jawaban tugas ppbi no. 1 a dan b, oleh hidayat (e1c107033)
TRANSCRIPT
1
JAWABAN
Oleh: Hidayat (E1C107033)
1. A. Asal-Usul Bahasa (Sejarah Lahirnya Bahasa)
Ada beberapa ahli yang mengemukakan asal-usul bahasa (Sejarah lahirnya
Bahasa), diantaranya :
1. F. B. Condilac (Filsuf Francis)
Berasumsi, bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-
gerik badan yang bersifat naluri dan dibangkitkan oleh perasaan atau
emosi yang kuat. Kemudian teriakan-teriakan itu berubah menjadi
bunyi-bunyi yang bermakna, yang lama-kelamaan semakin panjang
dan rumit. Sebelum adany=2a teori ini, orant (terutama orang ahli
agama) percaya bahwa bahasa berasal dari Tuhan.
2. Von Hender
Menyangkal teori yang mengatakan, bahwa bahwa bahasa berasal dari
Tuhan. Dia berasumsi, bahasa tidak mungkin dari Tuhan, karena
bahasa itu sedemikian buruknya dan tidak sesuai dengan logika, karena
Tuhan Maha Sempurna. Menurutnya, bahwa bahasa terjadi dari proses
onomotope, yaitu peniruan bunyi alam. Bunyi-bunyi alam yang ditiru
ini merupakan benih yang tumbuh menjadi bahasa sebagai akibat dari
dorongan hati yang sangat kuat untuk berkomunikasi.
3. Von Schlegel (Filsuf Jerman)
Berasumsi, bahwa bahasa yang ada di dunia ini tidak mungkin
bersumber dari satu bahasa. Asal-usul bahasa itu sangat berlainan,
tergantung pada faktor-faktor yang mengatur tumbuhnya bahasa itu.
Ada bahasa yang lahir dari onomatope, ada yang lahir dari kesadaran
manusia, dan sebagainya. Namun, dari mana pun menrutnya, akal
manusialah yang membuatnya sempurna.
4. Brooks (1975)
Memperkenalkan satu mengenai asal-usul bahasa yang sejalan dengan
perkembangan psikolunguistik dewasa ini. Menurut Brooks bahasa itu
2
lahir pada waktu yang sama dengan kelahiran manusia. Berdasarkan
penemuan-penemuan antropologi, arkeologi, biologi dan sejarah
purba, manusia, bahasa, dan kebudayaan secara bersamaan lahir di
bagian tenggara Afrika, kira-kira dua juta tahun yang lalu. Menurut
hipotesisi Brooks, bahasa pada mulanya berbentuk bunyi-bunyi tetap
untuk menggantikan atau sebagai simbol bagi benda, hal, atau kejadian
tetap di sekitar yang dekat dengan bunyi-bunyi itu. Sejak awal bahasa
itu, pastilah merupakan satu kerangka atau sruktur yang dibentuk oleh
empat unsur, yaitu : (1) bunyi, (2) keteraturan (order), (3) bentuk, dan
(4) Pilihan. Oleh karena kelahiran bahasa bersamaan dengan kelahiran
kebudayaan, maka melalui kebudayaan ini segala hasil cipta kognisi
seseorang dapat pula dimilki oleh orang lain, dan dapat pula
diturunkan kepada generasi berikutnya.
Untuk menyokong hipotesisnya mengenai kelahiran bahasa,
Brooks merujuk penemuan-penemuan dan teori-teori dari Eric
Lenneberg (1964 – 1967) teori keotonomian yang menyatakan bahwa
bahasa tidak terikat oleh waktu dan tempat ,diterima oleh Brooks.
Suzanne Langer (1942) pendapatnya bahwa bahasa juga tidak terikat
oleh keperluan, diterima oleh Brooks. George Miller (1965), dan
Roman Jakobson (1972). Selain itu, Brooks juga mengambil alih
hipotesis nurani yang berasal dari R. Descartes (abad 17) yang
diangkat kembali oleh Noam Chomsky (1957, 1965, 1968). Hipotesis
Nurani menyatakan bahwa, manusia ketika lahir telah dilengkapi
dengan kemampuan “nurani” yang memungkinkan manusia itu
mempunyai kemampuan berbahasa. Dengan kata lain manusia telah
diciptakan menjadi makhluk berbahasa.
5. Philip Lieberman (1975)
Menurutnya, bahasa lahir secara evolusi sebagaimana yang telah
dirumuskan oleh Darwin (1859) dengan teori evolusinya. Segala
hukum evolusi Darwin, menurut Lieberman telah berlaku dan dilalui
3
juga oleh evolusi bahasa (Lebih lanjut lihat Mario Pei, 1971). (Chaer,
2003 : 31 – 33).
