intergrasi paradigma antroposentrisme dan...
TRANSCRIPT
INTERGRASI PARADIGMA ANTROPOSENTRISME DAN
TEOSENTRISME BERBASIS AL QUR’AN DENGAN
MATERI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM (KSDA)
AIR DALAM PENDIDIKAN BIOLOGI
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
dalam Ilmu Pendidikan Biologi
O l e h :
FAQIH YAHULLAH
N I M : 0 5 3 8 1 1 2 7 5
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ABSTRAKSI
Judul : Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme Berbasis Al
Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air
dalam Pendidikan Biologi.
Nama : Faqih Yahullah
NIM : 053811275
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) paradigma antroposentrisme dan
teosentrisme berbasis Al Qur’an sebagai landasan etis dalam kegiatan konservasi air; (2)
integrasi paradigma antroposentrisme dan teosentrisme berbasis Al Qur’an dengan
materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air sebagai pengembangan kajian Al
Qur’an dalam pendidikan Biologi.
Skripsi ini tergolong dalam penelitian kepustakaan (library reseach) dengan
pendekatan paradigmatik-integratif, yaitu mengintegrasikan paradigma antroposentris
dan teosentris yang bersumber dari ajaran-ajaran Al Qur’an (variabel 1) dengan materi
konservasi air dalam pendidikan Biologi (variabel 2). Dalam hal ini, rumusan integrasi
pada penelitian ini dibangun berdasarkan reintegrasi epistemologi sains dan Islam.
Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
analisis deskriptif untuk mengetahui rumusan integrasi ajaran-ajaran moral Al Qur’an
dengan pembelajaran materi konservasi air dalam pendidikan Biologi. Upaya integrasi
sains dan Islam seperti itu dalam pendidikan Biologi sangatlah diperlukan. Sebab
Biologi sebagai suatu disiplin ilmu murni tidak memiliki sumber ajaran moral yang
akan menjadi dasar bagi aplikasi teori-teori Biologi. Islam adalah satu-satunya sumber
ajaran moral yang dapat dijadikan landasan etis dalam setiap penerapan teori-teori
ilmiah dari disiplin ilmu tersebut.
Hasil penelitian membuktikan bahwa Islam melalui ajaran-ajaran Al Qur’an
dapat dipadukan dengan materi konservasi air secara integratif. Penelitian dan
pengkajian terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang air atau hujan
mendapatkan pelajaran bahwa air dan sumber-sumber alam lainnya harus dipandang
secara antroposentris dan teosentris. Paradigma teosentris merupakan cara pandang
yang berorientasi pada kepentingan ukhrawi, karena itu paradigma tersebut harus
menjadi dasar dalam pemenuhan kebutuhan duniawi yang bersifat antroposentris.
Dengan kedua paradigma itu, selain dapat mengelola dan melestarikan air demi
kebutuhan manusia, kegiatan konservasi air juga dapat meningkatkan ketakwaan pada
Allah SWT. Cara pandang kegiatan konservasi air yang demikian dapat dibangun
melalui integrasi nilai-nilai Al Qur’an dengan materi Konservasi Sumber Daya Alam
(KSDA) air dalam pendidikan Biologi secara paradigmatik.
Dengan demikian, diharapkan penelitian ini bisa memperkaya khazanah
keilmuan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan menjadi terobosan ilmiah
yang konstruktif bagi segenap praktisi pendidikan Islam dalam rangka menciptakan satu
pola pendidikan yang Islami untuk menjawab tantangan dan perkembangan zaman.
Wallahu a’lam.
NOTA PEMBIMBING
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum wr.wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
naskah skripsi dengan:
Judul : Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
Berbasis Al Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) Air dalam Pendidikan Biologi
N a m a : Faqih Yahullah
N I M : 053811275
Jurusan : Tadr
Program Studi : Biologi
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam siding munaqosyah.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Semarang, 31 Mei 2011
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
: Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
Berbasis Al Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) Air dalam Pendidikan Biologi
: Faqih Yahullah
: 053811275
: Tadris
: Biologi
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam siding munaqosyah.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Pembimbing I,
Drs. Listyono, M.Pd
, 31 Mei 2011
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi
: Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
Berbasis Al Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas
yono, M.Pd
NOTA PEMBIMBING Semarang, 31 Mei 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum wr.wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi
naskah skripsi dengan:
Judul : Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
Berbasis Al Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) Air dalam Pendidikan Biologi
N a m a : Faqih Yahullah
N I M : 053811275
Jurusan : Tadris
Program Studi : Biologi
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam sidang munaqhasyah.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Pembimbing II,
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Prof. Dr. Hamka KM 1 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
N a m a : Faqih Yahullah
N I M : 053811275
Fakultas/Jurusan : Tarbiyah / Biologi
Judul Skripsi : Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
Berbasis Al Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) Air dalam Pendidikan Biologi.
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal:
…………………
Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi
Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Tarbiyah.
Semarang, ……… 2011
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
…………………………... ……………………….
NIP. ………………………. NIP……………….
Penguji I, Penguji II,
………………………. …………………………
NIP. ……………………… NIP. …………………….
Pembimbing I, Pembimbing II
…………………… ……………………...
NIP……………….. NIP…………………
P E R S E M B A H A N
Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah swt, Tuhan sumber segala
muara esensi. Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran Skripsi ini
untuk:
1. Abah dan Umi tercinta, yang telah membesarkan dan mendidikku serta tidak putus
mendoakanku agar selalu berada di jalan yang benar.
2. Dua orang wanita yang sangat saya cintai, yang selalu memberikan motivasi agar
saya mengejar mimpi menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain.
3. Guru-guruku yang selalu saya harapkan barokahnya, untuk menjadi lentera dalam
belantara ilmu.
4. Seluruh sahabat, senior, dan kader PMII Rayon Tarbiyah Komisariat Walisongo
Semarang, segenap crew LPM Edukasi, dan kawan-kawan seperjuangan yang selalu
menjadi teman belajar dan berdiskusi.
P E R N Y A T A A N
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikin
juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 01 Mei 2011
Deklarator
Faqih Yahullah
NIM. 053811275
K A T A P E N G A N T A R
Alhamdulillah. Segenap puja dan puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah
SWT. yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah serta kekuatan lahir
batin kepada diri peneliti, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sebagaimana
mestinya. Sholata wa salama 'ala Rasulillah, wa 'ala alihi wa ashhabih.
Penelitian yang berjudul “Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan
Teosentrisme Berbasis Al Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya Alam
(KSDA) Air dalam Pendidikan Biologi” ini pada dasarnya disusun untuk memenuhi
persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dalam Ilmu Pendidikan Biologi
pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Oleh karena itu, karya ilmiah ini
merupakan kulminasi-formal akademik yang sudah barang tentu tetap disertai
akuntabilitas akademik juga dan bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akademik
(scholar duty) an sich. Akan tetapi juga sebagai media untuk memberikan wacana dan
solusi dalam dunia kependidikan.
Dalam proses penyusunan penelitian tersebut, peneliti banyak mendapatkan
bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, meskipun ucapan "terima kasih"
tidak cukup untuk membalas semua itu, akan tetapi hanya dengan demikianlah yang
penulis bisa. Peneliti ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. DR. H. Suja’i, M. Ag., Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.
2. Drs. Wahyudi, M.Pd., Ketua Jurusan Tadris.
3. Drs. Listyono, M, Pd., selaku Pembimbing I (Bidang Materi), yang telah
berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya serta dengan tekun dan
sabar memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Drs. Achmad Sudja’i, M.Ag., selaku Pembimbing II (Bidang Metodologi), yang
juga telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya serta dengan
tekun dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan
skripsi ini.
5. Saminanto, M.Pd., selaku Wali Studi selama Penulis menuntut ilmu di IAIN
Walisongo Semarang.
6. Nur Hasanah, M. Kes., selaku Kaprodi Biologi.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan
pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif-transformatif-inovatif selama
berada di lingkungan Kampus IAIN Walisongo Semarang.
8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak terlupakan
bantuannya yang turut dalam penyelesaian penelitian ini.
Peneliti hanya bisa berharap semoga segala bantuan yang tidak ternilai ini
mendapatkan balasan dari Allah SWT dengan balasan yang sepantasnya. Dan semoga
apa yang telah peneliti dapat diridhoi Allah SWT.
Akhirnya, peneliti menyadari bahwa, penulisan skripsi ini belum mencapai
kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun peneliti berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua umunya, dan bagi peneliti sendiri khususnya.
Semarang, 01 Mei 2011
Peneliti,
Faqih Yahullah
NIM. 053811275
D A F T A R I S I
Halaman Judul……………………………………………………………. i
Abstraksi…………………………………………………………………... ii
Persetujuan Pembimbing…………………………………………….........iii
Halaman Pengesahan……………………………………………………..iv
Halaman Motto…………………………………………………………… v
Halaman Persembahan………………………………………………....... v
Deklarasi ………………………………………………………………….. vi
Kata Pengantar…………………………………………………………… vii
Daftar Isi…………………………………………………………………... ix
Daftar Tabel………………………………………………………………. x
Daftar Lampiran………………………………………………………….. xi
Bab I: Pendahuluan………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………....1
B. Penegasan Istilah……………………………………………... 10
C. Rumusan Masalah…………………………………………… 15
D. Tujuan Penelitian…………………………………………...... 15
E. Kajian Pustaka…...…………………………………………... 16
F. Metodologi Penelitian ………………………………………. 17
Bab II: Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), Konservasi Air,
Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme………………23
A. Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)………………….....23
B. Konservasi Air………………………………………………..27
1. Konsep Konservasi……………………………………….28
2. Siklus Hidrologi…………………………………………...31
3. Air Permukaan dan Air Tanah serta Sifat-Sifatnya……….35
4. Sifat-Sifat Air……………………………………………...38
5. Pengelolaan Sumber Daya Air…………………………….40
6. Polusi Air dan Pengendaliannya…………………………..44
C. Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme……………...47
1. Teosentrisme Versus Antroposentrisme:
Tinjauan Teoritis-historis......................................................47
2. Antroposentrisme-teosentrisme:
Tinjauan Etis-Ekologis……………………………………50
Bab III: Keterpaduan Paradigma Antroposentrisme danTeosentrisme Berbasis Al
Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya (KSDA)
…………………………………………………………...55
A. Gambaran Umum Air dalam Al Qur’an……….……………....55
1. Air dan Munculnya Kehidupan………………… ………..55
2. Air sebagai Bukti Kekuasaan Allah……………………….61
B. Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air Berbasis
Al Qur’an: Paradigma Antroposentrisme……………………..65
C. Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air Berbasis
Al qur’an: Paradigma Teosentrisme…………………………..74
Bab IV: Analisis Keterpaduan Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
Berbasis Al Qur’an dengan materi Konservasi Sumber Daya Alam
(KSDA) Air……………………………….80
A. Analisis Integrasi Sains dengan Agama: Antara
Sekularisasi dan Islamisasi……………………………………80
B. Integrasi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)
Air Dengan Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
Berbasis Al Qur’an: Ilmu Pengetahuan Berdasarkan
Iman………………………….. ………………………………87
Bab V: Kesimpulan, Saran dan Penutup ………………………………..96
A. Kesimpulan…………………………………………………....96
B. Saran…………………………………………………………..97
C. Penutup………………………………………………………..99
Daftar Kepustakaan……………………………………………………….
Lampiran …………………………………………………………………..
DAFTAR SKEMA
Skema 1.1 Peta konsep arah penelitian……………….………………….18
Skema 1.2 Peta konsep materi penelitian………………………………...19
Skema 2.1 Skema siklus hidrologi…………………………………………32
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Distribusi air di dunia…………………………………………..34
Tabel 2.2 Siklus air dalam siklus hidrologi……………………………….3
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Penunjukan Pembimbing.
Lampiran 2: Sertifikat Pekan Studi dan Sosialisasi Kampus (PASSKA) 2005.
Lampiran 3: Piagam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 54 Tahun 2010.
Lampiran 4: Daftar Riwayat Hidup
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Penunjukan Pembimbing.
Lampiran 2: Sertifikat Pekan Studi dan Sosialisasi Kampus (PASSKA) 2005.
Lampiran 3: Piagam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 54 Tahun 2010.
Lampiran 4: Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sederet bencana alam telah melanda negeri ini dalam dekade terakhir.
Pada awal Desember 2000, di Padang Sumatera Barat terjadi bencana tanah
longsor, banjir, dan air bah yang disebut galodo yang telah menelan 111
korban jiwa. Tahun 2003, banjir bandang kembali terjadi akibat tidak
tertampungnya curah hujan di kawasan wisata alam Bohorok, Sumatera
Utara. Bencana ini menelan 250 korban jiwa dan kerugian materi yang tidak
sedikit.1 Pada akhir desember 2004, bencana tsunami yang diawali dengan
gempa tektonik berkekuatan 8,9 skala Richter di Nangroe Aceh Darussalam
dan Sumatera Utara juga menewaskan ratusan ribu nyawa manusia dan
merusak tatanan ekologi setempat.2 Bencana alam berupa Lumpur Lapindo
yang menenggelamkan belasan desa di Sidoarjo, gempa tektonik di D.I
Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan kemudian disusul tsunami di Pantai
Pangandaran Kabupaten Ciamis adalah beberapa bencana yang terjadi pada
tahun 2006.
Menurut laporan Walhi, antara tahun 2006-2008, di Indonesia
sedikitnya telah terjadi 840 peristiwa bencana alam. Sedang periode
sebelumnya, antara 1998 hingga 2003 tercatat sebanyak 647 bencana. Data
bencana dari Bakornas Penanggulangan Bencana antara tahun 2003-2005
tercatat terjadi 1.429 bencana. Artinya, antara 1998 hingga 2008 terdapat
indikasi peningkatan peristiwa bencana.3
Sedangkan di penghujung tahun 2010, rentetan bencana telah
membuat bangsa ini kembali berduka. Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) menginformasikan bahwa telah terjadi tiga bencana alam di Indonesia
1 Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), hlm. 10. 2 Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia, (Bandung: Nuansa, 2010), hlm. 187.
3Ani Purwati, “Kerusakan Bumi dan Fenomena Bencana Alam”
http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&opiniID=OP0027&ikey=3, hlm. 1.
2
pada bulan Oktober 2010, yaitu: bencana banjir di Wasior, Papua Barat
gempa bumi dan tsunami di Kepulauan Mentawai dan letusan Gunung
Merapi di Jawa Tengah.4 Semua itu tejadi dalam rentang waktu yang relatif
singkat dan bersusulan. Lantas, pernahkah kita bertanya mengapa bencana
alam tidak henti-hentinya melanda negeri ini?
Secara geografis Indonesia memang rawan bencana, terutama bencana
geologi, seperti letusan gunung api, tsunami, gempa bumi dan tanah longsor.5
Di balik kekayaan, kesuburan, dan keindahan alamnya, negeri ini ternyata
menyimpan banyak potensi bencana. Selain itu, Deputi Ilmu Kebumian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Hery Harjono mengatakan, Indonesia
berada di pertemuan tiga lempeng benua yang terus bergerak, yaitu Lempeng
Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Lempeng Indo-Australia bertumbukan
dengan Lempeng Eurasia di barat Sumatera hingga selatan Jawa dan Bali
dengan kecepatan geser 7 sentimeter per tahun. Adapun Lempeng Pasifik
yang bergerak dengan kecepatan 11 sentimeter per tahun, beertumbukan
dengan Lempeng Indo-Australia yang berkecepatan 7 sentimeter di sekitar
Papua.6 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2008
mencatat, dari tujuh jenis bencana langganan di Indonesia, sejumlah
kabupaten/kota memiliki potensi kerawanan tinggi. Dari 456 kabupaten/kota,
119 kabupaten/kota dengan kerawanan tinggi erosi, 147 kabupaten/kota
berkerawanan tinggi banjir, dan 213 kabupaten/kota berkerawanan tinggi
gempa.7
Untuk menjawab persoalan di atas tidak cukup bila melihat fenomena
ini dari perspektif letak geografis Indonesia atau sains saja, tapi juga perlu
(bahkan tidak boleh tidak) melihatnya dari sudut pandang etika. Sebab,
terjadinya berbagai fenomena alam tidak terlepas dari hubungan perilaku
4 Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), “Bencana Banjir di Warsior, Gempa Bumi
dan Tsunami di Kepulauan Mentawai dan Letusan Gunung Merepi”,
http://www.deplu.go.id/canberra/Pages/PressRelease.aspx?IDP=31&l=id, hlm. 1. 5 ISW/YUN/MZW, ” Pengurangan Risiko adalah Investasi”, Kompas, Jakarta, 5
November 2010, hlm. 45. 6 MZW ”Hidup Waspada di Negeri Bencana”, Kompas, Jakarta, 5 November 2010, hlm.
45. 7 Ibid.
3
manusia dengan alam itu sendiri. Jika dalam perspektif sains kita membahas
soal pola interaksi dan perilaku manusia dengan alam, maka dengan etika kita
lebih menyelidiki aspek-aspek etis perilaku itu.
Dalam pandangan etika dapat dikatakan bahwa bencana alam adalah
akibat dari perilaku atau kegiatan manusia yang eksploitatif dan konfrontatif
dalam memanfaatkan sumber-sumber daya alam. Salah satu bencana yang
sering terjadi di Indonesia adalah banjir. Faktanya, banjir merupakan salah
satu contoh bencana alam yang disebabkan rusaknya lingkungan akibat
penebangan hutan secara liar.8 Hal itu relevan dengan penjelasan Presiden
Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Yusuf Rizal, bahwa bencana alam yang
terjadi di Indonesia belakangan ini merupakan akibat ulah manusia sendiri
yang melakukan illegal loging. Akibatnya gempa bumi, tsunami, tanah
longsor, banjir bandang dan meletusnya Gunung Merapi tak bisa dihindari
karena lapisan ozon semakin menipis.9 Jadi, dari sudut etika, perilaku tidak
etis manusia terhadap alam semacam itu merupakan problem mendasar yang
tidak dapat dikesampingkan dalam diskusi-diskusi tentang bencana alam.
Perilaku manusia yang eksploitatif dan konfrontatif terhadap alam
berawal dari dua hal yang saling berkaitan: pertama, kodrat alamiah manusia
sebagai mahluk yang selalu mencari kepuasan jasmaniah. Menurut Thomas
Hobbes, dalam keadaan ini manusia bisa bertindak semata-mata megikuti
dorongan-dorongan jasmaniah itu, yaitu memuaskan hawa nafsunya. Ia akan
selalu berusaha menemukan cara dan jalan untuk mencapai apa pun yang
membuatnya senang.10 Sebaliknya, karena naluri itu pula ia berusaha dengan
8 Suyitno dan Sukirman, Eksplorasi Biologi SMP Kelas VII, (Yogyakarta: Yudhistira,
2005), hlm. 153. 9 Yusuf Rizal, “Presiden Lira: Bencana Alam Akibat Ulah Manusia”,
http://www.tribunnews.com/2010/11/01/presiden-lira-bencana-alam-akibat-ulah-manusia, hlm.1.
(Jumat, 06/11/2010, pukul 11.00 WIB). 10 Dalam kajian filsafat moral (etika) sifat alamiah manusia itu disebut hedonisme. Atas
pertanyaan ”apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia”, para hedonis menjawab: kesenangan
(hedone dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang
meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. K. Bertens, Etika, (Jakarta:
PT Gramedia PustakaUtama, 2007), Cet. 10, hlm, 253.
4
jalan apa pun menghindari apa yang tidak disukainya.11 Kedua, ambivalensi
kemajuan yang dicapai berkat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),12 di
samping banyak akibat positif terdapat juga dampak-dampak negatif. Dampak
positif dan negatif itu sesuai dengan dua corak IPTEK itu sendiri, yaitu
IPTEK yang berwawasan ekologis dan IPTEK yang kontra ekologis.13
Persoalannya, kemajuan IPTEK yang semakin tak terbendung justru selalu
bercorak kontra ekologis yang menyebabkan manusia semakin eksploitatif
terhadap alam.
Mula-mula perkembangan ilmiah dan teknologi itu dinilai sebagai
kemajuan belaka. Manusia hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru
yang terbuka luas, yaitu bertambahnya kemampuan manusia untuk menggali
sumber daya alam. Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1623) sudah
menyadari aspek penting ini dengan menekankan bahwa knowledge is power,
yang berarti pengetahuan adalah kuasa. Kuasa, lalu dipahami sebagai kuasa
atas alam. Filsafat Bacon tersebut pada akhirnya memunculkan pandangan
natura non nisi parendo vincitur (alam hanya dapat ditaklukkan dengan cara
mematuhinya), bahwa alam hanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran
mematuhinya dengan cara memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat-
sifat universalnya dan pengecualian-pengecualiannya.14 Jadi, kepatuhan
manusia atas alam itu hanyalah tipu muslihat untuk menguasainya. Dengan
menaklukkan alam, Bacon percaya umat manusia akan sejahtera lewat ilmu
pengetahuannya.15
11 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama,
2001), hlm. 171. 12 Dengan ”ilmu” di sini terutama dimaksudkan ilmu alam. Sedangkan dengan
”teknologi” dimengerti sebagai penerapan ilmu alam yang memungkinkan kita menguasai dan
memanfaatkan sumber-sumber alam. 13 Mujiono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), hlm. 5. 14 Bencana lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan desa di Sidoarjo adalah
contoh kongkret dari pengamalan falsafah Bacon tersebut, di mana para investor dan pemerintah
setempat sebagai decision maker bekerja sama dalam memperdaya lahan melalui eksplorasi,
ekaploitasi, dan komersialisasi dengan pengembangan proyek industri PT Lapindo Brantas. 15 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzche, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 28.
5
Berkat ilmu dan teknologi manusia merasa kian berkuasa dan
menemukan senjata paling ampuh untuk memeras alam. Kemudahan untuk
mengambil dan memanfaatkan sumber-sumber daya alam akhirnya selalu
dilakukan atas dasar mencari kepuasan dan tidak disertai penegakan etika
lingkungan secara konsisten. Perilaku illegal loging, membuang sampah ke
sungai, menangkap ikan dengan bahan peledak atau bahan kimia yang
berbahaya, dan konversi hutan mangrove menjadi lahan pemukiman dan
industri adalah beberapa contoh kegiatan yang dilakukan berdasarkan
kepuasan sesaat semata yang tentu mengancam kelestarian ekosistem. Ini
selaras dengan istilah yang sering dikutip Bung Karno, ”Les Eksploitation
l’home par l’home” atau paham Quesnay yang melahirkan individu-individu
ekspansif menguras kekayaan alam tanpa batas.16
Resultansi dari perilaku yang merusak alam tersebut adalah timbulnya
keadaan rawan bencana di berbagai daerah: di perkotaan, masyarakat
terancam polusi udara akibat asap kendaraan bermotor dan pabrik,17 krisis air
bersih akibat limbah pabrik dan sampah anorganik, dan banjir bandang akibat
gunungan sampah yang menyumbat aliran sungai; di pedesaan yang notabene
dekat dengan pegunungan, penduduk terancam letusan gunung merapi dan
longsor akibat penggundulan hutan; sedangkan di wilayah pesisir, erosi dan
gelombang tsunami siap merusak pemukiman penduduk setiap saat.
Jadi, bencana alam sebagian besar disebabkan oleh perilaku tidak etis
atau imoralitas manusia terhadap alam karena dorongan hawa nafsu.
Seharusnya manusia tidak hanya memanfaatkan potensi sumber daya alam,
tetapi juga harus memberikan komitmen dan integritasnya terhadap
keberadaan alam sebagai sumber kehidupan.18 Dalam hal ini, Al Qur’an
sudah menjelaskan kepada kita:
16 M. Sya’roni Rofii, ”Menimbang Suara Putra Kemiskinan”, dalam pengantarnya atas
buku Oswaldo de Rivero, Mitos Perkembangan Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.
vi. 17 Terkait polusi udara di perkotaan, Direktur Eksekutif for Esential Services Reform
Fabby Tumiwa mengingatkan, jumlah emisi karbon seluruh kendaraan di Indonesia pada 2005
mencapai 60 juta ton ekuivalen. Jika tidak segera dikendalikan, jumlah itu akan melonjak menjadi
230 juta ton Co2 ekuivalen pada 2020. 18 Sofyan Anwar Mufid, op.cit., hlm. 186.
6
t� yγsß ßŠ$|¡x� ø9 $# ’ Îû Îh� y9 ø9 $# Ì� óst7 ø9 $#uρ $yϑ Î/ ôM t6|¡x. “ ω÷ƒr& Ĩ$̈Ζ9 $# Ν ßγs)ƒÉ‹ ã‹Ï9 uÙ÷èt/ “ Ï% ©!$#
(#θè= ÏΗ xå öΝßγ‾= yès9 tβθãèÅ_ö� tƒ ∩⊆⊇∪
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar).” (QS. ar-Ruum [30]: 41)19
Pada dasarnya, penguasaan terhadap alam bertujuan mengambil
manfaat dari sumber-sumber daya alam untuk kelangsungan hidup manusia
sendiri. Sebab, sebagaimana dalam kajian ekologi manusia, di sana di
jelaskan mengenai hubungan manusia dengan alam yang salah satu
bentuknya adalah antroposentris, di mana manusia menjadi pusat dari alam.20
Dengan kata lain, alam beserta isinya diciptakan Allah SWT untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Adanya tumbuhan, hewan, lingkungan hidup atau
ekosistem dan segala sumber daya alam disediakan bagi keperluan mausia.
Sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an:
uθèδ “ Ï% ©!$# šYn= y{ Ν ä3s9 $̈Β ’ Îû ÇÚö‘ F{ $# $YèŠ Ïϑ y_ §ΝèO #“ uθtG ó™$# ’ n< Î) Ï!$yϑ ¡¡9 $# £ßγ1§θ|¡sù
yìö7 y™ ;N≡uθ≈ yϑ y™ 4 uθèδ uρ Èe≅ ä3Î/ > ó x« ×ΛÎ= tæ ∩⊄∪
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 29)21
Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia memiliki hak atas apa pun yang
ada di alam ini. Meski demikian, perlu disadari bahwa ajaran antroposentris
Al Qur’an di sini tidak menempatkan manusia sebagai penguasa yang
memiliki hak tidak terbatas terhadap alam. Walaupu kita diberi kelebihan
oleh Allah atas segala sesuatu di alam ini, tapi itu tidak menjadikan kia
19 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Al Qur'an dan Terjemahnya,
(Medinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fadh, 1971),
hlm. 647. 20 Nanat Fatah Nasir, ”Kata Sambutan”, atas Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi
Manusia, (Bandung: Nuansa, 2010), hlm. 7. 21 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 13.
7
sebagai penguasa alam karena alam dan isinya tetap milik Allah.22 Manusia
diberi hak atas alam hanya sebagai pengelola, pemelihara, dan pemakmur.
Secara tegas Allah SWT menegaskan dalam Al Qur’an:
āχ Î) ’Îû È,ù= yz ÏN≡uθ≈ yϑ ¡¡9 $# ÇÚö‘ F{ $# uρ É#≈n= ÏF÷z $# uρ È≅ øŠ ©9 $# Í‘$pκ ¨]9 $#uρ ;M≈ tƒUψ ’Í< 'ρT[{ É=≈t6ø9 F{ $# ∩⊇⊃∪ tÏ% ©!$#
tβρã� ä. õ‹ tƒ ©! $# $Vϑ≈ uŠ Ï% # YŠθãèè% uρ 4’ n?tã uρ öΝ ÎγÎ/θãΖ ã_ tβρã� ¤6 x� tG tƒuρ ’ Îû È,ù= yz ÏN≡uθ≈ uΚ ¡¡9 $# ÇÚö‘ F{ $# uρ $uΖ −/ u‘
$tΒ |M ø) n= yz # x‹≈yδ WξÏÜ≈ t/ y7 oΨ≈ ysö6ß™ $oΨ É) sù z>#x‹ tã Í‘$̈Ζ9$# ∩⊇⊇∪
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali-Imron [3]: 190-
191)23
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah aspek teosentris dari
alam semesta, bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan bumi merupakan
bukti kebesaran Sang pencipta yang akan selalu membimbing kita (ulul
albab) untuk selalu menyadari keesaan-Nya sebagai pemilik segala-galanya.
