interferensi fonologis bahasa duri terhadap bahasa … · 2021. 1. 26. · sosiolinguistik untuk...

101
INTERFERENSI FONOLOGIS BAHASA DURI TERHADAP BAHASA INDONESIA SISWA KELAS XI MIPA 1 SMA NEGERI 3 ENREKANG SKR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Serjana Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Oleh NUR HALISA 105331105016 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2020

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • INTERFERENSI FONOLOGIS BAHASA DURI TERHADAP

    BAHASA INDONESIA SISWA KELAS XI MIPA 1

    SMA NEGERI 3 ENREKANG

    SKR

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Serjana

    Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

    Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

    Universitas Muhammadiyah Makassar

    Oleh

    NUR HALISA

    105331105016

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

    2020

  • MOTO DAN PERSEMBAHAN

    Moto

    “Nikmati prosesmu, jangan mudah menyerah. Jika bersungguh-sungguh,

    keinginan akan tercapai”.

    Dengan segala kerendahan hati

    Kupersembahkan karya ini buat :

    Kedua orang tuaku, saudariku, dan seluruh keluargaku tercinta, serta

    sahabat, teman-temanku atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung

    Penulis demi keberhasilan penulis.

    Semoga Allah SWT. Memberikan rahmat dan karunia_Nya.

  • ABSTRAK

    Halisa, Nur. 2020. Interferensi Fonologis Bahasa Duri terhadap bahasa

    Indonesia Kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang. Skripsi. Jurusan Pendidikan

    Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

    Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Hambali dan Rosdiana.

    Masalah utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana bentuk terjadinya

    interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia dalam

    berkomunikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan interferensi

    fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN

    3 Enrekang. Untuk mengkaji penelitian ini, maka digunakan pendekatan

    sosiolinguistik untuk mendekripsikan bentuk interferensi fonologi.

    Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini

    mendeskripsikan bentuk-bentuk ujaran yang mengalami interferensi tuturan

    bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia dalam berkomunikasi lisan siswa kelas XI

    MIPA 1. Data dalam penelitian ini berupa ujaran yang diucapkan oleh informan

    dan sumber data adalah informan yang berjumlah enam orang.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk interferensi bahasa Duri

    terhadap bahasa Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 adalah interferensi fonologis.

    Interferensi fonologis penelitian ini berupa perubahan, penghilangan, dan

    penambahan bunyi fonem dalam bahasa Indonesia mengikuti pelafalan dalam

    bahasa Duri. Hal-hal yang menjadi faktor penyebab interferensi bahasa Indonesia

    ke dalam bahasa Duri dalam komunikasi lisan siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3

    Enrekang, yaitu interferensi fonologis yang disebabkan oleh logat atau dialek, dan

    kebiasaan pemakai ujaran dialek Duri.

    Kata Kunci : Interferensi, Sosiolinguistik, bahasa Duri, bahasa Indonesia,

  • KATA PENGANTAR

    Syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt. Yang senantiasa

    menganugrahkan nikmat iman, ilmu, dan kesehatan kepada penulis sehingga

    dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Interferensi Fonologis Bahasa Duri

    terhadap bahasa Indonesia Siswa Kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang”. Dalam

    penulisan ini, penulis banyak memperoleh pengalaman berbarga dan tidak lepas

    dari beberapa rintangan dan halangan. Namun, dengan doa dan motivasi dari

    bebagai pihak sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.

    Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan akademik untuk

    memperoleh gelar serjana dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

    di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah

    Makassar.

    Penulis menyadari bahwa penilitian ini tidak dapat diselesaikan tanpa

    adanya dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak

    langsung. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada

    Drs. Hambali, S.Pd., M.Hum., dan Rosdiana, S.Pd., M.Pd., pembimbing satu dan

    pembimbing dua yang telah memberikan arahan, serta motivasi sejak awal

    penyusunan skripsi sampai penyususnan skripsi ini.

    Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis sampaikan kepada

    Prof. Dr. Ambo Besse., M.Ag Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar,

    Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

  • Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Munirah, M.Pd., Ketua Jurusan

    Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar,

    Dr. Muhammad Akhir, M.Pd, Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

    Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar, dan seluruh dosen dan staf

    pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

    Muhammadiyah Makassar yang telah mentransformasikan ilmu dan

    pengalamannya kepada penulis selama menimba ilmu di Universitas

    Muhammadiyah Makassar.

    Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua

    orang tua dalam hal ini Santa dan Jumaria yang telah berjuang, berdoa,

    membesarkan, mendidikan, dan membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu.

    Teruntuk kepada adik-adik yang saya banggakan tiada henti-hentinya memberikan

    motivasi dan dorongan.

    Ucapan terima kasih juga kepada teman seperjuangan yang selalu

    memberikan bantuan dalam dalam berbagai hal baik berupa ilmu dan motivasi.

    Serta seluruh rekan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

    kelas B angkatan 2016 atas segala kebersamaan, motivasi, saran, dan bantuannya

    kepada penulis yang telah memberikan pelangi dalam hidupku dan telah

    menemaniku dalam suka maupun duka saat saya jauh dari keluarga.

    Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa

    mengharapkan kritikan dan saran berbagai pihak, selama saran dan kritikan

    tersebut bersifat membangun karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak

  • akan berhenti sama sekali tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan dapat

    memberikan manfaan bagi para pembaca, terutama bagi pribadi penulis. Amin.

    Makassar, Septemner 2020

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

    HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................ iii

    SURAT PERNYATAAN ...................................................................... v

    SURAT PERJANJIAN ......................................................................... v

    MOTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................... vi

    ABSTRAK ............................................................................................. vii

    KATA PENGANTAR ........................................................................... viii

    DAFTAR ISI .......................................................................................... x

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    A. Latar Belakang ............................................................................ 1

    B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4

    C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4

    D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4

    E. Definisi Istilah ............................................................................. 6

    BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ................. 6

    A. Kajian Pustaka ............................................................................. 6

    1. Penelitian yang Relevan ........................................................ 6

    2. Teori Sosiolinguistik ............................................................. 8

    3. Masyarakat Tutur .................................................................. 12

    4. Kedwibahasaan ..................................................................... 15

    5. Bahasa ................................................................................... 18

    6. Interferensi ............................................................................ 29

    B. Kerangka Pikir ............................................................................ 41

    BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 41

    A. Jenis Penelitian ...................................................................... 41

  • B. Data dan Sumber Data .......................................................... 45

    C. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 46

    D. Teknik Analisis Data ............................................................. 48

    BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN............................................... 51

    A. Hasil ............................................................................................ 51

    B. Pembahasan ................................................................................. 67

    BAB V PENUTUP ................................................................................. 71

    A. simpulan ................................................................................. 71

    B. Saran ....................................................................................... 71

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 72

    LAMPIRAN

    RIWAYAT HIDUP

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menghubungkan atau

    berinteraksi antara individu dengan indvidu yang lain. Manusia sejak ia bangun

    sampai ia memejamkan mata, selalu berurusan dengan bahasa dalam artian selalu

    menggunakan dan bergaul dengan bahasa. Seandainya kita rajin mencatat kata dan

    kalimat yang telah kita gunakan dan manfaatkan setiap hari alangkah banyaknya

    kata dan kalimat itu. Tentu ada kata atau kalimat yang berulang-ulang muncul

    dalam pembicaraan kita. Sebaliknya ada kata-kata maupun kalimat yang dua atau

    tiga hari baru muncul lagi. Manusia setiap kali menggunakan bahasa selalu dalam

    bentuk berbicara, mendengar, mmembaca, dan menulis. Oleh karena itu, segala

    kehidupan atau tingkah laku manusia diatur dengan menggunakan bahasa.

    (Kuwing, 2016:3)

    Bahasa juga sebagai alat pemersatu antara berbagai suku, bangsa yang

    memiliki latar belakang yang berbeda-beda, Indonesia sebagai negara kepulauan

    yang berpenduduk sebagai masyarakat multilingual. Masyarakat multilingual

    memiliki aktivitas yang padat, anggota-anggotanya lebih cenderung

    berkomunikasi menggunakan dua bahasa atau lebih, baik sebagian maupun

    sepenuhnya. Sengaja atau tidak, sering terjadi kesalahan dalam menggunakan

    bahasa Indonesia, hal ini disebabkan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau

    lebih secara bergantian. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia tidak bisa

    1

  • dipisahkan karena saling berkaitan. Terjadinya interferensi fonologis karena

    adanya pengaruh dari pemakaian bahasa daerah jika ditinjau menggunakan

    pendekatan sosiolinguistik.

    Bahasa atau dialek Duri sebagai bahasa pertama (B1) seringkali digunakan

    secara umum di kabupaten Enrekang. Dan akan menjadi faktor kebiasaan di

    lingkungan sekolah sehingga terjadi interferensi pada penggunaaan bahasa

    Indonesia. Hal seperti ini sulit dihindari dari lingkungan masyarakan maupun di

    lingkungan sekolah , karna bahasa Duri merupakan bahasa pertama (bahasa ibu)

    yang lebih dipahami oleh masyarakat pada umumnya.

    Menurut Chaer dan Agustin, dalam Satriani (2014:12), bahasa merupakan

    sistem lambang bunyi yang berfungsi sebagai sarama komunikasi. Dalam konteks

    parole, bahasa itu beragam artinya, meskipun sebuah bahasa memiliki kaidah atau

    pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang

    heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,

    maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologi, dan

    sintaksis.

    Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting, dan paling

    dominan dalam perkembangan bahasa. Gejala interferensi dari bahasa yang satu

    kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Tejadinya gejala interferensi juga

    tidak terlepas dari perilaku penutur bahasa penerima. Penyebab terjadinya

    interferensi adalah kedwibahasaan peserta tutur yang merupakan pangkal

    terjadinya berbagai pengaruh dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun

    bahasa Indonesia. (Sukmawansari, 2018)

  • Interferensi adalah bagaimana seseorang yang dwibahasawan itu menjaga

    bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh seseorang itu mampu

    mencampuradukkkan serta bagaiamana pengaruh bahasa yang satu dalam

    penggunaan bahasa lain, Mackey dalam Nindy (2017:11). Sementara itu,

    Weinrich mengemukakan bahwa interferensi sebagai penyimpangan norma

    bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan akibat

    pengenalan dan pengaruh bahasa lain. Sebagai konsekuensinya, dwibahasawan

    tersebut menyamakan unsur-unsur yang ada pada bahasa lain. Pandangan

    sosiolinguistik, situasi kebahasaan pada masyarakat bilingual maupun

    multilingual sangat menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penulis tertantang

    untuk melakukan penelitian terhadap masyarakat yang dwibahasawan, yakni

    dengan memilih objek penelitian siswa SMAN 3 Enrekang kelas XI MIPA 1.

    Peneliti tertarik memilih objek tersebut, karena ingin mengetahui situasi ataupun

    fenomena interferensi bahasa menunjukkan dinamika penutur.

    Di lingkungan masyarakat bahkan di sekolah sering kali kita jumpai seseorang

    menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai faktor kebiasaan yang akan

    menyebabkan interferensi. Seperti yang penulis ingin teliti mengenai interferensi

    fonologis yang sering kali terjadi kekeliruan para penutur seperti penghilangan

    atau penyerapan huruf konsonan dan vokal. Misalkan kata “sepatu” akan

    mengalami unsur serapan pada vokal /e/ berubah menjadi vokal /a/. Kata “sepatu”

    berubah menjadi “sapatu”. Kata “beli” berubah menjadi kata “belli” akibat

    terjadinya unsur serapan.

  • Berdasarkan uraian di atas peneliti memilih judul “ Interferensi Fonologis

    Bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia Siswa Kelas XI MIPA 1 SMAN 3

    Enrekang”. Idealnya pelajar yang terdidik haruslah menggunakan bahasa yang

    baik dan benar.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini

    adalah “Bagaimanakan bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa

    Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang?”

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

    Untuk mengetahui bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa

    Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut:

    1. Manfaat Teoritis

    Penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah penelitian terhadap

    pemakai bahasa lisan maupun tulisan dan dijadikan salah satu sumber bacaan

    serta bahan komparasi dan informasi bagi penulisan selanjutnya yang relevan

    dengan hasil penelitian ini.

    2. Manfaat Praktis

    a. Bagi guru; dapat membantu memahami interferensi fonologis bahasa Duri

    terhadap dialek Indonesia pada kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang,

  • sehingga bisa memberikan perbaikan agar siswa maupun pembaca dapat

    menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

    b. Bagi sekolah; dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan

    tambaham referensi kepada sekolah tentangg penggunaan kata yang baik

    dan benar tanpa terjadi interferensi fonologi saat melakukan interaksi atau

    komunikasi.

    c. Bagi siswa; mampu membantu siswa memahami interferensi fonologis

    sehingga dapat melakukan perbaikan terutama pada saat proses belajar di

    lingkungan sekolah

    d. Bagi penulis; diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman

    tentang penngunaan kata yang baik dan benar.

    E. Definisi Istilah

    1. Interferensi merupakan kekeliruan dalam berbahasa dan proses masuknya

    unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatikal

    bahasa yang menyerap.

    2. Dialek dalam bahasa Yunani (dialektos) adalah varian dari sebuah bahasa

    menurut pemakai. Sebuah dialek dibedakan berdasarkan kosakata, tata bahasa,

    dan pengucapan (fonologi)

    3. Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa

    dalm kaitannya dengan penggunaan bahasa di dalam masyarakat

    4. Masyarakat bahasa adalah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa

    bersama, yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang

    pada bahasa standar yang sama

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

    A. Kajian Pustaka

    1. Penelitian yang Relevan

    Penelitian sebelumnya yang relevan sesuai dengan penelitian ini sebagai

    beriku:

    Penelitian Nuraeni (2003), dalam Skripsi Berjudul “Interferensi Bahasa Bugis

    terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Berkomunikasi oleh Siswa SLTP

    Negeri 4 Kahu Kabupaten Bone”. Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan

    bahasa Indonesia yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah dalam kegiatan

    komunikasi yang dilakukan oleh siswa SMP. Jenis penelitian yang digunakan

    adalah penelitian kualitatif deskriptif. Menggunakan pendekatan sosiolinguistik.

    Penelitian Nur Wahida (2017), dalam skripsi berjudul “Interferensi

    Gramatikal Bahasa Makassar dalam Bahasa Indonesia pada Karangan Siswa

    kelas VII MTs. Muhammadiyah Cambajawaya Kec. Bontonompo Selatan Kab.

    Gowa”. Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan bahasa Indonesia pada

    karangan siswa. Penelitian ini mengkaji tentan interferensi framatikal yang

    terjadi pada karangan siswa kelas VII. Hasil penelitian ini menunjukkan

    terjadinya interferenssi gramatikal.

    Penelitian Sukmawansari (2018), dalam skripsi berjudul “Interferensi

    Fonologis Bahasa Indonesia oleh Penutur Asli Bahasa Duri Dialek Rabuq

    Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang”. Penelitian ini menggunakan pendekatan

  • sosiolinguistik. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatid deskriprtif. Hasil

    penelitian ini mennjukkan bahwa interferensi yang terjadi adalah interferensi

    fonologi. Interferensi berupa penambahan, perubahan, dan penghilangan bunyi

    fonem dalam bahasa Indonesia mengikuti pelafalan bahasa daerah.

    Judul karya ilmiah yang ditulis oleh Agnes Maria Diana Rafael oleh

    mahasiswa pada salah satu perguruan tinggi Universitas Muhammadiyah

    Surakarta (2019) yang berjudul “Interferensi Fonologis Penutur Bhasa Melayu

    Kupang ke dalam Bahasa Indonesia di Kota Kupang”. Penelitian ini dilakukan

    dalam proses bahasa sehari-hari Kupang dalam berkomunikasi. Penelitian ini

    menggunakan pendekatan sosiolinguistik, yaitu suatu pendekatan yang mengkaji

    tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat.

    Judul karya ilmiah yang ditulis oleh Perawati salah satu mahasiswa di

    Universitas Tadulako jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (2020)

    yangberjudul “Interferensi Bahasa Bugis Dialek Wajo terhadap Penggunaan

    Bahasa Indonesia Lisan di Desa Torue Kecamatan Torue Kabupaten Perigi

    Moutong”

    Judul karya ilmiah yang ditulis oleh dosen Fakultas Sastra Universitas

    Sumatera Utara (FS USU) Drs. Irwan (2006) yang berjudul “Interferensi Bahasa

    Daerah terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia”

    Berdasarkan penelitian yang relevan di atas tentang judul skripsi dan jurnal

    telah dijelaskan yang dijadikan penulis sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini.

    Peneliti mengambil beberapa macam penelitian yang relevan dengan judul skripsi

    penulis, karena dapat membantu penyelesaian skripsi ini. Judul tersebut hampir

  • sama dengan judul penulis, hanya saja berbeda pada tempat penelitian tetapi

    sama-sama mengkaji tentang interferensi bahasa Indonesia dan juga menggunakan

    pendekatan sosiolinguistik untuk mengkaji penelitian.

    2. Sosiolinguistik

    Acuan teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik dengan pendekatan

    analisis konstraktif. Istilah sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara

    sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat

    erat. maka, untuk memahami apa itu sosiolinguistik, perli terlebih dahulu

    dibicarakan apa itu sosiologi dan linguistik itu. Tentang sosiologi telah banyak

    batasan yang telah dibuat oleh para psikolog yang sangat bervariasi, tetapi yang

    intinya bahwa sosiologi itu merupakan kajian objektif dan ilmuah mengenai

    manusia di dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial

    yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana

    masyarakat dan bahasa itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Linguistik

    merupakan ilmu yang mempelajari bahasa.

    Mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu

    masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan

    lingkungannya, bagaiamana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam

    tempatnya masing-masing di dalam masyarakat.

    Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin, antara sosiologi dan linguistik,

    dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan yang sangat erat. Dengan kata

    lain, sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan terhadap bahasa sehubungan

    dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Dapat juga dikatakan

  • bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan

    bahasa, khususnya perbedaan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) Secara umum

    dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang

    mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam

    masyarakat.. (Saleh dan Mahmud, 2006:1)

    Socioolingistucs is the study of language in operation, it’s purpose is to

    investigate how the convention of the language use relate to other aspects of

    social behavior. Sosiolinguistik adalah kajian bahasa dalam penggunaannya,

    dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konvensi pemakai bahasa berhubungan

    dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku sosial. (C.Criper dan H.G. Widdowson

    dalam Sukmawansari, 2018:8)

    Sociolinguistics is de study van tall en taalgebruik in de context van

    maatschapij en culture. Sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan

    pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan. (Rene Appel, dalam

    Sukmawansari, 2018:8)

    Kalau diamati definisi tersebut, dapat dipahami bahwa sosiolinguistik

    adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisiplin dengan ilmu sosiologi,

    dengan objek penelitian berhubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di

    dalam suatu masyarakat tutur.

    Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati

    sebagai bahasa saja, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan

    dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia

    sebagai penutur dan mitra turur. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia, mulai

  • dari ucapan pembicaraan nama bayi yang baru lahir sampai ucapan pemakaman

    jenazah tentu tidak akan terlepas dari penggunaan bahasa. Oleh karena itu,

    bagaimanapun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak

    akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau

    aspek-aspek kemasyarakatan.

    Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan

    berbagai fungsi variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan

    ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana,

    dalam Sukmawansari 2018:7)

    Bram dan Dickey (dalam Sayama 2015:3) menyatakan bahwa

    sosiolinguistik mengkhususkan kajiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di

    tengah masyarakat. Mereka menyatakan bahwa sosiolinguistik berupaya

    menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara

    tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi.

