jurnal hukum mumuh
TRANSCRIPT
1
KEBIJAKAN SANKSI HUKUM PIDANA TERHADAP PENGEMUDI KENDARAAN SEPEDA MOTOR YANG TIDAK MENGGUNAKAN HELM STANDAR MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN
ANGKUTAN JALAN
Abstrak
Oleh : MUMUH MUHAMAD ROZI, SH,MH
Salah satu upaya perlindungan yang diberikan oleh
pemerintah terhadap pengguna kendaraan sepeda motor adalah
dengan mewajibkan pengendara menggunakan helm sesuai
dengan standar keselamatan. Melalui Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah
mencantumkan kebijakan mengenai penggunaan helm yang
sesuai dengan standar keselamatan. Kebijakan ini diambil
sebagai upaya untuk mencapai keselamatan, ketertiban dan
kelancaran pengguna jalan khususnya pengendara sepeda motor
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Kebijakan Hukum,
Sanksi Hukum, Ketertiban.
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian.
Negara bertanggungjawab atas keselamatan setiap warga
negaranya. Keselamatan dari berbagai bahaya yang mengancam
jiwa dan raga setiap warga negara mutlak harus dilindungi
2
bagaimanapun caranya. Adakalanya upaya yang dilakukan oleh
negara, diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang
berlebihan, sehingga tidak jarang dalam penerapannya
menimbulkan reaksi berupa pro dan kontra di masyarakat tanpa
melihat dan memahami apa yang menjadi tujuan dasar dari
upaya yang dilakukan oleh negara tersebut.
Untuk melindungi keamanan dan keselamatan warganya,
negara melalui kekuasaan legislatifnya menempuh berbagai
cara, salah satunya dengan dibentuknya berbagai peraturan
perundang-undangan yang ditujukan untuk mencaga dan
melindungi keselamatan jiwa dan raga warganya.
Salah satu upaya perlindungan yang diberikan oleh
pemerintah terhadap pengguna kendaraan sepeda motor adalah
dengan mewajibkan pengendara menggunakan helm sesuai
dengan standar keselamatan. Melalui Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah
mencantumkan kebijakan mengenai penggunaan helm yang
sesuai dengan standar keselamatan. Kebijakan ini diambil
sebagai upaya untuk mencapai keselamatan, ketertiban dan
kelancaran pengguna jalan khususnya pengendara sepeda
motor.
3
Kenyataan dilapangan masih banyak masyarakat yang
kurang menyadari maksud dari pemerintah menerapkan
kewajiban menggunakan helm yang sesuai dengan standar
keselamatan ini. Banyak masyarakat yang memandang bahwa
ketentuan ini hanya menguntungkan sekelompok pihak saja
yakni para pengusaha helm dan sudah barang tentu aparat
kepolisian yang akan banyak melakukan tilang.
Sanksi yang relatif tinggi untuk pelaku pelanggaran berupa
tidak menggunakan helm yang sesuai dengan standar
keselamatan, menjadikan banyak masyarakat khususnya
pengguna kendaraan sepeda motor merasakan terlalu berat
sanksi denda yang diterapkan. Dengan demikian, angka
pelanggaran lalu lintas akan meningkat semakin tinggi.
Kebijakan penetapan sanksi pidana denda dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lali Lintas dan Angkutan
Jalan di satu sisi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
melindungi warganya. Akan tetapi di sisi lain, dengan nominal
denda yang relatif tinggi dapat menimbulkan masalah baru,
diantaranya meningkatnya angka pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku pengendara sepeda motor.
4
B. Identifikasi Masalah.
Berdasarkan uraian mermasalahan di atas, penulis
membatasi permasalahan yang akan di bahas dan
merumuskannya dalam bentuk pernyataan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah fungsionalisasi Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 khususnya ketentuan yang mengatur tentang
penggunaan helm standar di Kabupaten Cianjur?
2. Apakah kebijakan penetapan sanksi denda sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan tidak memberatkan
masyarakat pelaku pelanggaran lalu lintas?
BAB II. PEMBAHASAN.
A. Efektifitas Penerapan Peraturan Penggunaan Helm
Standar Bagi Pengguna Kendaraan Sepeda Motor.
Efektifitas suatu peraturan perundang-undangan pada
dasarnya ditentukan oleh 4 (empat) komponen yang dalam
fungsionalisasinya saling mendukung dan menunjang. Dalam
kaitanya dengan efektifitas penerapan peraturan penggunaan
helm Standar Nasional Indonesia (SNI), maka Keempat elemen
tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Kepatuhan Pengemudi Terhadap Aturan
5
Kepatuhan pengemudi terhadap ketentuan untuk
menggunakan helm SNI pada umumnya tidak lebih dari upaya
untuk menghindar dari pihak aparat kepolisian, sementara
nilai filosofis dari ketentuan tersebut bukan merupakan
penggerak kesadaran diri untuk menggunakan helm sesuai
dengan SNI.
