itf

31
Evaluasi Implementasi Kerangka Kerja Inflation Targeting di Indonesia Oleh : Yulia Indrawati, SE, MSi Dosen Jurusan IESP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37 Jember Rumah : Jl. Nias III No. 27 Jember Email dan Facebook : [email protected] Abstract Inflation targeting framework has been implemented in Indonesia’s Monetary Policy implicitly since 1999. Final goal which to reach in Inflation targeting framework was inflation stabilization with to keep economic growth momentum. One of criterion in inflation targeting framework was announcement of inflation target to public, its to achive expectation of economic agent as target. This paper aims to analyse evaluation of inflation targeting framework implementation in Indonesia with range observation 2005.10-2009.12. Specifically, this paper investigates interest rate rule in monetary policy as reaction function of monetary policy to deviation of inflation, output gap and exchange rate. This paper also analysed interrelationship of some macroeconomic variables like economic growth, inflation, BI rate as policy reference of monetary policy, broad money M2, and exchange rate. The tool of analysis that was used in this study, generalized method of moment (GMM) and vector autoregression (VAR). The empirical results of this study showed that post inflation targeting framework implementation, trend of inflation move to near its target. Its seem too in economic growth and exchange rate. BI rate its highly response to shocks of inflation and economic growth movement and exchange rate fluctuation. Inflation stability was be the 1

Upload: yulia-indrawati

Post on 27-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Inflation Targeting

TRANSCRIPT

Page 1: ITF

Evaluasi Implementasi Kerangka Kerja Inflation Targeting di Indonesia

Oleh :Yulia Indrawati, SE, MSi

Dosen Jurusan IESP Fakultas Ekonomi Universitas JemberJl. Kalimantan No. 37 Jember

Rumah : Jl. Nias III No. 27 JemberEmail dan Facebook : [email protected]

Abstract

Inflation targeting framework has been implemented in Indonesia’s Monetary Policy implicitly since 1999. Final goal which to reach in Inflation targeting framework was inflation stabilization with to keep economic growth momentum. One of criterion in inflation targeting framework was announcement of inflation target to public, its to achive expectation of economic agent as target.

This paper aims to analyse evaluation of inflation targeting framework implementation in Indonesia with range observation 2005.10-2009.12. Specifically, this paper investigates interest rate rule in monetary policy as reaction function of monetary policy to deviation of inflation, output gap and exchange rate. This paper also analysed interrelationship of some macroeconomic variables like economic growth, inflation, BI rate as policy reference of monetary policy, broad money M2, and exchange rate. The tool of analysis that was used in this study, generalized method of moment (GMM) and vector autoregression (VAR).

The empirical results of this study showed that post inflation targeting framework implementation, trend of inflation move to near its target. Its seem too in economic growth and exchange rate. BI rate its highly response to shocks of inflation and economic growth movement and exchange rate fluctuation. Inflation stability was be the most policy choice with keeping variation of inflation less than variation of output.

Keywords : Evaluation, inflation targeting framework, BI rate

1

Page 2: ITF

I. Latar Belakang

Dalam dekade terakhir, beberapa negara baik negara maju maupun negara

emerging economies mengadopsi kerangka kerja inflation targeting dalam sistem

kebijakan moneter. Beberapa negara maju seperti Kanada (1991), Israel (1991), Inggris

(1992), Swedia (1993), Finlandia (1993), Australia (1993), Spanyol (1994) dan

beberapa negara emerging economies antara lain Amerika Latin seperti Chili, Meksiko,

Brazil, negara-negara di Eropa Timur seperti Polandia, Check Republik dan negara-

negara di Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Philipina dan Indonesia.

Inflation targeting merupakan sebuah kerangka dalam sistem kebijakan moneter

dengan sasaran tunggal menciptakan stabilisasi tingkat harga. Sebuah konsensus dalam

kerangka kerja inflation targeting adalah tercapainya tingkat inflasi yang rendah dan

stabil. Dengan tercapainya tingkat inflasi yang rendah dalam jangka menengah,

diharapkan akan memberikan peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam jangka

panjang. Hal ini mengingat tidak adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan

ekonomi dalam jangka panjang.

Secara umum, kerangka kerja inflation targeting memiliki beberapa karakteristik

utama antara lain (1) adanya pengumuman secara transparan pada publik mengenai

target inflasi yang akan dicapai dalam jangka menengah, (2) adanya komitmen

pencapaian kestabilan harga sebagai tujuan utama, (3) menggunakan seluruh informasi

dalam kebijakan moneter, (4) meningkatkan transparansi sebagai bentuk komunikasi

pada publik dan pasar mengenai rencana, tujuan dan keputusan kebijakan moneter, (5)

meningkatkan akuntabilitas bank sentral dalam mencapai kestabilan inflasi (Miskhin,

2000).

Sebagai nominal anchor dalam kebijakan moneter, implementasi kerangka kerja

inflation targeting memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Beberapa kelebihan

inflation targeting framework antara lain merespon adanya shocks, menggunakan

seluruh informasi dalam pengaturan kebijakan moneter, memiliki peran penting dalam

pemilihan instrumen kebijakan, menurunkan kemungkinan adanya jebakan

inkonsistensi karena pengaruh politik, transparansi dan komunikasi pada publik

sehingga kebijakan lebih akuntabel dalam mencapai target. Sedangkan beberapa

kelemahan adalah diabaikannya tujuan lainnya seperti stabilisasi output. Namun

2

Page 3: ITF

menurut Debelle (1999) bahwa tujuan lain seperti stabilisasi output tetap diperhatikan

mengingat dalam jangka pendek terdapat trade-off antara inflasi dan pertumbuhan

ekonomi.