    Sociolinguistics is the study of the characteristics of language varieties,

    the characteristics of their functions, and the charakteristics of their speakers as

    these three constantly interact, change and change one another within a speech

    community. Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-

    fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu

    berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat

    tutur. (J.A Fishman dalam Sukmawansari 2018:7)

    Selain istilah sosiolinguistik ada juga istilah digunakan istilah sosiologi

    bahasa. Banyak orang menganggap kedua istilah itu sama, tetapi banyak pula

  • yang menganggapnya berbeda. Ada yang mngatakan digunakannya istilah

    sosiolinguistik karena penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik; sedangkan

    istilah sosiologi bahasa digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari bidang

    sosiologi (Fishman, dalam Sayama Malabar 2015:3). Dikatakan bahwa ilmu ini

    memang meneliti interaksi antara dua aspek tingkah laku manusia, penggunaan

    bahasa dan organisasi tingkah laku sosial. Fishman juga mengatakan kajian

    sosiolinguistik lebih bersifat kulitatif, sedangkan kajian sosiologi bersifat

    kuantitatif. Jadi sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian

    penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian

    bahasa atau dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakain bahasa atau dialek

    tertentu yang dilakukan penutur, topik dan latar pembicaraan, sedangkan

    sosiologi bahasa yang berhubungan dengan faktor-faktor sosial, yang saling

    bertimbal-balik dengan bahasa atau dialek.

    Menurut Nancy Parrot Hickerson (dalam Saleh dan Mahmud, 2006:2)

    sosioloinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan

    penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajinya dalam satu konteks sosial.

    Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi

    bahasa.

    Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka penulis dapat

    menyimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik bersifat

    interdisiplin dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitiannya berupa bahasa,

    masyarakat, dan hubungan masyarakat dan bahasa.

    3. Masyarakat Tutur

  • Secara sosiologis orang selalu memandang satu komunitas sebagai satu

    organisasi sosial. Organisasi sosial merupakan suatu proses pembentukan

    kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap

    yang kita sebut sebagai lembaga sosial (Harton dan Hunt, dalam Saleh dan

    Mahmud 2016:14). Kedua ahli sosiologi dari Amerika Serikat ini mendefinisikan

    kelompok sebagai setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan

    keanggotaan dan saling berinteraksi.

    Istilah masyarakat tutur sering pula disebut masyarakat bahasa atau

    komunitas bahasa. Kalau suatu masyarakat mempunyai penilaian verbal repertoar

    yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-

    norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat

    dikatakan bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat tutur. Jadi masyarakat

    tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa sama,

    melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam

    menggunakan bentuk-bentuk bahasa.

    Djoko Kentjono (dalam Saleh dan Mahmud, 2006:15) untuk dapat dikatakan

    satu masyarakat tutur mesti ada perasaan di antara para penuturnya, bahwa

    mereka merasa menggunakan tutur yang sama. Dengan konsep adanya perasaan

    menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek yang secara linguistik

    merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua masyarakat tutur

    yang berbeda.

    Menurut Fishman dalam Saleh dan Mahmud 2006:15) mendefenisikan bahwa

    masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-

  • tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan

    penggunaannya.

    Bahasa dengan masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam, yang barang

    kali antara satu dengan yang lain agak sukar untuk dipertemukan. Bloomfield

    membatasi dengan sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang

    sama. Batasan ini dianggap terlalu sempit oleh masyarakat medern dan di dalam

    masyarakat itu terdapat lebih dari satu bahasa. Sebaliknya defenisi Lebov yang

    mengatakan sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai

    bahasa dianggap terlalu luas dan terbuka. Bloomfield dan Labov (dalam Saleh

    dkk, 2006:15)

    Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoarnya

    dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan

    tertentu. Mungkin juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan

    adanya integrasi simbolik. Dalam hal tertentu saja yang disebut bahasa nasional

    dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya

    dengan variasi kebahasaan.

    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kompleksya suatu masyarakat

    tutur ditentukan oleh banyaknya pengalaman dan sikap para penutur tempat

    variasi itu berada. Lalu verbal repertoar seluruh penutunya sebagai anggota

    masyarakat itu. (Fishman dalam Saleh dkk, 2006:16).

    Halliday (dalam Wardana 2015:15) mengatakan bahawa masyarakat tutur

    adalah sekelompok orang yang menganggap diri mereka menggunakan bahasa

    yang sama.

  • Chaer (dalam Wardana, 2015:15) senada dengan Halliday menyatakan dan

    telah menganggap bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang yang

    merasa dirinya menggunakan bahasa yang sama. Dengan pengertian terhadap

    kata masyarakat seperti itu, maka setiap kelompok orang yang karena tempat atau

    daerah, profesi, hoby, dan sebagainya menggunakan bentuk bahasa yang sama

    pula terhadap norma-norma pengguna bahasa itu, maka akan membentuk

    masyarakat tutur. Begitu pula kelompok-kelompok di dalam ranah-ranah sosial,

    seperti rumah tangga, pemerintahan, keagamaan atau bahakan kelompok kecil

    masyarakat terasing yang anggotanya yang anggotanya hanya terdiri beberapa

    orang saja. Jadi, suatu wadah negara, bangsa, atau daerah dapat membentuk

    masyarakat tutur.

    Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan

    bahwa masyarakat tutur adalah suatu kelompok masyarakat yang timbul karena

    berinteraksi menggunakan bentuk bahasa yang sama dan memiliki norma yang

    sama. Masyarakat tutur mampu berkomunikasi dan berintekasi, sebab memiliki

    kemampuan komunikatif yang relatif sama.

    4. Kedwibahasaan

    Adanya penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian

    dalam pergaulannya dengan orang lain maka hal ini disebut kedwibahasaan.

    Dalam kajian sosiolinguistik bahwa bilingualisme adalah digunakan dua buah

    bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara

    bergantian. Aslinda dan Syafyahya (2010:8) kedwibahasaan adalah kemampuan

    atau kebiasaan yang dimiliki oleh penutur dalam penggunaan dua bahasa.

  • Mackey (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:25) menyatakan bahwa

    kedwibahasaan bukan gejala bahasa melainkan gejala penggunaan, berarti tidak

    termasuk ke dalam langue, tetapi termasuk ke dalam parole. Jika bahasa

    merupakan milik kelompok, maka kedwibahasaan milik perseorangan. Namun,

    pendapat ini ditentang oleh Oscar (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:25), yang

    mengatakan bahwa kedwibahasaan tidak hanya dimiliki oleh perseorangan, tetapi

    juga milik kelompok karena bahasa bukan hanya sebagai alat perhubungan di

    antara kelompok, melainkan sebagai alat untuk menegakkan kelompok dan alat

    untuk menunjukkan identitas kelompok.

    Di sisi lain menurut Suwito (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:25)

    memberi peluang adanya masyarakat kedwibahasaan, yaitu masyarakat yang

    menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi sebagaimana halnya

    individu dwibahasawan yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat

    komunikasi.

    Selain itu menurut Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2010:85)

    memberikan batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa. Batasan

    ini mengimplementasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang

    yang menguasai bahasa dengan sama baik, sehingga masyarakat dwibahasa

    pemakaian bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian sangat dipengaruhi

    oleh banyak faktor.

    Penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam berkomunikasi dengan

    orang lain secara bergantian sering terjadi, dikarenakan adanya interferensi

    bahasa lokal terhadap bahasa nasional, misalkan interferensi bahasa Duri dalam

  • bahasa Indonesia dalam komunikasi lisan. Jadi, kedwibahasaan merupakan

    penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur yang berkenaan dengan

    penggunaan dua bahasa atau kode bahasa.

    Tarigan (dalam Sukmawansari:19) menyatakan bahwa kedwibahasaan

    mengandung dua konsep, yaitu kemamouan mempergunakan dua bahasa

    (bilingual) dan kebiasaan memakai dua bahasa. Seiring dengan konseo bilingual

    dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Gramedia Press, bilingual

    diartikan dapat menguasai dua bahasa atau lebih dengan baik yang berkenaan

    dengan mengandung dua bahasa. Bilingalisme dapat diartikan sebagai

    penggunaan dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau lebih dalam suatu

    masyarakat bahasa.

    Dalam bilingual dibicarakan tingkat penguasaan bahasa dan jenis

    keterampilan yang dikuasai, sedangkan dalam bilingualisme yang dibicarakan

    pola-pola penggunaan kedua bahasa yang bersangkutan, sering dipergunakan

    setiap penggunaan bahasa dan dalam lingkungan bahasa.

    Berdasarkan pendapat di atas, maka Cahyono (dalam Sukmawansari 2018:20)

    mengatakan bahwa dalam kelompok kedwibahasaan pada tingkatan individu

    cenderung merupakan ciri kelompok minoritas. Dalam situasikedwibahasaan lain

    kelompok minoritas tumbuh di sebuah masyarakata bahasa, yang biasanya

    memakai satu bahasa. Kedwibahasaan seseorang dapat juga terjadi hanya karena

    secara kebetulan mempunyai orangtua yang berkomunikasi dengan bahasa yang

    berbeda. Kemudian Mackey (dalam Tarigan, 2009:4) menjelaskan fenomena

    kedwibahasaan merupakan suatu yang sepenuhnya bersifat nibsi atau relatif. Oleh

  • karena itu, kita akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasaan

    sebagai penggunaan secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi

    yang sama.

    Perubahan bahasa sebagai kontak bahasa, disamping kontak bahasa akan

    terjadi saling memasuki ataupun saling memindahan pemakaian unsur-unsur

    bahasa, juga terdapat percampuran, dan terjadi pemindahan identitas bahasa.

