jurnal
DESCRIPTION
JurnalTRANSCRIPT
ISOLASI ZAT WARNA DARI EKSTRAK ETIL ASETAT
DAUN JATI (Tectona grandis Linn. f.)
Herlinda Maya Sari, Yohannes Alen, Meri Susanti
Faculty of Pharmacy, Andalas University,Padang 25163, Indonesia
E-mail address: [email protected]
ABSTRAK
Telah berhasil dipisahkan tiga zat warna dari ekstrak etil asetat daun jati (Tectona grandis Linn. f.)
HMS-09-24-05 berupa kristal jarum merah, HMS-09-36-01 dan HMS-09-32-03 berbentuk amorf merah.
Berdasarkan data reaksi kimia dan spektroskopi zat warna ini merupakan golongan kuinon. Hasil penambahan
logam pada zat warna HMS-09-24-05 menunjukkan bahwa pada penambahan dengan logam CuSO4 (1250 ppm)
menunjukkan perubahan warna menjadi warna ungu dan terdapat endapan, logam ZnCl3 (1250 ppm)
menunjukkan perubahan warna menjadi warna merah muda, logam FeCl3 (1250 ppm) menunjukkan perubahan
warna menjadi warna ungu, dan logam FeSO4 (1250 ppm) menunjukkan perubahan warna menjadi warna ungu
dan terdapat endapan.
ABSTRACT
Three dye stuffs were HMS-09-24-05 crystalline red needles, HMS-09-36-01 and HMS-09-32-03 red
amorf, have been successfully separated from the ethyl acetate extract Teak’s leaf (Tectona grandis Linn. f.).
Based on their chemical and spectroscopic data the stuff were quinone group. The results by increasing CuSO4
(1250 ppm) metallic to the stuff HMS-09-24-05 showed a purple discoloration and there were precipitated,
metallic ZnCl3 (1250 ppm) showed a pink discoloration, metallic FeCl3 (1250 ppm) showed a purple
discoloration, and metallic FeSO4 (1250 ppm) showed a purple discoloration and there were precipitated.
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan zat warna semakin
meningkat seiring dengan semakin
berkembangnya dunia industri. Industri
pangan, kosmetik, farmasi dan lainnya
menggunakan zat warna untuk membuat
tampilan produk mereka menjadi menarik.
Menurut Downham dan Collins (2000), secara
global penggunaan zat warna pangan
diperkirakan mencapai $950 juta dengan jenis
sebagai berikut: zat warna sintetis $400 juta,
zat warna alami $250 juta (dengan $100 juta di
Amerika Serikat), zat warna alami identik
$189 juta, dan zat warna karamel $100 juta.
Tuntutan konsumen, perubahan sosial dan
kemajuan teknologi pada industri olahan
pangan meningkatkan pasar zat warna.
Perkembangan paling signifikan terjadi pada
derivat zat warna alami disebabkan oleh
perbaikan kestabilan, serta kecenderungan
industri pangan yang bertujuan memenuhi
peningkatan pandangan konsumen bahwa yang
alami adalah yang terbaik. Ke depannya,
diperkirakan zat warna yang berasal dari alam
mengalami pertumbuhan terbesar dengan
perkiraan nilai pertumbuhan tahunan 5-10%.
Zat warna sintetis masih diramalkan
meningkat tetapi dengan nilai yang lebih
rendah yakni diantara 3-5%.
Pencelupan benang dengan tanaman
adalah seni kuno yang dipraktekkan sejak
zaman dulu. Ada banyak bagian dari tanaman
yang dapat digunakan untuk pencelupan
benang : akar, kulit kayu, daun, buah, biji,
ranting, cabang, dan umbi-umbian, masing-
masing mampu memproduksi berbagai warna
dengan berbagai mordant dan benang.
Meskipun ada banyak cara untuk pewarnaan
secara alami, namun percobaan dengan
mordant digunakan untuk memberikan variasi
pada warna. Mordant dapat berasal dari zat
alam organik atau anorganik yang dapat
digabungkan dengan bahan pewarna dan
digunakan untuk memperbaiki warna dalam
produksi warna (Katz, 2011).
Tumbuh-tumbuhan, hewan dan
mikroorganisme merupakan sumber dari
pigmen alami namun hanya sedikit yang
tersedia dalam jumlah yang cukup untuk
digunakan secara komersial. Tumbuh-
tumbuhan dan mikroorganisme merupakan
sumber pigmen alami yang dapat diproduksi
secara bioteknologi (Chattopadhyay, et al.,
2008). Selain itu tumbuhan juga merupakan
gudang kimia terkaya, karena banyak
komponen kimia yang bermanfaat secara
kefarmasian terkandung di dalamnya (Rivai,
2002). Disisi lain, fungsi dan peran setiap
komponen kimia tumbuhan belum terungkap
seluruhnya. Sementara bukti khasiat dari
komponen kimia tersebut banyak terlihat
seperti pemanfaatannya secara empiris sebagai
obat tradisional (Kardinan dan Taryono,
2003).
Penelitian tentang pigmen alami telah
banyak dilakukan. Diantaranya pigmen alami
yang berasal dari alga hijau (Muntean, et al.,
2007), bunga rosella (Duangmal, et al., 2004),
bunga turi (Saati, et al., 2008), biji kesumba
(Suparmi, et al., 2008) dan daun singkong
(Titihalawa, et al., 2008). Tanaman lain
sebagai penghasil zat warna yang telah dikenal
masyarakat adalah jati (Tectona grandis
Linn.f.). Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.
f.) salah satu tanaman penghasil zat warna
yang telah dikenal masyarakat yaitu penghasil
warna kuning alami (Vankar, 2000). Tectona
grandis Linn. f. (Verbenaceae) merupakan
salah satu jenis pohon yang kayunya terkenal
di dunia. Dalam Bahasa Inggris tanaman ini
disebut Teak. Jati biasa ditemukan di daerah
tropis. Keunggulannya yaitu mempunyai
stabilitas dimensi, daya tahan terhadap rayap
dan soliditas tekstur yang tidak gampang
membusuk (Krishna dan Nair, 2010).
Daun jati secara tradisional telah
digunakan oleh masyarakat di daerah Solok
(Sumbar) sebagai pewarna makanan, dengan
cara memasukkan daun jati bersama rebusan
pisang, sehingga rebusan pisang yang biasanya
berwarna kuning menjadi berwarna merah
kecoklatan. Daun jati juga digunakan oleh
masyarakat Yogyakarta dalam pembuatan
gudeg dan sayur asem, sebagai penghasil
warna coklat yang dimasak bersamaan dengan
santan. Daun jati juga digunakan untuk
pembungkus berbagai makanan seperti
pembungkus nasi oleh masyarakat Jamblang,
pembungkus tempe oleh masyarakat
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah,
dan pembungkus daging oleh masyarakat
Sukabumi. Masyarakat Pekalongan, Cirebon
menggunakan akar, kulit dan batang jati
sebagai pewarna batik dan kain tenun
(Mulyani, 2012).
Erinda dan Nonie (2011) telah berhasil
memformulasikan sediaan lipstik dari ekstrak
daun jati. Selanjutnya sekelompok mahasiswa
Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2010
menggunakan sari daun jati sebagai pewarna
alami gulali (permen) dan ekstrak belimbing
wuluh sebagai jajanan sehat untuk anak.
Pemeriksaan fitokimia ekstrak etanol
daun jati (Tectona grandis Linn. f.)
menunjukkan adanya golongan senyawa
flavonoid, saponin, tanin galat, tanin katekat,
kuinon, dan steroid/triterpenoid (Hartati,
2005). Senyawa fenolik yaitu tanin dan
flavonoid mempunyai potensi sebagai
sitotoksik (Peteros and Myelene, 2010). Uji
stabilitas zat warna daun jati terhadap
pengaruh suhu, cahaya dan pH menunjukkan
bahwa zat warna ini tidak stabil pada
pemanasan, paparan cahaya dan perubahan pH
pada batas pH 11 ( Mulyani, 2012).
Beberapa penelitian aktivitas
farmakologi telah melaporkan bahwa daun jati
mempunyai efek farmakologi sebagai anti
anemia dan penyembuh luka (Goswami, et al.,
2009). Penelitian lain juga melaporkan
penggunaan daun jati untuk pengobatan secara
tradisional yaitu sebagai anti pendarahan
(hemostatik), penyakit kulit, batuk darah
(hemoptisis), anti inflamasi, dan pengobatan
luka (Aradhana, et al., 2010).
Mengingat pemanfaatan daun jati yang
beragam dalam masyarakat yang masih
berdasarkan pengalaman yang turun temurun,
maka diperlukan konfirmasi mengenai masing
– masing zat yang berpotensi dibidang
farmasi, salah satunya adalah zat warna yang
terkandung dalam daun jati sehingga perlu
dilakukan isolasi dan karakterisasi zat warna
dari ekstrak etil asetat daun jati. Metoda isolasi
dilakukan dengan ekstraksi, fraksinasi,
kromatografi kolom dan spektrofotometri.
