jilbab dalam pasal 13 ayat 1 qanun aceh no. 11 tahun...

76
JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYIAR ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : M. Farid Wajdi Gumilang 1112043100020 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1440 H

Upload: others

Post on 29-Dec-2019

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002

TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN

SYIAR ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

M. Farid Wajdi Gumilang

1112043100020

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/1440 H

Page 2: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11
Page 3: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11
Page 4: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11
Page 5: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

iv

ABSTRAK

M. Farid Wajdi Gumilang, 1112043100020, JILBAB DALAM PASAL 13

AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN

SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYIAR ISLAM

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk menjawab rumusan

masalah penelitian, yaitu : 1.Analisis UUD terkait Qanun Aceh No 11 tahun 2002.

2. Analisis Hukum Islam Qanun Aceh tentang Jilbab.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library Research)

dengan pendekatan Deskriptif Analitis. Sumber Data dalam penelitian ini terbagi

ke dalam dua kategori, yaitu: sumber data primer yang berkaitan dengan Jilbab

dan sekunder yang merupakan sumber data yang diangkat dalam skripsi ini.

Kemudian, data-data tersebut dikumpulkan dengan teknik membaca, memahami,

mengidentifikasi, menganalisis dan membandingkan data yang satu dengan data

lainnya. Teknik yang digunakan untuk menganalisis adalah Metode Deskriptif,

Analisis Konten dan Metode Induktif.

Kesimpulan dari skripsi ini adalah. 1.Hasil kesimpulan tentang Analis Dari

Per UU Indonesia antara Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002. Dasar hukum dan

pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,. Maka dari itu

Penulis menyimpulkan Bahwa sesuai dengan keputusan pemerintah Indonesia

untuk mengizinkan Aceh membuat Perda Syariah adalah keputusan yang

berdasarkan pemberhentian konflik dan sudah tepat dikarenakan untuk

kesejahteraan masyarakat Aceh. Sehingga Qonun Aceh tentang wajib berjilbab

tidak bertentangan dengan UUD karena sudah sinkron dengan aturan yang berlaku

dan juga tidak bertentangan dengan UUD karena prosedur dalam aturan UUD

sudah dilaksanakan dengan baik.

2. Hasil Kesimpulan dari Analisis Hukum Islam tentang Qanun Aceh tentang

Jilbab Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002

Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.

Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua

wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum

yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits namun tidak diwajibkan berhijab

atau bercadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari

perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama

bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka

penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan

berdasarakan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Keyword : Jilbab, Qonun Aceh , HukumY Islam, UUD

Page 6: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam, yang telah memberikan limpahan

rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis,

terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘âlamin. Sesungguhnya hanya dengan

pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat

beriringan salam disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan

para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Skripsi ini merupakan hasil dan upaya yang maksimal dari penulis. Dalam proses

penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat

terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun

materil, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan

III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab

beserta Bapak Hidayatulloh, M.H. Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab

yang telah banyak memberikan ilmu, pengalaman serta motivasi dan solusi kepada

penulis dalam kepentingan akademik maupun sosial.

3. Bu Dewi Sukarti, M.A. dan Bu Hotnidah Nasution M.Ag. sebagai dosen pembimbing

skripsi penulis yang telah sabar dan terus memberikan arahan, saran dan ilmunya

untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sungguh-

sungguh dan penuh kecintaan.

4. Bu Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag. Sebagai dosen penasehat akademik penulis yang

telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam

merumuskan desain judul skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam

disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan

pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

Page 7: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

vi

6. Segenap bagian administrasi dan tata usaha serta pengelola perpustakaan utama dan

perpustakaan Fakultas Syarian dan Hukum, sekaligus kepada seluruh staf dan

karyawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan secara

maksimal.

7. Teristimewa dan tersayang untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Ir. H. Ahmad

Akhmad Sanusi M.Pd. dan Dra. Hj. Siti Munajat S.Pd.I yang telah memberikan cinta

dan kasih sayangnya, memberikan dukungan secara formil dan materil dengan tak

pernah jenuh dan tanpa menyrerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-

hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, serta saudara kandung

penulis yang telah memberikan dukungan baik dukungan spiritual maupun moril

dengan segenap hati yang tulus dan ikhlas.

8. Sahabat-sahabat seperjuangan Afif Arrahman, Ilham Fuadi, Adib Mubaroki, Fajri,

Rendi Prihartono . Yang telah memmberikan support selama berproses selama jadi

mahasiswa di UIN Syarief Hidayatullah.

9. Kawan-kawan seperjuangan di Program Studi Perbandingan Mazhab angkatan 2012

yang selalu membantu, mendukung dan menemani selama proses pendidikan strata

(S1) dari awal perkuliahan sampai akhir.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya

serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT., Aamiin.

Jakarta, 28 November 2018

20 Rabiul Awal 1440 H

M. FARID WAJDI GUMILANG

Page 8: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

.

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................ii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................iii

ABSTRAK ..............................................................................................................iv

KATA PENGANTAR ...........................................................................................v

DAFTAR ISI .........................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1

B. Pembatasa Masalah ......................................................................4

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...................................................4

D. Metode Penelitian ........................................................................5

E. Review Studi Terdahulu ..............................................................7

F. Sistematika Penulisan …………………………………………...7

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM JILBAB DAN HAM

TENTANG PAKAIAN

A. Pengertian Jilbab .........................................................................9

B. Jilbab Menurut Al-Qur’an dan Hadist …....................................11

C. Batasan-batasan Aurat Menurut Para Ulama Tentang Jilbab …16

D. HAM Tentang Pakaian ………………………………………...20

Page 9: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

.

viii

BAB III TINJAUAN UMUM QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002

TENTANG HUKUM JILBAB

A. Qanun Aceh Tentang Jilbab …………………………………..24

B. Sejarah Qanun Aceh ……………………….…………………29

C. Perpu Tentang Jilbab …………… ………………..…………..37

BAB IV QANUN ACEH NO. 11 TAHUM 2002 TENTANG HUKUM

JILBAB DAN PROBLEMATIKA PENERAPANNYA

A. Analisis Dari Sisi Per UU Indonesia ………………………….41

B. Analisis Hukum Islam ………………………………………….53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................61

B. Saran-saran .....................................................................................62

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 63

Page 10: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama ini Jilbab diyakini banyak pihak telah menjadi simbol keislaman.

Alasannya, selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama,

juga diyakini sebagai wujud ketegaran sikap perempuan Islam dalam menghadapi

penindasan patriarkhi,1 kapitalisme, dan globalisasi. Peneliti melihat, makna

Jilbab telah disalahpamahi banyak pihak, baik kalangan Islam maupun di luar

Islam. Di kalangan Islam sendiri, sering dijumpai keyakinan tentang superioritas

ketakwaan.2 Di sisi lain, kalangan di luar Islam memandang perempuan berjilbab

sebagai representasi dari fundamentalisme Islam yang militan, radikal, dan anti

barat,3 bahkan dianggap sebagai produk budaya yang aneh.

4

Jilbab merupakan pakaian yang lebar dan digunakan rangkap oleh wanita di

atas pakaian.5 Islam mewajibkan kaum wanitanya untuk menutup aurat, karena

tiga hal: Pertama, untuk menutup aurat dan menjaga jangan sampai terjadi fitnah.

Kedua, untuk membedakan dari wanita lain dan sebagai penghormatan bagi

muslimah tersebut. Ketiga, sebagai perlindungan atas kesucian kehormatan dan

kemuliaan sebagai perempuan muslimah.6

1Patriarkhi adalah suatu sitem yang ada di masyarakat, dimana semua hal berpusat pada

laki-laki dan lebih dominan dalam hal apapun. Perempuan disubordinat/second class. 2Hal tersebut di atas merupakan kandungan dari QS. Al-Ahzab (33): 59 yang

terjemahannya adalah “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu

pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah

yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,

Mudah- mudahan mereka selalu ingat”. 3Saiful Amien Sholihun, “Menyorot Aurat dan Jilbab,” dalam Ijtihad Islam liberal:

Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis (Jakarta: Jaringan Islam Libera (JIL), 2005), h.

135. 4Ashghar Ali Enginerr, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta:

LKiS, 2003), h. 83 5Nasrudin Al-Bani, Jilbab dan Hijab Busana Wanita Menurut Al-Qur’an dan Sunnah

Nabi, (Semarang: CV Toha Putra. 2000). h. 34 6Abu Syuqqah, Busana dan Perhiasan Wanita Menurut al-Qur’an dan Hadits, (Bandung:

Mizan: 1998), h. 20. Hal tersebut merupakan cerminan dari hukum Islam yang sejatinya adalah

untuk menjamin terwujudnya kemaslahatan dalam kehidupan manusia, khususnya kaum

muslimah. Jilbab sebagai salah satu pakaian khas perempuan Islam mengindikasikan ajaran Islam

yang luhur dan mulia untuk menciptakan peradaban manusia yang bermartabat dan terhormat dari

sisi pakaian yang dikenakannya. Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan,

1994), h. 249

Page 11: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

2

Proses masuknya agama Islam ke Indonesia menurut para sarjana dan

peneliti sepakat bahwa Islam itu berjalan secara damai. Meskipun ada juga

penggunaan kekuatan oleh penguasa Indonesia untuk menguasai rakyat atau

masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan

kepercayaan dan praktek keagamaan yang lama. Hal ini sering dilakukan oleh juru

dakwah di jawa adalah Walisongo.7

Aceh merupakan satu-satunya Provinsi yang menerapkan Syariat Islam,

tepatnya semenjak dideklarasikan syariat Islam pada tanggal 1 Muharram 1423 H

bertepatan dengan tanggal 15 Maret 2002. Tujuh belas tahun berlalu umur

penerapan syariat Islam diaceh yang tidak menyurutkan semangat kaum

cendikiawan untuk terus memperbincangkannya di ranah publik. Banyak

kalangan cendikiawan menilai implementasi syariat Islam terkesan biasa saja

sehingga tidak membawa perubahan signifikan bagi Aceh, daerah yang

menerapkan syariat Islam tidak berbeda dengan daerah yang tidak menerapkan

syariat baik dari aspek indentitas karakter dan keunggulannya.

Padahal, perangkat legalitas, formal penerapan Syariat Islam Aceh telah

memiliki kekuatan hukum Tetap dalam undang-undang dan peraturan daerah

(Qanun). Dalam system hukum Islam terdapat dua jenis sanksi : yaitu sanksi yang

bersifat ukhrawi, yang akan diterima di akhiran kelak, dan sanksi bersifat duniawi

yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif.

Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada

ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan

Negara. Hukum tidak memiliki arti bila tidak ditegakkan oleh Negara, disisi lain

suatu Negara tidak akan tertib bila hukum tidak ditegakkan.

Upaya legislasi pelaksanaan syariat islam dibidang aqidah, ibadah (shalat

dan puasa Ramadhan) serta syiar Islam bukanlah upaya untuk mengatur subtansi

telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan para ulama dalam berbagai

disiplin ilmu ke-Islaman. Dengan demikian upaya legislasi pelaksanaan Syari’at

Islam sebagaimana diatur dalam Qanun ini hanya diancam bagi setiap orang yang

menyebarkan paham dan atau aliran sesat. Sedangkan ancaman hukuman bagi

setiap orang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau

7 Muadzirin yusuf, dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia , ( Yogyakarta : Pustaka

Pelajar, 2006 ), hlm.33

Page 12: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

3

melecehkan Agama Islam, ancaman hukumannya diatur dalam Qanun tersendiri

tentang Hudud. Demikian pula dengan pengaturan aspek ibadah, baik sholat

fardhu jum’at maupun puasa Ramadhan di maksudkan untuk mendorong,

menggalakkan orang Islam melaksankan dan meningkatkan kualitas iman dan

serta intensitas ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukan

kepada Allah semata. Upaya tersebut perlu didukung oleh kondisi dan situasi

syi’ar Islam, namun masih dalam lingkup ibadah.

Adanya sanksi cambuk di depan umum, disamping sanksi penjara atau

denda serta sanksi administratif, dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan

pembinaan sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesal kesalahan yang

dilakukan dan mengantarkannya untuk memposisikan diri dalam Taubat Nasuha.

Pelaksanaan cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya preventif dan

pendidikan sehingga orang berupaya menghindari pelanggar hukum lainnya untuk

tidak melakukan pelanggaran terhadap Qonun ini khususnya terhadap ketentuan

Syari’at Islam pada umumnya.

Bentuk ancaman hukuman cambuk bagi pelaku tindak pidana, di

maksudkan untuk memberi kesadaran bagi sipelaku dan sekaligus menjadi

peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Hukuman

cambuk diharapkan akan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak

menimbulkan resiko bagi keluarganya, jenis hukuman cambuk juga menjadi biaya

yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan

hukuman lainnya seperti yang dikenal dengan KUHP sekarang ini.

Berdasarkan dengan adanya Qanun Aceh No. 11 tahun 2002 ini,

penggunaan berpakaian menjadi kewajiban bagi masyarakat muslim Aceh,

dimana terdapat masyarakat yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan

sanksi berupa sanksi ta’zir. Karena dalam pasal 13 dan pasal 23 tersebut,

bahwasanya kriteria pemakaian busana islami yang sesuai dengan pasal 13 yaitu

menggunakan pakaian yang menutup aurat, baik, sopan, tidak menunjukkan lekuk

tubuh, serta tidak menimbulkan syahwat bagi yang melihat. Penerapan sanksi

yang diberikan bagi pelanggar yang tercantum dalam pasal 23 tersebut dapat

dimulai dari yang terendah hingga tertinggi, yaitu cambuk, denda, penjara,

perampasan barang-barang, pencabutan hak dan konpensasi, dengan penerapan

Page 13: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

4

Perda Aceh tentang Jilbab banyak memakai problematika khususnya pelanggaran

HAM dalam pernyataan dari kementerian dalam negeri mengancam serta

memangkas Perda Aceh yang dinilai bertentangan dengan Undang-undang.”

Pernyataan Tjahjo kontra menganggap perda kewajiban Jilbab bagi wanita di

Aceh melanggar HAM, mengingat tidak semua wanita Aceh beragama Islam.8

Menurut HAM ada pemaksaan didalam penerapannya, Pernyataan tersebut tentu

mengundang polemik di masyarakat Aceh itu sendiri.

Pandangan Aceh dan problematika maka dari itu penulis sangat tertarik untuk

membahasanya tentang Jilbab Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 Tentang

Hukum Jilbab yang sangat membuat penulis tertarik atas perbedaan pendapatnya

dan memberikan penulis untuk membahasanya. Dengan demikian penulis tertarik

mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam skripsi dengan

judul “JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG

AQIDAH, IBADAH DAN SYIAR ISLAM”

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya ruang lingkup pembahasan serta agar pembahasan dalam

skripsi ini terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka untuk

itu penulis membatasi masalah pada cakupan yang sebenarnya. Begitu banyak

pembahasan yang berkaitan dengan Jilbab, baik dari segi makna maupun hukum

penggunaannya, begitu juga efektifitas penerapan yang ada pada Qanun Aceh.

Oleh karena itu penulis, membatasinya dengan Jilbab dalam cakupan Qanun

Aceh.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas maka

penulis mengajukan rumus masalah sebagai berikut:

a. Analisis Dari Sisi Per UU Indonesia Qanun Aceh Tentang Jilbab ?

b. Analisis Dari Sisi Hukum Islam Qanun Aceh Tentang Jilbab ?

