judul : fobia sekolah pada anak sekolah dasar nama/npm : retno

14
Judul : Fobia Sekolah Pada Anak Sekolah dasar Nama/Npm : Retno Armaliani/10504149 Pembimbing : Ritandiyono, S.Psi., MSi ABSTRAK Masa sekolah bagi sebagian anak merupakan salah satu masa yang menyenangkan dan paling dinantikan oleh anak. Namun pada kenyataannya tidak semua anak merasa bahwa masa sekolah merupakan masa yang menyenangkan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu hal tersebut adalah saat anak mendapatkan pengalaman negatif saat anak berada di sekolah. Sesuai dengan judul peneltian, maka timbul pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD, mengapa anak dapat mengalami fobia sekolah, bagaimana proses terbentuknya fobia sekolah pada anak SD, dan bagaimana cara penanganan fobia sekolah pada anak SD. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD, mengapa anak dapat mengalami fobia sekolah, bagaimana proses terbentuknya fobia sekolah pada anak SD, dan cara penanganan fobia sekolah pada anak SD Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan kualitatif berdasarkan studi kasus yang bersifat intrinsik, yaitu kasus yang diambil merupakan kasus yang menarik untuk diteliti. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan bagaimana upaya pemecahan yang harus dilakukan serta adanya tujuan penelitian, karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah anak SD yang mengalami fobia sekolah dikarenakan adanya pengalaman traumatis di sekolahnya. Dalam penelitian ini, digunakan pedoman wawancara dengan terstandar yang terbuka, yaitu pedoman wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek apa saja yang harus dibahas atau ditanyakan, sekaligus menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Selain itu, peneliti juga menggunakan pedoman wawancara tidak berstruktur, yaitu pertanyaan tentang pandangan, sikap keyakinan subjek atau tentang keterangan lainnya dapat diajukan secara bebas kepada subjek. Subjek diberikan kebebasan menguraikan jawabannya serta mengungkapkan pandangannya sesuka hati. Observasi yang dilakukan terhadap subjek adalah observasi langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami fobia sekolah dikarenakan adanya pengalaman negatif yang dialami oleh subjek saat berada di sekolah. Selain itu, ayah subjek juga menerapkan pola asuh otoriter yang menyebabkan anak takut untuk bersekolah. Saran yang diberikan untuk subjek adalah agar subjek lebih berani untuk menghadapi lingkungan sekolah dan pelajarannya, sehingga diharapkan ada kemajuan belajar untuk meningkatkan prestasi belajar subjek di sekolah. Selain itu, diharapkan subjek mampu beradaptasi dengan para guru dan teman-temannya di sekolah. Kata kunci : Fobia sekolah, anak sekolah dasar

Upload: buinhi

Post on 11-Jan-2017

231 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Judul : Fobia Sekolah Pada Anak Sekolah dasar Nama/Npm : Retno Armaliani/10504149 Pembimbing : Ritandiyono, S.Psi., MSi

ABSTRAK

Masa sekolah bagi sebagian anak merupakan salah satu masa yang menyenangkan dan paling dinantikan oleh anak. Namun pada kenyataannya tidak semua anak merasa bahwa masa sekolah merupakan masa yang menyenangkan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu hal tersebut adalah saat anak mendapatkan pengalaman negatif saat anak berada di sekolah.

Sesuai dengan judul peneltian, maka timbul pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD, mengapa anak dapat mengalami fobia sekolah, bagaimana proses terbentuknya fobia sekolah pada anak SD, dan bagaimana cara penanganan fobia sekolah pada anak SD. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD, mengapa anak dapat mengalami fobia sekolah, bagaimana proses terbentuknya fobia sekolah pada anak SD, dan cara penanganan fobia sekolah pada anak SD

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan kualitatif berdasarkan studi kasus yang bersifat intrinsik, yaitu kasus yang diambil merupakan kasus yang menarik untuk diteliti. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan bagaimana upaya pemecahan yang harus dilakukan serta adanya tujuan penelitian, karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah anak SD yang mengalami fobia sekolah dikarenakan adanya pengalaman traumatis di sekolahnya. Dalam penelitian ini, digunakan pedoman wawancara dengan terstandar yang terbuka, yaitu pedoman wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek apa saja yang harus dibahas atau ditanyakan, sekaligus menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Selain itu, peneliti juga menggunakan pedoman wawancara tidak berstruktur, yaitu pertanyaan tentang pandangan, sikap keyakinan subjek atau tentang keterangan lainnya dapat diajukan secara bebas kepada subjek. Subjek diberikan kebebasan menguraikan jawabannya serta mengungkapkan pandangannya sesuka hati. Observasi yang dilakukan terhadap subjek adalah observasi langsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami fobia sekolah dikarenakan adanya pengalaman negatif yang dialami oleh subjek saat berada di sekolah. Selain itu, ayah subjek juga menerapkan pola asuh otoriter yang menyebabkan anak takut untuk bersekolah.

Saran yang diberikan untuk subjek adalah agar subjek lebih berani untuk menghadapi lingkungan sekolah dan pelajarannya, sehingga diharapkan ada kemajuan belajar untuk meningkatkan prestasi belajar subjek di sekolah. Selain itu, diharapkan subjek mampu beradaptasi dengan para guru dan teman-temannya di sekolah.