Selanjutnya, Well, mengajukan dua teori, yaitu: Kreasionis
dan Evolusi. Menurut Kreasionis, manusia diciptakan di dunia dalam
wujud sempurna seperti adam lengkap dengan perangkat bahasa yang
diajarkan tuhan kepadanya. Sudah tertulis dalam kitab dan teori ini
juga tidak bisa dibuktikan benar salahnya. faktanya kita selalu
menemukan di mana ada komunitas manusia saat ini selalu ada bahasa
bersamanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, bahasa modern jauh lebih
sederhana dari pada bahasa primitif. Contohnya, bahasa inggris hanya
punya 7 tensis sedangkan bahasa bantu di Afrika memiliki 14 tensis.
Namun, kita juga menemukan bahwa bahasa lisan sepertinya tidak
dimiliki oleh manusia purba dari zaman batu.
Teori Evolusi
Mengatakan, bahwa manusia mendapatkan kemampuan berbahasa
lewat evolusi yang tentunya di dahului oleh evolusi perangkat
kerasnya, terutama daerah bahasa di cerebral korteks. Manusia
modern, Homo sapiens, diperkirakan telah hadir 150.000 tahun
lalu. Jadi, paling tidak perangkat keras bahasa telah ada sejak saat
itu. Permasalahanya sekarang, bagaimana perangkat lunaknya
tercipta? Ada beberapa hipotesis yang diajukan, yaitu:
a. Hipotesis Ding-Dong
Bahasa dimulai saat manusia mulai menamai benda, tindakan
dan fenomena sesuai dengan suara yang muncul dalam
kehidupan nyata. Contohnya 'garuk' berasal dari bunyi 'gruk
gruk', 'ketuk' dari 'tuk-tuk'.
b. Hipotesis Pooh-Pooh
Bahasa dimulai dari suara tunggal yang muncul dari manusia
saat marah, kesal, senang, suka, dan emosi lainnya.
Perkembangan selanjutnya adalah perluasan jenis-jenis kata
4
berdasarkan emosi tersebut. Akan tetapi, banyak kelemahan
dari hipotesis ini, terutama karena kita melihat beberapa kata
dalam bahasa yang lain tidak mirip satu sama lain padahal
emosinya sama. Contoh: ouch dan aduh.
c. Hipotesis Bow-Wow
Mengatakan, bahwa kosakata datang dari peniruan suara
hewan, seperti: Mooo, guk guk, ssssh, meong, mbeek.
d. Hipotesis Ta-Ta
Mengatakan, bahwa bahasa dimulai dari gerakan tubuh yang
kemudian disederhanakan menjadi gerakan lidah.
Hipotesis Mengenai Asal Fungsi
1. Hipotesis Peringatan
Kata-kata pertama digunakan sebagai petunjuk dalam
kegiatan dan situasi sehari-hari.
2. Hipotesis Yo-He-Ho
Kata-kata pertama digunakan sebagai usaha untuk
membangun kerja sama dalam komunitas.
3. Hipotesis Berbohong
Kata-kata pertama digunakan untuk berbohong. Oleh
karena kejujuran dapat dilihat dari bahasa tubuh, maka kita
mesti menggunakan perangkat lain yang kurang peka dari
pengenalan kebohongan, yaitu ucapan lisan.
Perlu dicatat disini adalah sedikit sekali kata-kata dalam
bahasa-bahasa dunia ini yang memiliki asosiasi nyata
dengan bendanya. Contoh kata 'pohon' 'tree' 'árbol' 'arbre'
'strom' 'he' 'oks' 'puu' 'Baum' 'derevo' 'koks' 'lä'au' semua
merujuk pada satu definisi. Perlu diingat pula, bahwa
semua hipotesis di atas 'untestable' secara ilmiah sampai
sekarang. Jadi, lebih mirip sebuah prasangka saja.
5
B. Linguistik sebagai Disiplin Ilmu
Untuk menentukan linguistik sebagai disiplin ilmu, maka harus memenuhi
syarat keilmiahan. Setiap disiplin ilmu pasti memiliki ciri-ciri. Begitu juga
dengan linguistik memiliki ciri-ciri keilmiahan, yaitu:
a. Mempunyai Objek
Linguistik memiliki objek kajian, yaitu bahasa. Dapat dikatakan,
linguistik sebagai ilmu bahasa (objek materialnya), sedangkan bahasa
adalah sasaran kajiannya (disebut dengan objek formal).
