pembeli besar dan pembeli

akhir dengan petani kedelai atau gabungan

petani kedelai sebagai penjual kolektif di

pasar. Pasar pemasaran pada sentra-sentra

kedelai ini juga dapat digunakan sebagai

sarana untuk menetapkan harga standar jual

kedelai pada level petani sehingga

menghindari terjadinya praktek spekulasi

harga. Hal ini dilakukan mengingat

berdasarkan pengalaman petani komoditas

kedelai ini sangat rawan spekulasi. Harga jual

kedelai dapat dengan mudah berubah drastis

dalam waktu yang sangat singkat. Kondisi ini

tentu saja sangat merugikan petani kedelai

karena mereka tidak dapat mempengaruhi

harga.

Subsidi faktor produksi seperti pupuk,

benih unggul dan obat-obatan juga perlu

ditingkatkan untuk mengembangkan

komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan.

Subsidi yang ada selama ini masing kurang

dalam memenuhi kebutuhan petani akan

faktor produksi yang penting seperti pupuk

dan benih unggul. Pupuk bersubsidi

merupakan salah satu faktor produksi yang

penyediaanya diharapkan dapat ditambah

seiring dengan upaya peningkatan produksi.

Namun, penambahannya juga harus

diimbangi dengan upaya pendampingan

kepada petani agar dapat menggunakan

dengan efisien dan tidak berlebihan. Petani

memang memerlukan mekanisme

perlindungan dari pemerintah. Sedangkan

salah satu mekanisme perlindungan kepada

petani adalah dengan diberikan subsidi

kepada mereka. Dengan subsidi setidaknya

akan mengurangi biaya produksi petani dan

membuat mereka meningkat daya saingnya

karena harga yang bersaing dan kualitas

panen yang baik sebab faktor produksinya

diberikan secara optimal.

Page 31: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

27

Penyuluh pertanian juga perlu untuk

memberikan dorongan kepada petani supaya

menggunakan benil lokal yaitu benih kedelai

varietas grobogan untuk dibudidayakan.

Kedelai varietas grobogan merupakan

varietas benih kedelai yang telah disertifikasi

dan termasuk jenis benih kedelai unggul

sehingga perlu untuk terus dibudidayakan.

Selain sebagai perwujudan rasa bangga

kepada produk benih lokal. Terlebih

penggunaan benih kedelai lokal lebih

meminimumkan biaya produksi karena

umumnya dijual dengan harga yang lebih

murah bahkan bisa dikembangkan sendiri

oleh petani dengan cara menyisihkan kedelai

hasil panen untuk dipersiapkan sebagai benih

dengan maksud ditanam pada periode masa

tanam berikutnya.

Bantuan teknis kepada petani kedelai

merupakan salah satu instrumen teknis yang

perlu dilaksanakan. Petani kedelai

memerlukan banyak sekali bantuan dari

pemerintah maupun pihak terkait. Misalnya

bantuan pompa air, alat pengering benih

kedelai, dan lain sebagainya. Bantuan ini

harus diberikan dengan terlebih dahulu

melakukan pemetaan mengenai kelompok

tani mana saja yang membutuhkan bantuan

peralatan tertentu. Hal ini dilakukan

mengingat azas kebermanfaatan dan

kesesuaian bantuan yang dibutuhkan dengan

realisasi bantuan. Sebab, sering ditemui

kejadian di lapangan bahwa banyak kelompok

tani yang mendapatkan bantuan peralatan

pertanian seperti mesin pengering benih

kedelai dan peralatan lain namun setelah

bantuan peralatan tersebut sampai kepada

petani alat tersebut tidak digunakan lagi oleh

petani karena ketidakmampuan dalam

pengorerasian dan ketidak sesuaian antara

kebutuhan dan bantuan yang datang.

E. Kesimpulan dan Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan ini

diperoleh beberapa kesimpulan antara lain

bahwa kondisi petani komoditas kedelai di

Kabupaten Grobogan kebanyakan didominasi

oleh petani dengan struktur umur yang telah

tua, berlatar belakang pendidikan rendah dan

masih menjalankan kegiatan pertanian secara

tradisional secara turun-temurun. Strategi

pengembangan kedelai berdasarkan urutan

prioritas kriteria pengembangan adalah

sebagai berikut: aspek yang menjadi prioritas

utama adalah aspek faktor produksi, aspek

budidaya, aspek pasca panen, aspek

kelembagaan dan aspek kebijakan

pemerintah.

Adapun rekomendasi berdasarkan hasil

penelitian ini adalah perlunya Pemerintah

Kabupaten Grobogan disarankan untuk

mengaplikasikan strategi pengembangan

komoditas tanaman pangan kedelai

berdasarkan prioritas kriteria dan alternatif

yang telah dirumuskan berdasarkan hasil

penelitian. Berdasarkan hasil yang diperoleh,

pemerintah Kabupaten Grobogan disarankan

untuk lebih memfokuskan pengembangan

komoditas unggulan tanaman pangan kedelai

di sentra daerah pengembangan. Pemerintah

Page 32: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

28

daerah juga disarankan untuk mendorong

upaya intensifikasi dan peningkatan

produktivitas lahan melalui program-program

peningkatan kemampuan petani, peningkatan

dan perbaikan sarana dan prasarana

penunjang produksi tanaman pangan. Perlu

ada sebuah kebijakan mempengaruhi harga

yang aplikatif menyentuh kepada petani untuk

meningkatkan kesejahteraan mereka.

Penetapan kebijakan harga pokok penjualan

(HPP) untuk komoditas padi perlu dilakukan

dengan berkerjasama dengan petani melalui

kelompok tani, sehingga kelompok tani dapat

memenuhi standar kualitas produk yang

diminta oleh BULOG. Sebab selama ini

permasalahan yang timbul adalah petani tidak

mampu mengolah hasil panen mereka karena

ketiadaan sarana pengolah padahal standar

gabah untuk masuk ke BULOG mensyaratkan

standar terkait kualitas produk yang dikirim.

Perlu juga kebijakan selling price dan floor

price untuk komoditas jagung dan kedelai

untuk meningkatkan posisi tawar petani.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi.2002. Prosedur

Penelitian : Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi

Pembangunan. Yogyakarta : STIE

YKPN

Baehaqi, Achmad. 2007. Pengembangan

Komoditas Unggulan Tanaman

Pangan di Kabupaten Lampung

Tengah. Tesis, Institut Pertanian

Bogor

Budi Setiawan, Avi. 2008. Analisis Efisiensi

Penggunaan Faktor-faktor Produksi

Usahatani Jagung Di Kabupaten

Grobogan tahun 2008, Skripsi,

UNNES

Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001.

Rencana Strategis dan Program

Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan

2001-2004. Badan Bimas Ketahanan

Pangan. Jakarta.

BPS Provinsi Jawa Tengah. 2007. Jawa

Tengah Dalam Angka: Jawa Tengah.

BPS Provinsi Jawa Tengah. 2009. Jawa

Tengah Dalam Angka: Jawa Tengah.

BPS Kabupaten Grobogan 2007. Grobogan

Dalam Angka: Grobogan

BPS Kabupaten Grobogan 2008. Grobogan

Dalam Angka: Grobogan

Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten

Grobogan, 2007, Luas Panen dan

Produksi Tanaman Jagung Tahun

2002-2007: Grobogan.

Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten

Grobogan. 2006, Petunjuk

Pelaksanaan Program intensifikasi

Tanaman pangan dan perkebunan.

Grobogan.

Mason, R.D.,1996, Teknik Statistika untuk

Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: Erlangga

Mosher, A.T., 1978, An Introduction to

Agricultural Extension, Agricultural

Development Council, New York

Mosher, A.T, 1985. Menggerakkan dan

Membangun Pertanian Saduran

Krisnandhi C.V. Yasaguna, Jakarta.

Mubyarto, 1989, Pengantar Ekonomi

Pertanian, Jakarta : LPES.

Nicholson, Walter. 2002, Mikro Ekonomi

Intermediate. Jakarta. Erlangga

Page 33: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

29

Permadi, Bambang. 1992. Analysis Hierarchy

Process. Jakarta. PAU EK Universitas

Indonesia

Saaly, TL. 1987. The Analytic Hierarchy

Process- What it is and How it is used,

Math Modelling, Pergamon Journals

Ltd. Great Britain

Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Grobogan.

http://www.grobogankab.go.id.

Situs Resmi Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah. http://www.jawatengah.go.id.

Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi

Dengan Pokok Bahasan Analisis

Fungsi Cobb-Douglas (Theory of

Production Economics with Special

Discussion on Cobb-Douglas

Production Function). 3rd Edition,

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukirno,Sadono, 2005, Mikro Ekonomi Teori

Pengantar, Raja Grafindo Persada:

Jakarta

Sucihatiningsih, DWP, 2010. Model

Penguatan Kapasitas Kelembagaan

Penyuluh Pertanian dalam

Meningkatkan Kinerja Usaha Tani:

Studi Empiris di Provinsi Jawa

Tengah . Disertasi. UNDIP

Suryana, Sawa, 2007. Analisis Faktor-faktor

yang Mempengaruhi Produksi Jagung

di Kabupaten Blora (Studi Kasus

Produksi Jagung Hibrida di

Kecamatan Banjarejo Kabupaten

Blora). Tesis. UNDIP

Susilowati, Indah, Mudjahirin T, Waridin,

Tri Winarni A, Agung S. 2004.

Pengembangan Model

Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil,

Menengah dan Koperasi Dalam

Mendukung Ketahanan Pangan di

Kabupaten dan Kota Pekalongan.

RUKK Kantor Menneg Ristek dan

LIPI. Jakarta.

Susilowati, Indah. 2009. Penguatan Kinerja

Agribisnis Tanaman Pangan

Unggulan Provinsi Jawa Tengah

dalam Mendukung Ketahanan

Pangan. Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian. Kerjasama UNDIP dan

Badan Litbang. Deptan.

Syahyuti. 1995. Pendekatan Kelompok dalam

Pelaksanaan Program/Proyek

Pembangunan Pertanian. Majalah

Forum Agro Ekonomi. Vol. 13. No. 2

Desember 1995.

Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur

Agraria pada Masyarakat Pinggiran

Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi

Pedesaan. IPB, Bogor

Syahyuti. 2003. Pembangunan pertanian

indonesia dalam pengaruh

kapitalisme dunia: analisis ekonomi

politik perberasan. Pusat penelitian

dan pembangunan sosial ekonomi

pertanian.

Vu. Linh H. 2004. Efficiency of Rice Farming

Households in Vietnam :A DEA with

Bootstrap and Stochastic Frontier

Application. University of Minnesota.

USA

Yotopoulos, Pan A and JB Nugget. 1976,

Economic of Development: Empirical

Investigation, Harper International.

USA

Yulianik, Siswi. 2006. Analisis Efisiensi

penggunaan Faktor-faktor Produksi

pada Usahatani Bawang Merah di

Kabupaten Brebes (Studi Kasus di

Desa larangan). Skripsi. UNDIP

Page 34: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

30

DAMPAK KAWASAN INDUSTRI DI DESA BUTUH TERHADAP

PEREKONOMIAN DAN KEINGINAN BERWIRAUSAHA

DI KECAMATAN MOJOSONGO, BOYOLALI

Nurul Istiqomah1)

, Dwi Prasetyani2)

, Amina Sukma Dewi3)

1Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret

Email : [email protected] 2Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret

Email : [email protected] 3Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret

Email : [email protected]

ABSTRACT

This background of this research is the establishment of several factories in Butuh Village,

Mojosongo Sub-District, Boyolali Regency, which forms an industrial area. In the past, the

residents of Butuh Village worked by cultivating land and breeding livestock because the soil in this

area is barren and water sources are difficult to find. Because of the establishment of industrial area,

the economic activity of this area increases significantly.

This research uses descriptive-quantitative research method. Qualitative analysis is used to discover

the increase of economic activity and the level of health and education of the surrounding

community. Whereas quantitative analysis was conducted by using Paired Samples T test. This test

is used to discover the presence of average difference between two paired (corresponding) sample

groups. In this case, it is about community’s income and expenditure in the surroundings of

industrial area. Whereas regression analysis, specifically Ordinary Least Square (OLS) Logit, is

used to discover community’s entrepreneurship desire after the existence of industrial area.

The impact of industrial area in Butuh Village, Mojosongo Sub-district can reduce unemployment

rate. However,most people in Butuh Village prefer becoming entrepreneurs around the industrial

area to factory workers. Additional income earned shifts the way of thinking of people around

industrial area in the field of education and health. In addition, there were differences of income and

expenditure between the times before and after the existence of industrial area in Butuh Village.

The last, education, income and expenditure influence the entrepreneurial decision.

Keywords: Industrial Area, Income, Expenditure, Paired Samples T-test, Logit.

A. Pendahuluan

Struktur perekonomian di Indonesia

sudah mulai mengalami pergeseran. Hal

tersebut merupakan suatu yang wajar yang

dialami oleh setiap negara di seluruh

dunia. Data mengenai kontribusi masing-

masing sektor terhadap PDB bisa

memberikan gambaran, bahwa pada tahun

1969 struktur perekonomian di Indonesia

masih didominasi oleh sektor pertanian ,

dimana kontribusi sektor pertanian adalah

sebesar 49,3 % dan semakin lama

kontribusinya mengalami penurunan. Pada

tahun 1979 sumbangsih sektor pertanian

menjadi 28,1 % dan terus menurun hingga

data yang diperoleh pada tahun 2011

kontribusinya hanya 14,7%. Penurunan

kontribusi sektor pertanian terhadap PDB

disebabkan pengurangan lahan-lahan

pertanian yang ada di Pulau Jawa, adanya

kegagalan panen, kegagalan untuk

membuka lahan pertanian baru di luar

Page 35: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

31

Pulau Jawa yang disebabkan tingkat

kesuburan tanah yang berbeda dengan

Pulau Jawa.

Ketika sektor pertanian mengalami

penurunan, sektor industri cenderung

mengalami kenaikan. Pada tahun 1969,

kontribusi sektor industri pengolahan hanya

9,2 %, masih kalah jauh jika dibandingkan

dengan sektor pertanian dan perdagangan

yang kala itu mencapai 30%. Sektor

industri pengolahan pada tahun 1979

angkanya sudah naik menjadi 10,3% dan

satu dekade berikutnya menjadi 18,4%.

Pada tahun 2008, kontribusinya mencapai

27,8 % dan hingga data tahun 2012

Semester I diperoleh data kontribusi sektor

industrI pengolahan sebesar 23,6 %.

Pertumbuhan sektor industri di

Indonesia masih ditopang oleh 3 sektor

industri, yaitu industri makanan, alat angkut

dan tekstil. Ketiga sektor industri tersebut

berkontribusi hampir 70 % terhadap

pertumbuhan industri di Indonesia. Menurut

Dedi Mulyadi, Dirjen Pengembangan dan

Perwilayahan Kementrian Perindustrian,

berpendapat bahwa peningkatan daya saing

industri merupakan salah satu kebijakan

yang dilakukan untuk meningkatkan daya

saing industri baik di dalam maupun di

luar negeri. Untuk menjadi industri yang

mempunyai daya saing yang bagus, maka

pembangunan sektor industri harus

memaksimalkan potensi sumber daya yang

dimiliki oleh daerah.

Boyolali merupakan salah satu

kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang

pertumbuhan ekonominya mempunyai potensi

untuk terus meningkat. Berdasarkan data dari

BPS, pertumbuhan ekonomi Kabupaten

Boyolali pada tahun 2008 adalah 4,04%

sedangkan pada tahun 2009 meningkat

menjadi 5,16 %. Ada empat sektor yang

memberikan kontribusi di atas 10% terhadap

PDRB Kabupaten Boyolali pada tahun 2010,

yaitu sektor pertanian sebesar 37,18%; sektor

perdagangan sebesar 23,93%; sektor industri

pengolahan sebesar 14,15 %; dan sektor jasa-

jasa sebesar 11 % . Khusus untuk sektor

industri, perkembangannya begitu pesat di

Kabupaten Boyolali.

Kecamatan Mojosongo merupakan

salah satu kecamatan yang ada di

Kabupaten Boyolali dan termasuk kecamatan

yang perekonomiannya mengalami kemajuan

yang pesat. Hal ini dilatarbelakangi karena

munculnya banyak perusahaan tekstil di

kawasan tersebut, sehingga menyebabkan

masyarakat yang bermata pencaharian di

sektor industri sebanyak 17 %, dan posisi

pertama masih ditempati petani sebanyak 52

%. Kecamatan Mojosongo terdiri dari 13

desa, dan salah satunya adalah Desa Butuh.

Di Desa Butuh terdapat beberapa perusahaan

yaitu PT Tosalina Furniture di Desa Butuh,

Bengawan Solo Garment, PT Panca Prima Eka

Brothers, CV Cahaya Nugraha Jati.

(www.boyolalikab.go.id).

Perkembangan Desa Butuh

mengalami kemajuan yang pesat, salah

Page 36: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

32

satunya disebabkan banyaknya industri

yang mulai membangun kawasan

produksinya di daerah tersebut, misalnya PT

Pan Brothers Tbk, Pilar Sejati Sejahtera, dll.

Dampak dari berdirinya pabrik-pabrikbaru

begitu signifikan, dahulu Desa Butuh

merupakan salah satu desa yang tanahnya

kering dan tandus serta kurang produktif,

bahkan untuk irigasi maupun kebutuhan air

sehari-hari mengalami kesulitan sehingga

menyebabkan harga jual tanah di daerah

tersebut rendah dan perekonomiannya

hanya berladang dan berternak sapi perah.

Pembangunan pabrik-pabrik tersebut

diharapkan dapat meningkatkan lapangan

pekerjaan di Kabupaten Boyolali pada

khususnya, sehingga angka pengangguran

bisa dikurangi. Pada tahun 2010, data

mengenai jumlah pencari kerja adalah

sebanyak 234.797 orang yang mengalami

kenaikan jika dibandingkan tahun 2008

yang sejumlah 155.134 orang. Timbulnya

kawasan industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali

tersebut meningkatkan aktivitas

perekonomian masyarakat di sekitar

kawasan industri tersebut. Rizki (2007)

dalam penelitiannya mengambil kesimpulan

bahwa perkembangan industri secara

langsung maupun tidak akan berdampak

pada perkembangan suatu wilayah. Lokasi

industri akan menarik aktivitas perumahan

dan perdagangan, karena melibatkan tenaga

kerja dan bahan baku dari luar wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis dampak keberadaan kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali terhadap

peningkatan aktivitas perekonomi dan

keinginan berwirausaha masyarakat di Desa

Butuh Kecamatan Mojosongo Kabupaten

Boyolali.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

a. Bagaimanakah dampak keberadaan

kawasan industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten

Boyolali terhadap peningkatan aktivitas

perekonomomian masyarakat di

sekitarnya ?

b. Apakah keberadaan kawasan industri di

Desa Butuh Kecamatan Mojosongo

Kabupaten Boyolali dapat mengurangi

jumlah pengangguran, serta meningkatkan

tingkat pendidikan dan kesehatan di sekitar

kawasan industri tersebut ?

c. Apakah terdapat perbedaan terhadap

pendapatan dan pengeluaran masyarakat

di Desa Butuh Kecamatan Mojosongo

Kabupaten Boyolali sesudah adanya

kawasan industri tekstil tersebut ?

d. Bagaimanakah dampak keberadaan

kawasan industri tekstil di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten

Boyolali terhadap keputusan untuk

berwirausaha di sekitar kawasan industri

tersebut ?

Page 37: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

33

C. Tinjauan Pustaka

1. Teori Industri

Industri merupakan sekumpulan

perusahaan yang menjual produk yang

sama atau yang berhubungan dengan

produk tersebut. Industri adalah suatu

kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan

mengubah suatu barang dasar secara mekanis,

kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi

barang jadi atau setengah jadi dan atau barang

yang kurang nilainya menjadi barang yang

lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat

kepada pemakaian terakhir (Indra, 2010:52).

