itf
DESCRIPTION
Inflation TargetingTRANSCRIPT
Evaluasi Implementasi Kerangka Kerja Inflation Targeting di Indonesia
Oleh :Yulia Indrawati, SE, MSi
Dosen Jurusan IESP Fakultas Ekonomi Universitas JemberJl. Kalimantan No. 37 Jember
Rumah : Jl. Nias III No. 27 JemberEmail dan Facebook : [email protected]
Abstract
Inflation targeting framework has been implemented in Indonesia’s Monetary Policy implicitly since 1999. Final goal which to reach in Inflation targeting framework was inflation stabilization with to keep economic growth momentum. One of criterion in inflation targeting framework was announcement of inflation target to public, its to achive expectation of economic agent as target.
This paper aims to analyse evaluation of inflation targeting framework implementation in Indonesia with range observation 2005.10-2009.12. Specifically, this paper investigates interest rate rule in monetary policy as reaction function of monetary policy to deviation of inflation, output gap and exchange rate. This paper also analysed interrelationship of some macroeconomic variables like economic growth, inflation, BI rate as policy reference of monetary policy, broad money M2, and exchange rate. The tool of analysis that was used in this study, generalized method of moment (GMM) and vector autoregression (VAR).
The empirical results of this study showed that post inflation targeting framework implementation, trend of inflation move to near its target. Its seem too in economic growth and exchange rate. BI rate its highly response to shocks of inflation and economic growth movement and exchange rate fluctuation. Inflation stability was be the most policy choice with keeping variation of inflation less than variation of output.
Keywords : Evaluation, inflation targeting framework, BI rate
1
I. Latar Belakang
Dalam dekade terakhir, beberapa negara baik negara maju maupun negara
emerging economies mengadopsi kerangka kerja inflation targeting dalam sistem
kebijakan moneter. Beberapa negara maju seperti Kanada (1991), Israel (1991), Inggris
(1992), Swedia (1993), Finlandia (1993), Australia (1993), Spanyol (1994) dan
beberapa negara emerging economies antara lain Amerika Latin seperti Chili, Meksiko,
Brazil, negara-negara di Eropa Timur seperti Polandia, Check Republik dan negara-
negara di Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Philipina dan Indonesia.
Inflation targeting merupakan sebuah kerangka dalam sistem kebijakan moneter
dengan sasaran tunggal menciptakan stabilisasi tingkat harga. Sebuah konsensus dalam
kerangka kerja inflation targeting adalah tercapainya tingkat inflasi yang rendah dan
stabil. Dengan tercapainya tingkat inflasi yang rendah dalam jangka menengah,
diharapkan akan memberikan peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang. Hal ini mengingat tidak adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang.
Secara umum, kerangka kerja inflation targeting memiliki beberapa karakteristik
utama antara lain (1) adanya pengumuman secara transparan pada publik mengenai
target inflasi yang akan dicapai dalam jangka menengah, (2) adanya komitmen
pencapaian kestabilan harga sebagai tujuan utama, (3) menggunakan seluruh informasi
dalam kebijakan moneter, (4) meningkatkan transparansi sebagai bentuk komunikasi
pada publik dan pasar mengenai rencana, tujuan dan keputusan kebijakan moneter, (5)
meningkatkan akuntabilitas bank sentral dalam mencapai kestabilan inflasi (Miskhin,
2000).
Sebagai nominal anchor dalam kebijakan moneter, implementasi kerangka kerja
inflation targeting memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Beberapa kelebihan
inflation targeting framework antara lain merespon adanya shocks, menggunakan
seluruh informasi dalam pengaturan kebijakan moneter, memiliki peran penting dalam
pemilihan instrumen kebijakan, menurunkan kemungkinan adanya jebakan
inkonsistensi karena pengaruh politik, transparansi dan komunikasi pada publik
sehingga kebijakan lebih akuntabel dalam mencapai target. Sedangkan beberapa
kelemahan adalah diabaikannya tujuan lainnya seperti stabilisasi output. Namun
2
menurut Debelle (1999) bahwa tujuan lain seperti stabilisasi output tetap diperhatikan
mengingat dalam jangka pendek terdapat trade-off antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi.
Beberapa kelemahan lainnya adalah akuntabilitas bank sentral dimana inflasi
sulit dikontrol dan adanya pengaruh dengan lag kebijakan yang cukup panjang.
Permasalahan ini umumnya terjadi di negara sedang berkembang dengan kondisi tingkat
inflasi yang tinggi kearah yang rendah. Hal ini akan memberikan forecast error semakin
besar dan sulit mencapai target sehingga bank sentral mengalami kesulitan untuk
menjelaskan alasan adanya deviasi dari target dan pencapaian kredibilitas. Menurut
Masson (1997), keberhasilan kerangka kerja inflation targeting akan lebih efektif bila
diawali dengan implementasi setelah berhasil mencapai disinflasi. Faktor lainnya adalah
pentingnya koordinasi yang tinggi antara pihak yang mempengaruhi harga dan
pengambil kebijakan moneter serta tidak adanya dominasi fiskal dalam kebijakan
moneter.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mengadopsi kerangka kerja
inflation targeting sejak Juli tahun 2005. Pada tahun 1999, secara implisit Indonesia
menerapkan kerangka kerja inflation targeting sebagaimana tercantum dalam UU No.23
tahun 1999 dan diamandemen dengan UU No.3 tahun 2004. Namun karena masih
dalam program IMF, sasaran operasional yang digunakan adalah base money, sehingga
disebut dengan inflation targeting lite country. Pada tahun 2004, Bank Indonesia
menerapkan full-pledged inflation targeting. Implementasi kerangka kerja yang diawali
pada Juli tahun 2005, menggunakan sasaran operasional BI rate sebagai policy
reference dalam memberikan sinyal bagi pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter.