b. Bermetode
Maksudnya, untuk memperoleh ihwal ilmu bahasa maka dapat
diperoleh melalui metode tertentu. Tidak jarang, ahli bahasa untuk
meneliti suatu bahasa tertentu menggunakan metode terntu untuk
memperoleh data ihwal bahasa yang diteliti (The Liang Gie, 1987:5).
c. Sistematis
Maksudnya, bahwa bidang ilmu bahasa terdiri dari berbagai unsur\
yang tidak berdiri sendiri, tetapi antara unsur yang satu dengan unsur
yang lain saling berhubungan dan berkaitan, sehingga merupakan satu
kebulatan yang tidak bisa dipisahkan. Di sisi lain, pandangan
mengenai sistematis dalam ilmu bahasa adalah penelitian itu dilakukan
secara sistemik dan terencana. Mulai dari identifikasi masalah yang
terkait dengan objek kajian yang berupa bunyi tutur itu (termasuk di
dalamnya upaya menjelaskan masalah itu secara cermat dan terinci ;
penentuan dan penyeleksian variable-variabel dan instrument yang
digunakan), menghubungkan masalah itu dengan teori-teori linguistic
tertentu, penyediaan data, analisis, interpreasti data, sampai pada tahap
penarikan kesimpulan serta menggabungkan simpulan-simpulan
tersebut ke dalam khazanah ilmu bahasa (linguistik) (Kerlinger: 1993
dalam Mahasun, 2007: 2).
6
d. Bersifat Universal
Maksudnya, bahwa ilmu bahasa beserta rumusannya bersifat umum
dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu, berlaku di mana dan kapan
saja, sehingga dipakai sebagai pedoman.
e. Terkontrol
Maksudnya, bahwa setiap aktivitas yang dilakukan dalam masing-
masing tahapan itu terkontrol, baik proses pelaksanaan kegiatan
maupun kegiatan tersebut. Hal ini memungkinkan pakar lain yang
berminat melakukan hal yang sama untuk pengujian kembali hasil
yang dicapai dari penelitian yang pernah dilakukan.
f. Bersifat Empiris
Maksudnya, bahwa fenomena lingual yang menjadi objek penelitian
bahasa itu, adalah fenomena yang benar-benar hidup dalam pemakaian
bahasa. Jadi, benar-benar bersumber pada fakta lingual yang
senyatanya digunakan oleh penuturnya, bukan fakta lingual yang yang
dipikirkan oleh si penutur yang menjadi informan (Mahsun, 2007: 2 –
3).
7
TAMBAHAN MATERI
A. Ciri-ciri Bahasa
Hocket dalam makalahnya mendaftarkan 16 ciri khusus yang membedakan
bahasa dari sistem komunikasi mahkluk sosial yang lain, yakni :
1. Jalur vokal-auditif
Banyak hewan yang memiliki sistem komunikasi yang auditif (yang
dapat didengar) seperti : jangkrik, katak, dan burung, tetapi tidak
semua merupakan bunyi vokal. Meskipun katak, burung dan orang
utan mempuyai ciri ini, tetapi tidak memenuhi ciri 15 lainnya.
2. Penyiaran ke semua jurusan, tetapi penerimaan yang berarah.
Isyarat bahasa yang diucapkan itu dapat didengar di semua jurusan
atau arah, oleh karena suara berjalan melalui media udara.
3. Cepat hilang
Semua isyarat bahasa yang berbentuk suara itu cepat hilang.
4. Dapat saling berganti
Artinya setiap partisipan dapat saling bertukar peran, yaitu ada yang
bertindak sebagai pendengar dan pembicara.
5. Umpan balik yang lengkap
Penyiar isyarat itu sendiri juga menerima isyaratnya. Dalam beberapa
macam komunikasi kinetik (= gerakan) dan visual (=penglihatan),
seperti dalam “tari berpacaran “ semacam ikan, penyiaran isyarat itu
tidak dapat melihat bagian-bagian penting dari komunikasi tarinya.
6. Spesialisasi
Ini berarti, bahwa besarnya daya biologis dari isyarat bahasa itu adalah
amat kecil, tetapi hasil atau akibatnya dapat amat besar.
7. Kebermaknaan
Isyarat-isyarat bahasa dapat berfungsi mengatur dan mengikat
kehidupan dari suatu masyarakat, oleh karena ada ikatan hubungan
teratur antara unsur-unsur bahasa dan hal-hal (=benda-benda, sifat dan
8
hubungan) dalam dunia luar. Dengan kata lain, bahasa itu mempunyai
makna atau merujuk pada hal-hal tertentu.
8. Kewenangan
Hubungan makna antara isyarat bahasa dengan yang dirujuk itu adalah
ditentukan oleh persetujuan antara penutur bahasa itu, bukan oleh
karena ada hubungan bentuk atau hubungan materi antara unsur
bahasa dan rujukan itu.
