jurnal ahmed

21
Ahmed Febri Hubungan antara inflamasi gingiva dengan kehamilan Abstrak Peningkatan prevalensi dan keparahan inflamasi gingiva selama masa kehamilan telah dilaporkan sejak 1960an. Walaupun etiologinya tidak diketahui secara pasti, dipercaya bahwa peningkatan jumlah hormon sex steroid selama masa kehamilan memiliki efek yang cukup serius bagi periodonsium. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa peningkatan estrogen dan progesteron selama kehamilan bertanggung jawab terhadap perkembangan gingivitis. Kajian ini tidak hanya fokus pada studi epidemiologis, namun juga pada pengaruh progesteron dan estrogen pada perubahan mikrobiota subgingiva dan mediator immunologis fisiologis pada jaringan periodontal (gingiva dan ligamen periodontal), yang memberikan informasi mengenai pengaruh kehamilan pada inflamasi gingiva. 1. Pendahuluan Kesehatan periodontal pada wanita hamil telah diteliti sejak 1960-an. Inflamasi gingiva berkaitan dengan kehamilan diawali oleh plak gigi dan eksaserbasi oleh hormon steroid endogen. Interaksi dua arah antara kondisi sistemik dan status periodontal telah menjadi pertimbangan serius dalam proporsi ilmu periodontal sejak pertengahan tahun 1990-an. Walaupun diwajibkan untuk tidak memasukkan plak gigi dan efek inflamasi periodontal yang telah ada sebelumnya, yang bertujuan untuk mengeksplorasi efek tunggal kehamilan pada kesehatan periodontal, pelaksanaan penelitian tersebut masih jarang dilakukan. Kajian ini merangkum status terkini dari epidemiologis dan studi mekanistik pada perubahan periodonsium selama kehamilan, khususnya periodonsium normal untuk menegaskan pengaruh kehamilan terhadap perkembangan inflamasi gingiva 2. Studi epidemiologis

Upload: rlagiega

Post on 03-Sep-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Ahmed FebriHubungan antara inflamasi gingiva dengan kehamilanAbstrak Peningkatan prevalensi dan keparahan inflamasi gingiva selama masa kehamilan telah dilaporkan sejak 1960an. Walaupun etiologinya tidak diketahui secara pasti, dipercaya bahwa peningkatan jumlah hormon sex steroid selama masa kehamilan memiliki efek yang cukup serius bagi periodonsium. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa peningkatan estrogen dan progesteron selama kehamilan bertanggung jawab terhadap perkembangan gingivitis. Kajian ini tidak hanya fokus pada studi epidemiologis, namun juga pada pengaruh progesteron dan estrogen pada perubahan mikrobiota subgingiva dan mediator immunologis fisiologis pada jaringan periodontal (gingiva dan ligamen periodontal), yang memberikan informasi mengenai pengaruh kehamilan pada inflamasi gingiva.

1. PendahuluanKesehatan periodontal pada wanita hamil telah diteliti sejak 1960-an. Inflamasi gingiva berkaitan dengan kehamilan diawali oleh plak gigi dan eksaserbasi oleh hormon steroid endogen. Interaksi dua arah antara kondisi sistemik dan status periodontal telah menjadi pertimbangan serius dalam proporsi ilmu periodontal sejak pertengahan tahun 1990-an. Walaupun diwajibkan untuk tidak memasukkan plak gigi dan efek inflamasi periodontal yang telah ada sebelumnya, yang bertujuan untuk mengeksplorasi efek tunggal kehamilan pada kesehatan periodontal, pelaksanaan penelitian tersebut masih jarang dilakukan. Kajian ini merangkum status terkini dari epidemiologis dan studi mekanistik pada perubahan periodonsium selama kehamilan, khususnya periodonsium normal untuk menegaskan pengaruh kehamilan terhadap perkembangan inflamasi gingiva

2. Studi epidemiologis2.1. Prevalensi. Peningkatan prevalensi dan keparahan inflamasi gingiva selama kehamilan tanpa ada kaitannya dengan plak telah dilaporkan sejak awal tahun 1960-an. Secara klinis, gingivitis atau periodontitis yang telah ada sebelumnya pada wanita hamil akan bertambah parah secara drastis. Perubahan periodontal ditandai dengan adanya peningkatan kedalaman probing periodontal, perdarahan saat probing atau stimulasi mekanis, dan aliran gingival crevicular fluid, yang menghilang setelah melahirkan. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa prevalensi inflamasi gingiva dari 30% sampai 100% saat masa kehamilan. Beberapa penelitian cross-sectional menunjukkan bahwa prosentase wanita hamil dengan gingivitis adalah 89% di Ghana, 86,2% di Thailand, dan 47% di Brazil. Variasi ini dapat menunjukkan perbedaan populasi yang diteliti dan karakteristiknya, serta perbedaan definisi penyakit periodontal dari berbagai studi.