Inflasi yang digunakan adalah inflasi Indeks Harga Konsumen (headline inflation)
dengan time horizon adalah 2-5 tahun. Koordinasi dengan pemerintah juga telah
dilakukan sebagaimana tersusun dalam roadmap pengendalian inflasi sejak Februari
tahun 2005 (Bank Indonesia, 2005).
Krisis keuangan global yang terjadi pada akhir tahun 2008 dan berlangsung
hingga tahun 2009 memberikan tekanan cukup berat pada kebijakan moneter terutama
dalam peningkatan stabilitas keuangan. Krisis ekonomi global menyebabkan aliran
modal keluar secara masif terutama pada triwulan I tahun 2009 sehingga menekan nilai
3
tukar Rupiah dan menurunkan kinerja pasar saham dan obligasi. Serangkaian kebijakan
yang ditempuh dalam merespon tekanan krisis tidak hanya ditujukan untuk mencapai
keselarasan antara pencapaian kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi, namun juga
menjaga stabilitas sistem keuangan. Dengan mempertimbangkan tekanan inflasi yang
diindikasikan menurun, kebijakan moneter diarahkan pada stance longgar untuk
menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih dalam sekaligus menjaga stabilitas
sistem keuangan. Bank Indonesia juga menurunkan BI Rate secara signifikan. Pilihan
stance ini sejalan dengan penerapan kerangka kerja Inflation Targeting Framework yang
cukup fleksibel dalam mengupayakan keselarasan antara pencapaian target inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut didukung oleh beberapa kebijakan
operasional baik di pasar uang rupiah maupun pasar uang valas. Kebijakan pendukung
ini bertujuan untuk memberikan keyakinan akan ketersediaan likuiditas jangka pendek
dalam mendukung aktivitas di pasar (Bank Indonesia, 2009).
2. Tujuan Penulisan
Paper ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kerangka kerja inflation
targeting di Indonesia yang secara eksplisit baru diadopsi sejak Juli tahun 2005. Dengan
menganalisis karakteristik sebagaimana disyaratkan dalam kerangka kerja inflation
targeting dan perkembangan beberapa indikator serta didukung dengan beberapa
pendekatan, diharapkan dapat dianalisis apakah kerangka kerja inflation targeting sudah
tepat dalam implementasi kebijakan moneter di Indonesia. Bagian ketiga dari tulisan ini
mengetengahkan tinjauan teoritis karakteristik kerangka kerja inflation targeting dan
respon kebijakan moneter berbentuk policy rule. Bagian keempat mengetengahkan
metodologi penulisan dan desain policy rule. Bagian kelima menampilkan hasil analisis
baik deskriptif maupun kuantitatif untuk mengevaluasi implementasi kerangka kerja
inflation targeting di Indonesia. Bagian akhir dari tulisan ini adalah kesimpulan.
3. Tinjauan Teoritis
3.1 Karakteristik Kerangka Kerja Inflation Targeting
Prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja inflation targeting adalah bahwa
sasaran akhir dari kebijakan moneter hanya mencapai dan memelihara laju inflasi yang
4
rendah dan stabil. Secara lebih rinci beberapa karakteristik inflation targeting sebagai
berikut :
Tabel 3.1 : Karakteristik Inflation Targeting
No. KriteriaBernanke
et.al (1999)Svensson (2000)
1.Kestabilan harga sebagai tujuan akhir kebijakan moneter
Ya Ya
2. Pengumuman target inflasi Ya Ya3. Target inflasi jangka menengah Tidak jelas Ya4. Komunikasi intensif dengan publik Ya Ya
5.Penggunaan monetary rule secara spesifik
Tidak jelasPenargetan
prakiraan inflasi6. Publikasi perkiraan inflasi dan output Tidak jelas Ya
7.Target ditetapkan oleh pemerntah (goal dependence)
Ya Tidak Perlu
8. Penggunaan instrumen secara independen Ya YaSumber : Bank Indonesia, 2003
Selain beberapa karakteristik tersebut, keberhasilan kebijakan pencapaian inflasi
sebagai sasaran tunggal mensyaratkan beberapa hal antara lain (1) independensi bank
sentral terutama dalam melaksanakan kebijakan moneter, (2) sistem nilai tukar
mengambang, (3) keberadaan indikator harga yang relevan dengan sasaran kebijakan,
(4) metodologi proyeksi inflasi yang baik,dan (5) tidak adanya dominasi sektor fiskal.
Sedangkan beberapa konsep dasar kebijakan moneter dalam kerangka kerja
inflation targeting adalah.
1. Sasaran inflasi yang ingin dicapai oleh bank sentral. Penetapan sasaran dengan
memperhatikan berbagai faktor dan perkembangan ekonomi makro terutama adanya
social loss akibat trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Penentuan
penggunaan sasaran inflasi dengan headline atau core inflation.