Pengertian lain tentang industri adalah

suatu usaha atau kegiatan pengolahan

bahan mentah atau setengah jadi menjadi

barang jadi yang mempunyai nilai tambah

untuk memperoleh keuntungan.

Pengertian industri menurut BPS

(www.bps.go.id) adalah cabang kegiatan

ekonomi, sebuah perusahaan atau badan

usaha sejenisnya dimana tempat seseorang

bekerja. Kegiatan ini diklasifikasikan

berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha

Indonesia (KLUI). Sedangkan industri

pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi

yang melakukan kegiatan mengubah barang

dasar (bahan mentah) menjadi barang

jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang

kurang nilainya menjadi barang yang lebih

tinggi nilainya, baik secara mekanis, kimiawi

dengan mesin ataupun dengan tangan.

Industri menurut jumlah tenaga

kerjanya dapat dibedakan menjadi industri

rumah tangga, industri kecil, menengah dan

besar. Industri rumah tangga adalah

industri yang mempunyai tenaga kerja

antara 1-4 orang. Industri mikro adalah

industri yang jumlah tenaga kerjanya

antara 5-19 orang. Industri menengah

adalah industri yang jumlah tenaga

kerjanya antara 20-99 orang dan industri

besar adalah industri yang jumlah tenaga

kerjanya lebih dari 100 orang.

2. Pengertian Kewirausahaan

Wirausaha berasal dari kata wira dan

usaha, wira berarti gagah berani. Apabila

digabungkan dengan kata usaha berarti

wirausaha adalah orang yang gagah berani

untuk melakukan usaha. Drucker (1985)

mengartikan kewirausahaan sebagai

semangat, kemampuan,sikap dan perilaku

individu dalam menangani usaha (kegiatan)

yang mengarah pada upaya mencari,

menciptakan, menerapkan cara kerja,

teknologi, dan produk baru dengan

meningkatkan efisiensi dalam rangka

memberikan pelayanan yang lebih baik dan

atau memperoleh keuntungan yang lebih

besar.

Secara lebih luas, kewirausahaan

adalah padanan kata dari entrepreneurship

dalam bahasa Inggris, unternehmer dalam

bahasa Jerman, ondernemen dalam bahasa

Belanda. Dala bahasa Perancis, entrepende

mempunyai arti peuang, pengambil resiko,

kontraktor, pengusaha dan pencipta yang

menjual hasil ciptaannya (Hendro, 2011:

29).

Page 38: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

34

Kewirausahaan adalah kemampuan

kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,

kiat dan sumber daya untuk mencari

peluang menuju sukses. Dengan kata lain,

kewirausahaan merupakan suatu kemampuan

dalam menciptakan nilai tambah di pasar

melalui proses pengelolaan sumber daya

dengan cara-cara baru dan berbeda

(Suryana, 2003: 1-2).

Setiap orang yang berfikir kreatif

dan inovatif bisa dikategorikan sebagai

wirausahawan. Proses kewirausahaan

diawali dengan proses imitasi dan

duplikasi, yang terus melalui proses

pengembangan dan akhirnya bisa

menciptakan sesuatu yang baru dan

berbeda.

Menjadi seorang wirausaha ternyata

dapat didorong oleh beberapa faktor, yaitu

faktor personal, faktor lingkungan, faktor

sosiologis, dan faktor ketersediaan sumber

daya.

Faktor personal sebagai salah satu

faktor yang mendorong berwirausaha, yang

menekankan bahwa independensi

merupakan motif yang utama dalam

mendirikan usahanya sendiri. Wirausahawan

adalah orang-orang yang berani mengambil

resiko, pandai beradaptasi dengan

perubahan, dan membangun kekuatan

pribadi. Wirausahawaan adalah orang-orang

yang optimis, ketika melihat masalah

menjadi peluang.

Faktor lingkungan mempunyai peran

yang signifikan dala pembentukan jiwa

kewirausahaan. Salah satu factor

lingkungan yang berperan besar dalam

membentuk jiwa kewirausahaan adalah

budaya. Apabila kewirausahaan dianggap

mulia atau mempunyai derajat yang tinggi

dalam system sebuah budaya, maka

seorang wirausahawan mempunyai

kedudukan yang terhormat di suatu

masyarakat. Dan dengan budaya tersebut

akan menghasilkan banyak wirausahawan

baru.

Faktor sosiologis tergantung kepada

kondisi sosial yang bisa mempengaruhi

seseorang untuk melakukan usaha atau

menjadi wirausahawan. Beberapa kondisi

sosial tersebut adalah keterbatasan

pengembangan karier, tanggung jawab

keluarga, dan lain-lain yang bisa

memotivasi seseorang untuk memperoleh

kehidupan yang lebih baik dengan cara

menjadi wirausahawan.

Faktor ketersediaan sumber daya

adalah hal yang sangat penting, termasuk

ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM)

dengan pengalaman dan ketrampilan yang

sesuai.

D. Metode Penelitian

Data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder baik untuk data kualitatif maupun

kuantitatif.. Sampel dari penelitian ini adalah

masyarakat di desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali yang

berada di sekitar kawasan industri tersebut.

Page 39: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

35

Jumlah penduduk Desa Butuh adalah

sebanyak 3.138 jiwa. Dengan menggunakan

rumus Slovin untuk mencari jumlah

sampel, maka diperoleh hasil perhitungan

sebagai berikut :

(1)

Dimana :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

e = batas toleransi kesalahan

Berdasarkan rumus Slovin diatas, maka

perhitungan sampelnya adalah sebagai

berikut :

96)10,0(31381

31382

=+

=n (2)

Jumlah responden yang akan dicari adalah

sebanyak 96 orang, yang dibulatkan

menjadi 100 orang responden untuk diminta

mengisi kuesioner penelitian.

Dalam penelitian ini data kuantitatif

dianalisis secara tabulasi dan statistik

deskriptif dengan menggunakan uji dua

sampel berpasangan dan logit. sedangkan

data kualitatif dianalisa secara deskriptif

studi kasus yaitu dengan mendiskripsikan,

kemudian memberikan penafsiran-penafsiran

dengan interpretasi rasional yang memadai

terhadap fakta-fakta yang diperoleh di

lapangan.

1. Definisi Operasional

a. Penggangguran

Adalah penduduk yang bekerja

kurang dari 35 jam seminggu (Sakernas,

2007). Sedangkan menurut BPS,

pengangguran adalah penduduk yang

tidak bekerja tetapi sedang mencari

pekerjaan atau sedang mempersiapkan

suatu usaha baru atau penduduk yang

tidak mencari pekerjaan karena tidak

mungkin mendapatkan pekerjaan, dan

penduduk yang tidak aktif encari

pekerjaan dengan alasan sudah

mempunyai pekerjaan tetapi belum

mulai bekerja, yang dihitung dalam satuan

orang.

b. Pendapatan

Adalah hasil dari aktivitas bisnis, seperti

pendapatan sewa atau penjualan (Albertus

Ong), yang dihitung dalam satuan rupiah.

c. Pengeluaran

Adalah semua pengeluaran yang

digunakan untuk membeli barang dan

jasa, yang dihitung dalam satuan rupiah.

d. Pendidikan

Pendidikan yang berhasil ditamatkan dihitung

dengan tahun sukses, masa lama sekolah.

e. Tanggungan Keluarga

Jumlah anggota keluarga yang masih

menjadi tanggungan atau dibiayai oleh

responden, yang dihitung dalam satuan

orang.

f. Status perkawinan

Status perkawinan responden ditunjukkan

dengan status kawin atau tidak kawin

g. Usia

Usia responden, dihitung dengan tahun.

Page 40: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

36

2.Teknik Analisa Data

a. Uji Dua Sampel Berpasangan (Paired

Samples T Test)

Uji ini dipergunakan untuk mengetahui

ada tidak nya perbedaan rata-rata antara dua

kelompok sampel yang berpasangan

(berhubungan). Maksudnya di sini adalah

sebuah sampel tetapi mengalami dua

perlakukan yang berbeda (Priyatno, 2010;

37), dan disini perlakuan yang berbeda

adalah sebelum dan sesudah ada kawasan

industri.

Dalam pengujian yang dilakukan

peneliti membandingkan antara pendapatan

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri tersebut dan juga membandingkan

antara pengeluaran penduduk Desa Butuh

sebelum dan sesudah adanya industri tersebut.

b. Analisis Regresi Logit

Dampak keberadaan kawasan industri

di Desa Butuh menimbulkan keinginan

untuk berwirausaha. Untuk melihat faktor-

faktor yang mempengaruhi keinginan

berwirausaha masyarakat di sekitar kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali dapat

dijabarkan dengan persamaan sebagai

berikut :

Y= βo+ β 1 X1 + β2 X2 + β3X3+ β4X4 + β5X5 + ei (3)

Dimana :

Y = merupakan variabel Dummy, setelah

adanya kawasan industri dibedakan

menjadi

D1 = Wirausaha

D2 = Tidak berwirausaha

X1 = Pendidikan

X2 = Tanggungan Keluarga

X3 = Status Perkawinan

X4 = Usia

X5 = Pengeluaran

X6 = Pendapatan

Βo = Konstanta

β 1 β2, β3, β4= Koefisien regresi

ei = Variabel pengganggu

Model yang digunakan adalah Analisis Regresi

dengan menggunakan metode Ordinary Least

Square ( OLS ) Logit.

E. Hasil dan Pembahasan

1. Dampak Keberadaan Kawasan

Industri Di Desa Butuh Terhadap

Peningkatan Aktivitas Perekonomian

Masyarakat.

Keberadaan kawasan industri di Desa

Butuh, terutama setelah berdirinya pabrik

PT. Pan Brothers Tbk, Pilar Sejati Sejahtera

Tbk di Desa Butuh membuat

perekonomiannya kian menggeliat. Daerah

tersebut dipilih oleh para investor karena

harga tanahnya yang masih lumayan

murah, dan oleh penduduk setempat hanya

digunakan untuk berladang saja karena

tekstur tanahnya yang cenderung tandus.

Selain karena faktor tanah yang

murah, ada hal lain yang menyebabkan

para investor mendirikan pabriknya di

wilayah Boyolali. Salah satu sebabnya

adalah tingkat UMR yang sudah begitu

tinggi di wilayah Jakarta dan Jawa Barat

sehingga mendorong investor untuk beralih

Page 41: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

37

ke wilayah Jawa Tengah. Tingkat UMR di

Jawa Tengah jauh lebih rendah jika

dibandingkan dengan tingkat UMR yang

ada di Jakarta dan Jawa Barat. UMR

Jakarta pada tahun 2013 sudah mencapai

Rp. 2.200.000,- juta, sedangkan UMR

Semarang adalah Rp 1.209.100,- dan UMR

di Boyolali adalah sebesar Rp. 895.000,-

Di Desa Butuh Kabupaten Boyolali

merupakan salah satu desa yang

mendapatkan dampak dari perpindahan

investor tersebut. PT. Pan Brothers Tbk

merupakan pabrik yang pertama berdiri di

Tangerang semenjak tahun 1980 dan pada

tahun 2007 melakukan ekspansi ke daerah

Sragen dan Boyolali. Kapasitas produksinya

lebih besar pabrik di daerah Boyolali

daripada Tangerang. Pan Brothers Tbk

merupakan perusahaan yang bergerak pada

industri garment, dan mulai masuk dalam

pasar saham semenjak tahun 1990.

Nilai ekspor dari produk yang

dihasilkan PT. Pan Brothers Tbk cukup

tinggi, tingginya nilai ekspor tersebut

membuat perusahaan tersebut terus

berproduksi. Jumlah tenaga kerja yang

dibutuhkan pun terus meningkat.

Peningkatan permintaan tenaga kerja

membuat daerah di Desa Butuh juga ikut

bergeliat.

Selain PT. Pan Brothers Tbk, di Desa

Butuh juga terdapat pabrik PT. Pilar Sejati

Sejahtera. Perusahaan tersebut juga

bergerak dalam bidang industri garment

yang produknya 100 % di ekspor ke luar

negeri.

Perkembangan Desa Butuh setelah

berdirinya beberapa industri tersebut

membuat perekonomiannya lebih

berkembang. Kawasan di pinggir jalan

sudah mempunyai nilai jual yang tinggi,

karena tanah yang berada di sekitar pabrik

atau kawasan industri tersebut sudah

beralih fungsi menjadi kawasan kios

pertokoan dan sarana lainnya yang

menyediakan keperluan bagi pekerja yang

bekerja di pabrik-pabrik di Desa Butuh.

Indikator kemajuan perekonomian di

suatu wilayah bisa dilihat dari beberapa

hal, diantaranya adalah banyaknya aktivitas

ekonomi masyarakat. Aktivitas ekonomi

muncul karena banyaknya permintaan baik

barang dan jasa di sekitar wilayah tersebut.

Dibangunnya pabrik-pabrik industri

menyebabkan permintaan terhadap

pangan,sandan dan tempat tinggal

meningkat. Tenaga kerja yang bekerja di

kawasan industri tersebut tidak hanya

berasal dari daerah sekitar pabrik. Tetapi

banyak yang berasal dari luar wilayah.

Kebutuhan akan tempat tinggal mengalami

peningkatan, lahan-lahan kosong akhirnya

dijadikan rumah kos-kosan. Penduduk desa

menangkap peluang dari kelebihan

permintaan akan tempat tinggal ini. Lahan

yang dahulu tandus sekarang sudah beralih

fungsi menjadi rumah kos-kosan.

Penghasilan yang diperoleh dari berkebun

yang jumlahnya tidak pasti sudah diganti

Page 42: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

38

dengan penghasilan bulanan yang diperoleh

oleh para pemilik rumah kos.

Permintaan tempat tinggal membawa

efek lain, yaitu terjadi peningkatan

terhadap penyediaan makanan. Warung-

warung makan juga banyak bermunculan.

Banyak data yang diperoleh dari

responden yang memutuskan untuk

membuka warung atau tempat makan.

Prospeks usaha tersebut juga

menguntungkan. Para karyawan pabrik

industri memang memperoleh jatah makan

satu kali, tapi tak sedikit pu;a para

karyawan tersebut yang memutuskan untuk

membeli makan di sekitar wilayah industri.

Bagi tenaga kerja yang memilih tinggal di

rumah kos-kosan, kebutuhan akan tempat

makan begitu penting. Mereka tidak

banyak mempunyai waktu untuk memasak

masakan sendiri. Selain membutuhkan

waktu yang relatif lama, mereka juga

menginginkan kepraktisan.

Kebutuhan akan perlengkapan sehari-

hari bisa diperoleh di warung kelontong

yang bermunculan di daerah tersebut.

Beberapa penduduk yang berada dikawasan

industri itu ada yang memutuskan untuk

membuka toko kelontong. Tidak dibutuhkan

keahlian spesifik, hanya modal dan

ketekunan, ternyata mampu untuk

meningkatkan pendapatan yang mereka

peroleh. Bahkan dikawasan tersebut, muncul

satu minimarket Alfamart yang menangkap

peluang untuk ekspansi usahanya.

Jasa laundry mengalami

perkembangan yang sangat pesat di Desa

Butuh. Dahulu sebelum ada kawasan

industri tersebut, belum ada jasa laundry di

daerah tersebut. Melihat karakteristik

penduduk yang mempunyai banyak waktu

senggang, biasanya penduduk di daerah

tersebut mencuci pakaiannya sendiri.

Setelah adanya kawasan industri, tenaga

kerja yang tinggal di rumah kos

membutuhkan jasa laundry. Waktu

senggang yang mereka punyai sedikit,

karena apabila mereka bekerja dengan jam

kerja normal maka upah yang mereka

peroleh hanya sebesar UMR Boyolali.

Tetapi apabila mereka mengambil jam

kerja lembur, maka penghasilan yang

mereka peroleh jauh lebih banyak.

Konsekuensinya adalah waktu senggang

yang mereka punyai lebih sedikit, dan

waktu senggang tersebut kebanyakan

digunakan untuk istirahat. Maka berawal

dari inilah, kebutuhan akan jasa laundry

mengalami peningkatan yang sangat

signifikan.

Counter pulsa/ HP juga banyak

bermunculan di sekitar kawasan tersebut. Di

era teknologi sekarang ini, kebutuhan akan

pulsa sudah masuk dalam kebutuhan

primer. Para penyedia jasa ini

mempermudah akses bagi tenaga kerja

yang bekerja di kawasan industri di Desa

Butuh.

Peluang di bidang kesehatan pun

ditangkap oleh penduduk di Desa Butuh,

Page 43: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

39

dengan cara mendirikan apotik dan praktik

dokter. Ada satu apotik dan juga satu

tempat praktik dokter umum dan dokter

gigi. Jadi masyarakat di sekitar wilayah

industri tersebut tidak perlu pergi jauh

untuk membeli obat atau ketika ingin ke

dokter. Gambaran adanya apotik dan

tempat praktik doker tersebut juga

mengandung arti bahwa daya beli

masyarakat di sekitra kawasan industri

juga mengalami peningkatan.

Lembaga keuangan pun juga ada di

sekitar kawasan industri, peluang-peluang

yang ada dengan segera ditangkap oleh

para penyedia barang dan jasa. Jasa di

bidang keuangan pun ada untuk

menfasilitasi antara masyarakat yang

mempunyai kelebihan dana dan masyarakat

yang kekurangan dana. Manusia

mempunyai keinginan untuk

memaksimalkan kepuasannya. Salah satu

kepuasan diperoleh ketika mereka

mengkonsumsi barang yang bersifat

kebutuhan sekunder bahkan mewah.

Kebutuhan sekunder atau mewah itu

kadang mereka peroleh dengan cara kredit.

Lembaga keuangan menangkap peluang

tersebut, dengan jaminan bahwa para

pekerja mendapatkan gaji dari pabrik

tempatnya bekerja, maka dana pun bisa

mereka dapatkan dari lembaga keuangan

tersebut.

Jasa lain yang ada di sekitar

kawasan industri tersebut adalah bengkel

sepeda motor. Sepeda motor merupakan

sarana transportasi utama yang dipilih oleh

para pekerja pabrik. Disaping adanya

kendaraan/bus jemputan, tapi rutenya belum

mencakup semua asal/ tempat tinggal para

pekerja pabrik. Pilihan menggunakan

sepeda motor yang lebih fleksibel, karena

kapanpun mereka berangkat atau

menambah jam kerja lembur bisa

dilakukan. Kendala terhadap kerusakan

sepeda motor inilah yang ditangkap oleh

para pelaku usaha dengan cara mendirikan

bengkel sepeda motor. Usaha untuk

mendirikan bengkel sepeda motor memang

membutuhkan keahlian spesifik mengenai

mesin sepeda motor. Selain menwarkan

perbaikan, bengkel tersebut juga

menawarkan jasa untuk mengganti oli dan

perlengkapan sparepart lainnya.

Fenomena kendaraan sepeda motor

sebagai salah satu alat transportasi utama

meningkatkan permintaan terhadap tempat

untuk menitipkan kendaraan tersebut.

Kawasan di dalam pabrik ternyata tempat

penitipan sepeda motornya masih jauh dari

kapasitas sepeda motor yang dibawa oleh

pekerja. Ini menimbulkan banyaknya

tempat penitipan sepeda motor yang

berada di luar kawasan pabrik. Dari lahan

kosong, dengan modal adanya atap baik

yang terbuat dari seng atau asbes sudah

menjadi tempat yang layak untuk penitipan

sepeda motor. Bahkan dari pendapatan jasa

penitipan sepeda motor ini, para pelaku

usaha penitipan sepeda motor ini bisa

melakukan ekspansi ke bisnis di bidang

Page 44: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

40

lain seperti membuka toko sepatu, toko

kelontong atau membuka usaha rumah kos.

