jumat, 15 oktober 2010 | media indonesia tenun kaya … filebaran-lembaran kain itu dia berupaya...

1
O RPA Daepanie, 50, perempuan pene- nun asal Kelurahan Karang Siri, Keca- matan Kota So’E, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, tidak ingin lakon kehidupan berlalu begitu saja tanpa ter- dokumentasi sempurna. Ia mengumpulkan puluhan perempuan tua dan muda di wilayahnya untuk menekuni tenun dengan nama kelompok Nekmese. Sebab, dari lem- baran-lembaran kain itu dia berupaya menceritakan kem- bali mitos-mitos yang hidup di masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di kabupaten tersebut setidaknya ada 300 motif tenun ikat, masing-masing memiliki cerita tersendiri. Orpa belum lama ini memamerkan em- pat motif, di antaranya, yang diberi nama motif nunkolo, ki’e, amanatun, dan molo. Dia bercerita, di hampir se- luruh motif tenunan itu selalu muncul bentuk buaya sebagai perwakilan dari mitos penting bahwa Pulau Timor dianggap sebagai pulau buaya yang se- dang berbaring atau the sleeping crocodile. Dikisahkan, di masa lam- pau pernah ada seorang anak menolong seekor buaya yang tersesat. Buaya itu menemu- kan jalan kembali ke laut se- telah digendong sang anak. Akan tetapi sampai di laut, air laut naik. Karena nyawa anak terancam, buaya mengajaknya naik ke punggung. Sebelum berpisah buaya berpesan, kelak ia mati akan mengapung di permukaan laut. Sang anak boleh tinggal di punggungnya yang akan ditumbuhi pohon-pohon yang buahnya boleh dimakan. Mitos ini diceritakan secara turun- temurun lewat motif tenun ikat maupun cerita orang tua kepada anak-anak. Tiga metode Meskipun banyak motif, penenun asal Pulau Timor hanya menggunakan tiga me- tode pembuatan kain, yakni futus (mengikat benang), sotis (menyisip benang), dan buna (mengait dan menyungkit benang). Metode futus diawali de- ngan membuat hiasan dasar pada kain tenun dengan cara mengikat rencana gambar untuk beberapa warna. Se- mentara sotis dibuat dengan menyisipkan benang tambahan di atas dan di bawah benang dasar sehingga gambar yang dibentuk muncul ke permu- kaan. Adapun buna memiliki tingkat kerumitan tinggi ka- rena menggunakan banyak warna, namun cara kerjanya sama persis dengan sotis. Sesuai tingkat kerumitan pembentukan motif, harga sarung pun bervariasi. Sarung- sarung ini ditenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Maka, pengerjaannya pun dimulai dari membuat benang dari kapas, merekayasa motif, mencelup benang ke dalam zat pewarna yang biasanya dibuat dari bahan-bahan se- perti kunyit, akar mengkudu, dan daun pepaya. Untuk menghasilkan warna yang mampu bertahan ber- tahun-tahun, proses pence- lupan benang membutuhkan waktu satu atau dua bulan. Di masa lalu, penenun bahkan menyiapkan benang selama berbulan-bulan. Cara ini meng- hasilkan tenun kualitas terbaik yang warnanya tidak pudar selama puluhan tahun. Selembar kain dengan me- tode buna yang tingkat keru- mitannya tinggi diselesaikan selama tiga bulan dan dijual seharga Rp1,2 juta-Rp2 juta, sesuai ukuran. Tenun yang menggunakan metode sotis diselesaikan dua bulan dan dijual seharga Rp750 ribu-Rp1 juta. Sementara yang dikerjakan secara futus di- selesaikan dalam tempo 30 hari dan dijual Rp750 ribu. Pendapatan kelompok ini lumayan menyusul permin- taan tenun yang terus mening- kat. “Kami pasarkan tenun ikat sampai ke luar negeri,” katanya. Wisatawan asal Amerika dan Eropa, kata Orpa, me- muji kualitas tenun kelompok ini. Bahkan, sejumlah pem- beli yang pernah mampir di Nekmese memesan lagi setelah kembali ke negara mereka. Wajib tenun Belakangan, untuk memacu pertumbuhan penenun, peme- rintah NTT mewajibkan selu- ruh pegawai negeri mengena- kan pakaian bermotif daerah setiap Kamis dan Jumat. Maka, pegawai wajib mem- beli tenun langsung ke pene- nun kemudian menjahitnya menjadi kemeja atau jas. Sebab, memang tujuannya, kain yang dihasilkan penenun lokal bisa terjual. Gubernur Frans Lebu Raya mengatakan, kebijakan itu bertujuan membantu pene- nun untuk terus berkembang. Penenun juga didorong untuk mengikuti berbagai pameran di berbagai kota, bahkan sam- pai ke Australia lewat Expo Darwin yang digelar setiap Juni. Orpa pun kini membeli mesin tenun yang bisa meng- hasilkan lima lembar kain dan puluhan selendang dalam sepekan. Katanya, untuk tetap bisa bersaing di pasar. Dari mesin tersebut, produk yang dihasilkan pun ber- macam-macam, antara lain sarung, taplak meja, seprai, tas, dan sarung bantal. Untuk produk jenis ini, harganya lebih murah, yakni mulai Rp50 ribu-Rp500 ribu. Orpa punya kiat untuk pen- cinta tenun ATBM saat membe- dakan produk yang dihasilkan dengan mesin. Caranya cukup sentuh permukaan sarung. Jika terasa licin, itu pertanda produk tersebut ditenun meng- gunakan mesin. Sebaliknya, jika kasar, itu produk hasil tenunan ATBM. (N-4) [email protected] Nusantara | 7 JUMAT, 15 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Tenun Kaya Motif dari Timor Motif-motif yang melekat pada tenun ikat Nusa Tenggara Timur sarat makna, menggambarkan aktivitas masa lampau sebagai cerita tentang roda kehidupan. Palce Amalo MI/PALCE AMALO PEREMPUAN PENENUN: Sejumlah perempuan menenun kain adat Timor di Desa Teunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, NTT, kemarin. Ratusan wanita di tujuh desa di kecamatan itu menenun kain untuk dijual dengan harga Rp1,5 juta per potong. DULU Selalu muncul motif buaya, mewakili mitos bahwa Pulau Timor ialah the sleeping crocodile.” RUANG terbuka hijau yang tersisa di Kota Malang, Jawa Timur, ini terletak di Jalan Malabar. Warga Kota Malang biasa menyebut kawasan seluas 16.718 meter persegi peninggalan Belanda tersebut sebagai Hutan Kota Malabar. Pembangunan kawasan ini, saat itu seiring dengan pengembangan kota dan perluasan permukiman. Pemerintah Kolonial Belanda dalam membangun kota menyisihkan ruang terbuka hijau (RTH) yang fungsinya untuk resapan air sekaligus sebagai fasilitas sosial, olahraga, dan re- kreasi. Selain Hutan Kota Malabar, ruang terbuka hijau peninggalan Belanda juga ada di kawasan Stadion Gajayana. Namun, kini kawasan itu telah beralih fungsi menjadi Malang Olympic Gar- den (MOG). Bahkan RTH satu-satunya untuk menangkal banjir yang masuk Kota Malang yakni di Jalan Veteran--eks lahan Akademi Penyuluh Pertanian-- kini berdiri Malang Town Square. Hutan kota dan ruang terbuka di Kota Malang diperkirakan hanya tinggal 1,8% dari luas wilayah Kota Malang yang 110,6 kilometer persegi. Dwi Cahyono, penulis buku Malang Telusuri dengan Hati , menyebutkan dari ribuan jenis pohon yang ada di Hutan Kota Malabar, sebanyak 61 jenis di antaranya tergolong tanaman langka dan hanya tumbuh di beberapa daerah. Tanaman yang tumbuh di hutan ini antara lain pohon asam belanda, agave, beringin putih, bisbul, bintaro, bungur, dewandaru, elo, licium, gembilina, gayam, juwet, keben, matoa, mindi, tanjung, dan soka. Hutan kota ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan karena letaknya tidak jauh dengan Jalan Ijen yang dulu merupakan perumahan elite bangsa Eropa. Di sekeliling hutan ini terdapat pe- rumahan mewah peninggalan Belanda. (BN/N-4) TEMPO DOELOE & KINI Hutan Malabar REPRO MI/BAGUS SURYO KINI MI/BAGUS SURYO

Upload: buidang

Post on 14-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ORPA Daepanie, 50, perempuan pene-nun asal Kelurahan Karang Siri, Keca-

matan Kota So’E, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, tidak ingin lakon kehidupan berlalu begitu saja tanpa ter-dokumentasi sempurna.

Ia mengumpulkan puluhan perempuan tua dan muda di wilayahnya untuk menekuni tenun dengan nama kelompok Nekmese. Sebab, dari lem-baran-lembaran kain itu dia berupaya menceritakan kem-bali mitos-mitos yang hidup di masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Di kabupaten tersebut setidaknya ada 300 motif tenun ikat, masing-masing memiliki cerita tersendiri. Orpa belum lama ini memamerkan em-pat motif, di antaranya, yang diberi nama motif nunkolo, ki’e, amanatun, dan molo.

Dia bercerita, di hampir se-luruh motif tenunan itu selalu muncul bentuk buaya sebagai perwakilan dari mitos penting bahwa Pulau Timor dianggap sebagai pulau buaya yang se-dang berbaring atau the sleeping crocodile.

Dikisahkan, di masa lam-pau pernah ada seorang anak menolong seekor buaya yang tersesat. Buaya itu menemu-kan jalan kembali ke laut se-telah digendong sang anak. Akan tetapi sampai di laut, air

laut naik. Karena nyawa anak terancam, buaya mengajaknya naik ke punggung.

Sebelum berpisah buaya berpesan, kelak ia mati akan mengapung di permukaan laut. Sang anak boleh tinggal di punggungnya yang akan ditumbuhi pohon-pohon yang buahnya boleh dimakan. Mitos ini diceritakan secara turun-temurun lewat motif tenun ikat maupun cerita orang tua kepada anak-anak.

Tiga metodeMeskipun banyak motif,

penenun asal Pulau Timor hanya menggunakan tiga me-tode pembuatan kain, yakni futus (mengikat benang), sotis (menyisip benang), dan buna (mengait dan menyungkit benang).

Metode futus diawali de-ngan membuat hiasan dasar pada kain tenun dengan cara mengikat rencana gambar untuk beberapa warna. Se-mentara sotis dibuat dengan menyisipkan benang tambahan di atas dan di bawah benang dasar sehingga gambar yang dibentuk muncul ke permu-kaan. Adapun buna memiliki tingkat kerumitan tinggi ka-rena menggunakan banyak warna, namun cara kerjanya sama persis dengan sotis.

Sesuai tingkat kerumitan pembentukan motif, harga sarung pun bervariasi. Sarung-sarung ini ditenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Maka, pengerjaannya pun

dimulai dari membuat benang dari kapas, merekayasa motif, mencelup benang ke dalam zat pewarna yang biasanya dibuat dari bahan-bahan se-perti kunyit, akar mengkudu, dan daun pepaya.

Untuk menghasilkan warna yang mampu bertahan ber-tahun-tahun, proses pence-lupan benang membutuhkan waktu satu atau dua bulan. Di masa lalu, penenun bahkan menyiapkan benang selama

berbulan-bulan. Cara ini meng-hasilkan tenun kualitas terbaik yang warnanya tidak pudar selama puluhan tahun.

Selembar kain dengan me-tode buna yang tingkat keru-mitannya tinggi diselesaikan selama tiga bulan dan dijual seharga Rp1,2 juta-Rp2 juta, sesuai ukuran.

Tenun yang menggunakan metode sotis diselesaikan dua bulan dan dijual seharga Rp750 ribu-Rp1 juta. Sementara yang

dikerjakan secara futus di-selesaikan dalam tempo 30 hari dan dijual Rp750 ribu.

Pendapatan kelompok ini lumayan menyusul permin-taan tenun yang terus mening-kat. “Kami pasarkan tenun ikat sampai ke luar negeri,” katanya.

Wisatawan asal Amerika dan Eropa, kata Orpa, me-muji kua litas tenun kelompok ini. Bahkan, sejumlah pem-beli yang pernah mampir di

Nekmese memesan lagi setelah kembali ke negara mereka.

Wajib tenunBelakangan, untuk memacu

pertumbuhan penenun, peme-rintah NTT mewajibkan selu-ruh pegawai negeri mengena-kan pakaian bermotif daerah setiap Kamis dan Jumat.