Beberapa kelemahan lainnya adalah akuntabilitas bank sentral dimana inflasi

sulit dikontrol dan adanya pengaruh dengan lag kebijakan yang cukup panjang.

Permasalahan ini umumnya terjadi di negara sedang berkembang dengan kondisi tingkat

inflasi yang tinggi kearah yang rendah. Hal ini akan memberikan forecast error semakin

besar dan sulit mencapai target sehingga bank sentral mengalami kesulitan untuk

menjelaskan alasan adanya deviasi dari target dan pencapaian kredibilitas. Menurut

Masson (1997), keberhasilan kerangka kerja inflation targeting akan lebih efektif bila

diawali dengan implementasi setelah berhasil mencapai disinflasi. Faktor lainnya adalah

pentingnya koordinasi yang tinggi antara pihak yang mempengaruhi harga dan

pengambil kebijakan moneter serta tidak adanya dominasi fiskal dalam kebijakan

moneter.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mengadopsi kerangka kerja

inflation targeting sejak Juli tahun 2005. Pada tahun 1999, secara implisit Indonesia

menerapkan kerangka kerja inflation targeting sebagaimana tercantum dalam UU No.23

tahun 1999 dan diamandemen dengan UU No.3 tahun 2004. Namun karena masih

dalam program IMF, sasaran operasional yang digunakan adalah base money, sehingga

disebut dengan inflation targeting lite country. Pada tahun 2004, Bank Indonesia

menerapkan full-pledged inflation targeting. Implementasi kerangka kerja yang diawali

pada Juli tahun 2005, menggunakan sasaran operasional BI rate sebagai policy

reference dalam memberikan sinyal bagi pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter.

Inflasi yang digunakan adalah inflasi Indeks Harga Konsumen (headline inflation)

dengan time horizon adalah 2-5 tahun. Koordinasi dengan pemerintah juga telah

dilakukan sebagaimana tersusun dalam roadmap pengendalian inflasi sejak Februari

tahun 2005 (Bank Indonesia, 2005).

Krisis keuangan global yang terjadi pada akhir tahun 2008 dan berlangsung

hingga tahun 2009 memberikan tekanan cukup berat pada kebijakan moneter terutama

dalam peningkatan stabilitas keuangan. Krisis ekonomi global menyebabkan aliran

modal keluar secara masif terutama pada triwulan I tahun 2009 sehingga menekan nilai

3

Page 4: ITF

tukar Rupiah dan menurunkan kinerja pasar saham dan obligasi. Serangkaian kebijakan

yang ditempuh dalam merespon tekanan krisis tidak hanya ditujukan untuk mencapai

keselarasan antara pencapaian kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi, namun juga

menjaga stabilitas sistem keuangan. Dengan mempertimbangkan tekanan inflasi yang

diindikasikan menurun, kebijakan moneter diarahkan pada stance longgar untuk

menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih dalam sekaligus menjaga stabilitas

sistem keuangan. Bank Indonesia juga menurunkan BI Rate secara signifikan. Pilihan

stance ini sejalan dengan penerapan kerangka kerja Inflation Targeting Framework yang

cukup fleksibel dalam mengupayakan keselarasan antara pencapaian target inflasi dan

pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut didukung oleh beberapa kebijakan

operasional baik di pasar uang rupiah maupun pasar uang valas. Kebijakan pendukung

ini bertujuan untuk memberikan keyakinan akan ketersediaan likuiditas jangka pendek

dalam mendukung aktivitas di pasar (Bank Indonesia, 2009).

2. Tujuan Penulisan

Paper ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kerangka kerja inflation

targeting di Indonesia yang secara eksplisit baru diadopsi sejak Juli tahun 2005. Dengan

menganalisis karakteristik sebagaimana disyaratkan dalam kerangka kerja inflation

targeting dan perkembangan beberapa indikator serta didukung dengan beberapa

pendekatan, diharapkan dapat dianalisis apakah kerangka kerja inflation targeting sudah

tepat dalam implementasi kebijakan moneter di Indonesia. Bagian ketiga dari tulisan ini

mengetengahkan tinjauan teoritis karakteristik kerangka kerja inflation targeting dan

respon kebijakan moneter berbentuk policy rule. Bagian keempat mengetengahkan

metodologi penulisan dan desain policy rule. Bagian kelima menampilkan hasil analisis

baik deskriptif maupun kuantitatif untuk mengevaluasi implementasi kerangka kerja

inflation targeting di Indonesia. Bagian akhir dari tulisan ini adalah kesimpulan.

3. Tinjauan Teoritis

3.1 Karakteristik Kerangka Kerja Inflation Targeting

Prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja inflation targeting adalah bahwa

sasaran akhir dari kebijakan moneter hanya mencapai dan memelihara laju inflasi yang

4

Page 5: ITF

rendah dan stabil. Secara lebih rinci beberapa karakteristik inflation targeting sebagai

berikut :

Tabel 3.1 : Karakteristik Inflation Targeting

No. KriteriaBernanke

et.al (1999)Svensson (2000)

1.Kestabilan harga sebagai tujuan akhir kebijakan moneter

Ya Ya

2. Pengumuman target inflasi Ya Ya3. Target inflasi jangka menengah Tidak jelas Ya4. Komunikasi intensif dengan publik Ya Ya

5.Penggunaan monetary rule secara spesifik

Tidak jelasPenargetan

prakiraan inflasi6. Publikasi perkiraan inflasi dan output Tidak jelas Ya

7.Target ditetapkan oleh pemerntah (goal dependence)

Ya Tidak Perlu

8. Penggunaan instrumen secara independen Ya YaSumber : Bank Indonesia, 2003

Selain beberapa karakteristik tersebut, keberhasilan kebijakan pencapaian inflasi

sebagai sasaran tunggal mensyaratkan beberapa hal antara lain (1) independensi bank

sentral terutama dalam melaksanakan kebijakan moneter, (2) sistem nilai tukar

mengambang, (3) keberadaan indikator harga yang relevan dengan sasaran kebijakan,

(4) metodologi proyeksi inflasi yang baik,dan (5) tidak adanya dominasi sektor fiskal.