Berikut disajikan data mengenai

peningkatan aktivitas perekonomian

masyarakat akibat adanya kawasan industri di

Desa Butuh Kecamatan Mojosongo.

Tabel 1. Data Jumlah Aktivitas

Perekonomian Di Desa Butuh

Aktivitas Perekonomian Jumlah

Warung Makan 47

Warung Kelontong 27

Counter Pulsa/ HP 9

Apotik 1

Rumah Kos >20

Bengkel Motor 3

Lembaga Keuangan 2

Salon 2

Laundry 4

Praktik Dokter 2

Sumber : Survei Lapangan (2013)

2. Dampak Keberadaan Kawasan

Industri di Desa Butuh Terhadap

Pengurangan Jumlah Pengangguran,

serta Peningkatan Tingkat

Pendidikan dan Kesehatan di Sekitar

Kawasan Industri

Aktivitas perekonomian yang terjadi

sebagai dampak keberadaan kawasan

industri di Desa Butuh membawa beberapa

perubahan terhadap masyarakat di sekitar

kawasan industri tersebut. Beberapa

perubahan positif adalah kemampuan para

penduduk di sekitar wilayah industri itu

menangkap peluang berwirausaha. Ada

berbagai macam usaha yang mereka

lakukan, diantaranya adalah membuka

warung makan, warung kelontong,

mendirikan rumah kos dan tempat

penitipan kendaraan bermotor, membuka

usaha laundry, bengkel sepeda motor

bahkan ada pula usaha salon di sekitar

kawasan industri. Di bidang kesehatan, ada

pula yang mendirikan apotik dan tempat

praktik dokter umum dan dokter gigi, serta

ada pula yang lembaga keuangan yang

ekspansi ke daerah tersebut.

Dahulu, masyarakatnya hanya sebagai

peternak saja. Kota Boyolali merupakan

sentra penghasil susu,mereka mengandalkan

produksi susu yang dihasilkan oleh sapi

peliharaan mereka. Susu sapi itu diambil

tiap sore oleh KUD Mojosongo yang

letaknya tidak terlalu jauh dari Desa

Butuh. Kualitas susu yang disetor harus

sesuai dengan kualitas standar Industri

Pengolahan Susu (IPS), dengan harga per

liter berkisar antara Rp. 2.800 – 3.000. Ada

beberapa permasalahan yang biasa dialami

oleh peternak sapi perah, yaitu

ketidakstabilan harga pakan ternak. Harga

pakan ternak pada musim-musim tertentu

sangat fluktuatif, sehingga membuat

keuntungan yang diperoleh para peternak

itu pun berkurang. Atau ketika mereka

beralih ke pakan ternak yang lainnya,

maka produksi susu yang dihasilkan tidak

sesuai dengan kualitas standar yang

ditetapkan oleh IPS sehingga tidak bisa

diterima oleh KUD Mojosongo.

Bagi yang dahulu hanya berladang

saja, dengan kondisi tanah yang tandus

maka hasil yang diperoleh tidak bisa

Page 45: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

41

dijadikan sebagai pemasukan yang utama

baginya. Ladang tersebut biasa ditanami

dengan singkong dan pohon pepaya. Masa

panen singkong yang relatif lama, yaitu

mencapai usia 9-10 bulan membuat ladang

tersebut tidak bisa dijadikan sebagai salah

satu sumber utama untuk pemasukan

keluarga. Begitu pula dengan buah pepaya,

baru bisa dipanen setelah usia 9-12 bulan

semenjak penanaman pertama kali. Boyolali

selain sebagai sentra susu perah, juga

sebagai daerah penghasil pepaya terbesar

di Jawa Tengah. Tetapi karena masa panen

lama, dan buah yang dihasilkannya pun

tidak bisa relatif lama maka para petani

pepaya kebanyakan tidak bisa

menghasilkan keuntungan yang besar.

Ketika daerah di sekitar tempat

tinggalnya didirikan industri, maka mereka

mencoba menangkap peluang lain yang

lebih menjanjikan. Peluang yang mereka

tangkap inilah yang mendorong mereka

menjadi wirausahawan, dengan berbagai

macam jenis. Ternyata penghasilan yang

mereka peroleh dari usaha wiraswasta ini

bisa menambah penghasilan sebelumnya

atau menjadi masukan utama bagi

keluarganya.

Jumlah pengangguran di daerah

Boyolali setiap tahun masih mengalami

peningkatan terus. Hal ini salah satunya

disebabkan oleh angka kelulusan sekolah

yang terus meningkat tetapi tidak

diimbangi dengan banyaknya lapangan

pekerjaan. Industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo menyerap banyak

tenaga kerja, baik tenaga kerja lokal

maupun tenaga kerja yang berasal dari

luar wilayah. Berdasarkan data yang

diperoleh, penyerapan tenaga kerja bagi

penduduk yang berada di sekitar kawasan

industri jumlahnya lebih sedikit apabila

dibandingkan dengan penduduk yang

berasal dari luar daerah tersebut.

Kecenderungan penduduk di sekitar

kawasan industri adalah lebih suka untuk

berwirausaha memenuhi kebutuhan tenaga

kerja yang ada di kawasan industri tersebut

dibandingkan menjadi tenaga kerja/ buruh

pabrik.

Tambahan pendapatan yang diperoleh

oleh masyarakat di sekitar kawasan industri

pun bisa mengubah cara berfikir mereka

untuk menjadi lebih baik lagi. Ketika

pendapatan yang dahulu mereka peroleh

adalah pas-pasan, maka akses mereka

terhadap pelayanan kesehatan pun terbatas.

Setelah adanya industri, dan kebanyakan

dari masyarakat melakukan wirausaha

maka tambahan pendapatan yang diperoleh

juga semakin besar. Ini yang mendorong

kemudahan akses mereka terhadap

pelayanan kesehatan.

Pentingnya pendidikan ternyata sudah

menjadi prioritas masyarakat untuk

meningkat kesejahteraan mereka.

Memperoleh kehidupan yang lebih baik itu

yang dicita-citakan setiap manusia di muka

bumi ini. Begitu pula dengan masyarakat

sekitar kawasan industri di Desa Butuh

Page 46: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

42

Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali.

Berdasarkan kuesioner yang kami sebar,

diperoleh hasil bahwa sebagian besar atau

hampir 48 % responden bercita-cita atau

mempunyai harapan untuk bisa

menyekolahkan anaknya hingga jenjang

perguruan tinggi, baik sebelum maupun

setelah adanya industri. Sebanyak 16 %

mempunyai harapan bisa menyekolahkan

anaknya hingga jenjang perguruan tinggi

sesudah adanya kawasan industri tersebut.

Karena pendapatan yang mereka dapatkan

mengalami peningkatan, dahulu sebelum

adanya kawasan industri harapan mereka

hanya bisa menyekolahkan anak hingga

jenjang SMA saja. Sebanyak 7 %

responden juga mempunyai pengharapan

bisa menyekolahkan anaknya hingga

jenjang perguruan tinggi dari sebelumnya

yang berharap anaknya sekolah sampai

dengan tingkat SMP saja. Dan sisanya

kebanyakan mereka mengharap dengan

adanya kawasan industri tersebut yang

memberikan peluang masyarakat untuk

terus berwirausaha, maka mereka bisa

menyekolahkan anaknya sampai dengan

tingkatan yang lebih tinggi dari harapan

sebelumnya ketika pendapatan yang

mereka peroleh terbatas.

Berdasarkan hasil 100 kuesioner yang

sudah tersebar, terdapat hasil bahwa ada

32% responden memilih ke dokter ketika

sakit baik sebelum atau sesudah adanya

kawasan industri tersebut. Yang artinya,

masyarakat di sekitar kawasan industri

tersebut sebenarnya akses terhadap

kesehatannya relatif sudah mudah.

Sebanyak 29 % responden yang

mempercayakan Puskesmas sebagai rujukan

tempat berobat. Biaya yang cenderung

lebih murah tetapi dengan pelayanan yang

memuaskan menjadi pertimbangan mereka.

Sebanyak 12 % responden memilih berobat

ke rumah sakit, baik sebelum maupun

setelah adanya industri. Pertimbangan yang

mereka ambil adalah karena kelengkapan

dokter spesialis dan peralatan yang ada di

rumah sakit. Sebanyak 7% responden

memilih pergi ke mantri kesehatan apabila

mereka sakit, dengan alasan sudah terbiasa

berobat ke mantri dan biasanya obat yang

diberikan relatif murah tetapi manjur.

Sisanya sebanyak 5 % respon yang

berubah tempat berobatnya, ketika sebelum

adanya industri mereka apabila sakit

berobat ke puskesmas, tetapi setelah

adanya industri mereka memilih pergi ke

dokter. Sebanyak 3 % responden yang

berobat ke bidan ketika belum ada industri

di Desa Butuh, dan setelah adanya kawasan

industri mereka pindah berobat ke dokter.

Peningkatan pendapatan yang mengubah

gaya hidup mereka, biasanya untuk

mencari tempat berobat yang lebih baik.

3. Hubungan Antara Keberadaan

Kawasan Industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten

Boyolali terhadap Pendapatan dan

Page 47: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

43

Pengeluaran Masyarakat Sekitar

Kawasan Industri

Keberadaan suatu industri akan

memberikan pengaruh terhadap pendapatan

dan pengeluaran penduduk yang berada

diwilayah tersebut. Baik secara langsung

maupun tidak langsung akan berkaitan dengan

perekonomian dalam hal ini adalah pendapat

dan pengeluaran dari masyarakat setempat.

a. Uji Dua Sample Berpasangan Untuk

Pendapatan

Uji ini dipergunakan untuk melihat

apakah terdapat perbedaan pendapatan antara

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

Hipotesis :

H0 = Tidak terdapat perbedaan pendapatan

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

H1 = Terdapat perbedaan pendapatan

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

Kriteria hasil uji adalah :

H0 = diterima jika nilai signifiknasi hasil

pengujian > 0,05.

H1 = diterima jika nilai signifikansi hasil

pengujian < 0,05.

Hasil analisis menggunakan uji t terhadap

pendapatan sebelum dan pendapatan setelah

adanya kawasan industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali

adalah sebesar -4,767 dimana nilai ini < dari

nilai t tabel (1,980). Hal tersebut berarti H1

diterima, ada perbedaan tingkat pendapatan

antara sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

b. Uji Dua Sample Berpasangan Untuk

Pengeluaran

Uji ini dipergunakan untuk melihat

apakah terdapat perbedaan pengeluaran antara

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

Hipotesis :

H0 = Tidak terdapat perbedaan pengeluaran

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

H1 = Terdapat perbedaan pengeluaran

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

Hasil analisis menggunakan uji t terhadap

pengeluaran sebelum dan sesudah adanya

kawasan industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali adalah

sebesar -4,769 dimana nilai ini < dari nilai t

tabel (1,980). Hal tersebut berarti H1 diterima,

ada perbedaan tingkat pengeluaran antara

sebelum dan sesudah adanya kawasan

industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo Kabupaten Boyolali.

4. Analisis Faktor yang Mempengaruhi

Keinginan Berwirausaha Masyarakat

Page 48: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

44

di Desa Butuh Kecamatan Mojosongo

Kabupaten Boyolali.

Hasil olahan data mengenai factor-

faktor yang mempengaruhi keinginan

berwirausaha masyarakat yang berada di

sekitar kawasan industri Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali

setelah dicari nilai odd rationya tersaji sebagai

berikut :

Tabel 2. Nilai Odds Ratio Variabel Yang

Mempengaruhi Keinginan

Berwirausaha

Variabel Odd Ratio Probabilitas

C -39.537739 0.722878362

Pendidikan 13.032753 0.083602557

Jumlah Keluarga 6.204323 0.729449762

Status 67.362132 0.283635169

Usia -2.037810 0.328633498

Pengeluaran 0.000076 0.097335764

Pendapatan -0.000036 0.058911586

Sumber : Data Primer diolah (2013)

Berdasarkan tabel 2, maka bisa diambil

kesimpulan sebagai berikut :

Koefisien regresi dari variabel

pendidikan adalah sebesar 0.12250, dengan

probablilitas sebesar 0.0836 maka variabel

pendidikan pada taraf signifikansi 10%

mempunyai pengaruh terhadap keinginan

berwirausaha. Odds ratio yang diperoleh

adalah sebesar 13.032753 yang berarti

apabila pendidikan meningkat satu tingkat

atau satu jenjang, maka probabilitas

kemungkinan keinginan untuk berwirausaha

naik sebesar 13,03 %.

Koefisien regresi variabel jumlah

tanggungan keluarga adalah sebesar

0.060194631, dengan probabilitas sebesar

0.7295 maka dapat disimpulkan bahwa

variabel jumlah tanggungan keluarga tidak

berpengaruh terhadap keinginan

berwirausaha masyarakat di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo pada taraf

signifikansi 10%.

Hasil olahan data menunjukkan

koefisien status pernikahan adalah sebesar

0.514989732. Sedangkan tingkat

probabilitasnya aalah sebesar 0.2836, yang

berarti pada taraf signifikansi 10 %

variabel status pernikahan tidak

mempengaruhi terhadap keinginan

berwirausaha dari masyarakat di sekitar

kawasan industri di Desa Butuh Kecamatan

Mojosongo.

Koefisen regresi dari variabel usia

adalah sebesar -0.020588601 dengan odds

ratio sebesar -2.037810. Probabilitas

variabel usia adalah sebesar 0.328633498.

Maka dapat disimpulkan pada taraf

signifikasi 10 %, variabel usia tidak

berpengaruh terhadap keinginan

berwirausaha masyarakat yang berada di

sekitar kawasan industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali.

Koefisien regresi variabel pengeluaran

adalah sebesar 0.0000007 dengan

probabilitas sebesar 0.097335764 dan odds

ratio sebesar 0.000076 . Maka dapat

disimpulkan pada taraf signifikansi 10 %,

variabel pengeluaran berpengaruh terhadap

Page 49: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

45

keinginan masyarakat untuk berwirausaha.

Adapun arti dari odds ratio tersebut adalah

apabila pengeluaran sebelum adanya

industri meningkat 1 rupiah, maka

kemungkinan keputusan untuk

berwirausaha bagi masyarakat di sekitar

kawasan industri akan meningkat sebesar

0,000076 %.

Koefisien regresi variabel pendapatan

adalah sebesar -0.0000003 dengan

probabilitas sebesar 0.058911586. Maka

dapat disimpulkan bahwa variabel

pendapatan berpengaruh signifikan terhadap

keputusan berwirausaha bagi masyarakat

yang ada di sekitar kawasan industri pada

taraf signifikansi sebesar 10 %. Odds ratio

yang diperoleh sebesar -0.000036, yang

mengandung arti apabila pendapatan

masyarakat sebelum adanya industri

meningkat sebesar 1 rupiah, maka

kemungkinan keputusan untuk

berwirausaha akan turun sebesar

0,000036%.

F. Kesimpulan

1. Perekonomian masyarakat di sekitar

kawasan industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo dengan

berdirinya beberapa pabrik membuat

semakin berkembang. Masyarakat yang

dahulu hanya bertani, beternak dan

berladang sekarang sudah banyak yang

menangkap peluang untuk berwirausaha.

Banyaknya permintaan akan kebutuhan

barang dan jasa menyebabkan kawasan

di Desa Butuh semakin ramai, dan

mendorong masyarakat di sekitar wilayah

tersebut untuk membuka warung makan,

toko kelontong, rumah kos, jasa laundry,

bengkel sepeda motor, bahkan hingga ke

apotik, praktik dokter dan salon.

2. Dampak keberadaan kawasan industri di

Desa Butuh Kecamatan Mojosongo bisa

mengurangi angka pengangguran di desa

tersebut. Tenaga kerja yang terserap

berasal dari dalam dan luar wilayah

Desa Butuh. Tetapi kebanyakan

masyarakat di Desa Butuh memilih untuk

berwirausaha di sekitar kawasan industri

tersebut daripada menjadi buruh pabrik.

Tambahan pendapatan yang diperoleh,

menggeser cara berfikir masyarakat di

sekitar kawasan industri tersebut dalam

bidang pendidikan dan kesehatan. Di

bidang pendidikan, mereka berharap bisa

menyekolahkan anaknya hingga jenjang

yang paling tinggi sedangkan di bidang

kesehatan, dengan adanya tabahan

pendapatan dari berwirausaha membuat

mereka semakin mudah untuk

mendapatkan akses kesehatan yang lebih

layak.

3. Terdapat perbedaan pendapatan dan

pengeluaran antara sebelum dan sesudah

adanya kawasan industri di Desa Butuh

Kecamatan Mojosongo Kabupaten

Boyolali.

4. Variabel pendidikan, pengeluaran dan

pendapatan berpengaruh terhadap

keinginan untuk berwirausaha.

Page 50: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

46

Sedangkan variabel jumlah tanggungan

keluarga, status dan usia tidak

berpengaruh terhadap keinginan untuk

berwirausaha bagi masyarakat yang

berada di sekitar kawasan industri di

Desa Butuh Kecamatan Mojosongo

Kabupaten Boyolali.

G. SARAN

1. Perusahaan yang ada di Desa Butuh,

yaitu PT. Pan Brothers dan Pilar Sejati

Sejatera hendaknya membuat program

CSR yang berupa pelatihan atau

pendampingan untuk meningkatkan

kemampuan berwirausaha bagi

masyarakat di sekitar wilayah industri

tersebut.

2. Masyarakat pendatang hendaknya

diikutsertakan pada kegiatan sosial yang

ada di daerah tersebut untuk

menghilangkan adanya batas antara

warga pendatang dan warga asli daerah

Desa Butuh.

3. Pemerintah Boyolali hendaknya

membuat kebijakan untuk menambah

ketrampilan, permodalan bagi pelaku

wirausaha serta melakukan penataan

sehingga tidak terkesan kumuh di sekitar

wilayah industri tersebut.

Daftar Pustaka

Alma, Buchori, 2007, Kewirausahaan,

Alfabeta, Bandung. Cultural Council of Indiana River County,

2012, The Economics Impact of

Creative Industry in Indiana river County in 2010.

Dandekar, C Hemalata, 1983, The Impact of

Bombay’s Textile on Work of Women From Sugao Village, Third World Planning Review, Volume 5, Number 4/1982: November.

Dumairy, 1996, Perekonomian Indonesia,

Erlangga, Jakarta.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345678

9/23570/3/Chapter%20II.pdf diakses

pada 15 Desember 2012 pukul 22.00

WIB.

Indra Setyo Nugroho, 2010, Dampak

Keberadaan Industri Tekstile PT

Delta Dunia Tekstil Terhadap

Aktifitas Ekonomi Masyarakat Desa

Brujul Kabupaten Karanganya,

Skripsi, Tidak Untuk

Dipublikasikan, UNS.

Irawan dan M. Suparmoko, 1998,

Ekonomika Pembangunan, BPFE

Yogyakarta, Yogyakarta.

Nachrowi D. N & Hardius Usman, 2006,

Pendekatan Populer dan Praktis

Ekonometrika untuk Analisis

Ekonomi dan Keuangan, LP FE

UI, Jakarta.

Mubyarto, 1988, Sistem dan Moral

Ekonomi Indonesia, LP3ES,

Jakarta.

Mudrajat Kuncoro, Artidiatun Adji, Rimawan

Pradiptyo, 1997, Ekonomi Industri

: Teori, Kebijakan, dan Studi

Empiris di Indonesia, Widya

Sarana Informatika, Yogyakarta.

Myles, Albert and Garen Evans, 2005,

Measuring The Impact of New Industry in Town, Mississippi State

University Publication.

Publication.

Nur Feriyanto, 2004, Profil Industri Kecil

Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

di Kabupaten Klaten, Jurnal

Page 51: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

47

Ekonomi Pembangunan , Vol 9 No

1, Juni 2004, Hal 91-104.

Priyatno, Duwi,. 2010. Paham Analisis

Statistik Data Dengan SPSS. PT

Buku Seru.