Berbicara masalah kepatuhan, umumnya yang menjadi
pusat perhatian adalah dasar-dasar dari kepatuhan tersebut,
yaitu:
a. Sebab pertama warga masyarakat mematuhi sutau
aturan/kaidah hukum oleh karena sejak kecil manusia
di didik agar mematuhi hukum yang berlaku dalam
masyarakat;
b. Dari kebiasaan yang dilakukannya sejak kecil tersebut,
maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk
mematuhi kaidah tersebut;
c. Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan
untuk hidup pantas dan teratur; 1
Dengan bertitik tolah dari dasar-dasar kepatuhan tersebut,
maka dapat diperoleh suatu derajat kepatuhan berdasarkan
tiga proses yaitu :
1 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 54.
6
a. Suatu proses di mana kepatuhan didasarkan pada harapan
akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindari diri dari
hukuman yang mungkin akan dijatuhkan.
Contoh konkret terhadap kepatuhan jenis ini adalah
seorang pengemudi sepeda motor yang menggunakan
helm tidak sesuai dengan yang disyaratkan (helm SNI).
Seorang pengendara sepeda motor menggunakan helm
SNI . Dia menggunakan helm SNI bukan karena mematuhi
aturan akan tetapi lebih disebabkan kehadiran petugas
ditempat tersebut. Kepatuhan seperti ini jelas bukan
didasrkan pada suatu keyakinan akan maksud dari aturan
tersebut, tetapi lebih didasarkan pada bagaimana agar
tidak terkena sanksi sebagai akibat dari perbuatannya.
b. Kepatuhan terhadap suatu aturan yang terjadi bukan
kareja nilai intrinsik dari aturan tersebut, akan tetapi lebih
ditujukan untuk menjaga hubungan baik dengan mereka
yang diberi kewenangan untuk menerapkan aturan
tersebut. Kepatuhan jenis ini hamper sama dengan jenis
yang pertama. Hanya perbedaannya, dia mematuhi
peraturan lebih di dasari pada hubungan baik dengan
petugas. Hal ini dilakukan dengan harapan petugas
menganggapnya sebagai orang yang patuh terhadap
aturan.
7
c. Proses kepatuhan yang berlangsung karena secara
intrinsic, kepatuhan tersebut mempunyai nilai imbalan. Isi
dari peraturan hukum tersebut dirasakan sesuai dengan
harapan-harapannya. Seorang pengemudi angkutan umum
tidak menaikkan penumpang ditempat-tempat yang
terdapat larangan untuk berhenti, oleh karena dia tahu
bahwa jika hal tersebut dilakukan, maka akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi dirinya. Terlepasa
dari ada atau tidak ada petugas di sana, dia tetap tidak
melakukannya.
d. Kepatuhan yang disebabkan oleh karena sebagian besar
dari kepentingannya terjamin oleh hukum.
Contoh sederhana dari bentuk ini adalah kepatuhan
pengemudi angkutan umum terhadap trayek yang telah
ditentukan oleh pemerintah. Meskipun banyak diantara
mereka yang masih melanggar batas-batas yang telah
ditentukan, namun hal tersebut lebih disebabkan oleh pola
perilaku masyarakat (penumpang itu sendiri)
2. Profesionalisme aparat penegak hukum
Profesionalisme di sini diartikan sebagai suatu keahlian yang
mutlak harus dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya
polisi yang bertugas menertibkan lalu lintas dan angkutan di
jalan. Untuk dikatakan sebagai sebuah profesi, maka marus
8
dipenuhi syarat-syarat tertentu. Beberapa pakar memberikan
definisi mengenai profesi sebagai berikut :2
3. Kelemahan Hukum itu Sendiri.
Kelemahan hukum dalam hal ini adalah bukan semata-mata
karena hukum yang tidak resposnif tetapi juga adanya
ketidaksinkronan dalam hukum. Akan tetapi yang tampak
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 adalah bahwa
Undang-undang tersebut cenderung tidak responsive. Dengan
pencantuman sanksi pidana denda yang berat tersebut jelas
tidak akan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
pengguna kendaraan baik umum maupun pribadi khususnya
sepeda bermotor. Hal ini didasarkan pada kenyataan, pelaku
pelanggaran lebih memilih untuk “damai di jalan” dengan
aparat kepolisian yang berada ditempat kejadian.
