interferensi fonologis bahasa duri terhadap bahasa … · 2021. 1. 26. · sosiolinguistik untuk...
TRANSCRIPT
-
INTERFERENSI FONOLOGIS BAHASA DURI TERHADAP
BAHASA INDONESIA SISWA KELAS XI MIPA 1
SMA NEGERI 3 ENREKANG
SKR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Serjana
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
NUR HALISA
105331105016
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
-
MOTO DAN PERSEMBAHAN
Moto
“Nikmati prosesmu, jangan mudah menyerah. Jika bersungguh-sungguh,
keinginan akan tercapai”.
Dengan segala kerendahan hati
Kupersembahkan karya ini buat :
Kedua orang tuaku, saudariku, dan seluruh keluargaku tercinta, serta
sahabat, teman-temanku atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung
Penulis demi keberhasilan penulis.
Semoga Allah SWT. Memberikan rahmat dan karunia_Nya.
-
ABSTRAK
Halisa, Nur. 2020. Interferensi Fonologis Bahasa Duri terhadap bahasa
Indonesia Kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang. Skripsi. Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Hambali dan Rosdiana.
Masalah utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana bentuk terjadinya
interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan interferensi
fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN
3 Enrekang. Untuk mengkaji penelitian ini, maka digunakan pendekatan
sosiolinguistik untuk mendekripsikan bentuk interferensi fonologi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini
mendeskripsikan bentuk-bentuk ujaran yang mengalami interferensi tuturan
bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia dalam berkomunikasi lisan siswa kelas XI
MIPA 1. Data dalam penelitian ini berupa ujaran yang diucapkan oleh informan
dan sumber data adalah informan yang berjumlah enam orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk interferensi bahasa Duri
terhadap bahasa Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 adalah interferensi fonologis.
Interferensi fonologis penelitian ini berupa perubahan, penghilangan, dan
penambahan bunyi fonem dalam bahasa Indonesia mengikuti pelafalan dalam
bahasa Duri. Hal-hal yang menjadi faktor penyebab interferensi bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Duri dalam komunikasi lisan siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3
Enrekang, yaitu interferensi fonologis yang disebabkan oleh logat atau dialek, dan
kebiasaan pemakai ujaran dialek Duri.
Kata Kunci : Interferensi, Sosiolinguistik, bahasa Duri, bahasa Indonesia,
-
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt. Yang senantiasa
menganugrahkan nikmat iman, ilmu, dan kesehatan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Interferensi Fonologis Bahasa Duri
terhadap bahasa Indonesia Siswa Kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang”. Dalam
penulisan ini, penulis banyak memperoleh pengalaman berbarga dan tidak lepas
dari beberapa rintangan dan halangan. Namun, dengan doa dan motivasi dari
bebagai pihak sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan akademik untuk
memperoleh gelar serjana dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Penulis menyadari bahwa penilitian ini tidak dapat diselesaikan tanpa
adanya dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
Drs. Hambali, S.Pd., M.Hum., dan Rosdiana, S.Pd., M.Pd., pembimbing satu dan
pembimbing dua yang telah memberikan arahan, serta motivasi sejak awal
penyusunan skripsi sampai penyususnan skripsi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis sampaikan kepada
Prof. Dr. Ambo Besse., M.Ag Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar,
Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
-
Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Munirah, M.Pd., Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar,
Dr. Muhammad Akhir, M.Pd, Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar, dan seluruh dosen dan staf
pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar yang telah mentransformasikan ilmu dan
pengalamannya kepada penulis selama menimba ilmu di Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua dalam hal ini Santa dan Jumaria yang telah berjuang, berdoa,
membesarkan, mendidikan, dan membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu.
Teruntuk kepada adik-adik yang saya banggakan tiada henti-hentinya memberikan
motivasi dan dorongan.
Ucapan terima kasih juga kepada teman seperjuangan yang selalu
memberikan bantuan dalam dalam berbagai hal baik berupa ilmu dan motivasi.
Serta seluruh rekan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
kelas B angkatan 2016 atas segala kebersamaan, motivasi, saran, dan bantuannya
kepada penulis yang telah memberikan pelangi dalam hidupku dan telah
menemaniku dalam suka maupun duka saat saya jauh dari keluarga.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa
mengharapkan kritikan dan saran berbagai pihak, selama saran dan kritikan
tersebut bersifat membangun karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak
-
akan berhenti sama sekali tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan dapat
memberikan manfaan bagi para pembaca, terutama bagi pribadi penulis. Amin.
Makassar, Septemner 2020
Penulis
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................ iii
SURAT PERNYATAAN ...................................................................... v
SURAT PERJANJIAN ......................................................................... v
MOTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
E. Definisi Istilah ............................................................................. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ................. 6
A. Kajian Pustaka ............................................................................. 6
1. Penelitian yang Relevan ........................................................ 6
2. Teori Sosiolinguistik ............................................................. 8
3. Masyarakat Tutur .................................................................. 12
4. Kedwibahasaan ..................................................................... 15
5. Bahasa ................................................................................... 18
6. Interferensi ............................................................................ 29
B. Kerangka Pikir ............................................................................ 41
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 41
A. Jenis Penelitian ...................................................................... 41
-
B. Data dan Sumber Data .......................................................... 45
C. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 46
D. Teknik Analisis Data ............................................................. 48
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN............................................... 51
A. Hasil ............................................................................................ 51
B. Pembahasan ................................................................................. 67
BAB V PENUTUP ................................................................................. 71
A. simpulan ................................................................................. 71
B. Saran ....................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 72
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menghubungkan atau
berinteraksi antara individu dengan indvidu yang lain. Manusia sejak ia bangun
sampai ia memejamkan mata, selalu berurusan dengan bahasa dalam artian selalu
menggunakan dan bergaul dengan bahasa. Seandainya kita rajin mencatat kata dan
kalimat yang telah kita gunakan dan manfaatkan setiap hari alangkah banyaknya
kata dan kalimat itu. Tentu ada kata atau kalimat yang berulang-ulang muncul
dalam pembicaraan kita. Sebaliknya ada kata-kata maupun kalimat yang dua atau
tiga hari baru muncul lagi. Manusia setiap kali menggunakan bahasa selalu dalam
bentuk berbicara, mendengar, mmembaca, dan menulis. Oleh karena itu, segala
kehidupan atau tingkah laku manusia diatur dengan menggunakan bahasa.
(Kuwing, 2016:3)
Bahasa juga sebagai alat pemersatu antara berbagai suku, bangsa yang
memiliki latar belakang yang berbeda-beda, Indonesia sebagai negara kepulauan
yang berpenduduk sebagai masyarakat multilingual. Masyarakat multilingual
memiliki aktivitas yang padat, anggota-anggotanya lebih cenderung
berkomunikasi menggunakan dua bahasa atau lebih, baik sebagian maupun
sepenuhnya. Sengaja atau tidak, sering terjadi kesalahan dalam menggunakan
bahasa Indonesia, hal ini disebabkan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih secara bergantian. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia tidak bisa
1
-
dipisahkan karena saling berkaitan. Terjadinya interferensi fonologis karena
adanya pengaruh dari pemakaian bahasa daerah jika ditinjau menggunakan
pendekatan sosiolinguistik.
Bahasa atau dialek Duri sebagai bahasa pertama (B1) seringkali digunakan
secara umum di kabupaten Enrekang. Dan akan menjadi faktor kebiasaan di
lingkungan sekolah sehingga terjadi interferensi pada penggunaaan bahasa
Indonesia. Hal seperti ini sulit dihindari dari lingkungan masyarakan maupun di
lingkungan sekolah , karna bahasa Duri merupakan bahasa pertama (bahasa ibu)
yang lebih dipahami oleh masyarakat pada umumnya.
Menurut Chaer dan Agustin, dalam Satriani (2014:12), bahasa merupakan
sistem lambang bunyi yang berfungsi sebagai sarama komunikasi. Dalam konteks
parole, bahasa itu beragam artinya, meskipun sebuah bahasa memiliki kaidah atau
pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang
heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,
maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologi, dan
sintaksis.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting, dan paling
dominan dalam perkembangan bahasa. Gejala interferensi dari bahasa yang satu
kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Tejadinya gejala interferensi juga
tidak terlepas dari perilaku penutur bahasa penerima. Penyebab terjadinya
interferensi adalah kedwibahasaan peserta tutur yang merupakan pangkal
terjadinya berbagai pengaruh dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun
bahasa Indonesia. (Sukmawansari, 2018)
-
Interferensi adalah bagaimana seseorang yang dwibahasawan itu menjaga
bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh seseorang itu mampu
mencampuradukkkan serta bagaiamana pengaruh bahasa yang satu dalam
penggunaan bahasa lain, Mackey dalam Nindy (2017:11). Sementara itu,
Weinrich mengemukakan bahwa interferensi sebagai penyimpangan norma
bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan akibat
pengenalan dan pengaruh bahasa lain. Sebagai konsekuensinya, dwibahasawan
tersebut menyamakan unsur-unsur yang ada pada bahasa lain. Pandangan
sosiolinguistik, situasi kebahasaan pada masyarakat bilingual maupun
multilingual sangat menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penulis tertantang
untuk melakukan penelitian terhadap masyarakat yang dwibahasawan, yakni
dengan memilih objek penelitian siswa SMAN 3 Enrekang kelas XI MIPA 1.
Peneliti tertarik memilih objek tersebut, karena ingin mengetahui situasi ataupun
fenomena interferensi bahasa menunjukkan dinamika penutur.
Di lingkungan masyarakat bahkan di sekolah sering kali kita jumpai seseorang
menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai faktor kebiasaan yang akan
menyebabkan interferensi. Seperti yang penulis ingin teliti mengenai interferensi
fonologis yang sering kali terjadi kekeliruan para penutur seperti penghilangan
atau penyerapan huruf konsonan dan vokal. Misalkan kata “sepatu” akan
mengalami unsur serapan pada vokal /e/ berubah menjadi vokal /a/. Kata “sepatu”
berubah menjadi “sapatu”. Kata “beli” berubah menjadi kata “belli” akibat
terjadinya unsur serapan.
-
Berdasarkan uraian di atas peneliti memilih judul “ Interferensi Fonologis
Bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia Siswa Kelas XI MIPA 1 SMAN 3
Enrekang”. Idealnya pelajar yang terdidik haruslah menggunakan bahasa yang
baik dan benar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah “Bagaimanakan bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa
Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
Untuk mengetahui bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa
Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah penelitian terhadap
pemakai bahasa lisan maupun tulisan dan dijadikan salah satu sumber bacaan
serta bahan komparasi dan informasi bagi penulisan selanjutnya yang relevan
dengan hasil penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru; dapat membantu memahami interferensi fonologis bahasa Duri
terhadap dialek Indonesia pada kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang,
-
sehingga bisa memberikan perbaikan agar siswa maupun pembaca dapat
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Bagi sekolah; dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambaham referensi kepada sekolah tentangg penggunaan kata yang baik
dan benar tanpa terjadi interferensi fonologi saat melakukan interaksi atau
komunikasi.
c. Bagi siswa; mampu membantu siswa memahami interferensi fonologis
sehingga dapat melakukan perbaikan terutama pada saat proses belajar di
lingkungan sekolah
d. Bagi penulis; diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman
tentang penngunaan kata yang baik dan benar.
E. Definisi Istilah
1. Interferensi merupakan kekeliruan dalam berbahasa dan proses masuknya
unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatikal
bahasa yang menyerap.
2. Dialek dalam bahasa Yunani (dialektos) adalah varian dari sebuah bahasa
menurut pemakai. Sebuah dialek dibedakan berdasarkan kosakata, tata bahasa,
dan pengucapan (fonologi)
3. Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa
dalm kaitannya dengan penggunaan bahasa di dalam masyarakat
4. Masyarakat bahasa adalah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa
bersama, yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang
pada bahasa standar yang sama
-
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Penelitian sebelumnya yang relevan sesuai dengan penelitian ini sebagai
beriku:
Penelitian Nuraeni (2003), dalam Skripsi Berjudul “Interferensi Bahasa Bugis
terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi oleh Siswa SLTP
Negeri 4 Kahu Kabupaten Bone”. Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan
bahasa Indonesia yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah dalam kegiatan
komunikasi yang dilakukan oleh siswa SMP. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian kualitatif deskriptif. Menggunakan pendekatan sosiolinguistik.
Penelitian Nur Wahida (2017), dalam skripsi berjudul “Interferensi
Gramatikal Bahasa Makassar dalam Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa
kelas VII MTs. Muhammadiyah Cambajawaya Kec. Bontonompo Selatan Kab.
Gowa”. Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan bahasa Indonesia pada
karangan siswa. Penelitian ini mengkaji tentan interferensi framatikal yang
terjadi pada karangan siswa kelas VII. Hasil penelitian ini menunjukkan
terjadinya interferenssi gramatikal.
Penelitian Sukmawansari (2018), dalam skripsi berjudul “Interferensi
Fonologis Bahasa Indonesia oleh Penutur Asli Bahasa Duri Dialek Rabuq
Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang”. Penelitian ini menggunakan pendekatan
-
sosiolinguistik. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatid deskriprtif. Hasil
penelitian ini mennjukkan bahwa interferensi yang terjadi adalah interferensi
fonologi. Interferensi berupa penambahan, perubahan, dan penghilangan bunyi
fonem dalam bahasa Indonesia mengikuti pelafalan bahasa daerah.
Judul karya ilmiah yang ditulis oleh Agnes Maria Diana Rafael oleh
mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi Universitas Muhammadiyah
Surakarta (2019) yang berjudul “Interferensi Fonologis Penutur Bhasa Melayu
Kupang ke dalam Bahasa Indonesia di Kota Kupang”. Penelitian ini dilakukan
dalam proses bahasa sehari-hari Kupang dalam berkomunikasi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan sosiolinguistik, yaitu suatu pendekatan yang mengkaji
tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat.
Judul karya ilmiah yang ditulis oleh Perawati salah satu mahasiswa di
Universitas Tadulako jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (2020)
yangberjudul “Interferensi Bahasa Bugis Dialek Wajo terhadap Penggunaan
Bahasa Indonesia Lisan di Desa Torue Kecamatan Torue Kabupaten Perigi
Moutong”
Judul karya ilmiah yang ditulis oleh dosen Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara (FS USU) Drs. Irwan (2006) yang berjudul “Interferensi Bahasa
Daerah terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”
Berdasarkan penelitian yang relevan di atas tentang judul skripsi dan jurnal
telah dijelaskan yang dijadikan penulis sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini.
Peneliti mengambil beberapa macam penelitian yang relevan dengan judul skripsi
penulis, karena dapat membantu penyelesaian skripsi ini. Judul tersebut hampir
-
sama dengan judul penulis, hanya saja berbeda pada tempat penelitian tetapi
sama-sama mengkaji tentang interferensi bahasa Indonesia dan juga menggunakan
pendekatan sosiolinguistik untuk mengkaji penelitian.
2. Sosiolinguistik
Acuan teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik dengan pendekatan
analisis konstraktif. Istilah sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara
sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat
erat. maka, untuk memahami apa itu sosiolinguistik, perli terlebih dahulu
dibicarakan apa itu sosiologi dan linguistik itu. Tentang sosiologi telah banyak
batasan yang telah dibuat oleh para psikolog yang sangat bervariasi, tetapi yang
intinya bahwa sosiologi itu merupakan kajian objektif dan ilmuah mengenai
manusia di dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial
yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana
masyarakat dan bahasa itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Linguistik
merupakan ilmu yang mempelajari bahasa.
Mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu
masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, bagaiamana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam
tempatnya masing-masing di dalam masyarakat.
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin, antara sosiologi dan linguistik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan yang sangat erat. Dengan kata
lain, sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan terhadap bahasa sehubungan
dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Dapat juga dikatakan
-
bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan
bahasa, khususnya perbedaan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) Secara umum
dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang
mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam
masyarakat.. (Saleh dan Mahmud, 2006:1)
Socioolingistucs is the study of language in operation, it’s purpose is to
investigate how the convention of the language use relate to other aspects of
social behavior. Sosiolinguistik adalah kajian bahasa dalam penggunaannya,
dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konvensi pemakai bahasa berhubungan
dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku sosial. (C.Criper dan H.G. Widdowson
dalam Sukmawansari, 2018:8)
Sociolinguistics is de study van tall en taalgebruik in de context van
maatschapij en culture. Sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan
pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan. (Rene Appel, dalam
Sukmawansari, 2018:8)
Kalau diamati definisi tersebut, dapat dipahami bahwa sosiolinguistik
adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisiplin dengan ilmu sosiologi,
dengan objek penelitian berhubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di
dalam suatu masyarakat tutur.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati
sebagai bahasa saja, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan
dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia
sebagai penutur dan mitra turur. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia, mulai
-
dari ucapan pembicaraan nama bayi yang baru lahir sampai ucapan pemakaman
jenazah tentu tidak akan terlepas dari penggunaan bahasa. Oleh karena itu,
bagaimanapun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak
akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau
aspek-aspek kemasyarakatan.
Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan
berbagai fungsi variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan
ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana,
dalam Sukmawansari 2018:7)
Bram dan Dickey (dalam Sayama 2015:3) menyatakan bahwa
sosiolinguistik mengkhususkan kajiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di
tengah masyarakat. Mereka menyatakan bahwa sosiolinguistik berupaya
menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara
tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi.
Sociolinguistics is the study of the characteristics of language varieties,
the characteristics of their functions, and the charakteristics of their speakers as
these three constantly interact, change and change one another within a speech
community. Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-
fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu
berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat
tutur. (J.A Fishman dalam Sukmawansari 2018:7)
Selain istilah sosiolinguistik ada juga istilah digunakan istilah sosiologi
bahasa. Banyak orang menganggap kedua istilah itu sama, tetapi banyak pula
-
yang menganggapnya berbeda. Ada yang mngatakan digunakannya istilah
sosiolinguistik karena penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik; sedangkan
istilah sosiologi bahasa digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari bidang
sosiologi (Fishman, dalam Sayama Malabar 2015:3). Dikatakan bahwa ilmu ini
memang meneliti interaksi antara dua aspek tingkah laku manusia, penggunaan
bahasa dan organisasi tingkah laku sosial. Fishman juga mengatakan kajian
sosiolinguistik lebih bersifat kulitatif, sedangkan kajian sosiologi bersifat
kuantitatif. Jadi sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian
penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian
bahasa atau dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakain bahasa atau dialek
tertentu yang dilakukan penutur, topik dan latar pembicaraan, sedangkan
sosiologi bahasa yang berhubungan dengan faktor-faktor sosial, yang saling
bertimbal-balik dengan bahasa atau dialek.
Menurut Nancy Parrot Hickerson (dalam Saleh dan Mahmud, 2006:2)
sosioloinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan
penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajinya dalam satu konteks sosial.
Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi
bahasa.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik bersifat
interdisiplin dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitiannya berupa bahasa,
masyarakat, dan hubungan masyarakat dan bahasa.
3. Masyarakat Tutur
-
Secara sosiologis orang selalu memandang satu komunitas sebagai satu
organisasi sosial. Organisasi sosial merupakan suatu proses pembentukan
kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap
yang kita sebut sebagai lembaga sosial (Harton dan Hunt, dalam Saleh dan
Mahmud 2016:14). Kedua ahli sosiologi dari Amerika Serikat ini mendefinisikan
kelompok sebagai setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi.
Istilah masyarakat tutur sering pula disebut masyarakat bahasa atau
komunitas bahasa. Kalau suatu masyarakat mempunyai penilaian verbal repertoar
yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-
norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat
dikatakan bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat tutur. Jadi masyarakat
tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa sama,
melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam
menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
Djoko Kentjono (dalam Saleh dan Mahmud, 2006:15) untuk dapat dikatakan
satu masyarakat tutur mesti ada perasaan di antara para penuturnya, bahwa
mereka merasa menggunakan tutur yang sama. Dengan konsep adanya perasaan
menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek yang secara linguistik
merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua masyarakat tutur
yang berbeda.
Menurut Fishman dalam Saleh dan Mahmud 2006:15) mendefenisikan bahwa
masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-
-
tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan
penggunaannya.
Bahasa dengan masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam, yang barang
kali antara satu dengan yang lain agak sukar untuk dipertemukan. Bloomfield
membatasi dengan sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang
sama. Batasan ini dianggap terlalu sempit oleh masyarakat medern dan di dalam
masyarakat itu terdapat lebih dari satu bahasa. Sebaliknya defenisi Lebov yang
mengatakan sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai
bahasa dianggap terlalu luas dan terbuka. Bloomfield dan Labov (dalam Saleh
dkk, 2006:15)
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoarnya
dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan
tertentu. Mungkin juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan
adanya integrasi simbolik. Dalam hal tertentu saja yang disebut bahasa nasional
dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya
dengan variasi kebahasaan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kompleksya suatu masyarakat
tutur ditentukan oleh banyaknya pengalaman dan sikap para penutur tempat
variasi itu berada. Lalu verbal repertoar seluruh penutunya sebagai anggota
masyarakat itu. (Fishman dalam Saleh dkk, 2006:16).
Halliday (dalam Wardana 2015:15) mengatakan bahawa masyarakat tutur
adalah sekelompok orang yang menganggap diri mereka menggunakan bahasa
yang sama.
-
Chaer (dalam Wardana, 2015:15) senada dengan Halliday menyatakan dan
telah menganggap bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang yang
merasa dirinya menggunakan bahasa yang sama. Dengan pengertian terhadap
kata masyarakat seperti itu, maka setiap kelompok orang yang karena tempat atau
daerah, profesi, hoby, dan sebagainya menggunakan bentuk bahasa yang sama
pula terhadap norma-norma pengguna bahasa itu, maka akan membentuk
masyarakat tutur. Begitu pula kelompok-kelompok di dalam ranah-ranah sosial,
seperti rumah tangga, pemerintahan, keagamaan atau bahakan kelompok kecil
masyarakat terasing yang anggotanya yang anggotanya hanya terdiri beberapa
orang saja. Jadi, suatu wadah negara, bangsa, atau daerah dapat membentuk
masyarakat tutur.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa masyarakat tutur adalah suatu kelompok masyarakat yang timbul karena
berinteraksi menggunakan bentuk bahasa yang sama dan memiliki norma yang
sama. Masyarakat tutur mampu berkomunikasi dan berintekasi, sebab memiliki
kemampuan komunikatif yang relatif sama.
4. Kedwibahasaan
Adanya penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian
dalam pergaulannya dengan orang lain maka hal ini disebut kedwibahasaan.
Dalam kajian sosiolinguistik bahwa bilingualisme adalah digunakan dua buah
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian. Aslinda dan Syafyahya (2010:8) kedwibahasaan adalah kemampuan
atau kebiasaan yang dimiliki oleh penutur dalam penggunaan dua bahasa.
-
Mackey (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:25) menyatakan bahwa
kedwibahasaan bukan gejala bahasa melainkan gejala penggunaan, berarti tidak
termasuk ke dalam langue, tetapi termasuk ke dalam parole. Jika bahasa
merupakan milik kelompok, maka kedwibahasaan milik perseorangan. Namun,
pendapat ini ditentang oleh Oscar (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:25), yang
mengatakan bahwa kedwibahasaan tidak hanya dimiliki oleh perseorangan, tetapi
juga milik kelompok karena bahasa bukan hanya sebagai alat perhubungan di
antara kelompok, melainkan sebagai alat untuk menegakkan kelompok dan alat
untuk menunjukkan identitas kelompok.
Di sisi lain menurut Suwito (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:25)
memberi peluang adanya masyarakat kedwibahasaan, yaitu masyarakat yang
menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi sebagaimana halnya
individu dwibahasawan yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat
komunikasi.
Selain itu menurut Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2010:85)
memberikan batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa. Batasan
ini mengimplementasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang
yang menguasai bahasa dengan sama baik, sehingga masyarakat dwibahasa
pemakaian bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor.
Penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam berkomunikasi dengan
orang lain secara bergantian sering terjadi, dikarenakan adanya interferensi
bahasa lokal terhadap bahasa nasional, misalkan interferensi bahasa Duri dalam
-
bahasa Indonesia dalam komunikasi lisan. Jadi, kedwibahasaan merupakan
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur yang berkenaan dengan
penggunaan dua bahasa atau kode bahasa.
Tarigan (dalam Sukmawansari:19) menyatakan bahwa kedwibahasaan
mengandung dua konsep, yaitu kemamouan mempergunakan dua bahasa
(bilingual) dan kebiasaan memakai dua bahasa. Seiring dengan konseo bilingual
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Gramedia Press, bilingual
diartikan dapat menguasai dua bahasa atau lebih dengan baik yang berkenaan
dengan mengandung dua bahasa. Bilingalisme dapat diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau lebih dalam suatu
masyarakat bahasa.
Dalam bilingual dibicarakan tingkat penguasaan bahasa dan jenis
keterampilan yang dikuasai, sedangkan dalam bilingualisme yang dibicarakan
pola-pola penggunaan kedua bahasa yang bersangkutan, sering dipergunakan
setiap penggunaan bahasa dan dalam lingkungan bahasa.
Berdasarkan pendapat di atas, maka Cahyono (dalam Sukmawansari 2018:20)
mengatakan bahwa dalam kelompok kedwibahasaan pada tingkatan individu
cenderung merupakan ciri kelompok minoritas. Dalam situasikedwibahasaan lain
kelompok minoritas tumbuh di sebuah masyarakata bahasa, yang biasanya
memakai satu bahasa. Kedwibahasaan seseorang dapat juga terjadi hanya karena
secara kebetulan mempunyai orangtua yang berkomunikasi dengan bahasa yang
berbeda. Kemudian Mackey (dalam Tarigan, 2009:4) menjelaskan fenomena
kedwibahasaan merupakan suatu yang sepenuhnya bersifat nibsi atau relatif. Oleh
-
karena itu, kita akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasaan
sebagai penggunaan secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi
yang sama.
Perubahan bahasa sebagai kontak bahasa, disamping kontak bahasa akan
terjadi saling memasuki ataupun saling memindahan pemakaian unsur-unsur
bahasa, juga terdapat percampuran, dan terjadi pemindahan identitas bahasa.
Seorang dwibahasawan akan menggunakan unsur-unsur bahasa kedua dalam
penggunaan bahasa sendiri. (Aslinda dan Syafyahya, 2010:26)
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa kedwibahasawan adalah seseorang penutur dalam pengauasaan
penggunaan bahasa lebih dari satu atau dua bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi.
Tiap perangkat dibidang oleh ilmu yang berbeda-beda. Bunyi bahasa,
misalnya dipelajari dan dikaji oleh ilmu bunyi atau sering disebut fonologi.
Fonologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bunyi bahasa, dengan
tujuan agar para pembaca dapat membedakan bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
dipadukan sehingga mengandung arti.
Menurut W.N Francis (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan fonologi adalah
istilah yang mencakup fonetik dan fonemik. Selanjutnya Crystasl (dalam
Munirah, 2016:1) mengatakan bahwa fonologi adalah cabang linguistik yang
menelaah sistem bunyi bahasa.
