jurnal
DESCRIPTION
SOCIAL CONTROL CIVIL SOCIETY MOVEMENT TOWARDS VIOLENCE CASES IN SPECIAL DISTRICT OF YOGYAKARTATRANSCRIPT
Kontrol sosial gerakan .... (Zainal Abidin)
KONTROL SOSIAL GERAKAN MASYARAKAT SIPIL TERHADAP KASUS KEKERASAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA: STUDI PADA MASYARAKAT ANTIKEKERASAN YOGYAKARTA (MAKARYO)
SOCIAL CONTROL CIVIL SOCIETY MOVEMENT TOWARDS VIOLENCE CASES IN SPECIAL DISTRICT OF YOGYAKARTA : A STUDY ON MASYARAKAT ANTIKEKERASAN YOGYAKARTA (MAKARYO)
Oleh: Zainal Abidin, Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) strategi yang digunakan Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo) dalam melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah untuk menyelesaikan kasus kekerasan di Yogyakarta. (2) mengetahui capaian kontrol sosial yang telah diraih Makaryo. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penentuan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive dengan subjek penelitian yaitu, Koordinator Makaryo dan beberapa LSM yang tergabung di dalamnya. Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Pemeriksaan keabsahan data dengan teknik cross check data. Teknik analisis data secara induktif meliputi reduksi data, unitisasi dan kategorisasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, strategi kontrol sosial melalui upaya advokasi yang ditempuh Makaryo selama ini berkisar pada: Pembentukan koalisi Makaryo; Mengemas isu semenarik mungkin dalam bingkai (frame) “Jogja Darurat Kekerasan”; Menganalisis stakeholder dan identifikasi target; Menyusun strategi advokasi, yaitu berkisar pada pengajuan konsep banding, melakukan pembelaan yang diwujudkan melalui advokasi litigasi berupa penyelesaian kasus kekerasan melalui jalur hukum ke pengadilan, mempengaruhi pendapat umum melalui kampanye “Jogja darurat kekerasan”, mempengaruhi pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap pembuat dan pelaksana kebijakan melalui desakan dan lobi, dan melancarkan tekanan berupa aksi-aksi demonstrasi. Beberapa diantaranya upaya kontrol sosial menunjukkan keberhasilan pada dimensi kebijakan dan dimensi masyarakat sipil.
Kata kunci: kontrol sosial, masyarakat sipil, Yogyakarta the city of tolerance
Abstract
The purpose of this research is to understand: (1) the strategies used by Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo) in imposing social control towards government to resolve violence cases in Yogyakarta. (2) the achievement of social control that has been achieved by Makaryo. This research is a descriptive research using a qualitative approach. Subject determination in this research is using purposive technique with the research subjects, namely, the Coordinator of Makaryo and several NGOs joined in it. Collecting data done by using interview techniques and documentation. Data validity checking done by data cross checking technique. Inductive data analysis techniques including data reduction, data unitization and categorization, data presentation, and conclusion and verification. The results showed that, the strategy of social control through advocacy taken by Makaryo during this time revolves around: the establishment of Makaryo coalition; Presents issues as attractive as possible within the frame “Jogja Violence Emergency”; Analyzing stakeholders and target identification; Develop the advocacy strategies, which revolves around the concept of filing an appeal, defense is carried out through advocacy litigation in the form of settlement of violence cases to the court, influence public opinion through the campaign “Jogja Violence Emergency”, influence the policy makers, policy implementers, and the parties which have an influence on policy makers and implementers through insistence and lobby, dan and puts pressure in the form of demonstrations. Some of these efforts demonstrate the success of social control on the policy dimension and civil society dimensions.
Keywords: social control, civil society, Yogyakarta the city of tolerance.
