isi_hal 244-465.pdf
TRANSCRIPT
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
1/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
244
ESTIMASI NILAI KOEFISIEN ALIRAN DAS CITARUM HULU
MENGGUNAKAN TRANSFORMASI NDVI CITRA LANDSAT
Hendro Wibowo* dan Dini Daruati
ABSTRAK
Untuk mengatasi permasalahan keterbatasan data hidrologi guna penentuan nilai koefisien aliran,
diperlukan pendekatan lebih sederhana yang mampu memperkirakan nilai koefisien aliran suatu DAS.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan pendekatan konseptual penentuan nilai koefisien aliran
harian DAS berdasarkan transformasi NDVI terhadap data Landsat ETM+. Metode yang digunakan
adalah mengkaji hubungan nilai NDVI dengan persentase tutupan permukaan kedap air melalui analisis
regresi dari data sampel terukur. Persamaan regeresi yang diperoleh kemudian digunakan untuk
kuantifikasi persentase tutupan permukaan kedap air daerah penelitian. Hasil yang diperoleh bersama
kerapatan vegetasi kemudian ditransformasi menjadi nilai koefisien aliran melalui persamaan dan
asumsi berdasarkan analisis regresi dan hubungan logis masing-masing variabel.Hasil penelitianmenunjukkan sebaran nilai NDVI secara keruangan dapat menggambarkan dengan baik sebaran
persentase tutupan permukaan kedap air dan kerapatan vegetasi dalam DAS. Hubungan nilai NDVI dan
persentase tutupan permukaan kedap air menghasilkan persamaan regresi polinomial orde dua y = -
63,61x2 – 116,66x + 46,977. Hubungan tersebut bersama kerapatan vegetasi dapat diterapkan untuk
estimasi nilai koefisien aliran DAS Citarum Hulu. Nilai yang dihasilkan memiliki pola sebaran yang
dikontrol oleh tutupan permukaan kedap air dan kerepatan vegetasi. Nilai koefisien aliran DAS Citarum
Hulu hasil estimasi saat DAS dalam kondisi kering, rata-rata dan banjir berturut-turut 0,29, 0,46, dan
0,70. Uji statistik menunjukkan bahwa pada taraf uji 95% hasil estimasi dan perhitungan tidak berbeda
nyata.
Kata kunci : NDVI, tutupan permukaan kedap air, kerapatan vegetasi, koefisien aliran, estimasi
ABSTRACT
Simple approach to estimate watershed runoff coefficient value is needed to deal with the lack of
hydrology data problem. This case study was conducted at Upper Citarum watershed. It aims to
implement conceptual approach determining daily watershed runoff coefficient value based on NDVI
transformation toward Landsat ETM+ data. Method used to address the aim of the study was to examine
the correlation between NDVI value and percentage of impervious surface area (% ISA) through
regression analysis using measurable data sample. It obtains regression equation which was used to
calculate % ISA. These calculation and vegetation density were transformed as runoff coefficient value
through equation and assumption based on regression analysis and logical connection of each variable.
The study found that NDVI value can describe distribution of % ISA and vegetation density well. The
results of regression analysis showed strong correlation between NDVI and % ISA with polynomial
equation, y = -63.61x2 – 116.66x + 46.977. This equation and vegetation density was applicable in
estimating the runoff coefficient in the case study area. Runoff coefficient value has distribution pattern
controlled by % ISA and vegetation density. Estimation of upper Citarum watershed runoff coefficient
value in dry, saturated, and average conditions are 0,29, 0,70, dan 0,46 respectively. The statistic test
showed that no difference between estimation value and measurenment at 95% significant level.
Keywords: NDVI, impervious surface area, vegetation density, runoff coefficient, estimation
* Pusat Penelitian Limnologi LIPI
e-mail: [email protected]
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
2/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
245
PENDAHULUAN
Nilai koefisien aliran, yaitu perbandingan volume aliran permukaan dengan
volume curah hujan penyebabnya merupakan salah satu cara untuk melihat kondisi
suatu daerah aliran sangai (DAS). Namun, keterbatasan data baik data hidrologi maupun
data karakterisitik DAS guna penentuan nilai tersebut menjadi hal yang umum terjadi
pada sebagian besar DAS di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lebih
sederhana yang mampu memperkirakan nilai koefisien aliran, sehingga dampak
perubahan iklim maupun degradasi yang kemungkinan terjadi pada DAS dengan data
terbatas dapat diketahui lebih dini.
Estimasi nilai koefisien aliran secara sederhana dapat didekati dengan kondisidan komposisi kerapatan vegetasi dan tutupan permukaan kedap air dalam suatu DAS .
Pada tutupan vegetasi yang rapat, aliran permukaan yang dihasilkan lebih sedikit karena
peran intersepsi oleh tajuk dan meningkatnya laju infiltrasi akibat tingginya kapasitas
penyerapan seresah. Seyhan (1993) menyatakan pengamatan-pengamatan hidrologi
hutan selama bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa limpasan permukaan pada DAS
yang berhutan adalah jarang sekali. Di sisi lain, tutupan permukaan kedap air baik alami
maupun buatan manusia berperan sebagai penghalang terjadinya infiltrasi air
permukaan ke lapisan di bawahnya (Arnold dan Gibbon, 1996). Semakin tinggi persentase tutupan permukaan kedap air akan menyebabkan semakin tingginya nilai
koefisien aliran (Schueler, 1994). Data kerapatan vegetasi dan tutupan permukaan kedap
air tersebut dapat diperoleh dari data citra satelit melalui analisis digital.
Transformasi NDVI adalah salah satu teknik yang telah digunakan secara luas
untuk berbagai aplikasi (Liang, 2004). NDVI merupakan indeks vegetasi sederhana
namun memiliki sensifitas yang paling tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk
vegetasi dibanding indeks vegetasi lainnya (Ray, dalam Mirza, 2005). Selain
keunggulannya dalam membedakan kerapatan vegetasi, nilai NDVI juga berasosiasi
dengan persentase permukaan kedap air pada tiap-tiap piksel (Xian dan Crane, 2003;
Mathias dan Martin, 2003; Sawaya et al, 2003). Tutupan permukaan kedap air dengan
persentase rendah akan memiliki nilai NDVI tinggi karena adanya tutupan vegetasi yang
dominan, demikian juga sebaliknya.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
3/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
246
Ide utama dalam penelitian ini, yaitu penentuan nilai koefisien aliran
menggunakan pendekatan transformasi NDVI dibangun berdasarkan hubungan antara
nilai NDVI dengan kerapatan vegetasi dan persentase tutupan permukaan kedap air serta
hubungan antara nilai koefisien aliran dengan kerapatan vegetasi dan persentase tutupan
permukaan kedap air. Pendekatan ini sangat sederhana dan tanpa mempertimbangkan
faktor topografi, timbunan permukaan, infiltrasi dan intensitas hujan. Secara konseptual
penentuan nilai koefisien aliran menggunakan pendekatan transformasi NDVI ini
menyediakan alternatif teknik estimasi yang lebih cepat, murah dan sesuai untuk DAS
yang cukup luas. Hubungan antara nilai NDVI dengan persentase tutupan permukaan
kedap air menjadi fokus penelitian ini. Transformasi NDVI dilakukan terhadap citra
Landsat ETM+, sedangkan persentase tutupan permukaan kedap air diperoleh melalui
pengukuran pada citra Quickbird. Penelitian ini diterapkan di DAS Citarum Hulu
dengan pertimbangan bahwa kondisi dan komposisi tutupan lahan serta ketersediaan
data curah hujan dan data debit alirannya dipandang sesuai untuk evaluasi hasil
estimasi.
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Citra Landsat ETM+ Path/Row 122/065 tanggal perekaman 22 Desember 2001
dan Path/Row 121/065 (8 April 2003).
2. Citra komposit warna nyata Quickbird liputan Kota Bandung tahun 2004.
3. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1 : 25.000.
4. Peta Tutupan Lahan DAS Citarum Hulu Tahun 2000
5. Data curah hujan harian dari stasiun hujan yang tersebar di DAS Citarum Hulu;
Bandung, Cililin, Batujajar, Chinchona, Cicalengka, Ujungberung, Ciparay,
Cisondari, Paseh, dan Sukawana.6. Data debit harian dari stasiun Nanjung, Dayeuhkolot, Majalaya, Gandok, dan
Kamasan
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
4/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
247
Metode
Transformasi NDVI dilakukan terhadap citra Landsat ETM+ perekaman tanggal
22 Desember 2001, yang telah dikoreksi radiometrik maupun geometrik serta dipotong
sesuai batas DAS Citarum Hulu. Nilai NDVI dikalkulasi sebagai perbandingan nilai
pantulan radiasi matahari pada saluran inframerah dekat dan saluran merah, sehingga
menghasilkan nilai baru dalam kisaran – 1 hingga + 1.
Pengukuran persentase tutupan permukaan kedap air dilakukan melalui
interpretasi visual citra Quickbird pada sampel nilai NDVI yang dipilih secara stratified
proporsional sampling . Sebanyak 120 sampel diambil secara proporsional berupa
piksel tunggal pada area permukiman dan komersial, yang meliputi bangunan termasukvegetasi atau permukaan lolos air lain di sekitarnya. Batas masing-masing obyek kedap
air dalam grid 30 meter x 30 meter kemudian didigit menggunakan ArcView 3.3.
Selanjutnya persentase tutupan permukaan kedap air (TPKA) dapat dihitung. Cek
lapangan dilakukan untuk lebih meyakinkan hasil interpretasi citra Quickbird terutama
untuk sampel berupa piksel tunggal yang dalam tahap interpretasi masih diragukan
kebenaran jenis-jenis obyeknya.
Hubungan antara variabel terikat, yaitu hasil pengukuran berupa persentase
TPKA suatu piksel sampel dan variabel bebas berupa nilai NDVI piksel tersebut
dianalisis menggunakan regresi. Persamaan regresi yang dihasilkan kemudian
digunakan untuk mengkalkulasi nilai persentase TPKA. Terkait dengan hal itu
diperlukan asumsi, yaitu : (1) tanah basah dengan nilai NDVI negatif diasumsikan
sebagai TPKA karena dalam kondisi jenuh, (2) badan air baik jernih maupun keruh
dianggap TPKA nol persen karena air hujan yang jatuh di atasnya diasumsikan tidak
akan menjadi aliran sampai kapasitas tampungan badan air tersebut terlampaui, dan
(3) daerah yang tertutup awan diberi nilai sama dengan nilai persentase obyek di
sekitarnya. Penentuan batas badan air dilakukan menggunakan masking nilai piksel di
bawah 36 pada saluran 4, sedangkan penentuan batas awan dilakukan secara lokal
terhadap nilai di atas 106 pada saluran 3 citra Landsat ETM+.
Nilai koefisien aliran suatu DAS dalam satu periode musim hujan akan
bervariasi menurut kondisi tampungan intersepsi, tampungan depresi atau simpanan
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
5/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
248
permukaan, dan lengas tanah. Oleh karena itu, estimasi nilai koefisien aliran pada
penelitian ini dilakukan dalam tiga kondisi, yaitu saat DAS dalam kondisi kering, DAS
dalam kondisi basah, dan DAS dalam kondisi rata-rata yang mewakili kondisi pada satu
periode musim hujan tersebut.
a. Estimasi Nilai Koefisien Aliran Saat DAS Dalam Kondisi Kering
Estimasi nilai koefisien aliran dilakukan dengan cara merubah persentase
tutupan permukaan kedap air satuan pemetaan yang dihasilkan, menggunakan
persamaan sebagai berikut (Schueler, 1987 dengan modifikasi):
c = 0,05 + 0,91*TPKA (1)
Keterangan:
c = koefisien aliran
TPKA = persentase tutupan permukaan kedap air
b. Estimasi Nilai Koefisien Aliran Saat DAS Dalam Kondisi Basah
Apabila DAS dalam kondisi basah, maka estimasi nilai koefisien aliran DAS
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. nilai NDVI DAS < a diubah menjadi persentase tutupan permukaan kedap air(TPKA) menggunakan persamaan regresi yang diperoleh. Nilai a adalah nilai
NDVI pada persentase TPKA terendah (mendekati nol) hasil perhitungan
menggunakan persamaan regresi tersebut;
2. pada saat DAS dalam kondisi basah, diasumsikan bahwa simpanan permukaan
untuk permukaan kedap air dan permukaan lolos air maksimum, sehingga nilai
koefisien aliran dihitung menggunakan persamaan :
C = 1 – (0,25(1 – TPKA) + 0,06TPKA) (2)
(Jackson dkk, 1977 dalam Engman dan Gurney, 1991 dengan modifikasi);
3. nilai NDVI DAS > a diubah menjadi kerapatan vegetasi (LPT) menggunakan
persamaan regresi hubungan NDVI dengan tingkat kerapatan vegetasi:
y = 127,19x - 2,4779 (3)
(Mirza, 2005 dengan modifikasi);
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
6/222
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
7/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
250
melihat perbedaan dan persentase selisih antara nilai hasil estimasi dengan nilai hasil
perhitungan data hidrologi ataupun tabel koefisien aliran U.S. Forest Service (1980,
dalam Asdak, 2004) yang diaplikasikan pada tutupan lahan DAS Citarum Hulu tahun
2000. Hasilnya kemudian akan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana
transformasi NDVI dapat digunakan sebagai pendekatan estimasi nilai koefisien aliran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang kuat antara nilai NDVI dan
persentase tutupan permukaan kedap air dengan koefisien determinasi, r 2 sebesar 0,8605
(Gambar 1). Hubungan tersebut menghasilkan persamaan polinomial orde dua:
y = -63,61x2 – 116,66x +46,977 (6)
Persamaan ini merupakan model paling baik yang dapat menggambarkan pola non linier
hubungan antara kedua variabel. Pola non linier tersebut dipengaruhi oleh sebaran titik-
titik sampel pada nilai NDVI rendah (-), berupa piksel yang memuat obyek dengan
material aspal, beton, tanah basah di sekitar vegetasi, bangunan di sekitar tanah basah,
bangunan yang dikelilingi permukaan air terbuka dan atap bangunan dengan material
seng baru.
y = -63,61x2 - 116,66x + 46,977
R2 = 0,8605
0,0010,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
-0,6 -0,5 -0,4 -0,3 -0,2 -0,1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
NDVI
% T P K A
Gambar 1. Hubungan Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Permukaan
Kedap Air (% TPKA)
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
8/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
251
Estimasi Nilai Koefisien Aliran
Nilai koefisien aliran suatu DAS dalam satu periode musim hujan akan
bervariasi menurut kondisi tampungan intersepsi, tampungan depresi atau simpanan
permukaan, dan lengas tanah. Hujan yang terjadi pada saat kapasitas intersepsi,
tampungan depresi, dan lengas tanah pada DAS belum jenuh, akan menghasilkan nilai
koefisien aliran nol sampai rendah tergantung besarnya hujan lebih. Sebaliknya, apabila
dalam kondisi jenuh atau kapasitas tampungan maksimumnya terlampaui, akan
menghasilkan nilai koefisien aliran yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menggambarkan
hal di atas, maka estimasi nilai koefisien aliran pada penelitian ini dilakukan dalam tiga
kondisi, yaitu saat DAS dalam kondisi kering, DAS dalam kondisi basah, dan DAS
dalam kondisi rata-rata yang mewakili kondisi pada satu periode musim hujan tersebut.
Estimasi Nilai Koefisien Aliran Saat DAS Dalam Kondisi Kering
Nilai koefisien aliran diperoleh dengan cara mentransformasi nilai persentase
tutupan permukaan kedap air menggunakan persamaan (6). Persamaan tersebut memuat
pengertian bahwa hanya 5% dari hujan yang turun pada tutupan permukaan lolos air
akan menjadi aliran permukaan, sedangkan 95% akan hilang karena intersepsi, meresap
ke dalam tanah, dan tertahan dalam tampungan depresi. Kondisi tersebut terjadi pada
saat kondisi kapasitas tampungan maksimum ketiganya belum terlampaui, atau dengan
kata lain DAS dalam kondisi kering. Rerata timbang nilai koefisien aliran DAS Citarum
Hulu hasil estimasi pada kondisi ini adalah 0,2902.
Estimasi Nilai Koefisien Aliran Saat DAS Dalam Kondisi Basah
Saat banjir diasumsikan bahwa tampungan depresi untuk permukaan kedap air,
permukaan lolos air, dan badan air mencapai maksimum, sehingga air yang jatuh di
atasnya langsung meluap menjadi aliran permukaan. Oleh karena itu estimasi nilai
koefisien aliran pada bagian DAS dengan nilai persentase tutupan permukaan kedap airdi atas 0% dilakukan berdasarkan tampungan depresi maksimumnya. Di sisi lain, satuan
pemetaan dengan persentase tutupan permukaan kedap air 0% merupakan tutupan
vegetasi dengan berbagai tingkat kerapatan. Oleh karena itu, pada saat DAS dalam
kondisi basah digunakan dua persamaan regresi sebagai pendekatan estimasi nilai
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
9/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
252
koefisien aliran, yaitu persamaan (6) dan persamaan (3). Nilai NDVI pasangan dari nilai
persentase tutupan permukaan kedap air terendah ditetapkan sebagai pembatas.
Berdasarkan perhitungan nilai tersebut adalah 0,3397. Dengan demikian bagian DAS
dengan nilai NDVI lebih kecil dari 0,3397 diubah menjadi persentase tutupan
permukaan kedap air menggunakan persamaan (6), sedangkan yang sama dengan dan
lebih besar dari nilai tersebut diubah menjadi kerapatan vegetasi menggunakan
persamaan (3).
Nilai persentase tutupan permukaan kedap air diubah menjadi nilai koefisien
aliran menggunakan persamaan (2). Di sisi lain, tutupan permukaan selain vegetasi pada
daerah bervegetasi dianggap sebagai tutupan permukaan kedap air. Nilai kerapatan
vegetasi diubah menjadi nilai koefisien aliran menggunakan persamaan (4). Rerata
timbang nilai koefisien aliran DAS Citarum Hulu hasil estimasi pada kondisi ini adalah
0,6960
Estimasi Nilai Koefisien Aliran Saat DAS Dalam Kondisi Rata-rata
Estimasi nilai koefisien aliran pada kondisi ini dilakukan menggunakan
pendekatan dua regresi, yaitu regresi hubungan nilai NDVI dengan persentase TPKA
yang dihasilkan dan hubungan nilai NDVI dengan LPT. Penggunaan dua regresi secara
bersama-sama dapat memperkecil kesalahan estimasi jika dibanding dengan
penggunaan satu regresi. Pendekatan menggunakan persentase tutupan permukaan
kedap air saja akan mengkalkulasi semua piksel yang mempunyai persentase kekedapan
0% menjadi koefisien aliran bernilai 0,05, sehingga hasil estimasi cenderung lebih
rendah (underestimate). Sebaliknya, penggunaan kerapatan vegetasi akan mengubah
semua piksel dengan kerapatan 0% menjadi koefisien aliran bernilai 1, sehingga hasil
estimasi cenderung lebih tinggi (overestimate).
Pendekatan menggunakan titik potong kedua garis regresi menghasilkan nilai
koefisien aliran rata-rata sebesar 0,4903. Nilai a dan b pada nilai koefisien aliran
tersebut masing-masing -0,0607 dan 0,4202. Dengan demikian, dalam estimasi ini
bagian DAS dengan nilai NDVI di bawah -0,0607 ditransformasi menjadi nilai koefisien
aliran berdasarkan persentase tutupan permukaan kedap air, nilai NDVI di atas 0,4202
diubah menjadi nilai koefisien aliran berdasarkan kerapatan vegetasi, dan nilai koefisien
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
10/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
253
rata-rata 0,4903 diberikan pada bagian DAS dengan nilai NDVI antara -0,0607 hingga
0,4202. Citra koefisien aliran yang dihasilkan pada pendekatan ini kemudian
dikelompokkan menjadi 10 kelas dan dirata-rata timbang sehingga menghasilkan nilai
koefisien DAS Citarum Hulu sebesar 0,4570.
Ketepatan Nilai Koefisien Aliran Harian Hasil Estimasi
Estimasi nilai koefisien aliran pada penelitian ini dilakukan untuk tiga kondisi
DAS, yaitu saat kering, banjir, dan rata-rata yang dianggap mewakili variasi kondisi
DAS. Oleh karena itu sebagai pembanding, perhitungan nilai koefisien aliran DAS dari
PETA KOEFISIEN ALIRAN DAS
CITARUM HULU
A. Dalam Kondisi KeringB. Dalam Kondisi BasahC. Dalam Kondisi Rata-rata
Gambar 2. Peta Koefisien DAS Citarum Hulu Hasil Estimasi
A
B C
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
11/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
254
data hidrologi juga dilakukan pada tiga kondisi di atas. Nilai yang dihasilkan digunakan
sebagai pembanding nilai koefisien aliran hasil estimasi. Perbandingan keduanya dapat
dilihat dalam bentuk persentase selisih nilai.
Nilai koefisien aliran yang digunakan sebagai pembanding nilai koefisien aliran
hasil estimasi pada tiga kondisi DAS diperoleh melalui perhitungan data hidrologi
periode 15 Nopember 2001 – 28 Januari 2002. (Gambar 3). Persentase selisih antara
nilai koefisien aliran hasil estimasi dan hasil perhitungan untuk DAS Citarum Hulu saat
DAS dalam kondisi kering, basah, dan rata-rata dengan empat subDAS di dalamnya
berturut-turut adalah -2,94%, 10,61%, dan 0,14%, seperti yang ditunjukkan pada Tabel
1.