Maka, hendaknya kaum ulul albab mencurahkan segenap potensi mereka
untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi beserta isinya dengan seluruh
keteraturan dan ketelitian penciptaannya, sehingga Allah SWT akan
menunjukkan kepada mereka suatu kesimpulan bahwa penciptaan keduanya
adalah untuk suatu hikmah, bukan untuk kesia-siaan.24
Dengan memikirkan penciptaan alam semesta, secara implisit akan
didapatkan kenyataan bahwa di dalam Al Qur’an terkandung isyarat-isyarat
ilmiah, bahkan fakta-fakta ilmiah yang bersifat i’jaz.25 Kemukjizatan Al
Qur’an ini tentu mengungguli kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan
modern. Di antara fakta yang direkam Al Qur’an yang mendahului ilmu
22 Nanat Fatah Nasir, op.cit., hlm. 8.
23 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 109-110.
24 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998), Cet. I, hlm. 43. 25 Ibid., hlm. 319.
8
pengetahuan modern adalah air. Zat ini merupakan asal kehidupan dan semua
mahluk hidup diciptakan darinya.26 Allah SWT berfirman:
óΟ s9 uρr& t� tƒ tÏ% ©!$# (#ÿρã� x� x. ¨βr& ÏN≡uθ≈ yϑ ¡¡9 $# uÚö‘ F{ $# uρ $tFtΡ% Ÿ2 $Z) ø? u‘ $yϑ ßγ≈ oΨ ø) tFx� sù ( $oΨ ù= yèy_uρ zÏΒ Ï!$yϑ ø9 $#
¨≅ ä. > ó x« @c yr ( Ÿξsùr& tβθãΖ ÏΒ ÷σ ム∩⊂⊃∪
”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30)27
Ironisnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai rahim yang
akan melahirkan kaum ulul albab belum mengedepankan proses pendidikan
yang bersumber dari Al Qur’an. Pembelajaran materi Konservasi Sumber
Daya Alam (KSDA) air dalam pendidikan tinggi Islam adalah contoh riilnya,
di mana paradigma antroposentrisme sekuler yang menempatkan
intelektualitas manusia sebagai puncak ukuran kebenaran dijadikan dasar
materi pembelajaran. Akhirnya, paradigma para sarjana pendidikan Islam
kian terpengaruh dengan paham produk Barat itu.
Secara historis, masuknya paham-paham sekuler Barat ke dalam
paradigma pendidikan Islam merupakan bagian dari cultural decline
(kemunduran peradaban) yang terjadi sejak abad 11 M. Kemunduran
peradaban ini mengemuka ketika fenomena dikotomi Islamic knowledge dan
non-Islamic konowledge mulai menghinggapi pemikiran umat Islam.
Misalnya Madrasah Nizam al-Mulk yang hanya mengkhususkan diri dalam
pengembangan ilmu-ilmu agama pada paruh kedua abad 11, bisa dilihat
sebagai kemajuan di bidang pendidikan agama, tapi di lain pihak juga sebagai
kemunduran Islamic civilization karena non-Islamic knowledge sudah tidak
menjadi perhatian lagi dalam dunia pendidikan Islam.28
26 Ibid., hlm. 320.
27 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 499.
28 Abdurrahman Mas’ud, “Membuka lembaran Baru Dialog Islam Barat: Telaah
Teologis-Historis ”, dalam Muntholi’ah, Abdul Rohman, dan M. Rikza Chamami (eds.), Guru
9
Demikian juga kondisi dan posisi ulama. Sebelum abad 12 M definisi
ulama adalah mahluk transdisipliner yang mempercantik diri dengan berbagai
disiplin ilmu, bisa dilihat dari sosok Hasan Basri di abad delapan sampai ke
al-Ghazali di abad 11 M. Setelah abad dua belas, makna ulama mengalami
penyempitan menjadi sosok yang memperkaya diri hanya dengan ilmu-ilmu
agama khususnya ilmu fiqh. Pada periode ini dan seterusnya fiqh menjadi
mahkota ilmu, juga induk ilmu, mengasingkan jauh-jauh ilmu yang lain.29
Bagi pendidikan Islam, di sinilah pentingnya paradigma pendidikan
biologi dalam segala seginya harus kembali kepada dimensi Qur’ani:
pertama, sebagai upaya revitalisasi pendidikan moral bagi para calon
intelektual dan sarjana muslim, sehingga output pendidikan Islam tidak hanya
memiliki intelektualitas, tapi juga moralitas dalam menjalin hanlun minallah
dan hablun minal alam. Kedua, sebagai usaha melahirkan serta membangun
kembali (renaissance) peradaban muslim melalui pengembangan sains
dengan berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam. Adalah seorang sarjana
Yahudi Albert Enstein yang turut menekankan signifikansi integrasi nilai-
nilai ajaran agama dengan sains, sebagaimana pandangannya “science without
religion is lame, religion without science is blind” (ilmu tanpa agama
lumpuh, agama tanpa ilmu buta).30
Meskipun dalam penyampaian meteri Konservasi Sumber Daya Alam
(KSDA) dalam pendidikan Islam sering kali dikutip ayat-ayat Al Qur’an,
namun itu cenderung menjadi proyek Islamisasi sains belaka, bukan integrasi
ajaran-ajaran Al Qur’an dengan ilmu pengetahuan sebagai upaya membangun
kesadaran etis peserta didik ketika mempelajari materi KSDA. Akhirnya, Al
Qur’an sebagai kebenaran absolut direduksi menjadi kitab ilmiah atau kitab
pembenar atas teori-teori sains yang kebenarannya terbatas dan nisbi,
paradigma generasi intelektual Islam dalam melihat kosmologi dan
Besar Berbicara: Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam, (Semarang: RaSAIL Media
Group, 2010), hlm. 91. 29 Ibid.
30 Abdullah Afif, Islam dalam Kajian Sains: Sebuah Bunga Rampai, (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1994), hlm. 39.
10
pemanfaatan sumber-sumber daya alam pun semakin jauh dari nilai-nilai
Islami.
Air merupakan kebutuhan yang paling esensial bagi manusia dan
mahluk hidup lainnya, maka manusia sebagai mahluk berakal harus
menggunakan sekaligus memanfaatkannya secara arif dan bijaksana. Hal
tersebut juga menjadi konsekuensi logis bagi para ilmuan Islam dalam
mengembangkan setiap riset ilmiahnya, bahwa kebijaksanaan dalam
memanfaatkan segala sumber daya alam (termasuk air) adalah sebuah
tanggung jawab intelektual serta ungkapan syukur atas pemberian Allah
SWT.
Dengan demikian, tentu pemanfaatan sumber daya alam air dan
pengelolaannya demi kelangsungan hidup manusia harus disertai kesadaran
etis atau moralitas manusia pula. Al Qur’an adalah sumber utama ajaran
moral Islam. Oleh karena itu, penulis mengajukan judul ”Integrasi
Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme Berbasis Al Qur’an
dengan Materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air dalam
Pendidikan Biologi” untuk melakukan kajian terhadap integrasi ajaran-
ajaran Al Qur’an tentang sumber daya alam dengan materi Konservasi
Sumber Daya Alam (KSDA) air dalam pendidikan biologi.
B. Penegasan Istilah
Dalam rangka menghindari kesalahan dalam mengartikan dan
memahami pokok kajian penelitian ini, maka perlu dijelaskan batas-batas
pengertian dan maksud dari penelitian ini. Sebagaimana disebutkan di atas
bahwa judul penelitian ini adalah “Integrasi Paradigma Antroposentrisme dan
Teosentrisme Berbasis Al Qur’an dengan Materi Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) Air dalam Pendidikan Biologi”.
Adapun hal-hal yang perlu dipertegas antara lain:
1. Integrasi
11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”integrasi” berarti
pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh hingga bulat.31 Pembauran
di sini merupakan proses sublimasi ajaran-ajaran Al Qur’an tentang
tentang pemanfaatan dan pelestarian sumber-sumber daya alam ke dalam
materi Konsrvasi Sumber Daya Alam (KSDA). Dengan kata lain,
pembelajaran serta pengembangan materi Konservasi Sumber Daya Alam
(KSDA) dalam pendidikan Islam tidak hanya berangkat dari pandangan
yang antroposentris, tapi juga dari pandangan yang berorientasi teosentris.
Jadi, "integrasi" di sini mengandung pengertian bahwa relasi
agama dan ilmu pengetahuan dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata
uang yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Ilmu pengetahuan tidak
dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari
ajaran-ajaran, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan
kepada manusia melalui wahyu Ilahi. Sains di dalam Islam sangat
memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena ilmu
pengetahuan merupakan jalan untuk memahami kasatuan realitas kosmos
yang telah diberitakan agama.32
2. Paradigma
Istilah “paradigma” (Inggris: paradigm) berasal dari bahasa
Yunani para deigma, di mana para berarti di samping atau di sebelah dan
dekynai yang berarti memperlihatkan: model, contoh, arketipe, dan ideal.33
Dari istilah tersebut penulis mengambil pengertian “cara memandang
sesuatu” atau “dasar untuk menyeleksi dan memecahkan problem-problem
riset”. Dengan demikian, kajian ini akan menawarkan suatu paradigma
religius dalam melihat sumber-sumber daya alam.
31 Hasan Alwi, et.al, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Cet. 3, hlm. 437. 32 M. Lutfi Mustofa, “Pendidikan Islam dan Tantangan Kontemporer:
Mempertimbangkan Konsep Integrasi Ilmu dan Agama”, dalam M. Zainuddin, Roibin, dan
Muhammad In’am Esha (eds.), Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa
Depan, (Malang: UIN Malang, 2004), hlm. 24. 33 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Puataka Utama, 2005), hlm.
779.
12
Istilah paradigma semakin penting karena karya ilmuwan Amerika
Thomas Kuhn. Menurut Kuhn, dalam (The Structure of Scientific
Revolutions, 1962), seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma
tertentu. Paradigma itu memungkinkan ilmuwan tersebut untuk
memecahkan kesulitan yang muncul dalam rangka ilmunya.34
3. Antroposentrisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”antroposentrisme” berarti
ajaran yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah manusia.35
Secara etimologi istilah tersebut adalah paham dari kata antroposentrik
(Inggris: anthroposentric) yang bersal dari bahasa Yunani anthropikos,
dari antrhropos (manusia) dan kentron (pusat).36 Jadi antroposentrisme
ialah pandangan mana pun yang mempertahankan bahwa manusia
merupakan pusat dan tujuan akhir dari alam semesta.
Dengan mengacu pada istilah di atas dapat dikatakan bahwa
seluruh sumber daya alam diciptakan untuk manusia. Oleh karena itu,
manusia mengenal istilah Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA),
meskipun sering kali cenderung eksploitatif.
4. Teosentrisme
Arti istilah teosentrisme tidak diterangkan dalam Kamus Besar
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan kamus-kamus filsafat yang lain.
Karena itu penulis berupaya menemukan keterangan dengan
menganalogikannya kepada istilah sebelumnya, yaitu antroposentrisme,
yang sering dilawankan dengan istilah tersebut.
Merunut pada antroposentrisme, secara logika bahasa, teosentrisme
dapat dijelaskan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa pusat alam
semesta adalah Tuhan. Secara etimologi istilah tersebut adalah paham dari
kata teosentrik (Inggris: theosentric) yang berasal dari bahasa Yunani
theos (Tuhan) dan kentron (pusat). Jadi dalam pandangan teosentrisme
Tuhan merupakan tujuan akhir dari alam semesta.
34 Ibid.
35 Hasan Alwi, et.al, op.cit., hlm. 58.
36 Lorens Bagus, op.cit., hlm. 60.
13
Untuk menguatkan analogi itu, dapat melihat penggunaanya dalam
wacana-wacana yang berkaitan. Dalam salah satu buku rujukan skripsi ini
dijelaskan bahwa bahasan Ekologi Manusia perlu disandingkan dengan
nilai-nilai spiritual dalam agama (baik yang bersumber dari Al Qur’an
maupun Hadits) atau berorientasi teosentris dan tidak hanya bersifat
antroposentris.37 Dalam buku lain juga dijelaskan, pandangan dunia tauhid
berarti bahwa alam semesta ini unipolar dan uniaxial, di mana hakikat
alam semesta ini berasal dari Allah (Inna Lillah) dan akan kembali
kepada-Nya (Inna ilaihi raji’un).38 Dengan kata lain, Tuhan adalah pusat
alam semesta.
Untuk lebih memahami paradigma antroposentrisme dan
teosentrisme berbasis Al Qur’an yang dimaksud dalam penelitian ini,
terlebih dahulu perlu melakukan kategorisasi secara filosofis terhadap
kedua paradigma tersebut. Adapun kategorisasi tersebut sebagaimana
dalam tabel berikut:
Tabel 1.1 Kategorisasi Filosofis Paradigma Penelitian
Paradigma
Kategori
Antroposentrisme
Teosentrisme
Ontologi
- Manusia sebagai pusat
alam semesta.
- Segala sumber daya alam
diciptakan untuk manusia.
- Tuhan sebagai pusat alam
semesta.
- Alam semesta serta isinya
akan kembali pada-Nya.
Epistemologi
- Kebenaran bersumber dari
rasionalisme, empirisme,
idealisme, materialisme,
dan lain-lain.
- Kebenaran bersumber dari
dogma-dogma agama atau
wahyu ketuhanan.
Aksiologi - Pengkultusan terhadap
doktrin-doktrin
humanisme.
- Totalitas penghambaan
merupakan bukti keimanan.
Relevansi dengan
Al Qur’an
- Manusia adalah mahluk
Allah yang paling
sempurna.
- Sumber-sumber daya alam
merupakan jaminan dari
Allah atas kebutuhan
manusia.
- Allah menciptakan manusia
untuk menjadi hamba dan
khalifah-Nya.
- Sumber-sumber daya alam
merupakan bukti dan tanda
kekuasaan Allah.
37 Nanat Fatah Nasir, loc.cit.
38 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta:
LKiS, 2007), hlm. 22.
14
5. Materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air
"Materi" merupakan sesuatu yang menjadi bahan untuk diujikan,
dipikirkan, dibicarakan, dikarangkan dan sebagainya.39 Sedangkan
"konservasi sumber daya alam" atau KSDA berarti pengelolaan sumber-
sumber daya alam dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin
kesinambungan persediaan dengan tetap memalihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keragamannya.40
Jadi materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) merupakan
suatu pokok bahasan yang mengajarkan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan pemanfaatan sekaligus pengelolan sumber-sumber daya alam serta
dampak-dampaknya. Dengan merujuk pada pengertian materi KSDA
tersebut, materi KSDA air berarti suatu pokok bahasan yang mengajarkan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan sekaligus pengelolan
air serta dampak-dampaknya.
6. Pendidikan Biologi
Pendidikan dapat diartikan sebagai proses perubahan sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan
manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan.41 Sejalan dengan itu,
George F. Kneller mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: “Education
is the process of self realization in which the self realizes and develops all
its potentialities” (Pendidikan adalah proses realisasi diri di mana ia
merealisasikan dan mengembangkan semua potensi dirinya).42 Begitu juga
dengan John Dewey, mengartikan pendidikan sebagai suatu proses
pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik secara intelektual
maupun emosional kea rah alam dan sesame manusia.43 Dari beberapa
pengertian tersebut, pendidikan merupakan suatu proses pembentukan
39 Hasan Alwi, et.al, Op. Cit., hlm. 723.
40 Ibid., hlm. 589.
41 Arif Rohman, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: LaksBang
Mediatama, 2009), hlm. 5-6. 42 George F. Kneller, Logic and Language of Education, (New York: John Willey and
Son, Inc., 1966), hlm. 14-15. 43 Arif Rohman, op.cit., hlm. 6.
15
kepribadian dan pendewasaan intelektual maupun emosional untuk
mengembangkan dan merealisasikan potensi diri.
Biologi (ilmu hayat) adalah istilah yang diciptakan oleh Lamarck
pada 1802. Biologi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan sifat-sifat dan interaksi sistem kimia-fisik yang rumit
sehingga istilah ”hidup” (atau ”mati”) dapat diterapkan.44 Dengan kata
lain, biologi merupakan studi tentang kehidupan sebagai suatu bentuk
khusus dari gerakan materi, hukum-hukum perkembangan dari alam yang
hidup.45 Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan (sains), metodologi-
metodologi disiplin ilmu tersebut secara otomatis merujuk pada norma-
norma sains. Sedangkan sains adalah sistem terorganisasi untuk
mempelajari sistematik aspek-aspek tertentu dari alam. Ruang lingkup
sains terbatas pada hal-hal yang dapat dipahami secara inderawi.46 Dengan
demikian, sistem studi dalam biologi tidak dapat dipisahkan dari logika
saintifik.
Ahli-ahli biologi menerapkan metode sains agar dapat memahami
organisme hidup. Dalam konteks biologi, adalah berguna untuk
menganggap kehidupan sebagai hal kompleks yang dapat dianalisis
dengan pendekatan kimiawi dan pendekatan fisik.47 Jadi, pendidikan
biologi merupakan suatu proses pendewasaan kepribadian secara
intelektual maupun emosional melalui pembelajaran biologi untuk
memahami kompleksitas kehidupan.
C. Rumusan Masalah
Dengan melihat uraian diatas, maka penulis ingin merumuskan
beberapa masalah yang berkaitan dengan judul penelitian yang sedang penulis
angkat. Adapun masalah-masalah yang timbul adalah sebagai berikut:
44 M. Abercrombie, et. al., Kamus Lengkap Biologi, (Jakarta: Erlangga, 1993), hlm. 69.
45 Lorens Bagus, op.cit., hlm. 124.
46 George H. Fried, George J. Hademenos, Schaum’s Outlines Teori dan Soal-soal
Biologi, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 1. 47 Ibid., hlm. 2.
16
1. Bagaimanakah paradigma antroposentrisme dan teosentrisme berbasis Al
Qur’an?
2. Bagaimanakah hubungan integratif kedua paradigma di atas dengan materi
Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air?
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian skripsi
a. Untuk mengetahui paradigma antroposentrisme dan teosentrisme
berbasis Al Qur’an.
b. Untuk mengetahui integrasi paradigma antroposentrisme dan
teosentrisme berbasis Al Qur’an dengan materi Konservasi Sumber
Daya (KSDA) air dalam pendidikan biologi.
2. Manfaat penelitian skripsi
Penelitian ini akan menghasilkan beberapa manfaat antara lain:
pertama, memberikan kontribusi pemikiran dalam khazanah intelektual
pendidikan Islam, khususnya wacana keterpaduan sains dan Al Qur’an
melalui pembelajaran Biologi. Kedua, reformulasi dalam praktik
mengintegrasikan sains dan Al Qur’an melalui pembelajaran Biologi di
tengah maraknya proyek Islamisasi ilmu pengetahuan. Ketiga, turut
membangun moralitas perserta didik terhadap lingkungan dengan
menggali ajaran-ajaran moral Al Qur’an dalam ayat-ayat yang
menjelaskan tentang sumber-sumber daya alam. Keempat, semakin
meningkatnya ketaqwaan kepada Allah SWT dengan mengkaji kandungan
Al Qur’an.
E. Kajian Pustaka
Dalam pembahasan penelitian ini, kajian pustaka dilakukan terhadap
skripsi atau karya ilmiah lainnya yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti baik dari segi metode maupun objek penelitian. Pertama, skripsi
berjudul ”Konsep Pendidikan Lingkungan Relevansinya dengan Pendidikan
Islam” yang disusun oleh Muslikhah (3100222). Dalam skripsi tersebut
17
dijelaskan bahwa pendidikan lingkungan merupakan proses bimbingan atau
pimpinan yang ditujukan untuk membantu mengembangkan pemahaman
kesadaran dan tanggung jawab peserta didik untuk melestarikan lingkungan
alamnya.
Kedua, skripsi berjudul ”Bimbingan Islam dalam Upaya Melestarikan
Lingkungan Hidup dari Bahaya Pencemaran Menurut Perspektif Dakwah”
yang disusun oleh Nadirin. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa semua
kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari keserakahan manusia
dalam mengeksploitasi sumber-sumber alam. Kenyetaan ini sangatlah sesuai
dengan penegasan Al Qur’an bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah
akibat dari perbuatan tangan manusia.
Ketiga, skripsi yang berjudul “Probematika Aplikasi Pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Pembelajaran Bidang Studi
PAI di SMPN1 Banjarnegara”, disusun oleh Khajjah Ummu Rosyidah
(3102182). Di mana Contextual Teaching and Learning atau pendidikan
kontekstual merupakan konsep belajar yang mana menghadirkan dunia nyata
ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dewasa ini,
pembelajaran dengan metode CTL ini seharusnya lebih diarahkan pada materi
Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) dalam pendidikan Biologi, sehingga
peserta didik akan terbiasa dan terbangun kesadarannya untuk melestarikan
lingkungan sebagai solusi atas persoalan lingkungan akhir-akhir ini.
Ketiga karya di atas sangat relevan dengan penjelasan dalam ”Buku
Materi Pokok Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup” karya
Jenny RE Kaligis. Di dalamnya dijelaskan bahwa pokok-pokok permasalahan
lingkungan hidup terutama dalam bidang ekologi, energi, populasi, gizi, dan
sumber daya alam. Kesemuanya ini mendorong manusia melakukan
retrospeksi mengenai hubungan manusia dengan lingkungannya. Hasil
retrospeksi ini ialah tumbuhnya keyakinan bahwa perlu terjadi perubahan
pandangan manusia terhadap lingkungan hidupnya. Ini berarti bahwa
18
pendidikan manusia diarahkan pada peruabahan pandangan agar peserta didik
mempunyai pandangan yang berwawasan lingkungan.48
Dengan mencermati uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
penelitian terdahulu lebih menekankan pada relevansi antara pendidikan
Islam dan pendidikan lingkungan hidup. Sedangkan penelitian ini akan lebih
mengkaji bagaimana paradigma antroposentrisme dan teosentrisme berbasis
Al Qur’an dan integrasinya dengan pendidikan Biologi pada materi
Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) sub pokok bahasan konservasi air
dalam pendidikan yang berbasis Islam. Jadi, penelitian ini lebih menekankan
pada upaya integrasi pendidikan biologi, sebagai bagian dari pendidikan
lingkungan, dengan nilai-nilai Al Qur’an.
F. Metodologi Penelitian
1. Fokus dan Ruang Lingkup
Penentuan fokus penelitian (initial focus inquiry) dengan memilih
fokus atau pokok permasalahan untuk diselidiki dan bagaimana
memfokuskannya, masalah mula-mula sangat umum kemudian menjadi
spesifik.49 Sedangkan membuat ruang lingkup penelitian akan membatasi,
sehingga masalah yang harus diamati tidak terlalu luas.50 Kedua hal
tersebut perlu dilakukan agar penelitian tidak terjerumus ke dalam
kompleksitas data yang akan diteliti.
Fokus penelitian ini adalah integrasi paradigma antroposentrisme
dan teosentrisme berbasis Al Qur’an dengan materi KSDA sub pokok
bahasan konservasi air. Sedangkan ruang lingkup dalam penelitian ini
adalah pembelajaran Biologi dalam pendidikan Islam.
Berikut adalah peta konsep yang merupakan gambaran skematis
terkait fokus dan ruang lingkup sekaligus arah penelitian ini:
48 Jenny RE Kaligis, Buku Materi Pokok Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan
Hidup, (Jakarta: Karunika Jakarta Universitas Terbuka, 1986), hlm. 9. 49 Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang :
Kalimasada press, 1994), hlm. 37. 50 Kholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara,
2001), hlm. 139.
19
Interaksi Antrposentris
Teosentris
Gbr. 1.1 Peta konsep arah penelitian.51
51 Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Pengembangan Sains dan Teknologi Berwawasan
Lingkungan Perspektif Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2008), hlm. 87.
ALLAH
Islam
(Qur’aniya)
Hukum Alam
(Kauniyah)
Air (SDA) Manusia
Konservasi
Air
Pendidikan Biologi (Integrasi paradigmatik
dengan Materi KSDA)
Etika lingkungan
berlandaskan
IMAN
20
Antroposentris Teosentris
Integrasi
Gbr. 1.2 Peta konsep materi penelitian.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini megakui adanya kebenaran
empirik-etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan
serta berargumentasi. Akal budi di sini mengandung makna bahwa kita
perlu menggunakan kriteria yang lebih tinggi dari sekedar truth or false.
Yaitu nilai-nilai moral. Bila diinventarisasikan beberapa nilai moral adalah
nilai moral agama, nilai moral ilmu (truth or false), nilai moral individual,
nilai moral phisik, nilai moral politik, nilai moral budaya, nilai moral
pendidikan, nilai moral HAM, dan nilai moral ekonomi. Secara hirarkis,
nilai moral agama memiliki tata hirarkik tertinggi, sedangkan yang lainnya
Sumber Daya
Alam Air
Konservasi Air
berbais Sains & Al
Qur’an
Ayat-ayat Al Qur’an
yang relevan
Pemakai
an Air
Ayat-ayat Al Qur’an
yang relevan Pengelolaan
Air
Usaha –usaha
Konservasi Air
secara Holistik
Usaha Konservasi
Air
21
memiliki hubungan vertikan dengan nilai moral agama, dan memiliki
hubungan horizontal antara nilai moral satu dengan lainnya.52
Asumsi dasar dari pendekatan phenomenologik adalah bahwa
manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari pandangan
moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis,
maupun dalam membuat kesimpulan. Tidak dapat lepas bukan bebrarti
keterpaksaan, melainkan momot etik.53
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan metode riset pustaka (library research) atau dengan
melakukan studi kepustakaan. Hal yang sama dijelaskan bahwa library
research adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data
serta informasi dengan bantuan buku-buku, pereodikal, naskah-naskah,
catatan-catatan, kisah sejarah tertulis, dokumen, dan materi pustaka
lainnya yang terdapat dalam koleksi perpustakaan.54 Selain itu yang
dimaksud dengan studi kepustakaan adalah penelaahan yang dilakukan
terhadap buku-buku yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang
dibahas dengan cara diskriptif-analitik melalui kajian filosofis dengan
pendekatan kualitatif rasionalistik.
Pendekatan kualitatif rasionalistik yang dimaksud adalah
penggunaan metodologi penelitian kualitatif rasionalistik yang didasarkan
pada filsafat rasionalisme yang mengemukakan bahwa ilmu bukan hanya
diperoleh dari empirik-sensual melainkan juga diperoleh dari pemahaman
intelektual atas kemampuan argumentasi secara logika yang menekankan
pada pemahaman empirik. Yang itu mempunyai sifat tradisionalis dengan
pandangan terhadap realita berdiri dari empirik sensual, empirik logik-
teoritik, dan empirik-etik. Sehingga kontraksi teori terbangun dari
52 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000), hlm. 116. 53 Ibid, hlm. 116-117.
54 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 145.
