jawaban atas pertanyaan ruu tentang pertanahan

Upload: yulianto-dwi-prasetyo

Post on 19-Jul-2015

216 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Jawaban Atas pertanyaan RUU tentang Pertanahan

TRANSCRIPT

Jawaban atas pertanyaan mengenai RUU tentang Pertanahan Oleh : Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik(Yulianto Dwi Prasetyo, APtnh. M.H.)

1.a. Urgensi pembentukan RUU tentang Pertanahan Undang-undang tentang Pertanahan yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang di- maksudkan diatas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar. Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi dan ketentuanketentuan pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-undang tentang pertanahan. b. Apa yang diperlukan mengganti, merevisi UUPA atau penyempurnaan UUPA.

- Undang-undang Pokok Agraria ( UU Nomor 5 Tahun 1960 ) adalah merupakan undangundang yang sangat kompleks dan lengkap karena didalamnya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia hubungannya dengan tanah, untuk itu UU Nomor 5 Tahun 1960 tidak perlu diganti , mungkin yang diperlukan adalah revisi pasal-pasal yang merupakan up dating dengan keadaaan sekarang serta penyempurnaan menyangkut aturan-aturan pelaksanaannya dan perangkat perundangan lainnya yang berhubungan dengan UUPA.

2. RUU tentang Pertanahan sejauh mana mampu menyelesaikan agenda Reforma Agraria sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001

Pada prinsipnya gerakan agraria adalah suatu usaha, upaya dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Karenanya yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama untuk tidak saja atas pentingnya pelaksanaan agenda reforma agraria di Indonesia, tapi juga ia menjadi gerakan bersama. Kalau dilihat saat ini proses gagasan reforma agraria belum menjadi agenda bersama di negara. Memang pada pertengahan tahun 2005, Ketua BPN-RI Dr. Joyo Winoto menggelorakan kembali gagasan reforma agraria ini. Kemudian disusunlah rencana PPAN. Dalam perjalanannya, konstelasi politik nasional agaknya belum kondusif untuk menggelorakan gerakan reforma agraria dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan BPN-RI menghadapi fait a compli. Belum sempat pimpinan BPN-RI menyusun rencana reforma agraria yang genuine, keburu kedahulan oleh pernyataan pemerintah guna membagi-bagikan seluas 9,15 juta hektar kepada rakyat. Citranya kemudian seolah-olah reforma agraria itu sekedar mambagi-bagi tanah. Sehingga timbul tafsiran, RA yang dibagi hanya tanah negara, sementara tanah-tanah luas yang

dikuasai oleh segelintir orang dan sudah bersertifikat tidak akan dikutak-kutik. Padahal, ujung dari reforma agraria adalah merombak struktur social-ekonomi masyarakat, menata-ulang struktur sebaran pemilikan, penguasaan, dan pengunaan tanah untuk kepentingan rakyat kecil. Sehingga seharusnya semua akan terkena perombakan. Sekarang yang terjadi adalah reforma agraria disandera oleh land distribution, bagi-bagi tanah dalam arti di atas, dan land registration (pendaftaran tanah) pemberian hak di atas tanah negara berupa sertifikat pemberian hak di atas tanah negara. Sehingga dibutuhkan beberapa beberapa syarat untuk ia menjadi gerakan bersama. Niat kuat (strong will) dari Pemerintah RI untuk menyusun agenda ini menjadi agenda negara dan gerakan bersama. Landasan untuk pelaksanaan atas gerakan ini juga sangat kuat. UUPA 1960 merupakan kebijakan yang lahir dari aliran falsafah negara yaitu Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Hal itu kemudian diperkuat dengan TAP MPR/IX/2001 Untuk pelaksanaannya dibutuhkan dukungan dari birokrasi, baik level yang paling tinggi hingga paling rendah. Tidak itu saja, perlunya dukungan dari kekuatan militer, mengingat penataan ulang struktur agraria yang lebih adil memiliki arti strategis. Penataan tersebut tidak hanya dalam arti geografis bagi militer, tapi juga sebagai alat produksi (unsur logistik). Mengorganisir pertanahanan suatu negara harus dimengerti mengorganisir dalam hubungan tanah, rakyat dan militer. Lebih jauh dari itu menyusun kekuatan pertahanan berarti juga menjadikan hubungan tanah, rakyat dan militer sebagai sesuatu kekuatan yang integral. Terdapatnya kesadaran masyarakat tidak saja bagi subjek landreform, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kesadaran ini berbasiskan bahwa pelaksanaan agenda reforma agraria sebagai postulat pembangunan nasional berkeadilan. Tidak berhenti bagi subjek penerima manfaat langsung (penerima lahan). Lebih dari itu, dalam jangka panjang manfaat ini juga diterima oleh masyarakat lainnya. Untuk obyektifitas pelaksanaan gerakan reforma agraria dibutuhkan suatu proses penelitian yang komprehensif. Agaknya sudah lama tidak ada proses penelitian yang komprehensif yang melibatkan organisasi rakyat yang mandiri. Proses partisipasi dari masyarakat bisa dibangun dari proses penelitian ini.3. Yang perlu diatur dalam RUU tentang Pertanahan