Nilai koefisien hasil estimasi pada kondisi kering lebih besar dari hasil
perhitungan data hidrologi disebabkan oleh asumsi bahwa 96% dari hujan yang jatuh
pada tutupan permukaan kedap air akan menjadi aliran. Kenyataan di lapangan,
sebagian hujan yang jatuh pada tutupan permukaan kedap air akan mengalir pada
tutupan lolos air di sekitarnya, kemudian meresap ke dalam tanah. Sebab yang lain
adalah curah hujan rendah yang jatuh pada tutupan permukaan kedap air datar tidak
akan menjadi aliran, karena pada air rendah kondisi tanah dan faktor lereng lebih
berperan dalam terjadinya aliran (Schueler, 1994).
Gambar 3. Plot Volume Hujan dan Volume Aliran DAS Citarum Hulu
tanggal 15 Nopember 2001 – 28 Januari 2002
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
60000000
1 1 / 1 5 / 2 0 0
1
1 1 / 2 2
/ 2 0 0
1
1 1 / 2 9
/ 2 0 0
1
1 2
/ 6 / 2 0 0
1
1 2 / 1 3 / 2 0 0
1
1 2 / 2 0
/ 2 0 0
1
1 2 / 2 7
/ 2 0 0
1
1 / 3 / 2 0
0 2
1 / 1 0 / 2 0 0
2
1 / 1 7 / 2 0 0
2
1 / 2 4
/ 2 0 0
2
waktu
v o l u m e ( m 3 )
volume hujan
volume aliran
tanggal perekaman citrabanjir
kering
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
12/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
255
Pendekatan yang digunakan dalam estimasi nilai koefisien aliran saat banjir ini
mengasumsikan tampungan depresi untuk tutupan permukaan kedap air, tutupan
permukaan lolos air maupun badan air dalam keadaan maksimum, sehingga air hujan
yang jatuh padanya akan langsung menjadi aliran. Di sisi lain, tutupan vegetasi tetap
diasumsikan sebagai penghambat efektif terjadinya aliran seperti tergambarkan dalam
persamaan yang digunakan. Kedua asumsi di atas menghasilkan nilai koefisien aliran
estimasi yang lebih besar dibanding hasil perhitungan, kecuali pada subDAS Cisangkuy
outlet Kamasan.
No DAS/subDAS Luas (ha) c estimasi c hitung selisih (%)
1 DAS Citarum Hulu - Nanjung 176206,2479 0,2902 0,2679 8,32
2 DAS Citarum Hulu - Dayeuhkolot 105488,9949 0,3365 0,3641 -7,58
3 DAS Citarum Hulu - Majalaya 20345,9271 0,1959 0,1134 72,75
4 SubDAS Cikapundung - Gandok 9022,6214 0,2027 0,2965 -31,64
5 SubDAS Cisangkuy - Kamasan 19810,1154 0,1981 0,4561 -56,57
selisih rata-rata -2,94
Sumber : hasil analisa data
Tabel 1. Perbandingan Nilai Koefisien Aliran Hasil Estimasi
dengan Hasil Perhitungan Data Hidrologi
Kondisi Kering
Kondisi Basah
No DAS/subDAS Luas (ha) c estimasi c hitung selisih (%)
1 DAS Citarum - Nanjung 176206,2479 0,6960 0,6566 6,00
2 DAS Citarum - Dayeuhkolot 105488,9949 0,7249 0,6069 19,44
3 DAS Citarum - Majalaya 20345,6927 0,5821 0,4191 38,89
4 SubDAS Cikapundung - Gandok 9022,6214 0,6064 0,5887 3,01
5 SubDAS Cisangkuy - Kamasan 19810,1154 0,5616 0,6551 -14,27
selisih rata-rata 10,61
Sumber : hasil analisis data
Kondisi Rata-rata
DAS/subDAS Luas c est c hitung selisih (%)
1 DAS Citarum - Nanjung 176206,2479 0,4570 0,5126 -10,85
2 DAS Citarum - Dayeuhkolot 105488,9949 0,4632 0,3743 23,75
3 DAS Citarum - Majalaya 20345,6927 0,3933 0,3471 13,314 SubDAS Cikapundung - Gandok 9022,6214 0,4122 0,4416 -6,66
5 SubDAS Cisangkuy - Kamasan 19810,1154 0,3788 0,4668 -18,85
selisih rata-rata 0,14
Sumber : hasil analisis data
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
13/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
256
Pendekatan yang dilakukan dalam estimasi ini adalah penentuan nilai koefisien
aliran rata-rata melalui perpotongan dua garis regresi yang digunakan. Nilai yang
dihasilkan yaitu sebesar 0,4903 kemudian diberikan pada daerah dalam DAS dengan
kisaran nilai NDVI -0,0607 hingga 0,4202 seperti yang sudah dibahas di atas. Sebaran
daerah tersebut cukup luas sehingga nilai koefisien aliran estimasi yang dihasilkan
cenderung mendekati nilai rata-rata di atas.
Perbandingan antara nilai koefisien aliran harian hasil estimasi dengan nilai
koefisien aliran harian hasil perhitungan pada tiga kondisi di atas menghasilkan
persentase selisih yang cukup baik antara keduanya, yaitu 2,60%. Uji statistik yang
dilakukan menggunakan uji beda dua kelompok data yang saling berpasangan, t-student ,
menghasilkan kesimpulan statistik bahwa nilai rata-rata koefisien aliran estimasi dan
nilai koefisien aliran perhitungan perhitungan data hidrologi tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi 95%.
Perubahan Persentase Tutupan Permukaan Kedap Air
Berdasarkan hasil evaluasi di atas, persamaan regresi hubungan nilai NDVI
dengan persentase tutupan permukaan kedap air dapat digunakan untuk melihat
perubahan persentase tutupan permukaan kedap air setiap bagian DAS Citarum Hulu.Persamaan 6 diterapkan pada subDAS Cikapundung dan subDAS Cisangkuy, untuk
melihat perubahan kondisi tutupan permukaan kedap air dari tahun 1990, 1997, dan
2001. Hasil perhitungan menunjukkan dalam kurun waktu 11 tahun (1990 – 2001),
peningkatan persentase utupan permukaan kedap air di subDAS Cisangkuy dan subDAS
Cikapundung masing-masing 34,85% dan 28,46%, seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 4.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
14/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
257
Gambar 4. Peta Kelas Tingkat Tutupan Permukaan Kedap Air
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
15/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
258
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sebaran nilai NDVI secara keruangan dapat menggambarkan dengan baik sebaran
persentase tutupan permukaan kedap air dan kerapatan vegetasi dalam DAS. Nilai
NDVI dan persentase tutupan permukaan kedap air menunjukkan hubungan yang
kuat dan berlawanan arah, dengan koefisien determinasi 0,86. Hubungan tersebut
menghasilkan persamaan regresi polinomial orde dua y = -63,61x2 – 116,66x +
46,977 . Kesalahan baku regresi dalam memprediksi persentase tutupan permukaan
kedap air dari setiap nilai NDVI adalah 10,06%.
2. Nilai koefisien aliran DAS Citarum Hulu hasil estimasi saat DAS dalam kondisi
kering, kondisi basah, dan kondisi rata-rata masing-masing adalah 0,29, 0,70, dan
0,46. Hasil perhitungan data hidrologi pada tiga kondisi tersebut masing-masing
0,27, 066, dan 0,51. Persentase selisih rata-rata nilai koefisien aliran hasil estimasi
dengan hasil perhitungan data hidrologi pada DAS Citarum Hulu dan empat
subDAS di dalamnya adalah 2,60%.
3. Uji statistik menunjukkan bahwa hasil estimasi tidak berbeda dengan hasil
perhitungan pada taraf uji 95%, dengan demikian persentase tutupan permukaan
kedap air dan kerapatan vegetasi yang diprediksi dari nilai NDVI dapat digunakan
untuk estimasi nilai koefisien aliran DAS.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diajukan adalah
sebagai berikut.
1. Nilai NDVI tiap piksel citra Landsat merupakan gambaran dari berbagai macam
obyek di dalamnya. Oleh karena itu, nilai tersebut perlu dikalibrasi menggunakan
rata-rata nilai NDVI citra resolusi spasial tinggi yang ditumpangsusunkan padanya,
sehingga ekstraksi informasi terutama persentase tutupan permukaan kedap air dapatlebih optimal.
2. Signifikansi model estimasi ini perlu diuji pada DAS-DAS lain yang mempunyai
karakteristik berbeda-beda dengan komposi tutupan permukaan kedap air dan
kerapatan vegetasi bervariasi.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
16/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
259
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, C.L. and C.J. Gibbons, 1996. Imperviuosness Surface: The Emergence of a Key
Urban Environmental Indicator. American Planning Association Journal , 62(2),
p 243 – 258.
Asdak, C., 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada
University Press, Cetakan Ketiga, Yogyakarta
Gunawan, T. 1991. Penerapan Teknik Penginderaan Jauh untuk Menduga Debit
Puncak Menggunakan Karaketristik Lingkungan Fisik DAS studi kasus di
DAS Bengawan Solo Hulu Jawa Tengah. Disertasi, Fakuktas Pascasarjana
IPB. Bogor.
Liang, S., 2004. Quantitative Remote Sensing of Land Surface. John Wiley & Sons, Inc.
New Jersey
Matthias, B. and H. Martin, 2003. Mapping imperviuosness using NDVI anf linear
spectral unmixing of ASTER data in the Cologne-Bonn region Germany,
Proceeding of the SPIE 10th
International Symposium on Remote Sensing ,
Bercelona. www.geogr.uni-jena.de/~c5hema/pub (14 Juni 2006 pk 8.49)
Mirza, M., 2005. Hubungan Kerapatan Vegetasi dan NDVI Dalam Kaitannya dengan
Estimasi Nilai Koefisien Aliran, Skripsi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Sawaya, K.E., L.G. Olmanson, N.J. Heinert, P.L. Brezonik, and M.E. Bauer. 2003.
Extending satellite remote sensing to local scale: land and water resource
monitoring using high-resolution imagery, Remote Sensing of Environment 88,
Elsevier. www.sciencedirect.com (1 Februari 2007 pk 14.47)
Schueler, 1994. The Importance of Imperviousness, Watershed Protection Techniques,
1(3), p 100 – 111.