METODOLOGI PENELITIAN
Alat
Alat-alat yang digunakan untuk
pengerjaan isolasi adalah seperangkat alat
destilasi, seperangkat alat Rotary evaporator
(KWF RE-3000C), corong pisah, kolom
kromatografi, bejana kromatografi lapis tipis,
gelas ukur, tabung reaksi, erlemeyer, pipet
mikro, pipa kapiler, pipet tetes, vial, kertas
saring, corong, pinset, spatel kapas, kertas
kalkir, alumunium foil, timbangan, timbangan
analitik (Mettler PM-200), lampu UV λ366 nm
dan λ254 nm, spektrofotometer Infrared FT IR-
Thermo Scientific® Nicolet iS10.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan: daun
Tectona grandis Linn. f., air suling, n-
heksana, etil asetat, diklorometan, kloroforom,
metanol, aseton, asam asetat 2N, vanilin asam
sulfat, dragendorff, norit, FeSO4, FeCl3, CuSO4,
ZnCl3., silika gel 60 (Merck, 0,040-0,063 µm
), dan plat KLT (Merck, Silica gel 60 F 254).
Ekstraksi dan Fraksinasi
Sebanyak 300 gram daun Tectona
grandis Linn. f. segar dipisahkan dari
pengotornya kemudian dirajang dengan pisau
sehingga menjadi potongan kecil. Kemudian
sampel dimaserasi dengan pelarut metanol
sambil sesekali dikocok. Setelah proses
perendaman, keesokan harinya diambil
maseratnya dengan cara disaring dan
perendaman dilakukan sampai empat kali.
Maserat yang didapat diuapkan pelarutnya
secara in vacuo sehingga didapatkan ekstrak
kental.
Fraksinasi dilakukan dengan
penambahan air suling pada ekstrak kental.
Kemudian fraksinasi dilakukan secara
bertingkat menggunakan pelarut dengan
tingkat kepolaran yang berbeda, dan
dipisahkan menggunakan corong pisah.
Fraksinasi diawali dengan pelarut nonpolar (n-
heksana) tiap kalinya sebanyak 500 ml. Proses
ini dilakukan sampai fraksi n-heksana hampir
tidak berwarna, sehingga diperoleh fraksi n-
heksana dan fraksi air. Fraksi n-heksana
digabung dan kemudian diuapkan secara in
vacuo sehingga diperoleh fraksi kental n-
heksana. Fraksinasi dilanjutkan dengan pelarut
semi polar (etil asetat). Proses yang sama
diulangi seperti pada pengerjaan fraksi n-
heksana, sehingga diperoleh fraksi kental etil
asetat dan fraksi sisa.
Dari sampel peneliti sebelumnya telah
dilakukan maserasi sebanyak 250 gram daun
Tectona grandis Linn. f. segar dipisahkan dari
pengotornya kemudian dirajang dengan pisau
sehingga menjadi potongan kecil. Kemudian
sampel dimaserasi dengan pelarut etil asetat
selama lima hari sambil sesekali dikocok.
Setelah lima hari proses perendaman, diambil
maseratnya dengan cara disaring dan
perendaman dilakukan sampai dua kali.
Maserat yang didapat diuapkan pelarutnya
secara in vacuo sehingga didapatkan ekstrak
kental.
Pemisahan dan Pemurnian Zat Warna
Alami dari Daun Tectona grandis Linn. f.
Komponen yang terdapat di dalam
masing-masing fraksi dibandingkan pola KLT
nya, mulai dari maserat etil asetat, fraksi n-
heksana, dan fraksi etil asetat. Dari hasil
penampakan noda di bawah lampu UV,
maserat etil asetat memperlihatkan profil
warna yang berbeda dengan fraksi n-heksana
dan fraksi etil asetat. Berdasarkan analisis
KLT, ekstrak etil asetat memperlihatkan profil
noda yang cukup terpisah dibanding dengan
sistem fraksinasi, maka pengujian selanjutnya
difokuskan pada maserat etil asetat.
Komponen warna pada maserat etil asetat
setelah dipisahkan menggunakan eluen
diklorometan memperlihatkan pemisahan yang
bagus. Kemudian dilakukan pemisahan dengan
menggunakan kolom kromatografi dengan fasa
diam silika gel 60 yang dielusi secara isokratik
dengan eluen diklorometan. Sebanyak 1 gram
maserat etil asetat dibuat preabsorpsi, maserat
etil asetat dilarutkan terlebih dahulu dengan
diklorometan kemudian ditambahkan silika gel
sama banyak dengan berat sampel. Selanjutnya
pelarut diuapkan secara in vacuo sehingga
diperoleh campuran sampel dan silika gel
dalam bentuk kering.
Kromatografi kolom dipersiapkan
dengan cara membuat suspensi silika gel
dengan menggunakan pelarut diklorometan,
kemudian suspensi tersebut dimasukkan ke
dalam kromatografi kolom sambil diketok
perlahan agar silika gel memadat. Kemudian
sampel ditaburkan merata di atas suspensi
silika gel dan dielusi dengan eluen
Diklorometan 2000 ml, Metanol 500 ml.
Fraksi yang keluar ditampung dengan
vial volume + 10 ml. Masing- masing fraksi
hasil kromatografi kolom dimonitor dengan
KLT. Noda yang memberikan Rf sama
digabung. Dari hasil monitor dengan pola
KLT didapatkan 10 subfraksi (HMS-09-17-01
s/d HMS-09-17-10). Setelah ditimbang dan
dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-17-
04, HMS-09-17-05, dan HMS-09-17-06
memperlihatkan noda target sehingga perlu di
kromatografi kolom kembali untuk
memisahkan noda yang terdapat pada masing
– masing subfraksi. Subfraksi HMS-09-17-04
dikromatografi kolom dengan cara yang sama
dengan sebelumnya dan dielusi dengan eluen
n-heksana : diklorometan : metanol
3:7:0,2 1000ml, Metanol 200ml.
Fraksi yang keluar ditampung dengan
vial volume + 10 ml. Masing- masing fraksi
hasil kromatografi kolom dimonitor dengan
KLT. Noda yang memberikan Rf sama
digabung. Dari hasil monitor dengan pola
KLT didapatkan 5 subfraksi (HMS-09-18-01
s/d HMS-09-18-05). Proses yang sama
dilakukan terhadap subfraksi HMS-09-17-05
dan HMS-09-17-06. Dari hasil monitor dengan
pola KLT subfraksi HMS-09-17-05 didapatkan
3 subfraksi (HMS-09-19-01 s/d HMS-09-19-
03). Dari subfraksi HMS-09-17-06 didapatkan
2 subfraksi (HMS-09-20-01 dan HMS-09-20-
02). Setelah ditimbang dan dimonitor dengan
KLT, subfraksi HMS-09-18-02, HMS-09-19-
01 dan HMS-09-20-01 memperlihatkan noda
target tetapi jumlahnya sangat sedikit, maka
dikromatografi kolom lagi sebanyak 15 gram
maserat etil asetat yang telah dipreabsorpsi.
Pada kromatografi kolom dimasukkan
190 gram silika yang telah di jenuhkan
kemudian ditutup menggunakan kertas saring
dan dipadatkan, dielusi secara SGP ( Step
Gradient Polarity) dengan eluen sebagai
berikut:
n-heksana 100% 1000 ml
n-heksana:diklorometan 50: 50 5500 ml
Diklorometan 100% 2800 ml
Diklorometan : metanol 5 : 95 500 ml
Metanol 100% 500 ml
Fraksi-fraksi yang keluar ditampung
dengan volume + 100 ml. Hasil kromatografi
kolom dimonitor dengan KLT, noda diamati
dengan lampu UV. Noda yang memberikan Rf
sama digabung dan diuapkan. Hasil gabungan
dimonitor pola KLT dan didapat 10 subfraksi
(HMS-09-24-01 s/d HMS-09-24-10). Setelah
dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-24-
05, HMS-09-24-07 dan HMS-09-24-08
memperlihatkan noda target. Subfraksi HMS-
09-24-05 telah menunjukkan noda yang murni
secara KLT tetapi subfraksi HMS-09-24-07
dan HMS-09-24-08 perlu dimurnikan kembali
untuk memisahkan noda yang terdapat pada
masing – masing subfraksi. Sebanyak 350 mg
subfraksi HMS-09-24-07 dikromatografi
kolom dengan eluen n-heksana : diklorometan
: metanol, 4 : 6 : 0,1 1000ml, Diklorometan
100% 200ml.
Proses yang sama juga dilakukan
terhadap 320 mg subfraksi HMS-09-24-08
yang dielusi dengan kombinasi eluen yang
sama. Fraksi-fraksi yang keluar ditampung
dengan vial volume + 5 ml. Hasil kromatografi
kolom dimonitor dengan KLT, noda diamati
dengan lampu UV. Noda yang memberikan Rf
sama digabung dan diuapkan.