9. Keterpisahan
Setiap isyarat (kata) bahasa secara jelas lain dari yang lain. Misalnya,
kata “kali” dan kata “gali” , yang secara fonetik hanya berbeda dalam
pelafalan bunyi pertama kata-kata itu.
10. Keterlepasan
Maksudnya, makna atau pesan sesuatu isyarat bahasa bisa merujuk
kepada sesuatu hal yang jauh dalam jarak dan/atau waktu dari tempat
orang berbahasa itu. Jadi, kita bisa berbibicara tentang sesuatu yang
ada di tempat lain.
11. Keterbukaan
Maksudnya, kata-kata (isyarat-isyarat) baru dapat dibuat sesuai
keperluan manusia.
12. Pembelajaran
Ini berarti bahwa, aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan bahasa
manusia itu diwariskan melalui kegiatan belajar-mengajar, bukan
melalui gen-gen yang dibawa lahir. Akan tetapi, gen-gen itu memberi
kesanggupan dan keinginan berbahasa.
13. Dualitas Struktur
Bahasa mempunyai subsistem yang terdiri dari unsur yang
membedakan makna dan memberikan makna. Yang pertama adalah
subsistem fonologi, dan yang kedua adalah subsistem sruktur dan
leksikal (serta morfofonemik).
9
14. Benar atau Tidak
Hocket menyebut ciri ini Prevarication, yaitu sesuatu pesan linguistik
itu dapat tidak benar (dusta) dan dapat juga benar.
15. Revlektivitas
Bahasa dapat kita pakai untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Dari
sistem komunikasi yang kita kenal, hanya bahasalah yang dapat
digunakan berkomunikasi tentang diri sendiri, yaitu bahasa.
16. Dapat dipelajari
Seorang penutur suatu bahasa dapat mempelajari bahasa yang lain. Ini
berhubungan dengan ciri (12), yaitu pembelajaran dan kemestaan
kesanggupan yang dibawa lahir (Sri Utami Subyakto N, 1988 : 1 – 6).
Adapun ciri-ciri bahasa yang dikemukakan oleh berbagai pakar
linguistik, yaitu :
1. Bahasa adalah sebuah sistem lambang
Bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara
tetap dan dapat dikaidahkan.
2. Bahasa adalah lambang-lambang dalam bentuk bunyi
Artinya, lambang-lambang itu berupa bunyi, yang lazim disebut
bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa
melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Misalnya,
lambang bahasa yang berbunyi [kuda] melambangkan konsep atau
makna ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’.
Jadi, setiap satuan ujaran bahasa memiliki makna.
3. Bahasa bersifat arbitrer
Artinya, hubungan antara lambang dengan yang dilambamgkan
tidak bersifat wajib.
4. Bahasa bersifat Produktif
Dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-
satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Purwadarminta bahasa
10
Indonesia hanya mempunyai lebih kurang 23.000 buah kata, tetapi
dengan 23.000 kata itu dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak
terbatas. Silakan Anda coba !
5. Bahasa Bersifat Dinamis
Maksudnya, bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan
perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat
terjadi pada tataran apa saja, seperti : tataran fonologis, morfologis,
sintaksis, dan semantik.
6. Bahasa itu beragam
Artinya, meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola
tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh
penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan
kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik
tataran fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik.
7. Bahasa bersifat Manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang hanya dimilki oleh
manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi, yang berupa bunyi bermakna atau gerak isyarat,
tidaj bersifat produktif dan dinamis. Hewan hanya memiki
instingtif atau naluriah. Manusia dalam menguasai bahasa,
bukanlah secara instingtif, melainkan dengan cara belajar atau
pemerolehan bahasa. Tanpa belajar dan pemerolehan manusia tidak
akan dapat berbahasa. Sementara hewan tidak mempunyai
kemampuan untuk mempelajari bahasa manusia. Oleh karena
itulah, bahasa itu bersifat manusiawi, karena hanya dimilki oleh
manusia (Chaer dan Agustina, 2003 : 11 – 14).
11
B. Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa adalah sebagai alat interaksi sosial, dalam arti alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (Chaer, 2003:
33). Dalam hal ini, Wardaugh (1972) seorang pakar Sosiolinguistik juga
menagatakan bahwa, fungsi bahasa adalah alat interaksi/komunikasi
manusia, baik lisan maupun tulisan. Namun Fungsi ini telah mencakup
lima fungsi dasar yang menurut Kinneavy disebut :
a. Fungsi Ekspresi
Fungsi yang mewadahi bahwa bahasa alat untuk melahirkan ungkapan-
ungkapan batin yang ingin disampaikan seseorang kepada orang lain.