Seyhan, E. 1993. Dasar-dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Xian, G. and M. Crane, 2003. Evaluation of urbanization influences on urban climate
with remote sensing and climate observation.
www.isprs.org/commission8/workshop_urban /xian.pdf (14 Juni 2006 pk 10.56)
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
17/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
260
PENYUSUNAN KOMPONEN MODEL DALAM PENDEKATAN SISTEM
PENGELOLAAN WADUK WADASLINTANG SUATU UPAYA MENGHADAPI
PERUBAHAN IKLIM
Endang Widyastuti , Agatha Sih Piranti, Diana Retna Utarini Suci Rahayu∗∗∗∗
ABSTRAKWaduk Wadaslintang dimanfaatkan untuk perikanan tangkap, budidaya keramba jaring apung,
pembangkit tenaga listrik, pengendali banjir, irigasi dan rekreasi. Seiring dengan laju perkembangan penduduk dan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk, maka optimalisasi pemanfaatan potensi waduk sangat diperlukan. Optimalisasi waduk memerlukan perencanaan dan pengaturan yang seksama untuk menghindari konflik kepentingan. Program pemanfaatan sumberdayawaduk harus dibangun pada suatu sistem produksi yang secara ekologi, ekonomi dan sosial mampumemberikan manfaat yang berkelanjutan dan antisipasi adanya perubahan iklim. Pendekatan sistemdilakukan dengan upaya mencari semua faktor penting guna membuat model kuantitatif untukmendapatkan keputusan yang rasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk memformulasikan komponen penyusun model pengelolaan perairan Waduk Wadaslintang. Penelitian dilakukan denganmenggunakan metode survei, dilaksanakan pada bulan Mei-Juni dan Agustus-September 2007, terhadapkualitas air waduk, sosial ekonomi masyarakat sekitar waduk, pemilik keramba, tata guna lahan didaerah aliran sungai waduk dan besarnya erosi. Data dikelola sebagai dasar dalam tahapan pendekatan sistem. Tahapan pendekatan sistem untuk mendapatkan komponen model adalah analisis kebutuhan, formulasi permasalahan dan identifikasi sistem. Analisis kebutuhan dilakukan dengan metode prospektif(Bourgeois, 2002). Hasil analisis didapatkan 16 faktor penting yang berkaitan dengan pengelolaanwaduk. Selanjutnya dilakukan analisis pengaruh silang antar faktor dari 16 faktor tersebut. Analisisdilakukan dengan menggunakan cara matriks, sehingga terpilih faktor dominan dalam pengelolaan perairan waduk. Tahap berikutnya dilakukan formulasi masalah berkaitan faktor dominan yangdidapatkan. Identifikasi sistem tertuang dalam causal loop yang menggambarkan komponen utama penyusun model beserta hubungan antar komponennya yaitu: teknologi budidaya, limbah budidaya, dayadukung dan pendangkalan.Kata Kunci : komponen model, pendekatan sistem, pengelolaan waduk, Waduk Wadaslintang
ABSTRACTWadaslintang Reservoir is used for fishery, net cage, power generation, agriculture irigation,
flood control, and recreation. Related to increasing human populations and community wellfare demand,the optimation of reservoir uses need to done This actions need comprehensive planning and regulationto avoid conflict interest. The uses of reservoir should be able to give sustain to ecologically,economically, social benefit and the climate change anticipation. The system thinking is conducted byevaluating all important factors to develop quantitative models as to give a rationale decision. The purpose of this research to find formulation models component conributed management model ofWadaslintang Reservoir. This research use a survey method, conducted during May-June and August-September 2007. This survey was including water quality, stakeholders social community, fish farmer,land use, cathment area, and erosion. The data obtained was calculated as a base to system thingking phase. The phase on getting a model component through the analysing stakeholder’s needs, was the problem formulation as well as the system identification. The stakeholder’s need analysing was doneusing a prospectif method (Bourgeois, 2002). The result found that there are16 key factors concerning thereservoir management. The cross analyses among factors were conducted by matrix in order to find the
dominance factors of reservoir management. The dominanance factor was used to find the problems formulation. The system identification is ilustrated using a casual loop to visualize the model of maincomponent and interelated components : culture technology, waste, carrying capacity and sedimentationKey words : models component, system thinking, management, Wadaslintang reservoir
∗ Fakultas Biologi Universitas Jendral Soedirman
e-mail: [email protected]
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
18/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
261
PENDAHULUAN
Waduk Wadaslintang terletak di Kabupaten Wonosobo, dimanfaatkan untuk
pembangkit tenaga listrik, pengendali banjir, irigasi, perikanan tangkap, perikanan
budidaya dan rekreasi. Seiring dengan laju perkembangan penduduk dan tuntutan
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk, maka perlu pengembangan /
optimalisasi pemanfaatan potensi waduk. Optimalisasi waduk memerlukan
perencanaan dan pengaturan yang seksama untuk menghindari konflik kepentingan,
memperpendek umur waduk ataupun penurunan kualitas air. Program pemanfaatan
sumberdaya waduk oleh karenanya harus dibangun pada suatu sistem produksi yang
secara ekologi, ekonomi dan sosial mampu memberikan manfaat yang berkelanjutan
dan antisipasi adanya perubahan iklim. Waduk merupakan suatu sistem, terdiri dari
komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dengan faktor lingkungannya.
Fenomena dunia nyata seperti perairan waduk, menunjukkan kompleksitas tinggi dan
sulit dipahami hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing
disiplin untuk memahami fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan
beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak
berkesinambungan dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno, 1999).
Forrester (1971) menyatakan bahwa konsep sistem yang berlandaskan pada unit
keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang
utuh, dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata.
Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan
dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan
suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 1999). Kajian mengenai perairan Waduk
Wadaslintang, dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, dalam membangun model
pengelolaan di perairan tersebut. Pendekatan sistem dilakukan dengan upaya mencari
semua faktor penting guna membuat model kuantitatif untuk mendapatkan keputusan
yang rasional.
Jorgensen (1989) mengemukakan bahwa model sangat cocok untuk memecahkan
masalah lingkungan. Jorgensen (1994) selanjutnya menguatkan bahwa penggunaan
model dalam ekologi hampir wajib, jika ingin mengerti tentang fungsi sistem yang
kompleks seperti dalam ekosistem. Selanjutnya Hall dan Day (1977) mengemukakan
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
19/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
262
bahwa model merupakan alat untuk memprediksi perilaku dari suatu keadaan yang
kompleks, atas dasar perilaku komponen-komponen dari keadaan tersebut yang telah
diketahui dengan baik. Pemodelan merupakan suatu teknik untuk membantu
konseptualisasi dan pengukuran suatu sistem yang kompleks, atau untuk memprediksi
respon dari sistem terhadap tindakan. Pendekatan sistem dilakukan dalam beberapa
tahap proses yang terdiri dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi
sistem, pemodelan sistem dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu
kesatuan kerja merupakan analisis sistem (Grant, et al,. 1977, Eriyatno, 1999, Hartrisari,
2002).
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah untuk memformulasikan komponen
penyusun model pengelolaan perairan Waduk Wadaslintang. Manfaat penelitian ini
adalah untuk data dasar membangun model perancangan pemanfaatan waduk yang
dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
BAHAN DAN METODE
Tahapan pendekatan sistem untuk mendapatkan komponen model adalah analisis
kebutuhan, formulasi permasalahan dan identifikasi sistem (Grant, et al,. 1977,
Eriyatno, 1999, Hartrisari, 2002). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
survei, dilaksanakan pada bulan Mei-September 2007, terhadap kualitas air waduk,
sosial ekonomi masyarakat sekitar waduk, pemilik keramba, tata guna lahan di daerah
aliran sungai waduk dan besarnya erosi. Beberapa data diperoleh dari Balai Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah Opak Progo Serayu (2001) dan Balai Pengelolaan
Sumberdaya Air Progo Bogowonto Luk Ulo (2007). Data dikelola sebagai dasar dalam
tahapan pendekatan sistem.
Tahap analisis kebutuhan dilakukan dengan metode prospektif (Bourgeois, 2002
dan Hartrisari, 2002). Metode prospektif merupakan eksplorasi tentang kemungkinan di
masa yang akan datang, sebagai suatu metode untuk mendapatkan faktor kunci dan
tujuan strategis yang berperan dalam penanganan suatu wilayah sesuai kebutuhan para
pelaku ( stakeholders) yang terlibat. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut
sepenuhnya merupakan pendapat para pelaku dan ahli (expert ) mengenai pemanfaatan
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
20/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
263
waduk, khususnya perairan Waduk Wadaslintang. Inventarisasi kebutuhan pelaku
dilakukan dengan menggunakan kuesioner.
Pengisian kuesioner dilakukan dengan mewawancarai secara mendalam para
responden yang masuk dalam kriteria ahli dan memahami. Responden diminta
pendapatnya tentang faktor-faktor peubah apa saja yang berpengaruh terhadap jalannya
sistem. Tahap selanjutnya adalah expert meeting untuk menyepakati faktor-faktor
peubah kunci, diskusi kriteria keadaan dan pengaruh serta ketergantungan dalam sistem
yang dikaji, yaitu pemanfaatan perairan waduk.
Jumlah responden sebanyak 18 orang yang terdiri dari masyarakat
umum, pengusaha, pemerintah daerah, pemerhati lingkungan, pengelola wadukdan lembaga swadaya masyarakat. Pendapat responden dianalisis berdasarkan skor
pengaruh silang antar faktor, dengan menggunakan cara matriks, kemudian
dipresentasikan secara grafik dalam salib sumbu Kartesian (Bourgeois, 2002,
Hartrisari, 2002). Hasil analisis menggambarkan kebutuhan obyektif para pelaku
terhadap pemanfaatan di perairan Waduk Wadaslintang.
Tahap formulasi permasalahan merupakan perumusan permasalahan di perairan
Waduk Wadaslintang. Tahap identifikasi sistem didasarkan pada komponen utama
struktur pemanfaatan di perairan waduk serta interaksi di antaranya. Komponen utama
struktur pemanfaatan perairan waduk, diperoleh berdasarkan hasil analisis prospektif
pada tahap analisis kebutuhan. Dalam tahap ini dihasilkan diagram lingkar sebab akibat
(causal loop) dan diagram input-output sistem pemanfaatan di Waduk Wadaslintang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan responden didapatkan 16 faktor penting yang dianggap
berkaitan dengan pemanfaatan Waduk Wadaslintang. Faktor penting tersebut adalah:
(1) Penyediaan lapangan kerja, (2) Peningkatan pendapatan (3) Teknologi budidaya (4)
Masalah limbah keramba jaring apung (KJA0, (5) Terjadinya pendangkalan waduk, (6)
Kadang terjadinya kematian ikan pada saat pergantian musim kemarau ke musim hujan,
(7) Terlaksananya program pengelola waduk, (8) Kebijakan pemerintah, (9) Sarana dan
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
21/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
264
prasarana yang tersedia, (10) Penggunaan lahan di daerah aliran sungai (DAS) (11)
Potensi sumberdaya manusia, (12) Peningkatan produksi KJA (13) Terjaganya daya
dukung lingkungan, (14) Ketersediaan lahan (luas waduk), (15) Pakan ikan, (16)
Pengendalian pencemaran.
