isbn 978-602-70112-1-2 - unj.ac.id · pdf fileadalah wujud fisik perkembangan ekonomi. ......
TRANSCRIPT
ISBN 978-602-70112-1-2
KONSEP KOTA EKOLOGIS
SEBAGAI KOTA EKONOMIS YANG
BERKELANJUTAN Kajian Infrastruktur Kota
Emirhadi Suganda
Sylvira Ananda
Henita Rahmayanti
Universitas Indonesia–Program Pascasarjana
Program Studi Ilmu Lingkungan
Jakarta
Penyusun: Prof. Dr. Emirhadi Suganda, MSi. Dr. Sylvira Ananda, MSi. Dr. Henita Rahmayanti, MSi. Sampul dan Tata Letak : Sylvira Ananda Henita Rahmayanti Editor : Mido Rihibiha Diterbitkan : Universitas Indonesia-Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan, Desember 2014 Alamat Penerbit: Universitas Indonesia-Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan Gedung C Lantai 5 Jalan Salemba Raya No 4 Jakarta 10430 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis Isi di luar tanggung jawab percetakan Cetakan Pertama : Desember 2014 ISBN 978-602-70112-1-2
i
Kata Pengantar
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku dengan judul:
Konsep Kota Ekologis Sebagai Kota Ekonomis yang Berkelanjutan: Kajian Infrastruktur Kota.
Buku ini membahas mengenai perkembangan suatu
kota dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijakan
ekonomi, hal ini disebabkan karena perkembangan kota
pada dasarnya adalah wujud fisik perkembangan
ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kota, yaitu: faktor penduduk, faktor sosial
ekonomi dan faktor sosial budaya. Kota Ekologis
sebagai kota ekonomis adalah pendekatan untuk
mengintegrasikan pembangunan perkotaan yang
mensinergikan ekologi dan ekonomi. Kota yang
berkelanjutan (sustainable city) diartikan sebagai kota
yang direncanakan dengan mempertimbangkan dampak
lingkungan yang didukung oleh warga kota yang
memiliki kepedulian dan tanggung-jawab dalam
penghematan sumberdaya pangan, air, dan energi;
mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan;
ii
dan mengurangi pencemaran terhadap lingkungan.
Sesuai dengan karakteristik suatu kota, maka
pembangunan kota berkelanjutan dapat diartikan
sebagai upaya terus-menerus untuk meningkatkan
kualitas kehidupan warga kota melalui peningkatan
produktivitas di sektor sekunder dan tersier dan
penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang layak
dengan mempertimbangkan dampak invasi dan
intensifikasi kawasan terbangun terhadap kerusakan
lingkungan kota serta mensyaratkan keterlibatan yang
tinggi dari warga kota terhadap upaya penghematan
konsumsi sumberdaya alam dan pengendalian
penurunan kualitas lingkungan.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan Penerbit Universitas Indonesia, Program
Pascasarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan. Kami
menyadari bahwa buku ini belum sempurna, mohon
maaf sekiranya terdapat kesalahan dan kekurangan
dalam penulisan buku ini.
Jakarta, Desember 2014 Tim Penyusun
iii
DAFTAR ISI
1. Konsep dan Pertumbuhan kota 1 1.1 Konsep Kota 1 1.2. Pertumbuhan Kota 4 1.3. Konsep Penataan Ruang Kota 8 1.4. Konsep Daya Dukung Lingkungan 16 1.5. Konsep Kota Ekologis dan Ekonomis 21
2. Fungsi Kota Sebagai Kota Ekologis dan Ekonomis 34
2.1. Fungsi Kota Sebagai Kota Ekologis dan Ekonomis 34 2.2. Indikator Kota Ekologis dan ekonomis 64 2.3. Konsep Keberlanjutan Kota 69 2.4. Keberlanjutan Kota Ekologis & Ekonomis 91
3. Optimalisaasi Keberlanjutan Kota ekologis
dan Ekonomis 102 3.1. Keberlanjutan Kota Ekologis dan Ekonomis 102 3.2. Pendidikan Masyarakat kota yang Berkelanjutan 111
4. Kesimpulan 127
DAFTAR PUSTAKA 137
1
1. KONSEP DAN PERTUMBUHAN KOTA
1.1. Konsep Kota
Pertumbuhan dan perkembangan kota pada prinsipnya
menggambarkan proses berkembangnya suatu kota.
Pertumbuhan kota mengacu pada pengertian secara
kuantitas, yang dalam hal ini diindikasikan oleh besaran
faktor produksi yang dipergunakan oleh sistem ekonomi
kota tersebut. Semakin besar produksi berarti ada
peningkatan permintaan yang meningkat, sedangkan
perkembangan kota mengacu pada kualitas, yaitu
proses menuju suatu keadaan yang bersifat
pematangan. Indikasi ini dapat dilihat pada struktur
kegiatan perekonomian dari primer ke sekunder atau
tersier. Secara umum kota akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan melalui keterlibatan
aktivitas sumber daya manusia berupa peningkatan
jumlah penduduk dan sumber daya alam dalam kota
yang bersangkutan.
Perkembangan suatu kota juga dipengaruhi oleh
2
perkembangan dan kebijakan ekonomi, hal ini
disebabkan karena perkembangan kota pada dasarnya
adalah wujud fisik perkembangan ekonomi. Kegiatan
sekunder dan tersier seperti manufaktur dan jasa-jasa
cenderung untuk berlokasi di kota-kota karena faktor
“urbanization economics” yang diartikan sebagai
kekuatan yang mendorong kegiatan usaha untuk
berlokasi di kota sebagai pusat pasar, tenaga kerja ahli,
dan sebagainya. Pemahaman tentang pertumbuhan
kota dapat menjadi dasar pemikiran dalam penataan
ruang.
Konsep-konsep pengembangan wilayah kaitannya
dengan upaya optimalisasi fungsi lahan pertumbuhan
dan perkembangan wilayah kota dimasa yang akan
datang cenderung terus berkembang baik secara
demografis, fisik, bahkan spasial. Laju pertumbuhan
penduduk, tingkat kepadatan, tingkat ketersebaran
fasilitas pelayanan umum dan potensi lahan secara
keseluruhan menjadi penggerak utama terjadinya
ekspansi pemanfaatan lahan dan perubahan dalam
struktur internal wilayah kota.
Terkait dengan hal tersebut di atas, lahirnya konsep-
3
konsep pengembangan wilayah tidak dapat dilepaskan
dari berbagai teori tentang lokasi dan teori-teori lokasi.
Pada dasarnya adalah upaya untuk mengoptimalkan
fungsi lahan pada suatu wilayah tertentu. Untuk kondisi
saat ini, dimensi lokasi tidak hanya terkait dengan
masalah ruang (space ), jarak (distance), dan waktu
(time), tetapi juga dimensi geografis (topografi, hidrologi)
dan landsekap ekonomi (economic land scape)
sebagai variabel tambahan yang signifikan dalam
kerangka teori pembangunan. Bahkan beberapa lokasi
yang memiliki keunggulan komparatif seringkali di
asosiasikan sebagai suatu keunggulan alamiah,
misalnya iklim, tanah, air, dan kondisi topografi
cenderung melibatkan masukan faktor produksi,
kelembagaan dan kenikmatan yang diinginkan untuk
mendukung kenyamanan iklim berinvestasi (Barlowe,
1986). Dimensi lokasi dalam pengembangan wilayah
baik dalam skala nasional, regional, maupun lokal harus
dipertimbangkan dengan matang agar tercipta efisiensi
dan efektifitas dalam proses pengimplementasiannya.
Von Tunnen dalam Adisasmita (1982)
mengintroduksikan teori lokasi dengan mengembangkan
4
hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang
(spatial location) dan pola penggunaan lahan (land use).
Inti pembahasannya adalah mengenai pemilihan lokasi
dan spesialisasi sector pertanian. Dituliskan bahwa pola
penggunaan lahan untuk masing-masing segmen
kegiatan dalam suatu wilayah akan mempengaruhi arah
dan fungsi pengembangannya, sewa lahan akan
semakin tinggi jika jarak dengan pasar mengecil (dekat),
dan demikian sebaliknya.
1.2. Pertumbuhan Kota
Dalam hubungannya dengan pertumbuhan kota, teori
tempat sentral (central place theory) yang diperkenalkan
oleh Christaller dalam Adisasmita (1982) menyatakan
bahwa setiap pusat pasar yang telah berkembang
memiliki batas-batas pengaruh tertentu bagi wilayah
komplementernya, yang kemudian akan membentuk
hirarki pusat secara vertikal. Pusat hirarki selanjutnya
akan mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral
seperti jasa perdagangan, perbankan, profesional,
pendidikan, pemerintahan. Suplai dari jasa-jasa ini
bergantung pada ambang permintaan (demand
5
threshold) yaitu tingkat permintaan minimum yang
diperlukan untuk mendukung pelayanan jasa; dan
lingkup permintaan (demand range) yaitu batas-batas
luar (jarak) dari wilayah pasar yang ditempuh oleh
penduduk untuk memperoleh pelayanan jasa sentral
(Sumaatmadja,1988).
Jika teori tempat sentral tidak menjelaskan pola geografi
secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami
perubahan secara struktural, maka teori „kutub
pertumbuhan‟ seperti yang diperkenalkan oleh Francois
Perroux (1955) menjelaskan mengenai pertumbuhan
struktur ekonomi suatu wilayah yang terjadi
melalui kutub-kutub pertumbuhan yang ada di wilayah
tersebut. Kutub pertumbuhan ini merupakan lokasi yang
memiliki kegiatan Propulsive Industries (industri
penggerak), dan kegiatan Leading Industries (industri
andalan). Interaksi antar industri tersebut mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi keseluruhan wilayah
(Richardson, 1969). Dalam konteks pembangunan
daerah, teori kutub pertumbuhan diharapkan dapat
menjamin tingkat ketersebaran fasilitas pelayanan
umum pada kutub-kutub yang telah ditentukan sesuai
6
dengan potensi dan tingkat kesesuaian lahan yang ada,
secara gradual dapat menciptakan interaksi yang
sinergis baik dalam skala intraregion maupun interregion
sehingga dalam keseimbangan jangka panjang tidak
hanya kegiatan industri penggerak dan industri andalan
dalam pengertian menghasilkan barang dan jasa
(faktor ekonomi) yang dapat mengalami pertumbuhan,
tetapi juga kegiatan penunjang lainnya seperti
perumahan, dapat memanfaatkan lahan yang ada untuk
mendekatkan diri dengan lokasi tempatnya bekerja. Jika
suatu kutub (kota) telah berkembang luas, dan
cenderung berkembang secara amorf (tanpa bentuk),
maka kota akan berkembang dengan hubungan antar
kutub (Constelation pattern), yaitu kota yang membentuk
kota satelit yang pada dasarnya merupakan
pengembangan dari konsep Garden City (Howard; 1898)
yang bertujuan untuk menghidupkan daerah pinggiran
kota sebagai bagian dari kota Boudeville dalam
Adisasmita (1982), berupaya menyempurnakan
pendapat Perroux dan memasukkan unsur geografis
dalam aspek tata ruang. Boudeville mengelompokkan
tata ruang geografis pada pembangunan dalam arti
7
fungsional, sedangkan terjadinya efek penghamburan
(difusi) pembangunan pada tata ruang geografis
diterapkan dalam tata ruang melalui tipe transformasi.
Artinya bahwa pola ketertarikan (polarisasi) tidak dilihat
sebagai ketergantungan daerah belakang terhadap
daerah yang ada didepannya, tetapi bagaimana
menciptakan keterkaitan fungsional diantara keduanya
secara sinergis. Pengembangan wilayah dimungkinkan
oleh adanya pertumbuhan modal yang bertumpu pada
pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya
alamnya. Pengembangan kedua sumber daya tersebut
berlangsung sedemikian sehingga „arus barang‟
dianggap sebagai salah satu fenomena ekonomi yang
paling dominan, karena merupakan wujud fisik
perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar
negara melalui jasa distribusi. Jasa distribusi merupakan
kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dan pembangunan secara fisik, terutama jika ditinjau
pengaruhnya dalam penentuan lokasi, pengelompokan
kegiatan usaha dalam satu tempat, demikian pula
fungsinya dalam proses berkembangnya suatu wilayah.
8
1.3. KONSEP PENATAAN RUANG KOTA
Konsep penataan ruang kota pada dasarnya merupakan
penjabaran konsep kota dalam dimensi spasial. Konsep
penataan ruang kota dirumuskan berdasarkan pada
pemahaman kota sebagai sebuah ekosistem yang
merupakan integrasi antara ekosistem alam, ekosistem
buatan dan ekosistem sosial yang saling berinteraksi.
Dalam ekosistem kota, selain aktivitas manusia berupa
aktivitas ekonomi, sosial budaya juga berlangsung
prodes-proses alam/ekologis yang diperlukan untuk
mendukung berlangsungnya kedua aktivitas manusia
tersebut. Berdasarkan pemahaman tersebut maka
penataan ruang kota secara harmonis mengatur alokasi
kebutuhan ruang-ruang sebagai berikut
1. Ruang untuk berlangsungnya fungsi ekologis
(ecological fungtions) yaotu proses fisik, kimia dan
biologis yang berperan untuk memelihara
keseimbangan ekosistem alam serta menyediakan
sistem penunjang kehidupan seperti air, udara dan
tanah.
9
2. Ruang untuk berlangsungnya fungsi ekonomi, yaitu
semua fungsi yang berkaitan dengan aktivitas
produksi untuk menunjang terwujudnya pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan penduduk. Termasuk
dalam ruang ekonomi adalah kawasan budidaya
seperti kawasan pertanian, kawasan industri dan
komersil.
3. Ruang untuk berlangsungnya fungsi sosial budaya,
yaitu semua fungsi yang berkaitan dengan upaya
untuk mewujudkan pemerataan dana keadilan sosial
(equality), serta menumbuhkan sense of community
sense of place dan patisipasi masyarakat dalam
pembangunan kota. Meliputi kawasan pemukiman,
ruang terbuka untuk publik, dan kawasan bernilai
sejarah (urban heritage).
Perencanaan tata ruang (spatial planning)
merupakan metode yang digunakan untuk mengatur
penyebaran penduduk dan aktivitas dalam ruang yang
skalanya bervariasi. Perencanaan tata ruang terdiri dari
semua tingkat penatagunaan tanah, termasuk
perencanaan kota, perencanaan regional, perencanaan
lingkungan, rencana tata ruang nasional. Salah satu
10
definisi awal perencanaan tata ruang diambil dari
European Regional/Spatial Planning Charter (disebut
juga Torremolinos Charter), yang diadopsi pada
tahun 1983 oleh Konferensi Menteri Eropa yang
bertanggung jawab atas Regional Planning (CEMAT),
yang berbunyi: "perencanaan tata ruang memberikan
ekspresi geografis terhadap kebijakan-kebijakan
ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis. Perencanaan
tata ruang juga merupakan sebuah ilmu ilmiah, teknik
administrasi, dan kebijakan, yang dikembangkan
sebagai pendekatan lengkap dan antar-ilmu, yang
diarahkan kepada pengembangan regional dan
organisasi fisik terhadap sebuah strategi utama."
Di Indonesia konsep perencanaan tata ruang
mempunyai kaitan erat dengan konsep pengembangan
wilayah. Konsep pengembangan wilayah telah
dikembangkan antara lain oleh Sutami pada era 1970-
an, dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur
yang intensif akan mampu mempercepat terjadinya
pengembangan wilayah, juga Poernomosidhi (era
transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki
kota-kota yang hirarki prasarana jalan melalui Orde
11
Kota. Selanjutnya Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang
memperkenalkan konsep pola dan struktur ruang yang
bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.
24/1992 tentang penataan ruang. Pada era 90-an,
konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk
mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan
KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun
antara kawasan perkotaan dan perdesaan.
Perkembangan terakhir pada awal abad millenium,
bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah
sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan
sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam
proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar
hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan
Undang – Undang Dasar 1945 aliniea ke-4, yang
menyatakan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”.
Selanjutnya, dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
12
Dasar 1945 menyatakan “bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat”.
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan
kepada negara atas seluruh sumber daya alam
Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara
untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung
makna, negara mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan
sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan
yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan
negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa berarti negara harus dapat melaksanakan
pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya
tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat
dan terarah. Apabila kita cermati secara seksama,
kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang
kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka
13
dalam pemanfaatannya harus diatur dan dikembangkan
dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak
akan adanya perusakan dalam lingkungan hidup.
Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang
bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang
agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks
penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam,
melekat di dalam kewajiban negara untuk melindungi,
melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara
utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan
dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa
pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak
lingkungan. Selanjutnya, dalam mengomentari konsep
Roscoe Pound, Mochtar Koesoemaatmadja
mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana
pembangunan. Disini berarti hukum harus mendorong
proses modernisasi, artinya bahwa hukum yang dibuat
haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
14
Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk
undang-undang mengenai penataan ruang. Untuk lebih
mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka
peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan
oleh pihak pemerintah, dimana salah satu peraturan
perundang-undangan yang mengatur penataan ruang
adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, yang merupakan undang-undang
pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan
ruang. Penataan ruang dengan demikian merupakan
serangkaian prosedur yang diikuti secara konsisten
sebagai satu kesatuan, yaitu kegiatan perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Selain itu, perlu dilakukan kegiatan
peninjauan kembali secara berkala dengan
memanfaatkan informasi yang diperoleh dari proses
pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas
perizinan, pengawasan (pelaporan, pemantauan, dan
evaluasi) dan penertiban. Pengendalian dilakukan
secara rutin, baik oleh perangkat Pemerintah Daerah,
masyarakat, atau keduanya.
15
Pengendalian pemanfataan ruang didasarkan pada
prinsip-prinsip pendekatan yang didasarkan pada
ketentuan perundang-undangan (legalistic approach)
dengan menerapkan pendekatan yang lebih luwes
dimana prinsip keberlanjutan (suistainability) merupakan
acuan utama. Untuk mewujudkan pengendalian
pemanfaatan ruang yang efektif diperlukan
pertimbangan yang bersifat multi dan lintas sektoral.
Gambar 1.1 Metodologi Perencanaan Tata Ruang
16
1.4. KONSEP DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia dan makhluk hidup lain. Penentuan daya
dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara
mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber
daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk
yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup.
Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat
dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya
yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan.
Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan
menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan
ruang yang sesuai.
Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua)
komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive
capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative
capacity). Dalam pedoman ini, telaahan daya dukung
lingkungan hidup terbatas pada kapasitas penyediaan
sumber daya alam, terutama berkaitan dengan
kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan
17
akan lahan dan air dalam suatu ruang/wilayah. Oleh
karena kapasitas sumber daya alam tergantung pada
kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan
dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam
pedoman ini dilakukan berdasarkan 3 (tiga) pendekatan,
yaitu:
a. Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang.
b. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan
lahan.
c. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai
dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya,
alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan
kemampuan lahan. Perbandingan antara ketersediaan
dan kebutuhan akan lahan dan air di suatu wilayah
menentukan keadaan surplus atau defisit dari lahan dan
air untuk mendukung kegiatan pemanfaatan ruang. Hasil
penentuan daya dukung lingkungan hidup dijadikan
acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Mengingat daya dukung lingkungan hidup tidak dapat
18
dibatasi berdasarkan batas wilayah administratif,
penerapan rencana tata ruang harus memperhatikan
aspek keterkaitan ekologis, efektivitas dan efisiensi
pemanfaatan ruang, serta dalam pengelolaannya
memperhatikan kerja sama antar daerah.
Gambar 1.2 Konsep Daya Dukung Lingkungan
Menurut UU.No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
19
Pengertian (konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung
Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung peri-kehidupan manusia, makhluk
hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Menurut
Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada
hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah,
yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang
dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan
waktu di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya
dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua)
komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive
capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative
capacity).
Sedangkan menurut Lenzen (2003), kebutuhan hidup
manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas
area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan
manusia. Luas area untuk mendukung kehidupan
manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint).
Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui
tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan,
20
kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan
dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara
jejak ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini
kemudian dihitung sebagai perbandingan antara lahan
tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity
atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian
kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan
makhluk hidup secara optimum dalam periode waktu
yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula
diartikan kemampuan lingkungan memberikan
kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi
penduduk yang mendiami suatu kawasan.
Definisi Daya Dukung Lingkungan/Carrying Capacity:
1. Jumlah organisme atau spesies khusus secara
maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan
2. Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada
suatu lingkungan dalam periode jangka panjang
tampa membahayakan lingkungan tersebut
3. Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung
21
oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan
tersebut
4. Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus
yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa
merusak lingkungan tersebut
5. Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran
populasi dari suatu kelompok manusia dibawah
angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas
angka yang diperkirakan untuk menurun disebabkan
oleh kekurangan sumber daya. Kapasitas pembawa
akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam
sebuah lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh
jenis makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari
masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut.
1.5. KONSEP KOTA EKOLOGIS DAN EKONOMIS
1.5.1. Konsep Kota Ekologis
Penataan ruang suatu perkotaan mulai memasukkan
konsep ekologis sebagai pertimbangan dalam
menjadikan kota mandiri, walaupun menghubungkan
antara kota dengan ekologi. Pada saat ini kota terkesan
22
tidak mandiri, bersifat parasitik, banyak tergantung pada
desa dalam hal pemenuhan sumberdaya alam untuk
konsumsi dan pembuangan sampah perkotaan. Hal ini
dapat menunjukkan ketidakberlanjutan kota, untuk itu
kota perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut
(Argo, 2001 dan Samiadji, 2001):
1. Memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara
efisien, baik yang berada di pinggiran kota maupun di
kabupaten di luar kota. Jika sumberdaya alam itu
tersedia di luar perkotaan perlu dilakukan kerja sama
antar daerah untuk mempertahankan keberlanjutan.
Untuk itu pula kawasan sumberdaya alam ini perlu
dikontrol pembangunannya.
2. Memanfaatkan ruang kota sebagai sumberdaya alam
kota yang memiliki tiga nilai (Chaoin, 1957) yaitu:
a. Nilai ekonomi: fungsi ekonomi ruang kota dapat
diperoleh dari perdagangan, penyewaan ruang
kota, dan lain-lain
b. Nilai lingkungan: memanfaatkan ruang kota
sebagai daya dukung dan daya tampung sehingga
terjadi keseimbangan dan keharmonisan antara
lingkungan alam dan lingkungan buatan untuk
23
menghindari terjadinya bencana alam, seperti
banjir, longsor, dan sebagainya
c. Nilai kepentingan umum: ruang kota digunakan
untuk fasilitas masyarakat umum, seperti jalan,
taman, bahkan memungkinkan untuk
berkembangnya demokrasi yang adil dan merata.
3. Kegiatan kota diusahakan dalam skala kecil untuk
mengurangi eksploitasi yang tinggi.
4. Meminimasikan pergerakan dan diupayakan sifatnya
lokal dalam kota itu sendiri.
5.Untuk mengembangkan konsep keberlanjutan dalam
penataan ruang kota, terdapat beberapa format yang
berbeda di tiap negara. Indonesia menggunakan
konsep land use planning sebagaimana tercantum
dalam UU 24/1992 dalam rangka menahan tekanan
urbanisasi. misalnya, memasukkan urban promotion
area dalam land use planning-nya serta adanya urban
development project yang terdiri dari land readjustment
project, urban redevelopment project, new residential
area development project, dan sebagainya (Bambang,
2001).
Konsep-konsep kota yang lain juga ditawarkan oleh ahli
24
ekologi perkotaan modern. Kota dianggap sebagai satu
kesatuan sehingga muncullah konsep-konsep kota yang
ekologis sebagai berikut (Argo, 2001):
1. Compact city. Konsep yang dikenal di Jerman ini
meminimalkan penggunaan ruang kota sehingga
memudahkan pergerakan penduduknya dari suatu
lokasi ke lokasi lain dengan berjalan kaki atau
bersepeda, misalnya. Akibatnya timbul istilah rooftop
garden, ruang terbuka hijau di atap-atap gedung
untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
2 Eco-city. Berbeda dengan compact city, eco-city lebih
mempertimbangkan interaksi antara manusia dengan
alamnya agar menjadi kreatif. Kota dibangun untuk
memaksimalkan pertukaran (exchange, dari barang,
jasa, emosi, dan lain-lain) dan meminimalkan
pergerakan (traffic). Namun karena pembangunan
kota lebih ditujukan kepada manusia, maka dalam
konsep ini, pergerakan jalan kaki lebih didahulukan
daripada transportasi massa, yang menggunakan
mesin.
25
3 Bioregional city. Konsep bioregion menekankan pada
pemanfaatan sumberdaya lokal sehingga masyarakat
kota tersebut masih menanam tanaman pangan
sendiri hingga mendistribusikan secara lokal pula.
Hubungan kota dan non-kota memang tidak
dibutuhkan, tetapi sifatnya yang lokal ini menjadikan
kota rentah terhadap pengaruh global.
4 Sustainable city. Aspek penurunan kualitas
lingkungan menjadi faktor penting dalam konsep ini.
Kota berkelanjutan diupayakan dapat menilai
ketergantungan kepada lingkungan alam, sebatas
mana kerusakan lingkungan masih dapat ditolerir.
Meski demikian, sesuai dengan pengertian
berkelanjutan, aspek ekonomi dan sosial pun terkait
erat pada lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup (2008) menyebutkan
pengertian kota ekologis adalah satu pendekatan
pembangunan kota yang didasarkan atas prinsip-prinsip
ekologis. Pendekatan ini dipilih sebagai jawaban atas
semakin memburuknya kondisi lingkungan kota karena
pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada
26
kepentingan ekonomi jangka pendek kota ekologis
mempunyai kesamaan dengan konsepsi kota yang
berkelanjutan, yang menekankan pentingnya
menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, sosial,
dan lingkungan dalam pembangunan kota. Kota ekologis
juga mempunyai pandangan jauh ke depan, bahwa
pembangunan kota harus mempertimbangkan
keberlanjutan atau masa depan kota. Kota yang
berkelanjutan adalah kota yang bertumpu pada
komunitas yang adil, sehat dan produktif, didukung oleh
lingkungan yang kondusif.
Kota ekologis adalah kota yang efisien dalam
penggunaan sumber daya kota, hal ini dapat dilakukan
dengan menekan penggunaan sumberdaya,
meminimalkan jumlah limbah dan mengurangi air, udara,
tumbuhan, fauna, pantai ataupun danau dengan
komponen buatan (jalan, bangunan, jembatan, dan
jaringan sarana-prasarana kota), bangunan, jembatan,
dan jaringan sarana-prasarana kota).
Pada tataran praktisnya, konsep kota ekologis tadi
diterjemahkan dalam prinsip-prinsip kota ekologis yakni:
27
a. Mengintegrasikan komponen alam dan buatan
b. Efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya
kota
c. Minimalisasi dan pendaur ulangan limbah
d. Mengurangi ketergantungan terhadap daerah
hinterlandnya
Dalam penjabarannya, kota ekologis dapat dirinci
menjadi komponen-komponen yang membentuk
lingkungan fisik kota. Sebagaimana diagram berikut ini,
terdapat 8 (delapan) komponen pembentuk kota
ekologis yakni:
a. Tanah - tata guna tanah
b. Transportasi
c. Bangunan
d. Ruang terbuka
e. Jaringan prarasana dan limbah
f. Sistem energi
g. Hidrologi
h. Udara, sinar matahari
Ke delapan komponen kota ekologis tersebut saling
terkait dan secara sinergis membentuk lingkungan fisik
28
kota. Lingkungan fisik kota ini yang memungkinkan
manusia kota tinggal, Sebaliknya, apabila kualitas
lingkungan fisik kota ini buruk, maka akan buruk pula
kualitas kehidupan manusia yang tinggal di kota
tersebut. Suzuki et al, 2010 menjelaskan prinsip kota
ekologis adalah kota yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan warga dan masyarakatnya
melalui perencanaan dan pengelolaan kota terpadu
dengan memanfaatkan sepenuhnya serta melindungi
dan memeliharanya bagi generasi mendatang. Kota
ekologis berupaya agar berfungsi secara harmonis,
begitu juga dengan ekosistem regional dan global yang
melingkupinya. Melalui kepemimpinan, perencanaan,
kebijakan, peraturan, institusi, strategi dan rencana kota
serta strategi investasi jangka panjang, berupaya
menurunkan kerusakan lingkungan, dimana pada saat
yang bersamaan berupaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan perekonomian kota. Kota ekologis juga
belajar dari dan melalui manajemen terpadu serta solusi
perencanaan yang didapat melalui strategi yang efisien
dan terpadu dari ekosistem.
29
1.5.2. KONSEP KOTA EKONOMIS
Suzuki et al, 2010 menyebutkan prinsip kota ekonomis
adalah kota yang menciptakan nilai-nilai dan peluang
bagi warga, bisnis dan masyarakatnya dengan
menggunakan semua aset tangible dan intangible serta
memungkinkan pruduktivitas, inklusif dan kegiatan
ekonomi yang berkelanjutan. Kota Ekonomis tidak
didefinisikan secara sempit sebagai kota produktif yang
hanya digerakkan oleh satu indikator PDRB saja, tapi
juga menekankan pada keberlanjutan, inovasi, inclusif
dan ketahanan kegiatan perekonomian dalam konteks
sistem nilai dan budaya yang lebih besar.
Sedangkan tiga prinsip entrepreneur city (Idris, 2001)
adalah:
1. berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
2. tetapi pertumbuhan ekonomi harus dilaksanakan
dalam konteks pembangunan berkelanjutan,
3. pertumbuhan ekonomi harus memberikan kontribusi
ke arah peningkatan kualitas hidup dalam semua
sektor kependudukan
30
Prinsip pembangunan berkelanjutan harus
memperhitungkan dan mengkaji secara seksama biaya
investasi pembangunan berkelanjutan dengan
menghitung dan mempertimbangkan ”operational cost”
setelah pembangunan selesai (Zuzuki, et. all. 1980).
Dengan kata lain, biaya operasi dan pemeliharaan harus
memiliki keberlanjutan sehingga tidak menjadi ”beban”
pada masa yang akan datang. Implikasi dari pendekatan
ini adalah perencanaan program investasi ditentukan
oleh keberlanjutan (sustainability) dari biaya operasi dan
pemeliharaan, terutama dalam pemanfaatan sumber
daya air dan sumber daya energi.
Salah satu tools untuk mengkaji kerangka investasi bagi
pembangunan berkelanjutan adalah dengan
menerapkan Life Cycle Analysis (LCA). LCA adalah
pendekatan holistik terhadap isu-isu lingkungan dan
sosial. Pendekatan ini adalah kunci untuk konsep
pembangunan berkelanjutan. LCA (life cycle analysis,
atau life cycle assesment) adalah alat yang digunakan
dalam menerapkan pemikiran life-cycle untuk
pembangunan dan konstruksi. LCA dapat menghasilkan
31
informasi penting tentang aliran material dan energi.
LCA dapat digunakan sebagai bagian dari proses desain
terpadu. Prioritas penggunaan aplikasi LCA dalam
pembuatan kebijakan akan bervariasi menurut wilayah
dan pertimbangan ekonomi.
Kumar (2006) menyebutkan bahwa Life Cycle
Assesment terdiri dari suatu model perkotaan dan
'skema penilaian lingkungan binaan' bersama dengan
modul input dan output. Sistem penilaian melibatkan
analisis skenario evaluasi, yang dihasilkan dari skema
evaluasi lingkungan binaan yang memperhitungan
empat indikator:
a. Energi, sebagai indikator konsumsi sumber daya,
b. Ecological footprint, luas lahan yang dibutuhkan untuk
menyediakan sumber daya untuk, dan menyerap
limbah dari pembangunan dan pengoperasian
lingkungan binaan.
c. Pengembalian investasi, digunakan sebagai ukuran
kontribusi ekonomi lingkungan binaan.
d. Kedekatan dengan fasilitas' sebagai ukuran
kesejahteraan sosial,
32
Menurut EPA (1993), Life Cycle Assesment adalah
suatu pendekatan "cradle-to-grave" untuk menilai
sistem industri. "Cradle-to-grave" dimulai dengan
pengumpulan bahan baku dari bumi untuk
menciptakan produk dan berakhir pada titik ketika
semua bahan dikembalikan ke bumi. LCA
mengevaluasi semua tahapan kehidupan suatu
produk dari perspektif bahwa mereka saling
bergantung, berarti bahwa satu operasi mengarah ke
yang berikutnya. LCA memungkinkan perkiraan
dampak lingkungan kumulatif akibat semua tahapan
dalam siklus hidup produk, termasuk dampak tidak
dipertimbangkan dalam analisis yang lebih tradisional
(misalnya, bahan baku ekstraksi, transportasi bahan,
pembuangan produk akhir, dan yang
sebagainya). Dengan memasukkan dampak seluruh
siklus hidup produk, LCA memberikan pandangan
komprehensif dari aspek lingkungan dari produk
atau proses dengan gambaran yang lebih akurat
dari lingkungan sebenarnya trade-off dalam produk
dan proses seleksi. "Life Cycle" merujuk pada kegiatan
utama dalam perjalanan kehidupan produk dari pabrik,
33
penggunaan, dan pemeliharaan sampai dengan
pembuangan akhir, termasuk perolehan bahan baku
yang dibutuhkan untuk memproduksi produk. Gambar
2.3 menggambarkan tahap-tahap life cycle yang
mungkin dapat dipertimbangkan dalam LCA dan
input / output yang diukur.
Gambar 1.3. Tahapan dalam Life Cycle
Sumber: EPA, 2003
34
2. FUNGSI KOTA SEBAGAI KOTA
EKOLOGIS DAN EKONOMIS
2.1. Fungsi Kota Sebagai Kota Ekologis Dan
Ekonomis
Fungsi ekologis yang berlangsung dalam sebuah
ekosistem kota berkaitan dengan kondisi biogeofisik
ekosistem kota tersebut seperti struktur geologi, jenis
tanah dan topografi yang sifatnya cenderung statis,
serta kondisi vegetasi/tutupan lahan yang lebih bersifat
dinamis dan dipengaruhi pula oleh proses yang terjadi di
alam seperti curah hujan, siklus materi dan energi.
Fungsi ekologis tersebut terjadi dalam 3 dimensi ruang
kota yaitu ruang daratan, perairan dan udara, yang
antara lain meliputi.Ruang yang dibutuhkan bagi
kelangsungannya fungsi ekologis untuk memelihara
kelangsungan siklus hidrologi (hydrological cycle) yang
berkaitan dengan aspek konservasi air dan
pencegahan/pengendalian banjir, yang meliputi ruang-
ruang yang dapat meresapkan, menampung dan
mengalirkan air seperti hutan, mangrove, sawah dan
35
RTH lainnya, sungai/danau/situ dan lahan basah
(wetlands).
Kemampuan ruang ekologis untuk mengkonservasi air
dan mengendalikan banjir selain dipengaruhi oleh
faktor jenis tuutpan lahan diatasnya juga oleh kondisi
struktur geologi, permeabiitas tanah, lereng, bentuk
lahan, geohidrologi dan curah hujan.
1. Ruang yang dibutuhkab bagi kelangsungan ekologis
untuk memelihara kestabilan iklim mikro dan
menyediakan udara yang sehat seperti hutan, RTH
dan ruang udara bebas yang dapat menghasilkan
O2, menyerap pencemaran udara dan memberi
ruang bagi siklus udara. Faktor yang berpengaruh
terhadap berlangsungnya fungsi ekologis adalah
jenis dan kerapatan vegetasi.
2. Ruang yang dibutuhkan bagi berlangsungnya fungsi
ekologis untuk memelihara kestabilan tanah terhadar
terjadinya longsor, erosi seperti hutan yang berfungsi
mengikat tanah dan menahan run off, serta sawah,
sungai dan danau/situ sebagai ruang penampung
dan mengalirkan air.
36
3. Ruang yang dibutuhkan bagi berlangsungnya fungsi
ekologis yang berkaitan dengan natural assimilative
capacity terhadap pencemaran, khususnya oleh
limbah organik, seperti DAS, ekosistem mangrove
dan lahan basah.
4. Ruang yang dibutuhkab bagi berlangsungnya fungsi
ekologis yang berkaitan dengan penyediaan habitat
bagi keanekaragaman hayati seperti hutan, sawah,
ekosistem pantai, perairan laut, sungai dan
danau/situ.
Ekosistem kota yang selalu berkembang, tidak dapat
menghindari perubahan ekosistem alam yang terjadi,
perlu diingat bahwa fungsi ekologis dalam ekosistem
tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya bila
pemanfaatan ekosistem alam telah melebihi daya
dukungnya. Dengan demikian manusia sebagai pelaku
perubahan memiliki peran sentral dalam mengarahkan
perubahan pada tingkat dimana ekosistem alam masih
dapat mendukungnya sehingga fungsi-fungsi ekologis
dapat berlangsung secara berkelanjutan. Keberlanjutan
fungsi ekologis dalam ekosistem kota berperan penting
37
bagi kelangsungan ekosistem kota tersebut, termasuk
kelangsungan kehidupan yang ada di dalamnya. Bila
fungsi ekologis terganggu maka terganggu pula
keseimbangan ekosistem kota serta kelangsungan
kehidupan kota. Karena pola pemanfaatan ruang kota
memiliki [pengaruh yang signifikan terhadap
keberlanjutan fungsi ekologis kota, maka untuk
menjaga keberlanjutan fungsi ekologis diperlukan
pendekatan konservasi ruang yang memeiliki fungsi
ekologis serta batasan dalam pemanfaatan ruang kota,
dimana aspek ekologis sebagai faktor pembatas itu
sendiri.
Kota Ekologis sebagai kota ekonomis adalah
pendekatan untuk mengintegrasikan pembangunan
perkotaan yang mensinergikan ekologi dan ekonomi.
Menurut Suzuki, et al, 2010, ada empat hal yang
ditetapkan sebagai prinsip kota ekologis sebagai kota
ekonomis.
Prinsip Pertama, dilakukan dengan pendekatan “City
Based“, dalam kaitan ini, setiap upaya pembangunan
perkotaan harus didasarkan melalui proses “bottom-
38
up“. Pembangunan suatu kota dirancang dengan
pendekatan rancangan dari bawah, di Indonesia,
dengan kewenangan otonomi yang sangat besar, hal
ini sudah dilakukan. Semua proses penyusunan
pembangunan perkotaan dilandasi dengan proses
yang bottom-up.
Prinsip kedua adalah kolaborasi, dalam penyusunan
program perkotaan berkelanjutan, kolaborasi mutlak
dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari semua
stakeholder. Prinsip ini sudah lama dilakukan di
Indonesia.
Prinsip ketiga adalah “One system approach“. Pada
pendekatan ini, diharapkan adanya pelaksanaan
pembangunan sebagai satu sistem komprehensif,
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber
daya. Untuk mendapatkan efisiensi penggunaan
sumber daya (terutama sumber daya alam),
pembangunan perkotaan diharapkan dapat
diintegrasikan dalam sebuah kesatuan sistem
terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam
seperti air dan energi. Salah satu contoh penerapan
”one system approach” adalah dalam suatu kawasan
39
kota yang merancang pemanfaatan air secara efisien
dengan daur ulang dan diintegrasikan dengan
pemanfaatan energi terbarukan seperti panel surya
atau kincir angin. Penerapan ”one system approach”
tersebut akan menghemat energi dan menghemat air
untuk keberlanjutan lingkungan dan perkotaan.
Prinsip ke empat adalah Investment framework that
values sustainability and resiliency. Pendekatan ini
mengkaji secara seksama biaya investasi
pembangunan berkelanjutan dengan menghitung dan
mempertimbangkan ”operational cost” setelah
pembangunan selesai. Dengan kata lain, biaya operasi
dan pemeliharaan harus memiliki keberlanjutan
sehingga tidak menjadi ”beban” pada masa yang akan
energi. Implikasi dari pendekatan ini adalah
perencanaan program investasi ditentukan oleh
keberlanjutan (sustainability) dari biaya operasi dan
pemeliharaan, terutama dalam pemanfaatan sumber
daya air dan sumber daya energi.
Dalam penjabarannya, kota ekologis dapat dirinci
menjadi komponen-komponen yang membentuk
40
lingkungan fisik kota. Sebagaimana diagram berikut ini,
terdapat paling tidak 8 (delapan) komponen pembentuk
kota ekologis yakni:
Tanah - tata guna tanah
Transportasi
Bangunan
Ruang terbuka
Jaringan prarasana dan limbah
Sistem energy
Hidrologi
Udara, sinar matahari
Gambar 2.1 Komponen Kota Ekologis
41
Upaya – upaya penataan ruang kota terdiri dari
beberapa hal, yaitu:
1. Intensifikasi Pemanfaatan Ruang Kota
Intesifikasi pemanfaatan ruang adalah
mengoptimalkan manfaat setiap jengkal ruang kota
untuk engurangi ekspansi ruang kota ke derah
pinggiran yang merupakan kawasan-kawasan
produktif pertanian atau kawasan-kawasan
konservasi. Intensifikasi ruang kota dapat dilakukan
dengan beberapa cara yakni:
Memanfaatkan ruang-ruang kosong dalam kota
Pengaturan pemanfaatan ruang kota untuk lebih
dari satu kegiatan (misalnya: siang untuk ruang
parkir, malamnya untuk pasar kaki-lima)
Pengaturan batas maksimal luasan kapling-
kapling perumahan
2. Mendorong pembangunan bangunan dan rumah
vertikal
Bangunan dan rumah vertikal adalah bangunan
berlantai dua lebih agar lebih menghemat
42
ruang/tanah kota. Mendorong pembangunan rumah
vertikal harus tetap mempertimbangkan ruang
terbuka kota, khususnya ruang terbuka yang
memungkinkan kegunaannya untuk publik dan
resapan air.
3. Mengembangkan kota yang lebih kompak dan
mengurangi urban sprawl
Urban sprawl adalah fenomena pertumbuhan kota
yang tak terencana, berserak-serak, loncat-loncat di
wilayah pinggiran kota yang umumnya merupakan
kawasan pertanian. Urban sprawl disebabkan karena
pembangunan yang tidak berdasar rencana ruang
kota dan lebih didasarkan atas motip mencari tanah
yang murah dan segera bisa dibangun saja.
Mengembangkan kota yang lebih kompak berarti
mengurangi ekspansi perkembangan kota ke daerah
pinggiran yang tidak teratur dan mengoptimalkan
ruang kota yang ada. Bentuk kota yang kompak juga
akan menghemat biaya dalam pemakaian
infrastruktur, yang berupa jaringan jalan, pemipaan,
listrik, dan sebagainya. Selain itu kota lebih efisien
43
dalam transportasi dan mengurangi jumlah polusi
udara.
4. Mengembangkan tata guna lahan campuran
(mixed land use)
Konsep pengembangan tata guna lahan campuran
adalah terkonsentrasinya berbagai macam kegiatan
penduduk perkotaan di suatu area yang saling
berintegrasi, dengan rancangan konfigurasi fisik dan
sirkulasi internal yang baik, dan mempunyai
pencapaian eksternal. Berbagai macam kegiatan
yang berada dalam satu kawasan tersebut dapat
berupa permukiman penduduk, area pertokoan,
pasar, perkantoran, hotel, area rekreasi, olah raga,
parkir, dan sebagainya. Jarak antar area tersebut
cukup dekat, sehingga dapat dicapai dengan mudah
dan cepat dengan berjalan kaki, bersepeda,dan
kendaran bermotor. Penduduk yang tinggal di
daerah ini tidak perlu pergi terlalu jauh untuk
mencukupi kebutuhan sehari-harinya, sehingga
menghemat kebutuhan bensin untuk kendaraannya,
menghemat waktu dan tenaga.
44
Keuntungan penerapan tata guna lahan campuran
adalah:
mensinergikan berbagai kegiatan
menghemat kebutuhan lahan
mengurangi jumlah polusi udara
menghemat biaya dalam pemakaian infrastruktur
(jaringan jalan, pemipaan, listrik , dll)
mengurangi frekuensi perjalanan
lebih efisien dalam transportasi (menghemat
bahan bakar)
mengurangi pembangunan bangunan-bangunan
baru, karena dapat memanfatkan bangunan yang
sudah ada di daerah tersebut untuk dialih
fungsikan.
5. Mengintegrasikan sistem transportasi kota
dengan tata guna lahannya
Integrasi sistem transportasi kota dengan tata guna
lahan berarti menata agar setiap kawasan atau area
dengan guna lahan tertentu didukung oleh jaringan
transportasi yang pas supaya terjadi kelancaran
kegiatan dan dukungan aliran barang dan manusia.
45
Apabila satu kawasan intensitas kegiatannya tinggi,
misalnya pusat kota, harus dijamin bahwa dukungan
sistem transportasi ke kawasan tersebut juga lancar.
Agar kawasan-kawasan dimana konsentrasi
kegiatannya tinggi didukung oleh sistem aliran
barang dan manusia yang lancar, maka kawasan-
kawasan tersebut harus merupakan titik-titik simpul
jaringan transportasi kota.
6. Mengintegrasikan tata guna lahan dan
infrastruktur
Perencanaan tata guna lahan dan infrastruktur
(jalan, sanitasi dan drainase, listrik, telepon, air
bersih, dan sebagainya) tidak dapat dilakukan
secara terpisah. Ketiadaan integrasi antara
keduanya sering menimbulkan masalah, seperti
pemakaian lahan kota yang tidak efisien dan
kebutuhan biaya besar dalam pemasangan
infrastruktur. Oleh karena itu, adanya integrasi
antara perencanaan tata guna lahan dan
infrastruktur akan memberi keuntungan dalam
efisiensi pemakaian lahan, efisiensi biaya dalam
pengadaan dan pemasangan infrastruktur.
46
7. Lebih banyak disediakan ruang terbuka
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memiliki eko-
urban adalah penyediaan banyak ruang terbuka,
khususnya untuk publik. Ruang terbuka sangat
penting bagi kota, apapun bentuk dan jenisnya.
Ruang terbuka dapat berupa taman kota, tempat
bermain, plaza, taman-taman di perumahan, atau
jalur pejalan kaki, lahan kosong di pinggir sungai dan
rel kereta api, dan sebagainya. Ruang-ruang terbuka
tersebut dapat memberi manfaat khususnya untuk
penghijauan kota dan kegiatan sosial penduduk,
disamping untuk keindahan kota.
8. Peremajaan/revitalisasi kawasan
Peremajaan kawasan adalah memperbaiki kawasan-
kawasan lama, umumnya di pusat kota, supaya
dapat digunakan lagi secara lebih optimal. Dalam
istilah asing peremajaan ini juga dikenal dengan
istilah urban revitalization, urban renewal, atau urban
re-development project. Manfaat peremajaan
kawasan kota adalah untuk mendaya-gunakan
kembali ruang dan sumber daya kota yang ada
47
sehingga mengurangi ekspansi ruang kota ke
daerah-daerah pinggiran
9. Konservasi bangunan-bangunan bersejarah
Konservasi bangunan bersejarah dan bernilai
pusaka adalah mempertahankan, memperbaiki, dan
mengembangkan bangunan-bangunan lama untuk
fungsi baru. Manfaat konservasi bangunan lama
adalah untuk mendaya gunakan bangunan lama,
sehingga mengurangi kebutuhan untuk membangun
bangunan baru.
Strategi Pengembangan Jaringan Air Bersih dan
Sanitasi
yang Memperhatikan Prinsip-prinsip Lingkungan
1. Meningkatkan kapasitas penyediaan air bersih
melalui jaringan air pipa (PAM). Pemakaian air pipa
lebih terkontrol dalam hal jumlah dan kebersihan,
sedangkan pemakaian air sumur atau air tanah
dangkal mempunyai resiko air terpolusi, dan tidak
terkontrolnya pengambilan air tanah dalam dengan
48
sumur bor, yang dapat menurunkan muka air tanah.
Begitu juga dengan pemakaian air sungai secara
langsung dapat berbahaya bagi kesehatan akibat
banyaknya polutan di dalam air tersebut.
2. Adanya kontrol dari pemerintah terhadap
penggunaan air tanah oleh penduduk, misalnya
setiap pembuatan sumur bor perlu mendapat ijin dari
pemerintah; adanya pajak air tanah; adanya kontrol
secara langsung terhadap kondisi air sumur.
3. Jaringan air bersih, limbah padat dan air kotor, serta
drainase (air hujan) yang mempunyai kualitas baik,
seperti kualitas pipa dan bak penampung, dan
kualitas tangki septik yang dipakai penduduk.
4. Adanya keterpaduan antara perencanaan dan
pembangunan jaringan air dan sanitasi dengan
jaringan jalan dan tata hijau kota. Pemakaian
teknologi lebih maju dalam sistem pembuangan air
kotor, seperti yang telah banyak dilakukan di negara
maju. Misalnya pemakaian kakus (WC) yang hemat
49
air; pemakaian kakus yang memisahkan antara urin
dan kotoran; sistem pembuangan yang
memungkinkan air kotor dipakai untuk kegiatan lain;
pengolahan air kotor yang memungkinkan air dapat
dikategorikan sebagai air bersih kembali;
pengolahan kotoran manusia menjadi biogas yang
bermanfaat untuk bahan bakar.
5. Mempertahankan kawasan-kawasan terbuka yang
mampu menyerap air dengan misalnya
memperbanyak ruang terbuka hijau kota;
mempertahankan kondisi ekosistem sempadan
kanan-kiri sungai; membuat/mempertahankan
embung-embung di dalam kawasan kota.
6. Perlunya kontrol pembangunan, sehingga area
resapan air tidak terganggu dan tidak terjadi banjir.
7. Perlunya digalakkan program sungai bersih.
8. Perlunya dikenalkan kepada masyarakat prinsip
reduce (mengurangi pemakaian air), reuse
50
(pemakaian kembali air kotor), dan recycle (pendaur
ulangan air).