2.2 Perubahan periodontal selama kehamilan. Menurut studi sebelumnya, cross-sectional terkini dan studi longitudinal telah mengkonfirmasi dan memperluas hubungan antara kehamilan dan kondisi gingiva pada berbagai kelompok kultural dan etnik. Pada 2000, sekelompok peneliti melaporkan temuan dari studi yang mencakup 47 wanita hamil dan 47 wanita tidak hamil sebagai kontrol pada populasi pedesaan Sri Lanka. Status periodontal wanita hamil dievaluasi pada timester pertama, kedua, dan ketiga kehamilan dan pemeriksaan akhir dilakukan tiga bulan setelah melahirkan. Penulis menemukan bahwa meskipun jumlah plak tidak berubah, namun gingival index (GI) pada wanita hamil meningkat secara signifikan dan mencapai puncak pada trimester ketiga dan turun pada tiga bulan setelah melahirkan. Hasil tersebut sesuai dengan temuan studi cohort lain pada 2003 yang terdiri dari 200 wanita hamil dan 200 wanita tidak hamil sebagai kontrol di Yordania. Pada studi tersebut, dilaporkan bahwa wanita hamil memiliki GI dan kedalaman poket periodontal (PPD) yang secara signifikan lebih tinggi dengan indeks plak (PI) yang sama dibandingkan dengan wanita tidak hamil. Parameter klinis (PPD dan GI) meningkat bersamaan dengan meningkatnya status kehamilan, yang mencapai maksimum pada bulan kedelapan. Pada studi lain dengan jumlah sampel yang lebih sedikit, yaitu 19 wanita hamil, BOP menurun dari 41,2% pada minggu ke-12 kehamilan menjadi 26,6% setelah melahirkan tanpa perawatan periodontal apapun. Sebagai tambahan dari parameter klinis periodontal yang telah disebutkan sebelumnya, pengukuran level perlekatan klinis (clicical attachment level, CAL) juga nampak pada studi tersebut. dari studi tersebut, nampak peningkatan inflamasi pada regio gingiva dari pada di lokasi periodontal lainnya, yang mengindikasikan bahwa kehamilan hanya memiliki efek reversibel pada gingiva tanpa melibatkan hilangnya perlekatan periodontal. Dapat dispekulasikan bahwa hilangnya perlekatan periodontal membutuhkan keadaan inflamasi kronis pada gingiva yang berlangsung lebih lama daripada kehamilan saat perubahan gingiva terjadi. Namun, spekulasi ini masih belum terbukti. Studi terbaru yang mengobservasi kondisi periodontal pada wanita yang mengkonsumsi kombinasi kontrasepsi oral (progesteron dan estradiol) selama paling tidak 1 tahun belum mencapai kesimpulan yang disepakati mengenai perubahan CAL. Beberapa hasil menunjukkan bahwa hilangnya perlekatan lebih besar secara signifikan pada pengguna kontrasepsi oral kombinasi (COC) jika dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi kontrasepsi. Penelitian lain menemukan bahwa tidak ada perbedaan CAL antara wanita yang mengkonsumsi COC dan kontrol. Salah satu penjelasan yang memungkinkan dari perbedaan itu adalah desain studi yang berbeda. Perlu dilakukan eksperimen lain dengan kontrasepsi oral dan dalam jangka waktu panjang untuk menjawab masalah tersebut. Studi lanjutan terbaru mengkonfirmasi bahwa gingivitis yang berkaitan dengan kehamilan nampak bergantung pada, namun tidak berhubungan dengan, jumlah akumulasi plak gigi. Kebersihan mulut yang baik pada kehamilan diperkirakan dapat menetralkan efek hormonal. Meskipun diketahui bahwa penyakit periodontitis diinisiasi oleh mikroorganisme, apakah pengaruh kehamilan terhadap jaringan gingiva berdiri sendiri atau kehamilan sendiri dapat menyebabkan terjadinya gingivitis telah diusulkan. Dua studi cohort terbaru dilakukan berdasarkan usul tersebut. berbeda dengan studi yang dideskripsikan sebelumnya, studi ini mencakup periodonsium sehat tanpa inflamasi gingiva apapun dan kebersihan mulut yang sangat baik ditandai dengan rendahnya plak indeks pada kriteria subjek. Satu dari studi ini dilakukan pada 48 wanita hamil Spanyol dengan periodonsium sehat dan diperiksa indeks periodontalnya pada trimester pertama, kedua, ketiga, dan 3 bulan setelah melahirkan. Meskipun nilai PI yang rendah masih terpelihara, subjek menunjukkan peningkatan GI yang nilainya tetap tinggi pada trimester ketiga dan kemudian menurun 3 bulan setelah melahirkan. Pada studi longitudinal lain, penulis mendeskripsikan perkembangan inflamasi gingiva pada 30 wanita hamil dengan periodontal sehat dan kebersihan mulut yang baik di Finlandia. Mereka menemukan adanya peningkatan inflamasi gingiva yang dievaluasi dengan BOP dan jumlah poket periodontal yang dalam (PPD > 4 mm) pada wanita hamil tidak berkaitan dengan plak gigi secara bersamaan antara trimester pertama dan kedua, diikuti dengan penurunan setelahnya. Kedua studi ini mencoba untuk menghilangkan efek inflamasi gingiva dan akumulasi plak gigi yang telah ada pada perkembangan inflamasi gingiva kehamilan. Dari kedua studi tersebut, peningkatan perubahan inflamasi gingiva utamanya diinduksi oleh kehamilan. Hasil lebih lanjut menegaskan kemungkinan pengaruh negatif kehamilan terhadap keadaan periodontal. Namun, sudah jelas bahwa sulit untuk mempertahankan gigi tanpa plak. Sehingga, studi yang paling meyakinkan dan paling kuat harus berdasar pada model ekperimen hewan yang bebas plak. Tidak masalah apakah jumlah plak tidak berubah atau tetap rendah, konsepnya adalah peningkatan perkembangan inflamasi gingiva tanpa hilangnya perlekatan periodontal selama kehamilan dan adanya penurunan setelah proses kelahiran diperkuat oleh data tersebut dari sebagian besar studi. Namun, masih terdapat beberapa penelitian yang menyangkal hubungan antara kehamilan dan inflamasi gingiva. Miyazaki et al menemukan bahwa tidak ada perbedaan status periodontal antara wanita hamil dan tidak hamil pada studi menggunakan indeks CPITN untuk menilai kondisi periodontal 2424 wanita hamil dan 1565 wanita tidak hamil. Selain itu, untuk mengamati 95% wanita hamil dan 96% wanita tidak hamil dengan beberapa tanda penyakit periodontal, penulis juga menemukan bahwa wanita hamil bahkan memiliki kondisi periodontal yang lebih sehat; yaitu jumlah sextan dengan jaringan periodontal sehat lebih tinggi, persentase orang yang memiliki poket dalam (6 mm atau lebih) lebih rendah, dan kebutuhan akan profilaksis lebih rendah pada wanita hamil daripada wanita tidak hamil.Perbedaan populasi, kriteria yang mendefinisikan kondisi periodontal sehat, pengukuran klinis yang digunakan, dan jumlah gigi yang diperiksa dapat mempersulit hasil observasi. Demikian pula, Jonsson dan rekan-rekannya menemukan bahwa tidak ada parameter periodontal pada wanita hamil yang berbeda secara signifikan dari wanita tidak hamil. Parameter ini menunjukkan tidak ada korelasi signifikan dengan perkembangan kehamilan. Terdapat keterbatasan pada studi ini karena temuannya berdasarkan ukuran sampel yang kecil yaitu 9-14 subjek.