Misalnya, pernyataan senang, benci, kagum, marah, jengkel, sedih dan
kecewa.
b. Fungsi Informasi
Adalah fungsi untuk menyampaikan pesan atau amanat kepada orang
lain.
c. Fungsi Eksplorasi
Adalah penggunaan bahasa untuk menjelaskan suatu hal, perkara dan
keadaan.
d. Fungsi Persuasi
Adalah penggunaan bahasa yang bersifat mempengaruhi atau
mengajak orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
secara baik-baik.
e. Fungsi Entertaimen
Adalah penggunaan bahasa dengan maksud menghibur,
menyenangkan, atau memuaskan perasaan batin (Chaer, 2003 : 33).
C. Srtuktur Bahasa
Dalam setiap analisis bahasa, ada dua buah konsep yang perlu
dipahami, yaitu srukrur dan sistem. Sruktur menyangkut masalah
hubungan antara unsur-unsur di dalam satuan ujaran, misalnya antara
fonem dengan fonem di dalam kata, antara kata dengan kata di dalam
12
frase, atau juga frase dengan frase di dalam kalimat. Sedangkan sistem
berkenaan dengan hubungan antara unsur-unsur bahasa pada satuan ujaran
yang lain. Misalnya, predikat terletak di belakang subjek dalam bahasa
Indonesia (Chaer, 2003 : 33 – 34).
Dalam linguistik generatif transformasi, sruktur itu sama dengan
tata bahasa. Sedangkan tata bahasa sama dengan pengetahuan penutur
suatu bahasa mengenai bahasanya, yang lazim disebut pelaksanaan bahasa
(performansi), yaitu berupa bertutur atau pemahaman akan tuturan.
a. Tata Bahasa
Menurut teori linguistik generatif transformasi setiap tata
bahasa suatu bahasa terdiri dari tiga buah komponen, yaitu :
1. Komponen Sintaksis
Menurut teori ini, sintaksis merupakan komponen
sentral dalam pembentuk$an kalimat. Sintaksis adalah
urutan dan organisasi kata-kata (leksikon) yang membentuk
frase atau kalimat dalam suatu bahasa menurut aturan atau
rumus dalam bahasa itu. Tugas utama komponen sintaksis
adalah menentukan hubungan antara pola-pola bunyi
bahasa itu, dengan makna-maknanya dengan cara mengatur
urutan kata-kata yang membentuk frase atau kalimat itu
agar sesuai dengan makna yang dinginkan oleh penuturnya.
Berikut contohnya :
(1) Kuda itu menendang petani itu.
Setiap penutur bahasa Indonesia dengan kompentesinya
mengenai bahasa Indonesia yang telah dinuranikan akan
mampu menentukan hal berikut :
a. Kalimat (1) di atas kalimat yang berterima, baik, dan
lengkap.
b. Kalimat (1) di atas terdiri dari beberapa kata.
13
c. Dalam kalimat (1) tersebut, kata kuda adalah sebuah
nomina ; kata menendang adalah sebuah verba, kata
petani adalah nomina dan kata itu adalah penunjuk
sesuatu yang dimaksud.
d. Jika penutur bahasa Indonesia akan memenggal kalimat
itu menjadi dua bagian, pastilah akan memenggalnya
sebagai berikut :
- Kuda itu/menendang petani itu.
Tidak mungkin menjadi
- Kuda/itu menendang petani itu. Atau,
- Kuda itu menendang/petani itu.
Jadi, setiap penutur bahasa Indonesia akan
merasakan bahwa kata itu yang pertama lebih
natural bergabung dengan kata kuda daripada kata
menendang. Kemampuan ini menunjukkan adanya
kompentensi setiap penutur bahasa Indonesia
mengenai tatabahasa Indonesia yang telah
dinuranikan secara tidak sadar (Chaer, 2003 : 39).
2. Komponen Semantik
Teori linguistik generatif transformasi standar
mengakui bahwa, makna suatu kalimat sangat bergantung
pada beberapa faktor yang saling berkaitan dengan lainnya.
Diantaranya, (a) makna leksikal kata yang membentuk
kalimat, (b) urutan kata dalam organisasi kalimat, (c)
intonasi, cara kalimat diucapkan atau dituliskan, (d)
konteks situasi tempat kalimat itu diucapkan, (e) kalimat
sebelum dan sesudah yang menyertai kalimat itu, dan (f)
faktor-faktor lain. Misalnya, frase lagi makan dan makan
lagi dalam bahasa Indonesia menjadi berbeda maknanya,
karena urutan unsur kata-katanya berbeda. Contoh lain,
14
kalimat kucing makan tikus mati. Dengan menggunakan
intonasi jeda seperti berikut menjadi berbeda maknanya :
(1) Kucing/makan tikus mati.
(2) Kucing makan/tikus mati.
(3) Kucing makan tikus/mati.
3. Komponen Fonologi
Adalah sistem bunyi suatu bahasa. Komponen
fonologi memilki rumus-rumus fonologi yang bertugas
mengubah sruktur luar sintaksis menjadi representasi
fonetik yaitu bunyi-bunyi bahasa yang kita dengar yang
diucapkan oleh seorang penutur. Misalnya :
Kalau kita mendengar kata-kata [ baraη ], [ balaη ],
[bəraη ], [ paraη ], [ palaη ], [ pəraη ], diucapkan, maka kita
dapat mencatat, bahwa pada ketiga kata pertama terdapat
bunyi [b] pada awal katanya. Pada ketiga kata berikutnya
terdapat bunyi [p] pada awal katanya. Kata pertama dan
kata kedua bunyinya hampir sama. Perbedaannya terletak
pada bunyi ketiga, yaitu kata pertama berbunyi [r],
sedangkan kata kedua berbunyi [l]. Kata pertama dan ketiga
bunyinya juga hampir sama, perbedaannya terletak pada
bunyi kedua. Kata pertama bunyi [a], sedangkan pada kata
ketiga bunyinya [ə]. Kalau kita kita bandingkan kata kelima
dan keenam, maka kita lihat ada dua bunyi yang berbeda,
yaitu pada kata kelima bunyi kedua dan ketiganya adalah
[a] dan [l], sedangkan pada kata keenam bunyi kedua dan
ketiganya adalah [e] dan [r]. Bunyi-bunyi yang membentuk
kata ini disebut unit bunyi, segmen fonetis, atau dalam studi
fonologi lazim disebut fon (Chaer, 2003 : 43).
15
D. Proses Berbahasa
Berbahasa merupakan salah-satu perilaku dan kemampuan
manusia, sama dengan kemampuan dan perilaku untuk berpikir, bercakap-
cakap, bersuara, ataupun bersiul. Lebih spesifik lagi berbahasa merupakan
kegiatan proses memahami dan mengggunakan isyarat komunikasi yang
disebut bahasa.
Berbahasa merupakan gabungan berurutan antara dua proses, yaitu proses
produktif dan reseptif. Proses produktif adalah berlangsung pada diri
pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan
berguna/bermanfaat. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri
pendengar yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna
yang disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima
melalui alat pendengar (Chaer, 2003 : 44 – 45).
Proses produksi atau proses rancangan berbahasa disebut enkode.
Sedangkan proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut proses
dekode. Kalau kode bisa diartikan sebagai satu isyarat atau tanda (seperti
berbahasa) dalam penyampain informasi, maka enkode berarti peristiwa
atau proses pelahiran kode tersebut, dan dekode berarti peristiwa atau
proses penerimaan kode tersebut.
Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan enkode
semantik, yakni proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian.
Dilanjutkan dengan enkode gramatikal, yakni penyusunan konsep atau ide
itu dalam bentuk gramatikal. Selajutnya diteruskan dengan enkode
fonologi, yakni penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses enkode ini
terdapat dalam otak pembicara, sementara representasi fonologinya terjadi
pada alat ucapnya (mulut) atau alat artikulasi (Chaer, 2003 : 45).
Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi, yakni penerimaan
unsur-unsur bunyi itu melalui telinga pendengar. Kemudian dilanjutkan
dengan proses dekode gramatikal, yakni pemahaman bunyi itu sebagai
16
satuan gramatikal. Lalu diakhiri dekode semantik, yakni pemahaman akan
konsep-konsep atau ide-ide yang dibawa oleh kode tersebut. Proses
dekode ini, terjadi dalam otak pendengar.
Diantara proses enkode dan dekode terjadilah proses transmisi,
yakni berupa pemindahan atau pengiriman kode-kode yang terdiri atas
ujaran manusia yang disebut kode bahasa, atau bahasa saja. Proses
transmisi ini terjadi antara mulut pembicara samapai ke telinga pendengar.
Proses enkode dan dekode dari pesan, amanat, atau perasaan
terangkum dalam satu konsep yang disebut proses komunikasi. Dalam
kehidupan, kode utama dan kekreatifan dalam proses komunikasi ini
adalah kode bahasa atau secara umum disebut bahasa. Dengan demikian,
pembelajaran bahasa sesungguhnya tidak lain daripada pembelajaran
komunikasi dengan menggunakan kode atau isyarat bahasa. Ini berarti
pula, dalam pembelajaran bahasa kemampuan berbahasa produktif dan
berbahasa reseptif harus sama-sama dikuasai dengan sama baiknya (Chaer,
2003 : 45 – 46).