Pengelolaan/Pengembangan Ruang Terbuka Hijau
Kota
1. Dokumentasi, inventarisasi dan registrasi RTH dan
pohon-pohon yang ada. Dokumentasi dan
inventarisasi ruang terbuka hijau yang ada di kota,
meliputi jenis, fungsi atau penggunaan, lokasi,
kondisi, pemilikan, dan pengelolaannya. Selanjutnya
dilakukan registrasi atau pendaftaran bagi ruang
terbuka hijau dan pohon-pohon yang ada, agar
memiliki legalisasi secara hukum, untuk menghindari
adanya penebangan pohon, penyerobotan lahan
atau pengalih fungsian ruang terbuka oleh pihak lain.
2. Pembuatan Rencana Induk RTH Suatu kota perlu
memiliki rencana induk (master plan) untuk ruang
terbuka dan ruang terbuka hijau. Dengan rencana
induk tersebut, program-program untuk ruang
terbuka dan tata hijau kota dapat dilakukan secara
terarah dan terencana. Rencana induk dibuat untuk
jangka waktu pendek, menengah, maupun panjang.
51
Perencanaan untuk ruang terbuka kota dapat
berupa: penyengkeran, penambahan,
pengalokasian, pengembangan, penataan, dan
kemungkinan penggunaan untuk multi fungsi. Semua
penentuan bentuk rencana tersebut perlu
memeperhatikan khususnya aspek lingkungan dan
sosial masyarakat.
3. Pelestarian RTH yang sudah ada harus dijaga,
dipelihara dan dilestarikan. Pemerintah perlu
memiliki kemampuan dan kemauan untuk
melestarikan RTH, sehingga RTH yang sudah ada
tidak rusak, beralih fungsi, maupun kurang optimal
dalam pemanfaatannya.
4. Kemitraan. Untuk pengembangan ruang terbuka
hijau kota diperlukan kemitraan antara pemerintah
kota, masyarakat dan pihak swasta. Dalam semua
pembuatan rencana dan pelaksanaannya,
pemerintah perlu melibatkan masyarakat dan
swasta. Pemerintah perlu mendengar aspirasi
masyarakat tentang ruang terbuka.
5. Pengalokasian dana publik yang cukup untuk RTH
Pemerintah perlu mengalokasikan dana untuk
52
kepentingan publik yang berkaitan dengan ruang
terbuka dan ruang terbuka hijau. Dana untuk
program-program RTH perlu diprioritaskan, sehingga
dapat dilaksanakan sesuai rencana.
6. Pemanfaatan RTH.
Ruang-ruang terbuka publik yang ada perlu terus
dimanfaatkan, misalnya untuk kegiatan festival,
bazaar, kegiatan-kegiatan sosial dan komersial.
Jangan sampai terjadi privatisasi ruang terbuka
publik atau pemanfaatan yang kurang optimal.
7. Peningkatan kemampuan instansi yang mengurusi
RTH
Pemerintah perlu meningkatkan kapasitasnya untuk
melakukan pemeliharaan, kontrol dan monitoring
penggunaan ruang terbuka publik. Peningkatan
dapat berupa peningkatan sumberdaya manusia
serta sarana dan prasarana untuk mengurusi RTH.
8. Pembuatan program dan mekanisme untuk RTH
Program-program untuk RTH perlu dibuat, yang
melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Sebagai contoh:
53
Program penanaman sejuta pohon di kota
Program adopsi pohon dan taman
Program penanaman pohon-pohon lokal yang khas
Program penghijauan kampong
Program penghijauan dan kawasan perdagangan.
9. Penumbuhan kesadaran publik
Penyadaran masyarakat akan pentingnya RTH perlu
dilakukan melalui kampanye. Kampanye untuk
menjaga dan memelihara ruang terbuka dan
penghijauan kota dapat dilakukan oleh pemerintah,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), dan pihak swasta terkait, baik secara
langsung berhadapan, melalui media elektronik
(radio, TV), media cetak (koran, majalah, poster),
maupun melalui media lain, seperti iklan di bis kota,
tulisan di bak sampah dan kotak pos. Kesadaran
publik juga perlu diberikan kepada anak-anak di
sekolah melalui pelajaran-pelajaran lingkungan,
maupun praktek penanaman tanaman dan
pemeliharaannya. Untuk lebih meningkatkan
kesadaran masyarakat, pemerintah dapat
menerapkan mekanisme insentif-disinsentif dalam
54
penanaman pohon. Bagi yang menanam pohon
sampai tumbuh besar, aka diberikan insentif,
sementara bagi yang menebang pohon tanpa ijin
akan diberikan disinsentif.
Pengelolaan Sampah Kota
Penanganan masalah sampah perkotaan harus didekati
baik dari sisi sumber-sumber sampah serta
pengatasannya. Dari sisi sumber, upaya-upaya yang
dilakukan diarahkan untuk meminimalkan jumlah
produksi sampah, terutama melalui usaha-usaha
pengurangan pemakaian (reduce) dan pemakaian
kembali (reuse). Dari aspek pengatasan, upaya-upaya
yang dilakukan diarahkan pada usaha-usaha pendaur
ulangan (recycle) serta alternatif-alternatif baru
pengolahan sampah, termasuk antara lain penggunaan
teknik insenerator serta usaha-usaha membuat kompos.
Kegiatan 3R dalam pengelolaan sampah sendiri dapat
dilakukan mulai dari rumah tangga.
Terdapat paling tidak empat strategi yang dapat
dikembangkan untuk pengelolaan sampah kota, yaitu:
1. Minimalisasi limbah
55
2. Maksimalisasi daur ulang dan model kompos yang
ramah lingkungan
3. Peningkatan pelayanan umum
4. Promosi pembuangan dan pengolahan limbah yang
akrab lingkungan.
Secara lebih detail beberapa kemungkinan yang dapat
dilakukan dari empat strategi di atas antara lain:
1. Minimalisasi limbah:
Melembagakan sistim retribusi sampah
Meningkatkan fasilitas sanitasi bagi masyarakat
perkotaan
Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
masyarakat tentang sampah
Mempromosikan pemisahan-pemisahan jenis
sampah sejak dini
Mempromosikan penggunaan ulang barang-
barang bekas
Meningkatkan usaha-usaha produksi bersih
Meningkatkan penggunaan treatment plant,
khususnya bagi industri-industri yang
mengeluarkan sampah.
56
2. Maksimalisasi daur ulang dan kompos yang ramah
lingkungan:
Mengembangkan program daur ulang sebagai
kerangka dasar pengelolaan limbah
Memperkenalkan model-model kompos untuk
pengelolaan limbah
Membentuk inkubator-inkubator bagi produk-
produk daur ulang
3. Peningkatan pelayanan umum:
Mengembangkan sistem-sistem pengelolaan
sampah secara komunal
Membantu kelompok-kelompok masyarakat yang
terlibat di dalam pengelolaan sampah
Meningkatkan kemampuan kapasitas aparat kota
dalam pengelolaan sampah
Pelibatan sektor swasta dan masyarakat dalam
pengelolaan sampah
Mengembangkan instrumen-instrumen ekonomi
untuk pengelolaan sampah.
4. Promosi pembuangan dan pengolahan limbah yang
akrab lingkungan:
Menyusun baku mutu limbah
57
Mengembangkan prosedur dan sistim
pembuangan sampah yang ramah lingkungan
Melakukan penerangan dan pendidikan umum
tentang pengelolaan sampah yang ramah
lingkungan
Melakukan pendekatan terhadap kelompok
swasta, khususnya industri yang banyak
menghasilkan sampah.
Strategi untuk Mencapai Sistem Transportasi
Berkelanjutan
Kondisi transportasi khususnya transportasi darat untuk
kota-kota di Indonesia, perlu diarahkan agar tercipta
transportasi yang berwawasan lingkungan, dalam
rangka menuju kepada pembangunan transportasi yang
berkelanjutan. Strategi yang diperlukan adalah:
1. Strategi di bidang ekonomi.
Merupakan pemberian insentif bagi fasilitas
transport dalam pemeliharan aset-aset
transportasi (jalan, kendaraan, bangunan
pelengkap, rambu dan marka, dan sistem
informasi)
58
Tarif angkutan umum yang memadai, yang
mampu menjaga kualitas layanan yang memadai
Efisiensi investasi transportasi, dengan
pengembangan jaringan jalan yang sesuai
kebutuhan.
2. Strategi untuk pengurangan polusi dan
pemakaian bahan bakar ramah lingkungan
Pengendalian emisi gas buang dan suara bising
dari kendaraan bermotor. Berapa hal perlu
dilakukan oleh pemerintah untuk uji emisi, antara
lain
Menyiapkan bengkel perawatan kendaraan
Menyediakan atau melengkapi peralatan untuk uji
emisi kendaraan
Peningkatan sumberdaya manusia
Menyiapkan segera perangkat hukum yang berisi
petunjuk teknis pelaksanaan penindakan
pelanggaran emisi gas buang kendaraan bermotor
di jalan
Perlunya memiliki transportasi dengan bahan
bakar yang ramah lingkungan
Pemakaian bahan bakar bensin tanpa timbale
59
Pemakaian bahan bakar gas (BBG), dari jenis
CNG (Compressed Natural Gas), LPG (Liquid
Petrolium Gas), dan metanol. Ketiga jenis bahan
bakar gas tersebut mempunyai emisi gas buang
yang rendah
Pemakaian bahan bakar sinar matahari (tenaga
surya)
Perlunya mendorong transportasi nir-energi dan
nir-polusi, yaitu kendaran yang tidak bermotor dan
tidak menimbulkan polusi sebagai alternatif
transportasi jarak pendek. Contohnya becak,
sepeda, dan dokar.
3. Manajemen lalu lintas
a. Upaya untuk perbaikan manajemen lalu lintas
dapat dilakukan dalam bentuk penerapan
kebijakan secara langsung maupun studi-studi
yang dapat membantu mengatasi permasalahan
lalu lintas. Penerapan manajemen lalu lintas yang
baik dan sesuai dengan kondisi setempat
diharapkan dapat:
Meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang
jalan
60
Memberi prioritas bagi angkutan umum
Mendorong pengalihan penggunaan angkutan
pribadi ke angkutan umum
Mendorong penggunaan kendaraan secara
lebih efisien
Mendorong penggunaan kendaraan tidak
bermotor, seperti becak, sepeda,
andong/delman
Beberapa upaya yang dapat diterapkan di
beberapa kota antara lain:
Pembatasan lalu lintas pada jalur-jalur jalan
tertentu, dengan penerapan sistem satu arah,
pembatasan jenis moda transportasi,
penerapan lajur khusus bus (bus line),
pengembangan jalan khusus bus (bus way)
Penerapan sistem traffic calming di beberapa
jalan di kawasan pusat kota dan permukiman.
Pada sistem ini kendaraan diperlambat
jalannya sehingga tidak membahayakan
Pembatasan kecepatan arus lalu lintas, dengan
pengembangan Area Traffic Control System
(ATCS)
61
b. Perlu adanya keterpaduan antara kebijakan
pemerintah (transportasi) dan kebijakan tata guna
lahan.
Kehadiran fungsi-fungsi baru di kota, seperti pusat
perdagangan, merupakan penggerak perjalanan
(trip generator) yang otomatis akan memberi
dampak sangat besar terhadap jaringan jalan kota
yang sudah jenuh dalam bentuk kemacetan lalu
lintas. Untuk mengurangi terjadinya dampak
tersebut, dalam pengajuan Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) pemerintah perlu mewajibkan
dilakukannya Analisis Dampak Lalu Lintas bagi
pembangunan fasilitas atau kawasan pusat
kegiatan baru, sebagai kelengkapan dalam
Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
Hendaknya rencana kota perlu diarahkan pada
pengurangan ketergantungan terhadap
kendaraan. Pembangunan perumahan atau
fasilitas baru di pinggiran kota yang jauh dari
pusat kota dan akan menambah ketergantungan
terhadap kendaraan pribadi perlu diperhatikan.
62
Penerapan sIstem transit-oriented development.
Pada sistem ini kegiatan pendududk
terkonsentrasi di satu area. Tempat-tempat umum
seperti bank, pasar, toko, kantor saling
berintegrasi mudah dicapai dengan berjalan kaki
atau transportasi umum. Menghindari pemakaian
lahan untuk tranportasi di daerah pinggiran kota
dengan nilai konservasi, budaya dan landsekap
tinggi
c. Angkutan massal
Membangun dan menyediakan sarana dan
prasarana transportasi publik/ masal yang efisien
dan representatif (termasuk mass rapid
transportation). Jenis angkutan umum massal
antara lain:
Bis kota
KRL (kereta listrik)
Kereta monorail
Kereta bawah tanah (subway)
d. Pengendalian transportasi
Mengaktifkan jalur sepeda/ pejalan kaki yang
nyaman dan aman
63
Pembatasan jumlah kendaraan (traffic
restraints) di kota melalui jumlah parkir resmi
(terdaftar), pelarangan parkir di kota dan
menaikkan harga parkir pada kawasan tertentu
Sistem daerah lisensi, dengan memberlakukan
tarif pada jalan dan waktu tertentu
Sistem genap-ganjil dari nomor akhir plat
kendaraan. Artinya, mobil-mobil pribadi diatur
hak jalannya di dalam kota berdasar pada
nomor akhir plat kendaraannya semakin mahal,
untuk menebus polusi yang diakibatkan karena
bertambah banyak jumlah dan usia dari mobil-
mobil yang dimiliki.
Pemberlakuan zona bebas mobil/ kendaraan
(car free zone).
Pemberlakuan hari tanpa berkendaraan (car
free day).
Uji coba berbagi/ bermobil patungan (car
sharing).
64
3.2. INDIKATOR KOTA EKOLOGIS DAN EKONOMIS
Kementerian Lingkungan Hidup mendefinisikan indikator
sebagai representasi dari satu realitas. Indikator tidak
menjelaskan seluruh realitas yang kompleks, melainkan
hanya alat bantu dan alat ukur untuk memahami satu
realitas. Sebagai alat bantu dan alat ukur, maka
indikator harus selektip dan merupakan faktor-faktor
penting yang membentuk realitas. Indikator juga
merefleksikan nilai-nilai yang dianggap penting oleh
masyarakat dalam satuan ruang dan waktu tertentu
Indikator-indikator kota berkelanjutan adalah unit-unit
informasi yang secara bersama dapat menggambarkan
keberadaan suatu kota, berlanjut atau tidak. Indikator
kota keberlanjutan memberikan umpan balik tentang
kesejahteraan masyarakat kota secara menyeluruh,
seperti kalau temperatur badan dan tekanan darah
menginformasikan kesehatan seseorang. Dari informasi
tersebut akan dapat ditentukan tindakan lebih lanjut.
Indikator sangat diperlukan oleh karena dapat
menterjemahkan prinsip-prinsip umum pembangunan
kota yang berkelanjutan menjadi tolok ukur yang lebih
65
rinci dan aplikatif. Indikator mempunyai kegunaan
praktis karena dapat dipakai oleh pengelolan kota dan
masyarakat kota untuk mengukur apakah pembangunan
kota yang bersangkutan mengarah pada keberlanjutan
atau tidak. Indikator juga diperlukan untuk menyusun
prioritas pembangunan kota. Kajian oleh Djunaedi
(2000: 13) menyarankan bahwa aplikasi indikator dapat
dilakukan dengan tiga kemungkinan yaitu:
a. Indikator untuk membandingkan dengan kota-kota lain
(perbandingan horisontal)
b. Indikator untuk melihat perkembangan kota dari waktu
ke waktu (perbandingan longitudinal)
c. Pembandingan yang bernilai relative
66
Tabel 2.1. Indikator Kota Ekologis
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup (2008)
Indikator kota ekologis adalah:
• Mengukur kinerja kebijakan/program
• Mengkaji trend/kecenderungan
• Memberi informasi pada pembuat keputusan
• Meningkatkan perhatian masyarakat
• Menetapkan target
• Menetapkan sasaran perencanaan
67
• Membandingkan kondisi antar tempat
• Memberi peringatan dini.
Untuk mengembangkan indikator kota ekologis yang
baik, dapat dilakukan hal-hal seperti:
a. relevan (cocok, sesuai dengan kepentingan tertentu).
b. mencerminkan nilai-nilai masyarakat
c. menarik bagi media local
d. dapat diukur melalui metoda statistik.
e. ada logika didalamnya atau secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan
f. terpercaya (reliable). Informasi yang ditunjukkan
dalam indikator tersebut harus dapat meyakinkan
orang.
g. mengarah kepada tindakan nyata. Indikator
seharusnya dapat mengarah pada tindakan yang
nyata
h. relevan bagi penentuan kebijaksanaan.