Todaro, Michael, 2006, Ekonomi

Pembangunan, Erlangga.

Jakarta.Viva Tjafura Ni’mah, 2012,

Analisis Dampak Perusahaan

Rokok Alfi Putra Terhadap

Kesejahteraan Masyarakat di Desa

Gembleb Kecamatan Pogalan

Kabupaten Trenggalek, diakses

melalui www.um.library.ac.id pada

tanggal 2 Desember 2012 pukul

20.05 WIB.

www.antaranews.com

www.boyolalikab.go.id

www.bps.go.id

Page 52: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

48

SUARA AKAR RUMPUT: KEBUDAYAAN YANG

MENDASARI PERILAKU EKONOMI

Yogi Pasca Pratama

[email protected]

Universitas Sebelas maret

Asfi Manzilati [email protected]

Universitas Brawijaya

Abstract

Social values that are believed to individuals are often more than just maximizing profit motive

alone that ultimately basing all economic interactions carried out in accordance moral owned

economy and believed. Geographical location Wonosari village located on the border of two

different areas of cultural assimilation implications developed in the community. Tendency blend of

Javanese and Islam reflected in the current market in Wonosari Village and patterns of behavior of

individuals who sought not in conflict with prevailing social values.

This study aims to determine the underlying culture of economic behavior faced with the

rationalization of neoclassical economics. The method used to explore and explain the economic

decisions through qualitative research methods with the paradigm of phenomenology, given the

Wonosari Village believes strongly in the local social and cultural values that influence patterns of

behavior in interaction.

Results of the study found that there is some value in line with neoclassical economic

rationalization, where all things in economic interactions must be for-profit, and there is also

contrary to the values of economic rationalization. The conclusion to be drawn is the value of a

good adherence to the parents and to the specific role turned out in line with the rationalization of

the economy rests on the efficiency to obtain profit maximization. But there is also a value that is

not in line with economic rationalization that is in adherence to religious values and local culture,

which prefers good relations between people rather than the profit motive.

Keywords: rationality economy, culture

A. Pendahuluan

Kesadaran akan pentingnya motif non

ekonomi dalam mengambil penjelasan yang

benar dari aspek ekonomi dan hukum-hukum

yang mengatur aspek-aspek non ekonomi

tersebut seringkali dilupakan, sehingga motif

non ekonomi dipandang sebagai faktor yang

tidak masuk dalam operasi hukum ekonomi.

Mubyarto (2002:1) mengungkapkan bahwa

ilmu ekonomi yang diterapkan kebanyakan

saat ini dikenal sebagai teori ekonomi

Neoklasik. Ajaran ekonomi Neoklasik

merupakan sintesa teori ekonomi pasar

persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus

dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran

marginal utility dan keseimbangan umum

Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi

Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar

persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi

tertentu, selalu menuju keseimbangan dan

efisiensi optimal yang baik bagi semua orang.

Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak

diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang

bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara

Page 53: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

49

keseluruhan akan mencapai kesejahteraan

bersama yang optimal atau disebut pareto

optimal.

Oleh karena itu diperlukan suatu

pendekatan yang bisa mencakup keputusan

ekonomi yang diciptakan akibat motif non

rasional. Witte (dalam Yustika, 2006:46)

menyatakan bahwa ekonomi kelembagaan

tidak menfokuskan kepada apa yang disebut

oleh beberapa ahli ekonomi sebagai motif-

motif ekonomi (economic motives), yakni

konsentrasi untuk memperoleh pendapatan

(gain), motif laba (profit motives) atau

memaksimalkan sesuatu yang memiliki nilai

material. Ekonomi kelembagaan telah

mengenal pentingnya perilaku manusia non

rasional (non rational human behaviour)

dalam pembuatan keputusan ekonomi pada

level motivasinya. Motivasi yang kuat dari

perilaku individu dapat berupa perilaku haus

terhadap kekuasaan dan petualangan, rasa

kemerdekaan, sifat mementingkan orang lain,

keinginan tahu, serta adat dan kebiasaan

(Yustika, 2006:85).

Kasper dan Streit mengungkapkan

bahwa kebudayaan mempengaruhi perilaku

sosial, termasuk perilaku ekonomi di

dalamnya. Kebudayaan yang dimaksud terdiri

dari bahasa, kumpulan ide atau pemikiran,

nilai-nilai, institusi internal dan eksternal.

Juga mencakup kesenian, ritual, simbol dan

pengalaman seseorang. Yang mana komponen

yang ada di dalam kebudayaan tersebut

terbentuk melalui proses dan menjadi pondasi

bagi perilaku manusia baik perilaku sosial

maupun perilaku ekonomi (Mariawati,

2006:7). Seperti yang diungkapkan Suradi

(2005:1) bahwa komunitas Osing termasuk

dalam komunitas yang memiliki pola

komunikasi dan interaksi sosial horizontal-

egaliter. Citra sebagai masyarakat terbuka

tersebut berhubungan dengan aktualisasi diri

setiap anggota masyarakat yang apa adanya,

terang-terangan, tanpa basa-basi, dan mudah

akrab. Masyarakat yang nilai sosial

budayanya bersifat terbuka terkesan kasar dari

sudut budaya yang mengenal kaidah kasar-

halus atau kromo-ngoko, tetapi mereka dapat

mengaktualisasikan dirinya secara utuh dan

dapat membicarakan realitas sosial secara apa

adanya.

Begitupula dengan kebudayaan Jawa.

Berdasarkan paradigma Barat, dikatakan

umumnya agama kaum Muslimin yang

tinggal di Jawa adalah agama Jawa

(Javanisme). Biasanya pemeluk agama ini

berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada

hakikatnya adalah Satu, merupakan kesatuan

hidup. Selanjutnya Javanisme meliputi lebih

banyak bidang. Jika agama-agama formal

hanya mengenal adanya bidang sakral dan

bidang profan, maka Javanisme memandang

kehidupan manusia selalu terpaut dalam

kosmos alam raya, dan dengan demikian

hidup manusia merupakan semacam

pengalaman religius. Mulder (1996:31)

mengungkapkan bahwa “kehidupan manusia

hendaklah dalam keadaan seimbang-tenang

dengan Jagat Raya; jangan sekali-kali

manusia itu ingin menaklukkan alam, jangan

Page 54: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

50

bersaing dan berambisi atau ingin mencapai

sesuatu dengan jalan terlalu memperhatikan

barang-barang materiil. Pendekatan terhadap

hidup dan kenyataan itu tak lain dan tak

bukan daripada sikap narimo dan sujud

terhadap kehadiran Ilahi yang meliputi segala

sesuatu, terhadap Sang Hyang Maha Kuasa.”

Keyakinan ini terwujud dalam kebatinan dan

mistik Jawa.

Sejalan dengan Mulder, Soeratman

(1989:99) menguraikan bahwa “...agama

Islam yang bersifat sinkretik, yang disebut

dengan istilah Agama Jawi atau Kejawen.

Agama ini merupakan Agama Islam yang

bercampur dengan keyakinan dan konsep-

konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke

arah mistik, serta unsur-unsur yang berasal

dari zaman pra-Hindu.”. Apabila paradigma

Barat cenderung mengeliminasi apapun yang

berbau Islam, tetapi dari pandangan lain

Javanisme tidak dapat dilepaskan dari Islam

yang sebenarnya.

Keunikan terjadi manakala keputusan

ekonomi terjadi atas pengaruh dari nilai-nilai

lokal yang ada. Bagaimana seorang pelaku

ekonomi melaksanakan kegiatan ekonomi

tanpa keinginan untuk mendapatkan laba,

bahkan lebih menjunjung tinggi nilai yang

diyakininya daripada motif-motif ekonomi

yang selalu menjadi kajian utama dalam teori

ekonomi Neoklasik. Maka tulisan ini akan

membahas realita yang ada di mana

keputusan ekonomi seringkali didasari oleh

motif-motif non ekonomi.

B. Pengaruh Budaya dan Perkembangan

Ekonomi

Pembangunan ekonomi akan

menimbulkan dampak pada nilai budaya

seperti yang diidentifikasikan Inglehart dan

Baker (2000:37). Penelitiannya pada 61

golongan masyarakat pada tahun 1995

mengungkapkan bahwa level jaminan hidup

(existensial security) adalah penyebab utama

dari perubahan level nilai (intergenerational

value change) dan perbedaan nilai dalam

masyarakat berhubungan erat dengan

tingginya ekspektasi hidup (highest life

expectancies). Menurut Inglehart dan Baker,

yang mengidentifikasi versi kebudayaan yang

menjadi mainstream masyarakat pra-industri

menunjukkan data bahwa terdapat tingkat

toleransi yang rendah terhadap aborsi,

perceraian, dan homoseksualitas; masyarakat

memiliki penekanan yang kuat pada

keagamaan; adanya tendensi penekanan atas

dominasi lelaki pada kehidupan ekonomi dan

politik; rasa hormat pada otoritas keluarga,

dan pentingnya kehidupan berkeluarga; dan

politiknya relatif otoriter. Masyarakat industri

yang lebih maju memiliki karakteristik-

karakteristik yang berbeda dari masyarakat

pra-industri. Dikotomi ekspresi bertahan

hidup diekspresikan dengan rasa saling

percaya, toleransi, kesejahteraan yang

subyektif, aktivitas politik, dan ekspresi diri

yang timbul pada masyarakat post-industrial

dengan tingkat jaminan yang tinggi. Pada sisi

ekstrim yang lain, orang-orang dalam

masyarakat terbentuk oleh tingkat

Page 55: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

51

kesejahteraan yang rendah dan absennya

jaminan, yang menekankan pada jaminan

ekonomi dan fisik di atas segala tujuan,

merasa terancam oleh orang asing dan

keberbedaan etnis, dan menghindari resiko

dalam perubahan. Kesemua hal tersebut

menjadikan tidak adanya toleransi pada kaum

gay dan komunitas-komunitas di luar

kelompoknya, adanya desakan atas aturan-

aturan gender yang tradisional, dan

pandangan politik otoriter.

Studi Osborne menemukan fakta yang

berbeda dengan studi Inglehart dan Baker.

Osborne (2001: 668) mengkaji “kasta”

dengan studi kasus India sebagai

permasalahan budaya. Osborne menunjukkan

bahwa logika dari kekuatan pengelompokan

masyarakat India pada masa lampau sangatlah

sederhana. Apabila muncul pemerintahan yang

secara agresif mengintervensi, maka pilihan

masyarakat adalah mendapatkan rente dari

sistem kasta tersebut atau mendapatkan sesuatu

yang lain. Keanggotaan sistem kasta sangat

mudah diverifikasi dan memerlukan biaya yang

kecil dalam mengorganisasikannya, jadi

sangatlah sulit jika keanggotaan dari satu kasta

berpindah secara mudah pada kasta yang lain,

kontinuitas atas identitas ini menjadikan

kekuatan kebudayaan yang powerful di

masyarakat India. Pembuktian inilah yang

membawa sistem kasta dan etnis lebih penting

daripada kepentingan ekonomi, spesifikasi

kelas, dan organisasi. Rendahnya biaya

organisasi yang ditimbulkan akibat adanya

sistem kasta menciptakan intervensi

pemerintah India untuk mengakomodir sistem

tersebut walaupun terdapat perubahan-

perubahan sistem ekonomi di luar komunitas

tersebut.

Thomphson (2001:1) mengungkapkan

bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang

berbeda-beda juga mengikuti lintasan-lintasan

yang berbeda pula walaupun mereka memiliki

tujuan yang sama pada suatu pembangunan

ekonomi. Pembangunan kelompok

masyarakat yang khusus dapat pula dibentuk

oleh satu atau lebih dari satu faktor situasi

yang spesifik, seperti budaya, geografi,

teknologi, cuaca, dan lain sebagainya.

DiMaggio juga mengungkapkan bahwa

sebagian besar dari nilai-nilai tradisional dan

komponen dari kebudayaan tidak mempan

terhadap perubahan ekonomi dan politik.

Kasper dan Streit (dalam Mariawati,

2006:7) mengungkapkan bahwa kebudayaan

mempengaruhi perilaku sosial, termasuk

perilaku ekonomi di dalamnya. Kebudayaan

yang dimaksud terdiri dari bahasa, kumpulan

ide atau pemikiran, nilai-nilai, institusi

internal dan eksternal, juga mencakup

kesenian, ritual, simbol dan pengalaman

seseorang. Komponen yang ada dalam

kebudayaan tersebut terbentuk melalui proses

dan menjadi pondasi bagi perilaku manusia

baik perilaku sosial maupun perilaku

ekonomi.

Keseluruhan dari aktivitas ekonomi telah

termasuk dalam hubungan kemasyarakatan.

Pandangan yang berkembang dalam masyarakat

bahwa ekonomi di negara berkembang secara

Page 56: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

52

total adalah rasional, dengan pengertian perilaku

ekonomi dipisahkan dari sosial, agama, muatan

politik, dan selalu sesuai dengan logika

ekonomi; tetapi hal ini tidak sepenuhnya

benar. Sebagai contoh, alasan Amerika serikat

menghentikan impor gula pada Cuba pada

tahun 1960 adalah alasan politik, tidak secara

ekonomi; contoh berikutnya adalah puncak

aktivitas retail terjadi pada akhir bulan

Desember yang didasarkan pada alasan

religius yang bertepatan dengan saat Natal

yang dirayakan oleh mayoritas warga

Amerika serikat (Plattner, 1989:4).

Pemisahan dari perilaku inilah yang

menciptakan permasalahan bagi ekonomi

antropologi, yang mana menganalisa sesuatu

yang tampaknya seperti produksi “ekonomi”

tetapi juga jelas muatan “religius”. Plattner

(1989:11) mengungkapkan sebuah contoh

dalam kehidupan petani Mayan Indian di

mana memiliki anggaran tersendiri yang

diperuntukkan bagi pelantun doa yang akan

mendoakan lading jagung yang akan digarap,

karena para petani percaya jagung yang

ditanam tidak akan tumbuh tanpa adanya si

pelantun doa. Biaya yang dibayarkan kepada

si pelantun doa merupakan ongkos produksi

yang secara nyata dikeluarkan oleh petani,

tetapi tidak ditujukan kepada para ahli

pertanian yang mengunjungi area tanam untuk

memberi pengetahuan cara tanam yang lebih

baik agar jagung yang ditanam tumbuh

dengan baik.

Rasionalisasi ekonomi yang

berhubungan dengan produktifitas yang tinggi

akan tercapai apabila petani Mayan Indian

tidak membuang waktu dengan berdoa kepada

Dewa Bumi (Earth Gods), dengan

perbandingan bahwa di Amerika Serikat akan

mengalokasikan waktu libur untuk tetap

bekerja demi mencapai produktifitas yang

tinggi. Petani Mayan Indian akan merespon

logika tersebut dengan petani Mayan Indian

bekerja untuk hidup, bukannya hidup untuk

bekerja (they are working to live, not living to

work).

Ekonomi antropologi yang

menganalisa pilihan atas suatu produk dengan

keputusan yang rasional yang mencakup nilai

marginal disebut formalis. Pendekatan

formalis ini menekankan pada asumsi di mana

setiap kebudayaan menerapkan pilihan yang

rasional pada pola pikir, batasan-batasan, dan

pola pikir oportunitas. Kritik terhadap tipe

ekonomi antropologi formalis memiliki suatu

argumen yang kuat di mana pendukung tipe

substantif tidak mempercayai bahwa

kelangkaan (scarcity) adalah termasuk bagian

dari kondisi seseorang. Kelangkaan pada

masyarakat primitif didefinisikan sebagai

kelangkaan kesejahteraan (scarcity of wealth),

secara historis kebanyakan disebabkan oleh

penetrasi dari kapitalisme barat pada

masyarakat setempat. Tipe ekonomi

antropologi substantif memandang kasus

petani kecil (peasant) pada strategi produksi

lebih pada produksi untuk digunakan

(production for use) dalam artian subsisten

daripada produksi untuk pertukaran

(production for exchange). Petani yang tidak

Page 57: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

53

memasuki pasar untuk melaksanakan

pertukaran mengakibatkan nilai pasar dari

barang dan jasa menjadi tidak relevan dan

disimpulkan tidak tepatnya penggunaan

model yang berbasis pilihan dalam suatu

kelangkaan dikarenakan bersifat ethnosentris.

Pendukung substantif juga menolak

penggunaan kosakata yang berhubungan

dengan pasar finansial kapitalis untuk

menjelaskan institusi dalam suatu kelompok

atau masyarakat seperti “interest”, “credit”,

dan “capital”.

Perilaku ekonomi yang dibahas

berhubungan dengan perilaku ekonomi

individu di pasar yang lebih terlihat “sosial”

daripada “ekonomi”. Granovetter (dalam

Plattner, 1989:210) mengungkapkan bahwa

pada dasarnya terdapat dua cara yang saling

berlawanan dalam sebuah transaksi. Transaksi

dapat berupa impersonal atau atomized dan di

sisi yang lain adalah personal atau dapat

dikatakan embedded. Pelaku transaksi

impersonal tidak memiliki hubungan yang

lain di luar pertukaran dalam jangka pendek

tersebut dan secara organisasi bersifat

atomized atau tidak terorganisasi dalam suatu

perkumpulan atau struktur sosial. Sedangkan

pada pelaku transaksi personal, transaksi

antara orang per orang memiliki hubungan

yang tahan lama (endures) setelah adanya

suatu pertukaran, selain itu pelaku transaksi

ini tergabung dalam jaringan dari suatu

hubungan sosial.

Menurut Bennet (dalam Plattner,

1989:212), realitasnya mode pasar impersonal

dan personal tidak secara jelas terpisahkan.

Korporasi seringkali menginginkan para

pekerjanya memiliki perasaan loyal kepada

perusahaan selayaknya keluarga. Hal ini

berarti secara normal bahwa para pekerja

harus menempatkan tujuan-tujuan perusahaan

di atas kepentingan pribadi para pekerja

dalam jangka pendek, untuk menjadi bagian

dalam mencapai ekspektasi kesuksesan

jangka panjang perusahaan. Keluarga para

petani seringkali saling bertukar barang dan

jasa atas nama saling bertetangga dan

pertemanan, sambil mereka menyimpan

perhitungan atas nilai ekonomi barang dan

jasa yang dipertukarkan “untuk menjaga

segalanya berjalan lurus”. Salah satu teori

organisasi yang disebutkan Ouchi (1980

dalam Pratama, 2007:18) mengatakan tentang

“clan” dalam organisasi industri di mana

perusahaan akan meraih produktivitas yang

tinggi dengan menerapkan bentuk hubungan

kerja kekeluargaan (kinship-type role

expectation).

Pada model ekonomi klasik dari

persaingan sempurna, telah diprediksikan

secara utuh informasi mengenai barang,

transaksi, dan aktor atau pelaku ekonominya.

Tetapi dalam kenyatannya untuk kepentingan

keamanan dan keputusan yang penting maka

informasi selalu dalam keadaan yang tidak

sempurna dan tidak lengkap.

Nelson (dalam Plattner, 1989:214)

mengungkapkan dua aspek dari barang, yaitu

“search” dan “experience quality”. Aspek

yang pertama berhubungan dengan atribut

Page 58: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

54

yang jelas seperti contohnya bentuk, ukuran,

warna pada pakaian. Masalah yang dihadapi

konsumen adalah ketika menempatkan

preferensi pada atribut yang tersedia di pasar.

Sedangkan pada “experience quality”

berhubungan dengan atribut yang muncul

setelah barang tersebut dipergunakan,

misalnya kekuatan tahan lama dari suatu

pakaian. Masalah yang dihadapi konsumen

pada aspek barang ini adalah mengetahui

“experience quality” sebelum membeli,

padahal kualitas dari suatu barang adalah

tidak terlihat.