8 http://www.lintasnasional.com/2016/02/24/mendagri-sebut-perda-jilbab-aceh-melanggar-

ham-harus-dicabut di akse pada tanggal 20 januari 2019 pada pukul 08:30 WIB

Page 14: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan penelitian skripsi ini secara umum bertujuan untuk mengetahui

tentang Jilbab dan hukumnya, namun secara khusus tujuan tujuan dari skripsi ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui Sinkronisasi Antara Per UU Indonesia dan Qanun Aceh

Tentang Jilbab

b. Untuk mengetahui Anlisis Hukum Islam Dan Qanun Aceh Tentang Jilbab

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca

untuk mengetahui apa itu Qanun Aceh dan Jilbab, beserta batasan dan

hukumnya menurut pendapat ulama.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi

referensi yang bermanfaat bagi yang membutuhkan, dan juga dapat

membantu pembaca, mengetahui tentang Qanun Aceh No. 11 tahun 2002

tentang hukum Jilbab.

D. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan langkah yang harus ditempuh dalam

perencanaan dan pelaksanaan penelitian, yang terdiri atas:

a. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan Normatif. Penelitian

hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian

yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data

sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,

teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian

kepustakaan (library research) dengan menelaah buku-buku yang

Page 15: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

6

berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan dari analisis literatur ini

dihasilkan data yang dikehendaki untuk ditelaah secara mendalam.9

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa sumber data, kategori

sumber data tersebut berdasarkan isinya ada dua macam:

a. Sumber Data Primer

Data primer merupakan data yang hanya bisa didapatkan darin sumber

otentik (asli) atau pertama.10

Dalam penelitin ini, sumber primer buku-buku,

UUD, UU Qanun Aceh.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data. Data sekunder ini mempunyai

kegunaan untuk mendukung dan memberikan informasi tambahan kepada data

primer. Data sekunder dalam penelitian ini penulis dapatkan dari buku-buku dan

karya-karya ilmiah terutama yang terkait dengan Qanun Aceh .

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data baik primer maupun sekunder dilakukan dengan

membaca, memahami, mengidentifikasi, menganalisis dan membandingkan data

yang satu dengan data lainnya yang terdapat dalam sumber data. Setelah data

terhimpun, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan sifat dalam bab-bab tertentu

supaya mempermudah analisis.11

Adapun dalam penelitian ini, penulis

mengumpulkan data dengan membaca, memahami, mengidentifikasi,

menganalisis, dan membandingkat teori-teori yang berkaitan dengan hukum

Jilbab.

4. Teknik Analisis Data

Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka teknik analisis

data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengn tujuan

untuk memberikan gambaran tentang subyek penelitian berdasarkan data dari

9 Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 213.

10 Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitan Kuantitatif dan Kualitatif

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 123. 11

Winarno Surahmah, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3S, 1993), h. 139.

Page 16: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

7

sumber penelitian yang diperoleh dari kelompok subyek yang diteliti dan tidak

dimaksudkan pengujian hipotesis.12

E. Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Relevan

Pernah ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Jilbab Muslimah

Perspektif Abu A’la Al Maududi dan Yusuf Al Qardhawi”yang disusun oleh Riki

Solpan, yang telah dipertahankan dalam persyaratan untuk mendapatkan gelar

Sarjana Ilmu Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

pada tahun 2009. Penelitian ini fokus membahas mengenai pendapat Jilbab

Muslimah Perspektif Abu A’la Al Maududi dan Yusuf Al Qardhawi.

Selanjutnya pernah juga ada yang meneliti Tentang Konsep Jilbab

dalam Hukum Islam (Studi Perbandingan K.H Husen Muhammad) yang

disusun oleh Qoidud Dual yang telah dipertahankan untuk mendapatkan gelar

sarjana Ilmu Hukum Islam Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta pada

tahun 2009. Peneltian ini lebih fokus dengan Jilbab Qanun Aceh tentang

penerapan Syariat dan sinkronisasi dengan UUD.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017” dengan

sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa

sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai

berikut:

BAB I Merupakan pendahuluan yang terdiri enam sub bab yang membahas

tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Penelitian

Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II Pengertian Jilbab , Pada bab ini Penulis akan membahas mengenai

HAM tentang pakaian.

BAB III Peraturan Qanun Aceh. Penetapan Pemerintah Tentang Qanun Aceh

BAB IV Analisis Penetapan Hukum UUD dan Qonun Aceh Tentang Wajib

Menggunakan Jilbab, dalam hal ini penulis membahas mengenai

12

Saefudin Anwar, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),

h. 126.

Page 17: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

8

Analisis tentang Qanun Aceh dan Sinkronisasi dengan UUD tentang

Jilbab.

BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, di samping

itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian.

Selanjutnya, penulis menyajikan beberapa saran yang diangggap

perlu.

Page 18: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

9

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Pengertian Jilbab

Jilbab merupakan istilah yang terkenal di Indonesia, juga terdapatdalam al-

qur‟an . Namun dalam literatur Arab para penulis memakai istilah yang berbeda-

beda yang menggunakan istilah hijāb, ada pula yang menggunakan istilah jilbāb

secara langsung, dan ada juga penulis yang tidak konsisten dalam menggunakan

istilah, termasuk yang diakui dan dilakukan oleh al-Bāniy sendiri. Namun kadang-

kadang ia menggunakan istilah hijab, kadang-kadang ia menggunakan istilah

jilbāb. Pendek kata, dua hal tersebut memiliki tujuan dan arti yang sama dan tidak

akan menimbulkan permasalahan dengan dua terminologi tersebut. 15

Permasalahan justru tentang batasan-batasannya dan kapan dipergunakan

oleh perempuan muslimah mengenai pengertiannya, para ulama dan mufassirin

telah mengemukakan berbagai defenisi tentang Jilbāb. Dalam Mu‟jam al-Wasith

misalnya, Jilbāb itu adalah ا yaitu ”” (pakain yang menutupi semua tubuh), atau

dengan redaksi lain “ (pakain luar yang digunakan diatas pakain rumah seperti

selimut), atau “Pakain luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh

wanita).

Mufassir dalam menafsirkan surat al-Ahzāb ayat 59, mereka merumuskan

tentang jilbāb dengan rumusan yang berbeda-beda. Abu Ja‟far Muhammad bin

Jarir al-Thabari (224-310 H) contohnya dalam tafsir Jāmi‟ al-Bayān yang ia

mengambi dari pendapat sebahagian ulama dan dari hadits rasul dari Ibnu „Abbās,

mengatakan bahwa: “Jilbāb itu adalah pakaian yang terletak di atas kepala dan

15

Dalam al-qur‟an istilah dari jilbab itu adalah hijab (surat al-ahzab ayat 53) istilāh lain adalah al-

Khumūr, terdapat dalam (Surat al-Nūr ayat 31) Khimār adalah Pakain yang menutup kepala,

jama‟nya Khumūr, lihat kitab al-Muwatha‟ jilid I, oleh Malik bin Anas (Dubai : Maktabah al-

Furqan, 2003) h.543

Page 19: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

10

menutup muka kecuali yang nampak satu mata. Hadits lain dari Ibnu „Aun lebih

tegas mengemukakan bahwa Jilbāb itu adalah السداء (pakaian)16

Tafsir al-Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an (Tafsir al-Qurthūbiy), al-Qurtūby

(600-671.H/1204-1273.M) menjelaskan bahwa “Jilbāb itu pakain perempuan yang

ukurannya lebihbesar dari Khimār, Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd meriwayatkan

bahwa jilbāb itu adalah السداء (selendang). Pendapat lain, jilbāb adalah “ القناع “

(Kerudung kepala wanita atau cadar).17

pendapat lain yang mengatakan bahwa Jilbāb itu adalah pakaian yang

menutupi secara keseluruhan sehingga perempuan itu merasa gelap seperti malam

hari. Ikrimah mengatakan bahwa: “Jilbāb itu bentuknya adalah adanya pertemuan

sudut atau sisi-sisi Jilbāb dengan lainnya, namun pertemuan sisi-sisi tersebut tidak

kelihatan”.

Abu „Ubaidah al-Salmāniy ketika ditanya tentang Jilbāb, ia mengatakan,

bahwa: : “Jilbab itu berbentuk selendang (al-Rida‟) yang terletak diatas alis mata

kemudian diputar sehingga posinya berada diatas hidung perempuan”. 18

Menurut Ibnu Katsir (7 00-774 H) dalam tafsir al-Qur‟an al-„Azim

menjelaskan, bahwa: “Jilbāb itu adalah (pakaian wanita yang terletak diatas

khimār). Defenisi ini juga sama dengan apa yang dikatakan Ibnu Mas‟ūd,

Ubaidah, Qatādah, Hasan Basri, Sa‟id bin Jubair,Ibrahim an-Nakha‟i dan „Ata‟ al-

Kharsani serta lainnya.

Kemudian ada juga pendapat lain, jilbāb itu seperti ( االءزا) pakaian yang

dipergunakan sehari-hari Tetapi Jauhari mengatakan, jilbāb itu sama dengan

Milhafah (mantel atau selimut). Al-Marāghi (1883-1952 M) dalam tafsirnya

mengatakan bahwa jalabib itu bentuk mufradnya adalah jilbāb. Kemudia ia

merumuskan bahwa defenisi jilbāb itu adalah:ز(pakaian luar yang menutupi

16

Ahmad Warson al-Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet.VII (Surabaya:

Pustaka

Progresif, 1997), h. 490. 17

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jāmi li Ahkāmil al-

Qur‟an(Tafsir al-Qurtūbi) Juz.13, cet.I, (Beirūt: Dār al-Kitāb al-„Arābi 1997), h. 217 18

Muhammad bin Yusuf almashur Abu Hayyan Andalusi, tafsir al-Bahru Al-Mukhit, Juz.

VII, (Beirūt::Dār al-Kitab al-„Ilmiyah, 2001), h. 240.

Page 20: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

11

seluruh tubuh wanita yangposisinya terletak diatas pakaian rumah dan diatas

khimār, ).19

Tafsir ini juga dikemukan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin

Talhah dari Ibnu „Abbās, ia mengatakan, bahwa: “Jilbāb itu adalah pakaian yang

menutup seluruh badan wanita, bahkan muka sekalipun kecualisatu mata yang

kelihatan”.20

B. Dasar Hukum Jilbab menurut Al-Qur’an dan Hadist

Ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadist, pengalaman ,dan pembenaran Nabi

Muhammad Saw.(as-sunnah),kesemuanya turun dan terjadi dalam satu masyrakat

yang memiliki budayanya. Itu sebabnya para ulama berpesan kepada yang

bermaksud memahami kandungan dan pesan-pesan ayat al-qur‟an dan sunnah

bahwa di samping ilmu bahasa arab dan kaidah-kaidah keagamaan yang harus di

kuasai oleh mereka yang hendak mentapkan hukum,atau memahami pesan kedua

sumber ajaran agama islam itu,mereka juga hendaknya budaya masyarakat,

sejarah Nabi Muhammad Saw..

Ayat pertama yang menjadi dasar dalam penetapan aurat wanita dalam

firman Allah SWT dalam QS.al-ahzab (33):5321

19

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz.12-13, cet.I, (Beirūt: Dār al-Fikr,

2006), h. 23. Lihat juga Tafsir Ma‟alim al-Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad

bin „Ali al-Zaid, Juz IV, (Beirūt:Dār al-Fikr, 1985), h. 488 20

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Juz.12-13, cet.I, h. 23. Lihat juga Tafsir Ma‟alim al-

Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad bin „Ali al-Zaid, Juz IV, h. 24 21

Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro

Page 21: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

12

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki

rumah- rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak

menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka

masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik

memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu

nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak

malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)

kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang

demikian itu lebih Suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu

menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-

lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar

(dosanya) di sisi Allah”.

Maksudnya, pada masa Rasulullah s.a.w pernah terjadi orang-orang yang

menunggu-nunggu waktu makan Rasulullah s.a.w. lalu turun ayat Ini melarang

masuk rumah Rasulullah s.a.w. untuk makan sambil menunggu-nunggu waktu

makannya Rasulullah. Maksud ayat tersebut lebih kurang sebagai berikut: Hai

oarang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi

kecuali bila di izinkan, yakin di undang oleh yang berwenang untuk datang

kehidangan dengan tidak tinggal berlama-lama menunggu-nunggu waktu

masaknya makanan yag akan di hidangkan, tetapi jika kamu di undang oleh yang

berhak maka masuklah berdasarkan undangan itu serta tepat waktu dan bila kamu

selesai makan dan minum, bertebaranlah keluar menuju tempat lain sesuka kamu

tanpa duduk lebih lama asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang

belama-lama di rumah Nabi menggaggu Nabi, sehingga beliau bermaksud

meminta kamu pulang lalu dia, yakni Nabi Muhammad Saw. malu kepada kamu

untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu, yakni tidak ada yang dapat

menghalanginya menegur kamu menyangkut kebenaran.

Ayat ini mengandung dua tuntunan pokok: Yang pertama, menyangkut

etika mengunjungi Nabi Muhammad S.a.w. dan yang kedua menyangkut Hijab.

Bagian pertama ayat ini menurut sahabat Nabi, Anas bin Malik ra..,‟Turun

berkaitan dengan perkawinan Nabi Saw .dengan zainab binti jahsy. Ketika itu

Nabi menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka makan,

sebagian undangan dalam riwayat ini di katakan tiga orang masih duduk

berbincang-bincang Nabi Saw. masuk ke kamar Aisyah

Page 22: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

13

Menurut Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, para ulama sepakat bahwa

seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya. Abu

Hanifah menambah pengecualian itu dengan kedua kaki hingga mata kaki.22

Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa maksud kerudung dalam ayat di atas

adalah kain yang menutupi kepala. Kata dada juga meliputi leher. Dengan

demikian, kerudung itu wajib menutupi kepala, leher, dan dada. Itulah batas

bagian atas dari hijab. Lalu di mana batas bagian bawahnya? Jawabannya terdapat

dalam bagian ayat berikutnya:

Artinya: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui

perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada

Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur [24]:

31)23

Perhiasan kaki adalah gelang-gelang kaki. Karena para wanita menutupi

tubuh mereka sampai ke kaki, maka mereka mengentakkan kaki untuk

menunjukkan perhiasan yang ada di balik pakaian yang menutupi pergelangan

kaki mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa wanita harus menutupi kaki mereka

sampai tumit.24

22

Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-

Mar‟ah al-Muslimah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I, hal. 50 23

Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro 24

Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-

Mar‟ah al-Muslimah, cet. I, h,. 51-52.

Page 23: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

14

Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan

tentang masalah „aurat wanita yang boleh ditampakkan‟. Ketika membahas makna

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa

tampak daripadanya” (QS. 24:31), menurut Yusuf Qaradhawi, para ulama sudah

sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu‟, menyatakan, bahwa: “Aurat wanita

adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Di antara ulama

mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad

menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.

Ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib

menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi

menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak

tangan adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi‟in sebagaimana yang tampak

jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak

daripadanya.” 25

Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan ulama Sunni. Di

kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa “apa yang biasa tampak

daripadanya‟‟ ialah “wajah dan telapak tangan‟‟ dan perhiasan yang ada di bagian

wajah dan telapak tangan. Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, M. Quraish

Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa: “Para ulama besar, seperti Said bin

Jubair, Atha, dan Al-Auza‟iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah

wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya.26

(hal. 175-176).

25 Dr. Yusuf Qaradhawi , Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Drs. As‟ad Yasin), (Jakarta:

GIP, 1995), hal. 431-436. 26

M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004) ,

h. 175-176

Page 24: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

15

Hadits, Rasulullah bersabda tentang batas aurat wanita yang wajib

ditutup:

ا أسماء إن المسأة إذا بلغت المحض لم ىرا تصلح أن س منيا إل ىرا

ل لم دزك عائشة د ىرا مسسل خالد به دز و قال أب دا مف جيو أشاز إل

عنيا للا زض

Artinya: “Wahai Asma‟, wanita yang sudah haid harus menutupi seluruh

tubuhnya, kecuali ini dan ini‟ sambil menunjuk wajah dan kedua telapak

tangannya.” (HR. Abu Dawud).27

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa aurat wanita yang sudah

baligh ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Hadits ini

dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits yang otoritas

ilmunya tidak diragukan lagi.