    Seorang dwibahasawan akan menggunakan unsur-unsur bahasa kedua dalam

    penggunaan bahasa sendiri. (Aslinda dan Syafyahya, 2010:26)

    Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan

    bahwa kedwibahasawan adalah seseorang penutur dalam pengauasaan

    penggunaan bahasa lebih dari satu atau dua bahasa yang digunakan dalam

    berkomunikasi dan berinteraksi.

    Tiap perangkat dibidang oleh ilmu yang berbeda-beda. Bunyi bahasa,

    misalnya dipelajari dan dikaji oleh ilmu bunyi atau sering disebut fonologi.

    Fonologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bunyi bahasa, dengan

    tujuan agar para pembaca dapat membedakan bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu

    dipadukan sehingga mengandung arti.

    Menurut W.N Francis (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan fonologi adalah

    istilah yang mencakup fonetik dan fonemik. Selanjutnya Crystasl (dalam

    Munirah, 2016:1) mengatakan bahwa fonologi adalah cabang linguistik yang

    menelaah sistem bunyi bahasa.

    Lebih lanjut, Frankin dan Rodman (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan

    bahwa fonologi adalah menelaah cara-cara bunyi-bunyi bicara membentuk sistem

  • dan pola dalam bahasa manusia. Karena itu, fonologi suatu bahasa adalah sistem

    dan pola bunyi-bunyi bicara.

    Selain itu, Kridalaksana (dalam Munirah 2016:1) mengatakan bahwa fonologi

    adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut

    fungsinya.

    5. Bahasa

    Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja

    sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam hal ini, manusia

    membutuhkan sebuah alat untuk berinteraksi

    , yaitu bahasa. Bahasa digunakan

    manusia untuk membentuk kelompok sosial sebagai pemenuhan kebutuhannya

    untuk hidup bersama. Bahasa juga merupakan sumber daya bagi kehidupan

    bermasyarakat. Orang dikenal dan menjadi populer di lingkungannya apabila

    saling memahami. Orang berhasil dalam belajar, apabila dapat saling memahami.

    Jadi, kepopoleran dan keberhasilan itu tergantung pada adanya saling memahami

    di antara sesama manusia. Saling memahami atau saling mengerti erat

    berhubungan dengan penggunaan sumber daya bahasa yang dimiliki.

    Chaer (2006:1) mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang

    berupa bunyi, bersifat arbitrer digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk

    bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sebagai sebuah

    sistem, maka bahasa terbentuk oleh suatu aturan, kaidah atau pola-pola tertentu,

    baik dalam bidang tata bunyi, tata bentuk kata, maupun tata kalimat. Bila aturan,

    kaidah, atau pola ini dilanggar, maka komunikasi dapat terganggu, lambang yang

    digunakan dalam sistem bahasa adalah berupa bunyi, maka yang dianggap primer

  • di dalam bahasa adalah bahasa yang diucapkan atau yang sering disebur bahasa

    lisan.

    Chaer (2009:1) mengatakan bahasa adalah fenomena yang menghubungkan

    dunia makna dengan dunia bunyi. Dunia makna artinya adalah setiap bahasa yang

    kita gunakan, akan menghasilkan sebuah pengertian baik dari pengertian

    pendengar maupun pembaca dan diri sendiri,

    Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan sesama manusia dalam

    berinteraksi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik baik verbal maupun

    nonverbal. Bahasa sebagai media komunikasi agar lebih mudah dipahami oleh

    pihal lain karena dapat mentransmisikan informasi dengan menggunakan simbol-

    simbol bahasa. (Amri, 2015:2)

    Bahasa sering disebut sebagai penanda (previor), bahasa juga sering disebut

    sebagai cerminan masyarakat. Jadi selain previor atau penanda keberadaan bagi

    budaya, bahasa juga merupakan cerminan bagi leberadaan masyarakatnya atau

    bahasa hampir pasti menunjukkan bangsanya. Pada umumnya, bahasa dalam

    masyarakat sering banyak dipahami sebagai sistem lambang atau simbol yang

    memiliki makna atau arti. Bahasa juga memiliki ciri prodiktif. Mengapa

    dikatakan seperti itu, karena dari bentuk kebahasaan tertentu yang sudah ada pada

    bahasa itu hampir selalu dapat dilahirkan bentuk-bentuk kebahasaan lainnya.

    (Rahardi, 2009:3)

    Bahasa adalah suatu sistem sama dengan sistem-sistem lain, yang sekaligus

    bersifat sistematis. Bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan

  • dibangun oleh sejumlah substansi (subsistem fonologi, sintaksis, dan leksikon.

    Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang. (Chaer, 2009:30)

    Badudu (dalam Nurbiana dan Lara 2014:5) menyatakan bahwa bahasa adalah

    alat penghubung atau komunikasi antara anggota masyarakat yang terdiri atas

    indivu-individu yang menyatakan pemikiran, perasaan dan keinginannya. Bahasa

    sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan

    masyarakat dalam rangka untuk bekerja sama, beinteraksi, dan

    mengidentifikasikan diri.

    Kajian tentang bahasa dan komunikasi pada dasarnya menelaah persamaan

    dan perbedaan kedua definisi tersebut. Beberapa ahli sepakat bahwa bahasa

    mencakup cara untuk berkomunikasi, pikira, dan perasaan. Individu dinyatakan

    dalam bentuk lambang bunyi atau simbol, seperti lisan, tulisan, mengungkapkan

    sesuatu.

    Bromley (dalam Nurbiana dan Lara 2014:5) mendefnisikan bahasa sebagai

    sebagai sistem simbol yang teratur menstranfer berbagai ide maupun informasi

    yang terdiri atas simbol-simbol visual dan verbal. Simbol-simbol visual tersebut

    dapat dilihat, ditulis, dan dibaca. Sedangkan simbol-simbil verbal tersebut dapat

    diucapkan dan didengar.

    Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka penulis dapat

    menyimpulkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan

    sebagai alat komunikasi, berinteraksi, alat pemersatu yang digunakan untuk

    menyampaikan sesuatu.

    a. Bahasa Indonesia

  • Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional, bahasa pemersatu, sehingga

    daerah-daerah di Indonesia yang memiliki ragam bahasa dapat berkomunikasi

    dengan baik. Bahsa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang

    sejak dahulu sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua franca ), bukan saja

    di kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

    bahasa Indonesia yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu yang pada

    awalnya adalah salah satu bahasa daerah diantara berbagai bahasa daerah

    kepulauan Indonesia.

    Bahasa Indonesia berkembang dari bahasa Melayu, Halim dalam Arifin dan

    Tasai (2015:2) mengemukakan bahwa “... bahasa Melayu kuno sudah dipakai

    sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya...”

    Adapun fungsi bahasa Melayu pada zaman Sriwijaya (Arifin dan Tasai,

    2015:6) dapat duraikan sebagai berikut:

    a) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku-

    buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.

    b) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antar

    suku di Indonesia antar suku di Indonesia.

    c) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perdagangan terutama di sepanjang

    pantai, baik bagi siku yang ada di Indonesia bagi pedagang-pedagang yang

    datang di luar Indonesia.

    d) Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa resmi kerajaan.

    Pada tahap selanjutnya, penggunaan bahasa Indonesia semakin berkembang,

    sehingga dikukuhkan dalm sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Dengan

  • diikrarkan sumpah pemuda, resmilah bahasa Melayu, yang sudah digunakan sejak

    abad ke VII, menjadi bahasa Indonesia (Arifin dan Tasai, 2015:7).

    1) Kedudukan bahasa Indonesia

    Halim dalam Sugihastuti dan Sauda (2016:5) mengemukakan bahwa adapun

    yang dimaksud dengan fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa yang

    dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukanyang

    diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status

    relative bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar

    nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan.

    Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yanga sangat penting. Menutut

    Arifin dan Tasai (2015:12), ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia.

    Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan

    sumpah pemuda 1928. Kedua, bahasa Indonesian berkedudukan sebagai bahasa

    negara sesua dengan UUD 1945 BAB 15 pasal 36 yang berbunyi “Bahasa negara

    ialah bahasa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan

    kedudukannya senagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada

    saat itu Undang-undang Dasar 1945 telah disahkan menjadi Undang-undang

    Dasar Negara Republik Indonesia.

    Selain kedudukan, bahasa Indonesia juga memiliki fungsi. Pada dasarnya

    bahasa memiliki fungsi beragam. Hilliday (Rahardi, 2009:6) mengemukakan

    bahwa fungsi bahasa adalah:

    a) Fungsi instrumental

    b) Fungsi regulasi

  • c) Fungsi representasional

    d) Fungsi interaksional

    e) Personal function

    f) Heuristic function

    g) Imaginative function

    Menurut Arifin dan Tasai (2015:12) sehubungan dengan kedudukannya

    sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:

    a) Lambang kebanggaan bangsa

    b) Lambang indentitas nasional

    c) Alat perhubungan antarwarga

    d) Alat yang memungkinkan menyatuan berbagai suku bangsa dengan latar

    belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan

    kebangsaan Indonesia

    Dengan bahasa Indonesia, keberagaman bahasa di berbagai daerah di

    Indonesia tidak akan menjadi penghambat dalam berkomunikasi antara satu

    dengan yang lain. Justru perbedaan yang ada menunjukkan kekayaan budaya

    bangsa Indonesia dengan berbagai suku dan bangsa dalam satu Negara Kesatuan

    Republik Indonesia.

    b. Bahasa daerah

    Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam

    sebuah negara kebangsaan yang terletak pada suatu daerah kecil di bagian federal

    atau provensi dan daerah yang lebih luas. Indonesia merupakan negara kesatuan

    yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa. Selain bahasa Indonesia

  • sebagai bahasa nasional, bahasa daerah merupakan khazanah kekayaan yang

    sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan agar terhindar dari jamahan asing

    yang mampu menghapus jejak budaya kita (Ahira, 2011). Bahasa daerah

    merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang Keberadaannya diakui oleh

    Negara. (Wawan, 2002:1)