Dari hasil monitor dengan KLT
subfraksi HMS-09-24-07 diperoleh 10
subfraksi (HMS-09-26-01 s/d HMS-09-26-10)
dan yang menjadi noda target subfraksi HMS-
09-26-05 dan HMS-09-26-06. Dari subfraksi
HMS-09-24-08 didapatkan 6 subfraksi (HMS-
09-27-01 s/d HMS-09-27-06). Dari subfraksi
HMS-09-24-08 diperoleh noda target baru
yaitu subfraksi HMS-09-27-02 dan perlu
dilakukan pengecekan KLT untuk mencari
kombinasi pelarut yang cocok. Setelah
diperoleh kombinasi pelarut yang cocok maka
dilakukan kromatografi kolom kembali
terhadap 24 mg subfraksi HMS-09-27-02
dengan eluen n-heksana : etil asetat : metanol
6 : 4 : 0,1 1000 ml, Diklorometan
100 % 200 ml.
Fraksi yang keluar ditampung dengan
vial volume + 5 ml. Masing- masing fraksi
hasil kromatografi kolom dimonitor dengan
KLT. Noda yang memberikan Rf sama
digabung dan diuapkan. Dari hasil monitor
dengan pola KLT didapatkan 4 subfraksi
(HMS-09-32-01 s/d HMS-09-32-04), dan yang
menjadi noda target adalah subfraksi HMS-09-
32-03.
Pengecekan KLT terhadap subfraksi
HMS-09-32-03, noda diamati dengan lampu
UV. Dari pengamatan dibawah lampu UV
memperlihatkan bahwa subfraksi HMS-09-32-
03 belum murni karena masih terdapat 2 noda,
1 noda menempel di atas dan 1 bawah noda
target, serta masih terdapat ekor pada bagian
bawahnya. Setelah itu dilakukan pengecekan
KLT secara Multiple Developping
System(MDS) dengan kombinasi pelarut yang
sama. Senyawa dielusi sebanyak 5 kali. Setiap
pengelusian noda diamati dan ditandai apakah
noda tersebut dapat dipisahkan atau tidak,
hasilnya belum menunjukkan perubahan
secara signifikan. Kemudian dilakukan
pengecekan KLT dengan kombinasi pelarut
yang sama dengan ditambah 3 tetes asam
asetat 2N. Hasil KLT dimonitor dibawah
lampu UV. Dari hasil monitor terlihat 1 noda
yang masih menempel di atas noda target dan
terdapat 3 noda dibawah noda target dan masih
berekor dan dilakukan pengecekan kembali
secara multiple developping system dan
hasilnya masih sama.
Kromatografi kolom dilanjutkan
terhadap subfraksi HMS-09-26-05 dan HMS-
09-26-06. Sebanyak 20 mg subfraksi HMS-09-
26-05 dikolom dengan eluen n-heksana :
diklorometan : metanol 3 : 7 : 0,2 1000 ml,
Diklorometan 100% 200 ml.
Fraksi yang keluar ditampung dengan
vial volume + 5 ml. Masing- masing fraksi
hasil kromatografi kolom dimonitor dengan
KLT. Noda yang memberikan Rf sama
digabung dan diuapkan. Dari hasil monitor
dengan pola KLT didapatkan 6 subfraksi
(HMS-09-34-01 s/d HMS-09-34-06), dan yang
menjadi noda target adalah subfraksi HMS-09-
34-01. Kemudian dilakukan kembali
pengecekan KLT terhadap subfraksi HMS-09-
34-01 tetapi hasilnya masih berekor (tailing).
Kromatografi kolom dilanjutkan
kembali terhadap subfraksi HMS-09-26-06
dengan cara menggunakan silika dari subfraksi
sebelumnya dengan kombinasi pelarut yang
sama. Fraksi – fraksi ditampung dengan vial
volume + 5 ml. Masing- masing fraksi hasil
kromatografi kolom dimonitor dengan KLT.
Noda yang memberikan Rf sama digabung.
Dari hasil monitor dengan pola KLT
didapatkan 5 subfraksi (HMS-09-35-01 s/d
HMS-09-35-05), dan yang menjadi noda target
adalah subfraksi HMS-09-35-01 tetapi
hasilnya masih berekor (tailing). Karena noda
pada HMS-09-34-01 dan HMS-09-35-01 sama
maka hasilnya digabung dan diberi kode
HMS-09-36-01.
Selanjutnya dilakukan pengecekan
terhadap subfraksi HMS-09-20-01 untuk
mendapatkan noda yang berwarna hijau.
Setelah dilakukan pengecekan dengan lampu
UV dengan panjang gelombang panjang
menunjukkan bahwa noda yang berwarna
hijau tersebut berwarna orange kemerah -
merahan dan tidak berfluoresiensi. Selanjutnya
dilakukan pengujian menggunakan norit
dengan cara memasukkan kapas sedikit ke
dalam pipet tetes sampai memadat lalu
dimasukkan norit yang telah diaktifkan
terlebih dahulu, kemudian dimasukkan sedikit
subfraksi yang telah dilarutkan dengan etil
asetat. Larutan yang turun berwarna bening.
Hal ini menunjukkan bahwa noda hijau yang
terdapat pada subfraksi tersebut adalah klorofil
sehingga pengujian terhadap subfraksi HMS-
09-20-01 tidak dapat dilanjutkan.
Dari hasil pemisahan zat warna yang
telah dilakukan, ketiga zat warna yang
diperoleh dibandingkan pola KLT nya dengan
maserat etil asetat untuk mengetahui apakah
ketiga zat warna tersebut merupakan senyawa
artefak atau tidak. Selain itu ketiga zat warna
yang diperoleh juga dibandingkan pola KLT
nya dengan maserat wortel untuk memastikan
apakah zat warna merah yang diperoleh
merupakan kuinon atau β-karoten.
Karakterisasi Senyawa Hasil Pemisahan
Karakterisasi senyawa hasil
pemisahan meliputi pemeriksaan organoleptis,
pemeriksaan kimia, pemeriksaan kromatografi
lapis tipis, spektrofotometer UV-Vis dan
spektrofotometer inframerah.
a. Pemeriksaan organoleptis
Pemeriksaan ini meliputi bentuk dan
warna senyawa hasil pemisahan.
b. Pemeriksaan kimia
Pemeriksaan ini dilakukan dengan
mereaksikan senyawa hasil pemisahan
dengan pereaksi tertentu yang
menunjukkan golongan senyawa kimia
utama.
c. Pemeriksaan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT)
Pemeriksaan KLT dilakukan untuk
menunjukkan kemurnian dan penentuan
Rf dari senyawa hasil pemisahan dengan
fasa gerak yang sesuai. Sebagai penampak
noda digunakan lampu UV λ 254 nm.
Noda yang terlihat di bawah UV diukur Rf
nya.
d. Penentuan spektrum UV-Vis
Pemeriksaan spektrum UV-Vis dilakukan
dengan menggunakan alat
spektrofotometer Shimadzu® senyawa
hasil pemisahan dilarutkan dalam metanol
kemudian diukur serapannya.
e. Spektrofotometer Inframerah
Spektrofotometer Inframerah diukur
dengan alat FT-IR-Thermo Scientific®
Nicolet iS10 sampel dilarutkan dalam
metanol kemudian diteteskan pada plat
dan ratakan, kemudian diukur.
Penambahan Logam pada Zat Warna
HMS-09-24-05
Penambahan logam pada zat warna
HMS-09-24-05 ini dilakukan menggunakan
berbagai macam logam dalam bentuk garam,
diantaranya : FeSO4, FeCl3, CuSO4, ZnCl3.
Masing – masing logam dilarutkan dengan
beberapa jenis pelarut. Logam – logam
tersebut larut dengan metanol.
Sebanyak 30 mg zat warna ditimbang
dan dilarutkan ke dalam 12 ml metanol
sehingga diperoleh konsentrasi 2500 ppm.
Dari 12 ml larutan induk diambil 6 ml untuk
diencerkan kembali dengan metanol sehingga
diperoleh konsentrasi 1250 ppm. Pengenceran
dilakukan sampai diperoleh konsentrasi 156.25
ppm. Larutan ini dijadikan sebagai control.
Selanjutnya dibuat kembali larutan induk dan
diencerkan dengan konsentrasi yang sama
dengan larutan induk sebelumnya dan pada
masing – masing tabung reaksi ditambahkan 5
mg logam CuSO4 sehingga warnanya berubah
menjadi warna ungu dan terdapat endapan.