..

4. Apakah bidang tanah yang terdapat di propinsi sudah dilakukan pendaftaran tanah ? Berapakah jumlah bidang tanah yang dilakukan pendaftaran tanah ? Berapa jumlah luas bidang tanah yang telah bersertipikat ? Berapa jumlah luas dan bidang tanah yang belum bersertipikat ?

Terhadap semua pertanyaan diatas mengenai bidang tanah yang terdapat di propinsi sudah dilakukan pendaftaran tanah, mamang pada kenyataannya belum seluruhnya bidang tanah di wilayah propinsi dilakukan pendaftaran tanah, akan tetapi untuk mengetahui mengenai berapa jumlah bidang tanah yang telah terdaftar oleh Pusat Data dan Informasi Pertanahan (PUSDATIN) Badan Pertanahan Nasional telah di bangun suatu system Geo KKP yang berisi mengenai seluruh data base data pertanahan di seluruh wilayah Indonesia. Baik itu mengenai jumlah bidang tanah yang telah dilakukan pendaftaran tanah maupun berapa luas tanah yang bersertipikat juga yang belum bersertipikat. Memang amanat dari PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, terutama pada pasal 1 ayat 1 yang bunyinya :1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Jadi jelas bahwa Pendaftaran Tanah merupakan tugas dari Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai PMNA Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

5. Bagaimana penyimpanan data dan dokumen pertanahan oleh kantor pertanahan ? Bagaimana mekanisme tata cara pemeliharaan, publikasi, dan penyajian data serta dokumen pertanahan ? Penyimpanan data dan dokumen pertanahan yang dilakukan oleh kantor pertanahan dilakukan secara manual dan digital. Jadi disamping dilakukan penyimpanan data special dan grafikal secara manual juga dilakukan secara digital. Penyimpanan data secara digital dengan membangun system Geo Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP) diseluruh Kantor Pertanahan seluruh Indonesia yang secara on line dan real time data tersimpan pada server/media penyimpanan di BPN Pusat. Data tersebut dapat diakses secara real time oleh seluruh kantor pertanahan di seluruh Indonesia. Mengenai mekanisme tata cara pemeliharaan, publikasi, dan penyajian data serta dokmen pertanahan, telah diatur dalam Peraturan Perundangan yaitu dalam PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan PMNA Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah...

6. Apa saja langkah yang telah ditempuh BPN dalam meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Reforma Agraria, yang dalam implementasinya disebut juga Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), merupakan upaya bersama seluruh komponen bangsa dalam rangka menata kembali ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menuju struktur yang lebih menjamin keadilan, keberlanjutan dan meningkatkan kesejahteraan, sesuai dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. PPAN merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Tap MPRRI No. IX/MPR/2001). Dengan demikian PPAN dapat dimaknai sebagai program yang mengedepankan adanya asset reform dan acsess reform. Asset reform adalah sebagaimana pengertian landreform berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu menata ulang pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Sedangkan Acsess reform adalah adanya pembukaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi keuangan, manajemen, teknologi, pasar dan sumber-sumber politik serta partisipasi politik. Dalam konteks pembangunan nasional, PPAN diarahkan untuk menjawab permasalahan mendasar bangsa, yaitu kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial, tanah terlantar, dan sengketa serta konflik pertanahan. Berkenaan dengan Reforma Agraria ini, Presiden Republik Indonesia dalam Pidato Politik Awal Tahun 2007 pada tanggal 31 Januari 2007 menyatakan secara tegas arah kebijakannya mengenai program tersebut yakni: Program Reforma Agraria secara bertahap akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat [yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan. Reforma Agraria sejalan dengan prinsip pengelolaan pertanahan dalam rangka mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, yaitu (1) memberikan kontribusi nyata dan melahirkan sumber-sumber baru bagi kemakmuran rakyat; (2) meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; (3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat dan tanah; dan (4) berkontribusi nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari. Adapun tujuan dari Reforma Agraria (PPAN) adalah (1) menata kembali ketimpangan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ke arah yang lebih berkeadilan, (2) mengurangi kemiskinan, (3) menciptakan lapangan kerja, (4) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, (5) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah, (6)

meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga, dan (7) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Obyek Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Reforma Agraria (PPAN) merupakan agenda besar bangsa, akan dilaksanakan secara bertahap serta melalui mekanisme penyelenggaraan yang cermat guna memastikan pencapaian tujuannya. PPAN secara umum menyangkut tiga hal pokok kegiatan yaitu (1) Penentuan/penetapan Obyek PPAN; (2) Penentuan/penetapan Subyek PPAN dan (3) Model/Mekanisme pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Penulisan ini hanya hal pokok yang pertama yaitu Penentuan/penetapan Obyek PPAN. Untuk menunjang keberhasilan PPAN, maka tanah atau obyek PPAN harus tersedia dalam jumlah yang memadai dan dengan kualitas yang baik. Demikian pula jangka waktu penyediaan tanahnya tidak boleh terlalu lama, dengan cara yang sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sejalan dengan tahapan perencanaan yang telah ditentukan. Tanah-tanah obyek Reforma Agraria pada dasarnya adalah tanah Negara yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai obyek Reforma Agraria. Dengan pertimbanganpertimbangan di atas, tanah-tanah yang dapat dijadikan sebagai obyek Reforma Agraria adalah : 1. 2. 3. 4. Tanah yang haknya tidak diperpanjang atau tidak mungkin diperpanjang; Tanah bekas hak Barat yang terkena ketentuan konversi; Tanah yang berasal dari pelepasan hak; Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan dan atau yang tidak sejalan dengan keputusan pemberian haknya; 5. Tanah obyek landreform; 6. Tanah bekas obyek landreform; 7. Tanah timbul; 8. Tanah bekas kawasan pertambangan 9. Tanah yang dihibahkan oleh Pemerintah untuk Reforma Agraria; 10. Tanah tukar menukar dari dan oleh Pemerintah; 11. Tanah yang diadakan oleh Pemerintah untuk Reforma Agraria; 12. Tanah pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi; 13. Tanah yang sudah dilepaskan dari kawasan kehutanan menjadi tanah negara yang pemanfaatan tanahnya tidak sesuai dengan peruntukannya. Tanah-tanah obyek Reforma Agraria ini, tersebar baik di wilayah padat maupun kurang padat penduduk. Keberadaan tanah obyek Reforma Agraria dalam wilayah yang berpenduduk padat dipandang strategis dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan pertanahan seperti sengketa dan konflik pertanahan. Sengketa dan konflik pertanahan diperkirakan lebih terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang berpenduduk padat. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk kurang padat, tanah diperkirakan lebih tersedia dan lebih luas sehingga lebih dimungkinkan untuk melaksanakan restrukturisasi penguasaan dan penggunaannya. Untuk wilayah berpenduduk kurang padat, alternatif penyediaan tanah yang dapat dilaksanakan adalah

