jurnal
DESCRIPTION
edTRANSCRIPT
Efek dari Pengobatan Inhalasi dan Teknik Inhalasi
pada Karies Gigi pada Pasien Asma
Marzie Boskabady1, Hossein Nematollahi1, Mohammad Hossein Boskabady2
1 Departemen Kedokteran Gigi Anak, Sekolah Kedokteran Gigi, Mashhad, IR Iran2 Pusat penelitian Fisiologi dan Departemen Fisiologi, Sekolah Kedokteram, Pendidikan Kedokteran Universitas Mashhad, Mashhad, IR Iran
Abtrak
Latar Belakang: tujuan dari penelitian ini adalah menguji hubungan antara jenis dari
pengobatan inhalasi, lama penggunaan, dosis, teknik penggunaan inhaler dan tingkat
keparahan dan lamanya penyakit pada karies gigi dari pasien asma.
Tujuan: Pada penelitian ini, dilakukan uji frekuensi karies gigi pada pasien asma dan
kelompok control. Sebagai tambahan, dilakukan uji kemungkinan hubungan antara
karies gigi dan durasi penyakit, keparahan penyakit, gejala asma, bunyi menciut pada
dada, nilai PFT, dan dosis pengobatan dan teknik penggunaan inhaler.
Metode: Dilakukan penelitian pada 40 pasien asma pada kedua seks (20-30 tahun) dan
40 kontrol dengan menyamakan usia dan jenis kelamin. Pada pasien asma dilakukan
pencatatan jenis, dosis, durasi pengobatan, teknik penggunaan inhaler, dan keparahan
dan durasi penyakit . Dilakukan uji status kesahatan gigi termasuk DT, MT, FT, dan
DMFT (kerusakan, kehilangan, penambalan gigi). Selain itu, tes fungsi paru (PFTs)
juga dilakukan pada kedua kelompok.
Hasil: Semua variable PFTs pada pasien asma secara signifikan lebih rendah daripada
kelompok control, kecuali FVC (p<0,001 untuk semua kasus). Semua indikasi karies
gigi pada kelompok asma lebih tinggi daripada kelompok control, secara signifikan hal
itu terjadi pada MT dan DMFT (p<0,005 untuk kedua kasus). Nilai FT dan DMFT pada
pasien dengan durasi penyakit astma 11-15 tahun secara signifikan lebih besar daripada
pasien dengan durasi penyakit 6-10 tahun (p<0,05 untuk kedua kasus). Tidak ada
korelasi signifikan antara indikasi karies gigi dan durasi penyakit, nilai PFT; dosis
pengobatan atau teknik penggunaan inhaler; walaupun teknik penggunaan inhaler
relatif telah diterima pada seluruh pasien asma.
Kesimpulan: hasil ini menunjukkan karies gigi pada pasien asma lebih sering terjadi
daripada kelompok control karena dapat disebabkan oleh penggunaan obat inhalasi atau
teknik penggunaan inhaler.
Kata kunci: karies gigi, asma, pengobatan, teknik inhalasi.
1. Latar Belakang
Asma adalah gangguan saluran pernafasan berupa peradangan kronis. Menurut
GINA, diperkirakan 300 juta orang menderita asma. Beberapa gangguan kesehatan gigi
dan mulut terjadi pada penderita asma, khususnya peningkatan risiko karies gigi.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan ririko karies gigi pada
penderita asma, dimana penelitian lain gagal menunjukkan hubungan penyakit asma
terhadap kondisi karies gigi tersebut. Oleh karena itu, asma dianggap salah satu faktor
risiko karies gigi.
Peningkatan risiko karies gigi dihubungkan dengan lamanya penggunaan obat
inhalasi yang akan menurunkan aliran saliva dan kadar pH mulut. Efek β2-
adrenoreseptor agonis pada komposisi saliva dan karies gigi pada pasien asma juga
telah dibuktikan. Pengobatan anti-asma termasuk β2 agonist dan kortikosteroid dapat
merusak gigi. Tanpa memperhatikan jenis inhaler pada karies gigi, teknik pengunaan
inhaler memiliki peran penting pada karies gigi. Jika pasien asma tidak menggunakan
inhaler mereka dengan baik, jumlah yang lebih besar dari partikel obat (β2-agonist,
kortikosteroid, karbohidrat, dan gula) akan berpartisipasi dalam menyebabkan karies
gigi pada pasien tersebut. Faktanya, penelitian Khalilzadeh, dkk juga mengindikasikan
penurunan risiko karies gigi pada anak-anak penderita asma yang terlah dilatih
mengenai teknik menggunakan inhaler dengan pengatur jarak.