Analisis kebutuhan pada dasarnya adalah segala keinginan sumber-sumber yang
terseleksi dan dapat digunakan (Eriyatno, 1999). Setiap pelaku dapat terjadi memiliki
kebutuhan, kepentingan atau pengertian yang berbeda tentang pemanfaatan perairan
waduk dan tidak tertutup kemungkinan saling bertentangan satu dengan lainnya.
Dalam UNEP-IETC/ILEC (2000a) juga dikemukakan bahwa pengelolaan perairan
yang berkelanjutan, perlu melibatkan partisipasi pengguna yang berkepentingan dalam
mengalokasikan sumberdaya air tersebut di antara berbagai persaingan penggunaan dan
pengguna; karena pada dasarnya mereka yang mengalokasikan dan menggunakan
(ataupun menyalah gunakan) keberadaan sumberdaya air tersebut. Pelaku yang terlibat
adalah: Masyarakat yang tinggal di sekitar waduk yang berkepentingan dengan air
waduk sebagai nelayan atau mengusahakan budidaya ikan dalam KJA; Masyarakat yang
berkepentingan dengan air waduk guna mengairi sawahnya; Pengelola waduk yang
berkepentingan untuk memanfaatkan air waduk untuk tenaga listrik dan air minum;
Pemerintah yang berkepentingan untuk pemanfaatan sumberdaya alam bagi
kesejahteraan masyarakat; Pemerhati lingkungan yang berkepentingan terhadap
kelestarian sumberdaya perairan waduk. Oleh karenanya selanjutnya dilakukan expert
meeting untuk menyepakati faktor-faktor peubah kunci oleh para responden.
Berdasarkan atas skor yang diberikan responden, dilakukan analisis pengaruh
silang antar faktor dari 16 faktor tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan
cara matriks. Matriks tersebut kemudian dipresentasikan secara grafik dalam salib
sumbu Kartesian (Bourgeois, 2002., Hartrisari, 2002 ). Berdasarkan hasil grafik dalam
salib sumbu, terpilih lebih sedikit faktor penentu efektivitas pengelolaan di perairan
Waduk Wadaslintang.
Faktor-faktor penentu terkelompokkan dalam 4 kuadran. Kuadran kiri atas terdiri
dari 4 faktor: limbah KJA, teknologi budidaya, pendangkalan waduk dan daya dukung
lingkungan. Kuadran kanan atas terdiri dari 2 faktor: pendapatan dan lapangan kerja.
Kuadran kiri bawah terdiri dari 5 faktor: program pengelola waduk, kebijakan
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
22/222
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
23/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
266
Masalah sedikitnya air disebabkan terbatasnya presipitasi air dan penggunaan air yang
berlebihan, sedangkan masalah banyaknya air, disebabkan adanya banjir. Masalah
kualitas air umumnya adalah dikarenakan pencemaran, yang meliputi bermacam-
macam bahan organik dan anorganik. Bahan-bahan pencemar tersebut dapat
berpengaruh terhadap kesehatan manusia atau terganggu peruntukkannya (UNEP-
IETC/ILEC, 2000 b
).
Kebutuhan para pelaku terhadap pemanfaatan Waduk Wadaslintang adalah
bersifat pemuasan terhadap kepentingan masing-masing. Berdasarkan acuan pada
kebutuhan para pelaku yang tercermin dalam analisis prospektif dan kondisi yang ada
yang dijumpai di Waduk Wadaslintang, maka permasalahan pemanfaatan Waduk
Wadaslintang diformulasikan sebagai berikut:
(1) Tidak diperhatikannya masalah limbah dari aktivitas KJA yang ditunjukkan dengan
tidak adanya upaya mengurangi dampak limbah KJA ataupun pemanfaatan sisa
pakan yang tidak termakan oleh ikan.
(2) Pemanfaatkan perkembangan teknologi budidaya KJA yang ada belum diupayakan
secara menyeluruh. Teknologi yang digunakan berkaitan dengan produktivitas. Hal
ini ditunjukkan dengan masih digunakannya teknologi KJA yang sama dari waktu
ke waktu oleh masyarakat, upaya pemanfaatan perkembangan teknologi baru
diupayakan oleh PT Aquafarm.
(3) Tidak diperhatikannya pemanfaatan tataguna lahan di DAS yaitu dengan
melakukan penebangan hutan yang berlebihan yang tidak mengindahkan kondisi
topografi dan bentuk wilayah yang sebagian besar berupa dataran dengan lereng
curam dan bergelombang. Pengolahan tanah yang tidak memperhatikan pelestarian
lingkungan tercermin dari besarnya erosi (94,12mton/ha/th) dari lahan atas, yang
akan berpengaruh terhadap pendangkalan waduk.
(4) Kegiatan KJA yang ada dilakukan secara rutinitas dari waktu ke waktu tanpa
adanya usaha untuk melakukan kegiatan untuk mengurangi dampaknya yang
menunjukkan kurangnya pengertian akan daya dukung lingkungan perairan waduk.
(5) Budidaya KJA yang berkembang adalah yang diusahakan oleh PT Aquafarm,
sehingga baru memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sebagai pekerja belum
menjadikan masyarakat sebagai pemilik KJA.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
24/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
267
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari
kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan
untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini sering digambarkan dalam
bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal lop) (Eriyatno, 1999). Marimin (2003) juga
mengemukakan bahwa dalam identifikasi sistem dilakukan identifikasi komponen,
termasuk keterkaitan di antara komponen. Hubungan antar komponen akan lebih jelas
bila digambarkan di dalam suatu diagram lingkar sebab akibat. Diagram tersebut akan
banyak membantu dalam mencari hubungan antar komponen, baik yang saling
menguntungkan maupun yang saling merugikan.
Dalam hubungannya dengan pemanfaatan budidaya KJA di perairan Waduk
Wadaslintang, identifikasi sistem didasarkan pada pemikiran mengenai komponen
utama yaitu terutama komponen yang muncul di kuadran kiri atas dan kuadran kanan
atas pada analisis kebutuhan. Komponen utama tersebut adalah limbah KJA, teknologi
budidaya yang berkaitan dengan produktivitas, daya dukung lingkungan, pendangkalan
waduk, pendapatan dan lapangan kerja. Komponen tersebut dijadikan titik awal dalam
membangun diagram causal loop. Pendapatan dan lapangan kerja merupakan efek
langsung dari teknologi KJA yang berkaitan dengan produktivitas, sehingga dianggap
terwakili dengan komponen teknologi KJA. Hasil identifikasi sistem pemanfaatan
Waduk Wadaslintang untuk budidaya KJA yang berbasis lingkungan tertuang dalam
diagram causal loop yang ditampilkan pada gambar 1.
Gambar 1. Causal Loop Pemanfaatan Perairan Waduk Wadaslintang
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
25/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
268
Eriyatno (1999) selanjutnya menyatakan bahwa dalam identifikasi sistem yang
penting adalah melanjutkan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap
(black box). Winardi (1999) menyatakan bahwa dalam kotak gelap dipengaruhi oleh
bermacam-macam kekuatan dan hal-hal tertentu tersebut dimasukkan sebagai suatu
input dan keluaran yang terlihat (output ) yang merupakan hasil dari berbagai input
dalam proses intern. Di sini terdapat adanya suatu hubungan transformasi antara input
dan output , yang seakan-akan dialihkan melalui elemen-elemen sistem yang tidak
dikenal di dalam kotak hitam. Dengan demikian di dalam kotak hitam hanya
memperhatikan input dan output sistem tersebut dan bukan apa yang berlangsung di
dalam sistem yang bersangkutan.
Berdasarkan intepretasi diagram causal loop yang dikaitkan dengan hasil analisis
kebutuhan, dilakukan pembangunan konsep kotak gelap (black box) diagram input-
output (I/O). Secara singkat pencapaian tujuan sistem dituangkan dalam diagram input-
output sistem pemanfaatan Waduk Wadaslintang disajikan pada Gambar 2. Diagram I/O
memberikan gambaran mengenai input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali,
output dikehendaki dan tak dikehendaki serta manajemen pengendalian. Parameter
rancang bangun sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) yang
menunjukkan proses (transformasi) input menjadi output .
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
26/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
269
INPUT LINGKUNGAN
Perubahan Iklim
• Perubahan Iklim
INPUT TAK TERKONTROL
• Kebutuhan lahan• Kenaikan harga
OUTPUT YANG DIKEHENDAKI
• Program pengelolaan waduk• Sarana dan prasarana• Kebijakan pemerintah• Sumberdaya manusia• Pengendalian pencemaran• Kematian ikan tidak terjadi• Ketersediaan lahan• Produksi KJA• Penggunaan lahan• Pakan
MODEL PEMANFAATAN PERAIRAN WADUK
WADASLINTANG
INPUT TERKONTROL
• Limbah KJA seminimalmungkin
• Teknologi budidaya yang tepat• Pendangkalan waduk dicegah• Daya dukung lingkungan terjaga• Pendapatan agar meningkat• Lapangan kerja yang
menguntungkan
OUTPUT TAK DIKEHENDAKI
• Biaya produksi meningkat• Terjadinya peningkatan
penduduk yang membuat
KJA
PARAMETER RANCANG BANGUN
• Produksi KJA• Limbah KJA• Daya dukung lingkungan• Laju erosi
MANAJEMEN PENGENDALIAN
Gambar 2. Diagram Input Output Sistem Pemanfaatan Waduk Wadaslintang
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
27/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
270
KESIMPULAN
Pendekatan sistem yang dilakukan dalam rangka untuk penyusunan komponen
model dalam pengelolaan Waduk Wadaslintang tertuang dalam diagram causal loop
yang menggambarkan komponen utama penyusun model beserta hubungan antar
komponennya yaitu: teknologi budidaya, limbah KJA, daya dukung dan pendangkalan.
Dilanjutkan interpretasi diagram causal loop ke dalam konsep kotak gelap (black box)
dan perubahan iklim merupakan suatu input lingkungan yang tidak bisa dihindari
Seiring laju perkembangan penduduk dan tuntutan peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekitar waduk, maka peningkatan pemanfaatan waduk khususnya bagi usaha
perikanan tidak bisa dihindari. Saran yang disampaikan berkaitan dengan hasil yang
didapatkan adalah masih dibutuhkan suatu time seri data dalam rangka pembangunan
model pengelolaan Waduk Wadaslintang agar diketahui kecenderungan faktor-faktor
yang terlibat dalam pemanfaatan waduk. Running model yang terbangun dapat
memberikan dasar pijakan untuk mengantisipasi kondisi waduk yang tidak diharapkan
yaitu dengan membuat berbagai skenario pengelolaan waduk yang mungkin dilakukan
dalam kondisi nyata.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan sebagian dari Penelitian Fundamental Tahap I tahun
2007. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Kompetisi Penelitian
Fundamental tahun anggaran 2007 atas dukungan dana yang diberikan bagi penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Progo Bogowonto Luk Ulo (BPSDA Probolo).
