isssiii yes.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sains ialah ilmu yang mempelajari sebab akibat dari kejadian di alam
ini.1 Istilah lain dari Sains ialah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang
dibangun dengan melakukan observasi atas fenomena alam yang ada.2
Dalam proses belajar-mengajar IPA, diperlukan suatu keterlibatan
secara langsung oleh peserta didik agar dapat memperoleh fakta alam yang
sebenarnya mengenai suatu objek. Pada saat pelaksanaan observasi sering
terjadi pemahaman yang salah oleh peserta didik mengenai fenomena alam
tersebut. Kesalahan dalam proses pemahaman peserta didik tersebut kemudian
dikenal sebagai miskonsepsi dalam pengajaran suatu konsep IPA.
Pengetahuan awal yang dimiliki seorang anak sebelum jenjang
pendidikan sekolah bisa benar atau salah. Hal ini disebakan pengetahuan awal
tersebut diperoleh dari pengalaman yang berbeda-beda dan sumber informasi
yang tidak akurat. Padahal penguasaan pengetahuan awal yang dimiliki
seseorang sangat berpengaruh terhadap perolehan pengetahuan di sekolah.
Sebagai fasilitator pembelajaran, guru hendaknya mempunyai
kemampuan untuk mengenali dan menggali pengetahuan awal peserta didik,
terutama pengatahuan awal yang salah agar tidak terjadi miskonsepsi yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan kami bahas
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan miskonsepsi pada pembelajaran IPA
di SD.
1 Sukarno, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan Sains, Bhratara Karya Aksara, 1981 hal 1.2 Ibid
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian konsep, konsepsi, dan miskonsepsi?
2. Apa saja penyebab miskonsepsi?
3. Bagaimana miskonsepsi pada tingkat SD?
4. Bagaimana implikasi miskonsepsi dalam mengajar?
5. Apa saja teknik yang digunakan untuk menggali miskonsepsi IPA?
6. Bagaimana contoh miskonsepsi dalam pelajaran IPA?
7. Bagaimana cara mengatasi miskonsepsi dalam pelajaran IPA?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian konsep, konsepsi, dan miskonsepsi.
2. Untuk menjelaskan penyebab terjadinya miskonsepsi.
3. Untuk menjelaskan bagaimana miskonsepsi pada tingkat SD.
4. Untuk menjelaskan implikasi miskonsepsi dalam mengajar.
5. Untuk menjelaskan beberapa teknik yang digunakan untuk menggali
miskonsepsi IPA.
6. Untuk menjelaskan contoh miskonsepsi dalam pelajaran IPA.
7. Untuk menjelaskan bagaimana cara mengatasi miskonsepsi dalam
pelajaran IPA.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Miskonsepsi Dalam IPA SD
1. Pengertian Konsep, Konsepsi, Dan Miskonsepsi
a. Konsep
Konsep merupakan sesuatu yang diterima dalam pikiran, atau
suatu gagasan yang umum dan abstrak.3 Dalam cakupan yang lebih
luas, konsep adalah suatu abstraksi yang dapat mewakili satu kelas
objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang memiliki atribut yang
sama.4
Dengan demikian, pada pembelajaran sains di SD konsep
merupakan suatu abstraksi yang diperoleh melalui pengalaman. Karena
pengalaman antara orang pertama dan kedua tidak sama, maka
terbentuklah suatu konsep yang berbeda. Contohnya: seorang guru
bertanya kepada dua orang peserta didik yang berbeda berkaitan
tentang konsep tumbuhan, maka kedua peserta didik itu pun
mempunyai jawaban yang berbeda dari pertanyaan guru tentang
“Bagaimana konsep tumbuhan menurut Anda?”. Jawaban antara kedua
peserta didik pun berbeda, karena diantara mereka memiliki
pengalaman yang berbeda tentang konsep tumbuhan, misalnya
kemungkinan jawaban yang disebutkan, yakni tumbuhan memiliki
akar, batang, daun, buah. Sedangkan peserta didik yang satu menjawab
bahwa tumbuhan mempunyai akar yang berbeda, yaitu antara akar
dikotil dan monokotil.
b. Konsepsi
Konsepsi merupakan diskripsi seseorang tentang konsep yang
berisi ciri khas dari kenyataan. Konsepsi seseorang berbeda dangan
konsepsi orang yang lain. Konsepsi berasal dari “to conceive” yang
3 Nono Sutarno, Materi Dan Pembelajaran IPA SD, Universitas Terbuka, 2009 hal 8.6.4 Dahar, Teori-Teori Belajar, Erlangga, 1989 hal 54.
