international psychopharmacology algorithm program · pdf file• menghindari pikiran,...

19
International Psychopharmacology Algorithm Program (IPAP) Catatan untuk Algoritma PTSD PENDAHULUAN Posttraumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai gejala menyusul suatu peristiwa traumatis, termasuk gejala pikiran dan ingatan yang mengganggu (intrusive), penghindaran ingatan tentang trauma, penumpulan emosi, dan kewaspadaan tinggi (hyper-arousal). PTSD terjadi pada sekitar 8% dari populasi dan 50% dari mereka menjadi kronis (Kessler et al, 1995; Breslau et al, 1991; Kessler et al, 2000). Menurut survey epidemilogi AS terbaru, sekitar 12% dari populasi menderita PTSD aktif selama 20 tahun Breslau et al, 1998; Kessler, 2000). Pengobatan terhadap PTSD berhubungan dengan perjalanan PTSD yang lebih singkat (LOE 3) 1 (Kessler et al, 1995). Pedoman pengobatan PTSD yang ada saat ini didasarkan pada telaah ulang tentang sejauh mana bukti yang ada mendukung model pengobatan tertentu, tetapi bukti-bukti itu tidak membahas masalah yang sangat penting yaitu urutan tindakan, atau “ apa yang harus dilakukan selanjutnya” setelah tindakan pertama gagal menyembuhkan atau tidak bereaksi positif. Manajemen PTSD dengan komorbiditas lain juga tidak dibahas. Lima petunjuk pengobatan PTSD yang paling utama adalah yang diterbitkan oleh Expert Consensus Group (Foa, Davidson dan Frances, 1999), International Society of Traumatic Stress Studies (ISTSS) (Foa, Keane dan Friedman, 2000), the American Psychiatric Association (2004), the US Department of Veterans Affairs and Defense Joint Clinical Practice Guidelines (2005), dan National Center of Clinical Excellence (NICE) dari Inggris (2005). Untuk membahas permasalahan manajemen pengobatan, yang tingkat buktinya secara khas berkurang sementara kita menyusuri urutannya dan/atau mempertimbangkan penggunaan kombinasi obat, ada kebutuhan untuk mengembangkan algoritma pengobatan. Karenanya, kami hadirkan algoritma ini untuk manajemen farmakologis PTSD. Namun, lebih dulu kami mengakui bahwa ada dua pendekatan berbeda yang terbukti bermanfaat dalam PTSD: farmakologis dan psikososial. Jadi, yang pertama harus dilakukan adalah menentukan apa akan memberikan pengobatan, psikoterapi, atau keduanya. Pengobatan psikososial, jika tidak diberikan pada awalnya, dapat ditambahkan kepada, atau menggantikan farmakoterapi. Namun, dengan satu kekecualian, kami tidak tahu apakah ada data empiris yang mendukung penambahan (augmentation) pengobatan psikososial terhadap pengobatan farmakologis (Rothbaum et al, 2003). Di dalam algoritma ini, kami menyediakan pendekatan berurut untuk terapi farmakologis terhadap PTSD, dengan mempertimbangkan symptomatologi yang menonjol dan komorbiditas diagnostik, tingkat bukti (LOE; lihat simpul yang sesuai), dan bagaimana responnya. Kami juga membahas masalah khusus, termasuk topik berikut: akibat akut dari trauma, trauma berlanjut dan kekerasan, kehamilan; risiko kesehatan dan perilaku yang lain; kepatuhan terhadap pengobatan; petunjuk dosis; antipsikotik yang atipikal; masalah lintas-budaya; instrumen pengukuran PTSD dan gangguan stres akut; perjalanan klinis PTSD; keterlibatan sistem hukum; dan pengobatan pada anak dan remaja. 1 LOE = Level of Evidence, dengan 1 adalah level tertinggi dan 4 adalah level terendah. Lihat tambahan (addenum) 1

Upload: vonhu

Post on 31-Jan-2018

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

International Psychopharmacology Algorithm Program (IPAP) Catatan untuk Algoritma PTSD

PENDAHULUAN Posttraumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai gejala menyusul suatu peristiwa traumatis, termasuk gejala pikiran dan ingatan yang mengganggu (intrusive), penghindaran ingatan tentang trauma, penumpulan emosi, dan kewaspadaan tinggi (hyper-arousal). PTSD terjadi pada sekitar 8% dari populasi dan 50% dari mereka menjadi kronis (Kessler et al, 1995; Breslau et al, 1991; Kessler et al, 2000). Menurut survey epidemilogi AS terbaru, sekitar 12% dari populasi menderita PTSD aktif selama 20 tahun Breslau et al, 1998; Kessler, 2000). Pengobatan terhadap PTSD berhubungan dengan perjalanan PTSD yang lebih singkat (LOE 3)1 (Kessler et al, 1995). Pedoman pengobatan PTSD yang ada saat ini didasarkan pada telaah ulang tentang sejauh mana bukti yang ada mendukung model pengobatan tertentu, tetapi bukti-bukti itu tidak membahas masalah yang sangat penting yaitu urutan tindakan, atau “ apa yang harus dilakukan selanjutnya” setelah tindakan pertama gagal menyembuhkan atau tidak bereaksi positif. Manajemen PTSD dengan komorbiditas lain juga tidak dibahas. Lima petunjuk pengobatan PTSD yang paling utama adalah yang diterbitkan oleh Expert Consensus Group (Foa, Davidson dan Frances, 1999), International Society of Traumatic Stress Studies (ISTSS) (Foa, Keane dan Friedman, 2000), the American Psychiatric Association (2004), the US Department of Veterans Affairs and Defense Joint Clinical Practice Guidelines (2005), dan National Center of Clinical Excellence (NICE) dari Inggris (2005). Untuk membahas permasalahan manajemen pengobatan, yang tingkat buktinya secara khas berkurang sementara kita menyusuri urutannya dan/atau mempertimbangkan penggunaan kombinasi obat, ada kebutuhan untuk mengembangkan algoritma pengobatan. Karenanya, kami hadirkan algoritma ini untuk manajemen farmakologis PTSD. Namun, lebih dulu kami mengakui bahwa ada dua pendekatan berbeda yang terbukti bermanfaat dalam PTSD: farmakologis dan psikososial. Jadi, yang pertama harus dilakukan adalah menentukan apa akan memberikan pengobatan, psikoterapi, atau keduanya. Pengobatan psikososial, jika tidak diberikan pada awalnya, dapat ditambahkan kepada, atau menggantikan farmakoterapi. Namun, dengan satu kekecualian, kami tidak tahu apakah ada data empiris yang mendukung penambahan (augmentation) pengobatan psikososial terhadap pengobatan farmakologis (Rothbaum et al, 2003). Di dalam algoritma ini, kami menyediakan pendekatan berurut untuk terapi farmakologis terhadap PTSD, dengan mempertimbangkan symptomatologi yang menonjol dan komorbiditas diagnostik, tingkat bukti (LOE; lihat simpul yang sesuai), dan bagaimana responnya. Kami juga membahas masalah khusus, termasuk topik berikut: akibat akut dari trauma, trauma berlanjut dan kekerasan, kehamilan; risiko kesehatan dan perilaku yang lain; kepatuhan terhadap pengobatan; petunjuk dosis; antipsikotik yang atipikal; masalah lintas-budaya; instrumen pengukuran PTSD dan gangguan stres akut; perjalanan klinis PTSD; keterlibatan sistem hukum; dan pengobatan pada anak dan remaja.

1 LOE = Level of Evidence, dengan 1 adalah level tertinggi dan 4 adalah level terendah. Lihat tambahan (addenum) 1

Page 2: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

Catatan untuk Simpul-simpul Simpul 1: Diagnosis PTSD Posttraumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berkembangnya serangkaian gejala khas menyusul suatu peristiwa traumatis, termasuk gejala pikiran dan ingatan yang mengganggu (intrusif), penghindaran kenangan akan traumanya, penumpulan emosi, dan sangat sensitif (hyper-arousal). Kriteria diagnosis PTSD, seperti yang diajukan oleh the Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders, 4th edition (DSM IV) dan oleh the International Classification for Disease, 10th edition (ICD 10), dapat dilihat di tabel 1a dan 1b. Tabel 1a Kriteria Diagnostik DSM-IV untuk PTSD 1 A. Stresor traumatik

• Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius bagi diri sendiri atau orang lain; dan

• Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan, kengerian, atau ketidakberdayaan yang sangat kuat.

B. Mengalami ulang gejalanya (satu atau lebih)

• Kenangan yang mengganggu; mimpi yang mencemaskan; kilas balik peristiwa trauma; gejala disosiatif; kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan kenangan akan peristiwa trauma.

C. Gejala penghindaran dan penumpulan perasaan (tiga atau lebih)

• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi, atau orang yang mengingatkan kepada peristiwa itu; tidak mampu mengingat aspek penting peristiwanya; minat yang berkurang; terasing dari orang sekitar; terbatasnya rentang emosi; perasaan bahwa masa depan menjadi lebih pendek.

D. Gejala sensitifitas yang sangat / hyper-arousal (dua atau lebih)

• Gangguan tidur; konsentrasi yang terganggu; rasa kesal atau ledakan amarah; hypervigilance (kewaspadaan yang berlebih); reaksi kaget yang berlebihan

E. Gejala berlangsung sedikitnya1 bulan F. Gejala menyebabkan kecemasan atau gangguan fungsional Spesifikasi: Akut: Gejala berlangsung 1 sampai 3 bulan Kronis: Gejala berlangsung lebih dari 3 bulan Awal gejala (onset) yang tertunda: gejala dimulai sedikitnya 6 bulan setelah ada stresor 1 American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders, 4th edition.Washington, DC: American Psychiatric Press. 1994.

Page 3: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

Tabel 1b. ICD-10 Klasifikasi Gangguan Mental dan Perilaku (ICD-10:DCR-10)1 untuk Posttraumatic Stress Disorder A. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang menimbulkan stres

(sebentar atau lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat mengancam sehingga mungkin akan menyebabkan stres pada hampir semua orang.

B. Terus menerus ingat / ‘menghayati lagi’ penyebab stress dalam bentuk ‘kilas balik’ yang

mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi yang berulang, atau mengalami kecemasan ketika menghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stres.

C. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan yang mirip atau

berhubungan dengan penyebab stres yang tidak ada sebelumnya. D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi:

(1) tidak mampu mengingat, sebagian atau seluruhnya, dari beberapa aspek penting selama

masa terpapar pada penyebab stres;

(2) gejala yang terus-menerus dari adanya peningkatan kepekaan psikologis dan sensasi (tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari yang berikut ini: (a) sulit untuk mulai tidur dan mempertahankan tidur (b) gampang marah atau amarah yang meledak (c) sulit berkonsentrasi (d) kewaspadaan yang sangat tinggi (e) reaksi kaget yang berlebihan

E. Kriteria B, C dan D semuanya harus terpenuhi dalam 6 bulan setelah peristiwa yang penuh stres atau pada akhir suatu masa stres. (Dalam beberapa hal, gejala awal (onset) yang tertunda lebih dari 6 bulan dapat dimasukkan, tetapi harus dirinci dengan jelas). 1 Pocket Guide to the ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders. World Health Organization.American Psychiatric Press, Washington, DC. 1994;168-169.

BACAAN LANJUT: PTSD terjadi pada sekitar 8% dari penduduk dan menjadi kronis pada 50% subyek (Kessler et al, 1995; Breslau et al, 1991; Kessler et al, 2000). Sederetan trauma dapat mendahului PTSD (e.g. kekerasan antar pribadi, kecelakaan kendaraan bermotor, bencana alam) dan sangat merata di seluruh dunia. Menurut survey epidemiologi AS terkini, sebanyak 12% dari penduduk mengidap PTSD aktif yang lamanya lebih dari 20 tahun (Breslau et al, 1998; Kessler, 2000), dan tampaknya angka ini sama tingginya di bagian dunia yang lain. Adanya data bahwa sejumlah signifikan kasus PTSD tak terdiagnosis dan tidak ditangani dengan benar, menunjukkan perlunya untuk menyelidiki tentang paparan terhadap trauma, dan untuk menjaga tingkat kesadaran yang tinggi terhadap gangguan ini. Pengobatan terhadap PTSD berkaitan dengan perjalanan PTSD yang lebih pendek (LOE 3) (Kessler et al, 1995). PTSD terkait secara significan dengan morbiditas dan komorbiditas. Kajian yang terkini menunjukkan ada peningkatan yang lebih besar dalam ketidakmampuan, penggunaan dana kesejahteraan, pemanfaatan resep obat dan kunjungan ke pusat kesehatan, dan juga ketidakmampuan bekerja sampai empat hari per bulan (Amaya-Jackson et al, 1999; Greenberg et al, 1999; Kessler, 2000). Individu dengan PTSD juga menunjukkan kekurangan daya tahan dan lebih sulit menghadapi stres dan kemalangan jika dibandingkan dengan penduduk umumnya, pasien rawat jalan dan mereka yang menderita depresi atau gangguan cemas lainnya (Connor dan Davidson, 2003). Juga dicatat adanya peningkatan upaya bunuh diri pada pasien PTSD,

Page 4: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

dan kesehatan fisik yang buruk sebagai akibat dari PTSD juga sangat besar (Davidson et al, 1991; Boscarino, 1997). Makin banyak bukti bahwa PTSD merupakan faktor risiko penyakit medis (Schnurr & Green, 2004). Di antara semua gangguan kecemasan, PTSD ternyata paling mahal dengan, antara lain, hilangnya jam kerja yang substansial dan penurunan jumlah produk yang dihasilkan. (Greenberg et al, 1999). PTSD bakal menjadi masalah kesehatan umum di seluruh dunia (Davidson, 2001).Menurut proyeksi WHO, dalam 20 tahun mendatang beban global terkait dengan PTSD bakal meningkat secara dramatis, dengan adanya kecelakaan lalu lintas, cedera karena peperangan, dan tindak kekerasan lain -- trauma yang secara luas terkait dengan PTSD termasuk 12 penyebab kecacatan utama di seluruh dunia (Murray dan Lopez, 1997). Respon khusus terhadap setiap kejadian traumatis mencerminkan banyak faktor, termasuk reaksi subyektif dari individu dan parahnya gejala pada pasien tertentu, oleh sebab itu perlu adanya penilaian individual untuk mengukur trauma dan respon terhadap peristiwanya.

Simpul 2: Pertimbangan pada Diagnosis dan pada Setiap Evaluasi Gejala tertentu yang terkait dengan PTSD dan diagnosis medis atau psikiatris komorbid (terutama depresi dan gangguan kecemasan lain) dalam pasien yang sedang dinilai untuk PTSD bisa mempersulit diagnosis yang tepat dan mengubah pengobatan. Pada mulanya, pasien harus memiliki riwayat psikiatri dan medis yang lengkap dengan pertimbangan yang tepat untuk rujukan laboratorium dan pemeriksaan fisik jika diperlukan. Sebagai bagian dari penilaian diagnosis awal, dan sesudah tiap urutan uji pengobatan jika hasilnya tak memuaskan, klinisi harus mengevaluasi gejala-gejala yang terkait dengan PTSD (e.g. kecenderungan untuk bunuh diri, insomnia atau mimpi buruk, psikosis), diagnosis komorbid (termasuk depresi, gangguan bipolar, dan gangguan kecemasan lainnya, penyalahgunaan zat), dan juga masalah lain seperti penyakit medis, kehamilan, trauma yang berlanjut, masalah hukum, penumpukan penyakit medis yang tidak terdiagnosis (e.g. penyakit thyroid), penggunaan terus-menerus zat-zat yang menimbulkan kecemasan seperti kafein, dan kesulitan mentaati pengobatan. Mereka yang menderita PTSD, dengan dan tanpa depresi, makin berisiko untuk bunuh diri, dan penting untuk mengukur risiko bunuh diri baik pada tingkat penilaian awal maupun pada kunjungan tindak-lanjut. Pada umumnya, tinjauan lengkap atas diagnosis diferensial dari gejala kecemasan harus dilakukan, dengan menyingkirkan atau mengobati diagnosis psikiatris dan penyebab medis yang ada.

BACAAN LANJUT: Banyak kajian melaporkan adanya peningkatan luas rentangan gangguan medis pada mereka yang berhasil mengatasi trauma dan PTSD, termasuk tekanan darah tinggi, penyakit pernafasan, tukak lambung, gangguan muskuloskeletal (Davidson et al, 1991; Boscarino, 1997) dan penggunaan layanan kesehatan yang lebih besar (Amaya-Jackson et al, 1999). Schnurr dan Greene (1994) menganggap PTSD sebagai mediator kesehatan buruk. Penting untuk mengenali dan mengobati gangguan komorbid lain pada awal berlangsungnya penilaian. Keselamatan pasien merupakan keprihatinan yang krusial dan para klinisi harus menilai bahaya orang lain bagi pasien dan anggota keluarganya, seperti terjadinya incest atau kekerasan dalam rumah tangga . Yang terutama penting untuk diukur adalah seberapa jauh pasien berbahaya bagi diri sendiri atau orang lain, mengingat adanya risiko perilaku agresif, impulsivitas, dan kecenderungan bunuh diri dalam PTSD. Faktor psikososial dan perilaku kesehatan risiko tinggi juga dapat berdampak besar pada fungsi tubuh jangka pendek atau panjang. Khususnya, trauma tertentu bisa membuat individu makin berisiko mendapat masalah kesehatan lain, seperti terlihat dari adanya peningkatan risiko hepatitis B dan C serta transmisi HIV menyusul trauma seksual. Pengukuran menyeluruh tentang adanya dukungan sosial juga penting, karena adanya dukungan sosial bisa meramalkan hasil yang lebih baik (Brewin et al, 2000).

A. KECENDERUNGAN BUNUH DIRI Menurut laporan, peningkatan upaya bunuh diri terdapat pada pasien PTSD, bahkan juga pada mereka yang tidak menderita depresi. (Davidson, et al. 1991.) (LOE 3) Peningkatan upaya bunuh diri dilaporkan (Horowitz, 1986) terdapat pada pasien yang trauma. Ciri atau gangguan keperibadian Kluster B, jumlah gejala PTSD, depresi, masalah penggunaan zat, gangguan

Page 5: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

hiperaktifitas dan pemusatan pikiran (attention deficit) dan kurangnya dukungan sosial merupakan faktor risiko tambahan untuk kecenderungan bunuh diri yang perlu diperhatikan. Pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri perlu ditangani dalam lingkungan di mana mereka tidak dapat menyakiti diri sendiri secara langsung dan yang menyediakan pengobatan farmakoterapeutik dan psikososial yang memadai, dan yang memungkinkan upaya untuk membangun dan melibatkan dukungan sosial . Meskipun pasien yang cenderung bunuh diri umumnya dikecualikan dari uji klinis yang terkendali, cukup beralasan untuk mulai antidepresan standar lini pertama terhadap PTSD pada pasien ini. Meskipun jarang, ada kemungkinan terjadinya pengaktifan awal atau agitasi dalam beberapa hari pertama setelah diberi antidepresan, dan ini mungkin memicu perilaku agresif atau kecenderungan bunuh diri. B. DIAGNOSIS KOMORBID Gejala lain dan diagnosis medis atau psikiatris komorbid sering bisa terdapat pada pasien yang sedang dievaluasi untuk PTSD dan ini bisa mempersulit diagnosis yang tepat dan mengubah pengobatan. Pertama-tama, pasien harus mempunyai riwayat medis dan psikiatris yang lengkap disertai pertimbangan yang tepat untuk dirujuk ke pemeriksaan laboratorium dan fisik, jika diperlukan. Sebagai bagian dari evaluasi diagnostik awal, dan sesudah setiap urutan uji klinis jika responnya tidak memuaskan, klinisi harus mencari kondisi psikiatris yang umumnya menyertai, seperti depresi dan gangguan kecemasan lain, juga percampuran insomnia, psikosis atau penyalahgunaan zat , begitu pula penyakit medis yang tidak terdiagnosis (e.g. penyakit thyroid), dan penggunaan zat yang menimbulkan kecemasan seperti kafein. Meskipun menurut definisi PTSD timbul menyusul suatu trauma, trauma itu sendiri dapat memainkan peran penyebab dalam rentangan penyakit lain (Kendler et al, 1999), dan PTSD sering disertai oleh gangguan komorbid lain. Dalam National Comorbidity Survey (NCS), depresi besar merupakan gangguan komorbid yang paling umum dalam PTSD (Kessler et al, 1995), dan tingkat depresi yang sama tingginya juga ditemukan dalam sampel klinis PTSD (Shalev et al, 2000). Pasien dengan PTSD dan depresi memiliki depresi yang lebih berat, mengalami kerusakan fungsi yang lebih banyak, dan lebih sering mempunyai pikiran hendak bunuh diri (Brady et al, 2000). Gangguan komorbid umum lain dalam PTSD mencakup penggunaan zat psikoaktif, dan gangguan cemas (Kessler et al, 1995; Brady et al, 2000). Dari perspektif pendekatan algoritma pada tata laksana PTSD, farmakoterapi lini pertama untuk PTSD, SRRI, dianggap bermanfaat, dengan atau tanpa adanya komorbiditas dengan depresi dan gangguan cemas. Dapat dipastikan, beberapa uji SSRI yang positif dalam PTSD mencakup sejumlah besar subyek dengan depresi komorbid. Sama halnya, terapi perilaku-cognitive dapat digunakan untuk PTSD dengan depresi komorbid dan gangguan kecemasan, walaupun data dalam bidang ini hanya sedikit (LOE 4), dan bentuk terapinya perlu diubah untuk menghadapi rentangan gejala yang ditemukan. Pada sisi lain, komorbiditas beberapa gangguan lain menuntut penyesuaian dalam pendekatan terapeutiknya. Pada pasien dengan komorbid penggunaan zat, mungkin penting untuk mula-mula mentargetkan gangguan penyalahgunaan zat. Pada pasien dengan komorbid gangguan bipolar, penting untuk dipastikan bahwa obat penyeimbang suasana hati (mood stabilizer) digunakan sebelum mulai dengan antidepresan. Jadi penilaian yang cermat atas komorbiditas diperlukan sebelum memulai pengobatan, dan pilihan pengobatan bagi pasien dengan komorbiditas perlu dirumuskan dengan penilaian klinis yang tepat. C. INSOMNIA ATAU MIMPI BURUK Insomnia adalah gejala yang menjadi dasar penyakit atau kondisi lain yang mungkin berasal dari gangguan medis, psikiatris atau perilaku. Gangguan tidur yang berciri insomnia dan mimpi buruk merupakan gejala utama PTSD, oleh karena itu dapat merespon pengobatan standar lini pertama. Namun, gangguan tidur atau mimpi

Page 6: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

buruk seringkali tetap ada walaupun diberi pengobatan dengan beberapa agen SSRI, bahkan dapat diperparah oleh pengobatan ini (Meltzer-Brody, et al 2000; Davidson et al, 2002). Dalam keadaan seperti itu, kami menyarankan lebih dulu menilai faktor gaya hidup , seperti penggunaan obat yang bisa dibeli bebas atau penggunaan kafein yang berlebihan, yang menambah gangguan tidur. Penambahan α-1 adrenergic antagonist prazosin bisa amat efektif untuk memperbaiki mimpi buruk dan gangguan tidur pada PTSD (LOE 2, 3) (Raskind et al, 2002; Raskind et al, 2003). Tekanan darah rendah, syncope dan tachycardia merupakan efek samping potensial dengan penggunaan prazosin, karenanya, itu harus hati-hati bagi pasien yang memiliki risiko tekanan darah rendah dan pada pemberian Prazosin tekanan darahnya harus dipantau. Pilihan farmakologik lainnya adalah nefazodone (LOE 2), sedating tricyclic antidepressant dosis rendah (LOE 4), mirtazapine (LOE 4), trazodone (LOE 4), olanzapine (LOE 4), quetiapine (LOE 4) atau zolpidem (LOE 4) pada malam hari (Davidson, 1990; Hertzberg et al, 1996; Taylor, 2003; Stein et al, 2002; Hamner et al, 2003; Dieperink and Drogemuller, 1999). Peran benzodiazepine di sini kurang jelas dan meskipun dapat membantu mengurangi gejala hyperarousal selama pengobatan, benzodiazepine tidak tampak memberi manfaat lain sehubungan dengan PTSD (LOE 2, 3) (Mellman et al, 2002; Gelpin et al, 1999; Braun et al.,1990). Meski terdapat bukti efektivitas tiagabine untuk memperbaiki tidur (LOE3), namun karena ada risiko kejang tubuh maka kami tidak memasukkannya dalam rekomendasi lini pertama untuk pengobatan insomnia pada pasien PTSD. Satu pendekatan nonfarmakologis yang terlihat menjanjikan untuk mengurangi mimpi buruk dan memperbaiki keparahan gejala PTSD secara menyeluruh adalah terapi latihan imageri (imagery rehearsal therapy) (LOE 1) (Krakow et al, 2001). Jika terjadi respon buruk yang berkelanjutan, gangguan tidur yang terkait pernafasan seperti -obstructive sleep apnea (OSA), gangguan gerakan tungkai berkala (periodic limb movement disorder) atau gangguan tidur lainnya harus dipertimbangkan dan, jika sesuai (Krakow et al, 2001) berdasar ciri klinis, maka harus dibuat polysomnogram. Jika dipastikan ada OSA, maka pengobatan dengan continuous positive airway pressure (CPAP) disarankan (LOE 4). Jika pemeriksaan tidak mengungkapkan penyebab yang jelas, maka salah satu pengobatan alternatif dapat dipilih dari daftar di atas. D. PSIKOSIS Ciri psikotik dapat dijumpai pada 40% pasien PTSD (Hamner et al, 1999), dengan gejala yang sering dilaporkan misalnya halusinasi, waham (delusion), dan ide paranoid. Penting untuk ditentukan pada awalnya apakah ciri psikotik seperti itu bisa dijelaskan sebagai bagian dari keseluruhan sindrom PTSD atau mereka lebih konsisten dengan suatu gangguan psikotik komorbid. Jika yang pertama, pengobatan bagi PTSD harus dimulai dengan SSRI dengan mengakui bahwa dalam banyak hal, orang-orang ini mungkin tidak memberikan respon cukup terhadap pengobatan itu. Kilas balik, kewaspadaan tinggi/paranoia, dan disosiasi, semuanya dapat muncul dengan ciri psikotik. Untuk mereka, antiadrenergik dan antikonvulsan dipercaya dapat bermanfaat (LOE 4). Kegagalani merespon agen-agen ini mengisyaratkan dipakainya perluasan (augmentasi) dengan anti psikotik yang atipikal. Sesungguhnya, pasien yang ketakutan, paranoia, waspada tinggi dan psikotik mungkin bisa ditolong dengan antipsikotik yang atipikal. Sebaliknya, jika PTSD berkomorbid dengan suatu gangguan psikotik, maka augmentasi dengan antipsikotik yang atipikal harus dipertimbangkan sejak awal. Banyak usaha di bidang ini difokuskan pada augmentasi SSRI dengan antipsikotik atipikal. Adanya gejala psikotik mungkin memerlukan penambahan suatu neuroleptik atipikal, yang sampai saat ini buktinya terbatas pada risperidone (LOE 2), olanzapin (LOE 3) dan quetiapine (LOE 3), yang kajiannya sebagian besar terbatas pada para veteran tempur (Monnelly et al, 2003; Hamner et al, 2003; Stein et al, 2003; Hamner et al, 2003; Bartzokis et al, 2005), dan sekarang baru satu kajian saja dengan penduduk sipil (Reich et al, 2004). Lebih lanjut, terdapat

Page 7: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

bukti yang beragam, karena beberapa obat tidak selalu dapat dibedakan dari plasebo (e.g. Butterfield et al, 2001) atau kalau dapat dibedakan hanya dalam dimensi terbatas (e.g. gejala psikotik (Hamner et al, 2003) atau pada tidur dan suasana hati (mood) (e.g. Stein et al, 2003). Respon yang tidak memadai terhadap antipsikotik yang pertama dapat dilanjutkan dengan beralih ke pengobatan lain. Jika itu gagal, maka disarankan mengadakan evaluasi diagnostik ulang. Pengobatan neuroleptik atipikal yang khas harus dipilih setelah mempertimbangkan risiko efek samping seperti penambahan berat badan, diabetes menjadi makin parah, sindrom metabolis, hiperlipidemia, atau hiperprolaktinemia. Antipsikotik atipikal, seperti aripiprazole dan ziprasidone, mungkin memiliki efek samping yang lebih baik, dan secara teoretis dapat digunakan dalam pengobatan PTSD, tetapi tidak ada data untuk ini (LOE 4). E. PENYALAHGUNAAN ZAT (i) Pasien yang Sedang atau Baru-Baru Ketergantungan atau Menyalahgunakan Zat . Mula-mula pasien diminta untuk menghentikan ketergantungan atau penyalahgunaan zat. Pasien diminta membuat komitmen untuk tidak menggunakan zat-zat ini lagi. Tentu saja, dia mungkin tidak bisa memenuhi komitmennya, maka ketaatannya harus dipantau dengan cermat. Rekomendasi algoritma (dan dasar buktinya yang terkait) tidak relevan bagi pasien yang aktif tergantung lagi dan menyalahgunakan zat-zat tersebut. Sebagai azas umum dengan pasien seperti itu, jika mungkin gunakanlah rejimen konservatif yang tidak terlalu ruwet. Penggunaan SSRI secara dini bisa bermanfaat bagi mereka, meskipun uji-coba terbesar yang dilakukan (LOE 2) tidak menunjukkan bahwa sertraline mempunyai manfaat lebih besar dari plasebo (Brady et al, 2005). Komorbiditas penyalahgunaan zat dan PTSD merupakan kontraindikasi relatif bagi penggunaan benzodiazepine kecuali sebagai bagian dari program penarikan (withdrawal)/detoksifikasi alkohol atau sedatif. Agar rekomendasi algoritma bisa diterapkan, pasien harus sudah bebas dari ketergantungan obat dan dari farmakoterapi yang dipakai untuk penghentian ketergantungan, dan harus abstinen selama sedikitnya satu minggu lagi. Ini adalah waktu minimal, sesudah itu perbedaan antara obat dan plasebo terlihat dalam pengobatan gangguan kecemasan dan depresi yang terus mengikuti upaya penghentian alkohol, misalnya (Kranzler et al., 1994; Mason et al., 1996). Gejala yang muncul setelah abstinen selama kurang dari satu minggu, bisa merupakan dampak dari zat yang tersisa. Jika gejala tampak berkurang selama minggu pertama abstinen, dan tidak ada riwayat tentang gejala ini sebelum awal ketergantungan/penyalahgunaan zat terjadi, atau selama masa-masa ‘bersih’ sebelumnya, maka masuk akal jika menunggu paling sedikit satu minggu lagi sebelum memulai farmakoterapi. Penarikan (withdrawal) beberapa zat dapat diperpanjang, dan dampak sisa zat-zat itu dapat mempengaruhi pengobatan berikutnya yang mungkin akan diberikan. Sebagai contoh, metadon mempunyai half-life (pelepasan separuh efeknya) sekitar dua hari, dan efeknya sebagai inhibitor (penghambat) dari cytochrome P450 2D6 bisa tetap ada selama lebih dari satu minggu. Kelompok yang tidak secara khusus dibahas dalam algoritma ini adalah mereka yang menggunakan narkoba tetapi tidak memenuhi kriteria DSM-IV sebagai suatu penyalahgunaan atau ketergantungan. Apakah urutan pengobatan untuk para pemakai yang “berekreasi” ini harus berbeda dari pendekatan standar? Pasien-pasien yang sering kita jumpai ini tidak mendapat banyak perhatian dari penelitian. (ii) Pasien dengan riwayat, tetapi tidak sedang mengalami ketergantungan atau

penyalahgunaan zat Jika pasien tidak sedang aktif tergantung atau menyalahgunakan zat-zat tetapi pernah memiliki riwayat ketergantungan atau penyalahgunaan zat tersebut, ia mungkin memerlukan pengobatan untuk mencegah kambuhnya. Pasien mungkin baru-baru ini sudah menjalani detoksifikasi,

Page 8: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

mengalami stres yang tidak biasa, atau mungkin ketagihan berat dan karena itu ia sangat berisiko untuk kambuh lagi. Ini merupakan isyarat bahwa manajemen masalah ini harus mendapat prioritas sama atau lebih dari prioritas pengobatan PTSD. Jika masalah pasien adalah ketergantungan akan alkohol, pilihan farmakoterapi yang didukung bukti, bisa mencakup (Srisurapanont and Jarusuraisin, 2005) naltrexone (O'Malley, 1995), acamprosate (Verheul et al, 2005), atau topiramate (Johnson et al, 2004), (Semua LOE 1 untuk indeks gangguan). Topiramate juga dilaporkan sangat menolong untuk PTSD (Berlant et al, 2002) (LOE 4) dan dengan lebih banyak riset bisa muncul sebagai suatu pilihan yang terutama baik untuk pasien dengan komorbiditas keinginan alkohol dan PTSD (LOE 4). Disulfiram dapat bermanfaat untuk mencegah kambuh pada pasien dengan ketergantungan kokain (Carroll et al, 2004). [PTSD (LOE 4); kokain (LOE 2)]. Semua pilihan farmakoterapi untuk ketergantungan/penyalahgunaan zat kelihatannya paling berhasil dalam konteks pengobatan psikoterapi terstruktur yang intensif dan berkelanjutan yang difokuskan pada pantangan (abstinen), kepatuhan dan pencegahan kambuh (O'Malley, 1995). Dapat dipastikan, tanpa pengobatan seperti itu, farmakoterapi tidak lebih baik dari plasebo. Jika pasien dengan sejarah penyalahgunaan zat sudah dievaluasi (dan diberi pengobatan yang sesuai), klinisi bisa mengikuti algoritma PTSD mulai dengan rekomendasi pada simpul 1-3. Kewaspadaan klinisi untuk mendeteksi komorbid penyalahgunaan zat perlu dilanjutkan selama pengobatan. F. PENANGANAN KETIDAKPATUHAN Keterangan yang jelas tentang efek yang diharapkan dari pengobatan dan bagaimana menangani permasalahan yang muncul, perlu diberikan pada tiap awal pengobatan baru. Tingkat ketidakpatuhan terhadap antidepresan pada depresi dapat mencapai 50% dalam 3 bulan (Lin et al, 1995; Lin et al, 2003). Shemesh et al (2000; 2001; 2004) menunjukkan bahwa pasien (orang dewasa, sekunder pada infark miokardial dan anak-anak, sekunder pada transplantasi hati) dengan PTSD mempunyai tingkat ketidakpatuhan yang tinggi. Jika tidak ada respons, dokter perlu mempertimbangkan apakah ketidakpatuhan yang merupakan akar permasalahannya. Lin et al mengisyaratkan sejumlah strategi untuk membantu memperbaiki kepatuhan pada depresi. Pesan pendidikan berikut ini terbukti dapat menolong pasien untuk patuh dalam PTSD: 1) minum obat setiap hari; 2) antidepresan harus diminum selama 4-6 minggu agar hasilnya dapat terlihat; 3) lanjutkan minum obat sekalipun Anda sudah merasa lebih baik; 4) jangan berhenti minum antidepresan tanpa konsultasi dengan dokter Anda; 5) ada petunjuk khusus mengenai apa yang harus dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai pengobatan; dan 6) menjadwalkan kegiatan yang menyenangkan bagi pasien. Namun, masalah khas PTSD perlu juga dipertimbangkan, seperti keengganan pasien untuk diobati, menyalahkan trauma yang tidak diharapkan sebagai penyebab penderitaannya. G. TRAUMA BERLANJUT Umumnya dipercaya bahwa kesembuhan tidak mungkin terjadi selama pasien tetap mengalami trauma, seperti terus-menerus menghadapi kekerasan dalam hubungan antar individu (LOE 4). Pendapat ini disimpulkan berdasar literatur Cognitive behavioral therapy (CBT). Tersedianya lingkungan yang bebas dari trauma berkelanjutan sangat penting. Namun, tidak diketahui apakah pengobatan dapat memperbaiki gejala PTSD pada pasien yang tetap berada dalam lingkungan yang penuh tindak kekerasan dan bahaya.

Page 9: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

H. MASALAH YANG RELEVAN BAGI WANITA DENGAN POTENSI MELAHIRKAN. (Wanita usia subur) Post Traumatic Stress Disorder dalam masa Kehamilan dan Pasca Kelahiran (postpartum)

Zachary N. Stowe, M.D. and D. Jeffrey Newport, M.D., M.S., M.Div. Women’s Mental Health Program

Emory University School of Medicine Atlanta, GA

Prevalensi dan perjalanan penyakit Posttraumatic Stres Disorder (PTSD) selama kehamilan dan pasca kelahiran tidak mendapat cukup perhatian. Sebagian besar laporan mencatat pengalaman traumatis obstetrikal , seperti proses melahirkan, kelahiran, keguguran, kematian janin, bayi lahir mati, dll., sebagai pendorong simptomatologi yang berkaitan dengan trauma. Satu telaah awal yang mengukur timbulnya PTSD setelah kelahiran‘normal’ menemukan bahwa 3% (Czarnocka and Slade 2000) mempunyai gejala klinis yang signifikan dalam semua dimensi PTSD. Serupa dengan itu, telaah kedua yang tidak mengikutsertakan wanita yang telah memiliki gejala sebelumnya, menemukan bahwa 2,8% memenuhi kriteria diagnostik untuk PTSD pada 6 minggu setelah melahirkan, kemudian menurun menjadi 1,5% setelah 6 bulan (Ayers and Pickering 2001). Tidak jelas apakah persentase ini menunjukkan satu peningkatan dalam PTSD atau hanya insiden onset baru PTSD pada sekelompok wanita usia produktif. Patut dicatat bahwa ada kelompok yang menemukan bahwa gejala yang terkait dengan depresi dalam periode postpartum ada hubungannya dengan terjadinya dua atau lebih komplikasi kehamilan dan depresi selama kehamilan (Cohen MM et al 2004). Penyelidikan lebih baru meneliti dampak dari kehidupan yang penuh stres atas wanita yang hamil, e.g. mereka yang tinggal di kota metropolitan New York ketika serangan 9/11 terjadi. Suatu telaah prospektif yang terbaru (Loveland-Cook CA et al 2004), menemukan 7,7% wanita yang hamil memenuhi kriteria diagnostik untuk PTSD. Sebagian besar dari mereka memiliki komorbid mood dan/atau gangguan kecemasan lain. Yang menarik adalah bahwa hanya 12,3% wanita hamil yang menderita PTSD telah mencari pengobatan pada 12 bulan terakhir. Jalannya PTSD yang sudah ada selama kehamilan tetap merupakan teka-teki. Namun, mengingat tingginya tingkat komorbiditas, perubahan struktur tidur pada masa pranatal, dan adanya stres neuroendocrine/psikososial dalam kehamilan dan kelahiran, tidak beralasan bagi kita untuk mengharapkan perbaikan gejala PTSD sepanjang masa kehamilan dan postpartum. Lebih jauh, tergantung dari jalannya kehamilan dan munculnya komplikasi, tampaknya ada peningkatan kasus PTSD baru pada wanita postpartum. Pengkaitan data yang terbatas ini dengan data keselamatan reproduktif yang tersedia pada pengobatan psikotropik dan algoritma pengobatan PTSD yang diusulkan, meskipun sifatnya empirik, menyediakan suatu modifikasi yang konservatif untuk manajemen PTSD pra-natal yang mengurangi risiko bagi janin/bayi yang baru lahir. Rekomendasi ini dan pembenarannya diringkas di bawah ini: 1. Pada wanita usia reproduktif, catat metode pembatasan kelahiran (metode Keluarga

Berencana) sebelum memulai pengobatan. 2. Selama kehamilan dan menyusui, pertimbangkan pengobatan psikososial sebagai intervensi

pertama. 3. Jika farmakoterapi terindikasikan pada wanita hamil atau wanita yang sedang menyusui,

gunakan pengobatan yang mempunyai data keamanan yang dipublikasikan yaitu, fluoxetine, sertraline, paroxetine, citalopram.

4. Maksimalkan dosis monoterapi sebelum mengganti pengobatan dan/atau menambahkan

farmakoterapi.

Page 10: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

5. Jika respons pengobatan tidak memadai dan ada indikasi untuk penambahan farmakoterapi, ada beberapa aturan umum yang harus digunakan pada wanita hamil dan/atau menyusui: a) hindari valproate, MAOI; b) hindari agen adrenergik; c) agen antipsikotik tipikal mempunyai data keamanan reproduktif lebih banyak dibanding yang atipikal – meskipun pemakaian agen antikolinergik untuk mengatur gejala extrapyramidal harus dihindari; d) jika benzodiazepine diindikasikan – clonazepam mempunyai data keselamatan yang cukup banyak dan alprazolam tidak memerlukan metabolisme hepatik.

6. Jika farmakoterapi telah digunakan selama kehamilan, pengobatan jangan dikurangi atau

diganti pada saat menyusui. 7. Semua wanita yang mengalami komplikasi kehamilan, proses melahirkan yang traumatik,

atau keguguran/kehilangan bayi yang baru dilahirkan, perlu dievaluasi adanya gejala PTSD. 8. Dokumentasikan metode pembatasan kelahiran (metode Keluarga Berencana) pada wanita

menyusui. I. MASALAH KULTURAL Telah diisyaratkan bahwa PTSD tidak ditandai oleh adanya respon stres yang normal, melainkan lebih oleh adanya sensitasi sistem psikobiologi tertentu (Yehuda and McFarlane, 1995). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa gejala PTSD sama pada masa historis yang berbeda dan dalam budaya yang berbeda (Marsella et al, 1996). Juga, penting untuk diakui bahwa jenis traumanya berbeda dalam tiap budaya, dan bahwa PTSD dapat dirasakan dan diekspresikan dengan cara yang berbeda pada kelompok masyarakat yang berbeda (Njenga et al, 2004). Sebagai contoh, Friedman dan Marsella (1996) mengisyaratkan bahwa meskipun gejala penghayatan kembali dan mudah terkejut (hyperarousal) pada PTSD bersifat universal, namun gejala penghindaran dan penumpulan lebih mungkin dihayati dalam latar etno-kultural di mana perilaku penghindaran dan penumpulan merupakan ungkapan kecemasan yang umum.Mungkin ada juga ragam lintas budaya dalam hal disosiasi dan somatisasi setelah trauma (Stamm and Friedman, 1999). Faktor budaya dan sosial dapat menjadi faktor penentu yang penting dalam kerentanan terhadap PTSD dengan cara membentuk konsep tentang apa yang menyebabkan trauma, dan dengan mempengaruhi faktor-faktor kerentanan lain yang diketahui seperti pengalaman usia dini, komorbiditas (e.g. penyalahgunaan alkohol), dan sumber daya sosial untuk merespon trauma. Namun, sekali lagi, banyak pertanyaan masih tetap terbuka untuk diteliti dengan riset empiris ketat di kemudian hari (Marsella et al, 1996). Meskipun demikian, dapat diajukan argumentasi teoretis kuat bahwa ritual budaya tertentu, yang diadakan setelah orang terpapar pada trauma, benar-benar berperan dalam pencegahan PTSD (Shay, 1994). Sebaliknya, mungkin saja untuk berspekulasi bahwa adanya larangan berbicara tentang trauma dalam budaya tertentu memperburuk penderitaan pasca trauma. Satu eksperimen yang menarik pada skala nasional baru-baru ini dilakukan di Afrika Selatan, di mana Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (Truth and Reconciliation Commission) mendorong dilakukannya pengakuan publik atas sejumlah besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa lampau (Stein, 1998). Walaupun angka PTSD tidak lebih rendah pada mereka yang memberi kesaksian, namun ada hubungan antara meningkatnya psikopatologi dan menurunnya pemberian maaf. Telaah lain menunjukkan bahwa mungkin ada efek terapeutik dalam memberi kesaksian tentang pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau (Weine et al, 1998). Mengingat bahwa psikopatologi PTSD sering tidak hanya melibatkan gejala diskret, tetapi juga melibatkan pertanyaan yang lebih luas tentang diri dan identitas, maka memahami latar belakang sosiobudaya pasien sangat penting. Beberapa penulis menekankan bahwa kurangnya

Page 11: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

penghargaan terhadap konteks sosiobudaya dari trauma dan dari respon terhadap trauma dapat menghambat proses pengobatan. Di sisi lain, pengukuran yang sensitif dan menyeluruh terhadap konteks ini memungkinkan adanya intervensi individual dan komunal yang sesuai dan yang mendukung perbaikan simptomatik serta penyembuhan yang lebih luas. Beberapa skala penilaian gejala telah digunakan pada banyak konteks sosial dan budaya. Termasuk penilaian klinis Clinician Administered PTSD Scale (CAPS) (Weathers et al, 2001), Composite International Diagnostic Interview (CIDI, Kessler et al, 1995) dan penilaian subyektif pasien dalam Harvard Trauma Questionnaire (HTQ) (Klein et al, 2001). Ada pemahaman yang makin baik terhadap perbedaan antarindividu yang mempengaruhi dosis toleransi maksimal. Sebagai contoh, varian dari cytochrome P450 dapat mempengaruhi metabolisme SSRI. Varian khusus mungkin lebih umum untuk kelompok etnik tertentu (Nasrallah, 2005). Klinisi yang berpengalaman di Afrika menyatakan bahwa orang Afrika bereaksi terhadap dosis trisilik yang lebih rendah pada pengobatan depresi (50-150 mg) dan juga sangat peka terhadap efek sampingnya (LOE 4). Dengan membuat generalisasi dari riset farmakokinetik, Lin et al (1996) menyatakan bahwa orang Asia mungkin juga bereaksi terhadap dosis pengobatan psikotropik yang lebih rendah dibanding orang Barat (Caucasian). Hambatan keuangan dan formulasi sering kali membatasi pemakaian sejumlah obat yang dianjurkan, hanya saja caranya berbeda di setiap negara. J. MASALAH PROSES PENGADILAN Jika seorang pasien terlibat dalam tindakan hukum terkait dengan suatu peristiwa yang traumatis, kemungkinan besar gejalanya akan diperburuk ketika peristiwa yang traumatis itu diingatkan kembali, terutama dalam suasana perbantahan. Lebih dari itu, jika orang yang selamat percaya bahwa ganti rugi penting untuk kesembuhan, hal ini dapat mempengaruhi tingkat respon terhadap farmakoterapi. (LOE 4). Namun, tidak ada data empiris mengenai hal ini. K. PENGOBATAN PSIKOSOSIAL Pilihan pertama yang harus ditetapkan adalah apakah menawarkan pengobatan, pengobatan psikososial, atau keduanya. Masing-masing jenis pengobatan sudah terbukti berkerja dengan baik. (LOE 1) Pengobatan psikososial, jika tidak digunakan pada awalnya, dapat ditambahkan atau menggantikan farmakoterapi. Namun, dengan satu pengecualian (Rothbaum et al., 2003), kami tidak tahu apakah ada data empiris yang mendukung augmentasi pengobatan farmakologis dengan perlakuan psikososial. Cognitive behavioral therapy (CBT), prolonged exposure (PE) dan pengobatan-pengobatan psikososial lain, seperti eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), terbukti bekerja dengan baik (LOE 1) pada PTSD (Foa, Keane and Friedman, 2000), dan merupakan pilihan pertama (atau berikutnya) yang dapat dipercaya, dengan syarat adanya therapis yang berkewenangan dan bahwa pasien mau melakukan usaha yang diperlukan (mau membuat pekerjaan rumah dan mungkin mengalami kecemasan lebih banyak lagi). Serupa dengan itu , pasien yang mendapat pengobatan harus bersedia mengatasii efek samping bersama klinisinya dan menunggu beberapa minggu sampai terlihat hasilnya dan tidak ada kontraindikasi medis terhadap penggunaam obat. Pilihan pasien dan adanya therapis yang berkewenangan akan mempengaruhi cara pengobatan yang dilakukan.

Page 12: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

Satu pendekatan nonfarmakologis yang menjanjikan dalam mengurangi mimpi buruk dan memperbaiki keparahan gejala PTSD secara umum adalah terapi latihan khayalan (imagery rehearsal therapy) (LOE 1) (Krakow et al, 2001). Simpul 3: SSRI atau SNRI (atau TCA jika tak tersedia): Evaluasi empat sampai enam minggu dengan dosis dan jangka waktu yang memadai dan dengan toleransi baik. Menyusul diagnosis PTSD, intervensi farmakologis lini pertama yang direkomendasikan adalah SSRI (sertraline, paroxetine, fluoxetine), berdasarkan bukti Level 1 yang kuat (Brady et al, 2000; Davidson et al, 2001; Marshall et al, 2001; Marshall et al, 2001; Connor et al, 1999; Martenyi et al, 2002; van der Kolk et al 1994). Dosis permulaan dapat rendah (fluoxetine 10mg.; sertraline, 25mg; paroxetine, 10mg.) yang mencerminkan jenis pasien dengan kepekaan yang berlebih terhadap isyarat kecemasan somatik atau terhadap dosis yang digunakan dalam percobaan. (fluoxetine 20mg.; sertraline, 25-50 mg; paroxetine, 20mg). Sementara obat yang lain dalam kategori ini mungkin menguntungkan, seperti citalopram (LOE 3) (Seedat et al, 2001), fluvoxamine (Davidson et al, 1993; Escalona et al, 2002), namun tidak ada bukti sama sekali dalam hal escitalopram (LOE 4). Berdasarkan pada data yang dipublikasikan, perbaikan statistik dan klinis yang signifikan sering dilihat pada SSRI pada minggu kedua sampai keempat. Satu telaah oleh Davidson et al (2002) mencatat perbaikan yang jelas pada rasa marah/ kesal setelah satu minggu mendapat sertraline, yang mungkin merupakan prognosticator respons akhir yang berguna (LOE 1) (Davidson et al, 2004). Satu percobaan yang memadai memerlukan waktu 6-12 minggu, tetapi kilinisi bisa mengharapkan respon setelah 4-6 minggu dengan dosis yang cukup. Suatu telaah bupropion (LOE 2) menunjukkan tidak ada perbedaan antara obat dan plasebo (Davis et al, 2005). Dua percobaan besar yang terbaru mengisyaratkan adanya harapan bagi SNRI venlafaxine. Sampai hari ini hasil percobaan itu hanya dipublikasikan dalam bentuk abstrak (Davidson et al., 2004a; 2004b). Hipertensi dan efek samping kardiovaskuler lain, terutama pada dosis yang tinggi mungkin merupakan keterbatasan. Percobaan-percobaan kecil dari agen NaSSA mirtazapine (LOE 2, 3) (Connor et al, 1999; Davidson et al, 2003) juga menunjukkan keefektifan dalam PTSD Antidepresan yang lebih tua, seperti antidepresan trisiklik (TCA) dan obat penghambat MAO (MAOI), efektif bagi veteran perang dengan PTSD (LOE 2) (Davidson et al, 1990; Kosten et al, 1991). Di daerah di mana pertimbangan formulari atau biaya menghalangi pemakaian SSRI atau SNRI's, trisiklik imipramin atau amitriptilin dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan lini pertama. Selain dua percobaan MAOI yang dapat dibalik dengan hasil beragam pada penduduk sipil dan veteran perang (LOE 1) (Baker et al, 2000; Katz et al, 1995), obat TCA dan MAOI belum dikaji pada percobaan terkendali dengan sampel penduduk sipil, sebagian karena adanya SSRI pada beberapa tahun yang lalu. Masalah keracunan juga menjadi keprihatinan dengan obat-obat ini, dalam kaitannya dengan cardiotoxicity, risiko kejang, dan efek antikolinergik dengan TCA dan pengetatan diet serta risiko krisis hipertensi pada MAOI. Mempertimbangkan kuatnya bukti terhadap profil keselamatan obat tersebut, kami tidak merekomendasikan MAOI sebagai pengobatan lini pertama. Satu keuntungan yang jelas dari antidepresan adalah kemanjurannya yang mantap dalam pengobatan depresi berat dan gangguan cemas lain yang sering komorbid dengan PTSD. Namun, seperti disebutkan di atas, obat ini dapat dihubungkan dengan efek samping yang menyulitkan. Sebagai contoh, efek samping umum dengan SSRI termasuk mual, berak-berak (loose stool), sakit kepala, sulit tidur dan agitasi pada pengobatan awal dan, setelah waktu yang lama, pertambahan berat badan dan kelainan fungsi seksual.

Page 13: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

Simpul 4: Respon Respon pada pengobatan setelah suatu periode percobaan disebut sebagai cukup, parsial/sebagian, atau tidak ada respon. Setelah 12 minggu pengobatan : Tidak ada respon: minimal (kurang dari 25%) atau tidak ada perbaikan. Gejala berkurang amat sedikit. Respon parsial: gejala berkurang 25-50% atau lebih. Respon cukup: Sedikitnya 50% perbaikan — gejala berkurang 50% atau peringkat 1 atau 2 (sangat banyak atau banyak perbaikan) pada skala Clinical Global Impressions of Improvement scale (CGI-I. Lihat Assesment Tools untuk PTSD). Setelah 3-6 bulan pengobatan, atau lebih lama lagi, banyak pasien akan mencapai suatu keadaan remisi, yang ditandai dengan sedikitnya pengurangan 70% keparahan gejala relatif dibanding sebelum pengobatan (i.e. “70% lebih baik”) dan dianggap sebagai mencapai sasaran pengobatan PTSD. Remisi klinis sesuai dengan skor 1 pada CGI-I . Simpul 5: Lanjutkan sedikitnya satu tahun Setelah 12 minggu pengobatan, banyak pasien akan mengalami kemajuan , dengan sedikitnya pengurangan gejala 50%. Namun, kemajuan selanjutnya sering bersamaan dengan pengobatan lanjut, dengan tambahan perbaikan pada gejala-gejala inti PTSD, ketidakmampuan, dan keberfungsian secara keseluruhan. Tiga telaah menunjukkan efek pencegahan kekambuhan yang kokoh untuk sertraline (Davidson et al 2000) dan fluoxetine (Marrtenyi et al, 2002; Davidson et al, 2005) tatkala pengobatan ini dilanjutkan selama tahun. (LOE 1) Setelah 6 bulan, kami berharap ada pengurangan gejala sebanyak 70%, menunjukkan suatu keadaan remisi. Jika gejala tetap ada dan sasaran ini tidak tercapai, lihat algoritma di atas sesuai gejala yang ada. Karena PTSD kronis mempunyai kecenderungan untuk kambuh atau memburuk pada 50% pasien jika pengobatan dihentikan, kami menyarankan agar pengobatan dilanjutkan sedikitnya satu tahun. (LOE 1) Simpul 6: Beberapa gejala tetap tidak memberi respon? Jika ada respon parsial terhadap pengobatan dalam 4-6 minggu, langkah kedua adalah mengukur adanya gejala- gejala nonresponsif yang tetap, yang ditentukan oleh profil gejala pasien dan komorbiditas. Gejala umum dan komorbiditas ini mencakup gejala inti PTSD yang tetap (intrusi; penghindaran, penumpulan, dan hyperarousal), gangguan tidur, gejala PTSD lain seperti sifat cepat kesal, bermusuhan, agresif, panik, gejala psikotik, gangguan spektrum bipolar, dan penyalah- gunaan zat. Selain itu, pada beberapa orang, SSRI mungkin sedikit banyak bersifat ansiogenik. Pasien dengan gangguan cemas sering lebih peka terhadap efek ini dan dalam beberapa kasus dapat diatasi dengan dosis awal yang lebih rendah atau dengan titrasi yang lebih lambat. Pada tahap ini, klinisi perlu mempertimbangkan apakah mengadakan perubahan dalam farmakoterapi atau tetap pada dosis (terapi) yang sama, karena ada bukti (Londborg et al, 2001) bahwa pasien yang tidak berespon terhadap sertraline selama 12 minggu dapat berubah setelah 4-6 bulan pengobatan. Simpul 7: Tambahkan obat lain menurut gejala-gejala menonjol Jika setelah 4-6 minggu pengobatan dengan dosis SSRI yang sesuai (sertraline, 150 mg, fluoxetine 40 mg), ada respon parsial, klinisi perlu mengukur gejala yang berlanjut dan memberi perlakuan yang sesuai melalui augmentasi dengan agen kedua— e.g. prazosin (LOE 2); trazodone (LOE 3), nefazodone (LOE 2) (Davis et al, 2004), imipramine (LOE 2), atau

Page 14: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

amitriptyline (LOE 2) dalam dosis rendah. Setiap pengobatan ini tidak hanya bermanfaat bagi gangguan tidur, tetapi juga aspek lain dari PTSD (LOE 2). Dalam beberapa hal,, karena tidak ada petunjuk yang dipublikasikan, klinisi bisa memilih untuk meningkatkan dosis dan augmentasi sekaligus. Penting untuk memastikan bahwa gejala tidak disebabkan efek ansiogenik dari pengobatan. Kebanyakan uji klinis dengan pengobatan untuk PTSD sudah menguji efektifitas monoterapi dengan satu atau lain agen farmakologis. Memang, dengan mengecualikan percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang secara sistematis mengevaluasi efektifitas relatif dari berbagai strategi augmentasi. Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi augmentasi bagi pasien yang memberi respon parsial adalah penegasan kembali (extrapolation) dari percobaan monoterapi. Simpul 8: Sesuaikan sampai dosis toleransi maksimal (Tabel 3) Jika ada respon yang parsial terhadap dosis SSRI yang memadai (sertraline, 150 mg, fluoxetine 40 mg), mengisyaratkan bahwa pengobatan awal agak berhasil tetapi respon klinisnya kurang memadai, maka dosis harus dititrasi sampai maksimal yang disarankan (sertraline 200mg; paroxetine, 50 mg. fluoxetine, 60 mg.) (lihat Tabel 3). Simpul 9: Beralih di dalam kelas SSRI atau di antara kelas (SNRI, TCA, atau α 1AA) Setelah kegagalan respon (i.e. perbaikannya kurang dari 25% ) terhadap SSRI dan gejala inti PTSD tetap ada setelah 4-6 minggu dengan dosis yang cukup (e.g. fluoxetine 40 mg/hari, sertraline 150 mg/hari), klinisi harus beralih ke SSRI yang lain, SNRI, NaSSA, trisiklik atau prazosin, atau sebagai alternatif, menambah pengobatan dengan agen farmakoterapi lain, meskipun data tentang augmentasi terbatas dan tidak ada data tentang peralihan ke SNRI/NaSSA, atau SNRI ke NaSSA (semua LOE 4). Juga, tidak ada data yang menunjukkan apakah percobaan lanjutan dengan SSRI kedua sama efektifnya dengan beralih ke SNRI atau NaSSA setelah percobaan SSRI pertama gagal. Simpul 10: Respon sesudah enam sampai dua belas minggu? Jika dosisnya sudah maksimum dan gejala tetap membandel, tiba waktunya untuk memperkenalkan pengobatan kedua, sambil tetap mempertahankan pengobatan awal seperti dianjurkan. Tindakan berikutnya ditentukan oleh ada atau tidak adanya gejala dan komorbiditas yang spesifik, termasuk tetap adanya gejala inti PTSD (intrusi; penghindaran, penumpulan perasaan, dan hyperarousal), gangguan tidur, gejala inti PTSD lainnya, gejala psikosis, gangguan spektrum bipolar, dan penyalahgunaan zat. Kadang pilihan suatu agen augmentasi lebih didorong oleh gejala yang secara klinis signifikan, seperti yang digambarkan pada rekomendasi untuk insomnia, psikosis, dan penyalahgunaan zat (lihat Simpul 15, 20, dan 24). Di sini, dasar empiris untuk memilih satu agen dan bukan agen lain tidak terlalu kokoh, oleh karena itu saran berikut lebih didasarkan atas cerita-cerita klinis dan tindakan farmakologis yang dikenal. Sebagai contoh, pasien yang memperlihatkan arousal berlebihan, hyper-reaktif, dan, mungkin juga disosiasi, akan mendapat manfaat dari penambahan agen antiadrenergik. Pasien yang memperlihatkan perilaku agresif, impulsif atau perilaku labil, mungkin bisa mendapat manfaat dari antikonvulsan/ penstabil mood. Pasien yang ketakutan, paranoid, hipervigilant, dan psikotik akan mendapat manfaat dari antipsikotik atipikal. Keberhasilan (atau kegagalan) pengobatan ditentukan oleh respon klinis dan efek samping yang memadai.