Proses berbahasa produktif dan reseptif dapat dianalisis dengan
pendekatan perilaku (behaviorisme) dan pendekatan kognitif. Dalam
literatur psikolnguistik aspek reseptif lebih banyak disosrot dan
dibicarakan oleh para pakar psikolnguistik (Parera, 1996).
Proses produktif dimulai dengan tahap pemunculan ide, gagasan,
perasaan atau apa saja yang ada dalam pemikiran seorang pembicara.
Tahap awal ini disebut tahap idealisasi, yang selanjutnya disambung
dengan tahap perancangan, yakni tahap pemilihan bentuk-bentuk bahasa
untuk mewadahi gagasan, ide atau perasaan yang akan disampaikan.
Perancangan ini meliputi komponen bahasa sintaksis, semantik, dan
fonologi. Berikutnya adalah tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, secara
17
psikologi orang melahirkan kode verbal atau secara linguistik orang
melahirkan arus ujaran (Chaer, 2003 : 46).
Proses reseptif dimulai dengan tahap rekognisi atau pengenalan
akan arus ujaran yang disampaikan. Mengenal (rekognisi) berarti
menimbulkan kembali kesan yang pernah ada. Tahap pengenalan
dilanjutkan dengan tahap identifikasi, yaitu proses mental yang dapat
membedakan bunyi yang kontrastif, frase, kalimat atau teks, dsbnya.
Setelah tahap identifikasi, maka sampailah pada tahap pemahaman makna
kata ujaran yang disampaikan pembicara (Chaer, 2003 : 46 - 47 ).
A. KEILMIAHAN LINGUISTIK
Linguistik adalah ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. Sebelum membicarakan keilmiahan linguistik ada baiknya
dibicarakan dulu tahap-tahap perkembangan yang pernah terjadi dalam
setiap disiplin ilmu. Pada dasarnya setiap ilmu, termasuk juga ilmu
linguistik, telah mengalami tiga tahap perkembangan sebagai berikut.
Tahap pertama, yakni tahap spekulasi. Dalam tahap ini pembicaraan
mengenai sesuatu dan cara mengambil kesimpulan dilakukan dengan cara
spekulatif. Artinya, kesimpulan itu dibuat tanpa didukung oleh bukti-bukti
empiris dan dilaksanakan tanpa menggunakan prosedur-prosedur tertentu.
Misalnya, dalam bidang geografi dulu orang berpendapat, bahwa bumi ini
berbentuk datar seperti meja. Kalau `ditanya apa buktinya, atau bagaimana
cara membuktikannya, tentu tidak dapat dijawab, atau kalaupun dijawab
akan spekulatif pula.
Tahap kedua, adalah tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini para
ahli di bidang bahasa baru mengumpulkan dan menggolong-golongkan
segala fakta bahasa dengan teliti tanpa memberi teori atau kesimpulan
apapun.. Bahasa-bahasa di nusantara didaftarkan, ditelaah ciri-cirinya, lalu
dikelompok-kelompokkan berdasarkan kesamaan-kesamaan ciri
18
Tahap ketiga, adalah tahap adanya perumusan teori. Pada tahap ini
setiap disiplin ilmu berusaha memahami masalah-masalah dasar dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah-masalah itu
berdasarkan data empiris yang dikumpulkan.
Linguistik sangat mementingkan data empiris dalam melaksanakan
penelitiannya. Itulah sebanya,bidang semantik tidak atau kurang
mendapat perhatian dalam linguistik strukturalis dulu karena makna,
yang menjadi objek semantik, tidak dapat diamati secara empiris, tidak
seperti fonem dalam fonologi atau morfem dan kata dalam morfologi.
Kegiatan linguistik tidak boleh “dikotori” oleh pengetahuan si peneliti.
Kegiatan empiris biasanya bekerja secara induktif dan deduktif dengan
beruntun. Artinya, kegiatan itu dimulai dengan mengumpulkan data
empiris. Data empiris itu dianalisis dan diklasifikasikan. Lalu, ditarik
suatu kesimpulan umum berdasarkan data empiris itu.
Kesimpulan ini biasanya disebut kesimpulan induktif. Tetapi kalau
kemudian kata sangat dapat juga mewakili kata-kata seperti berhasil,
pemalu dan mengecewakan, maka sebenarnya bisa ditarik dua
kesimpulan yang berbeda. Pertama , kata-kata berhasil , pemalu, dan
mengecewakan itu termasuk kelas ajektifa karena memenuhi kesimpulan
umum yang telah ada sebelumnya. Kedua, kesimpulan umum yang
trelah dibuat sebelumnya itu belum menyimpulkan hakikat ajektifa yang
sebenarnya. Artinya, dapat tidaknya diawali dengan kata sangat itu
bukan merupakan hakikat ajektifa yang sebenarnya. Mungkin saja ada
hakikat ajektifa yang lebih hakiki.