Begitu juga terhadap logam ZnCl3,
FeCl3, dan FeSO4 dibuat larutan induk dan
diencerkan dengan konsentrasi yang sama
dengan larutan sebelumnya. Pada masing –
masing tabung reaksi ditambahkan 4 mg
logam ZnCl3 sehingga warnanya berubah
menjadi merah muda. Selanjutnya pada
masing – masing tabung reaksi ditambahkan
pula 2 mg FeCl3 sehingga warnanya berubah
menjadi ungu. Untuk logam FeSO4 dilakukan
pengerjaan yang berbeda dengan logam –
logam sebelumnya, dimana sebanyak 3 mg
logam FeSO4 dilarutkan ke dalam 3 ml
metanol kemudian tambahkan 1 tetes ke dalam
larutan. Warna larutan berubah menjadi ungu
dan terdapat endapan di dalam larutan
tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Dari 300 gram daun Tectona grandis Linn.
f didapatkan ekstrak kental metanol 89
gram (29,68%). Dari 89 gram ekstrak
kental yang difraksinasi didapatkan fraksi
kental n-heksana 37 gram (41,57%), fraksi
kental etil asetat 29 gram (32,58%) dan
fraksi sisa 23 gram (25,84%).
2. Dari 15 gram maserat kental etil asetat
dapat dipisahkan 3 senyawa yang diberi
kode
a. HMS-09-24-05 dengan pola KLT
memakai eluen n-heksana: DCM:
Metanol 3:7:0,2 yang menunjukkan
Rf 0,72
b. HMS-09-36-01 dengan pola KLT
memakai eluen n-heksana: DCM:
Metanol 3:7:0,2 yang menunjukkan
Rf 0,56
c. HMS-09-32-03 dengan pola KLT
memakai eluen n-heksana: DCM:
Metanol 3:7:0,2 yang menunjukkan
Rf 0,22
3. Senyawa HMS-09-24-05 berupa kristal
merah sebanyak 0,285 gram.
4. Senyawa HMS-09-36-01 berupa amorf
merah sebanyak 0,009 gram.
5. Senyawa HMS-09-32-03 berupa amorf
merah sebanyak 0,012 gram.
6. Hasil pemeriksaan spektrofotometri UV-
Vis dalam pelarut metanol :
Senyawa HMS-09-24-05 menunjukkan
serapan maksimum pada panjang
gelombang 440 nm (Lampiran 15).
7. Hasil pemeriksaan spektrum inframerah
menunjukkan:
Senyawa HMS-09-24-05 memiliki adanya
serapan pada bilangan gelombang (cm-1) :
3343,96 cm-1; 2922,59 cm-1; 1728,87 cm-1;
1599,66 cm-1; 1296,89 cm-1 (Lampiran
16).
8. Hasil penambahan logam pada zat warna
HMS-09-24-05
a. Penambahan dengan logam CuSO4
menunjukkan perubahan warna
menjadi warna ungu dan terdapat
endapan (Lampiran 18).
b. Penambahan dengan logam ZnCl3
menunjukkan perubahan warna
menjadi warna merah muda (Lampiran
19).
c. Penambahan dengan logam FeCl3
menunjukkan perubahan warna
menjadi warna ungu (Lampiran 20).
d. Penambahan dengan logam FeSO4
menunjukkan perubahan warna
menjadi warna ungu dan terdapat
endapan (Lampiran 21).
Pembahasan
Pemisahan zat warna dimulai dari
ekstraksi kandungan kimia utama daun segar
Tectona grandis Linn. f dengan cara maserasi.
Sebelumnya sampel disortir dari pengotor lalu
dirajang halus. Tujuan penghalusan sampel
adalah untuk memperluas permukaan sampel,
sehingga saat direndam dengan metanol
kontak antara pelarut dengan sampel menjadi
lebih besar dan mempermudah pelarutan
senyawa-senyawa yang terkandung di dalam
sampel. Maserasi merupakan metode ekstraksi
yang tergolong mudah dengan alat yang
sederhana dan cocok untuk mengekstrak suatu
komponen kimia yang tidak tahan panas
(Djamal, 1990).
Ekstraksi zat warna dilakukan dengan
cara maserasi menggunakan pelarut metanol
dimana sampel direndam dalam metanol di
dalam botol gelap dan tertutup selama 3 hari
sambil sesekali dikocok. Maserasi juga
dilakukan di tempat yang terlindung dari
cahaya agar terhindar dari kemungkinan
proses degradasi struktur terutama untuk
senyawa bewarna yang memiliki gugus
kromofor yang kurang stabil terhadap paparan
cahaya (Depkes RI, 2000). Proses maserasi
diikuti dengan pengocokan untuk meratakan
difusi pelarut. Senyawa metabolit akan larut
karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan senyawa metabolit yang ada dalam sel
dengan yang di luar sel, larutan yang
konsentrasinya lebih tinggi akan ke luar
(difusi). Setelah tercapai kesetimbangan proses
maserasi diulangi 3 kali atau sampai maserat
yang didapatkan relatif bening atau tidak
berwarna lagi (Harborne, 2006). Maserasi
menggunakan pelarut metanol karena pelarut
ini dapat melarutkan hampir semua senyawa
organik yang ada pada sampel, baik senyawa
polar, semi polar ataupun senyawa nonpolar.
Di samping itu metanol memiliki titik didih
yang relatif rendah (67°C) sehingga mudah
diuapkan dan mengurangi resiko terurainya zat
yang terkandung di dalam maserat saat
penguapan pelarut dan harga pelarut ini pun
relatif lebih murah.
Untuk mengetahui berat total ekstrak
metanol, dilakukan dengan menguapkan
ekstrak sampai masa yang agak kental
kemudian dihitung beratnya, proses penguapan
ini dilakukan dengan cara in vacuo.
Penggunaan alat vakum ini adalah untuk
mengurangi tekanan uap pelarut, sehingga
mengurangi titik didihnya, sehingga pelarut
dapat cepat menguap pada suhu yang relatif
rendah (Harborne, 1987). Dengan demikian
dapat mengurangi resiko terjadinya termolisis
dari sampel karena daun Jati mengandung zat
warna yang kemungkinan bersifat tidak stabil
terhadap pemanasan (Mulyani, 2012).
Fraksinasi dilakukan dengan metoda
fraksinasi cair-cair menggunakan corong
pisah. Metoda ini merupakan metoda
pemisahan komponen kimia di antara dua fase
pelarut yang tidak saling bercampur di mana
sebagian komponen larut pada fase pertama
dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua
fase yang mengandung zat terdispersi
difraksinasi, didiamkan sampai terjadi
pemisahan sempurna dan terbentuk dua
lapisan fase cair, dan komponen kimia akan
terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai
dengan tingkat kepolarannya (Hougton and
Amala, 1998).
Sebanyak 89 gram ekstrak kental
metanol daun jati difraksinasi. Fraksinasi
dimulai dari pelarut nonpolar dan diikuti semi
polar. Fraksinasi ini bertujuan untuk
memisahkan senyawa-senyawa yang ada
berdasarkan sifat kepolarannya dimana
senyawa tersebut akan mudah larut di dalam
pelarut yang mempunyai tingkat kepolaran
yang sama atau hampir sama. Penarikan
senyawa non polar digunakan pelarut n-
heksana. Pelarut n-heksana tidak memiliki
gugus yang kaya elektron dan terdiri dari
karbon alifatik yang cukup panjang sehingga
bersifat non polar. Etil asetat akan menarik
senyawa semipolar. Etil asetat terdiri atas
gabungan gugus kaya elektron yaitu gugus
karboksilat sebagai asetat dan gugus etil
sebagai penolak elektron tergabung sebagai
ester pada asetat sehingga bersifat semipolar.
Sementara senyawa polar akan berada difraksi
sisa (fraksi air) yang bersifat polar. Fraksi
yang diperoleh dipekatkan dengan
menggunakan rotary evaporator. Penggunaan
rotary evaporator akan menurunkan titik didih
sehingga dapat mempercepat penguapan
pelarut, sedangkan rotari menyebabkan labu
berputar sehingga tidak terjadi bumping.
Pelarut dapat menguap 30 - 40º C di bawah
titik didih pelarut disebabkan adanya
penurunan tekanan. Dengan bantuan pompa
vakum, uap larutan penyari akan menguap
naik ke kondensor dan mengalami kondensasi
menjadi molekul-molekul cairan yang
ditampung dalam labu penampung (Harborne,
2006). Masing-masing fraksi yang diuapkan
menghasilkan massa kental sehingga
didapatkan berat dari masing-masing fraksi.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui berat dan
menghitung rendemen dari masing-masing
fraksi. Setelah dipekatkan dengan rotary
evaporator didapatkan hasil fraksinasi n-
heksana yang berwarna hijau sebanyak 37
gram (41,57%), sedangkan hasil fraksinasi etil
asetat daun Jati berwarna hijau sebanyak 29
gram (32,58%), dan fraksi sisa berwarna
merah kecoklatan sebanyak 23 gram (25,84%).
Berdasarkan rendemen fraksi di atas diketahui
bahwa nilai rendemen paling tinggi terdapat
pada fraksi sisa. Ini berarti komponen kimia
daun Jati kebanyakan merupakan senyawa
golongan polar, seperti protein, karbohidrat
dan enzim (Bruneton, 1999).