22
konseptualisasi teoritik sesuai dengan hasil pemaknaan atas empirik,
sensual, logik maupun etik.55
Metode penelitian kualitatif rasionalistik tersebut berangkat dari
pendekatan holistik56 yang berupa sesuatu grand concept (konsep dasar)
diteliti pada obyek spesifik dan di duduki kembali hasil penelitiannya pada
grand conceptnya.57
4. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah
subyek di mana data diperoleh. Dalam penelitian ini sumber data dibagi
menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi
yang dicari.58 Sumber data primer ini diperoleh dari membaca dan
menganalisis secara langsung buku-buku pokok yang berkaitan dengan
penelitian yang dilaksanakan. Adapun sumber data primer penelitian
ini adalah buku berjudul “Islam dan Ekologi Manusia” karya Sofyan
Anwar Mufid dan buku berjudul “Pelestarian Sumber Daya Tanah
dan Air” karya Suripin.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber
pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data
kepustakaan yang berkorelasi erat dengan pembahasan obyek
55 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Pendekatan Positivistik,
Rasionalistik, Pheomenologik, dan Realisme Methapisik, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hlm.
56-58. 56 Menjelaskan fenomena dalam kaitan dengan fungsi (maksud, kegiatan) dari suatu
keseluruhan (bentuk, totalitas, kesatuan) yang menjadi prinsip penuntun bagian-bagiannya. Lorens
Bagus, op.cit., hlm. 293. 57 Ibid, hlm. 75-76.
58 Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 91.
23
penelitian.59 Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari sumber-
sumber buku, majalah, artikel, serta data-data lain yang dipandang
relevan bagi penelitian ini. Beberapa sumber data sekunder bagi
penelitian ini adalah buku antologi berjudul “Memadu Sains dan
Agama” yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Malang dan
buku berjudul “Al Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan” karya Yusuf Qardhawi, serta sumber-sumber lain yang
relevan.
5. Metode Analisis Data
Dalam menganilisis data, penulis berusaha menggunakan metode
analisis deskripstif yaitu pemaparan gambaran mengenai situasi yang
diteliti dalam bentuk uraian naratif.60 Adapun langkah-langkah analisis
deskriptif adalah sebagaimana yang ditawarkan oleh Lexy J. Moleong
yaitu dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber,
setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah kemudian mengadakan reduksi yang
dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi di sini merupakan
usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan
yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya, kemudian
menyusunnya dalam satuan-satuan untuk dikategorisasikan. Dalam
metode ini, interpretasi terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan
menggunakan analisis non statistik, yaitu analisis deskriptif kualitatif
(mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, atau keadaan yang terjadi).61
59 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1989), hlm. 114. 60 Nana Sudjana dan Ibrahim, Penelitian Dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: Sinar
Baru, 1989), hlm. 198. 61 Lexy J. Moloeng, op.cit., hlm. 247.
24
BAB II
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM (KSDA),
KONSERVASI AIR, PARADIGMA ANTROPOSENTRISME
DAN TEOSENTRISME
A. Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)
Ditinjau dari bahasa, Konservasi berasal dari kata Conservation yang
terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki
pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what
you have), namun secara bijaksana (wise use). Jadi, konservasi merupakan
pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah
kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan dan melestarikan
(alam).56 Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902), orang
Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai “the
wise use of nature resource” (pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana).57 Kemudian konservasi dimengerti sebagai segenap proses
pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara
dengan baik (Piagam Burra, 1981). Konservasi juga berarti pemeliharaan dan
perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk mencegah
kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny
Salim, 1991).58
Pada pasal 1 ayat 18 dalam UU RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air misalnya, ditegaskan bahwa konservasi sumber daya air adalah
upaya memelihara keberadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar
senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk
kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan
56 Tim Kashiko, Kamus Lengkap Biologi, (Surabaya: Kashiko, 2004), hlm. 304.
57 Rimbawan, “Konservasi Sumber Daya Hayati”,
http://rimbawan618.multiply.com/journal/item/3, hlm. 1. 58 Massofa, “Konservasi Sumber Daya Alam dan Buatan”,
http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-daya-alam-dan-buatan/, hlm. 1.
25
datang.59 Jadi, konservasi merupakan upaya pelestarian dan pemeliharaan
segala sumber daya yang ada untuk kepentingan jangka panjang.
Sumber-sumber daya alam yang ada ialah semua kekayaan bumi, baik
biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
dan kesejahteraan manusia.60 Secara lazim, kekayaan bumi yang demikian
disebut sumber daya alam (SDA). Sumber daya alam juga dapat didefinisikan
sebagai komoditas dan kualitas yang ditemukan di alam.61 Jadi sesuai dengan
penjelasan dalam Bab I, Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) merupakan
suatu upaya pelestarian kekayaan alam secara berkelanjutan guna memenuhi
hajat manusia dari satu generasi ke generasi sesudahnya dengan merawat
segala komoditas dan kualitas alam.
Berdasarkan jenisnya, SDA dibagi menjadi dua:62 pertama, SDA
hayati atau biotik, yaitu SDA yang berasal dari mahluk hidup seperti
tumbuhan, hewan, mikroba dan lain-lain. Seluruh mahluk hidup tersebut, baik
dari spesiesnya sendiri maupun dari spesies berbeda yang hidup bersama di
suatu tempat dinamakan lingkungan biotik. Kedua, SDA nonhayati atau
abiotik, yaitu SDA yang berasal dari benda tak hidup seperti bahan tambang,
tanah, air, udara, batuan, dan lain-lain. Selanjutnya, SDA hayati sebagai
unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati
(tumbuhan) dan hewani (satwa) bersama unsur non-hayati (lingkungan
abiotik) disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.63
Berdasarkan sifat pembaharuan atau kemungkinan pemulihannya,
SDA dibagi menjadi dua: pertama, SDA yang dapat diperbaharui (renewable)
yaitu sumber daya alam yang dapat digunakan berulang kali dan dapat
59 UU RI Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2004/07-04.pdf, hlm. 2. 60 Abdi, “Mengenal Sumber Daya Alam Indonesia”,
http://www.abdi10.co.tv/2009/07/mengenal-sumber-daya-alam-indonesia.html, hlm. 1. 61 Mochamad Indrawan, et. al., Biologi Konservasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007), hlm. 13. 62 Godam64, “Pengertian Sumber Daya Alam dan Pembagian Macam Jenisnya”,
http://organisasi.org/pengertian_sumber_daya_alam_dan_pembagian_macam_jenisnya_biologi,
hlm. 1. 63 M. Hariyanto, “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”,
http://blogmhariyanto.blogspot.com/2010/06/konservasi-sumber-daya-alam-hayati-dan.html, hlm.
1.
26
dilestarikan, misalnya air, tumbuh-tumbuhan, hewan, hasil hutan dan lain-
lain. Kedua, sumber daya alam yang tidak dapat didaur ulang atau hanya
dapat digunakan sekali saja dan tidak dapat dilestarikan serta dapat punah
seperti minyak bumi, batu bara, timah, dan gas alam.64
Secara umum, KSDA diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber daya
alam itu sendiri, yakni KSDA hayati dan nonhayati. Pelestarian sumber daya
hayati (khususnya di Indonesia) dilakukan dengan beberapa cara:
a. Rehabilitasi dan reboisasi lahan kritis yang dahulunya merupakan habitat
tumbuhan dan satwa langka.
b. Pengaturan pemanfaatan tumbuhan dan hewan melalui cara-cara berikut:
1. Tebang pilih.
2. Pemburuan hewan tertentu pada musim tertentu.
3. Budi daya tumbuhan dan hewan langka.
4. Peremajaan hutan.
5. Mendirikan pusat studi hewan dan tumbuhan di beberapa wilayah.
c. Pelestarian sumber daya hayati secara in situ maupun ex situ.
1. Pelestarian in situ (di dalam habitat asli) adalah upaya pelestarian
langsung di alam. Kawasan ini dapat berupa suaka margasatwa, cagar
alam, atau taman nasional. Pemerintah Indonesia telah menetapkan 326
kawasan cagar alam, di antaranya Cagar Alam Kelinci Seblat dan
Gunung Leuser di Sumatera, Cagar Alam Tanjung Puting di
Kalimantan, dan Cagar Alam Pulau Komodo di NTT.
2. Pelestarian ex situ adalah penangkaran yang dilakukan di luar tempat
hidup (habitat) asli suatu mahluk hidup. Kawasan ini dapat berupa
kebun binatang atau kebun koleksi tumbuhan. Cara kedua ini dilakukan
terhadap spesies langka dan memiliki nilai ekonomi tinggi.65
Dasar hukum konservasi sumber daya hayati di Indonmesia diatur
dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Azas
yang menjadi dasar pengelolaan lingkungan hidup adalah azas tanggung
64 Ibid.
65 Tim Abdi Guru, IPA Terpadu Jilid I untuk SMP Kelas VII, (Jakarta: Erlangga, 2007),
hlm. 153.
27
jawa, keberlanjutan dan manfaat.66 Kegiatan konservasi selalu berhubungan
dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri mempunyai pengertian yakni
wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya (UU No. 24 Tahun
1992). Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Mengenai upaya pelestarian SDA nonhayati atau abiotik, di atas sudah
dijelaskan bahwa sumber daya abiotik adalah komponen tak hidup yang
terkandung di alam. Unsur abiotik merupakan komponen fisik dan kimia
yang membentuk lingkungan abiotik. Lingkungan abiotik membentuk cirri
fisik dan kimia tempat hidup mahluk hidup.67 Jadi, pelestarian sumber daya
nonhayati merupakan bagian integral dari suatu upaya menjaga keseimbangan
lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup mahluk hidup dalam suatu
ekosistem tertentu. Pasalnya, sifat fisik dan kimia tempat tinggal mahluk
hidup (komponen abiotik) sangat mempengaruhi kelangsungan hidup mahluk
hidup (komponen biotik).
Kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan semua
makhluk hidup tersebut disebut daya dukung lingkungan.68 Sedangkan
kemampuan lingkungan untuk pulih kembali pada keadaan seimbang jika
mengalami peerubahan atau gangguan disebut daya lenting lingkungan.69
Daya dukung lingkungan dapat berlangsung jika lingkungan itu dalam
keadaan seimbang atau stabil. Hal itu terjadi jika komponen biotik berada
dalam komposisi yang proporsional antara tingkat trofik dengan komponen
abiotik yang mendukung kehidupan komponen biotik.70 Sementara itu,
keseimbangan lingkungan akan terganngu atau rusak bila mana terjadi
perubahan yang melebihi daya dukung dan daya lentingnya. Perubahan itu
66 Diah Aryulina, et. al., Biologi 1 SMA dan MA Kelas X, (Jakarta: esis, 2007), hlm. 156.
67 Diah Aryulina, op.cit., hlm. 268.
68 Abdi, loc.cit.
69 Diah Aryulina, op.cit., hlm. 304
70 Ibid., hlm. 303.
28
terjadi karena faktor alami atau perbuatan manusia. Pada titik inilah segala
upaya konservasi memiliki peran signifikan.
Dari paparan di atas, penulis mendapatkan pemahaman bahwa KSDA
hayati dan nonhayati akan mencapai hasil yang maksimal jika keduanya
dilakukan secara beriringan. Dalam artian, setiap upaya pelestarian sumber
daya hayati perlu disertai dengan pelestarian terhadap lingkungan sekitar.
Sebab, daya dukung lingkungan turut menentukan terhadap keberhasilan
upaya-upaya konservasi, mengingat lingkungan merupakan tempat di mana
KSDA itu dilakukan. Pelestarian in situ dan ex situ cukup menjadi contoh
betapa perlindungan terhadap segala spesies mahluk hidup, baik hewan
mapun tumbuhan, harus pula memeperhatikan serta menjaga kondisi habitat
maupun ekosistemnya yang itu melibatkan usnsur-unsur abiotik.
B. Konservasi Air
Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi manusia.
Air juga merupakan zat esensial kehidupan, di mana tidak satu pun mahluk
hidup di planet bumi ini yang tidak membutuhkan air. Tanpa air, maka tidak
dimungkinkan ada kehidupan. No water no life, adalah ungkapan yang tepat
untuk menggambarkan peranan air dalam kehidupan. Karenanya, jelaslah
bahwa setiap mahluk hidup membutuhkan sumber daya ini.
Di muka bumi ini telah terjadi degradasi volume air yang cukup berat
di beberapa tempat, khususnya di daerah-daerah kering (arid) dan semi kering
(sub humid).71 Tidak hanya itu, defisit air (utamanya air bersih) juga melanda
beberapa kota besar di Indonesia yang posisinya dekat dengan sumber-
sumber air. Ironisnya, kelangkaan air di kota-kota besar justru disebabkan
oleh human error masyarakat setempat. Sebagaimana telah dijelaskan dalam
pendahuluan pada Bab I, bahwa membuang sampah rumah tangga dan
membuang limbah industri ke sungai adalah dua conroh perilaku polutan
terhadap air.
71 Suripin, Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, (Yogyakarta: ANDI, 2004), hlm.
133.
29
Masalah yang muncul kemudian kian kompleks, dari kekurangan air
menjadi “kelebihan” atau kebanjiran air. Tercemarnya sungai-sungai dan
tersumbatnya tempat-tempat aliran air mengakibatkan kelangkaan air bersih
ketika musim kemarau dan bencana banjir saat musim hujan. Jadi,
melimpahnya sumber daya air di bumi Indonesia yang sebenarnya merupakan
karunia Allah SWT akhirnya berubah menjadi hukuman atas segala tindakan
eksploitatif terhadap air.
Terkait hal itu, konservasi air merupakan terobosan ilmiah yang
diharapkan menjadi solusi atas semua persoalan terkait sumber daya air. Di
samping itu, hal yang terpenting di sini adalah suatu pelajaran tentang
bagaimana harus bersikap terhadap karunia Allah SWT tersebut, sehingga
kita termasuk hamba-Nya yang pandai bersyukur.
1. Konsep Konservasi
Konservasi sumber daya alam menjadi pusat perhatian dalam
konsep pembangunan yang berkelanjutan. Hampir semua dari kita setuju
kepada konsep dasar konservasi yang berbunyi, “jangan membuang-buang
sumber daya alam (SDA)”. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep dasar
konservasi air adalah jangan membuang-buang sumber daya air.
Pada awalnya konservasi air diartikan sebagai upaya menyimpan
air dan menggunakannya untuk keperluan yang produktif di kemudian
hari. Sedangkan dalam perkembangan selanjutnya konservasi lebih
diarahkan kepada upaya pengurangan atau efisiensi penggunaan air.
Konsep yang pertama disebut konservasi segi suplai dan yang kedua
disebut konservasi sisi kebutuhan.72
Formulasi terkait konsep konservasi air yang ideal adalah dengan
menarik “benang merah” dari keduanya, yakni menyimpan (melestarikan)
dan menggunakan air hanya untuk keperluan yang produktif atau
bermanfaat berdasarkan etika lingkungan serta meminimalisir penggunaan
air untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Dengan kata lain, inti dari konsep
72 Suripin, op.cit., hlm. 133.
30
konservasi air adalah penggunaan air sesuai kebutuhan serta tidak
mencemari air demi kepentingan jangka panjang.
Adapun usaha konservasi air bertujuan untuk:
a. Keseimbangan, yakni untuk menjamin ketersediaan untuk generasi
masa depan, pengurangan air dari sebuah ekosistem tidak akan
melewati nilai penggantian alamiahnya.
b. Penghematan energi, yakni pemompaan air, pengiriman, dan fasilitas
pengolahan air limbah mengkonsumsi energi besar. Ini terjadi di
beberapa daerah di dunia, misalnya California.
c. Konservasi habitat, yakni penggunaan air oleh manusia yang
diminimalisir untuk membantu mengamankan simpanan sumber air
bersih untuk habitat liar lokal dan penerimaan migrasi aliran air,
termasuk usaha baru pembangunan waduk dan infrastruktur berbasis air
lain (pemeliharaan yang lama).73
Secara umum, teknik konservasi air bertujuan untuk meningkatkan
jumlah air yang masuk ke dalam tanah dan membuat pemanfaatan air
secara lebih efisien. Dengan demikian konservasi air yang sering
dilakukan adalah melalui cara-cara yang dapat mengendalikan besarnya
nilai evaporasi (penguapan), transpirasi, dan aliran permukaan.
Beberapa penilitian menyatakan bahwa cara terbaik yang
dimungkinkan untuk mengkonservasi air adalah dengan mengendalikan
aliran permukaan.74 Cara konservasi ini dapat dikelompokkan menjadi
dua:75
a. Meningkatkan pemanfaatan dua komponen hidrologi, yaitu air
permukaan dan air tanah.
b. Meningkatkan efisiensi pemakaian air untuk irigasi.
73 Anis Hanafi, “Konservasi Air dengan Menggunakan Biopori”,
http://anishanafia.blogspot.com/2009/05/konservasi-air-dengan-menggunakan.html, hlm. 2. 74 Sri Sangkawati dan Pranoto Satmo atmojo, “Dampak Sosial Kegiatan Pengendalian
Banjir dan Konservasi Air: Prioritas Utama Dalam Otonomi Daerah” dalam Robert J. Kodoatie
(eds.), Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, (Yogyakarta: ANDI, 2002), hlm.
111. 75 Ibid.
31
Tampak di sini bahwa yang menjadi perhatian dalam beberapa
pustaka adalah penghematan pemakaian air untuk irigasi. Padahal kalau
disimak lebih jauh masih banyak pemakaian air untuk mencukupi
kehidupan manusia yang juga harus ditingkatkan efisiensinya. Di beberapa
kota yang terletak di daerah pantai seperti Jakarta, Semarang, Surabaya,
dan kota lainnya, pemenuhan kebutuhan air masih mengandalkan air baku
yang berasal dari sungai.
Air sungai yang akan dimanfaatkan perlu pengolahan intensif
karena sudah sangat tercemar. Sumber pencemarannya dapat berasal
antara lain dari limbah industri dan rumah tangga yang diperparah dengan
terjadinya pasang-surut air laut. Pada waktu air laut pasang, bahan
cemaran berupa sampah maupun zat lain yang dibuang ke sungai tidak
dapat mengalir ke muara karena tertahan oleh pasang muka air laut.
Akibatnya, konsentrasi zat pencemar maupun limbah lebih tinggi
dibandingkan pada waktu muka air laut surut.76
Oleh karena itu, hal terpenting dari konservasi air untuk
meningkatkan jumlah air ialah konservasi air dari segi kualitasnya.
Kualitas air dapat dinyatakan sebagai tingkat kesesuaian air untuk
digunakan dalam pemenuhan berbagai kebutuhan. Secara umum kualitas
air ditentukan oleh kandungan sedimen tersuspensi dan bahan kimia yang
terlarut di dalam air tersebut.77
Untuk lebih memahami konsep konservasi air, terlebih dahulu
perlu dijelaskan perjalanan air secara menyeluruh dengan mempelajari
komponen hidrologi, serta kaitannya dengan komponen lain di luar jalur
hidrologi. Pada sub-bab berikut akan disinggung secara singkat siklus dan
komponen-komponen yang berkaitan dengan konservasi air.
2. Siklus Hidrologi
Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relatif tetap dari
masa ke masa. Meski jumlahnya relatif konstan, tetapi air tidak diam,
76 Ibid.
77 Ibid., hlm. 112.
32
melainkan bersirkulasi akibat pengaruh cuaca sehingga terjadi suatu siklus
yang disebut hidrologi.78 Siklus air tersebut merupakan penyuplai air ke
daratan. Di bawah ini adalah skema siklus hidrologi.
Gbr. 2.1. Skema Siklus Hidrologi79
78 Juli Soemirat Slamet, Kesehatan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2009),
Cet. 9, hlm. 79. 79 Suripin, op.cit., hlm. 136.
Atmosfir
(Uap Air)
Permukaan
tanah
(simpanan
depresi)
Danau,
Waduk,
dan Sungai
(Air
permukaan)
Samudera/
laut
(Air asin) Zona kapiler
(kelengasan
tanah)
Zona jenuh air
(air tanah)
Precip
itasi
Evapotran
spirasi
Precip
itasi
Evaporasi
Precip
itasi
Evaporasi
Aliran
permukaan
Runoff
Interflow
Infiltrasi
Gerak
an uap
Drain
ase Gravitasi
Kenaikan kapiler
Aliran dasar
Aliran bawah laut
33
Air menguap dari permukaan samudera akibat energi panas
matahari. Laju dan jumlah penguapan bervariasi, terbesar terjadi di dekat
equator (katulistiwa), di mana radiasi matahari lebih kuat. Uap air adalah
murni karena pada waktu dibawa naik ke atmosfir, kandungan garam
ditinggalkan. Uap air yang dihasilkan kemudian dibawa oleh angin. Dalam
kondisi yang memungkinkan, uap tersebut mengalami kondensasi
(penggumpalan) dan membentuk butir-butir air yang pada gilirannya akan
jatuh kembali sebagai presipitasi (pengendapan) berupa hujan dan/atau
salju. Presipitasi ada yang jatuh di samudera, di darat, dan sebagian
menguap kembali sebelum sampai ke permukaan bumi.80
Presipitasi yang jatuh ke permukaan bumi menyebar ke berbagai
arah dengan beberapa cara. Sebagian akan tertahan sementara di
permukaan bumi sebagai es atau salju, atau genangan air, yang dikenal
dengan simpanan depresi. Sebagian air hujan dan lelehan salju akan
mengalir ke saluran atau sungai. Hal ini disebut aliran permukaan. Jika
permukaan tanah porus, sebagian air akan meresap ke dalam tanah melalui
peristiwa infiltrasi dan sebagian lagi akan kembali ke atmosfir melaui
penguapan dan transpirasi oleh tanaman.81
Di bawah permukaan tanah, pori-pori tanah berisi air dan udara.
Daerah tersebut dikenal sebagai zona kapiler atau zona aerasi. Air yang
tersimpan dalam zona ini disebut kelengasan tanah atau air kapiler. Pada
kondisi tertentu air dapat mengalir secara lateral pada zona kapiler. Proses
ini disebut interflow. Uap air dalam zona kapiler dapat juga kembali ke
permukaan tanah kemudian menguap.82
Sedangkan kelebihan kelengasan tanah yang kemudian ditarik
masuk oleh gravitasi disebut drainase gravitasi. Pada kedalaman tertentu,
pori-pori tanah atau batuan akan jenuh air. Batas atas zona jenuh air
disebut muka air tanah. Sedangkan air yang tersimpan di dalam zona jenuh
air disebut air tanah. Aliran air tanah bergerak melalui batuan atau lapisan
80 Ibid., hlm. 134.
81 Ibid., hlm. 135.
82 Ibid.
34
tanah sampai akhirnya keluar ke permukaan sebagai sumber air, atau
sebagai rembesan ke danau, waduk, sungai, atau ke laut.83
Air yang mengalir dalam saluran atau sungai dapat berasal dari
aliran permukaan atau dari air tanah yang merembes di dasar sungai.
Kontribusi air tanah pada aliran sungai disebut aliran dasar. Sementara
total aliran disebut debit (runoff). Air yang tersimpan di waduk, danau, dan
sungai disebut air permukaan (surface water).84 Berikut ini adalah
perkiraan distribusi air di dunia dan perkiraan jumlah air yang bersirkulasi
dalam siklus hidrologi.
Tabel 2.1 Distribusi Air di Dunia85
Lokasi Km kubik Persen
dari Total
Kedalaman
Rata-rata
Samudera
Laut, Danau asin
Es, Glasir
Air Tanah
Air Permukaan
Danau Air Tawar
Sungai (Vol. rata-rata)
Atmosfir
Lain-lain
1.323.000.000
104.000
30.500.000
8.350.000
67.000
125.000
1.670
12.900
375.000
97,2
0,008
2,15
0,61
0,05
0,009
0,0001
0,001
0,028
1,6 mi
8,0 in
196,0 ft
52,0 ft
5,1 in
9,6 in
0,13 in
1,0 in
28,9 in
Total 1.362.000.000 100,000
83 Ibid.
84 Ibid.
85 Juli Soemirat Slamet, op.cit., hlm. 80.
35
Tabel 2.2 Sirkulasi Air dalam Siklus Hidrologi86
Lokasi Evaporasi
Km kubik / th Persen
dari Total
Meter / th
Lautan
Tanah
Dunia
449.000
72.000
521.000
86
20
100
1,23
0,48
1,01
Lokasi Presipitasi
Lautan
Tanah
Dunia
416.000
105.000
521.000
80
20
100
1,14
0,72
1,01
Uraian di atas menggambarkan bahwa siklus hidrologi merupakan
salah satu proses alami air untuk membersihkan diri, tentu dengan syarat
kualitas udara cukup bersih. Apabila udara tercemar, maka air hujan pun
akan tercemar, mengingat turunnya hujan atau pun salju merupakan proses
alamiah yang membersihkan atmosfir dari segala debu, gas, uap, dan
aerosol.87
Sampai saat ini kebanyakan orang memanfaatkan air tawar
permukaan dan air tanah sebagai sumber airnya. Air laut yang asin,
sekalipun jumlahnya amat banyak, tetapi baru sedikit yang dimanfaatkan
karena biaya proses desalinasi yang masih sangat mahal. Hal ini hanya
dilakukan oleh negara-negara atau daerah-daerah yang sudah tidak
mempunyai sumber lain yang lebih baik.
Meskipun air tawar yang termasuk kategori air tanah jumlahnya
relatif minim, namun persediaannya masih dapat memenuhi kebutuhan
karena siklus hidrologi dapat memelihara keberadaannya. Hal itu terbukti
dengan jumlah air tawar yang menguap hanya sekitar 14%, sedangkan
yang jatuh kembali ke tanah sekitar 20%.88
3. Air Permukaan dan Air Tanah serta Sifat-sifatnya
Dalam kaitannya dengan konservasi air, dua komponen terpenting
dalam siklus hidrologi adalah air permukaan dan air tanah. Kedua
86 Ibid.
87 Ibid., hlm. 80-81.
88 Ibid., hlm. 81.
36
komponen tersebut merupakan sumber air utama yang dimanfaatkan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
a. Air Permukaan
Adapun yang termasuk air permukaan meliputi air sungai
(rivers), saluran (streams), sumber (springs), danau, dan waduk. Jumlah
air permukaan diperkirakan hanya 0,35 juta Km kubik atau hanya
sekitar 1% dari air tawar yang terdapat di bumi. Air permukaan berasal
dari aliran langsung air hujan, lelehan salju, dan aliran yang berasal dari
air tanah. Sebelum aliran hujan langsung atau aliran permukaan
(surface runoff) terjadi, hujan terlebih dahulu memenuhi kebutuhan
penguapan, intersepsi, infiltrasi, simpanan permukaan, penahanan
permukaan, dan penahanan saluran.89
Selama peristiwa hujan, sebagian air hujan ditahan oleh tanaman
sebelum mencapai permukaan bumi (intersepsi). Air ini sebagian pada
akhirnya akan jatuh ke bumi dan sebagain akan menguap. Pada
kawasan hutan yang lebat, sebagian besar hujan ditangkap oleh
dedaunan dan ranting.90 Jika kapasitas dedaunan sudah penuh, air akan
turun memalui cabang batang pohon dan menetes ke bawah. Jumlah air
yang tertahan oleh hutan lebat berkisar antara 8 sampai 45% dari total
hujan. Pada hutan kayu campuran, besarnya intersepsi rata-rata sebesar
20%.91
Hujan yang mencapai permukaan bumi sebagaian meresap ke
dalam tanah yang porus. Variasi kapasitas infiltrasi tidak hanya dari
jenis tanah, tapi juga berbeda untuk kondisi kering dan lembab pada
tanah yang sama. Tentu tanah yang kondisi awalnya kering, kapasitas
infiltrasinya tinggi.
Jika intensitas hujan lebih rendah dari kapasitas infiltrasi
konstan, semua air hujan yang mencapai permukaan bumi akan
terinfiltrasi. Namun jika intensitas hujan lebih besar dari kapsitas
89 Suripin, op.cit., hlm. 135-136.
90 Ibid.
91 Ibid.
37
infiltrasi konstan tetapi lebih kecil dari kapasitas infiltrasi awal, semua
air hujan yang turun akan terinfiltrasi. Akhirnya, setelah laju infiltrasi
menurun atau lebih rendah dari intensitas hujan, maka sisa air hujan
akan tergenang di permukaan tanah.
