isbd

6
Pertanyaan qonita Pendidikan karakter Lickona (1992) dalam Megawangi (2009), menekankan tiga komponen untuk membentuk karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral behavior dan moral feeling. Moral knowing terkait dengan kesadaran moral, pengetahuan mengenai nilai-nilai moral, perpective-taking, moral reasoning, pengambilan keputusan, dan self knowledge. Moral feeling merupakan aspek yang harus ditanamkan terkait dengan dorongan atau sumber energi dalam diri manusia untuk bertindak sesuai prinsip-prinsip moral. Sedangkan moral action adalah bagaimana pengetahuan mengenai nilai- nilai moral tersebut diwujudkan dalam aksi nyata. Pertama, nilai yang harus diajarkan adalah nilai yang akan menjadi pedoman hidup bagi manusia, yaitu agama. Agama merupakan pedoman kehidupan yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Jadi, jika seseorang telah memiliki dasar agama yang baik, maka nilai-nilai yang lain akan mudah diterima dan diterapkan. Kedua, tanggung jawab, mandiri, disiplin, dan jujur. Nilai-nilai ini penting agar anak nantinya bisa mandiri, disiplin dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan pada apa yang ia lakukan. Ketiga, menghormati dan menghargai orang lain. Keempat, etika dan sopan santun. Kelima, berbagi, kasih sayang, rendah hati. Keenam, gotong royong, saling tolong menolong. Nilai-nilai tersebut penting agar anak nantinya bisa berinteraksi social dengan baik, memiliki sikap empati, dan tidak egosentris. Dan yang terakhir, adalah kreatif, percaya diri, pekerja keras. Pertanyaan trikur 1. MELALUI KELUARGA Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Merupakan tempat awal untuk mengasah kemampuan bersosialisasi mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.

Upload: moulya

Post on 24-Sep-2015

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

social

TRANSCRIPT

Pertanyaan qonita Pendidikan karakter Lickona (1992) dalam Megawangi (2009), menekankan tiga komponen untuk membentuk karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral behavior dan moral feeling. Moral knowing terkait dengan kesadaran moral, pengetahuan mengenai nilai-nilai moral, perpective-taking, moral reasoning, pengambilan keputusan, dan self knowledge. Moral feeling merupakan aspek yang harus ditanamkan terkait dengan dorongan atau sumber energi dalam diri manusia untuk bertindak sesuai prinsip-prinsip moral. Sedangkan moral action adalah bagaimana pengetahuan mengenai nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam aksi nyata.

Pertama, nilai yang harus diajarkan adalah nilai yang akan menjadi pedoman hidup bagi manusia, yaitu agama. Agama merupakan pedoman kehidupan yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Jadi, jika seseorang telah memiliki dasar agama yang baik, maka nilai-nilai yang lain akan mudah diterima dan diterapkan. Kedua, tanggung jawab, mandiri, disiplin, dan jujur. Nilai-nilai ini penting agar anak nantinya bisa mandiri, disiplin dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan pada apa yang ia lakukan. Ketiga, menghormati dan menghargai orang lain. Keempat, etika dan sopan santun. Kelima, berbagi, kasih sayang, rendah hati. Keenam, gotong royong, saling tolong menolong. Nilai-nilai tersebut penting agar anak nantinya bisa berinteraksi social dengan baik, memiliki sikap empati, dan tidak egosentris. Dan yang terakhir, adalah kreatif, percaya diri, pekerja keras.

Pertanyaan trikur

1. MELALUI KELUARGA Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Merupakan tempat awal untuk mengasah kemampuan bersosialisasi mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.Maka dari itu orang tua (ayah dan ibu) mempunyai peranan sebagai teladan pertama bagi pembentukan pribadi anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran dan perilaku ayah dan ibu dengan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap pemikiran dan perilaku anak karena kepribadian manusia muncul berupa lukisan-lukisan pada berbagai ragam situasi dan kondisi dalam lingkungan ayah dan ibu. Ayah dan ibu berperan sebagai faktor pelaksana dalam mewujudkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan persepsi budaya sebuah masyarakat.

2. MELALUI PENDIDIKAN NILAI

Pendidikan Nilai pada hakekatnya telah dimulai lebih awal di dalam dan oleh keluarga tetapi dalam hubungan dengan pertumbuhan minat dan perkembangan kegiatan belajar anak usia sekolah dasar khususnya, kedudukan sekolah tengah menggeser fungsi dan peran utama keluarga; setidaknya dalam fokus perhatian anak. Selain itu dalam rangka pengembangan kurikulum pendidikan dalam format sekolah kedudukan penting pendidikan keluarga menjadi sekunder tempatnya. Karena itu, menempatkan fokus pertama pada substansi lingkungan sekolah sebagai sumber belajar anak menjadi kepentingan guru sekolah dasar.Peran guru pendidikan moral harus memiliki jiwa kepekaan terhadap anak dan tahu kondisi-kondisi apa yang sedang anak alami di dalam kehidupan sehari -hari. Guru pendidikan moral juga harus memiliki hubungan baik dengan orang tua murid masing masing anak. Hal ini bertujuan membantu guru dalam mengawasi kondisi moral anak didiknya dan sekaligus membantu orang tua dalam mendidik dan mengawasi kegiatan anak sehari hari.Peranan guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru merupakan faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang digugu dan ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.

Aksi begal jelas menggangu keamanan masyarakat (public security) dan bahkan mengancam keamanan insani (human security). Istilah begal merupakan istilah yang hanya muncul di masyarakat Indonesia saja. Dalam KBBI kata begal merupakan kata kerja, sinonim kata begal adalah kata penyamun, sementara kata pembegalan adalah proses, cara, perbuatan yang berarti perampasan atau perampokan. Secara terminologi kata begal dapat diartikan sebagai sebuah aksi kejahatan (kriminal) seperti perampokan/perampasan yang dilakukan oleh seseorang disertai kekerasan bahkan sampai melakukan pembunuhan terhadap korban dan korban yang disasar biasanya pengendara sepeda motor.

Aksi begal tidaklah dibenarkan dalam norma kehidupan manusia, terlebih lagi jika aksi begal ini disertai dengan aksi pembunuhan terhadap korban pembegalan, hal ini jelas merupakan tindak kejahatan yang melanggar hukum dan hak azasi manusia. Jika dilihat dari kacamata hukum di Indonesia, menurut Hamidah Abdurahman kriminolog dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa pencurian dalam KUHP dibagi dalam 6 pasal, yaitu Pasal 362 sampai 367. Pasal-pasal tersebut merupakan pasal-pasal yang digunakan polisi untuk menjerat pelaku pencurian, khusus untuk pasal 365 merupakan pasal pencurian dengan disertai kekerasan. Pelakudaknya dijerat dengan hukuman pidana maksimal 15 sampai 20 tahun penjara. Bahkan jika pelaku begal tersebut mengakibatkan kematian korbannya maka dia bisa diancam dengan pidana mati atau hukuman penjara seumur hidup.[2]Walaupun sudah ada undang-undang hukum yang mengatur untuk mengadilinya, masyarakat yang tidak puas akan hukum dan geram terhadap aksi kejahatan begal yang kerap terus berulangerta meresahkan warga, masyarakat mengambil tindakan sendiri untuk mengadili para aktor begal tersebut di pengadilan jalanan (street juctice). Pengadilan jalanan atau main hakim sendiri yang dilakukan oleh massa bukanlah hal baru, karena terjadi sejak lama seiring berkembangnya aksi kejahatan di jalanan. Cara penghakiman sendiri oleh massa (vilgilantisme) dapat berbentuk penganiayaan bahkan penghilangan nyawa, yang menjadi fenomena belakangan ini adalah menghakimi pelaku dengan cara membakar hidup-hidup. Metode pengadilan seperti ini jelas tidak sesuai dengan peradilan hukum manapun termasuk di Indonesia.Fenomena main hakim sendiri ini menjadi pro-kontra berbagai pihak, di pihak yang pro mengemukakan bahwa hal ini terjadi karena masyarakat sudah tidak percaya pada proses hukum yang ada, sanksi yang tidak memberikan efek jera, tidak menimbulkan rasa takut bagi yang lain, hukuman yang dijatuhkan oleh hakim pun dianggap terlalu ringan, dan tidak sesuai dengan perbuatannya. Bagaimanapun bentuk alibinya terhadap aksi main hakim sendiri tersebut, penulis tetap berpandangan bahwa perbuatan main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan, oleh karena itu, penjatuhan sanksi melalui main hakim sendiri adalah ilegal.

Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pelaku main hakim sendiri dapat dituntut secara pidana. Dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Dalam hal ini, apabila si korban kehilangan nyawa akibat penganiayaan tersebut, dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP diatur bahwa Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Apabila kita mengacu pada Pasal 351 ayat (3) KUHP yang mengatur lebih spesifik tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya korban, jelas disebutkan bahwa pelaku penganiayaan dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun. Selain itu pelaku main hakim sendiri dapat dituntut secara pidana, dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa Barang Siapa yang dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya 5 Tahun 6 Bulan (Lima tahun Enam bulan) dan jika si korban kehilangan nyawa/matinya orang akibat kekerasan tersebut maka berdasarkan Pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP diancam pidana dengan penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.

Pergeseran nilai tampaknya tengah terjadi di masyarakat, sehingga tindakan main hakim sendiri menjadi hal yang terasa legal dan halal untuk dilakukan, karena perbuatan itu menjadi sebuah konsensus spontanitas yang dibuat oleh masyarakat, persepsi hukum seperti ini jelas keliru dan harus segera diluruskan.

KesimpulanTindak kejahatan begal harus tetap ditangani dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku, penghakiman sendiri (Vilgilantisme) pelaku begal oleh massa dengan cara di bakar hidup-hidup merupakan bentuk penjatuhan sanksi hukum yang ilegal, melanggar HAM, dan tidak dapat dibenarkan. Tindakan main hakim sendiri justru memperbanyak begal-begal baru dan tidak akan membuat jera.Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum di negara kita, bagaimana wibawa hukum tidak kalah dengan preman jalanan, selain itu fenomena ini mengakibatkan pergesaran nilai, diantaranya; Pertama, pergeseran nilai hukum yaitu persepsi masyarakat tentang tindakan main hakim sendiri dianggap menjadi hal yang legal, karena perbuatan itu atas dasar sebuah konsensus spontanitas yang dibuat oleh masyarakat, hal ini terjadi karena masyarakat banyak yang tidak percaya kepada aparat keamanan, sehingga aksi main hakim sendiri menjadi suatu tindakan yang halal untuk dilakukan serta dianggap tidak melanggar undang-undang tertulis. Kedua, pergeseran nilai dalam ranah kesantunan, opini masyarakat cenderung menyalahkan secara penuh terhadap keluarga pelaku, karena pelaku hidup dan dididik di lingkungan keluarga tersebut, sehingga keluarga pelaku menjadi sasaran sumpah serapah dan olok-olokan sebagian masyarakat, padahal pandangan seperti ini tentu kurang bijak, tidak seharusnya keluarga pelaku dinilai sama seperti pelaku. Hal ini justru membuat para pelaku begal dan keluarganya semakin menjadi bagian yang terasing di masyarakat dan tidak menutup kemungkinan akan mengulangi kejahatan yang sama. Disinilah letak persoalan yang sangat fundamental, kita kehilangan sisi humanis kita sebagai manusia, oleh karena itu diperlukan peran berbagai elemen untuk melakukan pencerdasan di tengah masyarakat guna meluruskan persepsi yang keliru ini, tentunya peran kolektifitas kita sebagai warga negara dan bangsa Indonesia yang senantiasa selalu menjunjung tinggi asas kemanusiaan yang adil dan beradab.