Indikator kota ekologisn merupakan representasi dari
satu realitas kota ekologis, dan dapat dikembangkan
berdasarkan komponen lingkungan pembentuk kota.
Untuk memanfaatkan indikator-indikator tersebut dapat
68
dilakukan secara bervariasi, seperti contoh di bawah ini:
• Melalui media lokal dapat disebarluaskan
kecenderungan, keberlanjutan setiap tahun sehingga
masyarakat luas dapat mengetahui bidang-bidang
yang perlu mendapatkan perhatian
• Kebijaksanaan publik. Penentu kebijakan dan para
politisi diharapkan dapat selalu memperdebatkan
masalah keberlanjutan kota. Mereka dapat
memanfaatkan indikator-indikator sebagai pedoman
dalam memfokuskan perdebatan sehingga dapat
diperoleh keputusan yang jelas dan spesifik.
• Pengembangan bisnis dan ekonomi
Pelaku bisnis dapat mengarahkan kegiatan bisnisnya
dengan memanfaatkan indikator-indikator yang sesuai
dengan aktifitas mereka.
• Pendidikan. Dengan indikator pendidikan dapat
mengarahkan pelaksana pendidikan kepada hal-hal
yang perlu dilakukan di bidang pendidikan, seperti
pengurangan jumlah buta huruf, pengingkatan lulusan
sekolah menengah dan pendidikan usia lanjut.
Indikator ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengajar
arti keberlanjutan bagi para siswa.
69
• Masyarakat dapat memperbaiki lingkungan hidupnya
dengan memanfaatkan indikator –indikator. Organisasi
non-formal yang terdapat di lingkungan masyarakat
akan dapat menjadi motor penggerak dalam mengajak
anggota masyarakat untuk berpartisipasi.
• Gaya hidup dapat mengarahkan gaya hidup
seseorang menuju gaya hidup yang berkelanjutan,
gaya hidup yang berkelebihan dapat dikurangi dengan
mempertimbangkan berbagai indikator yang ada.
3.3. KONSEP KEBERLANJUTAN KOTA
3.3.1. Konsep Keberlanjutan Kota
Keberlanjutan (sustainability) secara umum berarti
kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan
keseimbangan proses atau kondisi suatu sistem, yang
terkait dengan sistem hayati dan binaan. Dalam konteks
ekologi, keberlanjutan dipahami sebagai kemampuan
ekosistem menjaga dan mempertahankan proses,
fungsi, produktivitas, dan keanekaragaman ekologis
pada masa mendatang. Dalam perkembangannya
seiring dengan kebutuhan menjaga keberlanjutan
kehidupan manusia di bumi, masyarakat dunia
70
diperkenalkan pada pemahaman mengenai
pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Walaupun hingga kini secara ilmiah belum terbukti
adanya kehidupan manusia yang tidak berkelanjutan,
namun pada prinsipnya pembangunan berkelanjutan
memiliki tujuan agar pemanfaatan sumberdaya alam
dipertahankan pada laju dimana kelangkaan dan
kepunahan sumberdaya alam bersangkutan tidak
dihadapi oleh generasi mendatang. Dalam prinsip
tersebut terkandung makna adanya batas atau limitasi
keberlanjutan.
Dalam berbagai konteks kepentingan, pengertian
berkelanjutan menjadi semakin kompleks terkait dengan
beragamnya sistem kehidupan, baik yang terkait dengan
karakteristik lingkungan hayati, lingkungan fisik, dan
lingkungan binaan, termasuk diantaranya pengertian
dan pemaknaan mengenai kota
berkelanjutan (sustainable cities) dan ecomunicapilities.
Sejak tahun 1980-an, berkembang gagasan mengenai
format kehidupan berkelanjutan sebagai perwujudan
kesadaran kolektif akan keterbatasan sumberdaya alam
dan lingkungan menopang kehidupan manusia pada
71
masa mendatang. Pada tahun 1989, World Commission
on Environment dan Development (WCED)
mempublikasikan Brundtland Report dalam dokumen
Our Common Future mengenai pembangunan
berkelanjutan yang selanjutnya dikenal dan diterima
secara luas sebagai basis mengatur tata kehidupan
dunia yang lebih berkelanjutan. Keberlanjutan
(sustainability) didefinisikan sebagai “memenuhi
kebutuhan pada masa kini tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi pada masa
mendatang” (to meet the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet
their own needs). Prinsip penting lainnya dari definisi
Brundtland Commissi adalah kepentingan
mengintegrasikan
tiga pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam
mencapai tujuan keberlanjutan.
Walaupun demikian, definisi Brundtland
Commission secara universal masih diinterpretasikan
secara beragam dengan berbagai makna. Yang paling
mendasar adalah kenyataan bahwa sebagian
72
mengartikan definisi Brundtland Commission
sebagai proses dan sebagian lainnya
sebagai tujuan dari suatu fakta atau nilai. Hal ini menjadi
penting dalam menerapkan dan mengaplikasikan prinsip
berkelanjutan bagi suatu kepentingan, dimana
dibutuhkan suatu konteks dan tujuan yang jelas dan
nyata.
Beberapa premis lain menyatakan bahwa walaupun
keberlanjutan merupakan konsep yang penting, namun
relatif tidak fokus, cenderung bias, dan memiliki
substansi yang sangat terbatas. Bahkan jika dikaitkan
dengan kegiatan pembangunan (development) yang
secara harfiah dapat diartikan sebagai aktifitas
penggunaan atau bahkan menghabiskan sumberdaya
alam serta berpotensi merusak lingkungan, maka
pembangunan berkelanjutan sebagai suatu konsep
dianggap menjadi kurang tepat. Pandangan tersebut
pada dasarnya bermaksud memposisikan lingkungan
sebagai ekstrim yang berbeda dari kegiatan
pembangunan, sehingga konsep keberlanjutan
lingkungan (ecological sustainability) dianggap lebih
tepat.
73
Berbagai pandangan di atas mengisyaratkan pentingnya
dialektika yang perlu dipertimbangkan dalam memaknai
keberlanjutan, yakni memposisikan dimensi ekonomi,
sosial, dan lingkungan sebagai tiga pilar utama dalam
sistem kehidupan sebagaimana dinyatakan
oleh Brundtland Commission. Jika dimensi ekonomi dan
sosial dianggap dapat mewakili dan merepresentasikan
tujuan dan kegiatan pembangunan (development), maka
keduanya perlu memiliki keterkaitan dengan dimensi
lingkungan, termasuk sumberdaya alam. Pada
hakekatnya keterkaitan (overlapping) ketiga pilar tidak
sepenuhnya bersifat mutually exclusive, namun mampu
menciptakan perkuatan satu dengan lainnya (mutually
reinforcing) sebagaimana ditunjukkan gambar berikut.
74
Gambar 2.2 Skema Interaksi Tiga Pilar
Pembangunan Berkelanjutan
Jonathon Porritt, ekolog Inggris tidak sependapat
dengan pola keterkaitan ketiga pilar di atas, oleh karena
menganggap ”ekonomi adalah subsistem kehidupan
sosial, dan kehidupan sosial merupakan subsistem
biosfer atau sistem total kehidupan di bumi. Tidak satu
subsistem-pun mampu melampaui kapasitas sistem
biosfer”. Pola overlapping ketiga pilar tersebut di atas
diragukan, oleh karena meyakini bahwa terdapat batas
ultimate biosfer dalam menopang kehidupan sosial dan
ekonomi manusia di bumi sebagaimana digambarkan
sebagai berikut:
75
Gambar 2.3 : Representasi Pilar Ekonomi dan Sosial yang Dibatasi oleh Pilar Lingkungan
Namun pendapat Porrit disanggah, bahwasanya
menempatkan keberlanjutan lingkungan di atas
kepentingan ekonomi dan sosial dalam kehidupan
manusia sulit diwujudkan oleh adanya kendala finansial,
teknologi, dan kapasitas sumberdaya manusia.
Dialektika tersebut menyimpulkan bahwa ketiga pilar
disepakati sebagai dimensi keberlanjutan, namun
keterkaitan ketiganya perlu diintegrasikan dalam posisi
tidak absolut, oleh karena dalam kehidupannya,
manusia dihadapkan pada keterbatasan dan kendala.
Oleh karenanya, konsep keberlanjutan yang dipahami
sebagai integrasi tiga pilar ekonomi, sosial, dan
76
lingkungan yang saling memperkuat disimpulkan dapat
menjadi basis dalam pengkajian pembangunan yang
berkelanjutan.
Pandangan tersebut juga diadopsi oleh IUCN, UNEP,
dan WWF yang memposisikan kehidupan manusia akan
berada dalam batas dukungan lingkungan, dimana
keberlanjutan didefinisikan sebagai “perbaikan kualitas
kehidupan manusia dalam batas daya-dukung suportif
ekosistem”. Walaupun secara nyata belum terdapat
bukti ilmiah mengenai kehidupan yang tidak
berkelanjutan (unsustainable), namun disepakati
bahwasanya peningkatan kualitas kehidupan bukannya
dapat dilakukan tanpa batas. Dalam hal ini, batas atau
limitasi yang dapat dikenali adalah unsur-unsur
lingkungan yang dalam daur kehidupan akan menjadi
bagian dari proses peningkatan kualitas kehidupan
ekonomi dan sosial yang terintegrasi satu dengan
lainnya. The Earth Charter memperkuat pengertian
tersebut sebagai proses pembentukan nilai dan arah
menuju penghargaan terhadap sumberdaya alam dan
lingkungan, hak asasi manusia, pemerataan ekonomi,
77
dan perdamaian sebagai tanggungjawab terhadap
generasi mendatang. Deskripsi di atas memberikan
kesimpulan bahwasanya pembangunan berkelanjutan
merupakan upaya terus-menerus yang merupakan
bagian dari proses menuju kualitas kehidupan generasi
kini dan mendatang yang lebih baik secara ekonomi dan
sosial dalam batas daya-dukung suportif sumberdaya
alam dan daya-tampung asimilatif lingkungan.
Definisi Pembangunan Kota yang Berkelanjutan
(Sustainable Urban Development). Pemahaman
pembangunan kota yang berkelanjutan dilandasi oleh
pengertian kota atau perkotaan yang disepakati hingga
kini. Berbagai definisi mengenai kota atau perkotaan
yang dikembangkan pada dasarnya bersifat kontekstual
terhadap fungsi dan pendekatan yang digunakan.
Pendekatan geografis-demografis memandang kota
sebagai lokasi pemusatan penduduk yang tinggal
bersama dalam ruang wilayah tertentu dengan pola
hubungan rasional dan cenderung individualistik dengan
ciri demografis relatif memiliki status pendidikan,
ekonomi, dan sosial lebih tinggi dibanding wilayah non-
78
perkotaan. Pendekatan ekonomis memandang kota
sebagai pusat peningkatan produktivitas dan produksi
barang dan jasa, pertemuan lalu-lintas perdagangan dan
kegiatan industri, serta tempat perputaran uang yang
bergerak dengan cepat dan dalam volume yang tinggi.
Pendekatan fisik memandang kota sebagai pusat dan
sistem berbagai prasarana dan sarana untuk
memfasilitasi kehidupan dan kreativitas warganya.
Pendekatan sosiologis-antropologis memandang kota
sebagai pemusatan penduduk dengan latar belakang
heterogen, lambang peradaban kehidupan manusia,
pusat kebudayaan, sumber inovasi dan kreasi, serta
wahana untuk peningkatan kualitas hidup.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang mendefinisikan kawasan perkotaan
sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi. Beberapa pakar
memberikan pengertian kota atau perkotaan sebagai
79
area terbangun yang berlokasi saling berdekatan,
meluas dari pusatnya hingga ke daerah pinggiran dan
terdiri dari bangunan-bangunan permukiman, komersial,
industri, pemerintahan, prasarana transportasi, dan lain-
lain.
Karakteristik di atas dapat dirangkum sebagai ciri-ciri
kehidupan kota yang mendasari kepentingan untuk
mewujudkan keberlanjutan kehidupan warga kota,
yakni:
1. Merupakan konsentrasi penduduk, dalam arti
jumlah, kepadatan, dan pertambahan penduduk
yang lebih tinggi.
2. Merupakan kawasan terbangun yang lebih massif
3. Merupakan pusat produksi dan produktivitas barang
dan jasa.
4. Bukan merupakan kawasan pertanian dalam arti
luas.
5. Didominasi oleh permukiman kota, bangunan
komersial, bangunan industri, bangunan
pemerintahan, dan bangunan sosial.
80
6. Dilengkapi oleh prasarana dan sarana transportasi,
ekonomi, dan sosial perkotaan.
7. Dilengkapi oleh utilitas air bersih, drainase, air kotor,
persampahan, telepon, dan listrik.
8. Penduduk kota cenderung berlatar belakang
heterogen, berpendidikan relatif lebih tinggi,
berstatus ekonomi dan sosial lebih baik, bersifat
rasional dan individualistik, dan memiliki inovasi dan
kreativitas lebih maju.
Pengertian pembangunan kota berkelanjutan secara
prinsipil selaras dengan pengertian pembangunan
berkelanjutan, dimana perspektif ruang difokuskan pada
ruang perkotaan. Sebagaimana dinyatakan
oleh Urban21 Conference (Berlin, July 2000),
pembangunan kota berkelanjutan diartikan sebagai
upaya meningkatkan kualitas kehidupan kota dan
warganya tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang
akan datang akibat berkurangnya sumberdaya alam dan
penurunan kualitas lingkungan.
81
Dalam konteks yang lebih spesifik, kota yang
berkelanjutan (sustainable city) diartikan sebagai kota
yang direncanakan dengan mempertimbangkan dampak
lingkungan yang didukung oleh warga kota yang
memiliki kepedulian dan tanggung-jawab dalam
penghematan sumberdaya pangan, air, dan energi;
mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam
terbarukan; dan mengurangi pencemaran terhadap
lingkungan. Sesuai dengan karakteristik suatu kota,
maka pembangunan kota berkelanjutan dapat diartikan
sebagai upaya terus-menerus untuk meningkatkan
kualitas kehidupan warga kota melalui peningkatan
produktivitas di sektor sekunder dan tersier dan
penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang layak
dengan mempertimbangkan dampak invasi dan
intensifikasi kawasan terbangun terhadap kerusakan
lingkungan kota serta mensyaratkan keterlibatan yang
tinggi dari warga kota terhadap upaya penghematan
konsumsi sumberdaya alam dan pengendalian
penurunan kualitas lingkungan.
82
Oleh karena kawasan perkotaan cenderung didominasi
kawasan terbangun dan bukan merupakan kawasan
pertanian dalam arti luas, maka secara implisit memiliki
ketergantungan terhadap pasokan sumberdaya alam
dari kawasan lainnya. Dengan demikian, pembangunan
kota berkelanjutan relevan dengan pengertian upaya
mengurangi ketergantungan terhadap pasokan sumber
daya alam dari luar tersebut.
Konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan:
Graham Haughton & Colin Hunter (1994) menekankan
tiga prinsip dasar pembangunan kota berkelanjutan,
yakni:
1. Prinsip kesetaraan antar generasi (intergeneration
equity) yang menjadi asas pembangunan
berkelanjutan dengan orientasi masa mendatang.
2. Prinsip keadilan sosial (social justice) dalam
kesenjangan akses dan distribusi sumberdaya alam
secara intragenerasi untuk mengurangi kemiskinan
yang dianggap sebagai faktor degradasi lingkungan.
3. Prinsip tanggung-jawab transfrontier yang menjamin
pergeseran geografis dampak lingkungan yang
83
minimal dengan upaya-upaya kompensasi. Dalam
konteks perkotaan diharapkan tidak terjadi
pemanfaatan sumberdaya alam dan penurunan
kualitas lingkungan pada wilayah di luar perkotaan
bersangkutan secara berlebihan yang berdampak
terhadap laju pertumbuhannya.
Lokakarya Indonesia Decentralized Environmental and
Natural Resources Management Project
(IDEN) dan Urban and Regional Development Institute
(URDI) juga mengusulkan beberapa prinsip
pembangunan kota berkelanjutan di Indonesia yang
diantaranya selaras dengan yang diutarakan oleh
Graham Haughton et al. Prinsip-prinsip berikut perlu
disesuaikan kembali dengan kondisi setempat (sumber:
Lampiran F, Bahan Lokakarya, Penguatan Aksi bagi
Pembangunan Perkotaan secara Berkelanjutan di
Indonesia, Laporan Akhir Tahap Persiapan. Kerjasama
antara Indonesia Decentralized Environmental & Natural
Resources Management Project (IDEN) dan Urban and
Regional Development Institute (URDI), serta partisipasi
aktif dari lembaga/pihak terkait lainnya, Desember
2004):
84
1. Memiliki visi, misi dan strategi jangka panjang yang
diwujudkan secara konsisten dan kontinyu melalui
rencana, program, dan anggaran disertai mekanisme
insentif-disinsentif secara partisipatif.