3. Studi mekanistik3.1 Estrogen, Progesteron, dan Reseptornya. Mekanisme yang tepat untuk terjadinya inflamasi gingiva yang lebih besar selama kehamilan masih belum dideskripsikan dengan jelas. Sejak 1970-an, peningkatan yang jelas pada jumlah esterogen dan progesteron dalam sirkulasi dianggap memiliki efek dramatis pada periodonsium selama kehamilan dan berkolerasi dengan tampilan klinisnya. Estrogen utama dalam plasma adalah estradiol, yang diproduksi oleh mediator inflamasi 3 ovarium dan plasenta. Progestin utama pada wanita adalah progesteron, yang disekresi oleh corpus luteum, plasenta, dan korteks adrenal. Selama kehamilan, keduanya meningkat akibat produksi terus menerus oleh corpus luteum pada awal mulanya dan kemudian oleh plasenta. Pada akhir trimester ketiga, progesteron dan estrogen mencapai puncak plasma level 100 dan 6 ng/ml, dimana masing-masing 10 dan 30 kali lebih banyak dari jumlah yang ditemui selama siklus menstruasi. Pada model hewan, efek fisiologis estrogen pada gingiva juga diamati. Saat konsentrasi serum estrogen pada babon ditekan dibawah 100 pg/ml melalui administrasi aromatase inhibitor, terjadi pembesaran gingiva. Gingiva kembali normal secara klinis saat estradiol ditambahkan. Hasil ini mengindikasikan bahwa estrogen mempengaruhi kondisi fisiologis gingiva secara mendalam, meliputi proliferasi dan diferensiasi seluler, baik secara langsung maupun tidak angsung. Laporan lain menunjukkan bahwa jumlah estrogen menentukan tingkat inflamasi margin gingiva yang berkembang melawan plak miroba, saat diperiksa pada 30 wanita hamil dan 24 wanita tidak hamil. Dari hasil tersebut, jumlah estrogen yang terlalu rendah dan terlalu tinggi memiliki efek berbahaya pada gingiva.Studi yang memeriksa dampak dari steroid seksual pada periodonsium didukung oleh observasi berikut. Lokalisasi reseptor estrogen (ER) dan reseptor progesteron (PgR) ditemukan pada periodonsium manusia, yang menunjukkan bahwa jaringan periodontal merupakan jaringan target dari hormon-hormon tersebut. Laporan sebelumnya ditemukan ER pada periodonsium manusia, meliputi gingiva dan ligamen periodontal. Namun, dengan menggunakan analisis polymerase chain reaction, Parkar et al tidak menemukan ekspresi ER pada sampel jaringan periodontal ataupun gingiva. Perbedaan ini dijelaskan oleh penulis dengan kurangnya spesifisitas teknik yang digunakan dalam eksperimen sebelumnya. Selain itu, reseptor subtipe tidak diperiksa secara khusus pada laporan sebelumnya.Studi terbaru telah lebih lanjut menunjukkan lokalisasi dan subtipe estrogen dan progesteron dalam periodonsium. Kawaharan dan Shimazu melaporkan bahwa fibroblast gingiva (GF) manusia mengekspresikan sinyal ER- yang buruk namun lebih mengekspresikan ER-. Hal ini dispekulasikan sebagai deskripsi pertama subtipe ER pada komponen sel gingiva dari penulis. Johnsson dan rekan-rekannya mengkonfirmasi suptipe ER pada jaringan periodontal. Immunoreaktivitas ER- ditemukan pada nukleus pada sekitar 40% sel ligamen periodontal (PDLC) manusia yang dikultur, sementara tidak ada imunoreaktivitas ER-, yang menunjukkan bahwa estrogen mempengaruhi sifat fungsional sel ligamen periodontal melalui ER-. Menurut beberapa penulis, laporan tersebut merupakan laporan pertama yang mengungkap bahwa ER- diekspresikan dalam PDLC manusia. Baru-baru ini, diajukan pendapat bahwa ER- terlokalisir tidak hanya pada nukleus tetapi juga di mitokondria PDCL manusia, yang menunjukkan bahwa estrogen, kemungkinan melalui ER-, mempengaruhi fungsi mitokondria dan metabolisme energi dalam PDLC manusia.Selain itu, Valimaa et al melaporkan bahwa sel epitel pada gingiva sehat mengekspresikan protein ER-. Nebel et al kemudian menemukan bahwa ER- tidak hanya ditemukan pada nukleus sel epitel pada seluruh lapisan epitel gingiva, namun juga pada sel lamina propia. Dapat disimpulkan bahwa ER- merupakan ER yang dominan di periodonsium, sehongga efek estrogen pada jaringan gingiva dimediasi oleh ER-.Namun, perbedaan terjadi pada ekspresi PgR. Jonsson et al menemukan bahwa tidak ada ekspresi PgRpada PDLC manusia. Kawahara dan Shimazu melaporkan bahwa GF manusia memberikan ekspresi PgR yang rendah. Studi terbru di Cina, penulis menemukan ekspresi PgR pada PDLC manusia dengan reverse transcriptase-polymerase chain reaction dan immunositokimia, dimana ditunjukkan bahwa PgR terekspresi pada PDLC manusia pada tingkat gen dan protein. Metode dan prosedur pewarnaan, sumber sel, usia pendonor, dan siklus menstruasi dapat menjelaskan perbedaan antar hasil. Secara keseluruhan, jelas bahwa periodonsium merupakan jaringan target estrogen dan progesteron, meskipun adanya PgR belum dapat ditunjukkan pada jaringan ini. Periodonsium merupakan struktur unik yang terdiri dari dua jaringan fibrous (gingiva dan ligamen periodontal) dan dua jaringan termineralisasi (sementum dan tulang alveolar). Untuk alasan kehamilan memiliki efek hanya pada gingiva dan tidak pada perlekatan periodontal, sementara ini masih jarang diteliti efek hormon seks wanita pada ligamen periodontal dan tulang alveolar; tulisan ini utamanya fokus pada dampak progesteron dan estrogen pada dua jaringan fibrous dan tinjauan mengenai dampak hormon pada tulang alveolar tidak disajikan di sini.

3.2 Perubahan mikrobiota gingiva. Telah disetuji bahwa mayoritas kerusakan jaringan pada gingivitis dan lesi periodontal awal terjadi melalui respon inflamasi pejamu terhadap adanya mikroba, produk struktural dan metabolismenya, dan produk dari jaringan yang terpengaruh. Gingivitis terkait kehamilan termasuk di dalanmnya. Terdapat pendapat bahwa estrogen dan progesteron dapat memodulasi yang diduga patogen periodontal, sistem imun gingiva, sel spesifik di periodonsium, dan vaskularisasi gingiva. Studi terbaru dilakukan utamanya untuk memeriksa pengaruh kehamilan terhadap organisme mikroba dan faktor respon pejamu terkait dengan pembentukan gingivitis kehamilan.Periodonsium berperan sebagai penampung bakteri subgingiva. Perubahan mikrobiota subgingiva diduga sebagai mekanisme yang berpotensi menyebabkan eksaserbasi inflamasi gingiva selama kehamilan. Dalam hal ini, harus diingat bahwa terdapat tiga laporan penelitian pada awal tahun 80-an abad lalu. Pada salah satu studi longitudinal pada 20 wanita hamil, Kornman dan Loesche merupakan yang pertama melaporkan peningkatan signifikan secara statistik jumlah Bacteroides intermedius selama trimester kedua, dan menurun pada trimester ketiga dan setelah melahirkan. Peningkatan jumlah bakteri diperkirakan berkaitan dengan peningkatan jumlah serum progesteron atau estrogen yang disubstitusi untuk kebutuhan naphthaquinon patogen, dan dengan demikian berperan sebagai faktor pertumbuhan bagi bakteri. Pada penelitian in vitro, estradiol dan progesteron terlibat dalam sistem fumarate reductase dari subspesies Bacteroides intermedius dan dengan demikian diperirakan memiliki potensi untuk mengubah ekologi mikroba subgingiva dengan mempengaruhi secara langsung jalur metabolisme patogen tersebut. selain itu, pada studi cross-sectional, Jensen et al melaporkan jumlah spesies Bacteroides meningkat 55 kali lipat selama kehamilan dan meningkat 16 kali lipat pada yang mengkonsumsi kontrasepsi daripada kelompok kontrol. Tidak semua studi awal memperkuat temuan tersebut. Seperti yang terlihat pada penilaian awal, Jonsson et al tidak menemukan perbedaan jumlah Bacteroides intermedia antara wanita hamil dan tidak hamil atau korelasi apapun dengan perkembangan kehamilan. Temuan Jonsson mengarah pada spekulasi bahwa peningkatan Bacteroides intermedia selama trimester kedua kehamilan bisa jadi tidak terikat dengan estrogen ataupun progesteron dan terjadi akibat lain hal. Selain itu, ukuran sampel yang kecil juga membatasi studi ini.Dengan evolusi taksonomi spesies Bacteroides intermedia dan perkembangan metode molekuler, penelitian terbaru memberikan informasi baru mengenai perubahan mikrobiota subgingiva. Pada study cohort terbuka, Carrillo-De-Albornoz et al melaporkan bahwa kondisi inflamasi gingiva yang memburuk berhubungan dengan adanya Porphyromonas gingivalis dan Prevotella intermedia pada subgingiva, yang mana berkorelasi secara positif dengan jumlah hormon ibu hamil selama kehamilan. Namun, proporsi patogen subgingiva tidak berbeda selama kehamilan, meskipun terdapat perbedaan yang signifikan pada seluruh patogen setelah melahirkan. Berdasarkan sampel kecil wanita hamil, Adriaens dan rekannya melaporkan perubahan mikroflora subgingiva dengan hibridisasi DNA-DNA untuk 37 spesies dan menemukan bahwa jumlah Porphyromonas gingivalis dan Tannerella forsythia pada minggu ke-12 kehamilan berkaitan dengan gingivitis jika diukur dengan BOP. Tidak ada perbedaan jumlah dari 37 spesies bakteri yang ditemukan antara minggu ke-12 dan ke-28 kehamilan, meskipun ada penurunan pada 17 dari 37 spesies antara minggu ke-12 dengan postpartum, termasuk Prevotella intermedia.Banyak penelitian menyebutkan bankteri subgingiva tersebut digunakan sebagai sampel plak, termasuk dari paper point atau kuretase. Pada studi terbaru lainnya, terdapat jenis sampel lain yang tersedia untuk mengukur jumlah bakteri mulut, yaitu sampel saliva. Menurut Umeda et al, sampel saliva utuh dilaporkan mengandung periodontopatogen gingiva dan dengan demikian merupakan alternatif yang baik sebagai sampel poket periodontal individual, yang lebih unggul daripada mengambil sampel poket periodontal untuk mendeteksi Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Prevotella nigrescens dan treponema denticola dalam rongga mulut. Diperkirakan sampel saliva utuh mengandung konsentrasi bakteri yang lebih tinggi daripada sampel poket periodontal yang dijenuhkan dalam air 0,4 ml untuk dideteksi oleh PCR. Studi cross sectional case control terbaru oleh Yokoyama et al menggunakan saliva tidak terstimulasi pada wanita hamil untuk mendeteksi periodontopatogen, meliputi Prevotella intermedia, Campylobacter rectus, Porphyromonas gingivalis, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, dan Fusobacterium nucleatum. Hasilnya menunjukkan bahwa Campylobacter rectus cenderung lebih tinggi pada wanita hamil daripada wanita tidak hamil. Jumlah Campylobacter rectus berkorelasi positif dengan konsentrasi estradiol pada wanita hamil. Penulis menjelaskan alasan pertumbuhan Campylobacter rectus sebagai peningkatan format dari perkembangan prevotella intermedia yang distimulasi oleh interaksi langsung hormon seks wanita pada sistem fumarate reductase. Studi lain menunjukkan bahwa pertumbuhan Campylobacter rectur meningkat secara signifikan dengan menggabungkan estradiol atau progesteron pada fibroblas gingiva manusia (HGF). Namun, penulis tidak dapat menemukan Prevotella intermeda berkaitan dengan tanda inflamasi gingiva atau konsentrasi estradiol pada saliva, yang tidak diperkuat pada studi lainnya. Perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan jenis sampel (saliva tidak terstimulasi dibandingkan dengan plak subgingival) yang digunakan dan jumlah Prevotella intermedia yang nampaknya sedikit lebih tinggi pada area subgingiva daripada saliva tak terstimulasi. Studi sebelumnya menyebutkan bahwa stimulasi dengan mengunyah parafin dapat meningkatkan aliran gingival crevicular fluid dari poket periodontal, yang melonggarkan perlekatan mikroorganisme atau koloni mikroorganisme dari biofilm ke dalam endapan saliva dan secara tidak alami dapat meningkatkan konsentrasi komponen saliva. Namun, terdapat perbedaan opini mengenai hal ini. Gursoy et al menyebutkan bahwa saliva terstimulasi yang