2007. Pengoperasian Waduk Wadaslintang . BPSDA Probolo, Kutoarjo
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Opak Progo Serayu (BRLKT Opak
Progo Serayu), 2001. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Sub DAS Wawar/Medono DAS Serayu. BRLKT Opak Progo
Serayu. Yogyakarta.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
28/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
271
Bourgeois, R. 2002. Expert Meeting Methodology for Prosprective Analysis. CIRAD
Amis. Ecopol
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB
Press. Bogor.Forrester, J.W. 1971. World Dynamic. Wright-Allen Press Inc. Cambridge
Grant, W.E., E.K.Pedersen and S.L.Marin. 1977. Ecology and Natural Resource
Management. System Analysis and Simulation. John Wiley & Sons, Inc. New
York:
Hall,C.A.S. and J.W. Day Jr. 1977. Ecosystem Modelling in Theory and Practice: An
Introduction With Case Histories. John Wiley & Sons. New York
Hartrisari, H. 2002. Analisis Sistem dan Pemodelan dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Bahan Kuliah: Program Pascasarjana SPL-IPB. Bogor. (Tidak
dipublikasi)
Jorgensen, S.E. 1989. Use of model. In Jorgensen, S.E., R.A.Vollenweider,
editors.Guidelines of Lake Management. Vol I. Principle of Lake Management .International Lake Environment Committee Foundation. Shiga.
Jorgensen, S.E. 1994. Fundamental of Ecological Modelling. 2nd ed. Elsevier.
Amsterdam.
Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB
Press. Bogor.
Winardi. 1989. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Penerbit Mandar
Maju. Bandung.
United Nation Environment Programme-International Environmental Technology
Centre and International Lake Environment Committee Foundation(UNEP-
IETC/ILEC). 2000a. Lakes and Reservoirs: Similarities, Differences and
Importance. Vol I. UNEP-IETC/ILEC.Shiga.
United Nation Environment Programme-International Environmental Technology
Centre and International Lake.Environment Committee Foundation(UNEP-
IETC/ILEC). 2000 b. Lakes and Reservoirs: Water Quality: The Impact of
Eutrophication. Vol 3. UNEP-IETC/ILEC.Shiga.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
29/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
272
KAJIAN PENYEBAB PENURUNAN VOLUME AIR DI WADUK JATILUHUR
DARI ASPEK GEOLOGI
Dedi Mulyadi, Hilda Lestiana, Rizka Maria, Sukristiyanti∗∗∗∗
ABSTRAKSalah satu masalah di Waduk Jatiluhur yang telah banyak diberitakan di berbagai media serta
berdasarkan hasil pengamatan lapangan adalah terjadinya penurunan volume air waduk. Valume yang
makin menyusut ini perlu diperhatikan, mengingat Waduk Jatiluhur mempunyai peranan penting sebagai
sumber air bersih bagi masyarakat di daerah hilir DAS Citarum seperti Kerawang, Bekasi dan Jakarta.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan pengolahan data di studio, diduga bahwa penurunan
volume air waduk disebabkan oleh pengurangan pasokan air kedalam waduk. Sedimentasi yang terjadi
menyebabkan beberapa sungai yang masuk ke Waduk mengalami pendangkalan. Proses pendangkalan
disebabkan beberapa faktor, diantaranya litologi dan tutupan lahan. Litologi tersebut memperlihatkkan
dua golongan batuan yaitu batuan yang mudah terlarut (soluble) dan yang lebih resisten. Batuan yangmudah terlarut serta tutupan lahan yang miskin vegetasi memberikan kontribusi terhadap sedimentasi
yang terjadi di waduk Jatiluhur.
Kata kunci : litologi, sedimentasi, Waduk Jatiluhur
ABSTRACTOne of the problem most reported in the media and widely observed in the field about the Jatiluhur
Dam is the decrease of the dam water volume. The decreasing volume needs to taken into consideration
particularly because the Jatihulur Dam is the source of clean water for the people at the downstream of
Citarum watershed like Kerawang, Bekasi and Jakarta. Based on the field observation and data analysis,
it is assumed that the decreasing volume of water is due to the decreasing water supply into the dam.
Rivers sedimentation caused the diminishing water volume of the dam. The sedimentation is due to
several factors like lithology and land cover. The lithology of the area is showing two types of rock, the
soluble rock and the more resistant rock. The soluble rock and the less vegetated land cover contributes
to the current sedimentation of Jatiluhur Dam.
Keywordss: lithology, sedimentation, Jatiluhur Dam
PENDAHULUAN
Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km
dari pusat Kota Purwakarta).merupakan bendungan terbesar di Indonesia. Bendungan
tersebut dinamakan oleh pemerintah, Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau
yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor
asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3 / tahun dan
merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia.
∗ Puslit Geoteknologi LIPI
e-mail : [email protected]
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
30/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
273
Di dalam Waduk Jatiluhur, terpasang 6 unit turbin dengan daya terpasang 187
MW dengan produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun, dikelola oleh
PT. PLN (Persero).
Selain dari itu Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air irigasi untuk
242.000 ha sawah (dua kali tanam setahun), air baku air minum, budi daya perikanan
dan pengendali banjir yang dikelola oleh Perum Jasa Trita II.
Selain berfungsi sebagai PLTA dengan sistem limpasan terbesar di dunia,
kawasan Jatiluhur memiliki banyak fasilitas rekreasi yang memadai, seperti hotel dan
bungalow, bar dan restaurant, lapangan tenis, bilyard, perkemahan, kolam renang
dengan water slide, ruang pertemuan, sarana rekreasi dan olahraga air, playground dan
fasilitas lainnya. Sarana olahraga dan rekreasi air misalnya mendayung, selancar angin,
kapal pesiar, ski air, boating dan lainnya. (wikipedia.org)
Hingga saat ini waduk Jatiluhur masih banyak dikunjungi oleh wisatawan
domestik maupun mancanegara, salah satunya wisata air dan memancing. Banyaknya
fungsi mengakibatkan Jatiluhur sebagai salah satu andalan ekonomi kabupaten
Purwakarta. Namun demikian sangat disayangkan dengan penurunan debit dari Waduk
Jatiluhur pada tahun 15 September 2003 dilaporkan bahwa debit menurun hingga yaitu
77,34 meter. Yang artinya pada kondisi sangat menghawatirkan. (www.unisosdem.
org/ekopol)
Bererapa permasalahan yang kini tengah dialami oleh Waduk Jatiluhur
diantaranya adalah penurunan kualitas air yang disebabkan oleh limbah yang terbawa
dari sungai maupun oleh pakan ikan yang terlarut. Selain masalah kualitas air di Waduk
Jatiluhur adalah penuruanan muka air waduk hal ini diperkirakan oleh dampak curah
hujan yang rendah yang menyebabkan volume air Waduk Jatiluhur mengalami
penurunan sepuluh sentimeter per hari.
Pada 7 Januari 2003. dilaporkan air di waduk menurun hingga 83 meter. Menurut
pihak Hubungan Masyarakat Perusahaan Jatiluhur, ketinggian normal waduk sekitar 88
meter. Penurunan air waduk tak urung berpengaruh pula terhadap pasokan air bersih ke
Jakarta. Pasokan ke Ibu Kota menurun sekitar 15 meter (liputan6.com)
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
31/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
274
Secara kasat mata penurunan muka air Waduk Jatiluhur dapat diamati pada saat
pengambilan sampel air yang dilakukan pada bulan agustus 2007 dan 2008 yang lalu
berupa terlihatnya diding waduk dengan sangat mencolok.
Salah satu penyebab turunnya muka air di waduk Jatiluhur, tidak hanya faktor
iklim dan rendahnya curah hujan, salah satunya adalah sedimentasi yang disebabkan
oleh perubahan penggunaan lahan didaerah hulu DAS Citarum.
Akibat perubahan fungsi lahan didaerah hulu Citarum mengakibatkan kondisi
tanah penutup lebih mudah tererosi sehingga hal ini membuat proses sedimentasi lebih
mudah terjadi. Hal lain adalah batuan yang berada sekitar daerah Citarum hulu maupun
Waduk Jatiluhur ternyata tidak hanya batuan yang mempunyai resistensi yang tinggi,
terdapat diantaranya batuan yang mudah lapuk, sehingga jenis batuan ini dapat
memberikan kontribusi pada sedimentasi yang pada akhirnya menyebabkan
menurunnya muka air Waduk Jatiluhur.
BAHAN DAN METODE
Penelitian akan dilakukan dengan meneliti jenis batuan yang resisten dan mudah
terlarut dengan bantuan peta geologi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Geologi,
Bandung.. Selain hal tersebut dianalisis kekeruhan air Waduk Jatiluhur pada beberapa
titik di daerah waduk. Pengamatan citra satelit pada band yang sensitif terhadap air.
Metode
• Pembagian kelas peta geologi berdasarkan sifat kekerasan batuan menggunakan peta
geologi yang dibuat oleh Pusat Penelitian Geologi Bandung, untuk memperoleh dua
kelas batuan yaitu batuan resisten dan batuan tidak resisten.
• Interpretasi tutupan lahan berdasarkan Citra ASTER dengan menggunakan metoda
stretching enhancement untuk memperoleh dua kelas tutupan lahan yaitu kelas
vegetasi dan kelas non vegetasi.
• Peta pengkelasan geologi dengan peta tutupan lahan disimulasikan untuk mengetahui
kontribusi pada proses sedimentasi.
• Hasil analisis contoh air di Waduk Jatiluhur akan menjadi data pembanding
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
32/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
275
Gambar 1 : Diagram alir penelitian
Geologi daerah Penelitian
Daerah Jatiluhur terletak di Kabupaten Purwakarta¸ kondisi geologi terdiri dari
batuan sedimen klasik, berupa: batu pasir, batu gamping, batu lempung, batuan vulkanik
(turf, breksi vulkanik, batuan beku terobosan, batu lempung napalan, konglemerat dan
napal). Batuan beku terobosan terdiri dari andesit, diorit, vetrofir, basal dan gabro.
Batuan tersebut umumnya bertebaran di sebelah Barat Daya wilayah Kab. Purwakarta.
Jenis batuan napal, batu pasir kuarsa merupakan batuan yang tertua di Kab. Purwakarta
dengan lokasi sebaran di tepi Waduk Ir. H. Juanda dan batu lempung yang berumur
lebih muda (Miosen) tersebar di wilayah Barat Laut bagian Timur Kab. Purwakarta dan
endapan gunung api tua yang berasal dari Gunung Burangrang, Gunung Sunda berupa
tuf, lava andesit basalitis, breksi vulkanik dan lahar.
Di atas batuan ini diendapkan pula hasil erupsi gunung api muda yang terdiri dari
batu pasir, lahar, lapili, breksi, lava basal, aglomerat tufan, pasir tufa, lapili dan lava
scoria.
