iv. hasil penelitian dan pembahasan a. karakteristik ...digilib.unila.ac.id/19700/5/bab iv.pdf ·...
TRANSCRIPT
53
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Narasumber
Sebelum sampai pada hasil penelitian dan pembahasan, perlu penulis uraikan
terlebih dahulu mengenai karakteristik Narasumber. Narasumber adalah orang
yang memberi atau mengetahui secara jelas atau menjadi sumber informasi
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 609).
Adapun narasumber sebagai bahan hukum penunjang dalam penelitian ini adalah
beberapa akademisi atau Dosen dan Guru besar di fakultas hukum Universitas
Lampung. Narasumber dalam penelitian ini berjumlah 3 orang yang terdiri dari 2
(dua) orang akademisi atau Dosen dan 1 (satu) orang Guru besar fakultas hukum
Universitas Lampung. Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Nama : Prof. Dr. Kadri Husin, S.H., M.H.
NIP : 19431114 196909 1 001
Pangkat : Pembina Utama Madya
Golongan : IV / d
Jabatan : Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Lampung
54
2. Nama : Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.
NIP : 19610912 198603 1 003
Pangkat : Pembina Tk I / Lektor Kepala
Golongan : IV / b
Jabatan : Akademisi / Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung
3. Nama : Shafruddin, S.H., M.H.
NIP : 19600207 198603 1 001
Pangkat : Lektor Kepala
Golongan : IV / a
Jabatan : Akademisi / Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung
B. Alasan Yang Menjadi Dasar Adanya Kebijakan Formulasi Hakim
Komisaris Dalam RUU KUHAP Tahun 2009
Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam
KUHAP adalah adanya lembaga pra peradilan untuk setiap warga negara yang
ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah (cukup) berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Lembaga pra peradilan tersebut sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP
yaitu pada Pasal 1 angka 10 adalah wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 adalah diantaranya:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;
55
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu tujuan
dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada
tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan,
perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari
seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga
menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang
disangka, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Saat ini pra peradilan dipertanyakan kembali keefektifannya dan diperbandingkan
dengan konsep Hakim Komisaris (pada masa Hindia Belanda pernah diberlakukan
rechter commisaris). Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP
menuai banyak kritikan dari praktisi hukum. Di dalam prakteknya, ternyata pra
peradilan kurang memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya
tersangka dalam proses peradilan pidana (Oemar Seno Adji, 1984: 64).
56
Pra peradilan yang selama ini diatur dalam KUHAP masih mempunyai
kelemahan-kelemahan mengingat usia KUHAP saat ini hampir dua puluh
sembilan (29) tahun, yang sangat layak membutuhkan perubahan sesuai dengan
perkembangan zaman. Keberadaan pra peradilan ini menuai banyak kritikan dari
para praktisi hukum karena ada hal-hal yang seharusnya diatur oleh pra peradilan
tetapi tidak diakomodasi KUHAP. Selain itu, walaupun lembaga pra peradilan
dibentuk untuk menjalankan fungsi pengawasan pengadilan terhadap proses
pemeriksaan pendahuluan agar lebih bersifat adil dan manusiawi, tetapi dalam
pelaksanaannya, terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP yang menimbulkan
persoalan, antara lain:
a) Masalah Subjek Hukum dalam Pra Peradilan
Subjek hukum ialah orang/perorangan dan badan hukum. Jika dicermati
ketentuan dalam KUHAP tampak bahwa subjek hukum dalam pra peradilan
terdiri dari penyidik, penuntut umum, tersangka atau ahli warisnya dan pihak
ketiga yang berkepentingan, sedangkan pihak yang dapat di pra peradilankan
yaitu penyidik dan penuntut umum. Persoalan yang dapat muncul apakah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non Pemerintah
(ORNOP) yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat umum korban
kejahatan tertentu dapat mengajukan pra peradilan. Apakah LSM atau
ORNOP termasuk pihak ketiga yang berkepentingan dalam pra peradilan,
mengingat beberapa waktu lalu Indonesian Corruption Wacht (ICW) pernah
mengajukan pra peradilan terhadap Kejaksaan Agung terkait dengan
penghentian penyidikan beberapa kasus korupsi, yang dalam putusannya
57
menyatakan bahwa ICW bukan merupakan pihak ketiga yang berkepentingan
(Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 80).
b) Masalah kewenangan pra peradilan
Kewenangan pra peradilan terdiri dari sah tidaknya suatu penangkapan dan
penahanan, sah tidaknya penghentian penuntutan atas penghentian penyidikan
serta permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang
perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan ata karena
penangkapan atau penahanannya tidak sah. Ruang lingkup ini dinilai terlalu
sempit karena tidak menjangkau tidak sahnya upaya paksa lainnya yang
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, misalnya tidak sahnya
pemeriksaan surat-surat, pemasukan rumah dan penggeledahan. Disamping itu
terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP, misalnya Pasal 82 Ayat (3) huruf
d, dan Pasal 81 KUHAP yang tidak sinkron dengan Pasal 77 KUHAP, dimana
kewenangan pra peradilan yang disebut di dalamnya tidak sama (Al.
Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 80).
c) Hakim pra peradilan yang bersikap pasif
Tata cara pemeriksaan pra peradilan lebih mirip seperti proses pemeriksaan
perkara perdata. Hal ini dapat dilihat dari terminologi yang digunakan dalam
proses pra peradilan, pihak pemohon dan termohon pra peradilan, tahap-tahap
pemeriksaan, dan lain-lain. Konsekuensi lainnya adalah hakim dalam pra
peradilan bersikap pasif sehingga sekalipun mengetahui adanya kesalahan
prosedur pada saat pemeriksaan pendahuluan, tetapi jika ada pihak yang
mengajukan permohonan pemeriksaan pra peradilan, hakim tidak bisa
58
memanggil pihak yang melakukan kesalahan prosedur untuk diperiksa jika
tidak ada yang mempraperadilankan. Dikatakan hakim bersikap pasif karena
hakim pra peradilan cenderung hanya menilai syarat formil dari suatu perkara
hakim pra peradilan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai syarat
materil walaupun tindakan dari pejabat yang bersangkutan tidak sah menurut
hukum(Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 81).
d) Jangka waktu pemeriksaan pra peradilan
Jangka waktu pemeriksaan pra peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 82
Ayat (1) huruf c KUHAP, yakni selambat-lambatnya selama tujuh (7) hari
dalam praktek sering kali dinilai terlalu singkat. Terlebih lagi dalam huruf d
diatur bahwa pemeriksaan pra peradilan yang sedang berjalan gugur jika
pemeriksaan perkara pokoknya sudah diperiksa oleh pengadilan negeri. Yang
paling dirugikan dengan aturan tersebut terutama pihak pemohon yang
berstatus tersangka atau keluarganya yang berhadapan dengan pejabat
peradilan sebagai termohon. Dalam kasus tersebut pada umumnya pemohon
memerlukan banyak waktu untuk mencari bukti yang bisa dipastikan sulit
guna menghadapi termohon yang karena posisinya memiliki banyak akses
untuk mematahkan dalil pemohon Pra Peradilan (Al. Wisnubroto dan G.
Widiartana, 2005: 81).
e) Masalah upaya hukum terhadap putusan pengadilan
Pasal 83 KUHAP pada intinya mengatur bahwa kecuali putusan Pra Peradilan
yang menyatakan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, pada
prinsipnya putusan Pra Peradilan tidak dapat diajukan banding. Akan tetapi,
59
dalam pratek yang ternyata putusan Pra Peradilan yang tidak dapat dimintakan
banding dapat diajukan upaya hukumnya melalui kasasi. Salah satu contohnya
adalah Pra Peradilan Ginanjar Kartasasmita yang bahkan dalam putusan
kasasinya Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi. Pihak
Kejaksaan Agung yang mengajukan kasasi berpendapat bahwa KUHAP tidak
melarang mengajukan kasasi terhadap putusan pra peradilan, sementara
Muchtar Yara, salah seorang penasihat hukum tersangka Ginandjar
Kartasasmita berpendapat bahwa sesuai dengan buku kerja Mahkamah Agung
Republik Indonesia maka putusan pra peradilan tidak dapat dikasasi. Bahkan
M. Akil. Mochtar berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung yang
menerima dan mengabulkan permohonan kasasi atas putusan perkara pra
peradilan, bertentangan dengan prinsip KUHAP sehingga menjadi cacat
hukum dan tidak bias dieksekusi (Al. W. Broto dan G. Widiartana, 2005: 81).
Berkaitan dengan persoalan-persoalan ketentuan Pra Peradilan dalam KUHAP
yang muncul dalam pelaksanaannya tersebut, maka diperlukan langkah-langkah
pembaharuan KUHAP. Salah satu langkah yang ditawarkan adalah dengan
mengganti lembaga Pra Peradilan menjadi Hakim Komisaris sebagaimana yang
dirancang oleh Tim Perumus Revisi KUHAP.
Bagian umum penjelasan KUHAP menyatakan bahwa alasan digantinya Pra
Peradilan menjadi Hakim Komisaris karena Pra Peradilan yang selama ini telah
diatur dalam KUHAP belum berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan Hakim
Komisaris dalam Draft RUU KUHAP Tahun 2009 diatur dalam BAB IX Pasal
111 Ayat (1) yang terdiri dari huruf a sampai j, Ayat (2) dan Ayat (3).
60
Lembaga ini kedudukannya terletak diantara penyidik dan penuntut umum di satu
sisi dan hakim di pihak lain. Jika dibandingkan dengan lembaga Pra Peradilan,
Hakim Komisaris memiliki kewenangan yang lebih luas dan terperinci.
Tabel 1: Perbandingan kewenangan antara Pra Peradilan dengan Hakim
Komisaris, dapat digambarkan seperti tabel di bawah ini:
Kewenangan Pra Peradilan Menurut
Pasal 77 KUHAP
Kewenangan Hakim Komisaris Menurut
Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009
Berwenang memeriksa dan
memutus tentang :
a. Sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau
rehabilitasi bagi seorang
yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan
(1)Hakim Komisaris berwenang
menetapkan atau memutuskan :
a.Sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penggeledahan,
penyitaan, atau penyadapan;
b.Pembatalan atau penangguhan
penahanan;
c.Bahwa keterangan yang dibuat oleh
tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak
memberatkan diri sendiri;
d.Alat bukti atau pernyataan yang
diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti;
e.Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi
untuk seseorang yang ditangkap atau
ditahan secara tidak sah atau ganti
kerugian untuk setiap hak milik yang
disita secara tidak sah;
f.Tersangka atau terdakwa berhak untuk
atau diharuskan untuk didampingi
oleh pengacara;
g.Bahwa Penyidikan atau Penuntutan
telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h.Penghentian Penyidikan atau
penghentian Penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
i.Layak atau tidaknya suatu perkara
untuk dilakukan Penuntutan ke
pengadilan.
61
j.Pelanggaran terhadap hak tersangka
apapun yang lain yang terjadi selama
tahap Penyidikan.
(2) Permohonan mengenai hal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
tersangka atau penasihat hukumnya atau
oleh penuntut umum, kecuali ketentuan
pada ayat (1) huruf i hanya dapat
diajukan oleh Penuntut Umum.
(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan
hal-hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali
ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i.
Sumber: Makalah Seminar Nasional “Terobosan Baru Dalam RUU KUHAP”
oleh Tim Perumus RUU KUHAP Tahun 2009 (Andi Hamzah, 2009: 3).
Berbeda dengan lembaga pra peradilan dimana pengadilan bersikap pasif dalam
arti baru bertindak atas permohonan dari tersangka, Hakim Komisaris dapat
bertindak secara pasif maupun aktif, yakni:
1. Atas permohonan tersangka atau korban (Hakim pasif), dengan produk hukum
berupa Putusan
2. Atas prakarsa sendiri setelah menerima tembusan surat penangkapan,
penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
yang tidak berdasarkan asas oportunitas (Hakim aktif). Dalam hal demikian
produk hukum yang dihasilkan berupa Penetapan.
Perbedaan lainnya antara Pra Peradilan dan Hakim Komisaris adalah bahwa
hakim yang memeriksa perkara Pra Peradilan adalah hakim pengadilan negeri
yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setelah ada permohonan Pra
Peradilan, sedangkan Hakim Komisaris adalah hakim pengadilan negeri dan
62
dimungkinkan Hakim Komisaris yang berasal dari advokat senior, jaksa senior,
atau dosen hukum pidana senior yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia untuk menjabat selama dua (2) tahun. Jika hakim Pra Peradilan
selama menyelesaikan perkara Pra Peradilan masih dapat menjalankan tugas
sebagai hakim pengadilan negeri, maka Hakim Komisaris selama menjabat
dibebaskan dari tugas mengadili perkara lain dan tugas sebagai hakim pengadilan
negeri yang lain.
Berkaitan dengan kekuatan hukum putusan, Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009
menegaskan bahwa putusan atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat
diajukan upaya hukum banding atau kasasi. Setelah mencermati perbandingan
antara lembaga Pra Peradilan dan lembaga Hakim Komisaris di atas, maka tampak
bahwa kewenangan Hakim Komisaris lebih luas dan terperinci serta lebih jelas
prosedurnya dibandingkan dengan lembaga Pra Peradilan yang terdapat dalam
KUHAP yang berlaku sekarang (Andi Hamzah, 2009: 70).