2. Kebijakan moneter yang forward looking. Sebagai nominal anchor, perumusan
kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran yang ditetapkan mengingat
adanya tenggat waktu pengaruh kebijakan terhadap inflasi.
3. Transparansi yang tinggi dari bank sentral untuk mengarahkan ekspektasi inflasi
masyarakat sesuai dengan target yang diinginkan bank sentral. Bentuk transparansi
diwujudkan melalui penjelasan bank sentral secara periodik pada publik mengenai
perkembangan ekonomi, proyeksi inflasi dan kebijakan yang diambil
5
4. Akuntabilitas dan kredibilitas dengan mengumumkan dan
mempertanggungjawabkan target inflasi pada publik serta komitmen untuk
mencapai target tersebut.
3.2 Respon Kebijakan Moneter
Pada umumnya negara-negara yang mengadopsi kerangka kerja inflation
targeting menerapkan kebijakan moneter yang forward looking dan menggunakan
pengendalian suku bunga. Pendekatan ini diyakini lebih efektif dalam mempengaruhi
permintaan agregat dan inflasi. Dalam pendekatan ini, kebijakan moneter dilakukan
secara constrained discretionary dengan bantuan forward-looking policy rule untuk
meminimalkan gejolak kesenjangan output dan inflasi yang akan terjadi (Hutabarat,
2000). Strategi kebijakan yang bersifat diskresi yang dibatasi dibutuhkan kedisiplinan
bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter dengan tanpa menghilangkan
fleksibilitas dalam merespon perekonomian. Kerangka kerja inflation targeting
menggabungkan keunggulan strategi rules dan strategi diskresi.
Ada dua jenis pendekatan yang diterapkan dalam merumuskan rule kebijakan
moneter yang forward looking yaitu optimal inflation targeting dan variasi rule yang
berbasis Taylor rule. Pendekatan pertama mengacu pada suatu fungsi tujuan yang
merupakan social loss function yang perlu diminimalkan dengan mempertimbangkan
proyeksi pergerakan output dan kapasitas produksi dan proyeksi inflasi.
(3.1)
dimana π adalah tingkat inflasi, π* adalah target inflasi, yt output aktual, y* output
potensial dan it adalah suku bunga nominal. Parameter γ, λ dan v masing-masing
merupakan bobot relatif dari deviasi inflasi, kesenjangan output dan stabilisasi
pergerakan suku bunga oleh bank sentral.
Pemilihan instrumen kebijakan yaitu suku bunga (it) digunakan untuk
meminimisasi fungsi loss persamaan (3.1) dan dinyatakan dalam suatu policy rule.
Sedangkan pemilihan parameter dalam fungsi loss menggambarkan ukuran seberapa
fleksibel penerapan inflation targeting. Jika parameter λ ditetapkan sebesar nol, artinya,
menghiraukan dampak gejolak output yang akan ditimbulkan oleh kebijakan, dalam arti
kestabilan inflasi lebih diutamakan. Penerapan inflation targeting ini disebut strict
6
inflation targeting. Sedangkan alternatifnya adalah flexible inflation targeting dimana
otoritas moneter memberikan bobot positif terhadap parameter λ, yang artinya gejolak
output juga diperhatikan dalam fungsi kerugian sosial.
Sedangkan pendekatan kedua adalah mendasarkan pada policy rule tertentu yang
merupakan hasil simulasi yang mempertimbangkan dampak rule terhadap proyeksi
pergerakan inflasi dan output ke depan. Salah satu contoh adalah inflation forecast
based rule. Dalam hal ini, bank sentral melalui kebijakan suku bunga tergantung pada
proyeksi inflasi pada periode mendatang menyimpang dari target yang ditetapkan.
(3.2)
Meskipun secara eksplisit pendekatan ini tidak memasukkan stabilisasi output, namun
pertimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi diakomodasi secara implisit dalam
parameter j dan θ dimana semakin besar j atau semakin kecil θ maka gejolak output
semakin berkurang.
4. Metodologi Penelitian
4.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder runtun waktu bulanan dengan periode
pengamatan tahun 2005.10 – 2009.12. Beberapa variabel yang digunakan adalah tingkat
suku bunga, inflasi, output gap, jumlah uang M1 dan nilai tukar. Tingkat suku bunga
yang digunakan adalah BI Rate. Data inflasi yang digunakan adalah inflasi Indeks
Harga Konsumen (IHK) tahun dasar 2000. Data output aktual adalah data Produk
Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2000, ouput potensial diestimasi
dengan menggunakan metode Hodrick-Prescott filter dan output gap dihitung
berdasarkan selisih antara output aktual dengan output potensial. Tingkat kurs nominal
yang digunakan adalah kurs tengah Rupiah terhadap US Dollar. Semua data diperoleh
dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia dari Bank Indonesia dan CD Room IFS-
IMF.
7
4.2 Metode Analisis
4.2.1 Analisis Deskriptif
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui deskriptif perkembangan beberapa
indikator makroekonomi yang disajikan dalam bentuk grafis maupun numerik. Selain
itu analisis ini juga untuk mengetahui pengaruh ada tidaknya dominasi fiskal.