tanah yang berasal dari kawasan hutan, tepatnya pada kawasan Hutan Produksi yang dapat diKonversi (HPKv). Pertimbangan penyediaan tanah dari kawasan Hutan Produksi yang dapat di-Konversi ini antara lain adalah: (1) menata penguasaan dan penggunaan tanahnya, sehingga fungsi ekosistem kawasan ini tetap terjaga, (2) peruntukan penggunaan sebagai kawasan hutan produksi dapat lebih diefektifkan, (3) peraturan perundang-undangan yang ada memungkinkan dilepaskannya tanah-tanah tersebut dari kawasan hutan, dan (4) meminimalkan persinggungan dengan tanahtanah yang telah dikuasai oleh masyarakat. Sebagai langkah awal, dalam rangka penyediaan tanah untuk menunjang pelaksanaan Reforma Agraria (PPAN), Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melaksanakan kegiatan Penyusunan Ketersediaan Tanah Dalam Rangka Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang tertuang dalam DIPA Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Tahun 2007. Dalam kegiatan ini penyediaan tanah dikhususkan untuk tanah-tanah yang berasal dari wilayah berpenduduk kurang padat, yang berasal dari Kawasan Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPKv) yang tersebar di 17 Provinsi, salah satunya adalah Provinsi Riau. Pada dasarnya kegiatan ini adalah untuk memperoleh informasi yang lebih jelas dan labih pasti mengenai calon obyek Reforma Agraria (PPAN), menyangkut ketersediaan tanah dari aspek penguasaan dan aspek fisik, yang dilengkapi dengan kondisi penggunaan tanah, letak koordinat geografis yang lebih jelas, informasi aksesibilitas, karakteristik lokasi, keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitar dan informasi lain yang diperlukan dalam penyusunan ketersediaan tanah guna lebih menjamin terselenggaranya PPAN.7. Bagaimana sebaiknya penyelesaian konflik agrarian, apakah melalui : a. Forum ADR ( Alternative Dispute Resolution ) b. membentuk Lembaga yang mengatur seperti Strata Title Board c. Membentuk Peradilan Khusus Pertanahan. Jawab : Jadi untuk penyelesaian konflik agrarian seperti keadaan sekarang yang banyak timbul di masyarakat adalah dengan segera membentuk Peradilan Khusus Pertanahan. 8. Seajauh mana keefektifan peran Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN selama ini dalam mengkaji dan menyelesaikan masalah sengketa dan konflik pertanahan ?

Selama ini peran Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN dalam mengkaji dan menyelesaikan masalah sengketa dan konflik pertanahan banyak berperan dalam hal penanganan penyelesaian masalah sengketa dan konflik pertanahan baik itu melalui Mediasi ataupun Beracara di Pengadilan.Apakah perlu memperkuat kewenangan Deputi dalam menyelesaikan Konflik agrarian ?

- Karena dalam perkembangannya banyak konflik dan sengketa mengenai masalah pertanahan

maka dipandang perlu dibentuk suatu peradilan khusus pertanahan dimana peran Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN selama ini dalam mengkaji dan menyelesaikan masalah sengketa dan konflik pertanahan telah di akomodasikan dalam bentuk peradilan pertanahan .9. Untuk kepentingan pembangunan ke depan ada keinginan untuk mengatur Hak Atas Tanah yang mencakup ruang diatas tanah dan ruang di bawah tanah, bagaimanakah sebaiknya pengaturan mengenai Hak Atas Tanah seperti ini ?

Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia , adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.Memang pengaturan hak atas tanah yang mecakup ruang diatas tanah telah diakomodir dalam Undangundang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988, tentang : Rumah Susun.

Arah Kebijaksanaan dalam hal Rumah susun di atur dalam PP No.4 Tahun 1988 Pasal 2 (1) Pengaturan dan pembinaan rumah susun diarahkan untuk dapat meningkatkan usaha pembangunan perumahan dan pemukiman yang fungsional bagi kepentingan rakyat banyak. (2) Pengaturan dan pembinaan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan untuk: a. mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan pembangunan daerah perkotaan ke arah vertikal dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh; b. meningkatkan optimasi penggunaan sumber daya tanah perkotaan; c. mendorong pembangunan pemukiman berkepadatan tinggi.