4. Kesadaran hukum masyarakat
Dalam kaitannya dengan epektifitas penerapan/penegakkan
hukum, masalah kesadaran hukum masyarakat memegang
peranan yang sangat penting. Masyarakat yang ingin melihat
terciptanya suatu ketertiban dalam masyarakat akan
berusaha untuk teratur sehingga tercipta suatu pola
hubungan tingkah laku masyarakat menurut suatu pola
tertentu.
2 H.C. Chaerudin, Filsafat hukum dan Kode etik Profesi Hukum, Diktat Kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, Tahun 2004, hlm. 2
9
Kesadaran hukum masyarakat tidak tumbuh dengan
sendirinya, meskipun dalam diri setiap anggota masyarakat
mempunyai kecenderungan untuk hidup yang teratur. Untuk itu
kesadaran hukum masyarakat perlu dipupuk dan dikembangkan.
Melalui pola pembinaan yang efektif dan intensif.
Apabila penegak hukum dianggap sebagai orang yang
paling mengetahui akan suatu aturan, dengan demikian apa
yang dilakukan apart penegak hukum, maka akan menjadi
teladan bagi masyarakat. Sebagai contoh, aparat penegak
hukum yang melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji di
jalanan, maka hal tersebut secara tidak langsung memberikan
contoh yang tidak baik kepada masyarakat khsusunya pengguna
jalan.
Dengan demikian kesadaran hukum masyarakat baru akan
tercipta apabila di dukung oleh segenap elemen masyarakat,
dengan demikian dapat dikemukakan di sini bahwa semakin
besar kesadaran hukum masyarakat maupun aparat, maka akan
semakin kecil kemungkinan masyarakat untuk bertingkah laku
yang tidak sesuai dengan hukum.
B. Kebijakan Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku
Pelanggaran Lalu Lintas Berupa Pelanggaran Tidak
10
Menggunakan Helm Standar Bagi Pengguna Sepeda
Motor
Seperti telah diuraikan di atas bahwa keempat komponen
penunjang tegaknya suatu aturan, pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Kebijakan penerapan Sanksi bagi
pelaku pelanggaran lalu lintas, khususnya pelanggaran berupa
tidak menggunakan helm sesuai SNI tidak akan berjalan sesuai
dengan yang diharapkan apabila masyarakat itu sendiri kurang
menyadari pentingnya penggunaan helm yang layak yang sesuai
dengan SNI.
Disamping itu, ketidaktegasan aparat penegak hukum
yang dalam hal ini Polisi lalu lintas dalam menerapkan aturan
penggunaan helm SNI. Polisi Lalu Lintas menyadari bahwa denda
yang sangat besar untuk pelaku pelanggaran dimaksud, jelas
tidak akan dapat diterapkan secara epektif. Pasal 291 ayat (1)
dengan tegas menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor tidak menggunakan helm
Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagaimana Pasal 106 ayat (8)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan
atau denda paling banyak Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah)”.
Terlepas dari pertanyaan kenapa pengemudi tidak
menggunakan helm sesuai SNI, satu hal yang pasti pembuat
11
undang-undang dalam hal ini kurang memperhitungkan bahwa
tidak semua pengemudi merupakan orang yang mampu secara
ekonomi, sehingga kalaupun melakukan pelanggaran, denda
sebesar itu bukanlah masalah. Akan tetapi pembuat undnag-
undang harusnya melihat bahwa tidak semua pengguna
kendaraan sepeda motor berasal dari kelompok orang yang
mapan secara ekonomi.
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
dijelaskan bahwa penajaman formulasi mengenai asas dan
tujuan dari diundangkannya Undang-Undang tersebut yakni
selain untuk menciptakan ketertiban dan kelancaran,
keselamatan dan keterpaduan dengan angkutan lain, juga
mempunyai tujuan untuk mendorong perekonomian nasional,
mewujudkan kesejahteraan rakyat, persatuan dan kesatuan
bangsa.
Banyak pengguna kendaraan sepeda motor mengendarai
sepeda motor merupakan tuntutan kebutuhan dengan kata lain
mengendarai sepeda motor merupakan mata pencaharian.
Apabila ketahuan tidak menggunakan helm sesuai dengan
ketentuan, dan harus dikenakan sanksi denda sesuai ketentuan,
jelas hal ini sangat memberatkan.
Pengguna jalan dengan menggunakan sarana berupa
sepeda motor wajib menggunakan helm sesuai dengan
12
ketentuan, kondisi ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh
sekelompok oknum untuk kepentingan pribadinya. Tidak sedikit
dari warga pengguna jalan yang berprasangka bahwa ketentuan
penggunaan helm sesuai dengan standar, merupakan proyek
untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Pendapat ini
sah-sah saja, mengingat kurangnya sosialisasi dari pihak
berwajib berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penerapan
ketentuan penggunaan helm Standar Nasional Indonesia.