1
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2015
PENDAHULUAN
Yogyakarta the city of tolerance adalah
predikat tidak terpisahkan dari keistimewaan
Yogyakarta di luar mekanisme pengisian
jabatan kepala daerah. Pada konteks kekinian,
predikat tersebut kontradiktif dengan apa yang
terjadi dalam beberapa tahun terakahir. Fakta
menunjukkan bahwa predikat kota toleran
semakin pudar dengan maraknya aksi anarkis di
daerah ini.
Sejumlah konflik yang berujung pada aksi
kekerasan berbasis agama, politik, dan etnis
seakan menjadi antitesis atas predikat the city of
tolerance. Pada kurung waktu 18 tahun (1996-
2014) terjadi 25 kasus kekerasan di Yogyakarta,
(Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta, 3 Juni
2014).
Permasalahan demikian juga beriringan
dengan hilangnya hak asasi warga negara,
khususnya masyarakat Yogyakarta, yaitu hak
atas rasa aman. Rasa cemas dan takut
menghantui masyarakat yang ingin hidup
damai, tanpa adanya ancaman dan tekanan
dalam beraktivitas.
Secara tekstual, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 pasal 28G ayat
(1) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) pasal
20-27 telah mengatur secara tegas perlindungan
atas rasa aman baik secara fisik maupun
psikologis, artinya setiap warga negara berhak
untuk hidup dalam tatanan masyarakat dan
kenegaraan yang aman, damai, dan tentram
(Smith, et.al., 2008: 266).
Pada kondisi demikian, negara selalu
menjadi pihak yang dipersalahkan atas
ketidakmampuannya melindungi warga negara
atau negara dipandang melakukan pembiaran
atas pelanggaran hak asasi. Akan tetapi, dalam
konteks negara demokrasi, di mana partisipasi
masyarakat sipil merupakan prasyarat
bekerjanya sistem demokrasi, maka masyarakat
sipil harus ikut terlibat dalam menyelesaikan
masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang
muncul.
Partisipasi masyarakat sipil yang dimaksud
dalam relasi antara government, market, dan
civil society (masyarakat sipil) adalah dengan
melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah.
Soerjono Soekanto (2013: 179) mengartikan
kontrol sosial sebagai pengawasan oleh
masyarakat terhadap pemerintah dan
aparaturnya dalam jalannya pemerintahan.
Pada konteks tingginya eskalasi kasus
kekerasan yang terjadi di wilayah Yogyakarta,
organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta mulai
pada tahun 2008 sampai sekarang kemudian
bersatu dan membentuk gerakan yang
dinamakan Masyarakat Antikekerasan
Yogyakarta (Makaryo). Sesuai dengan
namanya, Makaryo adalah gerakan masyarakat
sipil yang didirikan sebagai reaksi dan
keprihatinan atas eskalasi tindak kekerasan di
Yogyakarta. Makaryo terdiri dari berbagai LSM
yang juga menentang segala tindak kekerasan
yang terjadi di Yogyakarta. Tercatat ada 30
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
gerakan di Yogyakarta yang tergabung di
dalamnya. Banyaknya LSM dan gerakan yang
tergabung dalam Makaryo dari berbagai latar
2
Kontrol sosial gerakan .... (Zainal Abidin)
belakang serta visi dan misi yang berbeda tentu
menjadi wahana kajian yang menarik dalam
menggabarkan gerakan masyarakat sipil di
Yogyakarta.
Akan tetapi, Makaryo sebagai gerakan
masyarakat sipil yang dibentuk dengan tujuan
untuk menciptakan Daerah Istimewa
Yogyakarta bebas dari tindak kekerasan tidak
sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Kegiatan-kegiatan kontrol sosial
yang dilakukan Makaryo berupa advokasi
diarahkan pada upaya–upaya pemenuhan
keadilan, peningkatan kontrol rakyat atas
pemerintah, peradilan yang sehat serta
penyelenggaraan negara yang baik belum
sepenuhnya mewujudkan Yogyakarta bebas dari
tindak kekerasan.