Sedangkan beberapa konsep dasar kebijakan moneter dalam kerangka kerja

inflation targeting adalah.

1. Sasaran inflasi yang ingin dicapai oleh bank sentral. Penetapan sasaran dengan

memperhatikan berbagai faktor dan perkembangan ekonomi makro terutama adanya

social loss akibat trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Penentuan

penggunaan sasaran inflasi dengan headline atau core inflation.

2. Kebijakan moneter yang forward looking. Sebagai nominal anchor, perumusan

kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran yang ditetapkan mengingat

adanya tenggat waktu pengaruh kebijakan terhadap inflasi.

3. Transparansi yang tinggi dari bank sentral untuk mengarahkan ekspektasi inflasi

masyarakat sesuai dengan target yang diinginkan bank sentral. Bentuk transparansi

diwujudkan melalui penjelasan bank sentral secara periodik pada publik mengenai

perkembangan ekonomi, proyeksi inflasi dan kebijakan yang diambil

5

Page 6: ITF

4. Akuntabilitas dan kredibilitas dengan mengumumkan dan

mempertanggungjawabkan target inflasi pada publik serta komitmen untuk

mencapai target tersebut.

3.2 Respon Kebijakan Moneter

Pada umumnya negara-negara yang mengadopsi kerangka kerja inflation

targeting menerapkan kebijakan moneter yang forward looking dan menggunakan

pengendalian suku bunga. Pendekatan ini diyakini lebih efektif dalam mempengaruhi

permintaan agregat dan inflasi. Dalam pendekatan ini, kebijakan moneter dilakukan

secara constrained discretionary dengan bantuan forward-looking policy rule untuk

meminimalkan gejolak kesenjangan output dan inflasi yang akan terjadi (Hutabarat,

2000). Strategi kebijakan yang bersifat diskresi yang dibatasi dibutuhkan kedisiplinan

bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter dengan tanpa menghilangkan

fleksibilitas dalam merespon perekonomian. Kerangka kerja inflation targeting

menggabungkan keunggulan strategi rules dan strategi diskresi.

Ada dua jenis pendekatan yang diterapkan dalam merumuskan rule kebijakan

moneter yang forward looking yaitu optimal inflation targeting dan variasi rule yang

berbasis Taylor rule. Pendekatan pertama mengacu pada suatu fungsi tujuan yang

merupakan social loss function yang perlu diminimalkan dengan mempertimbangkan

proyeksi pergerakan output dan kapasitas produksi dan proyeksi inflasi.

(3.1)

dimana π adalah tingkat inflasi, π* adalah target inflasi, yt output aktual, y* output

potensial dan it adalah suku bunga nominal. Parameter γ, λ dan v masing-masing

merupakan bobot relatif dari deviasi inflasi, kesenjangan output dan stabilisasi

pergerakan suku bunga oleh bank sentral.

Pemilihan instrumen kebijakan yaitu suku bunga (it) digunakan untuk

meminimisasi fungsi loss persamaan (3.1) dan dinyatakan dalam suatu policy rule.

Sedangkan pemilihan parameter dalam fungsi loss menggambarkan ukuran seberapa

fleksibel penerapan inflation targeting. Jika parameter λ ditetapkan sebesar nol, artinya,

menghiraukan dampak gejolak output yang akan ditimbulkan oleh kebijakan, dalam arti

kestabilan inflasi lebih diutamakan. Penerapan inflation targeting ini disebut strict

6

Page 7: ITF

inflation targeting. Sedangkan alternatifnya adalah flexible inflation targeting dimana

otoritas moneter memberikan bobot positif terhadap parameter λ, yang artinya gejolak

output juga diperhatikan dalam fungsi kerugian sosial.

Sedangkan pendekatan kedua adalah mendasarkan pada policy rule tertentu yang

merupakan hasil simulasi yang mempertimbangkan dampak rule terhadap proyeksi

pergerakan inflasi dan output ke depan. Salah satu contoh adalah inflation forecast

based rule. Dalam hal ini, bank sentral melalui kebijakan suku bunga tergantung pada

proyeksi inflasi pada periode mendatang menyimpang dari target yang ditetapkan.

(3.2)

Meskipun secara eksplisit pendekatan ini tidak memasukkan stabilisasi output, namun

pertimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi diakomodasi secara implisit dalam

parameter j dan θ dimana semakin besar j atau semakin kecil θ maka gejolak output

semakin berkurang.

4. Metodologi Penelitian

4.1 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder runtun waktu bulanan dengan periode

pengamatan tahun 2005.10 – 2009.12. Beberapa variabel yang digunakan adalah tingkat

suku bunga, inflasi, output gap, jumlah uang M1 dan nilai tukar. Tingkat suku bunga

yang digunakan adalah BI Rate. Data inflasi yang digunakan adalah inflasi Indeks

Harga Konsumen (IHK) tahun dasar 2000. Data output aktual adalah data Produk

Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2000, ouput potensial diestimasi

dengan menggunakan metode Hodrick-Prescott filter dan output gap dihitung

berdasarkan selisih antara output aktual dengan output potensial. Tingkat kurs nominal

yang digunakan adalah kurs tengah Rupiah terhadap US Dollar. Semua data diperoleh

dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia dari Bank Indonesia dan CD Room IFS-

IMF.

7

Page 8: ITF

4.2 Metode Analisis

4.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui deskriptif perkembangan beberapa

indikator makroekonomi yang disajikan dalam bentuk grafis maupun numerik. Selain

itu analisis ini juga untuk mengetahui pengaruh ada tidaknya dominasi fiskal.

4.2.2 Analisis Kuantitatif

4.2.2.1 Generalized Method of Moment (GMM)1

Analisis ini digunakan untuk melihat respon kebijakan moneter dengan policy

rule secara forward looking.GMM merupakan metode penaksiran yang robust estimator

dengan prinsip melakukan pemilihan nilai taksiran parameter agar moments dari sampel

selaras dengan moments dari populasi yaitu sama dengan nol. Sehingga keterkaitan

teoritis yang disyaratkan adalah adanya kondisi ortogonalitas antara suatu fungsi dari

parameter linier atau non linier, dengan kumpulan variabel instrumental. Berbeda

dengan penaksiran Ordinary Least Square (OLS) dan Maximum Likelihood Estimation

(MLE), GMM tidak mensyaratkan adanya informasi mengenai bentuk distribusi dari

residual (Jondeau, et.al, 2004).

Secara eksplisit, estimasi fungsi tujuan ditentukan oleh variabel instrumental

yang digunakan untuk menjelaskan variabel independen. Variabel instrumen ini

berkorelasi dengan variabel independen namun tidak berkorelasi dengan error term.

Dalam penelitian ini, digunakan lag dari tingkat suku bunga, inflasi dan output gap dan

digunakan variabel tambahan yaitu nilai tukar dan tingkat suku bunga internasional

sebagai variabel instrumen. Sedangkan untuk mengestimasi bobot matrik kovarian

digunakan metode quadratic spectral kernel, dan digunakan metode Andrews untuk

bandwith. Penggunaan metode ini karena menghasilkan standard error yang lebih kecil

dalam mengestimasi persamaan dibandingkan metode lainnya.

4.2.2.2 Vector Autoregression (VAR)2

Analisis ini digunakan untuk melihat pengaruh shocks antar variabel. Fungsi

impulse response merupakan properti dari model VAR untuk melihat dampak

goncangan dari variabel inovasi terhadap variabel-variabel lainnya. Impulse response 1 Untuk lebih detail lihat Jondeau et.al (2004), Dinardo (1995)2 Untuk lebih detail lihat Enders (2004)

8

Page 9: ITF

adalah respon variabel endogen akibat adanya inovasi (kejutan) dari variabel endogen

yang lain. Analisis impulse response mempunyai kemampuan forward looking sehingga

berguna untuk memprediksi nilai sekarang dan yang akan datang dari variabel endogen

akibat adanya efek kejutan atau inovasi atas variabel yang bersangkutan

4.3 Desain policy rule

Model fungsi reaksi yang digunakan dalam studi ini adalah mengikuti pola

kebijakan yang bersifat rule. Instrumen kebijakan yang digunakan adalah tingkat suku

bunga jangka pendek untuk meminimalkan deviasi antara pencapaian inflasi dan output.

Interest rate rule yang disusun berdasarkan model Taylor rule dalam bentuk forward

looking (Clarida,1998) yaitu sebagai berikut:

............. (4.1)

Tingkat suku bunga (it) yang digunakan oleh bank sentral tergantung pada tingkat suku

bunga nominal, ekspektasi deviasi inflasi (πt) dari target dan ekspektasi output gap (ŷ).

Bila bank sentral menghaluskan tingkat suku bunga, dengan menyesuaikan tingkat suku

bunga aktual terhadap targetnya, diformulasikan sebagai berikut:

.................... (4.2)

Bila dan , dengan mensubstitusikan persamaan (4.2) ke dalam

persamaan (4.1) maka didapatkan:

.................... (4.3)

Dengan menggunakan asumsi ekspektasi rasional, maka persamaan (4.3) dapat

dituliskan kembali menjadi:

.................... (4.4)

dimana, dan vt Є Ωt

ortogonal terhadap εt.

Penelitian ini menggunakan model interest rate rule untuk small open economy, dengan

memperhitungkan pengaruh nilai tukar dalam permodelan.

5. Hasil Analisis dan Pembahasan

5.1 Perkembangan Indikator Makroekonomi

9

Page 10: ITF

Sejak implementasi inflation targeting framework diadopsi pada Juli 2005,

indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup berarti.

Terlihat bahwa inflasi IHK mengalami penurunan menjadi 5,27% (y-oy) pada bulan

November 2006 dibandingkan bulan Oktober sebelumnya yang mencapai 14,55%, di

atas target yang ditetapkan. Penurunan inflasi juga ditandai juga dengan penurunan BI

rate menjadi 9,25% pada Desember 2006.

Krisis global yang berawal dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat

pada tahun 2007, mulai semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk

negara berkembang pada tahun 2008 termasuk Indonesia. Di Indonesia, imbas krisis

mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di

atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat

tekanan berat pada triwulan IV-2008. Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi

secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca

pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami

pelemahan signifikan. Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat

berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong

arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) (Bank Indonesia, 2008). Semakin terintegrasinya

perekonomian global dan semakin dalamnya krisis menyebabkan perekonomian di

seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009. Indonesia tak terkecuali.