3
artinya cara menerima.5 Dalam pembelajaran sains di SD pada
umumnya, konsepsi ilmuwan merupakan konsepsi yang paling
lengkap, paling masuk akal, dan paling banyak manfaatnya
dibandingkan dengan kelompok konsepsi yang lain. Karena itu,
konsepsi ilmuwan dianggap yang benar (sesungguhnya yang paling
banyak diterima atau diakui dalam pembelajaran sains).6
c. Miskonsepsi
Konsepsi-konsepsi lain yang tidak sesuai dengan konsepsi
ilmuwan secara umum disebut miskonsepsi.7 Miskonsepsi dapat terjadi
di dalam dan di luar sekolah. Selain kedua hal tersebut, faktor
lingkungan di luar sekolah juga merupakan komponen yang dapat turut
berperan dalam menimbulkan terjadinya miskonsepsi dalam pelajaran.
Jika miskonsepsi terjadi di sekolah maka guru dan buku
merupakan sumber terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Dalam
kaitannya dengan pembelajaran sains SD, semua konsepsi yang tidak
sesuai dengan konsepsi yang benar diberi label: error atau dalam
bahasan ini disebut miskonsepsi (misconception).
2. Penyebab Miskonsepsi
Salah satu penyebab yang menimbulkan miskonsepsi dapat
diterangkan melalui teori perkembangan intelektual yang dikembangkan
oleh Piaget. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan
dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing memiliki
makna yang berbeda-beda.8 Pengalaman yang sama bagi seseorang akan
dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam suatu
kotak yang berbeda pula. Hal tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya
miskonsepsi baik antar peserta didik dengan guru di sekolah.
5 Nono Sutarno, Op.Cit, hal 8.7.6 Leo Sutrisno, dkk, Pengembangan IPA SD, Departemen Pendidikan Nasional, 2007 hal 3-3.7 Ibid.8 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar & Pembelajaran, Ar-Ruzz Media, 2009 hal 118.
4
Menurut teori perkembangan intelektual Piaget, miskonsepsi akan
terjadi jika struktur mental yang ada tidak cukup akurat untuk
mengakomodasi pengetahuan yang baru. Akomodasi disini merupakan
suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman
baru. Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru
dan berubahnya skemata lama.9
Penyebab utama terjadinya miskonsepsi adalah ketidakmampuan
peserta didik untuk membedakan atribut penentu dari suatu atribut umum.
Hal ini terjadi karena peserta didik umumnya lebih memusatkan perhatian
pada atribut umum yang seringkali sangat menonjol dan mudah diamati
daripada terhadap atribut penentu yang memerlukan pengamatan lebih
teliti (Kardi, 1997).10
Faktor lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi
ialah karena beragamnya contoh yang ada di alam bebas sementara jumlah
contoh yang tersedia tidak cukup memadai untuk merepresentasikan suatu
konsep. Situasi ini menjadi lebih rumit pada konsep yang bersifat abstrak.
Konsep abstrak semacam ini umumnya disajikan dalam bentuk analogi
ataupun visualisasi dalam bentuk gambar, bagan, atau reaksi kimia.
Terjadinya miskonsepsi konsep-konsep IPA pada peserta didik maka akan
menurunkan prestasi belajar IPA dan dapat menghambat perkembangan
IPA.
Menurut kelompok konstruktivisme Jean Piaget, paling tidak ada
empat hal yang dapat menimbulkan miskonsepsi, yaitu: pengalaman, hasil
pengamatan, kemampuan berpikir, dan kemampuan berbahasa. Selain
faktor dari dalam diri peserta didik, ada hal-hal yang berasal dari luar diri
peserta didik yang dapat menimbulkan miskonsepsi. Misalnya guru, buku
ajar, dan sumber-sumber belajar yang lain.
Banyak hal lain yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi yang
ditimbulkan oleh peserta didik itu sendiri. Diantaranya tahap
perkembangan kognitif yang tidak sesuai dengan konsep yang dipelajari,
9 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Op. Cit, hal 120.10 Argadatta Sigit dan Nurmala, Pemahaman Peserta didik Sekolah Dasar Terhadap Konsep IPA, Tersedia di http://universitasterbukaartikel42arganur.com/.
5
penalaran peserta didik yang terbatas dan salah, kemampuan peserta didik
menangkap dan memahami konsep yang dipelajari, dan minat peserta
didik untuk mempelajari konsep yang diberikan dan diajarkan.
Peserta didik yang masih berada pada tahap pra-operasional (2-7
tahun) dan operasional konkret (7-11 tahun) sering mengalami kesulitan
pada saat mempelajari konsep yang abstrak bagi dirinya.11 Pada tahap
tersebut peserta didik baru dapat berpikir jika dihadapkan pada hal-hal
yang konkret, nyata dan dapat dikenali dengan panca indera. Peserta didik
yang berada pada tahap operasional konkret akan mengalami kesulitan
untuk mengerti bahkan terjadi salah pemahaman bahwa gas itu suatu
materi atau zat cair itu suatu materi. Keadaan ini menyulitkan peserta didik
dalam memahami konsep perubahan wujud benda di SD (kelas 5 atau 6).
Oleh karena itu, peran guru sangat penting untuk meng-konkret-kan suatu
konsep yang dipelajari sehingga peserta didik tidak mengalami kesulitan
memahami konsep dan peserta didik tidak mengalami miskonsepsi.
Selain tahap perkembangan, kemampuan peserta didik menangkap
dan memahami suatu konsep juga mempengaruhi terjadi atau tidak
terjadinya miskonsepsi. Peserta didik yang berminat mempelajari IPA
biasanya akan terus mencari jawaban yang benar tentang konsep yang
dipelajarinya sampai peserta didik tersebut betul-betul paham dan
mengerti konsep tersebut. Karena semangat dan konsep yang diperolehnya
maka peserta didik yang memiliki minat belajar IPA yang cukup besar
memiliki kecenderungan terhindar dari miskonsepsi. Sebaliknya, peserta
didik yang tidak tertarik dan tidak berminat mempelajari IPA, biasanya
kurang memperhatikan penjelasan guru tentang konsep yang dipelajarinya.
Peserta didik tersebut tidak berusaha mencari sendiri jawaban yang benar
tentang konsep tersebut dari buku dengan sungguh-sungguh atau bertanya
pada orang yang lebih paham. Akibatnya, peserta didik tersebut lebih
mudah mengalami salah konsep. Jika salah konsep ini terjadi berulang-
ulang dan dalam waktu yang cukup lama maka hal ini akan membentuk
miskonsepsi pada peserta didik tersebut. Peserta didik yang tidak berminat
11 Lia Yuliati, Miskonsepsi dan Remediasi Pembelajaran IPA, Departemen Pendidikan Nasional, 2007 hal 252.
6
berminat untuk mencari mana yang benar dan mengubah konsep yang
salah. Akibatnya, kesalahan pada peserta didik tersebut akan semakin
menumpuk karena konsep-konsep berikutnya dibangun berdasarkan
miskonsepsi konsep sebelumnya.
3. Miskonsepsi IPA Pada Tingkat SD
Pada tingkat SD, keberadaan miskonsepsi sering diabaikan oleh
para pengajar, karena saat itu ada anggapan bahwa peserta didik SD belum
memiliki pengetahuan awal. Padahal, bukan hanya peserta didik yang
mengalami miskonsepsi, para pengajar juga tidak luput dari miskonsepsi
dalam pembelajaran IPA. Akan tetapi, seiring berkembangnya pendidikan
yang semakin maju, miskonsepsi di tingkat SD semakin lebih
diperhatikan.
Pada kenyataannya, peserta didik SD datang ke sekolah telah
membawa pengetahuan tentang bagaimana sesuatu itu terjadi. Mereka juga
punya harapan-harapan yang memungkinkan mereka untuk membuat
suatu dugaan-dugaan. Sejak usia dini mereka telah memiliki gagasan-
gagasan tentang dunia disekitar mereka.
Menurut pandangan konstruktivisme, keberhasilan belajar
bergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga
pada pemgetahuan awal peserta didik.12 Belajar sebenarnya melibatkan
pembentukan “makna” oleh peserta didik dari apa yang mereka lakukan,
lihat, dan dengar.13 Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif
yang terus berlanjut. Jadi peserta didik memiliki tanggung jawab akhir atas
belajar mereka sendiri.
4. Implikasi Miskonsepsi Dalam Mengajar
Miskonsepsi merupakan suatu penjelasan dari konsep yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para ahli. Miskonsepsi
dapat merupakan pengertian yang tidak akurat tentang konsep,
penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah
tentang penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda, kekacauan
12 Nono Sutarno, Op.Cit, hal 8.8.13 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Op.Cit, hal 134.
7
konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang
tidak benar. Miskonsepsi yang paling banyak terjadi pada peserta didik
disebabkan konsep awal (prakonsepsi) yang kemudian dibawa ke
pendidikan formal. Hal ini sering terjadi pada peserta didik SD. Sejak
kecil, seseorang sudah mengkonstruksi konsep-konsep melalui
pengalaman sehari-hari sehingga seseorang dikatakan sudah mengalami
proses belajar sejak awal. Miskonsepsi tidak hanya terjadi pada peserta
didik tetapi juga terjadi pada guru. Hal ini menyebabkan miskonsepsi pada
peserta didik semakin besar.
Implikasi terjadinya miskonsepsi dalam mengajar sangat beragam
karena berhubungan dengan bagaimana peserta didik memperoleh konsep
tersebut. Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan peserta didik
dikontruksi atau dibangun oleh peserta didik sendiri. Proses konstruksi
tersebut diperoleh melalui interaksi dengan benda, kejadian dan
lingkungan.
Pada saat peserta didik berinteraksi dengan lingkungan belajarnya,
peserta didik mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalamannya.
Oleh karena itu, ketika proses kontruksi pengetahuan terjadi pada peserta
didik, sangat besar kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses
mengkontruksi karena secara alami peserta didik belum terbiasa
mengkontruksi pengetahuan sendiri secara tepat. Apalagi jika tidak
didampingi sumber informasi yang jelas dan akurat. Kontruksi
pengetahuan peserta didik tidak hanya dilakukan sendiri tetapi juga
dibantu oleh konteks dan lingkungan peserta didik, diantaranya teman-
teman di sekitar peserta didik, buku teks, guru dan lainnya. Jika aspek-
aspek tersebut memberikan informasi dan pengalaman yang berbeda
dengan pengertian ilmiah maka sangat besar kemungkinan terjadinya
miskonsepsi pada peserta didik tersebut. Oleh karena itu, aspek-aspek
tersebut merupakan implikasi terjadinya miskonsepsi dalam mengajar.
8
B. Teknik-Teknik Menggali Miskonsepsi IPA
Terdapat beberapa teknik untuk menggali miskonsepsi peserta didik,
yaitu berupa wawancara dan berupa tes tertulis.
1. Wawancara
Ada tiga model wawancara yang telah dikembangkan, yaitu: The
Interview About Instances, The Individual Demonstration Interview, dan
The Clinical Interview.
a. The Interview About Instances
The Interview About Instances merupakan suatu wawancara
yang diawali dengan menyajikan beberapa gambar yang
mengilustrasikan contoh dan bukan contoh dari suatu kejadian IPA
kepada peserta didik yang diwawancarai. Setelah mengamati gambar-
gambar itu, peserta didik kemudian ditanya, “Menurut pendapatmu,
apakah gambar-gambar ini merupakan contoh atau bukan contoh
kejadian .....”. Jawaban-jawaban peserta didik kemudian menjadi batu
loncatan perbincangan selanjutnya. 14
Langkah-langkah dalam melakukan The Interview About
Instances (IAI), antara lain :
1) Guru menyajikan beberapa gambar yang mengilustrasikan contoh
dan bukan contoh dari suatu kejadian IPA kepada peserta didik
yang diwawancarai.
2) Peserta didik mengamati gambar-gambar tersebut
3) Guru bertanya pada peserta didik terhadap hasil pengamatan dari
gambar tersebut
Contoh: aliran listrik dan aliran air
14 Leo Sutrisno, dkk, Op.Cit, hal 3-32.
9
Keterangan :
Peserta didik menjelaskan arah aliran listrik dan arah aliran air dari
tanda panah yang ada pada gambar.
b. An Individual Demonstration Interview (IDI)
An Individual Demonstration Interview (IDI) merupakan suatu
wawancara yang menggunakan gambar semi kuantitatif. Peserta didik
yang diwawancari diminta mencermatinya. Kemudian wawancara
berlangsung dengan tujuan melengkapi gambar yang belum tuntas.15
Langkah-langkah dalam melakukan An Individual
Demonstration Interview (IDI), antara lain :
1) Guru memberi gambar semi kuantitatif
2) Peserta didik mengamati gambar semi kuantitatif
3) Wawancara berlangsung antara guru dengan peserta didik
mengenai gambar semi kuantitatif (gambar yang belum tuntas)
dengan tujuan melengkapi gambar yang belum tuntas itu.
4) Guru menganalisis wawancara dan hasil pengamatan peserta didik
pada gambar yang dibuatnya untuk menemukan konsepsi peserta
didik tentang konsep-konsep yang tecakup pada gambar itu.
5) Peserta didik menuliskan apa yang diucapkan dari sebuah peristiwa
yang ada pada gambar ke dalam bentuk kertas
6) Guru dan peserta didik menganalisis catatan atau tulisan tersebut.
Contoh :
Keterangan :
15 Leo Sutrisno, dkk, Op.Cit, hal 3-31.
10
Peserta didik menceritakan peristiwa yang ada pada gambar.
c. Clinical Interview (CI)
Clinical interview merupakan suatu dialog antara pewawancara
dan yang diwawancarai. Pewawancara mencari informasi dari yang
diwawancarai dan yang diwawancarai meminta bantuan dan yang
mewawancarai. Akhir dari wawancara ini, pewawancara memperoleh
informasi tentang konsepsi yang diwawancarai dan yang diwawancarai
mendapat bantuan dari yang mewawancarai sehingga mengalami
perubahan konseptual.16
Langkah-langkah dalam melakukan Clinical interview (CI),
antara lain :
1) Pewawancara mencari informasi dari yang diwawancarai
2) Yang diwawancarai meminta bantuan dari yang mewawancarai
3) Pewawancara memperoleh informasi tentang konsepsi yang
diwawancarai dan yang diwawancarai mendapat bantuan
(penjelasan) dari yang mewawancarai sehingga mengalami
perubahan konseptual.