Maserat etil asetat, fraksi n-heksana,
dan fraksi etil asetat dikromatografi lapis tipis
untuk mengetahui komposisi kandungan
kimianya. Pemisahan komponen kimia
berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi, yang
ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase
gerak (eluen). Komponen kimia bergerak naik
mengikuti fase gerak karena daya serap
adsorben terhadap komponen-komponen kimia
tidak sama sehingga komponen kimia dapat
bergerak dengan kecepatan yang berbeda
berdasarkan tingkat kepolarannya
(Padmawinata, 1997). Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya pemisahan.
Kromatografi lapis tipis dilakukan beberapa
kali menggunakan bermacam eluen dengan
tingkat kepolaran yang berbeda untuk
mendapatkan pelarut yang mampu
memberikan pemisahan yang baik serta noda
zat warna yang bagus. Bercak pada plat KLT
dimonitor di bawah lampu UV 254 nm dan UV
366 nm. Oleh karena fraksi n-heksana dan fraksi
etil asetat hanya memperlihatkan zat warna
kuning dan merah yang diduga senyawa
golongan kuinon sedikit dibandingkan dengan
maserat etil asetat, maka diputuskan pengujian
fokus pada maserat etil asetat.
Setelah diamati di bawah lampu UV254
dan UV366 nm serta diberi reagen penampak
noda diketahui bahwa maserat etil asetat
mengandung kuinon (ditandai dengan noda
berwarna di bawah lampu UV366 nm dan
perubahan warna menjadi ungu setelah
penyemprotan NaOH 1 N), fenol (noda
berwarna biru hitam dengan penambahan
FeCl3), dan terpen ditandai dengan noda
berwarna pink keunguan dengan penambahan
vanilin asam sulfat (Djamal, 1990).
Pemisahan dan pemurnian zat warna
pada maserat etil asetat dilakukan dengan
teknik kromatografi kolom. Sebelum
dilakukan pemisahan menggunakan
kromatografi kolom, terlebih dahulu dilakukan
pemilihan eluen yang cocok untuk
memisahkan senyawa yang terdapat dalam
maserat etil asetat menggunakan KLT. Prinsip
yang sama pada kromatografi lapis tipis dapat
diterapkan pada skala besar untuk pemisahan
campuran dalam kromatografi kolom.
Sebanyak 1 gram ekstrak etil asetat
dipisahkan dengan kromatografi kolom dengan
fase diam silika gel 60 dan dielusi secara
isokatrik. Sistem elusi isokratik merupakan
suatu teknik elusi dimana komposisi fasa
geraknya (eluen) tidak berubah selama analisis
dilakukan sampai sampel terelusi dari
kromatografi kolom. Pengisian fasa diam ke
dalam kromatografi kolom dilakukan dengan
cara basah. Pada cara basah, fasa diam dibuat
bubur terlebih dahulu dengan pelarut yang
akan digunakan yaitu diklorometan untuk fasa
gerak,. Sampel dibuat menjadi serbuk
preabsorbsi dengan menambah silika gel 60
sama banyak dengan berat sampel. Terlebih
dahulu sampel dilarutkan dengan diklorometan
setelah itu baru ditambahkan silika gel 60,
kemudian pelarut diuapkan secara in vacuo
sehingga diperoleh campuran silika gel 60 dan
sampel berupa serbuk kering. Proses
kromatografi kolom dibuat dengan
memasukkan 250 gram silika gel yang telah
disuspensikan dengan cairan pengelusi yaitu
diklorometan 100%, ke dalam kromatografi
kolom kaca sambil diketok-ketok hingga
memadat dan homogen. Sampel yang sudah
jadi serbuk preabsorbsi dituang ke dalam
kromatografi kolom secara hati-hati dan
merata. Sampel dielusi dengan fase gerak
pelarut diklorometan 100% melalui dinding
kromatografi kolom sedikit demi sedikit
hingga masuk semua, dan kran dibuka dan
diatur tetesannya, serta cairan pengelusi
ditambahkan. Eluen yang keluar ditampung
dalam vial sebagai fraksi-fraksi, setiap fraksi
diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh fraksi
kental, kemudian dimonitor dengan plat KLT.
Fraksi yang memiliki Rf yang sama digabung.
Dari fraksi – fraksi didapatkan hasil gabungan
sebanyak 10 subfraksi yaitu: HMS-09-17-01
s/d HMS-09-17-10). Setelah dimonitor
menggunakan KLT subfraksi HMS-09-17-04,
HMS-09-17-05, dan HMS-09-17-06
memperlihatkan noda target sehingga perlu
dikromatografi kolom kembali untuk
memisahkan noda yang terdapat pada masing
– masing subfraksi.
Subfraksi HMS-09-17-04 dipisahkan
dengan kromatografi kolom dengan fase diam
silika gel 60 dan dielusi secara isokratik.
Kromatografi kolom dilakukan dengan
memasukkan 50 gram silika gel yang telah
disuspensikan dengan cairan pengelusi yaitu n-
heksana: diklorometan: metanol 3 : 7 : 0,2 ke
dalam kromatografi kolom kaca sambil
diketok-ketok hingga memadat dan homogen.
Sampel yang sudah jadi serbuk preabsorbsi
dituang ke dalam kromatografi kolom secara
hati-hati dan merata. Sampel dielusi dengan
fase gerak pelarut n-heksana: diklorometan:
metanol 3 : 7 : 0,2 melalui dinding
kromatografi kolom sedikit demi sedikit
hingga masuk semua, dan kran dibuka dan
diatur tetesannya, serta cairan pengelusi
ditambahkan. Fraksi – fraksi yang keluar
ditampung dengan vial selanjutnya untuk
fraksi yang lebih polar dielusi dengan eluen
metanol 100%. Setiap fraksi diuapkan
pelarutnya sehingga diperoleh fraksi kental,
kemudian dimonitor dengan plat KLT. Fraksi
yang memiliki Rf yang sama digabung. Dari
fraksi – fraksi didapatkan hasil gabungan
sebanyak 5 subfraksi yaitu (HMS-09-18-01 s/d
HMS-09-18-05). Proses pengoloman yang
sama dilakukan terhadap subfraksi HMS-09-
17-05 dan HMS-09-17-06. Dari hasil monitor
dengan pola KLT subfraksi HMS-09-17-05
didapatkan 3 subfraksi (HMS-09-19-01 s/d
HMS-09-19-03) dan dari subfraksi HMS-09-
17-06 didapatkan 2 subfraksi (HMS-09-20-01
dan HMS-09-20-02). Setelah ditimbang dan
dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-18-
01, HMS-09-18-02, HMS-09-19-01, dan
HMS-09-20-01 memperlihatkan noda target
tetapi jumlahnya sedikit, maka dilakukan
proses kromatografi kolom lagi dengan sampel
sebanyak 15 gram dengan proses yang berbeda
dengan proses sebelumnya yaitu dengan cara
SGP (Step Gradient Polarity) yakni
menggunakan pelarut dengan kombinasi yang
yang berbeda – beda dan dengan tingkat
kepolaran yang semakin meningkat. Pada
kromatografi kolom dengan cara SGP ini
digunakan sejumlah silika yang dimasukkan
kedalam kromatografi kolom dan dipadatkan
dengan kertas saring. Sampel yang sudah jadi
serbuk preabsorbsi dituang secara hati-hati dan
merata. Kemudian sampel dielusi dengan fase
gerak n-heksana 100 %, n-heksana :
diklorometan 50 : 50, diklorometan 100%,
diklorometan : metanol 5 : 95 dan metanol
100%. Eluen yang keluar ditampung dalam
vial, diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh
fraksi kental, kemudian dimonitor dengan plat
KLT. Fraksi yang memiliki Rf yang sama
digabung. Hasil gabungan dimonitor pola KLT
dan didapat 10 subfraksi (HMS-09-24-01 s/d
HMS-09-24-10). Setelah ditimbang dan
dimonitor dengan KLT, subfraksi HMS-09-24-
05, HMS-09-24-07 dan HMS-09-24-08
memperlihatkan noda target. Subfraksi HMS-
09-24-05 telah menunjukkan noda yang murni
secara KLT tetapi subfraksi HMS-09-24-07
dan HMS-09-24-08 perlu dimurnikan kembali
untuk memisahkan noda yang terdapat pada
masing – masing subfraksi.
Subfraksi HMS-09-24-07 dipisahkan
dengan kromatografi kolom dengan fase diam
silika gel 60 dan dielusi secara isokratik.
Kolom dibuat dengan memasukkan 97 gram
silika gel yang telah disuspensikan dengan
cairan pengelusi yaitu n-heksana:
diklorometan: metanol 4 : 6 : 0,1 ke dalam
kromatografi kolom kaca sambil diketok-ketok
hingga memadat dan homogen. Sampel yang
sudah menjadi serbuk preabsorbsi dituang ke
dalam kromatografi kolom secara hati-hati dan
merata. Sampel dielusi dengan fase gerak
pelarut n-heksana: diklorometan: metanol 4 : 6
: 0,1 melalui dinding kromatografi kolom
sedikit demi sedikit hingga masuk semua, kran
dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan
pengelusi ditambahkan. Fraksi – fraksi yang
keluar ditampung dengan vial selanjutnya
untuk fraksi yang lebih polar dielusi dengan
eluen diklorometan 100%. Setiap fraksi
diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh fraksi
kental, kemudian dimonitor dengan plat KLT.
Fraksi yang memiliki Rf yang sama digabung.
Proses kromatografi kolom yang sama
juga dilakukan terhadap 320 mg subfraksi
HMS-09-24-08 yang dielusi dengan kombinasi
eluen yang sama. Hasil kromatografi kolom
dimonitor dengan KLT, noda diamati dengan
lampu UV. Noda yang memberikan Rf sama
digabung dan diuapkan.
Dari hasil monitor dengan pola KLT
subfraksi HMS-09-24-07 menghasilkan 10
subfraksi (HMS-09-26-01 s/d HMS-09-26-10)
dan yang menjadi noda target adalah subfraksi
HMS-09-26-05 dan HMS-09-26-06. Dari
subfraksi HMS-09-24-08 didapatkan 6
subfraksi (HMS-09-27-01 s/d HMS-09-27-06).
Dari penggabungan subfraksi HMS-
09-24-08 diperoleh noda target baru yaitu
subfraksi HMS-09-27-02 sehingga perlu
dilakukan pengecekan KLT untuk mencari
kombinasi pelarut yang cocok untuk
dikromatografi kolom. Setelah diperoleh
kombinasi pelarut yang cocok maka dilakukan
kromatografi kolom kembali terhadap 24 mg
subfraksi HMS-09-27-02.
Subfraksi HMS-09-27-02 dipisahkan
dengan kromatografi kolom dengan fase diam
silika gel 60 dan dielusi secara isokratik.
Kolom dibuat dengan memasukkan 50 gram
silika gel yang telah disuspensikan dengan
cairan pengelusi yaitu n-heksana : etil asetat :
metanol 6 : 4 : 0,1 ke dalam kromatografi
kolom kaca sambil diketok-ketok hingga
memadat dan homogen. Sampel yang sudah
menjadi serbuk preabsorbsi dituang ke dalam
kolom secara hati-hati dan merata. Sampel
dielusi dengan fase gerak pelarut n-heksana:
etil asetat : metanol 6 : 4 : 0,1 melalui dinding
kromatografi kolom sedikit demi sedikit
hingga masuk semua, kran dibuka dan diatur
tetesannya, serta cairan pengelusi
ditambahkan. Fraksi – fraksi yang keluar
ditampung dengan vial selanjutnya untuk
fraksi yang lebih polar dielusi dengan eluen
metanol 100%. Setiap fraksi diuapkan
pelarutnya sehingga diperoleh fraksi kental,
kemudian dimonitor dengan plat KLT. Fraksi
yang memiliki Rf yang sama digabung. Dari
hasil monitor dengan pola KLT didapatkan 4
subfraksi (HMS-09-32-01 s/d HMS-09-32-04),
dan yang menjadi noda target adalah subfraksi
HMS-09-32-03.
Setelah dilakukan pengecekan KLT
terhadap subfraksi HMS-09-32-03, noda
diamati dengan lampu UV. Dari hasil
pengamatan dibawah lampu UV
memperlihatkan bahwa subfraksi HMS-09-32-
03 belum murni karena masih terdapat 2 noda
diatas noda target dengan 1 noda menempel
pada bagian atas dan bawah noda target, serta
masih terdapat ekor pada bagian bawahnya.
Setelah itu dilakukan pengecekan KLT secara
Multiple Developping System (MDS) dengan
kombinasi pelarut yang sama, namun belum
menunjukkan perubahan secara signifikan.
Kemudian dilakukan pengecekan KLT
kembali dengan kombinasi pelarut yang sama
dengan ditambah 3 tetes asam asetat 2N. Hasil
KLT dimonitor dibawah lampu UV. Dari hasil
monitor tersebut didapatkan 1 noda yang
masih menempel pada noda target dan terdapat
3 noda dibawah noda target dan masih
berekor. Selanjutnya dilakukan pengecekan
kembali secara multiple developping system
dan hasilnya masih sama.
Proses kromatografi kolom
dilanjutkan terhadap subfraksi HMS-09-26-05
dan HMS-09-26-06. Sebanyak 20 mg
subfraksi HMS-09-26-05 dikromatografi
kolom dengan eluen n-heksana : diklorometan
: metanol 3 : 7 : 0,2 dan diklorometan 100 %.
Fraksi hasil kromatografi kolom dimonitor
dengan KLT. Noda yang memberikan Rf sama
digabung dan diuapkan. Dari hasil monitor
dengan pola KLT didapatkan 6 subfraksi
(HMS-09-34-01 s/d HMS-09-34-06), dan yang
menjadi noda target adalah subfraksi HMS-09-
34-01. Kemudian dilakukan kembali
pengecekan KLT terhadap subfraksi HMS-09-
34-01 tetapi hasilnya masih berekor (tailing).
Proses kromatografi kolom
dilanjutkan kembali terhadap subfraksi HMS-
09-26-06 dengan menggunakan silika dari
subfraksi sebelumnya dengan kombinasi
pelarut yang sama. Masing- masing fraksi
hasil kromatografi kolom dimonitor dengan
KLT. Noda yang memberikan Rf sama
digabung. Dari hasil KLT didapatkan 5
subfraksi (HMS-09-35-01 s/d HMS-09-35-05),
dan yang menjadi noda target adalah subfraksi
HMS-09-35-01 tetapi hasilnya masih berekor
(tailing). Karena Rf noda pada subfraksi
HMS-09-34-01 dan subfraksi HMS-09-35-01
sama, maka noda digabung dan diberi kode
HMS-09-36-01.
Selanjutnya dikromatografi kolom
subfraksi HMS-09-20-01 untuk mendapatkan
noda yang berwarna hijau. Sebelumnya
dilakukan pengecekan menggunakan lampu
UV dengan panjang gelombang panjang dan
filtrasi menggunakan norit. Dari pengecekan
dengan lampu UV dengan panjang gelombang
panjang menunjukkan noda yang berwarna
hijau tersebut berwarna orange kemerah-
merahan dan tidak berfluoresiensi. Selanjutnya
dilakukan pengujian menggunakan norit
dengan cara memasukkan kapas sedikit ke
dalam pipet tetes sampai memadat lalu
dimasukkan norit dan subfraksi yang telah
dilarutkan dengan etil asetat. Larutan yang
turun berwarna bening. Hal ini menunjukkan
bahwa noda hijau pada subfraksi tersebut
adalah klorofil sehingga pengujian terhadap
subfraksi HMS-09-20-01 tidak dapat
dilanjutkan.
Dari pemisahan zat warna yang telah
dilakukan, hasilnya dibandingkan dengan
maserat etil asetat untuk mengetahui apakah
ketiga zat warna tersebut merupakan senyawa
artefak atau tidak. Selain itu ketiga noda target
yang diperoleh juga dibandingkan pola KLT
nya dengan maserat wortel untuk memastikan
apakah zat warna yang diperoleh merupakan
kuinon atau β-karoten.
Dari subfraksi – subfraksi diatas
diperoleh 3 zat warna. Senyawa pertama
(HMS-09-24-05) berupa cairan bewarna merah
dengan berat 0,285 gram, senyawa kedua
(HMS-09-36-01) cairan bewarna merah
dengan berat 0,009 gram dan senyawa ketiga
(HMS-09-32-03) berupa cairan berwarna
merah sebanyak 0,012 gram. Masing-masing
subfraksi larut dalam etil asetat, kloroform,
diklorometan agak sukar larut dalam n-heksan
dan metanol dan tidak larut dalam air.
Penelitian selanjutnya dilakukan
penambahan logam pada zat warna HMS-09-
24-05. Logam yang digunakan FeSO4, FeCl3, CuSO4, ZnCl3. Dari uji kelarutan yang
dilakukan, logam – logam tersebut larut
dengan metanol.
Sebanyak 30 mg zat warna ditimbang
dan dilarutkan ke dalam 12 ml metanol
sehingga diperoleh konsentrasi 2500 ppm.
Dari 12 ml larutan induk diambil 6 ml untuk
diencerkan kembali dengan metanol sehingga
diperoleh konsentrasi 1250 ppm. Pengenceran
dilakukan sampai diperoleh konsentrasi 156.25
ppm. Larutan ini dijadikan sebagai control.
Selanjutnya dibuat kembali larutan induk dan
diencerkan dengan konsentrasi yang sama
dengan larutan induk sebelumnya dan pada
masing – masing tabung reaksi ditambahkan 5
mg logam CuSO4 sehingga warnanya berubah
menjadi warna ungu dan terdapat endapan.
Begitu juga terhadap logam ZnCl3,
FeCl3, dan FeSO4 dibuat larutan induk dan
diencerkan dengan konsentrasi yang sama
dengan larutan sebelumnya. Pada masing –
masing tabung reaksi ditambahkan 4 mg
logam ZnCl3 sehingga warnanya berubah
menjadi merah muda. Selanjutnya pada
masing – masing tabung reaksi ditambahkan
pula 2 mg FeCl3 sehingga warnanya berubah
menjadi ungu. Untuk logam FeSO4 dilakukan
pengerjaan yang berbeda dengan logam –
logam sebelumnya, dimana sebanyak 3 mg
logam FeSO4 dilarutkan ke dalam 3 ml
metanol kemudian tambahkan 1 tetes ke dalam
larutan. Warna larutan berubah menjadi ungu
dan terdapat endapan di dalam larutan
tersebut.
Pewarna mordant memiliki afinitas
untuk serat tekstil. Mereka melekat pada serat
dengan bantuan mordant. Mordant bergabung
dengan oksida logam untuk membentuk warna
larut. Pewarna mordant mungkin alami atau
sintetis. Pewarna mordant alam diperoleh dari
madder, cochineal, kayu bulat. Mordant
sintetis dipasarkan sebagai pasta atau bubuk.
Mordant sebagian besar diterapkan pada serat
alami protein, nilon, dan serat modakrilik
kebanyakan pewarna mordant larut dalam air
dingin. Beberapa mordant yang umum
digunakan diantaranya Al dengan krim dari
tartar biasanya dikombinasikan dengan
perbandingan 3 bagian alumunium pada 1
bagian krim tartar, K2Cr2O7 digunakan untuk
memperdalam warna dan membuat warna
menjadi lebih tahan, FeSO4 dapat membuat
warna menjadi gelap atau tidak tajam, SnCl2
membuat warna menjadi lebih tajam atau lebih
terang dan CuSO4 digunakan untuk membuat
warna hijau menjadi hijau kebiru-biruan pada
pewarnaan serat (Katz, 2011).
Pemeriksaan spektrofotometri UV-Vis
digunakan untuk mengukur panjang
gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan
cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel
(Sastrohamidjojo, 1992). Senyawa HMS-09-
24-05 dari hasil pemeriksaan spektrofotometri
UV-Vis dalam pelarut metanol menunjukkan
serapan maksimum pada panjang gelombang
493 nm. Dari hasil pengujian menggunakan
spektrum inframerah menunjukkan adanya
serapan pada bilangan gelombang (cm-1 )
3343,96 cm-1 menunjukkan adanya gugus O-
H, pada bilangan gelombang 2922,59 cm-1
menunjukkan adanya gugus C-H, pada
bilangan gelombang 1728,87 cm-1
menunjukkan adanya gugus C=O, pada
bilangan gelombang 1599,66 cm-1
menunjukkan adanya gugus C=C, dan pada
bilangan gelombang 1296,89 cm-1
menunjukkan adanya gugus C-O (Fassenden,
1997).
Dari data di atas diketahui senyawa
tersebut mengandung gugus aromatik, gugus
karbonil dan OH alifatik (Silverstein, et al.,
1986). Senyawa ini merupakan golongan
kuinon yang mempunyai karakteristik gugus
fungsi aromatik dan gugus karbonil (C=O).
Pengujian menggunakan spektrum inframerah
bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi
senyawa organik dengan membandingkan
daerah sidik jarinya (Sastroamidjojo, 1991;
Silverstein, et al., 1986).
Dari beberapa penelitian sebelumnya
dengan sampel kayu Jati, telah banyak
diisolasi subfraksi golongan kuinon yang
memiliki karakteristik berupa subfraksi
berwarna. Penelitian lain mengenai stabilitas
zat warna daun Jati juga telah dilakukan dan
berhasil mendapat subfraksi dari fraksi etil
asetat yang relatif murni secara KLT dengan
Rf 0,5 dengan absorpsi pada λmax 498 nm
yang merupakan golongan kuinon. Selain itu
zat warna tersebut tidak stabil pada
pemanasan, paparan cahaya dan perubahan pH
(Mulyani, 2012).
Sumthong (2007) telah berhasil
mengisolasi ekstrak kloroforom-metanol (1:1)
kayu Jati yang berwarna oranye di bawah
lampu UV 366 nm dengan Rf 0,72 eluen
CDCl3-MeOH (19:1) dan Rf 0,44 eluen
petroleum eter-aseton-asam asetat (75:25:1,5).
Spektrum UV memperlihatkan absorpsi pada
λmax (MeOH + 0,1 Asam format): 205, 250 dan
335 nm. Data 1H NMR dan LC/MS
mengidentifikasi subfraksi tersebut adalah
deoxylapachol. Selain itu juga diisolasi
subfraksi yang berwarna oranye kemerahan di
bawah lampu UV 366 nm dengan Rf 0,72
eluen CDCl3-MeOH (19:1) dan Rf 0,37 eluen
petroleum eter-aseton-asam asetat (75:25:1,5).
Spektrum UV memperlihatkan absorpsi pada
λmax (MeOH + 0,1 Asam format): 205, 255 dan
330 nm. Data 1H NMR dan LC/MS
mengidentifikasi subfraksi ini adalah
tectoquinone. Subfraksi berwarna kuning
terang juga telah mereka isolasi adalah 2-
hidroksimetil antrakuinon dan 3-OH-
deoxyiisolaphacol.
Lukmandaru dan Ogiyama (2005) juga
telah mengisolasi subfraksi murni dari fraksi
etil asetat kayu Jati yang berupa kristal oranye,
memperlihatkan Rf 0,72 dengan eluen benzen,
titik leleh 1420-1440C. Subfraksi tersebut
adalah dehydro-α-lapachone. Hasil pemisahan
subfraksi yang terdapat pada fraksi etil asetat
kayu Jati memperlihatkan komponen-
komponen dengan karakteristik warna
subfraksi yang hampir mirip dengan
komponen maserat etil asetat daun Jati.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, diduga
senyawa-senyawa yang didapat pada maserat
etil asetat ini juga merupakan senyawa
golongan kuinon.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari 15 gram ekstrak kental etil asetat
telah dipisahkan 3 subfraksi zat warna yang
diberi kode HMS-09-24-05 berupa kristal
jarum merah, HMS-09-36-01 dan HMS-09-32-
03 berupa amorf merah. Berdasarkan data
reaksi kimia dan spektroskopi zat warna
tersebut merupakan golongan kuinon.
Penambahan logam CuSO4 pada zat
warna HMS-09-24-05 menunjukkan
perubahan warna menjadi warna ungu dan
terdapat endapan, logam ZnCl3 menunjukkan
perubahan warna menjadi warna merah muda,
logam FeCl3 menunjukkan perubahan warna
menjadi warna ungu, dan logam FeSO4
menunjukkan perubahan warna menjadi warna
ungu dan terdapat endapan.
Saran
Disarankan kepada peneliti
selanjutnya untuk melakukan isolasi lanjutan
subfraksi warna dan elusidasi struktur senyawa
hasil isolasi serta uji toksik dari fraksi dan
senyawa hasil isolasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdelmigid, H.M., 2009. Risk Assessment of
Food Coloring Agents on DNA Damage
Using RAPD Markers, The Open
Biotechnology Journal, 3, 96-102.
Adamovics, J.A., 1990. Chromatographic
Analysis of Pharmaceuticals, New York :
Marcell Dekker.
Alen, Y., E. V. Ningrum., dan Rustini., 2004.
Isolasi Senyawa Antimikroba dari Fraksi
Semi-polar Ekstrak Metanol Limbah
Kulit Kayu Jati (Tectona grandis Linn. f.)
II, Jurnal Matematika dan Pengetahuan
Alam (J. JUMPA), Vol 13 (2), pp 136-
138
Aradhana, R., K. N. V. Rao., D. Banji., and R.
K. Chaithanya., 2010. A Review on
Tectona grandis Linn. f. : Chemistry and
Medicinal Uses (Family: Verbenaceae),
Journal of Herbal Tech Industry, 6-9.
Bruneton, J., 1999. Pharmacognosy
Phytochemistry Medicinal Plants, 2 Ed,
translated by Caroline K. Hatton, Paris:
Lavoiser Publishing.
Chattopadhyay, P., S. Chatterjee., and K. S.
Sen., 2008. Biotechnological Potential of
natural food grade biocolorants, African
Journal of Biotechnology, 7 (17), 2972-
2985.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.,
1974. Farmakope Indonesia, Edisi 3,
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.,
2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat, Jakarta: Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan,
Direktorat Pengawasan Tradisional.
Departemen Pertanian Republik Indonesia.,
2006. Panduan Pengujian Individual
Kebaruan, Keunikan, Keseragaman, dan
Kestabilan, Pusat Perlindungan Varietas
Tanaman: Departemen Pertanian
Republik Indonesia.
Determan, H., 1969. Gel Chromatography,
Edisi 2, New York : Spinger-Vering,
Berlin – Heidelberg.
Djamal, R., 1990. Prinsip-prinsip Dasar
Bekerja Dalam Bidang Kimia Bahan
Alam, Padang: Universitas Andalas, 29-
56.
Downham, A., and P. Collins., 2000.
Colouring ourfood in the last and next
millennium. International Journal Of
Food Science and Technology, 35, 5-22.
Duangmal, K., B. Saicheua., and S.
Sueeprasan., 2004. Proceedings AIC
2004 Color and Paints, Interim Meeting
of The International Color Association.
Erinda dan Nonie., 2011. Formulasi Sediaan
Lipstik Menggunakan Ekstrak Daun Jati
(Tectona grandis L.f.) Sebagai Pewarna,
Abstrak skripsi, Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Fessenden, R. J., dan J. S. Fessenden., 1997.
Kimia Organik Jilid 1, Edisi III,
Penerjemah A. H. Pudjaatmaka, Jakarta:
Erlangga, 436-439.
Goswami, D. V., S. A. Nirmal., M. J. Patil., N.
S. Dighe., R. B. Laware., and S. R.
Pattan., 2009. PHCOG REV: An
Overview of Tectona grandis: Chemistry
and Pharmacological Profile, Phcog Rev,
3 (5), 181-185.
Harborne, J. B., 1987. Phytochemical Methods
(Metode Fitokimia), Terjemahan Kokasih
Padmawinata dan Iwang Sudiro,
Bandung: ITB.
Harborne, J. B., 2006. Metoda Fitokimia,
Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Terbitan ke-2, Terjemahan
Kokasih Padmawinata dan Iwang Sudiro,
Bandung: ITB, 109-118.
Hartati, R., S. A. Gana., dan K. Ruslan., 2005.
Telaah flavonoid dan Asam Fenolat
Daun Jati (Tectona grandis L. f.,
verbenaceae), Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia III, Badan Penelitian dan
Pengembangan kehutanan, Departemen
kehutanan.
Hougton, P. J., and R. Amala., 1998.
Laboratorium Handbook for The
Fraktionation of Natural Extracts,
London: Chapman and Hall.
Kardinan, A., dan Taryono., 2003. Mengenal
Lebih Dekat Tanaman Obat Penggempur
Kanker, Jakarta : Agromedia Pustaka.
Katz, D.A., 2011. Natural Plant Dyes, USA :
Department of Chemistry.
Krishna, M., J. Nair., 2010. Antibacterial,
Cytotoxic and Antioxidant Potential of
Different Extracts from Leaf, Bark and
Wood of Tectona grandis, International
Journal of Pharmaceutical Sciences and
Drug Research, 2 (2), 155-158.
Lacret, R., R.M. Varela., J.M.G. Molinillo.,
2011. Anthratectone and Naphthotectone,
Two Quinones from Bioactive Extracts of
Tectona grandis, J. Chem. Ecol., 37,
1341-1348.
Lemmens, R.H.M.J., and N.W Soetjipto.,
1992. Plant Resources of South-East Asia
No. 3, Dye and Tannin-Producing Plants,
Bogor: Prosea.
Mulyani, I., 2012. Ekstraksi, Fraksinasi, dan
Uji Stabilitas Zat Warna Alami Daun Jati
(Tectona grandis L.f.), Padang : Fakultas
Farmasi, Universitas Andalas.
Lukmandaru, G., and K. Ogiyama., 2005.
Bioactive Compounds from ethyl acetat
extract of teakwood (Tectona grandis L.
f).
Muntean, E., V. Bercea., and N. Muntean.,
2007. Small-scale Batch Technology for
Production of Anatural Food Dye from
Green Algae, The Annals of the
University Dunarea de Jos of Galati.
Nayeem, N., and M. D. Karverkar., 2010.
Analgesic and Anti Inflammatory
Activity of The Methanolic Extract of
Frontal Leaves of Tectona grandis,
Internet Journal Pharmacol, 8.
Nayeem, N., and M. D. Karverkar., 2010.
Isolation of Phenolic Compounds from
the methanolic Extract of Tectona
grandis, Research Journal of
Pharmaceutical, Biological and
Chemical Sciences, Vol. 1 (2), 221-225.
Nielsen, S.R., S. Holst., C. Hansen., 2002.
Development in Natural Colourings,
Washington : CRC Press.
Padmawinata, K., 1997. Isolasi (Ekstraksi
Cair-Padat, Fraksinasi Cair-Cair).
Prosiding: Temu Ilmiah Nasional Bidang
Farmasi 7-8 Juli 1997, Vol: 1, Bandung :
ITB.
Pathak., N.K.R. Neogi., P. Biswas., M.
Tripathi., 1988. Journal Indian, Vol 50
(2), J. Pharm. Sci. Inst. Med. Sci, India :
Banaras Hindu University.
Peteros, N. P., and M. U. Myelene., 2010.
Antioxidant and Cytotoxic Activities and
phytochemical Screening of Four
Philippine Medicinal Plants, Journal of
Medicinal Plants Research, Vol. 4 (5),
407-414.
Rachmawati, H., D. Iriantono., C.P. Hansen.,
2002. Informasi Singkat Benih Tectona
grandis. Linn. f, Bandung: Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan.
Rivai, H., 2002. Pengembangan Fitofarmaka
sebagai Salah Satu Komoditas
Agromedisin untuk Pengobatan
Alternatif, Makalah Seminar Ilmiah
Nasional PIN VIII dan Munas IX
ISMAFARSI, Padang: Universitas
Andalas.
Saati, E.A., Mujianto, N. Hastuti., 2008.
Pengaruh jenis pelarut pada proses
ekstraksi terhadap kualitas pigmen bunga
turi, Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Agroindustri Berbasis
Sumberdaya Lokal Untuk Mendukung
Ketahanan Nasional, ISBN 978-979-
1366-28-1, 14-25.
Sastroamidjojo, H. 1991. Dasar-dasar
Spektroskopi, Edisi II, Yogyakarta:
Liberti, Universitas Gadjah Mada.
Sastrohamidjojo, H., 1992. Spektroskopi.
Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Silverstein, R.M., G.C. Bassier, and T.C.
Morril., 1991. Spectrometric
Identification of Organic Compounds,
Edisi V, Canada: Jhon Wiley and Sons,
INC, 93-96.
Silverstein, R.M., G.C. Bassier, and T.C.
Morril. 1986. Penyidikan Spektrometrik
Senyawa Organik, Edisi IV, Penerjemah:
Hartono, A.J, et al., Bogor : Pertanian
Bogor.
Stahl, E., 1969. Thin Layer Chromatography,
Edisi II, New York : Academic Press Inc.
Stahl, E., 1985. Analisis Obat secara
Kromatografi dan Mikroskopis,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata
dan Iwang Sudiro, Bandung: ITB.
Suganda., 1997. Kromatografi Lapis Tipis.
Prosiding: Temu Ilmiah Nasional Bidang
Farmasi, Vol. 1, Bandung 7-8 Juli 1997,
Bandung: ITB.
Sumarna,Y., 2004. Budidaya Jati, Jakarta:
Penebar Swadaya.
Sumthong, P., R.Gonzales, and R. Verpoorte.,
2007. Antimicrobial compounds as side
products from the agricultural processing
industry, Capter 4- Isolation and
Elucidation of quinines in Tectona
grandis- PhD thesis, Faculty of
Pharmacology, University of Leiden.
Suparmi, B. Prasetyo, L. Limantara, 2008,
Kandungan dan isolasi pigmen pada
selaput biji kesumba (Bixa Orellana L.) :
Potensinya sebagai pewarna alami
makanan, Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Agroindustri Berbasis
Sumberdaya Lokal Untuk Mendukung
Ketahanan Nasional, ISBN 978-979-
1366-28-1, 55-69
Sutara, P.K. 2009. Jenis Tumbuhan sebagai
Pewarna Alam pada Beberapa
Perusahaan Tenun di Gianyar, Jurnal
Bumi Lestari Vol. 9 (2), Bali: Universitas
Udayana.
Titihalawa, S., F. S., Rondonuwu., dan H.
Semangun., 2008. Efek penambahan
kapur sirih terhadap kandungan klorofil
dalam daun singkong ( Manihot
Esculenta Crantz), Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Agroindustri
Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk
Mendukung Ketahanan Nasional, ISBN
978-979-1366-28-1, 89-98.
Thomson, R.H. 1971. Naturally Occurring
Quinones, Edisi II, New York: Academic
Press, 43-89.
Vankar, P.S., 2000. In charge facility for
ecological and analytical testing (FEAT),
Journal Chemistry of natural dyes, 208,
73-80.
Voigt, R. 1994. Pelajaran Teknologi Farmasi,
Edisi V, diterjemahkan oleh N. Suedana,
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Winarno, F.G., 1997. Keamanan pangan,
Bogor: Naskah Akademis Institut
Pertanian Bogor.
Wirasto., 2008. Analisis Rhodamin B dan
Metanil Yellow dalam Minuman Jajanan
Anak SD di Kecamatan Laweyan
Kotamadya Surakarta dengan Metode
Kromatografi Lapis Tipis, Surakarta:
Universitas Muhammadiyah.
Woodroof, J.G., G.F. Philips., 1975,
Beverages: Carbonated and Non
Carbonated, Connecticut : AVI
Publishing Co. Inc.