Selain itu, ada hadits juga yang menunjukkan bahwa wanita pada zaman

Nabi berhasrat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka dengan

benar. Yakni, suatu hari istri Ibrahim bin Abdurrahman bin „Auf bertanya kepada

Ummu Salamah, “Aku sering berjalan di tempat-tempat kotor. Bagaimana

mungkin aku memanjangkan pakaianku?” Ummu salamah menjawab, “Rasulullah

bersabda:

طيسه ما بعده

Artinya: „Pakaian itu akan dibersihkan oleh apa yang mengenainya setelah

kotoran itu.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-

Darimi).

27

Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab Misykatul Mashabih,

karya At-Tabrizi, dalam Maktabah Asy-Syamilah. Dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib,

hadits ini dinilai hasan lighairihi oleh Al-Albani.

Page 25: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

16

Sekali lagi, dua petunjuk Nabi tersebut menyimpulkan bahwa wanita harus

menutupi tubuh bagian atasnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sementara

tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak boleh terlihat.

C. Batas-Batasan Aurat Menurut Para Ulama

Para ulama berusaha menemukan batas-batas aurat karena di dalam Al-

qur‟an tidak menentukan secara jelas dan rinci batasan aurat sehingga terjadilah

ijtihad para ulama tentang batas aurat wanita dan hokum tentang jilbab seperti

(bagian badan yang tidak boleh kelihatan karena rawan rangsangan Seandainya

ada ketentuan yang pasti dan batas yang jelas, maka dapat dipastikan pula bahwa

kaum muslim termasuk ulama-ulama tedahulu hingga kini tidak akan berbeda

dalam menafsirkan hadist-hadist Rasul S.a.w..

Tetapi tidak jarang di temukan perbedaan pendapat menyangkut nilai

keshahihan suatu hadist, sebagaimana juga lahir perbedaan interprestasi

menyangkut nash keagamaan yang di sepakati keshahihannya. Kalau kita merujuk

pendapat ulama terdahulu, ditemukan bahwa mereka membedakan aurat pria dan

wanita, dan aurat seorang merdeka serta hamba sahaya. Mereka membedakan pula

antara aurat wanita shalat dan di luar shalat serta aurat muslimah terhadap wanita

non muslimah.

Tentu saja masing-masing memiliki alasan-alasannya. Dalam kontek sini

perlu di garis bawahi bahwa dalam pandangan-pandangan yang berbeda itu

ditemukan sekian pertimbangan logika, adat istiadat dan pertimbangan kerawanan

terhadap rangsangan syahwat, di samping teks-teks keagamaan.

Terlebih dahulu penulis memaparkan pandangan para ulama masa lampau

yang hingga kini masih merupakan panutan mayoritas ulama. Bagian pertama

menampilkan ayat-ayat yang di jadikan dasar menepatkan aurat wanita.

Selanjutnya pada bagian kedua, penulis memaparkan sekian banyak hadist-hadist

Nabi S.a.w. yang dijadikan dasar dalam penetapan itu. Lalu pada bagian ketiga

sebelum penutup, penulis mengajak untuk memikirkan pandangan-pandangan

Page 26: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

17

baru yang lebih longgar dari pada pandangan mayoritas ulama. Memikirkan

bukan menganjurkan untuk menerapkannya karena betapapun seperti tulis imam

al-Qurtubi, sebagaimana akan penulis kutip selengkapnya nanti memakai Jilbab

dengan hanya membuka wajah dan tangan adalah pandangan yang baik untuk

menjaga kehati-hatian.28

Sehingga aneka pendapat yang berbeda menyangkut batasan aurat wanita,

terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa ayat-ayat Al-Qur‟an lebih-lebih sabda

Nabi S.a.w. (as-sunnah), kesumua yang turun dan terjadi dalam satu masyarakat

yang memiliki budayanya. Itu sebabnya para ulama berpesan kepada yang

bermaksud memahami kandungan dan pesan-pesan ayat Al-Qur‟an dan Sunnah

bahwa samping ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah keagamaan yang harus di

kuasai oleh mereka yang hendak menetapkan hukum, atau memahami.

Pesan kedua sumber ajaran agama Islam itu, hendaknya mereka juga

memahami buday masyarakat, sejarah Nabi Muhammad S.a.w. serta sebab-sebab

turunnya satu ayat, atau tercetusnya ucapan dan sikap Nabi Muhammad S.a.w.

Disisi lain, perlu kita garis bawahi bahwa pemahaman seseorang

menyangkut suatu nash termasuk Al-Qur‟an dan Hadist tidak terlepas dari

pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya masyarakatnya, disamping

kecerdasan dan kecenderungan pribadinya. Karena itu, tidak mustahil jika sahabat

Nabi Muhammad S..aw. hidup pada masa kita sekarang.

28

M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, , h. 64-66.

Page 27: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

18

Artinya: “Wahai orang-orang Yang beriman, janganlah kamu masuk ke Rumah

Nabi (menunggu makanan masak kerana hendak makan bersama), kecuali kamu

dijemput untuk menghadiri jamuan, bukan Dengan menunggu-nunggu masa

sajiannya; tetapi apabila kamu dijemput maka masuklah (pada waktu Yang

ditetapkan); kemudian setelah kamu makan maka hendaklah masing-masing

bersurai dan janganlah duduk bersenang-senang Dengan berbual-bual.

Sesungguhnya Yang demikian itu menyakiti dan menyusahkan Nabi sehingga ia

merasa malu (hendak menyatakan hal itu) kepada kamu, sedang Allah tidak malu

daripada menyatakan kebenaran. dan apabila kamu meminta sesuatu Yang harus

diminta dari isteri-isteri Nabi maka mintalah kepada mereka dari sebalik tabir.

cara Yang demikian lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka. dan kamu tidak

boleh sama sekali menyakiti Rasul Allah dan tidak boleh berkahwin Dengan

isteri-isterinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya Segala Yang

tersebut itu adalah amat besar dosanya di sisi Allah”. (QS.Al Ahzab 33:53)29

Ayat ini mengandung dua tuntutan pokok. Yang pertama menyangkut

etika mengunjungi Nabi Muhammad S.a.w. dan Yang kedua menyangkut hijab.

Bagian pertama ayat ini menurut sahabat Nabi, Anas bin Malik ra., “ turun

berkaitan dengan perkawinan Nabi S..aw. dengan Zainab binti Jahsy. ketika itu

Nabi S.a.w. menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka

makan, sebagian undangan dalam riwayat ini di katakana tiga orang masih tetap

berbincang-bincang di dalam. Nabi S.a.w. masuk kekamar Aisyah lalu keluar,

dengan harapan para tamu yang masih tinggal itu, telah pulang, tetapi ternyata

belum juga maka beliau masuk lagi kekamar istri yang lain, demikian seterusnya,

silih berganti masuk dan keluar kekamar semua istri beliau. Akhirnya mereka

keluar juga setelah sekian Rasul S.a.w. menanti.

”Anas bin Malik menuturkan kisah ini berkata : „‟Maka aku

menyampaikan hal tersebut kepada Nabi S.a.w. maka beliau masuk. Aku pun

ketika itu akan masuk tetapi telah di pasang hijab antara aku dengan beliau, lalu

turunlah ayat ini.(HR. Bukhari melalui Anas Ibn Malik).

Untuk yang pertama kita menemukan bahwa bahasa pada mulanya

menggunakan kata hijab dalam arti sesuatu yang menghalngi antara dua lainnya.

Seseoarang yang menghalangi orang lain sehingga tidak dapat bertemu dengan

siapa yang diinginkannya untuk diatemui, dinamai hajib. Kata ini juga berarti

29

Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro

Page 28: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

19

penutup. Tim departemen agama yang menyusun Al-Qur‟an dan Terjemahannya,

menerjemahkannya kata tersebut dengan tabir. Dalam perkembangan lebih jauh

wanita yang menutupi diri atau seluruh badannya dengan pakaian, dinamai

mutahajjibah.30

Para ulama perpandangan bahwa seluruh badan wanita aurat walau wajah

dan tangannya memahami kata hijab dalam arti tabir. Namun mereka

berkesimpulan bahwa tujuannya adalah tertutupnya seluruh badan mereka

ini,karena tabir menutupi serta menghalangi terlihatnya sesuatu yang berada di

belakangnya. Pakar tafsir Al-Jashshash misalnya menulis bahwa.”Ayat ini

menunjukkan bahwa Allah telah mengizinkan untuk meminta kepada mereka

(istri-istriNabi) dari belakang tabir menyangkut suatu hajat yang di butuhkan atau

untuk mengajukan suatu pertanyaan yang memerlukan jawaban. Perempuan

semuanya aurat badannya dan bentuknya maka tidak boleh membukanya kecuali

bila dalam keadaan darurat atau kebutuhan seperti untuk menyampaikan

persaksian atau karena adanya penyakit di badannya (dalam rangka pengobatan).31

Menurut Ali Ash-Shabuni Dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 31

menjelaskan bahwa kata khumur adalah jama‟ dari kata khimar yang berarti

sesuatu yang menutupi kepala wanita dan menutupinya dari pandangan laki-laki.

Sedangkan kata juyub adalah jama‟ dari kata jaib yang artinya dada. Maknanya,

hendaklah para wanita muslimah memakai kerudung hingga menutupi dada

mereka, agar dada mereka tidak kelihatan sama sekali.

Wanita pada masa jahiliyah seperti yang terjadi pada masa modern saat ini

berjalan di hadapan laki-laki dengan membuka dada, atau dadanya sengaja

diperlihatkan untuk menunjukkan keindahan tubuh dan rambutnya untuk menarik

laki-laki. Mereka memakai kerudung pada bagian belakang, sementara dada

mereka tetap terbuka lebar. Maka dari itu, wanita-wanita mukminat diperintahkan

30

M. Quraish Shihab, Jilbab Pakain Wanita Muslimah, h. 74. 31

Abu BakarMuhammmadIbn „Abdillah, Ibn Al-Arabyahkam al-Qur‟an, Mesir, al-Halabi,

cet. I, 1958, Jilid III, h.1567.

Page 29: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

20

oleh Allah agar menutupi dada mereka dengan kerudung hingga dada mereka

tertutup rapat agar terjaga dari tangan-tangan jahil.32

D. HAM Tentang Pakaian

Hak asasi (fundamental Untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia,.

Secara definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman

berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang

bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.33

Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:2

a. Pemilik hak;

b. Ruang lingkup penerapan hak;

c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.

Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap

manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan

hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan

instansi.

Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan

pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg.

Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk

dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel Feinberg

dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang

absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan

kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak

bila disertai dengan pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara hak dan

32

Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur‟an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir,

(terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur‟anil Karim, (Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2002), cet. I, vol. 5, h. 42. 33

Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia , PBHI, Jakarta , 2002, hlm. 7,

Page 30: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

21

kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya.

Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan kewajiban.

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang

diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.

Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.

Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan

manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam

kehidupan manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1

disebutkan bahwa : “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang

melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,

dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan

serta perlindungan harkat dan martabat manusia.34

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh suatu

kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang

bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus

dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.

Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah

menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan

yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara

kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.35

Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi

kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan

negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan

kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan

34

Jawahir Tantowi dan Pronoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Rafika

Aditama, Bandung, 2006, hlm 51. 35

Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi

Manusia ( Memahami Proses Konsilidasi Sistem Demikrasi Di Indonesia), Yogyakarta, 2003, hlm

266-267

Page 31: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

22

perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan

umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM

harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia

dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.

Dasar negara kita Pancasila mengandung pemikiran bahwa manusia

diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa mengandung dua aspek, yaitu aspek

individualis (pribadi) dan aspek sosialis (bermasyarakat). Oleh karena itu

kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti setiap orang

mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain.

Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama

Negara dan Pemerintah. Dengan demikian negara dan pemerintah bertanggung

jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak manusia.36

Frans Magnis-Suseno menekankan dua unsur utama dalam pengertian

HAM. Pertama, bahwa hak-hak itu mendahului penetapan negara. Dalam hal ini

tidak jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan Donelly di muka. Kedua, bahwa

hak-hak itu bersifat universal. Universalitas HAM merujuk pada maksud bahwa

HAM berlaku untuk seluruh ras manusia, tanpa melihat apa warna kulitnya, dalam

latar etnis atau suku apa ia lahir, apa agamanya, bagaimana asal-usul

keturunannya, dan sebagainya.37

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa

Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia

(HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah.

Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak

Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan

perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi

tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia

36

Mochtar Kasumatmaja dan Ety R Agoes, Hlm, 144-145 37

Jawahir Tantowi dan Pramoto Iskandar. Pengantar Hukum Internasional, Universitas

Indonesia ( UI-Press) Jakarta hlm, 64

Page 32: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

23

yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam

konstitusinya.

Page 33: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

24

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002

TENTANG HUKUM JILBAB

A. Qanun Aceh Tentang Hukum Jilbab

Indonesia sebagai Negara hukum dalam sejarah penerapan hukumnya mengenal

3 (tiga) sumber hukum yaitu sumber hukum yang berasal dari barat, hukum Islam

dan Hukum adat. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia ternyata tidak saja yang

berlaku secara yuridis formal, yakni menjadi hukum positif berdasarkan atau karena

ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, namun juga yang berlaku secara

normatif seperti hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua

norma tersebut telah menjadi hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat.

Hal ini meng ingat, bukan saja karena hukum Islam merupakan entitas agama yang

dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, akan tetapi dalam dimensi

amaliahnya di beberapa daerah telah menjadi bagian tradisi (adat) masyarakat yang

terkadang dianggap sakral seperti di Sumatera Barat dikenal adanya istilah “adat

bersendi syara, Syara bersendi kitabullah”. Hukum Islam sebagai salah satu sumber

hukum serta tetap hidup di masyarakat Indonesia, telah mengalami pasang surut

sesuai dengan kondisi politik yang ada. Syariat Islam telah menjadi sejarah yang

panjang. 30

Semenjak zaman kerajaan-kerajaan bahkan sampai pada masa kemerdekaan

penegakan Syariat Islam terus di perjuangkan khususnya di Aceh. Kekuasaan tidak

terbatas yang dimiliki Sultan dalam m elaksanakan hukum Islam menyebabkan

hukum Islam yang ada di Aceh berubah menjadi adat. Sebagai adat ia terkadang

melangkah jauh melebihi hukum Islam itu sendiri bahkan cenderung menjadi

“hukum Sultan”. Dalam konteks ini maka Sultan seolah memiliki hak yang tidak

terbatas dalam melaksanakan hukum kepada orang yang bersalah, terutama orang

yang tidak taat kepada sultan. Dalam Bustan al-Salatin. Nuruddin ar-Raniry

mengatakan:31

30

Kamarusdiana, Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, Vol. XVI,

No. 2, (Juli 2016), h. 151. 31

Ibid, h. 1-2.

Page 34: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

25

segala yang berbuat khianat akan segala raja-raja tak dapat tiada datang jua ke

atas mereka itu murka Allah Ta’ala fadhihat, hubaya-hubaya hal segala hamba

Allah, jangan kamu berbuat khianat akan segala raja-raja, tak dapat tiada pekerjaan

yang demikian itu dinyatakanAllah Ta’ala juga kepadanya.

Pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri

menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi

Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Terlepas dari plus minusnya UU tersebut, yang

terpenting mengenai penerapan syariat Islam adalah membenarkan pembentukan

Mahkamah Syar`iyah baik pada tingkat rendah (Sagoe) atau pun tingkat tinggi

(Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang syariat yang berkaitan

dengan peradilan. Untuk penerpan UU tersebut, sudah ditetapkan Qanun Nomor 43

Tahun 2001 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun Nomor 3 Tahun 2000 Tentang

Pembentukan Oraganisasi dan Tatakerja MPU, Qanun Nomor 33 Tahun 2001

Tentang Pembentukan Susunan dan Tatakerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah

Istimewa Aceh. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,

Ibadah dan Syi`ar Islam, dan Qanun Nomor 23 Tahun 2003 Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan. 32

Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di

Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan: 33

1) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan

Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

32

Amran Suadi, dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam

Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 418 33

Marzuki Abubakar, “Syariat Islam Di Aceh Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan

Beragama”, Vol. XIII, No. 1, (Januari-Juni 2011), h. 102.

Page 35: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

26

2) Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenangan

Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitan

dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian Undang-undang menetapkan Qanun Provinsi sebagai peraturan pelaksanaan

untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi wewenang Pemerintah provinsi.

Untuk membuat Qanun, Pemerintah Provinsi tidak perlu menunggu peraturan

pemerintah atau peraturan lainnya dari Pemerintah Pusat. Qanun adalah peraturan

daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang dapat mengeyampingkan peraturan

perundang-undangan yang lain berdasarkan asas “peraturan khusus dapat

mengenyampingkan peraturan umum” . Dengan kata lain, Qanun adalah peraturan

daerah yang setingkat dengan peraturan pemerintah untuk melaksanakan otonomi

khusus di Aceh.34

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 yang berisi

tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar Islam merupakan

sumber yang digunakan untuk peraturan tentang Jilbab. Jilbab dalam Islam termasuk

syi`ar Islam. Sebagaimana yang dikemukan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Bab I

Tentang Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 5 dan Bab V Penyelenggaraan Syi`ar Islam

pasal 13 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: 35

Pasal I Ayat 5 Bab 1 Ketentuan Umum : “Dalam Qanun ini yang dimaksud

dengan, Syi`ar Islam adala semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah untuk

menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.”

Pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 Bab V Penyelenggaraan Syi`ar Islam: Ayat 1, “Setiap

orang Islam wajib berbusana Islami”, Ayat 2, “Pimpinan instansi pemerintah, lembaga

pendidikan, badan usaha, dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana

Islami di lingkungan.”

Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah untuk

menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam. Didalam penerapan

Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Syi.ar Islam kegiatan yang mengandung nilai-

34

Ibid 35

http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf, Diakses pada: 12-07-

2018.

Page 36: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

27

nilai Ibadah dan mengagungkan pelaksanaan Syariat Islam ialah bagaimana setiap

masyarakat baik instasi pemerintah wajib berbusana muslim baik itu wanita ataupun

pria. Seperti yang dikatakan bapak Farian: 36

Syi’ar Islam ada namanya razia tertib berbusana muslim, masyarkat yang melewati

jalan dan razia tertip busana muslim dilakukan dengan tim gabungan. Mengenai lokasi

razia ,itu ditentukan oleh Wilayatul Hisbah(WH) sendiri yang sesuka hati mereka

memilih lokasi.”

Penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa penerapan Qanun Nomor 11

Tahun 2002 tentang Syi’ar Islam belum terlaksana secara kaffah itu ditandai tidak

adanya kepastian dimana dan kapan saat melakukan aksi tentang penerapan Qanun ini.

37

Secara konsepsional, masalah pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam di

Provinsi Aceh dimasukkan ke dalam Qanun Nomor: 11 Tahun 2002 tentang

Penyelenggaraan Syariat Islam yang diatur dalam Bab VI pasal 14 ayat 1-5. Dalam

Kumpulan Qanun Syariat Islam, pasal-pasal tersebut menyatakan secara eksplisit

bahwa:38

1. Untuk terlaksananya syari’at Islam di bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam,

Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota membentuk Wilāyat al-Ĥisbah yang

berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.

2. Wilāyat al-Ĥisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan

atau wilayah/lingkungan lainnya.

3. Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilāyat al-Ĥisbah

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah

terjadinya pelanggaran terhadap qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilāyat al-

Ĥisbah) diberi wewenang untuk menegur/ menasehati pelanggar.

4. Setelah upaya menegur/menasehati dilakukan sesuai dengan ayat (3) di atas,

ternyata prilaku pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan

kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.

36

Rozi Ramanda, Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar

Islam di Kebupaten Aceh Barat Tahun 2013-2016, Vol. 5, No. 1. (April 2018), h. 5. 37

Ibid. 38

Muhibbuthabry, Kelembangaan Wilayat Al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat Islam

Di Provinsi Aceh, Vol. II, No. 2, (Mei 2014), h. 64-65.

Page 37: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

28

Menjelaskan bahwa perda Aceh tentang jilbab tertuang dalam Qanun Provinisi

Nanggroe Aceh Darussalam yaitu pada Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan

Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar Islam. Didalam Qanun Nomor 11

Tahun 2002 dalam Bab I menjelaskan bahwa syi`ar Islam adalah semua kegiatan yang

mengandung nilai-nilai ibadah untuk menyemarakan dan mengagungkan pelakasanaan

ajaran Islam. Lalu dalam Bab V Tentang Penyelenggaraan Syi`ar Islam yang jilbab

adalah salah satu dalam syi`ar Islam yang berada dalam Nanggroe Aceh Darussalam

maka, dalam pasal 13 Bab V pada Ayat 1 dan 2 adalah, Setiap orang Islam wajib

berbusana Islami dan Pimpinan institusi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha

dan atau intitusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.

Pernyataan dapat dijawab bila kita cermati kandungan makna pasal 29 UUD

1945 ayat 2 dimana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Kata ”Menjamin” dalam pasal 29 UUD 1945 jelas bermakna imperatif. Artinya, Negara

berkewajiban melaksanakan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan

beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan Negara di sini adalah

memberikan jaminan bagaimana penduduk dapat memeluk dan menjalankan agamanya

Dalam konteks syariat Islam di Aceh Negara bukan hanya berperan memfasilitasi

kehidupan keagamaan, tetapi juga terlibat mendesai formulasi-formulasi hukum yang

bersumber pada ajaran agama Islam melalui kegiatan legislasinya. Keikut sertaan

Negara dalam menjalankan syariat Islam di Aceh sebagai kewajiban konstitusional.39

Pengakuan lebih lanjut terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh dalam

konteks hukum Negara terdapat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dalam undang-undang ini syariat Islam sudah menjadi hukum nasional, baik dalam

proses penyusunan materi hukum, kelembagaan dan aparatur penagak hukum, maupun

peningkatan kesadaran akan hukum syariat. Pengaturan tentang Qanun yang bernuasan

syariat, Mahkamah Syariah, Kejaksaan, Kepolisian, Polisi Wilayatul Hisbah dan

berbagai pengaturan lainnya tentang syariat menandakan Undang-undang No 11 tahun

2006 sebagai payung hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh.Undang-undang No. 11

Tahun 2006 menghendaki adanya sejumlah peraturan perundang-undangan organik

lainnya, terutama Qanun Aceh dalam rangka melaksanakan syariat Islam. Qanun

39

Hasan Basri, Kedudukan Syariat Islam Di Aceh Dalam Sistem Hukum Indonesia, Vol. XIII,

No. 55, (Desember 2011), h. 88.

Page 38: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

29

berfungsi sebagai peraturan perundang-undangan operasional dalam rangka

menjalankan amanat Pemerintah Aceh. Dalam rangka menjadikan hukum syaraiat

sebagai materi hukum positif harus melalui proses legislasi yang menghasilkan Qanun

Aceh. Qanun-qanun inilah yang akan menjadikan hukum materi dan hukum formil

syariat Islam di Aceh. 40

Berdasarkan Qanun yang telah disahkan tersebut, maka peneliti memfokuskan

penelitian pada Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

Qanun ini diberlakukan bagi seluruh masyarakat Aceh tanpa terkecuali. Hal ini

bertujuan agar dapat merubah perilaku masyarakat dari yang tidak baik menjadi baik,

perilaku, perbuatan dan pergaulan masyarakat harapannya sesuai dengan ajaran dan

tuntunan Islam, oleh karena itu diperlukan dukungan dan partisipasi dari masyarakat

Aceh agar terwujud penerapan Syariat Islam yang secara Kaffah. Disamping itu pula

yang harus dimiliki dalam penerapan Syariat Islam adalah kesiapan masyarakat dan

aparat penegak hukum yaitu Wilayahtul Hisbah sehingga tidak terjadi penyimpangan

dan pelanggaran oleh masyarakat dalam pelaksanaan Syariat Islam.41

B. Sejarah Qanun Aceh

Untuk melihat penerapan syariat Islam di suatu negeri dalam lintasan sejarah,

ternyata bahwa tidak ada negeri yang telah dimasuki Islam yang tidak menerapkan

syariat Islam. Ukuran ada tidaknya Islam di suatu negeri terdahulu dapat dilihat dari

gambaran sistem hukum yang berlaku di negeri itu. Jika sistem hukum yang

dipergunakan berupa hukum syariat, berarti Islam pernah hidup, tumbuh dan

berkembang di negeri itu dan sebaliknya. Demikian halnya tentang ada tidaknya

penerapan syariat Islam di Indonesia seperti yang hidup dan berlaku pada berbagai

kerajaan Islam di Nusantara masa dahulu. Dalam catatan sejarah, Islam Masuk ke

Indonesia sejak abad pertama hijriah, tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri lainnya

seperti Spanyol di Eropa. Dan disebutkan daerah pertama yang dimasuki Islam adalah

wilayah pesisir pantai Sumatera, lebih tepatnya kota Barus. Daerah ini adalah pintu

gerbang masuknya Islam ke bumi Nusantara. Dan dari sini Islam terus menyebar ke

40

Ibid, h. 89. 41

Rozi Ramanda, Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar

Islam, h. 2

Page 39: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

30

berbagai pulau seperti Jawa, Kalimantan dan seterusnya ke bagian Timur Indonesia.

Bahkan Islamlah yang pertama kali masuk di Irian Jaya (daerah Fakfak) sebelum

masuknya zending Kristen yang dibawa oleh Kolonial Belanda. Di antara data historis

yang memberikan informasi tentang penerapan syariat Islam di Nusantara tergambar

dari penjelasan Ibn Bathutah yang menyatakan bahwa, penerapan syariat Islam sudah

berlangsung jauh sebelum kedatangan penjajah kolonial ke Indonesia.42

Kedatangan kolonial ke Indonesia secara bertahap menghapuskan syariat Islam

dan kemudian menggantikannya dengan sistem hukum Belanda. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa penerapan syariat Islam di Nusantara mempunyai akar sejarah

yang kuat, bahkan dari rentangan waktunya jauh mendahului sejarah hukum Eropa itu

sendiri. Dalam konteks ini, jika dalam perkembangan dan perjalanan bangsa Indonesia

muncul kembali tuntutan untuk menerapkan syariat Islam, bukanlah hal yang baru dan

tanpa ada landasan historisnya. Bagi daerah Istimewa Aceh dan Rakyat Nanggroe Aceh

Darussalam pada umumnya, masalah penerapan syariat Islam bukan merupakan

persoalan yang baru, karena sejak abad VII H agama Islam telah masuk ke Aceh dan

telah tumbuh menjadi kerajaan Islam dan berkembang sampai abad XIV M. Hal itu

sejalan dengan yang dikemukakan oleh Daud Ali, bahwa “Dari penelitian sejarah,

Hukum Islam (syariat Islam) telah ada di Indonesia sejak bermukimnya orang-orang

Islam di Indonesia”. Dengan kata lain, keberadaan syariat Islam di Acehbersamaan

waktunya dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.

Meskipun ada di antara para ahli yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke

Indonesia dari Arab, namun pada umumnya para ahli sejarah mengatakan bahwa

“masuknya Islam ke Indonesia bukan dari pusat lahirnya Agama Islam (Timur Tengah),

tetapi melalui Gujarat India” 43

Berbagai catatan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia

menyebutkan bahwa kerajaan Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Kerajaan ini berdiri sejak Raja Rajendra I dari India tidak berhasil menundukkan daerah

itu. Ketika raja Rajendra kehilangan dukungan dari penduduk setempat yang

menyebabkan kekalahannya, maka Malik al-Shalih menduduki tahta kerajaan. Malik al-

Shalih adalah raja yang pertama kali sebagai penguasa yang beragama Islam menduduki

42

Muhibbuthabry, Kelembangaan Wilayat Al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat Islam

Di Provinsi Aceh, h. 67. 43

Ibid, h. 67-68.

Page 40: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

31

kerajaanyang bernama Samudera Pasai. Di samping kerajaan Samudera Pasai sebagai

kerajaan pertama, sejarah juga mencatat kerajaan Islam Aceh sebagai kerajaan yang

menerapkan syariat Islam dengan kuat, sehingga wilayah kerajaan Islam Aceh, baru

dapat ditaklukkan oleh penjajah secara keseluruhan setelah mengalami peperangan yang

panjang yang amat sulit.44

1. Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh

a. Pada Masa Awal Kemerdekaan (sampai dengan tahun 1959)

Upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh

sejak awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat untuk

melaksanakan syariat Islam di Aceh. Pada tahun 1947, Presiden Soekarno mengunjungi

Aceh untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam memperjuangkan pengakuan

indepedensi Indonesia, pada pertemuan ini dihadiri oleh beberapa komponen di Aceh,

salah satunya adalah Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida). Pada

akhirnya Gasida menyanggupi permintaan Presiden Soekarno dan kemudian

membentuk panitia pengumpulan dana dan T.M Ali Panglima Polem ditunjuk sebagai

ketuanya. Pada akhirnya dana yang dibutuhkan terkumpul dan digunakan untuk

pembelian dua pesawat Dakota yang kemudian diberi nama Seulawah I dan Seulawah

II. Setelah berhasil menghimpun sejumlah dana untuk perjuangan Republik Indonesia,

Daud Beureu’eh (1899-1987) memohon kepada Presiden Soekarno meminta agar

diizinkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, hal ini dilakukan karena Aceh

merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden Soekarno setuju,

akan tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan oleh

Beureu’eh kepadanya.45

Dua tahun setelah kunjungan Soekarno ke Aceh yang bertepatan dengan tanggal

17 Desember 1949 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengumumkan

pembentukan Provinsi Aceh dan Daud Beureu’eh sebagai gubernurnya. Tetapi belum

genap setahun Pemerintahan Aceh berjalan, kebijakan Pemerintah Pusat kembali

berubah pada tahun 1950 Provinsi Aceh dilebur dan disatukan kedalam Provinsi

Sumatera Utara dan dijadikan keresidenan Aceh. Bagi para pejuang Aceh, dengan

44

Ibid, h. 68. 45

Ali Geno Berutu, Penerapan Syariat Islam Dalam Lintas Sejarah, Vol. 13, No. 2,

(November 2016), h. 167-168.