Contoh :
Bumi yang bulat
Keterangan :
16 Leo Sutrisno, dkk, Op.Cit, hal 3-31.
11
Ganggang biru (Nostoc),
merupakan salah satu contoh dari
Uniseluler dan multiseluler
Kingdom Monera
1
X : Andaikan, di atas gambar bola Bumi yang kamu buat itu dipasang
lampu proyektor. Apa bentuk bayangan bola ini?
Y : lingkaran
X : Jika lampu engkau letakkan di samping. Apa bentuk bayangan
proyeksi bola itu?
Y : Lingkaran
X : Kalau lampu proyektor itu engkau geser ke posisi manapun , apa
bentuk bayangan bola itu?
Y : lingkaran
X : Proyeksi bola itu berupa lingkaran, lingkaran, lingkaran.
Sekarang, apa yang terjadi jika lampu proyektor itu mata kita. Mata
kita memAndang bola Bumi. Apa bentuk kesan mata?
Y : Ya, tetap bola.
X : Tetap berbentuk bola sesuai dengan yang sesungguhnya. Baik,
kalau engkau bergerak mundur, makin lama makin jauh. Apakah
juga masih terlihat sepeti bola?
Y : Mendekati lingkaran
X : Berdasarkan lingkaran-lingkaran ini, kita percaya bahwa apa yang
dikatakan ilmuwan, guru, buku ajar itu benar. Bumi memang bulat
seperti bola.
2. Tertulis
a. Concept-map-labelling task
Concept-map-labelling task merupakan suatu tes yang meminta
peserta didik memberi label-label pada garis hubung suatu peta
konsep.17 Peserta didik diberi peta konsep yang belum selesai dan
garis-garis hubung antar konsep belum dibuat. Kemudian peserta didik
diminta memberikan label pada garis hubung itu.
Contoh:
17 Leo Sutrisno, dkk, Op.Cit, hal 3-31.
12
Peta konsep tentang kingdom monera di atas belum lengkap.
Semua garis belum diberi label kecuali garis yang menghubungakan
ganggang biru (Nostoc) dan kingdom monera, yaitu: merupakan salah
satu contoh dari. Kemudian peserta didik diminta memberi label yang
lain.
Peta konsep tersebut mengatakan bahwa ganggang biru
(Nostoc) merupakan salah satu contoh dari kingdom monera yang
tergolong makhluk hidup uniseluler dan multiseluler yang bersifat
heterotrof dan autotrof serta berkembangbiak dengan cara konjugasi
dan membelah diri.
Pernyataan tersebut sudah lengkap untuk mendeskripsikan
tentang konsep kingdom monera. Kata-kata yang dicetak tebal adalah
konsep-konsep yang digunakan untuk mendeskripsikan kingdom
monera. Dengan menggunakan konsep-konsep lain untuk
mendeskripsikan suatu konsep tertentu, dapat memperjelas tentang
makna dari konsep tersebut.
3. Pendekatan Untuk Menggali Penalaran
13
Ada beberapa pendekatan untuk menggali penalaran peserta didik,
diantaranya adalah world map, experiental gestalt of causation, dan Vee
diagram.18
a. World Map
Dari diagram di atas dapat dijelaskan bahwa dalam world map,
terdiri atas berbagai macam samudera konsep-konsep dan
menggambarkan hubungan antar samudera tersebut. Pulau-pulau
mewakili pemahaman individu tentang konsep. Dapat disebutkan
bahwa pulau-pulau mewakili konsepsi seseorang tentang konsep IPA.
Pulau-pulau dibatasi oleh pengalaman seseorang dalam hidup sehari-
hari dan kemampuannya. Di luar pulau adalah samudera pengetahuan
yang sangat luas.
Seperti yang terlihat pada diagram di atas bahwa sejumlah
binatang dapat mendengar bunyi di luar batas-batas itu. Misalnya,
anjing dapat menangkap getaran dengan frekuensi 3 Hz. Kelelawar
dapat mendengar bunyi yang frekuensinya melebihi 20.000 Hz.
Inti dari world map adalah pengalaman manusia terbatas.
Karena itu, miskonsepsi tidak dapat dihindari. Inderawi tidak mampu
menangkap semua fenomena alam. Banyak usaha dilakukan untuk
memperpanjang kemampuan inderawi dengan menciptakan berbagai
alat atau teknologi dan juga sejumlah aspek dari metode ilmiah.
18 Leo Sutrisno, dkk, Op.Cit, hal 3-31.
14
Pengalaman seseorang dalam mendengar bunyi
Intensitas as
10 db
20 Hz 20.000 Hz
Frekuensi
Pertanyaan: Di udara atau di dalam batang besi bunyi merambat lebih cepat?
Konsep dan teori:…
Jawaban: …….…
Data/informasi:.…….…
Kelemahan pendekatan ini adalah keterbatasan kita untuk menentukan
batas-batas pengalaman itu secara numerik.
b. Experiental Gestalt Of Causation
Experiental Gestalt of Causation (EGC) merupakan cara yang
sering digunakan peserta didik untuk menjelaskan sesuatu. Ada tiga
bagian EGC, yaitu agen, instrument dan pasien. Sesuatu dapat
dipandang agen jika sesuatu itu bertujuan untuk mengubah keadaan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang diubah keadaanya disebut pasien.
Agen sebagai sumber energy dan pasien sebagai penerima energy.
Aliran energy terjadi jika ada hubungan langsung antara agen dan
pasien.19
Contoh, ibu yang berjalan sambil mendorong kereta anak
mendengar letusan balon lebih keras daripada ibu yang sedang duduk
di bawah pohon. Hal tersebut terjadi karena angin membawa bunyi
letusan ke kanan. Ada kontak antara angin (sebagai agen) dan
kejelasan bunyi yang terdengar (pasien). Intinya, perubahan akan
terjadi kalau ada kontak langsung antara agen dan pasien. Kelemahan
dari pendekatan ini adalah tidak dapat mengungkapkan konsep
tunggal. Pendekatan ini cocok untuk mengungkap hubungan antara
dua variable atau lebih.
c. Vee Diagram
Vee diagram merupakan diagram yang berbentuk huruf “V”.
diagram ini berisi: sebuah kalimat tanya yang berhubungan dengan
suatu kejadian atau benda tertentu, konsep atau teori yang relevan,
serta data dan informasi yang diperoleh dari pengamatan terhadap
kejadian benda tersebut. Peserta didik diminta menjawab pertanyaan
itu menggunakan konsep atau teori yang dipahami dan berdasarkan
data atau informasi yang tersedia.
19 Leo Sutrisno, dkk, Op.Cit, hal 3-22.
15
Dengan mencermati data/informasi yang diberikan, konsep
atau teori yang disajikan, serta jawaban yang diberikan, kita dapat
mendeskripsikan konsepsi/miskonsepsi yang dimiliki peserta didik.
C. Contoh Miskonsepsi Dalam Pelajaran IPA
Pemahaman yang diperoleh sendiri oleh anak sebelum mereka
mempelajarinya di sekolah disebut konsepsi awal (prakonsepsi). Pada
umumnya beberapa di antara pemahaman tersebut, sepadan dengan
pemahaman yang dipegang oleh para pakar sains (konsep ilmiah). Berikut ini
adalah beberapa contoh miskonsepsi yang di alami oleh peserta didik yang
berkaitan dengan prakonsepsi yang mereka miliki, khusunya pada mata
pelajaran IPA:
a. Bagaimanakah bentuk bumi?
Setiap anak tentu mempunyai imajinasi pada masa kecilnya, ada beberapa
orang yang beranggapan bahwa bumi itu adalah sebuah dataran yang rata
dan dikelilingi oleh langit sebagai selimutnya, jika dianalogikan bumi
yang di selimuti langit tersebut berbentuk seperti tempurung kelapa.
Anggapan tersebut, tentu saja salah besar dan tidak sesuai dengan konsep
yang ada. Pada kenyataannya, bumi berbentuk bulat dan bersama-sama
dengan tata surya yang lain mengelilingi matahari sesuai dengan orbitnya
masing-masing.
b. Apa warna air laut itu?
16
Jika melihat air laut yang nampak ialah warana biru, kebanyakan orang
pun mengasumsikan bahwa air laut itu berwarna biru. Anggapan tersebut
sebenarnya salah, air laut sama halnya dengan air yang ada di sekitar kita
yaitu berwarna bening. Nah, lalu mangapa air laut tampak berwarna biru?
Hal tersebut disebabkan karena adanya refleksi langit dengan laut. Karena
langit berwarna biru, maka terjadi pemantulan warna biru pada laut
melalui cahaya matahari.
c. Apakah ada lem di telapak kaki cicak?
Pada saat kita mendiskusikan ciri khusus hewan, kita selalu menggunakan
cicak sebagai salah satu contohnya. Cicak memang mempunyai ciri khusus
yang unik. Cicak dapat merayap pada dinding yang miring, mempunyai
lidah yang dapat dijulurkan untuk menangkap mangsa. Beberapa buku
juga menyatakan bahwa cicak dapat merayap di dinding yang miring
karena pada telapak kaki cicak terdapat zat perekat atau semacam lem
untuk membantu cicak melekat pada dinding tersebut. Kita sebaiknya
berhati-hati dan lebih arif dalam menyampaikan hal ini.