Sejak berdirinya Makaryo pada tahun 2008
sampai pada tahun 2014 masih terjadi 23 kasus
kekerasan di Yogyakarta pada periode tersebut
(Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta, 3 Juni
2014). Bahkan menurut The Wahid Institute
pada tahun 2014 menempatkan Yogyakarta
sebagai daerah dengan tingkat kekerasan
terbesar kedua setelah Jawa Barat dengan 21
Peristiwa (The Wahid Institute, 2014: 26).
Sejumlah kasus kekerasan yang terus
berlangsung di Yogyakarta menunjukkan
gambaran yang kontraproduktif dan paradoks
dengan wacana gerakan masyarakat sipil
sebagaimana yang diutarakan sebelumnya,
terutama harapan terhadap Makaryo untuk
menyelesaikan kasus kekersan melalui usaha-
usaha kontrol sosialnya.
Oleh karena itu, penelitian ini akan
memberi gambaran deskriftif-analitis mengenai
bagaimana kontrol sosial yang dilakukan
Makaryo terhadap pemerintah untuk
menyelesaikan masalah kekerasan di
Yogyakarta. Dengan demikian, akan diperoleh
gambaran mengenai strategi yang digunakan
Makaryo dalam melakukan kontrol sosial
terhadap pemerintah untuk menyelesaikan kasus
kekerasan di Yogyakarta dan capaian-capaian
apa saja yang telah diraih Makaryo selama ini.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Pendekatan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kualitatif.
Penentuan Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini
diambil secara purposive, yaitu berupa teknik
pengambilan data dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2013: 218-219). Pertimbangan yang
digunakan adalah: adalah pihak yang
mempunyai peran penting dalam Masyarakat
Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo), yaitu
pihak-pihak yang menginisiasi pembentukan
Makaryo, pihak-pihak yang mempunyai otoritas
untuk mengatur program-program yang
dijalankan oleh Makaryo, pihak-pihak yang
banyak berperan atas sejumlah kegiatan kontrol
sosial yang dilakukan oleh Makaryo, LSM
anggota koalisi Makaryo yang bergerak
dibidang pluralisme (mengingat tren kasus
kekerasan di Yogyakarta berlatarbelakang
pluralisme).
Berdasarkan kriteria atau pertimbangan
tersebut, subyek dalam penelitian ini adalah:
3
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2015
Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta
(Makaryo), Aliansi Jurnalis Independen
Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Yogyakarta, Aliansi Nasional Bhinneka
Tunggal Ika (ANBTI) dan Bidang Jaringan
Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta
(Makaryo).
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai basis gerakan
Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta
(Makaryo) dari bulan April 2015 sampai Juni
2015.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik wawancara mendalam
tidak terstruktur dan dokumentasi.
Tenik Pemeriksaan Keabsahan Data
Pada penelitian ini teknik pemeriksaan
keabsahan data yang digunakan adalah teknik
cross check data. Keabsahan data dalam
penelitian ini didapatkan dari hasil pengecekan
terhadap hasil wawancara antara subjek
penelitian dengan dokumen hasil penelitian
yang berkenaan dengan kontrol sosial yang
dilakukan oleh Masyarakat Antikekerasan
Yogyakarta (Makaryo) dalam mendorong aparat
penegak hukum dan pejabat publik untuk
menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang
terjadi di Yogyakarta.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini
dilakukan secara induktif. Menurut Sugiyono
(2013: 245), teknik analisis data secara induktif
yakni suatu analisis berdasarkan data yang
diperoleh, kemudian dikembangkan menjadi
kesimpulan umum. Proses analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisis data
penelitian kualitatif yang meliputi: 1) reduksi
data (data reduction); 2) unitisasi dan
kategorisasi data; 3) penyajian data (data
display); dan 4) penarikan kesimpulan dan
verifikasi (Sugiyono, 2013: 246-252).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kontrol Sosial Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo).