Kata kunci : Fobia sekolah, anak sekolah dasar

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang

Masa sekolah bagi sebagian anak merupakan salah satu masa yang menyenangkan dan paling dinantikan oleh anak, dimana anak dapat bermain dengan teman, belajar, dan bersosialisasi dengan lingkungan yang baru. Pada saat anak sudah siap untuk memasuki sekolah dasar, diharapkan anak sudah mampu mandiri, berpikir dengan logika, cepat menanggapi suatu hal serta mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan sekitarnya, mampu berkomunikasi menggunakan kata-kata untuk menyampaikan apa yang diinginkan atau dirasakannya sehingga membuat orang lain paham tentang diri anak. Dengan adanya sekolah dasar, anak akan mendapatkan ilmu dan pendidikan yang lebih banyak dibandingkan saat anak berada di sekolah TK (Taman Kanak-kanak). Anak juga akan mendapatkan pengalaman baru yang akan dialami anak saat berada di sekolah, mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh anak, mendapatkan teman-teman yang baru serta mengenal guru yang akan menjadi panutan bagi anak.

Anak berpikir bahwa sekolah akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak. Saat berada di sekolah, anak berpikir bahwa anak mampu belajar dengan baik saat berada di kelas, mampu memahami dan mempelajari pelajaran yang diberikan oleh guru, serta mampu meraih prestasi yang diharapkan oleh orangtua dari anak, sehingga orangtua akan merasa bangga dengan anak atas hasil prestasi yang anak dapatkan. Anak juga akan berpikir saat anak berada di sekolah anak akan merasa nyaman, dapat berinteraksi dengan teman-teman dan menganggap guru yang anak kenal sebagai pengganti orangtua saat anak berada di sekolah. Hal-hal menyenangkan yang

diterima anak saat sekolah dapat mengurangi ketakutan dan kecemasan anak sehingga masa sekolah dapat dinilai oleh anak sebagai masa yang menyenangkan.

Namun, pada kenyataannya tidak semua anak merasa bahwa masa sekolah merupakan masa yang menyenangkan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu hal tersebut adalah saat anak mendapatkan pengalaman negatif saat anak berada di sekolah. Seperti saat anak mendapatkan ejekan dari teman-temannya yang menyebabkan anak menjadi menangis, takut bahkan tidak mau berada di sekolah lebih lama lagi. Selain itu, guru yang galak terhadap anak dapat menyebabkan anak menjadi trauma untuk kembali sekolah. Hal ini bisa terjadi saat anak dimarahi atau dihukum oleh guru yang dapat menyebabkan anak mendapatkan luka fisik, batin maupun tekanan psikis. Hal inilah yang menjadi faktor utama anak mengalami fobia untuk sekolah. Hal-hal yang tidak menyenangkan yang dialami oleh anak saat berada di sekolah dapat membuat anak merasa enggan untuk bersekolah.

Keengganan atau ketakutan pada anak untuk bersekolah sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi. Rasa takut anak pada umumnya sebagai respon untuk melindungi diri terhadap sesuatu hal. Namun terkadang pada beberapa anak, ketakutan tersebut dapat menjadi hal yang irasional dan berdampak sangat besar pada keinginan anak untuk tidak bersekolah. Hal irasional yang seperti inilah yang dinamakan dengan fobia sekolah (Adiyanti, 2006).

Menurut Handayani (2005) saat anak ingin masuk sekolah, biasanya anak terlebih dahulu mengalami kecemasan, lalu ketakutan, baru setelah itu terjadilah fobia pada anak.

Ada perbedaan antara kecemasan, ketakutan, dan fobia. Kecemasan atau khawatir merupakan akibat memikirkan objek atau sesuatu yang belum jelas atau belum terjadi. Ketakutan adalah rasa takut yang dialami oleh anak yang merupakan respon negatif terhadap objek maupun pengalaman yang dialami. Takut pada umumnya objek terlihat lebih jelas. Sedangkan Fobia adalah rasa takut yang berlebihan, terus-menerus, irasional, bahkan terkadang sulit diatasi dan dihilangkan dari anak yang mengalami fobia. Pada anak sekolah, rasa fobia dapat berupa perilaku mengelak saat akan diperintah orangtua untuk pergi sekolah. Anak akan memberikan berbagai alasan agar anak tidak pergi ke sekolah. Karakteristik anak yang mengalami fobia sekolah biasanya sulit berinteraksi dengan orang lain, tidak mau bermain dengan teman sebaya, tidak ingin berada lebih lama di sekolah, selalu menangis dan hanya ingin selalu berada di rumah. Karakteristik tersebut merupakan penyebab dari adanya ejekan teman-teman dan pengalaman traumatis yang dialami anak saat anak berada di sekolah, seperti dimarahi dan dihukum oleh guru sehingga menimbulkan luka fisik dan psikis pada anak yang membuat anak takut untuk sekolah kembali.

Menurut Carpenter (2005) anak-anak yang mengalami fobia sekolah biasanya sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah, teman-teman dan gurunya. Adiyanti (2005) menjelaskan bahwa fobia sekolah adalah kecemasan yang luar biasa dan terus menerus serta tidak realistis pada seorang anak, sebagai respon terhadap eksternal tertentu. Fobia dapat menghambat kehidupan seorang anak yang mengalaminya. Anak yang mengalami fobia sekolah biasanya menghindari keadaan-keadaan yang bisa memicu terjadinya kecemasan, seperti menghadapi teman-teman dan guru barunya atau pada saat mengerjakan tugas sekolahnya.

Apabila anak tidak mampu melakukan hal-hal tersebut, maka anak akan menjalaninya dengan penuh tekanan.

Pearce (1995) menyatakan bahwa fobia sekolah pada anak biasanya bervariasi dan tidak dapat diduga. Sedikitnya ada 30% anak mengalami fobia sekolah yang disebabkan takut pada guru yang galak dan mendapat ejekan dari teman.