Page 15: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

Simpul 11: Respon yang tidak memadai terhadap gejala inti PTSD – Beralih ke SSRI yang lain, atau ke SNRI atau dari SNRI ke NaSSA Jika respon gejala inti PTSD tidak memadai sampai 6-12 minggu pengobatan dengan dosis SSRI maksimum yang direkomendasikan dan ditoleransi (eg., fluoxetine 60 mg; sertraline, 200 mg) (lihat Tabel 3), klinisi perlu beralih, misalnya, ke SSRI lain atau ke SNRI, atau dari SNRI ke NaSSA, atau ke obat trisiklik atau prazosin. Saat ini tidak ada data yang dipublikasikan tentang strategi-strategi ini (LOE 4). Juga, tidak ada data apakah percobaan lanjutan dengan SSRI kedua sama efektifnya dengan beralih ke SNRI atau NaSSA setelah percobaan SSRI pertama gagal. Simpul 12: Respon – lihat Simpul 4 di atas. Simpul 13: Tambahkan TCA, AAP, anticonvulsant, α1AA, α2A, BDZ, ß-blocker, atau azipirone; CBT Kebanyakan uji klinis dengan pengobatan untuk PTSD sudah menguji keefektifan monoterapi dengan satu agen farmakologis atau lainnya. Memang, kecuali percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang secara sistematis mengevaluasi efektifitas relatif berbagai strategi augmentasi. Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi augmentasi bagi pasien yang merespon secara parsial adalah penegasan kembali (extrapolation) dari uji monoterapi. Sebagai contoh, jika pasien gagal merespon suatu SSRI, kami merekomendasikan augmentasi dengan satu agen yang telah terbukti sebagai agen monoterapi yang efektif. Jadi, seperangkat pilihan yang pertama yang kami rekomendasikan untuk augmentasi adalah: TCA, prazosin, antipsikotik atipikal, dll. Kurangnya respon terhadap pengobatan seperti itu mungkin mengisyaratkan augmentasi lebih lanjut dengan satu agen yang LOEnya kurang kuat: anticonvulsants, clonidine, guanfacine, propranolol. Kadang pilihan agen augmentasi tergantung pada adanya gangguan komorbid. Adanya komorbid afektif atau gangguan cemas mengisyaratkan pemanfaatan pengobatan yang efektif baik untuk PTSD maupun untuk gangguan itu (e.g. antidepressan untuk komorbid PTSD dan depresi). Respon parsial dapat ditangani dengan augmentasi, terutama untuk agresi, dengan pengobatan yang berikut: prazosin (LOE 2), divalproex sodium (LOE 3)atau risperidone (LOE 2), lamotrigine (LOE 2), trazodone (LOE 3) untuk insomnia/mimpi buruk; atau antipsikotik atipikal [risperidone (LOE 2), olanzapine, quetiapine, (LOE 3)], buspirone (LOE 3), tiagabine (LOE 4), beta-blocker (LOE 4), dan α2 adrenergik agonist (LOE 4) untuk cemas/agitasi. Benzodiazepin dapat digunakan dengan hati-hati untuk panik pada pasien tanpa penyalahgunaan zat (LOE 4). Tidak ada data tentang efek dari benzodiazepin dalam pengobatan augmentasi, walaupun ada data yang menunjukkan kurang efektifnya monoterapi dengan alprazolam dalam PTSD kronis (LOE 2) (Braun et al, 1990). Meskipun begitu, kadang benzodiazepine dapat digunakan sebagai tambahan bersama farmakoterapi yang lain (LOE 4). Bupropion kelihatannya tidak efektif (LOE 2) (Davis et al, 2003). Trazodone bisa efektif (LOE 3) (Hertzberg et al, 1996), jika semua yang lain gagal, phenelzine dapat dipertimbangkan dalam kasus-kasus tertentu (Kosten et al, 1991) (LOE 2). Penambahan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Prolonged Exposure (PE) didapati bisa meningkatkan respon pada pasien yang sebelumnya hanya menunjukkan perbaikan parsial dengan sertraline (LOE 2) (Rothbaum et al, 2003). Simpul 14: Respon - lihat Simpul 4 di atas. Simpul 15: Beralih ke TCA atau MAOI atau tambahkan pengobatan ketiga dari atas (Simpull 13) atau evaluasi ulang diagnosis; pertimbangkan PST

Page 16: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

Jika pasien gagal mencapai respon yang memadai, pilihan lain yang bisa dipertimbangkan adalah sebagai berikut, meskipun data yang mendukung rekomendasi ini tidak tersedia (LOE 4). Pertimbangkan beralih ke TCA atau MAOI atau menambahkan pengobatan ketiga dari daftar di atas (Simpul 12). Sebelum memulai pengobatan dengan MAOI, harus diperhatikan perlunya ada masa bebas obat jika pasien sedang mendapat antidepresan lain. Rangsangan magnetis transkranial berulang (rTMS) pada sisi kanan dorsolateral prefrontal cortex pada PTSD ternyata efektif. (LOE 2) (Cohen et al, 2004). Kebanyakan uji klinis dengan pengobatan untuk PTSD sudah menguji efektifitas monoterapi dengan satu agen farmakologis atau lainnya. Sesungguhnya, kecuali percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang secara sistematis mengevaluasi efektifitas relatif dari berbagai strategi augmentasi. Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi augmentasi bagi pasien yang responnya parsial adalah penegasan kembali dari percobaan monoterapi. Untuk PST lihat “K: Terapi Psikososial” di atas. Simpul 16: Pengobatan untuk respon yang tidak memadai dengan kesulitan tidur dan mimpi buruk yang membandel - Tambahkan α1AA, TCA dosis rendah, antidepresan pembuat mengantuk (sedating) lain Gangguan tidur yang ditandai oleh kesulitan tidur dan mimpi buruk adalah gejala inti PTSD. Gangguan tidur atau mimpi buruk sering kali tetap terjadi meskipun dilakukan pengobatan dengan beberapa agen SSRI, bahkan dapat diperburuk oleh pengobatan ini (Meltzer-Brody, et al 2000; Davidson et al, 2002). Dalam keadaan seperti itu, kami merekomendasikan agar lebih dulu mengevaluasi faktor gaya hidup, seperti penggunaan obat yang dijual bebas atau pengguna kafein berat, yang dapat menambah gangguan tidur. Penambahan antagonis adrenergik alpha1 prazosin dapat efektif memperbaiki mimpi buruk dan kesulitan tidur pada PTSD (LOE 2, 3) (Raskind et al, 2002; Raskind et al, 2003). Tekanan darah rendah, syncope dan tachycardia adalah efek samping potensial dengan prazosin; oleh karena itu, risiko dan kecenderungan pasien untuk tekanan darah rendah harus dipertimbangkan dan tekanan darahnya dipantau. Sebagai tambahan, mungkin diperlukan banyak waktu untuk mencapai dosis terapi (4-9 mg), dan tidak banyak yang diketahui tentang metabolisme prazosin, atau efeknya atas sistem isoenzyme P150 cytochrome. Pilihan farmakologis lain dengan bukti yang lebih sedikit, tetapi yang mungkin bermanfaat termasuk trazodone (LOE 4), dosis rendah sedatif trisiklik (LOE 4), mirtazapine (LOE 4), tiagabine (LOE 4), olanzapine (LOE 4), quetiapine (LOE 4) atau zolpidem (LOE 4) pada malam hari (Davidson, 1990; Hertzberg et al, 1996; Taylor, 2003; Stein et al, 2002; Hamner et al, 2003; Dieperink dan Drogemuller, 1999). Peran benzodiazepin di sini kurang jelas dan walaupun dapat menolong mengurangi gejala hyperarausal selama pengobatan, mereka tampaknya tidak memiliki manfaat tambahan bagi jalannya PTSD (LOE 2, 3) (Mellman et al, 2002; Gelpin et al, 1999). Meskipun ada bukti efektivitas tiagabine untuk memperbaiki tidur (LOE 3), profil efek sampingnya, termasuk risiko kejang tubuh, membuat kami tidak merekomendasikannya untuk pengobatan kesulitan tidur lini pertama bagi pasien dengan PTSD. Satu pendekatan nonfarmakologis yang memberi harapan untuk mengurangi mimpi buruk dan memperbaiki keparahan gejala PTSD secara menyeluruh adalah terapi latihan perumpamaan (imagery rehearsal therapy) (LOE 1) (Krakow et al, 2001). Simpul 17: Respon - lihat Simpul 4 di atas.

Page 17: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

Simpul 18: Beralih dalam kelompok atau beralih ke antipsikotik atipikal Jika respon tetap tidak memadai, pertimbangkan untuk beralih ke agen augmentasi lain dalam kelas yang sama atau ke antipsikotik atipikal (LOE 4). Simpul 19: Respon - lihat Simpull 4 di atas. Simpul 20: Pertimbangkan apnea tidur obstruktif, sindrom kaki bergerak-gerak, atau gangguan tidur lain dan evaluasi ulang hasil diagnosis; pertimbangkan PST Jika respon buruk berlanjut, polisomnografi dapat diusulkan untuk mengevaluasi kecurigaan terkait gangguan bernafas waktu tidur dan gangguan gerak tangan-kaki berkala (Krakow et al., 2001). Jika apnea tidur obstruktif (OSA) ditetapkan, pengobatan dengan tekanan udara positif yang berkelanjutan (CPAP) diusulkan (LOE 4). Jika pemeriksaan tidak mengungkapkan satu penyebab yang jelas, salah satu obat alternatif dapat dipilih dari daftar di atas. Untuk PST lihat “K: Psychosocial Therapy” di atas. Simpul 21: Respon yang tidak memadai dengan psikosis komorbid – Tambahkan AAP (atau generasi pertama AP jika tak tersedia) Penting untuk membedakan antara gejala psikosis yang menjadi bagian PTSD dengan yang menandakan suatu gangguan psikosis komorbid. Untuk yang pertama, obat antiadrenergik, SSRI dan antikejang sering menguntungkan (LOE 4). Kegagalan merespon mengindikasikan perlunya penambahan suatu antipsikotik atipikal. Sesungguhnya, pasien yang ketakutan, paranoia, hyper-vigilant dan psikotik akan mendapat manfaat dari antipsikotik yang atipikal. Sebaliknya, jika PTSD berkomorbid dengan gangguan psikotik, maka augmentasi dengan antipsikotik atipikal harus dipertimbangkan sejak awal. Ciri psikosis dapat ditemukan pada 40% dari pasien PTSD (Hamner et al, 1999), yang umumnya menderita gejala seperti halusinasi, waham (delusi), dan pikiran paranoia. Dalam banyak kasus orang-orang ini tidak merespon memadai terhadap SSRI. Alhasil, sebagian besar pekerjaan dalam bidang ini terpusat pada augmentasi SSRI dengan antipsikotik atipikal. Kehadiran gejala psikosis yang menjadi bagian PTSD membutuhkan penambahan neuroleptik atipikal, dengan bukti yang sejauh ini terbatas pada risperidone (LOE 2), olanzapine (LOE 3) dan quetiapine (LOE 3), yang kajiannya tampaknya sebagian besar terbatas pada veteran perang (Monnelly et al, 2003; Hamner et al, 2003; Stein et al, 2003; Hamner et al, 2003), dan sekarang satu saja kajian dengan masyarakat sipil (Reich et al, 2004). Lebih lanjut, buktinya beragam, yakni beberapa obat mungkin tidak selalu terpisah dari plasebo (e.g. Butterfield et al, 2001) atau jika terpisah, maka hanya pada dimensi yang terbatas, e.g. gejala psikosis (Hamner et al, 2003) atau pada tidur dan mood (eg. Stein et al, 2003). Respon yang tidak memadai terhadap atipikal antipsikotik pertama dapat diikuti dengan beralih ke pengobatan yang lain dalam kelas yang sama. Jika itu gagal, disarankan mengadakan evaluasi ulang diagnostik. Neuroleptik atipikal yang spesifik harus dipilih setelah mempertimbangkan risiko efek samping seperti penambahan berat badan, perparahan diabetes, sindrom metabolisme, hiperlipidemia, atau hiperprolaktinemia. Kilas balik, hypervigilance/paranoia, dan disosiasi semuanya dapat muncul bersama ciri psikotik. Untuk ini semua, antiadrenergik dan antikonvulsan diyakini bisa membantu (LOE 4).

BACAAN LANJUT PTSD masih menjadi gangguan yang menantang untuk dicarikan pengobatannya yang efektif. Sering kali PTSD memerlukan lebih dari satu pengobatan psikotropik, dan penggunaan antipsikotik atipikal terus bertambah. Mellman menemukan bahwa 17% dari populasi Medicaid PTSD di seluruh negara bagian telah

Page 18: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

mendapatkan bentuk pengobatan ini, bahkan prosentasenya lebih tinggi ketika disertai depresi. Makin banyak bukti efektifitas antipsikotik atipikal sebagai pengobatan adjunctive bagi PTSD. (LOE 3). Jadi, penting untuk mengenali perannya dalam menanggulangi gangguan ini. Meskipun generasi antipsikotik yang baru kelihatannya lebih sedikit kemungkinannya untuk menghasilkan efek samping extrapyramidal dan kardiovaskuler akut dibandingkan dengan obat generasi yang lebih tua, ada kekhawatiran tentang masalah lain, khususnya penambahan berat badan, hiperglisemia, hiperlipidemia, diabetes, dan efek jangka panjang pada jantung melalui sindrom metabolisme. Karena itu penting ada pemantauan yang seksama, dan memperhatikan petunjuk yang baru-baru ini diterbitkan tentang pemakaian obat ini (eg. Consensus Development Conference on Antipsychotic Drugs and Obesity and Diabetes. Journal of Clinical Psychiatry, 2004;65:267-272). Kebanyakan uji klinis dengan pengobatan untuk PTSD sudah menguji efektifitas monoterapi dengan satu agen farmakologis atau lainnya. Memang, terkecuali percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang secara sistematis mengevaluasi efektifitas relatif dari berbagai strategi augmentasi. Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi augmentasi bagi pasien dengan respon parsial adalah penegasan kembali (extrapolation) dari percobaan monoterapi.

Simpul 22: Respon - lihat Simpul 4 di atas. Simpul 23: Ubah antipsikotik atau tambahkan obat penstabil mood atau anticonvulsant Jika respon tetap tidak memadai, pertimbangkan beralih ke antipsikotik lain atau tambahkan obat penstabil mood atau antikejang (LOE 4). Kebanyakan uji klinis dengan pengobatan untuk PTSD sudah menguji efektifitas dari monoterapi dengan satu agen farmakologis atau lainnya. Memang, terkecuali percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang secara sistematis mengevaluasi efektivitas relatif dari berbagai strategi penambahan. Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi penambahan bagi para pasien yang merespon parsial adalah penegasan kembali dari percobaan-percobaan monoterapi. Simpul 24: Respon - lihat Simpul 4 di atas. Simpull 25: Evaluasi ulang diagnosis; pertimbangkan PST Jika respon tetap tidak memadai, lakukan evaluasi ulang terhadap diagnosis. Untuk PST lihat “K: Psycosocial Therapy ” di atas. Simpul 26: Respon yang tidak memadai dengan depresi komorbid, kecemasan atau gangguan bipolar yang stabil - Tambahkan penstabil mood, anticonvulsan, Lithium, atau AAP Depresi komorbid, kecemasan, dan gangguan bipolar biasanya ditemukan bersama-sama dengan PTSD. Perwujudan umum pada pasien bipolar dengan PTSD bisa termasuk kelabilan mood , lekas marah, dan agresif. Sebagai tambahan, dalam beberapa keadaan, antidepresan yang digunakan untuk mengobati PTSD dapat menyebabkan hypomania atau mania pada orang yang rentan akan gangguan bipolar. Jika gambaran gejala mengisyaratkan gangguan spektrum bipolar, yang juga bisa berhubungan dengan PTSD, kami merekomendasikan penambahan penstabil mood atau anticonvulsant atau neuroleptik atipikal. Dalam hal anticonvulsant dan penstabil mood, divalproex sodium/valproic acid, carbamazepin, topiramate atau lamotrigine dilaporkan efektif untuk PTSD tanpa ciri bipolar komorbid (Fesler, 1991; Petty et al, 2001; Lipper et al, 1986; Berlant dan van Kammen, 2002; Hertzberg et al, 1996), sekali lagi sebagian besar pada veteran perang. Tidak ada bukti (LOE 4) penggunaannya pada PTSD dengan gangguan bipolar komorbid. Sebagai alternatif, kami pertimbangkan pemakaian antipsikotik atipikal pada tahap ini, bahkan tanpa ada literatur yang mendukung (LOE 4),

Page 19: International Psychopharmacology Algorithm Program · PDF file• Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi

mengingat bahwa obat ini secara terpisah bermanfaat untuk gangguan bipolar dan untuk PTSD jika dihubungkan dengan psikosis atau gangguan mood. Perlu dicatat, beberapa penstabil mood dan neuroleptik atipikal mungkin memerlukan pemantauan laboratorium secara berkala, e.g. tingkat darah karbamazepin dan asam valproic dan untuk neuroleptik atipikal tertentu, profil lipid puasa dan gula darah puasa. Urutan pengobatan tergantung pada sindrom mana yang secara klinis paling menonjol. Untuk gangguan bipolar yang stabil, PTSD yang sampai sekarang belum diobati perlu ditangani. Untuk gangguan bipolar yang tidak stabil, ini perlu diobati lebih dulu. Untuk PTSD yang membandel dengan depresi berat ECT mungkin punya nilai (LOE 4). Untuk PTSD yang membandel dengan gangguan cemas lain, kami merekomendasikan augmentasi dengan pengobatan yang efektivitasnya telah terbukti atau disarankan pada gangguan yang spesifik, e.g. hydroxyzine, buspirone, trazodone atau benzodiazepina untuk Generalized Anxiety Disorder (GAD) (LOE 4); klonazepam, olanzapine atau levetiracetam untuk Social Anxiety Disorder (LOE 4); dan clomipramine atau antipsikotik atipikal untuk Obssessive Compulsive Disorder (OCD) (LOE 4). Kebanyakan uji klinis untuk PTSD sudah menguji efektifitas monoterapi dengan satu agen farmakologis atau lainnya. Memang, kecuali percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang secara sistematis mengevaluasi efektivitas relatif berbagai strategi augmentasi. Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi augmentasi bagi pasien dengan respon parsial adalah extrapolasi dari percobaan monoterapi. Simpul 27: Respon - lihat Simpul 4 di atas. Simpul 28: Beralih atau tambahkan dari dalam grup Jika respon tetap tidak memadai, pertimbangkan untuk beralih ke obat lain dalam kelompok ini atau tambahkan obat lain dalam kelompok ini (lihat Simpul 24 (LOE 4)). Kebanyakan uji klinis dengan pengobatan untuk PTSD sudah menguji keefektifan monoterapi dengan satu agen farmakologis atau lainnya. Memang, kecuali percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang secara sistematis mengevaluasi efektivitas relatif dari berbagai strategi augmentasi. Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi augmentasi bagi pasien yang memiliki respon parsial adalah penegasan kembali dari percobaan monoterapi.