Kontrol sosial yang dilakukan oleh
Makaryo berkisar pada kegiatan-kegiatan untuk
mendorong penegak hukum dan pejabat publik
untuk melakukan aksi-aksi dalam menuntaskan
pengungkapan kasus-kasus kekerasan di
Yogyakarta melalui penegakan hukum dengan
menindak tegas pelaku kekerasan dan penganjur
(aktor intelektual), melakukan aksi-aksi
preventif terhadap berbagai gejala yang dapat
memicu tindak kekerasan.
Kontrol sosial tersebut didasari atas realitas
maraknya kasus kekerasan di Yogyakarta
disertai lemahnya penegakan hukum yang fair
dan adil. Kondisi itu diperparah dengan
ketidakhadiran negara dalam setiap kasus
kekerasan, baik melalui tindakan preventif
maupun represif.
Bentuk kontrol sosial yang dilakukan oleh
Makaryo berupa pengawasan yang bersifat
vertikal dan berdimensi politik struktural
terhadap aparatur pemerintah. Kontrol tersebut
merupakan salah satu peran yang melekat pada
lembaga-lembaga swadaya masyarakat pada
umumnya, termasuk Makaryo. Raharjo (1999:
165-166), mengistilahkan peran tersebut sebagai
4
Kontrol sosial gerakan .... (Zainal Abidin)
kekuatan pengimbang (countervailing power).
Peranan ini meliputi upaya LSM mengontrol,
mencegah, dan membendung dominasi dan
manipulasi pemerintah terhadap masyarakat.
Peranan ini umumnya dilakukan dengan
advokasi kebijakan lewat lobi, pernyataan
politik, petisi, dan aksi demonstrasi.
Sebagai kekuatan pengimbang
(countervailing power), Makaryo menyadari
betul bahwa dalam melakukan kontrol sosial
melalui upaya-upaya advokasi terhadap
pemerintah tidaklah mudah. Peran kekuatan
pengimbang merupakan upaya politik yang
penuh dinamika sehingga harus dipahami
sebagai mekanisme yang penuh dengan konflik
dan negosiasi. Pada konteks demikian, harus
dipahami bahwa ada beberapa faktor yang turut
memberi sumbangsih sehingga upaya kontrol
sosial yang dilakukan Makaryo berjalan dengan
efektif.
Pertama; berkaitan dengan legitimasi, yaitu
siapa yang diwakili oleh organisasi dan
bagaimana hubungannya dengan konstituen
(Miller dan Covey, 2005: 15). Makaryo
berbicara atasnama warganegara yang
menentang segala bentuk tindak kekerasan. Apa
yang dibela adalah kepentingan-kepentingan
publik. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28G
ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
pasal 20-27 secara tekstual telah mengatur
secara tegas perlindungan atas rasa aman baik
secara fisik maupun psikologis. Alasan
pembenar lain bahwa tindak kekerasan dalam
bentuk apapun adalah tindakan yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua; berkaitan dengan kredibilitas, yaitu
merujuk pada seberapa jauh sebuah organisasi
dipercaya. Kredibilitas Makaryo terletak pada
LSM-LSM baik yang ikut mendirikan maupun
yang dalam perkembangannya ikut bergabung
dalam Makaryo adalah LSM yang mempunyai
kredibilitas, misalnya saja LHB Yogyakarta
atau, Forum LSM DIY, AJI Yogyakarta, Aliansi
Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI),
SATUNAMA, dan lain-lain merupakan LSM
yang dipercaya publik dalam melakukan
advokasi di masing-masing bidang garapan.
Ketiga; berkaitan dengan Kekuasaan, yaitu
sumberdaya kekuatan yang dapat dimobilisasi
untuk bertindak. Makaryo yang notabene
merupakan wadah konsensus antar Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan gerakan
masyarakat sipil Yogyakarta mendapat sumber
kekuasaan dari banyaknya LSM yang tergabung
di dalamnya, dalam istilah lain disebut the
power of number. Pada beberapa kasus, jumlah
LSM yang mendukung Makaryo dalam sebuah
isu telah menjadi kekuatan besar untuk
mempengaruhi pemerintah.