10. - Pengaturan mengenai hak ulayat.

Tanah ulayat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terusmenerus, maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.

Eksistensi Hak Ulayat telah diatur dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 dinyatakan dengan tegas bahwa hak ulayat masih berlaku sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan harus disesuaikan dengan kepentingan nasional, kepentingan negara, persatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Dengan demikian, hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada yang dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari, pelaksanaan hak ulayat dibatasi sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak Ulayat itu dalam hukumagraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang- Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari pada tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 UUPA dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.

Apakah hak ulayat perlu didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan hukum ?

Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara , yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan peraturan yang tercantum dalam undang undang ini, dan dengan peraturan peraturan yang tercantum dalam undang undang ini , dan denga peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur unsur yang bersandar pada hukum agama. Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, denga tidak mengabaikan unsur unsur yang bersandar pada hukum agama. Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perli diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat. Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas) , pro kepada kepentingan negara, tidak bertentangan dengan undang undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama. Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan. Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan perundang undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian perjanjian ataupun transaksi transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian , Undang Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). Bahkan dalam Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai nilai agama, adat istiadat, dan lain lain yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional

untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini. Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960. Di sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan suatu teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang agraria. Pemerintah melalui berbagai cara telah berusaha untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah adat. Melihat luasnya tanah yang belum terdaftar dan dibandingkan dengan kemampuan aparat dan dana yang tersedia, maka menurut perkiraan akan memakan waktu yang cukup lama untuk dapat menyelesaikan pendaftaran tanah tersebut secara keseluruhan. Di samping usaha usaha Pemerintah untuk memberikan jaminan dan kepastian hak atas tanah masih ada kekhawatiran tertentu untuk gagasan pendaftaran tanah dan sertifikasi tanah adat, karena akan mengurangi kelestarian tanah tanah adat itu sendiri. Tentu saja ini tidak beralasan. Karena usaha di bidang pendaftaran tanah jelas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak dan demikian juga kepada objek, sehingga dapat dihindarkan persengketaan persengketaan yang tidak perlu terjadi. Dengan mendaftarkan tanah adat berdasarkan peraturan perundangan sembari memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional, sebenarnya kita telah memberikan suatu tanda kepada tanah itu, mana yang bias dialihkan, mana yang bisa diwariskan. Tentu saja usaha - usaha Pemerintah untuk menjaga jangan sampai ada penyimpangan dari ketentuan adat yang berlaku di bidang tanah, dimulai dengan surat tanda bukti penguasaan dan pemilikan tanah. Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Hak Ulayat telah diakui dalam UUPA, dan telah diakomodir oleh peraturan perundang undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). 11. Pengaturan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan investor dalam merencanakan suatu perjanjian dengan obyek tanah ulayat/tanah adat. ..

12. Apakah perlu diatur indicator suatu masyarakat dapat digolongkan sebagai masyarakat hukum adat yang kemudian berhak atas suatu tanah ulayat ? Dalam hal tanah ulayat perlu diatur indikator suatu masyarakat dapat digolongkan sebagai masyarakat hukum adat yang kemudian berhak atas suatu tanah ulayat

13. Perlukah suatu pengaturan khusus mengenai tanah-tanah di daerah perbatasan ? Dipandang perlu untuk mengatur tanah-tanah di daerah perbatasan karena wilayah perbatasan merupakan wilayah yang kompleks dari seluruh segi kehidupan bernegara, untuk itu perlu ada aturan khusus mengenai tanah-tanah di daerah perbatasan. ..

14. Bagaimana pengaturan Land Reform yang ideal

Pelaksanaan landreform diatur oleh Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagaimana dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 telah disahkan menjadi Undang-Undang. Landreform dalam arti sempit adalah upaya penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep agrarian reform (pembaruan agraria). Landreform di Indonesia berinduk kepada UUPA, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UUPA sebagai berikut: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Di dalam konsep hukum agraria nasional, bahwa landreform merupakan bagian dari struktur pembaruan agraria (agrarian reform). Maka dapat dikatakan landreform adalah agrarian reform dalam arti sempit yaitu hanya mencakup tanah, sedangkan agrarian reform dalam arti luas mencakup bumi, air dan ruang angkasa. Sebenarnya pembaruan agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. Landreform yang pertama di dunia, terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelum Masehi. Slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap), itu sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi. Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: landreform di jaman Romawi Kuno (134 SM), gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris selama 5 abad, dan Revolusi Perancis (1789-1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan landreform. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan dimana-mana (Asia, Afrika, dan Amerika Latin). Menurut Boedi Harsono, Program landreform di Indonesia meliputi : 1. 2. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee atau guntai.

