jadwal - univet bantaralppm.univetbantara.ac.id/data/materi/prosiding...sekuler itu sering diterima...

24

Upload: others

Post on 25-Jun-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 181

DIMENSI RELIGIUS DALAM TRADISI LISAN ISLAMI DI SURAKARTA

Dr. Farida Nugrahani, M.Hum.

FKIP & MPBI Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

Surel: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan aneka tradisi lisan Islami di Surakarta;

(2) mendeskripsikan dimensi religius pada tradisi lisan Islami di Surakarta. Metode penelitian

ini adalah kualitatif deskriptif yang berbasis pada metode berpikir induktif. Data penelitian

berupa soft data yakni kata, ungkapan, kalimat, dan wacana pada tradisi lisan yang mengandung

dimensi religius. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, wawancara mendalam,

dan observasi. Analisis data dilakukan dengan model interaktif yang meliputi sajian data, reduksi

data, dan verifikasi data/simpulan serta menggunakan metode pembacaan model semiotik yang

mencakup pembacaan heuristik dan hermeneutik dalam pemaknaannya. Adapun hasil penelitian

dan pembahasannya: (1) Aneka tradisi lisan Islami di Surakarta meliputi: (a) puji-pujian (sehabis

adzan dan menjelang iqamat/shalat berjamaah di masjid); (b) melagukan dzikir; (c)

qiraah/tilawatil Quran (Seni Membaca al-Quran); (d) pembacaan al-Barzanji

(Berjanjen/Berjanjenan); (e) tadarrus al-Quran binnadhar (membaca dengan melihat al-Quran)

dan bil ghaib (membaca dengan hafalan/tahfidz); (2) Dimensi religius dalam tradisi lisan Islami

di Surakarta antara lain: (a) pentingnya keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat; (b) berani

melakukan instrospeksi (mengakui kesalahan diri); (c) obat hati ada lima (tombo ati ana lima);

(d) manusia itu makhluk lemah; (e) Tuhan tempat bersandar bagi manusia; (f) Tuhan mahakuasa

atas segala sesuatu.

Kata kunci: dimensi religius, tradisi lisan Islami, Surakarta

ABSTRACT

The purpose of this study was to (1) describe the various Islamic oral tradition in Surakarta; (2) describe

the religious dimension of the Islamic oral tradition in Surakarta. This research method is descriptive

qualitative method based on inductive thinking. The research data in the form of soft data that is a word,

phrase, sentence, and discourse in oral tradition containing religious dimension. Data collected by

library techniques, in-depth interviews, and observation. Data analysis was performed with an interactive

model that includes data presentation, data reduction, and data verification/conclusions and method

semiotic reading of models that include heuristic and hermeneutic reading in pemaknaannya. The results

of research and discussion: (1) Various Islamic oral tradition in Surakarta include: (a) praise (after a

call to prayer and before the Iqama/prayers in mosques); (b) intone dhikr; (c) qiraah/Tilawatil Quran

(al-Quran Reading Arts); (d) the reading of al-Barzanji (Berjanjen/Berjanjenan); (e) tadarrus Koran

binnadhar (read by looking at the Koran) and bil supernatural (read by rote/Tahfidz); (2) The religious

dimension in the Islamic oral tradition in Surakarta, among others: (a) the importance of the balance of

the life of the world and the hereafter; (b) the courage to do introspection (self-acknowledging fault); (c)

there are five heart medications (Tombo ati ana five); (d) human beings are weak; (e) the Lord lean for

man; (f) an omnipotent God over everything.

Keywords: religious dimension, the Islamic oral tradition, Surakarta

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 182

A. Pendahuluan

Globalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang pasti membawa konsekuensi tertentu.

Konsekuensi itu adalah nilai-nilai baru atau asing yang dibawa serta dan sering bertentangan

dengan nilai-nilai tradisi. Bahkan, nilai-nilai baru itu sering tidak sejalan terhadap tradisi

masyarakat Indonesia yang dulu dikenal sebagai masyarakat religius.

Budaya tradisi lisan Jawa Islami di Indonesia mengalami kemunduran. Hal itu dapat

ditelusuri dari perjalanan sejarah. Salah satu faktor penyebab kemuraman seni budaya Islam itu,

antara lain umat Islam belum mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan seni

budayanya berhubung baru terlepas dari cengkraman penjajah yang berabad-abad lamanya,

yang telah mengeksploitasi konflik antarmazdhab demi politik devide et impera-nya.

Di antara sebab terjadinya gejala kemuraman itu adalah umat Islam kurang respek

terhadap masalah-masalah seni budaya sebagai akibat dati produk pandangan sebagian ulama

pada zaman penjajahan yang mengintroduksi suatu fatwa bahwa meniru-niru segala sesuatu

yang berbahu kaum penjajah (baca: Barat) itu haram hukumnya. Pandangan dan fatwa

demikian cukup efektif dan dapat diterima pada masa penjajahan dalam rangka konfrontasi total

umat Islam terhadap penjajah dalam rangka mengusir kaum kolonial dari bumi Indonesia.