Telapak kaki cicak yang diamati dengan teliti menggunakan lup, terlihat
adanya bantalan bergaris-garis pada telapak kaki tersebut. Tampaknya,
cicak memanfaatkan kontraksi dan relaksasi otot pada telapak kakinya
untuk melekatkan tubuhnya pada dinding yang miring. Dengan mengatur
kotraksi dan relaksasi pada otot tersebut, cicak dapat dengan mudah
“mengambil sikap” diam melekat atau bergerak untuk berpindah tempat.
d. Misalnya, fotosintesis seringkali dinyatakan dengan reaksi kimia
sederhana sebagai berikut:
Klorofil
6 CO2 + H2O -------------------------- C6H12O6 + 6 O2
Cahaya Matahari
Reaksi kimia ini dapat menimbulkan miskonsepsi, karena memberi
gambaran bahwa gas asam arang dengan bantuan klorofil dan cahaya
matahari, akan bereaksi dengan air menghasilkan glukosa dan gas asam
atau oksigen. Glukosa tidak terbentuk dari air yang bereaksi dengan gas
17
asam arang dengan bantuan cahaya matahari dan butir hijau daun. Reaksi
pembentukan glukosa melalui fotosintesis sangat kompleks dan kurang
atau tidak tepat jika digambarkan dengan reaksi kimia sederhana yang
sampai sekarang tertulis pada kebanyakan buku biologi dan fisiologi
tumbuhan.
e. Apabila bumi bulat, mengapa orang yang berada dibumi bagian bawah
tidak terjatuh? Apakah ada perekatnya?
Seorang peserta didik tidak dapat menggambarkan manusia yang berada di
bagian bawah. Menurut penjelasannya, orang tidak mungkin berdiri di
permukaan bumi bagian bawah karena akan jatuh. Kira-kira miskonsepsi
tersebut penyebabnya apa?
Peserta didik yang membayangkan orang yang sedang berdiri tegak ke
atas. Karena itu, satu-satunya yang memungkinkan dari hal tersebut adalah
jika ia berada pada permukaan atas bumi, ada yang menopang. Kalau di
permukaan bawah akan terbalik dan tidak ada yang menopang. Maka tidak
dapat berdiri tegak jika berada di bagian bawah. Logika berpikir peserta
didik sebagai penyebab miskonsepsi ini. Yang lain adalah pengalaman
sehari-hari. Hanya dapat berada di bagian bawah kalau ada perekat. Tanpa
perekat, tidak mungkin sebuah benda berada di permukaan bawah sebuah
bola. Nah guru perlu mengajarkan konsep yang tepat pada anak, bukan
karena ada perekatnya, tapi adanya rotasi bumi yang mengelilingi
matahari.
D. Cara Mengatasi Miskonsepsi Dalam Pelajaran IPA
Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran IPA serta mengatasi
terjadinya berbagai miskonsepsi pada peserta didik, maka para pakar
pendidikan mengembangkan berbagai model pembelajaran yang dilandasi
dengan teori konstruktivisme Jean Piaget.20
Pada teori konstruktivisme, hakikat belajar dipandang sebagai kegiatan
manusia dalam membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara
mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya.
20 Nono Sutarno, Op.Cit, hal 8.11.
18
Pengetahuan tersebut rekaan dan bersifat tidak stabil. Oleh karena itu,
pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentative (sementara)
dan tidak lengkap.21 Pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat
jika teruji dengan pengalaman-pengalaman baru.
Pandangan konstruktivisme dari Piaget berpendapat bahwa dalam
proses belajar anak membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh
banyak pengetahuan di luar sekolah.22 Oleh karena itu, setiap peserta didik
akan membawa konsepsi awal mereka yang diperoleh selama berinteraksi
dengan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat beberapa hal
yang perlu ditekankan dalam konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:23
1. Peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna.
2. Pentingnya membuat kaitan antar gagasan oleh peserta didik dalam
mengkonstruksi pengetahuan.
3. Mengaitkan gagasan peserta didik dengan informasi baru di kelas.
Dikenal beberapa model pembelajaran yang dilandasi konstruktivisme,
salah satunya yaitu Conceptual Change Model (model perubahan konseptual).
Di dalam model ini, asimilasi pengertian baru harus berlangsung, tetapi yang
lebih penting ialah peserta didik harus dapat mengakomodasi pola berfikir
yang berbeda, namun dengan proses yang serupa. Agar peserta didik dapat
mengakomodasi informasi ilmiah, di dalam lingkungan belajar perlu
diciptakan kondisi sebagai berikut:
1. Peserta didik perlu menyaksikan kebenaran konsep yang telah
dipegangnya. Kecuali jika peserta didik merasa termotivasi untuk
menjawab pertanyaan yang penting atau sesuatu yang diragukan.
2. Konsep baru harus dapat dipahami oleh peserta didik. Jika peserta didik
tidak dapat memahami maknanya, dia tidak akan berupaya untuk
menelaah dan memahaminya.