dikumpulkan mengandung proporsi saliva kelenjar lebih tinggi, dan memperkecil konsentrasi komponen turunan gingiva. Opini ini juga dibuktikan dengan studi longitudinal berseri. Penulis mengumpulkan sampel plak subgingiva dan saliva terstimulasi dari wanita Finlandia dengan periodontal sehat dan memriksa adanya Prevotella intermedia. Pada sampel saliva, proporsi Prevotellaintermedia tidak berbeda secara signifikan baik dalam kelompok subjek maupun antar kedua kelompok. Pada plak subgingiva, jumlah Prevotella intermedia meningkat secara sementara dua kali dalam kelompok hamil, mencapai puncah tertinggi pada trimester kedua, meskipun perbedaannya tidak signifikan.Harus diperhatikan bahwa bakteri dikenal sebagai Fusobacterium nucleatum disebutkan pada beberapa studi. Sebagai bakteri oportunistik dalam mulut, bakteri tersebut dikaitkan dengan berbagai bentuk penyakit periodontal, termasuk gingivitis. Fusobacterium nucleatum telah mendapat perhatian karena hubungannya dengan keluaran kehamilan yang tidak diinginkan. Bakteri tersebut dapat menginvasi tidak hanya sel epitel gingiva, fibroblas gingiva, dan fibroblas ligamen periodontal, tetapi juga jenis sel lain pada manusia. Tidak seperti patogen periodontal, translokasi Fusobacterium nucleatum pada model infeksi akut bersifat spesifik terhadap organ, yaitu pada plasenta, diperkirakan akibat tertekannya imun pada plasenta. Laporan terbaru mengenai kelahiran mati yang disebabkan oleh Fusobacterium nucleatum memberikan bukti bahwa bakteri yang berasal dari plak subgingiva ibu dan ber-translokasi ke plasenta dan janin, menyebabkan inflamasi akut dan mengakibatkan kematian janin. Penulis lain juga memfokuskan pada perbandingan Fusobacterium nucleatum pada penelitian mereka. Pada dua studi cross-sectional yang disebut sebelumnya, tidak ada perbedaan pada Fusobacterium antara wanita hamil dan tidak hamil. Penelitian Yokoyama kemudian menemukan korelasi antara Fusobacterium nucleatum dan parameter seperti konsentrasi estradiol dan lokasi (PD=4 mm), meskipun tidak ditemukan bahwa hormon seks wanita memberikan pertumbuhan pada Fusobacterium nucleatum pada studi in vitro sebelumnya. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa peningkatan jumlah lokasi dengan PD = 4 mm pada wanita hamil dapat memberikan pertumbuhan Fusobacterium nucleatum. Namun, hipotesis ini tidak konsisten dengan temuan awal bahwa baik wanita hamil dan tidak hamil memiliki perbedaan jumlah Fusobacterium nucleatum. Pada studi longitudinal Adriaens, tidak ada perubahan Fusobacterium nucleatum naviforme dan Fusobacterium nucleatum polymorphum antara minggu ke-12 dengan minggu ke-28 kehamilan. Namun keduanya berkurang drastis pada minggu ke-4 dan ke-6 setelah melahirkan. BOP pada minggu ke-12 berkaitan dengan jumlah Fusobacterium nucleatum naviforme dan Fusobacterium nucleatum polymorphum yang lebih tinggi. Jika disimpulkan, tidak ada bukti yang jelas yang mengaitkan peningkatan konsentrasi estrogen atau progesteron selama kehamilan dengan patogen periodontal tertentu. Sebagian besar penelitian fokus pada spesies Bacteroides yang memiliki hasil yang tidak jelas, meskipun memiliki metode dan nomenklatur yang berbeda. Penelitian diperlukan untuk menjelaskan lebih lanjut perubahan keadaan mikroba subgingiva pada wanita hamil

3.3 Perubahan pada Respon immunoinflamasi pejamu. Perubahan imunologis telah lama diperkirakan sebagai bagian yang bertanggung jawab dalam kondisi periodontal yang ditemukan pada masa kehamilan. Dari berbagai mekanisme imun dalam proses inflamasi gingiva, leukosit polumorphonuclear (PMN) merupakan sel efektor utama dan diperkirakan memainkan peran yang besar. Saat terstimulasi oleh bakteri patogen, sel pejamu melepas sitokin proinflamasi sebagai bagian respon imun. Sitokin ini merekrut PMN ke area ingeksi, menghasilkan berbagai produk yang aktif secara biologis, seperti chemokine, enzim proteolitik, sitokin, dan reactive oxygen species (ROS), dan dengan demikian berkontribusi secara tidak langsung dalam meningkatkan inflamasi gingiva. PMN dipandang sebagai proteksi dari penyakit periodontal. Secara umum telah disepakati bahwa kerusakan jaringan periodontal dapat diperburuk oleh fungsi depresi PMN. Selama kehamilan, beberapa derajat imunosupresi dilaporkan, yang meminimalisir risiko penolakan janin. Peningkatan konsentrasi hormon seks wanita dapat memodulasi fungsi dan aktivitas PMN. Gangguan fungsi neutrofil ditemukan selama kehamilan dan diperkirakan berkaitan dengan meningkatnya kerentanan terhadap inflamasi. Selanjutnya, GF dan PDLC manusia, yang ikut serta aktif dalam sistem pertahanan imun oral, jauh dari menjadi sel pendukung utama, justru berpotensi menghasilkan sinyal chemokine, proteinase, dan sitokin saat terpapar stimulus dalam konsentrasi suboptimal atau terhadap sitokin inflamasi yang relevan, yang berkaitan dengan penyakit periodontal. Berdasarkan hal tersebut, data mengenai perubahan kemotaksis, sitokin, enzim, dan antioksidan yang disekresi dari PMN, GF manusia, atau PDLC dalam respon terhadap stimulus inflamasi selama kehamilan dikaji dalam bagain ini.

3.3.1 Kemotaksis. Dalam sebuah studi in vitro, Miyagi et al menemukan bahwa progesteron secara signifikan meningkatkan kemotaksis PMN pada konsentrasi 200 ng/ml dan konsentrasi rendah estradiol akan menurunkannya pada 0,4 ng/ml yang merupakan konsentrasi paling efektif, sementara estradiol dan progesteron tidak mengubah kemotaksis monosit pada uji dengan konsentrasi berapapun. Pada studi yang dilakukan C.A. Lapp dan D.F. Lapp, chemokine yang dihasilkan oleh GF manusia sebagai respon terhadap interleukin-1 secara signifikan dihambat oleh medroxyprogesteron asetat (MPA). Nebel dkk memeriksa efek estrogen pada produksi chemokin dari PDLC yang diberi perlakuan dengan liopolisakarida (LPS) dan ditemukan bahwa konsentrasi fisiologis estrogen endogen (100 nm 17-estradiol, yang merupakan konsentrasi E2 yang sama dengan yang ditemukan dalam plasma selama kehamilan) meregulasi ekspresi chemokin dengan berbeda pada sel PDL manusia. Hasilnya menunjukkan bahwa estregon menginduksi regulasi penurunan mRNA chemokine ligand 3 (CCL3) dan regulasi peningkatan aktivitas gen chemokine ligand 5 (CCL5) pada PDLC, sementara ekspresi chemokine ligand 2 (CCL2) tidak terpengaruh oleh estrogen.

3.3.2 Sitokin. Modulasi hormonal dari efek sitokin pada periodonsium telah diteliti secara luas. Studi in vitro yang dilakukan oleh Miyagi et al menyimpulkan bahwa monosit kemungkinan memainkan peran dalam inflamasi gingiva melalui pelepasan berbagai sitokin daripada melalui migrasinya ke lesi inflamasi. Prostaglandin (PG) E2 oleh monosit manusia yang terstimulasi LPS ditingkatkan oleh progesteron pada 2,0 dan 20 ng/ml dan berkurang oleh estradiol pada konsentrasi 0,4 ng/ml namun meningkat pada 20 ng/ml. IL-1 juga nampak dihambat oleh estradiol dan progesteron dengan pola mengikuti dosis. Yokoyama et al menemukan bahwa produksi IL-6 dan IL-8 oleh GF manusia ditingkatkan secara signifikan oleh stimulasi dengan estrogen dan progesteron pada konsentrasi yang tinggi, sebanding dengan yang ditemukan dalam plasma wanita hamil, yang menunjukkan bahwa kapasitas hormon seks wanita untuk meningkatkan produksi sitokin oleh GF manusia masih memiliki potensiuntuk menyebabkan berkembangnya penyakit periodontal selama kehamilan. Namin, sebuah studi in vitro oleh Lapp et al menunjukkan bahwa hormon seks memiliki efek menghambat sekresi produksi IL-6 oleh GF dalam merespon IL-1, dan tingginya jumlah progesteron selama kehamilan mempengaruhi perkembangan inflamasi lokal dengan mengurangi produksi IL-6. Studi in vitro lain juga menunjukkan bahwa hormon seks pada konsentrasi fisiologis (E2 sebanyak 10-9 sampai 10-7 M) memiliki efek yang menghambat sekresi sitokin inflamasi, termasuk TNF-, IL-1 dan IL-6 oleh PDLC yang diberi perlakuan dengan LPS bakteri E. Coli. Smith et al juga menemukan bahwa jumlah TNF- dalam neutrofil darah berkurang selama siklus menstruasi saat konsentrasi estrogen dan progesteron meningkat, yang mendukung potensi efek anti inflamasi dari hormon ovarium pada neutrofil. Studi tersebut menyebutkan adanya efek anti inflamasi hormon seks pada jumlah yang tinggi pada in vitro. Namun, jonsson et al tidak menemukan bahwa produksi IL-6 yang diinduksi LPS oleh PDLC dikembalikan oleh konsentrasi fisiologis E2 yang tinggi (100 nM) pada PDLC, yang menunjukkan bahwa estrogen tidak memberikan efek anti inflamasi. Studi in vitro tersebut fokus pada efek hormon seksual terhadap sitokin pada jaringan periodontal dipersulit dengan adanya bakteri. Akibat perbedaan konsentrasi hormon ovarium dan perbedaan protokol penelitian, hasil penelitiannya menjadi tidak konsisten.Meskipun terdapat beberapa studi in vitro yang mengevaluasi efek modulasi hormon terhadap sitokin pada periodonsium, hanya beberapa studi dengan manusia yang menunjukkan perubahan mediator proinflamasi lokal pada pasien hamil. Pada studi cohort Figuero, dilakukan penilaian jumlah hormon seksual pada saliva dan GCF dari panel sitokin pada sampel yang diambil dari 48 wabita hamil dengan periodonsium sehat. Mereka menemukan bahwa jumlah IL-1 dan PGE2 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan selama kehamilan, meskipun konsentrasinya lebih tinggi daripada yang ditemukan pada wanita tidak hamil. Eksaserbasi inflamasi gingiva selama kehamilan tidak biasa dikaitkan dengan perubahan dari PGE2 atau IL-1. Namun, seperti yang dilaporkan oleh penulis, insidensi tinggi terjadinya dropout dan kurangnya homogenitas antar kelompok diperkirakan merupakan keterbatasan studi mereka. Hasil ini memperkuat temuan studi cohort dengan hanya 19 wanita hamil yang dilakukan oleh Bieri et al, yang juga menemukan tidak ada perbedaan signifikan pada ekspresi IL-1, IL-1, IL-8, dan TNF- pada GCF antara minggu ke-12 kehamilan dan setelah kehamilan, yang menunjukkan bahwa perubahan pada inflamasi gingiva yang diindikasikan dengan BOP hanya memiliki kaitan yang lemah dengan ekspresi sitokin pada GCF selama kehamilan. Namun, periodonsium pasien pada studi ini tidak didefinisikan sebagai periodonsium yang sehat sebelum kehamilan seperti pada studi sebelumnya. Beberapa studi cross-sectional juga menemukan bahwa beberapa mediator proinflamasi kemungkinan tidak berkaitan dengan inflamasi gingiva selama kehamilan. Otenio et al menemukan tidak ada perbedaan tingkat ekspresi IL-1, IL-6, dan TNF- pada wanita hamil dengan dan tanpa penyakit periodontal dibandingkan dengan ekspresi gen yang sama pada wanita tidak hamil dengan dan tanpa penyakit periodontal, yang menunjukkan bahwa penyakit periodontal tidak dipengaruhi oleh kehamilan. menariknya, penulis menemukan penurunan pada ekspresi IL-6 pada wanita hamil dengan penyakit periodontal dibandingkan dengan pada wanita hamil tanpa penyakit periodontal, yang sesuai dengan studi in vitro sebelumnya yang disebut diatas yang melaporkan bahwa tingkat progesteron yang tinggi selama kehamilan memiliki efek menghambat sekresi IL-6 oleh GF manusia sebagai respon terhadap IL-1. Perubahan yang hampir sama dari jumlah sitokin GCF selama kehamilan didapat dari beberapa penelitian, beberapa hasil juga dilaporkan pada studi cohort terbaru yang mengevaluasi jumlah sitokin GCF pada siklus menstruasi pada wanita dengan periodontal sehat. Pada studi longitudinal dengan 18 wanita premenopause dengan periodontal normal yang menunjukkan siklus menstruasi yang stabil, Markou dkk menemukan bahwa hanya tingkat IL-6 GCF yang berbeda secara signifikan antara punyak ovulasi dan progesteron, dan peningkatan subklinis dari IL-6 pada puncak progesteron tidak disertai dengan perubahan periodonsium secara klinis. Hasil ini sebagian sesuai penelitian Becerik et al yang dilakukan pada subjek dengan periodontal sehat. Jumlah penanda inflamasi di GCF sama pada fase siklus menstruasi yang berbeda, namun pasien memiliki inflamasi gingiva yang meningkat yang diukur dengan BOP pada ovulasi (OV) dan menstruasi (ME) dibandingkan dengan fase premenstruasi (PM). Hasil yang tidak konsisten terdapat pada penelitan Baser et al, yang mengevaluasi jumlah IL-1 dan TNF- pada GCF selama siklus menstruasi pada wanita hamil dengan kontrol plak yang sangat baik. Studi menunjukkan bahwa jumlah IL-1 pada GCF dan skor BOP meningkat secara signifikan dari hari menstruasi sampai hari predominan sekresi progesteron. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan pemilihan kriteria pasien dan titik waktu pengambilan sampel klinis.Matrix metalloproteinase (MMP) terlibat dalam perusakan periodontal. Namun, perannya dalam gingivitis kehamilan tidak diteliti. Pada tahun 2000, Gursoy dkk pertama kali menunjukkan hubungan antara perubahan enzim neutrofil dalam saliva dan GCF dengan status periodontal selama kehamilan dan setelah melahirkan pada studi longitudinal. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dari MMP saliva yang terstimulasi parafin dan terjadi ekspresi penghambat jaringan matriks metalloproteinase (TIPM)-1, meskipun peningkatan inflamasi dan mikroba bergeser ke arah anaerob. Peningkatan inflamasi gingiva tidak ditunjukkan oleh enzim yang ditemukan pada GCF. Jumlah MMP-8dan PMN elastase pada GCF tetap stabil pada jumlah yang rendah selama kehamilan, meskipun terdapat peningkatan skor BOP dan kedalaman poket. Hasil penelitian mereka didukung oleh beberapa studi in vitro. Lapp et al menunjukkan bahwa progesteron dapat mengontrol dan mengurangi produksi lokal MMP melalui kultur GF dalam merespo il-1. Smith et al juga menemukan bahwa jumlah MMP-9 dalam neutrofil darah berkurang selama siklus menstruasi saat konsentrasi estrogen dan progesteron meningkat. Penurunan konsentrasi proteinasi pada jaringan lokal, termasuk saliva dan GCF, dapat menunjukkan gangguan fungsi neutrofil selama kehamilan, yang dapat menjelaskan induksi atau peningkatan kerentanan terhadap gingivitis selama kehamilan. selain itu temuan ini dapat menjelaskan alasan bahwa gingivitis kehamilan itu sendiri bukan predisposisi atau tidak berkembang menjadi periodontitis.

3.3.3 Stress oksidatif. Stress oksidatif merupakan mediator melalui respon imun dalam periodonsium dan kemungkinan berkaitan dengan kehamilan. Kehamilan merupakan kesatuan stress oksidatif yang muncul dari meningkatnya aktivitas metabolisme dalam mitokondria plasenta dan produksi reactive oxygen species (ROS), terutama superoxida anion (O2-). Sementara itu, kemampuan pembersihan antioksidan menurun. Stress oksidatif juga memainkan peran penting dalam patologi penyakit periodontal. Ketidakseimbangan antara stress oksidatif dan antioksidan dapat berperan dalam patogenesis periodontitis.individu dengan penyakit periodontal menunjukkan jumlah biomarker stress oksidatif lokal dan sistemik yang tinggi. Hubungan yang memungkinkan antara kondisi periodontal ibu hamil, stress oksidatif, dan kehamilan telah menjadi subjek dari beberapa studi. Hickman dkk, dalam studi cohort prospektif pada wanita hamil yang sehat, memeriksa apakah penyakit periodontal pada ibu hamil berkaitan dengan stress oksidatif yang diukur dengan serum 8-isoprostane. Hasilnya mengindikasikan bahwa adanya penyakit periodontal sedang sampai berat, secara signifikan berkaitan dengn peningkatan serum 8-isoporostane ibu hamil, yang menunjukkan bahwa penyakit periodontal pada ibu hamil berkaitan dengan stress oksidatif yang meningkat selama kehamilan. Pada laporan sebelumnya dengan populasi studi yang sama, mereka melaporkan bahwa penyakit periodontal dan preeklamsia dapat berkaitan melalui stress okridatif sistemik pada ibu hamil yang diukur dengan serum 8-isoprostane. Hal ini dapat menjelaskan laporan sebelumnya pada tahun 2008, yang menemukan bahwa penyakit periodontal ibu hamil dengan inflamasi sistemik yang diukur dengan protein C-reaktif berkaitan dengan peningkatan risiko preeklamsia.Selain itu, kapasitas antioksidan saliva dan GCF berkontribusi dalam proteksi periodonsium melawan stress oksidatif. Namun, beberapa studi fokus pada perubahan kapasitan antioksidan dalam periodonsium selama kehamilan. pada 2009, Akalin dkk dalam studi longktudinal, memeriksa status periodontal dan pertahanan antioksidan (AO) selama kehamilan. Kapasitas total AO serum dan GCF dan konsentrasi enzim superoxide dismutase (SOD) dibandingkan pada pasien hamil dengan periodontitis kronis (CP), pasien hamil dengan gingivitis (PG), wanita hamil dengan periodontal sehat (P-kontrol), wanita tidak hamil dengan CP, dan wanita tidak hamil dengan periodontal sehat. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah AO GCF lokal dan sistemik berkurang pada kehamilan dan periodontitis, dan perlawanan AO mencapai tingkat terendah pada fase terakhir kehamilan, sementara status periodontal memburuk. Hal yang sama terjadi pada SOD. Pada wanita hamil dengan periodontal sehat, dibandingkan dengan wanita hamil dengan penyakit periodontal, jumlah AO dan SOD pada GCF lebih tinggi pada awal kehamilan, namun perbedaan pada trimester ketiga tidak signifikan, hal ini menunjukkan bahwa jumlah AO GCF yang menurun pada kehamilan lebih dipengaruhi oleh kehamilan daripada oleh inflamasi periodontal, yang mengindikasikan bahwa kehamilan bisa menjadi faktor risiko inflamasi periodonsium. Namun, studi cross-sectional yang dilakukan pada kelompok wanita hamil dengan atau tanpa diabetes menunjukkan beberapa temuan berbeda. Pada studi ini, Surdacka dkk mengumpulkan saliva utuh campuran dan mengevaluasi sistem antioksidan yang diukur dengan aktivitas katalase. Dibandingkan dengan individu sehat,wanita hamil dengan diabetes ditemukan memiliki peningkatan pembentukan plak, status gingiva serta periodontal, dan peningkatan kapasitas antioksidan saliva serta jumlah sitokin proinflamasi, yang mengindikasikan terjadinya reaksi inflamasi. Parameter ini nampak tidak berkorelasi dengan wanita hamil sehat. Penulis beranggapan bahwa infeksi dapat menjadi sumber stress oksidatif yang memacu peningkatan pertahanan antioksidan saliva. Penjelasan yang memungkinkan bagi perbedaan antara kedua studi ini adalah perbedaan panjang periode studi, mediator yang diukur, dan status kesehatan subjek yang diambil. Pada pasien dengan penyakit jangka panjang dan komplikasi sistemik, tidak jelas apakah stress oksidatif merupakan penyebab atau hasil dari kondisi ini.Secara keseluruhan, perubahan kemotaksis, sitokin, enzim, dan antioksidan dalam periodonsium selama kehamilan masih belum jelas, tanpa mempedulikan apakah berasal dari GF, PDLC, atau PMN. Diduga bahwa hormon seks dapat memberikan edek anti inflamasi dan proinflamasi pada periodonsium dalam pola yang tergantung pada dosis. Dengan demikian, gingiva pada kehamilan menjadi kurang efisien dalam mencegah inflamasi dari bakteri. Pada saat yang sama, gingivitis pada kehamilan dapat sembuh dan bukan merupakan predisposisi atau tidak berkembang menjadi periodontitis.

3.4 Pengaruh Sel Periodonsium. Fungsi sel pada jaringan periodontal dapat dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron. Pada laporan sebelumnya, hormon seks steroid ditemukan dapat memberikan pengaruh secara langsung dan tidak langsung pada proliferasi, diferensiasi, dan pertumbuhan seluler pada gingiva. Pada studi yang dilakukan oleh Mariotti, proliferasi seluler dan jumlah sel yang memasuki fase S pada siklus sel meningkat secara signifikan pada kultur fibroblas gingiva manusia premoenopause yang terstimulasi oleh konsentrasi fisiologis estradiol (1 nM), sementara produksi protein kolagen dan nonkolagen menurun. Nebel et al menemukan bahwa estrogen mengurangi proliferasi sel epitel gingiva yang dilihat dengan mengukur sintesis DNA pada konsentrasi estradiol yang tinggi (500 nM dan 10 M) dan tidak rendah (10 nM), menunjukkan adanya mekanisme yang terantung pada konsentrasi. Efek E2 pada sel hPDL juga diteliti. Pada penelitian oleh Mamalis, peningkatan yang signifikan pada proliferasi sel hPDL terjadi setelah stimulasi estradiol (100 nM), sementara proliferasi sel tidak berubah setelah blok ER- oleh teknik short interfering RNA (siRNA). Namun, sintesis kolagen masih tidak terpengaruh oleh stimulasi estradiol pada sel yang ter-transfeksi dan tidak ter-transfeksi stabil. Penelitian ini mengkonfirmasi hasil dari studi sebelumnya yang tidak dapat menunjukkan bahwa estrogen pada konsentrasi fisiologis (100nM atau dibawahnya) bertindak sebagai mediasi perubahan yang signifikan pada sintesis kolagen sel ligamen periodontal. Namun, konsentrasi fisiologis (100 nM) E2 ditemukan dapat menungkatkan sintesis DNA pada sel kanker payudara manusia MCF-7, yang menandakan bahwa efek estrogen pada sintesis kolagen adalah spesifik pada sel/jaringan. Singkatnya, data yang ditampilkan disini menunjukkan bahwa tidak aa efek stimulasi estrogen pada jumlah kolagen yang disintesis oleh fibroblas gingiva, sel PDL, atau sel epitel gingiva. selain itu, efek stimulasi estrogen pada proliferasi seluler gingiva terjadi pada pola yang tergantung pada konsentrasi.Akibat ketidakjelasanlokasi reseptor progesteron pada jaringan periodontal, maka efek progesteron pada sel periodonsium masuh belum dapat ditentukan. Tidak ada informasi yang cukup yang tersedia mengenai hal tersebut. Namun pada tingkatan yang rendah, PgR dilaporkan pada fibroblas gingiva, yang menunjukkan bahwa progesteron seharusnya memiliki efek pada fungsi GF. Pada studi in vitro, nampak adanya efek penghambatan dari progesteron terhadap tingkat proliferasi GF. Progesteron pada konsentrasi 50 dan 100 g/ml secara signifikan menurunkan pertumbuhan seluler pada kultur yang didapat dari individu sehat dan diabetes (tipe II). Hal ini menjelaskan efek yang kurang baik dari perubahan hormon selama kehamilan terhadap jaringan gingiva. Yuan et al menyebutkan bahwa progesteron menstimulasi proliferasi dan diferensiasi PDLC manusia melalui PgR. Namun, Jonssin et al menyebutkan bahwa progesteron tidak memiliki efek langsung pada fungsi PDLC; karena tidak ada imunoreaktivitas inti PgR ditemukan pada PDLC.4. KesimpulanBerdasarkan data yang dideskripsikan diatas, terdapat hubungan antara peningkatan jumlah hormon kehamilan dalam plasma dan penurunan status kesehatan periodontal. Selain itu, pengaruh hormon seks dapat diminimalisir dengan kontrol plak yang baik. Dapat diasumsikan bahwa fluktuasi pada jumlah estrogen dan progesteron selama kehamilan memberikan pengaruh pada mikrobiota subgingiva dan spektrum respon inflamasi pada jaringan gingiva melalui perubahan kemotaksis, sitokin, enzim, dan antioksidan dari PMN, GF, dan PDLC, dan dengan demikitan secara tidak langsung berperan dalam meningkatkan inflamasi gingiva. mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan tersebut belum diketahui sepenuhnya. Oleh sebab itu, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menjelasskan secara keseluruhan mekanisme molekuler terkait kondisi periodontal dengan kehamilan.