Bukan mustahil kita akan menyaksikan suatu potret buram budaya tradisi Jawa Islami di

Indonesia di tengah akselerasi kebudayaan mancanegara yang membanjir dalam kehidupan

masyarakat melalui media massa. Lebih-lebih pada abad informasi sebagai dinyatakan oleh

futurolog Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock (1970) dan Naisbitt & Aburdene dalam

Ten New Direktions for the 1990"s: Megatrends 2000 (1990), maka gempuran budaya Barat itu

kepada negara-negara dunia ketiga tak terelakkan. Parahnya, budaya barat yang cenderung

sekuler itu sering diterima oleh masyarakat sebagai kebudayaan modern (baca: maju) tanpa

reserve atau filter.

Di wilayah seputar Surakarta dapat dilihat adanya gejala-gejala potret buram budaya

tradisi Jawa Islamiitu. Padahal dilihat dari konteks sejarah, Surakarta sejak sebelum zaman

kolonial merupakan pusat kerajan, yang juga merupakan pusat budaya, sekaligus juga pusat

pengembangan agama Islam, yakni Kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran.

Perkembangan budaya tradisi Jawa Islami di Surakarta dipengaruhi oleh adanya dua

pusat kerajaan itu besar yakni Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten

Mangkunegaran Surakarta. Hal ini mengingat kehidupan seni budaya tidak dapat terlepas dari

kehidupan keraton karena dalam sejarahnya Islam masuk ke Indonesia dan berkembang cepat ke

seluruh Nusantara terutama melalui pusat pemerintahan kerajaan (kraton) dan didukung dengan

seni budaya. Metode dakwah yang diterapkan oleh para wali, Sunan Kalijaga misalnya, dalam

mensosialisasikan ajaran Islam melalui seni budaya masyarakat zaman itu yang hingga kini

masih populer yakni wayang purwa/kulit, dengan musik gamelan/karawitannya.

Berkembanglah berbagai budaya tradisi Jawa Islami dalam bidang musik, sastra, tradisi

lisan, kaligrafi, dan upacara tradisi. Budaya tradisi Jawa Islami itu hingga kini masih terlihat

sisa-sisanya seperti upacara tradisi Sekaten (baca: Syahadatain: artinya dua syahadat yakni

kesaksian Tauhid (ketuhanan) dan kesaksian Rasul (Kenabian) dengan musik gamelannya, ritual

menyambut tanggal 1 Muharam/Asyura, musik rebana, dan sebagainya.

Kemajuan sains dan teknologi justru semakin mempertegas eksistensi ajaran Islam

karena Islam sangat menghargai logika. Ancaman terhadap kebudayaan (umat) Islam justru

datang dari kebudayaan Barat. Penetrasi kultur Barat dengan segala jenis dan teknisnya serta

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 183

dengan dalih I'art pour l'art (seni untuk seni) telah menyusup ke daerah-daerah Islam dan

bahkan sebagiannya telah diterima oleh kawula muda (teen ager)-nya.

Tidak dapat disangkal angkatan muda Islam telah terbius oleh seni budaya Barat.

Mereka sok modern, sikap dan perilakunya kebarat-baratan, dan lebih menggandrungi produk-

produk seni budaya Barat seperti seperti musik rock, pop, lalu dance group modern, tari-tarian

erotis, bahkan film porno/biru (blue film), yang lebih berorientasi pada hiburan saja (kitsch)

serta lebih berkesan glamour, eksotis dan hedonis, yang bertentangan dengan etik Islam.

Muncul kecenderungan mereka menjauhi seni budaya berdimensi Islam dengan alasan budaya

tradisi Jawa Islami sudah ketinggalan zaman.

Kehidupan budaya tradisi Jawa Islami di Surakarta menghadapi problema. Di satu pihak,

masyarakat umum lebih cenderung menyukai seni budaya modern yang dianggapnya lebih

praktis, dinamis, glamour, dan rekreatif. Di pihak lain para pelaku budaya tradisi Jawa Islami dan

lembaga-lembaga penyangganya kurang serius dalam mengembangkan budaya tradisi Jawa

Islami itu. Padahal budaya tradisi Jawa Islami merupakan warisan dari leluhur yang perlu

dilestarikan guna lebih memperkaya kebudayaan nasional. Mengingat, pada awal kehadiran

Islam di Nusantara budaya tradisi Jawa Islami memegang peran sangat penting. Dengan budaya

tradisi itulah agama Islam dapat berkembang tanpa mengalami konflik horizontal yang berarti

dengan masyarakat.

Honigmann membagi tiga wujud kebudayaan, yakni : (1) ideas, (2) activities, dan (3)

artifacts (dalam Koentjaraningrat, 1988:188). Wujud pertama adalah kompleks dari ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan, dan sebagainya, yang juga sering disebut sebagai wujud

ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau dilihat. Wujud kedua adalah

kompleks aktivitas dan tindakan berpola manusia dalam masyarakat, yang juga sering

disebut sistem sosial (social system). Sistem sosial ini terdiri atas aktivitas manusia yang

berinteraksi, berhubungan, dan bergaul dari masa ke masa selalu menganut pola tertentu yang

berdasar adat tata kelakuan. Wujud ketiga adalah benda-benda atau hal-hal dapat diraba, dilihat,

dan difoto (Koentjaraningrat, 1988:188-190). Dengan demikian kebudayaan itu sangat

kompleks, meliputi hampir seluruh aspek dan aktivitas manusia.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut, dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tak

terpisahkan satu dengan lainnya. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi

arah kepada tindakan dan karya manusia. Pikiran, ide-ide, tindakan dan karya manusia

menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk

suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan

alamiahnya sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan pola berpikirnya.

Dari semua wujud kebudayaan di atas, maka terdapat tujuh unsur kebudayaan, yang

dapat disebut juga sebagai isi pokok kebuyadaan secara universal, yakni: bahasa, sistem

pengatahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,sistem mata pencaharian

hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1988:206).

Seperti halnya kebudayaan Islam, budaya tradisi Jawa Islami adalah seni budaya yang

dilandasi/dijiwai oleh ajaran Islam, karya orang atau umat Islam yang committed atas

agamanya (Anshari, 2006:145, 162). Segala kreasi seni budaya yang bernafaskan Islam dan

diciptakan orang atau sekelompok orang Islam disebut budaya tradisi Jawa Islami.

Seni budaya sering diasosiasikan dengan kesenian. Menurut Read (1979:16), kesenian

adalah penciptaan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Kesenian di sini dimaksudkan

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 184

sebagai kesenangan estetika (aesthetic pleasure). Karena itu, kesenian itu adalah penjelmaan

rasa estetika, rasa keindahan yang menimbulkan kesenangan bagi penikmatnya.

Budaya tradisi Jawa Islami banyak ragamnya. Tiap daerah memiliki ragam seni budaya

tersendiri. Namun secara garis besar budaya tradisi Jawa Islami dapat dibagi menjadi tiga yakni :

(1) Upacara tradisi, (2) budaya lisan, dan (3) budaya tulis (Mansyur, 1992:106). Ketiga macam

budaya itu masing-masing terdiri atas berbagai macam tampilan, seperti pembacaan Al-Barzanji,

shalawat Nabi Muhammad Saw., kentrung, musik rebana, radatan, dan sebagainya. Pada

umumnya budaya tradisi Jawa Islamiitu ditampilkan pada upacara menyambut kelahiran

(maulid) Nabi Muhammad saw., peringatan Israk Mikraj, upacara perkawinan, selamatan, dan

lain-lain.

Hubungan antara agama, etika, dan estetika (kesenian) sangat erat. Menurut Gazalba

(1997:34) seni dilahirkan oleh agama, dan etika tidak lain adalah rumusan ajaran agama

tentang yang baik dan buruk. Terjalin hubungan antara agama dengan seni dan agama dengan

etika. Karena itu, dengan penyamaan nilai antara yang bagus dengan yang baik, terjalin pula

hubungan antara seni (estetika) dengan etika. Ketiganya berhubungan erat, membentuk segi tiga

sama sisi, yang dapat digambarkan sebagai berikut.

AGAMA

ETIKA ESTETIKA

(MORAL) (SENI)

Tercatat dalam sejarah kebudayaan bahwa perkembangan agung kesenian selalu

diilhami oleh perasaan agama yang kuat. Periode itu ditandai oleh empat hal yakni: (1)

perasaan mendalam yang mencari ekspresi/pernyataan, (2) seni yang diekspresikan dalam

bentuk yang sesuai, (3) apresiator simpatik yang mampu menghargai karya seni itu, dan (4)

motif agama yang kuat yang melatarbelakangi ciptaan-ciptaan besar (Gazalba, 1997:37).

Berdasarkan pandangan dan pemikiran di atas, maka budaya tradisi Jawa Islami yang

dimaksudkan dalam penelitian ini adalah segala seni budaya yang merupakan hasil oleh pikir dan

aktivitas manusia yang berdimensi Islam, dan yang diciptakan oleh orang atau umat islam

yang memiliki komitmen tinggi terhadap agamanya, baik berupa ide atau gagasan, sistem

sosial, maupun hasil karya yang dapat diraba, dilihat, dan disaksikan. Jadi, seni budaya Islam

dapat berupa kesenian, budaya lisan, budaya tulis (sastra), upacara tradisi, yang berdimensi

Islam.

Muncul adanya proses interaksi antara budaya dan nilai-nilai agama secara abstrak.

Abstrakisasi perpaduan nilai ini terwujud dalam lembaga-lembaga adat (institution). Lembaga-

lembaga tersebut dilapis genda oleh nilai-nilai agama dan adat-istiadat. Di beberapa daerah

Indonesia, dapat kita lihat interaksi ini dalam bentuk hikayat di Aceh, upacara adat/ tradisi di

Jawa, adat-istiadat masyarakat Minang, dan sebagainya (Ali, 1995:75).

Menurut Shiddiqi, identitas kebudayaan Indonesia menyatu dengan identitas bangsa

Indonesia sendiri, yakni masyarakat yang berjiwa agamis dan bersemangat gotong royong

(dalam Husein (Ed.), 2001:178). Adalah suatu kenyataan bahwa kebudayaan Indonesia bersifat

Bhinneka Tunggal Ika. Satu kenyataan pula jika ditinjau dari segi agama yang dianut, bahwa

penganut agama Islam menduduki jumlah mayoritas, mencapai lebih dari 80% dari jumlah

seluruhnya. Karena itu dapat dipahami bahwa budaya tradisi Jawa Islami berpengaruh besar

dalam menunjang kebudayaan nasional.

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 185

Di samping jumlahnya yang mayoritas, Islam yang telah berkembang di Indonesia

setidaknya lebih dari enam abad, telah menjadi bagian dari kebudayaan yang ideal, khususnya

di pedesaan (Geertz, 1986:32-59). Itu sebabnya Eric Wolf (1976:65-78) menyebut ulama

Indonesia sebagai cultural broker, makelar budaya karena para ulama telah memainkan peran

penting dalam mewujudkan Islam sebagai kebudayaan ideal dalam masyarakat pedesaan di

Indonesia.

Bagaimana merasuknya ajaran Islam dalam kebudayaan Indonesia dapat dilihat dalam

ungkapan yang populer di Aceh: "Adat bak po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala"=

Adat pada almarhum (Iskandar Muda), hukum pada Syiah Kuala (Hamzah Al-Fansuri). Di

Minangkabau juga terdapat ungkapan yang senada dengan itu, yakni: "Adat basendi Syara’,

Syara’ basendi kitabullah"= "Adat bersendi syari'at/ agama, syari'at/ agama bersendi al-Quran"

(lihat Shiddiqi, dalam Husein (Ed.) 2001:178). Ungkapan itu mencerminkan betapa adat yang

bersendikan agama merasuk bahkan menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan

kata lain, seni budaya masyarakat Indonesia bergayut erat dan sarat dengan agama. Tidak

berlebihan jika dikatakan bahwa budaya tradisi Jawa Islami berperan penting dalam menunjang

kebudayaan nasional Indonesia. Budaya tradisi Jawa Islami bukan saja releven tetapi juga besar

peran dan kontribusinya dalam memperkaya khasanah kebudayaan nasional.

Mengacu pada pengertian budaya tradisi Jawa Islami di atas, maka yang dimaksud

dengan seni musik tradisi Islami dalam penelitian ini adalah sejumlah seni musik yang

berdimensi Islam, yang diciptakan umat Islam, dan memiliki komitmen terhadap Islam, yang

masih menggunakan instrumen tradisional dengan penggarapan musik (aransemen) yang

konvensional. Jadi, seni musik Islam tradisi di sini belum menggunakan instrumen modern dan

aransemen yang kontemporer atau eksperimental. Lazimnya, instrumen musik yang digunakan

adalah perkusi, seperti kendhang, ketipung, jedhor (drum), terbang, tamborin/genjreng,

terkadang dilengkapi mandholin, gitar dan bas akustik, serta accordion, yang kesemuanya non-

electrik. Misalnya: Rebana, terbangan, Shalawatan, nyanyian al-Barzanji, orkes gambus, dan

orkes Qasidah.

Dalam variasi perkembangannya, dapat saja seni musik Islam tradisi menggunakan satu

atau sebagian instrumen modern tetapi aransemen musiknya tetap konvensional. Misalnya

Qasidah, seni musik ini sebagian instrumennya berupa mandolin, gitar elektrik dan bas akustik

atau bas elektrik (electric guitar dan electric guitar bass), tetapi aransemennya masih gaya

konvensional.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan aneka budaya tradisi lisan Islami

yang ada di wilayah Surakarta dewasa ini; (2) mengungkapkan dimensi religious dalam tradisi

lisan Islami di Surakarta pada era global.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di daerah kota Surakarta dan sekitarnya. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus terpancang (embedded

research and case study). Disebut studi kasus karena penelitian ini memfokuskan kajiannya pada

budaya tradisi jawa Islami di Surakarta dan terpancang karena fokus dan tujuan penelitian sudah

ditentukan lebih dulu sebelum peneliti terjun ke lapangan pernelitian. Data penelitian ini adalah

data kualitatif yakni berbentuk data verbal atau wacana yang berasal dari hasil observasi,

wawancara atau rekaman, dan pustaka. Data dalam bentuk wacana diolah dengan cara

menuliskan hasil observasi lapangan dan studi kepustakaan. Adapun jenis sumber data dalam

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 186

penelitian ini meliputi: (1) Narasumber (Informant) terdiri atas tokoh masyarakat penyangga seni

budaya Islam, pengurus organisasi social keagamaan, seniman, budayawan, kritikus, dan warga

masyarakat yang memahami budaya tradisi Jawa Islami di Surakarta; (2) Peristiwa seni budaya

yang berlangsung dalam momen-momen dan kesempatan tertentu yang menampilkan seni

budaya tradisi Jawa Islami di Surakarta; (3) Pustaka dan dokumen resmi antara lain arsip dan

dokumen resmi mengenai budaya tradisi Jawa Islami di Surakarta kaitannya dengan dinamika

kebudayaan nasional, monografi wilayah Surakarta dan peta budaya. Sesuai dengan sumber

datanya, pengumpulan data meliputi: (1) Wawancara mendalam (in-depth interviewing) yang

dilakukan dengan tidak struktur dan dengan pertanyaan yang semakin memfokus sehingga

mampu mengorek kejujuran informan untuk memberikan informasi objektif; (2) Observasi

langsung (partisipasi) dengan cara formal dan informal guna mengamati berbagai peristiwa dan

fenomena yang ada; (3) Analisis dokumen (content analysis) untuk pengumpulan data yang

bersumber pada kepustakaan, arsip, dan dokumen yang ada, dengan ditunjang monografi wilayah

Surakarta, peta dan foto. Untuk menjamin validitas data dilakukan dengan teknik trianggulasi

data dan informant review. Trianggulasi data yakni mengumpulkan data sejenis dengan

menggunakan berbagai sumber data yang berbeda dan yang tersedia, kebenaran data yang satu

diuji dengan data dari sumber data yang lain, menyusun data base dan kaitan bukti, lalu

dikomunikasikan dengan informant-nya terutama narasumber kunci (key informant) (Sutopo,

2002:83). Teknik analisis yang digunakan adalah model interaktif (Miles and Huberman,

1984). Dalam model interaktif, tiga komponen analisis yakni sajian data, reduksi data, dan

penarikan simpulan atau verivikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan

pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Dalam bentuk ini, peneliti tetap bergerak di

antara empat komponen (termasuk di dalamnya proses pengumpulan data), selama proses

pengumpulan data penelitian berlangsung. Selanjutnya, peneliti bergerak di antara ketiga

komponen analisis yakni reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Aneka Tradisi Lisan Islami di Surakarta

Secara garis besar budaya tradisi Jawa Islami menurut Mansyur (1992:106) dapat dibagi

menjadi tiga yakni budaya tradisi lisan, (2) Budaya tulis, dan (3) Upacara tradisi. Di samping itu,

masih ada jenis budaya Islam yang tak kalah penting yakni (4) Seni musik, dan (5) Seni rupa.

Dari kelima jenis budaya tradisi Jawa Islami itu pada penelitian ini difokuskan pada satu

cabang budaya tradisi Jawa Islami yakni budaya/tradisi lisan. Hal ini dipilih mengingat cabang

budaya Islam itulah yang relevan dengan pengkajian masalah. Dalam hal ini budaya tradisi Jawa

Islami dalam era global menghadapi tantangan dan kendala.

Tradisi lisan yang bernuansa Islam (selanjutnya disebut tradisi lisan) yang hidup dan

berkembang dalam kehidupan komunitas Islam di Surakarta banyak sekali ragamnya yang

memiliki variasi yang khas. Tradisi Islam ini hampir sering dipentaskan dalam berbagai

peristiwa yang berkaitan dengan acara keagamaan Islam. Adapun tradisi lisan Islami yang

masih hidup berkembang di tengah mayarakat Surakarta sebagai warisan masa lalu antara lain:

a. Puji-pujian (sehabis adzan dan menjelang iqamat/shalat berjamaah di masjid).

Tradisi lisan jenis ini pada umumnya berisi ajaran Islam, nasihat yang berdasarkan atau

diambil d ari ajaran Islam, baik mengenai aqidah/keimanan, syari'ah maupun akhlak dan

muamalah (hubungan antarmanusia) pada umumnya. Dalam kehidupan komunitas Islam di

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 187

Surakarta puji-pujian ini ada yang menggunakan bahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Jawa.

Berikut beberapa contoh puji-pujian yang berbahasa Arab.

1) Doa mohon kebahagiaan dunia akhirat

Rabbana atina fid dunya hasanah

wafil akhirati hasanatan

waqina 'adzaban nar.

Artinya:

Tuhan kami berilah kami kebahagiaan hidup di dunia

dan kebahagiaan hidup di akhirat

dan jauhkan kami dari api neraka.

2) Doa mohon ampun

Rabbana ya rabbana

rabbana zhalamna anfusana

wainlam taghfirlana

watarhamna lanakunanna minal khasirin.

Artinya:

Tuhan kami Wahai Tuhan kami

Tuhan kami aku telah beruat aniaya pada diriku sendiri

dan jika Tuhan tidak mengampuniku

dan tidak mengasihiku sungguh aku termasuk orang yang merugi.

3) Shalawat Badriyah

Shalatullah salamullah Tawassalna bibismillah

'ala thaha Rasulillah wabil hadi Rasulillah

Shalatullah salamullah waqulli mujahidin lillah

'ala yasin habibillah biahlil badri ya Allah

Adapun contoh puji-ujian berbahasa Jawa misalnyaTombo Ati:

Tombo ati iku ana lima wernane

maca Qur'an anggon-anggon sak maknane

loro shalat limang wektu lakonono

telu ngurangono mangan syukur pasa

kaping pate wong kang shaleh kumpulono

kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

sopo wonge kang bisa anglakoni

insya'Allahu ta'ala ngijabahi.

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 188

Jika dilihat dari sejarah perkembangannya, puji-pujian semarak terdengar di berbagai

masjid di daerah Surakarta sejak beratus-ratus tahun lalu hingga pada dekade 1970-an.

Memasuki dekade 1980-an puji-pujian mulai menurun frekuensinya dan bahkan pada dekade

1990-an sudah jarang sekali puji-pujian terdengar dilantunkan di masjid-masjid. Bahkan, di

masjid Tegalsari Laweyan yang merupakan salah satu pusat komunitas Muslim puritan pun

puji-pujian itu sudah tidak terdengar lagi. Hanya di beberapa masjid tertentu yang kadang-

kadang masih melantunkan puji-pujian misalnya masjid di lingkungan Pondok Pesantren Al-

Muayyad Mangkuyudan, Langgar Cilik Mangkuyudan, masjid Jayengan, dan beberapa masjid

di pinggiran daerah Surakarta.

Menurut K.H. Naharussurur (Alm.), Pimpinan Pondok Pesantren Ta'mirul Islam

Tegalsari Surakarta, salah satu sebab menurun atau menghilangnya puji-pujian di masjid-masjid

adalah adanya kritik atau ketidaksetujuan beberapa tokoh agama atau ulama yang menganggap

pelantunan puji-pujian pada saat menjelang iqamah tidak ada dasar hukum/syari'atnya sehingga

dianggap sebagai bid'ah (tidak diajarkan Rasulullah Saw.). Di samping itu, menurutnya, puji-

pujian dipandang terlalu mendewakan/mengagung-agungkan Nabi Muhammad Saw. yang

dapat menuju pada kultus individu yang tidak dibenarkan oleh Islam. Juga, pengaruh zaman

yang sedang mengalami transformasi sosial budaya juga turut mematikan tradisi puji-pujian

itu.

Kehadiran Kyai mBeling Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang mengaktualisasikan

kembali puji-pujian diiringi Gamelan Kyai Kanjeng dengan musik eksperimentalnya yang

dipublikasikan melalui rekaman pada kaset dan CD (Compact Disc), agaknya mampu

menggugah kembali gairah semaraknya puji-pujian di kalangan Islam. Kini para tokoh agama

dan ulama banyak yang berkeinginan untuk menghadirkan kembali puji-pujian di masjid-

masjid yang dilantunkan pada saat antara adzan dan iqamah sambil menunggu dimulainya

shalat berjamaah.

Lagu-lagu Cak Nun yang sangat populer di kalangan generasi muda Islam bahkan orang

tua seperti: Tombo Ati, Ilaahi lastu, Shalawat Badriyah, rupanya mampu membuka kesadaran

akan nilai-nilai budaya agama Islam klasik dalam kehidupan modern kini. Tidak sedikit kini

kalangan remaja Muslim mulai melantunkan lagi puji-pujian di masjid-masjid. Yang menarik

puji-pujian yang dibawakan Cak Nun yang diberi label Tombo Ati (dekade 1990-an) sangat laris

dan diminati oleh komunitas Muslim bahkan yang abangan sekalipun dari kalangan atas hingga

kelas bawah.

b. Melagukan Dzikir

Secara harfiyah dzikir berarti ingat, dalam hal ini ingat kepada Tuhan (Allah Swt.). Adapun

yang dimaksud dengan dzikir di sini adalah tradisi membaca dzikir yang dilantunkan dengan

lagu yang merdu. Dengan lagu-lagu yang merdu maka dzikir menjadi lebih mudah dihafal dan

enak didengar bagi mereka yang menyimaknya. Dzikir ini biasanya dibaca pada waktu-waktu

tertentu seperti pada saat orang akan menempati rumah baru, ketika akan melaksanakan ibadah

haji, dan sebagainya. Jadi, yang dimaksud dzikir di sini bukan membaca dzikir setelah orang

menjalankan shalat atau dzikir tahlil serelah ada orang meninggal, melainkan dalam arti luas

yakni bacaan-bacaan/kalimah thayyibah agar kita ingat kepada Allah Dzat yang Mahakuasa,

ingat akan betapa kecil kita di hadapan Allah, lalu mohon ampun atas segala dosa, dan

seterusnya.

Pada lazimnya pembacaan dzikir dimulai dengan membaca surat-surat dalam Alqur'an

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 189

yakni: Surat Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlash, ayat Qursi, kemudian dilanjutkan dengan

membaca Shalawat, kalimat-kalimat Thayyibah seperti tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil dan

sebagainya. Kadang-kadang ada juga sebagian masyarakat Islam yang membaca Surat Yasin

sebelum membaca dzikir.

Contoh bacaan dzikir:

Irhamna ya arhamar rahimin = 7 kali

Rahmatullahi wabarakatuh

Innahu hamidum majid. (Q.S. Hud:73)

Artinya:

Belas kasihanilah kami, wahai Tuhan yang Mahaberkah-Nya kami harapkan).

Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Terpuji lagi Maha Pemurah (Q.S. Hud:73)

Allahumma shalli afdhalash shalati 'ala as'adin

makhluqatika nuril huda. Sayyidina wamaulana Muhammadin

wa'ala ali sayyidina Muhammad.

”Adada ma'lumatika wamadada kalimatika kullama dzakaradz

dzakirun waghafala ;an dzikikal ghafilun.

Artinya:

Cukuplah bagi kami Allah, menjadi Tuhan kami

dan Dialah sebaik-baik wakil (yang membereskan semua urusan) (Q.S. Ali Imran:173)

c. Qiraah/Tilawatil Qur'an (Seni Membaca Al-Qur'an)

Sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat kita bahwa seni membaca Al-Qur'an atau

sering disebut dengan Tilawatil Qur'an atau populer juga dengan Qiraah merupakan tradisi di

kalangan umat Islam yang memang dianjurkan oleh ajaran Islam (dalam hal ini Al-Qur'an dan

Al-Hadits). Termasuk di dalamnya komunitas Islam di Surakarta.

Tradisi Qiraah di kalangan umat Islam Surakarta telah melahirkan banyak Qari' dan

Qariah. Lebih-lebih eksistensi Qiraah itu didukung oleh adanya beberapa Pondok Pesantren yang

menjadi sentral pembinaan dan pengembangan ilmu-ilmu agama, termasuk di dalamnya seni

baca Al-Quran.

d. Pembacaan al-Barzanji (Berjanjen)

Pembacaan kitab al-Barzanji yang berisi shalawat, doa, dan puji-pujian untuk Nabi

Muhammad saw. merupakan salah satu tradisi lisan yang telah lama hidup dalam masyarakat

Islam di Surakarta. Pembacaan Al-Barzanji degan lagu-lagu yang indah, dinamis, dan ritmis

sering disebut juga dengan istilah Berjanjen di kalangan masyarakat.

Pada umumnya tradisi lisan jenis ini dilakukan pada momen-momen tasyakuran

kehadiran anak yang merupakan buah hati yang mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman

sekaligus perekat tali hubungan cinta kasih (mawaddah wa rahmah) suami istri dalam keluarga

Muslim. Misalnya: tasyakuran ketika kandungan pertama seorang istri dari sepasang pengantin

baru genap berusia tujuh bulan atau Neloni Mitoni atau Mitoni, acara Aqiqah sekaligus

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 190

tasyakuran kelahiran anak. Selain itu, Al-Barzanji juga dilantunkan dengan iringan musik

rebana/terbangan dalam acara-acara pernikahan atau pesta perkawinan (walimatul 'ursy atau

walimahan).

Berikut bait dalam Kitab al-Barzanji versi Maulid Ad-Diba'i (Abdullah Shonhaji, 1986).

1) Ya rabbi shalli 'ala Muhammad

ya raffi shalli 'alaihi wasallim

ya rabbi ballighul wasilah

ya rabbi khushshahu bil fadhilah

ya rabbi wardha 'anish shahabah

ya rabbi wardha 'anis sulalah.

(dan seterusnya).

2) Thala'al badru 'alaina

min tsaniyatil wada'i

wajabasy syukuru 'alaina

mada'a lillahi da'i

ayyuhal mab'utsu fina

ji'ta bil amri mutha'i

anta ghutsuna jami'an

ya mujammalath thiba'i

d. Tadarrus al-Quran binnadhar dan bil ghaib

Tradisi Tadarrus al-Qur'an yakni membaca kitab suci al-Qur'an yang lazimnya dilakukan

secara berjamaah/bersama-sama telah lama hidup di kalangan umat Islam terutama di pusat-

pusat pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren atau kantong-kantong Muslim yang dipimpin

Kyai atau ulama yang mumpuni dari segi ilmu agama. Ada dua macam Tadarrus al-Quran yakni:

(1) Tadarrus bin nadhar yakni membaca al-Quran dengan tetap melihat kitab/ mushhaf al-Quran

dan (2) Tadarrus bil ghaib artinya membaca ayat-ayat al-Quran tanpa melihat mushhaf al-Quran

atau dengan hafalan yang dilakukan oleh Hafidh (putra) dan Hafidhah (putri) yakni orang yang

hafal al-Quran.

Tradisi lisan Islami itu masih banyak dijumpai di Pondok Pesantren (Ponpes) misalnya:

Ponpes Al-Muayyad dan Ponpes Al-Quran Mangkuyudan, Ponpes Ta’mirul Islam Tegalsari

Lawean, Ponpes Jamsaren, masjid Agung Kraton Surakarta Hadiningrat, dan sebagainya.

2. Dimensi Religius dalam Tradisi Lisan Islami di Surakarta

Adapun dimensi religius dalam tradisi lisan Islami di Surakarta meliputi:

(a) pentingnya keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat;

(b) berani melakukan instrospeksi (mengakui kesalahan diri);

(c) obat hati ada lima (tombo ati ana lima);

(d) manusia itu makhluk lemah;

(e) Tuhan tempat bersandar bagi manusia;

(f) Tuhan mahakuasa atas segala sesuatu.

Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia | 191

E. Simpulan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, aneka tradisi lisan Islami di Surakarta meliputi: a. puji-pujian menjelang shalat

berjamaah; b. pembacaan al-Barzanji, c. shalawat Nabi Muhammad saw.; d. Qiraah; dzikir,

dan e. Tadrrus al-Quran binnazhar dan bil ghaib.

Kedua, dimensi religius dalam tradisi lisan Islami di Surakarta antara lain: a. pentingnya

keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat; (b) berani melakukan instrospeksi (mengakui

kesalahan diri); (c) obat hati ada lima (tombo ati ana lima); (d) manusia itu makhluk lemah; (e)

Tuhan tempat bersandar bagi manusia; (f) Tuhan mahakuasa atas segala sesuatu.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry. 1998. Agama, Islam dan Pembangunan. Yogyakarta: PLP2M

Gazalba, Sidi. 1997. Pandangan Islam tentang Kesenian. Jakarta: Bulan Bintang.

Husin, Omar Amin. 2003. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Ismail, Faisal. 2001. Islam dalam Perspektif Kultural. Yogyakarta: Sumbangsih.

Kayam, Umar. 1999. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan

Koentjaraningrat. 1994. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Kuntowijoyo. 2002. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana

Manshur, Fadhil Muhammad. 1992. “Ajaran Tasawuf dalam Raudatul Irfani fi Ma'rifatil Qur'an

Karya Kyai Haji Ahmad Sanusi: Analisis Semiotik dan Resepsi” (Tesis). Yogyakatya:

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Naisbitt, John & Aburdene, Patricia. 1990. The New Directions for the 1990's: Megatrends 2000.

Megatrends Ltd.

Poeradisastra, P.I. 1989. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Jakarta: P3M

Read, Herbert. 1979. The Meaning of Art. Penguin Books.

Sedyawati, Edi dan Damono, Sapardi Djoko (Ed.). 1997. Seni dalam Pemikiran Islam di

Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Husein, Machnun (Ed.). 1999. Etika Pembangunan dalam Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta:

Rajawali.

Shonhadji, Abdullah. 1998. Tarjamah Maulid Ad-Dibaiy. Semarang: Al-Munawar.

Suratmin (Ed.). 2001. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta:

Depdikbud Dirjen Kebudayan.

Sutopo. H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasdar dan Terapannya dalam Penelitian.

Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Toffler, Alvin. 1987. Kejutan Masa Depan. (Terj. Sri Koesdiyatinah). Jakarta: Pantja Simpati.

Wolf, Eric. 1986. "Aspect of Group Relations in a Complex Society" dalam American

Anthropologist. Nomor 6, Desember 1976.