21 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Op.Cit, hal 116.22 Nono Sutarno, Op.Cit, hal 8.11.23 Ibid
19
3. Konsepsi baru harus masuk akal. Peserta didik perlu mengidentifikasi hal-
hal pada konsepsi baru yang sesuai dengan konsepsi yang telah
dipegangnya.
4. Konsepsi baru harus memberi isyarat bahwa konsep tersebut bermanfaat.
Peserta didik akan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menstruktur
kembali struktur kognitifnya jika informasi yang harus dipelajari
bermakna dan bermanfaat baginya. Kegiatan mencoba menggunakan alat
akan membantu menciptakan kondisi seperti di atas.
Disamping itu, miskonsepsi yang disebabkan oleh struktur mental
yang kurang matang pada peserta didik dapat diatasi dengan menyeimbangkan
antara proses asimilasi, stimulus, dan akomodasi. Misalnya, begitu ada
stimulus baru, maka struktur mentalnya akan kembali goyah dan selanjutnya
setelah terjadi proses akomodasi akan stabil lagi. Sebagai contoh, seorang
anak belum pernah melihat seekor ayam. Stimulus “ayam” yang dialaminya
akan diolah dalam pikirannya, dicocokkan dengan skemata-skemata yang
telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata yang paling dekat
dengan ayam adalah burung, maka ia menyebut ayam itu sebagai burung besar
karena stimulus ayam diasimilasikan ke dalam skemata burung. Nanti ketika
dipahaminya bahwa hewan itu bukan burung besar melainkan ayam, maka
terbentuklah skemata ayam dalam struktur pemikiran anak itu.
20
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pada pembelajaran sains di SD, konsep diartikan sebagai suatu
abstraksi yang diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman seseorang tentang
sesuatu (stimulus) akan menghasilkan konsepsi. Dalam pembelajaran sains di
SD pada umumnya, konsepsi ilmuwan merupakan konsepsi yang paling
lengkap, paling masuk akal, dan paling banyak manfaatnya dibandingkan
dengan kelompok konsepsi yang lain. Konsepsi-konsepsi lain yang tidak
sesuai dengan konsepsi ilmuwan secara umum disebut miskonsepsi.
Menurut kelompok konstruktivisme Jean Piaget, paling tidak ada
empat hal yang dapat menimbulkan miskonsepsi, yaitu: pengalaman, hasil
pengamatan, kemampuan berpikir, dan kemampuan berbahasa. Selain faktor
dari dalam diri peserta didik, ada hal-hal yang berasal dari luar diri peserta
didik yang dapat menimbulkan miskonsepsi. Misalnya guru, buku ajar, dan
sumber-sumber belajar yang lain.
Terdapat beberapa teknik untuk menggali miskonsepsi peserta didik,
yaitu berupa wawancara dan berupa tes tertulis. Ada tiga model wawancara
yang telah dikembangkan, yaitu: The Interview About Instances, The
Individual Demonstration Interview, dan The Clinical Interview. Sedangkan
pada teknik tertulis, terdapat model Concept-map-labelling task. Disamping
itu, ada beberapa pendekatan untuk menggali penalaran peserta didik,
diantaranya adalah world map, experiental gestalt of causation, dan Vee
diagram.
Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran IPA serta mengatasi
terjadinya berbagai miskonsepsi pada peserta didik, maka para pakar
pendidikan mengembangkan berbagai model pembelajaran yang dilandasi
dengan teori konstruktivisme Jean Piaget, salah satunya yaitu Conceptual
Change Model (model perubahan konseptual). Disamping itu, miskonsepsi
yang disebabkan oleh struktur mental yang kurang matang pada peserta didik
21
dapat diatasi dengan menyeimbangkan antara proses asimilasi, stimulus, dan
akomodasi.
B. Saran
Miskonsepsi terjadi akibat dari struktur mental yang belum siap,
pengalaman, cara berpikir, dan sebagainya. Oleh karena itu, miskonsepsi
dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran IPA di SD dapat diminimalisir
dengan cara mengapresiasi miskonsepsi agar tidak banyak peserta didik yang
merasa sulit belajar IPA. Konsepsi-konsepsi yang telah dimiliki peserta didik
digali lebih dahulu, kemudian ditelaah apakah sudah konsisten dengan
konsepsi ilmuwan atau belum. Jika sudah konsisten tinggal dikuatkan,
sedangkan yang tidak konsisten perlu diperbaiki.
Selain itu, sebagai pengajar, guru harus menguasai konsep IPA secara
benar sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh ilmu yang
benar dan mendorong peserta didik untuk memperoleh ilmu yang tinggi.
Disarankan juga agar guru melakukan variasi metode pembelajaran agar
peserta didik tidak merasa bosan dan terus termotivasi belajar IPA.
22