Secara induktif, mula-mula dikumpulkan data-data khusus, lalu dari
kata-kata khusus itu ditarik kesimpulan umum. Secara deduktif adalah
kebalikannya. Namun, kebenaran kesimpulan deduktif ini sangat
tergantung pada kebenaran kesimpulan umum, yang lazim disebut
premis mayor.
Contoh: Premis Mayor : Semua mahasiswa luusan SMA
Premis Minor : Nita seorang mahasiswa
19
Kesimpulan deduktif : Nita adalah lulusan SMA.
Jelas, kesimpulan deduktif “Nita adalah lulusan SMA” adalah tidak benar,
meskipun cara penarikan kesimpulan benar dan sah. Mengapa? Sebab
dalam kenyataan tidak semua mahasiswa adalah lulusan SMA. Sebagai
ilmu empiris lingustik berusaha mencari keteraturan atau kaidah-kaidah
yang hakiki dari bahasa yang ditelitinya. Karena itu, linguistik sering juga
disebut ilmu nomotentik. Ciri-ciri bahasa dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, karena bahasa adalan bunyi ujaran ,maka linguistik melihat
bahasa sebagai bunyi. Artinya bagi linguistik bahasa lisan adalah bahasa
yang primer, sedangkan bahasa tulis adalah bahasa sekunder.
Kedua, karena bahasa itu bersifat unik, maka linguistik tidak berusaha
menggunakan kerangka suatu bahasa/dikenakan pada bahasa lain.
Misalnya, dulu banyak ahli bahasa yang meneliti bahasa-bahasa
Indonesia dengan menggunakan kerangka atau konsep yang berlaku
dalam bahasa Latin, Yunani, Arab, sehingga kita kini mewarisi konsep-
konsep yang tidak cocok untuuk di Indonesia, seperti konsep kata
majemuk, konsep tekanan kata, dan konsep artikulus.
Ketiga, karena bahasa adalah suatu sistem, maka linguistik mendekati
bahasa bukan sebagai unsur yang terlepas, melainkan sebagai kumpulan
unsur yang satu dengan yang lain mempunyai jaringan hubungan.
Pendekatan yang melihat bahasa sebagai kumpulan unsur yang saling
berhubungan, atau sebagai sistem itu, disebut pendekatan struktural.
Lawannya, disebut pendekatan atomistis, yaitu yang melihat bahasa
sebagai kumpulan unsur-unsur yang terlepas, yang berdiri sendiri-sendiri.
Keempat, karena bahasa itu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan
dengan perkembangan sosial budaya masyarakat pemakainya, maka
linguistik memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang dinamis.
Linguistik dapat mempelajari bahasa secara sinkronik dan diakronik.
20
Secara sinkronik artinya, mempelajari bahasa dengan berbagai aspeknya
pada waktu atau kurun waktu yang tertentu atau terbatas. Studi sinkronik
ini bersifat deskriptifkarena linguistik hanya mencoba memberikan
keadaan bahasa itu menurut apa adanya pada kurun waktu yang terbatas
itu. Secara diakronik, artinya, mempelajari bahasa dengan berbagai
aspeknya dan perkembangannya dari waktu ke waktu, sepanjang
kehidupan bahasa itu disebut studi historis komparatif.
Kelima, karena sifat empirisnya, maka linguistik mendekati bahasa secara
deskriptif dan tidak secara preskriptif. Artinya, yang penting dalam
linguistik adalah apa yang sebenarnya diungkapkan oleh seseorang
(sebagai data empiris) dan bukan apa yang menurut si peneliti seharusnya
diungkapkan.
Contoh : - Yang benar adalah kata silakan, bukan
silahkan.
- Yang baku adalah bentuk kata mengubah, bukan merubah atau merobah.
21
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Agustina Leonie. 2004. Sosiolinguitik Perkenalan Awal.
Jakarta : Rineka Cipta.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Edisi Revisi ke-3). Jakarta: Rajawali Pers.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Edisi Revisi ke-4). Jakarta: Rajawali Pers.
Subayakto N, Sri Utami. 1988. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
The Liang Gie. 1987. Filsafat Ilmu. Bandung: GANECA 4 EXACT.
http://faktaevolusi.blogspot.com/2008/02/asal-usul-bahasa.html. Diakses Minggu, 3 Oktober 2010, pukul 14.15 WITA.