Page 41: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

32

dijadikannya Aceh sebagai keresidenan, para pejuang tersebut merasa kecewa dan

menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan juga syariat Islam

yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh pusat (Jakarta). Masyarakat Aceh

bergejolak dan menutut dikembalikannya provinsi Aceh. 46

Pada taggal 21 September 1953 terjadilah pemberontakan pertama DI/TII di Aceh

pasca kemerdekaan Indonesia yang dipimpin langsung oleh Daud Beureu’eh,

pembrontakan ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah

Pusat di Jakarta. Pemberontakan ini sebenarnya dimulai dari Kongres Alim Ulam se

Indonesia yang dilangsungkan di Istana Maimun al-Rasyid di Medan. Kongres ini

dihadiri kurang lebih 540 ulama dari seluruh Indonesia. Terbentukya kongres ini

merupakan bentuk kegelisahan para ulama melihat kurang terakomodasinya peran

ummat Islam dalam mempertahankan kemmerdekaan pasca lepas dari penjajahan

Belanda. Kekecewaan rakyat Aceh ini ditangkap secara cerdas oleh Imam NII S.M

Karto Suwiryo di Jawa Barat dan segera mengirim Abdul Fatah Wira Nanggapati alias

Mustafa sebagai utusan ke Aceh guna untuk mendekati para pemimpin Aceh pada awal

tahun 1952, melalui Abdul Fatah, Karto Suwiryo mengirimkan beberapa tulisan dan

maklumat NII tentang Darul Islam dan mengajak para pemimpin Aceh untuk

bergabung. Maklumat Karto Suwiryo ini mendapat respon yang positif dari pemimpin

Aceh, pada tanggal 23 September 1955 diadakan kongres di Batee Kureng yang dihadiri

oleh 87 tokoh yang menghasilkan program Batee Kureng. Daud Beureu’eh mengajukan,

syarat pengajuan unsur-unsur syariat Islam bagi masyarakat Aceh untuk mengakhiri

pembrontakan DI/TII34 dibawah kepemimpinannya, maka sejak saat itu dihasilkan

maklumat konsepsi pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam bagi daerah Istimewa Aceh.

Sehingga konflik yang berlangsung dari tahun 1953 dapat diakhir pada tahun 1959

dengan jalan damai, Daud Breu’eh beserta kaum ulama dan pengikutnya pun turun

gunung dan kembali kepangkuan ibu pertiwi secara tulus.47

b. Pada Masa Kemerdekaan (1959-1998)

Bagi rakyat dan elite Aceh, pemberlakuan syariat Islam dengan status Aceh

sebagai daerah istimewa merupakan hal yang wajar mengingat sejarah dan besarnya

jasa masyarakat Aceh terhadap pembentukan Negara Kesatuan Indonesia dan

46

Ibid, 168-169. 47

Ibid, h. 168-170

Page 42: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

33

Kemerdekaan NKRI pada tahun 1945. Pada bulan Mei Tahun 1959 Pemerintah Pusat

mengutus Mr. Hardi untuk membawa misi perdamaian untuk Aceh. Komisi Hardi

selanjutnya melakukan pertemuan dengan Deleglasi Dewan Revolusi Darul Islam

(DDRDI) yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman. Hasil penting dari perundingan ini

adalah bahwa Pemerintah Pusat akan memberikan status istimewa untuk Aceh dan

kemudian mengejewantahkannya dalam Keputusan Perdana Menteri RI No.

1/Missi/1959. Keputusan ini memberikan status istimewa kepada Aceh dalam artian

dapat melaksanakan otonomi daerah. Pemberontakan Darul Islam di Aceh pada

akhirnya dapat diselesaikan dengan kompromi politik dengan pemerintah Pusat. Bila

diamati pemberontakan ini sebenarnya dimulai dari Kongres Alim Ulama se–Indonesia

yang berlangsung di Medan pada bulan April 1953 dan Teungku Muhammad Daud

Beureu’eh sebagai ketua umumnya, dengan satu keputusan menyatakan bahwa,

“Memperjuangkan dalam pemilihan umum yang akan datang supaya Negara Republik

Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia”. Dan pemberontakan itupun pada akhirnya

di akhiri dalam sebuah kongres Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Ini

berarti akhir yang sesungguhnya dari menegakkan negara Islam di Aceh, walaupun

tertunda, tapi telah mendapat akomodasi politik yang besar, sebuah pengakuan terhadap

jati diri bangsa Aceh dan merupakan peneguhan sikap dan keinginan untuk menerapkan

syariat Islam.48

c. Pada Masa Reformasi (1999 Sampai Dengan Sekarang)

Konflik vertikal antara Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) telah berlangsung cukup lama, berbagai cara sebenarnya telah ditempuh oleh

Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengeluarkan Aceh dari konflik yang

berkepanjangan, namun sampai pada akhir Pemerintahan Orde Baru, kondisi Aceh

belum menunjukkan adanya tanda-tanda kedamaian, Aceh masih tetap dilanda konflik

yang tak berkesudahan. Setelah rezim Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan

jatuh kepada B.J Habibie (Mei 1998 – Oktober 1999) jalan damai di Aceh memasuki

babak baru. Hal ini merupakan sebuah penalaran dari para elite politik Pemerintah Pusat

di jakarta dan elite politik daerah di Aceh guna untuk mengakhiri konflik yang

berkepanjangan, pelanggaran HAM dan eksploitasi ekonomi yang seolah tiada henti.

48

Ibid, 171-173

Page 43: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

34

Pada tanggal 7 Agustus 1998 pencabutan satus Darurat Militer terhadap Aceh resmi

dilakukan, hal ini ditandai dengan penarikan aparat militer dan kepolisian dan

permohonan maaf dari kepala angkatan bersejata Republik Indonesia Jendral Wiranto

atas pelanggaran HAM di Aceh selama sembilan tahun pelaksanaan Daerah Operasi

Militer – DOM (1989-1998).49

Pasca reformasi 1998 kemudian dilanjutkan dengan amandemen Undang-undang

Dasar (UUD) 1945, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

mengalami perubahan pola yang signifikan, dimana sebelumnya menganut pola

sentralistik, tetapi setelah reformasi berubah menjadi pola desentralistik. 50

Inilah yang membuat harapan Aceh untuk menerpakan syariat Islam kembali

terbuka, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 44 Tahun 1999

Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang dimana

UU ini mengakomodasi kepentingan Aceh dalam bidang Agama, adat istiadat dan

penempatan peran ulama pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.51

Sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kaffah dan bentuk respon

terhadap lahirnya UU diatas, Aceh menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang

Pelaksanaan syariat Islam. Qanun ini memiliki basis konstitusional sekalipun tidak

jelas, boleh dikatakan bahwa perda ini mendahului undang-undang yang memberikan

hak Otonomi Khusus bagi Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan

syariat Islam di bumi Serambi Mekkah yang baru di undangkan dua tahun kemudian

(UU No. 18 Tahun 2001) setelah di undangkannya UU No. 44 Tahun 1999. Pada masa

Pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya damai terus dilakukan, pendekatan dengan

jalur dialog ditempuh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Genewa Swis. Pada 11

April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Intruksi Presiden No. 4 Tahun

2001 tentang perlakuan khusus terhadap situasi di Aceh. Agama tidak disebutkan

sebagai suatu masalah dalam Impres ini, hal ini dimungkinkan karena GAM tidak

49

Ibid, h. 176-177. 50

Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi, No.1 Vol.

17, (Januari 2007), h. 120 51

Misran, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum, Vol.1 No.2,

(Januari – Juni 2012), h. 155.

Page 44: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

35

menjadikan Islam sebagai basis idiologi dalam melakukan aksinya dan negara Islam

bukanlah bagian dari platform formalnya.52

Pada akhirnya perjanjian penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities

Agreement) mengalami kegagalan yaitu dengan tidak diterimanya kesepakatan yang

ditawarkan oleh pemerintah, khususnya mengenai integritas NKRI. Selanjutnya pada

saat pemerintahan Megawati Soekarno Putri, dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres)

No. 28 tahun 2003 tanggal 9 Mei 2003 yang memberikan status baru untuk Aceh yakni

Darurat Militer. Pemerintah melakukan Operasi Terpadu yang bersifat menegakkan

kembali kedaulatan NKRI dan kemudian diperpanjang melalui Kepres No. 97 tahun

2003 untuk periode 18 November 2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya pada tahun

2004 perubahan status Aceh dari Darurat Militer berubah menjadi Darurat Sipil melaui

Kepres No. 43 tahun 2004. Perubahan status ini didasarkan pada pertimbangan bahwa

perkembangan situasi keamanan di Aceh semakin kondusif. Dalam perjalananya Qanun

No. 5 Tahun 2000 ini tidak berjalan dengan efektif, sehingga terjadilah revisi terhadap

UU No. 44 Tahun 1999 menjadi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan

sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Didalam UU Otomi Khusus bagi Aceh yang ditanda tangani oleh

Presiden Megawati Soekarno Putri ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar

pelaksanaan syariat Islam di Aceh diantaranya adalah Mahkamah Syar’iyah dan Qanun

Pemerintahan Aceh.53

Peluang ini berusaha untuk diaktualisasikan masyarakat Aceh melalui Pemerintah

Daerah dan Perwakilan Rakyat di DPRD. Pemerintah Daerah melalui Gubernur Aceh

telah mendeklarasikan pemebrlakuan syariat Islam di Aceh secara kaffah pada tanggal 1

Muharram 1423 H dan pembentukan Dinas Syariat Islam (DSI) ditingkat provinsi yang

kemudian diikuti oleh kabupaten – kota di provinsi Aceh berikutnya. DPRD Aceh

kemudian mengeluarkan qanun sebagai landasan hukum pelaksanaanya. Mahkamah

Agung juga ikut mengambil peran satu tahun berselang, yaitu pada tanggal 1 Muharram

1424 H, Mahkamah Agung membentuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai

pengganti Pengadilan Agama.54

52

Ali Geno Berutu, Penerapan Syariat Islam Dalam Lintas Sejarah, h. 178-179. 53

Ibid, h. 176-177. 54

Ibid, h. 180.

Page 45: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

36

Formalisasi dan legalisasi syariat Islam konflik di Aceh memiliki akar politik yang

sangat dalam dan merentang sepanjang sejarah Aceh. Berbagai kebijakan dikeluarkan

oleh pemerintah pusat dalam merespon dan menyelesaikan konflik Aceh. Kebijakan

yang dianggap solusi bagi Aceh adalah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UU Otsus

ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang

mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh; 55

1. Keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk

pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya.

2. Keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan.

3. Keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat.

4. Keistimewaan menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan.

Berdasarkan kedua undang-undang pokok soal Aceh itulah, otoritas legislasi Aceh

menyusun berbagai qanun sebagai aturan derivatifnya. UU No. 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh menunjukkan bahawa kewenangan pemerintah Aceh menjadi

bertambah dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam merealisasikan

perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat

terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi Pemerintah

Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk jinayat).56

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara formal dilakukan setelah keluarnya

UU No. 44/1999 dan UU No. 18/2001, hal mendasar dari dari undang-undang ini adalah

Aceh merupakan hasil dari konflik yang berkepanjangan anatara Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, pemberian hak untuk

formalisasi syariat Islam di Aceh diberikan adanya pemberian kesempatan yang luas

untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, meggali dan memberdayakan

sumber daya alam dan sumber daya manusia, meningkatkan peran serta masyarakat,

menggali dan mengimplementasikan tata kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan

nilai luhur kehidupan bermasyarakat di Aceh. Pengertian syariat Islam di Aceh menurut

UU No. 44/1999 adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspekkehidupan, Syariat

Islam dipraktekkan secara luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, politik,

55

Ibid, h. 180-181 56

Ibid, h. 181.

Page 46: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

37

ekonomi dan aspek-aspek lainnya. Pemerintah Provinsi Aceh memiliki beberapa

instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat Islam secara formal, instrumen

hukum tersebut terdiri dari qanun yang membahas masalah-masalah spesifik seputar

pemberlakuan syariat Islam.57

Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut kanun yang artiya

undang-undang atau peraturan, sedangkan pengertian qanun dalam kamus bahasa Arab

adalah undang-undang, kebiasaan atau adat. Teungku Di Mulek As Said Abdullah

mengatakan:58

“Hukum Qanun empat perkara, yang pertama hukum, ke dua adat, ketiga qanun,

keempat resam. Tempat terbitnya yaitu pada Qur’an dan Hadist dan daripada Ijmak

ulama Ahlul Sunnah Waljamaah dan daripada Qiyas”

C. Per UU Tentang Jilbab

Di Indonesia sebelum era reformasi, perempuan yang mengenakan jilbab masih

jarang ditemui. Karena pada masa itu penggunaan jilbab masih dianggap tabu oleh

masyarakat. Kemudian pada awal tahun 1990-an, disertai dengan pemahaman agama

yang semakin meningkat, kesadaran wanita muslim untuk mengenakan Jilbab sebagai

penutup aurat juga semakin meningkat. Pada awal tahun 2000 trend Jilbab mulai

menjamur di Indonesia. Fenomena pemakaian jilbab kini tidak hanya di kalangan

perempuan-perempuan muslim yang taat beragama saja, namun semakin merambah ke

seluruh lapisan masyarakat, baik yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan maupun

tidak, baik kalangan atas maupun kalangan menengah ke bawah. Jika dulu jilbab identik

dengan kampungan, kini tidak lagi karena banyak sekali model-model jilbab dengan

desain baru dan menawan. Jilbab menjadi trend baru yang begitu digandrungi oleh

masyarakat semua kalangan. 59

Pada masa sekarang bermunculan banyak fonemena tentang jilbab (kerudung)

khususnya pada kalangan pelajar. Banyak opini yang terlontar mengenai perlu atau

penting dan tidaknya sebuah kerudung bagi kaum hawa. Kini Jilbab tidak hanya

dikenakan pada saat menghadiri acara-acara keagamaan saja namun merambah ke

57

Ibid, h. 181-182. 58

Ibid, h. 182. 59

Elisa Lisdiyastuti, Jilbab Sebagai Identitas Diri Di Lingkungan Sekolah (Studi Fenomenologi

Tentang Alasan dan Dampak Pemakaian Jilbab Oleh Siswi Kelas XI SMA Negeri 3 Sragen), Vol. 5, No.

2, (November 2015), h. 1.

Page 47: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

38

berbagai ranah aktivitas kehidupan masyarakat. Saat ini jilbab sudah menjadi

pemandangan yang umum kita lihat di ruang-ruang publik. Hampir tidak ada satupun

tempat, kalangan atau lembaga yang tidak tersentuh jilbab.60

Di Indonesia, Jilbab seringkali disama artikan dengan hijab. Pengertian umum

yang berlaku saat ini mengenai hijab adalah pakaian muslimah kerudung (simple

headscarf) atau pakaian longgar yang tak tembus cahaya. Sedangkan ketika berbicara

mengenai jilbab, seseorang biasanya mengacu kepada kerudung yang diikatkan pada

kepala, dan biasanya dikenakan perempuan muslimah. Menurut Mohamad Guntur

Romli mengatakan bahwa, Ada empat alasan perempuan Indonesia menggenakan

Jilbab yaitu :61

1. Jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan

jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.

Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup

rambut dan kepala, tapi juga menurut sebagian dari mereka hingga sampai ke

dada. Jilbab yang lebar, bila perlu menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang

mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.

2. Alasan psikologis Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak

memandang lagi Jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan

kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita

bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab

karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk Jilbab yang dikenakan

berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya.

Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan

pergaulan mereka sangat luas, berbeda dengan model pertama.

3. Jilbab alasan modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang Jilbab

model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab

dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha

dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-

acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model Jilbab dan busana

muslimah yang telah melampaui persoalan agama.

60

Ibid, h. 1-2. 61

Masnun Tahir dan Zusiana E-Triantini, Menakar Konteksrual Konsep Jilbab Dalam Islam,

Vol. 8, No. 1, (2014), h. 9

Page 48: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

39

4. Jilbab alasan politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang

menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Dalam konteks ini,

Jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi,

namun akan dipaksakan ke ruang publik. Inilah fenomena yang sebenarnya terjadi

di Aceh dan di beberapa daerah di Indonesia yang berdalih ingin menerapkan

syariat Islam.