Maka, pegawai wajib mem-beli tenun langsung ke pene-nun kemudian menjahitnya menjadi kemeja atau jas. Sebab, memang tujuannya, kain yang dihasilkan penenun lokal bisa terjual.

Gubernur Frans Lebu Raya mengatakan, kebijakan itu bertujuan membantu pene-nun untuk terus berkembang. Penenun juga didorong untuk mengikuti berbagai pameran di berbagai kota, bahkan sam-pai ke Australia lewat Expo Darwin yang digelar setiap Juni.

Orpa pun kini membeli mesin tenun yang bisa meng-hasilkan lima lembar kain dan puluhan selendang dalam sepekan. Katanya, untuk tetap bisa bersaing di pasar.

Dari mesin tersebut, produk yang dihasilkan pun ber-macam-macam, antara lain sarung, taplak meja, seprai, tas, dan sarung bantal. Untuk produk jenis ini, harganya lebih murah, yakni mulai Rp50 ribu-Rp500 ribu.

Orpa punya kiat untuk pen-cinta tenun ATBM saat membe-dakan produk yang dihasilkan dengan mesin. Ca ranya cukup sentuh permukaan sarung. Jika terasa licin, itu pertanda produk tersebut ditenun meng-gunakan mesin. Sebaliknya, jika kasar, itu produk hasil tenunan ATBM. (N-4)

[email protected]

Nusantara | 7JUMAT, 15 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Tenun Kaya Motif dari TimorMotif-motif yang melekat pada tenun ikat Nusa Tenggara Timur sarat makna, menggambarkan aktivitas masa lampau sebagai cerita tentang roda kehidupan.

Palce Amalo

MI/PALCE AMALO

PEREMPUAN PENENUN: Sejumlah perempuan menenun kain adat Timor di Desa Teunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, NTT, kemarin. Ratusan wanita di tujuh desa di kecamatan itu menenun kain untuk dijual dengan harga Rp1,5 juta per potong.

DULU

Selalu muncul motif buaya, mewakili mitos bahwa Pulau Timor ialah the sleeping crocodile.”

RUANG terbuka hijau yang tersisa di Kota Malang, Jawa Timur, ini terletak di Jalan Malabar.

Warga Kota Malang biasa menyebut kawasan seluas 16.718 meter persegi peninggalan Belanda tersebut sebagai Hutan Kota Malabar.

Pembangunan kawasan ini, saat itu seiring dengan pengembangan kota dan perluasan permukiman.

Pemerintah Kolonial Belanda dalam membangun kota menyisihkan ruang terbuka hijau (RTH) yang fungsinya untuk resapan air sekaligus sebagai fasilitas sosial, olahraga, dan re-kreasi.

Selain Hutan Kota Malabar, ruang terbuka hijau peninggalan Belanda juga ada di kawasan Stadion Gajayana. Namun, kini kawasan itu telah beralih fungsi menjadi Malang Olympic Gar-den (MOG).

Bahkan RTH satu-satunya untuk menangkal banjir yang masuk Kota Malang yakni di Jalan Veteran--eks lahan Akademi Penyuluh Pertanian--

kini berdiri Malang Town Square.Hutan kota dan ruang terbuka di

Kota Malang diperkirakan hanya tinggal 1,8% dari luas wilayah Kota Malang yang 110,6 kilometer persegi.

Dwi Cahyono, penulis buku Malang Telusuri dengan Hati, menyebutkan dari ribuan jenis pohon yang ada di Hutan Kota Malabar, sebanyak 61 jenis di antaranya tergolong tanaman langka dan hanya tumbuh di beberapa daerah.

Tanaman yang tumbuh di hutan ini antara lain pohon asam belanda, agave, beringin putih, bisbul, bintaro, bungur, dewandaru, elo, fi licium, gembilina, gayam, juwet, keben, matoa, mindi, tanjung, dan soka.

Hutan kota ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan karena letaknya tidak jauh dengan Jalan Ijen yang dulu merupakan perumahan elite bangsa Eropa.

Di sekeliling hutan ini terdapat pe-rumahan mewah peninggalan Belanda. (BN/N-4)

TEMPO DOELOE & KINI

Hutan Malabar

REPRO MI/BAGUS SURYO

KINI MI/BAGUS SURYO