2. Mengintegrasikan upaya pertumbuhan ekonomi
dengan perwujudan keadilan sosial, kelestarian
lingkungan, partisipasi masyarakat serta keragaman
budaya.
3. Mengembangkan dan mempererat kerjasama dan
kemitraan antar pemangku kepentingan, antar-sektor,
dan antar-daerah.
4. Memelihara, mengembangkan, dan menggunakan
secara bijak sumberdaya lokal serta mengurangi
secara bertahap ketergantungan terhadap
sumberdaya dari luar (global) dan sumberdaya tidak
terbarukan.
5. Meminimalkan tapak ekologis (ecological
footprint) suatu kota dan memelihara dan bahkan
meningkatkan daya dukung ekologis setempat.
6. Menerapkan keadilan sosial dan pengembangan
kesadaran masyarakat akan pola konsumsi dan gaya
85
hidup yang ramah lingkungan demi kepentingan
generasi mendatang.
7. Memberikan rasa aman dan melindungi hak-hak
publik.
8. Pentaatan hukum yang berkeadilan.
9. Menciptakan iklim yang kondusif yang mendorong
masyarakat yang belajar terhadap perbaikan kualitas
kehidupan secara terus-menerus.
Terkait dengan pilar pembangunan berkelanjutan,
konsepsi pembangunan kota berkelanjutan juga
berlandaskan pada empat pilar utama, yakni dimensi
ekonomi, sosial, dan lingkungan yang didukung oleh
pilar governance.
Gambar 2.4 Pilar Pembangunan Kota Berkelanjutan Sumber: Forum Sustainable Urban Development (SUD)
86
Pilar governance sebagai perangkat pengaturan,
pelaksanaan, dan kontrol dielaborasi sebagai prinsip
analisis 5R, meliputi:
1. Kewajiban dan tanggungjawab (responsibility) untuk
melaksanakan dan
mengimplementasikan pembangunan kota
berkelanjutan.
2. Hak (right) untuk menjalankan kebijakan dan program
pembangunan kota keberlanjutan yang menjadi
kepentingan publik secara luas.
3. Risiko (risk), sebagai pertimbangan pengambilan
keputusan pembangunan kota berkelanjutan kini dan
pada masa mendatang.
4. Manfaat (revenue) penyelenggaraan kebijakan dan
program pembangunan kota berkelanjutan bagi publik
kini dan pada masa mendatang.
5. Hubungan (relation), sebagai manifestasi koordinasi
para pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan
perwujudan pembangunan kota berkelanjutan.
Munasinghe mengelaborasi elemen pokok ketiga pilar,
yakni pilar ekonomi oleh elemen pertumbuhan, efisiensi,
87
dan stabilitas; pilar sosial oleh elemen pemberdayaan,
peranserta, dan kelembagaan; dan pilar lingkungan oleh
elemen keanekaragaman, sumberdaya alam, dan
pencemaran.
Gambar 2.5 Diagram Elemen Pokok Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Sumber: Munasinghe, M., Sustainable
Development Triangle, „Sustainable Development‟, edited by Cleveland, C. J. (2007).
Forum SUD mengelaborasi ketiga pilar menurut elemen
yang relatif setara dengan yang dikembangkan
Munasinghe. Pilar ekonomi dielaborasi sebagai elemen
penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana,
mendorong pemanfaatan ekonomi lokal, pengembangan
88
nilai tambah ekonomi, dan pengutamaan sumber daya
lokal dibanding impor. Pilar sosial dielaborasi menurut
elemen jaminan kehidupan, pemerataan akses terhadap
pelayanan dasar, demokrasi dan partisipasi, interaksi
sosial yang positif, dan berkembangnya nilai (human
values) bagi kehidupan yang berkualitas. Pilar
lingkungan dielaborasi menurut elemen kuantitas dan
kualitas sumber daya alam dan lingkungan dan
keanekaragaman.
Dalam konteks kota dan perkotaan, maka pembangunan
berkelanjutan pada hakekatnya memposisikan ketiga
pilar untuk saling memperkuat (mutual reinforcing)
sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Kota sebagai
ekosistem binaan relatif tidak memiliki sumberdaya alam
yang memadai untuk mendukung kehidupannya secara
mandiri serta menghasilkan limbah yang lebih besar
oleh konsentrasi penduduk dan aktivitasnya, sehingga
threshold daya-dukung suportif dan daya-tampung
asimilatif secara internal cenderung terlampaui oleh
perkembangan dan pertumbuhan kota. Dengan
demikian konsep pembangunan kota berkelanjutan perlu
89
mempertimbangkan peran ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan daya-dukung dan daya-
tampung melalui upaya prevention, proses, minimisasi,
substitusi, dan rekayasa lainnya serta keterkaitan
dukungan dari wilayah lain. Oleh karena dimensi
lingkungan tidak selalu berposisi sebagai variabel
independen dalam menciptakan kualitas kehidupan
kota, maka dimensi sosial menjadi penting dalam
membangun arah keberlanjutan melalui proses social
engineering dalam manifestasi peran serta masyarakat.
Sebagai suatu proses, pembangunan kota berkelanjutan
merepresentasikan progres perubahan secara bertahap
yang berlangsung secara kontinyu (loop system) dengan
arah menuju kualitas yang lebih baik berdasarkan
feedback tahapan yang dilalui. Christopher A. Haines
menyatakannya sebagai proses transformasi kota
dengan benchmark yang mengindikasikan terjadinya
perubahan, yakni konservasi sumberdaya alam,
rehabilitasi untuk konservasi dan preservasi,
menyediakan pelayanan transportasi publik, dan
mengendalikan urban sprawl. Transformasi menuju
90
pembangunan kota yang berkelanjutan oleh Forum SUD
Indonesia diterjemahkan melalui benchmark yang lebih
tegas perbedaannya. Jika pembangunan pada awalnya
berorientasi secara penuh terhadap pertumbuhan
ekonomi, maka pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan keberlanjutan ekologis, dimana pada daur
selanjutnya diimbangi dengan keadilan sosial dan
berikutnya dengan pelestarian budaya. Sebagai proses
tranformasi yang kontinyu, maka daur pembangunan
akan mengalami improvement terhadap nilai-nilai
keberlanjutan secara terus-menerus. Walaupun nilai
keberlanjutan secara ideal tidak dapat ditetapkan,
namun esensi dari proses keberlanjutan adalah nilai-
nilai penghargaan yang lebih baik terhadap peningkatan
kualitas kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Gambar berikut mengilustrasikan progres nilai-nilai
keberlanjutan yang selayaknya dicapai pada setiap fase
pembangunan.
91
Tabel 2.2 Transformasi Pembangunan Kota
Berkelanjutan
3.4. KEBERLANJUTAN KOTA EKOLOGIS &
EKONOMIS
3.4.1. Keberlanjutan Kota Ekologis Dan Ekonomis
Proses dan kebijakannya tidak sama pada setiap kota,
tergantung pada kota-kotanya. Salah satu tantangan
terbesar konsep tersebut saat ini adalah menciptakan
keberlanjutan, termasuk didalamnya keberlanjutan
sistem politik dan kelembagaan sampai pada strategi,
program, dan kebijakan sehingga pembangunan kota
yang berkelanjutan dapat terwujud (Salim, 1997).
92
Pertumbuhan kota dengan diiringi penduduk yang besar
bagaimanapun akan membutuhkan area yang lebih
besar, sehingga akan menimbulkan permasalahan
dengan alam. Pembangunan kota harus memperhatikan
alam dan lingkungan sebagaimana konsep E. Howard
dengan Garden City-nya. Kota besar bukanlah tempat
yang cocok untuk tempat tinggal jika persoalan
lingkungan diabaikan. Demikian juga yang disampaikan
Geddes, bahwa alam merupakan unit terpenting bagi
kelangsungan aktivitas kota (Salim, 1997).
Kota-kota memiliki ciri yang ditentukan oleh fungsi kota
dalam ruang lingkup daerah. Masing-masing fungsi
memberikan pengaruhnya tersendiri pada
pengembangan kota. Oleh karena itu, hal pertama yang
perlu diperhatikan adalah fungsi apa yang dilaksanakan
sebuah kota. Sifat serta fungsi kota inilah yang
mempengaruhi proses pembangunan kota tersebut.
Setiap kota harus berkembang dengan karakternya
sendiri, dan yang lebih penting, bagaimana kota tersebut
mampu menampung perkembangannya dimasa
mendatang dengan tetap mempertahankan kawasan
93
yang berfungsi melindungi kehidupan kota dan
masyarakatnya.
Prinsip Dasar Kota yang Berkelanjutan:
Untuk dapat menciptakan suatu kota yang
berkelanjutan, diperlukan lima prinsip dasar, yaitu
ekologi, ekonomi, equity (pemerataan), engagement
(peran serta), dan energi (Budiharjo, 1996). Dalam
mengukur suatu keberlanjutan dalam pembangunan,
terdapat beberapa indikator yang dapat dipergunakan,
yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial (Trzyna, 1995). Hal
tersebut didukung pula oleh Haeruman (1997) yang
mengatakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan
merupakan suatu tujuan yang dilator belakangi sebuah
visi akan keseimbangan dalam keterkaitan antara
ekonomi, sosial, dan lingkungan (ekologi) guna
membangun masyarakat yang stabil, makmur, dan
berkualitas.
Antara kepentingan pertumbuhan ekonomi dan
pelestarian lingkungan terkesan kontradiktif atau dengan
kata lain harus ada yang dikorbankan. Hal tersebut
94
antara lain disebabkan adanya ketidakseimbangan
kekuatan di masyarakat yang menawarkan kepentingan
tertentu untuk meletakkan kepentingan individu
berjangka pendek di atas kepentingan kolektif
berjangka panjang dari suatu masyarakat yang
sustainabel (Yakin,1997).
=============================
Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan maka
indikator pembangunan berkelanjutan tidak akan
terlepas dari aspek-aspek tersebut diatas, yaitu aspek
ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya.
Indkator pembangunan berkelanjutan adalah
1. Keberlanjutan Ekologis akan menjamin keberlanjutan
ekosistem bumi, untuk menjamin keberlanjutan
ekologis harus diupayakan hal-hal sebagai berikut:
a. Memelihara integritas tatanan lingkungan agar
sistem penunjang kehidupan dibumi tetap
terjamin dan sistem produktivitas, adaptabilitas,
dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh
kehidupan berkelanjutan.
b. Tiga aspek yang harus diperhatikan untuk
95
memelihara integritas tatanan lingkungan yaitu;
daya dukung, daya asimilatif dan keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya terpulihkan. ketiga
untuk melaksanakan kegiatan yang tidak
mengganggu integritas tatanan lingkungan yaitu
hindarkan konversi alam dan modifikasi
ekosistem, kurangi konversi lahan subur dan
kelola dengan buku mutu ekologis yang tinggi,
dan limbah yang dibuang tidak melampaui daya
asimilatifnya lingkungan.
c. Memelihara keanekaragaman hayati pada
keanekaragaman kehidupan yang menentukan
keberlanjutan proses ekologis. Terdapat tiga
aspek keanekaragaman hayati yaitu
keanekaragaman genetika, spesies, dan tatanan
lingkungan. Untuk mengkonversikan
keanekaragaman hayati tersebut perlu hal-hal
berikut yaitu “menjaga ekosistem alam dan area
yang representatif tentang kekhasan sumberdaya
hayati agar tidak dimodifikasikan, memelihara
seluas mungkin area ekosistem yang
dimodifikasikan untuk keanekaragaman dan
96
keberlanjutan keanekaragaman spesies,
konservatif terhadap konversi lahan pertanian”.
2. Keberlanjutan Ekonomi makro menjamin kemajuan
ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong
efisiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan
nasional. Tiga elemen utama untuk keberlanjutan
ekonomi makro yaitu efisiensi ekonomi,
kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, dan
meningkatkan pemerataan dan distribusi
kemakmuran. Hal tersebut diatas dapat dicapai
melalui kebijaksanaan makro ekonomi mencakup
reformasi fiskal, meningkatkan efisiensi sektor publik,
mobilisasi tabungan domestik, pengelolaan nilai tukar,
reformasi kelembagaan, kekuatan pasar yang tepat
guna, ukuran sosial untuk pengembangan
sumberdaya manusia dan peningkatan distribusi
pendapatan dan aset.
3. Keberlanjutan Ekonomi Sektoral. Untuk mencapai
keberlanjutan ekonomi sektoral, berbagai kasus
dilakukan terhadap kegiatan ekonomi. Pertama,
sumberdaya alam yang nilai ekonominya dapat
97
dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang
tangibble dalam kerangka akunting ekonomi, kedua,
secara prinsip harga sumberdaya alam harus
merefleksi biaya ekstaksi, ditambah biaya lingkungan
dan biaya pemanfaatannya.
4. Keberlanjutan Sosial Budaya mempunyai empat
sasaran yaitu:
a. Stabilitas penduduk yang pelaksanaannya
mensyaratkan komitmen politik yang kuat,
kesadaran dan partisipasi masyarakat,
memperkuat peranan dan status wanita,
meningkatkan kualitas, efektivitas dan lingkungan
keluarga.
b. Memenuhi kebutuhan dasar manusia, dengan
memerangi kemiskinan dan mengurangi
kemiskinan absolut. Keberlanjutan pembangunan
tidak mungkin tercapai bila terjadi kesenjangan
pada distribusi kemakmuran atau adanya kelas
sosial. Halangan terhadap keberlajutan sosial
harus dihilangkan dengan pemenuhan kebutuhan
dasar manusia. Kelas sosial yang dihilangkan
dimungkinkannya untuk mendapat akses
98
pendidikan yang merata, pemerataan pemulihan
lahan dan peningkatan peran wanita.
c. Mempertahankan keanekaragaman budaya,
dengan mengakui dan menghargai sistem sosial
dan kebudayaan seluruh bangsa, dan dengan
memahami dan menggunakan pengetahuan
tradisional demi manfaat masyarakat dan
pembangunan ekonomi.
d. Mendorong pertisipasi masyarakat lokal dalam
pengambilan keputusan. Beberapa persyaratan
dibawah ini penting untuk keberlanjutan sosial yaitu
: prioritas harus diberikan pada pengeluaran sosial
dan program diarahkan untuk manfaat bersama,
investasi pada perkembangan sumberdaya
misalnya meningkatkan status wanita, akses
pendidikan dan kesehatan, kemajuan ekonomi
harus berkelanjutan melalui investasi dan
perubahan teknologi dan harus selaras dengan
distribusi aset produksi yang adil dan efektif,
kesenjangan antar regional dan desa, kota, perlu
dihindari melalui keputusan lokal tentang prioritas
dan alokasi sumber daya.
99
5. Keberlanjutan Politik diarahkan pada respek pada
human right, kebebasan individu dan sosial untuk
berpartisipasi dibidang ekonomi, sosial dan politik,
demokrasi yang dilaksanakan perlu memperhatikan
proses demokrasi yang transparan dan
bertanggungjawab, kepastian kesedian pangan, air,
dan pemukiman.
6. Keberlanjutan Pertahanan dan Keamanan seperti
menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan
gangguan baik dari dalam dan luar yang langsung dan
tidak langsung yang dapat membahayakan integritas,
identitas, kelangsungan negara dan bangsa perlu
diperhatikan (Askar Jaya, 2004)
7. Keberlanjutan Pembangunan sebagai Orientasi
Pembangunan. Sustainable development atau
pembangunan berkelanjutan ini mungkin diwujudkan
melalui keterkaitan (interlinkages) yang tepat antara
alam, aspek sosio-ekonomi, dan kultur. Mereka
menyadari adanya batas-batas pemanfaatan sumber-
alam dan batas kemampuan biosphere untuk dapat
menyerap kegiatan manusia, meskipun melalui
penguasaan tehnologi batas tadi dapat menjadi
100
bersifat relatif. Karenanya, sustainable development
bukanlah suatu situasi yang harmonis yang tetap dan
statis, akan tetapi merupakan suatu proses perubahan
dimana eksploitasi sumber alam, arah investasi,
orientasi perkembangan teknologi, perubahan
kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat
ini dan di masa yang akan datang. Demikian pula
perkembangan penduduk perlu diperhatikan dalam
mencapai keberlanjutan pembangunan, dan
karenanya jumlah dan perkembangan penduduk
haruslah dalam keseimbangan dengan perubahan
potensi produk ekosistem (Djajadiningrat, 1990, dalam
Samodra Wijaya (1991)).
Interpretasi lain dari sustainable development didorong
oleh adanya kenyataan tingginya mortality rate proyek-
proyek pembangunan di negara-negara berkembang.