Oleh karenanya, upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencegah dampak krisis

ini meluas lebih dalam, melalui kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor riil,

menjadi penting untuk dilakukan di tahun 2009.

10

Page 11: ITF

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 5.1 : Perkembangan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%)

Stance kebijakan moneter longgar yang dilakukan secara terukur tampak pada

perkembangan BI Rate yang cenderung menurun dengan kecepatan bervariasi dalam

tiga periode berbeda. Penetapan BI Rate pada ketiga episode tersebut dilakukan dengan

mempertimbangkan secara menyeluruh berbagai kondisi terkini dan prospek

perekonomian ke depan. Episode pertama adalah Januari-Maret 2009 yaitu penurunan

BI Rate dilakukan cukup agresif sebesar 50 bps setiap bulan. Respon penurunan BI Rate

yang agresif ini ditempuh dengan mempertimbangkan tekanan pada sistem keuangan

yang masih tinggi dan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang masih berlanjut,

sedangkan tekanan inflasi ke depan diperkirakan belum kuat. Episode kedua ialah April-

Agustus 2009 yaitu penurunan BI Rate ditetapkan lebih rendah menjadi 25 bps per

bulan. Arah kebijakan ini ditempuh setelah mempertimbangkan intensitas tekanan pada

sistem keuangan yang mulai menurun dan tekanan inflasi yang minimal, sementara

akselerasi pertumbuhan ekonomi belum cukup cepat. Episode ketiga yaitu September-

Desember 2009 yaitu BI Rate dipertahankan. Di tengah kondisi sistem keuangan yang

semakin membaik, tidak berubahnya level BI Rate tersebut konsisten dengan upaya

pencapaian sasaran inflasi tahun 2010-2011, namun tetap memberikan ruang gerak bagi

upaya mendorong pemulihan ekonomi. Pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan

secara bertahap dan konsisten di tengah berlanjutnya perbaikan ekonomi global tersebut

turut menopang perbaikan berbagai indikator ekonomi domestik (Bank Indonesia,

2009). Begitu halnya dengan indikator makroekonomi lainnya seperti pertumbuhan

11

Page 12: ITF

ekonomi juga mengalami kenaikan cukup signifikan sebesar 5,2% pada triwulan II

tahun 2006 dibandingkan dengan periode sebelumnya yaitu 4,60%. Berdasarkan

perkembangan perekonomian yang cukup baik beberapa periode setelah penerapan

kerangka kerja inflation targeting, mengindikasikan kerangka kerja tersebut cukup

memberikan sinyal yang positif bagi perekonomian.

Sedangkan dari sisi fiskal, saat ini pemerintah telah melakukan serangkaian

kebijakan dan reformasi melalui konsolidasi fiskal untuk menekan defisit anggaran.

Pada 2006, defisit anggaran berhasil ditekan menjadi 22,4 triliun Rupiah dibandingkan

tahun 2005 yang mencapai 26,2 triliun Rupiah.. Sementara itu pembiayaan defisit dari

sisi perbankan dalam negeri menunjukkan penurunan pada tahun 2005 sebesar 4,2

triliun rupiah dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 23,9 triliun Rupiah. Namun pada

tahun 2006 kembali mengalami kenaikan menjadi 23 triliun Rupiah (Departemen

Keuangan, 2006). Kondisi ini menunjukkan relatif rendahnya dominasi fiskal pada

sektor perbankan. Tidak adanya dominasi fiskal akan memberikan iklim yang kondusif

bagi implementasi kerangka kerja inflation targeting. Sebagaimana dalam pengaturan

institusional menurut UU no.23 tahun 1999 dengan amandemen UU No.3 tahun 2004,

bahwa Bank Indonesia dilarang untuk memberikan pinjaman pada pemerintah termasuk

membeli surat utang negara pada pasar primer kecuali di pasar sekunder dalam rangka

operasi pasar terbuka.

5.2 Respon Kebijakan Moneter di Indonesia

Salah satu cara untuk melihat respon kebijakan moneter adalah dengan

menggunakan minimisasi fungsi reaksi kebijakan moneter yang merupakan fungsi

kerugian sosial.

Tabel 5.1: Hasil Estimasi GMM Fungsi Reaksi Tingkat Suku Bunga

Periode Constant BI Rate(-1) Inflasi (+1)Output

GapNilai

TukarR2 J-Stat

2005.10-2009.12-2,3106

(-0,1802)0,9589

(34,2850)0,1122

(0,8723)0,0004

(6,7645)0,2812

(0,2023)0,87 9.85E-16

Angka dalam tanda kurung adalah nilai t-statistik

Berdasarkan tabel 5.1 terlihat bahwa adanya komitmen kearah penerapan kerangka

kerja inflation targeting, ditunjukkan dengan signifikansi variabel yang direspon oleh

12

Page 13: ITF

BI rate sebagai policy reference. Secara umum, seluruh variabel makroekonomi

signifikan direspon oleh suku bunga dengan nilai R2 sebesar 0,87. Sedangkan nilai j-

statistik untuk uji overidentified restriction tidak ditolak.

Terlihat tingkat inflasi dengan nilai koefisien sebesar 0,1122 mengindikasikan

bahwa, adanya kenaikan 1% dari tingkat inflasi akan direspon oleh kenaikan tingkat

suku bunga jangka pendek dalam hal ini BI rate sebesar 0,1122 dengan target horison n

= 1. Namun hal ini akan menurunkan output karena kenaikan tingkat suku bunga untuk

meredam shocks pada sisi permintaan agregat dan adanya trade off antara inflasi dan

output. Hasil estimasi dapat dilihat dari semakin menurunnya tingkat suku bunga BI

rate seiring dengan penurunan inflasi dan cukup stabilnya kondisi makroekonomi.

Sedangkan deviasi output juga cukup signifikan berpengaruh terhadap perubahan

tingkat suku bunga. Nilai koefisien antara inflasi dan deviasi output, menunjukkan

bobot deviasi inflasi lebih besar dibandingkan dengan output. Hal ini mengindikasikan

variance inflasi lebih besar, yang berarti stabilisasi harga memang menjadi tujuan utama

untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Model respon kebijakan moneter dengan forward looking rule seperti hasil

analisis menghasilkan variance inflasi yang lebih besar dari variance output. Model

ekspektasi forward looking memang sangat penting dan cukup substansial dalam

keberhasilan implementasi kebijakan moneter terutama dalam meningkatkan

kredibilitas bank sentral.

Sedangkan minimalisasi terhadap variance inflasi dan output dapat dilakukan

dengan menjalankan kebijakan berdasarkan komitmen, transparansi dan akuntabilitas

dari bank sentral. Hal ini karena komitmen akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat

terhadap inflasi yang dapat mengarahkan suku bunga dalam negeri menjadi lebih rendah

sehingga trade-off antara harga dan output dapat diminimalkan.

Koefisien suku bunga (ρ) menunjukkan tingkat signifikansi yang cukup tinggi

yaitu 0,95. Hal ini menunjukkan adanya tendensi dari Bank Indonesia untuk melakukan

penghalusan tingkat suku bunga. Nilai ρ yang mendekati 1 (satu) menunjukkan adanya

proses penyesuaian yang lebih cepat dari target terhadap nilai aktualnya.

13

Page 14: ITF

5.3 Impulse Response

Kerangka kerja inflation targeting yang lebih merupakan framework daripada

sebuah rule, juga menekankan pada fleksibilitas dalam merespon kondisi perekonomian

yang sedang berlangsung. Untuk melihat pengaruh shocks antar variabel digunakan

analisis impulse response yang merupakan propertis dari model vector autoregression

(VAR). Dengan menggunakan rentang observasi selama periode 2005.10-2009.12,

berikut hasil analisis dengan impulse response.

-.04

.00

.04

.08

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of GR to BI_RATE

-.04

.00

.04

.08

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of GR to KURS

-.04

.00

.04

.08

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of GR to M2

-3

-2

-1

0

1

2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of INF to BI_RATE

-3

-2

-1

0

1

2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of INF to KURS

-3

-2

-1

0

1

2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of INF to M2

Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Keterangan :

GR (Pertumbuhan Ekonomi), INF (Inflasi), BI_Rate (Policy Reference BI Rate); VAR Lag optimal 2

Gambar 5.3 : Respon Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Variabel

Makroekonomi

14

Page 15: ITF

Pengaruh shocks yang bersumber dari nilai tukar direspon positif oleh tingkat

inflasi setelah bulan ke-4, sedangkan respon pertumbuhan ekonomi pada horison awal.

Sementara itu pengaruh tingkat suku bunga BI rate direspon positif inflasi pada horison

ke-6 dengan standar deviasi 0,067, sedangkan pertumbuhan ekonomi merespon negatif

shocks yang bersumber dari tingkat suku bunga pada horison bulan ke-2. Jumlah uang

M2 direspon positif oleh perkembangan inflasi pada horison bulan ke-5 sedangkan

respon pertumbuhan ekonomi terhadap M2 sejak horison ke-2.

-.4

-.3

-.2

-.1

.0

.1

.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI_RATE to GR

-.4

-.3

-.2

-.1

.0

.1

.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI_RATE to INF

-.4

-.3

-.2

-.1

.0

.1

.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI_RATE to KURS

-.4

-.3

-.2

-.1

.0

.1

.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI_RATE to M2

Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Keterangan :

GR (Pertumbuhan Ekonomi), INF (Inflasi), BI_Rate (Policy Reference BI Rate); VAR Lag optimal 2

Gambar 5.4 : Respon Tingkat suku bunga terhadap beberapa variabel

Sementara itu adanya shocks yang bersumber dari pertumbuhan ekonomi, inflasi dan

nilai tukar memiliki standar deviasi yang cukup besar dan respon negatif dari

perkembangan BI Rate. Adanya krisis keuangan global yang berdampak pada ahkir

tahun 2008, memberikan tekanan pada kinerja makroekonomi. Sedangkan suku bunga

BI Rate merespon positif perkembangan uang beredar pada awal horison hingga horison

15

Page 16: ITF

ke-5. Shocks yang bersumber dari keempat variabel cukup signifikan berpengaruh, yang

menyebabkan respon suku bunga membutuhkan waktu yang lama menuju

keseimbangan.