Akan tetapi, untuk melakukan kontrol sosial
terhadap pemerintah, tidaklah cukup dengan
mengandalkan ketiga faktor di atas, juga
dibutuhkan strategi advokasi yang tepat agar
tujuan advokasi tercapai. Strategi kontrol sosial
melalui upaya advokasi yang ditempuh
Makaryo selama ini berkisar pada:
Pertama; Pembentukan Koalisi Makaryo,
Bergabungnya LSM-LSM dan elemen
masyarakat sipil lainnya dalam satu payung
gerakan Makaryo tidak lepas dari pemahaman
bersama bahwa kerja-kerja advokasi dalam
5
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2015
menyelesaikan kasus kekerasan memerlukan
energi yang tidak sedikit.
Selain itu, tendensi tindak kekerasan yang
terjadi di Yogyakarta umumnya dilakukan oleh
pihak-pihak yang memiliki sumber-sumber
kekuasaan sehingga berpengaruh pada kinerja
pemerintah dalam melakukan penegakan hukum
yang fair dan adil. Oleh karena itu, dibutuhkan
kerja sama horizontal antara organisasi
masyarakat sipil di Yogyakarta dalam sebuah
koalisi agar menjadi dasar kekuatan politik serta
bargaining position (posisi tawar menawar)
proses-proses kontrol sosial.
Gambar 1. Alur Strategi Advokasi Makaryo.
Sumber: disadur dari Pamungkas, Sigit, dkk., 2010. Advokasi Berjejaring. Yogyakarta: PolGov. Hal. 22 dan Miller dan Covey. 2005. Pedoman Advokasi: Perencanaa, Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 69.
Kedua; Analisis masalah kekerasan,
berkisar pada pemeriksaan serangkaian akibat-
akibat, identifikasi sebab-sebab kasus kekerasan
di Yogyakarta, dan solusi yang dibutuhkan.
Makaryo menilai bahwa mayoritas pelaku
kekerasan di Yogyakarta adalah organisasi
masyarakat. Berdasarkan data Makaryo, ada 18
kasus kekerasan yang dilakukan Ormas dari
total 25 kasus kekerasan yang ada pada data
wilayah Yogyakarta.
Berangkat dari analisis tersebut, Makaryo
beranggapan bahwa dibutuhkan peran aktif
aparat penegak hukum dan pejabat publik di
Yogyakarta. Peran tersebut diwujudkan pada
upaya-upaya menuntaskan pengungkapan
kasus-kasus kekerasan di Yogyakarta melalui
penegakan hukum dengan menindak tegas
pelaku kekerasan dan penganjur (aktor
intelektual).
Ketiga; Mengemas isu semenarik mungkin.
Pada tataran ini, Makaryo mengemas isu
eskalasi tindak kekerasan yang terjadi di
Yogyakarta dalam bingkai (frame) “Jogja
Darurat Kekerasan”. Isu tersebut terbukti
menarik perhatian publik.
Keberhasilan tersebut tidak dapat
dilepaskan dari Kehadiran Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Yogyakarta yang merupakan
organisasi profesi jurnalis sebagai salah satu
anggota Makaryo. Kemampuan jurnalis dalam
mengemas isu yang gampang dicerna publik
dan mempunyai nilai jual berita yang besar
banyak membantu kerja-kerja kontrol sosial
yang dilakukan Makaryo. AJI banyak
memberikan persfektif tentang bagaimana
mengemas isu kekerasan yang diperjuangkan
Makaryo agar mendapat dukungan besar dari
publik. Selain itu, AJI sebagai wadah profesi
jurnalis telah memberi saluran bagi setiap pers
rilis yang dikeluarkan Makaryo agar lebih
mudah masuk dalam dapur pemberitaan,
terlepas dari dimuat tidaknya pres rilis tersebut
karena profesi wartawan tetaplah independen.