3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah negara.

4. 5.

Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Jadi Land Reform yang ideal adalah upaya penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, yang telah disesuaikan dengan keadaan sekarang, yang artinya bahwa apabila pada jaman dahulu pemilikan dan penguasaan untuk tanah pertanian di Pulau Jawa di batasi sampai dengan 6 Hektar karena pada waktu itu tanah-tanah pertanian masih banyak, akan tetapi untuk keadaan sekarang yang sudah banyak mengalami perubahan peruntukan dan penguasaan tanah maka untuk penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian mungkin dibatasi sampai dengan 5 Hektar karena berkurangnya tanah-tanah pertanian. apa hambatan pelaksanaan Land Reform

Program landreform pernah dicoba diimplementasikan di Indonesia pada era tahun 1960-an, meskipun hanya mencakup luasan tanah dan petani penerima dalam jumlah yang sangat terbatas. Kemudian, sepanjang pemerintahan Orde Baru, landreform tidak pernah lagi diprogramkan secara terbuka, namun diganti dengan program pensertifikatan, transmigrasi, dan pengembangan Perkebunan Inti Rakyat, yang pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki akses masyarakat terhadap tanah. Sepanjang pemerintahan dalam era reformasi, telah dicapai beberapa perbaikan dalam hukum dan perundang-undangan keagrariaan, namun tetap belum dijumpai program nyata tentang landreform. Secara teoritis, ada empat faktor penting sebagai prasyarat pelaksanaan landreform, yaitu kesadaran dan kemauan dari elit politik, organisasi petani yang kuat, ketersediaan data yang lengkap, serta dukungan anggaran yang memadai. Saat ini, kondisi keempat faktor tersebut masih dalam kondisi lemah, sehingga dapat dikatakan implementasi landreform secara serentak dan menyeluruh di Indonesia masih sulit diwujudkan.

15. Sesuai dgn perkembangan Hukum dan IPTEK , bagaimana sebaiknya pengaturan penatagunaan tanah dan konsolidasi tanah ?

16. Bagaimana penanganan tanah HGU/HGB yang diterlantarkan pemegang hak ? Seperti tanah bekas pertambangan yang ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan pertambangan sementara HGU/HGB masih berlaku ? Disinilah peran dari BPN terhadap tanah-tanah HGU/HGB yang diterlantarkan pemegang hak seperti tanah bekas pertambangan yang ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan pertambangan

sementara HGU/HGB masih berlaku sebaiknya ditangani secara bijak bahwa terhadap tanahtanah tersebut pada waktu permohonan haknya sesuai termaktub dalam Surat Keputusan Pemberian Haknya harus memenuhi beberapa klausul yang diantaranya beberapa Kewajibankewajiban yang harus dipenuhi, dan apabila ada hal-hal yang menyimpang dalam pelaksanaan hak tadi maka dipandang perlu BPN untuk memberikan suatu peringatan dan yang pada akhirnya dapat dilakukan suatu pencabutan hak (HGU/HGB) meskipun HGU/HGB tanah tersebut masih berlaku. Karena hal ini jelas bertentangan dengan semangat yang di amanatkan dalam UUPA dan terlebih lagi Reforma Agraria. 17. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan terhadap tanah-tanah Negara yang muncul akibat tanah HGU yang telah berakhir waktunya dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak atau telah dicabut/dibatalkan haknya oleh Pemerintah, tanah-tanah terlantar, tanah timbul akibat reklamasi pantai, tanah-tanah bekas hak adat/ulayat, tanah bengkok yang menjadi dikelola akibat diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ? ..

18. Berdasarkan pasal 33 UUd 1945, Negara mempunyai hak menguasai, sejauh manakah Hak Menguasai Negara dipraktikkan ?

Hak Menguasai Negara (HMN) Atas Tanah Di dalam konstitusi negara, keberadaan hak menguasai negara disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara teoretis, pengaturan itu sesungguhnya bersifat deklaratif. Artinya, dengan atau tanpa ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas, negara Indonesia tetap sebagai pemegang hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan jalan pemikiran yang seperti itu dapat dipahami pandangan van Vollenhoven yang menyatakan: ... sebenarnya hak negara atas tanah untuk mengatur dan sebagainya itu tidak lain daripada kekuasaan negara terhadap segala sesuatu; dan tanah adalah suatu speciment, suatu hal khusus saja; jika di dalam hal ini kita perlu memberi bentuk lain, maka sudah barang tentu tidak boleh mengurangkan dan merobah kedudukan negara terhadap segala sesuatu itu.[2] Namun demikian, penyebutan secara tegas kewenangan negara atas tanah dengan hak menguasai negara tetap lebih bersifat positif, karena dengan penyebutan itu berarti dilakukan penegasan bahwa hak menguasai negara melekat pada seluruh tanah yang ada dalam lingkungan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA secara tegas pula dijabarkan isi kewenangan dari hak menguasai negara tersebut. Salah satu isinya adalah mengatur dan menyelenggarakan persediaan tanah. Substansi Pasal 2 ayat (2) dapat ditafsirkan termasuk persediaan tanah bagi keberlanjutan pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah bagi persediaan tanah dapat dilakukan secara sukarela (voluntary) seperti jual beli, penyerahan atau pelepasan hak; dapat pula dilakukan secara wajib (compulsory) seperti

pencabutan hak dan nasionalisasi. Oleh karena pengadaan tanah secara wajib pada hakikatnya merupakan cara paksa (sepihak), maka pengaturan pengadaan tanah secara wajib harus dilakukan atas dasar undang-undang. Dalam perspektif teoretis, terjadinya hak menguasai negara yang ditegaskan dalam konstitusi negara adalah karena pelimpahan unsur publik dari hak bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum tanah nasional (Pasal 1 UUPA). Karena yang dilimpahkan adalah unsur publik, maka secara otomatis isi kewenangan hak menguasai negara pun semata-mata berunsur publik sebagaimana yang secara eksplisit tampak pada Pasal 2 ayat (2) UUPA. Muhammad Bakri menyatakan bahwa kewenangan unsur publik hak menguasai oleh negara itu meliputi kewenangan negara mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelen daad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichtoudensdaad). Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan hak menguasai negara dalam peraturan keagrariaan dan sumberdaya alam berlangsung tanpa arah yang jelas. Kalau dicermati sistem pengaturan hak penguasaan atas sumber-sumber agraria di Indonesia, seyogianya UUPA merupakan induk dari semua aturan keagrariaan dan sumberdaya alam. Sebagai contoh, hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi pun diatur di dalam Pasal 8 UUPA. Dalam Pasal 8 UUPA ditentukan: Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Seharusnya, undang-undang yang mengatur tentang pertambangan menjadikan Pasal 8 UUPA ini sebagai landasan penyusunannya. Namun kenyataan hukum Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua undang-undang sektoral mengenai keagrariaan dan sumberdaya alam disusun tanpa mengindahkan UUPA. UUPA memang masih berlaku, tetapi dalam praksis hukumnya hanya dipandang sebagai landasan pengelolaan pertanahan semata. Dengan perkataan lain, UUPA dipetieskan, memang bukan dipetimatikan. UUPA secara normatif masih berlaku sebagai undang-undang bagi keagrariaan, namun dalam praktiknya tidak diacu dalam penyusunan undang-undang sektoral lainnya, seperti kehutanan, perairan, dan pertambangan. Para pendukung pemetiesan UUPA berdalih bahwa politik perundang-undangan Indonesia tidak mengenal undang-undang payung sehingga tidak ada kewajiban hukum untuk menjadikan UUPA sebagai acuan penyusunan undang-undang sektoral. Sesungguhnya, pengabaian UUPA dalam penyusunan undang-undang keagrariaan dan sumberdaya lainnya itu berakar pada perbedaan kebijakan pembangunan dalam penyelenggaraan negara. Para penyelenggara negara di masa Orde Lama konsisten pada amanat konstitusi yang ingin mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui politik agraria yang populis. Watak populisme UUPA telah teruji secara akademis, sayangnya ketika era Pemerintahan Orde Baru, populisme kebijakan keagrariaan berubah seiring dengan perubahan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pemilik modal (betting on the strong). Karena keberpihakan kepada pemilik modal inilah, maka berbagai perundang-undangan sektoral produk Orde Baru dikondisikan untuk mendahulukan kepentingan si empunya modal daripada rakyat pada umumnya. Harapannya, keberpihakan kepada si empunya modal akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat juga (trickle down effect). Akibatnya, politik hukum perundang-undangan sektoral ini akhirnya berwatak pragmatis mendukung kepentingan si pemilik modal yang dipercaya akan menjadi pahlawan kemakmuran. Berbagai kebijakan Pemerintah Orde Baru ditujukan untuk memfasilitasi kepentingan usaha para pemilik modal. Meskipun pada akhirnya catatan sejarah menunjukkan bahwa ketika negara ini dalam keadaan sangat membutuhkan

modal pembangunan, si pemilik modal tidak dapat membuktikan dirinya sebagai pahlawan kemakmuran. Meskipun Pasal 2 ayat (2) UUPA tidak menyebutkan rincian kewenangan Hak Menguasai Negara tidak seperti ketentuan Pasal 2 ayat (2) itu. Seyogianya hal tersebut dipandang sebagai tafsir otentik dari pengertian Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan untuk meruntutkan sistem Hak Penguasaan atas tanah yang konsisten di ambil dari hukum adat. Hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah adanya aturan pada level undang-undang (dalam arti formal) yang memberikan kewenangan untuk mengambilalih secara wajib (compulsory) tanah warganegara demi kepentingan umum. Pembatasan hak menguasai negara seyogianya tidak dimaksudkan untuk mengkerdilkan kekuasaan negara itu sendiri. Sudah seharusnya negara mempunyai kekuasaan yang besar untuk menata wilayahnya termasuk menata tugas-tugas pemerintahan di bidang pertanahan. Hal penting adalah Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) dipastikan untuk diarahkan sungguh-sungguh bagi terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kondisi transisional sekarang ini kekuasaan yang besar itu justru sangat penting di bidang pertanahan untuk mengendalikan negara dari rongrongan yang mungkin terjadi termasuk rongrongan eksternal.

19. Apakah perlu sanksi pidana dalam RUU Pertanahan ?

Mengingat banyaknya kasus-kasus pidana yang menyangkut masalah pertanahan maka dipandang sangatlah diperlukan mengenai sanksi pidana dalam RUU Pertanahan.

Jika perlu bagaimana pengaturan sanksi pidana yang efektif dan tepat ? Pengaturan mengenai sanksi pidana adalah agar segera dibentuk peradilan pertanahan untuk memperkuat pelaksanaan Undang-Undang (UU) tentang Pertanahan. Mengapa hal ini diperlukan karena karena sejumlah kasus sengketa tanah di pengadilan justru dimenangkan para mafia tanah. Langkah perapihan dan penertiban sertifikat lewat metoda digital yang transparan bagi publik yang dila-kukan BPN, menjadi sia-sia. "Percuma saja BPN melakukan perapihan surat tanah lewat sistem digital yang transparan kalau akhirnya mentah begitu saja di bawah palu hakim. Dalam sejumlah kasus sengketa tanah di pengadilan, majelis Hakim cenderung menyisir sertifikat yang sudah jelas asal usul dan pihak yang menerbitkan. "Tetapi mereka tidak pernah meneliti asal usul dan menguji surat girik. Anehnya, para hakim ini justru memenangkan mereka yang menyodorkan girik dan mementahkan para pemilik sertifikat.