Hal ini Indonesia dalam Undang-Undang 1945 tidak terdapat keterangan hukum

masalah Jilbab atau berpakaian yang secara Islam namun hanya ada dalam bentuk syi`ar

Islam dalam Qanun Aceh. Namun hanya ada hak atas kebebasan beragama dan

beribadah dalam Pasal 29 UUD 1945 dan Pasal 28 UUD 1945 yang didalam nya

terdapat hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah kebebasan individu dalam

menjalankan ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam agamanya dan menjalankannya

sesuai dengan aturan yang ditentukan agamanya. Dalam hal ini UUD 1945 hanya

memberikan kebebasan kepada muslimah Indonesia untuk berjilbab atau tidak. Namun

beda dengan peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah khususnya Aceh

yang menyatakan bahwa wajib berpakaian yang Islami serta mentaati perturan daerah

yang ditetapkan serta menjalankan syariat Islam dalam setiap perbuatannya. Dalam

Islam Jilbab termasuk bagian dari ibadah karena mentaati perintah Allah swt yang

tertera dalam Al-quran dan Alhadits serta termasuk syariat Islam yang harus dijalankan

oleh semua muslimah yang beragama Islam di seluruh dunia dengan tujuan terhidar dari

perbuatan-perbuatan yang tercela dan lebih menjaga dirinya dari pandangan syahwat.

Negara RI merupakan negara yang memberikan jaminan terhadap hak atas

kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945,

yang mengatur sebagai berikut:62

a. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama

masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu

Walaupun dalam Pasal 29 UUD 1945 tidak diatur secara tegas larangan

proselytism yang tidak etis,akan tetapi karena apa yang ada dalam Batang Tubuh

harus dijiwai oleh Pembukaan, maka nilai-nilai yang ada dalam Batang Tubuh

merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Pembukaan sebagai Norma

62

Fatmawati, Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah Dalam Negara

Hukum Indonesia, Vol. 8, No. 4, (Agustus 2011), h. 499

Page 49: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

40

Fundamental Negara Republik Indonesia. Yusril Ihza menjelaskan bahwa,

Berkaitan dengan Pasal 29 UUD 1945 dilihat dari sudut teologi keagamaan,

kebebasan untuk memeluk agama itu bersifat transeden (bersumber dari Tuhan)

yang memberikan kebebasan pada manusia untuk memeluk agama-agama secara

bebas tanpa paksaan dari siapa pun, selain itu Pasal 29 mengatur dengan tegas

kebebasan memeluk agama, bukan kebebasan untuk tidak menganut agama.63

Ismail Suny mengemukakan hubungan antara 2 (dua) ayat dalam Pasal 29

yaitu bahwa “ Agama dan kepercayaan yang boleh diberi hak hidup di negara Republik

Indonesia adalah agama dan kepercayaan yang tidak bertentangan atau membahayakan

dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedang paham atheisme secara tegas

membahayakan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena faham tidak ber-Tuhan

itu bertujuan menghapuskan kepercayaan terhadap Tuhan.”64

Perubahan UUD 1945 tidak mengubah Pasal 29 UUD 1945, sehingga jaminan

terhadap hak atas kebebasan beragama dan beribadah tetap dijamin. Jaminan terhadap

hak atas kebebasan beragama dan beribadah, setelah perubahan UUD 1945, diatur pula

dalam Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu: “Setiap orang bebas

memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya .” Konsep hak

atas kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia adalah didasarkan pada Sila

Pertama dari Pancasila “ke-Tuhanan YME”, yang kemudian menjiwai dan Pasal 28E

ayat (1) dan Pasal 9 UUD 1945. Tidak ada pemisahan antara negara dan agama karena

Pancasila merupakan dasar falsafah negara, dengan “ke-Tuhanan YME” sebagai sila

pertama, yang mengandung arti bahwa ke-Tuhanan YME menjadi jiwa dan dasar dalam

penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. 65

63

Ibid, h. 500 64

Ibid, h. 500 65

Ibid, h. 500-501

Page 50: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

41

BAB IV

ANALISIS QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002 TENTANG HUKUM

JILBAB DAN SINKRONISASI ANTARA PER UU INDONESIA

A. Analisis Dari Sisi Per UU Indonesia

Propinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan bagian dari Propinsi Sumatera Timur, meliputi wilayah

Sumatera Utara dan Aceh. Aceh adalah salah satu dari sekian daerah yang

diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan syariat Islam

dengan pembentukan Peraturan Daerah Aceh yang disebut Qanun. Dasar hukum

dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh, didasarkan

atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi

Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.

Hukum adalah sebuah sub sistem yang berdiri sendiri dan merupakan aturan

yang ditentukan dan disepakati bersama antara para anggotanya lalu dijalankan

bersama demi tercapainya tujuan dan kesejahteraan bersama. Indonesia dalam

hukum nya terdapat 4 hukum yang harus diperhatikan dan ditaati bersama demi

kesejahteraan bersama. Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Jenis dan

hierarki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 66

1) UUD 1945

2) UU/Perppu

3) Peraturan Pemerintah

4) Peraturan Presiden

5) Peratuaran Daerah

66

Misran, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum, h.. 4.

Page 51: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

42

Dengan demikian, keberadaan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 telah

berhasil melakukan pemilahan dan pembedaan secara tegas antara peraturan dan

keputusan/ketetapan. Sesuatu yang dapat disebut sebagai peraturan hanyalah yang

bersifat regeling (mengatur), sedangkan yang bersifat beschiking (ketetapan) tidak

dapat disebut sebagai peraturan. Berdasarkan ketentuan ini, produk hukum yang

dikeluarkan MPR yang bersifat regeling tetap diakui sebagai bentuk peraturan

perundang-undangan, sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Adapun proses pembentukan pun harus memenuhi

dua hal pokok, yaitu kegiatan pembentukan isi peraturan dan kegiatan

menyangkut pemenuhan bentuk peraturan. Kegiatan tersebut idealnya

dilaksanakan serentak, meskipun setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi

persyaratan-persyaratan. Sementara persyaratan yang dimaksud, adanya landasan

yuridis, filosofis, dan sosiologis. Landasan yuridis adalah landasan hukum yang

menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan. Landasan

yuridis ini memuat aspek yang berkenaan dengan kehendak hukum, artinya suatu

peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum atau legalitas

yang terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat

dibedakan menjadi dua hal berikut:67

a. Landasan yuridis yang beraspek formal berupa ketentuan yang memberikan

wewenang kepada semua lembaga untuk membentuknya.

b. Landasan yuridis yang beraspek material berupa ketentuan tentang masalah

atau persoalan yang harus diatur.

Dalam perkembangannya formalisasi syariah Islam di era reformasi ini dapat

digambarkan melalui tiga kondisi, Diantarnya: 68

1. Dalam bidang Politik, adanya upaya partai-partai politik islam, misalnya Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Sidang

Tahunan MPR pada bulan Agustus tahun 2002 untuk mengamandemen pasal

29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan

memasukkan tujuh kata, yaitu (“dengan kewajibanmenjalankan syariah Islam

67

Ibid, h. 5. 68

Ahmad Mudhar, dkk, Analisis Peraturan Daerah Berperspektif Syariah Islam Di

Indonesia Ditinjau Dari Konsep Hak Asasi Manusia, Vol. 1, No. 1, (2013), h. 2-3.

Page 52: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

43

bagi pemeluk-pemeluknya”) dalam Piagam Jakarta agar formalisasi syariah

mempunyai landasan konstitusional yang jelas di Indonesia. Namun pada

akhirnya menjelang detik-detik akhir proses amandemen Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR telah bersepakat untuk

tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta di detik-detik akhir proses

perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Di bidang otonomi daerah, adanya formalisasi syariah Islam di beberapa

produk hukum daerah di Indonesia. Misalnya di Provinsi Nangroe Aceh

Darussalam; di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan; Bima, Nusa

Tenggara Barat; Indramayu, Cianjur, dan Tasikmalaya, Jawa Barat; Kota

Tangerang, Banten, dan beberpa daerah lain. Fenomena ini bisa dilihat dari

munculnya peraturan daerah yang berperspektif syariah islam, artinya

memuat syariat islam sebagai materi muatan peraturan daerah, baik di tingkat

propinsi maupun kabupaten/kota. Formalisasi syariah islam dalam materi

muatan peraturan daerah sangat beragam dari kadar syariahnya yang paling

rendah yang hanya mengatur masalah ibadah seperti pelacuran, minuman

keras, mengenai persoalan Jum‟at khusyuk, pemberdayaan ZIS (Zakat, Infak,

dan Sedekah), dan keharusan bisa baca tulis al-Qur‟an, serta keharusan

berbusana Muslim.

3. Di kalangan organisasi kemasyarakatan, adanya seruan dan kampanye untuk

mengajak masyarakat untuk memformalisasikan syariah Islam dalam segala

aspek kehidupan dan juga sampai pada tingkat system ketatanegaraan, seperti

yang dilakukan beberapa kelompok dan gerakan Islam, misalnya Hizbut

Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan

istilah Qanun. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

Page 53: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

44

tinggi. Qanun dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-

undangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis

dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Qanun. Persiapan

pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada

peraturan perundang-undangan. Qanun berlaku setelah diundangkan dalam

lembaran daerah. Perda disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7

(tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan

oleh Pemerintah pusat. Untuk melaksanakan Qanun dan atas kuasa peraturan

perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau

keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala

daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Qanun, dan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Qanun diundangkan dalam Lembaran

Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan dalam Berita Daerah.

Pengundangan Qanun dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah. 69

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan

otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum

nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan

Qanun dan peraturan daerah lainnya, dan Qanun diharapkan dapat mendukung

secara sinergis program-program Pemerintah di daerah. Perda sebagaimana PUU

lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid,

legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum PUU harus memenuhi

syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam PUU

yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya,

kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai

peraturan perundang-undangan antara satu sama lain.70

69

Aristo Evandy A. Barlian, Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan

Hierarki Perundang-Undangan Dalam Presperktif Politik Hukum, Vol. 10, No. 4, (Oktober-

Desember 2016), h. 590-591 70

Ibid, h. 591.

Page 54: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

45

Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam UU

No.12/2011 dan UU No.22/2014. Pasal 14 UU No.10/2004 menyatakan:“Materi

muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten adalah

seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih

lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 6 UU

No.12/2011 jo Pasal 237 UU No.23/2014, menentukan materi Perda harus

memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan dan yang terpenting ketentuan Pasal 250 ayat (1) dan

(2) UU No.23/2014 bahwa materi Qanun dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan

Pasal 250 ayat (2) UU No.23/2014 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan

kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan

antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya

ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.71

Sesuai ketentuan Pasal ini Qanun yang telah ditetapkan bersama Pemda dan

DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri

paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan

keputusan atas Qanun tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima. Dalam

hal Perda Provinsi dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Menteri sedangkan Perda

Kabupateen/kota dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil dari Pemerintah

Pusat. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala

daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut

Qanun dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda

dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan,

Gubernur dapat mengajukan keberatan pada Presiden dan Bupati/walikota dapat

mengajukan keberatan pada Menteri dalam waktu 14 hari sejak pembatalan

diterima. 72

71

Ibid, h. 594-595 72

Ibid, h. 595.

Page 55: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

46

Secara konseptual, otonomi merupakan hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Titik berat otonomi di bawah rezim hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah pada peran dan tanggung jawab

(kewajiban) disamping juga secara bersamaan adanya hak dan wewenang yang

dimiliki oleh daerah. Hakikat pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam

rangka menciptakan kemandirian bukan sebagai sebuah satuan pemerintah yang

merdeka. Sementara tujuan otonomi itu sendiri adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat yang ditempuh melalui peningkatan hak dan

tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur urusan rumah

tangganya sendiri. Kemandirian penyelenggaraan suatu pemerintahan

mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangga

pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur dalam hal ini termasuklah

kewenangan daerah untuk membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah

(Qanun) dan juga peraturan Kepala Daerah. Sehinggga karenanya, keberadaan

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah merupakan salah satu ciri daerah

yang mempunyai hak dan kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri. Urusan rumah tangga yang dimiliki oleh daerah, hakikatnya bersumber

dari 2 hal yaitu, dari otonomi dan dari tugas pembantuan (medebewind). Atas

dasar itu, maka peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah dapat berupa

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang otonomi; serta peraturan

daerah dan peraturan kepala daerah di bidang tugas pembantuan.73

Meskipun daerah otonom memiliki wewenang untuk membuat peraturan

daerah dan peraturan kepala daerah, namun demikian Pemerintah memiliki peran

untuk melaksanakan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah-

daerah yang meliputi pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah

dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah

sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 218 ayat (1) huruf a dan huruf b

73

Kurniawan, Pembentukan Produk Hukum Daerah Dalam Rangka Penyelenggaraan

Pemerintahan, Vol. XV, No. 61, (Desember 2013), h. 520-521.

Page 56: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

47

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Keberadaan

Pasal 218 ayat 1 tersebut dialakukan dalam rangka menghindari penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh daerah otonom di era otonomi. Pengawasan yang

dilakukan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan pemerintahan di daerah

dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai peraturan perundang-

undangan sebagaimana dimanatkan Pasal 218 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara dalam rangka

melaksanakan peran pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala

daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, maka Pemerintah melalui Kementerian Dalam

Negeri bersama dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian

terkait, berhak melakukan klarifikasi tehadap berbagai peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah.74

Pasca reformasi Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur

dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang di dalamnya terkandung 3 (tiga) hal

utama yaitu :75

1. Pemberian tugas dan kewenangan untuk melaksanakan sesuatu yang sudah

diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

2. Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif

dan menetapkan sendiri cara-cara pelaksanaan tugas tersebut.

3. Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan

tersebut, mengikut sertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Menurut Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2006 ditetapkan:76

1. Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

74

Ibid, h. 521. 75

Husni Jalil, dkk, Implementasi Otonomi Khusus Di Provinsi Aceh Berdasarkan

Undang-Undang 11 Tahun 2006, Vol. 1, No. 51, (Agustus 2010), h. 208 76

Ibid, h. 210.

Page 57: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

48

2. Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,

pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan

tertentu dalam bidang agama.

3. Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:

a. Melaksanakan sendiri

b. Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.

c. Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah

dan/atau instansi Pemerintah.

d. Menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan

pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas

pembantuan.

Pengaturan mengenai otonomi khusus bagi daerah tertentu dalam negara

kesatuan Republik Indonesia, mencakup segala segi, sehingga setiap daerah dapat

menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan faktor-faktor tertentu tanpa

suatu kriteria umum yang ditetapkan dalam undang-undang. Apalagi jika

kekhususan itu mengandung muatan tertentu yang tidak dimiliki daerah lain. Hal

ini disebabkan aspirasi masyarakat di daerah itu beragam, karena potensi, situasi

dan keadaan di setiap daerah tidak sama atau satu dengan yang lainnya. Oleh

karena itu, pandangan yang menggeneralisasikan dan menyamaratakan

kemampuan potensial, situasi dan keadaan terhadap setiap daerah merupakan hal

yang salah kaprah.

Indonesia telah menjamin kebebasan beragama yang termaktub dalam

konstitusi serta berbagai perundang-undangan. Seperti dalam Pasal 28E UUD

1945 ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Tidak hanya kebebasan beragama,

konstitusi Indonesia pun melindungi setiap agama dari perlakuan diskriminatif

agama tertentu atas dasar apapun dan berhak untuk mendapatkan perlindungan

atas sikap diskriminatif tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 28I UUD

1945 ayat 2. Peraturan daerah berperspektif syariah islam hanya berlaku kepada

Page 58: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

49

orang islam. Perbedaan hukum publik dalam suatu wilayah tertentu dengan

wilayah lainnya membuat seorang warga negara tidak diperlakukan sama di mata

hukum, padahal ia masih dalam satu wilayah negara. Perumusan Qanun Aceh

sebagaimana telah disebutkan di atas didasarkan pada Al-Qur‟an dan hadis Nabi

S.A.W. dengan berpegang pada penafsiran/pemahaman atas Al-Qur‟an dan hadis

Nabi S.A.W. dengan tetap memakai ketentuan-ketentuan lama atau pendapat

mazhab-mazhab yang masih relevan serta berusaha untuk mencari dan

merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dengan memperhatikan kebutuhan

lokal masyarakat Aceh dan dengan memperhatikan isu-isu hak asasi manusia.