Keempat; Analisis stakeholder dan
identifikasi target. Untuk menyusun strategi
tentang advokasi, perlu mengetahui siapa yang
6
Kontrol sosial gerakan .... (Zainal Abidin)
mendukung gerakan, siapa yang menentang
gerakan, dan terhadap siapa yang menyediakan
peluang keberhasilan agenda advokasi. Makaryo
membagi Stakeholders menjadi dua kategori,
yaitu: target advokasi dan target oposisi
Target advokasi, yaitu aparat penegak
hukum dan pejabat publik di Yogyakarta
menjadi target advokasi karena dianggap dapat
menyelesaikan masalah kekerasan. DPD RI,
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas),
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) DI
Yogyakarta menjadi lembaga yang dijadikan
sebagai pendukung advokasi karena dianggap
mempunyai kewenangan mempengaruhi Aparat
penegak hukum dan pejabat publik di
Yogyakarta. Selain itu, juga dilakukan pemetaan
lawan dalam agenda advokasi, yaitu para pelaku
tindak kekerasan, dalam hal ini beberapa ormas
intoleran.
Kelima; menyusun strategi advokasi, yaitu
mengajukan konsep banding, diwujudkan pada
kegiatan legel drafting mendorong pemilihan
kepala daerah yang nirkekerasan di kabupaten
Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan
Kabupaten Bantul. Melakukan pembelaan,
diwujudkan melalui advokasi litigasi berupa
penyelesaian kasus kekerasan melalui jalur
hukum ke pengadilan.
Pengaruhi pembuat dan pelaksana
kebijakan diwujudkan dengan kegiatan desakan
terhadap aparat penegak hukum dan aparat
publik Yogyakarta. Makaryo beberapa kali
melakukan desakan-desakan serta petisi-petisi
untuk mendesak penegak hukum dan pejabat
publik untuk segera menyelesaikan kaus
kekerasan di Yogyakarta. Selain itu, lobi-lobi
kepada DPD RI, Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) DI Yogyakarta juga dilakukan.
Mempengaruhi pendapat umum,
diwujudkan dengan penyadaran kepada target
advokasi dan publik tentang eskalasi kasus
kekerasan di Yogyakarta melalui kampanye
“Jogja darurat kekerasan”. Melancarkan tekanan
berupa aksi-aksi demonstrasi.
Capaian Kontrol Sosial Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo).
Upaya-upaya kontrol sosial yang dilakukan
oleh Makaryo telah membuahkan beberapa
pencapaian, baik itu pada tataran kebijakan
maupun penguatan masyarakat sipil. Aksi-aksi
kontrol Makaryo dimaksudkan agar negara
bertanggungjawab untuk menciptakan
Yogyakarta bebebas dari kekerasan melalui
kebijakan-kebijakannya. Beberapa capaian
Makaryo pada dimensi ini, yaitu Makaryo telah
berhasil memfasilitasi penyelenggaraan
perayaan Paskah Adiyuswa Sinode Gereja
Kristen Jawa tingkat nasional 2014 di
Kabupaten Gunungkidul pada Mei 2014.
Capaian lain adalah Makaryo berhasil
memediasi antara jemaat warga jemaat Gereja
Pantekosta di Indonesia (GPdI) Playen dengan
aparat Kepolisian Gunungkidul agar
pelaksanaan perayaan Natal (GPdI) Playen 2014
dapat berjalan dengan lancar. Sebelumnya, pada
kedua kasus tersebut berpotensi menimbulkan
konflik yang berujung kekerasan.
Pada tataran desakan, Makaryo berhasil
mendesak MUI DI Yogyakarta untuk
7
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2015
mengeluarkan rekomendasi kepada seluruh
Ormas Islam berupa ajakan untuk menghindari
aksi-aksi kekerasan. Makaryo juga berhasil
mendesak dan hingga akhirnya Kapolda DIY,
Brigjen Haka pada bulan Juni 2014 dicopot dari
jabatannya karena dianggap gagal melakukan
upaya preventif dan represif terhadap para
pelaku kekerasan yang terjadi di Yogyakarta.