    Tertera dalam politik bahasa Nasional, bahwa bahasa daerah berfungsi

    sebagai pendukung bahasa Nasional, pengantar bahasa di sekolah di daerah

    tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa

    Indonesia dan mata pelajaran yang lain. Alat pengembang serta kenyataan

    menunjukkan bahwa sebagaian besar penduduk dari daerah Duri menggunakan

    bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa daerah

    masih digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah maupun di kantor-

    kantor, selain dalam pergaulan

    (1) Bahasa Duri

    Bahasa Duri merupakan salah satu bahasa daerah Sulawesi Selatan yang

    memiliki wilayah penyebabaran yang cukup luas. Pada awalnya Mesanrempulu

    hanya memiliki wolayah tertentu, tetapi dalam perkembangan selanjutnya

    Masenrempulu juga mewakili bahasa yang digunakan di Kabupaten Enrekang,

    yang terdiri atas sekelompok manusia yang menamakan dirinya Endekan, Duri,

    dan Maiwa. (Lihat Sikki, el al. Dalam Sukmawansari, 2018:24)

    Menurut Pelenkahu (dalam Sukmawansari, 2018:24) di dalam peta bahasa

    Sulawesi Selatan disebutkan bahwa kelompok bahasa Masenrenpulu (daerah

    kabupatrn Enrekang) terdiri atas tiga subkelompok, yaitu subkelompok Endekan,

  • Maiwa, dan Duri. Subkelompok Duri terdapat di sebagian besar kecamatan Alla

    (perbatasan dan banyak bercampur dengan kelompok sa‟dan), kecamatan Baraka,

    sebagian kecamatan Anggeraja, dan kecamatan Curio. Subkelompok Duri yang di

    dalam penelitian ini disebut dialek Duri. Dalam pergaulan antarwarganya, dialek

    Duri memiliki peranan penting. Peranan ini dapat dilihat sebagai alat komunikasi

    utama dalam berbagai aktivitas setiap hari maupun perwujudannya dalam

    berbagaibentuk budaya daerah seperti acara-acara adat dan kesenian. Selain itu,

    dialek Duri digunakan pula sebagai bahasa pengantar pada kelas-kelas awal

    sekolah dasar.

    Dikalangan ahli bahasa sendiri (termasuk budayawan) di Sulawesi Selatan

    pada umumnya sudah mengakui eksistensi bahasa Masenrempulu sebagai salah

    satu bahasa umum di Sulawesi Selatan, di samping bahasa Bugis, Makassar,

    Mandar (sekarang Sulawesi Barat), dan Toraja. Bahasa Masenrempulu tidak

    sengaja digunakan dalam administrasi Kabupaten Enrekang, tetapi sudah

    meneyebar ke wilayah kabupaten lain, bahkan di luar Sulawesi Selatan, seperti

    Kalimantan Timur, Irian Jaya (sekarang provensi Papua), dan Malaysia ( Lihat

    Pelenkabu, dalam Sukmawansari 2018:25). Berdasarkan kenyataan ditunjang

    dengan arus komunikasi dan transportasi serta arus urbanisasi, wilayah

    penyebaran dan pemakaian bahasa Duri sangat memungkinkan melampaui

    daerah-daerah yang telah disebutkan. Bahasa Duri selain digunakan sebagai alat

    komunikasi sehari-hari oleh masyarakat pemakainya, juga digunakan dalam

    pertemuan-pertemuan tidak resmi ataupun resmi, misalnya dalam rapat kerja

    desa, khotbah, dan upacara-upacara lainnya.

  • Sebelum Indonesia merdeka Masenrempulu memiliki kekuasaan yang terbagi

    dalam tujuh kekuasaan kecil yang disebut dengan „pitu Masenrempulu”, yakni

    Endekan, Kassa, Batu Lappa, Maiwa, Tallu Batupapan, Letta, dan Bungin.

    Setelah zaman penjajahan kekuasaan letta dan bungin, masuk ke dalam

    Kabupaten Pinrang.

    Seperti hanya dengan bahasa-bahasa daerah yang lain, Enrekang juga

    memiliki beberapa variasi dialek dengan beberapa daerah penyebarannya. Dialek

    Endekan, dialek ini digunakan dalam wilayah Kecamatan Enrekang dan

    sekitarnya, serta desa Bambapuang di Kecamatan Anggeraja. Peralihan ke dialek

    Duri terdapat di Rura, sedangkan peralihan dialek Maiwa di Selatan terdapat di

    sekitar Kabere, Kecamatan Cendana.

    Dialek Maiwa, dialek ini digunakan di Kecamatan Maiwa, mulai dari Karrang

    di Utara sampai di Salo Karaja di Selatan (perbatasan Kabupaten Rappang), lalu

    ke desa Bungin di Timur Laut pada lereng gunung Latimojong, melintasi

    perbbatasan ke Timur, dari Bungin sampai ke Teluk Bone di sekitar Keppe

    (Kabupaten Luwu bagian Selatan). Di bagian Tenggara, melintasi sungai Tebang

    dan menghilir sungai Bila di Kabupaten Sidenreng Rappang bagian Timur. Di

    Sebelah Barat, dekat Malimpung, Kabupaten Pinrang juga diginakan dialek

    Maiwa. Di desa Malimpung terdapat percampuran beberapa dialek Bugis dan

    Masenrempulu.

    Diakek Duri, dialek ini digunakan di daerah bekas federasi Tallu Batupapan

    (Alla, Malua, Buttu Batu), yaitu seluruh kecamatan Baraka (kecuali beberapa

    percampuran di perbatasan Maiwa), sebagian besar Kecamatan Anggeraja

  • (kecuali desa Bambapuang), sebagian kecamatan Alla (kecuali suatu enclave

    bahasa saqdan di Masalle dan beberapa tempat di Curio. Di sebelah Timur laut

    Kecamatan Alla, melintasi Sali Barani terdapat beberapa tenpat di desa Gandang

    Batu (Kabupaten Tana Toraja) yang juga berdialek Duri.

    Dialek patinjo, dialek ini digunakan di bagian Utara Kabupaten Pinrang,

    dalam Kecamatan Patampanua (terutama di Benteng dan Belajeng Kassa),

    Kecamatan Duampanua (terutama di sekitar Lapase, desa Batulappa, dan

    Bungin), Kecamatan Lembang ( desa Letta, Basseng, Ulu Saqdan, Rajang,

    Tadokkong, dan Gallang-Gallang.

    Berbahasa bagi masyarakat Duri dimaksudkan untuk mengenal alur-alur

    berpikir dalam kegiatan keilmuan dan berperilaku lalu mencoba menerapkan

    kepada masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara

    berbahasa diterapkan pada permasalahan yang aktual seperti usaha peningkatan

    penalaran, permasalahan moral dalm kegiatan keilmuan. Pengetahuan tentang

    kebahasaan secara praktis ditujukan kepada kemampuan mendiaknosis

    permasalahan dan mencari alternatif pemecahannya.

    Kehidupan sehari-hari masyarakat Duri berpikir secara terus menerus tidak

    henti-hentinya sehingga mendapatkan keneran. Dengan berpikir mendalam

    banyak mendapatlan pengetahuan yang akan menemukan hakikat dari sesuatu

    yang dipikirkannya.

    Bahasa Duri diklaim oleh suku Toraja bahwa mirip dengan bahasa Toraja,

    namun bukan suku Toraja, demikian juga pemakai bahasa Bugis mengklaim

    bahwa Dialek Endekan dan Maiwa adalah bahasa Bugis, padahal tidak demikian

  • adanya. Untuk melihat perbandingannya di bawah ini akan dipaparkan beberapa

    kata dengan dialek masing masing.

    Gambar 2.1 Tabel Perbandingan antara Bahasa Bugis,

    Massenrempulu, dan Toraja.

    Bugis Maiwa Endekan Duri Toraja Indonesia

    Deq Anda Njo Teqda Taeq Tidak ada

    Jokka Ikka Lumamba Lumingka Ma‟lingka Jalan kaki

    Esso Asso Allo Allo Allo Hari

    Sularaq Sularaq Calana Calana Seppa Celana

    Manu Dondeng Manuk Manuk Manuk Ayam

    Kaluku Kaluku Nyio Kaluku Kaluku Kelapa

    Perbandingan kata-kata tersebut, terlihat ada beberapa kata yang memiliki

    persamaan dan perbedaan dari bahasa yang diklaim sama.

    6. Interferensi

    Interferensi merupakan proses masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain

    yang bersifat melanggar kaidah gramatika bahasa. Istilah interferensi pertama

    kali digunakan oleh Weinreich (dalam Sukmawansari 2018:33) untuk menyebut

    adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan

    bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur

    yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua

    bahasa secara bergantian.

    Namun kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi.

    Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tentu tidak mempunyai

  • kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan. Penutur

    bilingual yang mempunyai kemampuan seperti ini oleh Ervin dan Osgood (dalam

    Sukmawansari 2018:34) disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan

    yang kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan

    terhadap BI-nya disebut kemampuan bahasa yang majemuk.

    Wenrich (dalam Sukmawansari, 2018:22) mengatakan bahwa interferensi

    adalah penyimpangan kaidah salah satu bahasa pada seseorang dwibahasawan

    akibat kebiasaan pemakaian bahasa lebih dari satu.

    Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk ini biasanya mempunyai

    kesulitan dalam menggunakan B2-nya, karena akan dipengaruhi oleh kemampuan

    BI-nya. Menengenai pengertian interferensi secara komprehensif. Berikut

    pernyataan Kridalaksana (dalam Sukmawansari, 2018:34) menyatakan bahwa

    interferensi adalah penyimpangan kaidah-kaidah suatu bahasa yang terjadi pada

    orang bilingual sebagai akibat penguasaan dua bahasa. Penyebab interferensi

    yang lain, yaitu kurangnya penguasaan kaidah kebahasaan secara benar.

    Alwasilah (dalam Sukawansari, 2018:34) menyatakan bahwa interferensi

    merupakan kekeliruan yang disebabkan adanya kecenderungan membiasakan

    pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan

    suatu bunyi. Tata bahasa, dan kosakata.

    Soewito (dalam Chaer, 2010:126) menyatakan bahwa interferensi dalam

    bahasa Indonesia berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki

    bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah.

    Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (dalam Sukmawansari, 2018:35)

  • menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke

    dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem

    satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kesua

    sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem

    fonemik bahasa penerima. Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber

    serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat

    yang lain, dan sebaliknya. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara

    timbal balik.

    Selanjutnya, interferensi secara umum dapat diartikan pencampuran dalam

    bidang bahasa. Pencampuran yang dimaksud adalah pencampuran dua bahasa

    atau saling mempengaruhi antar dua bahasa. Lanjut Alwasilah (dalam Aslinda

    dan Syafyahya, 2010:66) mengatakan interferensi berarti adanya saling pengaruh

    antar bahasa. Pengaru itu dalam bentuk yang paling sederhana berupa

    pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya

    dengan bahasa lain. Chaer dan Agustin (2010:120) berpendapat faktor penyebab

    interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya

    perubahan sistem suatu bahasa sehubungan adanya persentuhan bahasa tersebut

    dengan unsur-unsur bahasa lain yang digunakan oleh penutur yang bilingual.

    Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakansuatu

    bahasa dengan memasukkan sistem dari bahasa lain. Sepihan-serpihan fonem dari

    bahasa lain dalam suatu kosakata juga dapat dianggap sebagai peristiwa

    interferensi.

  • Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat

    menyimpulkan pengertian interferensi adalah suatu kekeliruan, penyimpangan

    atau masuknya unsur serapan pada saat pengucapan kata dalam bahasa Indoensia

    yang terjadi karena bilingual.

    a. Tataran Interferensi

    Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, yaitu tataran

    bunyi, tata bentuk, tata kalimat, leksikal, dan semantik. Macky (dalam Nursaid

    dan Marjusman, 2002:138) membicarakan tingkat-tingkat interferensi cultural

    phenomena and expertence, semantic lexical, rammatical (parts of speech,

    grammatical categories, funcion, and phonological (intonation rythms,

    calenation, and articulation).

    Jenis interferensi dikemukakan Jendra (dalam Sukmawansari, 2018:36) bahwa

    interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata

    bunyi (fonologi), tata bentuk kata (morfologi) tata kalimat ( sintaksis), kosakata

    (leksikon). Pada tataran fonologi, morfologi,dan sintaksis. Interferensi fonologi

    dapat dibedakan menjadi: interferensi yang terjadi pada vokal, diftong dan

    konsonan. Interferensi morfologi dapat dibedakan menjadi: Prefiks, sulfiks, dan

    konfiks. Selanjutnya, interferensi sintaksis dapat dilihat pada tataran frasa dan

    klausa.

    a. Interferensi Fonologi

    Tiap perangkat dibidang oleh ilmu yang berbeda-beda. Bunyi bahasa,

    misalnya dipelajari dan dikaji oleh ilmu bunyi atau sering disebut fonologi.

    Fonologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bunyi bahasa, dengan

  • tujuan agar para pembaca dapat membedakan bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu

    dipadukan sehingga mengandung arti.

    W.N Francis (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan fonologi adalah istilah

    yang mencakup fonetik dan fonemik. Selanjutnya Crystasl (dalam Munirah,

    2016:1) mengatakan bahwa fonologi adalah cabang linguistik yang menelaah

    sistem bunyi bahasa.

    Lebih lanjut, Frankin dan Rodman (dalam Munirah, 2016:1) mengatakan

    bahwa fonologi adalah menelaah cara-cara bunyi-bunyi bicara membentuk sistem

    dan pola dalam bahasa manusia. Karena itu, fonologi suatu bahasa adalah sistem

    dan pola bunyi-bunyi bicara.

    Selain itu, Kridalaksana (dalam Munirah 2016:1) mengatakan bahwa fonologi

    adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.

    Kridalaksana (dalam Sukmawansari, 2018:36) menyatakan bahwa fonologi

    ialah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut

    fungsinya. Interferensi fonologi terdiri dari interferensi fonologis pengurangan,

    penambahahan huruf, dan interferensi fonologis perubahahan huruf.

    Perubahannya bisa terjadi seperti penghilangan fonem pada awal, tengah, akhir,

    atau melalui proses penggabungan, pelepasan, penyisipan, asimilasi, dan

    desimilasi. Interferensi fonologi merupakan kekacauan atau gangguan sistem

    suatu bahasa yang berhubungan dengan fonem. Interferensi fonologi ini terjadi

    pada tataran vokal, diftong, dan tataran konsonan.

    b. Interferensi fonologi bahasa Duri ke dalam bahasa Indonesia

    1) Fonem Vokal

  • Pada dialek Diri, Endekan, dan Maiwa terdapat lima fonem vokal, yaitu /i/,

    /u/, /e/,/o/, dan /a/. Berdasarkan gerakan alat ucap, fonem vokal tersebut dapat

    dibedakan sebagai berikut:

    a) Berdasarkan tinggi rendahnya posisi lidah:

    Vokal tinggi : i, u

    Vokal tengah : e, o

    Vokal rendah : a

    b) Berdasarkan bundar lebarnya bibir:

    Vokal bundar : u, o

    Vokal tak bundar :i, e (lihat Sikki, et al. 1997)

    c) Berdasarkan maju mundurnya gerakan lidah:

    Vokal depan : i, e

    Vokal belakang : a

    Vokal pusat : u, e

    2) Distribusi fonel vokal

    Pada ketiga dialek dalam bahasa tersebut memperlihatkan bahwa kelima

    vokal, yaitu /i/, /u/,/ e/, /o/, dan /a/ dapat menempati semua posisi dalam kata,

    baik di awal, tengah, maupun di akhir kata.

    3) Deretan fonem vokal

    Dalam bahasa Duri belum ditemukan diftong, seperti harimau, bangau, kalau,

    gulai (ikan), sepoi, dan amboi dalam bahasa Indonesia. Yang ditemukan adalah

    deretan vokal, baik pada kata dasar maupun kata jadian.

  • Interferensi dalam bidang fonologi terjadi pada tataran vokal yang tampak

    seperti di bawah ini:

    Terima „tarima‟

    Benang „bannang‟

    Sepeda „sapeda‟

    Mati „mate‟

    Telinga „talinga‟

    Celaka „cilaka‟

    Data tersebut memperlihatkan bahwa interferensi fonologis bahasa Indonesia

    ke dalam bahada Duri yang terjadi pada tataran vokal yakni terjadi perubahan

    vokal /e/ dalam bahasa Indonesia menjadi vokal /a/ dalam bahasa daerah. Pada

    kata „terima‟ terjadi perubahan vokal /a/ dengan vokal /e/, perubahan ini disebut

    interferensi yang terjadi pada fonem dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Duri

    sebab pola baku bahasa Indonesia adalah „terima‟ bukan „tarima‟. Pada kata

    „celaka‟ dari bahasa Indonesia, berubah pengucapan dalam bahasa Duri menjadi

    „cilaka‟. Perubahan pada kata „cilaka‟ terjadi pada perubahan vokal /e/ menjadi

    vokal /i/.

    4) Fonem konsonan

    Bahasa ini memiliki 19 fonem konsonan. Kesembilan belas konsonan itu

    adalah /p/, /t/, /d/, /b/, /k/, /g/, /q/, /c/, /j/, /s/, /h/, /m/, /n/, /ny/, /ng/, /r/, /l/, /w/, dan

    /y/.

    a) Berdasarkan tempat artikulasi

    - Konsonan bilabial ada empat, yaitu /m/, /p/, /b/, dan /w/.

  • - Konsonan alveolar ada enam, yaitu /n/, /t/, /d/, /s/, /l/, dan /r/.

    - Konsonan palata ada empat, yaitu /ny/, /c/, /j/, dan /y/.

    - Konsonan velar ada tiga, yaitu /ng/, /k/, dan /g/.

    - Konsonan glottal ada satu, yaitu /q/. (lihat Sikki et al. (dalam

    Sukmawansari,2018:37)

    b) Berdasarkan cara artikulasi

    - Konsonan nasal ada empat, yaitu: /m/, /n/, /ny/, dan /ng/.

    - Konsonan letupan ada enam, yaitu /p/, /t/, /d/, /g/, dan /q/.

    - Konsonan afrikat ada tiga, yaitu: /c/, /j/, dan /h/.

    - Konsonan frikatif ada satu, yaitu /s/.

    - Konsonan latera ada satu, yaitu /l/.

    - Konsonan getar ada satu, yaitu /r/.

    - Konsonan vokal ada dua, yaitu /w/ dan /y/.

    5) Distribusi fonem konsonan

    Distribusi konsonan akan tergambar pada kemungkinan setiap konsonan

    dalam mengisi posisi tertentu, baik di awal, twengah, maupun di akhir kata. Dapat

    dipastikan bahwa ada fonem yang dapat menduduki semua posisi, tetapi ada juga,

    bahkan, sebagian besar fonem yang akan menempati posisi tertentu.