Aturan dalam pembayaran pun

terdapat suatu spesifikasi dari apa yang

ditukarkan (tunai, barang lain, atau jasa) dan

jangka waktu (pembayaran segera,

pembayaran secara kredit, dan lain-lain).

Sebagai contoh, adalah studi yang dilakukan

Plattner di Chiapas, Mexico. Pedagang dari

Chiapas akan menjual barang lebih murah

pada konsumen Indian yang berada di

hinterland di mana pedagang Chiapas

membeli kebutuhan pangan dan logistik. Di

dalam pemikiran pedagang, rendahnya

pendapatan yang didapatkan dari penjualan

barang-barang akan menjamin keramahtamahan

(the assurance of hospitality) dari suku Indian.

Sebaliknya dari sisi suku Indian, dengan

ditunjukkannya suatu sikap ramah maka akan

didapatkan barang-barang dengan harga yang

lebih murah dan terciptanya perdagangan

perantara dari sebuah kebudayaan.

Kebudayaan merupakan adat istiadat

yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma,

dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-

hari yang dianut oleh sekelompok orang dan

berfungsi sebagai pedoman tingkah laku.

Menurut Bath (dalam Suparlan, 1986:1)

setiap golongan suku bangsa atau etnik

mempunyai seperangkat kebudayaan yang

melekat pada identitas suku bangsa atau etnik

tersebut, yang sewaktu-waktu bila diperlukan

dapat diaktifkan sebagai simbol-simbol untuk

identifikasi dan untuk menunjukkan adanya

batas-batas sosial dengan golongan suku

bangsa atau etnik lainnya dalam interaksi.

Rahmani (1992:145) mengungkapkan

bahwa nilai adat budaya sangat berguna untuk

mengaktualkan nilai-nilai estetika dalam

kehidupan kita, dan sekaligus dapat dijadikan

sebagai instrumen penjaga identitas dan

perekat kesatuan bangsa. Dalam kehidupan

orang Melayu senantiasa ditekankan tentang

kehidupan yang saling menghormati, saling

memberi, rukun dan damai, rasa persaudaraan

dan kekeluargaan, keramahtamahan dan

keterbukaan, kesetiakawanan, tenggang rasa,

kemauan untuk bekerja keras, hemat dan

prasaja (Diah, 1988:1). Rab (dalam

Syafriman, 2004:1) mengungkapkan bahwa

orang suku bangsa Melayu yang baik selalu

merendahkan diri, tidak menonjolkan dirinya,

tidak mau memaksakan kemauannya jika

bertentangan dengan kemauan orang lain,

senantiasa sahaja dan sedia kompromi. Nilai-

nilai tersebut diperkenalkan dan ditanamkan

sejak dini kepada anak-anak Melayu. Proses

perubahan sosial juga tidak akan berhenti dan

akan terus melanda masyarakat Melayu

Page 59: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

55

sehingga mungkin telah berdampak pada telah

terjadinya berbagai perubahan nilai. Harahap

(1986:24) mengatakan bahwa beberapa

daerah ternyata memiliki sejumlah

mekanisme kepemimpinan dan kearifan

sebagai bagian dari nilai adat budaya. Dalam

konsep adat budaya daerah terdapat beberapa

kearifan lokal dan sejumlah kepemimpinan

lokal yang kesemuanya potensial dalam

menata masyarakat damai dengan identitas

dan integritas bangsa yang kuat.

Wenke (1980:431) mengungkapkan

ilustrasi penekanan pada level administratif,

dimisalkan pada desa pertanian yang masih

sederhana, banyak keputusan yang harus

dibuat sehubungan dengan tanaman-tanaman

apa yang hendak ditanam, berapa banyak

hasil panen yang akan disimpan, siapa yang

menggarap lahan, keputusan untuk menikah,

dan lain sebagainya. Kebanyakan dari

keputusan-keputusan tersebut dibuat individu-

individu, tetapi beberapa yang lain terutama

keputusan yang berdampak pada masyarakat

diputuskan oleh kepala desa. Dapat dikatakan

kemudian, bahwa kepala desa

merepresentasikan pembuat keputusan tingkat

pertama dalam suatu hirarki, kepala desa

memerintahkan aktivitas-aktivitas kepada

orang-orang untuk dikerjakan. Level

administratif kedua ada apabila ada orang-

orang yang berhubungan dengan gugus tugas

yang diperintahkan kepala desa, bisa berupa

membenarkan atau menindaklanjuti

keputusan tersebut, bisa juga agen-agen

pemerintah yang berhubungan dengan pajak

dan administrasi lokal. Beberapa agen akan

menjadi level administratif level ketiga, dan

level-level penambahan akan muncul di

atasnya.

Boeke (1983:16) mengungkapkan

bahwa wilayah perdesaan di dunia ketiga

biasanya dideskripsikan sebagai tempat bagi

orang-orang untuk bekerja di sektor pertanian.

Sementara itu dalam pengertian yang sempit,

desa adalah suatu mayarakat petani yang

mencukupi hidup sendiri atau swasembada.

Ciri penting dari penduduk di perdesaan ini

adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah

masih merupakan dasar utama dari

kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah

perdesaan. Tetapi proses komersialisasi sektor

pertanian yang mulai dipraktikkan pada tahun

1960-an, yakni melalui serangkaian kebijakan

yang berupaya meningkatkan pertumbuhan

sektor pertanian, yakni revolusi hijau dan

penciptaan petani yang rasional malah

semakin mematikan ekonomi perdesaan.

Proses pertumbuhan pertanian komersial

tersebut malah kian menjepit posisi petani

dari beberapa cara, antara lain: (i) kaum tani

menjadi tidak terlindungi dari ketidakpastian

baru yang disebabkan oleh ekonomi pasar

yang memperbesar variasi penghasilannya;

(ii) terjadinya erosi nilai-nilai yang hidup di

desa dan kekerabatan sebagai pemberi

perlindungan dan pemikul resiko secara

bersama-sama; (iii) berbagai “katub

pengaman” subsistensi tradisional atau

pekerjaan tambahan untuk menyambung

hidup menjadi berkurang atau hilang sama

Page 60: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

56

sekali; (iv) pemilik tanah yang sebelumnya

memikul sebagian resiko pertanian dapat

mengutip lebih banyak lagi dari petani lewat

sewa dan memungut bagian penghasilan

penggarap; (v) negara sering menaikkan

penerimaan pajak melalui pungutan dari

kegiatan pertanian (Scott, 1976:57).

C. Metode Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada realitas

yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik,

budaya, ekonomi, etik, dan gender yang

terkristalisasi melalui proses perjalanan dan

waktu. Pada pendekatan kualitatif, data yang

dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata,

gambar, dan bukan angka-angka, kalaupun

ada angka-angka sifatnya hanya sebagai

penunjang. Data yang dimaksud meliputi

transkrip wawancara, catatan dan lapangan,

foto-foto, dokumen pribadi, nota dan catatan

lain-lain (Danim, 2002:61).

Suatu perilaku dipengaruhi oleh segi

budaya yang di dalamnya tercakup segala

pengetahuan, pengalaman, kepercayan,

simbol, dan aturan-aturan yang berlaku dalam

masyarakat dengan perannya sebagai pelaku

ekonomi. Dalam hal ini fokus perilaku adalah

keputusan ekonomi yang didasari motif non

rasional dari individu.

Paradigma yang digunakan dalam

penelitian ini adalah fenomenologi, di mana

peneliti dalam pandangan fenomenologis

berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-

kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam

situasi tertentu. Seperti dalam Manzilati

(2005:1), fenomenologi tidak berasumsi

bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi

orang-orang yang sedang mereka teliti.

Inkuiri fenomenologi memulai dengan diam.

Diam merupakan tindakan untuk menangkap

pengertian yang sedang diteliti. Dalam hal ini

manusia dianggap secara “aktif” menciptakan

dunianya dan memiliki kesadaran dan

mengkomunikasikan pengalaman sehari-hari

dan pengetahuannya. Dengan kata lain

fenomenologi menolak beberapa asumsi yang

memisahkan antara subyek (knower) dari

obyek (known).

Penelitian kualitatif juga mengurangi

semaksimal mungkin intervensi peneliti

terhadap ungkapan yang dituturkan oleh

responden penelitian. Pada saat penulisan

hasil wawancara misalnya, peneliti diminta

untuk menuliskan bentuk asli dari tuturan

yang diungkapkan responden, walaupun

struktur dan kosakata responden tersebut tidak

bagus. Dengan menyalin tuturan asli tersebut

diharapkan pembaca memiliki ruang

tersendiri untuk memberikan interpretasi,

tanpa harus setuju dengan tafsiran peneliti.

Melalui prosedur tersebut, subjektivikasi

penelitian kualitatif tetap dituntun oleh pagar-

pagar akademis sehingga dapat menjaga nilai

keilmiahannya (Yustika, 2006:95).

Unit analisis dalam penelitian ini

adalah individu yang bertempat tinggal di

Desa Wonosari Kecamatan Tutur Kabupaten

Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Tidak dibatasi

dari strata sosial seperti apa, tetapi telah

berdomisili tetap dalam jangka waktu yang

Page 61: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

57

lama. Syarat tersebut ditentukan adalah untuk

mengetahui pola perilaku individu dan

perilaku komunal sehingga diketahui kilasan

sejarah dari tiap individu dalam lingkup

ekonominya.

Penentuan lokasi di Desa Wonosari

dikarenakan lokasi tersebut memiliki sifat

yang khas. Pertama dari segi geografisnya,

terletak di perbatasan antara Kabupaten

Malang dan Kabupaten Pasuruan yang

diharapkan dapat mewakili dua kabupaten

dengan proporsi masyarakat yang heterogen

sehingga dapat dipotret keunikan khas yang

sangat berbeda dari daerah yang lain. Kedua,

dari segi pengaruh kejawaan dan Islam yang

sama-sama kuat, sehingga kegiatan budaya

yang sinkretik dan pola perilaku yang telah

berasimilasi juga merupakan keunikan

tersendiri. Ketiga, wilayah yang berbatasan

dengan Tengger juga menciptakan dampak

pada masyarakat setempat, baik dalam hal

pola berdagang (hari pasaran, motif dalam

berdagang) maupun dalam hal motivasi

masyarakat setempat untuk mencontoh

motivasi masyarakat Tengger.

Teknik pengumpulan data melalui

wawancara mendalam. Teknik ini dipilih

dengan pertimbangan banyaknya keunikan

nilai sosial yang akan berbeda dengan tataran

teori. Untuk menemukan informan yang tepat,

maka terlebih dahulu diadakan Focus Group

Discussion di antara informan-informan

kunci. Hal ini dilakukan untuk menyatukan

pikiran sehubungan dengan penggalian data

dan informasi lokasi-lokasi penelitian. Setelah

ditemukan informasi yang mendukung

permasalahan yang diangkat dalam penelitian,

maka barulah diadakan suatu wawancara

mendalam dengan informan yang terpilih.

Setelah ditemukan informan kunci,

maka dimulailah proses penggalian data.

Informan rata-rata merupakan pedagang kecil

dengan modal yang terbatas pula. Beberapa

informan menjalankan usahanya secara

menetap dan sebagian lainnya menjalankan

usaha secara berkeliling. Perlakuan terhadap

data yang telah ditemukan akan diseleksi,

disarikan, dan disubtemakan dalam sebuah

konfigurasi yang lebih luas, yang kesemuanya

merupakan sebuah bagian dari proses

pereduksian data tersebut. Analisis diarahkan

pada kecenderungan-kecenderungan

kesamaan fenomena realitas nilai sosial yang

berhubungan dengan lingkup ekonomi di

mana ditemukan sebagai nilai-nilai yang

tergeneralisir dalam konteks riset studi kasus

ini.

Untuk memperoleh temuan yang dapat

dipertanggungjawabkan, maka yang dapat

dilakukan adalah dengan triangulasi, yaitu

dengan menggunakan beberapa sumber,

metode, dan teori. Hasil temuan dari

penelitian ini akan diverifikasi dengan

penelitian-penelitian terdahulu yang

membahas topik yang kurang lebih sama pada

daerah yang berbeda jadi dapat diketahui

perbandingan antara hasil penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya. Dengan

metode yang berbeda diharapkan semakin

mempertajam analisis penelitian ini. Teori

Page 62: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

58

dipergunakan sebagai titik tolak dari

permasalahan. Dalam hal ini teori ekonomi

neoklasik diangkat sebagai titik tolak yang

dihadapkan pada interaksi yang sebenarnya

dilakukan oleh individu di lapangan.

D. Peran Nilai Kepatuhan dan

Kebudayaan Setempat dalam

Keputusan Ekonomi Individu

Di dalam klasifikasi nilai yang dianut

oleh setiap individu, menurut cirinya dapat

dibedakan bahwa setiap individu akan

menganut dua nilai yaitu nilai dominan dan

nilai yang mendarah daging (internalized

value). Dalam nilai dominan, nilai yang

dianut ini berhubungan dengan kondisi sosial

kemasyarakatan yang berada di sekitar

individu tersebut. Sedangkan pada nilai yang

mendarah daging (internalized value)

cenderung telah menjadi kepribadian dan

kebiasaan sehingga ketika seseorang

melakukannya terkadang tidak melalui proses

berfikir atau pertimbangan terlebih dahulu

(dalam bawah sadar). Apabila seseorang

menyalahi nilai yang diyakininya, umumnya

akan timbul perasaan malu bahkan merasa

sangat bersalah.

Pola pikir yang telah menjadi

landasan, alasan, atau motivasi dalam segala

tingkah laku dan perbuatannya sehari-hari.

Pada bab ini nilai yang diyakini dikategorikan

menjadi dua sub bagian, yaitu nilai kepatuhan

dan kebudayaan setempat. Di dalam nilai

kepatuhan terdapat pembahasan mengenai

nilai kepatuhan terhadap orang tua, nilai

kepatuhan pada kharisma seseorang yang

dianggap sebagai panutan, dan nilai-nilai

religi yang mendasari pola perilaku individu.

Sedangkan pada sub bagian kedua akan

dibahas mengenai kebudayaan setempat yang

berkembang dan diyakini sehingga terjadi

harmoni antara alam dan kenyataan yang

dihadapi, yang merupakan falsafah dalam

kebudayaan Jawa. Berikut ini dipaparkan

matriks yang menghubungkan antara peran

nilai kepatuhan dan kebudayaan setempat

dengan keputusan ekonomi yang muncul.

Tabel 1. Hubungan Antara Nilai Kepatuhan

dan Kebudayaan Setempat dengan

Keputusan Ekonomi

Nilai Kepatuhan

dan Kebudayaan

Setempat

Keputusan Ekonomi

1. Kepatuhan

terhadap orang

tua

Pemilihan dalam jenis dan

lokasi usaha yang dipilih

2. Kepatuhan

terhadap

panutan

Pemilihan dalam jenis dan

lokasi usaha yang dipilih

3. Kepatuhan

terhadap nilai

religi

Mengesampingkan

orientasi keuntungan dan

berkonsentrasi pada

menjaga hubungan baik

antar sesama

4. Kebudayaan

setempat

Bekerja lebih keras,

mendasarkan waktu

berjualan pada kalender

Jawa (hari pasaran) dan

hari-hari besar adat

setempat, melakukan jual

beli hewan ternak dengan

pertimbangan mitos yang

berkembang

Sumber : Pratama, 2006

1. Kepatuhan Terhadap Orang Tua

Orang tua sebagai teladan kadangkala

mengambil porsinya dalam tataran yang

terlalu berlebihan. Nilai yang dianut oleh

orang tua seringkali baik secara langsung atau

Page 63: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

59

tidak “dipaksakan” kepada anak-anaknya.

Bisa saja yang terjadi adalah sintesa dari nilai

yang dianut oleh orang tua dengan nilai dari si

anak, tetapi bisa juga akan menciptakan nilai

baru yang sama sekali jauh dari nilai yang

dijunjung tinggi dari kedua belah pihak.

Terlepas dari fenomena yang ada, berikut ini

dipaparkan bagaimana nilai dapat

mempengaruhi pola perilaku individu dalam

menjalankan aktivitasnya.

Yu Patemah dapat dikatakan sebagai

sahabat senasib dari Bu Siti. Nasibnya yang

sama-sama menjanda semakin mempererat

hubungan mereka, selain itu stigma negatif

masyarakat membuat Yu Patemah sadar betul

bahwa apa yang dinasehatkan kedua orang

tuanya harus tetap dilaksanakan karena semua

ini adalah cobaan yang menguji

kesungguhannya. Yu Patemah pernah

berdagang di Pasar Wonosari lebih kurang

selama dua puluh lima tahun, ini belum

terhitung ketika Yu Patemah dalam masa

anak-anak dan sudah mencoba berjualan di

Pasar Wonosari.

Weling* dari orang tuanya sangat

dijunjung tinggi, yang mengakibatkan Yu

Patemah terkesan hanya nrimo† pada kondisi

yang ada. Selama kurun waktu itu, tidak

pernah sekalipun Yu Patemah meninggalkan

wilayah Wonosari.

“...pun kulo manut mawon criosipun

Bapak.”

(“...sudah saya ikut saja apa yang

dikatakan Bapak.”)

* wasiat, nasehat † pasrah

Yu Patemah sangat menghormati

orang tuanya melebihi aturan adat yang

berlaku di Desa Wonosari. Apa yang

diwasiatkan bapaknya agar jangan sekali-kali

meninggalkan tanah leluhur apapun yang

terjadi menjadi pedoman hidup bagi Yu

Patemah. Ketika mata pencaharian

masyarakat beralih menjadi buruh di

peternakan dan perusahaan jamur, Yu

Patemah memilih tetap tinggal di kawasan itu

dan menghindari pergi terlampau jauh. Pun

ketika Yu Patemah terjerat hutang pada bank

thitil‡ tidak sekalipun merubah pendirian

untuk merubah mata pencahariannya menjadi

buruh pabrik.

Berbeda dengan Yu Patemah yang

mendasarkan pola perilakunya pada nasehat

orang tuanya, Bu Siti lebih berpegang teguh

pada nasehat pemuka agama dari agama yang

dianutnya. Riwayat Bu Siti berjualan buah di

Pasar Lawang adalah setelah mengikuti

sebuah pengajian. Bu Siti diwejang oleh

seorang Yai§ untuk menerima berapapun uang

yang diberikan oleh seorang teman dan

berapapun nilai uangnya harus digunakan

untuk berdagang, seperti penuturannya

berikut ini:

“...Pun kulo sowan ten Yai kok

diisyarohi ngoten. Nggih lajeng

dhateng Nglawang niku.”(“...Lalu

saya ke Kyai diperintahkan begitu.

Ya terus ke Lawang itu.”)

‡ renternir § Kyai, alim ulama, pemuka agama Islam

Page 64: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

60

Tidak berapa lama setelah mengikuti

suatu pengajian, teman Bu Siti memberi uang

sejumlah Rp 25.000,00, maka dengan

berpedoman kepada wejangan tersebut Bu

Siti memakai uang tersebut sebagai modal

berdagang buah di Pasar Lawang.

Penghargaan yang tinggi kepada kharisma

alim ulama menciptakan suatu pola pikir yang

baru. Hal ini membuktikan bahwa sikap

optimisme dan pantang menyerah bisa saja

timbul dengan bantuan orang lain yaitu

seorang Yai yang diyakini sebagai panutan

oleh Bu Siti. Dengan mengacu pada nasehat

yang diyakininya, Bu Siti “merambah” Pasar

Lawang sedangkan usaha mlijo**

di pelataran

rumahnya tetap dijalaninya. Siang hari Bu Siti

menuju Pasar Lawang untuk berjualan buah

dan menyelesaikan proses berdagang sekitar

pukul 21.00, tanpa pulang ke rumah ia pun

beristirahat di rumah temannya atau

bermalam di musolla pasar, pagi menjelang

saatnya berkulakan untuk mlijonya. Sekitar

pukul 06.00 Bu Siti sudah sampai di

rumahnya untuk menjajakan sayur mayur.