4.2.2 Analisis Kuantitatif
4.2.2.1 Generalized Method of Moment (GMM)1
Analisis ini digunakan untuk melihat respon kebijakan moneter dengan policy
rule secara forward looking.GMM merupakan metode penaksiran yang robust estimator
dengan prinsip melakukan pemilihan nilai taksiran parameter agar moments dari sampel
selaras dengan moments dari populasi yaitu sama dengan nol. Sehingga keterkaitan
teoritis yang disyaratkan adalah adanya kondisi ortogonalitas antara suatu fungsi dari
parameter linier atau non linier, dengan kumpulan variabel instrumental. Berbeda
dengan penaksiran Ordinary Least Square (OLS) dan Maximum Likelihood Estimation
(MLE), GMM tidak mensyaratkan adanya informasi mengenai bentuk distribusi dari
residual (Jondeau, et.al, 2004).
Secara eksplisit, estimasi fungsi tujuan ditentukan oleh variabel instrumental
yang digunakan untuk menjelaskan variabel independen. Variabel instrumen ini
berkorelasi dengan variabel independen namun tidak berkorelasi dengan error term.
Dalam penelitian ini, digunakan lag dari tingkat suku bunga, inflasi dan output gap dan
digunakan variabel tambahan yaitu nilai tukar dan tingkat suku bunga internasional
sebagai variabel instrumen. Sedangkan untuk mengestimasi bobot matrik kovarian
digunakan metode quadratic spectral kernel, dan digunakan metode Andrews untuk
bandwith. Penggunaan metode ini karena menghasilkan standard error yang lebih kecil
dalam mengestimasi persamaan dibandingkan metode lainnya.
4.2.2.2 Vector Autoregression (VAR)2
Analisis ini digunakan untuk melihat pengaruh shocks antar variabel. Fungsi
impulse response merupakan properti dari model VAR untuk melihat dampak
goncangan dari variabel inovasi terhadap variabel-variabel lainnya. Impulse response 1 Untuk lebih detail lihat Jondeau et.al (2004), Dinardo (1995)2 Untuk lebih detail lihat Enders (2004)
8
adalah respon variabel endogen akibat adanya inovasi (kejutan) dari variabel endogen
yang lain. Analisis impulse response mempunyai kemampuan forward looking sehingga
berguna untuk memprediksi nilai sekarang dan yang akan datang dari variabel endogen
akibat adanya efek kejutan atau inovasi atas variabel yang bersangkutan
4.3 Desain policy rule
Model fungsi reaksi yang digunakan dalam studi ini adalah mengikuti pola
kebijakan yang bersifat rule. Instrumen kebijakan yang digunakan adalah tingkat suku
bunga jangka pendek untuk meminimalkan deviasi antara pencapaian inflasi dan output.
Interest rate rule yang disusun berdasarkan model Taylor rule dalam bentuk forward
looking (Clarida,1998) yaitu sebagai berikut:
............. (4.1)
Tingkat suku bunga (it) yang digunakan oleh bank sentral tergantung pada tingkat suku
bunga nominal, ekspektasi deviasi inflasi (πt) dari target dan ekspektasi output gap (ŷ).
Bila bank sentral menghaluskan tingkat suku bunga, dengan menyesuaikan tingkat suku
bunga aktual terhadap targetnya, diformulasikan sebagai berikut:
.................... (4.2)
Bila dan , dengan mensubstitusikan persamaan (4.2) ke dalam
persamaan (4.1) maka didapatkan:
.................... (4.3)
Dengan menggunakan asumsi ekspektasi rasional, maka persamaan (4.3) dapat
dituliskan kembali menjadi:
.................... (4.4)
dimana, dan vt Є Ωt
ortogonal terhadap εt.
Penelitian ini menggunakan model interest rate rule untuk small open economy, dengan
memperhitungkan pengaruh nilai tukar dalam permodelan.
5. Hasil Analisis dan Pembahasan
5.1 Perkembangan Indikator Makroekonomi
9
Sejak implementasi inflation targeting framework diadopsi pada Juli 2005,
indikator makroekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup berarti.
Terlihat bahwa inflasi IHK mengalami penurunan menjadi 5,27% (y-oy) pada bulan
November 2006 dibandingkan bulan Oktober sebelumnya yang mencapai 14,55%, di
atas target yang ditetapkan. Penurunan inflasi juga ditandai juga dengan penurunan BI
rate menjadi 9,25% pada Desember 2006.
Krisis global yang berawal dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat
pada tahun 2007, mulai semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk
negara berkembang pada tahun 2008 termasuk Indonesia. Di Indonesia, imbas krisis
mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di
atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat
tekanan berat pada triwulan IV-2008. Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi
secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca
pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami
pelemahan signifikan. Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat
berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong
arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) (Bank Indonesia, 2008). Semakin terintegrasinya
perekonomian global dan semakin dalamnya krisis menyebabkan perekonomian di
seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009. Indonesia tak terkecuali.
Oleh karenanya, upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencegah dampak krisis
ini meluas lebih dalam, melalui kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor riil,
menjadi penting untuk dilakukan di tahun 2009.
10
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5.1 : Perkembangan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%)
Stance kebijakan moneter longgar yang dilakukan secara terukur tampak pada
perkembangan BI Rate yang cenderung menurun dengan kecepatan bervariasi dalam
tiga periode berbeda. Penetapan BI Rate pada ketiga episode tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan secara menyeluruh berbagai kondisi terkini dan prospek
perekonomian ke depan. Episode pertama adalah Januari-Maret 2009 yaitu penurunan
BI Rate dilakukan cukup agresif sebesar 50 bps setiap bulan. Respon penurunan BI Rate
yang agresif ini ditempuh dengan mempertimbangkan tekanan pada sistem keuangan
yang masih tinggi dan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang masih berlanjut,
sedangkan tekanan inflasi ke depan diperkirakan belum kuat. Episode kedua ialah April-
Agustus 2009 yaitu penurunan BI Rate ditetapkan lebih rendah menjadi 25 bps per
bulan. Arah kebijakan ini ditempuh setelah mempertimbangkan intensitas tekanan pada
sistem keuangan yang mulai menurun dan tekanan inflasi yang minimal, sementara
akselerasi pertumbuhan ekonomi belum cukup cepat. Episode ketiga yaitu September-
Desember 2009 yaitu BI Rate dipertahankan. Di tengah kondisi sistem keuangan yang
semakin membaik, tidak berubahnya level BI Rate tersebut konsisten dengan upaya
pencapaian sasaran inflasi tahun 2010-2011, namun tetap memberikan ruang gerak bagi
upaya mendorong pemulihan ekonomi. Pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan
secara bertahap dan konsisten di tengah berlanjutnya perbaikan ekonomi global tersebut
turut menopang perbaikan berbagai indikator ekonomi domestik (Bank Indonesia,
2009). Begitu halnya dengan indikator makroekonomi lainnya seperti pertumbuhan
11
ekonomi juga mengalami kenaikan cukup signifikan sebesar 5,2% pada triwulan II
tahun 2006 dibandingkan dengan periode sebelumnya yaitu 4,60%. Berdasarkan
perkembangan perekonomian yang cukup baik beberapa periode setelah penerapan
kerangka kerja inflation targeting, mengindikasikan kerangka kerja tersebut cukup
memberikan sinyal yang positif bagi perekonomian.
Sedangkan dari sisi fiskal, saat ini pemerintah telah melakukan serangkaian
kebijakan dan reformasi melalui konsolidasi fiskal untuk menekan defisit anggaran.
Pada 2006, defisit anggaran berhasil ditekan menjadi 22,4 triliun Rupiah dibandingkan
tahun 2005 yang mencapai 26,2 triliun Rupiah.. Sementara itu pembiayaan defisit dari
sisi perbankan dalam negeri menunjukkan penurunan pada tahun 2005 sebesar 4,2
triliun rupiah dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 23,9 triliun Rupiah. Namun pada
tahun 2006 kembali mengalami kenaikan menjadi 23 triliun Rupiah (Departemen
Keuangan, 2006). Kondisi ini menunjukkan relatif rendahnya dominasi fiskal pada
sektor perbankan. Tidak adanya dominasi fiskal akan memberikan iklim yang kondusif
bagi implementasi kerangka kerja inflation targeting. Sebagaimana dalam pengaturan
institusional menurut UU no.23 tahun 1999 dengan amandemen UU No.3 tahun 2004,
bahwa Bank Indonesia dilarang untuk memberikan pinjaman pada pemerintah termasuk
membeli surat utang negara pada pasar primer kecuali di pasar sekunder dalam rangka
operasi pasar terbuka.
5.2 Respon Kebijakan Moneter di Indonesia
Salah satu cara untuk melihat respon kebijakan moneter adalah dengan
menggunakan minimisasi fungsi reaksi kebijakan moneter yang merupakan fungsi
kerugian sosial.
Tabel 5.1: Hasil Estimasi GMM Fungsi Reaksi Tingkat Suku Bunga
Periode Constant BI Rate(-1) Inflasi (+1)Output
GapNilai
TukarR2 J-Stat
2005.10-2009.12-2,3106
(-0,1802)0,9589
(34,2850)0,1122
(0,8723)0,0004
(6,7645)0,2812
(0,2023)0,87 9.85E-16
Angka dalam tanda kurung adalah nilai t-statistik
Berdasarkan tabel 5.1 terlihat bahwa adanya komitmen kearah penerapan kerangka
kerja inflation targeting, ditunjukkan dengan signifikansi variabel yang direspon oleh
12
BI rate sebagai policy reference. Secara umum, seluruh variabel makroekonomi
signifikan direspon oleh suku bunga dengan nilai R2 sebesar 0,87. Sedangkan nilai j-
statistik untuk uji overidentified restriction tidak ditolak.
Terlihat tingkat inflasi dengan nilai koefisien sebesar 0,1122 mengindikasikan
bahwa, adanya kenaikan 1% dari tingkat inflasi akan direspon oleh kenaikan tingkat
suku bunga jangka pendek dalam hal ini BI rate sebesar 0,1122 dengan target horison n
= 1. Namun hal ini akan menurunkan output karena kenaikan tingkat suku bunga untuk
meredam shocks pada sisi permintaan agregat dan adanya trade off antara inflasi dan
output. Hasil estimasi dapat dilihat dari semakin menurunnya tingkat suku bunga BI
rate seiring dengan penurunan inflasi dan cukup stabilnya kondisi makroekonomi.