Bahan galian yang terdapat di wilayah Kab. Purwakarta diantaranya adalah: batu kali,
Peta Geologi
Jenis litolo i
Soluble
Citra Satelit
Tutupan Lahan
Pengamatan
Lapangan
Lahan Non
Vegetasi
Lahan
Vegetasi
sedimentasi
Penuruanan pasokan air ke waduk
Penurunan volume air waduk
Pendangkalan sungai
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
33/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
276
batu pasir, batu andesit, batu gamping, lempung, pasir, pasir kuarsa, sirtu, tras, posfat,
barit dan gif.(Purwakarta.go.id)
Gambar 1. Geologi daerah Jatiluhur dan sekitarnya (Sujatmiko, 2003)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data mengenai penurunan permukaan Waduk Jatiluhur memperlihatkan secara
perlahan terjadi penurunan walupun tidak memperlihatan penurunan yang drastis.
(tabel 1)
No Tanggal Permukaan air Sumber
1 2003 77,34meter Perum Jasa Tirta II
2 Tanggal 8 April 2006, 99,25 meter Perum Jasa Tirta II
3 Tanggal 7 April 2006, 99,20 meter Perum Jasa Tirta II
4 Tanggal 9 Oktober 2008, 97 meter Kompas.com
Batuan mengalami siklus dimulai dari pembentukan kemudian proses
transportasi, mengalami dekomposisi, hal ini sangat dipengaruhi oleh proses iklim,
begitupun yang terjadi di daerah sekitar Waduk Jatiluhur pada umumnya terdiri dari
batuan resisten dan batuan lapuk hal ini dapat dilihat pada peta geologi yang telah
disederhanakan, sehingga dapat diamati bahwa batuan lapuk atau soluble terdapat di
daerah rendah dan berdekatan dengan Sungai Cisomang, dan bagian selatan waduk,
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
34/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
277
sehingga diperkirakan telah memberikan kontribusi pada sedimentasi di Waduk
Jatiluhur, ditambah batuan sekitar waduk (foto 1 dan 2) yang terdiri dari serpih
lempungan dengan sisipan batugamping napalan, jenis batuan tersebut karena proses
iklim/ cuaca akan mudah tertranportasi menjadi endapan. Sungai-sungai yang bermuara
di Waduk Jatiluhur juga t memberikan kontribusi sedimentasi.
Foto 1. Litologi sekitar Waduk yang terdiri Foto 2. Pertambangan andesit sekitar
Batulempung napal Waduk Jatiluhur
Dari hasil penyederhanaan peta geologi (gambar 2) memperlihatkan daerah
Jatiluhur dan sekitarnya dibagi kedalam dua katagori, batuan napal (warna coklat muda)
dan batuan kuarsa yang mengelilingi daerah Waduk dikelaskan menjadi batuan yang
mudah terlarut sedangkan batuan intrusi (warna Hijau) digolongkan batuan yang
resisten. Selain Napal daerah waduk juga mempunyai litologi berupa endapan
gunungapi tua.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
35/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
278
Gambar 2. Peta pembagian batuan resisten (hijau muda) dan soluble (berwana coklat muda) di daerah
Waduk Jatiluhur
Pengamatan citra satelitInterpretasi tutupan lahan berdasarkan
Citra ASTER dengan menggunakan metoda
stretching enhancement untuk memperoleh
dua kelas tutupan lahan yaitu kelas vegetasidan kelas non vegetasi dibuat berdasarkan
citra Aster 2003 (Gambar 3 dan 4)
memperlihatkan terdapat daerah bukaan
dicirikan pada citra komposit dengan warna
biru terang dengan tekstur halus, terdapat di
bagaian timur waduk dan Sungai Cisomang
daerah tersebut merupakan lahan
persawahan dan perladangan sedangkan
pada Citra Aster hasil yang telah di enhan
dengan metoda stertching memperlihatkan
bagian sedimentasi di beberapa mulut sungai dengan warna putih dengan tekstur halus.
Gambar 3. Citra Aster Daerah 12 Juli 2003
Sedimentasi
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
36/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
279
Gambar 5. Lokasi pengambilan
contoh air waduk Jatiluhur
Pengamatan Lapangan
Pada pengamatan lapangan yang dilakukan pada
tahun 2007, pengambilan contoh air untuk
dianalisis nilai kekeruhan diambil tersebar
Waduk Jatiluhur, hasilnya menunjukkan bahwa
menunjukkan nilai kekeruhan berkisar antara 0.3
– 11 NTU, sedangkan ambang batas nilai
kekeruhan menurur Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 416 Tahun1990 dibatasi tidak boleh lebih
dari 5 NTU. (gambar 6, grafik nilai kekeruhan)
Nilai kekeruhan yang diatas ambang batas hanya
terdapat pada satu lokasi, yaitu di dekat inlet.
waduk Jatiluhur. Nilai kekeruhan yang tinggi ini
dimungkinkan karena faktor sedimentasi yang
berasal dari tepian waduk atau material yang
terbawa dari waduk Cirata Foto5-9 (Rizka, 2007)
Gambar 4. Citra Aster Daerah (komposit 326) 12 Juli 2003
Sedimentasi
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
37/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
280
Foto 5 Foto 6
Foto 7 Foto 8
Foto 5, Memperlihatkan penggunaan lahan disekitar daerah waduk berupa kebun campuran. Foto 6
Badan sungai Cisomang yang bagian sisinya telah mengalami sedimentasi Foto 7 Bagian sisi sungai
yang memperlihatkan daerah penggunaan lahan dan sediemtasi. Foto 8 Panorama di Waduk Jatiluhur
terlihat penurunan muka air pada dinding waduk
Grafik Kekeruhan
0
2
4
6
8
10
12
10 2 13 9 15 161718 4 20 2138 3922 26 293335 364042 432324 25
Titik Pengambilan Sampel
K a d a r
K e k e r u
h a n
( N T U
)
Gambar 6 Grafik kekeruhan Contoh air Waduk Jatiluhur
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
38/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
281
Foto 8,9,10,dan 11 memperlihatkan menurunnya muka air Waduk Jatiluhur
KESIMPULAN
Dari pengamatan lapangan, interpretasi citra Aster dan analisis sampel air dapat
disimpulkan bahwa Waduk Jatiluhur saat ini telah mengalami penurunan yang
disebabkan oleh pengurangan pasokan air kedalam waduk.
1. Hasil analaisis Citra Aster tahun 2003 memperlihatkan bahwa telah terjadi proses
sedimentasi dengan penampakan warna abu-abu pada daerah timur waduk, atau
bagian sungai yang menghubungkan Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur.
2. Secara Visual teramati pada citra Aster komposit band 321, bahwa di daerah
pinggiran waduk dan di bagian hulu sungai Cisomang telah terjadadi bukaan lahan,
yang bila di dibandingkan denagn peta geologi ada pada daerah batuan alluvial yang
sangat dimungkinkan menjadi penyebab dari sedimentasi.
3. Hasil analisis air didaerah waduk memperlihatkan bahwa kekeruhan telah melampui
ambang batas yaitu nilai kekeruhan berkisar antara 0.3 – 11 NTU, sedangkan ambang
batas nilai kekeruhan menurur Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun1990
dibatasi tidak boleh lebih dari 5 NTU.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
39/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
282
DAFTAR PUSTAKA
Erni Murniati htt://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=2781&coid=2&caid=40
diakses tanggal 8 Oktober 2008http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/0051380/pasokan.air.baku.untuk.pam.jaya
diakses tanggal 8 Oktober 2008
http:// perum Jasa Tirta II.go.id diakses tanggal 8 Oktober 2008
http:// liputan6.com/daerah/?id=136266, diakses tanggal 8 Oktober 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Waduk_Jatiluhur, diakses tanggal 8 Oktober 2008
Hilda Dkk, 2007 Permasalahan Waduk Jatiluhur pada Saat Ini, Prosedding hasil
Penelitian Puslit Geoteknologi, Bandung.
Rizka Dkk, 2007 Observasi Kualitas Air Pada Waduk Jatiluhur, Prosedding hasil
Penelitian Puslit Geoteknologi, Bandung.
Sudjatmiko, 2003 Peta geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
40/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
283
PREDIKSI DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PADA
LOADING SEDIMEN DAN BESARAN DEBIT DAS CIMANUK HULU
DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SEDIMOT II
Hadiid Agita R *, Iwan Ridwansyah dan Dini Daruati
ABSTRAK Perkembangan aspek sosial dan ekonomi sebagai suatu konsekuensi logis dari pertumbuhan
penduduk berimbas pada perubahan penggunaan lahan DAS Cimanuk Hulu sebagai salah satu DASterbesar di Jawa Barat. Meningkatnya jumlah penduduk menuntut perluasan lahan untuk permukiman.Sementara meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat mendorong perluasan lahan budidaya pertaniandan penyempitan lahan hutan. Perubahan penggunaan lahan ini terkait dengan perubahan respon DASterhadap hujan yang lebih jauh berdampak pada perubahan kualitas air dan produktivitas sumber daya perairannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkuantifikasi dampak perubahan penggunaan lahantahun 1991 hingga tahun 2002 pada respon DAS Cimanuk Hulu terhadap hujan yang diparameterisasidengan limpasan total, puncak debit dan sedimen. Output model yang disimulasikan pada lahan seluas44.864,5 Ha dipilih di Stasiun Leuwidaun Kabupaten Garut sebagai cerminan dari kondisi dan karakter DAS Cimanuk Hulu. Untuk memprediksi nilai respon DAS terhadap hujan digunakan software SEDIMOT II. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data interpretasi visual Citra Landsat 7 ETM
+ RGB
547 dan Sistem Informasi Geografis untuk kajian penggunaan lahan. Total limpasan dan sedimen dari jeluk sebesar 86 mm pada daerah hulu Stasiun Leuwidaun dengan penggunaan lahan tahun 1991 adalah7,321 juta m
3 dan 314,5 ton. Nilai total limpasan meningkat sebanyak 25,53% menjadi 9,19 juta m
3 pada
penggunaan lahan tahun 2002. Sementara jumlah sedimen meningkat sebesar 38,28% menjadi 434,9ton. SubDAS yang mengalami peningkatan limpasan dan sedimen tertinggi masing-masing sebesar257,14% dan 346,23% terletak di Kecamatan Samarang. Sementara subDAS yang tidak mengalami perubahan penggunaan lahan yang berarti di Kecamatan Ibun memiliki limpasan dan sedimen lebih kecildari ketelitian SEDIMOT II.Kata kunci: DAS Cimanuk Hulu, pemodelan hidrologi, sedimentasi, SEDIMOT II, perubahan
penggunaan lahan.
ABSTRACT
Social and economic growth as consequences of increasing population implies land use change inUpper Cimanuk Watershed as one of the biggest watershed in West Java. Population growth requiredland enlargement for settlement. In the other hand increasing demand of food urged land enlargement foragriculture, which decreased forest area. The land use changes related with the changes of watershedresponse to the rainfall, which further implies changes of the water quality and water resources productivity. The aims of this research is to quantify land use changes impact from 1991 to 2002 to theresponse of Upstream Cimanuk Watershed on the rainfall which parameterized by total runoff, peakdischarge, and sediment yield. The output of the model which has been simulated over the area of44.864,5 Ha is located at Leuwidaun Station in Garut District. The area was chosen because it canreflect the condition and character of Upstream Cimanuk Watershed. Software SEDIMOT II is used to predict the response of the watershed to the rainfall. Model simulation used data from visualinterpretation of Landsat 7 ETM + 547RGB Image with geographical information system process for landuse analysis. Total runoff and sediment yield of 86 mm rainfall for the land use of 1991 are 7.321 millionm
3 and 314.5 tons respectively. Total runoff increased about 25.53% yielding 9.19 million m
3 in 2002,
whereas sediment yield increased 38.28% into 434.9 tons. The highest runoff and sediment increasehaving the value of 257.14% and 346.23% respectively, was simulated to be happened in Subwatershed
located in Samarang Sub District. The subwatershed located in Ibun Sub District having insignificantland use changes was simulated to having runoff and sediment yield smaller than the accuracy ofSEDIMOT II.Keywords: Upper Cimanuk Watershed, hydrology modeling, sedimentation, SEDIMOT II, land use
change.
* Pusat Penelitian Limnologi LIPIJl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong
E-mail : [email protected]
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
41/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
284
PENDAHULUAN
Sungai Cimanuk yang merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Barat
memiliki peran penting bagi aspek sosial dan ekonomi masyarakat khususnya yang
berdomisili di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk seluas 3.752 km2 yang terbentang
dari Kabupaten Garut hingga ke Delta Cimanuk di Kabupaten Indramayu.
Perkembangan aspek sosial dan ekonomi sebagai suatu konsekuensi logis dari
pertumbuhan penduduk berimbas pada perubahan penggunaan lahan DAS.
Meningkatnya jumlah penduduk menuntut perluasan lahan untuk permukiman.
Sementara meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat mendorong perluasan lahan
budidaya pertanian dan penyempitan lahan hutan. Perubahan penggunaan lahan ini
terkait dengan perubahan respon DAS terhadap hujan yang lebih jauh berdampak pada
perubahan kualitas air dan produktivitas sumber daya perairannya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkuantifikasi dampak perubahan penggunaan lahan pada respon
DAS Cimanuk Hulu terhadap hujan yang diparameterisasi dengan limpasan total,
puncak debit dan sedimen. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
perumusan model pengelolaan DAS Cimanuk yang berkelanjutan.
Perbandingan respon DAS Cimanuk Hulu menggunakan data interpretasi visual
Citra Landsat 7 ETM+ RGB 547 dan Sistem Informasi Geografis untuk kajian
penggunaan lahan tahun 1991 dan 2002. Sementara kuantifikasi dari respon DAS
Cimanuk Hulu dilakukan dengan menggunakan SEDIMOT II (Sedimentology by
Distributed Model Treatment ). Model tersebut memprediksi hidrograf dan grafik
sedimen dari satu kejadian hujan yang didefinisikan oleh pengguna model. Komponen
utama model ini adalah komponen hujan, limpasan, sedimen, dan kendali sedimen.
Daerah objek penelitian adalah DAS Cimanuk Hulu seluas 44864,5 Ha yang
secara administratif termasuk Kabupaten Garut yang meliputi Kecamatan Samarang,
Cisurupan, Bayongbong, sebagian Kecamatan Lebun, Cikajang, Garut Kota, Cilawu,
Tarogong dan Banjarwangi, dengan outlet di Stasiun Leuwidaun. DAS Cimanuk secara
umum bertopografi datar (sekitar 700 m dapl pada datarannya) sampai bergunung (lebih
dari 2500 m dapl) dengan jenis tanah beragam yang didominasi oleh komplek regosol
dan litosol, asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, dan latosol coklat. Curah hujan
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
42/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
285
bulanan sejak tahun 1996 hingga 2004 berkisar antara nol hingga 474 mm dengan nilai
curah hujan harian tertinggi sebesar 86 mm.
Pemodelan Hidrologis dan Sedimentologis
Daerah studi dibagi menjadi 35 subDAS (Gambar 1) dengan luas berkisar antara
22,88 Ha hingga 2022 Ha. Pembagian subDAS didasarkan pada kesamaan relatif
penggunaan lahan dengan memperhatikan batasan software. Komponen limpasan dibagi
dalam tiga yaitu abstraksi hujan, aliran permukaan, dan aliran kanal. Metoda
penghitungan abstraksi hujan yang digunakan adalah Bilangan Kurva SCS. Pada setiap
subDAS ditentukan besaran bilangan kurva dari data jenis tanah dan kelompok
hidrologisnya beserta data penggunaan lahan hasil interpretasi citra tahun 1991 dan2002 yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3. Pada tahun 1991 ke 2002 terjadi
perluasan daerah permukiman seluas 5,74 km2. Seluas 21,142 km
2 daerah hutan
dialihfungsikan menjadi kebun, ladang, kebun teh/sayur, dan tanah terbuka. Hal tersebut
mengakibatkan nilai rataan aritmetik bilangan kurva pada tahun 2002 lebih tinggi dari
nilai rataan aritmetik bilangan kurva tahun 1991.
Gambar 1. Skema struktur Model SEDIMOT DAS Cimanuk Hulu Outlet Leuwidaun
DAS Cimanuk
Hulu
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
43/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
286
Gambar 2. Peta penggunaan lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 1991.
Gambar 3. Peta penggunaan lahan DAS Cimanuk Hulu tahun 2002.
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
44/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
287
0
20
40
60
80
100
120
H u t a
n
K e b u
n
K e b u
n T e h /
S a y u r
L a d a n g
P e r m
u k i m
a n
S a w a h
S e m a k
S u n g
a i
T a n a h T
e r b u k a
L u a s ( K m * * 2 )
PL 1991
PL 2002
Gambar 4. Komposisi Penggunaan lahan DAS Cimanuk Hulu pada tahun 1991 dan 2002.
Aliran permukaan diprediksi dengan teknik unit hidrograf dengan tiga pilihan
bentuk yaitu hutan, pertanian, dan disturbed . Komponen aliran kanal menggunakan
metoda Muskingum untuk routing hidrograf menuju dan antar struktur. Parameter-
parameter ini dihitung dari data kecepatan aliran sungai yang dibobotkan berdasarkan
panjang segmen dan kemiringan.
Sedimen yang dihasilkan oleh setiap subDAS dihitung dengan model MUSLE
( Modified Universal Soil Loss Equation) dari J. R. William yang menggunakan faktor
erosivitas limpasan (Wilson et al, 1989). Rumusnya adalah sebagai berikut:
Y y = 95 (Q q p) (0,56 ) K LS CP
dimana Y y adalah sedimen yang dihasilkan (ton), Q adalah volume limpasan (ac-ft), q p
adalah puncak debit (cfs), K adalah faktor erodibilitas, LS adalah parameter panjang
lereng, CP adalah faktor manajemen tanaman dan kendali erosi.
Sifat fisik dari sampel tanah yang mewakili jenis-jenis tanah penyusun DAS
Cimanuk Hulu digunakan sebagai input sedimentologis seperti massa jenis, koefisien
beban sedimen, massa jenis bagian terbesar, distribusi ukuran partikel dan persentase
kehalusannya, dan erodibilitas tanah. Distribusi ukuran partikel dan persentase
kehalusan sedimen per subDAS (Tabel 1) ditentukan melalui pembobotan berdasarkan
area jenis tanah terkait di subDAS dilanjutkan dengan analisis klaster untuk memenuhi
batasan software. Nilai erodibilitas tanah dihitung dengan rumus Wischmeier untuk
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
45/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
288
setiap sampel tanah, kemudian dibobotkan dengan luasan di setiap sub DAS. Nilai
kemiringan dan panjang lereng diperoleh dari pengolahan data kontur yang memiliki
kerapatan 42.65 kaki.
Tabel 1. Distribusi Ukuran Partikel dan Persentase Kehalusannya. A = kompleks regosol & litosol; B =
asosiasi andosol coklat & regosol coklat; C = latosol coklat.
Ukuran(mm)
Persentase Kehalusan
1 2 3 4 5 6 7 8
A B CA:B =
48:52
A:C =
45:55
B:C =
41:59
B:C =
61:39
A:B:C =
46:21:33
1,5 99,9 99,9 99,8 99,9 99,845 99,841 99,861 99,867
0,75 97,6 98,7 98,5 98,172 98,095 98,582 98,622 98,128
0,35 75,5 78,37 76,8 76,9924 76,215 77,4437 77,7577 76,5317
0,15 66,2 73,17 68,6 69,8244 67,52 70,4737 71,3877 68,45570,075 64,9 72,22 65,9 68,7064 65,45 68,4912 69,7552 66,7672
0,035 49,45 58,3 51,1 54,052 50,3575 54,052 55,492 51,853
0,015 39,05 45,75 37,25 42,534 38,06 40,735 42,435 39,863
0,006 5,55 10,1 7,7 7,916 6,7325 8,684 9,164 7,215
0,00125 2,45 1 1,3 1,696 1,8175 1,177 1,117 1,766
0,0001 0 0 0 0 0 0 0 0
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil simulasi SEDIMOT II terhadap DAS Cimanuk Hulu menunjukkan bahwa
jeluk sebesar 86 mm dengan durasi 24 jam pada tahun 2002 akan menghasilkan
limpasan yang lebih tinggi 25,53 % dari total limpasan yang dihasilkan oleh hujan yang
sama terhadap penggunaan lahan tahun 1991. Nilai puncak debit untuk penggunaan
lahan tahun 2002 pun lebih tinggi 21,1% dari tahun 1991. Jumlah sedimen yang
terhitung di outlet Leuwidaun pun mengalami peningkatan sebesar 38,28 %.
Tabel 2. Perbandingan parameter respon DAS Cimanuk Hulu
pada penggunaan lahan tahun 1991 dan tahun 2002
Parameter Satuan 1991 2002
Total Limpasan m 7.321.134,78 9.189.869,58
Puncak Debit m /detik 226,52 274,32
Sedimen ton 314.537,4 434.933,5
-
8/19/2019 isi_hal 244-465.pdf
46/222
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
289
Dengan meninjau perbandingan parameter input dan respon setiap subDAS di
Cimanuk Hulu (Tabel 3) diketahui bahwa peningkatan jumlah limpasan yang terjadi
berkisar antara nol dan 257,14 %. Peningkatan jumlah limpasan tertinggi pada subDAS
(3,1,1,3) yang terletak di Kec. Samarang yang merupakan salah satu kecamatan yang
mengalami perluasan daerah permukiman terbanyak. Peningkatan jumlah sedimen
tertinggi yaitu sebesar 346,23 % pun terjadi di subDAS yang sama. Sementara di
subDAS (3,1,1,1) tidak terkalkulasi adanya limpasan