Muatan psikologis yang disampaikan

oleh Yai membuat Bu Siti mengesampingkan

stigma masyarakat yang menekannya.

Keinginan pembuktian atas harga diri telah

menjadi motif yang utama, baru setelahnya

terpikir bahwa berdagang di dua tempat yang

berbeda akan menciptakan keuntungan yang

berlipat karena setiap wilayah memiliki

keunggulan yang berbeda-beda, yang dengan

**

berjualan sayur mayur

keterampilan kulakan yang tepat juga akan

menghasilkan keuntungan.

Selain dari nilai yang diturunkan dari

orang tua maupun yang berasal dari orang

yang dianggap sebagai panutan, nilai-nilai

religi juga digunakan sebagai acuan dari

individu untuk menjalankan aktivitasnya.

Seperti tergambar pada kehidupan keluarga

Pak Giyo,

“..mboten gadhah mas menawi damel

tani, nggih ngaten niki. Menawi

mboten klintu, kulo sadean niki milai

taun sangang puluhan, saderenge niku

nggih serabutan pun.” (“...tidak punya

mas kalau untuk tani, ya seperti ini.

Kalau tidak salah saya berjualan ini

mulai tahun sembilan puluhan,

sebelumnya itu ya bekerja serabutan.”)

Pak Giyo memulai aktivitas berjualan

keliling mulai pukul 07.00 dan

menyelesaikannya pada 16.00. Menurutnya

berjualan makanan itu sekaligus merupakan

ibadah, yaitu membuat orang yang membeli

merasa kenyang dan merasa puas adalah

kewajibannya sedangkan para langganan

adalah hasil dari kejujuran dalam mengolah

barang dagangannya. Motif ibadah adalah

suatu nilai yang dijunjung keluarga Pak Giyo,

di mana motif seseorang melakukan kegiatan

ekonomi tidak semata-mata atas dasar

keuntungan (profite motives), melainkan

ternyata nilai kebaikan akan berbuah pahala

dan keburukan akan terganjar siksa neraka

yang telah tertanam dan menyatu dengan

kepribadian dari individu.

Sejalan dengan Pak Giyo, Yu Patemah

juga menerapkan amal sebagai bagian dari

Page 65: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

61

terjaganya harmoni dalam siklus hidup

seseorang.

“senaoso kulo teksih ngeten, tapi

wonten ingkang amrat ngluwihi

kulo.” (“meskipun saya masih seperti

ini, tetapi masih ada yang lebih berat

melebihi saya.”)

Yu Patemah memaknainya ketika

mengalami puncak kejayaan dan masih

mengingat teman atau orang yang kesusahan

maka niscaya jika suatu saat berada dalam

kesusahan akan ada orang yang sudi

membantu. Secara logika sangat tidak masuk

akal ketika Yu Patemah yang masih bergulat

dengan rintisan usahanya, setiap sore hari

memborong mangga dari pedagang yang

barangnya belum laku untuk dibagi-bagikan

bukan atas alasan kulakan, tetapi untuk

dibagikan ke rekan pedagang yang lainnya.

Kepercayaan yang sangat melekat bahwa

amal tidak akan hilang dan dirinya akan

semakin kaya dengan melakukan hal tersebut.

Nilai-nilai religi yang diaplikasikan

dalam keputusan ekonomi dari beberapa

informan tidak sejalan dengan rasionalisasi

ekonomi neoklasik yang telah dibahas pada

tinjauan sebelumnya. Menjaga hubungan baik

antara sesama manusia dipandang lebih

berpahala daripada semata-mata memandang

aktivitas ekonomi yang dilakukan yang

berorientasi keuntungan. Menurut Nasr

(dalam Harahap, 2006:1) mengemukakan

beberapa hal yang tidak bisa dijangkau sains:

Nilai tidak bisa dijangkau sains, sains selalu

meninggalkan khasanah lama, sains tidak bisa

memberikan warna dalam kehidupan, sains

tidak bisa mengukur kualitas dan ukuran baik

dan buruk, bahkan terjadi pemiskinan realitas

dan penghilangan makna kehidupan. Mungkin

hal ini yang menjadi salah satu penyebab

mengapa ilmu ekonomi konvensional

semakin jauh dari harapan semula sebagai alat

mensejahterakan masyarakat seluruhnya.

2. Kebudayaan Setempat

Dalam kebudayaan Jawa, mitos

merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh

pada hidup dan kehidupan seseorang.

Berbagai kitab Jawa menjelaskan berbagai hal

yang mengatur kehidupan pribadi dan

bermasyarakat. Mulai dari kelahiran bayi, hari

baik, hari naas, weton, ilmu pengasihan,

hingga ilmu pesugihan. Berbagai perhitungan

Jawa sangat diugemi oleh masyarakat yang

meyakininya. Begitu pula dengan ihwal

mimpi, orang Jawa mengistilahkan mimpi

sebagai perlambang.

Pasar di Desa Wonosari memiliki dua

hari pasaran pada setiap minggunya, sehingga

muncul istilah Pasar Minggu dan Pasar Rebo.

Pada kedua hari tersebut aktivitas warga dan

pedagang lebih ramai dibandingkan dengan

hari yang lain. Dalam satu tahun terdapat

beberapa waktu yang merupakan konsentrasi

masyarakat untuk mengunjungi pasar yang

merupakan berkah bagi para pedagang.

Adalah perpekan††

di mana pada saat itu

masyarakat mempersiapkan datangnya hari

istimewa dengan berbelanja aneka kebutuhan

baik makanan ataupun kue sebagai hidangan.

††

7 hari sebelum Hari raya Idul Fitri

Page 66: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

62

Pedagang sandhangani juga akan menuai

keuntungan. Waktu berikutnya adalah pada

saat Riyaya Karo‡‡

. Pada saat tersebut,

volume pembelian di pasar didominasi oleh

masyarakat Tengger yang mana setiap

individunya menginginkan bahan makanan

dengan kualitas yang baik. Hal itu karena adat

yang berlaku di sana adalah setiap tamu yang

berkunjung akan dipersilahkan masuk ke

pawon§§

untuk menyantap hidangan langsung

di depan perapian. Apabila tamu tersebut

menolak walaupun dengan alasan merasa

kenyang maka hal tersebut dianggap tuan

rumah yang mengundang, seperti penuturan

Bu Fa:

“...wong Tengger uripe gawe

slametan. Asil apel utowo kebon

ditabung kadhang sih ditambahi kerjo

satemune. Lah wes wayah e Karo,

blanjane yo nang Pasar Wonosari.

Bandingane lah wonge dhewe lek

tuku ayam iso gawe rolas kadang

rong puluh potong. Tapi wong

Tengger pupu iku yo dadi loro.”

(“...orang Tengger hidupnya untuk

slametan. Hasil dari apel atau kebun

ditabung terkadang ya ditambah kerja

sedapatnya. Lah kalau tiba saatnya

Karo, belanjanya ya di Pasar

Wonosari. Perbandingannya orang

sini kalau membeli ayam bisa

dijadikan dua belas terkadang dua

puluh potong. Tetapi orang tengger,

paha itu ya menjadi dua potong.”)

Selain itu orang Tengger juga

menganut pendapat bahwa tidak begitu

mementingkan sandhangan***

yang

disebutnya gombalan. Menurutnya pakaian

‡‡

Hari Raya Masyarakat Tengger §§ dapur ***

pakaian jadi

akan amoh†††

sedangkan apabila dialokasikan

pada slametan akan lebih bermanfaat karena

akan membuat kehidupan diberkahi. Budget

slametan bisa mencapai Rp 5.000.000,00

maka sangatlah logis jika hasil tabungan

dialokasikan untuk hal tersebut. Menjalankan

ritual bagi masyarakat Tengger harus dipatuhi

karena telah dilakukan secara turun-temurun.

Seperti penuturan Bu Petinggi:

“...neng kono iku peralatane masak

mewah. Pawone yo porselen. Soale

saben tamu langsung diparakno nang

pawon. Dadi yo kebanggaan pisan

lek barang-barang e apik tho.” (“...di

sana itu peralatan masaknya mewah.

Dapurnya ya dilapis porselen.

Soalnya tiap tamu langsung

dipersilahkan ke dapur. Jadi ya

merupakan suatu kebanggaan kalau

barangnya bagus kan.”)

Motivasi untuk bekerja keras dan

slametan, sebagai upaya agar hidup diberkahi

mempengaruhi pola perilaku masyarakat Desa

Wonosari. Sejalan dengan hal tersebut, Suradi

(2005:1) berkesimpulan bahwa unsur

kebudayaan yang khas adalah unsur nilai atau

adat istiadat. Di mana nilai sosial budaya

yang positif pada komunitas Osing seperti

egaliter, kesetaraan, dan keterbukaan

diperlukan dalam pembangunan yang

berwawasan keswadayaan. Namun adanya

sihir atau santet yang tanpa diduga membawa

korban masyarakat adalah tidak mendukung

pembangunan.

†††

lusuh

Page 67: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

63

Warga Desa Wonosari juga mengakui

kalender Jawa dan mendasarkan berbagai

aktivitasnya dengan sistem penanggalan

tersebut. Menurut Widarmanto (2007:1)

pertemuan antara kebudayaan Jawa dan Islam

dalam kalender Jawa tampak dalam

penentuan pergantian tahun. Pergantian tahun

Jawa yang jatuh pada tanggal 1 Sura

bertepatan dengan Tahun Baru Hijriah yaitu

pada bulan Muharam. Berkaitan dengan nilai-

nilai spiritualis Islam dalam menyikapi bulan

Muharam atau Sura, orang Jawa

memandangnya sebagai waktu untuk

introspeksi diri. Memasuki bulan Sura atau

pergantian tahun, utamanya saat menjelang

pergantian tahun baru, sebagian besar

masyarakat Jawa akan melakukan laku

prihatin berupa berbagai laku tirakatan

dengan berbagai cara. Misalnya tidak tidur

sepanjang malam, berpuasa, tapa bisu,

berendam di tempuran dua sungai, atau

melakukan interospeksi diri di tempat-tempat

yang hening.

Berbagai laku tirakatan tersebut

berpijak pada anggapan keseimbangan dunia

mikrokosmos dan makrokosmos (jagat gedhe

jagat alit). Sehingga orang Jawa menganggap

bulan Sura sebagai dimensi waktu yang

kurang baik untuk melakukan suatu hajatan

yang berkaitan dengan siklus kehidupan.

Seperti yang tergambar pada perilaku

keluarga Pak Kasan. Informan ini

mengistilahkan dirinya nasionalis, dengan

pengertian Islam adalah agama sebagai

tuntunan hidupnya sekaligus memaknai hidup

dan kehidupan sesuai dengan falsafah

Kejawen.

“tiyang niku kadhang klintu menawi

masalah Gunung Kawi nika. Kulo

kaliyan Ni nggih mrika. Dhateng

mrika wonten kalih, Mbah Junggo

kaliyan Putri Gunung Kawi. Ingkang

pesugihan niku ingkang Putri Gunung

Kawi nika, dados mboten sedanten.

Dados usaha nika kersane aman. Lah

dhateng mrika nggih kersane

penggalih niki tentrem supados

mboten iren dhateng lintu.” (“orang

itu terkadang salah untuk masalah

Gunung Kawi itu. Saya dengan Ni

[istri Pak Kasan] ya kesana. Di sana

ada dua, Mbah Junggo dan Putri

Gunung Kawi. Yang pesugihan itu ya

yang Putri Gunung Kawi itu, jadi

tidak semuanya. Jadi usaha agar

aman. Lah kesana itu ya biar hati ini

tenteram biar tidak timbul rasa iri

kepada orang lain.”)

Menurut ajaran Islam adalah dilarang

untuk memohon kepada selain Allah, tetapi

Pak kasan bersikukuh tidak meminta kepada

selain Allah. Di sisi lain Bu Nima

melaksanakan ritual memeluk salah satu

pohon yang dipercaya apabila kejatuhan daun

atau buahnya akan terkabul apapun yang

diinginkannya. Selain itu, apabila sewaktu ke

Gunung Kawi disertai hujan konon

merupakan perlambang yang baik. Sebuah

mitos yang dipercaya sehingga masuk ke

dalam logika berpikir.

Masih dalam pembahasan pesugihan.

Orang miskin seringkali dihadapkan pada

jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan

dengan instan dan jauh dari logika penalaran.

Page 68: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

64

Mitos pesugihan wedhus puteh‡‡‡

juga pernah

santer terdengar. Tanpa mengusahakan untuk

mencarikan fakta untuk sebuah klenik, berikut

ini penuturan informan mengenai pesugihan

tersebut,

“Singen natih jamane niku, wedhuse

tiyang-tiyang niku podho mati, getihe

garing, mung ono bolong loro nang

gulune..biyen podo-podo nguli nang

Mediun. Saiki trek e pating jejer. Tapi

yo ngono mas, perawan e umur rong

puluh dek ingi mati, yo ora loro yo ora

opo.” (“Dulu pernah pada saat itu,

kambingnya orang-orang mati,

darahnya kering, hanya ada dua

lubang di lehernya..dulu sama-sama

menjadi kuli di Madiun. Sekarang

trucknya berjejer. tapi ya gitu mas,

anak perawannya umur dua puluh

tahun kemarin meninggal, ya tidak

sakit tidak apa.”)

Salah satu informan menceritakan

temannya yang sama-sama berasal dari

Trenggalek yang rupanya menjalani

pesugihan tersebut. Modus operandi

pesugihan tersebut adalah orang yang

melakukan ritual tersebut akan menjelma

menjadi kambing putih yang mengambil uang

tanpa diketahui si pemilik lalu menghisap

darah kambing dengan menyisakan dua

lubang kecil di leher. Biasanya apabila

berhembus isu tersebut, maka harga kambing

akan merosot karena para peternak segera

menjual ke blantik daripada mati digigit

“siluman kambing”. Mungkin ini adalah

upaya blantik§§§

dengan menebar isu negatif

untuk menjatuhkan harga pasar demi

‡‡‡ ritual menjelma menjadi kambing §§§

pedagang kambing dan sapi

keuntungan yang lebih besar. Tanpa

berprasangka, peneliti hanya ingin

mengungkap fakta yang terdapat di lapangan

sebagai bukti bahwa berbagai mitos sangat

mempengaruhi pola perilaku individu dalam

berinteraksi.

Menurut Fraser terdapat

kecenderungan yang tersebar dari suatu

kebudayaan yang mana memiliki suatu

mitologi hewan, mitologi ini digunakan untuk

mendefinisikan hubungan antara manusia

dengan spesies yang lain. Mitologi hewan ini

menurutnya merupakan suatu seni

kebudayaan dan serita tentang kepercayaan

seputar nilai yang berlaku yang akan

mempengaruhi pandangan orang dalam

memandang hewan dan bagaimana menyikapi

hewan. Seperti legenda orang Ojibwa, di

mana mempercayai manusia dapat hidup di

bumi dikarenakan bantuan dan kerjasama dari

binatang, yaitu dimulai dengan kura-kura

yang menyumbangkan tempurungnya sebagai

pondasi tanah dan dilanjutkan oleh katak yang

membawa tanah dari kedalaman.

Masyarakat Amerika Utara memiliki

pandangan yang tradisional yang mana

melihat pertanian keluarga sebagai gaya hidup

yang khusus yang terdiri atas kebajikan,

kesederhanaan, dan harmoni terhadap lahan.

Binatang memiliki peran yang khusus dalam

pandangan ini. Binatang menjadi bagian yang

terintegrasi dalam proses ekologi dan

ekonomi sebuah lahan. Binatang juga

berperan pada pendidikan moral, karena anak-

Page 69: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

65

anak selalu belajar rasa tanggung jawab

dengan adanya binatang.

Terdapat pandangan yang berbeda ketika

mitologi hewan (animal mithology)

diperbandingkan antara budaya Jawa dengan

budaya Barat. Adanya berbagai bentuk

pesugihan dengan wujud hewan, meskipun

menciptakan pengaruh terhadap interaksi

ekonomi tetapi kecenderungannya adalah

bersifat saling merugikan antara satu dengan

yang lainnya (untung diperoleh blantik dan

kerugian diderita pemilik kambing). Sedangkan

dalam kebudayaan Barat (Amerika Utara)

mitologi hewan berkesan positif, sebagai

contohnya hewan dapat dijadikan bagian dari

sebuah family farming. Tetapi harmoni dalam

pengertian Jawa diwujudkan dalam

keseluruhan aspek kehidupan. Pesugihan

hanyalah suatu bentuk manifestasi

kebudayaan Jawa, yang tetap dipercaya dan

menjadi suatu titik tolak bagi orang Jawa

yang tidak melakukan pesugihan untuk lebih

waspada dan menjaga keharmonisan antar

sesama.

Menurut Rosseau (dalam Fink,

2003:1) pemujaan terhadap rasionalitas

bahkan menjauhkan orang-orang dari

berbagai kebajikan moral yang sederhana

seperti kerendahan hati, keakraban, dan

kesediaan menolong. Ditambahkan pula

bahwa liberalisme yang merupakan hasil dari

paradigma empirisme akan mengganti ikatan

komunal tradisional. Idiologi ini akan

menimbulkan tindakan penghisapan dan

penghisapan, melalaikan nilai solidaritas,

cinta, kasih sayang, rasa kebersamaan,

kedermawanan, dan kesabaran. Kerendahan

hati akan hilang dan diganti dengan egoisme

keserakahan, korupsi, dan tidak menghargai

cita-cita mulia dan luhur.

E. Kesimpulan

Terdapat berbagai nilai dan

kebudayaan yang diyakini keberadaannya

oleh masyarakat dan dijadikan pedoman

hidup. Setiap individu akan berusaha untuk

menjalankan kesesuaian dengan apa yang

telah diatur dalam nilai komunal di mana ia

berada dan disesuaikan pula dengan nilai

yang telah mendarah daging pada dirinya.

Menurut Williamson (dalam Yustika,

2006:120) asumsi perilaku dari ekonomi

biaya transaksi adalah rasionalitas terbatas

(bounded rationality), yakni perilaku rasional

tetapi terbatas, dan perilaku oportunis

(oportunism), yaitu perilaku mementingkan

diri sendiri yang diperoleh dengan cara licik.

Kepatuhan pada nasehat orang tua

dapat menjadikan sebuah sikap nrimo pada

keadaan yang ada. Tetapi sikap ini

menciptakan suatu kegigihan walaupun

dengan adanya suatu batasan “tidak boleh

meninggalkan tanah leluhur”. Kepatuhan ini

masih sejalan dengan rasionalisasi ekonomi.

Meskipun terdapat “batasan” dalam hal lokasi

usaha, tetapi menciptakan usaha informan

untuk meraih interaksi ekonomi dengan

seefisien mungkin.

Muatan psikologis yang diberikan

menjadikan stimulus untuk melaksanakan

Page 70: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

66

suatu interaksi. Keberadaan panutan di

kebudayaan jawa sangatlah penting. Segala

sikap dan tindakan haruslah sesuai dengan

apa yang diperintahkan orang yang

“ditahbiskan” sebagai panutan. Posisi tawar

untuk menentukan suatu keputusan ekonomi

seringkali berkurang bahkan tidak ada dan

semua akan disesuaikan dengan panutan yang

dipercayai.Tetapi pada kenyataannya

kepatuhan pada panutan ini menghindarkan

pada ketidakefisienan.

Begitu pula dengan nilai-nilai religi

yang diyakini, nilai ini akan menjadi dasar

dalam berinteraksi pula. Ibadah dan amal

adalah nilai yang kebanyakan diyakini oleh

informan. Nilai kebaikan yang akan

mendapatkan “imbalan surga”, dan sebaliknya

mendapatkan “siksa neraka” menciptakan

asumsi yang baru bagi para informan, dengan

makna besarnya permintaan ataupun besarnya

pendapatan yang akan diperoleh menjadi hal

yang kurang penting. Harmoni itulah yang

diaplikasikan oleh orang Desa Wonosari.

Hubungan yang baik dengan sesama lebih

diutamakan daripada maksimisasi laba.

Secara objektif, penelitian ini masih

perlu dikembangkan dan memiliki beberapa

keterbatasan. Penelitian ini menggunakan

sumber data yang berasal dari keterangan para

informan di lapangan. Penelitian ini bersifat

lokal, terkini dan unik, sehingga tidak dapat

digeneralisasikan. Perbedaan waktu sangat

berpengaruh karena apa yang terjadi di

lapangan pada saat penelitian berlangsung

tidak dapat dijadikan patokan bahwa yang

akan terjadi di waktu yang berbeda akan

sama. Dengan keterbatasan yang ada

diharapkan penelitian ini dapat ditindaklanjuti

dan menjadi masukan bagi penelitian

selanjutnya.

Daftar Pustaka

Boeke, J.H. 1983. Prekapitalisme di Asia.

Jakarta: Sinar Harapan

Diah, M., Kasim, M., Afrizal, Muhammad, N.

1988. Tata Kelakuan di Lingkungan

Pergaulan Keluarga dan Masyarakat di Daerah Riau. Pekanbaru:

Depdikbud

Fink, Hans. 2003. Filsafat Sosial, Dari

Feodalisme hingga Pasar Bebas. Jakarta: Pustaka Pelajar

Harahap. 1986. Adat Istiadat Tapanuli

Selatan. Jakarta: Grafindo Utama

Harahap, Sofyan S. 2006. Quo Vadis

(Jurusan) Studi Ilmu Ekonomi. Paper pada Konferensi Nasional

Jurusan Ekonomi Pembangunan 25-26

Januari 2006. Universitas Trisakti,

tidak dipublikasikan

Inglehart, Ronald. Baker, Wayne. 2000.

Modernization, Cultural Change,

and the persistence of Traditional Values. American Sociological

Review, 65 (1), February: 19-21

Manzilati, Asfi. 2005. Penelitian Kualitatif:

Metodologi Penelitian Alternatif?. Workshop Penelitian Kuaantitatif dan

Kualitatif Jurusan IESP 13-14 Mei

2005. Jurusan IESP Universitas

Brawijaya, tidak dipublikasikan

Mariawati, Dwiana. 2006. Perilaku Produksi

Pada Pedagang Etnis Cina di Kya-

Kya Kembang Jepun Surabaya.

Page 71: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

67

Skripsi Program Sarjana Universitas

Brawijaya Malang

Mubyarto. 2002. Membangkitkan Ekonomi

Kerakyatan Melalui Gerakan

Koperasi: Peran Perguruan Tinggi. Artikel-Th.I-No.6-Agustus 2002

Mulder,Niels. 1996. Kepribadian Jawa dan

Pembangunan Nasional. Yogyakarta:

Gadjahmada Un. Press

Osborne, Evan. 2001. Culture, Development,

and Government: Reservations in

India. Development and Cultural Change. 49(3): 659-685

Plattner, Stuart. 1989. Economic

Anthropology. Standford, California:

Stanford University Press

Pratama, Yogi Pasca. 2007. Nilai-Nilai Sosial

dalam Keputusan Ekonomi (Studi

Kasus Desa Wonosari Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan). Skripsi

Program Sarjana Universitas

Brawijaya

Rahmani, Astuti. 1992. Asal Usul Manusia:

Menurut Bibel Al-Quran dan Saint. Bandung: Mizan

Scott, James C. 1976. The Moral Economy of

the Peasant: Rebellion and

Subsistence in Southeast Asia. USA:

Yale University Press

Suparlan, P. 1986. Melayu dan Non Melayu:

Kemajemukan dan Identitas Sosial

Budaya dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya. Pekanbaru:

Pemda Tingkat I Riau

Suradi. 2005. Kehidupan Komunitas Adat

Terpencil Studi Sosial Budaya

Komunitas Osing di Banyuwangi. Jakarta: Balitbang Kesos, Depsos R.I

Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia

Kraton Surakarta 1830-1939. Yogya:

Tamansiswa

Syafriman dan Yapsir Gandi Wirawan. 2004.

Perbedaan Orientasi Nilai dan

Perilaku Prososial antara Suku

Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta: Balitbang Kesos,

Depsos. R.I

Widarmanto, Tjahjono. 2007. Tradisi Suran

dan Persepsi Orang Jawa. Artikel

Kompas, 19 Januari 2007

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi

Kelembagaan: Definisi, Teori, & Strategi. Malang: Bayumedia

Page 72: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

68

BLUE ECONOMY: KESEIMBANGAN PERSPEKTIF EKONOMI DAN

LINGKUNGAN

Ajeng Faizah Nijma Ilma1)

1. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Blue economy is a process in which all the following raw materials derived from natural

production process and follow the way nature works. Economic models of the future will take into

account the advantages and strategy of innovation by following the natural conditions. Blue

Economy is a tool that can be used to improve the unfavorable economic conditions and create

more activity in the form of a sustainable model. Providing the best solution by transferring the

economy and result in the community for the future so that it will be better. Indonesian nation has

been indoctrinated to become the nation's agricultural and economic use of the land base oriented as

its economic growth pattern. However, the strength of the domestic market consumption value

indicates that there should be digging back potential economic growth potential there to be able to

be a formidable nation. The contribution of fisheries and marine sector experienced an increasing

trend. However, the welfare of the people residing in coastal areas is still very low, lower than the

society that focuses on development in other sectors.

Keywords: blue economy, marine sector, economic growth

A. Pendahuluan

Seiring dengan waktu berbagai sektor

yang terdapat dalam suatu negara, sudah

seharusnya terus maju dan berkembang. Peran

pemerintah dalam mengoptimalkan dan

meningkatkan kualitas kegiatan setiap sektor

sangat diperlukan sehingga kemajuannya

dapat dirasakan oleh masyarakat. Sektor

perikanan merupakan salah satu sektor yang

sejauh ini cukup berperan dalam

pembangunan ekonomi Indonesia.

Pembukaan lapangan kerja, peningkatan

produktivitas individu, peningkatan nafkah

dan pendapatan hidup, penambahan devisa

melalui kegiatan ekspor impor adalah

beberapa diantara peran sektor perikanan

dalam pembangunan ekonomi. Perikanan juga

menciptakan multiple effect atau efek berantai

yang terbukti menggerakkan sektor lain,

seperti : sektor perdagangan, sektor industri

bahkan sektor pendidikan yang terkait dengan

berbagai riset-riset penelitian kampus dan

serapan tenaga kerja terdidik. Perikanan

selalu diarahkan ke proses industrialisasi

berbasis IT yang akan semakin memacu dan

menggerakan sektor-sektor lain untuk terlibat

dalam proses industrialisasi tersebut.

Perikanan sebagai kegiatan ekonomi

memiliki peranan yang sangat penting dalam

kemajuan negara dan kesejahteraan

masyarakat. Sebagai suatu kegiatan ekonomi,

perikanan seharusnya terus dimajukan dan

dikembangkan serta menjadi prioritas agar

mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi

yang positif. Hal ini menuntut adanya inovasi

dan kreativitas serta optimalisasi peran stake

Page 73: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

69

holder, dalam hal ini pemerintah, agar

kegiatan perikanan tetap eksis dan bisa

berkontribusi untuk kesejahteraan negara.

Selain itu perikanan yang saat ini mengarah

ke proses industrialisasi harus mampu

menjaga keberlanjutan usaha dengan tetap

memperhatikan keseimbangan dan kelestarian

perairan. Berdasarkan hal inilah maka muncul

konsep blue economy yang digagas oleh Cicip

Sutardjo menteri kelautan dan perikanan.

Blue ekonomi adalah proses dimana

bahan baku berikut proses produksi berasal

dari alam semesta dan mengikuti cara alam

bekerja. Ekonomi Biru merupakan suatu alat

yang dapat digunakan untuk memperbaiki

kondisi ekonomi yang dewasa ini menjadi

kurang baik dan menciptakan lebih banyak

kegiatan dalam bentuk model yang

Sustainable. Memberikan solusi terbaik

dengan cara mentransfer ekonomi dan

mengahasilkan komunitas yang lebih baik

untuk masa yang akan datang. Konsep

Ekonomi Biru dikembangkan untuk

menjawab tantangan sistem ekonomi dunia

yang cenderung ekploitatif dan merusak

lingkunganyang disebabkan oleh eksploitasi

melebihi kapasitas atau daya dukung alam.

Inti dari Ekonomi Biru adalah Sustainable

Development yang merupakan koreksi

sekaligus perkayaan dari Ekonmi Hijau

denagan semboyan “Blue Sky – Blue

Ocean” dimana Ekonomi tumbuh, rakyat

sejahtera, namun langit dan laut tetap Biru.

Blue economy merupakan konsep

optimalisasi sumber daya perairan yang

bertujuan untuk meningkaktkan pertumbuhan

ekonomi melalui berbagai kegiatan yang

inovatif dan kreatif dengan tetap menjamin

keberlanjutan usaha dan kelestarian

lingkungan. Konsep blue ekonomi

mengedepankan dan menitikberatkan pada

efisiensi. Efisiensi mendorong adanya

pengembangan investasi dan bisnis perikanan

dengan tetap menjaga lingkungan tetap

lestari. Inti utama dari blue economy ini

adalah kegiatan yang pro ekosistem. Segala

limbah keluaran dari kegiatan perikanan harus

berada dalam kondisi yang tidak mencemari

tanah maupun perairan umum. Limbah, baik

limbah kimia maupun limbah organik secara

langsung maupun tidak langsung akan

berpengaruh pada habitat dan kehidupan

ekosistem, oleh sebab itu, maka perlu ada

ilmu dan teknologi dalam men-

treatment keluaran limbah.

Blue economy merupakan integrasi

dari program industrialisasi perikanan yang

sebelumnya digagas oleh kementerian yang

sama. Industrialisasi perikanan merupakan

model kegiatan usaha yang dibangun secara

berkelanjutan (kontinyu) dengan berorientasi

pada pasar ekspor. Syarat utama produk yang

dijual dipasar ekspor salahsatunya adalah

tracebility produk hasil perikanan harus terjaga

dengan mengkedepankan biosekuritas dalam

setiap proses kegiatan budidaya. Saat ini sudah

ada semacam aturan yang dibuat dalam pasar

global dan merupakan hasil konsorsium negara-

negara perikanan dunia bahwa suatu produk

perikanan akan diterima di pasaran suatu

Page 74: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

70

negara bila input kegiatan budidaya (media

air, sarana dan prasarana), proses budidaya

(pengobatan penyakit, pakan), dan output

budidaya (ikan yang dihasilkan dan limbah

budidaya) dilakukan sesuai dengan standar

keamanan yang telah ditetapkan. Pada

kegiatan penangkapan juga demikian,

termasuk dalam kegiatan pengolahan hasil

perikanan, prinsip HACCP (Hazard Analysis

Critical Control Point) harus diterapkan. Di

Indonesia pemerintah telah membuat

semacam standar (SNI) untuk menjamin

kualitas ikan baik dalam input, proses

maupun output sesuai dengan kualitas standar

yang ditetapkan.

B. Tinjauan Pustaka

Pada tanggal 5 Juni 2012 yang lalu

kita memperingati hari lingkungan hidup

sedunia (World Environment Day/WED).

Program Lingkungan PBB (United Nations

Environment Programe / UNEP) mengambil

tema Green Economy: Does it Include You?

Dalam konteks Indonesia, tema yang diambil

pada peringatan hari lingkungan hidup di

Indonesia tersebut adalah Ekonomi Hijau.

Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi yang

mampu meningkatkan kesejahteraan manusia

dan sekaligus secara signifikan mengurangi

resiko lingkungan dan kerusakan ekologi

melalui efisiensi sumber daya alam, rendah

karbon, dan kepedulian sosial. Ekonomi Hijau

atau green economy: Ubah perilaku,

tingkatkan kualitas lingkungan. Jelas dari

tema tersebut kita dihimbau untuk merubah

perilaku yang selalu mengambil setiap

peluang untuk mencari informasi, belajar, dan

bertindak demi mengelola dan melindungi

lingkungan hidup, sehingga kualitas

lingkungan menjadi lebih baik dan akibatnya

kualitas hidup masyarakat juga semakin baik.

Jika pada bulan Juni yang lalu kita

masih berbicara perencanaan pembangunan

Indonesia yang berorientasi pada green

economy, lalu apa kaitannya dengan blue

Economi. Konsep blue economy menjadi satu

hal yang akan mendukung jalannya konsep

green economy yang selama ini menjadi

konsep dalam perencanaan pembangunan

Indonesia. Pengertian ekonomi hijau dalam

kalimat sederhana dapat diartikan sebagai

perekonomian yang rendah karbon (tidak

menghasilkan emisi dan polusi lingkungan),

hemat sumber daya alam dan berkeadilan

sosial UNEP, dalam Alamendah’s blog, 3

Juni 2012). Walaupun prinsip-prinsip

resource efficiency, low carbon, social

inclusiveness mulai dikembangkan, namun

masih belum mampu mengatasi keserakahan

manusia untuk mengeksploitasi sumber daya

alam lebih banyak. Bahkan, implementasi

pembangunan berkelanjutan dengan konsep

green products and services, yaitu produk-

produk dan jasa ramah lingkungan harus

dibeli mahal dan makin tidak dapat dijangkau

masyarakat miskin.

Sedangkan konsep blue economy

pertama kali dilontarkan oleh Prof. Gunter

Pauli dalam bukunya yang berjudul The Blue

Economy, 10 Years, 100 Innovations, 100

Page 75: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

71

Million Jobs, yang menggambarkan potensi

manfaat teorinya bagi perlindungan

lingkungan hidup komunitas dunia,

pelestarian sumber daya alam, inisiatif

pengurangan biaya industri dengan

pengalihan pada konsumsi energi hijau,

bersih, hasil daur ulang atau terbarukan.

Dalam bukunya tersebut, Pauli (2006)

menyebutkan bahwa Blue Economy is a

collection of innovations contributing towards

the creation of a global consciousness rooted

in the search for practical solutions based on

sustainable natural systems. Esensi blue

ekonomi:

BELAJAR DARI ALAM: Blue

Economy mencontoh alam, yaitu cara kerja

ekosistem sesuai dengan apa yang disediakan

alam dan cara bekerja dengan efisiensi tinggi.

LOGIKA EKOSISTEM: Cara kerja

ekosistem dijadikan model Blue Economy,

yaitu seperti air mengalir dari gunung

membawa nutrien dan energi untuk

memenuhi kebutuhan dasar kehidupan

seluruh makhluk hidup dan tanaman yang

berinteraksi dan saling menghidupi--limbah

dari sesuatu menjadi makanan/energi bagi

yang lain. Hanya dengan gravitas ienergi

didistribusikan secara efisien dan merata

tanpa henti dan tanpa ekstraksi energi

eksternal.

INOVASI DAN KREATIVITAS:

Blue economy berkembang karena inovasi

dan kreativitas. Ada 100 inovasi ekonomi

praktis yang mengilhami Blue Economy

dengan prinsip mencontoh cara kerja

ekosistem: ekosistem selalu bekerja menuju

tingkat efisiensi lebih tinggiuntuk

mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah

untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua

kontributor dalam suatu sistem.

Penerapan Blue and Green Economy

(BGE) di Indonesia

Blue Economy memang tidak harus

Ekonomi Kelautan tetapi konsep ini sangat

cocok untuk pembangunan di sektor kelautan

dan perikanan. Menurut Jusuf (2012),

ekonomi biru dapat dilihat sebagai tindakan

yang bertumpu pada pengembangan ekonomi

rakyat secara komprehensif guna mencapai

pembangunan nasional secara keseluruhan.

Pendekatan pembangunan berbasis ekonomi

biru akan bersinergi dengan pelaksanaan

triple track strategy, yaitu program pro-poor

(pengentasan kemiskinan), pro-growth

(pertumbuhan), projob (penyerapan tenaga

kerja) dan pro-environtment (melestarikan

lingkungan). Ketika daya dukung (sumber

daya) alam dan daya tampung lingkungan

sudah tidak seimbang dan tidak kuat lagi

dalam menampung dan memfasilitasi

kegiatan penduduk (kualitas, kuantitas, dan

mobilitas penduduk), maka otomatis

kehidupan kita dan kehidupan generasi

mendatang akan terancam karena kesalahan

kita akibat kerusakan lingkungan. Agar tidak

terjadi hal itu, memang dibutuhkan

pemahaman, kesadaran, dan pembelajaran

(pemberdayaan) kepada sesama akan

pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

Page 76: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

72

Dan semoga program ekonomi hijau ini, juga

bisa jadi model dan pedoman dalam setiap

langkah kegiatan manusia di Bumi ini. Inilah

pentingnya perubahan paradigma dan perilaku

manusia untuk selalu mengambil setiap

kesempatan dalam mencari informasi, belajar

dan melakukan tindakan demi melindungi dan

mengelola lingkungan hidup. Dengan kualitas

lingkungan hidup yang lebih baik akan

meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Prinsip-prinsip yang terkandung di

dalam ekonomi biru dapat menjadi kunci

emas di dalam perencanaan pembangunan

nasional. Langkah-langkah konkret dari

penerapan "blue economy" ini terbagi

menjadi tiga, yaitu : "Pertama adalah soal

pemahaman yang lebih jelas tentang nilai dari

ekosistem laut. Kedua, dengan lebih efektif

mengaitkan ekosistem laut dengan ketahanan

pangan, ini terkait dengan kesinambungan

bahan pangan dengan strategi ekonomi serta

sosial pembangunan," sementara pendekatan

ketiga adalah dengan transisi ekonomi dalam

potensi ekonomi menyangkut pasar, industri,

dan komunitas terhadap pola pembangunan

yang lebih berkeadilan. Kegiatan nelayan di

pantai nan elok Prinsip ekonomi biru dinilai

tepat dalam membantu dunia untuk

menghadapi tantangan perubahan iklim,

ekosistem laut yang kian rentan terhadap

dampak perubahan iklim dan pengasaman

laut. Dalam konsep blue economy,

Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan

berfokus pada tiga factor, yaitu, ekologi,

sosial, dan ekonomi, Menteri Kelautan dan

Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan,

prinsip ekonomi biru tidak bertentangan

dengan konsep ekonomi hijau Konsepsi

ekonomi biru dapat menjembatani ekonomi

hijau yang selama ini diterapkan dalam

perencanaan pembangunan di Indonesia.

Menurut Sharif, kedua hal tersebut

saling melengkapi karena ekonomi biru

merupakan bagian integral dari ekonomi

hijau. Ia memaparkan, prinsip-prinsip yang

terkandung di dalam ekonomi biru dapat

memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi

demi mencapai pertumbuhan yang

berkelanjutan. Indonesia yang memiliki ciri

sebagai negara agraris dan maritim,

menyimpan potensi yang sangat besar bagi

nusantara, termasuk di bidang ekonomi.

Lumbung devisa negara kita sampai saat ini

pun masih berada di alam. Mulai dari sektor

pertanian, kelautan, perikanan, hingga sektor

pariwisata. Apa lagi saat ini konsep Blue &

Green Economy (BGE) tengah marak

digalakkan seantero dunia karena

permasalahan lingkungan yang mendesak dan

telah mengancam kelangsungan hidup

manusia.

C. Pembahasan

1. Dampak blue ekonomi di Indonesia

Pada industri akuakultur skala kecil,

menengah maupun besar, limbah yang

mencemari perairan berasal dari bahan

organik sisa pakan ikan, penggunaan obat-

obatan (chemotherapetic agent) untuk

mengobati penyakit ikan dan penggunaan

Page 77: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

73

bahan kimia lainnya, seperti desinfektan

untuk men-treatment media budidaya ikan

sebelum digunakan untuk kegiatan budidaya.

Untuk mengatasi hal ini terdapat beberapa

teknologi yang telah dikembangkan oleh

kalangan akademisi dan peneliti, diantaranya

yaitu penggunaan bahan alami atau bakteri

probiotik untuk mengobati penyakit ikan dan

treatment media budidaya serta penerapan

teknologi IMTA (Integrated Multi Trophik

level Aquaculture) yang menjadikan sisa

pakan ikan berada dalam kondisi zero waste.

Pada industri penangkapan dan

pengolahan hasil perikanan, limbah dapat

muncul akibat penggunaan bahan-bahan

tambahan dalam meningkatkan nilai (value

added) dari produk ikan. Segala limbah yang

muncul baik dalam industri perikanan

budidaya, perikanan tangkap maupun

pengolahan selama ini kurang begitu

diperhatikan oleh para pelaku usaha.

Munculnya konsep blue economyyang

dicanangkan oleh kementerian kelautan dan

perikanan salah satunya adalah untuk

menegaskan dan mengingatkan kembali

pentingnya pengelolaan limbah hasil dari

kegiatan perikanan agar tidak mencemari

lingkungan sehingga ekosistem lingkungan

masih tetap terjaga.

2. Kasus empiris Blue Economy

Pada kegiatan budidaya ikan, CBIB

(Cara Budidaya Ikan yang Baik) merupakan

standar yang ditetapkan bagi para

pembudidaya ikan untuk menjamin proses

budidaya, kualitas ikan hasil budidaya dan

output limbah dari kegiatan budidaya harus

sesuai dengan standar yang ditetapkan. Secara

internasional untuk kegiatan budidaya ikan,

ada beberapa standar yang ditetapkan oleh

lembaga sertifikasi internasional, seperti

lembaga sertifikasi Global Aquaculture

Alliance (GAA) yang mana standar yang

ditetapkan oleh lembaga ini harus dipenuhi

apabila ikan hasil budidaya akan dibeli oleh

konsumen tujuan. Salah satu poin penting

yang harus dipenuhi adalah keluaran limbah

dari kegiatan harus tidak mencemari

lingkungan atau merubah dan merusak

ekosistem alam. Hal ini relevan dengan

konsepsi blue economy yang dicanangkan

oleh pemerintah.

Blue economy sebenarnya adalah

simbol kegiatan industri khususnya industri

perikanan yang pro lingkungan. Walaupun

sebenarnya tanpa konsep ini, para pelaku

usaha perikanan sudah seharusnya untuk

menerapkan kegiatan yang sesuai dengan

standar keamanan lingkungan. Bagi pelaku

usaha yang secara pemikiran sudah maju

ataupun skala usahanya sudah sangat mapan

penyelenggaraan kegiatan industri yang

berwawasan lingkungan adalah sebuah hal

wajib yang harus dilakukan. Disamping

karena kesadaran pribadi, hal lain yang

menjadi penyebab adalah tuntutan pasar

(pembeli) yang sering mempersyaratkan

kegiatan perikanan harus pro lingkungan,

namun bagi pelaku usaha kecil dan

menengah, pemikiran kearah tersebut belum

menjadi prioritas. Maka menjadi sebuah

Page 78: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

74

tugas besar bagi pihak-pihak terkait terutama

kalangan pencetus program blue economy

untuk peduli dan memperhatikan serta

mengangkat usaha perikanan terutama skala

kecil dan menengah agar usahanya semakin

pro ekosistem. Jika hal ini dapat terwujud

maka blue economy yang terintegrasi dengan

program industrialisasi perikanan akan

semakin berhasil dan memajukan sektor

perikanan.

Di Bangka Belitung saat ini, kegiatan

perikanan khususnya kegiatan perikanan

budidaya mulai mengarah ke konsep budidaya

yang pro lingkungan. Beberapa kolam atau

tambak sudah mulai memperoleh Sertifikat

CBIB. Hal ini berarti pembudidaya yang

memperoleh sertifikat ini memiliki kewajiban

salah satunya adalah kewajiban untuk

menjaga keluaran (output) budidaya agar

tidak mengganggu ekosistem perairan. Ini

merupakan poin positif bagi para

pembudidaya ikan di Bangka Belitung dalam

menerapkan secara tidak langsung

konsep blue economy. Namun sayangnya

ketika sektor perikanan budidaya terus

berbenah dalam menggiatkan sektor

perikanan berwawasan lingkungan, ada sektor

lain yang seringkali mengesampingkan

kegiatan yang pro lingkungan.

Beberapa kegiatan pertambangan yang

dilakukan tanpa upaya untuk recovery

kerusakan yang muncul masih terus melanda

wilayah Bangka Belitung. Dampak lahan

yang rusak, air yang keruh dan kandungan

logam berat di air akibat usaha tambang

merupakan sebuah masalah. Namun

mengutuk dan meratapi sebuah masalah

bukan tindakan yang bijak. Ternyata sisi lain

dari kegiatan pertambangan ini mendatangkan

peluang bagi kegiatan perikanan khususnya

akuakultur. Pemanfaatan air bekas tambang

memang tidak serta merta dapat digunakan

untuk menunjang kegiatan perikanan. Perlu

ada treatment untuk kualitas air yang

mengalami degradasi. Disinilah pentingnya

ilmu dan teknologi. Dengan ilmu dan

teknologi maka sinergi antara sektor

perikanan dan pertambangan akan terwujud

hingga akan memunculkan konsep blue

economy baik disektor perikanan maupun

pertambangan.

"Blue and Green Economy (BGE)"

merupakan hal yang penting karena sektor

ekonomi kelautan dan perikanan merupakan

sumber daya yang berlimpah yang

menjanjikan usaha-usaha yang

menguntungkan dan dapat menyerap tenaga

kerja dalam jumlah besar. Dengan kata lain

pengelolaan sumber daya kelautan dan

perikanan dapat mengatasi tingginya angka

pengangguran dan kemiskinan. Dengan

mengembangkan sektor ekonomi kelautan,

maka akan tercipta pusat-pusat kemakmuran

yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.

Ini dapat memecahkan permasalahan kronis

bangsa berupa ketimpangan pembangunan

antarwilayah, 'brain drainn, dan urbanisasi.

Konsep ‘sustainability development with

equity’ (pembangunan berkelanjutan dengan

kesetaraan) menjadi pegangan Indonesia dan

Page 79: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

75

menjiwai semua perencanaan pembangunan.

Dalam penerapan konsep BE dan GE dalam

perencanaan pembangunan Indonesia memiliki

tujuan akhir pada peningkatan pendapatan, yang

juga berarti kesejahteraan masyarakat

meningkat. Penjelasan di muka mengandung

arti bahwa perencanaan pembangunan di

Indonesia harus memperhatikan perlindungan

dan pengelolaan lingkungan dan sumber daya

hayati secara seimbang agar terjamin

keberlangsungannya (sustainable), dapat

memberi kontribusi pada pertumbuhan

ekonomi (economic growth), dan pada

akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Indonesia (community welfare).

Blue Economy yaitu konsep

pembangunan ekonomi yang tepat. Sektor ini

mampu menciptakan lapangan kerja dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

secara adil, memelihara daya dukung dan

kualitas lingkungan pesisir dan lautan. Prinsip

Blue Economy menggunakan bahan baku dari

alam secara efisien, tidak menyisakan limbah,

memberikan dampak sosial yang luas. sistem

produksi berkelanjutan dan tidak merusak

lingkungan, serta kaya inovasi dan adaptasi

teknologi teramah lingkungan. Untuk

implementasi Blue Economy pada wilayah

pesisir dan pulau kecil, ada mina wisata yaitu

pemberdayaan masyarakat lokal dengan

program penyerapan tenaga kerja lokal,

souvenir berbahan baku sampah, inovasi dan

teknologi ramah lingkungan, dan banyak.

Dengan beberapa hal itulah dapat dengan

mudah melaksanakan Blue Ekonomy yang

akan mensejahterakan masyarakat. Hasil yang

diharapkan dari penerapan Blue Economy

penambahan nilai ekonomis dengan zero

waste, akan membuka peluang usaha baru dan

berbanding lurus dengan penambahan jumlah

lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Seluruh

bahan baku yang termanfaatkan tidak akan

menimbulkan limbah sehingga keberlangsungan

usaha dan sumber daya alam terjamin.

D. Kesimpulan

Penerapan konsep BGE secara

berdampingan dalam perencanaan

pembangunan Indonesia membawa dampak

positif bagi kelestarian sumber daya

perikanan dan kelautan serta lingkungan. Jika

tujuan dari kebijakan ekonomi biru (blue

economy) adalah agar sumber daya laut

terpelihara kelestarian/keberlangsungannya,

dan kemudian tujuan kebijakan ekonomi hijau

(green economy) adalah pelestarian

lingkungan hidup, maka alangkah lebih

indahnya jika kedua kebijakan itu

dilaksanakan secara berdampingan, yang satu

melengkapi yang lain sehingga menjadi

kebijakan ekonomi biru dan hijau (Blue and

Green Economy /BGE). Perencanaan

pembangunan dengan menerapkan konsep

BGE memiliki konsekuensi pada perubahan

paradigma perilaku masyarakat untuk lebih

cinta lingkungan, lebih cinta sumber daya

hayati, dan berusaha untuk menjaga

kelestariannya. Dengan demikian cita-cita

luhur yang tertuang dalam perencanaan

pembangunan Indonesia untuk

Page 80: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

76

mensejahterakan masyarakat bisa terlaksana

melalui kebijakan BGE ini, mengingat

penerapan konsep BGE Membawa dampak

berantai pada tumbuhkembangnya usaha-

usaha yang menggandalkan kekayaan laut dan

lingkungan

Tuntutan pembangunan berbasis

sumberdaya kelautan dan perikanan agar

dijadikan sebagai motor penggerak dalam

pembangunan perekonomian nasional.

Pembangunan kelautan ke depan harus

diarahkan pada pengelolaan berbasis

ekosistem. Pembangunan juga ditujukan

untuk peningkatan dan penguatan peranan

sumberdaya manusia di bidang kelautan dan

perikanan serta membangkitkan wawasan

bahari dan kekuatan pertahanan kedaulatan

sebagaimana sejarah membuktikannya bahwa

penguasaan laut sangat menentukan kekuatan

dan keamanan suatu negara (Who Command

the Sea, Command the World). Upaya

revitalisasi ekonomi kelautan perlu

difokuskan pada pembangunan ilmu

pengetahuan dan teknologi, penganggaran,

peningkatan patroli keamanan untuk

menghindari pencurian ikan atau illegal

fishing. Apabila pemerintah mampu

mendayagunakan segenap potensi ekonomi

kelautan, maka sektor ini tidak hanya mampu

mengeluarkan bangsa dari persoalan utang

luar negeri, kemiskinan dan pengangguran,

juga dapat menghantarkan Indonesia menjadi

bangsa yang maju, adil, makmur dan

bermartabat.

Daftar Pustaka

Affandi, Anhar Rizki 2012. Indonesia

Bertekad Capai Blue Economy,

VIVA News edisi 9 Juni 2012

Hendra, Roy 2010. Determinan Kemiskinan,

UI Press.

Jusuf, Gellwynn (2012). Ekonomi Biru

Menjadi Arah Kebijakan

Pembangunan Perikanan Siaran

Pers Tanggal 6 Juni 2012.

Mula, 2012. Ekonomi Biru Tidak

Bertentangan dengan Ekonomi

Hijau. Antara, 25 Juni 2012

Pauli, Gu�ter ����. �The Blue Economy,

10 Years, 100 Innovations, 100

Million Jobs�. Paradigm

Publications

Sutardjo, Syarif C. 2012. Ekonomi Biru dan

Industrialisasi Kelautan Perikanan,

15 September 2012

Sutardjo, Sharif C. 2012. Ekonomi Biru Tidak

Bertentangan dengan Ekonomi

Hijau; Antara, edisi Senin, 25

Juni 2012

Suhanto, 2011. UMKM: Pilar Fundamental

Perekonomian Nasional, Direktur

Dagang Kecil dan Menengah,

Direktorat Jenderal Perdagangan

Dalam Negeri.

http://www.menlh.go.id. Kementerian

lingkungan Hidup, 6 juli 2012

http://id.berita.yahoo.com finance.html. Blue

economy : perbaiki hubungan

manusia dan laut.

http://www.analisadaily.com. Inisiatif

"Ekonomi Biru" RI Vs "Blue

Economy Gunter Pauli�, Harian

Page 81: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

77

Analisa, edisi Rabu, 22 Februari

2012

http://3.bp.blogspot.com . Imam Hidayat,

2012. Indonesia: Ujung Tombak

Green & Blue Economi Dunia

http://www.dinsos.pemda-diy.go.id : Kreteria

untuk menentukan keluarga/rumah

tangga miskin.

http://www.rokhmindahuri.info. Aplikasi Blue

Economy Dalam Pembangunan

Kelautan Berkelanjutan. 10

Oktober 2012

http://mindcommonline.com. Blue economy

harus diimplementasikan dalam

percepatan industri kelautan dan

perikanan//. September 2013

Page 82: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

Pengelola jurnal memberikan beberapa petunjuk penulisan sebagai berikut:

1. Naskah karya tulis ditulis menggunakan Times New Roman dengan ukuran font 12 dan spasi 1.

2. Jumlah halaman dari naskah adalah 15 sampai 20 halaman, belum termasuk daftar pustaka dan lampiran.

3. Keaslian naskah akan menjadi pertimbangan utama dari dewan editor.

4. Pengembangan wacana dan ide baru yang mengedepankan keberagaman school of thought akan menjadi pertimbangan utama

dari dewan editor.

4. Naskah dapat dikirim melalui email: [email protected]

5. Informasi dari jurnal tersebut dapat dilihat melalui website: http://ep.fe.uns.ac.id/

6. Struktur naskah meliputi:

a. Judul

b. Penulis, alamat email dan institusi asal

c. Abstrak (tidak lebih dari 250 kata)

d. Kata kunci dan klasifikasi JEL

e. Pendahuluan

f. Perumusan Masalah

g. Tinjauan Pustaka / Kerangka Teori

h. Metode penelitian (dapat dimasukkan dalam poin g apabila naskah berupa kajian teori/wacana)

i. Analisis dan Pembahasan

j. Kesimpulan dan Rekomendasi

k. Referensi

7. Judul tabel diletakkan di sisi atas dari tabel tersebut.

8. Judul gambar diletakkan di sisi atas dari gambar tersebut.

9. Penulisan referensi mengacu pada APA Style (www.apastyle.org), sebagai berikut:

A. Bagian Pertama (sumber cetak)

A.1. Non-Periodicals (e.g. Books, Reports, Brochures, or Audiovisual media)

1. Basic Format:

Author, A.A. (Year of publication). Title of work: Capital letter also for subtitle.

Location: Publisher.

2. Examples:

Arnheim, R. (1971). Art and visual perception. Berkeley: University of California

Press.

JIEP FEB UNS

Department of Economics, FEB UNS 4

Nicol, A.A.M., & Pexman, P.M. (1999). Presenting your findings: A practical guide

for creating tables. Washington, D.C.: American Psychological Association.

A.2. An Article in A Periodical (e.g. a journal, newspaper, or magazine)

1. Basic Format:

Author, A.A., Author, B.B., & Author, C.C. (Year, add month and day of publication

for daily, weekly, or monthly publications). Title of article. Title of periodical, volume

number (issue), pages.

2. Examples:

Magazine articles

Page 83: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

Monson, M. (1993, September 16). Urbana firm obstacle to office project. The

Champaign-Urbana News-Gazette, pp. A1,A8.

Journal articles

Passons, W. (1967). Predictive validities of the ACT, SAT, and high school grades for

first semester GPA and freshman cources. Educational and Psychological

Measurement, 27, 1143 – 1144.

Monthly periodicals

Chandler-Crisp, S. (1988, May) ”Aerobic writing”: a writing practice model. Writing

Lab Newsletter, pp. 9-11.

Weekly periodicals

Kauffman, S. (1993, October 18). On firms: class consciousness. The New Republic,

p. 30.

A.3. An Article in A Periodical (e.g. a journal, newspaper, or magazine)

1. Basic Format:

Author, A.A., & Author, B.B. (Year of publication). Title of chapter. In A. Editor & B

Editor (Eds.). Title of book (pages of chapter). Location: Publisher.

2. Example:

Rubenstein, J.P. (1967). The effect of television violence on small children. In B.F.

Kane (Ed.). Television and juvenile psychological development (pp. 112-134). New

York: American Psychological Society.

A.4. An Article in A Periodical (e.g. a journal, newspaper, or magazine)

1. Basic Format:

Author, A.A., & Author, B.B. (Year of publication). Title of chapter. In Title of

encyclopedia (vol. page no. (s)). Location: Publisher.

2. Example:

Boy scouts of America (1969). In Funk & wagnalls new encyclopedia (Vol 4, pp.

163-165). New York: Funk & Wagnalls.

A.5. A Translated Work

1. Basic Format:

Author, A.A., Author, B.B., & Author, C.C. (Year of publication). Title of work (A.

Translator & B. Translator, Trans.). Location: Publisher. (Original work published

year).

2. Example:

Freud, S. (1970). An outline of psycholoanalysis (J. Strachey, Trans.). New York

Norton. (Original work published 1940).

A.6. A Government Publication

1. Basic Format:

JIEP FEB UNS

Department of Economics, FEB UNS 5

Organisation. (Year of publication). Title or article: Subtitle if any (Publication

Information). Location: Publisher.

2. Example:

Page 84: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan

National Institute of Mental Health. (1982). Television and behavior: Ten years of

scientific progress (DHHS Publication No. A 82-1195). Washington, D.C.: U.S.

Government Printing Office.

A.7. Work Discussed in A Secondary Source

Coltheart, M., Curtis, B., Atkins, P, & Haller, M. (1993). Models of reading aloud:

Dual-route and parallel-distributed-processing approaches. Psychological Review,

100, 589-608.

B. Second Part (Electrobic Sources)

B.1. A Non-Periodical Internet Document (e.g., a web page or report)

1. Basic Format:

Author, A.A., & Author, B.B. (Date of publication). Title of article. Retrieved month

date, year, from http://web address

2. Examples:

Greater Hattiesburg Civic Awareness Group, Task Force on Sheltered Programs.

(n.d.). Fund-raising efforts. Retrieved November 10, 2001, form

http://www.hattiesburgcag.org

GVU’s 8th WWW user survey. (n.d.). Retrieved August 8, 2000, from

http://www.cc.gatech.edu/gvu/user/survey-1997-10

Gordon, C.H., Simons, P., & Wynn, G. (2001). Plagiarism: What it is, and how to

avoid it. Retrieved July 24, 2001, form Biology Program Guide 2001/2002 at the

University of British Columbia Web site:

http://www.zoology.ubc.ca/bpg/plagiarism.htm

B.2. Periodical Internet Document

1. Basic Format:

Author, A.A., & Author, B.B. (Date of publication). Title of article. Title of journal,

volume number (issue number if available). Retrieved month, day, year, form

http://web address

2. Example:

Jensen, S. (2000). Ethical underpinnings for multidisciplinary practice in the United

States and abroad:Are accounting firms and law firms really different?. Online

Journal of Ethics, 3 (1). Retrieved August 20, 2001, form

http://www.stthom.edu/cbes/ethunder.html

B.3. Internet Government Report

1. Basic Format:

Sponsoring agency. (Date). Title. (Publication data). Retrieved (date) from (name of

organization and URL)

2. Example:

U.S. General Accounting Office. (1997, February). Telemedicine: Federal strategy is

needed to guide investments. (Publication No. GA0/NSAID/HEHS-97-67). Retrieved

September 15, 2000, from General Accounting Office Reports Online via GPA

Access: http://www.access.gpo.gov/su_docs/aces/aces160.shtml?/goa/index.html