Sedangkan deviasi output juga cukup signifikan berpengaruh terhadap perubahan
tingkat suku bunga. Nilai koefisien antara inflasi dan deviasi output, menunjukkan
bobot deviasi inflasi lebih besar dibandingkan dengan output. Hal ini mengindikasikan
variance inflasi lebih besar, yang berarti stabilisasi harga memang menjadi tujuan utama
untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Model respon kebijakan moneter dengan forward looking rule seperti hasil
analisis menghasilkan variance inflasi yang lebih besar dari variance output. Model
ekspektasi forward looking memang sangat penting dan cukup substansial dalam
keberhasilan implementasi kebijakan moneter terutama dalam meningkatkan
kredibilitas bank sentral.
Sedangkan minimalisasi terhadap variance inflasi dan output dapat dilakukan
dengan menjalankan kebijakan berdasarkan komitmen, transparansi dan akuntabilitas
dari bank sentral. Hal ini karena komitmen akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat
terhadap inflasi yang dapat mengarahkan suku bunga dalam negeri menjadi lebih rendah
sehingga trade-off antara harga dan output dapat diminimalkan.
Koefisien suku bunga (ρ) menunjukkan tingkat signifikansi yang cukup tinggi
yaitu 0,95. Hal ini menunjukkan adanya tendensi dari Bank Indonesia untuk melakukan
penghalusan tingkat suku bunga. Nilai ρ yang mendekati 1 (satu) menunjukkan adanya
proses penyesuaian yang lebih cepat dari target terhadap nilai aktualnya.
13
5.3 Impulse Response
Kerangka kerja inflation targeting yang lebih merupakan framework daripada
sebuah rule, juga menekankan pada fleksibilitas dalam merespon kondisi perekonomian
yang sedang berlangsung. Untuk melihat pengaruh shocks antar variabel digunakan
analisis impulse response yang merupakan propertis dari model vector autoregression
(VAR). Dengan menggunakan rentang observasi selama periode 2005.10-2009.12,
berikut hasil analisis dengan impulse response.
-.04
.00
.04
.08
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of GR to BI_RATE
-.04
.00
.04
.08
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of GR to KURS
-.04
.00
.04
.08
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of GR to M2
-3
-2
-1
0
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of INF to BI_RATE
-3
-2
-1
0
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of INF to KURS
-3
-2
-1
0
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of INF to M2
Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.
Keterangan :
GR (Pertumbuhan Ekonomi), INF (Inflasi), BI_Rate (Policy Reference BI Rate); VAR Lag optimal 2
Gambar 5.3 : Respon Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Variabel
Makroekonomi
14
Pengaruh shocks yang bersumber dari nilai tukar direspon positif oleh tingkat
inflasi setelah bulan ke-4, sedangkan respon pertumbuhan ekonomi pada horison awal.
Sementara itu pengaruh tingkat suku bunga BI rate direspon positif inflasi pada horison
ke-6 dengan standar deviasi 0,067, sedangkan pertumbuhan ekonomi merespon negatif
shocks yang bersumber dari tingkat suku bunga pada horison bulan ke-2. Jumlah uang
M2 direspon positif oleh perkembangan inflasi pada horison bulan ke-5 sedangkan
respon pertumbuhan ekonomi terhadap M2 sejak horison ke-2.
-.4
-.3
-.2
-.1
.0
.1
.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of BI_RATE to GR
-.4
-.3
-.2
-.1
.0
.1
.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of BI_RATE to INF
-.4
-.3
-.2
-.1
.0
.1
.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of BI_RATE to KURS
-.4
-.3
-.2
-.1
.0
.1
.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of BI_RATE to M2
Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.
Keterangan :
GR (Pertumbuhan Ekonomi), INF (Inflasi), BI_Rate (Policy Reference BI Rate); VAR Lag optimal 2
Gambar 5.4 : Respon Tingkat suku bunga terhadap beberapa variabel
Sementara itu adanya shocks yang bersumber dari pertumbuhan ekonomi, inflasi dan
nilai tukar memiliki standar deviasi yang cukup besar dan respon negatif dari
perkembangan BI Rate. Adanya krisis keuangan global yang berdampak pada ahkir
tahun 2008, memberikan tekanan pada kinerja makroekonomi. Sedangkan suku bunga
BI Rate merespon positif perkembangan uang beredar pada awal horison hingga horison
15
ke-5. Shocks yang bersumber dari keempat variabel cukup signifikan berpengaruh, yang
menyebabkan respon suku bunga membutuhkan waktu yang lama menuju
keseimbangan.