2. Tujuan
Pada penelitian ini, dilakukan uji terhadap frekuensi karies gigi pada pasien
asma dan kelompok kontrol. Selain itu, telah dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan
hubungan karies gigi dengan durasi penyakit, keparahan penyakit, gejala asma, bunyi
menciut pada dada, nilai PFT, dan dosis pengobatan dan teknik pengunaan inhaler.
3. Metode
3.1 Kelompok Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 40 pasien asma (usia 27,48 ± 2,90 tahun, 28 laki-laki,
12 perempuan) dan pengelompokan yang sama untuk kategori kontrol. Pasien asma
diambil dari Klinik Asma, Mashhad, Iran. Semua pasien yang memiliki kriteria: 1)
telah didiagnosis asma sebelumnya oleh dokter dan memiliki dua atau lebih gejala
sebagai berikut; mengi tiba-tiba, batuk tiba-tiba atau sesak pada saat istirahat; mengi,
batuk, sesak malam hari atau subuh hari; mengi atau batuk selama berolahraga, 2)
memiliki nilai FEV1 dan PEF kurang dari 80% dari nilai prediksi, 3) tidak ada riwayat
atau gejala penyakit kardiovaskular atau penyakit pernafasan yang mempengaruhi
pengobatan (kecuali pilek). Semua pasien asma sedang dalam pengobatan aktif,
inhalasi beclamethasone dipropionate (600-1600 µg) atau fluticasone propionate (500
µg), salmeterol (50 µg) dan salbutamol (400 µg jika dibutuhkan).
Kelompok kontrol diseleksi dari pasien non-asma pada klinik asma. Mereka dipilih
berdasarkan persamaan usia, jenis kelamin, dan status sosioekonomi. kontrol tersebut
juga disamakan berdasarkan latar belakang keluarga/makanan, penggunaan antibiotik,
dan kondisi lain dengan pasien asma. Selain itu, semua kelompok asma disamakan
pengobatan anti-asma seperti antibiotic. Penelitian dilakukan pada Juli 2009 hingga Juli
2010.
3.2 Protokol
Informasi mengenai durasi asma, gejala asma, mengi pada dada, keparahan asma,
jenis pengobatan, dan frekuensi pengobatan didapatkan dari rekam medik pasien.
Derajat asma dibagi menjadi ringan, sedang, berat berdasarkan kategori GINA. Pasien
dibagi menjadi 4 kelompok yaitu 1-5, 6-10, 11-15, dan lebih dari 16 tahun lamanya
penyakit.
Tabel 1. skor gejala pernafasan
skorBatuk
- Tidak ada- Dapat tidur dengan sedikit batuk- Terbangun 1 kali saat malam- Sering terbangun saat malam
0123
Mengi- Tidak ada selama latihan/olahraga berat- Hanya ada selama latihan/olahraga berat- Ada selama menaiki tangga- Ada selama aktivitas biasa
0123
Sesak - Tidak ada- Ada selama ekspirasi- Sesak sedang tanpa ekspirasi- Terbangun pagi hari karena sesak
0123
Total 9
Tabel 2. Skor Gejala Pernafasan dan Teknik Penggunaan Inhaler pada Pasien Asma dan
Perbedaan Statistik Dibandingkan Nilai Tertinggi
Variabel Skor tertinggi Skor penderita P
Gejala Pernafasan
Batuk 3 0,65 ± 0,12 < 0,001
Sesak 3 1,20 ± 0,12 < 0,001
Mengi 3 1,30 ± 0,17 < 0,001
Total gejala pernafasan 9 3,43 ± 0,42 < 0,001
Penciutan Dada 3 1,96 ± 0,15 < 0,001
Teknik Penggunaan Inhaler
Mengguncang 0 0,98 ± 0,16 < 0,001
Ekspirasi lambat, dalam 2 1,73 ± 0,45 < 0,001
Memposisikan mulut 2 1,13 ± 0,33 < 0,001
Inspirasi lambat, dalam 3 2,75 ± 0,54 < 0,001
Inspirasi secara tidak
sengaja
3 2,70 ± 0,72 < 0,001
Memegang ketika bernafas 2 1,53 ± 0,51 < 0,001
Mencuci mulut 3 2,13 ± 1,31 < 0,001
Skor total 15 12,93 ± 2,31 < 0,001
3.3 Analisis Data
Data dianalisis secara SPSS, dengan menggunakan unpaired “T” test dan Man
Whitney U test.
4. Hasil
4.1 Skor Gejala Pernafasan dan Teknik Penggunaan Inhaler pada Pasien Asma
Semua gejala pernafasan secara signifikan lebih rendah daripada skor tertinggi (p
<0,001 untuk semua kasus, tabel 2). Sebagai tambahan, semua kriteria untuk teknik
penggunaan inhaler pada pasien asma secara signifikan lebih rendah daripada skor
terbaik (p <0,001 untuk semua kasus, tabel 2).
4.2 Perbandingan nilai PFT dan Indikasi Karies Gigi antara Pasien Asma dan Non
Asma
Semua variable PFT secara tidak wajar lebih rendah pada pasien asma (kurang dari
80% nilai perkiraan) dan secara signifikan lebih rendah daripada kelompok kontrol
kecuali FVC (p <0,001 untuk semua kasus). Sebagai tambahan, semua indikasi karies
gigi lebih tinggi pada pasien asma daripada kelompok kontrol.
4.3 Karies Gigi pada Pasien Asma dengan Keparahan dan Lamanya Penyakit yang
Berbeda
Kapasitasi ekspirasi maksimal pada pasien asma berat secara signifkan lebih rendah
daripada pasien asma ringan dan sedang (p <0,001 untuk semua kasus). Sebagai
tambahan, gejala asma dan penciutan dada pada pasien asma berat lebih tinggi daripada
pasien asma sedang. Pasien asma sedang lebih tinggi daripada pasien asma ringan
(hanya untuk gejala signifikan, p <0,05 hingga p <0,01). Bagaimanapun, tidak ada
perbedaan signifikan pada skor karies gigi, dosis pengobatan atau teknik pengunaan
inhalasi antara 3 kelompok penderita. Berkenaan dengan durasi penyakit, tidak ada
perbedaan signifikan pada skor karies gigi antara 4 kelompok.
4.4 Korelasi antara Skor Karies Gigi dengan Parameter Berbeda pada Pasien Asma
Tidak ada korelasi signifikan antara skor karies gigi dan durasi penyakit, keparahan
penyakit, gejala asma, penciutan dada, nilai PFT, dosis pengobatan atau teknik
penggunaan inhaler.
5. Pembahasan
Pada penelitian ini, dilakukan penelitian karies gigi pada pasien asma dewasa muda
(usia 20-30 tahun) dibandingkan dengan kelompok non-asma yang telah dilakukan
matching. Selain itu, dalam cara pengobatan asma, dilakukan uji terhadap teknik
penggunaan inhaler, keparahan dan lamanya karies gigi pada penderita asma. Hasilnya
menunjukkan tingginya prevalensi karies gigi pada pasien asma dibandingkan kontrol.
Bagaimanapun, tidak ada perbedaan signifikan karies gigi pada pasien dengan
perbedaan derajat keparahan dan lamanya penyakit asma. Selain itu, tidak ada korelasi
signifikan antara karies gigi dan dosis pengobatan atau teknik penggunaan inhaler.
Bagaimanapun, dosis pengobatan pada pasien dengan tingkat keparahan penyakit yang
berbeda memiliki hasil yang hampir sama.
Skor DMFT secara signifikan lebih tinggi pada pasien asma dibandingkan kontrol
yang sama pada penilitan lainnya. Bagaimanapun, temuan pada penelitian ini berbeda
dari beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan berarti
antara rata-rata skor DMFT dari pasien asma dan kontrol. Ketidaksesuaian dapat
disebabkan oleh usia pasien karena pada penelitian ini kelompok dewasa muda
diikutkan dalam penelitian, sedang dalam penelitian lain hanya anak-anak yang
diikutkan dalam penelitian. Hasil ini dapat mengindikasikan bahwa waktu periode
terapi inhalasi dapat menjadi faktor yang memungkinkan terjadinya karies gigi. Alasan
lain ketidaksesuaian ini adalah jenis pengobatan yang digunakan pasien, status
sosioekonomi, dan teknik penggunaan inhaler yang dapat dijelaskan pada penelitian
selanjutnya.
Kemungkinan penyebab dari peningkatan prevalensi karies pada pasien asma
adalah penyakit itu sendiri termasuk keparahan dan/atau durasi penyakit atau karena
pengobatan mereka termasuk jenis, dosis dan durasi pengobatan atau teknik
penggunaan inhaler. Hasil dari penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan keparahan
atau durasi penyakit, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
penyakit tersebut sendiri tidak menyebabkan karies gigi.
Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan antara jenis obat-obatan khususnya
β2 agonis dan karies gigi. Sebagai tambahan, penelitian sebelumnya juga mencatat efek
dari kortikosteroid inhaler pada karies gigi. Alasan temuan ini adalah persamaan
regimen terapeutik pada pasien yang diuji. Walaupun peneleitian sebelumnya
menunjukkan peningkatan endapan obat inhalasi pada rongga mulut dan penunjang
peningkatan karies gigi pada pasien yang menggunakan obat-obatan inhalasi, hasil
penelitian ini tidak menunjukkan korelasi signifikan antara skor karies gigi dan skor
teknik penggunaan inhaler. Sebagai kesimpulan, temuan pada penelitian ini
menunjukkan peningkatan karies gigi pada pasien asma dewasa muda yang
kemungkinan disebabkan oleh pengobatan inlahasi mereka atau teknik penggunaan
inhalasi.