Indonesia adalah negara yang memberikan kebebaasan dalam beragama

dan melakukan kegiatan bentuk ibadah apapun. Aceh dalam membentuk Perda

mengenai syiar Islam yang didalam terdapat masalah penyelenggaraan syi`ar

Islam yang dalam Qanunnya yaitu masalah kewajiban berbusana muslim agar

terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan. Memang tidak terdapat penjelasan

tentang Jilbab namun jilbab adalah termasuk busana muslim yang digunakan oleh

wanita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Qanun syariah atau Qanun berbasis

syariah sering dimaknai sebagai Qanun yang diambil dari ketentuan-ketentuan

legal. Syariat Islam baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajarannya.

Qanun berbasis syariah merupakan bagian dari aspirasi masyarakat daerah,

sehingga setiap daerah berhak membuat peraturan perundang-undangan yang khas

daerahnya. Selain itu peraturan hukum yang ada dinilai belum bisa menjamin

penegakan keadilan di tengah masyarakat, sehingga tidak ada salahnya mencoba

pemberlakuan hukum Islam sebagai alternatif peraturan daerah yang selama ini

diklaim memiliki banyak kekurangan.77

Menyusun Qanun Aceh mengalami berbagai konflik dari masa awal

kemerdekaan, sampai pada masa reformasi. Dengan sepakatan para ulama di

Aceh, pemerintah Daerah Aceh dan penduduk ingin menjadikan Aceh sebagai

daerah dengan menerpakan syariat Islam atau serambi Mekkah. Dari

77

Hayatun, Na`imah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam

Prespektif Pancasila, Vol. XV, No. 2, (Desember 2016), h. 154.

Page 59: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

50

pemberontakan DI/TII dan dari semua konflik dan perbincangan yang baik maka

dalam kepemrintahan Abdurrahman Wahid sampai Megawati terbentuklah UUD

perlakuan hukum khusus pada daerah Aceh. Indonesia dalam UUD 1945 tidak

mewajibkan untuk berbusana muslim atau berjilbab namun dalam pasal 28 dan 29

terdapat kebebasan Hak untuk setiap manusia untuk menganut dan beragama

dalam kepercayaan masing. Ini menjelaskan bahwa Islam diberikan kebebasan

untuk para penganutnya untuk menggunakan jilbab atau tidak.

Qanun berbasis syariah yang dihasilkan oleh pembuat Qanun. Paling tidak

ada 3 karakteristik Perda berbasis syariah yang dapat dikelompokan yaitu, bersifat

privasi atau publik, bersifat pilihan atau kewajiban, diskriminasi hukum atau

ketertiban umum. Sebelum mengelaborasikan beberapa karakteristik tersebut,

adalah penting untuk menyajikan lima level penerapan Syariat Islam yang

diadaptasi dari Price dan dikemukakan oleh Arskal Salim dan Azyumardi Azra.

Kaum Muslimin meyakini bahwa syariat adalah seperangkat norma dan nilai yang

total dan komprehensif yang mengatur kehidupan manusia hingga yang paling

detail. Dengan demikian, totalitas syariat dapat dibagi menjadi lima level berikut

ini :78

1. Masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan

kewarisan

2. Urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat

3. Praktik-praktik (ritual) keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab

bagi wanita Muslimah; ataupun pelarangan resmi hal-hal yang

bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol, perjudian, dan pelacuran

4. Penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis

sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar

5. Penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan.

Aceh adalah salah satu daerah yang diberikan kebebasan untuk menjalankan

syariat Islam namun tidak terlepas dari proses yang panjang dari pemberian UUD

khusus untuk daerah aceh untuk menerapakan syariat Islam. Jilbab dalam

peraturan Aceh yang disebut Qanun disebut sebagai syiar Islam. Qanun Aceh

78

Ibid, h. 163

Page 60: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

51

tentang jilbab tertuang dalam Qanun Provinisi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu

pada Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,

Ibadah dan Syi`ar Islam. Didalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dalam Bab I

menjelaskan bahwa syi`ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-

nilai ibadah untuk menyemarakan dan mengagungkan pelakasanaan ajaran Islam.

Bab V Tentang Penyelenggaraan Syi`ar Islam yang Jilbab adalah salah satu

dalam syi`ar Islam yang berada dalam Nanggroe Aceh Darussalam maka, dalam

pasal 13 Bab V pada Ayat 1 dan 2 adalah, Setiap orang Islam wajib berbusana

Islami dan Pimpinan institusi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan

atau intitusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.

Indonesia dalam UUD 1945 tidak termaktub dan tidak tertulis tentang

kewajiban berbusana muslim atau Jilbab yang tertulis hanya keterangan

kebebasan dalam beragama dan manganut ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai

kemanusiaan. Dalam UUD pada pasal 28E sampai pasal 29 yang mengandung

penjelasan bahwa kebebasan dalam beragama namun juga mengandung bahwa

kebebasan agama mengatur busana yang baik buat para pengikutnya. Jilbab hanya

busana kewajiban pada umat Islam namun tidak dengan agama lain. Jadi dalam

pengaturan Qanun Aceh tentang Jilbab merupakan pengaturan untuk yang

menganut agama Islam tidak dengan agama lain. Memang bersebrangan antara

UUD 1945 dengan Qanun Aceh maka Qanun Aceh hanya mengatur yang

beragama Islam bukan semua agama yang ada di Aceh namun untuk UUD 1945

mengatur seluruh kebebasan beragama untuk masyarakat Indonesia. Jilbab yang

diatur hanya untuk kepentingan umat Islam yang ada di Aceh bukan seluruh

cengkupan masyarakat di Indonesia. Namun ini menimbulkan dekriminatif untuk

masyarakat Aceh yang bukan beragama Islam di Aceh.

Maka keputusan pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Aceh membuat

Perda Syariah adalah keputusan yang berdasarkan pemberhentian konflik dan

sudah tepat dikarenakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Namun agama

lain selain Islam bisa menimbulkan konflik di Aceh karena diskriminatif yang

dilakukan pemerintah Aceh. Untuk mencegah ini maka pemerintah Aceh

memberikan kewenangan kepada penduduk non Islam untuk paling tidak menutup

Page 61: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

52

auratnya walaupun tidak berjilbab atau berbusana muslim. Namun sekali lagi hal

ini bisa menimbulkan konflik antar agama dikarenakan Qanun Aceh yang semua

isinya untuk penganut agama Islam sedangkan untuk agama non muslim hanya

berpegang pada Qanun Aceh yang sudah ditetapkan tanpa ikut dalam adil dalam

pembentukan hukum tersebut.

Pada dasarnya Qanun Aceh yang sudah dibuat memang isinya untuk

kesejateraan masyarakat di Aceh dan keamanan masyarakat Aceh namun peran

non muslim terasa kurang dalam pembuatan Qanun Aceh ini sehingga UUD 1945

yang mengatur tentang kebebasan beragama tidak berfungsi dan tidak bermanfaat

di daerah Aceh. Maka pemerintah Aceh dan pemerintah pusat harus terus

memberikan penjelasan dan pengertian kepada penduduknya yang non muslim

bahwa Qanun Aceh yang dibuat bukan semata-mata untuk agama Islam namun

untuk semua agama yang ada di daerah Aceh. Lalu dalam membuat Qanun Aceh

diharapkan diikuti semua lapisan agama agar terjadinya keselarasaan dan

kesimbangan dalam isi yang tertulis.. Karena Islam diturunkan bukan untuk

kesejahteraan umat sendiri namun untuk kesejahteraan seluruh alam.

Sebagai peneliti saya setuju akan pembentukan Qanun Aceh Tentang busana

muslim termasuk jilbab, namun pemerintah Aceh harus membuat penyuluhan dan

sosalisasi kepada seluruh lapisan masyarakat atau seluruh agama bahwa Qanun

Aceh tentang berpakaian muslim termasuk jilbab dikhususkan agar terhindar dari

berbagai jenis tindak kejahatan dan perbuatan yang tidak diinginkan dari nafsu

manusia serta bagi non muslim diharuskan memakai pakaian yang tertutup agar

terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan. Antara Perda Aceh dan UUD 1945

tidak mengalamai benturan kerana dalam UUD 1945 tidak tersirat dengan jelas

tentang berpakaian atau berjilbab hanya untuk kebebasan menganut kepercayaan

masing-masing dalam kebaikan. Yang dikhawatirkan adanya diskriminatif yang

bisa menimbulkan konflik agama dan konflik sosial. Qanun Aceh dan UUD 1945

adalah sama-sama hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan maka harus

dilaksanakan dengan baik agar ketentraman dan keamanan bagi masayarakat dan

bangsa Indonesia.

Page 62: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

53

Qanun berbasis syariah jika dihubungkan dengan negara dan agama dalam

persfektif Pancasila dapat dilihat dari kembalinya bangsa Indonesia ke UUD 1945

melalui Dekrit Presiden jika dikaitkan dengan Naskah Piagam Jakarta, memang

secara yuridis, belum bisa dijadikan landasan bagi berlakunya Syariat Islam di

Indonesia. Namun, hal itu telah memberikan tempat bagi kedudukan Syariat Islam

di Indonesia, atau setidaknya memberikan landasan bagi terbentuknya perundang-

undangan nasional yang berdasarkan pada Syariat Islam. Dengan kata lain ada

peluang yang diberikan oleh konstitusi untuk dimanfaatkan umat Islam dalam

pembentukan perundang-undangan nasional yang didasarkan kepada Sya‟riat

Islam sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perudang-undangan

diatasnya.

B. Analisis Hukum Islam

Ada dua sumber hukum yang yang dipakai para ulama dalam menentukan

batas aurat wanita serta inplikasinya dengan hukum memakai Jilbab, yaitu Al-

Qur‟an dan Hadis-hadis Nabi S.A.W. Kedua sumber hukum tersebut ditafsirkan

oleh para ulama masa lalu sebagai perintah untuk menutup aurat bagi wanita

muslimah, akan tetapi para ulama kontemporer memiliki penafsiran yang berbeda

dari para pendahulunya. Ayat pertama ini dipakai oleh para ulama sebagai dasar

dalam menetapkan batas aurat wanita.

Adapun sumber hukum dari hadis (tentang batas aurat wanita) yang

diperdebatkan para ulama diantaranya adalah hadis berikut:79

1. Hadis dari Aisyah r.a., ia berkata:

“Bahwa Asma‟ putri Abu Bakar r.a. datang menemui Rasulullah saw

dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah saw berpaling

enggan melihatnya dan bersabda, “Hai Asma‟, sesungguhnya perempuan jika

telah haid maka tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau

menunjuk ke arah wajah dan kedua telapak tangan beliau) (Abu Dawud. kitab al-

Libas,hadis no.4104)

79

Ibid, h. 79-80.

Page 63: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

54

2. Hadis dari Abdullah bia Abbas r.a., ia berkata:

“Rasulullah saw membonceng al-Fadhl putra al-Abbas r.a. pada hari an-

Nahr (lebaran Haji) di belakang kendaraan (unta) beliau. Al-Fadhl adalah seorang

pria yang berseri (gagah). Nabi saw berdiri memberi fatwa pada khalayak. Lalu

datang seorang perempuan dari suku Khats‟am, berseri (cantik) dan bertanya

kepada Rasulullah saw. al-Fadhl terus-menerus memandangnya dan kecantikan

wanita itu menakjubkannya, maka Nabi menoleh sedang al-Fadhl melihat kepada

wanita itu, lalu Nabi memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fadhl, beliau

memalingkan wajah al-Fadhl dari pandangan kepada wanita itu. lalu wanita itu

berkata, “Sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hamba-

Nya adalah haji, tetapi saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak

mampu duduk di atas kendaraan, maka apakah boleh saya menghajikan

untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.” (Bukhari, kitab al-Maghazi, hadis no.4048.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa‟i, dan lain-lain)

Hukum Islam bertujuan untuk memudahkan umat dalam melaksanakan

ibadah kepada Allah.Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur

hubungan manusia dengan Allah (Hablumminallah), hubungan antarsesama

manusia (Hablumminannas), dan hubungan manusia dengan alam (Hablumminal

„alam). Dalam hubungan itu, Allah menetapkan aturan-aturan hukum yang harus

diikuti, ditaati, dan dipatuhi oleh umat Islam. Aturan hukum itu bertujuan agar

manusia hidup teratur, damai, dan adil. Semua hukum itu telah dijelaskan secara

lengkap dalam Al-Qur‟an. Mulai dari hukum ibadah, pernikahan (munakahat),

Peraturan perdagangan (muamalah), pidana (jinayah), dan lain sebagainya.

Hukum-hukum tersebut bertujuan untuk memudahkan umat dalam melaksanakan

kewajibannya terhadap Allah ataupun hubungannya dengan sesama manusia dan

alam. Hukum-hukum itu ada yang dijelaskan secara perinci dan jelas (qath‟i), ada

pula yang bersifat samar (zhanny). Di sinilah dibutuhkan peran ulama untuk

melakukan penggalian hukum (istimbath al-hukm) dan menjelaskan ayat-ayat

Page 64: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

55

ahkam (hukum) itu, sesuai ketentuan Alquran dan Hadis Nabi Muhammad S.A.W.

berdasarkan maksud dan tujuannya (maqashid as-syari‟ah).80

Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum islam diturunkan

untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat Dalam rangka

mewujudkan kemaslahatan itu berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih ada 5

unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut

adalah:81

1. Agama (hifzh al-din)

2. Jiwa (hifzh an-nafs)

3. Akal, (hifzh al-`aql)

4. Keturunan (hifzh an-nasb)

5. Harta. (hifzh al-mal)

Kelima hal ini yang selanjutnya lebih dikenal dengan Maqoshid Asyariah

yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemashlahatan yang akan

dicapai ini terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu 82

1. Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya

kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka

cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.

2. Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak

sampai mengancam keselamatannya, namun manusia hanya akan

mengalami kesulitan.

3. Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi

tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan

kesulitan dengan kata lain tingkatan ketiga ini hanya mengacu pada

sesuatu yang memperindah keadaan dan menajdikannya sesuai dengan hak

yang dituntut oleh ahlak yang mulia.

Syariah (“cara” atau “jalan”) sering diartikan sebagai seperangkat standar

yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan agama, perbankan, hingga

80

Habib Muhsin Syafingi, Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam Dalam Peraturan

Daerah Syariah di Indonesia, Vol. 7, No. 2, (Juli 2012), h. 141 81

Ibid 82

Ibid

Page 65: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

56

tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari Quran,

kitab utama agama Islam, dan hadit, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang

sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad S.A.W. Tetapi,

tidak ada penafsiran tunggal atas Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia:

terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran para ahli Islam tentang teladan

kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan menerapkan ayat-

ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah

Indonesia dan Aceh mengadopsi pendekatan penerapan Syariah yang menekankan

pada tanggung jawab Negara untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi

kewajiban agamanya yang berasal dari Islam. Paska pengesahan UU Otonomi

Khusus pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan

serangkaian Qanun (“peraturan daerah,” terminologi Arab yang digunakan untuk

memberi ciri khas bagi semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh, tidak

hanya terbatas pada peraturan yang terkait dengan Syariah) yang mengatur

tentang pelaksanaan Syariah. Lima (5) qanun disahkan antara tahun 2002-2004

yang berisi hukumann, pidana atas pelanggaran Syariah: Qanun No. 11/2002

tentang penerapan Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah),

dan penyebaran (syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami.83

Istilah tentang syariat Islam bukan hal yang langka dan bukan istilah yang

asing di kalangan umat Islam. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan

masih ada sebagian umat Islam yang belum mengerti tentang syarat Islam. Upaya

memperjelas tentang Istilah tersebut dan untuk memberikan penjelasan kepada

pembaca, berikut diuraikan secara detil tentang pengertian syariat Islam:84

1. Etimologi Syariat Secara etimologi istilah syariah berasal bahasa Arab

memiliki arti undang-undang. Selain itu, istilah Syariah juga disebut

Qānūn Islami adalah kode moral dan hukum Islam.