5.4 Evaluasi Implementasi Kerangka Kerja inflation Targeting
Berdasarkan perkembangan indikator makroekonomi dan hasil analisis, dapat
diambil beberapa hal penting dari penerapan kerangka kerja inflation targeting. Secara
umum, beberapa karakteristik dalam implementasi kerangka kerja inflation targeting di
Indonesia, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.2 : Beberapa Elemen Pokok Kerangka Kerja Inflation Targeting di Indonesia
Elemen Pengaturan ImplementasiTarget Inflasi Ditetapkan oleh pemerintah atas
rekomendasi dari Bank IndonesiaTarget inflasi : 8%±1%, 6%±1%, dan 5 ±1% untuk 2006, 2007 dan 2008Target jk.menengah : 3%
Instrumen - Instrumen yang independen- Open Market Operation
dengan sertifikat Bank Indonesia
- Policy rate : BI rate- Implementasi
mingguan pada SBI 1 bulan
Proses pengambilan keputusan
- Regular board meeting- Tidak ada anggota
eksternal
- kuartalan : stance dan BI rate
- Review bulanan : BI rate
Transparansi dan akuntabilitas
- Akuntabilitas terhadap DPR
- Berbagai laporan dan komunikasi
- Laporan kuartalan kebijakan moneter
- Press release dan conference
- websiteKoordinasi dengan Pemerintah
- Pembentukan tim pengendalian inflasi
- Pertemuan rutin
- Koordinasi penetapan target inflasi dan pengendalian inflasi
- Pembahasan asumsi makroekonomi untuk penetapan anggaran
Sumber : Warjiyo, 2006
Berdasarkan beberapa elemen pokok dalam implementasi kerangka kerja inflation
targeting dan perkembangan indikator makroekonomi terkini, tingkat inflasi mencapai
level di bawah target inflasi yang ditetapkan. Begitu halnya dengan perkembangan suku
16
bunga BI rate sebagai policy reference juga menunjukkan penurunan yang cukup
signifikan. Momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dan mengalami kenaikan.
Bentuk transparansi dan akuntabilitas maupun proses pengambilan keputusan juga telah
dilakukan, baik melalui laporan kebijakan,website maupun press release. Langkah
koordinasi dengan pemerintah dalam hal pengendalian inflasi juga telah dilakukan yang
terangkum dalam roadmap sejak Februari tahun 2005. Terpenuhinya beberapa elemen
pokok kerangka kerja inflation targeting tersebut dan didukung kondisi perekonomian
yang stabil, diperkirakan pada tahun 2007, momentum perekonomian yang stabil
optimis akan dapat tercapai.
6. Kesimpulan
Penerapan kerangka kerja inflation targeting merupakan langkah baru dalam
kebijakan moneter di Indonesia. Kerangka kerja inflation targeting mengarahkan
ekspektasi inflasi masyarakat sesuai dengan target yang diharapkan sehingga
kredibililitas dapat terjaga. Dengan tetap memberikan momentum yang kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi, kerangka kerja inflation targeting diharapkan dapat
menciptakan stabilisasi perekonomian secara keseluruhan.
Paper ini mencoba untuk mengevaluasi implementasi kerangka kerja inflation
targeting di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis, implementasi memberikan sinyal
yang positif bagi perekonomian yang didukung oleh terpenuhinya beberapa
karakteristik yang disyaratkan dalam kerangka kerja tersebut. Begitu halnya dengan
analisis monetary rule secara forward looking, stabilisasi inflasi memang merupakan
pilihan strategi dalam kebijakan moneter di Indonesia. BI rate cukup merespon
perkembangan inflasi maupun output. Sedangkan analisis impulse response
menunjukkan bahwa variabel kebijakan cukup responsif terhadap terjadinya shocks.
Penerapan inflation targeting framework yang memberikan ruang bagi
stabilisasi inflasi dapat tercapai tanpa mengorbankan output yang terlalu besar adalah
dengan merumuskan strategi dalam implementasi yang tepat. Komitmen, kredibilitas,
transparansi dan akuntabilitas serta fleksibilitas merupakan komponen penting dalam
penerapan inflation targeting framework.
17
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, (2003), “Bank Indonesia:Bank Sentral Republik Indonesia, Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
Bank Indonesia, 2005-2009, Laporan Perekonomian Indonesia
Clarida, R., Gali J.,dan Gertler, M., (1998), “Monetary Policy Rules in Practice: Some International Evidence”, European Economic Review, 42, pp.1033-1067
Debelle, Guy, (1999), Inflation Targeting and Output Stabilisation, Research Discussion Paper, Reserve Bank of Australia, June
Departemen Keuangan, 2006, Nota Keuangan Republik Indonesia
Enders, Walter, (2004), “Applied Econometric Time Series”, John Wiley and Sons, Inc.