Menurut Hurlock (1996), anak perempuan biasanya lebih banyak mengalami fobia sekolah. Berkisar sekitar 75% dibandingkan anak laki-laki yang hanya 25%. Hal ini disebabkan karena ketakutan yang bervariasi, diantaranya takut berpisah dengan orangtua, takut terhadap guru dan takut tidak mampu beradaptasi dengan teman barunya.

Anak perempuan biasanya lebih memperlihatkan rasa takutnya akan sekolah dibandingkan anak laki-laki. Karena anak perempuan lebih mudah mengatakan pada orangtua alasan apa yang membuat anak takut untuk masuk sekolah. Sedangkan anak laki-laki biasanya lebih sulit untuk mengatakan apa yang terjadi pada dirinya saat masuk sekolah (Hurlock, 1996).

Dengan begitu, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fobia sekolah pada anak terjadi karena anak merasa cemas, takut, dan gelisah untuk sekolah. Anak memikirkan hal-hal apa yang akan terjadi di sekolah. Anak juga takut pada guru jika guru yang dihadapi oleh anak adalah guru yang galak. Selain itu, anak perempuan lebih mengalami fobia sekolah daripada anak laki-laki. Ketertarikan penulis untuk meneliti fobia sekolah pada anak Sekolah Dasar (SD) adalah bahwa ingin mengetahui apa yang menyebabkan anak takut untuk sekolah dan bagaimana cara orangtua dapat menghadapi anak yang mengalami fobia sekolah. Selain itu, pentingnya penelitian ini untuk pendidikan adalah mengenalkan pada anak bahwa

sekolah adalah kegiatan yang menyenangkan sekaligus dapat memberikan banyak hal yang bermanfaat untuk anak. 2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD, mengapa anak dapat mengalami fobia sekolah, bagaimana proses terbentuknya fobia sekolah pada anak SD, dan bagaimana cara penanganan fobia sekolah pada anak SD 3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD, mengapa anak dapat mengalami fobia sekolah, proses terbentuknya fobia sekolah pada anak SD, dan cara penanganan fobia sekolah pada anak SD. 4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis, Membantu memberikan pandangan kepada orangtua dan guru mengenai fobia sekolah yang dialami anak sehingga orangtua maupun guru dapat membantu anak dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Sedangkan bagi anak mampu meminimalisasikan rasa takut yang ada pada diri anak sehingga anak merasa nyaman saat berada di sekolah. 2. Manfaat Teoritis, Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan dan klinis dengan cara memberi tambahan data empiris yang sudah teruji secara ilmiah. Bagi penelitian selanjutnya dapat mengembangkan hasil penelitian ini tentang masalah fobia sekolah dalam kaitannya dengan anak SD yang mengalami pengalaman traumatis di sekolah.

B. Tinjauan Pustaka

1. Fobia Sekolah a. Pengertian Fobia Sekolah

Fobia sekolah adalah suatu jenis gangguan kecemasan yang terlalu berlebihan, irasional, terus menerus dan tidak realistis yang dialami anak sekolah dalam menghadapi lingkungan sekolahnya. b. Teori-teori Fobia

Menurut Rafy (2004) fobia merupakan ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda-benda atau situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasarkan pada kenyataan.

Fobia adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bahan ejekan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan bahasa antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. (Astuti, 2006)

Fobia adalah ketakutan yang kuat dan abnormal seseorang terhadap suatu objek ataupun situasi tertentu. Fobia dapat terbentuk oleh sugesti negatif yang dipupuk, rentetan peristiwa yang sangat buruk, menakutkan ataupun menyakitkan dimasa lalu. Semakin ekstrim intensitas peristiwanya, semakin kuat potensi fobianya. Kebanyakan fobia terjadi pada masa kanak kanak walaupun dapat juga terjadi saat dewasa. (Mahendratto, 2007)

Kearney dan Silverman (dalam Carpenter 2005) berpendapat bahwa fobia sebagai ketakutan akibat pengalaman di masa lalu. Umumnya fobia terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang cukup lama. Fobia

biasanya tidak masuk akal dan dapat dikatakan ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu hal. c. Gejala-gejala Fobia Sekolah Menurut Sumarti (dalam Soekresno, 2006) ada beberapa gejala yang dapat dijadikan kriteria anak yang mengalami fobia sekolah. Antara lain : Menolak untuk berangkat ke sekolah, Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang, Pergi ke sekolah dengan menangis, selalu menggandeng tangan orangtuanya atau pengasuhnya, atau menunjukkan sikap yang berlebihan seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, mencubit, menggigit, dan sebagainya) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan atau menentang gurunya, Menunjukkan ekspresi atau raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang. Hal ini berlangsung selama periode tertentu, Tidak masuk sekolah selama beberapa hari, Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, mual, muntah, diare, gatal-gatal, keringatan, gemetaran atau keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka anak diperbolehkan tinggal di rumah, Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak perlu berangkat ke sekolah.

Menurut Ahmad (dalam Hawadi, 2001) ada empat gejala anak mengalami fobia sekolah yaitu Ketakutan atau kebimbangan yang tidak rasional, Perilaku mengelak dari objek atau situasi yang membuatnya takut, Tidak menerima penjelasan apapun yang bertujuan mengurangi kadar rasa takutnya,

Perubahan emosi yang signifikan seperti menjadi emosi dan gelisah.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fobia Sekolah

Menurut Hurlock (1996) ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya fobia sekolah yaitu faktor internal dan eksternal.

1. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor-faktor

yang terdapat dalam diri anak yang mempengaruhi terjadinya fobia sekolah. Faktor tersebut adalah Intelegensi, Jenis Kelamin, Kondisi Fisik, Urutan Kelahiran, Kepribadian

2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-

faktor yang terdapat diluar diri anak yang mempengaruhi fobia sekolah. Faktor tersebut adalah Status Ekonomi Sosial, Hubungan Sosial, Lingkungan, Pola Asuh Orangtua

Menurut Aqsyaludin (2007) faktor dari kasus penolakan bersekolah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Faktor dari dalam diri anak, Faktor yang berasal dari orangtua, terutama berkaitan dengan interaksi anak-orangtua, Faktor lingkungan sekolah.

e. Penyebab Fobia Sekolah

Menurut Handayani (2006) ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi fobia sekolah. Antara lain Separation anxiety (kecemasan untuk berpisah), Pengalaman negatif di sekolah atau lingkungan, Problem dalam keluarga

Menurut Darsono (2008) Fobia sekolah bukanlah bawaan anak sejak lahir, juga bukanlah penyakit keturunan. Fobia biasanya disebabkan oleh adanya pengalaman traumatik. Fobia merupakan tanggapan terkondisi terhadap pengalaman yang sifatnya traumatis. Selain itu fobia juga merupakan produk dari pola pengasuhan orangtua

terhadap anak. Yang menjadi penyebab terjadinya fobia sekolah adalahPola hubungan orangtua dan anak yang tidak sehat, Sistem keluarga yang sering bertengkar, Pengalaman negatif di sekolah, dan Pengalaman abusive

f. Proses Terbentuknya Fobia Sekolah Menurut Mahendratto (2007), fobia

sekolah dapat terbentuk oleh sugesti negatif yang terjadi di sekolah, adanya serangkaian peristiwa yang sangat buruk, menakutkan ataupun menyakitkan dimasa lalu. Semakin ekstrim intensitas peristiwanya, semakin kuat potensi fobianya. Kebanyakan fobia terjadi pada masa kanak kanak walaupun dapat juga terjadi saat dewasa. Ciri-ciri psikis antara lain muncul rasa cemas atau takut, tetapi tanpa dasar yang jelas dan cenderung panik. Ciri fisik antara lain gemetar, nafas menjadi cepat dan jantung berdebar debar.

Saat seseorang mengalami serangkaian peristiwa buruk (traumatis) ataupun ekstrim, timbul ketegangan luar biasa. Karena tubuh manusia tidak mungkin terus menerus tegang, upaya peredaan ketegangan biasanya dilakukan manusia secara tanpa sadar melalui mekanisme pertahanan diri dengan cara penekanan (repression) gangguan tersebut ke bawah sadar. (Mahendratto, 2007)

Jika seseorang tidak mampu mengatasi peristiwa traumatis tersebut, praktis pertumbuhan normal mentalnya mengalami penurunan (degradasi) ataupun terhenti (fiksasi). Pada peristiwa fiksasi tersebut, mental kita membentuk konfigurasi mental tertentu dan relatif permanen. Dikemudian hari jika terdapat stimulan yang sama atau mirip, maka pola respon yang akan dipakai adalah pola respon yang terakhir dikenal atau biasa disebut regresi. Pada kebanyakan orang, fobia dianggap tidak penting ataupun mengganggu dirinya. Sesungguhnya Fobia sangat merugikan pertumbuhan normal mental seseorang dan biasanya kerugian

tersebut baru disadari saat semuanya sudah sangat terlambat (kehilangan waktu, kesempatan dan kehidupan sosial). (Mahendratto, 2007)

g. Tingkatan dan Jenis Penolakan

Terhadap Sekolah Menurut Rini (2006) Ada

beberapa tingkatan school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu Initial school refusal behavior, Substantial school refusal behavior, Acute school refusal behavior dan Chronic school refusal behavior

Hasil penelitian Rini (2006) di tiga sekolah dasar yang berada di Surakarta, anak-anak yang ingin memasuki usia sekolah lebih banyak mengalami substantial school refusal behavior (sikap penolakan sekolah yang berlangsung selama minimal 2 minggu) yang berkisar sekitar 65%. (anak perempuan 40% dan anak laki-laki 25%). Anak yang mengalami Acute school refusal behavior (sikap penolakan sekolah yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah) berkisar sekitar 35%. (anak perempuan 17,5% dan anak laki-laki 17,5%). School refusal behavior adalah perilaku penolakan sekolah yang terjadi pada anak saat waktu sekolah tiba.

Menurut Arjana (2006) penolakan sekolah dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu tipe ringan (tak masuk sekolah dalam kurun waktu beberapa hari), tipe sedang (tak masuk sekolah dalam waktu satu minggu), dan tipe berat (hampir setiap hari tak sekolah dalam kurun waktu tiga minggu).

h. Cara Penanganan Fobia Sekolah

Menurut Setyorini (2006) Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah, yaitu Menekankan pentingnya bersekolah, Berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak sekolah, Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter, Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah, Luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan anak , Lepaskan anak secara bertahap, Konsultasi pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi

C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Kualitatif Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan pendekatan kualitatif, dimana peneliti bertujuan agar mendapatkan pemahaman yang mendalam dari masalah yang peneliti teliti dan memberikan gambaran melalui pengamatan yang dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi variabel yang dilibatkan.

2. Subjek Penelitian

Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah 1 Anak SD yang berusia 10 tahun yang mengalami fobia sekolah dengan faktor utama adanya pengalaman negatif atau traumatis yang pernah dialami anak sewaktu di sekolah dan dinyatakan oleh psikolog bahwa anak SD tersebut mengalami fobia sekolah, dan 1 Significant Others untuk dapat memperoleh gambaran mengenai anak yang mengalami fobia sekolah.