Jadi, aliran permukaan akan terjadi jika intensitas hujan lebih
tinggi dari laju infiltrasi, dan kapasitas depresi sudah terisi. Setelah laju
infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan permukaan
tanah. Begitu cekungan-cekungan terisi, aliran permukaan mulai terjadi.
Besar-kecilnya aliran permukaan dipengaruhi coleh banyak
faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang
berkaitan dengan iklim (khususnya curah hujan), dan faktor-faktor yang
berkaitan dengan karakteristik daerah aliran sungai (DAS).
Karakteristik daerah aliran sungai (DAS) yang berpengaruh besar
terhadap aliran permukaan meliputi: luas dan bentuk daerah aliran
sungai (DAS), topografi, dan tata guna lahan.92
Laju dan volume aliran permukaan dari suatu daerah aliran
sungai (DAS) akan mencapai harga terbesar jika semua bagian daerah
aliran sungai (DAS) yang bersangkutan member kontribusi terhadap
aliran. Dengan kata lain, bahwa laju dan volume aliran permukaan
dipengaruhi oleh penyebaran hujan. Air hujan yang tersebar merata
pada seluruh daerah aliran sungai (DAS) akan menghasilkan laju dan
volume aliran permukaan yang lebih besar dibandingkan hujan yang
tidak merata untuk intensitas yang sama.
b. Air Tanah
Air tanah merupakan sumber air tawar terbesar di planet ini,
mencakup kira-kira 30% dari total air tawar atau 10,5 juta km kubik.93
Akhir-akhir ini pemanfaatan air meningkat dengan cepat, bahkan di
beberapa tempat tingkat eksploitasinya sudah sampai pada tingkat yang
membahayakan.
92 Ibid., hlm. 138.
93 Ibid., hlm. 141.
38
Air tanah biasanya diambil, baik untuk sumber air bersih
maupun untuk irigasi, melalui sumur terbuka, sumur tabung, spring,
atau sumur horizontal. Kecenderungan memilih air tanah sebagai
sumber air bersih dibanding air permukaan mempunyai keuntungan
sebagai berikut:
1) Tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan, sehingga distribusi
lebih murah.
2) Debit (produksi) sumur relatif stabil.
3) Lebih bersih dari polutan permukaan.
4) Kualitasnya lebih seragam.
5) Bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut, atau tumbuhan dan binatang
liar.94
Dengan demikian, air tanah pada umumnya secara mikrobiologi
tergolong bersih karena ketika proses pengaliran, air tanah mengalami
penyaringan alamiah. Namun demikian, kadar kimia air tanah sangat
tergantung pada formasi litosfir yang dilaluinya. Dalam proses ini
mineral-mineral yang dilaluinya dapat larut dan terbawa, sehingga
mengubah kualitas air tersebut.95
Adapun cara pengambilan air tanah yang paling tua dan
sederhana adalah dengan membuat sumur gali (dug wells) dengan
kedalaman lebih rendah dari posisi permukaan air tanah. Jumlah air
yang dapat diambil dari sumur gali biasanya terbatas, dan yang diambil
adalah air tanah dangkal. Untuk pengambilan yang lebih besar
diperlukan luas dan kedalaman galian yang lebih besar.
Sumur gali biasanya dibuat dengan kedalaman tidak lebih dari
5-8 meter di bawah permukaan tanah. Cara ini cocok luntuk daerah
pantai, di mana air tawar berada di atas air asin. Oleh karena itu yang
perlu diperhatikan untuk sumur di daerah pantai, lengkung penurunan
94 Ibid.
95 Juli Soemirat Slamet, op.cit., hlm. 82.
39
permukaan air tanah harus sekecil mungkin untuk menghindari
tersedotnya air asin ke dalam sumur (intrusi).
4. Sifat-sifat Air
Adapun sifat-sifat air yang penting dapat digolongkan ke dalam
tiga karakteristik, yaitu sifat fisik, kimiawi, dan biologis.96
a. Sifat fisik
Air di dunia ini memiliki tiga macam bentuk, yakni padat
sebagai es, cair sebagai air, dan gas sebagai uap air. Bentuk mana yang
akan didapatkan, tergantung pada keadaan cuaca setempat. Sedangkan
beberapa karakteristik fisik terpenting yang mempengaruhi kualitas air
adalah bahan padat keseluruhan (baik yang terapung maupun yang
terlarut), kekeruhan, warna, bau dan rasa, temperatur atau suhu.
Beberapa hal tersebut dapat dideskripsikan secara lebih jelas.97
b. Sifat kimia
Air hujan maupun salju yang baru turun relatif murni. Begitu air
mencapai permukaan bumi dan kemudian mengalir serta meresap ke
dalam tanah, maka air melarutkan dan membawa bahan-bahan yang
mudah larut dari tempat-tempat yang dilaluinya.
Kandungan bahan-bahan kimia di dalam air berpengaruh
terhadap kesesuiaan pengguanaan air. Secara umum karakteristik
kimiawi air meliputi pH, alkalinitas, kation dan anion terlarut, dan
96 Ibid., hlm. 83.
97 (a) Bahan padat keseluruhan: koloid mempengaruhi kualitas air dalam proses koagulasi
dan filtrasi. Material layang dapat diukur dengan melakukan penyaringan, sedangkan material
terlarut dapat diukur dengan penguapan; (b) kekeruhan: air yang mengandung material kasat mata
dalam larutan disebut keruh. Kekeruhan dalam air terdiri dari material lempung, liat, bahan
organik, dan mikroorganisme. Kekeruhan terutama disebabkan oleh terjadinya erosi tanah di DAS
maupun di saluran/sungai; (c) warna: air murni tidak berwarna. Warna dalam air disebabkan oleh
adanya material yang larut dalam suspensi atau mineral. Air yang mengalir melewati rawa atau
tanah yang mengandung mineral dimungkinkan untuk mengambil warna material tersebut; (d) bau
dan rasa: air murni tidak berbau dan tidak berasa. Bau dan rasa air timbul karena kehadiran
mikroorganisme, bahan mineral, gas terlarut, dan bahan-bahan organik. Polusi pun dapat
menimbulkan baud an rasa yang tidak dikehendaki; (e) temperatur: temperatur air merupakan hal
yang penting terkait dengan tujuan penggunaan, pengolahan untuk menghilangkan bahan-bahan
pencemar serta pengangkutnya. Temperature normal air di alam (tropis) sekitar 20� sampai 30�.
Untuk system air bersih, temperature idal berkisar antara 5� sampai 10�. Suripin, op.cit. hlm.
148.
40
kesadahan. Beberapa karakteristik tersebut dapat dideskripsikan secara
lebih jelas.98
c. Sifat biologi
Air permukaan mengandung berbagai macam organisme hidup.
Sedangkan air tanah lebih bersih karena proses penyaringan oleh akifer.
Jenis-jenis organisme hidup yang mungkin terdapat dalam air meliputi
makroskopik, mikroskopik, dan bakteri. Spesies organisme
makroskopik dapat dilihat dengan mata telanjang, sedangkan organisme
mikroskopik memerlukan alat bantu mikroskop untuk melihat
perbedaan spesiesnya.
Bakteri adalah organisme hidup yang sangat kecil, di mana
spesiesnya tidak dapat diidentifikasi sekalipun menggunakan alat bantu
mikroskop. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit disebut bakteri
phatogen, sedangkan yang tidah membayakan kesehatan disebut non-
phatogen.
Organisme mikroskopik seperti jamur dan alga dapat ditemukan
dalam air tanah. Jika organisme tersebut tumbuh dalam jumlah besar,
maka akan mempengaruhi kekeruhan dan warna air, di samping juga
memberi andil terhadap rasa dan bau air yang tidak dikehendaki.
Pertumbuhan alga yang berlebihan dapat dikontrol dengan klorida.
Organisme mikroskopik seperti ganggang dan rumput laut
dapat menurunkan kualitas air dalam hal rasa, warna, dan bau, namun
dapat dihilangkan dalam proses purifikasi. Penebaran ikan dalam
98 (a) pH: pengukur sifat keasaman dan kebasaan air, dinyatakan dengan nilai pH yang
didefinisikan sebagai logaritma dari pulang-baliknya konsentrasi ion-hidrogen dalam moles per-
liter. Dalam hal ini pH air murni adalah 7. Air dengan pH di atas 7 bersifat asam, sedangkan jika di
bawah 7 bersifat basa; (b) alkalinitas: kebanyakan air bersifat alkalin karena garam-garam alkalin
sangat umum berada di tanah. Ketidakmurnian air akibat adanya karbonat dan bikarbonat dari
kalsium, sodium, dan magnesium. Alkalinitas dinyatakan dalam mg/liter ekuivalen kalsium
karbonat. Keasaman air disebabkan oleh adanya Co2 dalam air. Hal ini diukur berdasarkan
banyaknya kalsium karbonat yang diperlukan untuk menetralkan asam karbonat dan dinyatakan
dalam mg/lt; (c) kesadahan: kesadahan air merupakan hal yang sangat penting dalam penyediaan
air bersih. Air dengan kesadahan tinggi memerlukan sabun lebih banyak sebelum terbentuk busa.
Kesadahan air sementara, akibat adanya kalsium dan magnesium bikarbonat. Hal ini dapat
dihilangkan dengan mendidihkan dan menambahkan kapur dalam air. Sedangkan kesadahan air
permanen akibat adanya kalsium dan magnesium sulfat, klorida, dan nitrat. Kesadahan air
dinyatakan dalam mg/lt berat kalsium karbonat. Ibid., hlm. 150.
41
waduk-waduk dapat mengendalikan pertumbuhan organisme
makroskopik dan beberapa mikroskopik.
Dalam air juga terdapat virus, yaitu organisme penyebab infeksi
yang lebih kecil dari ukuran bakteri secara umum. Virus di dalam air
biasanya dikendalikan dengan klorinasi yang dikombinasikan dengan
proses penonaktifan virus.
5. Pengelolaan Sumber Daya Air
Air sebagai bagian dari sumber daya alam juga merupakan bagian
dari ekosistem. Karena itu pengelolaan sumber daya air memerlukan
pendekatan yang integratif, komprehensif, dan holistik yakni hubungan
timbal-balik antara teknik, sosial dan ekonomi serta harus berwawasan
lingkungan agar terjaga kelestariannya. Pertemuan internasional sejak
Dublin dan Rio de Jenairo tahun 1992 sampai World Water Forum di Den
Haag tahun 2000, menekankan hal yang sama.
Pada umumnya pengelolaan sumber saya air hanya berangkat dari
satu sisi saja, yakni bagaimana memanfaatkan dan mendapatkan
keuntungan dari adanya air. Namun untuk tidak dilupakan bahwa jika ada
keuntungan pasti ada pula kerugian. Tiga aspek yang tidak boleh
dilupakan adalah aspek pemanfaatan, aspek pelestarian, dan aspek
perlindungan.99
Aspek pemanfaatan merupakan hal yang selalu terlintas dalam
pikiran manusia ketika berhubungan dengan air. Baru setelah terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan persediaan, manusia mulai
sadar atas aspek yang lain.
Oleh karena itu agar pemanfaatan air bisa berkelanjutan, maka air
perlu dijaga kelestariannya baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Menjaga daerah tangkapan hujan di hulu maupun daerah pedataran
merupakan salah satu bagian dari pengelolaan, sehingga perbedaan debit
99 Soenarno, “Pengelolaan Sumber Daya Air dan Otonomi daerah”, dalam Robert J.
Kodoatie (eds.), op.cit., hlm. 29.
42
air saat musim kemarau dan musim hujan tidak terlampau besar. Demikian
pula menjaga air dari segala macam polutan.
Selain itu perlu disadari bahwa selain member manfaat, air juga
memiliki daya rusak fisik maupun kimiawi. Badan air (saluran, sungai, dan
lain-lain) kerap kali menjadi tempat pembuangan limbah industri dan
rumah tangga, sehingga air tercemari. Karena itu dalam pengelolaan
sumber daya air yang juga tidak boleh dilupakan adalah pengendalian
terhadap daya rusak akibat banjir maupun pencemaran.
Dalam upaya konservasi air ketiga aspek tersebut (pemanfaatan,
perlindungan, dan pelestarian) harus menjadi satu kesatuan, tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Salah satu aspek saja dilupakan,
eksistensi air akan membawa dampak buruk bagi manusia sendiri.
Berdasarkan pada pembagian air di atas (air permukaan dan air air
tanah), upaya konservasi air dapat direalisasikan berdasarkan pembagian
tersebut. Pengelolaan air permukaan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yakni pengendalian aliran permukaan, pemanenan air hujan, dan
meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah.100 Sedangkan untuk menjaga
kelestarian air tanah adalah dengan menjaga keseimbangan antara
pengisian dan pengambilannya.101
a. Pengelolaan air permukaan
1) Pengendalian aliran permukaan. Dalam siklus hidrologi, sebagian
besar air hujan yang sampai ke tanah mengalir terbuang ke laut
berupa aliran permukaan, sementara sisanya kembali ke udara
melalui tanah, badan air, atau transpirasi tumbuhan. Hasil penelitian
mengarahkan bahwa kemungkinan terbaik untuk konservasi adalah
mengendalikan bagian air hujan yang mengalir di atas permukaan
tanah. Pengendalian air permukaan dilakukan dengan cara
memperpanjang waktu air tertahan di permukaan tanah dan
meningkatkan jumlah air yang masuk ke dalam tanah.
100 Suripin, op.cit., hlm. 142.
101 Ibid., hlm. 144
43
2) Pemanenan air hujan. Hal ini dapat dilakukan dengan menampung
aliran permukaan dari suatu kawasan dalam suatu bak penampungan.
Besarnya jumlah air hujan yang dapat dipanen tergantung pada
topografi dan kemampuan tanah atas pada lahan untuk menahan air.
Persiapan yang diperlukan untuk memanen air hujan antara lain
membuat saluran sejajar garis kontur, serta pembersihan dan
pemadatan bidang/lahan tangkapan air, jika diperlukan dapat
dilengkapi saluran-saluran searah lereng.
3) Meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Hal ini dapat dilakukan
dengan memperbaiki struktur tanah. Cara yang paling efektif dalam
upaya ini adalah dengan menutup tanah secukupnya dengan
tumbuhan atau mulsa, atau dengan memberikan bahan organik.102
b. Pengelolaan air tanah
1) Pengisian air tanah secara buatan. Walaupun telah dibangun
bendungan pada suatu sungai, sebagian dari air yang mengalir pada
musim hujan masih terbuang keluar waduk. Kelebihan air semacam
ini dapat dikonservasi dengan menyimpannya dalam tanah melalui
pengisian buatan. Pengisian buatan akifer (lapisan pendukung air)
merupakan usaha yang penting untuk meningkatkan yil total
sekaligus merupakan alat untuk manajemen sistem air bersih.
Kemampuan tanah untuk menyimpan tanah tergantung pada volume
pori-pori tanah dan tinggi muka air tanah. Syarat-syarat fisik yang
diperlukan untuk pelaksanaan pengisian air tanah buatan antara lain:
a) Tersedia akifer dengan kapasitas dan permeabilitas yang
memadai. Jika air tanah dekat dengan permukaan, maka tidak
cocok untuk dilakukan pengisian buatan, karena tidak tersedia
cukup kapasitas tampungan.
b) Tersedia cukup air untuk melakukan pengisian.
c) Pemompaan air tidak boleh berlebihan sehingga tingkat
penyembuhannya rendah.
102 Ibid., hlm. 142-144.
44
d) Kualitas air yang akan diisikan harus memadai disbanding air
tanah yang ada sehingga air tanah yang dihasilkan berkualitas
baik.
2) Pengendalian air tanah. Pengambilan air tanah melalui sumur-
sumur akan mengakibatkan lengkung penurunan muka air tanah.
Semakin besar laju pengambilan air tanah, semakin besar pula curam
lengkung permukaan air tanah yang terjadi di sekitar sumur sampai
tercapai keseimbangan baru jika terjadi pengisian dari daerah
resapan. Keseimbangan ini dapat terjadi jika laju pengambilan air
tanah lebih kecil dari pengisian oleh air hujan pada daerah resapan.
Akan tetapi jika laju pengambilan dari sumur lebih besar dari
pengisiannya, maka lengkung-lengkung penurunan muka air tanah
antara sumur satu dengan yang lain akan menyebabkan terjadinya
penurunan muka air tanah secara permanen.103
6. Polusi Air dan Pengendaliannya
Industrialisasi dan urbanisasi telah membawa dampak pada
lingkungan. Pembuangan limbah industri dan domestik ke badan air
merupakan penyebab utama polusi air. Polusi air didefinisikan sebagai
pembuangan substansi dengan karakteristik dan jumlah yang
menyebabkan warna, bau, dan rasa menjadi terganggu atau menimbulkan
potensi kontaminasi.
a. Bentuk polusi
Berbagai macam kegiatan manusia menghasilkan produk
sampingan atau bahan buangan yang biasa disebut limbah. Jenis-jenis
limbah dapat dikelompokkan menjadi limbah domestik, limbah industri,
limbah pertanian, sedimen, dan pembangkit nuklir.
Beberapa limbah tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1) Limbah domestik. Buangan saniter meliputi semua air dari toilet,
dapur, restoran hotel, rumah sakit, laundry, dan lain-lain yang
dibuang ke sstem drainase atau sungai. Limbah organik dapat
103 Ibid., hlm. 144-145.
45
membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sedangkan
limbah anorganik tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme dan
justru akan mudah merusak ekosistem air.
2) Limbah industri. Polusi air adalah salah satu akibat dari polusi air.
Limbah-limbah industri mengandung bahan-bahan kimia yang
berlebihan seperti asam, alkali, minyak, vaselin, phenol, dan mercuri
yang dapat masuk ke dalam rantai makanan tumbuhan dan hewan air
yang kemudian sampai ke tubuh manusia.
3) Limbah pertanian. Aliran permukaan dari lahan pertanian dapat
polusi air karena pemakaian pupuk, peptisida, dan herbisida pada
tanaman. Polusi dari kegiatan pertanian juga berupa kotoran hewan,
sisa makanan ternak, dan poultry.
4) Sedimen (lumpur). Lumpur akibat erosi tanah yang terbawa aliran
permukaan sampai ke saluran/sungai atau badan air lainnya dapat
menyebabkan polusi, akibatnya kemurnian air terganggu (air
menjadi keruh). Kekeruhan tersebut akan menghalangi penetrasi
sinar matahari ke dalam air. Akibatnya proses fotosintesis tumbuhan
di dalam air tidak dapat berlangsung karena kandungan Co2
maningkat dan O2 menurun.104
b. Pengendalian Polusi Air
Pada dasarnya polusi air dapat dikendilakan atau dikontrol.
Teknologi yang tersedia mampu mengeluarkan polutan maupun bakteri
dari dalam air. Secara umum pengendalian polusi air dapat dilakukan
melalui dua tindakan utama, yaitu penanggulangan secara teknis dan
non-teknis.105
1) Penanggulangan secara teknis
Penanggulangan secara teknis dapat dilakukan secara
preventif mapun kuratif (penyembuhan). Tindakan prefentif
ditujukan untuk menjaga rezim sungai, di mana limbah yang dibuang
104 Ibid., hlm. 158-159.
105 Ibid., hlm. 160-161.
46
ke badan sungai dalam kondisi baik. Beberapa tindakan prefentif
yang dapat dilakukan meliputi:
a) Pengolahan air limbah, baik limbah domestik mapun industri. Air
limbah domestik perlu diolah terlebih dahulu sebelum di buang ke
sungai, terutama pada waktu musim kering. Untuk
mendekomposisi polutan padat yang ada dalam air limbah
domestik dapat diolah melalui proses fisik, biologi, dan kimia.
Pertama-tama, air limbah dialirkan melewati penyaringan untuk
memisahkan polutan padat yang berukuran relatif besar.
Kemudian air dilewatkan kolam pengendapan untuk menangkap
pasir dan kerakal. Selanjutnya air dialirkan di tangki pengendapan
besar untuk beberapa saat sehingga sisa material padat yang lolos
dapat terendapkan. Kemudian air dikeluarkan dari tangki dan
diklorinasi untuk membunuh bakteri, baru dialirkan ke sungai.
Endapan dikeluarkan dari tangki dan dikeringkan untuk dijadikan
pupuk atau perbaikan tanah.
Pengolahan limbah industri pada umumnya tidak jauh berbeda
dengan pengolahan limbah domestik. Adapun prosesnya meliputi
penyaringan, penampungan, sedimentasi (pengendapan),
kongulasi atau presipitasi, dan pengolahan secara biologi.
b) Untuk pengolahan limbah pertanian, pemakaian pupuk dan
insektisida perlu disertai dengan sistem drainase yang baik,
sehingga air sisa dapat lancar dan tidak menggenang dan
pengendapan garam pada tanah merupakan cara yang baik
mengontrol polusi akibat pertanian.106
Di samping tindakan prefentif tersebut, penanggulangan
secara teknis juga dapat dilakukan secara kuratif. Kemampuan air
untuk mengembalikan kualitas dirinya sendiri tergantung pada beban
polusi yang terjadi. Bergantung besar-kecilnya polusi dan
106 Ibid.
47
karakteristik sungainya, pemurnian kembali pada sungai yang besar
dapat berlangsung beberapa hari.
2) Penanggulangan secara non-teknis
Penanggulangan secara non-teknis merupakan usaha untuk
mengurangi dan menanggulangi pencemaran dengan membuat
peraturan perundang-undangan yang dapat merencanakan, mengatur
dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan yang berhubungan
dengan masalah lingkungan. Peraturan yang dibuat hendaknya dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang kegiatan yang akan
dilaksanakan di suatu tempat.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan
serta penanaman perilaku disiplin bagi semua lapisan masyarakat.
Bertanggung jawab pada lingkungan merupakan kewajiban kita
semua. Penanaman perilaku disiplin ini harus dimualai dari diri kita
sendiri.107
C. Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme
1. Teosentrisme Versus Antroposentrisme: Tinjauan Teoritis-historis
Dalam pandangan hidup terdapat pandangan teosentris yang
berpusat pada Tuhan dan pandangan antroposentris yang berpusat pada
manusia. Kedua pandangan tersebut di dalam peradaban Barat
dipertentangkan sebagai akibat dari pemisahan ilmu pengetahuan dari
gereja. Di satu pihak agama Kristen sangat teosentris, dan di pihak lain
peradaban Barat yang sekuler sangat antroposentris.
Hal itu tidak dapat dihindari, mengingat tumbuh suburnya
paradigma antroposentrisme-sekuler di Barat merupakan konsekuensi logis
dari lahirnya milenium baru yang dialami Barat setelah abad skolastik,
yaitu era modern. Abad modern dibangun dengan gerakan renaisans
(kelahiran kembali) yang berusaha membangkitkan kembali kebudayaan
107 Ibid., hlm. 161.
48
Yunani dan Romawi kuno setelah berabad-abad dikubur oleh gereja
selama abad pertengahan.
Fakta sejarah menunjukkan betapa sejak zaman keemasan Patristik
Latin hingga zaman keemasan Skolastik, monopoli dogma teologi Kristen
atas filsafat dan nilai-nilai kemanusiaan bersifat mutlak. Hal itu terlihat
dalam pandangan filosofis Augustinus (354-430) dan Thomas Aquinas
(1225-1274) yang masing-masing merupakan tokoh besar kedua zaman
tersebut. Augustinus tidak menerima suatu filsafat yang mempunyai
otonomi terhadap iman kristiani. Baginya, filsafat hanya dapat
dipraktikkan sebagai “filsafat kristiani”.108 Ini berarti bahwa teologi dan
pemikiran filosofis merupakan satu-kesatuan yang sejati. Cita-cita dan
ajaran Augustinus itulah yang kelak akan dilanjutkan oleh Thomas
Aquinas pada abad Skolatik (abad 13). Menurut Aquinas, filsafat dan
ilmu-ilmu lain merupakan hamba-hamba atau pembantu-pembantu
teologi.109
Dengan demikian, secara historis sudah jelas bahwa “kristenisasi
filsafat dan ilmu-ilmu lain” pada abad pertengahan menandakan adanya
suatu pandangan hidup yang teosentris. Akhirnya, paradigma teosentris
tidak hanya berimplikasi pada perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan lain secara teoritis, tapi juga secara politis. Artinya,
perselingkuhan agama (gereja) dengan kekuasaan raja bertujuan untuk
menjaga stabilitas politik.110 Hal itulah yang menjadi penyebab utama
lahirnya gerakan renaisans.
108 Ajaran “filsafat kritiani” secara jelas tercermin dalam pandangannya tentang iluminasi.
Dalam hal ini, ia berkeyakinan bahwa skeptisisme tidak tahan uji. Jika saya menyangsikan segala
sesuatu, tidak dapat disangsikan bahwa saya sangsikan. Memang ada kebenaran-kebenaran yang
teguh. Rasio insani dapat mencapai kebenaran yang tak terubahkan. Menurut Augustinus, hal itu
hanya mungkin karena kita mengambil bagian dalam rasio Ilahi. Dalam rasio Ilahi terdapat
“kebenaran-kebenaran abadi”: kebenaran-kebenaran mutlak yang tak terubahkan. Rasio Ilahi itu
menerangi rasio insani. Allah adalah guru batiniah yang tinggal dalam batin dan menerangi roh
manusiawi dengan kebenaran-Nya. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), Cet. 13, hlm. 23. 109 Ibid., hlm. 26.
110 Dalam hal ini Augustinus berpendapat, kekuasaan seorang penguasa atas rakyat yang
diperintah berasal dari Tuhan. Raja ditakdirkan Tuhan memang untuk memerintah, terlepas
bagaimanapun durhaka dan zalimnya raja itu. Tuhan sengaja mentakdirkan manusia-manusia
49
Di sini kita perlu hati-hati agar tidak terjebak ke dalam simplifikasi
(penyederhanaan), bahwa istilah “kelahiran kembali” lebih merupakan
slogan saja. Sebab, meski warisan-warisan Yunani dan Romawi kuno
dipelajari lagi oleh para cendikiawan kala itu, namun hasil pengolahan
kembali warisan itu adalah sesuatu yang baru, sehingga renaisans bukanlah
reproduksi kekayaan klasik, melainkan interpretasi baru atasnya.111
Usaha interpretasi (penafsiran) para humanis112 itu bersifat
progresif justru karena lewat minat penelitian filologis zaman renaisans.
Mereka menemukan nilai-nilai klasik yang harus dihidupkan kembali
dalam kebudayaan Barat demi masa depan, yaitu penghargaan atas dunia
seni, penghargaan atas martabat manusia, dan pengakuan atas kemampuan
rasio.
Gerakan humanisme lalu ditandai dengan kepercayaan akan
kemampuan manusia (sebagai pengganti kekuatan adi-korati), hasrat
intelektual, dan penghargaan atas disiplin intelektual. Kaum humanis
percaya bahwa rasio dapat melakukan segalanya dan lebih penting dari
iman. Karena itu, sejak renaisans, penelitian filologis tidak hanya
diarahkan pada sastra klasik, melainkan juga atas kitab suci.113 Artinya,
teks suci mulai dipelajari dengan rasio belaka.
Karena percaya akan kemampuan intelektual, kaum humanis juga
mementingkan perubahan-perubahan social, politik, dan ekonomi. Mereka
melihat kekuasaan absolute gereja semakin keropos, lalu sebagai gantinya
muncul kecenderungan membentuk negara-negara nasional. Dalam situasi
berhati iblis untuk dijadikan alat pencipta perdamaian dunia dan hukuman seadil-adilnya bagi
mereka yang berbuat jahat. Ahmad Suhelmi, op.cit., hlm. 87-88. 111 F. Budi Hardiman, op.cit., hlm. 8-9.
112 Istilah dalam bahasa Italia umanista adalah jargon renaisans yang sejajar dengan
artista (seniman) atau iurista (ahli hukum). Umanista adalah guru atau murid yang mempelajari
kebudayaan seperti: gramatika, retorika, sejarah, seni, dan filsafat. Karena ilmu-ilmu tersebut
memiliki kedudukan penting saat itu, kaum humanis menjadi golongan terpandang. Mereka
bahkan dianggap lebih tinggi kedudukannya dari seniman dan ahli hukum. Ibid., hlm. 9. 113 Ibid., hlm. 10.
50
ini, kaum himanis mendorong sekularisasi, yaitu pemisahan kekuasaan
politis dari agama.114
Kecenderungan itu kemudian ditegaskan dengan bahasa yang lebih
ilmiah oleh Sir F. Bacon. Ia berpendapat bahwa orang Yunani terlalu
terpesona dengan masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum, dan
orang abad Pertengahan dengan teologi.115 Mereka semua dianggap tidak
memusatkan diri pada ilmu pengetahuan, justru pada abad Pertengahan,
misalnya, ilmu pengetahuan diperlakukan sebagai abdi setia teologi.
Perlakuan itu dianggap keliru olehhya, sebab lewat ilmu manusia betul-
betul memperlihatkan kemampuan kodratinya. Sejalan dengan para
humanis Renaisans, yang sebenarnya mengacu pada kaum Sofis Yunani
kuno, Bacon menganggap manusia sebagai ukuran bagi segalanya.
Akhirnya, dengan semangat sekularisasi itulah abad modern
dibangun sejak akhir abad 14. Paradigma teosentrisme yang sebelumnya
mewarnai polemik tentang kosmologi, dalam abad ini telah diganti dengan
paradigma antroposentrisme. Pusat jagad raya ini semata-mata adalah
manusia, sehingga pada gilirannya manusia modern menganggap dirinya
sebagai penguasa atas alam.
2. Antroposentrisme-teosentrisme: Tinjauan Etis-Ekologis
Mengenai konservasi alam atau lingkungan, sebagaimana
penjelasan di atas, orang-orang yang memandang manusia dan
kepentingannya harus mendapatkan perhatian pertama dan utama
dikatakan beraliran antroposentris. Di samping itu, dikatakan bahwa
manusia dan alam merupakan satu kesatuan yang harmonis tanpa ada
kecenderungan yang satu menguasai yang lain. Manusia harus hidup
bersahabat dengan alam. Pendapat tersebut dikemukakan oleh pengikut
aliran konservasionisme.116
114 Ibid.
115 Ibid., hlm. 27.
116 D. Dwidjoseputro, Ekologi Manusia dengan Lingkungannya, (Jakarta: Erlangga,
1990), hlm. 29.
51
Aliran yang kedua tersebut sebenarnya lebih merupakan reaksi
atas aliran yang pertama. Sebab aliran kedua yang juga disebut aliran
envirotalisme ini, berpandangan bahwa akar permasalahan lingkungan
yang terjadi dewasa ini adalah pandangan tradisional Barat yang
antroposentis.117 Salah satu landasan utamanya adalah alasan etis, bahwa
semua kehidupan itu harus kita hormati. Membuatnya cidera berarti
menjamah, suatu perbuatan yang tidak bermoral. Manusia dapat berbuat
atau tidak berbuat demikian: ia memiliki kemampuan untuk memilih.118
Dengan kata lain, tindakan eksploitatif terhadap alam yang lahir dari
paradigma antroposentris merupakan perbuatan yang imoral.
Pandangan yang antroposentris terhadap alam memang tidak dapat
dipisahkan dari gerakan sekularisasi Barat yang merupakan penjelmaan
dari gerakan averoisme, penganut pemikiran Ibnu Rusyd.119 Karena
pandangan tersebut, masyarakat Barat akhirnya menemukan tuhan-tuhan
baru yang menggantikan Tuhan yang sebenarnya seperti teologi
humanisme, rasionalisme, idealisme, empirisme, kultus persona dan
materialisme.120 Secara lantang dan terbuka Barat akhirnya menyatakan
Tuhan telah mati. Pernyataan itu mengemuka setelah filsuf yang bernama
Nietzsche mengeluarkan pernyataan bahwa “Tuhan telah mati, Tuhan terus
mati, kita telah membunuhnya dan semoga Tuhan beristirahat dalam
kedamaian abadi”.121
Paradigma antroposentris itu sebenarnya juga diyakini oleh
masyarakat ekologis yang merupakan bagian integral dari masyarakat
Barat. Jika masyarakat Barat dalam memandang alam telah meniadakan
117 I Gede Suwantana, “Antroposentrisme dan Masalahnya”,
http://www.balifiles.com/detail_artikel.php?detail=113&judul=ANTROPOSENTRISME%20DA
N%20MASALAHNYA, hlm. 1. 118 D. Dwidjoseputro, op.cit., hlm. 30.
119 Pemikiran Ibnu Rusyd mengacu pada pemikiran rasional dan empiris yang kemudian
dijadikan basis bagi IPTEK. Pemikiran tersebut ternyata bertentangan dengan ajaran gereja yang
doktrinal dan bahkan menentang pemikiran rasional. Namun, gerakan sekularisasi berhasil
mengantarkan masyarakat Barat modern mencapai kemajuan. Mujiyono Abdillah, op.cit., hlm. 99-
100. 120 Ibid., hlm. 100.
121 Ibid., hlm. 101.
52
atau mengubur adanya Tuhan secara ateistik, maka kaum ekologis
cenderung tidak mengaitkan Tuhan dan lingkungan. Kalaupun masyarakat
ekologi mencoba menelaah terjadinya kerusakan lingkungan dengan
pendekatan naturalisme dan materialisme. Menurut mereka, problem
lingkungan itu berjalan menurut hokum lingkungan dan harus diadaptasi
dengan kaidah pengelolaan lingkungan, sehingga pengelolaan lingkungan
cukup berporos pada doktrin-doktrin ekologis.122
Lynn White Jr. adalah salah satu tokoh yang juga mengkritik
pandangan antroposentris dengan mengatakan bahwa tradisi Judeo-
Christian sarat dengan pesan di mana manusia adalah penguasa atas
makhluk ciptaan lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurutnya,
pandangan religius ini kemudian dijadikan justifikasi untuk
mengeksploitasi alam. Akibatnya, eksploitasi besar-besaran terhadap alam
dengan dalih kesejahteraan bagi hidup manusia terjadi di berbagai belahan
dunia. Sumber daya alam dikuras sebanyak mungkin untuk konsumsi
manusia.
Namun sebagian pemikir yang beraliran ekosentris tidak sepakat
jika antroposentrisme dikatakan sebagai pemicu kerusakan alam. Mereka
menyatakan bahwa setiap orang tidak bisa membantah bahwa hanya
manusia yang bisa menjadi agen moral sedangkan yang lainnya menjadi
objek moralitas manusia. Hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda alam
lainnya hanya menunggu peran moral manusia terhadap mereka. Jadi,
hanya manusia yang punya ikhtiar di dalam upaya melestarikan mereka.123
Kaum ekosentris124 memandang bahwa seluruh ciptaan di muka
bumi ini memiliki nilai intrinsik yang sama di dalam dirinya sehingga
122 Ibid., hlm. 102.
123 I Gede Suwantana, loc.cit.
124 Pernyataan yang mengawali pemikiran ekosentris ini dimulai oleh Aldo Leopold
seorang ahli kehutanan Amerika pada tahun 1949 melalui karyanya Land Ethic. Ia menyatakan
bahwa “sesuatu adalah benar apabila cenderung ada upaya untuk memelihara kesatuan, stabilitas
dan keindahan komunitas biotik. Sesuatu itu salah jika cenderung berkebalikan”. Baginya setiap
individu adalah bagian dari semuah komunitas yang saling ketergantungan antara satu dengan
yang lainnya. Jika salah satu mengalami gangguan, maka individu-individu lainnya akan
merasakan dampaknya. The Land (di dalam Land Ethic) yang di maksud adalah seluruh komponen
53
mereka memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
Pelestarian terhadap sumber-sumber daya alam bukan karena mereka
memiliki nilai kegunaan untuk kepentingan bisnis manusia, tetapi
pelestarian tersebut dilakukan untuk memberikan kebebasan pada seluruh
makhluk dan benda lainnya untuk tumbuh dan berkembang sebagai
dirinya sendiri. Hewan, tumbuhan, dan benda lainnya tidak hanya
memiliki nilai instrumental saja bagi kepentingan manusia. Setiap orang
mesti memperlakukan yang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri.125
Melihat akar pemikiran ekologi yang silsilahnya dapat ditarik garis
merah dari kultus persona, maka hubungan Tuhan dengan lingkungan
dinilai bersifat teleologi dan tidak tertutup kemungkinan bersifat abstein.
Artinya, jika ekologi bercorak rasionalisme spiritual, maka hubungan
lingkungan dengan Tuhan bersifat teologi berjarak, deistis. Namun, jika
jika bercorak rasionalisme material maka hubungan Tuhan dan lingkungan
diakui secara ateistis.126
Jika ekologi mengingkari adanya hubungan Tuhan dengan
lingkungan maka wajar jika ekologi dalam praktiknya terlepas secara
murni dari nilai-nilai spiritual religious. Di samping itu, ekologi selalu
mengacu pada pemikiran pragmatis dengan implikasi pengelolaan
lingkungan secara tambal sulam, bukan pada pemikiran filosofis yang
berimplikasi pada pengelolaan lingkungan secara holistik.127
Dari pandangan beberapa ahli dan aliran di atas maka dapat
disimpulkan bahwa dalam rangka menciptakan hubungan yang harmonis
antara manusia dengan alam, paradigma antroposentris harus berlandaskan
paradigma teosentris dalam arti yang sebenarnya, yakni nilai-nilai spiritual
religius yang bersih dari motif-motif politis seperti pada abad pertengahan.
Artinya, paradigma teosentris yang merupakan kristalisasi kesadaran akan
nilai-nilai Ilahi betul-betul menjadi landasan bagi tindakan manusia dalam biotik maupun abiotik dari alam semesta yang saling memerlukan di dalam sebuah komunitas
yang harmonis. Ibid., hlm. 2. 125 Ibid.
126 Mujiyono Abdillah, op.cit., hlm. 104.
127 Ibid.
54
memanfaatkan sumber daya alam. Sebab, nilai-nilai Ilahi merupakan
sumber utama etika dan moralitas.
55
BAB III
KETERPADUAN PARADIGMA ANTROPOSENTRISME DAN
TEOSENTRISME BERBASIS AL QUR’AN DENGAN MATERI
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM (KSDA) AIR
A. Gambaran Umum Air dalam Al Qur’an
Air adalah dasar/asas kehidupan. Demikianlah aksioma yang tidak
dapat diingkari karena kebenarannya bersifat mutlak. Kemajuan ilmu
pengetahuan telah memberikan banyak sekali fakta yang menegaskan
kebenaran itu. Air adalah dasar kehidupan seluruh mahluk hidup, sehingga
tidak ada satu pun mahluk hidup yang dapat hidup tanpa air. Di mana ada air,
di situ pasti terdapat kehidupan.
Eksistensi air dan peranannya bagi kehidupan tentu merupakan
kehendak penciptanya, yaitu Allah SWT. Sudah menjadi ketetapan-Nya
bahwa kehidupan mahluk hidup sangat berkaitan erat dengan air. Hal itu
sudah ditetapkan di dalam Al Qur’an. Maka siapa pun yang mengkaji kitab
suci umat Islam tersebut akan mendapati banyak pembahasan perihal air.
Penyebutan kata air (al maa’) dalam ayat Al Qur’an berkisar sebanyak
65 kata dan ayat yang dimaksud belum termasuk ayat membahasnya dalam
bentuk kata lainnya, seperti hujan (matharan), laut (al-bahr), minuman
(syarab), sungai/telaga (anhar), dan lain-lain.113 Banyaknya pengulangan
tersebut membuktikan dan mengandung makna bahwa kedudukan air bagi
semua mahluk hidup amat urgen.
a. Air dan Munculnya Kehidupan
Terdapat banyak ayat Al Qur’an yang membahas tentang air
sebagai asal-usul kehidupan, salah satunya adalah firman Allah SWT:
113 Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan Al Qur’an, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), hlm. 203.
56
óΟ s9 uρr& t�tƒ tÏ% ©!$# (#ÿρã� x� x. ¨βr& ÏN≡uθ≈ yϑ ¡¡9 $# uÚö‘ F{ $# uρ $tFtΡ% Ÿ2 $Z) ø?u‘ $yϑ ßγ≈ oΨ ø) tFx� sù ( $oΨ ù= yèy_uρ zÏΒ Ï !$yϑ ø9 $# ¨≅ ä. >ó x« @c yr ( Ÿξsùr& tβθãΖ ÏΒ ÷σム∩⊂⊃∪
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka
tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30)114
Terdapat beragam penafsiran mengenai ayat tersebut. Dalam hal ini
penulis mengklasifikasikannya ke dalam dua kelompok, yaitu pendapat
para ahli tafsir dan pendapat para ilmuan.
1. Pendapat para ahli tafsir
Dalam menafsirkan ayat “Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup”, ath-Thabari115 mengungkapkan bahwa dalam ayat
tersebut Allah mengatakan, “Kami jadikan kehidupan dengan adanya
air yang kami turunkan dari langit (hujan)”. Sedangkan Qatadah
mengungkapkan bahwa yang dimaksud adalah segala sesuatu yang
hidup diciptakan dari unsur air.116
Ibnu Katsir117 dalam penafsirannya tentang ayat tersebut
mengungkapkan bahwa air adalah dasar dari semua kehidupan.
114 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 499.
115 Ath-Thabari dikenal sebagai sosok yang haus akan ilmu pengetahuan. Nama
lengkapnya Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari dan dikenal dengan nama ath-Thabari
karena dinisbatkan ke nama tanah kelahirannya Thabaristan. Imam ath-Thabari lahir pada 224 H di
Amil, ibu kota Thabaristan di Persia (Iran). Ia adalah seorang ahli fiqih, sejarahwan, dan ahli tafsir
(mufasir). Salah satu karya besarnya adalah kitab Tafsir Jamiul Bayan An Ta’wil Ayi Al Qur’an
yang terdiri dari 26 jilid. Republika, “Imam Ath-Thabari Sang Ulama Multidisipliner”,
http://koran.republika.co.id/koran/0/128245/Imam_ath_Thabari_Sang_Ulama_Multidisipliner,
hlm. 1. 116 Ahzami Samiun Jazuli, op.cit., hlm. 205.
117 Nama lenngkapnya adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-
Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, namun lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Ia lahir pada
701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashrah di negeri Syam. Pada usia 4 tahun,
ayahnya meninggal sehingga kemudian ia diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, ia pindah dan
menetap di kota Damaskus. Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab
yang terkenal, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan
umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits
tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi. 2Lisan, “Biografi
Ibnu Katsir”, http://www.2lisan.com/biografi/tokoh-islam/ibnu-katsir/, hlm. 1.
57
Sedangkan Qurthubi118 mengemukakan tiga interpretasi.
119 Pertama,
bahwa segala sesuatu diciptakan dari unsur air. Kedua, air dibutuhkan
demi bisa mempertahankan hidup. Ketiga, semua yang hidup diciptakan
dari air yang keluar dari tulang sulbi. Sayyid Quthb120 turut sependapat
dengan penafsiran beberapa mufassir tersebut. Ia mengemukakan
bahwa frman-Nya, “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup”, menunjukkan akan pentingnya air dalam kehidupan.121
Terkait dengan air sebagai sumber kehidupan, penciptaan
manusia adalah salah satu tema yang di bahas secara eksplisit di dalam
Al Qur’an. Dalam hal ini, sepintas lalu ada kontradiksi antara yang
memaparkan bahwa Allah “menciptakan manusia dari air”122 dengan
ayat lain yang mengungkapkan “manusia dari sari pati yang berasal dari
118 Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin
Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, seorang ahli tafsir dari Cordova (sekarang
Spanyol). Ia adalah hamba Allah yang shalih dan ulama yang arif, wara’ dan zuhud di dunia, yang
sibuk dirinya dengan urusan akhirat. Waktunya dihabiskan untuk memberikan bimbingan,
beribadah dan menulis. Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir Al Jami’ Li
Ahkami al Qur’an karya Al Qurthubi, sehingga tafsir ini sering disebut dengan nama tafsir Al
Qurthubi. Tafsir tersebut adalah salah satu dari sekian tafsir yang dalam penafsirannya
menggunakan metode analitik (tahlili). Dari penamaannya sudah terlihat bahwa tafsir ini lebih
menitik beratkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran, walaupun didalamnya
terdapat pula masalah-masalah linguistik dan sastra, sehingga dalam kitab Al Tafsir Wa Al
Mufassirun tafsir ini dikelompokan dalam Tafsir al Fuqaha. Word Press, “Biografi Imam al
Qurtubi”, http://jacksite.wordpress.com/2009/11/09/biografi-imam-al-qurthubi-ulama-besar-dari-
spanyol/, hlm. 1. 119 Ahzami Samiun Jazuli, op.cit., hlm. 206.
120 Sayyid Quthb (1906-1966) lahir di Musha, Asiyuth, Mesir. Ayahnya Ibrahim Husain Shadhili.
Ia dikenal sebagai kritikus sastra, novelis, penyair, pemikir Islam, aktivis muslim Mesir paling
terkenal pada abad 20, dan tokoh besar Ikhwan al-Muslimin. Akan tetapi, kelompok Ikhwanul
Muslimin dianggap tidak sah dan anggotanya ditangkap serta dijebloskan ke dalam penjara oleh
Presiden Mesir saat itu Gamal Abdul Nasser. Selama di penjara Sayyid Qutb merefisi berjilid-jilid
penafsiran Al Qur’ánnya. Dalam karyanya ma’álim fi al-thariq (Petunjuk Jalan), ia mengatakan
bahwa kelompok yang menentang Islamisasi masyarakat dan negara harus diperlakukan
selayaknya kaum jahiliyah atau dianggap murtad. Baginya pula, rezim Mesir adalah rezim yang
tidak Islami dan sah untuk digulingkan. Ia menolak modernisasi dalam Islam dan ia juga
berpendapat bahwa Islam tidak perlu belajar kepada Barat. Karyanya di bidang tafsir yang terkenal
adalah Tafsir Fî Zhilal Al Qur’an. http://www.biografitokohdunia.com/2011/04/biografi-sayyid-
quthb.html 121 Ahzami Samiun Jazuli, loc.cit.
122 “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah, dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa” (QS. Al Furqan: 54).
Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar,
mertua dan sebagainya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 567.
58
tanah dan dari sari pati tanah itu dijadikan air”123, serta beberapa proses
penciptaan lainnya. Akan tetapi sesungguhnya ayat-ayat tersebut tidak
bertentangan.
Untuk memahami perbedaan deskripsi tersebut, perlu difahami
bahwa di dalam Al Qur’an penciptaan manusia dikelompokkan ke
dalam empat macam proses penciptaan.124 Pertama, penciptaan Adam
AS dari tanah (QS. Al Rahman: 14; Al Sajdah: 7-9; Fathir: 11-12; Al
Hajj: 5-6; Al Hijr: 28-29). Kedua, penciptaan Siti Hawa dari tulang
rusuk (QS. Al Nisa’: 1). Ketiga, penciptaan Isa AS dari ovum saja (QS.
Ali Imran: 47). Keempat, penciptaan manusia dari air mani (sperma)
dan ovum (QS. Al Furqan: 54; Al Insan: 2; Al Thariq: 5-8; Al
Qiyamah: 36-39; Al A’raf: 189-190).
Dalam Tafsir Al Azhar, tentang surat Al Mu’minun ayat 12,
Hamka menjelaskan tentang maksud “manusia dari sari pati yang
berasal dari tanah” dengan uraian sebagai berikut:
“Di dalam sayur-sayuran, buah-buahan, padi, jagung, dan
sebagainya adasegala macam jaringan yang ditakdirkan Tuhan
atas alam. Di sana ada zat besi, zat putih telur, vitamin, kalori,
hormon, dan sebagainya. Dengan makanan itu, teraturlah jalan
darahnya, dan tidak dapat hidup kalau bukan dari zat bumi
tempat ia dilahirkan itu. Dalam tubuh yang sehat mengalirlah
darah, berpusat pada jantung dan dari jantung mengalirlah darah
itu ke seluruh tubuh. Dalam darah itu terdapat zat yang akan
menjadi mani. Setetes air (mani) mengandung beribu-ribu
bahkan bermiliaran “tampang” yang akan dijadikan manusia,
yang tersimpan dalam shulbi laki-laki dan taraib perempuan.”125
Jadi, manusia yang dimaksud adalah kita semua. Bahwa
“manusia dari sari pati tanah” itu dijabarkan melalui proses sejak akar
tumbuhan menghisap air dan zat-zat dari dalam tanah hingga proses
biologis di dalam tanaman dan dalam tubuh manusia.
123 “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim)” (QS. Al Mukminun: 12-13). Ibid., hlm. 257. 124 Agus S. Djamil, Al Qur’an dan Lautan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), Cet. 2,
hlm. 87. 125 Ibid., hlm. 88.
59
Sedangkan tentang “Allah menciptakan manusia dari air”, dalam
kitab tafsir yang sama Hamka memberikan tafsir surat Al Furqan ayat
54 sebagai air mani. Ia melukiskan sebagai berikut:
“Setetes air mani mengandung berjuta bibit untuk dijadikan
manusia. Manusia yang berasal dari air telah memenuhi bumi ini
abad demi abad. Kemudian manusia itu berkawin berketurunan,
semenda-menyemenda, beripar, bermenantu, bermetua.
Setelah air mani, mencipta manusia dan manusia itu hidup.
Siapakah yang menghubungkan setetes air mani itu dengan yang
dinamakan hidup? Mungkinkah tercipta hidup ini dari sesuatu
yang mati? Mungkinkah ada sesuatu dari yang tidak ada?”126
Kutipan di atas enunjukkan bahwa pemahaman Hamka
terhadapa manusia diciptakan dari air, dalam surat Al Furqan ayat 54,
merujuk pada air mani atau bentuk kejadian. Hal itu bermulanya sejak
awal sebelum seorang janin bayi terbentuk di dalam rahim. Dengan
demikian tidak terdapat kontradiksi antara kedua ayat di atas, justru
sebaliknya mengandung pengertian yang sama. Adapun yang
ditekankan oleh Hamka adalah proses kejadian manusia itu ada yang
menciptakannya yaitu Allah SWT, bukan berproses sendiri secara
spontan.
Semua itu menunjukkan betapa eksistensi air bagi kehidupan
merupakan faktor primer. Hal ini tentu tidak hanya berdasarkan
normativitas ajaran Islam dalam Al Quran, tapi juga berlandaskan
kenyataan empiris ilmiah bahwa sel-sel tubuh mahluk hidup sebagian
besarnya berasal dari air yang tanpanya tubuh atau jasad tidak akan
hidup. Dalam hal ini, Allah SWT benar-benar telah memosisikan air
secara substansial bagi kelangsungan hidup mahluk hidup.
2. Perspektif ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan modern telah berhasil mengetahui kadar air
yang ada dan yang dibutuhkan oleh manusia, binatang, dan tumbuhan.
Kadar air yang dibutuhkan manusia dan binatang lebih dari 3/4 atau
sekitar 80 % dari berat tubuhnya. Sedangkan kadar air yang dibutuhkan
126 Ibid., hlm. 89.
60
oleh tumbuhan berkisar 55% hingga 70% dari total tubuhnya.127 Ini
berarti sebagian besar tubuh manusia, binatang, dan tumbuhan berasal
dari unsur air. Dengan demikian, ketiga jenis mahluk hidup tersebut
seolah-olah adalah mahluk air. Hal tersebut telah menjadi ketetapan
Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al Anbiya’ ayat 30,
yakni “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. Hidup
yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup kehidupan dengan
pertumbuhan saja sebagaimana tumbuhan, serta kehidupan
perkembangan sebagaimana manusia dan binatang.128
Peranan air yang paling utama bagi mahluk hidup adalah
sebagai pencair yang dapat memindahkan makanan dan sisa-sisanya
dari suatu sel ke sel yang lain serta ke jaringan sel. Selain itu, air juga
merupakan bahan dasar respirasi mahluk hidup. Sebab secara kimiawi,
oksigen (O2), bahkan yang dikeluarkan oleh tumbuh-tumbuhan yang
dibutuhkan mahluk hidup, asal-usulnya adalah air (H2O), bukan karbon
dioksida (CO2). Ini karena dalam reaksi tumbuh-tumbuhan ditemukan
O2 yang berasal dari air dan O2 yang berasal dari CO2. Dengan
demikian, telah terbukti secara ilmiah bahwa udara pun ternyata sumber
oksigennya berasal dari air.129
Secara medis juga telah dipaparkan bahwa tubuh manusia dalam
kedinamisannya membutuhkan air yang bergerak dalam setiap rongga
tubuhnya. Air itu akan mengontrol aliran darah dan membantu proses
pencernaan makanan dalam lambung. Air juga dibutuhkan untuk
mentrasfer nutrisi dan zat lain dalam darah ke semua organ tubuh.
Dengan air pula, tubuh dapat berada dalam batasan suhu normal dan
mampu melepaskan toksin dalam tubuh.130 Jadi, tanpa air zat dan racun
yang membahayakan tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh.
127 Ahzami Samiun Jazuli, loc.cit.
128 Ibid., hlm. 207
129 Yusuf al-Hajj Ahmad, Ensiklopedi Kemukjizatan Ilmiah dalam Al Qur’an dan Sunah,
(Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2005), hlm. 139. 130 Ahzami Samiun Jazuli, op.cit.
61
Sungguh, adanya air dalam tubuh serta tersedianya air yang dibutuhkan
merupakan nikmat dari Allah yang harus kita syukuri.
Bagi tumbuh-tumbuhan, dengan capillary action (gerak kapiler),
air akan naik dari akar tumbuhan menuju daun tanpa alat pemompa.131
Proses tersebut pada akhirnya akan menunjang terjadinya proses
fotosintesis. Demikianlah gerak air yang dijadikan oleh Allah untuk
kepentingan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan.
b. Air sebagai Bukti Kekuasaan Allah
Bila di dalam Al Qur’an air secara umum dikaitkan dengan
kehidupan, maka sesungguhnya hal tersebut secara tidak langsung
menggambarkan bahwa air merupakan salah satu tanda kekuasaan-Nya.
Dikatakan suatu tanda karena eksistensinya jelas. Dengan memahami
eksistensi air, maka hendaknya manusia dapat memahami eksistensi
penciptanya.
Menurut Raghib al-Ashfahani, air dikatakan tanda karena bisa
tervisualisasi. Pada hakikatnya, segala sesuatu yang tervisualisasi selalu
berkaitan erat dengan suatu Dzat yang tidak tervisualisasi. Di saat
seseorang memahami sesuatu yang tervisualisasi, maka secara tidak
langsung ia pun bisa memahami sesuatu yang tidak tervisualisasi di
belakangnya. Barang siapa memahami ilmu dari akarnya, maka ia akan
memahami semua fasenya. Artinya, jika kita memahami sesuatu yang
dibuat, maka kita pun bisa langsung memahami bahwa pasti ada
pembuatnya.132
Al Qur’an menyematkan air sebagai satu tanda kekuasaan Allah.
Dalam hal ini, secara garis besar ada tiga postulat yang menjelaskan hal
tersebut.133
1. Sesungguhnya penyebab (as-sabab) hanya satu dan yang disebabkan
(al musabbab) sangat beragam.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an,
131 Yusuf al-Hajj Ahmad, op.cit., hlm. 130.
132 Ahzami Samiun Jazuli, op.cit., hlm. 210.
133 Ibid.
62
uθèδ uρ ü“ Ï% ©!$# tΑ t“Ρr& zÏΒ Ï!$yϑ ¡¡9 $# [ !$tΒ $oΨ ô_t� ÷z r' sù ϵÎ/ |N$t7 tΡ Èe≅ ä. &ó x« $oΨ ô_t� ÷z r' sù çµ÷Ψ ÏΒ # Z�ÅØ yz ßlÌ� øƒ �Υ çµ÷Ψ ÏΒ ${6ym $Y6Å2# u�tI•Β zÏΒ uρ È≅ ÷‚̈Ζ9$# ÏΒ $yγÏèù= sÛ ×β# uθ÷Ζ Ï% ×πuŠ ÏΡ#yŠ ;M≈ ¨Ψ y_uρ ôÏiΒ
5>$oΨ ôã r& tβθçG ÷ƒ̈“9 $# uρ tβ$̈Β ”�9 $#uρ $YγÎ6oK ô±ãΒ u� ö� xî uρ >µÎ7≈ t±tFãΒ 3 (#ÿρã� ÝàΡ$# 4’ n< Î) ÿÍν Ì� yϑ rO !# sŒ Î) t� yϑ øOr& ÿϵÏè÷Ζ tƒuρ
4 ¨βÎ) ’ Îû öΝ ä3Ï9≡sŒ ;M≈ tƒUψ 5Θ öθs) Ïj9 tβθãΖ ÏΒ ÷σム∩∪
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan
maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang
menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu
butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-
tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami
keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak
serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-
orang yang beriman.” (QS. Al An’am [6]: 99)134
’ Îûuρ ÇÚö‘ F{ $# ÓìsÜ Ï% ÔN≡u‘ Èθ≈ yftG •Β ×M≈̈Ζ y_uρ ôÏiΒ 5=≈ uΖ ôãr& ×íö‘ y— uρ ×≅Š σwΥuρ ×β# uθ÷Ζ Ï¹ ç� ö�xîuρ
5β# uθ÷Ζ Ï¹ 4’ s+ó¡ç„ &!$yϑ Î/ 7‰ Ïn≡uρ ã≅ ÅeÒx� çΡ uρ $pκ |Õ÷èt/ 4†n?tã <Ù÷èt/ ’ Îû È≅à2W{ $# 4 ¨βÎ) ’ Îû š�Ï9≡sŒ
;M≈ tƒUψ 5Θ öθs) Ïj9 šχθè= É) ÷ètƒ ∩⊆∪
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan,
dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma
yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air
yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu
atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ra’du [13]: 4)135
Pada ayat pertama kita dapat memahami bahwa air suatu unsur
yang satu, namun bisa digunakan untuk banyak keperluan. Sedangkan
pada ayat kedua nampak bahwa air bisa digunakan untuk menyuburkan
134 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 203.
135 Ibid., hlm. 368-369.
63
berbagai tanaman dengan beragam karakteristiknya,136 baik itu rasa
buahnya, wanginya, warnanya, dan lain-lain.
Zamakhsari dalam menafsirkan ayat di atas mengungkapkan
bahwa karena air maka tumbuhlah tumbuhan dan buah-buahan dengan
beragam jenisnya yang dibutuhkan manusia. Di sini air menempati
posisi sebagai as-sabab dan beragam keperluan itu sebagai al-
musabbab.137
Penjelasan Al Qur’an tentang air sebagai penyebab bagi segala
keperluan tentu tidak dapat difahami sampai di sini saja. Sebab, semua
kepentingan yang bisa ditangani oleh air secara mutlak bergantung pada
kekuasaan Allah SWT semata sebagai penyebab pertama (causa prima)
dari segala-galanya.138
2. Air diturunkan dengan kadar tertentu.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an,
$uΖ ø9 t“Ρ r&uρ zÏΒ Ï!$yϑ ¡¡9 $# L !$tΒ 9‘ y‰ s) Î/ çµ≈ ¨Ψ s3ó™r' sù ’ Îû ÇÚö‘ F{ $# ( $‾Ρ Î) uρ 4’ n?tã ¤U$yδ sŒ ϵÎ/ tβρ①ω≈ s)s9
∩⊇∇∪
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu
Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami
benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS. Al Mu’minun
[23]: 18)139
Al Qurthubi menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “suatu
ukuran” dalam ayat tersebut adalah kadar yang normal, karena jika air
diturunkan secara berlebihan tentu akan membahayakan kehidupan.140
136 Hal serupa juga dijelaskan dalam suatu ayat, “Yang telah menjadikan bagimu bumi
sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan
dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-
tumbuhan yang bermacam-macam.” (QS. Thaha [20]: 53). Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 481. 137 Ahzami Samiun Jazuli, loc.cit.
138 Hal itu merujuk pada ayat yang berbunyi, “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan
kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu
bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi
Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al Ankabut [29]: 63). Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 637. 139 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 528.
140 Ahzami Samiun Jazuli, op.cit., hlm. 211.
64
Penafsiran tersebut sejalan dengan dalil-dalil kosmologi, bahwa alam
semesta (kosmos) memiliki sifat keteraturan dan keseimbangan.
Kosmos ini akan berubah menjadi chaos unsur-unsur di dalamnya
melebihi kadar atau melanggar hukum alam (sunnatullah).
Sesungguhnya kadar air yang diturunkan ke bumi oleh Allah
telah disesuaikan dengan kebutuhan mahluk hidup atau kelangsungan
kehidupan. Artinya, jika terjadi ketidakseimbangan atau kekacauan,
misalnya dalam suatu ekosistem, maka itu pasti karena faktor human
error. Bencana banjir adalah salah satu contoh kenyataan yang
disebabkan oleh kesalahan manusia yang melanggar hukum alam
dengan melakukan penggundulan hutan.
Tentu semua itu tidak bisa lepas dari kekuasaan Allah, di mana
kaitan antara sesuai ukuran (al-qadar) dengan kekuasaan (al-qudrah)
amat erat. Semua yang sesuai ukuran adalah yang tidak lebih dan tidak
kurang (proporsional). Sedangkan yang dimaksud dengan Yang
berkuasa adalah Yang meletakkan segala yang dikehendaki-Nya dengan
ukuran tertentu berdasarkan fungsi sesuatu itu.141 Dalam hal ini, hanya
Dia-lah yang maha berkuasa.
3. Penyifatan air dengan kehidupan.
Terkait penjelasan Al Qur’an tentang sifat air yang identik
dengan kehidupan, sekilas telah penulis paparkan di atas. Di sini kita
dapat menengok kembali betapa hanya berkat kekuasaan-Nya-lah
sesuatu yang hidup dapat lahir dari sesuatu yang tak hidup, yaitu air.
Dalam suatu ayat Allah berfiman:
ôÏΒ uρ ÿϵÏG≈ tƒ# u y7 ‾Ρ r& “ t� s? uÚö‘ F{ $# Zπyèϱ≈ yz !#sŒ Î* sù $uΖ ø9 t“Ρ r& $pκ ö� n= tæ u !$yϑ ø9 $# ôN ¨”tI÷δ $# ôM t/u‘ uρ 4 ¨βÎ) ü“ Ï% ©!$# $yδ$u‹ ôm r& Ç‘ósßϑ s9 #’ tA öθyϑ ø9 $# 4 …çµ‾Ρ Î) 4’ n?tã Èe≅ ä. & ó x« í�ƒÏ‰s% ∩⊂∪
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi
kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya,
niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang
menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati.
141 Ibid.
65
Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
Fushshilat [41]: 39)142
Bumi yang mati dan kering kemudian turun air (hujan) untuk
menyiraminya hingga terlahir suatu kehidupan, adalah terjadi atas
kekuasaan dan kehendak Allah SWT. Dengan air itulah ditumbuhkan
beragam tumbuh-tumbuhan dengan berbagai jenisnya. Demikianlah
gambaran pertumbuhan tanaman di muka bumi. Ini pun tidak berbeda
dengan perkembangan anak manusia mulai dari air mani kemudian
menjadi janin yang akhirnya lahir menjadi manusia. Semua itu sesuai
dengan kehendak dan kekuasaan-Nya.
Dari paparan di atas, dapat difahami bahwa ketiga postulat tentang
air di atas merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Tanda-tanda itu tidak
lain adalah petunjuk bagi siapa saja yang mau mengambil petunjuk.
Dengan petunjuk itu, seseorang akan selalu berada di jalan yang lurus
(shirathal mustaqim), yaitu suatu jalan di mana orang-orang telah
mendapatkan banyak nikmat dari Allah dan tentu mereka bukan yang
dimurkai-Nya.
B. Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air Berbasis Al Qur’an:
Paradigma Antroposentrisme
Manusia, ditinjau dari aspek ekologis, mengacu pada pengertian
ekologi manusia itu sendiri. Dalam pengertian ini kehidupan manusia tidak
dapat terlepas dari komponen lingkungan di luar dirinya, baik unsur-unsur
biotik maupun abiotik yang keduanya itu disebut sumber daya alam (SDA).
Sebab, semua kebutuhan hidup manusia manusia tersedia di alam.
Di sini kita mendapati suatu aksioma bahwa kehidupan manusia
sepenuhnya bergantung kepada SDA, tapi tidak sebaliknya. Hal itu logis
karena pada kondisi ini manusia bertindak sebagai konsumen yang tidak bisa
tidak mengkonsumsi atau menggunakan sumber-sumber alam untuk bertahan
hidup. Sementara alam, tanpa kehadiran manusia, keadaannya akan tetap
142 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 778.
66
dalam kondisi seimbang, serasi, dan berkelanjutan karena sumber daya alam
memiliki sifat homeostatis,143 adaptasi secara alami, toleransi, resilient.
144
Dengan demikian, segala sumber yang ada di alam memang
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam hal ini,
sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I, selain dalam surat Al Baqarah ayat
29, Allah SWT juga menjelaskan dalam ayat lain yang berbunyi:
óΟ s9 r& (# ÷ρt� s? ¨βr& ©!$# t� ¤‚y™ Νä3s9 $̈Β ’ Îû ÏN≡uθ≈ yϑ ¡¡9 $# $tΒ uρ ’Îû ÇÚö‘ F{ $# x@t7 ó™r&uρ öΝ ä3ø‹ n= tæ … çµyϑ yèÏΡ
Zοt� Îγ≈ sß ZπuΖ ÏÛ$t/ uρ 3 zÏΒ uρ Ĩ$̈Ζ9 $# tΒ ãΑ ω≈pgä† †Îû «!$# Î�ö� tóÎ/ 5Ο ù= Ïæ Ÿωuρ “ W‰èδ Ÿωuρ 5=≈ tG Ï.
9��ÏΖ •Β ∩⊄⊃∪
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan
untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi
penerangan.” (QS. Luqman [31]: 20)145
Dalam surat Al Baqarah ayat 29 di atas dijelaskan, “Dialah Allah yang
telah menciptakan segala sesuatu di bumi untuk kamu”. Menurut banyak
ulama ayat tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya segala apa yang
terbentang di bumi ini dapat digunakan oleh manusia, kecuali ada dalil lain
yang melarangnya.146 Secara eksplisit, ayat tersebut mengungkapkan sisi
antroposentris dalam penciptaan sumber-sumber alam yang ada di bumi.
Demikian pula dengan penjelasan dalam surat Luqman ayat 20,
“sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang
di langit dan apa yang di bumi”, secara tersirat juga menegaskan bahwa
ditundukkannya segala sesuatu yang ada di alam adalah untuk kepentingan
manusia. Dengan kata lain, menurut pemahaman penulis terhadap kedua ayat
143 Gejala kembalinya suatu sistem kepada keseimbangan semula atau nilai semula, atau
bagian dari interaksi berupa pemeliharaan keseimbangan sendiri. 144 Gejala melentingnya suatu sistem yaitu kembalinya suatu komponen secara dinamis ke
dalam batas-batas yang ditentukan oleh sistemnya atau toleransinya. 145 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 655.
146 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2006) Vol. 1, Cet. 7, hlm. 138.
67
tersebut, dalam konteks ini Allah telah menjadikan manusia sebagai pusat
pusat alam semesta, dalam pengertian alam diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, air merupakan salah satu sumber daya
alam yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Adapun manusia
yang dimaksud ialah manusia secara umum, siapa pun itu, karena pada ayat-
ayat tersebut tidak ada batasan tertentu tentang aksidensi kemanusiaannya.
Jadi hal itu berlaku untuk semua manusia, tanpa terkecuali, karena tidak satu
pun dari mereka yang tidak membutuhkan air. Dengan diciptakannya air,
manusia kemudian mulai memanfaatkannya untuk segala macam hajat
hidupnya.
Perkembangan zaman yang diikuti dengan pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuna dan teknologi (IPTEK), di satu sisi telah memberikan
kemudahan bagi manusia dalam memanfaatkan air. Pada sisi lain,
perkembangan IPTEK itu juga turut memberikan energi baru bagi sifat
kodrati manusia sebagai mahluk yang selalu ingin tahu. Alhasil, air kemudian
tidak hanya dijadikan barang konsumsi kebutuhan hidup, tapi juga dijadikan
objek penelitian ilmiah modern.
Hal yang menarik perhatian adalah, bahwa hasil penelitian ilmiah
masa kini tidak hanya kerap menyuguhkan fakta-fakta tentang segala
keutamaan (keajaiban)147 dan potensi air, tapi juga telah menunjukkan adanya
suatu “konsensus ilmiah” bahwa planet ini sedang dilanda krisis air. Oleh
147 Tentu kita masih ingat akan penemuan ilmiah Dr. Masaru Emoto dari Universitas
Yokohama Jepang yang mengungkap salah satu keajaiban air. Dengan ia tekun melakukan
penelitian tentang perilaku air. Air murni dari mata air di pulau Honshu didoakan secara agama
Shinto, lalu didinginkan sampai minus 5 derajat Celcius di laboratorium, kemudian difoto dengan
mikroskop elektron dengan kamera kecepatan tinggi. Ternyata molekul air membentuk kristal segi
enam yang indah. Percobaan di ulangi dengan memutar musik simponi Mozart, kristal muncul
berbentuk bunga. Ketika Musik heavy metal di perdengarkan, kristal hancur. Selanjutnya di
tunjukkan kata “setan” dalam bahasa Jepang. Kristal berbentuk buruk. Dr. Emoto akhirnya
berkeliling dunia melakukan percobaan dengan air di Swiss, Berlin, Prancis, Palestina, dan
kemudian di undang ke Markas Besar PBB di New York pada Maret 2005 lalu untuk
mempresentasikan temuannya. Dalam bukunya ” The Hidden Message in Water”, Dr. Masaru
Emoto menguraikan bahwa air bersifat bisa merekam pesan, seperti pita magnetik atau compact
disk. Semakin kuat konsentrasi pemberi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air. Air bisa
mentransfer pesan tadi melalui molekul air yang lain. Zulfikri, “Keajaiban Air”,
http://zulfikri.wordpress.com/2007/09/04/keajaiban-air/, hlm. 1.
68
sebab itu, dunia mulai sadar akan pentingnya konservasi air demi
keberlangsungan kehidupan (manusia) itu sendiri.
Hidrologi dalam Al Qur’an: Petunjuk Konservasi Sumber Daya Alam
(KSDA) Air
Dalam materi Konservasi Sumber Daya (KSDA) Air, hidrologi (siklus
air) adalah satu bahasan yang tidak dapat ditinggalkan dan perlu pemahaman
yang secara mendalam. Sebab, sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II,
siklus air merupakan suatu fenomena alam yang di dalamnya berlangsung
proses pengisian oleh presipitasi (hujan) ke dalam dua sumber utama air,
yaitu air permukaan dan air tanah. Terkait dua sumber air tersebut Allah
berfirman:
$uΖ ø9 t“Ρ r&uρ zÏΒ Ï!$yϑ ¡¡9 $# L !$tΒ 9‘ y‰ s) Î/ çµ≈ ¨Ψ s3ó™r' sù ’ Îû ÇÚö‘ F{ $# ( $‾Ρ Î) uρ 4’ n?tã ¤U$yδ sŒ ϵÎ/ tβρ①ω≈ s)s9
∩⊇∇∪
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami
jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar
berkuasa menghilangkannya.” (QS. Al Mu’minun [23]: 18)148
Menurut Qurthubi, ayat tersebut menegasakan akan banhyak nikmat
yang telah Allah anugerahkan kepada mahluk-Nya, di antaranya adalah
dengan menciptakan air yang merupakan kebutuhan utama seluruh mahluk-
Nya, yaitu berupa air yang diturunkannya dari langit. Jenis air yang
diturunkan dari langit dibagi atas dua bagian. Pertama, mata air yang
tersimpan dalam perut bumi. Kedua, air sungai dan air yang berasal dari
sumur.149 Dalam komponen hidrologi, air yang pertama disebut air tanah dan
air yang kedua disebut air permukaan.
Siklus hidrologi berlangsung terus-menerus dan tidak diketahui kapan,
dari mana berawalnya dan kapan pula akan berakhir.150 Di dalam Al Qur’an
dijelaskan bahwa hujan merupakan simbolisasi atas sejuta anugerah yang
148 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 528.
149 Ahzami Samiun Jazuli, op.cit., hlm. 202.
150 Suripin, op.cit., hlm. 134.
69
diturunkan oleh Allah untuk mahluknya. Allah SWT telah banyak
menggambarkan proses tersebut dengan sangat mengagumkan, sebagaimana
firman-Nya:
óΟ s9 r& t� s? ¨βr& ©!$# Åe÷“ ム$\/$ptxā §ΝèO ß# Ïj9 xσム…çµuΖ ÷� t/ §Ν èO … ã&é# yèøgs† $YΒ% x. â‘ “ u�tIsù šX ôŠtθø9 $# ßlã� øƒs†
ôÏΒ Ï&Î#≈ n= Åz ãΑ Íi” t∴ãƒuρ zÏΒ Ï !$uΚ ¡¡9 $# ÏΒ 5Α$t7Å_ $pκ� Ïù .ÏΒ 7Št� t/ Ü=Š ÅÁãŠsù ϵÎ/ tΒ â!$t±o„
… çµèùÎ� óÇtƒuρ tã ̈Β â !$t±o„ ( ߊ% s3tƒ $uΖ y™ ϵÏ% ö� t/ Ü=yδ õ‹ tƒ Ì�≈ |Áö/ F{ $$Î/ ∩⊆⊂∪
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian
mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya
bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-
celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit,
(yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka
ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-
Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan
penglihatan.” (QS. An Nur [24]: 43)151
Dalam suatu ayat lain Allah juga berfirman,
öΝ s9r& t� s? ¨βr& ©! $# tΑt“Ρ r& zÏΒ Ï!$yϑ ¡¡9 $# [ !$tΒ …çµs3n= |¡sù yì‹ Î6≈ oΨ tƒ †Îû ÇÚö‘ F{ $# ¢ΟèO ßlÌ� øƒ ä† ÏµÎ/ % Yæö‘ y— $̧� Î= tG øƒ ’Χ …çµçΡ≡uθø9 r& §Ν èO ßkŠ Îγtƒ çµ1u� tIsù #v� x�óÁãΒ ¢Ο èO …ã&é# yèøgs† $̧ϑ≈ sÜ ãm 4 ¨βÎ) ’ Îû š�Ï9≡sŒ
3“ t� ø.Ï% s! ’ Í< 'ρT{ É=≈t7 ø9F{ $# ∩⊄⊇∪
“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah
menurunkan air dari langit, lalu Dia mengalirkannya menjadi mata air-
mata air di bumi, kemudian Dia mengeluarkan dengannya tanaman-
tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu
kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur
berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az
Zumar [39]: 21)152
Dalam ayat pertama di atas Allah memerintahkan kita untuk
memperhatikan proses terjadinya hujan agar kita lebih mengenali eksistensi
air. Sedangkan pada ayat kedua Allah memerintah kita untuk memperhatikan
proses terbentuknya sumber-sumber air di bumi. Dengan demikian, kedua
151 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 551.
152 Ibid., hlm. 748.
70
ayat tersebut sama-sama menjelaskan turunnya air hujan secara hidrologis
hingga air hujan itu jatuh ke bumi kemudian mengalir ke sumber-sumber air.
Menurut Muhammad Shahrur, penurunan air ke bumi yang di sini kita
sebut hidrologi, merupakan fenomena alam yang mengelami proses al-Inzal
tanpa al-Tanzil. Dalam ayat di atas yang berbunyi “Apakah kamu tidak
memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, lalu
Dia mengalirkannya menjadi mata air-mata air”, sesungguhnya Allah
memberikan fenomena yang dapat diketahui karena proses tersebut berada
pada wilayah yang terjangkau pengetahuan manusia. Fenomena mengalirnya
air dalam bumi (air tanah) merupakan fenomena yang dapat diketahui
manusia.153 Jadi dapat dikatakan bahwa hidrologi merupakan pengetahuan
manusia tentang fenomena siklus air yang ditunjukkan oleh Allah.
Penjelasan Shahrur mengenai proses al-Inzal pada ayat tersebut juga
diselaraskan dengan firman-Nya yang berbunyi:
tΑ t“Ρ r& š∅ÏΒ Ï !$yϑ ¡¡9 $# [!$tΒ ôM s9$|¡sù 8πtƒÏŠ ÷ρr& $yδ Í‘ y‰ s)Î/ Ÿ≅ yϑ tGôm$$ sù ã≅ ø‹¡¡9 $# # Y‰t/ y— $\Š Î/#§‘ 4 $£ϑ ÏΒ uρ
tβρ߉ Ï%θムϵø‹ n= tã ’ Îû Í‘$̈Ζ9$# u!$tóÏG ö/ $# >πu‹ ù= Ïm ÷ρr& 8ì≈ tFtΒ Ó‰t/ y— … ã&é# ÷WÏiΒ 4 y7 Ï9≡x‹x. Ü>Î� ôØ o„ ª!$# ¨,ysø9$#
Ÿ≅ ÏÜ≈t7 ø9 $#uρ 4 $̈Β r' sù ߉ t/̈“9 $# Ü= yδ õ‹uŠsù [ !$x� ã_ ( $̈Β r&uρ $tΒ ßìx�Ζ tƒ }̈ $̈Ζ9$# ß]ä3ôϑ u‹ sù ’ Îû ÇÚö‘ F{ $# 4 y7 Ï9≡x‹x. Ü> Î�ôØ o„ ª! $# tΑ$sW øΒF{ $# ∩⊇∠∪
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih
yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam
api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti
buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang
benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu
yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Al Ra’du [13]: 17)154
Bahwa Allah menginformasikan tentang sebuah fenomena agar kita
mengetahuinya, yaitu perpindahan dari wilayah yang tidak diketahui
153 Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), Cet. 1, hlm. 221-222. 154 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 371.
71
memasuki wilayah pengetahuan kognitif (al-Inzal). Allah berkata kepada kita:
sesungguhnya air yang turun dari langit adalah air yang sama, baik yang
mengalir di mata air maupun yang terserap dalam tanah. Persamaan dari
keduanya adalah sifat kimianya (kamiyah).155
Sedangkan ketika Allah dalam dalam ayat yang lain berfirman:
¨βÎ) ©! $# …çνy‰Ψ Ïã ãΝù= Ïæ Ïπtã$¡¡9 $# Ú^ Íi” t∴ãƒuρ y]ø‹ tóø9 $# ÞΟ n= ÷ètƒuρ $tΒ ’ Îû ÏΘ% tnö‘ F{ $# ( $tΒ uρ “ Í‘ ô‰ s? Ó§ø�tΡ
# sŒ$̈Β Ü= Å¡ò6 s? # Y‰ xî ( $tΒ uρ “ Í‘ ô‰ s? 6§ø� tΡ Äd“ r'Î/ <Úö‘ r& ßNθßϑ s? 4 ¨βÎ) ©! $# íΟŠ Î= tæ 7�� Î6yz ∩⊂⊆∪
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan
mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.”
(QS. Luqman [31]: 34)156
maka sesungguhnya Dia sesungguhnya menggambarkan kepada kita adanya
proses perpindahan obyektif yang berlangsung di luar kesadaran manusia (al-
Tanzil). Fenomena ini berlangsung secara obyektif di luar pengetahuan kita.
Penetapan penurunan hujan dan pengiriman rahmat bagi manusia berlangsung
secara obyektif di luar kesadaran manusia.157 Proses penumbuhan tanaman
dari air juga berlangsung secara obyektif sebelum ia diketahui oleh
manusia.158
Mengingat bahwa al-inzal terkait erat dengan kesadaran dan
pengetahuan manusia, jika ada fenomena alam yang berlangsung secara
obyektif dan tidak diketahui oleh manusia sementara fenomena tersebut
mengalami peoses al-inzal, maka hal ini berarti bahwa fenomena tersebut
dapat diketahui (min al-mudrakat).159 Di sinilah tersimpan rahasia tentang
pengertian dasar teori pengetahuan manusia tentang Al Qur’an di mana terori
155 Muhammad Shahrur, op.cit., hlm. 222.
156 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 658.
157 Muhammad Shahrur, loc.cit.
158 Lihat dalam firman-Nya, “Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak
manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang
diketam” (QS. Qaf [50]: 9), ibid. 159 Ibid., hlm. 223.
72
tersebut terangkum dalam proses al-inzal. Artinya, bagi manusia, eksistensi
sesuatu mendahului pengetahuan terhadapnya, dan al-inzal adalah proses
untuk mencapai pengetahuan terhadap eksistensi.
Dengan demikian dapat difahami bahwa hujan merupakan suatu
fenomena yang ditunjukkan oleh Allah kepada manusia untuk menjadi
petunjuk, sehingga manusia dapat mengambil pelajaran darinya, salah
satunya tentang hidrologi itu. Karena itu hidrologi lahir setelah manusia
mengkaji eksistensi dan proses turunnya hujan. Namun, Allah tidak
menunjukkan semua semua misteri tentang hujan, sehingga dalam hidrologi
tidak diketahui secara mutlak kapan dan di mana hujan akan diturunkan serta
bagaiman Allah (secara hakiki) menumbuhkan dari air hujan tumbuh-
tumbuhan.
Terkait siklus air, hal yang juga perlu diperhatikan di sini ialah
deskripsi tentang air (hujan) di dalam Al Qur’an selalu diikuti dengan
gambaran lahirnya suatu kehidupan, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan, dan
anugerah yang berlimpah. Tentunya hal itu bukan hanya merupakan
keindahan dan kedalaman bahasa Al Qur’an, tapi lebih-lebih sesungguhnya
merupakan pelajaran dan petunjuk bagi kita semua.
Sebagaimana telah dijelaskan dam Bab terdahulu bahwa daerah
resapan air yang paling signifikan adalah ekosistem hutan, di mana di
dalamnya terdapat banyak tanaman atau tumbuhan yang akan menyerap air.
Sebagai paru-paru bumi, hutan banyak menyimpan air yang diserap oleh
tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian, peran tumbuh-tumbuhan sebagai
penyuplai sumber daya air sangat signifikan. Sebab, jika hutan itu gundul
atau ekosistem tumbuhan rusak, maka persediaan air di dalam sumber-sumber
air akan menipis di kala musim kemarau dan akan terjadi banjir saat musim
hujan. Karena itulah Al Qur’an, secara tersirat, menggambarkan kepada kita
bahwa pelestarian tumbuh-tumbuhan dan konservasi air merupakan satu-
kesatuan yang integral.
Dalam pemahaman lain, hal tersebut menunjukkan bahwa al Qur’an
mengajarkan kepada kita bahwa konservasi air sebagai bagian dari
73
Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) non-hayati dan pelestarian tumbuh-
tumbuhan sebagai bagian dari Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) hayati
perlu dilakukan secara beriringan. Konservasi air tidak akan dapat berjalan
maksimal jika kelestarian tumbuhan di daerah konservasi diabaikan, karena
dalam hidrologi daya serap tumbuhan merupakan faktor penting bagi
tersedianya sumber-sumber air.
Pelestarian air juga akan sia-sia jika manusia masih selalu menebangi
pohon di hutan secara eksploitatif serta tidak ramah lingkungan. Karena itu di
dalam Al Qur’an juga dijelaskan:
* 4’ n< Î)uρ yŠθßϑ rO öΝ èδ% s{r& $[sÎ=≈ |¹ 4 tΑ$s% ÉΘ öθs)≈ tƒ (#ρ߉ç6ôã $# ©!$# $tΒ /ä3s9 ôÏiΒ >µ≈ s9 Î) … çν ç�ö� xî ( uθèδ Ν ä.r' t±Ρ r& zÏiΒ ÇÚö‘ F{ $# óΟä. t� yϑ ÷ètG ó™$# uρ $pκ� Ïù çνρã� Ï� øótFó™$$ sù ¢Ο èO (#þθç/θè? ϵø‹ s9 Î) 4 ¨βÎ) ’ În1u‘ Ò=ƒÌ�s%
Ò=‹Åg’Χ ∩∉⊇∪
“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu
Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat
dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS.
Hud [11]: 61)160
Pada ayat tersebut Allah mengingatkan manusia yang dirinya
diciptakan dari tanah agar manusia agar manusia juga yang menjadi
pengelolanya dengan baik. Manusia dan tanah secara fisik memiliki
kandungan materi yang sama. Kesamaan ini menunjukkan bahwa manusia
merupakan bagian dari alam dan membutuhkan sumber kehidupannya.161 Air
dan tanaman adalah dua unsur yang ada di bumi (tanah). Karena itu sikap
manusia terhadap alam harus arif dan bijaksana. Dalam konteks ini,
konservasi air merupakan salah satu wujud kebijaksanaan manusia terhadap
sumber kehidupan yang ada di alam. Demikianlah petunjuk Al Qur’an
tentang hidrologi dalam upaya konservasi air.
160 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 336.
161 Sofyan Anwar Mufid, op.cit., hlm. 253.
74
C. Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air Berbasis Al Qur’an:
Paradigma Teosentrisme
Manusia adalah mahluk yang spesial. Allah telah menempatkan
seluruh jasad samawi dan ardhi hanya untuk kepentingan hidup manusia.
Lebih dari itu, diturunkannya kalamullah kepada mahluk berakal tersebut
merupakan penghargaan teragung dari-Nya yang tidak diberikan kepada
mahluk lain. Segala kenikmatan jagad raya seakan berpusat pada keturunan
Adam tersebut (antroposentris). Semua itu telah digariskan di dalam Al
Qur’an.
Meskipun demikian, hal yang tidak boleh disalahpahami adalah
bahwa Allah memberikan previlese (penghargaan setinggi-tingginya) bukan
untuk menjadikan manusia sebagai penguasa kedua setelah Dia, tapi justru
untuk menunjukkan kekuasaan-Nya agar manusia mau mangakui kebesaran-
Nya. Karena itu, setiap ayat yang menjelaskan tentang dimensi antroposentris
selalu ditutup dengan penegasan dimensi teosentris, sebagaimana penegasan
dalam ayat-ayat yang telah disebutkan di atas.
Upaya untuk menemukan penjelasan tentang dimensi teosentris dalam
ayat-ayat Al Qur’an, dapat dilakukan dengan memahami arti kata “ayat” yang
berarti tanda. Ayat-ayat Al Qur’an adalah tanda-tanda kekauasaan-Nya. Ayat-
ayat-Nya merupakan petunjuk bagi manusia yang menunjukkan dan
membuktikan adanya Sang Pencipta alam semesta, yaitu Allah SWT. Sejalan
dengan hal tersebut, di atas telah dijelaskan bahwa air merupakan salah satu
tanda bagi adanya Sang Khaliq. Jadi, eksistensi air secara antroposentris
sebenarnya merupakan penyadaran bagi manusia akan dimensi teosentris.
Dalam rangka lebih memahami aspek teosentris tersebut, di sini kita
perlu menengok kembali beberapa ayat yang menjelaskan tentang eksistensi
air. Dalam surat al- Anbiya’ ayat 30, Allah menjelaskan bahwa segala sesuatu
yang hidup dijadikan dari air, kemudian ayat ini ditutup dengan penegasan
“mengapakah mereka juga tiada beriman”. Artinya, dijadikannya setiap
sesuatu yang hidup dari air merupakan visualisasi yang mengandung tuntutan
atau perintah keimanan kepada Allah. Di sinilah letak aspek teosentrisnya.
75
Dengan demikian, jika dengan penggambaran air itu kita tidak beriman
kepada Allah, maka kita termasuk golongan orang yang kafir.
Sementara dalam surat az-Zumar ayat 21 Allah menggunakan
penegasan yang lain. Dalam ayat tersebut dikatakan, “Apakah kamu tidak
memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, lalu
Dia mengalirkannya menjadi sumber-sumber air di bumi”, kemudian ayat ini
ditutup dengan penegasan “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat pelajaran bagi ulul albab (orang-orang yang mempunyai
akal)”. Artinya, kekuasaan Allah yang telah menurunkan air dari langit hanya
akan menjadi pelajaran (tanda-tanda) orang yang menyadarinya. Dengan kata
lain, orang-orang yang menggunakan kesadarannya akan fenomena turunnya
air dari langit (hujan) sebagai bukti kekuasaan-Nya. Di sini pula letak dimensi
teosentris pada ayat tersebut.
Dengan melihat kedua ayat tersebut, di samping dimensi
antroposentris, Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air juga memiliki
dimensi teosentris. Bagi orang-orang yang beriman, setiap upaya konservasi
air sudah seharusnya tidak hanya dibangun berdasarkan paradigma
antroposentris yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, tapi lebih
disasarkan pada paradigma teosenris yang mengutamakan kehidupan
ukhrawi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realisasi paradigma teosentris
tersebut dalam upaya konservasi air?
Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air: Manifestasi Tafakkur dan
Tadzakkur
Al Qur’an mengajak manusia untuk berfikir (tafakkur) dan mengingat
(tadzakkur). Tentang arti tafakkur, Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya
Mufradatul-Fazhil-Qur’an menjelaskan bahwa pemikiran merupakan suatu
kekuatan yang berusaha mencapai suatu ilmu pengetahuan. Sedangkan
berfikir adalah bekerjanya kekuatan itu dengan bimbingan akal.162 Adapun
anjuran dalam berfikir adalah sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
162 Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 41.
76
“berfikirlah kamu akan ciptaan-ciptaan Allah, dan jangan berfikir tentang
Dzat Allah”.163 Jadi, Rasulullah SAW mengajarkan kita agar berfikir tentang
segala hal selain Dzat Allah karena sebesar apa pun kekuatan berfikir
manusia, pasti tidak dapat menjangkau Dzat-Nya.
Sedangkan tadzakkur merupakan salah satu tugas akal yang paling
tinggi. Adapaun dzakirah (ingatan) adalah tempat penyimpanan pengetahuan
dan informasi yang diperoleh manusia untuk digunakan pada saat
dibutuhkan.164 Berdasarkan pemahaman tersebut, jika orang kehilangan
ingatannya, maka ia telah kehilangan dirinya sendiri karena tidak mempunyai
ingatan tentang dirinya dan sejarah hidupnya.
Dengan demikian, secara fungsional, tafakkur dan tadzakkur itu
berbeda. Kegiatan yang pertama dilaksanakan untuk menghasilkan
pengetahuan yang baru, sedangkan kegiatan yang kedua dilakukan untuk
mengungkapkan kembali informasi dan pengetahuan yang telah didapatkan
sebelumnnya yang terlupa. Dalam hal ini, al-Ghazali berkata,
“setiap orang yang berfikir adalah mengingat dan tidak setiap orang
yang mengingat itu berfikir. Manfaat mengingat adalah mengulang
kembali pengetahuan yang telah didapatkan di dalam hati dan
mengingat kembali apa yang dilupakan dan dilalaikan sehingga
teringat kuat dalam hati dan tidak terhapus. Di samping itu,
manfaat berfikir adalah memperbanyak ilmu pengetahuan dan
mencari pengetahuan yang belum dikuasai. Inilah perbedaan antara
tadzakkur dan tafakkur.”165
Siapakah orang yang ber-tafakkur dan ber-tadzakkur itu? Di dalam Al
Qur’an disebutkan bahwa tafakkur dan tadzakkur merupakan salah satu sifat
utama kaum ulul albab. Hal tersebut sebagaimana telah ditegaskan secara
substansial dalam surat al-Imron ayat 191, bahwa ulul albab ialah “orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-
163 Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Syaikh dan at-Thabrani dalam kitab al-Ausath. Ibid.,
hlm. 42. 164
Ibid., hlm. 66. 165 Ibid., hlm. 72.
77
sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Dengan
demikian dapat difahami ulul albab adalah orang-orang yang berdzikir dan
berfikir.
Hal yang perlu dicermati di sini adalah berdzikir dalam ayat di atas
disebutkan terlebih dahulu, kemudian berfikir. Tentu hal tersebut bukan lah
sesuatu yang kebetulan, tapi mengandung makna yang dapat kita gali karena
tidak ada satu pun kelemahan dan kesalahan pada setiap susunan kata Al
Qur’an. Dalam salah satu keterangan disebutkan, penyebutan berdzikir yang
mendahului berfikir dikarenakan berdzikir merupakan kegiatan transendensi
dan menyangkut soal keimanan.166 Berdasarkan penjelasan tersebut penulis
mendapatkan pemahaman bahwa kegiatan berfikir tentang penciptaan langit
dan bumi harus didahului serta didasarkan pada kesadaran mengingat Allah.
Pemahaman ini semakin jelas dengan melihat akhir ayat tersebut yang
menegaskan bahwa kaum ulul albab, setelah berdzikir dan berfikir, kemudian
memuji keagungan-Nya dengan mengatakan “Tuhan kami, tiadalah engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka”. Dengan kata lain, berfikir tentang penciptaan semesta
yang didasari keimanan akan meningkatkan kualitas keimanan itu.
Berdasarkan pada penjelasan tentang tafakkur dan tadzakkur di atas,
konservsi air merupakan salah satu kegiatan yang mencerminkan kegiatan
tafakkur. Oleh karena itu, setiap upaya konservasi air harus didasarkan pada
kerangka ber-tadzakkur. Jadi dalam upaya konservasi tersebut, dalam
memandang air, kita tidak hanya menggunakan paradigma antroposentris tapi
lebih menggunakan paradigma teosentris, sehingga yang kita dapatkan tidak
hanya kebahagiaan duniawi tapi juga kebahagiaan ukhrawi.
Petunjuk mengenai pentingnya tadzakkur dalam kegiatan konservasi
air (tafakkur), juga terdapat dalam surat az-Zumar ayat 21. Setelah
menggambarkan tentang turunnya air yang kemudian menjadi mata air hingga
air itu menumbuhkan tanaman-tanaman, kemudian Allah menutup ayat
166 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet. 1, hlm. 564.
78
tersebut dengan penegasan “sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda pelajaran bagi ulul albab”. Kata ulul albab dalam ayat ini bernada
sama dengan ayat yang telah dijelaskan di atas, yakni fenomena air
merupakan “tantangan” bagi orang yang berdzikir dan berfikir.
Dari ayat tersebut didapatkan pelajaran bahwa, mereka yang
mengambil pelajaran dari gejala alam ini, yakni tentang fenomena air,
tentunya akan melakukan sesuatu, misalnya membuat irigasi dan bendungan
atau kanal untuk mendidtribusikan air hujan ke daerah-daerah yang bisa
ditanami. Namun, pemahaman seorang ulul albab tidak berhenti sampai di
situ saja. Ia akan merenung juga bahwa semua tumbuhan itu mempunyai
massa hidup tertentu, lalu akan layu dan akhirnya mati. Dalam keadaan ini, ia
akan melakukan transedensi, berfikir lebih jauh tentang hakikat hidup.167
Artinya, dengan konservasi air itu, ulul albab akan melakukan transendensi.
Apalagi kalimat pada ayat tersebut diwali dengan kata istifham (pertanyaan),
“apakah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air
dari langit”, di mana kalimat pertanyaan itu sesungguhnya bermakna amar
(perintah) untuk selalu mengingat Allah SWT. Dengan cara demikianlah
konservasi air harus dilakukan, yakni dalam kerangka tadzakkur dan tafakkur
kaum ulul albab.
Akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bekal
pengetahuan ilmiah saja tentang air sebagai bekal kegiatan konservasi tidak
cukup untuk membuat seseorang mendapatkan kualifikasi ulul albab. Sebab,
ia adalah seseorang yang juga memiliki keterikatan moral, memiliki
komitmen sosial, dan melaksanakan konservasi air dengan cara-cara yang
baik. Kualifikasi tersebut tentu bersumber dari aktifitas tadzakkur yang
menjadi dasar pemikirannya tentang sesuatu, sehingga ia mampu mengambil
kesimpulan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah (termasuk air) itu tidak
sia-sia, serta mengandung fungsi-fungsi tertentu dalam kehidupan umat
manusia.168 Karena itu, air pun harus diperlakukan secara arif dan bijaksana.
167 Ibid., hlm. 565.
168 Ibid., hlm. 568.
79
Akhirnya, pemahaman ini akan terejawantahkan dalam bentuk kesadaran
untuk memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan etika lingkungan.
80
BAB IV
ANALISIS KETERPADUAN PARADIGMA
ANTROPOSENTRISME DAN TEOSENTRISME BERBASIS
AL QUR’AN DENGAN MATERI KONSERVASI SUMBER
DAYA ALAM (KSDA) AIR
A. Analisis Integrasi Sains dengan Agama: Antara Sekularisasi dan
Islamisasi
Sebelum melakukan analisis, terlebih dahulu perlu melihat kembali
wacana kontemporer tentang polemik integrasi sains dan agama. Sebab
wacana tersebut merupakan landasan teoritis-epistemologis bagi penelitian
ini yang memiliki relevansi dengan persoalan yang dibahas di sini. Di
samping menjadi landasan teoritis-epistemologis, diskursus integrasi ini
turut berimplikasi pada grand pemikiran pendidikan Islam di masa kini
dan di masa yang akan datang.
Hingga dewasa ini, umat Islam dianggap masih belum mampu
mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah dicapai oleh Barat. Adapun salah satu penyebabnya adalah
karena sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan
menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan.169 Setidaknya ada
tiga faktor yang menjadikan pendidikan Islam berwatak statis dan
tertinggal: pertama, subject matter pendidikan Islam masih berorientasi ke
masa lalu dan bersifat tekstual-normatif. Meski demikian, ini bukan berarti
kita harus meninggalkan warisan masa lalu, karena hal itu merupakan
mata rantai sejarah yang tidak boleh dilupakan. Prinsip “al-muhafadhah al
al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara
warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)
merupakan dasar yang tepat bagi rekonstruksi pemikiran pendidikan
169 M. Zainuddin, “UIN: Menuju Integrasi Ilmu dan Agama”, dalam M. Zainuddin,
Roibin, dan Muhammad In’am (eds.), op.cit., hlm. 4.
81
Islam. Kedua, masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance
learning yang bersifat lamban, pasif, dan menganggap selalu benar
terhadap warisan masa lalu. Ketiga, kuatnya pandangan dikotomis, secara
substansial, terhadap ilmu agama dan ilmu umum.170
Menurut Johan Hedrik Meuleman ada tiga hal yang menandai
kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim, yaitu logosentrisme
(tekstualis) yang berikabat pada pengabaian unsur tak tertulis dari agama
dan kebudayaan Islam (misalnya tindakan sosial, seni, dan lain-lain), sikap
apologetik terhadap aliran (teologi, fiqh, dan lain-lain), dan kecenderungan
verbalistik dan pengagungan tradisi yang berimplikasi pada sikap
eklusivisme.171
Sebagian besar masyarakat, khususnya kalangan intelektual,
cenderung menganggap bahwa ilmu agama dan ilmu umum merupakan
dua entitas berbeda yang tidak bisa dipadukan. Masing-masing dari
keduanya dianggap memiliki wilayah sendiri-sendiri baik dari segi obyek
formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, dan status teori
masing-masing. Dengan lain ungkapan, ilmu pengetahuan tidak
mempedulikan agama dan begitu pula sebaliknya, ilmu dan agama dinilai
saling mengalienasi.
Sekularisasi ilmu dan agama mulai mendapatkan kritik tajam dari
kalangan ilmuwan sendiri. Sebab sekularisasi itu dinilai akan semakin
memberikan peluang bagi timbulnya dampak-dampak negatif dari
penerepan sains dan teknologi. Kritik terhadap sains tersebut pada
gilirannya telah membawa peran agama sebagai sumber ajaran moral agar
penerapan sains tidak melanggar norma-norma etika. Pentingnya norma-
norma etis dalam pengembangan sains mulai disadari sejak bom atom
pertama dijatuhkan di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan tiga hari
kemudian di kota Nagasaki. Untuk kedua kalinya kesadaran yang sama
menyatakan diri ketika sekitar tahun 1960-an mulai diinsafi dengan jelas
170 Ibid., hlm. 4-5.
171 Ibid., hlm. 5.
82
masalah ekologi dan lingkungan hidup. Kenyataan yang ada, penggunaan
teknologi tanpa batas dalam industri modern akhirnya membahayakan
kelangsungan hidup itu sendiri.172
Pertentangan kedua hal (sains dan agama) yang sama sekali
berbeda itu akhirnya, secara perlahan, mulai didamaikan dengan
pendekatan integratif dan dialogis.173 Adalah Albert Einstein yang
mengawali kampanye tentang integrasi sains dan agama. Ia mengatakan
bahwa “religion without science is blind, science without religion is lame”.
Dalam konteks ini, tampaknya Einstein mengingat religiusitas para
pelopor sains modern seperti Copernicus, Keppler, dan Newton.
Dalam hubungan integratif, baik sains maupun agama menyadari
adanya suatu wawasan besar yang mencakup keduanya sehingga bisa
bekerja sama secara aktif. Pada bagian ini, sains dapat meningkatkan
keyakinan umat beragama dengan memberi bukti-bukti ilmiah atas wahyu
atau pengalaman mistis.174 Tulisan Maurice Bucaille mengenai kesejajaran
deskripsi ilmiah modern dengan deskripsi Al Qur’an tentang alam adalah
salah satu contoh pandangan integratif itu. Kesejajaran inilah yang
dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman
subyektif keagamaan. Namun banyak ilmuan yang menolak pendekatan
ini.
Pandangan epistemologis postmodern juga memandang bahwa
agama dan sains dapat bekerja sama karena keduanya merupakan
interpretasi intersubyektif yang berbeda-beda pada pengalaman manusia,
seperti seni, sastra, dan filsafat yang setara satu sama lain.175 Pandangan
yang banyak dianut oleh budayawan humaniora ini tentu saja ditolak oleh
172 K. Bertens, op.cit., hlm. 286.
173 Dua pendekatan ini merujuk pada pandangan Ian G. Barbour tentang adanya spektrum
empat hubungan yang mungkin antara sains dan agama, yaitu konflik, independensi, dialog, dan
integrasi. Spektrum relasi sains dan agama versi Barbour ini tampaknya juga mencerminkan
perkembangannya secara kronologis begitu warisan sains dari peradaban Islam mengalami
sekularisasi. Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan
Teknologi Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hlm. 212. 174 Ibid., hlm. 213.
175 Ibid., hlm. 213-214.
83
kebanyakan ilmuwan kealaman yang menganggap obyektivitas sebagai hal
yang mutlak. Para agamawan pun menolaknya karena telah merelatifkan
dogma keimanan yang mereka anggap absolut.
Integrasi sains dan agama perlu dibangun dengan sistem yang
hirarkis, di mana ajaran-ajaran agama yang bersifat sakral posisinya
berada jauh di atas sains yang bersifat profan. Artinya kebenaran ajaran-
ajaran agama yang absolut tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori
ilmiah yang bersifat dialektis dan spekulatif, meskipun pandangan ilmiah
itu sesuai dengan apa yang dijelaskan kitab suci (dogma-dogma agama).
Sedangkan jika ada kontradiksi antara ajaran-ajaran kitab suci dengan
dalil-dalail sains, maka dalil-dalil ilmiah itulah yang harus dipertanyakan
dan diteliti kembali.
Upaya menyejajarkan atau menyetarakan posisi dalil-dalil ilmiah
denga dalil-dalil agama akan berakibat pada reduksionalisasi sakralitas
agama. Logika integrasi yang menekankan pada proses dialogis tersebut
pada gilirannya akan menundukkan kebenaran universal di bawah
kebenaran partikular. Sebab, doma-dogma agama yang kebenarannya
absolut cenderung dijadikan pembenar teori-teori sains yang kebenarannya
relatif.
Dalam Islam, wacana integrasi sains dan agama mengemuka
setelah para ilmuwan Islam modern mengkampanyekan proyek Islamisasi
sains. Gagasan tersebut dapat kita temukan pada konsep Islamisasi
pengetahuan yang diajukan oleh Sayyid Naquib al-Attas dalam Konferensi
Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam pada tahun 1977 di kota Makkah.
Gagasan ini ditanggapi secara positif oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan
bukunya “Islamisasi Pengetahuan”.176 Bagi Faruqi, Islamisasi pengetahuan
merupakan usaha untuk mendefinisikan kembali dan membagun kembali
176 Ibid., hlm. 216.
84
sains dalam kerangka Islam dengan memadukan prinsip-prinsip Islam ke
dalam ilmu pengetahuan tersebut.177
Penerbitan buku tersebut akhirnya menimbulkan perdebatan
panjang yang tak berujung. Ziauddin Sardar mengakatan bahwa sains
Islami masih harus dikonstruksi setelah membongkar sains modern yang
ada.178 Sementara itu, terdapat pula pandangan bahwa sains sekarang telah
Islami karena banyak penemuan baru sains yang bersesuaian dengan
ajaran-ajaran Al Qur’an. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan bukanlah
Islamisasi sains, melainkan modernisasi ilmu-ilmu kalam, fiqh, dan
tasawuf.179 Sebab, kemunduran peradaban Islam, menurut penganut
pandangan ini, di satu sisi disebabkan oleh ketidakmampuan umat Islam
menggali ajaran-ajaran Al Qur’an secara ilmiah, dan disi lain, kegagalan
menyikapi tuntutan zaman sesuai dengan kemajuan IPTEK.
Polemik itu terjadi karena dalam upaya integrasi sains dan Islam
sering kali terjadi kesalahpahaman yang mengarah pada proyek Islamisasi
dalam pengertian peyoratif. Artinya, ilmu pengetahuan yang bebas nilai
dan bersifat netral diislamkan begitu saja dengan ayat-ayat Al Qur’an
ataupun al-Hadits yang dianggap relevan secara tekstual semata, tanpa
memperhatikan konteksnya. Padahal, untuk memahami dan menggali
kandungan Al Qur’an maupun al-Hadits kita tidak dapat mengabaikan
konteks yang mengitari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Sebab,
kandungan makna dalam keduanya melekat pada situsi asbab al-nuzul dan
asbab al-wurud yang dapat disebut contextual information. Dengan
demikian, upaya-upaya integrasi yang serampangan semacam itu
sesungguhnya telah mereduksi kitab suci Al Qur’an dan hadits menjadi
kitab ilmiah belaka. Jika dalil-dalil Al Qur’an sejajar dengan dalil-dalil
ilmiah, maka apakah mungkin ada dua macam keimanan?
177 Iwan Setiawan, “Dari Pendekatan Integratif-Interkonektif: Menuju Pendidikan Islam
yang Bervisi Masa Depan”, dalam Fahrudin Faiz (eds.), Islamic Studies Dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), hlm. 45-46. 178 Armahedi Mahzar, op.cit., hlm. 217.
179 Ibid.
85
Agar kita tidak terpengaruh oleh gerakan sekularisasi Barat dan
tidak terjebak dalam proyek Islamisasi gerakan-gerakan fundamental,
penulis mengajukan formulasi “reintegrasi epistemologi”180 dalam
hubungan sains dan agama (baca: Islam). Sebelum melakukan integrasi
sains dan Islam, terlebih dahulu di sini perlu dipahami perbedaan antara
epistemologi iman (keyakinan) yang merupakan dasar agama dan
epistemologi ilmu (pengetahuan) yang merupakan dasar sains.181
Secara epistemologis, iman dalam beragama berawal dari
keyakinan atas apa yang tidak diketahui (gaib). Kaum agamawan pada
umumnya berpendapat bahwa rumusan belief (iman) harus dipercayai
begitu saja apa adanya oleh pemeluknya.182 Amin Abdullah pun sepakat
karena memang itulah struktur fundamental dari apa yang disebut
agama.183 Setelah beriman, seorang beragama dituntut melakukan apa
yang menjadi konsekuensi keimanannya. Akhirnya, ia akan tahu
(merasakan) akibat-akibat atau buah dari keimanannya itu. Kewajiban
melaksanakan shalat fardhu misalnya, di mana seorang mukmin sama
sekali tidak dituntut untuk mengerti dahulu mengapa Allah memerintahnya
untuk melakukan shalat. Sebab inti agama bukanlah untuk dimengerti atau
difahami, tapi untuk dipercayai. Mengamalkan doktrin-doktrin keimanan
tidak harus terjadi setelah adanya proses mengetahui atau memahami
karena keimanan dalam beragama hanya mengarah kepada kebenaran
yang absolut.
Pengetahuan dalam sains berawal dari kegiatan meragukan sesuatu
yang belum diketahui secara benar. Setelah meragukan sesuatu, seseorang
180 Istilah tersebut penulis sadur dari gagasan M. Amin Abdullah. Menurutnya, istilah
tersebut dapat juga disebut gerakan rapprochement (kesediaan untuk saling menerima keberadaan
yang lain dengan lapang dada). M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 2, hlm. 97. 181 Apa yang dilakukan Plato, membedakan antara pengetahuan dan keyakinan begitu
besar pengarunya pada wacana dan diskusi-diskusi filsafat sesudahnya. Namun demikian, upaya
itu tampaknya masih belum berhasil menemukan definisi yang pasti mengenai konsepnya. Poin
intinya adalah bahwa pengetahuan dan keyakinan bukan hanya dua hal yang berbeda namun juga
memiliki obyek dan kepentingan berbeda. 182 M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 157.
183 Ibid.
86
akan mencari tahu, kemudian ia akan tahu. Pengetahuan merupakan hasil
kerja rasio yang dibantu oleh pengalaman-pengalaman. Asumsi tersebut
sejalan dengan pandangan Amin Abdullah, bahwa ilmu pengetahuan
adalah hasil kerja sama pengalaman historis-empiris (panca indera dan
alat-alat bantunya) dan kekuatan abstraksi (akal pikiran dalam
merumuskan dan membahasakannya).184 Dengan demikian, pengetahuan
atau ilmu berlangsung dalam dunia rasio (intelektual), sedangkan
keyakinan atau iman hanya terdapat dalam hati (spiritual).
Dari uraian di atas, secara epistemologis, sains dan iman sangatlah
berbeda meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di
dalam Islam, kita mengenal istilah dalil naqli dan aqli yang secara
epistemologis keduanya juga berbeda. Terkait hal ini, Ibnu Khaldun
mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua jenis, yaitu naqliyah dan aqliyah.
Ilmu naqliyah adalah ilmu yang berdasarkan wahyu seperti Al Qur’an,
hadits, kalam, tashawuf, dan fiqh. Sedangkan ilmu aqliyah adalah ilmu
yang berdasarkan rasio seperti filsafat, kedokteran, pertanian, geometri,
astronomi, dan seterusnya.185
Dengan klasifikasi tersebut, manurut Azyumardi Azra, bukan
berarti dikotomisasi, melainkan hanya sekedar klasifikasi epistemologis
dan untuk menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalam
peradaban Islam.186 Di samping itu, harus selalu disadari bahwa kebenaran
dalil-dalil naqli bersifat absolut, sedangkan kebenaran dalil-dalil aqli
bersifat relatif. Karena itu, jika dalam persoalam tertentu terjadi
pertentangan antarkeduanya, maka sudah pasti sains-lah yang perlu diteliti
kembali.
Reintegrasi epistemologi menekankan pada usaha integrasi sains
dan Islam dengan memposisikan ajaran-ajaran Al Qur’an sebagai landasan
etis dan sumber kebenaran bagi proyek ilmiah. Dengan demikian
pengembangan dan penerapan IPTEK akan bergerak dalam ketentuan
184 Ibid., hlm. 160.
185 M. Zainuddin, op.cit., hlm. 9.
186 Ibid.
87
yang telah digariskan oleh Allah SWT. Akhirnya, dengan integrasi ini,
penerapan IPTEK akan membawa kemaslahatan bagi semesta dan
meningkatkan ketakwaan kepada-Nya.
B. Integrasi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air dengan
Paradigma Antroposentrisme dan Teosentrisme Berbasis Al Qur’an:
Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Iman
Dari analisis di atas kita dapat melihat bagaimana integrasi sains
dan Islam harus dibangun. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Bab III
tentang keterpaduan materi konservasi air dengan paradigma
antroposentrisme dan teosentrisme dalam ayat-ayat Al Qur’an. Dari
analisis integrasi dan keterpaduan paradigmatik tersebut, dapat diperoleh
suatu landasan kerja yang fundamental bagi upaya konservasi air, yaitu
semangat Tauhid.
Kerusakan alam dan pencemaran lingkungan adalah akibat dari
perbuatan manusia yang konfrontatif dan eksploitatif terhadap alam. Oleh
karena itu, kampanye soal pelestarian sumber daya alam dan penegakan
etika lingkungan harus selalu dilakukan. Ironisnya, setiap upaya untuk
menjaga kelestarian alam dan perumusan etika lingkungan hanya
dilakukan berdasarkan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan di hari esok
serta dilakukan berdasarkan doktrin-doktrin ekologis. Kegiatan konservasi
demi menjaga ketersediaan sumber daya alam untuk kepentingan jangka
panjang selalu bernada antroposentris.
Pandangan terhadap alam yang bercorak antroposentris adalah
sama dengan anggapan tokoh-tokoh ilmu sekular. Isaac Newton bersama
para sekularis lainnya, menempatkan Tuhan hanya sebagai penutup
sementara lubang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan oleh
keilmuan mereka, sampai ditemukan teori baru yang dapat menjawab
kesulitan tersebut. Begitu kesulitan itu terjawab, secara otomatis intervensi
88
Tuhan tidak lagi diperlukan.187 Tuhan dalam benak para ilmuwan sekuler
tak ubahnya pembuat jam (clock maker). Begitu alam semesta ini selesai
diciptakan, Ia tidak peduli lagi dengan ciptaan-Nya dan jagad raya pun
berejalan sendiri secara mekanis tanpa campur tangan Tuhan. Dengan
begitu, masa depan dan keberlangsungan alam semesta sepenuhnya berada
di tangan manusia.
Pandangan kaum sekuler tersebut tentu sangat bertentangan dengan
ajaran Islam. Karena itu para ilmuwan Islam di masa kini dan masa yang
akan datang hendaknya menjaga diri agar terhindar dari pandangan yang
demikian. Salah satu cara untuk menghindari kekeliruan pandangan
tersebut adalah dengan kembali paada ajaran filosof dan ilmuwan muslim
di masa lalu.
Pada abad 9-13 M, perjumpaan filsafat dan agama di tangan para
filosof muslim telah melahirkan berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
astronomi, kedokteran, psikologi, biologi, aljabar, geometri, kesenian,
arsitektur, dan sebagainya. Lahirnya berbagai disiplin ilmu itu bukan
semata-mata dikarenakan watak dinamis yang ada dalam tradisi
Helenisme188, tetapi karena keadaan umat Islam saat itu telah memiliki
sikap dan semangat berfikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran-ajaran
agama.189 Salah satu contohnya adalah semangat menghormati penalaran,
mencari kebenaran dan penghormatan terhadap bukti-bukti empiris yang
diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim AS dan Muhammad SAW.190
187 M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 93.
188 Kebudayaan Yunani supranasional yang mempengaruhi perkembangan pemikiran
dunia Islam. Bagi para pemikir Islam klasik, bukanlah suatu kekeliruan menerima warisan
intelektual dari mana pun datangnya, termasuk dariYunani. Watak Islam yang demikian ini pula
yang menyebabkan penaklukan-penaklukan terhadap negeri-negeri lain tidak diiringi proses
penghancuran peradaban-peradaban negeri yang ditaklukkan. Karena itu pula, Islam dapat
mempersatukan dan mensintesakan berbagai peradaban dunia yang tumbuh subur mulai dari
kawasan Andalusia Spanyol hingga daratan Cina. Ahmad Suhelmi, op.cit., hlm. 18. 189 M. Lutfi Mustofa, op.cit., hlm. 23.
190 Dalam berbagai ayat Al Qur’an dan Hadits banyak dijumpai perintah agar umat Islam
selalu berfikir kritis dan apresiatif terhadap ilmu, dari mana pun datangnya. Di antaranya riwayat
yang menganjurkan umat Islam untuk mencari ilmu sekalipun ke negeri Cina. Sikap inklusif inilah
yang mendorong tumbuhnya intelektualisme Islam yang sangat subur pada abad pertengahan,
tepatnya ketika bertemu dengan rasionalitas Yunani. Ibid.
89
Dari sejarah itu, hal yang paling penting bagi ilmuwa islam
sekarang dan masa depan adalah pelajaran bahwa dalam semangat
ilmuwan muslim terdahulu sesungguhnya mengalir kesadaran akan tauhid,
sehingga aktivitas apapun senantiasa diinsafi dengan prinsip monoteisme
tersebut.191 Artinya, proyek ilmiah yang dilakukan para cedekiawan
muslim didasarkan pada keimanan terhadap adanya Sang Pencipta, yaitu
Allah SWT.
Dengan dasar tauhid, maka di dalam Islam berlaku pandangan
bahwa realitas obyektif alam semesta merupakan satu kesatuan. Kosmos
yang terdiri dari realitas fisik dan non fisik membentuk jaringan kesatuan
melalui sunnatullah (hukum-hukum alam) sebagai manifestasi dari
ketunggalan sumber dan asal-usul metefisiknya, yakni Allah SWT.
Kesatuan kosmos merupakan bukti yang jelas akan kemahaesaan-Nya,
sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an:
öθs9 tβ% x. !$yϑ Íκ� Ïù îπoλÎ;# u āωÎ) ª! $# $s? y‰ |¡xs9 4 z≈ ysö6Ý¡sù «!$# Éb> u‘ Ä ö̧� yèø9 $# $£ϑ tã tβθà ÅÁtƒ ∩⊄⊄∪
“Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha suci Allah
yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS.
Al-Anbiya’ [21]: 22)192
Oleh karena itu, sembari menguatkan landasan sains dan Islam,
semangat ilmiah untuk mencari kebenaran bukan sasuatu yang
bertentangan dengan ajaran Islam karena merupakan bagian tak
terpisahkan dari semangat tauhid. Dengan lain ungkapan, ilmu
pengetahuan adalah salah satu instrumen yang dapat mengantarkan
seseorang sampai kepada realitas transenden itu sendiri. Sebaliknya,
kesadaran tauhid merupakan sumber bagi semangat ilmiah dalam seluruh
wilayah ilmu pengetahuan umat Islam.
Melalui uraian tersebut, dapat disimpulkan suatu relevansi teoritis-
epistemologis bagi pengembangan upaya-upaya ilmiah di masa kini dan
191 Ibid.
192 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, op.cit., hlm. 498.
90
masa depan, yakni ajaran tauhid sebagai satu-satunya landasan etis bagi
perilaku manusia secara vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablun
min al-alam). Dengan demikian, kegiatan konservasi air sebagai salah satu
dari upaya-upaya Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), tidak boleh
tidak didasarkan pada doktrin-doktrin iman dan Islam.
Dalam perspektif Islam, konservasi air sebenarnya dapat dikatakan
merupakan salah satu manifestasi dan derivasi dari “amal shaleh” yang
banyak disebutkan di dalam Al Qur’an. Dalam sebagian besar ayat Al
Qur’an, kata amal shaleh (amil as-shalihat) selalu disebutkan setelah kata
“iman” (amanu). Berikut adalah beberapa contoh ayat tersebut:
Î� óÇyèø9 $# uρ ∩⊇∪ ¨βÎ) z≈ |¡Σ M} $# ’ Å∀s9 A� ô£ äz ∩⊄∪ āωÎ) tÏ% ©!$# (#θãΖtΒ# u (#θè= Ïϑ tã uρ ÏM≈ ysÎ=≈ ¢Á9 $# (#öθ|¹# uθs? uρ
Èd,ysø9 $$Î/ (# öθ|¹# uθs? uρ Î�ö9 ¢Á9 $$Î/ ∩⊂∪
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr
[103]: 1-3)193
ô‰ s)s9 $uΖ ø)n= y{ z≈ |¡Σ M} $# þ’ Îû Ç|¡ômr& 5ΟƒÈθø) s? ∩⊆∪ ¢Ο èO çµ≈ tΡ ÷ŠyŠu‘ Ÿ≅ xó™r& t, Î# Ï≈y™ ∩∈∪ āωÎ) tÏ% ©!$#
(#θãΖ tΒ#u (#θè= ÏΗ xåuρ ÏM≈ ysÎ=≈ ¢Á9 $# óΟ ßγn= sù í�ô_r& ç� ö�xî 5βθãΨ øÿxΕ ∩∉∪
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya.” (QS. At-Tin [95]: 4-6)194
$Ο !9# ∩⊇∪ y7 Ï9≡sŒ Ü=≈tG Å6 ø9 $# Ÿω |=÷ƒu‘ ¡ ϵ‹ Ïù ¡ “ W‰èδ zŠ É) −Fßϑ ù= Ïj9 ∩⊄∪ tÏ% ©!$# tβθãΖ ÏΒ ÷σムÍ=ø‹ tóø9 $$Î/
tβθãΚ‹ É) ãƒuρ nο 4θn= ¢Á9 $# $®ÿÊΕuρ öΝ ßγ≈ uΖ ø% y— u‘ tβθà) ÏΖム∩⊂∪
“Alif laam miim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman
kepada yang ghaib, dan mendirikan shalat, dan menafkahkan
193 Ibid., hlm. 1099.
194 Ibid., hlm. 1076.
91
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al
Baqarah [2]: 1-3)195
Pada ayat surat al-Ashr yang mendeskripsikan tentang masa dan
surat at-Tin yang mendeskripsikan tentang pencitaan manusia tersebut,
secara jelas, kata amil as-shalihat jatuh setelah kata amanu. Dari kedua
struktur ayat tersebut dapat difahami bahwa melakuakan amal shaleh atau
perbuatan baik harus didasari keimanan kepada-Nya. Dengan lain
pemahaman, perbuatan baik yang dilakukan tanpa dasar keimanan tidak
akan bernilai di hadapan Allah.
Dalam surat al-Baqarah yang mendeskripsikan tentang orang yang
bertakwa di atas, setelah kata yu’minuna bi al-ghaibi disusul dengan kata
wayuqimuna as-shalah. Ayat ini dapat difahami dengan pengertian bahwa
menegakkan shalat merupakan sebutan lain bagi amal shaleh. Sebab,
struktur ayat Al Qur’an antara satu dengan yang lain tidak mungkin
terdapat pertentangan, dalam hal ini antara menegakkan shalat dengan
amal shaleh. Hal itu pun menunjukkan bahwa amal baik maupun shalat
merupakan konekuensi keimanan. Artinya, keimanan merupakan suatu
pengakuan yang harus dibuktikan dengan perbuatan nyata.
Hubungan antara iman dan amal baik tersebut senada dengan
hubungan antara rukun dan rukun Iman. Di sini rukun Iman berorientasi
pada hubungan vertikal manusia dengan Allah, sedangkan rukun Islam
berorientasi pada hubungan horizontal manusia dengan manusia yang lain
maupun alam semesta. Meski demikian, keduanya tidak dapat dipisahkan
karena memiliki hubungan secara integral.196 Sebab, Islam merupakan
manifestasi dari iman.
Berangkat dari pemahaman terhadap ayat-ayat di atas, secara tidak
langsung Islam telah mengajarkan bahwa konservasi air termasuk amal
shaleh yang merupakan konsekuensi keimanan. Sebagaimana dijelaskan
dalam surat al-Anbiya’ ayat 21, bahwa Allah menjadikan segala sesuatu
195 Ibid., hlm. 8.
196 M. Zainuddin, op.cit., hlm. 9-10.
92
yang hidup dari air sebagai seruan kepada orang-orang yang ingkar untuk
segera beriman. Demikian pula dalam surat al-An’am ayat 99 dan al-
Ra’du ayat 4 serta ayat-ayat yang mendeskripsikan beragam fenomena air
di atas, bahwa eksistensi air merupakan tanda-tanda bagi orang yang
beriman.
Untuk melakukan konservasi air, kita dituntut untuk mengetahui
ilmu tentang air, sehingga kita akan dapat mengenal segala segi dari air.
Tanda-tanda atau ayat-ayat Allah tentang air adalah sumber ilmu yang
dapat mengantarkan kita kepada yang ditandai, yaitu Allah SWT. Upaya
konservasi air yang berangkat dari penggalian kandungan Al Qur’an inilah
yang merupakan salah satu perwujudan dari penerapan ilmu pengatahuan
berlandaskan iman.
Paradigma konservasi air yang bersumber dari ajaran Al Qur’an
tidak hanya menekankan pada aspek antroposentris, tapi lebih-lebih pada
aspek teosentris. Artinya, konservasi air yang diupayakan oleh manusia
untuk memenuhi kebutuhannya akan air, di samping memiliki nilai
duniawi juga memiliki ukhrawi. Nilai ukhrawi itu secara otomatis akan
menjadi spirit bagi manusia untuk selalu bersikap arif dan bijaksana
terhadap air. Sebab, motivasi yang mendorong manusia dalam
memanfaatkan air bukan lagi hawa nafsu, melainkan keimanan yang
direalisasikan dengan kegiatan tafakkur dan tadzakkur.
C. Hubungan Materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Air
dengan Al Qur’an: Islamisai Pendidikan Biologi yang Integratif197
Pada Bab III telah dijelaskan bahwa Al Qur’an menekankan pada
keseimbangan dan keterpaduan antara paradigma antroposentris dan
teosentris dalam pemanfaatan sumber-sumber daya alam, termasuk air.
197 Kata “integratif” di sini penulis gunakan untuk membedakan antara Islamisasi
pendidikan biologi dalam pengertian peyoratif dan Islamisasi pendidikan biologi yang dimaksud
penulis. Di samping itu, istilah tersebut mengacu pada konsep integralisme dan reintegrasi
epistemologi yang dikembangkan oleh M. Amin Abdullah untuk menyelesaikan konflik antara
sekularisme ekstrim dan fundamentalisme agama yang radikal dalam dunia pendidikan. M. Amin
Abdullah, op.cit., hlm. 105.
93
Karena itu, upaya Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air secara
Islami hanya dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kedua paradigma
tersebut. Untuk dapat mengintegrasikan keduanya, tentu seseorang harus
menyadari dan melihat sumber daya air dengan kedua cara pandang
tersebut (antroposentris dan teosentris).
Setiap orang memiliki cara pandang tersendiri dalam menjalani
kehidupan. Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya akan selalu didasarkan pada bagaimana cara ia
memandang hidup. Begitu pula dengan sikap dan perilaku seseorang
terhadap alam, jika alam dipandang sebagai lahan subur yang dapat
dieksploitasi, maka segala sumber daya alam akan dikuras habis demi
kepentingan sendiri. Namun, jika alam dipandang sebagai lahan subur
yang harus dirawat dan dilestarikan, maka pemanfaatan sumber daya alam
akan dilakukan secara arif dan bijaksana.
Cara pandang (paradigma) yang arif dan bijaksana itulah yang
harus dimiliki manusia. Pendidikan mempunyai peran signifikan dalam
membentuk paradigma pesrta didik sebagai manusia. Pendidikan biologi
sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan formal kita, harus mampu
membentuk cara pandang yang arif dan bijaksana bagi peserta didik dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Pembentukan paradigma itu dapat
dilakukan dengan menyertakan pendidikan moral ke dalam materi-materi
biologi, seperti materi konservasi sumber daya alam (KSDA) air.
Dalam materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air,
orientasi keilmuan tidak hanya mengarah pada pemahaman peserta didik
terhadap ilmu konservasi air, tapi juga menekankan pendidikan konservasi
air. Artinya, pemehaman peserta didik terhadap teori-teori konservasi air
harus disertai moralitas atau kesadaran etis untuk mau melakukan
konservasi air. Akan tetapi kenyataannya, materi tersebut dalam
pendidikan biologi masih jauh dari nilai-nilai moralitas yang bersumber
dari ajaran Islam.
94
Kurangnya nilai-nilai moralitas itu, di satu sisi, disebabkan oleh
menurunnya kajian-kajian Al Qur’an dalam pendidikan biologi secara
integratif. Meskipun akhir-akhir ini mulai berkembang wacana biologi
Islami, namun hal itu justru terjebak pada upaya Islamisasi pendidikan
biologi dalam pangertian peyoratif. Hal ini diperparah oleh minimnya
tenaga pendidik, baik guru maupun dosen, dalam mengkaji kandungan Al
Qur’an, sehingga upaya integrasi keilmuan yang dilakukan tidak
mendalam dan cenderung parsial. Di sisi lain, paradigma pendidikan
biologi kita semakin terpengaruh oleh paradigma sekuler. Klasifikasi yang
menganggap biologi sebagai ilmu umum dan Al Qur’an sebagai ilmu
agama kian mengarah pada diferensiasi-dikotomik. Akibatnya, disipilin
keilmuan biologi dalam pendidikan Islam seakan kehilangan sumber
ajaran moral dan sumber kebenaran.
Islamisasi pendidikan biologi yang integratif harus segera
dilakukan guna membentuk paradikma peserta didik yang arif dan
bijaksana dalam berinteraksi dengan alam. Hal itu dapat dimulai dari
upaya mengintegrasikan materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)
air dengan paradigma antroposentrisme dan teosentrisme yang bersumber
dari Al Qur’an. Upaya integrsi ini dapat direalisasikan dengan beberapa
cara berikut:
1. Reintegrasi epistemologi keilmuan sebagaimana telah dijelaskan di
atas, bahwa integrasi materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)
air dengan ajaran-ajaran Al Qur’an dirumuskan dengan pemahaman
yang tepat terhadap epistemologi ilmu pengetahuan dan iman.
2. Mengakhiri dikotomi sains dan Islam, karena meskipun berbeda secara
esensial namun keduanya tak dapat dipisahkan antara satu sama lain.
Apalagi jika kita telah sepakat bahwa sumber ilmu yang bersifat
aqliyah dan ajaran Islam yang bersifat naqliyah itu semua dari Allah,
maka dikotomisasi sains dan Islam adalah tindakan yang membuktikan
ketidaktahuan akan peranan dan fungsi masing-masing dari keduanya.
95
3. Menempatkan sains dan Islam sesuai dengan peran dan fungsinya,
yakni untuk apa ilmu pengetahuan itu digunakan, sebab sains hanyalah
instrumen, bukan tujuan. Sedangkan ajaran Islam (Al Qur’an) adalah
sebagai dasar penggunaan ilmu pengetahuan sekaligus sumber
kebenaran yang dapat digali secara ilmiah.
Dengan demikian, Islamisasi pendidikan biologi melalui integrasi
materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air dengan paradigma
antroposentrisme dan teosentrisme berbasis Al Qur’an dapat membentuk
paradigma peserta didik yang arif dan bijaksana terhadap alam. Jadi,
berdasarkan paradigma yang diajarkan Al Qur’an tersebut, pendidikan
biologi secara Islami berorientasi pada pengamalan etika lingkungan dan
peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai manifestasi keimanan.
Dalam memanfaatkan air sebagai sumber kehidupan, hendaknya kita tidak
konfrontatif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam (SDA) yang telah
disediakan oleh Allah tersebut untuk memenuhi kebutuhan kita.
Pemanfaatan air perlu disertai upaya konservasi yang berlandaskan pada
ajaran-ajaran Al Qur’an.
96
BAB V
KESIMPULAN, SARAN, DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konservasi sumber daya alam (KSDA) air merupakan salah satu bagian
dari konservasi sumber daya alam dalam rangka memelihara dan
melindungi secara teratur segala sumber yang terdapat di alam, baik
sumber yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui.
Dengan konservasi air, kita dapat mencegah pencemaran air sekaligus
menjaga keseimbangan ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Prinsip konservasi air adalah melestarikan dan menggunakan air
untuk keperluan yang produktif dan bermanfaat berdasarkan etika
lingkungan serta meminimalisir penggunaan air untuk hal-hal yang
tidak bermanfaat.
Adapun usaha konservasi air bertujuan untuk:
a. Keseimbangan, yakni untuk menjamin ketersediaan air untuk
generasi masa depan, pengurangan air dari sebuah ekosistem tidak
akan melewati nilai penggantian alamiahnya.
b. Penghematan energi, yakni pemompaan air, pengiriman, dan fasilitas
pengolahan air limbah mengkonsumsi energi besar. Ini terjadi di
beberapa daerah di dunia, misalnya California.
c. Konservasi habitat, yakni penggunaan air oleh manusia yang
diminimalisir untuk membantu mengamankan simpanan sumber air
bersih untuk habitat liar lokal dan penerimaan migrasi aliran air,
termasuk usaha baru pembangunan waduk dan infrastruktur berbasis
air lain (pemeliharaan yang lama).
2. Secara umum, teknik konservasi air bertujuan untuk untuk
meningkatkan jumlah air yang masuk ke dalam tanah dan membuat
pemanfaatan air secara lebih efisien. Dengan demikian konservasi air
yang sering dilakukan adalah melalui cara-cara yang dapat
97
mengendalikan besarnya nilai evaporasi (penguapan), transpirasi, dan
aliran permukaan.
Secara hidrologis, konservasi air dilakukan terhadap dua macam
sumber air, yaitu air permukaan dan air tanah. Kedua sumber air
tersebut merupakan sumber air utama yang dimanfaatkan oleh manusia
untuk memenuhi kebutuhannya.
Integrasi materi konservasi air dengan paradigma
antroposentrisme dan teosentrisme berbasis Al Qur’an merupakan
upaya membangun kesadaran dan etika konservasi secara Islami
melalui pendidikan biologi. Dengan integrasi ini, kita dapat mengetahui
bahwa relasi sains dan Al Qu’an ibarat dua sisi mata uang yang berbeda
tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Upaya konservasi air yang
merupakan penerapan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari
keimanan pada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran Iman dan
Islam, serta nilai-nilai dan prinsip umum yang diberitakan kepada
manusia melalui wahyu Ilahi.
Dengan berlandaskan pada ajaran Al Qur’an, materi Konservasi
Sumber Daya Alam (KSDA) air tidak hanya mengajarkan tentang cara
sistematis dan metodis dalam kegiatan konservasi air demi kepentingan
manusia secara antroposentris, tapi juga mengajarkan tentang cara
mendapatkan ridha Allah melalui pengelolaan air secara teosentris.
Artinya, orinentasi pendidikan biologi melalui materi Konservasi
Sumber Daya Alam (KSDA) air adalah kebutuhan duniawi dan
ukhrawi. Dengan penanaman kesadaran terhadap dua kebutuhan itu,
maka materi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) air menjadi
landasan teoritis bagi pengamalan etika lingkungan.
B. Saran
Mengingat pentingnya integrasi ini dalam rangka menumbuhkan
kesadaran, moralitas, dan sikap yang bijaksana terhadap alam (hablun min
al-alam ), serta meningkatkan ketakwaan kepada Allah, perlu beberapa
98
saran yang konstruktif demi pengembangan keilmuan dalam pendidikan
biologi melalui:
1. Kajian tentang integrasi sains dan Al Qur’an dalam pendidikan biologi
dirasa sangat terbatas, karena itu untuk mendapatkan landasan etis bagi
pendidikan biologi adalah sangat penting melakukan kajian tentang
ajaran-ajaran Al Quran secara mendalam. Dengan harapan pendidikan
biologi dapat menjadi oase di tengah gersangnya ilmu pengetahuan dari
nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Tuhan-an. Sudah saatnya umat Islam
menggali mutiara-mutiara yang dikandung Al Qur’an untuk bekal
dalam membangun kebudayaan umat manusia yang ramah lingkungan.
2. Rumusan integrasi sains dan Al Qur’an pada materi-meteri biologi
hendaknya tidak dilakukan dengan menguhubung-hubungkan ayat-ayat
Al Qur’an dengan teori-teori biologi secara serampangan. Dalam hal
ini, rumusan integrasi tersebut harus berdasarkan pemahaman yang
mendalam terhadap teori biologi itu sendiri dan lebih-lebih terhadap
ayat-ayat Al Qur’an. Jika tidak demikian, maka rumusan integrasi yang
dibangun akan mendesakralisasi Al Qur’an.
3. Karena dua hal di atas, tentu perumusan integrasi biologi dengan Al
Qur’an harus ditangani oleh ilmuwan biologi yang tidak hanya disiplin
ilmunya, tapi juga mempunyai kualifikasi keilmuan Islam. Dengan
demikian, integrasi tersebut akan berhasil mengungkap mutiara-mutiara
Al Qur’an yang dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan kurikulum
biologi. Di samping itu, pendidikan biologi akan terhindar dari
pengaruh proyek Islamisasi sains yang dikembangkan oleh golongan-
golongan fundamentalis-radikal.
4. Dalam konteks pembelajaran materi konservasi air, metode-metode
yang digunakan dalam mengintegrasikan materi tersebut dengan ajaran-
ajaran Al Qur’an hendaknya juga diajarkan pada perserta didik. Dengan
demikian, peserta didik tidak hanya mengetahui hasil rumusan
integrasinya, tapi juga metode-metode dan landasan teoritis yang
digunakan.
99
C. Penutup
Puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT karena atas ridha dan
petunjuk-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
Betapapun peneliti telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada
untuk menyelesaikan penelitian ini, namun perlu disadari bahwa penelitian
ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak kekurangan dan
kesalahan yang disebabkan oleh terbatasnya kualitas keilmuan, karena
peneliti masih dalam proses belajar.
Saya berharap mudah-mudahan karya sederhana ini bisa
bermanfaat dan sebagai sumbangan pikiran bagi almameter tercinta ini.
Karena itu, dengan kerendahan hati peneliti mengharapkan kritik dan saran
konstruktif dari semua pihak demi pengembangan dan perbaikan skripsi
ini. Akhir kata, saya berharap semoga langkah-langkah kita selalu diridhai
dan dipermudahkan oleh Allah SWT serta semoga skripsi ini akan
membawa manfaat bagi semua yang berkepentingan khususnya bagi
peneliti. Amin!