Hutabarat, Akhis R., (2000), “Pengendalian Inflasi melalui Inflation Targeting”, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bagian Studi Sektor Riil, Bank Indonesia, Oktober
Johnston, Jack dan John DiNardo, (1997), “Econometrics Methods”, The McGraw-Hill COMPANIES, Inc., pp.327-344
Jondeau, E., Le Bihan,H., dan C. Galles, (2004), “Assessing Generalized Method of Moments Estimates of The Federal Reserve Reaction Function”, Journal of Business and Economic Statistics, Vol.22, No. 2, pp. 225-239
Masson, P.R, Savastano, M.A, Sharma, S, (1997), The Scope for Inflation Targeting in Developing Countries, IMF Working Paper WP/97/130
Miskhin, F., (2000), Inflation Targeting in Emerging Countries, NBER 7616
Warjiyo, P. Dan J. Agung (eds), (2001), “Monetary Transmission Mechanism in Indonesia”, Bank Indonesia
Warjiyo, Perry, (2006), Stabilitas Nilai Tukar, Inflasi dan Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Terbuka: Dari Teori ke Praktek di Indonesia, Makalah Kongres ISEI XVI, Manado, Juni
18
Lampiran-lampiran :
Hasil Estimasi Fungsi Reaksi dengan Generalized Method of Moment
Dependent Variable: BI_RATEMethod: Generalized Method of MomentsDate: 06/09/11 Time: 13:45Sample (adjusted): 2006M03 2009M11Included observations: 45 after adjustmentsKernel: Bartlett, Bandwidth: Fixed (3), No prewhiteningSimultaneous weighting matrix & coefficient iterationConvergence achieved after: 1 weight matrix, 2 total coef iterationsInstrument list: BI_RATE(-1) INF(-1) OG LKURS(-5)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -2.310618 12.81917 -0.180247 0.8579BI_RATE(-1) 0.958924 0.027969 34.28503 0.0000
INF(1) 0.112173 0.128599 0.872272 0.3883OG 0.000440 6.50E-05 6.764548 0.0000
LKURS 0.281229 1.389974 0.202327 0.8407
R-squared 0.873746 Mean dependent var 8.955556Adjusted R-squared 0.861121 S.D. dependent var 1.734746S.E. of regression 0.646479 Sum squared resid 16.71740Durbin-Watson stat 2.032510 J-statistic 9.85E-16
19
Hasil Estimasi dengan Vector Autoregression (VAR)
Vector Autoregression Estimates Date: 06/09/11 Time: 14:34 Sample (adjusted): 2006M01 2009M12 Included observations: 48 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
BI_RATE GR INF KURS M2
BI_RATE(-1) 1.636035 0.009457 -4.930216 85.99768 18036.01 (0.09170) (0.09120) (3.49256) (259.977) (17271.9)[ 17.8416] [ 0.10369] [-1.41163] [ 0.33079] [ 1.04424]
BI_RATE(-2) -0.677102 -0.075084 5.513383 81.54856 -16048.21 (0.09906) (0.09853) (3.77308) (280.858) (18659.2)[-6.83509] [-0.76206] [ 1.46124] [ 0.29035] [-0.86007]
GR(-1) -0.106169 -0.304740 1.882089 -324.5887 -36346.86 (0.16344) (0.16256) (6.22511) (463.381) (30785.2)[-0.64959] [-1.87464] [ 0.30234] [-0.70048] [-1.18066]
GR(-2) -0.097513 -0.123276 -0.039870 565.7072 -29037.68 (0.15064) (0.14983) (5.73747) (427.082) (28373.7)[-0.64733] [-0.82279] [-0.00695] [ 1.32459] [-1.02340]
INF(-1) -0.001699 0.004533 -0.128468 10.71492 853.2686 (0.00449) (0.00446) (0.17097) (12.7267) (845.513)[-0.37839] [ 1.01531] [-0.75140] [ 0.84192] [ 1.00917]
INF(-2) -0.003484 -0.000488 -0.067002 11.28596 1445.967 (0.00456) (0.00453) (0.17356) (12.9194) (858.317)[-0.76464] [-0.10759] [-0.38604] [ 0.87356] [ 1.68465]
KURS(-1) -4.11E-05 9.08E-05 -0.000158 0.852548 9.466264 (5.5E-05) (5.5E-05) (0.00209) (0.15577) (10.3487)[-0.74782] [ 1.66071] [-0.07560] [ 5.47316] [ 0.91473]
KURS(-2) -3.29E-05 -0.000103 -0.000343 -0.279182 -27.00035 (5.3E-05) (5.3E-05) (0.00203) (0.15103) (10.0340)[-0.61690] [-1.95213] [-0.16913] [-1.84850] [-2.69089]
M2(-1) 7.61E-07 -2.79E-07 -8.94E-06 0.003795 0.791984 (8.1E-07) (8.0E-07) (3.1E-05) (0.00229) (0.15183)[ 0.94410] [-0.34764] [-0.29132] [ 1.66073] [ 5.21636]
20
M2(-2) -8.27E-07 -3.58E-07 1.27E-05 -0.002037 0.262083 (8.5E-07) (8.4E-07) (3.2E-05) (0.00240) (0.15927)[-0.97786] [-0.42585] [ 0.39532] [-0.84956] [ 1.64553]
C 1.218898 2.374287 -7.991836 -380.5736 121047.0 (0.51813) (0.51534) (19.7344) (1468.98) (97593.3)[ 2.35250] [ 4.60727] [-0.40497] [-0.25907] [ 1.24032]
R-squared 0.995775 0.408980 0.073236 0.824499 0.993287 Adj. R-squared 0.994634 0.249245 -0.177240 0.777066 0.991472 Sum sq. resids 0.704198 0.696624 1021.569 5660431. 2.50E+10 S.E. equation 0.137958 0.137214 5.254518 391.1325 25985.33 F-statistic 872.1102 2.560365 0.292388 17.38247 547.4533 Log likelihood 33.21648 33.47601 -141.4985 -348.3765 -549.7961 Akaike AIC -0.925687 -0.936501 6.354104 14.97402 23.36650 Schwarz SC -0.496870 -0.507684 6.782921 15.40284 23.79532 Mean dependent 9.062500 0.445281 -0.178143 9604.458 1602299. S.D. dependent 1.883227 0.158361 4.842842 828.3917 281394.5
Determinant resid covariance (dof adj.) 7.05E+11 Determinant resid covariance 1.92E+11 Log likelihood -964.0650 Akaike information criterion 42.46104 Schwarz criterion 44.60512
21