Lebih lanjut, Frankin dan Rodman (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan
bahwa fonologi adalah menelaah cara-cara bunyi-bunyi bicara membentuk sistem
-
dan pola dalam bahasa manusia. Karena itu, fonologi suatu bahasa adalah sistem
dan pola bunyi-bunyi bicara.
Selain itu, Kridalaksana (dalam Munirah 2016:1) mengatakan bahwa fonologi
adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya.
5. Bahasa
Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja
sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam hal ini, manusia
membutuhkan sebuah alat untuk berinteraksi
, yaitu bahasa. Bahasa digunakan
manusia untuk membentuk kelompok sosial sebagai pemenuhan kebutuhannya
untuk hidup bersama. Bahasa juga merupakan sumber daya bagi kehidupan
bermasyarakat. Orang dikenal dan menjadi populer di lingkungannya apabila
saling memahami. Orang berhasil dalam belajar, apabila dapat saling memahami.
Jadi, kepopoleran dan keberhasilan itu tergantung pada adanya saling memahami
di antara sesama manusia. Saling memahami atau saling mengerti erat
berhubungan dengan penggunaan sumber daya bahasa yang dimiliki.
Chaer (2006:1) mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang
berupa bunyi, bersifat arbitrer digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk
bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sebagai sebuah
sistem, maka bahasa terbentuk oleh suatu aturan, kaidah atau pola-pola tertentu,
baik dalam bidang tata bunyi, tata bentuk kata, maupun tata kalimat. Bila aturan,
kaidah, atau pola ini dilanggar, maka komunikasi dapat terganggu, lambang yang
digunakan dalam sistem bahasa adalah berupa bunyi, maka yang dianggap primer
-
di dalam bahasa adalah bahasa yang diucapkan atau yang sering disebur bahasa
lisan.
Chaer (2009:1) mengatakan bahasa adalah fenomena yang menghubungkan
dunia makna dengan dunia bunyi. Dunia makna artinya adalah setiap bahasa yang
kita gunakan, akan menghasilkan sebuah pengertian baik dari pengertian
pendengar maupun pembaca dan diri sendiri,
Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan sesama manusia dalam
berinteraksi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik baik verbal maupun
nonverbal. Bahasa sebagai media komunikasi agar lebih mudah dipahami oleh
pihal lain karena dapat mentransmisikan informasi dengan menggunakan simbol-
simbol bahasa. (Amri, 2015:2)
Bahasa sering disebut sebagai penanda (previor), bahasa juga sering disebut
sebagai cerminan masyarakat. Jadi selain previor atau penanda keberadaan bagi
budaya, bahasa juga merupakan cerminan bagi leberadaan masyarakatnya atau
bahasa hampir pasti menunjukkan bangsanya. Pada umumnya, bahasa dalam
masyarakat sering banyak dipahami sebagai sistem lambang atau simbol yang
memiliki makna atau arti. Bahasa juga memiliki ciri prodiktif. Mengapa
dikatakan seperti itu, karena dari bentuk kebahasaan tertentu yang sudah ada pada
bahasa itu hampir selalu dapat dilahirkan bentuk-bentuk kebahasaan lainnya.
(Rahardi, 2009:3)
Bahasa adalah suatu sistem sama dengan sistem-sistem lain, yang sekaligus
bersifat sistematis. Bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan
-
dibangun oleh sejumlah substansi (subsistem fonologi, sintaksis, dan leksikon.
Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang. (Chaer, 2009:30)
Badudu (dalam Nurbiana dan Lara 2014:5) menyatakan bahwa bahasa adalah
alat penghubung atau komunikasi antara anggota masyarakat yang terdiri atas
indivu-individu yang menyatakan pemikiran, perasaan dan keinginannya. Bahasa
sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan
masyarakat dalam rangka untuk bekerja sama, beinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.
Kajian tentang bahasa dan komunikasi pada dasarnya menelaah persamaan
dan perbedaan kedua definisi tersebut. Beberapa ahli sepakat bahwa bahasa
mencakup cara untuk berkomunikasi, pikira, dan perasaan. Individu dinyatakan
dalam bentuk lambang bunyi atau simbol, seperti lisan, tulisan, mengungkapkan
sesuatu.
Bromley (dalam Nurbiana dan Lara 2014:5) mendefnisikan bahasa sebagai
sebagai sistem simbol yang teratur menstranfer berbagai ide maupun informasi
yang terdiri atas simbol-simbol visual dan verbal. Simbol-simbol visual tersebut
dapat dilihat, ditulis, dan dibaca. Sedangkan simbol-simbil verbal tersebut dapat
diucapkan dan didengar.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan
sebagai alat komunikasi, berinteraksi, alat pemersatu yang digunakan untuk
menyampaikan sesuatu.
a. Bahasa Indonesia
-
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional, bahasa pemersatu, sehingga
daerah-daerah di Indonesia yang memiliki ragam bahasa dapat berkomunikasi
dengan baik. Bahsa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang
sejak dahulu sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua franca ), bukan saja
di kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
bahasa Indonesia yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu yang pada
awalnya adalah salah satu bahasa daerah diantara berbagai bahasa daerah
kepulauan Indonesia.
Bahasa Indonesia berkembang dari bahasa Melayu, Halim dalam Arifin dan
Tasai (2015:2) mengemukakan bahwa “... bahasa Melayu kuno sudah dipakai
sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya...”
Adapun fungsi bahasa Melayu pada zaman Sriwijaya (Arifin dan Tasai,
2015:6) dapat duraikan sebagai berikut:
a) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku-
buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.
b) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antar
suku di Indonesia antar suku di Indonesia.
c) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perdagangan terutama di sepanjang
pantai, baik bagi siku yang ada di Indonesia bagi pedagang-pedagang yang
datang di luar Indonesia.
d) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa resmi kerajaan.
Pada tahap selanjutnya, penggunaan bahasa Indonesia semakin berkembang,
sehingga dikukuhkan dalm sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Dengan
-
diikrarkan sumpah pemuda, resmilah bahasa Melayu, yang sudah digunakan sejak
abad ke VII, menjadi bahasa Indonesia (Arifin dan Tasai, 2015:7).
1) Kedudukan bahasa Indonesia
Halim dalam Sugihastuti dan Sauda (2016:5) mengemukakan bahwa adapun
yang dimaksud dengan fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa yang
dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukanyang
diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status
relative bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar
nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan.
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yanga sangat penting. Menutut
Arifin dan Tasai (2015:12), ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia.
Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan
sumpah pemuda 1928. Kedua, bahasa Indonesian berkedudukan sebagai bahasa
negara sesua dengan UUD 1945 BAB 15 pasal 36 yang berbunyi “Bahasa negara
ialah bahasa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan
kedudukannya senagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada
saat itu Undang-undang Dasar 1945 telah disahkan menjadi Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia.
Selain kedudukan, bahasa Indonesia juga memiliki fungsi. Pada dasarnya
bahasa memiliki fungsi beragam. Hilliday (Rahardi, 2009:6) mengemukakan
bahwa fungsi bahasa adalah:
a) Fungsi instrumental
b) Fungsi regulasi
-
c) Fungsi representasional
d) Fungsi interaksional
e) Personal function
f) Heuristic function
g) Imaginative function
Menurut Arifin dan Tasai (2015:12) sehubungan dengan kedudukannya
sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
a) Lambang kebanggaan bangsa
b) Lambang indentitas nasional
c) Alat perhubungan antarwarga
d) Alat yang memungkinkan menyatuan berbagai suku bangsa dengan latar
belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan
kebangsaan Indonesia
Dengan bahasa Indonesia, keberagaman bahasa di berbagai daerah di
Indonesia tidak akan menjadi penghambat dalam berkomunikasi antara satu
dengan yang lain. Justru perbedaan yang ada menunjukkan kekayaan budaya
bangsa Indonesia dengan berbagai suku dan bangsa dalam satu Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Bahasa daerah
Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam
sebuah negara kebangsaan yang terletak pada suatu daerah kecil di bagian federal
atau provensi dan daerah yang lebih luas. Indonesia merupakan negara kesatuan
yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa. Selain bahasa Indonesia
-
sebagai bahasa nasional, bahasa daerah merupakan khazanah kekayaan yang
sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan agar terhindar dari jamahan asing
yang mampu menghapus jejak budaya kita (Ahira, 2011). Bahasa daerah
merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang Keberadaannya diakui oleh
Negara. (Wawan, 2002:1)
Tertera dalam politik bahasa Nasional, bahwa bahasa daerah berfungsi
sebagai pendukung bahasa Nasional, pengantar bahasa di sekolah di daerah
tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa
Indonesia dan mata pelajaran yang lain. Alat pengembang serta kenyataan
menunjukkan bahwa sebagaian besar penduduk dari daerah Duri menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa daerah
masih digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah maupun di kantor-
kantor, selain dalam pergaulan
(1) Bahasa Duri
Bahasa Duri merupakan salah satu bahasa daerah Sulawesi Selatan yang
memiliki wilayah penyebabaran yang cukup luas. Pada awalnya Mesanrempulu
hanya memiliki wolayah tertentu, tetapi dalam perkembangan selanjutnya
Masenrempulu juga mewakili bahasa yang digunakan di Kabupaten Enrekang,
yang terdiri atas sekelompok manusia yang menamakan dirinya Endekan, Duri,
dan Maiwa. (Lihat Sikki, el al. Dalam Sukmawansari, 2018:24)
Menurut Pelenkahu (dalam Sukmawansari, 2018:24) di dalam peta bahasa
Sulawesi Selatan disebutkan bahwa kelompok bahasa Masenrenpulu (daerah
kabupatrn Enrekang) terdiri atas tiga subkelompok, yaitu subkelompok Endekan,
-
Maiwa, dan Duri. Subkelompok Duri terdapat di sebagian besar kecamatan Alla
(perbatasan dan banyak bercampur dengan kelompok sa‟dan), kecamatan Baraka,
sebagian kecamatan Anggeraja, dan kecamatan Curio. Subkelompok Duri yang di
dalam penelitian ini disebut dialek Duri. Dalam pergaulan antarwarganya, dialek
Duri memiliki peranan penting. Peranan ini dapat dilihat sebagai alat komunikasi
utama dalam berbagai aktivitas setiap hari maupun perwujudannya dalam
berbagaibentuk budaya daerah seperti acara-acara adat dan kesenian. Selain itu,
dialek Duri digunakan pula sebagai bahasa pengantar pada kelas-kelas awal
sekolah dasar.
