isbn 978-602-346-067-0 -...

184
Zaenal Muttaqin PROGRAM MAGISTER PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 PERGULATAN KEBERAGAMAAN UMAT KHONGHUCU DALAM POLITIK ASIMILASI ORDE BARU 1966-1998 Studi Masyarakat Khonghucu Kota Tangerang

Upload: phamminh

Post on 12-Mar-2019

264 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Zaen

al Mu

ttaqin

Zaenal Muttaqin

ISBN 978-602-346-067-0

Komunitas agama Khonghucu yang populer di kalangan masyarakat Tionghoa, baik karena ia lahir dan tersebar secara mayoritas di lingkungan Tionghoa maupun banyaknya simbol kultural Tionghoa yang digunakan agama ini, menyebabkan aspek sosial keagamaan masyarakat Khonghucu ikut terbatas. Hampir tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa, umat agama Tionghoa harus bergelut mempertahankan identitas keagamaannya yang bercorak kultural

Tionghoa. Pelarangan dalam mengekspresikan identitas nominal, dimensi kultural keagamaan Khonghucu, bahkan hilangnya pengakuan administratif ‘agama Khonghucu’ dalam regulasi dan pelayanan kebijakan agama-agama Indonesia menjadi spektrum penting dalam melihat ketahanan umat agama Khonghucu untuk mempertahankan identitas keagamaannya. dan, studi ini berupaya untuk merekonstruksi bagaimana umat agama Khonghucu mempertahankan diri dalam situasi yang tidak begitu mengakomodir kepentingan mereka sebagai umat agama dalam mengekpresikan iman keagamannya seperti halnya dilakukan umat agama-agama lain di Indonesia sepanjang pemerintahan Orde Baru.

PERGU

LATAN K

EBER

AGAMAAN

UM

AT KH

ON

GHU

CUD

ALAM PO

LITIK ASIM

ILASI OR

DE B

ARU

1966-1998Studi M

asyarakat Khonghucu Kota Tangerang

PROGRAM MAGISTER PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA2017

PERGULATAN KEBERAGAMAAN UMAT KHONGHUCU

DALAM POLITIK ASIMILASI ORDE BARU 1966-1998Studi Masyarakat Khonghucu Kota Tangerang

Page 2: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

PROGRAM MAGISTER PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA2017

PERGULATAN KEBERAGAMAAN UMAT KHONGHUCU

TESIS

Oleh Zaenal Muttaqin, S.Th.I

NIM: 2113032100003

PembimbingProf. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si

DALAM POLITIK ASIMILASI ORDE BARU 1966-1998Studi Masyarakat Khonghucu Kota Tangerang

Page 3: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

PERGULATAN KEBERAGAMAAN UMAT KHONGHUCUDALAM POLITIK ASIMILASI ORDE BARU 1966-1998

Studi Masyarakat Khonghucu Kota Tangerang

Copyright@2018

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)ISBN 978-602-346-067-0

15 x 21 cm (xii + 170 hlm)

Cetakan ke-1, 2018

PenulisZaenal Muttaqin

Editor Cecep Romli

Desain Cover & Penata LetakAhmad Jajuli

PenerbitUIN Jakarta Press

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.

Page 4: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

iii

Abstrak

Tesis ini menyajikan dinamika masyarakat Indonesia beragama Khonghucu dalam mempertahankan identitas keagamaannya saat situasi sosial-politik pemerintahan era Orde Baru yang secara konstitusional seharusnya melindungi kebebasan keyakinan dan memfasilitasi masyarakatnya menjalankan keagamaannya masing-masing justru tidak berjalan seperti seharusnya. Pemerintahan Orde Baru yang berkuasa sepanjang 1966-1998 berkepentingan dengan integrasi seluruh warga negara dari berbagai latar belakang kultural memberlakukan politik asimilasi dalam banyak aspek, yaitu identitas nominal, pembatasan ekspresi kultural, dan penghilangan pengakuan Khonghucu sebagai salah satu agama resmi negara.

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kebijakan pembauran yang diturunkan Orde Baru dari konsep asimilasi yang secara teoretik bermuara pada terkreasikannya suatu kebudayaan baru sebagai pertemuan antara dua kebudayaan, imigran yang minoritas dan pribumi yang mayoritas, seperti dituturkan Robert E. Park & Ernest W. Burgess (1921), Koentjaraningrat (1980), Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner (2006), dan Harry Poerwanto (1999) salah satunya berdampak pada tergerusnya identitas keagamaan umat agama Khonghucu secara formal maupun kultural. Namun kebijakan asimilasi tidak pernah betul-betul bisa menghapus identitas keagamaan umat agama Khonghucu dalam memori dan keseharian sebagian masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa beragama Khonghucu banyak melakukan penyesuaian diri agar bisa bertahan melalui ‘peminjaman identitas nominal keagamaan lain’, optimalisasi fungsi organisasi kelembagaan pendidikan dan keagamaan tradisional Khonghucu, termasuk pergerakan organisasi sosial kemasyarakatan Tiongho dalam mewujudkan pengakuan akan identitas Khonghucu.

Penyesuaian diri yang ditempuh masyarakat Tionghoa-Khonghucu dalam mempertahankan keyakinan dan praktek keagamaan

Page 5: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

iv

Khonghucunya menggiring pada penggunaan teori resiliensi sosial P. Timmerman (1981), R. Klein, R. Nicholls, & F. Thomalla (2003), Resilience Alliance (2009), Laurence J. Kirmayer, Megha Sehdev, Rob Whitley, Stephane F. Dandeneau, dan Colette Isaac (2009), dan Community & Regional Resilience Institute (2013). Secara general, resiliensi sosial bisa difahami sebagai kemampuan untuk bertahan dengan menyesuaikan diri di tengah situasi yang tidak normal berupa hadirnya tekanan atau gangguan sekaligus kemampuan untuk bangkit dan pulih kembali saat tekanan tersebut terhenti. Dalam hal ini, hadir dalam tiga sisi; pertama, resiliensi sebagai bentuk kekuatan (strength), daya tahan (resistance), dan kekebalan (invulnerability); kedua, resiliensi sebagai kapasitas untuk sembuh (heal), memulihkan diri (recovery), dan kembali aktif secara cepat dan penuh; ketiga, kesanggupan (ability) untuk beradaptasi, berubah, dan menemukan jalan baru untuk hidup dan maju kendati menjadi lemah karena tekanan yang dihadapi.

Penelitian bagi kepentingan tulisan ini meminjam perangkat pendekatan keilmuan sosiologi dan antropologi, psikologi sosial, dan historis. Ketiga pendekatan ini digunakan karena objek penelitiannya adalah komunitas sosial berupa masyarakat Tionghoa-Khonghucu Tangerang yang hidup dalam lintasan sejarah yang telah telah berlangsung (1966-1998). Adapun sumber penelitian ini digali dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan di lapangan, dan kajian kepustakaan.

Kata Kunci: Asimilasi, Orde Baru, Tionghoa-Khonghucu, Identitas Sosial, dan Resiliensi Sosial.

Page 6: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

v

Abstract

The thesis presents the dynamics of the Confucian Followers in maintaining their religious identity when the New Order was constitutionally supposed to protect freedom of belief and facilitate its religious people to practice their obligation does not work as it should. The New Order Government that rules since 1966 to 1998, lead by General Soeharto, had an interest in the integration of Indonesian citizens from various cultural backgrounds with impose assimilation policy in various aspects, namely nominal identity, restriction of cultural expression, and disappearance of Confucianism as official religion in Indonesia.

The research shows that assimilation policy by the New Order inherited from the concept of assimilation which theoretically lead to the creation of a new culture as a meeting of two cultures, immigrant minority and indigenous majority, as told by Robert E. Park & Ernest W. Burgess (1921 ), Koentjaraningrat (1980), Harry Poerwanto (1999), Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, and Bryan S. Turner (2006). The policy gives an impact on the erosion of religious identity in Confucian, formally and culturally. However, the assimilative policy was never able to erase the religious identity of Confucians in the memory and daily lives of some Chinese people. Confucian society made various self-adaptation to survive through "borrowing other nominal religious identities", optimizing the functions of traditional Confucianism educational and institutional organizations, including the movement of Chinese social organizations in realizing recognition of Confucian identity.

The self-adaptation of the Chinese-Confucian community in maintaining their religious beliefs and rites led to the use of social resilience theory from P. Timmerman (1981), R. Klein, R. Nicholls, & F. Thomalla (2003), Resilience Alliance (2009), Laurence J. Kirmayer, Megha Sehdev, Rob Whitley, Stephane F. Dandeneau, and Colette Isaac (2009), and Community & Regional Resilience Institute (2013). In general, social resilience can be understood as the ability to survive by adjusting in the

Page 7: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

vi

midst of an unusual condition in the form of pressure or interference as well as the ability to rise and recover when the pressure stops. In this case, it is present on three sides; first, resilience as a form of strength, resistance, and invulnerability; second, resilience as a capacity to recover, recovery, and return quickly and fully; third, the ability to adapt, change, and find new ways to live and advance despite being weak due to the pressure faced.

The research borrows multi-scientific approach, that are sociological and anthropological approach, social psychological approach, and historical approach. These approaches are used to present a comprehensive study on Tangerang-Chinese Confucians who live in range of 1966 to 1998. All research data in this study explored by in-depth interviews, field observations, and literature review.

Key Words: Assimilation, New Order, Chinese Confucians, Social Identity, Social Resilience.

Page 8: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

vii

Kata Pengantar

Realitas keagamaan masyarakat Indonesia dengan segala dinamikanya senantiasa menyuguhkan ruang yang menarik untuk dibahas. Dalam amatan sederhana penulis, agama di kawasan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Agama menjadi sumber nilai, spirit, sekaligus ideologi yang mengarahkan mereka dalam menjalani pengalaman keseharian. Karenanya tidak heran jika setiap ucapan, tindakan, dan motivasi masyarakat dalam menjalani kehidupan rutinnya tidak lepas dari refleksi manusia beragama (religius). Dari sisi ini, agama betul-betul menjadi identitas bagi setiap individu maupun kelompok sosial. Di sisi lain, terdapat fakta yang tak bisa ditampik bahwa keagamaan sendiri hadir dengan wajah yang tidak tunggal. Tidak hanya antar agama, melainkan juga dari sisi intra agama. Keragaman kelompok pemikiran hukum, falsafah, dan spiritualitas maupun keragaman institusi agama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Khonghucu adalah argumentasi atas ketidaktunggalan wajah agama. Berada dalam dua sisi inilah agama kemudian harus diterima sebagai penanda milik individu atau kelompok sosial sekaligus meniscayakan perlunya apresiasi dan penghormatan atas keunikan penanda masing-masing.

Tesis berjudul Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu dalam Politik Asimilasi Orde Baru 1966-1998: Studi Masyarakat Khonghucu Kota Tangerang pada Program Magister Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah merupakan refleksi atas perhatian penulis terhadap realitas keagamaan masyarakat di Indonesia. Bahwa sebagai sumber nilai, spirit, sekaligus ideologi yang menata kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, agama adalah fakta yang tak bisa ditolak. Namun penghormatan atas identitas keagamaan mereka menjadi fakta yang tak kurang penting untuk bisa diterima dan diapresiasi, termasuk oleh negara

Page 9: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

viii

sebagai institusi yang harus memfasilitasi pemenuhan hak-hak seluruh warganya. Menelisik pengalaman umat agama Khonghucu yang menjadikan agama Khonghucu sebagai sumber nilai, spirit, dan ideologi di di tengah kebijakan politik asimilasi Orde Baru terhadap Tionghoa, dimana agama Khonghucu populer di kalangan mereka, menjadi bukti perhatian penulis atas isu-isu menyangkut keagaman masyarakat tanah air.

Tentu saja tesis ini tak akan bisa tampil utuh sebagai sebuah rekaman pergulatan masyarakat agama Khonghucu tanpa adanya bantuan dan dukungan banyak pihak. Ucapan terima kasih sepatutnya penulis sampaikan kepada Pembimbing Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok M.Si, Prof. Dr. Kautsar Azhary Noer, Prof. Dr. HM Ridwan Lubis MA, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Masri Mansoer MA, Dr Atiyatul Ulya, dan para guru di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada para guru dan saudara dari umat Khonghucu; Ketua dan Wakil Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Bapak Uung Sendana dan Bapak Bratayana Ongkowijaya, Rohaniawan Khonghucu Indonesia Xs Masari Saputra, Ketua Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Banten Bapak Rudy Gunawidjaya, Ketua MAKIN DKI Jakarta Ibu Js. Liem Liliany Lontoh, Sesepuh umat Agama Khonghucu Bapak Hasim Gunawidjaja dan Bapak Oie Tjin Eng, tokoh umat Khonghucu Tangerang Bapak Djony Tjiawi, para aktifis dan jemaah Khonghucu Kota Tangerang Bapak Tan Sudemi, Ibu Herlinawati, dan Ibu Ernah. Sebagai riset lapangan, karya ini tak akan mungkin tampil utuh tanpa dukungan mereka. Sikap terbuka dan kerelaan mereka untuk berbagi informasi memudahkan penulis menyusun tesis ini.

Penulis juga tak akan mampu menyelesaikan pendidikan magister dengan sempurna tanpa adanya dukungan moral dan material dari Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada MA dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama Prof. Dr. Murodi MA; Prof. Dr. Amsal Bakhtiar MA, Dr Hamid Nasuki MA, Dr. Media Zainul Bahri, dan para guru di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta; Kasubbag Publikasi dan Dokumentasi UIN Jakarta Feni Arifiani MH dan

Page 10: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

ix

Amelia Fauzia Ph.D dari Social Trust Fund (STF) UIN Jakarta yang membantu pembiayaan studi penulis. Begitu juga rekan-rekan di Fakultas Ushuluddin; A. Baiquni, Amirulloh, Toto, Ali, dan Teguh; di UIN jakarta Press, Cecep Romli dan Arif Hadiwinata; di Nurcholis Madjid Society; Fachrurozy dan Guswin; di BERITA UIN, Umar, Luthfy, Nanang Syaikhu, Samsuddin, Herman, dan Bu Eva; dan di FISIP Universitas Mathla'ul Anwar Dr. Elly Nurlia. Begitu juga kedua orang tua KH Hadin Yusuf dan Hj Syamsiah. Kepada mereka semua, penulis wajib menghaturkan banyak terima kasih. Akhirul kalam, Semoga tesis ini menjadi penebus atas kebaikan yang mereka berikan kepada penulis.

Ciputat, Agustus 2017

Zaenal Muttaqin

Page 11: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah
Page 12: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

xi

Daftar Isi

Abstrak | iiiAbstract | vKata Pengantar | viiDaftar Isi | xi

BAB IPendahuluan

A. Latar Belakang Masalah | 2B. Pembatasan dan Perumusan Masalah | 9C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian | 10D. Studi Terdahulu | 11E. Metodologi Penelitian | 18F. Sistematika Pembahasan | 23

BAB IIDiskursus Asimilasi, Identitas, dan Resiliensi Sosial

A. Asimilasi | 25B. Identitas | 32C. Resiliensi Sosial | 40

BAB IIITionghoa, Khonghucu, dan Asimilasi Orde Baru

A. Tionghoa Indonesia: Dinamika Sejarah Sosial, Politik, dan Kultural | 45B. Khonghucu: Agama dan Refleksi Kultural Tionghoa | 57C. Masalah Tionghoa dan Asimilasi Orde Baru | 66

BAB IVMasyarakat dan Agama Khonghucu di Tangerang

A. Sejarah Tionghoa dan Khonghucu Tangerang | 81

Page 13: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

xii

B. Umat dan Identitas Sosial Keagamaan Khonghucu Tangerang | 88

BAB VPergulatan Keagamaan Tionghoa-Khonghucu Tangerang dalam Politik Asimilasi Orde Baru

A. Asimilasi Orde Baru dan Umat Khonghucu Tangerang 1965-1998 | 103C. Lembaga Keagamaan dan Peneguhan Identitas Khonghucu | 134D. Konstruksi Baru Identitas Keagamaan Umat Khonghucu | 141

BAB VIPenutup

A. Kesimpulan | 151B. Saran | 154

Daftar Pustaka | 157Lampiran Foto | 163

Page 14: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

1

Bab ini akan mendeskripsikan latar belakang masalah tema penelitian, yakni pergulatan keagamaan masyarakat peranakan Tionghoa beragama Khonghucu dalam politik asimilasi Orde Baru.1 Sebagai agama yang berakar pada masyarakat sasaran pembauran, Tionghoa, identitas keagama an Khonghucu mau tidak mau ikut terdampak oleh kebijakan pembauran yang dilakukan Orde Baru. Melalui bab ini, penulis meletakkan konteks dimana pertalian kebijakan asimilasi Orde Baru dan pertahanan atas identitas keagamaan Khonghucu bertemu. Sebagai pendahuluan, bab ini juga akan mendeskripsikan batasan dan rumusan masalah, studi terdahulu, dan kerangka penulisan.

1 Dalam tesis ini, penulis akan menggunakan istilah Tionghoa, bukan Cina (Tjina) atau China, untuk menyebut etnik yang menjadi objek penelitian atau Tiongkok untuk menyebut wilayah leluhur mereka. Pengecualian penggunaan dilakukan pada referensi (buku atau sumber lain, terutama perundang-undangan produk Orde Baru) yang sebelumnya menggunakan istilah China atau Cina seperti A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia). Penyebutan Tionghoa atau Tiongkok dalam tulisan semata merujuk pada Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidum Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 dimana penyebutan Cina (Tjina) diganti menjadi Tionghoa atau Tiongkok demi menghilangkan sikap diskriminatif yang terbangun pasca terbitnya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tersebut. Alasan lain, komunitas ini, seperti para narasumber yang ditemui penulis, lebih menyukai penggunaan istilah Tionghoa dibanding istilah Cina (Tjina). Selain karena sejak sebelum kemerdekaan menggunakan Tiong Hoa seperti saat menamakan organisasi etnis paling awal di tahun 1900, Tiong Hoa Hwee Kwan, ketidaksukaan atas istilah Cina juga sepertinya juga didasarkan pengalaman diskriminatif masyarakat dan negara terhadap etnik tersebut di masa pemerintahan Orde Baru, lihat Eddie Lembong, Istilah ”Cina”, ”China” dan ”Tionghoa”: Tinjauan Historis dan Masalah Penggunaannya Dewasa Ini (Jakarta: Yayasan Nabil, Februari 2011). Penggunaan istilah ini juga dikuatkan oleh riset Hermanto Lim & David Mead, Chinese in Indonesia: A Background Study (SIL International, March 2011), p, 4-6.

BAB IPendahuluan

Page 15: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

2

A. Latar Belakang MasalahAgama dan keberagamaan menjadi fakta sosiologis dalam

kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini selaras dengan penjelasan Koentjaraningrat tentang adanya unsur-unsur kebudayaan universal yang berlaku di dalam masyarakat mana pun, yakni bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem pengetahuan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, dan sistem religi dan upacara keagamaan.2 Dengan demikian, agama dan keberagamaan menjadi sisi yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakterpisahan ini bisa difahami dari sudut pandang sosiologis dimana agama memiliki sejumlah fungsi penting bagi manusia, yakni fungsi edukatif dimana agama menyediakan ajaran dan bimbingan dalam memahami realitas, fungsi penyelamatan, dan pengawasan sosial dimana agama menjadi lembaga yang menyediakan norma-norma kesusilaan.3 Melalui berbagai fungsi yang dimilikinya, agama menjadi dasar bagi masyarakat untuk membangun nilai di tengah-tengah kehidupannya.

Dalam konteks Indonesia, fakta keberagamaan tersebut diakomodir oleh negara dalam landasan ideologis kebangsaan Pancasila, perundang-undangan, dan aspek-aspek administratif kewarganegaraan. Pancasila sebagai landasan ideologis bangsa Indonesia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari empat sila lainnya.4 Sila pertama ini mencerminkan tentang adanya ruang kesadaran religius masyarakat Indonesia dalam mempersepsi kehidupannya berdasar nilai-nilai keimanan dan keagamaan yang dianutnya. Pengakuan agama dan keberagamaan juga diakui dalam perundang-undangan yang ditegaskan bahwa negara menjamin setiap warga negara meyakini dan menjalankan keagamaannya. Berdasar jaminan tersebut, secara administratif kewarganegaraan, pemerintah kemudian menjamin setiap keyakinan

2 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2004), hal. 144-145.

3 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius,1983), hal. 38-47. 4 Pancasila terdiri dari lima sila. Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua,

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat, Permuswayawaratan yang Adil dan Beradab. Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tentang perumusannya, lihat P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Penelitian Pancasila dengan Pendekatan Historis, Filosofis & Sosio-Yuridis Kenegaraan. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 48-53.

Page 16: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

3

agama dan memfasilitasi praktik keagamaan setiap warga negaranya, termasuk secara formal mengakuinya dalam identitas kependudukan. Pencantuman kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan berbagai identitas administratif lainnya, menempatkan agama dan keberagamaan merupakan aspek yang melekat dan diakui oleh negara.

Di sisi lain, fakta keberagamaan masyarakat dan pengakuan formal oleh pemerintahan di Indonesia pernah menunjukan kecenderungan historis yang bertolakbelakang dalam era Pemerintahan Orde Baru (1966-1998). Pemerintahan Orde Baru yang menjalankan politik pembauran dengan sasaran utama lapisan sosial-kultural Tionghoa dalam perjalanan sejarah kekuasaannya, menghilangkan penyebutan secara formal agama ‘Khonghucu’ dalam sejumlah regulasi perundangan maupun pengakuan formal administratifnya. Mengutip Leo Suryadinata, kebijakan pembauran (asimilasi) atas warga etnik Tionghoa yang sebetulnya sudah dijalankan Pemerintahan Orde Lama pada akhirnya dilakukan secara massif oleh Orde Baru.5 Dalam kebijakan pembauran ini, tutur Leo, setidaknya tiga pilar kebudayaan Tionghoa, yakni media, organisasi, dan sekolah Tionghoa dihapuskan oleh Pemerintahan Orde Baru. Masih dalam kebijakan yang sama, Orde Baru juga mendorong

5 Jauh sebelum G 30 S/PKI berlangsung, kesadaran asimilasi sebetulnya telah muncul tidak hanya di kalangan pemerintahan dan masyarakat, melainkan kalangan Tionghoa tentang pentingnya mereka berbaur dengan kalangan pribumi. Melalui Keputusan Presiden Nomor 140 Tahun 1963, misalnya, dibentuk Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang bertujuan mengusahakan pembinaan kesatuan bangsa dengan memberi penerangan tentang asimilasi yang mutlak dilakukan untuk menghapus sifat-sifat dan cara hidup yang ekslusif. Organisasi ini untuk pertamakalinya dipimpin Sindhunata, seorang Tionghoa sekaligus Kapten Angkatan Laut RI. LKPB berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus, yakni Menteri Penerangan. Lihat Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Harapan, 1994). Lihat juga Lihat Hari Poerwanto, Orang China Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, 2005.) h. 73. Ide dasar asimilasi sebetulnya sudah muncul beberapa waktu sebelum peristiwa G 30 S meletus. Pada awal dasawarsa 1960-an, persoalan kebutuhan asimilasi sudah diangkat dalam Star Weekly. Selanjutnya, 30 orang pemuda Tionghoa peranakan menandatangani piagam asimilasi. Melalaui Keputusan Presiden Nomor 140 Tahun 1963 dibentuk Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang bertujuan menguasahakan pembinaan kesatuan bangsa dengan memberi penerangan tentang asimilasi yang mutlak dilakukan untuk menghapus sifat-sifat dan cara hidup yang ekslusif.

Page 17: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

4

pergantian nama-nama Tionghoa menjadi nama berbau Indonesia seperti diatur dalam Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/Kep/12/1966 tanggal 27 Desember 1966.6

Kebijakan pembauran yang sejatinya dilakukan Orde Baru terhadap etnik Tionghoa secara umum, ternyata belakangan juga berimbas terhadap masyarakat Tionghoa yang menganut agama Khonghucu. Imbas demikian dimungkinkan mengingat Tionghoa dan Khonghucu saling berhubungan erat ibarat dua sisi mata uang. Imbasnya sendiri mulai dirasakan ketika kebijakan pemerintahan Orde Baru yang sebelumnya membatasi ekspresi kebudayaan Tionghoa di muka umum dengan tujuan menjaga harmonitas warga negara Indonesia keturunan pribumi dan pendatang, justru kemudian berimbas pada agama Khonghucu yang lahir di daratan Tiongkok dan menggunakan simbol-simbol kebudayaan negeri tersebut. Sekurangnya terdapat delapan regulasi penting menyangkut pembauran yang pada praktiknya juga menyeret hilangnya pengakuan negara terhadap anutan agama Khonghucu sebagian warga negaranya. Kedelapan regulasi itu antara lain; 1) Instruksi Presiden RI Nomor 37/U/IN/6/197 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina, 2) Surat Edaran Presedium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina, 3) Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiada Cina, 4) Instruksi Presiden No 15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina, 5) Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng, 6) Keputusan Kepala BAKIN

6 Dalam tradisi Tionghoa, nama seseorang terdiri dari dua, tiga atau empat suku kata, yang secara umum dibagi dalam dua bagian, yakni bagian pertama merupakan nama keluarga (tse) dan bagian kedua merupakan nama pribadinya. Contohnya, Bong Huk Min dan Fap Hyin. Bong dan Fap merupakan tse, sedangkan Huk Min dan Hyin adalah nama diri orang tersebut. Bagi masyarakat Tionghoa, nama mewakili keakuannya dimana nama berfungsi sebagai tanda pengenal sekaligus kedudukannya dalam kelompok kekerabatan. Setelah Orde Baru menerbitkan regulasi perubahan nama, masyarakat Tionghoa meresponnya dengan mengubah nama mereka ke dalam nama yang lebih Indonesia, namun masih tetap mengandung makna nama mereka sebelumnya. Hasilnya, sebagian besar nama-nama mereka menjadi lebih Indonesia namun tidak lazim digunakan masyarakat Indonesia lainnya seperti Bong Njat Hon menjadi Eva Berhoko, Tjia Po Soen menjadi Herry Tjiajanto, dan Lim Hie Ming menjadi Bustaman Fatimah. Deskripsi lebih lengkap bisa dilihat karya Hari Poerwanto, Orang China Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, 2005), hal. 266-289.

Page 18: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

5

No 031/1973 tentang Badan Koordinasi Masalah Cina, 7) SK Menteri Perdagangan dan Koperaso No 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina, dan 8) Surat Edaran Menteri Penerangan No 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.7 Berbagai regulasi ini mengatur setiap keberadaan Tionghoa, baik sebagai warga masyarakat dan entitas kebudayaan.

Menyempit pada masyarakat dan agama Khonghucu, Orde Baru menerbitkan sejumlah produk regulatif yang cukup berpengaruh terhadap ekspresi identitas keagamaan ini. Produk regulasi keagamaan menyangkut Khonghucu paling pertama di era Orde Baru adalah Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tanggal 6 Desember 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina (baca: Tionghoa). Melalui Inpres tersebut, Orde Baru mendorong pelaksanaan agama, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa yang berpusat di negeri leluhurnya (daratan Tiongkok) harus dilakukan dalam ‘proporsi yang wajar’ dengan tujuan tidak mengganggu psikologi, mental dan moril warga negara Indonesia sekaligus tidak menjadi hambatan atas proses asimilasi yang dilakukan pemerintah. Proporsi yang wajar biasanya difahami bahwa seluruh aktifitas ibadat dan keagamaan, perayaan-perayaan pesta agama dan adat-istiadat Tionghoa, tidak boleh dilakukan secara mencolok di depan umum, melainkan hanya dalam lingkungan terbatas (keluarga atau komunitas kecil Tionghoa). Kendati diakui sebagai agama resmi negara, namun melalui Inpres ini, aktifitas ibadah dan perayaan keagamaan (Khonghucu) hanya bisa dilakukan dalam tingkatan terbatas, yakni keluarga dan perorangan.

Meski Inpres Nomor 14 Tahun 1967 membuat ekspresi masyarakat Tionghoa, terutama menyangkut identitas keagamaan Khonghucu menjadi terbatas, namun Pemerintahan Orde Baru di masa awal sepertinya masih belum bisa menutup penuh eksistensi Agama Khonghucu. Pada tahun 1969, misalnya, Orde Baru menetapkan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 jo UU Nomor 5/1969 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3, tambahan

7 Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari, 2012. Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia pada Masa Orde Lama dan Orde Baru. Lihat http://www.tionghoa.info/ diakses 01 Maret 2016

Page 19: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

6

lembaran negara nomer 2727) yang menyebutkan bahwa penduduk Indonesia memeluk enam agama yakni; Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Searah dengan Penetapan Presiden tersebut, Orde Baru juga masih mengakui praktik keagamaan Khonghucu yang dilakukan masyarakat penganutnya. Ini terlihat dari penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa sebuah perkawinan akan sah bila dilakukan sesuai hukum masing-masing agama dan kepercayaan, termasuk agama Konghucu.8

Namun, kebijakan pengaturan agama dengan semata pembatasan kembali diterbitkan pemerintah dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/ BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 tentang Agama Resmi Negara. Dalam Surat Edaran tersebut, negara menyatakan hanya ada lima agama yang diakui negara, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha dengan Khonghucu dihilangkan. Regulasi ini menegaskan kembali hasil Pertemuan Kabinet Pemerintahan Orde Baru pada 27 Januari 1979. Salah satu kesimpulan pertemuan ini adalah tidak masuknya Khonghucu sebagai agama yang diakui resmi oleh negara. Terbitnya surat Edaran dan simpulan Pertemuan Kabinet 1979 merupakan titik balik paling penting atas eksistensi agama Konghucu sebagai bagian dari agama resmi negara.

Pada 25 Juli 1990, melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990, pemerintahan Orde Baru melalui Menteri Dalam Negeri kembali mengonfirmasi kebijakan negara yang hanya mengakui adanya lima agama resmi, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Mengacu pada berbagai produk regulasi di tingkat pusat, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur menerbitkan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur Nomor 683/95 tanggal 28 November 1995 yang 8 Lihat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 1 UU ini

mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa, sedangkan Pasal 2 menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. UU sendiri tidak menyebutkan secara spefisik kelompok agama, sehingga dengan mempertimbangkan masa berlaku regulasi sebelumnya, Khonghucu masih merupakan agama.

Page 20: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

7

menegaskan bahwa hanya ada lima agama yang diakui resmi dan berada di bawah supervisinya; Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha.

Berbagai produk perundangan yang diterbitkan pemerintah terkait Tionghoa berakumulasi pada berbagai kesulitan bagi masyarakat Tionghoa sendiri, termasuk masyarakat Tionghoa-Khonghucu dalam mengekspresikan identitas keagamaannya sebagai umat agama Khonghucu seperti layaknya umat agama lain.9 Secara formal administratif, misalnya, hambatan yang ditemukan adalah tidak dicantumkannya identitas keberagamaan Khonghucu dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan pencatatan nikah pernikahan umat Khonghucu tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Secara kultural, ekspresi yang berhubungan dengan budaya peranakan Tionghoa juga sulit dilaksanakan mengingat pembatasan pertunjukan kultural Tionghoa di wilayah publik, seperti pertunjukan barongsai, liong dan lain sebagainya. Bahkan, mata pelajaran agama Khonghucu di sekolah-sekolah dasar juga dihapuskan seiring diterbitkannya Kurikulum Pendidikan Sekolah Dasar dan Lanjutan 1975. Sebagai ganti sekaligus memenuhi tuntutan kurikulum, murid-murid beragama Khonghucu justru menerima mata pelajaran agama lain.10 Kondisi demikian berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang digantikan Orde Reformasi. Pada masa Presiden RI di Orde Reformasi, almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang, disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina dirasa oleh Warga Negara Indonesia peranakan Tionghoa telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, adat Istiadatnya. Selain itu disebutkan, setiap penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya Keppres ini, penyelenggaraan kegiatan 9 TH. Sumartana, Konfusianisme di Indonesia dalam Pergulatan Mencari Jati Diri,

(Yogyakarta: INTERFIDEI, 1995), hal. XV-XXIV.10 Karya Haksu Tjie Tjay Ing, Spiritualitas, Aspirasi dan Permasalahan Pemeluk

Agama Khonghucu di Indonesia dalam Lasiyo dkk. Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, (Yogyakarta: DIAN INTERFIDEI, 1995), (hal. 25-28.

Page 21: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

8

keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat peranakan Tionghoa dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya.

Melihat latar belakang demikian, pengalaman pergulatan umat beragama (Khonghucu) dalam mempertahankan identitas keagamaannya menjadi sangat menarik untuk dikaji mengingat keberadaannya melekat dalam diri individu maupun umat beragama. Selain itu, kajian ini menjadi menarik karena mengacu pada pengalaman Indonesia sebagai negara yang menempatkan agama sebagai bagian fundamental kehidupan warga negara sekaligus berperan besar melakukan pengaturan kehidupan keagamaan masyarakatnya.11 Diketahui, Indonesia bukan merupakan negara dengan pengaruh dominasi politik agama tertentu, dan sebaliknya juga bukan negara yang menerapkan ideologi sekulerisme yang melakukan pemisahan secara tegas otoritas agama dan negara. Bahkan bila ditarik ke dalam konteks kebebasan beragama, kondisi demikian bisa mengevaluasi konsistensi Indonesia sebagai negara yang mengklaim memberikan jaminan dan perlindungan konstitusional bagi masing-masing agama untuk menjalankan dan mempraktikkan ajaran agamanya.12 Berangkat dari latar belakang pemikiran dan relevansi kontekstualitasnya, penulis tertarik melakukan penelitian tentang pergulatan masyarakat Khonghucu dalam mempertahankan sekaligus mengekspresikan identitas kebagamaannya saat kebijakan politik pembauran dilakukan pemerintah.

Mengingat luasnya pembahasan dan pertimbangan keterbatasan penulis, tulisan ini akan mengambil lokasi penelitian yang dianggap 11 Ismatu Ropi, The Politics of Regulating Religions: State, Civil Society and the Quest

for Religious Freedom in Modern Indonesia. (Disertasi Ph.D di The Australian National University (ANU), Australia, 2013), hal. 55-57.

12 Pasal 28E UUD 1945 (Perubahan Kedua) menyatakan : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilihi tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Lalu dalam Pasal 29 UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Kedua pasal ini menegaskan komitmen negara Indonesia dalam memberikan kebebasan dan perlindungan beragama bagi setiap warga negaranya. Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 22: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

9

cukup merepresentasikan masyarakat dan agama Khonghucu sesuai tujuan penelitian. Salah satu obyek penelitian ini adalah masyarakat Khonghucu yang tinggal di wilayah Pasar Lama, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Provinsi Banten. Terdapat sejumlah pertimbangan dipilihnya masyarakat Khonghucu di wilayah geografis ini sebagai responden penelitian. Secara historis, masyarakat peranakan Tionghoa dan beragama Khonghucu telah cukup lama mendiami wilayah Kota Tangerang. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, masyarakat Tionghoa telah mendiami wilayah ini sekaligus membangun corak kebudayaan Tionghoa di kawasan tersebut. Secara populasi, wilayah Sukasari merupakan salah satu kelurahan yang berkontribusi besar menjadikan Kota Tangerang sebagai salah satu wlayah konsentrasi penduduk Tionghoa dibanding kabupaten/kota lain di Banten.13 Selain itu, di wilayah Pasar Lama, kelembagaan keagamaan Khonghucu juga banyak berdiri seperti Lithang Khongcu Bio dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia tingkat kota Tangerang maupun tingkat provinsi Banten. Dengan latar belakang, relevansi, dan kontekstualitas studi, maka tema penelitian yang akan dilakukan penulis adalah : “Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu dalam Politik Asimilasi Orde Baru 1966-1998: Studi Masyarakat Khonghucu Kota Tangerang”.

B. Pembatasan dan Perumusan MasalahUntuk mendapatkan fokus sekaligus menghindari pembahasan

yang melebar, penulis membatasi tulisan ini pada pengalaman bagaimana masyarakat Khonghucu Pasar Lama, Kelurahan Sukasasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten menjaga identitas keberagamaan mereka saat politik pembauran atas masyarakat peranakan Tionghoa ditempuh Orde Baru. Mengacu pada pembatasan demikian, maka

13 Sensus Penduduk 2010 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia mencatat, jumlah pemeluk agama Khonghucu di Kota Tangerang mencapai 1.243 orang, jauh lebih banyak dibanding jumlah penganut agama Khonghucu di Kabupaten Tangerang yang diperkirakan mencapai 1.052 jiwa atau di Kota Tangerang Selatan sebanyak 787 jiwa. Berdasar data ini, maka dibanding dua kota/kabupaten terakhir, Kota Tangerang merupakan wilayah dengan masyarakat beragama Khonghucu terbanyak. Lihat Sabar Sukarno, Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus Pindah Agama Umat Buddha di Tangerang), (Tangerang: Laporan Hasil Penelitian Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya. 2014), hal. 18-19.

Page 23: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

10

dirumuskan pertanyaan utama (mayor question) penelitian, yakni bagaimana masyarakat Khonghucu Tangerang mempertahankan identitas keberagamaan mereka saat kebijakan pembauran (asimilasi) dijalankan Pemerintahan Orde Baru? Selanjutnya, pertanyaan utama tersebut diturunkan dalam beberapa pertanyaan minor (minor question). Pertama, bagaimana kondisi kehidupan dan keberagamaan masyarakat Tionghoa-Khonghucu di kawasan Pasar Lama? Kedua, identitas sosial keagamaan Khonghucu apa saja yang disepakati umat agama Khonghucu di Tangerang? Ketiga, bagaimana pengalaman kehidupan sebagai komunitas Tionghoa saat kebijakan asimilasi Orde Baru diberlakukan? Keempat, bagaimana respon sikap keberagamaan mereka sendiri dalam merespon penerapan politik pembauran pemerintahan Orde Baru? Kelima, sejauhmana peran yang dimainkan lembaga sosial keagamaan Khonghucu dalam menjaga keberagamaan Khonghucu sendiri? Keenam, sejauhmana tercipta konstruksi baru identitas keagamaan pada masyarakat Khonghucu setempat?

C. Tujuan dan Signifikansi PenelitianPenelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengalaman umat agama

Khonghucu dalam menjaga identitas keagamaannya saat kebijakan pembauran Tionghoa dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru dengan mengidentifikasi apa saja identitas keberagamaan yang disepakati umat Khonghucu, terutama umat agama Khonghucu di Kota Tangerang. Selain itu, penelitian bertujuan mengidentifikasi respon sikap keberagamaan masyarakat Khonghucu saat kebijakan pembauran diterapkan, lalu sejauhmana peranan lembaga sosial keagaman Khonghucu dalam memelihara keberagamaan masyarakatnya.

Signifikansi penelitian ini adalah diharapkan mampu memotret kondisi masyarakat suatu agama dalam menegaskan identitas dan menjalankan praktik keagamaannya pada sebuah negara yang menerapkan kebijakan yang berbalik, yakni tidak cukup mengakomodir identitas dan praktik keagaman suatu masyarakat agama. Sementara di saat yang sama, pemerintah juga menegaskan komitmennya dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas kebebasan beragama masyarakatnya. Selanjutnya, signifikansi demikian diharapkan menghadirkan dua kegunaan, baik akademis maupun praktis. Secara

Page 24: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

11

akademis, penelitian ini diharap bisa memperkaya diskursus studi-studi keagaman (religious studies) yang memanfaatkan aneka pendekatan sosial. Secara praktis, penelitian diharapkan bisa menjadi salah satu dasar dalam penyusunan matriks bagi pengambilan kebijakan pengaturan negara atas masyarakat agama-agama sehingga bisa lebih mengakomodir kepentingan setiap pemeluk agama-agama.

D. Studi TerdahuluTerdapat sejumlah karya penelitian yang mengangkat hubungan

Orde Baru, Politik Pembauran, Identitas Tionghoa, dan umat Khonghucu. Diantaranya :

Charles A. Coppel, Indonesian Chinese in Crisis (Melbourne: Oxford University Press, 1983). Buku ini dialihbahasakan menjadi Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). Dalam buku ini, penulis menyoroti problematika pembauran orang-orang Tionghoa sebagai kelompok etnis minoritas untuk menjadi bagian dari warga Indonesia dengan mengambil setting di masa-masa transisi dari kekuasaan Orde Lama, terutama pada saat berlakunya Demokrasi Terpimpin, hingga beberapa waktu era kekuasaan Orde Baru (1960-an). Dengan mengambil setting periode paling awal pemerintahan Orde Baru, Coppel juga menyajikan dinamika yang harus ditempuh masyarakat Tionghoa saat harus berhadapan dengan keriuhan politik, baik tudingan keterlibatan ideologi kiri (Partai Komunis Indonesia) pada sebagian individu dan kelompok Tionghoa maupun ketegangan hubungan Jakarta-Peking (Indonesia-Tiongkok) menyangkut status kewarganegaraan mereka.

Sebagai etnik minoritas, Coppel melihat, salah satu akar problematika penerimaan etnik ini adalah adanya ganjalan sosial dan kesejarahan saat akan mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari warga Indonesia. Warisan pengalaman sejarah di era kolonialisme Belanda dimana Tionghoa ditempatkan dalam strata sosial lebih tinggi dari masyarakat pribumi menyisakan pengalaman tersendiri bagi masyarakat pribumi. Kecenderungan menjauhkan diri dari pergaulan sosial, tinggal terpisah di kawasan tersendiri (Pecinan, model ghetto Yahudi), keteguhan pada kebudayaan negeri leluhur (daratan Tiongkok), dan sikap oportunis untuk meraih keuntungan dalam perdagangan

Page 25: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

12

dan bisnis menjadi alasan lain adanya ganjalan dalam membangun komunikasi sosial dengan masyarakat luar Tionghoa. Berbagai stereotip dan kecenderungan demikian memunculkan sikap anti-Tionghoa di kalangan masyarakat lain di Indonesia. Keterlibatan, tidak seluruhnya, individu dan kelompok Tionghoa pada ideologi kiri (komunis) yang berhadapan langsung dengan sikap politik Orde Baru memperuncing ketegangan Tionghoa dan non Tionghoa.

Dilihat dari tema dan subjek penelitiannya, buku ini memiliki hubungan yang cukup erat dengan tujuan penelitian tesis penulis. Coppel menyajikan pergulatan etnik Tionghoa dalam menegaskan identitasnya sebagai bagian warga Indonesia dalam pasang surut setengah periode masing-masing orde pemerintahan Indonesia. Coppel juga menyajikan paparan yang cukup lengkap tentang upaya-upaya pembauran Tionghoa oleh pemerintahan Orde Baru yang menjadi batasan waktu penelitian tesis ini. Berbeda dengan Coppel yang meletakkan pergulatan identitas Tionghoa secara umum, tulisan ini akan lebih spesifik menganalisa perspektif dan pengalaman umat Khonghucu, salah satu agama tradisional Tionghoa, dalam menegaskan identitas keagamaannya di saat kebijakan pembauran Tionghoa dilakukan pemerintahan Orde Baru.

Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang (Depok: Komunitas Bambu, 2005). Hasil studi antropologi di wilayah Singkawang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat ini mendeskripsikan pengalaman asimilasi di kalangan masyarakat Tionghoa Khek yang tinggal di wilayah tersebut. Deskripsi ini diletakan pada latar belakang penerapan asimilasi di kalangan mereka yang dinilai masih sangat superfisial, formal, bahkan belum menunjukkan hasil berarti, sekurangnya hingga penelitian Hari berlangsung pada sejumlah aspek kehidupan sosial mereka seperti sistem mata pencaharian hidup, pendidikan, bahasa, kelahiran dan perkawinan, kewarganegaraan, serta nama dan peraturan ganti nama. Pada aspek pendidikan, misalnya, mereka cenderung mengirim belajar anak-anaknya ke berbagai sekolah dimana di dalamnya berlangsung pola in group atau banyak anak-anak Tionghoa sekolah di dalamnya. Sebaliknya, mereka enggan mengirim belajar anak-anaknya ke sekolah-sekolah negeri dengan alasan kekuatiran atas resiko pembentukan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai leluhur. Pada aspek bahasa,

Page 26: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

13

Hari menemukan penggunaan bahasa Tionghoa Khek sulit digantikan oleh bahasa Indonesia mengingat berimbangnya jumlah etnik Tionghoa Khek dengan pribumi Melayu. Begitu juga di aspek perkawinan, dimana pernikahan antar sesama Tionghoa Khek merupakan kelaziman. Pada aspek kewarganegaraan, menyusul kebijakan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok yang memunculkan gelombang repatriasi, tidak sedikit Tionghoa di kawasan ini kembali ke negeri leluhur, Tiongkok, kendati juga tidak sedikit yang bersikap memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia. Di sisi penggunaan nama, terdapat kecenderungan diantara mereka mengganti nama bercorak Indonesia namun dengan tetap mempertahankan identitas nama lama (Tionghoa).14

Kelebihan analisis Hari dalam buku ini adalah menjelaskan bagaimana proses asimilasi berlangsung sekaligus mendudukan pentingnya proses asimilasi pada masyarakat Tionghoa dengan mengambil kasus Tionghoa Khek. Terkait penulisan tesis ini, buku Hari Poerwanto menyediakan penjelasan cukup utuh tentang proses penerapan kebijakan asimilasi Tionghoa. Namun kelemahan buku ini adalah masih terbatasnya deskripsi pada perspektif pengalaman Tionghoa secara umum, belum mengerucut pada komunitas Tionghoa beragama Khonghucu. Kelemahan inilah yang akan diisi oleh tesis ini dengan mendudukan pengalaman asimilasi dalam perspektif pengalaman umat agama Khonghucu.

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: PT Grafiti Press, cet. II., 1986). Buku ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari disertasi doktoral penulisnya, yakni Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study of Perceptions and Politicies, di American University Washington. Buku ini menyajikan secara lengkap tentang perkembangan diskursus pribumi-non pribumi yang sebagian besar berkonotasi Tionghoa, baik sejak era kemerdekaan hingga separuh

14 Dalam hal ini, ada dua cara ditempuh, yakni mengganti dengan nama baru tapo terkandung identitas lama seperti Lim Sioe Thiam menjadi Muslim atau Tjunk Djie Hin menjadi Sujiman dan menggabungkan nama baru dengan nama lama mereka seperti Po Kiem Hwa menjadi Hwandini dan Khoo Kwee An menjadi Khonawan (hal. 2727). Melalui pengujian beberapa aspek ini, Hari melihat pentingnya asimilasi atas etnik Cina (Khek) dengan memunculkan ‘identitas baru’, identitas Indonesia di kalangan mereka.

Page 27: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

14

pemerintahan Orde Baru, yang menjadi salah satu faktor anggapan pentingnya asimilasi diberlakukan terhadap masyarakat Tionghoa. Menurut Leo, kendati menempati posisi sebagai warga minoritas, baik sebagai peranakan maupun sebagai totok, namun Tionghoa menyumbangkan peranan sosial signifikan, baik dalam politik maupun perekonomian. Masalahnya, kondisi dan peran demikian tidak membuat mereka terbebas dari anggapan bahwa Tionghoa merupakan suatu kelompok sosial homogen yang pada umumnya sulit berasimilasi dan tidak setia terhadap negara-negara tempat mereka menetap. Hal ini memunculkan desakan atas penegasan identitas nasional Indonesia di kalangan warga negara Tionghoa, salah satunya berupa anggapan pentingnya masyarakat Tionghoa ‘melepaskan diri’ dari identitas ketionghoaan dan mengambil alih apa yang difahami sebagai identitas Indonesia asli. Mem’pribumi’kan ke-Tionghoaan Indonesia dianggap sebagai jalan penyelesaian masalah Tionghoa.

Dalam buku yang ditulis dengan pendekatan historis ini disebutkan, anggapan masyarakat dan kelembagaan negara dan sosial Indonesia terhadap ‘pribumi’ di masa-masa awal masih betul-betul sangat sempit dengan hanya memasukan masyarakat dari suku-suku lokal. Baik kelompok nasional Islam maupun sekuler cenderung membatasi bangsa pribumi sebagai bangsa suku-suku asli. Anggapan demikian sedikit mencair, ketika definisi pribumi menjadi semakin luas dengan dasar kewarganegaraan, bukan kesukuan atau pun keturunan. Anggapan belakangan kemudian memunculkan partai komunis dan kelompok sosial membuka keanggotaan kepada Tionghoa. Namun, praktik pribumi versus non-pribumi ini tetap menemukan dinamikanya dalam sejarah panjang Indonesia, terutama setelah Orde Baru naik ke panggung kekuasaan. Pemerintahan ini cenderung mengembalikan pribumi sebagai suku asli Indonesia, bukan seperti Tionghoa. Ini misalnya dengan memberikan keluasaan akses ekonomi bagi kalangan pengusaha pribumi. Seoharto, pemimpin Orde Baru, dibanding Tionghoa. Bahkan Tionghoa diminta berpartner dengan pengusaha pribumi.

Titi temu buku Leo dengan penelitian penulis adalah bahwa buku Leo menyediakan landasan sejarah tentang kebijakan pemerintahan dan sikap masyarakat di era tersebut terhadap komunitas Tionghoa. Kelemahannya, buku ini hanya memberikan gambaran soal pergulatan

Page 28: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

15

identitas Tionghoa secara global, tidak termasuk pembahasan tentang tradisi agama Khonghucu yang berkembang di dalamnya. Kelemahan inilah yang akan diisi peneliti melalui penelitian ini.

Lasiyo dkk., Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri.15 Secara teknis, buku ini merupakan kumpulan tulisan 12 orang penulis yang memiliki perhatian soal Tionghoa dan Konfusianisme. Dari seluruh tulisan, sekurangnya terdapat empat tulisan yang secara khusus berbicara soal agama Khonghucu: Pertama, Spiritualitas, Aspirasi dan Permasalahan Pemeluk Agama Khonghucu di Indonesia (hal. 24-53), tulisan Haksu Tjie Tjay Ing. Melalui tulisan ini, penulisnya mengeksplorasi sejumlah aspek yang menjadi dasar Khonghucu layak diakui sebagai agama seperti halnya agama-agama lain yang diakui secara formal oleh negara seperti aspek ketuhanan, kitab suci, peribadatan, dan kehidupan akhirat (after life). Tulisan ini menjawab sebagian pandangan bahwa Khonghucu bukan agama, melainkan tak lebih dari etika hidup masyarakat Tionghoa. Kedua, Sifat-Sifat Keagamaan Konfusianisme (hal. 79-102) yang ditulis Lee T. Oei. Seperti halnya Ing, Oei dalam tulisannya lebih menekankan karakteristik Khonghucu sebagai agama. Namun berbeda dengan Ing, Oei dalam tulisannya meminjam analisis sosiolog dan antropolog seperti Edward B. Tylor, Emile Durkheim, Rudolf Otto, Thomas F. O’Dea, Elizabeth K. Nottingham, dan Wilfred Cantwell Smith dalam menempatkan Khonghucu sebagai Agama. Ketiga, Beberapa Aspek Agama Cina (hal. 141-153) yang ditulis Onghokham. Dalam tulisannya, lebih menyoroti aspek spiritualitas agama masyarakat Tionghoa sebagai agama yang materialistis dalam sifat maupun sikap-sikapnya. Keempat, Kong Hu Cuisme dan Agama Kong Hu Cu di Indonesia: Sebuah Kajian Awal dalam Pergulatan Mencari Jati Diri (169-204) yang ditulis Leo Suryadinata. Tulisan Leo lebih banyak menyoroti dinamika perkembangan Tionghoa-Khonghucu di Indonesia, termasuk sejarah perkembangan dan respon mereka dalam kehidupan berbangsa. Sebagai sebuah kajian awal, tulisan Leo lebih merupakan sebagai sebuah pengantar/pengenalan tentang Khonghucu dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Terkait tema penelitian ini, tulisan Leo tidak menjelaskan secara utuh tentang bagaimana masyarakat Khonghucu ‘menjalani hidup’ selama politik

15 Lasiyo dkk. Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, (Yogyakarta: DIAN INTERFIDEI, 1995).

Page 29: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

16

asimilasi yang diterapkan secara masif oleh Orde Baru. Kelebihan keempat tulisan ini adalah menegaskan Khonghucu sebagai salah satu agama yang melekat dalam tradisi masyarakat Tionghoa. Kelebihan ini menjadi argumentasi penelitian yang memosisikan Khonghucu sebagai agama, bukan semata etika filsafat masyarakat Tionghoa. Argumentasi ini menjadi penting mengingat riset ini lebih memosisikan Khonghucu sebagai agama, bukan sebagai filsafat atau etika kehidupan masyarakat Tionghoa.

M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005). Buku ini menjelaskan Khonghucu dalam dua perspektif, Khonghucu sebagai sebuah agama dan sejarah perkembangannya di Indonesia. Sebagaimana halnya agama-agama manusia, Khonghucu memiliki struktur teologis dan ritual tersendiri. Secara teologis, Khonghucu juga memercayai adanya konsep Tuhan sebagai dzat tertinggi, kitab suci sebagai acuan, tata cara peribadatan sebagai refleksi keagamaan, perkawinan, dan hari-hari besar keagamaan. Sementara profil sejarah disajikan penulisnya pada bab ke-8, Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia, dimana kehadiran agama ini di Indonesia tidak lepas dari perjuangan perkumpulan Tionghoa Hwe Koan (THHK), kontribusi THHK dalam penyebaran ajaran Khonghucu, termasuk keberadaan mereka di masa pemerintahan Orde Baru. Dalam bab terakhir buku ini, penulis menyajikan diskursus sejumlah tokoh tentang apakah Khonghucu masuk dalam kategori kelompok agama atau etika. Buku ini memberi landasan penting bagi riset yang dilakukan penulis dalam dalam memosisikan Khonghucu sebagai salah satu agama yang dipeluk masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Leo Suryadinata, Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme? (Jurnal Antropologi UI: 2003). Pemerintah Orde Baru menerapkan politik asimilasi dengan cara menghapuskan identitas unik yang membedakan warga Tionghoa dengan warga pribumi seperti penutupan pers berbahasa Tionghoa, penutupan sekolah-sekolah Tionghoa, dan pembatasan organisasi-organisasi etnik Tionghoa. Kondisi demikian menyebabkan masyarakat Tionghoa kehilangan kesempatan mengekspresikan identitas sekaligus mewariskan identitas tersebut kepada keturunannya. Keunggulan tulisan ini adalah menerangkan bagaimana kebijakan asimilisasi

Page 30: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

17

berdampak pada ditutupnya pers berbahasa Tionghoa, penutupan sekolah-sekolah Tionghoa, dan pembatasan organisasi-organisasi Tionghoa. Namun kelemahannya, tulisan ini tidak secara spesifik mengidentifikasi bagaimana masyarakat Khonghucu mempertahankan keberagamaannya di tengah gempuran asimilasi Orde Baru.

Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas: Hubungan antara Ingatan Kolektif dan Media.16 Dalam buku yang diangkat dari riset disertasi doktoral di New York State University, Aimee mendeksripsikan bagaimana generasi Tionghoa yang lahir dan tumbuh di era kebijakan pembauran Orde Baru memelihara dan membangun jati diri ketionghoaannya (Chineseseness). Saat kebijakan asimilasi diberlakukan, masyarakat Tionghoa memanfaatkan produk-produk media seperti film-film yang diproduksi maupun berlatar Tiongkok dalam menjaga identitas akar ketionghoaan. Dengan makin populernya televisi, film-film produksi Mandarin memberikan pengaruh cukup besar bagi generasi Tionghoa yang lahir dan tumbuh di era Orde Baru dalam merumuskan, membangun, dan memelihara jati diri ketionghoaannya. Kesamaan penelitian buku Aimee dan penelitian ini adalah sama-sama memotret pergulatan masyarakat Tionghoa dalam mempertahankan identitasnya. Namun berbeda dengan Aimee, tesis ini hendak melihat pengalaman pergulatan tersebut dalam perspektif masyarakat Tionghoa beragama Khonghucu.

Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri (Depok: Kepik, 2012). Dengan meminjam teori identitas sosial, Afif membedah identitas Tionghoa yang memilih beragama Islam (Tionghoa-Muslim). Menurut Afif, tanpa mengabaikan kesadaran untuk memilih beragama Islam, pilihan menjadi seorang muslim seringkali ditempuh etnik Tionghoa untuk menyesuaikan diri (berasimilasi) dengan tradisi setempat. Kecenderungan untuk tidak melakukan konfrontasi langsung dengan pihak-pihak yang lebih dominan, baik penguasa maupun kelompok mayoritas pribumi (h. 53) sepertinya turut melatarbelakangi pilihan menjadi Muslim. Pilihan menjadi muslim sendiri bukan tanpa 16 Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas: Hubungan antara

Ingatan Kolektif dan Media, (Jakarta: Gramedia, 2014). Buku ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari disertasi doktoral Aimee di New York University yang berjudul The Chinese of Indonesiaand Their Search for Identity: The Relationship Between Collective Memory and The Media.

Page 31: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

18

resiko, mengingat warisan kolonial Belanda dimana stratifikasi sosial pribumi (Islam/Inlander) lebih rendah dibanding kelompok Asia Timur (vreemde osterlingen) bersama-sama Arab, India, dan Jepang. Oleh karena itu, untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan penguasa kolonial, sebagai minoritas tidak jarang mereka menempuh pendidikan Eropa, bergaya Eropa, dan mengadopsi agama yang dipeluk masyarakat Eropa (h. 55). Karena itu, pilihan menjadi muslim berarti menempatkan diri sebagai minoritas dalam minoritas mengingat kendati sudah berganti agama menjadi muslim, namun status mereka sebagai warga Tionghoa tetap dianggap sebagai minoritas oleh mayoritas pribumi.

Kesamaan riset penulis dengan riset Afthonul Afif ini adalah kesamaan dalam penggunaan teori identitas dalam mengkonstruksikan identitas masyarakat objek penelitian. Perbedaannya, bila Afif memilih konstruksi identitas Tionghoa yang memilih menganut agama Islam, maka riset ini memilih mendeskripsikan identitas Tionghoa yang tetap memilih mempertahankan agama leluhur Khonghucu kendati gelombang asimilasi dilakukan secara massif oleh Orde Baru.

Melihat penelitian-penelitian di atas, penulis melihat sebagian besar penelitian tentang identitas Tionghoa, dimana agama Khonghucu turut tumbuh dan berkembang di dalam masyarakatnya, lebih banyak dilakukan dalam spektrum sosial, ekonomi, regulasi, dan politik tentang kiprah ekonomi dan keterlibatan politik Tionghoa. Sementara penelitian spesifik tentang identitas keagamaan Khonghucu sendiri masih banyak dilakukan secara terbatas. Keterbatasan demikian bisa terlihat dari studi Khonghucu masih didominasi soal sejarah, struktur ajaran, bahkan diskursus tentang kelayakan Khonghucu sebagai agama. Dengan kondisi berbagai studi sebelumnya, penulis melihat masih adanya celah yang belum disentuh para peneliti sebelumnya, yakni identitas keagamaan Khonghucu sebagai agama yang berkembang luas dalam tradisi Tionghoa saat kebijakan asimilasi Orde Baru diberlakukan.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang memanfaatkan

pendekatan sejumlah bidang keilmuan. Dengan meletakkan objek kajian komunitas masyarakat Tionghoa dalam setting implementasi kebijakan

Page 32: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

19

pembauran yang dilakukan Orde Baru, penelitian ini akan meminjam pendekatan Sosiologi dan Antropologi. Diketahui, kajian asimilasi dan berbagai pola proses sosial lain merupakan tema-tema penting di ranah keilmuan tersebut. Selanjutnya, mengingat kajian penelitian ini berusaha menelisik pertahanan identitas dan resiliensi sosial, maka penelitian akan memanfaatkan perspektif psikologi sosial terutama tentang identitas sosial pada aspek keagamaan dan resiliensi sosial yang digunakan untuk mengurai bagaimana pergulatan keagamaan mereka berlangsung. Penggunaan dua perspektif terakhir dilakukan mengingat penelitian ini mengkonsentrasikan penelitian pada aspek keberagamaan masyarakat Khonghucu dan imbas asimilasi etnik Tionghoa yang dilakukan Orde Baru.

Sementara itu, sebagai sebuah fakta yang telah berlangsung dalam suatu periode tertentu, dimana pergumulan keberagamaan umat Khonghucu terjadi di era pemerintahan Orde Baru (1966-1998), maka penelitian ini akan memanfaatkan pendekatan historis.17 Dengan pendekatan historis, peneliti akan merekonstruksi apa yang terjadi pada umat Khonghucu saat kebijakan asimilasi diberlakukan terhadap etnik Tionghoa dengan memanfaatkan sumber-sumber yang dipilah secara selektif.18

Dalam penelitian ini, sumber yang bisa dimanfaatkan adalah gabungan antara sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah kesaksian/pengalaman dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau alat yang hadir pada saat proses asimilasi tersebut berlangsung. Sementara sumber sekunder dalam penelitian ini adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan mata atau kesaksian dari pihak yang tidak hadir/mengalami langsung bagaimana proses asimilasi diberlakukan.19 Dalam hal ini, maka sumber primer adalah anggota umat Khonghucu yang mengalami langsung proses pergumulan identitas keberagamaan Khonghucu saat Orde Baru

17 Pendekatan sejarah sangat dibutuhkan dalam memahami agama, karena ia turun dalam situasi kongkret sosial kemasyarakatan. Lihat Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya) hal. 48.

18 Louis Gottchlack, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto Understanding History: A Primer of Historical Method, (Jakarta: UI Press, 2015, cet. Ke-4), hal. 39-42.

19 Louis Gottchlack, Mengerti Sejarah, hal. 43.

Page 33: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

20

memberlakukan kebijakan asimilasi di kalangan masyarakat Tionghoa. Selain itu, sumber lainnya adalah dokumen, arsip, atau pun tuturan pihak lain menyangkut keberagamaan Khonghucu di era pemerintahan Orde Baru.

Selanjutnya, dengan memanfaatkan pendekatan ini, maka penulisan penelitian ini akan mengacu pada tahapan-tahapan yang lazim digunakan dalam penelitian sejarah, yakni pemilihan topik yang akan diriset, pengumpulan sumber (proses heuristik), melakukan verifikasi atau kritik sumber dan keabsahan sumber, interpretasi berupa analisis, dan penulisan (historiografi). Dari seluruh tahapan yang sudah disebutkan, tahapan pertama relatif sudah dilakukan dengan memilih topik Pergumulan Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Khonghucu dalam Politik Asimilasi yang dijalankan pemerintahan Orde Baru. Bersamaan dengan tahapan pertama, peneliti juga mengumpulkan keterangan baik tuturan pelaku maupun dokumen catatan menyangkut tema penelitian ini. Seluruh keterangan yang didapat nantinya diverifikasi tingkat keabsahannya sebagai sumber penulisan. Hasil verifikasi ini kemudian diinterpretasikan dalam sebuah paparan atau analisis utuh. Analisis utuh inilah yang selanjutnya disajikan dalam tulisan penelitian ini (historiografis).20

Dengan demikian, seperti disebutkan Gottschalk, dengan pendekatan sejarah, tahapan penelitian dimulai dengan pengumpulan material yang relevan dengan tema penelitian, baik berupa bahan-bahan tercetak, tertulis, maupun sumber lisan yang relevan. Selanjutnya, seluruh sumber yang dikumpulkan dipilah dan disingkirkan sumber yang sekiranya tidak autentik. Tahap ketiga, menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya atas bahan-bahan yang antentik, disusul tahapan selanjutnya penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sebuah kisah atau penyajian yang berarti.

Secara umum, sumber data penelitian yang menggunakan pendekatan sejarah ini terbagi ke dalam empat kategori dasar, yakni dokumen, catatan numerik, pernyataan lisan dan barang peninggalan/warisan. Dokumen merupakan bahan informasi yang tertulis atau tercetak, baik dipublikasikan atau tidak, seperti buku, pamflet, atau

20 Kuntowijoyo, 2005. Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang) hal. 100-105.

Page 34: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

21

catatan-catatan lainnya. Sementara catatan numerik adalah data yang bersifat kuantitatif dan cukup memberikan informasi seperti prosentase nilai, gambaran kehadiran, catatan sensus, dan sebagainya. Adapun sumber pernyataan lisan adalah informasi berharga yang didapat dari orang-orang yang mengalami langsung kejadian atau pun cukup memahami kejadian yang menjadi bagian penting penelitian ini. Adapun sumber keempat, barang-barang peninggalan/historis berupa barang pustaka dimana karakteristik fisika atau visualnya bisa menyediakan beberapa informasi tentang masa lalu.

2. Teknik Pengumpulan DataDengan menggunakan pendekatan historis, maka pengumpulan

data terkait penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan: a. Penelitian Kepustakaan (library research)

Teknik ini mencakup identifikasi dan penempatan sumber-sumber yang menyediakan informasi faktual atau personal/opini ahli tentang pertanyaan penelitian.21 Instrumen ini digunakan dengan membaca dan menganalisa berbagai sumber kepustakaan yang memiliki relevansi kuat dengan tema penelitian, baik dalam aspek teoretis maupun aspek faktual historis menyangkut sejarah dan perkembangan komunitas keagamaan Khonghucu, identitas keagamaan Khonghucu, maupun kebijakan pembauran (asimilasi) yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru. b. Observasi

Teknik mengharuskan peneliti meneliti langsung kepada objek yang akan diteliti untuk melakukan pengamatan langsung. Observasi memungkinkan peneliti bisa mendapatkan informasi primer sekaligus informasi dukungan bagi penyempurnaan laporan penelitian. Observasi dilakukan langsung oleh peneliti dengan melihat dan terlibat dalam sejumlah kegiatan sosial keagamaan Khonghucu yang dirasa perlu dalam melakukan penelitian ini.c. Wawancara Mendalam (indepth interview).

Wawancara mendalam menjadi salah satu teknik penelitian kualitatif yang digunakan peneliti melalui proses wawancara intensif

21 Mary W. George, The Elements of Library Research, (USA: Princenton University Press, 2008), P. 5

Page 35: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

22

dengan sejumlah responden guna mengeksplorasi perspektif mereka tentang pengalaman mereka mempertahankan identitas keagamaan Khonghucu di era Orde Baru. Wawancara dilakukan secara tatap muka, langsung dengan memungkinkan pewawancara untuk turut serta terlibat dalam kehidupan informan yang dinilai cukup memahami tentang data terkait penelitian. Untuk mendapatkan informasi yang kuat, wawancara dilakukan tidak dalam satu-dua kali wawancara. Hal ini juga diperlukan untuk menutup kekurangan informasi yang didapat dalam wawancara pertama atau kedua. Dengan teknik ini, wawancara mendalam diharapkan memungkinkan penggalian data semaksimal mungkin. Salah satu keuntungan wawancara mendalam adalah kemungkinan dihadirkannya informasi lebih detail dibanding metode pengumpulan data seperti survei.22 Mengingat subjek penelitian ini adalah sebuah komunitas yang cukup luas, maka penelitian ini akan meminjam teknik snawball sampling. Pengambilan sampel (sampling) bertujuan memperoleh gambaran deskriptif tentang karakteristik unit observasi yang termasuk di dalam sampel, melakukan generalisasi, dan memperkirakan parameter populasi penelitian. Merujuk Becker (1970), dalam menyiapkan penelitian lapangan, peneliti dituntut menentukan responden yang akan diteliti segera setelah memutuskan lokasi dan waktu penelitian. Untuk itu, dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai para narasumber yang pernah mengalami dan cukup mengerti tentang pergualatan keagaman masyarakat Tionghoa-Khonghucu setempat mempertahankan identitas keagamaannya di masa Orde Baru. Dalam teknik ini, sampel didapat melalui proses bergulir dari satu responden ke responden lain berdasar rekomendasi narasumber satu ke narasumber lainnya secara berurutan.23 d. Dokumentasi (documentation)

Teknik in dilaksanakan dengan pengumpulan data terkait tema penelitian berupa kertas kerja (paper) seperti catatan khusus dan foto, media online seperti rekaman, atau pun dokumentasi digital atau

22 Lihat Carolyn Boyce & Palena Neale, Conducting in-Depth Interviews: A Guide for Designing and Conducting in-Depth Interviews for Evaluation Input, (USA: Pathfinder International, 2006), p. 3-4

23 Nina Nurdiani, 2014. Teknik Snawball Sampling dalam Penelitian Lapangan. ComTech Vol. 5 No. 2 Desember 2014: 1110-1118

Page 36: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

23

media analog seperti audio-tape dan video. Data-data ini akan sangat membantu dalam mengokohkan keterangan yang dihasilan metode kepustakaan dan teknik wawancara. Karena itu, teknik dokumentasi akan sangat berguna bagi peneliti dalam menyajikan hasil penelitian tema ini. Dalam hal ini, peneliti memfoto kegiatan atau dokumentasi lama terkait objek penelitian.

F. Sistematika PembahasanPembahasan penelitian ini akan disajikan dalam sejumlah bab

dengan sistematika pembahasan yang mencakup pendahuluan, kerangka teori, profil objek penelitian, pembahasan objek penelitian dan respon mereka atas kebijakan eksternal, dan penutup. Pada bab pendahuluan, penulis akan menyajikan latar belakang sekaligus alasan mengapa penelitian ini cukup menarik dan penting dilakukan, termasuk pembatasan dan perumusan masalahnya sehingga penelitian tetap fokus, dan studi terdahulu sebagai peta awal dimana posisi penelitian ini berada. Pada bab ini juga disajikan metodologi penelitian sebagai pisau analisis yang digunakan penulis dalam mengkaji data yang ditemukan di lapangan.

Selanjutnya pada bab kedua, penulis akan menyajikan pembahasan variabel yang menjadi dasar terbentuknya kerangka teori penelitian, yakni asimilasi, identitas, dan resiliensi sosial. Di dalamnya, penulis akan menyajikan pengertian dan batasan asimilasi dalam dari sudut pandang sosiologi dan antropologi. Selain itu, penulis juga akan mendeskripsikan identitas dalam sudut pandang psikologi sosial. Definisi identitas akan lebih dititikberatkan pada aspek identitas keagamaan mengingat kajian ini adalah mengkaji identitas keagamaan Tionghong-Khonghucu di era pembauran Orde Baru. Adapun resiliensi sosial dibutuhkan untuk menjelaskan sejauhmana kemampuan masyarakat Tionghoa-Khonghucu merespon kebijakan pembauran yang menegasikan identitas keberagamaan mereka.

Pada bab ketiga, penulis akan menyampaikan deskripsi singkat tentang perkembangan etnik Tionghoa di Indonesia dan agama Khonghucu yang berkembang di dalam etnik tersebut. Dalam bab ini, penulis juga akan mengetengahkan paparan tentang permasalahan Tionghoa di Indonesia yang memiliki sejarah panjang ketegangan

Page 37: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

24

dengan etnik lain di Indonesia dalam kerangka hubungan pribumi dan non-pribumi. Selanjutnya, penulis akan menarasikan kebijakan asimilasi yang ditempuh pemerintahan Orde Baru yang ditujukan untuk memupus ‘permasalahan’ Tionghoa.

Pada bab keempat, penulis akan lebih sempit mengulas sejarah dan perlembangan agama Khong Hu Cu di wilayah Pasar Lama, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang. Bab ini menjadi penting untuk memberikan latar belakang sejarah perkembangan masyarakat Tionghoa dan agama Khonghucu yang berkembang di dalamnya. Selain itu, dalam bab ini juga akan mulai dikerucutkan pembahasan tentang aspek-aspek yang menjadi identitas keagamaan Khonghucu dan ekspresinya pada Masyarakat Tionghoa-Khonghucu Tangerang.

Pada bab kelima, merupakan isi dari kegiatan penelitian ini. Pada bab ini, penulis akan menyoroti pergulatan identitas keagamaan Khonghucu pada masyarakat Tionghoa Tangerang dalam politik asimilasi Orde Baru. Di dalamnya akan disajikan narasi atas penerapan kebijakan pembauran Orde Baru pada Masyarakat Tionghoa-Khonghucu Kota Tangerang 1965-1998 beserta dampaknya terhadap pengalaman keberagamaan mereka. Selanjutnya bab ini akan menarasikan bagaimana pengalaman keberagamaan masyarakat Tionghoa-Khonghucu merespon kebijakan pembauran yang menegasikan identitas keberagamaan mereka. Selanjutnya bagian ini akan melihat peranan lembaga sosial keagaman Khonghucu setempat, Majelis Agama Kong Hu Cu (MAKIN) dan Lithang Khongcu Bio dalam merawat keberagamaan masyarakat Khonghucu setempat. Bab ini akan ditutup dengan konstruksi Identitas Keagamaan Khonghucu Masyarakat Tionghoa-Khonghucu Tangerang dalam Politik Asimilasi Orde Baru.

Bab terakhir, bab penutup, penulis akan menyajikan kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan merupakan rumusan atas hasil penelitian yang ditemukan penulis di lapangan sesuai batasan dan rumusan masalah di awal penelitian. Sedangkan rekomendasi menyajikan saran bagi penelitian akademik lanjutan dan pengambil kebijakan pengaturan agama-agama di Indonesia.

Page 38: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

25

Pada bab ini penulis akan memaparkan bahasan asimilasi, identitas, dan resiliensi sosial sebagai kerangka dalam memahami tema penelitian ini, yakni pergulatan identitas keagamaan masyarakat Tionghoa-Khonghucu dalam politik asimilasi Orde Baru (1966-1998). Melalui paparan ini, penulis ingin menyediakan kerangka dasar dalam memahami bagaimana masyarakat Tionghoa-Khonghucu yang menjadi objek penelitian memelihara identitas sosial keagamaan mereka saat kebijakan asimilasi berlangsung . Teori asimilasi digunakan sebagai basis dalam memahami politik asimilasi yang dilakukan pemerintahan Indonesia, dalam hal ini Orde Baru. Teori identitas digunakan sebagai piranti dalam memahami aspek penting yang menjadi penanda komunitas Tionghoa, sedangkan resiliensi sosial digunakan sebagai dasar bagi terciptanya pemahaman bagaimana komunitas Tionghoa-Khonghucu mempertahankan identitas sosial keagamaannya sebagai masyarakat Khonghucu.

A. AsimilasiDiskusi menyangkut integrasi sosial dalam konteks relasi

sosial mayoritas-minoritas maupun komunitas komunitas lokal dan pendatang di tanah air acapkali menggunakan terminologi pembauran, meski tidak sedikit kemudian menggunakan istilah akulturasi dan asimilasi. Istilah ini terutama banyak digunakan saat membincang relasi antara minoritas Tionghoa dan mayoritas masyarakat setempat di Indonesia.1 Kendati demikian, beberapa

1 Lihat Siti Nafsiah. Prof. Hembing, Pemenang The Star of Asia Award Pertama di Asia Ketiga di Dunia (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000), h. 193-196. Sebelumnya, Abdul Baqir Zen, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000), Lihat juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah.

BAB IIDiskursus Asimilasi, Identitas,

dan Resiliensi Sosial

Page 39: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

26

studi lain menggunakan istilah akulturasi dan asimilasi. Leo Suryadinata dalam beberapa karyanya menggunakan istilah asimilasi dalam membincangkan kebijakan pembauran yang dilakukan Orde Baru terhadap etnik Tionghoa.2 Penggunaan istilah ‘asimilasi’ dan ‘akulturasi’ seperti demikian dikhawatirkan menyebabkan tumpang tindih pemahaman sekaligus penggunaan istilah tersebut. Untuk keperluan penulisan tesis ini, penulis secara ringkas menguraikannya sehingga didapatkan terminologi yang sesuai dalam penulisan.

Diskusi tentang proses pertemuan dua kelompok komunitas sosial beserta latar belakang kulturalnya biasanya merujuk pada dua istilah penting akulturasi dan asimilasi.3 Definisi yang cukup klasik disampaikan Redfield, Linton, dan Herskovits (1936) bahwa akulturasi merangkum fenomena yang hadir ketika kelompok atau individu dengan latar belakang kultural berbeda melakukan kontak (contact) yang untuk selanjutnya mempengaruhi bentuk kultural asli (original culture) pada salah satu kelompok atau kedua-duanya sekaligus. Melalui definisi ini, bisa dilihat jika proses akulturasi dimulai melalui proses kontak dua kelompok berlatarbelakang kultur berbeda secara berkelanjutan (continuous) dimana bentuk kontaknya bisa berlangsung diantara anggota kelompok kebudayaan (entire group) atau di luar (entire population), bersifat bersahabat atau bermusuhan (friendly and hostile), diantara kelompok sosial dengan derajat sosial sama atau berbeda, atau diantara kelompok yang ditandai kompleksitas material kebudayaan dan non-kebudayaan.4

Dalam perkembangannya, The Social Science Research Council (1954) seperti dikutip Trimble (2003) mendefinisikan akulturasi sebagai perubahan budaya (culture change) yang diinisiasi hubungan (conjunction) antara dua atau lebih sistem kultural otonom. Sementara dinamikanya

2 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008 (Jakarta: Kompas, 2010), h. 218; Leo Suryadinata, Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Kompas, 2010), h. 75-104

3 Lihat misalnya Darren Chan, Acculturation: A Social Identity Approach, a Thesis for Master of Social Science, (New Zealand: Lincoln University, 2014).

4 Redfield, Robert, Ralph Linton, and Melville J. Herskovits, Memorandum for the Study of Acculturation, American Anthropologist, 38.1 (1936): 149-152.

Page 40: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

27

bisa dilihat sebagai adaptasi selektif atas sistem-sistem nilai, poses-proses dari integrasi dan diferensiasi, keterciptaan sejumlah rangkaian perkembangan (developmental sequences), sekaligus pelaksanaan peranan determinan dan factor-faktor personalitas. Mengacu pada dua definisi ini, baik Redfield, Linton, dan Herskovits (1936) maupun The Social Science Research Council (1954) seperti dikutip Trimble (2003), Trimble sendiri menarik beberapa kunci penting dalam akulturasi. Mengacu pada definisi Redfield, Linton, dan Herskovits (1936), Trimble menarik keadaan berkelanjutan (continuous being) sebagai kunci penting. Melalui ini, akulturasi diterima sebagai hasil dari kontak jangka panjang diantara banyak individu dari berbagai kebudayaan berbeda sehingga berlangsung difusi dan peminjaman kebudayaan satu sama lain. Sedang dari definisi Social Science Research Council, Trimble menarik perubahan (change) dan penyesuaian (adaptation) kebudayaan pada masing-masing kelompok sistem kebudayaan sebagai esensi utama akulturasi.5

Cole (2017), mendefinisikan akulturasi sebagai proses yang melaluinya seorang individu atau kelompok dari satu kebudayaan (culture) mengadopsi praktik dan nilai-nilai kebudayaan individu atau kelompok lainnya dengan tetap memelihara elemen penting kebudayaan (distinct culture) asalnya. Penekanan tetap memelihara elemen penting kebudayaan asal menjadi penanda penting suatu proses interaksi sosial diidentifikasi sebagai akulturasi. Sementara itu, adopsi kebudayaannya sendiri biasanya dilakukan kelompok masyarakat minoritas terhadap kebudayaan kelompok mayoritas dengan mengadopi elemen-elemen kebudayaan kelompok terakhir. Kendati demikian, akulturasi merupakan proses dua arah (a two-way process) sebab di saat yang sama, kelompok mayoritas juga tidak menutup kemungkinkan untuk ikut mengadopsi kebudayaan kelompok minoritas.6

Akulturasi sendiri, jelas Berry dkk mengutip Graves, berlangsung dalam dua wilayah yakni sebagai fenomena kolektif atau level kelompok (collective or group-level phenomenon) dan akulturasi psikologis (psychological acculturation). Akulturasi pada wilayah pertama merupakan

5 Trimble, Joseph E. “Introduction: Social change and acculturation.” Acculturation: Advances in Theory, Measurement, and Applied Research 10 (2003), p. 3-13

6 Nicki Lisa Cole, Understanding Acculturation and How It Differs from Assimilation, 27 July 2017.

Page 41: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

28

proses perubahan kebudayaan di lingkup kelompok, sedangkan yang kedua merupakan proses perubahan kejiwaan perorangan.7 Dalam perkembangannya, akulturasi psikologis menghasilkan empat pola adaptasi individu dan kelompok yang berakulturasi, yakni asimilasi (assimilation), integrasi (integration), separasi (separation), dan marginalisasi (marginalization).8 Mengutip Cole, asimilasi merupakan proses akulturasi yang paling ekstrim, yaitu ketika kebudayaan asal (original culture) diabaikan atau bahkan ditinggalkan (abandoned) dan kebudayaan baru (new culture) diadopsi dalam kehidupan keseharian individu atau kelompok masyarakat yang terlibat.9 Kemunculan sikap kultural asimilatif, seperti dikatakan Schwartz (et. all) merujuk pendapat Berry, merupakan sikap yang mungkin timbul ketika kelompok minoritas atau imigran dihadapkan pada kepercayaan (belief), nilai (value), dan praktik kultural di wilayah kultural lokal dan mayoritas dengan mengadopsi penuh dan meninggalkan sistem kepercayaan, nilai, dan praktik kultural asal kendati tidak menutup kemungkinan berlaku pengecualian dimana kultural asal tidak dihilangkan sama sekali.10 Asimilasi sendiri, jelas Berry, merupakan proses mengadopsi praktik, nilai, dan identifikasi budaya yang baru dengan menyisihkan praktik, nilai, dan identifikasi budaya asal.

Sementara itu, terminologi asimilasi diterjemahkan secara bebas sebagai sebuah proses mengidentifikasi diri menjadi bagian dari suatu kelompok, komunitas, atau warga negara atau membuat seseorang menjadi bagian suatu kelompok, komunitas, atau warga Negara tertentu.11 Masih secara etimologis, kata asimilasi juga diartikan sebagai sebuah proses penerimaan fakta baru atau menanggapi situasi baru untuk menyesuaikan diri sebagai sebuah kesadaran yang diterima.12

7 Berry, John W. & D.L. Sam, “Acculturation and Adaptation” dalam Hand Book of Cross Cultural Psychology, (Boston USA: Allyn & Bacon, 1997), Vol. 3, P. 294

8 Trimble, Joseph E. “Introduction: Social change and acculturation.” Acculturation: Advances in Theory, Measurement, and Applied Research 10 (2003), p. 7.

9 Nicki Lisa Cole, Understanding Acculturation and How It Differs from Assimilation, 27 July 2017.

10 Seth J. Schwartz, Jennifer B. Unger, Byron L. Zamboanga, and José Szapocznik, Rethinking the Concept of Acculturation: Implications for Theory and Research, Journal of American Psychological Association, 2010 ; 65(4): p. 237–251.

11 Lihat http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/assimilate 12 Lihat https://www.merriam-webster.com/dictionary/assimilation

Page 42: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

29

Dengan demikian, suatu proses sosial bisa dikategorikan sebagai asimilasi ketika individu atau komunitas mengidentifikasi diri dengan kultural lain dengan menerima sekaligus menggunakan kebudayaan baru dan di saat bersamaan menyisihkan dimensi kultural awalnya.

Penekanan identifikasi diri dengan kebudayaan baru senada dengan pernyataan Park & Burgess yang mendefinisikan asimilasi sebagai sebuah proses interprenetrasi dan fusi dimana individu dan suatu kelompok menggunakan memori, sentimen, dan sikap individu atau kelompok lain dengan ditanamkan dalam berbagai pengalaman dan kesejarahan kehidupan kultural bersama. Dalam hal demikian, asimilasi menekankan aspek berbagi tradisi, partisipasi intim dalam pengalaman bersama, sehingga asimilasi menjadi pusat dalam proses kultural dan sejarah mereka sendiri.13 Definisi Park & Burgess ini menegaskan bahwa asimilasi merupakan proses penggunaan identitas kultural lain dengan kemungkinan terabaikan dan ditinggalkannya identitas kultural asal individu dan komunitas pengadopsi.

Sementara itu, Koentjaraningrat, mendefinisikan asimilasi sebagai proses sosial yang terjadi pada manusia dengan berbagai latar belakang kebudayaan setelah mereka bergaul secara intensif sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Proses sosial ini, menurutnya, biasanya berlangsung antara golongan minoritas dan mayoritas. Dalam hal ini, golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaannya lambat laun berubah dan menyatu dengan golongan minoritas.14 Hanya saja, Koentjaraningrat menambahkan, kendati berlangsung pergaulan intensif, proses asimilasi belum tentu berhasil tanpa adanya toleransi dan simpati dari kedua golongan.15 Melihat definisinya, Koentjaraningrat melihat asimilasi sebagai proses yang bertahap, intens, dan biasanya berlaku pada masyarakat minoritas atau pendatang.

Dalam analisa Park, asimilasi sendiri hanya salah satu dari empat bentuk interaksi sosial antara imigran dengan masyarakat setempat 13 Robert E. Park & Ernest W. Burgess. Introduction to The Science of Sociology.

Illinois: The University of Chicago Press, 1921., p. 396-397. 14 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (I). Jakarta: Rineka Cipta, cet. 4., 2011,

h. 160. 15 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (I), h. 160

Page 43: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

30

selain akomodasi, kompetisi, konflik, dan asimilasi sendiri. Semula, istilah asimilasi mengacu pada proses satu arah dan satu dimensi dimana kelompok imigran yang minoritas melepaskan kebudayaannya sendiri dan menggantinya dengan kebudayaan masyarakat setempat yang dominan. Namun belakangan, konsep asimilasi juga merujuk pada proses pertemuan dua kelompok masyarakat secara resiprokal dengan melibatkan penyesuaian antara kelompok imigran dan komunitas setempat. Dalam prosesnya, proses asimilasi akan diwarnai sikap masyarakat yang menghambat dan menghalangi proses, memperbaiki dan menyempurnakan, atau berpartisipasi dalam kebudayaan yang bertemu.16 Melihat analisanya, Park dalam hal ini tidak membedakan antara kekhasan asimilasi dan akulturasi.

Hary Poerwanto mengutip Milton M. Gordon mencatat sejumlah saluran asimilasi. Pertama, asimilasi budaya atau asimilasi perilaku (behavioral assimilation) yang lazim disebut akulturasi dimana berlangsung penerimaan terhadap kebudayaan tuan rumah atau perubahan pola kebudayaan ke arah penyesuaian dengan kebudayaan ‘tuan rumah’ mayoritas. Kedua, asimilasi struktural (structural assimilaton) ditandai dengan bergabungnya level dasar komunitas minoritas atau imigran ke dalam berbagai kelembagaan sosial kebudayaan mayoritas berupa kelompok kecil sosial (social clique), organisasi-organisasi sosial, aktifitas kelembagaan, dan kehidupan kewargaan secara umum. Ketiga, asimilasi perkawinan atau amalgamasi (amalgamation) melalui perkawinan campuran dalam skala besar. Keempat, asimilasi identifikasi berupa berkembangnya perasaan kebangsaan seperti halnya mayoritas. Kelima, attitude receptional assimilation yang muncul dari prasangka baik terhadap diantara kedua komunitas yang bertemu. Keenam, behavior receptional assimilation, yaitu asimilasi yang muncul dengan tidak ditandai sikap diskriminatif. Ketujuh, asimilasi kewargaan (civic assimilation) yaitu proses pertemuan dua masyarakat dan kebudayaan yang tidak diwarnai konflik nilai dan kekuatan. Merujuk ketujuh saluran ini, bisa dikatakan jika asimilasi merupakan proses yang bisa berlangsung dalam berbagai level yang mengharuskan masyarakat (imigran) melakukan identifikasi

16 Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner. 2006. Kamus Sosiologi diterjemahkan oleh Desi Noviyani dkk dari The Penguin Dictionary of Sociology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 28-29.

Page 44: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

31

diri dengan kebudayaan kelompok yang didatangi (host society). Melalui ketujuh saluran ini, seluruhnya menegaskan jika dalam proses asimilasi, kebudayaan mayoritas menjadi ukuran penyesuaian diri kelompok pendatang.17

Sementara itu, merujuk pada risetnya tentang asimilasi etnis Tionghoa dan Melayu di Bangka, Abdullah Idi saat menyebutkan adanya tingkatan proses dalam kegiatan asimilasi. Pertama, asimilasi kultural (cultural assimilation) yang berlangsung pada empat elemen kultural, yaitu penggunaan bahasa Melayu, makanan khas dan pakaian Melayu, aktifitas ritual/seremonial tahunan dan konversi agama. Kedua, asimilasi struktural (structural assimilation) berupa pembauran yang berlangsung melalui keterlibatan atau partisipasi warga Tionghoa dalam berbagai kelembagaan structural sosial setempat seperti ekonomi dan pendidikan. Ketiga, asimilasi perkawinan (marital assimilation), yaitu pembauran melalui proses pernikahan dengan warga setempat. Asimilasi ini lebih banyak terjadi pada kalangan Tionghoa berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah yang tinggal di kawasan perdesaan atau kota-kota permukiman yang relatif berdekatan dengan masyarakat Melayu. Keempat, asimilasi identifikasi atau rasa kebangsaan (assimilation of identification), terjadi pada derajat yang tinggi. Tidak terdapat perbedaan derajat yang signifikan dalam berbagai pelapisan sosial masyarakat, baik peranakan Tionghoa maupun Melayu di perdesaan dan perkotaan. Kelima, asimilasi tanpa prasangka (unprejudiced attitude assimilation) dan asimilasi tanpa diskriminasi (behavior receptional assimilation). Asimilasi jenis ini di Bangka telah terjadi secara luas. Peranakan Tionghoa, baik di kota-kota, desa-desa, dan lingkungan-lingkungan tertentu, relatif tidak pernah mengalami tindakan prasangka dan diskriminasi dari kelompok etnis mayoritas Melayu.18

Melihat berbagai definisi tentang asimilasi di atas, bisa dikatakan jika asimilasi merupakan proses perjumpaan sosial antar satu etnik (pendatang dan minoritas) ke dalam kebudayaan etnik yang lain (setempat dan mayoritas) melalui serangkaian tahapan dan dalam jangka waktu 17 Hari Poerwanto. Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada, Jurnal Humaniora No. 12 September – Desember 1999, h. 32.

18 Abdullah Idi. 2009. Asimilasi Cina Melayu di Bangka. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal: 267 – 269.

Page 45: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

32

yang lama. Selain itu, asimilasi berbeda dengan akulturasi, meniscayakan adanya proses identifikasi diri individu dan komunitas sosial dengan identitas kultural yang lain secara penuh sehingga menggantikan identitas kultural asal. Berbeda dengan asimilasi, akulturasi justru masih menungkinkan masyarakat pengadopsi kebudayaan untuk masih memelihara elemen-elemen penting kebudayaan asalnya. Mengingat bentuknya sebagai identifikasi diri seorang individu atau komunitas dengan kebudayaan lain, proses asimilasi berlangsung pada komunitas sosial kultural minoritas seperti imigran dengan mengadopsi kebudayaan masyarakat setempat yang mayoritas.

Sebagai proses adopsi kebudayaan mayoritas oleh minoritas atau imigran, jelas Cole, asimilasi bisa berlangsung alamiah juga bisa dilakukan dengan tekanan atau paksaan (forced) sehingga prosesnya selain bisa berlangsung bertahap (gradual) atau juga bisa berlangsung cepat (rapid).19 Dengan demikian, selain mengandalkan proses alamiah melalui proses interaksi sosial antara dua dua masyarakat kebudayaan yang berbeda, asimilasi bisa dilakukan dengan tekanan atau pemaksaan sehingga proses sosial tersebut bisa berlangsung. Tekanan bisa dilakukan kelompok kultural mayoritas terhadap kelompok kultural minoritas atau mengandalkan negara sebagai pemegang kekuasaan politik untuk kepentingan stabilitas sosial politik masyarakatnya.

B. IdentitasSecara etimologis, identitas diderivasikan dari istilah identity,

yakni batasan tentang siapa dan apa (who or what is..); karakteristik, perasaan, dan keyakinan yang membedakan seseorang dari lainnya (the characteristics, feelings, or beliefs that distinguish people from others); dan kondisi atau rasa mengada yang sama untuk dan yang memungkinkan untuk memahami sesuatu hal atau pihak lain (the state of feeling of being very similar to and able to understand something or somebody..).20 Dengan demikian, secara bahasa, kata identitas merujuk pada batasan diri atau benda, karakteristik internal, atau kondisi mengada yang membangun kesamaan persepsi diri dengan yang lain.

19 Nicki Lisa Cole, How Different Cultural Groups Become More Alike: Definition, Overview and Theories of Assimilation,

20 AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary: International Student’s Edition (Oxford: Oxford University Press, 2010), edisi ke-X, p. 743

Page 46: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

33

Senada dengan pengertian di atas, Liliweri mendefinisikan identitas sebagai, pertama, kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain; kedua, kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama diantara dua orang atau dua benda; ketiga, kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda; keempat, pada tataran teknis, pengertian epistemologi diatas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata “identik”, misalnya menyatakan bahwa “sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain.21

Melihat berbagai definisi diatas, bisa disimpulkan bahwa identitas menjadi hal fundamental bagi setiap individu dan kelompok saat terlibat dalam proses interaksi satu sama lain. Sebab, identitas menjadi penanda yang mendefinisikan sekaligus menegaskan kekhasan individu atau kelompok saat berinteraksi. Dalam tataran sosial, identitas juga membangun persamaan dan ikatan diantara kelompok yang memiliki identitas tersebut. Dengan demikian, baik sebagai penanda individu maupun kelompok, identitas memainkan peranan penting sebagai ciri dan kekhasan yang melekat sekaligus menegaskan diri mereka saat melangsungkan proses interaksi. Identitas diperlukan setiap individu untuk menampilkan dirinya sebagai sebuah subyek sekaligus memberinya sense of belonging atau persamaan dan perbedaan diri dengan yang lain.22

Dalam disiplin psikologi sosial, konsep identitas mengacu kepada the self, yaitu menerangkan apa dan siapa pemilik identitas tersebut. Hal ini sesuai dengan definisi identitas yang disampaikan Hogg & Abrams sebagai konsep seseorang tentang siapa ia, menjadi bagian apa, dan bagaimana ia berelasi dengan yang lain,23 dan –kata Jenkins— merujuk kepada cara-cara dimana para individu dan kelompok kolektif iitu 21 Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: PT

LkiS Pelangi Angkasa, 2007), Hlm.6922 Jeffrey Weeks, The Value of Difference dalam Jonathan Rutherford (ed),

Identity, Community, Culture, Difference (London: Lawrence &Wishart, 1990), p.87-88

23 Lihat Michael Hogg & Dominic Abrams, Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Routledge, 1988), p. 8. “Identity is people’s concepts of who they are, of what sort of people they are, and how they relate to others...”

Page 47: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

34

dibedakan dalam relasi sosial mereka baik dengan individu maupun kelompok kolektif lainnya.24

Saat menjadi sebuah kategori, Barker membagi identitas ke dalam tiga bentuk utama identitas, yakni identitas diri, identitas budaya, dan identitas sosial.25 Identitas diri difahami sebagai tanda yang mendefinisikan sekaligus menegaskan eksistensi individu dari individu-individu lainnya. Adapun identitas budaya difahami sebagai karakter atau ciri yang diterima sebagai konsekuensi atas keanggotaan dalam sebuah entitas budaya. Sementara identitas sosial difahami sebagai persamaan dan perbedaan, personal dan sosial, yang dimiliki secara bersama-sama dengan beberapa orang sekaligus yang membedakan diri dan kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya.26 Dalam bahasa lain, identitas sosial menjadi skema kognitif yang memungkinkan individu mendefinisikan dirinya sebagai ‘siapa saya atau siapa kita’ dalam sebuah struktur sosial.27

Saat identitas individu terlibat penuh dalam proses interaksi sosial, jelas Taylor dan Moghaddam, maka identitas tersebut menjadi identitas sosial. Dalam konteks ini, identitas tersebut menjadi konsep diri individu yang terbentuk sebagai kesadaran individu tersebut sebagai anggota suatu kelompok sosial yang didalamnya mencakup nilai dan emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.28 Ini sependapat dengan Binder, bahwa identitas sosial merupakan batasan atau definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama-sama dengan orang lain seperti gender dan ras.29 Identitas ini memandu setiap orang 24 Identity refers to the ways in which individuals and collectivities are dis-

tinguished in their social relations with other individuals and collectivities” dalam Jenkins, Richard. 1996. Social Identity. London: Routledge.

25 Cris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005), hlm. 221

26 Cris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka), hlm. 221

27 Wendt, Alexander. 1994. Collective Identity Formation and the International State. The American Political Science Review, Vol. 88, No. 2 (June 1994), p. 384-396.

28 Taylor, D.M. & Fathali M. Moghaddam, 1994. Theories of Intergroup Relations. London: Greenwood Publishing Group, pp. 61-62

29 Robert A. Baron & Donn Byrne, 2004. Psikologi Sosial diterjemahkan Ratna Djuwita dkk dari Social Psychology (Jakarta: Penerbit Erlangga), Jilid 1., hal 163.

Page 48: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

35

untuk mengkonseptualisasi dan mengevaluasi diri (Deaux, 1993 dalam Binder).30 Pengertian yang disampaikan Tajfel sepertinya juga lebih tegas mendefinisikan identitas sosial sebagai konsep diri individual (individual’s self-concept) yang diderivasikan dari pengetahuannya atas keanggotaannya pada suatu kelompok sosial bersama (social group together) dengan signifikansi emosional yang terkait pada keanggotaannya.31

Sementara itu menurut Jackson dan Smith (1999), identitas sosial dapat dikonseptualisasikan dalam empat dimensi, yakni persepsi dalam konteks antarkelompok, daya tarik in-group, keyakinan yang saling terkait dan depersonalisasi. Persepsi antar kelompok berlangsung dalam hubungan antara in-group seseorang dengan grup perbandingan yang lain, daya tarik in-group berupa afek yang ditimbulkan oleh in-group seseorang, keyakinan yang saling terkait mewujud dalam bentuk norma dan nilai yang menghasilkan tingkat laku anggota kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi keyakinan yang sama, dan depersonalisasi mengambil bentuk dalam cara bagaimana kelompok sosial memandang dirinya sebagai contoh dari kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik.32 Peran yang dimainkan oleh identitas sosial dalam hubungan antarkelompok amat tergantung pada dimensi mana yang berlaku, apakah persepsi dalam konteks antarkelompok, daya tarik in-group, keyakinan yang saling terkait, atau depersonalisasi.

Dijelaskan Jackson dan Smith (1999), keberadaan empat dimensi identitas sosial ini didasarkan pada dua tipe dasar identitas: aman dan tidak aman. Saat identitas aman memiliki derajat yang tinggi, maka individu cenderung mengevaluasi out-grups lebih baik, lebih sedikit bias bila membandingkan in-group dengan out-group, dan kurang yakin pada homogenitas in-group. Sebaliknya identitas tidak aman dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat positif terhadap in-group, bias lebih besar dalam membandingkan in-group dengan out-

30 Robert A. Baron & Donn Byrne, 2004. Psikologi Sosial, hal. 16331 Henri Tajfel, Social Indentity and Intergroup Behavior(Social Science

Information: 1974) h. 69. Artikel diunduh dari http://ssi.sagepub.com/content/13/2/65

32 Robert A. Baron & Donn Byrne, 2004. Psikologi Sosial, hal 163.

Page 49: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

36

group, dan persepsi homogenitas in-group yang lebih besar.33

Menurut Sherman (1994), setiap orang berusaha membangun sebuah identitas social (social identity), sebuah representasi diri yang membantu dirinya mengkonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa dirinya. Dengan mengetahui siapa dirinya, individu atau kelompok sosial akan dapat mengetahui siapa diri (Self) dan siapa yang lain (Others).34 Dan setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif dalam rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality).35 Keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting di balik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial.

Sebagai sebuah teori, identitas sosial mencoba menjelaskan hubungan antar kelompok secara umum. Teori ini meliputi tiga hal utama; yakni orang termotivasi untuk mempertahankan konsep diri yang positif; konsep diri tersebut sebagian besar berasal dari identifikasi kelompok; dan, orang membangun identitas sosial yang positif dengan membandingkan kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group). Pemilik identitas sosial akan selalu menjaga dan mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk, baik dalam skala individual maupun skala kelompok.

Sementara itu, Sherman (1994) seperti dikutip Robert A. Baron & Donn Byrne (2004) mengatakan, identitas sosial mencakup banyak aspek karakteristik unik, seperti nama dan konsep self, selain berbagai karakteristik lain dengan catatan memiliki keserupaan/kesamaan dengan yang dimiliki pihak lain. Berbagai aspek ini, sebut Deaux (1995) sekaligus merupakan tipe-tipe identitas sosial yaitu, pertama, ikatan hubungan perorangan (personal relationships) seperti identitas yang berhubungan dengan status perkawinan, pertemanan, jenis kelamin, dan hubungan keturunan; kedua, pekerjaan/kegemaran (vocations/avocations) yaitu identitas sosial yang terbangun dari kesamaan profesi dan hobi; ketiga, afiliasi politik (political affiliations) yaitu identitas sosial 33 Robert A. Baron & Donn Byrne, 2004. Psikologi Sosial. 164.34 Robert A. Baron & Don Byrne, Psikologi Sosial Jilid I (Jakarta. Erlangga, 2003),

h. 162-163.35 Lihat Michael Hogg & Dominic Abrams, 1988. Social Identifications: A Social

Psychology of Intergroup Relations and Group Processes. P. 8.

Page 50: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

37

yang terbangun karena kesamaan pilihan politik; keempat, etnik/kelompok keagamaan (ethnic/religious groups) yaitu identitas sosial berdasarkan kesamaan anutan dan emosi keagamaan dan keanggotaan kesukuan; dan kelima, atribut khusus (stigmatized groups) yaitu identitas sosial yang terbangun berdasarkan stigma atas keserupaan status sosial, penyakit, dan kecenderungan seksual.36 Merujuk pendapat Deaux demikian, bisa disimpulkan bahwa identitas keagamaan merupakan salah satu aspek identitas sosial, seperti halnya aspek etnis, politik, ideologi maupun aspek kekhususan. Ia menjadi sesuatu yang erat melekat dalam diri masing-masing penganutnya yang mempersatukan dan menentukan arah kehidupan mereka, menjadi penanda ‘kekitaan’ sekaligus memisahkan dari ‘keliyanan’.

Agama sendiri, deskripsi Nottingham, merupakan fenomena yang berkaitan dengan usaha-usaha manusia dalam mengukur kedalaman makna atas keberadaan dirinya sendiri maupun kehadiran alam semesta yang berada di sekitarnya. Ia membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna sekaligus perasaan takut dan kengerian dalam diri manusia. Selain memberikan gambaran tentang akhirat, agama juga melibatkan diri dalam masalah-masalah hidup keseharian manusia. Agama menjadi sumber moral tatanan hidup manusia.37 Dilihat dari unsurnya, agama memuat sejumlah unsur penting, yakni ide tentang yang sakral, sikap-sikap yang dituntun oleh perasaan yang berhubungan dengan yang sakral; kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan yang mengekspresikan dan sikap-sikap ini; dan, pemilikan dan pengamalan oleh kelompok pemeluk dalam masyarakat yang ditandai oleh nilai-nilai moral yang sama.38 Kehadirannya dalam

36 Lihat Deaux, K., Reid, A., Mizrahi, K., & Ethier, K. A. (1995). Parameters of social identity. Journal of Personality and Social Psychology, 68(2), 280-291. Lihat http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.68.2.280 paparan yang lebih jelas tipe-tipe identitas sosial Deaux bisa dilihat pada Kay Deaux, Anne Reid, Kim Mirazhi, and Dave Cotting, “Connecting the Person to the Social: The Functions of Social Identification” dalam Tyler, Tom R. et all (ed.), The Psychology of The Social Self, (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 1999), p.93-97.

37 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 3-4.

38 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 18

Page 51: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

38

kehidupan masyarakat, tambah Nottingham, juga amat diperlukan karena ia berperan dalam memenuhi sebagian kebutuhan hidup manusia dengan mengkontribusikan penciptaan sistem-sistem nilai yang terpadu dan utuh, termasuk memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat (moral) yang berlaku.39

Saat ditempatkan sebagai bagian dari identitas sosial, merujuk analisa Deaux, maka hal itu menandakan penerimaan atas dimensi keberagamaan yang dijalankan suatu kelompok sosial tertentu sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Dalam hal ini, pilihan menentukan agama tertentu merupakan sebuah pilihan pribadi, namun pada saat agama tersebut dipraktekan bahkan memberikan kesamaan identitas dan ikatan pada suatu kelompok sosial, maka agama tidak lagi menjadi identitas yang bersifat pribadi, melainkan telah menjadi identitas sosial keagamaan. Saat menjadi identitas sosial keagaman, agama berperan besar menginternalisasikan nilai-nilai ajaran untuk diyakini dan dijalankan dalam laku keseharian masyarakat pengiman, bahkan secara sosiologis ia kemudian menciptakan pengaruh dan rasa keterikatan di antara sesama pengimannya.

Berbicara keagamaan dalam lingkup pribadi dan sosial berarti berbicara soal religiusitas atau pengalaman keagamaan. Dalam wilayah studi-studi agama, sejumlah ahli memberikan batasan tentang apa saja dimensi keagamaan saat dirinya mewujudkan diri dalam wilayah kemanusiaan. Glock and Stark (1968), misalnya, mengidentifikasi lima dimensi keagamaan (dimensions of religiosity), yakni bersifat pengalaman atau eksperiensial (experiential), ideologis (ideological), ritualistik (ritualistic), intelektual (intellectual), dan konsekuensial (consequential). Dimensi eksperiensial menampilkan diri dalam bentuk pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau diidentifikasikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) saat berkomunikasi dengan kekuasaan yang maha luhur (Tuhan). Dimensi ritualistik mengambil bentuk pada perilaku pemujaan, ketaatan, dan lain-lain yang ditunjukkan sebagai komitmen atas keagamaan yang dianutnya. Perilaku di sini

39 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 27-29.

Page 52: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

39

bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar agama. Dimensi keyakinan/ideologis, dimensi ini berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed) sebagai hal paling mendasar sekaligus membedakannya dari yang lain. Dimensi konsekuensial, menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh ajaran agama dalam perilaku umum seperti keharusan berbuat baik dan menjauhi perilaku-perilaku negatif. Sedangkan dimensi intelektual merefleksikan wilayah tradisi pengetahuan dan keberlangsungannya dalam komunitas tersebut seperti pengetahuan tentang dimensi-dimensi khusus dan umum ajaran agamanya.40

Dengan demikian, identitas keagamaan seperti disampaikan Glock and Stark setidaknya bisa disimpulkan mencakup konsep ketuhanan, doktrin, ritual atau upacara keagamaan, tradisi pengetahuan dan dorongan moral. Bagi masyarakat pengiman, seluruh aspek ini berhubungan erat dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks kehidupan pribadi, konsep-konsep ini terinternalisasi menjadi spirit yang melandasi kehidupannya. Sedang dalam konteks kehidupan sosial, nilai yang terinternalisasi dalam sejumlah individu menumbuhkan rasa kesamaan kolektif sekaligus menjadi modal bagi mereka dalam membedakan diri dengan komunitas yang lain. Ritual keagamaan, misalnya, dalam bentuk lahiriahnya tidak hanya menjadi hiasan atau semacam alat, melainkan menjadi bentuk ‘pengungkapan iman’ pengimannya, sedang secara sosial ia menjadi identitas penanda kesamaan sebuah komunitas yang sama-sama memiliki keyakinan sama.41

Dalam kehidupannya, kata Magnis (2005), manusia –terutama pada masyarakat modern— terlibat dalam sebuah lingkungan komunikatif, dimana tiga diantaranya adalah lingkungan rasionalitas ilmiah, lingkungan kesamaan agama, dan lingkungan kesatuan nilai-nilai dasar. Lingkungan rasionalitas ilmiah berlaku pada komunitas yang

40 Rodney Stark & Charles Y. Glock, American Piety: The Nature of Religious Commitment (Berkeley: University of California Press, 1968), p. 14-16

41 Lihat Lalu Muhammad Ariadi, 2013. Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan Kebudayaan Lokal. Ciputat: Impress, h. 33.

Page 53: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

40

terlibat penuh pada persoalan-persoalan akademik, tanpa memedulikan perbedaan-perbedaan latar belakang sesama komunikan. Begitu juga kesatuan nilai-nilai dasar, manusia melakukan komunikasi secara bebas atas dasar nilai-nilai kemanusiaan universal seperti keadilan sosial dan penghindaran totalitarianisme. Berbeda pada dua lingkungan komunikatif tersebut, lingkungan kesamaan agama merupakan lingkungan dimana ia tercipta secara erat atas dasar kesamaan ajaran keagamaan.42

Dalam konteks keberagamaan terutama di Indonesia, keyakinan dan pengamalan terhadap suatu agama tertentu merupakan penanda identitas individu maupun kelompok sosial. Dalam sebuah negara dengan komitmen kebebasan dan jaminan bagi siapa pun untuk melaksanakan iman dan ajaran agamanya, agama menjadi penanda penting seperti halnya identitas lain bagi individu maupun kelompok. Dan di Indonesia, akomodasi agama dalam kebijakan pembangunan sosial politik cukup tegas dilakukan baik dalam regulasi maupun produk-produk kebijakan pemerintahan. Selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, Khonghucu merupakan salah satu agama yang tumbuh di lingkungan masyarakat agama di Indonesia. sebagai sebuah agama, Khonghucu tentu saja memiliki struktur penganut maupun kerangka teologis doktrinal, ritual-upacara keagamaan, maupun hak untuk diakui secara nominal.

C. Resiliensi SosialSebelum mendefinisikan resiliensi sosial, perlu difahami terlebih

dulu istilah ‘resiliensi’. Secara etimologis, kata resiliensi diambil dari kata ‘resilience’ dan diderivasikan dari istilah ‘resalire’ (Latin, to spring back) yang berarti daya pegas, daya kenyal, atau daya lenting.43 Arti ini hampir serupa dengan pendefinisian resilience dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary sebagai kemampuan seseorang untuk merasakan lebih baik secara cepat setelah mengalami kejadian tidak menyenangkan atau kemampuan suatu substansi untuk kembali kepada bentuk aslinya setelah mengalami tekanan atau desakan.44

42 Franz Magnis-Suseno, 2005. Pijar-Pijar Filsafat. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), hal. 23-24.

43 John Echols & Hasan Shadily, 2003, h. 48044 1) the ability of people to feel better quickly after something unpleasant such as shock,

Page 54: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

41

Istilah resiliensi muncul pertama kali dalam tradisi keilmuan fisika (pysichal sciences) sebelum kemudian populer dalam disiplin ekologi dan psikologi sosial atau komunitas (psychological community). Dalam disiplin fisika, istilah ini digunakan untuk menunjukkan karakter suatu pegas (behavior of spring), sedang dalam ekologi dan psikologi komunitas, istilah ini diadopsi untuk menjelaskan sebuah gejala yang beragam.45 Saat digunakan untuk pertama kali dalam ranah psikologi pada dekade 1950-an, selain digunakan untuk menjelaskan kemampuan toleransi (tolerance ability) pada anak-anak, istilah resiliensi digunakan untuk menggambarkan himpunan kualitas yang memungkinkan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan jiwa (psychology balanced) dan kesehatan mental (mentally healthy) dalam menghadapi situasi krisis dan gejolak hidup yang tak menentu.

Dengan popularitasnya yang banyak digunakan di banyak bidang, resiliensi memiliki banyak definisi sesuai bidang ilmu yang menggunakannya. Dalam konteks ekologi, misalnya, R. Klein, R. Nicholls, & F. Thomalla (2003) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan suatu sistem yang telah mengalami tekanan untuk kembali pulih dan bangkit ke kondisi semula; persisnya, kemampuan sistem dalam menghadapi banyak gangguan dengan menyerap gangguan sambil mempertahankan kondisinya atau kemampuan menata diri dalam situasi yang tidak menentu.46 Tidak jauh berbeda dengan definisi tersebut, Resilience Alliance (2009) juga mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan suatu sistem untuk mengabsorpsi gangguan atau ketidakmenentuan sementara perubahan terus berlangsung sehingga secara esensial aspek-aspek fungsi, struktur, dan umpan balik (feedback), bahkan identitas yang sama tetap terpelihara.47

Dalam psikologi komunitas, Timmerman (1981) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan sistem untuk mengabsorpsi dan

and injury, dan 2) the ability of a substance to return to its original shape after it has been bant, streched or pressed. Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Presspp. 1256

45 Community & Regional Resilience Institute, 2013. Definitions of Community Resilience: An Analysis. Pp, 2.

46 R. Klein, R. Nicholls, & F. Thomalla, 2003. Resilience to natural hazards: How Useful is this Concept? dalam Environmental Hazards, 5, pp. 35-45.

47 Community & Regional Resilience Institute, 2013. Definitions of Community Resilience: An Analysis. Pp, 5.

Page 55: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

42

memulihkan ulang dari peristiwa atau kejadian berbahaya (hazardous event); sebuah kemampuan reflektif komunitas untuk melindungi diri dari berbagai situasi kurang menyenangkan di masa mendatang.48 Mileti (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bertahan dalam situasi ekstrim tanpa harus kalah akibat penderitaan yang merusak, kehancuran, penurunan produktifitas, atau kualitas hidup secara mandiri tanpa bantuan (assistance) dari luar komunitasnya.49 Definisi yang cukup lengkap disampaikan The Community and Regional Resilience Institute (CARRI) dimana resiliensi dalam konteks komunitas atau resiliensi sosial didefinisikan sebagai kapabilitas untuk mengantisipasi resiko, pengaruh keterbatasan, dan pembalikan cepat melalui daya bertahan hidup (survival), penyesuaian diri (adaptability), perkembangan (evolution), dan pertumbuhan (growth) di hadapan perubahan yang bergejolak (turbulent change).50

Melihat berbagai definisi yang disampaikan terlihat jika benang merah resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dengan menyesuaikan diri di tengah situasi yang tidak normal berupa hadirnya tekanan atau gangguan sekaligus kemampuan untuk bangkit dan pulih kembali saat tekanan tersebut terhenti. Dalam hal ini, hadir dalam tiga sisi; pertama, resiliensi sebagai bentuk kekuatan (strength), daya tahan (resistance), dan kekebalan (invulnerability); kedua, resiliensi sebagai kapasitas untuk sembuh (heal), memulihkan diri (recovery), dan kembali aktif secara cepat dan penuh; ketiga, kesanggupan (ability) untuk beradaptasi, berubah, dan menemukan jalan baru untuk hidup dan maju kendati menjadi lemah karena tekanan yang dihadapi.51 Dengan keberhasilan melewati tantangan melalui ketiga aspek ini, maka resiliensi acapkali didefinisikan sebagai sebuah adaptasi positif dalam konteks kesengsaraan/kemalangan signigfikan (a positive

48 P. Timmerman, 1981. Vulnerability, Resilience, and The Collapse of Society: A Review of Models and Possible Climatic Applications. Institute of Environmental Studies, University of Toronto, Toronto.

49 D. Milleti, 1999. Disasters by Designe: A Reassessment of Natural Hazards in the United States. Joseph Henry Press, Washington DC.

50 Community & Regional Resilience Institute, 2013. Definitions of Community Resilience: An Analysis. Pp, 10.

51 Laurence J. Kirmayer, Megha Sehdev, Rob Whitley, Stephane F. Dandeneau, dan Colette Isaac, 2009. Community Resilience: Models, Metaphors, and Measure. Journal of Aboriginal Health, November 2009., pp. 68.

Page 56: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

43

adaptation in the context of significant adversity) dimana situasi resilien dikarakterisasi oleh keluaran sukses (a succesful outcome). Dalam hal ini, ‘adaptasi’ mengindikasikan sejumlah kombinasi penguasaan (coping) dan pertumbuhan (growth), dan perubahan (transformation) kendati dihadapkan pada resiko yang kronis, stress, trauma, dan bencana.52

Dalam perkembangannya, kajian tentang resiliensi tidak hanya menangkap fenomena daya tahan dari objek individual, melainkan memperluas kajiannya tentang daya tahan yang dimiliki suatu komunitas sosial saat dihadapkan pada situasi yang menekan dan mengganggu mereka. Dalam hal ini, resiliensi dipandang tidak hanya untuk wilayah individu dalam sebuah komunitas sosial itu sendiri, melainkan juga muncul dalam kelompok masyarakat yang bersatu dalam jejaring hubungan (relationship). Masyarakat, dalam perspektif resiliensi sosial, dapat secara langsung dan aktif (directly and actively) menggunakan sumber daya sekelilingnya untuk mempercepat pemulihan kondisi tekanan yang mereka hadapi.53 Untuk itu bisa dikatakan jika resiliensi sosial merupakan daya tahan yang dimiliki mereka untuk menghadapi tekanan sekaligus memulihkan kondisi mereka ke dalam kondisi semula.

Terkait kemampuan komunitas ini, Adger (2000) seperti dikutip Laurence J. Kirmayer (2009) menyatakan jika resiliensi komunitas kembali pada kuantitas dan kualitas sumber daya (resource) yang bisa diakses komunitas yang sekaligus memodifikasinya dalam menghadapi tantangan-tantangan baru. Dalam hal ini Breton (2001) masih dikutip Laurence J. Kirmayer (2009) menyatakan jika resiliensi komunitas tergantung pada persediaan (stock) manusia dan modal sosial (social capital) dalam suatu komunitas sendiri. Modal sosial dalam konteks ini terdiri dari orang (people), jejaring (network), dan perkumpulan voluntari (voluntary association) yang secara efektif mampu memobilisasi individu-individu untuk bergerak, baik untuk infrastruktur maupun pelayanan komunitas.54

Dalam perspektif resiliensi, terutama resiliensi sosial inilah penulis meletakkan kajian tentang bagaimana umat agama Khonghucu sebagai

52 Laurence J. Kirmayer, etc., 2009. Community Resilience: Models, Metaphors, and Measure. Pp. 68.

53 Laurence J. Kirmayer, etc., 2009. Community Resilience: Models, Metaphors, and Measure. Pp. 72.

54 Laurence J. Kirmayer, etc., 2009. Community Resilience: Models, Metaphors, and Measure. P. 72.

Page 57: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

44

entitas sosial keagamaan mempertahankan identitas keagamaannya sepanjang pemerintahan politik Orde Baru (1965-1998). Diketahui, pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan pembauran yang ketat terhadap masyarakat Tionghoa guna menghilangkan sekat relasi sosial antara masyarakat keturunan Tionghoa maupun masyarakat berlatarbelakang suku-suku di kawasan nusantara. Berbagai identitas sosial suku bangsa Tionghoa seperti bahasa, ekonomi, politik, dan kebudayaan mereka dipandang sebagai satu hal yang asing sehingga dianggap menganggu harmonitas bangsa Indonesia. Melalui berbagai kebijakan seperti perubahan nama Tionghoa, pengambilan aset-asetnya, pelarangan organisasi rasial, pelarangan penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa, termasuk pembatasan ekspresi kultural merupakan bagian dari kebijakan pembauran massif Orde Baru.

Komunitas agama Khonghucu yang populer di kalangan masyarakat Tionghoa, baik karena ia lahir dan tersebar secara mayoritas di lingkungan Tionghoa maupun banyaknya simbol kultural Tionghoa yang digunakan agama ini, menyebabkan aspek sosial keagamaan masyarakat Khonghucu ikut terbatas. Hampir tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa, umat agama Tionghoa harus bergelut mempertahankan identitas keagamaannya yang bercorak kultural Tionghoa. Pelarangan dalam mengekspresikan identitas nominal, dimensi kultural keagamaan Khonghucu, bahkan hilangnya pengakuan administratif ‘agama Khonghucu’ dalam regulasi dan pelayanan kebijakan agama-agama Indonesia menjadi spektrum penting dalam melihat ketahanan umat agama Khonghucu untuk mempertahankan identitas keagamaannya. dan, studi ini berupaya untuk merekonstruksi bagaimana umat agama Khonghucu mempertahankan diri dalam situasi yang tidak begitu mengakomodir kepentingan mereka sebagai umat agama dalam mengekpresikan iman keagamannya seperti halnya dilakukan umat agama-agama lain di Indonesia sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Page 58: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

45

Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan bagaimana asimilasi diberlaku kan pemerintahan Orde Baru terhadap masyarakat Tionghoa sebagai jalan penyelesaian atas berbagai masalah ketionghoaan dalam hubungannya dengan lingkungan sosial-kultural Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis akan terlebih dahulu menjelaskan eksistensi Tionghoa dalam struktur sosial Indonesia ditinjau dari latar belakang sejarah kehadiran, peranan sosial, dan keagamaan Khonghucu sebagai refleksi kultural-religius mereka. Selanjutnya, penulis akan menarasikan realitas konflik antara masyarakat Tionghoa-non Tionghoa sebagai latar belakang diambilnya kebijakan pembauran oleh rezim pemerintahan Indonesia, terutama Orde Baru. Di bagian akhir, penulis akan menarasikan bagaimana asimilasi Tionghoa juga berdampak pada identitas keagamaan Khonghucu yang dipraktekan oleh masyarakat Tionghoa.

A. Tionghoa Indonesia: Dinamika Sejarah Sosial, Politik, dan Kultural

Masyarakat Tionghoa dipercaya sudah mengenal dan hadir di Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Interaksi etnik Tionghoa dengan kawasan dan masyarakat Nusantara lainnya diyakini telah berlangsung sejak Dinasti Han (206 SM-220 M) dengan berbagai motif dan format interaksi.1 Merujuk sejumlah sumber, setidaknya terdapat sejumlah faktor saling bersilangan yang menjadi alasan atas kehadiran masyarakat Tionghoa di Nusantara, baik faktor yang bersifat ekonomi, politik, maupun keagamaan. Mengutip keterangan Fukuda Shozo (1995), Witanto mencatat setidaknya empat alasan di balik migrasi etnis Tionghoa ke berbagai kawasan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yakni ekonomi, politik, kepadatan penduduk di daratan Tiongkok, dan

1 A. Dahana, Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia, Wacana, Vol. 2, no. 1, April 2000, hal. 54-55.

BAB IIITionghoa, Khonghucu,

dan Asimilasi Orde Baru

Page 59: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

46

sosial.2 Secara ekonomis misalnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ke wilayah Nusantara berlangsung seiring kegiatan perdagangan teh dan porselen Tiongkok yang dilakukan para pedagang Tiongkok ke berbagai kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia. Kegiatan ini diperkirakan berlangsung sejak abad ke-8 M. Para pedagang ini disebar sebagai utusan kamar-kamar dagang Tiongkok yang ditunjuk.3 Motivasi ekonomi juga berlangsung searah kebutuhan tenaga ahli di bidang pengolahan produk-produk tambang di kawasan Nusantara. Keterangan Pramoedya, misalnya, awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara berawal dari permintaan pemerintahan Kutai Kartenegara di pedalaman Kalimantan akanahli pertambangan. Sebagai penghasil emas, Kutai membutuhkan para pandai perhiasan (emas). Salah satu etnis yang memiliki kepandaian demikian adalah Etnis Tionghoa yang didatangkan dari wilayah Tiongkok daratan. Para pandai emas ini selanjutnya bermukim dan menyebar mulai dariKabupaten Kutai, Sanggau, Pontianak dan daerah-daerah sekitarnya.4

Aktifitas perdagangan yang mulai berlangsung sejak abad ke-2 M juga menjadi alasan masyarakat Tiongkok mulai mengenal kawasan Nusantara. Pemerintahan Dinasti Wu (220-264 M) di Selatan China, yang mendorong impor barang-barang dari wilayah barat seperti kapas dari India dan kaca dari Byzantium dan Arab-Parsi, mengenalkan kawasan Nusantara sebagai jalur perdagangan penting dengan menyusuri pantai tenggara China, pesisir Indo-China, dan Pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu. Dua abad kemudian, abad 4 M, para pelaut Tiongkok juga mulai mengenal jalur perdagangan laut ke India melalui bagian lain Nusantara. Jalur ini ditempuh melalui Laut China Selatan, berlanjut ke kepulauan Filipina, menyusuri Borneo (Kalimantan), lalu pantai-pantai Jawa dan selatan Sumatera.5 Aktifitas perdagangan dengan

2 Eddy Prabowo Witanto, 2002, Meretas Latar Sejarah Migrasi Etnis Cina ke Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Migrasi Orang Tionghoa dari Tiongkok ke Indonesia Hingga Tahun 1945 di Surabaya dan diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Tionghoa, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra Surabaya, hal. 7.

3 Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, (Depok: Penerbit KEPIK, 2012), cet ke-I, hal. 70.

4 Pramoedya A. Toer, Hoakiau di Indonesia (Jakarta: Graha Budaya, 1998), hal.175.

5 Ahmad Jelani Halimi, Perhubungan Perkapalan dan Perdagangan Nusantara-

Page 60: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

47

berbagai pusat perdagangan dunia ini membuat para pedagang Tiongkok mengenal baik kawasan Nusantara. Dengan asumsi makin majunya kegiatan perdagangan, dimana Nusantara menjadi kawasan penghubung, pengenalan Nusantara oleh para pedagang Tiongkok juga menjadi lebih baik.

Kondisi sosial kependudukan di daratan Tiongkok juga menjadi alasan kuat terus mengalirnya migrasi Tionghoa perantauan (huaqiao) ke berbagai kawasan Nusantara. Houn (1973) dalam Dahana (2000) misalnya mencatat bahwa pada abad 19 M, Tiongkok mengalami ledakan penduduk yang tidak diimbangi sumber daya alam memadai guna menutup kebutuhan masyarakatnya. Kondisi ini mengakibatkan naiknya angka kemiskinan, kerusuhan, dan keresahan sosial di daratan Tiongkok. Kondisi demikian diperparah oleh berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan wabah penyakit. Keterangan ini diperkuat Wu (1959) seperti masih dikutip Dahana (2000), bahwa kemunduran fondasi ekonomi Tiongkok menjadi alasan migrasi besaran-besaran etnik Tionghoa setelah tahun 1850. Kondisi semakin parah dengan berlangsungnya imprealisme Barat ke wilayah Tiongkok. Kondisi demikian menjadi hal yang sangat tidak menguntungkan bagi warga Tiongkok sehingga mendorong mereka mengadu peruntungan ke luar negeri, terutama kawasan dengan prospek ekonomi cerah dan kekurangan populasi seperti kawasan Asia Tenggara.6

Secara politik, pengenalan kawasan Nusantara oleh masyarakat Tiongkok juga bisa ditelusuri pada konflik ketegangan antara Raja Kubilai Khan (cucu Jengis Khan, Mongol) dengan Raja Kertanegara, Kerajaan Singosari. Pada konflik tersebut, Kubilai Khan mengirimkan sepasukan tentara Tiongkok pada 1292 M. Kendati menemui kegagalan karena Raja Kertanegara sendiri wafat dengan ditariknya kembali pasukan pada 1293 M, namun peristiwa ini telah mengenalkan masyarakat daratan Tiongkok kepada wilayah Nusantara. Sebab diantara pasukan yang terluka dan ditawan, sebagian diantaranya memilih tetap tinggal di

China Sejak Zaman Awal dalamPerdagangan Dunia Melayu-China Hingga Kurun ke-16 Masihi: Satu Tinjauan Sejarah dan Arkeologi, ed. Nazarudin Zainun dan Nasha Rodziadi Khaw (Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Islam Malaysia, 1970). e-ISBN 978-983-861-892-2.

6 A. Dahana, 2000. Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia, Jurnal WACANA, Vol. 2, No. 1, April 2000, hal. 54-55.

Page 61: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

48

Jawa.7 Mereka tinggal di Loa Sam (Lasem), mendirikan tempat ibadat (Kelenteng) dan membangun komunitas.

Selain itu, komunitas Tionghoa yang tinggal maupun baru tiba di wilayah Nusantara belakangan memainkan peran penting dalam rangkaian dinamika politik kekuasaan lokal Nusantara. Pendirian Kerajaan Demak, misalnya, tidak lepas dari peran mereka sebagai komunitas politik dengan menjadi sekutu Demak dalam meneguhkan posisi kekuasaan atas Majapahit. Peran ini diperkuat dengan posisi ulama Islam berlatarbelakang Tionghoa seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Djati sebagai patron politik kekuasaan Islam setempat. Selain dipercaya turut menyebarkan agama Islam, etnis ini diberi wewenang untuk menjalankan pengelolaan pelabuhan laut seperti di Semarang dan Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkanuntuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan Gresik.8

Dalam sudut politik, Dahana mencatat, migrasi Tionghoa ke Nusantara juga didasarkan pergolakan politik di dalam negeri Tiongkok sendiri. Pergantian kekuasaan dari Dinasti Ming (1368-1644) kepada Dinasti Qing (1644-1911) banyak mengundang kekecewaan para patriot Tionghoa. Dinasti Qing yang didirikan suku Manchu dianggap sebagai dominasi asing terhadap bangsa Tionghoa. Kondisi menyebabkan sebagian warga Tiongkok memilih pindah ke berbagai kawasan luar negeri, terutama negara di kawasan Selatan Tiongkok. Selain karena lebih prospektif secara ekonomi, rintangan alam untuk keluar dari daratan Tiongkok melalui jalur ini dinilai relatif lebih aman.9 Pendapat Dahana ini selaras dengan catatan Hari Poerwanto bahwa selain motif

7 Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Chengho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), Edisi ke-3, hal. 119-120.

8 Pramoedya A. Toer, Hoakiau di Indonesia (Jakarta: Graha Budaya, 1998), hal 143-144.Tentang peran politik Tionghoa, bisa pula dibaca Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. Ke-V, hal. 54-75. Dalam buku ini, Slamet memperlihatkan bagaimana komunitas Tionghoa turut terlibat dalam percaturan politik berdirinya sejumlah kerajaan baru Islam di Jawa dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit dan berdirinya kerajaan Islam Demak.

9 A. Dahana, 2000. Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia, Jurnal WACANA, Vol. 2, No. 1, April 2000, hal. 55.

Page 62: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

49

ekonomi, migrasi bangsa Tionghoa dari beragama wilayah Tiongkok seperti Kwantung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan juga tidak lepas dari tekanan pemerintahan mereka.10

Secara keagamaan, perkenalan masyarakat Tionghoa dengan Nusantara ditandai dengan kedatangan sejumlah pendeta Budha asal Tiongkok yang akan mempelajari agama Buddha ke India, namun mereka singgah terlebih dulu di beberapa kawasan Nusantara seperti Sumatera dan Jawa. Beberapa keterangan tertulis para agamawan ini misalnya diberikan Yi-Jing (I-Tsing), seorang pendeta Budha pada Dinasti Tang, pada tahun 671 M (abad 7 M). Yi-Jing datang ke Nusantara untuk terlebih dulu mempelajari bahasa Sansekerta sebelum mempelajari agama Buddha ke India. Di Jawa, ia berguru kepada Janabahadra.11 Belakangan Yi-Jing sendiri merekomendasikan Nusantara (Jawa dan Sumatera) sebagai tahap awal bagi para pendeta Buddha untuk mempelajari bahasa Sansekerta sebelum belajar ke India. Selain itu, Yi-Jing sendiri memilih wilayah Sriwijaya sebagai tempatnya menyalin dan menerjemahkan kitab-kitab agama Buddha yang nantinya dibawa dan disebarkan di Tiongkok.12

Berbagai faktor, baik ekonomi, politik, maupun agama, menjadi bukti atas kehadiran etnik Tionghoa di wilayah Nusantara sejak belasan abad lalu. Hal ini meneguhkan dugaan bahwa persebaran masyarakat Tionghoa sendiri terus menerus dilakukan dalam rentang waktu lama dan diperkirakan sudah cukup merata di kota-kota pesisir sejak abad ke-15 M dan abad ke-16 M.13Di Banten misalnya, komunitas Tionghoa sepanjang abad 15-16 M sudah mencapai jumlah yang relatif besar dengan peran signifikan, terutama dalam sektor perdagangan. Mengutip keterangan Ma Huan, juru catat Laksamana Cheng Ho selama melakukan ekspedisi ke Nusantara, dalam Yingya Shenglan masyarakat Tionghoa

10 Hari Poerwanto, The Problem of Chinese Assimilation and Integration in Indonesia, dimuat dalam Philippine Sociological Review, Vol. 24, No. 1 / 4 The Chinese in ASEAN Countries: Changing Roles and Expectations (January-October 1976), pp. 51-55.

11 Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), hal. 47-86.

12 M. Ikhsan Tanggok dkk.Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China (Jakarta: Gramedia,2010), hal. 171-172

13 Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, hal. 72

Page 63: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

50

tampaknya telah menempati posisi sosial ekonomi yang cukup mapan dalam struktur masyarakat Jawa :

“Di negara ini (maksudnya, Jawa) terdapat tiga kelompok penduduk. Pertama, orang Muslim (disebut Mohammedan atau pengikut Muhammad) yang datang dari Barat (merujuk pada kawasan India, Gujarat, Persia, Malabar, dan Benggala) dan menetap di sini. Mereka sudah mengenakan pakaian dan memakan makanan yang bersih dan layak. Kedua, orang Tionghoa yang berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan menetap di sini. Apa yang mereka makan dan kenakan sudah sangat pantas. Banyak diantara mereka memeluk agama Islam dan taat menjalankan ajarannya. Kelompok ketiga adalah penduduk pribumi. mereka sangat jelek dan kotor. Kepala mereka sangat jelek dan kotor. Kepala mereka tidak pernah dicuci dan mereka bepergian dengan kaki telanjang...”14

Melihat berbagai faktor dan sejarah panjang kehadiran, bisa dipastikan bahwa kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara berlangsung secara bertahap dalam jangka waktu lama. Dugaan ini dikuatkan penelitian Sutedja (2012) mengutip Taniputera (2008), bahwa kedatangan Tionghoa ke Nusantara telah berlangsung jauh sebelum kolonialisme VOC dan Belanda menjajah Indonesia. Salah satu bukti awal kedatangan mereka wilayah ini adalah kumpulan kisah perjalanan perdagangan Tiongkok ke Nusantara, Shun-feng xiang-song, yang menjadi rujukan para pelaut Tiongkok ke Nusantara di abad ke-15 M atau sekira tahun 1430. Buku ini memuat teori pelayaran, praktik, doa-doa, dan tempat-tempat yang disinggahi. mengutip Tanumetra, Sutedja meyakini gelombang migrasi Tionghoa di abad ke-17 M merupakan puncak migrasi. Migrasi selanjutnya berlangsung di era 1850-an saat daratan Tiongkok terjadi Perang Candu dam pemberontakan Tai Ping terhadap Dinasti Qing. Gelombang migrasi kembali berlangsung sekitar 1925-1930 saat berlangsungnya peperangan dan perebutan kekuasaan diantara para warlords Tiongkok. Migrasi ke Indonesia kembali terjadi tahun 1949 seiring terjadinya peperangan antara Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Nasionalis.15

14 Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, hal. 72-73.

15 Sugiri Sutedja, Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung,

Page 64: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

51

Terkait pola kedatangannya, mengutip Wang Gungwu (1995), Witanto menyebutkan adanya empat pola migrasi yang berlaku umum pada masyarakat Tionghoa yang berpindah dari daratan Tiongkok ke Indonesia khususnya, maupun negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Keempatnya, yaitu pola perdagangan (trade pattern/huashang), pola buruh atau kuli (coolie pattern/huagong), penyebaran ideologi (sojourner pattern/huaqiao), dan pola keturunan yang kembali bermigrasi (descent or re-migrant pattern/huayi). Pola pertama, perdagangan, merupakan pola tertua –sekitar abad ke 5 M— dan terus berlangsung mencapai puncak dominasinya dalam kurun abad ke-18 M. Pola kedua, pola buruh atau kuli, mulai berlangsung signifikan ketika Kolonial Barat membutuhkan tenaga-tenaga kasar untuk bekerja di sektor-sektor perkebunan dan pertambangan di berbagai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia seperti di industri pertambangan Kalimantan Barat pada 1770, pertambangan timah di Kepulauan Bangka-Belitung masing-masing mulai tahun 1711 M dan 1852 M, dan berbagai wilayah perkebunan di Sumatera dan kepulauan sekitarnya. Pola penyebaran ideologi difahami sebagai bentuk migrasi sebagai perjalanan bagi pengembangan ideologi Tiongkok seperti perjalanan Sun Yat Sen dan Kang You-wei ke Indonesia maupun pendirian Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia tahun 1900 yang berorientasi pada politik Tiongkok. Terakhir, pola migrasi kembali, mengemuka dari perpindahan kewarganegaraan etnik Tionghoa karena alasan pendidikan, ekonomi, dan sosial politik berpindah kembali ke berbagai kawasan lain di luar Indonesia.16

Sementara itu, kedatangan etnik Tionghoa yang bergelombang dan dilakukan selama beberapa generasi menghasilkan dua kelompok utama Tionghoa di Indonesia. Analisis Poerwanto, pengelompokkan ini bisa diletakkan dalam dua perspektif, proses perkawinan (marriage) dan tempat asal kelahiran (birthplace) masyarakat Tionghoanya. Pertama, Tionghoa Peranakan (Peranakan Chinese), yaitu masyarakat

Jurnal Sosioteknologi Edisi 26 Tahun 11, Agustus 2012, hal. 106-109.16 Eddy Prabowo Witanto, 2002, Meretas Latar Sejarah Migrasi Etnis Cina ke

Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Migrasi Orang Tionghoa dari Tiongkok ke Indonesia Hingga Tahun 1945 di Surabaya dan diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Tionghoa, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra Surabaya, hal. 10-14.

Page 65: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

52

Tionghoa yang lahir di Indonesia dan terutama merupakan generasi yang lahir dari perkawinan etnik Tionghoa (biasa laki-laki) dan salah satu dari kelompok etnik asli Indonesia (biasanya perempuan). Seorang peranakan juga sering disebut Baba(h). Kedua, Tionghoa Totok (Totok Chinese), yaitu masyarakat Tionghoa asal dari daratan Tiongkok atau generasi yang lahir hasil perkawinan di dalam etnik Tionghoa sendiri. Seorang Totok sering disebut Singkeh.17

Mengutip Vasanty, orang-orang Tionghoa yang datang dan menetap di Nusantara sendiri tidak merupakan representasi satu kelompok migran, melainkan mewakili berbagai suku bangsa Tionghoa. Secara garis besar, orang-orang Tionghoa ini terbagi dalam empat kelompok bahasa dan latar belakang geokultural yang berbeda-beda, yakni yang berbahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton.18Kelompok Hokkien berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Kelompok ini memiliki bakat utama di bidang perdagangan ditambah karakter mereka yang ulet, tahan uji dan rajin. Kelompok ini banyak berasimilasi di kawasan Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan pantai Barat Sumatera. Adapun kelompok Teo-Chiu berasal dari pantai selatan Tiongkok yang masuk dalam wilayah pedalaman Swatow, bagian timur Provinsi Kwantung. Dari provinsi yang sama, terutama dari daerah pedalamannya, kelompok ketiga, Kelompok Hakka (Khek) berasal. Baik kelompok Teo-Chiu maupun Hakka sama-sama menaruh minat bekerja di sektor pertambangan dan perkebunan. Karena itu, generasi pertama kelompok ini menyebar di daerah-daerah pertambangan dan perkebunan seperti Sumatera Timur, Bangka, dan Biliton. Kelompok terakhir, Kanton (Kwong Fu), dari sebelah barat dan selatan propinsi Kwantung. Meski pada umumnya memiliki minat di sektor pertambangan, namun kelompok ini bermigrasi ke Indonesia sebagai kelompok dengan modal dan keahlian teknis seperti pertukangan, besi, dan industri kecil.19

17 Hari Poerwanto, The Problem of Chinese Assimilation and Integration in Indonesia, dimuat dalam Philippine Sociological Review, Vol. 24, No. 1 / 4 The Chinese in ASEAN Countries: Changing Roles and Expectations (January-October 1976), pp. 51-55.

18 Puspa Vasanty, Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2002), cet ke-19, hal. 353.

19 Puspa Vasanty, Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan,

Page 66: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

53

Terlepas dari tahapan priodik dan motivasi yang menjadi alasan migrasi ke kawasan Asia Tenggara, terutama Nusantara, etnik Tionghoa di wilayah yang menjadi tujuan migrasinya menampilkan peran sosial dan refleksi kultural yang tidak bisa diabaikan. Mereka tumbuh dan berkembang memainkan peran sosial, ekonomi, dan kebudayaan sebagai bagian komunitas geo-kultural setempat. Saat kekuasaan kolonial Belanda berlangsung di Nusantara, komunitas Tionghoa memainkan peran yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat setempat.Dalam sudut pandang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, misalnya, etnik Tionghoa tercatat turut serta dalam melakukan gerakan perlawanan. Pada tahun 1740-1743 Mberlangsung Perang Sepanjang yang menjalar mulai dari Batavia hingga Pasuruan, Mataram. Peristiwa yang dikenal sebagai Geger Pecinan ini bermula dari pembantaian komunitas Tionghoa di Batavia yang menyulut perlawanan laskar Tionghoa di bawah kepemimpinan Kapitan Sepanjang dari Batavia dan Tan Sin Ko atau Singseh dari Jawa Tengah. Melalui hubungan yang akrab dengan kekuasaan Mataram yang saat itu dipimpin Sunan Amangkurat V dan Mangkunegara I, perlawanan yang disulut laskar Tionghoa ini merepresentasikan peran perlawanan mereka terhadap kolonialisme di Nusantara.20 Peristiwa ini menjadi representasi penting keterlibatan mereka dalam politik perlawanan terhadap kekuasan kolonial di kawasan Nusantara.

Dalam sudut pandang masyarakat ekonomi, Tionghoa di Nusantara menjadi bagian dari entitas ekonomi yang cukup menonjol. Mereka memainkan fungsi sosial kelompok pedagang dengan keahlian usaha luar biasa. Dengan kemampuan demikian, misalnya, masyarakat Tionghoa dalam kekuasaan kolonial diposisikan sebagai mitra ekonomi dan perdagangan (trading partners) Belanda sejak masih berupa Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Posisi mereka sebagai kelas menengah dan retailer menjadikan mereka begitu penting perannya bagi pemerintahan kolonial Belanda. Belanda, mengutip Anthony Reid, terutama sejak abad ke-17 M menjadikan komunitas Tionghoa sebagai

2002), cet ke-19, hal. 353-355.20 Lihat Daradjadi, Geger Pecinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan

VOC (Jakarta: Kompas, 2013). Paparan yang hampir sama tentang peristiwa ini bisa dilihat pada Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005).

Page 67: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

54

entitas penting dalam jajaran broker pembiayaan pemerintahan (brokers to the expanding state). Selain sebagai pebisnis, komunitas Tionghoa juga dimanfaatkan Belanda sebagai sumber pendapatan. Antara tahun 1677-1777 M, VOC memperluas dominasi politik dan ekonominya di seluruh Jawa, dalam konteks ini VOC dan Belanda memanfaatkan mereka sebagai pengumpul pajak dari masyarakat pribumi sekaligus mengelola lembaga-lembaga usaha penjajah.21

Keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia terus menunjukan dinamika tersendiri, sesuai dinamika kehidupan berkebangsaan dan bernegara masyarakat Indonesia. Di masa revolusi kemerdekaan, Didi Kwartanada mencatat, kendati sebagian Tionghoa harus berada pada posisi netral, namun tidak bisa diabaikan sejumlah individu dan tokoh Tionghoa merepresentasikan keterlibatan etnik ini dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.22Selain membentuk organisasi sosial-politik, tidak sedikit tokoh-tokoh representasi Tionghoa terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Di luar organisasi politik, jelas Kwartanada, mereka berkontribusi pada aspek finansial, kemiliteran, dan aksi-aksi pro-republik. Pada aspek finansial, misalnya, Chung Hua Tsung Hui (CHTH) Yoyakarta mengumpulkan pendanaan untuk republik hingga mencapai Rp 250 ribu, jumlah yang cukup tinggi kala itu. Di bidang kemiliteran, Mayor (AL) John Lie adalah representasi keterlibatan Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di bidang yang sama, di sejumlah daerah, muncul sejumlah kelompok para militer Tionghoa yang berjuang untuk Indonesia seperti Laskar Pemuda Tionghoa di Pemalang, Barisan Pemberontak Tionghoa di Surakarta, dan berbagai keterlibatan heroik lainnya.23

Di bidang politik, etnik Tionghoa sepanjang sejarah kehadirannya di Indonesia telah terlibat dalam partisipasi politik baik dengan mengafrimasi kecenderungannya pada sebuah partai politik, menjadi anggota dan pengurus, atau bahkan mendirikan sebuah partai politik

21 Ravando, Now is the Time to Kill All Chinese!: Social Revolution and the Massacre of China in Tangerang 1945-1946. MA Thesis di Colonial and Global History (Belanda: Leiden University), p.18

22 Didi Kwartanada, Dari Ibu Liem sampai John Lie: Sumbangsih Tionghoa di Masa Revolusi Kemerdekaan. Makalah diskusi Nabil Forum. Tanpa tahun

23 Didi Kwartanada, Dari Ibu Liem sampai John Lie: Sumbangsih Tionghoa di Masa Revolusi Kemerdekaan. Makalah diskusi Nabil Forum. Tanpa tahun

Page 68: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

55

secara mandiri (dengan etnik Tionghoa sebagai basis konstituen dan arah perjuangannya). George McT. Kahin (1946) yang melakukan penelitian awal tentang politik Tionghoa Indonesia, mengutip keterangan Indisch Verslag, 1939, Part II, pp. 498--599, mengatakan jika keterwakilan Tionghoa dalam keanggotaan Volksraad (dewan rakyat) mencapai empat dari 60 kursi Volksraad hanya untuk mewakili 2% penduduk Hindia Belanda beretnik Tionghoa. Sementara keterwakilan 97.4% penduduk lokal sendiri hanya 30 kursi.24Selain itu, tutur Kahin, mengikut pada kecenderungan politik Hindia Belanda dan daratan Tiongkok, kecenderungan politik masyarakat etnik ini terbagi dalam tiga kelompok besar, yakni kelompok dengan kecenderungan politik pro-daratan Tiongkok (pro-China Group), pro pemerintahan Belanda (pro-Dutch Group), dan Pro-Hindia Belanda (Pro-Indonesia Group). Kelompok pertama, populer di kalangan Singkeh (Tionghoa Totok) yang menyandarkan orientasi politiknya pada China dan terutama didominasi Kuomintang dengan menempatkan masa depannya kepada China dibanding Indonesia. Kelompok kedua, memiliki orientasi politik yang memegang kekuasaan di Hindia Belanda masa itu dengan tetap bersikap netral, tidak menunjukan kecendeurngan padan politik Tiongkok maupun pribumi. Kelompok ketiga, mewakili kecenderungan orientasi untuk bersama-sama tinggal berjuang bersama para pribumi lainnya.25 Sementara menurut Suryadinata (2001), dari ketiga kecenderungan ini, Tionghoa Totok mayoritas berorientasi pada politik Tiongkok, sedang peranakan terbagi ke dalam tiga kecenderungan tersebut seperti Gruop Sin Po yang berorientasi ke Tiongkok, Chung Hwa Hui ke pemerintahan Hindia Belanda (Dutch East Indies), dan Partai Tionghoa Indonesia berorientasi pada politik kemerdekaan Indonesia.26

Perkembangan politik Tionghoa menunjukkan kecenderungan berbeda ketika Orde Baru berkuasa. Soeharto yang menjadi pemimpin di Era Orde Baru tidak memberikan ruang sedikit pun bagi kalangan Tionghoa untuk terlibat dalam wilayah politik. Sebaliknya, etnik ini

24 George McT. Kahin, The Chinese in Indonesia, Far Eastern Survey, Vol. 15, No. 21 (Oct. 23, 1946), pp. 326-329.

25 George McT. Kahin, The Chinese in Indonesia, Far Eastern Survey, Vol. 15, No. 21 (Oct. 23, 1946), pp. 326-329.

26 Leo Suryadinata, Chinese Politics in Post-Suharto’s Indonesia: Beyond the Ethnic Approach?dalam Asian Survey, Vol. 41, No. 3 (May/June 2001), pp. 502-524.

Page 69: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

56

dikonsentrasikan pada aktifitas ekonomi dan bisnis sehingga tidak heran jika kemudian banyak pebisnis besar Indonesia berlatarbelakang Tionghoa. Kondisi berbeda ketika Orde Baru tumbang dan era reformasi dibuka, etnik Tionghoa mulai bergerak memasuki dunia politik dengan ditandai didirikannya Parta Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) di Jakarta oleh Lieus Sungkharisma bersama kelompok kebudayaan Tionghoa, Angkatan Muda Buddhis. Menyusul Parti, etnik ini juga mendirikan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) oleh Jusuf Hamka (A Bun) melalui dukungan kuat tokoh Muslim Tionghoa (Junus Jahja). Selanjutnya, Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI) yang diinisiasi Nurdin Purnomo (Wu Nengbin).27

Sisi lain yang dikembangkan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah sisi kebudayaan yang memperkaya wajah kultural Indonesia. Silang budaya antara tradisi lokal yang terbuka dan tradisi Tionghoa yang kaya mengkonstruksikan pengaruh kultural Tionghoa pada wajah kebudayaan Indonesia. Selain memelihara corak kebudayaan yang dibawa dari tanah leluhur, silang budaya kultur Tionghoa dan setempat melahirkan kreasi baru kebudayaan Indonesia. Sikap memelihara wajah kultural sendiri, masyarakat Tionghoa membangun dan mempertahankan wajah kebudayaannya yang tetap terpelihara baik hingga kini baik berupa seni arsitektur, musik, kesusasteraan, maupun etika. Sedang silang budaya bisa dilihat dari pengalaman masyakat kebudayaan Bali, seperti dicatat Sulistyawati, bahwa kelenturan tradisi lokal Bali telah menerima pengaruh cultural Tionghoa pada enam aspek, yakni sistem religi dan keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan. Dengan pengaruh kultural Tionghoa, masyarakat dan kebudayaan Bali mampu melahirkan karya-karya budaya baru kebudayaan yang dimilikinya (local genius).28

Silang budaya antara tradisi lokal dan Tionghoa saling mengisi antara satu sama lain dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dalam

27 Leo Suryadinata, Chinese Politics in Post-Suharto’s Indonesia: Beyond the Ethnic Approach?dalam Asian Survey, Vol. 41, No. 3 (May/June 2001), pp. 502-524.

28 Sulistyawati, Pengaruh Kebudayaan Tionghoa Terhadap Peradaban Budaya Bali. Makalah disajikan sebagai materi Kuliah Umum di hadapan 250 orang calon wisudawan XXVI Universitas Ngurah Rai Denpasar, pada Dies Natalis XXIX, tanggal 17 Mei 2008, di Ruang Serba Guna UNR.

Page 70: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

57

sudut pandang kajian sosiologi dan antropologi, kondisi demikian menegaskan jika masyarakat kebudayaan Tionghoa maupun masyarakat kebudayaan lokal telah melakukan akulturasi kebudayaan secara alamiah. Mengutip definisi akulturasi Redfield, Linton, dan Herskovits (1936), Social Science Research Council (1954), proses akulturasi masyarakat kebudayaan Tionghoa dan lokal berlangsung dalam jangka waktu cukup lama, berkelanjutan, saling melakukan penyesuaian tanpa kehilangan elemen mendasar akar identitas kebudayaan asli mereka, baik sebagai Tionghoa maupun masyarakat setempat kendati pada saat yang sama kedua kelompok kebudayaan ini menampilkan kreasi baru kebudayaan akulturatif.

B. Khonghucu: Agama dan Refleksi Kultural TionghoaSebagai entitas budaya, Tionghoa dalam sejarah perkembangannya

menampilkan dimensi kultural yang khas, salah satunya berkembangnya ajaran agama Khonghucu di tengah-tengah masyarakat Tionghoa, selain Buddha, ke-Kristenan, dan keyakinan tradisional Tionghoa lainnya.29 Kendati di sebagian masyarakat menganggapnya sebagai etika, namun di sisi lain masyarakat Tionghoa menempatkan Khonghucu sebagai ajaran dan praktik keagamaan30yang dinisbatkan kepada tokoh bernama

29 Dahana mencatat, etnik Tionghoa Perantauan memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kepercayaan religi dan kebudayaan mereka. Lihat Dahana, 2000. Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia, hal. 56. Lihat juga Hari Poerwanto, The Problem of Chinese Assimilation and Integration in Indonesia, dimuat dalam Philippine Sociological Review, Vol. 24, No. 1 / 4 The Chinese in ASEAN Countries: Changing Roles and Expectations (January-October 1976), pp. 51-55.

30 Leo Suryadinata dalam bukunya The Culture of the Chinese Minority seperti disebutkan Tanggok (2005) berpendapat bahwa Khonghucu bukan agama karena ajaran ini lebih terfokus pada pengajaran politik dan kemasyarakatan. Sebab, pendapatnya, agama haruslah memenuhi tiga aspek: pertama, kehidupan setelah kematian (dewa roh dan jiwa); kedua, doa atau komunikasi antara yang hidup dan yang mati; ketiga, sarana untuk memperhatikan hubungan itu sepenuhnya, meskipun seseorang telah meninggal dunia. Berbeda dengan Leo, sejumlah peneliti dan pakar bidang studi agama-agama (religious studies) membuktikan kelayakan Khonghucu sebagai agama, lihat M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005) hal. 206. Sejumlah teoretisi studi agama-agama seperti Huston Smith juga memasukan Khonghucu sebagai bagian dari agama-agama manusia seperti halnya Hindu, Buddha, Tao, Islam, Kristen, Yahudi lihat Huston Smith, The World’s

Page 71: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

58

Khong Hu Tsu, K’oeng Foe-tze atau Konfusius.31 Diantara pandangan inti K’ung adalah bahwa tatanan dunia harus dibangun di atas prinsip-prinsip moral. Bila masyarakat dan negara secara moral rusak, maka tatanan alam dunia akan terganggu sehingga yang tercipta adalah perang, banjir, gempa, kemarau panjang dan sebagainya. Manusia sendiri, terangnya, dalam hidupnya diberkahi dengan cahaya ketuhanan.32 Pandangan lainnya, kemajuan hidup masyarakat dapat dicapai melalui kekuasaan pemerintahan yang baik, yang mengambil pimpinan dan contoh-contoh pegawai-pegawai yang baik dalam melaksanakan hukum dalam kerangka keagamaan yang telah ditentukan.33

Menurut Tu Wei-ming, Khonghucu menjadi rujukan bagi tata perilaku dan pandangan masyarakat Tionghoa yang secara geografis merunut pada masyarakat di kawasan Tiongkok, bahkan pada batas-batas tertentu menjadi rujukan dalam etika hidup masyarakat Jepang, Korea dan Vietnam. Dalam konteks tersebut, ajarannya menjadi sumber pandangan moral dalam aspek kehidupan individu maupun sosial Tionghoa. Karenanya, jika sebagian menganggapnya sebagai filsafat yang menjadi fondasi moral, ajaran ini juga Khonghucu bisa dijalankan sekaligus dengan keyakinan agama lain (misal Kristen dan Katolik).34 Lebih dari itu, Khong Hu Cu juga acapkali tidak hanya dipandang sebagai sebuah ajaran filsafat, melainkan juga sekumpulan ajaran moral dan praktik ritual yang menjadikannya sebagai salah satu agama yang

Religions (New York: HarperColins Publishers, 1991), lihat juga Lasiyo, Agama Khonghucu: An Emerging Form of Religious Life Among the Indonesian Chinese (University of London: Disertasi Ph.D pada School of Oriental and African Studies Centre of Religion and Philosophy, 1992)

31 Tokoh ini lahir di negeri Lu, kini Provinsi Shantung (551 SM), dari sebuah keluarga yang memiliki kesetiaan pengamalan ibadat kepada Thian. Semasa hidupnya, Kong Hu Tsu atau K’ung dipercaya menduduki sejumlah jabatan penting seperti Kepala Hakim di kota Chung-Tu, Menteri Pekerjaaan dan Pengadilan. Di sisa hidupnya, ia banyak mengajar. Salah satu karyanya adalah Ch’un-ts’in, Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur. Ia diperkirakan wafat pada tahun 470 SM. Lihat Agus Salim Sitompul, Agama Konfusius dalam Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), cet. I., hal. 211-221.

32 Agussalim Sitompul, Agama Konfusius dalam Agama-Agama di Dunia, hal. 220. 33 Agussalim Sitompul, Agama Konfusius dalam Agama-Agama di Dunia, hal. 222. 34 Tu Wei-ming, Etika Konfusianisme (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), cet. I, hal.

21-22.

Page 72: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

59

dipraktekkan secara populer di lingkungan masyarakat Tionghoa, selain Buddhisme dan Taoisme.35 Bahkan, saat agama didefinisikan sebagai perhatian bagi kehidupan manusia yang melampaui kemanusiaannya, Khong Hu Cu layak disebut agama karena ajaran ini turut membicarakan wilayah yang ilahi.36

Sementara itu, sebagai sebuah agama, Khong Hu Cu dipercaya berkembang di Indonesia sejak orang-orang Tionghoa datang ke wilayah Nusantara. Ini didasarkan keterangan penetapan resmi ajaran Khong Hu Cu sebagai agama resmi negara sejak 136 SM. Dengan demikian, maka orang-orang Tiongkok yang datang di era tersebut maupun sesudahnya datang ke Indonesia dengan membawa sistem budaya dan religi Konfusianisme. Melalui mereka, agama Khong Hu Cu tersebar di sejumlah kepulauan Nusantara.37Dengan demikian, bisa diduga bahwa agama Khonghucu telah tersebar di berbagai wilayah Nusantara seiring kedatangan para imigran Tionghoa. Namun gaungnya sebagai sebuah agama di Indonesia sepertinya baru dirasakan setelah perhimpunan masyarakat Tionghoa bernama Tong Hoa Hwee Kan (THHK) dibentuk pada 3 Juni 1900 di Batavia (Jakarta).38 Menurut Coppel (1981) mengutip Nio Joe Lan (1940), Chee-Beng Tan (1983) dan Ikshan Tanggok (2005) mengutip Kwee Tek Hoay (1969), THHK dibentuk untuk mempromosikan pembaruan adat istiadat Tionghoa sehingga sesuai dengan ajaran Sang Nabi Khonghucu, sekaligus di saat yang sama meningkatkan literasi

35 Keith Knapp, The Confucian Tradition dalam The Wiley-Blackwell Companion to Chinese Religions China (UK: Blackwell Publishing Ltd, 2012) p. 147-149. Tentang Khong Hu Cu sebagai agama, bisa juga dilihat analisis J. Ching, Chinese Religions (UK: Palgrave Macmillan, 1993), bahwa pada batas-batas tertentu Khong Hu Cu merupakan agama yang dipraktekan masyarakat Tiongkok (Tionghoa) seperti halnya Tao, Budha, bahkan belakangan juga mempraktekan Islam dan Kristen.

36 Huston Smith, Agama-Agama Manusia ( Jakarta: Yayasan Obor, 2008), edisi ke-VIII. hal. 220-224

37 Agussalim Sitompul, Agama Konfusius dalam Agama-Agama di Dunia, hal. 229.38 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia.

(Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), hal. 87-89. Lihat juga Chee-Beng Tan, Chinese Religion in Malaysia: A General View dalam Asian Folklore Studies, Vol. 42, No. 2 (1983), pp. 217-252., dan Charles A. Coppel, The Origins of Confucianism as an Organized Religion in Java 1900-1923 dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 12, No. 1, Ethnic Chinese in Southeast Asia (Mar., 1981), pp. 179-196.

Page 73: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

60

masyarakat dan pengetahuan berbahasa mereka.39 Melihat tujuannya, pembaruan adat istiadat cultural Tionghoa dari telah melanggar jauh dari ajaran Khonghucu adalah alasan cukup penting dibalik pendirian THHK. Dalam bahasa lain, pendirian THHK juga sebagai promosi ajaran agama Khonghucu di kalangan masyarakat Tionghoa yang hidup jauh dari kawasan kultural daratan Tiongkok.40

Salah satu usaha penting yang dilakukan THHK adalah menerjemahkan sumber-sumber ajaran agama Khonghucu berbahasa mandarin ke dalam bahasa setempat (Melayu). Salah satu buku yang diterbitkan organisasi ini adalah Hikayat Khonghucu yang disusun Lie Kim Hok (1853-1912 M) tahun 1896 M. Lie Kim Hok sendiri dikenal sebagai pribadi yang memiliki ketertarikan pada kehidupan dan ajaran Khonghucu yang didapatnya dari sumber-sumber berbahasa asing seperti Belanda dan Inggris. Selain penerjemahan, pengajaran tradisi Tionghoa dan agama Khonghucu oleh THHK dilakukan dengan mendorong keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mempelajari huruf-huruf Kanji dan bahasa Tionghoa sehingga bisa mengakses buku-buku ajaran agama Khonghucu dari bahasa aslinya. Bahkan bagi para guru sekolah yang didirikan THHK, mereka diwajibkan mengkhotbahkan ajaran agama Khonghucu.41

Pentingnya peran THHK dalam mengembangkan ajarang agama Khonghucu sepertinya juga terlihat pada bagaimana komite THHK pada 1902 membuat sebuah pernyataan bahwa ajaran-ajaran Nabi Khongcu yang disebut Soe Si dan Hauw King merupakan agama asli (true religion) masyarakat China meski kemudian secara historis kebudayaan Tionghoa juga mengikuti dasar-dasar agama lain seperti Buddha, Tao, dan Islam. THHK juga menekankan pentingnya seseorang Tionghoa mentauladani Nabi Khongcu dan menerapkan sikap keagamaan dengan meyakini

39 Charles A. Coppel, The Origins of Confucianism as an Organized Religion in Java 1900-1923 dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 12, No. 1, Ethnic Chinese in Southeast Asia (Mar., 1981), pp. 179-196, Chee-Beng Tan, Chinese Religion in Malaysia: A General View dalam Asian Folklore Studies, Vol. 42, No. 2 (1983), pp. 217-252., dan M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 91-92.

40 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 91-92.

41 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 96.

Page 74: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

61

bahwa Thian (tuhan) merupakan Zat yang Maha Agung (a Supreme Being), Yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Kekal. Selain itu, sikap keberagamaan THHK juga ditandai dengan perhatian mereka terhadap pemurnian dan penataan tradisi penguburan jenazah dan perkawinan.42

Selain THHK, organisasi lain yang turut serta mengembangkan ajaran agama Khonghucu ini adalah Khong Kauw Hwee pada tahun 1918 di Kota Solo. Selanjutnya di tahun 1923 didirikan pula organisasi Khong Kauw Tjong Hwee atau Himpunan Pusat Umat Penganut Khonghucu di Yogyakarta.43 Tidak jauh berbeda dengan THHK, Khong Kauh Hwee juga berperan besar dalam pengembangan ajaran agama Khonghucu di Indonesia.untuk memudahkan para penganut agama Khonghucu, organisasi ini menerjemahkan sejumlah karya penting yang memuat ajaran agama tersebut ke dalam bahasa Melayu. Diantaranya, Dasue (Kitab Tay Hak), Zhong Yong (Kitab Tiong Yong), dan Ziaojing (Kitab Hauw King). Selain itu, organisasi ini membuka sejumlah cabang dan kegiatan pembinaan seperti penerbitan majalah agama Khonghucu.Organisasi juga melakukan pertemuan rutin, salah-satunya pada konferensi 24 April 1940, organisasi ini menghasilkan sejumlah kesepakatan penting.Dua diantaranya, pertama, agama Khonghucu harus didasarkan pada kitab suci Su Si, dan setiap murid sekolah Khong Kauw Hwee diberikan pelajaran agama yang bersumber dari kitab tersebut.Kedua, hal-hal berhubungan dengan upacara pernikahan dan kematian disesuaikan dengan kebudayaan setempat (Indonesia).44

Searah perkembangan kemerdekaan Indonesia, pengembangan ajaran agama Khonghucu terus dilakukan.Kongres ke-4 Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia sebagai lembaga tertinggi Agama Khonghucu Indonesia memutusukan penentuan keseragaman tata ibadah agama Khonghucu.Lalu di tahun 1967, Kongres Agama Khonghucu ke-6 di Solo, Jawa Tengah memutuskan kesepakatan penting tentang sifat dan upacara keagamaan Khonghucu. Lalu di tahun yang sama,

42 Charles A. Coppel, The Origins of Confucianism as an Organized Religion in Java 1900-1923 dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 12, No. 1, Ethnic Chinese in Southeast Asia (Mar., 1981), pp. 179-196

43 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 97-98.

44 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 99.

Page 75: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

62

perkumpulan Khonghucu juga melebur menjadi satu organisasi yang bertahan hingga kini, yakni Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).45MATAKIN selanjutnya menjadi organisasi tunggal keagaman Khong Hu Cu di Indonesia hingga saat ini.46

Dilihat dari sudut pandang identitas keagamaan seperti disampaikan pada Bab II, agama Khonghucu merumuskan sejumlah konsep penting ajaran keagamaannya seperti pandangan tentang Tuhan, kitab suci, peribadatan, kematian dan perkawinan, tempat peribadatan, termasuk hari-hari besar keagamaan. Konsep ketuhanan misalnya, sejumlah literatur penting Khonghucu memperkenalkan istilah Thian, Thien, atau Shang Ti merujuk kepada kekuasaan tertinggi, pencipta sekaligus pemelihara alam semesta. Pada She Cing IV/Thang VI/I misalnya ditulis: “Thian (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan umat manusia dan melengkapinya dengan sifat yang saleh dan luas. Dengan fungsi-fungsi dari badan, kekuatan, dan pikiran; tugas-tugas mereka untuk dilaksanakan.”47Mengacu pada berbagai kutipan kitab suci tentang Tuhan, maka bisa dikatakan jika Khonghucu tidak semata berbicara soal moral dan etika.

Selain ketuhanan, ajaran agama Khonghucu juga membahas dunia eskatologis. Kendati tidak menegaskan konsepsinya tentang hal ini, namun jelas Ikhsan, Khonghucu juga berbicara tentang ruh (alam metafisika) dan dunia pasca kematian. Ungkapan-ungkapan Khonghucu yang berkaitan dengan roh bisa dikategorikan sebagai pengakuan agama ini akan adanya kehidupan eskatologis. Mengutip Lun Gi (Jilid VI: 22), misalnya, disebutkan: “Hwan Thi (salah seorang murid Khonghucu) bertanya tentang orang yang bijaksana. Khonghucu menjawab, iamengabdi kepada rakyat berlandaskan kebenaran.Iamenghormati roh-roh tapi dari jauh (dengan hormat yang murni).Demikianlah seseorang yang bijaksana.”48

Mengutip keterangan Lee T. Oei, umat Khonghucu klasik menggunakan Shan Shu atau Kitab Kebajikan dan Ku Tien Hsiao Shuo

45 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 104.

46 Agussalim Sitompul, Agama Konfusius dalam Agama-Agama di Dunia, hal. 229-231.

47 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 43-50.

48 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 55.

Page 76: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

63

atau Cerita Bahari sebagai sarana mempelajari kehidupan akhirat atau wilayah eskatologi. Keyakinan akan dunia eksatologis juga disampaikan Haksu Tjhie dengan mengutip Lee Ki XXIV: 13 : “Semangat atau jiwa rohani (khi) itulah perwujudan tentang adanya roh (Sien); kehidupan jasad (phik) itulah perwujudan tentang adanya nyawa/jiwa badani (kui). Bersatu harmonisnya nyawa dan roh dalam kehidupan ini adalah tujuan pengajaran agama.Semua yang dilahirkan tumbuh berkembang pasti mengalami kematian, yang mati itu berpulang kepada tanah, inilah yang berkaitan dengan nyawa atau jiwa badani. Semangat atau jiwa rohani itu naik ke atas, memancar cemerlang (seolah) diantar semerbaknya bau dupa, itulah sari berates benda dan makhluk. Itulah kenyataan adanya roh.”49

Sebagai agama, Khonghucu memiliki sejumlah kitab suci yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya.Kitab-kitab yang dianggap suci dan menjadi pedoman umat dinamakan “Su Si” (kitab yang empat atau kumpulan dari empat buah kitab) dan Wu Cing atau Ngu King (Lima Kitab). Kitab Suci terdiri dari Tai Hak (Ajaran Besar), Tiong Yong (Tengah Sempurna), Lun Gi (Sabda Suci), dan Bing Cu (kumpulan ajaran Mencius atau Meng Zi). Adapun Wu Cing atau Ngo Kingterdiri dari Si King (Kitab Sajak), Su King (Kitab Dokumentasi), Yak King (Wahyu tentang Perubahan), Lee King (Kitab Kesusilaan dan Peribadatan), Chun Chiu King (Kitab Sejarah Zaman Chun Chiu).50

Dari sisi ritual keagamaan, masyarakat agama Khonghucu memiliki sejumlah kewajiban ritual peribadatan. Untuk sembahyang (Thiam Hio), umat agama Khonghucu melaknakan persembahyangan syukur kepada Thian di depan altar yang dilakukan rutin setiap pagi, sore, termasuk saat menerima rezeki. Sembahyang lainnya dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan Imlek, dan sembahyang pada hari-hari kemuliaan Thian. Sembahyang terakhir diantarana sembahyang penutupan tahun/malam menjelang Gwan Tan, sembahyang King Thi Kong, sembahyang saat Siang Gwan atau Cap Go Meh, dan sembahyang hari Tangcik. Selain sembahyang, ritual lain disebut kebaktian, yang

49 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 57-58.

50 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 25-42. Dalam buku ini, Ikhsan memberikan paparan panjang lebar tentang sistematika dan muatan ajaran yang dikandung masing-masing kitab suci tersebut.

Page 77: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

64

terbagi ke dalam Kebaktian pada Nabi yang berkaitan dengan hari lahir dan wafatnya, Kebaktian untuk para Suci, Kebaktian bagi leluhur, dan kebaktian bagi masyarakat.51

Dalam menjalankan peribadatannya, umat agama Khonghucu melaksanakannya di sejumlah tempat peribadatan. Diantaranya, Thian Than (tempat ibadah untuk bersujud pada Tuhan), Lithang (ruang kebaktian/ibadah bersama), Khongcu Bio (kuil kebaktian pada Nabi), Bun Bio mirip Khongchu Bio, Cong Bio/Co Bio (kuil leluhur), Hio Hwee (altar leluhur), Bio/Klenteng/Kuil para Suci, Kau (altar sembahnyang pada Thian), dan Sia (altar sembahyang bagi malaikat bumi).52

Lazimnya ummat agama lain, masyarakat agama Khonghucu juga memiliki sejumlah hari-hari besar keagamaan dan merayakannya secara turun temurun. Diantara hari besar keagamaan yang cukup penting adalah peringatan Kelahiran Nabi Khonghucu.Peringatan ini dianggap penting mengingat kedudukan Nabi Khonghucu dalam struktur ajaran agama tersebut. Selanjutnya, hari besar keagamaan lain yang diperingati adalah Hari Raya Tangcik yang dilakukan saat matahari tepat di garis balik 23 Lintang Selatan atau tanggal 22 Desember. Selain kelahiran, wafatnya Nabi Khonghucu juga dirayakan dengan sembahyang di depan altar. Namun, Hari Raya Imlek sepertinya menjadi hari raya popular sebagai salah satu perwujudan syukur kepada pencipta alam.53

Sebagai sebuah agama, Khonghucu juga memiliki umat penganutnya. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 mencatat jumlah penduduk Indonesia yang mengaku beragama Khonghucu mencapai 117.091 jiwa atau 0.05% terhadap total masyarakat Indonesia 237.641.326 jiwa.54 Dengan jumlah dan sebaran demikian, umat agama Khonghucu menjadi umat beragama terbanyak keenam di Indonesia setelah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Dengan populasi dan konstruksi gagasan, praktik keagamaan, maupun masyarakat penganut menjadikan 51 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal.

170-173..52 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal.

173-175.. 53 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal.

173-175.. 184-200.54 Sub Direktorat Statistik Demografi, Badan Pusat Statistik (BPS) 2010,

Kewarganegaraan , Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, (Jakarta : BPS, 2010), h.10

Page 78: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

65

agama Khonghucu sebagai salahsatu agama yang cukup mapan di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Tabel.Jumlah dan Persentase Penduduk

Menurut Agama yang Dianut Tahun 2010

AGAMA JUMLAH PEMELUK (JIWA) PERSENTASE

Islam 207 176 162 87,18Protestan 16 528 513 6,96Katolik 6 907 873 2,91Hindu 4 012 116 1,69Buddha 1 703 254 0,72Khonghucu 117 091 0,05Lainnya 299 617 0,13Tidak Terjawab 139 582 0,06Tidak Ditanyakan 757 118 0,32Jumlah 237 641 326 100

Sumber: Sub Direktorat Statistik Demografi, Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, Kewarganegaraan , Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, (Jakarta : BPS, 2010) h. 10

Sementara itu, beberapa provinsi tercatat menjadi basis agama Khonghucu. Diantaranya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 39.790 jiwa, Kalimantan Barat 29.737 jiwa, Jawa Barat 14.723, Jawa Timur 6166 jiwa, DKI Jakarta 5.334 jiwa, Riau 3.755 jiwa, Kepulauan Riau 3389 Jiwa, dan Banten 3232 jiwa. Beberapa provinsi lain dengan populasi umat Khonghucu yang cukup banyak adalah Jambi 1.491 jiwa, Kalimatan Timur 1.080 jiwa, Sumatera Utara 984, Sumatera Selatan 663 jiwa, dan Lampung 596 jiwa.55 Kendati tidak menunjukan angka signifikan, namun provinsi-provinsi lain di Indonesia mencatatkan adanya masyarakat yang menganut agama Khonghucu. Dengan demikian, bisa dikatakan jika agama Khonghucu merupakan agama yang cukup menyebar secara merata di berbagai daerah di Indonesia dalam prosentase populasi yang beragam.

55 Sub Direktorat Statistik Demografi, Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, Kewarganegaraan , Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, (Jakarta : BPS, 2010) h. 42-46

Page 79: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

66

C. Masalah Tionghoa dan Asimilasi Orde BaruSelain mencatatkan peranan sosial, ekonomi, politik, dan

kebudayaan yang cukup penting di kawasan Indonesia, sejarah panjang kehadiran etnik Tionghoa di kawasan Nusantara menyisakan dinamika hubungan Tionghoa-Non Tionghoa yang tidak sepi konflik. Catatan sejarah komunikasi dan relasi antar etnik Tionghoa dan non-Tionghoa seringkali diwarnai ketegangan. Bahkan tidak jarang ketegangan tersebut memuncak pada bentuk kekerasan, terutama penggusuran identitas kulturalnya sebagai masyarakat Tionghoa. Etnis Tionghoa acapkali menjadi sasaran pergolakan sosial politik di Indonesia dimana penerimaan masyarakat setempat terhadap mereka juga tidak selayaknya sikap yang sama kepada keturunan bangsa lain, Arab misalnya.56

1. Realitas KonflikSepanjang sejarahnya, relasi komunitas Tionghoa dan masyarakat

setempat pada dasarnya terbangun dengan baik kendati tidak sepi konflik. Hari Mulyadi dan Sudarmono, misalnya, mencatat bahwa gesekan etnik atas komunitas Tionghoa di Nusantara setidaknya telah terjadi berulangkali dan cenderung berlangsung dalam siklus waktu tertentu.Gesekan yang berpuncak pada kekerasan fisik pertama terjadi dalam bentuk pembantaian massal masyarakat Tionghoa di Batavia di sepanjang Kali Angke yang dikenal sebagai Geger Pecinan. Kendati inisiatif pembantaian sepenuhnya penguasa Kolonial Belanda, namun tidak menutup kemungkinan peristiwa ini turut mengundang partisipasi warga lokal.57 Konflik kekerasan lain terjadi terhadap warga peranakan Tionghoa terjadi pada perang Diponegoro atau yang dikenal dengan Perang Jawa tahun 1825-1830. Tidak berhenti di situ, konflik juga terjadi berupa persaingan ketat antara pedagang Tionghoa dan pedagang lokal (batik) yang diinisiasi secara tidak langsung oleh Sarikat Islam Lama (1911-1912) dan Sarikat Islam (1916). Di tahun 1946, konflik 56 Alfarabi, Wacana dan Stigma Etnis Tionghoa di Indonesia. Jurnal An-Nida

Vol. 3., Nomor 01 Januari-Juni 2010. hal 53-55.57 Tidak hanya berdampak pada eksistensi komunitas Tionghoa sendiri,

kekerasan kali itu berdampak pada perubahan politik kerajaan di Tanah Jawadimana Ibukota Kerajaan Mataram di Kartosuro Hadiningrat pindah ke Surakarta Hadiningrat pada 1745. Lihat Daradjadi. Geger Pecinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. (Jakarta: Kompas, 2013).

Page 80: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

67

yang pecah menjadi kerusuhan anti-peranakan Tionghoa berlangsung di daerah Tangerang. Tidak ada catatan pasti berapa jumlah korban akibat kerusuhan yang berlangsug di sejumlah wilayah yang didiami etnik Tionghoa seperti Rajeg, Gandu, Balaraja, Cikupa, dan Mauk. Namun yang pasti, konflik di wilayah Tangerang menjadi bukti historis tidak sepinya konflik kekerasan yang melibatkan masyarakat setempat dan etnik Tionghoa. Konflik lain yang tidak kalah penting dengan korban banyak adalah gerakan anti-Tionghoa pasca G 30 S/PKI 1965 dan kerusuhan Mei 1998.58

Relasi Tionghoa dan masyarakat pribumi yang tidak sepi konflik sepertinya hadir karena sejumlah alasan. Salah satunya warisan beban sejarah dari diterapkannya politik rasialis kolonial Belanda telah menumbuhkan berbagai prasangka dan imajinasi negatif pribumi terhadap peranakan Tionghoa. Hal ini merujuk pada kebijakan hukum kewarganegaraan pemerintahan kolonial Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927 yang membagi lapisan sosial masyarakat ke dalam tiga golongan. Golongan pertama, orang Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas orang-orang Belanda dan keturunannya, orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan lain-lain, dan orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa seperti Jepang. Golongan ini menjadi kelompok tertinggi dalam strata sosial. Golongan kedua, golongan Timur jauh (Asian Far Eastern Groups/vreemde osterlingen), didalamnya adalah orang Cina, Arab, India,

58 Konflik Tionghoa Tangerang dan masyarakat setempat sendiri terjadi menyusul gesekan dengan ksatria Tionghoa setempat yang bertugas menjaga warga masyarakatnya (pao-an tui) dan dicurigai bekerjasama dengan Belanda, lihat David Mozingo, Chinese Policy Toward Indonesia 1949-1967, (Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, 2004), p. 40-41. Tentang konflik Tionghoa dan masyarakat setempat lihat sumber-sumber lain seperti Soedarmono & Hari Mulyadi. Runtuhnya Kekuasaan Ratu Alit: Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. (Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi pedesaan, 1999), hal. 4-5, Masyhuri, Konflik Sosial di Kudus 1918: Terlibatnya Sarekat Islam Kudus dalam Konflik Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Skripsi Jurusan Sejarah UGM, 1981), Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740 : Tragedi Berdarah Angke (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), dan Remco Raben, Anti-Chinese Violence in the Indonesian Revolution, makalah pada Konferensi Dekolonisasi dan Posisi Etnis Tionghoa Indonesia 1930-an s/d 1960-an (Padang 18-21 Juni 2006).

Page 81: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

68

Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya. Golongan ini berada di bawah kelas golongan pertama. Golongan ketiga, masyarakat bumi putra yaitu orang-orang yang asli Indonesia (inlander). Berbeda dengan dua golongan sebelumnya, golongan ini masuk dalam kelas terbawah lapisan stratifikasi sosial.59 Kebijakan ini mendorong minimnya interaksi Tionghoa dan non Tionghoa sehingga prasangka dan imajinasi negatif terhadap Tionghoa terus tumbuh dan berkembang di kalangan pribumi. Terlebih dalam sejarah penjajahan, posisi sosial ekonomi kelompok Tionghoa berada setingkat lebih tinggi di atas pribumi kendati tetapdi bawah masyarakat Barat. Namun kedekatan Tionghoa-Kolonial Belanda menjadi alasan tidak bisa diabaikannya kehadiran jarak antara Tionghoa dan Pribumi. Terlebih dengan kedekatan tersebut, komunitas Tionghoa menikmati kesejahteraan lebih baik dibanding pribumi menjadikan etnik Tionghoa sebagai sasaran kebencian mereka.60

Sementara meminjam perspektif masyarakat Tionghoa sendiri, akar sejarah sulit terbangunnya hubungan kesejarahan masyarakat Tionghoa dan bangsa lain di Indonesia adalah pengabaian atas keterlibatan kelompok Tionghoa dalam arus gerakan nasionalisme yang muncul di awal abad ke-20 M. Gerakan nasionalisme di tanah Hindia Belanda yang bertujuan meniadakan kolonialisme Belanda sekaligus mendirikan negara bangsa Indonesia yang modern cenderung tidak melibatkan masyarakat Tionghoa. Para nasiolis seringkali memandang masyarakat Tionghoa sebagai bangsa lain. Konsekuensinya, etnik Tionghoa menjadi kelompok yang lain dan berbeda di kalangan masyarakat Indonesia.61

59 Taufiq Tanasaldy, Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia: Dayak Politics of West Kalimantan (Leiden: KTILV Press, 2012), p. 18. Bandingkan juga dengan Robert Cribb & Audrey Kahin, Historical Dictionary of Indonesia (Maryland: Scarecrow Press Inc., 2004), p. 362-364, dan Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 116-117.

60 Studi tentang konflik rasialisme Tionghoa-Pribumi di Tangerang sendiri telah dilakkukan Sri Mastuti Purwaningsih. Menurut Sri, keberhasilan ekonomi dan kemampuan berhubungan warga Tionghoa dengan kolonial Belanda dan Jepang menimbulkan kecemburuan sekaligus kecurigaan pribumi terhadap warga Tionghoa. Lihat Sri Mastuti Purwaningsih. Kerusuhan anti Cina: Tangerang 1913-1946. Skripsi Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (2000).

61 Meski tidak menampik adanya sejumlah individu Tionghoa yang berupaya dan terlibat langsung dalam pergerakan kemerdekaan, namun Leo Suryadinata memberi penjelasan bagaimana masyarakat Tionghoa pada

Page 82: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

69

Berbagai kondisi kesejarahan demikian, analisis Jemma Purdey (2005:23), menjadi alasan yang cukup tepat bagi munculnya berbagai gesekan antara Tionghoa dan masyarakat lokal di Indonesia. Menurutnya, gesekan terjadi karena keraguan historis di kalangan pribumi Indonesia mengenai loyalitas orang-orang Tionghoa-Indonesia, disamping juga berbagai alasan sosial ekonomi lainnya. Menurut Purdey, selain beban kesejarahan demikian, warga Tionghoa seringkali diasosiasikan dengan tekanan ekonomi, marginalisasi, dan ketidakadilan tertanam kuat di kalangan orang Indonesia. Senada dengan Purdeys, Kees Van Djiik menyatakan bahwa tindak kejahatan rasial yang ditujukan pada orang-orang Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari isu ekonomi sebagai faktor pendorong. Dengan demikian, bisa disimpulkan sementara bahwa selain beban historis, kesenjangan ekonomi yang ditandai dominasi sektor ekonomi oleh kelompok Tionghoa menjadi faktor penting di balik gesekan rasial Tionghoa-lokal.

Gesekan tidak hanya terjadi antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lainnya.Sebaliknya, gesekan juga terjadi dengan negara sebagai aktornya.Pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin, misalnya, pemerintah menerbitkan regulasi ekonomi Peraturan Pemerintah Nomo 10/November 1959. Regulasi ini melakukan pembatasan aktifitas ekonomi masyarakat Tionghoa untuk tidak berdagang di wilayah perdesaan. Kendati larangan ini hanya ditujukan bagi WNA Tionghoa Totok, namun dalam prakteknya aturan ini tetap menggeneralisir berlaku bagi seluruh warga Tionghoa, termasuk peranakan.Akibatnya, masyarakat Tionghoa banyak yang harus meninggalkan permukimannya di wilayah-wilayah perdesaan. Sepanjang 1959-1960, misalnya, sekitar 136.000 warga Tionghoa meninggalkan Indonesia dimana 100.000 orang di antaranya kembali ke tanah leluhur Tiongkok.62Sebelumnya di tahun 1950, Kabinet Djuanda menerbitkan Program Benteng dimana aktifitas impor hanya bisa dilakukan pengusaha pribumi.Program yang diluncurkan pemerintah sebagai bagian dari memutus aktifitas ekonomi kolonalistik ini dilakukan

umumnya ‘disisihkan’ dalam pergerakan nasionalisme Indonesia. Lihat Leo Suryadinata, Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme? Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor 71, 2001, h. 5-6.

62 J.A.C. Mackie, “Anti Chinese Outbreak in Indonesia 1959-1968”, dalam The Chinese in Indonesia: Five Essays, (Melbourne: Thomas Nelson Ltd, 1976), p.82-85.

Page 83: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

70

dengan memberikan ruang lebih besar bagi aktifitas ekonomi pengusaha lokal yang lemah sebagai jalan memajukan perekonomian Indonesia.Implikasi program ini adalah munculnya kecenderungan diskriminatif atas para pelaku usaha dari kelompok Tionghoa.

Dengan demikian, seperti disebutkan Siauw Tiong-djin, warisan sejarah kolonialisme yang mengkotak-kotakkan penduduk negara jajahan ke dalam berbagai kelompok strata sosial, kedekatan etnik Tionghoa dengan Kolonial Belanda yang sebetulnya didasarkan pada tujuan pemanfaatan kemampuan ekonomi menyisakan sumber konflik antara warga masyarakat Tionghoa dengan berbagai kelompok masyarakat lain di Indonesia. Kebijakan pemerintahan di era kemerdekaan yang cenderung rasialistik dan sikap sebagian kecil masyarakat Tionghoa sebagai pengendali perekonomian nasional turut mempertajam konflik berupa kecurigaan maupun kekerasan rasial berkepanjangan, setidaknya hingga akhir masa kekuasaan Orde Baru.63

2. Asimilasi Orde Baru dan Konskuensi atas Identitas KhonghucuBerkaca pada sejumlah pengalaman gesekan konflik dan kekerasan

antara masyarakat Tionghoa dan non-Tionghoa di tanah air, baik sebelum maupun pasca kemerdekaan 1945, dua rezim politik pemerintahan –Orde Lama dan Orde Baru— telah menempuh berbagai upaya bagi terbangunnya integrasi antar kelompok masyarakat. Tujuannya adalah terbangunnya interaksi antara etnik Tionghoa maupun berbagai etnik lain di Indonesia. Salah satu jalan penyelesaian atas berbagai masalah hubungan Tionghoa dan non-Tionghoa yang ditempuh, baik sejak kekuasaan Orde Lama hingga Orde Baru, adalah kebijakan pembauran antara masyarakat Tionghoa ke dalam bingkai kebudayaan setempat. Pembauran berupa integrasi yang mendekati asimilasi mulai dilakukan Pemerintahan Orde Lama dalam periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Leo Suryadinata), atau beberapa tahun sebelum digantikan rezim pemerintahan Orde Baru. Upaya pembauran pada masa Orde Lama diantaranya dilakukan dengan membatasi pendaftaran di sekolah-sekolah menengah Tionghoa serta jumlah dan pengelolaan koran-koran Tionghoa. Anak-anak warga negara Indonesia dilarang masuk sekolah-sekolah tersebut. Mekanisme pembauran lainnya adalah ditutupnya 63 Siauw Tiong-djin, Penyelesaian Masalah Minoritas adalah Bagian dari Reformasi

Total (Jakarta: Penerbit Emansipasi, 1998), hal. 8-15

Page 84: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

71

media-media berbahasa asing. Kendati demikian, jelas Leo, pembauran pada masa pemerintahan ini belum bisa disebut sebagai asimilasi mengingat tiga pilar kebudayaan Tionghoa, yakni pers berbahasa Tionghoa, sekolah-sekolah menengah Tionghoa, dan organisasi-organisasi etnik Tionghoa masih tetap bisa beraktifitas.

Di era Orde Lama, upaya asimilasi juga tidak lepas dari peranan internal etnik Tionghoa sendiri dimana pada Maret 1954, didirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) atas prakarsa sejumlah WNI keturunan Tionghoa. Tujuannya adalah memajukan pengertian yang benar tentang kewarganegaraan Indonesia sekaligus dihilangkannya diskriminasi di kalangan WNI atas dasar keturunan, kebudayaan, kebiasaan, dan agama. Secara umum, organisasi ini berpandangan bahwa pentingnya integrasi etnik Tionghoa sebagai bagian dari warga negara Indonesia dan dipandang sama seperti halnya warga negara lainnya tanpa harus menghilangkan keunikan tradisi dan kebudayaan masyarakat Tionghoa sendiri.64 Searah kecenderungan Baperki terhadap komunisme yang mendorong pertentangan dengan mayoritas pribumi sendiri, sebagian kalangan Tionghoa sendiri mendirikan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) pada 1963. Berbeda dengan Baperki yang cenderung menunjukan orientasi politik kiri, namun LPKB menunjukan kedekatannya dengan TNI Angkatan Darat. Meski sama-sama berusaha membangun penerimaan atas etnik Tionghoa, namun LPKB selangkah lebih maju dengan mendorong asimilasi secara total etnik Tionghoa dalam segala bidang.65

Sekedar catatan, penerapan kebijakan asimilasi, sebut Leo, baru dilakukan secara massif oleh pemerintahan Orde Baru (1966–1998) sebagai jalan penyelesaian masalah-masalah Tionghoa. Soeharto, seperti dikutip Leo dari Dwipayana dan Hadimadja (1989:279) sebagai penguasa tertinggi pemerintahan Orde Baru menyatakan bahwa warga negara

64 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis diterjemahkan Tim Penerjemah PSH dari Indonesia Chinese in Crisis (1983). (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 90-91.

65 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis diterjemahkan Tim Penerjemah PSH dari Indonesia Chinese in Crisis (1983), h. 94. Tentang Baperki dan LPKB bisa dilihat dalam Marleen Dieleman, Julitte Koning, and Peter Post (Ed.), Chinese Indonesians and Regime Change (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2011), p. 51-59.

Page 85: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

72

keturunan Tiongkok harus secepatnya berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat setempat sendiri.Menurut Leo, ukuran massifnya asimilasi yang dilakukan Orde Baru setidaknya tercermin dari sikap rezim ini atas etnik Tionghoa dengan menghapuskan tiga pilar penting kebudayaan mereka. Segera setelah mengambilalih kekuasaan, rezim ini menutup seluruh koran Tionghoa, kecuali koran berbahasa Tionghoa yang dikelola oleh pemerintah melalui militer. Itu pun koran dwi-bahasa tempat warga Tionghoa untuk memasang informasi dan iklan. Selain itu, pemerintahan juga melarang impor berbagai buku dan terbitan berbahasa mandarin.

Sejak tahun 1966, rezim Orde Baru mulai membatasi operasi sekolah-sekolah Tionghoa, termasuk beberapa Sekolah Nasional Proyek Khusus bagi anak-anak Tionghoa kelompok Warga Negara Asing (WNA) juga dilarang mulai tahun 1975. Dari sisi kebebasan berorganisasi, masyarakat Tionghoa juga hanya diperkenankan bergabung pada organisasi-organisasi sosial yang didominasi kelompok non-Tionghoa. Partisipasi politik juga hanya bisa disalurkan melalui tiga partai politik, yakni Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tidak berhenti di situ, kebijakan asimilasi ditempuh rezim Orde Baru dengan mendorong masyarakat Tionghoa mengganti nama Tionghoa mereka dengan nama Indonesia. Kendati tidak diwajibkan, namun penggantian nama dianggap sebagai bentuk loyalitas politik mereka terhadap Indonesia.66

Merujuk pada berbagai produk hukum yang dikeluarkan oleh Orde Baru, kebijakan asimilasi terhadap etnik Tionghoa sepertinya lebih luas dari hanya tiga pilar penting kebudayaan Tionghoa. Dilihat dari perspektif legal, Winarta mencatat, terdapat sejumlah produk hukum yang diterbitkan dan diperuntukkan oleh Orde Baru dalam mendorong asimilasi sekaligus menyelesaikan berbagai persoalan ke-Tionghoaan di Indonesia. Secara tidak langsung, produk-produk hukum ini menjadi payung atas praktik pembauran yang dilakukan Orde terhadap etnik Tionghoa. Produk-produk hukum itu antara lain: pertama, Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina; kedua, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.

66 Leo Suryadinata, Kebijakan Negara Indonesia terhadap EtnikTionghoa: dari Asimilasi ke Multikulturalisme? Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003 1

Page 86: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

73

SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina; ketiga, Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina; keempat, Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina;kelima, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.455.2-360/1968 tentang penataan kelenteng-kelenteng di Indonesia; keenam, Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina; ketujuh, SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina, dan; kedelapan, Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.67

Melalui delapan produk hukum di atas, Orde Baru berusaha membaurkan Etnik Tionghoa melalui sejumlah kebijakan mulai dari; pertama, penggantian nama khas Tionghoa ke dalam nama-nama khas Indonesia; kedua, Melarang segala bentuk penerbitan dengan bahasa serta aksara Tionghoa; ketiga, Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga; keempat, tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum, dan kelima, melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta; keenam, menghapuskan agama Khonghucu.

Dengan Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967, misalnya, Orde Baru melakukan sejumlah kebijakan penting menyangkut etnis Tiongkok. Dalam Inpres ini, Orde Baru menghentikan pemberian izin tinggal bagi para pendatang baru Tiongkok, kecuali korps diplomat, konsuler, dan tenaga-tenaga ahli mereka beserta keluarganya selama masa penugasannya di Indonesia (Pasal 1).Selain itu, investasi dengan modal bersumber dan dikembangkan di dalam negeri Indonesia dimasukan ke dalam kategori kekayaan nasional untuk kemudian digunakan di Indonesia semaksimal mungkin (Pasal 5). Dana-dana tersebut dilarang untuk ditransfer ke luar negeri (pasal 6). Selanjutnya, pemerintah juga menerapkan kebijakan pendidikan dimana anak-anak warga negara asing (termasuk Tionghoa) yang berpindah menjadi warga negara Indonesia diwajibkan masuk ke sekolah-sekolah nasional,

67 Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hal. 126-128.

Page 87: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

74

baik negeri maupun swasta (Pasal 8). Selain itu, komposisi murid warga negara asing harus lebih sedikit dibanding murid pribumi Indonesia (Pasal 9).68

Kendati hampir sebagian besar produk hukum seperti disebutkan diatas lebih menyasar persoalan dan mendorong integrasi Tionghoa, namun beberapa diantaranya bersinggungan serius terhadap eksistensi dan identitas keagamaan Khonghucu sebagai salah satu tradisi keagamaan etnik tersebut. Asimilasi yang semula berkaitan dengan etnisitas Tionghoa pada tahapan selanjutnya juga berdampak pada aspek keagamaan masyarakatnya. Pada Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina, misalnya, Orde Baru mendorong pelaksanaan tradisi keagamaan etnis Tionghoa yang memiliki afinitas kultural dengan daratan Tiongkok dilakukan secara tidak mencolok atau cukup di lingkungan keluarga. Alasannya, pembatasan diperlukan agar tidak menimbulkan dampak psikologis bagi kelompok non-Tionghoa sekaligus mempercepat asimilasi mereka.69 Belakangan, ungkap Ongky, Instruksi Presiden ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1980; Nomor 224 Tahun 1980; Nomor Kep-III/J.A./10/1980 yang mengatur keseragaman tindak pemerintahan daerah dalam menangani tata ibadat Tionghoa yang memiliki aspek aktifitas kultural dengan negeri leluhurnya. Menurut Ongky, aturan ini menegaskan sikap pemerintahan Orde Baru yang menempatkan ajaran Khonghucu memiliki kaitan erat dengan budaya leluhur China sehingga perlu dibatasi dalam pelaksanaannya.70

Namun jauh sebelum terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1980, sikap tegas kebijakan asimilatif Orde Baru terlihat dari diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri

68 Lihat Badan Koordinasi Masalah Cina-BAKIN, Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia I (Jakarta : Badan Koordinasi Intelijen Negara, 1979), hal. 63-67.

69 Lihat Badan Koordinasi Masalah Cina-BAKIN, Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia I (Badan Koordinasi Intelijen Negara: Jakarta, 1979), h. 63-67.

70 Ongky Setio Kuncono, Legalitas Agama Khonghucu Di Indonesia : Keberadaan Agama Khonghucu, http://www.spocjournal.com/hukum/350-legalitas-agama-khonghucu-di-indonesia-keberadaan-agama-khonghucu.html

Page 88: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

75

Nomor 477/74054/ BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 tentang Agama Resmi Negara. Melalui surat tersebut negara secara langsung hanya menyebutkan lima agama yang ‘diakui negara’, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha dengan Khonghucu dihilangkan. Produk hukum ini berbeda jauh dengan sikap pemerintah tahun 1969 sebelumnya dimana Orde Baru menetapkan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 jo UU Nomor 5/1969 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3, tambahan lembaran negara nomer 2727) yang menyebutkan bahwa penduduk Indonesia memeluk enam agama yakni; Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu.

Gambaran peminggiran Khonghucu selanjutnya terlihat dari pengaturan pemberian pelajaran agama di sekolah-sekolah. Pada 1 Februari 1978, misalnya, Menteri Agama saat itu H.A. Mukti Ali mengirimkan surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor A/058/1978. Dalam surat bersifat rahasia tersebut, Menteri Agama menyatakan negara tidak mengeluarkan pengakuan agama-agama (poin 1), namun pada saat yang sama menyebutkan bahwa agama-agama yang langsung diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah adalah aagama-agama yang tercermin dalam struktur organisasi dan tata kerja di lingkungan Departemen Agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha.71 Selanjutnya pada 25 Juli 1990, Orde Baru kembali menegaskan sikapnya atas eksistensi agama Khonghucu dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990. Dalam surat edaran ini, pemerintahan Orde Baru mengonfirmasi bahwa negara hanya mengakui adanya lima ‘agama resmi’, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Mengacu pada berbagai produk regulasi di tingkat pusat, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur menerbitkan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur Nomor 683/95 tanggal 28 November 1995 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama yang diakui resmi dan berada di bawah supervisinya; Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha.

Kebijakan asimilasi berdampak serius pada masyarakat Tionghoa secara general, namun sepertinya dampak lebih mendalam dirasakan

71 Lihat Badan Koordinasi Masalah Cina-BAKIN, Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia II (Badan Koordinasi Intelijen Negara: Jakarta, 1980), h. 455.

Page 89: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

76

oleh masyarakat Tionghoa yang mempraktekan ajaran Khonghucu sebagai agama. Politik Orde Baru yang cenderung menekan Tionghoa juga menyebabkan tiadanya dukungan rezim ini atas agama Khonghucu.72 Selain hak-hak sipil pada umumnya, masyarakat agama ini ini kehilangan kebebasan untuk mengekspresikan identitas keagamaannya. Fittrya & Purwaningsih (2013), misalnya, mencatat kebingungan komunitas Komunitas Tionghoa-Khonghucu Klenteng Khong Hu Cu Bio, satu-satunya klenteng murni penyembahan agama Khong Hu Cu di di Jawa Timur, menyusul berlakunya kebijakan pengaturan agama Khonghucu. Salah satu kebingungan mereka adalah pengisian kolom agama pada sejumlah data administratif kependudukan seperti passport, sensus penduduk, formulir Pemilu, dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembatasan agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, tanpa memasukan Khong Hu Cu) membuat mereka kebingungan dalam pengisian identitas keagamaannya. Kebingungan juga dirasakan menyangkut pengakuan dasar keagamaan Khonghucu pada kegiatan pernikahan di kalangan masyarakat agama ini. Sebagai masyarakat agama, para penganut Khong Hu Cu melaksanakan tradisi pernikahan berdasar tuntutan agamanya. Namun dasar keagamaan ini tidak diakui dan dicatatkan oleh Kantor Catatan Sipil.73

Penelitian Nurafiah (2015) pada masyarakat Khonghucu Surakarta menguatkan fakta kebingungan masyarakat Tionghoa-Khonghucu atas kebijakan asimilasi. Menyoroti dampak asimilasi pada lima aspek kehidupan masyarakat Khonghucu, yakni keagamaan, pendidikan, pernikahan, identitas sipil, dan seni-budaya, Nurafiah melihat tidak sederhananya dampak kebijakan asimilasi Orde Baru. Pada aspek keagamaan, kebijakan yang ditempuh Orde Baru menyebabkan kebebasan masyarakat Khonghucu Tionghoa dalam mengekspresikan keagamaan menjadi terbatas dimana praktek keagamaan dilakukan dalam wilayah terbatas (lingkungan keluarga), bahkan belakangan tidak diakui sama sekali. Kondisi ini jauh berbeda dibanding saat rezim Orde Lama masih berkuasa. Dari sisi pendidikan, kurikulum sekolah-sekolah

72 Leo Suryadinata, 2002, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta: LP3ES, hal. 188-189.73 Laylatul Fittrya & Sri Mastuti Purwaningsih, Tionghoa dalam Diskriminasi Orde

Baru Tahun 1967-2000, dalam e-Jurnal Pendidikan Sejarah AVATARA, Volume 1, No. 2, Mei 2013, hal. 159-166

Page 90: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

77

(terutama yang dikelola oleh lembaga keagaman Khonghucu seperti MAKIN) tidak lagi memasukan Pendidikan Agama Khonghucu sebagai mata pelajaran yang harus dipelajari siswa beragama Khonghucu.Pada aspek pernikahan, kantor-kantor catatan sipil tidak mengizinkan pasangan pengantin Khonghucu melakukan pernikahan berdasar agamanya. Bila ingin dicatatkan di catatan sipil, mereka harus memilih menggunakan tata cara pernikahan agama non-Khonghucu. Kondisi tidak lebih baik juga terlihat dari pengakuan atas identitas sipil mereka.Sistem catatan sipil Indonesia yang memasukan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak memfasilitasi penyebutan agama Khonghucu. Sebagai negara yang meregulasi keagamaan, kondisi tersebut membuat ketidakjelasan identitas keagamaan seorang penganut agama Khonghucu. Kondisi yang hampir sama terjadi pada aspek seni budaya. Beberapa kegiatan kesenian-budaya Tionghoa yang juga menjadi bagian penting masyarakat agama Khonghucu seperti perayaan Imlek, Barongsai, dan Liong tidak diperbolehkan untuk diselenggarakan oleh pemerintahan Orde Baru.74

Berbagai prakondisi demikian menyebabkan kebebasan beragama masyarakat Tionghoa-Khonghucu tidak terakomodir dengan baik. Js Liem Liliany Lontoh (2016) mengungkapkan, kendati ritual keagamaan tetap bisa dijalankan oleh masyarakat Khonghucu, namun beberapa aspek keagamaan yang dinilai menonjolkan identitas Tionghoa cukup terpengaruh. Pada aspek pembatasan bahasa Mandarin atau Tionghoa, misalnya, berdampak pada penguasaan generasi Tionghoa-Khonghucu atas kemampuan bahasa pengantar agama tersebut. Ini berimplikasi pada minimnya tingkat pendalaman ajaran agama Khonghucu dalam bahasa aslinya. Adapun pembatasan aspek kebudayaan Tionghoa, berdampak tidak bisa dilakukannya perayaan keagamaan Khonghucu seperti Imlek, pagelaran Barongsai, dan beberapa upacara keagamaan lain. Bahkan pencabutan agama Khonghucu dalam berbagai regulasi keagamaan menyebabkan rumah-rumah ibadah Khonghucu, klenteng, berganti nama menjadi vihara dengan tekanan pada pengajaran agama Buddhisme. Tekanan ini menyebabkan munculnya fenomena baru

74 Lihat temuan Yusni Nurafiah, 2015, Dinamika Masyarakat Khonghucu di Surakarta: Studi Sosial Keagamaan Tahun 1945-2007. Universitas Sebelas Maret: Skripsi Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, h. 44-63.

Page 91: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

78

rumah ibadah umat Khonghucu di Indonesia ke dalam Lithang. Selain itu, pencabutan agama Khonghucu dalam berbagai regulasi keagamaan juga menyebabkan tidak terakomodirnya ekspresi identitas administratif umat Khonghucu dalam form catatan sipil, akta pernikahan, dan kartu tanda penduduk.75

Benang merah sementara yang bisa diambil dari paparan di atas, kebijakan asimilasi Orde Baru yang menyasar masyarakat Tionghoa dengan tujuan pembauran berdampak cukup serius pada masyarakat Tionghoa-Khonghucu. Pembatasan ekspresi identitas ketionghoaan turut berdampak pada ekspresi identitas keagamaan Khonghucu, tradisi keagamaan yang berkembang luas di lingkungan masyarakat ini. Tradisi keagamaan Khonghucu yang lahir dari dan menggunakan warna kultural Tionghoa yang menjadi sasaran asimilasi menyebabkan agama ini ikut merasakan dampak kebijakan asimilasi. Penghilangan Khonghucu sebagai salah satu ‘agama resmi negara’ seperti halnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha menjadikan bentuk-bentuk pengungkapan identitas sosial keagamaan Khonghucu, yakni status keagamaan seseorang, pernikahan, pendidikan agama, dan rumah ibadah tidak lagi bebas dilakukan masyarakat agama ini. Dalam masa ini, kemampuan adaptif untuk menyesuaikan diri dengan regulasi pemerintahan dan keyakinan atas ajaran agama Khonghucu-lah yang dipercaya menjadi modal umat agama ini bisa bertahan hingga reformasi usai dengan turunnya Orde Baru dari panggung kekuasaan dan naiknya rezim reformasi terutama pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang menghapuskan sejumlah aturan diskriminatif terhadap Tionghoa, khususnya Khonghucu.76

Berkaca pada berbagai kebijakan dan proses pembauran yang dilakukan pemerintahan Orde Baru, maka penggunaan term ‘asimilasi’ dalam hal ini cukup mewakili. Sebab berbeda dengan proses akulturasi yang masih memungkinkan terekspresikannya dimensi kultural

75 Wawancara dengan Js. Liem Liliany Lontoh, Sabtu 21 Oktober 2016.76 Wawancara dengan Xs Masari Saputra Sabtu 21 Oktober 2016. Masari

merupakan salah satu Xue Shi (pendeta) agama Khonghucu. Dalam jenjang pemimpin agama, Xue Shi menempati urutan kedua teratas setelah Zhang Lao (Tokoh Sesepuh). Di bahwa Xue Shi ada Wen Shi (Guru Agama), disusul Jiao Sheng (Penebar Agama). Wawancara Js. Liem Liliany Lontoh, Sabtu 21 Oktober 2016.

Page 92: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

79

asal mereka sebagai masyarakat Tionghoa, proses pembauran yang dilakukan pemerintahan Orde Baru menutup peluang terekspresikannya dimensi kultural asli mereka. Meminjam analisis Cole, dimana asimilasi merupakan proses akulturasi paling ekstrim ketika kebudayaan asal sebagai masyarakat kebudayaan Tionghoa diabaikan atau bahkan ditinggalkan (abandoned) dan kebudayaan baru (new culture) berupa sistem kultural setempat (dipaksakan) untuk diadopsi dalam kehidupan keseharian individu atau kelompok masyarakat yang terlibat.77 Indikator diabaikannya corak kebudayaan asal mereka adalah penggantian nama khas Tionghoa ke dalam nama-nama khas Indonesia, pelarangan penggunaan aksara Tionghoa, pembatasan kegiatan-kegiatan keagamaan maupun pagelaran kebudayaan Tionghoa di muka umum, penutupan akses belajar pada sekolah-sekolah Tionghoa sebagai medium penting pengajaran kebudayaan Tionghoa sendiri, penghapusan Khonghucu dalam daftar ‘agama resmi’ negara. Berbagai pembatasan ini menyebabkan masyarakat Tionghoa harus mengadopsi nama dengan corak kebudayaan nama lokal, hilangnya ekspresi kebudayaan dan keagamaan mereka, dan tertutupnya akses kelembagaan pada medium pemeliharaan identitas kultural mereka. Mereka didorong untuk hidup dalam corak kebudayaan lokal yang jauh berbeda dengan corak kebudayaan asli mereka sebagai warga Tionghoa.

77 Nicki Lisa Cole, Understanding Acculturation and How It Differs from Assimilation, 27 July 2017.

Page 93: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah
Page 94: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

81

Pada bab ini, penulis akan memaparkan profil masyarakat Tionghoa-Khonghucu di Kota Tangerang, yang menjadi objek penelitian. Penelitian akan diawali deskripsi tentang perkembangan masyarakat Tionghoa setempat dengan tradisi agama Khonghucu yang turut berkembang di dalamnya. Selain itu, bab ini juga mendeskripsikan wilayah dan sebaran masyarakat Tionghoa-Khonghucu. Selanjutnya, bab ini juga akan memaparkan aspek-aspek sosial keagamaan Khonghucu yang menjadi identitas keagamaan Khonghucu pada masyarakat Tionghoa setempat, termasuk bagaimana identitas demikian diekspresikan oleh Tionghoa-Khonghucu.

A. Sejarah Tionghoa dan Khonghucu TangerangTidak ada catatan sejarah yang merekam secara persis kapan etnik

Tionghoa dengan keanekaragaman tradisi kulturalnya hadir di wilayah Tangerang. Namun keterangan yang diambil dari sejarah Sunda berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan ti Parahyangan) yang ditulis sekitar tahun 1407 M mencatat adanya sejumlah orang beretnik Tionghoa di wilayah ini. Tina Layang Parahyang menyebutkan, serombongan etnik Tionghoa di bawah pimpinan Tjen Tjie Lung (Halung) yang terdiri dari tujuh kepala keluarga, sembilan gadis, dan sejumlah anak-anak terdampar di muara sungai Cisadane atau kini disebut Teluk Naga pada 1407 M. Saat itu, perahu yang mengangkut rombongan pimpinan Tjen Tjie Lung atau Chen Cie Lung rusak dan kehabisan perbekalan sehingga harus berlabuh di kawasan pesisir utara Tangerang yang kini bernama Teluk Naga. Selanjutnya, rombongan ini menghadapi Sanghyang Anggalarang, wakil dari Sanghyang Banyak Citra sebagai penguasa Kerajaan Parahyangan kala itu, untuk meminta pertolongan. Saat mereka menghadap ke penguasa setempat, para pegawai Anggalarang tertarik untuk menikahi para gadis yang ikut dalam rombongan Tjen Tjie Lung. Sebagai imbalan, rombongan asal daratan Tiongkok ini mendapatkan sejumlah petak

BAB IVMasyarakat dan

Agama Khonghucu di Tangerang

Page 95: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

82

tanah sekaligus kebebasan untuk tinggal di kawasan utara Jawa yang terletak persis di sebelah timur Sungai Cisadane, yakni wilayah yang kini disebut sebagai Kampung Teluk Naga.1 Belakangan, keterangan Tina Layang Parahyang ini menjadi rujukan kehadiran awal komunitas Tionghoa di wilayah Tangerang yang diperkirakan sejak abad ke-15 M.2

Eddy Prabowo Witanto seperti dikutip Iwan Santosa (2012) memperkirakan kedatangan komunitas Tionghoa ke kawasan Tangerang jauh sebelum armada Portugis dan Belanda datang ke Batavia. Bahkan kehadiran mereka di Tangerang diperkirakan berlangsung pada masa transisi dari Kerajaan Hindu kepada kekuasaan Islam di tanah Jawa.3 Bila disebutkan demikian, maka kehadiran komunitas Tionghoa di Tangerang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 M. Sebab mengutip Ricklefs, Demak sebagai kekuatan politik Islam pertama di tanah Jawa sekaligus menandakan peralihan dari Hindu-Buddha ke Islam diperkirakan didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M. Transisi juga diperkuat dengan periode pertumbuhan sejumlah wilayah kekuatan baru politik Islam di Banten dan Cirebon pada akhir abad ke-15 M.4 Pendapat Witanto diperkuat Mona Lohanda, masih dikutip Iwan, yang meyakini kedatangan komunitas Tionghoa berlangsung jauh sebelum kedatangan armada dagang Portugis dan Belanda ke Batavia dan sekitarnya.5 Memperhatikan keterangan Witanto maupun Lohanda,

1 Stefanus Hansel Suryatenggara, Klenteng Boen Tek Bio Tangerang: Kajian Arsitektural. Skripsi Prodi Arkeologi FIB Universitas Indonesia: Depok, 2011., h. Penyebutan Teluk Naga sendiri dipercaya berasal dari keberadaan perahu-perahu China dengan hiasan kepala naga di bagian hulu kapal, lihat Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, h. 25-26.

2 Benteng Heritage, museum kebudayaan Indonesia-Tionghoa di Jl. Cilame No. 20 Pasar Lama, Kota Tangerang yang didirikan Udaya Halim mengutip Tina Layang Parahyangan sebagai sumber utama sejarah kedatangan komunitas Tionghoa di pantai utara Tangerang, Teluk Naga, pada 1407 M. Kedatangan ini ditandai dengan berlabuhnya rombongan Chen Cie Lung, bagian dari armada Laksamana Zheng He atau Cheng Ho. Lihat booklet Benteng Heritage dalam http://www.bentengheritage.com/site/.

3 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, h. 25-26.

4 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesian Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016, cet. XI, h. 54-57.

5 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, h. 51-52.

Page 96: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

83

bisa disimpulkan sementara bahwa kedatangan komunitas Tionghoa ke Kawasan Tangerang paling tidak berlangsung sekitar abad ke-15 M.

Lohanda sendiri berpendapat, kedatangan Komunitas Tionghoa ke wilayah Tangerang berlangsung secara bertahap.6 Pendapat Lohanda cukup beralasan karena arus kedatangan komunitas Tionghoa ke kawasan ini juga kembali terjadi pasca peristiwa perlawanan warga Tionghoa pada 1740 M atau lebih dikenal sebagai Geger Pecinan. Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) yang berhasil mengatasi pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke kawasan ini untuk melakukan aktifitas pertanian dan lainnya. Selanjutnya, warga Tionghoa ini ditempatkan di sejumlah permukiman untuk menanam sejumlah komoditas. Nama komoditas yang ditanam ini belakangan menjadi identitas kawasan tersebut seperti Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren dan lainnya. Selain itu, VOC juga mendirikan permukiman Tionghoa bernama Petak Sembilan. Permukiman ini terletak di Tegal Pasir (Kali Pasir) yang berada di sebelah timur sungai Cisadane. Dalam perkembangannya, kawasan ini berkembang sebagai permukiman dan perdagangan Tionghoa.7 Namun menurut budayawan Tionghoa Pasar Lama, Oei Chin Eng, komunitas Tionghoa yang kemudian tinggal di beberapa daerah pinggian Tangerang seperti Pondok Cabe dan Pondok Jagung bukan karena dikirim VOC Belanda melainkan dilakukan melalui perpindahan sendiri demi menghindari kejaran VOC. Komunitas ini selanjutnya menempati daerah-daerah seperti Gunung Sindur dan pesisir hulu Cisadane.8

Melihat cara kedatangan komunitas Tionghoa secara bertahap, bisa dikatakan jika kedatangan mereka ke kawasan Tangerang dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama, sekitar abad ke-15 M atau sekitar tahun 1407 M merujuk pada keterangan Tina Layang Parahyangan. Gelombang kedua, komunitas Tionghoa datang ke Tangerang pasca peristiwa pemberontakan Tionghoa di Batavia tahun 1740 M. Selain dengan alasan melarikan diri dari kekejaman kolonial di kawasan

6 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), hal. 52.

7 Stefanus Hansel Suryatenggara, Klenteng Boen Tek Bio Tangerang: Kajian Arsitektural. Depok: Skripsi Prodi Arkeologi FIB Universitas Indonesia, 2011., hal.

8 Wawancara Oei Tjin Eng, Minggu 2 April 2017.

Page 97: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

84

Batavia, sebagian masyarakat Tionghoa yang datang pada periode tersebut berdasar dorongan pemerintahan Kolonial Belanda. Di kawasan ini, masyarakat Tionghoa ditempatkan di sejumlah pemukiman berupa pondok untuk kemudahan pengawasan sekaligus dorongan bagi mereka untuk bekerja. Gelombang ketiga, pasca kemerdekaan, berbagai kekacauan yang ditimbulkan akibat kolonialisme Belanda, Jepang, dan situasi yang tidak menentu mendorong komunitas Tionghoa dari kawasan Batavia mencari wilayah yang terhitung aman, salah satunya kawasan kota Tangerang.9

Sementara itu, penelusuran Iwan mencatat, komunitas Tionghoa awal yang datang ke Tangerang adalah para lelaki yang di negeri asalnya berprofesi sebagai petani, pekerja, dan pedagang kecil. Di Tangerang, para migran Tionghoa ini bekerja dengan membuka lahan pertanian dan perkebunan. Sebagian lagi bekerja sebagai pekerja buruh serabutan atau berdagan kecil di kawasan sekitar Teluk Naga dan kemudian Pelabuhan Sunda Kelapa. Mengingat sebagian besar yang datang adalah para lelaki, mereka selanjutnya menikahi para perempuan lokal. Perkawinan inilah menjadi sarana paling penting proses akulturasi mereka dengan kebudayaan setempat. Komunitas ini sendiri selanjutnya mendiami sejumlah daerah yang belakangan menjadi kantong-kantong komunitas Tionghoa, yakni Panongan, Curug, Kelapadua, Tigaraksa, Legok, dan Balaraja.10

Selanjutnya, komunitas Tionghoa yang tidak membawa perempuan Tionghoa dan sebaliknya melakukan perkawinan dengan perempuan setempat berperan besar melahirkan komunitas baru Tionghoa, yakni Tionghoa Peranakan.11 Inilah komunitas Tionghoa yang dikenal 9 Siti Nila Yuliasari, 2014. Sejarah Perkembangan Klenteng Boen Tek Bio:

1684-Sekarang (Jakarta: Skripsi Prodi Pendidikan Sejarah FIPS Universitas Indraprasta), hal. 20-24.

10 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), hal. 22-23. Lihat juga Marisa Gunawan, 2014, Dentingan Duabelas Mangkok,( Jakarta: Red & White Publishing), hal.9.

11 Secara umum, studi masyarakat Tionghoa di wilayah migrasi biasanya membedakan masyarakat ini ke dalam dua kelompok besar, Tionghoa Peranakan dan Totok. Tionghoa peranakan atau Hua Yi didefinisikan sebagai orang Tionghoa pendatang terdahulu, sudah tinggal turun temurun di Indonesia, bercampur dengan penduduk lokal melalui perkawinan, umumnya sudah tidak mampu berbahasa Tionghoa, dan membangun corak

Page 98: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

85

hampir seluruhnya memiliki kebudayaan dan ciri fisik yang sama dengan pendudukan setempat. Belakangan, sebut Lohanda, komunitas ini disebut juga sebagai komunitas Tionghoa Benteng. Penyebutan ini merujuk pada keberadaan Komunitas Tionghoa Peranakan yang hidup dan bertempat tinggal di sekitar kawasan perbentengan VOC di Tangerang atau disebut juga Benteng Makasar di dalam Kota Tangerang di dekat Sungai Cisadane.12

Etnik Tionghoa ke Kota Tangerang yang datang jauh terlebih dahulu dibanding kedatangan penjelajah Eropa menjadikan komunitas ini mampu membangun corak kebudayaan etnik yang mapan. Bangunan kebudayaan ini menghasilkan pengaruh mendalam bagi kelangsungan kehidupan sosial masyarakat Tionghoa. Salah satu pengaruhnya terlihat dari asal-usul penamaan suatu kawasan tertentu (topomini).13 Penamaan Karawaci misalnya, diduga berasal dari istilah Kurawa Cina (bala tentara Tionghoa), paramiliter Tionghoa. Begitu juga penamaan Teluk Naga yang merujuk pada tempat berlabuhnya kapal-kapal Tionghoa berkepala naga. Lebih dari itu, komunitas Tionghoa di kawasan ini juga mengkonstruksikan warna kebudayaan Tionghoa yang khas seperti penyelenggaraan Chia Thau (pernikahan tradisional Tionghoa), Imlek, dan Barongsai.

Bukti lain berkembangnya tradisi Tionghoa di kawasan ini adalah kemampuan etnik Tionghoa membangun wilayah tinggal etnik, Pecinan. Winandari (2008) mencatat sejumlah situs yang menandakan telah berkembangnya komunitas sosial dan entitas kebudayaan Tionghoa di Kota Tangerang, yakni Permukiman Pasar Lama, permukiman keramat

kultural yang bercampur dengan kultural lokal. Berbeda dengan Tionghoa Peranakan, Tionghoa Totok atau Hua Ciao didefinisikan sebagai kelompok Tionghoa yang datang pada periode belakangan, tetap mempertahankan garis ke-Tionghoaan dengan menikahi perempuan etnis Tionghoa, mampu dan mempertahankan kemampuan berbahasa Tionghoa. Selain itu, berbeda dengan Tionghoa Peranakan yang lebih banyak bergerak di sektor pekerjaan kasar, Tionghoa Totok relatif hidup lebih baik dengan mendapat pendidikan tinggi sejak era kolonial dan bekerja di sektor non-pekerjaan kasar. Untuk paparan lebih detail lihat Han Hwie Song, Orang Tionghoa di Indonesia, Suara Baru, Juli-Agustus 2009, h. 63-65..

12 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, hal. 26.

13 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, hal. 27.

Page 99: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

86

Peh Cun, makam (Tanah Gocap dan Tanah Cepek), dan rumah kapitan. Masing-masing situs masih terpelihara baik hingga saat ini. Keseluruhan situs hampir berada di kawasan pinggiran Cisadane. Khusus kawasan Pasar Lama, dimasuki komunitas Tionghoa asal Teluk Naga sekitar tahun 1513 M melalui kawasan Cisadane. Di wilayah ini, komunitas awal Tionghoa mendirikan perumahan di tiga gang, yakni Gang Cirarab, Gang Tengah atau Kali Pasir, dan Gang Cilangkap.

Menguatkan kemapanan situs Pasar Lama, di kawasan ini berdiri klenteng Boen Tek Bio (artinya; kebaikan setinggi gunung dan sedalam lautan) dan Mesjid Kali Pasir. Klenteng Boen Tek Bio yang diperkirakan dibangun tahun 1684 M digunakan masyarakat Tionghoa yang beragama Budha, Khonghucu, dan Tao. Sementara mesjid didirikan sekitar tahun 1700 M dan dipergunakan oleh komunitas muslim setempat bagi non-Tionghoa maupun masyarakat Tionghoa yang beragama Islam.14 Mesjid seluas 288 meter yang dibangun dengan desain bergaya Arab, Eropa, dan Tionghoa ini dibangun atas inisiatif Tumenggung Pamit Wijaya dengan sokongan kalangan Muslim Tionghoa dan masih digunakan hingga saat ini.15 Sokongan kalangan Tionghoa dan masyarakat setempat menjadi sisi sejarah tentang harmonitas Tionghoa-masyarakat setempat pada masa-masa paling awal sejarah keberadaan komunitas etnik ini.

Dalam tulisannya Iwan mencatat, salah satu keistimewaan Tionghoa Peranakan di Tangerang adalah kemampuan mereka memelihara tradisi leluhur, termasuk memperkaya dimensi kulturalnya searah akulturasi dengan dimensi kultural lokal.16 Di depan pintu rumah keluarga Tionghoa, misalnya, disediakan hio lo (pedupaan), kwee cang (kue ketan), dan kertas beraksara Tiongkok. Mereka juga menyimpan meja abu leluhur, menjalankan upacara perkawinan Chio Tau, dan menjalankan upacara kematian sesuai tradisi nenek moyang. Khusus meja abu, sepertinya memiliki fungsi penting karena ia menjadi perekat persaudaraan antarwarga Tionghoa setempat. Mengutip Iwan Meulia Pirous, tradisi ini diturunkan melalui praktik sosial, terutama pada

14 M.I. Ririk Winandari, Revitalisasi vs Situs Kota Lama Tangerang, 2008. Lihat http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.china.budaya-tionghua/19932

15 http://bantenculturetourism.com/?p=1408 16 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari

Barat ke Timur, hal. 20-21.

Page 100: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

87

sistem kepercayaan (religi), seperti dilakukan di berbagai kantong-kantong Tionghoa Benteng di pedalaman Banten seperti Panongan, Curug, Kelapadua, Tigaraksa, Legok, dan Balaraja.17 Dalam amatan penulis sendiri, praktik religi yang diturunkan secara tradisional dan bertahan dalam komunitas Tionghoa di kawasan Pasar Lama, Kota Tangerang, hingga saat ini adalah agama Buddha, agama Tao, dan agama Khonghucu.

Terkait itu, Setiawan (2015) seperti mengutip Nurafni (2012 mencatat, komunitas Tionghoa Benteng adalah komunitas Tionghoa yang berhasil menampilkan dua karakteristik pada saat yang bersamaan. Pada satu sisi, mereka mampu menyerap kultural lokal, di sisi lain mereka juga tidak kehilangan elemen identitas kultural awal mereka sebagai masyarakat kebudayaan Tionghoa. Sisi pertama terutama dengan berdialog dan menyerap kebudayaan Sunda (Jawa Barat/Banten) dan Betawi (Jakarta). Pada upacara perkawinan misalnya, pengantin perempuan Tionghoa menggunakan baju bernuansa Betawi, sedang pengantin laki-laki menggunakan pakaian Tionghoa. Dalam seni musik, proses pernikahan Tionghoa acapkali menggunakan gambang kromong, alat musik pesisiran Sunda. Bahkan dari penggunaan bahasa, mereka juga sudah menggunakan dialek mereka sendiri yang khas, dimana diantaranya merupakan kombinasi antara bahasa China, Indonesia, Sunda, dan Betawi. Di sisi lain, komunitas Tionghoa Benteng berhasil memelihara lingkar kehidupan tradisi seperti dalam adat perkawinan dan pemakaman, menyelenggarakan hari-hari besar Tionghoa (Imlek, Cap Go Meh, dan Peh Cun).18

Keberhasilan pembauran masyarakat Tionghoa dengan komunitas sosial kultural setempat juga terlihat dari kemampuan mereka membangun komunikasi sosial yang relatif harmonis dengan masyarakat berlatarbelakang etnik Sunda, Betawi, Jawa, dan Arab maupun keagamaan terutama masyarakat Muslim. Terkait hal ini, peneliti

17 Iwan Santosa, 2012, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur, hal. 22.

18 Billy Nathan Setiawan, Cina Benteng: The Latest Generations and Acculturation, Jurnal LINGUA CULTURA Vol. 9, No. 1, May 2015, hal. 36. Lihat juga Muhammad Arif, Model Kerukunan Sosial pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis), Jurnal Sosio Didaktika FITK UIN Jakarta, Vol. 1, No. 1, Mei 2014, hal.58.

Page 101: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

88

menemukan bahwa mereka tinggal bersama di sebuah lingkungan sosial dimana praktik dan simbol-simbol keagamaan seperti Buddhisme, Taoisme, Kristen, dan Islam terlihat sama-sama berdiri berdampingan. Hampir berdekatan dengan areal Boen Tek Bio yang menjadi tempat ibadah tiga agama tradisional Tionghoa, misalnya, berdiri Mesjid Kali Pasir. Desain mesjid yang diyakini didirikan sejak tahun 1700 oleh Tumenggung Pamit Wijaya sendiri merefleksikan adanya hubungan timbal balik pengaruh kultural Islam, Arab, dan Tionghoa dimana kubahnya bermotif arsitektur Tionghoa.

Peta Kelurahan Sukasari, Tangerang, Bantenhttp://v2010.tangerangkota.go.id/assets/media/file/direktori/kelurahan/p_tg_sukasari.jpg

B. Umat dan Identitas Sosial Keagamaan Khonghucu Tangerang

Seperti disebutkan sebelumnya, komunitas Tionghoa Benteng masih memelihara tradisi leluhur mereka hingga saat ini, terutama dalam aspek keagamaan (religi). Dalam hal ini, masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang mempraktekan sejumlah agama yang diduga telah dipraktekkan oleh leluhur mereka seperti Buddha, Tao, dan Khonghucu. Terpeliharanya praktek agama-agama ini terlihat dari masih bertahannya tradisi dan lembaga sosial keagamaan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa Benteng di wilayah Tangerang, baik berupa rumah-rumah ibadah seperti klenteng dan vihara, adat perkawinan dan pemakaman, hari-hari besar keagamaan, dan pendidikan keagamaan.

Page 102: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

89

Sebagai salah satu agama yang dianut warga Tionghoa Kota Tangerang pada umumnya, Khonghucu merupakan salah satu agama warga Tionghoa yang cukup penting. Selain ditandai dengan besarnya jumlah penduduk yang mempraktekan ajaran agama ini, sejumlah identitas sosial keagamaan Khonghucu seperti rumah ibadat, upacara keagamaan, dan lembaga sosial, pendidikan, dan keagamaan Khonghucu juga berkembang cukup luas di kawasan ini. Dari sisi populasi, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang seperti dikutip Sabar Sukarno (2014) mencatat jumlah masyarakat penganut agama Khonghucu tak kurang dari 1.243 orang, lebih tinggi dibanding Kabupaten Tangerang 1.052 orang dan Kota Tangerang Selatan 787 orang.19 Dengan demikian, merujuk pada data statistik tersebut, Kota Tangerang menjadi wilayah dengan persebaran warga masyarakat Khonghucu tertinggi dibanding dua kota/kabupaten lainnya.

Sementara itu, Kota Tangerang secara geografik sendiri merupakan salah satu dari wilayah administratif Provinsi Banten. Di sebelah barat dan utara, Kota Tangerang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, sedang di sebelah timur berbatasan dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Luas total wilayah kota ini diperkirakan mencapai 164.54 km2 dengan total populasi 1.798.601 (2010) dan kepadatan penduduk 11,000/km2. Secara administratif, kota ini terdiri dari 13 kecamatan, yaitu Secara administratif luas wilayah Kota Tangerang dibagi dalam 13 kecamatan, yaitu Ciledug (8,769 Km2), Larangan (9,611 Km2), Karang Tengah (10,474Km2), Cipondoh ((17,91 Km2), Pinang (21,59 Km2), Tangerang (15,785 Km2), Karawaci (13,475 Km2), Jatiuwung (14,406 Km2), Cibodas (9,611 Km2), Periuk (9,543 Km2), Batuceper (11,583 Km2), Neglasari (16,077 Km2), dan Benda (5,919 Km2). Ke-13 kecamatan ini mencakup 104 kelurahan dengan 981 rukun warga (RW) dan 4.900 rukun tetangga (RT).20

Secara demografik, Kota Tangerang didiami oleh masyarakat dengan latar belakang etnik dan keagamaan beragam. Dari sisi etnik, wilayah ini

19 Sabar Sukarno, 2014. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus Pindah Agama Buddha di Tangerang). Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya, Tangerang, Banten. hal. 19

20 Letak Geografis http://www.tangerangkota.go.id/geografi

Page 103: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

90

didiami etnik Sunda, Betawi, Jawa, dan Tionghoa. Sedang dari secara agama, masyarakat di kawasan ini dihuni oleh masyarakat dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan tentu saja Khonghucu. Agama Islam menjadi agama yang dianut secara mayoritas di kawasan ini dengan mencapai angka akumulatif 6.414.896 orang (2011-2014), disusul 3.60.233 beragam Kristen, Katolik 2.34.589 orang, beragama Hindu 13830 orang, Buddha 304475, Khonghucu 2196, dan lain-lain 1.320 orang. Untuk pemeluk agama Khonghucu, kendati tidak menjadi mayoritas, namun jumlah penganut relatif tersebar di seluruh wilayah kecamatan kota ini. Meski demikian, persebaran jumlah akumulatif terbesar berada di kecamatan Neglasari sebanyak 456 orang (2011-2014), Kecamatan Benda sebanyak 421 orang (2011-2014). Kecamatan Tangerang sebanyak 267 orang (2011-2014), dan Kecamatan Cipondoh 265 orang (2011-2014). Lihat tabel berikut.

Tabel: Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Tangerang, 2010. Diolah.

No KECAMATANKONGHUCU JUMLAH

(Akumulatif )2011 2012 2013 20141 Ciledug 2 0 0 0 22 Cipondoh 55 74 85 51 2653 Tangerang 54 80 93 40 2674 Jatiuwung 3 2 1 1 75 Batuceper 7 16 21 11 556 Benda 59 151 142 69 4217 Larangan 11 7 7 4 298 Karang Tengah 36 36 28 18 1189 Pinang 13 17 18 15 63

10 Karawaci 51 72 77 51 25111 Cibodas 36 38 35 20 12912 Periuk 43 36 34 20 13313 Neglasari 87 137 157 75 456

Sebagai agama yang tumbuh berkembang pesat di lingkungan etnik Tionghoa, begitu juga agama Khonghucu berkembang luas di lingkungan masyarakat Tionghoa Tangerang, khususnya di Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang. Seperti halnya agama-agama lain di Indonesia, agama Khonghucu menampilkan sejumlah identitas

Page 104: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

91

sosial kultural keagamaan Khonghucu berupa komunitas sosial yang mengidentifikasi diri sekaligus mempraktekan ajaran agama Khonghucu, upacara keagamaan, rumah ibadah, dan organisasi sosial dan keagamaan Khonghucu.

1. Rumah IbadahSalah satu identitas keagamaan cukup penting komunitas

keagamaan Tionghoa Tangerang adalah hadirnya rumah ibadah berupa klenteng dan lithang. Sebelum menjelaskan rumah ibadah umat Tionghoa-Khonghucu di kawasan Pasar Lama, Kota Tangerang, sepertinya perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian klenteng. Klenteng difahami sebagai kuil sembahyang ke hadirat tuhan, upacara syukur ke hadapan bumi, bakti hormat kepada leluhur pendahulu, dan dalam perkembangannya menjadi sarana ibadah agama di mana di dalamnya terdapat unsur-unsur ibadah plus persembahyangan, ritual, upacara, dan hari raya/suci. Selain itu, dalam perspektif umat Khonghucu, setidaknya terdapat tiga nilai yang dimiliki klenteng. Pertama, agami, karena di dalam klenteng selalu ada unsur santapan rohani, sukma, jiwa, badani sekaligus bagi umat manusia. Kedua, ibadah, sebab di dalam klenteng senantiasa ada persembahyangan, sujud, dan doa, hening dan tenang batin, beramal sosial. Ketiga, kemasyarakatan, dimana di dalam klenteng umat menyelenggarakan sejumlahh kegiatan seperti upacara, ritual, dan seni budaya keagamaan.21

Di kota Tangerang sebetulnya terdapat tiga klenteng utama, yaitu klenteng Boen San Bio (Vihara Nimmala), Boen Hay Bio (Vihara Karunalaya), dan Boen Tek Bio. Namun, dari ketiga klenteng tersebut, Klenteng Boen Tek Bio merupakan klenteng terbesar dan tertua di kota ini.22 Klenteng yang berlokasi persis di Jalan Bhakti No. 14, Kota Tangerang, ini diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1684 M oleh komunitas Tionghoa-Khonghucu kawasan Petak Sembilan. Sementara klenteng Boen San Bio (Vihara Nimmala) yang terletak di Jl. KS Tubun No. 43 RT. 01 RW. 03, Koang Jaya, Ps. Baru, Kec. Tangerang, Kota Tangerang, diperkirakan didirikan pada 1689 M. Adapun Boen Hay Bio (Vihara

21 Lihat juga Buku Prosesi 12 Tahunan YMS Kwan Im Hud Cow ke-14 2563/2012. Tangerang: Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, hal. 21-23.

22 Siti Nila Yuliasari, 2014. Sejarah Perkembangan Klenteng Boen Tek Bio (1684-Sekarang), h. 24

Page 105: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

92

Karunalaya) yang terletak di jalan Pasar Lama Serpong, RT. 14 / RW.05, Cilenggang, Serpong, Cilenggang, Tangerang Selatan, Kota Tangerang Selatan, Banten diperkirakan didirikan pada tahun 1694 M.23

Foto: Zaenal Muttaqin

Gambar 1. Klenteng Boen Tek Bio

Sementara itu, penyebutan nama Boen Tek Bio sepertinya merepresentasikan harapan atas kebajikan di lingkungan masyarakat setempat. Hal ini merujuk pada maknanya, Boen berarti Sastra atau intelektual, Tek berarti Kebajikan, dan Bio bermakna tempat ibadah.24 Dengan demikian, Boen Tek Bio bisa dimaknai sebagai tempat bagi umat manusia untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelektual. Sejak 12 Januari 1912, pengelolaan klenteng ini dikelola dan dikembangkan oleh sebuah perkumpulan dimana pengurus dan anggotanya menganut agama Buddha, Khonghucu, dan Tao serta bertempat tinggal di Tangerang.25

Secara konstruksi, bangunan klenteng Boen Tek Bio ini mengalami sejumlah tahapan pembangunan hingga berbentuk bangunan rumah ibadah sempurna seperti saat ini. Pada tahap awal, bangunan klenteng 23 Wawancara Oei Tjin Eng, 12 Desemer 2016. Lihat juga Buku Prosesi 12

Tahunan YMS Kwan Im Hud Cow ke-14 2563/2012. Tangerang: Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, hal. 17-18.

24 Lihat Klenteng Boen Tek Bio Tangerang http://www.boentekbio.org/index.php/profil/sejarah-boen-tek-bio

25 Pengurus Klenteng Boen Tek Bio. Pernyataan Keputusan Rapat Perkumpulan Boen Tek Bio, Senin 28 Februari 2000. Dokumen tidak diterbitkan.

Page 106: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

93

diperkirakan masih sangat sederhana. Sejalan dengan perkembangan sosial masyarakat setempat bangunan rumah ibadah didirikan dengan menggunakan material lebih modern. Selain itu, searah perkembangan komunitas keagamaan setempat, koleksi peribadatan klenteng juga makin lengkap. Penelitian Yuliasari mencatat adanya sejumlah koleksi benda-benda peribadatan seperti Hio Low Sakyamuni Buddha, Hio Lou Kwam Im, Hio Lou Hok Tek Ceng Sin, Hio Lou Kwan Seng Tee Kun, Hio Lou Kwan Im Hud Couw, Thian Sin Lou/Thian Gong Lou, Sam Kai Lou, Cioh Kow (tambur batu), Cioh Pai (prasasti batu), dan Ji Cou Lou/Kim Ci (tempat pembakaran kertas sembahyang).26

Dilihat dari fungsinya, Klenteng Boen Tek Bio memiliki sejumlah fungsi keagamaan dan sosial. Fungsi ini mengacu pada penegasan klenteng Boen Tek Bio sebagai Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio pada tanggal 12 Januari 2012.27 Berdasar fungsi keagamaannya, klenteng Boen Tek Bio merupakan tempat peribadatan komunitas Tionghoa setempat, salah satunya untuk kepentingan peribadatan komunitas Tionghoa Khonghucu. Ia menjadi tempat sembahyang untuk memuliakan Tuhan, para dewa-dewi, dan mendoakan para leluhur yang telah tiada.28 Salah satu bentuk pemujaan di klenteng ini sekaligus mencerminkan agama Khonghucu adalah Sam Kwan Tay Tee (San Guan Da Di/Penguasa Tiga Alam) atau disebut juga Sam Kay Kong atau pemujaan terhadap ketiga penguasa alam, yaitu alam langit, alam bumi, dan alam air.29 Dalam perkembangannya, Klenteng Boen Tek Bio memiliki sejumlah fungsi, mulai dari layanan agama Buddha dan agama Khonghucu, pelayanan pendidikan melalui dua lembaga pendidikan Perguruan Buddhi dan Sekolah Setia Bhakti, Bidang Sosial berupa layanan rumah duka dan pemakaman, dan bidang kesehatan.30

Selain klenteng Boen Tek Bio, masyarakat Tionghoa Khonghucu

26 Siti Nila Yuliasari, 2014. Sejarah Perkembangan Klenteng Boen Tek Bio (1684-Sekarang), h.56 -68.

27 Lihat juga Buku Prosesi 12 Tahunan YMS Kwan Im Hud Cow ke-14 2563/2012. Tangerang: Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, h. 20.

28 Siti Nila Yuliasari, 2014. Sejarah Perkembangan Klenteng Boen Tek Bio (1684-Sekarang), hal.36-38.

29 Siti Nila Yuliasari, 2014. Sejarah Perkembangan Klenteng Boen Tek Bio (1684-Sekarang), h.al40.

30 Siti Nila Yuliasari, 2014. Sejarah Perkembangan Klenteng Boen Tek Bio (1684-Sekarang), hal.4.

Page 107: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

94

setempat juga memiliki rumah ibadah berupa Lithang (Khonghcu Bio). Secara geografis, letak Lithang masih berada di wilayah Pasar Lama, Kelurahan Sukasari, Kota Tangerang atau berjarak lebih kurang satu kilometer dari Klenteng Boen Tek Bio. Tidak seperti klenteng Boen Tek Bio, Lithang merupakan rumah ibadah khusus kalangan masyarakat Tionghoa-Khonghucu setempat. Selain menjadi lokasi peribadatan, lithang juga menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan keagamaan bagi masyarakat Khonghucu setempat. Lithang Khongcu Bio didirikan sekitar tahun 1969 seiring ikhtiar komunitas Khonghucu untuk memusatkan kegiatan peribadatan dan keagamaan Khonghucu di tempat tersendiri kendati secara kelembagaan masih tetap di bawah Yayasan Perkumpulan Boen Tek Bio.31 Selain sebagai tempat peribadatan, Khongcu Bio berfungsi sebagai pusat pengajaran keagaman Khonghucu kepada umatnya. Sejumlah narasumber yang berhasil diwawancarai penulis mengatakan bahwa mereka mendapatkan pengajaran agama Khonghucu secara utuh melalui Bio ini.

Foto: Dokumen Pribadi

Gambar 2. Khongcu Bio, Kota Tangerang

2. Ritual dan Upacara Keagamaan

31 Catatan pembangunan gedung yang tertera di dinding depan Gedung Khongcu Bio menyebutkan jika pembangunan secara resmi dimulai pada 19 Januari 1969 dan selesai tanggal 3 Mei 1970. Menurut penuturan Kasim Gunawidjaja, pembangunan gedung dibiayai donasi umat Tionghoa Khonghucu Tangerang dan Jakarta.

Page 108: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

95

Umat agama Khonghucu di kota Tangerang menjalankan sejumlah upacara dan ritual keagamaan yang diselenggarakan secara rutin baik secara pribadi maupun bersama-sama. Kegiatan ritual keagamaan dilakukan secara individu atau bersama-sama di rumah atau Lithang Khongcu Bio. Kegiatan ritual dan upacara keagaman tidak lepas dari adanya hari-hari disucikan yang wajib diperingati oleh setiap individu masyarakat Khonghucu. Dalam amatan penulis, seperti halnya umat agama Khonghucu di berbagai tempat lainnya, umat agama Khonghucu di kawasan Pasar Lama Kota Tangerang menjalankan sejumlah ritual persembahyangan rutin kepada Tuhan (Thian), kebaktian kepada Nabi Khonghucu, sembahyang kepada bumi (Di/Kun), sembahyang bagi leluhur, dan kebaktian kemasyarakatan. Ibadah kepada Thian sendiri memiliki empat sembahyang utama, yaitu: • Sembahyang Ci (Su) Sembahyang Ci (Su) atau dikenal juga sembahyang Jiang Tian Gong,

merupakan sembahyang prasetya dan sujud ke hadapan Tuhan sebagai bentuk pengagungan dengan disertai prasetya kepada firman-Nya. Sembahyang ini dilakukan saat tahun baru di musim semi, jatuh pada tanggal 8 malam tanggal 9 (tengah malam) bulan 1 (Cia Gwee) penanggalan Imlek.

• Sembahyang Yeu (Yak) Sembahyang Yeu (Yak) yang dikenal juga sebagai sembahyang Duan

Yang (Twan Yang) dilaksanakan saat semesta berada dalam keadaan ekstrim, yaitu pada musim panas tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek (Go Gwee Ce Co). Sembahyang ini merupakan sembahyang yang bertujuan agar m.anusia senantiasa eling tentang kekuasaan Tuhan Yang Maha Tinggi. Selain itu, sembahyang ini merupakan sarana manusia untuk memohonkan kekuatan dan jalan terbaik dalam menjalani cobaan kehidupa.

• Sembahyang Chang (Sang) Sembahyang ini disebut juga Sembahyang Zhong Qiu (Tiong Qiu)

dan dilaksanakan saat semesta dalam keadaan harmonis sehingga dipercaya sebagai waktu terbaik dalam berdoa menyampaikan harapan dan syukur kepada Thian. Sembahyang ini dilakukan pada musim gugur tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek (Pe Gwee Cap Go). Makna sembahyang ini sendiri merupakan perwujudan rasa

Page 109: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

96

keterikatan Manusia-Alam-Tuhan sebagai kesatuan dalam hidup sekaligus menegaskan bahwa Tuhan merupakan tempat sandaran segala doa dan harapan.

• Sembahyang Zheng (Cien). Disebut juga sebagai sembahyang Ronde (Onde) dan dilaksanakan

pada saat Dong Zhi (Tang Cik) di musim dingin, tepat pada tanggal 22 Desember. Sembahyang ini dimaknai sebagai syukur dan harapan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selain keempat sembahyang itu, masyarakat Khonghucu Tangerang juga melaksanakan sejumlah persembahyangan lain yaitu sembahyang pengucapan syukur setiap pagi dan sore serta saat menerima rezeki (makan); sembahyang Thiam Hio setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek (Cet Tt dan Cap Go); sembahyang penutupan tahun/malam menjelang Yuan Dan, dan saat Shang Yuan atau Shi Wu Yue (Cap Gomeh) tanggal 15 bulan 1 penanggalan Imlek (Cap Go Meh).

Lazimnya umat agama Khonghucu, masyarakat Tionghoa-Khonghucu di Kota Tangerang juga juga memiliki sejumlah upacara keagamaan yang diselenggarakan secara besar-besaran, beberapa diantaranya seperti hari lahir dan wafatnya Nabi Khonghucu, Imlek, Cap Go Meh, dan Genta Rohani.32 Sekadar informasi, di Indonesia, hari-hari besar keagamaan ini tidak hanya diperingati oleh masyarakat Tionghoa-Khonghucu semata, melainkan masyarakat Tionghoa pada umumnya, terutama hari raya Imlek dan Cap Go Meh.33 Ini menjadikan agama Khonghucu seperti dua sisi mata uang dengan tradisi kultural Tionghoa secara umumnya.

Hari kelahiran dan kematian Nabi Khonghucu dilakukan masyarakat Tionghoa-Khonghucu sebagai penghormatan terhadap Nabi Khonghucu sebagai figur penting dalam tradisi keagmaaan masyarakat agama ini. Dalam praktiknya perayaan kelahiran dan kematian Nabi Khonghucu dilakukan di rumah dan di Lithang.

32 M. Ikhsan Tanggok, 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 184.

33 M. Ikhsan Tanggok, 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 184.

Page 110: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

97

Dalam merayakan hari raya kelahiran sang Nabi, terdapat beberapa rangkaian kegiatan seperti Tiam Hio (sembahyang) pada sore hari menjelang hari kelahiran dan proses penaikan sajian sembahyang sebagai bagian dari rangkaian perayaaan. Seperti halnya pada peringatan hari kelahiran, pada hari kematiannya, umat agama Khonghucu melaksanakan kegiatan persembahyangan dan pembacaan doa-doa. Bedanya, peringatan wafatnya Nabi Khonghucu dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang sangat sederhana dibanding peringatan hari kelahirannya.

Foto: Dokumentasi Khongcu Bio Tangerang, 2013.

Gambar 3. Perayaan Hari Lahir Nabi Agung Kongzi yang ke 2564. Prosesi persembahan ini dilaksanakan pada hari selasa 1 Oktober 2013.

Hari besar keagamaan Khonghucu selanjutnya adalah Hari Raya Imlek. Bagian sebagian besar publik, Imlek lebih dikenal sebagai tahun baru Tionghoa yang dihitung berdasar sistem lunar atau peredaran bulan. Karenanya, bulan ini lebih dikenal sebagai representasi budaya Tionghoa yang dirayakan di masyarakat etnik ini tinggal. Bagi penganut agama Khonghucu, malam pergantian tahun baru Imlek diisi dengan sembahyang pada Thian sebagai perwujudan rasa syukur mereka. Biasanya, perayaan Imlek dilaksanakan pada bulan kedua tahun masehi, Februari. Bagi masyarakat Tionghoa-Khonghucu, hari raya Imlek memiliki

Page 111: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

98

sejumlah makna agamis. Makna pertama, Imlek merupakan saat Dewa Dapur pergi dan menghadap Thian membawa laporan tindak-tanduk umat manusia di bumi. Momen ini dijadikan masyarakat Tionghoa untuk membakar dupa, mempersembahkan sajian, dan membakar petasan dengan harapan mempengaruhi laporan tersebut. Malam Imlek juga dimaknai warga Tionghoa-Khonghucu sebagai saatnya melakukan persembahyangan kepada Thian dan mendoakan leluhur antara pukul 23.00-01.00 atau jam-jam dimana pergantian hari/tahun berlangsung. Selain di altar rumah, sembahyang dilakukan bersama-sama di rumah ibadah warga. Rangkaian perayaan tahun baru imlek ditutup dengan upacara Cap Go Meh pada hari ke-15 bulan pertama tahun baru tersebut. Bagi masyarakat Khonghucu, Cap Go Meh diartikan juga sebagai hari raya Siang Gwan atau hari yang pertama menyatakan sifat maha kasih, maha sempurna Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Pada hari ini disampaikan doa dan persembahyangan bagi Thian dan para leluhur yang suci, baik di rumah keluarga maupun rumah-rumah ibadah seperti Lithang dan Klenteng. Selain itu, hari raya ini juga ditandai dengan pagelaran Barongsai.34

Seperti halnya agama-agama lain, agama Khonghucu juga mengatur setiap sisi kehidupan umatnya, salah satunya perkawinan. Perkawinan dalam ajaran agama Khonghucu menjadi salah satu praktek kehidupan umat yang memperoleh perhatian penting. Agama Khonghucu menempatkan tujuan perkawinan sebagai suatu tugas suci manusia yang memungkinkan mereka melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih firman Thian dengan membentuk keluarga dan melahirkan keturunan. Tidak hanya itu, Setianda Tirtarasa dalam Ikhsan Tanggok (2005) juga menyebutkan perkawinan dalam Khonghucu juga bertujuan menyatukan antara dua keluarga, memupuk persaudaraan lebih luas di antara umat manusia.35 Terdapat

34 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 197-199.

35 M. Ikhsan Tanggok. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 112.

Page 112: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

99

beberapa fase saat seseorang hendak menuju pernikahan, yakni lamaran, pertunangan, dan penentuan hari pernikahan. Selain itu, agama Khonghucu juga menekankan agar calon pengantin juga sudah cukup dewasa, tanpa paksaan, tidak terikat dalam ikatan pernikahan, mendapat persetujuan dari orang tua atau wali, disaksikan oleh dua orang saksi, dan melaksanakan peneguhan iman di tempat ibadah Khonghucu (Lithang).36

Menjelang prosesi pernikahan, terdapat beberapa prosesi lain yang harus dilaksanakan. Diantaranya, upacara sembahyang kepada Thian dan uapacara Ciao Thau. Sembahyang pertama dilakukan menjelang pergantian malam guna memohon keridhoan Tuhan atas pernikahan, sedang upacara kedua dilakukan persembahyangan kepada Thian, Nabi Khonghucu dan roh leluhur.37 Rangkaian lainnya adalah upacara peneguhan pernikahan, yang dilakukan di rumah keluarga (mempelai wanita) dan Lithang. Seluruh rangkaian pernikahan yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa-Khonghucu mencerminkan nilai-nilai religiusitas dimana pernikahan terlebih dahulu dimintakan restu kepada Thian, Nabi Khonghucu dan arwah para leluhur.

3. Organisasi Sosial dan KeagamaanSearah pengaturan kehidupan sosial keagamaan masyarakat

Khonghucu di tanah air, masyarakat Khonghucu Kota Tangerang juga memiliki lembaga sosial keagamaan berupa Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN). Lembaga yang diresmikan pada 20 Desember 1975 ini menjalankan fungsi pengayoman aspek sosial keagamaan masyarakat beragama Khonghucu di wilayah setempat. Secara kelembagaan, MAKIN Kota Tangerang merupakan salah satu MAKIN yang berada di bawah Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), sebuah organisasi keagamaan tertinggi Khonghucu di Indonesia. Organisasi ini mengatur kehidupan keagamaan masyarakat Khonghucu di tanah air.

36 M. Ikhsan Tanggok. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 112-113.

37 M. Ikhsan Tanggok. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hal. 123-127.

Page 113: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

100

Foto: Dokumen Pribadi

Gambar 5: Kantor MAKIN Kota Tangerang

Selain organisasi sosial keagamaan, masyarakat Tionghoa-Khonghucu Kota Tangerang juga mendirikan lembaga pendidikan yang memfasilitasi pengajaran agama Khonghucu dan bahasa Tionghoa, selain pendidikan umum sebagai fokus utama penyelenggaraan lembaga pendidikan tersebut. Lembaga-lembaga pendidikan ini berada di bawah Yayasan Perguruan Setia Bhakti yang berlokasi di Ki Samaun No.171 Kota Tangerang, Provinsi Banten dengan unit-unit pendidikan berjenjang dari pendidikan dasar, menengah hingga tinggi seperti unit Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Perguruan Setia Bhakti.38 Tentang tekanan pendidikan agama Khonghucu misalnya, Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak (KBTK) Confucius yang berada di bawah Perguruan Yayasan Setia Bhakti dalam visi misinya menyatakan penyelenggaraan pengajarannya dengan pendidikan moral dan etika berdasarkan ajaran Konfusius yang univeral dengan tujuan mencetak siswa yang ceras, sehat, dan berakhlak mulia sesuai ajaran Konfusius.39 Dengan demikian, kendati tujuan pengajaran umumnya adalah keilmuan saintifik, namun 38 Tan Sudemi, Perayaan Ulang Tahun SMK Setia Bhakti Ke-14, http://konfusiani.

blogspot.co.id/2013/07/penulis-tan-sudemi-pada-hari-jumat.html39 http://kbtk.setiabhakti.sch.id/ diakses 8 Agustus 2016.

Page 114: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

101

penyelenggaraan pendidikan di lingkungan Yayasan Perguruan Setia Bhakti dilangsungkan di atas nilai-nilai keagamaan Khonghucu.

Foto: Dokumen PribadiGambar 6. Perguruan Setia Bhakti Kota Tangerang

Berdasar pada realitas kehidupan masyarakat Tionghoa-Khonghucu di Kota Tangerang, terlihat bahwa masyarakat agama ini telah lama berkembang dan mengakar di lingkungan masyarakat Tionghoa Tangerang. Perkembangan ini terlihat dari telah berlangsungnya praktik keagamaan Khonghucu sejak masyarakat Tionghoa hadir dan tinggal di Kota Tangerang. Selain itu, perkembangan juga terlihat dari sejumlah simbol dan praktik keagaman yang menjadi identitas sosial keagamaan masyarakat Tionghoa-Khonghucu seperti berdirinya sejumlah klenteng yang menjadi rumah ibadah agama Khonghucu, ajaran dan praktik keagamaan, penyelenggaraan hari-hari raya keagamaan, upacara pernikahan berdasarkan ajaran agama Khonghucu, dan lembaga pendidikan yang dibangun berdasarkan nafas keagamaan Khonghucu.

Page 115: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah
Page 116: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

103

Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan bagaimana asimilasi Tionghoa Tangerang oleh pemerintahan Orde Baru (1966-1998) turut berdampak bagi pergulatan identitas keagamaan umat Khonghucu sekaligus bagaimana umat ini meresponnya. Untuk itu, bab ini akan dimulai dengan paparan sejauhmana kebijakan asimilasi diterapkan di tengah-tengah masyarakat Tionghoa setempat, termasuk jangkauannya terhadap umat Khonghucu. Selanjutnya, bab ini merekonstruksikan pergulatan masyarakat Khonghucu merespon dampak ikutan asimilasi atas identitas keagamaan mereka. Setelah itu, peneliti akan mendeskripsikan peranan institusi keagamaan Khonghucu di tingkat nasional dan lokal, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) setempat dalam merawat identitas keagamaan di tengah-tengah kebijakan asimilasi Orde Baru. Di bagian akhir, penulis akan mendeskripsikan konstruksi identitas keagamaan Tionghoa-Khonghucu sebagai konsekuensi atas pergulatan identitas keagamaan mereka. Keseluruhan bab ini ingin menampilkan bagaimana masyarakat dan kelembagaan agama Khonghucu mempertahankan identitas keagamaan saat kebijakan pembauran dilakukan Orde Baru secara massif.

A. Asimilasi Orde Baru dan Umat Khonghucu Tangerang 1965-1998

Sebagai bagian dari masyarakat Tionghoa di Indonesia, masyarakat Tionghoa Tangerang, termasuk Tionghoa-Khonghucu di dalamnya, turut menjadi objek kebijakan pembauran yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Seperti dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, kebijakan pembauran dijalankan Orde Baru dengan tujuan tidak adanya

BAB VPergulatan Keagamaan

Tionghoa-Khonghucu Tangerang dalam Politik Asimilasi Orde Baru

Page 117: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

104

perbedaan yang terlalu mencolok sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Sekurangnya, hal ini bisa dilihat pada tujuan asimilasi pada dua regulasi yang diterbitkan oleh Orde Baru. Pertama, mencegah terjadinya kehidupan ekslusif rasial seperti disebutkan dalam Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Jang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing.1 Kedua, menghilangkan hambatan yang mengakibatkan tidak harmonisnya hubungan warga negara keturunan asing dengan warga negara asli (pribumi) seperti disebutkan Pasal 4 Resolusi MPRS RI Nomor III/Res/MPRS/1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa.2

Menjadikan etnik Tionghoa sebagai sasaran asimilasi sendiri tidak lepas dari sikap pemerintahan Orde Baru yang menempatkan etnik ini ke dalam kelompok Warga Negara Indonesia (WNI) Keturunan Asing dengan asal usul dan tradisi kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat lokal. Hal ini bisa dilihat pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing. Penempatan etnik Tionghoa sebagai kelompok keturunan bagian penting dalam proyek pembauran adalah Instruksi Presiden RI Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dimana pelaksanaan keagamaan dan adat istiadat mereka yang memiliki afinitas pada agama dan kebudayaan negeri leluhur dibatasi.3 Penyebutan ‘negeri leluhur’ secara jelas menampakan adanya sikap pemerintahan Orde Baru yang menempatkan etnik Tionghoa dan kebudayaannya sebagai entitas sosial dan kebudayaan yang asing dan terpisah dari kebudayaan Indonesia.

Sebagai kebijakan, program asimilasi Tionghoa banyak diturunkan Orde Baru melalui sejumlah regulasi. Analisa Winarta (2009) mencatat sekurangnya terdapat delapan produk perundang-undangan yang memayungi kebijakan pembauran. Pertama, Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian

1 Badan Koordinasi Masalah Cina- BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jakarta, 1979, , Buku I, hal. 68-69.

2 Badan Koordinasi Masalah Cina- BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jakarta, 1979, , Buku I, hal. 334-335.

3 Badan Koordinasi Masalah Cina- BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jakarta, 1979, Buku I, hal. 360-361.

Page 118: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

105

Masalah Cina; kedua, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina; ketiga, Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina; keempat, Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina; kelima, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.455.2-360/1968 tentang penataan kelenteng-kelenteng di Indonesia; keenam, Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina; ketujuh, SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina, dan; kedelapan, Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.4

Merujuk Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia (Buku 1 dan 2), produk hukum dan perundangan yang mengatur kegiatan asimilasi sepanjang pemerintahan Orde Baru sepertinya lebih luas dibanding yang disebutkan Winarta sebelumnya. Selain yang disebutkan Winarta, terdapat beberapa produk hukum dan perundangan turunan lain yang mendorong asimilasi Tionghoa. Diantaranya, Resolusi MPRS Nomor III/Res/MPRS/1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa yang mendorong pelarangan faham komunisme sekaligus pelarangan rangkap kewarganegaraan; Ketetapan MPRS Nomor XXXII/1966 tentang Pembinaan Pers yang salahsatunya membatasi penerbitan pers dalam bahasa asing (terutama bahasa Tionghoa) yang selanjutnya diperkuat oleh Instruksi Presidium Kabinet Nomor 49/U/IN/8/1967 tentang pendayagunaan Mass Media Berbahasa Cina, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0170/U/1975 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) di Bidang Pendidikan.

Dua produk hukum dan perundangan lain yang cukup penting dalam proses asimilasi masyarakat Tionghoa oleh Orde Baru adalah Surat Presedium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 dan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/Kep/1966. Produk pertama menetapkan penggunaan istilah ‘Cina’ sekaligus mencabut istilah ‘Tionghoa/Tiongkok’ dalam redaksi penyebutan etnik terkait di lembaga pemerintahan, baik sipil maupun militer, pusat atau

4 Frans Hendra Winarta, 2009. Suara Rakyat HukumTertinggi. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), hal. 126-128.

Page 119: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

106

daerah.5 Adapun produk perundangan kedua mengatur perubahan ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai bahasa komunitas Tionghoa.6

Melihat berbagai produk perundangan di atas, pendapat bahwa kebijakan pembauran yang dilakukan pemerintahan Orde Baru cukup massif karena masuk ke dalam berbagai lini kehidupan sosial seperti disebutkan Leo Suryadinata bisa dipertanggungjawabkan. Sebab merujuk pada sejumlah perundangan yang disebutkan di atas, program pembauran Orde Baru menyentuh sekurangnya enam sisi kehidupan masyarakat dan kebudayaan Tionghoa: Pertama, penggantian nama khas Tionghoa ke dalam nama-nama khas Indonesia; kedua, melarang segala bentuk penerbitan dengan bahasa serta aksara Cina; ketiga, membatasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga; keempat, tidak mengizinkan pagelaran perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum; kelima, melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta; keenam, menghapuskan agama Khonghucu. Dengan demikian, selain identitas diri dan dimensi kultural Tionghoa secara umum, progam asimilasi Orde Baru juga menyasar ke wilayah identitas keagamaan Khonghucu yang cukup banyak dianut masyarakat Tionghoa.

Pengamatan lapangan dan wawancara penulis dengan sejumlah narasumber menemukan, berbagai kebijakan asimilatif yang ditempuh Orde Baru menghadirkan dampak bagi identitas sosial Tionghoa di Tangerang, termasuk pada aspek identitas keagamaan Khonghucu yang banyak dianut mereka. Oei Chin Eng, sesepuh masyarakat Tionghoa Tangerang yang menjadi narasumber penelitian, menuturkan bahwa kebijakan pembauran juga dialami kalangan Tionghoa di wilayah Kota Tangerang kini, terutama masyarakat Tionghoa di wilayah Pasar Lama. Salah satu kebijakan yang mereka alami sekaligus mencabut mereka dari akar kebudayaan Tionghoa adalah keharusan mengganti nama Tionghoa mereka ke dalam nama-nama bernada lokal. Masyarakat

5 Badan Koordinasi Masalah Cina- BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jakarta, 1980, Buku 2, hal. 19.

6 Badan Koordinasi Masalah Cina- BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jakarta, 1980, Buku 2, hal. 393.

Page 120: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

107

etnik Tionghoa di kawasan ini didorong mengganti nama mereka yang bernuansa Tionghoa menjadi nama bernuansa Indonesia. Kendati regulasi sendiri menggariskan kebijakan ini bersifat anjuran, ungkap Oei, namun karena nama menjadi salah satu ukuran penting kesetiaan terhadap negara yang dicatatkan dalam identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan berbagai produk aministratif kependudukan, maka mau tidak mau masyarakat etnik Tionghoa di kawasan ini harus mengubah namanya menjadi nama-nama bernada Indonesia. Contohnya, Liong Bun Fung yang merepresentasikan nama Tionghoa diubah menjadi nama bernuansa ‘Indonesia’, Budi Tamtomo’.7

Perihal pergantian nama ‘Tionghoa’ ke dalam nama bernada pribumi sebagai bagian dari proses asimilasi juga diakui sejumlah narasumber yang penulis wawancara. Gouw Kim Soei (l. 1934) mengganti namanya menjadi Kasim Gunawidjaja, Tjia Kian Sek (l. 1965) menjadi Djoni Tjiawi, Gouw Hok Sui menjadi Rudi Gunawidjaya (l.1965). Secara tidak langsung pengubahan ini menutup identitas mereka sebagai Tionghoa. Diketahui, dalam tradisi Tionghoa, nama merepresentasikan tiga hal penting, dimana nama pertama merupakan penanda marga, nama tengah menandakan silsilah atau turunan, sedang ketiga merupakan nama asli pemilik yang sekaligus merupakan perlambang harapan kebaikan. Karena itu, nama Tionghoa lazimnya terdiri dari tiga buah kata atau bahkan empat kata yang mewakili nama asal suku bangsa (marga), keluarga, dan diri pribadinya.8 Misalnya, Gouw merupakan nama marga, Kim penanda turunan, sedang Soei (ejaan lama) atau Sui (ejaan baru) merupakan doa/pengharapan kebaikan. Dengan demikian, nama dalam masyarakat Tionghoa merupakan hal penting karena

7 Direktur Perguruan Setia Bhakti. Lihat http://konfusiani.blogspot.co.id/2015/06/ selamat-jalan-bapak-wsbudi-tamtomo.html

8 Seringkali penggunaan nama-nama juga diambil dari kata-kata yang berasal dari ajaran Kong Fu Tse, misalnya Gi Le Tin Sin (bahasa Hokkian, yang berarti kemanusiaan, kebajikan, upacara, dan pengetahuan) atau Su Hai Tji Lue dan Kai Heng Te Ja (Hokian, yang berarti di bagian dalam lingkungan ke empat penjuru laut, semua adalah saudara). Dengan pergantian nama ke dalam bahasa Indonesia menjadi masalah tersendiri karena mereka menginginkan nama pengganti yang tetap mewakili keakuannya seperti nama Kho Kim Djin (kemanusiaan emas) maka padanannya Darmawan atau Budiman dengan arti yang hampir sama. Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang. (Depok: Komunitas Bambu, 2005), hal. 267-271.

Page 121: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

108

menegaskan identitas marga, keluarga/nasab, dan identitas (juga doa harapan) pemilik nama sendiri. Namun perubahan nama sebagai akibat kebijakan asimilasi juga menjadi sangat penting karena pada akhirnya perubahan nama menjadi satu keharusan warga saat harus berurusan dengan administrasi publik pemerintahan.

Pergantian nama Tionghoa ke dalam nama bernada lokal mengonfirmasi temuan sejumlah riset tentang dampak pembauran Orde Baru terhadap Tionghoa di banyak wilayah Indonesia. Riset Sofian Munawar Asgart (2005/2006) misalnya, menemukan fakta bahwa kebijakan Orde Baru yang anti-Tionghoa, mendorong pembauran dalam segala aspek, termasuk perubahan nama-nama berbahasa Tionghoa menjadi nama-nama berbahasa Indonesia. Selain kehilangan tanda bahwa individu-individu yang diganti namanya merupakan Tionghoa, tidak jarang akibatnya adalah mengakibatkan anak keturunan Tionghoa tidak bisa lagi menggunakan nama keluarganya (marga). Padahal, penggunaan nama keluarga sangat penting dalam tradisi masyarakat Tionghoa.9 Temuan ini juga memperkuat riset Harry Poerwanto tentang bagaimana asimilasi mendorong pengubahan nama berbau Tionghoa menjadi nama bernada Indonesia di wilayah Kalimantan Barat.10

Bentuk lain dari kebijakan asimilasi adalah penutupan sekolah-sekolah Tionghoa dan pengambilalihan sejumlah aset milik individu atau lembaga Tionghoa. Oie Tjin Eng dan narasumber lain menyebutkan sejumlah aset milik pribadi Tionghoa yang diambilalih pemerintah dengan dalih kedekatan atau keterlibatan pemilik (individu dan lembaga) pada ideologi komunis dan organisasi terlarang seperti Badan 9 Sofian Munawar Asgart, dkk., Komunitas Cina Benteng (Cibet) di Tangerang:

Potret Pembauran di Tingkat Lokal (Jakarta: Riset Unggulan Kemitraan dan Kemasyarakatan Kementerian Riset dan Teknologi, 2005/2006) h. 31-32.

10 Hari Poerwanto, 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu. Dalam buku yang direproduksi dari disertasi doktoral penulisnya, Poerwanto menyoroti dampak kebijakan asimilasi yang massif salahsatunya mendorong masyarakat Tionghoa mengubah nama aslinya menjadi nama bernada Indonesia kendati di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, nama-nama tersebut masih asing. Mengingat pentingnya nama yang mewakili identitas ‘keakuan’ lahir kecenderungan tetap mempertahankan makna dan identitas nama Tionghoa mereka. Seperti Kho Kim Djin yang berarti kemanusiaan emas (berhati emas, berbudi baik), maka digunakan nama Indonesia yang cukup mewakili makna nama tersebut seperti Darmawan atau Budiman dengan makna jiwa yang berbakti atau berbudi. Hal. 266-272.

Page 122: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

109

Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)11 dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejumlah lahan Tionghoa di Tangerang yang diambil alih, sebut Rudy dan Djony, belakangan memang digunakan untuk gedung-gedung sekolah dan perkantoran instansi pemerintahan. Dalam dokumen Petunjuk Penanganan Masalah Organisasi Ekslusif Rasial, Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan RI (1997) misalnya disebutkan SMP dan SMA Syech Yusuf yang berlokasi di Jl. Syeh Yusuf No. 1 (d/h Jl. Kisamaun 176), Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Tangerang sebelumnya merupakan SD dan SMA BAPERKI.12 Pengambilalihan aset juga dilakukan pada lahan dan gedung Perguruan Baperki di jalan Kisamaun Babakan Ledeng Tangerang, RT 01 RK 07 Desa Sukasari Kecamatan Tangerang Kabupaten Tangerang. Dengan surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tk II Tangerang nomor 102/17/Kpts/Huk/1967 tanggal 1 Oktober 1967 bangunan eks BAPERKI tersebut diambilalih dan diubah menjadi Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Orde Baru (Persiapan Negeri) Tangerang yang selang setahun kemudian diubah menjadi SMEA Negeri Tangerang. Seiring kepindahan SMEA ini pada tahun ajaran 1988/1989,

11 Baperki didirikan sebagai organisasi massa (Tionghoa) pada 13 Maret 1954. Sebagai organisasi massa, Baperki terdiri dari banyak organisasi Tionghoa seperti Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa (PERWITT), Persatuan Warga Indonesia Tionghoa (PERWANIT), dan Perserikatan Tionghoa Peranakan (PERTIP). Sebetulnya, Organisasi ini lebih cenderung menempatkan tujuannya untuk lebih merekatkan hubungan Tionghoa dan masyarakat Indonesia dari kalangan etnik lainnya dengan mendorong penerimaan Tionghoa sebagai etnis yang setara dengan Sunda, Jawa, Betawi, Batak dan lainnya dalam konteks kebangsaan dan kenegeraan Indonesia. Namun karena kedekatan politik dengan Soekarno, kekuatan-kekuatan progresif revolusioner, juga kecurigaan ekslusifisme dalam model integrasi Tionghoa yang mereka tawarkan, dan dugaan jadi onderbouw PKI, maka Baperki dibubarkan segea setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Beberapa tokohnya seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat juga ditangkap dan dipenjarakan Orde Baru. Lihat Donald E. Wilmott, The National Status of The Chinese in Indonesia 1900-1958 (Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. 2009 and Copyright 1961 by Cornell University) p. 135-139 dan Leo Suryadinata (ed.), Southeast Asian Personalities of Chinese Descent, A Bibliographical Dictionary (Vol. 1). (Pasir Panjang, Singapore: Chinese Heritage Center & Institute of Southeast Asian Studies, 2012), p. 971-972.

12 Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, 1997. Petunjuk Penanganan Masalah Organisasi Ekslusif Rasial. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan RI, h. 183.

Page 123: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

110

lahan dan gedung eks Baperki tersebut digunakan SMP Negeri 8 Tangerang (sekarang bernama SMP Negeri 4 Kota Tangerang).13

Pengambilalihan aset mengonfirmasi tentang tindakan serupa atas lahan atau gedung eks organisasi rasial Tionghoa di sejumlah tempat di Indonesia. Beberapa diantaranya seperti sekolah-sekolah milik organisasi Chung Hua Chung Hui (1966), yakni Sekolah Nan Hua di Jl. Pasir Kaliki No. 51, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung sekarang berubah menjadi SD Negeri Pasir Kaliki dan SMA Negeri VI Bandung; Gedung Chung Hua Tsung Hui di Jl. EmbongNo. 19, Kelurahan Burangrang, Kecamatan Lengkong, dan Jl. Cihampelas No. 8, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, saat ini digunakan sebagai gedung Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB). Begitu juga Sekolah Chung Hua Tsung Hui di Jalan Pasar Atas No. 46-D dan Jl Pacinan No 23, Cimahi, sekarang menjadi SMA Negeri I Cimahi dan SPG Negeri Cimahi.14 Di Jakarta Selatan, sejumlah lahan eks Yayasan Pendidikan Pei Ying, BAPERKI (1966) di Jl. Kebayoran Lama, baik yang masuk wilayah Kelurahan Grogol Selatan maupun Kelurahan Cipulir, belakang diubah menjadi SDN Grogol Selatan dan SMP Negeri 48 Jakarta. Di Jakarta Barat, lahan dan gedung eks Yayasan Tiong Hwa Hwee Kuan (1958) di Jl. Perniagaan Kelurahan Tambora dan Yayasan Ching Yi (1966) di Jl. Arabika Kelurahan Malaka, masing-masing diubah menjadi SMA XIX-SMP LXIII dan SMEA Negeri V Jakarta.15

Bentuk lain dari program asimilasi yang dialami masyarakat Tionghoa Tangerang adalah pelarangan pengajaran dan penggunaan aksara Tionghoa. Pada saat yang sama, pemerintah juga membatasi penerbitan produk buku, koran, dan terbitan berbahasa Tionghoa sehingga akses masyarakat Tionghoa terhadap bahasa ibu mereka sendiri sangat terbatas, bahkan tertutup sama sekali. Penuturan Oei Tjin Eng, penggunaan ejaan dalam bahasa China dalam berbagai peruntukkan seperti nama toko, sekolah, dan pekuburan menjadi hal terlarang. Seluruhnya harus menggunakan aksara latin dengan

13 Lihat profil SMK Negeri 1 Kota Tangerang https://www.smk1-tng.sch.id/tentang-kami/

14 Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, 1997. Petunjuk Penanganan Masalah Organisasi Ekslusif Rasial. H, 184.

15 Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, 1997. Petunjuk Penanganan Masalah Organisasi Ekslusif Rasial. H, 184.

Page 124: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

111

nada Indonesia. Demikian pula halnya dengan aktivitas pengajaran bahasa dan aksara Tionghoa, baik secara informal maupun formal di sekolah-sekolah, merupakan aktifitas terlarang sehingga popularitas penggunaan dan pengajaran bahasa ini menjadi hilang setelah Orde Baru berkuasa. Menurut Oei, pengajaran bahasa dan aksara Tionghoa menjadi hal terlarang yang dialami warga Tionghoa di masa Orde Baru. Sekolah-sekolah (yang sebelumnya berbasis Tionghoa) juga tidak berani mengajarkan bahasa tersebut. Jika pun ada yang mau belajar, mereka melakukannya sendiri dan sembunyi-sembunyi dengan alasan keamanan.16

Adanya pelarangan pengajaran dan penggunaan aksara Tionghoa dirasakan para narasumber lain. Para narasumber yang sebagian besar lahir dan berkembang saat Orde Baru berkuasa merasakan pengalaman bahwa mereka tidak lagi memiliki akses untuk mempelajari aksara Tionghoa. Akibatnya, seperti disebutkan Djony Tjiawi, dibanding bahasa Indonesia atau bahasa asing lain seperti bahasa Inggris, mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami teks-teks bacaan beraksara Tionghoa. Bahkan untuk berkomunikasi dalam bahasa Tionghoa juga sudah sangat sedikit dijumpai.17Terbatasnya akses pada kemampuan aksara dan bahasa Tionghoa tidak hanya berdampak pada identitas ke-Tionghoaan dari sudut pandang bahasa, melainkan juga berdampak pada identitas keagaman Khonghucu dimana teks-teks sucinya dituliskan dalam bahasa tersebut seperti disebutkan Tan Sudemi.

“Kami, sebagian besar tidak lagi memahami bahasa itu. Padahal, itu bahasa Kitab Suci kami dimana kitab suci ditulis dalam bahasa tersebut. Sebagai masyarakat agama, seperti halnya Muslim, memahami ajaran pokok agama biasa dilakukan dengan menggali dari bahasa aslinya. Akibatnya, kami tidak cukup memahami ajaran agama, pendalaman agama Khonghucu. Beberapa tahun terakhir memang Matakin telah berusaha menerbitkan kitab suci dalam dua bahasa, Tionghoa dan Bahasa Indonesia. dari situ kami bisa belajar.”18

Dengan melihat penuturan Djony maupun Tan, bisa dilihat bahwa kendati kebijakan pembauran melalui pelarangan pengajaran

16 Wawancara Oei Tjin Eng, Minggu 4 Desember 2015. 17 Wawancara Djony Tjiawi, Minggu 4 Desember 2015. 18 Wawancara Tan Sudemi, Sabtu, 29 Oktober 2016

Page 125: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

112

dan penggunaan aksara Tionghoa lebih ditujukan dalam konteks ke-Tionghoaan secara umum, namun faktanya hal ini membawa dampak ikutan bagi aspek keagamaan Khonghucu. Dampak ikutan dimaksud adalah terbatasnya penguasaan aksara dan bahasa yang sebetulnya merupakan keahlian yang diperlukan dalam menggali teks-teks suci keagamaan maupun ajaran luhur Khonghucu dalam bahasa aslinya. Diketahui, dalam tradisi keagamaan, kitab suci dalam teks asli dan terjemahan memiliki nilai yang berbeda. Saat dituliskan dalam bahasa asal (asli), kitab suci seringkali dianggap luhur, kaya makna, sehingga bisa digali kapan pun sesuai pendekatan penafsiran kitab suci masing-masing. Beda halnya ketika kitab suci tersebut sudah dialihbahaskan ke dalam bahasa lain, nilai sakral dan kekayaan maknanya seringkali menjadi lebih sempit dan terbatas.19

Dampak kebijakan asimilasi yang berpengaruh pada masyarakat Tionghoa sebagai entitas kebudayaan adalah pembatasan aktifitas merayakan ritual kebudayaan Tionghoa sendiri. Seperti masyarakat Tionghoa pada umumnya, masyarakat Tionghoa di sekitar kawasan Pasar Lama memiliki sejumlah ekspresi tradisi kultural yang lazim dilakukan secara berkala seperti Ceng Beng (Qing Ming), Cap Go Meh atau Festival Lentera (Yuan Xiao), hari raya Imlek (Chun Jie), dan Festival Pe’ Cun (Duan Wu Jie). Sejalan dengan naik Orde Baru ke puncak politik kekuasaan, jelas Oei Chin Eng, perayaan berbagai kegiatan ini terpaksa dihentikan dengan payung hukum Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina.20 Perayaan diganti dengan kegiatan persembahyangan di Klenteng Boen Tek Bio. Hal ini berlangsung setidaknya hingga era Reformasi dimana Presiden Abdurrachman 19 Dalam Islam, misalnya, karya terjemahan Al-Qur’an tetap dipandang tidak

merepresentasikan kitab suci itu sendiri. Al-Jahiz dalam al-Hayawan seperti dikutip Muchlis M. Hanafi (2011) mengatakan sebuah karya terjemahan tidak mungkin dapat menjangkau seluruh makna yang dimaksud oleh pengucap (teks asal) dari berbagai sudut, kekhasan makna, arah pembicaraan, dan pesan-pesan tersembunyi. Dengan kata lain, problematika terjemahan terutama teks suci keagamaan adalah: pertama, ketidaksesuaian antara bahasa-bahasa, dalam hal ini antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran, dari berbagai segi; kedua, kesenjangan antara penerjemah dengan penulis, penulis teks, dan produsennya. Lihat Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur’an: Studi pada Beberapa Penerbitan al-Qur’an dan Kasus Kontemporer. Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011: hal. 169-195.

20 Wawancara Oie Tjin Eng

Page 126: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

113

Wahid (Gus Dur) menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden No.14/1967 sekaligus membuka kembali kebebasan bagi warga Tionghoa mengekspresikan kebudayaan mereka.21

Dampak yang cukup penting dari kebijakan asimilasi Orde Baru di kawasan ini adalah hilangnya identitas sosial keagamaan sebagian diantara mereka yang memilih menjadi umat agama Khonghucu. Masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu merupakan lapisan sosial kebudayaan Tionghoa yang mengalami dampak signifikan dari kebijakan asimilasi Orde Baru. Di periode awal pemerintahannya, Orde Baru masih menempatkan agama Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui resmi (an officially recognized religion), selain Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik dalam berbagai regulasi dan perundang-undangan pemerintahannya. Selain didasarkan pada amanat konstitusi dan landasan ideologi Pancasila yang memberikan kebebasan beragama bagi setiap warga negara,22 penerimaan terhadap Khonghucu berupa pengakuan resmi (official) dalam regulasi keagamaan sepertinya dilatarbelakangi keinginan Orde Baru untuk menghilangkan pengaruh komunisme yang seringkali dilekatkan pada ideologi komunisme, sehingga afiliasi keagamaan (religious affiliation) menjadi kewajiban mutlak terhadap warga negara.23 Belakangan, penerimaan demikian secara perlahan berubah setelah di sisi yang lain Orde Baru menunjukkan kecenderungan kuat menghapus pengaruh komunisme yang seringkali dilekatkan pada etnik Tionghoa yang di saat yang sama memiliki hubungan erat dengan Khonghucu. Untuk itu, berdiri di atas keinginannya menghilangkan warisan komunisme dan stabilitas sosial-politik lokal, Orde Baru secara massif menjalankan kebijakan pembauran terhadap etnik Tionghoa dengan keragaman identitas kultural, termasuk

21 Rahmat Kahfi Ardani, Festival Pe’Cun dalam Komunitas Cina Benteng Tangerang (Depok: Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2014), h. 5-6.

22 Pasal 29 ayat 1 dan 2, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, memberikan jaminan bagi masing-masing masyarakat untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

23 J. Gordon Melton & Martin Baumann (ed.), 2010. A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices. California: ABC-CLI.LLC., p. 1451.

Page 127: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

114

keagamaan di dalamnya.24

Dinamika kebijakan pemerintahan Orde Baru atas Khonghucu di level nasional juga turut berdampak di level bawah, Pasar Lama Tangerang. Menurut Oei dan Kasim, saat Orde Baru baru berdiri, sikap pemerintahan terhadap umat Khonghucu masih relatif mengakomodir. Namun sejalan dengan perubahan sikap dan lahirnya beragam regulasi yang membatasi ekspresi kebudayaan Tionghoa, Orde Baru mulai menerapkan pembatasan pada pengekspresian identitas keagamaan Khonghucu. Para narasumber yang penulis temui sepakat jika identitas keagamaan Khonghucu mereka sulit diekspresikan tidak seperti halnya masyarakat agama-agama lain atau periode dimana Khonghucu masih disebutkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Identitas nominal kepenganutan agama Khonghucu misalnya tidak bisa lagi diakomodir dalam kolom agama kartu tanda penduduk maupun surat-surat administratif lainnya. Kolom agama pada masing-masing surat-surat identitas administratif tidak menyebutkan agama Khonghucu, melainkan hanya agama-agama lain, yakni Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Hilangnya pengakuan ‘identitas’ agama Khonghucu juga dirasakan umat ini saat mengekspresikan ritual peribadatan agama Khonghucu yang banyak menggunakan simbol-simbol Tionghoa. Tak hanya itu, dampak lanjutan asimilasi atas keagamaan Khonghucu juga menyasar kepada ekspresi identitas ke-Khonghucuan dalam berbagai ritual dan praktik religiusitas seperti peribadatan, hari besar keagamaan, upcara pernikahan, dan upacara kematian.

24 Dinginnya sikap pemerintahan Orde Baru terhadap komunitas Tionghoa di tanah air tidak terlepas dari kecurigaan Orde Baru terhadap keterlibatan komunitas Tionghoa dalam gerakan Komunis 30 September 1965. Kendati tidak merepresentasikan sikap politik Tionghoa, namun kedekatan Baperki terhadap pihak yang diduga memiliki kedekatan dengan gerakan tersebut menjadi alasan kecurigaan Orde Baru. Tidak hanya bersikap dingin terhadap etnik Tionghoa di dalam negeri, Orde Baru juga membekukan hubungan Indonesia dengan RRC. Lihat Ian James Storey, Indonesia’s China Policy in the New Order and Beyond: Problems and Prospects, Contemporary Southeast Asia, Vol. 22, No. 1 (April 2000), pp. 145-174; Leo Suryadinata, Indonesian Policies toward the Chinese Minority under The New Order, Asian Survey, Vol. 16, No. 8 (Aug., 1976), pp. 770-787. Lihat juga Aimee Dawis, 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Diterjemahkan Maria Elvire Sundah dari The Chinese of Indonesia and their Search for Identity (2009). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, h. 104-105.

Page 128: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

115

Dengan demikian, selain berdampak atas identitas ke-Tionghoaan di satu sisi, kebijakan asimilasi juga turut menyasar identitas keagamaan umat Khonghucu di sisi lain. Dari sudut identitas ke-Tionghoaan, kendati mayoritas masyarakat Tionghoa Kota Tangerang merupakan kelompok peranakan yang sudah begitu dekat dengan kultur setempat bahkan berakulturasi, namun mereka tetap tidak terbebas dari kebijakan pembauran atau politik asimilasi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Kebijakan ini menghadirkan dorongan perubahan pada: Pertama, pengubahan nama-nama bernuansa Tionghoa menjadi nama bernada Indonesia. Kendati tidak menjadi kewajiban, namun kebijakan ini memaksa mereka mengubah nama, yang berdampak pada tersembunyikannya identitas ketionghoaan mereka, terutama menyangkut marga dan silsilah keluarga. Kedua, terlarangnya pengajaran dan pembelajaran bahasa ibu (Tionghoa). Bahasa merupakan salah satu identitas ke-Tionghoaan yang ikut terimbas dari kebijakan asimilasi Orde Baru sehingga menyebabkan hilangnya akses mendapatkan kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa tersebut. Ketiga, kebijakan asimilasi juga turut berdampak pada lahirnya kasus-kasus pengambilalihan aset-aset milik individu atau perkumpulan Tionghoa.

Di sisi keagamaan, kebijakan asimilasi juga menghadirkan konsekuensi berupa terbatasnya ekspresi keagamaan bahkan hilangnya pengakuan negara terhadap agama Khonghucu dalam berbagai perundang-undangan maupun produk-produk kebijakan administratif. Dari enam poin kebijakan pembaruan Orde Baru seperti disebutkan sebelumnya, empat kebijakan diantaranya bersinggungan langsung dengan kehidupan keagamaan tersebut, yakni membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga; tidak diizinkannya pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum; melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta; dan menghapuskan agama Khonghucu dari regulasi keagamaan. Dengan demikian, kendati kebijakan pembauran dilakukan pada umumnya pada lapisan etnik Tionghoa, namun pada batas tertentu kebijakan ini menyasar aspek keagamaan Khonghucu. Ini menegaskan bahwa kendati hampir seluruh kebijakan pembauran lebih ditujukan secara umum bagi kalangan masyarakat Tionghoa, namun pada beberapa aspek

Page 129: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

116

menyentuh langsung wilayah ekspresi keagamaan Khonghucu.25

B. Pergulatan Identitas Keagamaan Umat Khonghucu Kebijakan asimilasi Tionghoa yang ditempuh Orde Baru

dan berdampak pada aspek keagamaan Khonghucu di dalamnya menyodorkan dinamika pergulatan umat tersebut dalam mempertahankan identitas keagamaannya sendiri. Merujuk pada teori identitas sosial seperti yang disebutkan di Bab II, bagian ini akan melihat imbas asimilasi pada beberapa aspek identitas keagamaan yakni rumah ibadah, upacara keagamaan, pendidikan keagamaan, dan identitas nominal keagamaan masyakat Tionghoa-Khonghucu setempat. Observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti dengan sejumlah narasumber di lapangan mencatat, rumah ibadah menjadi salah satu aspek penting yang menghadirkan dinamika pergulatan umat Khonghucu terkait identitas keagamaannya. Seperti halnya agama-agama dunia (world religions) lainnya, umat Khonghucu memiliki rumah ibadah sebagai bangunan suci tempat persembahyangan kepada Yang Maha Kuasa sekaligus mendoakan para leluhur. Dalam tradisi keagamaan tradisional Tionghoa Indonesia, dimana Khonghucu masuk di dalamnya, tempat suci tersebut dinamakan Klenteng. Klenteng didefinisikan sebagai bangunan peribadatan yang menaungi umat dalam menjalankan peribadatannya kepada Tuhan, Nabi, Dewa-Dewi, dan arwah nenek moyang (Depdiknas, 2000: 22, dalam Stefanus Hanel Suryatengga).26Mengutip Moerthiko (1980), klenteng memiliki fungsi sebagai tempat kebaktian kepada Tuhan dengan segala perlembagaan/peribadahannya sekaligus tempat kebaktian kepada para Nabi dan para Suci Konfusianis (Ji). Selain mengakomodir umat Khonghucu, dalam perkembangannya klenteng juga memfasilitasi peribadatan dan pembinaan keagaman umat Taoi (Too) dan Buddha.27 Dalam praktiknya, klenteng menaungi kegiatan peribadatan tiga agama yang dianut mayoritas masyarakat Tionghoa, yakni Tao, Khonghucu, dan Buddha, 25 Leo Suryadinata, 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta:

Pustaka LP3ES Indonesia, h. 16. 26 Stefanus Hansel Suryatenggara, 2011. Klenteng Boen Tek Bio Tangerang: Kajian

Arsitektural. Skripsi Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, h. 55.

27 Moerthiko, 1980. Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang, Tempat Ibadat Tridharma se-Jawa. Sekretariat Empeh Wong Kam Fu, h. 100.

Page 130: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

117

dimana pada masing-masing bagian ruangannya disediakan tempat peribadatan masing-masing penganutnya.

Di wilayah Tangerang (Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan) sendiri, terdapat tiga klenteng yang mewadahi kegiatan keagamaan masyarakat Tionghoa yang tinggal di kawasan ini. Ketiganya yaitu Klenteng Boen Tek Bio di wilayah Kelurahan Sukasari (Pasar Lama), Kecamatan Tangerang, Klenteng Boen San Bio di wilayah Pasar Baru, dan Klenteng Boen Hay Bio. Ketiganya didirikan sepanjang abad ke-17 M sekaligus menandakan hadirnya pemukiman dan terbangunnya kultural komunitas etnik Tionghoa di pinggiran kawasan Cisadane ini.28 Sesuai pembatasan kajian penelitian, tulisan ini akan membatasi diri pada pengalaman Boen Tek Bio sebagai rumah ibadah Tionghoa-Khonghucu Tangerang di era pembauran Orde Baru. Mengacu pada analisis arsitektural, Stefanus Hansel Suryatenggara (2011) memperkirakan Klenteng Boen Tek Bio didirikan sekitar tahun 1775 sekaligus menguatkan catatan historis bahwa klenteng ini didirikan pada abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M.

Saat kebijakan politik pembauran berlangsung, klenteng Boen Tek Bio yang bercorak Tionghoa beralihnama menjadi Vihara Padumuttara dengan nama dan corak Budhisme dan lokal.29 Menurut penuturan Oei Tjin Eng, perubahan nama klenteng Boen Tek Bio menjadi Vihara Padumuttara terjadi sekitar tahun 1972. Perubahan nama sepertinya menjadi strategi agar klenteng tetap bisa berjalan kendati kebijakan pembauran dilakukan massif oleh Orde Baru. Sebelumnya di tahun 1967, masih menurut penuturan Oei Tjin Eng, strategi bertahan juga dilakukan dengan menempatkan patung Buddha oleh Bikkhu Jinaputta (Ong Tiang Biauw).30 Selain sebagai strategi bertahan, kebijakan ini juga ditempuh karena klenteng juga merupakan bagian dari tempat persembahyangan

28 Mahandis Yoanata Thamrin, 2013. Garis Lurus Menautkan Tiga Klenteng Tertua di Tangerang. Lihat http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/06/garis-lurus-menautkan-tiga-klenteng-tertua-di-tangerang

29 Amorettya Minayora, 2008. Masalah Identitas Tionghoa Muslim di Jakarta: Sebuah Gambaran Kasus Asimilasi. Skripsi Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, hal. 37.

30 Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi Bhikkhu di “International Sima” Tanggal 21 Mei 1959, di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta, lihat http://www.buddhistonline.com/sejarah/sejarah1b.shtml.

Page 131: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

118

etnik Tionghoa yang memilih berkeyakinan Buddha. Perubahan nama demikian mengonfirmasi kecenderungan perubahan klenteng menanggapi kebijakan Orde Baru dimana klenteng mengadopsi bahasa Sanskerta atau bahasa Pali, menyebut rumah ibadah sebagai vihara, dan mencatatkan izin di bawah agama Buddha demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan.31 Di kawasan Tangerang sendiri, selain klenteng Boen Tek Bio yang berubah nama, dua klenteng lain turut mengubah namanya menjadi nama Sanskerta, yakni Klenteng Boen San Bio menjadi Vihara Nimmala dan Klenteng Boen Hay Bio menjadi Vihara Karunalaya.32

Kebijakan pengubahan nama klenteng dalam masa Orde Baru tidak lepas dari kebijakan Orde Baru sendiri yang mendorong pembauran dengan mengubah bentuk dan fungsi klenteng menjadi vihara yang berorientasi pada Buddhisme. Diketahui, Jenderal Sunarso, Kepala Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC), pada rapat tanggal 17 Maret 1984 menyatakan perlunya melakukan penataan fungsi dan status klenteng sebagai tempat ibadat tradisional Tionghoa dengan cara memisahkannya dari rumah ibadat agama Budha yang lebih bercorak Indonesia, vihara.33 Selanjutnya pada Agustus 1984, Kongres Walubi memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengubah klenteng-klenteng tersebut menjadi vihara. Kendati terjadi banyak penolakan, namun pemerintah bergeming untuk menerima usulan perubahan klenteng menjadi vihara. Selanjutnya pada tahun 1988, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 455.2/360 tahun 1988 tentang Penataan Klenteng yang ditujukan kepada pemerintah-pemerintah daerah untuk tidak memberikan izin atas tiga hal, yakni memperoleh hak atas tanah untuk membangun klenteng, memperluas klenteng lama, dan atau membangun klenteng baru. Selanjutnya pada tahun 1990, Menteri Agama menerbitkan 31 Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang

kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai klenteng daripada vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma (TITD).

32 Stefanus Hansel Suryatenggara, 2011. Klenteng Boen Tek Bio Tangerang: Kajian Arsitektural. Skripsi Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, hal. 57.

33 Leo Suryadinata... dalam I. Wibowo SJ, Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa. (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 85.

Page 132: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

119

surat edaran agar ummat agama Buddha tidak merayakan hari raya orang Tionghoa atau pun tahun baru Imlek di Vihara karena tidak ada hubungannya dengan agama Buddha. Surat edaran Menteri Agama ini makin mengokohkan peralihan klenteng yang dianggap sebagai basis kultural Tionghoa diubah menjadi rumah ibadah yang lebih dekat dengan kultur setempat.34 Pengubahan klenteng menjadi vihara sendiri berjalan dengan baik. Di Jakarta, misalnya, Klenteng Kim Tek Jie diubah menjadi Wihara Dharma Bakti.

Sejalan dengan berbagai perkembangan klenteng baik dari sisi kebijakan pemerintahan maupun kultural dimana Klenteng Boen Tek Bio diubah menjadi Vihara, umat Khonghucu kawasan ini perlahan menarik diri dari klenteng dan melakukan peribadatan kebaktian keagamaan di Lithang Khongcu Bio kendati masih berada dalam payung hukum organisasi perkumpulan Boen Tek Bio. Menurut Kasim Gunawidjaja, Lithang Khongcu Bio didirikan beberapa saat setelah Orde Baru berkuasa atau sekitar tahun 1967 M. Menurutnya, didirikan dengan modal sumbangan masyarakat dan donatur beragama Khonghucu dari Tangerang dan Jakarta, kehadiran Lithang ini diharapkan menjadi sarana peribadatan dan pusat keagamaan murni agama Khonghucu setempat. Selain itu, pendirian Lithang Khongcu Bio juga ditujukan sebagai sarana pembinaan para penganut agama Khonghucu di kawasan ini. Dalam amatan penulis, tujuan demikian tercapai dengan baik setidaknya hingga penelitian dilakukan. Sebagai sarana peribadatan, misalnya, Lithang digunakan sebagai tempat peribadatan kepada Thian dan Nabi Khonghucu. Masyarakat agama Khonghucu setempat hingga penelitian ini dilakukan rutin menyelenggarakan kebaktian kepada Thian sesuai jadwalnya. Dalam perkembangannya, Lithang juga tidak hanya berfungsi sebagai sarana peribadatan, melainkan difungsikan sebagai pusat kegiatan keagamaan, kajian keagamaan, hingga pendidikan keagamaan masyarakat Khonghucu setempat. Sebagai pusat kegiatan keagamaan, lithang digunakan sebagai sarana beribadah bersama. Sebagai pusat kajian keagamaan, Lithang diposisikan sebagai rumah penyiaran aspek ajaran keagamaan Khonghucu. Sedang sebagai pusat pendidikan keagamaan, Lithang sejak awal berdiri menjadi lokasi Taman Kanak-

34 Leo Suryadinata…dalam I. Wibowo SJ, Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa. hal. 87-88.

Page 133: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

120

Kanak (TK) Konfucius sebagai cikal bakal Yayasan Perguruan Setia Bakti35, Kota Tangerang. Masih sebagai sarana pendidikan keagamaan, Lithang Khongcu Bio juga menjadi lokasi Sekolah Minggu yang mengajarkan jalan Suci Khonghucu.36

“Tahun 1967-an, saya mulai aktif di Lithang. Mulanya saya hanya mengurus pembangunan sarana ibadah Lithang. Fungsinya kan di Lithang biar bisa ibadah sekaligus belajar. Di sini kita kan bikin sekolah Minggu. Anak-anak bisa belajar budi pekerti. Lalu dari sekolah minggu kita bikin sekolah Konfucius.Tapi kemudian sekolah konfucius harus diubah.Akhirnya kita kembangkan jadi Setia Bakti.”37

Menyusul menguatnya kebijakan pembauran yang menyasar keberagamaan Khonghucu, menurut Kasim, Lithang Khongcu Bio berjalan menjadi pusat keagamaan, sarana peribadatan, dan sekolah minggu bagi generasi muda dan masyarakat Khonghucu lainnya. Rudy Gunawijaya, misalnya, menuturkan jika saat masih kecil dan remaja, ia bersekolah di TK Konfucius sebelum ditutup dan dialihkan ke dalam sekolah Yayasan Setia Bakti. Selain itu, Rudy juga terbiasa mengikuti aktifitas remaja dan pemuda Tionghoa-Khonghucu di Lithang seperti berlatih Kungfu dan menarikan tari Liong/Barongsai. Keterangan yang sama juga disampaikan Djony Tjiawi yang mengaku bergaul dengan masyarakat Tionghoa-Khonghucu Kota Tangerang di Lithang Khongcu Bio. Seperti halnya Rudy, di Lithang ini Djony ikut berlatih Kungfu dan berbagai aktifitas kepemudaan Khonghucu.

Merujuk pada pengalaman demikian, bisa dikatakan jika Lithang dalam masa Orde Baru betul-betul memainkan peranan penting sebagai benteng keagamaan Khonghucu sekaligus benteng kebudayaan Tionghoa. Baik Kasim, Rudy, maupun Djoni sendiri sepakat, keberadaan Lithang Khongcu Bio betul-betul menjadi pusat seluruh kegiatan keagamaan masyarakat Khonghucu Tangerang saat kebijakan asimilasi Orde Baru dilakukan. Berbagai perayaan keagamaan seperti kelahiran Nabi Khongcu, wafatnya Nabi Khonghucu, dan tari-tarian Barongsai

35 Hingga penelitian ini dilakukan, Yayasan Setia Ba 36 Wawancara Hasim Gunawidjaja, Minggu 5 Maret 2017.37 Wawancara Hasim Gunawidjaja, Minggu 5 Maret 2017.

Page 134: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

121

dilakukan di areal Lithang. Pemusatan kegiatan keagamaan di Lithang betul-betul menjadi respon utuh masyarakat agama Khonghucu setempat atas kebijakan asimilasi pemerintah yang memberlakukan pembatasan ketat terhadap penggunaan simbol-simbol Tionghoa yang juga digunakan oleh agama Khonghucu. Lithang juga mempererat ikatan emosional umat Khonghucu dalam satu kesatuan identitas keagamaan yang tidak cukup terakomodir oleh Negara menyusul kebijakan asimilasi Orde Baru. Hal ini seperti dituturkan Rudy tentang pengalaman masa remajanya di Lithang:

“Saya suka datang ke Lithang. Biasanya saya datang ke Lithang salah satunya karena di sini diajarkan bela diri Kungfu. Untuk berjaga-jaga saja. Karena itu, selain melakukan kebaktian di dalam lingkungan, saya juga ikut-ikutan menyelenggarakan perayaan.Ya meski saat itu kegiatan perayaan dilakukan terbatas di dalam lingkungan Lithang saja.Tak boleh keluar.”38

Bukti lain bahwa Lithang menjadi instrumen utama dalam merawat sekaligus meneguhkan identitas keagaman Khonghucu di masa Orde Baru adalah peranannya sebagai basis pertahanan umat dalam merayakan ritual dan upacara keagamaan Khonghucu berbau Tionghoa yang dilarang keras Orde Baru untuk ditampilkan di wilayah publik adalah dituturkan Djony. Dalam pengalaman Djony, aktifitas ritual dan upacara keagamaan seperti tari-tarian Liong/Barongsai sepanjang masa Orde Baru berkuasa banyak dilakukan di dalam gedung Lithang. Umat Khonghucu sebisa mungkin mendesain kegiatannya tanpa harus menyasar ke luar area Lithang. Bahkan untuk kegiatan ini, bunyi-bunyian alat musik pengiring tari diusahakan agar betul-betul tidak terdengar oleh publik sehingga tidak ditindak oleh aparat keamanan setempat. Dalam segala keterbatasan dan penyesuaian yang dilakukannya, Lithang kadang tetap bersinggungan dengan pihak aparat Orde Baru di tingkat lokal. Ini terjadi ketika aparat militer setempat (Danramil TNI) mencabut papan nama Lithang Khongcu Bio sekitar tahun 1980-an.

“Arak-arakan (upacara keagamaan Khonghucu) enggak boleh. Itu sekitar tahun 1980-an. Enggak boleh. Tahun 1988, Liong

38 Wawancara Rudy Gunawidjaja, Minggu 5 Maret 2017.

Page 135: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

122

diangkut. Plang (papan nama) Lithang juga sempat dicabut aparat.”39

Terlepas dari dampak asimilasi itu sendiri, peralihan dari klenteng ke lithang seperti dipaparkan Kasim, dalam analisa penulis, menunjukan berlangsungnya kecenderungan purifikasi ajaran agama Khonghucu sekaligus peneguhan keyakinan keagamaan Khonghucu di kalangan penganutnya dari berbagai nuansa sinkretik kepercayaan tradisional Tionghoa lainnya. Purifikasi menjadi semakin kuat karena lithang memainkan peran sebagai pusat peribadatan, penyiaran dan pendidikan agama Khonghucu semata. Berbeda halnya dengan Lithang, klenteng menjadi tempat sosial keagamaan secara umum keyakinan tradisional Tionghoa dimana di dalamnya juga menjadi pusat kebaktian dua agama lain yang cukup populer di kalangan masyarakat ini, yakni Budha dan Tao.

Seperti halnya agama-agama lain dimana masing-masing memiliki ritual dan upacara keagamaan, umat Khonghucu juga menyelenggarakan sejumlah ritual dan upacara keagamaan sebagai bagian dari ekspresi atas identitas imaniah keagamaan mereka. Dari sisi ritual keagamaan, agama Khonghucu mewajibkan umatnya melakukan kegiatan persembahyangan sebagai tanda bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tian), sedang di sisi upacara keagamaan agama Khonghucu juga memiliki sejumlah upacara keagamaan yang biasa dirayakan secara rutin (tahunan). Salah satu upacara keagamaan adalah perayaan tahun baru (Imlek). Mengutip Hendrik Agus Winarso, tahun baru Imlek atau disebut juga Sin Ciamerupakan salah satu hari raya penting dalam agama Khonghucu dan bukan semata-mata tradisi Tionghoa. Winarso mendasarkan keterangannya pada ayat 1-5, Pasal XV, Kitab Tiong Yong yang menyatakan: “Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadiratThian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia.”40Sebagai upacara

39 Wawancara Djony Tjiawi, Minggu 5 Maret 2017.40 Hendrik Agus Winarso, 2003. Mengenal Hari Raya Konfusiani. Semarang :

Effhar & Dahara Prize, h. 60-61.

Page 136: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

123

agama Khonghucu, Imlek dimaknai sebagai kesempatan baru (Xin De Ji Hui), ‘harapan baru’ (Xin De Xi Wang), dan ‘perjuangan baru’ (Xin De Tiao Zhan).41Upacara keagamaan selanjutnya adalah upacara Cheng Beng ( pinyin: qīng míng jié).

Seperti halnya masyarakat Tionghoa-Khonghucu di berbagai wilayah lain di Indonesia, masyarakat Tionghoa-Khonghucu di Kota Tangerang juga merayakan berbagai ritual dan upacara keagamaan Khonghucu seperti disebutkan di atas.42 Jauh sebelum dan beberapa waktu setelah Orde Baru berkuasa, masyarakat agama Khonghucu di kawasan Tangerang memiliki kebebasan menjalankan perayaan hari-hari besar keagamannya seperti halnya masyarakat agama-agama lain merayakan upacara dan hari besar keagamaan. Namun setelah beberapa saat Orde Baru memegang pemerintahan, kebebasan melaksanakan upacara keagamaan berangsur menghilang, terlebih setelah terbit Instruksi Presiden RI Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama dan adat istiadat Cina. Masyarakat Tionghoa, terutama yang beragama Khonghucu terpaksa merayakan ritual dan upacara keagamaannya hanya dalam lingkungan keluarga.43

41 Uung Sendana & Bratayana Ongkowijaya, 2017.Ayo Luruskan Berita Imlek. http://www.spocjournal.com/religi/599-ayo-luruskan-berita-imlek.html

42 Surat Keputusan Munas Matakin Nomor 006/MUNAS XVII/MATAKIN/2014) mencatatkan sejumlah hari besar keagamaan Khonghucu, yakni Sembahyang Tahun Baru Kongzili/Yinli, Xin Zheng, atau Chun Jie; Sembahyang Menyambut Malaikat Dapur Turun (Ying Zao Jun Xia Jiang); Sembahyang Besar kepada Tuhan YME (Jing Tian Gong); Sembahyang Syukur Shang Yuan Jie/Yuan Xiao Jie, atau Cap Go Me; Sembahyang Hari Wafat Nabi Kongzi (Zhi Sheng Ji Chen); Sembahyang Hari Sadranan (Qing Ming Jie); Sembahyang Duan Yang Jie/Duan Wu Jie, atau Bai Chuan; Sembahyang Arwah Leluhur (Zhong Yuan Jie); Sembahyang Arwah Umum (Jing He Ping/Jing Hao Peng); Sembahyang Syukur kepada Tuhan YME dan kepada Malaikat Bumi (Fu De Zheng Shen) pada saat pertengahan Musim Gugur (Zhong Qiu Jie); Sembahyang Hari Lahir Nabi Kongzi (Zhi Sheng Dan); Sembahyang Syukur Akhir Panen kepada Tuhan YME dan kepada Malaikat Bumi (Fu De Zheng Shen) pada awal Musim Dingin (Xia Yuan Jie); Sembahyang Hari Genta Rohani dan Wafatnya Mengzi (Dong Zhi Jie); Sembahyang Hari Persaudaraan; Mengantar Malaikat Dapur Naik (Song Zao Jun Shang Tian, atau Er Si Sheng An); Sembahyang Tutup Tahun (Chu Xi).

43 http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/

Page 137: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

124

Penuturan Oei Tjin Eng, penyelenggaraan upacara keagamaan pada masa-Khonghucu pada masa-masa awal Orde Baru masih diperbolehkan. Namun kebolehan ini belakangan tidak berlanjut sehingga upacara-upacara berbau kebudayaan Tionghoa maupun keagaman Khonghucu tidak bisa lagi dilaksanakan hingga pemerintahan Orde Baru berakhir.44 Hingga kekuasaan Orde Baru berakhir, umat agama Khonghucu khususnya dan masyarakat Tionghoa Tangerang pada umumnya tidak bisa menyelenggarakan upacara keagamaan dan kebudayaan secara bebas dan terbuka. Dalam keterangan foto kegiatan Peh Tjunmilik Klenteng Boen Tek Bio disebutkan jika kegiatan ini terakhir kali dilakukan tahun 1965 sebelum kemudian tidak dilakukan sama sekali sampai Presiden Abdurrahman Wahid memberikan pengakuan kembali terhadap Khonghucu.

Hal penting lain pengaruh asimilasi terhadap identitas sosial keagamaan Khonghucu adalah menyangkut identitas nominal anutan keagamaan seorang yang beragama Khonghucu. Para narasumber yang berhasil ditemui penulis menuturkan sulitnya mereka mencantumkan ‘Khonghucu’ dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP). Observasi dan wawancara bersama narasumber, peneliti mencatat adanya dua bentuk pengungkapan identitas ‘nominal keagamaan. Pertama, mengosongkan kolom ‘agama’ pada kartu tanda penduduk dan berbagai identitas 44 Wawancara

Page 138: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

125

administratif lainnya. Kedua, ‘meminjam’ identitas agama tertentu dalam mengisi kolom ‘agama’. Menurut Oei, model pertama dilakukan jika seorang Khonghucu tidak rela menggunakan identitas agama lain dan hanya mau menggunakan identitas agamanya sendiri. Namun karena kolom agama tidak menyediakan pilihan ‘agama khonghucu’, masyarakat Khonghucu ini akan meminta petugas pencatat sipil untuk mengosongkan kolom agamanya. Sementara pola kedua, ditempuh seorang Khonghucu dengan ‘meminjam’ identitas nominal agama yang diakui resmi pemerintah seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha. Tindakan ‘meminjam’ diakui para narasumber diambil karena tidak ingin direpotkan masalah administrasi sekaligus tidak berarti mereka ikut menjalankan ajaran dan praktik agama yang ‘identitas nominalnya’ mereka pinjam. Oei Tjin Eng misalnya mengaku pernah menggunakan identitas Buddha dan Islam dalam kolom KTP-nya. Begitu juga Djoni Tjiawi dan Rudy mencantumkan Islam dalam kolom identitas agama pada KTP-nya. Pada generasi lebih muda seperti Tan Sudemi, kebijakan serupa juga dialaminya dengan mencantumkan agama bukan Khonghucu sebagai identitas nominal keagamaannya.

Dari masing-masing narasumber, penulis menemukan beberapa motif mereka mencantumkan identitas agama yang sebetulnya bukan agama mereka. Selain bersikap masa bodoh dan asal isi, pencantuman agama tertentu dalam kolom agama KTP juga didasarkan pada kedekatan mereka terhadap agama yang ‘dipinjam’ baik karena teman, latar belakang pendidikan, atau bahkan keluarga. Rudy misalnya menggunakan agama Islam sebagai identitas agama di KTP-nya karena famili dari pihak nenek banyak yang menganut agama Islam. Selain komunikasi sehari-hari, pada hari-hari perayaan agama Islam Rudy ikut merayakan sehingga ia memilih Islam sebagai agama di KTP-nya. Sedang Djony mengaku menggunakan identitas agama ‘Islam’ di KTP karena sebagian besar teman-teman dan rekan kerja dan pergaulan beragama Islam. Contoh penggunaan agama tertentu sebagai identitas agama masyarakat Khonghucu di KTP seperti berikut ini:

Page 139: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

126

Selain Islam, narasumber penelitian Tionghoa-Khonghucu juga mengidentifikasikan diri sebagai penganut Buddha. Ini terlihat pada pengalaman Oei Tjin Eng yang menggunakan identitas penganut Buddhis kendati kesehariannya menjalankan ajaran Khonghucu. Belakangan, seiring pengakuan kembali agama ini, ia mengalihkan pengakuan administratifnya menjadi seorang penganut Khonghucu.

z

Kendati menggunakan identitas agama lain, namun tidak berarti para narasumber berpindah keyakinan menjadi pemeluk agama yang mereka gunakan dalam identitas nominal masing-masing. Para

Page 140: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

127

narasumber tetap menjalankan keyakinan keagamannya sebagai umat Khonghucu. Menurut Rudy maupun Oei, mereka seringkali melakukan protes kepada pemerintahan melalui aparat kelurahan maupun petugas pencatatan sipil, namun tetap saja protes mereka tidak ditanggapi sehingga para narasumber bersikap pasrah dengan identitas nominal keagamaan mereka. Dalam konteks kehidupan keagamaan warga negara Indonesia dimana identitas nominal keagamaan disebutkan turut disebutkan, ketidakadaannya ‘agama Khonghucu’ dalam kolom agama di identitas sangat problematis. Kendati keyakinan keagamaan merupakan wilayah pribadi, namun jika hal itu tersebut dinyatakan dalam identitas nominal sipil maka secara otomatis hal tersebut menjadi identitas yang dibutuhkan mereka saat mengidentifikasi diri dalam wilayah publik warga negara.

Selain identitas nominal keagamaan, asimilasi juga dirasakan pada bidang pendidikan keagamaan Khonghucu di wilayah pendidikan formal. Penghapusan sekolah-sekolah Tionghoa yang biasanya mengajarkan nilai-nilai Konfusian di satu sisi dan keharusan masyarakat Tionghoa untuk mengirimkan anak-anaknya di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah di sisi lain sepertinya menjadi media kemunculan dampak asimilasi pada pendidikan keagaman umat Khonghucu. Diketahui, melalui Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 170/U/1975 yang ditandatangani dan dikeluarkan di Jakarta oleh pejabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sjarif Thajeb pada tanggal 7 Agustus 1975, pemerintah memberlakukan pembauran di sektor pendidikan. Menurut Aimee Dawis, kebijakan di sektor pendidikan ini memiliki pengaruh penting dalam mendorong proses pembauran masyarakat Tionghoa dimana mereka harus mengikuti kurikulum nasional standar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, termasuk membangun dan mendorong nilai, norma, dan perilaku yang serupa dengan lapisan masyarakat lainnya di bawah landasan Pancasila.45 Selain itu, pengajaran Pendidikan Agama Khonghucu bagi siswa atau mahasiswa beragama Khonghucu di lembaga-lembaga pendidikan formal ditiadakan. Sebagai gantinya, siswa berlatarbelakang Khonghucu

45 Aimee Dawis, 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Diterjemahkan Maria Elvire Sundah dari The Chinese of Indonesia and their Search for Identity. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 108-109.

Page 141: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

128

dipersilahkan mengikuti pelajaran pendidikan agama lain.46Jika sebelumnya materi Pendidikan Agama Khonghucu masih diberikan di sekolah-sekolah, maka sejak 1975-an Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menghilangkannya dari kurikulum pembelajaran yang harus diterima siswa-siswi beragama Khonghucu.47Dengan demikian, tidak seperti siswa-siswi beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha yang mendapatkan kurikulum pendidikan agamanya masing-masing, siswa-siswi beragama Khonghucu tidak mendapatkan pendidikan agamanya.48

Ketiadaan pendidikan agama Khonghucu di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi formal dialami oleh hampir seluruh Narasumber. Rudy dan Djony, misalnya tidak mendapat pendidikan agama Khonghucu saat belajar di sekolah formal mulai tingkat sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, bahkan perguruan tinggi. Sebaliknya mereka mendapat pelajaran agama beragam dan didorong masuk ke salah satunya, yaitu Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, atau Pendidikan Agama Buddha. Karena alasan adanya famili beragama atau teman beragama Islam, Djony dan Rudi mengaku lebih tertarik mengambil pelajaran Pendidikan Agama Islam dibanding pendidikan dua agama lain.

“Saya tidak mendapat pendidikan agama Khonghucu di sekolah. Justru di sekolah saya malah mendapat pendidikan agama lain. Biasanya saya ikut kelas Pendidikan Agama Islam karena mayoritas teman banyak yang muslim. Saya juga memilih kelas ini karena merasa lebih dekat ke Islam dibanding ke Kristen atau bahkan Buddha. Selain teman-teman bermain, kan keluarga dari pihak Ibu juga banyak yang beragama Islam.Tapi saat ujian, saya biasanya dikasih materi ujian agama

46 J. Gordon Melton & Martin Baumann (ed.), 2010. A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices. California: ABC-CLI.LLC., p. 1451.

47 Sofian Munawar Asgart dkk., 2005/2006. Komunitas Cina Benteng (Cibet) di Tangerang: Potret Pembauran di Tingkat Lokal. Riset Unggulan Kemitraan dan Kemasyarakatan (RUKK) Kementerian Riset dan Teknologil.h, 21.

48 Xs. Tjie Tjay Ing, Angin Segar Bagi Agama Khonghucu, dalam Zuly Qodir dkk.. Spiritualitas Multikultur Sebagai Landasan Gerakan Sosial Baru. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), hal. 35-37.

Page 142: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

129

Buddha. Karena saya tidak pernah belajar dan juga bukan Buddha sering isi ujiannya asal saya isi atau tidak saya isi sama sekali. Jadi praktis saya tidak pernah dapat pendidikan agama Khonghucu (di pendidikan formal), bahkan hingga saya kuliah di ITI (Institut Teknologi Indonesia) Serpong.”49

Sepengalaman dengan Rudy, Djony juga mengaku tidak mendapat pendidikan keagamaan Khonghucu di sekolah formal yang ditempuhnya, baik sejak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, atau sekolah menengah atas. Oleh sekolah, ia mengingat, diminta mengikuti pelajaran pendidikan agama yang ada, yaitu Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen/Katolik, atau Pendidikan Agama Buddha. Namun ia lebih memilih pendidikan agama Islam dibanding agama lain. Pilihan pendidikan agama Islam diambil karena ia merasa lebih banyak teman sekolah dan lingkungannya beragama Islam. Sedang untuk mendapat pendidikan keagamaan Khonghucu sendiri, para narasumber mengaku mendapatkannya dari keluarga (ayah, Ibu atau saudara yang memiliki pemahaman lebih baik soal agama Khonghucu) atau mendapatkannya langsung dari Lithang Khongcu Bio. Dengan demikian, keluarga menjadi sumber utama pengajaran agama Khonghucu bagi anak-anak Khonghucu dalam periode ini saat pada yang sama anak-anak Khonghucu tidak mendapatkan pendidikan agama mereka di lembaga pendidikan formal. Pentingnya peran keluarga seperti dilukiskan Djony yang mengaku mendapatkannya langsung selain dari pergaulannya di Lithang Khongcu Bio dia juga mendapatkannya langsung dari keluarga.

“Sejak SD, SMP, lalu SMA, saya mendapat pendidikan agama Islam. Di rumah (baru) bapak ngajarin agama Khonghucu. Beruntung bapak berpendidikan. Yang saya bayangkan bagaimana jadinya kalau di sekolah tidak dapat di rumah orang tua juga tidak peduli pendidikan agama.”50

Pada generasi lebih muda dari Rudy dan Djony, hambatan memperoleh pendidikan agama Khonghucu juga dirasakan cukup kuat.

49 Wawancara Rudy Widjaja, Minggu 5 Maret 2017.50 Wawancara Djony Ciawi, Minggu 5 Maret 2017.

Page 143: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

130

Alih-alih mendapatkan pendidikan keagaman Khonghucu, mereka bahkan harus mempelajari pendidikan agama non Khonghucu seperti Islam, Kristen, dan Buddha. Herlinawati, Ernah, dan Tan Sudemi yang lahir belakangan misalnya justru lebih banyak belajar agama-agama non-Khonghucu, terlebih jika sekolah yang mereka masuki merupakan sekolah keagamaan tertentu. Herlinawati, misalnya, saat ia masih di bangku sekolah yang berafiliasi kepada agama Katolik, mau tidak mau ia harus ikut masuk kelas Pendidikan Agama Katolik. Bahkan, sebutnya, ia juga diharuskan mengikuti kebaktian dan kegiatan gereja. Sedangkan Ernah, yang menamatkan sekolah di SD Negeri dan SMP Negeri, justru mendapat Pendidikan Agama Islam. Barulah saat ia bersekolah di SMEA Bhakti yang berada di bawah divisi Tionghoa-Khonghucu Klenteng Boen Tek Bio, ia mendapatkan pendidikan Agama Khonghucu berupa Pendidikan Budi Pekerti. Begitu juga Tan Sudemi, ia mendapat pendidikan agama Islam, Buddha, dan Kristen, sedang Pendidikan Agama Khonghucu sendiri baru ia dapatkan dari keluarga.

“Saya mendapat pendidikan agama Khonghucu hanya di lingkungan keluarga, oleh kedua orang tua. Di SD, saya mendapatkan Pendidikan Agama Islam. di SMP saya mendapat Pendidikan Agama Kristen, sedang di SMA saya mendapat pendidikan agama Buddha. Saya tidak mendapat pendidikan agama Khonghucu, seperti halnya teman-teman saya yang beragama islam, Kristen, dan Katolik. Seluruh pendidikan agama Khonghucu saya dapatkan di lingkungan keluarga sendiri secara tradisional.”51

Menurut Ernah, dengan bersekolah di SMEA Bhakti ia merasa sangat beruntung. Pasalnya, dibanding teman-temannya yang sekolah di sekolah-sekolah negeri atau bahkan sekolah keagamaan tertentu (Buddha, Katolik, Kristen), ia mendapat pendidikan agama Khonghucu meski mata pelajarannya bernama Pendidikan Budi Pekerti, bukan Pendidikan Agama Khonghucu. Selain itu, dengan bersekolah di sekolah yang berafiliasi kepada agama Khonghucu, ia bisa tetap berteman dengan teman-teman sekolah beragama Khonghucu.

51 Wawancara Tan Sudemi, Sabtu, 29 Oktober 2016

Page 144: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

131

“Sebetulnya tidak ada niat sekolah di SMEA Bhakti. Cuma ikut-ikutan teman aja yang sekolah di sana. Kan waktu itu yang keren sekolah yang SMA Xaverius atau sekolah negeri. Tapi justru dengan begitu, saya bisa tetap terpelihara di sini (Khonghucu). Saya bisa bersama teman-teman (beragama Khonghucu), latihan nari dan bermain di Lithang...”52

Mengacu pada pengalaman sejumlah narasumber, bisa dikatakan jika umat Khonghucu terutama generasi yang lahir di era Orde Baru tidak mendapat kesempatan mendapatkan pendidikan agama secara utuh di lembaga pendidikan formal seperti halnya siswa-siswi beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha. Alih-alih mendapat pendidikan agama sendiri, generasi muda Khonghucu malah mendapat pendidikan agama agama-agama bukan agama yang mereka jalankan sebagai agama sendiri, mulai dari Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Buddha. Minim bahkan tidak tersedianya pendidikan agama sendiri di lembaga-lembaga pendidikan formal yang diikuti, orang tua atau keluarga dan Lithang menjadi tumpuan penting dalam mengakses pendidikan agama Khonghucu bagi generasi muda umat ini. Namun pendidikan di tingkat keluarga juga problematis, karena tidak seluruh orang tua dipandang cukup memiliki pengetahuan agama cukup sehingga bisa memberikan pengajaran kepada anak-anak dengan memadai atau bahkan orang tua tidak cukup memperdulikan pendidikan agama Khonghucu bagi anak-anak mereka sendiri. Sementara pendidikan di Lithang juga belum tentu seluruhnya memberikan akses bagi generasi umat Khonghucu. Seluruh kondisi demikian berkompetisi dengan pemberian pengajaran pendidikan agama-agama non-Khonghucu di sekolah-sekolah formal yang siswa-siswi Khonghucu dapatkan.

Selain itu, merujuk pada pengalaman para narasumber bisa dikatakan jika keberagamaan yang mereka rasakan sebagai umat Khonghucu hampir sepanjang pemerintahan Orde Baru tidak bisa terekspresikan sebagaimana umat lain. Jaminan perlindungan akan kebebasan beragama yang secara konstitusional disampaikan oleh pemerintah menjadi sangat ironi sebab dalam faktanya mereka menjalankan keagamaan tidak secara terbuka seperti masyarakat 52 Wawancara Ernah, Sabtu 1 April 2017.

Page 145: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

132

agama-agama lain. Pembatasan demikian sangat terasa ketika mereka mengekspresikannya dalam wilayah publik lebih luas seperti perayaan keagaman dan identitas kependudukan.

“Jadi agama Khonghucu pada masa Orde Baru itu dikasih tempat, tapi sarana dan isi enggak dikasih. Seperti dibiarkan lemas (sendiri). Dengan isinya sendiri, habis sendiri. Kurang lebih begitu. Ibadah boleh secara ritual. Terakhir sekitar tahun 1980-an, kan dialihkan bukan agama. Kalau enggak salah setelah (klenteng) diviharakan (viara, tempat Ibadah Buddha). Pelang (Lithang Khongcu Bio) enggak bole (dipasang), itu sekitar 1984-1985. Pelang Lithang diturunkan. Dan, semua umat Khonghucu harus (masuk ke dalam) di Tridharma. Padahal Tridharma sebetulny enggak ada.Tridharma itu kan dibuat supaya tidak pureBuddha. Jadi dialihkan ke tridharma.Sampai-sampai Ketua MATAKIN (saat itu) juga agak nyerah juga.”53

Namun pembatasan, para narasumber meyakini, seluruhnya bersifat politis dibanding keagamaan karena semata-mata alasan identitas ke-Tionghoa-an. Sebab kendati tidak cukup mendapat pengakuan seperti agama-agama lain, mereka masih tetap bisa menjalankan ajaran agama kendati tetap dalam batas-batas tertentu mendapat pelarangan dari pemerintah. Selain itu, pembatasan lebih didasarkan pada pertimbangan politis karena di saat yang sama umat-agama lain (terutama Islam) di kawasan mereka tinggal tidak represif. Sebaliknya, sebut Rudy dan Djoni, masyarakat Khonghucu Tangerang justru tetap bisa berhubungan baik dengan masyarakat Muslim setempat. Rudy dan Djoni menuturkan mereka bergaul baik dengan masyarakat Muslim tanpa mempermasalahkan penggunaan identitas agama Islam yang mereka gunakan. Hubungan baik dengan pribumi-Muslim, kata mereka memberi keamanan bagi mereka untuk menjalankan kewajiban keagamaan, bahkan menggunakan identitas ‘Islam’ dalam kolom KTP mereka.

53 Wawancara Djony Tjiawi, Minggu 5 Maret 2017.

Page 146: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

133

“Sebetulnya (Muslim) pribumi Tangerang dan Tionghoa sudah menyatu. Namanya maulud, misalnya, orang Chinese itu ikut muludan.Sedekah bumi (rumah), (umat Khonghucu) memanggil imam (kyai/ustadz).Itu tradisi orang (Tionghoa) Tangerang. Mau rumahnya toko atau apa, kita panggil ustadz untuk ngaji. Cuma memang kami enggak boleh pake bahasa Ibu. Malu sebetulnya kami enggak bisa bahasa Ibu.”54

Melalui hubungan baik Tionghoa-Khonghucu dengan masyarakat lokal-Muslim, para narasumber sepakat, persoalan asimilasi yang berdampak pada kehidupan keagamaan umat Khonghucu sebetulnya semata-mata dalam bingkai kebijakan politik pemerintahan. Sebab masyarakat bukan Tionghoa atau bukan beragama Khonghucu relatif menerima mereka sebagai masyarakat beda suku (Tionghoa) dan beragama Khonghucu meski tinggal berdekatan sebagai tetangga satu gang, kelurahan, kecamatan atau bahkan kabupaten/kota. Dengan penerimaan demikian, masyarakat Tionghoa beragama Khonghucu tetap bisa menjalankan kewajiban dan ritual kendati di saat yang sama regulasi tidak mengakomodir mereka sebagai umat Khonghucu.

“Jadi sebetulnya semua ini politik, bukan agama. Imbas politik, imbas kekuasaan.Jadi terpecah belahnya kita, ini imbas politik.”55

Sebagai bukti hubungan baik yang menopang masyarakat Tionghoa-Khonghucu menjalankan kehidupan dan keagamannya, banyak masyarakat Muslim setempat, kata Rudi maupun Djony, yang terlibat dalam berbagai festival perayaan keagamaan Khonghucu, bahkan setelah setelah Orde Barutumbang dan kebebasan beragama Khonghucu kembali terbuka. Banyak warga dari komunitas Muslim ini yang biasa terlibat dalam penyelenggaraan perayaan kultural keagamaan Khonghucu.

54 Wawancara Djony Tjiawi, Minggu 5 Maret 2017.55 Wawancara Djony Tjiawi, Minggu 5 Maret 2017.

Page 147: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

134

“Tionghoa dan pribumi (Muslim) di KotaTangerang itu satu kesatuan. Karena Islam di Tangerang pun Islam yang toleran. Kalau ada acara Peh cun (dan kebetulan Ramadhan), saya bilang jangan batal puasa lu. Muludan, kami juga ikut.Tujuan Pehcun itu kan untuk mempersatukan warga antar kampung.”56

C. Lembaga Keagamaan dan Peneguhan Identitas Khonghucu

Menyoroti perkembangan agama Khonghucu dan pergumulan masyarakatnya dalam mempertahankan identitas keagamaannya saat pengakuan secara resmi tak lagi diberikan oleh pemerintahan Orde Baru sepertinya layak mencermati peran yang dimainkan oleh lembaga resmi yang mewadahi suara dan perkembangan masyarakat agama ini, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dalam sub bahasan ini, peneliti menyajikan bagaimana peranan organisasi keagamaan Khonghucu lokal dalam memelihara identitas keagamaan masyarakat Tionghoa-Khonghucu setempat di saat kebijakan pembauran Tionghoa dan pengakuan agama Khonghucu begitu kurang. Untuk memberikan gambaran lengkap, peneliti akan terlebih dahulu menyajikan gambaran peranan organisasi keagamaan Khonghucu nasional dalam memelihara identitas keagamaan Khonghucu di Indonesia sendiri.

Diketahui, organisasi formal yang menaungi masyarakat agama Khonghucu adalah Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN) di tingkat pusat dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) di tingkat lokal.57Sesuai dengan tujuan pendiriannya, MATAKIN maupun

56 Wawancara Djony Tjiawi, Minggu 5 Maret 2017.57 Keberadaan MATAKIN sebagai organisasi tertinggi di level nasional maupun

MAKIN yang mewakili peranan MATAKIN di tingkat lokal-regional sendiri bisa dirunut pada pendirian Tiong Hoa Hwee Kwan (Zhong Hua Hui Guan) oleh beberapa tokoh Khonghucu masa itu seperti Phoa Keng Hek (Pan Jing He/presiden pertama) dan Tan Kim San (Chen Qin Shan/sekretaris pertama) pada 17 Maret 1900. Tujuannya ingin memurnikan kehidupan keagamaan umat Khonghucu dan mengikis sinkretisme dalam pengajaran Agama Khonghucu. Namun karena Tiong Hoa Hwee Kwan mencakup banyak hal, terutama pendidikan, maka agar lebih fokus mengurus masalah keagamaan, seksi keagamaan Tiong Hoa Hwee Kwan memisahkan diri menjadi Khong Kauw Hwee (Kong Jiao Hui) atau Majelis Agama Khonghucu. Setelah berdiri sendiri Khong Kauw Hwee bergerak sepenuhnya dalam membina kehidupan

Page 148: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

135

MAKIN yang berada di bawahnya bertugas memfasilitasi dan membina aktifitas keagamaan masyarakat Khonghucudi tanah air. Terkait peranannya di era Orde Baru, analisis peneliti mencatat, adanya dua peranan penting yang dimainkan MATAKIN maupun MAKIN. Di satu sisi, peranan yang dimainkan MATAKIN maupun MAKIN adalah membina umat dan memelihara tradisi keagamaan Khonghucu tetap terjaga sebagai ajaran agama yang dianut sejumlah masyarakat Tionghoa, di sisi lain MATAKIN maupun MAKIN bekerja keras kepentingan masyarakat agama Khonghucu melalui sejumlah pendekatan kepada otoritas berwenang dalam pemerintahan Orde Baru.

Untuk kepentingan pertama, membina umat dan memelihara tradisi keagamaan Khonghucu, MATAKIN saat masih bernama PKCHI menyelenggarakan kongres keempat di Solo pada 14-16 Juli 1961 menekankan salahsatu misinya yaitu mengintensifkan penyeragaman tata ibadah. Selanjutnya pada tanggal 19-22 Desember 1975 di Tangerang diselenggarakan MUNAS III Dewan Rokhaniwan Agama Khonghucu Indonesia yang dihadiri oleh Rokhaniwan dari 25 daerah. Keputusan-keputusan penting di dalam munas ini: Disahkan penyempurnaan hukum perkawinan dan pelaksanaan upacara. Sebagai organisasi yang menaungi masyarakat agama Khonghucu, MATAKIN sepanjang pemerintahan Orde Baru juga tetap berusaha menjalankan roda organisasi melalui pergantian kepengurusan maupun musyawarah sebagai ajang evaluasi kegiatan sekaligus penentuan program pengembangan fasilitasi.

beragama umat; seperti menyelenggarakan kebaktian,dan ceramah keagamaan baik langsung atau melalui radio pemerintah (Kasunanan : SRV atau SRI) Surakarta. Pada sebuah kongres di Solo, tanggal 15-16 April 1955, lembaga ini diubah menjadi menjadi Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) yang diketuai oleh dr. Kwik Tjie Tiok dan Sekretaris Oei Kok Dhan. Pada tanggal 14-16 Juli 1961, Kongres IV di Solo memutuskan perubahan nama PKCHI menjadi Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia (LASKI). Namun konferensi Solo pada 22-23 Desember 1963 kembali memutuskan perubahan nama dimana nama LASKI menjadi GAPAKSI (Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia). Akhirnya pada tanggal 23-27 Agustus 1967, GAPAKSI kembali diubah menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dengan berbagai organisasi sayap lokalnya MAKIN. Hingga saat ini, sekurangnya terdapat 134 MAKIN yang tersebar di 19 provinsi seperti Banten (9 MAKIN di Tangerang, Pondok Cabe, Ciapus, Maruga, Rawakucing, Jurumudi, Rawabokor, Teluk Naga, dan Kebon Baru). Lihat laman http://matakin.or.id.

Page 149: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

136

Pada tanggal 15 Januari 1987, misalnya, MATAKIN menyelenggarakan konferensi di kota Solo dimana salah satunya pemilihan Ketua Umum MATAKIN periode 1987-1991 yaitu Ws. Leo Kuswanto. Lalu, pada tanggal 14 Maret 1987, MATAKIN juga menggelar pertemuan yang menghasilkan kesepakatan perlunya revisi dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam rangka menyesuaikan diri dengan Undang-undang No.8/ 1985. Selanjutnya pada tahun 1993, MATAKIN menyelenggarakan Munas (Konggres) MATAKIN ke-XII di Jakarta dan terpilih sebagai Koordinator Presidium Hengky Wijaya dengan Ketua Majelis Pimpinan Pusat Harian Js. Chandra Setiawan dan Sekretaris Irwanto. Kedudukan pusat MATAKIN di Jakarta. beberapa saat setelah Orde Baru tumbang, tanggal 22-23 Agustus 1998, MATAKIN juga menyelenggarakan Munas (Konggres) MATAKIN XIII yang dibuka oleh H. Amidhan mewakili Menteri Agama Malik Fadjar. Terpilih sebagai Ketua Umum Js. Chandra Setiawan dan Sekretaris Umum Budi S. Tanuwibowo.58

Terus berlangsungnya roda organisasi sepertinya menjadi strategi bagaimana eksistensi masyarakat dan agama Khonghucu yang dianut sejumlah masyarakat bisa tetap terjaga kendati pada saat yang sama pemerintahan Orde Baru melakukan pembauran secara massif terhadap kultur Tionghoa dan mempersempit ruang pengakuan terhadap agama Khonghucu yang tumbuh dalam wilayah kultural Tionghoa. Diketahui, seperti disebutkan di bagian awal pembahasan, pemerintahan Orde Baru menerbitkan sejumlah regulasi yang mempersempit gerak agama Khonghucu seperti diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama Khonghucu yang pada masa Orde Lama maupun periode paling pertama Orde Baru masih disebut justru hilang dalam surat edaran ini yang sekaligus menegaskan sikap pemerintahan Orde Baru terhadap agama Khonghucu.

Untuk kepentingan kedua, membela kepentingan agama Khonghucu di sisi kebijakan pemerintahan Orde Baru, organisasi MATAKIN juga sepertinya melakukan sejumlah pendekatan kepada

58 Lihat ‘Sejarah dan Organisasi Agama Konghucu di Indonesia’ di laman http://matakin.or.id.

Page 150: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

137

pemerintahan sekaligus penyesuaian terhadap situasi politik yang berlangsung. Musyawarah Kerja (Muker) MAKIN-MAKIN se-Jawa Barat dan DKI Jakarta pada tanggal 25-27 Desember 1970 menghasilkan keputusan bersama mendukung pemerintah untuk turut mensukseskan pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang dicanangkan Orde Baru, sambil di saat yang sama meningkatkan perkembangan Agama Khonghucu. Dukungan atas Program Pelita Orde Baru juga ditegaskan dalam Musyawarah Kerja Umat Khonghucu seluruh Indonesia (MUKERSIN) I Solo yang dihadiri utusan-utusan dari 41 daerah pada tanggal 18-20 Maret 1971, dimana dinyatakakan bahwa masyarakat dan organisasi keagamaan Khonghucu menyatakan kepercayaan penuh kepada Pemerintah RI dalam melaksanakan PELITA demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, MUKERSIN juga memutuskan untuk mewajibkan kepada segenap umat Khonghucu untuk turut mensukseskan PEMILU dan Pembangunan.

Pernyataan dukungan terhadap Orde Baru juga kembali ditekankan dalam Kongres VIII, 23-27 Desember 1971, di Semarang. Dalam Kongres yang menetapkan Xs. Suryo Hutomo sebagai Ketua Umum dan Js. Tjiong Giok Hwa sebagai Sekretaris organisasi menegaskan kembali dukungan penuh organisasi keagamaan Khonghucu dalam menyukseskan Program PELITA dalam akselerasi modernisasi di dalam era pembangunan 25 tahun, khususnya di bidang spirituil. Namun dalam kesempatan yang sama, organisasi juga meminta pemerintah memberikan perlakukan yang sama terhadap Agama Khonghucu seperti halnya perlakuan pemerintah terhadap agama-agama lain seperti Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik. Usaha yang sama juga ditegaskan dalam Musyawarah Kerja Umat Khonghucu se-Indonesia (MUKERSIN) II, tanggal 20-23 Desember 1976, di Jakarta dimana disampaikan pernyataan bahwa umat Khonghucu seluruh Indonesia mendukung Kepemimpinan Nasional dalam mensukseskan Pembangunan Nasional. Akan tetapi di saat yang sama, organisasi juga berinisiatif melaksanakan pendekatan dengan Pemerintah dan masyarakat dengan memberikan penerangan-penerangan agama guna menghindarkan isu-isu negatif.

Selain melakukan pendekatan kepada otoritas pemerintahan, MATAKIN juga melakukan sejumlah langkah sehingga eksistensi keagamaan Khonghucu di Indonesia tetap terjaga dengan melakukan

Page 151: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

138

pendekatan kepada organisasi keagamaan Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia (Islam) maupun mengikuti berbagai pertemuan akademik keagamaan tingkat dunia. Melalui perantara Choi Gun Duk, pemuka/rohaniwan Agama Khonghucu Korea (Sung Kyun Kwan), umat Khonghucu meminta KH Abdurrahman Wahid yang saat itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendorong pemerintahan Orde Baru dan masyarakat Muslim mayoritas memberikan perlakuan yang baik kepada masyarakat Khonghucu. Choi memberikan argumentasi bahwa Islam dan masyarakat Muslim merupakan minoritas di Korea Selatan, namun mereka menikmati kebebasan hidup dan suasana harmonis di negara tersebut.59

Di saat yang sama, sejumlah tokoh cendekiawan dan agama Khong-hucu juga mengikuti sejumlah forum ilmiah dan dialog agama-agama, baik yang diselenggarakan di tanah air maupun dunia seperti diundangnya Xs. Suryo Hutomo pada tanggal 28 Agustus-3 September 1974 oleh Sekjen World Conference on Religion and Peace (WCRP) Hommer A. Jack ke Leuven, Belgia. Dalam kesempatan itu, Hutomo mewakili MATAKIN menyampaikan sumbangan pikiran yang dituangkan dalam buku “State in order world in peace”. Pada tanggal 17 Juli 1975, Hommer ke Indonesia dan mengunjungi MATAKIN. Pada tahun 1976, MATAKIN mendapat undangan Asia Conference on Religion and Peace (Konferensi Agama dan Perdamaian Asia) yang berlangsung di Singapura tanggal 25-28 Nopember. Pada Maret 1977, MATAKIN mengikuti World Conference on Religion, Philosophy and Culture, yang diselenggarakan 30 Maret - 4 April 1977 di Madras, India. MATAKIN dalam hal ini memberikan sumbangan pikiran yang dituangkan dalam buku, “All Men Within The Four Sea are Brothers”. Di tahun dan negara yang sama, MATAKIN juga menerima undangan dari World Conference on Future of Mankind, yang diselenggarakan 2-6 Februari 1978 di New Delhi, India. Begitu juga pada tanggal 28 Agustus - 9 September 1979, MATAKIN mengirim utusan untuk mengikuti World Conference on Religion and Peace III di New Jersey, Amerika Serikat. Keikutsertaan dalam berbagai forum dialog dan akademik menampilkan dua hal menandaskan pluralisme keberagamaan masyarakatnya sekaligus menegaskan masih hadirnya agama Khonghucu sebagai agama

59 Lihat Sejarah dan Organisasi Agama Konghucu di Indonesia di laman matakin.or.id

Page 152: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

139

yang dianut masyarakat Indonesia.Di tingkat lokal, terutama di lingkungan masyarakat Tionghoa-

Khonghucu Kota Tangeran, MAKIN juga memiliki peran tak kalah penting dalam memelihara sekaligus memfasilitasi praktek keagamaan masyarakat Khonghucu setempat.MAKIN Tangerang resmi berdiri dan memberikan pelayanan kepada masyarakat Khonghucu sejak 20 Desember 1975, hampir bersamaan dengan penyelenggaraan Musyawarah Kerja Nasional Seluruh Indonesia (MUKESRIN) di Tangerang yang membahas masalah kerohaniawan dengan tujuan menyempurnakan tata agama, tata cara ibadah, keimanan dan pengajaran Khonghucu, kebatinan dan perkawinan masyarakat agama tersebut. Selain MAKIN Tangerang, pelayanan agama Khonghucu juga dilakukan sekurangnya tujuh MAKIN lain yakni MAKIN Pondok Cabe, MAKIN Ciapus, MAKIN Maruga, MAKIN Rawa Kucing, MAKIN Jurumudi, MAKIN Rawabokor, dan MAKIN Teluk Naga.60 MAKIN Tangerang atau dikenal Khongcu Bio sendiri terletak di Jalan Ki Samaun Nomor 145 Tangerangatau masih berada di areal Pasar Lama, Kota Tangerang.61

Menurut Kasim Gunawidjaja, kendati pengakuan pemerintah terhadap agama Khonghucu terbatas, namun pemerintah tidak serta merta membubarkan MAKIN atau kelembagaan agama Khonghucu baik di pusat maupun daerah. MAKIN tetap dibiarkan pemerintah beraktivitas sebagaimana seharusnya kendati ruang geraknya juga harus menyesuaikan kebijakan pemerintah saat itu. Ditambahkan Kasim, MAKIN Tangerang terus beroperasi kendati dalam batas tertentu karena perkantoran MAKIN sendiri menyatu dengan Lithang Khongcu Bio yang sudah terlebih dulu didirikan sejak 1967. Karena posisinya demikian, maka MAKIN pada saat yang sama bisa terus dekat dengan umat dan beraktifitas melayani mereka sebagaimana seharusnya. Berdasar penuturan Kasim, sebagaimana menjadi tujuan pendiriannya, Lithang KhonghcuBio sendiri menjadi pusat peribadatan dan perkumpulan masyarakat beragama Khonghucu di sekitar Kota Tangerang. Ini bisa dilukiskan dari tuturan Kasim:

60 Sabar Sukarno, 2014. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus Pindah Agama Buddha di Tangerang). Laporan Penelitian Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya, Tangerang, Banten, h.18

61 http://matakin.or.id/page/alamat-makin-se-indonesia

Page 153: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

140

“Kita mendirikan Lithang itu enggak ada uang. Enggak ada modal. Tapi ia bisa dibangun karena kebaikan banyak orang. Salah satunya dari kenalan yang anaknya di BCA (Bank Central Asia, penulis). Saya bawa proposal ke sana. Dia baik betul. Kasih bantuan. Setelah dua-tiga tahun, Lithang bisa berdiri. Lalu umat bisa berkumpul untuk beribadah dan belajar. Anak-anak juga.”62

Dengan keberadaannya yang demikian, MAKIN Kota Tangerang dan Lithang Khongcu Bio bisa menjalankan fungsi pembinaan umat. Beberapa fungsi pembinaan keagamaan umat misalnya, keberadaannya dalam satu areal memungkinkannya menjadi pusat penyelenggaraan kebaktian/persembahyangan rutin maupun tahunan umat Khonghucu. Dalam hal ini, kebaktian seperti peringatan hari lahir dan wafat Nabi Khonghucu bisa dilakukan di tempat mana MAKIN dan Lithang berada. Selain itu, keberadaan MAKIN dan Lithang dalam satu tempat juga memungkinkan pengajaran ajaran agama Khonghucu disampaikan pada umat melalui ceramah para rohaniawan di sela-sela peribadatan. Selanjutnya, keberadaannya yang menyatu memungkinkan penyelenggaraan Sekolah Minggu bagi anak-anak, remaja, dan masyarakat beragama Khonghucu dewasa. Dalam amatan penulis, kegiatan sekolah Minggu dilaksanakan rutin setiap setiap minggu oleh para guru dan rohaniawan agama Khonghucu dengan sasaran berjenjang dan materi pendidikan agama yang disesuaikan. Keberadaan MAKIN sekaligus Lithang Khongcu Bio dengan berbagai aktifitas peribadatan dan pengajaran agama sepertinya menjadi sarana penting bagi umat dalam mengenal ajaran agamanya sendiri. Hal ini seperti dituturkan Rudy Gunawidjaja:

“Saya mendapat pendidikan agama Khonghucu dari Bapak. Bapak biasanya mencontohkan kebaktian di rumah. Pendidikan juga saya dapatkan dari TK Konfucius.Setelah itu saya tidak lagi mendapat pengajaran, kecuali melalui pergaulan di Lithang.(Lalu dari) Kursus-kursus (yang diselenggarakan MAKIN/MATAKIN) setelah saya tertarik mendalami agama Khonghucu....”63

62 Wawancara Kasim Gunawijaja, Minggu 5 Maret 2017.63 Wawancara Rudy Gunawijaja, Minggu 5 Maret 2017.

Page 154: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

141

Merujuk pada penuturan para narasumber, kelembagaan keagamaan Khonghucu dalam bentuk organisasi social keagamaan MAKIN (dan MATAKIN di tingkat tertinggi) memainkan peranan penting dalam memelihara identitas keagamaan umat Khonghucu. Sebab di saat tekanan kebijakan asimilasi dilakukan secara ketat, MAKIN dalam wilayah peranan yang sempit

D. Konstruksi Baru Identitas Keagamaan Umat Khonghucu Melihat penuturan sejumlah sumber yang berhasil ditemukan

penulis, bisa dikatakan jika kebijakan asimilasi yang dilakukan pemerintahan Orde Baru tidak hanya berdampak pada masyarakat Tionghoa setempat. Dampak kebijakan asimilasi Orde Baru yang lebih mendalam dialami masyarakat Tionghoa yang memilih beragama Khonghucu. Sebagai masyarakat Tionghoa, kendati sebagian besar komunitas ini sudah lama menyatu dan berakulturasi dengan masyarakat dan kebudayaan setempat dan mengingat komunitas Tionghoa Kota Tangerang sebetulnya masuk dalam kategori Tionghoa Benteng bukan Totok, kebijakan asimilasi turut menyasar mereka. Selain dorongan perubahan nama Tionghoa yang mengandung identitas marga, nasab, dan individu pemilik nama, asimilasi juga menyasar pada penggunaan simbol-simbol Tionghoa seperti penggunaan dan pengajaran bahasa Tionghoa. Selain itu, asimilasi juga berdampak pada aset yang dimiliki masyaraka Tionghoa yang diduga terlibat dalam BAPERKI. Namun sebagai umat Khonghucu, dampak kebijakan yang sama memiliki efek lebih besar dengan menyasar identitas sosial etnik mereka sebagai Tionghoa sekaligus juga menyasar identitas sosial keagamaan mereka sebagai umat agama Khonghucu.

Kendati sulit merespon secara utuh, namun kebijakan asimilasi Orde Baru yang cukup penting adalah pengubahan nama bernada Tionghoa ke dalam nama setempat misalnya, masyarakat Tionghoa kota Tangerang meresponnya dengan mengganti nama mereka ke dalam nama-nama bernada Indonesia kendati nama-nama tersebut terlihat aneh dan tidak cukup populer di kalangan masyarakat setempat. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan nama yang mereka gunakan relatif seperti nama yang digunakan masyarakat Indonesia dengan perpaduan pengaruh Islam, Eropa dan kultur setempat namun sepertinya tidak cukup populer. Kasim

Page 155: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

142

Gunawidjaja, misalnya. Nama ini merepresentasikan nama Indonesia dengan pengaruh Arab (Islam) dan kultur Jawa. Secara akar kata, kata Kasim bisa dikatakan berasal dari kata Kasim bentuk subjek (fa’il). Sementara Gunawidjaja merepresentasikan pengaruh kultur Jawa Guna dan Widjaja dimana Guna berarti manfaat atau faidah, fungsi, kebaikan atau budi baik, sedang Wijaya berasal berarti kemenangan atau menang. Sementara nama itu sendiri tidak cukup populer karena ejaan yang digunakan dalam nama-nama populer di kalangan setempat biasanya ‘Hasyim’, bukan Kasim. Selain pengaruh Arab, nama-nama yang mereka gunakan merepresentasikan pengaruh Eropa seperti Rudy Gunawidjaja dan Djony Tjiawi. Baik nama Rudy maupun Djony merupakan dua nama yang populer digunakan masyarakat Indonesia diderivasikan dari nama khas Eropa atau Amerika.

Dari sudut pandang seorang Khonghucu, kebijakan asimilasi dirasakan memberi tekanan berlebih. Sebab selain menekan identitasnya sebagai seorang Tionghoa, kebijakan asimilasi Orde Baru juga meminggirkan identitas keagamaan mereka sebagai umat Khonghucu. Dari sudut pandang ini, kebijakan asimilasi menyodorkan mereka ruang pergulatan keagamaan yang cukup keras untuk mempertahankan identitas sosial keagamaan mereka di tengah-tengah peminggiran identitas mereka sebagai masyarakat Tionghoa sekaligus umat Khonghucu.

Penghapusan penyebutan Khonghucu sebagai bagian dari agama yang disebutkan dalam regulasi pemerintahan, misalnya, menyebabkan pengakuan terhadap agama ini hilang. Selain di tataran regulasi atau kebijakan keagamaan pemerintahan, hilangnya kata ‘Khonghucu’ juga menyebabkan hilangnya identitas nominal keagamaan masyarakat Tionghoa yang menganut agama Khonghucu. Padahal hal pengakuan formal atas identitas nominal keagamaan di Indonesia cukup penting sebagai negara yang mengatur secara formal kehidupan keberagamaan masyarakatnya, baik sosial maupun individual. Hilangnya ‘identitas nominal keagamaan’ mendorong masyarakat agama Khonghucu mensiasatinya dengan meminjam ‘identitas nominal keagamaan’ lain seperti Islam, Kristen, dan Buddha. Peminjaman ‘identitas nominal keagamaan’ Islam, Kristen, atau Buddha ini menjadi penting bagi mereka menyiasati aturan yang tidak mengakomodir identitas keagamaan

Page 156: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

143

sendiri. Sebab di saat yang sama, peminjaman identitas ini tidak berarti menjadikan mereka menjadi Islam, Kristen, atau Buddha. Sehingga mereka tetap menjalankan ajaran agamanya sebagai umat Khonghucu, namun secara nominal mereka mencatatkan diri beragama Islam, Kristen, atau Buddha.

Di sisi ritual keagamaan, baik peribadatan maupun perayaan hari-hari sakral juga tidak luput dari sasaran kebijakan Orde Baru. Pada aspek ini, tekanan kebijakan cukup beragam, pada sisi ritual keagamaan seperti kebaktian dan persembahyangan rutin di klenteng, lithang, maupun pribadi masih bisa dilakukan oleh setiap individu yang memilih agama Khonghucu meski di saat yang sama mereka juga tidak memiliki keleluasaan penyelenggaraan kegiatan hari-hari sakral keagaman seperti perayaan Hari Lahir dan wafat Nabi Khonghucu, perayaan Imlek, dan Cap Go Meh secara penuh. Pada aspek ini, identitas keagamaan Khonghucu hanya bisa diekspresikan di lingkungan keluarga atau penganut agama Khonghucu, tidak bisa ditampilkan di wilayah publik seperti halnya umat lain mengekspresikan perayaan keagamannya. Dalam hal ini, identitas keagamaan umat Khonghucu hanya sebatas identitas pribadi yang diekspresikan dalam wilayah terbatas, tidak seperti halnya umat agama lain yang menjadikan agama sebagai identitas pribadi sekaligus identitas sosial yang bisa direfleksikan di wilayah publik.

Dari sisi keagamaan, Klenteng yang merupakan rumah ibadah khas masyarakat Tionghoa (dimana dalam konteks Indonesia adalah Khonghucu) diubah menjadi vihara mendorong identitas keagamaan di sisi rumah ibadah Klenteng menjadikan mereka seperti ter-Buddha-kan. Pengubahan nama sekaligus pengelompokan klenteng menjadi vihara dan milik Buddha mendorong munculnya perluasan pengaruh Buddha di lingkungan masyarakat Tionghoa, terutama yang menjalankan Khonghucu. Tempat ibadat dan masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu secara bersamaan harus berlindung di balik identitas Buddha. Akibat kecenderungan demikian, selain meluasnya pengaruh agama Buddha, wilayah pengaruh agama Khonghucu menjadi semakin menyempit. Umat agama Khonghucu di kawasan ini lebih memilih memusatkan peribadatan dan pengajaran agama dilakukan di Lithang Khongcu Bio, bukan di Klenteng Boen Tek Bio. Kendati keberadaan Lithang sendiri masih di bawah kordinasi Perkumpulan Boen Tek

Page 157: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

144

Bio, namun keberadaan Lithang yang terpisah memungkinkan umat agama Khonghucu bisa merawat iman keagamaan mereka sebagai umat Khonghucu dengan melakukan peribadatan, pengajaran agama, maupun transfer nilai-nilai moral keagamaan Khonghucu bagi masyarakat Khonghucu setempat.

Searah kebijakan asimilasi, kegiatan pengajaran agama Khonghucu bagi masyarakat remaja dan dewasa Khonghucu juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak seperti halnya siswa-siswi beragama Kristen, Islam, Buddha, dan Hindu yang mendapat pendidikan keagamaannya di sekolah-sekolah formal sekali pun, siswa-siswi beragama Khonghucu tidak mendapatkan pendidikan agama Khonghucu. Alih-alih mendapat pendidikan agama yang mereka yakini, pengalaman sejumlah narasumber menyebutkan bahwa ada dorongan bagi mereka untuk ikut kelas agama lain, terutama pendidikan agama Buddha. Ketiadaan pendidikan agama di lembaga pendidikan formal, berkaca pada pengalaman sejumlah narasumber penelitian diperparah dengan ketiadaan lembaga pendidikan agama non formal. Satu-satunya sandaran dalam pendidikan agama bagi penganut agama Khonghucu adalah Lithang dan keluarga. Keluarga menjadi faktor penting dalam merawat dan meneruskan identitas keagamaan Khonghucu bagi generasi umat agama Khonghucu.

Berbagai kondisi yang dialami, selanjutnya memungkinkan umat Khonghucu menghadapi berbagai kemungkinan dalam pergulatan keagamannya. Di satu sisi, umat Khonghucu memilih tetap menjalankan keyakinan keagamaan Khonghucu beserta berbagai ritual keagamaan sebagai pengungkapan iman keagamaan mereka. Pada kelompok keagamaan ini, meyakini dan mempertahankan ajaran keagamaan Khonghucu merupakan hal yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Hal ini bisa terlihat pada bagaimana pergulatan iman keagamaan yang dilakukan oleh seluruh narasumber penulisan. Di sisi lain, berbagai kondisi demikian memberikan ruang bagi penganut agama Khonghucu untuk mempertimbangkan anutan keagamaannya dengan memilih berpindah agama (religious conversion) ke agama-agama lain. Pengalaman yang terakhir bisa terlihat dari penuturan Tan Sudemi seperti berikut:

Page 158: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

145

“Kami hidup di era Orde Baru dengan munculnya fakta banyak-nya penganut agama Khonghucu yang berpindah agama dari Khonghucu ke agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Buddha, dan Islam. Namun dari sekian banyak agama, Kristen dan Katolik lebih banyak dipilih, sebagian lagi masuk agama Buddha. Hanya sedikit yang masuk agama Kristen.Selain itu, anak-anak yang lahir di era 1980-an itu memilih pindah agama ke Kristen dan Buddha.”64

Menganalisis tuturan Tan Sudemi, perpindahan agama Khonghucu ke agama-agama lain sepertinya tidak lepas dari makin kuatnya upaya penyiaran agama-agama resmi pemerintah seperti Kristan, Buddha, dan Islam, terutama setelah hilangnya pengakuan resmi negara terhadap ‘agama Khonghucu’ terhadap umat tersebut. Namun seberapa tinggi ajakan terhadap agama tertentu sepertinya juga tidak seragam. Selain itu, perpindahan agama juga tidak lepas dari ‘kelenturan’ agama-agama dengan tetap memfasilitasi tradisi kultural Tionghoa mereka.

“Kami juga saat itu menjadi objek sasaran penyeberan agama lain seperti Islam dan Kristen. Tapi dibanding Islam, ajakan pindah agama yang massif berasal dari agama Kristen.Kami sering diajak kumpul-kumpul di acara komunitasnya seperti natalan dsb. Beda dengan Islam, kami sedikit yg masuk k sana. Hanya beberapa saja.Karena kuatir klo masuk Islam, hubungan keluarga menjadi terputus.”65

Kendati dirinya tidak ikut mengubah identitas keagamaannya, namun banyak teman-teman sekolah dan kakak Tan Sudemi ada yang memilih berpindah agama dengan menjadi Muslim.

“Banyak, teman-teman saya banyak yang menyeberang ke Buddha, Kristen, Katolik. Bahkan Islam. kakak saya sendiri, almarhum, pindah agama ke Islam hingga wafatnya. Masuk ke

64 Tan Sudemi, Sabtu, 29 Oktober 2016.65 Tan Sudemi, Sabtu, 29 Oktober 2016.

Page 159: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

146

Islam sedikit, banyaknya masuk Kristen atau Buddha.”66

Pengalaman Tan Sudemi juga diakui oleh Rudy Gunawidjaya. Menurut Rudy, dari banyak teman-teman sepermainan dan sekolahnya, sebagian besar diantaranya kemudian tidak lagi datang ke Lithang dan berganti keyakinan menjadi Kristen, Katolik, atau Buddha. Bahkan diantara saudaranya ada yang memilih berpindah dari agama Khonghucu ke Katolik.

“Bisa dikatakan saya dan saudara-saudara dibesarkan dalam keluarga yg menjalankan ajaran agama Khonghucu, meski kakak pertama saya memutuskan ikut suami berpindah agama menjadi Katolik. Tapi saya dan tiga adik memilih menjalankan agama Khonghucu.”67

Menurut Bratayana Ongkowijaya, kecenderungan perpindahan agama sebagian umat Khonghucu ke agama-agama lain didasarkan pada sejumlah alasan yang sangat kompleks. Selain karena sempit dan terbatasnya ruang gerak keagamaan umat Khonghucu dan massifnya pendidikan keagamaan non-Khonghucu yang diberikan bagi siswa-siswi beragama di sekolah-sekolah formal mereka, perpindahan juga didasarkan pada kelenturan dan watak toleransi agama Khonghucu dalam menyikapi perbedaan atau bahkan perpindahan agama pemeluknya. Menurutnya, watak demikian terlihat dari kecenderungan agama Khonghucu yang lebih populer di kalangan terbatas Tionghoa dan tidak disiarkan secara massif kepada masyarakat non Tionghoa maupun umat agama-agama lain. Watak dan kecenderungan penyebaran demikian jauh berbeda dengan agama-agama seperti Islam, Kristen, dan Katolik sehingga banyak dianut masyarakat dari berbagai latar belakang etnik kebangsaan.68

Penjelasan tentang kelenturan watak demikian, ditambahkan Oei Tjin Eng. Menurutnya, kecenderungan demikian tidak terlepas dari penekanan agama Agama Khonghucu sendiri agar umat manusia

66 Tan Sudemi, Sabtu, 29 Oktober 2016.67 Wawancara dengan Rudy Gunawidjaja68 Wawancara dengan Bratayana Ongkowijaya

Page 160: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

147

berbakti penuh kepada tiga hal dengan menjalankan pesan moral masing-masing, Thian (Tuhan Yang Maha Esa), Nabi Khonghucu, dan orang tua. Bakti kepada tiga hal ini menjadi ukuran keberhasilan seseorang dalam menjalankan nilai-nilai luhur agama, apa pun agama yang dianut kendati pun mereka tidak lagi mengikuti agama Khonghucu. Dengan latar belakang seperti demikian, maka perpindahan agama atau perbedaan agama di dalam lingkungan umat Khonghucu relatif tetap dihargai selama orang tersebut bersungguh-sungguh berbakti kepada Tuhan, ajaran Nabi, dan menghormati-menyayangi orang tuanya.69

Dalam sudut pandang sosiologi, berlangsungnya konversi keagamaan70 di kalangan umat Khonghucu ketika kebijakan pembauran dilakukan secara massif oleh Orde Baru bisa difahami sebagai kecenderungan yang terjadi akibat munculnya faktor eksternal berupa pengaruh sosial yang mendorong seseorang berpindah agama. Max Heirich seperti juga disebutkan Hendropuspito (1989) menyebutkan setidaknya terdapat empat faktor di balik keputusan konversi agama yang dilakukan seseorang, yakni faktor teologis berupa dorongan kesadaran ilahiah bagi seseorang untuk melakukan pertobatan atau berpindah agama, faktor psikologis dimana konversi dilakukan sebagai hasil perjuangan batiniah, faktor pendidikan dimana latar belakang pendidikan mendorong seseorang untuk mempertimbangkan ajaran agama asalnya dan berpindah kepada agama baru, dan faktor pengaruh sosial dimana pergaulan, komunikasi, dan situasi sosial menjadi pendorong utama kegiatan konversi agama. Perpindahan agama sendiri, sebut Heirich, tidak semata-mata kehadiran faktor tunggal melainkan kombinasi beberapa faktor di atas.71 Situasi sosial keagamaan yang tertekan di satu sisi dan pengajaran pendidikan agama non-Khonghucu

69 Wawancara Oei Tjin Eng, Minggu 2 April 2017.70 Konversi agama agama sendiri, terutama dalam konteks tulisan ini,

didefinisikan sebagai perubahan sistem keyakinan dari suatu komitmen keimanan dan ikatan hubungan keimanan ke komitmen keimanan dan ikatan hubungan keimanan yang lain. Lihat Rambo R. Lewis, 1993. Understanding Religious Conversion. London: Yale University Press, pp. 2-3.

71 Lihat Max Heirich, June 1993. Change of Heart: A Test of Some Widely Held Theories About Religious Conversion. Working Papers for The Center for Research on Social Organization. University of Michigan, Department of Sociology. Lihat juga Hendropuspito, 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius, h. 224-227.

Page 161: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

148

di sisi lain sepertinya bisa menjadi alasan berlangsungnya proses konversi keagamaan pada sebagian umat Khonghucu di Era Orde Baru.

Terlepas dari adanya umat Khonghucu yang beralih keyakinan, namun umat Khonghucu di Tangerang menggambarkan komunitas resilien dalam mempertahankan keagamaan mereka saat menghadapi tantangan berupa asimilasi dan tidak bersikap akomodatifnya pengakuan regulatif negara terhadap identitas keberagamaan mereka. Ketatnya kebijakan pembauran yang ditempuh pemerintahan Orde Baru dihadapi masyarakat Tionghoa-Khonghucu dengan melakukan penyesuaian dan adaptasi sehingga identitas kultural-keagamaan masih bisa dipertahankan kendati dalam wilayah yang sangat terbatas. Hal ini senada dengan pendapat Sonn & Fisher (1998) seperti dikutip Kirmayer (2009) bahwa komunitas resilien adalah komunitas yang mampu bertahan kendati di saat yang sama mereka harus berhadapan dengan tekanan terhadap eksistensi mereka sendiri. Dalam hal ini, mengutip Breton (2001), komunitas resilien bergantung terhadap masyarakat atau orang-orangnya (human) dan modal sosial (social modal) yang mereka miliki. Modal sosial yang dimaksud dalam konteks ini terdiri dari warga (people), jejaring (network), perkumpulan voluntir (voluntary association) yang secara efektif mampu memobilisasi individu untuk beraksi.72

Terkait modal sosial ini, dianalogikan Kirmayer (2009) sebagai payung (umbrella) untuk menjelaskan aspek-aspek jejaring sosial (social networks), hubungan (relations), kepercayaan (trust), kekuatan (power), maupun peranan individu sendiri. Dalam hal ini, jelasnya, modal sosial bisa digambarkan dalam bentuk sumber daya komunitas (community resources) baik fisik, simbolik, finansial, sumber daya manusia, maupun alam yang diinvestasikan kembali dalam suatu hubungan sosial.73 Mengutip Mignone & O’Neil, modal sosial memiliki sejumlah dimensi yang berbeda-beda antar komunitas yang beragam, namun setidaknya modal sosial memiliki sejumlah komponen dasar yaitu hubungan sosial (social relationship), jejaring dan hubungan timbal balik (networks and reciprocity), kepemilikan norma dan nilai (shared norms and values), budaya kepercayaan (a culture of trust), partisipasi kolektif (collective participation), dan akses terhadap sumber daya (access to resources). Sementara Putnam

72 Kirmayer, p. 7273 Kirmayer, p. 73

Page 162: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

149

(1993) menyodorkan lima prinsip modal sosial, yaitu: jejaring komunitas (community networks), ikatan kewargaan (civic engagement), identitas kewargaan lokal (local civic identity), hubungan timbal balik dan norma bersama (reciprocity & norms of cooperation), dan kepercayaan dalam komunitas (trust in the community).74

Merujuk pada berbagai definisi tentang modal sosial di atas bisa ditarik benang merah bahwa modal sosial dalam konteks ini bisa didefinisikan sebagai sumber daya suatu komunitas sosial untuk hidup bersama-sama dan bertahan dari arus perubahan dan tantangan. Sementara jenis bisa berupa masyarakat sendiri, kemauan untuk selalu berhubungan sosial dengan sesama maupun komunitas lainnya, kepemilikian terhadap norma dan nilai dan keyakinan penuh untuk menjalankannya. Pada masyarakat Tionghoa-Khonghucu di kota Tangerang, modal sosial untuk menjadi masyarakat resilin seperti dimaksud bisa dilihat dari masih adanya masyarakat Tionghoa yang tetap meyakini dan menjalankan ajaran agama Khonghucu kendati pada saat yang sama mereka juga berhadapan dengan tekanan kebijakan pembauran Orde Baru. Modal sosial lain yang mereka miliki adalah rasa kebersamaan di antara sesama Tionghoa-Khonghucu maupun kemauan untuk membangun komunikasi dengan warga setempat yang berbeda secara etnik maupun keagamaan (Jawa, Sunda, Bugis, dan Muslim). Pengalaman hampir sebagian besar narasumber yang menjalin komunikasi yang sangat baik dengan masyarakat lokal dan Muslim merupakan bagian dari representasi modal sosial mereka saat membangun resiliensi atas tekanan identitas kultural keagamaan.

Bagaimana masyarakat Tionghoa-Khonghucu Kota Tangerang bergelut mempertahankan identitas keagamaannya juga bisa difahami pada cara-cara yang ditempuh dalam komunitas resilien. Menurut Kirmayer, setidaknya terdapat tiga teknik bagaimana masyarakat melakukan resiliensi atas tekanan internal dan eksternal yang mereka hadapi, yaitu melawan (resistance), pemulihan (recovery), dan kreatifitas (creativity). Pada teknik pertama, resistensi, komunitas bisa saja melawan suatu perubahan dengan penyesuaian (ajdusting) dan adaptasi (adaptation) sebagai sebuah perlawanan balik atas pengaruh yang ditimbulkan tantangan perubahan. Pada teknik kedua, pemulihan, 74 Kirmayer, p 75

Page 163: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

150

dengan berbagai tantangan berkepanjangan, komunitas berubah melakukan penyesuaian diri namun secepatnya melalukan pemulihan dan kembali kepada situasi semula. Pada teknik ketiga, kreatifitas, komunitas diubah oleh tantangan dan menciptakan model baru dirinya. Dalam hal ini, masyarakat resilien akan beradaptasi terhadap situasi baru dan menciptakan kelembagaan dan praktik baru yang membawa kepada nilai-nilai tersebut.75

Pada konteks masyarakat Tionghoa-Khonghucu di Tangerang, masyarakat melakukan perlawanan terhadap perubahan yang muncul sebagai akibat kebijakan pembauran dengan mengadaptasikan identitas kultural ketionghoaan mereka ke dalam corak yang lebih bernuansa lokal seperti perubahan nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama khas Indonesia. Namun pada saat yang sama, perubahan nama-nama juga diusahakan memiliki makna yang berdekatan dengan nama Tionghoa mereka. Pada sisi identitas keagamaan, masyarakat ini melakukan penyesuaian identitas nominal agama di berbagai surat administratif kewarganegaraan dengan menjadi ‘Islam’, ‘Kristen’ atau ‘Buddha’ kendati di saat yang sama mereka juga tidak sepenuhnya mengubah identitas keagamaan mereka. Menjadikan Lithang sebagai basis peribadatan dan pengajaran keagamaan yang terpisah dan mandiri dari rumah-rumah ibadat tradisional Tionghoa juga merupakan bagian dari peneguhan identitas keagamaan Khonghucu di saat kebijakan asimilasi Orde Baru menghilangkan ruang bagi mereka. Dengan berbagai kondisi demikian, masyarakat Tionghoa-Khonghucu menampilkan kreatifitas bertahan sebagai umat agama yang resilien dalam mempertahankan identitas keagamaannya saat kebijakan asimilasi yang cukup ketat diterapkan Orde Baru.

75 Kirmayer, p. 72.

Page 164: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

151

Pada bab ini, penulis akan menyimpulkan pembahasan penelitian. Kesimpulan terutama diberikan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam batasan dan rumusan masalah di bab pendahuluan. Selain itu, di bagian paling akhir bab ini, penulis akan menyampaikan saran atau rekomendasi bagi langkah penelitian lanjutan terkait tema ini.

A. KesimpulanMenggunakan sejumlah pendekatan penelitian yang diperlukan

dalam mengkaji pengalaman Tionghoa-Khonghucu Kota Tangerang di bawah kebijakan asimilasi pemerintahan Orde Baru, sepanjang 1966-1998, penulis menangkap sejumlah kesimpulan sebagai berikut:1. Kebijakan asimilasi Orde Baru terhadap masyarakat Tionghoa di

hampir sepanjang sejarah kekuasaan pemerintahannya (1966-1998) menyodorkan dampak luar biasa tidak hanya bagi identitas kultural Tionghoa, melainkan juga bagi masyarakat beragama Khonghucu yang cukup populer di kalangan masyarakat Tionghoa. Dampak pada identitas Tionghoa berlaku dengan dipaksa berasimilasinya warga Tionghoa dengan kultural lokal seperti pergantian nama Tionghoa menjadi nama bernuansa lokal, hilangnya akses kemampuan menggunakan bahasa ibu (Tionghoa), dibatasinya pengajaran langsung generasi Tionghoa melalui lembaga-lembaga pendidikan berbasis kultural Tionghoa, termasuk adanya pengambilalihan sejumlah aset penting masyarakat Tionghoa oleh pemerintahan Orde Baru. Namun, kebijakan asimilasi memiliki dampak lebih berat bagi masyarakat Tionghoa beragama Khonghucu. Selain karena menanggung beban sebagai bagian dari kultural Tionghoa, mereka juga mengalami tekanan hilangnya pengakuan identitas keagamaan mereka sebagai umat Khonghucu seperti halnya umat agama-agama lain di Indonesia. Kondisi demikian bisa terlihat dari pengalaman masyarakat Tionghoa Pasar Lama, Kelurahan Sukasari,

BAB VIPenutup

Page 165: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

152

Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten. Mereka merupakan salah satu kelompok sosial masyarakat Tionghoa Indonesia yang menjadi objek sasaran kebijakan asimilasi Orde Baru. Kendati secara kultural masyarakat ini telah berakulturasi dengan masyarakat dan sistem kebudayaan lokal, namun kelompok sosial ini tidak menjadi pengecualian kebijakan asimilasi Orde Baru. Hanya saja, beban paling berat sebagai konsekuensi penerapan kebijakan asimilasi adalah masyarakat Tionghoa Tangerang beragama Khonghucu yang populer di lingkungan masyarakat ini. Selain harus menanggung beban sasaran asimilasi sebagai masyarakat kultural Tionghoa, kelompok sosial Tionghoa beragama Khonghucu juga harus kehilangan identitas nominal keagamaan sekaligus ekspresi keberagamaan mereka sebagai umat agama Khonghucu.

2. Riset lapangan, wawancara, dan pembacaan data yang dilakukan penulis sendiri mencatat, agama Khonghucu sendiri merupakan agama yang cukup populer di kalangan masyarakat Tionghoa wilayah Pasar Lama, Sukasari, Tangerang. Sebagai agama yang lahir di wilayah asal masyarakat Tiongkok, agama ini cukup mengakar di lingkungan masyarakat Tionghoa. Berbagai kelembagaan sosial keagamaan Khonghucu yang hadir maupun data-data demografis tentang pemelukan agama Khonghucu mencatat bahwa umat agama ini tersebar cukup luas di wilayah Pasar Lama, maupun berbagai wilayah kelurahan dan kecamatan lain di Kota Tangerang. Sebaran populasi membuktikan agama Khonghucu cukup populer di lingkungan masyarakat Tionghoa Tangerang. Tidak diketahui secara pasti kapan sebetulnya agama ini menjadi cukup mapan di kalangan Tionghoa setempat. Namun mengikut pada posisinya sebagai agama tradisional Tionghoa, kehadiran agama Khonghucu di kawasan ini sudah berlangsung sejak kehadiran pertama etnik Tionghoa di Tangerang.

3. Sejalan dengan perkembangan kelembagaan keagamaan Khonghucu, identitas keagamaan sebagai salah satu bentuk identitas sosial umat agama ini hadir dalam bentuk komunitas agama Khonghucu sendiri, institusi keagamaan berupa rumah ibadah seperti klenteng dan Lithang, ritual dan perayaan upacara keagaman, maupun pengajaran agama Khonghucu. Komunitas umat Khonghucu merupakan salah

Page 166: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

153

satu bagian penting dari masyarakat Tionghoa Tangerang, selain yang memilih menganut agama-agama lain. Selain identitas nominal keagamaan Khonghucu, penanda penting identitas keagamaan mereka ditandai dengan kehadiran rumah ibadah seperti Klenteng Boen Tek Bio, Lithang Khongcu Bio, kewajiban ibadah dan berbagai ritual upacara keagamaan seperti Cap Go Meh, Sembahyang Kubur, dan Peringatan Lahir dan wafat Nabi Khongcu. Penanda lain identitas keagamaan umat Khonghucu di kawasan ini adalah hadirnya organisasi sosial keagamaan berupa organisasi Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) maupun lembaga pendidikan yang berakar pada keyakinan agama Khonghucu berupa Yayasan Setia Bhakti.

4. Dampak asimilasi Orde Baru atas identitas keagamaan Khonghucu sendiri adalah hilangnya pengakuan agama Khonghucu dalam berbagai produk regulasi tentang kebijakan keagamaan Negara. Di tataran terbawah umat agama Khonghucu, asimilasi Orde Baru tidak hanya menghilangkan pengakuan atas identitas nominal keagamaan mereka, kebijakan asimilasi juga menekan identitas lain berupa pengalihan rumah ibadah klenteng bercorak Tionghoa dan Khonghucu menjadi Vihara yang bercorak lokal dan Budha, terlarangnya penyelenggaraan kegiatan ibadah dan upacara keagamaan yang bersifat publik, dan hilangnya kesempatan pengajaran pendidikan keagamaan pada generasi umat Khonghucu.

5. Menyiasati berbagai kebijakan asimilasi yang menekan, di aspek identitas keagamaan, umat Umat agama Khonghucu menyiasati dengan peminjaman identitas nominal keagamaan umat agama lain seperti Islam, Budha, dan Kristen. Peminjaman terutama dibutuhkan sebagai identitas keagamaan untuk kepentingan administratif seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, tanpa harus beralih dengan menjadi umat agama yang identitas nominalnya mereka pinjam. Di sisi rumah ibadah dan kegiatan keagamaan, kebijakan asimilasi Orde Baru yang menekan juga direspon dengan pemusatan Lithang Khongcu Bio sebagai pusat peribadatan, upacara keagamaan, dan pengajaran keagamaan. Selain keluarga, Lithang menjadi instrumen penting dalam merawat identitas agama Khonghucu tetap bertahan di tengah tekanan asimilasi Orde Baru.

Page 167: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

154

Selain melalui kegiatan sekolah Minggu, Lithang melalui lembaga pendidikan yang dikelolanya juga berperan besar dalam merawat pengajaran agama Khonghucu selama kebijakan asimilasi Orde Baru berlangsung. Selain itu, kehadiran Lithang juga memungkinkan praktik dan pemahaman ajaran agama Khonghucu bisa terhindar dari praktik dan pemahaman sinkretik keyakinan tradisional Tionghoa pada umumnya. Keberadaan organisasi Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) di lokasi setempat juga berperan penting dalam merawat identitas keagamaan Umat Khonghucu sesuai kordinasi kelembagaan pusatnya, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

6. Tekanan bagi identitas dan ekspresi keagamaan Khonghucu selanjutnya melahirkan konstruksi baru identitas keagamaan umat agama Khonghucu. Di satu sisi, terdapat umat agama Khonghucu yang tetap memelihara identitas keagamaannya sebagai bagian dari ummat Khonghucu. Pada kelompok ini, mereka meyakini dan memperjuangkan keyakinan keagamaannya meski pada saat yang sama mereka juga berhadapan dengan pembatasan ekspresi yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Di sisi lain, terdapat generasi umat Khonghucu yang mengalihkan anutan agamanya ke agama-agama seperti Kristen, Katolik, dan Buddha. Kompleksitas tekanan, pengaruh pendidikan keagamaan, dan kelenturan sikap penerimaan agama Khonghucu menjadi latar belakang pemunculan identitas keagamaan baru di kalangan generasi umat agama Khonghucu. Kondisi demikian menegaskan jika asimilasi pada aspek identitas keagamaan bisa berdampak negatif maupun positif. Asimilasi menjadi negatif karena turut mendangkalkan pemahaman dan penghayatan keagamaan umat agama terkait atau bahkan mendorong umat tersebut melakukan konversi agama. Asimilasi menjadi positif karena di saat yang sama ia mendorong munculnya komunitas agama yang resilien, setia, dan terhindar dari kecenderungan sinkretisme.

B. SaranMerujuk pada kesimpulan penelitian di atas, penulis setidaknya

mencatat adanya dua saran yang perlu diteruskan dari penelitian ini. Keduanya yaitu:

Page 168: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

155

1. Sebagai sebuah studi tentang umat agama yang hidup dan melangsungkan keberagamaannya pada sebuah negara yang menjamin kebebasan mereka dalam menjalankan keberagamaannya sesuai keyakinan masing-masing, studi ini masih sangat sederhana dan memerlukan penelitian lanjutan yang lebih utuh. Sebab, selain karena keterbatasan penggunaan metodologi, ruang lingkup penelitiannya juga terbatas dengan hanya merekonstruksi pergulatan identitas keagamaan umat Khonghucu di wilayah Pasar Lama, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang. Padahal merujuk kepada sejarah kebijakannya, kebijakan pembauran Tionghoa merupakan kebijakan nasional pemerintahan Orde Baru yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya Pasar Lama, Kota Tangerang. Sehingga dengan begitu, penelitian tentang dampak kebijakan pembauran Orde Baru terutama menyangkut sisi keagamaan Khonghucu masih perlu dilakukan.

2. Merujuk pada rekonstruksi pengalaman pergulatan keagamaan umat Khonghucu di era Orde Baru yang melakukan pembatasan secara massif, penelitian ini menemukan relevansi untuk diteruskan dengan memotret pengalaman keagamaan umat agama-agama lain yang hadir dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, namun belum terakomodir secara utuh dalam politik kebijakan agama-agama negara. Pengakuan secara formal dan terbatas pada agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu secara tidak langsung mengabaikan identitas keberagamaan masyarakat yang memilih agama dan keyakinan di luar enam agama tersebut. Terlebih dalam konteks kebudayaan Indonesia yang beragam, tradisi religi dan keagamaan juga banyak yang lahir, tumbuh, dan dipraktekan oleh masyarakat pengimannya. Studi lanjutan juga setidaknya masih memiliki relevansi untuk dilanjutkan mengingat secara konstitusional, Indonesia menyatakan komitmennya untuk melindungi dan menjamin kebebasan masyarakatnya dalam menjalankan agama dan keyakinan religiusnya.

Page 169: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah
Page 170: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

157

A. BukuAfif, Afthonul. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati

Diri. Depok: Penerbit KEPIK, 2012.Amorettya Minayora. Masalah Identitas Tionghoa Muslim di Jakarta: Sebuah

Gambaran Kasus Asimilasi. Skripsi Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2008.

Asgart, Sofian Munawar, dkk. Komunitas Cina Benteng (Cibet) di Tangerang: Potret Pembauran di Tingkat Lokal. Jakarta: Riset Unggulan Kemitraan dan Kemasyarakatan (RUKK) Kementerian Riset dan Teknologi, 2005/2006.

Badan Koordinasi Masalah Cina- BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jilid I. Jakarta: BAKIN, 1979.

Badan Koordinasi Masalah Cina- BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jilid 2. Jakarta: BAKIN, 1980.

Barker, Cris. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005.

Baron, Robert A.,& Donn Byrne. Psikologi Sosial diterjemahkan Ratna Djuwita dkk dari Social Psychology. Jakarta: Penerbit Erlangga, Jilid 1., 2004.

Baumann, Martin & J. Gordon Melton (ed.). A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices. California: ABC-CLI.LLC., 2010.

Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis diterjemahkan Tim Penerjemah PSH dari Indonesia Chinese in Crisis (1983). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Daradjadi. Geger Pecinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta: Kompas, 2013.

Dawis, Aimee. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Diterjemahkan Maria Elvire Sundah dari The Chinese of Indonesia and their Search for Identity (2009). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, , 2010.

Daftar Pustaka

Page 171: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

158

Didi Kwartanada. Dari Ibu Liem sampai John Lie: Sumbangsih Tionghoa di Masa Revolusi Kemerdekaan. Makalahdiskusi Nabil Forum.Tanpatahun.

Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara. Petunjuk Penanganan Masalah Organisasi Ekslusif Rasial. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan RI, 1997.

Gunawan, Marisa. Dentingan Duabelas Mangkok. Jakarta: Red & White Publishing, 2014.

Halimi, Ahmad Jelani. Perhubungan Perkapalan dan Perdagangan Nusantara-China Sejak Zaman Awal dalam Perdagangan Dunia Melayu-China Hingga Kurun ke-16 Masihi: Satu Tinjauan Sejarah dan Arkeologi, ed. Nazarudin Zainun dan Nasha Rodziadi Khaw. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Islam Malaysia, 1970.

Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.Hogg, Michael, & Dominic Abrams. Social Identifications: A Social Psychology

of Intergroup Relations and Group Processes. London: Routledge, 1988.Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary: International Student’s

Edition. Oxford: Oxford University Press, 2010), edisi ke-X.J.A.C. Mackie, “Anti-Chinese Outbreak in Indonesia 1959-1968”dalamThe

Chinese in Indonesia: Five Essays. Melbourne: Thomas Nelson Ltd, 1976.

Jenkins, Richard. Social Identity. London: Routledge, 1996.Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:

Djambatan, 2002.Liliweri, Alo. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:

PT LkiS Pelangi Angkasa, 2007.Moerthiko. Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang, Tempat Ibadat Tridharma se-

Jawa. Sekretariat Empeh Wong Kam Fu, 1980.Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-

Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, cet. Ke-V, 2007. Nurafiah, Yusni. DinamikaMasyarakatKhonghucu di Surakarta: Studi Sosial

KeagamaanTahun 1945-2007. Universitas Sebelas Maret: Skripsi Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, 2015.

Poerwanto, Hari. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu, 2005.

Qodir, Zulydkk. Spiritualitas Multikultur Sebagai Landasan Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: PenerbitKanisius, 2008.

Page 172: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

159

Ravando. Now is the Time to Kill All Chinese!: Social Revolution and the Massacre of China in Tangerang 1945-1946. MA Thesis di Colonial and Global History. Belanda: Leiden University.

Rickelfs, M.C. Sejarah Indonesian Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016, cet. XI.

Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012.

Siauw Tiong-djin. Penyelesaian Masalah Minoritas adalah Bagian dari Reformasi Total. Penerbit Emansipasi, 1998.

Sitompul, Agus Salim. Agama Konfusius dalam Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

Soedarmono & Hari Mulyadi. RuntuhnyaKekuasaanRatu Alit: Studi Radikalisasi Sosial“ WongSala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999.

Song, Han Hwie. Orang Tionghoa di Indonesia. Suara Baru, Juli-Agustus 2009.

Stefanus Hansel Suryatenggara. Klenteng Boen Tek Bio Tangerang: Kajian Arsitektural. Skripsi Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2011.

Sukarno, Sabar. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus Pindah Agama Buddha di Tangerang). Tangerang: Laporan Penelitian Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya, 2014.

Sulistyawati.PengaruhKebudayaanTionghoaTerhadapPeradabanBudaya Bali.MakalahdisajikansebagaimateriKuliahUmum di hadapan 250 orang calonwisudawan XXVI UniversitasNgurahRai Denpasar, pada Dies Natalis XXIX, tanggal 17 Mei 2008, di RuangSerbaGuna UNR.

Suryadinata, Leo . Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES, 2002.Suryadinata, Leo. Negara danEtnisTionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta:

Pustaka LP3ES Indonesia, 2002.Sutedja, Sugiri. Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 26 Tahun 11, Agustus 2012, hal. 106-109.

Taylor, D.M. & Fathali M. Moghaddam. Theories of Intergroup Relations. London: Greenwood Publishing Group, 1994.

Page 173: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

160

Tanggok, M. Ikhsan dkk. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China. Jakarta: Gramedia, 2010.

Tanggok, M. Ikhsan. 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta: , 2005.

Tanggok, M. Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005.

Toer, Pramoedya A. Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Graha Budaya, 1998.Weeks, Jeffrey. The Value of Difference dalam Jonathan Rutherford

(ed), Identity, Community, Culture, Difference. London: Lawrence &Wishart, 1990.

Wei-ming, Tu. Etika Konfusianisme. Jakarta: PT Mizan Publika, 2005.Wendt, Alexander. 1994. Collective Identity Formation and the International

State. American Political Science Review.Wibowo, I., SJ. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa. Jakarta:

Kompas, 2010. Wijayakusuma, Hembing. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah

Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005. Winarso, HendrikAgus. MengenalHari Raya Konfusiani. Semarang

:Effhar&Dahara Prize, 2003.Winarta, FransHendra. Suara Rakyat HukumTertinggi. Jakarta:

PenerbitBukuKompas, 2009.Witanto, Eddy Prabowo. Meretas Latar Sejarah Migrasi Etnis Cina ke

Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Migrasi Orang Tionghoa dari Tiongkok ke Indonesia Hingga Tahun 1945 di Surabaya dan diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Tionghoa, Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra Surabaya, 2002.

Yuanzhi, Kong. Muslim Tionghoa Chengho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor, edisi ke-3., 2007), Edisi ke-3.

Yuliasari, Siti Nila. Sejarah Perkembangan Klenteng Boen Tek Bio (1684-Sekarang). Jakarta: Skripsi Prodi Pendidikan Sejarah FIPS Universitas Indraprasta, 2014.

B. JurnalAlfarabi, Wacanadan Stigma EtnisTionghoa di Indonesia.Jurnal An-Nida Vol.

3.,Nomor 01 Januari-Juni 2010. Hal 53-55.

Page 174: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

161

Charles A. Coppel, The Origins of Confucianism as an Organized Religion in Java 1900-1923 dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 12, No. 1, Ethnic Chinese in Southeast Asia (Mar., 1981), pp. 179-196.

Chee-Beng Tan, Chinese Religion in Malaysia: A General View dalam Asian Folklore Studies, Vol. 42, No. 2 (1983), pp. 217-252.

Dahana, A. Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia. Jurnal Wacana, Vol. 2, no. 1, April 2000, h. 54-55.

George McT. Kahin, The Chinese in Indonesia, Far Eastern Survey, Vol. 15, No. 21 (Oct. 23, 1946), pp. 326-329.

Hari Poerwanto, The Problem of Chinese Assimilation and Integration in Indonesia, dimuat dalam Philippine Sociological Review, Vol. 24, No. 1 / 4 The Chinese in ASEAN Countries: Changing Roles and Expectations (January-October 1976), pp. 51-55.

Ian James Storey, Indonesia’s China Policy in the New Order and Beyond: Problems and Prospects, Contemporary Southeast Asia, Vol. 22, No. 1 (April 2000), pp. 145-174.

Laylatul Fittrya & Sri Mastuti Purwaningsih, Tionghoa dalam Diskriminasi Orde Baru Tahun 1967-2000, dalam e-Jurnal Pendidikan Sejarah AVATARA, Volume 1, No. 2, Mei 2013, hal. 159-166

Leo Suryadinata, Indonesian Policies toward the Chinese Minority under The New Order, Asian Survey, Vol. 16, No. 8 (Aug., 1976), pp. 770-787.

__________, Chinese Politics in Post-Suharto’s Indonesia: Beyond the Ethnic Approach? dalam Asian Survey, Vol. 41, No. 3 (May/June 2001), pp. 502-524.

__________, Kebijakan Negara Indonesia TerhadapEtnikTionghoa: dariAsimilasikeMultikulturalisme? Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003.

Muhammad Arif. Model Kerukunan Sosial pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis). Jurnal Sosio Didaktika FITK UIN Jakarta, Vol. 1, No. 1, Mei 2014, h.58.

Setiawan, Billy Nathan. Cina Benteng: The Latest Generations and Acculturation, Jurnal LINGUA CULTURA Vol. 9, No. 1, May 2015, hal. 36.

C. Website: M.I. Ririk Winandari, Revitalisasi vs Situs Kota Lama Tangerang, 2008.

Page 175: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

162

Lihat http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.china.budaya-tionghua/19932

BPS, Survey Penduduk Indonesia 2010: PendudukMenurut Wilayah dan Agama yang Dianut. Lihathttp://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321

http://bantenculturetourism.com/?p=1408OngkySetioKuncono, Legalitas Agama Khonghucu Di Indonesia

:Keberadaan Agama Khonghucu, http://www.spocjournal.com/hukum/350-legalitas-agama-khonghucu-di-indonesia-keberadaan-agama-khonghucu.html

Tan Sudemi, Perayaan Ulang Tahun SMK Setia Bhakti Ke-14, http://konfusiani.blogspot.co.id/2013/07/penulis-tan-sudemi-pada-hari-jumat.html

http://kbtk.setiabhakti.sch.id/ diakses 8 Agustus 2016.Mahandis Yoanata Thamrin, 2013. Garis Lurus Menautkan Tiga Klenteng

Tertua di Tangerang. Lihat http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/06/garis-lurus-menautkan-tiga-klenteng-tertua-di-tangerang

UungSendana&BratayanaOngkowijaya, 2017.Ayo LuruskanBeritaImlek. http://www.spocjournal.com/religi/599-ayo-luruskan-berita-imlek.html

http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/

MATAKIN. Sejarah dan Organisasi Agama Konghucu di Indonesia’ di laman http://matakin.or.id.

D. Wawancara:Js. Liem Liliany Lontoh, Sabtu 21 Oktober 2016.Xs Masari Saputra Sabtu 21 Oktober 2016. Rudi GunawidjajaDjony SetiawanHasim GunawidjajaOie Tjin Eng

Page 176: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

163

Lampiran Foto

Klenteng Boen Tek Bio, Pasar Lama, Tangerang

Page 177: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

164

Lithang Khongcu Bio, Pasar Lama, Tangerang

Upacara Persembahyangan Wafatnya Nabi Khonghucu

Page 178: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

165

Pengajaran Agama Khonghucu

Papan Nama MAKIN dan Khongcu Bio, Pasar Lama Tangerang

Page 179: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

166

Para Imam Khonghucu memimpin persembahyangan wafatnya Nabi Khongcu

Foto Kegiatan Peh Tjun Amal Tangerang TerakhirBabakan Ledeng 1965

Page 180: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

167

Silsilah Perintis Klenteng Boen Tek Bio, Tangerang

Page 181: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

168

Wakil Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN)Bratayana Ongkowijaya, SE, XDS

Ketua MAKIN Banten, Rudi Gunawijaya

Page 182: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Pergulatan Keberagamaan Umat Khonghucu

169

Penulis dengan Kasim Gunawijaya, salah satu sesepuh pendiri Lithang Khongcu Bio Tangerang

Js Liem Liliany Lontoh, Ketua Majelis Agama Khonghucu DKI Jakarta.

Page 183: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah
Page 184: ISBN 978-602-346-067-0 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42958/1/ZAENAL... · Dalam amatan sederhana penulis, ... Herlinawati, dan Ibu Ernah

Zaen

al Mu

ttaqin

Zaenal Muttaqin

ISBN 978-602-346-067-0

Komunitas agama Khonghucu yang populer di kalangan masyarakat Tionghoa, baik karena ia lahir dan tersebar secara mayoritas di lingkungan Tionghoa maupun banyaknya simbol kultural Tionghoa yang digunakan agama ini, menyebabkan aspek sosial keagamaan masyarakat Khonghucu ikut terbatas. Hampir tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa, umat agama Tionghoa harus bergelut mempertahankan identitas keagamaannya yang bercorak kultural

Tionghoa. Pelarangan dalam mengekspresikan identitas nominal, dimensi kultural keagamaan Khonghucu, bahkan hilangnya pengakuan administratif ‘agama Khonghucu’ dalam regulasi dan pelayanan kebijakan agama-agama Indonesia menjadi spektrum penting dalam melihat ketahanan umat agama Khonghucu untuk mempertahankan identitas keagamaannya. dan, studi ini berupaya untuk merekonstruksi bagaimana umat agama Khonghucu mempertahankan diri dalam situasi yang tidak begitu mengakomodir kepentingan mereka sebagai umat agama dalam mengekpresikan iman keagamannya seperti halnya dilakukan umat agama-agama lain di Indonesia sepanjang pemerintahan Orde Baru.

PERGU

LATAN K

EBER

AGAMAAN

UM

AT KH

ON

GHU

CUD

ALAM PO

LITIK ASIM

ILASI OR

DE B

ARU

1966-1998Studi M

asyarakat Khonghucu Kota Tangerang

PROGRAM MAGISTER PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA2017

PERGULATAN KEBERAGAMAAN UMAT KHONGHUCU

DALAM POLITIK ASIMILASI ORDE BARU 1966-1998Studi Masyarakat Khonghucu Kota Tangerang