Alokasi input yang berkesinambungan tidak menjadikan
proyek pembangunan tadi berkembang dengan
kekuatan sendiri. Dalam konteks ini, sustainable
development dapat diartikan sebagai (Cernea, 1986
dalam Samodra Wijaya (1991)):
101
“the ability of a development project to generate
sufficiently a net surplus as input for further
development.” Kedua interpretasi tadi menunjukan
kualitas untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri.
Keduanya menyangkut hubungan yang optimal antara
input dan output. Perbedaannya nampak terletak pada
level of analisysnya. Interpretasi pertama lebih pada
derajat makro, dan interpretasi kedua pada derajat
mikro.
102
3. OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN KOTA
EKOLOGIS DAN EKONOMIS
3.1 Optimalisasi Keberlanjutan Kota Ekologis &
Ekonomis
Pada dasarnya valuation merujuk pada kontribusi
sebuah komoditas untuk mencapai tujuan tertentu,
seorang pemain sepakbola dinilai tinggi apabila
kontribusi pemain tersebut tinggi pula untuk
kemenangan tim-nya. Sedangkan dalam konteks
ekologi, sebuah gen dianggap bernilai tinggi apabila
mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari
individu yang memiliki gen tersebut. Singkat kata, nilai
sebuah komoditas tergantung dari tujuan spesifik dari
nilai itu sendiri. Dalam pandangan neoklasik, nilai
sebuah komoditas terkait dengan tujuan maksimisasi
utilitas/kesejahteraan individu. Dengan demikian apabila
ada tujuan lain, maka ada “nilai” yang lain pula.
Berbeda dengan pandangan neoklasik, dalam
pandangan ecological economics, tujuan valuation tidak
semata terkait dengan maksimisasi kesejahteraan
103
individu, melainkan juga terkait dengan tujuan
keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi (Constanza
and Folke, 1997). Bishop (1997) pun menyatakan
bahwa valuation berbasis pada kesejahteraan individu
semata tidak menjamin tercapainya tujuan ekologi dan
keadilan distribusi tersebut. Dalam konteks ini,
kemudian Constanza (2001) menyatakan bahwa perlu
ada ketiga nilai tersebut yang berasal dari tiga tujuan
dari penilaian itu sendiri. Valuasi ekosistem berdasarkan
tiga tujuan utama efisiensi, dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 3.1 Valuasi ekosistem dari tiga tujuan utama
efisiensi
Tujuan/ Dasar Nilai
Kelompok Responden
Dasar preferensi
Tingkat diskusi yang diperlukan
Tingkat input ilmiah yang diperlukan
Metode spesifik
Efisiensi (E-value)
Homo economicus
Preferensi individu
Rendah Rendah Willingness to Pay
Keadilan (F-value)
Homo communicus
Preferensi komunitas
Tinggi Menengah Veil of ignorance
Keberlanjutan (S-value)
Homo naturalis Preferensi keseluruhan system
Medium Tinggi Modeling
Sumber : Constanza and Folke (1997) in Constanza
(2001).
104
Dari Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa dalam pandangan
Ecological Economics, nilai tidak hanya dilihat dari
tujuan maksimalisasi preferensi individu seperti yang
dikemukakan oleh pandangan neoklasik (E-value),
melainkan ada nilai lain yaitu keadilan (F-value) yang
berbasis pada nilai-nilai komunitas, bukan individu.
Dalam konteks F-value ini, nilai sebuah ekosistem
ditentukan berdasarkan tujuan umum yang biasanya
dihasilkan dari sebuah konsensus atau kesepakatan
antara anggota komunitas (homo communicus).
Metode valuasi yang tepat untuk tujuan ini adalah “veil
of ignorance” (Rawls, 1971) di mana responden
memberikan penilaian dengan tanpa memandang status
dirinya dalam komunitas. Sementara itu, S-value yang
bertujuan mempertahankan tingkat keberlanjutan
ekosistem lebih menitikberatkan pada fungsi ekosistem
sebagai penopang kehidupan manusia.Dalam konteks
ini, manusia berperan sebagai “homo naturalis” yang
menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem secara
keseluruhan (sistem alam dan sistem
manusia).Modeling adalah salah satu spesifik
105
metodologi yang dapat digunakan dalam konteks S-
value ini (Vionov, 1999; Constanza, et al., 1993).
Secara empiris, valuasi ekosistem berbasis pada dua
nilai terakhir (F-value dan S-value) relatif masih sedikit
dilakukan.Namun demikian hal ini tidak mengurangi
semangat dari pandangan ecological economics bahwa
perlu ada penyusunan format nilai ekosistem yang lebih
komprehensif, tidak hanya berbasis pada preferensi
individu seperti metode standar yang ada.Ketiga nilai
tersebut dapat diintegrasikan dengan pendekatan
diskusi publik seperti yang disarankan oleh Sen (1995).
Dengan pendekatan uji publik yang demokratis, nilai dari
sebuah ekosistem dapat ditentukan untuk mencapai
tujuan yang efisien, adil dan berkelanjutan.
Dalam konteks tersebut di atas, maka tujuan valuasi
ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil
keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi (economic
efficiency) dari berbagai pemanfaatan (competing uses)
yang mungkin dilakukan terhadap sistem ekologi
ekonomi yang ada di kawasan perkotaan.Asumsi yang
106
mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya
yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat
bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur
dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi
dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Namun
demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam
konteks nilai manfaat masyakarat bersih (net gain to
society) tidak dipertimbangkan dalam term ”economic
efficiency”. Oleh karena itu, faktor distribusi
kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu
isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (fair)
seperti yang dianut oleh kalangan ecological economist.
Secara diagram, fungsi keterkaitan antara valuasi
ekonomi dan pengelolaan suatu kawasan secara
berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar (Ledoux &
Turner, 2002).
107
Gambar 3.1 Keterkaitan antara valuasi ekonomi dan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan (Ledoux &
Turner, 2002)
Dengan demikian valuasi ekonomi merupakan salah
satu domain (ranah) dari ilmu ekonomi. Pendekatan
ekonomi lingkungan paling sedikit memiliki tiga pokok
kajian, yakni
1. Membahas penggunaan dan degradasi sum-
berdaya, terutama untuk memahami secara ekonomi
dalam penetapan harga yang dipandang terlalu
rendah, property right yang belum sempurna,
struktur insentif yang berkontribusi pada kerugian
pada lingkungan.
108
2. Mengukur jasa lingkungan, meliputi pengukuran
maksimisasi aset lingkungan. Untuk
memaksimalkan nilai aset lingkungan, maka harus
diketahui nilai jasa lingkungan, termasuk
penggunaan dalam penerimaan limbah
3. Menghambat degradasi lingkungan untuk mencapai
tahap pembangunan berkelanjutan (Ho-Sung OH,
1993). Selanjutnya dikatakan bahwa Ilmu Ekonomi
Lingkungan menerangkan bahwa kerusakan
lingkungan merupakan masalah ekternalitas yang
akan mengarah pada kegagalan pasar, karena tidak
memungkinkan untuk membeli atau menjual aset
lingkungan dalam pasar karena tidak adanya harga
pasar, sehingga barang dan jasa lingkungan tidak
diperdagangkan dalam pasar. Dengan demikian
produser dan konsumer mengesampingkan masalah
lingkungan dalam membuat keputusannya.
Pengenyampingan aset lingkungan ini dalam
keputusan mereka menyebabkan terjadinya
penggunaan sumberdaya lingkungan yang tidak
efisien, sehingga menimbulkan kerusakan.Untuk
mengatasi tidak adanya nilai ini maka perlu adanya
109
valuasi melalui pemberian nilai moneter (monetizing)
sehingga memiliki basis dalam membandingkan
antara perlindungan dan pemanfaatan lingkungan.
Dengan demikian valuasi ekonomi adalah penjumlahan
dari preferensi individu dalam keinginannya untuk
membayar (willingness to pay) dalam mengkonsumsi
lingkungan yang baik. Dengan demikian valuasi
ekonomi adalah alat untuk mengukur keinginan
masyarakat untuk lingkungan yang baik melawan
lingkungan yang buruk.
Apa yang dinilai dalam lingkungan terdiri dari dua
kategori yang berbeda, yakni: nilai preferensi
masyarakat terhadap perubahan lingkungan, sehingga
masyarakat memiliki preferensinya dalam tingkat risiko
yang dihadapi dalam hidupnya, sehingga memunculkan
keinginan untuk membayar Willingnes to pay (WTP)
agar lingkungan tidak terus memburuk. Hal ini termasuk
dalam kategori Valuasi ekonomi (economic valuation),
yang sering dinyatakan dalam kurva permintaan
(demand curve) terhadap lingkungan. Sumberdaya alam
110
dan lingkungan sebagai aset kehidupan memiliki nilai
intrinsic. Hal ini merupakan bentuk dari nilai ekonomi
secara intrinsic (intrinsic values) dari eksistensi
sumberdaya alam dan lingkungan.
111
3.2 PENDIDIKAN MASYARAKAT KOTA YANG
BERKELANJUTAN
Pendidikan menurut UU No.20/2003 tentang Sisdiknas
pasal 1 ayat 1: Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut para ahli:
M.J. Langeveld (1955) Pendidikan adalah usaha,
pengaruh, perlindungandan bantuan yang diberikan
kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau
lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Ki Hajar
Dewantara - Sistem Among (1922). Pendidikan adalah
daya upaya untukmemajukan budi pekerti, pikiran, serta
jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan
112
hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras
dengan alam dan masyarakatnya.
Hansen, dkk (1977) Pandangan behavioristik;
Manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang
tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yg data
dari luar.
Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku
manusia.
Kepribadian individu dapat dikembalikan semata-
mata kepada hubungan antara individu dan
lingkungannya,
Hubungan ini diatur oleh hukum-hukum belajar,
seperti teori pembiasaan dan peniruan.
Hal ini didukung oleh Skinner (1976), kemampuan yg
dimiliki terwujud sebagai tingkah laku, tingkah laku ini
yang didekati dan dianalisis secara ilmiah,
pendekatan ini adalah pendekatan ilmiah.
Jalur pendidikan
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta
didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu
113
proses pendidikan. Dalam UU No. 20/2003, pasal 13
ayat 1, jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal,
non-formal dan informal.
Pendidikan formal
Pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah
pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang
pendidikan yang jelas, mulai dari pend. dasar,
menengah, sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal
Jalur pendidikan di luar pendidikan formal, yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Pendidikan nonformal, adalah PAUD, pendidikan
dasar, seperti: TPA, atau taman pendidikan AlQuran
di Masjid dan sekolah minggu yg ada di semua
Gereja, sekolah di Pura dan lainnya.
Paket A, B, dan C, serta berbagai jenis kursus lain.
Sasaran pada warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
penambah pendidikan formal, penekanan pada
114
penguasaan pengetahuan dan keterampilan, serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan in-formal
Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang
dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan
pendidikan formal dan nonformal setelah peserta
didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
Alasan pemerintah menggagas pendidikan informal:
Pendidikan dimulai dari keluarga
Informal diundangkan, karena untuk mencapai tujuan
pendidikan nasonal dimulai dari keluarga
Anak harus dididik sejak lahir
Homeschooling: pendidikan formal tapi pelaksanaan
secara informal.
Masyarakat
Masyarakat menurut Parsudi Suparlan (982):
Salah satu satuan sosial atau sistem-sosial.
115
Kesatuan hidup manusia yang paling lumrah
dituturkan baik dalam kasus ilmiah maupun
keseharian.
Istilah bahasa Inggris adalah society.
Sedangkan istilah masyarakat itu sendiri dalam
bahasa Arab, berarti ikut serta atau partisipasi;
Masyarakat berarti saling bergaul atau interaksi, satu
dengan yang lainnya saling memberikan makna.
Kebermaknaan seseorang hanya ada manakala ia
berada di dalam kelompok, komunitas, atau
masyarakatnya.
Masyarakat, sebagai suatu satuan kehidupan sosial
manusia, menempati suatu wilayah tertentu yang
keteraturan dalam kehidupan sosial, dimungkinkan
oleh adanya seperangkat pranata sosial yang telah
menjadi tradisi dan budaya yang mereka miliki
bersama.
Pranata sosial, adalah seperangkat aturan-aturan
yang berkenaan dengan kedudukan dan
penggolongan satuan kehidupan sosial yang
mengatur peran dan hubungan kedudukan, tindakan-
tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
116
Sumber aturan-aturan tersebut dari tradisi,
kebudayaan, dan kepercayaan (termasuk agama)
yang dimiliki, dianut, dan dikembangkan oleh
masyarakat yang bersangkutan masyarakat kota
Masyarakat perkotaan sering diidentikkan dengan
masyarakat modern (maju);
Tidak jarang dipertentarngkan dengan masyarakat
pedesaan yang akrab dengan sebutan masyarakat
tradisional terutama dilihat dari aspek kulturnya.
Ciri-ciri sebuah masyarakat modern, menurut Pudjiwati
Sajogyo, 1985) antara lain:
Hubungan antar sesama nyaris hanya didasarkan
pada pertimbangan untuk kepentingan pribadi;
Hubungan dengan masyarakat lain berlangsung
secara terbuka dan saling mempengaruhi; Diyakini
bahwa iptek memiliki kemanfaatan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya;
Masyarakat kota berdeferensi atas dasar perbedaan
profesi dan keahlian sebagai fungsi pendidikan serta
pelatihan
117
Tingkat pendidikanmasyarakat kota relatif lebih tinggi
bila dibandingkan denganmasyarakat pedesaan;
Aturan/hukum yang berlaku dalam masyarakat kota
lebih berorientasi pada aturan /hukum formal yang
bersifat kompleks;
Tata ekonomi yang berlaku bagi masyarakat kota
umumnya ekonomi-pasar yang berorientasi pada nilai
uang, persaingan, dan nilai-nilai inovatif lainnya.
Ciriciri ini berskala kelompok atau masyarakat.
Kota merupakan pusat kegiatan pemerintahan,
ekonomi, budaya dan tempat ciptaan peradaban
budaya manusia.
Memiliki ciri khusus; mata pencaharian dari penduduk
yg beragam, umumnya bidang non-agraris, jumlah
penduduk sangat besar,
Beragam status sosial & ekonomi, individualistis,
dinamis, terbuka, heterogen, multicultural, cukup
banyak warga urban, ada wilayah kumuh,
pencampuran beragam watak.
Diperlukan pendidikan masyarakat yang unik untuk
menyatukan berbagai perbedaan itu.
118
Karakteristik yang berskala individu sebagai manusia
modern:
Selalu bersikap menerima perubahan setelah
memahami adanya kelemahan dari situasi yang rutin;
Memiliki kepekaan pada masalah yang ada di
sekitarnya dan menyadari bahwa masalah tersebut
tidak lerlepas dari keberadaan dirinya;
Terbuka bagi pengalaman baru/inovasi dengan
disertai sikap yang tidak apriori atau prasangka
Setiap pendiriannya selalu dilengkapi informasi akurat
Ia lebih berorientasi pada masa mendatang yang
didukung oleh kesadaran bahwa masa lampau
sebagai pengalaman dan masa sekarang sebagai
suatu fakta, sedangkan masa mendatang sebagai
harapan yang mesti diperjuangkan, artinya, bahwa
pengalaman waktu itu, merupakan suatu tahapan
berpikir setiap individu
Ia sangat memahami akan potensi dirinya, dan
potensi tersebut ia yakin dapat diikembangkan
Ia selalu berusaha untuk terlibat dan peka terhadap
perencanaan;
119
Ia selalu menghindar dari situasi yang fatalistik dan
tidak mudah menyerah pada keadaan atau nasib;
Ia meyakini akan manfaat iptek sebagai sarana dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan manusia;
Ia memahami dan menyadari serta menghormati
akan hak-hak dan kewajiban serta kehormatan pihak
lain.
Unsur tradisi yang melekat dalam diri individu
masyarakat tidak mudah untukmenghilangkannya. Perlu
dicatat bahwa tidak semua unsur tradisi bersifat
penghambat proses modernisasi, justru potensial dan
mendukung pembaruan, sehingga seyogianya dipeli
hara dan dikembangkan. Kendala yang mengganggu
usaha pengembangan manusia modern:
Kekurangmampuan diri dalam empati pd orang lain
Rendahnya tingkat kegairahan untuk melihatmasa
depan
Ketidakmampuan untuk menunda kepuasan atau
keinginan yang berlebih akan sesuatu kebutuhan;
Kurang/langka daya kreasi dan inovasi. Pendidikan
masyarakat kota
120
Merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat,
pada hakikatnya untuk mewujudkan potensi
masyarakat menjadi kekuatan yang mampu
meningkatkan mutu hidup dan kehidupannya.
Beberapa bentuk pendidikan dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat kota yang selama ini
dilakukan adalah: dalam kerangka pendidikan
komunitas, dapat berupa pendidikan formal dan
nonformal, penyuluhan pembangunan, komunikasi
pembangunan, pendidikan kesejahteraan keluarga,
pendidikan vokasional, dan lain-lainnya.
Pendidikan non-formal sebagai bagian integral dari
pembangunan pendidikan nasional, selama ini
menjadi pilihan untuk menunjang upaya peningkatan
mutu sumber daya manusia pada masyarakat.
Pembangunan Pendidikan Non-Formal/PNF secara
bertahap terus dipacu dan diperluas guna memenuhi
kebutuhan belajar masyarakat yang tidak mungkin
dapat terlayani melalui jalur pendidikan formal.
Oleh karena itu PNF dapat menjadi pilihan warga
masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus
121
sekolah, untuk meningkatkan pengetahuan,
kemampuan dan keterampilannya.
Pendidikan in-formal juga dapat menjadi pilihan bagi
pendidikan masyarakat kota.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan
pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan dimulai dari keluarga (kata UU)
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dimulai
dari keluarga( untuk PF, PNF, dan PIF)
Homeschooling, juga dapat menjadi pilihan bagi
pendidikan masyarakat kota. Bagaimana dengan
konsep kota ekologis sebagai kota ekonomis yang
berkelanjutan?
Prinsip Kota Ekologis:
Untuk mensejahterakan warga masyarakat
Berfungsi secara harmonis dengan sistem alaminya.
Menghargai aset ekologisnya
Dibutuhkan manajemen lingkungan terpadu
(perencanaan, pengorganisasian, dstnya)
untukmenurunkan kerusakan lingkungan.
122
Prinsip Kota Ekonomis Berkelanjutan:
Menciptakan nilai-nilai untuk mempertahankan
keberlanjutan sumber daya alam.
Menciptakan peluang bagi warga masyarakat untuk
tetap mempertahankan kualitas hidup.
Menciptakan bisnis-bisnis baru bagi masyarakat
Setiap usaha untuk ketahanan kegiatan
perekonomian harus memperhatikan keberlanjutan.
Model pendidikan masyarakat kota ekologis sebagai
kota ekonomis yang berkelanjutan, untuk menetapkan
model pendidikan masyarakat kota perlu memahami
pembahasan sebelumnya, yaitu:
Pendidikan untuk perubahan pola pikir dan perilaku
yang berkelanjutan.
Memperhatikan teori-teori pendidikan
Warga yg multi kultural dan perilakunya yang
beranekaragam.
Ciri-ciri kehidupan masyarakat kota.
Memperhatikan jalur pendidikan yg telah dipaparkan
Prinsip kota ekologis dan kota ekonomis
berkelanjutan, yang mengutamakan harmonisasi,
123
antara: ekonomi, sosial budaya, pembangunan, dan
lingkungan hidup.
Model pendidikan yg cukup baik dan dikenal adalah
adalah pendidikan multycultural, menurut saya perlu
dicoba keberhasilannya.
Model pendidikan formal dan nonformal, yang selama
ini telah dilakukan, kurang berhasil karena
kenyataannya hanya dpt pengetahuan.
Jalur pendidikan yang disarankan adalah pendidikan
informal, yg fokus pada pendidikan keluarga dan
lingkungan.
Model pendidikan yang disarankan adalah model
pendidikan harmonisasi(harmonis dengan diri sendiri,
keluarga, sesama, lingkungan, dan Tuhan),
difokuskan kepada harmonis dengan diri sendiri.
Isi materi pendidikan harmonisasi:
Harmonis dengan diri sendiri (diutamakan).
Harmonis dengan keluarga(anggota keluarga)
Harmonis dengan sesama
Harmonis dengan lingkungan hidup
Harmonis dengan semua elemen di planit bumi
124
Harmonis dengan pencipta
Model pendidikan yang mengutamakan pelatihan
berulang-ulang dan peniruan/contoh teladan.
Pendidik/pelatih harus harmonis dengan dirinya.
Perlakuan model pendidikan harmonisasi
Jelas sasarannya; komunitas/masyarakat, jumlah
peserta belajar.
Tetapkan topiknya.
Persiapkan langkah/prosedur
Tidak ada prasyarat tempat belajar
Peran Pendidik/guru harus harmonis dengan dirinya.
Ketrampilan dasar diperlukan (menjelaskan, bertanya,
mengelola kelompok belajar, dan lainnya)
Materi sesuaikan dengan kebutuhan lapangan
Model-model pendidikan/pembelajaran interaktif
dapat digunakan, namun selalu plus harmonisasi (H).
Contohnya; Model pembelajaran interaktif tipe
Seminar + H, dan seterusnya.
Ciptakan suasana nyaman dan harmonis
Model pembelajaran interaktif yang ada selama ini
sudah baik, hanya ditambahkan dengan tindakan
125
pendidik/guru untuk harmonisasi dengan diri sendiri
(+H)
Seorang pendidik, guru, fasilitator, bagi masyarakat,
hendaknya mempersiapkan diri menjadi model bagi
masyarakat.
Sebab tidak dapat mengajarkan materi yg mengajak
masyarakat untuk harmonis dengan diri sendiri, jika
gurunya sendiri tidak harmonis.
Model pembelajaran yang disarankan dapat dilihat
pada gambar berikut
126
127
4. KESIMPULAN
Pertumbuhan dan perkembangan kota pada prinsipnya
menggambarkan proses berkembangnya suatu kota
yang mengacu pada besaran faktor produksi yang
dipergunakan oleh sistem ekonomi kota. Semakin besar
produksi berarti ada peningkatan permintaan yang
meningkat, sedangkan perkembangan kota mengacu
pada kualitas, yaitu proses menuju suatu keadaan yang
bersifat pematangan. Perkembangan suatu kota
dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijakan ekonomi.
Konsep-konsep pengembangan wilayah kaitannya
dengan upaya optimalisasi fungsi lahan pertumbuhan
dan perkembangan wilayah kota dimasa yang akan
datang cenderung terus berkembang baik secara
demografis, fisik, bahkan spasial. Laju pertumbuhan
penduduk, tingkat kepadatan, tingkat ketersebaran
fasilitas pelayanan umum dan potensi lahan secara
keseluruhan menjadi penggerak utama terjadinya
ekspansi pemanfaatan lahan dan perubahan dalam
struktur internal wilayah kota.
128
Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan kota, yaitu:
a. Faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan
penduduk baik disebabkan karena pertambahan
alami maupun karena migrasi.
b. Faktor sosial ekonomi, yaitu perkembangan kegiatan
usaha masyarakat
c. Faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola
kehidupan dan tata cara masyarakat akibat pengaruh
luar, komunikasi dan sistem informasi.
Prinsip perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana
ditetapkan oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2009
tentang Penataan Ruang adalah untuk :
1. Melaksanakan kebijaksanaan pokok pemanfaatan
dan pengendalian ruang dan Rencana Tata Ruang
yang lebih tinggi
2. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antar wilayah serta
keserasian pembangunan antar sector
129
3. Menetapkan lokasi investasi yang dilaksanakan
Pemerintah dan/atau masyarakat
4. Menyusun rencana tata ruang yang lebih rinci di
wilayah yang bersangkutan
5. Melaksanakan pembangunan dan perizinan dalam
memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.
Pendekatan sektoral dan pendekatan regional (ruang),
sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang
Kota, terdapat 4 (empat) tingkatan rencana tata ruang
kota, yaitu sebagai berikut :
Rencana umum tata ruang perkotaan, yaitu
menggambarkan posisi kota yang direncanakan
terhadap kota lain secara nasional dan hubungannya
dengan wilayah belakangnya
Rencana umum tata ruang kota, yaitu
menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara
keseluruhan
Rencana detail tata ruang kota, yaitu menggambarkan
pemanfaatan ruang kota secara lebih rinci
130
Rencana teknik ruang kota, yaitu menggambarkan
rencana geometri pemanfaatan ruang kota sehingga
sudah bisa menjadi pedoman dalam penentuan sait
(site) pembangunan / konstruksi kota.
Konsep dan Ruang lingkup daya dukung lingkungan
berdasarkan UU no 23 Tahun 1997, daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lain. Menurut Soemarwoto
(2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya
adalah dayadukung lingkungan alamiah, yaitu
berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat
dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu
di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung
lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen,
yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan
kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Oleh
karena itu setiap makhluk yang hidup yang ada bertugas
untuk menjaga keberadaan makhluk hidup lainnya
sebaik mungkin agar terjadi hubungan yang baik yang
terjalin antara satu makhluk dengan makhluk yang lain
131
sehingga menjaga daya dukung antara masing
lingkungan dan makhluk hidup.
Kota Ekologis sebagai kota ekonomis adalah
pendekatan untuk mengintegrasikan pembangunan
perkotaan yang mensinergikan ekologi dan ekonomi.
Hal-hal yang ditetapkan sebagai prinsip kota ekologis
sebagai kota ekonomis.
Prinsip Pertama, dilakukan dengan pendekatan “City
Based“, dalam kaitan ini, setiap upaya pembangunan
perkotaan harus didasarkan melalui proses “bottom-
up“. Pembangunan suatu kota dirancang dengan
pendekatan rancangan dari bawah, di Indonesia,
dengan kewenangan otonomi yang sangat besar, hal
ini sudah dilakukan. Semua proses penyusunan
pembangunan perkotaan dilandasi dengan proses
yang bottom-up.
Prinsip kedua adalah kolaborasi, dalam penyusunan
program perkotaan berkelanjutan, kolaborasi mutlak
dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari semua
stakeholder. Prinsip ini sudah lama dilakukan di
Indonesia.
132
Prinsip ketiga adalah “One system approach“. Pada
pendekatan ini, diharapkan adanya pelaksanaan
pembangunan sebagai satu sistem komprehensif,
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber
daya. Untuk mendapatkan efisiensi penggunaan
sumber daya (terutama sumber daya alam),
pembangunan perkotaan diharapkan dapat
diintegrasikan dalam sebuah kesatuan sistem
terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam
seperti air dan energi. Salah satu contoh penerapan
”one system approach” adalah dalam suatu kawasan
kota yang merancang pemanfaatan air secara efisien
dengan daur ulang dan diintegrasikan dengan
pemanfaatan energi terbarukan seperti panel surya
atau kincir angin. Penerapan ”one system approach”
tersebut akan menghemat energi dan menghemat air
untuk keberlanjutan lingkungan dan perkotaan.
Prinsip ke empat adalah Investment framework that
values sustainability and resiliency. Pendekatan ini
mengkaji secara seksama biaya investasi
pembangunan berkelanjutan dengan menghitung dan
mempertimbangkan ”operational cost” setelah
133
pembangunan selesai. Dengan kata lain, biaya operasi
dan pemeliharaan harus memiliki keberlanjutan
sehingga tidak menjadi ”beban” pada masa yang akan
energi. Implikasi dari pendekatan ini adalah
perencanaan program investasi ditentukan oleh
keberlanjutan (sustainability) dari biaya operasi dan
pemeliharaan, terutama dalam pemanfaatan sumber
daya air dan sumber daya energi
Dalam konteks yang lebih spesifik, kota yang
berkelanjutan (sustainable city) diartikan sebagai kota
yang direncanakan dengan mempertimbangkan dampak
lingkungan yang didukung oleh warga kota yang
memiliki kepedulian dan tanggung-jawab dalam
penghematan sumberdaya pangan, air, dan energi;
mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam
terbarukan; dan mengurangi pencemaran terhadap
lingkungan. Sesuai dengan karakteristik suatu kota,
maka pembangunan kota berkelanjutan dapat diartikan
sebagai upaya terus-menerus untuk meningkatkan
kualitas kehidupan warga kota melalui peningkatan
produktivitas di sektor sekunder dan tersier dan
134
penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang layak
dengan mempertimbangkan dampak invasi dan
intensifikasi kawasan terbangun terhadap kerusakan
lingkungan kota serta mensyaratkan keterlibatan yang
tinggi dari warga kota terhadap upaya penghematan
konsumsi sumberdaya alam dan pengendalian
penurunan kualitas lingkungan.
Pada dasarnya valuation merujuk pada kontribusi
sebuah komoditas untuk mencapai tujuan tertentu,
seorang pemain sepakbola dinilai tinggi apabila
kontribusi pemain tersebut tinggi pula untuk
kemenangan tim-nya. Sedangkan dalam konteks
ekologi, sebuah gen dianggap bernilai tinggi apabila
mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari
individu yang memiliki gen tersebut. Singkat kata, nilai
sebuah komoditas tergantung dari tujuan spesifik dari
nilai itu sendiri. Dalam pandangan neoklasik, nilai
sebuah komoditas terkait dengan tujuan maksimisasi
utilitas/kesejahteraan individu. Dengan demikian apabila
ada tujuan lain, maka ada “nilai” yang lain pula.
135
Model pendidikan atau model pembelajaran bagi
pendidik/guru professional menuju generasi emas, dapat
menggunakan model pembelajaran interaktif yang
sudah ada selama ini, hanya ditambahkan dengan
tindakan guru untuk harmonisasi dengan diri sendiri(+H).
Sebab tidak mungkin pendidik/guru mengajarkan materi
kepada komunitas, dan gurunya nampak tidak harmonis
dengan diri sendiri, Jika gurunya sendiri tidak harmonis,
maka akan menuai ketidak suksesan. Jadi saat ini
contoh hidup/keteladanan menjadi penting dan menjadi
isu global. Saat ini masalah lingkungan adalah masalah
disekitar kita, masalah manusia yg tidak harmonis.
137
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 1982, Beberapa Dimensi Ekonomi
Wilayah. Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang. Andreas Faludi, Bas Waterhout, The Making of the
European Spatial Development Perspective, London Routledge 2002.
Barlowe, R. 1986, Land Resource Economics The
Economies Of Real Estate. Four Edition. Prentice-Hall, Engelwood Cliffs, New Jersey
Branch, Melville C. 1996. Perencanaan Kota
Komprehensif; Pengantar dan Penjelasan. Alih Bahasa Bambang Hari Wibisono, Penyunting Achmad Djunaedi. Gajah Mada University Press:Yogyakarta
Budihardjo, E. 1991. Arsitektur dan Kota di Indonesia.
Penerbit Alumni, Bandung Budihardjo, E. (2003). Kota dan Lingkungan.
Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Penerbit LP3ES
Budihardjo, E.& Sujarto, D. (1999). Kota Berkelanjutan.
Penerbit Alumni, Bandung. Djaka Permana, R. D. (2009). Pengembangan Wilayah
Melalui Pendekatan Kesisteman. Penerbit IPB Press
138
Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Kebijakan, Strategi dan Program Ditjen Penataan Ruang, BPSDM, Jakarta, 2003
Hesty Nawangsidi & Fitri Indra Wardhono, 14 April 2012,
Laporan Akhir Kajian Upaya Perwujudan Kota Jakarta yang Berkelanjutan, PU
Indriyanto. (2006). Ekologi Hutan. Penerbit Bumi
Aksara Juniper, T. (First Fublished in 2007). Saving Planet
Earth. Mixed Sources FSC. Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Laporan
Perkembangan Pencapaian Tujuan pembangunan Millenium Indonesia, KLH. Jakarta
Kjellberg Bell. et. al. (1995). Urban Research in the
Developing Word Prespectives on the City. Univ of Toronto.
Kozlowski. J. (1997). Pendekatan Ambang Batas dalam
Perencanaan Kota, Wilayah dan Lingkungan.Teori dan Praktek. Penerbit UI Press
Kustiwan, et. al. (2009). Pengantar Perencanaan
Perkotaan. Penerbit ITB Meadows, D. et. al. (Reprinted 2006, 2008). Limits to
Growth FSC Mixed Sources Panuju. (2009).
139
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Penerbit Yayasan obor Indonesia
Mitchell, B. (2007). Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan. Penerbit Gadjah Mada University Press Paoletto, et. al. (1999). Cities and The Environment New
Approaches for Eco-Societies P3TL & P4W. (2004). Studi Pemodelan Kota
Berwawasan Lingkungan. Laporan Akhir, P3TL-BPPT, Jakarta
Richard H. Williams, European Union Spatial Policy and
Planning, London Chapman 1996. Roseland, M. copyright (2005). Toward Sustainable
Communities, New Society Publishers Rogers Peter, P. (2008). An Introduction to Sustainable
Development. Mixed SourcesFSC Rustiadi, E. ( 2009). Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, Penerbit Yayasan Obor Indonesia Rustiadi, E. (2008). Penyelamatan Tanah, Air, dan
Lingkungan, Penerbit YayasanObor Indonesia Sarosa, W. (2002). A framework for the analysis of
urban sustainability, linking theory and practice, urban and regional development paper series no.2 URDI, Jakarta.
140
Supriatna, J. (2008). Melestarikan Alam Indonesia, Penerbit Yayasan Obor Indonesia
Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Williams. et. al. (1996) The Compact City. Asustainable
Urban Form. E & FN SPON