Dikalangan ahli bahasa sendiri (termasuk budayawan) di Sulawesi Selatan
pada umumnya sudah mengakui eksistensi bahasa Masenrempulu sebagai salah
satu bahasa umum di Sulawesi Selatan, di samping bahasa Bugis, Makassar,
Mandar (sekarang Sulawesi Barat), dan Toraja. Bahasa Masenrempulu tidak
sengaja digunakan dalam administrasi Kabupaten Enrekang, tetapi sudah
meneyebar ke wilayah kabupaten lain, bahkan di luar Sulawesi Selatan, seperti
Kalimantan Timur, Irian Jaya (sekarang provensi Papua), dan Malaysia ( Lihat
Pelenkabu, dalam Sukmawansari 2018:25). Berdasarkan kenyataan ditunjang
dengan arus komunikasi dan transportasi serta arus urbanisasi, wilayah
penyebaran dan pemakaian bahasa Duri sangat memungkinkan melampaui
daerah-daerah yang telah disebutkan. Bahasa Duri selain digunakan sebagai alat
komunikasi sehari-hari oleh masyarakat pemakainya, juga digunakan dalam
pertemuan-pertemuan tidak resmi ataupun resmi, misalnya dalam rapat kerja
desa, khotbah, dan upacara-upacara lainnya.
-
Sebelum Indonesia merdeka Masenrempulu memiliki kekuasaan yang terbagi
dalam tujuh kekuasaan kecil yang disebut dengan „pitu Masenrempulu”, yakni
Endekan, Kassa, Batu Lappa, Maiwa, Tallu Batupapan, Letta, dan Bungin.
Setelah zaman penjajahan kekuasaan letta dan bungin, masuk ke dalam
Kabupaten Pinrang.
Seperti hanya dengan bahasa-bahasa daerah yang lain, Enrekang juga
memiliki beberapa variasi dialek dengan beberapa daerah penyebarannya. Dialek
Endekan, dialek ini digunakan dalam wilayah Kecamatan Enrekang dan
sekitarnya, serta desa Bambapuang di Kecamatan Anggeraja. Peralihan ke dialek
Duri terdapat di Rura, sedangkan peralihan dialek Maiwa di Selatan terdapat di
sekitar Kabere, Kecamatan Cendana.
Dialek Maiwa, dialek ini digunakan di Kecamatan Maiwa, mulai dari Karrang
di Utara sampai di Salo Karaja di Selatan (perbatasan Kabupaten Rappang), lalu
ke desa Bungin di Timur Laut pada lereng gunung Latimojong, melintasi
perbbatasan ke Timur, dari Bungin sampai ke Teluk Bone di sekitar Keppe
(Kabupaten Luwu bagian Selatan). Di bagian Tenggara, melintasi sungai Tebang
dan menghilir sungai Bila di Kabupaten Sidenreng Rappang bagian Timur. Di
Sebelah Barat, dekat Malimpung, Kabupaten Pinrang juga diginakan dialek
Maiwa. Di desa Malimpung terdapat percampuran beberapa dialek Bugis dan
Masenrempulu.
Diakek Duri, dialek ini digunakan di daerah bekas federasi Tallu Batupapan
(Alla, Malua, Buttu Batu), yaitu seluruh kecamatan Baraka (kecuali beberapa
percampuran di perbatasan Maiwa), sebagian besar Kecamatan Anggeraja
-
(kecuali desa Bambapuang), sebagian kecamatan Alla (kecuali suatu enclave
bahasa saqdan di Masalle dan beberapa tempat di Curio. Di sebelah Timur laut
Kecamatan Alla, melintasi Sali Barani terdapat beberapa tenpat di desa Gandang
Batu (Kabupaten Tana Toraja) yang juga berdialek Duri.
Dialek patinjo, dialek ini digunakan di bagian Utara Kabupaten Pinrang,
dalam Kecamatan Patampanua (terutama di Benteng dan Belajeng Kassa),
Kecamatan Duampanua (terutama di sekitar Lapase, desa Batulappa, dan
Bungin), Kecamatan Lembang ( desa Letta, Basseng, Ulu Saqdan, Rajang,
Tadokkong, dan Gallang-Gallang.
Berbahasa bagi masyarakat Duri dimaksudkan untuk mengenal alur-alur
berpikir dalam kegiatan keilmuan dan berperilaku lalu mencoba menerapkan
kepada masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara
berbahasa diterapkan pada permasalahan yang aktual seperti usaha peningkatan
penalaran, permasalahan moral dalm kegiatan keilmuan. Pengetahuan tentang
kebahasaan secara praktis ditujukan kepada kemampuan mendiaknosis
permasalahan dan mencari alternatif pemecahannya.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Duri berpikir secara terus menerus tidak
henti-hentinya sehingga mendapatkan keneran. Dengan berpikir mendalam
banyak mendapatlan pengetahuan yang akan menemukan hakikat dari sesuatu
yang dipikirkannya.
Bahasa Duri diklaim oleh suku Toraja bahwa mirip dengan bahasa Toraja,
namun bukan suku Toraja, demikian juga pemakai bahasa Bugis mengklaim
bahwa Dialek Endekan dan Maiwa adalah bahasa Bugis, padahal tidak demikian
-
adanya. Untuk melihat perbandingannya di bawah ini akan dipaparkan beberapa
kata dengan dialek masing masing.
Gambar 2.1 Tabel Perbandingan antara Bahasa Bugis,
Massenrempulu, dan Toraja.
Bugis Maiwa Endekan Duri Toraja Indonesia
Deq Anda Njo Teqda Taeq Tidak ada
Jokka Ikka Lumamba Lumingka Ma‟lingka Jalan kaki
Esso Asso Allo Allo Allo Hari
Sularaq Sularaq Calana Calana Seppa Celana
Manu Dondeng Manuk Manuk Manuk Ayam
Kaluku Kaluku Nyio Kaluku Kaluku Kelapa
Perbandingan kata-kata tersebut, terlihat ada beberapa kata yang memiliki
persamaan dan perbedaan dari bahasa yang diklaim sama.
6. Interferensi
Interferensi merupakan proses masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain
yang bersifat melanggar kaidah gramatika bahasa. Istilah interferensi pertama
kali digunakan oleh Weinreich (dalam Sukmawansari 2018:33) untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur
yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua
bahasa secara bergantian.
Namun kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi.
Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tentu tidak mempunyai
-
kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan. Penutur
bilingual yang mempunyai kemampuan seperti ini oleh Ervin dan Osgood (dalam
Sukmawansari 2018:34) disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan
yang kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan
terhadap BI-nya disebut kemampuan bahasa yang majemuk.
Wenrich (dalam Sukmawansari, 2018:22) mengatakan bahwa interferensi
adalah penyimpangan kaidah salah satu bahasa pada seseorang dwibahasawan
akibat kebiasaan pemakaian bahasa lebih dari satu.
Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk ini biasanya mempunyai
kesulitan dalam menggunakan B2-nya, karena akan dipengaruhi oleh kemampuan
BI-nya. Menengenai pengertian interferensi secara komprehensif. Berikut
pernyataan Kridalaksana (dalam Sukmawansari, 2018:34) menyatakan bahwa
interferensi adalah penyimpangan kaidah-kaidah suatu bahasa yang terjadi pada
orang bilingual sebagai akibat penguasaan dua bahasa. Penyebab interferensi
yang lain, yaitu kurangnya penguasaan kaidah kebahasaan secara benar.
Alwasilah (dalam Sukawansari, 2018:34) menyatakan bahwa interferensi
merupakan kekeliruan yang disebabkan adanya kecenderungan membiasakan
pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan
suatu bunyi. Tata bahasa, dan kosakata.
Soewito (dalam Chaer, 2010:126) menyatakan bahwa interferensi dalam
bahasa Indonesia berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki
bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah.
Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (dalam Sukmawansari, 2018:35)
-
menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke
dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem
satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kesua
sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem
fonemik bahasa penerima. Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber
serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat
yang lain, dan sebaliknya. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara
timbal balik.
Selanjutnya, interferensi secara umum dapat diartikan pencampuran dalam
bidang bahasa. Pencampuran yang dimaksud adalah pencampuran dua bahasa
atau saling mempengaruhi antar dua bahasa. Lanjut Alwasilah (dalam Aslinda
dan Syafyahya, 2010:66) mengatakan interferensi berarti adanya saling pengaruh
antar bahasa. Pengaru itu dalam bentuk yang paling sederhana berupa
pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya
dengan bahasa lain. Chaer dan Agustin (2010:120) berpendapat faktor penyebab
interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya
perubahan sistem suatu bahasa sehubungan adanya persentuhan bahasa tersebut
dengan unsur-unsur bahasa lain yang digunakan oleh penutur yang bilingual.
Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakansuatu
bahasa dengan memasukkan sistem dari bahasa lain. Sepihan-serpihan fonem dari
bahasa lain dalam suatu kosakata juga dapat dianggap sebagai peristiwa
interferensi.
-
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan pengertian interferensi adalah suatu kekeliruan, penyimpangan
atau masuknya unsur serapan pada saat pengucapan kata dalam bahasa Indoensia
yang terjadi karena bilingual.
a. Tataran Interferensi
Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, yaitu tataran
bunyi, tata bentuk, tata kalimat, leksikal, dan semantik. Macky (dalam Nursaid
dan Marjusman, 2002:138) membicarakan tingkat-tingkat interferensi cultural
phenomena and expertence, semantic lexical, rammatical (parts of speech,
grammatical categories, funcion, and phonological (intonation rythms,
calenation, and articulation).
Jenis interferensi dikemukakan Jendra (dalam Sukmawansari, 2018:36) bahwa
interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata
bunyi (fonologi), tata bentuk kata (morfologi) tata kalimat ( sintaksis), kosakata
(leksikon). Pada tataran fonologi, morfologi,dan sintaksis. Interferensi fonologi
dapat dibedakan menjadi: interferensi yang terjadi pada vokal, diftong dan
konsonan. Interferensi morfologi dapat dibedakan menjadi: Prefiks, sulfiks, dan
konfiks. Selanjutnya, interferensi sintaksis dapat dilihat pada tataran frasa dan
klausa.
a. Interferensi Fonologi
Tiap perangkat dibidang oleh ilmu yang berbeda-beda. Bunyi bahasa,
misalnya dipelajari dan dikaji oleh ilmu bunyi atau sering disebut fonologi.
Fonologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bunyi bahasa, dengan
-
tujuan agar para pembaca dapat membedakan bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
dipadukan sehingga mengandung arti.
W.N Francis (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan fonologi adalah istilah
yang mencakup fonetik dan fonemik. Selanjutnya Crystasl (dalam Munirah,
2016:1) mengatakan bahwa fonologi adalah cabang linguistik yang menelaah
sistem bunyi bahasa.
Lebih lanjut, Frankin dan Rodman (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan
bahwa fonologi adalah menelaah cara-cara bunyi-bunyi bicara membentuk sistem
dan pola dalam bahasa manusia. Karena itu, fonologi suatu bahasa adalah sistem
dan pola bunyi-bunyi bicara.
Selain itu, Kridalaksana (dalam Munirah 2016:1) mengatakan bahwa fonologi
adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Kridalaksana (dalam Sukmawansari, 2018:36) menyatakan bahwa fonologi
ialah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya. Interferensi fonologi terdiri dari interferensi fonologis pengurangan,
penambahahan huruf, dan interferensi fonologis perubahahan huruf.
Perubahannya bisa terjadi seperti penghilangan fonem pada awal, tengah, akhir,
atau melalui proses penggabungan, pelepasan, penyisipan, asimilasi, dan
desimilasi. Interferensi fonologi merupakan kekacauan atau gangguan sistem
suatu bahasa yang berhubungan dengan fonem. Interferensi fonologi ini terjadi
pada tataran vokal, diftong, dan tataran konsonan.
b. Interferensi fonologi bahasa Duri ke dalam bahasa Indonesia
1) Fonem Vokal
-
Pada dialek Diri, Endekan, dan Maiwa terdapat lima fonem vokal, yaitu /i/,
/u/, /e/,/o/, dan /a/. Berdasarkan gerakan alat ucap, fonem vokal tersebut dapat
dibedakan sebagai berikut:
a) Berdasarkan tinggi rendahnya posisi lidah:
Vokal tinggi : i, u
Vokal tengah : e, o
Vokal rendah : a
b) Berdasarkan bundar lebarnya bibir:
Vokal bundar : u, o
Vokal tak bundar :i, e (lihat Sikki, et al. 1997)
c) Berdasarkan maju mundurnya gerakan lidah:
Vokal depan : i, e
Vokal belakang : a
Vokal pusat : u, e
2) Distribusi fonel vokal
Pada ketiga dialek dalam bahasa tersebut memperlihatkan bahwa kelima
vokal, yaitu /i/, /u/,/ e/, /o/, dan /a/ dapat menempati semua posisi dalam kata,
baik di awal, tengah, maupun di akhir kata.
3) Deretan fonem vokal
Dalam bahasa Duri belum ditemukan diftong, seperti harimau, bangau, kalau,
gulai (ikan), sepoi, dan amboi dalam bahasa Indonesia. Yang ditemukan adalah
deretan vokal, baik pada kata dasar maupun kata jadian.
-
Interferensi dalam bidang fonologi terjadi pada tataran vokal yang tampak
seperti di bawah ini:
Terima „tarima‟
Benang „bannang‟
Sepeda „sapeda‟
Mati „mate‟
Telinga „talinga‟
Celaka „cilaka‟
Data tersebut memperlihatkan bahwa interferensi fonologis bahasa Indonesia
ke dalam bahada Duri yang terjadi pada tataran vokal yakni terjadi perubahan
vokal /e/ dalam bahasa Indonesia menjadi vokal /a/ dalam bahasa daerah. Pada
kata „terima‟ terjadi perubahan vokal /a/ dengan vokal /e/, perubahan ini disebut
interferensi yang terjadi pada fonem dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Duri
sebab pola baku bahasa Indonesia adalah „terima‟ bukan „tarima‟. Pada kata
„celaka‟ dari bahasa Indonesia, berubah pengucapan dalam bahasa Duri menjadi
„cilaka‟. Perubahan pada kata „cilaka‟ terjadi pada perubahan vokal /e/ menjadi
vokal /i/.
4) Fonem konsonan
Bahasa ini memiliki 19 fonem konsonan. Kesembilan belas konsonan itu
adalah /p/, /t/, /d/, /b/, /k/, /g/, /q/, /c/, /j/, /s/, /h/, /m/, /n/, /ny/, /ng/, /r/, /l/, /w/, dan
/y/.
a) Berdasarkan tempat artikulasi
- Konsonan bilabial ada empat, yaitu /m/, /p/, /b/, dan /w/.
-
- Konsonan alveolar ada enam, yaitu /n/, /t/, /d/, /s/, /l/, dan /r/.
- Konsonan palata ada empat, yaitu /ny/, /c/, /j/, dan /y/.
- Konsonan velar ada tiga, yaitu /ng/, /k/, dan /g/.
- Konsonan glottal ada satu, yaitu /q/. (lihat Sikki et al. (dalam
Sukmawansari,2018:37)
b) Berdasarkan cara artikulasi
- Konsonan nasal ada empat, yaitu: /m/, /n/, /ny/, dan /ng/.
- Konsonan letupan ada enam, yaitu /p/, /t/, /d/, /g/, dan /q/.
- Konsonan afrikat ada tiga, yaitu: /c/, /j/, dan /h/.
- Konsonan frikatif ada satu, yaitu /s/.
- Konsonan latera ada satu, yaitu /l/.
- Konsonan getar ada satu, yaitu /r/.
- Konsonan vokal ada dua, yaitu /w/ dan /y/.
5) Distribusi fonem konsonan
Distribusi konsonan akan tergambar pada kemungkinan setiap konsonan
dalam mengisi posisi tertentu, baik di awal, twengah, maupun di akhir kata. Dapat
dipastikan bahwa ada fonem yang dapat menduduki semua posisi, tetapi ada juga,
bahkan, sebagian besar fonem yang akan menempati posisi tertentu.