5.4 Evaluasi Implementasi Kerangka Kerja inflation Targeting

Berdasarkan perkembangan indikator makroekonomi dan hasil analisis, dapat

diambil beberapa hal penting dari penerapan kerangka kerja inflation targeting. Secara

umum, beberapa karakteristik dalam implementasi kerangka kerja inflation targeting di

Indonesia, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2 : Beberapa Elemen Pokok Kerangka Kerja Inflation Targeting di Indonesia

Elemen Pengaturan ImplementasiTarget Inflasi Ditetapkan oleh pemerintah atas

rekomendasi dari Bank IndonesiaTarget inflasi : 8%±1%, 6%±1%, dan 5 ±1% untuk 2006, 2007 dan 2008Target jk.menengah : 3%

Instrumen - Instrumen yang independen- Open Market Operation

dengan sertifikat Bank Indonesia

- Policy rate : BI rate- Implementasi

mingguan pada SBI 1 bulan

Proses pengambilan keputusan

- Regular board meeting- Tidak ada anggota

eksternal

- kuartalan : stance dan BI rate

- Review bulanan : BI rate

Transparansi dan akuntabilitas

- Akuntabilitas terhadap DPR

- Berbagai laporan dan komunikasi

- Laporan kuartalan kebijakan moneter

- Press release dan conference

- websiteKoordinasi dengan Pemerintah

- Pembentukan tim pengendalian inflasi

- Pertemuan rutin

- Koordinasi penetapan target inflasi dan pengendalian inflasi

- Pembahasan asumsi makroekonomi untuk penetapan anggaran

Sumber : Warjiyo, 2006

Berdasarkan beberapa elemen pokok dalam implementasi kerangka kerja inflation

targeting dan perkembangan indikator makroekonomi terkini, tingkat inflasi mencapai

level di bawah target inflasi yang ditetapkan. Begitu halnya dengan perkembangan suku

16

Page 17: ITF

bunga BI rate sebagai policy reference juga menunjukkan penurunan yang cukup

signifikan. Momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dan mengalami kenaikan.

Bentuk transparansi dan akuntabilitas maupun proses pengambilan keputusan juga telah

dilakukan, baik melalui laporan kebijakan,website maupun press release. Langkah

koordinasi dengan pemerintah dalam hal pengendalian inflasi juga telah dilakukan yang

terangkum dalam roadmap sejak Februari tahun 2005. Terpenuhinya beberapa elemen

pokok kerangka kerja inflation targeting tersebut dan didukung kondisi perekonomian

yang stabil, diperkirakan pada tahun 2007, momentum perekonomian yang stabil

optimis akan dapat tercapai.

6. Kesimpulan

Penerapan kerangka kerja inflation targeting merupakan langkah baru dalam

kebijakan moneter di Indonesia. Kerangka kerja inflation targeting mengarahkan

ekspektasi inflasi masyarakat sesuai dengan target yang diharapkan sehingga

kredibililitas dapat terjaga. Dengan tetap memberikan momentum yang kondusif bagi

pertumbuhan ekonomi, kerangka kerja inflation targeting diharapkan dapat

menciptakan stabilisasi perekonomian secara keseluruhan.

Paper ini mencoba untuk mengevaluasi implementasi kerangka kerja inflation

targeting di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis, implementasi memberikan sinyal

yang positif bagi perekonomian yang didukung oleh terpenuhinya beberapa

karakteristik yang disyaratkan dalam kerangka kerja tersebut. Begitu halnya dengan

analisis monetary rule secara forward looking, stabilisasi inflasi memang merupakan

pilihan strategi dalam kebijakan moneter di Indonesia. BI rate cukup merespon

perkembangan inflasi maupun output. Sedangkan analisis impulse response

menunjukkan bahwa variabel kebijakan cukup responsif terhadap terjadinya shocks.

Penerapan inflation targeting framework yang memberikan ruang bagi

stabilisasi inflasi dapat tercapai tanpa mengorbankan output yang terlalu besar adalah

dengan merumuskan strategi dalam implementasi yang tepat. Komitmen, kredibilitas,

transparansi dan akuntabilitas serta fleksibilitas merupakan komponen penting dalam

penerapan inflation targeting framework.

17

Page 18: ITF

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia, (2003), “Bank Indonesia:Bank Sentral Republik Indonesia, Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

Bank Indonesia, 2005-2009, Laporan Perekonomian Indonesia

Clarida, R., Gali J.,dan Gertler, M., (1998), “Monetary Policy Rules in Practice: Some International Evidence”, European Economic Review, 42, pp.1033-1067

Debelle, Guy, (1999), Inflation Targeting and Output Stabilisation, Research Discussion Paper, Reserve Bank of Australia, June

Departemen Keuangan, 2006, Nota Keuangan Republik Indonesia

Enders, Walter, (2004), “Applied Econometric Time Series”, John Wiley and Sons, Inc.

Hutabarat, Akhis R., (2000), “Pengendalian Inflasi melalui Inflation Targeting”, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bagian Studi Sektor Riil, Bank Indonesia, Oktober

Johnston, Jack dan John DiNardo, (1997), “Econometrics Methods”, The McGraw-Hill COMPANIES, Inc., pp.327-344

Jondeau, E., Le Bihan,H., dan C. Galles, (2004), “Assessing Generalized Method of Moments Estimates of The Federal Reserve Reaction Function”, Journal of Business and Economic Statistics, Vol.22, No. 2, pp. 225-239

Masson, P.R, Savastano, M.A, Sharma, S, (1997), The Scope for Inflation Targeting in Developing Countries, IMF Working Paper WP/97/130

Miskhin, F., (2000), Inflation Targeting in Emerging Countries, NBER 7616

Warjiyo, P. Dan J. Agung (eds), (2001), “Monetary Transmission Mechanism in Indonesia”, Bank Indonesia

Warjiyo, Perry, (2006), Stabilitas Nilai Tukar, Inflasi dan Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Terbuka: Dari Teori ke Praktek di Indonesia, Makalah Kongres ISEI XVI, Manado, Juni

18

Page 19: ITF

Lampiran-lampiran :