Pada tataran kebijakan, Makaryo pernah
mendorong KPU dan Bawaslu Yogyakarta agar
membuat zonasi wilayah kampanye untuk
masing-masing pendukung calon presiden pada
pemilu tahun 2014 untuk menghindari peristiwa
kerusuhan yang melibatkan masa pendukung
pasangan Capres Cawapres.
Selain daripada itu, capaian lain yang
dihasilkan oleh Makaryo adalah kemampuan
mengorganisir organisasi akar rumput, dalam
hal ini LSM-LSM yang tergabung di dalam
Makaryo untuk ikut terlibat menyelesaikan
masalah sosial yang timbul dilingkungannya
secara swadaya.
Menjadi fokus penting dalam kegiatan-
kegiatan kontrol sosial yang dilakukan Makaryo
adalah keberhasilan dalam meraih perhatian dan
dukungan publik yang tidak dapat dilepaskan
dari peran media massa. Makaryo mengerti
betul bahwa keberhasilan suatu kampanye
advokasi sangat dipengaruhi oleh peran media
massa karena media massa merupakan wahana
yang paling efektif untuk mengkomunikasikan
pesan dan mempengaruhi sejumlah besar orang
dalam waktu yang cukup singkat. Makaryo telah
berhasil berkolaborasi dengan media massa dan
bersama-sama melakukan advokasi dalam
suasana yang serba dingin. Berkat media,
Advokasi Makaryo tidak dilakukan di ruang
pertarungan yang membutuhkan debat dan
kekuatan argumentasi, tidak semata harus
berlangsung secara hingar-bingar melalui
demonstrasi massa.
Selain catatan positif tersebut, yang menjadi
kekurangan dalam aksi-aksi kontrol sosial
Makaryo adalah: Pertama; kerja-kerja advokasi
dengan model koalisi tidak lepas dari
kekurangan. Kerjasama untuk melakukan
advokasi dalam sebuah koalisi Makaryo masih
belum maksimal. Salahsatunya adalah kerangka
kerja yang belum dirajut dalam anyaman yang
solid sehingga tidak semua organisasi
masyarakat sipil yang tergabung memiliki
komitmen dan tanggung jawab yang sama.
Beberapa organisasi masyarakat sipil yang
tergabung belum merasa memiliki konektivitas
dan merasa perlu untuk mendedikasikan dirinya
dalam kegiatan-kegiatan advokasi yang
dilakukan Makaryo.
Banyak prakarsa dalam setiap kegiatan
advokasi yang dilakukan Makaryo hanya datang
dari lingkaran inti koalisi tersebut, yaitu aliansi
para pihak yang menjadi penggagas,
pemrakarsa, pendiri, penggerak utama,
sekaligus penentu dan pengendali arah tema
atau isu, strategi dan sasaran dari kegiatan
advokasi (Pamungkas, dkk., 2010: 63).
Kedua; organisasi masyarakat sipil yang
tergabung dalam Makaryo berasal dari
bermacam-macam bidang garapan, latar
belakang visi dan misi menjadi salahsatu
penyebab kurangnya konektivitas dalam koalisi.
Masing-masing organisasi masyarakat sipil
memiliki program-program tersendiri sehingga
8
Kontrol sosial gerakan .... (Zainal Abidin)
sulit untuk bisa memusatkan perhatian pada
tugas-tugas pokok koalisi.
Selain itu, persoalan kompromi dan
negosiasi isu dengan LSM-LSM dalam
Makaryo kadang menjadi persoalan. Masing-
masing LSM memiliki strategi dan taktik
masing-masing dalam menyelesaikan persoalan.
Pada beberapa kasus anggota koalisi Makaryo
kadang memilih menjauh dari koalisi dan
menyelesaikan kasus dengan cara dan
strateginya sendiri.
Persoalan lain adalah berkaitan dengan
penghargaan terhadap organisasi. Kerja-kerja
advokasi secara koalisi tentu saja membuat
perhatian publik terpusat pada hasil kerja koalisi
ketimbang melihat apa yang dilakukan individu
atau kelompok yang ada di dalamnya, meskipun
kontribusinya sangat besar (Pamungkas, dkk.,
2010: 33). Persoalan demikian juga membuat
beberapa, LSM di dalam Makaryo lebih
memilih menyelesaikan sendiri beberapa isu
yang muncul. Hanya beberapa isu struktural
yang sekiranya perlu mendapat perhatian lebih
yang dikompromikan dengan koalisi Makaryo.
Ketiga; kerja-kerja advokasi litigasi
Makaryo selama ini lebih banyak fokus pada
kasus per kasus Sebagai organisasi masyarakat
sipil dalam posisinya sebagai representasi civil
society seharusnya mampu melakukan advokasi
litigasi yang lebih mencerminkan posisinya
sebagai kekuatan pengimbang terhadap negara.
Upaya litigasi tersebut dapat berupa tuntutan
hukum di pengadilan untuk dan mewakili
kepentingan publik, dalam hal ini hilangnya hak
atas rasa aman masyarakat Yogyakarta.
Bila Makaryo menganggap masalah
kekerasan di Yogyakarta telah sampai pada
tahap yang menghawatirkan, maka seharusnya
Makaryo tampil sebagai wakil masyarakat
Yogyakarta untuk mengajukan gugatan terhadap
pemerintah dalam bentuk Legal Standing dan
Class Action.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kontrol sosial yang dilakukan oleh
Makaryo melalui beberapa strategi pada
beberapa kasus mampu mendorong penegak
hukum dan pejabat publik untuk melakukan
aksi-aksi menuntaskan pengungkapan kasus-
kasus kekerasan di Yogyakarta. Akan tetapi,
kerjasama untuk melakukan advokasi dalam
sebuah koalisi Makaryo masih belum maksimal,
terutama dalam hal komitmen anggota koalisi
dan banyaknya isu kekerasan yang menjadi
bidang garapan sehingga banyak kasus-kasus
kekerasan lain yang masih terus berlangsung
Saran
Bagi peneliti selanjutnya yang hendak
melakukan penelitian tentang kontrol sosial atau
upaya-upaya advokasi Masyarakat
Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo) terhadap
kasus kekerasan, sebaiknya penelitian yang
dilakukan tidak hanya mengenai proses dan
strategi-strategi kontrol sosial atau upaya-upaya
advokasi Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta
(Makaryo) terhadap kasus kekerasan, tetapi
lebih jauh meneliti tetang efektifitas,
keberhasilan, dan evaluasi.
9
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2015
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Miller dan Covey. (2005). Pedoman Advokasi: Perencanaa, Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pamungkas, Sigit, dkk., (2010). Advokasi Berjejaring. Yogyakarta: PolGov.
Rahardjo, M. Dawam. (1999). Masyarakat madani: Agama, kelas menengah dan perubahan sosial, Jakarta: LP3ES dan LSAF.
Smith, Rhona K. M., at.al. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Soekanto, Soerjono. (2013). Sosiologi Suatu Pengantar. Rev.ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiyono.(2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Dokumen:
Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta. (2014). Jogja bukan kota toleran, jogja tidak berhati nyaman Jogja darurat perlindungan hak asasi manusia: Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (MAKARYO) Menyeru Penegakan Hukum Atas Kasus-kasus Kekerasan di DI Yogyakarta.
The Wahid Institute. (2014). Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi the Wahid Institute Tahun 2014: “Utang” Warisan Pemerintah Baru.
10
Kontrol sosial gerakan .... (Zainal Abidin)
Reviewer, Pembimbing,
Anang Priyanto, M.Hum. Dr. Suharno, M.Si.
NIP. 19580910 198503 1 003 NIP. 19680417 200003 1 001
11