3. Tahap-tahap Persiapan a. Pada tahap awal, peneliti membuat panduan pedoman wawancara yang akan dimuat sesuai dengan tujuan penelitian

dan berdasarkan teori yang relevan dengan permasalahan. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya dapat berkembang dalam wawancara. b. Tahap pelaksanaan, peneliti melakukan dua teknik pengumpulan data yaitu observasi dan wawancara. Dalam observasi, peneliti mengamati secara langsung aktivitas yang dilakukan subjek. Dalam wawancara, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat mengetahui kesesuaian antara informasi yang diperoleh dengan keseharian subjek. Hasil dari wawancara dengan subjek direkam dan dicatat sebagai pedoman untuk melakukan penelitian. Setelah data penelitian terkumpul, dilakukan analisis data dan penulisan laporan penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan sifat studi kasus yang tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif yang sangat ketat, maka dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode pendukung. 5. Alat Bantu yang Digunakan dalam Penelitian

Alat bantu yang digunakan di dalam penelitian ini adalah alat tulis, pedoman wawancara, pedoman observasi, alat tulis, dan alat perekam (tape recorder).

6. Keabsahan dan Keajegan Penelitian

Untuk menjamin keabsahan dari penelitian ini, maka digunakan triangulasi data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data yang diperoleh. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Untuk meningkatkan keajegan, diperoleh panduan penelitian yang jelas, seperti pedoman wawancara yang akan membuat pertanyaan lebih jelas dan terarah. Hal pentingnya adalah pertanyaan yang diajukan pada setiap subjek yang sama, dengan tujuan bila penelitian ini diulang hasil yang keluar harus sama.

7. Teknik Analisa Data analisis data, mengorganisasikan

datanya dengan rapih, sistematis dan selengkap mungkin, setelah itu langkah yang harus dilakukan adalah koding (pengkodean). Pada proses koding ini dimulai dengan menyusun transkip verbatim (kata demi kata) dari data hasil wawancara, lalu memberikan kode-kode atau penomoran disebelah kanan atau kiri transkip. Pemberian kode-kode atau penomoran dapat dilakukan secara urut dari satu baris ke baris lain atau dilakukan pada tiap-tiap paragraf baru, selanjutnya peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Kode yang dipilih haruslah kode yang mudah diingat dan dianggap paling tepat mewakili berkas tersebut dan tidak lupa selalu mencantumkan tanggal disetiap berkas.

D. Hasil Dan Analisis 1. Persiapan Penelitian Pertama kali yang dilakukan oleh

peneliti sebelum proses pengambilan data dilakukan, peneliti terlebih dahulu datang ke

rumah subjek untuk melakukan pendekatan terlebih dahulu dengan subjek. Hal ini dilakukan oleh peneliti dikarenakan subjek merupakan anak yang pemalu dan takut untuk mengenal orang yang tidak dikenalnya. Setelah hal tersebut dilakukan, peneliti langsung melakukan wawancara dan observasi terhadap subjek.

2. Pelaksanaan Penelitian Wawancara terhadap subjek

dilakukan peneliti pada tanggal 11 September 2008, pukul 15.00-16.30 di rumah subjek. Sedangkan wawancara terhadap Significant Others dilakukan pada tanggal 12 September 2008 pada pukul 14.00-15.30 bertempat di rumah subjek.

Observasi yang dilakukan terhadap subjek pada tanggal 15, 17-18 September 2008 pukul 06.45-07.15 WIB dan 07.30-11.00 WIB bertempat di Rumah dan Sekolah Subjek.

3. Hasil Observasi dan Wawancara a. Gambaran Umum Subjek Subjek adalah anak laki-laki yang

berusia 10 tahun yang duduk di bangku sekolah dasar negeri kelas 4. Subjek memiliki tinggi 140 cm dan memiliki berat badan sekitar 30 kg. memiliki warna kulit sawo matang dan berambut hitam. Subjek adalah anak ketiga dari 3 bersaudara.

Subjek mengalami fobia sekolah dikarenakan subjek pernah mengalami pengalaman traumatis di sekolahnya. Seperti dimarahi dan dipukul oleh gurunya, dan diejek oleh teman-temannya.

b. Pembahasan

1. Gambaran fobia sekolah pada anak SD Subjek menolak berangkat ke sekolah

dikarenakan gurunya yang galak, selain itu pelajaran di sekolah sulit dipahami oleh subjek. Subjek juga tidak menyukai pelajaran

matematika, karena tidak bisa berhitung. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarti (dalam Soekresno, 2006) tentang gejala yang dapat dijadikan kriteria anak yang mengalami fobia sekolah yaitu menolak untuk berangkat ke sekolah. Selain itu, subjek mengalami ketakutan pada saat berada di kelas. Guru matematika subjek galak, sehingga membuat subjek meminta untuk pulang. Seperti yang dinyatakan oleh Sumarti (dalam Soekresno, 2006) bahwa gejala lain yang menyebabkan anak fobia sekolah adalah mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang. Subjek menangis dan berteriak saat berangkat ke sekolah. Selain itu, saat subjek diejek teman-temannnya, subjek suka memukul teman subjek dan melawan gurunya jika tidak diijinkan pulang. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarti (dalam Soekresno, 2006) tentang gejala yang dapat dijadikan kriteria anak yang mengalami fobia sekolah yaitu pergi ke sekolah dengan menangis dan menunjukkan sikap yang berlebihan seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, mencubit, menggigit, dan sebagainya) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan atau menentang gurunya. Jika ada pelajaran matematika, subjek terus menangis agar subjek diijinkan pulang oleh gurunya. Sesuai dengan pendapat Sumarti (dalam Soekresno, 2006) bahwa gejala anak yang mengalami fobia sekolah adalah Menunjukkan ekspresi atau raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang. Subjek sering diejek oleh teman-temannya. Setelah itu, subjek pernah tidak mau masuk sekolah selama beberapa hari. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Sumarti (dalam Soekresno, 2006) mengenai gejala fobia sekolah pada anak yaitu tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Subjek juga sering memberikan keluhan fisik kepada Ibunya saat akan berangkat sekolah seperti pusing, sakit