Kehadiran formulasi Hakim Komisaris yang ditawarkan oleh Tim penyusun revisi
KUHAP yang dimotori oleh Andi Hamzah dan T. Nasrullah mendapat dukungan
dari berbagai pihak, baik akademisi maupun praktisi hukum. Namun demikian,
ada pula pihak yang tidak setuju dimasukkannya lembaga Hakim Komisaris ke
dalam KUHAP untuk menggantikan lembaga pra peradilan. Salah satu pihak yang
menentang kebijakan formulasi Hakim Komisaris tersebut adalah Teguh
Nataprawira (Direktur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian).
63
Pihak yang tidak setuju dimasukkannya lembaga Hakim Komisaris ke dalam
KUHAP untuk menggantikan lembaga pra peradilan tersebut adalah Teguh
Nataprawira yang berpendapat bahwa:
Menurut Teguh Nataprawira, kebijakan formulasi Hakim Komisaris sama
seperti yang pernah diatur dalam Het Herziene Indlandsch Reglement
(HIR) dan diterapkan dalam peradilan pidana di Indonesia sebelum
KUHAP. Teguh Nataprawira menentang langkah yang diambil oleh Tim
revisi KUHAP dengan melihat perbedaan sistem pada lembaga pra
peradilan dengan lembaga Hakim Komisaris. Alasan lainnya adalah bahwa
secara ilmiah, kebijakan formulasi Hakim Komisaris sangat lemah karena
lebih bersifat administratif, tertutup dan bergantung pada Hakim
Komisaris saja sehingga tidak ada partisipasi publik dan tidak ada kontrol
terbuka dari publik (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 83).
Pendapat Teguh Nataprawira tersebut dibantah oleh T. Nasrullah, bahwa
kebijakan formulasi Hakim Komisaris menutup adanya partisipasi publik
sehingga bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menurutnya, eksistensi Hakim
Komisaris tidak akan menghapus hak masyarakat untuk mengajukan upaya
hukum lewat pra peradilan. Artinya, lembaga Hakim Komisaris akan
berdampingan dengan pra peradilan (Al. W. Broto dan G. Widiartana, 2005: 84).
KUHAP yang saat ini dipergunakan memang layak membutuhkan reformasi
sesuai dengan perkembangan zaman dan tata hukum nasional. Keberadaan Pra
Peradilan dalam KUHAP menuai banyak kritikan dari para praktisi hukum karena
ada hal-hal yang seharusnya diatur oleh Pra Peradilan tetapi tidak diakomodasi
KUHAP hal inilah yang membuat lembaga Pra Peradilan yang selama ini diatur
dalam KUHAP masih mempunyai kelemahan-kelemahan dan keterbatasan.
64
Kritik terhadap lembaga Pra Peradilan yang ada sekarang ini juga disampaikan
oleh Adnan Buyung Nasution seorang advokat senior. Beliau kecewa terhadap
pelaksanaan Pra Peradilan saat ini dengan alasan, sebagai berikut:
a) Tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan
dinilai kebenarannya dan ketepatannya oleh lembaga Pra Peradilan,
misalnya tindakan penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta
pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga
menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila
terjadi pelanggaran. Disini lembaga Pra Peradilan kurang memperhatikan
kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal
penyitaan dan penggeledahan, padahal penggeledahan yang sewenang-
wenang merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat
tinggal orang (privacy), dan penyitaan yang tidak sah merupakan
pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang;
b) Pra Peradilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan tanpa adanya permintaan dari
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Sehingga
apabila permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan
atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku,
maka sidang Pra Peradilan tidak dapat diadakan;
c) Lebih parah lagi sebagaimana dalam praktek pemeriksaan Pra Peradilan
selama ini, hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya
syarat-syarat formil semata dari suatu penangkapan atau penahanan,
seperti misalnya dan atau tidaknya surat perintah penangkapan (Pasal 18
65
KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2)
KUHAP), dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya.
Padahal syarat materiil inilah yang menentukan apakah seseorang dapat
dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh pihak
penyidik atau penuntut umum. Tegasnya, hakim pada Pra Peradilan
seolah-olah tidak peduli apakah tindakan penyidik atau jaksa Penuntut
Umum (JPU) yang melakukan penangkapan benar-benar telah memenuhi
syarat-syarat materiil, yaitu adanya “dugaan keras” melakukan tindak
pidana berdasarkan “bukti yang cukup” benar-benar ada alasan konkret
dan nyata yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan
“akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi
perbuatannya”. Para hakim umumnya menerima saja bahwa hal adanya
kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilaian subjektif
dari pihak penyidik atau penuntut umum. Akibatnya, sampai saat ini masih
banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan
dalam hal penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa oleh pihak penyidik ataupun penuntut umum, yang tidak dapat
diuji karena tidak ada forum yang berwenang memeriksanya. Padahal
dalam sistem Habeas Corpus Act dari Negara Anglo-Saxon, hal ini justru
menjadi tonggak ujian sah tidaknya penahanan terhadap seseorang ataupun
boleh tidaknya seseorang ditahan (www.komisihukum.go.id, 21 April
2010, 11:40).
Saat ini, pra peradilan dipertanyakan kembali keefektifannya dan dibandingkan
dengan konsep Hakim Komisaris. Hal ini sudah sering dikaitkan dengan
66
kenyataan bahwa penerapan pra peradilan menimbulkan banyak ketidakpuasan,
seperti:
a. Penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan adalah bagian dari wewenang pra peradilan. Sementara, dalam
KUHAP diatur tentang penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-
surat. Pra peradilan tidak menjelaskan secara rinci jika terjadi pelanggaran
terhadap penggeledahan, penyitaan maupun pemeriksaan surat-surat.
b. Sudah bukan rahasia lagi, apabila seorang tersangka dalam tingkat
penyidikan selalu mengalami tindak kekerasan. Hal ini jelas bertentangan
dengan hak asasi manusia yaitu hak untuk tidak disiksa. Bahkan, KUHAP
menganut asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah)
yang artinya setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan diadili
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hokum tetap yang menyatakan kesalahannya. Dengan adanya
kekerasan dalam tingkat penyidikan jelas tidak menghormati asas praduga
tidak bersalah, yang berarti dengan siksaan tersebut menganggap
tersangka sudah bersalah.
c. Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding kecuali, mengenai
tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Tetapi dalam
prakteknya, ternyata putusan pra peradilan yang tidak dapat dimintakan
banding dapat diajukan kasasi. Salah satu contohnya adalah pra peradilan
dalam kasus Ginanjar Kartasasmita yang bahkan dalam putusannya
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi.
67
d. Pra peradilan tidak menjelaskan apakah LSM atau Organisasi Non
Pemerintah (ORNOP) yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat
umum dapat mengajukan pra peradilan secara class action, mengingat
beberapa waktu yang lalu Indonesian Corruption Wacht (ICW) pernah
mengajukan pra peradilan terhadap Kejaksaan Agung yang menghentikan
penyidikan terhadap beberapa kasus korupsi (Al. Wisnubroto dan G.
Widiartana, 2005: 79).
Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah dan DPR membuat rancangan
KUHAP yang salah satu isinya mengganti lembaga Pra Peradilan dengan Hakim
Komisaris. Munculnya kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam RUU
KUHAP Tahun 2009 tersebut menandakan bahwa Pra Peradilan yang selama ini
diatur dalam KUHAP masih belum mampu memberikan rasa keadilan kepada
pencari keadilan. Selain itu, diharapkan Hakim Komisaris mampu menjadi sarana
kontrol diantara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya sebagaimana
halnya Pra Peradilan yang selama ini merupakan horizontal control diantara
penegak hukum dalam hubungannya dengan sistem peradilan pidana.
Gagasan untuk merevisi KUHAP didasarkan pada adanya kekurangan yang
selama ini telah diatur KUHAP. KUHAP yang akan berumur dua puluh sembilan
(29) tahun pada bulan Desember nanti sudah tidak sesuai dengan perubahan yang
terjadi, misalnya tentang alat bukti elektronik, masalah kompensasi bagi korban
oleh Negara, masalah perlindungan saksi, masalah Pra Peradilan dan masih
banyak lagi yang memang layak untuk dilakukan revisi terhadap KUHAP.
Gagasan tersebut pada tahun ini diilhami oleh Andi Hamzah yang merupakan
68
Guru Besar Hukum Acara Pidana di Universitas Tri Sakti dan sekaligus sebagai
ketua Tim Penyusun RUU KUHAP Tahun 2009. Salah satu gagasan dalam RUU
KUHAP Tahun 2009 tersebut adalah mengganti Lembaga Pra Peradilan dengan
Hakim Komisaris (Andi Hamzah, 2009: 73).
Menurut Andi Hamzah (2009: 4) selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP Tahun
2009 menyebutkan alasan utama digantinya lembaga pra peradilan dengan Hakim
Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya
bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya
kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang
berbeda, sedangkan alasan khusus dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim
Komisaris didasarkan pada:
a. Sidang pra peradilan dilakukan apabila ada tuntutan dari pihak-pihak yang
berhak. Jadi, tidak ada sidang pra peradilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-
pihak yang berhak memohon pemeriksaan pra peradilan;
b. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111
RUU KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra
peradilan. Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau
penangguhan penahanan, begitu pula tentang penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
c. Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan
rehabilitasi;
d. Diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai
dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU
KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam
waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan;
e. Ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan
atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding
maupun kasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan pra
peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah
Agung (MA) menerima;
69
f. Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra
peradilan yang berkantor di Pengadila Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa
setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris
yang memutus seorang diri dan;
g. Hakim Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai
pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki
tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya
bagi terdakwa atau tersangka. (www.legalitas.org).
Draft RUU KUHAP Tahun 2009, dalam Pasal 1 angka 7 menjelaskan bahwa
Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya
penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam undang-
undang ini. Sedangkan mengenai wewenangnya diatur dalam BAB IX Bagian
Kesatu Pasal 111. Berikut ini akan diuraikan beberapa kelebihan Hakim
Komisaris menurut RUU KUHAP Tahun 2009 sebagai tolok ukur digantinya
lembaga Pra Peradilan dengan Hakim Komisaris.
Andi Hamzah selaku ketua tim penyusun KUHAP mengusulkan untuk dapat
diangkat menjadi Hakim Komisaris tidak hanya dari kalangan hakim namun juga
mengusulkan agar orang-orang yang non hakim tetapi menguasai hukum pidana
dapat diangkat menjadi hakim komisaris, seperti jaksa senior, advokat senior dan
dosen hukum pidana yang senior. Selanjutnya, ketentuan mengenai syarat dan tata
cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Komisaris akan diatur tersendiri
dalam Peraturan Pemerintah (Andi Hamzah, 2009: 82).
Salah satu hal yang mencolok mengenai perbedaan antara Hakim Komisaris
dengan Pra Peradilan selain mengenai kewenangannya adalah hakimnya. Hakim
dalam Pra Peradilan adalah hakim yang masih melekat dengan pengadilan negeri
70
sedangkan, hakim dalam Hakim Komisaris adalah hakim yang lepas dari
pengadilan negeri dan bersifat permanen. Artinya, hakim pengadilan negeri yang
diangkat menjadi Hakim Komisaris, akan lepaskan palunya selama menjabat
Hakim Komisaris dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Setelah melewati jangka
waktu 2 (dua) tahun, dia akan kembali ke pengadilan negeri darimana dia berasal
dan menjadi hakim palu kembali (Andi Hamzah, 2009: 88).
Perbedaan hakim ini merupakan suatu terobosan baru dalam rangka penegakan
hukum. Adanya perbedaan pengaturan hakim antara Pra Peradilan dengan Hakim
Komisaris diharapkan dapat meminimalisir mafia peradilan yang kini makin
marak. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Masyarakat
Pemantau Peradilan (Mappi), sebuah lembaga independen milik Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang khusus menyoroti masalah-masalah peradilan.
Peneitian tersebut dilakukan selama 1 (satu) tahun yang memaparkan fakta-fakta
bahwa adanya “main mata” di lingkungan peradilan (Andi Hamzah, 2009: 91).
Mengenai mafia peradilan sangat dimungkinkan terjadi dalam praktek Pra
Peradilan. Hal ini dapat terjadi dengan menunjuk hakim yang dapat diajak bekerja
sama oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi putusannya.
Dalam Hakim Komisaris hal ini dapat diminalisir, karena dalam Hakim Komisaris
sudah ditunjuk hakim yang khusus menangani Pra Peradilan, hakim dalam Pra
Peradilan tersebut bersifat bebas. Tetapi, dalam Hakim Komisaris sudah
ditentukan hakim yang akan memutus perkara yang diajukan. Adanya perbedaan
pengaturan hakim antara Pra Peradilan dengan Hakim Komisaris sedikit banyak
dapat mencegah praktek mafia peradilan (Andi Hamzah, 2009: 102).
71
Selama menjalankan tugasnya, Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah
Tahanan Negara (RUTAN) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 121 ayat (1)
RUU KUHAP Tahun 2009. Ini berarti bahwa pada setiap RUTAN ada Hakim
Komisaris yang memutus seorang diri, hal ini dipertegas dalam Pasal 121 ayat (2)
RUU KUHAP Tahun 2009. Hal ini dilakukan untuk mengawasi dan
berkomunikasi dengan tahanan tersebut tanpa tahanan tersebut melarikan diri
(Andi Hamzah, 2009: 114).
Perkara dapat gugur jika dalam Pra Peradilan, hal itu pun berlaku terhadap Hakim
Komisaris. Dalam Pra Peradilan perkara dapat gugur apabila sudah diperiksa oleh
pengadilan negeri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d
KUHAP yaitu “Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan
negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Pra Peradilan belum
selesai hakim harus sudah menjatuhkan putusannya”.
Kata-kata “Dalam hal suatu perkara” pada Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tidak
menjelaskan jenis perkara yang diajukan kepada Pra Peradilan, baik itu mengenai
sah tidaknya penangkapan atau penahanan maupun permintaan ganti rugi atau
rehabilitasi. Tetapi dalam Hakim Komisaris perkara dapat gugur hanya terbatas
pada permintaan mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi. Hal ini diatur dalam
Pasal 130 ayat (2) RUU KUHAP dan Pasal 131 ayat (3) RUU KUHAP Tahun
2009. Pasal 130 ayat (2) Rancangan KUHAP mengatur bahwa “Dalam hal suatu
perkara sudah diperiksa oleh pengadilan negeri, permohonan ganti kerugian atau
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 130 tidak dapat diajukan kepada
hakim komisaris”. Sedangkan Pasal 131 ayat (3) RUU KUHAP Tahun 2009
72
mengatur bahwa “Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atau terdakwa atas
penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
kekeliruan mengenai orangnya atau kesalahan penerapan hukumnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri
diputus oleh hakim komisaris”.
Draft RUU KUHAP Tahun 2009 tidak menjelaskan apakah permintaan untuk
mengajukan Hakim Komisaris mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan maupun penghentian
penuntutan, selain daripada permintaan sah tidaknya ganti kerugian atau
rehabilitasi, gugur atau tidak walaupun perkara yang diajukan telah diperiksa oleh
pengadilan negeri. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Pra Peradilan yang
perkaranya dapat gugur apabila sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri
tanpa memandang jenis perkara yang diajukan.
Mengenai gugurnya perkara dalam Pra Peradilan menurut praktisi hukum Hari
Sasangka dan Lily Rosita tidak mencerminkan keadilan, karena dengan demikian
tidak diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan
sah atau tidak walaupun tindakan tersebut benar-benar menyalahi aturan yang
berlaku. Namun, tidak demikian halnya dalam Hakim Komisaris. Perkara yang
dapat gugur hanya terbatas pada permintaan mengenai ganti kerugian dan
rehabilitasi. Mengenai hal ini perlu dikaji ulang oleh Tim Perumus KUHAP,
apakah perkara dapat gugur hanya terbatas pada permintaan ganti kerugian dan
rehabilitasi atau semua jenis perkara yang diajukan pada Hakim Komisaris.
Karena, di satu sisi permintaan mengajukan Hakim Komisaris membutuhkan
73
proses penyelesaian perkara yang cepat dan dilain sisi membutuhkan keadilan
serta kepastian hukum. Apabila suatu perkara telah masuk pengadilan negeri
tentunya memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikannya sebagaimana
praktek selama ini sedangkan permintaan untuk mengajukan Hakim Komisaris
sangat dibutuhkan waktu singkat dalam menyelesaikannya agar kepastian hukum
dapat tercapai (www.hukumonline.com, 04 April 2010, 09:50).
Mengenai perbedaan putusan, yakni antara putusan Hakim Komisaris dengan
putusan Pra Peradilan bahwa putusan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan
banding maupun kasasi sedangkan dalam putusan Pra Peradilan yang tidak dapat
diajukan banding namun dalam prateknya ternyata putusan Pra Peradilan yang
tidak dapat dimintakan banding dapat diajukan upaya hukumnya melalui kasasi
dan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi tersebut
(www.hukumonline.com, 04 April 2010, 09:50).
Putusan Hakim Komisaris diatur dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009
yaitu “Penetapan atau putusan hakim komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum
banding atau kasasi”. Dari pasal tersebut jelas bahwa putusan Hakim Komisaris
tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi tentu akan makan waktu yang cukup
lama dan hal ini sesuai dengan tujuan dibentuknya Hakim Komisaris tersebut
sebagai wadah masyarakat untuk mengadu jika aparat penegak hukum bertindak
sewenang-wenang dan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia
(Andi Hamzah, 2009: 127).
74
Hal-hal tersebut adalah beberapa hal pokok yang menjadi dasar bahwa
pemerintah mengganti lembaga pra peradilan dengan memunculkan kebijakan
formulasi Hakim Komisaris di RUU KUHAP Tahun 2009 dalam rangka
penyempurnaan Hukum Acara Pidana kita di masa yang akan datang.
C. Akibat Hukum Dari Penetapan dan Putusan Hakim Komisaris Tentang
Pelanggaran Hak-Hak Tersangka Selama Tahap Penyidikan dan Upaya
Khusus Yang Dapat Dilakukan Apabila Hakim Komisaris Berhalangan
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu tujuan
dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada
tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan,
perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari
seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga
menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang
disangka, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Saat ini pra peradilan dipertanyakan kembali keefektifannya dan diperbandingkan
dengan konsep Hakim Komisaris (pada masa Hindia Belanda pernah diberlakukan
rechter commisaris). Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP
menuai banyak kritikan dari praktisi hukum. Di dalam prakteknya, ternyata pra
75
peradilan kurang memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya
tersangka dalam proses peradilan pidana (Oemar Seno Adji, 1984: 64).
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan DPR telah membuat suatu Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)
yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan dengan Hakim
Komisaris. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim Komisaris adalah
untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pemidanan dan
menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik
dari instansi yang berbeda. Pristiwa penangkapan dan penahanan yang tidak sah
merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan
orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik
orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
ketentraman rumah tempat kediaman orang.
Manusia sebagai subyek hukum mempunyai kedudukan dimata hukum yang sama
memiliki hak serta kewajiban yang sepatutnya diletakkan sesuai porsinya. Hak
asasi manusia yang juga sebagai hak tersangka adalah hak bagi setiap tersangka
yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak
pidana berhak dinggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah
dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang
diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Ini menjadi hal yang sangat penting sebab apabila setiap tersangka
mengerti akan hak serta kewajiban sebagai subyek hukum maka hal tersebut dapat
memperkecil kemungkinan diri seseorang menjadi korban akibat keasalahan-
76
kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum. Akibat dari
keasalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum tersebut,
maka untuk memproleh kepastian dan menghindari kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum dibuatlah KUHAP. KUHAP mengatur lembaga pra peradilan
yang tujuannya untuk mengawasi apabila terjadi perkosaan terhadap hak-hak asasi
manusia dalam melaksanakan proses hukum, seperti salah tangkap, salah tahan,
penghentian penyidikan dan lain sebagainya (Al. Wisnubroto dan
G. Widiartana, 2005: 70).
Lembaga Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP itu masih
mempunyai ruang lingkup yang terbatas dalam proses penegakan hukum.
Sehingga, hak-hak asasi seorang tersangka dalam mencari keadilan tidak
sepenuhnya terpenuhi. Untuk memenuhi hak-hak asasi tersangka khususnya
dalam peradilan pidana maka pemerintah dan DPR membuat suatu RUU KUHAP
yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan dengan Hakim
Komisaris. Hakim Komisaris ini mempunyai kewenangan yang lebih luas dari
pada wewenang pra peradilan yang ada dalam KUHAP.
Hal terpenting dari kewenangan Hakim Komisaris dalam kaitannya dengan hak
tersangka yang juga sebagai hak asasi manusia adalah dalam hal Hakim
Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran
terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki tujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka.
77
Istilah Hakim Komisaris yang diaplikasikan atau diterapkan dalam RUU KUHAP
Tahun 2009 memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk
melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen), bertindak
secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa,
menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa
antara polisi dan jaksa, serta memiliki wewenang mengambil keputusan atas
keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan
(T. Gayus Lumbuun, 2007: 4).
Hakim Komisaris sebagai terobosan baru dalam RUU KUHAP Tahun 2009 pada
dasarnya adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya
bagi terdakwa atau tersangka. Bentuk-bentuk upaya paksa seperti penangkapan,
penahanan, penyitaan, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran
serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang, hak milik orang, dan
ketentraman rumah tempat kediaman orang. Munculnya Hakim Komisaris dalam
RUU KUHAP Tahun 2009 ini kedudukannya terletak di antara penyidik dan
penuntut umum di satu sisi dan hakim di pihak lain (Al. Wisnubroto dan
G. Widiartana, 2005: 81).
Wewenang Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini terdapat pada
BAB IX Pasal 111 yang isinya:
(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
78
d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti;
e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau
ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang
disita secara tidak sah;
f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi
oleh pengacara;
g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke
pengadilan.
j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap Penyidikan.
(2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali
ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.
(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j) tersebut terkait dalam hal
hak-hak tersangka. Hal ini harus diperhatikan pula akibat hukum dalam
wewenangnya menetapkan atau memutuskan pelanggaran terhadap hak-hak
tersangka selama tahap penyidikan.
Menurut pendapat Eddy Rifai, berdasarkan ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j)
dimana terkait hal tentang hak-hak tersangka. Sebagai akibat hukumnya apabila
terjadi pelanggaran maka dia harus dikenakan sanksi yang melanggar itu. Tapi
tidak berarti bahwa pelanggaran terhadap hak-hak tersangka itu lantas
menghilangkan sifat pidana dari perbuatan tersangka.
79
Tidak sahnya perbuatan yang didasarkan pada tidak sahnya tindakan hukum yang
dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka apabila tindakan itu dilakukan dengan
melanggar hak-hak tersangka. Jadi misalnya penyidik melakukan penahanan
terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana, kemudian terjadi
pelanggaran terhadap hak tersangka, dimana hak tersangka itu diatur dalam Pasal
88 sampai Pasal 102 RUU KUHAP Tahun 2009, apabila terjadi pelanggaran
terhadap hak tersangka itu, maka si pelanggar itu dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Paling tidak perbuatan itu tidak sah.
Penyidikan tidak dihentikan tetap dilanjutkan, akan tetapi apabila diberlakukan
penangkapan dan penahanan itu tidak sah, maka harus dikeluarkan dari tahanan
karena penyidikan juga dapat dilakukan dengan tidak harus menahan tersangka.
Mengenai upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris
berhalangan hadir atau tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya
maka tugas tersebut dapat dilimpahkan kewenangannya kepada Wakil Ketua
Pengadilan Negeri dan atau staf sekretariat kelembagaan Hakim Komisaris
tersebut untuk dapat memberikan putusan dan penetapan sebagaimana tugas dan
wewenang Hakim Komisaris dalam ketentuan Pasal 111 RUU KUHAP Tahun
2009.
Menurut Pendapat Kadri Husin, berkaitan dengan ketentuan Pasal 111 Ayat (1)
huruf (j) yakni Hakim Komisaris berwenang memberikan putusan atau penetapan
dalam hal Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi
selama tahap Penyidikan. Hal ini harus diperhatikan pula akibat hukum dalam
wewenangnya menetapkan atau memutuskan pelanggaran terhadap hak-hak
80
tersangka selama tahap penyidikan. Sebagai akibat hukumnya apabila terjadi
pelanggaran terhadap hak tersangka selama tahap penyidikan maka penyidik yang
melakukan pelanggaran tersebut harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Hak-hak tersangka tersebut telah diatur dalam pasal 50 KUHAP – 63 KUHAP dan
juga dirumuskan dalam Pasal 88 sampai Pasal 102 RUU KUHAP Tahun 2009.
Jika salah satu hak tersangka yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan
tersebut dilanggar selama tahap penyidikan, maka akibat hukumnya adalah
penyidik dapat dikenakan sanksi yuridis dan sanksi dari instansi kelembagaannya.
Berkaitan dengan upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris
berhalangan hadir atau tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya
maka ditinjau dari Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009 tentang kelembagaan
Hakim Komisaris, melihat bahwa Hakim Komisaris itu satu orang dalam setiap
satu pengadilan, kemudian Hakim Komisaris itu tidak lagi bertugas sebagai
hakim yang mengadili perkara biasa di pengadilan. Kemudian Hakim Komisaris
mempunyai kantor sendiri, hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris
merupakan suatu lembaga yang di dalamnya terdapat staf ahli dan panitera yang
ikut membantu kinerja Hakim Komisaris, dalam hal ini hakim yang bertugas
sebagai Hakim Komisaris juga sekaligus sebagai kepala kantor Hakim Komisaris
tersebut. Jadi, sebenarnya lebih kepada putusan yang bersifat formal saja.
81
Sehubungan dengan hal tersebut, saat Hakim Komisaris tersebut berhalangan
hadir, maka staf ahli yang ikut membantu kinerja Hakim Komisaris dapat
meminta pertimbangan, petunjuk dan konsultasi hukum terhadap perkara yang
akan diputus. Karena mengingat Pasal 112 Ayat (1) Hakim komisaris memberikan
keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2). Maka dalam waktu
2 (dua) hari walaupun Hakim Komisaris tersebut tidak dapat hadir maka putusan
harus tetap dibacakan.
Mengenai putusan Hakim Komisaris, pada dasarnya keputusan itu sebenarnya
sudah bisa dirancang oleh staf ahli tersebut dan pimpinan itu lah yang mengambil
kebijakan. Jadi sebenarnya putusan itu sudah disusun oleh staf ahlinya, tinggal
membaca putusan tersebut ketika Hakim Komisaris tersebut tidak hadir atau
menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Putusan tersebut dapat dibacakan oleh
staf ahli ataupun oleh wakil ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan dan
prosedural yang berlaku.
Menurut pendapat Shafruddin, melihat ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j)
dimana terkait hal tentang hak-hak tersangka. Sebagai akibat hukumnya apabila
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka selama tahap penyidikan maka
penyidik tersebut harus dikenakan sanksi yang melanggar itu. Jadi tidak sahnya
perbuatan yang didasarkan pada tidak sahnya tindakan hukum yang dilakukan
oleh penyidik terhadap tersangka apabila tindakan itu dilakukan dengan
melanggar hak-hak tersangka.
82
Penyidik yang melakukan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana, kemudian terjadi pelanggaran terhadap hak tersangka, dimana hak
tersangka itu diatur dalam Pasal 50 KUHAP – 63 KUHAP, apabila terjadi
pelanggaran terhadap hak tersangka itu, maka si pelanggar itu dapat dikenakan
sanksi sesuai dengan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Paling tidak perbuatan itu
tidak sah. Penyidikan tidak dihentikan tetap dilanjutkan, akan tetapi apabila
diberlakukan penangkapan dan penahanan itu tidak sah, maka harus dikeluarkan
dari tahanan karena penyidikan juga dapat dilakukan dengan tidak harus
melakukan penahanan.
Berhubungan dengan upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim
Komisaris berhalangan hadir atau tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana
mestinya, jika dilihat dalam struktural kelembagaan Hakim Komisaris, maka
dalam melaksanakan tugasnya tidak akan selesai tugas semuanya dilakukan oleh
Hakim Komisaris. Akan tetapi harus dibantu staf khusus yang membantu
melaksanakan tugasnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 112 Ayat (1) Hakim
komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari
terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111
ayat (2). Maka dalam waktu 2 (dua) hari walaupun Hakim Komisaris tersebut
tidak dapat hadir maka putusan harus tetap dibacakan. Pimpinan (Hakim
Komisaris) itu lah yang mengambil kebijakan. Jadi pada dasarnya putusan itu
sudah disusun oleh stafnya, tinggal membacakan putusan tersebut oleh staf yang
diberi kewenangan oleh Hakim Komisaris sebagai kebijakannya jika Hakim
Komisaris tersebut berhalangan atau tidak hadir.
83
Berdasarkan draft RUU KUHAP yang telah direvisi terbaru yakni RUU KUHAP
Tahun 2009, tidak ada persyaratan bahwa seseorang yang ditangkap atau ditahan
segera dibawa ke depan hakim atau ke depan petugas yudisial lain. Tujuan
tinjauan yudisial (judicial review) langsung adalah untuk menghindari resiko
seseorang ditahan secara tidak sah. Dan untuk mengurangi resiko pelanggaran
HAM lain khususnya terhadap tersangka atau terdakwa seperti penyiksaan atau
penganiayaan dan penghilangan serta hak-hak yang lain sebagaimana terdapat di
dalam ketentuan RUU KUHAP Tahun 2009. Tinjauan yudisial bisa menjamin
bahwa orang yang ditahan menyadari dan bisa mendapatkan hak-hak mereka
(Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 88).
Draft RUU KUHAP yang telah direvisi tersebut mempekenalkan pos (institusi
lembaga) baru tentang Hakim Komisaris, untuk ditunjuk dari jajaran Hakim
pengadilan negeri, khususnya untuk berurusan dengan isu pra penyidikan. Ini
secara potensial merupakan perkembangan positif dan secara khusus penting
bahwa Hakim Komisaris menjadi dasar pada atau dekat pusat penahanan untuk
memfasilitasi akses yang lebih mudah dari tahanan. Dalam RUU KUHAP Tahun
2009, tersangka yang ditangkap dan ditahan memiliki hak untuk meragukan
tentang perlunya penahanan mereka di depan Hakim Komisaris (Pasal 88 RUU
KUHAP Tahun 2009).
Sehubungan dengan hal tersebut, walaupun demikian, ketetapan-ketetapan ini
tidak memuaskan dalam hal persyaratan tentang siapa saja yang ditangkap atau
ditahan karena tuntutan pidana harus segera dibawa kedepan seorang hakim atau
petugas yudisial lain (kehakiman).
84
Prosedur untuk meminta adanya pemeriksaan di depan Hakim Komisaris
tergantung pada posisi dan kesadaran tahanan tersebut dalam mendapatkan hak
mereka untuk meragukan keabsahan penahanan mereka. RUU KUHAP Tahun
2009 tidak menyatakan bahwa penguasa harus, secara hukum, membawa semua
orang yang ditangkap atau ditahahan didepan seorang hakim tanpa penundaan.
Karena ketiadaan persyaratan semacam itu, sesorang mungkin ditahan dalam
priode yang lama tidak terbatas tanpa diberi pertimbangan tentang masalah
keabsahan tehadap penahanan mereka (Andi Hamzah, 2009: 34).
Beberapa praktisi hukum memberikan tanggapan terhadap RUU KUHAP Tahun
2009, memberi rekomendasi bahwa KUHAP yang telah direvisi harus
mensyaratkan bahwa setiap orang yang ditangkap dan ditahan berdasarkan
tuntutan pidana harus segera dibawa sendiri didepan seorang hakim atau petugas
yudisial lain yang berwenang. Peran ini bisa dipenuhi oleh Hakim Komisaris.
Hakim Komisaris secara tepat waktu harus meninjau keabsahan penyidikan dan
penahanan, apakah perlu ada penahanan lebih lanjut atau tidak, dan apakah
tersangka telah diberi nasehat tentang hak-haknya, dan bisa mendapatkan hak-
haknya tersebut. Hakim Komisaris juga harus diberi kekuasaan meminta semua
aspek penanganan tersangka selanjutnya. Hal ini juga bertujuan agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak tersangka seperti tentang penyiksaan dan
penganiayaan lain serta bentuk-bentuk pelanggaran hak tersangka yang lain
selama proses penyidikan dan penyelidikan (T. Gayus Lumbuun, 2007: 11).
85
Ketentuan dalam perundang-undangan melarang adanya penyiksaan dan
penganiayaan serta pelanggaran hak yang lain dalam semua keadaan. Seperti telah
diuraikan di atas, draft RUU KUHAP Tahun 2009 juga mensyaratkan bahwa tidak
seorangpun yang dituduh melakukan tindak pidana dapat dipaksa untuk mengaku
salah atau memberikan kesaksian yang memberatkan diri mereka sendiri
(Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 99).
Walaupun demikian, ketentuan-ketentuan dalam RUU KUHAP yang telah
direvisi ini yakni RUU KUHAP Tahun 2009 tidak cukup menyampaikan tentang
memerangi dan mencegah penggunaan penyiksaan dan penganiayaan lain dalam
semua keadaan. Pertama, RUU KUHAP Tahun 2009 diam tentang
penggunaannya yang mungkin dibuat dalam pengadilan tentang informasi yang
didapatkan sebagai akibat adanya penyiksaan dan/atau penganiayaan. Berlawanan
dengan standar Internasional, disitu tidak ada ketentuan jelas, mana yang
memasukkan penggunaan bukti atau kesaksian dalam pengadilan yang telah
didapatkan karena adanya penyiksaan. Hal tersebut diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim tentang apakah bukti yang dinyatakan didapatkan di bawah
penyiksaan atau tidak diakui, dan bila diakui, bobotnya seperti apa.
Hakim tidak memiliki otoritas untuk memerintahkan penyidikan oleh otoritas
yang adil ke dalam pernyataan bahwa bukti atau kesaksian didapatkan di bawah
penyiksaan atau penganiayaan. Kedua, kantor baru Hakim Komisaris antara lain
dibentuk untuk mendengarkan tentang keberatan Pra Peradilan terhadap
keabsahan penangkapan, penahanan dan penyidikan, tidak memiliki otoritas
eksplisit untuk dimasukkan dalam kondisi penahanan dan perlakuan terhadap
86
tersangka selama dalam tahap penyidikan dan penahanan. Prosedur Pra Peradilan
di dalam KUHAP yang berlaku saat ini terbatas dalam cara yang sama. Ini
dianggap sebagai salah satu kelemahan dan alasan mengapa prosedur tersebut
tidak sering digunakan (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 112).
Hakim Komisaris harus bisa mendengarkan pernyataan apapun dari seorang
tersangka atau terdakwa tentang perlakuan terhadapnya selama tahap penyidikan
dan penahanan. Hakim Komisaris harus menjamin bahwa tahanan bisa
menyampaikannya ke dia dalam suasana yang bebas dari intimidasi. Bila ada
tanda penyiksaan atau penganiayaan, Hakim Komisaris harus diminta untuk
segera menyelidikinya tanpa penundaan, bahkan bila tahanan tidak meminta
pernyataan apapun. Bila penyidikan atau pernyataan tahanan sendiri memberikan
alasan untuk mempercayai bahwa telah terjadi penyiksaan atau penganiayaan,
Hakim Komisaris harus mengupayakan adanya penyelidikan yang efektif untuk
melindungi tahanan terhadap penganiayaan lebih lanjut, dan bila penahanan tidak
sah atau tidak perlu, memerintahkan langsung agar tahanan tersebut dilepaskan
dalam kondisi yang aman (Andi Hamzah, 2009: 52).
RUU KUHAP Tahun 2009 secara eksplisit harus melarang hal yang dapat
diterima di pengadilan dan dalam proses apapun yang lain tentang bukti yang
diperoleh sebagai akibat adanya penyiksaan atau penganiayaan, kecuali dalam
proses yang dilakukan terhadap orang yang dinyatakan sebagai pelaku sebagai
bukti adanya penyiksaan atau penganiayaan.
87
Hakim Komisaris berkewajiban untuk menyelidiki tentang penanganan terhadap
tersangka selama tahap penyidikan dan penahanan. Bila penyelidikan atau
pernyataan tahanan sendiri memberikan alasan untuk percaya bahwa telah terjadi
penyiksaan atau penganiayaan atau pelanggaran hak-hak tersangka yang lain,
Hakim Komisaris harus diminta untuk mengupayakan suatu investigasi yang
efektif, dan mengambil langkah efektif untuk melindungi tersangka dan tindakan
pelanggaran lebih jauh, dan, bila penahanan tidak sah atau tidak perlu, segera
memerintahkan pelepasan tahanan. Disamping itu, harus ada prosedur yang jelas
bagi mereka yang menyatakan diri mengalami penyiksaan atau penganiayaan atau
pelanggaran hak-hak tersangka yang lain, supaya klaim mereka dan komplain
mereka segera diselidiki dan secara imparsial, dalam pemeriksaan terpisah,
sebelum bukti tersebut diakui oleh pengadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka jika salah satu hak tersangka yang terdapat
dalam ketentuan perundang-undangan tersebut dilanggar selama tahap
penyidikan, maka akibat hukumnya adalah penyidik dapat dikenakan sanksi
yuridis dan sanksi dari instansi kelembagaannya dan segera memerintahkan
pelepasan tahanan dalam kondisi aman.
Upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan hadir
atau tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya maka jika dilihat dalam
ketentuan Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009 tentang kelembagaan Hakim
Komisaris, bahwa Hakim Komisaris itu merupakan hakim tunggal yang
memeriksa, menetapkan, atau memutus karena jabatannya seorang diri, dan
Hakim Komisaris tersebut bertindak sebagai hakim khusus yang tidak lagi
88
bertugas sebagai hakim yang mengadili perkara biasa di pengadilan. Dimana
Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara, Hal ini berarti
bahwa setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim
Komisaris yang memutus seorang diri, dalam hal ini hakim yang bertugas sebagai
Hakim Komisaris juga menjabat sebagai pimpinan di kantor Hakim Komisaris
tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 121 Ayat (3) RUU KUHAP Tahun 2009 bahwa
dalam menjalankan tugasnya, Hakim Komisaris dibantu oleh seorang panitera dan
bebrapa orang staf sekretariat. Selain itu dalam menjalankan tugasnya, jika dalam
kondisi mendesak maka Hakim Komisaris dibantu oleh wakil ketua Pengadilan
Negeri dimana Hakim Komisaris sebelumnya bekerja sebagai hakim biasa.
Apabila Hakim Komisaris berhalangan hadir, maka staf ahli (staf sekretariat) dan
panitera tersebut dapat meminta pertimbangan, petunjuk dan konsultasi hukum
terhadap perkara yang akan diputus. Karena mengingat Pasal 112 Ayat (1) Hakim
komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari
terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111
ayat (2). Maka walaupun Hakim Komisaris tersebut tidak dapat hadir maka
putusan harus tetap dibacakan, dimana keputusan itu sebenarnya sudah dirancang
oleh staf ahli tersebut. Jadi sebenarnya putusan itu sudah disusun oleh staf
ahlinya, tinggal membaca putusan tersebut ketika Hakim Komisaris tersebut tidak
hadir atau menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Putusan tersebut dapat
dibacakan oleh staf ahli yang ditunjuk ataupun oleh wakil ketua Pengadilan
Negeri berdasarkan ketentuan dan prosedural yang berlaku.
89
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Oemar Seno.1984. Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Erlangga.
Jakarta.
Hamzah, Andi. 2009. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar
Grafika. Jakarta.
Harahap, M.Yahaya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan
Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.
Lumbuun, T. Gayus. 2007. Makalah Seminar Nasional Revisi KUHAP Dalam
Perspektif Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Berkeadilan.
Semnas Hima Pidana. Bandar Lampung.
Sasangka, Hari. dan Lily Rosita. 2003. Komentar KUHAP. Mandar Maju.
Bandung.
Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.
Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. 2005. Pembaharuan Hukum Acara Pidana.
Citra Aditya. Bandung.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU
KUHAP) Tahun 2009.
www.komisihukum.go.id (advokat/kritik pra peradilan, 21 April 2010, 11:40).
www.legalitas.org. (hakim komisaris/pengganti pra peradilan/RUU KUHAP
2009, 17 Maret 2010, 22:30).
www.hukumonline.com (wacana/hakim komisaris/RUU KUHAP 2009, 04 April
2010, 09:50).