Fungsionalisasi sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran
lalu lintas dan angkutan jalan berupa tidak menggunakan helm
Standar Nasional Indonesia merupakan wujud nyata kepedulian
pemerintah terhadap keselamatan warganya. Upaya antisipatif
ini seyogyanya dibarengi dengan tujuan pemerintah dalam
mensejahterakan rakyatnya. Fungsionalisasi sanksi pidana dalam
permasalahan tersebut pada dasarnya merupakan upaya
pemerintah untuk menjamin tegaknya supremasi hukum yang
dalam hal ini hukum yang mengatiur ketertiban, kelancaran dan
keselamatan di lalu lintas dan angkutan jalan.
Berkaitan dengan penggunaan helm standar nasional
Indonesia, penjelasan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 menjelaskan bahwa selain aspek keamanan, ketertiban,
keelamatan dan kelancaran lalu lintas, juga ditujukan guna
terwujudknya etika berlalu lintas.
13
BAB III
K E S I M P U L A N
Sebagai akhir dari pembahasan masalah Fungsionalisasi
Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pelanggaran Lalu Lintas Berupa
Pelangaran Tidak Menggunakan Helm Standar Bagi Pengguna
Sepeda Motor Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas, maka penulis mencoba menarik
beberapa kesimpulan sehubungan dengan identifikasi masalah
yang telah penulis rumuskan sebagai berikut:
14
1. Fungsionalisasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
khususnya ketentuan yang mengatur tentang penggunaan
helm standar di Kabupaten Cianjur, belum sepenuhnya dapat
terlaksana dengan baik. Hal ini memerlukan kesiapan-
kesiapan dari seluruh komponen penegakkan hukum yakni
komponen structural yang dalam hal ini kesiapan dari aparat
penegak hukum itu sendiri dan komponen kultural yang
dalam hal ini budaya masyarakat pengguna kendaraan
bermotor yang cenderung mengabaikan faktor keselamatan
pribadinya.
2. Kebijakan penetapan sanksi pidana denda dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan jalan berkaitan dengan pelanggaran berupa tidak
menggunakan helm standar nasional yakni denda dengan
jumlah maksimal 250.000 di satu sisi bertujuan untuk
melindungi keselamatan pengendara, akan tetapi di sisi lain
sangat memberatkan pengendara dan dalam
implementasinya memerlukan kesiapan dari aparat penegak
hukum yang dalam hal ini Polisi lalu lintas, terutama
berkaitan dengan kesiapan mental petugas.
15
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Poernomo, Dasar Dasar Teori Dan Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Adytia Bakti, Bandung, 1998.
B. Arief Sidharta, Etika dan Profesi Hukum, Makalah pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FH UNSUR, Cianjur, 2005.
Djajoesman, H.S. Polisi Dan Lalu Lintas, Kepolisian RI Komando Pengembangan pendidikan Dan Latihan Polri, Jakarta, 1984.
16
Dwidja Priyatno, Kapita selekta Hukum Pidana, STHB Press Bandung, 2005
Esmi Warasih, Pembinaan Kesadaran Hukum, dikutip dari jurnal Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jakarta, 1983.
H.C. Chaerudin, Filsafat Hukum dan Kode Etik Profesi Hukum, “diktat kuliah” pada Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, 2004.
Iswanto, Restitusi Kepada Korban Mati Atau Luka Berat sebagai Syarat Pidana Bersyarat Pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, Dissertasi Pada Program S3 Fakultas Hukum Universitas Mada, Yogyakarta, 2002.
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ketujuh belas Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.
Lawrence M. Friedman, American Law an Introducttion, alih bahasa Wisnu Basuki, PT Tata Nusa, Jakrta, 2001.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985.
P.A.F. Lamintang dan D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Pionir Jaya, Bandung, 1992.
R. Otje salman, dkk, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 2005.
Roeslan Saleh, KUHP dan Penjelasannya, Penerbit Aksara Baru , Jakarta, 1987.
Satjipto Raharjo, Hukum Dan Masyarakat, Penerbit Angkasa Bandung, 1980.
Sudikno Mertokusumo, Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1981.
17
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, BPHN, Jalarta, 1983.
-----------------------, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1982.
-----------------------, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.
Untung S Rajab, Kedudukan Dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan Berdasarkan UUD 1945, CV Utomo, Bandung 2003.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ERESCO, Bandung, 1989.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pustaka Timur, Jogjakarta, 2009.