Setelah memperjatikan distribusi fonem konsonan, ternyata hanya empat
konsonan yang dapat menempati semua posisi (awal, tengah, dan akhir kata),
yaitu /n/, /k/, /ng/, dan /h/. Keempat fonem yang muncul pada akhir kata terdapat
perbedaan diantara tiga dialek. Fonem /n/, di akhir kata muncul pada dialek Duri
dan Endekan, fonem /ng/ di akhir kata pada ketiga dialek, fonem /k/ di akhir kata
-
muncul dialek Duri, sedangkan pada dialek Endekan fonem /k/, di awali dengan
nasal dorsovelar /ng/ menjadi /ngk/, dan fonem /h/, di akhir kata hanya terdapat
pada dialek Duri. Selain keempat fonem yang dapat menduduki semua posisi,
fonem /q/ hanya muncul pada tengah, dan akhir kata untuk ketiga dialek. Fonem-
fonem yang lain muncul pada awal dan tengah kata saja
6) Gugus konsonan
Gugus konsonan terdapat dalam sebuah suku yang terdiri atas kelompok atau
deretan dua buah konsonan atau lebih tanpa disela dengan vokal. Interferensi
fonologis bahasa Indonesia dalam bahasa daerah juga terjadi pada bidang
konsonan, yakni terjadi perubahan konsonan dalam bentuk penambahan bunyi
konsonan, penghilangan bunyi konsonan dan penggantian bunyi konsonan
misalkan pada kata „hati‟. Kata tersebut memperlihatkan bahwa pengucapan kata
„hati‟ dalam bahasa Indonesia akan menjadi „ate‟ dalam pengucapan bahasa Duri.
Ini merupakan interferensi fonologi dalm bidang konsonan, sebab terjadi
penghilangan bunyi konsonan /h/ dan pengganti bunyi vokal /i/.
7. Faktor penyebab terjadinya interferensi
Nursaid dan Marjusman Maksan (2002:135) menungkapkan adanya pengaruh
kontak dua bahasa atau lebih dalam diri individu yang mengakibatkan terjadinya
pentransferan unsur-unsur bahasa ke bahasalain. Sejalan dengan itu Weinrich
(dalam Ruriana, 2010:64-65) selain kontak bahasa ada beberapa faktor lain
terjadinya interferensi, yaitu:
a. Kedwibahasaan peserta tutur
-
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan
berbagai pengaruh lain dari sumber bahasa, baik dari bahasa daerah maupun
bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur
yang dwibahasanya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
b. Tipisnya kesetiaan pemakaian bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan kedwibahasaan terhadap bahasa penerima cenderung akan
menimbulkan sifat kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah
bahasa penerima yang digunakan dan pengembalian unsur-unsur bahasa sumber
yang dikuasi penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul
bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur,
baik secara lisan maupun tertulis.
c. Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Pembendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada
pengungkapan berbagai sisi kehidupan yang terdapan di dalam masyarakat yang
bersangktan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika
suatu masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu
dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum
mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka
menggunakan kosakata sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja
pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidakcukupan atau terbatasnya
kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam
bahasa sumber cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi. Interferensi
-
yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja
oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini
cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat
diperlukan untuk memperkaya pembendaharaan kata bahasa penerima.
d. Menghilangkan kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalm suatu bahasa yang jarang digunakan cenderung akan
menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan kan
menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebuh dihadapkan pada konsep baru dari
luar, pada suatu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah
menghilang dan pihak lain akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu
interferensi atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber. Interferensi yang
disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dogunakan tersebut akan
berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa
penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjamanitu akan lebih cepat
diintegrasikan karena unsur tersebut dibutukan dalam bahasa penerima.
e. Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa memiliki fungsi yang cukup penting, yakni
sebagai variasi pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama
secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata
yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang
dipergunakan untuk menghindari kata secara berulang-ulang. Karena adanya
sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam
bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk
-
memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan
kosakata yang bersinonim dapat menimbulkan interferensi.
f. Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi karena
pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang
dianggap bahasa berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan
dengan keinginan pemakai bahasa bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang
timbul karena faktor itu biasanya berupa pemakai bahasa unsur-unsur bahasa
sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan.
g. Terbawanya kebiasaan bahasa ibu
Kebiasan bahasa ibu pada bahasa yang sedang digunakan, pada umumnya
terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap
bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasaan yang sedang belajar
bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan
bahasa kedua, pemakai bahasa kedua kurang kontrol, karena kedwibahasaan
mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan
menggunakan bahasa kedua maka yang muncul adalah kosakata bahasa pertama
atau bahasa ibu yang sudah dulu dikenalnya. Interferensi yang terjadi antara
bahasa Duri dalam pemakaian bahasa Indonesia disebabkan adanya pertemuan
atau persentuhan dua bahasa tersebut. Interferensi pada lafal, pembentukan kata,
pembentukan kalimat, dan kosakata.
-
B. Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori yang telah peneliti kaji, Pada bagian ini diuraikan
beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai acuan dan pedoman selanjutnya.
Kerangka pikir yang dimaksud mengarahkan penulis untuk memperoleh data dan
informasi dalam penelitian guna memecahkan masalah yang dikaji.
Di dalam penelitian ini, penulis memilih pokok permasalahan tentang
Interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia yang terdapat di
sekolah SMAN 3 Enrekang kelas XI MIPA 1. Ditinjau dari kajian sosiolinguistik
yang membentuk masyarakat turur sehingga terjadi interferensi fonologi pada
bidang konsonan dan vokal pemakaian bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia.
Penelitian ini ditinjau dari segi sosial budaya,. Penutur bahasa daerah Kabupaten
Enrekang memiliki kekhasan tersendiri. Hal tersebut disebabkan karena
kebudayaan Enrekang berada di antara kebudayaan bugis, Tana Toraja, dan
Mandar. Saat berkomunikasi siswa terbiasa menggunakan dua bahasa, yakni
bahasa daerah sebagai bahasa Ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua
dalam keseharian di sekolah. Bahasa Duri memiliki beberapa dialek.
Bahasa duri diklaim oleh suku Toraja bahwa bahasa duri sama dengan bahasa
Tojara, demikian pemakai bahasa Bugis mengklaim bahasa Endekan dan bahasa
Maiwa sama dengan bahasa Bugis, padahal tidak demikian. Untuk melihat
perbandingannya di bawah ini di sajikan beberapa kata dengan bahasa masing-
masing. Sedangkan bahasa Indonesia diketahui sebagai bahasa nasional tidak
hanya berfungsi sebagai alat penghubung antar budaya dan antar daerah, tetapi
dijadikan sebagai alat komunikasi atau berinteraksi di lingkungan masyarakat dan
-
sekolah. Subtansi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. bahasa Indonesia sudah
berkembang menjadi bahasa besar sejajar dengan bahasa-bahasa di dunia. Hal ini
dapat dilihat dari aspek internal dan eksternal. Perkembangan aspek internal,
bahasa Indonesia sudah memiliki sistem dan kaidah yang sempurna. Bahasa
Indonesia memiliki pedoman ejaan yang disempurnakan, tata bahasa baku, kamus
besar bahasa Indonesia, dan pedoman pembentukan istilah. Perkembangan aspek
internal, bahasa Indonesia adalah bahasa yang bersifat terbuka. Artinya bahasa
Indonesia mau dan mampu mengkomodasi kata, istilah, idiom, dari bahasa lain
(baik bahasa daerah maupun bahasa asing) untuk mengembangkan dirinya secara
lebih luas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan sebagai berikut:
-
Bagan 2.2 Kerangka Pikir
Sosilinguistik
Masyarakat Tutur
Fonologis
Bahasa Duri Bahasa Indonesia
Interferensi
Analisis
Hasil
-
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian tentang interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa
Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang menggunakan observasi
partisipan, khususnya fenomena kebahasaan yang bersifat natural. Artinya, data
yang dikumpulkan berasal dari lingkungan yang nyata dan apa adanya, berupa
bentuk-bentuk ujaran yang mengalami interferensi tuturan bahasa Indonesia oleh
penutur siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang dalam berkomunikasi lisan.
Disamping itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif deskriptif.
Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitianyang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik, dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Pada
penelitian ini penulis telah mengambul kesimpulan bahwa metode penelitian yang
digunakan yakni metode penelitian kualitatif deskripsi.
Metode penelitian kualitatif deskriptif memiliki perbedaan dengan metode
lainnya, seperti metode perspektif atau yang lainnya. Metode penelitian kualitatif
deskriptif memiliki ciri, yaitu tidak mempermasalahkan benar atau salah objek
yang dikaji, penekanan pada gejala aktual atau pada yang terjadi saat penelitian
dilakukan, dan biasanya tidak diarahkan untuk menguji hipotesis.
-
Penelitian kulitatif deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis
tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala,
atau keadaan. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan
bukan dalm bentuk angka. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri yaitu, penyajian
hasil penelitian ini berupa penjabaran tentang objek, pengumpulan data dengan
latar ilmiah, dan peneliti menjadi instrument utama.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data-data yang tertulis berkaitan
dengan bentuk ujaran bahasa Indonesia yang mengalami interferensi fonologis
terhadap bahasa Duri siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang akibat terjadinya
kontak bahasa yang diujarkan oleh siswa komunitas tutur bilingual. Lebih lanjut,
dalam penelitian ini peneliti merancang mengambil data dengan cara melakukan
merekam percakapan siswa kelas XI MIPA 1 yang melibatkan peneliti. Misalkan
mewawancarai siswa melalui daring yang ada di lingkungan masyarakat (rumah).
Siswa kelas XI MIPA 1 sebagai pelajar yang menggunakan bahasa bilingualisme.
Peneliti dan siswa melakukan percakapan melalui daring kemudian menyimak,
merekam, dan mencatat bahasa yang diujarkan.
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI MIPA 1
SMAN 3 Enrekang yang pada dasarnya adalah penutur bilingual dalam hal ini
bahasa Duri sebagai bahasa pertama (B1) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa
-
kedua (B2) yang langsung sebagai sumber data dalam penelitian ini. Responden
yang dimaksud di atas adalah beberapa orang yang berstatus sosial yang berbeda.
Pengambilan data berfokus pada bentuk-bentuk interferensi fonologis bahasa Duri
terhadap bahasa Indonesia kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.
Syarat sumber data dalam penelitian ini adalah penutur siswa kelas XI MIPA
1 di SMAN 3 Enrekang dalam hal ini informan. Menurut Ratukore, dkk,
(DALAM Sukmawansari, 2018:48) syarat-syarat menjadi informan dalam
penelitian ini adalah; 1) penutur bahasa Duri, 2) laki-laki dan perempuan yang
sudah dewasa, 3) tidak cacat wicara dan kesehatannya baik, 4) pendidikan
sekurang-kurangnya SD, 5) dapat berbahasa Indonesia, 6) bersedia menjadi
informan dan mempunyai waktu yang cukup untuk penelitian ini, dan 7) bersikap
terbuka dan tidak mudah tersinggung.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini, maka teknik pengolahan
data dalam penelitian ini menggunakan ternik yang berbentuk:
1. Studi kepustakaan, yakni membaca buku-buku yang berhubungan dengan
judul dan pokok masalah yang berhubungan dengan masalah yang
dirumuskan.
2. Data lapangan, dilakukan dengan melakukan dialog langsung dengan siswa
(responden), meminta kepada siswa untuk melakukan dialog dan mengamati
siswa dalam melakukan hubungan komunikasi atau percakapan bebas di
lingkungan sekolah pada umumnya. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
dialog dengan siswa melalui daring.
-
Selain pengumpulan data di atas, metode lain yang sering digunakan dalam
penelitian, yaitu dilakukan dengan teknik simak terlebih dahulu mengamati situasi
dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan teknik simak libat cakap kepada
siswa penutur bahasa Duri dengan menggunakan bahasa Indonesia tujuannya
untuk mencari data-data kebahasaan Indonesia yang mengalami interferensi.
Selanjutnya dengan teknik rekam penulis merekam kejadian faktual di lapangan,
langkah selanjutnya dilakukan dengan teknik catat, yaknu mencatat semua dari
pemakai bahasa Duri di kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.
Adapun langkah-langkah yang dilalui dalam teknik pengumpulan data
kebahasaan yang telah dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:
1. Teknik simak
Teknik simak merupakan teknik yang digunakan dalam penyediaan data
dengan cara peneliti melakukan penyimakan penggunaan bahasa, sebagai teknik
dasar, maka ia memiliki teknik, yaitu teknik simak libat cakap, catat, dan rekam
dengan demikian penulis menggunakan teknik simak untuk memperoleh data
dilakukan dengan menyimak pengguna bahasa yang diucapkan oleh penutur siswa
kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang. Sehingga penulis mendapatkan data
mengenai bentuk interferensi fonologi bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia
kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang yang ada di lingkungan sekolah.
2. Teknik Simak Libat Cakap
Untuk melengkapi teknik simak peneliti juga menggunakan teknik simak libat
cakap sebagai pendukung pemerolehan data yang valid. Teknik libat cakap
merupakan teknik pemerolehan data dengan cara bercakap mengajukan
-
pertanyaan kepada informan. Selain itu, peneliti tidak hanya sebagai penyimak
tetapi terlibat langsung dalam percakapan sehingga terdapat kontak antara
informan, karena itulah daya-data kebahasaan yang mengalami unsur-unsur
interferensi dalam komunikasi lisan siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.
3. Teknik Rekam
Peneliti merekam suatu kejadian ketika terjadinya kontak antara pengguna
bahasa dan teknik rekam ini dapat digunakan secara bersamaan dengan metode
simak jika pengguna bahasa yang disimak itu terwujud secara lisan, kemudian
langkah selanjutnya adalah menggunakan teknik catat.
4. Teknik Catat
Hasil dari proses rekaman tersebut kemudian ditranskripsi berupa data tentang
bentuk interferensi fonologi bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia kelas XI
MIPA 1 SMAN 3 Enrekang
Adapun teknik catat dan rekam sebagai teknik yang dilakukan ketika
menerapkan metode simak. Dari itu dalam peristiwa interferensi peneliti tidak
hanya menyadap dan menyaksikan, tetapi juga mencatat bentuk-bentuk
interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia dalam komunikasi
lisan siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.
D. Teknik Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian
dari hasil penelitian, data yang telah diperoleh akan diamalisis secara kualitatif
serta diuraikan dalam bentuk deskriptif.
-
Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Bliken dalam Moleong (2007:
248) adalah upaya yang dilakukan dengan data, mengorganisasikan data, memilih
menjadi satuan yang dapat dikelolah, mensistesikannya, mencari dan menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari.
Analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengolah data.
Pengumpulan data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Deskriptif kualitatif ini digunakan untuk mengolah data-data kebahasaan yang
telah diperoleh peneliti dari beberapa data-data kebahasaan sehingga hasil dari
analisis ini diketahui bentuk-bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap
bahasa Indonesia kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.
Berikut ini adalah rincian langkah-langkah dalam teknik analisis data, yaitu
sebagai berikut:
1. Identifikasi data merupakan tahap peneliti memahami data yang telah
dirangkum dalam bentuk catatan untuk diamati dan diperiksa serta dipilih
dalam hal ini kaitannya bentuk ujaran yang mebgalami interferensi.
2. Klasifikasi data merupakan kegiatan menetapkan fakta sesuai dengan
hubungan kenyataan. Dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan
mengklasifikasikan bentuk-bentuk ujaran yang mengalami interferensi pada
siswa bilingual di SMAN 3 Enrekang
3. Interpretasi data merupakan upaya pemaknaan terhadap data penelitian, yaitu
mencari keterkaitan terhadap unsur yang dicermati dan menampilkan satu
sajian yang deskriptif. Dalam hal ini, data yang telah diklarifikasikan tersebut
dideskripsikan melalui suatu analisis terhadap keterkaitan yang dimiliki oleh
-
data-data tersebut. Proses ini menghasilkan suatu pemaknaan yang
menyeluruh terhadap data hasil penelitian berupa unsur-unsur kebahasaan
yang mengalami interferensi.
4. Analisis data merupakan teknik analisis yang digunakan dalam menganalisis
data dengan membuat gambaran data-data yang terkumpul tanpa membuat
generalisasi dari hasil penelitian tersebut. Dalam teknik analisis data secara
deskriptif dapat menyajikan data dalam bentuk tabel.
5. Deskriptif merupakan teknik yang digunakan untuk menggambarkan atau
menjelaskan data-data yang telah dianalisis. Pengklarifikasian data mengenai
suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan mendeskriptifkan sejumlah
gambaran data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Menurut hidayat Syah, penelitian deskriptif merupakan metode yang
berfungsi untuk menemukan dan memahami pengetahuan seluas-luasnya
terhadap objek penelitian pada suatu masa tertentu. (dalam Rahma, 2020:1)
-
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Data penelitian ini diperoleh dari beberapa percakapan melalui daring,
selanjutnya dipiliujaran yang mengalami interferensi fonologis bahasa Duri
terhadap bahasa Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.
Bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap Bahasa Indonesia oleh
siswa kelas XI MIPA 1 sebagai berikut:
Tabel 2.2 Bentuk Interferensi Fonologis
No.
Identifikasi Data Interferensi
Bahasa Indonesia yang Mengalami
Interferensi
Bentuk Baku dalam Bahasa
Indonesia
1. Di mana saat belajar online kita
tidak bisa tarima materi secara
langsung.
Saat belajar online kita tidak bisa
terima materi secara langsung
2. Saya harap cepa’ berlalu atau
berakhir agar bisa melakukan
aktivitas-aktivitas seperti biasanya
seperti belajar di sekolah secara
resmi.
Saya harap cepat berlalu atau
berakhir agar bisa melakukan
aktivitas-aktivitas seperti biasanya
seperti belajar di sekolah secara
resmi.
3. Pada hari libur di akhir pekan di
masa pendemik ini biasanya saya
pergi ke kebun bapa’.
Pada hari libur di akhir pekan di
masa pendemik ini biasanya saya
pergi ke kebun bapak.
4. Sediki pengalaman saya selama
belajar online, saya kadang tidak
bisa bergabung belajar dengan
teman-teman saya untuk mengikuti
proses pembelajaran secara online
Sedikit pengalaman saya selama
belajar online, saya kadang tidak
bisa bergabung belajar dengan
teman-teman saya untuk mengikuti
proses pembelajaran secara online
5. Demikian tugas banyanya yang
diberikan. Hal lainnya juga bahwa
belajar online juga memberikan
rasa bosan, sebab tidak lagi
berinteraksi langsung dengan
Demikian tugas banyaknya yang
diberikan. Hal lainnya juga bahwa
belajar online juga memberikan
rasa bosan, sebab tidak lagi
berinteraksi langsung dengan
51
-
teman-tseman dan guru. teman-t