    Setelah memperjatikan distribusi fonem konsonan, ternyata hanya empat

    konsonan yang dapat menempati semua posisi (awal, tengah, dan akhir kata),

    yaitu /n/, /k/, /ng/, dan /h/. Keempat fonem yang muncul pada akhir kata terdapat

    perbedaan diantara tiga dialek. Fonem /n/, di akhir kata muncul pada dialek Duri

    dan Endekan, fonem /ng/ di akhir kata pada ketiga dialek, fonem /k/ di akhir kata

  • muncul dialek Duri, sedangkan pada dialek Endekan fonem /k/, di awali dengan

    nasal dorsovelar /ng/ menjadi /ngk/, dan fonem /h/, di akhir kata hanya terdapat

    pada dialek Duri. Selain keempat fonem yang dapat menduduki semua posisi,

    fonem /q/ hanya muncul pada tengah, dan akhir kata untuk ketiga dialek. Fonem-

    fonem yang lain muncul pada awal dan tengah kata saja

    6) Gugus konsonan

    Gugus konsonan terdapat dalam sebuah suku yang terdiri atas kelompok atau

    deretan dua buah konsonan atau lebih tanpa disela dengan vokal. Interferensi

    fonologis bahasa Indonesia dalam bahasa daerah juga terjadi pada bidang

    konsonan, yakni terjadi perubahan konsonan dalam bentuk penambahan bunyi

    konsonan, penghilangan bunyi konsonan dan penggantian bunyi konsonan

    misalkan pada kata „hati‟. Kata tersebut memperlihatkan bahwa pengucapan kata

    „hati‟ dalam bahasa Indonesia akan menjadi „ate‟ dalam pengucapan bahasa Duri.

    Ini merupakan interferensi fonologi dalm bidang konsonan, sebab terjadi

    penghilangan bunyi konsonan /h/ dan pengganti bunyi vokal /i/.

    7. Faktor penyebab terjadinya interferensi

    Nursaid dan Marjusman Maksan (2002:135) menungkapkan adanya pengaruh

    kontak dua bahasa atau lebih dalam diri individu yang mengakibatkan terjadinya

    pentransferan unsur-unsur bahasa ke bahasalain. Sejalan dengan itu Weinrich

    (dalam Ruriana, 2010:64-65) selain kontak bahasa ada beberapa faktor lain

    terjadinya interferensi, yaitu:

    a. Kedwibahasaan peserta tutur

  • Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan

    berbagai pengaruh lain dari sumber bahasa, baik dari bahasa daerah maupun

    bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur

    yang dwibahasanya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.

    b. Tipisnya kesetiaan pemakaian bahasa penerima

    Tipisnya kesetiaan kedwibahasaan terhadap bahasa penerima cenderung akan

    menimbulkan sifat kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah

    bahasa penerima yang digunakan dan pengembalian unsur-unsur bahasa sumber

    yang dikuasi penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul

    bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur,

    baik secara lisan maupun tertulis.

    c. Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima

    Pembendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada

    pengungkapan berbagai sisi kehidupan yang terdapan di dalam masyarakat yang

    bersangktan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika

    suatu masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu

    dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum

    mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka

    menggunakan kosakata sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja

    pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk

    mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidakcukupan atau terbatasnya

    kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam

    bahasa sumber cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi. Interferensi

  • yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja

    oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini

    cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat

    diperlukan untuk memperkaya pembendaharaan kata bahasa penerima.

    d. Menghilangkan kata-kata yang jarang digunakan

    Kosakata dalm suatu bahasa yang jarang digunakan cenderung akan

    menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan kan

    menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebuh dihadapkan pada konsep baru dari

    luar, pada suatu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah

    menghilang dan pihak lain akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu

    interferensi atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber. Interferensi yang

    disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dogunakan tersebut akan

    berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa

    penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjamanitu akan lebih cepat

    diintegrasikan karena unsur tersebut dibutukan dalam bahasa penerima.

    e. Kebutuhan akan sinonim

    Sinonim dalam pemakaian bahasa memiliki fungsi yang cukup penting, yakni

    sebagai variasi pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama

    secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata

    yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang

    dipergunakan untuk menghindari kata secara berulang-ulang. Karena adanya

    sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam

    bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk

  • memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan

    kosakata yang bersinonim dapat menimbulkan interferensi.

    f. Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa

    Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi karena

    pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang

    dianggap bahasa berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan

    dengan keinginan pemakai bahasa bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang

    timbul karena faktor itu biasanya berupa pemakai bahasa unsur-unsur bahasa

    sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan.

    g. Terbawanya kebiasaan bahasa ibu

    Kebiasan bahasa ibu pada bahasa yang sedang digunakan, pada umumnya

    terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap

    bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasaan yang sedang belajar

    bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan

    bahasa kedua, pemakai bahasa kedua kurang kontrol, karena kedwibahasaan

    mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan

    menggunakan bahasa kedua maka yang muncul adalah kosakata bahasa pertama

    atau bahasa ibu yang sudah dulu dikenalnya. Interferensi yang terjadi antara

    bahasa Duri dalam pemakaian bahasa Indonesia disebabkan adanya pertemuan

    atau persentuhan dua bahasa tersebut. Interferensi pada lafal, pembentukan kata,

    pembentukan kalimat, dan kosakata.

  • B. Kerangka Pikir

    Berdasarkan landasan teori yang telah peneliti kaji, Pada bagian ini diuraikan

    beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai acuan dan pedoman selanjutnya.

    Kerangka pikir yang dimaksud mengarahkan penulis untuk memperoleh data dan

    informasi dalam penelitian guna memecahkan masalah yang dikaji.

    Di dalam penelitian ini, penulis memilih pokok permasalahan tentang

    Interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia yang terdapat di

    sekolah SMAN 3 Enrekang kelas XI MIPA 1. Ditinjau dari kajian sosiolinguistik

    yang membentuk masyarakat turur sehingga terjadi interferensi fonologi pada

    bidang konsonan dan vokal pemakaian bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia.

    Penelitian ini ditinjau dari segi sosial budaya,. Penutur bahasa daerah Kabupaten

    Enrekang memiliki kekhasan tersendiri. Hal tersebut disebabkan karena

    kebudayaan Enrekang berada di antara kebudayaan bugis, Tana Toraja, dan

    Mandar. Saat berkomunikasi siswa terbiasa menggunakan dua bahasa, yakni

    bahasa daerah sebagai bahasa Ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua

    dalam keseharian di sekolah. Bahasa Duri memiliki beberapa dialek.

    Bahasa duri diklaim oleh suku Toraja bahwa bahasa duri sama dengan bahasa

    Tojara, demikian pemakai bahasa Bugis mengklaim bahasa Endekan dan bahasa

    Maiwa sama dengan bahasa Bugis, padahal tidak demikian. Untuk melihat

    perbandingannya di bawah ini di sajikan beberapa kata dengan bahasa masing-

    masing. Sedangkan bahasa Indonesia diketahui sebagai bahasa nasional tidak

    hanya berfungsi sebagai alat penghubung antar budaya dan antar daerah, tetapi

    dijadikan sebagai alat komunikasi atau berinteraksi di lingkungan masyarakat dan

  • sekolah. Subtansi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. bahasa Indonesia sudah

    berkembang menjadi bahasa besar sejajar dengan bahasa-bahasa di dunia. Hal ini

    dapat dilihat dari aspek internal dan eksternal. Perkembangan aspek internal,

    bahasa Indonesia sudah memiliki sistem dan kaidah yang sempurna. Bahasa

    Indonesia memiliki pedoman ejaan yang disempurnakan, tata bahasa baku, kamus

    besar bahasa Indonesia, dan pedoman pembentukan istilah. Perkembangan aspek

    internal, bahasa Indonesia adalah bahasa yang bersifat terbuka. Artinya bahasa

    Indonesia mau dan mampu mengkomodasi kata, istilah, idiom, dari bahasa lain

    (baik bahasa daerah maupun bahasa asing) untuk mengembangkan dirinya secara

    lebih luas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan sebagai berikut:

  • Bagan 2.2 Kerangka Pikir

    Sosilinguistik

    Masyarakat Tutur

    Fonologis

    Bahasa Duri Bahasa Indonesia

    Interferensi

    Analisis

    Hasil

  • BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Jenis Penelitian

    Penelitian tentang interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa

    Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang menggunakan observasi

    partisipan, khususnya fenomena kebahasaan yang bersifat natural. Artinya, data

    yang dikumpulkan berasal dari lingkungan yang nyata dan apa adanya, berupa

    bentuk-bentuk ujaran yang mengalami interferensi tuturan bahasa Indonesia oleh

    penutur siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang dalam berkomunikasi lisan.

    Disamping itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    penelitian kualitatif deskriptif.

    Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitianyang

    bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

    penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik, dan

    dengan cara deskripsi dalam bentuk kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus

    yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Pada

    penelitian ini penulis telah mengambul kesimpulan bahwa metode penelitian yang

    digunakan yakni metode penelitian kualitatif deskripsi.

    Metode penelitian kualitatif deskriptif memiliki perbedaan dengan metode

    lainnya, seperti metode perspektif atau yang lainnya. Metode penelitian kualitatif

    deskriptif memiliki ciri, yaitu tidak mempermasalahkan benar atau salah objek

    yang dikaji, penekanan pada gejala aktual atau pada yang terjadi saat penelitian

    dilakukan, dan biasanya tidak diarahkan untuk menguji hipotesis.

  • Penelitian kulitatif deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis

    tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala,

    atau keadaan. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan

    bukan dalm bentuk angka. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan

    pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri yaitu, penyajian

    hasil penelitian ini berupa penjabaran tentang objek, pengumpulan data dengan

    latar ilmiah, dan peneliti menjadi instrument utama.

    B. Data dan Sumber Data

    1. Data

    Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data-data yang tertulis berkaitan

    dengan bentuk ujaran bahasa Indonesia yang mengalami interferensi fonologis

    terhadap bahasa Duri siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang akibat terjadinya

    kontak bahasa yang diujarkan oleh siswa komunitas tutur bilingual. Lebih lanjut,

    dalam penelitian ini peneliti merancang mengambil data dengan cara melakukan

    merekam percakapan siswa kelas XI MIPA 1 yang melibatkan peneliti. Misalkan

    mewawancarai siswa melalui daring yang ada di lingkungan masyarakat (rumah).

    Siswa kelas XI MIPA 1 sebagai pelajar yang menggunakan bahasa bilingualisme.

    Peneliti dan siswa melakukan percakapan melalui daring kemudian menyimak,

    merekam, dan mencatat bahasa yang diujarkan.

    2. Sumber Data

    Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI MIPA 1

    SMAN 3 Enrekang yang pada dasarnya adalah penutur bilingual dalam hal ini

    bahasa Duri sebagai bahasa pertama (B1) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa

  • kedua (B2) yang langsung sebagai sumber data dalam penelitian ini. Responden

    yang dimaksud di atas adalah beberapa orang yang berstatus sosial yang berbeda.

    Pengambilan data berfokus pada bentuk-bentuk interferensi fonologis bahasa Duri

    terhadap bahasa Indonesia kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.

    Syarat sumber data dalam penelitian ini adalah penutur siswa kelas XI MIPA

    1 di SMAN 3 Enrekang dalam hal ini informan. Menurut Ratukore, dkk,

    (DALAM Sukmawansari, 2018:48) syarat-syarat menjadi informan dalam

    penelitian ini adalah; 1) penutur bahasa Duri, 2) laki-laki dan perempuan yang

    sudah dewasa, 3) tidak cacat wicara dan kesehatannya baik, 4) pendidikan

    sekurang-kurangnya SD, 5) dapat berbahasa Indonesia, 6) bersedia menjadi

    informan dan mempunyai waktu yang cukup untuk penelitian ini, dan 7) bersikap

    terbuka dan tidak mudah tersinggung.

    C. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini, maka teknik pengolahan

    data dalam penelitian ini menggunakan ternik yang berbentuk:

    1. Studi kepustakaan, yakni membaca buku-buku yang berhubungan dengan

    judul dan pokok masalah yang berhubungan dengan masalah yang

    dirumuskan.

    2. Data lapangan, dilakukan dengan melakukan dialog langsung dengan siswa

    (responden), meminta kepada siswa untuk melakukan dialog dan mengamati

    siswa dalam melakukan hubungan komunikasi atau percakapan bebas di

    lingkungan sekolah pada umumnya. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan

    dialog dengan siswa melalui daring.

  • Selain pengumpulan data di atas, metode lain yang sering digunakan dalam

    penelitian, yaitu dilakukan dengan teknik simak terlebih dahulu mengamati situasi

    dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan teknik simak libat cakap kepada

    siswa penutur bahasa Duri dengan menggunakan bahasa Indonesia tujuannya

    untuk mencari data-data kebahasaan Indonesia yang mengalami interferensi.

    Selanjutnya dengan teknik rekam penulis merekam kejadian faktual di lapangan,

    langkah selanjutnya dilakukan dengan teknik catat, yaknu mencatat semua dari

    pemakai bahasa Duri di kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.

    Adapun langkah-langkah yang dilalui dalam teknik pengumpulan data

    kebahasaan yang telah dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:

    1. Teknik simak

    Teknik simak merupakan teknik yang digunakan dalam penyediaan data

    dengan cara peneliti melakukan penyimakan penggunaan bahasa, sebagai teknik

    dasar, maka ia memiliki teknik, yaitu teknik simak libat cakap, catat, dan rekam

    dengan demikian penulis menggunakan teknik simak untuk memperoleh data

    dilakukan dengan menyimak pengguna bahasa yang diucapkan oleh penutur siswa

    kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang. Sehingga penulis mendapatkan data

    mengenai bentuk interferensi fonologi bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia

    kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang yang ada di lingkungan sekolah.

    2. Teknik Simak Libat Cakap

    Untuk melengkapi teknik simak peneliti juga menggunakan teknik simak libat

    cakap sebagai pendukung pemerolehan data yang valid. Teknik libat cakap

    merupakan teknik pemerolehan data dengan cara bercakap mengajukan

  • pertanyaan kepada informan. Selain itu, peneliti tidak hanya sebagai penyimak

    tetapi terlibat langsung dalam percakapan sehingga terdapat kontak antara

    informan, karena itulah daya-data kebahasaan yang mengalami unsur-unsur

    interferensi dalam komunikasi lisan siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.

    3. Teknik Rekam

    Peneliti merekam suatu kejadian ketika terjadinya kontak antara pengguna

    bahasa dan teknik rekam ini dapat digunakan secara bersamaan dengan metode

    simak jika pengguna bahasa yang disimak itu terwujud secara lisan, kemudian

    langkah selanjutnya adalah menggunakan teknik catat.

    4. Teknik Catat

    Hasil dari proses rekaman tersebut kemudian ditranskripsi berupa data tentang

    bentuk interferensi fonologi bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia kelas XI

    MIPA 1 SMAN 3 Enrekang

    Adapun teknik catat dan rekam sebagai teknik yang dilakukan ketika

    menerapkan metode simak. Dari itu dalam peristiwa interferensi peneliti tidak

    hanya menyadap dan menyaksikan, tetapi juga mencatat bentuk-bentuk

    interferensi fonologis bahasa Duri terhadap bahasa Indonesia dalam komunikasi

    lisan siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.

    D. Teknik Analisis Data

    Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian

    dari hasil penelitian, data yang telah diperoleh akan diamalisis secara kualitatif

    serta diuraikan dalam bentuk deskriptif.

  • Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Bliken dalam Moleong (2007:

    248) adalah upaya yang dilakukan dengan data, mengorganisasikan data, memilih

    menjadi satuan yang dapat dikelolah, mensistesikannya, mencari dan menemukan

    apa yang penting dan apa yang dipelajari.

    Analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengolah data.

    Pengumpulan data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

    Deskriptif kualitatif ini digunakan untuk mengolah data-data kebahasaan yang

    telah diperoleh peneliti dari beberapa data-data kebahasaan sehingga hasil dari

    analisis ini diketahui bentuk-bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap

    bahasa Indonesia kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.

    Berikut ini adalah rincian langkah-langkah dalam teknik analisis data, yaitu

    sebagai berikut:

    1. Identifikasi data merupakan tahap peneliti memahami data yang telah

    dirangkum dalam bentuk catatan untuk diamati dan diperiksa serta dipilih

    dalam hal ini kaitannya bentuk ujaran yang mebgalami interferensi.

    2. Klasifikasi data merupakan kegiatan menetapkan fakta sesuai dengan

    hubungan kenyataan. Dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan

    mengklasifikasikan bentuk-bentuk ujaran yang mengalami interferensi pada

    siswa bilingual di SMAN 3 Enrekang

    3. Interpretasi data merupakan upaya pemaknaan terhadap data penelitian, yaitu

    mencari keterkaitan terhadap unsur yang dicermati dan menampilkan satu

    sajian yang deskriptif. Dalam hal ini, data yang telah diklarifikasikan tersebut

    dideskripsikan melalui suatu analisis terhadap keterkaitan yang dimiliki oleh

  • data-data tersebut. Proses ini menghasilkan suatu pemaknaan yang

    menyeluruh terhadap data hasil penelitian berupa unsur-unsur kebahasaan

    yang mengalami interferensi.

    4. Analisis data merupakan teknik analisis yang digunakan dalam menganalisis

    data dengan membuat gambaran data-data yang terkumpul tanpa membuat

    generalisasi dari hasil penelitian tersebut. Dalam teknik analisis data secara

    deskriptif dapat menyajikan data dalam bentuk tabel.

    5. Deskriptif merupakan teknik yang digunakan untuk menggambarkan atau

    menjelaskan data-data yang telah dianalisis. Pengklarifikasian data mengenai

    suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan mendeskriptifkan sejumlah

    gambaran data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

    Menurut hidayat Syah, penelitian deskriptif merupakan metode yang

    berfungsi untuk menemukan dan memahami pengetahuan seluas-luasnya

    terhadap objek penelitian pada suatu masa tertentu. (dalam Rahma, 2020:1)

  • BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil Penelitian

    Data penelitian ini diperoleh dari beberapa percakapan melalui daring,

    selanjutnya dipiliujaran yang mengalami interferensi fonologis bahasa Duri

    terhadap bahasa Indonesia siswa kelas XI MIPA 1 SMAN 3 Enrekang.

    Bentuk interferensi fonologis bahasa Duri terhadap Bahasa Indonesia oleh

    siswa kelas XI MIPA 1 sebagai berikut:

    Tabel 2.2 Bentuk Interferensi Fonologis

    No.

    Identifikasi Data Interferensi

    Bahasa Indonesia yang Mengalami

    Interferensi

    Bentuk Baku dalam Bahasa

    Indonesia

    1. Di mana saat belajar online kita

    tidak bisa tarima materi secara

    langsung.

    Saat belajar online kita tidak bisa

    terima materi secara langsung

    2. Saya harap cepa’ berlalu atau

    berakhir agar bisa melakukan

    aktivitas-aktivitas seperti biasanya

    seperti belajar di sekolah secara

    resmi.

    Saya harap cepat berlalu atau

    berakhir agar bisa melakukan

    aktivitas-aktivitas seperti biasanya

    seperti belajar di sekolah secara

    resmi.

    3. Pada hari libur di akhir pekan di

    masa pendemik ini biasanya saya

    pergi ke kebun bapa’.

    Pada hari libur di akhir pekan di

    masa pendemik ini biasanya saya

    pergi ke kebun bapak.

    4. Sediki pengalaman saya selama

    belajar online, saya kadang tidak

    bisa bergabung belajar dengan

    teman-teman saya untuk mengikuti

    proses pembelajaran secara online

    Sedikit pengalaman saya selama

    belajar online, saya kadang tidak

    bisa bergabung belajar dengan

    teman-teman saya untuk mengikuti

    proses pembelajaran secara online

    5. Demikian tugas banyanya yang

    diberikan. Hal lainnya juga bahwa

    belajar online juga memberikan

    rasa bosan, sebab tidak lagi

    berinteraksi langsung dengan

    Demikian tugas banyaknya yang

    diberikan. Hal lainnya juga bahwa

    belajar online juga memberikan

    rasa bosan, sebab tidak lagi

    berinteraksi langsung dengan

    51

  • teman-tseman dan guru. teman-t