j pergulatan nalar dan nurani u r n yudisial... · 2014-04-29 · redaksi menerima kiriman naskah...

169
Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : [email protected] Vol-III/No-03/Desember/2010 JURNAL YUDISIAL

Upload: others

Post on 26-Dec-2019

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

PERGULATAN NALAR DAN NURANI

PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT

Kajian Putusan Nomor 22/PDT.G/2004/PN.ABShidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

MENCARI KEBENARAN MATERIIL DALAM "HARD CASE" PENCURIAN TIGA BUAH KAKAO

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWTWidodo Dwi Putro, Fakultas Hukum Universitas Mataram

CACAT YURIDIS PUTUSAN HAKIM BERSIFAT NON EXECUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.SdaSidik Sunaryo, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

PENGUJIAN SUBSTANSI PERDA DALAM SIDANG PENGADILAN PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 119/Pid.B/2005/PN.SkaHari Purwadi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

TELAAH ATAS ADJUDIKASI PUTUSAN KASUS KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 236/Pid.B/2009/PN.CLPWidiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung

JY VOL - III/NO-03/DESEMBER/2010 HLM. 207-362 JAKARTA ISSN 1978-6506 I I I I

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685

email : [email protected]

Vol-III/N

o-03/D

esember/2010

JU

RN

AL

YU

DI

SI

AL

Page 2: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

PERGULATAN NALAR DAN NURANI

PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT

Kajian Putusan Nomor 22/PDT.G/2004/PN.ABShidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

MENCARI KEBENARAN MATERIIL DALAM "HARD CASE" PENCURIAN TIGA BUAH KAKAO

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWTWidodo Dwi Putro, Fakultas Hukum Universitas Mataram

CACAT YURIDIS PUTUSAN HAKIM BERSIFAT NON EXECUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.SdaSidik Sunaryo, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

PENGUJIAN SUBSTANSI PERDA DALAM SIDANG PENGADILAN PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 119/Pid.B/2005/PN.SkaHari Purwadi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

TELAAH ATAS ADJUDIKASI PUTUSAN KASUS KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 236/Pid.B/2009/PN.CLPWidiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung

JY VOL - III/NO-03/DESEMBER/2010 HLM. 207-362 JAKARTA ISSN 1978-6506 I I I I

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685

email : [email protected]

Vol-III/N

o-03/D

esember/2010

JU

RN

AL

YU

DI

SI

AL

Page 3: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

I

VOL-IV/NO-03/DESEMBER/2010

JURNAL DES.indd 1 5/16/2012 4:48:38 PM

Page 4: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

II

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

JURNAL DES.indd 2 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 5: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

III

DA

FTA

R IS

I PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT ...................... 207Kajian Putusan Nomor 22K/PDT.G/2004/PN.AB, Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

MENcARI KEbENARAN MATERIIL DALAM HARD cASE PENcURIAN TIGA bUAH KAKOODALAM PERKARA KORUPSI ............................................................ 220Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT Widodo Dwi Putro, Fakultas Hukum Universitas Mataram

cAcAT yURIDIS PUTUSAN HAKIM bERSIfAT NON ExEcUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI ................... 238Kajian Putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.SdaSidik Sunaryo, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

PENGUJIAN SUbSTANSI PERDA DALAM SIDANG PENGADILAN PERKARA KORUPSI ............................... 301Kajian Pustaka Nomor 119/Pid.B/2005/PN.SkaHari Purwadi, Fakultas Hukum Sebelas Maret

TELAAH ATAS ADJUDIKASI PUTUSAN KASUS KORUPSI .............................................................. 327Kajian Putusan Nomor 236/Pid.B/2009/PN.CLP Widiada Gunakarya, Fakultas Hukum Sebelas Maret

JURNAL DES.indd 3 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 6: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

IV

PE

NG

AN

TAR PERGULATAN NALAR DAN NURANI

Nalar dan nurani, dua kata sederhana yang memiliki makna sangat mendalam. Membutuhkan kejernihan pikiran dan hati guna menerjemahkan dua kata di atas guna menunjukkan adanya kebenaran dan keadilan.

Sesungguhnya konsepsi tentang nalar dan nurani merupakan dua keping mata uang yang berbeda. Nalar cenderung mengedepankan pertimbangan rasionalitas dan bukti kasat mata, sementara nurani sarat dengan kejernihan hati melihat esensi di balik peristiwa. Alangkah indahnya apabila rasionalitas berbalut kejernihan hati menjadi satu kesatuan dalam setiap pengambilan keputusan, terlebih menyangkut nasib seseorang.

Bagi mereka yang memiliki wewenang untuk memutuskan perkara, dua kata di atas sangatlah sakral karena akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda 180 derajat seperti salah benar, hitam putih, atau bahagia derita. Tanpa dengan nurani, keputusan yang diambil berdasarkan nalar terasa hambar lantaran mengedepankan logika-logika, begitu sebaliknya putusan apabila mengandalkan nurani sangat abstrak.

Dua kata di awal kata pengantar ini menjadi tema Jurnal Yudisial Volume III, yang merupakan edisi terakhir di tahun 2010. Apa yang menjadi dasar tema tersebut? Pertanyaan ini layak diajukan kepada kami selaku penerbit jurnal. Dari tujuh naskah yang layak diterbitkan memang memiliki karakter yang berbeda, ada naskah yang mengulas aspek filosofi, aspek illegal logging, korupsi, dan perempuan. Namun dari naskah di atas, ada kesamaan yang bisa diambil sebagai kesimpulan yaitu nalar dan nurani dalam memutuskan perkara.

Kami patut bersyukur dengan hadirnya Jurnal Volume III tahun 2010 karena kualitas naskah yang dikirimkan ke redaksi Jurnal Yudisial semakin membaik. Hal itu terbaca dari sisi alur berpikir, teori dan rujukan yang digunakan dalam menyusun naskah, dan tata bahasa sehingga tidak banyak perubahan naskah asli yang dilakukan oleh mitra bestari agar sesuai dengan prinsip-prinsip penulisan Jurnal Yudisial. Fakta lain yaitu dari tujuh naskah yang dikirimkan oleh penulis dari tujuh universitas yang berbeda sebagaimana termuat dalam edisi kali ini.

Tentu saja sangat membanggakan. Hal itu sesuai harapan kami agar pada masa- mendatang kualitas Jurnal Yudisial semakin meningkat dan menjadi salah satu rujukan kajian ilmiah terkemuka.

Sebagai penutup, kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua Komisi Yudisial Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si, Dr. Shidarta selaku Mitra Bestari, dan pihak-pihak lain yang membantu penerbitan Jurnal Yudisial ini.

Tertanda

Pemimpin Redaksi

JURNAL DES.indd 4 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 7: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

V

PE

DO

MA

N P

EN

ULI

SA

N Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

fORMAT NASKAHI.

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH II.

Judul naskah

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT

DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

Nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

email [email protected].

JURNAL DES.indd 5 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 8: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

VI

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PENDAHULUAN III.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RUMUSAN MASALAH IV.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS V.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

KESIMPULANVI.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAfTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...

Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata

JURNAL DES.indd 6 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 9: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

VII

cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

cARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:

[email protected]

dengan tembusan ke:

[email protected] dan [email protected].

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):

Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau

Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

JURNAL DES.indd 7 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 10: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

VIII

MIT

RA

BE

STA

RI Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya

atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2011, Agustus 2011, dan Desember 2011. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum.

4. Prof. Dr. Paulus Hadi S., S.H., M.H.

5. Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum.

6. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.

7. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M.

8. Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M.

9. Barkah, S.H., M.H.

10. Dr. Widodo Dwi Putro,S.H., M.H

JURNAL DES.indd 8 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 11: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

IX

Penanggung Jawab : Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi : Patmoko

Penyunting/Editor : 1. Hermansyah

2. Onni Roeslani

3. Heru Purnomo

4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar

6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian

Arnis Duwita

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita

3. Romlah Pelupessy.

4. Ahmad Baihaki

5. Arif Budiman.

6. Adi Sukandar

7. Aran Panji Jaya

8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

TIM

PE

NY

US

UN

JURNAL DES.indd 9 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 12: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL DES.indd 10 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 13: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 207

PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT

Kajian Putusan Nomor 22/PDT.G/2004/PN.AB

ShidartaFakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta

email: [email protected]

AbstrActExplicit formulation of legal reasoning is hardly ever existed in many court decisions. In theory, judges can articulate the reasoning by developing rigid and standardized sylogisms. Through the pattern of such sylogisms, this article aims to share the ways in analyzing the characteristics of legal reasoning and assessing the quality of a judicial decision concerning property dispute in Ambon, Maluku. The core problems as expressed in the sylogisms also draw our attention to the tension between adat and state laws.

Keywords: legal reasoning, property adat-law, legal pluralism.

AbSTRAK Rumusan eksplisit tentang penalaran hukum terbilang sulit ditemukan dalam putusan-putusan pengadilan. Dalam teori, para hakim dapat menegaskan penalarannya melalui silogisme baku yang dibangun menurut tata aturan yang rigid. Lewat pola silogisme demikian, artikel ini memperagakan cara analisis terhadap penalaran hukum dan menilai kualitas dari putusan hakim tersebut terkait suatu perkara perebutan hak milik di Ambon, Maluku. Problema utama dari kasus ini diungkapkan dalam bentuk silogisme, yang pada gilirannya juga memperlihatkan adanya ketegangan antara hukum adat dan hukum negara.

Kata kunci: penalaran hukum, hak milik adat, pluralisme hukum.

JURNAL DES.indd 207 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 14: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

208 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Penalaran hukum adalah esensi terpenting dari pekerjaan seorang hakim, sekalipun eksponen Critical Legal Studies seperti Duncan Kennedy selalu menyangsikan kekhasan dari penalaran hukum tersebut. Kennedy pernah berujar, “Teachers teach nonsense when they persuade students that legal reasoning is distinct, as a method for reaching correct results, from ethical or political discourse in general. There is never a ‘correct legal solution’ that is other than the correct ethical or political solution to the legal problem” (Kairys, 1982: 47). Kennedy mungkin lupa bahwa hukum berhubungan dengan problematika kemanusiaan yang kompleks, sehingga mustahil ia dapat senantiasa dinalarkan secara monolitik.

Penalaran hukum adalah fenomena yang multifaset. Kendati demikian, penalaran itu tidak boleh dilakukan sekehendak hati. Penalaran hukum adalah penalaran yang reasonable, bukan semata logical. William Zelermeyer (1960: 4) membedakan antara kedua istilah itu dengan kata-kata sebagai berikut: “We are dealing with human beings and not with things. We must reasonable. This means that the law and its decisions must be supported by reason; they must be products of arbitrary action. To be reasonable does not necessarily mean to be logical. Logic can lead to injustice, hence we must guard against its abusive use.”

Penalaran hukum memang paling tepat ditelusuri jika berangkat dari putusan hakim. Alasannya sederhana, sebagaimana dikatakan oleh A.G. Guest, “The object of a scientific inquiry is discovery; the object of a legal inquiry is decision” (Hooft, 2002: 23). Tentu saja penalaran hukum berlaku dalam semua pekerjaan para pengemban profesi hukum lainnya di luar hakim. Namun, intensitas penalaran hukum yang dilakukan oleh para hakim memang paling tinggi tingkatannya. Tidak mengherankan jika akhirnya ada pandangan yang menyatakan bahwa legal reasoning itu pada hakikatnya adalah judicial reasoning.

Berangkat dari latar belakang pandangan para ahli hukum di atas, pada kesempatan ini akan diambil satu putusan sederhana untuk dapat dijadikan contoh guna memperagakan pola umum penalaran hakim dalam rangka penanganan suatu kasus hukum. Putusan yang terpilih secara arbiter berasal dari majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon yang dibacakan pada tanggal 21 Oktober 2004, dengan registrasi perkara nomor 22/Pdt.G/2004/PN.AB. Walaupun dipilih secara arbiter, tidak dapat dipungkiri bahwa putusan ini memang mengandung segi-segi yang menarik untuk dianalisis dari aspek penalaran hukumnya. Putusannya sendiri hanya terdiri dari 25 halaman kertas ukuran kuarto dengan jarak ketikan 1,5 spasi. Dari total jumlah halaman tersebut, pertimbangan majelis hakim terkait “tentang hukumnya” dan “dalam pokok perkara” menyita tidak lebih dari lima halaman.

Kasus dalam putusan ini bermula dari gugatan perdata seseorang bernama KM melawan tergugat Pemerintah Republik Indonesia (cq Panglima TNI cq Kepala Staf AD cq Pangdam XVI Pattimura cq Kapaldam XVI Pattimura). Penggugat KM pada tahun 2004 mempersoalkan

JURNAL DES.indd 208 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 15: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 209

keabsahan tanah yang diduduki oleh Paldam XVI Pattimura. Penggugat mengklaim dirinya, bersama dengan seseorang bernama HM (saudara kandung penggugat, tetapi ia tidak ikut menjadi penggugat) adalah ahli waris sah dari AM, pemilik sah Dusun Dati Pusaka Hautunan, atau yang sekarang dikenal sebagai daerah Skip di wilayah Ambon, Provinsi Maluku. Penggugat sendiri adalah cucu dari AM atau anak dari DM. Dengan demikian penggugat menyebut dirinya sebagai generasi ketiga dari AM, yang konon sudah menguasai tanah di sana sejak tahun 1814.

Jika menilik keterangan saksi-saksi yang dihadirkan di pengadilan, dapat ditangkap kenyataan bahwa nuansa sengketa atas tanah tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama, sekalipun tidak sampai ke pengadilan. Pada era penjajahan Belanda, tanah ini dipakai oleh Tentara Kolonial Belanda. Pasukan TNI-AD hanya mengambil alih bangunan di atas lahan seluas 10.000 m2, terhitung sejak tahun 1958. Saat ini lahan itu dipakai oleh Paldam XVI Pattimura. Sementara itu, di sekeliling Paldam itu berdiri rumah-rumah masyarakat, yang menurut kesaksian mereka, didirikan di atas tanah milik AM dan atas seizin keluarga penggugat. Namun, seiring perjalanan waktu, cukup banyak penghuni di lahan tersebut yang tidak lagi tahu asal-usul tanah itu sehingga ada yang justru membayar sewa ke Datasemen Bangunan Kodam XVI Pattimura dan pihak tergugat dengan berdasar pada perjanjian yang dibuat antara tergugat dan masyarakat. Penggugat menganggap pembayaran sewa demikian tidak sah mengingat dirinyalah sebagai pemilik lahan tersebut. Akibat perbuatan tergugat, penggugat menyatakan telah menderita kerugian Rp3,3 milyar.

Atas dasar itu, penggugat minta kepada majelis hakim agar dalam provisi diletakkan sita jaminan terhadap objek sengketa. Sementara dalam pokok perkara, primer penggugat meminta majelis: (1) mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; (2) menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang dilakukan oleh pengadilan terhadap objek sengketa; (3) menyatakan secara hukum bahwa Dusun Dati Pusaka Hautunan adalah milik sah dari almarhum AM yang diwariskan kepada penggugat dan HM selaku para ahli waris yang sah; (4) menyatakan bahwa objek sengketa adalah satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Dusun Dati Pusaka Hautunan; (5) menyatakan tidak mempunyai kekuatan berlaku dan tidak sah seluruh surat perjanjian dan surat pembayaran yang diterbitkan secara sepihak oleh tergugat guna adanya pengakuan masyarakat bahwa tanah tersebut adalah hak tergugat; (6) menyatakan bahwa penguasaan objek sengketa oleh tergugat dengan tanpa izin dan sepengetahuan penggugat dan saudara penggugat HM adalah tanpa hak dan merupakan perbuatan melawan hukum; (7) menghukum tergugat membayar ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp3.335.000.000,-; (8) memerintahkan kepada tergugat atau sekalian orang yang mendapat hak dari tergugat dengan tanpa seizin dan sepengetahuan penggugat agar keluar meninggalkan objek sengketa tanpa ikatan apapun dengan pihak lain dalam keadaan kosong dan aman; (9) menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dulu walaupun ada banding, kasasi, dan perlawanan; dan (10) membebankan biaya perkara kepada tergugat.

Dalam jawaban atas surat gugatan itu, tergugat mengajukan eksepsi. Dalam eksepsi tersebut, tergugat mengajukan beberapa hal yang kemudian semuanya ditolak oleh majelis hakim, yakni

JURNAL DES.indd 209 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 16: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

210 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

menyangkut:

Bahwa gugatan seharusnya ditujukan ke Presiden RI. Ada kesalahan penyebutan jabatan 1. Ka. Staf AD karena tidak hierarkis;

Bahwa penggugat prinsipal diragukan keberadaannya karena tidak pernah hadir di 2. pengadilan. Apalagi bukti haknya adalah akta di bawah tangan;

Bahwa silsilah keturunan penggugat diragukan. Jika menilik usianya seharusnya penggugat 3. adalah generasi keempat, bukan ketiga (terhitung sejak 1814) dari pemilik Dusun Dati Pusaka Hautunan yang hidup sekitar 190 tahun lalu.

Selain tiga hal di atas, tergugat juga mengutarakan satu pandangan menarik. Menurut tergugat, dalam hukum adat Ambon dan Lease, tidak dikenal istilah dusun dati pusaka, yang ada adalah dusun pusaka dati. Menurut Keputusan Landraad Amboina No. 17/1918, dusun pusaka dati berarti dusun yang digarap atau diperusa oleh anggota dati sejak dulu dan kemudian menjadi pusaka. Rupanya penyebutan istilah dusun dati pusaka ini bertentangan dengan penyebutan atas status dusun-dusun sebagaimana lazim dikenal menurut ketentuan hukum adat yang berlaku di Ambon dan Lease. Intinya, tergugat ingin menegaskan bahwa akibat kesalahan penyebutan ini klaim kepemilikan penggugat patut diragukan, dan tergugat menilai ada kemungkinan gugatan ini hanyalah pura-pura.

Dalam pokok perkaranya, tergugat kembali mengutarakan dalih bahwa kesalahan penyebutan menjadi dusun dati pusaka telah menghilangkan substansi dari maksud gugatan karena berarti dusun ini tidak ada, sehingga dalil tentang kepemilikan penggugat atas Dusun Dati Pusaka Hautunan sesuai Register Dati 1814 tanpa menyebutkan di Negeri Adat mana di pulau Ambon tersebut tercatat atau teregister pada tahun 1814, telah mengakibatkan gugatan penggugat kabur dan tidak jelas.

Tergugat juga mempersoalkan kekeliruan batas-batas tanah objek sengketa yang disebut oleh penggugat. Demikian pula dengan sejarah penguasaan dan/atau pemilikan tanah, yang menurut tergugat selayaknya patut dimiliki oleh penggugat. Sejarah tanah itu, menurut tergugat bermula dari eks daerah/areal penguasaan kolonial Belanda yang bernama Plat Zelijk Motordiens, yakni tempat perbaikan peralatan teknis Tentara KNIL Belanda. Pemerintah Republik Indonesia memperoleh tanah objek sengketa itu setelah kemerdekaan berdasarkan penyerahan aset (overdrag). Selain itu, penggugat selama ini tidak pernah dikenal selaku pemilik objek sengketa dan selama puluhan tahun tidak mempunyai tanda perusa di atas tanah tersebut.

Sekalipun tergugat mengajukan dalih bahwa ketidakjelasan penyebutan istilah dusun dati pusaka sebagai bukti gugatan kabur dan tidak jelas, ternyata hal ini sama sekali tidak dibahas oleh majelis hakim terkait mana di antara kedua istilah itu yang tepat. Bahkan, majelis hakim cenderung untuk juga menggunakan istilah yang sama dengan penggugat. Majelis hakim kemudian masuk

JURNAL DES.indd 210 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 17: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 211

ke dalam pokok perkara dengan memetakan duduk persoalan, dengan menyatakan: (1) hakikat dan bukti pokok yang dipersoalkan adalah tentang siapa pemilik sah Dusun Dati Pusaka Hautunan dan objek yang dipersengketakan adalah suatu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Dusun Dati Pusaka Hautunan; (2) Dusun Dati Hautunan sesuai Register Dati 1814 terletak di daerah yang saat ini dikenal bernama Skip, sebagian berada di Kelurahan Karang Panjang dan sebagian lagi berada di Kelurahan Batu, Kecamatan Sarimau, Kota Ambon; (3) penggugat tidak menyebut Negeri mana di pulau Ambon yang meliputi Dusun Dati Hautunan kecuali menyatakan dusun itu tercatat dalam Register 1814; dan (4) berdasarkan Surat Ukur Nomor 20 Tahun 1958 dan Surat Keterangan Nomor 600-234/2004 (dikeluarkan Kantor Pertanahan Ambon) disebutkan bahwa tanah sengketa ini adalah tanah negara yang selama ini dikuasai atau dimiliki tergugat.

Atas dasar fakta-fakta yang diyakini oleh majelis hakim tersebut, akhirnya pengadilan memutuskan (dalam pokok perkara) untuk menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya dan menghukum penggugat membayar biaya perkara. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh majelis untuk sampai pada amar putusan itu adalah sebagai berikut:

1. Penggugat tidak jelas menyebutkan ukuran luas tanah Dusun Dati Pusaka Hautunan mana yang akan dinyatakan sah secara hukum milik sah dari almarhum AM karena di dalam dalil-dalil gugatan penggugat disebutkan bahwa yang dikuasai oleh tergugat adalah sebagian dari tanah Dusun Dati Pusaka Hautunan yaitu seluas kurang lebih 10.000m2 (sementara ternyata tanah yang dikuasai oleh tergugat adalah seluas 108.900 m2 atau 10,89 ha).

2. Penggugat telah menyatakan bahwa pada tahun 1958 tergugat telah menguasai tanah sengketa dengan cara adanya pengalihan hak dari Pemerintah Belanda (Tentara Belanda), sehingga dengan demikian penggugat telah membenarkan bahwa tanah sengketa yang dikuasai oleh tergugat setelah Tentara Belanda keluar dari tanah sengketa tersebut.

3. Tergugat telah menguasai tanah sengketa itu selama 46 tahun dan telah memiliki surat ukur yang menegaskan bahwa tanah sengketa itu adalah tanah negara, maka menurut majelis hakim, tergugat berhak menguasai tanah negara tersebut.

RUMUSAN MASALAHII.

Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut, dapat diajukan rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu bagaimana hakim menampilkan pola-pola penalarannya dalam putusan Pengadilan Negeri Ambon bernomor perkara 22/Pdt.G/2004/PN.AB? Pola-pola penalaran ini sekilas memang sudah terkandung secara implisit melalui pertimbangan majelis hakim, namun pola-pola tersebut tidak terdeskripsikan dengan jelas. Padahal, di balik ketidakjelasan itulah terbuka peluang untuk memahami--- dengan meminjam istilah Zelermeyer---seberapa reasonable dan logical putusan tersebut.

JURNAL DES.indd 211 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 18: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

212 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Manfaat dari tampilan pola-pola penalaran ini diharapkan menjadi contoh bagaimana peragaan penalaran hukum suatu putusan pengadilan dapat ditelaah kekuatan argumentasinya. Status objek tanah sengketa berupa tanah adat menjadi konteks tersendiri yang ikut mewarnai pola penalaran hukum ini karena bukan tidak mungkin pula majelis hakim dalam kasus ini akan terpengaruh oleh tarik-menarik posisi hukum adat vis-a-vis hukum negara.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Sebelum isi putusan hakim ini diulas lebih jauh dengan menggunakan teori dan referensi pustaka yang relevan, kiranya tiga pertimbangan utama dalam latar belakang di atas perlu dijabarkan terlebih dulu dalam suatu analisis silogistis. Untuk itu akan dipakai pola silogisme kategoris dan silogisme hipotetis, yang keduanya diharapkan mampu menggambarkan penalaran yang sangat khas sebagaimana lazim dipraktikkan dalam putusan hakim.

Hampir dapat dipastikan tidak banyak putusan hakim yang memuat rumusan silogisme demi silogisme ini secara rapi dan sistematis. Umumnya para hakim hanya membuat uraian pertimbangan dengan kalimat yang longgar secara agak panjang lebar. Namun, jika dicermati secara saksama, esensi dari pertimbangan-pertimbangan itu pastilah berupa silogisme. Eksaminasi putusan yang secara khusus ingin menelaah aspek penalaran hukum dalam putusan, selayaknya memang menderivasi pertimbangan-pertimbangan hakim itu dalam bentuk silogisme-silogisme sehingga pola penalaran hakim pun menjadi lebih jelas, utuh, dan terfokus.

Jika putusan hakim dalam tulisan ini juga ingin disusun dalam suatu silogisme kategoris, akan terlihat pola penalaran pertama majelis hakim yang kurang lebih mempersoalkan adanya batas-batas tanah objek sengketa yang tidak disebutkan dengan jelas dalam gugatan penggugat. Padahal, menurut majelis, pencantuman batas-batas ini demikian vitalnya karena di situlah terletak objek tanah yang dipersengketakan. Premis mayor dalam silogisme di bawah ini adalah bangunan pemikiran majelis hakim yang dipakai sebagai titik tolak pertimbangannya. Untaian silogisme tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:

Premis mayor Semua materi gugatan terkait dengan objek tanah adalah substansi yang harus memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batasnya.

Premis minor Isi gugatan KM mengenai Dusun Dati Pusaka Hautunan adalah materi gugatan terkait dengan objek tanah.

Konklusi Isi gugatan KM mengenai Dusun Dati Pusaka Hautunan adalah substansi yang harus memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batasnya.

Selanjutnya, jika pola penalaran itu diterapkan dalam silogisme hipotetis, akan muncul pola penalaran sebagai berikut:

JURNAL DES.indd 212 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 19: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 213

p כ q Jika ada gugatan terkait dengan objek tanah yang tidak memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batas objek sengketanya maka gugatan itu harus ditolak.

p Ada gugatan [dari Penggugat KM] terkait dengan objek tanah [Dusun Dati Pusaka Hautunan] yang tidak memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batas objek sengketanya.

q כ Jadi gugatan itu harus ditolak.

Bangunan silogisme di atas bersambungan pula dengan silogisme berikutnya. Majelis hakim mendapati penggugat telah menyatakan bahwa pada tahun 1958 tergugat telah menguasai tanah sengketa dengan memperoleh pengalihan hak dari Pemerintah Belanda (Tentara Belanda). Hal ini dinilai oleh majelis bahwa sejak saat itu penggugat telah membenarkan penguasaan tergugat atas tanah tersebut. Alur pemikiran majelis hakim dapat dipetakan dalam silogisme kategoris berikut ini:

P r e m i s mayor

Semua pengakuan penggugat atas fakta penguasaan tanah sengketa oleh tergugat secara fisik selama 46 tahun sejak dialihkan dari penguasa fisik sebelumnya adalah bukti pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah tersebut.

P r e m i s minor

Pernyataan penggugat [KM] atas ditempatinya tanah sengketa oleh tergugat [TNI] sejak tahun 1958 adalah pengakuan atas fakta penguasaan tanah sengketa oleh tergugat secara fisik selama 46 tahun sejak dialihkan dari penguasa fisik sebelumnya [Tentara Belanda].

Konklusi Pernyataan penggugat [KM] atas ditempatinya tanah sengketa oleh tergugat [TNI] sejak tahun 1958 adalah bukti pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah tersebut.

Sebagai konsekuensinya, maka konklusi di atas lalu diturunkan majelis hakim melalui suatu silogisme hipotetis sebagai berikut:

r כ s Jika terdapat pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah yang digugatnya, maka gugatan itu harus ditolak.

r Terdapat pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah yang digugatnya.s כ Jadi gugatan itu harus ditolak.

Argumentasi terakhir yang disajikan oleh majelis hakim adalah terkait pembuktian yang disodorkan tergugat bahwa tergugat telah menguasai tanah sengketa itu selama 46 tahun dan telah memiliki surat ukur yang menegaskan bahwa tanah sengketa itu adalah tanah negara yang dipergunakan untuk kepentingan negara, dalam hal ini oleh Paldam XVI Pattimura. Silogisme kategoris dari majelis hakim untuk argumentasi ini dapat ditampilkan sebagai berikut:

JURNAL DES.indd 213 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 20: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

214 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

P r e m i s mayor

Semua penguasaan fisik atas tanah lebih dari 46 tahun dengan bukti surat ukur sebagai tanah negara adalah alas hak yang sah dari subjek yang menduduki bidang tanah tersebut.

P r e m i s minor

Keberadaan tergugat [Paldam XVI Pattimura] di atas tanah sengketa adalah penguasaan fisik atas tanah lebih dari 46 tahun dengan bukti surat ukur sebagai tanah negara.

Konklusi Keberadaan tergugat [Paldam XVI Pattimura] di atas tanah sengketa adalah alas hak yang sah dari subjek yang menduduki bidang tanah tersebut.

Akhirnya, konklusi di atas dapat diajukan kembali sebagai rangkaian silogisme hipotetis sebagai berikut:

t כ u Jika ada gugatan terhadap alas hak yang sah terhadap subjek yang menduduki suatu bidang tanah maka gugatan itu harus ditolak.

t Ada gugatan terhadap alas hak yang sah terhadap subjek yang menduduki suatu bidang tanah.

u כ Jadi gugatan itu harus ditolak.

Dalam penalaran hukum yang terbiasa menggunakan silogisme deduktif, posisi argumen terpenting terletak pada rumusan premis mayor. Premis ini biasanya dibangun berdasarkan formulasi sesuai norma peraturan perundang-undangan. Dalam putusan hakim yang dikaji ini, majelis hakim sama sekali tidak menyinggung dasar hukum dari peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dimaklumi karena perkara hukum ini adalah suatu sengketa perdata, sehingga hakim lebih bersandar pada dalil-dalil yang diajukan para pihak.

Kebetulan dalam kasus ini para pihak memang tidak mengutarakan satu norma peraturan perundang-undangan pun dalam surat gugatan dan jawaban mereka (kecuali beberapa dasar hukum acara perdata yang tidak terkait langsung dengan pokok perkara), sehingga rupanya hakim tidak terdorong pula untuk mengutarakan suatu norma hukum positif untuk mendukung pertimbangannya. Padahal, seharusnya hakim dapat lebih jeli untuk menagih hal ini dan bahkan dapat memakainya sebagai dalil yang melemahkan gugatan. Dalam kasus ini, penggugat telah menyatakan bahwa tergugat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), tetapi ia tidak menyebutkan apa norma hukum yang secara konkret dilanggar. Pengertian “norma hukum” di sini tentu tidak harus berarti undang-undang, melainkan dapat mengacu pada kepatutan, termasuk kepantasan menurut ukuran adat kebiasaan setempat, namun eksplisitas acuannya haruslah tetap dinyatakan oleh penggugat sehingga ada kesepahaman tentang apa hukum yang dipandang telah dilanggar tersebut.

Dalam kasus-kasus pidana yang cenderung menggunakan pendekatan perbuatan melawan hukum formal, problema di atas praktis tidak ditemui. Hakim biasanya akan membuat argumentasi

JURNAL DES.indd 214 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 21: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 215

dengan memilah unsur-unsur tindak pidana yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Setiap unsur dapat diformulasi menjadi satu silogisme tersendiri. Baru setelah semua unsur selesai diargumentasikan, maka hakim sampai pada silogisme final yakni mengaitkan semua unsur tindak pidana itu dengan norma sekunder yang menjadi konsekuensi logisnya. Norma sekunder yang dimaksud di sini adalah ancaman sanksi pidana (jika memang terbukti bersalah) atau altenatif diktum lainnya berupa putusan bebas/lepas dari segala tuntutan.

Dalam konteks penjatuhan sanksi pidana ini, penalaran hukum para hakim tidak lagi sepenuhnya logis, melainkan lebih intuitif. Faktor yang memberatkan dan meringankan ikut dijadikan pertimbangan, demikian juga dengan filosofi pemidanaan yang paling proporsional untuk diterapkan. Semua ini menjadi satu kesatuan pertimbangan ketika amar putusan dijatuhkan. Kompleksitas penalaran demikian telah mengalami reduksi pada kasus-kasus perdata karena asumsi bahwa hakim perdata memang harus pasif, bersifat menunggu, tidak boleh memutuskan lebih daripada yang diminta, dan seterusnya.

Walaupun dalam kasus-kasus pidana ada keharusan hakim membuat pertimbangan setiap unsur tindak pidana, kerap terjadi hakim tidak dapat dengan mudah membangun silogisme tersebut unsur demi unsur. Ada unsur tertentu yang terkadang membuat hakim harus berpikir keras agar premis mayor yang diformulasikan dapat tepat berlaku pada premis minornya. Satu contoh klasik adalah putusan majelis hakim yang diketuai Bismar Siregar saat mereka harus memaknai unsur “barang” pada Pasal 378 KUHP (putusan nomor 144/Pid/1983/PT.Mdn). Dalam kasus yang melegenda itu, majelis hakim harus membuat konklusi melalui silogisme antara (silogisme yang dibuat sebelum silogisme final) yang terlebih dulu menyatakan bahwa kegadisan adalah barang menurut ketentuan Pasal 378 KUHP (tindak pidana penipuan). Dapat dibayangkan, apabila hakim tidak terlebih dulu membuat silogisme antara ini, pastilah putusan itu akan menimbulkan tanda tanya besar karena kegadisan tidak bisa persis-tepat dimaknai sebagai barang sebagaimana halnya tindak pidana penipuan pada umumnya.

Pengidentifikasian kegadisan sebagai barang menurut Pasal 378 KUHP itu adalah sebuah penemuan hukum. Penemuan hukum ini juga dilakukan dalam bentuk silogisme. Jika ingin disilogistiskan, premis mayor dari argumentasi tersebut kurang lebih berbunyi: “Semua organ yang melekat pada tubuh seseorang adalah barang menurut ketentuan Pasal 378 KUHP.” Premis minornya: “Kegadisan adalah organ yang melekat pada tubuh seseorang.” Konklusinya kemudian menjadi: “Kegadisan adalah barang menurut ketentuan Pasal 378 KUHP.” Rumusan premis mayor di atas merupakan rumusan yang signifikan dalam putusan ini karena formulasi penemuan hukumnya justru terletak pada premis mayor tersebut.

Dalam penalaran hukum perkara-perkara perdata, gambarannya sedikit berbeda. Biasanya peragaan silogisme tidak disusun sesistematis perkara-perkara pidana. Kendati demikian, tetaplah premis mayor menjadi indikator penting untuk menandai penalaran hukum para hakim. Ini berarti,

JURNAL DES.indd 215 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 22: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

216 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

jika kembali kepada analisis perkara nomor 22/Pdt.G/2004/PN.AB, maka sedikitnya ada tiga premis mayor yang menjadi tiang penyanggah pertimbangan hakim. Ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Semua materi gugatan terkait dengan objek tanah adalah substansi yang harus memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batasnya.

2. Semua pengakuan penggugat atas fakta penguasaan tanah sengketa oleh tergugat secara fisik selama 46 tahun sejak dialihkan dari penguasa fisik sebelumnya adalah bukti pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah tersebut.

3. Semua penguasaan fisik atas tanah lebih dari 46 tahun dengan bukti surat ukur sebagai tanah negara adalah alas hak yang sah dari subjek yang menduduki bidang tanah tersebut.

Tiga premis mayor ini adalah roh dari penalaran hukum yang disajikan oleh majelis hakim dalam kasus ini. Dengan meminjam pernyataan Zelermeyer sebagaimana dikemukakan sebelumnya, inti putusan hakim ini tidak boleh hanya semata-mata logical, melainkan juga harus reasonable.

Kebetulan karakter kasus Dusun Dati Pusaka Hautunan di atas adalah perkara perdata yang berdimensi hukum adat. Dalam kasus ini terlihat penggugat memang kesulitan mengutarakan batas-batas wilayah dusun adatnya karena ia hanya berpegang pada Register Dati 1814, yang notabene sangat mungkin sudah berubah seiring dengan perjalanan waktu. Hal ini berbeda dengan posisi tergugat yang pada tahun 1958 dan 2004 telah memiliki surat resmi dari Kantor Pertanahan yang mengukuhkan tanah sengketa sebagai tanah negara.

Terlepas dari kenyataan adanya perbedaan batas-batas yang ditunjukkan oleh penggugat dengan kondisi kekinian dari tanah yang ditempati tergugat, hakim selayaknya juga perlu memperhatikan keterangan-keterangan para saksi yang mengenal penggugat dan keluarga penggugat. Banyak dari saksi yang mengaku membangun rumah di tempat itu setelah mendapat izin dari kakek penggugat yang menjadi pemilik tanah setempat. Keterangan saksi ini sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan hakim. Majelis juga telah memotong sejarah penguasa objek tanah sengketa itu terhitung sejak tergugat mendapat pengalihan hak dari Tentara Belanda, sementara kejadian sebelum periode itu tidak menjadi bahan pertimbangan, termasuk fakta bahwa Register Dati 1814 itu benar-benar ada. Jika ada, berarti besar sekali kemungkinan terdapat persinggungan antara tanah yang diklaim oleh penggugat seluas kurang lebih 10.000 m2 dengan tanah yang dikuasai secara fisik oleh tergugat seluas 108.900 m2. Alasan majelis hakim yang menafikan gugatan karena tidak ada penyebutan negeri mana yang mencakupi Dusun Dati Pusaka Hautunan, sebenarnya tidak cukup bisa ditoleransi.

Menurut sistem hukum adat di Ambon, memang dikenal ada tiga bentuk tanah adat, yaitu tanah negeri, tanah dati, dan tanah pusaka. Namun, ada kemungkinan dikenal juga istilah

JURNAL DES.indd 216 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 23: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 217

“tanah dati pusaka” atau “tanah pusaka dati” yang sempat dipersoalkan dalam kasus ini. Putusan Mahkamah Agung Nomor 968K/Sip/1975 yang memperkarakan perebutan tanah dati (kasus serupa) di antara keluarga Anggoda, misalnya, menyebut istilah dusun dati dan dusun pusaka dati. Perbedaan keduanya adalah bahwa pada dusun dati, anak-anak di luar nikah berhak atas dati bagian ibunya, sedangkan dalam pusaka dati hanya ahli waris sah yang berhak atas dati itu. Istilah dusun pusaka dati juga dipakai dalam literatur karya Ziwar Effendi (1987: 144).

Ulrich Löffler (1996) menuliskan kerumitan hukum tanah adat di Ambon sebagai berikut: “.... Thus adat law on Ambon differentiates between land rights and rights to trees or crops. Along with this, the rights to land and to the trees on this land can be in completely different hands. Thus the land can belong to the community (dati), while the sago palms may belong to individual members of the community. Since it is normally the children and grandchildren of the person who planted the sago palm, and not the person himself who will use the tree, sago palms on one property can belong to different people, since sago palms can be bequeathed to descendants. Since descendants from the female line as well as from the male line can be considered as heirs, sago palms can be in the possession of different clans. Other trees of value can have been planted on land between sago palms (durian, manggis or clove). Some of these trees may have been planted by the current generation and may be in their possession while others may belong to earlier generation. These various legal entitlements may exist on a piece of land only 70 by 70 meters.”

Sebagai bagian dari Dusun Dati Pusaka (atau Dusun Pusaka Dati) Hautunan yang dikuasai oleh satu marga, sebenarnya sangat tidak logis jika penggugat tidak dapat menyebutkan negeri yang mencakupi tanah yang menjadi objek sengketa. Jika hakim tidak menemukan penyebutan negeri itu dalam surat gugatannya, tentu tidak berarti penggugat tidak mengetahui negeri tersebut. Cara pandang yang menyatakan bahwa hakim dalam kasus perdata harus bersikap pasif dan hanya terfokus untuk mencari kebenaran formal, tidak lalu berarti hakim tidak perlu mencari tahu hal-hal yang signifikan untuk menggapai putusan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengabaian demikian justru menunjukkan kesesatan penalaran yang disebut argumentum ad ignorantiam.

Fokus perhatian hakim juga terletak pada kenyataan bahwa tergugat telah memperoleh tanah itu dari pengalihan dari Tentara Belanda dan menduduki tanah itu secara fisik sampai sekarang. Cara pandang seperti ini sebenarnya tidak bisa serta merta membenarkan tanah itu bukan milik penggugat. Di sini hakim juga tampaknya lebih menempatkan Surat Ukur Nomor 20 Tahun 1958 dan Surat Keterangan Nomor 600-234/2004 pada posisi lebih tinggi daripada Register dati 1814. Di sinilah terlihat tarik-menarik antara hukum adat vis-a-vis hukum negara dalam kondisi pluralisme hukum agraria (baca: hukum pertanahan) di Indonesia.

Kasus tanah adat seperti ditampilkan dalam tulisan ini merupakan potret umum yang memprihatinkan terkait sengketa-sengketa hukum agraria di Tanah Air. Keberadaan Undang-

JURNAL DES.indd 217 5/16/2012 4:48:39 PM

Page 24: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

218 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) yang sudah berumur lebih dari 50 tahun, terbukti tidak pernah menyurutkan jumlah kasus-kasus demikian bermunculan dari waktu ke waktu.

UUPA sebenarnya secara sadar didesain untuk mengakhiri pluralitas pranata hukum yang mengatur bidang pertanahan dan ingin menciptakan satu tata hukum tanah nasional, dengan menjadikan hukum adat sebagai dasarnya. Perlu dicatat bahwa sekalipun UUPA menggunakan istilah agraria, namun inti pengaturannya lebih berhubungan dengan hukum tanah sebagai bidang hukum utama dari hukum agraria. Penjelasan Pasal 5 UUPA menyatakan: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Dengan memakai istilah John Griffiths (1986), pluralisme hukum agraria (atau khususnya hukum pertanahan) di Indonesia saat ini dapat disebutkan sebagai pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism). Untuk itu, ada politik hukum agraria yang perlu diberikan pemahaman mendalam kepada para hakim tentang bagaimana memposisikan hukum adat di bidang agraria ini bilamana berhadapan dengan hukum negara (hukum positif yang berlaku secara nasional). Bukan tidak mungkin bahwa hakim-hakim memberikan penafsiran atas kata-kata dalam Penjelasan Pasal 5 UUPA, yaitu: “... sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara” itu sebagai bentuk “mengalah” kepada institusi negara tatkala institusi itu menjadi pihak dalam persengketaan tanah-tanah adat.

Tatkala terjadi silang selisih antara penerapan hukum adat dan hukum negara, dalam arti keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai dasar penyelesaian sengketa, maka hakim seyogianya dapat melakukan forum shopping, yakni mencari sistem hukum mana yang paling sesuai untuk penyelesaian klaim-klaim para pihak tersebut. Pemilihan ini tentu bukan pekerjaan mudah karena para hakim yang diserahi tugas untuk menyelesaikan kasus-kasus demikian mutlak perlu memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum adat setempat. Dalam hal ini, ketua pengadilan dituntut memiliki kebijakan untuk mendistribusikan setiap kasus terkait sengketa hukum adat kepada hakim-hakim dari latar belakang yang dekat dengan adat setempat. Di sini lagi-lagi terlihat bahwa peragaan penalaran hukum memang tidak berjalan monolitik, melainkan sangat kompleks sesuai dengan wujud hukum yang juga multifaset.

SIMPULANIV.

Sebagai penutup tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan: (1) peragaan penalaran hukum dapat ditampilkan secara sederhana melalui perumusan silogisme-silogisme; (2)

JURNAL DES.indd 218 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 25: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 219

posisi premis mayor dalam suatu silogisme menjadi indikator paling fundamental terkait kualitas putusan tersebut, termasuk untuk mencermati ada tidaknya penemuan hukum baru dari putusan tersebut; (3) putusan hakim yang bersinggungan dengan kasus-kasus hukum adat, termasuk hukum tanah adat, kerap dipengaruhi oleh konfigurasi politik hukum yang menempatkan posisi hukum negara di atas hukum adat; dan (4) kondisi pluralisme hukum yang lemah akan memberi keuntungan pada pihak-pihak yang mampu menampilkan bukti-bukti formal semata menurut perspektif hukum negara.

Khusus terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Ambon nomor 22/Pdt.G/2004/PN.AB ini, majelis hakim telah memperagakan pola-pola penalaran yang melalui analisis terhadap premis-permis mayornya, ternyata bertumpu sepenuhnya pada pendekatan formalisme hukum. Dalam konteks ini, karakteristik kasus ini sebagai sengketa tanah adat menjadi hilang dan berganti menjadi sengketa yang sepenuhnya bernuansa hukum negara. Hal ini menguatkan fenomena tentang pluralisme hukum lemah dalam tradisi sistem hukum Indonesia, sekalipun dalam ranah hukum agraria yang konon menurut UUPA, telah dibangun berdasarkan sendi-sendi hukum adat.

DAfTAR PUSTAKA

Effendi, Ziwar. 1987. Hukum Adat Ambon Lease. Jakarta: Pradnya Paramita.

Griffiths, John. 1986. “What’s Legal Pluralism?” International Journal of Legal Pluralism. No. 25: 1-54.

Kairys, D. Ed. 1982. Politics of Law. New York: Pantheon.

Löffler, Ulrich. 1996. “Land Tenure Developments in Indonesia.” <www. mekonginfo.org/mrc/html/loeffler/loe3_5.htm>. Diunduh pada 12 Oktober 2010, pukul 15:30.

Safitri, Myrna & Tristam Moeliono. Eds. 2010. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV.

Shidarta. 2005. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Utomo.

Soemardjono, Maria S.W. 2009. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Zelermeyer, William. 1960. Legal Reasoning: the Evolutionary Process of Law. Englewood Cliffs: Prantice Hall.

JURNAL DES.indd 219 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 26: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

220 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

MENCARI KEBENARAN MATERIIL DALAM “HARD CASE” PENCURIAN TIGA BUAH KAKAO

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT

Widodo Dwi PutroFakultas Hukum Universitas Mataram

email: [email protected]

AbstrActLegal certainly and justice are two values that are often persevere in the formulation of the judge’s decisions. This is more prominent, when judges face cases categorized as “hard cases”, one of which is the decision of the case of three cocoa, which are analyzed in this paper. The authors appreciate this decision because the judges do not just read the rules and laws, but also use their conscience so that this decision really give justice to the convict. The author points out there are so many non-legal aspects that go behind the formulation of a written decision. The case looks simple on paper. For example, in this case we can really go through even further into the root causes of a more macro level, namely the existence of land conflicts in the area. In view of that, we can resolve that good judge’s decision will be born from an intense struggle in search of material truth in every case.

Keywords: hard case, clear case, legal reasoning.

AbSTRAK Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua nilai yang selalu terformulasikan dalam putusan hakim. Hal itu akan semakin melekat pada saat hakim menghadapi kasus yang termasuk kategori “kasus sulit” seperti kasus Pencurian Kakao yang menjadi analisa dalam tulisan ini. Penulis sangat menghargai putusan ini karena tidak hanya merujuk pada hukum dan undang-undang, tetapi juga mengunakan pendekatan keadilan bagi terdakwa. Penulis mengambil hal penting bahwa ada aspek non hukum dibalik formulasi putusan yang tertulis. Kasus ini terlihat simpel karena menyangkut konflik area pertanahan sebagai akar masalah. Dalam kasus ini secara sederhana, kita dapat menyimpulkan bahwa putusan hakim yang baik akan lahir ketika adanya usaha secara intensif untuk mendapatkan kebenaran secara materiil

Kata kunci: kasus yang sulit, kasus yang jelas, alasan hukum

JURNAL DES.indd 220 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 27: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 221

PENDAHULUANI.

Putusan yang menjadi objek kajian kali ini adalah putusan atas kasus pencurian tiga buah kakao (cokelat) yang dilakukan oleh seorang wanita tua bernama Min (selanjutnya disebut Min). Mengingat kasus ini demikian menyita perhatian khalayak ramai, sudah banyak tulisan yang diangkat terkait dengan putusan tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada kajian putusan yang cukup komprehensif yang mencoba menggali sisi lain di balik putusan ini. Untuk keperluan itu, penulis berusaha menggali latar belakang putusan dengan melengkapi data/informasi melalui serangkaian wawancara mendalam dengan ketua majelis hakim dan dengan terpidana. Dalam rangka ikut menghormati etika profesi, wawancara dengan hakim tidak dimaksudkan untuk meminta yang bersangkutan mengomentari putusannya, melainkan justru lebih difokuskan pada filosofi pemidanaan yang sangat mungkin tidak terlacak hanya melalui analisis tekstual atas putusan.

Kasus tersebut bermula pada suatu hari di bulan Agustus 2009, seorang nenek tua dari Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, memanen kedelai di lahan garapannya. Berbatasan dengan sebuah kebun kakao (di daerah itu lazim dinamai cokelat) milik PT RSA, ketika sedang memanen kedelai, mata nenek Min itu melihat pohon-pohon cokelat yang banyak berbuah dan ranum. Min memetik tiga buah cokelat yang ada di kebun itu, lalu meletakkannya di tempat. Tak ada maksud padanya untuk menyembunyikannya dan tidak pula ada maksud di benaknya untuk membawanya pergi. Sebagaimana dalam wawancara;

“Inyong seq teng kebon, enten kopi- coklat mateng inyong pendhet digletakaken eng siti (Saya di kebun, ada kakao matang saya ambil dan diletakkan di tanah.),” (wawancara dengan Min, 10 Maret 2010).

Tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Min mengaku hal itu perbuatannya, sebagaimana dikisahkan;

“Mandor tanglet; sinten sing mendet kopi- coklat ? Jawab inyong, ajeng nggewinih, angsal mboten ?” , “Nek mboten angsal, nggih dibekto mriko (Mandor bertanya, siapa yang mengambil kakao. Jawab saya untuk digunakan sebagai benih. Kalau tidak diperbolehkan ya silakan dibawa kesana. (wawancara dengan Min, 11 Maret 2010) .

Mandor lalu memberi ceramah bahwa perbuatannya termasuk pencurian. Min lalu meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Nenek Min berpikir semua beres dan ia kembali bekerja.

Sepekan kemudian, Min dipanggil dan diperiksa polisi di Polsek Ajibarang. Dari hasil pemeriksaan, polisi menyimpulkan bahwa perbuatan Min sepenuhnya memenuhi unsur-unsur

JURNAL DES.indd 221 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 28: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

222 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

yang disebutkan dalam Pasal 362 KUHP yang secara legal-formal dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Tanpa menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, Nenek Minah yang tak hanya buta huruf, tetapi juga buta hukum, tanpa didampingi pengacara Min mengiyakan saja apa yang ditulis polisi dalam BAP-nya dan apa yang ditulis jaksa dalam surat dakwaannya. Min juga harus menjalani tahanan rumah sehingga sebagai petani ia tidak bisa lagi bekerja ke ladangnya.

Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencurian di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Min yang disidang tanpa didampingi pengacara mengaku tidak tahu liku-liku acara pengadilan, dengan prosedur-prosedur yang diatur secara formal dalam bahasa Indonesia yang sepanjang hidup tinggal di desa dan hanya ,menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana kasusnya cepat selesai. Karena jika tidak, ia harus pulang-pergi dari rumah ke kantor jaksa dan kantor pengadilan berjarak 40 kilometer, sehingga terpaksa mengutang uang angkot dan ojek Rp. 50 ribu kepada tetangga setiap kali menjalani pemeriksaan.(wawancara dengan Min, 12 Maret 2010).

Setelah acara pembuktian dan pemeriksaan perkara terhadap terdakwa selesai, Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut kepada Majelis Hakim memutus;

Menyatakan terdakwa Min terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan 1. tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP;

Mejatuhkan pidana terhadap terdakwa Min dengan pidana penjara selama 6 (enam) 2. bulan dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan;

Menyatakan barang bukti:3.

3 (tiga) buah coklat atau kakao berikut bii dan kulitnya dikembalikan pada pihak • PT RSA.

1 (satu) buah kandi dirampas untuk dimusnahkan.•

Menetapkan supaya terpidana membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-4.

Pada akhirnya, Min dinyatakan hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Hakim menjatuhkan vonis pidana satu bulan 15 hari, dengan masa percobaan tiga bulan. Putusan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa yang mohon agar hakim memidana si nenek dengan pidana penjara enam bulan. Nenek Minah menerima putusan hakim, bukan karena dia menganggap putusan hakim itu adil atau tak adil, melainkan karena dia sudah lelah berurusan dengan hukum yang berlaku di negeri ini, sebagaimana komentarnya,”

“Inyong nrima mawon, mboten sanggup maleh” (saya menerima saja, (karena) tidak sanggup lagi) (wawancara Min, 11 Maret 2010).

JURNAL DES.indd 222 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 29: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 223

Berbeda dengan Nenek Min, jaksa pada putusan dijatuhkan belum menerima putusan hakim yang jauh lebih rendah dari tuntutannya, dan oleh sebab itu Jaksa Penuntut Umum menyatakan masih pikir-pikir untuk berkonsultasi dulu dengan Kajari. Setelah beberapa hari kemudian, JPU menerima sehingga putusan itu berkekuatan hukum tetap. (berbagai sumber media massa).

RUMUSAN MASALAH II.

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang membuat kasus ini menjadi menarik. Pertama, kasus Min ini memenuhi rumusan delik tindak pidana biasa (pencurian) karena undang-undang yang mengatur ukuran nilai barang yang bisa diperkarakan sudah sudah usang atau tidak pernah direvisi (updated) sejak tahun 1960 sehingga perbuatan yang tidak menimbulkan bahaya terhadap individu/publik atau tidak ada bahaya sosialnya tetap bisa dijerat. Kedua, kasus Min sekilas memang kelihatan remeh temeh (hanya tiga kakao) tetapi sesungguhnya dibalik itu sarat dengan perselisihan paradigma sehingga mudah terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Permasalahannya; Apakah putusan hakim telah mengakomodasi nilai keadilan dengan menemukan kebenaran materiil dalam kasus hard case?

STUDI PUSTAKA, WAWANcARA, DAN ANALISISIII.

Penelitian ini hendak menganalisis dan mengkritisi putusan hakim, lapisan pertama; pertimbangan (konsiderans) yang menampilkan alasan-alasan yang mencakup fakta-fakta dan dasar-dasar hukum terkait; bagaimana penalaran hukum (legal reasoning) hakim. Lapisan kedua diktum (kesimpulan) yang memuat isi putusan.

Sebagaimana telah disinggung pada pendahluan, untuk menganalisis putusan hakim, penulis tidak hanya melihat teks putusan tetapi juga melakukan wawancara dengan hakim (ketua majelis hakim dan seorang hakim anggota) sehingga lebih memahami mengapa teks putusan itu lahir, bagaimana hukum positif ditafsirkan, bagaimana hakim dalam putusannya mempertimbangkan faktor-faktor kenyataan sosial dan ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental (filosofikal), latar belakang sejarah (historikal) dalam kaitan dengan tujuan yang hendak diwujudkannya (teleologikal) dan ratio-legis-nya. Untuk menggambarkan realitas di luar putusan, penulis juga mewancarai para pihak misalnya terdakwa/terpidana dan budayawan. Guna mempertajam analisis penulis juga melakukan kajian pustaka.

Dalam memutus kasus Min, dalam menafsirkan pencurian hakim memulainya dengan penalaran silogisme (metode deduktif), yakni premis mayor dibangun dari norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan dan kemudian disandingkan dengan fakta yang merupakan premis minor, sehingga akan menghasilkan konklusi, sebagai berikut:

Hakim menghubungkan fakta-fakta tersebut (premis minor) dengan unsur-unsur pasal

JURNAL DES.indd 223 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 30: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

224 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

362 KUHP (premis mayor) dari peraturan perundang-undangan yang didakwakan JPU (Jaksa Penuntut Umum) untuk dianalisa apakah fakta-fakta tersebut memenuhi unsur-unsur;

1. a. Premis mayor: unsur Barang Siapa

Menurut hakim apa yang dimaksud barang siapa adalah orang yang identitasnya jelas, diajukan ke persidangan karena telah didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

b. Premis minor

Setelah mendengar keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar Min, … maka (c. hakim mengambil kesimpulan) unsur kesatu ini telah terpenuhi.”

2. a.Premis mayor: unsur mengambil sesuatu Barang

“Menurut hakim apa yang dimaksud ‘mengambil suatu barang’ adalah memindahkan barang kesatu tempat ke tempat lain,

b. Premis minor: berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa Min pada hari minggu pahing tanggal 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB telah mengambil 3(tiga) buah kakao/ cokelat dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan PT. RSA dan hingga tertangkap tangan oleh saksi mandor Tarno Bin Sumanto dan saksi Rajiwan …maka (kesimpulan) berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas, maka unsur ke-dua ini terpenuhi.

3. a. Premis mayor: Unsur Yang Sama Sekali atau Sebagian termasuk Kepunyaan Orang Lain.

b. Premis Minor: berdasarkan keterangan saksi- saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangn terdakwa dimuka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar terdakwa telah mengambil 3(tiga) buah kakao atau coklat seluruhnya milik PT. RSA bukan milik terdakwa Min;…maka (c. kesimpulan) berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka unsur ketiga ini telah terbukti;

4. Premis Mayor: Unsur dengan maksud Memiliki Barang dengan Melawan Hukum;

Premis Minor: berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangan terdakwa di muka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah kakao atau cokelat seberat +- 3kg yang seluruhnya milik PT. RSA dan terdakwa mengambil barang tersebut diatas tanpa ijin dan sepengetahuan pemiliknya yaitu PT. RSA

JURNAL DES.indd 224 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 31: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 225

dengan maksud akan dimiliki untuk bibit tanaman dan perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan PT. RSA menderita kerugian sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah);…maka (c. kesimpulan) berdasarkan pertimbangan hukum diatas, maka unsur ke empat terpenuhi;

Karena semua unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal 362 KUHP telah terpenuhi, hakim berkeyakinan bahwa terdakwa Min dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan, melanggar pasal 362 KUHP karena itu terdakwa harus dihukum sesuai dengan perbuatannya tersebut;

Hakim kemudian mempertimbangkan apakah ada dasar pembenar dan alasan pemaaf yang dapat meniadakan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut. Berkaitan dengan alasan pemaaf, hakim merujuk pada KUHP dan hukum yang tidak tertulis, yakni;

a. Tidak mampu bertanggung jawab (pasal 44 KUHP);

b. Daya paksa (Pasal 48 KUHP);

c. Pembelaan darurat yang melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP);

d. Sedangkan alasan pemaaf yang tidak tertulis adalah “tidak tercela”.

Alasan pemaaf dan pembenar, memungkinkan seorang subjek hukum untuk terhindar dari konsekuensi-konsekuensi hukum tertentu, misalnya karena adanya gangguan jiwa, belum dewasa, daya paksa, pembelaan paksa karena darurat, dan karena menjalankan tugas jabatan. Dalam putusannya, hakim berpendapat tidak menemukan alasan pemaaf dan pembenar sebagaimana yang ditentukan dalam pasal-pasal KUHP tersebut.

Tetapi kadar kekakuan formalistik mulai melunak, hakim tidak berhenti pada teks formal, juga mempertimbangkan opini yang berkembang di masyarakat sebagaimana dalam putusannya berbunyi sebagai berikut;

“Menimbang, bahwa di mass media dimuat secara luas, pemberitaan yang pada pokoknya mengemukakan bahwa simpati dan dukungan kepada Min warga Darmakradenan, kecamatan Ajibarang terus mengalir;

- sejumlah pegiat gender menyampaikan keprihatinannya dan mendatangi DPRD agar ikut memberikan dukungan moral, tujuannya agar Majelis Hakim bisa menegakkan keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat;

“Menimbang bahwa fenomena “kasus M” ini menjadi menarik perhatian masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan, melukai keadilan rakyat, dimeja hijaukan ambil tiga biji kakao bernilai Rp. 2.100, aktivis dukung M dibebaskan,… mestinya polisi,

JURNAL DES.indd 225 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 32: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

226 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

jaksa, dan majelis hakim bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan si pelaku. Kalau dampaknya tak begitu merugikan masyarakat secara luas termasuk pihak korban itu bisa ditangani dengan pendekatan lain dulu, tidak terus diproses pidana.”

Hakim mempertimbangkan opini yang berkembang di masyarakat suatu yang jarang dilakukan oleh hakim di Indonesia. Artinya apa ? Praktik penalaran hukum tidak sesederhana dan linier sebagaimana dalam logika deduktif (silogisme). Aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu memerlukan interpretasi dengan konteks (menjadi intersubyektif). Itu sebabnya, mengapa aturan hukum selalu mengalami pembentukan dan pembentukan ulang (dengan interpretasi) sebagaimana dalam putusan kasus Min, hakim berpendapat;

“Menimbang bahwa ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal perundangan yang didakwakan kepada terdakwa masih bersifat umum, masih bersifat abstrak, dalam arti tatkala terjadi suatu perkara dan dihadapkan ke pengadilan, maka hakimlah yang berkewajiban untuk memberikan roh keadilan kepada pencari keadilan di dalam kasus melalui putusannya.”

Hakim kemudian mempertimbangkan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa sebagaimana dalam bunyi putusannya,”hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa...” Padahal dalam penalaran Positivisme Hukum, seseorang dihukum bukan karena sifat jahat atau baik, tetapi karena semata-tama melanggar norma hukum.

Dalam mempertimbangkan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, hakim menyampaikan argumentasi sosiologis dan psikologis seperti terungkap dalam bunyi putusannya berbunyi hal-hal yang memberatkan tidak dijumpai pada terdakwa Minah. Sedangkan yang meringankan;

1. Terdakwa Min lanjut usia;

2. Terdakwa Min adalah petani tua, yang tidak punya apa-apa;

3. Tiga buah kakao, sangatlah berarti bagi petani Min, buat benih untuk ditanam kembali. Sedangkan dari sisi perusahaan perkebunan tidaklah terlalu merugi;

4. Semangat terdakwa Min, haruslah diapresiasi, menghadiri persidangan tepat waktu meski letih dan tertatih;

5. Peristiwa mengambil tiga kakao, bagi Min selaku terdakwa, merupakan hukuman baginya, mengganggu ketenangan jiwa, melukai hati, menguras tenaga dan harta serta memuat keropos jiwa raga.”

Pemilihan kata dan kalimat dalam pertimbangan meringankan tersebut mengartikulasikan rasa “empati” yang luar biasa hakim kepada terdakwa Min. Rasa empati tidak dapat disembunyikan

JURNAL DES.indd 226 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 33: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 227

Ketua Majelis Hakim sewaktu membacakan putusan dengan menangis tersedu-sedu. Dalam kasus Min, menunjukan bahwa hakim juga manusia bahwa faktor psikologis juga ikut mempengaruhi. Hakim juga terlihat menangis saat membaca putusannya. Mengapa menangis ketika membaca putusan kasus Min ?

Dalam wawancara dengan Ketua Majelis Hakim mengaku sangat terharu sehingga tidak menyembunyikan perasaannya, sebagaimana yang diutarakan,

“Seharusnya dalam persidangan hakim harus kelihatan tegar dan netral. Tetapi perasaan saya terharu. Ibu setua itu mencari bibit karena keterpaksaan luar biasa. Jadi saya ingat ibu saya sendiri.”(wawancara dengan Ketua Majelis Hakim MBL, 5 Maret 2010)

Dalam teori penalaran klasik, bernalar dengan argumentasi rasa kasihan atau iba bertentangan dengan logika. Dalam konsep logika, dianggap kesesatan dalam penalaran atau disebut argumentum ad Misericordiam. (B. Arief Sidharta, 2008, hal. 61). Rasa kasihan dianggap tidak logis, dikhawatirkan .terjadi pencampuradukan antara perasaan dan jalan pikiran hakim, sehingga mempengaruhi hakim dalam putusannya. Menurut ajaran Positivisme Hukum, hakim dilarang menggunakan perasaan dan faktor-faktor non hukum, tetapi harus dengan rasio atau nalar murni. Apakah pada waktu memeriksa perkara “kepala” dan “hati” hakim benar-benar bisa dikosongkan? Tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan Hans Kelsen dalam “The Pure Theory of Law” bahwa hukum tidak boleh terkontaminasi anasir nonhukum.( Hans Kelsen, 1976. )

MBL adalah profil hakim yang sederhana. Untuk kehidupan sehari-hari, istri Bambang membuat dan menjual roti. “Ide berawal ketika anak kedua tidak mau makan nasi sehingga untuk penggantinya beli roti tawar. Kalau tiap hari harus makan roti tawar, gaji hakim saat itu tidak cukup, hingga saya beli tepung dan mencoba membuat roti. Lumayan usaha berkembang pesat, dari 50 menjadi 100, bahkan kemudian meningkat diatas 200,” cerita NA (istri Bambang). Dari usaha roti itu kemudian keluarga Bambang bisa membeli mobil tua untuk mengantar roti ke toko-toko. “Coba dengarkan baik-baik suara mobil itu ‘roti-roti’ bukan suara palu hakim ‘tok-tok’ ,” seloroh MBL. Selama bertugas di PN Purwokerto Hakim MBL tidak tinggal di rumah dinas, melainkan kos bersama istri dan anak-anak. Kamar kos itu berukuran sekitar 4 x 3 dengan tarif sewa kamar

Dalam pengadilan, yang mengadili dan diadili bukan benda mati, sesungguhnya bukan totalitas kognitif dan logika tetapi juga tak terhindarkan hubungan kemanusiaan. Hukum adalah pergulatan manusia tentang manusia. Pertimbangan hakim dalam putusan kasus Min menunjukan sisi kemanusiaan hakim menanggapi sisi kemanusiaan pihak yang berperkara. Selama hakim manusia, ia tidak bisa lepas dari faktor psikologis (empati, emosi, iba, marah, dan sebagainya), sebagaimana dituturkan oleh hakim MBL,

“Saya kuatkan hati saya supaya bisa membaca putusan. Tapi, tidak tahan dan menangis

JURNAL DES.indd 227 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 34: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

228 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

sehingga membaca putusan secara groyok (terbata-bata),” (wawancara dengan MBL, 6 Maret 2010).

Dalam konteks ini, hakim memeriksa dan memutus melibatkan hati nuraninya. Kalau demikian, mengapa tidak membuat terobosan hukum dengan memutus bebas dalam kasus Min?

Alasan tetap menjatuhkan hukuman percobaan, menurut MBL sebagai berikut;

“Kata hati nurani, Minah sebenarnya korban pemiskinan struktural. Tetapi secara yuridis formal, saya tidak menemukan alasan pemaaf dan alasan pembenar sehingga Minah harus tetap dihukum. “ (wawancara dengan MBL, 6 Maret 2010).

MBL menjelaskan bagaimana perdebatan dalam musyawarah majelis bahwa semua hakim anggota sependapat kalau Min dipidana. Perbedaan pendapat pada formula pemidanaannya. Di kalangan hakim, menurut pengalaman Bambang, terbiasa menjatuhkan separuh atau setengah dari tuntutan Jaksa. Sedangkan JPU dalam tuntutannya, menuntut pidana penjara 6 bulan, yang berarti Min kemungkinan besar dipidana 3 bulan.

“Awalnya beberapa hakim anggota berpendapat bahwa Min seharusnya dipidana penjara. Saya sempat berprasangka buruk apakah ada kepentingan perusahaan telah masuk. Kalau terjadi seperti itu saya akan melakukan dissenting opinion dan berpendapat pemidanaannya cukup percobaan. Tetapi setelah saya serahkan konsep dan adu argumentasi, kemudian majelis sepakat dengan konsep yang saya ajukan hanya hukuman percobaan. Biasanya, kalau adu argumentasi kalah tetapi tetap ngotot berarti ada pesanan sponsor. Tetapi dalam kasus Min, kemudian saya yakin tidak ada suap-menyuap. Terbukti, dalam kasus Min, hakim anggota yang lain menerima argumentasi yang paling ideal. Saya bersama anggota majelis hakim lainnya lalu berpikir keras dan mencari jalan keluarnya. Akhirnya, putusannya bukan pidana penjara, hanya percobaan. Yang penting, Mbok Min, tidak dipenjara.,” (wawancara dengan MBL, 6 Maret 2010).

Yang juga menarik dalam putusan, hakim berterus terang menggunakan fantasi dan imajinasinya untuk memberikan putusan yang bermakna sebagaimana dalam bunyi putusan;

“Menimbang lebih jauh lagi, bahwa yang terpenting putusan haruslah membawa makna. Makna itu disiratkan melalui fantasi dan imajinasi yang divisualisasikan. Fantasi dan imajinasi hakim haruslah memimpin sebuah peradaban.”

Fantasi dan imajinasi suatu yang diharamkan oleh aliran legisme yang merupakan varian paling ekstrem dari Positivisme Hukum. Legisme mengindentikkan hukum hanya sebagai hukum positif, sehingga hakim dilarang menggunakan fantasi dan imajinasi karena dikhawatirkan keluar dari tawanan undang-undang.

JURNAL DES.indd 228 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 35: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 229

Pernyataan hakim yang berterus terang menggunakan fantasi dan imajinasi jelas berseberangan dengan pemikiran hukum klasik yang awalnya menganggap pengadilan sebagai imam dari hukum (the priests of the law); tempat penyimpanan hukum-hukum kuno (the repositories of its ancient rules); putusan-putusan kemudian disaring (distilled) dalam sebuah jalan misterius oleh hakim ‘in scrinio pectoris sui’ (hukum bersemayam dalam dada). Hakim hanya menerapkan aturan-aturan lama dan doktrin-doktrin tradisional dicetak ulang secara bertahap meski sering tidak memadai dan tertegun menghadapi kebutuhan sosial baru. (Freeman, 2001 : 1375.)

Ronald Dworkin kurang sepakat dengan cara pandang klasik itu Dworkin mengingatkan bahwa seorang hakim ketika dihadapkan pada kasus konkrit tidak saja berurusan dengan masalah teknis (prosedural semata) tetapi juga berhadapan dengan substansi hukum. Ketika seorang hakim mempersoalkan masalah etika, bukan lagi bertanya tentang prosedur teknis penyelesaian hukum tetapi juga mempersoalkan substansi hukum apakah adil atau tidak. (Ronald Dworkin, 1999 : 1)

Upaya hakim berusaha keras mencari berbagai sumber, tidak hanya membaca teks hukum formal melainkan juga sumber-sumber non hukum patut dihargai. Kasus Min sekilas memang kelihatan remeh temeh (hanya 3 kakao) tetapi sesungguhnya ”hard cases” yang sarat dengan perselisihan paradigma.

Tamanaha melihat “hard cases” sebagai suatu yang sangat dilematis, sebagai berikut (Brian Z. Tamanaha, 2010 : 192.);

“What jurists refer to as “hard cases” usually fall into one of the two preceding categories: cases involving gaps, conflicts, or ambiguities in the law, and cases involving bad rules or bad results. It confuses matters to lump the two together under same label because they raise distinct dilemmas. The former asks what a judge should do when the law is unclear; the latter asks what a judge should do when a clear law or its consequences is deemed objectionable. Both situations are “hard” in the sense that there is no easy course for the judge. They sometimes merge, for instance, when a bad result encourages a judge to see the law as less clear than initially thought, paving the way for a different result. But the distinction between these types of hard cases is generally marked. The former is continous with legal analysis in which the judge engage in difficult search for the correct legal answer, whereas the latter raises questions about the extent of the judge’s obligation to follow the law.”

(Terjemahan bebasnya sebagai berikut: Apa yang ahli hukum sebut sebagai “kasus-kasus berat” biasanya jatuh ke salah satu dari dua kategori sebelumnya: kasus-kasus yang melibatkan kesenjangan, konflik, atau ambiguitas dalam hukum, dan kasus-kasus yang melibatkan aturan yang buruk atau hasil buruk. Masalah ini membingungkan untuk menyatukan di bawah label yang sama karena mereka menimbulkan dilema-dilema yang berbeda. Hakim

JURNAL DES.indd 229 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 36: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

230 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

pertama bertanya apa yang harus dilakukan ketika hukum tidak jelas, hakim kedua bertanya apa yang harus dilakukan bila hukum yang jelas atau konsekuensinya dianggap pantas. Kedua situasi adalah “keras atau rumit” dalam arti bahwa tidak ada yang mudah bagi hakim. Mereka (kadangkala bergabung, misalnya, ketika akibat buruk mendorong hakim untuk melihat hukum sebagai kurang jelas dari pemikiran awalnya, membuka jalan bagi hasil yang berbeda. Namun perbedaan antara jenis kasus yang sulit umumnya ditandai. Yang pertama adalah terus-menerus dengan analisis hukum di mana hakim terlibat dalam pencarian sulit untuk jawaban hukum yang benar, sedangkan yang terakhir ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kewajiban hakim untuk mengikuti hukum.)

Bagi para hakim konservatif hukum diandaikan sudah lengkap, tidak ada celahnya, dan jelas. Pandangan semacam itu melukiskan hukum mampu menghasilkan jawaban yang pasti terhadap semua kasus sehingga tidak mengenal istilah “hard cases”.

Berbeda dengan Dworkin yang melihat “hard cases” sebagai laboratorium istimewa. Bagi Dworkin, bagaimanapun “hard cases” sangat signifikan (sebagai kasus penting) yang menguji prinsip-prinsip fundamental. Terobosan putusan hakim menjadi penting karena tidak semua kasus hukum yang kompleks dan berat (hard cases) dapat secara langsung ditemukan jawabannya dalam hukum positif yang tersedia. Dalam “hard cases” diperlukan kemampuan menganalisis, menginterpretasi, dan melakukan terobosan hukum untuk mendapat jawaban yang memadai. Meskipun demikian, menurut Dworkin, para hakim bukan, dan seharusnya tidak, menjadi pembuat hukum. Karena itu bagi Dworkin, tetap dibutuhkan teori yang lebih memadai untuk menangani ‘kasus berat’. Kalau hakim tidak boleh membuat hukum sementara dia dihadapkan kasus berat, bagaimana terobosan hukum bisa dimungkinkan?

Dworkin berpendapat,”I shall argue that even when no settled rule disposes of the case, one party may nevertheless have a right to win.” Tanpa peraturan yang ditentukan untuk kasus sekalipun, salah satu pihak yang berperkara tetap berhak memenangkan perkara. Dengan demikian, tugas hakim, menurut Dworkin, menemukan hak-hak dari pihak-pihak yang berperkara. Pertanyaannya, kalau dalam kasus berat tidak tersedia prosedur untuk menentukan apa yang menjadi hak hukum setiap pihak, lalu apakah hakim memeriksa dan memutus perkara tanpa prosedur apa pun? Dworkin menjawab pertanyaan itu dengan memberi perbedaan yang jelas antara apa yan disebut argumen prinsip (argument of principles) dan argumen kebijakan (argument of policies). Disebut argumen kebijakan ketika hakim berusaha mempertanggungjawabkan keputusan dengan dengan menunjukan manfaat bagi komunitas politik secara keseluruhan. Sementara itu, argumentasi prinsip adalah argumen hakim yang membenarkan putusan karena pada dasarnya menghormati atau melindungi hak-hak individu atau kelompok, misalnya anti-diskriminasi di mana minoritas mempunyai hak untuk mendapatkan penghargaan dan perhatian yang sama. (Dworkin, 1978 : 81- 130)

JURNAL DES.indd 230 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 37: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 231

Kasus-kasus adalah ”berat” di mana ada berbagai argumen (dilematis) mengenai apa pemahaman terbaik dari hukum, sedangkan kasus-kasus jelas (clear cases) adalah yang di mana tidak ada keraguan semacam itu. Jika kasus-kasus berat adalah penting, bagaimana dengan ”clear cases” (kasus-kasus yang jelas)? Guest berjasa menjernihkan perbedaan “hard cases” dengan “clear cases” sekaligus merupakan kritik terhadap Dworkin dengan mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai “clear cases” adalah hasil dari proses penalaran bukan dari permulaan. (Freeman, 2001: 1392.)

Setiap kasus (baik “hard cases” maupun “clear cases”) pada hakikatnya unik sehingga memerlukan interpretasi hukum yang baru, atau dengan kata lain, tidak pernah ada dua perkara yang sepenuhnya serupa. Karena itu, hakim harus mengambil “fresh judgement” untuk menemukan hukum yang tepat.

Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur ”melanggar hukum”, yang di dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Di sini, kata recht yang dipakai dan bukan wet. Menjadi persoalan, hukum (recht) mana yang sebenarnya dalam kasus-kasus pidana itu yang dilanggar. Hukum UU yang tertulis itu (wet), ataukah hukum rakyat yang masih berlaku di locus delicti (tempat kejadian perkara) atau yang disebut “living law”. (Wigjosoebroto, 2010). Maka, apabila persoalan wederechtelijk diangkat dalam persoalan Min dan kakaonya apakah ada unsur pidana dalam perbuatan Min ini?

Pertama, mengambil sesuatu barang yang tidak terlalu berharga, tidak membahayakan individu atau tidak ada bahaya sosialnya, seperlunya atau tidak untuk dikomersialkan, terlebih lagi untuk untuk bibit, menurut hukum rakyat setempat tidaklah dapat dikatakan sebagai pencurian sebagaimana wawancara dengan budayawan Banyumas,

”Dalam masyarakat Banyumas di pedesaan umumnya, kalau orang mengambil sesuatu seperlunya untuk bibit tanpa ijin, tidak akan menjadi masalah. Sementara, kalau orang minta bibit secara baik-baik, oleh pemiliknya akan dicarikan bibit yang paling baik. Tetapi sekarang rupanya semakin antisosial. Menyedihkan. Orientasi perusahaan perkebunan hanya profit oriented. Kalau orang miskin meminta bibit secara baik-baik kepada perusahaan apakah akan dikabulkan? Semestinya, kasus Min bisa diselesaikan secara musyawarah di tempat, misalnya RT atau RW. (Wawanncara dengan Eyang Nardi, 13 Maret 2010).

Hakim dalam putusannya sebenarnya mempertimbangkan apakah ada dasar pembenar dan alasan pemaaf yang dapat meniadakan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak hanya merujuk pada KUHP tetapi juga hukum yang tidak tertulis, yakni; alasan pemaaf yang tidak tertulis adalah “tidak tercela”.

JURNAL DES.indd 231 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 38: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

232 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Namun dalam persidangan tidak dihadirkan saksi ahli dari kalangan ahli hukum adat dan budayawan. Semua saksi yang dihadirkan adalah “orang-orang” PT RSA. Terdakwa yang tidak didampingi pengacara tidak mengajukan saksi yang meringankan (a de charge) meskipun haknya diberikan.

Kedua, Walaupun silogisme penting dan perlu, dalam praktik penalaran hukum tidak sesederhana dan linier sebagaimana yang dibayangkan. Aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu memerlukan interpretasi dalam konteks kenyataan faktual yang konkret. Selain itu, dinamika kehidupan selalu memunculkan situasi baru yang terhadapnya belum ada aturan eksplisit yang secara langsung dapat diterapkan. Itu sebabnya, aturan hukum selalu mengalami pembentukan dan pembentukan ulang (dengan interpretasi).

Premis minornya berupa fakta yuridis, yakni fakta-fakta dari sebuah kasus dalam masalah hukum, juga tidak begitu saja terberi, melainkah harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam konteks aturan hukum yang relevan, untuk kemudian diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum. Jadi, fakta yuridis bukanlah “bahan mentah”, melainkan fakta yang sudah diinterpretasi dan dievaluasi. (Sidharta, 2008 : 21.)

Namun persoalannya, interpretasi dalam silogisme seperti dalam sangkar besi (iron cage), karena jawaban (konklusi) diam-diam sebenarnya sudah “tersedia” dalam premis mayor. Dalam silogisme, norma yang didudukan sebagai premis mayor diasumsikan lebih luas dari fakta (premis minor). Premis mayor berposisi sebagai “konsep ortodoksi” yang secara aksiomatis dianggap mampu mencakup, melingkupi, bahkan mengantisipasi semua persoalan di masyarakat. Padahal persoalan dalam masyarakat lebih luas sehingga tidak mungkin tercakupi dalam undang-undang.

Sebagai contoh, pasal-pasal pencurian dalam KUHP yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda yang memberikan ukuran nilai barang yang bisa diperkarakan minimal 25 gulden. Terakhir, melalui UU No. 16/Prp/1960, nilai barang diubah menjadi Rp. 250. Biji dari tiga buah kakao apabila dikeluarkan dari kulitnya, dikeringkan, dan ditimbang menjadi sekitar 1 – 1,5 ons dan apabila dirupiahkan diperkirakan senilai Rp. 5000 – 7.500. Jika aparat penegak hukum, membaca teks hukum positif tersebut secara skripturalistik dan terpisah dengan realitas sosialnya, maka pencurian bernilai diatas Rp. 250 dapat dikategorikan tindak pidana biasa. Polisi dan Jaksa membawa kasus Min ke pengadilan karena memahami teks hukum dengan logika tertutup. Disebut tertutup karena teks hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir ekonomis, sosiologis, dan sebagainya. Sistem logika tertutup memiliki karakter hanya mengejar kebenaran formal prosedural (Shidarta, 2007 : 58) sehingga mengundang persoalan, misalnya, apakah nilai Rp. 250 masih relevan diterapkan pada saat ini? Itulah mengapa kasus Min menimbulkan reaksi yang luar biasa di masyarakat dan dianggap melukai rasa keadilan.

Karl Llewellyn secara radikal memperlihatkan ‘legal indeterminacy’ bahwa “ a statute cannot go beyond its text” (perundang-undangan tidak dapat melampaui teksnya), tetapi juga prinsip

JURNAL DES.indd 232 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 39: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 233

bahwa” to effect its purpose a statute must be implemented beyond its text” (untuk mempunyai akibat pada tujuannya sebuah peratuan perundang-undangan harus diimplementasikan melampaui teksnya). (Llewellyn, 1950: 401). Sebagai contoh, karena patokan nilai Rp. 250 sudah tidak relevan diterapkan pada saat ini, maka aparat penegak hukum seharusnya “berpikir melampaui teksnya” dengan mengkalkulasi nilai Rp 250 pada tahun 1960 adalah sebanding dengan 10 gram emas, dan harga emas per gramnya sekarang sekitar Rp. 350.000 sehingga yang menjadi dasar ukuran nilai kerugian adalah 10 gram emas sekarang sekitar Rp. 3.500.000. (Hendra, 2010). Implikasi yuridisnya, pencurian dibawah patokan nilai kerugian itu hanya merupakan tindak pidana ringan.

Sebagai kajian komparatif KUHP asing (antara lain di Armenia, Belarus, Brunei, Bulgaria, China, Jerman, Latvia, Macedonia, Perancis, Romania, Swedia, dan Yugo-slavia) bahwa suatu perbuatan (misalnya pencurian) walaupun telah memenuhi rumusan delik dalam UU dapat dinyatakan tidak merupakan tindak pidana (asas Judicial Pardon), apabila : (a) tidak menimbulkan bahaya publik atau sangat kecil bahaya sosialnya (does not present public danger because of its little significance, i.e. it did not cause or could not have caused significant damage – Psl. 18 Armenia); (b) tidak ada bahaya sosialnya (no social danger by virtue of its little significance – Psl. 7 Bellarus); (c) tidak berbahaya bagi masyarakat atau sifat bahayanya sangat kecil (its insignificance is not dangerous to society or its danger to society is obviously insignificant – Psl. 9 Bulgaria); (d) bahayanya sangat kecil atau tidak besar (the circumstances are clearly minor and the harm is not great – Psl. 13 China); (e) ada keadaan-keadaan yang meniadakan/menghapus pertanggungjawaban pidana (has been committed in circumstances which exclude criminal liability – Psl. 6 Latvia).( Barda Nawawi Arief, 2006)

Ketiga. undang-undang hukum pidana dalam teks asalnya (Belanda) pun sebenarnya menyebutkan bahwa hanya orang yang ”een goed … wegneemt” yang harus disebut pelaku pencurian. Wegneemt berasal dari kata dasar wegnemen, yang berarti mengambil dan membawanya pergi. Kita ingat, Min tidak melarikan kakao yang dipetiknya itu. (Wignjosoebroto, 2010). Karena hukum pidana mencari kebenaran materiil, pertanyaan yang perlu digali mengapa Min meletakan kakao yang dipetiknya di tempat terbuka dan masih di wilayah PT RSA yang tentu saja akan mudah diketahui oleh pihak perusahaan?

Kalau sidang Min digelar di lapangan (tempat kejadian perkara), mendengar kesaksian penduduk di sekitar perkebunan (bukan hanya dari pihak perusahaan), dan melacak sejarah tanah perkebunan, mungkin akan terungkap bahwa ada sesuatu dibalik konteks sehingga Min tidak pernah merasa mencuri sebagaimana dalam peryataannya,”

“Gusti Allah sing nyakseni. Tanah iku tanahe rakyat,” (Tuhan yang menyaksikan. Tanah itu (yang dikuasai PT RSA) adalah milik rakyat.” (wawancara Min, 2010)

Dalam pemeriksaan di pengadilan, ada akar kausa yang tidak terungkap, yakni konflik

JURNAL DES.indd 233 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 40: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

234 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

agraria antara penduduk desa setempat dengan yayasan militer yang berkolaborasi dengan PT RSA.

Ketua Majelis Hakim MBL sendiri mengakui tidak mengetahui jika dibalik kasus Min sesungguhnya ada konflik agraria antara masyarakat dengan yayasan militer yang bekerjasama dengan perusahaan swasta. Menurut MBL, dalam kasus Min, lebih ideal lagi, kalau hakim turun ke TKP supaya memperkuat keyakinan hakim. Ada keinginan untuk turun ke TKP, tapi waktu itu uang pribadi tidak cukup. Tidak ada dana yang disediakan negara. Terlebih lagi, TKP Minah cukup jauh dari pengadilan.

Penduduk sekitar perkebunan menganggap tanah perkebunan yang dikuasai PT RSA merupakan hak milik warga dari warisan nenek moyang mereka. Perpindahan kepemilikan tanah dari petani dimulai dari sewa-menyewa lahan dengan perusahaan Belanda pada masa kolonial. Ketika itu, pemerintah Belanda, sekitar tahun 1890-an menaikkan pajak tanah sebesar 30 sen per 7000 m. Kebijakan ini mengakibatkan rakyat tidak mampu membayar pajak sehingga lurah P (Kepala Desa Darmakradenan waktu itu) mengadakan musyawarah dengan warga.

Dari musyawarah tersebut diperoleh kesimpulan bahwa rakyat tidak akan mampu membayar pajak karena memang terlalu mahal bahkan dibanding dengan hasil panen. Dengan alasan tersebut, diselenggarakan musyawarah untuk memutuskan, tanah itu akan disewakan pada pengusaha Belanda bernama Tuan Maryer/Jan Albertus Van Der Roeft dengan massa sewa selama 75 tahun dan akan berakhir sampai dengan tanggal 14 Juli 1967. Status tanah seluas 230,10 Ha itu akhirnya menjadi Recht van Erfpacht No.5 Surat Ukur tanggal 14 September 1891 No.56. Sebelum masa hak erfpacht (setelah UUPA berlaku menjadi Hak Guna Usaha) habis, meletus peristiwa 1965, militer masuk perkebunan dengan alasan menumpas Sarbupri (serikat buruh perkebunan yang berafiliasi ke PKI). Sejak itu perkebunan diambil alih militer dan dikelola oleh Yayasan Rumpun Kodam Diponegoro. Sejak Februari 1967, Pemerintah melalui BPN mengeluarkan Hak Guna Usaha kepada PT RSA berdasarkan kelanjutan dari hak erfpacht.

Pada tahun 1980 PT. Rumpun berubah menjadi PT. RA lalu pada tahun 1990 dilaksanakan kerjasama antara PT. RA dengan PT. AAN menjadi PT RSA. Selama masa Orde Baru, tentara sering patroli dan latihan perang-perangan di wilayah perkebunan sehingga penduduk desa tidak berani meminta kembali tanah tersebut. (Cahasta, 2006; dan wawancara dengan berbagai sumber di lapangan).

Setelah Orde Baru runtuh, masyarakat melakukan ”reclaiming” dengan menggarap di sekitar tanaman kakao PT RSA. Sejak tahun 1999, Min bersama petani lainnya menanam jagung dan kedele di sekitar kakao (warga menyebut; complongan). Menurut Min, ketika ia memupuk tanaman palawija otomatis pupuk itu juga diserap akar kakao disekitarnya, sebagaimana yang dikatakan “Melu nggaremi masa mboten purun mendet buahe” (Ikut memupuk apa iya tidak boleh mengambil buahnya). Karena alasan itu, Min tidak pernah ”berniat” mencuri sehingga tak

JURNAL DES.indd 234 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 41: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 235

ada maksud Min untuk menyembunyikan kakao dan tidak pula ada maksud di benaknya untuk membawanya pergi. Apakah perbuatan tersebut yang tidak mengandung unsur ”mens rea” bisa dikategorikan tindak pidana biasa?

Permasalahannya, antara hukum pidana, perdata (masih diperkecil lagi menjadi hukum agraria, hukum bisnis, hukum perkebunan, dan sebagainya) dipandang secara terpisah, padahal bisa saja akarnya berkelindan satu dengan lainnya. Seandainya dalam kasus Min, hakim juga melihat bagaimana sejarah tanah untuk menjelaskan siapa pemilik tanah dan kakao yang sesungguhnya, maka perbuatan Min mengambil tiga kakao itu memang ”terbukti” tetapi tidak ditemukan unsur melanggar hukum (wederechtelijk).

SIMPULANIV.

Dalam kasus Min, kita berada dalam situasi yang dilematis; terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Hukum memang tidak selalu identik dengan keadilan, meski mungkin saja keadilan bisa diperoleh dari apa yang legal. Jika hukum diasumsikan identik dengan keadilan, maka berbahaya, karena pencarian keadilan di luar hukum akan dihentikan. Keadilan adalah suatu konsep yang jauh melampaui hukum. Keadilan itu berada dalam wilayah nomena, dan hukum itu adalah fenomena. Hukum tanpa keadilan tidak layak lagi disebut hukum, tetapi keadilan tanpa hukum tetaplah keadilan, meskipun keadilan yang defisit. Karena itu, agar keadilan tidak defisit, maka argumentasinya perlu dijustifikasi dengan prinsip-prinsip hukum.

Pertama, suatu perbuatan walaupun telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dapat dinyatakan tidak merupakan tindak pidana (maksimal tindak pidana ringan), apabila tidak menimbulkan bahaya terhadap individu/publik atau tidak ada bahaya sosialnya. Seharusnya kasus Min diselesaikan melalui proses restorative justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan. Terlebih lagi, dalam Rancangan KUHP yang baru sudah diatur model penyelesaian restorative justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan untuk kasus-kasus yang implikasi sosialnya kecil dan tidak membahayakan individu/publik.

Kedua, upaya hakim tidak hanya membaca teks hukum formal melainkan juga melibatkan hati nuraninya sehingga berusaha keras mencari pertimbangan-pertimbangan seadil-adilnya, patut mendapat apresiasi. Hal inilah yang menjadikan pertimbangan hakim dalam putusan kasus Min terasa cukup bijak dengan menjatuhkan putusan hukuman percobaan, jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum 6 bulan pidana penjara.

Kasus Min sekilas memang kelihatan remeh temeh (hanya tiga kakao) tetapi sesungguhnya dibalik itu sarat dengan perselisihan paradigma, kepentingan, dan pergulatan sejarah. Untuk ”hard case” tidak mudah untuk menemukan kebenaran materiil jika hanya sidang diatas meja dengan waktu yang relatif singkat (apalagi jika hakim harus berkonsentrasi menghadapi perkara-perkara lain), bagaimana mungkin hakim bisa mengungkap fakta ”apa dibalik apa adanya”. Penemuan

JURNAL DES.indd 235 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 42: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

236 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

hukum (rechtsvinding) adalah sebuah aspek penting dari praktik hukum.

Namun hakim harus memberikan putusan hukumnya dalam jangka waktu yang masuk akal (binnen redelijk termijn, within reasonable time). Keterbatasan waktu itu menyebabkan seorang hakim kadang dalam posisi dilematis; dituntut tidak hanya pada ketepatan substansi dalam penemuan hukum melainkan ketepatan waktu. (Pontier, Rechtsvinding, 1995, 2001; 1).

Seandainya dalam kasus Min, hakim juga meneliti bagaimana sejarah tanah untuk menjelaskan siapa pemilik tanah dan kakao yang sesungguhnya, maka perbuatan Min mengambil tiga kakao itu memang ”terbukti” tetapi tidak ditemukan unsur ”melanggar hukum”. Padahal setiap pasal dalam undang-undang pidana itu selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur ”melanggar hukum” (wederechtelijk) sehingga Min (seharusnya) lepas dari segala tuntutan.

DAfTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2006. Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana, Bahan Refreshing Course “On The Same Root and Different Development”, Surabaya, 11 April.

Cahasta, Louvikar Alfan. 2006. Gerakan Petani dalam Pembaruan Agraria, Studi Kasus di Desa Kramadenan Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Skripsi: Universitas Soedirman-Purwokerto.

Dworkin, Ronald. 1978. Taking Rights Seriously. Harvard University Press.

Freeman, M.D.A. 2001. Llyod’s Introduction to Jurisprudence. London: Sweet & Maxwell.

Kelsen, Hans. 1976, The Pure Theory of Law. Diterjemahkan oleh Max Knight. University of California Press, 1976.

Llewellyn, Karl. 1950. Remarks on the Theory of AppelateDecision and The Rules and Cannons about How Statutes are to be Constructed, Vanderbilt Law Review No. 3.

Pontier, J.A. 2001. Rechtsvinding, Dterjemahkan oleh B. Arief Sidharta. Bandung: Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Shidarta. 2007. Positivisme Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Tarumanegara.

Sidharta, B. Arief. 2008. Struktur Ilmu Hukum Indonesia. Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Sidharta, B. Arief. 2010. Ilmu, Teori dan Filsafat Hukum, Makalah Lepas, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

JURNAL DES.indd 236 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 43: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 237

Sidharta, B. Arief, 2008. Pengantar Logika. Bandung: Refika Aditama.

Wigjosoebroto, Soetandyo. 2010. Minah tak curi cokelat. Kompas, 15 Februari 2010

Tamanaha, Brian Z. 2010. beyond Formalist – realist Devided the role of Politics in Judging, Princeton University Press.

JURNAL DES.indd 237 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 44: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

238 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

CACAT YURIDIS PUTUSAN HAKIM BERSIFAT NON EXECUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI

Sidik SunaryoFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Jalan Raya Tlogomas No. 246 Malang

email: sidik_sunaryo@yahoo,com

Kajian Putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda

AbstrAct The judge verdicts has an opportunity to participate actively in improving the judicial system and image. Therefore, the judge shall consider the juridical, sociological, and psychological aspects in every decision, while still relying on the formal legal provisions and moral, culture, modesty, and religious values in the society. This decision will thus be executorial and legitimate. Instead, the decision that fails to accommodate these things would be viewed as a decision that does not reflect the sense of justice, especially in cases of corruption which have caused financial losses to the economy of the country. Plus, if the judges tend not to maintain their independence, due for example, the strong external pressure, then through a comprehensive review of this decision, the author identifies a number of weaknesses that deserve to be observed.

Keywords: corruption, judicial power independence, proof theory, justice.

AbSTRAK Putusan hakim memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam meningkatkan sistem dan kesan terhadap peradilan. Agar putusan dapat dilaksanakan dan mendapatkan legitmasi, hakim mempertimbangkan aspek hukum, sosial, dan psikologis di samping aturan hukum, nilai moral, budaya dan keagamaan dalam masyarakat. Sebaliknya, putusan tersebut gagal apabila tidak merefleksikan keadilan khususnya dalam kasus-kasus korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan dan ekonomi negara. Selain itu, apabila hakim tidak mampu mempertahankan independendensinya maka akan mendorong munculnya tekanan eksternal dimana sepanjang kajian terhadap putusan ini, penulis mengindentifikasikan kelemahan-kelemahan pantas amati lebih lanjut.

Kata kunci: korupsi, independensi kekuasaan kehakiman, teori pembuktian, keadilan.

JURNAL DES.indd 238 5/16/2012 4:48:40 PM

Page 45: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 239

PENDAHULUANI.

Dalam konteks kepentingan penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi, maka perkara korupsi sering menjadi komoditas politik dari penguasa sepanjang generasi dan era. Penegakan hukum dan keadilan dalam tindak pidana korupsi, telah menjadi hak prerogatif dari penguasa untuk membuat aturan sekaligus implementasi penegakannya. Keikutsertaan masyarakat yang berwujud dalam penggunaan peran sertanya, dipandang oleh penguasa sebagai sebuah fenomena sosial yang sering menjadi alasan dan simbol ‘merongrong’ kewibawaan penguasa. Sementara peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya menjadi dan merupakan tanggung jawab hukum sebagai warga negara.

Di sisi lain korupsi telah di maknai sebagai sebuah fenomena budaya yang dimiliki dan menjadi bagian integral dari sistem kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa negara. Upaya penegakan hukum materiil tentang korupsi yang menggunakan model peradilan konvensional, sering justru menjadi faktor kriminogen terjadinya kejahatan korupsi ikutan. Banyak kasus korupsi justru tidak selesai dan dihentikan begitu saja proses penyidikannya dengan alasan yang tidak berdasar oleh hakim. Polemik kewenangan antara hakim tentang penyidikan tindak pidana korupsi, lebih menjadi persoalan yang penting daripada harus menegakkan hukum dan keadilan terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri.

Perspektif penguasa dan masyarakat secara umum, masih belum bisa menerima dan mengerti bahwa asas good governance, dapat dan seharusnya menjadi salah satu media dan sarana dalam mengakomodasi peran serta masyarakat dalam ikut serta memberantas korupsi. Penguasa dan masyarakat mempunyai pandangan bahwa asas good governance hanya tepat jika diterapkan dalam sistem pemerintahan dalam bidang eksekutif, padahal sistem pemerintahan yang baik dan benar adalah sistem pemerintahan yang mampu menjalankan hukum dan menegakkan keadilan dengan benar dalam lingkup kepemerintahan, yakni meliputi lingkup kekuasaan legislatif (proses pembuatan peraturan perundang-undangan), eksekutif (proses pelaksanaan peraturan perundang-undangan) dan yudikatif (proses penegakan peraturan perundang-undangan). Justru peluang yang paling mungkin untuk mengakomodasi peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan asas good governance dalam setiap tahapan penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi.

Negara yang kuat adalah apabila penguasa kuat, rakyat juga kuat, sehingga prinsip keseimbangan harus selalu terjadi dalam setiap gerak langkah aktivitas penguasa dan rakyat. Pengaturan secara memadai tentang hal tersebut seharusnya menjadi kebutuhan yang mendesak dalam rangka mewujudkan ide dan cita-cita reformasi dalam membentuk civil society, khususnya dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perkara yang menjadi objek dalam analisis ini adalah putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda (Sidoarjo). Dalam dakwaan primair, para terdakwa didakwa sebagai orang yang melakukan,

JURNAL DES.indd 239 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 46: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

240 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

yang menyuruh lakukan, atau turut serta melakukan dengan terdakwa yang lain, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dengan cara para terdakwa selaku anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo sesuai Pasal 18 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemda mempunyai tugas dan wewenang antara lain: bersama dengan Bupati membentuk Perda, bersama dengan Bupati menetapkan APBD, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD.

Selanjutnya sesuai dengan Keputusan DPRD Sidoarjo Nomor 10 Tahun 1999 tanggal 29 Oktober tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Sidoarjo, terdakwa juga melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan DPRD yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan DPRD, yang dananya diperoleh dari APDB sesuai ketentuan yang berlaku. Ternyata kegiatan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga pertanggungjawabannyapun tidak jelas (fiktif).

Pertama, penerimaan uang berdasarkan SK Pimpinan DPRD Nomor Kep. 035 tahun 2002 tanggal 19 Desember 2002 perihal pengelolaan anggaran DPRD dan Sekretariat DPRD Kabupaten Sidoarjo yang ditandatangani Ketua dan para wakil DPRD, yang isinya menetapkan anggaran operasional DPRD terdiri dari bantuan kesejahteraan, bantuan pengawasan, bantuan keselamatan kerja, bantuan operasional bagi pimpinan dan anggota DPTD, bantuan penyerapan aspirasi masyarakat, bantuan pembinaan kepada masyarakat, bantuan kegiatan DPRD. Kedua, memberikan perintah kepada pengelola anggaran DPRD dan Sekretariat DPRD untuk setiap pengeluaran lain-lain yang terdapat pada anggaran pengembangan SDM berdasarkan kebijakan pimpinan Dewan (Ketua DPRD). Ketiga, SK Pimpinan DPRD No. 035 Tahun 2002 tersebut dibuat tidak bersama-sama dengan Bupati dan SK tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengelola alokasi Anggaran pengembangan SDM yang ditetapkan dalam APBD sebesar Rp. 20.287.043.606,-, padahal SK 19 tahun 2002 tersebut ditetapkan tanggal 19 Desember 2002, sedang APBD tahun 2003 ditetapkan tanggal 31 Desember 2002. Keempat, pelaksanaannya dengan memerintahkan Plt Kabag Umum Drs. Ec. S, MM., untuk mengajukan permintaan pencairan dana operasional, atas permintaan Plt Kagab tersebut dengan mengatasnamakan Sekretaris DPRD membuat dan mengajukan surat permintaan pembayaran (SPP), dari Januari 2003 s.d. Desember 2003 cair sebesar Rp. 19.387.043.606,-, kemudian atas perintah Drs. H. UI, SH., MA. (ketua DPRD), dibagikan ke seluruh anggota DPRD.

Berdasarkan SK pimpinan DPRD Nomor 12.1 tahun 2003 tangal 21 Agustus 2003 tentang persetujuan pelaksanaan kursus keterampilan bagi anggota DPRD. Modusnya: pertama, ketua DPRD memerintahkan Plt Kabag Umum untuk mencairkan dana sebesar Rp. 900.000.000,- dari APBD pos pasal pengembangan SDM, dengan membuat kelengkapan administrasi antara lain membuat SPK nomor 090/1989/404.2/2003 tanggal 23 September 2003, membuat penawaran harga dengan Hotel Inna Natour Tretes, membuat kwitansi pembayaran senilai Rp. 316.000.000,-

JURNAL DES.indd 240 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 47: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 241

yang ditandatangani IG dengan mata anggaran 2.01.04.1.1.05.02.1 dan membuat kwitansi tanda terima uang dari Sekt. DPRD yang ditandatangani ketua DPRD dan Plt Kabag Umum tanggal 9 September 2003 dengan nilai Rp. 900.000.000,-.

Kedua, untuk memenuhi Ketua DPRD, Plt Kabag Umum membuat SPP Nomor 182 tanggal 8 September 2003 yang dikirim kepada Kabag Keuangan Pemkab Sidoarjo, selanjutnya Kabag Keuangan menerbitkan SPMU No. A/2089/BT tanggal 18 September 2003 sebagai dasar pencairan dana kursus keterampilan. Ketiga, setelah cair Plt Kabag Umum membagikan kepada Ketua DPRD, Wakil Ketua, anggota, dan Hotel Inna Natour. Keempat, setelah menerima dana tersebut tidak ada pelaksanaan kegiatan keterampilan.

Dalam APBD ada dana kunker ke luar daerah sebesar Rp. 1.200.000.000,-. Berdasarkan SK DPRD nomor 12.2 tahun 2003 tangal 26 Agustus 2003 tentang kunjungan kerja ke luar daerah, ketua DPRD memerintahkan Plt Kabag Umum mengajukan permintaan pencairan dana perjalanan dinas. Plt Kabag Umum menghubungi PT NH untuk membuat surat-surat/dokumen sebagai bahan kelengkapan pengajuan, yakni membuat SPK No.090/1989/404.2/2003 tanggal 23 September 2003, membuat penawaran harga pada PT NH, membuat jadwal perjalanan ke Surabaya-Batam, Surabaya-Padang-Bukittinggi, membuat kwitansi senilai Rp. 580.000.000,-, membuat kwitansi penerimaan uang dari Skt. DPRD tanggal 9 September 2003 senilai Rp. 1.200.000.000,- yang ditandatangani Ketua DPRD dan Plt Kabag Umum. Plt Kabag Umum membuat dan mengajukan SPP nomor 181 tanggal 9 September 2003 untuk biaya perjalanan dinas kepada kabag keuangan pemkab Sidoarjo, kemudian terbit SPMU nomor A/2072/BT tanggal 17 September 2003.

Kemudian ketua DPRD memerintahkan kepada Plt Kabag Umum mencairkan dan membagikan dana tersebut kepada para angggota DPRD. Di samping itu ketua DPRD memerintahkan kepada Plt Kabag Umum sebagian dana perjalanan dinas sebagai peningkatan iman dan takwa kepada sebagian anggota DPRD. Faktanya perjalanan dinas tidak pernah dilakukan (fiktif). Dengan demikian perbuatan para terdakwa memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 91) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dakwaan subsider dalam perkara ini bahwa para terdakwa dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: pertama, para terdakwa selaku anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo sesuai Pasal 18 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemda mempunyai tugas dan wewenang antara lain bersama dengan Bupati membentuk Perda, bersama dengan Bupati menetapkan APBD, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan

JURNAL DES.indd 241 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 48: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

242 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

APBD. Kedua, selanjutnya sesuai dengan Keputusan DPRD Sidoarjo Nomor 10 tahun 1999 tanggal 29 Oktober tentang peraturan tata tertib DPRD Kabupaten Sidoarjo juga melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan DPRD yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan DPRD, yang dananya diperoleh dari APDB sesuai ketentuan yang berlaku. Ternyata kegiatan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak sesuai dengan keperuntukannya.

Pertanggungjawabannya pun tidak jelas (fiktif) seperti berikut: kesatu, penerimaan uang berdasarkan SK Pimpinan DPRD Nomor Kep. 035 tahun 2002 tanggal 19 Desember 2002 perihal pengelolaan anggaran DPRD dan Sekretariat DPRD Kab. Sidoarjo yang ditandatangani ketua dan para wakil DPRD, yang isinya menetapkan anggaran operasional DPRD terdiri dari bantuan kesejahteraan, bantuan pengawasan, bantuan keselamatan kerja, bantuan operasional bagi pimpinan dan anggota DPTD, bantuan penyerapan aspirasi masyarakat, bantuan pembinaan kepada masyarakat, bantuan kegiatan DPRD. Kedua, memberikan perintah kepada pengelola anggaran DPRD dan Sekt. DPRD untuk setiap pengeluaran lain-lain yang terdapat pada anggaran pengembangan SDM berdasarkan kebijakan pimpinan Dewan (Ketua DPRD). Ketiga, SK Pimpinan DPRD No. 035 tahun 2002 tersebut dibuat tidak bersama-sama dengan Bupati dan SK tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengelola alokasi Anggaran pengembangan SDM yang ditetapkan dalam APBD sebesar Rp. 20.287.043.606,-, padahal SK 19 tahun 2002 tersebut ditetapkan tanggal 19 Desember 2002, sedang APBD tahun 2003 ditetapkan tanggal 31 Desember 2002. Keempat, pelaksanaannya dengan memerintahkan Plt Kabag Umum Drs. Ec. S, MM untuk mengajukan permintaan pencairan dana operasional atas permintaan Plt kabag tersebut dengan mengatasnamakan Sekretaris DPRD membuat dan mengajukan surat permintaan pembayaran (SPP), dari Januari 2003-Desember 2003 cair sebesar Rp. 19.387.043.606,-., kemudian atas perintah Ketua DPRD, dibagikan ke seluruh anggota DPRD.

Berdasarkan SK pimpinan DPRD Nomor 12.1 tahun 2003 tangal 21 Agustus 2003 tentang persetujuan pelaksanaan kursus keterampilan bagi anggota DPRD. Modusnya: Ketua DPRD memerintahkan Plt Kabag Umum untuk mencairkan dana sebesar Rp. 900.000.000,- dari APBD pos pasal pengembangan SDM, dengan membuat kelengkapan administrasi antara lain: membuat SPK nomor 090/1989/404.2/2003 tanggal 23 September 2003, membuat penawaran harga dengan hotel Inna Natour Tretes, membuat kwitansi pembayaran senilai Rp. 316.000.000,- yang ditandatangani IG dengan mata anggaran 2.01.04.1.1.05.02.1, membuat kwitansi tanda terima uang dari Sekt. DPRD yang ditandatangani ketua DPRD dan Plt Kabag Umum tanggal 9 September 2003 dengan nilai Rp. 900.000.000,-. Untuk memenuhi ketua DPRD, Plt Kabag Umum membuat SPP Nomor 182 tanggal 8 September 2003 yang dikirim kepada Kabag Keuangan Pemkab Sidoarjo, selanjutnya kabag keuangan menerbitkan SPMU No. A/2089/BT tanggal 18 September 2003 sebagai dasar pencairan dana kursus keterampilan. Setelah cair, Plt Kabag Umum membagikan kepada ketua DPRD, wakil ketua, anggota, dan Hotel Inna Natour. Setelah menerima dana tersebut tidak ada pelaksanaan kegiatan keterampilan.

JURNAL DES.indd 242 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 49: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 243

Dalam APBD ada dana kunker ke luar daerah sebesar Rp. 1.200.000.000,-. Pertama, berdasarkan SK DPRD nomor 12.2 tahun 2003 tanggal 26 Agustus 2003 tentang kunjungan kerja keluar daerah, ketua DPRD memerintahkan Plt Kabag Umum mengajukan permintaan pencairan dana perjalanan dinas. Kedua, Plt Kabag Umum menghubungi PT Nanda Holiday untuk membuat surat-surat/dokumen sebagai bahan kelengkapan pengajuan, yakni: membuat SPK No. 090/1989/404.2/2003 tanggal 23 September 2003, membuat penawaran harga pada PT Nanda Holiday, membuat jadwal perjalanan ke Surabaya-Batam, Surabaya-Padang-Bukittinggi, membuat kwitansi senilai Rp. 580.000.000,- membuat kwitansi penerimaan uang dari Skt. DPRD tanggal 9 September 2003 senilai Rp. 1.200.000.000,- yang ditandatangani ketua DPRD dan Plt Kabag Umum.

Plt Kabag Umum membuat dan mengajukan SPP nomor 181 tanggal 9 September 2003 untuk biaya perjalanan dinas kepada kabag keuangan pemkab Sidoarjo, kemudian terbit SPMU nomor A/2072/BT tanggal 17 September 2003. Kemudian ketua DPRD memerintahkan kepada Plt Kabag Umum mencairkan dan membagikan dana tersebut kepada para anggota DPRD. Di samping itu ketua DPRD memerintahkan kepada Plt Kabag Umum sebagian dana perjalanan dinas sebagai peningkatan iman dan takwa kepada sebagian anggota DPRD.

Faktanya perjalanan dinas tidak pernah dilakukan (fiktif). Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Fakta hukum dalam perkara ini adalah: pertama, fakta hukum dari alat bukti saksi. Saksi Drs. H. UI, SH., MA. (Ketua DPRD merangkap Panmus dan Panggar), yang pada pokoknya menerangkan APBD sudah disahkan dalam paripurna DPRD, termasuk di dalamnya ada anggaran SDM, anggaran operasional DPRD yang meliputi bantuan kesejahteraan, bantuan pengawasan, bantuan keselamatan kerja, bantuan operasional bagi pimpinan dan anggota DPRD, bantuan penyerapan aspirasi rakyat, bantuan pembinaan kepada masyarakat, bantuan kegiatan DPRD.

Semua SK yang menjadi dasar pencairan dana tersebut sudah dibuat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan saksi tahu pula ada dana peningkatan iman dan takwa bagi yang beragama Islam dipakai menunaikan ibadah haji, serta dana sudah dicairkan untuk kegiatan dewan. Kedua, Saksi Dra. NA, Msi. (kabag keuangan pemkab Sidoarjo); pada pokoknya adalah: saksi berwenang terhadap pengelolaan keuangan DPRD, saksi menjadi tim anggaran pemkab Sidoarjo, anggaran SDM terdapat 3 mata anggaran, yakni bantuan kegiatan, bantuan operasional, bantuan pendidikan dan kursus keterampilan, semua pencairan sudah ada bukti sesuai aturan yang ada, pencairan dana tidak dilampiri dengan bukti pendukung, sudah ditagih tapi tidak pernah diberikan, pencairan dana dilakukan karena takut anggaran eksekutif dihambat Panggar

JURNAL DES.indd 243 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 50: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

244 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

DPRD, saksi hanya melihat kode rekening tidak melihat rincian sesuai item, anggaran kursus keterampilan dan perjalanan dinas belum ada bukti.

Ketiga, saksi Sdj (bendahara Sekwan DPRD), yang pada pokoknya adalah: tugas bendahara mengajukan, mencairkan dan mempertanggungjawabkan anggaran rutin dewan, prosedur pencairan dana sudah sesuai ketentuan, anggaran pelatihan kursus keterampilan sudah cair tapi kegiatan tidak dilaksanakan, anggaran perjalanan dinas keluar daerah telah dicairkan dilampiri surat pihak ketiga (travel Nanda Holiday) tetapi kegiatan tidak dilaksanakan, saksi tidak pernah menerima berkas persyaratan perjalanan dinas dari ibu S. Keempat, Saksi Mtf (bekerja di Setwan DPRD sebagai pemegang kas sejak 2004, sebelumnya staf biasa bagian keuangan), yang pada pokoknya adalah: saksi pernah minta bu S memberikan uang kepada anggota dewan, dan ada tanda bukti penerimaan tanda tangan tapi judul penerimaannya kosong, saksi tidak tahu asal usul dana.

Kelima, Saksi Dra. S, MM. (Plt Kabag Umum DPRD, dan sering diperintah ketua DPRD merangkap jabatan Sekwan), yang pada pokoknya adalah: APBD Sekwan dialokasikan 20 milyar, anggaran disesuaikan dengan kebutuhan dan rencana kerja, pernah diminta ketua Dewan mengetik konsep SK 035 tahun 2002 yang ditandatangani ketua dan 3 wakil ketua, yang dipakai mengelola alokasi SDM, atas perintah ketua dewan membagi-bagi dana, pelatihan kursus dan keterampilan tidak dilaksanakan, perjalanan dinas juga tidak dilaksanakan tapi dana sudah dicairkan, penunjukan travel Nanda Holiday dipakai untuk pertanggungjawaban saja, saksi pernah ditegur bu NA dan bagian keuangan Pemkab agar melengkapi data pendukung waktu akhir tahun anggaran.

Keenam, Saksi MM (anggota dewan, anggota Panmus), yang pokoknya adalah: saksi tahu anggaran SDM 20 milyar, tidak tahu SK 035 tahun 2002 dan tidak dibahas pada Panmus, pernah menerima dana SDM Rp. 256.000.000 sesuai dengan ketentuan, tahu pelatihan dan kursus keterampilan dari penyidik, tidak pernah pelatihan di hotel Inna Natour Tretes, terima uang saku pendidikan, pernah menerima uang perjalanan dinas tapi berangkat sendiri tidak lewat travel. Ketujuh, Saksi SH, SH. (anggota dewan, anggota Panmus), yang pokoknya adalah: tidak tahu ada SK tahunya diberitahu penyidik, pernah menerima dana SDM dari S dan Sdj, tidak pernah melaksanakan kegiatan pelatihan dan kursus keterampilan, uang saku pendidikan untuk sekolah S2 di Narotama, pernah menerima uang perjalanan dinas, berangkat sendiri tapi tidak lewat travel, berani terima uang karena dianggap wajar karena sudah dianggarkan, mengembalikan uang Rp. 25.000.000,- karena dianggap tidak benar. Saksi Drs. HM. MS (anggota dewan, anggota panggar), yang pokoknya: tidak tahu ada SK kecuali dari penyidik, tidak pernah melakukan pelatihan dan kursus keterampilan, terima uang saku pendidikan, pernah melakukan perjalanan dinas, menerima dana pos, mengembalikan uang Rp. 145.000.000,- juta karena jadi beban. Saksi N (anggota dewan, anggota Panmus), yang pokoknya sama dengan saksi sebelumnya.

Saksi AM, SAS (anggota dewan, wakil ketua), yang pokoknya juga sama dengan saksi

JURNAL DES.indd 244 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 51: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 245

sebelumnya. Saksi MMR, SH. (anggota dewan, anggota Panmus), yang pokoknya sama dengan keterangan saksi sebelumnya. Saksi IZG (marketing hotel Inna Natour tretes), yang pokoknya: pernah bertemu dengan bu S di ruangnya dan diminta menandatangani berkas termasuk kwitansi sebesar Rp. 316. 000.000,-, dan diberi tip Rp. 10. 000.000,- , dibagi dengan WS, rapat pertemuan tidak jadi dilaksanakan, sudah sering tanya tidak dijawab S, belum menerima biaya hotel seperti yang ada di kwitansi dan kegiatan tidak dilaksanakan. Saksi WS (pemasaran hotel Inna Natour Tretes), yang pokoknya sama dengan keterangan saksi IZG. Saksi RHP (kerja di biro travel Nanda Holiday), yang pokoknya: pernah dihubungi S menunjuk biro saksi sebagai pelaksana perjalanan dinas DPRD SDA, dilakukan dua tahap, saksi diminta tanda tangan kwitansi Rp580 juta, dengan persekot Rp58 juta, perjalanan dinas belum dilaksanakan.

Kedua, fakta Hukum dari alat bukti Keterangan Ahli: Prof. Dr. Philipus M.Hadjon, SH (Guru Besar FH Unair, ahli HAN-HTN) yang pokoknya: dalam pengelolaan anggaran perlu ada SK DPRD sebagai penjabaran Pasal 78 UU No. 22 Tahun 1999, dan PP 110 Tahun 2000, tapi PP sudah di-review sehingga Pasal 78 tersebut, mengacu Pasal 19 ayat (1) huruf g UU No. 22 Tahun 1999, yang dimaksud DPRD bukan hanya pimpinan sehingga setiap produk SK harus ada rapat dewan. Jika tidak, maka SK tersebut tidak benar dan cacat prosedural tapi secara legalitas sah.

Cacat prosedur tidak membatalkan SK karena sudah dibuat pimpinan, sehingga prinsip dasar SK tersebut secara formal tetap karena belum dicabut, secara substansial bisa saja menyimpang dari Pasal 78 UU No. 22 Tahun 1999, tetapi masih dalam rangka melaksanakan tugas DPRD. Uang saku pendidikan yang dipakai kuliah tidak benar dan harus dikembalikan; 7 item bantuan perlu dikaji masih tumpang tindih; operasional itu berhubungan dengan kegiatan, fungsi dewan; keuangan negara harus dipertanggungjawabkan sesuai asas legalitas dan faktual; penggunaan anggaran harus sesuai dengan tujuan, tanggung jawab ada pada yang membuat SK sedang yang menerima tidak; untuk menghitung kerugian keuangan negara harus diaudit oleh BPK.

Ketiga, fakta hukum dari saksi a de charge (ahli pembanding dari terdakwa), Prof. Dr. Loebby Loeqman, SH. (Guru Besar FH-UI): yang pokoknya adalah: yang dimaksud dengan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah bersifat formil dan materiil, melawan hukum materiil adalah perbuatan tidak patut secara negatif maupun secara positif, tapi tidak melebar, harus konteks; apakah sadar melakukan tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan, apabila seseorang sadar melakukan tindak pidana tetapi alasan tidak tahu yang menentukan salah tidaknya adalah hakim; menguntungkan diri sendiri harus dinyatakan dengan kebenaran materiil; ada yurisprudensi MA, penggunaan anggaran yang tidak sesuai dibebaskan karena pertimbangan tidak untuk menguntungkan diri sendiri, masyarakat menjadi terlayani; penyertaan harus sadar dan dilakukan secara fisik, yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK atau akuntan publik; kerugian harus dihitung secara nyata; dalam tindak korupsi teori kesengajaan sebagai kemungkinan dapat diterapkan asalkan adanya kesadaran pelaku.

JURNAL DES.indd 245 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 52: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

246 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Fakta hukum dari alat bukti keterangan terdakwa: terdakwa I (anggota dewan, anggota panggar), yang pokoknya: tidak tahu ada SK, terima uang SDM, mengembalikan uang Rp45,1 juta, tidak pernah membuat laporan pertanggungjawaban uang kepada setwan, uang saku pendidikan untuk beli buku, tidak pernah kursus, melakukan kunjungan kerja tapi tidak berdasar SK, dana yang diterima sah karena ada dalam APBD. Terdakwa II (anggota dewan, anggota panggar), yang pokoknya: sama dengan keterangan terdakwa I. Terdakwa III (anggota dewan, anggota panggar), yang pokoknya sama dengan terdakwa I, II. Terdakwa IV (anggota dewan, anggota panggar), yang pokoknya sama dengan keterangan terdakwa I, II, III. Terdakwa V (anggota dewan, anggota panggar), yang pokoknya sama dengan keterangan terdakwa I, II, III, IV. Terdakwa VI (anggota dewan, anggota panggar), yang pokoknya sama dengan keterangan terdakwa I, II, III, IV, V. Terdakwa VII, (anggota dewan) yang pokoknya sama dengan keterangan terdakwa I, II, III, IV, V, VI. Terdakwa VIII (anggota dewan), yang pokoknya sama dengan keterangan terdakwa I, II, III, IV, V, VI, VII. Terdakwa IX (anggota dewan), yang pokoknya sama dengan keterangan terdakwa I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII.

Pertimbangan Hukum (unsur-unsur perbuatan, dakwaan primair) yaitu unsur setiap orang di mana terdakwa I-IX sudah diteliti dengan saksama oleh majelis hakim tentang identitas jati dirinya, termasuk orang yang mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya, mengerti dan memahami pertanyaan dan jawaban, sehat, memenuhi syarat sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan terbukti secara sah. Unsur melawan hukum: melawan hukum mencakup formil dan materiil, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum, ternyata para terdakwa menerima dana-dana yang bersumber dari APBD tahun 2002-2003, baik materi maupun prosedurnya menyimpang dan tidak sesuai dengan peruntukannya adalah bentuk tidak efektifnya fungsi pengawasan pengelolaan anggaran, yang tidak dengan sendirinya termasuk perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum, oleh karena perbuatan para terdakwa yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan masih dalam lingkup tugas dan wewenangnya. Dengan demikian majelis berpendapat menurut hukum unsur ”secara melawan hukum” tidak terbukti. Oleh karena salah satu unsur dari dakwaan primair tidak terbukti, maka terhadap unsur lainnya tidak perlu lagi dipertimbangkan dan majelis berpendapat terdakwa-terdakwa I s.d. IX harus dibebaskan dari dakwaan primair.

Pertimbangan Hukum (unsur-unsur perbuatan, dakwaan subsidair) adalah unsur setiap orang: sudah dipertimbangkan dalam dakwaan primair. Selanjutnya: Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi: tujuan sama dengan kesengajaan, pada dasarnya tindak korupsi adalah delik formil di mana kesengajaan (opzet) sebagai tujuan. Tujuan adalah suatu kehendak dalam batin dan pikiran untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya atau orang lain atau suatu korporasi, yakni dengan menambah kekayaan yang sudah ada atau orang juga menikmati bertambahnya kekayaan, serta korporasi yang mendapat untung dari perbuatan terdakwa.

Berdasarkan fakta hukum dana digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Sepanjang

JURNAL DES.indd 246 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 53: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 247

dana yang diterima terdakwa secara riil faktual ada kegiatannya yang mendukung tugas dan fungsinya serta wewenangnya sah menurut hukum, majelis berkesimpulan secara riil adalah kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan sehubungan dengan dana yang diterima terdakwa. Jadi, dana-dana yang diterima tersebut haruslah dianggap legal dan sah menurut hukum, oleh karena itu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peruntukannya masing-masing terdakwa. Sementara itu, terdakwa I s.d. IX yang menerima dana keterampilan dan perjalanan dinas tetapi tidak dilaksanakan (fiktif), majelis berpendapat menurut hukum unsur ”dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi dan terbukti. Penerimaan uang saku pendidikan yang digunakan untuk kuliah, seminar, tidak dapat dibenarkan, karena secara langsung tidak dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi dewan. Pelaksanaan kunjungan fiktif.

Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan: menyalahgunakan kewenangan adalah melakukan perbuatan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah yang bertentangan dengan hukum dan kebiasaan. Menyalahgunakan kesempatan adalah adanya peluang atau tersedianya waktu untuk melakukan perbuatan tertentu yang bertentangan dengan tujuan pekerjaannya. Menyalahgunakan sarana adalah dimaksudkan sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan yang berhubungan dengan tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya, sedangkan sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan. Keberadaan kewenangan, kesempatan dan sarana ada hubungan causal dengan jabatan atau kedudukan sebab memangku jabatan atau kedudukan akibatnya dia mempunyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukannya, jika jabatan atau kedudukan lepas maka kewenangan, kesempatan dan sarana juga hilang, maka tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan dan sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya.berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemda, SK DPRD No. 10 tahun 1999 tentang perubahan tatib DPRD Kabupaten Sidoarjo terdapat pengaturan tentang tugas, wewenang, hak dan kewajiban DPRD Kabupaten Sidoarjo.

Pasal 18 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999, menjelaskan tugas dan wewenang DPRD yakni, bersama-sama Bupati membentuk Perda, bersama-sama Bupati menetapkan APBD. SK No. 035 Tahun 2002 tidak pernah dibicarakan dengan Bupati sehingga menyimpang dari Pasal 18 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999. Demikian juga dengan SK lainnya yang menjadi dasar pencairan anggaran. Berdasarkan fakta hukum yang ada dan PP 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Pasal 4), menegaskan pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif dan transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan, majelis berpendapat para terdakwa telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara yang mensyaratkan adanya keterbukaan, profesional dan bertanggung jwab dalam rangka mendukung good governance dalam penyelenggaraan negara.

JURNAL DES.indd 247 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 54: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

248 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Dengan demikian majelis berpendapat para terdakwa telah terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang, kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, oleh karena itu menurut hukum unsur ”menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” telah memenuhi dan terbukti. Tetapi para Terdakwa tidak menyadari telah melakukan penyalahgunaan wewenang karena ada aturan hukum yang dilanggar.

Unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”: keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, yang masuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena kekuasaan, tanggung jawab pejabat negara baik pusat maupun daerah. Kata dapat menunjuk pada delik formil dari tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada majelis berpendapat dana yang diterima tidak ada kegiatan jelas, tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal itu menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara telah terbukti dan terpenuhi. Dakwaan Pasal 64 (1) KUHP, dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, maka perbuatan para terdakwa harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut, maka atasnya ditetapkan memuat ancaman pidana pokok terberat. Dakwaan Pasal 55 (1) ke-1 KUHP, telah terpenuhi karena kerjasama para terdakwa terletak pada penyadaran terhadap penerimaan-penerimaan dana. Semua unsur dakwaan subsidair telah terpenuhi dan dinyatakan terbukti, para terdakwa haruslah dinyatakan bersalah, dan ada alasan pembenar dan pemaaf selama dalam persidangan. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti berdasarkan Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999, maka pidana tambahan pembayaran uang pengganti untuk masing-masing terdakwa sesuai dengan yang diterima.

Para terdakwa terbukti bersalah dan dipidana maka dibebani membayar ongkos perkara. Pertimbangan yang memberatkan: para terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi yang justru sedang giat-giatnya diberantas oleh pemerintah, perbuatan para terdakwa merugikan keuangan negara. Pertimbangan yang meringankan: para terdakwa sopan dan kooperatif sehingga memperlancar jalannya persidangan, para terdakwa telah mengembalikan uang dan atau beberapa barang bergerak maupun tidak bergerak.

Majelis hakim dalam amar putusannya memutuskan bahwa menyatakan terdakwa: HA. HM, CN, HR, HA, SA, TP, DS, dan DP, tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primair dan oleh karenanya membebaskan para terdakwa dari dakwaan primair. Meski demikian, hakim menyatakan para terdakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara terhadap terdakwa sebagai berikut, pertama, HA penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp50 juta subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 230.598.660,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana

JURNAL DES.indd 248 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 55: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 249

tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. Kedua, HM dengan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000 (lima puluh juta) subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 229.965.760,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap, terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. Ketiga, CN selama 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta) subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp234.422.860,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.

Keempat, HR dengan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta) subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 229.598.660,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. Kelima, HA dengan 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp235.122.860,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.

Keenam, SA dengan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000, ,- subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp235.122.860,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. Ketujuh, TP dengan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 261.428.660,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.

Kedelapan, DS dengan 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 240.252.860,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. Dan, DP dengan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp50 juta subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp267.752.260,- dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan

JURNAL DES.indd 249 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 56: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

250 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

pidana penjara selama 6 bulan. Menetapkan barang bukti berupa uang tunai Rp1 milyar, uang tunai Rp. 262.000.000, uang tunai Rp. 838. 000.000, uang tunai Rp. 308.000.000, satu unit sedan merk Suzuki Baleno Nopol. W-995-GT warna coklat metalik atas nama HR dirampas untuk negara antara lain bukti dari hotel Inna Natour Tretes (dokumen) dikembalikan kepada GM Hotel Inna Natour Tretes; bukti dari sekretariat DPRD dikembalikan kepada sekretaris DPRD Sidoarjo. Tanda terima operasional, 1–84 dokumen, dikembalikan kepada sekretaris DPRD Sidoarjo. Kwitansi-kwitansi, dikembalikan kepada sekretaris DPRD Sidoarjo.

Bukti dari Pemkab Sidoarjo, dokumen 1–20, dikembalikan ke kepala bagian keuangan pemkab Sidoarjo. Dana SDM, perjalanan dinas dan operasional, bukti 1–141, dikembalikan kepada Kabag Keuangan Pemkab Sidoarjo; pertama, menetapkan barang bergerak dan tidak bergerak yang diserahkan secara sukarela oleh para terdakwa, dititipkan di kepaniteraan PN Sidoarjo. Kedua, membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp 5.000,-

RUMUSAN MASALAHII.

Berangkat dari latar belakang dan kasus posisi dalam perkara ini, tulisan ini akan mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan apa saja yang dapat ditemukan dalam putusan tersebut dan selanjutnya, memberi penilaian sejauh mana tulisan ini telah mencerminkan nilai-nilai yang menjadi ekspektasi masyarakat luas, khususnya di tengah-tengah suasana dan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi dewasa ini. Penulis ingin menempatkan analisisnya dari kerangka berpikir umum bahwa makin banyak sisi kelemahan yang ditemukan dalam suatu putusan, maka akan makin jauh kualitas putusan tersebut dalam rangka mencerminkan keadilan, dan dengan sendirinya putusan itu akan makin tidak bernilai eksekutorial, yang pada gilirannya akan berkontribusi pula meruntuhkan wibawa lembaga peradilan negara.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Dalam menganalisis perkara ini, perlu lebih dahulu dipahami tipologi hukum dalam pemberantarasan tindak pidana korupsi. Menurut peneliti, tipologi hukum yang adil dan baik adalah tipologi hukum yang memenuhi indikator: tujuan hukum (hukum acara pidana merupakan faktor terpenting dalam sistem penegakan hukum pidana materiil), legitimasi (keabsahan dari hakim khususnya dalam melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan kerangka dan norma hukum yang benar), pengaturan (regulasi yang dijadikan acuan secara praktis teknis dan administratif oleh hakim dalam upaya menegakkan hukum pidana materiilnya).

Selain itu juga penalaran yang digunakan (kerangka normatif yang menjadi acuan dasar bagi hakim dalam melakukan interpretasi pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku), diskresi (penyimpangan-penyimpangan tindakan hakim yang dilakukan dalam mengambil langkah

JURNAL DES.indd 250 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 57: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 251

dan kebijakan cepat dalam proses penegakan hukum dalam tataran praktis), moralitas (ukuran dan standar baku kebenaran dan keadilan yang diukur dari keyakinan, agama, ideologi hakim), politik (langkah-langkah strategis dari hakim dalam hal membuat kebijakan pidana/criminal policy dalam mengisi dan melengkapi kekosongan hukum pidana formil serta bagaimana proses dan upaya penemuan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat yang menjadi ugeran dalam segala aspek kehidupan mereka), harapan dan kepatuhan serta partisipasi (unsur di mana budaya dan perilaku hukum masyarakat dan hakim yang dapat memberikan cerminan taat dan tertib serta menjunjung dan menempatkan hukum dalam posisi yang tertinggi/prinsip supremasi hukum dengan asas due of law process, juga bagaimana partisipasi masyarakat dapat diakomodasi dengan baik dan benar adalah menjadi indikator ciri khas hukum yang adil).

Dalam konteks tipologi pemahaman hukum yang sebenarnya, fragmentasi pemikiran dan persepsi yang melekat pada manusia yang menjadi hakim, tetap menjadi faktor pembentuk karakter dan perilaku manusianya. Karakter dan perilaku mana merupakan pencerminan karakteristik sistem dan tipologi hukum yang membingkai kerangka normatif hakim dalam menegakkan hukum. Hukum harus dapat mengartikulasikan keserasian aktualisasi nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi karakteristik standar hidup sejahtera, aman, tertib, dan seimbang/proporsional (cetak miring penulis).

1. Tipologi Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam memahami tipologi tentang hakim dalam tindak pidana korupsi. Perspektif pemahaman hakim secara tipologis tentang korupsi yang komprehensif, secara kategoris menurut peneliti, harus dilihat dari beberapa indikator. Indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, tujuan hukum, hukum acara pidana yang khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, merupakan faktor terpenting dalam sistim penegakan hukum pidana materiil tentang korupsi.

Secara kategoris dan tipologis, kita dapat menyimak dan memahami tujuan hukum dari pemberantasan tindak pidana korupsi di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilihat dari konsideran (landasan filosofis) dibuatnya Undang-undang dimaksud. Berikut akan dikemukakan tujuan-tujuan tersebut:

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971: dibuatnya Undang-undang ini adalah pertama: bahwa perbutan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional; kedua: bahwa UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubungan dengan

JURNAL DES.indd 251 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 58: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

252 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharpkn, dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tujuannya adalah bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan dapat menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tujuannya adalah timbulnya berbagai macam interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya terhadap perbuatan tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sebab dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Kedua, Legitimasi yaitu keabsahan dari hakim, dalam hal kasus korupsi adalah keabsahan kewenangan/legitimasi dalam melakukan tindakan hukum yakni pemeriksaan, pembuktian dan membuat keputusan, yang sesuai dengan kerangka dan norma hukum yang benar. Hakim Tetap dalam Lingkungan Peradilan Umum maupun Hakim Ad Hoc yang khusus menangani kasus Korupsi yang sering disebut dengan Hakim TIPIKOR, yang mempunyai kewenangan atau legitimasi dalam proses pemeriksaan perkaranya di sidang pengadilan sampai dengan pembuatan keputusan terhadap perkara korupsi tersebut, harus mencerminkan keadilan dan bernilai eksekutorial (executorial), di mana keputusan yang dibuat akan semakin mampu menjadikan lembaga peradilan negara berwibawa dan legitimate.

Ketiga, pengaturan yaitu regulasi yang dijadikan acuan secara praktis teknis dan administratif oleh hakim, dalam upaya menegakkan hukum pidana materiilnya, yaitu Administrasi peradilan dalam sistem peradilan korupsi yang terintegrasi. Bahkan secara tipologis, administrasi peradilan dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mencerminkan sebagai sebuah sistem administrasi peradilan yang menunjang

JURNAL DES.indd 252 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 59: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 253

dan menjamin praktek peradilannya efektif dan efisien. Administrasi Peradilan untuk menegakkan hukum dalam bidang korupsi masih sering dituding sebagai salah satu faktor penyebab secara inheren terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh hakim. Sehingga dengan demikian pembenahan secara administratif terhadap penegakan hukum bidang tindak pidana korupsi di peradilan, segera harus menjadi agenda utama dalam melakukan reformasi peradilan secara utuh dan komprehensif.

Keempat, penalaran yang digunakan yaitu kerangka normatif yang menjadi acuan dasar bagi hakim, dalam hal kasus korupsi adalah melakukan interpretasi pasal-pasal peraturan perundang-undangan tentang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan. Kemampuan Penalaran Hukum (legal reasoning) sangat menentukan, bagaimana penegakan hukum dalam bidang korupsi yang adil, efektif dan efisien. Ketentuan pasal-pasal peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, adalah nilai-nilai yang abstrak dan normatif. Akan menjadi hidup dan berkembang sedemikian rupa, adalah sangat tergantung dari kemampuan dasar hakim dalam melakukan penalaran hukum terkait pasal-pasal tersebut.

Dalam konteks ini, hukum yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi akan bernilai adil dan tidak adil, efisien dan tidak efisien, efektif dan tidak efektif, akan sangat bergantung pada kemampuan penalaran yang dimiliki oleh hakim. Kedudukan hakim sangat sentral dan sangat menentukan, apabila logika dan penalaran para hakim tidak sistematis dan tidak jalan, maka sudah dapat dipastikan hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang muncul akan sangat tidak adil dan di sinilah sesungguhnya kita dapat melihat dengan jelas betapa kepentingan hakim dan lain-lain mampu tergambar dengan jelas melalui putusan-putusan yang dibuat oleh para hakim tersebut. Sehingga dengan demikian sistematis tidaknya pola pikir dari hakim adalah mencerminkan pemahaman tipologi hukum para hakim itu sendiri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Walaupun penalaran yang baik atau yang buruk dari hakim dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bukanlah menjadi satu-satunya faktor buruknya penegakan hukum dalam bidang tindak pidana korupsi.

Kelima, diskresi: penyimpangan-penyimpangan tindakan hakim, dalam hal kasus korupsi yang dilakukan dalam mengambil langkah dan kebijakan cepat dalam proses penegakan hukum dalam pemeriksaan di pengadilan. Diskresi dalam asas hukum pidana yang menganut paham legisme yakni hukum adalah undang-undang, dan selalu bertumpu pada asas legalitas, sangat tidak dapat dibenarkan. Sebab diskresi dipahami secara sempit sebagai penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang legal. Diskresi adalah dipahami sebagai upaya untuk menyimpangi dan menyalahi asas legalitas yang mengutamakan pada kepastian hukum. Tetapi dalam beberapa peraturan perundangan kita, sudah dikenal diskresi tersebut. Simak saja dalam perundangan kejaksaan, di sana memberikan hak dan wewenang bagi jaksa untuk membuat diskresi yakni menghentikan penuntutan perkara dengan alasan demi kepentingan umum yang

JURNAL DES.indd 253 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 60: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

254 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

sering disebut dengan istilah deponering atau asas oportunitas. Hakim juga diberi wewenang untuk melakukan langkah dan kebijakan diskresi, seperti hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya semata-mata berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tertulis saja tetapi juga harus mendasarkan pada nilai-nilai dan hukum yang hidup di masyarakat (vide UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Darurat No. 1 Tahun 1951). Ini bermakna lebih dari sekedar diskresi yang dimiliki oleh hakim tetapi hakim bahkan bisa membuat putusan sendiri yang juga sekaligus sebagai upaya penemuan hukum dan pembuatan hukum (rechsfinding, judge made law). Polisi juga dapat dibenarkan untuk melakukan tindakan diskresi apabila penyidikan suatu tindak pidana dilanjutkan tidak cukup terdapat alat bukti yakni yang biasa disebut dengan istilah SP3 (surat perintah penghentian penyidikan/perkara). Jadi dengan demikian secara tipologis, hakim dalam dan demi kepentingan hukum itu sendiri yakni keadilan, dibenarkan melakukan kebijakan langkah diskresi dalam upaya penegakan hukum.

Keenam, moralitas: ukuran dan standar baku kebenaran dan keadilan yang diukur dari keyakinan, agama, ideologi hakim, dalam hal kasus korupsi adalah pemeriksaan di pengadilan. Hakim harus memiliki integritas moral, integritas intelektual dan integritas pribadi yang baik dan unggul, agar sistem penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat berjalan sebagaimana mestinya yakni mencapai keadilan yang sejati. Moralitas yang unggul merupakan prasyarat utama dalam penegakan hukum khususnya dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Moralitas simbolis yang sering menjdi topeng dalam penegakan hukum menjadi salah satu faktor dominan dalam penyebab terjadinya tindak pidana korupsi ikutan. Dalam ranah wilayah moral ini siapapun tidak dapat melakukan kontrol dan evaluasi kecuali malaikat dan Tuhan para hakim yang memang prasyaratnya harus beragama. Moralitas seringkali menjadi barang langkah dan komoditas mahal yang sering dapat diperjualbelikan. Moralitas telah menjelma menjadi komoditas yang bernilai ekonomis sangat tinggi dalam proses penegakan hukum khususnya dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi. Moralitas sebagai komoditas telah menjadi pilihan utama bagi para pencari keadilan dan para hakim untuk mempermainkan prosedur substansi penegakan hukum, dengan menegasikan dan mengesampingkan hukum prosedural dan hukum substansial yang bermakna keadilan. Moralitas menjadi pasal-pasal umum dan khusus di luar sistem penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dengan sangat leluasa dan longgar ditafsir dan ditawar sesuai dengan harga yang disepakati para pihak. Inilah tipologi sebagian besar hakim dalam penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketujuh, politik yaitu langkah-langkah strategis dari hakim, dalam hal kasus korupsi adalah dalam hal membuat kebijakan pidana/criminal policy dalam mengisi dan melengkapi kekosongan hukum pidana formil selama melakukan proses dan upaya penemuan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat yang menjadi ugeran dalam segala aspek kehidupan

JURNAL DES.indd 254 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 61: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 255

mereka. Kemampuan dan kemauan politik para hakim harus dilakukan dan diarahkan pada upaya penegakan hukum dan keadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak dalam konteks politik menjadi alat dan sekaligus tujuan dan apalagi menjadi komoditas secara terintegrasi dalam sistem peradilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Politik adalah harus dimaknai sebagai sebuah proses dalam penegakan hukum yang mempunyai tujuan satu yakni mewujudkan keadilan melalui lembaga peradilan. Tidak politik menjadi pemimpin dan penguasa dalam penegakan hukum di lembaga peradilan, tetapi hakim secara politik juga harus mempunyai kedudukan dan posisi yang kuat dan independen, sehingga bisa menjamin terwujudnya sistem penegakan hukum yang adil, efektif dan efisien. Politik praktis seringkali tidak bisa dijadikan dasar utama untuk mengarahkan dan membimbing proses dan sistem penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kedelapan, harapan dan kepatuhan serta partisipasi: unsur di mana budaya dan perilaku hukum masyarakat dan hakim, dalam hal kasus korupsi adalah yang dapat memberikan cerminan taat dan tertib serta menjunjung dan menempatkan hukum dalam tindak pidana korupsi pada posisi yang tertinggi/prinsip supremasi hukum dengan asas due of law process. Harapan masyarakat dan hukum harus menjadi paradigma nilai filosofis dalam sistem penegakan hukum, yang dibingkai oleh norma hukum yang adil sehingga mampu memberikan motivasi dan semangat dorongan bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses sistem penegakan hukum yang efektif dan efisien.

Fragmentasi pemikiran dan persepsi yang melekat pada manusia yang menjadi hakim, tetap menjadi faktor pembentuk karakter dan perilaku manusianya. Karakter dan perilaku mana merupakan pencerminan pemahaman tipologi karakteristik sistem hukum yang membingkai kerangka normatif dalam melakukan penegakan hukum dan keadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Landasan hukum (dalam pemberantasan tidak pidana korupsi) untuk mempertimbangkan penanggulangan/pemberantasan kejahatan korupsi, yang akan terjadi yang sudah pasti meningkat baik secara kuantitas maupun secara kualitas, akibat akselerasi pemikiran global dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, iptek, hankam, politik, menjadi syarat utama bagi penegakan prinsip dan asas negara hukum, yang menempatkan hukum berada pada puncak tertinggi (the ultimate focus) dengan pilar-pilar yang menyanggah rechtstaats (rule of law) yang menuju supremasi hukum dan keadilan.

Hukum yang mengatur tentang sistem peradilan pemberantasan tindak pidana korupsi, menjadi tertuduh utama, di saat tuntutan dan apresiasi penegakan hukum dan keadilan dalam bidang korupsi, mulai dirasakan sebagai sebuah kebutuhan pokok (basic needs) dalam perwujudan keseimbangan (equilibrium) dalam segala aspek kehidupan berbangsa, sehingga pada akhirnya melalui hukum masyarakat dapat hidup sejahtera.

JURNAL DES.indd 255 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 62: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

256 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Tipologi semangat dan kultur gaya hidup modern, merupakan pendorong utama globalisasi (major impetus to globalization) perilaku patologis dari masyarakat, hakim, dalam hal kasus korupsi adalah, penguasa (legislatif dan eksekutif), yang tidak saja menuntut reformasi nilai-nilai dan norma-norma baru dalam kehidupan modern yang serba ‘baru’ (posmo) tetapi juga akselerasi law reform dalam sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien.

Sementara terdapat tipologi lain yang berbentuk dalam wujud semangat hidup yang ‘mengglobal’, yang selalu dibarengi harapan-harapan yang dapat membangun keseimbangan dan ketertiban jaminan hak-hak manusia baik hak ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pendidikan, iptek, hankam yang menjadi sayap dan pondasi perikehidupannya. Integrasi pelbagai aspek kehidupan merupakan refleksi harmonisasi harapan-harapan jaminan kelangsungan hak-hak asasi manusia tersebut. Tipologi hukum harus mampu mewujudkan dan mengawal terwujudnya kehidupan masyarakat yang seimbang dan sejahtera. Pemahaman tipologi hukum juga harus dapat mencerminkan betapa masih terdapat banyak persoalan yang secara inheren sehingga sulit untuk diurai hanya dari perspektif hukum belaka.

2. Karakteristik dan Manajemen Sistem Peradilan dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

Berbicara mengenai tipologi konsepsi sistem peradilan pidana yang dapat dijadikan alat untuk mencegah tindak pidana korupsi, maka tidak dapat dilepaskan dari ukuran atau karakteristik dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Dalam kaitan ini, patut disimak pandangan dari Hiroshi Ishikawa (Muladi, 1995: 5-6), bahwa karakteristik yang dapat dijadikan dasar untuk memodifikasi model sistem peradilan pidana terpadu, menggunakan indikator-indikator karakteristik sebagai berikut: pertama: clearance rate yang relatif tinggi, yang meliputi variable: 1) police efficiency (well trained, well disciplined and well organized police force); 2) citizens cooperation with law inforcement.

Kedua: conviction rate, yang relatif cukup tinggi. Konsep yang mendasari hal ini adalah apa yang dinamakan precise justice, yang bertumpu pada substantial truth. Konsep ini dapat terlaksana jika didukung oleh uniformly as well as highly trained professionals. Keadilan yang tepat ini mengandung unsur precise and minuto fact-finding and minuto fact-finding justice, similar to precision machine tools, not only the degree of proff of substantial truth but the degree of repentance. Ketiga: speedy disposition/national policy in favour of criminal justice administration. Delay of justice is denied of jaustice. Keempat: rehabilitation minded sentencing policy. Kelima: rate of recall to prison (reconfiction rate) yang relatif kecil.

Sistem peradilan pidana dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilihat dari sisi, yakni sisi fisik (sarana prasarana yang mendukung tegaknya sistem peradilan pidana itu sendiri) dan sisi non fisik/abstrak (berupa ide-ide dan konsep serta gagasan dalam kerangka

JURNAL DES.indd 256 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 63: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 257

pengembangan sistem peradilan pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang integratif dengan prinsip efektif dan efisien).

Sistem peradilan pidana mempunyai dua dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu (crime containment sistem). Di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder (secondary prevention), yakni mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak kejahatan dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana (Muladi, 1995: 22).

Namun demikian justru sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsi ganda tersebut, seringkali sistem peradilan pidana menjadi faktor kriminogen dari sebab timbulnya kejahatan (tindak pidana korupsi) ikutan. Dengan model sistem penjara yang telah diganti dengan pemasyarakatan dalam sistem pola manajemen pengelolaan dan sistem pembinaan terhadap narapidana yang telah dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan, satu prestasi yang diraihnya adalah kecenderungan terjadinya fenomena proses labeling yang ‘harus’ terpaksa di sandang oleh narapidana maupun mantan narapidana. Dalam teori kejahatan/kriminologi, prinsip proses labeling sudah dapat dimulai dari ketika pertama kali polisi melakukan penyelidikan baik yang disertai dengan penangkapan maupun tidak disertai dengan penangkapan terhadap seseorang. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh polisi sejak awal proses tindakan hukum yang dilakukan terhadap seseorang tertentu yang dapat dilihat secara missal oleh masyarakat, sampai dengan proses penuntutan dan pendakwaan, pemeriksaan di sidang pengadilan hingga proses ‘pembantaran’ terpidana di lembaga pemasyarakatan telah terjadi proses labeling atau peletakan ‘master status’ pada narapidana.

Cap atau labeling yang terpaksa harus diterima oleh tersangka, terdakwa, terpidana sampai dengan mantan narapidana, secara psikologis sama dengan mendorong dan memaksa tersangka, terdakwa, terpidana dan mantan narapidana tidak punya pilihan lain, kecuali harus merefleksikan perilaku ‘jahat’ ikutan menjadi perilaku jahat kambuhan atau residivis. Proses labeling yang dilakukan oleh proses hukum yang dilakukan sistem peradilan pidana tersebut ternyata dalam fase tertentu mampu melahirkan proses apa yang dalam kriminologi disebut sebagai ‘rejection of the rejector’ sehingga menjadi secondary victim. Dengan kenyataan sebagaimana tersebut di atas, perlu kiranya dipikirkan alternatif lain sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, misalnya kerja sosial di tempat umum seumur hidup, seperti tenaga sukarelawan bencana, sukarelawan di panti jompo, panti asuhan, dinas sosial, dan lain-lain.

Perspektif manajemen peradilan pidana memusatkan perhatian kepada uraian dan pembahasan tentang mekanisme kerja hukum, unsur pendukung dalam proses penegakan hukum dan bagaimana pengaruh mekanisme tersebut satu sama lain serta dampaknya terhadap

JURNAL DES.indd 257 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 64: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

258 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

penegakan hukum secara menyeluruh. Dalam kongres PBB di Havana, Cuba tahun 1990, tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke VIII (dalam Muladi:1995:72), beberapa resolusi yang disetujui yang terkait dengan sistem peradilan pidana yakni butir 19, yang menyatakan bahwa manajemen peradilan pidana dan pengembangan kebijakan pidana (management of criminal justice and development of sentencing policies).

Pertimbangan dimasukkannya manajemen peradilan pidana adalah sebagai berikut pertama, only if the criminal justice system is well managed can rational change be made to improve the situation. Kedua, inadequate management of the criminal justice system can result in certain practices, such as long delays before trial, that may create injustices for person whose cases are being processed by the system Satisfaktory relations between different agencies of the criminal justice system can contributed to effective allocation of resources. Dengan demikian tipologi konsep pemikiran alternatif kebijakan pengembangan manajemen peradilan terhadap tindak pidana korupsi perlu mendapatkan pemikiran secara komprehensif dan segera.

3. Asas Good Governance: Kaitannya dengan Sistem Peradilan Korupsi

Tipologi penggunaan asas good governance dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui peradilan, sudah selayaknya menjadi sangat penting, baik secara konsepsional maupun secara pragmatis. Variasi dan perbedaan pendapat tentang tipologi penggunaan asas good governance dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, harus dilihat dalam kerangka pentingnya penggunaan asas tersebut dalam praktek peradilan di lembaga peradilan. Fragmentasi tipologi pendapat yang berkembang, harus menjadi kerangka normatif yang dapat membingkai semangat pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin tidak menemukan bentuknya yang komprehensif. Justru komprehensifitas dalam penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi harusnya menjadi pilihan utama terhadap tipologi penggunaan asas good governance dimaksud.

Sebagai bagian dari sub sistem kekuasaan dalam sebuah Negara, seyogianya sistem peradilan (korupsi) juga menggunakan asas good governance yang menjadi dasar sistem kekuasaan peradilan tersebut baik dan benar dengan tetap memperjuangkan dan mewujudkan jaminan penegakan hukum dan keadilan. Dengan demikian seharusnya sistem peradilan korupsi, harus menjadi semangat dan ruh perwujudan asas good governance dalam setiap aktivitasnya dalam proses penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi.

United Nation Development Programme (UNDP), memberikan batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya publik dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien, yang merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif dan efisien dan responsif terhadap

JURNAL DES.indd 258 5/16/2012 4:48:41 PM

Page 65: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 259

kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan (Santoso, 2002: 86).

Terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang menuntut peran serta masyarakat di dalamnya, maka konsep good governance tersebut sangat mendesak untuk diterapkan dalam manajemen sistem peradilan korupsi di Indonesia. Sebab dewasa ini seiring dengan tuntutan globalisasi demokrasi dalam segala aspek kehidupan, juga menimbulkan konsekuensi logis terhadap tipologi tuntutan publik akan konsep dan implementasi kekuasaan kehakiman yang baik secara paradigmatik, yakni dari paradigma ‘mengadili’ (speaker of law) menjadi ‘menegakkan keadilan’ (speaker of justice).

Menurut Hadjon (1993: 45), govern, mengandung arti pemerintah/lembaga. Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good government adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedang good governance adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik (pelaksananya). Clean government mengandung arti pemerintahan yang bersih (lembaga), sedangkan clean governance berarti pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Jika dikaitkan dengan sistem peradilan korupsi, maka seharusnya menjadi good and clean corruption justice system. Pelaksanaan sistem peradilan korupsi yang baik dan bersih sehingga lembaga peradilan menjadi berwibawa tidak saja di mata hukum dan keadilan tetapi di mata masyarakat. Agar supaya peradilan korupsi menjadi good and clean corruption justice system, maka perlu dipikirkan peran serta masyarakat yang dapat mendorong lahirnya sistem peradilan korupsi yang bersih dan benar.

Secara umum dapat dikemukakan tipologi asas good governance sebagai berikut yaitu pertama, transparancy (keterbukaan) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Transparansi merupakan asas penyelenggaraan pemerintah yang bertumpu atas asas demokrasi (partisipasi), keterbukaan dapat di identifikasikan menjadi beberapa bagian sesuai dengan ruang lingkup, meliputi: keterbukaan informasi aktif yakni keterbukaan atas prakarsa pemerintah; keterbukaan informasi pasif, yakni keterbukaan atas permintaan warga masyarakat; keterbukaan prosedur, yang memungkinkan masyarakat untuk ikut mengetahui (mecweten), ikut memikirkan (medenken), bermusyawarah (messpreken) dan hak ikut untuk memutus (medebeslissingrecht).

Asas tersebut jika dikaitkan dengan tipologi sistem peradilan korupsi, maka setiap bentuk keputusan hakim yang menangani perkara korupsi, seharusnya dibuat dalam proses yang demokratis, di mana masyarakat dapat mengetahui tidak saja mengenai mekanisme proses pembuatan keputusan (dissenting opinion), tetapi akomodasi terhadap nilai-nilai hukum dan keadilan yang berkembang di tengah masyarakat juga harus menjadi bagian integral dari substansi keputusan yang dibuat. Independensi lembaga peradilan dalam memutus perkara korupsi, seharusnya diukur dari sterilisasi intervensi kekuasaan lainnya terhadap kewenangan lembaga peradilan, tetapi tidak pada semangat adopsi nilai-nilai hukum dan keadilan yang ada di masyarakat. Bahwa

JURNAL DES.indd 259 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 66: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

260 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

masyarakat tidak mempunyai hak untuk memutus suatu perkara secara kelembagaan, memang itu sudah seyogianya, tetapi ‘keterlibatan’ masyarakat dalam mengembangkan wacana publik akan pentingnya arti adopsi nilai-nilai hukum dan keadilan yang masyarakat miliki adalah menjadi syarat bagi prinsip dan asas penegakan hukum dan keadilan melalui pengadilan (melalui proses eksaminasi publik terhadap keputusan hakim tentang perkara korupsi).

Keputusan hakim mengenai korupsi mempunyai makna efektif dan efisien jika secara substansial, prosedural dan psikologis sesuai dan selaras dengan nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat. Sehingga dengan demikian, ukuran efektif dan efisien suatu produk keputusan hukum tentang korupsi yang dibuat oleh hakim bukan pada ketepatan dan kecepatan dalam menerapkan hukum prosedur yang pembuatan dan penegakannya menggunakan paksaan (divorced) penguasa. Oleh karenanya untuk mewujudkan semangat paradigmatik tersebut perlu dirumuskan konsep yang mendasar mengenai peran serta masyarakat di dalam ikut serta terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi secara struktural.

Asas tersebut jika dikaitkan dengan sistem peradilan korupsi, maka semua keputusan hakim tentang perkara korupsi harus dipertanggungjawabkan tidak saja secara hukum kepada atasannya di mana semua prosesnya tidak boleh bertentangan dengan hukum acara pidana yang berlaku untuk perkara korupsi, tetapi juga harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik secara individual maupun secara komunal melalui ormas-ormas yang ada, sebagai proses saling mengawasi dan demokratisasi dalam bidang peradilan korupsi, apalagi akibat yang ditimbulkan oleh tindakan korup tersebut sangat eksesif, baik secara sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan, pertahanan, dan politik.

Pada tataran inilah sesungguhnya peran serta masyarakat secara struktural dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi sangat urgen dan mendesak untuk dirumuskan). Fairness, (kewajaran atau kesetaraan). Asas ini bermakna memberi kesempatan yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan publik. Asas ini jika dikaitkan dengan sistem peradilan korupsi, maka posisi antara lembaga peradilan atau hakim dengan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan untuk menegakkan hukum dan keadilan tentang korupsi, adalah setara dan wajar.

Public discourse seputar kritikan dan kajian mengenai keputusan hakim tentang korupsi yang dilakukan oleh masyarakat adalah merupakan bagian integral dari perwujudan proses asas kesetaraan dan kewajaran dalam sistem peradilan korupsi dan bukan merupakan upaya intervensi masyarakat terhadap independensi lembaga peradilan (konsep tersebut semakin mempertegas kehadiran masyarakat dalam ikut serta berperan memberantas tindak pidana korupsi). Sustainability, (kesinambungan), asas ini dimaksudkan untuk menciptakan kesinambungan pemerintahan yang baik, siapapun yang berkuasa (lihat Hadjon, 1993).

Asas tersebut jika dikaitkan dengan tipologi sistem peradilan korupsi, maka bermakna

JURNAL DES.indd 260 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 67: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 261

bahwa para hakimnya, harus mempunyai fungsi simultan, continuity corruption justice process. Pengadilan dalam proses pemeriksaan sampai dengan pembuatan keputusan, harus menggunakan prinsip bahwa penegakan keadilan menjadi tujuan utama dalam proses penegakan hukum.

4. Hukum Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

Pada awal perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia, tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana yang tersembunyi (hidden crime). Disebut sebagai tindak pidana tersembunyi karena secara umum biasanya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, dan oleh karenanya mereka sangat pandai dan cerdik untuk menyembunyikan perbuatan korupsi yang telah dilakukan. Mereka para pelaku sangat lihai dan piawai dalam merencanakan, mempersiapkan, melakukan, menyamarkan, menyembunyikan tindakan korupsinya, melalui alibi dan modus yang dilakukan. Sehingga sangat sulit untuk diungkap dan selanjutnya dapat ditindak berdasarkan hukum yang berlaku. Mereka para pelaku korupsi ada yang terorganisasi dan ada pula yang perseorangan, baik yang bekerja sebagai birokrat Negara maupun pengusaha BUMN atau swasta.

Fenomena dan kenyataan tersebut telah menggejala di hampir segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga ada pendapat yang mengatakan bahwa korupsi adalah budaya yang melekat dalam sistem birokrasi dan stratifikasi sosial bangsa Indonesia. Doktrin dan anggapan korupsi telah menjadi menjadi budaya tersebut akhirnya melahirkan konsepsi dan anggapan bahwa korupsi tidak dapat diberantas karena sudah mendarah daging.

Ketika pandangan tentang pentingnya korupsi diberantas dapat dipertemukan, maka selanjutnya orang ramai memperbincangkan mengenai paraturan perundang-undangan yang komprehensif yang dapat menjadi alat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Bagaimana peraturan perundang-undangan dapat menjadi salah satu alat (tool) untuk dapat merubah perilaku masyarakat, sistem birokrasi dan birokrat yang bermental korup menjadi masyarakat dan birokrat yang bermental bersih dan jujur.

Memberantas tindak pidana korupsi secara struktural (menggunakan sarana prasarana peraturan perundang-undangan), akan membutuhkan perangkat peraturan yang jelas dan lugas serta komprehensif, aparatur yang bersih dan jujur yang memiliki integritas moral dan integritas keilmuan tinggi, ketersediaan sarana prasarana termasuk logistik yang memadai. Semua aspek tersebut diperlukan dalam rangka proses pembuktian tindak pidana korupsi melalui lembaga pengadilan.

Disadari bahwa sistem peradilan pidana khususnya yang kita miliki belum mampu untuk dijadikan media penegakan hukum dan keadilan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sebab banyak kasus-kasus pidana konvensional seperti pencurian, penipuan, pembunuhan dan lain-lain saja, acapkali sulit untuk dibuktikan di persidangan. Bahkan ada fenomena aparat penegak hukum

JURNAL DES.indd 261 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 68: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

262 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

mempermainkan sistem peradilan pidana yang tidak integrated tersebut. Permainan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada menjadi bagian integral dari proses penegakan hukum dan keadilan melalui lembaga peradilan. Hukum yang membingkai kerangka normatif ideologis lembaga peradilan dijadikan komoditas nonmigas dalam upaya menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan atau suatu badan atau korporasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak saja terjadi di lembaga eksekutif dan legislatif tetapi yang kontradiktif justru terjadi di lingkungan yudikatif yang seharusnya mempunyai tugas dan kewajiban utama dan di depan dalam mengawal pemberantasan tindak pidana pidana korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada yang dijadikan dasar berpijak dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah masih jauh dari harapan, memang merupakan masalah utama dan pelik yang tidak dapat dihindari dan dijadikan alasan pembenar bahwa tindak pidana korupsi tidak dapat diberantas. Tetapi mental aparatur penegak hukum yang sangat korup, nepotisme dan kolutif, juga suatu masalah nyata yang juga sulit untuk dapat dijelaskan dan bahkan untuk dirubah dengan cepat hanya melalui peraturan perundang-undangan. Demikian juga mental dan budaya ‘nrabas’ masyarakat kita yang menjadi salah satu faktor dan salah pihak dalam terjadinya tindak pidana korupsi, inipun juga tidak mudah untuk dijelaskan dan dirubah hanya dengan peraturan perundangan yang ada.

Faktor peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan alat untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak jelas, mental korup, nepotisme dan kolutif aparat penegak hukum dan budaya serta mental ‘nrabas’ masyarakat yang sangat kapitalis, bahwa kebahagiaan hidup diukur dari keuntungan secara simbolis material, memang merupakan tiga persoalan pokok dalam memberantas tindak pidana korupsi.

5. Pembuktian dan Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

Perihal pembuktian adalah bagian sangat penting dalam proses pemeriksaan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi. Dalam proses pembuktian ini hakim dengan keyakinannya dapat dengan ‘leluasa’ dan bebas untuk menemukan bukti dan alat bukti yang dapat dijadikan dasar hakim dalam membuat keputusan. Dalam tahapan pembuktian ini hakim memerlukan berbagai macam alat bukti. Dalam Pasal 295 RIB ada 4 alat bukti yang dapat diuji untuk dibuktikan di persidangan, yakni: keterangan saksi, surat-surat, pengakuan tertuduh dan penunjukkan. Keempat alat bukti ini oleh hakim dapat dipergunakan untuk memperkuat keyakinan hakim.

Dalam sistem RIB tersebut memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menilai alat bukti mana yang layak dan tidak layak dijadikan dasar untuk membuat keputusannya. Khusus mengenai alat bukti keterangan saksi dijelaskan dalam RIB Pasal 299, 300, 301, 302, dan 303, yang disimpulkan sebagai berikut yaitu keterangan saksi harus dikuatkan dengan sumpah, keterangan saksi yang terdiri dari satu orang saja, tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, harus ditambah dengan alat

JURNAL DES.indd 262 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 69: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 263

bukti yang lain karena “satu saksi bukan saksi” (unus testis nulus testis). Jadi setidak-tidaknya, kalau saksi itu ditambah dengan yang lain, harus terdiri dari dua saksi. Kalau ada beberapa saksi terhadap beberapa perbuatan, maka kesaksian itu baru sah menjadi alat bukti, apabila antara satu saksi dengan saksi yang lainnya, terhadap perbuatan itu bersangkut-paut dan bersesuaian. Dan untuk menilainya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Adapun yang harus diterangkan oleh seorang saksi adalah apa yang didengar, dilihat dan dialami sendiri dan harus pula ia menerangkan mengapa ia mengetahui itu, dan tidak boleh merupakan pendapat atau kesimpulan. Hakim harus memilih secara saksama terutama hubungan antara saksi dengan peristiwa itu.

Pengertian alat bukti surat juga dijelaskan dalam Pasal 304 RIB, di mana berkaitan dengan alat bukti surat dalam hukum acara perdata. Dalam Pasal 304 RIB tersebut suatu surat otentik bersifat mengikat hakim, sedangkan dalam acara pidana tidak ada satu pun alat bukti yang dapat mengikat hakim. Hakim leluasa dalam menilai dan menentukan alat bukti mana yang dapat dijadikan dasar dalam membuat keputusan. Demikian pula surat di bawah tangan, kalau dalam perkara perdata, apabila di depan persidangan diakui dibuat atau ditandatangani oleh seseorang, maka hakim sudah terikat, sedangkan dalam perkara pidana hakim sama sekali tidak terikat.

Alat bukti berikutnya dalam RIB adalah pengakuan, yang diatur dalam Pasal 307 dan 308, yang pada pokoknya menentukan bahwa suatu pengakuan harus disertai dengan pemberitahuan yang tentu dan saksama tentang segala hal yang diketahui juga oleh orang yang terkena perbuatan dan berhubungan dengan alat bukti yang lainnya. Pengakuan salah saja yang tidak diperkuat oleh keadaan yang sebenarnya di persidangan, dianggap tidak cukup. Karena pengakuan terkadang bertentangan dengan keadaan sebenarnya sehingga mudah seseorang untuk membuat alibi untuk memperkuat pengakuan terhadap perbuatan yang sebenarnya dilakukan.

Sedangkan alat bukti yang keempat menurut RIB adalah penunjukkan. Alat bukti penunjukkan ini diatur secara khusus dalam Pasal 310, 311 dan 312 RIB. Pada pokoknya pasal-pasal tersebut mengatur tentang mempergunakan alat-alat bukti lainnya, sehingga ia berdiri sendiri dan sebenarnya kurang tepat untuk dijadikan alat bukti. Penunjukkan dimaksudkan sebagai alat bukti yang baru muncul jika dikaitkan dengan alat bukti dan atau barang bukti lain. Misalnya barang bukti pisau, darah, rambut dan lain-lain yang setelah dikonfrontir atau dicross check dengan alat bukti dan atau barang bukti seperti saksi, surat, pengakuan, baru setelah dianalisis oleh hakim dan ditengarai ada rangkaian yang dapat menguatkan telah terjadinya suatu peristiwa atau kejadian, maka barulah alat bukti penunjukkan tersebut muncul. Sehingga keberadaannya memang tidak berdiri sendiri dan sangat tergantung dengan alat bukti yang lain. Alat bukti ini memang rentan terhadap penyalahgunaan oleh hakim, sehingga alat bukti ini akan muncul sangat tergantung kepada suasana subyektif hati dari seorang hakim yang sedang memeriksa perkara.

Inilah sesungguhnya kritik yang mendasar terhadap pemberlakuan alat bukti penunjukkan tersebut (dalam KUHAP disebut alat bukti petunjuk). Tingkat objektivitas dari kebenaran alat

JURNAL DES.indd 263 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 70: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

264 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

bukti penunjukkan tersebut juga tidak terjamin oleh bingkai kerangka normatif yang ditentukan dalam RIB. Sehingga kekuatan alat pembuktian penunjukkan juga sangat relatif untuk dipengaruhi oleh kekuatan supra pengadilan yang pada akhirnya dapat mereduksi makna kekuasaan lembaga peradilan adalah independen, mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Dalam banyak kasus pidana, pembuktian tindak pidana yang paling rumit dan sulit adalah pembuktian tindak pidana korupsi. Sebab di samping pelaku tindak pidana korupsi biasanya adalah orang memiliki tingkat intelektual cukup tinggi dan dengan menggunakan modus yang memang sudah direncanakan secara matang agar perbuatan tersebut tidak mudah dilacak dan atau diungkap.

Dalam perkembangannya, korupsi menjadi salah satu masalah pembangunan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Hal ini menjadi relevan sebab biasanya pelaku korupsi untuk negara-negara berkembang, biasanya adalah para birokrat itu sendiri, sehingga sangat sulit untuk diketahui. Sebagaimana dikemukakan oleh Huntington (dalam Andi Hamzah, 1991: 9), bahwa akan tetapi tidak berarti bahwa adanya korupsi di tingkat atas ini mengganggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, maka sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas.

Demikian juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Gunar Myrdal (dalam Hamzah, 1991: 9), bahwa the problem is of vital concern to the government of Souht Asi, because the habitual practice of bribery and dishonesty paves the way for an authoritarian regime which justifies itself by the disclosures of corruption and punitive actions it takes against the offenders. Elimination of corruption has regularly been advance as a main justification for military take overs.

Masalah korupsi adalah masalah yang penting bagi pemerintahan Asia Selatan, karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan kepada penguasa otoriter, yang membenarkan dirinya dengan jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kudeta militer. Kasus penguasa Birma yang dikendalikan dan dikuasai langsung oleh junta militer, Pakistan juga sebuah negara yang dikuasai militer, dan sebentar lagi adalah barangkali Iran, bahkan Amerika Serikat, merupakan sosok predator bagi negara-negara lain di dunia untuk dijadikan mangsa keserakahan mereka atas nafsu syahwat kuasa untuk menguasai dan mengendalikan dunia dalam berbagai macam modus dan perspektif.

Kenyataan bahwa banyak penguasa yang justru menjadi pelaku tindak pidana korupsi tersebutlah, maka pembuktian tindak pidana korupsi di pengadilan menemui hambatan tidak saja

JURNAL DES.indd 264 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 71: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 265

struktural (birokrasi dilibatkan menjadi bagian dari penciptaan sistem korup), maupun hambatan kultural (budaya masyarakat yang ‘nrabas’, hedonis, kapitalis). Kesulitan pembuktian tindak pidana korupsi tersebut tidak saja karena pelakunya adalah para birokrat yang seharusnya menjadi pengawal dan panglima terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi memang aturan perundangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dirasa sangat kurang memadai. Pasal-pasal yang ada sangat interpretable dan bermakna all embracing act di mata penguasa yang korup tersebut.

Sistem pembuktian dan alat-alat pembuktian secara yuridis diatur dalam ketentuan Pasal 183–232 KUHAP. Di mana pembuktian adalah merupakan bagian yang terpenting dalam perkara pidana, khususnya dalam upaya menemukan barang bukti dan atau alat bukti yang saling dan dapat mempengaruhi sifat dan bobot serta kualitas keputusan hakim terhadap tindak pidana korupsi.

Selanjutnya hakim dalam perkara pidana mempunyai kewajiban dalam menerapkan hukum pembuktian dan alat-alat bukti guna memperoleh kebenaran materiil, terhadap perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti, apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu, dan pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa (Martiman, 2001: 98-99).

6. Memahami Tipologi Teori Pembuktian

Ada beberapa teori pembuktian yang akan dikemukakan di bawah ini, yang masing-masing teori mempunyai implikasi dan konsekuensi terhadap pemeriksaan di persidangan pengadilan oleh hakim. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.

Sehingga dengan demikian pembuktian mempunyai makna antara lain ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran materiil. Bahkan hakim, penuntut umum terdakwa atau penasehat hukum, masing-masing terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Hakim dan jaksa harus mempergunakan alat bukti sesuai dengan undang-undang sedangkan terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan undang-undang. Sehubungan dengan pengertian di atas , hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkannya dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang.

JURNAL DES.indd 265 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 72: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

266 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Dalam KUHAP telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan terhadap pembuktian dan alat bukti (Harahap, 1993: 794-795) sebagai berikut: penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa. Sebaliknya terdakwa atau penasehat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. Bisa berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan. Dengan saksi yang meringankan atau saksi a de charge maupun dengan alibi. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lainlah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan yang dapat dibuktikan.

Pertama, teori pembuktian negatif (Negatief Wettelijk), menurut sistem pembuktian ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang sah. Pokoknya asal saja ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan tertuduh yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan yang dibenarkan oleh pengalaman. Jadi walaupun tidak cukup bukti, asal hakim yakin, maka hakim dapat menjalankan dan menghukum seorang terdakwa. Sistem ini banyak kelemahannya, antaranya hakim dapat bertindak sewenang-wenang berdasarkan perasaannya saja. Hal ini sangat subyektif dan sangat rentan terjadinya permainan dan mudahnya hakim dipengaruhi oleh kekuatan supra pengadilan, yang dalam praktek keadaan ini mendorong lahirnya mafia peradilan. Teori ini dianut dalam HIR, sebagai ternyata dalam Pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada dan alat-alat bukti yang sah.

Kedua, Teori Pembuktian Positif (Positief Wettelijk). Menurut sistem ini adalah merupakan kebalikan dari sistem pembuktian negatif. Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya, kalau ada bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dn dihukum. Tentu sistem ini banyak kelemahannya, karena hakim sebagai manusia pada dasarnya untuk menyatakan orang itu bersalah dan menghukum tertuduh harus dihargai keyakinannya. Dan pula suatu bukti tidak selalu mutlak. Titik berat dari sistem ini adalah positivitas. Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana ternyata dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.

Ketiga, Teori Pembuktian Bebas (Vrij bewijst). Dalam sistem ketiga ini, untuk menyatakan orang itu bersalah dan dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus

JURNAL DES.indd 266 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 73: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 267

didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, bahwa memang telah dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu. Sistem ini jauh lebih baik daripada kedua sistem di atas, sebab sistem ini merupakan gabungan dan kompromi dari sistem negatif dan sistem positif. Sistem ini dianut dalam hukum acara sebagaimana dalam RIB, yakni jika ditarik dari kesimpulan ketentuan Pasal 294 RIB yang berbunyi sebagai berikut: Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu. Atas sangka saja atau keterangan yang tidak cukup, tidak seorangpun boleh dihukum.

Sistem tersebut juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, Pasal 6 ayat (2), yang menentukan sebagai berikut: ”Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.

Perkembangan teori pembuktian telah terjadi sedemikian rupa, sehingga lahir teori pembuktian yang baru dan modern. Misalnya berikut ini dikemukakan teori pembuktian modern yaitu teori pembuktian dengan keyakinan belaka, teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif, teori pembuktian keyakinan atas alasan negatif, teori pembuktian negatif menurut undang-undang.

Menurut pendapat Yahya Harahap (1993: 797-800), ada beberapa ajaran teori sistem pembuktian antara lain, conviction in time. Suatu sistem pembuktian yang menentukan, salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini sudah barang tentu mengandung kelemahan.

Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seseorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup bukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini menyerahkan sepenuhnya kesalahan terdakwa terbukti apa tidak mutlak kepada hakim. Keyakinan hakim merupakan penentuan kebenaran sejati dalam sistem pembuktian. Conviction Raisonce dalam sistem pembuktian ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian yang pertama (conviction in

JURNAL DES.indd 267 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 74: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

268 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

time) ini peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction raisonce ini keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini harus dilandasi oleh reasoning atau alasan-alasan. Dan reasoning itu harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima secara logis tidak semata-mata keyakinan yang tertutup tanpa alasan yang masuk akal.

Dalam pembuktian menurut undang-undang secara positif yaitu keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Untuk menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat bukti dalam undang-undang. Tidak perlu ada keyakinan hakim terhadap kesalahan terdakwa, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini hakim sebagai corong undang-undang (speaker of law) dan bukan corong keadilan (speaker of justice).

Hakim wajib mencari kebenaran salah tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasarkan hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim. Tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran.

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem pembuktian ini adalah merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction in time). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang negatif adalah: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Komponen sistem pembuktian ini adalah pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sekalipun secara teoritis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tapi dalam praktek secara terselubung unsur keyakinan hakimlah yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati.

Teori Keyakinan Atas Alasan Logis, sistem pembuktian ini agak mirip dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Persamaannya adalah dalam hal hakim harus diwajibkan

JURNAL DES.indd 268 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 75: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 269

menghukum orang, apabila ia yakin bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan lagi bahwa keyakinan harus disertai penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian buah pikiran (logika). Perbedaannya, pada teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh undang-undang, sebagai alat bukti. Tidak memperbolehkan menggunakan alat bukti lain yang tidak disebut dalam undang-undang dan tentang cara mempergunakan alat bukti, hakim terikat kepada ketentuan undang-undang.

Pada sistem negatif alat-alat bukti sudah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini berarti belum berarti hakim mesti menjatuhkan pidana. Ini tergantung pada keyakinan hakim atas kebenaran. Pada sistem atas alasan logis, hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dalam undang-undang, melainkan hakim leluasa untuk memakai alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut logika.

Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP, dalam Pasal 183 KUHAP, menentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jika dibandingkan dengan Pasal 294 HIR yang berbunyi: tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu.

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 HIR tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua-duanya menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Perbedaan penekanan pada syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah dalam Pasal 183 KUHAP. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP, utnuk menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang terdakwa, harus kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dikemukakan bahwa pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Atau dengan kata lain KUHAP menganut gabungan pembuktian conviction in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

Hakim pada umumnya sudah merasa cukup menimpali keterbuktian itu dengan rumusan kalimat yang sudah model dan baku: kesalahan terdakwa telah terbukti dan diyakini. Isi pertimbangan seperti itu hanya berisi tulisan yang berisi pengulangan kalimat keterangan terdakwa

JURNAL DES.indd 269 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 76: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

270 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

dan keterangan saksi tanpa suatu kemampuan dalam menyusun uraian pertimbangan dalam menyimpulkan pendapat tentang keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Dengan demikian berdasarkan Pasal 183 KUHAP tersebut, tidak dibenarkan menghukum seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang yang juga digabung dengan keyakinan hakim. Namun demikian jika hakim tidak mencantumkan keyakinannya, kealpaannya itu tidak mengakibatkan batalnya putusan (cenderung ke sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

Selain itu KUHAP juga menganut prinsip minimum pembuktian, yakni minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa paling sedikit dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Pasal lain yang menjadi penegas dan penjelas terhadap prinsip pembuktian minimum tersebut adalah Pasal 185 (2): keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah unus testis nulls testis. Pasal 189 (4): keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di samping tunduk pada KUHAP dalam undang-undang ini sudah sedikit lebih maju dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 khususnya mengenai sistem pembuktian yang dianut. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sistem pembuktian yang dipergunakan adalah sistem Pembuktian Terbalik Berimbang dan bersifat terbatas dan menggunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang.

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dikatakan pengertian pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang adalah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Kata terbatas dalam memori Pasal 37 dikatakan bahwa, apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, hal ini tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sedangkan kata berimbang, diartikan sebagai berupa penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income, terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai out put. Antara income sebagai input yang tidak berimbang dengan out put, atau dengan kata lain input lebih kecil dari out put. Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai out put tersebut adalah hasil perolehan tindak pidana korupsi yang didakwakan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa teori pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah teori bebas yang dianut oleh terdakwa dan teori negatif menurut undang-undang yang dianut oleh penuntut umum.

JURNAL DES.indd 270 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 77: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 271

Penjelasan tersebut di atas dapat dilacak dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai berikut:

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak kan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

4. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Penjelasan Pasal 37 tersebut adalah sebagai berikut ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga menganut sistem pembuktian semi terbalik dan berimbang sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 37 (revisi) yang berbunyi sebagai berikut:

1. terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

JURNAL DES.indd 271 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 78: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

272 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Dalam Pasal 37 A:

1. terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Sedangkan dalam Pasal 38 A dinyatakan bahwa: “Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan”. Di dalam Pasal 38 B:

1. setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.

Demikian beberapa macam sistem pembuktian yang dipergunakan dalam tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan tentang korupsi, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

JURNAL DES.indd 272 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 79: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 273

7. Analisis Dakwaan Primair dan Subsider

Dari isi dakwaan primair JPU tersebut terlihat jelas bahwa JPU tidak memahami sisi lain dari lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 maupun UU No. 20 Tahun 2001. JPU hanya melihat substansi UU tersebut secara sempit dan normatif. JPU tidak melihat aspek lain yang dapat memperkuat dakwaan JPU, bahwa perbuatan para terdakwa sangat bersifat melawan hukum dan harus dihukum berat. Dalam pengamatan peneliti, format, bentuk dan substansi dakwaan JPU selalu saja normatif dan sempit, sehingga dalam pembuktian dalam persidangan, seringkali JPU lemah posisinya apabila JPU harus mengajukan argumentasi bahwa dakwaan yang dibuat sudah benar secara substantif. JPU tidak memahami dengan baik landasan filosofis UU tersebut dibuat. Seharusnya JPU mampu menangkap makna secara substansial rumusan pasal yang didakwakan dalam dakwaan primair, yakni secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam dakwaan primair tersebut JPU hanya sekedar memasang rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Demikian halnya dalam dakwaan subsidair, JPU hanya menguraikan perbuatan terdakwa secara normatif sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. JPU seharusnya juga memberikan argumentasi secara tertulis dalam dakwaannya bahwa perbuatan terdakwa tersebut layak dipidana berat. JPU belum memberikan gambaran perbuatan para terdakwa secara lengkap kecuali sekedar secara normatif saja. Menjadi baik dan progresif apabila dalam dakwaan JPU juga memberikan argumentasi secara sosiologis, filosofis terhadap perbuatan terdakwa tersebut. Memang dalam dakwaan JPU sudah menguraikan modus dan cara-cara para terdakwa melakukan perbuatannya. Tetapi itu sifatnya hanya normatif. Padahal tujuan utama dibuatnya UU No. 31 Tahun 1999 maupun UU No. 20 Tahun 2001 adalah agar dapat menjangkau semua modus, motif, sifat, akibat, dan substansi perbuatan tindak pidana korupsi yang memang sangat rumit.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangn negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.

Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam bentuk tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.

Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

JURNAL DES.indd 273 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 80: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

274 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

masyarakat secara meluas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Oleh sebab itu, untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan suatu peraturan perundangan yang komprehensif dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi.

Peraturan perundangan yang khusus dapat dijadikan sebagai alat untuk memberantas tindak pidana korupsi, yang semakin hari modus operandinya semakin canggih dan rumit (sophisticated), sehingga sulit pula untuk dapat diungkap dan diberantas dengan peraturan yang konvensional/tradisional, terutama aturan yang memberikan batasan ketat untuk hakim dalam membuktikan perbuatan korupsi yang dilakukan dengan modus yang canggih tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara ‘melawan hukum’ dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam bentuk tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan di pidana.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan tersebut, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Sebagai sebuah produk undang-undang dalam era reformasi yang didasari semangat reformasi, demokrasi, transparansi dan akuntabel, maka sudah selayaknya substansi/materi rumusan tindak pidana korupsi yang dibuat juga wajib memperhatikan semangat dan ruh reformasi tersebut. Sehingga dengan adanya penegasan bahwa perbuatan korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum formil dan materiil, secara filosofi, kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, sudah sejalan dengan ruh reformasi tersebut. Oleh karenanya pasal-pasal yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut sudah seharusnya dijiwai dan menjiwai semangat dan ruh landasan filosofis tersebut.

Perkembangan baru yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi, sementara ketentuan demikian sebelumnya tidak pernah mendapat pengaturan secara memadai, yang sering pula pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum yang berlaku. Padahal dalam banyak kasus justru pelaku tindak pidana korupsi adalah korporasi.

JURNAL DES.indd 274 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 81: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 275

Kasus korupsi DPRD Sidoarjo ini, adalah bukti konkrit betapa korporasi (DPRD) sebagai subyek pelaku tindak pidana korupsi, yang mampu menimbulkan akibat luas (eksesif) baik secara sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, sangat sulit untuk diminta pertanggungjawaban secara hukum, karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yang berbentuk korupsi. Inilah yang seharusnya yang juga menjadi semangat dari JPU dalam membuat dakwaan. Sebab dalam sistem peradilan kita, dikenal asas dominus litis, artinya hakim tidak akan membuat keputusan yang lain yang tidak ada dalam dakwaan dan tuntutan JPU. Hakim menjadi tidak bebas dan mandiri sebagaimana doktrin konstitusional bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas dan merdeka.

JPU dalam dakwaannya dan kemudian pada penuntutannya seharusnya memahami dan menjelaskan bahwa apabila korupsi dilakukan oleh penyelenggara negara dalam hal ini adalah DPRD, maka harus ada penekanan terhadap subyek pelaku tersebut. Tanpa pemahaman demikian sudah barang tentu dakwaan dan tuntutan JPU dengan mudah dilemahkan argumentasinya baik oleh terdakwa maupun oleh lawyer terdakwa. Sehingga yang demikian ini akan berakibat pada ringannya putusan hakim dan kemungkinan besar akan dibebaskan oleh hakim.

Seharusnya kerangka pikir JPU dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, JPU harus mampu melihat sisi lain dari rumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal dan penjelasannya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. JPU tidak serta merta menganggap relatif sudah baik dan lengkap, karena terdapat banyak pasal yang justru dapat mengkaburkan rumusan tindak pidana korupsi yang tersebar dalam pasal-pasal undang-undang ini. Seperti Pasal 1, tentang batasan dan pengertian Korporasi, yakni kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c, menegaskan bahwa korporasi adalah perusahaan swasta, sebagaimana penjelasan Pasal 18 huruf c, bahwa yang dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Ketentuan ini selaras dengan penjelasan Pasal 20, bahwa yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi.

Dari beberapa ketentuan Pasal 1, Pasal 18, dan Pasal 20 beserta penjelasannya tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa, yang dimaksud dengan korporasi adalah perusahaan swasta atau privat baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Hal ini menjadi persoalan mendasar ketika dihadapkan pada kasus-kasus korupsi yang banyak dilakukan (subyek pelaku) justru oleh korporasi milik negara DPRD. Sebab korupsi yang subyek pelakunya berasal dari kalangan legislatif yang menggunakan sarana dan mekanisme produk legislasi/institutionalized personification (pembuatan peraturan perundang-undangan, seperti uraian modus perbuatan para terdakwa yakni, pengembangan SDM fiktif, kunjungan kerja fiktif, kursus keterampilan

JURNAL DES.indd 275 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 82: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

276 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

fiktif, apabila hanya dilihat secara administratif prosedural secara normatif, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh DPRD Sidoarjo tersebut, adalah modus yang tidak dapat dimasukkan dalam pengertian korporasi. Apalagi hanya sekedar dipahami sebagai sebuah wewenang secara administratif yang memang dimiliki oleh mereka.

Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi yang kita sudah punyai, tetap memberikan porsi kewajiban bagi JPU untuk membuktikan dakwaannya dalam persidangan di pengadilan. Tetapi apabila dalam dakwaan JPU tidak menguraikan perbuatan terdakwa disertai dengan argumentasi yang memadai dan kuat bahwa perbuatan terdakwa tersebut harus dipidana dengan berat, maka sudah barang tentu hakim juga akan memberikan keputusan yang jauh dari tujuan dakwaan dan tuntutan yang dibuat oleh JPU.

Dalam sistem pembuktian tindak pidana korupsi, di samping tunduk pada KUHAP dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sistem pembuktian yang dipergunakan adalah sistem Pembuktian Terbalik Berimbang dan bersifat terbatas dan menggunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang.

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dikatakan pengertian pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang adalah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata terbatas dalam memori Pasal 37 dikatakan bahwa, apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, hal ini tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sedangkan kata berimbang, diartikan sebagai berupa penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai out put. Antara income sebagai input yang tidak berimbang dengan output, atau dengan kata lain input lebih kecil dari output.

Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai out put tersebut adalah hasil perolehan tindak pidana korupsi yang didakwakan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa teori pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah teori bebas yang dianut oleh terdakwa dan teori negatif menurut undang-undang yang dianut oleh penuntut umum. Penjelasan tersebut di atas dapat dilacak dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai berikut:

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

JURNAL DES.indd 276 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 83: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 277

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak kan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

4. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Penjelasan Pasal 37 tersebut adalah sebagai berikut: pertama, ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

Konsepsi demikian sangat penting dikemukakan, sebab apabila dakwaan JPU tidak lengkap dan tidak argumentatif, sudah dapat digambarkan betapa hakim akan kesulitan untuk menjatuhkan hukum pidana yang berat karena JPU dalam dakwaannya tidak akurat, kabur, dan sangat normatif. Bahasa-bahasa yang dipergunakan dalam dakwaan juga relatif sulit dipahami dalam perspektif kepentingan pendakwaan dan penuntutan JPU bahwa perbuatan terdakwa wajib dan layak dihukum berat karena telah melakukan tindak pidana korupsi. Posisi JPU sangat berat dan rentan dari kemungkinan ditolaknya dakwaan yang telah dibuat. Disadari bahwa pelaku tindak pidana korupsi biasanya selalu orang yang pintas, cerdas, mempunyai kedudukan status sosial dan ekonomi kuat di masyarakat, tetapi culas dan licik.

Ketentuan yang tetap mewajibkan JPU wajib membuktikan dakwaannya adalah ketentuan yang ada dalam UU No. 20 Tahun 2001. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga menganut sistem pembuktian semi terbalik dan berimbang sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 37 (revisi) yang berbunyi sebagai berikut:

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

JURNAL DES.indd 277 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 84: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

278 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Pasal 37 A:

1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Pasal 38 A: Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Di dalam Pasal 38 B:

1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.

Dakwaan JPU tersebut jelas tidak menggunakan logika dan konsep hukum dan keadilan yang jelas. Dengan demikian jelas bahwa dakwaan yang dibuat JPU dapat dikemukakan menjadi salah satu faktor berat ringannya keputusan hakim dalam menjatuhkan pidana bagi para terdakwa korupsi DPRD Sidoarjo, yang akan dibahas dalam bagian berikutnya.

Sebagai bukti bahwa dakwaan JPU menjadi permasalahan adalah adanya eksepsi dari

JURNAL DES.indd 278 5/16/2012 4:48:42 PM

Page 85: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 279

terdakwa, di mana eksepsi tersebut berpijak dari ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan huruf b, yang mengatur syarat formil dan syarat materiil, dan ayat (3) KUHAP, yang memuat ketentuan akibat hukum dari dakwaan yang tidak memenuhi syarat formil dan materiil tersebut. Adapun eksepsi tersebut yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

a. Dakwaan JPU tidak cermat, karena yang berkompeten memeriksa laporan keuangan dan pemeriksaan laporan keuangan termasuk menentukan adanya penyimpangan penggunaan anggaran atau audit investigatif adalah BPK dan bukan JPU, sehingga JPU tidak berkompeten menentukan kesalahan terdakwa, hal ini sesuai dengan Juklak Kejagung RI dan BPKP No. Juklak 001/J.A/2/1989 dan No. 145/k/1989. Penggunaan anggaran tersebut sesuai dengan kewenangan DPRD karena semuanya dilakukan berdasarkan pada SK resmi yang dibuat oleh DPRD, sehingga masalahnya bukan tindak pidana tetapi masalah administrasi. Eksepsi ini yang sejak awal oleh peneliti sudah dikemukakan bahwa pengertian korporasi tidak juga dijelaskan oleh JPU dalam dakwaannya.

b. Dakwaan JPU tidak jelas dan tidak lengkap, yakni uraian perbuatan yang ada dalam dakwaan primair disalin begitu saja dalam dakwaan subsidair. Nilai kerugian juga tidak diuraikan dengan jelas dan tepat. Di samping itu dakwaan JPU juga tidak merinci satu persatu rumusan delik yang didakwakan. Misalnya apa maksud perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi; apakah yang dimaksud dengan perbuatan dilakukan secara melawan hukum, apa yang dimaksud dengan perbuatan terdakwa merugikan keuangan atau perekonomian negara. Juga tidak dijelaskan apa maksud perbuatan terdakwa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukannya. Eksepsi ini menurut penulis juga dapat dimaklumi karena JPU tidak juga mengemukakan argumentasi filosofisnya tentang uraian perbuatan tersebut, kecuali hanya secara normatif saja. Ketidakmampuan JPU menjelaskan dari sisi-sisi lain selain sisi normatif, misalnya sisi sosiologis, doktrin, asas adalah dasar utama eksepsi dari terdakwa tersebut.

8. Analisis terhadap fakta Hukum dan Pertimbangan Hukum

Apabila disimak secara saksama terhadap fakta-fakta hukum dan pertimbangan hukum yang ada, jelas ada beberapa hal yang perlu dikemukakan secara kategoris, yakni:

1. Tidak semua saksi (yang sesama pelaku tapi sudah diputus dahulu) menerangkan bahwa penggunaan anggaran dalam kasus ini adalah kurang sesuai dengan tujuan, fungsi dan kegunaannya.

2. DPRD mengabaikan fungsi pengawasan pengelolaan keuangan daerah yang menjadi domain kewajiban utamanya.

JURNAL DES.indd 279 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 86: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

280 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

3. Keterangan dari para terdakwa, menerangkan bahwa dana yang diterima tersebut adalah sah karena sudah dianggarkan dalam APBD yang sudah diputuskan dalam paripurna.

4. Menerima uang sepanjang sudah diatur dalam SK dipahami sebagai sebuah kewajaran dan bukan sebagai pelanggaran hukum, apalagi dengan tidak tahu ada aturan yang melarang.

5. Keterangan ahli, lebih menjadi pihak yang justru membuat kabur dan samar-samar substansi perbuatan yang sebenarnya, yang tidak patut dan sangat bertentangan dengan keadilan.

6. Keterangan ahli semakin menjauhkan substansi perbuatan korupsi menjadi masalah administrasi dan masalah kesadaran dari pelaku, dan bukan menjadi domain dari nilai keadilan.

7. Modus dari perbuatan korupsi tersebut, menggunakan cara memanipulasi ketentuan melalui penafsiran ekstensif yang sangat meluas. Pendekatan legalistik formalistik, menjadi alasan dan tempat berlindung dalam rangka menyamarkan dan mengkaburkan perbuatan yang sebenarnya.

8. Hakim tidak konsisten dalam memberikan pertimbangan hukumnya dan terkesan sudah mengarahkan pendapatnya kepada pendapat dan keterangan ahli, bahwa perbuatan para terdakwa tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Sementara tidak ada satupun perbuatan yang melanggar peraturan perundangan dapat dikatakan tidak melawan hukum. Suatu pendapat yang sangat kontradiktif dan tidak menunjukkan integritas keilmuan dan integritas moral yang benar.

Simak saja pertimbangan hakim berikut: baik materi maupun prosedurnya menyimpang dan tidak sesuai dengan peruntukannya adalah bentuk tidak efektifnya fungsi pengawasan pengelolaan anggaran, yang tidak dengan sendirinya termasuk perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum, oleh karena perbuatan para terdakwa yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan masih dalam lingkup tugas dan wewenangnya dengan demikian majelis berpendapat menurut hukum unsur ”secara melawan hukum” tidak terbukti. Oleh karena salah satu unsur dari dakwaan primair tidak terbukti, maka terhadap unsur lainnya tidak perlu lagi dipertimbangkan dan majelis berpendapat terdakwa-terdakwa I s.d. IX harus dibebaskan dari dakwaan primair. Cara pandang hakim yang sangat sulit dipahami karena materi dan prosedur menyimpang dan tidak sesuai dengan peruntukan penggunaan anggaran dikatakan sebagai sekedar tidak efektifnya fungsi pengawasan pengelolaan anggaran dan tidak dengan sendirinya merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Nampaknya hakim sudah terbawa pola pikir secara kapitalis. Kerangka pikiran hakim secara

JURNAL DES.indd 280 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 87: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 281

tipologis masih belum benar. Seharusnya hakim memahami tipologi hukum tentang tindak pidana korupsi secara lebih baik. Perspektif pemahaman penegakan hukum secara tipologis tentang korupsi yang komprehensif, secara katagoris, harus dilihat dari beberapa indikator. Indikator yang dimaksud adalah pertama, tujuan hukum: hukum acara pidana yang khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, merupakan faktor terpenting dalam sistim penegakan hukum pidana materiil tentang korupsi (Sunaryo, 2006).

Secara kategoris dan tipologis, kita dapat menyimak dan memahami tujuan hukum dari pemberantasan tindak pidana korupsi di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilihat dari konsideran (landasan filosofis) dibuatnya undang-undang dimaksud. Berikut akan dikemukakan tujuan-tujuan tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971: dibuatnya undang-undang ini adalah; pertama: bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional; kedua: bahwa UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubungan dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Tujuannya adalah: bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan dapat menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tujuannya adalah timbulnya berbagai macam interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya terhadap perbuatan tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sebab dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan

JURNAL DES.indd 281 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 88: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

282 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Ada beberapa hal yang penting dalam undang-undang tersebut. Pertama, legitimasi: keabsahan dari hakim, dalam hal kasus korupsi adalah keabsahan kewenangan/legitimasi dalam melakukan tindakan hukum yakni pemeriksaan, pembuktian dan membuat keputusan, yang sesuai dengan kerangka dan norma hukum yang benar. Hakim Tetap dalam Lingkungan Peradilan Umum maupun Hakim Ad Hoc yang khusus menangani kasus korupsi yang sering disebut dengan Hakim TIPIKOR, yang mempunyai kewenangan atau legitimasi dalam proses pemeriksaan perkaranya di sidang pengadilan sampai dengan pembuatan keputusan terhadap perkara korupsi tersebut, harus mencerminkan keadilan dan bernilai eksekutorial, di mana keputusan yang dibuat akan semakin mampu menjadikan lembaga peradilan negara berwibawa dan legitimate.

Kedua, Pengaturan: regulasi yang dijadikan acuan secara parktis teknis dan administratif oleh hakim, dalam upaya menegakkan hukum pidana materiilnya, yaitu administrasi peradilan dalam sistem peradilan korupsi yang terintegrasi. Bahkan secara tipologis, administrasi peradilan dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mencerminkan sebagai sebuah sistem administrasi peradilan yang menunjang dan menjamin praktek peradilannya efektif dan efisien. Administrasi Peradilan untuk menegakkan hukum dalam bidang korupsi masih sering dituding sebagai salah satu faktor penyebab secara inheren terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh hakim. Sehingga dengan demikian pembenahan secara administratif terhadap penegakan hukum bidang tindak pidana korupsi di peradilan, segera harus menjadi agenda utama dalam melakukan reformasi peradilan secara utuh dan komprehensif.

Ketiga, penalaran yang digunakan: kerangka normatif yang menjadi acuan dasar bagi hakim, dalam hal kasus korupsi adalah melakukan interpretasi pasal-pasal peraturan perundang-undangan tentang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan. Kemampuan Penalaran Hukum (legal reasoning) sangat menentukan, bagaimana penegakan hukum dalam bidang korupsi yang adil, efektif dan efisien. Ketentuan pasal-pasal peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, adalah nilai-nilai yang abstrak dan normatif. Akan menjadi hidup dan berkembang sedemikian rupa, adalah sangat tergantung dari kemampuan dasar hakim dalam melakukan penalaran hukum terkait pasal-pasal tersebut.

Dalam konteks ini, hukum yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi akan bernilai adil dan tidak adil, efisien dan tidak efisien, efektif dan tidak efektif, akan sangat bergantung pada kemampuan penalaran yang dimiliki oleh hakim. Kedudukan hakim sangat sentral dan sangat menentukan, apabila logika dan penalaran para hakim tidak sistematis dan tidak jalan, maka sudah dapat dipastikan hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang muncul akan

JURNAL DES.indd 282 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 89: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 283

sangat tidak adil dan di sinilah sesungguhnya kita dapat melihat dengan jelas betapa kepentingan hakim dan lain-lain mampu tergambar dengan jelas melalui putusan-putusan yang dibuat oleh para hakim tersebut. Sehingga dengan demikian sistematis tidaknya pola pikir dari hakim adalah mencerminkan pemahaman tipologi hukum para hakim itu sendiri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Walaupun penalaran yang baik atau yang buruk dari hakim dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bukanlah menjadi satu-satunya faktor buruknya penegakan hukum dalam bidang tindak pidana korupsi.

Keempat, diskresi: penyimpangan-penyimpangan tindakan hakim, dalam hal kasus korupsi yang dilakukan dalam mengambil langkah dan kebijakan cepat dalam proses penegakan hukum dalam pemeriksaan di pengadilan. Diskresi dalam asas hukum pidana yang menganut paham legisme yakni hukum adalah undang-undang, dan selalu bertumpu pada asas legalitas, sangat tidak dapat dibenarkan. Sebab diskresi dipahami secara sempit sebagai penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang legal.

Diskresi adalah dipahami sebagai upaya untuk menyimpangi dan menyalahi asas legalitas yang mengutamakan pada kepastian hukum. tetapi dalam beberapa peraturan perundangan kita, sudah dikenal diskresi tersebut. Simak saja dalam perundangan kejaksaan, di sana memberikan hak dan wewenang bagi jaksa untuk membuat diskresi yakni menghentikan penuntutan perkara dengan alasan demi kepentingan umum yang sering disebut dengan istilah deponering atau asas oportunitas.

Hakim juga diberi wewenang untuk melakukan langkah dan kebijakan diskresi, seperti hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya semata-mata berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tertulis saja tetapi juga harus mendasarkan pada nilai-nilai dan hukum yang hidup di masyarakat (vide UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Darurat No. 1 Tahun 1951). Ini bermakna lebih dari sekedar diskresi yang dimiliki oleh hakim tetapi hakim bahkan bisa membuat putusan sendiri yang juga sekaligus sebagai upaya penemuan hukum dan pembuatan hukum (rechsfinding, judge made law). Polisi juga dapat dibenarkan untuk melakukan tindakan diskresi apabila penyidikan suatu tindak pidana dilanjutkan tidak cukup terdapat alat bukti yakni yang biasa disebut dengan istilah SP3 (surat perintah penghentian penyidikan/perkara). Jadi dengan demikian secara tipologis, hakim dalam dan demi kepentingan hukum itu sendiri yakni keadilan, dibenarkan melakukan kebijakan langkah diskresi dalam upaya penegakan hukum.

Kelima, moralitas: ukuran dan standar baku kebenaran dan keadilan yang diukur dari keyakinan, agama, ideologi hakim, dalam hal kasus korupsi adalah pemeriksaan di pengadilan. Hakim harus memiliki integritas moral, integritas intelektual dan integritas pribadi yang baik dan unggul, agar sistem penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat berjalan sebagaimana mestinya yakni mencapai keadilan yang sejati. Moralitas yang unggul merupakan prasyarat utama dalam penegakan hukum khususnya dalam bidang pemberantasan

JURNAL DES.indd 283 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 90: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

284 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

tindak pidana korupsi. Moralitas simbolis yang sering menjadi topeng dalam penegakan hukum menjadi salah satu faktor dominan dalam penyebab terjadinya tindak pidana korupsi ikutan. Dalam ranah wilayah moral ini siapapun tidak dapat melakukan kontrol dan evaluasi kecuali malaikat dan Tuhan para hakim yang memang prasyaratnya harus beragama. Moralitas seringkali menjadi barang langkah dan komoditas mahal yang sering dapat diperjualbelikan.

Moralitas telah menjelma menjadi komoditas yang bernilai ekonomis sangat tinggi dalam proses penegakan hukum khususnya dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi. Moralitas sebagai komoditas telah menjadi pilihan utama bagi para pencari keadilan dan para hakim untuk mempermainkan prosedur substansi penegakan hukum, dengan menegasikan dan mengesampingkan hukum prosedural dan hukum substansial yang bermakna keadilan. Moralitas menjadi pasal-pasal umum dan khusus di luar sistem penegakan hukum khususnya dalam pemberantsan tindak pidana korupsi, yang dengan sangat leluasa dan longgar ditafsir dan ditawar sesuai dengan harga yang disepakati para pihak. Inilah tipologi sebagian besar hakim dalam penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.

Keenam, politik: langkah-langkah strategis dari hakim, dalam hal kasus korupsi adalah dalam hal membuat kebijakan pidana/criminal policy dalam mengisi dan melengkapi kekosongan hukum pidana formil selama melakukan proses dan upaya penemuan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat yang menjadi ugeran dalam segala aspek kehidupan mereka. Kemampuan dan kemauan politik para hakim harus dilakukan dan diarahkan pada upaya penegakan hukum dan keadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak dalam konteks politik menjadi alat dan sekaligus tujuan dan apalagi menjadi komoditas secara terintegrasi dalam sistem peradilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Politik adalah harus dimaknai sebagai sebuah proses dalam penegakan hukum yang mempunyai tujuan satu yakni mewujudkan keadilan melalui lembaga peradilan. Tidak politik menjadi pemimpin dan penguasa dalam penegakan hukum di lembaga peradilan. Tetapi hakim secara politik juga harus mempunyai kedudukan dan posisi yang kuat dan independen, sehingga bisa menjamin terwujudnya sistem penegakan hukum yang adil, efektif dan efisien. Politik praktis seringkali tidak bisa dijadikan dasar utama untuk mengarahkan dan membimbing proses dan sistem penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketujuh, harapan dan kepatuhan serta partisipasi: unsur di mana budaya dan perilaku hukum masyarakat dan hakim, dalam hal kasus korupsi adalah yang dapat memberikan cerminan taat dan tertib serta menjunjung dan menempatkan hukum dalam tindak pidana korupsi pada posisi yang tertinggi/prinsip supremasi hukum dengan asas due of law process. Harapan masyarakat dan hukum harus menjadi paradigma nilai filosofis dalam sistem penegakan hukum, yang dibingkai oleh norma hukum yang adil sehingga mampu memberikan motivasi dan semangat dorongan bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses sistem penegakan hukum yang efektif dan efisien.

JURNAL DES.indd 284 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 91: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 285

Fragmentasi pemikiran dan persepsi yang melekat pada manusia yang menjadi hakim, tetap menjadi faktor pembentuk karakter dan perilaku manusianya. Karakter dan perilaku mana merupakan pencerminan pemahaman tipologi karakteristik sistem hukum yang membingkai kerangka normatif dalam melakukan penegakan hukum dan keadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari pendapat tersebut jelas bahwa fakta hukum dan pertimbangan hukum yang dikemukakan hakim dalam kasus korupsi APBD DPRD Sidoarjo, terkesan sudah diarahkan kepada suatu kesimpulan bahwa perbuatan DPRD tersebut jelas-jelas bukan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum formil maupun materiil, dengan demikian tipologi kerangka berpikir hakim juga belum benar. Hakim belum menunjukkan kerangka pikir secara komprehensif apa dan bagaimana tipologi hukum tindak pidana korupsi. Apabila kerangka pikir hakim terhadap substansi hukum yang mengatur tindak pidana korupsi belum benar, akan berakibat pada substansi keputusan yang dibuat juga masih jauh dari aspek keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, sebagaimana pendapat Gustav Radburg.

Kenyataan demikian juga menunjukan bahwa kemampuan hakim terhadap manajemen sistem peradilan dalam penanganan tindak pidana korupsi masih perlu diperbaiki. Kontradiksi fakta hukum dan pertimbangan hukum yang dikemukakan hakim, mencerminkan hakim perlu meningkatkan memahami mekanisme kerja hukum, unsur pendukung dalam proses penegakan hukum dan bagaimana pengaruh mekanisme tersebut satu sama lain serta dampaknya terhadap penegakan hukum secera menyeluruh. Hakim juga tidak mengambil sikap untuk mengkaitkan dan menganalisis antara fakta hukum dan pertimbangan hukum dalam upaya untuk menjadi dasar dari putusannya. Hakim terlihat hanya mengambil fakta hukum dan pertimbangan hukum yang mengarah untuk meringankan hukuman bagi terdakwa. Hakim tidak secara objektif melihat fakta hukum dan pertimbangan hukum sebagai dasar keputusannya.

9. Analisis terhadap Amar Putusan

Dapat dikemukakan di sini bahwa putusan hakim dalam korupsi DPRD Sidoarjo belum memenuhi aspek keadilan, kepastian, dan manfaat. Salah satu penyebabnya adalah hakim kurang memahami konsepsi good governance dalam penyelenggaraan sistem peradilan. Secara prinsip asas good governance yang relevan diterapkan dalam sistem peradilan korupsi adalah transparan, keterbukaan, akuntable, fairness, sustainability. Ringannya putusan hakim terhadap terdakwa yakni cuma 1 tahun, denda 50 juta subsider 2 bulan kurungan dan uang pengganti, sangat jauh dari sifat perbuatan terdakwa yang bukan saja tidak patut, tetapi berdampak sangat eksesif bagi keberlangsungan hidup masyarakat.

Salah satu yang menjadikan putusan hakim belum memenuhi rasa keadilan adalah sistem pembuktian yang diterapkan. Sistem pembuktian menjadi media dan alat untuk melihat secara utuh dan komprehensif terhadap permasalahan hukum yang sedang diperiksa hakim di pengadilan. Kesalahan sistem yang diterapkan akan berdampak sangat fatal dalam memahami nilai adil, pasti

JURNAL DES.indd 285 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 92: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

286 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

dan manfaat dari sebuah keputusan yang progresif. Kesalahan menerapkan dan memahami sistem pembuktian di persidangan, akan melahirkan karakter putusan hakim yang konservatif. Yang penting tugas rutin dan apa adanya.

Apabila pilihan hakim seperti itu maka putusan menjadi sangat kering dan tidak jelas secara substansial. Hal kelihatan dari rumusan putusan hakim yang dibuat, sangat tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum dan beberapa pertimbangan hukum yang ada. Menurut peneliti hakim wajib memperhatikan dengan baik konsepsi sistem pembuktian seperti bahwa ada beberapa teori pembuktian yang akan dikemukakan di bawah ini, yang masing-masing teori mempunyai implikasi dan konsekuensi terhadap pemeriksaan di persidangan pengadilan oleh hakim. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Sehingga dengan demikian pembuktian mempunyai makna antara lain ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran materiil. Bahkan hakim, penuntut umum terdakwa atau penasehat hukum, masing-masing terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Hakim dan jaksa harus mempergunakan alat bukti sesuai dengan undang-undang sedangkan terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan undang-undang. Sehubungan dengan pengertian di atas, hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkannya dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Dalam KUHAP telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan terhadap pembuktian dan alat bukti (Yahya Harahap, 1993: 794-795) sebagai berikut penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa. Sebaliknya terdakwa atau penasehat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. Bisa berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan.

Dengan saksi yang meringankan atau saksi a de charge maupun dengan alibi. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lainlah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan yang dapat dibuktikan.

JURNAL DES.indd 286 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 93: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 287

a. Teori Pembuktian Negatif (Negatief Wettelijk), menurut sistem pembuktian ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang sah. Pokoknya asal saja ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan tertuduh yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan yang dibenarkan oleh pengalaman. Jadi walaupun tidak cukup bukti, asal hakim yakin, maka hakim dapat menjalankan dan menghukum seorang terdakwa. Sistem ini banyak kelemahannya, antaranya hakim dapat bertindak sewenang-wenang berdasarkan perasaannya saja. Hal ini sangat subyektif dan sangat rentan terjadinya permainan dan mudahnya hakim dipengaruhi oleh kekuatan supra pengadilan, yang dalam praktek keadaan ini mendorong lahirnya mafia peradilan. Teori ini dianut dalam HIR, sebagai ternyata dalam Pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah: keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah.

b. Teori Pembuktian Positif (Positief Wettelijk), menurut sistem ini adalah merupakan kebalikan dari sistem pembuktian negatif. Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya, kalau ada bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan dihukum. Tentu sistem ini banyak kelemahannya, karena hakim sebagai manusia pada dasarnya untuk menyatakan orang itu bersalah dan menghukum tertuduh harus dihargai keyakinannya. Dan pula suatu bukti tidak selalu mutlak. Titik berat dari sistem ini adalah positivitas. Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana ternyata dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.

c. Teori Pembuktian Bebas (Vrij Bewijst), dalam sistem ketiga ini, untuk menyatakan orang itu bersalah dan dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, bahwa memang telah dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu. Sistem ini jauh lebih baik daripada kedua sistem di atas, sebab sistem ini merupakan gabungan dan kompromi dari sistem negatif dan sistem positif. Sistem ini dianut dalam hukum acara sebagaimana dalam RIB, yakni jika ditarik dari kesimpulan ketentuan Pasal 294 RIB yang berbunyi sebagai berikut yaitu tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu. Atas sangka saja atau keterangan yang tidak cukup, tidak seorangpun boleh dihukum. Sistem tersebut juga dianut dalam Undang-Undang

JURNAL DES.indd 287 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 94: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

288 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 6 ayat (2), yang menentukan sebagai berikut: ”Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”

Perkembangan teori pembuktian telah terjadi sedemikian rupa, sehingga lahir teori pembuktian yang baru dan modern. Misalnya berikut ini dikemukakan teori pembuktian modern sebagai berikut teori pembuktian dengan keyakinan belaka, teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif, teori pembuktian keyakinan atas alasan negatif, teori pembuktian negatif menurut undang-undang.

Menurut pendapat Harahap (1993: 797-800), ada beberapa ajaran teori sistem pembuktian antara lain, yaitu Conviction In Time. Suatu sistem pembuktian yang menentukan, salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seseorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup bukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahannya terdakwa. Sistem ini menyerahkan sepenuhnya kesalahan terdakwa terbukti apa tidak mutlak kepada hakim. Keyakinan hakim merupakan penentuan kebenaran sejati dalam sistem pembuktian.

Selain Conviction In Time, ada conviction raisonce, dalam sistem pembuktian ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian yang pertama (conviction in time) ini peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction raisonce ini keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini harus dilandasi oleh reasoning atau alasan-alasan. Dan reasoning itu harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima secara logis tidak semata-mata keyakinan yang tertutup tanpa alas an yang masuk akal.

Pembuktian menurut Undang-undang secara Positif, keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Untuk menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat bukti dalam undang-undang. Tidak perlu

JURNAL DES.indd 288 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 95: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 289

ada keyakinan hakim terhadap kesalahan terdakwa, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahannya terdakwa. Dalam sistem ini hakim sebagai corong undang-undang (speaker of law) dan bukan corong keadilan (speaker of justice). Hakim wajib mencari dan kebenaran salah tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.

Sistem pembuktian di atas lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasarkan hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim. Tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran.

Sistem Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif, sistem pembuktian ini adalah merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction in time). Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang negatif adalah: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Komponen sistem pembuktian ini adalah:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sekalipun secara teoritis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tapi dalam praktek secara terselubung unsur keyakinan hakimlah yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati.

Teori Keyakinan Atas Alasan Logis, sistem pembuktian ini agak mirip dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Persamaannya adalah dalam hal hakim harus diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan lagi bahwa keyakinan harus disertai penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian buah pikiran (logika). Perbedaannya, pada teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh undang-undang, sebagai alat bukti. Tidak memperbolehkan menggunakan alat bukti lain yang tidak disebut dalam undang-undang dan tentang cara mempergunakan alat bukti, hakim terikat kepada ketentuan undang-undang.

JURNAL DES.indd 289 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 96: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

290 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Pada sistem negatif alat-alat bukti sudah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini berarti belum berarti hakim mesti menjatuhkan pidana. Ini tergantung pada keyakinan hakim atas kebenaran. Pada sistem atas alasan logis, hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dalam undang-undang, melainkan hakim leluasa untuk memakai alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut logika.

Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP, di dalam Pasal 183 KUHAP, menentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jika dibandingkan dengan Pasal 294 HIR yang berbunyi: tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu.

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 HIR tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua-duanya menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Perbedaan penekanan pada syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah dalam Pasal 183 KUHAP. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP, untuk menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang terdakwa, harus kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dikemukakan bahwa pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Atau dengan kata lain KUHAP menganut gabungan pembuktian conviction in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

Hakim pada umumnya sudah merasa cukup menimpali keterbuktian itu dengan rumusan kalimat yang sudah model dan baku: kesalahan terdakwa telah terbukti dan diyakini. Isi pertimbangan seperti itu hanya berisi tulisan yang berisi pengulangan kalimat keterangan terdakwa dan keterangan saksi tanpa suatu kemampuan dalam menyusun uraian pertimbangan dalam menyimpulkan pendapat tentang keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Sehingga dengan demikian berdasarkan Pasal 183 KUHAP tersebut, tidak dibenarkan menghukum seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang yang juga digabung dengan keyakinan hakim. Namun demikian jika hakim tidak mencantumkan keyakinannya, kealpaannya itu tidak mengakibatkan batalnya putusan (cenderung ke sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif).

JURNAL DES.indd 290 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 97: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 291

Selain itu KUHAP juga menganut prinsip minimum pembuktian, yakni minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa paling sedikit dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Pasal lain yang menjadi penegas dan penjelas terhadap prinsip pembuktian minimum tersebut adalah Pasal 185 (2): keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah unus testis nulls testis. Pasal 189 (4): keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

10. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999

Di samping tunduk pada KUHAP dalam undang-undang ini sudah sedikit lebih maju dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 khususnya mengenai sistem pembuktian yang dianut. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sistem pembuktian yang dipergunakan adalah sistem Pembuktian Terbalik Berimbang dan bersifat terbatas dan menggunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang.

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dikatakan pengertian pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang adalah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata terbatas dalam memori Pasal 37 dikatakan bahwa, apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, hal ini tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Sedangkan kata berimbang, diartikan sebagai berupa penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai out put. Antara income sebagai input yang tidak berimbang dengan out put, atau dengan kata lain input lebih kecil dari out put. Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai out put tersebut adalah hasil perolehan tindak pidana korupsi yang didakwakan. Sehingga dengan demikian dapat dikemukakan bahwa teori pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah teori bebas yang dianut oleh terdakwa dan teori negatif menurut undang-undang yang dianut oleh penuntut umum.

Penjelasan tersebut di atas dapat dilacak dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai berikut: Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak kan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila melakukan tindak pidana korupsi,

JURNAL DES.indd 291 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 98: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

292 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Penjelasan Pasal 37 tersebut adalah sebagai berikut ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga menganut sistem pembuktian semi terbalik dan berimbang sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 37 (revisi) yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Pasal 37 A ayat (1) terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Ayat (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

JURNAL DES.indd 292 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 99: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 293

Pasal 38 A: ”Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.” Pasal 38 B: (1) setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.

Menurut peneliti apabila hakim dalam kasus tersebut mengetahui dan memahami dengan baik konsepsi sistem pembuktian sebagaimana dikemukakan di atas, maka sudah pasti keputusannya akan sesuai dengan nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Dalam konteks demikian, hakim juga dapat dikatakan telah mengabaikan amanah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 25, yang berbunyi: ”Putusan pengadilan harus memuat: a. Alasan dan dasar putusan; b. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, atau c. Sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar mengadili”. Pasal 28: Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penjelasannya: agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 32: Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.

Dari ketentuan Pasal 25, 28 dan 32 tersebut nampak jelas bahwa hakim yang memutus perkara ini, integritas, kepribadian, kejujuran, keadilan, ketidaktercelaan, keprofesionalan dan pengalaman dalam bidang hukum, harus diukur dari kemampuan dan kecakapan hakim dalam mengemukakan alasan, dasar, dan sumber hukum tidak tertulis dalam setiap putusan mereka. Demikian juga kemampuan dan kecakapan mereka terhadap menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dan bukan diukur dan ditentukan oleh masa kerja, tingginya pangkat dan golongan ruang hakim, megahnya gedung pengadilan, lengkapnya fasilitas pendukung penegakan hukum, atau angkuhnya JUBAH hakim yang seringkali menjadi simbol keangkeran dan menakutkan dari masyarakat pencari keadilan di pengadilan. Bagaimana mungkin hakim harus menjadi salah satu alat perubahan dalam mewujudkan ketertiban perilaku sosial kalau hakim sendiri tidak memahami bahwa profesi yang profesional seorang hakim adalah nilai putusannya selalu mencerminkan keadilan yang menjadi ruh hukum itu sendiri.

Kenyataan demikian justru menegaskan kecurigaan masyarakat bahwa hakim dan putusannya menjadi salah satu faktor kriminogen terjadinya mafia peradilan yang organized. Keputusan hakim sangat mekanik dan prosedural. Hukum oleh hakim hanya dipahami sebagai

JURNAL DES.indd 293 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 100: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

294 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

rangkaian kata-kata yang ada dalam pasal peraturan perundangan.

Hakim harus memahami bahwa hukum adalah kristalisasi nilai-nilai adil yang ada di masyarakat yang dirangkai dalam rumusan pasal-pasal peraturan perundangan. Demikian juga putusan hakim harus dilihat dan menjadi salah satu wujud hukum dan wujud perilaku keadilan yang adil yang ditunjukkan oleh penguasa negara terhadap rakyatnya.

Selanjutnya akan kita lihat rumusan putusan hakim yang menurut peneliti kurang jelas, perlu dikonkritkan, serta belum mempunyai kekuatan eksekutorial. Mengapa demikian? Putusan tersebut tidak mencantumkan secara jelas bahwa para terdakwa tetap dalam tahan atau ditahan. Selain itu, juga tidak menyebutkan secara spesifik tentang harta kekayaan para terdakwa yang diperoleh dari korupsi untuk disita dan dilelang untuk mencukupi uang pengganti. Adapun rumusan putusan tersebut adalah sebagai berikut:

menyatakan para terdakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut, menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara terhadap terdakwa masing-masing AS, AT, CN, GE, AA, SD, TP, SH, dan PS dihukum penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000 subsider dua bulan kurungan serta membayar uang pengganti, dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.

Dalam kenyataannya para terpidana tidak mau menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan, bahkan ada salah seorang terpidana yang lari dan sembunyi selama lebih dari dua tahun karena menghindar dari aparatur hukum yang bisa saja menangkap terpidana tersebut agar menjalani pidana di LP. Para terpidana memandang bahwa putusan hakim tersebut tidak perlu dijalankan, karena tidak menetapkan agar para terpidana tetap dalam tahanan. Ada salah satu terpidana yang lari dan bersembunyi di rumah kerabatnya di Jawa Tengah. Ketika diberitakan secara besar-besaran oleh media, akhirnya terpidana tersebut memberikan pernyataan di media, bahwa yang bersangkutan tidak wajib lagi menjalani pidana di LP, dan apalagi dirinya sudah menghilang lebih dari 2 tahun. Demikian juga tidak diketahui dengan pasti bagaimana akhirnya jaksa dapat mengeksekusi para terpidana berdasarkan putusan hakim yang demikian buruk tersebut. Rumusan putusan hakim yang kabur tersebut menunjukkan bahwa hakim yang memutus perkara tersebut tidak memiliki sense yang kuat akan arti keadilan dan kejahatan korupsi. Hakim demikian secara integritas, dedikasi, prestasi, loyalitas, sangat rendah, dan oleh karenanya sama dengan mengorbankan dan menggadaikan keluhuran, kehormatan, martabat profesi hakim yang sangat mulia baik di mata manusia maupun di hadapan Allah SWT.

Ada baiknya, putusan hakim mencoba menggunakan perspektif berpikir normatif secara komprehensif. Seharusnya hakim juga mengemukakan ketentuan-ketentuan perundangan lain

JURNAL DES.indd 294 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 101: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 295

yang dapat menjelaskan dan sekaligus memperberat putusannya. Sebab perbuatan para terpidana sudah jelas-jelas melanggar peraturan hukum positif. Namun demikian hakim tetap berpendapat bahwa perbuatan para terdakwa tidak melawan hukum? Sementara terdapat banyak ketentuan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar pijakan untuk memperkuat argumentasi putusannya. Misalnya peraturan PP 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.

Pemeriksaan korupsi di pengadilan seringkali tidak dapat dikontrol oleh masyarakat. Peran serta masyarakat tidak diakomodasi secara memadai dalam rangka ikut serta memberantas tindak pidana korupsi. Proses hukum yang dilakukan di tingkat pengadilan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, masyarakat hanya diposisikan sebagai pengunjung sidang yang telah diatur sedemikian ketat dengan batasan etika dan norma persidangan yang ditetapkan, sehingga masyarakat yang hadir menyaksikan persidangan tindak pidana korupsi hanya sebagai penonton sidang yang harus mematuhi segala aturan persidangan. Bagi masyarakat yang hadir di persidangan menjadi penonton proses pemeriksaan di sidang pengadilan yang tidak mematuhi tata tertib persidangan mereka dapat diancam hukuman dengan tuduhan perbuatan menghina peradilan dan atau menghalangi aparatur hakim yakni hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Memang sangat ironis kenyataan yang ada dan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya ikut serta memberantas tindak pidana korupsi.

Dalam hal ini hukum apapun yang dibuat untuk memberantas tindak pidana korupsi tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk dapat terlibat mempunyai peran serta di dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hakim memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling berwenang dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa di peradilan. Tidak ada pihak manapun yang dapat mempengaruhi hakim dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi di pengadilan. Juga secara yuridis tidak diatur secara jelas dan tegas apakah masyarakat dapat berperan serta aktif maupun pasif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Hukum tidak berpihak kepada masyarakat untuk terlibat punya peran.

Masyarakat dianggap telah memberikan kedaulatan hukumnya kepada hakim dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Seharusnya dalam konteks dan upaya penciptaan sistem peradilan yang efektif dan efisien, yang berlandaskan pada prinsip good governance, maka adalah menjadi kewajiban hakim, memberikan ruang publik bagi masyarakat umum ikut menjadi pihak secara struktural dalam memberantas tindak pidana korupsi. Misalnya di kantor-kantor lembaga peradilan dalam semua tingkatan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan ad hoc korupsi, pengadilan tinggi ad hoc korupsi, dan mahkamah agung), dibuka pusat informasi dan konsultasi publik khusus terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Padahal di era reformasi dan otonomi daerah, korupsi justru banyak terjadi di daerah-daerah

JURNAL DES.indd 295 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 102: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

296 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

sehingga penting dan mendesak pembentukan peradilan ad hoc korupsi di luar Jakarta. Maraknya kasus korupsi di daerah selalu tidak diimbangi dengan penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi yang baik efektif dan efisien pula. Sehingga para koruptor menjadi lebih leluasa dan enjoy dalam menghadapi kasus yang menimpanya. Mereka para koruptor tinggal menyewa advokat terkenal dan berpengaruh secara sosiologis baik di hadapan masyarakat maupun di hadapan para hakim, dengan bayaran tinggi yang diambilkan dari uang hasil korupsinya. Bahkan dalam banyak kasus, para koruptor dan advokatnya terkesan lebih berwibawa dibandingkan dengan para hakim yang harus menangani perkara korupsinya. Ironis dan sangat tidak masuk akal. Di satu sisi para koruptor dengan secara bebas dan leluasa untuk didampingi oleh advokat siapapun dengan bayaran berapapun, tetapi di sisi lain hakim berjuang sendirian untuk melawan arus besar dan gelombang tsunami kekuatan dan kewibawaan koruptor.

Kecerdikan dan kepiawaian para koruptor seringkali menjadi senjata ampuh dalam upaya membebaskan dirinya dari jeratan hukum dan tangan perkasa hakim. Sehingga sudah seharusnya hakim diberi pendamping secara memadai dalam wujud keterlibatan masyarakat luas melalui pembentukan pusat informasi dan konsultasi publik tindak pidana korupsi di kantor-kantor hakim mulai pengadilan umum/ad hoc korupsi sampai MA. Dengan demikian upaya penciptaan good governance dalam bidang peradilan pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan menjadi tujuan dan cita-cita untuk segera terwujudkan.

11. Aspek Keadilan dalam Putusan Hakim

Aspek keadilan menurut menurut Sabini yang dikutip oleh Yusti Probowati Rahayu (13-154) penerapan keadilan meliputi dua hal yaitu, keadilan substansial dan keadilan prosedural. Maka untuk melihat sudahkah perkara Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda, diputus oleh majelis hakim yang bertugas secara adil, maka sesungguhnya bisa dilihat dari keadilan substansial, misalnya dengan meninjau kembali sudahkah hakim dalam amar putusannya menerapkan aturan atau norma tertulis yang diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait, yaitu baik dalam hal menilai apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa memang telah benar-benar memenuhi unsur-unsur yang didalilkan dalam pasal yang ditunjuk, ataukah dalam hal hakim menjatuhkan sanksi sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan pasal yang dimaksud. Dari perkara di atas dapat disimpulkan bahwa putusan hakim dinilai belum memenuhi rasa keadilan yang ada dan hidup di masyarakat terutama karena tidak memenuhi keadilan substansial, dengan alasan sebagai berikut: hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa terlalu ringan di mana terdakwa yang terbukti melakukan perbuatan dalam dakwaan subsidair.

Pidana yang dijatuhkan oleh hakim, jauh dari apa yang diatur dalam UU di atas, yaitu hanya satu tahun, denda Rp. 50,000,000 subsider dua bulan kurungan dan uang pengganti, padahal dalam amar putusannya hakim menyatakan bahwa terdakwa telah memenuhi semua unsur yang didakwakan. Sementara itu terhadap putusan tersebut tidak dikuatkan dengan alasan atau rasionalitas mengapa

JURNAL DES.indd 296 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 103: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 297

hanya dipenjara satu tahun ditambah subsider dua bulan. Menurut peneliti, putusan kurang cermat karena ketentuan mengenai pasal ”tidak dijadikan pertimbangan menjatuhkan pidana” seharusnya menjadi dasar hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara dan denda kepada terdakwa, karena perbuatan terdakwa termasuk ke dalam perbuatan berlanjut sebagaimana ketentuan Pasal 64 KUHP.

Di satu sisi seolah-olah hakim tepat menerapkan hukum jika hanya memaknai bahwa keadilan sebagai isi hukum yang tergantung pada kehendak penguasa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Huijbers (1998), melihat ancaman pidana yang ditentukan oleh UU yang dimaksud adalah ancaman pidana maksimum, sehingga hakim dengan kekuasaannya dan pertimbangannya kemudian menafsirkan bahwa untuk kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa cukup dipidana satu tahun penjara atau denda Rp50 juta rupiah subsider dua bulan kurungan.

Namun jika rasa keadilan hakim lebih dimaknai sebagai sesuatu usaha untuk mencapai kebenaran (Raharjo, 1989) yang kemudian kebenaran itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak berat sebelah dan sesuatu yang dilandasi dengan kejujuran, maka dalam suatu perkara yang telah diketahui bersama sebagai sesuatu yang benar-benar dapat merugikan bangsa dan negara terutama generasi penerus bangsa, ancaman pidananya juga tidak seringan sebagaimana yang diputuskan oleh majelis hakim. Dalam hal ini pemidanaan tidak didasarkan pada berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, melainkan harus didasarkan pada kebutuhan untuk memperbaiki si pelaku tindak pidana. Lebih jauh lagi bahwa pidana juga ditujukan untuk menimbulkan efek jera pada pelaku korupsi, di mana bahwa korupsi merupakan hal yang sangat merugikan masyarakat dan segala aspek kehidupan secara keseluruhan, sehingga hukuman yang seberat-beratnya patut dijatuhkan.

Dalam hal ini, menurut Satjipto Rahardjo, hakim yang tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya atau melanggar hukum, yang salah satunya kesalahan atau kekeliruan menerapkan hukum, dengan bentuk yaitu, pertama kesengajaan sebagai cara menyembunyikan keberpihakan, kedua kelalaian atau kurang cermat adalah hakim yang tidak baik. Jika ringannya putusan hakim merupakan kesengajaan hakim atau kelalaian hakim dalam menerapkan hukum, maka hakim yang demikian bisa dikategorikan tidak jujur.

Hukum yang sesungguhnya melindungi kepentingan seseorang hak tidak hanya dilindungi oleh hukum, tetapi juga adanya pengakuan terhadapnya dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut, menjadi tidak berdaya. Hakim telah melanggar kewajibannya, karena kalau ia melanggar kewajibannya, maka ia memperkosa hak seseorang, karena hak mengandung perlindungan kepentingan dan kehendak (Rahardjo, 2000: 55).

Lebih jauh Salmond mengatakan, hak mempunyai mengandung ciri kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas (Rahardjo, 2000: 56). Sedangkan menurut Fitzgerald, ciri melekat pada hukum

JURNAL DES.indd 297 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 104: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

298 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

salah satunya adalah hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan yang disebut dengan isi dari hak (Rahardjo, 2000: 57).

12. Aspek Kemanfaatan dalam Putusan Hakim Korupsi

Dalam putusan ini majelis hakim rupanya kurang memperhatikan aspek kemanfaatan dari suatu putusan yang dihasilkan. Dengan kata lain, putusan hakim atas perkara di atas justru menimbulkan kerugian-kerugian atau dampak negatif di masa mendatang, yaitu:

a. Perbuatan terdakwa merupakan perbuatan yang sangat membahayakan masa depan perekonomian dan kesejahteraan bangsa;

b. Bahwa saat ini negara RI dalam sorotan dunia internasional dalam hal kasus korupsi dan upaya pemberantasannya, sehingga apabila terhadap keadaan ini tidak ditangani secara serius, maka masa depan bangsa dan negara akan terancam hancur karenanya;

c. Hakim kurang mengindahkan ketentuan yang secara normatif telah diatur secara jelas dalam suatu UU dengan menjatuhkan pidana yang jauh dari apa yang diatur dalam UU yang dimaksud, sehingga tujuan pidana untuk menimbulkan efek jera kepada pelakunya tidak akan dapat tercapai.

13. Aspek Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim

Aspek kepastian hukum dalam putusan ini juga kurang terlihat nyata sehingga terkesan tidak serius menangani kasus di atas, dan kurang mengindahkan ketentuan mengenai ancaman pidana baik berupa penjara atau denda atau uang pengganti yang telah diatur secara jelas dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001.

Meskipun di Indonesia tidak mengenal sistem yurisprudensi di mana hakim tidak selalu harus mengkuti keputusan hakim yang terdahulu, namun putusan hakim yang demikian menjadi preseden buruk dalam membangun kepastian hukum di Indonesia, di mana tidak menutup kemungkinan hakim-hakim yang selanjutnya memutuskan pemidanaan yang hampir sama dengan hakim yang bersangkutan atau sangat beragam dengan hakim-hakim yang lain dalam kasus yang sama, dengan demikian akan menimbulkan kebingungan dari masyarakat tentang kepastian hukum di Indonesia.

Disparitas dalam hakim menjatuhkan putusan memang dimungkinkan sejauh situasi dan kondisi menunjang untuk memunculnya disparitas tersebut. Namun dalam perkara ini tidak ditemukan dalam putusan dasar mengapa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim adalah sangat ringan padahal jelas-jelas dinyatakan oleh majelis hakim dalam putusannya bahwa semua dakwaan subsidair yang didalilkan oleh JPU telah terbukti menurut hukum.

JURNAL DES.indd 298 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 105: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 299

SIMPULAN IV.

Putusan hakim merupakan salah satu dasar dari upaya secara simultan untuk memperbaiki sistem peradilan yang efektif dan efisien, oleh karenanya setiap hakim wajib mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis, psikologis, dalam setiap putusannya dengan tetap bersandar pada ketentuan hukum formal dan nilai kesusilaan, nilai kultural, nilai kesopanan, religius yang ada di masyarakat.

Penegakan hukum dan keadilan oleh hakim dalam kasus korupsi harus menjadi entry point dalam upaya jaminan hak dan akses terhadap keadilan bagi masyarakat dari terhambatnya pencapaian hidup sejahtera lahir dan batin, dan bukan menjadi entry point bagi berkembangnya tindak pidana korupsi secara organized. Putusan hakim adalah putusan Tuhan, namun faktanya putusan hakim tersebut adalah belum mencerminkan nilai dan sifat Ketuhanan yang maha adil.

Berdasarkan peristiwa kongkrit, fakta hukum, pertimbangan hukum, konstruksi hukum, dan putusan hakim yang terdeskripsikan pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan majelis hakim dalam perkara Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda, majelis hakim pada hari Kamis, tanggal 2 Pebruari 2006, dalam rapat permusyawaratan majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, dapat disimpulkan bahwa rumusan putusan perlu dikonkretkan kembali. Menilik putusan ini, wajar jika ada kecenderungan anggapan yang menyatakan hakim kelihatannya mendapatkan tekanan dari kekuatan politik lokal maupun nasional, mengingat para terpidana adalah elit parpol yang berkuasa di tingkat lokal dan/atau nasional.

Ada baiknya apabila hakim menggunakan kerangka berpikir sistematis dan logis agar putusannya memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Untuk itu putusan hakim tidak hanya kepentingan dari kekuatan politik dan ekonomi, sosial baik tingkat lokal dan nasional. Dalam tataran praktis penegakan hukum, putusan hakim tersebut justru menjadi jaminan dari para terpidana untuk tidak lagi dapat diusik dan disentuh oleh penegak hukum khususnya terkait dengan kasus korupsi yang sudah diputus hakim.

Dengan demikian putusan hakim tersebut semakin meneguhkan prinsip despotis dalam sistem peradilan dan menegasikan prinsip kemandirian hakim dalam mengemban misi suci penegakan hukum dan keadilan. Jika hal ini terus terjadi, maka yang hadir di masyarakat adalah putusan-putusan hakim yang hakikatnya bernilai non-executorial dan tidak memiliki kontribusi bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

JURNAL DES.indd 299 5/16/2012 4:48:43 PM

Page 106: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

300 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

DAfTAR PUSTAKA

Achmad, Santoso. 2003. Good Governance. makalah.

Hadjon, Philipus. 1990. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Surabaya.

Hamzah, Andi. 1991. Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Rineka Cipta.

Harahap,Yahya, 1993, Masalah Penerapan KUHAP Dalam Praktek, Jakarta. Rajagrafindo,

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: BP Undip Semarang.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: BP Undip Semarang.

Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi. Bandung: Mandar Maju.

Raharjo, Satjipto. 1989. Hukum Dalam Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman. Bandung: Penerbit Alumni.

Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti Rahayu.

Rahayu, Yusti Probowati. 2005. Di Balik Putusan Hakim (Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara Pidana). Sidoarjo : Citramedia.

Soenarto. 1994. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta : Rajawali Pers.

Soesilo, R. 1997. KUHP, Lengkap Komentar Pasal Demi Pasal. Jakarta : Politeia.

Sugandhi, R. 1980. KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.

Sunaryo, Sidik. 2004, Model Penyidikan Tindak Pidana Korupsi. DPP-UMM.

__________. 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press.

--------------. 2004. Model Sistem Peradilan Korupsi. DPP-UMM.

__________. 2006. Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. DPP-UMM.

---------------, 2008, Memahami Tipologi Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, UMM Press.

JURNAL DES.indd 300 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 107: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 301

PENGUJIAN SUBSTANSI PERDA DALAM SIDANG PENGADILAN PERKARA KORUPSI

Hari PurwadiFakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 A Kentingan, Jebres, Surakarta

email: [email protected]

Kajian Putusan Nomor 119/Pid.B/2005/PN.Ska

AbstrAct Combating corruption is also characterized by one unique decision in the District Court of Surakarta, particularly associated with the element against the law as stipulated in Article 2 paragraph (1) UUPTPK. Judges examine the material of the regulations, although not in the sense of Judicial Review, which is the authority of the Supreme Court. Material regulations testing were intended to bear out that the acts of the defendant was a nature against the law formally or deemed to be contradictive to the positive law. This study was primarily intended to explain the teachings of nature against the law, which is used by judges in legal considerations. In that context, the judges resolve a violation of Article 2 paragraph (1) Corruption Eridiction Act (UUPTPK), therefore it is different from the demands of the public prosecutor, who claimed that the defendants did not violate that article. Keywords: corruption, nature against the law, local regulations.

AbSTRAK Pemberantasan korupsi menjadi karakteristik yang unik dalam putusan Pengadilan Negeri Surakarta, khususnya terkait dengan unsur-unsur melawan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 2 paragraf (1) UUPTPK dalam konteks kewenangan hakim pidana untuk menguji kesesuaian atau ketidaksesuaian suatu peraturan daerah terhadap undang-undang. Hakim telah memeriksa materi undang-undang meskipun tidak menyingung materi dalam judicial review yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Materi undang-undang menguatkan kejahatan terdakwa dengan dakwaan sifat melawan hukum sesungguhnya kontradiktif dengan hukum positif. Dalam kajian ini, hakim dalam pertimbangan hukumnya menentukan adanya perbuatan melawan hukum dari para terdakwa. Dan, menetapkan pelanggaran Pasal 2 paragraph UUPTPK, meski terdapat perbedaan sebagaimana permintaan jaksa penuntut umum yang mengklaim terdakwa tidak melanggar pasal ini Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum, peraturan daerah

JURNAL DES.indd 301 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 108: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

302 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Putusan atas Perkara No.119/Pid.B/2005/PN.Ska, yang diputus tanggal 22 Agustus 2005 merupakan salah satu dari banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan beberapa anggota DPRD Surakarta (Solo) periode 1999-2004. Pada masa itu kewenangan DPRD berbeda dengan ketika rezim Orde Baru berkuasa, terutama terkait dengan kewenangan untuk menentukan anggaran sendiri. “Legislative heavy” dalam awal era otonomi daerah yang menyimbolkan dominasi kekuasaan DPRD dibandingkan dengan eksekutif mendapatkan momentum untuk menikmati keuangan daerah lebih “leluasa” sesuai dengan keinginan-keinginan mereka yang pada rezim sebelumnya tidak muncul kepermukaan.

Perkara korupsi ini secara ringkas dapat dikemukakan bertolak dari Perda No.13 Tahun 2003 tentang Perubahan APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003. Perda tersebut dianggap meningkatkan anggaran rutin DPRD Kota Surakarta yang besarannya berbeda sangat mencolok dibandingkan dengan anggaran untuk kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap bermuara dari Keputusan Pimpinan Dewan (BM, HMYH, HSRD, dan HSND) berdasarkan usulan penambahan penghasilan pimpinan dan anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004.

Surat Keputusan Pimpinan Dewan tersebut selanjutnya diserahkan ke Panitia Anggaran Pemerintah Kota Surakarta untuk dilakukan pembahasan oleh Panitia Anggaran Pemerintah Kota Surakarta, bersama-sama dengan materi usulan anggaran belanja dari Dinas yang lain, setelah dilengkapi dengan Nota Keuangan dari Walikota, dikembalikan lagi kepada DPRD untuk dibahas dalam sidang Komisi DPRD maupun dalam sidang Paripurna DPRD. Surat Keputusan Pimpinan Dewan tersebut tidak dilakukan pembahasan oleh Panitia Anggaran Pemerintah Kota Surakarta dengan harapan akan menjadi bahan pembahasan dalam sidang Komisi maupun sidang paripurna DPRD, namun ternyata dalam sidang Komisi maupun sidang paripurna DPRD juga tidak dibahas, melainkan langsung disetujui oleh DPRD, sehingga keluarlah Surat Keputusan Pimpinan Dewan.

Berdasarkan posisi kasus itu, Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan sebagai berikut:

PRIMAIR

Dalam perkara ini terdakwa I BM dan terdakwa II HMYH didakwa penuntut umum telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo

JURNAL DES.indd 302 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 109: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 303

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

SUBSIDAIR

Dalam perkara ini terdakwa I dan terdakwa II didakwa penuntut umum telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dakwaan tersebut dibuktikan di sidang pengadilan, dan menghasilkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut:

1. Menyatakan para terdakwa I dan terdakwa II tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam surat dakwaan Primair oleh karena itu agar para terdakwa dibebaskan dari dakwaan Primair.

2. Menyatakan para terdakwa: terdakwa I dan terdakwa II bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dan secara berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan Subsidair.

3. Menjatuhkan pidana penjara terhadap para terdakwa: terdakwa I dan terdakwa II selama 4 (empat) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah para terdakwa tetap ditahan.

4. Menjatuhkan pidana denda untuk masing-masing terdakwa sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 (tiga) bulan kurungan.

5. Membayar uang pengganti terhadap: terdakwa I sebesar Rp.266.795.000,- (dua ratus enam puluh enam juta tujuh ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) dan terdakwa II sebesar Rp.89.212.500,- (delapan puluh sembilan juta dua ratus dua belas ribu lima ratus rupiah) dan jika para terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan Pengadilan beroleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi masing-masing untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara masing-masing 1 (satu) tahun.

JURNAL DES.indd 303 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 110: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

304 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

6. Menyatakan barang bukti berupa: ..., dst. tetap dalam berkas perkara untuk digunakan dalam perkara lain.

7. Menetapkan agar masing-masing terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

Putusan dengan konstruksi fakta hukum dan pertimbangan mengenai hukum terdapat perbedaan dengan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK), tidak terbukti; perbuatan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 UUPTPK. Majelis hakim justru menyatakan Pasal 2 ayat (1) tersebut terbukti, sehingga Pasal 3 tidak perlu dibuktikan. Fakta hukum dan pertimbangan hukum yang menuntun majelis hakim pada putusannya, yaitu:

1. fakta Hukum

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa I dan terdakwa II serta bukti-bukti surat yang diajukan oleh penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa, maka ditemukan fakta hukum sebagai berikut:

1. Anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 adalah 45 orang anggota termasuk terdakwa I dan terdakwa II berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 170/92/1999 tanggal 11 Agustus 1999.

2. Terdakwa I adalah Ketua DPRD Kota Surakarta dan terdakwa II, masing-masing sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 170/162/1999 tanggal 20 September 1999.

3. DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 bersama-sama dengan Walikota Surakarta telah membuat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Daerah Kota Surakarta dan telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Kota Surakarta Nomor 8 Tahun 2001, tanggal 31 Mei 2001 Seri D Nomor 8.

4. Terdakwa I dan terdakwa II selaku Pimpinan DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 telah menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta, antara lain:

a. No. 28/Pimp-DPRD/X/2000 tanggal 1 Oktober 2000 tentang Pengaturan Biaya Asuransi Untuk Anggota DPRD Kota Surakarta;

b. No. 24-A/Pimp-DPRD/VII/2002 tanggal 30 Juli 2002 tentang Biaya Asuransi Lanjutan Bagi Anggota DPRD Kota Surakarta;

JURNAL DES.indd 304 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 111: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 305

c. No. 08-A/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 11 Maret 2003 tentang Biaya Asuransi Lanjutan Bagi Anggota DPRD Kota Surakarta;

d. No. 07/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 11 Maret 2003 tentang Uang Representasi, Uang Paket, Tunjangan Jabatan, Tunjangan Perbaikan Penghasilan, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Beras, Tunjangan Panitia dan Penunjang Kegiatan DPRD Kota Surakarta;

e. No. 08/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 12 Maret 2003 tentang Biaya Pemeliharaan Kesehatan, Bantuan Rumah Tangga, Biaya Kegiatan Sosial, Biaya Pendidikan, pembelian Bahan Bakar, Biaya Perjalanan Dinas dan Biaya Operasional DPRD Kota Surakarta, yang kemudian diubah dengan Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 28A/Pimp-DPRD/IX/2003 tanggal 8 September 2003 tentang Perubahan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 08/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 12 Maret 2003.

5. Berdasarkan SK-SK tersebut, para anggota DPRD Kota Surakarta termasuk para terdakwa memperoleh tambahan penghasilan.

6. Pada tahun anggaran 2003 telah ditetapkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2003 tanggal 11 Maret 2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surakarta.

7. Pada tanggal 13 Nopember 2003 telah ditetapkan Peraturan Daerah Perubahan APBD Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2003.

8. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2003, APBD Kota Surakarta sebesar Rp.342.817.311.354,-

9. Setelah APBD Perubahan Nomor 13 Tahun 2003, APBD Kota Surakarta menjadi sebesar Rp.359.410.690.354,-

10. Anggaran Belanja Rutin DPRD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003 berdasarkan DIKDA No. 914/01a/R/III/2003 tanggal 18 Maret 2003 sebesar Rp.1.845.470.000,-

11. Anggaran Sekretariat DPRD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003 ditetapkan sebesar Rp.13.092.341.000,- berdasarkan DIKDA No. 914/01b/R/III/2003 tanggal 13 Maret 2003.

12. Anggaran Belanja Rutin DPRD Kota Surakarta berdasarkan DIKDA No. 914/01/Prb/R/XI/2003 tanggal 17 Nopember 2003 sebesar Rp.1.731.533.000,-

13. Anggaran Belanja Rutin Sekretariat DPRD Kota Surakarta berdasarkan DIKDA No. 914/02/Prb/R/IX/2003 tanggal 20 Nopember 2003 sebesar Rp.16.359.069.000,-

JURNAL DES.indd 305 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 112: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

306 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

14. Berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 8/Pimp-DPRD/VII/2003 tanggal 12 Maret 2003 dan No. 28A/Pimp-DPRD/VII/2003 tanggal 8 September 2003, Pimpinan DPRD Kota Surakarta (termasuk terdakwa I dan terdakwa II) beserta seluruh anggota DPRD Kota Surakarta dan Sekretaris DPRD Kota Surakarta telah memperoleh uang dari anggaran belanja barang untuk ongkos kantor pos, langganan-langganan pasal 2.2.1.1011.60 untuk membayar biaya bantuan rumah tangga.

15. Berdasarkan Surat Keputusan No. 08/Pimp-DPRD/VII/2003 pengeluaran anggaran untuk membayar biaya bantuan rumah tangga Pimpinan Dewan, Anggota Dewan, dan Sekretaris Dewan sejumlah Rp. 543.600.000,-

16. Berdasarkan Surat Keputusan No. 28A/Pimp-DPRD/VII/2003 pengeluaran anggaran untuk membayar biaya bantuan rumah tangga Pimpinan Dewan dan Anggota Dewan naik menjadi sejumlah Rp. 1.350.000.000,-

17. Anggaran belanja barang untuk ongkos pos langganan-langganan digunakan untuk pengeluaran rutin seperti pembayaran listrik, telepon, gas dengan kwitansi tagihan dari pihak ketiga.

18. Berdasarkan Surat Keputusan No. 08/Pimp-DPRD/VII/2003 Pimpinan DPRD Kota Surakarta (termasuk terdakwa I dan terdakwa II) beserta seluruh anggota DPRD Kota Surakarta dan Sekretaris DPRD Kota Surakarta telah memperoleh uang dari anggaran belanja barang untuk kantor pos lain-lain pasal 2.2.1.1011.90 untuk biaya sosial kemasyarakatan sejumlah Rp. 270.000.000,-

19. Berdasarkan Surat Keputusan No. 28A/Pimp-DPRD/VII/2003 pengeluaran anggaran untuk membayar biaya kegiatan sosial kemasyarakatan Pimpinan Dewan dan Anggota Dewan naik menjadi sejumlah Rp. 849.000.000,-

20. Berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 08/Pimp-DPRD/VII/2003 tanggal 12 Maret 2003 dan No. 28A/Pimp-DPRD/VII/2003 tanggal 8 September 2003, Pimpinan DPRD Kota Surakarta (termasuk terdakwa I dan terdakwa II) beserta seluruh anggota DPRD Kota Surakarta, menerima biaya perjalanan dinas/uang saku sebesar masing-masing per hari Rp. 300.000,-

21. Berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 08/Pimp-DPRD/VII/2003 tanggal 12 Maret 2003, masing-masing Fraksi yaitu FPDIP, FTNI, FGOLKAR, FPEMBAHARUAN, dan FPAN, menerima bantuan yang diperoleh dari anggaran DPRD Kota Surakarta tahun 2003 sebesar Rp. 40.000.000,- sehingga berjumlah Rp.200.000.000,-

JURNAL DES.indd 306 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 113: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 307

22. Bantuan Fraksi tersebut tidak diatur dalam APBD Kota Surakarta.

23. Terdakwa I dan terdakwa II beserta pimpinan lainnya dan seluruh anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 telah menerima uang perjalanan dinas dalam masa reses sebesar Rp.46.000.000,-

24. JAP (selaku anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004) telah menerima bantuan uang pendidikan sebesar Rp.16.500.000,-

25. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2001, ditentukan penghasilan tetap Pimpinan dan Anggota DPRD.

26. Seluruh anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 telah mengikuti program asuransi melalui PT. Asuransi Takaful Keluarga, PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya, Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera dan Asuransi Jiwa Sraya berdasarkan Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 24A/Pimp-DPRD/VII/2002 tanggal 30 Juli 2002 dan No. 08A/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 19 Maret 2003 yang ditandatangani oleh BM selaku Ketua, dan HSRD, HMYH, HSND, masing-masing sebagai Wakil Ketua.

27. Berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD No. 28/Pimp-DPRD/X/2000 tanggal 1 Oktober 2000 tentang Biaya Asuransi Bagi Anggota DPRD Kota Surakarta; No. 24-A/Pimp-DPRD/VII/2002 tanggal 30 Juli 2002 tentang Biaya Asuransi Lanjutan; No. 08-A/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 11 Maret 2003 tentang Biaya Asuransi Lanjutan, terdakwa I dan terdakwa II beserta seluruh anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 telah menerima uang pembayaran premi asuransi masing-masing sebesar Rp.17.500.000,- yang diambilkan dari anggaran rutin Sekretariat DPRD Kota Surakarta.

2. Pertimbangan Hukum

Para terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidairitas dalam bentuk dakwaan primair dan subsidair, sehingga Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan primair terlebih dahulu. Apabila dakwaan primair tidak terbukti, maka para terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair dan selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan subsidair, tetapi apabila dakwaan primair telah terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dibuktikan lagi.

Dalam dakwaan primair, para terdakwa telah didakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UUPTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Unsur setiap orang

JURNAL DES.indd 307 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 114: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

308 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

2. Unsur secara melawan hukum

3. Unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

4. Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

5. Unsur dilakukan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri

6. Unsur dilakukan sebagai suatu perbuatan berlanjut

Adapun pertimbangan Majelis Hakim atas unsur-unsur tersebut adalah:

Ad. 1. Unsur Setiap Orang

Yang dimaksud setiap orang adalah semua orang di mana ketentuan Hukum Pidana Indonesia berlaku baginya, jadi unsur ini berkaitan erat dengan batas-batas berlakunya Hukum Pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP. Terdakwa I dan terdakwa II HMYH, yang masing-masing dalam kapasitasnya sebagai Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 adalah warga negara Indonesia dan didakwa melakukan perbuatan pidana dengan locus delicti (bertempat) di Kantor DPRD Kota Surakarta Jl. Adisucipto No. 143 A Surakarta yang termasuk wilayah hukum Indonesia.

Perbuatan pidana yang didakwakan kepada para terdakwa bukan termasuk perbuatan-perbuatan sebagaimana disebutkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di mana para terdakwa dalam kapasitasnya sebagai Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 mempunyai hak imuniteit atau kekebalan hukum.

Dengan demikian, para terdakwa telah memenuhi unsur setiap orang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-UUPTPK jo Pasal 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 KUHP sebagai dasar dakwaan primair.

Ad. 2. Unsur Secara Melawan Hukum

Menurut Penjelasan Umum Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, yang dimaksud dengan secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil yaitu melanggar peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis yang ada dan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Parameter berupa peraturan dasar sebagai hukum positif tidak sesuai dengan perkembangan

JURNAL DES.indd 308 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 115: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 309

masyarakat dan negara untuk menemukan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum, maka prinsip kepatutan merupakan salah satu parameter yang prioritas sifatnya dari parameter yang ada, dan parameter ini tidak tertulis sifatnya serta masuk dalam kategori sebagai kriteria untuk menentukan terbukti atau tidaknya unsur melawan hukum.

Penerapan asas kepatutan sebagai aturan-aturan umum yang tidak tertulis, maka kriteria untuk menentukan pelanggaran unsur melawan hukum adalah asas kepatutan dan kecermatan dalam hukum administrasi negara yang dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan materiil (kecermatan substantif) yang tujuannya untuk tidak menimbulkan kerugian seseorang dan diperlukan untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat yang lebih luas, meskipun kerugian akan dialami negara secara adequate.

Penuntut Umum tidak membuktikan unsur melawan hukum dan menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian Majelis Hakim. Penuntut Umum justru berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa selaku Pimpinan DPRD Kota Surakarta merupakan perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan atau telah melampaui batas kewenangannya sehingga unsur melawan hukum baik secara formil maupun materiil tidak terpenuhi. Menurut Majelis Hakim hal tersebut bertentangan dengan asas pembuktian dalam Hukum Acara Pidana.

Berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan terbukti bahwa para terdakwa selaku Pimpinan DPRD Kota Surakarta telah menerbitkan Surat Keputusan antara lain menyangkut biaya operasional Fraksi dan biaya perjalanan dinas yang diambilkan dari anggaran rutin DPRD Kota Surakarta dan biaya bantuan rumah tangga anggota dewan, biaya sosial kemasyarakatan, premi asuransi diambilkan dari anggaran Sekretariat DPRD Kota Surakarta.

Para terdakwa selaku Pimpinan DPRD Kota Surakarta telah menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 28A/Pimp-DPRD/IX/2003 tanggal 8 September 2003 tentang perubahan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 08/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 12 Maret 2003 yang isinya antara lain:

Biaya bantuan rumah tangga untuk Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Surakarta • yang semula sebesar Rp.1.000.000,- per bulan berubah menjadi Rp.2.500.000,- per bulan, sedangkan Sekretaris DPRD sebesar Rp.300.000,- per bulan.

Biaya bantuan kegiatan sosial kemasyarakatan untuk Pimpinan dan Anggota DPRD • Kota Surakarta yang semula sebesar Rp.500.000,- per bulan berubah menjadi untuk Ketua DPRD sebesar Rp.2.500.000,-, untuk Wakil Ketua DPRD sebesar Rp.2.250.000,-, untuk Anggota DPRD sebesar Rp.1.500.000,-

Biaya reses untuk Pimpinan dan Anggota DPRD sebesar Rp.1.000.000,- per orang per • satu masa reses.

JURNAL DES.indd 309 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 116: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

310 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Besarnya biaya produk DPRD yang berupa Perda/Permit untuk Pimpinan dan Anggota • DPRD yang semula sebesar Rp.1.000.000,- berubah menjadi Rp.2.500.000,- per orang.

Biaya operasional komisi-komisi per orang per bulan adalah sebagai berikut: •

Ketua DPRD selaku koordinator keseluruhan Komisi yang semula sebesar • Rp.5.000.000,- berubah menjadi Rp. 6.500.000,-

Wakil Ketua DPRD selaku koordinator Komisi yang semula sebesar • Rp.4.750.000,- berubah menjadi Rp.6.250.000,-

Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota Komisi masing-masing yang • semula sebesar Rp. 3.500.000,- berubah menjadi Rp. 5.000.000,-

Bantuan Fraksi per triwulan per Fraksi sebesar Rp. 10.000.000,-•

Biaya taktis operasional DPRD Kota Surakarta per orang per bulan yang semula • sebesar Rp.4.000.000,- berubah menjadi untuk Pimpinan sebesar Rp. 6.000.000,- dan untuk Anggota Rp.5.000.000,-

Surat Keputusan-Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta tersebut diterbitkan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001. Pasal 20 ini memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pimpinan DPRD Kota Surakarta untuk mengatur dan menentukan sendiri besar, jenis penghasilan seluruh anggota DPRD Kota Surakarta termasuk Pimpinan DPRD, yaitu dengan cara menaikkan tarif, menambah jenis-jenis penghasilan untuk kepentingan seluruh anggota DPRD termasuk alat kelengkapan DPRD, fraksi-fraksi dan menentukan sendiri dari pos-pos anggaran mana biaya-biaya tersebut diambilkan dari APBD (baik anggaran rutin DPRD maupun anggaran rutin Sekretariat DPRD).

Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lain Kepala Daerah menetapkan Keputusan Kepala Daerah, sedangkan Pasal 70 menyebutkan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam peraturan Daerah harus dilaksanakan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah (incasu Surat Keputusan Walikota Surakarta) dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan disetujuinya dan dimasukkannya ketentuan Pasal 20 Perda Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2001 yang tidak terlepas dari perbuatan seluruh Anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004, lebih khusus Panitia Rumah Tangga, dan lebih khusus lagi para Pimpinan DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 (para terdakwa), para terdakwa sudah dapat memprediksi bagaimana

JURNAL DES.indd 310 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 117: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 311

cara penggunaan dan pengeluaran anggaran-anggaran rutin DPRD dan anggaran-anggaran rutin Sekretariat DPRD, dan dengan sarana Pasal 20 tersebut, para terdakwa selaku Pimpinan DPRD dan seluruh Anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 telah menggunakannya untuk menambah penghasilannya, yaitu dengan jalan membuat sendiri mata anggaran, jenis anggaran, dan besaran tarif.

Terdakwa I dan terdakwa II telah merealisasikan keinginan seluruh anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 yang termuat dalam Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001 yaitu dengan menerbitkan Surat Keputusan-Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta sebagai dasar dapat terealisasinya penggunaan anggaran-anggaran dimaksud.

Dengan Perubahan APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003 (Perda Nomor 13 Tahun 2003), anggaran rutin Sekretariat DPRD Kota Surakarta mengalami peningkatan, sedangkan anggaran rutin DPRD Kota Surakarta mengalami penurunan.

Meskipun anggaran rutin DPRD Kota Surakarta mengalami penurunan, namun penghasilan seluruh Anggota DPRD Kota Surakarta termasuk para terdakwa justru mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan Surat Keputusan-Surat Keputusan yang telah diterbitkan oleh para terdakwa telah digunakan sebagai sarana untuk menambah besaran tarif, menambah jenis-jenis penghasilan dengan mengambil anggaran dari anggaran rutin Sekretariat DPRD Kota Surakarta.

Di persidangan terungkap bahwa para terdakwa dan seluruh Anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004, tidak tunduk pada Surat Keputusan Walikota Surakarta mengenai pengalokasian dana dan besaran-besaran tarifnya. Menurut Majelis Hakim, fakta tersebut justru membuktikan niat dan kesengajaan para terdakwa untuk dengan leluasa mengatur sendiri anggaran rutin DPRD Kota Surakarta maupun anggaran rutin Sekretariat DPRD Kota Surakarta serta menggunakannya sendiri untuk kepentingan para terdakwa dan seluruh Anggota DPRD periode 1999-2004.

Pengalokasian dana dan besaran-besaran tarif mendasarkan pada Surat Keputusan Walikota quadnon, maka para Anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 tidak akan leluasa menggunakan anggaran rutin DPRD dan anggaran rutin Sekretariat DPRD, padahal notoir feit ketentuan Pasal 70 dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah wajib diketahui oleh seluruh Anggota DPRD Kota Surakarta termasuk para terdakwa. Namun, para terdakwa tidak mengindahkannya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Majelis Hakim, perbuatan para terdakwa dengan menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001 adalah melanggar peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), meskipun Perda tersebut tidak dibatalkan melalui Yudicial Review maupun dibatalkan oleh Gubernur (vide Pasal 101 (2) Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan Pasal 35 PP Nomor 105 Tahun 2001).

JURNAL DES.indd 311 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 118: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

312 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Selain melanggar peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), perbuatan para terdakwa yang dengan leluasa menggunakan anggaran untuk menambah penghasilannya dengan menggunakan uang negara di mana pada saat negara dan masyarakat mengalami kesulitan ekonomi (notoir feit), maka perbuatan para terdakwa juga telah melukai rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat.

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 merupakan produk perundang-undangan yang legitimate, tetapi karena ternyata Peraturan Daerah tersebut memuat ketentuan (Pasal 20) yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim menyalahi Pasal 70 dan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka perbuatan para terdakwa yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001 tidak lagi menjadi legitimate melainkan merupakan perbuatan melawan hukum serta bertentangan dengan prinsip-prinsip kewajaran, kelayakan, dan kepatutan serta keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk menyatakan tidak sahnya suatu Peraturan Daerah, namun karena formulasi unsur secara melawan hukum formil yang mempunyai arti melanggar peraturan perundang-undangan tertulis, maka untuk membuktikan unsur tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan apakah perbuatan para terdakwa tersebut melanggar peraturan perundang-undangan tertulis atau tidak dan pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak menguji sah-tidaknya suatu Peraturan Daerah.

Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang menjadi permasalahan bukanlah mengenai kewenangan, melainkan mengenai perbuatan para terdakwa yang menggunakan ketentuan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001 untuk menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta sebagai sarana menaikkan tarif dan menambah jenis-jenis penghasilan serta besarannya yang tidak diatur dalam APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perbuatan para terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum formil maupun melawan hukum materiil. Dengan demikian unsur secara melawan hukum telah terpenuhi.

Ad. 3. Unsur Melakukan Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi

Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi didasarkan pada suatu fakta bahwa secara pasti terdakwa atau orang lain atau suatu korporasi memperoleh sejumlah uang atau harta benda dengan menggunakan perbuatan melawan hukum sebagai sarananya. Yang dimaksud korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum.

JURNAL DES.indd 312 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 119: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 313

Para terdakwa telah berhasil memperoleh sejumlah uang atau harta benda dengan menggunakan perbuatan melawan hukum sebagai sarananya, menggunakan dana anggaran belanja rutin DPRD maupun Sekretariat DPRD Kota Surakarta seperti yang telah ditetapkan dalam APBD Kota Surakarta Tahun 2003 maupun APBD Perubahan, untuk kepentingan dirinya, Fraksi dan seluruh Anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004, sehingga dengan perbuatan melawan hukum tersebut, para terdakwa telah menambah kekayaan untuk diri sendiri, korporasi, maupun orang lain.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berpendapat unsur memperkaya diri sendiri, korporasi maupun orang lain telah terpenuhi.

Ad. 4. Unsur Dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara

Yang dimaksud keuangan negara menurut Penjelasan Umum UUPTPK adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

1. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

2. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah/yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Berdasarkan fakta hukum dan telah dinyatakan terbukti bahwa para terdakwa berhasil menggunakan dana anggaran belanja rutin Sekretariat DPRD Kota Surakarta seperti yang telah ditetapkan dalam APBD Kota Surakarta Tahun 2003 maupun APBD Perubahan, untuk kepentingan dirinya, Fraksi dan seluruh Anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004, maka notoir feit APBD Kota Surakarta merupakan kekayaan daerah Kota Surakarta, yang ditujukan untuk memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat Kota Surakarta.

Dengan diambilnya sebagian anggaran belanja rutin Sekretariat DPRD dan anggaran rutin DPRD Kota Surakarta sebagaimana ditetapkan dalam APBD Kota Surakarta Tahun 2003 maupun APBD Perubahannya, yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi pimpinan dan seluruh

JURNAL DES.indd 313 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 120: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

314 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004, jelas membuktikan bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan daerah (negara), meskipun sebagian dari uang tersebut telah dikembalikan ke Kas Daerah Kota Surakarta.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara telah terpenuhi.

Ad. 5. Unsur Dilakukan Secara bersama-sama atau Sendiri-Sendiri

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah mengatur tentang orang-orang yang dihukum sebagai pelaku ialah orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan pidana. Berdasarkan Ilmu Hukum terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam pengertian bersama-sama yaitu :

1. perbuatan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih;

2. adanya kerjasama secara fisik;

3. adanya kesadaran ketika melakukan perbuatan tersebut secara bersama-sama.

Para terdakwa telah terbukti menandatangani Surat Keputusan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001 yang berakibat merugikan keuangan dan perekonomian daerah (negara). Penerbitan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004 yang selanjutnya ditandatangani oleh para terdakwa selaku Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta adalah setelah mendengar pertimbangan atau pendapat dari Panitia Rumah Tangga DPRD Kota Surakarta.

Penandatanganan Surat Keputusan setelah terlebih dahulu mendengar pertimbangan dan pendapat Panitia Rumah Tangga DPRD Kota Surakarta, membuktikan bahwa penandatanganan Surat Keputusan tersebut telah disadari dan disetujui oleh semua yang terlibat dalam penandatangan, baik mengenai maksud maupun tujuan diterbitkannya Surat Keputusan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa para terdakwa dengan kesadaran bersama-sama atau sendiri-sendiri bertindak menandatangani Surat Keputusan yang mengakibatkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian Daerah Kota Surakarta. Dengan demikian unsur inipun dinyatakan telah terpenuhi.

Ad. 6. Unsur Dilakukan Sebagai Suatu Perbuatan berlanjut

Pasal 64 KUHP merupakan pengaturan terhadap pemidanaan, yaitu jika beberapa perbuatan berhubungan sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu merupakan kejahatan atau pelanggaran. Apabila pidananya berlainan maka yang digunakan ialah peraturan

JURNAL DES.indd 314 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 121: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 315

yang terberat pidana pokoknya.

Perbuatan para terdakwa yang telah terbukti secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2003 dengan melalui sarana penerbitan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta dengan mendasarkan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001, antara lain :

1. No. 24-A/Pimp-DPRD/VII/2002 tanggal 30 Juli 2002 tentang Biaya Asuransi Lanjutan Bagi Anggota DPRD Kota Surakarta;

2. No. 08-A/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 11 Maret 2003 tentang Biaya Asuransi Lanjutan Bagi Anggota DPRD Kota Surakarta;

3. No. 07/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 11 Maret 2003 tentang Uang Representasi, Uang Paket, Tunjangan Jabatan, Tunjangan Perbaikan Penghasilan, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Beras, Tunjangan Panitia dan Penunjang Kegiatan DPRD Kota Surakarta;

4. No. 08/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 12 Maret 2003 tentang Biaya Pemeliharaan Kesehatan, Bantuan Rumah Tangga, Biaya Kegiatan Sosial, Biaya Pendidikan, Pembelian Bahan Bakar, Biaya Perjalanan Dinas dan Biaya Operasional DPRD Kota Surakarta, yang kemudian diubah dengan Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 28A/Pimp-DPRD/IX/2003 tanggal 8 September 2003 tentang Perubahan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 08/Pimp-DPRD/III/2003 tanggal 12 Maret 2003.

Fakta-fakta tersebut oleh Majelis Hakim menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim untuk mengategorikan perbuatan pidana yang telah dinyatakan terbukti tersebut sebagai suatu perbuatan berlanjut.

Oleh karena semua unsur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UUPTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP, telah terpenuhi, maka dakwaan Primair Penuntut Umum tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Karena dakwaan Primair telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka dakwaan Subsidair Jaksa Penuntut Umum tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf pada diri para terdakwa, sehingga para terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dan berlanjut, maka kepadanya harus dijatuhkan pidana.

Para terdakwa selama dalam proses penuntutan sampai dengan proses persidangan telah ditahan berdasarkan penahanan yang sah, maka lamanya para terdakwa berada dalam tahanan

JURNAL DES.indd 315 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 122: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

316 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Majelis Hakim tidak menemukan cukup alasan untuk mengeluarkan maupun menangguhkan penahanan atas diri para terdakwa, maka para terdakwa harus dinyatakan tetap berada dalam tahanan. Hal-hal yang memberatkan: (1) para terdakwa merasa tidak bersalah; (2) para terdakwa telah menikmati hasil perbuatannya; (3) perbuatan para terdakwa dilakukan pada saat negara mengalami krisis ekonomi; (4) para terdakwa telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Hal-hal yang meringankan: (1) kerugian negara sebagian telah dikembalikan; (2) para terdakwa belum pernah dihukum.

3. Amar Putusan

Berdasarkan fakta hukum dan pertimbangan mengenai hukum atas fakta tersebut, majelis hakim memutuskan dengan amar sebagai berikut:

a. Menyatakan terdakwa I dan terdakwa II telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pindana korupsi yang dilakukan bersama-sama dan berlanjut.

b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I dan terdakwa II, masing-masing dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun.

c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh para terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

d. Memerintahkan agar para terdakwa tetap berada dalam tahanan.

e. Menghukum terdakwa I dan terdakwa II untuk membayar dengan masing-masing sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila dengan tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

f. Menghukum terdakwa I untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 266.795.000,- (dun ratus enam puluh enam juta tujuh ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) dan terdakwa II untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 89.212.500,- (delapan puluh sembilan juta dua ratus dua belas ribu lima ratus rupiah), dengan ketentuan jika para terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut, apabila para terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka para terdakwa dipidana dengan penjara masing-masing selama 6 (enam) bulan.

JURNAL DES.indd 316 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 123: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 317

Menyatakan barang bukti dan surat bukti yang terdiri dari antara lain surat pertanggungjawaban (SPJ) tahun 2003, surat perjanjian asuransi, dst., semuanya dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain, sedangkan surat bukti yang terdiri dari Catatan Rapat Panitia Rumah Tangga DPRD Nomor 20/PRT-DPRD/XII/2002 dst., semuanya tetap terlampir dalam berkas perkara.

g. Membebankan para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

RUMUSAN MASALAHII.

Suatu putusan dapat dikaji dari berbagai aspek, sehingga sesungguhnya banyak pertanyaan yang dapat diajukan. Dalam studi ini, permasalahan yang dianggap penting untuk dikemukakan menyangkut dua hal, yaitu apakah tepat ajaran sifat melawan hukum yang dianut/diterapkan hakim dan kesimpulan bahwa dakwaan yang dinyatakan tidak terbukti.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

1. Teori mengenai Putusan pengadilan

Sebagai negara berdasar atas hukum, harapan untuk memberantas korupsi di samping diletakkan pada Polri, Kejaksaan, KPK, juga pada pengadilan melalui putusannya. Faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada pengadilan bermuara pada putusan pengadilan, di samping perilaku hakim. Secara sosiologis, putusan pengadilan di satu pihak merupakan variabel dependen, sedangkan di pihak lain struktur hukum formal maupun informal menempati posisi variabel independen – seperti konstitusi, peraturan perundang-undangan, doktrin, termasuk konsep-konsep mengenai persamaan dan kebebasan.

Hal ini berarti putusan pengadilan, termasuk putusan Pengadilan Negeri untuk kasus yang sama potensial bervariasi bergantung pada faktor-faktor independen yang melingkupi hakim ketika memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berbeda-beda antara hakim satu dan hakim lainnya. Pengaruh faktor-faktor psikologi, ekonomi, sosial, dan politik dalam proses pengambilan keputusan tidak selamanya memberi makna atau menggambarkan visi positif dari hakim dalam proses tersebut, namun dapat menjelaskan kegagalan hakim dalam mengambil putusan.

Kegagalan hakim dalam membentuk “hukum yang baik” (good law) bukan saja karena ketidakmampuan hakim menggunakan pendekatan-pendekatan doktrinal ataupun ekonomi, sosial, dan politik secara tepat, tetapi penyalahgunaan kekuasaannya, sehingga muncul “hukum yang buruk” (good law).

JURNAL DES.indd 317 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 124: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

318 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara, hakim harus melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo yang dikutip dari Wiarda, ada dua jenis yaitu: (1) Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. (2) Penemuan Hukum Otonom apabila hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-undang. (Mertokusumo, 2001 : 43-46)

Hubungan hakim dan hukum itu sendiri sebenarnya tampak dalam praktik hukum. Praktik hukum adalah cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan. Setidaknya terdapat empat konsep yang bersumber dari ajaran yang berbeda seperti dikemukakan oleh Theo Huijbers, yaitu legisme (ideenjurisprudenz), ajaran hukum bebas (freie rechtslehre), interessenjurisprudenz, dan idealisme hukum baru (new legal idealism) (Huijbers, 1995: 121-128)

Pandangan yang legistis memandang praktek di pengadilan tidak lain sebagai penerapan peraturan perundangan dalam perkara-perkara konkret secara rasional belaka. Hukum dipandang sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara karena bersifat rasional. Teori rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjuk dengan istilah ideenjurisprudenz. Sedangkan ajaran hukum bebas yang dikemukakan oleh mazhab realisme Hukum Amerika, membela kebebasan yang besar bagi sang hakim. Seorang hakim dapat menentukan putusannya dengan tidak terikat pada peraturan perundang-undangan. Dengan demikian ajaran ini merupakan suatu antitesis terhadap ideenjurisprudenz.

Sementara itu, interessenjurisprudenz tetap mempertahankan norma-norma hukum sebagai penentu dalam proses di pengadilan, walaupun situasi konkret diperhitungkan juga sepenuhnya. Teori ini dikualifikasi sebagai penemuan hukum (rechtsvinding), artinya hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas norma-norma yang telah ditentukan dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkret. Sedangkan di pihak lain, dalam idealisme hukum baru, undang-undang memiliki bobot normatif bagi penerapan hukum, sebab undang-undang mencerminkan cita-cita hidup yang dituju dalam membentuk suatu tata hukum. Idealisme baru ini hanya dapat timbul dalam rangka sistem hukum kontinental. Tekanan yang terjadi dalam idealisme hukum baru, di samping undang-undang juga terletak pada cita-cita bangsa, walaupun belum dihayati sepenuhnya.

Secara substansial, suatu putusan pengadilan mengandung dua hal utama, yaitu: (1) alasan dan dasar putusan, dan (2) pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan dan dasar putusan sering disebut dengan

JURNAL DES.indd 318 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 125: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 319

ratio decidendi. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta-fakta berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya (Marzuki, 2005 : 119)

Dalam Hukum Indonesia yang menganut civil law system, ratio decidendi dapat dilihat pada konsiderans “Menimbang” pada “Pokok Perkara”. Tindakan hakim untuk memberikan alasan-alasan yang mengarah pada putusan merupakan tidakan yang kreatif. Ratio tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagi kemungkinan yang ada. Ratio dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan yang didasarkan atas fakta itu. Adapun mengenai pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili di samping dapat muncul ada konsiderans “Pertimbangan Hukum pada “Pokok Perkara”, juga pada bagian “Mengadili”. Di samping dua hal tersebut, terdapat sisi penting dalam putusan pengadilan, yaitu diktum atau bunyi putusan pengadilan. (Marzuki, 2005 : 121)

Putusan hakim dapat mencerminkan perspektif konservatif maupun progresif. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. (Satjipto Rahardjo, 2008: ix)

Kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara “biasa-biasa” saja.

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum

Dalam doktrin hukum pidana dikenal dua ajaran melawan hukum, yaitu ajaran formal dan materiil. Ajaran sifat melawan hukum formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Apabila terdapat alasan pembenar, maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Ajaran materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula, ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. (Sapardjaja, 2002 : 25)

Moeljatno membedakan sifat melawan hukum materiil ke dalam fungsi negatif dan positif. Fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil seperti dijelaskan di atas. Sebaliknya, fungsi

JURNAL DES.indd 319 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 126: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

320 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

positif dari sifat melawan hukum, yaitu apabila perbuatan tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru, berhubung dengan adanya asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dalam hukum pidana, maka ajaran ini tidak mungkin dapat diterapkan. (Moeljatno, 2002 : 133)

b. Analisis

1. Penerapan hakim terhadap ajaran sifat melawan hukum

Permasalahan menarik dari putusan ini, yaitu berkaitan dengan pertimbangan hakim mengenai konstruksi fakta hukum, sehingga perbuatan para terdakwa dianggap memenuhi unsur sifat melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK. Berdasarkan pertimbangan hukum yang dibangun oleh hakim, suatu putusan akan menampakkan sebagai penemuan hukum heteronom ataukah otonom sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo. Pertimbangan hukum mengenai unsur melawan hukum yang menurut penulias (peneliti) problematis, yaitu :

“....... Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 merupakan produk perundang-undangan yang legitimate, tetapi karena ternyata Peraturan Daerah tersebut memuat ketentuan (Pasal 20) yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim menyalahi Pasal 70 dan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka perbuatan para terdakwa yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001 tidak lagi menjadi legitimate melainkan merupakan perbuatan melawan hukum serta bertentangan dengan prinsip-prinsip kewajaran, kelayakan, dan kepatutan serta keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk menyatakan tidak sahnya suatu Peraturan Daerah, namun karena formulasi unsur secara melawan hukum formil yang mempunyai arti melanggar peraturan perundang-undangan tertulis, maka untuk membuktikan unsur tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan apakah perbuatan para terdakwa tersebut melanggar peraturan perundang-undangan tertulis atau tidak dan pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak menguji sah-tidaknya suatu Peraturan Daerah.

Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang menjadi permasalahan bukanlah mengenai kewenangan, melainkan mengenai perbuatan para terdakwa yang menggunakan ketentuan Pasal 20 Perda Nomor 3 Tahun 2001 untuk menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta sebagai sarana menaikkan tarif dan menambah jenis-jenis penghasilan serta besarannya yang tidak diatur dalam APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perbuatan para terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum formil maupun melawan hukum materiil. Dengan demikian unsur secara melawan hukum telah terpenuhi.

JURNAL DES.indd 320 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 127: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 321

Konstruksi hukum yang dianggap unik, yaitu meskipun majelis hakim tidak menyatakan sah-tidaknya Perda, namun menilai atau menguji kesesuaian substansi Perda dihadapkan pada undang-undang. Dalam kasus ini, menilai kesesuaian substansi Perda No.3 Thn.2001 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Daerah Kota Surakarta dengan UU No.22 Thn.1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan penilaian kesesuaian substansi Perda terhadap undang-undang itu, majelis hakim menilai perbuatan para terdakwa. Berdasarkan penilaian bahwa substansi Perda bertentangan dengan undang-undang, maka majelis hakim mempertimbangkan perbuatan itu sebagai perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), sehingga sampai pada simpulan (hukum) bahwa secara formal perbuatan para terdakwa melawan hukum.

Sampai batas ini, pertanyaan yang dapat diajukan, yaitu : (1) apakah hakim dalam perkara pidana dapat menilai kesesuaian substansi Perda terhadap undang-undang ? (2) Apakah substansi Perda yang bertentangan dengan undang-undang dengan demikian dapat dinilai sebagai melawan hukum dan menjadi tanggung jawab individu ?

Persoalan hakim menilai kesesuaian perda terhadap undang-undang merupakan suatu “pembebasan” dari sekat-sekat kewenangan hakim peradilan pidana. Praktik tersebut dapat dikatakan “judicial review” secara materiil, meskipun bukan secara formal (sebagaimana juga diingkari oleh majelis hakim bahwa mereka tidak melakukan judicial review). Oleh karena itu, secara teoritis pendekatan hakim dalam kasus ini bisa menandai dianutnya ajaran hukum bebas (frei rechtslehre) ataupun progresivisme yang ingin keluar dari status quo, namun dapat juga terjerumus dalam kesesatan bernalar. Hal ini tidak dapat secara sederhana dimengerti dari pertimbangan-pertimbangan yang ada, kecuali dengan mengajukan pertanyaan yang sama pada hakim pemutus perkara “apakah dasar teoritis yang dipergunakan hakim, sehingga menganggap dirinya dapat menilai kesesuaian substansi perda terhadap undang-undang sebagaimana layaknya hakim dalam perkara judicial review ?”

Secara teoritis, produk peraturan perundang-undangan, termasuk perda merupakan konstruk politik (political construct) yang memang sarat kepentingan. Untuk itu, didirikan lembaga peninjau kembali peraturan perundang-undangan, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji kesesuaian undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Di sisi lain Mahkamah Agung (MA) diberi kewenangan untuk menguji kesesuaian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD semata-mata untuk menegakkan sistem pemerintahan dengan prinsip checks and balances. (Abdul Latif, 2007 : 91) Demikian pula MA diberi kewenangan untuk menguji peraturan di bawah undang-undang juga melaksanakan prinsip itu, yaitu menjaga konstitusionalitas produk hukum yang mengikat umum (court of law) (Asshiddiqie, 2005 : 244)

Pengujian substansi perda terhadap undang-undang yang dilakukan oleh hakim pengadilan

JURNAL DES.indd 321 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 128: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

322 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

negeri dalam perkara ini dapat dikatakan melampaui kompetensi atau pembagian kewenangan lembaga-lembaga negara. Dalam konteks prinsip checks and balances, pengadilan negeri tidak diberi fungsi pengujian substansi legislasi atau bukan court of law. Pelaksanaan fungsi pengujian oleh hakim pengadilan negeri tidak hanya dapat mengakibatkan tumpang tindih (overlapping) antara fungsi Mahkamah Agung dan pengadilan negeri, tetapi justru mengambil alih kompetensi MA. MA pun dalam menguji substansi perda tidak melalui pemeriksaan perkara pidana, namun melalui gugatan tersendiri. Oleh karena itu, kekeliruan substansi perda tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan perbuatan pembentuknya sebagai melawan hukum.

Majelis Hakim ternyata tidak membatasi pada kesesuaian atau ketidaksesuaian perda dengan peraturan perundang-undangan belaka. Faktor-faktor penentu perbuatan melawan hukum para terdakwa didasarkan juga pada pertimbangan bahwa para terdakwa melakukan unsur perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Perbuatan melawan hukum secara materiil didasarkan pada prinsip kepatutan dan kecermatan dalam hukum administrasi negara yang dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang tujuannya untuk tidak menimbulkan kerugian seseorang dan diperlukan untuk melindungi kepetingan negara dan masyarakat yang lebih luas, meskipun kerugian akan dialami negara secara adequate.

Pertimbangan Majelis Hakim tersebut berkaitan erat dengan fakta dipersidangan dengan adanya saksi ahli sosiologi hukum. Menurut sosiolog hukum tersebut, onwetmatige dan onrechmatige dipandang sebagai pengertian melawan hukum, yaitu melawan hukum secara formal dan materiil. Apabila suatu perbuatan secara kepatutan dalam masyarakat merupakan perbuatan tercela, maka perbuatan tersebut dapat termasuk kualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum.

Kepatutan adalah sesuatu yang sifatnya abstrak, yang ada dalam masyarakat, dapat dilihat dalam konteks masyarakat luas menilai suatu perbuatan, sesuatu yang tidak layak, tidak wajar, tidak pantas untuk dilakukan. Suatu norma hukum harus memuat 3 (tiga) unsur yaitu kepastian berdasar pada peraturan yang ada, kemanfaatan, efektif dan efisien, ada nilai keadilan dengan mempertimbangkan adanya unsur kepatutan dan keadilan. Keadilan dalam konteks pandangan masyarakat adalah apabila masyarakat terganggu keadilannya terhadap setiap perbuatan, setiap peraturan yang dianggap menciderai rasa keadilan mereka.

Nilai kepastian dan keadilan adalah dua hal yang bisa berjalan secara harmonis, tetapi ketika keadilan bertentangan dengan kepastian, maka terdapat dua pilihan. Dalam konteks penegakan hukum, institusi Pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak boleh terjebak pada karakter formalisme semata, tetapi yang substansial (materiil). Hak-hak masyarakat ditinjau dari sosiologi yang telah dilanggar dalam tindak pidana korupsi adalah hak-hak sosial masyarakat yang seharusnya diterima justru dikesampingkan, yaitu hak-hak sosial yang pada dasarnya harus dilayani oleh negara. Hak-hak sosial tersebut antara lain masalah kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan.

JURNAL DES.indd 322 5/16/2012 4:48:44 PM

Page 129: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 323

Pengadilan dengan demikian telah menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum dalam arti materiil dalam fungsi yang positif. Penerapan ajaran ini menurut Bambang Poernomo dapat dibenarkan dengan pertimbangan bahwa hakim pada waktu menjalankan tugas untuk keadilan, tidak hanya mempertimbangkan aturan undang-undang, akan tetapi dapat menjalankan asas hukum tidak tertulis yang menjadi dasar isi keputusannya. (Pornomo, 1983 : 85)

Pemosisian pada ajaran sifat melawan hukum materiil, khususnya dalam pengertian positif, tentu harus didasari asumsi teoritis bahwa perbuatan secara formal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sehingga penyandaran pada ajaran sifat melawan hukum materiil positif memiliki signifikansi. Kecuali hanya untuk menunjukkan bahwa perbuatan para terdakwa melanggar hukum positif sekaligus norma-norma atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, namun hal tersebut sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Apabila mengikuti penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK sebenarnya cukup menunjukkan perbuatan para terdakwa memenuhi unsur melawan hukum karena melanggar hukum positif. Artinya, dalam kasus ini sudah cukup diterapkan ajaran sifat melawan hukum formal.

Menurut penulis (peneliti), pertimbangan hakim mengenai pemenuhan perbuatan melawan hukum secara formil kurang tepat karena Pasal 20 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tidak di-judicial review, sehingga dalam hal ini penggunaan Pasal 20 sebagai dasar pembuatan Surat Keputusan Pimpinan Dewan adalah dibenarkan karena Perda tersebut masih sah secara hukum dan oleh karena itu mengikat.

Dalam teori hukum administrasi, meski tidak tepat benar diterapkan dalam kasus ini, namun secara analogis dapat dipertimbangkan, yaitu dikenal jenis keputusan yang tidak sah (niet rechtsgelding beshickking), antara lain : keputusan yang batal (nietig), keputusan yang batal karena hukum (van rechtswege nietig-nietigheid van rechtswege) dan keputusan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar). Perda atau Surat keputusan Pimpinan Dewan sebagai ketetapan organ pemerintahan termasuk sesuatu yang dapat dibatalkan (vernietigbaar), sehingga perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintah lain yang kompeten. (Wijoyo, 2000 : 58-60) Perda dan Surat keputusan Pimpinan Dewan dimaksud belum memperoleh pembatalan dari Mahkamah Agung atau badan pemerintah lain yang kompeten, di antaranya melalui pengawasan represif.

Terlepas dari pertimbangan mengenai penilaian perbuatan terdakwa sebagai bersifat melawan hukum formal dan materiil, putusan hakim yang menyatakan perbuatan para terdakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, disertai dengan mengabulkan tuntutan pembayaran uang pengganti. Hal tersebut terkait dengan upaya pengembalian kerugian keuangan negara yang telah dikorupsi (stolen state assets recovery).

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, sebagai bagian dari upaya pemulihan kesejahteraan sosial merupakan lingkup kebijakan hukum pidana dalam pencegahan dan

JURNAL DES.indd 323 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 130: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

324 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

pemberantasan tindak pidana korupsi (Yanuar, 2007: 24). Konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi didasarkan prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas, dan tanggungjawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan (Yanuar, 2007: 24)

Putusan Majelis Hakim yang mengabulkan tuntutan pembayaran uang pengganti sangat signifikan bagi upaya pemulihan kerugian negara, sepanjang perbuatan para terdakwa merupakan tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat disimak dari putusan yang menyatakan “Menghukum terdakwa I untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 266.795.000,- dan terdakwa II H.M. Yusuf Hidayat untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 89.212.500,-. Besaran jumlah ini diperoleh dari fakta di persidangan bahwa melalui Surat Keputusan Pimpinan DPRD Kota Surakarta, para terdakwa telah memperoleh tambahan penghasilan yang merupakan tindak pidana korupsi”.

Apabila para terdakwa dinyatakan tidak bersalah pun, sesungguhnya tetap ada upaya berupa gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara yang dapat ditempuh oleh Jaksa selaku pengacara negara, namun harus terdapat bukti bahwa negara dirugikan. Meskipun demikian upaya gugatan perdata untuk pengembalian kerugian keuangan negara sangat bergantung pada komitmen Jaksa selaku pengacara negara sebab UUPTPK tidak meletakkan hal itu sebagai kewajiban, namun bersifat fakultatif. Oleh karena itu, audit badan(-badan) pemeriksa keuangan menjadi sangat penting dalam tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UUPTPK, di samping komitmen Jaksa selaku pengacara negara maupun penuntut umum untuk memulihkan kerugian keuangan negara.

2. Dakwaan dan Pembuktian

Dakwaan sebagai sebuah dokumen resmi dalam rangkaian pemeriksaan persidangan pidana mempunyai keterkaitan yang erat dalam penentuan substansi putusan hakim. Dakwaan tidak hanya berperan dalam menunjukkan parameter perbuatan pidana yaitu dengan adanya kesalahan (liability based on fault) dan kemampuan bertanggungjawab (criminal liability) dari terdakwa sejak sesi permulaan sidang (Moeljatno, 1993 : 57), namun juga sangat menentukan bagaimana hakim akan memutus sebuah perkara yang diperiksanya dalam persidangan. Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 321K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.

Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum menyusun dakwaan secara subsidiaritas, yaitu dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan (berturut-turut), mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat sampai kepada dakwaan tindak pidana yang teringan. (Harahap, 2005 : 402) Dengan bentuk dakwaan seperti ini, maka dakwaan subsidair menggantikan dakwaan primair seandainya penuntut umum tidak mampu membuktikan

JURNAL DES.indd 324 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 131: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 325

dakwaan primair. (Andi Hamzah, 1996 : 189-190).

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum menuntut untuk menyatakan para terdakwa tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, melainkan menuntut untuk menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUPTPK. Jaksa Penuntut Umum menyerahkan sepenuhnya pembuktikan kepada Majelis Hakim, sehingga hal ini bertentangan dengan asas pembuktian dalam hukum acara pidana.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. (Lilik Mulyadi, 2007 : 84) Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana. Proses awal pembuktian di depan sidang pengadilan mulai dengan pemeriksaan saksi korban (Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP), tetapi bagi Jaksa Penuntut Umum proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukan tuntutan pidana yang dapat dilanjutkan dengan replik atau re-replik (Mulyadi, 2007: 88).

Tindakan hakim tetap membuktikan kesalahan para terdakwa sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, meskipun Jaksa Penuntut Umum telah menuntut tidak terbukti, telah sejalan dengan model sistem peradilan pidana yang dianut di Indonesia. Hal tersebut merupakan bagian dari model non-adversarial, yang menempatkan hakim dalam posisi aktif untuk dapat menemukan kebenaran materiil.

SIMPULANIV.

Suatu putusan ketika menunjukkan sifat progresif hakim dapat berselisih tipis dengan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam membangun atau mengonstruksi fakta maupun hukum. Hal itu terjadi karena tidak semua yang dipikirkan hakim dan mendasari putusannya “diungkap habis” dalam pertimbangan putusan tersebut. Terutama apabila pertimbangan kurang cukup rujukan teoritis, sehingga menyisakan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Dalam Putusan Perkara Nomor 119/Pid.B/2005/PN.Ska perselisihan tipis itu terutama pada interpretasi hakim terhadap unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK dalam konteks kewenangan hakim pidana untuk menguji kesesuaian atau ketidaksesuaian suatu peraturan daerah terhadap undang-undang. Ketidaksesuaian itu dipergunakan untuk menentukan adanya perbuatan melawan hukum dari para terdakwa. Kewenangan itu secara teoritis tidak memiliki dasar yang memadai, sehingga dapat diangga suatu model pembebasan hakim dalam pengambilan putusan (mengikuti ajaran frei rechtslehre), tetapi sekaligus mengandung asumsi terjadi kekeliruan dalam berargumentasi.

JURNAL DES.indd 325 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 132: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

326 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

DAfTAR PUSTAKA

Assiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya.

Harahap, M. Yahya. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Cetakan ke-7. Jakarta: Pustaka Kartini.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.

Latif, Abdul. 2007. Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi. Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Utama

Mertokusumo, Sudikno. 2001. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Cetakan kelima. Jakarta: Rineka Cipta.

Mulyadi, Lilik. 2007. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni.

Poernomo, Bambang. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.

Rahardjo, Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Wijoyo, Suparto. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Surabaya: Airlangga University Press.

Yanuar, Purwaning M. 2007. Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.

JURNAL DES.indd 326 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 133: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 327

AbstrAct Adjudication is the most important stage in the criminal court system, because at this stage, that the defendant’s fault must be proven through a court decision. As the final stage of law enforcement in a criminal court proceeding, court decisions normatively should reflect the material truth. And the decision reviewed in this paper, the defendant has been convicted guilty of “criminal acts of corruption collectively” causing the state loss. The judge in this decision, in general, has applied the provisions of Article 197 paragraph (1) of the Criminal Code. Yet pertained to substantive criminal law, the courts have not applied the elements that must meet the sentencing requirements, either in relation to the crime and fault, in the approved manner. Similarly, his legal reasoning has not been through systematically-logically as well. The justice value is not also fully upheld in this decision.

Keywords: unlawful nature againts the material law, criminal liability, sentencing requirements, legal reasoning, justice

AbSTRAK Putusan hakim merupakan tahap terpenting dalam sistem pengadilan pidana karena pada tahap ini terdakwa harus membuktikan tidak bersalah di muka pengadilan. Sebagai tahap akhir dalam penegakan hukum peradilan pidana, putusan pengadilan secara normatif akan merefleksikan kebenaran materil. Putusan pengadilan ini menjadi kajian dalam tulisan ini dimana terdakwa yang dinyatakan bersalah berdasarkan undang-undang korupsi dengan alasan merugikan negara. Secara umum, hakim memutus mengunakan pasal-pasal 197 paragraf (1) dalam KUHP karena pengadilan tidak mengunakan unsur-unsur yang harus dipenuhi terkait kejahatan maupun kesalahan. Padahal, alasan hukum tidak terlihat secara sistematis dan logik dengan baik. Alhasil, nilai-nilai keadilan tidak terlihat secara jelas dalam putusan tersebut.

Kata kunci: sifat melawan hukum materiil, pertanggungjawaban pidana, persyaratan hukuman, alasan hukum, keadilan

TELAAH ATAS ADJUDIKASI PUTUSAN KASUS KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 236/Pid.B/2009/PN.CLP

Widiada GunakayaSekolah Tinggi Hukum Bandung Jl. Cihampelas No. 8 Bandung 40116

Email: : [email protected]

JURNAL DES.indd 327 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 134: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

328 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

A. Kasus Posisi

Kasus ini bermula dari Terdakwa SDR selaku sekretaris desa Bunton, Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap dalam pelaksanaan pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap sekitar bulan Juni 2007 sampai dengan bulan Mei 2008 bertempat di kantor Desa Bunton, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap.

Dalam pelaksanaan pembebasan tanah itu, terdakwa adalah orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu bersama-sama dengan saksi-saksi Panitia Pengadaan Tanah, secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp. 2.002.680.200 (dua milyar dua juta enam ratus delapan puluh ribu dua ratus rupiah). Perbuatan dilakukan dengan cara menerima uang ganti rugi mewakili 16 orang warga desa Bunton yang seharusnya menerima pembayaran ganti rugi atas tanah negara yang telah diubah menjadi tanah milik adat. Dari jumlah ganti rugi sebesar Rp.2.002.680.200 itu dibagi di antara terdakwa, saksi-saksi dan 16 warga desa Bunton dengan perincian sebagai berikut :

16 orang warga desa Bunton menerima sebesar Rp.474.548.000,-1.

Saksi MUR sebesar Rp.519.000.000,- 2.

Saksi PP Sebesar Rp.170.000.000,- 3.

Terdakwa sendiri menguasai sebesar Rp.709.132.200. 4.

Dari perbuatan terdakwa tersebut telah timbul kerugian keuangan negara (kabupaten) sebesar Rp. 2.002.680.200 (dua milyar dua juta enam ratus delapan puluh ribu dua ratus rupiah).

b. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)

Dakwaan JPU dituangkan dalam Surat Dakwaan No.Reg.Perk.: PDS-02/ CILAC/Ft.1/07/09 tertanggal 7 Juli 2009. Berdasarkan perbuatan terdakwa sebagaimana dikemukakan di atas, JPU menyusun dakwaannya dalam bentuk subsidiaritas, dengan substansi dakwaan yang pada intinya sebagai berikut :

Primer: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

JURNAL DES.indd 328 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 135: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 329

c. Tuntutan Pidana

”Tuntutan pidana JPU yang dituangkan dalam surta tuntutannya, pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dengan memutuskan :

Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana korupsi ”Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP;

1. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 2 (dua tahun) penjara dikurangi selama terdakwa ditahan sementara, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan;

2. Menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah) subsidair 6 ( enam) bulan kurungan;

3. Menetapkan agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah), apabila selama 1 bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap terdakwa tidak bisa membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 6 bulan;

4. Menyatakan barang bukti dalam perkara atas nama terdakwa tetap terlampir dalam berkas perkara untuk digunakan dalam pembuktian perkara lain;

5. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,-

D. `Putusan Hakim

Putusan Hakim Pengadilan Negeri Cilacap No. 236/Pid.B/2009/PN.CLP. amar putusannya berbuni sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:”KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA”;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun

3. Menghukum terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan,

JURNAL DES.indd 329 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 136: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

330 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

4. Menghukum pula terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.692.038.000 (enam ratus sembilan puluh dua juta tiga puluh delapan ribu rupiah), paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dengan ketentuan apabila dalam tenggang waktu tersebut uang pengganti tidak dibayar oleh terdakwa, maka harta benda terdakwa dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan dalam hal harta benda tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun

5. Menetapkan bahwa lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut;

6. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan normativitas yuridikal dari substansi pokok Putusan Hakim Pengadilan Negeri Cilacap No. 236/Pid.B/2009/PN.CLP. permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Apakah putusan hakim telah mengikuti prosedur hukum acara pidana?

2. Apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan secara lengkap, terkait dengan hukum pidana materiil?

3. Apakah putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis)?

4. Apakah putusan hakim telah mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan yang berpihak pada penguatan masyarakat madani ?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Hukum yang diaplikasikan sebagai landasan normatif untuk mengadili perkara ini adalah hukum pidana yang oleh Sudarto (1981: 158) menyatakan:“Hukum pidana memuat dua hal, ialah syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidana. Apabila hal yang pertama itu diperinci lebih lanjut, maka dapat dikatakan bahwa dalam hukum pidana ada tiga pokok persoalan: (1) tentang perbuatan yang dilarang, (2) tentang orang yang melanggar larangan itu, (3) tentang pidana yang diancamkan kepada sipelanggar itu”.

Ekstensi hukum pidana yang dikemukakan oleh Sudarto di atas merupakan pengertian dalam arti sempit. Dikatakan sempit, karena yang dimaksud hanyalah hukum pidana normatif, lebih

JURNAL DES.indd 330 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 137: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 331

khusus lagi adalah hukum pidana materiil. Dengan demikian, yang dikaji dalam hukum pidana materiil hanyalah menyangkut ketiga hal yang telah disebutkan di atas tadi. Ekstensi dari hukum pidana demikian itu, sesuai dengan pendapat Barda Nawawi Arief (1998: 16) mengemukan: “Dilihat dari sudut dogmatis-normatif, memang materi/substansi atau masalah pokok dari hukum pidana (maksudnya hukum pidana materiil) terletak pada masalah mengenai: (1) perbuatan apa yang sepatutnya dipidana; (2) syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan atau mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu; (3) sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu.

Ketiga materi/masalah pokok itu biasa disebut dengan istilah: 1. masalah “tindak pidana”; 2. masalah “kesalahan”; dan 3. masalah “pidana”.

Sementara itu menurut Moeljatno (1983: 45), hukum pidana adalah :

”bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Pengertian Hukum Pidana di atas adalah dalam arti luas, karena meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal yang keduanya dapat digolongkan ke dalam hukum pidana normatif (dogmatis). Hukum pidana materiil yang dapat juga disebut hukum pidana substantif (substantive criminal law) meliputi 3 bidang kajian pokok, yaitu : tindak pidana beserta sanksinya berupa pidana, dan pertanggungjawaban pidana (Dalam definisi Moeljatno dimasukan ke dalam angka 1 dan 2 di atas). Sedangkan dalam angka 3 yang dimaksud adalah hukum pidana formal. Termasuk dalam angka 1 dan 2 inilah yang menjadi masalah-masalah pokok yang bersifat substansial dari hukum pidana materiil (ius poenale) yang menyangkut tentang : perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana / tindak pidana), pertanggungjawaban pidana (kesalahan), dan pidana. Sedangkan angka 3 berkaitan dengan hukum pidana formal (ius puniendi), karena yang dibicarakan adalah masalah prosedural dari hukum pidana materiil, yakni berbicara masalah bagaimana prosedur hukumnya jika ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Hukum pidana formal atau Hukum Acara Pidana ini dapat juga disebut dengan hukum pidana ajektif atau hukum pidana prosedur (criminal law procedure).

JURNAL DES.indd 331 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 138: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

332 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Kendatipun tidak berkaitan secara langsung dengan pokok perkara yang diteliti, namun mengingat Putusan Pengadilan Negeri Cilacap No. 236/Pid.B/2009/PN.CLP. ini memuat pemidanaan, maka sebagai pengembangan ilmu hukum pidana perlu dikemukakan secara singkat hal berikut ini. Berbicara hukum pidana secara komprehensif, sesungguhnya tidak hanya meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal (hukum acara pidana) saja, akan tetapi juga meliputi Hukum Pelaksanaan Pidana (strafvollstreckungsrecht). Sudarto (1983: 39) secara tegas mengatakan :

“Hukum pelaksanaan pidana merupakan masalah yang terdapat di dalam hukum pidana kita, karena walaupun hal tersebut tidak langsung mengenai hukum pidana itu sendiri, akan tetapi merupakan masalah dalam sistem hukum pidana Indonesia secara keseluruhan”.

Pada bagian lain dari tulisannya juga dikemukakan, bahwa :

“Hukum hanya dapat beroperasi melalui orang. Untuk ini dibutuhkan peraturan-peraturan yang memungkinkan UU pidana itu dilaksanakan. Ini bukan hal yang baru. Memang bukan, tetapi bagaimanakah keadaan dalam hukum positif kita ? Yang kami maksud tidak hanya mengenai hukum acara pidana (Strafverfahrensrecht) saja tetapi juga apa yang kami usulkan untuk disebut “hukum pelaksanaan pidana” (strafvollstreckungsrecht)”. (Sudarto, 1983 : 63).

Sehubungan dengan masalah-masalah (unsur-unsur) pokok yang bersifat substansial dari hukum pidana materiil (ius poenale) sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu diverifikasi apakah di dalam putusan hakim unsur-unsur yang menyangkut tentang perbuatan yang dilarang (tindak pidana), pertanggungjawaban pidana (kesalahan), sudah diaplikasikan dengan benar menurut sistem Hukum Pidana Indonesia, terutama dalam hal pembuktian dari unsur-unsur dimaksud, sehingga terdakwa oleh hakim dijatuhi pidana?

Secara teoritikal, ketiga permasalahan pokok dari Hukum Pidana Materiil dimaksud dapat dibuatkan rumusnya sebagai berikut : Pidana (P) = Tindak Pidana (TP) + Pertanggungjawaban Pidana (PJP). Terkait dengan TP, ”suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai TP jika perbuatan tersebut ber-Sifat Melawan Hukum (SMH), dan suatu perbuatan tidak lagi merupakan TP jika terdapat alasan pembenar”. Terkait dengan PJP, ”seseoarang baru dapat di-PJP-kan atas perbuatannya jika dalam diri orang itu terdapat kesalahan (K), dan seseorang tidak lagi dapat di-PJP-kan jika terdapat alasan pemaaf”. Dengan demikian, TP terkait dengan SMH dan alasan pembenar. Sedangkan PJP terkait dengan K dan alasan pemaaf (fait d’ excuse).

Kedua alasan tersebut dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menghapuskan atau meniadakan pidana, yang dikenal dengan istilah strafuitslutingsgronden. Oleh karena itu dikatakan, bahwa :

JURNAL DES.indd 332 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 139: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 333

“… alasan pembenar dan alasan pemaaf cocok dengan pemisahan antara sifat melawan hukum dan kesalahan sebagai unsur yang dianggap harus ada dalam tiap-tiap perbuatan pidana. Apabila dalam suatu keadaan tertentu satu unsurnya hilang, maka sifat dapat dipidananya perbuatan itu juga hilang. Penghapusan pidana adalah akibat penghapusan sifat melawan hukum dan/atau penghapusan kesalahan”.( Schaffmeister et.al., 2007 : 143).

Alasan pembenar yang merupakan alasan penghapus perbuatan yang ber-SMH, dan alasan pemaaf sebagai penghapus K. Di dalam aplikasinya, meminjam istilah. Roeslan Saleh, dalam bukunya Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, pembuktiannya harus dilakukan sendiri-sendiri. Istilah Moeljatno dalam bukunya ”Azas-azas Hukum Pidana” tidak boleh ”dicampuradukan”. (Moeljatno;1983: 9-10) mengatakan :

“... yang penting dalam hukum pidana bukan saja hal memidana si terdakwa, akan tetapi sebelum sampai kepada itu terlebih dahulu harus ditetapkan, apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana atau tidak. Dan aspek atau segi dari hukum pidana itu, yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana atau bukan, dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan (dipersalahkan) karena perbuatan tersebut atau tidak, hal ini jangan dicampuradukkan; sebab masing-masing ini sifatnya berlainan. Adanya perbuatan pidana didasarkan atas asas : Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan sebagai demikian oleh suatu ketentuan UU; dalam bahasa Latin : Nullum delictum, nula poena sine praevia lege. Sedangkan pertanggungjawaban dalam hukum pidana berdasarkan atas asas : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Yang pertama untuk sebagian besar adanya dalam alam lahir (alam Sein) sedangkan yang kedua sesudah ada perbuatan pidana, adanya dalam batin, alam Sollen”.

Pada bagian lain lebih ditegaskan :

“... untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis : “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (Geen straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe)”. (Moeljatno, 1983 : 57).

Demikian pula pendapat Roeslan Saleh (1983: 75) secara tegas menyatakan: “Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahn atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi manakala dia tidak mempunyai

JURNAL DES.indd 333 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 140: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

334 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis : “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar dari dipidananya si pembuat”.

Sudarto (1987: 85) juga, mengatakan : “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam UU dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang terserbut”.

Berkaitan dengan hukum acara pidana (ius puniendi), yang dibicarakan adalah masalah prosedural dari hukum pidana materiil, yakni berbicara masalah bagaimana prosedur hukumnya jika ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Khusus terkait dengan obyek penelitian, maka salah satu masalah pokok yang menjadi bidang kajian hukum acara pidana adalah, ’perihal putusan hakim tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib’ (Hamzah, 1983: 17). Di dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP diberikan penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana, adalah:

”Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud di atas, merupakan babak akhir dari suatu penegakan hukum, yang secara normatif harus berimperasikan kebenaran materiil dan merefleksikan nilai-nilai keadilan. Di dalam hukum acara pidana, tidak hanya sebatas itu, Putusan pengadilan juga harus merealitaskan ’kepastian hukum’ di samping ’kemanfaatan hukum’, baik bagi terdakwa pada khususnya maupun bagi masyarakat pada umumnya.

Pertama, faktor ’kebenaran materiil’, Putusan pengadilan harus berisikan proposisi-proposisi hukum yang menyatakan, bahwa terdakwalah yang benar-benar telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh JPU. ’Kebenaran materiil’ diperlukan juga untuk mengetahui ’apakah hakim yang mengadili perkara terdakwa tersebut telah berpikir rasional-logik deduktif yang dibenarkan menurut asas-asas logika hukum’?

JURNAL DES.indd 334 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 141: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 335

Kedua, faktor ’keadilan’, kendatipun hukum tidak identik dengan keadilan, tetapi faktor ini senantiasa harus terefleksi dalam setiap Putusan Pengadilan, terutama lama pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa, harus sesuai dengan kesalahannya. Dengan demikian, keadilan yang dirasakannya itu akan dapat mengkoreksi kesalahan terdakwa sendiri.

Ketiga, faktor kepastian hukum’, sangat penting pula untuk diketahui oleh terdakwa sendiri, di samping untuk perlindungan hukum sebagai justisiabel, juga berkaitan dengan ”status” hukum yang akan diterimanya, sehubungan dengan terbukti tidaknya kesalahan yang ditetapkan dalam putusan tersebut. Dengan sudah adanya ’kepastian hukum’ terhadap statusnya itu, terdakwa akan dapat menyiapkan langkah-langkah berikutnya, apakah ia menerima, atau akan mengajukan upaya hukum biasa atau luar biasa.

Keempat, faktor ’kemanfaatan hukum’. Menyadari bahwa hukum itu bukanlah untuk hukum itu sendiri, melainkan untuk manusia, maka Putusan Pengadilan sebagai suatu keputusan hukum harus dirasakan kemanfaatannya bagi terdakwa maupun masyarakat. Bagi manusia, dalam hal ini terdakwa, suatu Putusan Pengadilan harus benar-benar membawa hikmah bagi dirinya sendiri, paling tidak ia menyadari bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah salah, tercela, asuila serta melawan hukum. Dengan pemikiran refleksinya yang demikian itu, pada akhirnya ia akan berbalik arah dan membuat inferensi, bahwa ’aku memang patut dipidana’. Bagi masyarakat, akibat dari realitas yang dilakukan dan dialami oleh terdakwa akan dijadikan ”cermin” untuk tidak bertindak salah, tercela, asuila dan melawan hukum seperti itu.

Mengacu pada Pasal 1 angka 11 Ketentuan Umum KUHAP ditetapkan, bahwa: putusan pengadilan adalah:

”Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Putusan hakim yang memuat pemidanaan harus memuat hal-hal sebagaimana ditentukan dalam huruf a sampai dengan huruf l Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l tidak dipenuhi, maka menurut ayat (2) dari pasal tersebut, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, selanjutnya secara logikal akan dilakukan analisis deduktif terhadap Putusan Hakim Pengadilan Negeri Cilacap No. 236/Pid.B/2009/PN.CLP sebagai obyek penelitian.

b. Analisis

1. Putusan Hakim Harus Mengikuti Prosedur Hukum Acara Pidana

JURNAL DES.indd 335 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 142: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

336 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Berdasarkan inti definien dari definiendum ”putusan pengadilan” di atas, yang memiliki tiga ekstensi, yakni ’diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka’, ’dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum’ dan ’menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini’. Jika ekstensi tersebut direlasikan dengan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Cilacap No. 236/Pid.B/2009/PN.CLP.yang bersubstansikan diktum ”pemidanaan’, maka secara yuridis normatif dapat diferifikasi ’apakah hakim dalam putusannya tersebut yang menyangkut hal ihwal yang harus dimuat dalam putusan, telah mendeduksi ketentuan-ketentuan positif sebagaimana ditetapkan dan diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, dan apakah telah diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka (untuk umum)?

Putusan hakim yang memuat pemidanaan tersebut, telah ’diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka’, dan setelah dideduksi dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP pada umumnya semua ketentuan telah diaplikasikan, namun masih terdapat beberapa anotasi dan komentar yang harus dikemukakan. Anotasi dan komentar diberikan setelah dilakukan analisis terhadap putusan, yaitu sebagai berikut:

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Di dalam putusan, kepala putusan dengan kalimat berbunyi demikian telah diterakan. Sudikno Mertokusumo (1986: 115) mengatakan, bahwa:

”Setiap putusan pengadilan berkepala ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk dapat dilaksanakan. Kepala putusan tersebut memberi kekuatan eksekutorial pada putusan, kekuatan untuk dilaksanakan”.

Ternyata terhadap putusan ini telah dilaksanakan.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.

Hal-hal yang menyangkut obiter dicta di atas juga telah dimuat dalam putusan).

c. dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

Dalam putusan hakim, surat dakwaan yang dijadikan dasar untuk memeriksa perkara ini telah sesuai dengan surat dakwaan JPU. Surat dakwaan JPU No. Reg. Perk. : PDS-02/CILAC/Ft.1/07/09 tertanggal 7 Juli 2009, disusun dalam bentuk subsidiaritas. Di dalam hukum acara pidana, jika surat dakwaan disusun dalam bentuk subsidiaritas, hakim harus mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan primair. Apabila dakwaan primair terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan lagi. Demikian sebaliknya, jika dakwaan primair ini dinilai tidak terbukti, maka hakim harus mempertimbangkan dakwaan subsidair. Namun, pernyataan teoretikal demikian tidak ditegaskan oleh hakim dalam

JURNAL DES.indd 336 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 143: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 337

putusannya. Dari perbuatan terdakwa sebagaimana telah dipaparkan di atas yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 2.002.680.200,- oleh JPU didakwa :

Primair :

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 Th. 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Subsidair :

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHP.

Di dalam putusan hakim, dakwaan primairlah yang dipertimbangkan oleh hakim dan sekaligus digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan mengadili perkara ini. Karena fakta hukum yang dikonstruksikan oleh hakim telah dinilai sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan, mulai dari keterangan saksi-saksi, ahli, keterangan terdakwa, barang bukti semuanya dinilai bertautan dengan unsur-unsur tindak pidana korupsi (TPK) dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 Th. 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP yang didakwakan dalam dakwaan primair dengan unsur-unsur sebagai berikut :

1. Unsur Setiap Orang

2. Unsur Secara melawan hukum

3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

5. Dilakukan secara bersama-sama (sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan).

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

Di dalam putusan mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di persidangan, hakim telah mempertimbangkan 48 orang keterangan dan 3 orang keterangan ahli yang masing-masing telah memberikan keterangannya di bawah sumpah menurut tata cara agamanya. Terhadap semua keterangan saksi-saksi tersebut,

JURNAL DES.indd 337 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 144: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

338 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

terdakwa menyatakan tidak keberatan. Demikian pula mengenai barang-barang bukti yang diajukan di muka persidangan, oleh terdakwa telah diakui dan dibenarkan oleh saksi-saksi, sehingga barang bukti tersebut dipertimbangkan oleh hakim sebagai barang bukti yang sah dan dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian dalam perkara ini. Dalam putusan hakim tersebut, juga telah dipertimbangkan keterangan terdakwa yang mengaku bersalah (Putusan Hakim hlm. 129).

Berdasarkan data yang terungkap di persidangan yang bersesuaian satu sama lainnya dihubungkan dengan keterangan ahli dan keterangan terdakwa, serta dihubungkan pula dengan barang bukti. Majelis Hakim dalam pertimbangannya memperoleh fakta yuridis yang pada intinya adalah : benar terdakwa melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 2.002.680.200,- dalam rangka pembebasan tanah untuk proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU II) Bunton.

Selanjutnya dalam putusan juga dipertimbangkan, mengenai benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh JPU. Dalam hal ini dipertimbangkan dakwaan JPU yang disusun dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, dan ternyata dalam pertimbangan hakim tersebut, dakwaan primair yang dinyatakan terpenuhi (terbukti), sehingga dakwaan subsidair tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Setelah dipertimbangkan mengenai fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, termasuk dalam hal ini adalah keterangan saksi-saksi, ahli, barang bukti, dan keterangan terdakwa, kemudian dikaitkan dengan unsur-unsur dakwaan primair yang oleh hakim dinilai terbukti, maka pada akhirnya hakim berpendapat sebagai berikut:

1. Memimbang, bahwa dengan terbuktinya semua unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan primer, maka cukup beralasan Majelis Hakim menyatakan Terdakwa tersebut dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair

2. Menimbang, bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka oleh karenanya terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya.

Ditinjau dari sisi Hukum Pembuktian, dengan memperhatikan dua pertimbangan pokok di atas yang pada initinya menurut pertimbangan hakim, bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan TPK, maka dapat diketahui bahwa : Hakim telah

JURNAL DES.indd 338 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 145: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 339

menerapkan Hukum Pembuktian menurut Pasal 183 jo Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Ini berarti, hakim telah menggunakan minimal dua alat bukti yang sah dalam membuktikan bahwa TPK telah benar-benar terjadi. Dua alat bukti dimaksud adalah ”keterangan saksi” (vide Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan ”keterangan terdakwa” (vide vide Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP). Dan terhadap kedua alat bukti tersebut, hakim yakin bahwa tindak pidana korupsi telah benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ini berarti pula hakim telah menggunakan doktrin atau teori pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie.

e. tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

Di dalam putusan hal ini dinyatakan sebagai berikut :

”Telah mendengar tuntutan pidana dari Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang mengadili perkara ini memutuskan :

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana korupsi ”Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 2 (dua tahun) penjara dikurangi selama terdakwa ditahan sementara, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan;

3. Menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah) subsidair 6 ( enam) bulan kurungan;

4. Menetapkan agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah), apabila selama 1 bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap terdakwa tidak bisa membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 6 bulan;

5. Menyatakan barang bukti dalam perkara atas nama terdakwa tetap terlampir dalam berkas perkara untuk digunakan dalam pembuktian perkara lain;

6. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,-

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

JURNAL DES.indd 339 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 146: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

340 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Di dalam putusan hakim telah dimuat hal-hal yang diamanatkan oleh ketentuan tersebut, yakni mengenai :

1. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan.

Di dalam putusan hakim dimuat dalam ketentuan ”Mengingat” Pasal-pasal 193 ayat (1) dan ayat (2), 194 KUHAP, Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 Th. 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHP serta pasal-pasal lain dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

2. Mengenai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

Hal-hal yang memberatkan :

a. Terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan;

b. Terdakwa tidak mengaku bersalah dan sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan;

c. Terdakwa telah menikmati hasil kejahatannya;

d. Sifat dari perbuatan atau Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yang menetapkan ancaman pidana yang berat;

e. Terdakwa belum mengembalikan uang kerugian kepada negara

Hal-hal yang meringankan

a. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga

b. Terdakwa belum pernah dihukum.

Anotasi: sesungguhnya mengenai faktor yang memberatkan maupun meringankan ini, tidak begitu saja variabel-variabelnya diambil dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, tetapi harus kembali dikaitkan dengan hal-hal dan atau akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Misalnya dalam kedudukannya sebagai apa perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa, seberapa besar akibat dari perbuatan terdakwa itu berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apakah perbuatan itu diulang-ulang oleh terdakwa, atau apa yang menjadi faktor etiologikal dilakukannya perbuatan tersebut. Jadi penekanannya lebih kepada ”perbuatan (handeling) dan akibat dari perbuatan (gevolg)” yang dilakukan oleh terdakwa. Di samping itu, ada hal-hal yang harus diperhatikan yang terdapat di dalam diri terdakwa itu sendiri. Apa yang menjadi motivasinya, apakah perbuatan itu dilakukan semata-mata karena kadar niat jahatnya (menreanya) yang begitu besar, dalam hal ini memang

JURNAL DES.indd 340 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 147: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 341

ingin menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan yang lainnya.

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

Pada bagian akhir putusan pada lembar ke-85, mengenai hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim telah dicantumkan, yaitu pada hari Senin, 23 Nopember 2009. (Perkara ini diperiksa oleh majelis hakim).

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

Mengenai hal ini uraiannya dikelompokkan sebagai berikut :

1. Mengenai ”pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya”. Di dalam putusan hakim redaksional rumusannya sebagai berikut :

a. ”Memimbang, bahwa dengan terbuktinya semua unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan primer, maka cukup beralasan Majelis Hakim menyatakan Terdakwa tersebut dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair.

b. Menimbang, bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka oleh karenanya terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya.

Anotasi : mengenai ”pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya”. Mengenai hal ini, hakim menilai semua unsur TPK telah terpenuhi, sebagaimana pertimbangannya di atas, yang menyatakan, bahwa :”... dengan terbuktinya semua unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan primer, maka ... terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair”.

Namun, pada akhir kalimat dari pertimbangannya itu, hakim tidak menyebutkan ”kualifikasi deliknya” sebagaimana diimperasikan oleh Pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, tetapi disebutkan dalam ”amar putusannya” yang menyatakan : terdakwa tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama”.

JURNAL DES.indd 341 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 148: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

342 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

2. Mengenai ”pemidanaan yang dijatuhkan”, di dalam putusan di antaranya dinyatakan sebagai berikut:

a. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.

b. Menghukum Terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

c. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 692.038.000 (Enam ratus sembilan puluh dua juta tiga puluh delapan ribu rupiah), paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, dengan ketentuan apabila dalam tenggang waktu tersebut uang pengganti tidak dibayar oleh Terdakwa, maka harta benda Terdakwa dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan dalam hal harta benda tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.

d. Menetapkan bahwa lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut.

”Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.”

Ketentuan mengenai kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti” telah di masukan dalam putusan. Disebutkan : ”Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)”.

Sedangkan ”ketentuan mengenai barang bukti”, juga telah dicantumkan, disebutkan: ”Memerintahkan barang bukti berupa (32 jenis barang bukti : lihat Putusan Hakim) untuk sementara tetap dalam status penyitaan untuk dipergunakan dalam perkara lain.

”Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu.”

Keterangan demikian ini tidak terdapat dalam putusan, karena perkara yang diperiksa oleh majelis hakim tidak ada fakta seperti itu.

”Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.”

Ketentuan mengenai terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan, telah diikuti dan dicantumkan dalam amar putusan Disebutkan: ”Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan”.

JURNAL DES.indd 342 5/16/2012 4:48:45 PM

Page 149: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 343

”Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.”

Pada bagian akhir surat putusan telah disebutkan dengan cakupan kalimat :

“Demikianlah diputuskan dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cilacap pada hari: Senin tanggal 23 Nopember 2009 oleh kami: Irfanudin, SH sebagai Hakim Ketua Majelis, Heru Budyanto, SH,MH dan Bambang Aryanto, SH,MH masing-masing sebagai Hakim anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 25 Nopember 2009 oleh Majelis tersebut dengan di dibantu oleh Budi Astono Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Cilacap, dihadiri oleh Andi Permana, SH Penuntut Umum, dan dihadiri pula oleh Terdakwa yang didampingi oleh Penasihat Hukumnya”.

Mengenai pokok permasalahan penelitian yang pertama ini, keputusan hakim telah menerapkan secara deduktif ketentuan-ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Namun, masih menyatukan antara pernyataan terpenuhinya ”unsur kesalahan (alasan pemaaf) dengan unsur-unsur delik (alasan pemaaf)”. Kualifikasi delik tidak dicantumkan dalam pernyataan telah terpenuhinya unsur-unsur delik.

2. Pembuktian Unsur Tindak Pidana dan Kesalahan Terkait dengan Hukum Pidana Materiil.

Mengenai pokok permasalahan ini substansi analisisnya dibagi menjadi dua bagian berikut ini.

a. Mengenai pembuktian unsur-unsur tindak pidana. Di dalam putusan hakim sebenarnya semua unsur diusahakan untuk diaplikasikan secara lengkap. Namun, masih terdapat beberapa hal yang perlu diberikan anotasi mengenai pembuktian unsur ”secara melawan hukum” dan ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sebagaimana dikemukakan berikut ini.

Pertama, mengenai pertimbangan pembuktian unsur ”secara melawan hukum”. Hakim jelas-jelas menyatakan, bahwa SMH yang dianutnya adalah SMH formal, karena sepanjang yang berhubungan dengan SMH materiil dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 telah dinyatakan ”tidak mengikat secara hukum” oleh putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Singkatnya, hakim dalam pertimbangannya mengikuti amar putusan MK tersebut. Namun, di sisi lain dalam pertimbangan hakim tersebut mencantumkan pula doktrin Ilmu Hukum Pidana mengenai ”PMH dalam arti materiil yang dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yakni PMH materiil yang bersifat negatif dan PMH materiil yang bersifat positif. Pengertian PMH materiil yang bersifat positif yang ditetapkan dalam Pasal

JURNAL DES.indd 343 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 150: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

344 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

2 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 berikut penjelasannya inilah menurut hakim yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh putusan MK”. Sedangkan terhadap pengertian PMH materiil yang bersifat negatif tidak diberikan komentar apapun. Ini berarti secara tidak langsung hakim mengakui SMH materiil dalam fungsinya yang negatif.

Menurut hakim, doktrin Ilmu Hukum Pidana tentang SMH materiil tidak membedakan pengertiannya ke dalam pengertian SMH materiil bersifat negatif dan positif. Hakim dengan mensitasi pendapat Indriyanto Seno Adji dalam bukunya ”Korupsi dan Hukum Pidana”, hanya menggunakan istilah PMH yang bersifat negatif dan positif. Sesungguhnya di dalam doktrin yang dapat ditemukan adalah istilah SMH materiil dalam fungsinya yang negatif dan positif. Lihat misalnya pendapat yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji yang mengatakan:

“… karena itu ajaran sifat melawan hukum materiil mengakui hukum tak tertulis, kebiasaan atau hal-hal lain di luar UU, sebagai alasan untuk menghilangkan sifat melawan hukum dari tindak pidana. Tetapi perlu diketahui, bahwa sifat melawan hukum materiil ini hanya mempunyai fungsi yang negatif, mengingat asas legalitas merupakan asas yang sangat fundamental sifatnya bagi hukum pidana”. (Kursif pen). (Adji, 1976 : 128) Lihat pula Moeljatno, 1983 :131 dan (Saleh, 1987 : 20)

Sinergi dengan hal di atas, kendatipun hakim telah menyatakan terpenuhi secara formal unsur ”secara melawan hukum” ini, selanjutnya harus diuji lagi ’apakah perbuatan yang secara formal dinilai telah memenuhi unsur ”secara melawan hukum” tersebut secara materiil juga melawan hukum ? Sesungguhnya inilah yang dimaksud dengan SMH materiil, yakni suatu perbuatan yang secara formal sudah mencocoki rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam UU, perlu diperiksa lagi secara materiil : ’apakah perbuatan yang secara formal telah mencocoki rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam UU tersebut juga bertentangan dengan norma keadilan dan norma-norma kehidupan sosial yang berlaku di dalam masyarakat’? Moeljatno (1983: 131) mengatakan:

“Ajaran yang materiil berpendapat, bahwa belum tentu suatu perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu adalah bersifat melawan hukum, sebab perbuatan itu selain mencocoki perumusan delik juga perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan”.

Oleh karena itu, untuk menjadikan putusan lebih memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan, seharusnya hakim tidak hanya menggunakan SMH formal semata, tetapi juga menngunakan SMH materiil sebagai sumber hukum lex ne scripta sebagai dasar hukum untuk mengadili perkara tersebut, karena perbuatan demikian secara materiil memang bertentangan dengan norma-norma keadilan dan norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat. Perlu disadari, bahwa di dalam TPK yang berkaitan dengan PMH berupa penyalahgunaan kewenangan,

JURNAL DES.indd 344 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 151: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 345

kesempatan atau sarana (vide Pasal 3 UU No. 31 Th 1999), sering kali dihadapkan oleh masalah susahnya pembuktian. Sebagai solusinya adalah dengan menerapkan ajaran SMH materiil, yang sejatinya secara yuridis normatif dibenarkan oleh pasal tersebut untuk digunakan dan diterapkan. Dalam tataran praksis, hakim tidak menerapkan ajaran tersebut karena terbentur oleh putusan MK tertanggal 25 Juli 2006 No. 003/PUU-IV/2006, yang menyatakan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi tidak mengikat secara hukum, sehingga hakim menjadi tidak berani menerapkan sifat melawan hukum demikian.

Perlu diinsyafi, bahwa sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia tidak hanya menentukan ‘apakah suatu perbuatan itu secara formal telah memenuhi semua unsur delik yang ditetapkan oleh UU’, tetapi juga ‘apakah perbuatan dimaksud tercela secara materiil, karena dinilai bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial yang hidup di dalam masyarakat’. Itulah sebabnya, mengapa doktrin-doktrin hukum pidana yang berkembang di Indonesia mengisyaratkan untuk menganut ajaran materiil dari sifat melawan hukum ini, seperti yang dikemukakan oleh Moeljatno, Roeslan Saleh dan Bambang Poernomo sebagai doctorum hukum pidana Indonesia. Moeljatno, (1983 : 133) secara tegas mengatakan:

“Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini ? Kiranya tidak mungkin selain mengikuti ajaran yang materiil. Bagi orang Indonesia belum pernah hukum dan UU dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah UU belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum tidak tertulis”.

Di dalam tulisannya yang lain Moeljatno, (1955 : 18) juga menegaskan:

“…Apabila sampai saat ini untuk menetapkan adanya suatu tindak pidana adalah : tinjauan dari segi formal, ini perlu berhubung dengan adanya asas legalitas, dan tinjauan dari segi materiil sebaliknya juga diperlukan, oleh karena baru dengan adanya ini, aturan-aturan hukum mempunyai isi, dan bukan suatu pengertian dalam lisan atau tulisan belaka. Yang kami maksudkan dengan ini, adalah segi pergaulan masyarakat dengan mana, atau untuk siapa aturan-aturan hukum itu berlaku”.

Roeslan Saleh (1983 : 56) juga mengatakan “…terlebih-lebih lagi karena hukum pidana kita menganut ajaran sifat melawan hukum materiel, dan kiranya dapat menjadi pendapat hukum Indonesia pula. Menurut pikiran bangsa Indonesia hukum dan UU tidak sama. Bahkan sebagian besar dari hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak tertulis”.

Di dalam tulisannya yang lain oleh Roeslan Saleh, (1987 : 20) juga dikatakan “...bahwa untuk mengetahui adanya perbuatan pidana, pertama-tama harus diperhatikan apakah ada larangan atas dilakukannya perbuatan itu, (maksudnya: apakah secara formal UU melarang perbuatan itu, pen.), dan kedua apakah perbuatan tersebut betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau keliru, maka kiranya jelas … mengenai

JURNAL DES.indd 345 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 152: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

346 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

sifat melawan hukum ini, saya mengikuti pandangan yang materiil”.

Demikian pula Bambang Poernomo, (1981: 113) juga mengemukakan “Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan materieele wederrechtelijkheid dalam pengertian, bahwa perbuatan melawan hukum adalah yang bertentangan dengan UU, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”.

Seharusnya yang terpenting dipahami bahwa SMH materiil sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945”. SMH materii justru mendapat jaminan secara konstitusional, terutama dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua, ditetapkan sebagai berikut :

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Kendatipun telah dikemukakan doktrin dari para doctorum Hukum Pidana Inonesia dan dasar konstitusionalitasnya seperti dikatakan di atas, namun dalam ranah Hukum Pidana seringkali mengalami resistensi sehubungan dengan keterikatannya pada asas legalitas formal. Dengan keterikatannya pada asas tersebut, akibatnya hakim wajiib mengadili suatu perkara pidana berdasarkan ketentuan-ketentuan (pasal-pasal dalam UU) yang mengatur perbuatan terdakwa tersebut. Padahal Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menetapkan, bahwa :

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. (Kursif. pen.).

Berdasarkan ketentuan ini, seharusnya hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara pidana demikian itu, dengan menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Ini berarti, UU Kekuasaan Kehakiman mengimperasikan, bahwa : ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Oleh karena itu tepat apa yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, (1995 : 108) yang mengatakan, bahwa :

“Sumber hukum pidana Indonesia, dapat dicari dalam hukum adat. Hakim harus menjaga bahwa seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dicela oleh masyarakat dan patut dipidana memang haruslah mendapatkan pidananya. Ukuran perbuatan apa yang “tercela” dan “patut dipidana” dapat ditentukan oleh pembuat UU, tetapi dapat pula didasarkan pada hukum (adat) yang hidup dalam masyarakat…”.

Demikian pula pendapat Muladi, (1990 : tanpa halaman) yang mengatakan :

“Di samping dapat menjadi sumber hukum yang bersifat positif, nilai-nilai yang

JURNAL DES.indd 346 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 153: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 347

bersumber pada hukum adat dan hukum yang hidup di dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat negatif, dalam arti bahwa, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, atau dapat berfungsi sebagai alasan-alasan yang memperingan pemidanaan (minimasing circumtance), dan sebaliknya justru dapat dijadikan alasan yang memperberat pemidanaan (aggravating circumtance)”.

Kembali pada pokok permasalahan, yakni yang kedua, mengenai pembuktian unsur tindak pidana korupsi ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Pertimbangan mengenai unsur ini, di satu pihak oleh hakim digunakan dan ternyata memang sudah dapat dibuktikan. Namun di pihak lain, kata ”dapat” dalam frasa “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) (dan juga Pasal 3) UU Nomor 31 Th. 1999 telah dinyatakan ”tidak mengikat secara hukum”. Tetapi kenyataannya dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, hakim masih menggunakan kata ”dapat” tersebut dalam pertimbangannya.

Tentu, di sini terjadi inkonsistensi pemikiran oleh hakim. Inkonsistensi pemikiran ini terlihat lagi dalam pertimbangan hakim yang di satu sisi manut pada putusan MK untuk tidak menerapkan SMH materiil dalam membuktikan unsur ”secara melawan hukum”, akan tetapi ketika membuktikan unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” justru tidak manut pada putusan MK tersebut. Padahal Amar putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 itu sendiri jelas-jelas menyatakan :

“Kata “dapat” dalam frasa “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, beserta penjelasan-penjelasannya dan kalimat, “…maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Mendasarkan pada ”penalaran hukum” yang dilakukan oleh hakim seperti demikian, maka seharusnya hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan pendapatnya : ”bahwa oleh karena MK dalam putusannya tersebut telah menyatakan : “Kata “dapat” dalam frasa “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat (1) (dan juga Pasal 3) UU Nomor 31 Tahun 1999, beserta penjelasan-penjelasannya .... dinyatakan tidak mengikat secara hukum, maka berarti unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” pun secara yuridis harus dinyatakan tidak mengikat”.

Dengan menerapkan asas nonkontradiksi, dan keharusan berpikir secara konsisten, maka

JURNAL DES.indd 347 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 154: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

348 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

dengan dinyatakan tidak mengikat secara hukum, berarti hakim harus pula menyatakan bahwa unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menjadi ”tidak terbukti”. Jadi, oleh karena satu unsur tidak terbukti, maka mau tidak mau, hakim dalam pertimbangannya harus menyatakan bahwa dakwaan primair tidak terbukti secara hukum. Hakim mau tidak mau harus mempertimbangkan demikian, kendatipun menurut penilaian hakim perbuatan terdakwa sesungguhnya memang merugikan keuangan negara, dan karenanya terdakwa mendapatkan keuntungan atas perbuatannhya tersebut. Demikianlah seharusnya bersikap jika hakim menganut SMH formal. Mengingat dalam putusan ini dakwaan primair tidak terbukti, berarti dengan sendirinya hakim harus membuktikan dakwaan subsidair lebih lanjut.

Jadi terkait dengan permasalahan pembuktian unsur tindak pidana, dapat dikatakan bahwa hakim telah dapat membuktikan unsur tersebut secara lengkap. Namun secara yuridikal terjadi inkonsistensi dalam menggunakan putusan MK dalam mempertimbangkan unsur ”secara melawan hukum” dengan unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

b. Sedangkan mengenai pembuktian unsur kesalahan, sehubungan dengan pokok permasalahan semula, yakni apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur kesalahan secara lengkap ?

Di dalam putusan setelah unsur-unsur TPK dinyatakan terpenuhi (terbukti), lalu dibuat pertimbangan sebagai berikut :

1) bahwa dengan terbuktinya semua unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan primer, maka cukup beralasan Majelis Hakim menyatakan Terdakwa tersebut dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair.

2) bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka oleh karenanya terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya.

Anotasi :

Pertama, di dalam kedua pertimbangan hakim di atas telah dicampuradukan antara unsur kesalahan dengan unsur tindak pidana (dalam hal ini TPK). Seharusnya pertimbangan hakim terhadap kedua unsur tersebut pernyataannya harus dilakukan secara sendiri-sendiri. Pernyataan

JURNAL DES.indd 348 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 155: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 349

demikian jelas terlihat dalam kalimat :

”... dengan terbuktinya semua unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan primer, maka cukup beralasan Majelis Hakim menyatakan ... terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair”.

Demikian pula mengenai ”alasan pemaaf dan alasan pembenar”, oleh hakim juga dicampuradukan. Alasan pemaaf terkait dengan kesalahan yang terdapat dalam diri terdakwa, sedangkan alasan pembenar terkait dengan SMH dari perbuatan terdakwa. Jika alasan pemaaf tidak ditemukan, maka berarti terdakwa dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, oleh karenanya ia dapat dijatuhi pidana. Sebaliknya, jika alasan pemaaf ditemukan dalam diri terdakwa, berarti terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karenanya ia pun tidak dapat dipidana. Dasar teoritikal dari sistem PJP dalam sistem Hukum Pidana Indonesia demikian ini tidak dipahami secara jelas oleh hakim, sehingga terjadi kesalahan-kesalahan dalam pertimbangan hukumnya. Hal ini nampak jelas dalam pernyataan hakim yang kalimatnya diformulasikan berikut ini :

”... selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa..., baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka ... terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya”.

Memang benar, alasan untuk menghapus pemidanaan terlebih dahulu harus ditemukan dalam diri terdakwa, berupa alasan pemaaf. Dengan telah ditemukannya alasan pemaaf ini, berarti kesalahan terdakwa menjadi terhapus. Oleh karena itu, alasan pemaaf disebut dengan alasan penghapus kesalahan (schulsuitslutingsgronden). Jadi dengan terhapusnya kesalahan terdakwa, maka terdakwa tidak dapat di-PJP-kan, sehingga dengan sendirinya tidak dapat pula dipidana. Akan tetapi, hakim menyatakan ”... telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa..., baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar...”.

Dengan dimasukkannya ”alasan pembenar” dalam pernyataannya itu, pertimbangan hakim menjadi tidak tepat menurut sistem PJP dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, karena alasan pembenar bukan terdapat dalam diri terdakwa, tetapi terdapat pada ”perbuatan terdakwa”. Ditemukannya ”alasan pembenar” pada ”perbuatan terdakwa”, berarti ”perbuatan terdakwa” tidak ber-SMH, berarti pula ”perbuatan terdakwa” bukan merupakan ’perbuatan melawan hukum”(PMH). Oleh karena itu dikatakan ; “… alasan pembenar dan alasan pemaaf cocok dengan pemisahan antara sifat melawan hukum dan kesalahan sebagai unsur yang dianggap harus ada dalam tiap-tiap perbuatan pidana. Apabila dalam suatu keadaan tertentu satu unsurnya hilang, maka sifat

JURNAL DES.indd 349 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 156: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

350 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

dapat dipidananya perbuatan itu juga hilang. Penghapusan pidana adalah akibat penghapusan sifat melawan hukum dan/atau penghapusan kesalahan”.( Schaffmeister, et.al, 2007: 143).

Jadi, bagaimana dapat dimengerti jika dalam pertimbangan hakim dinyatakan dengan tidak ditemukannya alasan pemaaf maupun alasan pembenar :”... maka ... terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana...”. Dengan demikian, hakim secara teoritikal tidak memperhatikan doktrin-doktrin yang berkembang yang telah diaplikasikan dalam sistem Hukum Pidana Indonesia sebagaimana telah dikemukakan dalam tinjauan pustaka di muka).

Dikatakan demikian, karena dengan telah mempertimbangkan unsur-unsur TP yang hanya diperoleh fakta hukumnya berdasarkan kesesuaian antara keterangan-keterangan saksi dan keterangan terdakwa, serta menghubungkan semuanya itu dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan JPU, hakim telah menggap bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “TPK sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair. Di atas telah dianalisis, bahwa pembuktian terhadap unsur-unsur TP boleh dipandang lengkap dan benar, tetapi apakah cukup dengan telah membuktikan unsur-unsur TP saja, terdakwa sudah dapat dipidana? Bukankah menurut doktrin-doktrin di atas, unsur TP dan PJP dua hal yang berlainan.

Oleh karena itu kata Moeljatno “jangan dicampuradukkan”. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam UU dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang terkait dengan kesalahannya yang harus dibuktikan juga. Secara lebih tegas dapat dikemukakan : Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu dapat dipidana, sangat bergantung pada soal, apakah orang itu dalam melakukan perbuatannya mempunyai kesalahn atau tidak. Jika memang mempunyai kesalahan, maka tentu akan dipidana. Tetapi jika tidak mempunyai kesalahan, walaupun orang tadi itu telah melakukan perbuatan yang dilarang dan tercela, tentu orang itu tidak dipidana. Inilah yang dimaksud dengan asas “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.

Jadi, jika unsur kesalahan ini sudah dapat dibuktikan dalam pertimbangan hakim, barulah terdakwa dapat dikatakan sebagai orang yang dapat diper”salah”kan. Karena dapat dipersalahkan, ia pun dapat juga “dipertanggungjawabkan” menurut hukum pidana. Oleh karena itu, barulah ia dapat di pidana. Dapat dipertanggungjawaban secara pidana, harus pula diartikan bahwa terhadap diri terdakwa juga tidak ditemukan alasan pemaaf. Jika alasan pemaaf ditemukan, dengan sendirinya terdakwa tidak dapat pula diPJPkan, dan dengan sendirinya juga tidak dapat dipidana. Di dalam putusan, setelah dipertimbangkan hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas (yang

JURNAL DES.indd 350 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 157: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 351

sesungguhnya belum dapat dibuktikan secara lengkap mengenai PJP-nya), sebagai justifikasi untuk memidana, dikemukakan pertimbangan sebagai berikut :

”bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka oleh karenanya terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya”. (Kursif pen).

Jika pertimbangan hakim di atas ditelisik lebih lanjut, terdapat kerancuan berikut ini. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa, karena dipersidangan tidak ditemukannya alasan pemaaf ataupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan pidana. Memang benar kedua alasan tersebut dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menghapuskan atau meniadakan pidana, yang dikenal dengan istilah strafuitslutingsgronden.

Akan tetapi, jika kedua alasan itu dicakup dalam satu kalimat pertimbangan untuk menyatakan terdakwa dipidana, pertimbangan hakim tadi menajdi tidak dapat dibenarkan. Mengapa ? Di atas telah dikemukakan, bahwa persoalan pemidanaan berkaitan dengan persoalan kesalahan (PJP), dan persoalan kesalahan (PJP) ini berkaitan dengan alasan pemaaf (schulduitslutingsgronden). Sedangkan, persoalan TP erat berkaitan dengan persoalan SMH, dan persoalan TP (SMH) ini berkaitan dengan alasan pembenar, (rechtsvaardigingsgronden). (Farid, 1995 : 189).

Jika alasan pembenar ini tidak ada, maka SMH dari perbuatan itu pun menjadi hilang. Jika SMH dari suatu perbuatan hilang, maka perbuatan itupun menjadi bukan perbuatan pidana, atau bukan perbuatan melawan hukum (TP). Perbuatan yang bukan merupakan perbuatan melawan hukum (TP), tidak mungkin oleh undang-undang diancam dengan pidana.

Jadi, pada akhirnya dapat dikatakan, hilangnya SMH suatu perbuatan, menyebabkan hilang pula sifat dapat dipidananya suatu perbuatan. Seharusnya acuan teoritikal demikian ini, oleh hakim langsung diaplikasikan ketika selesai mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh JPU.

Mengenai hal ini pertimbangan hakim misalnya adalah demikian; “Menimbang, bahwa oleh karena semuan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum telah terpenuhi, namun terhadap perbuatan terdakwa tersebut tidak ditemukan alasan pembenar, maka hakim berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa TPK yang dilakukan secara bersama-sama”. Hal terakhir ini harus disebutkan, karena merupakan kualifikasi tindak pidana yang harus disebutkan menurut ketentuan KUHAP.

Kembali pada pertimbangan hakim di atas, dengan dicampuradukan”nya antara alasan

JURNAL DES.indd 351 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 158: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

352 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

pemaaf dan alasan pembenar, maka timbul persoalan ‘alasan manakah yang tidak ditemukan selama dipersidangan sebagai alasan penghapusan pidana’ ? Apakah alasan pembenar atau alasan pemaaf, sehingga dengan tidak ditemukannya kedua alasan tersebut menyebabkan terdakwa dipidana ?

Berdasarkan analisis di atas, berkaitan dengan pembuktian unsur kesalahan, dapat dikatakan bahwa hakim belum membuktikan unsur kesalahan secara lengkap.

3. Putusan Hakim Harus Mencerminkan Penalaran Hukum yang Logis (Runtut dan Sistematis)

Sebelum dilakukan analisis terhadap putusan hakim tentang bagaimana seharusnya merefleksikan penalaran hukum yang logikal, perlu dikemukakan terlebih dahulu secara teoritikal hal-hal yang berkaitan dengan ’hukum dan logika” serta ”penalaran hukum” yang nantinya akan diaplikasikan dalam analisis obyek penelitian.

Menurut Hans Kelsen dalam bukunya ”Essays in Legal and Moral Philosophy” yang dialihbahasakan oleh B. Arief Sidharta dengan judul Hukum dan Logika dinyatakan :

”... terdapat suatu relasi yang istimewa erat antara hukum dan logika (dalam arti tradisional, dari dua nilai, benar atau salah) – bahwa ”sifat logis” adalah suatu sifat khusus dari hukum; yang berarti dalam relasi-relasi timbal balik mereka, norma-norma dari hukumharus sesuai dengan asas-asas logika. Ini mengandaikan, bahwa asas-asas itu - khususnya hukum non-kontradiksi dan aturan inferensi, adalah aplikabel pada norma-norma pada umumnya dan norma hukum pada khususnya.”. (Sidharta, 2006 : 27).

Sedangkan ”penalaran hukum” yang juga menjadi bidang kajian ”Logika Hukum”, pada hakikatnya merupakan kegiatan berpikir, yakni kegiatan akal budi untuk menghubungkan satu pikiran (pikiran-pikiran) dalam rangka menarik suatu simpulan. Kegiatan berpikir demikian ini disebut “penalaran” (reasoning) (Sidharta, 1995 : 3). Legal reasoning menyangkut kajian logika dari suatu keputusan. Dengan demikian, terdapat korelasi antara logika dengan pembuatan, penyusunan dan perumusan argumentasi hukum. Peran logika tidak boleh diabaikan sama sekali, mengabaikan peran logika, berarti berkonsekuensi terhadap kerancuan berpikir dalam melakukan suatu penalaran hukum, bahkan terjadi lompatan logika dalam pengambilan keputusan sebagaimana terdapat dalam putusan hakim yang dikemukakan di bawah nanti.

Bentuk-bentuk logika dalam argumentasi dibedakan atas argumentasi deduksi dan nondeduksi (induksi). Di dalam penalaran hukum menggunakan argumentasi deduksi. Logika adalah suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran. Bentuk-bentuk pemikiran itu, mulai dari yang paling sederhana adalah : pengertian

JURNAL DES.indd 352 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 159: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 353

atau konsep (conceptus, concept), proposisi atau pernyataan (propositio, statement) dan penalaran (ratio cinium, reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian (konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Untuk memahami penalaran, maka ketiga bentuk pemikiran itu harus dipahami secara seksama (Soekadijo, 1985:3).

Di dalam putusan hakim, ketiga bentuk pemikiran ini tidak teraplikasi dengan jelas, sehingga belum sepenuhnya mencerminkan penalaran hukum yang logikal (runtut dan sistematikal). Dikatakan demikian, karena penyusunan atau pembuatan argumentasi yang melandasi keputusan hakim, kandungan materi proposisinya tidak bersesuaian dengan norma-norma hukum pidana menurut sistem hukum pidana Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada pertimbangan hakim yang dapat diklasifikasikan sebagai premis mayor dan premis minor. Premis-premis tersebut kemudian diinferensikan untuk membentuk premis atau proposisi baru sebagai simpulan, yaitu sebagai berikut :

Premis mayor yang dibentuk oleh hakim pertimbangannya berikut ini :

a. Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tidak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut ketentun Pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- subsidair 6 bulan kurungan, membayar uang pengganti sebesar Rp. 692.038.000 bila dalam waktu 1 bulan belum dibayar harta benda terdakwa dapat disita dan jika tidak mencukupi diganti dengan pidana penjara selama 1 tahun.

Premis minornya adalah pertimbangan sebagai berikut :

a. ”Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, ahli, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan Penuntut Umum, Majelis Hakim memperoleh fakta-fakta hukum (yang pada intinya) menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti secara melawan hukum merugikan keuangan negara dalam rangka pembebasan tanah untuk proyek PLTU II Bunton.

b. Menimbang, bahwa oleh karena unsur-unsur dari dakwaan primair telah terpenuhi yang terdiri atas unsur setiap orang, unsur secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan dilakukan secara bersama-sama (sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan)

Simpulannya, nampak dalam pertimbangan hakim di bawah ini :

JURNAL DES.indd 353 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 160: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

354 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

a. ”Menimbang, bahwa dengan terbuktinya semua unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan primer, maka cukup beralasan Majelis Hakim menyatakan Terdakwa tersebut dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair.

b. ”Menimbang, bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka oleh karenanya terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya.

Mengenai simpulan a. Dilihat dari bentuk logika deduktif, inferensi atau penarikan simpulannya seolah-olah benar, sehingga menghasilkan konklusi yang sahih. Akan tetapi, jika kita perhatikan bagaimana premis minor itu dibentuk, maka simpulan yang ditarik hasilnya tidak akan sesahih itu. Mengapa, sebagaimana dijelaskan di atas, pertimbangan hukum yang terdapat dalam premis minor, sesungguhnya secara hukum belum dapat dijadikan preposisi dalam pertimbangan (konklusi), karena majelis hakim masih menggunakan kata ”dapat” dalam frasa ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, padahal oleh putusan MK kata ”dapat” ini sudah dinyatakan tidak mengikat secara hukum. Jadi, secara hukum premis minor belum dapat untuk menyatakan, bahwa semua unsur dari dakwaan subsidair telah terpenuhi. Apalagi untuk menyatakan : ”terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi Secarabersama-sama” menurut Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999 Jo UU No. 20 Th. 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dikatakan demikian, karena walaupun di dalam putusan hakim telah dikemukakan pertimbangan-pertimbangan (dimplementasikan dalam premis mayor dan minor) sebagaimana disebutkan di atas, tetapi jika pembuktian terhadap salah satu unsur tindak pidana bertentangan dengan hukum, dalam hal ini putusan MK. khususnya terkait dengan penggunaan kata ”dapat” dalam unsur ”Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang merupakan inti delik dari TPK, maka inferensinya juga menjadi tidak sahih.

Ketidaksahihan inferensi dimaksud, juga dapt diperkuat dengan argumentasi hukum berikut ini. Di dalam simpulan dicantumkannya kata bersalah, dalam preposisi : ”... oleh karena semua unsur-unsur dari dakwaan primair telah terpenuhi maka Terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama”. Secara teoritikal dengan mengemukakan doktrin-doktrin yang ada yang telah dikemukakan di atas, bahwa unsur kesalahan berhubungan dengan PJP, bukan dengan TP (SMH). Mengingat unsur kesalahan berhubungan dengan PJP, dan bila hal ini dikaitkan dengan simpulan

JURNAL DES.indd 354 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 161: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 355

tadi, maka simpulannya seharusnya berbunyi : ” ... oleh karena semua unsur dari dakwaan primair telah terpenuhi, maka Terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ”korupsi yang dilakukan secara bersama-sama”.

Mengenai simpulan b. Tidak logikal dan tidak sistematiknya penalaran hukum yang dilakukan oleh hakim, nampak pula pada penyusunan penalaran hukum dalam simpulan b di atas.

Di dalam putusan, hakim telah membuat pertimbangan berupa premis-premis (yang sesungguhnya belum dapat dibuktikan secara lengkap mengenai PJPnya), dan kemudian berdasarkan premis-premis yang tersedia itu lalu dibentuk premis baru sebagai simpulan, yang substansinya sebagai justifikasi untuk memidana para terdakwa. Premis dimaksud dicakup dalam satu preposisi berupa pertimbangan hakim sebagai berikut :

” Menimbang, bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka oleh karenanya terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya”.

Jika premis di atas diurai lebih lanjut akan diperoleh premis-premis berikut ini. Premis mayor : ”Selama proses persidangan tidak tidak menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar”.

Premis minor: ”Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya”. Simpulannya : ”Jadi, Terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal atas perbuatan dan kesalahannya.

Jika ”premis baru” yang menajdi simpulan hakim tersebut dicermati lebih lanjut, terdapat kerancuan penalaran hukum berikut ini. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa, karena dipersidangan tidak ditemukannya alasan pemaaf ataupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan pemidanaan (premis mayor).

Memang benar kedua alasan tersebut dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menghapuskan atau meniadakan pidana. Namun, jika kedua alasan itu dicakup dalam satu preposisi pertimbangan untuk menyatakan, bahwa terdakwa haruslah dipidana atas perbuatan dan kesalahannya (simpulan), maka simpulan tersebut menajdi tidak benar. Mengapa? Di atas telah dikemukakan, bahwa persoalan pemidanaan berkaitan dengan persoalan kesalahan (PJP), dan persoalan kesalahan (PJP) ini berkaitan dengan alasan pemaaf. Sedangkan, persoalan TP erat berkaitan dengan persoalan sifat melawan hukum (SMH), dan persoalan TP (SMH) ini berkaitan dengan alasan pembenar. Jika alasan pembenar ini tidak ada, maka SMH dari perbuatan itu pun menjadi

JURNAL DES.indd 355 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 162: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

356 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

hilang. Jika SMH dari suatu perbuatan hilang, maka perbuatan itupun menjadi bukan perbuatan pidana, atau bukan perbuatan melawan hukum (TP). Jadi, alasan manakah yang tidak ditemukan selama dipersidangan sebagai alasan penghapusan pidana? Apakah alasan pembenar atau alasan pemaaf atau kedua-duannya tidak ditemukan (tercakup dalam premis mayor), sehingga dengan tidak ditemukannya kedua alasan tersebut menyebabkan terdakwa harus dipidana atas perbuatan dan kesalahannya. Mengacu pada simpulan hakim sebagai ”premis baru” yang substansinya “memidana terdakwa”, dan simpulan ini juga ditarik dari premis minor yang menyatakan : “terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya”, berarti yang tidak ditemukan adalah alasan pemaaf yang terkait dengan unsur kesalahan. Namun, karena kedua alasan itu dicakup dalam satu premis mayor (dicakup dalam satu preposisi), maka keberadaan premis mayor ini menjadi tidak dapat dimengerti. Dengan kata lain dapat dikemukakan, bahwa : simpulannya benar, premis minornya benar, tetapi premis mayornya salah.

Di dalam putusan hakim telah terjadi juga inkonsistensi berpikir dalam penyusunan argumentasi hukum, sehingga menghasilkan penalaran hukum yang tidak logikal. Hal ini terlihat dalam argumentasi hukum ketika hakim mempertimbangkan pembuktian unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berikut ini.

Pembuktian mengenai unsur tindak pidana korupsi ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dalam pertimbangan hakim masih menggunakan kata ”dapat” tersebut dalam frasa ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, padahal kata ”dapat” ini telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006. Akan tetapi ketika membuktikan unsur ”secara melawan hukum” pertimbangan hakim menggunakan putusan MK tersebut untuk menolak SMH materiil yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Th. 1999.

Jadi, argumen hukum yang disusun oleh hakim dalam pertimbangannya di atas itu ditinjau dari penalaran hukum, maka sesungguhnya telah terjadi bentuk berpikir yang tidak logikal. Karena, hakim dalam pertimbangannya tersebut masih mengacu pada kata ”dapat” dalam kalimat : ”... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...” (Kata ”dapat” dalam ketentuan ini yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1)) telah dinyatakan tidak mengikat oleh Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006. (Amar putusan MK tersebut telah disitasi di atas, namun tidak lengkap dikutip oleh hakim dalam putusan).

Berikutnya, dengan digunakannya kata ”dapat” tersebut sebagai dasar hukum untuk mengadili terdakwa, akibatnya terjadi lagi inkosistensi dalam penerapan delik formil dalam memeriksa dan mengadili perkara ini. Dengan kata “d a p a t” yang oleh UU PTPK telah dinyatakan sebagai delik formil, oleh hakim seharusnya ”kerugian keuangan negara atau perekonomian negara” tidak perlu lagi dibuktikan dalam putusannya, karena perbuatan terdakwa yang koruptif itu benar-benar dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Jadi, bagi hakim yang

JURNAL DES.indd 356 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 163: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 357

penting adalah perbuatan terdakwa sudah dinilai dapat menimbulkan kerugian keuangan negara, walaupun perbuatan itu baru “mungkin” (berpotensi) akan menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Ini berarti, dengan dipenuhinya bagian inti delik ini, menunjukkan bahwa perbuatan korupsi sudah terjadi, dan terdakwa sudah dapat dituntut secara pidana. Inilah yang dimaksud dengan delik formil, yakni terjadinya TPK cukup hanya dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan dalam delik korupsi, yakni ”dapat merugian keuangan negara atau perekonomian negara”.

Berdasarkan penalaran hukum demikian, seharusnya hakim dalam pertimbangan hukumnya menetapkan, bahwa oleh karena MK dalam putusannya tersebut telah menyatakan : “Kata “dapat” dalam frasa “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat (1) (dan juga Pasal 3) UU Nomor 31 Th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Th 2001, beserta penjelasan-penjelasannya .... dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, maka berarti unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” pun secara yuridis harus dinyatakan tidak mengikat secara hukum. Oleh karena dinyatakan tidak mengikat secara hukum, maka dengan demikian unsur inipun menjadi ”tidak terbukti”. Dan juga oleh karena satu unsur tidak terbukti, maka logika hukumnya, hakim harus menyatakan bahwa dakwaan primair tidak terbukti, sehingga hakim lebih lanjut harus membuktikan dakwaan subsidair.

Namun demikian, terhadap fakta hukum (judex facti) yang diungkapkan dalam putusan hakim telah disusun secara sistematis/runtut sehingga mudah dipahami. Hal ini terlihat dari pertimbangan hakim mengenai bagaimana perbuatan itu dilakukan disertai dengan barang-barang bukti yang diperoleh di persidangan, ditambah lagi dengan keterangan saksi-saksi dan kemudian dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, maka pada akhirnya hakim berkesimpulan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair.

Sehubungan dengan hal di atas, boleh dikatakan hakim telah melakukan proses berpikir ”silogistik” yang runtut, sehingga semua unsur-unsur yang dituduhkan terhubungkan dengan fakta dan konklusinya. Namun demikian, dalam hal inferensi mengenai pemidanaan terhadap terdakwa, pembuktian terhadap unsur kesalahan tidak komprehensif dipertimbangkan. Unsur kesalahan dimaksud oleh hakim dinilai telah terbukti bersamaan dengan terbuktinya tindak pidana.

Padahal unsur kesalahan harus dibuktikan tersendiri. Apabila unsur kesalahan ini dapat dibuktikan, barulah dikatakan terdapat pertanggungjawaban pidana, karenanya terdakwa dapat dipidana. Akan tetapi pembuktian demikian itu tidak dilakukan oleh hakim, sehingga tidak terdapat ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung keputusan. Hakim dalam putusannya sudah langsung menarik kesimpulan, bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah tidak

JURNAL DES.indd 357 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 164: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

358 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

menemukan adanya hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pemidanaan atas diri terdakwa karena perbuatannya itu, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka oleh karenanya terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan kepadanya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan dan kesalahannya.

Pertanyaannya : Berdasarkan fakta hukum apa kesimpulan demikian itu ditarik, sementara unsur pertanggungjawaban pidananya sendiri belum dibuktikan, tiba-tiba sudah langsung menyimpulkan terdakwa ”mampu bertanggungjawab”. Pertanyaan ikutannya : ”fakta hukum apa yang sudah terungkap di persidangan, sehingga hakim sudah pula menyimpulkan, bahwa tidak ditemukan alasan-alasan yang dapat menghapus pemidanaan. Jadi, dengan menggunakan logika bentuk (formal) maupun logika materiil, argumentasi hukum yang disusun oleh hakim kebenarannya pun menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik bentuk dan juga isinya..

Di sinilah kesimpulan hakim diperoleh melalui logika yang melompat.

Premis mayor : orang baru dapat dipidana jika orang tersebut memiliki kesalahan

Premis minor : terdakwa memiliki kesalahan

Konklusi : terdakwa dapat dipidana

Dalam putusan hakim ”premis minor” tidak ada (tidak dibuktikan). Dijadikan premis minor adalah fakta-fakta hukum mengenai kesesuaian antara keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang-barang bukti yang diperoleh di persidangan, dan dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Premis ini berkaitan dengan tindak pidana, bukan dengan kesalahan (pertanggungjawaban pidana).

Selanjutnya :

Premis mayor : orang tidak dapat dipidana jika orang tersebut memiliki alasan penghapus pidana.

Premis minor : terdakwa memiliki alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf)

Konklusi : Jadi, terdakwa tidak dapat dipidana.

Dalam putusan hakim ”premis minor” tidak ada (tidak dibuktikan).

4. Putusan Hakim Harus Mengakomodasi Nilai Keadilan Dan Kemanfaatan yang berpihak Pada Penguatan Masyarakat Madani.

Kendatipun tidak dinyatakan secara khusus dalam pertimbangan yang menyangkut masalah nilai keadilan dan kemanfaatan, namun dalam pertimbangan hakim nilai-nilai dimaksud sudah

JURNAL DES.indd 358 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 165: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 359

terakomodasi dalam kalimat-kalimat berikut ini : ”Sifat dari perbuatan atau Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yang menetapkan ancaman pidana yang berat”, ”Terdakwa harus bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dijatuhi pidana yang setimpal atas perbuatan dan kesalahannya”, ”perbuatan terdakwa atelah merugikan keuangan negara dan perekonomian negara”. Ini berarti dalam pemidanaan, hakim telah memperhitungkan, bahwa dalam rangka terwujudnya masyarakat madani, nilai-nilai keutamaan negara, perlu ditanamkan. Hal ini diharapkan akan membawa implikasi tidak hanya kepada terdakwa tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Jika nilai-nilai itu tidak ditaati, terhadap pelakunya akan dijatuhi pidana yang setimpal. Di sinilah nilai keadilannya.

Namun demikian, dalam putusan hakim tersebut nilai-nilai keadilan substansial berupa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat belum diakomadasi. Seharusnya nilai-nilai seperti itu dapat diimplementasikan dalam pertimbangan hakim menyangkut pembuktian unsur-unsur tindak pidana. Bukankah perbuatan terdakwa itu, sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat secara materiil, yang pada hakikinya juga merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum secara materiil.

Selain itu, dalam putusan hakim teridentifikasikan Nilai Kemanfaatan, paling tidak oleh terdakwa dan juga oleh masyarakat. Terdakwa sesungguhnya telah menginsyafi (menyadari), bahwa perbuatan yang dilakukannya itu merugikan orang-orang lain dan pada akhirnya merugikan keuangan negara demi kepentingan pribadinya. Jika dibiarkan semua anggota masyarakat secara melawan hukum memperkaya diri, orang lain atau korporasi, maka akhirnya akan terjadi pula ”perampokan” uang negara secara besar-besaran oleh aparat pemerintah yang pada akhirnya berakibat serta membahayakan kehidupan masyarakat, berupa timbulnya kemiskinan struktural.

Dalam rangka inilah diperlukan pengaturan tentang UU anti korupsi. Dengan dilarangnya perbuatan sebagaimana dilakukan terdakwa, dan pelakunya benar-benar dijatuhi pidana yang setimpal, maka masyarakat akan berkeyakinan, bahwa UU anti korupsi telah ditegakan dalam rangka mencegah kemiskinan struktural, dan bagi terpidana sendiri akan menyadari bahwa ia telah bersalah dan tidak boleh lagi mengulangi perbuatannya. Inilah manfaatnya, baik bagi siterpidana dan bagi anggota masyarakat lainnya secara keseluruhan.

Sehubungan dengan Nilai keadilan dan nilai Kemanfaatan di atas, dalam putusan hakim terwujud ”keberpihakan Putusan Hakim” dalam perspektif masyarakat madani. Hal ini juga terlihat dalam kalimat sebagaimana disitasi di atas. Ini berarti dalam pemidanaan, hakim telah memperhitungkan, bahwa dalam rangka terwujudnya masyarakat madani, nilai-nilai keutamaan masyarakat, bangsa dan negara perlu ditanamkan. Hal ini diharapkan akan membawa implikasi tidak hanya kepada terdakwa tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Dalam perspektif masyarakat madani, dapat dikatakan telah terwujud ”keberpihakan Putusan Hakim” berupa nilai demokratis. Dengan demikian, dilihat dari sanksi pidana yang dijatuhkan akan sangat berimplikasi secara positif terhadap pemberdayaan masyarakat madani. Tentu dengan catatan, asal semua

JURNAL DES.indd 359 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 166: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

360 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

orang yang melakukan korupsi dipidana, tidak hanya pejabat kecil.

Di dalam Putusan Hakim teridentifikasikan falsafah pemidanaan ”retributif”, kendatipun tidak tersurat, tetapi dengan lama pidana yang dijatuhkan oleh hakim sudah dinilai setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Dan falsafah pemidanaan retributif memadai diterapkan pada kasus tindak pidananya, karena bobot dari perbuatan (handeling) terdakwa yang cukup berat, dan akibanya (gevolg) pun dinilai merugikan keuangan negara.

Demikian pula falsafah pemidanaan yang bertujuan Penjeraan, dalam putusan hakim juga teridentifikasi. Kendatipun di atas dikatakan pemidanaannya setimpal, tetapi terdakwa dengan dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000.00, dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 692.038.000,- dengan ketentuan jika tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta benada terdakwa dapat disita, dan jika tidak mencukupi untuk mengganti kerugian negara terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 1 tahun, sudah dapat dinilai ”sanksi lebih berat daripada tindak pidana dan kesalahannya. Jadi, falsafah pemidanaan penjeraan tersebut memadai diterapkan pada kasus tindak pidananya, dengan alasan, straftoemeting masih lebih lama dan banyak dibandingkan dengan jumlah uang yang dikorupsi.

Namun di dalam putusan hakim tidak teridentifikasi falsafah pemidanaan yang bersifat pembinaan, padahal antara jumlah atau lamanya pidana yang harus dijalani berkorelasi positif dengan pembinaan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan terhadap terpidana. Di dalam putusan hakim hal-hal tersebut justru tidak dipertimbangkan. Menjadi bahan pertimbangan hakim hanya hal-hal yang berkaitan dengan terbukti tidaknya secara yuridis mengenai unsur-unsur tindak pidana dan kesalahan.

Pada akhirnya dapat dikatakan, putusan hakim telah mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan yang berpihak pada masyarakat madani, kendatipun tidak secara spesifik. Pertimbangan-pertimbangannya yang berkaitan dengan pemidanaan dinilai sumir, dan tidak mengakomodasi filsafat pembinaan. Jadi, pertimbangan-pertimbangan hakim terkait dengan pemidanaan sebenarnya hanya untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat dewasa ini, terutama menyangkut eforia pemberantasan korupsi yang dikaikan dengan lama atau jumlah pidana yang dijatuhkan.

SIMPULANIV.

Berdasarkan kajian dan analisa di atas, maka penulis menyimpulkan beberapa sebagai berikut:

1 Putusan hakim telah mengikuti prosedur KUHAP. Namun masih menyatukan antara pernyataan terpenuhinya ”unsur kesalahan” dengan unsur-unsur tindak pidana. Demikian juga mengenai alasan penghapus pidana antara alasan pemaaf dan pembenar

JURNAL DES.indd 360 5/16/2012 4:48:46 PM

Page 167: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

JURNAL YUDISIAL | Pergulatan Nalar & Nurani | Vol-III/No-03/Desember/2010 | 361

masih dicampuradukkan. Dan kualifikasi delik tidak dicantumkan dalam pernyataan terpenuhinya unsur tindak pidana.

2. Putusan hakim dalam mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana, telah menggunakan putusan MK secara tidak konsistendan terkait dengan pembuktian unsur ”secara melawan hukum” dan penggunaan kata ”dapat” dalam unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Unsur kesalahan belum dipertimbangkan secara lengkap dan komprehensif.

3. Putusan hakim belum mencerminkan penalaran hukum yang logikal secara utuh, runtut dan sistematikal. Masih banyak ditemukan kerancuan dalam membentuk premis-premis yang digunakan sebagai pertimbangan. Terdapat inkonsistensi dalam penyusunan argumentasi hukum, sehingga berimplikasi pada penalaran hukumnya dalam penarikan konklusinya. Terjadi penarikan konklusi yang melompat, sebagai akibat dari ketidakmengertiannya terhadap makna logika bentuk dan logika materiil.

4. Putusan hakim mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan yang berpihak pada penguatan masyarakat madani. Kendatipun falsafah pemidanaan yang bersifat pembinaan belum terakomodasi, padahal falsafah ini penting dalam rangka penguatan masyarakat madani.

Untuk itu hakim dalam membuat surat putusan, agar lebih cermat dan selalu dilandasi dengan prinsip kehatian-hatian, namun tetap mengacu pada ketentuan yuridis sebagai dasar hukum putusan, dan dalam hal menjatuhkan pidana, di dalam pertimbangannya harus selalu membuktikan unsur kesalahan secara tersendiri, termasuk dalam membuktikan unsur kemampuan bertanggungjawab dari terdakwa. Hakim juga tidak mencampuradukkan alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai alasan penghapus pidana.

DAfTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Abidin Farid, Zainal . 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harahap, Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Arief, Sidharta. B. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

JURNAL DES.indd 361 5/16/2012 4:48:47 PM

Page 168: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

362 | Vol-III/No-03/Desember/2010 | Pergulatan Nalar & Nurani | JURNAL YUDISIAL

Moeljatno.1983. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

_________. 1955. “Perbuatan Pidana dan Pertanggung-Jawab Pidana Dalam Hukum Pidana”. Pidato Dies Natalis VI Universitas Gajah Mada, tanggal 19 Desember 1955.

Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang”. Pidato Pengukuhan Guru Besar, dalam Ilmu Hukum Pidana, pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990.

Poernomo, Bambang. 1981. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Reksodiputro, Mardjono. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, Buku Keempat. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru.

_________. 1987. Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Schaffmeister, et.al. 2007. Hukum Pidana, Editor : J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Seno Adji, Oemar.1976. Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi. Jakarta: Erlangga.

Seno Adji, Indriyanto. 2006. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan.

Sidharta, Bernard Arief. 1995. Logika. Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parhyangan.

_________. 2006. Logika dan Hukum. Bandung: Alumni

Soekadijo, R.G. 1985. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta: Gramdeia.

Sudarto. 1981. Hukum Dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

_________. 1987. Hukum Pidana 1. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP.

JURNAL DES.indd 362 5/16/2012 4:48:47 PM

Page 169: J PERGULATAN NALAR DAN NURANI U R N Yudisial... · 2014-04-29 · Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat

BIODATA PENULIS

Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., lahir di Pangkalpinang (1967). Saat ini ia adalah dosen program sarjana dan pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Katolik Parahyangan ini mengasuh beberapa mata kuliah, antara lain Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, Penalaran Hukum, dan Hukum Perlindungan Konsumen. Beberapa buku terkait bidang-bidang tersebut telah dipublikasikannya dalam ranah filsafat hukum, penalaran hukum, metode penelitian hukum, sosiologi hukum, dan perlindungan konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi anggota tim pakar penelitian dan salah seorang Mitra Bestari Jurnal Yudisial dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Komunikasi dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui email: [email protected].

Widodo Dwi Putro, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram. Dia mengajar mata kuliah Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum. Disamping mengajar, aktif sebagai sukarelawan di Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) Nusa Tenggara Barat, terlibat berbagai advokasi anti penggusuran. Buku yang sudah diterbitkan “Balai Mediasi Desa” (2005) “Menolak Takluk: Newmont versus Hati Nurani” (2006) dan juga berbagai artikel di Kompas, Koran Tempo, dan Lombok Pos. Komunikasi dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui email: [email protected]

Sidik Sunaryo, lahir di Lamongan, 4 Juli 1965. Saat ini ia adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Lulus S1 pada tahun 1990 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, dan mengambil magister sosiologi di universitas yang sama. Menerbitkan buku dengan judul ” Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana” dan “ Tipe Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” serta pernah berpartisipasi dalam beberapa penelitian kerjasama Universitas Muhammadiyah Malang dengan DIKTI dan Komisi Yudisial.

Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum, Dosen dan Ketua Badan Mediasi dan Bantuan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menempuh pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, S2 dan S3 pada Universitas Diponegoro Semarang.

Dr. Widiada Gunakaya. SA., S.H., M.H., lahir di Singaraja, Bali 30 Agustus 1958. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala. Sarjana Hukum (S1) STHB (1977) lulus 1982, Magister Ilmu Hukum (S2) KPK UI-UNDIP (1991) lulus 1993, Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) 2005 lulus tahun 2008.

JURNAL DES.indd 363 5/16/2012 4:48:47 PM