perut, dan eneg ingin muntah agar diijinkan tidak masuk sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarti (dalam Soekresno, 2006) tentang gejala fobia sekolah pada anak yaitu keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, mual, muntah, diare, gatal-gatal, keringatan, gemetaran atau keluhan lainnya. Subjek juga memberikan keluhan lain yang dijadikan alasan seperti mengeluh dan merengek ke Ibunya agar tidak sekolah saat ada pelajaran matematika. Subjek takut kepada gurunya yang galak dan takut bertemu dengan teman-temannya yang mengejek subjek. Seperti yang dinyatakan oleh Sumarti (dalam Soekresno, 2006) bahwa gejala lain yang menyebabkan anak fobia sekolah adalah mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak perlu berangkat ke sekolah.

2. Penyebab Fobia Sekolah

Subjek diantar oleh ibunya setiap hari karena subjek takut berpisah dengan ibunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Handayani (2006) tentang penyebab fobia sekolah yaitu separation anxiety (kecemasan untuk berpisah). Selain itu, subjek takut pergi ke sekolah sendiri dikarenakan takut bertemu dengan teman-temannya yang suka mengejek subjek subjek juga pernah mengalami pengalaman negatif di sekolahnya seperti dimarahi dan dihukum oleh gurunya dikarenakan tidak mengerjakan PR matematika. Subjek diberi hukuman berdiri di depan kelas sampai pelajaran matematika selesai. Hal ini sesuai dengan pendapat Handayani (2006) tentang penyebab fobia sekolah yaitu adanya pengalaman negatif di sekolah atau lingkungan. Subjek dimarahi oleh ayahnya jika mendapatkan nilai ulangan yang jelek. Selain itu, ayah subjek sering bertengkar dengan Ibu subjek dikarenakan Ibu subjek tidak bisa mengajari subjek

dengan baik. Seperti yang dinyatakan oleh Handayani (2006) bahwa penyebab fobia sekolah adalah adanya problem dalam keluarga. Ayah subjek tidak pernah memperhatikan subjek, saat subjek ada PR, ayah subjek tidak pernah mengajarinya. Selain itu, ayah subjek tidak pernah mau diajak bermain oleh subjek. Hal ini sesuai dengan pendapat Darsono (2008) bahwa penyebab anak menjadi fobia sekolah adalah adanya pola hubungan orang tua dan anak yang tidak sehat. Ayah subjek juga sering memarahi kakak subjek jika mendapat nilai ulangan yang jelek. Saat kakak subjek dimarahi, kakak subjek suka berteriak pada ayahnya. Hal tersebut membuat subjek takut dengan ayahnya saat berada di rumah. Seperti yang dinyatakan oleh Darsono (2008) bahwa penyebab anak mengalami fobia sekolah adalah sistem keluarga yang sering bertengkar. Subjek juga pernah mengalami pengalaman abusive seperti dipukul oleh ayahnya saat subjek mendapat nilai ulangan bahasa Inggris yang jelek. Hal ini sesuai dengan pendapat Darsono (2008) tentang penyebab fobia sekolah pada anak yaitu adanya pengalaman abusive.

3. Proses terbentuknya fobia sekolah

pada anak SD Subjek sering diejek oleh teman-

temannya dan sering dimarahi oleh ayahnya. Saat hal itu terjadi, subjek selalu merepress kejadian-kejadian buruk yang dialami subjek dengan cara menggambar. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahendaratto (2007) tentang proses terbentuknya fobia sekolah yaitu serangkaian peristiwa buruk/ menakutkan/menyakitkan/ketegangan yang terus menerus sehingga terjadi repression. Saat subjek berani berangkat ke sekolah sendiri karena guru matematika subjek adalah guru yang baik. Namun, saat guru matematika subjek diganti menjadi guru yang

galak dan pernah dihukum, subjek tidak berani lagi pergi ke sekolah sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Mahendratto (2007) bahwa proses terbentuknya fobia sekolah yaitu adanya pengalaman traumatis yang menyebabkan terjadinya degradasi (penurunan) dan fiksasi (terhenti). Subjek selalu menangis meminta pulang saat ada pelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahendratto (2007) tentang proses terbentunya fobia sekolah yaitu adanya perubahan mental yang relatif permanen. Selain itu, subjek juga masih seperti anak yang berusia enam tahun, sedangkan subjek sudah duduk di kelas empat SD. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahendratto (2007) tentang proses terbentunya fobia sekolah yaitu mengalami kemunduran (regresi) setelah mengalami pengalaman traumatis.