Hasil Estimasi Fungsi Reaksi dengan Generalized Method of Moment

Dependent Variable: BI_RATEMethod: Generalized Method of MomentsDate: 06/09/11 Time: 13:45Sample (adjusted): 2006M03 2009M11Included observations: 45 after adjustmentsKernel: Bartlett, Bandwidth: Fixed (3), No prewhiteningSimultaneous weighting matrix & coefficient iterationConvergence achieved after: 1 weight matrix, 2 total coef iterationsInstrument list: BI_RATE(-1) INF(-1) OG LKURS(-5)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C -2.310618 12.81917 -0.180247 0.8579BI_RATE(-1) 0.958924 0.027969 34.28503 0.0000

INF(1) 0.112173 0.128599 0.872272 0.3883OG 0.000440 6.50E-05 6.764548 0.0000

LKURS 0.281229 1.389974 0.202327 0.8407

R-squared 0.873746     Mean dependent var 8.955556Adjusted R-squared 0.861121     S.D. dependent var 1.734746S.E. of regression 0.646479     Sum squared resid 16.71740Durbin-Watson stat 2.032510     J-statistic 9.85E-16

19

Page 20: ITF

Hasil Estimasi dengan Vector Autoregression (VAR)

 Vector Autoregression Estimates Date: 06/09/11 Time: 14:34 Sample (adjusted): 2006M01 2009M12 Included observations: 48 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

BI_RATE GR INF KURS M2

BI_RATE(-1)  1.636035  0.009457 -4.930216  85.99768  18036.01 (0.09170)  (0.09120)  (3.49256)  (259.977)  (17271.9)[ 17.8416] [ 0.10369] [-1.41163] [ 0.33079] [ 1.04424]

BI_RATE(-2) -0.677102 -0.075084  5.513383  81.54856 -16048.21 (0.09906)  (0.09853)  (3.77308)  (280.858)  (18659.2)[-6.83509] [-0.76206] [ 1.46124] [ 0.29035] [-0.86007]

GR(-1) -0.106169 -0.304740  1.882089 -324.5887 -36346.86 (0.16344)  (0.16256)  (6.22511)  (463.381)  (30785.2)[-0.64959] [-1.87464] [ 0.30234] [-0.70048] [-1.18066]

GR(-2) -0.097513 -0.123276 -0.039870  565.7072 -29037.68 (0.15064)  (0.14983)  (5.73747)  (427.082)  (28373.7)[-0.64733] [-0.82279] [-0.00695] [ 1.32459] [-1.02340]

INF(-1) -0.001699  0.004533 -0.128468  10.71492  853.2686 (0.00449)  (0.00446)  (0.17097)  (12.7267)  (845.513)[-0.37839] [ 1.01531] [-0.75140] [ 0.84192] [ 1.00917]

INF(-2) -0.003484 -0.000488 -0.067002  11.28596  1445.967 (0.00456)  (0.00453)  (0.17356)  (12.9194)  (858.317)[-0.76464] [-0.10759] [-0.38604] [ 0.87356] [ 1.68465]

KURS(-1) -4.11E-05  9.08E-05 -0.000158  0.852548  9.466264 (5.5E-05)  (5.5E-05)  (0.00209)  (0.15577)  (10.3487)[-0.74782] [ 1.66071] [-0.07560] [ 5.47316] [ 0.91473]

KURS(-2) -3.29E-05 -0.000103 -0.000343 -0.279182 -27.00035 (5.3E-05)  (5.3E-05)  (0.00203)  (0.15103)  (10.0340)[-0.61690] [-1.95213] [-0.16913] [-1.84850] [-2.69089]

M2(-1)  7.61E-07 -2.79E-07 -8.94E-06  0.003795  0.791984 (8.1E-07)  (8.0E-07)  (3.1E-05)  (0.00229)  (0.15183)[ 0.94410] [-0.34764] [-0.29132] [ 1.66073] [ 5.21636]

20

Page 21: ITF

M2(-2) -8.27E-07 -3.58E-07  1.27E-05 -0.002037  0.262083 (8.5E-07)  (8.4E-07)  (3.2E-05)  (0.00240)  (0.15927)[-0.97786] [-0.42585] [ 0.39532] [-0.84956] [ 1.64553]

C  1.218898  2.374287 -7.991836 -380.5736  121047.0 (0.51813)  (0.51534)  (19.7344)  (1468.98)  (97593.3)[ 2.35250] [ 4.60727] [-0.40497] [-0.25907] [ 1.24032]

 R-squared  0.995775  0.408980  0.073236  0.824499  0.993287 Adj. R-squared  0.994634  0.249245 -0.177240  0.777066  0.991472 Sum sq. resids  0.704198  0.696624  1021.569  5660431.  2.50E+10 S.E. equation  0.137958  0.137214  5.254518  391.1325  25985.33 F-statistic  872.1102  2.560365  0.292388  17.38247  547.4533 Log likelihood  33.21648  33.47601 -141.4985 -348.3765 -549.7961 Akaike AIC -0.925687 -0.936501  6.354104  14.97402  23.36650 Schwarz SC -0.496870 -0.507684  6.782921  15.40284  23.79532 Mean dependent  9.062500  0.445281 -0.178143  9604.458  1602299. S.D. dependent  1.883227  0.158361  4.842842  828.3917  281394.5

 Determinant resid covariance (dof adj.)  7.05E+11 Determinant resid covariance  1.92E+11 Log likelihood -964.0650 Akaike information criterion  42.46104 Schwarz criterion  44.60512

21