2. Selanjutnya, Syafaul merujuk pada penjelasan Irshad Abdal-Haqq bahwa

para ahli juga menjelaskan bahwa kata syariah berasal dari bahasa Arab

kuno yang berarti jalan yang harus diikuti, atau bagian menuju lubang air.

83

Human Right Watch, Menegakkan Moralitas Pelanggaran dalam Penerapan Syariah

Di Aceh Indonesia, (America: Printed in The United States Of America, 2101), h. 16 84

Sulaiman, Studi Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh: Madani Publisher, 2018), h.1

Page 66: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

57

3. Lebih lanjut Syafaul merujuk pada penjelasan Weiss bahwa definisi yang

terakhir berasal dari fakta bahwa jalan menuju air adalah seluruh cara

hidup di lingkungan padang pasir gersang.

Sejalan dengan penjelasan tersebut, mengacu pada penjelasan Azman. Dkk,

setidaknya terdapat tiga istilah penting yang saling berhubungan dengan kata

syariat Islam, yaitu; Syaria‟ah fiqh, Tasyri‟ atau hukum Islam. Selanjutnya,

merujuk pada pendapat Syu,bah dan Kamil Musa, Jaih Mubarak dalam Azman.

Dkk, menjelaskan pengertian syariat Islam secara etimologi berarti al-„utbah

(lekuk-liku lembah), al-„atabah (ambang pintu dan tangga), mawrid al-syaribah

(jalan tempat mencari air munim), dan al-tharaqah al-mustaqimah (jalan yang

lurus). 85

Islam adalah agama rahmatan lil‟alamin dan panduan hidup terhadap umat

manusia. Syariat Islam di dalamnya terdapat pokok-pokok penting yang menjadi

panutan hidup bagi manusia. Muhibbuthabry merujuk pada penjelasan Syaltut,

dan Azyumardi Azra, dkk, bahwa syariat Islam memuat aturan-aturan Allah bagi

umat manusia yang tercermin-paling tidak pada aspek–aspek akidah, ibadah dan

mu‟amalat. 86

Sejalan dengan tiga aspek syariat Islam tersebut Muhibbuthabry

menjelaskan bahwa:87

1. Aspek pertama merupakan aspek yang paling prinsip yang harus dijiwai

oleh manusia sebagai pernyataan sikap dan komitmen terhadap Tuhannya.

2. Aspek kedua adalah realisasi dari sikap dan pernyataan manusia yang

berwujud pada kesediaan untuk melakukan pengabdian kepada Allah

melalui cara-cara atau amaliah yang telah mendapat justifikasinya dalam

syariat.

3. Aspek ketiga mu`amalat merupakan aspek yang paling luas, karena di

dalamnya berisikan tema-tema humanisme, seperti pentingnya

menciptakan rasa kemaslahatan bagi manusia dan perlunya menolak

85

Ibid, h. 2 86

Ibid, h.67 87

Ibid, h. 68

Page 67: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

58

kemudaratan atau marabahaya dan tata cara lain yang berwujud pada

interaksi terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya.

Pokok-pokok penerapan syariat Islam di provinsi Aceh merujuk pada Qanun

Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Bab II Ruang

Lingkup, Tujuan Dan Fungsi Pelaksanaan Syariat Islam, Pasal 2 menetapkan:88

1. Syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat dan aparatur di

Aceh yang pelaksanaannya meliputi:

a. Aqidah

b. Syariah

c. Akhlak.

2. Pelaksanaan Syariat Islam bidang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b meliputi:

a. Ibadah

b. Ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga)

c. Muamalah (hukum perdata)

d. Jinayat (hukum pidana)

e. Qadha‟ (peradilan)

f. Tarbiyah (pendidikan)

g. Pembelaan Islam.

3. Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akhlak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c meliputi:

a. Syiar

b. Dakwah.

Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh mulai sejak kebijakan UU tersebut

diberikan oleh pemerintah pusat. Mulai sejak itu, penerapan syariat Islam di

provinsi Aceh telah melahirkan sejumlah qanun. Adapun qanun tersebut sebagai

berikut:89

88

Ibid, h. 71 89

Ibid, h. 86-87

Page 68: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

59

1. Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan syariat

Islam di provinsi Daerah Istimewa Aceh.

2. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam

3. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.

4. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan

Sejenisnya.

5. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Mesir (Perjudian).

6. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).

7. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.

8. Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian

Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.

9. Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.

10. Qanun nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.

11. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

12. Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam.

13. Qanun Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Yang Berkaitan Dengan Syariat Islam Antara Pemerintahan Aceh Dan

Pemerintahan Kabupaten/Kota.

14. 14. Qanun Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Qanun

Aceh Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002

Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.

Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua

wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum

yang tertera dalam Alquran adan Alhadits namun tidak diwajibkan berhijab atau

berjadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari

perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama

bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka

penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan

Page 69: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

60

berdasarakan Alquran dan Alhadits namun setiap penerapan yang baik akan

menimbulkan masalah kedepannya.

Al-Quran dan Al-Hadits adalah sumber hukum utama dalam Islam begitu

juga dengan Qanun Aceh tentang Jilbab atau busana untuk para wanita. Namun

tetap Aceh harus dalam cangkupan hukum Indonesia yaitu UUD 1945. Qanun

Aceh dan Hukum Islam selalu berdampingan namun yang berbeda hanya

penerapan hukuman untuk para pelaku kejahatan. Menurut penelti Qanun Aceh

adalah Qanun yang ditetapkan berdasarkan kepentingan seluruh umat manusia

bukan orang Islam saja begitu juga fungsi Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai

petunjuk dan pedoman setiap manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan

daerah serta negara yang lebih baik untuk kesejahteran, kemamkmuran dan

keamanan masyarakat.

Page 70: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hasil kesimpulan tentang Analis Dari Per UU Indonesia antara Qanun Aceh

No. 11 Tahun 2002. Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan

Syari’at Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18

tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Maka dari itu Penulis menyimpulkan

Bahwa sesuai dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Aceh

membuat Perda Syariah adalah keputusan yang berdasarkan pemberhentian

konflik dan sudah tepat dikarenakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.

Sehingga Qonun Aceh tentang wajib berjilbab tidak bertentangan dengan UUD

karena sudah sinkron dengan aturan yang berlaku dan juga tidak bertentangan

dengan UUD karena prosedur dalam aturan UUD sudah dilaksanakan dengan

baik.

2. Hasil Kesimpulan dari Analisis Hukum Islam tentang Qanun Aceh tentang

Jilbab Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002

Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.

Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua

wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum

yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits namun tidak diwajibkan berhijab

atau bercadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari

perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama

bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka

penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan

berdasarakan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Page 71: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

62

B. SARAN-SARAN

1. Agar lebih melihat kepada adat kebiasaan pada suatu Negara yang mereka

tempati baru membulatkan pendapat dalam Menetapkan.

3. Agar penerapan ini bisa di kembangkan di seluruh wilayah Indonesia

terutama wilayah mayoritas Muslim.

Page 72: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

63

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal Nur, “M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, Vol. XVIII, No.

1, (Januari, 2012).

Ahmad“Jihad Menurut Yusuf Qaradhawi”, Jakarta: Skripsi Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah, 200.

Al-Shairazi. Al- Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Kutub, 2007.

Al-„Araby, Abu Bakar Muhammmad Ibn „Abdillah, Ahkam al-Qur‟an, Mesir:

Al-Halabi. 1958.

Al-Albani, Nasrudin jilbab dan hijab busana wanita Menurut Al-Qur‟an dan

sunnah Nabi, Semarang: CV Toha Putra. 2000.

Al-Andalusy, Muhammad bin Yusuf almashur Abu Hayyan Andalusi, Tafsir

al-Bahr al-Muhith. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah. 2001.

Al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain ibn Mas‟ud, Tafsir al-Baghawi:

Ma‟alim al-Tanzil, Riyadh: Dar Thayyibah. 1409 H.

Al-Diqr, Abd al-Ghani. Al-Imam al-Syafi‟i: Faqih al-Sunnah al-Akbar.

Damaskus: Dar al-Qalam, 1996.

Al-Husni, Taqiyuddin. Kifayat al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabiyyah.

t.t.

Al-Jundi, „Abd al-Halim. Al-Imam al-Syafi‟i Nashir al-Sunnah wa Wadhi‟ al-

Ushul. Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.t.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Juz.12-13, cet.I,. Lihat juga Tafsir Ma‟alim

al-Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad bin „Ali al-Zaid, Juz

IV.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirūt: Dār al-Fikr,

2006.

Al-Mukhit, Juz. VII, Beirūt::Dār al-Kitab al-„Ilmiyah

Al-Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet.VII

Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

Page 73: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

64

Al-Qurthubi, Abdullah Muhammad. Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an. Beirut: Dar

al-Kutub al-„Aliyah. 1993.

Al-Rafi‟i, Abu al-Qasim „abd al-Karim ibn Muhammad ibn „Abd al-Karim al-

Qazwini al-Syafi‟i. Al-„Aziz Syarh al-Wajiz al-Ma‟ruf bi al-Syarh al-

Kabir. Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah. 1997.

Al-Syaasyiy, Haliyat al-'Ulama, juz, 2, (Beirut: Dar al-Kutub, 2005).

Al-Syafi‟i, Muhammad ibn Idris. Al-Umm. T.tp: Dar al-Wafa‟ wa al-Nasyr wa

al-Tauzi‟. 2001.

Al-Syarwani, Abd al-Hamid. Hasyiyah al-Syarwani „ala Tuhfat al-Muhtaj.

.Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Al-Thabari, Muhammad ibn Jarir. Tafsir al-Thabari: Jami‟ al-Bayan „An

Ta‟wil al-Qur‟an. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah. T.t

Al-Wizaratul Awuaf wa al-Syu‟un. Al-Mawsu‟atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.

Kuwait: Wizaratul Awuaf wa al-Syu‟un al-Islamiyyah. 1983.

Al-Zaid, Abudllah bin Ahmad bin „Ali. Tafsir Ma‟alim al-Tanzil fi Tafsir

wa al-Ta‟wi. Beirūt:Dār al-Fikr. 1985.

Amina, Siti h, “Pengaruh Pemikiran Fiqh Yusuf Al-Qardhawi Di Indonesia”,

Vol. V, No. 1, (Maret, 2015).

Anis, Ibrahim, „Abd al-Halim Muntashir, „Athiyyah al-Shawalihi dan

Muhammad Khalafullah Ahmad, Al-Mu‟jam al-Wasith. T.tp: Majma‟ al-

Lughah al-„Arabiyyah-Maktabah al-Syuruq al-Dauliyyah. 2004.

Anwar, Saefudin. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Ardiansyah, Konsep Aurat Menurut Ulama, Vol 16, No.2, (2014).

Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Cahaya Al-Qur‟an, Tafsir Tematik Surat An-

Nur-Fathir, (terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril

Qur‟anil Karim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002, cet. I, vol. 5.

Asy Syafi‟i, Imam, Mawqi‟ Ya‟sub, Kitab Al Ummcet 1, Al Majmu‟, Yahya

bin Syarf An Nawawi, Mawqi‟ Ya‟sub

Page 74: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

65

Badi, Husna, , Identitas Sosial Pengguna Jilbab Dalam Kelompok Mahasiswi,

Inkafa, Rohis Universitas Brawijaya dan Komunitas Hijaber Malang, 5

Mei 2015.

Basori, Jilbab, Hijab dan Aurat Perempuan, (Antara Tafsir Kontemprer dan

Pandangan Muslim Feminis), Vol. 3, No. 1, (Maret 2013).

Fachrudin, Fuad, Mohd, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam,

Jakarta: CV pedoman ilmu jaya, 1991.

http://www.nu.or.id/post/read/67452/hukum-memakai-cadar, Diakses pada:

15-01-2018

http://www.nu.or.id/post/read/67452/hukum-memakai-cadar, Diakses pada

15-01-2018

https://www.alfachriyah.org/artikel-wanita-solehah/definisi-dan-batasan-

batasan-aurat-menurut-para-ulama-fiqih, Diakses pada: 14-01-2018

Husein Shahab, jilbab menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Bandung: Mizan,

2002.

Jasmani, Hijab dan Jilbab Menurut Hukum Fikih, Vol.6, No. 2, Juli, (2013).

Moelong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2001.

Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul

Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, cet. I.

Mukhlisin, Al-Ustadz Nurul, Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi‟I,

Jakarta: http://dear.to/abusalma, 14 April 2007.

Mutawalli, Sya‟rawi, Muhammad, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul

Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Najitam, Fikriaa, Fiqh Jilbab (Membaca Dinamika Jilbab Dalam Hukum

Islam), (Yogyakarta: Jurnal Mahasiswa S3 Program Pascasarjana UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen STAI Nahdltul Ulama (STAINU)

Kebumen

Nawawi, Hadi. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada

University. 1998.

Page 75: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

66

Nizar, M.. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1998.

Patriarkhi adalah suatu sitem yang ada di masyarakat, dimana semua hal

berpusat pada laki-laki dan lebih dominan dalam hal apapun. Perempuan

disubordinat/ second class

Qordhowi, Yusuf, Larangan Berjilbab, Studi Kasus di Perancis. terj. Abdul

Hayyi al-Katanie, Jakarta: Gamma Insami, 2004.

Ridwan, Muhammad, Kamus Ilmiah Populer, Jakarta: Pustaka Indonesia1999

Saropah, Faisal. Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

1994.

Sarwono, Jonathan. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.

Yogyakarta: Graha Ilmu. 2006.

Shihab, M.Quraish, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Jakarta: Lentera Hati,

2004.

Sholihun, Saiful, Amien, “Menyorot Aurat dan Jilbab,” dalam Ijtihad islam

liberal: Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis (Jakarta:

Jaringan Islam Libera JIL, 2005.

Surahmah, Winarno. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S. 1993.

Sya‟ra, Muhammad Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar‟ah

al-Muslimah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I.

Thohari , Chamim, Konstruks Pemikiran Quraish Shihab Tentang Hukum

Jilbab (Kajian Hermeneutika Kritis, Vol. 14, No. 1, (Januari-Juni 2011.

Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Ter. Drs.As‟adYasin, Jakarta:

GIP, 1995.

Yusuf, Dr. Qaradhawi, , Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. Drs. As‟ad Yasin),

Jakarta: GIP, 1995.

Zahrah, Abu, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t.

Zahrah, Muhammad Abu. Al-Syafi‟i: Hayatuh wa „Ashruh-„Arauh wa Fiqhuh.

Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1978.

Zarkasyi, Ahmad, Nikah Muhalil Menurut Imam Hanafi, Riau: Skripsi

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2011, t.d, Dian Dwi Ok

Putra, Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Bughat (Studi Komperatif

Page 76: JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44797... · 2019-03-26 · JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11

67

Antara Imam Syafi‟I dan Imam Abu Hanifah, Riau: Skripsi Universitas

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2011,t.d. , “Pluralisme Agama Dan

Toleransi Dalam Islam Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi”, Vol. 4, No. 2,

Oktober, 201.