4. Cara penanganan fobia sekolah pada

anak SD Dalam hal cara penanganan fobia sekolah

pada anak, ibu subjek selalu menekankan pentingnya bersekolah dengan cara subjek selalu dinasehati agar rajin bersekolah agar subjek bisa mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyorini (2006) tentang cara penanganan fobia sekolah yaitu menekankan pentingnya bersekolah. Ibu subjek juga berusaha untuk tidak menuruti keinginan subjek untuk tidak bersekolah. Jika subjek tidak mau sekolah, subjek digendong oleh ibunya sampai ke sekolah. Selain itu, Ibu subjek juga tidak memberikan uang jajan kepada subjek jika subjek tidak mau sekolah. Hal ini Sesuai dengan pendapat Setyorini (2006) tentang cara penanganan fobia sekolah yaitu berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak sekolah. Saat subjek selalu mengeluh di pagi hari, Ibu subjek membawa subjek pergi ke dokter, walaupun subjek pergi sambil menangis. Sesuai dengan pendapat Setyorini

(2006) tentang cara penanganan fobia sekolah yaitu konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter. Ibu subjek juga bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah, seperti bekerjasama dengan guru bahasa Indonesia subjek. Subjek selalu diperhatikan oleh gurunya tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyorini (2006) tentang cara penanganan fobia sekolah yaitu bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah. Ibu subjek juga meluangkan waktu untuk berbicara atau berdiskusi dengan subjek. Hal yang dilakukannya adalah selalu membiarkan subjek bercerita kepadanya saat dirumah agar subjek merasa nyaman berada di dekatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyorini (2006) tentang cara penanganan fobia sekolah yaitu luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan anak Namun, Ibu subjek tidak pernah melepaskan subjek secara bertahap. Ibu subjek selalu mengantar subjek setiap hari ke sekolah. Jika subjek tidak diantar oleh Ibunya, maka subjek tidak mau ke sekolah. Hal ini tidak sependapat dengan Setyorirni (2006) tentang cara penanganan fobia sekolah yaitu lepaskan anak secara bertahap. Dalam hal konsultasi pada psikolog atau konselor, subjek dibawa pergi ke psikolog pada hari minggu. Namun subjek merasa takut saat subjek diminta untuk menceritakan guru-guru dan teman-teman subjek. Jika subjek tidak mau diajak pergi menemui psikolog tersebut, maka subjek dibelikan mainan oleh ibunya agar subjek mau pergi menemui psikolog tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyorini (2006) tentang cara penanganan fobia sekolah yaitu konsultasi pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi.

E. Penutup 1. Kesimpulan a. Bagaimana gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD

Secara umum, fobia sekolah yang terjadi pada subjek dikarenakan oleh gurunya yang galak, dan teman-teman subjek yang suka mengejek subjek, serta subjek tidak mengerti pelajaran sekolah terutama matematika. Subjek merasa tidak nyaman saat berada di sekolah, sehingga membuat subjek tidak mau pergi ke sekolah, dan subjek mengalami fobia sekolah. Gambaran fobia sekolah yang terjadi pada anak SD ini dapat dilihat dari beberapa gejala yang dapat dijadikan kriteria anak yang mengalami fobia sekolah.

1. Mengapa anak dapat mengalami fobia

sekolah Hal yang menyebabkan subjek

mengalami fobia sekolah adalah takut berpisah dengan ibunya dan adanya pengalaman negatif di sekolah seperti dimarahi dan dihukum oleh guru matematika subjek, adanya problem dalam keluarga seperti orangtua subjek bertengkar, subjek yang tidak pernah diperhatikan oleh ayahnya, kakak dan ayah subjek yang sering bertengkar, dan pernah terjadinya pengalaman abusive yang dialami subjek seperti dipukul oleh ayahnya saat mendapat nilai ulangan yang jelek. Fobia sekolah yang terjadi pada subjek dapat dilihat dari penyebab fobia sekolah.

2. Bagaimana proses terbentuknya fobia

sekolah pada anak SD Subjek selalu mendapat pengalaman

buruk yang terus menerus seperti dimarahi oleh ayahnya, subjek bertemu dengan guru yang galak, sering diejek oleh teman, dan sering tidak mengerti pelajaran. Hal tersebut

dapat dijadikan repress (penekanan) oleh subjek. Cara melampiaskan perasaan kesal subjek dengan cara menggambar. Subjek juga mengalami pengalaman traumatis yang menyebabkan terjadinya degradasi (penurunan) dan fiksasi (terhenti). Seperti sebelumnya subjek pernah berani berangkat ke sekolah sendiri, namun saat mendapat pengalaman tarumatis, subjek menjadi tidak berani lagi berangkat ke sekolah sendiri. Subjek juga mengalami perubahan mental yang relatif permanen seperti selalu menangis meminta pulang saat ada pelajaran matematika. Subjek juga mengalami kemunduran (regresi) setelah mengalami pengalaman traumatis. Subjek digendong oleh ibunya seperti anak berusia enam tahun atau anak TK saat akan pergi ke sekolah. Subjek mengalami fobia sekolah berdasarkan tahapan-tahapan proses terbentuknya fobia sekolah.

3. Bagaimana cara penanganan fobia

sekolah pada anak SD Orangtua subjek melakukan cara

penanganan fobia sekolah yang dilakukan terhadap subjek. Seperti subjek selalu dinasehati agar rajin bersekolah agar subjek bisa mewujudkan cita-citanya menjadi dokter, Ibu subjek juga berusaha untuk tidak menuruti keinginan subjek untuk tidak bersekolah. Jika subjek tidak mau sekolah, subjek digendong oleh ibunya sampai ke sekolah. Selain itu, Ibu subjek juga tidak memberikan uang jajan kepada subjek jika subjek tidak mau sekolah. Saat subjek selalu mengeluh di pagi hari, Ibu subjek membawa subjek pergi ke dokter walaupun subjek pergi sambil menangis, Ibu subjek bekerjasama dengan guru bahasa Indonesia subjek. Ibu subjek juga meluangkan waktu untuk berbicara atau berdiskusi dengan subjek. Hal yang dilakukannya adalah selalu membiarkan subjek bercerita kepadanya saat dirumah agar

subjek merasa nyaman berada di dekatnya. Namun, Ibu subjek tidak pernah melepaskan subjek secara bertahap. Ibu subjek selalu mengantar subjek setiap hari ke sekolah. Jika subjek tidak diantar oleh Ibunya, maka subjek tidak mau ke sekolah. Dalam hal konsultasi pada psikolog atau konselor, subjek dibawa pergi ke psikolog pada hari minggu. Namun subjek merasa takut saat subjek diminta untuk menceritakan guru-guru dan teman-teman subjek. Saat subjek tidak mau diajak pergi menemui psikolog tersebut, maka subjek dibelikan mainan oleh ibunya agar subjek mau pergi menemui psikolog tersebut.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan, maka saran yang dapat peneliti berikan pada penulisan skripsi ini yang berhubungan dengan fobia sekolah pada anak SD yaitu : 1. Saran untuk subjek agar lebih berani

untuk menghadapi lingkungan sekolah dan pelajarannya, sehingga diharapkan ada kemajuan belajar untuk meningkatkan prestasi belajar subjek di sekolah. Selain itu, diharapkan subjek mampu beradaptasi dengan para guru dan teman-temannya di sekolah.

2. Saran untuk orangtua terutama ayah subjek agar tidak otoriter dalam memperlakukan subjek. Untuk Ibu subjek agar bisa melepas subjek secara bertahap agar subjek lebih berani dalam menghadapi lingkungan sekolah dan pelajarannya.

3. Saran untuk guru agar tidak galak terhadap subjek, mampu melakukan pendekatan ke siswa sesuai dengan kondisi setiap siswa, dan saat di kelas tidak membiarkan siswa saling mengejek.

4. Saran untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan untuk mencoba

meneliti fobia sekolah pada anak SD dengan penyebab dan faktor-faktor yang lain, agar hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai gambaran fobia sekolah pada anak SD.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyanti. (2006). Menyiapkan hari pertama

sekolah. Yogyakarta : Kanisius. Akbar,R. (2001). Psikologi perkembangan

anak. Jakarta : P.T. Grasindo. Aqsyaluddin, M. (2004). Mengenalkan anak pada sekolah. Jakarta : P.T. Grasindo Arjana, B. (2006). Memberanikan anak pergi sekolah. Jakarta : Puspa Swara Astuti, D. (2006). Psikologi anak. Jakarta : Ghalia Indonesia. Baradja, A.B. (2005). Psikologi

perkembangan tahapan-tahapan dan aspek – aspeknya. Jakarta : Studia Press

Weems, C. (2000). Mendidik anak yang sulit untuk bersekolah. Alih bahasa : Yudi Widsman Drahta. Jakarta : Prestasi Pustakaraya.

Carpenter, A.J. (2005). Emotional bonding (Membangkitkan potensi anak di usia 6-9 tahun). Alih bahasa : Abdullah mahfuddin. Jakarta : Prestasi Pustakaraya.

Darsono, P. (2004). Mendampingi anak menghadapi rasa takut. Bandung : Pustaka Setia.

Deborah, S. (2004). Psikologi Perkembangan anak dan remaja. Edisi pertama. Alih bahasa : M. Khairul Anam. Jakarta : Inisiasi Press.

Handayani, Y. (2005). Mempersiapkan dan mengenalkan sekolah pada anak. Jakarta : Prestasi Pustakaraya.

Handayani, Y. (2006). Mengenal ketakutan dan kecemasan anak saat masuk sekolah. Jakarta : Prestasi Pustakaraya.

Haris.J.R.& Liebert.R.M. (1987). The Child development from birth through adolescence. Prentice Hall.inc.

Hawadi. (2001). Psikologi perkembangan anak (mengenal sifat, bakat dan kemampuan anak). Jakarta : P.T . Grasindo.

Heru Basuki, A.M. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Universitas Gunadarma.

Hurlock, E.B. (1996). Perkembangan anak. Alih bahasa : Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta : Erlangga.

Hurlock, E.B. (1980). Pendekatan perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi kelima. Alih bahasa : Istiwidayanti dan soedjarno. Jakarta : Erlangga.

Mahendratto, B. (2007). Cara orangtua mengatasi anak saat mogok sekolah. Jakarta : P.T. Grasindo.

Manassis, P. (1999). Cara mengenalkan sekolah pada anak. Alih bahasa : M. Khairul Anam. Jakarta : Inisiasi Press.

Mar’at, S. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, L.J. (1999). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

Monks, F.J, Knoers. 2004. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Mulyadi, S. (2006). Membantu anak mengelola ketakutan. Jakarta : Erlangga.

Nazir, M. (2003). Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Papalia, D.E.&S.W.Old. (1987). A child’s world. New York : McGraw Hill Co.

Pearce, J. (1995). Mengatasi kecemasan dan ketakutan anak. Alih bahasa : Liliana Wijaya. Jakarta : Arcan

Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. LPSP3 : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Pradinoto, H (2004). Perkembangan anak dari usia kanak-kanak sampai remaja.. Jakarta : Erlangga.

Rafy, A.Y. (2004). Kamus ungkapan psikologi. Jakarta : Restu Agung.

Rahmi. (2006). Mengenal karakter dan kepribadian anak saat sekolah. Jakarta : P.T. Grasindo.

Rini. (2006). Panduan untuk orangtua tentang pengenalan sekolah pada anak. Jakarta : P.T. Grasindo.

Samsunuwiyati, M. (2005). Psikologi perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Setyorini, P. (2006). Ayo.... kita mengenal sekolah. Bandung : Read! Publishing House Mizan.

Soekresno, E. (2006). Hari pertamaku di sekolah. Bandung : Read! Publishing House Mizan.

Sukardi. (2003). Metode penelitian pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara.