ipu

25
1. sistem Sistem Hukum Anglo-Saxon Sistem hukum anglo-saxon sistem adalah sutau sistem hukum yang d dasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya sistem hukum ini diterapakan di irlandia, inggris, auastralia, selandia baryu. afrika selatan, kanada (kecuali provinsi quebec) dan amerika serikat (walaupun negara bagian louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum eropa kontinental napoleon). Selain negara-negara tersebut beberapoa negara lain juga menerapkan sitem hukum anglo-saxon campuran, misalnya pakistan, india, dan nigeria yangh menerapkan sebagian besar sistem hukum anglo-saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. sistem hukum anglo-saxon, sebenarnya penerapanya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman. pendapat para ahli dan praktisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan perkara. Di inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan dilselesaikan oleh benc dan bar dari pengadilan bench dan bar ini sangat di hormati oleh rakyat inggris, oleh karena mampu mewakili rasa keadilan dari m,asyarakat selkalipun bench dan bar merupakan pegawai pemerintah selama periode revolusi industri, para hakim dan penasehat hukum yang merupakan penjabaran dari hobeas, corpus, centorari dan madamus tetap tidak memihak selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru mendukung kekauatan-kekauatan sosial politik yang menghendaki perubahan dari masyarakat agraris ke masayarakat industri. Dengan demikian di inggris pada masa revolusi lembaga-lembaga hukum tetap berada di tangan pengadilan yang beribawa di negara-negara common law hukum kebiasaan berkembang ketika pemikiran manusia tentang hukum masih bersifat kaku. tugas menciptaka hukum kebiasaan semula di tangani oleh the court of chancery, the court of chancery ini digunakan oleh raja untuk menhadapai kekauasaan dari pengadilan. perkembangan tersebut kemudian menghasilakan perbedaan antara apa yang disebut dengan "law" dan "equity" di lai pihak. secara historis equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law dan merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan hukum kebasaan yang dikembangkan pengadilan dalam mengatasi adanya kerugian-kerugian yang di timbulkan oleh suatu pelanggaran hukum. Di negara-negara yang menganut system common law hukum kebiasaan yang di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum piblik dan hukum privat. berdasarka uraian diatas jelas terlihat bahwa negara-negara yang menganut common law system bahwa hukum itu dibentuk oleh pengadilan satu-satunya karakteristik yang sama dari kedua sistem hukum tersebut adalah sama. B. Ciri-ciri Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada

Upload: gudang-kitty-adzkia

Post on 30-Nov-2015

36 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

contoh

TRANSCRIPT

Page 1: ipu

1. sistemSistem Hukum Anglo-SaxonSistem hukum anglo-saxon sistem adalah sutau sistem hukum yang d dasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya sistem hukum ini diterapakan di irlandia, inggris, auastralia, selandia baryu. afrika selatan, kanada (kecuali provinsi quebec) dan amerika serikat (walaupun negara bagian louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum eropa kontinental napoleon).Selain negara-negara tersebut beberapoa negara lain juga menerapkan sitem hukum anglo-saxon campuran, misalnya pakistan, india, dan nigeria yangh menerapkan sebagian besar sistem hukum anglo-saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. sistem hukum anglo-saxon, sebenarnya penerapanya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman. pendapat para ahli dan praktisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan perkara.Di inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan dilselesaikan oleh benc dan bar dari pengadilan bench dan bar ini sangat di hormati oleh rakyat inggris, oleh karena mampu mewakili rasa keadilan dari m,asyarakat selkalipun bench dan bar merupakan pegawai pemerintah selama periode revolusi industri, para hakim dan penasehat hukum yang merupakan penjabaran dari hobeas, corpus, centorari dan madamus tetap tidak memihak selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru mendukung kekauatan-kekauatan sosial politik yang menghendaki perubahan dari masyarakat agraris ke masayarakat industri.Dengan demikian di inggris pada masa revolusi lembaga-lembaga hukum tetap berada di tangan pengadilan yang beribawa  di negara-negara common law hukum kebiasaan berkembang ketika pemikiran manusia tentang hukum masih bersifat kaku. tugas menciptaka hukum kebiasaan semula di tangani oleh the court of chancery, the court of chancery ini digunakan oleh raja untuk menhadapai kekauasaan dari pengadilan. perkembangan tersebut kemudian menghasilakan perbedaan antara apa yang disebut dengan "law" dan "equity" di lai pihak. secara historis equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law dan merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan hukum kebasaan yang dikembangkan pengadilan dalam mengatasi adanya kerugian-kerugian yang di timbulkan oleh suatu pelanggaran hukum.Di negara-negara yang menganut system common law hukum kebiasaan yang di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum piblik dan hukum privat. berdasarka uraian diatas jelas terlihat bahwa negara-negara yang menganut common law system bahwa hukum itu dibentuk oleh pengadilan satu-satunya karakteristik yang sama dari kedua sistem hukum tersebut adalah sama.

B.     Ciri-ciri Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa KontinentalSistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.•    Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.

Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.

Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara). Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam

arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.

Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Page 2: ipu

Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

C.    Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law)ANGLO SAXON / COMMON LAWAwalnya diterapkan dan mulai berkembang pada abad 16 di Inggris, kemudian menyebar di negara jajahannya. Dalam sistem ini tidak ada sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan. Sering disebut sebagai Common Law.Hukum Inggris karena keadaan geografis dan perkembangan politik serta sosial yang terus menerus, dengan pesat berkembang menurut garisnya sendiri, dan pada waktunya menjadi dasar perkembangan hukum Amerika.Berkembang diluar Inggris, di Kanada, USA, dan bekas koloni Inggris (negara persemakmuran/ common wealth) spt, Australia, Malaysia, Singapore, India, dll.Ciri dari common law system ini adalah :

1) tidak ada perbedaan secara tajam antara hukum publik dan perdata2) tidak ada perbedaan antara hak kebendaan dan perorangan3) tidak ada kodifkasi4) keputusan hakim terdahulu mengikat hakim yang kemudian (asas precedent atau stare decisis)

Dalam perkembangannya, hukum Amerika bertambah bebas dlm sistem hukum aktual nya, yang lama kelamaan terdapat perbedaan yang fundamental yaitu:

1) Di Amerika Hk yang tertinggi tertulis, yakni konstitusi Amerika yang berada di atas tiap- tiap undang-undang.

2) Di Inggris kekuasaan parlemen  untuk membuat uu tdk terbatas.3) Karena seringnya ada kebutuhan akan penafsiran konstitusi, Hakim Amerika (dibanding Inggris)lebih

sering dihadapkan pada persoalan kepentingan umum.4) Kebutuhan untuk mensistematisasikan hukum, di Amerika dirasa lebih mendesak, karena banyaknya

bahan hukum yang merupakan ancaman karena tidak mudah untuk diatur

Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of The Law” atau pemerintahan oleh hukum atau government of judiciary. Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok :

1. Supremacy Of LawDalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat.

2. Equality Before The LawDalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang salah, melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.

3. Human RightsHuman rights, maliputi 3 hal pokok, yaitu :

the rights to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk melakukan sesuatu yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang lain.

The rights to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain.

The rights to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini harus dibatasi jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.

Paham Dicey ini adalah merupakan kelanjutan dari ajaran John Locke yang berpendapat bahwa : manusia sejak lahir sedah mempunyai hak-hak azasi. tidak seluruh hak-hak aasi diserahkan kepada Negara dalam kontrak social.

Page 3: ipu

Persamaan Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara hukum Anglo saxon adalah keduanya mengakui adanya “Supremasi Hukum”.Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradila yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

Selanjutnya, konsep Rule Of Law dikembangkan dari ahli hukum (juris) Asia Tenggara & Asia Pasifik yang berpendapat bahwa suatu Rule Of Law harus mempunyai syarat-syarat :

Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara / prosedur untuk perlindungan atas hak-hak yang dijamin.

Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Kebebasan untuk menyatakan pendapat. Pemilihan umum yang bebas. Kebebasan untuk berserikat / berognanisasi dan beroposisi. Pendidikan civic / politik.

Ciri-ciri Negara hukum berdasarkan Rule Of Law : Pengakuan & perlindungan hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik,

hukum, sosial, ekonomi dan budaya. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan

apapun. Legalitas dalam segala bentuk

Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo SaxonBerdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut:

a. Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.

b. Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur hukum.

c. Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat.

d. Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.

e. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.

f. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.

g. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.

h. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.

i. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.

j. Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.

Sistem Hukum IndonesiaSistem Hukum Indonesia terbentuk dari dua istilah, sistem dan hukum Indonesia. Sistem diadaptasi dari bahasa Yunani systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian, atau hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur.Error! Hyperlink reference not valid. Dalam bahasa Inggris sistem mengandung arti susunan atau jaringan. Jadi dengan kata lain istilah sistem itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan dan merupakan satu

Page 4: ipu

keseluruhan.Adapun hukum Indonesia adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang. Sehubungan dengan itu, hukum Indonesia sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang. Dengan kata lain, hukum Indonesia merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan Nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.Error! Hyperlink reference not valid.Perlu dijelaskan disini bahwa pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Sebagaimana diketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kendati memang, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti penggantian nama : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari Wetboek Van Straafrechts, dll. Selain penggantian nama, beberapa pasal tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan relegius turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.Error! Hyperlink reference not valid.pendekatan seperti diatas dalam jangka pendek sangat bermanfaat karena dapat menghindarkan terjadinya kekosongan hukum (Rechtsvacuum). Namun, dalam jangka panjang upaya “Tambal Sulam” atau Transplantasi itu sebenarnya kurang efektif dan cenderung kontra produktif bila terus menerus diberlakukan. Ini didasarkan fakta bahwa upaya “Tambal Sulam” atau transplantasi pada hakikatnya tidak mengubah watak dasar dari hukum warisan kolonial yang cenderung represif, feodal, diskriminatif dan individualistik, sebagai salah satu upaya pihak penjajah untuk menekan kaum inlender. Karakteristik hukum yang seperti itu jelas bertentangan dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kolektivisme.  2.2.  Perubahan Sistem Hukum IndonesiaSetelah mengalami penjajahan oleh negara Belanda, dimana Indonesia saat itu masih ikut menggunakan sistem hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut yakni sistem hukum eropa kontinental. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kehidupan masyarakat Indonesia, setelah itu terjadi perubahan dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Awal sistem hukum yang diterapkan di Indonesia hanya sistem hukum eropa kontinental saja, setelah itu sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengalami perpaduan antara sistem eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon.Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan 2.3.  Perkembangan Sistem Hukum Indonesia berdasarkan pemikiran Filsuf HukumPerkembangan sistem Hukum Indonesia makin tampak ketika adanya sumbangan dari pemikiran para filsuf pemikir hukum. Perkembangan itu salah satunya adalah dari madzhab positivis. Dalam arti ini, positivisme sama tuanya dengan filsafat. Tetapi sebagai gerakan yang tetap dalam filsafat umum, sosiologi dan ilmu hukum pada hakikatnya adalah gejala modern. Yang di satu pihak menyertai pentingnya ilmu pengetahuan, dan sisi yang lain menjelaskan tentang filsafat politik dan teori tentang ilmu hukum.Error! Hyperlink reference not valid.Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum.

Page 5: ipu

Lahirnya pemikiran mazhab positivis mempunyai landasan tersendiri sehingga pandangan ini memiliki ciri khas tersendiri, namun sayangnya pejabat negara yang diberi tugas untuk membentuk dan melaksanakan hukum kurang memperhatikan landasan pemikiran mazhab hukum positivis, akibatnya keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam masyarakat dan tidak jarang selalu melahirkan konflik baik vertikal maupun horizontal.Positivisme menekankan setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu kebenaran, hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif dan harus dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif. Ketika pemikiran positivisme diterapkan ke dalam bidang hukum, positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum sebagaimana dianut oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah eksis secara objektif sebagai norma-norma yang positif. Hukum tidak dikonsepkan sebagai asas-asas moral yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah dipositifkan sebagai undang-undang guna menjamin kepastian hukum.Pembentukan hukum yang dimaksud disini adalah lahirnya aturan tertulis yang memiliki keabsahan untuk diberlakukan. Lahirnya hukum yang sah karena adanya keputusan dari suatu badan/lembaga yang diberi berwenang oleh konstitusi untuk menciptakan hukum. Jika mengartikan hukum sebagai sistem aturan hukum positif, maka lembaga yang membentuk hukum (legislative functie) dalam sistem Pemerintahan Indonesia dijalankan oleh Lembaga Legislatif (Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah), Lembaga Eksekutif (Presiden/Wakil Presiden dibantu para Menteri), dan Lembaga Yudikatif (kehakiman).Pembentukan Undang-Undang Oleh Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan Presiden. Bentuk hukum yang diciptakan oleh lembaga ini adalah undang-undang. Ciri khas undang-undang yang dibentuk oleh Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan Presiden adalah materi atau isinya yang bersifat ”umum”. Hal ini sesuai dengan pemikiran Hans Kelsen bahwa Undang-undang sebagai norma hukum yang bersifat umum. Isi undang-undang selalu bersifat umum, sehingga sebagian besar pasal-pasal yang terdapat di dalamnya masih membutuhkan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah.Di Indonesia, penerapan prinsip ini melahirkan masalah karena hukum selalu menjadi kendala dalam pembangunan bahkan hukum itu bersifat statis dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan setiap keadaan yang berubah. Banyak kalangan mengatakan dengan gamblang bahwa hukum itu bersifat statis dan kaku (Rigid). Pandangan yang demikian adalah keliru karena mengabaikan aspek lain dalam pembentukan hukum.Model penegkan hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pemikiran positivisme. Menurut Kelsen bahwa norma hukum yang sah menjadi standar penilaian bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap individu/kelompok dalam masyarakat . Standar penilaian dimaksud adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan norma hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran untuk menghukum seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan aspek moral dan keadilan.Kaum positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai legalitas. Suatu perturan hukum dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap tidak adil jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan tidak diterapkan pada kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam pandangan positivism adalah penerapan hukum dengan tanpa memandang nilai dari suatu aturan hukum (asas kepastian). Jadi hukum dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Kepastian hukum adalah adil, dan keadilan hukum berarti kepastian hukum.Doktrin positivisme ini masih diterapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, terutama pada bidang pidana menyangkut penerapan pasal dan prosedur dalam sistem pelaksanaan hukum. Oleh karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga banyak kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu dinyatakan bebas dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi unsur-unsur dalam aturan hukum lingkungan. Wajar jika dikatakan bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia dinyatakan dengan ungkapan “Hukum hanya berlaku terhadap mereka yang lemah”. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan prinsip “Setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum”. 2.4.  Perubahan dan Perkembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pemikiran Filsuf Roscoe PoundHukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis seiring dengan perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, soaial maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia.Error! Hyperlink reference not valid.Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada kenyataan hukum daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books (hukum tertulis). Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan

Page 6: ipu

orientasi hukum.Error! Hyperlink reference not valid.Aliran Sociological Jurisprudence dalam ajarannya berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law) , atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antar kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri.Error! Hyperlink reference not valid.Roscoe Pound menyatakan dan menjelaskan sebuah ringkasan antinomi lain yang berwujud ketegangan antara hukum dan aspek-aspek lain dari kehidupan bersama. Filsafat hukum mencerminkan keadaan bersitegang antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dengan perubahan serta kepastian hukum. Sebegitu jauh, karena salah satu tugas hukum adalah untuk menegakkan ketertiban.Error! Hyperlink reference not valid.Dalam buku lain, Pound menjelaskan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial. Pound berusaha untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini. Dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial yang keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang.Error! Hyperlink reference not valid.Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran Pragmatic Legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound memiliki keyakinan bahwa hukum adalah “a tool of social engineering” atau “alat pembaharuan masyarakat” atau menurut Mochtar Kusumaatmadja “sarana perubahan masyarakat”, dalam konteks perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih luas, yang berorientasi pada :1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan ang lebih bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa

Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia, sehingga kedepan akan terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa yang positif).

2. Perubahan hukum harus mampu membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata pergaulan antar bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan bangsa yang efektif.Error! Hyperlink reference not valid.

Perubahan hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan baik yang berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai lembaga yang memiliki komitmen tentang pemabruan dan pembinaan hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan atau kevakuman hukum dalam berbagai segi kegidupan.Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmadja harus dilakukan dengan jalan :1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan

pembaharuan, kodifikasiserta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.

2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.4. Memupuk kesadaran hukum masyarakat, sertaMembina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/ negara ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia.

2. Perbedaan uuSekitar 7 tahun yang lalu pembentuk UU (DPR dan pemerintah) mengeluarkan atau tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UU No 10 Tahun 2004. Dikeluarkannya atau tidak dimasukkannya Tap MPR sebagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan, meskipun sangat esensial bagi tertip dan kehidupan hukum di Indonesia.Soal tata susunan (hierarki) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum suatu negara, apalagi bagi negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Susunan norma hukum dari negara mana pun juga –termasuk Indonesia—selalu berlapis-lapis atau berjenjang. Sejak Indonesia merdeka dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka sekaligus terbentuk pula sistem norma hukum negara Indonesia.

Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum Indonesia tersebut, berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dalam lampiran II-nya Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut;

Page 7: ipu

3. UUD 19454. Ketetapan MPR5. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang6. Peraturan Pemerintah7. Keputusan Presiden8. Peraturan Pelaksana lainnya; seperti Peraturan Menteri, Instruksi Mentri dan lain-lainnya.

Demikian pula halnya setelah reformasi dan setelah UUD 1945, Tap MPR tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana  ddituangkan dalam TAP MPR No III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut;

5. UUD 19456. Ketetapan MPR7. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang8. Peraturan Pemerintah9. Peraturan Presiden10. Peraturan Daerah

Dari kedua TAP MPR tersebut  terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan TAP MPR tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang penting .Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam UU No 10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, UU No 10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut;

1. UUD 19452. UU/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang3. Peraturan Pemerintah4. Peraturan Presiden5. Peraturan DaerahTidak jelas apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk UU No 10 Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Dari sisi yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No 10 Tahun 2004  tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip norma hukum yang berjenjang, artinya ketentuan UU No 10 Tahun 2004 itu bertentangan dengan Tap MPR No III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari UU No 10 Tahun 2004. Tetapi yang pasti pembentukkan UU No 10 Tahun 2004 tersebut  sepertinya mengabaikan keberadaan Tap MPR No.III/MPR/2000, dimana dalam konsideran UU No 1o Tahun 2004 tidak disebut-sebut  TAP MPR No III/MPR/2000 sebagai salah satu dasar dari pembentukan UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam Penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan UU No 10 Tahun 2004 itu  guna memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 tap MPR No III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Tertip Hukum.

Disisi lain, apa yang terjadi pada pembentukkan UU No 10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap MPRNo.III/MPR/2000 jelas memperlihatkan adanya ketidak-konsistenan pembentuk UU dalam membentuk suatu UU dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari UU.

Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No 10 Tahun 2004 itu  akhirnya disadari pembentuk UU. Hal ini ditandai dengan di undangkannya UU No 12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memaksukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Meskipun UU No 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada UU No 10 Tahun 2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk UU No 1o Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan peraturan perundang-undangan.  Dalam hubungan ini UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. UUD 1945

Page 8: ipu

2. Ketetapan MPR3. UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang4. Peraturan Pemerintah5. Peraturan Presiden6. Peraturan daerah Propinsi7. Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.

Dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya kedudukan Peraturan Daerah yang tadinya dalam Tap MPR No III/MPR/2000 hanya disebut Peraturan Daerah (Perda) saja tanpa membedakannya Perda Propinsi dengan Perda Kabupaten/Kota. Dengan dipercahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan di bawahnya Perda kabupaten Kota,  maka tentu keberadaan Perda Kabupaten/Kota lebih rendak kedudukannya dari Perda Propinsi dan sekaligus mengandung makna Perda kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda Propinsi.  Sebelumnnya dalam UU No 1o Tahun 2004 dan sejalan dengan Tap MPR No III/MPR/200 kedudukan Perda Propinsi maupun Perda Kabupaten Kota berda dalam satu kotak dan tidak hirarkhis. Ini bahkan terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU No.10 Tahun 2004. Akan tetapi dengan dipecahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan Perda kabupaten Kota, scara hierarkhi, maka secara tidak lansung terkait dengan persoalan regulasi dalam implementasi otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah sendiri dan akan kita bahas dalam kesempatan lain.

Kembali ke soal l Tap MPR yang sudah dimasukkan kembali ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011. Suatu hal yang baru dalam UU No 12 Tahun 2011 adalah adanya peraturan lain selain dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU , DPRD Pripvinsi, Gubernur, DPRD  Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Memahami UU No 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No.10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibawah UU No 10 Tahu 2004 -- khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia— dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Dan hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan UU No 12 Tahun 2011, bahwa materi  UU No.10Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum. Tetapi sekali lagi UU No 12 Tahun 2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun UU No 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU dalam menyusun dan membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No 12 tahun 2011

3. Proses Pembentukan Undang-UndangBagaimana alur pembuatan undang-undang?

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), kekuasaan untuk membentuk undang-undang (“UU”) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”). Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap rancangan undang-undang (“RUU”) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Proses pembentukan UU diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) . Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 27/2009”). Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah:

Page 9: ipu

o pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

o perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;o pengesahan perjanjian internasional tertentu;o tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atauo pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

 Dalam UU 12/2011, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 s.d. Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74. Sedangkan, dalam UU 27/2009, pembentukan UU diatur dalam Pasal 142 s.d. 163. Untuk proses selengkapnya, Saudara juga dapat melihat padaTata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pembentukan Undang-undang. Berdasarkan ketentuan UU 12/2011, UU 27/2009 dan Tata Tertib DPR tersebut, kami sarikan proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:

1. RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden.2. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau

alat kelengkapanDPR yang khusus menangani bidang legislasi atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

3. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya

4. RUU tersebut kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya.

5. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.

6. Pimpinan DPR memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna

7. DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan

8. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.9. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan

Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus10. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan

daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi11. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna berisi:

penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;

pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan

pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.4. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara

terbanyak5. RUU yang membahas tentang otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,

pemekaran, dan penggabungan wilayah; pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada pembicaraan tingkat I saja.

6. Dalam penyiapan dan pembahasan RUU, termasuk pembahasan RUU tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.

7. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia

Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Istilah Pengundangan atau Afkondiging atauPromulgation dapat berarti juga Publicate atauPublication. Yang di maksud pengundangan di sini ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan Negara dengan penempatannya dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan pengundangan, maka:

1. Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal,

Page 10: ipu

2. Peraturan negara itu telah memenuhi ketentuan sebagai peraturan negara,3. Prosedur pembentukan yang disyaratkan bagi peraturan negara itu sudah dicukupi4. Peraturan negara itu sudah dapat dikenali (kenbaar) sehingga dengan demikian peraturan negara

tersebut mempunyai kekuatan mengikat.Tujuan pengundangan :

1. Agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara,2. Agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya,3. Agar ketidaktahuan seseorang akan peraturan hukum tersebut tidak memaafkannya.

4. Apa pengertian legislative review dan judicial review dan bagaimana praktiknya terhadap peraturan perundang-undangan di RI? 2. Hal-hal apa sajakah yang dapat dilakukan review? 3. Bagaimanakah review dilakukan oleh masing-masing lembaga yang terkait dengan adanya trichotomy (Trias Politica)?Jawaban:

1.      Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”). Lebih jauh simak artikel “Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji Materiil”).

Secara teori, lembaga peradilan – baik MK maupun MA - yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundang-undangan yang di-judicial review.  

Sementara, legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu.

Sedangkan, untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan revisi. Simak juga artikel “Hierarki Peraturan Perundang-undangan (2)”.

2.      Permohonan judicial review memiliki syarat yang lebih ketat dibanding legislative review. Dalam judicial review, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal.

3.      Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.

Apakah perbedaan dari judicial review dengan hak uji materiil? Karena menurut saya sama saja, tapi

Page 11: ipu

pengajuannya berbeda. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi, sedangkan hak uji materiil ke Mahkamah Agung.Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2), adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.

Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (hal. 57-58).

Hak atas uji materi maupun uji formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (lihat Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi):

1. perorangan warga negara Indonesia;

2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

3. badan hukum publik atau privat; atau

4. lembaga negara.

Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agunguntuk pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

Asas2. Asas-Asas Peraturan perundang-undanganAsas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak[1]. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekantanto[2], memperkenalkan enam asas sebagai berikut:a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);b. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan      perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);

Page 12: ipu

d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);e.   Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;f. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).

Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas, sebagai berikut:[3]a. Asas tingkatan hirarkhib. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);d. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;e. UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat lex periori).

Berdasarkan hal tersebut,I.C Van der Vlies mengemukakan saran terhadap asas- asas formal dan material bagi pembentukan perundang-undangan. Asas-asas formal yang diajukan oleh Van der Vlies adalah sebagai berikut:[4]

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling); asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan letak peraturan perundnag-undangan yang akan dibentuk, kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundangundangan yang akan dibentuk dan tujuan bagian-bagian peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut.

2. Asas Organ/Lembaga Yang Tepat (beginsel van het juiste organ); asas ini memberikan penegasan tentang perlunya  kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

3. Asas Perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan.

4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid); asas ini dinilai orang sebagai usaha untuk dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sebab tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan.

5. Asas konsensus (het beginsel van consensus); asas ini menunjukkan adanya kesepakatan rakyat dengan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Sedangkan asas-asas material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en

duitdelijke systematiek); asas ini adalah agar peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur atau susunannya.

2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); asas ini menekankan apabila sebuah peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang lebihlebih yang berkepentingan maka ia akan kehilangan tujuannya sebagai peraturan.

3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel); asas ini menunjukkan tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang hanya ditujukan kepada sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dan kesewenangan-wenangan di depan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat.

4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); asas ini merupakan salah satu sendi asas umum negara berdasarkan atas hukum.

5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling); asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sehingga dengan demikian peratruan perundang-undangan dapat memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum juga masalah-masalah khusus.[5]

Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida. yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :a. Asas–asas formal:

Page 13: ipu

1. Asas tujuan yang jelas.2. Asas perlunya pengaturan.3. Asas organ / lembaga yang tepat.4. Asas materi muatan yang tepat.5. Asas dapat dilaksanakan.6. Asas dapat dikenali.

b. Asas–asas materiil:1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara.3. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.4. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.[6]

        Adapun materi muatan perundang-undangan yang baik harus mengandung asas :1. Asas pengayoman2. Asas kemanusiaan3. Asas kebangasaan4. Asas kekeluargaan5. Asas kenusantaraan6. Asas bhineka tunggal ika7. Asas keadilan8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan9. Asas ketertiban dan kepastian hukum10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas sebagaimana dijelaskan diatas tentang peraturan perundang-undangan tersebut dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan antara lain dalam hal hukum pidana misalnya: asas legalitas, maksudnya asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana dan asas praduga takbersalah. Dalam hukum perdata, misalnya dalam perjanjian antara lain : asas kesepakatan, kebebasan berkontrak dan iktikad baik.[7]        Dengan mengacu pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan indonesia yang patut tersebut, dapat kita harapkan terciptanya peraturan perundang-undangan yang baik dan dapat mencapai tujuan secara optimal dalam pembangunan hukum di negara Republik Indonesia.

Apa perbedaan dari perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan ? Hubungan antara keduanya!

Secara etimologis Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan. Istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:

o bersifat tertulis

o mengikat umum

o dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang

Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.

Page 14: ipu

Pengertian dari peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan, pengertian undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3 UU 12/2011). Berdasarkan dua pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang (“UU”) adalah termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain UU, menurut ketentuan UU 12/2011, Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga termasuk kategori peraturan perundang-undangan.Jadi, peraturan perundang-undangan merupakan peraturan bersifat umum-abstrak, tertulis, mengikat umum, dibentuk oleh oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan bersifat mengatur. Dari uraian tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangan-undangan adalah semua peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan. Sedangkan, undang-undang merupakan salah satu jenis dari peraturan perundang-undangan

Dalam perkembangannya, norma tu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Dalam setiap norma mengandung apa yang harus dilakukan, das sollen/ought to be/ought to do[1]. Apa yang harus dilakukan dapat berupa perintah maupun larangan.Bisa dibayangkan bagaimana ‘kisruhnya’ dunia apabila tidak ada norma, aturan, pedoman, patokan atau kaidah. Betapa kacaunya dunia. Setiap orang akan berindak dan bertingkah laku sekehendak hatinya, karena tidak ada patokan. Orang akan senaknya melakukan pembunuhan antara yang satu dengan yang lainya dan sebagainya. Kehidupan umat manusia yang didasarkan atas pemikiran yang bersifat global dengan segala kompleksitasnya, tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa norma.Jenis-jenis norma di Indonesia antara lain norma agama, norma adat, norma moral, dan norma hukum. Norma hukum dibedakan antara norma hukum tertulis dan norma hukum tidak tertulis. Norma hukum tertulis dibedakan dari norma yang lainnya karena didalamnya terdapat beberapa ciri, yakni:

bersifat heteronom, yakni datangnya dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri, bisa diikuti sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara[2];

proses pembuatanya mengikuti tata cara tertentu; dibuat oleh pejabat atau lembaga negara yang berwenang; mengikuti hierarkhi tertentu; bersifat abstrak dan umum

Di Indonesia, nomenklatur (istilah) ‘Perundang-undangan’ diartikan dengan segala sesuatu yang bertalian dengan undang-undang, seluk beluk undang-undang. Misalnya: ceramah mengenai perundang-undangan pers nasioal, falsafah negara itu kita lihat pula dari sistem perundang-undangannya.[3]. Segala sesuatu yang bertalian dengan undang-undang meliputi banyak hal, termasuk sistemnya, proses pembuatannya, penafsirannya, pengujiannya, penegakannya dan sebagainya.. Dengan demikian nomenklatur ‘perundang-undangan’ tersebut mengandung banyak pengertian, tidak hanya peraturan perundang-undangan saja..Hal tersebut juga di dukung oleh S.J Fockema Andreae yang berpendapat bahwa, ‘perundang-undangan’ yang dalam bahasa Inggris disebut dengan legislation, bahasa Belanda disebut dengan wetgeving,atau dalam bahasa Jerman disebut dengan gesetgebung mempunyai dua pengertian yang berbeda, yakni:a. Proses pembentukan peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, danb. Segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.Dari hal-hal tersebut di atas, dapat dimengerti jika nomenklatur ‘perundang-undangan’ setidaknya mempunyai 2 (dua) pngertian, yakni proses pembentukan peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, dan segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

3. Pengertian Peraturan Perundang-undanganMenurut Bagir Manan[4], Peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengertian peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.Nomenklatur ‘perundang-undangan’ dapat di dahului dengan kata lain. ‘Peraturan’ misalnya, sehingga menjadi

Page 15: ipu

‘peraturan perundang-undangan’, yasng tediri dari kata ‘peraturan’ dan kata ‘perundang-undangan’. Nomenklatur ‘peraturan’[5] adalah aturan-aturan yang dibuat oleh yang berkuasa untuk mengatur sesuatu; misal peraturan gaji pegawai, peraturan pemeritah, aturan-aturan (petunjuk, ketentuan dan sebagainya) yang dibuat oleh pemerintah, yang salah satu bentuknya adalah undang-undang. Sedangkan ‘aturan’[6] adalah cara (ketentuan, patokan, petunjuk, perintah, dan sebagainya) yang telah ditetapkan supaya diturut; misalnya, kita harus menurut aturan lalu-lintas, bagaimana aturan minum obat ini, seuanya dikerjakan dengan aturan. Sedangkan nomenklatur ‘aturan’ dalam bahasa Arab disebut ‘kaidah’ dan dalam bahasa Latin disebut dengan ‘norma’[7]. Dengan demikian nomenklatur ‘peraturan perundang-undangan’ mempunyai arti yang lebih terfokus yakni aturan (kaidah, norma) yang dibuat oleh yang berkuasa untuk mengatur sesuatu.Dengan demikian dapat ditemukan unsur-unsur peraturan perundang-undangan yaitu:a. peraturan tertulisApa yang dimaksud dengan peraturan tertulis sampai saat ini belum ada definisi yang pasti. Peraturan yang tertulis tidak sama dengan peraturan yang ditulis. Yurisprudensi misalnya, adalah bukan peraturan tertulis, walaupun bentuk fisiknya ditulis. Peraturan tertulis mengndung ciri-ciri sebagai berikut:1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah segala peraturan yang tercantum di dalam Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki perundang-undangan yakni Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesiua Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah;2) Peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang;3) Pembuatan peraturannya melalui prosedur tentu;4) Apabila dicermati maka baik Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesiua Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Presiden tersebut ditempatkan di dalam lembaran negara, dan Peraturan Daerah ditempatkan dalam lembaran daerah. Dengan demikian peraturan tersebut ditempatkan di lembaran resmi.

b. dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negaraPeraturan perundang-undang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara. Hal ini berbeda dengan norma agama Islam misalnya, yang merupakan wahyu dari Allah swt. Disamping dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara, peraturan perundang-undangan juga dapat memuat sanksi bagi pelanggarnya, dan sanksi tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh alat negara. Dengan demikian kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan datangnya dari luar, yakni dipaksakan dengan sanksi. Sedangkan kepatuhan terhadap norma agama datangnya dari dalam, yakni kesadaran diri sendiri untuk mematuhinya.c. mengikat secara umumDari segi adressat atau alamat yang dituju maka peraturan perundang-undangan adalah norma hukum umum, yakni yang ditujukan untuk orang banyak. Disamping bersifat umum, peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak dan berlaku terus menerus. Untuk itu peraturan perundang-undangan merupakan Regelings dan harus dibedakan dari beschikking yang bersifat individual, konkrit dan sekali selesai. Peraturan perundang-undangan merupakan objek judicial review sedangkan beschikking merupakan objek peradilan tata usaha negara. Peraturan perundang-undangan juga mengikuti prinsip hirarkhi norma sesuai dengan tata urutannya.

4. Sifat Peraturan Perundang-undanganPeraturan perundang-undangan bersifat umum, abstrak dan terus menerus. Hal ini berbeda dengan keputusan yang bersifat konkrik, individual dan final. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 mengenai jenis dan tata urutan perundang-undangan, dapat diketahui bahwa peratura perundang-undangan terdiri dari:a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesiua Tahun 1945,b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,c. Peraturan Pemerintah,d. Peraturan Presiden, dane. Peraturan Daerah.

Sebelum dikeluarkannya Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004, nomenklatur ‘Peraturan’ dan ‘Keputusan’ sering menimbulkan kesalahpengertian. Selain dari pada itu juga sering dicampuradukkan. Padahal antara nomenklatur ‘Peraturan’ dan nomenklatur ‘Keputusan’ mempunyai pengertian yang berbeda. Nomenklatur ‘Peraturan’ berasal dari kata ‘atur’, ‘mengatur’, ‘aturan’ dan ‘peraturan’[8], yang bersifat mengatur (regeling).Untuk itu maka peraturan perundang-undangan di bawah Undang Undang yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif yang bersifat mengatur (regeling) harus memakai nomenklatur ‘Peraturan’. Mengapa hanya putusan tertulis yang berada di bawah Undang Undang saja yang memakai nomenklatur ‘peraturan’? Beberapa alasan yang

Page 16: ipu

mendasarinya mengapa hanya putusan tertulis yang berada di bawah undang-undang saja yang diseragamkan nomenklaturnya adalah sebagai berikut:a. peraturan perundang-undangan berupa UUD dan UU merupakan produk kompromi dengan rakyat, artinya rakyat dilibatkan dalam proses pembuatannya,b. nomenklatur UUD dan UU, sudah sangat dikenal atau sudah sangat lazim sebagai putusan tertulis berupa ‘peraturan’ yang bersifat regeling, danc. daya berlaku UUD dan UU bersifat nasional, sehingga menyentuh seluruh rakyat, bangsa dan negara Indonesia.

5. Peraturan Perundang-undangan Yang baikPeraturan perundang-undangan merupakan hasil karya atau produk hukum dari Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku. Moh. Mahfud MD membedakan secara tajam karakter produk hukum antara produk hukum yang responsive/populistik dengan produk hukum konserfatif/ortodoks/elitis, bahwa[9]:

“Produk hukum responsive/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan mayarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompk-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsive terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideology dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsive, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dn partisipasi masyarakat relatif kecil.Untuk mengkualifikasi apakah suatu produk hukum responsive atau konserfatif, indicator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum.Produk hukum yang berkarakter responsive, proses pembuatannya bersifat parisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Sedangkan proses pembuaan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsive bersifat aspiratif. Arinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dngan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya. Sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Sedangkan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat positivis-instrumentalis. Artinya memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.Jika dilihat dari segi penafsiran maka produk hukum yang berkarakter responsif/populistik biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis. Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks/ konserfatif/ elitis memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Oleh sebab itu, produk hukum yang berkarakter responsive biasanya memuat hal-hal penting secara cukup rinci sehingga sulit bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri. Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat dan pokok-pokoknya saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya”Menurut Bagir Manan, suatu peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal[10], yakni:

a. Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalny, undang-undang dalam arti formal (wet in formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang tidak merupakan produk besama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daserhdan sebagainya harus pula menunjukkan kewenangan pembuatnya. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk

Page 17: ipu

membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya kalau UUD 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan undang-undang, maka hanya dalam bentuk undang-undan ha itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar). Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam undang-undang tentang pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perndang-undangan tingkat lebih bawah.

b. Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya (baca: peraturan perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya.

c. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: peraturan perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yan melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.

Materi Muatan Peraturan Perundang-undanganMateri muatan yang harus diatur dengan UUD meliputi:

a. hak asasi manusia,b. hak dan kewajiban warga negara,c. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuuasaan negara,d. wilayah negara dan pembagian daerah,e. kewarganegaraan dan kependudukan,f. keuangan negara

Materi yang diatur oleh UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuuan UUD, dan berisi ketentuan yang diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU. Materi muatan Peraturan Pemerrintah Pengganti Undang-undang sama degan materi muatan UUU.Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Uu sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan sebagimana mestinya adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan.Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut UUD 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.Materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.

Materi muatan peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urrusan

Page 18: ipu

desa atau yang setingkat serta pejabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi